BAB 2 LANDASAN TEORI 2.1 Kerangka Teori Penelitian ini menggunakan beberapa teori pemasaran yang peneliti pelajari selama menjadi mahasiswa di BINUS UNIVERSITY sebagai konsep dasar dan acuan pada penelitian ini. Pada sub-bab ini peneliti akan menjelaskan teori-teori yang digunakan mulai dari teori utama yang bersifat umum sampai dengan yang spesifik melalui bagan sebagai berikut : Gambar 2.1 Kerangka Teori Consumer Behavior Grand Theory Consumer Analysis E-Marketing Channel (e-WOM) Middle Theory Market Segmentation Specific Theory Consumer Buying Decision Psychographic Segmentaton Sumber : Peneliti (2014) 15 VarietySeeking Buyer behavior Individual Consumer Trends Grazing Trend 16 2.2 Kajian Pustaka 2.2.1 Perilaku Konsumen (Consumer Behavior) Perkembangan zaman yang terjadi di lingkungan sosial masyarakat khususnya Jakarta memang telah mempengaruhi perilaku konsumen. Menurut The American Marketing Association (2011), perilaku konsumen atau Consumer Behavior merupakan sebuah interaksi dinamis antara perasaan dan pikiran, perilaku dan lingkungan eksternal saat seseorang melakukan pertukaran aspek-aspek dalam hidupnya Dengan kata lain, perilaku konsumen melibatkan pikiran dan perasaaan mengenai pengalaman seseoarang dan aksi yang dilakukan pada proses konsumsi. Hal ini juga termasuk dalam lingkungan – lingkungan yang mempengaruhi pikiran, perasaan dan aksi yang dimaksud. Contohnya adalah komentar dari konsumen yang lain, periklanan, informasi harga, kemasan, kenampakan produk, blog dan masih banyak lagi. Perilaku konsumen dapat diartikan sebagai proses pengambilan keputusan konsumen yang dilihat saat mereka mencari, Mengevaluasi, membeli, menggunakan barang dan jasa untuk memuaskan kebutuhannya (Tai Kai Hun & Rashad Yazdanifard : 2014) 2.2.1.1 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Perilaku Konsumen Menurut Philip Kotler dan Kevin Lane Keller (2010), perilaku konsumen dipengaruhi oleh faktor-faktor budaya,sosial, pribadi dan psikologis dan yang mempunyai pengaruh paling luas dan dalam adalah faktor budaya. Faktor budaya, subbudaya dan kelas sosial merupakan faktor penting yang mempengaruhi perilaku konsumen. Menurut Philip Kotler dan Kevin Lane Keller (2010), Budaya merupakan penentu keinginan dan perilaku paling dasar. Masing-masing budaya terdiri dari sejumlah sub-budaya yang lebih menampakkan identifikasi dan sosialisasi khusus bagi para anggotanya. Sub-budaya mencakup kebangsaan, agama, kelompok ras, dan wilayah geografis. Selain itu, lingkungan masyarakat juga dibagi berdasarkan kelas sosial. Kelas sosial merupakan pembagian masyarakat yang relatif homogen dan permanen yang tersusun secara hirarkis dan yang para anggotanya menganur nilai, minat dan perilaku yang serupa. Menurut Ujang Sumarwan (2004), Kelas sosial adalah bentuk mengelompokkan masyarakat ke dalam kelas atau kelompok yang berbeda. lain dari 17 Menurut Philip Kotler dan Kevin Lane Keller (2010), satu gambaran mengenai kelas sosial di Amerika Serikat yang mendefinisikan tujuh tingakatan, yaitu : a. Kelas- bawah-bawah b. Kelas bawah-atas c. Kelas Pekerja d. Kelas Menengah e. Kelas menengah atas f. Kelas atas-bawah g. Kelas atas-atas Kelas sosial menunjukkan preferensi atas produk dan merek yang berbeda-beda, preferensi terhadap mediapun berbeda-beda setiap kelas sosial, yaitu kelas sosial atas menyukai majalah dan buku sementara konsumen kelas bawah menyukai televisi. Perbedaan juga terdapat pada bahasa yang berbeda, naskah iklan dan dialog harus sesuai dengan kelas sosial yang ditargetkan. Selain faktor budaya, perilaku konsumen juga dipengaruhi oleh faktor sosial yang meliputi, keluarga, peran, dan status sosial. Kelompok acuan seseorang terdiri dari semua kelompok yang memiliki pengaruh langsung (tatap muka) atau tidak langsung terhadap sikap atau perilaku orang tersebut. Kelompok yang memiliki pengaruh langsung dinamakan kelompok keanggotaan. Beberapa kelompok keanggotaan merupakan kelompok primer seperti keluarga, teman, tetagga, dan rekan kerja yang berinteraksi dengan seseorang secara terus-menerus dan informal. Sedangkan orang yang menjadi kelompok sekunder adalah kelompok keagamaan, profesi, dan asosiasi perdagangan yang cenderung lebih formal dan membutuhkan interaksi yang tidak begitu rutin. Seseorang juga berpartisipasi dalam kelompok sepanjang hidupnya seperti klub, organisasi yang membuat orang itu mempunyai kedudukan tertentu dalam klub atau organisasi tersebut mempunyai peran dan status. Peran adalah kegiatan yang diharapkan akan dilakukan oleh seseorang. Masing-masing peran menghasilkan status. 18 Faktor yang mempengaruhi perilaku konsumen adalah gaya hidup dan nilai. Menurut Philip Kotler dan Kevin Lane Keller (2010) Gaya hidup merupakan pola hidup seseorang yang bisa diungkap melalui aktivitas, minat, dan opininya. Gaya hidup menggambarkan “keseluruhan diri seseorang” yang berinteraksi dengan lingkungannya. Menurut Qiuxue Luo & Paul James (2013), ada dua jenis hal yang mempengaruhi perilaku konsumen, yaitu pengaruh eksternal dan internal. Pengaruh eksternal meliputi budaya, pemerintah, kegiatan pemasaran dan referensi kelompok. Sedangkan pengaruh internal adalah persepsi, tingkah laku, motivasi dan emosi. Selain itu, menurut Tan Kai Hun & Rashad Yazdanifard (2014) program dan chanel Online Marketing juga dapat mempengaruhi perilaku konsumen seperti Search Engine Optimization (SEO) dan Search Engine Marketing (SEM), e-commerce, email, mobile marketing, social media, blog dan internet. Riset juga telah dilakukan dan menyimpulkan bahwa online marketing communication memiliki pengaruh yang lebih kuat pada perilaku konsumen dibandingkan dengan offline marketing communication (Ford & Freeman : 2009) 2.2.2 Segmentasi Konsumen Perusahaan akan menciptakan suatu produk yang sesuai dengan kebutuhan pasar atau konsumen. Menurut Pickton and Broderick (2005), Segmentasi konsumen membuat pemasar (Marketer) dapat mengirimkan produk kepada konsumen berdasarkan kebutuhan dan keinginan konsumen. Tidak hanya itu, perusahaan melakukan aktivitas pemasaran juga untuk mengirimkan atau menyampaikan informasi mengenai produknya kepada masyarakat. Menurut Sulekha Goyat (2011), tujuan dari segmentasi konsumen adalah untuk mencetuskan sebuh konsentrasi untuk mengerahkan kekuatan pemasaran untuk meningkatkan keuntungan kompetitif dalam sebuah segmen. Seiring dengan perkembangan zaman dan teknologi, pola pikir dan gaya hidup masyarakat semakin berkembang, yang juga mengakibatkan konsumen menjadi semakin kritis elemen-elemen dari suatu produk dan merk. Oleh karena itu, perusahaan perlu membagi konsumen berdasarkan suatu hal pembeda supaya teknik atau strategi pemasaran yang dilakukan perusahaan menjadi tepat sasaran. Menurut Kotler, Adam Brown dan Amstrong (2003), terdapat banyak variabel yang dapat digunakan untuk 19 melakukan segmentasi pasar, dan variabel tersebut dengan adil dan konsisten dideskripsikan dalam konsep pemasaran, meskipun jumlahnya terkadang bertambah atau berkurang oleh penulis yang berbeda. Namun, variabel-variabel tersebut dapat dibagi menjadi empat kategori variabel, yaitu Demographic, Psychographic, Behavioral, dan Behavior. Menurut Dibb, Simkin, Pride dan Ferrel (2001), kunci dalam memutuskan strategi segmentasi pasar adalah mengidentifikasi spesifikasi persyaratan dari sebuah produk. Contohnya, tidak akan berguna bagi sebuah perusahaan yang membagi konsumen menjadi segmen pasar berdasarkan status pernikahan jika perusahaan tidak mempunyai alasan untuk mengoptimalisasi bauran pemasaran (Marketing Mix) untuk satu orang (Misalnya fitur produk, harga, channel distribusi dan promosi) yang membedakan dengan orang yang telah menikah. Setelah target pasar telah dibagi menjadi segmentasi pasar, perusahaan perlu melakukan evaluasi segmen untuk memastikan bahwa segmentasi pasar yang dilakukan sudah benar. Menurut Kotler, Adam Brown, dan Armstrong (2003) , banyak variasi segmentasi pasar dari berbagai macam buku, empat kategori variabel segmentasi pasar dapat dikatakan segmentasi efektif jika dilihat dari segi Measurability : Apakah kita dapat menentukan ukuran segmen dari data yang tersedia? Accessibility (Reachability) : Apakah kita dapat mengakses produk atau jasa kepada grup tersebut? Substantiality (Segment Size) : Apakah segmen pasar ini cukup menguntungkan? Berapa orang yang ada di dalam segmen ini? Berapa persentsi populasinya? Actionability (including Organizational Capabilities) : Apakah program dapat dirancang untuk menarik dan melayani segmen ini? Apakah kita dengan karyawan dan pelayanan yang ada mengimplementasikan aktivitas untuk pasar ini? 2.2.2.1. Segmentasi Psychographic Menurut Philip Kotler dan Kevin Lane Keller (2010), Segmentasi Psikografis (Psychographic Segmentation) membagi pasar menjadi beberapa kelompok yang 20 berbeda bersasarkan kelas sosial, gaya hidup,Nilai atau karakteristik kepribadian mereka. Sedangkan jika dipisah, Pengertian Psikografis menurut Philip Kotler dan Kevin Lane Keller (2010) adalah ilmu yang menggunakan psikologi dan demografik untuk lebih memahami konsumen secara lebih mendalam. Umumnya, segmentasi psikografis mengikuti suatu model post hoc, yaitu konsumen pada awalnya diberi pertanyaan tentang gaya hidup mereka kemudian dikelompokkan berdasarkan kesamaan tanggapan mereka. Studi segmentasi psikografis sering kali menggunakan ratusan pertanyaan dan menghasilkan informasi mengenai konsumen yang luar biasa jumlahnya, oleh karena itu segmentasi psikografis didasarkan pada pemikiran bahwa “semakin banyak anda mengetahui dan memahami konsumen, semakin efektif anda berkomunikasi dan memasarkan pada mereka” Menurut Philip Kotller dan Kevin Lane Keller (2010), salah satu sistem klasifikasi paling populer uang tersedia secara komersial berdasarkan ukuran psikografis adalah kerangka kerja VALS™ atau VALS™ Framework dari SRI Consulting Business Intelligence 9SRI-BI). VALS Mengklasifikasikan orang dewasa AS menjadi delapan kelompok terkemuka yang didasarkan pada tanggapan terhadap kuesioner yang menonjolkan empat pertanyaan demografik dan 35 pertanyaan menyangkut sikap. Sistem ini dikembangkan dengan data baru dari 80.000 lebih survei per tahun. 21 Gambar 2.2 Sistem Segmentasi VALS : Tipologi 8 Bagian Sumber : Strategic Business Insights (2010) 22 Kecenderungan utama dari empat kelompok dengan sumber daya lebih tinggi adalah sebagai berikut : 1. Innovators adalah orang yang sukses, aktif, dan bertanggung jawab dengan gharga diri yang tinggi. Pembelian yang dilakukan sering mencerminkan selera tinggi terhadap produk dan jasa, serta berorientasi pada skala yang relatif tinggi. 2. Thinkers adalah orang yang matang, puas dan termotivasi oleh cita-cita dan tata nilai, pengetahuan, dan tanggung jawab. Suka dengan produk-produk yang tahan lama, berfungsi baik dan memiliki nilai. 3. Achievers adalah orang sukses yang berorientasi pada tujuan yang berfokus ada karier dan keluarga. Senang dengan produk-produk premiu yag menunjukan keberhasilan kepada rekan-rekan mereka. 4. Experiencers adalah orang yang bersemangat, bergairah, dan muda yang mencari varietas dan kegembiraan. Orang yang mengeluarkan pendapatan cukup besar pada mode atau fashion, hiburan dan sosialisasi. Sedangkan, kecenderungan utama keempat kelompok dengan sumber daya yang sedikit adalah sebagai berikut : 1. Believers adalah orang yang konservatif, konvensional dan tradisional. Mereka menyukai produk-produk yang banyak dikenal dan setia pada merk yang telah mapan. 2. Strivers adalah orang yang trenda dan senang dengan kegembiraan yang dibatasi oleh sumber dayanya. Mereka menyukai produk bergaya yang meniru pembelian pembelian orang-orang yang lebih makmur. 3. Makers adalah orang yang praktis, tidak sombong, mencukupi diri sendiri dan suka bekerja dengan tangan mereka. Mereka menyukai produk buatan Amerika yang mempunyai fungsi dan tujuan tertentu. 23 4. Strugglers adalah orang yang sudah lanjut usia, pensiun, pasif, penuh perhatian terhadap perubahan, dan loyal terhadap merek favorit. Berdasarkan sistem segmentasi VALS tersebut di atas, target konsumen pada penelitian ini adalah konsumen yang termasuk dalam kategori Experiencers, dimana konsumen tersebut adalah orang-orang yang suka mencoba variasi baru baik dalam bentuk merk dan produk serta rela menghabiskan jumlah uang lebih untuk makan dan minum di kafe atau restoran yang mempunyai target pasar menengah ke atas. Orang – orang ini juga termasuk yang menganggap penting adanya gengsi dan gaya hidup. Target segmentasi ini sejalan dengan latar belakang yang telah peneliti bahas pada bab sebelumnya mengenai pola pikir masyarkat ibukota Jakarta yang modern yang sering disebut sosialita. 2.2.3 Consumer Buyer Behavior Consumer Buyer Behavior atau perilaku pembelian konsumen yang berbeda dari suatu produk dengan produk yang lain, perilaku pembelian terhadap pasta gigi berbeda dengan perilaku pembelian terhadap mobil baru. Semakin kompleks pengambilan keputusan yang akan diambil maka akan melibatkan pertimbangan yang lebih jauh dan pihak yang ikut mengambil keputusan sebagai pertimbangan. Menurut Philip Kotler dan Gary Armstrong (2009), Consumer Buyer Behavior dapat dibagi menjadi empat yaitu : Complex Buying Behavior yaitu saat konsumen sangat terlibat dalam transaksi pembelian dan mengetahui perbedaan yang bersifat signifikan antar merk. Konsumen mungkin akan sangat terlibat dalam pengambilan keputusan saat ingin membeli produk yang mahal, beresiko, jarang dibeli. Dissonance-Reducing Buying Behavior yang terjadi saat konsumen sangat terlibat dengan pembelian produk yang mahal, jarang dibeli dan beresiko, tetapi melihat perbedaan yang sedikit antar merk. Karena merk yang diketahui tidak terlalu banyak dan beragam, maka pembeli mungkin akan belajar terlebih dahulu apa yang disediakan oleh pasar kemudia pembeli akan merespon kepada 24 perusahaan yang menawarkan harga yang bagus dan menyamanan dalam transaksi dalam pembelian. Habitual Buying Behavior terjadi pada kondisi dimana tingkat keterlibatan konsumen rendah dan memiliki sedikit perbedaan yang signifikan terhadap merk. Konsumen berada pada tingkat keterlibatan yang rendah karena mereka hanya datang ke toko dan membeli merk, jika merk mengambil merk yang sama, maka akan mencadi kebiasaan konsumen membeli merk tersebut. Variety-Seeking Buying Behavior pada situasi dimana tingkat keterlibatan konsumen rendah tetapi konsumen mengetahui perbedaan merk yang signifikan. Pada kasus seperti ini, konsumen seringkali melakukan banyak penggantian merk dari yang satu ke yang lain. Gambar 2.3 Tipe Consumer Buyer Behavior Sumber : www. Launchengineering.com 2.2.3.1 Variety-Seeking Buying Behavior Tipe consumer buyer behavior yang akan diteliti pada penelitian ini adalah tipe Variety-seeking Buying Behavior, karena penelitian ini akan menargetkan kepada 25 konsumen yang berdasarkan kelas sosial menengah ke atas yang suka pengalaman dan suasan kafe dan restoran baru di jakarta sesuai dengan karakter pembelian Varietyseeking yang selalu mencari merk yang baru yang memiliki perbedaan yang signifikan yang sama hal-nya dengan kafe dan restoran di Jakarta yang menawarkan pengalaman, suasana dan tema yang berbeda-beda antara yang satu dengan yang lain. 2.2.4 Customer Percieved Value Setiap konsumen pada segmen yang berbeda mempunyai ekspetasi nilai terhadap suatu produk yang dijual oleh perusahaan yang berbeda juga. Perkembangan zaman juga membuat konsumen menjadi lebih cerdik dan pintar daripada dahulu. Hal ini karena adanya informasi mengenai produk dan alternatif dengan mudah dan cepat. Tetapi, dalam menentukan pilihannya, konsumen juga menghadapi beberapa kendala seperti keterbatasan biaya pencarian, keterbatasan pengetahuan, mobilitas dan pendapatan, sehingga pelanggan cenderung menginginkan nilai yang maksimal. Pelanggan memperkirakan tawaran mana yang akan menyerahkan nilai yang paling dirasakan dan bertindak berdasarkan estimasi tersebut, apakah tawaran tersebut sesuai dengan nilai yang diharapkan pelanggan yang juga akan mempengaruhi kepuasan pelanggann dan probabilitas bahwa dia akan melakukan pembelian ulang. Menurut Philip Kotler dan Kevin Lane Keller (2010), Costumer Percieved Value adalah selisih antara evaluasi calon pelanggan atas semua manfaat serta semua biaya tawaran tertentu dan alternatif-alternatif lain yang dipikirkan. Dengan demikian, nilai yang dipikirkan pelanggan didasarkan pada perbedaan antara apa yang didapatkan pelanggan dan apa yang diberikannya untuk berbagai kemungkinan pilihan. Di sisi lain, pemasar dapat meningkatkan nilai tawaran pelanggan dengan kombinasi menaikkan manfaat funsional atau emosional dan atau mengurangi satu atau lebih berbagai jenis biaya Oleh karena itu, setiap perusahaan termasuk Djournal Coffee Puri Indah Mall yang menjadi perusahaan pada penelitian ini hendaknya menciptakan suatu produk yang dapat memberikan nilai yang lebih kepada konsumen karena Djournal Coffee merupakan salah satu dari sekian banyak dari pemain di industri makanan dan minuman 26 dimana industri tersebut seperti yang sudah dijelaskan pada bab sebelumnya, merupakan industri yang sedang berkembang di kota-kota yang berkembang seperti Jakarta. 2.2.5 Grazing Trend Menurut Philip Kotler dan Kevin Lane Keller (2010), Tren adalah arah atau urutan peristiwa khusus yang memiliki beberapa momentum dan mampu bertahan lama. Tren mengungkap bentuk masa depan dan memberikan banyak peluang. Tren belakangan ini mendapatkan perhatian yang besar. Sebuah produk baru atau program pemasaran kemungkinan menjadi lebih berhasil jika sejalan dengan tren yang kuat dan bukan malah menetangnya, tapi mendeteksi satu peluang besar pasar baru walaupun tidak menjamin adanya keberhasilan pada akhirnya. Menurut Nancy Kruse (2010), selama beberapa dekade terakhir, fenomena memakan makanan dalam porsi kecil sebagai pengganti makanan sesungguhnya sudah mulai populer di masyarakat, burger dengan ukuran kecil sudah menjadi favorit masyarakat. Menurut Saunders R. Binge (1999) “grazing” merupakaan suatu kebiasaan dimana seseorang mengkonsumsi makanan dalam porsi kecil secara berkelanjutan. Fenomena memakan makanan dalam prosi kecil sebagai pengganti makanan sesungguhnya (makanan berat) ini adalah yang dinamakan Grazing Trend, dimana sesesorang biasanya mengganti makanan dengan porsi yang lebih kecil tetapi dengan frekuensi yang lebih banyak. Grazing Trend ini sudah menyebar dan populer di negara Amerika, tren ini telah menjadi tantangan sekaligus kesempatan bagi perusahaanperusahaan yang bergerak di industri food and beverage. Menurut Mintel International (2012), tren memakan makanan ringan (snack) akan meningkat sebanyak 67% dan itemitem menu yang dideskripsikan sebagai makanan ringan telah meningkat 168% pada 3 tahun terakhir. 27 Gambar 2.4 Grazing di Amerika Sumber : www.usatoday.com Tren makanan ini sepertinya sudah mulai merambah ke Indonesia khususnya Jakarta, terbukti bahwa banyak sekali tempat makan yang baru di Jakarta yang menawarkan berbagai macam makanan yang bukan termasuk makanan berat, dengan penawaran 28 kenampakan yang menarik dirasa sudah cukup memuaskan konsumen tanpa harus menyajikan makanan yang berat sebagai makanan utama bagi mereka. 2.2.6 Traditional Word of Mouth (WOM) Menurut M.R Jalilvand,S. S. Esfahani dan N. Samiei (2011), Word of Mouth (WOM) merupakan sebuah proses bagi konsumen untuk berbagi informasi dan opini mengenai produk barang atau jasa kepada yang lainnya. T. Hennig-Thurau, K. P. Gwinner, G. Walsh dan D. D Gremler (2004) juga menyetjio pendapat tersebut. Mereka melihat bahwa Word of Mouth membuat orang dapat saling berbagi berita dan opini mengenai suatu produk barang, jasa, dan merk. Menurut P. Heriyati da T.P Siek (2011), Word of Mouth sebagai suatu cara dimana konsumen secara langsung memberitahukan konsumen lain mengenai pengalaman mereka setelah menggunakan atau menkonsumsi produk. Oleh karena itu, pemasar harus lebih memperhatikan persebaran informasi yang seperti ini karena Word of Mouth secara langsung mempengaruhi pengambilan keputusan konsumen terhadap pembelian suatu produk. Hal ini merupakan pernyataan yang benar apalagi saat konsumen mengalami kesulitan dalam mengambil keputusan mengenai dimana produk jasa dimana mereka tidak mengetahui sebelum mereka mengalami pengalaman dengan produk tersebut secara langsung. 2.2.6.1 Electronic Word of Mouth (eWOM) Menurut T. Hennig-Thurau, K.P. Gwinner, G. Walsh dan D.D Gremler (2004) Elekctronic Word of Mouth Communication adalah channel komunikasi di mana orang dapat mengirimkan baik pesan positif maupun pesan negatif yang diciptakan oleh ahli produk dan pelanggan yang menggunakan jasa atau membeli produk Tersebut. P. Gupta dan J. Harris (2010) menyatakan bahwa pengembangan Teknologi internet telah menyebabkan Electronic Word of Mouth, karena masa emas era media modern , banyak konsumen semakin banyak mengirim dan menerima pesan melalui internet . Oleh karena itu , menjadi salah satu saluran yang digunakan untuk berbagi pendapat mereka tentang produk dan layanan yang mereka membeli . Sejak era Web 2.0, chatting, review di website , blog web dan banyak situs jaringan sosial memiliki telah digunakan oleh konsumen untuk menyajikan dan bertukar pikiran dan informasi tentang barang dan jasa. 29 Oleh karena itu, dapat dipastikan bahwa kemajuan internet teknologi sekarang ini telah banyak merubah WOM tradisional menjadi eWOM. Menurut C. M. K. Cheung dan M. K. O. Lee (20120) dan C. M. K. Cheung dan D. R. Thadani (2012) terdapat beberapa pola yang berbeda pada cara orang dalam bertukar pendapat mereka melalui eWOM. Konsumen mungkin hanya menuliskan pendapat mereka , saran atau komentar produk atau jasa . Hal ini dapat dilakukan melalui halaman website, review website seperti pada www.epinions.com , website perusahaan seperti www.amazon.com , atau diskusi kelompok secara online dan situs jaringan sosial seperti www.facebook.com dan juga aplikasi media sosial mobile. C. M. K. Cheung dan D. R. Thadani (2012) juga setuju dengan kesimpulan bahwa berbagai bentuk eWOM terjadi karena kemajuan dalam Teknologi web 2.0 . Hal ini memberikan kekuatan konsumen dan kesempatan untuk membuat saran kepada konsumen lain dengan berbagi pendapat melalui blog , mikro - blog , chatting, chat room dan banyak situs media sosial . Saluran eWOM dapat diringkas sebagai berikut : Saluran one to one (perseorangan) yang mengacu pada pesan yang dikirim dari satu orang yang lain . Hal ini dapat dilihat ketika seseorang mengirim email atau pesan instan ( IM ) yang lain .Kemudian Satu - ke-banyak saluran mengacu pada pesan yang dikirim dari satu orang ke orang lain . Hal ini dapat dilakukan ketika salah satu orang membuat komentar tentang produk atau jasa pada chat online , website , atau review produk website dan media sosial, dan yang terakhir adalah saluran banyak-ke - banyak yang mengacu pada pesan yang dikirim dari banyak orang kepada orang lain . Hal ini dapat dilakukan saat banyak orang memposting pesan mereka di blog , komunitas virtual , komunitas online , newsgroup seperti di Google group , atau Yahoo Group. 2.2.7 Exposure Perusahaan yang melakukan kegiatan pemasaran mengenai produk yang dihasilkan memiliki salah satu tujuan utama yang ingin dicapai, yaitu perhatian atau atensi. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, Atensi berarti minat atau perhatian. Jadi, pada hal ini, perusahaan berusaha untuk mendapatkan perhatian dan minat dari konsumen melalui media promosi dan pemasaran produknya. Salah satu cara bagaimana 30 perushaan mendapatkan atensi atau perhatian dari konsumen adalah dengan melalui proses kritis pada proses interpretasi konsumen terhadap suatu informasi yang diliat atau didengar atau dibaca yang termasuk strategi marketing, yang nantinya akan mendapatkan respon dari konsumen melalui perilaku mereka. Menurut J. Paul Peter dan Jerry C. Olson, kita dapat membedakan bagaimana cara perusahaan mendapatkan perhatian atau atensi dari konsumen dengan pemaparan atau exposure terhadap informasi, yaitu Intentional Exposure dan Accidental Exposure. Intentional Exposure adalah saat konsumen dipaparkan atau diperlihatkan dengan informasi pemasaran dikarenakan niat atau keinginan dari dirinya sendiri, disebut juga Goal-directed search behavior. Konsumen mencari informasi pemasaran yang relevan untuk membantu menyelesaikan masalah pembelian (purchasing problem). Contohnya, sebelum membeli kamera, konsumen pasti ingin melakukan evaluasi pada produk tertentu yang ingin dibelinya, oleh karena itu konsumen ingin mencari informasi mengenai kamera tersebut, di internet, majalah, koran, komentar-komentar pemakai kamera sebelumnya dan lain sebagainya. Konsumen bahkan bisa saja menanyakan langsung kepada kerabatnya mengenai produk tersebut. Sedangkan Accidental Exposure adalah satu informasi secara acak, tidak terencana, tidak terstruktur dipaparkan kepada konsumen yang mengandung informasi pemasaran mengenai produk tersebut. Misalnya, dengan mengisi waktu luang browsing internet merupakan sumber dari accidental exposure karena konsumen secara tidak sengaja akan dihadapkan dengan informasi pemasaran yang baru serta promosi yang ditawarkan saat melakukan browsing. Accidental Exposure juga dapat terjadi pada konsumen secara berulang – ulang. Menurut Wayne D. Hoyer, Deborah J. Lacinis, dan Rik Pieters (2012) Sebuah perusahaan dapat menggunakan teknik pemaparan terhadap informasi (Exposure to Information) denga menggunakan teknik repetisi (repetition), dimana perusahaan pengulangan pesan untuk membantu konsumen mendapatkan atau mengambil informasi dasar mengenai suatu produk, fitur, benefit, dari produk itu sendiri. Hal ini dilakukan untuk meningkatkan Brand Salience dari konsumen terhadap produk. Repetisi ini juga dapat menyebabkan timbulnya rasa familiar dari konsumen terhadap suatu produk, konsumen jadi mudah mengingat dan mempermudah saat proses 31 transaksi pembelian. Repetisi yang dimaksud ini juga biasa disebut dengan Repeated Exposure 2.3 Alur Teori Penelitian Socialites, Hangout, Fancy Food and Atmosphere Smartphones, Social Media Apps, Updating and Checking-In Repeated Exposure Middle-Up Consumer Social Media eWOM Psychographic Segmentation - Eat food during lunch – dinner, espeially on weekend. - Hangout with friends. - Meeting for Business - Family and Couple Quality time Customer Perceived Value Customer Perceived Value GRAZING TREND Those who eat small portion of food (Pastry, Donuts, Sandwhiches, Finger Food) with any kind of cold and hot beverages (Coffee and Non-Coffee) Consumer Buyer Behavior Variety Seeking Buyer Behavior Consumer who likes to change brands and seeking for new experience , and also likes to share to their inner circle Gambar 2.5 Alur Teori Penelitian Sumber : Peneliti (2014) 32 Penjelasan : Penelitian ini bertujuan untuk meneliti adanya Grazing Trend serta hubungannya dengan beberapa variabel. Grazing Trend merupakan tren yang mulai muncul di Indonesia khususnya Jakarta sebagai Ibukota, dimana seseorang cenderung lebih memilih makanan dalam porsi kecil sebagai pengganti makanan sehari-harinya seperti pastry, donut, sandwich, dan makanan ringan lainnya yang juga dipesan bersama minuman berupa kopi maupun non-kopi yang biasanya disediakan di restoran dan kafe yang tersebar di jakarta. Variabel-variabel yang dimaksud adalah Segmentasi Psikografis Sementara dari segi Segmentasi Psikografis, pada penelitian ini adalah orang-orang yang mempunyai smartphone dengan aplikasi sosial media di dalamnya yang sering digunakan untuk melakukan check-in dan update jika sedang berkunjung ke restoran dan kafe bersama teman-teman, pasangan ataupun keluarga. Mereka juga merupakan orangorang yang suka mencoba hal-hal baru dan rela menghabiskan uang lebih untuk gaya hidup kelas menengah ke atas seperti untuk mode dan makanan. Selain itu, segmentasi psikografisnya adalah mereka yang sering keluar dengan teman-temannya ke kafe atau restoran pada akhir pekan maupun setelah pulang sekolah, kuliah atau kerja. Konsumen dari jenis segmentasi tersebut melakukan promosi kepada inner circle mereka melalui Electronic Word of Mouth melalui media sosial (Path dan Instagram) mengenai update status dan check-in yang dilakukan, dan jika aktivitas melalui media sosial tersebut dilakukan lebih dari sekali, maka akan timbul Repeated Exposure pada inner circle si pemilik media sosial tersebut yang lama-lama akan timbul rasa ingin tahu dan mencoba merk, pengalaman baru pada kafe atau restoran tersebut yang mana pada kasus penelitian ini, kafe tersebut adalah Djournal Coffee Puri Indah Mall, Jakarta Barat. Tidak sampai disitu, penelitian ini juga mencari dampak dari Grazing Trend yang dipengaruhi oleh segmentasi konsumen yaitu Segmentasi Psikografis terhadap Consumer Buyer Behavior atau perilaku pembelian konsumen. Dikarenakan mereka yang sedang melakukan Grazing trend ini dan melakukan update di social media yang mereka miliki, secara tidak langsung mereka telah mempublikasikan suatu restoran atau 33 kafe yang mereka kunjungi serta produk makanan dan minuman kepada inner-circle mereka di social media, dimana hal ini akan berdampak pada calon konsumen yang tersebar pada inner-circle mereka yang gemar mencoba merk-merk baru dan pengalaman dan suasana restoran yang baru, dimana menurut teori yang ada, konsumen jenis ini dapat dikategorikan sebagai Variety-Seeking Buyer Behavior. 34 2.4. Kerangka Pemikiran H2 (X-Z) H1 (X-Y) Consumer Buyer Behavior (Z) Psychographic Segmentation (X) Grazing Trend (Y) - Kepribadian - Nilai - Gaya Hidup - Customer Preference - Frekuensi makan - Porsi makan - Kenyamanan Membeli - Social Eating - Pencarian Informasi H3 (Y-Z) - H4 (X-Z Melalui Y) Gambar 2.6 Kerangka Pemikiran Sumber : Peneliti (2014) Hipotesis Sesuai dengan tujuan penelitian, hipotesis yang dikemukakan oleh peneliti adalah sebagai berikut : Hipotesis 1 Hipotesis Pengujian individual hubungan antara X terhadap Y : Ho : Tidak ada hubungan yang signifikan antara variabel Psychographic Segmentation terhadap Grazing Trend pada Djournal Coffee Puri Indah Mall 35 H1 : Ada hubungan yang signifikan antara variabel Psychographic Segmentation terhadap Grazing Trend pada Djournal Coffee Puri Indah Mall Hipotesis 2 Hipotesis Pengujian individual hubungan antara X terhadap Z : Ho : Tidak ada hubungan yang signifikan antara variabel Psychographic Segmentation terhadap Consumer Buyer Behavior pada Djournal Coffee Puri Indah Mall H1 : Ada hubungan yang signifikan antara variabel Psychographic Segmentation terhadap Consumer Buyer Behavior pada Djournal Coffee Puri Indah Mall Hipotesis 3 Hipotesis Pengujian individual hubungan antara Y terhadap Z : Ho : Tidak ada hubungan yang signifikan antara variabel Grazing Trend terhadap Consumer Buyer Behavior pada Djournal Coffee Puri Indah Mall H1 : Ada hubungan yang signifikan antara variabel Grazing Trend terhadap Consumer Buyer Behavior pada Djournal Coffee Puri Indah Mall Hipotesis 4 Hipotesis Pengujian individual hubungan antara X terhadap Z melalui Y : Ho : Tidak ada hubungan yang signifikan antara variabel Psychograhic Segmentation terhadap Consumer Buyer Behavior melalui Grazing Trend pada “ Djournal Coffee” Puri Indah Mall H1 : Ada hubungan yang signifikan antara variabel Psychograhic Segmentation terhadap Consumer Buyer Behavior melalui Grazing Trend pada “ Djournal Coffee” Puri Indah Mall 36