KERANGKA ACUAN DISKUSI PANEL SERIAL MENGUNGKAP BUDAYA LUHUR NUSANTARA MENUJU PERADABAN MARITIM INDONESIA LATAR BELAKANG Dalam sejarah modern bangsa ini sebagai republik, mungkin baru belakangan ini tema maritim atau kelautan sebagai identitas orisinal atau primordial dari bangsa Indonesia, atau suku-sukubangsa di Nusantara, ramai dibicarakan banyak kalangan, terutama kalangan atas dan menengah. Secara sosial mereka memiliki tingkat pendidikan cukup atau lebih dari cukup. Mereka memiliki kepedulian (concern) dan waktu-lebih untuk memberi perhatian kepada persoalan-persoalan di luar dirinya, persoalan yang menyangkut masyarakat sekitar dan negerinya sendiri. Cukup ramainya perbincangan di atas mungkin disebabkan oleh setidaknya lima hal. Pertama, masyarakat tampaknya kian bertambah kecewa dengan perkembangan mutakhir kehidupan bangsa ini, terutama karena lemah dan minimnya kerja negara dalam menjalankan amanah rakyat sebagaimana tertuang dalam konstitusi (UUD 45). Sebagian orang melihat kehidupan rakyat tidaklah bergerak pesat menuju ideal-ideal yang dibayangkan oleh ideologi kita, tapi justru mundur atau merusak fundamen kebangsaan yang dipercaya telah dibangun dan disemen dengan kuat oleh ideologi itu. Kedua, kekecewaan di atas membuat sebagian masyarakat, terutama kelas menengah dan sebagian kaum elit, mempertimbangkan atau meninjau kembali pada pilihan-pilihan sistemik yang kita praksiskan dalam kehidupan bernegara, berpolitik, berekonomi, berhukum, dan seterusnya. Sebuah pertimbangan yang diambil lantaran ketidakpuasan pada cara pemerintah, sebagai pelaksana kerja (eksekutif) negara lebih banyak ditujukan pada kemaslahatan, keuntungan atau penimbunan profit (sosial, politik, ekonomi, kultural) diri mereka sendiri (elit), bukan untuk kesejahteraan umum atau keadilan sosial sebagaimana tersebut dalam sila terakhir dasar negara. Ketiga, muncul sebuah kesadaran tentang buruknya kerja pemerintah di atas karena terlampau dipengaruhi, didominasi, bahkan dikuasai oleh paradigma bernegara yang diimpor dari luar (oksidental khususnya, seperti negara-negara Eropa Barat dan Amerika Tengah dan Utara). Pengaruh itu sesungguhnya telah ada sejak ratusan tahun lalu namun menjadi sangat kuat dan massif akhir-akhir ini berkat arus keras globalisasi yang memanfaatkan perkembangan canggih teknologi komunikasi, informasi, dan transportasi yang mereka miliki. Notabene, arus keras itu sebenarnya berlandaskan metode berpikir (filsafat dan epsitemologi) yang berkarakter kontinental alias daratan. 1 Keempat, maka akhirnya, berlandas kesadaran baru tersebut kita “menemukan kembali” realitas historis, geografis hingga ideologis kita –sebagaimana termaktub dalam konstitusi, dasar negara, dan buah pemikiran para founding fathers and mothers—yang sesungguhnya berbasis pada peradaban maritim atau kelautan. Sebuah pilahan, atau katakanlah saudara kembar dari adab kontinental/daratan yang sejak awal mula kebudayaan sudah menjadi mitra tanding (sparring partner), bahkan kompetitor yang berhadap-hadapan secara diametral hampir di seluruh dimensinya. Akibatnya, kelima, bermunculanlah banyak buah pikiran –dalam bentuk risalah, monografi, jurnal dan buku-buku, juga berbagai kolokium dan simposium—yang mengangkat masalah kemaritiman sebagai identitas yang “tersembunyi” atau “disembunyikan” dari diri kita. Hanya, hampir semua buah pikiran atau wacana itu belum berhasil meneguhkan secara adekuat tentang apa yang disebut dengan (adab) kelautan itu, dengan seluruh dimensi kehidupan yang mengisinya. Data-data masih terasa sumir, bahkan dipertanyakan oleh kalangan ilmiah dalam dan luar negeri, juga analisis atau kesimpulan-kesimpulan tentatif atau hipotesisnya masih disusun secara spekulatif sehingga tampak obskur, eklektik, dan mengambang. MENGUNGKAP ADAB MARITIM Berdasarkan berbagai hal yang telah dikemukakan di atas, Yayasan Suluh Nuswantara Bakti (YSNB) memandang perlu dan berinisiatif menyelenggarakan studi / kajian yang ketat dan serius untuk membahas persoalan-persoalan di atas, khususnya pada persoalan kemaritiman, sehingga bisa dimulai terbitnya buah pikiran (intelektual) yang dapat dipertanggungjawabkan, baik secara akademis maupun historis. Niat tersebut diwujudkan dengan menyelenggarakan semacam serial diskusi di mana akan dibahas beberapa segi atau dimensi utama dari hidup dan adab maritim yang pernah dan masih ada di negeri ini. Sebuah usaha yang lebih tepat disebut menemukan kembali / menyingkap (rediscovering) Indonesia dalam adab kelautan sebagai identitas primordial atau purbanya, tanpa meninggalkan pengakuan dunia terhadap budaya pertanian nusantara yang telah berkembang demikian canggih pada zamannya. Menguji sejauh mana ia nyata dan ilusifnya, bermanfaat atau tidaknya. Keberanian jiwa, kebersihan hati, dan keterbukaan pikiran menjadi prakondisi yang tak terelakkan harus dimiliki oleh semua kalangan yang terlibat dalam usaha ini. Berbagai kalangan ahli akan diminta mengisi serial diskusi ini dengan visi dan idenya tentang eksistensi adab maritim di masing-masing bidang kepakarannya, seraya menengarai apakah bidang-bidang itu memang menunjukkan sebuah keunggulan atau 2 justru kelemahan, serta apakah ia bisa dieksplorasi menjadi kekuatan yang mampu menjawab pertanyaan atau persoalan-persoalan kontemporer yang dihadapi negeri ini. KERANGKA PIKIR Adalah sebuah fakta, ketika bangsa Eropa mampu menyeberangi lautan “hanya” sejauh 60 mil ke kepulauan Kreta pada 8.000 tahun BP (Before Present), bangsa Nusantara 60.000 tahun BP sudah mengisi benua kosong yang bernama Australia. Pada 35.000 tahun BP, bangsa Nusantara telah menyeberangi samudera (Hindia), yang tentu saja belum ada satu pun bangsa di atas bumi ini dapat melakukannya saat itu, untuk menempati tanahtanah pinggiran laut di Selatan India, Madagaskar bahkan Afrika bagian Timur Jauh. Sehingga beberapa ahli menengarai, bangsa Zanj (yang menjadi pendahulu dari bangsa Arzania, Zanzibar atau Tanzania) sebenarnya adalah manusia Afro-Indonesia. Perjalanan bangsa Eropa menyeberangi lautan bahkan baru dimulai pada akhir abad 15 setelah Spanyol mampu menundukkan Cordoba. Kapal yang digunakan Spanyol yang dipimpin oleh Columbus tahun 1492 hanya memiliki kapasitas sekitar 30 penumpang (Kong Yuanzhi, 2005). Teknologi kapal Eropa ini seperti teknologi kapal Mongol tahun 1292 memiliki kapasitas sekitar 30 penumpang (W.P. Groeneveldt, 2009). Teknologi kapal Eropa dan Mongol ini sangat jauh di bawah teknologi kapal bangsa Kun Lun pada abad ke-3 yang memiliki kapasitas 600 penumpang (Daud Aris Tanudirdjo, 2010). Bangsa Kun Lun adalah bangsa Jawa, karena bangsa Jawa merupakan satu-satunya bangsa yang melakukan kontak perdagangan pertama dengan Cina (W.P. Groeneveldt, 2009), mendahului bangsa lain di Nusantara. Hal yang sama dengan sebuah sukubangsa Nusantara yang bernama “Lapitan”, di antara Maluku dan kepala burung Papua, sebagai bangsa awal dengan adab maritim yang cukup lanjut, setidaknya ditandai oleh kemampuan mereka melintasi samudera lainnya (Pasifik) untuk terus berlayar ke Timur, puluhan ribu mil, dan menyemaikan benih kebudayaan lokal di kepulauan Fiji, pulau Paskah (pulau paling terpencil di dunia), dan pada akhirnya Hawaii, serta pulau-pulau besar di Selandia Baru. Tidak heran jika banyak spekulasi -–yang sebenarnya berbasis data cukup kuat— menyatakan bangsa-bangsa pribumi seperti Aborigin (Australia), Maori (Selandia Baru), atau yang ada di kepulauan Polinesia hingga suku bangsa yang membangun Hedgestone di pulau Paskah berasal dari negeri ini (perhatikan: hedgestone yang membuat bingung para ahli hingga hari ini disebut oleh penduduk lokalnya dengan istilah “Matatenga”, sebuah istilah yang dekat sekali dengan berbagai kepercayaan purba di Nusantara). Semua itu menjadi dasar yang memperkuat beberapa konstatasi dari sebagian arkeolog kelautan yang menyatakan, hingga 2500 BP lautan di dua pertiga dunia dikuasai oleh maskapai-maskapai dari para pelaut Nusantara. Bahkan mungkin lebih dari itu. 3 Mengingat adanya temuan persamaan kebudayaan dalam hal ini musik dan beberapa tanaman pangan antara bangsa Afrika dan Nusantara (Robert Dick-Reid, 2008), juga mengingat bangsa-bangsa Arab dan India dikenal tidak memiliki sejarah pelayaran yang berteknologi tinggi ---bahkan ditegaskan oleh para ahli, bangsa Arya yang menguasai India sejak abad 19 sebagai bangsa yang “sama sekali tidak pernah mengenal laut”--- bukanlah hal yang spekulatif untuk mengatakan pelayaran atau perantauan para pedagang atau penyebar agama di kedua bangsa besar itu sebenarnya “menumpang” atau “menyewa” jasa maskapai-maskapai yang berasal dari Nusantara (Robert Dick-Reid, 2008). Terlebih sebagaimana informasi kedatangan Portugis awal dari Duarte Barosa (Paul Michel Munoz, 2009) dan Tome Pires (Armando Cortesao, 1967) yang menyebutkan bahwa hingga abad ke-16, Jawa merupakan pedagang utama yang mengelola perdagangan dari Aden hingga Cina. Oleh Duarte Barosa, Jawa juga dicatat memproduksi kapal, senjata, logam mulia, sutera dan mengelola pertanian secara besar-besaran. Adanya jalur perdagangan utama dari Nusantara, terutama Sumatera dan Jawa dengan Cina juga diakui oleh sejarawan G.R. Tibbetts. Bahkan Tibbetts-lah orang yang dengan tekun meneliti hubungan perniagaan yang terjadi antara para pedagang dari jazirah arab dengan para pedagang dari wilayah asia Tenggara pada zaman pra Islam. Tibbetts menemukan bukti-bukti adanya kontak dagang antara negeri arab dengan Nusantara pada saat itu. “Keadilan ini terjadi karena kepulauan Nusantara telah menjadi tempat persinggahan kapal-kapal pedagang arab yang berlayar ke negeri Cina sejak abad kelima Masehi”,tulis Tibbetts. Jadi peta perdagangan saat itu, terutama di selatan adalah Arab-Nusantara-China. Aebuah dokumen kuno asal Tiongkok juga menyebutkan bahwa menjelang seperempat tahun 700 M atau sekitar tahun 625 M, hanya berbeda 15 tahun setelah Rasullullah menerima wahyu pertama atau sembilan setengah tahun setelah Rasullulah berdagwah terang-terangan kepada bangsa Arab, di sebuah pesisir pantai sumatera sudah ditemukan sebuah perkampungan Arab Muslim yang masih berada dalam kekuasaan wilayah Kerajaan Budha Sriwijaya. Hal ini makin diperkuat, misalnya, oleh bukti-bukti baru yang menunjukkan bagaimana komunitas muslim sudah terbangun sejak masa kerasulan Muhammad saw. Para ahli banyak menegaskan, misal saja, pada tahun 625 kota Barus sudah diisi oleh komunitas muslim dan bangsa-bangsa lain, di bawah perlindungan raja-raja Sriwijaya, (PLPG Sertifikasi Guru Rayon 9 Universitas Negeri Jakarta, 2012), Kita pun sama tahu bagaiman Raja Sri Indrawarman menulis surat (yang aslinya ada di London) kepada Raja Umar bin Abdul Aziz dari dinasti Muawiyah untuk mengirim ustadz-ustadznya mengajarkan Islam di negeri maritim itu, (Prof. Dr. Azyumardi Azra, MA, 1994). Sang Raja dan anak yang menggantikannya kemudian masuk Islam, walau agama itu tidak bisa menjadi agama negara karena protes yang dilancarkan para biarawan Buddha yang dominan di saat itu. Atau persahabatan antara Yazid bin 4 Muawiyah putra dari pendiri dinasti Muawiyah dengan Jawa (Irawan Djoko Nugroho, 2011). Semua itu tentu saja bukan data yang obskur untuk mendukung bagaimana pelautpelaut Nusantara bukan hanya telah mengembangkan teknologi tinggi dalam dunia pelayaran, lima melineum bahkan lebih dari bangsa Viking yang dibanggakan bangsa Eropa. Bahwa pernyataan Nabi yang menyatakan “belajarlah hingga ke negeri Cina” tentu saja bukan karena Nabi pernah ke Cina. Namun karena ia berdagang di 18 kota bandar (dari 20 kota dagang yang paling sering ia kunjungi), di mana ia berkesempatan bertemu dengan para pedagang dan pelayar Nusantara. Beberapa ahli seperti Mansyur Suryanegara atau Nuchbatuddar memang membuktikan bagaimana para pelaut Indonesia sudah berdagang dengan Nabi sebelum masa kerasulannya. Dan GR Tibbetts (1956) pun menegaskan, “Nusantara adalah tempat singgah para pedagang Arab yang hendak ke Cina sejak abad 5 Masehi (dengan menumpang maskapai pelayaran Nusantara)”. Dalam ripta prasasti atau prasasti yang ditulis di atas daun lontar yaitu Prasasti Nagarakrtagama (1365 M), Arab yang dalam bahasa Jawa Kuno disebut Yawana dicatat sebagai mitra ‘negara sahabat’. Cina dan India (Vijayanagara) bersama Asia Tenggara dan Nusantara dicatat sebagai wilayah yang disatukan dalam kerajaan Majapahit. Tentu masih cukup banyak data keras (hasil riset berbagai disiplin) yang memperlihatkan bagaimana di masa lalu, sekurangnya sejak 5.000 tahun BP hingga 1600 M, telah berkembang semacam kebudayaan di berbagai sukubangsa yang mengisi kepulauan terbesar di dunia ini, dengan satu ciri, tanda, atau identitas yang kuat dan melekat pada kelautan. Sebuah kenyataan yang mampu melahirkan satu-satunya suku bangsa dalam sejarah manusia di muka bumi ini yang hidup, berkembang, berbudaya, dan mati seluruhnya di laut: bangsa Bajau (Bajo, Wajo, dll sebutannya). Riwayat yang dikisahkan oleh C. Ptolemeus (70 M), yang kemudian dikutip lagi oleh Dennys Lombard (1970), bahwa pada tahun 2100 BP dikirim sebuah kapal ekspedisi raksasa yang berisi penuh hasil bumi dan binatang-binatang khas Nusantara berangkat ke Afrika untuk ditukarkan dengan budak, menandakan adanya tingkat budaya (ekonomi) yang cukup tinggi masa itu di kepulauan ini. Dalam prasasti Garaman 1053 M, para budak ini, misalnya dari Jenggi (Zanzibar), masih dicatat dipekerjakan di Jawa (Ani Triastanti, 2007). Pada tahun 1381 M, Jawa juga dicatat sejarah dinasti Ming masih mempekerjakan budak hitam di kapal menuju Cina (W.P. Groeneveldt, 2009). Hal itu pun menjadi indikasi yang kuat bagaimana cara bahkan sistem hidup bernegara, berpolitik hingga bergaul antar-bangsa (internasional) sudah terbangun dengan baik di negeri ini. Oleh karena itu, penting sekali bila kita saat ini berusaha untuk mengidentifikasi sedapat mungkin, dimensi-dimensi budaya maritim apa yang dahulu telah berkembang jauh sehingga menempatkan Nusantara menjadi wilayah yang penting bahkan vital dalam 5 arus migrasi manusia di masa purba. Migrasi yang tentu saja juga terjadi dalam dimensi sosial, ekonomi, politik, hukum, kultural, dan seterusnya. DISKUSI PANEL SERIAL Sebagai ahli waris dari peradaban maritim itu, tentu telah menjadi kewajiban historis kita untuk mengetahui, mendalami, menemukan kembali (rediscovering) kekuatankekuatan adab maritim kita, yang barangkali masih cukup liat dan adekuat untuk menjawab persoalan-persoalan kontemporer sebagaimana pernah dibuktikan nenek moyang kita dahulu. Untuk itulah, serial diskusi yang berbentuk panel ini diselenggarakan untuk sekurangnya memulai proses penyingkapan kembali kenyataan kelautan dalam diri kita. Kenyataan primordial yang ternyata tidak bisa kita lepas, lucuti, dan khianati dengan cara beralih pada adab kontinental/daratan sebagaimana kita pelajari, internalisasi (sejak bayi) dan kita praktikkan saat ini. Kenyataan yang membuat realitas kita cukup menyedihkan karena situasi patetik: menjadi skizofren secara kultural. Diskusi Panel Serial YSNB ini akan mengupas beberapa tema utama yang berkait dengan kemaritiman itu, dengan sebuah proses yang dimulai dari “identifikasi”, semacam eksplorasi dalam riset, untuk menemukan butir atau dasar-dasar utama tegaknya sebuah disiplin budaya dalam peradaban itu. Tema-tema itu meliputi hal-hal sebagai berikut. 1. Nilai-nilai luhur (utama) dalam kebudayaan maritim yang meneguhkan jati diri/esksitensi atau kepribadian seorang manusia. 2. Logos atau logika dasar dari cara berpikir manusia/kebudayaan maritim yang berkembang di seantero Nusantara ini (yang mungkin dapat diperbandingkan dengan hal sama yang berkembang di adab kontinental/ oksidental). Mungkin dapat ditelusuri juga kosmologi dan ontologi (untuk memakai istilah filsafat Eropa) budaya maritim. Dan kemudian bagaimana “ilmu” pun berkembang dalam adab ini, yang diseminasi atau model pewarisannya mungkin berbeda dengan dunia ilmu (akademik) dalam sejarah kontinental. 3. Teknologi dan ekonomi kelautan serta etos dan etika yang berkembang dalam wira-wira usaha yang pernah ada. 4. Hubungan interdependensial (berkait juga dengan kosmologinya) masyarakat maritim dengan dunia di sekitarnya (lingkungan), yang dalam tingkat tertentu juga menyentuh masalah-masalah yang spiritualtransendental. Juga termasuk di dalamnya bagaimana budaya maritim 6 menghadapi potensi SDA-nya, baik untuk kebutuhan dasar hingga kebutuhan energi. 5. Sistem kemasyarakatan dalam budaya maritim, yang tidak hanya menyentuh pola relasional antara anggota-anggotanya, tapi juga bagaimana ia menjalankan fungsi-fungsi yang dalam bahasa modern (oksidental) disebut politik, hukum, dsb. 6. Ekspresi artistik yang khas dalam budaya maritim tentu saja sangat berbeda dengan apa yang ada dan berkembang di dunia Barat (kontinental), sebagaimana pernah dikonstatasi oleh Denys Lombard bahwa kesenian di Nusantara seluruhnya dicabut dari akarnya oleh seni-seni modern. 7. Hubungan mancanegara atau diplomasi internasional, baik dalam dimensi politik, militer, ekonomi, kesenian dan sebagainya yang dahulu pernah berkembang di kerajaan-kerajaan maritim, sejak Salakanegara, Majapahit, Sriwijaya, Pasai hingga Ternate. Benarkah misalnya pola okupasi wilayah yang terjadi pada masa Sriwijaya dan Majapahit serupa dengan kolonialisasi yang dilakukan bangsa-bangsa daratan? 8. Bagaimana pula budaya maritim menghadapi perilaku deviatif yang mendestruksi orde sebuah masyarakat (seperti: kriminalitas, pelacuran, madat/narkoba, hingga korupsi) yang dilakukan oleh sebagian masyarakatnya. Adakah ia diterima sebagai “kewajaran” kebudayaan atau dinegasi atau dinafikan secara total sebagaimana terjadi dalam sejarah peradaban Eropa Barat. 9. Bagaimana kemudian kebudayaan dari adab maritim itu bersinergi dengan adab “daratan” yang secara alamiah juga dimiliki oleh masyarakatmasyarakat pedalaman di pulau-pulau besar, seperti Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi atau Papua. Adakah semacam hibridasi di antara keduanya, sehingga melahirkan sebuah sintesis kebudayaan di belahan/wilayah tertentu kepulauan ini. Setidaknya sebelum invasi kultural terjadi pertama kali oleh bangsa daratan yang diwakili oleh bangsa Arya/India. 10. Akhirnya, sebagai sebuah negeri dengan realitas geografisnya yang didominasi laut, Nusantara atau Indonesia di masa kini juga dilimpahi bonus demografis, berupa jumlah penduduk yang cukup besar hingga pada masa kini ia menempati posisi negara kelima terbesar dari jumlah dan kepadatan penduduknya. Bagaimana kultur dan adab maritim menghadapi persoalan kependudukan itu, memproyeksikannya ke masa depan, sebagaimana yang hari 7 ini menjadi tantangan besar karena penggandaan jumlah penduduk semakin pendek rentang waktu yang dibutuhkannya. Apakah ia akan menjadi bonus yang menguntungkan atau justru azab yang mencelakakan? 11. Strategi Teknologi Pertahanan Dan Keamanan Berbasis Maritim. Sejarah kejayaan kerajaan-kerajaan maritim di Nusantara mulai dari Sriwijaya ,Samodera Pasai hingga Majapahit, Banten atau Gowa dan Ternate, sangat dikenal kemampuannya dalam mempertahankan diri dari infiltrasi kekuatan asing baik yang berasal dari luar (Cina, Portugis, Belanda, dsb), termasuk konflik dengan kerajaan-kerajaan maritim lainnya dikawasan ini. Bagaimana sebebarnya strategi juga teknologi pertahanan dan keamanan yang berbasis pada laut atau perairan terjadi secara praktis dan konseptual pada masa itu. 12. Risalah atau rekomendasi apa yang bisa dihasilkan dari proses identifikasi abstrak/intelektual di atas, untuk diajukan kepada bangsa ini, pada pemerintah khususnya, dan pada generasi nanti seharusnya. Mungkin belum bisa didapatkan hasil yang cukup adekuat, namun setidaknya ia menjadi awal yang cukup komprehensif untuk menemukan kembali (rediscovering) setengah dari realitas diri dan hidup kita. Sebuah hasil yang pasti sangat berarti, setidaknya di tengah kerisauan, disorientasi, dislokasi atau “galau” yang terjadi di generasi masa kini. PESERTA DISKUSI Diskusi merupakan forum terbuka yang dihadiri oleh budayawan, sejarahwan, akademisi, elite bangsa, guru, mahasiswa, generasi muda, dan siapa saja yang berminat untuk menyumbangkan pemikiran demi luasnya spektrum upaya menyingkap Peradaban Maritim Indonesia. TEMPAT DISKUSI Hotel Sultan (ASEAN Room), The Sultan Hotel Complex, Jl. Gatot Subroto Jakarta Pusat 10270, Tel (021) 5704632. 8 PENYELENGGARAAN ( TENTATIVE ) SERI PERTAMA : Sabtu, 05 Oktober 2013 Tema : NILAI LUHUR (UTAMA) DALAM KEBUDAYAAN MARITIM Pembicara 1 : Dr. Daoed Joesoef. Pembicara 2 : Drs. Radhar Panca Dahana, DEA. SERI KEDUA : Sabtu, 02 November 2013 Tema : LOGIKA DASAR CARA BERPIKIR KEBUDAYAAN MARITIM SERI KETIGA : Sabtu, 07 Desember 2013 Tema : TEKNOLOGI, EKONOMI KELAUTAN DAN KEWIRA-USAHAAN SERI KEEMPAT : Sabtu, 04 Januari 2014 Tema : INTERDEPENDENSI MASYARAKAT MARITIM DENGAN LINGKUNGAN SERI KELIMA : Sabtu, 01 Februari 2014 Tema : SISTEM KEMASYARAKATAN DALAM BUDAYA MARITIM SERI KEENAM : Sabtu, 01 Maret 2014 Tema : KOMUNIKASI DALAM BUDAYA MARITIM SERI KETUJUH : Sabtu, 05 April 2014 Tema : HUBUNGAN MANCANEGARA DAN DIPLOMASI INTERNASIONAL SERI KEDELAPAN : Sabtu, 03 Mei 2014 Tema : BAGAIMANA BUDAYA MARITIM MENGHADAPI PERILAKU DEVIATIF SERI KESEMBILAN : Sabtu, 07 Juni 2014 Tema : BAGAIMANA ADAB MARITIM BERSINERGI DENGAN ADAB “DARATAN” SERI KESEPULUH : Sabtu, 05 Juli 2014 Tema : BONUS DEMOGRAFI DALAM GEOGRAFI KELAUTAN SERI SEBELAS : Sabtu, 9 Agustus 2014 Tema : STRATEGI TEKNOLOGI PERTAHANAN DAN KEAMANAN BERBASIS MARITIM SERI PENUTUP : Sabtu, 23 Agustus 2014 PENYAMPAIAN HASIL DAN DOKUMEN 9 SUSUNAN ACARA SERI DISKUSI PERTAMA “NILAI LUHUR ( UTAMA ) DALAM KEBUDAYAAN MARITIM” Regristasi 08.00 – 08.30 : Hidangan kopi & makan kecil Pembukaan 08.30 – 08.35 : Panduan Acara : Herawati M.Si 08.35 – 08.45 : Laporan Penyelenggara : Iman Sunario, Ketua YSNB 08.45 – 09.00 : Pengantar Diskusi : Pontjo Sutowo, Pembina YSNB Diskusi Panel 09.00 – 09.10 : Panduan Diskusi oleh Moderator : Prof. Dr. Bambang Wibawarta 09.10 – 10.00 : Pembicara 1 ( Dr. Daoed Joesoef ) 10.00 – 10.50 : Pembicara 2 ( Drs. Radhar Panca Dahana, DEA ) 10.50 – 11.50 : Tanya Jawab 11.50 – 12.00 : Kesimpulan dan penjelasan Diskusi Panel berikutnya oleh Moderator. PANITIA PENYELENGGARA Pelindung : Pontjo Sutowo Ketua : Iman Sunario Komite Pengarah : Bagiono Ds. Danuseputro Perumus : Radhar Panca Dahana, Irawan Djoko Nugroho Komite Organisasi : Issardiadi Urusan Pembicara dan Peserta : Herawati Urusan Perlengkapan : Chaidar Yamani Urusan Humas dan Pers : Ansel Da Lopez Urusan Diseminasi : Geger Riyanto Sekretatiat : Ningrum. Jakarta, 17 September 2013. 10