KEMENTERIAN KOORDINATOR BIDANG PEREKONOMIAN REPUBLIK INDONESIA Kebijakan Inland FTA dalam Rangka Penguatan Industri Domestik dan Peningkatan Ekspor menghadapi ASEAN Economic Community (AEC) 2015 JAKARTA, DESEMBER 2013 Ringkasan Eksekutif Sampai dengan Oktober 2013, nilai impor barang konsumsi di Indonesia dinilai cukup besar. Sebagai tanggapan atas hal ini, pemerintah Republik Indonesia mengeluarkan berbagai kebijakan untuk mengurangi jumlah impor dan memperbaiki neraca perdagangan kita. Selain itu, ada beberapa kondisi yang menyiratkan kekurangan daya saing Indonesia. Hal ini seperti rendahnya fasilitas yang diterima industri dalam negeri, jika dibandingkan negara tetangga di Asia Tenggara. Indonesia masih tertinggal dalam pemberian kebijakan perdagangan ke pelaku usaha. Walau pemerintah sudah mengeluarkan beberapa kebijakan yang bertujuan memperbaiki kondisi neraca perdagangan, tetapi nampaknya kebijakan-kebijakan tersebut belum mampu meningkatkan keunggulan daya saing Indonesia dalam perdagangan dunia. Dalam rangka peningkatkan keunggulan daya saing Indonesia, maka pemerintah melalui Kementrian Koordinator Bidang Perekonomian mengusulkan sebuah skema kebijakan Inland Free Trade Arrangement (Inland FTA). Skema ini bekerja dengan memberikan fasilitas perdagangan/kepabeanan bagi industri dalam negeri dengan memperlakukan preferensi FTA untuk proses produksi di dalam wilayah Indonesia. Pengembangan Inland FTA diarahkan kepada upaya mewujudkan pengaturan perdagangan bebas di dalam negeri, sehingga tercipta produk yang berdaya saing, melalui upaya peningkatan iklim usaha dan fasilitasi perdagangan yang terintegrasi dan berkelanjutan dengan memperlakukan preferensi liberalisasi perdagangan untuk proses produksi di dalam wilayah Indonesia. Sehingga diharapkan Indonesia dapat selangkah lebih maju dibandingkan dengan negara ASEAN lainnya dalam usahanya meningkatkan keunggulan daya saing dan promosi ekonomi. Adapun tujuan dari kajian ini adalah; 1) merumuskan kebijakan koordinasi yang tepat guna memperkuat industri domestik dan daya saing produk Indonesia; 2) menganalisis kemungkinan dan cost-benefit pemberlakuan Inland FTA di Indonesia sebagai salah satu langkah dalam menghadapi liberalisasi perdagangan; 3) menentukan skema fasilitasi yang diberikan dalam Inland FTA di Indonesia; 4) menentukan industri-industri yang paling sesuai untuk penerapan Inland FTA di Indonesia. Adapun cakupan pembahasan dalam kajian ini akan berputar pada industri pengolahan tertentu di Indonesia secara makro. Dalam kajian ini data yang digunakan terdiri atas data kuantitatif dan kualitatif. Data kuantitatif akan berupa data permintaan dan penawaran hasil industri di pasar dalam negeri. Sedangkan data kualitatif akan berupa literatur, kebijakan, hasil wawancara, dan hasil observasi dari kunjungan lapangan. Selanjutnya, semua data ini akan melalui pemrosesan yang akan digunakan dalam analisis. Bagian analisis terdiri atas dua bagian besar, yaitu analisis secara kuantitatif dan kualitatif. Analisa kuantitatif dilakukan dengan 3 tahap analisis yang berbeda, yaitu Analisis hubungan permintaan dan penawaran di Indonesia untuk memilih industri manufaktur; Analisis daya saing industri dan Analisis tingkat tarif preferensi dari perjanjian perdagangan bebas yang diikuti Indonesia atas industri-industri yang dipilih. Begitu juga pada analisa kualitatif yang juga melakukan 3 analisis yang berbeda. Pertama adalah 2 analisis regulasi yang berhubungan dengan pengembangan industri-industri yang menjadi fokus pada bab analisis kuantitatif sebelumnya. Kedua, analisis harmonisasi kebijakan yang terkait dengan Inland FTA. Dan ketiga, analisis arah kebijakan industri. Dari hasil analisa kuantitatif tahap 1, didapatkan 4 kategori industri yang mencerminkan prioritas industri yang dapat menikmati fasilitas Inland FTA. Kategori 1 yang dikatakan perlu mendapat perhatian khusus, yaitu mereka adalah industri yang hasil produksi industri-nya tidak mampu memenuhi hingga 50% kebutuhan konsumsi domestik. Mereka adalah industri industri pengolahan atau pengawetan daging, industri bahan mentah produk plastik dan karet sintetis, industri mesin dan turbin bukan untuk alat transportasi, dan industri mesin perkakas. Kemudian pada analisa tahap 2, memperlihatkan sejauh mana tingkat daya saing industri terpilih (di tahap 1) secara relatif terhadap industri sejenis di dunia. Hal ini dengan cara memperhitungkan tingkat kompetitif industri melalui perhitungan Revealed Comparative Advantage (RCA). Hasilnya adalah 10 industri yang memperlihatkan sangat kurangnya daya saing dan kapasitas industri dalam negeri untuk memenuhi kebutuhan konsumsi domestik. Mereka adalah: Industri bahan mentah produk plastik dan karet sintetis; Industri mesin perkakas; Industri mesin dan turbin (bukan untuk alat transportasi); Industri alat pemotong, alat pertukangan, dan alat lainnya; Industri besi dasar dan baja; Industri mesin untuk produksi pertanian dan kehutanan; Industri mesin untuk industri tekstil; Industri kereta api dan perlengkapan penunjangnya; Industri karoseri kendaraan bermotor roda 4 atau lebih; Industri pengolahan dan pengawetan daging. Dilanjutkan dengan analisa kuantitatif tahap 3 dengan membandingkan tarif bea impor yang berlaku dengan skema MFN (Most Favoured Nation) dan juga skema preferensial. Disini terlihat bahwa cukup banyak negara-negara yang belum masuk dalam perjanjian perdagangan bebas Indonesia dan turut menjadi Negara asal impor bahan baku terbesar pada industri-industri tersebut. Dengan kata lain bahwa fasilitas Inland FTA berpeluang meningkatkan daya saing. Analisa kualitatif dimulai dari analisa regulasi. Untuk kelompok industri pengolahan/pengawetan daging, produsen industri pengolahan daging sangat mengharapkan adanya dukungan dari pemerintahan berupa pemberian fasilitas-fasilitas fiskal seperti penghapusan bea masuk, bea masuk ditanggung pemerintah (BMDTP) atau pajak pertambahan nilai ditanggung pemerintah untuk bahan baku pendukung industri pengolahan seperti sarung sosis, tepung kedelai, dan kemasan. Untuk Industri baja, beberapa insentif fiskal telah mendukung sisi suplai industri ini, tetapi juga dibutuhkan pengembangan dari sector permintaan melalui realisasi proyek-proyek infrastruktur pemerintah. Selanjutnya dari industri permesinan, beberapa fasilitas telah diberikan pemerintah seperti tax holiday hingga keringanan bea masuk. Ini semua untuk mendukung industri turunan-nya yang memang cukup luas, dari mesin dan turbin (bukan alat transportasi), mesin perkakas, alat mesin pertanian, mesin-mesin di industri tekstil, kereta api dan perlengkapan penunjangnya, serta industri karoseri. Untuk industri Plastik dan karet sintetis, insentif fiskal juga telah diberikan untuk menarik investor. Selain itu, juga termasuk fasilitas revitalisasi mesin pada industri plastic berskala kecil dan menengah. Tahap selanjutnya dari analisa kualitatif adalah dari sisi harmonisasi kebijakan serta arah kebijakan industri. Pada bagian harmonisasi kebijakan, didapati bahwa Inland FTA terkait dengan Undang- Undang No.17 Tahun 2006 tentang Kepabeanan, Undang Undang No. 3 24 Tahun 2009 tentang Kawasan Industri; Kebijakan Bea Masuk Ditanggung Pemerintah (BMDTP) yang diberikan pemerintah dalam bentuk pengembalian bea masuk impor komponen bagi sektor industri tertentu yang belum bisa diproduksi atau dipenuhi di dalam negeri. Ketiga kelompok regulasi tersebut bisa dikatakan sejalan dengan penerapan Inland FTA bahkan saling melengkapi. Mengenai kesesuaian dengan arah kebijakan industri, ditemukan bahwa 10 industri prioritas yang mendapatkan fasilitas Inland FTA adalah searah dengan kebijakan industri yang telah di tetapkan oleh Kementrian Perindustrian dalam rencana strategisnya. Sebagai tambahan analisa kualitatif, kunjungan ke lokasi kawasan industri di daerah didapati bahwa adanya harapan fasilitas Inland FTA mampu membangun industri di daerah tersebut, dengan catatan adanya kriteria seleksi yang jelas bagi pihak penerima fasilitas itu. Analisa kualitatif dilengkapi dengan gambaran pohon industri dari setiap industri prioritas serta gambaran waktu pencapaian bagi kebijakan strategis Inland FTA ini. Dari kajian ini, dapat disimpulkan bahwa kebijakan Inland FTA ini layak diterapkan untuk meningkatkan keunggulan daya saing Indonesia. Yang mana ini didukung dari adanya empat industri yang memiliki permintaan domestik yang besar. Kemudian, kebijakan ini juga sejalan dengan agenda kebijakan industri nasional yang akan membentuk klasterklaster industri prioritas nasional. Dan terakhir, kebijakan Inland FTA ini akan melengkapi paket kebijakan (baik fiskal maupun non fiskal) yang telah diberikan pemerintah. Oleh karena itu kajian ini merekomendasikan pemberlakuan kebijakan Inland FTA dalam 10 industri prioritas. Sehingga akan membantu memenuhi kebutuhan domestik, serta meningkatkan daya saing produksi nasional agar lebih kompetitif di pasar tujuan ekspor. Rekomendasi yang terakhir adalah agar kebijakan Inland FTA ini juga bisa diterapkan tidak hanya pada kawasan berikat, tetapi juga pada kawasan industri. 4