PRESENTASI KASUS BENJOLAN PADA LEHER Kelompok 8 Karina Maharani P. 0906487865 Sheli Azalea 0906508516 BAB I ILUSTRASI KASUS 1.1. Identitas Nama : Ny. L Usia : 61 tahun Tanggal Lahir : 6 Juni 1951 Alamat : Jl. Pondok Tuak, Pinangsia, Taman Sari, Jakarta Barat Status : Menikah Pendidikan : Tamat SMP Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga Agama : Kristen Protestan Tanggal masuk : 1 Februari 2014 No.RM : 389-22-44 1.2. Anamnesis Anamnesis dilakukan secara autoanamnesis pada tanggal 2 Februari 2014 di ruang rawat gedung A Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM). 1.2.1. Keluhan Utama Benjolan di leher depan yang membesar sejak 2 tahun SMRS. 1.2.2. Riwayat Penyakit Sekarang Sejak 16 tahun SMRS, terdapat benjolan di leher kanan pasien sebesar ibu jari. Benjolan bergerak ke atas saat menelan. Benjolan tidak nyeri, tidak panas, tidak merah. Pasien tidak ada demam. Sejak 2 tahun SMRS, benjolan di leher kanan pasien membesar perlahan hingga sebesar kepalan tangan pasien dan muncul benjolan di leher kiri yang juga membesar hingga sebesar 3 jari telunjuk pasien. Pasien tidak ada sesak napas, kesulitan menelan, suara serak, ataupun perubahan suara sampai saat ini. Kemudian pasien berobat ke Puskesmas, diberi obat PTU, tetapi benjolan tetap membesar. Pasien tidak ada keluhan tangan gemetar, cepat lelah, cepat lapar, diare, rambut rontok, cepat berkeringat, sulit tidur, gelisah, dan berdebar-debar. Tidak ada mata menonjol. Berat badan turun dari 60 kg menjadi 58 kg dalam 2 tahun. Tidak ada riwayat trauma di leher sebelumnya. Pasien tidak pernah mengalami keluhan seperti ini sebelumnya. Tidak ada kelainan leher sejak lahir. 1.2.3. Riwayat Penyakit Dahulu Pasien memiliki tekanan darah tinggi sejak 10 tahun yang lalu, tekanan darah sistolik tertinggi mencapai 160. Saat ini diberi obat amlodipin. Tidak ada diabetes mellitus, tuberculolosis paru, riwayat keganasan sebelumnya. Pasien pernah mengalami keguguran spontan satu kali. 1.2.4. Riwayat Penyakit Keluarga Ibu dan adik pasien mengalami keluhan yang serupa, terdapat benjolan di leher, sudah diangkat dan sekarang tidak kambuh lagi. 1.2.5. Riwayat Sosial Pasien tidak merokok. Tidak terdapat riwayat radiasi di leher. Pasien sehari-hari mengkonsumsi garam beryodium. 1.3. Pemeriksaan Fisik Status Generalis Kesadaran : kompos mentis Keadaan Umum : tampak sakit sedang Tekanan darah : 110/70 mmHg Nadi : 78 kali/menit Suhu : 36,5°C Pernapasan : 18 kali/menit Tinggi badan : 58 kg Berat badan : 155 cm IMT : 24,1 kg/m2 Kepala : normosefal, tidak ada deformitas, tidak ada nyeri tekan Kulit : sawo matang, turgor normal Rambut : hitam, tidak mudah tercabut Mata : konjungtiva pucat negatif/negatif, sklera ikterik negatif/negative, tidak terdapat eksoftalmus Telinga : tidak ada deformitas, tidak ada nyeri tekan aurikula maupun nyeri tekan tragus. Hidung : tidak ada deformitas ,tidak ada deviasi septum, tidak ada nyeri tekan. Tenggorok : arcus faring simetris, uvula di tengah, tonsil T1/T1, dinding faring posterior tidak hiperemis. Gigi & mulut : oral hygiene baik Leher : JVP 5-2 cmH2O. (lihat status lokalis) Dada : simetris saat inspirasi dan ekspirasi, tidak ada pectus excavatum, tidak ada pectus carinatum Jantung Inspeksi : iktus kordis tidak terlihat Palpasi : iktus kordis teraba linea midclavicularis sinistra intercostals V Perkusi : batas jantung kanan pada linea sternalis dextra intercostals IV, batas jantung kiri linea midclavicularis sinistra intercostals V, pinggang jantung pada linea parasternalis sinistra intercostals III Auskultasi Paru : S1 dan S2 reguler, tidak ada murmur, tidak ada gallop : Inspeksi : Simetris saat inspirasi dan ekspirasi Palpasi : vocal fremitus kanan sama dengan kiri Perkusi : sonor/sonor Auskultasi : vesikuler/vesikuler, tidak ada rhonki, tidak ada wheezing Abdomen Inspeksi : datar, lemas Palpasi : tidak ada nyeri tekan abdomen, tidak ada massa, hepar dan lien tidak teraba Perkusi : timpani (+) Auskultasi : bising usus (+) 10 kali per menit. Ekstremitas : tidak ada edema, tidak ada deformitas, akral hangat, CRT 2”, tremor halus (-), akral berkeringat (-/-) Status Lokalis A B C D Gambar 1.1. Foto bagian leher pasien A. tampak depan B. tampak depan kepala ekstensi C. tampak kanan D. tampak kiri Regio Colli Anterior Inspeksi : Tampak massa di anterior colli bilateral yang bergerak naik turun saat menelan, bagian dextra lebih besar dari sinistra, batas tidak jelas, tidak tampak eritema maupun luka di sekitar benjolan, trakea di tengah. Palpasi : teraba massa yang ikut bergerak keatas saat pasien menelan dengan konsistensi heterogen padat dan keras di bagian tengah permukaan licin berbenjol-benjol, batas tidak tegas, mobile saat digoyang latero-medial, dengan ukuran massa kanan 14 x 7,5 x 5 cm batas atas 1 jari dibawah os. hyoid batas bawah sterna notch batas kanan posterior m. sternokleidomastoideus, ukuran massa kiri sebesar 4 x 4 x 4 cm batas atas 2 jari dibawah os. hyoid batas bawah sterna notch batas kiri posterior sternokleidomastoideus. Tidak ada nyeri tekan dan tidak teraba thrill. Tidak teraba pembesaran kelenjar getah bening. Auskultasi : Tidak terdapat bruit. 1.4. Pemeriksaan Penunjang Tabel 1. Pemeriksaan Laboratorium 3 Februari 2014 Hasil Satuan Nilai Rujukan Darah perifer lengkap Hemoglobin 12,2 g/dL 12-16 Hematokrit 36,6 % 37-47 Jumlah trombosit 282 103/uL 150-450 Jumlah leukosit 7,36 103/uL 5-10 Basofil 0,5 % 0,5-1,0 Eosinofil 3,9 % 1-4 Neutrofil 58,9 % 55,0-70,0 Limfosit 30,2 % 20-40 Monosit 6,5 % 2-8 Pasien 10,3 Detik Kontrol 12,0 Detik Pasien 26,9 Detik Kontrol 31,1 Detik T4 bebas 1,140 ng/dL 0,930-1,700 TSH sensitive 0,140 µIU/nL 0,270-4,200 Hitung Jenis Hemostasis Masa Protrombin (PT) 9,8-12,6 APTT 31,0-47,6 Hormon Tiroid Kimia klinik Ureum darah 34 mg/dL 10-50 Kreatinin darah 1,0 mg/dL <1.4 Albumin 4,29 g/dL 3.2-5.2 eGFR 60,5 mL/min/1,73 m2 60,00-90,00 SGOT 14 U/L < 27 SGPT 12 U/L < 34 Gula Darah Sewaktu 120 mg/dl <141 Natrium 142 mEq/L 137-150 Kalium 3,68 mEq/L 3.5-5.5 Klorida 113,4 mEq/L 99-111 Kalsium (Ca) Darah 9,1 mg/dL 8,8-10,2 Kalsium (Ca++) Ion 1,10 mmol/L 1,02-1,30 Elektrolit Hasil USG thyroid tanggal 13 November 2013 Gambar 1.2. Hasil USG Kelenjar Tiroid Thyroid kanan: Lobus kanan thyroid bentuk dan ukuran membesar Tampak multipel lesi isoekhoik dengan tepi lesi hipoekhoik ukuran terbesar +/- 1,8 x 1,5 cm. Tampak peningkatan flow doppler intra lesi. Tampak pula multipel lesi anekhoik dengan posterior akustik enhacement berukuran terbesar +/- 1,3 x 0,6 cm. Tidak tampak kalsifikasi. Thyroid kiri: Lobus kiri thyroid bentuk dan ukuran membesar Tampak multipel lesi isoekhoik dengan tepi lesi hipoekhoik ukuran terbesar +/- 3 x 1,9 cm. Tampak peningkatan flow doppler intra lesi. Tampak multipel lesi anekhoik dengan posterior akustik enhacement berukuran terbesar +/0,7 x 0,6 cm. Tidak tampak kalsifikasi. Ishmus menebal. Tampak multipel lesi isoekhoik dengan tepi lesi hipoekhoik ukuran terbesar +/- 1,2 x 0,8 cm. Tampak peningkatan flow doppler intra lesi. Trakhea di garis tengah. Regio colli: Tidak tampak pembesaran kelenjar limfe regio colli bilateral. Kesimpulan: Struma multinodosa dengan degenerasi kistik thyroid kanan kiri. Hasil Sitologi Thyroid 25 November 2013 Sediaan sitologi aspirasi kelenjar tiroid mengandung sel epitel folikel yang sebagian berinti atipik, “foam cells”, leukosit, dan koloid. Kesimpulan: AUS (atypical of undetermined significance) Rontgen Thorax Proyeksi PA 4 Februari 2014 Gambar 1.3. Foto Rontgen Proyeksi PA Posisi asimetris Jantung ukuran membesar CTR 55,5% Aorta elongasi Mediastinum superior tidak melebar Trakhea di tengah Kedua hilus tidak menebal Corakan vaskular kedua paru kasar.Tidak terdapat infiltrat/nodul Lengkung hemidiafragma dan sinus kostofrenikus normal Tampak penebalan jaringan lunak di regio coli kanan kiri yang meluas ke intratorakal. Kesimpulan: Kardiomegali dengan aorta elongasi Penebalan jaringan lunak di regio coli meluas ke intratorakal dd/ stroma intratorakal 1.5. Diagnosis 1. Struma multinodosa non toksik suspek keganasan T3 N0 M0 2. Hipertensi terkontrol 1.6. Tatalaksana - Pro tiroidektomi total - Bisoprolol 1x 2,5 mg - Amlodipin 1 x 5 mg 1.7. Prognosis Ad vitam : bonam Ad functionam : malam Ad sanationam : bonam BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Anatomi dan Fisiologi Kelenjar Tiroid Kelenjar tiroid berada di inferior laring dan berbentuk seperti kupu-kupu. Kelenjar tiroid terdiri dari lobus lateral kanan dan kiri yang dihubungkan oleh isthmus yang terletak di anterior trakea. Terdapat lobus berbentuk piramid berukuran kecil yang terkadang meluas keatas dari isthmus. Berat tiroid normal adalah sekitar 30 g. Kelenjar tiroid memperoleh asupan darah dalam jumlah besar dan menerima sekitar 80-12 mL darah setiap menitnya.1,2 Gambar 2.1. Anatomi dan histologi kelenjar tiroid1 Secara mikroskopis, terdapat kantung yang disebut tiroid folikel yang membentuk hampir seluruh kelenjar tiroid. Dinding setiap folikel terdiri dari sel yang disebut sel folikular yang meluas hingga ke lumen folikel. Membran dasar mengelilingi setiap folikel. Ketikel sel folikular tidak aktif, bentuknya menjadi kuboid sampai skuamosa, tapi dengan rangsangan dari TSG sel ini menjadi aktif menyekresi dan berubah menjadi kuboid sampai kolumnar. Sel folikular memproduksi dua hormone, yaitu thyroxine yang disebut juga tetraiodothyronine atau T4 karena terdiri dari 4 atom dan triiodothyronine atau T3 yang terdiri dari 3 atom iodine. T3 dan T4 inilah yang disebut sebagai hormone tiroid. Beberapa sel yang disebut sel parafolikular atau sel C berada diantara folikel. Sel-sel ini memproduksi hormon kalsitonin yang membantu regulasi kalsium.1 Sintesis hormon tiroid distimulasi oleh thyrotropin-releasing hormone (TRH) dan thyroidstimulating hormone (TSH) yang diproduksi oleh kelenjar pituitari anterior. Jumlah T3 dan T4 di darah atau metabolisme yang rendah menstimulasi hipotalamus untuk menyekresi TRH. TRH masuk ke vena porta hipofisis dan mengalir ke pituitari anterior yang menyekresi TSH. TSH menstimulasi aktivitas sel folikular, yaitu pengambilan iodine, sintesis dan sekresi hormone, dan pertumbuhan sel folikular. Sel folikular tiriod melepaskan T3 dan T4 ke darah sampai tingkat metabolisme kembali ke normal. Peningkatan T3 menghambat pengeluaran TRH dan TSH (umpan balik negatif). Kondisi yang meningkatkan kebutuhan ATP, seperti lingkungan yang dingin, hipoglikemi, dataran tinggi, dan kehamilan, juga meningkatkan sekresi hormon tiroid.1 Gambar 2.2. Regulasi hormon tiorid 2.2. Evaluasi Massa Tiroid 2.2.1. Anamnesis Dalam anamnesis, perlu ditanyakan riwayat keluarga mengenai keganasan tiroid jinak maupun ganas. Penyakit terdahulu yang mengikutsertakan leher (iradiasi kepala dan leher saat masa anak-anak), riwayat kehamilan, dan kecepatan onset dan tingkat pertumbuhan benjolan di leher harus ditanyakan. Adanya benjolan di leher selama masa kanak-kanak dan remaja harus diperhatikan karena memiliki kemungkinan keganasan tiga sampai empat kali lebih besar daripada di orang dewasa. Risiko kanker tiroid juga meningkat pada usia tua dan laki-laki.3,4 Pasien dengan nodul tiroid biasanya tidak terlalu tampak atau tidak bergejala. Seringkali, tidak ada hubungan yang jelas antara gambaran histologist dengan gejala pada pasien. Pada pasien dengan gejala, riwayat penyakit lengkap penting ditanyakan. Pertumbuhan benjolan yang lambat tapi progresif (minggu sampai bulan) mengarahkan pada keganasan.3,4 Nyeri yang tiba-tiba biasanya diakibatkan perdarahan pada nodul kistik. Pasien dengan pembesaran yang progresif disertai nyeri perlu dicurigai adanya limpoma primer atau anaplastik karsinoma. Gejala seperti sensasi tersedak, leher tegang atau nyeri, disfagia, atau suara serak dapat menyertai penyakit tiroid, tetapi seringkali diakibatkan oleh kelainan nontiorid. Gejala servikal dengan onset yang lambat dapat diakibatkan oleh penekanan struktur vital leher dan rongga dada atas. Gejala ini muncul jika nodul tiroid tertanam dalam goiter yang besar. Jika tidak terdapat goiter multinodular, gejala kompresi trakea (batuk dan perubahan suara) dapat mengarahkan pada keganasan. Karsinoma tiroid terdiferensiasi jarang menyebabkan obstruksi saluran napas, paralisis pita suara, ataupun gejala esofageal. Oleh karena itu, ketidakadaan gejala lokal tidak menyingkirkan kemunhkinan tumor ganas.3 2.2.2. Pemeriksaan Fisik Kanker tiroid terdiferensiasi yang berukuran kecil seringkali tidak memiliki karakteristik yang mencurigakan pada pemeriksaan fisik. Namun, nodul tiroid baik yang keras ataupun berbatas tegas, dominan maupun soliter yang dapat dibedakan dari kelenjar lainnya meningkatkan kemungkinan keganasan. Oleh karena itu, penting untuk melakukan inspeksi dan palpasi yang teliti dari kelenjar tiroid serta kompartemen anterior dan lateral nodul pada leher.3 Pemeriksaan kelenjar tiroid secara umum terdiri dari inspeksi, palpasi, dan auskultasi. Pada inspeksi perlu diperhatikan apakah terdapat pergeseran trakea. Untuk dapat melihat kelenjar tiroid dengan jelas, pasien diminta untuk sedikit mendangak, kemudian perhatikan daerah dibawah kartilago krikoid. Minta pasien untuk menelan, perhatikan gerakan ke atas kelenjar tiroid, simetrisitas, dan konturnya. Palpasi kelenjar tiroid dilakukan dengan pemeriksa berdiri di belakang pasien. Pasien diminta mendangak. Jari-jari kedua tangan diletakan di leher pasien tepat dibawah kartilago krikoid. Minta pasien untuk menelan, rasakan gerakan isthmus yang naik ke atas, tetapi tidak selalu teraba. Geser trakea ke kanan dnegan jari-jari tangan kiri. Jari-jari tangan kanan meraba lobus kanan pada ruang diantara trakea dan sternomastoid. Temukan lateral margin. Dengan cara yang sama, periksa lobus kiri.5 Pada massa di tiroid pelaporan terdiri dari adalah lokasi, konsistensi, ukuran nodul, ketegangan leher, nyeri, dan adenopati servikal.3,5 2.2.3. Pemeriksaan Penunjang 1. Laboratorium Kadar TSH (Thyroid Stimulating Hormone) yang rendah dihubungkan dengan berkurangnya kemungkinan keganasan sehingga tidak perlu dilakukan pemeriksaan sitologi karena insiden keganasan sangat rendah.3 2. Pencitraan Ultrasonografi resolusi tinggi merupakan tes yang paling sensitif untuk mendeteksi lesi tiroid, mengetahui dimensi, struktur, dan mengevaluasi perubahan difus pada kelenjar tiroid. Jika hasil palpasi normal, ultrasonografi hanya dilakukan jikan ada faktor risiko keganasan. Jika ditemukan pada pemeriksaan fisik adenopati leher yang mencurigakan, perlu dilakukan ultrasonografi kedua nodus limfa dan kelenjar tiroid karena terdapat risiko metastasis dari mikrokarsinoma papiler yang tidak disadari sebelumnya.3 Pada semua pasien dengan nodul tiroid dan multinodular stroma teraba, ultrasonografi perlu dilakukan untuk membantu diagnosis, mencari koinsidental nodul tiroid atau perubahan kelenjar tiroid difus, mendeteksi keganasan dan lesi untuk dilakukan FNAB, memilih panjang jarum biopsi, mendapatkan pengukuran objektif volume kelenjar tiroid dan lesi yang akan dilakukan follow-up. Pelaporan ultrasonografi mencakup posisi, bentuk, ukuran, batas, isi, dan ekogenik serta gambaran vaskular pada nodul. Gambaran ultrasonografi yang mengarah pada keganasan diantaranya hipoekogenitas, mikrokalsifikasi (kecil, intranodular, punktata, titik hiperekoik dengan posterior acoustic shadow minim atau tidak ada), batas irregular atau microlobulated , dan gambaran vaskularisasi intranodular yang berantakan. Tumor berukuran besar dengan perubahan degeneratif dan beberapa area yang terisi cairan kadang ditemukan pada mikrokarsinoma. Walaupun kebanyakan nodul tiroid dengan dominasi komponen cairan bersifat jinak, ultrasonografi tetap harus dilaukan karena karsinoma tiroid papiler sebagian dapat berbentuk kistik. Lesi hipoekoik yang melebar hingga ke kapsul, menginvasi otot pretiroid, dan menginfiltraasi saraf laring jarang ditemukan tetapi memerlukan pemeriksaan sitologi segera. Adanya pembesaran kelenjar limfa tanpa hilum, perubahan kistik, dan mikrokalsifikasi meningkatkan kemungkinan ke arah keganasan. Gambaran melingkar dan hipervaskularisasi yang berantakan lebih sering ditemukan, tetapi tidak spesifik.3 3. Fine Needle Aspiration Biopsy (FNAB) FNAB pada nodul tiroid lebih baik jika dikombinasikan dengan guided ultrasonografi. Hasil FNAB ini digunakan untuk pemeriksaan sitologi. Hasil dari FNAB dikategorikan menjadi diagnostik dan non-diagnostik. Dikatakan diagnostik bila terdiri dari minimal 6 grup sel epitelial tiroid yang baik dan setiap grup terdiri dari 10 sel. Klasifikasi hasil pemeriksaan sitologi dibagi menjadi lima, yaitu nondiagnostik, jinak, lesi folikular, mencurigakan, dan ganas.3,6 2.2. Struma7 Struma disebut juga goiter adalah suatu pembengkakan pada leher oleh karena pembesaran kelenjar tiroid akibat kelainan glandula tiroid dapat berupa gangguan fungsi atau perubahan susunan kelenjar dan morfologinya. Dampak struma terhadap tubuh terletak pada pembesaran kelenjar tiroid yang dapat mempengaruhi kedudukan organ-organ di sekitarnya. Di bagian posterior medial kelenjar tiroid terdapat trakea dan esophagus. Struma dapat mengarah ke dalam sehingga mendorong trakea, esophagus dan pita suara sehingga terjadi kesulitan bernapas dan disfagia. Hal tersebut akan berdampak terhadap gangguan pemenuhan oksigen, nutrisi serta cairan dan elektrolit. Bila pembesaran keluar maka akan memberi bentuk leher yang besar dapat asimetris atau tidak, jarang disertai kesulitan bernapas dan disfagia. Struma dapat terjadi akibat kekurangan yodium yang dapat menghambat pembentukan hormon tiroid oleh kelenjar tiroid sehingga terjadi pula penghambatan dalam pembentukan TSH oleh hipofisis anterior. Hal tersebut memungkinkan hipofisis mensekresikan TSH dalam jumlah yang berlebihan. TSH kemudian menyebabkan sel-sel tiroid mensekresikan tiroglobulin dalam jumlah yang besar (kolid) ke dalam folikel, dan kelenjar tumbuh makin lama makin bertambah besar. Akibat kekurangan yodium maka tidak terjadi peningkatan pembentukan T4 dan T3, ukuran folikel menjadi lebih besar dan kelenjar tiroid dapat bertambah berat sekitar 300-500 gram. Selain itu, struma dapat disebabkan kelainan metabolik kongenital yang menghambat sintesa hormon tiroid, penghambatan sintesa hormon oleh zat kimia (goitrogenic agent), proses peradangan atau gangguan autoimun, seperti penyakit Graves. Pembesaran yang didasari oleh suatu tumor atau neoplasma dan penghambatan sintesa hormon tiroid oleh obatobatan misalnya thiocarbamide, sulfonylurea dan litium, gangguan metabolik, misalnya struma koloid dan struma non toksik (struma endemik). 2.3 Klasifikasi Struma 2.3.1. Berdasarkan Fisiologisnya7,8 Berdasakan fisiologisnya struma dapat diklasifikasikan menjadi eutiroidisme, hipotiroidisme, dan hipertiroidisme. Hipotiroidisme dapat disebabkan kelainan pada hipotalamus, kerusakan hipofisis, defisiensi iodium, penggunaan antitiroid, dan tiroiditis. Terdapat pula keadaan yang dikenal sebagai hipotiroidisme iatrogenik yang terjadi pascatiroidektomi atau pascapengobatan iodium radioaktif. Hipertiroidisme dapat terjadi pada struma difus toksik (penyakit Graves), struma nodosa toksik, pengobatan berlebihan dengan tiroksin, permulaan tiroiditis, struma ovarium, dan pada metastasis ekstensif karsinoma tiroid berdiferensiasi baik. Gejala hipertiroidisme berupa berat badan menurun, nafsu makan meningkat, keringat berlebihan, kelelahan, leboh suka udara dingin, sesak napas. Selain itu juga terdapat gejala jantung berdebar-debar, tremor pada tungkai bagian atas, mata melotot (eksoftalamus), diare, haid tidak teratur, rambut rontok, dan atrofi otot. 2.3.2. Berdasarkan Klinisnya Secara klinis pemeriksaan klinis struma toksik dapat dibedakan menjadi: A. Struma Toksik 7,8 Struma toksik dapat dibedakan atas dua yaitu struma difus toksik dan struma nodusa toksik. Istilah difus dan nodusa lebih mengarah kepada perubahan bentuk anatomi dimana struma difus toksik akan menyebar luas ke jaringan lain. Jika tidak diberikan tindakan medis sementara nodusa akan memperlihatkan benjolan yang secara klinik teraba satu atau lebih benjolan (struma multinoduler toksik). Struma difus toksik (tiroktosikosis) menunjukkan gejala hipermetabolisme karena jaringan tubuh dipengaruhi oleh hormon tiroid yang berlebihan dalam darah. Penyebab tersering adalah penyakit Graves. B. Struma Non Toksik7,8 Struma non toksik sama halnya dengan struma toksik yang dibagi menjadi struma difus nontoksik dan struma nodusa nontoksik. Struma nontoksik disebabkan oleh kekurangan iodium yang kronik. Struma ini disebut sebagai simple goiter, struma endemik, atau goiter koloid yang sering ditemukan di daerah yang air minumya kurang sekali mengandung iodium atau terpapar goitrogen yang bisa menghambat sintesa hormon. 2.4. Struma Nodusa Nontoksik7,8 Apabila dalam pemeriksaan kelenjar tiroid teraba suatu nodul, maka pembesaran ini disebut struma nodusa. Struma nodusa tanpa disertai tanda-tanda hipertiroidisme dan hipotiroidisme disebut struma nodusa nontoksik. Biasanya tiroid sudah mulai membesar pada usia muda, awalnya difus, dan berkembang menjadi multinodular. Struma multinodosa biasanya terjadi pada wanita berusia lanjut dan perubahan yang terdapat pada kelenjar berupa kombinasi bagian yang hiperplasia dan berinvolusi. Pada awalnya, sebagian struma multinodosa dapat dihambat pertumbuhannya dengan pemberian hormon tiroksin. Biasanya penderita struma nodosa tidak mempunyai keluhan karena tidak mengalami hipo- atau hipertiroidisme. Degenerasi jaringan menyebabkan terbentuknya kista atau adenoma. Karena pertumbuhan terjadi secara perlahan, struma dapat membesar tanpa memberikan gejala selain adanya benjolan di leher, yang dikeluhkan terutama alasan kosmetik. Walaupun sebagian besar struma nodosa tidak mengganggu pernapasan karena pertumbuhannya ke arah lateral atau ke anterior, sebagian lain dapat menyebabkan penyempitan trakea jika pembesarannya bilateral. Struma nodosa unilateral dapat menyebabkan pendorongan trakea ke arah kontralateral tanpa menimbulkan gangguan akibat obstruksi pernapasan. Penyempitan yang hebat dapat menyebabkan gangguan pernapasan dengan gejala stridor inspiratoar. Secara umum, struma adenomatosa benigna hanya menimbulkan keluhan rasa berat di leher, adanya benjolan yang bergerak naik turun waktu menelan, dan alasan kosmetik. Jarang terjadi hipertiroidisme pada struma adenomatosa. Sekitar 5% struma nodosa mengalami degenerasi maligna. Berbagai tanda keganasan yang dapat dievaluasi meliputi perubahan bentuk, pertumbuhan lebih cepat, dan tanda infiltrasi pada kulit dan jaringan sekitar. Dapat terjadi penekanan pada nervus rekurens, trakea, atau esofagus. Adanya nodul tunggal harus tetap mendapat perhatian karena dapat merupakan nodul koloid, kistik, adenoma tiroid, atau suatu karsinoma tiroid. Nodul maligna sering ditemukan pada pria usia muda dan lanjut. Struma nodosa yang berlangsung lama biasanya tidak dapat lagi dipengaruhi oleh pengobatan supresi hormon atau pemberian hormon tiroid. Penanganan struma lama adalah dengan tiroidektomi subtotal atas indikasi yang tepat (kosmetik, eksisi nodulus tunggal suspek ganas, struma multinodular yang berat, struma yang menyebabkan kompresi laring atau struktur leher lain, struma retrosternal yang mengompresi trakea). Struma dapat meluas sampai ke mediastinum anterior superior, terutama pada bentuk nodulus yang disebut struma retrosternum. Umumnya, struma retrosternum tidak turun naik pada gerakan menelan karena apertura toraks terlalu sempit. Seringkali struma ini berlangsung lama dan bersifat asimptomatik, sampai terjadi penekanan pada organ atau struktur sekitarnya. Penekanan ini akan memberikan gejala dan tanda penekanan trakea atau esofagus. Diagnosis ditegakkan dengan pemeriksaan foto rontgen atau iodium radioaktif. Biasanya pembedahan struma retrosternum dapat dilakukan melalui insisi di leher dan tidak memerlukan torakotomi karena perdarahan berpangkal pada pembuluh di leher. Jika letaknya di dorsal arteri subklavia, pembedahan dilakukan dengan cara torakotomi. Diagnosis banding struma nodosa ialah tumor mediastinum anterior, superior, seperti timoma, limfoma, tumor dermoid, dan metastasi keganasan paru pada kelenjar getah bening. 2.5 Karsinoma Tiroid7,8 Karsinoma tiroid merupakan keganasan terbanyak ke-9 di antara 10 kanker terbanyak. Insidensnya lebih tinggi di negara endemik struma, terutama jenis folikular dan jenis berdiferensiasi buruk/anaplastik. Nodul tiroid dapat dijumpai pada semua usia. Insidensnya meningkat seiring dengan meningkatnya usia dengan puncaknya pada usia antara 21-40 tahun. Wanita 2-4 kali lebih sering mengalami nodul ini daripada laki-laki. Keganasan tiroid berasal dari sel folikel tiroid dan dapat diklasifikasikan menjadi berdiferensiasi baik, yaitu bentuk papilar, folikular, atau campuran keduanya, medular yang berasal dari sel parafolikular dan mengeluarkan kalsitonin, serta berdiferensiasi buruk/anaplastik. Perubahan dari struma menjadi karsinoma anaplastik biasa terjadi pada usia lanjut. Radiasi daerah leher merupakan salah satu faktor risiko yang penting. Risiko menderita karsinoma tiroid akibat radiasi biasanya juga bergantung pada usia. Bila radiasi terjadi pada usia lebih dari 20 tahun, korelasi risikonya menjadi kurang bermakna. Terdapat beberapa kriteria klinis yang dapat menunjukkan bahwa suatu tumor tiroid bersifat ganas, antara lain usia <20 tahun atau >50 tahun, riwayat terpapar radiasi leher pada masa kanak-kanak, pembesaran kelenjar tiroid yang cepat, struma dengan suara parau, disfagia, nyeri spontan, riwayat keluarga menderita kanker, struma hiperplasia yang tetap membesar setelah diberikan tiroksin, dan sesak napas. 2.5.1 Patologi7 Tumor dapat berupa nodul lunak, tetapi sering pula tumor keras. Adenokarsinoma papilar biasanya bersifat multisentrik dan 50% penderita memperlihatkan sarang ganas di lobus homolateral dan kontralateral. Tumor ini mula-mula bermetastasis ke kelenjar limfa regional dan akhirnya dapat menjadi metastasis hematogenik. Sebaliknya adenokarsinoma folikular biasanya bersifat unifokal dan jarang bermetastasis ke kelenjar limfa leher. Jenis ini lebih menyebar secara hematogenik, antara lain tulang dan paru. Adenokarsinoma anaplastik yang jarang ditemukan (10%) merupakan tumor yang agresif, bertumbuh cepat, dengan infiltrasi masif ke jaringan sekitarnya. Pada tahap dini sudah terjadi penyebaran hematogen dan penyembuhan jarang dicapai. Karsinoma anaplastik sering menyebabkan kesulitan bernapas karena infiltrasi ke trakea sampai ke lumen yang ditandai dengan dispnea dengan stridor inspirasi. Infiltrasi karsinoma tiroid dapat ditemukan di trakea, laring, faring, esofagus, nervus rekurens, pembuluh darah karotis, vena jugularis, dan struktur lain dalam leher dan kulit. Metastasis limfogenik dapat meliputi semua regio leher, sedangkan metastasis hematogen ditemukan, terutama di paru, tulang, otak, dan hati. 2.5.2 Diagnosis7 Kebanyakan karsinoma tiroid bermanifestasi sebagai struma mononodular dan multinodular. Sekitar 25% nodul tunggal yang muncul merupakan karsinoma tiroid. Oleh karena itu, jika menghadapi penderita dengan nodul tiroid tunggal, perlu dipertimbangkan faktor risiko dan ciri keganasan lain. Diagnosis pasti ditegakkan dengan dengan biopsi jarum halus, kecuali pada karsinoma folikular. Tabel 2.1. Diagnosis Banding Nodul Tiroid Ganas dan Jinak7 Ganas Jinak Usia <20 tahun atau >50 tahun 20-50 tahun Kelamin Laki-laki Perempuan Benjolan Tunggal Multipel Lamanya Baru Lama Terapi supresi Mungkin berpengaruh Regresi Diagnosis radioaktif Dingin/fungsi (-) Fungsi (-) atau (+) USG Padat dan heterogen Mungkin kista Lain-lain Pernah radiasi leher - Untuk menentukan stadium karsinoma tiroid, biasanya digunakan klasifikasi TNM yang menggambarkan pertumbuhan dan penyebarannya. Tabel 2.2. Klasifikasi TNM Karsinoma Tiroid3,4 T Tumor primer T0 Tidak terbukti ada tumor T1 <1 cm T2 1-4 cm T3 >4 cm T4 Menembus simpai tiroid N Kelenjar Getah Bening Regional N0 Tidak ditemukan N1 Pembesaran dapat dipalpasi N1a Hanya ipsilateral N1b Kontralateral, bilateral, garis tengah, atau mediastinum M Metastasis jauh M0 Tidak ada M1 Ada 2.5.3 Terapi Tabel 2.3. Indikasi Prosedur Intervensional Struma8 BAB III PEMBAHASAN 3.1 Penegakkan Diagnosis 3.1.1 Anamnesis Pasien datang dengan keluhan utama berupa benjolan di leher. Timbulnya benjolan di leher dapat berasal dari berbagai struktur yang ada di bagian tubuh tersebut. Akan tetapi, pada pasien ini dapat dipastikan berasal dari tiroid karena benjolan dirasakan oleh pasien bergerak naik dan turun saat menelan. Benjolan pada tiroid atau struma pada pasien ini merupakan struma multinodular nontoksik karena benjolan dirasakan muncul pada leher depan sisi kiri dan kanan serta tidak disertai tanda-tanda hipertiroidisme, seperti sulit tidur, palpitasi, keringat berlebihan, tremor tangan, nafsu makan meningkat, berat badan menurun, emosi tidak stabil, gangguan menstruasi, dan sering buang air besar. Patologi pada struma multinodular nontoksik paling sering ialah struma endemik dan sebagian lainnya ialah tumor. Pasien ini kemungkinan tidak termasuk pada struma endemik karena pasien mengonsumsi garam beriodium dan tidak tinggal di daerah penggunungan. Oleh karena itu, struma tersebut sangat dipikirkan adalah berasal dari tumor. Apabila telah diduga tumor, perlu dibedakan apakah tumor tersebut bersifat jinak atau ganas. Kemungkinan jinak bisa dipikirkan karena pasien adalah wanita dan jumlah benjolannya multipel. Akan tetapi, faktor risiko untuk ke arah kemungkinan bersifat ganas lebih banyak, antara lain usia>50 tahun, riwayat keluarga, dan pertumbuhan yang cepat dari kelenjar tiroid selama 2 tahun terakhir. Pasien juga mengalami penurunan berat badan walau dirasa tidak terlalu signifikan. Oleh karena itu, dari anamnesis bisa dipikirkan diagnosis kerja, yakni struma multinodusa nontoksik suspek ganas. Untuk lebih memperkuat diagnosis kerja dan menentukan staging keganasannya, perlu dilakukan pemeriksaan fisik dan penunjang. 3.1.2 Pemeriksaan Fisik Pada pemeriksaan fisik, terbukti pada status generalis seperti denyut nadi, tekanan darah, frekuensi pernapasan, ada/tidaknya eksoftalmus, dan ada/tidaknya tremor tangan tidak menunjukkan tanda hipertiroidisme. Tidak ada abnormalitas juga pada pemeriksaan generalis lainnya, terutama pembesaran kelenjar getah bening colli atau supraklavikula. Pada status lokalis, dari inspeksi tampak massa di anterior colli bilateral yang bergerak saat pasien menelan. Hal tersebut membuktikan bahwa massa berasal dari kelenjar tiroid. Hasil palpasi menunjukkan ukuran massa kanan sebesar 14 x 7,5 x 5 cm dan kiri sebesar 4 x 4 x 4 cm, batas tidak tegas, permukaan licin berbenjol-benjol, konsistensi kistik dengan bagian tengah keras (heterogen), dapat digerakkan medio-lateral, serta tidak ada nyeri tekan. Pemeriksaan tersebut memberikan beberapa petunjuk yang mengarahkan pada keganasan, antara lain ukuran massa yang cukup besar, batas tidak tegas, dan konsistensi sebagian keras. Dari hasil pemeriksaan fisik, diagnosis kerja dapat lebih dilengkapi, yakni struma multinodusa nontoksik suspek ganas T3 N0 Mx. T3 ditegakkan karena ukuran massa sudah >4cm. Berikutnya, untuk memastikan diagnosis kerja ini harus dilakukan berbagai pemeriksaan penunjang, seperti pemeriksaan laboratorium, USG tiroid, dan FNAB. Selain itu, perlu dilakukan rontgen thorax sebagai persiapan operasi dan menilai ada/tidaknya metastasis. 3.1.3 Pemeriksaan Penunjang Diagram 4.1. Alur diagnosis pasisen dengan nodul tiroid3 Berdasarkan alur diagnosis Association Medical Guidelines for Clinical Practice for The Diagnosis And Management of Thyroid Nodule, untuk benjolan tiroid, hal pertama yang harus dilakukan adalah melakukan anamnesis dan pemeriksaan fisik, kemudian dilakukan pemeriksaan TSH dan hormon tiroid. Pada pasien ini, TSH dan hormon tiroid normal, sehingga dilanjutkan dengan pemeriksaan USG. Dari ukuran tumor dan kecurigaan ke arah keganasan dari anamnesis, pemeriksaan fisik, dan hasil USG, diputuskan apakah perlu dilakukan FNAB untuk mendapatkan sediaan sitologi. Jika hasil pemeriksaan sitologi menunjukkan jinak, akan dilakukan follow-up. Namun, jika hasilnya mengarah pada keganasan, curiga keganasan, atau lesi folikular, maka harus dilakukan operasi. Selain dari TSH dan hormon tiroid, dari hasil laboratorium diketahui bahwa tidak ada peningkatan leukosit yang menandakan infeksi bisa disingkirkan sesuai dengan hasil anamnesis dan pemeriksaan fisik. Hasil TSH dan hormon tiroid yang dalam batas normal, hal ini sesuai dengan anamnesis dan pemeriksaan fisik yang tidak memperlihatkan adanya tandatanda hiper maupun hipotiroid. Dari hasil pencitraan dengan USG didapatkan bahwa terdapat pembesaran di tiroid kanan dan kiri. Didapati adanya heterogenitas, hal ini menguatkan pemeriksaan fisik, dan degenerasi kistik. Flow doppler meningkat pada kedua lobus tiroid yang menandakan adanya vaskularasi intralesi. Hal ini mendukung struma multinodular kearah kecurigaan ganas. Oleh karena itu, dilakukan FNAB pada pasien ini. Hasil FNAB dengan 18 slide, sel-sel atipik didapatkan tetapi undetermined of significance, yang berarti hasil FNAB belum dapat secara pasti mengatakan stroma tiroid ini ganas maupun jinak. Terdapat beberapa pendapat mengenai hal ini antara melakukan manajemen selanjutnya mengarah jinak atau ganas. Penelitian yang dilakukan oleh Andrew A, et al9 tahun 2009 pada pasien dengan nodul tiroid di Rumah Sakit di Miami, Florida, dari 246 pasien dengan hasil FNAB AUS yang berhasil di follow-up, 25 % terbukti mengalami keganasan tiroid. Dalam penelitian ini, AUS dibagi menjadi 5 kategori yang setiap kategorinya memliki risiko untuk menjadi keganasan. Pada pasien ini, karena dari anamnesis, pemeriksaan fisik, dan USG mengarah pada keganasan, sedangkan FNAB masih belum bisa menentukan ganas atau jinak, tetapi memiliki risiko yang cukup besar untuk menjadi ganas, maka diputuskan untuk dilakukan prosedur pembedahan. Jaringan tiroid yang diangkat selanjutnya dapat dibuat sediaan biopsinya untuk kemudian diperiksa secara histopatologi sebagai penegakan diagnosis. Staging pada struma ini dari ukurannya T3, tidak ditemukan pembesaran getah bening baik pada pemeriksaan fisik maupun penunjang sehingga N0. Untuk metastasis, pada anamnesis tidak ditemukan adanya metastasis (tidak ada benjolan di tempat lain, sesak napas, gangguan menelan, maupun keluhan lainnya), pada pemeriksaan penunjang tidak didapatkan metastasis di tempat lain (foto rontgen tidak terdapat massa di paru) sehingga M0. 3.2 Tata laksana dan Prognosis Keganasan tiroid yang dapat dipalpasi, berukuran > 2cm, dan tidak teraba KGB leher sebaiknya dilakukan tindakan tiroidektomi total. Penyulit tiroidektomi terpenting adalah kerusakan nervus laringeus inferior (rekurens), nervus laringeus superior, dan kelenjar paratiroid. Pada setiap tiroidektomi nervus rekurens dan nervus laringeus superior harus dicari, dipisahkan, dan dilindungi agar tidak cedera. Pada pembedahan keganasan tiroid bila keadaan memungkinkan, sebaiknya satu paratiroid harus dipertahankan beserta vaskularisasinya. Pascatiroidektomi total, pasien harus diberikan terapi hormon tiroid seumur hidup sebagai terapi substitusi. Prognosis pada karsinoma tiroid bergantung pada jenis keganasannya. Pada pasien ini, jenis keganasannya belum dapat ditentukan. Akan tetapi, dilihat tidak adanya metastasis limfogen maupun hematogen serta invasi jaringan sekitar kemungkinan ad vitamnya adalah bonam. Untuk ad functionam tentunya malam karena pasien tidak akan memiliki kelenjar tiroid lagi dan harus meminum obat hormon tiroid seumur hidup. Ad sanationam dipikirkan ad bonam karena fokus keganasan telah seluruhnya diangkat sehingga risiko rekurensi sangat rendah. BAB V KESIMPULAN Pasien perempuan usia 61 tahun datang dengan benjolan di leher depan yang membesar sejak 2 tahun sebelum masuk rumah sakit. Dari hasil anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang, pasien mengalami struma multinodular nontoksik suspek ganas T3N0M0. Pada pasien ini dilaukan tiroidektomi total. Daftar Pustaka 1. Tortora G J, Bryan D. Principles of anatomy and physiology. 12th. River street: John Wiley & Sons Inc; 2009.p.658-61. 2. Marieb E N, Hoehn K. Human anatomy & physiology. 7th ed. Boston: BenjaminCummings Publishing Company; 2007. [e-book] 3. Gharib H, Papini E, Paschke R, Duick D S, Valcavi E, Hegediis L, et al. Association medical guidelines for clinical practice for the diagnosis and management of thyroid nodules. Endocr Pract. 2006; 12 (1): 63-102. 4. Cooper D S, Doherty G M, Haugen B R, Kloos R T, Lee S L, Mandel S J, et al. Revised American thyroid association management guidelines for patients with thyroid nodules and differentiated thryroid cancer. Thyroid. 2009; 19 (1): 1-48. 5. Bickley L S. Bate’s guide to physical examination and history taking. 11 ed. Philadelphia:Lippincott Williams & Wilkins; 2013. P.252-3. 6. British thyroid association. Guidelines for the management of thyroid cancer. 2nd ed. Report of the thyroid cancer guidelines update group. London: Royal Collage of Physicians, 2007. 7. R. Sjamsuhidajat, Karnadihardja W, Prasetyono TOH, Rudiman R. Buku Ajar Ilmu Bedah. 1st. Jakarta: EGC; 2012.p807-11. 8. Acosta J, et al. Sabiston Textbook of Surgery. 18th. USA: Elsevier Saunders; 2007.chap.36. 9. Renshaw A A. Subclassification of atypical cells of undetermined significance in direct smears of fine-needle aspirations of the thyroid. American Cancer Society. 2011; 119: 322-7.