Perlunya Negara Kuat Dalam Pelaksanaan Demokrasi Lokal

advertisement
1
Negara Kuat Dalam Pelaksanaan Demokrasi Lokal di Indonesia: Tinjauan
awal terhadap pemberlakuan UU No. 32 tahun 2004
Oleh Rahmadani Yusran & Asrinaldi Asril
Abstract
This article aim to elaborate the role of state on implementing democracy
at the local level. State, in which, often representing by government,
facing dilema. In one hand, role of state is needed to keep
democratization on the right track. It means that state must guarantee its
citizen will not behave anarchism. Other hand, if state’s role is too far, it
can also threat its citizen’s freedom. Therefore, this article want to show
what aspects of political elite consideration in making strong state and
have role in local autonomy as a part of local democracy in Indonesia
through implementing Law No. 32/2004.
Pendahuluan
Bisa dipahami bahwa implementasi otonomi daerah di Indonesia berkaitan
erat dengan kewujudan mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia
(NKRI). Tidak ada sebarang keinginan yang bisa diminta daerah kepada pusat
khususnya dalam menyelenggarakan fungsi pemerintahan daerah, kecuali dalam
kerangka memperkuat kedudukan NKRI di seluruh wilayah Indonesia. Bagi
pemerintah pusat bukanlah hal yang mudah untuk mempertahankan terotorialnya
di tengah menguatnya kekuatan supranasional, integrasi sistem ekonomi
internasional, dan globalisasi.
Ini bisa jadi menjadi tantangan serius bagi
kewujudan negara bangsa di dunia, termasuk Indonesia (King & Kendall 2004:5).
Pemerintah pusat menyadari betul upaya ini harus didukung oleh kekuatan politik
termasuk lembaga-lembaga negara (state apparatus) seperti birokrasi dan militer.
Maknanya, kedaulatan teritori NKRI mesti mampu dikendalikan pusat dengan
otoritas penuh yang dapat menjangkau seluruh daerah di Indonesia.
Melalui
penguasaan struktur kekuasaan politik dan finansial pusat menjadi kuat atas
daerah. Inilah satu antara langkah yang dilakukan Pemerintahan Orde Baru bagi
2
menguatkan
kekuasaannya
pada
mula
kepimpinan
Presiden
Soeharto
(MacAndrews 1986: 6-7).1
Melalui legitimasi dan otoritas politik penuh yang dimilikinya, tak jarang
pemerintah pusat mengartikan gejala-gejala politik yang muncul dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara dengan tafsirannya sendiri. Konsekuensinya jelas kepada
kebijakan dan tindakan yang mesti dilakukannya. Adakalanya pusat menyikapi
kondisi politik yang berlaku dalam kehidupan masyarakat secara otoritarian,
karena
dianggap
dapat
membahayakan
kelangsungan
NKRI.
Misalnya,
menyangkut kewujudan nasionalisme yang mesti ditanamkan dalam jiwa dan
semangat Rakyat Indonesia yang multi etnis, multi agama, dan beragam
kebudayaan sebagai bagian dari strategi politiknya dalam mengendalikan
kemajemukan rakyat Indonesia.
Nasionalisme juga diciptakan untuk mewujudkan pertumbuhan ekonomi,
stabilitas politik, dan pemerataan bagi kesejahteraan bersama. Kecenderungan ini
yang menjadi bagian kebijakan politik Pemerintah Orde Baru yang dikenal dengan
trilogi pembangunan (Lihat Liddle 1999: 52). Nasionalisme Indonesia dibungkus
ke dalam ideologi Pancasila dan semboyan Bhinneka Tunggal Ika.2 Atas nama
“kebersamaan dengan Indonesia” inilah, maka pusat berupaya memahami apa yang
diperlukan dan yang baik bagi Rakyat Indonesia. Gantinya rakyat dituntut pula
untuk berkhidmat pada pemerintah pusat, termasuk tuntutan melaksanakan
semangat kebersamaan dalam ke Indonesian yang lazim disebut persatuan
Indonesia (McVey 2003:21). Pemerintah pusat atas nama Negara Indonesia
berterusan menanamkan semangat kebersamaan ini demi keutuhan Negara
1
Pada masa kepemimpinan Presiden Soekarno, implementasi demokrasi terpimpin (1959-1965)
sengaja dirancang untuk mengekalkan kekuasaan pemerintah pusat atas daerah. Terjadinya
pemberontakan PRRI/Permesta tahun 1958 di Sumatera dan Sulawesi adalah bukti penantangan
terhadap kuatnya kekuasaan Presiden Soekarno atas rakyat daerah. Oleh Presiden Soekarno
pemberontakan ini dihadapi dengan kekuatan militer. Pengunaan militer yang berlebihan adalah
bukti kuatnya Negara. Keberhasilannya menghancurkan pemberontak di seluruh wilayah Indonesia
yang penuh gejolak memunculkan gagasannya untuk mengekalkan pelaksanaan demokrasi
terpimpin (Cribb 1999: 31-32). Begitu juga dengan Pemerintahan Orde Baru, yang mengutamakan
jargon stabilitas politik, pembangunan ekonomi dan pemerataan mengekalkan kekuatannya negara
atas rakyatnya.
2
Bhineka Tunggal Ika bererti walaupun berbeza-beza (etnis, agama, daerah dan lain-lain) namun
tetap satu dalam lingkup Indonesia.
3
Kesatuan Republik Indonesia yang hingga saat ini terus mencari bentuk yang
sesuai dengan keberagaman bangsa Indonesia.
Negara kesatuan (unitary state) adalah merupakan agenda utama dalam
proses pembentukan Negara Indonesia yang ada di pusat. Ini terbukti bahwa
dalam amandemen konstitusi Republik Indonesia (UUD 1945) yang bisa
diwujudkan setelah reformasi politik tahun 1998. Amandemen terhadap UUD
1945 ini melarang mengubah bentuk negara kesatuan ke dalam bentuk lain.3
Asumsi elitee politik di Jakarta adalah bahwa negara kesatuan adalah bentuk akhir
dan yang paling sesuai dengan realitas rakyat Indonesia yang pluralistik.4 Oleh
kerana itu, kenyataan ini harus disadari oleh semua elite yang berkuasa termasuk
rakyatnya bahwa bentuk NKRI adalah satu cara yang sesuai dan hal yang “final”
dalam proses mewujudkan “Indonesia.”
Dalam realitasnya, elite politik di Jakarta bertindak sebagai negara dan
menafsirkan kepentingan-kepentingan negara. Namun malangnya, tindakan dan
tafsiran kepentingan atas nama negara ini seringkali berisikan pula tindakan dan
kepentingan elite dan kelompoknya terutama untuk mengekalkan kekuasaan politik
yang ada di tangan mereka.
Kecenderungan ini menimbulkan permasalahan
apakah memang “Negara (Indonesia)” mempunyai kepentingan terhadap
keharusan wujud negara kesatuan dan tidak bisa dalam bentuk lain? Apakah
wujud dalam bentuk lain seperti federalisme, yang apabila dikehendaki rakyat di
daerah mesti ditolak? Apakah “negara” mesti berkuasa meniadakan keinginan
tersebut? Bagaimana pula negara harus bersikap dengan demokrasi yang muncul di
tingkat lokal dimana menghendaki terciptanya kesejahteraan, keadilan dan
pengakuan terhadap hak-hak politik mereka? Bagi menjawab perkara di atas,
maka tulisan ini akan coba membincangkan tentang hubungan negara dan rakyat
lebih mendalam terkait dengan pelaksanaan demokrasi di tingkat lokal.
3
Ada empat perkara yang tidak bisa diubah dalam amandemen konstitusi Republik Indonesia yaitu:
(i) Pembukaan UUD 1945; (ii) Bentuk negara kesatuan; (iii) Sistem pemerintahan presidensiil; dan
(iv) Pasal tentang kehidupan beragama.
4
Negara Indonesia pernah berbentuk Republik Indonesia Serikat (RIS) tahun 1949-1950.
Pembentukan ini adalah dampak dari agresi Belanda yang melahirkan perjanjian Linggar Djati dan
Renville. Namun bentuk Negara ini tidak bertahan lama dan pada masa berikutnya Indonesia
kembali ke bentuk kesatuan sebagai strateginya untuk mematahkan politik kekuasaan Belanda
(Lihat Agung 1983; Kahin 2005:150-160).
4
2.
Hubungan Negara dan Masyarakat Dalam Pembentukan Negara Kuat
Perkara pokok yang menjadi persoalan dalam bagian ini yaitu (i) apa itu
negara? Pertanyaan ini memang agak sukar untuk diartikan secara eksplisit oleh
banyak pakar sains politik.
Selanjutnya muncul pula masalah lain, (ii)
apa
sesungguhnya tujuan bernegara itu? Serta (iii) bagaimana membina kekuasaan
negara dalam kehidupan rakyatnya? Tentunya berbagai jawaban akan muncul
yang berkaitan dengan perspektif mana seseorang menerangkannya.5 Walaupun
tidak secara eksplisit jawaban yang diberikan oleh sarjana Ilmu Politik yang
diuraikan berikut ini, tetapi gambaran tentang definisi negara bisa menjelaskan
hakikat persoalan itu.
Satu diantara tokoh pemikir politik yang berbicara tentang negara adalah
Machiavelli (1469-1527).
Machiavelli banyak bicara tentang negara dan
kekuasaannya dengan melambangkan pada kekuasaan pangeran (the prince).
Menurutnya, pangeran bertindak atas nama negara dan mempunyai kekuasaan
mutlak atas rakyatnya. Menurutnya “[a] prince should want to have a reputation
for compassion rather than for cruelty: nonetheless, he should be careful that he
does not make bad use of compassion. So a prince should not worry if he iccurs
reproach for his cruelty so long as he keeps his subjects united and loyal” (Parker
1994: 65).
Untuk mengelakkan bahaya yang selalu mengancam kedaulatan negara
yang disebabkan oleh perjuangan kekuasaan individu dan kelompoknya, maka
pangeran harus berlaku berani dan tidak takut dengan bayangan kekuasaannya
sendiri. Walaupun begitu, pangeran juga harus mampu menunjukkan segi
kemanusiaannya agar selalu dihormati. Seperti yang dihuraikan Parker (1994: 65)
menulis kembali apa yang disampaikan Machiavelli “ [N]onetheless, a prince
should be slow to take action, and should watch that he does not come to be afraid
5
Penjelasan tentang negara dan atributnya menyebabkan para ahli saling berdebat. Banyak sarjana
ilmu politik yang mencoba menjelaskan dari berbagai perspektif. Namun pada akhirnya
pandangan-pandangan tersebut dapat dikelompokkan pada (1) kelompok yang berpandangan
liberal, (2) kelompok yang berhaluan Marxis, dan (3) kelompok yang berpandangan fungsionalis
(lihat Dunleavy & O’Leary 1987; Clarke 1991).
5
of his own shadow; his behaviour should be tempered by humanity and prudence
so that over-confidence does not make him rash or excessive distrust make him
unbearable.”
Oleh itu, pangeran sebagai wakil negara mesti bisa ditakuti dan dicintai
oleh rakyatnya. Akan tetapi apabila sang pangeran tidak bisa berlaku pada kedua
kondisi itu, maka pangeran haruslah ditakuti oleh rakyatnya. Parker (1994: 66)
menjelaskan:
One can make generalization about men: they are ungrateful, fickle, liars,
and deceivers, they shun danger and are greedy for profit; while you treat
them well, they are yours. They would shed their blood for you, risk their
property, their lives, their children, so long, as I said above, as danger is
remote; but when you are in danger they turn against you. Any prince who
has come to depend entirely on promises and has taken no others
precautions ensures his own ruin; friendship which is bought with money
and not with greatness and nobility of mind is paid for, but it does not last
and it yields nothing.
Machiavelli juga menasehatkan pangeran baru, jika ingin mempertahankan
kedaulatan negaranya, maka Ia harus bisa melepaskan diri dari keyakinan agama,
kebaikan, dan kepercayaan. Pangeran mesti memiliki karakter fleksibiliti dalam
menentukan hala tuju negara yang dikuasainya. Dengan demikian, pangeran bisa
melihat kondisi negara untuk tindakan apapun. Apabila nasehat Machiavelli untuk
pangeran baru bisa pula diimplementasikan pada negara yang baru merdeka, maka
pangeran atas nama negara baru tersebut sedapat mungkin menghindari pengunaan
kekuasaannya dengan mengutamakan kebaikan, tetapi mestilah pengunaan
kekuasaan itu dimulai dengan pengetahuan bagaimana bertindak kejam, jika
memang itu yang diperlukan. Pikiran Machiavelli yang merujuk pada realitas
Roma pada waktu itu, melahirkan praktik politik dan tindakan “negara” yang
diktator. “The dictatorship whenever created according to public law and not
usurped by individual authority, always proved beneficial to Rome (Machiavelli
1950: 204).”
6
Pemikir politik lainnya ialah Thomas Hobbes (1588-1679). Hobbes adalah
ahli politik yang coba menerangkan gejala kekuasaan publik yang hakikatnya
saling bersaing satu dengan yang lain atau menjadi musuh bagi yang lain. Tidak
terhindarkan gejala ini berdampak pada munculnya peperangan dan kekerasan
yang merugikan manusia itu sendiri.
Untuk mengelakkan peperangan dan
kekerasan dari individu-individu itu, maka baik sendiri-sendiri maupun dalam
kelompok harus dapat membina kekuasaan umum secara bersama. Menurut Parker
(1994: 70):
The only way to erect such a common power, as may be able to defend
them from the invasions of foreigners, and the injuries of one another, and
thereby to secure them in such sort, as that by their own industry, and by
the fruits of the earth, they may nourish themselves and live contentedly; is,
to confer all their power and strength upon one man, or upon one assembly
of men, that may reduce all their wills, by plurality of voices, unto one will:
which is as much as to say, to appoint one man, or assembly of men, to
bear their person; and every one to own, and acknowledge himself to be
author of whatsoever he that so beareth their person, shall act, or cause to
be acted, in those things which concern the common peace and safety; and
therein to submit their wills, every one to his will, and their judgments, to
his judgment.
Dengan demikian, kehendak inividu-individu mesti diwujudkan dalam
kehendak bersama yang dibentuk ke dalam suatu lembaga politik yaitu negara.
Negara memiliki kekuasaan mutlak memaksakan kehendaknya kepada individu
guna terciptanya kepentingan bersama tadi (Gaunthier 1969: 149-156).
“If
individual surrender their rights by transferring them to a powerfull authority
which can force them to keep their promises and covenants, then an effective and
legitimate private and public sphere, society and state, can be formed (Held 1994:
6).”
Dari penjelasan di atas, paling tidak ada beberapa perkara penting yang
patut diberi perhatian. Pertama, negara merupakan perkara yang paling penting
dalam kehidupan sosial dan politik. Negara bisa mengubah kepentingan orang
perseorangan dalam masyarakat jika dianggap tidak bersesuaian dengan
kepentingan negara itu sendiri. Sebab negara ialah gambaran kepentingan orang
7
banyak (rakyatnya). Kedua, individu cenderung mementingkan dirinya sendiri
dalam berhubungan yang membuat kekuasaan negara diperlukan. Kedaulatan
negara diperlukan untuk mencegah munculnya anarki. Ketiga, negara untuk semua
tindakannya mesti memperhatikan legitimasi. Ertinya, pengakuan terhadap adanya
negara mesti dimulakan dari pengagihan hak orang perseorang yang bersepakat
untuk membentuk negara yang bisa mengartikulasikan kepentingannya (Held
1994: 8-9).
Apa yang disampaikan oleh Thomas Hobbes ini memiliki kesamaan
dengan apa yang ditulis oleh John Locke (1632-1704). Walaupun demikian juga
ada beberapa perbedaan antara mereka berdua terutama dalam melihat negara yang
berperanan mewakili kepentingan umum.
Bagi Locke negara bisa dan harus
menjadi “alat” untuk mempertahankan hidup, kebebasan dan harta milik warga
negaranya sebagai wujud hak yang diberikan tuhan kepada mereka. Rakyat dan
masyarakat merupakan kelompok individu yang ada sebelum negara muncul.
Kemunculan negara adalah untuk membimbing rakyat. Oleh itu, legitimasi
kekuasaan negara membutuhkan pengakuan dari rakyatnya. Jika negara
menghancurkan kepercayaan rakyatnya, maka negara akan musnah. Dengan
demikian, kewenangan yang dianugerahkan orang perseorangan untuk negara
(baca pemerintah) mesti bertujuan mendapatkan apa yang dihendaki oleh mereka
yang diperintah (Held 1994: 10-11).
Locke menyadari betul bahwa struktur negara tidaklah merupakan petunjuk
memindahkan
seluruh
hak-hak
masyarakat
kepada
pemerintah
belaka.
Menurutnya perlu ada suatu pemisahan kekuasaan negara ke dalam lembagalembaga yang bisa melakukan fungsinya masing-masing agar tidak terjadi
penumpukkan kekuasaan pada satu lembaga negara.
Hal ini penting karana
manusia mempunyai kelemahan dalam menjalankan kekuasaan yang ada sehingga
kekuasaan akan disalahgunakan. Oleh itu, kekuasaan yang ada mesti dipisahpisahkan ke dalam lembaga legislatif yang mempunyai fungsi membuat
perundang-undangan dan eksekutif untuk menjalankan undang-undang (Held
1994: 12).
Sarjana politik lain yang bicara hakikat negara ini ialah Jean-Jacques
Rousseau (1712-1778). Rousseau merupakan pemikir besar yang ikut merancang
8
bagaimana semestinya negara diselenggarakan dalam kehidupan rakyatnya. Dalam
karyanya The Social Contract yang diterbitkan tahun 1762, Rousseau berhasil
menjelaskan bagaimana kedaulatan negara menjadi sesuatu yang perlu disepakati
oleh individu dalam suatu kelompok guna membina suatu hubungan yang
harmonis, damai dan tertib. Hubungan yang harmonis, damai dan tertib tersebut
hanya bisa diwujudkan melalui kontrak sosial yang pada akhirnya bisa
menciptakan sistem kerjasama melalui pembuatan aturan dan organisasi yang kuat
yang disebut negara (Held 1994: 21). Terkait dengan fenomena ini, Cobban (1970:
56) juga menerangkan “[T]he social contract is primarily an analysis, of the idea
of sovereignty and the ideal state: it is, it may be said, essentially theoritical as he
put it, merely abstract part of the bigger and more comprehensive treatise on
political institutions that he at one time intended to write”.
Dalam pikiran
Rousseau terdapat pemahaman tentang hakikat manusia yang dilahirkan bebas dan
saling membutuhkan. Kebebasan manusia ini mesti dibina dalam suatu lembaga
yang bisa menciptakan tertib sosial.
Menurutnya tertib sosial tidaklah terjadi
begitu saja, namun tertib sosial harus diciptakan melalui kesepahaman yang
mengikat di antara orang per orang yang ada.
Wujud negara adalah untuk mengekalkan kehendak individu-individu
warga negara ke dalam wujud kehendak bersama.
Kekuasaan individu harus
diberikan kepada kehendak tertinggi di mana individu-individu tersebut merupakan
bagian dari kehendak keseluruhan yang tidak terpisahkan.
Berbeda dengan
Hobbes dan Locke yang melihat kehendak bersama yang harus diubah dari
individu kepada negara, maka Rousseau memandang kehendak bersama
merupakan kesepakatan tiap-tiap individu yang sadar dengan kedaulatan suatu
lembaga atas individu yang lebih tinggi untuk menciptakan ketertiban sosial
tersebut (Held 1994: 21). Rousseau juga menerangkan tentang negara lebih lanjut
seperti yang dituliskan kembali oleh Parker (1994: 72):
Immediately, in place of the individual person of each contracting party,
this act of association creates an artificial and collective body composed of
as many members as there are voters in the assembly, an by this same act
that body acquires its unity, its common ego, its life and its will. The public
person thus formed by union of all other persons was once called the city,
9
and is not known as the republic or the body politic. In its passive role it is
called the state, when it plays an active role it is the sovereign; and when it
is compared to others of its own kind, it is a power. Those who are
associated in it take collectively the name of a people, and call themselves
individually citizens, in so far as they share in the sovereign power, and
subjects, in so far as they put themselves under the laws of the state.
Tokoh lain pada masa ini ialah John Stuart Mill (1806-1873). Ia turut
membicarakan hakikat negara dengan memfokuskan pada bentuk pemerintahan
yang baik. Menurutnya pemerintahan yang baik itu terlihat pada bagaimana
kedaulatan dan pengendalian kekuasaan yang melibatkan semua rakyatnya. Setiap
individu warga negara memiliki hak untuk ikut dalam pelaksanaan pemerintahan
itu.
Mill memandang bagi memudahkan pengawasan terhadap bekerjanya
pemerintahan, maka yang perlu dibentuk adalah pemerintahan perwakilan
(representative government).
Menurut Parker (1994:99) “It is essential to
representative government that the practical supremacy in the state should reside
in the representatives of the people, it is an open question what actual functions,
what precise part in the machinery of government, shall be directly and personally
discharged by the representative body”
Bagi Mill tujuan negara ini tidak lain adalah untuk memberi kebebasan
individu menentukan kehendaknya secara bersama dan mengimplementasikannya
dalam kehidupan bernegara. Negara adalah kata lain untuk pemerintah menjadi
tempat untuk keterlibatan mereka dalam urusan-urusan yang disepakati bersama.
Untuk mengendalikan jalannya pemerintahan itu sesuai dengan kehendak bersama,
maka wakil-wakil masyarakat diperlukan dalam penyelenggaraan negara atau
pemerintahan itu.
Pada masa-masa berikutnya terutama pada abad ke 19 dan 20 muncul pula
pemikir lain yang mencoba menjelaskan gejala negara dalam kehidupan individu
dan kelompok. Antara lain ialah Karl Marx (1818-1883) yang melihat negara
sebagai institusi yang tidak netral dan menunjukkan keberpihakan kepada kelas
dominan. Kenyataannya, Marx cenderung melihat posisi negara sebagai institusi
tingkatitic yang tidak memainkan peranan yang menentukan dalam suatu proses
produksi khususnya interaksi antara kelas borjuis dan kelas proletar. Cara pandang
Marx terhadap negara selalu berkait erat dengan paham kapitalis yang
10
mendominasi kaum proletar.
Oleh itu, Marx berpandangan negara jauh dari
harapan masyarakat sebagai lembaga yang mewakili kepentingan mereka.
Pendapat Marx tentang adanya kelas-kelas dalam masyarakat yang saling bersaing
dalam ekonomi kapitalis telah menyebabkan negara menempati posisi berpihak
kepada kelompok yang berkuasa dan dominan. Sebagaimana yang ditulis Held
(1994:25) kembali tentang kecenderungan yang dinyatakan Marx ini:
The economy is regarded as non-political, in that the massive divison
between those who own and control the means of production, and those
who must live by wage-labour, is regarded as the outcome of free private
property the state already has taken a side. The state, then, is not an
independent structure or set of institutions above society, i.e. a ‘public
power’ acing for ‘the public’. On contrary, it is deeply embedded in socioeconomic relations and linked to paticular interests.
Bisa pula dipahami bahwa penguasaan ekonomi dan kendali atas proses
produksi melahirkan kelas berkuasa (the rulling class) yang dapat mengendalikan
dan menjadikan negara sebagai alat untuk mendominasi masyarakat.
Namun
sebaliknya, dalam pandangan ahli yang berpijak pada paham demokrasi liberal
menolak cara fikir Marx yang demikian. Dalam masyarakat kapitalis kekuasaan
ekonomi akan terpecah-pecah dan terbagi-bagi sehingga tidak memungkinkan
terciptanya kenyataan hegemoni terhadap negara mahupun masyarakat (Milliband
1969: 21).
Selanjutnya ada Max Weber (1864-1920) yang juga mempunyai pandangan
berbeza terkait dengan pendapat Marx yang melihat ujud negara sebagai suatu
hasil dari aktifitas kelas dalam proses produksi. Baginya negara modern itu ialah
gambaran pelaksanaan administrasi yang diorganisasikan (yang disebut birokrasi)
secara logik dan rasional. Negara, menurut Weber merupakan monopoli kekuatan
fisik yang dilegitimasi. Legitimasi negara modern ini secara prinsip berasaskan
pada otoritas yang sah yaitu komitmen pada sistem aturan yang disepakati (Held
1994: 36).
Bertentangan dengan apa yang dipikirkan Marx tentang negara, selanjutnya
Weber menerangkan, negara modern itu bukanlah dampak dari pelaksanaan sistem
kapitalis. Sebaliknya, negara modern justeru mendahului dan membantu
11
perkembangan sistem kapitalis. Kapitalis menyokong wujud administrasi rasional
yang dipahamkan dengan birokrasi berdasarkan otoritas yang sah.
Dengan
menganalisis kecenderungan yang dilakukan birokrasi, maka seseorang akan bisa
mengerti tentang negara. Berkait erat dengan gejala ini Held (1994: 36) juga
menerangkan:
Weber extended the meaning of the concept of bureaucracy: when Marx
and Lenin wrote about it, they had in mind the civil service, the
bureaucratic apparatus of the state, but Weber applied the concept much
more broadly, as characterizing all forms of large-scale organization (the
civil service, political parties, industrial enterprises, universities, etc.). In
the contemporary world, he believed, private and public administration are
becoming more and more bureaucratized.
Dari semua itu jelaslah apa yang dimaksud dengan negara meskipun tidak
ada definisi yang bisa merangkumi semua pendapat-pendapat tersebut dalam satu
definisi yang jelas dan tegas.
Patut pula diakui perkembangan teori negara
berlangsung cepat sehingga pada masa-masa berikutnya, banyak pakar sains politik
berupaya memberi perhatian pada lembaga ini. Mereka adalah terdiri daripada
kumpulan yang hendak memperbaiki maupun kelompok yang menyanggah teori
negara yang ada. Namun, yang banyak terjadi justeru penyempurnaan terhadap isi
kajian tentang negara ini. Kenyataannya memang kompleksitas bahasan negara
dari masa ke masa terus bertambah selaras dengan perkembangan hubungan negara
dan rakyat.
3.
Pembentukan Negara Kuat Dalam Perspektif Kekuasaan Pusat
Terhadap Daerah Dan Impaknya Bagi Demokrasi Di Tingkat Lokal
Sesuai dengan perkara pokok yang dipermasalahkan di atas, bisa
dimengerti bahwa negara ialah organisasi legal rasional yang dilembagakan atas
kesepakatan individu-individu melalui ikatan sosial (social contract) guna
mencegah anarki dan menjamin terciptanya tertib sosial dalam masyarakat.
Namun, harus pula diakui karana negara diselenggarakan oleh pemerintah yang
merupakan kelas penguasa (the rulling class) tentunya kepentingan kelompok
12
penguasa ini berada pula dalam negara sehingga adakalanya bertentangan dengan
kepentingan publik.
Kenyataan yang bisa dipahami bahwa selama kepemimpinan dua regim
yang berkuasa di Indonesia yaitu Orde Lama dan Orde Baru, tiap-tiapnya secara
jelas memanfaatkan kekuasaan negara yang ada.
Dengan berbagai alasan
utamanya demi keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia, pemerintah
berkuasa memanipulasi kepentingan rakyat yang ada pada negara.
Hakikat
bernegara dalam konteks ke-indonesia-an diartikan sendiri oleh elite politik tanpa
melibatkan rakyat.
Elite politik khususnya mereka yang berada di keliling
kekuasaan Presiden Soekarno dan Presiden Soeharto ikut menentukan rancangan
negara Indonesia. Bagi mewujudkan kehendak penguasa (baik Presiden Soekarno
mahupun Presiden Soeharto), kebijakan politik yang dibuat mesti diberlakukan
secara represif dengan alasan menjaga stabilitas politik dan keamanan bagi rakyat.
Elite politik berangapan bahwa ancaman terhadap stabilitas politik bisa menggangu
proses pembangunan ekonomi untuk rakyat.
Miliband (1969: 49) menerangkan tentang negara sebagai sesuatu yang
tidak berwujud. Namun, menurutnya negara merupakan sejumlah lembaga khusus
yang merupakan bagian-bagian negara yang berwujud secara realitas di mana
masing-masingnya saling berinteraksi yang disebut dengan sistem negara. Satu
diantara bagian tersebut ialah pemerintah. Oleh itu, apabila berbicara tentang
kekuasaan negara, maka sesungguhnya berbicara tentang kekuasaan pemerintah.
“Thus, if it is believed that the government is in fact the state, it may also be
believed that the assumption of governmental power equivalent to the acquisition
of state power.” Kekuasaan negara yang sesungguhnya dilegitimasi oleh rakyat
dalam praktiknya akan berpindah ke tangan pemerintah. Kekuasaan negara pada
akhirnya menjadi kekuasaan sekelompok elite politik yang berkuasa (the rulling
class) dan bahkan elite politik ini cenderung menjalankannya secara oligarki.
Bahkan pada masa sesudah reformasi politik pun kecenderungan oligarki
kekuasaan semakin menampakan rwujudnya. Ini bisa dibuktikan di mana yang
13
menentukan tujuan Negara Kesatuan Republik Indonesia ada pada sekelompok
elite politik yang berasal dari partai yang berkuasa (the rulling party).6
Indonesia sebagai negara bangsa modern (modern nation state) ada sejak
kemerdekaan pada 17 Agustus 1945. Dalam pembukaan (preamble) UUD 1945
Alinea ke IV ditegaskan bahwa tujuan negara Indonesia itu ialah sebagai berikut.
“Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu Negara Indonesia yang
melindungi segenap Bangsa Indonesia, memajukan kesejahteraan umum,
mencerdaskan kehidupan bangsa, ikut serta menciptakan perdamaian abadi dan
keadilan sosial [...].” Sesuai dengan teori negara yang diurai di atas, kewujudan
negara Indonesia merupakan suatu proses kontrak sosial seluruh Bangsa Indonesia
yang dituangkan dalam Pembukaan UUD 1945. Oleh itu, dalam perubahan UUD
1945, pembukaan tidak bisa diubah. Sebab mengubah pembukaan UUD 1945
berarti mengubah kontrak sosial yang dibuat oleh pendiri negara ini.
Justeru yang penting untuk dilakukan ialah mengekalkan negara Indonesia
menjadi negara yang kuat, sehingga tujuan apapun yang dicita-citakan seluruh
bangsa Indonesia bisa dicapai. Apabila dilihat dari kenyataan sejarah yang berlaku
di dunia, kondisi negara kuat ini terkait pula dengan penerapan bentuk negara.
Pilihan elite politik terhadap bentuk federal atau konfederasi bisa jadi akan
menghancurkan bangsa. Oleh itu, pertimbangan keberagaman etnis, ras dan agama
menjadi salah satu aspek yang menjadi pertimbangan. Bisa dilihat beberapa kasus
khususnya di Eropa yang memperlihatkan bahwa pertikaian etnis, ras dan bahkan
agama ini bisa menghancurkan negara yang mulanya kuat (Dieckhoff 2003: 273).7
6
Kecenderungan ini mulai menguat ketika reformasi politik berlangsung. Tujuan Negara
adakalanya diputuskan pada pertemuan informal elite politik dari partai yang berkuasa (i.e. PDIP,
P.Golkar, PKB, PPP dan lain sebagainya). Praktik politik formal di parlemen hanya sekadar untuk
legitimasi polisi yang dibuat. Bagi anggota partai yang bertentangan dengan garis kesepakatan
partai, maka akan diberlakukan recall oleh Partai yang bersangkutan. Inilah kecenderungan politik
baru dalam transisi demokrasi di Indonesia. Jelas ini berbeda dengan proses politik yang ada pada
masa Presiden Soekarno maupun Soeharto. Kedua-duanya hanya memanfaatkan orang dalam
lingkaran kekuasaan (the inner cycle) sebagai pertimbangan dalam membuat kebijakan politik
(Jackson 1978; Gaffar 1999).
7
Setelah perang dingin, peta politik dunia berubah. Kekuatan demokrasi berhasil mengubah
ideologi komunis menjadi demokrasi liberal. Khususnya di Eropa Timur, transisi demokrasi yang
berlangsung tidak selaras dengan apa yang semestinya diharapkan. Pada akhirnya, transisi
demokrasi ini berakhir dengan kekacauan dan perang saudara. Misalnya di negara bekas
Yugoslavia, Slovakia, Romania, dan Albania.
14
Pembentukan negara kuat ini bermula dari adanya pengakuan kedaulatan
dan otoritas dari segenap bangsa yang berada di suatu wilayah. Kekuasaan yang
dilembagakan itu mengikat dan bahkan cenderung memaksa agar rakyat bertindak
sesuai kehendak negara. Negara bisa memanfaatkan alat-alat kekuasaannya seperti
militer, birokrasi, dan regim, supaya bisa memaksakan kehendaknya. Namun,
sebagaimana yang disampaikan Miliband (1969) kekuasaan negara sesungguhnya
tidaklah berwujud.
Karana itu, wujud kekuasaan negara ialah implementasi
kekuasaan pemerintah itu. Jadi kebijakan apa yang dibuat pemerintah adalah
gambaran kekuasaan negara. Namun siapa yang bisa menjamin bahwa kekuasaan
negara yang diambil dan diperankan oleh the rulling class adalah untuk
kepentingan bersama dan atas nama kebersamaan.
Kenyataannya banyak
pemerintah yang berkuasa memanfaatkan keadaan ini demi status quo
kekuasaannya.
Di negara yang sedang membangun persoalan pembentukan negara kuat
menjadi agenda utama elite politik. Pembentukan negara kuat ini sesungguhnya
juga bagian dari pembangunan negara di mana ada upaya penciptaan lembagalembaga pemerintahan baru dan penguatan lembaga-lembaga yang telah ada.
Sebab bisa jadi, tanpa negara kuat pembangunan tidak bisa dilangsungkan.
Apabila merujuk pada apa yang dikatakan Fukuyama (2005: xvii) “pembangunan
negara merupakan salah satu persoalan paling penting bagi komunitas dunia karena
negara-negara lemah atau gagal adalah sumber dari banyak persoalan dunia yang
paling serius, mulai dari kemiskinan, AIDS, obat bius, hingga terorisme.”
Pelaksanaan pembangunan membutuhkan kerangka dasar negara yang kuat
termasuk ideologi penguasa yang mesti disosialisasikan kepada rakyatnya. Selain
itu, mobilisasi sumber daya yang ada termasuk sokongan rakyat merupakan
kemestian. Bagi elite politik untuk mencapai perkara yang demikian, pilihannya
hanyalah membentuk regim otoritarian atau totalitarian (Linz & Stephan 1996: 3842). Kecenderungan ini pun berlaku di Indonesia.
Pembentukan negara kuat
menjadi alasan utama elite politik untuk melaksanakan pembangunan. Walaupun
15
dalam praktiknya ini tidak sepenuhnya berlaku.8 Elite politik justru berupaya
mengekalkan kekuasaan yang ada ditangannya.
Pembentukan negara kuat (strong state) bertujuan untuk memudahkan
mobilisasi sumber daya guna mewujudkan tidak hanya tujuan negara tapi juga
tujuan kekuasaan elite yang memerintah.
Negara kuat bisa dilihat daripada
otonomi politik yang diperolehi oleh rakyatnya. Semakin tidak otonom rakyat
dalam menentukan pilihan-pilihan politik, adalah bukti semakin kuat negara
tersebut. Dampak semakin kuatnya kekuasaan negara ialah ancaman terhadap
pelaksanaan demokrasi. Ryaas Rasyid (1994: 16) menyebutkan “[S]tate formation
aims at increasing the strenght and autonomy of the state. Strenght state is also
measured by the level of authonomy it has inforcing its society.”
Apabila melihat sejarah yang terjadi di Indonesia tahun 1950-an, penerapan
sistem demokrasi liberal dengan mengutamakan partisipasi individu warga negara
dalam politik, kedudukan negara (atau pemerintah) menjadi lemah. Ini terbukti
dengan jatuh-bangunnya kabinet sehingga tidak mampu mewujudkan agenda
pembangunan bagi rakyatnya. Yang selalu menjadi perkara dalam bernegara selalu
berkaitan erat dengan kompetisi politik baik elite maupun partai politik. Lamakelamaan perseteruan ini mengarah pada konflik politik kedaerahan yaitu antara
Jawa atau luar Jawa.
Puncak perseteruan elite politik yang mengangkat isu
kedaerahan ini, adalah ketika Mohammad Hatta sebagai wakil luar Jawa mundur
dari jabatan wakil presiden. Akhirnya ancaman terhadap disintegrasi bangsa
menguat.
Pemberontakan terhadap pemerintah pusat terjadi di banyak daerah
(Lihat Legge 1961; Feith 1970; Kahin 2005). Jika dipahami bahwa gejala ini
merupakan kenyataan, lemahnya negara dan kuatnya rakyat dalam sistem politik
yang dibangun.
8
Pada masa Orde Lama Presiden Soekarno berupaya mengimplementasikan demokrasi terpimpin
1959-1965 guna menjaga stabilitas politik yang mengancam negara yang diambang kehancuran.
Ini disebabkan oleh perseteruan partai di Dewan Konstituante mengancam keutuhan Negara
Indonesia. Elite lebih disibukkan oleh urusan politik berbanding dengan pembangunan ekonomi
(lihat Nasution 1995). Namun seiring berjalannya waktu tujuan menjaga keutuhan Negara
Indonesia berubah menjadi penguatan kekuasaan Presiden Soekarno. Begitu juga pada masa
Presiden Soeharto yang belajar dari regim Orde Lama yang sibuk dengan masalah politik,
menguatkan kekuasaannya dengan alasan pembangunan ekonomi dan menjauhkan rakyat dari
politik (depolitisasi massa). Bagi pembangunan ekonomi, stabilitas politik harus diciptakan apapun
caranya. Impaknya regim mesti dijalankan secara otoritarian (lihat selanjutnya Vatikiotis 1993;
Jackson 1978).
16
Di Indonesia kecenderungan pembentukan negara kuat ini menjadi agenda
politik yang dirancang oleh elite yang berkuasa dari suatu kelompok atau partai
politik yang ada. Tujuannya adalah agar negara, tentunya melalui pemerintah,
memiliki kemampuan untuk bertindak berdasarkan kehendak pemerintah untuk
mencapai kewujudan agenda politik, ekonomi dan sosial. Melalui kemampuan
elite politik yang menguasai negara, maka lembaga-lembaga negara berkenaan
mengarahkan rakyat guna berbuat sesuai dengan keinginan the rulling class.
Trauma pada politik masa lalu yang memunculkan instabilitas politik, elite yang
berkuasa berupaya mengendalikan politik rakyat dengan cara membentuk negara
kuat termasuk dalam berotonomi.
Hubungan pemerintah pusat dan pemerintah daerah pun dirancang
sedemikian rupa guna membuat daerah tidak leluasa bertindak secara politik
apalagi menentang pusat sebagaimana yang pernah terjadi. Jelas, yang dihendaki
ialah adanya perkhidmatan daerah kepada Jakarta. Tidak hanya dilakukan pada
masa regim Orde Lama tapi juga Orde Baru. Ini bisa dilihat dari komentar Malley
(1999: 75) berikut ini.
The incoming government’s priorities ran in the opposite direction: toward
establishing central control over a divided and politicized military and
bureacracy, including steps further to centralize relations between Jakarta
and the regions. Parallel policies to depoliticize society and limit political
competition further reduced the ability of regional actors to mobilize
support for local interests.
Apabila regim Orde Lama melakukan tindakan represif dengan memerangi
elite dan masyarakat daerah yang terlibat menentang kekuasaan pusat (Legge
1961; MacAndrews 1986), maka regim Orde Baru mengambil peranan lain. Paling
tidak ada 3 strategi yang dilakukan regim Orde Baru untuk mengendalikan
kekuasaan politik di daerah. Pertama, menempatkan komandan militei untuk duduk
di kekuasaan pemerintahan sipil (di provinsi, kota dan kabupaten) sebagai
gubernur, walikota ataupun bupati. Kedua, merancang aturan perundang-undangan
yang berkait dengan hubungan pusat dan daerah di mana peran pusat dominan
mengendalikan daerah, dan ketiga, menempatkan militer sebagai komando
teritorial penuh untuk mengurangi persaingan politik dan pemerintahan di daerah
17
(Malley 1999: 75-77).9 Dengan strategi ini, pemerintah berkuasa pada waktu itu
berhasil membentuk negara kuat sehingga tujuan kekuasaannya tercapai.
Perkara lain yang juga menarik dan bisa dianggap sebagai strategi di bidang
ekonomi adalah dengan membuat ketergantungan daerah kepada pusat khususnya
dalam pembiayaan aktifitas pemerintahan di daerah.
Pada masa kedua regim
berkuasa, keberhasilan membuat daerah bergantung pada pusat berakibat pada
ketidakmampuan daerah untuk mandiri dan bahkan bersikap kritis kepada pusat.
Kecuali pada masa Orde Lama di mana puncak perseteruan ekonomi dan politik
antara pusat dan daerah ini melahirkan pemberontakan (Lihat Kahin 2005).
Sebenarnya pada masa Orde Baru pun muncul pemberontakan bersenjata yang
menentang ketidakadilan yang dibuat oleh pemerintah pusat ini.
munculnya gerakan menuntut kemerdekaan di Aceh dan Papua.
Seperti
Walaupun,
diperangi dengan kekuatan bersenjata, namun gerakan ini terus menguat di dalam
kehidupan rakyat di tingkat lokal. Hingga Orde Reformasi pun masalah ini terus
muncul dan harus diselesaikan oleh pemerintah pusat dengan menggunakan
strategi dialogis yang melahirkan perundingan-perundingan. Pemberlakuan
otonomi khusus bagi Aceh dan Papua adalah pilihan politik yang harus diambil
guna mempertahankan NKRI.
Pada aspek ekonomi terjadi pula upaya melemahkan kekuaan rakya daerah.
Bisa dibayangkan, bahwa ketergantungan daerah pada pemerintah pusat dari segi
keuangan guna pembiayaan aktifitas pemerintahan dan pembangunan mencapai 80
hingga 90 peratus pada masa Orde Lama (MacAndrew 1986:11). Begitu pula pada
masa Orde Baru di mana ketergantungan daerah kepada pusat dalam masalah
kewangan juga mencapai 90 peratus (Ryass Rasyid 1994).
Bentukan negara kuat tentunya merupakan pilihan elite untuk mewujudkan
agenda negara yang lebih besar. Untuk kasus Indonesia, negara kuat tetap menjadi
pilihan guna menciptakan cita-cita Negara Kesatuan Republik Indonesia yang ada
di dalam konstitusi negara ini. Oleh itu, pemerintah pusat berupaya menanamkan
Strategi ini berhasil “melemahkan” daerah sehingga dengan mudah dikendalikan pusat. Dengan
melibatkan militer dalam politik daerah, elite sipil menjadi tersisihkan terutama dalam pemilihan
kepala daerah yang mesti mendapat dukungan dan restu pusat (Presiden Soeharto). Paling tidak
sebelum kejatuhan Presiden Soeharto, upaya ini berhasil menguatkan negara sehingga agenda
negara (baca pemerintah) bisa dilaksanakan di daerah. Bandingkan dengan penjelasan Ryaas
Rasyid 1994.
9
18
pemahaman ini pada seluruh bangsa Indonesia yang pluralistik untuk bernaung
dalam bentukan negara kesatuan (unitary state).
4.
Negara Lemah Dan Ancaman Terhadap Integrasi Nasional Dalam
Pelaksanaan Otonomi Daerah
Kewujudan negara yang lemah bisa dilihat pada praktik penyelenggaraan
otonomi daerah berdasarkan UU No. 22 tahun 1999.
Sebenarnya, masa
implementasi UU No. 22 tahun 1999 masih dalam masa transisi dan konsolidasi
demokrasi. Dampaknya negara menjadi berhati-hati untuk campur tangan proses
politik dan pemerintahan di daerah. Namun, tidak terlibatnya negara dalam proses
tersebut membawa pengaruh pula pada proses demokrasi yang berlangsung.
Paling tidak ini dapat dilihat dari banyaknya kasus yang berlangsung di daerah
selama periode transisi ke demokrasi tahun 1998-2003. Reformasi politik yang
berdampak langsung pada perubahan atmosfir politik dan perundang-undangan,
membawa pengaruh besar bagi kehidupan rakyat yang lebih demokratis.
Apabila dilihat dari kenyataan ini, dapatlah dipahami bahwa perubahan
yang sedang dilakukan oleh pemerintah saat ini adalah sebagai langkah strategis
bagi mewujudkan demokrasi dalam kehidupan rakyat. Pada dasarnya, demokrasi
juga harus ada dalam kehidupan rakyat di tingkat lokal. Bagi pemerintah pusat,
cara yang paling sesuai menghidupkan demokrasi di tingkat lokal ini ialah dengan
mempraktikkan desentralisasi (Smith 1985:19).
Walaupun demikian, ketika
strategi ini dilaksanakan, pemerintah pusat juga menghadapi dilema. Dilema itu
berkaitan dengan munculnya berbagai pemahaman dari daerah tentang bagaimana
pelaksanaan demokrasi di tingkat lokal. Perbedaan pemahaman tentang demokrasi
ini justru mengekalkan berbagai macam kekuasaan daerah yang bertentangan
dengan kedaulatan pusat, kekuasaan elite daerah atas rakyatnya, dan bahkan
kekuasaan daerah atas daerah lain yang justeru menimbulkan pertikaian antara
19
rakyat dengan rakyat. Kasus kerusuhan etnis di Kalimantan antara suku Dayak dan
Madura atau kerusuhan yang berlatar belakang agama di Maluku dan Poso adalah
bukti yang tidak bisa dinafikan dalam proses berdemokrasi di tingkat lokal (Lihat
Davidson 2005:170-173). Namun, karena ini sudah menjadi keniscayaan bagi
reformasi yang sedang berlangsung, maka pemerintah pusat harus mewujudkan
kondisi demokrasi ini.
Pemerintah pusat sebenarnya bisa mengandaikan, apabila demokrasi tidak
dikawal khususnya di tingkat lokal, maka yang muncul ialah kekacauan yang dapat
mengancam persatuan dan kesatuan bangsa. Apalagi dalam proses demokrasi yang
baru berlangsung tersebut muncul pula persoalan yang berhubungan dengan
perebutan kekuasaan (power building) di kalangan elite politik baik di panggung
politik nasional mahupun di pentas daerah (Kleden 2003: 162). Kecenderungan
ini bisa pula berpengaruh pada perilaku politik rakyat di daerah.
Oleh itu, bagi mengelakkan persaingan kekuasaan di kalangan elite ataupun
kelompok-kelompok politik yang ada, maka pemerintah mendesak proses transisi
ke arah demokrasi itu supaya berjalan dengan damai-- baik di tingkat nasional
maupun lokal.
Perubahan signifikan yang dilakukan pemerintah pusat dalam
berdemokrasi di tingkat lokal ialah memberikan otonomi daerah yang seluasluasnya kepada daerah. Pemerintah pusat berkeyakinan pelaksanaan desentralisasi
(politik dan keuangan) akan memudahkan pelaksanaan demokrasi di tingkat lokal.
Rondinelli & Cheema (1983:15-16) menjelaskan beberapa keuntungan pemberian
desentralisasi ini terutama dalam aspek hubungan pusat dan daerah. Antaranya
ialah mengatasi masalah kendali pusat yang berlebihan atas daerah yang dapat
memunculkan ketidaksukaan rakyat daerah kepada pusat, menambah sensitivitas
pusat terhadap masalah-masalah di daerah, memberi tempat bagi representasi
berbagai kelompok politik, agama, etnis, serta mampu meningkatkan stabilitas
politik dan kesatuan nasional. Di balik itu semua, otonomi daerah juga menjadi
salah satu wujud kebebasan bagi daerah untuk terlibat dalam merancang aktivitas
politik dan pemerintahan di tingkat lokal guna menguatkan kekuasaan pemerintah
pusat secara nasional (Smith 1985:19-20).
Sejak pelaksanaan UU No. 22 tahun 1999 pada Januari 2001, kehadirannya
memang disambut dengan penuh gembira oleh elite apalagi rakyat di daerah. Bagi
20
rakyat daerah kehadiran UU No. 22 tahun 1999 ini memperkuat kembali hak-hak
politiknya dalam penyelenggaraan pemerintahan. Selain adanya pengakuan politik
terhadap eksistensi mereka, UU ini juga menjanjikan pembangunan yang lebih
pesat untuk daerah. Dampaknya ialah UU ini melahirkan persaingan positif antara
daerah dalam mengisi program-program pemerintahan, pembangunan serta
pelayanan publik yang lebih baik. Ini bisa dilihat pada tahun pertama pelaksanaan
UU ini di mana pemerintah daerah berupaya menyusun perencanaan strategis guna
mewujudkan tujuannya. Tetapi kemudian, persaingan dalam pelaksanaan otonomi
daerah mengalami pergeseran ke arah kerusakan serta menimbulkan berbagaibagai masalah pula. Antaranya ialah munculnya isu putera asli daerah untuk
menduduki jabatan-jabatan publik di daerah masing-masing tanpa memberi
kesempatan bagi rakyat pendatang untuk menduduki jabatan di daerah itu. Ini
menunjukkan bahwa UU No. 22 tahun 1999 ini telah mewujudkan semangat
kedaerahan yang lebih menebal sehingga bisa mengancam kesatuan bangsa
Indonesia.
Daerah-daerah banyak menuntut berpisah dengan kabupaten induk
demi untuk membuat kabupaten baru.
Tidak bisa dinafikan percambahan
kabupaten baru ini semakin ramai sejak UU ini dilaksanakan.
Kelemahan lain UU ini ialah birokrasi publik di daerah menjadi otokratik
seperti mana birokrasi pemerintah di tingkat pusat. Gambaran ini dapat dilihat
dalam kenaikan pangkat seseorang pegawai yang lebih menonjolkan unsur
kronisme dan kekeluargaan (spoil system), bukannya pada asas keahlian (merit
system). Tidak terelakan pula masalah perselisihan batas wilayah kabupaten/kota
dengan daerah otonomi lain yang berjiran menambah daftar perkara impak
pelaksanaan otonomi yang seluas-luasnya ini (Wasistiono 2005:178-179). Di
sebahagian besar kabupaten/kota yang menjadi titik tolak pelaksanaan otonomi
daerah muncul pula masalah dalam meningkatkan pendapatan asli daerah guna
membiayai program pemerintah daerah yang kemudiannya menimbulkan berbagai
macam biaya yang dipungut kepada rakyat.10 Jelas semua dampak negatif ini tidak
10
Otonomi daerah yang diharapkan menjadi paradoks ketika elite daerah dan rakyatnya mempunyai
pemahaman yang berbeda terhadap pelaksanaan otonomi ini. Ini bisa dibuktikan, munculnya
egosentrisme kedaerahan yang berlebihan sehingga tidak memberi tempat bagi pendatang untuk
bekerja di daerah itu. Elite politik pun merasa besar di daerahnya dan menguatkan kekuasaanya
atas rakyat. Kuasa elite daerah pun kerap disalahgunakan terutama dalam menunjuk orang-orang
21
bersesuaian dengan apa yang sesungguhnya diharapkan oleh pusat berkaitan
dengan dengan demokrasi dan otonomi daerah ini.
Akibatnya pelaksanaan
demokrasi dan otonomi daerah dianggap telah menjadi masalah baru dalam
penyelenggaraan negara di Indonesia (Lihat Bertrand 2004:202-203).
Dilihat secara kelembagaan, muncul pula persaingan kuasa antara eksekutif
dan legislatif daerah. Keadaan ini menyebabkan hubungan politik antara eksekutif
dan legislatif menjadi tidak harmonis (Wasistiono 2005:176-177).
Berdasarkan
UU No. 22 tahun 1999 Pasal 46 ayat (3) dinyatakan adanya kekuasaan legislatif
daerah yaitu Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) untuk memberhentikan
kepala daerah (gubernur, bupati/walikota) apabila laporan pertanggungjawaban di
setiap akhir tahun anggaran ditolak DPRD. Besarnya kekuasaan DPRD ini juga
terlihat di Pasal 49 ayat (g) di mana DPRD bisa memberhentikan kepala daerah
apabila pelaksanaan tugas-tugasnya didapati menyebabkan krisis publik.
Pemberhentian dilakukan apabila keterangan kepala daerah tidak bisa diterima
DPRD. Dalam kenyataannya, DPRD memang memiliki kekuasaan yang sangat
besar sehingga kedudukan kepala daerah berasa tidak selamat, khususnya ketika
akan memberikan laporan pertanggungjawaban tahunan di hadapan DPRD.11
Hingga UU No. 22 tahun 1999 diimplementasikan 1 Januari 2001 ternyata
belum ada kemajuan yang berarti berkaitan dengan pelaksanaan demokrasi di
daerah.
Sebaliknya, apa yang muncul ialah perilaku yang jauh dari kesan
demokratis seperti menguatnya gaya kepimpinan otoritarian di daerah, muncul
pula chauvinisme kedaerahan, etnosentrisme dalam berotonomi bahkan praktik
kekuasaan feudalisme muncul kembali di daerah.12 Mengkhawatirkan realitas ini,
untuk duduk di birokrasi daerah yang hanya berdasarkan kronisme dan kekeluargaan (lihat
selanjutnya Pratikno 2005:61; Asrinaldi et al 2005:21-30).
11
Besarnya kewenangan DPRD yang diberikan oleh UU No. 22 tahun 1999 berdampak pada
lahirnya penyalahgunaan kekuasaan oleh DPRD. Misalnya dalam pelaksanaan pemberian laporan
pertanggungjawaban (progress report) tahunan kepala daerah. Kedudukan kepala daerah bisa
terancam oleh kekuasaan DPRD yang bisa menolak laporan pertanggungjawaban ini. Untuk
kelancaran penyampaian laporan pertanggungjawaban ini berlaku tawar menawar di mana kepala
daerah meminta kesediaan DPRD menerima laporan pertanggungjawabannya dengan janji adanya
pemberian “fasilitas” atau “wang” kepada setiap anggota DPRD dengan cara menaikan gaji dan
tunjangan lain (misalnya dana purnabakti) bagi anggota DPRD dalam APBD. Lihat Bali Online 26
Juli 2004. www.balipost.co.id diakses tanggal 2 Maret 2006.
12
Bukti adanya praktik feudalisme tersebut adalah di mana kepala daerah dan stafnya di
pemerintahan memiliki kekuasaan yang besar atas rakyat untuk menentukan program kerja
22
pemerintah pusat mengambil kebijakan politik dengan merevisi kembali isi dan
pelaksanaan UU No. 22 tahun 1999 yang sudah dipraktikkan lebih kurang lima
tahun. Pemerintah pusat berkeyakinan bahwa ia mesti mengambil suatu keputusan
politik yang bermakna untuk mengubah UU No. 22 tahun 1999 tersebut sehingga
agenda demokrasi tidak terganggu.
Melalui kajian dan perbincangan dengan
Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), akhirnya pemerintah pusat menggantikan UU
No. 22 tahun 1999 dengan UU No. 32 tahun 2004. Jelas, bahwa tujuan mengganti
UU ini adalah untuk membina kembali implementasi otonomi daerah yang tidak
sesuai dengan harapan pusat bagi kehidupan yang lebih harmonis dan demokratis,
di mana kerapkali terjadi perselisihan dalam pelaksanaannya, baik antara
pemerintah daerah maupun rakyatnya.
Diterbitkannya UU No. 32 tahun 2004 ini, oleh sebagian pihak dianggap
mengekalkan kembali kekuasaan pusat untuk campur tangan dalam pelaksanaan
demokrasi di tingkat lokal. Sebab, apabila UU ini diberlakukan, maka pemerintah
pusat memiliki legitimasi secara konstitusi mengendalikan daerah dalam
berotonomi.
Ini dianggap sebagai langkah politik pusat guna mengekalkan
kekuasaannya kembali atas daerah terutama dalam pelaksanaan otonomi daerah.
Pusat berpandangan bahwa apabila perannya mengendalikan otonomi daerah
tersebut diperkuat kembali, maka demokrasi di tingkat lokal akan lebih mudah
dibentuk sesuai dengan keinginannya.
Penguatan peranan negara kuat adalah pilihan yang mesti dibuat oleh
pemerintah untuk mencegah munculnya ancaman disintegrasi bangsa melalui
pelaksanaan autonomi daerah.
Oleh itu, pemerintah pusat menguatkan
kekuasaanya dengan membina kembali kekuatannya sebagai usaha mengawal
demokrasi di tingkat lokal melalui implementasi otonomi daerah.
Gejala ini
memiliki kesamaan dengan pemerintah Orde Baru ketika menerapan model
autonomi nyata dan bertanggung jawab yang melihat bahwa otonomi daerah mesti
pemerintah tanpa mendengarkan keinginan rakyat. Keterlibatan rakyat dalam mengendalikan
kekuasaan sangat terbatas. Kenyataannya pemerintah daerah tidak berkhidmat pada rakyat,
sebaliknya rakyatlah yang mesti berkhidmat pada elite pemerintah daerah. Ini dapat dilihat, untuk
peningkatan pendapatan asli daerah guna pembiayaan program-program pemerintahan, kerap kali di
banyak tempat kepala daerah dan DPRD menerbitkan Peraturan Daerah (Perda) guna menarik
sejumlah uang dalam bentuk pajak atau retribusi kepada rakyatnya.
23
dipandang sebagai masalah politik ketimbang sebagai masalah teknik administrasi
pemerintahan di tingkat lokal.13
Pemerintah pusat menganggap desentralisasi bukanlah ubat mujarab
mengatasi semua masalah di daerah. Karenanya, otonomi daerah sangat
bergantung pula kepada kondisi di mana otonomi itu berlaku.
Implementasi
otonomi daerah harus boleh melahirkan campur tangan. Untuk campur tangan itu
negara harus kuat. Negara boleh mengatur dan memaksakan kehendaknya pada
rakyat sesuai dengan fungsinya termasuk memaksakan apa yang terbaik untuk
daerah dalam melaksanaan autonomi. Sebab jika tidak, kewujudan NKRI tidak
lagi ditemukan dalam kehidupan antar bangsa. Selama ini sudah bisa dibuktikan
banyaknya kasus otonomi daerah yang diselenggarakan dengan menggunakan UU
No. 22/1999 ialah bukti lemahnya negara. Negara yang lemah yaitu yang tidak
mampu menjaga autoritinya, boleh mendatangkan pelbagai persoalan (Fukuyama
2005:xvii-xxii).
Oleh itu, dengan politik kekuasaannya pemerintah berusaha kembali
menguatkan peranan negara.
Berkaitan dengan politik kekuasaan ini, Wright
(1978:23) menjelaskan bahawa dimensi yang terkait dengan politik kekuasaan
negara itu ialah adanya kebebasan unit-unit politik yang mengakui tidak ada
superioritas dan klaim kedaulatan, kecuali negara. Selain itu hubungan antara unitunit politik yang ada harus tetap dan terkendali. Pemahaman terhadap dimensi
politik kekuasaan ini menyebabkan pemerintah pusat berperan penuh dalam
mengendalikan transisi demokrasi yang berlangsung di tingkat nasional ataupun
lokal.
13
Transisi demokrasi melalui pelaksanaan otonomi daerah yang seluas-
Implementasi otonomi daerah masa Orde Baru berbeda dengan masa Orde Reformasi yaitu: (i)
dari aspek UU yang mengatur bahwa otonomi daerah pada masa Orde Baru dilaksanakan dengan
berasaskan pada UU No. 5./1974. Sementara, otonomi daerah pada masa Orde Reformasi ialah UU
No. 22/1999 dan direvisi dengan UU No. 32/2004; (ii) prinsip otonomi UU No. 5/1974 ialah
otonomi nyata dan bertanggung jawab yaitu suatu kuasa pemerintah daerah melaksanakan tugas
sesuai dengan kemampuannya. Bertanggung jawab adalah pelaksanaan kuasa otonomi itu
pemerintah daerah mesti sesuai dengan tujuan yang ditetapkan. Apabila pemerintah pusat
menganggap bahawa pemerintah daerah tidak mampu melaksanakan otoritasnya, pusat boleh
menarik kembali kewenangan yang diberikan kepada daerah tersebut. Sementara UU No. 32/2004
ialah otonomi seluas-luasnya yaitu daerah diberi kekuasaan mengurus dan mengatur semua urusan
pemerintahan di luar yang menjadi urusan pemerintah pusat yang diatur oleh UU ini. Dalam
penjelasan UU No. 32/2004 bahwa pelaksanaan otonomi daerah yang seluas-luasnya mesti selaras
pula dengan pelaksanaan prinsip lain yaitu otonomi nyata dan bertanggung jawab.
24
luasnya boleh diwujudkan, namun tetap harus dikendalikan oleh pusat. Peran
negara seperti ini perlu dilakukan mengingat realitas bangsa Indonesesia yang
plural boleh menjadi salah satu faktor terciptanya konflik yang mengancam
kesatuan berbangsa dan bernegara.
5.
Penutup
Keberadaan negara tidak mungkin dinafikan dalam kehidupan berbangsa
dan bernegara.
Negara diperlukan jika ingin tetap mewujudkan harmonisasi
kehidupan rakyat.
Perwujudan kontrak sosial yang dilembagakan dengan
kehadiran negara membawa implikasi pada kerelaan individu-individu warga
negara untuk diatur oleh negara.
Dengan kata lain, negara berdaulat atas
kekuasaannya dihadapan rakyatnya.
Namun persoalannya, siapa yang dapat
menjamin bahwa kekuasaan negara
digunakan untuk kepentingan rakyatnya.
Dalam kondisi transisi ke demokrasi, memang diperlukan negara kuat. Apalagi
dalam kondisi masyarakat Indonesia yang plural. Transisi demokrasi yang sedang
berlangsung melalui pelaksanaan otonomi daerah saat ini sudah memberi
gambaran bagaimana demokrasi tersebut dipahami oleh rakyat Indonesia. Paling
tidak ketika UU No. 22 tahun 1999 dilaksanakan negara pada kondisi pasif
(lemah), akibatnya terjadi konflik di banyak daerah. Dapat disimpulkan bahwa
berlakunya UU No. 32 tahun 2004 menggantikan UU No. 22 tahun 1999 ialah
bukti nyata keinginan pusat untuk kembali mengendalikan daerah melalui
penguatan peranan negara dalam proses demokrasi di tingkat lokal.
Namun
apakah kondisi ini juga memberi kemanfaatan bagi penguatan rakyat dalam
berpolitik dan berpemerintahan di tingkat lokal? Mari kita lihat.***
Daftar Pustaka.
Agung, Ide Anak Agung Gde, 1983. Renville. Jakarta: Sinar Harapan.
Asrinaldi, Yoserizal, Aidinil Zetra, Yopi Fetrian, Roni Ekha Putera, 2005.
Optimalisasi pembinaan dan pemanfaatan aparatur antar daerah
kabupaten/kota dan provinsi di Sumatera Barat. Laporan Penelitian
Lembaga Penelitian Universitas Andalas dengan kerjasama Balibangda
Provinsi Sumatera Barat.
25
Bertrand, Jacques. 2004.
Nationalism and Ethnic Conflict in Indonesia.
Cambridge: Cambridge University Press.
Clark, Simon. (Pnyt.). 1991. The State Debate. London: Macmillan
Cribb, Robert. 1999. Nation: Making Indonesia. Dalam Donald K. Emerson
(penyt). Indonesia Beyond Soeharto: polity, economy, society, transition.
New York: An East Gate Book. Hal. 3-38.
Davidson, Jamie. E. 2005. Decentralization and regional violence in the post
Suharto State.
Dalam Maribeth Erb, Priyambudi Sulistiyanto,
CarolenFaucher (Pnyt.), Regionalism Post-Suharto Indonesia. London:
RoutledgeCurzon. Hal. 170-190.
Dieckhoff, Alain. 2003. Nationalism. Dalam Dalam Roland Axtmann (ed). 2003.
Understanding Democratic Politics. Hal. 271-279. London: Sage
Publications.
Dunleavy, Patrick and Brendan O’ Leary, 1987. Theories of the State: the politics
of liberal democracy. Great Britain: MacMillan Education.
Feith, Herbert & Castles, Lance. 1970. Introduction. Dalam Herbert Feith &
Lance Castles (Pnyt.). Indonesian political thinking. Hal.1-24. Ithaca:
Cornell University Press.
Fukuyama, Francis, 2005. Memperkuat Negara: tata pemerintahan dan tata
dunia abad 21. Jakarta: Gramedia.
Gaffar, Afan. 1999. Politik Indonesia: transisi menuju demokrasi. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.
Gaunthier, David P. 1969. The Logic of Leviathan: the moral and political theory
of Thomas Hobbes. Oxford: Oxford University Press
Held, David. 1994. Introduction: Central perspectives on the modern state. Dalam
David Held, James Anderson, Bram Gieben, Stuart Hall, Laurence Harris,
Paul Lewis, Noel Parker, Ben Turok. State and Societies. Oxford:
Blackwell Publisher. Hal. 1-55.
Jackson, Karl D. 1978. Bureaucratic polity: a theoritical framework for the
analysis of power and communications in Indonesia. Dalam Karl D
Jackson & Lucian W. Pye (Pnyt.). Political power and communications in
Indonesia. Berkeley: University of California Press.
Kahin, Audrey. 2005. Dari Pemberontakan Ke Integrasi: Sumatera Barat dan
politik Indonesia 1926-1998. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
King, Roger & Kendall, Gavin. 2004. The State, Democracy and Globalization.
New York: Palgrave Macmillan.
Kleden, Ignas. 2003. Indonesia setelah lima tahun reformasi. Analisis CSIS.
Tahun 32(2):160-172.
Legge, J.D. 1961. Central authority and regional authonomy in Indonesia: a study
in local administration 1950-1960. Ithaca: Cornell University Press.
Liddle, R. William, 1999. Regime: The new order. Dalam Donald K. Emerson
(penyt).
“Indonesia Beyond Soeharto: Polity, economy, society,
transition”. New York: An East Gate Book. Hal. 39-70.
Linz, Juan. J & Stepan, A. 1996. Problems of Democratic Transition and
Consolidation: Southern Europe, South America and post-comunist
Europe. Baltimore: Johns Hopkins University Press.
26
MacAndrew, Colin. 1986. Central government and local development in
Indonesia: An overview. Dalam MacAndrew, Colin. (penyt). Central
Government and Local Development in Indonesia. Hal.6-19. Oxford:
Oxford University Press.
Machiavelli, Niccolo, 1950. The Prince and The Discourses. New York: Random
House.
Malley, Michael. 1999. Regions: centralization and resistence. Dalam Donald K.
Emerson (penyt). Indonesia Beyond Soeharto: polity, economy, society,
transition. New York: An East Gate Book. Hal. 71-105.
Miliband, Ralph. 1969. The State in Capitalist Society. London: Weidenfeld &
Nicolson.
McVey, Ruth. 2003. Nation versus state in Indonesia. Dalam Damien Kingsbury
dan Harry Aveling (penyt). Autonomy and Disintegration in Indonesia.
London: RoutledgeCurzon. Hal. 11-27.
Parker, Noel. 1994. Classic conceptions of the state: introduction. Dalam David
Held, James Anderson, Bram Gieben, Stuart Hall, Laurence Harris, Pau
Lewis, Noel Parker, Ben Turok. State and Societies. Oxford: Blackwell
Publisher. Hal. 59-132.
Pratikno, 2005. Iniating Participatory Democracy in Indonesia: The Case of
Surakarta Municipality. Dalam Asia Pacific Perspectif an Electronic
Journal. 5(2):59-66. University of San Fransisco Center for the Pacific
Rim. http//www.pacificrim.usfca.edu/research/perspectives
Akses 5
Januari 2006.
Ryaas Rasyid, Muhammad. 1994. The state formation, party system, and the
prospect for democracy in Indonesia: the case of Golkar (1967-1993).
Disertasi Ph.D, University of Hawaii.
Rondinelli, Dennis A & Cheema, G. Shabbir. 1983.
Implementing
decentralization policies: an introduction. Dalam G. Shabbir Cheema and
Dennis A. Rondinelli (Pnyt). Decentralization And Development: policy
implementation in developing countries. Hal.9-34. London: Sage
Publication.
Smith, B.C. 1985. Decentralization: the teritorial dimension of state. London:
George Allen & Unwin.
Wasistiono, Sadu. 2005. Desentralisasi dan otonomi daerah masa reformasi (19992004). Dalam Anonimous. Pasang Surut Otonomi Daerah: Sketsa
perjalanan 100 tahun. Hal. 155-196. Jakarta: Yayasan TIFA.
Wright, Martin. 1978, Power Politics. New York: Holmes & Meier Publisher.
27
Download