Modul Filsafat Manusia [TM9]

advertisement
MODUL PERKULIAHAN
FILSAFAT
MANUSIA
EKSISTENSIALISME
Fakultas
Program Studi
Fakultas Psikologi
Program
Studi
Tatap Muka
09
Kode MK
Disusun Oleh
Kode MK
Nama Dosen
Masyhar, MA
Abstract
Kompetensi
Dengan memahami mengenai
eksistensialisme, maka kita akan
mengetahui hakekat terdalam
dalam diri kita, hubungan kita
dengan Tuhan, alam dan Sesama
manusia. Selain itu, dengan
memahami eksistensialisme kita
akan memahami dengan baik
bagaimana cara kita untuk
mencapai derajat yang diinginkan
1. Mahasiswa
dapat
menyatakan
penalarannya mengenai pendasaran relasi
antara tubuh dan jiwa manusia;
2. Mahasiswa
dapat
menyatakan
penalarannya mengenai pendasaran sifatsifat
dan
kemungkinan-kemungkinan
pengetahuan, pengertian, dan afektivitas
manusia;
3. Mahasiswa
dapat
menyatakan
penalarannya mengenai pendasaran sifat
dan kemungkinan kebebasan manusia
serta relasinya dengan pilihan manusia
PEMBAHASAN
PENGERTIAN EKSISTENSIALISME
Istilah eksistensi berasal dari dua suku kata yaitu eks yang beratI ke luar dan
sistensi yang berarti berdiri atau menempatkan. Jadi secara etimologis eksistensi adalah
cara manusia ber-ada (meng-ada) di dunia. Eksistensi sebagai cara ber-ada-nya manusia
sebagai subjek atau pribadi yang sadar diri dan memiliki penyadaran diri, yang ke luar dari
dalam dirinya sendiri.
Eksistensialisme
merupakan
filsafat
yang
secara
khusus
mendeskripsikan
eksistensial dan pengalaman manusia dengan metodologi fenomenologi atau cara manusia
berada. Perhatian dan pikiran aliran ini adalah berkenaan dengan penyadaran manusia
melalui pengalaman subjektifnya. Keunikan dan kedudukan manusia sebagai pribadi
(personal) adalah titik tekan dari eksistensialisme.
Sejarah munculnya eksistensialis
Eksistensialisme muncul sebagai aliran filsafat di abad kedua puluh. Aliran ini dirintis
oleh filsuf asal Denmark bernama Soren Aabye Kierkegard (1813-1855) dan dikembangkan
oleh seorang filsuf
asal Jerman, Martin Heidegger. Aliran eksistensialisme merupakan
bagian filsafat dan akar metodologinya berasal dari metodologi fenomenologi yang
dikembangkan oleh Hussel. Ada banyak tokoh filsuf aliran eksistensialisme antara lain,
Nicholas Berdyaev (1874-1948), Arbert Camus (1913-1960), Karl Jaspers (18831969),Gabriel Marcel (1889-1973), Jean Paul Sartre (1905-1980) dan lain-lain.
Kemunculan eksistensialisme berawal dari ahli filsafat Soren Kierkegaard dan
Nietzche. Soren Kierkegaard ingin menjawab pertanyaan “bagaimanakah aku menjadi
seorang diri?”, Pertanyaan tersebut mengemukakan bahwa kebenaran itu tidak berada pada
suatu sistem yang umum tetapi berada dalam eksistensi individu yang konkret. Pandangan
ini muncul ketika manusia mengalami krisis eksistensinya, yaitu ketika individu melupakan
sifat individualitasnya. Aliran ini muncul dan berkembang sebagai suatu reaksi dan kritik
karena ketidaksetujuaan dari beberapa sifat dari filsafat yang muncul sebelumnya, dan
karena
ketidaksetujuan
terhadap
keadaan
masyarakat
modern.
Sebagai
contoh,
Kierkegaard prihatin terhadap semakin terdesaknya manusia sebagai subjek dengan harkat
pribadinya oleh proses permasalahan
yang semakin menjadi sejalan dengan
proses
industrialisasi dan kemajuan teknologi. Dengan kondisi demikian, maka nilai personal akan
tergerus dengan seiring perkembangan zaman, segala sesuatunya akan mengutamakan
hal-hal yang berkaitan dengan kepenting umum. Pendapat-pendapat umum akan lebih
didengar dari pada pendapat pribadi. Dalam hal ini Kierkegaard mengungkapkan bahwa
peran pers sangat besar pengaruhnya.
2016
2
Filsafat Ilmu dan Logika
Masyhar, MA
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
Jaspers berpendapat bahwa kemajuan teknologi akan memudarkan nilai-nilai
spiritual dalam kehidupan manusia. Jaspers merasa prihatin dengan permasalahan dan
penyamarataan yang melanda manusia. Materialisme memudarkan spiritualisme. Bahkan
Jaspers meramalkan ada kecenderungan yang manghanyutkan manusia di zaman modern.
Akan terjadi reduksi terhadap manusia sebagai keutuhan dan akan semakin terpenjaralah
keutuhannya yang bebas. Jaspers bukan satu-satunya tokoh yang prihatin terhadap reduksi
yang terjadi antara manusia dan mesin. Yang menggejala sebagai proses detotalisasi (tidak
diindahkannya manusia sebagai suatu keutuhan), dehumanisasi (diabaikannya kodrat
kemanusiaan), despiritualisasi (tak diacuhkannya nilai spiritual dalam kehidupan seharihari), dan depersonalisasi (dibekukannya aktualisasi diri manusia sebagai pribadi) kelak
akan menimbulkan kebingungungan atas eksistensinya sebagai manusia. Jaspers
mengatakan bahwa penyelesaian dari masalah-masalah ini adalah kembali kepada
kehendak manusia itu sendiri.
Memang pada dasarnya eksistensialisme mengkritik kemajuan teknologi yang
mereduksi makna eksistensi manusia. Namun, tidak ada satupun filsuf yang menentang laju
perkembangan teknologi, tetapi para filsuf menyadarkan kita untuk waspadai dampak
dampak-dampak yang ditimbulkan oleh perkembangan teknologi. Bagaimana cepatnya laju
kemajuan teknologi, nilai-nilai manusiawi harus tetap dipertahankan. Para filsuf menyerukan
bahwa manusia harus tetap menjaga eksistensinya sebagai individu yang otentik.
Dalam filsafat dibedakan antara esensia dan eksistensia. Esensia membuat benda,
tumbuhan, binatang dan manusia. Oleh esensia, sosok dari segala yang ada mendapatkan
bentuknya. Oleh esensia, kursi menjadi kursi. Pohon mangga menjadi pohon mangga.
Harimau menjadi harimau. Manusia menjadi manusia. Namun, dengan esensia saja, segala
yang ada belum tentu berada. Kita dapat membayangkan kursi, pohon mangga, harimau,
atau manusia. Namun, belum pasti apakah semua itu sungguh ada, sungguh tampil,
sungguh hadir. Di sinilah peran eksistensia.
Eksistensia membuat yang ada dan bersosok jelas bentuknya, mampu berada,
eksis. Oleh eksistensia kursi dapat berada di tempat. Pohon mangga dapat tertanam,
tumbuh, berkembang. Harimau dapat hidup dan merajai hutan. Manusia dapat hidup,
bekerja, berbakti, dan membentuk kelompok bersama manusia lain. Selama masih
bereksistensia, segala yang ada dapat ada, hidup, tampil, hadir. Namun, ketika eksistensia
meninggalkannya, segala yang ada menjadi tidak ada, tidak hidup, tidak tampil, tidak hadir.
Kursi lenyap. Pohon mangga menjadi kayu mangga. Harimau menjadi bangkai. Manusia
mati. Demikianlah penting peranan eksistensia. Olehnya, segalanya dapat nyata ada, hidup,
tampil, dan berperan
Friedrich Wiliam Nietzsche
2016
3
Filsafat Ilmu dan Logika
Masyhar, MA
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
Friedrich
Wiliam
Nietzsche
adalah
filsuf
eksistensialis
yang
pemikirannya
memberikan warna tersendiri pada filsafat Barat modern dimana dia mengajak kita untuk
merefleksikan dan memikirkan secara lebih serius eksistensi kita sebagai manusia. Dalam
pandangan eksistensinya tertuang dalam konsep Übermensech yang konsep ini diciptakan
sebagai suatu tujuan hidup manusai di dunia ini agar mereka bisa eksis. Ubermensech ini
bisa di katakan sebagai ideal yang ingin dicapai oleh manusia. Ubermensech mengajarkan
kita untuk mengatasi segala hegemoni dengan kekuatan kita sendiri. Oleh karena itu, tujuan
utama konsep ini adalah membuat manusia yang lebih berani kuat, cerdas, dan hebat
sehingga manusia dapat lepas dari kehanyutan suatu hegemoni sehingga manusia itu
mempunyai jati diri yang sesuai dengan dirinya dan ditentukan oleh dirinya tanpa di kukung
norma dan nilai yang berlaku. Dalam pandanganya, manusia itu harus terus menerus
melampaui dirinya sendiri. Oleh karena itu, manusia tidak butuh norma karena manusia
mempunyai norma sendiri karena manusialah yang menciptakan nilai dan norma tersebut.
Manusia unggul harus meninggalkan apa yang menjadi kepercayaan orang kebanyakan.
Manusia unggul itu tidak mudah, karena harus melewati banyak penderitan dan cobaan.
Nietzsche mengungkapkan manusia itu haruslah menyadari siapa dirinya dan apa yang di
inginkannya sehingga ia akan cinta kehidupan.
Nietzsche sangat kesal pada manusia yang tidak mempunyai cita–cita tapi selalu
mengharapkan belas kasihan orang lain bahkan Nietzsche merasa kesal untuk memberi
manusia itu sesuatu tetapi kesal juga untuk tidak memberi apa-apa. Seseorang
Ubermensech itu harus mempunyai keberanian untuk memusnahkan nilai-nilai lama.
Terkadang kebenaran itu sungguh pahit untuk di ungkapkan tapi kebenaran itu harus
diungkapkan sebab kebenaran tidak bisa disembunyikan karena dapat berbalik menjadi
racun yang membinasakan.
Dalam pandangannya, hidup itu kenikmatan yang harus maknai sedalam-dalamnya
walupun sepahit apapun penderitaanya hingga moment terkecil. Hal ini terlihat absurd, di
mana manusia harus mencari makna di antara ketiadaan makna.
Dalam bukunya yang berjudul Zarathustra ini digambarkan bahwa manusia unggul,
harus bergairah dalam hidup dan harus bebas dari rasa dosa dan kekhawatiran. Ia harus
mencintai kehidupan ini sampai moment terkecil tanpa adanya penyesalan. Penggambaran
ini sudah terkuak eksistensialis yang mengungkapkan manusia itu selalu dinamis dan belum
selesai karena harus berkarya. Nietzsche terus mengungkapkan pentingnya keberanian
yang harus dimiliki oleh manusia atas atau manusia unggul. Manusia unggul harus berani
menghadapi segala tantangan yang ada didepan, dan manusia harus berani menderita
guna mencapai tujuan hidupnya yaitu mencapai Übermensch, bahkan keberanian itu harus
2016
4
Filsafat Ilmu dan Logika
Masyhar, MA
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
ditunjukkan dalam menghadapi maut. Kematian itu datangnya harus disambut seperti kita
menyambut kelahiran datau kebahagiaan.
Intinya ajaran Nietzsche itu dimulai dengan gagasan Kehendak untuk berkuasa (Will
to Power) yang dipresentasikann melalui manusia unggul atau Übermensch. Dalam uraian
di atas, dapat disimpulkan bahwa untuk menjadi Uberemensech, manusia harus mempunyai
keberanian, kecerdasan dan kebanggaan. Manusia harus berani menghadapi kehidupan ini
baik kebahagiaan maupun penderitaan. Dengan penderitaan manusia akan mencapai suatu
potensi yang maksimal, karena dengan dihadapkan dengan konflik manusia akan dapat
dengan baik mengeluarkan segala potensi dan kemampuannya dan ini akan membantu
manusia untuk menjadi Übermensch. Konsep Übermensch inilah yang tercermin sebagai
gagasan yang bernilai eksistensial bagi keberadaan manusia yang berada di dunia ini.
Søren Kierkegaard: Konsep Eksistensi
Eksistensi yang dipondasikan oleh Kierkegaard bertitik tolak dari gagasannya
tentang manusia sebagai individu atau persona yang bereksistensi dan konkrit. Ia melihat
bahwa hal yang paling mendasar bagi manusia adalah keadaan dirinya atau eksistensi
dirinya. Menurut Kierkegaard, eksistensi hanya dapat diterapkan kepada manusia sebagai
individu yang konkrit, karena hanya aku individu yang konkrit ini yang bereksistensi, yang
sungguh-sungguh ada dan hadir dalam realitas yang sesungguhnya. Oleh karena itu, aku
yang konkrit ini tidak dapat direduksi kepada realitas-realitas lain, sebab jika aku yang
konkrit ini direduksi ke dalam realitas-realitas yang lain itu, maka realitas diriku yang
sesungguhnya sebagai individu yang bereksistensi tercampur dengan realitas-realitas itu.
Dengan demikian, aku individu yang konkrit ini tidak memiliki kebebasan untuk
mengembangkan dan mewujudkan diriku sebagaimana adanya karena aku tergantung
kepada realitas-realitas itu. Ketergantunganku kepada realitas-realitas itu membuat aku
tidak bisa untuk merealisasikan diriku sebagaimana aku kehendaki. Padahal menurut
Kierkegaard, eksistensi manusia justru terjadi dalam kebebasannya.
Menurut Kierkegaard, bereksistensi bukan berarti hidup dalam pola-pola abstrak dan
mekanis, tetapi terus menerus mengadakan pilihan-pilihan baru secara personal dan
subjektif. Dengan kata lain, eksistensi manusia merupakan suatu eksistensi yang dipilih
dalam kebebasan. Bereksistensi berarti bereksistensi dalam suatu perbuatan yang harus
dilakukan oleh setiap orang bagi dirinya sendiri. Pilihan bukanlah soal konseptual melainkan
soal komitmen total seluruh pribadi individu. Berangkat dari kebebasan sebagai corak
bereksistensi, Kierkegaard dengan demikian tidak menempatkan individu ke dalam realitas
yang abstrak tetapi individu dilihat sebagai satu pribadi yang sungguh-sungguh hadir dan
konkrit. Oleh karena itu, dalam mengambil keputusan, hanya aku yang konkrit ini yang dapat
2016
5
Filsafat Ilmu dan Logika
Masyhar, MA
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
mengambil keputusan atas diriku sendiri dan bukan orang lain. Orang lain tidak berhak
untuk menentukan pilihanku dalam mengambil suatu keputusan atas apa yang aku lakukan.
Oleh karena itu, menurut Kierkegaard, barangsiapa yang tidak berani mengambil keputusan,
maka ia tidak bereksistensi dalam arti yang sebenarnya. Hanya orang yang berani
mengambil keputusanlah yang dapat bereksistensi karena dengan mengambil keputusan
atas pilihannya sendiri, maka dia akan menentukan kemana arah hidupnya.
Kaitan dengan estetis (mengindrai, mencecap), Kierkegaard berpendapat pada
tahap ini, individu diombang-ambingkan oleh dorongan-dorongan indrawi dan emosiemosinya. Akibatnya, individu yang berada dalam tahap ini tidak mencapai suatu kesatuan
batiniah yang terungkap dalam satu pendirian dan kematangan pribadi. Dengan kata lain,
individu masih dihadapkan pada realitas-realitas perasaan yang menyenangkan tanpa
memperhitungkan apakah perasaan itu baik atau tidak. Pada tahap ini, individu memiliki
keinginan yang besar untuk menikmati seluruh pengalaman emosi dan nafsu. Oleh karena
itu, menurut Kierkegaard tidak ada ukuran-ukuran moral yang umum atau keyakinan iman
yang ditetapkan untuk membatasi ruang gerak individu. Maka salah satu persoalan yang
ditakuti oleh individu pada tahap ini adalah rasa tidak enak dan kebosanan.
Kendatipun tahap ini merupakan tahap rendah dalam eksistensi manusia, namun
tahap ini tetap disebut sebagai tahap eksistensial, karena pada tahap ini setiap individu
memiliki pilihan bebas atas situasi-situasi yang dia hadapi. Bagaimana memahami pilihan
ini, Kierkegaard menampilkan tiga pahlawan estetis dari kebudayaan Barat, yaitu Don Juan
seorang tokoh dalam opera Mozart, Faust seorang tokoh ciptaan Goethe, dan Ahasuerus
seorang Yahudi yang dalam pengembaraannya tidak percaya kepada Allah maupun
manusia. Menurut Kierkegaard, ketiga tokoh ini merupakan perwakilan dari rasa kebosanan
dan keputusasaan. Misalnya: Don Juan memiliki rasa kebosanan keputusasaan karena apa
yang dia menikmati terus menerus terulang. Demikian pula dengan Faust yang
menghadapai berbagai tantangan merasa ragu apakah dia mampu untuk menemukan
kebahagiaan dalam hidupnya. Sedangkan Ahasueres menurut Kierkegaard merupakan
personifikasi dari keputuasasaan karena ia memiliki realitas hidup yang tidak jelas.
Dari ketiga contoh di atas, Kierkegaard melihat bahwa keputusan merupakan tahap
akhir dari sebuah pilihan eksistensi manusia. Artinya, ketika orang berada dalam situasi
kebosanan dan keputusasaan, maka orang itu memiliki kebebasan untuk berpindah kepada
eksistensi yang baru. Tahap ini disebut sebagai tahap etis.
Tahap etis merupakan suatu tahap di mana individu membuat suatu pilihan bebas
atau sebuah “lompatan eksistensial.” Lompatan eksistensial mengandaikan bahwa individu
mulai secara sadar memperhitungkan atau memilah-milah dan menggunakan kategori yang
baik dan yang jahat dalam bertindak. Kierkgaard melukiskan peralihan dari eksistensi estetis
2016
6
Filsafat Ilmu dan Logika
Masyhar, MA
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
ke eksistensi etis seperti orang yang meninggalkan kepuasan nafsu-nafsu seksualnya yang
bersifat sementara dan masuk ke dalam status perkawinan dengan menerima segala
kewajibannya.
Pada tahap ini individu dapat menguasai dan mengenali dirinya. Pengenalan dan
penguasaaan diri menghantar individu untuk menyesuaikan tindakan-tindakannya dengan
ukuran-ukuran moral yang bersifat universal. Dengan demikian, kehidupan seorang individu
pada tahap ini ditandai oleh pilihan-pilihan konkrit berdasarkan pertimbangan rasio.
Tetapi menurut Kierkegaard, kendatipun manusia telah berusaha untuk mencapai
asas-asas moral universal, namun, manusia etis masih terkungkung dalam dirinya sendiri,
karena dia masih bersikap imanen, artinya mengandalkan kekuatan rasionya belaka. Pada
tahap ini, manusia menyadari keadaannya yang tragis. Kierkegaard menampilkan Sokrates
sebagai
“pahlawan
tragis.”
Menurut
Kierkegaard,
kendatipun
Sokrates
mengakui
kelemahan-kelemahan manusia, tetapi dia tidak memahami dosa karena kelemahankelemahan manusia dapat diatasi dengan kehendak atau dengan ide-ide belaka. Sokrates
menyangkal dirinya demi asas-asas moral universal. Oleh karena itu, individu pada tahap ini
tidak memahami bahwa dasar-dasar eksistensinya terbatas. Ia juga tidak menjumpai
Paradoks Absolut kecuali kalau dia memiliki realitas kehidupan yang mendalam sehingga
dia ditantang untuk melompat ke eksistensi yang baru, yaitu tahap religius.
Tahap religius merupakan tahap tertinggi dari eksistensial manusia. Dikatakan
demikian karena tahap ini tidak lagi menggeluti hal-hal yang konkrit melainkan langsung
menembus inti yang paling dalam dari manusia, yaitu pengakuan individu akan Allah
sebagai realitas Yang Absolut dan kesadarannya sebagai pendosa yang membutuhkan
pengampunan dari Allah. Pada tahap ini, manusia religius membiarkan diri terkena oleh
mata petir rahmat Tuhan dan dengan iman kepercayaan yang besar ia mempertaruhkan
seluruh kehidupannya demi Allah. Ia mempertaruhkan seluruh jiwa raganya demi mengikuti
jejak Kristus. Tetapi, Kierkegaard melihat bahwa iman kepercayaan Kristiani itu bersifat
paradoks kendatipun hidup sebagai kristen merupakan cara yang paling tinggi bagi
manusia.
Pada poin ini, Kierkegaard menampilkan Abraham sebagai tokoh orang beriman
sejati kepada Allah. Menurut Kierkegaard, ketika Abraham mengorbankan putranya Ishak,
pada saat itu dia berhadapan dengan realitas paradoks, yaitu di satu pihak dia menyadari
keterbatasannya sebagai manusia tetapi melalui keterbatasan itu Abraham membangun
satu relasi intim dengan Yang Absolut. Pada tataran inilah Abraham benar-benar
meninggalkan tahap etis dan melompat kepada tahap religius, yaitu langsung berhadapan
dengan Yang Absolut, dengan Allah yang berpribadi, yang perintah-perintah-Nya bersifat
mutlak dan tidak dapat diukur dengan akal manusia.
2016
7
Filsafat Ilmu dan Logika
Masyhar, MA
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
Martin Heidegger
Martin Heidegger lahir tanggal 26 September 1889 di kota kecil Messkirch Baden,
jerman dan mempunyai pengaruh besar terhadap beberapa filosof di Eropa dan Amerika
Selatan. Ia menerima gelar doctor dalam bidang filsafat dari universitas Freiburg dimana ia
belajar dan menjadi asisten Edmund Husserl (penggagas fenomenologi). Disertasinya
berjudul die lehre von urteil in psycologismus (ajaran tentang putusan dalam psikolog). Ia
adalah anak seorang pastor pada gereja katolik santo mortinus. Sebelumnya ia kuliah di
fakultas theology sampai empat semester lalu pindah ke filsafat di bawah bimbingan
Heinrich Rickert, penganut filsafat neo-kantianisme yang juga banyak memberi pengaruh
kepadanya.
Heidegger mulanya adalah seorang pengikut fenomenologi. Secara sederhana,
kaum fenomenolog menghampiri filsafat dengan berusaha memahami pengalaman tanpa
diperantarai oleh pengetahuan sebelumnya dan asumsi-asumsi teoretis abstrak. Edmund
Husserl adalah pendiri dan tokoh utama aliran ini, sementara Heidegger adalah
mahasiswanya dan hal inilah yang meyakinkan Heidegger untuk menjadi seorang
fenomenolog. Heidegger menjadi tertarik akan pertanyaan tentang "Ada" (atau apa artinya
"berada").
Karyanya yang terkenal Being and Time (Ada dan Waktu) dicirikan sebagai
sebuah ontologi fenomenologis. Gagasan tentang Ada berasal dari Parmenides dan secara
tradisional merupakan salah satu pemikiran utama dari filsafat Barat. Persoalan tentang
keberadaan dihidupkan kembali oleh Heidegger setelah memudar karena pengaruh tradisi
metafisika dari Plato hingga Descartes, dan belakangan ini pada Masa Pencerahan.
Heidegger berusaha mendasarkan Ada di dalam waktu, dan dengan demikian menemukan
hakikat atau makna yang sesungguhnya dalam artian kemampuannya untuk kita pahami.
Demikianlah Heidegger memulai di mana Ada itu dimulai, yakni di dalam filsafat
Yunani, membangkitkan kembali suatu masalah yang telah lenyap dan yang kurang dihargai
dalam filsafat masa kini. Upaya besar Heidegger adalah menangani kembali gagasan Plato
dengan serius, dan pada saat yang sama menggoyahkan seluruh dunia Platonis dengan
menantang saripati Platonisme - memperlakukan Ada bukan sebagai sesuatu yang nirwaktu
dan transenden, melainkan sebagai yang imanen (selalu hadir) dalam waktu dan sejarah.
Hal
ini
yang
mengakibatkan
kaum
Platonis
seperti
George
Grant
menghargai
kecemerlangan Heidegger sebagai seorang pemikir meskipun mereka tidak setuju dengan
analisisnya tentang Ada dan konsepsinya tentang gagasan Platoniknya.
Meskipun Heidegger adalah seorang pemikir yang luar biasa kreatif dan asli, dia
juga meminjam banyak dari pemikiran Friedrich Nietzsche dan Soren Kierkegaard.
2016
8
Filsafat Ilmu dan Logika
Masyhar, MA
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
Heidegger dapat dibandingkan dengan Aristoteles yang menggunakan dialog Plato dan
secara sistematis menghadirkannya sebagai satu bentuk gagasan.
Begitu juga Heidegger mengambil intisari pemikiran Nietzsche dari sebuah
fragmen yang tak terbit dan menafsirkannya sebagai bentuk puncak Metafisika Barat. Karya
Heidegger berupa transkrip perkuliahan selama 1936 tentang Nietzsche's Will to Power as
Art kurang bernilai akademis dibandingkan karyanya sendiri yang lebih asli. Konsep
Heidegger tentang kecemasan angst dan das sein berasal dari konsep Kierkegaard
tentang kecemasan, pentingnya relasi subjektivitas dengan kebenaran, eksistensi di
hadapan kematian, kesementaraan eksistensi, dan pentingnya afirmasi diri dari Ada
seseorang di dalam dunia.
Bereksistensi oleh Heidegger disebut Dasein, dari kata da (disana) dan sein
(berada), sehingga kata ini berrarti: berada disana, yaittu di tempat. Manusia senantiasa
menempatkan diri ditengah-tengah dunia sekitarnya, sehingga ia terlibat dalam alam
sekitarnya dan bersatu dengannya. Sekalipun demikian manusia tidak sama dengan dunia
sekitarnya, tidak sama dengan benda-benda, sebab manusia sadar akan keberadaannya.
Menurut Heidegger, persoalan tentang "berada" ini hanya dapat dijawab melalui
ontology, artinya: jikalau persoalan ini dihubungkan dengan manusia dan dicari artinya
dalam hubungan itu. Agar supaya usaha ini berhasil, harus dipergunakan metode
fenomenologis. Demikianlah yang penting ialah menemukan arti "berada" itu. Satu-satunya
berada yang sendiri dapat dimengerti sebagai berada ialah berada -nya manusia. Harus
dibedakan antara "berada" (sein) dan yang "berada" (seiende). Ungkapan seiende hanya
berlaku bagi benda-benda, yang bukan manusia, yang jika dipandang dari dirinya sendiri
artinya terpisah dari segala yang lain, hanya berdiri sendiri. Benda-benda itu hanya
"vorhanden", artinya hanya terletak begitu saja di depan orang, tanpa ada hubungannya
dengan orang itu. Benda-benda itu hanya berarti jika dihubungkan dengan manusia.
Secara fenomenologis, hubungan sehari-hari antara manusia dan dunianya itu
bersifat praktis. Hubungan itu dapat disebut demikian, bahwa manusia sibuk dengan dunia,
atau mengerjakan dunia, atau mengusahakan dunia, dan sebagainya, yang semuanya
dirangkumkan Heidegger dalam kata besorgen (memelihara). Hubungan asli yang dalam
kesatuan antara dasein dan dunia adalah besorgen (memelihara). Di dalam dunia itu
manusia tampak sebagai yang berbuat. Perbuatan itu bukan hanya dalam bentuk perbuatan
yang kongkrit, tetapi jika manusia itu diam, ia berbuat. Ada suasana perbuatan praktis dan
teoritis (manusia diam). Praktis, manusia bertemu dengan benda-benda dan berbuat dengan
benda-benda tersebut, contoh: kayu jadi kursi, meja, dll. Dan manusia lebih disibukkan
dengan perbuatan yang praktis yang berkaitan dengan dunia yang dijumpainya.
Demikianlah ciri khas Dasein adalah dunia dan memiliki dunia.
2016
9
Filsafat Ilmu dan Logika
Masyhar, MA
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
Dalam hidupnya sehari-hari manusia bersikap praktis, disibukkan dengan bendabenda yang tersedia untuk ditangani (zuhanden) sehingga benda-benda itu memiliki
tabiatnya sendiri-sendiri, menjadi alat yang dipakai manusia. Benda-benda itu senantiasa
diberi kaitan, dijadikan alat untuk melakukan sesuatu. Fungsi itu baru dimiliki jika telah
ditentukan oleh manusia (kayu sebagai bahan bakar atau bahan bangunan).
Manusia terbuka bagi dunianya dan bagi sesamanya. Keterbukaan ini bersandar
kepada 3 hal asasi yang penting, yaitu befindlichkeit atau kepekaan, verstehen atau
mengerti, memahami, dan rede atau kata-kata atau hal berbicara.
Befindlichkeit atau kepekaan ini diungkapkan dalam bentuk perasaan dan emosi.
Bahwa manusia merasa senang, kecewa, takut, dsb, itu bukan karena akibat pengamatan
hal-hal yang bermacam-macam, tetapi suatu bentuk dari "berada di dalam dunia", suatu
hubungan yang asli terhadap dirinya sendiri. Manusia berada di dalam dunia dengan
kepekaan itu. Di dalam hidup sehari-hari ia dapat mendesakan kepekaan itu, dapat
menindasnya atau mengalahkannya, akan tetapi tetap ia akan mengalami kepekaan itu.
Inilah kenyataan hidupnya, inilah nasibnya. Ia telah "terlempar" (geworfen) ke situ. Oleh
karena itu kepekaan adalah pengalaman yang elementer menguasai realitas, itulah keadaan
dimana dunia dihadapkan dengan kita, itulah keadaan dimana kita menemukan dan
menjumpai dunia sebagai nasib, dan dimana kita sekaligus menghayati kenyataan
eksistensi kita yang serba terbatas dan ditentukan. Jadi kepekaan mendasari sesuatu yang
kongkrit.
Verstehen atau mengerti atau memahami ini bukan pengertian yang biasa,
melainkan dasar segala pengertian. Jika befindlichkeit atau kepekaan dikaitkan dengan segi
nasib manusia, maka pengertian dikaitkan dengan kebebasan manusia. Hal mengerti ini
bersangkut-paut dengan manusia dan kemungkinan-kemungkinannya. Manusia hidup dalam
suatu kesadaran akan "berada"nya. Dilihat dari kesadaran akan "berada"-nya ini seluruh
dunia penuh dengan kepentingan dan arti. Akan tetapi kepentingan-kepentingan dan arti itu
hanya dapat dilihat dari kesatuannya dengan eksistensinya. Pertama-tama manusia tahu
atau mengerti akan kemungkinan-kemungkinannya yang ada pada dirinya. Dari situ
tampaklah dunia dengan segala kemungkinannya untuk dapat dipakai, diambil manfaatnya,
dsb. Pengertian ini senantiasa diarahkan kepda kemungkinan akan sesuatu dan syaratsyaratnya untuk mencapai sesuatu itu. Hal ini disebabkan karena dalam pengertian ini telah
tersirat struktur yang eksistensial, yang disebut entwurf atau rencana. Pengertian itu
merencanakan "berada"-nya
Dasein. Oleh karena itu manusia merencanakan dan
merealisasikan kemungkinan-kemungkinannya sendiri, dan sekaligus juga kemungkinankemungkinan dunia. Jadi verstehen atau pengertian termasuk cara berada manusia.
2016
10
Filsafat Ilmu dan Logika
Masyhar, MA
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
Rede atau hal berbicara mewujudkan asas yang eksistensial bagi kemungkinan
untuk berbicara dan berkomunikasi serta bagi bahasa. Kata-kata berhubungan dengan arti.
Di dalam ungkapan "mengerti" di dalam hidup sehari-hari telah tersirat segala kemungkinan
untuk menjelaskan sesuatu sebagai sesuatu dalam rangka rencana yang diarahkan kepada
arah tertentu. Secara a priori manusia telah memiliki "daya untuk berbicara". Ia adalah
makhluk yang dapat berbicara. Sambil berbicara ia mengungkapkan diri. Pengungkapannya
adalah suatu pemberitahuan.
Dasein selalu berada dalam proses pelaksanaan diri. Proses dimana dasein
melaksanakan diri ditunjuk dengan masa mendatang. Waktu lampau dan sekarang, harus
dimengerti atas dasar waktu mendatang. Waktu adalah tahap-tahap yang tidak dapat
dipisah-pisahkan antara masa lalu, sekarang, dan akan datang.
Bagi Heidegger, waktu itu sama real-nya, dan dalam rentangan waktu itulah
seseorang senantiasa berada dalam kemungkinan-kemungkinan dan potensialitas ini
menjadi alternative bagi manusia untuk bertindak. Dalam kondisi seperti inilah manusia
terbentur pada kehilangan-kehilangan. Maksudnya, ada pengalaman akan ketiadaan dan
ada hal-hal yang belum terealisasi. Sementara perasaan yang belum terealisasi itulah yang
kemudian memunculkan perasaan cemas pada diri manusia , karena ia terbentur dengan
ketiadaan dan keterbatasan.
Jean Paul Sartre
Jean-Paul Sartre lahir di Paris pada tanggal 21 Juni 1905. Ayahnya perwira angkatan
laut Prancis dan ibunya, Anne Marie Schweitzer, anak bungsu dan satu-satunya anak
perempuan dari Charles Schweitzer, seorang guru bahasa dan sastra Jerman di daerah
Alsace. Ayahnya meninggal sesudah dua tahun kelahiran Jean-Paul dan ibu bersama
anaknya pulang ke rumah ayahnya, Charles Schweitzer, di Meudon. Sesudah empat tahun
mereka berpindah ke Paris (Bertens, 2001:81). Saat diasuh oleh kakeknya, Charles
Schweitzer sangat menyayangi cucunya, dan menjaganya tetap di rumah serta memberikan
pendidikan sendiri sampai berusia sepuluh tahun. Masa pengurungan ini menguntungkan
Sartre karena dapat mengasah daya nalarnya melalui buku-buku studi kakeknya (Munir,
2008 :104)
Di Paris, Sartre menemukan keajaiban bibliothek kakeknya. Di sana, ia hidup karena
merasa menjadi pusat perhatian dan pujaan keluarga. Dengan rambut pirangnya yang
panjang dan bergelung-gelung, Sartre kecil dengan cepat menyadari sisi tampan dari
dirinya. Sampai suatu hari, sang kakek membawa Sartre ke tukang cukur. Dalam Les Mots
Sartre menuliskan peristiwa tersebut tanpa eufimisme: ‘Saat diambil dari ibunya dia masih
menakjubkan, tetapi saat dikembalikan kepadanya ia menjadi seekor kodok. Itulah Sartre
menemukan dirinya ‘Jelek’. Bukan hanya karena matanya juling, tetapi juga karena rupa
2016
11
Filsafat Ilmu dan Logika
Masyhar, MA
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
serta perawakanya membuatnya mirip ‘kodok’. Penemuan dini ini sangat penting bila
dikaitkan dengan dua konsep filsafat Sartre yaitu L’autre dan Le regard (Wibowo, 2011 :25).
Ketika berusia 17 tahun, Jean-Paul menerima gelar ‘baccalaureate’ (gelar diploma
sekolah menengah yang elit) dan ia memulai studi selam 6 tahun di Sorbonne untuk
mendapatkan aggregation, ujian yang akan memberinya jalan untuk memasuki karier
akademis dalam bidang filsafat. Namun pada tahun 1928 ia gagal dalam aggregation dan
mendapatkan peringkat paling akhir di kelasnya (Palmer, 2007:6). Tetapi setahun kemudia
Sartre berhasil mendapatkan rangking pertama dalam ujian aggregation-nya, di sini jugalah
dia bertemu partner seumur hidupnya, Simone de Beauvoir.
Pada masa perang dunia, Sartre bergabung dengan militer Prancis (1939) sebagai
seorang meteorologis. Ia ditangkap tentara Jerman di Padoux dan dipenjara selama 9 bulan.
Selama menjadi tahanan perang, Sartre berpindah-pindah dari Padoux kemudian ke Nancy,
dan terakhir ke Stallag, Treves. Di kota terakhir inilah dia menulis skenario teater
pertamanya Bariona, Fills du tonnerre. April 1941, Sartre dibebaskan karena alasan
kesehatan. Namun, masa menjadi tahanan itu memberikan makna mendalam bagi Sartre di
sepanjang hidupnya. Setelah kembali ke Paris, Sartre bergabung dengan kelompok
pergerakan dan menulis di berbagai majalah seperti Les Leteres Francaise dan Combat.
Sartre pernah mendirikan review bulanan tentang Sastra dan politik, Les Temps Modernes,
dan membaktikan diri sepenuhnya pada kegiatan menulis dan politik (Adian, 2010:69-70).
Pada Tahun 1964, Sartre dianugerahi hadiah nobel untuk bidang sastra. Karena
alasan politis ia menolak hadiah tersebut. Jean Paul Sartre meninggal tanggal 15 April 1980.
Para dokter berusaha membujuk Simone de Beauvoir yang sangat terpukul oleh kematian
Sartre untuk tidak berbaring di atas tubuh Sartre sepanjang malam. Meskipun status
intelektualnya dipudarkan oleh kesuksesan Strukturalisme dan post-Strukturalisme, sebagai
pribadi ia tetap sangat populer pada saat kematiannya. Jalan-jalan di kota Paris dipadati
orang-orang yang menghormatinya dalam jalan menuju pemakaman (Palmer 2007: 17).
Lebih dari lima puluh ribu orang hadir dalam iring-iringan dan pemakaman filsuf perancis ini.
Menurut Sartre, seorang eksistensialis adalah orang yang percaya dan bertindak
berdasarkan dalil berikut, yang berlaku untuk semua umat manusia yaitu ‘eksistensi
mendahului esensi’. Apa artinya? Sebelum itu marilah kita membahas pendapat ‘esensi
mendahului eksistensi’. Esensi berarti hakikat dari suatu hal, definisi dari suatu hal, ide
mengenai suatu hal, sifat dasar atau kodrat, fungsi, dan program. Artinya bahwa dalam
benda buatan manusia esensi benar-benar mendahului eksistensi (Palmer, 2007:21).
Contohnya dapat kita lihat dari gunting. Gunting mempunyai ide di dalamnya, yaitu
alat untuk menggunting sesuatu. Bila kita menemukan benda, dan itu dapat digunakan
untuk menggunting sesuatu, kita dapat menyebutnya gunting. Karena manusia sebagai
2016
12
Filsafat Ilmu dan Logika
Masyhar, MA
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
pembuat benda (gunting) sudah memberikan ide gunting dalam benda yang sekarang kita
sebut dengan gunting. Tetapi hal ini tidak berlakuk untuk manusia. Karena tidak ada Tuhan
yang menciptakan ide tentang manusia -setidaknya itulah yang dikatakan Sartre.
Bagi Sartre, manusia mengada dengan kesadaran sebagai dirinya sendiri. Dan
sebagai demikian itu maka ia tidak bisa dipertukarkan. Dengan demikian pula maka adanya
manusia berbeda dengan adanya hal-hal lain yang tanpa kesadaran tentang adanya sendiri.
Dengan lain perkataan bagi manusia eksistensi adalah keterbukaan; berbeda dengan
benda-benda yang lain dimana ada itu sekaligus esensi, maka bagi manusia eksistensi
mendahului esensi.
Demikian Sartre menegaskan asas pertama dari ajarannya. Ini berarti pula bahwa
bagi Sartre asas pertama sebagai dasar untuk memahami manusia haruslah mendekatinya
sebagai subyektivitas. Manusia sebagai pencipta dirinya sendiri tidak akan selesai-selesai
dengan ikhtiarnya itu. Sebagai eksistensi yang ditandai oleh keterbukaan menjelang masa
depannya, maka manusia pun merencanakan segala sesuatu bagi dirinya sendiri.
Ini mengandung arti bahwa manusia bertanggung jawab terhadap dirinya sendiri,
apapun jadinya eksistensinya, apapun makna yang hendak diberikan pada eksistensinya itu,
tiada lain yang bertanggung jawab adalah dirinya sendiri. Sebab dalam membentuk dirinya
sendiri itu, manusia mendapat kesempatan untuk tiap kali memilih apa yang baik dan apa
yang kurang baik baginya. Setiap pilihan yang dijatuhkan terhadap alternatif-alternatif yang
ditemuinya adalah pilihannya sendiri; ia tidak bisa mempersalahkan orang lain, tidak pula
bisa menggantungkan keadaan pada Tuhan (Hassan,1976:103).
Dalam artian tertentu, definisi Sartre mengenai eksistensialisme hanya meradikalkan
pandangan yang sangat umum di antara kebanyakan ahli ilmu sosial: bahwa tidak ada naluri
yang menyebabkan tindakan-tindakan tertentu. Dengan begitu manusia tidak menyerupai
kucing. Dalam hal ini perilaku yang benar-benar dihasilkan oleh naluri tidak ada pilihan.
(Laba-laba penjebak pasti menenun jaring penjebak, dan burung berkicau pasti berkicau).
Benar bahwa ada fungsi-fungsi dan reflek-reflek tubuh manusia yang bekerja dalam
keharusan daripada dalam kebebasan, tetapi fungsi-fungsi tubuh manusia yang seperti itu
tidak pernah menghasilkan tindakan-tindakan manusia sesungguhnya, sebagai contoh
adalah perbedaan mengedipkan mata (tindakan manusia) dan berkedip (bukan tindakan
manusia sesungguhnya) (Palmer, 2007: 26).
Ada dan Ketiadaan
1.
L etre-en-soi
Dari buku yang ditulis Sartre Being and Nothingness, kita dapat melihat landasan
ontologis Sartre dalam membangun filsafat yang menggunakan metode fenomenologi.
2016
13
Filsafat Ilmu dan Logika
Masyhar, MA
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
Dengan dasar-dasar yang sama, tetapi Sartre mendapatkan kesimpulan yang cukup
berbeda dari Husserl maupun Heidegger sebagai guru fenomenologinya.
Sebagai landasan ontologisnya, Sartre pertama menyuguhkan konsep L etre-en-soi,
apa itu L etre-en-soi ? secara arti, L etre-en-soi berarti being-in-itself atau berada dalam
dirinya sendiri.Untuk mengetahuinya, sebaiknya kita bedah term itu satu persatu. Pertama
etre, Driyarkara menjelaskan apa yang dimaksud etre :
‘’Sekarang kita mendekati pikiran Sartre ikutilah paparan berikut, kita mengerti
pohon, kita mengerti hewan, kita mengerti manusia dan sebagainya. Semuanya itu berbedabeda…Jadi kita menyebut dengan nama-nama atau kata-kata yang berbeda karena apa
yang disebut juga berbeda-beda…namun, di antara istilah-istilah yang kita gunakan itu ada
yang umum, artinya kita gunkaan untuk menyebut barang-barang yang betul-betul berlainan,
misalnya kata barang…di samping itu ada kata lain yang umum pula ialah « ada ». Apa saja
yang kita jumpai dapat kita sebut ada atau sesuatu yang berada. Nah, ada atau sesuatu
yang berada, itu dalam bahasa Sartre disebut Etre.’’ (Driyarkara, 2006a :1304)
L etre-en-soi menunjuk suatu cara bereksistensi yang tertutup, apa yang ada
sepenuhnya identik dengan dirinya sendiri. Ia bersifat tertutup rapat, tanpa lobang, tanpa
celah, dan tanpa gerak sedikitpun untuk keluar dari dirinya. di situ tidak terdapat-subjekobjek, sama sekali tidak mempunyai relasi. Oleh Sartre L etre-en-soi disebut ‘ada yang tidak
berkesadaran’. Boleh dikatakan ada jenis ini adalah adanya benda-benda, yang berada
begitu saja (Siswanto, 1998 : 140).
Lebih jelasnya tentang etre-en-soi itu harus dikatakan : it is what it is. Etre-en-soi
tidak aktif, tidak pasif, tidak afirmatif, tidak negatif : kategori-kategori macam itu itu hanya
mempunyai arti dalam kaitan dengan manusia. Etre-en-soi tidak mempunyai masa silam,
masa depan; tidak mempunyai kemungkinan ataupun tujuan. Etre-en-soi itu sama sekali
kontingen. Artinya : ada begitu saja, tanpa fundamen, tanpa diciptakan, tanpa dapat
dimainkan dari sesuatu yang lain (Bertens, 2001 : 92). Menurut Sartre, segala yang berada
secara ini, segala yang L etre-en-soi, adalah memuakkan. Mengapa ? Meja, kursi, pohon,
dan sebagainya, dalam dirinya bukanlah apa-apa. Benda-benda itu bila kita lihat sebagai
de-facto demikian, seperti adanya tanpa alasan apa pun, lepas dari segala arti yang kita
berikan kepadanya dalam hidup sehari-hari akan tampak memuakkan (Hadiwijono, 2011 :
159).
2.
L etre-pour-soi
L etre-pour-soi atau ‘ada untuk diri’ menunjuk cara beradanya manusia yaitu pada
kesadaran manusia; sifatnya melebar (co extensive) dengan dunia kesadaran dan sifat
kesadaran yang berada di luar diri sesuatu atau seseorang. Dalam kesadaran barulah
muncul adanya subjek dan objek. Ada yang sadar menjadi subjek, tetapi dia juga bisa
2016
14
Filsafat Ilmu dan Logika
Masyhar, MA
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
menjadi objek. Jadi seolah-olah di situ ada keduaanya ; subjek berhadapan dengan objek.
Yang berupa subjek adalah ‘pengada yang sadar’. Yang berupa objek ialah dia sendiri,
sekedar disadari. Tetapi kesadaran itu tidak identik dengan dirinya karena ia hanya berdiri
sebagai ‘subjek yang lain’ dan tak terpisahkan dengan dirinya sendiri. Antara subjek yang
menyadari dan objek yang disadari selalu terdapat jarak, jarak antara aku dan diriku, inilah
yang disebut ‘ketiadaan’ (Siswanto, 1998: 141).
Konsep yang sulit ini dapat dipermudah dengan contoh. Sekarang marilah kita
menganggap ada seorang manusia. Berbeda dengan benda-benda lain yang tidak sadar
akan keberadaannya. Manusia itu ada, ada berarti dia sadar dengan keberadaanya.
Sedangkan manusia yang sadar dengan keberadaannya berarti dia mengetahui sesuatu.
mengetahui sesuatu inlah yang disebut Sartre asebagai proses meniadakan sesuatu. Atau
dari ‘Ada’ menuju ‘Ketiadaan’. Bagaimana bisa?
Perhatikanlah sekarang, jika manusia sedang dan dalam berbuat, sadar tentang diri
sendiri, itu berarti bahwa manusia dengan sadar sedang ada dalam peralihan. Dia sedang
mengalih, dia sedang berpindah, dia dalam perjalanan. Sekali lagi dia dengan sadar
menjalankan peralihannya itu. Dia beralih, dia mengalih, itu karena sadar tentang diri sendiri.
Dia menyadari diri sebagai ini, akan tetapi justru bersama-sama membantah dengan
mengalih itu. Jadi, dia berkata ini dan juga membantah, saya tidak mau dan karenanya dia
mengalih. Misalnya, seorang mengakui saya ini pencuri. Sedang sadar dan justru karena
kesadarannya itu dia membenci sifat pencuri, jadi tidak mau kepencuriannya itu.
Sebetulnya, peniadaan itu terjadi terus menerus, terjadi tak ada berhenti-hentinya,
sebab manusia itu tidak pernah berhenti. Dia terus saja berbuat. Setiap perbuatan itu berupa
perpindahan. Perpindahan perubahan, karena manusia tidak bisa menghendaki ketetapan
dan itu justru karena kesadaranya. Pandanglah sekarang demikian : manusia itu dlaam tiaptiap perbuatan berubah, mengalih, jadi bergerak ke-. Karena dia sedang berubah, karena
dia sedang mengalih ke-, karena dia sedang bergerak ke-, jadi dia belum seperti yang
dimaukan. Dia dalam keadaan yang tidak dikehendaki dan keadaan seperti yang
dikehendaki belum ada. Jadi dia belum ada. Jadi, yang dikehendaki belum ada dan yang
tidak ada tidak dikehendaki. Itulah manusia dalam tiap detik. Jadi dia selalu meniadakan
(Driyarkara, 2006a: 1309). Itulah yang dimaksud Ada selalu menuju ketiadaan.
Eksistensialis dan Psikologi
Dalam psikologi eksistensial terdapat sejumlah teori kepribadian dan psikopatologi
yang dikembangkan oleh tokoh-tokoh yang berbeda. Dalam pembahasan berikut ini
mengungkap teori-teori kepribadian dan psikopatologi dari Binswanger dan Boss, Rollo May,
Viktor Frankl, dan Ronald Laing.
2016
15
Filsafat Ilmu dan Logika
Masyhar, MA
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
A.
BINSWANGER dan BOSS
Binswanger dan Boss adalah 2 orang psikologi terapis pengembang teori dan
praktek terapi eksistensial yang disebut analisis eksistensial. Berikut inti dari teori
kepribadian Binswanger dan Boss :
1.
Taraf-taraf dunia dan keberadaan
Ada 3 taraf dunia tempat manusia meng-ada, yakni :
Dunia fisikal atau biologis. Dalam cara berelasi dengan alam atau dunia fisikal, setiap
individu memiliki persepsi yang berbeda tentang alam, misalnya individu satu memandang
laut sebagai sumber bahaya sehingga akan selalu menghindari laut, sementara individu
yang lain mempersepsi laut sebagai tempat yang ideal untuk berolahraga air sehingga
merasa senang berada di laut.
Dunia manusia atau sosial. Dalam berelasi atau meng-ada di dalam dunia sosial juga
berbeda persepsi masing-masing individu. Ada individu yang mempersepsi bahwa orang
lain itu baik, bisa saling mengerti, menghargai dan membantu sehingga individu dalam dunia
sosialnya bersedia dan sanggup untuk menjalani hubungan dengan orang lain. Individu
yang lain ada yang mempersepsi bahwa adanya orang lain itu hanya untuk menilai,
menghakimi, atu mengobjekkan dirinya sehingga individu tidak akan mampu berhubungan
dengan orang lain dan menghindarkan diri dari pergaulan dengan orang lain. Ada pula
individu yang senantiasa mengantisipasi apa yang dipikirkan orang lain mengenai dirinya
sehingga ia senantiasa bertingkah laku yang disukai orang lain.
Dunia diri sendiri. Individu menjalani keberadaan sebagai subjek yang merefleksikan,
mengevaluasi, menilai atau menghakimi dirinya sendiri. Banyak individu yang menghindari
introspektif, karena hal itu akan menyakitkan namun ada individu yang terus menerus
introspektif dengan akibat mereka kekurangan kemampuan untuk meng-ada di dalam dunia
sosial secara adekuat.
ROLLO MAY
1.
Kekosongan, kesepian, dan kecemasan
Menurut May ( 1953 ) kekosongan adalah kondisi individu yang tidak mnegetahui lagi
apa yang diinginkannya dan tidak lagi memiliki kekuasaan tehadap apa yang terjadi dan
dialaminya. Individu yang tersaingkan oleh sesama dan dari diri sendiri selalu merasa
kesepian, oleh karena itu individu senantiasa menjalin kebersamaan dalam relasi yang intim
dengan orang lain. Individu mengalami kecemasan disebabkan karena individu tersebut
merasa bingung, siapa dirinya dan apa yang harus diperbuat. Kecemasan itu sangat
menyakitkan karena akan mengancam kesadaran diri.
2.
2016
16
Kesadaran diri
Filsafat Ilmu dan Logika
Masyhar, MA
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
Manusia yang memiliki kesadaran diri yang tinggi yaitu manusia yang mampu
mengamati dirinya sendiri dan membedakan dirinya dengan orang lain, memiliki
kemampuan dalam menempatkan dirinya dalam masa kini, masa lampau, dan masa depan,
mampu mempengaruhi perkembangan dirinya dan orang lain dan mampu menempatkan diri
dalam dunia batin sesamanya.
3.
Mempertinggi kesadaran diri
Langkah-langkah yang perlu diambil individu untuk mempertinggi kesadaran diri yaitu
dengan menemukan kembali perasaan-perasaannya, mengenal keinginan-keinginan sendiri
dan dengan menemukan kembali relasi diri dengan aspek-aspek kesadaran.
C.
VIKTOR FRANKL
1.
Kebebasan Berkeinginan
Di dalam ruang noologis / dimensi spiritual terletak kebebasan berkeinginan dari
manusia. Dengan memasuki ruang noologis manusia meninggikan martabatnya sebagai
manusia, sebagai makhluk yang hidupnya tidak dikuasai oleh ketentuan biologis dan
psikologisnya.
2.
Keinginan pada makna
Keinginan kepada makna merupakan keinginan yang utama yang tidak pernah
padam
pada
manusia.
mengembangkan
Melalui
kehidupannya
penciptaan
dan
makna
membahagiakan
bagi
hidup
dirinya.
berarti
Frankl
manusia
memandang
penciptaan makna sebagai tanggung jawab yang harus dipikul secara individual.
3.
Makna Hidup
Makna hidup muncul ketika individu memulai pematangan spiritual, yakni pada
manusia pubertas. Manusia bisa menemukan makna hidup tidak hanya melalui kehidupan
keagamaan, tetapi bisa melalui kerja, melalui pertemuan dengan keindahan dan kebenaran,
melalui pertemuan dan cinta dengan sesama dan melalui pengalaman-pengalaman.
4.
Frustasi Eksistensial dan Kehampaan Eksistensial
Individu yang mengalami frustasi eksistensial dan kehampaan eksistensial yaitu
mereka yang mengalami ketidakberdayaan. Mereka tidak dapat menemukan makna
penderitaan yang mereka alami dan makna kematian yang mereka hadapi.
5.
Neurosis Noogenik dan Neurosis Kolektif
Neurosis Noogenik bersumber pada dimensi spiritual yakni kehampaan eksistensial.
Neurosis kolektif muncul pada individu yang memiliki sikap pesimistis terhadap hidup, sikap
fatal terhadap hidup, konformisme dan kolektifisme ( mengingkari kepribadiannya sendiri )
dan Fanatisme ( mengingkari kepribadian orang lain ).
D.
2016
17
RONALD LAING
Filsafat Ilmu dan Logika
Masyhar, MA
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
Dalam pembahasan ini akan mengungkapkan pendekatan Laing terhadap
psikopatologi, khususnya skizoprenia yang bertumpu pada konsep-konsep eksistensialisme
dan psikopatologi. Teori ontologis skizoprenia dari Laing sejalan dengan teori ikatan ganda
yang menerangkan bahwa perlakuan yang tidak jelas dari orang tua(tidak membenci,tetapi
juga tidak mencintai) terhadap anaknya mengakibatkan si anak sukar memperoleh
kepastian tentang siapa dirinya dan bagaimana seharusnya ia bereaksi dengan
lingkungannya. Menurut Laing, individu yang secara ontologis tidak aman boleh jadi akan
mencoba mengatasi hidup dengan jalan meng-ada secara non personal, seperti dalam
bentuk sikap enggan, menarik diri, egosentris atau tak memasyarakat, mengaku dirinya
telah mati dan menampilkan bentuk-bentuk tingkah laku yang bagi orang lain aneh sehingga
akan diberi label skizoprenia.
Teori dan Praktek Psikoterapi
Ada beberapa sistem psikoterapi yang berpendekatan eksistensial yaitu Analisis
Eksistensial, Logoterapi, dan Terapi Radikal.
A.
Analisis Eksistensial
Dalam psikoterapi analisis eksistensial memiliki tujuan ideal yang akan dicapai yaitu
meningkatkan kesadaran individu atau menjadi individu yang otentik, dengan harapan agar
konseli menyadari asek-aspek dunia maupun dirinya sendiri yang telah ditutupi oleh
ketidakotentikan. Dan tujuan kedua meningkatkan kemampuan memilih yaitu memilih
alternatif-altenatif tindakan yang mengarahkan pada perbaikan diri.
Para eksistensialis percaya bahwa tiap-tiap individu akan mengalami konflik
intrapersonal, konflik interpersonal, konflik individu dengan lingkungan dan sebagainya. Dan
analisis eksistensial ini diarahkan untuk membantu individu menyelesaikan konflik-konflik
yang dialaminya.
Para terapis eksistensial yakin bahwa relasi yang sungguh-sungguh dan terbuka
akan menjadikan konseli tidak bisa menyembunyikan cara meng-ada yang tidak otentik dan
mekanisme pertahanannya, menyadari kecemasan eksistensialnya serta akan mampu
memikul tanggung jawab.
B. Logoterapi
Logoterapi memusatkan perhatian terhadap permasalahan yang menyangkut
pencarian manusia kepada makna. Dalam proses terapeutik, logoterapi menekankan
kesanggupan konseli untuk memilih alternatif-alternatif tindakan atas perbaikan dirinya
sendiri. Teknik terapeutik oleh Frankl disebut intensi paradoksial.
Berikut ini beberapa contoh penerapan teknik intensi paardoksial :
a)
Kasus hidrofobia yang dialami seorang klien selama 4 tahun, dimana ia selalu
merasa gemetar dan keluar keringat tiap kali berjabat tangan dengan atasannya. Frankl
2016
18
Filsafat Ilmu dan Logika
Masyhar, MA
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
mengajukan saran kepada kliennya supaya jika ia bertemu kembali dengan atasannya
berusaha secara sengaja mengatakan pada dirinya bahwa ia akan mengeluarkan keringat
sebanyak-banyaknya jika bersalaman dengan atasannya yang sebelumnya hanya sedikit.
Dan hasilnya ternyata klien tidak berkeringat sedikitpun saat bersalaman dengan atasannya.
b)
Kasus bakterofobia dan kompulsi mencuci yang dialami ibu rumah tangga
ditangani Frankl dengan mengajak ibu tersebut menirukan apa yang dilakukannya dengan
menggosok-gosokkan tangan ke lantai dan kemudian berkata, ‘’Lihat, tangan saya menjadi
kotor, tetapi saya tidak bisa menemukan banyak bakteri !’’ dan kemudian ibu tersebut mau
menirukannya dan selama 5 hari berikutnya gejala-gejala bakterfobia mulai menyusut dan
akhirnya hilang sama sekali.
c)
Kasus alkoholisme neurosis yang dialami D.F yang mana dengan minum
secara eksesif untuk mengatasi ketidakbermaknaan hidup sekaligus untuk mengatasi gejala
gemetaran tangan jika berada di depan orang lain. Dan tidak bisa mengangkat piring atau
gelas tanpa menumpahkan isinya jika makan atau minum di depan umum. Gerz
menganjurkan D.F agar secara sengaja berhumor menunjukkan gejala-gejala itu
di
hadapan orang lain dengan mengatakan ‘’ Lihat, betapa ajaib getaran tanganku.’’ Dan
ternyata dia tidak bisa menggetarkan tangannya ketika berhadapan dengan orang lain.
Dari contoh kasus diatas, dapat disimpulkan bahwa dengan intensi paradoksial
individu didorong untuk melakukan sesuatu yang paradoks yakni mendekati sesuatu yang
justru ditakutinya dan yang selalu ingin dihindarinya.
C. Terapi Radikal
Di dalam terapi radikal ini, relasi terapis dan klien diintefsikan dan tidak dibatasi.
Perlakuan-perlakuan yang dilakukan terapis tidak bersifat simbolis ( terbatas pada
pemberian perhatian ) tetapi sampai pada pengertiannya yang harfiah. Sehingga klien yang
mengalami regresi akan merasa di lahirkan kembali karena merasa diterima secara sehat
oleh figur-figur orang yang ada dalam kehidupannya.
5.
Metode Fenomenologi dan Penelitian-Penelitian
Metode
yang
mendasari
penelitian
psikologi
eksistensial
adalah
metode
fenomenologi yang berwujud analisis pengalaman dalam bahasa pengalaman. Untuk
menguji kevalidan uraian fenomenologis dapat dilakukan melalui metode intrasubjektif yaitu
dengan memperbandingkan uraian-uraian tentang tingkah laku atau pengalaman yang
sama yang muncul dalam situasi yang berbeda. Dan apabila antara uraian satu dengan
yang lain konsisten maka uraian-uraian tersebut dikatakan valid. Metode ke 2 metode
intersubjektif, dimana beberapa orang penyelidik eksistensial membuat uraian tentang suatu
fenomena yang sama, jika dari uraian penyelidik satu dengan yang lain sama maka uraian
2016
19
Filsafat Ilmu dan Logika
Masyhar, MA
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
tersebut valid. Validitas juga bisa ditentukan secara eksperimental dengan menguji
hipotesis-hipotesis yang ditarik dari analisis fenomenologis.
Untuk
memperoleh
gambaran
mengenai
analisis
fenomenologis,
Boss
mengungkapnya melalui analisis mimpi. Menurutnya, mimpi adalah bentuk lain dari mengada-dalam-dunia, mimpi harus diterima secara utuh dengan isi dan maknanya dan bukan
termasuk
dorongan,
mekanisme,
simbolisme,
dan
kompensasi-kompensasi
yang
dikemukakan Freud.
Usaha pengujian atas teori psikologi eksistensial dilakukan oleh Crumbaugh dan
Maholick melalui studi berpendekatan psikometrik dengan tujuan menentukan atau
memastikan adanya tipe neurosis baru yang disebut neurosis noogenik. Alat ukur atau tes
yang digunakan dalam studinya adalah tes PIL, kuesioner Frankl, A-V-L, dan MMPI. Yang
ke-2 dengan melakukan studi tentang sikap terhadap kematian yang dikembangkan Herman
Feifel.
Feifel
melaksanakan
studinya
tentang
sikap
terhadap
kematian
dengan
menggunakan subjek 315 orang. Dari hasil studinya tersebut terdapat sikap terhadap
kematian yang berwujud pemulian yang idealistis terhadap kematian dengan melihat
kematian sebagai prasyarat bagi kehidupan yang sejati.
6.
Evaluasi
Terhadap psikologi eksistensial, tokoh-tokoh psikolog behaviorisme menentang dan
mengkritiknya dengan keras. Sedangkan pihak yang bersimpati dan mendukung terhadap
psikologi eksistensial adalah tokoh-tokoh humanistik.
Kritik-kritik terhadap psikologi eksistensial, pertama karena psikologi eksistensial
yang berakar pada filsafat dan tidak menyukai positivisme dan determinisme. Kedua, bahwa
psikologi eksistensial adalah psikologi yang tidak ilmiah. Ketiga, bahwa psikologi eksistensial
itu antiintelektual karena penggunaan pengetahuan intuitif dan penggunaan bahasa yang
puitis dan berselubung. Keempat, kritik yang menyangkut konsep kebebasan yang
mejelaskan bahwa manusia itu bebas untuk memilih atau menentukan sendiri tingkah laku
yang hendak dan perlu diungkapkan atau tidak diungkapkannya. Kelima, bahwa psikologi
eksistensial itu solipsistik atau subjektivistik. Keenam, para tokoh psikologi eksistensial
dituduh menyelinapkan agama ke dalam psikologi karena dalam teorinya menggunakan
konsep-konsep keagamaan untuk menerangkan keberadaan dan pertumbuhan manusia.
Selain kritik-kritik yang banyak ditujukan bagi psikologi eksistensial, namun ada
tokoh-tokoh psikologi lain yang mendukung psikologi eksistensial, yaitu :
a)
Menurut Maslow mempelajari psikologi eksistensial merupakan pengalaman
yang menarik dan konstruktif yang memperkaya, meluaskan, dan mempercermat
2016
20
Filsafat Ilmu dan Logika
Masyhar, MA
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
pemikirannya
tentang
manusia.
Berikut
ini
beberapa
kesan
Maslow
mengenai
eksistensialisme :
dirasakan kurang, karena positivisme logis dinilai telah gagal.
membahas aktualitas dan potensialitas manusia.
pribadi otentik.
para ahli psikologi, yakni masalah tanggung jawab, konsep keberanian dan kehendak.
b)
Carl Rogers mengevaluasi psikoterapi yang berpendekatan eksistensial
dengan membandingkannya dengan pendekatan psikoterapi behaviorisme yang disebut
‘aliran objektif‘. Terapis dalam psikoterapi yang beraliran objektif memberi penguatan atas
pernyataan-pernyataan klien yang mengekspresikan perasaan-perasaan yang positif dari si
klien. Sedangkan pada aliran eksistensial terapis tampil sebagai pribadi yang riel sehingga
klien bisa menemukan apa yang riel di dalam dirinya sendiri. Dan dari hasil terapi
diharapkan klien menjadi pribadi yang otonom yang mampu
meng-ada sebagaimana
seharusnya ia meng-ada. Menurut Rogers pada aliran eksistensial lebih mampu
menemukan aspek-aspek manusia yang unik dari terapi daripada pendekatan behaviorisme
yang terapinya terdiri atas apa yang diketahui dari proses belajar pada hewan.
c)
Gordon Allport
Menurut Allport eksistensialisme telah memperdalam konsep-konsep tentang
manusia seperti identitas, pilihan, kematian, tanggung jawab, futuritas, mencapai makna
hidup, sehingga dengan demikian eksistensialisme telah merintis jalan kearah terciptanya
psikologi manusia yang universal.
Allport memandang bahwa Feifel telah menghadirkan studi yang baik yang
melibatkan variabel yang tersisihkan dari psikologi yaitu kematian dan dengan tepat
menyebut kematian sebagai relevant variabel. Menurut Allport, pandangan atas kematian itu
unik dan individual.
Penutup
Ajaran eksistensialisme tidak hanya satu. Sebenarnya eksistensialisme adalah suatu
aliran filsafat yang bersifat teknis, yang terjelma dalam bermacam-macam system, yang satu
berbeda dengan yang lain. Sekalipun demikian ada cirri-ciri yang sama yang menjadikan
system-sistem itu dapat dicap sebagai filsafat eksistensialisme. Paling sedikit ada 4
2016
21
Filsafat Ilmu dan Logika
Masyhar, MA
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
pemikiran yang jelas dapat disebut filsafat eksistensialisme, yaitu pemikiran Martin
Heidegger, Jean Paul Sartre, Karl Jaspers, dan Gabriel Marcel.
Beberapa ciri yang dimiliki bersama diantaranya sebagai berikut:
1.Motif pokok adalah apa yang disebut eksistensi, yaitu cara manusia berada. Hanya
manusialah yang bereksistensi. Eksistensi adalah cara khas manusia berada. Pusat
perhatian ini ada pada manusia. Oleh karena itu bersifat humanistis.
2.Bereksistensi harus diartikan secara dinamis. Bereksistensi berarti menciptakan
dirinya secara aktif, bereksistensi berarti berbuat, menjadi, merencanakan. Setiap saat
manusia menjadi lebih atau kurang dari keadaanya.
3.Di dalam filsafat eksistensialisme manusia dipandang sebagai terbuka. Manusia
adalah realitas yang belum selesai, yang masih harus dibentuk. Pada hakekatnya manusia
terikat kepada dunia sekitarnya, terlebih-lebih kepada sesama manusia.
4.Filsafat eksistensialisme member tekanan kepada pengalaman yang konkrit,
pengalaman yang eksistensial. Hanya arti pengalaman ini berbeda-beda. Heidegger
member tekanan pada kematian, yang menyuramkan segala sesuatu; Marcel kepada
pengalaman keagamaan, dan Jaspers kepada pengalaman hidup yang bermacam-macam
seperti kematian, penderitaan, perjuangan, dan kesalahan.
2016
22
Filsafat Ilmu dan Logika
Masyhar, MA
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
Daftar Pustaka
Abidin, Zainal (2003), Filsafat Manusia: memahami manusia melalui filsafat (Bandung:Rosda
Karya
Bagus, Lorens (2000), Kamus Filsafat, Jakarta: Gramedia Pustaka
Bakker, Anton (2000), Antropologi Metafisik, Yogyakarta: Kanisius
Hadiwijono Harun (1980), Sari Sejarah Filsafat Barat I, (Yogyakarta: Penerbit Kanisius), 8
Hardiman, Budi (2002), Pemikiran-Pemikiran yang membentuk dunia Modern, Jakarta,
Penerbit Airlangga
Haviland, William A, (1999) Antropologi, Jilid 1, Alih Bahasa: R.G. Soekadijo, Jakarta:
Erlangga
Kattsoff, Louis O, (1992) Pengantar Filsafat (Yogyakarta: Tiara Wacana)
Leenhouwers, P. (1988), Manusia dan Lingkungannya: Refleksi Filsafat Tentang Manusia,
(Jakarta: Gramedia
Poedjawijatna (1974), Pembimbing ke Arah Alam FIlsafat (Jakarta, PT Pembangunan), 11
Sastrapratedja. M (ed) (1982) Manusia Multi Dimensional: Sebuah Renungan Filsafat
(Jakarta: Gramedia)
Tafsir, Ahmad (1990), Filsafat Umum (Bandung: Rosda karya),
Weij, P.A. van der, (2000), Filsuf-Filsuf Besar Tentang Manusia (Yogyakarta: Kanisius)
2016
23
Filsafat Ilmu dan Logika
Masyhar, MA
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
Download