BAB 2 - Library Binus

advertisement
BAB 2
LANDASAN TEORI
2.1
Kerangka Teori
Penelitian ini menggunakan beberapa teori pemasaran yang peneliti pelajari
selama menjadi mahasiswa di BINUS UNIVERSITY sebagai konsep dasar dan acuan
pada penelitian ini. Pada sub-bab ini peneliti akan menjelaskan teori-teori yang
digunakan mulai dari teori utama yang bersifat umum sampai dengan yang spesifik
melalui bagan sebagai berikut :
Gambar 2.1 Kerangka Teori
Consumer
Behavior
Grand Theory
Consumer
Analysis
E-Marketing
Channel
(e-WOM)
Middle Theory
Market
Segmentation
Specific Theory
Consumer
Buying
Decision
Psychographic
Segmentaton
Sumber : Peneliti (2014)
15
VarietySeeking
Buyer
behavior
Individual
Consumer
Trends
Grazing Trend
16
2.2
Kajian Pustaka
2.2.1 Perilaku Konsumen (Consumer Behavior)
Perkembangan zaman yang terjadi di lingkungan sosial masyarakat khususnya
Jakarta memang telah mempengaruhi perilaku konsumen. Menurut The American
Marketing Association (2011), perilaku konsumen atau Consumer Behavior merupakan
sebuah interaksi dinamis antara perasaan dan pikiran, perilaku dan lingkungan eksternal
saat seseorang melakukan pertukaran aspek-aspek dalam hidupnya Dengan kata lain,
perilaku konsumen melibatkan pikiran dan perasaaan mengenai pengalaman seseoarang
dan aksi yang dilakukan pada proses konsumsi. Hal ini juga termasuk dalam lingkungan
– lingkungan yang mempengaruhi pikiran, perasaan dan aksi yang dimaksud. Contohnya
adalah komentar dari konsumen yang lain, periklanan, informasi harga, kemasan,
kenampakan produk, blog dan masih banyak lagi. Perilaku konsumen dapat diartikan
sebagai proses pengambilan keputusan konsumen yang dilihat saat mereka mencari,
Mengevaluasi, membeli, menggunakan barang dan jasa untuk memuaskan kebutuhannya
(Tai Kai Hun & Rashad Yazdanifard : 2014)
2.2.1.1 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Perilaku Konsumen
Menurut Philip Kotler dan Kevin Lane Keller (2010), perilaku konsumen
dipengaruhi oleh faktor-faktor budaya,sosial, pribadi dan psikologis dan yang
mempunyai pengaruh paling luas dan dalam adalah faktor budaya. Faktor budaya, subbudaya dan kelas sosial merupakan faktor penting yang mempengaruhi perilaku
konsumen. Menurut Philip Kotler dan Kevin Lane Keller (2010), Budaya merupakan
penentu keinginan dan perilaku paling dasar.
Masing-masing
budaya
terdiri
dari
sejumlah
sub-budaya
yang
lebih
menampakkan identifikasi dan sosialisasi khusus bagi para anggotanya. Sub-budaya
mencakup kebangsaan, agama, kelompok ras, dan wilayah geografis. Selain itu,
lingkungan masyarakat juga dibagi berdasarkan kelas sosial. Kelas sosial merupakan
pembagian masyarakat yang relatif homogen dan permanen yang tersusun secara
hirarkis dan yang para anggotanya menganur nilai, minat dan perilaku yang serupa.
Menurut
Ujang
Sumarwan
(2004),
Kelas
sosial
adalah
bentuk
mengelompokkan masyarakat ke dalam kelas atau kelompok yang berbeda.
lain
dari
17
Menurut Philip Kotler dan Kevin Lane Keller (2010), satu gambaran mengenai
kelas sosial di Amerika Serikat yang mendefinisikan tujuh tingakatan, yaitu :
a. Kelas- bawah-bawah
b. Kelas bawah-atas
c. Kelas Pekerja
d. Kelas Menengah
e. Kelas menengah atas
f. Kelas atas-bawah
g. Kelas atas-atas
Kelas sosial menunjukkan preferensi atas produk dan merek yang berbeda-beda,
preferensi terhadap mediapun berbeda-beda setiap kelas sosial, yaitu kelas sosial atas
menyukai majalah dan buku sementara konsumen kelas bawah menyukai televisi.
Perbedaan juga terdapat pada bahasa yang berbeda, naskah iklan dan dialog harus sesuai
dengan kelas sosial yang ditargetkan.
Selain faktor budaya, perilaku konsumen juga dipengaruhi oleh faktor sosial
yang meliputi, keluarga, peran, dan status sosial. Kelompok acuan seseorang terdiri dari
semua kelompok yang memiliki pengaruh langsung (tatap muka) atau tidak langsung
terhadap sikap atau perilaku orang tersebut. Kelompok yang memiliki pengaruh
langsung dinamakan kelompok keanggotaan. Beberapa kelompok keanggotaan
merupakan kelompok primer seperti keluarga, teman, tetagga, dan rekan kerja yang
berinteraksi dengan seseorang secara terus-menerus dan informal. Sedangkan orang
yang menjadi kelompok sekunder adalah kelompok keagamaan, profesi, dan asosiasi
perdagangan yang cenderung lebih formal dan membutuhkan interaksi yang tidak begitu
rutin.
Seseorang juga berpartisipasi dalam kelompok sepanjang hidupnya seperti klub,
organisasi yang membuat orang itu mempunyai kedudukan tertentu dalam klub atau
organisasi tersebut mempunyai peran dan status. Peran adalah kegiatan yang diharapkan
akan dilakukan oleh seseorang. Masing-masing peran menghasilkan status.
18
Faktor yang mempengaruhi perilaku konsumen adalah gaya hidup dan nilai.
Menurut Philip Kotler dan Kevin Lane Keller (2010) Gaya hidup merupakan pola hidup
seseorang yang bisa diungkap melalui aktivitas, minat, dan opininya. Gaya hidup
menggambarkan “keseluruhan diri seseorang” yang berinteraksi dengan lingkungannya.
Menurut Qiuxue Luo & Paul James (2013), ada dua jenis hal yang
mempengaruhi perilaku konsumen, yaitu pengaruh eksternal dan internal. Pengaruh
eksternal meliputi budaya, pemerintah, kegiatan pemasaran dan referensi kelompok.
Sedangkan pengaruh internal adalah persepsi, tingkah laku, motivasi dan emosi.
Selain itu, menurut Tan Kai Hun & Rashad Yazdanifard (2014) program dan
chanel Online Marketing juga dapat mempengaruhi perilaku konsumen seperti Search
Engine Optimization (SEO) dan Search Engine Marketing (SEM), e-commerce, email,
mobile marketing, social media, blog dan internet. Riset juga telah dilakukan dan
menyimpulkan bahwa online marketing communication memiliki pengaruh yang lebih
kuat pada perilaku konsumen dibandingkan dengan offline marketing communication
(Ford & Freeman : 2009)
2.2.2 Segmentasi Konsumen
Perusahaan akan menciptakan suatu produk yang sesuai dengan kebutuhan pasar
atau konsumen. Menurut Pickton and Broderick (2005), Segmentasi konsumen membuat
pemasar (Marketer)
dapat mengirimkan produk kepada konsumen berdasarkan
kebutuhan dan keinginan konsumen. Tidak hanya itu, perusahaan melakukan aktivitas
pemasaran juga untuk mengirimkan atau menyampaikan informasi mengenai produknya
kepada masyarakat. Menurut Sulekha Goyat (2011), tujuan dari segmentasi konsumen
adalah untuk mencetuskan sebuh konsentrasi untuk mengerahkan kekuatan pemasaran
untuk meningkatkan keuntungan kompetitif dalam sebuah segmen.
Seiring dengan perkembangan zaman dan teknologi, pola pikir dan gaya hidup
masyarakat semakin berkembang, yang juga mengakibatkan konsumen menjadi semakin
kritis elemen-elemen dari suatu produk dan merk. Oleh karena itu, perusahaan perlu
membagi konsumen berdasarkan suatu hal pembeda supaya teknik atau strategi
pemasaran yang dilakukan perusahaan menjadi tepat sasaran. Menurut Kotler, Adam
Brown dan Amstrong (2003), terdapat banyak variabel yang dapat digunakan untuk
19
melakukan segmentasi pasar, dan variabel tersebut dengan adil dan konsisten
dideskripsikan dalam konsep pemasaran, meskipun jumlahnya terkadang bertambah atau
berkurang oleh penulis yang berbeda. Namun, variabel-variabel tersebut dapat dibagi
menjadi empat kategori variabel, yaitu Demographic, Psychographic, Behavioral, dan
Behavior.
Menurut Dibb, Simkin, Pride dan Ferrel
(2001), kunci dalam memutuskan
strategi segmentasi pasar adalah mengidentifikasi spesifikasi persyaratan dari sebuah
produk. Contohnya, tidak akan berguna bagi sebuah perusahaan yang membagi
konsumen menjadi segmen pasar berdasarkan status pernikahan jika perusahaan tidak
mempunyai alasan untuk mengoptimalisasi bauran pemasaran (Marketing Mix) untuk
satu orang (Misalnya fitur produk, harga, channel distribusi dan promosi) yang
membedakan dengan orang yang telah menikah.
Setelah target pasar telah dibagi menjadi segmentasi pasar, perusahaan perlu
melakukan evaluasi segmen untuk memastikan bahwa segmentasi pasar yang dilakukan
sudah benar. Menurut Kotler, Adam Brown, dan Armstrong (2003) , banyak variasi
segmentasi pasar dari berbagai macam buku, empat kategori variabel segmentasi pasar
dapat dikatakan segmentasi efektif jika dilihat dari segi

Measurability : Apakah kita dapat menentukan ukuran segmen dari data yang
tersedia?

Accessibility (Reachability) : Apakah kita dapat mengakses produk atau jasa
kepada grup tersebut?

Substantiality (Segment Size) : Apakah segmen pasar ini cukup menguntungkan?
Berapa orang yang ada di dalam segmen ini? Berapa persentsi populasinya?

Actionability (including Organizational Capabilities) : Apakah program dapat
dirancang untuk menarik dan melayani segmen ini? Apakah kita dengan
karyawan dan pelayanan
yang ada mengimplementasikan aktivitas untuk pasar ini?
2.2.2.1. Segmentasi Psychographic
Menurut Philip Kotler dan Kevin Lane Keller (2010), Segmentasi Psikografis
(Psychographic Segmentation) membagi pasar menjadi beberapa kelompok yang
20
berbeda bersasarkan kelas sosial, gaya hidup,Nilai atau karakteristik kepribadian
mereka. Sedangkan jika dipisah, Pengertian Psikografis menurut Philip Kotler dan
Kevin Lane Keller (2010) adalah ilmu yang menggunakan psikologi dan demografik
untuk lebih memahami konsumen secara lebih mendalam. Umumnya, segmentasi
psikografis mengikuti suatu model post hoc, yaitu konsumen pada awalnya diberi
pertanyaan tentang gaya hidup mereka kemudian dikelompokkan berdasarkan kesamaan
tanggapan mereka. Studi segmentasi psikografis sering kali menggunakan ratusan
pertanyaan dan menghasilkan informasi mengenai konsumen yang luar biasa jumlahnya,
oleh karena itu segmentasi psikografis didasarkan pada pemikiran bahwa “semakin
banyak
anda
mengetahui
dan
memahami
konsumen,
semakin
efektif
anda
berkomunikasi dan memasarkan pada mereka”
Menurut Philip Kotller dan Kevin Lane Keller (2010), salah satu sistem
klasifikasi paling populer uang tersedia secara komersial berdasarkan ukuran psikografis
adalah kerangka kerja VALS™ atau VALS™ Framework dari SRI Consulting Business
Intelligence 9SRI-BI). VALS Mengklasifikasikan orang dewasa AS menjadi delapan
kelompok terkemuka yang didasarkan pada tanggapan terhadap kuesioner yang
menonjolkan empat pertanyaan demografik dan 35 pertanyaan menyangkut sikap.
Sistem ini dikembangkan dengan data baru dari 80.000 lebih survei per tahun.
21
Gambar 2.2 Sistem Segmentasi VALS : Tipologi 8 Bagian
Sumber : Strategic Business Insights (2010)
22
Kecenderungan utama dari empat kelompok dengan sumber daya lebih tinggi adalah
sebagai berikut :
1. Innovators adalah orang yang sukses, aktif, dan bertanggung jawab dengan
gharga diri yang tinggi. Pembelian yang dilakukan sering mencerminkan selera
tinggi terhadap produk dan jasa, serta berorientasi pada skala yang relatif tinggi.
2. Thinkers adalah orang yang matang, puas dan termotivasi oleh cita-cita dan tata
nilai, pengetahuan, dan tanggung jawab. Suka dengan produk-produk yang tahan
lama, berfungsi baik dan memiliki nilai.
3. Achievers adalah orang sukses yang berorientasi pada tujuan yang berfokus ada
karier dan keluarga. Senang dengan produk-produk premiu yag menunjukan
keberhasilan kepada rekan-rekan mereka.
4. Experiencers adalah orang yang bersemangat, bergairah, dan muda yang
mencari varietas dan kegembiraan. Orang yang mengeluarkan pendapatan cukup
besar pada mode atau fashion, hiburan dan sosialisasi.
Sedangkan, kecenderungan utama keempat kelompok dengan sumber daya yang sedikit
adalah sebagai berikut :
1. Believers adalah orang yang konservatif, konvensional dan tradisional. Mereka
menyukai produk-produk yang banyak dikenal dan setia pada merk yang telah
mapan.
2. Strivers adalah orang yang trenda dan senang dengan kegembiraan yang dibatasi
oleh sumber dayanya. Mereka menyukai produk bergaya yang meniru pembelian
pembelian orang-orang yang lebih makmur.
3. Makers adalah orang yang praktis, tidak sombong, mencukupi diri sendiri dan
suka bekerja dengan tangan mereka. Mereka menyukai produk buatan Amerika
yang mempunyai fungsi dan tujuan tertentu.
23
4. Strugglers adalah orang yang sudah lanjut usia, pensiun, pasif, penuh perhatian
terhadap perubahan, dan loyal terhadap merek favorit.
Berdasarkan sistem segmentasi VALS tersebut di atas, target konsumen pada
penelitian ini adalah konsumen yang termasuk dalam kategori Experiencers, dimana
konsumen tersebut adalah orang-orang yang suka mencoba variasi baru baik dalam
bentuk merk dan produk serta rela menghabiskan jumlah uang lebih untuk makan dan
minum di kafe atau restoran yang mempunyai target pasar menengah ke atas. Orang –
orang ini juga termasuk yang menganggap penting adanya gengsi dan gaya hidup.
Target segmentasi ini sejalan dengan latar belakang yang telah peneliti bahas pada bab
sebelumnya mengenai pola pikir masyarkat ibukota Jakarta yang modern yang sering
disebut sosialita.
2.2.3 Consumer Buyer Behavior
Consumer Buyer Behavior atau perilaku pembelian konsumen yang berbeda dari
suatu produk dengan produk yang lain, perilaku pembelian terhadap pasta gigi berbeda
dengan perilaku pembelian terhadap mobil baru. Semakin kompleks pengambilan
keputusan yang akan diambil maka akan melibatkan pertimbangan yang lebih jauh dan
pihak yang ikut mengambil keputusan sebagai pertimbangan.
Menurut Philip Kotler dan Gary Armstrong (2009), Consumer Buyer Behavior
dapat dibagi menjadi empat yaitu :

Complex Buying Behavior yaitu saat konsumen sangat terlibat dalam transaksi
pembelian dan mengetahui perbedaan yang bersifat signifikan antar merk.
Konsumen mungkin akan sangat terlibat dalam pengambilan keputusan saat
ingin membeli produk yang mahal, beresiko, jarang dibeli.

Dissonance-Reducing Buying Behavior yang terjadi saat konsumen sangat
terlibat dengan pembelian produk yang mahal, jarang dibeli dan beresiko, tetapi
melihat perbedaan yang sedikit antar merk. Karena merk yang diketahui tidak
terlalu banyak dan beragam, maka pembeli mungkin akan belajar terlebih dahulu
apa yang disediakan oleh pasar kemudia pembeli akan merespon kepada
24
perusahaan yang menawarkan harga yang bagus dan menyamanan dalam
transaksi dalam pembelian.

Habitual Buying Behavior terjadi pada kondisi dimana tingkat keterlibatan
konsumen rendah dan memiliki sedikit perbedaan yang signifikan terhadap merk.
Konsumen berada pada tingkat keterlibatan yang rendah karena mereka hanya
datang ke toko dan membeli merk, jika merk mengambil merk yang sama, maka
akan mencadi kebiasaan konsumen membeli merk tersebut.

Variety-Seeking Buying Behavior pada situasi dimana tingkat keterlibatan
konsumen rendah tetapi konsumen mengetahui perbedaan merk yang signifikan.
Pada kasus seperti ini, konsumen seringkali melakukan banyak penggantian
merk dari yang satu ke yang lain.
Gambar 2.3 Tipe Consumer Buyer Behavior
Sumber : www. Launchengineering.com
2.2.3.1 Variety-Seeking Buying Behavior
Tipe consumer buyer behavior yang akan diteliti pada penelitian ini adalah tipe
Variety-seeking Buying Behavior, karena penelitian ini akan menargetkan kepada
25
konsumen yang berdasarkan kelas sosial menengah ke atas yang suka pengalaman dan
suasan kafe dan restoran baru di jakarta sesuai dengan karakter pembelian Varietyseeking yang selalu mencari merk yang baru yang memiliki perbedaan yang signifikan
yang sama hal-nya dengan kafe dan restoran di Jakarta yang menawarkan pengalaman,
suasana dan tema yang berbeda-beda antara yang satu dengan yang lain.
2.2.4 Customer Percieved Value
Setiap konsumen
pada segmen yang berbeda mempunyai ekspetasi nilai
terhadap suatu produk yang dijual oleh perusahaan yang berbeda juga. Perkembangan
zaman juga membuat konsumen menjadi lebih cerdik dan pintar daripada dahulu. Hal ini
karena adanya informasi mengenai produk dan alternatif dengan mudah dan cepat.
Tetapi, dalam menentukan pilihannya, konsumen juga menghadapi beberapa kendala
seperti keterbatasan biaya pencarian, keterbatasan pengetahuan, mobilitas dan
pendapatan, sehingga pelanggan cenderung menginginkan
nilai yang maksimal.
Pelanggan memperkirakan tawaran mana yang akan menyerahkan nilai yang paling
dirasakan dan bertindak berdasarkan estimasi tersebut, apakah tawaran tersebut sesuai
dengan nilai yang diharapkan pelanggan yang juga akan mempengaruhi kepuasan
pelanggann dan probabilitas bahwa dia akan melakukan pembelian ulang.
Menurut Philip Kotler dan Kevin Lane Keller (2010), Costumer Percieved Value
adalah selisih antara evaluasi calon pelanggan atas semua manfaat serta semua biaya
tawaran tertentu dan alternatif-alternatif lain yang dipikirkan. Dengan demikian, nilai
yang dipikirkan pelanggan didasarkan pada perbedaan antara apa yang didapatkan
pelanggan dan apa yang diberikannya untuk berbagai kemungkinan pilihan. Di sisi lain,
pemasar dapat meningkatkan nilai tawaran pelanggan dengan kombinasi menaikkan
manfaat funsional atau emosional dan atau mengurangi satu atau lebih berbagai jenis
biaya
Oleh karena itu, setiap perusahaan termasuk Djournal Coffee Puri Indah Mall
yang menjadi perusahaan pada penelitian ini hendaknya menciptakan suatu produk
yang dapat memberikan nilai yang lebih kepada konsumen karena Djournal Coffee
merupakan salah satu dari sekian banyak dari pemain di industri makanan dan minuman
26
dimana industri tersebut seperti yang sudah dijelaskan pada bab sebelumnya, merupakan
industri yang sedang berkembang di kota-kota yang berkembang seperti Jakarta.
2.2.5 Grazing Trend
Menurut Philip Kotler dan Kevin Lane Keller (2010), Tren adalah arah atau
urutan peristiwa khusus yang memiliki beberapa momentum dan mampu bertahan lama.
Tren mengungkap bentuk masa depan dan memberikan banyak peluang. Tren
belakangan ini mendapatkan perhatian yang besar. Sebuah produk baru atau program
pemasaran kemungkinan menjadi lebih berhasil jika sejalan dengan tren yang kuat dan
bukan malah menetangnya, tapi mendeteksi satu peluang besar pasar baru walaupun
tidak menjamin adanya keberhasilan pada akhirnya.
Menurut Nancy Kruse (2010), selama beberapa dekade terakhir, fenomena
memakan makanan dalam porsi kecil sebagai pengganti makanan sesungguhnya sudah
mulai populer di masyarakat, burger dengan ukuran
kecil sudah
menjadi favorit
masyarakat. Menurut Saunders R. Binge (1999) “grazing” merupakaan suatu kebiasaan
dimana seseorang
mengkonsumsi makanan dalam porsi kecil secara berkelanjutan.
Fenomena memakan makanan dalam prosi kecil sebagai pengganti makanan
sesungguhnya (makanan berat) ini adalah yang dinamakan Grazing Trend, dimana
sesesorang biasanya mengganti makanan dengan porsi yang lebih kecil tetapi dengan
frekuensi yang lebih banyak. Grazing Trend ini sudah menyebar dan populer di negara
Amerika, tren ini telah menjadi tantangan sekaligus kesempatan bagi perusahaanperusahaan yang bergerak di industri food and beverage. Menurut Mintel International
(2012), tren memakan makanan ringan (snack) akan meningkat sebanyak 67% dan itemitem menu yang dideskripsikan sebagai makanan ringan telah meningkat 168% pada 3
tahun terakhir.
27
Gambar 2.4 Grazing di Amerika
Sumber : www.usatoday.com
Tren makanan ini sepertinya sudah mulai merambah ke Indonesia khususnya Jakarta,
terbukti bahwa banyak sekali tempat makan yang baru di Jakarta yang menawarkan
berbagai macam makanan yang bukan termasuk makanan berat, dengan penawaran
28
kenampakan yang menarik dirasa sudah cukup memuaskan konsumen tanpa harus
menyajikan makanan yang berat sebagai makanan utama bagi mereka.
2.2.6 Traditional Word of Mouth (WOM)
Menurut M.R Jalilvand,S. S. Esfahani dan N. Samiei (2011), Word of Mouth
(WOM) merupakan sebuah proses bagi konsumen untuk berbagi informasi dan opini
mengenai produk barang atau jasa kepada yang lainnya. T. Hennig-Thurau, K. P.
Gwinner, G. Walsh dan D. D Gremler (2004) juga menyetjio pendapat tersebut. Mereka
melihat bahwa Word of Mouth membuat orang dapat saling berbagi berita dan opini
mengenai suatu produk barang, jasa, dan merk. Menurut P. Heriyati da T.P Siek (2011),
Word of Mouth sebagai suatu cara dimana konsumen secara langsung memberitahukan
konsumen lain mengenai pengalaman mereka setelah menggunakan atau menkonsumsi
produk. Oleh karena itu, pemasar harus lebih memperhatikan persebaran informasi yang
seperti ini karena Word of Mouth secara langsung mempengaruhi pengambilan
keputusan konsumen terhadap pembelian suatu produk. Hal ini merupakan pernyataan
yang benar apalagi saat konsumen mengalami kesulitan dalam mengambil keputusan
mengenai dimana produk jasa dimana mereka tidak mengetahui sebelum mereka
mengalami pengalaman dengan produk tersebut secara langsung.
2.2.6.1 Electronic Word of Mouth (eWOM)
Menurut T. Hennig-Thurau, K.P. Gwinner, G. Walsh dan D.D Gremler (2004)
Elekctronic Word of Mouth Communication adalah channel komunikasi di mana orang
dapat mengirimkan baik pesan positif maupun pesan negatif yang diciptakan oleh ahli
produk dan pelanggan yang menggunakan jasa atau membeli produk Tersebut. P. Gupta
dan J. Harris (2010) menyatakan bahwa pengembangan Teknologi internet telah
menyebabkan Electronic Word of Mouth, karena masa emas era media modern , banyak
konsumen semakin banyak mengirim dan menerima pesan melalui internet . Oleh karena
itu , menjadi salah satu saluran yang digunakan untuk berbagi pendapat mereka tentang
produk dan layanan yang mereka membeli . Sejak era Web 2.0, chatting, review di
website , blog web dan banyak situs jaringan sosial memiliki telah digunakan oleh
konsumen untuk menyajikan dan bertukar pikiran dan informasi tentang barang dan jasa.
29
Oleh karena itu, dapat dipastikan bahwa kemajuan internet teknologi sekarang ini telah
banyak merubah WOM tradisional menjadi eWOM.
Menurut C. M. K. Cheung dan M. K. O. Lee (20120) dan C. M. K. Cheung dan
D. R. Thadani (2012) terdapat beberapa pola yang berbeda pada cara orang dalam
bertukar pendapat mereka melalui eWOM. Konsumen mungkin hanya menuliskan
pendapat mereka , saran atau komentar produk atau jasa . Hal ini dapat dilakukan
melalui halaman website, review website seperti pada www.epinions.com , website
perusahaan seperti www.amazon.com , atau diskusi kelompok secara online dan situs
jaringan sosial seperti www.facebook.com dan juga aplikasi media sosial mobile. C. M.
K. Cheung dan D. R. Thadani (2012) juga setuju dengan kesimpulan bahwa berbagai
bentuk eWOM terjadi karena kemajuan dalam Teknologi web 2.0 . Hal ini memberikan
kekuatan konsumen dan kesempatan untuk membuat saran kepada konsumen lain
dengan berbagi pendapat melalui blog , mikro - blog , chatting, chat room dan banyak
situs media sosial . Saluran eWOM dapat diringkas sebagai berikut : Saluran one to one
(perseorangan) yang mengacu pada pesan yang dikirim dari satu orang yang lain . Hal
ini dapat dilihat ketika seseorang mengirim email atau pesan instan ( IM ) yang lain
.Kemudian Satu - ke-banyak saluran mengacu pada pesan yang dikirim dari satu orang
ke orang lain . Hal ini dapat dilakukan ketika salah satu orang membuat komentar
tentang produk atau jasa pada chat online , website , atau review produk website dan
media sosial, dan yang terakhir adalah saluran banyak-ke - banyak yang mengacu pada
pesan yang dikirim dari banyak orang kepada orang lain . Hal ini dapat dilakukan saat
banyak orang memposting pesan mereka di blog , komunitas virtual , komunitas online ,
newsgroup seperti di Google group , atau Yahoo Group.
2.2.7 Exposure
Perusahaan yang melakukan
kegiatan
pemasaran
mengenai produk yang
dihasilkan memiliki salah satu tujuan utama yang ingin dicapai, yaitu perhatian atau
atensi. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, Atensi berarti minat atau perhatian.
Jadi, pada hal ini, perusahaan berusaha untuk mendapatkan perhatian dan minat dari
konsumen melalui media promosi dan pemasaran produknya. Salah satu cara bagaimana
30
perushaan mendapatkan atensi atau perhatian dari konsumen adalah dengan melalui
proses kritis pada proses interpretasi konsumen terhadap suatu informasi yang diliat atau
didengar atau dibaca yang termasuk strategi marketing, yang nantinya akan
mendapatkan respon dari konsumen melalui perilaku mereka.
Menurut J. Paul Peter dan Jerry C. Olson, kita dapat membedakan bagaimana
cara perusahaan mendapatkan perhatian atau atensi dari konsumen dengan pemaparan
atau exposure terhadap informasi, yaitu Intentional Exposure dan Accidental Exposure.
Intentional Exposure adalah saat konsumen dipaparkan atau diperlihatkan dengan
informasi pemasaran dikarenakan niat atau keinginan dari dirinya sendiri, disebut juga
Goal-directed search behavior. Konsumen mencari informasi pemasaran yang relevan
untuk membantu menyelesaikan masalah pembelian (purchasing problem). Contohnya,
sebelum membeli kamera, konsumen pasti ingin melakukan evaluasi pada produk
tertentu yang ingin dibelinya, oleh karena itu konsumen ingin mencari informasi
mengenai kamera tersebut, di internet, majalah, koran, komentar-komentar pemakai
kamera sebelumnya dan lain sebagainya. Konsumen bahkan bisa saja menanyakan
langsung kepada kerabatnya mengenai produk tersebut.
Sedangkan Accidental Exposure
adalah
satu
informasi secara acak, tidak
terencana, tidak terstruktur dipaparkan kepada konsumen yang mengandung informasi
pemasaran mengenai produk tersebut. Misalnya, dengan mengisi waktu luang browsing
internet merupakan sumber dari accidental exposure karena konsumen secara tidak
sengaja akan dihadapkan dengan informasi pemasaran yang baru serta promosi yang
ditawarkan saat melakukan browsing. Accidental Exposure juga dapat terjadi pada
konsumen secara berulang – ulang. Menurut Wayne D. Hoyer, Deborah J. Lacinis, dan
Rik Pieters (2012) Sebuah perusahaan dapat menggunakan teknik pemaparan terhadap
informasi (Exposure to Information) denga menggunakan teknik repetisi (repetition),
dimana perusahaan pengulangan pesan untuk membantu konsumen mendapatkan atau
mengambil informasi dasar mengenai suatu produk, fitur, benefit, dari produk itu
sendiri. Hal ini dilakukan untuk meningkatkan Brand Salience dari konsumen terhadap
produk. Repetisi ini juga dapat menyebabkan timbulnya rasa familiar dari konsumen
terhadap suatu produk, konsumen jadi mudah mengingat dan mempermudah saat proses
31
transaksi pembelian. Repetisi yang dimaksud ini juga biasa disebut dengan Repeated
Exposure
2.3 Alur Teori Penelitian
Socialites,
Hangout,
Fancy Food
and
Atmosphere
Smartphones,
Social Media
Apps,
Updating and
Checking-In
Repeated
Exposure
Middle-Up
Consumer
Social Media
eWOM
Psychographic Segmentation
-
Eat food during
lunch – dinner,
espeially on
weekend.
-
Hangout with
friends.
-
Meeting for
Business
-
Family and Couple
Quality time
Customer
Perceived
Value
Customer
Perceived
Value
GRAZING TREND
Those who eat small
portion of food
(Pastry, Donuts,
Sandwhiches, Finger
Food) with any kind of
cold and hot
beverages (Coffee and
Non-Coffee)
Consumer Buyer
Behavior
Variety Seeking Buyer Behavior
Consumer who likes to change brands and seeking for new experience , and also likes to share to their inner circle
Gambar 2.5 Alur Teori Penelitian
Sumber : Peneliti (2014)
32
Penjelasan :
Penelitian ini bertujuan untuk meneliti adanya Grazing Trend serta hubungannya
dengan beberapa variabel. Grazing Trend merupakan tren yang mulai muncul di
Indonesia khususnya Jakarta sebagai Ibukota, dimana seseorang cenderung lebih
memilih makanan dalam porsi kecil sebagai pengganti makanan sehari-harinya seperti
pastry, donut, sandwich, dan makanan ringan lainnya yang juga dipesan bersama
minuman berupa kopi maupun non-kopi yang biasanya disediakan di restoran dan kafe
yang tersebar di jakarta.
Variabel-variabel
yang
dimaksud
adalah
Segmentasi
Psikografis
Sementara dari segi Segmentasi Psikografis, pada penelitian ini adalah orang-orang yang
mempunyai smartphone dengan aplikasi sosial media di dalamnya yang sering
digunakan untuk melakukan check-in dan update jika sedang berkunjung ke restoran dan
kafe bersama teman-teman, pasangan ataupun keluarga. Mereka juga merupakan orangorang yang suka mencoba hal-hal baru dan rela menghabiskan uang lebih untuk gaya
hidup kelas menengah ke atas seperti untuk mode dan makanan. Selain itu, segmentasi
psikografisnya adalah mereka yang sering keluar dengan teman-temannya ke kafe atau
restoran pada akhir pekan maupun setelah pulang sekolah, kuliah atau kerja.
Konsumen dari jenis segmentasi tersebut melakukan promosi kepada inner circle
mereka melalui Electronic Word of Mouth melalui media sosial (Path dan Instagram)
mengenai update status dan check-in yang dilakukan, dan jika aktivitas melalui media
sosial tersebut dilakukan lebih dari sekali, maka akan timbul Repeated Exposure pada
inner circle si pemilik media sosial tersebut yang lama-lama akan timbul rasa ingin tahu
dan mencoba merk, pengalaman baru pada kafe atau restoran tersebut yang mana pada
kasus penelitian ini, kafe tersebut adalah Djournal Coffee Puri Indah Mall, Jakarta Barat.
Tidak sampai disitu, penelitian ini juga mencari dampak dari Grazing Trend yang
dipengaruhi oleh segmentasi konsumen yaitu Segmentasi Psikografis terhadap
Consumer Buyer Behavior atau perilaku pembelian konsumen. Dikarenakan mereka
yang sedang melakukan Grazing trend ini dan melakukan update di social media yang
mereka miliki, secara tidak langsung mereka telah mempublikasikan suatu restoran atau
33
kafe yang mereka kunjungi serta produk makanan dan minuman kepada inner-circle
mereka di social media, dimana hal ini akan berdampak pada calon konsumen yang
tersebar pada inner-circle mereka yang gemar mencoba merk-merk baru dan
pengalaman dan suasana restoran yang baru, dimana menurut teori yang ada, konsumen
jenis ini dapat dikategorikan sebagai Variety-Seeking Buyer Behavior.
34
2.4. Kerangka Pemikiran
H2 (X-Z)
H1 (X-Y)
Consumer Buyer
Behavior (Z)
Psychographic
Segmentation (X)
Grazing Trend (Y)
-
Kepribadian
-
Nilai
-
Gaya Hidup
-
Customer
Preference
-
Frekuensi makan
-
Porsi makan
-
Kenyamanan
Membeli
-
Social Eating
-
Pencarian
Informasi
H3 (Y-Z)
-
H4 (X-Z Melalui Y)
Gambar 2.6 Kerangka Pemikiran
Sumber : Peneliti (2014)
Hipotesis
Sesuai dengan tujuan penelitian, hipotesis yang dikemukakan oleh peneliti adalah
sebagai berikut :
Hipotesis 1
Hipotesis Pengujian individual hubungan antara X terhadap Y :
Ho : Tidak ada hubungan yang signifikan antara variabel Psychographic Segmentation
terhadap Grazing Trend pada Djournal Coffee Puri Indah Mall
35
H1 : Ada hubungan yang signifikan antara variabel Psychographic Segmentation
terhadap Grazing Trend pada Djournal Coffee Puri Indah Mall
Hipotesis 2
Hipotesis Pengujian individual hubungan antara X terhadap Z :
Ho
: Tidak ada hubungan yang signifikan antara variabel Psychographic
Segmentation terhadap Consumer Buyer Behavior pada Djournal Coffee Puri
Indah Mall
H1
: Ada hubungan yang signifikan antara variabel Psychographic Segmentation
terhadap Consumer Buyer Behavior pada Djournal Coffee Puri Indah Mall
Hipotesis 3
Hipotesis Pengujian individual hubungan antara Y terhadap Z :
Ho
: Tidak ada hubungan yang signifikan antara variabel Grazing Trend terhadap
Consumer Buyer Behavior pada Djournal Coffee Puri Indah Mall
H1
: Ada hubungan yang signifikan antara variabel Grazing Trend terhadap
Consumer Buyer Behavior pada Djournal Coffee Puri Indah Mall
Hipotesis 4
Hipotesis Pengujian individual hubungan antara X terhadap Z melalui Y :
Ho
: Tidak ada hubungan yang signifikan antara variabel Psychograhic
Segmentation terhadap Consumer Buyer Behavior melalui Grazing Trend pada
“ Djournal Coffee” Puri Indah Mall
H1
: Ada hubungan yang signifikan antara variabel Psychograhic Segmentation
terhadap Consumer Buyer Behavior melalui Grazing Trend pada “ Djournal
Coffee” Puri Indah Mall
36
Download