PERUBAHAN PARADIGMA DARI KONTINENTAL KE MARITIM PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG – UNDANGAN MARITIM (masukan sebagai bahan hearing di DPR) Oleh : Chandra Motik Yusuf, SH., MSc. Mengacu pada Catatan Ketua Harian Dewan Maritim Indonesia (DMI) yang menunjuk program prioritas DMI di bidang Hukum jo hasil sarasehan Nasional Dewan Maritim Indonesia tertanggal 28 dan 29 Juli 2000, maka kami sampaikan masukan sebagai berikut: 1. Tentang Hukum Maritim sebagai “Payung” : HUKUM LAUT (DALAM ARTI KATA LUAS) HUKUM LAUT PUBLIK (LAW OF THE SEA) PUBLIK MARITIM LAW : 1. NAVIGATION 2. MANNING 3. SAFETY 4. POLLUTION 5. ECONOMIC REGULATION HUKUM LAUT PERDATA (THE LAW OF ADMIRALTY) MARITIM LAW PRIVATE MARITIM LAW (HK. LAUT PERDATA RELATED ASPECT MARITIME LAW (HUKUM MARITIM LAINNYA) PUBLIK MARITIME LAW : 1. NAVIGATION a. Navigation Aids. b. Pilotage. c. Prevention of Collision at Sea. d. e. Maritime Communication Satellites and Safety of Navigation. f. Maritime Search and Rescue. g. Public Law Aspects of Salvage and Removal of Wrecks. 2. MANNING a. Manning Levels and Certification of Competency. b. Safety, Health and Welfare of the Crew. c. The Master. 3. SAFETY a. Safety of life at Sea. b. Tonnage Measurement. c. Unseaworthiness of ships. d. Load Lines. e. Safety of Containers. f. Documents. g. Carriage of Dangerous Goods. 4. POLLUTION a. The Prevention of Vessel Source Damage. b. Intervention by a Coastal State. c. Liability for a Pollution Damage. 5. ECONOMIC REGULATION a. Sea Transport. b. The Depelopment of National Merchant Fleet. c. Registration of Ships. d. Maritime Hyphothec and Liens. e. Port Legislation. MODUL PRIVATE MARITIME LAW : 1) General Provision. 2) Freight Forwarding. 3) Shipbroker. 4) Ship’s Agent. 5) Warehousing. 6) Cargo Handler. 7) Ship’s Operator. 8) The Master. 9) Bareboat Chartering. 10) Time Chartering and Voyage Chartering. 11) The Ship’s Hypothecs. 12) Preverential debts. 13) Time Bars. 14) Arrest of Ships. 15) Settlement of disputes. 16) Carriage of Goods by Sea. 17) Carriage of Passanger by Sea. 18) Multimodal Carriage of Goods. 19) Multimodal Carriage of Passanger. 20) Weighing, Tallying, Measuring and Surveying. 21) Towage. 22) Collision. 23) Salvage. 24) General Average. 25) Limitation of Liability. RELATED ASPECT MARITIME LAW (HUKUM MARITIM LAINNYA) : 1. Hukum Lingkungan Maritim. 2. Hukum Wilayah Maritim. 3. Hukum Industri dan Jasa – Jasa Maritim. 4. Hukum SDM Maritim. 5. Hukum Pelayaran Rakyat. 6. Hukum Perikanan. 7. Hukum Wisata Laut. Pembuatan perundang – undangan di atas adalah merupakan pekerjaan raksasa, namun bukan tidak mungkin hal di atas dapat dikerjakan bersama – sama bahu membahu dengan melepaskan segala kepentingan masing – masing. Patut pula dicatat bahwa ternyata negara Indonesia masih belum meratifikasi 54 buah konvensi internasional dibidang maritime baik yang dikeluarkan oleh IMO maupun badan internasional lainnya (informasi kami dapat dari DR. Yansen Sinaga MSc, MBA, ADU) (terlampir). Menurut kami, sudah selayaknyalah jika konvensi – konvensi internasional tersebut secepatnya diratifikasi oleh Indonesia. 2. Tentang Mahkamah Maritim Untuk menunjang Indonesia sebagai salah satu negara maritim terbesar di dunia, maka diperlukan adanya mahkamah (atau) peradilan maritim (di dalam rapat yang diselenggarakan oleh Dewan Maritim Indonesia, para peserta rapat masih belum sepakat untuk menamakan apakah peradilan maritim atau mahkamah maritim). Di dalam prakteknya, ternyata masalah – masalah maritim agak sulit untuk ditangani, diadili dan diputus oleh Pengadilan Negeri yang amat kurang memahami hukum maritim). Untuk itu perlu diwujudkan suatu peradilan “khusus” yang memahami masalah tersebut dan sudah sepantasnya hal di atas diwujudkan, apalagi bila memandang bahwa negara Indonesia adalah negara maritim dengan wilayah perairan terluas di dunia. Cita – cita kami, lembaga peradilan maritim dalam bentuk idealnya adalah seperti Maritime Court di Inggris dimana sebagai embrio dari lembaga tersebut adalah “Mahkamah Pelayaran” yang sebelumnya harus ditingkatkan kedudukan dan kewenangannya (saat ini secara struktural berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 1 tahun 1998 yang merupakan peraturan pelaksanaan daripada pasal 93 (2) Undang – Undang No. 21 tahun 1992 tentang Pelayaran kedudukan lembaga tersebut berada dibawah Menteri Perhubungan //Eksekutif dan kewenangannya hanya memberikan sanksi administratif saja). Pada beberapa waktu yang lalu saat kami sebagai anggota Tim dari Badan Pembinaan Hukum Nasional yang membahas mengenai lembaga Mahkamah Pelayaran, para anggota menyetujui adanya peningkatan kedudukan dan kewenangan dari lembaga diatas dengan melihat “celah” sebagai payung yang ada yaitu menggunakan pasal 13 Undang – undang No. 14 tahun 1970 tentang Ketentuan – ketentuan pokok kekuasaan kehakiman (dengan redaksional : Badan – badan peradilan khusus didamping badan peradilan yang sudah ada, hanya dapat diadakan dengan Undang – undang). Badan peradilan khusus tadi pertama kali bisa “dimungkinkan” untuk ditempatkan sebagai bagian dari pada Pengadilan Negeri (seperti Pengadilan Niaga) sambil menunggu sementara waktu pada hakim dididik untuk memahami hukum maritim. Setelah Sumber Daya Manusia-nya dapat ditingkatkan dan perangkat hukum lainnya dibenahi, maka badan peradilan tersebut dapat disejajarkan dengan 4 buah peradilan yang sudah terbentuk berdasarkan pasal 10 ayat 1 Undang – Undang No. 14 tahun 1970 yakni peradilan umum, agama, militer dan tata usaha negara. Jakarta, 02 Maret 2009 DR. Chandra Motik Yusuf, SH., MSc.