BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Otitis Media Supuratif Kronis (OMSK) 2.1.1 Definisi OMSK OMSK merupakan peradangan kronis pada ruang telinga tengah akibat infeksi yang menetap selama lebih dari 2 bulan. Gejala pada OMSK aktif tipe benigna yaitu perforasi atau lubang pada membram timpani total maupun subtotal disertai riwayat keluar cairan dari telinga tengah secara terus menerus maupun hilang timbul dimana sifat cairan telinga yang dikeluarkan dapat berupa cairan mukoid atau mukopurulen. Keadaan ini dapat menyebabkan gangguan fungsi mendengar terutama bila terjadi pada kedua telinga, serta gangguan psikososial penderita (Helmi, 2005. Dhingra, 2007). OMSK di dalam masyarakat Indonesia dikenal dengan istilah “congek”, “teleran” atau telinga berair, sedangkan untuk daerah Bali lebih dikenal dengan “curek”. 2.1.2 Epidemiologi Data epidemiologi OMSK bervariasi, prevalensi tertinggi didapatkan pada anak-anak Eskimo pada Indian Amerika dan Aborigin Australia berkisar 7-40%. Negara industri seperti Amerika Serikat dan Ingris prevalensinya kurang dari 1% (WHO, 2004). Perkiraan prevalensi OMSK di Asia Tengara adalah antara 1,4-7,8% seperti yang dikutip oleh Helmi (2005). Secara umum prevalensi OMSK di Indonesia adalah 3,8% dan pasien OMSK merupakan 25% dari pasien-pasien yang berobat di poliklinik THT rumah sakit di Indonesia (Aboet, 2007), sedangkan di Provinsi Bali data prevalensi OMSK berkisar 3,9% dari seluruh kabupaten (Depkes, 2010). Usia terbanyak penderita infeksi telinga tengah adalah usia 7-18 tahun. Sekitar 20% penderita OMSK di Indonesia adalah anak sekolah. Dalam penelitian Srikrisna (2005), terhadap 60 pasien di India, sebanyak 26,67% pasien berusia 10-20 tahun dan 56,67% pasien berusia 21-30 tahun. Data seperti dikutip oleh Biswas (2011), menyebutkan bahwa prevalensi OMSK ada anak adalah sekitar 2-17%. 2.1.3 Etiologi dan faktor risiko Penyebab utama dari otitis media dimulai dari otitis media akut yang disebabkan oleh adanya infeksi virus yang merusak mukosa siliar pada saluran nafas atas sehingga bakteri patogen masuk dari nasofaring ke telinga tengah melalui tuba Eustachius dengan gerakan mundur (retrograde movement) (Dhingra,2007). Pada OMSK keadaan ini agak berbeda dengan adanya perforasi membran timpani, infeksi lebih sering berasal dari luar yang masuk melalui perforasi membran tympani (Ballenger, 2002). Pada penelitian Tutwuri ( 2003 ) dilaporkan bahwa bakteri Gram positif penyebab OMSK yaitu; Staphylococcus aureus 39,4 % dan Bacillus sp 3,03 %, sedangkan bakteri Gram negatif yaitu; Enterobacter spp 22,73 %, Pseudomonas aeruginosa 13,64 % dan Proteus spp 7,58 %. Sedangkan pada penelitian Susmita (2012) didapatkan hasil isolasi bakteri dari penderita OMSK di India adalah bakteri Gram positif yaitu Staphylococcus aureus 31 % dan Streptococcus pyogenes 2,7 %, sedangkan bakteri Gram negatif yaitu; Pseudomonas aeruginosa 43,2% dan Enterobacter spp 1,3%. Faktor risiko terhadap terjadinya OMSK dapat dibedakan menjadi faktor risiko berdasarkan klinis dan faktor risiko berdasarkan sosio-demografi. Berdasarkan klinis antara lain infeksi saluran nafas atas, alergi, kelenjar adenoid yang membesar, malnutrisi dan gastro-esofageal refluks, sedangkan berdasarkan sosio-demografi antara lain sosio-ekonomi rendah, tinggal dalam rumah yang penuh sesak, memasak dengan kayu bakar, pusat penitipan anak, paparan asap rokok, minum susu botol dan lain-lain (Lasisi, 2007). 2.1.4 Klasifikasi Secara klinis OMSK dapat dibagi atas 2 tipe yaitu: tipe tubotimpanal (tipe mukosa atau tipe benigna) dan tipe atikoantral (tipe tulang atau tipe maligna). Tipe tubotimpani atau tipe benigna yang ditandai oleh adanya perforasi sentral atau pars tensa dan gejala klinik yang bervariasi dari luas dan keparahan penyakit. Beberapa faktor lain yang mempengaruhi keadaan ini terutama patensi tuba eustachius, infeksi saluran nafas atas, pertahanan mukosa terhadap infeksi yang gagal pada pasien dengan daya tahan tubuh yang rendah, disamping itu campuran bakteri aerob dan anaerob, luas dan derajat perubahan mukosa, serta migrasi sekunder dari epitel skuamous. Secara klinis penyakit tubotimpani terbagi atas: (Ballenger, 2002 ; Helmi, 2005). a. Penyakit aktif, dimana pada jenis ini terdapat sekret pada telinga dan dapat ditemukan gangguan pendengaran. b. Penyakit tidak aktif atau tenang dimana pada pemeriksaan telinga dijumpai perforasi total yang kering dengan mukosa telinga tengah yang pucat. Gejala yang dijumpai berupa tuli konduktif ringan. Gejala lain yang dijumpai seperti vertigo, tinitus, atau suatu rasa penuh dalam telinga. 2.1.5 Penatalaksanaan Prinsip penatalaksanaan OMSK tipe benigna dibagi menjadi 2 yaitu; OMSK dengan fase tenang dimana pada keadaan ini tidak memerlukan pengobatan dan dinasehatkan untuk tidak mengorek telinga, air jangan masuk ke telinga sewaktu mandi, dilarang berenang dan segera berobat bila menderita infeksi saluran nafas atas. Bila fasilitas memungkinkan sebaiknya dilakukan operasi rekonstruksi seperti miringoplasti dan timpanoplasti untuk mencegah infeksi berulang serta gangguan pendengaran. Sedangkan pada OMSK aktif tipe benigna dimana prinsip pengobatan yaitu; (Helmi, 2005; Heally, 2003). 1. Pembersihan liang telinga dan kavum timpani atau toilet telinga, dimana tujuan toilet telinga adalah membuat lingkungan yang tidak sesuai untuk perkembangan mikroorganisme, karena sekret telinga merupakan media yang baik bagi perkembangan mikroorganisme. 2. Pemberian antibiotik topikal dimana terdapat perbedaan pendapat mengenai manfaat penggunaan antibiotik topikal untuk OMSK. Pengobatan antibiotik topikal dapat digunakan secara luas untuk OMSK aktif yang dikombinasi dengan pembersihan telinga, baik pada anak maupun dewasa. Pemberian antibiotik secara topikal pada telinga dan sekret yang banyak tanpa dibersihkan dulu tidak efektif. Bila sekret berkurang atau tidak progresif lagi diberikan obat tetes yang mengandung antibiotik dan kortikosteroid. Cara pemilihan antibiotik yang paling baik berdasarkan pada hasil kultur kuman penyebab dan uji resistensi. Selain itu dikatakan bahwa tempat infeksi pada OMSK sulit dicapai oleh antibiotika topikal (Helmi, 2005; Heally, 2003). Mengingat pemberian obat topikal bertujuan agar masuk sampai telinga tengah, maka tidak dianjurkan antibiotik yang ototoksik seperti neomisin dan lama penggunaan tidak lebih dari 1 minggu. Pemakaian jangka panjang obat tetes telinga yang mengandung aminoglikosida akan merusak foramen rotundum, sehingga dapat menyebabkan ototoksik (Erasmo, 2006; Ameer, 2012). Antibiotika topikal yang dapat dipakai pada otitis media kronik adalah :(Nursiah, 2003; Loy,2002) 1. Polimiksin B atau polimiksin E yaitu obat ini bersifat bakterisida terhadap bakteri gram negatif dan gram positif, juga bersifat toksik terhadap ginjal serta sususan saraf. 2. Neomisin yaitu obat bakterisid pada kuman gram positif dan negatif, Resisten pada semua anaerob seperti Pseudomonas juga bersifat toksik terhadap ginjal dan telinga. 3. Chloramphenicol 1% yaitu obat ini bersifat bakterisid terhadap bakteri gram posistif dan gram negative. Chloramphenicol 1% akhir-akhir ini jarang digunakan sebagai antibiotik pada OMSK, hal ini disebabkan efek sampingnya yang dapat menyebabkan terjadinya anemia aplastik yang fatal, depresi sumsum tulang, glositis, enterokolitis dan sindrom Gray, juga bersifat resisten dan toksik pada telinga. Menurut penelitian Afolabi (2012) di Nigeria melaporkan sentivitas Chloramphenicol 1 % terhadap bakteri Gram positif seperti Staphylococcus aureus 32 % dan Streptococcus spp 13 %, sedangkan sensitivitas Chloramphenicol 1 % terhadap bakteri Gram negatif seperti Pseudomonas aeruginosa 48 % dan Enterobacter spp 4,5 %. Pemberian antibiotik sistemik diberikan dengan pemilihan antibiotik berdasarkan kultur kuman penyebab. Pemberian antibiotika tidak lebih dari 1 minggu dan harus disertai pembersihan sekret sehingga hasil pengobatan lebih efektif ( Helmi, 2005; Heally, 2003). 2.2 Tanaman Daun ” Tebel-tebel” ( Hoya carnosa ) Klasifikasi tanaman Kingdom : Plantae Subkingdom : Tracheobionta Super Divisi : Spermatophyta Divisi : Magnoliaphyta Kelas : Magnoliopsida Sub Kelas : Asteridae Ordo : Gentianales Family : Apocynaceae Subfamily : Asclepiadoideae Genus : Hoya Species : Hoya carnosa R.Br Kelompok tumbuhan Hoya merupakan tumbuhan yang umum dikenal sebagai tanaman hias, karena bunganya yang unik dan indah. Namun demikian, jauh sebelum dimanfaatkan sebagai tanaman hias, Hoya telah dikenal banyak suku di pedalaman Indonesia sebagai tumbuhan bahan obat tradisional. Sebagai tumbuhan dari Suku Asclepiadaceae sudah selayaknya Hoya memiliki manfaat sebagai bahan obat. Karena nama suku Asclepiadaceae berasal dari nama Dewa Yunani yaitu Asclepius. Asclepius adalah Dewa Pengobatan bangsa Yunani Pengetahuan mengenai manfaat Hoya carnosa sebagai tumbuhan penghasil bahan obat perlu diungkapkan dan disebarkan agar pengetahuan tersebut dapat dimanfaatkan untuk kemaslahatan umat manusia atau makhluk hidup lainnya. Daerah penyebaran Hoya carnosa meliputi India hingga Papua Nugini. Keragaman jenis Hoya terbesar terdapat di daerah Asia Tenggara (Malesia) terutama di Kepulauan Indonesia. Dari sekitar 150 hingga 200 jenis Hoya yang diperkirakan terdapat di dunia. Indonesia diperkirakan memiliki sekitar 50 sampai 60 jenis (Rahayu, 2001). Keragaman jenis ini tentunya diikuti pula dengan keragaman pemanfaatan penduduk setempat. Hal ini merupakan potensi yang besar bagi pengembangan bahan obat dari bahan asli di Indonesia. Namun demikian, informasi mengenai manfaat obat dari berbagai jenis Hoya carnosa sebagian masih tersimpan pada kelompok suku tertentu. 2.2.1 Ciri umum tanaman Tumbuhan Hoya carnosa memiliki ciri umum sebagai epifit, yaitu tumbuhan yang menumpang pada pohon lainnya. Pohon yang ditumpangi oleh epifit disebut sebagai forofit (Bezing, 2008). Pada umumnya Hoya tumbuh sebagai tumbuhan merambat, namun beberapa jenis tidak merambat. Hampir seluruh bagian tumbuhan akan mengeluarkan getah putih atau bening jika terluka. Daunnya tersusun bersilang berhadapan. Helai daun yang tebal (coriaceous) dan berlilin. Bentuk dan ukuran daun berbentuk bulat telur terbalik, menjantung,. Panjang daun 15 mm hingga 30 mm, sedangkan lebar 0,5 mm hingga 15 mm dan memiliki corak peruratan yang tersamar dengan pola menjari serta pinggiran helai daunnya lurus (entire) (Hoffman et al. 2002; Rahayu, 2010). Perbungaan terdapat dalam payung (umbel) yang muncul di antara dua tangkai daun (interpetiolar). Dalam satu payung terdapat beberapa kuntum hingga lebih dari 40 kuntum. Tangkai bunga (pedicel) ada yang seragam panjangnya sehingga membentuk payung yang cembung. Perhiasan terdiri dari lima bagian sehingga membentuk bintang. Kelopak berukuran kecil, jauh lebih kecil dari ukuran mahkota. Mahkota mekar ada yang melengkung ke luar, datar atau melengkung ke dalam, ada yang berlepasan penuh, sebagian, maupun hampir seluruhnya berlekatan. Kondisi ini menyebabkan aneka bentuk mahkota mekar yaitu ada yang mangkuk, cawan, membintang, membundar (revolute), atau seperti kepala tombak (membalik). Warna mahkota bermacam-macam, dari mulai putih, kuning merah, merah muda, oranye, ungu, hijau, coklat. Warna ada yang polos ada pula yang semburat (makulata). Bunga Hoya umumnya memiliki mahkota tambahan atau korona. Korona terletak di dalam lingkaran mahkota, membintang, memadat dan mengkilap dengan lapisan lilin yang tebal. Putik dan serbuk sari menyatu dalam badan yang disebut gynostegium yang terletak di tengah bunga. Benang sari memadat membentuk polinia berjumlah lima pasang pada setiap kuntum. Setiap pasang polinia terletak pada sudut gynostegium. Bakal buah dua, terdapat dibawah kepala putik. Buah berupa buah bumbung (follicle), biji berambut yang mudah diterbangkan angin, seperti disajikan pada Gambar 2.1.a dan 2.2.b (Bezing, 2008; Rahayu,2001). 2.1.a Gambar 2.1 a 2.1.b Daun tanaman Hoya carnosa. (Rahayu,2001). Gambar 2.1 b. Tanaman Hoya carnosa yang berbunga 2.2.2 Tempat tumbuh Berbagai jenis Hoya yang dimanfaatkan sebagai bahan obat tradisional pada umumnya dipanen langsung dari habitatnya di hutan. Hoya tumbuh didaerah yang cukup lembab seperti di daerah pinggiran sungai, danau atau pinggir pantai. Beberapa jenis Hoya dapat beradaptasi di daerah pegunungan di atas 1.000 m dari permukaan laut, namun banyak jenis yang lebih menyukai daerah dataran rendah dengan kondisi yang hangat dan lembab (Bezing, 2008). Tempat tumbuh pada forofitnya pun beragam tergantung jenisnya. Beberapa jenis menyukai bagian batang utama forofit, sedangkan jenis-jenis yang lainnya lebih menyukai tempat di atas tajuk. Hal ini terkait dengan pemenuhan kebutuhan hidupnya, menyangkut air, cahaya dan unsur hara serta menghindarkan dari pemakan daun. Sebagai tanaman hias, Hoya dapat ditanam dalam pot gantung atau pohon buah yang terdapat di halaman (Bezing, 2008). 2.2.3 Pemanfaatan sebagai tumbuhan obat Berbagai jenis Hoya merupakan tumbuhan asli daerah Asia Tenggara dan sekitarnya yang kemudian berkembang di Eropa dan Amerika Serikat sebagai tanaman hias eksotis. Namun demikian, sejarah pemanfaatan tumbuhan Hoya oleh manusia di awali sebagai bahan obat-obatan alami. Pada umumnya Hoya dimanfaatkan oleh penduduk asli sebagai bahan obat, sedangkan pemanfaatan sebagai tanaman hias dikembangkan oleh penduduk Eropa yang mengimpor tumbuhan ini pada masa kolonialisme pada abad 18, kemudian menular ke Amerika Serikat pada abad 19. Pemanfaatan berbagai jenis Hoya sebagai bahan obat meliputi daerah penyebaran alami Hoya, dari India, Indocina, Cina, Malesia, Polinesia dan Australia Tropis (Aborigin) (Bezing, 2008). Pemanfaatan Hoya sebagai obat bervariasi dari penggunaannya sebagai obat luka gores maupun luka bakar, pembengkakan, bisul, memar, beberapa jenis penyakit kulit yang disebabkan mikroorganisme seperti kudis, gigitan serangga dan ikan beracun, sakit perut atau pencernaan, batuk, asma, dan penyakit paru-paru, TBC, rematik atau pernyakit pertulangan dan sendi, penyakit kelamin, enchepalitis, elephantiasis, hingga tonik pada ibu yang baru saja melahirkan (Bezing,2008). Pemanfaatan Hoya sebagai obat secara modern telah dikembangkan antara lain di Jerman, yaitu yang memanfaatkan tinktur daun segar Hoya carnosa dalam alkohol 80 %, yang dapat digunakan untuk mengganti penggunaan insulin hingga 50 % pada penderita diabetes melitus (Bezing, 2008). Tinktur yang dikeluarkan oleh Perusahaan Farmasi Staufen di Gottingen tersebut dijual bebas, umumnya digunakan untuk pengobatan abses dan bisul yang diaplikasikan secara eksternal. Secara tradisional Hoya carnosa digunakan oleh penduduk Cina sebagai bahan obat encephalitis dan orchitis yaitu pembengkakan pada testis (Rahayu, 2010), sedangkan di Vietnam digunakan sebagai obat pyroderma (pembengkakan kulit yang disebabkan mikroorganisme, seperti bisul, dan lainnya) dengan cara menempelkan daun yang dihaluskan (Rahayu, 2010). Pada masyarakat di Provinsi Bali secara empiris pemanfaatan tanaman Hoya carnosa yang lebih di kenal dengan “don tebel-tebel” untuk penanganan penyakit radang telinga tengah (OMSK), dimana cairan dari daun Hoya carnosa diteteskan pada telinga yang sakit, sehingga cairan telinga menjadi kering. 2.2.4 Kandungan kimia Pemanfaatan suatu tumbuhan sebagai bahan obat pada suatu penyakit tertentu, sangat terkait dengan bahan kandungan obat, yang merupakan bahan kimia tertentu sebagai produk hasil metabolisme tumbuhan yang bersangkutan. Bagi tumbuhan yang bergetah, kandungan bahan obat tersebut biasanya terdapat dalam getah. Ekstrak daun ”tebel-tebel” ( Hoya carnosa ) memiliki senyawa aktif yaitu saponin, alkaloid, flavonoid dan tanin. (Rahayu, 2010), Penelitian terhadap kandungan kimia beberapa jenis tanaman Hoya telah beberapa kali dilakukan, meskipun belum terlalu banyak. Penelitian-penelitian bahan kimia dari berbagai jenis Hoya antara lain dilakukan di Universitas Farmasi di Tokyo, Jepang untuk senyawa utama di Universitas Utrech, Belanda untuk kandungan kimia lateks dan daun meliputi senyawa-senyawa phenolic dan terpenoid serta kandungan alkaloid di Universitas Melbourne, Australia (Collins, 2002; Rahayu, 2010). Penggunaan sebagai obat luka diyakini karena getahnya memiliki kekuatan untuk menyatukan jaringan yang terluka (Collins, 2002). Study tahun 1946 di Universitas Queensland Australia menemukan bahwa Hoya carnosa mengandung gugus sterol glucosida hoyin, yang mirip dengan condurangin, yaitu suatu zat glukosida berwarna kuning, pahit dan beracun yang diperoleh dari kulit kering tumbuhan Marsdenia cundurango (Asclepiadaceae) (Burton, 2007). 2.2.5 Kandungan senyawa aktif 2.2.5.1 Flavonoid Flavonoid merupakan salah satu kelompok senyawa metabolit sekunder yang paling banyak ditemukan di dalam jaringan tanaman. Flavonoid termasuk dalam golongan senyawa phenolic dengan struktur kimia C6-C3-C6 (Zheng dan Wang,2009). Mekanisme kerja flavonoid sebagai antibakteri yang bersifat bakteriostatik yaitu dengan menghambat sintesis protein, menghambat asam nukleat dan menghambat metabolisme energi, namun flavonoid juga bersifat bakterisidal dengan cara menghambat fungsi membran sel (Zheng dan Wang,2009). Mekanisme antibakteri flavonoid menghambat sintesis protein adalah dengan cara terikat secara spesifik pada ribosom bakteri. Tahap biosintesis protein sel bakteri menjadi tiga tahap yaitu tahap inisiasi, tahap pemanjangan dan tahap terminasi. Penghambatan sintesis protein terjadi pada tahap inisiasi dan tahap pemanjangan rantai polipeptida sehingga pada tahap terminasi terdapat kesalahan dalam menerjemahkan kodon dari mRNA ke tRNA sehingga mengganggu pertumbuhan bakteri (Zheng dan Wang,2009). Mekanisme menghambat aaam nukleat adalah cincin A dan B yang memegang peran penting dalam proses interkelasi atau ikatan hidrogen dengan menumpuk basa asam nukleat yang menghambat pembentukan DNA dan RNA. Letak gugus hidroksil di posisi 2’,4’ atau 2’,6’ dihidroksilasi pada cincin B dan 5,7 dihidroksilasi pada cincin A berperan penting terhadap aktivitas antibakteri flavonoid (Zheng dan Wang,2009). Flavonoid menyebabkan terjadinya kerusakan permeabilitas dinding sel bakteri, mikrosom,dan lisosom sebagai hasil interaksi antara flavonoid dengan DNA bakteri (Zheng dan Wang,2009). Mekanisme kerja flavonoid menghambat fungsi membran sel adalah membentuk senyawa kompleks dengan protein ekstraseluler dan terlarut sehingga dapat merusak membran sel bakteri dan diikuti dengan keluarnya senyawa intraseluler. Penelitian lain menyatakan mekanisme flavonoid menghambat fungsi membran sel dengan cara mengganggu permeabilitas membran sel dan menghambat ikatan enzim seperti ATPase dan phospholipase. Flavonoid dapat menghambat metabolisme energi dengan cara menghambat penggunaan oksigen oleh bakteri (Zheng dan Wang,2009). Flavonoid menghambat pada sitokrom C reduktase sehingga pembentukan metabolisme terhambat. Energi dibutuhkan bakteri untuk biosintesis makromolekul. Flavanoid juga berperan sebagai antioksidan dengan cara mendonasikan atom hidrogennya atau dalam bentuk glukosida yaitu mengandung rantai samping glukosa atau dalam bentuk bebas yang disebut aglikon (Zheng dan Wang,2009). Dalam upaya mengoptimasi metode penentuan kuantitatif flavonoid dengan HPLC, telah mendapatkan beberapa senyawa flavonoid yang berpotensi sebagai anti-karsinogenik. Ekstrak daun “tebel-tebel” (Hoya carnosa) menunjukkan adanya senyawa flavonoid seperti quercetin dan kaempferol (Zheng dan Wang,2009). 2.2.5.2 Tanin Tanin merupakan senyawa poliphenol dengan bobot molekul tinggi dan mempunyai kemampuan mengikat protein. Mekanisme tanin sebagai antibakteri yang berhubungan dengan kemampuannya untuk menginaktifkan adhesin sel mikroba, menginaktifkan enzim, dan menggangu transport protein pada lapisan dalam sel. Tanin juga mempunyai target pada polipeptida dinding sel sehingga pembentukan dinding sel menjadi kurang sempurna. Hal ini menyebabkan sel bakteri menjadi lisis karena tekanan osmotik maupun fisik sehingga sel bakteri akan mati. Kompleksasi dari ion besi dengan tanin dapat menjelaskan toksisitas tanin. Mikroorganisme yang tumbuh di bawah kondisi aerobik membutuhkan zat besi untuk berbagai fungsi, termasuk reduksi dari prekursor ribonukleotida DNA. Enzim reverse transkriptase dan DNA topoisomerase sel bakteri tidak dapat terbentuk oleh kapasitas pengikat besi yang kuat oleh tanin (Kurniawati,2008). 2.2.5.3 Saponin Saponin merupakan senyawa glikosida kompleks dengan berat molekul tinggi yang dihasilkan terutama oleh tanaman. Berdasarkan struktur kimianya, saponin dikelompokkan menjadi tiga kelas utama yaitu kelas steroid, steroid alkaloid, dan triterpenoid. Sifat yang khas dari saponin antara lain berasa pahit, berbusa dalam air. Triterpenoid adalah senyawa metabolit sekunder yang merupakan komponen utama tanaman daun “tebel-tebel“ Hoya carnosa (Burton,2007). Mekanisme kerja saponin sebagai antibakteri yaitu dapat menyebabkan kebocoran protein dan enzim dari dalam sel. Saponin dapat menjadi anti bakteri karena zat aktif permukaannya mirip detergen, akibatnya saponin akan menurunkan tegangan permukaan dinding sel bakteri dan merusak permebialitas membran. Rusaknya membran sel ini sangat mengganggu kelangsungan hidup bakteri. Saponin berdifusi melalui membran luar dan dinding sel yang rentan kemudian mengikat membran sitoplasma sehingga mengganggu dan mengurangi kestabilan membran sel. Hal ini menyebabkan sitoplasma bocor keluar dari sel yang mengakibatkan kematian sel. Agen antimikroba yang mengganggu membran sitoplasma bersifat bakterisida (Rachmawati, 2009). 2.2.5.4 Alkaloid Senyawa alkaloid memiliki mekanisme kerja sebagai antibakteri yaitu dengan cara mengganggu komponen penyusun peptidoglikan pada sel bakteri, sehingga lapisan dinding sel tidak terbentuk secara utuh dan menyebabkan kematian sel tersebut. Mekanisme lain antibakteri alkaloid yaitu komponen alkaloid diketahui sebagai interkelator DNA dan menghambat enzim topoisomerase sel bakteri (Rachmawati, 2009). 2.3 Bakteri Bakteri merupakan organisme bersel-tunggal yang bereproduksi dengan cara sederhana, yaitu dengan pembelahan biner. Sebagian besar bakteri hidup bebas dan mengandung informasi genetik serta memiliki sistem biosintetik juga menghasilkan energi yang penting untuk pertumbuhan dan reproduksinya. Pertumbuhan sel bakteri adalah pertambahan jumlah sel yang berarti juga terjadi pertambahan jumlah organisme atau individu. Terdapat beberapa fase pertumbuhan bakteri yaitu; a. Fase adaptasi yaitu dimana fase sel bakteri mulai mengadakan adaptasi, sel belum mengadakan pembelahan, hal ini disebabkan beberapa enzim mungkin belum disintesis. Jumlah sel tetap atau berkurang. b. Fase logaritmik yaitu pembelahan sel terjadi dengan cepat dan konstan. Sel membutuhkan energi lebih banyak. Keceptan sel sangat dipengaruhi oleh;PH, nutrien, kelembaban udara. c. Fase litik yaitu el-sel akan mengalami kematian, hal ini disebabkan karena nutrisi sudah habis, energi cadangan didalam sel dan peningkatan zat-zat toksik yang akan meracuni sel-sel bakteri. Bakteri dikalsifikasikan dengan berbagai cara salah satu yang paling sering digunakan adalah pewarnaan gram (Bakhriansyah, 2008). 2.3.1 Bakteri Gram positif Bakteri Gram positif akan memberikan warna ungu. Golongan ini memiliki struktur dinding sel selapis dengan ketebalan setebal 20-80 mm, dengan komposisi dinding sel yaitu lipid 1-4%,lapisan tunggal peptidoglikan lebih dari 50% berat sel dan terdapat asam teichoic, asam teichuroni dan berbagai macam polisakarida. Polisakarida dan asam amino pada lembar peptidoglikan bersifat sangat polar, sehingga pada bakteri Gram positif yang memiliki dinding sel yang sangat tebal, dapat bertahan dari aktivitas cairan empedu di dalam usus. Sebaliknya lembar peptidoglikan rentan terhadap lisozim sehingga dapat dirusak oleh senyawa bakterisidal. Bakteri yang termasuk dalam golongan Gram positif antara lain; Staphylococcus, Streptococcus, Enterococcus, Listeria,Bacillus, Clostridium, Mycobacterium, Propionibacterium, Mycoplasma dan lain-lain (Bakhriansyah, 2008). 2.3.2 Bakteri Gram negatif Bakteri Gram positif akan memberikan warna merah. Bakteri golongan ini memiliki struktur dinding sel yang tipis 10-15 mm yang terdiri dari tiga lapisan, dengan komposisi utama: peptidoglikan jumlahnya sedikit yaitu 10% berat sel , membran luar dan lipopolisakarida berkisar 11-22%. Membran luar pada bakteri gram negatif juga memiliki sifat hidrofilik, namun komponen lipid pada dinding selnya justru memberikan sifat hidrofilik. Selain itu terdapat saluran khusus yang terbuat dari protein yang disebut porins yang berfungsi sebagai tempat masuknya komponen hidrofilik seperti gula dan asam amino yang penting untuk kebutuhan nutrisi bakteri. Lipoprotein mengandung 57 asam amino yang merupakan ulangan sekuen 15 asam amino yang saling bertaut dengan ikatan peptida dengan residu asam diaminpimelat dari sisi tetrapeptida rantai peptidoglikan. Komponen lipidnya terdiri dari diglyseride thioether yang terikat pada sistein terminal. Lipoprotein merupakan komponen yang mendominasi dinding sel gram negtif dan berfungsi menjaga stabilitas memban luar dan tempat perlekatan pada lapisan peptidoglikan. Membran luarnya merupakan struktur bilayer; komposisi lembar dalamnya mirip dengan membran sitoplasma, hanya saja fosfolipid pada laisan luarnya diganti dengan molekul lipopolisakarida (LPS). Selain itu terdapat ruang antara membran dalam dengan membran luarnya yang disebut ruang periplasma, terdiri dari lapisan murein dan larutan protein mirip gel yaitu protein pengikat substrat tertentu, enzim hidrolitik dan enzim detoksifikasi (Bakhriansyah, 2008). LPS yang merupakan tempat perlekatan dinding sel gram negatif terdiri dari lipid kompleks yang disebut lipid A, dimana melekat polisakarida dan antigen O. LPS terikat pada membran luar dengan ikatan hidrofobik. LPS disintesis pada membran sitoplasma dan dibawa ke posisi akhir di bagian luar. LPS berfungsi sebagai antigen yaitu antigen O pada rantai karbohidratnya dan toksin yaitu endotoksin yang berasal dari komponen lipid A. Bakteri yang termasuk golongan gram negatif antara lain Pseudomonas, Escherichia, Shigella, Neisseria, Bordetella, Vibrio, Helicobacter, Enterobacter, Haemophilus dan lain-lain (Bakhriansyah, 2008). Gambar 2.2.a Bakteri Gram positif. Gambar 2.2.b Bakteri Gram negatif (Bakhriansyah, 2008). 2.4 Antibakteri Antibakteri adalah zat yang dapat mengganggu pertumbuhan atau bahkan mematikan bakteri dengan cara mengganggu metabolisme bakteri. Antibakteri hanya dapat digunakan jika mempunyai sifat toksisitas selektif, artinya dapat membunuh bakteri yang menyebabkan penyakit tetapi tidak toksik bagi penderitanya. Faktor-faktor yang berpengaruh pada aktivitas zat antibakteri adalah pH, suhu stabilitas senyawa, jumlah bakteri yang ada, lamanya inkubasi, dan aktivitas metabolisme bakteri (Bakhriansyah, 2008). 2.4.1 Klasifikasi antibakteri Klasifikasi antibakteri dapat dibedakan antara lain berdasarkan mekanisme kerjanya yang secara umum terdiri dari empat kelompok utama yaitu; (Bakhriansyah, 2008). 2.4.1.1 Penghambatan terhadap sintesis dinding sel Dinding sel berisi polimer mukopeptida kompleks (peptidoglikan) yang secara kimia berisi polisakarida dan campuran rantai polipeptida. Polisakarida berisi gula amino N- acetylglucosamine (NAG) dan asam acetylmuramic. Kekerasan dinding sel disebabkan oleh hubungan saling silang rantai peptida sebagai hasil reaksi transpeptidasi yang dilakukan oleh beberapa enzim. Langkah awal dari aksi obat berupa ikatan obat pada reseptor sel yag disebut protein binding penicillin (PBP). PBP berada dibawah kontrol kromosom dan mutasinya dapat mengubah jumlah atau afinitasnya terhadap obat. Setelah obat melekat pada satu atau beberapa reseptor reaksi traspeptidasi dihambat dan inaktivitas inhibitor otolitik pada dinding sel. Hal ini mengaktivasi enzim lisis dan menghasilkan lisis pada lingkungan yang isotonik. Perbedaan kerentanan bakteri gram positf dan negatif bergantung pada perbedaan struktur dinding sel mereka seperti jumlah peptidoglikan, keberadaan reseptor, aktivitas enzim otolitik yang menentukan penetrasi ikatan dan aktivitas obat. 2.4.1.2 Penghambatan terhadap fungsi membran sel Sitoplasma semua sel hidup dibatasi oleh membran sitoplasma, yang berperan sebagai barrier permeabilitas selektif, membawa fungsi transport aktif dan kemudian mengontrol komposisi internal sel. Jika fungsi integritas membran sitoplasma dirusak maka makromolekul dan ion keluar dari sel sehingga sel menjadi rusak atau terjadi kematian. Membran sitoplasma bakteri mempunyai struktur berbeda dinding sel binatang dan dapat dengan mudah dikacaukan oleh agen tertentu. 2.4.1.3 Penghambatan terhadap sintesis protein Kebanyakan inhibitor translasi protein atau sintesis protein bereaksi dengn kompleks ribosom-mRNA. Walaupun sel manusia juga memiliki ribosom, ribosom pada eukariotik berbeda dalam ukuran dan struktur dari ribsom prokariotik. Konsekuensi yang potensial terjadi pada penggunan antimikroba ini adalah kerusakan ribosom mitokondria eukariotik yang mengandung ribosom yang sejenis dengan prokariotik. Dua target pada ribosom yang dapat diganggu adalah subunit 30 S dan subunit 50 S. 2.4.1.4 Penghambatan terhadap sintesis asam nukleat Gangguan sintesis asam nukleat juga dapat disebabkan oleh inhibitor kompetitif, sebagai contok antibiotik yang strukturnya analog dengan asam p-aminobenzoat (PABA) yang merupakan metabolit penting dalam pembentukan asam folat. Antibiotik masuk ke dalam reaksi yang melibatkan PABA dan bersaing pada sasaran enzim yang aktif. Sebagai hasilnya dibentuk asam folat analog yang nonfungsional mengakibatkan pertumbuhan bakteri tertekan. Berdasarkan sifat toksisitas selektifnya terhadap pertumbuhan bakteri, dibagi menjadi; (Bakhriansyah, 2008). a. Bakteriostatik yaitu memberikan efek dengan cara menghambat pertumbuhan tetapi tidak membunuh. Senyawa bakteriostatik seringkali menhambat sintesis protein atau mengikat ribosom, menghambat sintesis asam nukleat dan menghambat metabolisme energi. b. Bakterisidal yaitu memberikan efek dengan cara membunuh sel bakteri. Efek bakterisidal dengan cara mnghambat permeabilitas membran sel dan merusak membran sel. 2.5 Uji Efek Antibakteri In-vitro Efektivitas antibakteri diukur secara in vitro untuk menentukan potensi agen antibakteri terlarut, konsentrasinya pada cairan dan jaringan tubuh dan mengetahui kerentanan mikroorganisme tertentu terhadap konsentrasi antimikroba tertentu (Fluit,2001; Janak,2012). Faktor-faktor yang mempengaruhi efektivitas antimikroba in vitro antara lain; PH lingkungan, komponen dari medium yang digunakan, stabilitas obat, ukuran inokulum, lama inkubasi dan aktivitas metabolisme mikroorganisme (Fluit,2001; Janak,2012). Untuk menentukan aktivitas mikroorganisme patogen terhadap obat antimikroba dapat dilakukan dengan dua metode, yaitu metode dilusi dan difusi. Penggunaan kedua metode tersebut mengikuti metode yang sudah standard. Salah satu metode standard yang dapat digunakan adalah metode Clinical and Laboratory Standards Institute (CLSI). (Fluit,2001; Sridhar,2012). 2.5.1 Metode dilusi Metode ini menggunakan antimikroba dengan konsentrasi yang diencerkn secara serial, baik dengan media cair atau padat. Kemudian bakteri uji diinokulasi pada media cair atau padat. Kemudian bakteri uji diinokulasi pada media dan diinkubasi. Melalui pemeriksaan cara dilusi ini dapat diperoleh konsentrasi hambat minimun atau minimun inhibitory concentration (MIC) yaitu konsentrasi terkecil yang masih dapat menghambat pertumbuhan bakteri. Batas akhir yang diambil adalah kadar dimana antimikroba terlarut menghambat atau membunuh bakteri dengan kadar terendah. Uji efektivitas secara dilusi agar memerlukan waktu pengerjaan yang lama dan penggunaannya dibatasi pada keadaan tertentu saja. Uji efektivitas dilusi menggunakan medium cair didalam tabung reaksi, tidak praktis dan jarang digunakan, namun kini ada cara yang lebih sederhana dan banyak digunakan yaitu microdilution plate. 2.5.2 Metode difusi Metode difusi agar paling sering digunakan untuk mengetahui kepekaan suatu bakteri terhadap antibiotik. Cakram kertas saring yang berisi sejumlah tertentu obat ditempatkan pada permukaan medium padat yang sebelumnya telah diinokulasi bakteri uji pada permukaannya. Setelah inkubasi, diameter zona hambat sekitar cakram diukur dan dijadikan ukuran kekuatan hambatan obat terhadap organisme uji. Metode ini dipengaruhi beberapa faktor fisik dan kimia, selain faktor antara obat dan organisme, misalnya sifat medium dan kemampuan difusi, ukuran molekuler dan stabilitas obat, meskipun demikian standardisasi faktor-faktor tersebut memungkinkan untuk dilakukannya uji sensitivitas dengan baik. Hasil tes kepekaan bakteri diklarifikasikaan ke dalam dua atau lebih kategori. Terdapat beberapa sistim yang sederhana untuk menentukan tingkat kepekaan antibakteri berdasarkan diameter daerah hambat (mm) yaitu dengan metode “Kirby-Bouer”dengan tiga klasifikasi yaitu; sensitif, intermediate dan resisten, dimana setiap antibakteri dan bakteri mempunyai ukuran dan klasifikasi yang berbeda sesuai dengan antibakteri yang digunakan (Sridhar, 2012). 2.6 Chloramphenicol Chloramphenicol secara alami dihasilkan dari kultur Streptomyces venezuelae yang pertama kali diisolasi pada tahun 1947, tapi sekarang dapat dibuat secara sintetik. Chloramphenicol berbentuk kristal merupakan senyawa stabil yang diabsorpsi secara cepat dari gastrointesitinal, didistribusikan secara luas ke dalam jaringan dan cairan tubuh, termasuk mudah masuk ke sistem saraf pusat dan cairan serebrospinal. Sebagian besar obat diinaktifkan ke dalam hati melalui konjugasi dengan asam glukoronat atau melalui reduksi menjadi alinamin yang inaktif. Ekskresi terutama dalam urin, 90% merupakan bentuk inaktif. Meskipun Chloramphenicol biasanya diberikan secara oral, bentuk suksinat dapat diberikan secara intravena dengan dosis yang sama. Chloramphenicol bekerja dengan menghambat sintesis protein mikroorganisme. Chloramphenicol memiliki spektrum, dosis, kadar dalam darah yang sama dengan tetrasiklin. Obat ini digunakan untuk mengobati beberapa tipe infeksi, biasanya yang disebabkan oleh salmonella, meningococcus dan H.influenzae (Christina, 2011). Chloramphenicol jarang menyebabkan gangguan gastrointestinal. Namun pemberian lebih dari 3 gram/hari secara teratur dapat menyebabkan gangguan pada maturasi sel darah merah, peningkatan serum besi dan anemia. Kelainan ini dapat sembuh kembali jika obat dihentikan. Kadang-kadang terjadi idiosikrasi terhadap Chloramphenicol dan mengakibatkan anemia aplastik fatal yang serius, karena alasan ini penggunaan Chloramphenicol umumnya dibatasi pada infeksi yang jelas berdasarkan pengalaman dan uji laboratorium (Christina, 2011). Chloramphenicol memiliki aktivitas bakteriostatik dengan cara menghambat sintesis protein dengan berikatan dengan subunit 50S ribosom. Chloramphenicol menghambat ikatan asam amino baru pada rantai peptida yang memanjang, karena Chloramphenicol menghambat enzim peptidil transferase. Chloramphenicol bersifat bakteriostatik dan bakteri dapat tumbuh kembali jika pengaruh obat dihilangkan. Mikroorganisme resisten terhadap Chloramphenicol menghasilkan enzim Chloramphenicol asetiltransferase yang merusak aktivitas obat, produksi enzim ini biasanya di bawah kontrol plasmid (Christina, 2011). Chloramphenicol mengandung berkisar 90,0% sampai dengan 97,0% C11H12Cl2N2O5, sedangkan obat tetes telinga Chloramphenicol mengandung berkisar 90% sampai dengan 130% C11H12Cl2N2O5 (Christina, 2011).