Paradigma Fakta Sosial Fakta Sosial merupakan barang sesuatu yang pemahamannya diperlukan suatu data riil diluar pemikiran manusia (ide). Lebih lanjut Durkheim dalam bukunya The Rule of Sociological Methode menjelaskan bahwa ada dua subpokok yang membedakan definisi dari fakta sosial. Pertama Fakta Sosial yang bersifat Material. Sederhananya fakta sosial material ini merupakan hal yang dapat kita simak, ditelaah dan juga merupakan bagian dari dunia nyata. Kedua, Fakta Soial nonmaterial. Segala bentuk barang sesuatu yang dianggap nyata serta hanya dapat muncul dari dalam kesadaran manusia. Paradigma fakta sosial memusatkan perhatian pada apa-apa saja yang disebut sebagai fakta sosial atau struktur dan institusi sosial. Paradigma ini tidak hanya memusatkan pada fenomena fakta sosial yang ada, melainkan juga mencakup di ranah apa dan bagaimana implikasinya terhadap pola pikir dan tindakan yang dilakukan oleh masing-masing individu. Goerge Ritzer dalam bukunya Teori Sosiologi Modern menjelaskan bahwa penganut paradigma fakta soial kemungkinan besar menggunakan metodemetode yang bersifat kuisioner dan metode perbandingan sejarah. Dalam lain hal fakta sosial juga dapat diartikan sebagai suatu fenomena yang telah ada dan dibawa sejak lahir, dan bukan merupakan hasil dari pergaulan hidup manusia. Terdapat dua pusat perhatian dalam paradigma fakta sosial, yaitu Paranata sosial dan Struktur sosial. Pranata sosial atau social institution menurut Talcot Parson merupakan peranan yang melembaga dalam sebuah sistem sosial. seperti halnya norma-norma umum dan nilai yang ada dan tumbuh dalam masyarakat. Pusat perhatian yang kedua adalah kepada Struktur sosial yang ada. Dapat diartikan sebagai sebuah jargon hubungansosial yang saling berproses danmenjadi sesuatu yang terorganisir melaui posisi-posisi sosial individu maupun kelompok. Membedah Fungsional Struktural Teori fungsional strutural berkembang dari pardigma fakta sosial dalam teori sosiologi, Dimana menempatkan sosiologi pada alam kenyataan yang terjadi di lapangan kemasyaratan. Hal ini kemudian menempatkn sosiologi untuk menguraikan kontruksi mekanisme sosial yang telah ada unuk dirangkum dalam sebuah teori. Atau bisa dikatakan paradigma ini berupaya meneoritisikan sebuh kejadian di ranah sosial kemasyarakatan. Teori fungsional struktural berusaha menempatkan fakta-fakta sosial sebagai sebuah kontruksi yang dianalogikan seperti teori fungsional organisme dalam biologi. Dimana setiap organisme yang memiliki organ atau bagian dari makhluq hidup akan saling berhubungan dengan organ yang lain. Hal ini akan menunjng sebuah sistem kerja tubuh. Keteraturan kerja ini dipengaruhi oleh sebuah mekanisme yang saing mendukung mislanya dalam sistem pencernaan mulut akan bersinergi dengn kerogongan dan juga lmbung sert seterusnya sampai anus dengan fungsi dan pera masing-masing. Jika ada satu saja organ yang tidak bekerja dengan sempurna maka sistem akan gagal. Maka mekanisme yang seakan-akan otomatis ini dianggap bekerja pula dalam lingkungan sistem sosial. Seperti dikatakan dalam oleh Sunyoto Usman (Sunyoto Usman,2004:62), bahwa sistem akhirnya bekerja untuk tetap mempertahankan equilibrium dalam seuah struktur sosial. Dimana setiap organ tidak bekrja untuk memenuhi dirinya semata melainkan bekerja untuk memenuhi seluruh kebutuhan organ dalam sistem yang menhailkan equilibrium yang dinamis. Dalam hal ini beberpa teoritisi besar tampil memaparkan teorinya diantaranya, Parsons, Merton. Ritzer menggambarkan bagaimana Parsons mengembangkan landasan teoritisnya dalam bukunya Teori Sosiolgi Modern, Dicuplik dari pendapat Rochen bahwa Suatu fungsi adalah suatu mekanisme untuk memenuhi atau mempertahankan kebutuhan sistem(G. Rtzer, 2005 : 121). Dimana kemudian Parson berusaha mengkonstruksikanya melalui AGIL, Adaptasi, Goal Attainment, Intgration dan Latency. Disini Parson mengibaratkan organisme perilaku adalah tindakan melaksanakan fungsi adaptasi dengan menyesuaikan diri dengan dan mengubah ingkunan eksternal (G. Rtzer, 2005 : 121). Pason berupaya menggambarkan bagaimana sebuah fakta sosial dikerjakan oleh meknisme sistem yag begitu rapi dan ideal. Namun disini Parson kehilangan logika tentang aktor kreatif yang hadir di dalam sistem tersebut dan memungkinkan terjadi dinamika antar aktor dalam sebuah sistem yang menyudutkan lahirnya sistem yang berjalan linear menjadi sistem yang lebih penuh gejolak ketaktentuan. Seperti yang dikatakan Ritzer bahwa parson cenderung menggambarkan bagaimana sistem mengontrol sebuah aktor dibandngkan aktor yang cenderung berupaya membentuk konstruksi seuah sistem (G. Rtzer, 2005 : 127). Dilain sisi Merton yang dianggap pula sebagai teoritisi fungsional struktural lebih banyak mengoreksi perkembangan teori fungsional dalam ranah yang lebih kecil. Hal ini terkait dengan yang dicuplik Ritzer dai Merton bahwa yang menjadi objek fugsional adalah yang telah mencerminkan hal yang standar atau telah terpola dan berulang. Dalam pikiran Merton sasaran studi struktural fungsional antara lain adlah peran sosia, proses sosial, pola institusional, pola kultur dan lain-lain (G. Rtzer, 2005 : 137138). Maka dari itu Merton kelihaan berupya memperemit ruang analisis dengan beberapa objek yang terpola. Disini Merton jua berupaya mengembangkan apa yang terjadi dalam proses adaptasi tidak hanya berdampak positif tapi juga negatif dengn disfungsi sosial. Dari garis besar teori tersebut ada kecacatan dimana secara umum teori struktural fungsional hanya menggbarkan kontruksi sosial yang linear dan gagal menggambarkan dinamika sosial yang komprehensif. Sumber Bacaan : Usman, Sunyoto, “Sosiologi, Sejarah dan Metodologi”, Yogyakarta, 2004. Ritzer, George, “Teori Sosiologi Modern”,cetakan ketiga, Jakarta,2005.