BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1.Makna Dan Arti Dalam Semiotika Seringkali orang-orang menggunakan istilah pesan dan makna secara bergantian. Namun, hal ini tidak benar bila dilihat dalam sudut semantik. Contohnya, “rumah ini bersih sekali ya”. Kalimat tersebut sangat sederhana tetapi, makna pesan tadi bersifat harfiah, dengan si pembicara menyatakan keadaan rumah tersebut sebagai cara untuk melakukan kontak. Namun, di sisi lain pernyataan ini juga bisa bersifat ironis, jika dikatakan pada keadaan rumah yang kotor dan berantakan. Dilihat dari contoh tersebut ‘pesan’ dan ‘makna’ tidaklah sama, pesan bisa memiliki lebih dari satu makna, dan beberapa pesan bisa memiliki satu makna. Seperti dalam media massa sering terjadi pesan yang memiliki berbagai lapisan makna (Danesi, 2010:21-22). Dari uraian makna dan arti di atas dapat diartikan bahwa memperhatikan maksud kata yang ada pada terdapat suatu kebahasaan (dialog dalam film). Komunikasi adalah salah satu bentuk cara manusia agar bisa terhubung antara satu dengan yang lain dan agar bisa tercipta suatu jalinan. Manusia sejak dulu telah berkomunikasi baik secara verbal maupun non-verbal. Jika manusia tidak berkomunikasi dengan sesamanya tidak bisa tercapai tujuan yang diinginkan serta jalinan sosial antar manusia juga tidak tercipta. Makna dari sebuah wahana tanda (sign-vechicle) adalah satuan kultural yang diperagakan oleh wahana-wahana tanda yang lainnya serta, dengan begitu, secara semantik mempertunjukan pula ketidaktergantungan pada wahan yang sebelumnya1. 1 Sobur, Alex. Semiotika Komunikasi. 2009. PT. Remaja Rosdakarya. Bandung Tiga hal yang dijelaskan oleh para filsuf linguis sehubungan dengan usahanya menjelaskan istilah makna, yaitu2 : a. Menjelaskan makna kata secara alamiah, b. Mendeskripsikan kalimat secara alamiah, c. Menjelaskan makna dalam proses komunikasi. Fokus makna yang dikaji dalam film The Help adalah mengenai tindakan rasial yang dilakukan kaum kulit putih terhadap pekerja domestik perempuan kaum kulit hitam / negro, yang mana dalam film ini kaum kulit putih bertindak sebagai majikan. Makna dalam film baik dialog, tindakan dalam scene, dan non – verbal. 2.2.Non-Verbal dan Verbal 2.2.1. Non-Verbal Tindakan-tindakan dalam film merupakan sebuah pesan yang ingin disampaikan pelaku sineas kepada penonton. Jenis pesan non-verbal menurut Duncan (Jalaluddin Rakhmat, 2011:285) terdapat lima di antaranya : Kinesik atau gerak tubuh, Prosemik atau penggunaan ruangan personal dan sosial, Olfaksi atau penciuman, Sensifitas kulit, dan Faktor artifaktual seperti pakaian dan kosmetik. Schlefen menyebutnya dengan istilah lain : kinestik, sentuhan (tactile), bau-bauan (odorific), teritorial, prosemik, dan artifaktual. 2 Sobur, Alex. Semiotika Komunikasi. 2009. PT. Remaja Rosdakarya. Bandung Pesan non-verbal dalam klasifikasi Leathers dengan sedikit perubahan akan terbagi dalam tiga kelompok besar, a. Pesan non-verbal visual, yang meliputi kinesik, prosemik, dan artifaktual. - Pesan kinesik : menggunakan gerakan tubuh berarti, terdiri atas tiga komponen utama : pesan fasial, pesan gestural, dan pesan postural. 1. Pesan fasial menyampaikan : menggunakan maksud tertentu. air muka Berbagai untuk penelitian menunjukkan bahwa wajah dapat menyampaikan paling sedikit sepuluh kelompok makna : kebahagiaan, rasa terkejut, ketakutan, kemarahan, kesedihan, kemuakan, pengecaman, minat, ketakjuban, dan tekad. (Leathers (1976:33), Jalaluddin Rakhmat (2011:285-290) menyimpulkan penelitian-penelitian tentang wajah sebagai berikut (1) wajah mengkomunikasikan penilaian dengan ekspresi senang dan tidak senang, yang menunjukan apakah komunikator memandang objek penelitiannya baik atau jelek; (2) wajah mengkomunikasikan berminat atau tidak berminat keterlibatan dalam lingkungan; (3) wajah mengkomunikasikan intensitas keterlibatan dalam suatu situasi; (4) wajah mengkomunikasikan tingkat pengendalian individu terhadap pernyataanya sendiri, dan; (5) wajah barangkali mengkomunikasikan adanya atau kurangnya pengertian. 2. Pesan gestural : menunjukkan gerakan sebagian anggota badan seperti mata dan tangan untuk mengkomunikasikan berbagai makna. Menurut Galloway, pesan gestural digunakan untuk mengungkapkan : (1) mendorong/membatasi, (2) menyesuaikan/mempertentangkan, (3) responsif/tak responsif, (4) perasaan positif dan negatif, (5) memperhatikan/tak memperhatikan, (6) melancarkan/tak reseptif, (7) menyetujui/menolak. Pesan gestural yang mempertentangkan terjadi bila pesan gestural memberikan arti lain dari pesan verbal atau pesan lainnya. Pesan tak responsif menunjukkan gestur yang tidak ada kaitannya dengan pesan yang diresponnya. Pesan gestural negatif mengungkapkan sikap dingin, merendahkan, atau menolak. Pesan gestural tak responsif mengabaikan permintaan untuk bertindak. 3. Pesan postural : berkenaan dengan keseluruhan anggota badan. Mehrabian menyebutkan tiga makna yang dapat disampaikan postur : Immediacy adalah ungkapan kesukaan atau ketidaksukaan terhadap individu lain. Postur yang lebih condong pada arah yang bisa diajak bicara menunjukkan kesukaan dan penilaian positif, power mengungkapkan status yang tinggi pada diri komunikator, dan responsieveness adalah reaksi emosional pada lingkungan, secara positif dan negatif. - Pesan prosemik : disampaikan melalui pengaturan jarak dan ruang. Jarak mengungkapkan keakraban kita dengan orang lain. antropolog Edward T. Hall menyebutkan ada empat macam jarak yang dipergunakan oleh orang Amerika ketika berhubungan dengan orang lain. Pesan prosemik juga diungkapkan dengan mengatur ruangan objek dan rancangan interior. Selain itu, juga bisa digunakan untuk mengungkapkan status sosial-ekonomi, keterbukaan, dan keakraban. Berikut tabel prosemik atau pengaturan jarak. (Tabel 5.1) Jarak Contoh-contoh Akrab : Fase dekat : 0-6” = Pecinta yang berpelukan, berbisik lembut jika ada yang diucapkan. Fase jauh : 6”-18” = Ibu dan anak bersama; yang melihat sahabat dekat buku yang membicarakan rahasia; bisikan yang terdengar. Personal : Suami istri yang merencanakan pesta; orang tuan dan anak yang mengobrol; Fase dekat : 18”-30” = suara lembut ketika di rumah; suara penuh di luar rumah. Fase jauh 30”-4” = Pembicaraan tentang hal-hal melibatkan kepentingan yang personal; obrolan sambil menghirup kopi. Sosial : Fase dekat 4’-7’ = Diskusi bisnis impersonal; obrolan dengan teman sekerja; percakapan dalam satu perjumpaan sambil lalu. Fase jauh 7’-12’ = Diskusi bisnis formal; jarak yang kita atur ketika sendirian, misalnya membaca; ketika berbicara pada jarak ini suara lebih keras dari suara untuk fase dekat. Publik : Fase dekat 12’-15’ = Suara keras dengan volume tidak penuh; orang berbicara di depan kelompok kecil. Fase jauh 25’-atau lebih= Pidato; komunikasi interpersonal yang tidak memungkinkan, jarak minimum publik dengan tokoh (politisi, bintang film) - Pesan artifaktual : diungkapkan melalui penampilan tubuh, pakaian, dan kosmetik. Orang sering berperilaku dalam hubungan dengan orang lain sesuai dengan presepsinya tentang tubuhnya (body image). Hal ini erat kaintannya dengan tubuh ialah upaya kita untuk membentuk citra tubuh dengan pakaian dan kosmetik. Pada umumnya pakaian menunjukkan identitas seseorang dan bagaimana orang lain sepatutnya memperlakukan kita. Pakaian juga digunakan untuk menyampaikan perasaan kita. b. Pesan non-verbal non auditif, artinya tidak berupa kata-kata, tidak terlihat, dan tidak terdengar, dan meliputi sentuhan dan penciuman. Pesan sentuhan dan bau-bauan (tactile and olfactory messanges) termasuk pesan non-verbal, non visual, dan non vokal. Alat penerima sentuhan adalah kulit, yang mampu menerima dan membedakan berbagai emosi yang disampaikan orang melalui sentuhan. Smith melaporkan berbagai perasaan yang dapat disampaikan sentuhan, tetapi yang paling biasa dikomunikasikan sentuhan ada lima : tanpa perhatian (detached), kasih sayang (mothering), takut (fearful), marah (angry), dan bercanda (playful). Sedangkan, bau-bauan telah digunakan manusia untuk berkomunikasi secara sadar dan tidak sadar. Biasanya komunikasi melalui bau-bauan sebagai pesan berlangsung secara tak sadar. Bila kita dalam keadaan emosional atau tegang, tubuh kita akan mengeluarkan keringat yang menyampaikan bau khas. 2.2.2. Verbal Tindakan-tindakan dalam film merupakan pesan yang ingin disampaikan pelaku sineas kepada penonton. Pesan verbal atau komunikasi verbal adalah komunikasi dengan kata-kata verbal melalui alat komunikasi yang disebut bahasa. Sedangkan, bahasa dapat membantu kita untuk memiliki kemampuan memahami dan menggunakan simbol, khususnya simbol verbal dalam menyusun kerangka pemikiran yang kemudian dikomunikasikan (Alo Liliweri, 2005:154). Terdapat cara untuk mendefinisikan bahasa, yaitu fungsional. Bahasa dalam fungsional melihat dari sisi fungsinya, sehingga diartikan sebagai “alat yang dimiliki bersama untuk mengungkapkan gagasan”, karena bahasa hanya dapat dipahami bila ada kesepakatan di antara anggota-anggota kelompok sosial untuk menggunakannya. Pesan paralinguistik terdiri atas nada (pitch) menunjukkan jumlah getaran atau gelombang yang dihasilkan jumlah bunyi. Makin banyak jumlah getaran, makin tinggi nada. Nada dapat mengungkapkan gairah, ketakutan, kesedihan kesungguhan, atau kasih sayang. Kualitas suara menunjukkan “penuh” atau “tipisnya” suara. Setiap individu meempunyai kualitas tersendiri, sehingga kualitas suara mengungkapkan identitas dan kepribadiannya. Volume menunjukkan tinggi rendahnya suara. Bila kita marah kita akan menaikan volume suara kita, ketika dalam suasana romantis kita akan memelankan volume suara kita. Kecepatan dan ritme dapat menggarisbawahi/menunjukkan kepentingan pernyataan dan mengungkapkan perasaan. 2.3.Film Film adalah selaput tipis yang dibuat dari seluloid untuk tempat gambar negatif (yang akan dibuat potret) atau untuk tempat gambar positif (yang akan dimainkan dl bioskop) ; lakon (cerita) gambar hidup ( KBBI ). Sedangkan menurut Undang – Undang Nomor 33 Tahun 2009 Tentang Perfilman Pasal 1 ayat 1, film adalah sebuah karya seni budaya yang merupakan pranata sosial dan media komunikasi massa yang dibuat berdasarkan kaidah sinematogafi dengan atau tanpa suara dan dapat dipertunjukan. Menurut (Wibowo, dkk, 2006:196), film adalah alat untuk menyampaikan berbagai pesan kepada khalayak melalui sebuah media cerita dan sebuah medium ekspresi artistik sebagai suatu alat bagi para seniman dan insan perfilman dalam mengutarakan gagasan – gagasan ide cerita. Secara esensial dan substansial film memiliki power yang akan berimplikasi kepada komunikan masyarakat3. 2.3.1. Perkembangan Perfilman Perkembangan perfilman diawali dengan seorang fotografer asal Inggris yang berkerja di California bernama Eadweard Muybridge pada tahun 1877 yang mengambil serangkaian foto kuda berlari secara berurutan dan menghasilkan gambar bergerak. Kemudian teknologi gambar bergerak berkembang dan salah satu penemu yang ikut mengembangkan adalah Thomas Edison pada tahun 1888 dan menghasilkan film sepanjang 15 detik. Perfilman terus berkembang pada masa itu, dan pada tahun 1895 Lumiere bersaudara memberikan pertunjukan sinematik kepada publik di sebuah café di Paris, Perancis. Terknologi citra bergerak atau seni gambar bergerak (motion picture) pun berkembang pesat dan menjadi seni yang berpengaruh pada tahun 1800an. Pada tingkat penanda, film adalah teks yang memuat serangkaian citra fotografi yang mengakibatkan adanya ilusi gerak dan tindakan dalam kehidupan nyata. Selanjutnya pada tingkat petanda, film merupakan cermin kehidupan metaforis (Marcel Danesi, 2010:134). Topik dalam film merupakan hal yang sangat pokok dalam semiotika media karena di dalamnya terdapat sistem signifikasi yang ditanggapi orang-orang masa kini dan melalui film mereka mencari rekreasi, inspirasi, dan wawasan, pada tingkat interpretant. Film merupakan salah satu media komunikasi, dimana sineas-sineas bisa mengkomunikasikan ide, mimpi/impian, kritik sosial ke hadapan khalayak agar 3 www.bimbingan.org/definisi-film.htm (diunduh : 3 - 12 – 2013 : 22.30 ) mereka hal tersebut dapat dilihat dan ditonton. Film juga salah satu cara agar masyarakat mau mendengarkan dan mengerti pendapat seseorang, karenanya masyarakat biasanya sudah bosan dengan penyampaian ide secara konvensional (pidato). Teknologi perfilman terus berkembang baik dari segi alat maupun dari teknik pengambilan angle / gambar. Seperti karya D.W. Griffith yang berjudul The Birth of a Nation pada tahun 1912 diproduksi di Amerika. Pada film ini Griffith mengembangkan teknik close-up untuk memperlihatkan emosi sang pemeran. Film berdurasi tiga jam ini mencekam penonton dan memantapkan sinema sebagai bentuk seni bagi para pemirsa yang berbudaya. Tetapi, ideologi yang ada dalam film ini, yaitu mengenai rasis yang secara khusus membela akan supremasi kaum kulit putih untuk melindungi kemurnian rasial. Film ini sangat banyak menuai kontroversi, yang mana pada saat itu Amerika masih sangat sensitif dan hingga saat inipun tetap tidak bisa diterima. Hal ini menunjukan film merupakan media yang sangat menarik untuk menyampaikan ide komunikasi yang tidak membosankan, dimana di dalam penyampaian tersebut dikemas secara apik dan berseni baik dari pemeran dan teknik angle(Danesi, 2010: 137). 2.4.Film Sebagai Media Komunikasi Massa Menurut Effendy (2004:50), komunikasi massa adalah komunikasi melalui media massa, jelasnya merupakan singkatan dari komunikasi media massa. Komunikasi Massa merupakan suatu ilmu yang mempelajari tentang komunikasi massa. Sedangkan media massa itu sendiri adalah saluran-saluran atau media pengiriman bagi pesan-pesan massa. Medianya dapat berupa surat kabar, video/film, CD-ROM, dvd ,computer, tv, radio, internet, dan sebagainya. Massa dalam arti komunikasi massa lebih menunjuk pada penerima pesan yang berkaitan dengan media massa. Dengan kata lain, massa yang dalam sikap dan perilakunya berkaitan dengan peran media massa. Oleh karena itu, massa di sini menunjuk kepada khalayak, audience, penonton, pemirsa, atau pembaca. 2.4.1. Karakteristik Film The Help merupakan salah satu bentuk media massa, dan memiiliki karakteristik4 : 1. Komunikator Terlembagakan Komunikator dalam komunikasi massa terdiri dari sekumpulan orang yang bergabung bekerja sama dalam sebuah lembaga. Film The Help merupakan sebuah karya produksi perusahaan film Hollywood. Maka di dalamnya terdapat tim yang bekerja untuk memproduksi dan mendistribusikannya. 2. Pesan Bersifat Umum Pesan-pesan dalam komunikasi massa tidak hanya ditujukan kepada satu orang atau kelompok masyarakat tertentu, melainkan ke semuanya. Maka, komunikasi massa bersifat umum. Film the help diproduksi massal tidak hanya di Amerika, tetapi juga di seluruh dunia. Maka, pesan-pesan yang ingin disampaikan bersifat umum. 3. Komunikator Anonim dan Heterogen Komunikator tidak mengenal komunikan (anonim), dikarenakan menggunakan media dan tidak bertatapan langsung. Penerima komunikasi massa adalah heterogen dan terdiri dari berbagai lapisan masyarakat berbeda. Penerima pesan film the help tidak diketahui apakah oleh anak-anak, orangtua, ibu rumah tangga, ataukah pelajar, maupun pekerja. 4. Media Massa Menimbulkan Keserempakan Dalam proses penyebarannya komunikasi massa menimbulkan keserempakannya di dalam pesan-pesannya. Oleh karena pesan-pesan yang disampaikan bersifat umum maka, presepsi yang dipikirkan masyarakat pun menjadi sama, atau terjadi keserempakan, bahwa kaum negro itu kasar dan tidak sopan. Hal ini disebabkan masyarakat dapat menikmati media massa tersebut hampir bersamaan. 4 http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/20488/4/Chapter%20II.pdf 5. Komunikasi Mengutamakan Isi Daripada Hubungan Pesan di dalam komunikasi massa telah disusun sedemikan rupa berdasarkan sistem tertentu dan disesuaikan dengan karakteristik media massa yang akan digunakan. 6. Bersifat Satu Arah Komunikator dan komunikan tidak dapat melakukan kontak langsung, disebabkan komunikasi massa bersifat satu arah. 7. Stimuli Alat Indra “Terbatas” Dalam komunikasi massa, stimuli alat indra bergantung pada jenis media massa. Pada skripsi ini peneliti membahas mengenai film maka, dalam hal ini audien menggunakan indera penglihat dan pendengaran. 8. Umpan Balik (Feedback) Tertunda Umpan balik komunikasi tertunda, dikarenakan audien melihat karya dari media massa terlebih dahulu dan dapat melakukan feedback dari karya tersebut kemudian. Efektivitas komunikasi seringkali dapat dilihat dari feedback yang disampaikan oleh komunikan (Ardianto, 2004:7). Dalam kasus yang diteliti dalam skripsi ini feedback penonton terjadi beberapa saat setelah film The Help dirilis di bioskop-bioskop Amerika. 9. Pengirim pesan biasanya memiliki otoritas, keahlian, dan gengsi daripada penerima pesan.5 2.4.2. Fungsi Fungsi komunikasi massa atau fungsi dari media massa dilihat dari perspektif secara umum yang meliputi : 5 - Memberi informasi, - Memberi pendidikan (to educated), - Memberi hiburan (to entertain), Denis McQuail (2000), Mass Communication Theory, hal 40. (Dalam buku : Morissan. Teori Komunikasi Massa. 2010. Penerbit Ghalia Indonesia : Bogor) - Mempengaruhi (to influence). 2.5. Diskriminasi dan Rasial 2.5.1. Diskriminasi Diskriminasi adalah setiap tindakan yang dilakukan untuk membedakan seseorang atau sekelompok orang berdasarkan atas, ras, agama, suku etnis, kelompok, golongan, status, kelas sosial ekonomi, jenis kelamin, kondisi fisik tubuh, usia, orientasi seksual, pandangan ideologi dan politik, serta batas negara, dan kebangsaan seseorang (Sujarwa, 2011:264). Diskriminasi erat dengan kaitannya dengan prasangka tetapi, kedua hal tersebut merupakan sesuatu yang berbeda. prasangka merupakan perasaan atau pikiran manusia tentang suatu kelompok tertentu (biasanya perasaan negatif) sedangkan, diskriminasi adalah tindakan yang diambil terhadap kelompok tersebut. Oleh karena itu, sebuah tindakan diskriminasi muncul atas dasar prasangka/pikiran seseorang yang kemudian dipraktekan dalam bentuk tindakan (Jenny dan Debbie, 2012:102). Tindakan diskriminatif ras dan etnis berupa ( UU No.40 tahun 2008, Tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis, BAB III, Pasal 4 )6: a. Memperlakukan pembedaan, pengecualian, pembatasan, atau pemilihan berdasarkan pada ras dan etnis, yang mengakibatkan pencabutan atau pengurangan pengakuan, perolehan, atau pelaksanaan hak asasi manusia dan kebebasan dasar dalam suatu kesetaraan di bidang sipil, politik, ekonomi, sosial, dan budaya; atau, b. Menunjukkan kebencian atau rasa benci kepada orang karena perbedaan ras dan etnis yang berupa perbuatan : 6 http://www.komnasham.go.id/informasi/images-portfolio-6/2013-03-18-05-4420/nasional/257-undang-undang-republik-indonesia-nomor-40-tahun-2008-tentangpenghapusan-diskriminasi-ras-dan-etnis (Diunduh : 12-8-2014 : 21.35.) 1. Membuat tulisan atau gambar untuk ditempatkan, ditempelkan, atau disebarluaskan di tempat umum atau tempat lainnya yang dapat dilihat atau dibaca oleh orang lain; 2. Berpidato, mengungkapkan, atau melontarkan kata-kata tertentu di tempat umum atau tempat lainnya yang dapat didengar orang lain; atau, 3. Mengenakan sesuatu pada dirinya berupa benda, kata-kata, atau gambar di tempat umum atau tempat lainnya yang dapat dibaca oleh orang lain; atau, 4. Melakukan perampasan nyawa orang penganiayaan, pemerkosaan, perbuatam cabul, pencurian dengan kekerasan, atau perampasan kemerdekaan berdasarkan diskriminasi ras dan etnis. Menurut Netje.F. Katuuk, Harwantiyoko beberapa penyebab terjadinya sikap diskriminasi antara lain : a. Latar belakang suatu pihak, b. Faktor kepribadian, c. Dilatarbelakangi sosio-kultural d. Adanya perbedaan baik dari segi ekonomi, sosial, budaya, agama, dsb. c. Menurut Vaughan dan Hogg (2005) menjelaskan terdapat kelompokkelompok tertentu yang biasanya menjadi target diskriminasi, yaitu kelompok jenis kelamin tertentu, ras tertentu, kelompok usia tertentu, termasuk kaum homoseksual dan kelompok individu dengan ketunaan/keterbatasan fisik (Jenny & Debbie, 2012:229-232). a. Sesksisme Diskriminasi yang terjadi karena pembedaan antara pria dan wanita. Korban yang banyak mengalami seksisme adalah wanita. Contohnya adalah fetus7disebabkan budaya yang menganggap kedudukan pria lebih tinggi daripada perempuan, budaya ini terdapat di negara Cina, Taiwan, Korea, dan India. b. Rasisme Diskriminasi yang terjadi terhadap ras dan etnis tertentu. Hal ini merupakan diskriminasi yang paling banyak menimbulkan tindakan brutal. Seperti yang terjadi di Amerika, diskriminasi terhadap kaum kulit hitam. Kaum kulit putih menganggap kaum negro adalah orang desa, budak, dan pekerja kasar. Meskipun terjadi penurunan pada tahun 1930an namun, pada akhir tahun 1960an pemerintah masih menjalankan kebijakan segregasi yang berdampak pada rasisme. c. Ageisme Suatu keadaan yang menilai kaum tua dianggap tidak berharga atau kurang dihargai keberadaannya, serta kurang memiliki kekuasaan. Mereka mengabaikan hak dasar terhadap kaum yang lebih tua. Negara-negara yang banyak menganut adalah Amerika Serikat, Australia, Selandia Baru, Kanada, dan Inggris. d. Diskriminasi Terhadap Kelompok Homoseksual Diskriminasi yang terjadi terhadap kaum homoseksual, dimana masyarakat menganggap hal tersebut adalah penyakit dan perlu dilarang secara legal. Sikap negatif tersebut melahirkan aturanaturan yang dapat menghukum kaum homoseksual. e. Diskriminasi Berdasarkan Keterbatasan Suatu tindakan yang menganggap orang yang mempunyai keterbatasan fisik adalah hal yang menjijikan dan kurang 7 Pembunuhan bayi perempuan. bermartabat. Selain itu, praktek-praktek pertunjukan yang mempertontonkan keterbatasan fisik mendukung adanya padangan ini. a. Bentuk Diskriminasi Diskriminasi berwujud dalam perilaku yang bervariasi, dari halus atau tersamar hingga yang nyata kasar. Vaughan dan Hogg (2005) menjelaskan bentuk-bentuk diskriminasi sebagai berikut (Jenny dan Debbie, 2012:233-234) : a. Menolak Untuk Menolong (Reductance to Help) Menolak untuk menolong adalah suatu bentuk diskriminasi dimana keadaan berasal dari kelompok tertentu seringkali dimaksudkan untuk membuat kelompok lain tersebut tetap berada dalam posisi yang kurang beruntung. Bisa dikatakan kaum mayoritas menolak untuk menolong kaum minoritas untuk mendapatkan haknya, misalnya cuti pada datang bulan, jam kerja fleksibel, dan lain-lain. b. Tokenisme Bentuk diskriminasi berupa minimnya perilaku positif kepada pihak minoritas. Perilaku ini nantinya akan digunakan oleh kaum mayoritas sebagai pembelaan justifikasi bahwa ia sudah melakukan hal baik yang tidak melanggar diskriminasi. Pada beberapa organisasi di Amerika Serikat mendapatkan kritik karena adanya tindakan tokenisme terhadap kaum kulit hitam, perempuan, dan orang Spanyol. Organisasi ini melakukannya sebagai strategi untuk terhindar dari diskriminasi. c. Reverse Discrimination Merupakan praktek melakukan diskriminasi yang menguntungkan pihak yang biasanya menjadi target prasangka dan diskriminasi dengan maksud agar mendapatkan justifikasi dan terbebas dari tuduhan melakukan diskriminasi, dan hal ini adalah bentuk token yang ekstrim. Reverse discrimination memberikan keuntungan kepada kaum minoritas hanya jangka pendek saja namun, seiring dengan berjalannya waktu ada konsekuensi negatif yang bisa ditanggung oleh kelompok minoritas tersebut. 2.5.2. Rasial Suatu kelompok dalam masyarakat terbagi berdasarkan perbedaan dan persamaan ciri. Dalam membagi kelompok-kelompok tersebut terdapat beberapa konsep mengenai kelompok-kelompok yang mempunyai definisi berbeda. Konsep ras diartikan sebagai tanda peran (Role Sign) yang didasarkan pada ciri fisik. Contohnya, pada Amerika bagian selatan, kaum kulit hitam memiliki peran untuk menghormati ras kulit putih. Kemudian yang dimaksud konsep rasialisme adalah bentuk praktik diskriminasi terhadap kelompok lain, seperti tidak menjual atau menyewakan rumah, membatasi / membuat garis batas properti dan aktifitas kepada ras atau etnik tertentu (Sunarto, 2004:147). Diskriminasi terhadap kaum kulit hitam terjadi tidak lepas dari sejarah masuknya mereka ke benua Amerika. Kaum kulit hitam masuk ke benua Amerika dibawa secara paksa dari benua Afrika pada pertengahan abad 18. Mereka dibawa secara paksa oleh bangsa barat sebagai budak dan dipekerjakan sebagai pekerja kasar. Pada 1825 sekitar 400.000 budak dikirim ke koloni-koloni Amerika, dan Amerika adalah negara dengan jumlah budak terbesar dibandingkan dengan negara-negara belahan bumi barat lainnya. Penyebab sejarah masuknya kaum kulit hitam sebagai budak, mereka mengalami tindakan diskriminasi selama berabad-abad seperti, menerima bahan makanan kualitas rendah, perumahan buruk, dan dibiarkan tidak tahu apa-apa dalam hal pendidikan contohnya (Thomas Sowell, 1989:249-253). Amerika menganut 3 sistem asimilasi (Indriana Kartini, 2005: 98.), yaitu (a)Anglo Conformity, yang menuntut imigran yang datang ke Amerika untuk membuang keseluruhan budaya leluhur mereka dan menerima perilaku dan nilai Anglo-Saxon sebagai kelompok utama masyakakat Amerika. (b)The Melting Pot, didasarkan penggabungan biologis antara orang-orang Anglo-Saxon8 dan kelompok imigran yang disertai peleburan masing-masing kultur dan menjadi sebuah kultur yang baru . (c)Pluralism cultural, pemeliharaan kehidupan komunal dan kultur yang signifikan dari kelompok imigran dalam konteks kewarganegaraan Amerika dan integrasi ekonomi dan politik ke dalam masyarakat Amerika. 2.6.Teori Konflik Kelas Teori yang digunakan dalam skripsi ini adalah teori Karl Marx mengenai konflik kelas. Karl Marx menjelaskan bahwa masyarakat dibagi menurut kesejahteraan dan status, sehingga membentuk kelas-kelas dan tingkatan-tingkatan. Tingkatan sosial didasari pada penaklukan satu populasi oleh populasi lain, yaitu populasi yang lebih kuat, dan perbedaan ekonomi mereka memunculkan perbedaan status secara kultural. Dari hal tersebut menghasilkan kelas-kelas dalam masyarakat yang kompleks, di sisi lain berakar langsung dalam pembagian internal properti kekayaan (John Scott, 2012:128). Kebijakan pemerintah dibuat tidak hanya untuk kebijakan atau spirit kebudayaan, tetapi juga terdapat kepentingan-kepentingan golongan dan kelas. Ide-ide politik terikat pada pembelaan atau dukungan terhadap kepentingan sosial, dan konflik antarkelompok. Marx mengungkapkan bahwa, struktur sosial tidak tercipta secara acak, melainkan terdapat pola yang cukup pasti dalam hal cara masyarakat di berbagai tempat di dunia, pada berbagai masa dalam sejarah, mengorganisasi produksi benda-benda material (Pip Jones, 2009:78). 8 Masyarakat kulit putih. Dalam sejarah dan masyarakat dalam mengorganisir produksi bendabenda, terdapat unsur-unsur cara memproduksinya yang oleh Marx menyebutnya mode produksi. Pertama, semua masyarakat yang ada sekarang atau sejak dahulu menunjukan salah satu dari lima cara mengornganisir produksi, yaitu komunis primitif, kuno, feodal, kapitalis, dan komunis. Kedua, terpisah dari mode produksi pertama dan terkahir (komunis primitif dan komunis), setiap mode memiliki satu kesamaan ciri khas, yaitu produksi benda material itu berbasis kelas. Pada semua masyarakat non-komunis, pada mode kuno, feodal, dan kapitalis hanya ada dua kelas yang penting, yaitu kelas yang memiliki sarana produksi (menjadi harta kekayaan mereka) dan ada kelas yang tidak memiliki. Konflik antar kelas terbentuk melalui properti dan ketidakpunyaan alat produksi. Dalam masyarakat kapitalis cita-cita tradisional dan status telah ditanggalkan dan kelas-kelas tampak dalam bentuk yang murni material sebagai kelas-kelas. Kapitalis modern diorganisasikan di seputar konflik antara kelas borjuis dari para pemilik kekayaan, yang membentuk ‘kelas penguasa’, dan kelas proletarian –‘kelas pekerja’ yang tunduk pada kekuasaannya, mereka dieksploitasi anggota-anggotanya secara bertahap sehingga mencapai sebuah kesadaran tentang ketertindasan memungkinkan mereka dan mereka membangun untuk sebuah berjuang organisasi politik menggulingkan kelas yang yang mengeksploitasi mereka. Dalam sistem produksi yang berbasis kelas, barang-barang diproduksi dengan cara yang cukup pasti. Mayoritas orang yang tidak memiliki sarana produksi, melakukan pekerjaan produktif untuk kepentingan pihak minoritas yang memiliki sarana produksi. Dalam teori marxis ini adalah ciri kunci masyarakat non-komunis. Produksi barang material (aktivitas manusia yang paling penting), selalu terjadi dengan melakukan eksploitasi tenaga kerja mayoritas, yakni kelas yang tidak memiliki sarana produksi oleh kelas minoritas, yang memiliki sarana produksi dan tidak mengerjakan sendiri. Jadi, hubungan kelas adalah hubungan konflik. Kemudian yang membedakan mode produksi komunis dan non-komunis adalah siapa anggota kelas tersebut. Setiap mode produksi non-komunis memiliki kelas dominan, yang memiliki kekayaan, yang berbeda; demikian pula kelas subordinat, yang dieksploitasi, yang tidak memiliki kekayaan, yang berbeda pula. 2.6.1. Mode Produksi Kapitalis Dalam mode ini Marx menyebut kaum tenaga kerja dari suatu kelas pekerja yang tak memiliki tanah sebagai kaum protelar, dan kaum yang memiliki segalanya / majikan sebagai kaum borjuis. Fakta yang terpenting adalah bahwa pekerja selalu dibayar lebih rendah daripada nilai barang yang diproduksi. Suatu nilai keuntungan / nilai surplus tidak membebani apapun bagi kapitalis, dan merupakan simbol nyata bagi eksploitasi terhadap pekerja upah oleh majikan mereka. 2.6.2. Peranan Suprastruktur Peranan supratruktur disini adalah peranan dimana organisasi sosial; aktivitas non-ekonomi dan gagasan, keyakinan dan falsafah. Istilah ini penting, dimana menekankan cara suprastruktur suatu masyarakat diciptakan oleh basisnya; seperangkat aktivitas yang dibangun atas dasar basisnya. Institusi : pada tingkat struktur sosial, institusi ekonomi pada setiap masa (epoch) selalu diatur sedemikan rupa agar menguntungkan mode produksi. Pada keluarga kapitalis keluarga dan pendidikan diungkapkan sebagai berikut ( Pip Jones, 2009:84) : - Keluarga, dalam masyarakat kapitalis cenderung mendorong dan mereproduksi hubungan hirarki yang tidak egaliter, dan bertindak sebagai katub pengaman, meredam rasa kurang senang, sehingga keluarga kehilangan isi revolusionernya. Menyediakan tempat dimana anak-anak dilahirkan, dikonsepsikan, dibesarkan dengan aman, keluarga sebenarnya menyiapkan tenaga kerja untuk masa depan. Inilah yang dimaksud ketika dikatakan bahwa keluarga mereproduksi tenaga kerja atas dasar generasi selain keseharian. - Pendidikan, Bowles dan Gintis berpendapat bahwa persekolahan bekerja di sepanjang “bayang-bayang panjang pekerjaan”, yang berarti sistem pendidikan mencerminkan organisasi prouksi dalam masyarakat kapitalis. Sebagian besar proses pekerjaan tercermin pada perpecahan kurikulum menjadi “paket-paket” kecil pengetahuan, setiap subjek diceraikan dari semua yang lain; kurangnya control terhadap proses pekerjaan tercermin pada tidak berdayanya anak-anak sekolah berkenaan dengan apa yang akan mereka pelajari dan bagaimana mempelajarinya di sekolah; dan perlunya bekerja kalau ingin memperoleh upah ketika pekerjaan terlihat tidak tentu arah. Kehidupan keluarga dan sekolah yang menguntungkan kapitalisme dapat secara absah dikatakan sebagai indentifikasi “fungsi” yang dijalankan isntitusiinstitusi tersebut dalam memenuhi kebutuhan kapitalisme. Ideologi Hubungan antara basis dan suprastruktur jelas dalam hal menonjolnya keyakinan-keyakinan tertentu pada setiap masa yang juga mendukung organisasi penduduk. Hal ini khususnya penting pada masyarakat dimana aktivitas memproduksi barang melibatkan eksploitasi banyak penduduk, membuat mereka tidak setara dan tidak beruntung. Bagi Marxis ideologi adalah sistem keyakinan yang : - Melegitimasi sistem produksi berbasis kelas yang membuatnya seolah benar dan adil, dan/atau - Mengaburkan realitas atas konsekuensi-konsekuensi dari kesadaran orang. Gagasan, keyakinan, dan nilai-nilai bertindak sebagai ideologi, memelihara struktur yang ada, yang tanpa dukungan ideologi struktur tersebut akan runtuh. Masa ke masa kelas dominan seringkali menerapkan pemaksaan demi mempertahankan kekuasaan dan supremasinya, tidak berarti bahwa tanpa pemaksaan itu eksploitasi tidak ada. Sebaliknya, kurangnya pemaksaan terangterangan tidak berarti oposisi meningkat, sehingga untuk membuat pihak subordinat patuh dan tunduk tidak harus menggunakan kekuatan paksaan. Kemudian yang terjadi adalah pihak yang didominasi tidak menyadari kondisi mereka karena efektifnya ideologi yang disosialisasikan kepada mereka. a. Konsumerisme : Reproduksi Kebutuhan Masyarakat kapitalis sangat bergantung pada reproduksi kebutuhan. b. Kepasrahan Pekerja Menerima Subordinasi Kapitalisme bergantung pada sejumlah besar penduduk yang selalu disosialisasikan agar menerima peranan subordinat mereka. Dalam keluargalah pertama kali mempelajari makna otoritas dan mematuhinya. Dalam hal ini pendidikan mendorong pembelajaran tersebut. c. Pembenaran Ketidaksetaraan Kapitalisme tergantung pada ketidasetaraan yang melekat, apabila diakui, akan diterima sebagai hal yang adil. Contohnya, seringkali kita diajarkan bahwa seseorang yang memiliki pendidikan tinggi atau memiliki pekerjaan yang bagus dianggap sebagai yang berhasil, sedangkan yang berpendidikan rendah dan berprofesi rendah / bergaji renda dianggap orang yang gagal. Secara khusus, pendidikan pula yang mengajarkan bahwa orang-orang yang “kurang mampu” harus mau menerima ganjaran yang rendah (gaji rendah). d. Kesadaran Semu dan Kesadaran Kelas Kelas subordinat tunduk kepada ideologi dominan, yang menyembunyikan hakikat yang sebenarnya dari masyarakat kelas, gambarannya tentang dunia dan tempatnya di dunia adalah keliru. Kesadaran kelas subordinat mengenai realitas adalah semu / salah terjadi apabila mode produksi berbasis kelas merosot barulah anggota kelas subordinat mulai menyingkirkan citra keliru tentang dunia itu, dan mulai menyadari realitas eksploitasi yang sesungguhnya. Pandangan subyektif kelas subordinat sendiri dan kondisi mereka bertemu dan sesuai dengan realitas obyektif. Munculnya kesadaran tersebut yang menjadi kunci pembuka revolusi meruntuhkan kelas dominan. 2.6.3. Hiperealitas ( Realitas Semu ) Selain teori kelas sosial Karl Marx, penulis menambahkan teori hiperealitas yang dikemukakan oleh Jean Baudrillard sebagai teori pendukung dalam skripsi ini. Baudrillard mengemukakan teori yang memahami sifat dan pengaruh komunikasi massa, dimana media massa menyimbolkan jaman baru, bentuk produksi, dan konsumsi lama telah memberikan suatu jalan komunikasi baru, dunia yang dikonstruksi dari model atau simulacra (realitas buatan). Transisi historis dari modernitas ke postmodernitas dalam tiga tahap, yaitu sejak jaman Renaissance hingga kini telah terjadi tiga kali revolusi simulacra, yaitu counterfeit, production, dan simulation. Ketiga istilah tersebut mempunyai arti yang sama yaitu, imitasi atau reproduksi image / obyek. Pertama, image merupakan representasi dari realitas. Kedua, image menutupi realitas. Ketiga, image menggantikan realitas yang telah sirna mennjadi simulacrum murni. Pada tahap sign as sign simbol muncul dalam bentuk irruption. Kemudian Baudrillard menambahkan pada tahap keempat, fractal atau viral, tahapan transeverything yang mengubah radikal cara pandang kita terhadap dunia. Baudrillard berpendapat bahwa pokok masalah pertama, dalam perkembangan industri sejak jaman Reinasannce hingga sekarang adalah sejarah imitasi / simulacra, atau reproduksi sehingga menimbulkan persoalan makna, orisinalitas, dan identitas manusia. Kedua, masyarakat konsumen adalah masyarakat dalam pertanyaan, karena mereka tidak mengetahui kebenaran yang sesungguhnya. Ketiga, hilangnya realitas. Keempat, perkembangan teknologi yang melampaui batas, dan mengubah cara pandang manusia terhadap dunia. Manusia pada abad ini hidup dalam dunia yang penuh dengan simulasi, dimana gambar, citra, atau penanda suatu peristiwa telah menggantikan pengalaman. Nilai guna komoditas dan nilai imperative sebuah produksi pun telaj digantikan oleh model, kode, tontonan, dan hiperealisme “simulasi”. Berkomunikasi melalui media membuat orang terjebak dalam permainan simulasi yang tidak berhubungan yang tidak berhubungan dengan “realitas eksternal”. Pada masa ini masyarakat sudah sirna dan digantikan oleh mass atau massa, yang tidak mempunyai predikat, atribut, kualitas, maupun referensi. Obyek konsumen menata perilaku melalui suatu sign function (fungsi tanda) secara linguistik. Seperti iklan yang telah mengambil alih tanggung jawab moral atau moralitas masyarakat, dan menggantikannya dengan moralitas hedonistik yang mengacu pada kesenangan. Simulasi itu sendiri mengasilkan ruang yang disebut sebagai ruang simulacrum yaitu, ruang yang berisi realitas-realitas semu (hiperreality). Simulakrum adalah hasil penggadaan dan penggandaan sehingga tidak menyertakan realitas atau referensi asli dalam proses produksinya (reproduksi) (Rosenue, 1992:XIV) (Argyo, 2009:15) Kebebasan dan kemerdekaan yang diperoleh dari sitem komoditas “bebas menjadi diri sendiri” pun diartikan sebagai “bebas untuk memproyeksikan keinginan seseorang pada barang-barang industri”. Baudrillard berpendapat bahwa, membeli komoditas adalah tindakan yang sudah direkayasa sebelumnya dan terjadi pada persilangan dua sistem. Pertama, relasi individual yang bersifat cair, tak saling berhubungan dengan individu lainnya. Kemudian yang kedua, relasi produksi yang dikodifikasikan berkelanjutan dan merupakan sebuah kesatuan. Tidak ada interaksi antara keduanya selain integrasi yang dipaksakan dari sistem kebutuhan kepada sistem produksi. Obyek konsumsi adalah artikulasi particular (parole) dari seperangkat ekspresi yang kehadirannya mendahului komoditas (langue). Melihat dalam sistem ini terlihat seperti orang yang sedang membangun menara babel yang berbicara dalam bahasanya sendiri, sehingga antara satu sama lain bertikai dan berebut pengaruh. Kebutuhan semacam ini diciptakan oleh obyek konsumsi, yaitu obyek yang bertindak sebagai kategori obyek dengan caranya yang sewenang-wenang dalam menentukan kategori manusia. Pada masyarakat konsumen obyek menandai status sosial dan menggantikan segala macam perbedaan dengan hirari sosial sosial yang ada. Contohnya, orang yang memakai ponsel Iphone adalah orang kaya dan berstatus sosial tinggi, dan orang yang memakai ponsel merk cina adalah orang yang berstatus sosial biasa. Obyek hadir di luar dan di atas aspek kegunaan dan pertukaran. Baudrillard menyebutnya dengan symbolic exchange, sesuatu yang menempatkan obyek sebagai cermin subyek sebagaimana halnya cermin dan adegan (scene). Cermin dan adegan kini digantikan oleh monitor (screen) dan jaringan (network). Tidak ada lagi transedensi dan kedalaman, yang ada hanyalah permukaan fungsional dari komunikasi. Dalam televisi, prototipe obyek adalah yang paling indah pada jaman ini, alam dan tubuh kita telah berubag menjadi layar monitor. Dalam sistem kapitalis hubungan manusia telah ditransformasikan menjadi obyek yang dikontrol oleh kode atau tanda tertentu. Perbedaan status dimaknai sebagai perbedaan konsumsi tanda, sehingga kekayaan diukur dari banyaknya tanda yang dikonsumsi. Menurut Baudrillard, proses konsumsi dapat dianalisis dalam prespektif dua aspek mendasar, yaitu : pertama, sebagai proses signifikasi dan komunikasi yang didasarkan pada peraturan (kode) dimana praktek-praktek konsumsi masuk dan mengambil maknanya. Dalam hal ini konsumsi merupakan sistem pertukaran dan sepadan dengan bahasa. Kedua, sebagai proses klasifikasi dan diferensiasi sosial dimana kali objek/tanda dijadikan bukan hanya sebagai perbedaan yang signifikan dalam suatu kode tetapi sebagai nilai yang sesuai aturan dalam sebuah hirarki. Konsumsi dapat menjadi obyek pembahasan yang dapat menentukan kekuatan, terutama dalam distribusi nilai yang sesuai aturan (melebihi hubungan dengan pertanda sosial lainnya : pengetahuan, kekuasaan, budaya, dan lain-lain). Hiperealitas / realitas semu terbentuk akibat dramatisasi yang dilakukan melaui alur yang penuh aksi dramatis, kemudian secara umum dikendalikan oleh rumah produksi yang membuatnya bukan lagi oleh pelaku utama yang memiliki cerita. Akibatnya menjadi sulit membedakan mana nyata dan mana yang sekedar tontonan, kepercayaan masyarakat terhadap kenyataan yang sebenarnya bukan kenyataan. Pembodohohan atas realitas dapat menghasilkan pola budaya meniru apa yang dilihatnya sebagai sebuah kenyataan di media televisi dilakukan dalam kehidupan sehari-harinya dan dapat membentuk pola pikir hal yang serba instan. “Baudrillard menerima konsekuensi radikal tentang yang dilihatnya sebagai sangat merasuknya kode dalam masa modern akhir. Kode ini jelas terkait dengan komputerisasi dan digitalisasi, juga cukup mendasar dalam fisika, biologi, dan ilmu-ilmu alam lainnya dimana ia memberi kesempatan berlangsungnya reproduksi sempurna dari suatu objek atau situasi; inilah sebabnya kode bisa memberikan jalan sesuatu yang real dan membuka kesempatan bagi munculnya realitas 2.7. yang disebutnya sebagai hiperrealitas (Lechte, 2001: 352)” Semiotika Semiotika merupakan ilmu yang mempelajari tentang tanda. Tanda terdapat di mana-mana, gerak, isyarat, lalu lintas, bendera, nyanyian, tarian, pasien, sampai teriakan mahasiswa yang melakukan demontrasi. Tanda tidak pernah mengatakan kebenaran secara keseluruhan. Tanda memediasi kenyataan, karena tanda membentuk berbagai hal sesuatu dari lingkungan hal-hal yang diketahui yang terhingga kemungkinannya. Contohnya, jika kita menyebut kucing maka, yang terlintas di pikiran adalah hewan berkaki empat, berbulu, dan karnivora. Namun, bila dimaknai lagi ‘kucing’ juga mempunyai makna hewan suci, atau bahkan hewan yang bisa membawa sial. Suatu hal yang direpresentasikan, dan medium yang dipilih untuk melakukan itu bisa sangat berpengaruh pada bagaimana orang-orang menafsirkannya. Ernst Cassier (1944:25) menyatakan, bahwa manusia tidak lagi hanya hidup di dalam dunia nyata, tetapi juga di dunia simbolis. Dengan semakin majunya kegiatan representasi mereka, kontak langsungnya dengan dunia nyata semakin menurun juga. Secara semiotika pesan adalah penanda, dan maknanya adalah petanda. Pesan adalah sesuatu yang dikirimkan secara fisik dari satu orang atau alat ke pasangannya, yang di dalamnya terdapat kumpulan naskah atau pelbagai jenis informasi lain (seperti kepada siapa itu ditunjukan, apa bentuk isinya, dan sebagainya). Pesan bisa dikirimkan secarasecara langsung dari pengirim ke penerima melalui penghubung fisik, atau bisa juga dikirimkan, melalui secara sebagian atau seluruhnya, melalui media elektronik, mekanik, atau digital9. Teori yang digunakan untuk menganalisa semiotika komunikasi film “The Help ” adalah teori semiotika Roland Barthes. Ia berpendapat bahwa bahasa adalah sistem tanda yang mencerminkan asumsi – asumsi dari suaru masyarakat tertentu dalam waktu tertentu dalam waktu tertentu. 1. Signifier (penanda) 2. Signified (petanda) 3. Denotative sign (tanda denotatif) 4. Conotative Signifier (Penanda Konotatif) 5. Conotative Signified (Petanda Konotaitf) 6. Conotative Sign (Tanda Konotatif) Gambar 2.1: Peta Tanda Roland Barthes. ( Paul Cobley & Litza Jansz, 1999:51 ) 9 Danesi, Marcel. Pengantar Memahami Semiotika Media. 2010. Jalansutra : Yogyakarta, hal: 22. : languange : myth Dari peta Barthes di atas dapat digambarkan bahwa tanda denotative (3) terdiri atas penanda (1) (signifier) dan petanda (2) (signified), akan tetapi pada saat yang bersamaan tanda denotatif adalah juga penanda konotatif (4). Denotasi merupakan sistem signifikasi tingkat pertama, sementara kontotasi merupakan tingkat kedua. Dalam hal ini denotasi lebih diasosiasikan dengan ketertutupan makna. Sedangkan konotasi identik dengan operasi ideologi, yang disebut sebagi ‘mitos’ dan berfungsi untuk mengungkapkan dan memberikan pembenaran bagi nilai-nilai dominan yang berlaku dalam suatu periode tertentu. Di dalam mitos juga terdapat pola tiga dimensi penanda, petanda, dan tanda pada sistem pemaknaan tataran kedua. Pada tingkatan pertama (language) Barthes memperkenalkan signifier (1), dan signified (2), yang gabungan keduanya menghasilkan sign (3) kembali menjadi SIGNIFIER (4) dan digabungkan menjadi SIGNIFIED(5), dan menjadi SIGN (6). Sign yang ditingkatan kedua inilah yang berupa myth disebut juga metalanguange. Dapat dikatakan bahwa makna denotatif adalah makna yang digunakan untuk mendeskripsikan makna defisional, literal, gamblang, atau common sense dari sebuah tanda. Sedangkan makna konotatif mengacu pada asosiasi-asosiasi budaya sosial dan personal berupa ideologis, emosional, dan lain sebagainya. Roland Barthes (1915-1980) menggunakan teori siginifiant-signifié dan muncul dengan teori mengenai konotasi. Perbedaannya adalah Barthes menekankan teorinya pada mitos dan pada masyarakat budaya tertentu (bukan individual). Barthes mengemukakan bahwa semua hal yang dianggap wajar di dalam suatu masyarakat adalah hasil dari proses konotasi. Perbedaan lainnya adalah pada penekanan konteks pada penandaan. Barthes menggunakan istilah expression (bentuk, ekspresi, untuk signifiant) dan contenu (isi, untuk signifiè). Secara teoritis bahasa sebagai sistem memang statis, misalnya meja hijau memang berarti meja yang berwarna hijau. Ini disebutnya bahasa sebagai first order. Namun bahasa sebagai second order mengijinkan kata meja hijau mengemban makna “persidangan”. Lapis kedua ini yang disebut konotasi. Film The Help sebelumnya pernah diteliti oleh Astri Nur Afidah10, di dalam jurnal penelitiannya ia membahas mengenai konflik ideologi antar kelas yang terjadi antara kulit hitam dan kulit putih, serta pergerakan yang dilakukan kulit hitam melawan kaum kulit putih. Dalam jurnal penelitian ini Astri sebagai peneliti mengamati representasi konflik dan ideologi dari kelas sosial, yang menyebabkan pergerakan perlawanan yang dilakukan orang kulit hitam kepada majikannya, orang kulit putih. Selain itu ia juga menganalisa tata teknik yang digunakan dalam film The Help. Namun, peneliti merasa jurnal penelitian Astri Nur Afidah masih kurang, terutama dalam hal fokus pemaknaan tindakan diskriminasi yang dilakukan kulit putih terhadap kulit hitam . Oleh karena itu, peneliti merasa perlu melanjutkan dan melengkapi hal yang dirasa kurang di dalam jurnal penelitian tersebut. Kemudian peneliti memulai penelitian terhadap film The Help ini dengan mencari data-data yang diperlukan untuk meneliti film tersebut. 10 Mahasiswa Jurusan Ilmu Komunikasi Universitas Diponegoro, penelitiannya berjudul : Representasi Konflik Ideologi Antar Kelas Dalam Film The Help. Kerangka Pikir Film – The Help Media komunikasi massa Memberikan simbolsimbol rasial Berisi Isu rasial pekerja domestik di Jackson, Mississippi. Tindakan kaum kulit putih terhadap pekerja perempuan kaum kulit hitam (afro american) Analisa makna Semiotika Teori Roland Barthes Penelitian menghasilkan makna baik konotatif maupun denotatif tindakan diskriminatif dalam bentuk verbal dan non-verbal yang dilakukan kulith putih terhadap pekerja kulit hitam