No. Registrasi : PROPOSAL PENELITIAN KOMPETITIF DOSEN PENELITIAN TINGKAT PEMULA PENGEMBANGAN SKILL-BASED CURRICULUM UNTUK MENCEGAH TINDAK KEKERASAN PADA ANAK USIA DINI DI KABUPATEN TANAH DATAR JURUSAN TARBIYAH SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI BATUSANGKAR 2016 DAFTAR ISI Biodata Peneliti dan Proposal Daftar Isi Bab I Pendahuluan 1 A. Latar Belakang Masalah 1 B. Batasan Masalah dan Perumusan Masalah 4 C. Sasaran dan Tujuan Penelitian 4 D. Definisi Operasional 5 E. Kajian Riset Sebelumnya 6 Bab II Kajian Teori Bab III Bab IV A. Kajian Teori 16 B. Bagan Kerangka Konseptual 17 Metode Penelitian 18 A. Metode Penelitian 18 Pembiayaan 21 Daftar Kepustakaan Lampiran 7 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Anak usia dini merupakan tunas dan generasi muda yang memiliki potensi dan peran strategis untuk meneruskan cita-cita perjuangan bangsa. Oleh karenanya, anak usia dini membutuhkan perlindungan dari segala bentuk perlakuan tidak manusiawi yang mengakibatkan terjadinya pelanggaran hak asasi manusia. Dalam Undang-Undang Perlindungan Anak No. 35 Tahun 2014 disebutkan bahwa perlindungan anak adalah segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. Adapun pihak-pihak yang memiliki kewajiban dan bertanggung jawab untuk menyelenggarakan perlindungan anak, diantaranya: negara, pemerintah daerah, masyarakat,keluarga, orang tua atau wali. Salah satu bentuk perlakuan yang mampu mengancam diri anak adalah kekerasan (child abuse), baik itu secara fisik maupun psikis. Standard definition for childhood injury research menguraikan perilaku kekerasan adalah perilaku terhadap orang lain, yang menyimpang dari norma tingkah laku yang mempunyai risiko substansial sehingga dapat menyebabkan kejahatan fisik dan emosional dengan sub kategori yaitu penyerangan fisik dan seksual, emosional dan penelantaran, akibat dari perlakuan ini dapat menyebabkan kerugian yang berat, ringan bahkan tidak timbul dengan segera. Kekerasan pada anak (Child Abuse) umumnya dilakukan oleh orang tua atau orang yang mempunyai wewenang hubungan tanggung jawab, kepercayaan dan kekuasaan (Rusmil, 2007) Penyerangan fisik dan seksual sebagai salah satu bentuk kekerasan pada anak yang umumnya sering terjadi pada anak di lingkungan rumah dan sekolah perlu mendapat perhatian mengingat banyak kasus tentang kekerasan pada anak yang semakin mengemuka pada saat ini. Menurut Sekjen KPAI, M. Ihsan, berdasarkan survei terhadap anak-anak yang mengalami kekerasan dalam keluarga mencapai 91 persen ditambah yang masih menerima kekerasan di lingkungan sekolah sebanyak 88 persen. Dari hasil survei tersebut, kekerasan terjadi karena tiga faktor, yaitu faktor pengasuhan di dalam keluarga, faktor kekerasan di sekolah yang belum menganut sistem pendidikan berperspektif anak, serta faktor lingkungan karena geng dan pergaulan, game online, atau tontonan dan situasi lingkungan. Sementara itu, kekerasan pada anak terjadi juga di Kabupaten Tanah Datar, berikut data tindak kekerasan pada anak di Kabupaten Tanah Datar tahun 2014 s.d 2015. Tabel 1 Data Tindakan Kekerasan Pada Anak di Kabupaten Tanah Datar Tahun Jumlah Kasus Korban 2014 55 71 2015 35 44 Data di atas menunjukan bahwa telah terjadi tindakan kekerasan pada anak di Kabupaten Tanah Datar, untuk tahun 2014 terjadi sebanyak 55 kasus dengan 71 korban, sedangkan tahun 2015 sampai kondisi saat ini, telah terjadi 35 kasus dengan 44 korban kekerasan, diantara kasus tersebut, kasus cabul (kekerasan seksual) pada anak yang mendominasi. Anak yang mengalami kekerasan seksual pada umumnya mengalami gejala-gejala sebagai berikut: mengalami luka atau iritasi di sekitar area genital, terjadinya perubahan bentuk penis atau vagina, mengalami kesulitan buang anir kecil, infeksi, cemas ketika bertemu orang lain, suka menyerang, memiliki perilaku regresif, cemas berlebih, tidak nyaman ketika jalan atau duduk, dan menunjukan ketakutan atau ketidakpercayaan pada orang dewasa (AISA, 2014). Menurut Dra. H. Mursyidah, ketua P2TP2A Kabupaten Tanah Datar, penyebab terjadinya kasus tindakan kekerasan seksual di Kabupaten Tanah Datar tersebut diantaranya adalah karena pernikahan dini, rendahnya pendidikan budi pekerti di rumah tangga melalui pendidikan agama dan adat, pengaruh sosial ekonomi, perkembangan teknologi yang disalahgunakan, pengaruh obat-obat terlarang dan rendahnya pendidikan (sumber: http://tanahdatar.go.id, [akses: 01 april 2016]). Walaupun angka tindakan kekerasan pada anak pada tahun 2014 sampai dengan tahun 2015 di Kabupaten terjadi penurunan, namun hal tersebut tidak menjamin keamanan dan keselamatan anak dari tindakan kekerasan. Tindakan kekerasan, khususnya kekerasan seksual pada anak dapat mempengaruhi perkembangan anak dalam jangka panjang, adapun pengaruh yang ditimbulkan diantaranya (AISA, 2014): 1. Rendahnya prestasi belajar 2. Tidak mampu menyelesaikan tanggung jawa 3. Tidak mampu untuk hidup bermasyarakat 4. Tidak mampu merawat diri sendiri 5. Tidak mampu bekerja sama 6. Tidak memiliki kepercayaan diri 7. Tidak mampu menunjukan dan menerima kasih sayang dan cinta dari orang lain 8. Tidak mampu memimpin keluarga 9. Memiliki masalah kesehatan mental 10. Memiliki self esteem yang rendah 11. Depresi dan mengalami gangguan kecemasan 12. Mengalami post traumatic dissorder 13. Mengalami gangguan makan 14. Rendahnya kemampuan hubungan teman sebaya Untuk mencegah terjadinya dampak-dampak buruk dari tindakan kekerasan pada anak usia dini, maka Lembaga pendidikan anak usia dini (PAUD) sebagai bagian makro dari perkembangan anak dan bagian dari masyarakat, memiliki tanggung jawab dan kewajiban dalam memberikan perlindungan pada anak. Pada lembaga PAUD, tanggung jawab dan kewajiban melindungi anak sangat besar, hal ini dikarenakan anak usia dini masih dalam proses perkembangan dimana anak masih memiliki ketergantungan yang tinggi pada orang dewasa dan anak belum memiliki pengertian yang kompleks tentang segala bentuk perlakuan yang mampu mengancam dirinya. Salah satu upaya yang dapat dilakukan oleh lembaga PAUD adalah dengan memberikan bimbingan pada anak mengenai hal-hal yang patut dan tidak patut anak terima dari orang dewasa. Namun, permasalahan lain dalam pelaksanaan bimbingan dan upaya perlindungan pada anak adalah banyak guru yang belum memiliki pengetahuan mengenai hak-hak dan perlindungan anak, selain itu hampir seluruh lembaga PAUD di Tanah Datar belum memiliki pedoman khusus mengenai perlindungan anak khususnya, dalam tataran praktik pengajaran dan keterampilan melindungi diri pada anak. Beberapa lembaga atau organisasi layanan masyarakat di luar negeri telah mengembangkan program keamanan dan perlindungan anak, salah satu program yang berhasil dikembangkan adalah skill based curriculum. Skill based curriculum merupakan seperangkat pedoman untuk mengajarkan keterampilan melindungi diri pada anak dari tindakan kekerasan seksual. Skill based curriculum yang memiliki manfaat untuk pencegahan tindakan kekerasan pada anak belum dikembangkan pada lembaga pendidikan anak usia dini di Kabupaten Tanah Datar. Dengan melihat permasalahan tindak kekerasan seksual pada anak di Kabupaten Tanah Datar, maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian tindakan kolaboratif bersama guru kelompok bermain dan taman kanak-kanak untuk mengembangkan kurikulum berbasis keterampilan perlindungan diri pada anak usia dini. B. Batasan Masalah dan Perumusan Masalah Penelitian ini dibatasi pada permasalahan kekerasan seksual yang terjadi pada anak di Kabupaten Tanah Datar, adapun rumusan masalah dalam penelitian ini adalah “Bagaimana mengembangkan kurikulum berbasis keterampilan untuk mencegah tindak kekerasan pada anak usia dini di Kabupaten Tanah Datar?”. Berdasarkan prosedur penelitian dan pengembangan, masalah penelitian ini dirinci sebagai berikut: 1. Bagaimana identifikasi kebutuhan kurikulum berbasis keterampilan untuk mencegah tindak kekerasan pada anak usia dini menurut kepala sekolah dan guru? 2. Bagaimana model pembelajaran untuk mencegah tindak kekerasan pada anak usia dini yang pernah dilakukan oleh guru? 3. Bagaimana prinsip pengembangan kurikulum berbasis keterampilan berdasarkan kajian teoritik, identifikasi kebutuhan, dan analisis model pembelajaran yang ada? 4. Bagaimana rancangan model pengembangan kurikulum berbasis keterampilan untuk mencegah tindak kekerasan pada anak? 5. Bagaimana hasil uji coba lapangan model pengembangan kurikulum berbasis keterampilan untuk mencegah tindak kekerasan pada anak? C. Sasaran dan Tujuan Penelitian 1. Sasaran penelitian Adapun yang menjadi sasaran dalam peneliti ini terdiri dari: a. Anak usia dini dengan batasan usia 3-7 tahun yang mengikuti pendidikan anak usia dini di Kelompok Bermain dan Taman Kanak-Kanak di Kabupaten Tanah Datar b. Guru Kelompok Bermain dan Taman Kanak-Kanak se- Kabupaten Tanah Datar c. Kepala sekolah Kelompok Bermain dan Taman Kanak-Kanak se-Kabupaten Tanah Datar 2. Tujuan penelitian Tujuan utama dari penelitian ini adalah untuk mengembangkan kurikulum berbasis keterampilan perlindungan diri untuk anak pada lembaga pendidikan anak usia dini di Kabupaten Tanah Datar. Tujuan khusus dari penelitian ini adalah sebagai berikut: a. Untuk membekali keterampilan anak usia dini dalam melindungi diri dari ancaman/ tindakan kekerasan yang dilakukan oleh orang dewasa b. Untuk memberikan acuan/ pedoman pembelajaran pada guru/ pendidik anak usia dini dalam memberikan bimbingan pada anak mengenai ancaman/ tindakan kekerasan D. Definisi Operasional 1. Skill Based Curriculum Skill based curriculum mengacu pada konsep teori kurikulum berbasis kompetensi. Kurikulum berbasis kompetensi merupakan seperangkat rencana dan pengaturan tentang kompetensi dan hasil belajar yang harus dicapai siswa, penilaian, kegiatan belajar mengajar dan pemberdayaan sumber daya pendidikan dan mengembangkan sekolah (Depdiknas, 2002). Selanjutnya, Gordon (l988) mengungkapkan bahwa kompetensi memiliki beberapa aspek diantaranya: pengetahuan, pemahaman, keterampilan, nilai, sikap dan minat. Skill based curriculum yang dimaksud dalam penelitian ini adalah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai keterampilan yang akan diajarkan pada anak usia 3-7 tahun terkait dengan keterampilan melindungi diri dari tindakan kekerasan seksual. 2. Kekerasan Anak Menurut Undang-Undang No. 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak, Kekerasan adalah setiap perbuatan terhadap Anak yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, psikis, seksual, dan/atau penelantaran, termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum. Adapun kekerasan yang dimaksud dalam penelitian ini adalah setiap perbuatan trhadap anak yang menimbulkan penderitaan secara seksual (sexual abuse). E. Kajian Riset Sebelumnya Penelitian mengenai upaya pencegahan tindakan kekerasan seksual telah dilakukan oleh Departemen Layanan Kesehatan dan Publik (Child Walfare, 2013) di Washington pada tahun 2011. Dalam laporan penelitiannya, dilaporkan bahwa pada tahun 2011 terjadi kekerasan pada anak di Washington dengan jumlah berkisar 676.569 anak. Departemen Layanan Kesehatan dan Publik melakukan upaya pencegahan kekerasan pada anak dengan melibatkan orang tua, pengasuh, keluarga dan masyarakat. Dari hasil penelitiannya, dihasilkan beberapa program pencegahan tindak kekerasan pada anak, sebagai berikut: 1. Kampanye kesadaran publik mengenai tindak kekerasan pada anak 2. Skill based Curriculum untuk mengajarkan anak-anak agar memiliki keterampilan melindungi diri dari tindak kekerasan 3. Program pendidikan orang tua untuk membantu para orang tua mengembangkan keterampilan pengasuhan positif 4. Program Home Visit untuk memberikan dukungan dan bantuan pada ibu muda 5. Program kepemimpinan dan mentoring orang tua untuk membantu keluarga yang memiliki masalah 6. Kelompok dukungan orang tua Hasil penelitian menunjukan bahwa orang tua dan pengasuh yang memiliki dukungan dari keluarga, teman, tetangga dan kelompok masyarakat dapat lebih memberikan perlindungan dan keamanan untuk anak-anak mereka di rumah. BAB II KAJIAN TEORI A. Kajian Teori 1. Kekerasan Pada Anak a. Pengertian Menurut standard definition for childhood injury research perilaku kekerasan adalah perilaku terhadap orang lain, yang menyimpang dari norma tingkah laku yang mempunyai risiko substansial sehingga dapat menyebabkan kejahatan fisik dan emosional dengan sub kategori yaitu penyerangan fisik dan seksual, emosional dan penelantaran, akibat dari perlakuan ini dapat menyebabkan kerugian yang berat, ringan bahkan tidak timbul dengan segera. Kekerasan pada anak (Child Abuse) yang umumnya dilakukan oleh orang tua atau orang yang mempunyai wewenang hubungan tanggung jawab, kepercayaan dan kekuasaan (Rusmil, 2007) Kekerasan pada anak adalah penderitaan fisik atau kekerasan yang secara psikologis pada seorang anak dilakukan oleh orangtuanya atau orang dewasa lainnya (Carson, 1996). Kekerasan pada anak adalah penganiayaan pada anak yang dapat mengakibatkan luka baik secara fisik maupun psikis (Papalia, Olds & Feldsman, 2009). Berdasarkan uraian di atas, maka kesimpulan kekerasan pada anak adalah kekerasan atau penganiayaan baik secara fisik maupun secara psikologis yang bertujuan untuk menyakiti anak dan dilakukan secara sengaja oleh orang tuanya. b. Bentuk – bentuk kekerasan pada anak Kekerasan dan penelantaran pada anak dapat terjadi di dalam keluarga maupun di luar keluarga misal dapat berupa kekerasan fisik, penelantaran, kekerasan emosional, dan kekerasan seksual (Rusmil,2007) yaitu : 1) Kekerasan fisik Perlakuan kasar terhadap anggota tubuh anak yang dapat mengakibatkan bahkan menyebabkan cedera yang bukan merupakan kecelakaan dan tindakan yang di sengaja. Misalnya memukul anak, mengguncang, mencekik, menggigit, menendang, meracuni, membakar, atau merendam dalam air yang dilakukan oleh orang tua atau orang lain. Kekerasan fisik ini juga berkaitan dengan hukuman fisik yang melebihi kewajaran sebagai tindakan mendidik kedisiplinan anak pada suatu budaya tertentu (Suprabandi, 2012). Kekerasan fisik dicirikan oleh terjadinya cedera fisik yang karena penonjokan, pemukulan, penendangan, pengigitan, pembakaran, atau pembahayaan anak, orang tua atau orang lain mungkin tidak bermaksud untuk menyakiti anak, cedera tersebut terjadi akibat hukuman yang melewati batas (Santrock, 2007) 2) Kekerasan emosional Meliputi tindaksn pengabaian oleh orang tua yang menyebabkan masalah behavioral, kognitif, atau emosional yang serius. Kekerasan emosional ditandai dengan ucapan kata – kata yang merendahkan seorang anak, dan seringkali berlanjut dengan melalaikan anak tersebut,mengisolasikan anak dari lingkungan, hubungan sosialisasinya, atau bahkan dengan menyalahkan anak secara terus – menerus (Santrock, 2007). Biasanya diikuti dengan bentuk kekerasan lain. Kekerasan emosional sulit dideteksi karena merupakan kasus yang tidak dilaporkan. Biasanya berupa perilaku verbal dimana pelaku melakukan pola komunikasi yang berisi penghinaan, atau katakata yang melecehkan anak (Kusnandi, 2007). 3) Kekerasan seksual Kekerasan seksual adalah apabila seorang anak mendapatkan perlakuan seksual oleh orang dewasa. Kekerasan seksual dapat terjadi di dalam keluarga yang dilakukan oleh orang tua, orang tua tiri, saudara dan kerabat, sedangkan di luar rumah kekerasan seksual dapat dilakukan oleh tetangga, teman, orang yang merawat anak, porang asing bahkan guru. Anak – anak yang mengalami penganiayaan secara seksual di kemudian hari dapat dalam kegiatan prostitusi bahkan masalah serius apabila anak tersebut beranjak dewasa (Santrock, 2007). 4) Penelantaran atau neglect Penelantaran anak dicirikan dengan kegagalan dalam memenuhi kebutuhan dasar anak (Santrock, 2007). Orang tua yang tidak dapat memenuhi kebutuhan anaknya baik dalam hal kebutuhan fisik, psikis ataupun emosi, tidak dapat memberikan perhatian dan sarana untuk kemajuan anak dalam berkembang sesuai dengan tugas perkembangannya, merupakan tindakan penelantaran, yang termasuk dalam tindakan penelantaran anak adalah (Soetjiningsih, 2007) : a) Penelantaran untuk mendapatkan fasilitas kesehatan, misalnya tidak berkata yang sebenarnya apabila anak tersebut sedang sakit. b) Penelantaran untuk mendapatkan keamanan, misalnya cedera yang disebabkan pengawasan yang kurang dan situasi rumah yang membahayakan. c) Penelantaran emosi, misalnya tidak memberikan perhatian kepada anak – anaknya, dan menolak kehadiran anak, ketidakmampuan memberikan kepedulian psikologis, penyiksaan pasangan di depan anak, dan pembiaran penggunaan alkohol dan obat – obatan oleh anak (Santrock, 2007) d) Penelantaran fisik, misalnya apabila kebutuhan makan, pakaian, atau tempat tinggal yang layak tidak terpenuhi untuk mendapatkan sarana tumbuh kembang yang optimal, penolakan dalam mencari perawatan kesehatan, dan pengawasan yang kurang memadai. e) Penelantaran pendidikan, misalnya tidak mendaftarkan anak usia sekolah ke sekolah, anak tidak mendapatkan sarana pendidkan sesuai dengan usianya, atau justru menyuruh anak mencari nafkah sehingga anak putus sekolah. 2. Kurikulum Berbasis Kompetensi Kurikulum Berbasis Kompetensi merupakan salah satu bentuk inovasi kurikulum. Munculnya kurikulum berbasis kompetensi dimulai semenjak lahirnya kebijakan pemerintah dalam pemerintahan daerah atau dikenal otonomi daerah Undang-Undang Nomor 22 tahun l999. Kelahiran kebijakan pemerintah ini didorong oleh perubahan dan tuntutan kebutuhan masyarakat dalam dimensi globalisasi yang ditandai kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang begitu pesat. Untuk itu, setiap individu harus memiliki kompetensi yang handal dalam berbagai bidang sesuai dengan minat, bakat, dan kemampuan nyata (Sanjaya, 2005) Kurikulum berbasis kompetensi dikembangkan untuk memberikan keahlian dan keterampilan sesuai dengan standar kompetensi yang diperlukan untuk meningkatkan daya saing dan daya jual untuk menciptakan kehidupan yang berharkat dan bermartabat ditengahtengah perubahan, persaingan, dan kerumitan kehidupan sosial, ekonomi, politik dan budaya. Adanya kurikulum berbasis kompetensi memungkinkan hasil lulusan menjadi lebih terampil dan kompeten dalam segala tuntutan masyarakat sekitarnya. a. Pengertian Kurikulum Berbasis Kompetensi Kompetensi merupakan kemampuan mengerjakan sesuatu yang berbeda dengan sekedar mengetahui sesuatu. Kompetensi harus didemonstrasikan sesuai dengan standar yang ada di lapangan kerja (Hamalik, 2000). Kompetensi dapat berupa pengetahuan, keterampilan, dan nilai-nilai dasar yang merefleksikan dalam kebiasaan berfikir dan bertindak. Kebiasaan berfikir dan bertindak secara konsisten dan terus menerus setiap saat akan memungkinkan bagi seseorang untuk berkompeten, artinya memiliki pengethauan, keterampilan, dan nilai-nilai dasar untuk melakukan sesuatu. Kompetensi dapat diartikan suatu kemampuan untuk menstrasfer dan menerapkan pengetahuan dan kemampuan yang dimiliki seseorang pada situasi yang baru. Kurikulum berbasis kompetensi merupakan seperangkat rencana dan pengaturan tentang kompetensi dan hasil belajar yang harus dicapai siswa, penilaian, kegiatan belajar mengajar dan pemberdayaan sumber daya pendidikan dan mengembangkan sekolah (Depdiknas, 2002). Dari rumusan tersebut, KBK lebih menekankan pada kompetensi atau kemampuan apa yang harus dimiliki oleh siswa setelah mereka melakukan proses pembelajaran tertentu, sedangkan masalah bagaimana cara mencapainya, secara teknis operasional diserahkan kepada guru di lapangan. Tidak ada dalam KBK secara tersirat dan tersurat apa yang harus dilakukan guru untuk mencapai kompetensi tertentu. KBK hanyalah memberikan petunjuk seca universal bagaimana seharusnya pola pembelajaran diterapkan oleh setiap guru. Rumusan lain tentang kompetensi menurut McAshan (l981) adalah suatu pengetahuan, keterampilan, dan kemampuan atau kapabilitas yang dimiliki seseorang yang telah menjadi bagian dari dirinya sehingga mewarnai perilaku kognitif, afektif, dan psikomotornya. Ini berarti bahwa kompetensi bukan hanya ada dalam tataran pengetahuan akan tetapi sebuah kompetensi harus tergambarkan dalam pola perilaku, artinya bagaimana implementasi pengetahuan itu diwujudkan dalam pola tindakan yang siswa lakukan sehari-hari. Sehingga kompetensi itu pada hakekatnya merupakan perpaduan dari pengetahuan, keterampilan, nilai, sikap yang direfleksikan dalam bentuk kebiasaan berfikir dan bertindak. KBK beroreantasi bahwa siswa bukan hanya memahami materi pelajaran untuk mengembangkan kemampuan intelektual saja, melainkan bagaimana pengetahuan itu dipahaminya dapat mewarnai perilaku yang ditampilkan dalam kehidupan nyata. Gordon (l988) menyarankan beberapa aspek yang harus terkandung dalam kompetensi sebagai berikut: 1) Pengetahuan (knowledge), yaitu pengetahuan untuk melakukan proses berfikir. 2) Pemahaman (understanding). Yaitu kedalaman kognitif dan afektif yang dimiliki individu. 3) Keterampilan (skill), yaitu sesuatu yang dimiliki individu untuk melakukan tugas yang dibebankan. 4) Nilai (value) adalah suatu standar perilaku yang telah diyakini sehingga akan mewarnai dalam segala tindakannya. 5) Sikap (attitude), yaitu perasaan atau reaksi terhadap suatu rangsang yang datang dari luar, perasaan senang atau tidak senang terhadap sesuatu masalah 6) Minat (interest), yaitu kecenderungan seseorang untuk melakukan suatu tindakan atau perbuatan untuk mempelajari materi pelajaran. b. Karakteristik Kurikulum Berbasis Kompetensi Sasaran KBK pada penguasaan kompetensi dalam bidang-bidang praktis terutama pekerjaan keahlian baik kompetensi teknis, vokasional maupun profesional. Suatu bidang pekerjaannya tugas utamanya berkenaan dengan kompetensi perbuatan, perilaku, performance yang menunjukan kecakapan, kebisaan, keterampilan melakukan sesuatu tugas atau peranan secara standar seperti yang dituntut oleh suatu okupasi (Nana Syaodih, 2004). Makna yang terkandung dan tersirat dalam KBK terdiri dua hal, yaitu: Pertama KBK mengharapkan adanya hasil dan dampak yang diharapkan muncul pada diri peserta didik melalui serangkaian pengalaman belajar yang bermakna, dan kedua KBK memberikan peluang pada siswa sesuai dengan keberagaman yang dimiliki masing-masing. Dalam KBK, siswa tidak sekedar dituntut untuk memahami sejumlah konsep, akan tetapi bagaimana konsep yang dipelajari berdampak pada perilaku dan pola pikir dan bertindak sehari-hari. Kemudian dalam KBK menghargai bahwa setiap siswa memiliki kemampuan, minat, dan bakat yang berbeda sehingga diberikan peluang kepada siswa tersebut untuk belajar sesuai dengan keberagaman dan kecepatan masing-masing. Oleh karena itu dalam KBK, proses pemebelajaran harus didesain agar dapat melayani setiap keberagaman tersebut. Berdasarkan makna tersebut, maka KBK sebagai sebuah kurikulum memiliki karakteristik utama sebagai berikut: Pertama, KBK memuat sejumlah kompetensi dasar sebagai kemampuan standar minimal yang harus dikuasai dan dicapai siswa. Kedua, implementasi pemebelajaran dalam KBK menekankan pada proses pengalaman dengan memperhatikan keberagaman setiap individu. Ketiga, evaluasi dalam KBK menekankan pada evaluasi dan proses belajar. William E. Blank (l982) menjelaskan bahwa KBK memiliki karakteristik: 1) Materi yang dipelajari merupakan bidang spesifik, materi disajikan dalam bentuk kompetensi-kompetensi yang dinyatakan secara jelas dan menjelaskan mengenai apa yang dapat dilakukan peserta didik setelah menyelesaikan program pembelajaran. 2) Kegiatan pembelajaran berfokus pada peserta, media, dan bahan belajar yang dirancang untuk membantu peserta didik belajar, proses belajar disesuaikan dengan kebutuhan siswa, dalam penilaian disesuaikan dengan performansi. Ketiga, menyediakan waktu yang cukup bagi peserta dalam menguasai kompetensikompetensi sebelum diizinkan beralih ke kompetensi lain. Keempat, setiap peserta didik mendemonstrasikan kompetensi yang telah diselesaikannya. Performansi ditunjukan peserta didik dibandingkan dengan standar yang telah ditetapkan. Depdiknas (2002) mengemukakan karakteristik KBK secara lebih rinci dibandingkan dengan pernyataan di atas, yaitu: 1) Menekankan pada ketercapaian kompetensi baik secara individual maupun klasikal, artinya isi KBK intinya sejumlah kompetensi yang harus dicapai siswa, dan kompetensi inilah sebagai standar minimal atau kemampuan dasar. 2) Beroreantasi pada hasil belajar dan keberagaman, artinya keberhasilan pencapaian kompetensi dasar diukur oleh indikator hasil belajar. Indikator inilah yang dijadikan acuan kompetensi yang diharapkan. Proses pencapaian tentu saja bergantung pada kemampuan dan kecepatan yang berbeda setiap siswa. 3) Penyampaian dalam pembelajaran menggunakan pendekatan dan metode yang bervareasi sesuai dengan keberagaman siswa 4) Sumber belajar bukan hanya guru, tetapi sumber belajar lain yang memenuhi unsur edukatif, artinya sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi informasi. Guru berperan sebagai fasilitator untuk mempermudah siswa belajar dari berbagai macam sumber belajar. 5) Penilaian menekankan pada proses dan hasil belajar dalam upaya penguasaan atau pencapaian suatu kompetensi. KBK menempatkan hasil dan proses belajar sebagai dua sisi yang sama pentingnya. Capaian kurikulum berbasis kompetensi adalah mengembangkan peserta didik untuk menghadapi perannya di masa mendatang dengan cara mengembangkan sejumlah kecakapan hidup (life skill). Life skill merupakan kecakapan yang harus dimiliki seseorang untuk terbiasa berani menghadapi problem kehidupan secara wajar kemudian secara kreatif mencari solusi untuk mengatasinya. Adapun tujuan kecakapan hidup ini adalah: 1) Mengaktualisasikan potensi peserta didik sehingga dapat digunakan untuk memecahkan problema yang dihadapi 2) Memberikan kesempatan kepada sekolah untuk mengembangkan pembelajaran yang fleksibel, sesuai dengan prinsip pendidikan berbasis luas (broad based education) 3) Mengoptimalkan pemanfaatan sumber daya lingkungan sekolah dengan memberikan peluang pemanfaatan sumber daya yang ada di masyarakat, sesuai dengan manajemen berbasis sekolah (School Based Management) c. Pengembangan Kurikulum Berbasis Kompetensi Pengembangan kurikulum merupakan suatu proses kompleks dan melibatkan berbagai faktor terkait. Oleh karena itu dalam proses pengembangan kurikulum berbasis kompetensi tidak hanya menuntut keterampilan teknis dari pihak pengembang terhadap pengembangan berbagai komponen kurikulum, tetapi harus pula dipahami berbagai faktor yang mempengaruhinya. Pengembangan KBK memfokuskan kepada kompetensi tertentu berupa paduan: pengetahuan, keterampilan, dan sikap yang dapat didemonstrasikan peserta didik sebagai wujud pemahaman terhadap konsep yang dipelajarinya. Penerapan KBK memungkinkan guru menilai hasil belajar peserta didik dalam proses pencapaian sasaran belajar yang mencerminkan penguasaan dan pemahaman terhadap apa yang dipelajari. Karena itu peserta didik perlu mengetahui kriteria penguasaan kompetensi yang akan dijadikan sebagai standar penilaian hasil belajar, sehingga peserta didik dapat mempersiapkan dirinya melalui penguasaan sejumlah kompetensi tertentu sebagai prasyarat untuk melanjutkan ke penguasaan sejumlah kompetensi berikutnya. Kriteria tersebut bisa dikembangkan berdasarkan tujuan khusus yang dipelajari sesuai dengan kompetensi yang harus dikuasai. 1) Asas pengembangan KBK Pengembangan kurikulum berbasis kompetensi didasarkan pada tiga asas pokok. Yaitu asas filosofis, psikologis dan sosiologis. Pertama, asas filosofis berkenaan dengan nilai yang berlaku di masyarakat. Sistem nilai erat kaitannya dengan arah dan tujuan yang mesti dicapai. Itu sebabnya, dalam pengembangan KBK, filsafat sebagai sistem nilai menjadi sumber utama dalam merumuskan tujuan dan kebijakan pendidikan. Di Indonesia, sistem nilai yang berlaku adalah Pancasila, maka membentuk manusia yang pancasilais sejati menjadi tujuan dan arah dari segala ihtiar berbagai level dan jenis pendidikan. Dengan demikian isi KBK yang disusun harus memuat dan mencerminkan tentang kandungan nilai-nil;ai Pancasila. Kedua, asas psikologis berhubungan dengan aspek kejiwaan dan perkembangan peserta didik Secara psikologis anak didik memiliki perbedaan baik minat, bakat maupun potensi yang dimilikinya. Dengan demikian baik tujuan, isi maupun strategi pengembangan KBK harus memperhatikan kondisi tahapan-tahapan perkembangan dan psikologi belajar anak didik. Ketiga, pengembangan KBK didasarkan pada asas sosiologis dan teknologis. Hal ini berdasarkan pada asumsi bahwa sekolah berfungsi untuk mempersiapkan anak didik agar mereka dapat berperan aktif di masyarakat. Karena itu, kurikulum sebagai alat dan pedoman dalam proses pendidikan di sekolah harus relevan dengan kebutuhan dan tuntutan masyarakat. Ketiga asas pengembangan kurikulum tersebut merupakan landasan pokok KBK sebagai pedoman dan perangkat perencanaan, implementasi dan pelaksanaan yang dibingkai oleh tiga sisi yang sama-sama penting seperti sisi filosofis, psikologis, dan sosialogis teknologis. 2) Prinsip-prinsip pengembangan KBK. Proses pengembangan KBK harus dilakukan dengan memperhatikan prinsip pengembangan KBK sebagai berikut: a) Peningkatan keimanan, budi pekerti luhur dan penghayatan nilai-nilai budaya. Sesuai dengan tujuan pendidikan nasional yaitu membentuk manusia yang beriman dan bertaqwa, maka peningkatan keimanan dan pembentukan budi pekerti merupakan prinsip utama yang harus diperhatikan pengembang kurikulum. b) Keseimbangan etika, logika, estetika, dan kinestetika. Pembentukan manusia yang utuh merupakan tujuan utama pendidikan. Manusia utuh adakah manusia yang seimbang antara kemampuan intelektual, sikap, moral dan keterampilan. Pengembang KBK harus memperhatikan tiga keseimbangan tersebut. c) Penguatan integritas nasional. Indonesia adalah negara dengan beraneka ragam suku dan budaya yang sangat majemuk. Pendidikan harus dapat menanamkan pemahaman dan penghargaan terhadap aneka ragam budaya, sehingga menjadi kekuatan yang dapat memberikan sumbangan yang positif terhadap peradaban bangsa di dunia ini. d) Perkembangan pengetahuan dan tehnologi informasi. Pengembangan KBK diarahkan agar anak didik memiliki kemampuan berfikir dan belajar dengan cara mengakses berbagai perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi informasi. e) Pengembangan kecakapan hidup yang meliputi keterampilan diri, ketrampilan berfikir rasional, keterampilan sosial, keterampilan akademik dan keterampilan vokasional. Kurikulum mengembangkan kecakapan hidup melalui pembudayaan membaca, menulis, dan berhitung; sikap, dan perilaku adaptif, kreatif, inovatif, kreatif dan kompetitif. f) Pilar pemdidikan. Kurikulum mengorganisasikan fondasi belajar ke dalam empat pilar pendidikan yaitu belajar untuk memahami, belajar untuk berbuat, belajar hidup dalam kebersamaan, dan belajar untuk membangun dan mengekspresikan jati diri yang dilandasi ketiga pilar sebelumnya. Konprehensif dan berkesinambungan. Konprehensif mencakup keseluruhan dimensi kemampuan dan subtansi yang disajikan secara berkesinambungan mulai pendidikan taman kanak-kanak sampai pendidikan menengah. g) Belajar sepanjang hayat. Pendidikan diarahkan pada proses pembudayaan dan pemberdayaan peserta didik yang berlanjut sepanjang hayat. h) Diversifikasi kurikulum. Kurikulum dikembangkan dengan prinsip diversifikasi sesuai dengan satuan pendidikan, potensi daerah, dan peserta didik. 3. Skill Based Curriculum Terdapat banyak lembaga dan organisasi sosial di lingkungan masyarakat yang mengembangkan kurikulum berbasis keterampilan (skill based curriculum) untuk mengajarkan keterampilan melindungi diri. Banyak dari program-program tersebut difokuskan pada upaya pencegahan tindak kekerasan seksual dan mengajarkan anak untuk dapat membedakan kesesuaian sentuhan dari orang dewasa. Child walfare (2013) mendefinisikan “Skills-based curricula that teach children safety and protection skills, such as programs that focus on preventing sexual abuse”. Kurikulum berbasis keterampilan mengajarkan anak keterampilan melindungi diri, program difokuskan pada pencegahan kekerasan seksual. Program lainnya berfokus pada mempersiapkan anak-anak untuk meraih keberhasilan di lingkungan masyarakat, yang mana pengajaran masih pada upaya meningkatkan perilaku protektif pada anak-anak. Selain itu, kurikulum berbasis keterampilan memiliki komponen pendidikan orang tua (parenting) dengan tujuan untuk memberikan pengetahuan dan keterampilan untuk mengajarkan anak-anak mengenai keterampilan melindungi diri dari kejahatan seksual. Kurikulum berbasis keterampilan menggunakan beberapa metode pengajaran untuk mengajarkan berbagai keterampilan pada anak, diantaranya: a. Workshops dan pelajaran sekolah b. Pertunjukan boneka dan aktivitas bermain peran c. Film and video d. Buku kerja, buku cerita dan komik. Contoh lainnya dari kurikulum berbasis keterampilan meliputi program-program seperti: Bercakap-cakap tentang sentuhan, keamanan anak, senntuhan baik dan buruk, pertunjukan teater. B. Bagan Kerangka Konseptual Pengembangan Skill Based Curriculum Pendidikan Anak Usia Dini Tindak Kekerasan Seksual pada Anak Usia Dini Anak memiliki keterampilan Melindungi diri dari Tindakan Kekerasan Seksual BAB III METODE PENELITIAN A. Metode Penelitian Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian tindakan (action research) dengan pendekatan kolaboratif. Metode ini dipilih dengan tujuan untuk meningkatkan praktik pengembangan dan pendidikan melalui kerjasama dengan kelompok masyarakat yang diharapkan dapat menghasilkan perubahan baik untuk orang tua, masyarakat maupun profesional, adapun secara khusus dipilihnya penelitian tindakan kolaboratif dalam penelitian ini adalah untuk melakukan kerjasama antara peneliti dan guru dalam mengembangkan kurikulum berbasis keterampilan perlindungan diri pada anak. Berkaitan dengan pendekatan kolaboratif yang digunakan dalam penelitian ini, Syaodih (2013) mengemukakan bahwa penelitian kolaboratif (collaborative inquiry) merupakan nama lain dari penelitian tindakan. Kemmis (Syaodih, 2013) mendefinisikan penelitian tindakan sebagai berikut ini. Penelitian tindakan adalah bentuk penelitian refleksi diri (self-reflective) yang dilakukan oleh para partisipan dalam situasi sosial (termasuk pendidikan) dalam rangka meningkatkan keadilan dan rasionalitas praktik sosial dan pendidikan, pemahaman tentang praktik tersebut dan situasi tempat praktik dilakukan. Sementara itu, Reason dan Bradbury (Cook, 2010) mendefinisikan penelitian tindakan tidak hanya pada penekanan pentingnya teori mengenai penelitian tindakan namun juga mendefinisikan penelitian tindakan sebagai partisipasi alamiah, Reason dan Bradbury menyatakan: It seeks to bring together action and reflection, theory and practice, in participation with others, in the pursuit of practical solutions to issues of pressing concern to people, and more generally the flourishing of individual persons and their communities.” However, “in participation with others” raises the question of whether collaborative action research is different to participatory action research. My view is that collaborative action research consists of both critical reflexivity and the participant voice. Therefore collaborative action research includes participation rather than vice versa. Pernyataan di atas menyiratkan bahwa penelitian tindakan terdiri dari refleksi kritis dan suara partisipan. Penelitian tindakan berupaya untuk menyatukan aksi dan refleksi, teori dan praktek, dalam partisipasi dengan orang lain, dalam berupaya mencari solusi praktis untuk masalah-masalah penting yang sedang terjadi dan berkembang pada setiap individu dan kelompok. Dengan didasarkan pada pandangan para ahli di atas, penelitian tindakan kolaboratif dianggap metode yang tepat untuk digunakan dalam penelitian di bidang pendidikan dan pengembangan anak usia dini. Hal tersebut dikarenakan, penelitian ini melibatkan partisipasi guru/ kepala sekolah dalam upaya melakukan pengembangan kurikulum berbasis keterampilan perlindungan diri untuk anak usia dini. Desain penelitian tindakan kolaboratif menggunakan desain penelitian tindakan secara umum, Elliot (Syaodih, 2013) memaparkan desain penelitian kualitatif sebagai berikut: a) Pendirian eksploratori diadopsi, pemahaman masalah dikembangkan dan rencana dibuat untuk beberapa bentuk strategi intervensi. b) Melaksanakan intervensi. c) Selama dan sekitar waktu intervensi, pengamatan dilakukan dalam berbagai bentuk (monitoring pelaksanaan dengan observasi). d) Strategi intervensi baru dilakukan, dan proses siklus diulangi, dilanjutkan sampai pemahaman yang cukup (atau menerapkan solusi yang mampu untuk) terhadap suatu masalah diperoleh. Dengan demikian, desain penelitian tindakan kolaboratif mengikuti sebuah rangkaian siklus yang terdiri dari pengembangan masalah, perencanaan, pelaksanaan dan monitoring evaluasi. 1. Prosedur Penelitian Penelitian ini mengikuti serangkaian tindakan sebagai suatu proses siklikal. Adapun langkah-langkah penelitian yang digunakan mengikuti model penelitian tindakan dialektik dari Deborah South (Syaodih, 2013: 146) yang terdiri atas empat langkah yaitu: identifikasi suatu daerah fokus masalah, pengumpulan data, analisis dan interpretasi data, perencanaan tindakan dan pelaksanaan. Prosedur penelitian tindakan dialektik dipilih karena dalam penelitian ini akan dilaksanakan sebuah program pengembanan kurikulum berbasis keterampilan perlindungan diri pada anak, yang akan dilaksanakan secara kolaboratif antara peneliti dan guru kelompok bermain/ taman kanak-kanak. Model spiral dialektif digambarkan pada bagan 3.1. Identifikasi bidang fokus Pelaksanaan Pengumpulan data Penyusunan rencana Analisis dan Bagan 3.1 Model Spiral Dialektik Bagan di atas menunjukan pemikiran dan kegiatan yang bersifat dialektik atau timbal balik dalam setiap langkah tindakan. Adapun setiap langkah penelitian dijabarkan sebagai berikut: 1. Identifikasi Bidang Fokus Masalah Kegiatan penelitian diawali dengan mengidentifikasi fokus masalah yang akan diteliti dan dikembangkan. Pemilihan fokus masalah atau kegiatan dipilih berdasarkan urgensi dan manfaat dalam bidang pendidikan dan pengembangan anak usia dini 2. Pengumpulan Data Langkah kedua dalam penelitian ini adalah mengumpulkan data berkenaan dengan tindak kekerasan pada anak usia dini di Kabupaten Tanah Datar serta kondisi anak di sekolah. Selain itu, peneliti juga mengidentifikasi, menghimpun dokumen, serta melakukan diskusi yang berkenaan dengan pengembangan kurikulum berbasis keterampila, meliputi isi kurikulum, perencanaan, perangkat, dan materi pembelajaran bersama guru-guru kelompok bermain dan taman kanak-kanak. 3. Analisis dan Interpretasi Data Analisis data dalam penelitian ini dilakukan secara kualitatif. Dalam hal ini data diuraikan, dibandingkan, dikategorikan, disintesiskan, lalu disusun atau diurutkan secara sistematis. Setelah itu, hasil analisis diinterpretasikan dalam arti diberi makna, baik makna tunggal atau sendiri-sendiri, gabungan, hubungan antar komponen atau aspek, maupun makna inferensial yang lebih abstrak dan umum. 4. Penyusunan Rencana Dalam langkah ini, penyusunan rencana dilakukan berdasarkan hasil analisis dan interpretasi data. Penyusunan rencana bertujuan untuk merancang draf kurikulum berbasis keterampilan perlindungan diri pada anak. 5. Pelaksanaan Setelah dilakukan penyusunan draf pengembangan kurikulum maka selanjutnya masuk ke dalam tahapan pelaksanaan. rancangan pengembangan kurikulum berbasis keterampilan perlindungan diri pada anak diuji cobaka- lapangan, kemudian dilakukan evaluasi dan monitoring. Hasil evaluasi dan monitoring kemudian digunakan untuk penyempurnaan rancangan pengembangan kurikulum berbasis keterampilan perlindungan diri pada anak. 2. Teknik Pengumpulan dan Analisis Data Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan beberapa teknik, diantaranya: 1. Wawancara Wawancara dilakukan untuk menggali bagaimana kurikulum dan kondisi anak-anak di sekolah serta diadakan focus group disscusiion bersama para guru untuk merumuskan isi materi pengembangan kurikulum berbasis keterampilan untuk mencegah tindak kekerasan pada anak usia dini. 2. Dokumentasi Teknik dokumentasi digunakan untuk mendokumentasikan seluruh proses dan hasil diskusi kelompok. Untuk analisis data dalam penelitian ini dilakukan secara kualitatif Data-data hasil wawancara dan dokumentasi disajikan secara deskriptif maupun tabel agar lebih mudah dianalisis. Langkah selanjutnya yaitu membandingkan ketiga data tersebut dan catatan lapangan untuk mengecek keabsahan data. Data-data yang telah dianalisis tersebut kemudian digunakan untuk menarik kesimpulan. BAB IV PEMBIAYAAN RENCANA ANGGARAN BELANJA (RAB) KODE URAIAN VOL HARGA JUMLAH SATUAN A. BELANJA BARANG OPERASIONAL 1. Penggandaan proposal 2. Penggandaan laporan akhir 3. Bahan/ Buku Panduan 15 eksp 10 eksp 20 eksp Rp Rp Rp 15.000 40.000 25.000 JUMLAH B. BELANJA BAHAN 1. Konsumsi peserta diskusi pra pelaksanaan 2. Konsumsi Pelaksanaan (20 Org x 1HR x 1 JDL) 3. Konsumsi peserta diskusi pasca pelaksanaan 4. ATK pra pelaksanaan 5. ATK pelaksanaan 6. ATK pasca pelaksanaan 10 OH 20 OH 10 OH 1 Keg 1 Keg 1 Keg 1. Rp Rp Rp Rp Rp Rp 35.000 35.000 35.000 200.000 450.000 500.000 JUMLAH C. HONOR OUTPUT KEGIATAN 1. Honor pengolah data 1 org Rp 1.450.000 JUMLAH D. E. Rp Rp Rp 225.000 400.000 500.000 Rp 1.125.000 Rp Rp Rp Rp Rp Rp 350.000 700.000 350.000 200.000 450.000 500.000 Rp 2.550.000 Rp 1.450.000 Rp BELANJA JASA PROFESI 1. Narasumber penyempurnaan proposal pra pelaksanaan 2. Narasumber ekspos hasil penelitian pasca pelaksanaan JUMLAH BELANJA PERJALANAN DINAS 1. Transportasi narasumber pra pelaksanaan 2. Transportasi pengumpul data pelaksanaan 3. Transportasi penyusun laporan pelaksanaan 4. Transportasi narasumber pasca pelaksanaan 1.450.000 2 orang Rp 200.000 Rp 400.000 2 orang Rp 900.000 Rp 1.800.000 Rp 2.200,000 Rp Rp Rp Rp 240.000 2.000.000 220.000 220.000 Rp 2.680.000 2 perjalanan 10 perjalanan 2 perjalanan 2 perjalanan JUMLAH TOTAL Rp Rp Rp Rp 120.000 200.000 110.000 110.000 Rp 10.000.000 DAFTAR PUSTAKA Association of International School in Africa. (2014). Child Protection Handbook. Tanpa Kota Cece Wijaya dkk. (1992). Upaya Pembaharuan Dlam Pendidikan dan Pengajaran, Bandung : Penerbit PT. Remaja Rosda Karya. Child Walfare Information Gateway. (2013). Preventing Child Abuse and Neglect. Washington DC Fawcett, Claassen, dkk. (1996). Preventing Child Abuse and Neglect. University of Kansas Hamalik, Oemar, (1993) Proses Belajar Mengajar, Bumi Aksara, Jakarta. Hamalik, Oemar, (2005). Inovasi Pendidikan : Perwujudannya dalam Sistem Pendidikan Nasional, YP. Permindo, Bandung. Hamalik, Oemar. (2002) Pendidikan Guru: Berdasarkan Pendekatan Kompetensi.Bandung: Bumi Aksara. http://tanahdatar.go.id/berita/1260/bupati-shadiq-lebih-baik-terungkap-dibanding-semakin-banyakkorban-berjatuhan.html [Akses: 01 April 2016] Paramastri, dkk. (2010). Early Prevention Toward Sexual Abuse on Children. Jurnal Psikologi Volume 37, No. 1, Juni 2010 Syaodih, Nana. (2013). Metode Penelitian Pendidikan. Bandung: Rosda Karya Sukmadinata, Nana Syaodih, (1997). Pengembangan Kurikulum: Teori dan Praktek. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya. Sukmadinata, Nana Syaodih, (2004). Kurikulum dan Pembelajaran Kompetensi. Bandung: Yayasan Kesuma Karya. The Protection Project. (2013). 100 Best Practices in Child Protection.Washington DC: The John Hopkins University Thomas, dkk. (tt). Emerging Practice in The Prevention of Child Abuse and Neglect. USA: Departemen of Health and Human Service Tn. (tt). Child Abuse Prevention Program. Dublin: Bridge House Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perlindungan Anak