Analisis Lanskap Terpadu “Perkembangan Vulkanik Pulau

advertisement
Analisis Lanskap Terpadu
“Perkembangan Vulkanik Pulau Sumatera”
Oleh :
PUTRI ASTRIA 115040201111319
PROGRAM STUDI AGROEKOTEKNOLOGI
MINAT MANAJEMEN SUMBER DAYA LAHAN
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
2014
Perkembangan Tektonik Pulau Sumatra
Indonesia merupakan daerah pertemuan 3 lempeng tektonik besar, yaitu lempeng
Indo-Australia, Eurasia dan lempeng Pasific. Lempeng Indo-Australia bertabrakan
dengan lempeng Eurasia di lepas pantai Sumatra, Jawa dan Nusatenggara, sedangkan
dengan Pasific di utara Irian dan Maluku utara. Salah satu hasil pertemuan ketiga ini
membentuk pulau Sumatra.
A. Gambaran Umum
Indonesia merupakan daerah pertemuan 3 lempeng tektonik besar, yaitu lempeng
Indo-Australia, Eurasia dan lempeng Pasific. Lempeng Indo-Australia bertabrakan
dengan lempeng Eurasia di lepas pantai Sumatra, Jawa dan Nusatenggara, sedangkan
dengan Pasific di utara Irian dan Maluku utara. Di sekitar lokasi pertemuan lempeng ini
akumulasi energi tabrakan terkumpul sampai suatu titik dimana lapisan bumi tidak lagi
sanggup menahan tumpukan energi sehingga lepas berupa gempa bumi.
Pertemuan lempeng Indo-Australia dengan Eurasia di selatan Jawa hampir tegak lurus,
berbeda dengan pertemuan lempeng di wilayah Sumatera yang mempunyai subduksi
miring dengan kecepatan 5-6 cm/tahun (Bock, 2000).
Pulau Sumatera dicirikan oleh tiga sistem tektonik. Berurutan dari barat ke timur adalah
sebagai berikut: zona subduksi oblique dengan sudut penunjaman yang landai, sesar
Mentawai dan zona sesar besar Sumatera. Zona subduksi di Pulau Sumatera, yang
sering sekali menimbulkan gempa tektonik, memanjang membentang sampai ke Selat
Sunda dan berlanjut hingga selatan Pulau Jawa. Subsuksi ini mendesak lempeng
Eurasia dari bawah Samudera Hindia ke arah barat laut di Sumatera dan frontal ke utara
terhadap Pulau Jawa, dengan kecepatan pergerakan yang bervariasi. Puluhan hingga
ratusan tahun, dua lempeng itu saling menekan. Namun lempeng Indo-Australia dari
selatan bergerak lebih aktif. Pergerakannya yang hanya beberapa millimeter hingga
beberapa sentimeter per tahun ini memang tidak terasa oleh manusia. Karena dorongan
lempeng Indo-Australia terhadap bagian utara Sumatera kecepatannya hanya 5,2 cm
per tahun, sedangkan yang di bagian selatannya kecepatannya 6 cm per tahun.
Pergerakan lempeng di daerah barat Sumatera yang miring posisinya ini lebih cepat
dibandingkan dengan penyusupan lempeng di selatan Jawa.
B. Kerangka Tektonik Pulau Sumatra
Pulau Sumatra terletak di baratdaya dari Kontinen Sundaland dan merupakan jalur
konvergensi antara Lempeng Hindia-Australia yang menyusup di sebelah barat
Lempeng Eurasia/Sundaland. Konvergensi lempeng menghasilkan subduksi sepanjang
Palung Sunda dan pergerakan lateral menganan dari Sistem Sesar Sumatra.
Gambar Pembentukan Cekungan Belakang Busur di Pulau Sumatra
(Barber dkk, 2005).
Subduksi dari Lempeng Hindia-Australia dengan batas Lempeng Asia pada masa
Paleogen diperkirakan telah menyebabkan rotasi Lempeng Asia termasuk Sumatra
searah jarum jam. Perubahan posisi Sumatra yang sebelumnya berarah E-W menjadi
SE-NW dimulai pada Eosen-Oligosen. Perubahan tersebut juga mengindikasikan
meningkatnya pergerakan sesar mendatar Sumatra seiring dengan rotasi. Subduksi
oblique dan pengaruh sistem mendatar Sumatra menjadikan kompleksitas regim stress
dan pola strain pada Sumatra (Darman dan Sidi, 2000). Karakteristik Awal Tersier
Sumatra ditandai dengan pembentukkan cekungan-cekungan belakang busur sepanjang
Pulau Sumatra, yaitu Cekungan Sumatra Utara, Cekungan Sumatra Tengah, dan
Cekungan Sumatra Selatan (Gambar Diatas).
Pulau Sumatra diinterpretasikan dibentuk oleh kolisi dan suturing dari mikrokontinen
di Akhir Pra-Tersier (Pulunggono dan Cameron, 1984; dalam Barber dkk, 2005).
Sekarang Lempeng Samudera Hindia subduksi di bawah Lempeng Benua Eurasia pada
arah N20°E dengan rata-rata pergerakannya 6 – 7 cm/tahun. Konfigurasi cekungan
pada daerah Sumatra berhubungan langsung dengan kehadiran dari subduksi yang
menyebabkan non-volcanic fore-arc dan volcano-plutonik back-arc. Sumatra dapat
dibagi menjadi 5 bagian (Darman dan Sidi, 2000):
1. Sunda outer-arc ridge, berada sepanjang batas cekungan fore-arc Sunda dan
yang memisahkan dari lereng trench.
2. Cekungan Fore-arc Sunda, terbentang antara akresi non-vulkanik punggungan
outer-arc dengan bagian di bawah permukaan dan volkanik back-arc Sumatra.
3. Cekungan Back-arc Sumatra, meliputi Cekungan Sumatra Utara, Tengah, dan
Selatan. Sistem ini berkembang sejalan dengan depresi yang berbeda pada
bagian bawah Bukit Barisan.
4. Bukit Barisan, terjadi pada bagian axial dari pulaunya dan terbentuk terutama
pada Perm-Karbon hingga batuan Mesozoik.
5. Intra-arc Sumatra, dipisahkan oleh uplift berikutnya dan erosi dari daerah
pengendapan terdahulu sehingga memiliki litologi yang mirip pada fore-arc
dan back-arc basin.
Struktur Utama Cekungan Sumatra Selatan
Menurut Salim dkk (1995) Cekungan Sumatra Selatan merupakan cekungan belakang
busur karena berada di belakang Pegunungan Barisan sebagai volcanic-arc-nya.
Cekungan ini berumur Tersier yang terbentuk sebagai akibat adanya interaksi antara
Paparan Sunda sebagai bagian dari Lempeng Kontinen Asia dan Lempeng Samudera
India. Daerah cekungan ini meliputi daerah seluas 330 x 510 km2, bagian barat daya
dibatasi oleh singkapan Pra-Tersier Bukit Barisan, di sebelah timur oleh Paparan Sunda
(Sundaland), sebelah barat dibatasi oleh Pegunungan Tigapuluh dan ke arah tenggara
dibatasi oleh Tinggian Lampung.
Menurut Suta dan Xiaoguang (2005; dalam Satya, 2010) perkembangan struktur
maupun evolusi cekungan sejak Tersier merupakan hasil interaksi dari ketiga arah
struktur utama yaitu, berarah timurlaut-baratdaya atau disebut Pola Jambi, berarah
baratlaut-tenggara atau disebut Pola Sumatra, dan berarah utara-selatan atau disebut
Pola Sunda. Hal inilah yang membuat struktur geologi di daerah Cekungan Sumatra
Selatan lebih kompleks dibandingkan cekungan lainnya di Pulau Sumatra. Struktur
geologi berarah timurlaut-baratdaya atau Pola Jambi sangat jelas teramati di
Sub-Cekungan Jambi. Terbentuknya struktur berarah timurlaut-baratdaya di daerah ini
berasosiasi dengan terbentuknya sistem graben di Cekungan Sumatra Selatan. Struktur
lipatan yang berkembang pada Pola Jambi diakibatkan oleh pengaktifan kembali
sesar-sesar normal tersebut pada periode kompresif Plio-Plistosen yang berasosiasi
dengan sesar mendatar (wrench fault). Namun, intensitas perlipatan pada arah ini tidak
begitu kuat.
Pola Sumatra sangat mendominasi di daerah Sub-Cekungan Palembang (Pulunggono
dan Cameron, 1984). Manifestasi struktur Pola Lematang saat ini berupa perlipatan
yang berasosiasi dengan sesar naik yang terbentuk akibat gaya kompresi
Plio-Pleistosen. Struktur geologi berarah utara-selatan atau Pola Sunda juga terlihat di
Cekungan Sumatra Selatan. Pola Sunda yang pada awalnya dimanifestasikan dengan
sesar normal, pada periode tektonik Plio-Pleistosen teraktifkan kembali sebagai sesar
mendatar yang sering kali memperlihatkan pola perlipatan di permukaan.
Gambar Elemen Struktur Utama pada Cekungan Sumatra Selatan. Orientasi
Timurlaut-baratdaya atau Utara-Selatan Menunjukkan Umur Eo-Oligosen dan Struktur
Inversi Menunjukkan Umur Plio-Pleistosen (Ginger dan Fielding, 2005).
C. Perkembangan Tektonik Pulau Sumatra
Peristiwa Tektonik yang berperan dalam perkembangan Pulau Sumatra dan Cekungan
Sumatra Selatan menurut Pulonggono dkk (1992) adalah:
Fase kompresi yang berlangsung dari Jurasik awal sampai Kapur. Tektonik ini
menghasilkan sesar geser dekstral WNW – ESE seperti Sesar Lematang, Kepayang,
Saka, Pantai Selatan Lampung, Musi Lineament dan N – S trend. Terjadi wrench
movement dan intrusi granit berumur Jurasik – Kapur.
Gambar Fase Kompresi Jurasik Awal Sampai Kapur dan Elipsoid
Model (Pulonggono dkk, 1992).
Fase tensional pada Kapur Akhir sampai Tersier Awal yang menghasilkan sesar normal
dan sesar tumbuh berarah N – S dan WNW – ESE. Sedimentasi mengisi cekungan atau
terban di atas batuan dasar bersamaan dengan kegiatan gunung api. Terjadi pengisian
awal dari cekungan yaitu Formasi Lahat.
Gambar Fase Tensional Kapur Akhir Sampai Tersier Awal dan Elipsoid Model
(Pulonggono dkk, 1992).

Fase ketiga yaitu adanya aktivitas tektonik Miosen atau Intra Miosen
menyebabkan pengangkatan tepi-tepi cekungan dan diikuti pengendapan
bahan-bahan klastika. Yaitu terendapkannya Formasi Talang Akar, Formasi
Baturaja, Formasi Gumai, Formasi Air Benakat, dan Formasi Muara Enim.
Fase keempat berupa gerak kompresional pada Plio-Plistosen menyebabkan sebagian
Formasi Air Benakat dan Formasi Muara Enim telah menjadi tinggian tererosi,
sedangkan pada daerah yang relatif turun diendapkan Formasi Kasai. Selanjutnya,
terjadi pengangkatan dan perlipatan berarah barat laut di seluruh daerah cekungan yang
mengakhiri pengendapan Tersier di Cekungan Sumatra Selatan. Selain itu terjadi
aktivitas volkanisme pada cekungan belakang busur.
Gambar Fase Kompresi Miosen Tengah Sampai Sekarang dan Elipsoid Model
(Pulonggono dkk, 1992).
Sistem Subduksi Sumatra
Pada akhir Miosen, Pulau Sumatera mengalami rotasi searah jarum jam. Pada zaman
Pliopleistosen, arah struktur geologi berubah menjadi barat daya-timur laut, di mana
aktivitas tersebut terus berlanjut hingga kini. Hal ini disebabkan oleh pembentukan
letak samudera di Laut Andaman dan tumbukan antara Lempeng Mikro Sunda dan
Lempeng India-Australia terjadi pada sudut yang kurang tajam. Terjadilah kompresi
tektonik global dan lahirnya kompleks subduksi sepanjang tepi barat Pulau Sumatera
dan pengangkatan Pegunungan Bukit Barisan pada zaman Pleistosen.
Pada akhir Miosen Tengah sampai Miosen Akhir, terjadi kompresi pada Laut
Andaman. Sebagai akibatnya, terbentuk tegasan yang berarah NNW-SSE
menghasilkan patahan berarah utara-selatan. Sejak Pliosen sampai kini, akibat
kompresi terbentuk tegasan yang berarah NNE-SSW yang menghasilkan sesar berarah
NE-SW, yang memotong sesar yang berarah utara-selatan.
Di Sumatera, penunjaman tersebut juga menghasilkan rangkaian busur pulau depan
(forearch islands) yang non-vulkanik (seperti: P. Simeulue, P. Banyak, P. Nias, P. Batu,
P. Siberut hingga P. Enggano), rangkaian pegunungan Bukit Barisan dengan jalur
vulkanik di tengahnya, serta sesar aktif ’The Great Sumatera Fault’ yang membelah
Pulau Sumatera mulai dari Teluk Semangko hingga Banda Aceh. Sesar besar ini
menerus sampai ke Laut Andaman hingga Burma. Patahan aktif Semangko ini
diperkirakan bergeser sekitar sebelas sentimeter per tahun dan merupakan daerah
rawan gempa bumi dan tanah longsor.
Penunjaman yang terjadi di sebelah barat Sumatra tidak benar-benar tegak lurus
terhadap arah pergerakan Lempeng India-Australia dan Lempeng Eurasia. Lempeng
Eurasia bergerak relatif ke arah tenggara, sedangkan Lempeng India-Australia bergerak
relatif ke arah timurlaut. Karena tidak tegak lurus inilah maka Pulau Sumatra dirobek
sesar mendatar (garis jingga) yang dikenal dengan nama Sesar Semangko.
Penunjaman Lempeng India – Australia juga mempengaruhi geomorfologi Pulau
Sumatera. Adanya penunjaman menjadikan bagian barat Pulau Sumatera terangkat,
sedangkan bagian timur relatif turun. Hal ini menyebabkan bagian barat mempunyai
dataran pantai yang sempit dan kadang-kadang terjal. Pada umumnya, terumbu karang
lebih berkembang dibandingkan berbagai jenis bakau. Bagian timur yang turun akan
menerima tanah hasil erosi dari bagian barat (yang bergerak naik), sehingga bagian
timur memiliki pantai yang datar lagi luas. Di bagian timur, gambut dan bakau lebih
berkembang dibandingkan terumbu karang.
Sistem Sesar Sumatra
Di pulau Sumatera, pergerakan lempeng India dan Australia yang mengakibatkan
kedua lempeng tersebut bertabrakan dan menghasilkan penunjaman menghasilkan
rangkaian busur pulau depan (forearch islands) yang non-vulkanik (seperti: P.
Simeulue, P. Banyak, P. Nias, P. Batu, P. Siberut hingga P. Enggano), rangkaian
pegunungan Bukit Barisan dengan jalur vulkanik di tengahnya, serta sesar aktif ’The
Great Sumatera Fault’ yang membelah Pulau Sumatera mulai dari Teluk Semangko
hingga Banda Aceh. Sesar besar ini menerus sampai ke Laut Andaman hingga Burma.
Patahan aktif Semangko ini diperkirakan bergeser sekitar sebelas sentimeter per tahun
dan merupakan daerah rawan gempa bumi dan tanah longsor.
Di samping patahan utama tersebut, terdapat beberapa patahan lainnya, yaitu: Sesar
Aneuk Batee, Sesar Samalanga-Sipopok, Sesar Lhokseumawe, dan Sesar
Blangkejeren. Khusus untuk Kota Banda Aceh dan Kabupaten Aceh Besar dihimpit
oleh dua patahan aktif, yaitu Darul Imarah dan Darussalam. Patahan ini terbentuk
sebagai akibat dari adanya pengaruh tekanan tektonik secara global dan lahirnya
kompleks subduksi sepanjang tepi barat Pulau Sumatera serta pengangkatan
Pegunungan Bukit Barisan. Daerah-daerah yang berada di sepanjang patahan tersebut
merupakan wilayah yang rawan gempa bumi dan tanah longsor, disebabkan oleh
adanya aktivitas kegempaan dan kegunungapian yang tinggi. Banda Aceh sendiri
merupakan suatu dataran hasil amblesan sejak Pliosen, hingga terbentuk sebuah
graben. Dataran yang terbentuk tersusun oleh batuan sedimen, yang berpengaruh besar
jika terjadi gempa bumi di sekitarnya.
Penunjaman Lempeng India – Australia juga mempengaruhi geomorfologi Pulau
Sumatera. Adanya penunjaman menjadikan bagian barat Pulau Sumatera terangkat,
sedangkan bagian timur relatif turun. Hal ini menyebabkan bagian barat mempunyai
dataran pantai yang sempit dan kadang-kadang terjal. Pada umumnya, terumbu karang
lebih berkembang dibandingkan berbagai jenis bakau. Bagian timur yang turun akan
menerima tanah hasil erosi dari bagian barat (yang bergerak naik), sehingga bagian
timur memiliki pantai yang datar lagi luas. Di bagian timur, gambut dan bakau lebih
berkembang dibandingkan terumbu karang.
Sejarah tektonik Pulau Sumatera berhubungan erat dengan dimulainya peristiwa
pertumbukan antara lempeng India-Australia dan Asia Tenggara, sekitar 45,6 juta
tahun lalu, yang mengakibatkan rangkaian perubahan sistematis dari pergerakan relatif
lempeng-lempeng disertai dengan perubahan kecepatan relatif antar lempengnya
berikut kegiatan ekstrusi yang terjadi padanya. Gerak lempeng India-Australia yang
semula mempunyai kecepatan 86 milimeter / tahun menurun secara drastis menjadi 40
milimeter/tahun karena terjadi proses tumbukan tersebut. Penurunan kecepatan terus
terjadi sehingga tinggal 30 milimeter/tahun pada awal proses konfigurasi tektonik yang
baru (Char-shin Liu et al, 1983 dalam Natawidjaja, 1994). Setelah itu kecepatan
mengalami kenaikan yang mencolok sampai sekitar 76 milimeter/tahun (Sieh, 1993
dalam Natawidjaja, 1994). Proses tumbukan ini, menurut teori “indentasi” pada
akhirnya mengakibatkan terbentuknya banyak sistem sesar geser di bagian sebelah
timur India, untuk mengakomodasikan perpindahan massa secara tektonik (Tapponier
dkk, 1982).
Keadaan Pulau Sumatera menunjukkan bahwa kemiringan penunjaman, punggungan
busur muka dan cekungan busur muka telah terfragmentasi akibat proses yang terjadi.
Kenyataan menunjukkan bahwa adanya transtensi (trans-tension) Paleosoikum
tektonik Sumatera menjadikan tatanan tektonik Sumatera menunjukkan adanya tiga
bagian pola (Sieh, 2000). Bagian selatan terdiri dari lempeng mikro Sumatera, yang
terbentuk sejak 2 juta tahun lalu dengan bentuk, geometri dan struktur sederhana,
bagian tengah cenderung tidak beraturan dan bagian utara yang tidak selaras dengan
pola penunjaman.
D. Periode Tektonik Pulau Sumtera
Penjelasan mengenai periode tektonik wilayah sumatera terbagi menjadi 3 daerah
berdasarkan letak cekungan yang ada di sumatera yaitu cekungan Bengkulu yang
menandakan forearc basin, cekungan Sumateratengah yaitu central basin dan cekungan
Sumatera Selatan yang merupakan backarc basin. Berikut adalah penjelasan masing –
masingperiode yang terjadi di masing – masing cekungan tersebut.
a.
Cekungan Bengkulu (forearc basin)
Cekungan Bengkulu adalah salah satu cekungan forearc di Indonesia. Cekungan
forearc artinya cekungan yang berposisi di depan jalur volkanik (fore – arc ; arc = jalur
volkanik). Berdasarkan berbagai kajian geologi, disepakati bahwa Pegunungan
Barisan( dalam hal ini adalah volcanic arc -nya) mulai naik di sebelah barat Sumatra
pada Miosen Tengah. Pengaruhnya kepada Cekungan Bengkulu adalah bahwa sebelum
Misoen Tengah berarti tidakada forearc basin Bengkulu sebab pada saat itu arc -nya
sendiri tidak ada.Sebelum Miosen Tengah, atau Paleogen, Cekungan Bengkulu masih
merupakan bagian paling barat Cekungan Sumatera Selatan. Lalu pada periode setelah
Miosen Tengah atau Neogen, setelah Pegunungan Barisan naik, Cekungan Bengkulu
dipisahkan dari Cekungan Sumatera Selatan. Mulai saat itulah,Cekungan Bengkulu
menjadi cekungan forearc dan CekunganSumatera Selatan menjadi cekungan backarc
(belakang busur).
Sejarah penyatuan dan pemisahan Cekungan Bengkulu dari Cekungan Sumatera
Selatan dapat dipelajari dari stratigrafi Paleogen dan Neogen kedua cekungan itu.
Dapat diamati bahwa pada Paleogen, stratigrafi kedua cekungan hampir sama.
Keduanya mengembangkan sistem graben di beberapa tempat. Di Cekungan Bengkulu
ada Graben Pagarjati, Graben Kedurang-Manna, Graben Ipuh (pada saat yang sama di
Cekungan SumateraSelatan saat itu ada graben-graben Jambi, Palembang,
Lematang,dan Kepahiang). Tetapi setelah Neogen, Cekungan Bengkulu masuk kepada
cekungan yang lebih dalam daripada Cekungan Sumatera Selatan, dibuktikan oleh
berkembangnya terumbu –terumbu karbonat yang masif pada Miosen Atas yang
hampir ekivalen secara umur dengan karbonat Parigi di Jawa Barat (paraoperator yang
pernah bekerja di Bengkulu menyebutnya sebagai karbonat Parigi juga). Pada saat yang
sama, di Cekungan Sumatera Selatan lebih banyak sedimen-sedimen regresif (Formasi
Air Benakat/Lower Palembang dan Muara Enim/Middle Palembang) karena cekungan
sedang mengalami pengangkatan dan inversi.Secara tektonik, mengapa terjadi
perbedaan stratigrafi pada Neogen di Cekungan Bengkulu yaitu disebabkan Cekungan
Bengkulu dalam fase penenggelaman sementara Cekungan Sumatera Selatan sedang
terangkat.
b.
Cekungan Sumatera Tengah (central basin)
Pola struktur yang ada saat ini di Cekungan Sumatra Tengah merupakan hasil
sekurang-kurangnya 3 (tiga) fase tektonikutama yang terpisah, yaitu Orogenesa
Mesozoikum Tengah,Tektonik Kapur Akhir-Tersier Awal, dan Orogenesa
Plio-Plistosen(De Coster, 1974).Heidrick dan Aulia (1993), membahas secara
terperinci tentang perkembangan tektonik di Cekungan Sumatra Tengah dengan
membaginya menjadi 3 (tiga) episode tektonik, F1 (fase 1)berlangsung pada
Eosen-Oligosen, F2 (fase 2) berlangsung padaMiosen Awal-Miosen Tengah, dan F3
(fase 3) berlangsung pada Miosen Tengah-Resen. Fase sebelum F1 disebut sebagai fase
0 (F0) yang berlangsung pada Pra Tersier.1. Episode F0 (Pre-Tertiary)Batuan dasar Pra
Tersier di Cekungan Sumatra Tengah terdiri dari lempeng-lempeng benua dan
samudera yang berbentuk mozaik. Orientasi struktur pada batuan dasar memberikan
efek pada lapisan sedimen Tersier yang menumpang di atasnya dan kemudian
mengontrol arah tarikan dan pengaktifan ulang yang terjadi kemudian. Pola struktur
tersebut disebut sebagai elemen struktur F0.
Ada 2 (dua) struktur utama pada batuan dasar. Pertama kelurusan utara -selatan yang
merupakan sesar geser (Transform/WrenchTectonic) berumur Karbon dan mengalami
reaktifisasi selama Permo-Trias, Jura, Kapur dan Tersier. Tinggian-tinggian yang
terbentuk pada fase ini adalah Tinggian Mutiara, Kampar, Napuh, Kubu, Pinang dan
Ujung Pandang. Tinggian –tinggian tersebut menjadi batas yang penting pada
pengendapan sedimen selanjutnya.2. Episode F1 (26 – 50 Ma)
Episode F1 berlangsung pada kala Eosen-Oligosendisebut juga Rift Phase. Pada F1
terjadi deformasi akibat Rifting dengan arah Strike timur laut, diikuti oleh reaktifisasi
struktur-struktur tua. Akibat tumbukan Lempeng Samudera Hindia terhadap Lempeng
Benua Asia pada 45 Ma terbentuklah suatu sistem rekahan Transtensional yang
memanjang ke arah selatan dari Cina bagian selatan ke Thailand dan ke Malaysia
hingga Sumatra dan Kalimantan Selatan (Heidrick & Aulia,1993). Perekahan ini
membentuk serangkaian Horst dan Graben di Cekungan Sumatra Tengah.
Horst-Graben ini kemudian menjadi danau tempat diendapkannya sedimen-sedimen
Kelompok Pematang.
Pada akhir F1 terjadi peralihan dari perekahan menjadi penurunan cekungan ditandai
oleh pembalikan struktur yang lemah, denudasi dan pembentukan daratan Peneplain.
Hasil dari erosi tersebut berupa paleosol yang diendapkan di atas Formasi Upper Red
Bed.3. Episode F2 (13 – 26 Ma) Episode F2 berlangsung pada kala Miosen
Awal-Miosen Tengah. Pada kala Miosen Awal terjadi fase amblesan (sagphase), diikuti
oleh pembentukan Dextral Wrench Fault secararegional dan pembentukan
Transtensional Fracture Zone. Pada struktur tua yang berarah utara-selatan terjadi
Release,sehingga terbentuk Listric Fault, Normal Fault, Graben, dan Half Graben.
Struktur yang terbentuk berarah relatif barat laut-tenggara. Pada episode F2, Cekungan
Sumatra Tengah mengalami transgresi dan sedimen-sedimen dari Kelompok Sihapas
diendapkan.4.
Episode F3 (13-Recent) Episode F3 berlangsung pada kala Miosen
Tengah-Resendisebut juga Barisan Compressional Phase. Pada episode F3 terjadi
pembalikan struktur akibat gaya kompresi menghasilkan reverse dan Thrust Fault di
sepanjang jalur Wrench Fault yang terbentuk sebelumnya. Proses kompresi ini terjadi
bersamaan dengan pembentukan Dextral Wrench Fault di sepanjang Bukit Barisan.
Struktur yang terbentuk umumnya berarah barat laut-tenggara. Pada episode F3
Cekungan Sumatra Tengah mengalami regresi dan sedimen-sedimen Formasi Petani
diendapkan, diikuti pengendapan sedimen-sedimen Formasi Minas secara tidak selaras.
c.
Cekungan Sumatera Selatan ( backarc basin)
Blake (1989) menyebutkan bahwa daerah Cekungan Sumatera Selatan merupakan
cekungan busur belakang berumur Tersier yang terbentuk sebagai akibat adanya
interaksi antara Paparan Sunda (sebagai bagian dari lempeng kontinen Asia) dan
lempeng Samudera India. Daerah cekungan ini meliputi daerah seluas 330 x 510 km2,
dimana sebelah barat daya dibatasi olehsingkapan Pra-Tersier Bukit Barisan, di sebelah
timur oleh PaparanSunda (Sunda Shield), sebelah barat dibatasi oleh Pegunungan Tiga
puluh dan ke arah tenggara dibatasi oleh Tinggian Lampung.Menurut De Coster, 1974
(dalam Salim, 1995), diperkirakantelah terjadi 3 episode orogenesa yang membentuk
kerangka struktur daerah Cekungan Sumatera Selatan yaitu orogenesa Mesozoik
Tengah, tektonik Kapur Akhir – Tersier Awal dan Orogenesa Plio – Plistosen. Episode
pertama, endapan – endapan Paleozoik danMesozoik termetamorfosa, terlipat dan
terpatahkan menjadi bongkah struktur dan diintrusi oleh batolit granit serta telah
membentuk pola dasar struktur cekungan.
Menurut Pulunggono,1992 (dalam Wisnu dan Nazirman ,1997), fase ini membentuk
sesar berarah barat laut-tenggara yang berupa sesar – sesar geser.Episode kedua pada
Kapur Akhir berupa fase ekstensi menghasilkan gerak – gerak tensional yang
membentuk grabendan horst dengan arah umum utara – selatan. Dikombinasikan
dengan hasil orogenesa Mesozoik dan hasil pelapukan batuan -batuan Pra – Tersier,
gerak gerak tensional ini membentuk struktur tua yang mengontrol pembentukan
Formasi Pra – Talang Akar. Episode ketiga berupa fase kompresi pada Plio –Plistosen
yang menyebabkan pola pengendapan berubah menjadi regresi dan berperan dalam
pembentukan struktur perlipatan dan sesar sehingga membentuk konfigurasi geologi
sekarang. Pada periode tektonik ini juga terjadi pengangkatan Pegunungan Bukit
Barisan yang menghasilkan sesar mendatar Semangko yang berkembang sepanjang
Pegunungan Bukit Barisan. Pergerakan horisontal yang terjadi mulai Plistosen Awal
sampai sekarang mempengaruhi kondisi Cekungan Sumatera Selatan dan Tengah
sehingga sesar -sesar yang baru terbentuk di daerah ini mempunyai perkembangan
hampir sejajar dengan sesar Semangko. Akibat pergerakan horisontal ini, orogenesa
yang terjadi pada Plio-Plistosen menghasilkan lipatan yang berarah barat laut-tenggara
tetapi sesar yang terbentuk berarah timur laut-barat daya dan barat laut- tenggara. Jenis
sesar yang terdapat pada cekungan ini adalah sesar naik, sesar mendatar dan sesar
normal. Kenampakan struktur yang dominan adalah struktur yang berarah barat
laut-tenggara sebagai hasil orogenesa Plio-Plistosen. Dengan demikian pola struktur
yang terjadi dapat dibedakan atas pola tua yang berarah utara-selatan dan barat
laut-tenggara serta pola muda yang berarah barat laut-tenggara yang sejajar dengan
Pulau Sumatera.
E. Kesimpulan
Pulau Sumatera secara garis besar terdiri dari 3 sistem Tektonik, yakni Sistem Subduksi
Sumatera; system sesar Mentawai (Mentawai Fault System); dan Sistem Sesar
Sumatera (Sumatera Fault System). Berdasarkan rekonstruksi geologi oleh Robert Hall
(2000), awal pembentukan wilayah Sumatera dimulai sekitar 50 juta tahun lalu (awal
Eosen). Sedikitnya terdapat 19 Segmen sesar dengan panjang tiap segmen ±60-200 km;
yang merupakan bagian dari Sistem Sesar Sumatera (Sumatera Fault System) dengan
panjang ±1900 km. Danau Toba yang berada di pulau Sumatera merupakan salah satu
bukti nyata Super Volcano dan merupakan sisa dari Letusan Kaldera mahadahsyat
terbesar (skala 8 VEI).
Download