Perkembangan Tektonik Pulau Sumatera - Blog UB

advertisement
Tugas Terstruktur II
Analisis Lanskap Terpadu
“Perkembangan Tektonik Pulau Sumatera”
Oleh :
Henni Sidauruk
115040200111152
Kelas
C
PROGRAM STUDI AGROEKOTEKNOLOGI
MINAT MANAJEMEN SUMBER DAYA LAHAN
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
2014
Perkembangan Tektonik Pulau Sumatera
Indonesia merupakan daerah pertemuan 3 lempeng tektonik besar, yaitu lempeng
Indo-Australia, Eurasia dan lempeng Pasific. Lempeng Indo-Australia bertabrakan
dengan lempeng Eurasia di lepas pantai Sumatra, Jawa dan Nusatenggara, sedangkan
dengan Pasific di utara Irian dan Maluku utara. Salah satu hasil pertemuan ketiga ini
membentuk pulau Sumatra.
A. Gambaran Umum
Indonesia merupakan daerah pertemuan 3 lempeng tektonik besar, yaitu lempeng
Indo-Australia, Eurasia dan lempeng Pasific. Lempeng Indo-Australia bertabrakan
dengan lempeng Eurasia di lepas pantai Sumatra, Jawa dan Nusatenggara, sedangkan
dengan Pasific di utara Irian dan Maluku utara. Di sekitar lokasi pertemuan lempeng
ini akumulasi energi tabrakan terkumpul sampai suatu titik dimana lapisan bumi tidak
lagi sanggup menahan tumpukan energi sehingga lepas berupa gempa
bumi.Pertemuan lempeng Indo-Australia dengan Eurasia di selatan Jawa hampir tegak
lurus, berbeda dengan pertemuan lempeng di wilayah Sumatera yang mempunyai
subduksi miring dengan kecepatan 5-6 cm/tahun (Bock, 2000).
Pulau Sumatera dicirikan oleh tiga sistem tektonik. Berurutan dari barat ke timur
adalah sebagai berikut: zona subduksi oblique dengan sudut penunjaman yang landai,
sesar Mentawai dan zona sesar besar Sumatera. Zona subduksi di Pulau Sumatera,
yang sering sekali menimbulkan gempa tektonik, memanjang membentang sampai ke
Selat Sunda dan berlanjut hingga selatan Pulau Jawa. Subsuksi ini mendesak lempeng
Eurasia dari bawah Samudera Hindia ke arah barat laut di Sumatera dan frontal ke
utara terhadap Pulau Jawa, dengan kecepatan pergerakan yang bervariasi. Puluhan
hingga ratusan tahun, dua lempeng itu saling menekan. Namun lempeng
Indo-Australia dari selatan bergerak lebih aktif. Pergerakannya yang hanya beberapa
millimeter hingga beberapa sentimeter per tahun ini memang tidak terasa oleh
manusia. Karena dorongan lempeng Indo-Australia terhadap bagian utara Sumatera
kecepatannya hanya 5,2 cm per tahun, sedangkan yang di bagian selatannya
kecepatannya 6 cm per tahun. Pergerakan lempeng di daerah barat Sumatera yang
miring posisinya ini lebih cepat dibandingkan dengan penyusupan lempeng di selatan
Jawa.
B. Kerangka Tektonik Pulau Sumatra
Pulau Sumatra terletak di baratdaya dari Kontinen Sundaland dan merupakan
jalur konvergensi antara Lempeng Hindia-Australia yang menyusup di sebelah barat
Lempeng Eurasia/Sundaland. Konvergensi lempeng menghasilkan subduksi
sepanjang Palung Sunda dan pergerakan lateral menganan dari Sistem Sesar Sumatra.
Subduksi dari Lempeng Hindia-Australia dengan batas Lempeng Asia pada masa
Paleogen diperkirakan telah menyebabkan rotasi Lempeng Asia termasuk Sumatra
searah jarum jam. Perubahan posisi Sumatra yang sebelumnya berarah E-W menjadi
SE-NW dimulai pada Eosen-Oligosen. Perubahan tersebut juga mengindikasikan
meningkatnya pergerakan sesar mendatar Sumatra seiring dengan rotasi. Subduksi
oblique dan pengaruh sistem mendatar Sumatra menjadikan kompleksitas regim stress
dan pola strain pada Sumatra (Darman dan Sidi, 2000). Karakteristik Awal Tersier
Sumatra ditandai dengan pembentukkan cekungan-cekungan belakang busur
sepanjang Pulau Sumatra, yaitu Cekungan Sumatra Utara, Cekungan Sumatra Tengah,
dan Cekungan Sumatra Selatan (Gambar Diatas).
Pulau Sumatra diinterpretasikan dibentuk oleh kolisi dan suturing dari
mikrokontinen di Akhir Pra-Tersier (Pulunggono dan Cameron, 1984; dalam Barber
dkk, 2005). Sekarang Lempeng Samudera Hindia subduksi di bawah Lempeng Benua
Eurasia pada arah N20°E dengan rata-rata pergerakannya 6 – 7 cm/tahun. Konfigurasi
cekungan pada daerah Sumatra berhubungan langsung dengan kehadiran dari
subduksi yang menyebabkan non-volcanic fore-arc dan volcano-plutonik back-arc.
Sumatra dapat dibagi menjadi 5 bagian (Darman dan Sidi, 2000): Sunda outer-arc
ridge, berada sepanjang batas cekungan fore-arc Sunda dan yang memisahkan dari
lereng trench. Cekungan Fore-arc Sunda, terbentang antara akresi non-vulkanik
punggungan outer-arc dengan bagian di bawah permukaan dan volkanik back-arc
Sumatra. Cekungan Back-arc Sumatra, meliputi Cekungan Sumatra Utara, Tengah,
dan Selatan. Sistem ini berkembang sejalan dengan depresi yang berbeda pada bagian
bawah Bukit Barisan. Bukit Barisan, terjadi pada bagian axial dari pulaunya dan
terbentuk terutama pada Perm-Karbon hingga batuan Mesozoik. Intra-arc Sumatra,
dipisahkan oleh uplift berikutnya dan erosi dari daerah pengendapan terdahulu
sehingga memiliki litologi yang mirip pada fore-arc dan back-arc basin. Struktur
Utama Cekungan Sumatra Selatan
Menurut Salim dkk (1995) Cekungan Sumatra Selatan merupakan cekungan
belakang busur karena berada di belakang Pegunungan Barisan sebagai
volcanic-arc-nya. Cekungan ini berumur Tersier yang terbentuk sebagai akibat adanya
interaksi antara Paparan Sunda sebagai bagian dari Lempeng Kontinen Asia dan
Lempeng Samudera India. Daerah cekungan ini meliputi daerah seluas 330 x 510 km2,
bagian barat daya dibatasi oleh singkapan Pra-Tersier Bukit Barisan, di sebelah timur
oleh Paparan Sunda (Sundaland), sebelah barat dibatasi oleh Pegunungan Tigapuluh
dan ke arah tenggara dibatasi oleh Tinggian Lampung.
Menurut Suta dan Xiaoguang (2005; dalam Satya, 2010) perkembangan struktur
maupun evolusi cekungan sejak Tersier merupakan hasil interaksi dari ketiga arah
struktur utama yaitu, berarah timurlaut-baratdaya atau disebut Pola Jambi, berarah
baratlaut-tenggara atau disebut Pola Sumatra, dan berarah utara-selatan atau disebut
Pola Sunda. Hal inilah yang membuat struktur geologi di daerah Cekungan Sumatra
Selatan lebih kompleks dibandingkan cekungan lainnya di Pulau Sumatra. Struktur
geologi berarah timurlaut-baratdaya atau Pola Jambi sangat jelas teramati di
Sub-Cekungan Jambi. Terbentuknya struktur berarah timurlaut-baratdaya di daerah ini
berasosiasi dengan terbentuknya sistem graben di Cekungan Sumatra Selatan.
Struktur lipatan yang berkembang pada Pola Jambi diakibatkan oleh pengaktifan
kembali sesar-sesar normal tersebut pada periode kompresif Plio-Plistosen yang
berasosiasi dengan sesar mendatar (wrench fault). Namun, intensitas perlipatan pada
arah ini tidak begitu kuat.
Pola Sumatra sangat mendominasi di daerah Sub-Cekungan Palembang
(Pulunggono dan Cameron, 1984). Manifestasi struktur Pola Lematang saat ini berupa
perlipatan yang berasosiasi dengan sesar naik yang terbentuk akibat gaya kompresi
Plio-Pleistosen. Struktur geologi berarah utara-selatan atau Pola Sunda juga terlihat di
Cekungan Sumatra Selatan. Pola Sunda yang pada awalnya dimanifestasikan dengan
sesar normal, pada periode tektonik Plio-Pleistosen teraktifkan kembali sebagai sesar
mendatar yang sering kali memperlihatkan pola perlipatan di permukaan. Gambar
Elemen Struktur Utama pada Cekungan Sumatra Selatan. Orientasi
Timurlaut-baratdaya atau Utara-Selatan Menunjukkan Umur Eo-Oligosen dan
Struktur Inversi Menunjukkan Umur Plio-Pleistosen (Ginger dan Fielding, 2005).
C. Perkembangan Tektonik Pulau Sumatra
Peristiwa Tektonik yang berperan dalam perkembangan Pulau Sumatra dan
Cekungan Sumatra Selatan menurut Pulonggono dkk (1992) adalah: Fase kompresi
yang berlangsung dari Jurasik awal sampai Kapur. Tektonik ini menghasilkan sesar
geser dekstral WNW – ESE seperti Sesar Lematang, Kepayang, Saka, Pantai Selatan
Lampung, Musi Lineament dan N – S trend. Terjadi wrench movement dan intrusi
granit berumur Jurasik – Kapur. Fase tensional pada Kapur Akhir sampai Tersier Awal
yang menghasilkan sesar normal dan sesar tumbuh berarah N – S dan WNW – ESE.
Sedimentasi mengisi cekungan atau terban di atas batuan dasar bersamaan dengan
kegiatan gunung api. Terjadi pengisian awal dari cekungan yaitu Formasi Lahat
Fase ketiga yaitu adanya aktivitas tektonik Miosen atau Intra Miosen menyebabkan
pengangkatan tepi-tepi cekungan dan diikuti pengendapan bahan-bahan klastika. Yaitu
terendapkannya Formasi Talang Akar, Formasi Baturaja, Formasi Gumai, Formasi Air
Benakat, dan Formasi Muara Enim.
Fase keempat berupa gerak kompresional pada Plio-Plistosen menyebabkan sebagian
Formasi Air Benakat dan Formasi Muara Enim telah menjadi tinggian tererosi,
sedangkan pada daerah yang relatif turun diendapkan Formasi Kasai. Selanjutnya,
terjadi pengangkatan dan perlipatan berarah barat laut di seluruh daerah cekungan
yang mengakhiri pengendapan Tersier di Cekungan Sumatra Selatan. Selain itu terjadi
aktivitas volkanisme pada cekungan belakang busur.
Sistem Subduksi Sumatra
Pada akhir Miosen, Pulau Sumatera mengalami rotasi searah jarum jam. Pada zaman
Pliopleistosen, arah struktur geologi berubah menjadi barat daya-timur laut, di mana
aktivitas tersebut terus berlanjut hingga kini. Hal ini disebabkan oleh pembentukan
letak samudera di Laut Andaman dan tumbukan antara Lempeng Mikro Sunda dan
Lempeng India-Australia terjadi pada sudut yang kurang tajam. Terjadilah kompresi
tektonik global dan lahirnya kompleks subduksi sepanjang tepi barat Pulau Sumatera
dan pengangkatan Pegunungan Bukit Barisan pada zaman Pleistosen.
Penunjaman yang terjadi di sebelah barat Sumatra tidak benar-benar tegak lurus
terhadap arah pergerakan Lempeng India-Australia dan Lempeng Eurasia. Lempeng
Eurasia bergerak relatif ke arah tenggara, sedangkan Lempeng India-Australia
bergerak relatif ke arah timurlaut. Karena tidak tegak lurus inilah maka Pulau Sumatra
dirobek sesar mendatar (garis jingga) yang dikenal dengan nama Sesar Semangko.
Penunjaman Lempeng India – Australia juga mempengaruhi geomorfologi Pulau
Sumatera. Adanya penunjaman menjadikan bagian barat Pulau Sumatera terangkat,
sedangkan bagian timur relatif turun. Hal ini menyebabkan bagian barat mempunyai
dataran pantai yang sempit dan kadang-kadang terjal. Pada umumnya, terumbu karang
lebih berkembang dibandingkan berbagai jenis bakau. Bagian timur yang turun akan
menerima tanah hasil erosi dari bagian barat (yang bergerak naik), sehingga bagian
timur memiliki pantai yang datar lagi luas. Di bagian timur, gambut dan bakau lebih
berkembang dibandingkan terumbu karang.
Sistem Sesar Sumatra
Di pulau Sumatera, pergerakan lempeng India dan Australia yang mengakibatkan
kedua lempeng tersebut bertabrakan dan menghasilkan penunjaman menghasilkan
rangkaian busur pulau depan (forearch islands) yang non-vulkanik (seperti: P.
Simeulue, P. Banyak, P. Nias, P. Batu, P. Siberut hingga P. Enggano), rangkaian
pegunungan Bukit Barisan dengan jalur vulkanik di tengahnya, serta sesar aktif ’The
Great Sumatera Fault’ yang membelah Pulau Sumatera mulai dari Teluk Semangko
hingga Banda Aceh. Sesar besar ini menerus sampai ke Laut Andaman hingga Burma.
Patahan aktif Semangko ini diperkirakan bergeser sekitar sebelas sentimeter per tahun
dan merupakan daerah rawan gempa bumi dan tanah longsor.
Di samping patahan utama tersebut, terdapat beberapa patahan lainnya, yaitu:
Sesar Aneuk Batee, Sesar Samalanga-Sipopok, Sesar Lhokseumawe, dan Sesar
Blangkejeren. Khusus untuk Kota Banda Aceh dan Kabupaten Aceh Besar dihimpit
oleh dua patahan aktif, yaitu Darul Imarah dan Darussalam. Patahan ini terbentuk
sebagai akibat dari adanya pengaruh tekanan tektonik secara global dan lahirnya
kompleks subduksi sepanjang tepi barat Pulau Sumatera serta pengangkatan
Pegunungan Bukit Barisan. Daerah-daerah yang berada di sepanjang patahan tersebut
merupakan wilayah yang rawan gempa bumi dan tanah longsor, disebabkan oleh
adanya aktivitas kegempaan dan kegunungapian yang tinggi. Banda Aceh sendiri
merupakan suatu dataran hasil amblesan sejak Pliosen, hingga terbentuk sebuah
graben. Dataran yang terbentuk tersusun oleh batuan sedimen, yang berpengaruh
besar jika terjadi gempa bumi di sekitarnya.
Penunjaman Lempeng India – Australia juga mempengaruhi geomorfologi Pulau
Sumatera. Adanya penunjaman menjadikan bagian barat Pulau Sumatera terangkat,
sedangkan bagian timur relatif turun. Hal ini menyebabkan bagian barat mempunyai
dataran pantai yang sempit dan kadang-kadang terjal. Pada umumnya, terumbu karang
lebih berkembang dibandingkan berbagai jenis bakau. Bagian timur yang turun akan
menerima tanah hasil erosi dari bagian barat (yang bergerak naik), sehingga bagian
timur memiliki pantai yang datar lagi luas. Di bagian timur, gambut dan bakau lebih
berkembang dibandingkan terumbu karang.
Sejarah tektonik Pulau Sumatera berhubungan erat dengan dimulainya peristiwa
pertumbukan antara lempeng India-Australia dan Asia Tenggara, sekitar 45,6 juta
tahun lalu, yang mengakibatkan rangkaian perubahan sistematis dari pergerakan
relatif lempeng-lempeng disertai dengan perubahan kecepatan relatif antar
lempengnya berikut kegiatan ekstrusi yang terjadi padanya. Gerak lempeng
India-Australia yang semula mempunyai kecepatan 86 milimeter / tahun menurun
secara drastis menjadi 40 milimeter/tahun karena terjadi proses tumbukan tersebut.
Penurunan kecepatan terus terjadi sehingga tinggal 30 milimeter/tahun pada awal
proses konfigurasi tektonik yang baru (Char-shin Liu et al, 1983 dalam Natawidjaja,
1994). Setelah itu kecepatan mengalami kenaikan yang mencolok sampai sekitar 76
milimeter/tahun (Sieh, 1993 dalam Natawidjaja, 1994). Proses tumbukan ini, menurut
teori “indentasi” pada akhirnya mengakibatkan terbentuknya banyak sistem sesar
geser di bagian sebelah timur India, untuk mengakomodasikan perpindahan massa
secara tektonik (Tapponier dkk, 1982).
D. Periode Tektonik Pulau Sumtera
Penjelasan mengenai periode tektonik wilayah sumatera terbagi menjadi 3 daerah
berdasarkan letak cekungan yang ada di sumatera yaitu cekungan Bengkulu yang
menandakan forearc basin, cekungan Sumateratengah yaitu central basin dan
cekungan Sumatera Selatan yang merupakan backarc basin. Berikut adalah penjelasan
masing – masingperiode yang terjadi di masing – masing cekungan tersebut.
a. Cekungan Bengkulu (forearc basin)
Cekungan Bengkulu adalah salah satu cekungan forearc di Indonesia. Cekungan
forearc artinya cekungan yang berposisi di depan jalur volkanik (fore – arc ; arc =
jalur volkanik). Berdasarkan berbagai kajian geologi, disepakati bahwa Pegunungan
Barisan( dalam hal ini adalah volcanic arc -nya) mulai naik di sebelah barat Sumatra
pada Miosen Tengah. Pengaruhnya kepada Cekungan Bengkulu adalah bahwa
sebelum Misoen Tengah berarti tidakada forearc basin Bengkulu sebab pada saat itu
arc -nya sendiri tidak ada.Sebelum Miosen Tengah, atau Paleogen, Cekungan
Bengkulu masih merupakan bagian paling barat Cekungan Sumatera Selatan. Lalu
pada periode setelah Miosen Tengah atau Neogen, setelah Pegunungan Barisan naik,
Cekungan Bengkulu dipisahkan dari Cekungan Sumatera Selatan. Mulai saat
itulah,Cekungan Bengkulu menjadi cekungan forearc dan CekunganSumatera Selatan
menjadi cekungan backarc (belakang busur).
Sejarah penyatuan dan pemisahan Cekungan Bengkulu dari Cekungan Sumatera
Selatan dapat dipelajari dari stratigrafi Paleogen dan Neogen kedua cekungan itu.
Dapat diamati bahwa pada Paleogen, stratigrafi kedua cekungan hampir sama.
Keduanya mengembangkan sistem graben di beberapa tempat. Di Cekungan
Bengkulu ada Graben Pagarjati, Graben Kedurang-Manna, Graben Ipuh (pada saat
yang sama di Cekungan SumateraSelatan saat itu ada graben-graben Jambi,
Palembang, Lematang,dan Kepahiang). Tetapi setelah Neogen, Cekungan Bengkulu
masuk kepada cekungan yang lebih dalam daripada Cekungan Sumatera Selatan,
dibuktikan oleh berkembangnya terumbu –terumbu karbonat yang masif pada Miosen
Atas yang hampir ekivalen secara umur dengan karbonat Parigi di Jawa Barat
(paraoperator yang pernah bekerja di Bengkulu menyebutnya sebagai karbonat Parigi
juga). Pada saat yang sama, di Cekungan Sumatera Selatan lebih banyak
sedimen-sedimen regresif (Formasi Air Benakat/Lower Palembang dan Muara
Enim/Middle Palembang) karena cekungan sedang mengalami pengangkatan dan
inversi.Secara tektonik, mengapa terjadi perbedaan stratigrafi pada Neogen di
Cekungan Bengkulu yaitu disebabkan Cekungan Bengkulu dalam fase
penenggelaman sementara Cekungan Sumatera Selatan sedang terangkat.
b. Cekungan Sumatera Tengah (central basin)
Pola struktur yang ada saat ini di Cekungan Sumatra Tengah merupakan hasil
sekurang-kurangnya 3 (tiga) fase tektonikutama yang terpisah, yaitu Orogenesa
Mesozoikum Tengah,Tektonik Kapur Akhir-Tersier Awal, dan Orogenesa
Plio-Plistosen(De Coster, 1974).Heidrick dan Aulia (1993), membahas secara
terperinci tentang perkembangan tektonik di Cekungan Sumatra Tengah dengan
membaginya menjadi 3 (tiga) episode tektonik, F1 (fase 1)berlangsung pada
Eosen-Oligosen, F2 (fase 2) berlangsung padaMiosen Awal-Miosen Tengah, dan F3
(fase 3) berlangsung pada Miosen Tengah-Resen. Fase sebelum F1 disebut sebagai
fase 0 (F0) yang berlangsung pada Pra Tersier.1. Episode F0 (Pre-Tertiary)Batuan
dasar Pra Tersier di Cekungan Sumatra Tengah terdiri dari lempeng-lempeng benua
dan samudera yang berbentuk mozaik. Orientasi struktur pada batuan dasar
memberikan efek pada lapisan sedimen Tersier yang menumpang di atasnya dan
kemudian mengontrol arah tarikan dan pengaktifan ulang yang terjadi kemudian. Pola
struktur tersebut disebut sebagai elemen struktur F0.
Ada 2 (dua) struktur utama pada batuan dasar. Pertama kelurusan utara -selatan
yang merupakan sesar geser (Transform/WrenchTectonic) berumur Karbon dan
mengalami reaktifisasi selama Permo-Trias, Jura, Kapur dan Tersier.
Tinggian-tinggian yang terbentuk pada fase ini adalah Tinggian Mutiara, Kampar,
Napuh, Kubu, Pinang dan Ujung Pandang. Tinggian –tinggian tersebut menjadi batas
yang penting pada pengendapan sedimen selanjutnya.2. Episode F1 (26 – 50 Ma)
Episode F1 berlangsung pada kala Eosen-Oligosendisebut juga Rift Phase. Pada
F1 terjadi deformasi akibat Rifting dengan arah Strike timur laut, diikuti oleh
reaktifisasi struktur-struktur tua. Akibat tumbukan Lempeng Samudera Hindia
terhadap Lempeng Benua Asia pada 45 Ma terbentuklah suatu sistem rekahan
Transtensional yang memanjang ke arah selatan dari Cina bagian selatan ke Thailand
dan ke Malaysia hingga Sumatra dan Kalimantan Selatan (Heidrick & Aulia,1993).
Perekahan ini membentuk serangkaian Horst dan Graben di Cekungan Sumatra
Tengah. Horst-Graben ini kemudian menjadi danau tempat diendapkannya
sedimen-sedimen Kelompok Pematang.
Pada akhir F1 terjadi peralihan dari perekahan menjadi penurunan cekungan
ditandai oleh pembalikan struktur yang lemah, denudasi dan pembentukan daratan
Peneplain. Hasil dari erosi tersebut berupa paleosol yang diendapkan di atas Formasi
Upper Red Bed.3. Episode F2 (13 – 26 Ma) Episode F2 berlangsung pada kala
Miosen Awal-Miosen Tengah. Pada kala Miosen Awal terjadi fase amblesan
(sagphase), diikuti oleh pembentukan Dextral Wrench Fault secararegional dan
pembentukan Transtensional Fracture Zone. Pada struktur tua yang berarah
utara-selatan terjadi Release,sehingga terbentuk Listric Fault, Normal Fault, Graben,
dan Half Graben. Struktur yang terbentuk berarah relatif barat laut-tenggara. Pada
episode F2, Cekungan Sumatra Tengah mengalami transgresi dan sedimen-sedimen
dari Kelompok Sihapas diendapkan.4.
Episode F3 (13-Recent) Episode F3 berlangsung pada kala Miosen
Tengah-Resendisebut juga Barisan Compressional Phase. Pada episode F3 terjadi
pembalikan struktur akibat gaya kompresi menghasilkan reverse dan Thrust Fault di
sepanjang jalur Wrench Fault yang terbentuk sebelumnya. Proses kompresi ini terjadi
bersamaan dengan pembentukan Dextral Wrench Fault di sepanjang Bukit Barisan.
Struktur yang terbentuk umumnya berarah barat laut-tenggara. Pada episode F3
Cekungan Sumatra Tengah mengalami regresi dan sedimen-sedimen Formasi Petani
diendapkan, diikuti pengendapan sedimen-sedimen Formasi Minas secara tidak
selaras.
c. Cekungan Sumatera Selatan ( backarc basin)
Blake (1989) menyebutkan bahwa daerah Cekungan Sumatera Selatan
merupakan cekungan busur belakang berumur Tersier yang terbentuk sebagai akibat
adanya interaksi antara Paparan Sunda (sebagai bagian dari lempeng kontinen Asia)
dan lempeng Samudera India. Daerah cekungan ini meliputi daerah seluas 330 x 510
km2, dimana sebelah barat daya dibatasi olehsingkapan Pra-Tersier Bukit Barisan, di
sebelah timur oleh PaparanSunda (Sunda Shield), sebelah barat dibatasi oleh
Pegunungan Tiga puluh dan ke arah tenggara dibatasi oleh Tinggian
Lampung.Menurut De Coster, 1974 (dalam Salim, 1995), diperkirakantelah terjadi 3
episode orogenesa yang membentuk kerangka struktur daerah Cekungan Sumatera
Selatan yaitu orogenesa Mesozoik Tengah, tektonik Kapur Akhir – Tersier Awal dan
Orogenesa Plio – Plistosen. Episode pertama, endapan – endapan Paleozoik
danMesozoik termetamorfosa, terlipat dan terpatahkan menjadi bongkah struktur dan
diintrusi oleh batolit granit serta telah membentuk pola dasar struktur cekungan.
Menurut Pulunggono,1992 (dalam Wisnu dan Nazirman ,1997), fase ini
membentuk sesar berarah barat laut-tenggara yang berupa sesar – sesar geser.Episode
kedua pada Kapur Akhir berupa fase ekstensi menghasilkan gerak – gerak tensional
yang membentuk grabendan horst dengan arah umum utara – selatan.
Dikombinasikan dengan hasil orogenesa Mesozoik dan hasil pelapukan batuan
-batuan Pra – Tersier, gerak gerak tensional ini membentuk struktur tua yang
mengontrol pembentukan Formasi Pra – Talang Akar. Episode ketiga berupa fase
kompresi pada Plio –Plistosen yang menyebabkan pola pengendapan berubah menjadi
regresi dan berperan dalam pembentukan struktur perlipatan dan sesar sehingga
membentuk konfigurasi geologi sekarang. Pada periode tektonik ini juga terjadi
pengangkatan Pegunungan Bukit Barisan yang menghasilkan sesar mendatar
Semangko yang berkembang sepanjang Pegunungan Bukit Barisan. Pergerakan
horisontal yang terjadi mulai Plistosen Awal sampai sekarang mempengaruhi kondisi
Cekungan Sumatera Selatan dan Tengah sehingga sesar -sesar yang baru terbentuk di
daerah ini mempunyai perkembangan hampir sejajar dengan sesar Semangko. Akibat
pergerakan horisontal ini, orogenesa yang terjadi pada Plio-Plistosen menghasilkan
lipatan yang berarah barat laut-tenggara tetapi sesar yang terbentuk berarah timur
laut-barat daya dan barat laut- tenggara. Jenis sesar yang terdapat pada cekungan ini
adalah sesar naik, sesar mendatar dan sesar normal. Kenampakan struktur yang
dominan adalah struktur yang berarah barat laut-tenggara sebagai hasil orogenesa
Plio-Plistosen. Dengan demikian pola struktur yang terjadi dapat dibedakan atas pola
tua yang berarah utara-selatan dan barat laut-tenggara serta pola muda yang berarah
barat laut-tenggara yang sejajar dengan Pulau Sumatera.
E. Kesimpulan
Pulau Sumatera secara garis besar terdiri dari 3 sistem Tektonik, yakni Sistem
Subduksi Sumatera; system sesar Mentawai (Mentawai Fault System); dan Sistem
Sesar Sumatera (Sumatera Fault System). Berdasarkan rekonstruksi geologi oleh
Robert Hall (2000), awal pembentukan wilayah Sumatera dimulai sekitar 50 juta
tahun lalu (awal Eosen). Sedikitnya terdapat 19 Segmen sesar dengan panjang tiap
segmen ±60-200 km; yang merupakan bagian dari Sistem Sesar Sumatera (Sumatera
Fault System) dengan panjang ±1900 km. Danau Toba yang berada di pulau Sumatera
merupakan salah satu bukti nyata Super Volcano dan merupakan sisa dari Letusan
Kaldera mahadahsyat terbesar (skala 8 VEI).
DAFTAR PUSTAKA
Buga,
Ismail.
2013.
Geologi
dan
Geomorfologi
Http://smile-nd.blogspot.com (diakses 2 Maret 2014)
Pulau
Sumatera.
Hertanto, H.B. 2012. Lempeng Tektonik Indonesia. Http://geoenviron.blogspot.com
(diakses 2 maret 2014)Geomorfologi Sumatera (National Geographic).
Download