gen:i REPUBLIKA 19 Sabtu 14 Agustus 2010 DOKPRI Mereka mencoba memperbesar ruang berpikir bahwa jenis musik itu banyak dan saling silang. U R A B N A K RACI A S O K A R P BONDAN Metaformosis ‘Si Lumba-lumba’ ama Bondan Prakoso agaknya tak lagi asing. Kembali ke masa 1990-an, penyanyi cilik bernama Bondan Prakoso dikenal dengan gerakannya yang lincah, loncat ke sana sini. Berjaket hitam, ia menari-nari sambil membawakan lagu Si Lumba-lumba. ‘’’Si Lumba-lumba’ merupakan puncak karier saya sebagai penyanyi anak,’’ tutur Bondan. Bondan pun mengakhiri masa emas sebagai penyanyi anak saat ia masuk SMP. Di masa vakum itu, ia belajar banyak alat musik —dari drum, piano, gitar, hingga bass. Pada 1996, ia membentuk band yang menjadi cikal bakal Funky Kopral. Setelah sempat meluncurkan tiga album, Bondan memutuskan hengkang. ‘’Basic kami funk dan rock. Namun, karena sempat vakum sedangkan aku sangat tergoda untuk terus memainkan berbagai jenis musik, aku pun keluar,’’ tuturnya mantap. Pertemanan dengan Tito, kawan sekampusnya, soal hip hop, akhirnya membawa Bondan menggandeng Fade 2 Black. Kolaborasi apik keduanya itulah yang melambungkan mereka menuju sukses saat ini. Tentu saja, semuanya tidak dilakukan dengan mudah. Ada proses panjang di baliknya. Setiap lagu, ungkap Bondan, akan diperhatikan dengan benar, melalui penentuan tema, serta diskusi soal lirik. ‘’Masing-masing memiliki karakter tersendiri yang tak mungkin aku hilangkan,’’ ungkapnya lagi. Ketika harus memasukkan beragam jenis musik, Bondan merasa ini bukan masalah. Bagi dia, segala jenis musik bisa dijual, bahkan musik keras macam grind core sekalipun. Yang penting adalah kemasan dan usaha untuk berpikir lebih untuk mengemasnya itu. ‘’Kadang seperti para anggota band yang ingin naik level, mereka akan sangat berpikir keras untuk maju tanpa harus kehilangan fans mereka. Pasti mereka akan berpikir keras tanpa harus mengikuti musik mainstream yang sedang berkembang saat itu,’’ ucapnya. Dan, Bondan pun merasakan inilah dunianya yang sejati: Dunia seni. Sejak lahir, ia yakin sekali darah seni mengalir dalam dirinya. ‘’Dalam diri saya mengalir darah ayah yang seorang musisi dan ibu (Lili Yulianingsih), seorang penyanyi keroncong,’’ ucapnya. Dukungan orang tua pula yang membawanya menyambangi tangga sukses. Bahkan, hingga kini sang ayah tetap punya andil untuk sukses itu. Setidaknya, lewat goresan lirik-lirik Ya Sudahlah yang asli ciptaan sang ayah, Sisco Batara: Ketika mimpimu yang begitu indah, tak pernah terwujud, ya sudahlah. Saat kau berlari mengejar anganmu dan tak pernah sampai, ya sudahlah. ■ ed: endah hapsari N Ichsan Emrald Apa pun yang terjadi Ku kan slalu ada untukmu Janganlah kau bersedih Cause everything’s gonna be OK endangan itu terdengar terus-menerus. Di radio, menjadi jingle iklan, disenandungkan pelan-pelan, sampai diteriakkan oleh anak-anak. Menapaki tangga lagu negeri ini, single terbaru Bondan Prakoso dan Fade 2 Black ini seolah merajai pendengaran. Lagu Ya Sudahlah dari album ketiga mereka For All memang terdengar santai, ringan, dan mudah dicerna. Bagi Bondan dan Fade 2 Black, inilah buah dari kerja keras yang mereka bangun sejak 2005. ‘’Saat ini kami sedang berusaha membuka jalan untuk mencapai level yang lebih tinggi,’’ ungkapnya penuh percaya diri. Bersama grup rap Fade 2 Black yang terdiri atas Tito Budidwinanto, Ardaninggar Nazir, dan Danial Rajab Fahreza, Bondan alias Mr B berusaha mengembalikan hip hop yang kritis pada isu-isu sosial. Padahal, jika boleh jujur, Bondan mengaku sempat tak paham soal hip hop. ‘’Biar tidak ngerti D banget, aku respek pada mereka dan mereka respek pada aku. Makanya, kita membuat album pertama berjudul Respect,’’ ungkapnya. Sejak awal, ia dan Fade 2 Black tidak membuat sebuah grup atau band baru. Mereka memilih berkolaborasi dalam duet. ‘’Sebagai seorang produser, saya melihat Fade 2 Black yang memiliki karakter kuat dan pantas untuk berdiri sendiri,’’ tuturnya. Bersama dengan Fade 2 Black, Bondan mengaku memulai perjalanan baru ‘meracik’ musik baru ke level yang berbeda. ‘’Aku mencoba keluar dari comfort zone dari basic musik funk dan rock, serta berusaha mencampurkan antara rap dan jenis musik lain seperti ska, funk, sampai musik tradisional,’’ ungkap pria kelahiran 8 Mei 1984 ini. Racikan ala Bondan itu berarti berusaha menyatukan beragam genre musik. Bahkan, Bondan Prakoso dan Fade 2 Black saat ini dikenal sebagai musisi multigenre dan cross-over. Sejak awal, lanjut Bondan, mereka hanya ingin membuat lagu dengan musik yang unik dan baru, sesuatu yang berbeda. ‘’Sejak awal aku mencoba berpikir keras untuk mengolaborasikan hip hop dengan segala jenis musik. Sesuatu yang dianggap sulit, namun ternyata bisa dilakukan.’’ Idealisme Semua mereka lakukan untuk mencoba memperbesar ruang berpikir bahwa jenis musik itu banyak dan saling silang. ‘’Kami hanya ingin menjadi musisi multigenre kendati awalnya kami hanya ingin bereksperimen dalam musik,’’ ucapnya. Saat pertama kali mengeluarkan album, Bondan mengatakan, mereka muncul dengan idealisme. ‘’Idealisme harus ditaruh pada awal sebagai identitas kita,’’ ungkap Bondan. Dia pun kerap membicarakan soal idealisme yang naik turun, termasuk untuk album ketiga For All. ‘’Kalau aku sampai tergoda membuat lagu yang laris manis, mungkin aku nggak bakal bisa bertahan sampai sekarang,’’ tuturnya sambil tertawa. Akan tetapi, Bondan mengakui album pertama mereka, Respect (2005), keluar dengan idealisme mereka untuk membuat berbagai lagu dengan campuran berbagai jenis musik seperti funk, reggae, dan ska. Ternyata, kolaborasi ini malah berujung pada kelahiran fans club Bondan dan Fade 2 Black bernama Rezpector. Di album kedua U.N.I.T.Y (2007), nama Bondan dan Fade 2 Black mencuat karena lagu bernuansa hip hop, funk, dan keroncong: Keroncong Protol. ‘’Sebuah single yang idealis, tetapi cukup meledak kala itu. Bagi saya, itu juga sebuah masterpiece,’’ ujarnya. Sejak itulah, suami Margareth ini mulai berpikir keras agar musiknya bisa diterima banyak orang namun benang merah serta idealisme awal juga tak terlupakan. Hingga keluarlah album ketiga For All dengan single Ya Sudahlah. Rupanya, di balik keriangan lagu itu, Bondan justru merasa idealismenya mulai menurun. Bondan pun merasa sudah saatnya berkompromi. ‘’Idealisme itu penting. Akan tetapi, kita tidak boleh melupakan keindahan alias sisi komersial. Kalau hanya berkubang di idealisme yang itu-itu saja, maka kita akan tampak terus seperti amatir,’’ ujarnya. Kompromi itu demi satu tujuan yang lebih besar. ‘’Setiap musisi pasti ingin meraih tingkat yang lebih tinggi dan musiknya bisa didengar banyak orang.’’ ■ ed: endah hapsari PERWAKILAN REPUBLIKA BANDUNG Silakan Hubungi: Jalan LL. RE. Martadinata No. 126 ✔(022) 4204691