Angklung Adalah Warisan Dunia Alat musik tradisional Angklung akan dikukuhkan sebagai salah satu warisan budaya dunia atau “World Intangible Heritage” oleh UNESCO pada bulan November 2010, berita ini disampaikan Ketua Harian Komisi Nasional Indonesia untuk UNESCO, Prof dr H Arief Rachman, di Gedung Pakuan Bandung. Dengan dikukuhkannya angklung oleh UNESCO sebagai warisan budaya dunia, maka tidak akan ada lagi negara lain yang mengaku (klaim) angklung. “Kalau Malaysia ingin memiliki (angklung) silakan saja, tapi harus dilihat sumber mata airnya (angklung) dari mana,” katanya. Angklung merupakan alat musik bambu yang terdiri atas tiga tabung bambu yang digantung berderet pada sebuah rak. Tabung-tabung itu panjangnya berlainan, bagian bawahnya tertutup oleh bukunya, sedangkan bagian atas terbuka. Ketiga tabung itu dilaras sama, hanya berbeda satu oktaf. Suaranya yang nyaring dan bersifat riang membuat permainan angklung sangat sesuai untuk tempat terbuka. Angklung yang paling kecil berukuran sekitar 20 cm, dan paling besar 1 m. Ada juga angklung yang disusun bergantung pada suatu rak panjang, disusun sehingga dapat dimainkan oleh seorang pemain. Akan tetapi banyak pula terdapat rombongan-rombongan pemain, ada yang berjumlah sampai beberapa ratus orang; para pemain memegang satu atau dua angklung, dan bersamasama dalam suatu permainan silih berganti memperdengarkan sebuah nada. Oleh karena setiap angklung mengandung satu nada tertentu, maka pemainnya harus selalu waspada menantikan saat memainkan angklung yang dipegangnya, sesuai nadanya dalam rangka lagu dan irama. Cara memegang alat musik angklung: Cara memegang satu angklung Tangan kiri bertugas memegang angklung dan tangan kanan bertugas menggetarkan angklung. Tangan kiri dapat memegang angklung dengan cara memegang simpul pertemuan dua tiang angklung vertikal dan horisontal (yang berada di tengah), sehingga angklung dipegang tepat di tengah-tengah. Hal ini dapat dilakukan baik dengan genggaman tangan dengan telapak tangan menghadap ke atas atau pun ke bawah. Posisi angklung yang dipegang sebaiknya tegak, sejajar dengan tubuh, dengan jarak angklung dari tubuh cukup jauh (siku tangan kiri hampir lurus), agar angklung dapat digetarkan dengan baik dan maksimal. Tangan kanan selanjutnya memegang ujung tabung dasar angklung (horisontal) dan siap menggetarkan angklung. Cara memegang lebih dari satu angklung Angklung yang ukurannya lebih besar dipegang tangan kiri pada posisi yang lebih dekat ke tubuh, baik dengan cara dimasukkan ke dalam lengan (jika angklung melodi besar atau yang masuk ke dalam lengan pemain) di posisi lengan bawah, atau dimasukkan ke dalam jari tangan kiri sehingga angklung sisanya dapat dipegang juga oleh jari tangan kiri lainnya dan masing-masing angklung dapat dimainkan dengan sempurna dan baik. Cara membunyikan angklung Angklung digetarkan oleh tangan kanan, dengan getaran ke kiri dan ke kanan, dengan posisi angklung tetap tegak (horisontal), tidak miring agar suara angklung angklung rata dan nyaring. Sewaktu angklung digetarkan, sebaiknya dilakukan dengan frekuensi getaran yang cukup sering, sehingga suara angklung lebih halus dan rata. Meskipun memainkan angklung bisa sambil duduk, tetapi disarankan pemain memainkan angklung sambil berdiri agar hasil permainan lebih baik. Seni tradisi angklung bagi masyarakat Jawa Barat memiliki nilai religius. Hal ini dipertahankan sejak zaman prasejarah sampai dengan sekarang. Pada zaman prasejarah, bambu digunakan sebagai media komunikasi terhadap roh-roh nenek moyang dalam upacara penyembahan. Kemudian, bambu tersebut diolah menjadi alat musik yang dikenal dengan nama angklung sebagai media pengiring dalam upacara penghormatan terhadap Dewi Sri ketika panen padi. Masyarakat melibatkan kesenian angklung dalam upacara terhadap dewa-dewi yang mereka percayai sebagai pemberi berkah dalam kehidupannya sehari-hari dengan berbagai tata cara upacara yang Hindustik. Upacara ini masih dilestarikan, khusunya di daerah Sunda pedalaman, misalnya di Suku Badui. Musik angklung juga digunakan sebagai media dakwah. Angklung disajikan sebagai sebuah pertunjukan yang berisi petuah-petuah keagamaan. Struktur lagu lebih dominan dibandingkan dengan iringan musik angklungnya. Syair-syair lagu yang dinyanyikan biasanya diambil dari Al-Quran dan kitab-kitab Islam. Lagu yang dinyanyikan kadang berbahasa Arab atau diterjemahkan dalam bahasa Sunda. Sampai sekarang musik angklung di daerah tertentu masih dipertahankan, misalnya angklung Badeng di daerah Malangbong, Garut. Pengaruh Cina juga terlihat dalam seni angklung. Pada pementasan teater kelahiran Dewi Sri ada Dewa Anta yang berbentuk ular naga dengan menggunakan kostum Barongsay dan kostum binatang. Pada mulanya angklung memiliki nada pentatonis (lima nada). Namun, semenjak athun 1983, Bapak Angklung Daeng Soetigna telah menyusun kembali susunan angklung dalam nada diatonik (tujuh nada) kromatis, sehingga angklung dapat dimainkan pada banyak lagu. Akhir-akhir ini perhatian umum terhadap permainan angklung semakin meluas. Berbagai ahli telah berhasil dan menciptakan atau mengubah lagu-lagu untuk permainan angklung, bukan lagu-lagu Indonesia saja, melainkan juga banyak lagu-lagu asing.