MODUL PERKULIAHAN FILSAFAT MANUSIA EKSISTENSIALISME Fakultas Program Studi Fakultas Psikologi Program Studi Tatap Muka 09 Kode MK Disusun Oleh Kode MK Nama Dosen Masyhar, MA Abstract Kompetensi Dengan memahami mengenai eksistensialisme, maka kita akan mengetahui hakekat terdalam dalam diri kita, hubungan kita dengan Tuhan, alam dan Sesama manusia. Selain itu, dengan memahami eksistensialisme kita akan memahami dengan baik bagaimana cara kita untuk mencapai derajat yang diinginkan 1. Mahasiswa dapat menyatakan penalarannya mengenai pendasaran relasi antara tubuh dan jiwa manusia; 2. Mahasiswa dapat menyatakan penalarannya mengenai pendasaran sifatsifat dan kemungkinan-kemungkinan pengetahuan, pengertian, dan afektivitas manusia; 3. Mahasiswa dapat menyatakan penalarannya mengenai pendasaran sifat dan kemungkinan kebebasan manusia serta relasinya dengan pilihan manusia PEMBAHASAN PENGERTIAN EKSISTENSIALISME Istilah eksistensi berasal dari dua suku kata yaitu eks yang beratI ke luar dan sistensi yang berarti berdiri atau menempatkan. Jadi secara etimologis eksistensi adalah cara manusia ber-ada (meng-ada) di dunia. Eksistensi sebagai cara ber-ada-nya manusia sebagai subjek atau pribadi yang sadar diri dan memiliki penyadaran diri, yang ke luar dari dalam dirinya sendiri. Eksistensialisme merupakan filsafat yang secara khusus mendeskripsikan eksistensial dan pengalaman manusia dengan metodologi fenomenologi atau cara manusia berada. Perhatian dan pikiran aliran ini adalah berkenaan dengan penyadaran manusia melalui pengalaman subjektifnya. Keunikan dan kedudukan manusia sebagai pribadi (personal) adalah titik tekan dari eksistensialisme. Sejarah munculnya eksistensialis Eksistensialisme muncul sebagai aliran filsafat di abad kedua puluh. Aliran ini dirintis oleh filsuf asal Denmark bernama Soren Aabye Kierkegard (1813-1855) dan dikembangkan oleh seorang filsuf asal Jerman, Martin Heidegger. Aliran eksistensialisme merupakan bagian filsafat dan akar metodologinya berasal dari metodologi fenomenologi yang dikembangkan oleh Hussel. Ada banyak tokoh filsuf aliran eksistensialisme antara lain, Nicholas Berdyaev (1874-1948), Arbert Camus (1913-1960), Karl Jaspers (18831969),Gabriel Marcel (1889-1973), Jean Paul Sartre (1905-1980) dan lain-lain. Kemunculan eksistensialisme berawal dari ahli filsafat Soren Kierkegaard dan Nietzche. Soren Kierkegaard ingin menjawab pertanyaan “bagaimanakah aku menjadi seorang diri?”, Pertanyaan tersebut mengemukakan bahwa kebenaran itu tidak berada pada suatu sistem yang umum tetapi berada dalam eksistensi individu yang konkret. Pandangan ini muncul ketika manusia mengalami krisis eksistensinya, yaitu ketika individu melupakan sifat individualitasnya. Aliran ini muncul dan berkembang sebagai suatu reaksi dan kritik karena ketidaksetujuaan dari beberapa sifat dari filsafat yang muncul sebelumnya, dan karena ketidaksetujuan terhadap keadaan masyarakat modern. Sebagai contoh, Kierkegaard prihatin terhadap semakin terdesaknya manusia sebagai subjek dengan harkat pribadinya oleh proses permasalahan yang semakin menjadi sejalan dengan proses industrialisasi dan kemajuan teknologi. Dengan kondisi demikian, maka nilai personal akan tergerus dengan seiring perkembangan zaman, segala sesuatunya akan mengutamakan hal-hal yang berkaitan dengan kepenting umum. Pendapat-pendapat umum akan lebih didengar dari pada pendapat pribadi. Dalam hal ini Kierkegaard mengungkapkan bahwa peran pers sangat besar pengaruhnya. 2016 2 Filsafat Ilmu dan Logika Masyhar, MA Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id Jaspers berpendapat bahwa kemajuan teknologi akan memudarkan nilai-nilai spiritual dalam kehidupan manusia. Jaspers merasa prihatin dengan permasalahan dan penyamarataan yang melanda manusia. Materialisme memudarkan spiritualisme. Bahkan Jaspers meramalkan ada kecenderungan yang manghanyutkan manusia di zaman modern. Akan terjadi reduksi terhadap manusia sebagai keutuhan dan akan semakin terpenjaralah keutuhannya yang bebas. Jaspers bukan satu-satunya tokoh yang prihatin terhadap reduksi yang terjadi antara manusia dan mesin. Yang menggejala sebagai proses detotalisasi (tidak diindahkannya manusia sebagai suatu keutuhan), dehumanisasi (diabaikannya kodrat kemanusiaan), despiritualisasi (tak diacuhkannya nilai spiritual dalam kehidupan seharihari), dan depersonalisasi (dibekukannya aktualisasi diri manusia sebagai pribadi) kelak akan menimbulkan kebingungungan atas eksistensinya sebagai manusia. Jaspers mengatakan bahwa penyelesaian dari masalah-masalah ini adalah kembali kepada kehendak manusia itu sendiri. Memang pada dasarnya eksistensialisme mengkritik kemajuan teknologi yang mereduksi makna eksistensi manusia. Namun, tidak ada satupun filsuf yang menentang laju perkembangan teknologi, tetapi para filsuf menyadarkan kita untuk waspadai dampak dampak-dampak yang ditimbulkan oleh perkembangan teknologi. Bagaimana cepatnya laju kemajuan teknologi, nilai-nilai manusiawi harus tetap dipertahankan. Para filsuf menyerukan bahwa manusia harus tetap menjaga eksistensinya sebagai individu yang otentik. Dalam filsafat dibedakan antara esensia dan eksistensia. Esensia membuat benda, tumbuhan, binatang dan manusia. Oleh esensia, sosok dari segala yang ada mendapatkan bentuknya. Oleh esensia, kursi menjadi kursi. Pohon mangga menjadi pohon mangga. Harimau menjadi harimau. Manusia menjadi manusia. Namun, dengan esensia saja, segala yang ada belum tentu berada. Kita dapat membayangkan kursi, pohon mangga, harimau, atau manusia. Namun, belum pasti apakah semua itu sungguh ada, sungguh tampil, sungguh hadir. Di sinilah peran eksistensia. Eksistensia membuat yang ada dan bersosok jelas bentuknya, mampu berada, eksis. Oleh eksistensia kursi dapat berada di tempat. Pohon mangga dapat tertanam, tumbuh, berkembang. Harimau dapat hidup dan merajai hutan. Manusia dapat hidup, bekerja, berbakti, dan membentuk kelompok bersama manusia lain. Selama masih bereksistensia, segala yang ada dapat ada, hidup, tampil, hadir. Namun, ketika eksistensia meninggalkannya, segala yang ada menjadi tidak ada, tidak hidup, tidak tampil, tidak hadir. Kursi lenyap. Pohon mangga menjadi kayu mangga. Harimau menjadi bangkai. Manusia mati. Demikianlah penting peranan eksistensia. Olehnya, segalanya dapat nyata ada, hidup, tampil, dan berperan Friedrich Wiliam Nietzsche 2016 3 Filsafat Ilmu dan Logika Masyhar, MA Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id Friedrich Wiliam Nietzsche adalah filsuf eksistensialis yang pemikirannya memberikan warna tersendiri pada filsafat Barat modern dimana dia mengajak kita untuk merefleksikan dan memikirkan secara lebih serius eksistensi kita sebagai manusia. Dalam pandangan eksistensinya tertuang dalam konsep Übermensech yang konsep ini diciptakan sebagai suatu tujuan hidup manusai di dunia ini agar mereka bisa eksis. Ubermensech ini bisa di katakan sebagai ideal yang ingin dicapai oleh manusia. Ubermensech mengajarkan kita untuk mengatasi segala hegemoni dengan kekuatan kita sendiri. Oleh karena itu, tujuan utama konsep ini adalah membuat manusia yang lebih berani kuat, cerdas, dan hebat sehingga manusia dapat lepas dari kehanyutan suatu hegemoni sehingga manusia itu mempunyai jati diri yang sesuai dengan dirinya dan ditentukan oleh dirinya tanpa di kukung norma dan nilai yang berlaku. Dalam pandanganya, manusia itu harus terus menerus melampaui dirinya sendiri. Oleh karena itu, manusia tidak butuh norma karena manusia mempunyai norma sendiri karena manusialah yang menciptakan nilai dan norma tersebut. Manusia unggul harus meninggalkan apa yang menjadi kepercayaan orang kebanyakan. Manusia unggul itu tidak mudah, karena harus melewati banyak penderitan dan cobaan. Nietzsche mengungkapkan manusia itu haruslah menyadari siapa dirinya dan apa yang di inginkannya sehingga ia akan cinta kehidupan. Nietzsche sangat kesal pada manusia yang tidak mempunyai cita–cita tapi selalu mengharapkan belas kasihan orang lain bahkan Nietzsche merasa kesal untuk memberi manusia itu sesuatu tetapi kesal juga untuk tidak memberi apa-apa. Seseorang Ubermensech itu harus mempunyai keberanian untuk memusnahkan nilai-nilai lama. Terkadang kebenaran itu sungguh pahit untuk di ungkapkan tapi kebenaran itu harus diungkapkan sebab kebenaran tidak bisa disembunyikan karena dapat berbalik menjadi racun yang membinasakan. Dalam pandangannya, hidup itu kenikmatan yang harus maknai sedalam-dalamnya walupun sepahit apapun penderitaanya hingga moment terkecil. Hal ini terlihat absurd, di mana manusia harus mencari makna di antara ketiadaan makna. Dalam bukunya yang berjudul Zarathustra ini digambarkan bahwa manusia unggul, harus bergairah dalam hidup dan harus bebas dari rasa dosa dan kekhawatiran. Ia harus mencintai kehidupan ini sampai moment terkecil tanpa adanya penyesalan. Penggambaran ini sudah terkuak eksistensialis yang mengungkapkan manusia itu selalu dinamis dan belum selesai karena harus berkarya. Nietzsche terus mengungkapkan pentingnya keberanian yang harus dimiliki oleh manusia atas atau manusia unggul. Manusia unggul harus berani menghadapi segala tantangan yang ada didepan, dan manusia harus berani menderita guna mencapai tujuan hidupnya yaitu mencapai Übermensch, bahkan keberanian itu harus 2016 4 Filsafat Ilmu dan Logika Masyhar, MA Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id ditunjukkan dalam menghadapi maut. Kematian itu datangnya harus disambut seperti kita menyambut kelahiran datau kebahagiaan. Intinya ajaran Nietzsche itu dimulai dengan gagasan Kehendak untuk berkuasa (Will to Power) yang dipresentasikann melalui manusia unggul atau Übermensch. Dalam uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa untuk menjadi Uberemensech, manusia harus mempunyai keberanian, kecerdasan dan kebanggaan. Manusia harus berani menghadapi kehidupan ini baik kebahagiaan maupun penderitaan. Dengan penderitaan manusia akan mencapai suatu potensi yang maksimal, karena dengan dihadapkan dengan konflik manusia akan dapat dengan baik mengeluarkan segala potensi dan kemampuannya dan ini akan membantu manusia untuk menjadi Übermensch. Konsep Übermensch inilah yang tercermin sebagai gagasan yang bernilai eksistensial bagi keberadaan manusia yang berada di dunia ini. Søren Kierkegaard: Konsep Eksistensi Eksistensi yang dipondasikan oleh Kierkegaard bertitik tolak dari gagasannya tentang manusia sebagai individu atau persona yang bereksistensi dan konkrit. Ia melihat bahwa hal yang paling mendasar bagi manusia adalah keadaan dirinya atau eksistensi dirinya. Menurut Kierkegaard, eksistensi hanya dapat diterapkan kepada manusia sebagai individu yang konkrit, karena hanya aku individu yang konkrit ini yang bereksistensi, yang sungguh-sungguh ada dan hadir dalam realitas yang sesungguhnya. Oleh karena itu, aku yang konkrit ini tidak dapat direduksi kepada realitas-realitas lain, sebab jika aku yang konkrit ini direduksi ke dalam realitas-realitas yang lain itu, maka realitas diriku yang sesungguhnya sebagai individu yang bereksistensi tercampur dengan realitas-realitas itu. Dengan demikian, aku individu yang konkrit ini tidak memiliki kebebasan untuk mengembangkan dan mewujudkan diriku sebagaimana adanya karena aku tergantung kepada realitas-realitas itu. Ketergantunganku kepada realitas-realitas itu membuat aku tidak bisa untuk merealisasikan diriku sebagaimana aku kehendaki. Padahal menurut Kierkegaard, eksistensi manusia justru terjadi dalam kebebasannya. Menurut Kierkegaard, bereksistensi bukan berarti hidup dalam pola-pola abstrak dan mekanis, tetapi terus menerus mengadakan pilihan-pilihan baru secara personal dan subjektif. Dengan kata lain, eksistensi manusia merupakan suatu eksistensi yang dipilih dalam kebebasan. Bereksistensi berarti bereksistensi dalam suatu perbuatan yang harus dilakukan oleh setiap orang bagi dirinya sendiri. Pilihan bukanlah soal konseptual melainkan soal komitmen total seluruh pribadi individu. Berangkat dari kebebasan sebagai corak bereksistensi, Kierkegaard dengan demikian tidak menempatkan individu ke dalam realitas yang abstrak tetapi individu dilihat sebagai satu pribadi yang sungguh-sungguh hadir dan konkrit. Oleh karena itu, dalam mengambil keputusan, hanya aku yang konkrit ini yang dapat 2016 5 Filsafat Ilmu dan Logika Masyhar, MA Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id mengambil keputusan atas diriku sendiri dan bukan orang lain. Orang lain tidak berhak untuk menentukan pilihanku dalam mengambil suatu keputusan atas apa yang aku lakukan. Oleh karena itu, menurut Kierkegaard, barangsiapa yang tidak berani mengambil keputusan, maka ia tidak bereksistensi dalam arti yang sebenarnya. Hanya orang yang berani mengambil keputusanlah yang dapat bereksistensi karena dengan mengambil keputusan atas pilihannya sendiri, maka dia akan menentukan kemana arah hidupnya. Kaitan dengan estetis (mengindrai, mencecap), Kierkegaard berpendapat pada tahap ini, individu diombang-ambingkan oleh dorongan-dorongan indrawi dan emosiemosinya. Akibatnya, individu yang berada dalam tahap ini tidak mencapai suatu kesatuan batiniah yang terungkap dalam satu pendirian dan kematangan pribadi. Dengan kata lain, individu masih dihadapkan pada realitas-realitas perasaan yang menyenangkan tanpa memperhitungkan apakah perasaan itu baik atau tidak. Pada tahap ini, individu memiliki keinginan yang besar untuk menikmati seluruh pengalaman emosi dan nafsu. Oleh karena itu, menurut Kierkegaard tidak ada ukuran-ukuran moral yang umum atau keyakinan iman yang ditetapkan untuk membatasi ruang gerak individu. Maka salah satu persoalan yang ditakuti oleh individu pada tahap ini adalah rasa tidak enak dan kebosanan. Kendatipun tahap ini merupakan tahap rendah dalam eksistensi manusia, namun tahap ini tetap disebut sebagai tahap eksistensial, karena pada tahap ini setiap individu memiliki pilihan bebas atas situasi-situasi yang dia hadapi. Bagaimana memahami pilihan ini, Kierkegaard menampilkan tiga pahlawan estetis dari kebudayaan Barat, yaitu Don Juan seorang tokoh dalam opera Mozart, Faust seorang tokoh ciptaan Goethe, dan Ahasuerus seorang Yahudi yang dalam pengembaraannya tidak percaya kepada Allah maupun manusia. Menurut Kierkegaard, ketiga tokoh ini merupakan perwakilan dari rasa kebosanan dan keputusasaan. Misalnya: Don Juan memiliki rasa kebosanan keputusasaan karena apa yang dia menikmati terus menerus terulang. Demikian pula dengan Faust yang menghadapai berbagai tantangan merasa ragu apakah dia mampu untuk menemukan kebahagiaan dalam hidupnya. Sedangkan Ahasueres menurut Kierkegaard merupakan personifikasi dari keputuasasaan karena ia memiliki realitas hidup yang tidak jelas. Dari ketiga contoh di atas, Kierkegaard melihat bahwa keputusan merupakan tahap akhir dari sebuah pilihan eksistensi manusia. Artinya, ketika orang berada dalam situasi kebosanan dan keputusasaan, maka orang itu memiliki kebebasan untuk berpindah kepada eksistensi yang baru. Tahap ini disebut sebagai tahap etis. Tahap etis merupakan suatu tahap di mana individu membuat suatu pilihan bebas atau sebuah “lompatan eksistensial.” Lompatan eksistensial mengandaikan bahwa individu mulai secara sadar memperhitungkan atau memilah-milah dan menggunakan kategori yang baik dan yang jahat dalam bertindak. Kierkgaard melukiskan peralihan dari eksistensi estetis 2016 6 Filsafat Ilmu dan Logika Masyhar, MA Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id ke eksistensi etis seperti orang yang meninggalkan kepuasan nafsu-nafsu seksualnya yang bersifat sementara dan masuk ke dalam status perkawinan dengan menerima segala kewajibannya. Pada tahap ini individu dapat menguasai dan mengenali dirinya. Pengenalan dan penguasaaan diri menghantar individu untuk menyesuaikan tindakan-tindakannya dengan ukuran-ukuran moral yang bersifat universal. Dengan demikian, kehidupan seorang individu pada tahap ini ditandai oleh pilihan-pilihan konkrit berdasarkan pertimbangan rasio. Tetapi menurut Kierkegaard, kendatipun manusia telah berusaha untuk mencapai asas-asas moral universal, namun, manusia etis masih terkungkung dalam dirinya sendiri, karena dia masih bersikap imanen, artinya mengandalkan kekuatan rasionya belaka. Pada tahap ini, manusia menyadari keadaannya yang tragis. Kierkegaard menampilkan Sokrates sebagai “pahlawan tragis.” Menurut Kierkegaard, kendatipun Sokrates mengakui kelemahan-kelemahan manusia, tetapi dia tidak memahami dosa karena kelemahankelemahan manusia dapat diatasi dengan kehendak atau dengan ide-ide belaka. Sokrates menyangkal dirinya demi asas-asas moral universal. Oleh karena itu, individu pada tahap ini tidak memahami bahwa dasar-dasar eksistensinya terbatas. Ia juga tidak menjumpai Paradoks Absolut kecuali kalau dia memiliki realitas kehidupan yang mendalam sehingga dia ditantang untuk melompat ke eksistensi yang baru, yaitu tahap religius. Tahap religius merupakan tahap tertinggi dari eksistensial manusia. Dikatakan demikian karena tahap ini tidak lagi menggeluti hal-hal yang konkrit melainkan langsung menembus inti yang paling dalam dari manusia, yaitu pengakuan individu akan Allah sebagai realitas Yang Absolut dan kesadarannya sebagai pendosa yang membutuhkan pengampunan dari Allah. Pada tahap ini, manusia religius membiarkan diri terkena oleh mata petir rahmat Tuhan dan dengan iman kepercayaan yang besar ia mempertaruhkan seluruh kehidupannya demi Allah. Ia mempertaruhkan seluruh jiwa raganya demi mengikuti jejak Kristus. Tetapi, Kierkegaard melihat bahwa iman kepercayaan Kristiani itu bersifat paradoks kendatipun hidup sebagai kristen merupakan cara yang paling tinggi bagi manusia. Pada poin ini, Kierkegaard menampilkan Abraham sebagai tokoh orang beriman sejati kepada Allah. Menurut Kierkegaard, ketika Abraham mengorbankan putranya Ishak, pada saat itu dia berhadapan dengan realitas paradoks, yaitu di satu pihak dia menyadari keterbatasannya sebagai manusia tetapi melalui keterbatasan itu Abraham membangun satu relasi intim dengan Yang Absolut. Pada tataran inilah Abraham benar-benar meninggalkan tahap etis dan melompat kepada tahap religius, yaitu langsung berhadapan dengan Yang Absolut, dengan Allah yang berpribadi, yang perintah-perintah-Nya bersifat mutlak dan tidak dapat diukur dengan akal manusia. 2016 7 Filsafat Ilmu dan Logika Masyhar, MA Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id Martin Heidegger Martin Heidegger lahir tanggal 26 September 1889 di kota kecil Messkirch Baden, jerman dan mempunyai pengaruh besar terhadap beberapa filosof di Eropa dan Amerika Selatan. Ia menerima gelar doctor dalam bidang filsafat dari universitas Freiburg dimana ia belajar dan menjadi asisten Edmund Husserl (penggagas fenomenologi). Disertasinya berjudul die lehre von urteil in psycologismus (ajaran tentang putusan dalam psikolog). Ia adalah anak seorang pastor pada gereja katolik santo mortinus. Sebelumnya ia kuliah di fakultas theology sampai empat semester lalu pindah ke filsafat di bawah bimbingan Heinrich Rickert, penganut filsafat neo-kantianisme yang juga banyak memberi pengaruh kepadanya. Heidegger mulanya adalah seorang pengikut fenomenologi. Secara sederhana, kaum fenomenolog menghampiri filsafat dengan berusaha memahami pengalaman tanpa diperantarai oleh pengetahuan sebelumnya dan asumsi-asumsi teoretis abstrak. Edmund Husserl adalah pendiri dan tokoh utama aliran ini, sementara Heidegger adalah mahasiswanya dan hal inilah yang meyakinkan Heidegger untuk menjadi seorang fenomenolog. Heidegger menjadi tertarik akan pertanyaan tentang "Ada" (atau apa artinya "berada"). Karyanya yang terkenal Being and Time (Ada dan Waktu) dicirikan sebagai sebuah ontologi fenomenologis. Gagasan tentang Ada berasal dari Parmenides dan secara tradisional merupakan salah satu pemikiran utama dari filsafat Barat. Persoalan tentang keberadaan dihidupkan kembali oleh Heidegger setelah memudar karena pengaruh tradisi metafisika dari Plato hingga Descartes, dan belakangan ini pada Masa Pencerahan. Heidegger berusaha mendasarkan Ada di dalam waktu, dan dengan demikian menemukan hakikat atau makna yang sesungguhnya dalam artian kemampuannya untuk kita pahami. Demikianlah Heidegger memulai di mana Ada itu dimulai, yakni di dalam filsafat Yunani, membangkitkan kembali suatu masalah yang telah lenyap dan yang kurang dihargai dalam filsafat masa kini. Upaya besar Heidegger adalah menangani kembali gagasan Plato dengan serius, dan pada saat yang sama menggoyahkan seluruh dunia Platonis dengan menantang saripati Platonisme - memperlakukan Ada bukan sebagai sesuatu yang nirwaktu dan transenden, melainkan sebagai yang imanen (selalu hadir) dalam waktu dan sejarah. Hal ini yang mengakibatkan kaum Platonis seperti George Grant menghargai kecemerlangan Heidegger sebagai seorang pemikir meskipun mereka tidak setuju dengan analisisnya tentang Ada dan konsepsinya tentang gagasan Platoniknya. Meskipun Heidegger adalah seorang pemikir yang luar biasa kreatif dan asli, dia juga meminjam banyak dari pemikiran Friedrich Nietzsche dan Soren Kierkegaard. 2016 8 Filsafat Ilmu dan Logika Masyhar, MA Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id Heidegger dapat dibandingkan dengan Aristoteles yang menggunakan dialog Plato dan secara sistematis menghadirkannya sebagai satu bentuk gagasan. Begitu juga Heidegger mengambil intisari pemikiran Nietzsche dari sebuah fragmen yang tak terbit dan menafsirkannya sebagai bentuk puncak Metafisika Barat. Karya Heidegger berupa transkrip perkuliahan selama 1936 tentang Nietzsche's Will to Power as Art kurang bernilai akademis dibandingkan karyanya sendiri yang lebih asli. Konsep Heidegger tentang kecemasan angst dan das sein berasal dari konsep Kierkegaard tentang kecemasan, pentingnya relasi subjektivitas dengan kebenaran, eksistensi di hadapan kematian, kesementaraan eksistensi, dan pentingnya afirmasi diri dari Ada seseorang di dalam dunia. Bereksistensi oleh Heidegger disebut Dasein, dari kata da (disana) dan sein (berada), sehingga kata ini berrarti: berada disana, yaittu di tempat. Manusia senantiasa menempatkan diri ditengah-tengah dunia sekitarnya, sehingga ia terlibat dalam alam sekitarnya dan bersatu dengannya. Sekalipun demikian manusia tidak sama dengan dunia sekitarnya, tidak sama dengan benda-benda, sebab manusia sadar akan keberadaannya. Menurut Heidegger, persoalan tentang "berada" ini hanya dapat dijawab melalui ontology, artinya: jikalau persoalan ini dihubungkan dengan manusia dan dicari artinya dalam hubungan itu. Agar supaya usaha ini berhasil, harus dipergunakan metode fenomenologis. Demikianlah yang penting ialah menemukan arti "berada" itu. Satu-satunya berada yang sendiri dapat dimengerti sebagai berada ialah berada -nya manusia. Harus dibedakan antara "berada" (sein) dan yang "berada" (seiende). Ungkapan seiende hanya berlaku bagi benda-benda, yang bukan manusia, yang jika dipandang dari dirinya sendiri artinya terpisah dari segala yang lain, hanya berdiri sendiri. Benda-benda itu hanya "vorhanden", artinya hanya terletak begitu saja di depan orang, tanpa ada hubungannya dengan orang itu. Benda-benda itu hanya berarti jika dihubungkan dengan manusia. Secara fenomenologis, hubungan sehari-hari antara manusia dan dunianya itu bersifat praktis. Hubungan itu dapat disebut demikian, bahwa manusia sibuk dengan dunia, atau mengerjakan dunia, atau mengusahakan dunia, dan sebagainya, yang semuanya dirangkumkan Heidegger dalam kata besorgen (memelihara). Hubungan asli yang dalam kesatuan antara dasein dan dunia adalah besorgen (memelihara). Di dalam dunia itu manusia tampak sebagai yang berbuat. Perbuatan itu bukan hanya dalam bentuk perbuatan yang kongkrit, tetapi jika manusia itu diam, ia berbuat. Ada suasana perbuatan praktis dan teoritis (manusia diam). Praktis, manusia bertemu dengan benda-benda dan berbuat dengan benda-benda tersebut, contoh: kayu jadi kursi, meja, dll. Dan manusia lebih disibukkan dengan perbuatan yang praktis yang berkaitan dengan dunia yang dijumpainya. Demikianlah ciri khas Dasein adalah dunia dan memiliki dunia. 2016 9 Filsafat Ilmu dan Logika Masyhar, MA Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id Dalam hidupnya sehari-hari manusia bersikap praktis, disibukkan dengan bendabenda yang tersedia untuk ditangani (zuhanden) sehingga benda-benda itu memiliki tabiatnya sendiri-sendiri, menjadi alat yang dipakai manusia. Benda-benda itu senantiasa diberi kaitan, dijadikan alat untuk melakukan sesuatu. Fungsi itu baru dimiliki jika telah ditentukan oleh manusia (kayu sebagai bahan bakar atau bahan bangunan). Manusia terbuka bagi dunianya dan bagi sesamanya. Keterbukaan ini bersandar kepada 3 hal asasi yang penting, yaitu befindlichkeit atau kepekaan, verstehen atau mengerti, memahami, dan rede atau kata-kata atau hal berbicara. Befindlichkeit atau kepekaan ini diungkapkan dalam bentuk perasaan dan emosi. Bahwa manusia merasa senang, kecewa, takut, dsb, itu bukan karena akibat pengamatan hal-hal yang bermacam-macam, tetapi suatu bentuk dari "berada di dalam dunia", suatu hubungan yang asli terhadap dirinya sendiri. Manusia berada di dalam dunia dengan kepekaan itu. Di dalam hidup sehari-hari ia dapat mendesakan kepekaan itu, dapat menindasnya atau mengalahkannya, akan tetapi tetap ia akan mengalami kepekaan itu. Inilah kenyataan hidupnya, inilah nasibnya. Ia telah "terlempar" (geworfen) ke situ. Oleh karena itu kepekaan adalah pengalaman yang elementer menguasai realitas, itulah keadaan dimana dunia dihadapkan dengan kita, itulah keadaan dimana kita menemukan dan menjumpai dunia sebagai nasib, dan dimana kita sekaligus menghayati kenyataan eksistensi kita yang serba terbatas dan ditentukan. Jadi kepekaan mendasari sesuatu yang kongkrit. Verstehen atau mengerti atau memahami ini bukan pengertian yang biasa, melainkan dasar segala pengertian. Jika befindlichkeit atau kepekaan dikaitkan dengan segi nasib manusia, maka pengertian dikaitkan dengan kebebasan manusia. Hal mengerti ini bersangkut-paut dengan manusia dan kemungkinan-kemungkinannya. Manusia hidup dalam suatu kesadaran akan "berada"nya. Dilihat dari kesadaran akan "berada"-nya ini seluruh dunia penuh dengan kepentingan dan arti. Akan tetapi kepentingan-kepentingan dan arti itu hanya dapat dilihat dari kesatuannya dengan eksistensinya. Pertama-tama manusia tahu atau mengerti akan kemungkinan-kemungkinannya yang ada pada dirinya. Dari situ tampaklah dunia dengan segala kemungkinannya untuk dapat dipakai, diambil manfaatnya, dsb. Pengertian ini senantiasa diarahkan kepda kemungkinan akan sesuatu dan syaratsyaratnya untuk mencapai sesuatu itu. Hal ini disebabkan karena dalam pengertian ini telah tersirat struktur yang eksistensial, yang disebut entwurf atau rencana. Pengertian itu merencanakan "berada"-nya Dasein. Oleh karena itu manusia merencanakan dan merealisasikan kemungkinan-kemungkinannya sendiri, dan sekaligus juga kemungkinankemungkinan dunia. Jadi verstehen atau pengertian termasuk cara berada manusia. 2016 10 Filsafat Ilmu dan Logika Masyhar, MA Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id Rede atau hal berbicara mewujudkan asas yang eksistensial bagi kemungkinan untuk berbicara dan berkomunikasi serta bagi bahasa. Kata-kata berhubungan dengan arti. Di dalam ungkapan "mengerti" di dalam hidup sehari-hari telah tersirat segala kemungkinan untuk menjelaskan sesuatu sebagai sesuatu dalam rangka rencana yang diarahkan kepada arah tertentu. Secara a priori manusia telah memiliki "daya untuk berbicara". Ia adalah makhluk yang dapat berbicara. Sambil berbicara ia mengungkapkan diri. Pengungkapannya adalah suatu pemberitahuan. Dasein selalu berada dalam proses pelaksanaan diri. Proses dimana dasein melaksanakan diri ditunjuk dengan masa mendatang. Waktu lampau dan sekarang, harus dimengerti atas dasar waktu mendatang. Waktu adalah tahap-tahap yang tidak dapat dipisah-pisahkan antara masa lalu, sekarang, dan akan datang. Bagi Heidegger, waktu itu sama real-nya, dan dalam rentangan waktu itulah seseorang senantiasa berada dalam kemungkinan-kemungkinan dan potensialitas ini menjadi alternative bagi manusia untuk bertindak. Dalam kondisi seperti inilah manusia terbentur pada kehilangan-kehilangan. Maksudnya, ada pengalaman akan ketiadaan dan ada hal-hal yang belum terealisasi. Sementara perasaan yang belum terealisasi itulah yang kemudian memunculkan perasaan cemas pada diri manusia , karena ia terbentur dengan ketiadaan dan keterbatasan. Jean Paul Sartre Jean-Paul Sartre lahir di Paris pada tanggal 21 Juni 1905. Ayahnya perwira angkatan laut Prancis dan ibunya, Anne Marie Schweitzer, anak bungsu dan satu-satunya anak perempuan dari Charles Schweitzer, seorang guru bahasa dan sastra Jerman di daerah Alsace. Ayahnya meninggal sesudah dua tahun kelahiran Jean-Paul dan ibu bersama anaknya pulang ke rumah ayahnya, Charles Schweitzer, di Meudon. Sesudah empat tahun mereka berpindah ke Paris (Bertens, 2001:81). Saat diasuh oleh kakeknya, Charles Schweitzer sangat menyayangi cucunya, dan menjaganya tetap di rumah serta memberikan pendidikan sendiri sampai berusia sepuluh tahun. Masa pengurungan ini menguntungkan Sartre karena dapat mengasah daya nalarnya melalui buku-buku studi kakeknya (Munir, 2008 :104) Di Paris, Sartre menemukan keajaiban bibliothek kakeknya. Di sana, ia hidup karena merasa menjadi pusat perhatian dan pujaan keluarga. Dengan rambut pirangnya yang panjang dan bergelung-gelung, Sartre kecil dengan cepat menyadari sisi tampan dari dirinya. Sampai suatu hari, sang kakek membawa Sartre ke tukang cukur. Dalam Les Mots Sartre menuliskan peristiwa tersebut tanpa eufimisme: ‘Saat diambil dari ibunya dia masih menakjubkan, tetapi saat dikembalikan kepadanya ia menjadi seekor kodok. Itulah Sartre menemukan dirinya ‘Jelek’. Bukan hanya karena matanya juling, tetapi juga karena rupa 2016 11 Filsafat Ilmu dan Logika Masyhar, MA Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id serta perawakanya membuatnya mirip ‘kodok’. Penemuan dini ini sangat penting bila dikaitkan dengan dua konsep filsafat Sartre yaitu L’autre dan Le regard (Wibowo, 2011 :25). Ketika berusia 17 tahun, Jean-Paul menerima gelar ‘baccalaureate’ (gelar diploma sekolah menengah yang elit) dan ia memulai studi selam 6 tahun di Sorbonne untuk mendapatkan aggregation, ujian yang akan memberinya jalan untuk memasuki karier akademis dalam bidang filsafat. Namun pada tahun 1928 ia gagal dalam aggregation dan mendapatkan peringkat paling akhir di kelasnya (Palmer, 2007:6). Tetapi setahun kemudia Sartre berhasil mendapatkan rangking pertama dalam ujian aggregation-nya, di sini jugalah dia bertemu partner seumur hidupnya, Simone de Beauvoir. Pada masa perang dunia, Sartre bergabung dengan militer Prancis (1939) sebagai seorang meteorologis. Ia ditangkap tentara Jerman di Padoux dan dipenjara selama 9 bulan. Selama menjadi tahanan perang, Sartre berpindah-pindah dari Padoux kemudian ke Nancy, dan terakhir ke Stallag, Treves. Di kota terakhir inilah dia menulis skenario teater pertamanya Bariona, Fills du tonnerre. April 1941, Sartre dibebaskan karena alasan kesehatan. Namun, masa menjadi tahanan itu memberikan makna mendalam bagi Sartre di sepanjang hidupnya. Setelah kembali ke Paris, Sartre bergabung dengan kelompok pergerakan dan menulis di berbagai majalah seperti Les Leteres Francaise dan Combat. Sartre pernah mendirikan review bulanan tentang Sastra dan politik, Les Temps Modernes, dan membaktikan diri sepenuhnya pada kegiatan menulis dan politik (Adian, 2010:69-70). Pada Tahun 1964, Sartre dianugerahi hadiah nobel untuk bidang sastra. Karena alasan politis ia menolak hadiah tersebut. Jean Paul Sartre meninggal tanggal 15 April 1980. Para dokter berusaha membujuk Simone de Beauvoir yang sangat terpukul oleh kematian Sartre untuk tidak berbaring di atas tubuh Sartre sepanjang malam. Meskipun status intelektualnya dipudarkan oleh kesuksesan Strukturalisme dan post-Strukturalisme, sebagai pribadi ia tetap sangat populer pada saat kematiannya. Jalan-jalan di kota Paris dipadati orang-orang yang menghormatinya dalam jalan menuju pemakaman (Palmer 2007: 17). Lebih dari lima puluh ribu orang hadir dalam iring-iringan dan pemakaman filsuf perancis ini. Menurut Sartre, seorang eksistensialis adalah orang yang percaya dan bertindak berdasarkan dalil berikut, yang berlaku untuk semua umat manusia yaitu ‘eksistensi mendahului esensi’. Apa artinya? Sebelum itu marilah kita membahas pendapat ‘esensi mendahului eksistensi’. Esensi berarti hakikat dari suatu hal, definisi dari suatu hal, ide mengenai suatu hal, sifat dasar atau kodrat, fungsi, dan program. Artinya bahwa dalam benda buatan manusia esensi benar-benar mendahului eksistensi (Palmer, 2007:21). Contohnya dapat kita lihat dari gunting. Gunting mempunyai ide di dalamnya, yaitu alat untuk menggunting sesuatu. Bila kita menemukan benda, dan itu dapat digunakan untuk menggunting sesuatu, kita dapat menyebutnya gunting. Karena manusia sebagai 2016 12 Filsafat Ilmu dan Logika Masyhar, MA Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id pembuat benda (gunting) sudah memberikan ide gunting dalam benda yang sekarang kita sebut dengan gunting. Tetapi hal ini tidak berlakuk untuk manusia. Karena tidak ada Tuhan yang menciptakan ide tentang manusia -setidaknya itulah yang dikatakan Sartre. Bagi Sartre, manusia mengada dengan kesadaran sebagai dirinya sendiri. Dan sebagai demikian itu maka ia tidak bisa dipertukarkan. Dengan demikian pula maka adanya manusia berbeda dengan adanya hal-hal lain yang tanpa kesadaran tentang adanya sendiri. Dengan lain perkataan bagi manusia eksistensi adalah keterbukaan; berbeda dengan benda-benda yang lain dimana ada itu sekaligus esensi, maka bagi manusia eksistensi mendahului esensi. Demikian Sartre menegaskan asas pertama dari ajarannya. Ini berarti pula bahwa bagi Sartre asas pertama sebagai dasar untuk memahami manusia haruslah mendekatinya sebagai subyektivitas. Manusia sebagai pencipta dirinya sendiri tidak akan selesai-selesai dengan ikhtiarnya itu. Sebagai eksistensi yang ditandai oleh keterbukaan menjelang masa depannya, maka manusia pun merencanakan segala sesuatu bagi dirinya sendiri. Ini mengandung arti bahwa manusia bertanggung jawab terhadap dirinya sendiri, apapun jadinya eksistensinya, apapun makna yang hendak diberikan pada eksistensinya itu, tiada lain yang bertanggung jawab adalah dirinya sendiri. Sebab dalam membentuk dirinya sendiri itu, manusia mendapat kesempatan untuk tiap kali memilih apa yang baik dan apa yang kurang baik baginya. Setiap pilihan yang dijatuhkan terhadap alternatif-alternatif yang ditemuinya adalah pilihannya sendiri; ia tidak bisa mempersalahkan orang lain, tidak pula bisa menggantungkan keadaan pada Tuhan (Hassan,1976:103). Dalam artian tertentu, definisi Sartre mengenai eksistensialisme hanya meradikalkan pandangan yang sangat umum di antara kebanyakan ahli ilmu sosial: bahwa tidak ada naluri yang menyebabkan tindakan-tindakan tertentu. Dengan begitu manusia tidak menyerupai kucing. Dalam hal ini perilaku yang benar-benar dihasilkan oleh naluri tidak ada pilihan. (Laba-laba penjebak pasti menenun jaring penjebak, dan burung berkicau pasti berkicau). Benar bahwa ada fungsi-fungsi dan reflek-reflek tubuh manusia yang bekerja dalam keharusan daripada dalam kebebasan, tetapi fungsi-fungsi tubuh manusia yang seperti itu tidak pernah menghasilkan tindakan-tindakan manusia sesungguhnya, sebagai contoh adalah perbedaan mengedipkan mata (tindakan manusia) dan berkedip (bukan tindakan manusia sesungguhnya) (Palmer, 2007: 26). Ada dan Ketiadaan 1. L etre-en-soi Dari buku yang ditulis Sartre Being and Nothingness, kita dapat melihat landasan ontologis Sartre dalam membangun filsafat yang menggunakan metode fenomenologi. 2016 13 Filsafat Ilmu dan Logika Masyhar, MA Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id Dengan dasar-dasar yang sama, tetapi Sartre mendapatkan kesimpulan yang cukup berbeda dari Husserl maupun Heidegger sebagai guru fenomenologinya. Sebagai landasan ontologisnya, Sartre pertama menyuguhkan konsep L etre-en-soi, apa itu L etre-en-soi ? secara arti, L etre-en-soi berarti being-in-itself atau berada dalam dirinya sendiri.Untuk mengetahuinya, sebaiknya kita bedah term itu satu persatu. Pertama etre, Driyarkara menjelaskan apa yang dimaksud etre : ‘’Sekarang kita mendekati pikiran Sartre ikutilah paparan berikut, kita mengerti pohon, kita mengerti hewan, kita mengerti manusia dan sebagainya. Semuanya itu berbedabeda…Jadi kita menyebut dengan nama-nama atau kata-kata yang berbeda karena apa yang disebut juga berbeda-beda…namun, di antara istilah-istilah yang kita gunakan itu ada yang umum, artinya kita gunkaan untuk menyebut barang-barang yang betul-betul berlainan, misalnya kata barang…di samping itu ada kata lain yang umum pula ialah « ada ». Apa saja yang kita jumpai dapat kita sebut ada atau sesuatu yang berada. Nah, ada atau sesuatu yang berada, itu dalam bahasa Sartre disebut Etre.’’ (Driyarkara, 2006a :1304) L etre-en-soi menunjuk suatu cara bereksistensi yang tertutup, apa yang ada sepenuhnya identik dengan dirinya sendiri. Ia bersifat tertutup rapat, tanpa lobang, tanpa celah, dan tanpa gerak sedikitpun untuk keluar dari dirinya. di situ tidak terdapat-subjekobjek, sama sekali tidak mempunyai relasi. Oleh Sartre L etre-en-soi disebut ‘ada yang tidak berkesadaran’. Boleh dikatakan ada jenis ini adalah adanya benda-benda, yang berada begitu saja (Siswanto, 1998 : 140). Lebih jelasnya tentang etre-en-soi itu harus dikatakan : it is what it is. Etre-en-soi tidak aktif, tidak pasif, tidak afirmatif, tidak negatif : kategori-kategori macam itu itu hanya mempunyai arti dalam kaitan dengan manusia. Etre-en-soi tidak mempunyai masa silam, masa depan; tidak mempunyai kemungkinan ataupun tujuan. Etre-en-soi itu sama sekali kontingen. Artinya : ada begitu saja, tanpa fundamen, tanpa diciptakan, tanpa dapat dimainkan dari sesuatu yang lain (Bertens, 2001 : 92). Menurut Sartre, segala yang berada secara ini, segala yang L etre-en-soi, adalah memuakkan. Mengapa ? Meja, kursi, pohon, dan sebagainya, dalam dirinya bukanlah apa-apa. Benda-benda itu bila kita lihat sebagai de-facto demikian, seperti adanya tanpa alasan apa pun, lepas dari segala arti yang kita berikan kepadanya dalam hidup sehari-hari akan tampak memuakkan (Hadiwijono, 2011 : 159). 2. L etre-pour-soi L etre-pour-soi atau ‘ada untuk diri’ menunjuk cara beradanya manusia yaitu pada kesadaran manusia; sifatnya melebar (co extensive) dengan dunia kesadaran dan sifat kesadaran yang berada di luar diri sesuatu atau seseorang. Dalam kesadaran barulah muncul adanya subjek dan objek. Ada yang sadar menjadi subjek, tetapi dia juga bisa 2016 14 Filsafat Ilmu dan Logika Masyhar, MA Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id menjadi objek. Jadi seolah-olah di situ ada keduaanya ; subjek berhadapan dengan objek. Yang berupa subjek adalah ‘pengada yang sadar’. Yang berupa objek ialah dia sendiri, sekedar disadari. Tetapi kesadaran itu tidak identik dengan dirinya karena ia hanya berdiri sebagai ‘subjek yang lain’ dan tak terpisahkan dengan dirinya sendiri. Antara subjek yang menyadari dan objek yang disadari selalu terdapat jarak, jarak antara aku dan diriku, inilah yang disebut ‘ketiadaan’ (Siswanto, 1998: 141). Konsep yang sulit ini dapat dipermudah dengan contoh. Sekarang marilah kita menganggap ada seorang manusia. Berbeda dengan benda-benda lain yang tidak sadar akan keberadaannya. Manusia itu ada, ada berarti dia sadar dengan keberadaanya. Sedangkan manusia yang sadar dengan keberadaannya berarti dia mengetahui sesuatu. mengetahui sesuatu inlah yang disebut Sartre asebagai proses meniadakan sesuatu. Atau dari ‘Ada’ menuju ‘Ketiadaan’. Bagaimana bisa? Perhatikanlah sekarang, jika manusia sedang dan dalam berbuat, sadar tentang diri sendiri, itu berarti bahwa manusia dengan sadar sedang ada dalam peralihan. Dia sedang mengalih, dia sedang berpindah, dia dalam perjalanan. Sekali lagi dia dengan sadar menjalankan peralihannya itu. Dia beralih, dia mengalih, itu karena sadar tentang diri sendiri. Dia menyadari diri sebagai ini, akan tetapi justru bersama-sama membantah dengan mengalih itu. Jadi, dia berkata ini dan juga membantah, saya tidak mau dan karenanya dia mengalih. Misalnya, seorang mengakui saya ini pencuri. Sedang sadar dan justru karena kesadarannya itu dia membenci sifat pencuri, jadi tidak mau kepencuriannya itu. Sebetulnya, peniadaan itu terjadi terus menerus, terjadi tak ada berhenti-hentinya, sebab manusia itu tidak pernah berhenti. Dia terus saja berbuat. Setiap perbuatan itu berupa perpindahan. Perpindahan perubahan, karena manusia tidak bisa menghendaki ketetapan dan itu justru karena kesadaranya. Pandanglah sekarang demikian : manusia itu dlaam tiaptiap perbuatan berubah, mengalih, jadi bergerak ke-. Karena dia sedang berubah, karena dia sedang mengalih ke-, karena dia sedang bergerak ke-, jadi dia belum seperti yang dimaukan. Dia dalam keadaan yang tidak dikehendaki dan keadaan seperti yang dikehendaki belum ada. Jadi dia belum ada. Jadi, yang dikehendaki belum ada dan yang tidak ada tidak dikehendaki. Itulah manusia dalam tiap detik. Jadi dia selalu meniadakan (Driyarkara, 2006a: 1309). Itulah yang dimaksud Ada selalu menuju ketiadaan. Eksistensialis dan Psikologi Dalam psikologi eksistensial terdapat sejumlah teori kepribadian dan psikopatologi yang dikembangkan oleh tokoh-tokoh yang berbeda. Dalam pembahasan berikut ini mengungkap teori-teori kepribadian dan psikopatologi dari Binswanger dan Boss, Rollo May, Viktor Frankl, dan Ronald Laing. 2016 15 Filsafat Ilmu dan Logika Masyhar, MA Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id A. BINSWANGER dan BOSS Binswanger dan Boss adalah 2 orang psikologi terapis pengembang teori dan praktek terapi eksistensial yang disebut analisis eksistensial. Berikut inti dari teori kepribadian Binswanger dan Boss : 1. Taraf-taraf dunia dan keberadaan Ada 3 taraf dunia tempat manusia meng-ada, yakni : Dunia fisikal atau biologis. Dalam cara berelasi dengan alam atau dunia fisikal, setiap individu memiliki persepsi yang berbeda tentang alam, misalnya individu satu memandang laut sebagai sumber bahaya sehingga akan selalu menghindari laut, sementara individu yang lain mempersepsi laut sebagai tempat yang ideal untuk berolahraga air sehingga merasa senang berada di laut. Dunia manusia atau sosial. Dalam berelasi atau meng-ada di dalam dunia sosial juga berbeda persepsi masing-masing individu. Ada individu yang mempersepsi bahwa orang lain itu baik, bisa saling mengerti, menghargai dan membantu sehingga individu dalam dunia sosialnya bersedia dan sanggup untuk menjalani hubungan dengan orang lain. Individu yang lain ada yang mempersepsi bahwa adanya orang lain itu hanya untuk menilai, menghakimi, atu mengobjekkan dirinya sehingga individu tidak akan mampu berhubungan dengan orang lain dan menghindarkan diri dari pergaulan dengan orang lain. Ada pula individu yang senantiasa mengantisipasi apa yang dipikirkan orang lain mengenai dirinya sehingga ia senantiasa bertingkah laku yang disukai orang lain. Dunia diri sendiri. Individu menjalani keberadaan sebagai subjek yang merefleksikan, mengevaluasi, menilai atau menghakimi dirinya sendiri. Banyak individu yang menghindari introspektif, karena hal itu akan menyakitkan namun ada individu yang terus menerus introspektif dengan akibat mereka kekurangan kemampuan untuk meng-ada di dalam dunia sosial secara adekuat. ROLLO MAY 1. Kekosongan, kesepian, dan kecemasan Menurut May ( 1953 ) kekosongan adalah kondisi individu yang tidak mnegetahui lagi apa yang diinginkannya dan tidak lagi memiliki kekuasaan tehadap apa yang terjadi dan dialaminya. Individu yang tersaingkan oleh sesama dan dari diri sendiri selalu merasa kesepian, oleh karena itu individu senantiasa menjalin kebersamaan dalam relasi yang intim dengan orang lain. Individu mengalami kecemasan disebabkan karena individu tersebut merasa bingung, siapa dirinya dan apa yang harus diperbuat. Kecemasan itu sangat menyakitkan karena akan mengancam kesadaran diri. 2. 2016 16 Kesadaran diri Filsafat Ilmu dan Logika Masyhar, MA Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id Manusia yang memiliki kesadaran diri yang tinggi yaitu manusia yang mampu mengamati dirinya sendiri dan membedakan dirinya dengan orang lain, memiliki kemampuan dalam menempatkan dirinya dalam masa kini, masa lampau, dan masa depan, mampu mempengaruhi perkembangan dirinya dan orang lain dan mampu menempatkan diri dalam dunia batin sesamanya. 3. Mempertinggi kesadaran diri Langkah-langkah yang perlu diambil individu untuk mempertinggi kesadaran diri yaitu dengan menemukan kembali perasaan-perasaannya, mengenal keinginan-keinginan sendiri dan dengan menemukan kembali relasi diri dengan aspek-aspek kesadaran. C. VIKTOR FRANKL 1. Kebebasan Berkeinginan Di dalam ruang noologis / dimensi spiritual terletak kebebasan berkeinginan dari manusia. Dengan memasuki ruang noologis manusia meninggikan martabatnya sebagai manusia, sebagai makhluk yang hidupnya tidak dikuasai oleh ketentuan biologis dan psikologisnya. 2. Keinginan pada makna Keinginan kepada makna merupakan keinginan yang utama yang tidak pernah padam pada manusia. mengembangkan Melalui kehidupannya penciptaan dan makna membahagiakan bagi hidup dirinya. berarti Frankl manusia memandang penciptaan makna sebagai tanggung jawab yang harus dipikul secara individual. 3. Makna Hidup Makna hidup muncul ketika individu memulai pematangan spiritual, yakni pada manusia pubertas. Manusia bisa menemukan makna hidup tidak hanya melalui kehidupan keagamaan, tetapi bisa melalui kerja, melalui pertemuan dengan keindahan dan kebenaran, melalui pertemuan dan cinta dengan sesama dan melalui pengalaman-pengalaman. 4. Frustasi Eksistensial dan Kehampaan Eksistensial Individu yang mengalami frustasi eksistensial dan kehampaan eksistensial yaitu mereka yang mengalami ketidakberdayaan. Mereka tidak dapat menemukan makna penderitaan yang mereka alami dan makna kematian yang mereka hadapi. 5. Neurosis Noogenik dan Neurosis Kolektif Neurosis Noogenik bersumber pada dimensi spiritual yakni kehampaan eksistensial. Neurosis kolektif muncul pada individu yang memiliki sikap pesimistis terhadap hidup, sikap fatal terhadap hidup, konformisme dan kolektifisme ( mengingkari kepribadiannya sendiri ) dan Fanatisme ( mengingkari kepribadian orang lain ). D. 2016 17 RONALD LAING Filsafat Ilmu dan Logika Masyhar, MA Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id Dalam pembahasan ini akan mengungkapkan pendekatan Laing terhadap psikopatologi, khususnya skizoprenia yang bertumpu pada konsep-konsep eksistensialisme dan psikopatologi. Teori ontologis skizoprenia dari Laing sejalan dengan teori ikatan ganda yang menerangkan bahwa perlakuan yang tidak jelas dari orang tua(tidak membenci,tetapi juga tidak mencintai) terhadap anaknya mengakibatkan si anak sukar memperoleh kepastian tentang siapa dirinya dan bagaimana seharusnya ia bereaksi dengan lingkungannya. Menurut Laing, individu yang secara ontologis tidak aman boleh jadi akan mencoba mengatasi hidup dengan jalan meng-ada secara non personal, seperti dalam bentuk sikap enggan, menarik diri, egosentris atau tak memasyarakat, mengaku dirinya telah mati dan menampilkan bentuk-bentuk tingkah laku yang bagi orang lain aneh sehingga akan diberi label skizoprenia. Teori dan Praktek Psikoterapi Ada beberapa sistem psikoterapi yang berpendekatan eksistensial yaitu Analisis Eksistensial, Logoterapi, dan Terapi Radikal. A. Analisis Eksistensial Dalam psikoterapi analisis eksistensial memiliki tujuan ideal yang akan dicapai yaitu meningkatkan kesadaran individu atau menjadi individu yang otentik, dengan harapan agar konseli menyadari asek-aspek dunia maupun dirinya sendiri yang telah ditutupi oleh ketidakotentikan. Dan tujuan kedua meningkatkan kemampuan memilih yaitu memilih alternatif-altenatif tindakan yang mengarahkan pada perbaikan diri. Para eksistensialis percaya bahwa tiap-tiap individu akan mengalami konflik intrapersonal, konflik interpersonal, konflik individu dengan lingkungan dan sebagainya. Dan analisis eksistensial ini diarahkan untuk membantu individu menyelesaikan konflik-konflik yang dialaminya. Para terapis eksistensial yakin bahwa relasi yang sungguh-sungguh dan terbuka akan menjadikan konseli tidak bisa menyembunyikan cara meng-ada yang tidak otentik dan mekanisme pertahanannya, menyadari kecemasan eksistensialnya serta akan mampu memikul tanggung jawab. B. Logoterapi Logoterapi memusatkan perhatian terhadap permasalahan yang menyangkut pencarian manusia kepada makna. Dalam proses terapeutik, logoterapi menekankan kesanggupan konseli untuk memilih alternatif-alternatif tindakan atas perbaikan dirinya sendiri. Teknik terapeutik oleh Frankl disebut intensi paradoksial. Berikut ini beberapa contoh penerapan teknik intensi paardoksial : a) Kasus hidrofobia yang dialami seorang klien selama 4 tahun, dimana ia selalu merasa gemetar dan keluar keringat tiap kali berjabat tangan dengan atasannya. Frankl 2016 18 Filsafat Ilmu dan Logika Masyhar, MA Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id mengajukan saran kepada kliennya supaya jika ia bertemu kembali dengan atasannya berusaha secara sengaja mengatakan pada dirinya bahwa ia akan mengeluarkan keringat sebanyak-banyaknya jika bersalaman dengan atasannya yang sebelumnya hanya sedikit. Dan hasilnya ternyata klien tidak berkeringat sedikitpun saat bersalaman dengan atasannya. b) Kasus bakterofobia dan kompulsi mencuci yang dialami ibu rumah tangga ditangani Frankl dengan mengajak ibu tersebut menirukan apa yang dilakukannya dengan menggosok-gosokkan tangan ke lantai dan kemudian berkata, ‘’Lihat, tangan saya menjadi kotor, tetapi saya tidak bisa menemukan banyak bakteri !’’ dan kemudian ibu tersebut mau menirukannya dan selama 5 hari berikutnya gejala-gejala bakterfobia mulai menyusut dan akhirnya hilang sama sekali. c) Kasus alkoholisme neurosis yang dialami D.F yang mana dengan minum secara eksesif untuk mengatasi ketidakbermaknaan hidup sekaligus untuk mengatasi gejala gemetaran tangan jika berada di depan orang lain. Dan tidak bisa mengangkat piring atau gelas tanpa menumpahkan isinya jika makan atau minum di depan umum. Gerz menganjurkan D.F agar secara sengaja berhumor menunjukkan gejala-gejala itu di hadapan orang lain dengan mengatakan ‘’ Lihat, betapa ajaib getaran tanganku.’’ Dan ternyata dia tidak bisa menggetarkan tangannya ketika berhadapan dengan orang lain. Dari contoh kasus diatas, dapat disimpulkan bahwa dengan intensi paradoksial individu didorong untuk melakukan sesuatu yang paradoks yakni mendekati sesuatu yang justru ditakutinya dan yang selalu ingin dihindarinya. C. Terapi Radikal Di dalam terapi radikal ini, relasi terapis dan klien diintefsikan dan tidak dibatasi. Perlakuan-perlakuan yang dilakukan terapis tidak bersifat simbolis ( terbatas pada pemberian perhatian ) tetapi sampai pada pengertiannya yang harfiah. Sehingga klien yang mengalami regresi akan merasa di lahirkan kembali karena merasa diterima secara sehat oleh figur-figur orang yang ada dalam kehidupannya. 5. Metode Fenomenologi dan Penelitian-Penelitian Metode yang mendasari penelitian psikologi eksistensial adalah metode fenomenologi yang berwujud analisis pengalaman dalam bahasa pengalaman. Untuk menguji kevalidan uraian fenomenologis dapat dilakukan melalui metode intrasubjektif yaitu dengan memperbandingkan uraian-uraian tentang tingkah laku atau pengalaman yang sama yang muncul dalam situasi yang berbeda. Dan apabila antara uraian satu dengan yang lain konsisten maka uraian-uraian tersebut dikatakan valid. Metode ke 2 metode intersubjektif, dimana beberapa orang penyelidik eksistensial membuat uraian tentang suatu fenomena yang sama, jika dari uraian penyelidik satu dengan yang lain sama maka uraian 2016 19 Filsafat Ilmu dan Logika Masyhar, MA Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id tersebut valid. Validitas juga bisa ditentukan secara eksperimental dengan menguji hipotesis-hipotesis yang ditarik dari analisis fenomenologis. Untuk memperoleh gambaran mengenai analisis fenomenologis, Boss mengungkapnya melalui analisis mimpi. Menurutnya, mimpi adalah bentuk lain dari mengada-dalam-dunia, mimpi harus diterima secara utuh dengan isi dan maknanya dan bukan termasuk dorongan, mekanisme, simbolisme, dan kompensasi-kompensasi yang dikemukakan Freud. Usaha pengujian atas teori psikologi eksistensial dilakukan oleh Crumbaugh dan Maholick melalui studi berpendekatan psikometrik dengan tujuan menentukan atau memastikan adanya tipe neurosis baru yang disebut neurosis noogenik. Alat ukur atau tes yang digunakan dalam studinya adalah tes PIL, kuesioner Frankl, A-V-L, dan MMPI. Yang ke-2 dengan melakukan studi tentang sikap terhadap kematian yang dikembangkan Herman Feifel. Feifel melaksanakan studinya tentang sikap terhadap kematian dengan menggunakan subjek 315 orang. Dari hasil studinya tersebut terdapat sikap terhadap kematian yang berwujud pemulian yang idealistis terhadap kematian dengan melihat kematian sebagai prasyarat bagi kehidupan yang sejati. 6. Evaluasi Terhadap psikologi eksistensial, tokoh-tokoh psikolog behaviorisme menentang dan mengkritiknya dengan keras. Sedangkan pihak yang bersimpati dan mendukung terhadap psikologi eksistensial adalah tokoh-tokoh humanistik. Kritik-kritik terhadap psikologi eksistensial, pertama karena psikologi eksistensial yang berakar pada filsafat dan tidak menyukai positivisme dan determinisme. Kedua, bahwa psikologi eksistensial adalah psikologi yang tidak ilmiah. Ketiga, bahwa psikologi eksistensial itu antiintelektual karena penggunaan pengetahuan intuitif dan penggunaan bahasa yang puitis dan berselubung. Keempat, kritik yang menyangkut konsep kebebasan yang mejelaskan bahwa manusia itu bebas untuk memilih atau menentukan sendiri tingkah laku yang hendak dan perlu diungkapkan atau tidak diungkapkannya. Kelima, bahwa psikologi eksistensial itu solipsistik atau subjektivistik. Keenam, para tokoh psikologi eksistensial dituduh menyelinapkan agama ke dalam psikologi karena dalam teorinya menggunakan konsep-konsep keagamaan untuk menerangkan keberadaan dan pertumbuhan manusia. Selain kritik-kritik yang banyak ditujukan bagi psikologi eksistensial, namun ada tokoh-tokoh psikologi lain yang mendukung psikologi eksistensial, yaitu : a) Menurut Maslow mempelajari psikologi eksistensial merupakan pengalaman yang menarik dan konstruktif yang memperkaya, meluaskan, dan mempercermat 2016 20 Filsafat Ilmu dan Logika Masyhar, MA Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id pemikirannya tentang manusia. Berikut ini beberapa kesan Maslow mengenai eksistensialisme : dirasakan kurang, karena positivisme logis dinilai telah gagal. membahas aktualitas dan potensialitas manusia. pribadi otentik. para ahli psikologi, yakni masalah tanggung jawab, konsep keberanian dan kehendak. b) Carl Rogers mengevaluasi psikoterapi yang berpendekatan eksistensial dengan membandingkannya dengan pendekatan psikoterapi behaviorisme yang disebut ‘aliran objektif‘. Terapis dalam psikoterapi yang beraliran objektif memberi penguatan atas pernyataan-pernyataan klien yang mengekspresikan perasaan-perasaan yang positif dari si klien. Sedangkan pada aliran eksistensial terapis tampil sebagai pribadi yang riel sehingga klien bisa menemukan apa yang riel di dalam dirinya sendiri. Dan dari hasil terapi diharapkan klien menjadi pribadi yang otonom yang mampu meng-ada sebagaimana seharusnya ia meng-ada. Menurut Rogers pada aliran eksistensial lebih mampu menemukan aspek-aspek manusia yang unik dari terapi daripada pendekatan behaviorisme yang terapinya terdiri atas apa yang diketahui dari proses belajar pada hewan. c) Gordon Allport Menurut Allport eksistensialisme telah memperdalam konsep-konsep tentang manusia seperti identitas, pilihan, kematian, tanggung jawab, futuritas, mencapai makna hidup, sehingga dengan demikian eksistensialisme telah merintis jalan kearah terciptanya psikologi manusia yang universal. Allport memandang bahwa Feifel telah menghadirkan studi yang baik yang melibatkan variabel yang tersisihkan dari psikologi yaitu kematian dan dengan tepat menyebut kematian sebagai relevant variabel. Menurut Allport, pandangan atas kematian itu unik dan individual. Penutup Ajaran eksistensialisme tidak hanya satu. Sebenarnya eksistensialisme adalah suatu aliran filsafat yang bersifat teknis, yang terjelma dalam bermacam-macam system, yang satu berbeda dengan yang lain. Sekalipun demikian ada cirri-ciri yang sama yang menjadikan system-sistem itu dapat dicap sebagai filsafat eksistensialisme. Paling sedikit ada 4 2016 21 Filsafat Ilmu dan Logika Masyhar, MA Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id pemikiran yang jelas dapat disebut filsafat eksistensialisme, yaitu pemikiran Martin Heidegger, Jean Paul Sartre, Karl Jaspers, dan Gabriel Marcel. Beberapa ciri yang dimiliki bersama diantaranya sebagai berikut: 1.Motif pokok adalah apa yang disebut eksistensi, yaitu cara manusia berada. Hanya manusialah yang bereksistensi. Eksistensi adalah cara khas manusia berada. Pusat perhatian ini ada pada manusia. Oleh karena itu bersifat humanistis. 2.Bereksistensi harus diartikan secara dinamis. Bereksistensi berarti menciptakan dirinya secara aktif, bereksistensi berarti berbuat, menjadi, merencanakan. Setiap saat manusia menjadi lebih atau kurang dari keadaanya. 3.Di dalam filsafat eksistensialisme manusia dipandang sebagai terbuka. Manusia adalah realitas yang belum selesai, yang masih harus dibentuk. Pada hakekatnya manusia terikat kepada dunia sekitarnya, terlebih-lebih kepada sesama manusia. 4.Filsafat eksistensialisme member tekanan kepada pengalaman yang konkrit, pengalaman yang eksistensial. Hanya arti pengalaman ini berbeda-beda. Heidegger member tekanan pada kematian, yang menyuramkan segala sesuatu; Marcel kepada pengalaman keagamaan, dan Jaspers kepada pengalaman hidup yang bermacam-macam seperti kematian, penderitaan, perjuangan, dan kesalahan. 2016 22 Filsafat Ilmu dan Logika Masyhar, MA Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id Daftar Pustaka Abidin, Zainal (2003), Filsafat Manusia: memahami manusia melalui filsafat (Bandung:Rosda Karya Bagus, Lorens (2000), Kamus Filsafat, Jakarta: Gramedia Pustaka Bakker, Anton (2000), Antropologi Metafisik, Yogyakarta: Kanisius Hadiwijono Harun (1980), Sari Sejarah Filsafat Barat I, (Yogyakarta: Penerbit Kanisius), 8 Hardiman, Budi (2002), Pemikiran-Pemikiran yang membentuk dunia Modern, Jakarta, Penerbit Airlangga Haviland, William A, (1999) Antropologi, Jilid 1, Alih Bahasa: R.G. Soekadijo, Jakarta: Erlangga Kattsoff, Louis O, (1992) Pengantar Filsafat (Yogyakarta: Tiara Wacana) Leenhouwers, P. (1988), Manusia dan Lingkungannya: Refleksi Filsafat Tentang Manusia, (Jakarta: Gramedia Poedjawijatna (1974), Pembimbing ke Arah Alam FIlsafat (Jakarta, PT Pembangunan), 11 Sastrapratedja. M (ed) (1982) Manusia Multi Dimensional: Sebuah Renungan Filsafat (Jakarta: Gramedia) Tafsir, Ahmad (1990), Filsafat Umum (Bandung: Rosda karya), Weij, P.A. van der, (2000), Filsuf-Filsuf Besar Tentang Manusia (Yogyakarta: Kanisius) 2016 23 Filsafat Ilmu dan Logika Masyhar, MA Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id