MENINjAu ulANG PENtINGNyA PERjANjIAN PERDAGANGAN

advertisement
Tinjauan Kebijakan Ekonomi Indonesia
Meninjau Ulang Pentingnya
Perjanjian Perdagangan Bebas
Bagi Indonesia
Yose Rizal Damuri
Publikasi Ikhtisar Kebijakan Singkat ini merupakan hasil dari
Aktivitas ‘Kebijakan Ekonomi di Indonesia’ yang dilakukan oleh Centre
for Strategic and International Studies (CSIS) dan Economic Research
Institute for ASEAN and East Asia (ERIA). Kegiatan ini merupakan
kontribusi pemikiran dari komunitas penelitian/riset, yang diharapkan
dapat membantu meningkatkan efektivitas kebijakan pemerintah.
Dalam kegiatan ini, CSIS bersama dengan ERIA mengundang 16 ahli
ekonomi dari berbagai institusi penelitian terkemuka yang kompeten
pada bidang keahlian yang spesifik, untuk berdiskusi mengenai tujuh
permasalahan strategis ekonomi Indonesia (pembangunan infrastruktur,
kebijakan daya saing, iklim investasi, kebijakan pangan, kebijakan
sektor jasa, kebijakan fiskal, dan kebijakan perlindungan sosial),
yang kemudian dikumpulkan dalam rangkaian ikhtisar kebijakan singkat
(policy brief) untuk masing-masing topik.
Diseminasi hasil temuan dan rekomendasi yang dihasilkan
kegiatan ini dilakukan melalui berbagai jalur. Kegiatan ini berusaha
untuk melibatkan pejabat pemerintah yang terkait melalui sejumlah
Focus Group Discussion (FGD) dan Audiensi dengan pengambil kebijakan
strategis, yang terkait dengan masing-masing topik di atas. Sementara itu,
diseminasi kepada publik secara luas juga dilakukan melalui sejumlah
Seminar Publik mengenai masing-masing topik, serta melalui publikasi
Ikhtisar Kebijakan Singkat dan sejumlah multimedia pendukung yang
dapat diakses secara online melalui www.paradigmaekonomi.org.
1
Rekomendasi dan Pesan Utama
1. Diperlukan satu pandangan yang lebih menyeluruh dalam
melihat perjanjian perdagangan, bukan hanya terbatas pada akses
pasar. Dampak dari suatu perjanjian akan jauh melampaui sekedar
neraca perdagangan bilateral, termasuk pula pembangunan
industri dan peningkatan daya saing.
2. Tidak tergabung dalam suatu perjanjian perdagangan bukan
berarti Indonesia tidak mengalami kerugian. Ada kerugian akibat
tergerusnya daya saing produk Indonesia ketika negara pesaing
beramai-ramai membentuk perjanjian perdagangan, termasuk juga
dalam hal investasi.
3. Diperlukan suatu strategi nasional mengenai tujuan dan arah
perjanjian perdagangan. Strategi tersebut perlu memasukan
berbagai aspek yang terkait dan tidak hanya terpaku pada tujuan
untuk meningkatkan ekspor belaka, tetapi juga pendalaman
industri dan peningkatan daya saing. Strategi tersebut juga harus
memandang bahwa berbagai area baru dalam FTA merupakan
sarana penunjang bagi tercapainya reformasi ekonomi yang
mendukung tujuan dari pembangunan ekonomi.
P
erjanjian perdagangan bebas (Free Trade Area, FTA)
masih merupakan hal yang cukup kontroversial di dalam pembahasan
kebijakan ekonomi Indonesia. Perjanjian perdagangan masih
dianggap sebagai salah satu faktor yang merugikan perekonomian.
Ketika pemerintah mengumumkan bahwa Indonesia akan mengikuti atau
melakukan suatu perjanjian perdagangan, ada banyak reaksi penolakan
terhadap proses tersebut.
Dalam sebuah survey mengenai Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA), hanya
45% perusahaan Indonesia yang melihat bahwa MEA akan menjadi kesempatan
bagi mereka, jauh dibawah negara ASEAN lainnya yang lebih dari 70% pelaku
usahanya melihat itu sebagai kesempatan.Sumber dari persepsi negatif tersebut
adalah pandangan bahwa perjanjian perdagangan, serta proses keterbukaan
ekonomi yang menyertainya, hanya mengancam sektor produksi domestik,
baik pertanian maupun perindustrian.
Produk domestik dipercaya tidak akan mampu bersaing dengan produk
impor dari negara mitra dagang, yang menyebabkan banjirnya barang impor
di pasar dalam negeri. Sementara itu penurunan bea masuk dan hambatan
perdagangan di negara mitra tidak akan memberikan manfaat yang cukup,
karena produk ekspor Indonesia dianggap tidak mempunyai daya saing dan
kualitas yang cukup baik untuk memanfaatkan peluang yang ada.
Dampak FTA
Pandangan negatif ini juga didasari oleh pengalaman Indonesia atas
beberapa perjanjian perdagangan yang telah dijalankan, seperti Indonesia-
2
Japan Economic Partnership Agreement (IJEPA) dan ASEAN-China Free
Trade Agreement (ACFTA). Keduanya, dan beberapa perjanjian lainnya,
dianggap telah memberikan beban kepada neraca perdagangan Indonesia.
Perdagangan antara Indonesia dan Jepang terus mengalami peningkatan
setelah IJEPA diselesaikan pada tahun 2007 dan dilaksanakan secara penuh
pada tahun 2012. Tetapi memang terlihat bahwa peningkatan impor Indonesia
yang berasal dari Jepang terlihat lebih tinggi dibandingkan ekspor Indonesia ke
negara tersebut. Ini menyebabkan surplus neraca perdagangan Indonesia dan
Jepang menjadi lebih kecil. Jika pada tahun 2007, Indonesia mencatatkan surplus
perdagangan sebesar US$16 miliar, pada tahun 2014, hanya sekitar US$8 miliar.
Tetapi jika dilihat lebih jauh, peningkatan impor dari Jepang lebih banyak
didominasi oleh bahan antara untuk keperluan industri yang meningkat
18% pertahunnya, dan suku cadang kendaraan bermotor yang naik sekitar
13% pertahunnya. Kedua produk tersebut menjadi bahan baku penting yang
menunjang produksi domestik, termasuk untuk ekspor, serta memberikan
kontribusi atas pembangunan industri di Indonesia.
Gambar 1 di bawah ini memperlihatkan bagaimana peningkatan impor suku
cadang dan komponen kendaraan bermotor terjadi bersamaan dengan ekspor
kendaraan bermotor Indonesia. Sayangnya ekspor tersebut memang tidak tercemin
dalam neraca perdagangan antara Indonesia dan Jepang, karena ekspor tersebut
lebih ditujukan ke negara-negara lain, seperti negara ASEAN dan juga Timur Tengah.
Gambar 1. Impor dan Ekspor Kendaraan Bermotor
3
US$ Billions
3
2
2
1
1
0
2006
2007
2008
2009
2010
2011
2012
2013
2014
Imports of Parts and components from Japan
Exports of Motor Vehicle to the World
Sumber: COMTRADE Database, diolah oleh penulis
Dari sini ada dua hal yang patut diingat ketika melihat hasil dari sebuah
FTA. Pertama adalah adanya jaringan produksi internasional. Melihat neraca
perdagangan hanya terbatas pada suatu negara adalah suatu kesalahan.
Impor yang berasal dari suatu negara dapat menjadi bahan antara bagi produksi
yang akan diekspor ke negara-negara lainnya. Oleh karena itu hasil dari suatu
FTA juga tidak dapat hanya dilihat berdasarkan neraca perdagangan bilateral.
Yang kedua adalah penurunan hambatan perdagangan juga akan memberikan
kontribusi positif kepada pembangunan industri, terutama jika bahan antara
menjadi lebih murah dan juga akan mendukung ekspor. Ini juga akan menarik
investasi karena pihak penanam modal melihat bahwa mereka tidak akan
mendapat kesulitan dalam mendapatkan bahan baku dan antara dalam produksi.
Investasi dari Jepang selama tahun 2008-2013 dalam sektor pengolahan
3
seperti kendaraan bermotor dan elektronik tercatat sebanyak hampir US$32
miliar, jauh lebih tinggi dari periode sebelumnya. Peningkatan investasi tersebut
tentunya mendorong impor barang-barang modal dari Jepang yang akan
menurunkan neraca perdagangan bilateral dalam jangka pendek, meskipun
akan memberikan manfaat dalam jangka waktu yang lebih panjang.
Selain itu perlu diperhatikan juga apakah kenaikan impor memang
merupakan dampak dari FTA atau faktor lainnya. Dalam kasus ACFTA,
hanya 65% dari keseluruhan impor Indonesia dari Cina pada tahun 2014 yang
berhak mendapatkan bea masuk preferensial. Perlu diperhatikan pula bahwa
tidak semua produk yang berhak akan mendapatkan bea masuk preferensial
karena adanya ketentuan aturan asal barang (rules of origin, ROO), disamping
banyak produk yang perbedaan antara bea masuk MFN dan preferensialnya
(margin of preferences, MoP) terlalu rendah1.
Perlukah Perjanjian Perdagangan?
Ketika Indonesia memutuskan untuk tidak tergabung dalam perjanjian
perdagangan,
bukan
berarti
Indonesia
tidak
mengalami
kerugian.
Meskipun keberhasilan WTO telah mampu menurunkan bea masuk secara
signifikan, tingkatan bea masuk yang ada saat ini masih berpengaruh pada
daya saing ekspor. Apalagi dengan persaingan global yang begitu ketat,
perbedaan bea masuk sebesar 1% saja dapat mempengaruhi keputusan untuk
melakukan impor. Disamping itu perjanjian perdagangan juga menjadi daya tarik
untuk investasi.
Sebagai contoh adalah struktur bea masuk negara-negara Uni Eropa yang
bea masuk MFN-nya masih terlihat cukup tinggi. Untuk produk-produk
pertanian, rata-rata bea masuk pada tahun 2012 mencapai lebih dari 10%.
Untuk beberapa produk manufaktur seperti produk tekstil dan sepatu,
rata-rata bea masuk mencapai 8%. Selain itu negara-negara Uni Eropa juga
banyak memperlakukan bea masuk spesifik yang dihitung tidak berdasarkan
harga dari produk, tetapi berdasarkan satuan unit dan berat. Ini mempunyai
dampak yang lebih besar untuk produk-produk dengan harga murah seperti
yang berasal dari Indonesia.
Untungnya, Uni Eropa juga memberlakukan bea masuk preferential yang
jauh lebih rendah dari bea masuk MFN, yang dikenal dengan nama GSP.
Pada tahun 2012, hampir setengah dari ekspor Indonesia ke Uni Eropa
memperoleh fasilitas GSP. Penggunaan GSP ini telah membantu terbentuknya
akses pasar yang lebih luas ke negara-negara tersebut.
Tetapi seiring dengan pertumbuhan ekonomi Indonesia yang menuju
perekonomian menengah atas (upper-middle income), beberapa tahun
lagi produk Indonesia mungkin tidak lagi bisa menggunakan fasilitas ini.
Dapat dipastikan daya saing produk Indonesia di Uni Eropa akan menjadi
lemah dibandingkan dengan negara pesaing yang masih mendapatkan fasilitas
tersebut. Studi dari CSIS menyebutkan bahwa dampak dari pencabutan fasilitas
GSP pada produk Indonesia dapat menyebabkan penurunan hingga lebih dari
12% terhadap total ekspor Indonesia ke Uni Eropa (Damuri et. al 2014).
Untuk mengantisipasi persoalan tersebut, pemerintah Indonesia harus lebih
giat memperbaiki akses pasar ke negara-negara tujuan utama ekspor Indonesia.
1 Ada 19% item tariff yang mendapatkan MoP sebesar 0-5%, sementara 57% lainnya hanya memperoleh keringanan
sebesar 5-10%. Rendahnya perbedaan MFN dan preferensial menyebabkan kurangnya insentif bagi exporter dari
Cina, ataupun importir Indonesia untuk menggunakan fasilitas dari FTA.
4
Negara-negara pesaing, seperti tetangga di Asia Tenggara saat ini aktif
melakukan perjanjian perdagangan dengan negara tujuan untuk memperoleh
akses pasar yang lebih luas. Jika Indonesia tidak melakukan pembukaan akses
pasar melalui perjanjian perdagangan maka daya saing produk Indonesia juga
akan menjadi semakin terpuruk. Hasil studi CSIS mengenai Indonesia-EU CEPA
juga menunjukkan bahwa ekspor Indonesia terancam untuk tergerus hingga
sebesar 8% jika EU berhasil menjalankan perjanjian dengan mitra dagangnya
di ASEAN, sementara Indonesia tidak melakukan perjanjian yang sama.
Harus pula diingat bahwa perjanjian perdagangan tidak hanya memberikan
dampak terhadap perdagangan, tetapi juga berpengaruh atas daya tarik
investasi. Perjanjian perdagangan mempengaruhi daya tarik investasi melalui
dua mekanisme. Yang pertama adalah pembahasan mengenai keterbukaan dan
perlindungan investasi yang biasanya dituangkan dalam bab mengenai komitmen
terkait investasi. Ini akan mendorong perbaikan dalam iklim dan fasilitasi bagi
investasi asing, yang pada akhirnya akan mendorong masuknya investasi tersebut.
Mekanisme kedua berasal dari perdagangan yang lebih terbuka. Model
usaha yang berkembang saat ini mengharuskan proses produksi suatu
barang dilakukan di berbagai lokasi di negara yang berbeda. Produksi suatu
barang elektronik seperti smartphone, misalnya, memerlukan komponen
yang diproduksi di berbagai negara, begitu pula produksi barang lain seperti
pakaian dan juga produk makanan. Perjanjian perdagangan akan memfasilitasi
perdagangan lintas batas dapat dijalankan dengan mudah. Hal ini akan
menjadi pertimbangan bagi investasi asing. Negara yang mempunyai perjanjian
perdagangan dan dapat menjamin perdagangan lintas batas secara mudah,
akan menjadi lebih menarik bagi investasi asing.
Strategi Indonesia dalam FTA
Tabel 1 memberikan daftar perjanjian perdagangan antara Indonesia dengan
negara mitra dagang. Seperti terlihat, kebanyakan FTA Indonesia dijalankan
dalam kerangka ASEAN bersama sembilan negara anggota lainnya, ditambah
enam negara mitra ASEAN. Indonesia hanya mempunyai dua perjanjian
perdagangan, dengan Jepang yang berbentuk perjanjian kemitraan komprehensif
dan dengan Pakistan yang merupakan perjanjian terbatas. Tetapi ada 12 FTA
bilateral yang saat ini dalam proses perundingan maupun persiapan.
5
Tabel 1. Daftar Perjanjian Perdagangan Indonesia
ASEAN
Bilateral
Sedang Berjalan
Perundingan
Sedang Berjalan
ASEAN,
ASEAN+1
FTAs (Korea,
Cina, India,
Jepang (Belum
diratifikasi)
Australia,
Selandia Baru)
Regional
Comprehensive
Economic
Cooperation
(RCEP)
Japan, Pakistan
(PTA)
Korea, EFTA, Iran,
Chile, Australia
Regional
Non-binding
Cooperation
Persiapan
Perundingan
Uni Eropa, India,
Turki
Proses Joint
Study Group
Mesir, Peru,
Tunisia, Nigeria
TPP (?)
APEC
Sumber: Kompilasi dari berbagai sumber
Hal ini menunjukkan bahwa di satu sisi Indonesia cenderung tidak mampu
mencapai konsensus untuk menyelesaikan perundingan perdagangan yang telah
dimulai. FTA dengan EFTA, misalnya, telah dimulai sejak tahun 2010 dan saat ini
baru dimulai kembali. Perundingan dengan Korea Selatan masih terus ditunda,
meskipun negosiasi hanya tersangkut pada beberapa permasalahan yang bisa
dianggap tidak terlalu signifikan. Begitu pula dengan beberapa perundingan
lainnya yang tidak menunjukkan kemajuan berarti. Kesulitan sering timbul
karena tidak adanya kesamaan persepsi antara berbagai pengambil kebijakan
mengenai arah dan tujuan dari suatu perundingan yang dimulai.
Tetapi di sisi lain, Indonesia terlihat sangat antusias untuk memulai
perundingan bahkan dengan negara-negara yang bukan merupakan mitra
dagang utama. Disini mengindikasikan bahwa tidak ada strategi FTA yang jelas
mengenai pemilihan mitra dagang potensial sebagai mitra FTA. Keputusan
perundingan sering dimulai sebagai langkah politis dan diplomasi internasional
yang bukan didasari pertimbangan ekonomi yang kuat2.
Jika dilihat lebih jauh lagi, isi dari satu perjanjian perdagangan sangat
berbeda dengan perjanjian lainnya (CSIS 2013). Tidak terlihat adanya suatu
strategi yang jelas mengenai apa yang ditawarkan di dalam suatu perundingan,
dan apa yang akan diminta. Indonesia perlu mempunyai suatu strategi dasar
mengenai arah dan tujuan dari perundingan perdagangan yang memberikan
batasan lebih jelas dalam pemilihan negara mitra serta tujuan utama dari FTA
yang dilakukan.
Tetapi tujuan dari strategi tersebut sebaiknya tidak hanya dibatasi pada
persoalan perdagangan barang dan akses pasar saja seperti kenaikan ekspor
semata. Tujuan dari FTA harus dikaitkan dengan strategi pembangunan yang
lebih mendasar.
Salah satu target yang dapat dituju melalui perjanjian perdagangan adalah
peningkatan partisipasi dalam jaring produksi internasional dan rantai nilai
global. Partisipasi yang lebih baik akan memberikan kontribusi positif bagi
perkembangan industri nasional dan meningkatkan daya saing perekonomian.
2 Beberapa persiapan perundingan dimulai untuk menandai kunjungan dari kepala negara mitra dagang, atau
sebaliknya kunjungan kepala negara RI ke negara mitra. Ini sering menyebabkan joint-study yang dilakukan sulit
untuk ditingkatkan menjadi suatu perundingan yang substantif.
6
MEREALISASIKAN PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR SECARA EFEKTIF
Strategi ini mungkin akan tidak akan memberikan dampak pertumbuhan ekspor
yang langsung dirasakan, dan bahkan dapat menyebabkan memburuknya
neraca perdagangan dalam jangka waktu pendek tetapi akan memberikan
manfaat yang lebih baik di masa mendatang.
Area Pembahasan Dalam Perjanjian Perdagangan
Jika strategi FTA didasarkan pada tujuan yang lebih besar dari sekedar
peningkatan ekspor, maka pembahasan dalam FTA juga harus mencakup
berbagai aspek yang berada di luar lingkup pembahasan FTA tradisional.
Hal ini mencakup berbagai hal yang sering disebut dengan behind-the-borderissues atau WTO-plus seperti permasalahan liberalisasi dan perlindungan
terhadap investasi, hak kekayaan intelektual, kebijakan persaingan usaha dan
standar ketenagakerjaan.
Isu-isu tersebut sering mengundang kontroversi karena kesepakatannya
sering dianggap mengurangi kewenangan pemerintah dalam merumuskan
kebijakan perekonomian karena harus memperhatikan berbagai aturan yang
disepakati. Ambil contoh adalah area perjanjian perlindungan investasi yang
memasukan penyelesaian sengketa antara investor dan pemerintah (investorstate dispute settlement, ISDS) yang dianggap menempatkan pemerintah pada
posisi yang dirugikan.
Tetapi perlindungan terhadap investasi akan meningkatkan kepercayaan atas
iklim investasi yang menjamin aset dari berbagai tindakan yang dapat diambil
pemerintah seperti pemaksaan divestasi, ataupun ekspropriasi dan nasionalisasi.
Ini juga akan membuat pemerintah lebih berhati-hati dalam mengeluarkan
kebijakan yang dapat menyebabkan kerugian kepada para investor.
Secara historis, dapat dilihat bahwa kasus ISDS sendiri relatif kecil
dibandingkan dengan investasi internasional. Antara tahun 2003-2013
terdapat 461 kasus yang dimasukkan ke arbitrase internasional, dengan 2013
mencatatkan 57 kasus. Kebanyakan kasus tersebut melibatkan negara-negara
yang memang memiliki kerangka peraturan yang beresiko tinggi (Abbott, et. al
2014). Sebanyak 17% dari kasus tersebut melibatkan Venezuela dan Argentina
yang berada di ranking bawah indeks kerangka peraturan dalam Global
Competitiveness Report dari World Economic Forum.
Kebanyakan dari kasus-kasus tersebut (sekitar 40%) merupakan kasus dalam
sektor pertambangan dan ekstraktif, serta kelistrikan, yang memang lebih rentan
terhadap tindakan dari pemerintah. Tetapi dari berbagai kasus tersebut hanya
sebagian kecil, sekitar 18%, yang dimenangkan oleh investor. Sebanyak 37%
dari kasus pada periode 2003-2013 dimenangkan oleh pemerintah, sementara
sisanya diselesaikan diluar arbitrase. Berbagai fakta ini memberikan perspektif
yang lebih jelas mengenai posisi dari ISDS dan perlindungan terhadap investasi.
Berbagai isu WTO-plus tersebut harus dipandang sebagai upaya untuk
mendisiplinkan kebijakan ekonomi serta meningkatkan kepastian dalam dunia
usaha dan perekonomian. Kesepakatan dalam FTA akan menjadi pendorong bagi
perbaikan kebijakan ekonomi nasional yang pada akhirnya akan meningkatkan
daya saing dan kinerja perekonomian.
7
Referensi
Damuri, Yose R., Raymond Atje, Audrey Soedjito (2014). Study on the
Impact of an Indonesia-EU CEPA. CSIS Publication, tersedia online
https://www.csis.or.id/research/page/study_on_the_impact_of_an_euindonesia_cepa.html
CSIS (2013). An Assessment of Economic Impacts of FTAs in Indonesia.
CSIS Publication, tersedia online https://www.csis.or.id/research/page/
an_assessment_of_economic_impacts_of_ftas_in_indonesia.html
8
Download