4 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Anatomi Kuku

advertisement
4
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Anatomi Kuku
Kuku sebagai tambahan dari kulit, merupakan lempeng tanduk yang
bertugas melindungi ujung-ujung jari tangan dan kaki (Tresna, 2010). Selain itu, sepanjang evolusi manusia, kuku berfungsi untuk menggaruk dan pertahanan,
serta untuk fungsi tangan optimal. Tanpa kuku, sensitifitas jari dapat berkurang
sebanyak 50%, dan kemampuan memegang sulit, karena tidak ada tekanan kuku
terhadap jari (Wegener dan Johnson, 2010).
Struktur kuku yang terdapat dalam Syaifuddin (2009) dasar kuku
mengandung lapisan-lapisan epidermis dan dermis, di bawahnya mempunyai
rabung memanjang. Di sini terdapat kelenjar keringat dan folikel. Sel-selnya
banyak mengandung fibril sitoplasma yang hilang pada tahap akhir setelah sel
menjadi homogen (berstruktur sama) lalu menjadi zat tanduk, dan menyatu
dengan lempeng kuku. Pada lapisan dalam matriks kuku mengandung melanosit
sehingga lempeng kuku mungkin berpigmen pada ras hitam. Lempeng kuku
terdiri atas sisik epidermis yang menyatu erat dan tidak mengelupas, badan kuku
berwarna bening sehingga kelihatan kemerahan karena ada pembuluh kapiler
darah di dalam dasar kuku. Sel-sel stratum korneum meluas dari dinding kuku ke
permukaan lempeng kuku sebagai epikondrium atau kutikula.
Di dalam Junqueira dan Carneiro (2007) juga disebutkan bahwa lempeng
kuku yang hampir transparan dan epitel tipis dari dasar kuku merupakan “jendela
petunjuk” yang berguna untuk mengetahui jumlah oksigen dalam darah dengan
melihat warna darah dalam pembuluh dermis.
Menurut Rao et al. (2011) perubahan kuku juga dapat terjadi secara umum
biasanya pada orang tua, yaitu termasuk warna, kontur, pertumbuhan, permukaan,
ketebalan, dan histologi. Pada saat terjadi penuaan kuku, yang meningkat adalah
kalsium, sedangkan kadar besi menurun.
Universitas Sumatera Utara
5
Menurut Baran, Dawber, Haneke, Toste, dan Bristow (2003) anatomi
mikroskopis kuku adalah sebagai berikut:
1. Lipatan Kuku (Nail Fold)
Lipatan kuku proksimal mirip dengan struktur kulit tetapi biasanya tidak
memiliki kelenjar sebasea. Dari area distal sampai proksimal lipatan
kuku, kutikula menggambarkan atau mencerminkan permukaan lempeng
kuku. kutikula terdiri dari modifikasi stratum korneum dan berfungsi
untuk
melindungi
struktur
di
dasar
kuku,
khususnya
matriks
germinativum dari lingkungan tidak baik seperti iritasi, alergi, serta
bakteri dan jamur patogen.
2. Matriks Kuku (Nail Matrix)
Proksimal (dorsal) dan distal (intermediet) matriks kuku menghasilkan
bagian yang penting bagi kuku. seperti halnya epidermis kulit, matriks
memiliki lapisan pemisah basal yang menghasilkan keratinosit.
Keratinosit inilah yang mengeras lalu mati, serta memberikan kontribusi
pada lempeng kuku. Matriks kuku juga mengandung melanosit yang
menyebabkan pigmentasi pada keratinosit. Dalam keadaan normal,
pigmen tidak terlihat pada orang berkulit putih. Tetapi pada kebanyakan
orang yang berkulit hitam menunjukkan melanogenesis yang tidak
sempurna.
3. Palung Kuku (Nail Bed)
Palung kuku terdiri dari epidermis dan bagian dermis yang mendasari
penutupan periosteum falang distal. Terdapat pembuluh darah, limfatik,
dan sel-sel lemak.
4. Lempeng atau Badan Kuku (Nail Plate)
Terdiri dari 3 lapisan horizontal, yaitu: lamina dorsal tipis, lamina
intermediet tebal, dan lapisan ventral dari palung kuku. Dilihat dari
mikroskopisnya, terdiri dari sel-sel skuamus yang mati, pada orang tua
biasanya tampak massa acidophilic yang disebut tubuh pertinaks.
Lempeng kuku kaya kalsium, ditemukan sebagai fosfat dalam kristal
hidroksiapatit. Unsur-unsur lain yang hanya dalam jumlah kecil, seperti
Universitas Sumatera Utara
6
tembaga, mangan, seng, dan besi. Konsentrasi kalsium pada kuku 10 kali
lipat dari pada rambut. Kalsium tidak secara signifikan berkontribusi
untuk membuat kuku menjadi keras. Kekerasan kuku terutama
dikarenakan adanya protein belerang yang padat dari matriks.
Kelengkungan normal kuku berkaitan dengan bentuk tulang falang yang
mendasari lempeng kuku, yang secara langsung diikat oleh jaringan ikat
antara epitel subungual dan periosteum.
Adapun bagian-bagian kuku menurut Tresna (2010) yaitu sebagai berikut:
1. Badan kuku atau lempeng kuku (nail plate) yaitu bagian yang kelihatan
dari kuku yang berada di atas palung kuku mulai dari atas batas akar
sampai tepi ujung lepas.
2. Akar kuku (free edge) yaitu akar kuku berada pada dasar kuku dan
tersembunyi dibawah kulit, akar kuku berasal dari jaringan yang tumbuh
yaitu matriks atau kandungan kuku.
3. Ujung lepas yaitu merupakan bagian yang berbatasan dengan badan kuku
dan ujung jari.
Selain itu Tresna (2010) juga menjelaskan jaringan-jaringan yang
berbatasan dengan kuku, yaitu :
1. Palung Kuku
Bagian dari kulit tempat kuku berada. Palung kuku banyak terdapat
pembuluh darah yang menyediakan makanan untuk pertumbuhan yang
terus-menerus bagi kuku. Palung kuku juga terdapat urat syaraf.
2. Kandungan kuku
Bagian palung kuku yang berada di bawah akar kuku dan banyak terdapat
urat syaraf, getah bening, dan pembuluh darah. Bulan sabit (lanula)
kelihatan keputih-putihan, yang berada di dasar (bawah) badan kuku.
Warna pucat pada lanula disebabkan pemberian darah berkurang di
sekitar perkandungan kuku.
3. Kulit kuku (cuticle) yaitu bagian epidermis yang menutupi pinggir
sekeliling kuku.
Universitas Sumatera Utara
7
4. Eponychium yaitu sambungan dari cusificle, yaitu badan kuku yang
menutupi lanula.
5. Hyponichium yaitu bagian dari epidermis yang berada di bawah ujung
lepas.
6. Mantel atau penutup kuku yaitu lipatan yang berada di kulit dan tempat
akar kuku.
7. Dinding kuku yaitu lipatan-lipatan kecil kulit yang menutupi pinggirpinggir kuku.
8. Alur kuku yaitu lipatan yang dalam di kedua samping badan kuku.
Gambar 2.1. Anatomi Kuku
Sumber: Baran, Dawber, Haneke, Toste dan Bristow, 2003
2.2. Pertumbuhan Kuku
Menurut Syaifuddin (2010) dengan bertambahnya sel-sel baru dalam akar
kuku menghasilkan geseran lambat lempeng kuku di atas dasar kuku. Laju
pertumbuhan kuku rata-rata 0,5 mm perminggu. Pertumbuhan ini lebih pesat pada
jari tangan daripada jari kaki dan bila lempeng kuku dicabut paksa asalkan
matriksnya tidak rusak kuku akan tumbuh kembali. Sedangkan menurut Tresna
(2010) kuku tumbuh dengan arah ke depan, mulai dari kandungan kuku dan
melalui ujung jari. Pada musim panas pertumbuhan kuku lebih cepat
Universitas Sumatera Utara
8
dibandingkan pada musim dingin. Kuku anak-anak tumbuh lebih cepat daripada
orang dewasa. Kuku jari tengah tumbuh paling cepat sedangkan kuku jari jempol
tumbuhnya paling lambat. Walaupun kuku jari kaki tumbuhnya lebih lambat
daripada kuku jari tangan, namun lebih tebal dan lebih keras. Adapun menurut
Rao et al. pertumbuhan kuku berkurang sekitar 0,5% pertahun antara usia 20
tahun sampai 100 tahun.
Untuk proses pertumbuhan kuku menurut Junqueira dan Carneiro (2007)
dimulai dari epitel lempeng kuku yang timbul dari matriks kuku. Ujung proksimal
matriks meluas ke dalam akar kuku. Sel-sel matriks membelah, bergeser ke distal,
dan akhirnya mengalami kornifikasi yang membentuk bagian proksimal lempeng
kuku. Lempeng kuku kemudian bergeser ke depan di atas dasar kuku. Ujung distal
lempeng menjadi bebas dari dasar kuku.
2.3. Histologi Kuku
Kuku adalah lempeng sel epitel berkeratin pada permukaan dorsal setiap
falang distal. Bagian proksimal kuku yang tersembunyi dalam alur kuku adalah
akar kuku. Stratum korneum epitel kuku membentuk eponikium atau kutikula.
Lempeng kuku yang sesuai dengan stratum korneum kulit, terletak di dasar
epidermis yang disebut dasar kuku. Hanya stratum basal dan stratum spinosum
yang terdapat dalam dasar kuku (Junqueira dan Carneiro, 2007).
Kutikula terdiri dari stratum korneum yang dimodifikasi dan untuk
melindungi struktur dasar kuku, khususnya matriks germinativum, dari
lingkungan yang buruk seperti iritasi, alergen, bakteri patogen dan jamur patogen
(Baran, Dawber, Haneke, Tosti, dan Bristow, 2003).
2.4. Flora Normal Kuku
Menurut Baron S (1996) mikrobiologi normal pada kuku umumnya sama
dengan yang terdapat pada kulit, yaitu Staphylococcus sp., Micrococcus sp.,
Diphtheroid sp., dan predominan.
Universitas Sumatera Utara
9
2.4.1. Staphylococcus sp.
ORDO : Eubacteriales
FAMILI : Micrococcaceae
GENUS : Staphylococcus
Untuk spesies, bakteri ini memiliki sedikitnya 30 spesies, tetapi yang akan
dibahas
hanya
Staphylococcus
aureus
dan
Staphylococcus
epidermidis.
Staphylococcus sp. merupakan gram positif berbentuk bulat biasanya tersusun
dalam bentuk kluster yang tidak teratur seperti anggur, berdiameter 1 µm, bersifat
nonmotil dan tidak membentuk spora. Dibawah pengaruh obat seperti penisilin,
bakteri ini mengalami lisis. Staphylococcus sp. hidup bebas di lingkungan dan
membentuk kumpulan yang teratur terdiri atas empat atau delapan kokus (Brooks,
Butel, dan Morse, 2005).
Staphylococcus sp. tumbuh dengan baik pada berbagai media bakteriologi
dibawah suasana aerobik atau mikroaerofilik. Tumbuh dengan cepat pada
temperatur 37°C namun pembentukan pigmen yang terbaik adalah pada
temperatur kamar (20°C-35°C). Staphylococcus sp. memfermentasi karbohidrat,
menghasilkan asam laktat dan tidak menghasilkan gas. Bakteri ini tahan terhadap
kondisi kering, panas (temperatur 50°C selama 30 menit), dan natrium klorida
9%, tetapi dapat dihambat oleh bahan kimia tertentu seperti heksaklorofen 3%
(Brooks, Butel, dan Morse, 2005).
Universitas Sumatera Utara
10
Tabel 2.1. Perbedaan sifat dari Spesies Staphylococcus sp.
Staphylococcus
Staphylococcus
aureus
epidermidis
Kuning-putih
Putih
Hemolisis (agar darah)
+
±
Pertumbuhan (anaerob)
+
+
Koagulase
+
-
Peragian glukosa
+
+
Peragian manitol
+
-
Endonuklease termo-resisten
+
-
Protein A
+
-
Novobiosin
S
S
Warna koloni
Asam teikhoat
-
Ribitol-N-asetilglukosamin
+
-
-
Gliserol-glukosa
-
+
-
Gliserol-N-asetilglukosamin
-
-
Sumber: Syahrurachman et al., 1994
Asam teikhoat merupakan polimer gliserol atau ribitol fosfat, diikat ke
peptidoglikandan dapat menjadi antigenik. Antobodi asam anti teikhoat ini yang
dapat dideteksi melalui difusi gel yang dapat ditemui pada pasien endokarditis
aktif yang disebabkan oleh Staphylococcus aureus. Antibodi terhadap asam
teikhoat ini dapat dideteksi pada infeksi yang sudah lama (Brooks, Butel, dan
Morse, 2005).
Protein A merupakan komponen dinding sel pada kebanyakan
Staphylococcus aureus dan telah menjadi reagen yang penting dalam imunologi
dan teknologi laboratorium diagnostik. Sebagai contoh, protein A yang dilekati
oleh molekul IgG terhadap antigen bakteri spesifik akan mengaglutinasi bakteri
yang mempunyai antigen tersebut (Brooks, Butel, dan Morse, 2005).
Menurut Brooks, Butel, dan Morse (2005) Staphylococcus sp yang
patogen biasanya sering menghemolisis darah, mengkoagulasi plasma dan
Universitas Sumatera Utara
11
mengahasilkan berbagai toksin dan enzim ekstraseluler. Toksin dan enzim
tersebut adalah sebagai berikut:
 Katalase berfungsi mengubah hydrogen peroksida menjadi air dan
oksigen. Tes katalase juga dapat dilakukan untuk membedakan
Staphylococcus sp. positif dari Streptococcus sp. negatif.
 Koagulase dihasilkan oleh Staphylococcus aureus. Koagulase merupakan
protein yang menyerupai enzim yang mampu menggumpalkan plasma
yang ditambah dengan oksalat atau sitrat dengan adanya suatu faktor yang
ada pada serum. Produksi koagulase dapat sinonim dengan invasi potensial
patogenik.
 Enzim lain yang dihasilkan oleh Staphylococcus sp. yaitu hyaluronidase
atau faktor penyebaran, stafilokinase yang bekerja sebagai fibrinolisis
tetapi lebih lambat daripada streptokinase, lalu yang lainnya proteinase,
lipase, dan beta-laktamase.
 Eksotoksin meliputi alfatoksin (hemolisin) dan beta toksin. Alfatoksin
(hemolisin) merupakan protein heterogen, toksin ini dapat melisiskan
eritrosit dan merusak platelet serta mempunyai aksi yang sangat kuat
terhadap otot polos vaskular. Toksin ini juga dimungkinkan sama dengan
faktor letal dan faktor dermonekrotik dari eksoktoksin. Selanjutnya beta
toksin dapat menurunkan kadar sfingomyelin dan toksik pada beberapa
jenis sel, termasuk sel darah merah manusia.
 Lekosidin
merupakan
toksin
Staphylococcus
aureus
yang
dapat
membunuh sel darah putih binatang.
 Toksin eksofaliatif juga merupakan toksin Staphylococcus aureus.
 Toksin sindroma syok toksik (toxic shock syndrome toxin) secara
struktural sama dengan enterotoksin B dan C. Toksin ini menyebabkan
demam syok, yang dapat mengenai banyak sistem, termasuk ruam kulit
deskuamatif. Pada Staphylococcus aureus yang diisolasi ditemukan sekitar
20% gen Toxic Shock Syndrome Toxin-1 (TSST-1).
 Enterotoksin merupakan penyebab penting pada keracunan makanan,
enteroksin dihasilkan pada Staphylococcus aureus yang tumbuh pada
Universitas Sumatera Utara
12
makanan yang mengandung protein dan karbohidrat. Ingesti 25 mg
enterotoksin B dapat menyebabkan muntah dan diare. Muntah disebabkan
oleh pengaruh emetik enterotoksin yang dapat merangsang pusat muntah
di sistem saraf pusat setelah terjadi aksi toksin pada reseptor saraf di usus
halus. Hal ini juga sama seperti yang disampaikan oleh Dzen,
Roekistiningsih, Santoso, dan Winarsih (2003) dalam bukunya, yaitu
Staphylococcus sp. dapat menyebabkan keracunan makanan akibat
menelan makanan yang telah terkontaminasi dengan enterotoksin bakteri
ini. Enterotoksin ini adalah protein dengan berat molekul 35.000 Da dan
tahan terhadap pemanasan/pendidihan selama 30 menit.
Keracunan makanan oleh Staphylococcus sp. ini ditandai dengan periode
inkubasi yang pendek (1-8 jam) dengan mual yang hebat, muntah, diare, tetapi
tidak demam, dan cepat sembuh (Brooks, Butel, dan Morse, 2005).
Gambar 2.2. Struktur antigen Staphylococcus sp.
Sumber: Brooks, Butel, dan Morse, 2005
Cara penularan infeksi Staphylococcus sp. menurut Dzen, Roekistiningsih,
Santoso, dan Winarsih (2003) tergantung pada bentuk klinis, misalnya:
Universitas Sumatera Utara
13
 Kontak langsung dengan peradangan pada kulit dan kuku seseorang.
Penularan bisa terjadi apabila kulit yang meradang tersebut tidak intak,
misalnya lesi.
 Penularan melalui udara (airborne).
a. Staphylococcus epidermidis
Staphylococcus epidermidis merupakan penduduk paling banyak di kulit
dan pada beberapa tempat dapat menjadi flora aerobik residen lebih dari 90%
(Baron S, 1996). Untuk koloni bakteri ini biasanya berwarna abu-abu hingga putih
terutama pada isolasi primer, beberapa koloni menghasilkan pigmen hanya pada
inkubasi yang diperpanjang dan tidak ada pigmen yang dihasilkan secara
anaerobik atau pada media cair (Brooks, Butel, dan Morse, 2005).
Bakteri ini tidak memproduksi koagulase dan cenderung menjadi non
hemolitik sehingga jarang menyebabkan supuratif tapi dapat menginfeksi prostesa
di bidang ortopedi atau kardiovaskular atau juga dapat menyebabkan penyakit
pada orang dengan daya tahan tubuh menurun (Brooks, Butel, dan Morse, 2005).
b. Staphylococcus aureus
Staphylococcus aureus adalah gram positif, kokus koagulase positif pada
famili Staphylococcaceae (The Center for Food Security & Public Health and
Institute for International Cooperation in Animal Biologics, 2014) dan
berdiameter 1-1,3 µm serta menghasilkan enterotoksin (Food Doctors, 2008). Bakteri ini membentuk koloni abu-abu sampai kuning emas (Brooks, Butel, dan
Morse, 2005). Organisme ini dapat tumbuh dengan dan atau tanpa oksigen
(anaerobik fakultatif) dan bersifat oksidase negatif (Food Doctors, 2008). Bakteri
ini oportunistik patogen sering pembawa asimtomatis pada tubuh manusia (The
Center for Food Security & Public Health and Institute for International
Cooperation in Animal Biologics, 2014).
Staphylococcus aureus dapat dibedakan dari Staphylococcus epidermidis,
dari produksi enzim koagulase dan thermonuclease. Tidak hanya menghasilkan
enterotoksin yang menyebabkan keracunan makanan ketika dicerna, organisme ini
Universitas Sumatera Utara
14
juga menyebabkan sejumlah penyakit lain, seperti luka infeksi dan keracunan
darah (sepsis), toxic shock, dan lain-lain. Staphylococcus sp. ini dapat
mengkontaminasi makanan melalui kontak dengan tangan yang terkontaminasi,
bahan-bahan dan permukaan-permukaan, dan bisa juga melalui udara, contohnya
seperti batuk (Food Doctors, 2008).
Rantai Methicillin-resistant Staphylococcus aureus (MRSA) telah
memiliki gen yang membuat mereka resisten terhadap semua antibiotik beta
laktam (The
Center for Food Security & Public Health and Institute for
International Cooperation in Animal Biologics, 2014).
Tabel 2.2. Batas pertumbuhan Staphylococcus aureus
No.
1.
PARAMETER
Temperatur
Minimum temperature
Optimum temperature
Maksimum temperature
2.
Water activity (aw)
Minimum aw
3.
pH
Minimum pH
Optimum pH
Maksimum pH
Sumber: Food Doctors, 2008
NILAI LAPORAN
8°C
35°C-37°C
45°C
0,86-0,84
4,5
7,0-7,5
9,3
Masa infeksi Staphylococcus aureus pada manusia sangat bervariasi. Pada
pasien rentan, kasus-kasus klinis dapat menjadi jelas 4 sampai 10 hari setelah
terpapar. Namun infeksi oportunistik juga dapat tejadi setelah waktu yang tidak
terbatas pada orang (karier) yang asimtomatik. Infeksi bakteri ini pada manusia
dapat didiagnosa dengan cara dikultur (The Center for Food Security & Public
Health and Institute for International Cooperation in Animal Biologics, 2014).
Universitas Sumatera Utara
15
Gambar 2.3. Staphylococcus aureus pada mikroskop elektron
Sumber: Food Doctors, 2008
Penyakit yang dapat disebabkan oleh bakteri ini dapat berasal dari
kontaminasi langsung dari luka, misalnya pascaoperasi infeksi Staphylococcus sp.
atau infeksi yang menyertai trauma (osteomielitis kronik setelah patah tulang
terbuka, meningitis yang menyertai patah tulang tengkorak). Sedangkan jika
bakteri ini menyebar dan terjadi bakterimia maka bisa terjadi endokarditis,
osteomielitis hematogenus akut meningitis atau infeksi paru-paru (Brooks, Butel,
dan Morse, 2005).
Selain itu menurut Dzen, Roekistiningsih, Santoso, dan Winarsih (2003)
bentuk klinis lainnya yang tergantung dari bagian tubuh yang terkena infeksi
yaitu:
 Kulit: furunkel, karbunkel, impetigo, scalded skin syndrome, dan
lain-lain.
 Kuku: paronikia
 Tulang: osteomielitis
 Sistem pernapasan: tonsillitis, bronkhitis, dan pneumonitis.
 Otak: meningitis dan ensefalomielitis
 Traktus urogenitalis: sistitis dan pielitis
Universitas Sumatera Utara
16
2.4.2. Micrococcus sp.
FAMILI : Micrococcaceae
GENUS : Micrococcus
Micrococcus sp. tidak sebanyak Staphylococcus sp. dan Diphtheroid sp..
Bagaimanapun frekuensi Micrococcus sp. ada pada kulit normal. Micococcus
luteus adalah spesies predominan, biasanya jumlahnya 20 sampai 80 persen dari
isolasi Micrococcus sp. kulit (Baron S, 1996). Adapun menurut Holt et al. (1994);
Buchanan dan Gibbons (1974) dalam Thoyib, Setyaningsih, dan Suranto (2007),
bentuk dari Micrococcus sp. adalah bulat, ukurannya 0,5-2,0 µm, koloninya
berwarna kuning atau merah. Bakteri ini merupakan bakteri aerob, katalase
positif, ada juga negatif, dan suhu untuk pertumbuhannya 25-37°C.
Menurut Holt et al. (1994); Buchanan dan Gibbons (1974) dalam Thoyib,
Setyaningsih, dan Suranto (2007), Micrococcus luteus adalah bakteri gram positif,
ukurannya 2-3 mm, nonmotil, tidak membentuk asam dari glukosa, xilosa, dan
laktosa. Bakteri ini dapat menghidrolisis gelatin, uji oksidase positif, tumbuh pada
suhu 37°C, koloninya berbentuk bundar, tepian berombak, dan warna kuning.
2.4.3. Diphtheroid sp. (Coryneform)
Bakteri ini adalah bakteri gram-positif dan berbentuk batang (Kosuge,
Teare, dan MacDowell, 2010). Menurut Brooks, Butel, dan Morse (2005) bakteri
ini tumbuh secara aerob pada media laboratorium biasa dan bisa tumbuh lebih
mudah pada medium serum Loeffler. Selain itu bakteri ini nonmotil dan tidak
berkapsul (Zakikhany dan Efstratiou, 2012). Untuk ukurannya menurut
Syahrurachman et al. (1994) 1,5- 5um x 0,5-1 um dan biasanya salah satu
ujungnya menggembung sehingga berbentuk gada, tidak berspora, dan tidak tahan
asam. Dalam preparat sering tampak membentuk susunan huruf-huruf V, L, Y,
tulisan cina atau anyaman pagar (palisade). Granula metakhromatik Babes-Ernst
dapat dilihat dengan pewarnaan Neisser atau biru metilen Loeffler. Namun
pemeriksaan granula metakhromatik ini tidak spesifik.
Menurut Yandepitte, Yerhaegen, Engbaek, Rohne, Piot, dan Heuck (2005)
pada agar darah telurit yang selektif menghasilkan koloni berwarna keabu-abuan
Universitas Sumatera Utara
17
sampai hitam. Selain itu menurut Brooks, Butel, dan Morse (2005) pada media
agar darah, koloni bakteri ini kecil, granuler, dan berwarna abu-abu dengan tepi
yang tidak teratur serta ditemukan adanya zona hemolisis yang sempit.
Bakteri ini menghasilkan eksotoksin sehingga menyebabkan difteria pada
manusia. Sejumlah kecil toksin yang diabsorbsi dari infeksi kulit dapat memicu
timbulnya antibodi antitoksin dan bakteri ini tidak harus bersifat toksigenik untuk
menimbulkan infeksi lokal Brooks, Butel, dan Morse (2005).
2.4.4. Streptococcus sp.
FAMILI : Streptococcaceae
GENUS : Streptococcus
Streptococcus sp. merupakan bakteri gram positif yang berbentuk bulat,
mempunyai karakteristik dapat membentuk pasangan atau rantai selama
pertumbuhannya dan membelah diri dengan arah memanjang pada sumbu dari
rangkaian tersebut. Pada umur biakan tertentu dan bila bakteri ini mati, mereka
akan kehilangan sifat gram-positif dan kemudian berubah menjadi gram negatif,
hal ini dapat terjadi setelah dilakukan inkubasi selama semalam (Brooks, Butel,
dan Morse, 2005). Pada agar darah spesies ini menunjukkan derajat yang
bervariasi untuk hemolisis, hemolisis diproduksi oleh koloni pada agar darah
(Public Health England, 2014). Selain itu bakteri ini dieramkan 18-24 jam pada
agar darah, koloninya tampak kecil-kecil dengan ukuran kurang dari 1mm, bentuk
koloninya bulat seperti bintik-bintik kecil, dan warnanya bening sampai opaque
(Dzen, Roekistiningsih, Santoso, dan Winarsih (2003).
Streptococcus sp. adalah anaerobik fakultatif dan tidak menghasilkan
katalase (Public Health England, 2014). Bakteri ini merupakan kelompok bakteri
yang heterogen sehingga begitu banyak klasifikasinya, tapi menurut Dzen,
Roekistiningsih, Santoso, dan Winarsih (2003) klasifikasi bakteri ini dapat
dibedakan berdasarkan tipe hemolisis pada agar darah, yaitu:
 Streptococcus hemolitik-alfa (Partial hemolytic Streptococcus)
 Streptococcus hemolitik-beta (Total hemolytic Streptococcus)
 Streptococcus hemolitik-gama (Non hemolytic Streptococcus)
Universitas Sumatera Utara
18
a. Streptococcus viridans (Streptococcus hemolitik-alfa)
Bakteri ini merupakan flora normal pada saluran pernafasan atas dan
berperan penting untuk menjaga kesehatan membran mukosa disana (Brooks,
Butel, dan Morse, 2005). Menurut Dzen, Roekistiningsih, Santoso, dan Winarsih
(2003) koloni bakteri ini pada agar darah terlihat zona hemolisis yang sempit,
artinya sel darah merah pada inner zone dari agar darah tidak terjadi hemolisis,
sedangkan pada outer zone terjadi hemolisis komplit. Sering terdapat warna
kehijauan pada daerah sekitar koloni karena adanya pembentukan unidentified
reductants of haemoglobin.
b. Streptococcus pyogenes (Streptococcus Beta Hemolitycus Group A)
Menurut Syahrurachman et al. (1994) bakteri ini berdiameter 0,5-1 µm,
tumbuh baik pada pH 7,4-7,6, suhu optimum untuk pertumbuhan 37°C, dan
pertumbuhannya cepat berkurang pada 40°C. Pembenihannya pada agar darah,
tumbuh dalam beberapa jam atau hari. Selain itu menurut Dzen, Roekistiningsih,
Santoso, dan Winarsih (2003) bakteri ini menyebabkan zona hemolisis yang luas
dan terang di sekitar koloninya pada agar darah, itu disebabkan karena adanya
streptolisin yang dihasilkan bakteri ini sendiri. Selain itu penyakit yang dapat
disebabkan oleh bakteri ini menurut Syahrurachman et al. (1994) adalah:

Erisipelas

Sepsis puerpuralis

Sepsis

Radang tenggorok

Impetigo

Endokarditis bakterialis
c. Streptococcus hemolitik-gama (Non-hemolytic Streptococcus)
Pada agar darah, bakteri ini tidak menyebabkan hemolisis sama sekali
(Dzen, Roekistiningsih, Santoso, dan Winarsih, 2003).
Universitas Sumatera Utara
Download