Perubahan respons imun pada penderita gagal ginjal kronik yang

advertisement
F -X C h a n ge
F -X C h a n ge
c u -tr a c k
N
y
bu
to
k
lic
Perubahan respons imun pada penderita
gagal ginjal kronik yang menjalani hemodialisis
Pusparini
Bagian Patologi Klinik Fakultas Kedokteran Universitas Trisakti
ABSTRACT
Haemodialysis is the most common treatment of chronic renal failure patients to maintain their
relative health status. Morbidity and mortality rates in patients undergoing haemodialysis for chronic
renal failure have increased in conjunction with the decrease immune response. Decrease of immune
response in these patients is caused by uremia, vitamin D deficiency, iron overload and haemodialysis. In
uremic patients decrease of immune response is caused by impaired phagocytosic ability of
polymorphonuclear leukocytes and monocytes, impaired metabolic activity of hexosemonophosphat shunt
(HMS) which is needed to produce reactive oxygen species (ROS). Roles of vitamin D are related to
macrophage development and function. Iron overload stimulates bacterial growth and increases its
virulence. Haemodialysis causes neutropenia, limphocytopenia and hypocomplementemia due to the type
of dialyzer membrane used. (J Kedokter Trisakti 2000;19(3):115 – 124)
Key words : haemodialysis, immune response, uremia, chronic renal failure
ABSTRAK
Hemodialisis merupakan tindakan invasif yang sering dilakukan pada pasien gagal ginjal kronik
untuk mempertahankan pasien dalam keadaan relatif sehat. Angka kesakitan dan angka kematian pada
pasien gagal ginjal kronik yang menjalani hemodialisis meningkat sejalan dengan penurunan respons
imun pada pasien terkait. Penurunan respons imun dapat disebabkan keadaan uremia, defisiensi vitamin
D, penimbunan besi yang berlebihan dan akibat tindakan hemodialisis itu sendiri. Penurunan respons
imun pada uremia disebabkan oleh penurunan fungsi fagositosis leukosit polimorfonuklear (PMN) dan
monosit, serta penurunan aktivitas metabolik hexosemonophosphate shunt (HMS) yang diperlukan untuk
memproduksi reactive oxygen spesies (ROS) . Vitamin D berperan dalam perkembangan dan fungsi
makrofag. Penimbunan besi yang berlebihan akan merangsang pertumbuhan bakteri dan meningkatkan
virulensi bakteri. Tindakan hemodialisis menyebabkan penurunan respons imun karena terjadinya
neutropenia, limfositopenia dan hipokomplementemia yang terutama disebabkan pengaruh jenis
membran dialyzer.
Kata kunci : hemodialisis, respons imun, uremia, gagal ginjal kronik.
PENDAHULUAN
Pada pasien gagal ginjal kronik (GGK)
dengan kadar ureum dan kreatinin yang sangat
tinggi, selain transplantasi ginjal, tindakan
dialisis merupakan satu-satunya cara untuk
mempertahankan kelangsungan hidup pasien
dengan tujuan menurunkan kadar ureum,
kreatinin dan zat-zat toksik lainnya di dalam
darah.(1,2)
Tindakan dialisis pada pasien ini harus
dilakukan secara rutin satu sampai dua kali per
minggu. Pada tindakan dialisis, hemodialisis
lebih sering digunakan dibandingkan peritoneal
dialisis.(1,3) Pada hemodialisis darah pasien
dipompa keluar dari pembuluh darah, masuk ke
dalam suatu alat tempat terjadinya proses difusi
J Kedokter Trisakti, September-Desember2000-Vol.19, No.3 115
.d o
m
w
o
.c
C
m
Respon imun gagal ginjal kronik
o
.d o
w
w
w
w
w
C
lic
k
to
bu
y
N
O
W
!
PD
O
W
!
PD
c u -tr a c k
.c
F -X C h a n ge
F -X C h a n ge
c u -tr a c k
N
y
bu
to
k
lic
melalui
membran semipermeabel untuk
membuang zat-zat toksik dalam darah. (1,4)
Tindakan hemodialisis merupakan suatu
tindakan invasif yang mempunyai risiko untuk
terjadinya infeksi. Pada pasien GGK terjadi
perubahan sistem imun yang menyebabkan daya
tahan tubuh menurun, dan keadaan ini
mempermudah terjadinya infeksi.(l,5)
Dengan makin
mahalnya
peralatan
hemodialisis akhir-akhir ini maka penggunaan
ulang komponen pada unit hemodialisis makin
meningkat. Penggunaan ulang komponen
tersebut menyebabkan risiko terjadinya infeksi
akan lebih meningkat apabila penanganannya
tidak dilakukan sesuai prosedur yang
dianjurkan.(3,5)
Infeksi merupakan penyebab utama
meningkatnya angka kesakitan dan angka
kematian pada pasien hemodialisis.(2,3) Beberapa
penelitian menunjukkan 12 % sampai 20 %
kematian pada pasien hemodialisis disebabkan
oleh infeksi.3,4 Penyebab tingginya infeksi pada
pasien GGK selain menurunnya sistem imun,
juga disebabkan oleh adanya penyebab sekunder
seperti adanya diabetes dan penyakit jantung
paru pada GGK yang akan memperberat risiko
infeksi.2 Penurunan sistem imun pada pasien
GGK didukung oleh ditemukannya
reaksi
cutaneous anergy, menurunnya respons terhadap
vaksinasi,
memanjangnya masa penolakan
allograft kulit dan ginjal, dan delayed response
leukosit pada tempat inflamasi.(3,5,6)
Pada makalah ini akan dibahas mengenai
sistem imun secara umum dan perubahan
respons imun pada penderita GGK akibat
keadaan uremia, defisiensi vitamin D,
penimbunan besi yang berlebihan dan akibat
tindakan hemodialisis itu sendiri, serta tindakan
pencegahan
yang
mungkin
dilakukan.
Pengetahuan akan hal ini diharapkan dapat
memperbaiki penatalaksanaan pasien GGK.
SISTEM IMUN SECARA UMUM
Manusia dapat terlindung dari invasi
mikroorganisme karena adanya pertahanan lokal
yang bersifat mekanis dan biokimiawi pada kulit
dan selaput lendir serta adanya flora lokal yang
bersifat komensal. Selaput lendir ditutupi oleh
lendir yang akan melindungi dari trauma fisik
dan kimiawi. Lendir ini bersifat hidrofilik
sehingga mudah dilalui oleh zat antimikroba
yang dihasilkan tubuh seperti lisozim dan
peroksidase. Sekresi lisozim, kelenjar keringat,
mikroorganisme bersifat komensal yang hidup
di usus dan vagina termasuk pertahanan lokal
yang bersifat biokimiawi. Mukus, silia pada
trakea, asam lambung dan kulit merupakan jenis
pertahanan lokal yang dapat bersifat fisik
maupun biokimiawi.(7) (Gambar 1)
Gangguan pertahanan lokal dapat terjadi
akibat pemakaian alat seperti infus dan kateter,
pembedahan. Pada keadaan seperti ini, penyebab
infeksi umumnya adalah flora normal pada
tempat tersebut, misalnya Staphylococcus
epidermidis yang masuk ke dalam aliran darah
melalui luka infus kemudian menimbulkan
septikemia.(8)
J Kedokter Trisakti, September-Desember2000-Vol.19, No.3 116
.d o
m
w
o
.c
C
m
Respon imun gagal ginjal kronik
o
.d o
w
w
w
w
w
C
lic
k
to
bu
y
N
O
W
!
PD
O
W
!
PD
c u -tr a c k
.c
F -X C h a n ge
F -X C h a n ge
c u -tr a c k
N
y
bu
to
k
lic
Gambar 1. Pertahanan lokal tubuh yang bersifat fisik dan biokimiawi.(7)
Berbagai jenis sel dan molekul terlarut yang
disekresikan berperan pada respons imun.
Walaupun leukosit merupakan pusat dari seluruh
respons imun, sel lain dalam jaringan juga ikut
berperan dengan memberi isyarat kepada
limfosit serta bereaksi terhadap sitokin yang
dilepaskan oleh limfosit T dan makrofag.
Basofil, sel mast dan trombosit akan
menghasilkan mediator radang, demikian juga
sel jaringan akan menghasilkan sitokin
interferon.(7)
(Gambar2).
Gambar 2. Beberapa sel utama dalam komponen sistem imun.(7)
Bila pertahanan lokal terganggu, neutrofil
akan memegang peranan penting untuk
mencegah penyebaran infeksi. Gangguan ini
dapat berupa berkurangnya jumlah fagosit,
gangguan respons kemotaktik atau menurunnya
kemampuan untuk membunuh mikroorganisme.
Gangguan aktivitas neutrofil akan memudahkan
terjadinya infeksi oleh berbagai jenis bakteri dan
jamur.(8-10) Neutropenia akan memudahkan
terjadinya infeksi, dan semakin rendah jumlah
jumlah neutrofil,
semakin besar
pula
kemungkinan infeksi. Perlindungan utama
J Kedokter Trisakti, September-Desember2000-Vol.19, No.3 117
.d o
m
w
o
.c
C
m
Respon imun gagal ginjal kronik
o
.d o
w
w
w
w
w
C
lic
k
to
bu
y
N
O
W
!
PD
O
W
!
PD
c u -tr a c k
.c
F -X C h a n ge
F -X C h a n ge
c u -tr a c k
N
y
bu
to
k
lic
terhadap infeksi oleh Stafilokokus adalah sistem
fagositosis yang memadai. Bila terjadi infeksi
oleh Stafilokokus pada penderita granulositopenia
dan gangguan fagositosis serta
penghancuran sel oleh leukosit maka infeksi ini
akan menjadi lebih berat dibandingkan penderita
tanpa gangguan ini.(8-10)
Pada respons imun humoral, antigen akan
ditangkap oleh makrofag atau antigen presenting
cell (APC), kemudian masuk ke dalam sel
dengan cara endositosis atau pinositosis. Setelah
diolah oleh sel-sel itu maka antigen tersebut
akan dipaparkan di permukaan sel APC bersama
molekul Major Histocompatibility Complex
(MHC) kelas II. Sel T penolong akan mengenali
kompleks antigen MHC kelas II tersebut melalui
reseptor permukaannya dan sel ini akan
teraktivasi. Sel T penolong yang sudah
teraktivasi akan mengeluarkan sitokin dan
merangsang sel B untuk berproliferasi menjadi
sel plasma
yang dapat menghasilkan
imunoglobulin.(11) (Gambar 3).
Gambar 3. Gambaran respons imun humoral dan seluler yang diperantarai oleh kompleks APC-MHC kelas II dan
sel T penolong.(11)
Defisiensi imunoglobulin dapat merupakan
kelainan bawaan atau didapat. Hipogamaglobulinemia yang didapat, umumnya disebabkan
oleh kehilangan protein berlebihan seperti pada
sindroma
nefrotik,
luka
bakar
atau
limfangiektasia intestinal.(8) Pada keadaan ini
penderita mudah mengalami infeksi berulang
oleh bakteri berkapsul seperti Streptococcus
pneumoniae atau Hemophilus influenzae karena
untuk fagositosis dibutuhkan opsonisasi oleh
antibodi dalam jumlah yang memadai. (10)
Respons imun seluler didahului oleh
interaksi antara sel T penolong dengan antigen
yang disajikan oleh APC. Sel T penolong yang
sudah teraktivasi akan memacu sel efektor yaitu
sel T sitotoksik dan sel B. Selanjutnya melalui
limfokin yang dihasilkan, sel T akan memicu
sel natural killer (NK), makrofag, granulosit dan
antibody dependent cytotoxic cell (ADCC) atau
cell killer (sel K) untuk menghancurkan
antigen.(12) (Gambar 3)
Penurunan jumlah dan fungsi makrofag
serta sel T akan menyebabkan meningkatnya
risiko infeksi bakteri intrasel, virus, jamur atau
protozoa. Gangguan imunitas seluler dapat
merupakan kelainan bawaan atau didapat.
Kelainan bawaan biasanya sudah terdiagnosis
sejak kecil dan sering menimbulkan kematian
karena infeksi oportunistik sebelum penderita
dewasa.(8)
PERUBAHAN RESPONS IMUN PADA
PENDERITA GAGAL GINJAL KRONIK
Pada gagal ginjal kronik terbukti adanya
penurunan respons imun tubuh terhadap infeksi.
Hal ini dapat diketahui dengan tingginya angka
infeksi, tingginya insidens tuberkulosis, infeksi
virus dan neoplasma. Selain itu juga dilaporkan
frekuensi cutaneous anergy yang tinggi,
J Kedokter Trisakti, September-Desember2000-Vol.19, No.3 118
.d o
m
w
o
.c
C
m
Respon imun gagal ginjal kronik
o
.d o
w
w
w
w
w
C
lic
k
to
bu
y
N
O
W
!
PD
O
W
!
PD
c u -tr a c k
.c
F -X C h a n ge
F -X C h a n ge
c u -tr a c k
N
y
bu
to
k
lic
menurunnya respons terhadap vaksinasi dan
memanjangnya masa penolakan allograft.5
Perubahan respons imun pada penderita gagal
ginjal kronik dapat dikelompokkan menjadi 4
yaitu akibat uremia, akibat defisiensi vitamin D,
akibat penimbunan besi yang berlebihan dan
akibat tindakan hemodialisis.
Akibat uremia
Uremia merupakan gejala atau tanda yang
berhubungan dengan GGK . Gejala klinik yang
dijumpai pada uremia antara lain ditandai
dengan terjadinya gangguan keseimbangan air
dan elektrolit, gangguan metabolisme dan
kelenjar endokrin, gangguan gastrointestinal,
kelainan kardiovaskular dan pulmonar, kelainan
kulit, kelainan neuromuskular dan kelainan
hematologi serta imunologi.(13,14) Pada penderita
GGK kemampuan ginjal untuk membuang
ureum dan sisa metabolisme lainnya melalui
urine menurun sehingga menimbulkan keadaan
uremia.(13)
Ruiz dkk (6) melakukan penelitian mengenai
efek dari serum uremia terhadap mekanisme
pertahanan tubuh. Hal ini dilakukan dengan
pertimbangan bahwa ternyata infeksi merupakan
penyebab utama meningkatnya angka kesakitan
dan kematian pada penderita GGK. Dilaporkan
sebanyak 20% kematian penderita GGK
disebabkan infeksi. Selain itu ternyata terdapat
defek mekanisme pertahanan tubuh penderita
GGK terhadap infeksi.(6)
Infeksi pada pasien dengan uremia
disebabkan beberapa hal yaitu faktor ketahanan
tubuh pejamu yang menurun akibat kadar ureum
yang tinggi yang bersifat toksis, adanya
metabolisme
yang
abnormal
mencakup
metabolisme protein, trace metal, dan defisiensi
vitamin
akibat
pengobatan
yang
dipergunakan.(5,6)
Pada uremia, penurunan respons imun
disebabkan penurunan fungsi fagositosis
leukosit
polimorfonuklear
(PMN)
dan
monosit.(3,15) Fagositosis adalah suatu proses
dilapisinya partikel asing oleh substansi opsonin
terutama IgG. Fagosit mempunyai reseptor
spesifik diantaranyaFc domain IgG. Aktivasi
reseptor Fc oleh partikel yang telah diopsonisasi
menyebabkan partikel asing dapat ditelan oleh
fagosit dan memicu oxygen dependent killing
mechanisms.( 3)
Selain itu selama proses fagositosis
diperlukan
serangkaian
aktivitas
jalur
metabolisme dan evaluasi aktivitas jalur tersebut
dapat mencerminkan kapasitas fungsional proses
fagositosis
tersebut.
Salah
satu
jalur
metabolisme tersebut adalah
metabolisme
glukosa melalui jalur hexosemonophosphate
shunt (HMS) untuk memproduksi reactive
oxygen species (ROS), termasuk ion superoksida
dan hidrogen peroksida (H2O2) melalui sistem
NADPH oksidase (gambar 4). Pembentukan
ROS ini diperlukan oleh leukosit sebagai
respons terhadap adanya mikroorganisme. Pada
uremia aktivitas metabolisme glukose melalui
jalur tersebut menurun.
Pada gambar 4 dapat dilihat bahwa kedua
proses tersebut saling berhubungan dan jalur
HMS memberikan energi untuk pembentukan
ROS melalui enzim NADPH oksidase. (15)
Gambar 4. Jalur metabolik aktivasi leukosit dengan menggunakan enzim NADPH oksidase.(15)
Glukosa 1-C
NADPH
Hexosemonophosphate shunt
(HMS)
O2
OHH2O2
HOC1
O2
NADPH
oksidase
NADP
O2
CO2
Vanholder dkk(15) melakukan penelitian
untuk mengetahui penggunaan glukose-1-C
selama proses dialisis oleh polimorfonuklear
(PMN) sebagai respons terhadap Staphylococcus
aureus. Banyaknya penggunaan glukose-1-C
dihitung dengan mengukur kadar CO2 yang
J Kedokter Trisakti, September-Desember2000-Vol.19, No.3 119
.d o
m
w
o
.c
C
m
Respon imun gagal ginjal kronik
o
.d o
w
w
w
w
w
C
lic
k
to
bu
y
N
O
W
!
PD
O
W
!
PD
c u -tr a c k
.c
F -X C h a n ge
F -X C h a n ge
c u -tr a c k
N
y
bu
to
k
lic
terbentuk. Dari penelitian ini diketahui bahwa
respons metabolik terhadap fagositosis akan
memburuk sejalan dengan makin beratnya
uremia.(15)
Pada uremia ditemukan peptida yang mirip
dengan ubiquitin yang dapat menghambat
kemotaksis neutrofil dan penurunan kemampuan
PMN untuk berikatan dengan C5a, suatu faktor
kemotaktik. Adanya hambatan kemotaksis ini
menyebabkan penurunan fungsi fagositosis,
sehingga menurunkan kemampuan respons imun
nonspesifik.(3,15) Selain itu penurunan respons
imun pada uremia disebabkan penekanan cell
mediated immunity
yang disebabkan oleh
memendeknya umur limfosit, limfopenia,
hambatan pada transformasi limfosit, dan
penekanan aktivitas limfosit T.(3)
Akibat defisiensi vitamin D
Sumber vitamin D adalah dari kulit maupun
dari makanan yang diserap di usus. Vitamin D3
disintesis pada kulit dari 7 dehidrokolesterol
dengan bantuan sinar ultraviolet. Mula-mula
terjadi proses hidroksilasi vitamin D 3 menjadi 25
hidroksi-vitamin D3 (25 (OH)D3) pada hati.
Selanjutnya terjadi proses hidroksilasi pada
ginjal menjadi 1,25 dihidroksi-vitamin D3 (1,25
(OH)2D3) atau 24,25 dihiroksi-vitamin D3 (24,25
(OH)2 D3). Perubahan 25 (OH) D3 menjadi 1,25
(OH)2D3 dipengaruhi oleh hormon paratiroid ,
kadar fosfat, kalsium dan lain-lain. (16)
Peran 1,25 dihidroksi-vitamin D
1,25
(OH)2D3 = calcitriol = vitamin D pada respons
imun telah dilaporkan walaupun belum diketahui
mekanismenya dengan jelas. Pada pasien dengan
GGK dapat dijumpai penurunan kadar vitamin D
karena proses hidroksilasi dari 25 (OH) D3
menjadi 1,25 (OH)2D3 terjadi pada ginjal,
sehingga penurunan massa ginjal pada pasien
GGK menyebabkan rendahnya kadar vitamin D.
(5,6)
Hasil penelitian yang dilakukan terhadap 8
pasien uremia yang menjalani hemodialisis
menunjukkan peningkatan aktivitas sel NK
setelah pemberian calcitriol selama 28 hari.
Diperkirakan defisiensi calcitriol merupakan
faktor yang berperan terhadap penurunan sel
NK. Penemuan ini menunjukkan calcitriol
merupakan suatu hormon imunostimulator in
vivo.(5)
Di dalam tubuh vitamin D berperan dalam
merangsang perkembangan dan pematangan
fungsi makrofag, meningkatkan ekspresi
reseptor Fc dan C3 (yang menunjukkan adanya
aktivasi sel dan peningkatan fungsi respons
imun), dan meningkatkan kemotaksis dan
fagositosis leukosit PMN. Disamping itu vitamin
D juga berperan dalam produksi interleukin 2.
(5,16)
Pada pasien hemodialisis transformasi
limfosit
berkurang dibanding pada orang
normal, tetapi pemberian prekursor vitamin D
secara oral selama 4 minggu dapat memperbaiki
fungsi transformasi limfosit menjadi normal.
Disamping itu pemberian vitamin D pada pasien
hemodialisis akan meningkatkan rasio sel T
penolong / sel T sitotoksik yang akan
meningkatkan jumlah sel T CD4+ dan penurunan
jumlah sel T CD8+ sehingga akan meningkatkan
daya imunitas tubuh.(5,16) Vitamin D juga
berperan meningkatkan produksi interleukin 2
(IL-2), suatu sitokin yang berperan merangsang
pembelahan sel T, pertumbuhan sel B dan
merangsang aktivitas monosit dan sel NK.
Selain itu vitamin D juga berperan pada
produksi gamma interferon yang berfungsi
dalam imunoregulasi terhadap pertumbuhan dan
diferensiasi sel B, aktivasi makrofag dan
peningkatan efek ekspresi antigen. (5)
Akibat penimbunan besi yang berlebihan
Sebelum ditemukannya terapi eritropoietin
sebagai pengganti suplementasi besi dan
transfusi
yang
berulang,
pada
pasien
hemodialisis sering dijumpai penimbunan besi
yang berlebihan.
Keadaan ini akan
meningkatkan
risiko
terjadinya
infeksi.
Parameter yang dipergunakan untuk mengetahui
adanya penimbunan besi yang berlebihan adalah
bila kadar ferritin serum > 1000 ug/L. (17)
Mekanisme terjadinya infeksi pada keadaan
penimbunan besi yang berlebihan kemungkinan
disebabkan adanya kemampuan besi untuk
merangsang
pertumbuhan
bakteri
dan
meningkatkan virulensi bakteri. Penimbunan
besi yang berlebihan juga berperan terhadap
fungsi fagositosis neutrofil dan aktivitas
mieloperoksidase. Toksisitas besi terhadap
J Kedokter Trisakti, September-Desember2000-Vol.19, No.3 120
.d o
m
w
o
.c
C
m
Respon imun gagal ginjal kronik
o
.d o
w
w
w
w
w
C
lic
k
to
bu
y
N
O
W
!
PD
O
W
!
PD
c u -tr a c k
.c
F -X C h a n ge
F -X C h a n ge
c u -tr a c k
N
y
bu
to
k
lic
neutrofil
disebabkan terbentuknya oksidan
radikal yang berlebihan yang berpengaruh
terhadap fungsi fagositosis melalui peroksidasi
membran lipid neutrofil.(17,18) Kemampuan
fagositosis neutrofil menjadi normal kembali
bila pada pasien hemodialisis diberikan
desferioksamin sebagai chelating agent yang
akan mengikat kelebihan besi sehingga akan
menurunkan risiko infeksi.(18) Saat ini dengan
makin meningkatnya penggunaan eritropoietin
maka pemberian transfusi packed red cell dapat
dikurangi sehingga penimbunan besi yang
berlebihan dapat dihindari. (17) Hoen dkk (17)
menemukan bahwa lebih dari 10 % pasien
dengan kadar ferritin > 1000 ug/L menunjukkan
penurunan kadar ferritin setelah penggunaan
eritropoietin dan hanya 5% pasien yang tetap
memiliki kadar ferritin > 1000 ug/L.
Akibat tindakan hemodialisis
Hemodialisis merupakan suatu proses difusi
melalui
membran
semipermiabel
untuk
membuang substansi dalam darah yang tidak
diinginkan dengan penambahan
komponen
tertentu. Aliran darah yang konstan pada satu
bagian dari membran dan cairan dialisat sebagai
pembersih pada sisi lainnya menyebabkan sisa
metabolisme dari darah dapat disingkirkan ke
dalam cairan dialisat. Hal ini mirip dengan
proses yang terjadi pada filtrasi glomerulus.
Dengan mengatur komposisi cairan dialisat,
kecepatan terpaparnya darah dengan dialisat,
tipe dan luas permukaan membran dialisis,
frekuensi serta lamanya pemaparan, pasien
dengan GGK dapat dipertahankan pada kondisi
relatif sehat.(19,20)
Reaksi biokimia
di dalam tubuh
menghasilkan zat-zat yang disebut metabolit.
Ginjal membantu mengatur keseimbangan zatzat dalam darah dengan cara mencegah
penimbunan metabolit dan air. Darah difiltrasi
dan dibersihkan secara teratur pada ginjal. Sisa
metabolisme dikumpulkan dan dieksresi ke
dalam urin sedangkan zat yang masih berguna
seperti air dan elektrolit direabsorbsi kembali.
Dialyzer menggunakan prinsip yang terjadi pada
ginjal manusia. (19,21)
Perangkat hemodialisis terdiri dari tiga
komponen yaitu sistem distribusi darah , sistem
distribusi cairan dialisat dan dialyzer.(19) Ketiga
komponen ini dapat dibentuk dalam berbagai
konfigurasi yang dilengkapi sejumlah alat
monitor supaya prosedur hemodialisis berjalan
aman dan lancar.(19-21)
Sistem distribusi darah dilengkapi 3
monitor yaitu monitor tekanan arteri, tekanan
vena dan detektor gelembung udara. Sistem
distribusi cairan dialisat dilengkapi 3 monitor
juga yaitu monitor dan pengatur suhu, monitor
konduktivitas dan detektor terhadap kebocoran
darah. Dialyzer mempunyai struktur penunjang
yang memungkinkan darah dan cairan dialisat
mengalir secara optimal di kedua sisi yang
bersebelahan pada membran. Terdapat 3 jenis
konfigurasi ginjal buatan yang lazim dipakai
yaitu coil dialyzer, flat plate dialyzer dan hollow
fiber dialyzer.(19,20)
Tindakan hemodialisis pada pasien dengan
GGK yang bertujuan untuk membuang ureum
dan sisa metabolisme lainnya di dalam tubuh
ternyata
membawa
dampak
terjadinya
penurunan respons imun pada pasien tersebut.
Penurunan respons imun yang terjadi terutama
disebabkan oleh jenis membran dialisis yang
dipakai. Membran dialisis ada 2 macam
berdasarkan efek terhadap respons imun yaitu
pertama, membran dialisis yang menyebabkan
penurunan respons imun misalnya cuprophan;
kedua,
membran
dialisis
yang
tidak
menyebabkan penurunan respons imun /
penurunan minimal yaitu polymethylmetacrylate
(PMMA), poliakrilnitril dan polisulfon sehingga
dianjurkan untuk menggunakan membran
dialisis yang efek terhadap penurunan respons
imun seminimal mungkin.(15)
Pada pasien uremia dengan kadar kreatinin
melampaui 6 mg/dL terjadi penurunan bermakna
kemampuan
leukosit
untuk
melakukan
fagositosis. Hal ini diperberat apabila digunakan
membran dialisis yang mengaktifkan sistem
komplemen misalnya cuprophan. Penggunaan
cuprophan sebagai membran dialisis akan
menyebabkan penurunan fungsi fagositosis yang
jauh lebih besar (60%).(15)
Terjadinya kontak antara darah dengan
membran dialyzer yang berulang-ulang selama
hemodialisis menyebabkan aktivasi sistem
komplemen terutama melalui jalur alternatif. (22)
Aktivasi sistem komplemen oleh membran
dialyzer terutama terjadi pada membran
J Kedokter Trisakti, September-Desember2000-Vol.19, No.3 121
.d o
m
w
o
.c
C
m
Respon imun gagal ginjal kronik
o
.d o
w
w
w
w
w
C
lic
k
to
bu
y
N
O
W
!
PD
O
W
!
PD
c u -tr a c k
.c
F -X C h a n ge
F -X C h a n ge
c u -tr a c k
N
y
bu
to
k
lic
cuprophan. Aktivasi komplemen melalui jalur
alternatif ini disebabkan oleh adanya hidrolisis
spontan C3 menjadi C3a dan C3b. C3b
selanjutnya berikatan dengan faktor B
menghasilkan C3 konvertase C3bBb yang dapat
memecah C3 menghasilkan C3a dan C3b
lainnya. Dua molekul C3b dengan subunit faktor
B yaitu Bb akan membentuk C5 konvertase.
Enzim ini akan memecah C5 menjadi C5a dan
C5b, yang diikuti oleh pengikatan dengan C6
dan C7 sampai akhirnya terbentuk membran
attack complex (MAC) yang dapat menyebabkan
lisisnya sel target yaitu semua jenis leukosit,
eritrosit dan trombosit.(22)
Selain mengaktifkan sistem komplemen
jalur klasik, membran cuprophan juga dapat
mengaktivasi jalur alternatif. Aktivasi jalur
alternatif sistem komplemen akan menghasilkan
C3a dan C5a yang bersifat anafilatoksin.
Anafilatoksin ini selain dapat menimbulkan
anafilaksis dapat juga meningkatkan kemotaksis
ke arah membran cuprophan.(22)
Pada 15 menit awal hemodialisis dijumpai
penurunan jumlah neutrofil, yang akan kembali
normal setelah hemodialisis selesai.(13,23)Selama
proses hemodialisis neutrofil menghilang dari
sirkulasi disebabkan sekuestrasi melalui kapiler
pulmonar. Mekanisme sekuestrasi tersebut
masih diperdebatkan. Teori yang paling banyak
dianut untuk menerangkan hal ini adalah
neutrofil menempel pada dinding endotel kapiler
pulmonar,
yang
merupakan
permukaan
pembuluh darah pertama yang mengalami
kontak setelah darah meninggalkan dialyzer.
Mekanisme ini disebabkan oleh adanya
peningkatan ekspresi reseptor CD 11b / CD 18
pada permukaan neutrofil yang ada di dalam
sirkulasi.(23)
Neutropenia makin berat bila CD 11b / CD
18 makin banyak. CD 11b / CD18 makin banyak
dihubungkan dengan tipe dialyzer dan
penggunaan
ulang
dialyzer.
Hal
ini
menunjukkan hubungan langsung antara
produksi C5a dengan lamanya kontak antara
darah dengan membran dialyzer. Pada penelitian
in vitro ternyata C5a meningkatkan jumlah CD
11b / CD 18, sedangkan peningkatan CD 11b /
CD 18 tergantung pada adhesi neutrofil pada sel
endotel.23 Penelitian Tabor dkk (23) menunjukkan
adanya hubungan antara derajat neutropenia,
peningkatan ekspresi CD 11b / CD18 dan kadar
C5a plasma.
Neutropenia juga dapat disebabkan oleh
adanya agregasi neutrofil yang diinduksi
oleh aktivasi jalur alternatif komplemen.
Jarang dijumpai adanya agregasi neutrofil
pada pembuluh darah. Penelitian pada
binatang dengan neutropenia menunjukkan
bahwa neutrofil lebih sering dijumpai pada
kapiler pulmonar dibandingkan dengan yang
beragregasi di dalam arteriol.(3,23)
Hasil
penelitian Gascon dkk (24) memperlihatkan
penurunan jumlah absolut limfosit pada
pasien
hemodialisis
dan peningkatan
jumlah subset limfosit natural killer CD3 /CD 56 + dan CD3 -/CD 16 +. Peningkatan
jumlah limfosit natural killer dihubungkan
dengan jenis membran dialyzer yang
dipakai. Pada pemakaian membran dialyzer
cuprophan dijumpai peningkatan jumlah
limfosit natural killer sedangkan pada
pemakaian membran dialyzer lainnya seperti
membran poliakrilnitril dan polisulfon tidak
dijumpai keadaan demikian. Penggunaan
membran dialyzer cuprophan meningkatkan
pergerakan limfosit natural killer dari
jaringan limfoid.(24)
Pada pasien hemodialisis dengan menggunakan membran cuprophan dijumpai penurunan aktivitas sitotoksik limfosit natural
killer. Adanya peningkatan jumlah limfosit
natural killer dan penurunan aktivitas sel
tersebut merupakan hal yang kontradiktif.
Penjelasan dari hal tersebut di atas adalah bahwa
peningkatan jumlah limfosit natural killer
merupakan mekanisme kompensasi sistem imun
untuk meningkatkan produksi sel oleh karena
fungsinya yang menurun.(24)
PENCEGAHAN
Adanya respons imun yang menurun pada
GGK merupakan keadaan yang sangat tidak
menguntungkan. Oleh karena itu perlu tindakan
pencegahan agar kondisi pasien yang sudah
demikian rentan terhadap infeksi tidak dengan
J Kedokter Trisakti, September-Desember2000-Vol.19, No.3 122
.d o
m
w
o
.c
C
m
Respon imun gagal ginjal kronik
o
.d o
w
w
w
w
w
C
lic
k
to
bu
y
N
O
W
!
PD
O
W
!
PD
c u -tr a c k
.c
F -X C h a n ge
F -X C h a n ge
c u -tr a c k
N
y
bu
to
k
lic
mudah terkena infeksi. Upaya pencegahan yang
dianjurkan antara lain :
1. Penanganan pasien secara steril misalnya
penggunaan sarung tangan dan masker. (3)
2. Menghindari penggunaan kateter / protesa
sementara yang dipakai terlalu lama untuk
akses vaskular pada tindakan hemodialisis.(3)
3. Vaksinasi
penderita
terutama
untuk
pencegahan infeksi virus hepatitis B.(2)
4. Tindakan eradikasi Staphylococcus aureus
dengan mupirosin pada nasal carriage.(3)
5. Penanganan sesuai prosedur untuk semua
alat hemodialisis yang dipergunakan
ulang.(3)
6. Perlunya
pengobatan
/
pencegahan
penimbunan besi yang berlebihan dengan
penggunaan
iron
chelating
agent.
Penggunaan iron chelating agent juga perlu
dimonitor untuk mencegah intoksikasi. (18)
7. Pemakaian eritropoetin untuk mengatasi
anemia sebagai tindakan untuk mengurangi
kebutuhan transfusi darah pada GGK yang
dapat menyebabkan penimbunan besi yang
berlebihan.(18)
8. Pemberian calcitriol pada penderita GGK.(5)
Daftar Pustaka.
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
KESIMPULAN
9.
Penderita GGK merupakan penderita yang
rentan terhadap infeksi. Hal ini disebabkan oleh
terjadinya penurunan respons imun yang
diakibatkan antara lain oleh keadaan uremia
yang menyebabkan penurunan fagositosis PMN
dan monosit, penekanan imunitas seluler,
keadaan defisiensi vitamin D yang berperan
dalam
merangsang
perkembangan
dan
pematangan fungsi makrofag, peningkatan
ekspresi reseptor Fc dan C3, peningkatan
kemotaksis dan fagositosis PMN serta
penimbunan besi yang berlebihan dan akibat
tindakan hemodialisis. Dengan penanganan
penderita secara steril dan penggunaan ulang
alat dialisis sesuai standar yang dianjurkan serta
pemberian vaksinasi, chelating agent dan
calcitriol, penderita GGK diharapkan dapat
dipertahankan dalam kondisi yang relatif sehat.
10.
11.
12.
13.
Favero MS, Alter MJ, Bland LA. Dialysis
associated infections and their control. In :
Bennett JV, Brachman PS, Sanford JP, editors.
Hospital infections. 3th ed. Boston : Little, Brown
and Company; 1992.p. 375 – 403.
Rodby RA, Trenholme GM. Vaccination of the
dialysis patient. Semin Dialysis 1991; 4(2):1025.
Vanherweghem JL, Tielmans C, Goldman M,
Boelaert J. Infections in chronic hemodialysis
patients. Semin Dialysis 1991; 4(4) : 240 – 4.
Cohen G, Rudnicki M, Horl WH. Isolation of
modified ubiquitin as a neutrophil chemotaxis
inhibitor from uremic patients. J Am Soc
Nephrol 1998 ; 9 : 451 – 6.
Rice JC, Haverty TP. Vitamin D and Immune
function in uremia. Semin Dialysis 1990 ; 3(4) :
237 – 9.
Rubin NET, Rubin RH.Uremia and host
defenses. N Engl J Med 1990; 322 (11) : 770 – 1.
Male D, Roitt I. Introduction to the immune
system. In : Roitt I, Brostoff J, Male D, editors.
Immunology. 2nd ed. St. Louis : Mosby ; 1989.p.
1.1-1.2.
Powderly WG. Infections of compromised
patient. In : Schaeter M, editor. Mechanism of
microbial diseases. 2nd ed. Baltimore : Williams
& Wilkins ; 1989.p. 742-8.
Drew
WL.
Infections
in
the
immunocompromised patient. In : Sherris JC
editor. Medical microbiology. An introduction to
infectious diseases. 3rd ed. New York : Elsevier ;
1994.p. 815 – 21.
Sanfilippo F, Balber AE, Granger DL. Immune
responses to infection. In : Joklik WK editor.
Zinsser microbiology. 20th ed. Conecticut :
Prentice Hall International ; 1992.p. 345 – 68.
Feldman M, Male D. Cell cooperation in the
immune response. In : Roitt I, Brostoff J, Male
D, editors. Immunology. 2nd ed. St. Louis :
Mosby ; 1989.p. 8.1-8.11.
Rook G. Cell mediated immune response. In :
Roitt I, Brostoff J, Male D, editors. Immunology.
2nd ed. St. Louis : Mosby ; 1989.p. 9.2-9.12.
Carpenter CB, Lazarus JM. Dialysis and
transplantation in the treatment of renal failure.
In : Isselbacher KJ, Braunwald E, Wilson JD,
Martin JB, Fauci AS, Kasper DL, editors.
Harrison’s principles of internal medicine. 13th
ed. New York : Mc Graw – Hill ; 1994.p. 128192.
J Kedokter Trisakti, September-Desember2000-Vol.19, No.3 123
.d o
m
w
o
.c
C
m
Respon imun gagal ginjal kronik
o
.d o
w
w
w
w
w
C
lic
k
to
bu
y
N
O
W
!
PD
O
W
!
PD
c u -tr a c k
.c
F -X C h a n ge
F -X C h a n ge
c u -tr a c k
N
y
bu
to
k
lic
14. Ross EA, Barri YMH, Hemodialysis. In : Tisher
CC, Wilcox CS, editors. Nephrology for the
house officer. 2th ed. Baltimore : William &
Wilkins ; 1993.p. 229 – 42.
15. Vanholder R, Ringoir S, Dhondt A, Hakim R,
Waterloos MA, Van Lantschoot N,et al.
Phagocytosis in uremia and hemodialysis
patients : a prospective and cross sectional study.
Kidney Int 1991 ; 39 : 320 – 7.
16. Reichel H, Koeffler P, Norman AW. The role of
the vitamin D endocrine system in health and
disease. N Engl J Med 1989 ; 320 (15) : 980 –
91.
17. Hoen B, Dauphin AP, Hestin D, Kessler M.
Epibacdial : A multicenter prospective study of
risk factors for bacteremia in chronic
hemodialysis patients. J Am Soc Nephrol 1998 ;
9 : 869 – 76.
18. Waterlot Y, Cantinieaux, Muller CH, Laurent
EM, Vanherweghem JL, Fondu P. Impaired
phagocytic activity of neutrophils in patients
receiving haemodialysis : the critical role of iron
overload. BMJ 1985 ; 291 : 501-4.
19. Carpenter CB, Lazarus JM. Dialysis and
transplantation in the treatment of renal failure.
In : Isselbacher KJ, Braunwald E, wilson JD,
20.
21.
22.
23.
24.
Martin JB, Fauci AS, Kasper DL, editors.
Harrison’s principles of internal medicine. 13th
ed. new York : Mc Graw-Hill ; 1994.p. 1281-92.
Susalit E, Rahardjo JP, Suhardjono, Siregar P.
Hemodialisis. Dalam : Daldijono, Santoso T,
Rahardjo JP, editors. Gagal ginjal kronik,
diagnosa dan penanggulangan. Kumpulan
naskah lengkap simposium gagal ginjal kronik.
Jakarta ; Percetakan Dragon ; 1987.p. 73-87.
Ross EA, Barri YMH. Hemodialysis. In : Tischer
CC, Wilcox CS, editors. Nephrology for the
house officer. 2nd ed. Baltimore : William &
Wilkins ; 1993.p. 229 –42.
Cheung AK. Membrane biocompatibility. In :
Nissenson AR, Fine RN, Gentile DE, editors.
Clinical dialysis. 2th ed. Connecticut : Appleton
& Lange ; 1990.p. 69 – 96.
Tabor B, Geissler B, Odell R, Schmidt B,
Blumenstein M, Schindhelm K. Dialysis
neutropenia : The role of cytoskeleton. Kidney
Int 1998 ; 53 : 783 – 9.
Gascon A, Orfao A, Lerma JL. Antigen
phenotype and cytotoxic activity of natural killer
cells in hemodialysis
patients. Am J Kidney Dis 1996 ; 27(3):373 – 9.
J Kedokter Trisakti, September-Desember2000-Vol.19, No.3 124
.d o
m
w
o
.c
C
m
Respon imun gagal ginjal kronik
o
.d o
w
w
w
w
w
C
lic
k
to
bu
y
N
O
W
!
PD
O
W
!
PD
c u -tr a c k
.c
Download