Analisa Tindakan Diskriminasi Kulit Putih Terhadap Kulit Hitam

advertisement
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1.Makna Dan Arti Dalam Semiotika
Seringkali orang-orang menggunakan istilah pesan dan makna secara
bergantian. Namun, hal ini tidak benar bila dilihat dalam sudut semantik.
Contohnya, “rumah ini bersih sekali ya”. Kalimat tersebut sangat sederhana tetapi,
makna pesan tadi bersifat harfiah, dengan si pembicara menyatakan keadaan
rumah tersebut sebagai cara untuk melakukan kontak. Namun, di sisi lain
pernyataan ini juga bisa bersifat ironis, jika dikatakan pada keadaan rumah yang
kotor dan berantakan. Dilihat dari contoh tersebut ‘pesan’ dan ‘makna’ tidaklah
sama, pesan bisa memiliki lebih dari satu makna, dan beberapa pesan bisa
memiliki satu makna. Seperti dalam media massa sering terjadi pesan yang
memiliki berbagai lapisan makna (Danesi, 2010:21-22).
Dari uraian makna dan arti di atas dapat diartikan bahwa memperhatikan
maksud kata yang ada pada terdapat suatu kebahasaan (dialog dalam film).
Komunikasi adalah salah satu bentuk cara manusia agar bisa terhubung
antara satu dengan yang lain dan agar bisa tercipta suatu jalinan. Manusia sejak
dulu telah berkomunikasi baik secara verbal maupun non-verbal. Jika manusia
tidak berkomunikasi dengan sesamanya tidak bisa tercapai tujuan yang diinginkan
serta jalinan sosial antar manusia juga tidak tercipta.
Makna dari sebuah wahana tanda (sign-vechicle) adalah satuan kultural
yang diperagakan oleh wahana-wahana tanda yang lainnya serta, dengan begitu,
secara semantik mempertunjukan pula ketidaktergantungan pada wahan yang
sebelumnya1.
1
Sobur, Alex. Semiotika Komunikasi. 2009. PT. Remaja Rosdakarya. Bandung
Tiga hal yang dijelaskan oleh para filsuf linguis sehubungan dengan
usahanya menjelaskan istilah makna, yaitu2 :
a. Menjelaskan makna kata secara alamiah,
b. Mendeskripsikan kalimat secara alamiah,
c. Menjelaskan makna dalam proses komunikasi.
Fokus makna yang dikaji dalam film The Help adalah mengenai tindakan
rasial yang dilakukan kaum kulit putih terhadap pekerja domestik perempuan
kaum kulit hitam / negro, yang mana dalam film ini kaum kulit putih bertindak
sebagai majikan. Makna dalam film baik dialog, tindakan dalam scene, dan non –
verbal.
2.2.Non-Verbal dan Verbal
2.2.1. Non-Verbal
Tindakan-tindakan dalam film merupakan sebuah pesan yang ingin
disampaikan pelaku sineas kepada penonton. Jenis pesan non-verbal menurut
Duncan (Jalaluddin Rakhmat, 2011:285) terdapat lima di antaranya :

Kinesik atau gerak tubuh,

Prosemik atau penggunaan ruangan personal dan sosial,

Olfaksi atau penciuman,

Sensifitas kulit, dan

Faktor artifaktual seperti pakaian dan kosmetik.
Schlefen menyebutnya dengan istilah lain : kinestik, sentuhan (tactile),
bau-bauan (odorific), teritorial, prosemik, dan artifaktual.
2
Sobur, Alex. Semiotika Komunikasi. 2009. PT. Remaja Rosdakarya. Bandung
Pesan non-verbal dalam klasifikasi Leathers dengan sedikit perubahan
akan terbagi dalam tiga kelompok besar,
a. Pesan non-verbal visual, yang meliputi kinesik, prosemik, dan
artifaktual.
-
Pesan kinesik : menggunakan gerakan tubuh berarti, terdiri atas
tiga komponen utama : pesan fasial, pesan gestural, dan pesan
postural.
1. Pesan fasial
menyampaikan
:
menggunakan
maksud
tertentu.
air
muka
Berbagai
untuk
penelitian
menunjukkan bahwa wajah dapat menyampaikan paling sedikit
sepuluh kelompok makna : kebahagiaan, rasa terkejut,
ketakutan, kemarahan, kesedihan, kemuakan, pengecaman,
minat, ketakjuban, dan tekad. (Leathers (1976:33), Jalaluddin
Rakhmat (2011:285-290) menyimpulkan penelitian-penelitian
tentang wajah sebagai berikut (1) wajah mengkomunikasikan
penilaian dengan ekspresi senang dan tidak senang, yang
menunjukan
apakah
komunikator
memandang
objek
penelitiannya baik atau jelek; (2) wajah mengkomunikasikan
berminat atau tidak berminat keterlibatan dalam lingkungan;
(3) wajah mengkomunikasikan intensitas keterlibatan dalam
suatu
situasi;
(4)
wajah
mengkomunikasikan
tingkat
pengendalian individu terhadap pernyataanya sendiri, dan; (5)
wajah barangkali mengkomunikasikan adanya atau kurangnya
pengertian.
2. Pesan gestural
: menunjukkan gerakan sebagian anggota
badan seperti mata dan tangan untuk mengkomunikasikan
berbagai makna. Menurut Galloway, pesan gestural digunakan
untuk mengungkapkan : (1) mendorong/membatasi, (2)
menyesuaikan/mempertentangkan, (3) responsif/tak responsif,
(4) perasaan positif dan negatif, (5) memperhatikan/tak
memperhatikan,
(6)
melancarkan/tak
reseptif,
(7)
menyetujui/menolak. Pesan gestural yang mempertentangkan
terjadi bila pesan gestural memberikan arti lain dari pesan
verbal atau pesan lainnya. Pesan tak responsif menunjukkan
gestur yang tidak ada kaitannya dengan pesan yang
diresponnya. Pesan gestural negatif mengungkapkan sikap
dingin, merendahkan, atau menolak. Pesan gestural tak
responsif mengabaikan permintaan untuk bertindak.
3. Pesan postural
: berkenaan dengan keseluruhan anggota
badan. Mehrabian menyebutkan tiga makna yang dapat
disampaikan postur : Immediacy adalah ungkapan kesukaan
atau ketidaksukaan terhadap individu lain. Postur yang lebih
condong pada arah yang bisa diajak bicara menunjukkan
kesukaan dan penilaian positif, power mengungkapkan status
yang tinggi pada diri komunikator, dan responsieveness adalah
reaksi emosional pada lingkungan, secara positif dan negatif.
-
Pesan prosemik
: disampaikan melalui pengaturan jarak dan
ruang. Jarak mengungkapkan keakraban kita dengan orang lain.
antropolog Edward T. Hall menyebutkan ada empat macam jarak
yang dipergunakan oleh orang Amerika ketika berhubungan
dengan orang lain. Pesan prosemik juga diungkapkan dengan
mengatur ruangan objek dan rancangan interior. Selain itu, juga
bisa digunakan untuk mengungkapkan status sosial-ekonomi,
keterbukaan, dan keakraban.
Berikut tabel prosemik atau pengaturan jarak. (Tabel 5.1)
Jarak
Contoh-contoh
Akrab :

Fase dekat : 0-6” =

Pecinta yang berpelukan, berbisik lembut
jika ada yang diucapkan.

Fase jauh : 6”-18” =

Ibu dan
anak
bersama;
yang melihat
sahabat
dekat
buku
yang
membicarakan rahasia; bisikan yang
terdengar.
Personal :


Suami istri yang merencanakan pesta;
orang tuan dan anak yang mengobrol;
Fase dekat : 18”-30” =
suara lembut ketika di rumah; suara
penuh di luar rumah.


Fase jauh 30”-4” =
Pembicaraan
tentang
hal-hal
melibatkan
kepentingan
yang
personal;
obrolan sambil menghirup kopi.
Sosial :

Fase dekat 4’-7’ =

Diskusi
bisnis
impersonal;
obrolan
dengan teman sekerja; percakapan dalam
satu perjumpaan sambil lalu.


Fase jauh 7’-12’ =
Diskusi bisnis formal; jarak yang kita
atur
ketika
sendirian,
misalnya
membaca; ketika berbicara pada jarak ini
suara lebih keras dari suara untuk fase
dekat.
Publik :

Fase dekat 12’-15’ =

Suara keras dengan volume tidak penuh;
orang berbicara di depan kelompok kecil.

Fase
jauh
25’-atau
lebih=

Pidato; komunikasi interpersonal yang
tidak memungkinkan, jarak minimum
publik dengan tokoh (politisi, bintang
film)
-
Pesan artifaktual
: diungkapkan melalui penampilan tubuh,
pakaian, dan kosmetik. Orang sering berperilaku dalam hubungan
dengan orang lain sesuai dengan presepsinya tentang tubuhnya
(body image). Hal ini erat kaintannya dengan tubuh ialah upaya
kita untuk membentuk citra tubuh dengan pakaian dan kosmetik.
Pada umumnya pakaian menunjukkan identitas seseorang dan
bagaimana orang lain sepatutnya memperlakukan kita. Pakaian
juga digunakan untuk menyampaikan perasaan kita.
b. Pesan non-verbal non auditif, artinya tidak berupa kata-kata, tidak
terlihat, dan tidak terdengar, dan meliputi sentuhan dan penciuman.
Pesan sentuhan dan bau-bauan (tactile and olfactory messanges) termasuk
pesan non-verbal, non visual, dan non vokal. Alat penerima sentuhan adalah kulit,
yang mampu menerima dan membedakan berbagai emosi yang disampaikan orang
melalui sentuhan. Smith melaporkan berbagai perasaan yang dapat disampaikan
sentuhan, tetapi yang paling biasa dikomunikasikan sentuhan ada lima : tanpa
perhatian (detached), kasih sayang (mothering), takut (fearful), marah (angry),
dan bercanda (playful).
Sedangkan, bau-bauan telah digunakan manusia untuk berkomunikasi
secara sadar dan tidak sadar. Biasanya komunikasi melalui bau-bauan sebagai
pesan berlangsung secara tak sadar. Bila kita dalam keadaan emosional atau
tegang, tubuh kita akan mengeluarkan keringat yang menyampaikan bau khas.
2.2.2. Verbal
Tindakan-tindakan dalam film merupakan pesan yang ingin disampaikan
pelaku sineas kepada penonton. Pesan verbal atau komunikasi verbal adalah
komunikasi dengan kata-kata verbal melalui alat komunikasi yang disebut bahasa.
Sedangkan, bahasa dapat membantu kita untuk memiliki kemampuan memahami
dan menggunakan simbol, khususnya simbol verbal dalam menyusun kerangka
pemikiran yang kemudian dikomunikasikan (Alo Liliweri, 2005:154).
Terdapat cara untuk mendefinisikan bahasa, yaitu fungsional. Bahasa
dalam fungsional melihat dari sisi fungsinya, sehingga diartikan sebagai “alat
yang dimiliki bersama untuk mengungkapkan gagasan”, karena bahasa hanya
dapat dipahami bila ada kesepakatan di antara anggota-anggota kelompok sosial
untuk menggunakannya.
Pesan paralinguistik terdiri atas nada (pitch) menunjukkan jumlah
getaran atau gelombang yang dihasilkan jumlah bunyi. Makin banyak jumlah
getaran, makin tinggi nada. Nada dapat mengungkapkan gairah, ketakutan,
kesedihan kesungguhan, atau kasih sayang. Kualitas suara menunjukkan
“penuh” atau “tipisnya” suara. Setiap individu meempunyai kualitas tersendiri,
sehingga kualitas suara mengungkapkan identitas dan kepribadiannya. Volume
menunjukkan tinggi rendahnya suara. Bila kita marah kita akan menaikan volume
suara kita, ketika dalam suasana romantis kita akan memelankan volume suara
kita. Kecepatan dan ritme dapat menggarisbawahi/menunjukkan kepentingan
pernyataan dan mengungkapkan perasaan.
2.3.Film
Film adalah selaput tipis yang dibuat dari seluloid untuk tempat gambar
negatif (yang akan dibuat potret) atau untuk tempat gambar positif (yang akan
dimainkan dl bioskop) ; lakon (cerita) gambar hidup ( KBBI ).
Sedangkan menurut Undang – Undang Nomor 33 Tahun 2009 Tentang
Perfilman Pasal 1 ayat 1, film adalah sebuah karya seni budaya yang merupakan
pranata sosial dan media komunikasi massa yang dibuat berdasarkan kaidah
sinematogafi dengan atau tanpa suara dan dapat dipertunjukan.
Menurut (Wibowo, dkk, 2006:196), film adalah alat untuk menyampaikan
berbagai pesan kepada khalayak melalui sebuah media cerita dan sebuah medium
ekspresi artistik sebagai suatu alat bagi para seniman dan insan perfilman dalam
mengutarakan gagasan – gagasan ide cerita. Secara esensial dan substansial film
memiliki power yang akan berimplikasi kepada komunikan masyarakat3.
2.3.1. Perkembangan Perfilman
Perkembangan perfilman diawali dengan seorang fotografer asal Inggris
yang berkerja di California bernama Eadweard Muybridge pada tahun 1877 yang
mengambil serangkaian foto kuda berlari secara berurutan dan menghasilkan
gambar bergerak. Kemudian teknologi gambar bergerak berkembang dan salah
satu penemu yang ikut mengembangkan adalah Thomas Edison pada tahun 1888
dan menghasilkan film sepanjang 15 detik. Perfilman terus berkembang pada
masa itu, dan pada tahun 1895 Lumiere bersaudara memberikan pertunjukan
sinematik kepada publik di sebuah café di Paris, Perancis.
Terknologi citra bergerak atau seni gambar bergerak (motion picture) pun
berkembang pesat dan menjadi seni yang berpengaruh pada tahun 1800an. Pada
tingkat penanda, film adalah teks yang memuat serangkaian citra fotografi yang
mengakibatkan adanya ilusi gerak dan tindakan dalam kehidupan nyata.
Selanjutnya pada tingkat petanda, film merupakan cermin kehidupan metaforis
(Marcel Danesi, 2010:134). Topik dalam film merupakan hal yang sangat pokok
dalam semiotika media karena di dalamnya terdapat sistem signifikasi yang
ditanggapi orang-orang masa kini dan melalui film mereka mencari rekreasi,
inspirasi, dan wawasan, pada tingkat interpretant.
Film merupakan salah satu media komunikasi, dimana sineas-sineas bisa
mengkomunikasikan ide, mimpi/impian, kritik sosial ke hadapan khalayak agar
3
www.bimbingan.org/definisi-film.htm (diunduh : 3 - 12 – 2013 : 22.30 )
mereka hal tersebut dapat dilihat dan ditonton. Film juga salah satu cara agar
masyarakat mau mendengarkan dan mengerti pendapat seseorang, karenanya
masyarakat biasanya sudah bosan dengan penyampaian ide secara konvensional
(pidato).
Teknologi perfilman terus berkembang baik dari segi alat maupun dari
teknik pengambilan angle / gambar. Seperti karya D.W. Griffith yang berjudul
The Birth of a Nation pada tahun 1912 diproduksi di Amerika. Pada film ini
Griffith mengembangkan teknik close-up untuk memperlihatkan emosi sang
pemeran. Film berdurasi tiga jam ini mencekam penonton dan memantapkan
sinema sebagai bentuk seni bagi para pemirsa yang berbudaya. Tetapi, ideologi
yang ada dalam film ini, yaitu mengenai rasis yang secara khusus membela akan
supremasi kaum kulit putih untuk melindungi kemurnian rasial. Film ini sangat
banyak menuai kontroversi, yang mana pada saat itu Amerika masih sangat
sensitif dan hingga saat inipun tetap tidak bisa diterima. Hal ini menunjukan film
merupakan media yang sangat menarik untuk menyampaikan ide komunikasi
yang tidak membosankan, dimana di dalam penyampaian tersebut dikemas secara
apik dan berseni baik dari pemeran dan teknik angle(Danesi, 2010: 137).
2.4.Film Sebagai Media Komunikasi Massa
Menurut Effendy (2004:50), komunikasi massa adalah komunikasi melalui
media massa, jelasnya merupakan singkatan dari komunikasi media massa.
Komunikasi Massa merupakan suatu ilmu yang mempelajari tentang komunikasi
massa. Sedangkan media massa itu sendiri adalah saluran-saluran atau media
pengiriman bagi pesan-pesan massa. Medianya dapat berupa surat kabar,
video/film, CD-ROM, dvd ,computer, tv, radio, internet, dan sebagainya.
Massa dalam arti komunikasi massa lebih menunjuk pada penerima pesan
yang berkaitan dengan media massa. Dengan kata lain, massa yang dalam sikap
dan perilakunya berkaitan dengan peran media massa. Oleh karena itu, massa di
sini menunjuk kepada khalayak, audience, penonton, pemirsa, atau pembaca.
2.4.1. Karakteristik
Film The Help merupakan salah satu bentuk media massa, dan memiiliki
karakteristik4 :
1. Komunikator Terlembagakan
Komunikator dalam komunikasi massa terdiri dari sekumpulan orang
yang bergabung bekerja sama dalam sebuah lembaga. Film The Help
merupakan sebuah karya produksi perusahaan film Hollywood. Maka
di dalamnya terdapat tim yang bekerja untuk memproduksi dan
mendistribusikannya.
2. Pesan Bersifat Umum
Pesan-pesan dalam komunikasi massa tidak hanya ditujukan kepada
satu orang atau kelompok masyarakat tertentu, melainkan ke
semuanya. Maka, komunikasi massa bersifat umum. Film the help
diproduksi massal tidak hanya di Amerika, tetapi juga di seluruh dunia.
Maka, pesan-pesan yang ingin disampaikan bersifat umum.
3. Komunikator Anonim dan Heterogen
Komunikator tidak mengenal komunikan (anonim), dikarenakan
menggunakan media dan tidak bertatapan langsung. Penerima
komunikasi massa adalah heterogen dan terdiri dari berbagai lapisan
masyarakat berbeda. Penerima pesan film the help tidak diketahui
apakah oleh anak-anak, orangtua, ibu rumah tangga, ataukah pelajar,
maupun pekerja.
4. Media Massa Menimbulkan Keserempakan
Dalam proses penyebarannya komunikasi massa menimbulkan
keserempakannya di dalam pesan-pesannya. Oleh karena pesan-pesan
yang disampaikan bersifat umum maka, presepsi yang dipikirkan
masyarakat pun menjadi sama, atau terjadi keserempakan, bahwa kaum
negro itu kasar dan tidak sopan. Hal ini disebabkan masyarakat dapat
menikmati media massa tersebut hampir bersamaan.
4
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/20488/4/Chapter%20II.pdf
5. Komunikasi Mengutamakan Isi Daripada Hubungan
Pesan di dalam komunikasi massa telah disusun sedemikan rupa
berdasarkan sistem tertentu dan disesuaikan dengan karakteristik
media massa yang akan digunakan.
6. Bersifat Satu Arah
Komunikator dan komunikan tidak dapat melakukan kontak langsung,
disebabkan komunikasi massa bersifat satu arah.
7. Stimuli Alat Indra “Terbatas”
Dalam komunikasi massa, stimuli alat indra bergantung pada jenis
media massa. Pada skripsi ini peneliti membahas mengenai film maka,
dalam hal ini audien menggunakan indera penglihat dan pendengaran.
8. Umpan Balik (Feedback) Tertunda
Umpan balik komunikasi tertunda, dikarenakan audien melihat karya
dari media massa terlebih dahulu dan dapat melakukan feedback dari
karya tersebut kemudian. Efektivitas komunikasi seringkali dapat
dilihat dari feedback yang disampaikan oleh komunikan (Ardianto,
2004:7). Dalam kasus yang diteliti dalam skripsi ini feedback penonton
terjadi beberapa saat setelah film The Help dirilis di bioskop-bioskop
Amerika.
9. Pengirim pesan biasanya memiliki otoritas, keahlian, dan gengsi
daripada penerima pesan.5
2.4.2. Fungsi
Fungsi komunikasi massa atau fungsi dari media massa dilihat dari
perspektif secara umum yang meliputi :
5
-
Memberi informasi,
-
Memberi pendidikan (to educated),
-
Memberi hiburan (to entertain),
Denis McQuail (2000), Mass Communication Theory, hal 40. (Dalam buku : Morissan. Teori
Komunikasi Massa. 2010. Penerbit Ghalia Indonesia : Bogor)
-
Mempengaruhi (to influence).
2.5. Diskriminasi dan Rasial
2.5.1. Diskriminasi
Diskriminasi adalah setiap tindakan yang dilakukan untuk
membedakan seseorang atau sekelompok orang berdasarkan atas, ras,
agama, suku etnis, kelompok, golongan, status, kelas sosial ekonomi, jenis
kelamin, kondisi fisik tubuh, usia, orientasi seksual, pandangan ideologi
dan politik, serta batas negara, dan kebangsaan seseorang (Sujarwa,
2011:264).
Diskriminasi erat dengan kaitannya dengan prasangka tetapi, kedua
hal tersebut merupakan sesuatu yang berbeda. prasangka merupakan
perasaan atau pikiran manusia tentang suatu kelompok tertentu (biasanya
perasaan negatif) sedangkan, diskriminasi adalah tindakan yang diambil
terhadap kelompok tersebut. Oleh karena itu, sebuah tindakan diskriminasi
muncul
atas
dasar
prasangka/pikiran
seseorang
yang
kemudian
dipraktekan dalam bentuk tindakan (Jenny dan Debbie, 2012:102).
Tindakan diskriminatif ras dan etnis berupa ( UU No.40 tahun 2008,
Tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis, BAB III, Pasal 4 )6:
a. Memperlakukan pembedaan, pengecualian, pembatasan, atau pemilihan
berdasarkan pada ras dan etnis, yang mengakibatkan pencabutan atau
pengurangan pengakuan, perolehan, atau pelaksanaan hak asasi manusia
dan kebebasan dasar dalam suatu kesetaraan di bidang sipil, politik,
ekonomi, sosial, dan budaya; atau,
b. Menunjukkan kebencian atau rasa benci kepada orang karena perbedaan
ras dan etnis yang berupa perbuatan :
6
http://www.komnasham.go.id/informasi/images-portfolio-6/2013-03-18-05-4420/nasional/257-undang-undang-republik-indonesia-nomor-40-tahun-2008-tentangpenghapusan-diskriminasi-ras-dan-etnis (Diunduh : 12-8-2014 : 21.35.)
1. Membuat tulisan atau gambar untuk ditempatkan, ditempelkan, atau
disebarluaskan di tempat umum atau tempat lainnya yang dapat dilihat
atau dibaca oleh orang lain;
2. Berpidato, mengungkapkan, atau melontarkan kata-kata tertentu di
tempat umum atau tempat lainnya yang dapat didengar orang lain;
atau,
3. Mengenakan sesuatu pada dirinya berupa benda, kata-kata, atau
gambar di tempat umum atau tempat lainnya yang dapat dibaca oleh
orang lain; atau,
4. Melakukan perampasan nyawa orang penganiayaan, pemerkosaan,
perbuatam cabul, pencurian dengan kekerasan, atau perampasan
kemerdekaan berdasarkan diskriminasi ras dan etnis.
Menurut Netje.F. Katuuk, Harwantiyoko beberapa penyebab terjadinya
sikap diskriminasi antara lain :
a. Latar belakang suatu pihak,
b. Faktor kepribadian,
c. Dilatarbelakangi sosio-kultural
d. Adanya perbedaan baik dari segi ekonomi, sosial, budaya, agama, dsb.
c. Menurut Vaughan dan Hogg (2005) menjelaskan terdapat kelompokkelompok tertentu yang biasanya menjadi target diskriminasi, yaitu
kelompok jenis kelamin tertentu, ras tertentu, kelompok usia tertentu,
termasuk
kaum
homoseksual
dan
kelompok
individu
dengan
ketunaan/keterbatasan fisik (Jenny & Debbie, 2012:229-232).
a. Sesksisme
Diskriminasi yang terjadi karena pembedaan antara pria dan
wanita. Korban yang banyak mengalami seksisme adalah wanita.
Contohnya adalah fetus7disebabkan budaya yang menganggap
kedudukan pria lebih tinggi daripada perempuan, budaya ini
terdapat di negara Cina, Taiwan, Korea, dan India.
b. Rasisme
Diskriminasi yang terjadi terhadap ras dan etnis tertentu. Hal ini
merupakan diskriminasi yang paling banyak menimbulkan
tindakan brutal. Seperti yang terjadi
di Amerika, diskriminasi
terhadap kaum kulit hitam. Kaum kulit putih menganggap kaum
negro adalah orang desa, budak, dan pekerja kasar. Meskipun
terjadi penurunan pada tahun 1930an namun, pada akhir tahun
1960an pemerintah masih menjalankan kebijakan segregasi yang
berdampak pada rasisme.
c. Ageisme
Suatu keadaan yang menilai kaum tua dianggap tidak berharga atau
kurang dihargai keberadaannya, serta kurang memiliki kekuasaan.
Mereka mengabaikan hak dasar terhadap kaum yang lebih tua.
Negara-negara yang banyak menganut adalah Amerika Serikat,
Australia, Selandia Baru, Kanada, dan Inggris.
d. Diskriminasi Terhadap Kelompok Homoseksual
Diskriminasi yang terjadi terhadap kaum homoseksual, dimana
masyarakat menganggap hal tersebut adalah penyakit dan perlu
dilarang secara legal. Sikap negatif tersebut melahirkan aturanaturan yang dapat menghukum kaum homoseksual.
e. Diskriminasi Berdasarkan Keterbatasan
Suatu tindakan yang menganggap orang yang mempunyai
keterbatasan fisik adalah hal yang menjijikan dan kurang
7
Pembunuhan bayi perempuan.
bermartabat.
Selain
itu,
praktek-praktek
pertunjukan
yang
mempertontonkan keterbatasan fisik mendukung adanya padangan
ini.
a. Bentuk Diskriminasi
Diskriminasi berwujud dalam perilaku yang bervariasi, dari halus atau
tersamar hingga yang nyata kasar. Vaughan dan Hogg (2005)
menjelaskan bentuk-bentuk diskriminasi sebagai berikut (Jenny dan
Debbie, 2012:233-234) :
a. Menolak Untuk Menolong (Reductance to Help)
Menolak untuk menolong adalah suatu bentuk diskriminasi dimana
keadaan berasal dari kelompok tertentu seringkali dimaksudkan
untuk membuat kelompok lain tersebut tetap berada dalam posisi
yang kurang beruntung. Bisa dikatakan kaum mayoritas menolak
untuk menolong kaum minoritas untuk mendapatkan haknya,
misalnya cuti pada datang bulan, jam kerja fleksibel, dan lain-lain.
b. Tokenisme
Bentuk diskriminasi berupa minimnya perilaku positif kepada
pihak minoritas. Perilaku ini nantinya akan digunakan oleh kaum
mayoritas sebagai pembelaan justifikasi bahwa ia sudah melakukan
hal baik yang tidak melanggar diskriminasi. Pada beberapa
organisasi di Amerika Serikat mendapatkan kritik karena adanya
tindakan tokenisme terhadap kaum kulit hitam, perempuan, dan
orang Spanyol. Organisasi ini melakukannya sebagai strategi untuk
terhindar dari diskriminasi.
c. Reverse Discrimination
Merupakan praktek melakukan diskriminasi yang menguntungkan
pihak yang biasanya menjadi target prasangka dan diskriminasi
dengan maksud agar mendapatkan justifikasi dan terbebas dari
tuduhan melakukan diskriminasi, dan hal ini adalah bentuk token
yang ekstrim. Reverse discrimination memberikan keuntungan
kepada kaum minoritas hanya jangka pendek saja namun, seiring
dengan berjalannya waktu ada konsekuensi negatif yang bisa
ditanggung oleh kelompok minoritas tersebut.
2.5.2. Rasial
Suatu kelompok dalam masyarakat terbagi berdasarkan perbedaan dan
persamaan ciri. Dalam membagi kelompok-kelompok tersebut terdapat beberapa
konsep mengenai kelompok-kelompok yang mempunyai definisi berbeda.
Konsep ras diartikan sebagai tanda peran (Role Sign) yang didasarkan
pada ciri fisik. Contohnya, pada Amerika bagian selatan, kaum kulit hitam
memiliki peran untuk menghormati ras kulit putih. Kemudian yang dimaksud
konsep rasialisme adalah bentuk praktik diskriminasi terhadap kelompok lain,
seperti tidak menjual atau menyewakan rumah, membatasi / membuat garis batas
properti dan aktifitas kepada ras atau etnik tertentu (Sunarto, 2004:147).
Diskriminasi terhadap kaum kulit hitam terjadi tidak lepas dari sejarah
masuknya mereka ke benua Amerika. Kaum kulit hitam masuk ke benua
Amerika dibawa secara paksa dari benua Afrika pada pertengahan abad 18.
Mereka dibawa secara paksa oleh bangsa barat sebagai budak dan dipekerjakan
sebagai pekerja kasar. Pada 1825 sekitar 400.000 budak dikirim ke koloni-koloni
Amerika, dan Amerika adalah negara dengan jumlah budak terbesar
dibandingkan dengan negara-negara belahan bumi barat lainnya.
Penyebab sejarah masuknya kaum kulit hitam sebagai budak, mereka
mengalami tindakan diskriminasi selama berabad-abad seperti, menerima bahan
makanan kualitas rendah, perumahan buruk, dan dibiarkan tidak tahu apa-apa
dalam hal pendidikan contohnya (Thomas Sowell, 1989:249-253).
Amerika menganut 3 sistem asimilasi (Indriana Kartini, 2005: 98.), yaitu
(a)Anglo Conformity, yang menuntut imigran yang datang ke Amerika untuk
membuang keseluruhan budaya leluhur mereka dan menerima perilaku dan nilai
Anglo-Saxon sebagai kelompok utama masyakakat Amerika. (b)The Melting
Pot, didasarkan penggabungan biologis antara orang-orang Anglo-Saxon8 dan
kelompok imigran yang disertai peleburan masing-masing kultur dan menjadi
sebuah kultur yang baru . (c)Pluralism cultural, pemeliharaan kehidupan
komunal dan kultur yang signifikan dari kelompok imigran dalam konteks
kewarganegaraan Amerika dan integrasi ekonomi dan politik ke dalam
masyarakat Amerika.
2.6.Teori Konflik Kelas
Teori yang digunakan dalam skripsi ini adalah teori Karl Marx mengenai
konflik kelas.
Karl Marx menjelaskan bahwa masyarakat dibagi menurut kesejahteraan
dan status, sehingga membentuk kelas-kelas dan tingkatan-tingkatan. Tingkatan
sosial didasari pada penaklukan satu populasi oleh populasi lain, yaitu populasi
yang lebih kuat, dan perbedaan ekonomi mereka memunculkan perbedaan status
secara kultural. Dari hal tersebut menghasilkan kelas-kelas dalam masyarakat
yang kompleks, di sisi lain berakar langsung dalam pembagian internal properti
kekayaan (John Scott, 2012:128).
Kebijakan pemerintah dibuat tidak hanya untuk kebijakan atau spirit
kebudayaan, tetapi juga terdapat kepentingan-kepentingan golongan dan kelas.
Ide-ide politik terikat pada pembelaan atau dukungan terhadap kepentingan
sosial, dan konflik antarkelompok. Marx mengungkapkan bahwa, struktur sosial
tidak tercipta secara acak, melainkan terdapat pola yang cukup pasti dalam hal
cara masyarakat di berbagai tempat di dunia, pada berbagai masa dalam sejarah,
mengorganisasi produksi benda-benda material (Pip Jones, 2009:78).
8
Masyarakat kulit putih.
Dalam sejarah dan masyarakat dalam mengorganisir produksi bendabenda, terdapat unsur-unsur cara memproduksinya yang oleh Marx menyebutnya
mode produksi. Pertama, semua masyarakat yang ada sekarang atau sejak dahulu
menunjukan salah satu dari lima cara mengornganisir produksi, yaitu komunis
primitif, kuno, feodal, kapitalis, dan komunis. Kedua, terpisah dari mode produksi
pertama dan terkahir (komunis primitif dan komunis), setiap mode memiliki satu
kesamaan ciri khas, yaitu produksi benda material itu berbasis kelas. Pada semua
masyarakat non-komunis, pada mode kuno, feodal, dan kapitalis hanya ada dua
kelas yang penting, yaitu kelas yang memiliki sarana produksi (menjadi harta
kekayaan mereka) dan ada kelas yang tidak memiliki.
Konflik antar kelas terbentuk melalui properti dan ketidakpunyaan alat
produksi. Dalam masyarakat kapitalis cita-cita tradisional dan status telah
ditanggalkan dan kelas-kelas tampak dalam bentuk yang murni material sebagai
kelas-kelas. Kapitalis modern diorganisasikan di seputar konflik antara kelas
borjuis dari para pemilik kekayaan, yang membentuk ‘kelas penguasa’, dan kelas
proletarian –‘kelas pekerja’ yang tunduk pada kekuasaannya, mereka dieksploitasi
anggota-anggotanya secara bertahap sehingga mencapai sebuah kesadaran tentang
ketertindasan
memungkinkan
mereka
dan
mereka
membangun
untuk
sebuah
berjuang
organisasi politik
menggulingkan
kelas
yang
yang
mengeksploitasi mereka.
Dalam sistem produksi yang berbasis kelas, barang-barang diproduksi
dengan cara yang cukup pasti. Mayoritas orang yang tidak memiliki sarana
produksi, melakukan pekerjaan produktif untuk kepentingan pihak minoritas yang
memiliki sarana produksi. Dalam teori marxis ini adalah ciri kunci masyarakat
non-komunis. Produksi barang material (aktivitas manusia yang paling penting),
selalu terjadi dengan melakukan eksploitasi tenaga kerja mayoritas, yakni kelas
yang tidak memiliki sarana produksi oleh kelas minoritas, yang memiliki sarana
produksi dan tidak mengerjakan sendiri. Jadi, hubungan kelas adalah hubungan
konflik.
Kemudian yang membedakan mode produksi komunis dan non-komunis
adalah siapa anggota kelas tersebut. Setiap mode produksi non-komunis memiliki
kelas dominan, yang memiliki kekayaan, yang berbeda; demikian pula kelas
subordinat, yang dieksploitasi, yang tidak memiliki kekayaan, yang berbeda pula.
2.6.1. Mode Produksi Kapitalis
Dalam mode ini Marx menyebut kaum tenaga kerja dari suatu kelas
pekerja yang tak memiliki tanah sebagai kaum protelar, dan kaum yang memiliki
segalanya / majikan sebagai kaum borjuis.
Fakta yang terpenting adalah bahwa pekerja selalu dibayar lebih rendah
daripada nilai barang yang diproduksi. Suatu nilai keuntungan / nilai surplus tidak
membebani apapun bagi kapitalis, dan merupakan simbol nyata bagi eksploitasi
terhadap pekerja upah oleh majikan mereka.
2.6.2. Peranan Suprastruktur
Peranan supratruktur disini adalah peranan dimana organisasi sosial;
aktivitas non-ekonomi dan gagasan, keyakinan dan falsafah. Istilah ini penting,
dimana menekankan cara suprastruktur suatu masyarakat diciptakan oleh
basisnya; seperangkat aktivitas yang dibangun atas dasar basisnya.

Institusi
: pada tingkat struktur sosial, institusi ekonomi pada setiap
masa (epoch) selalu diatur sedemikan rupa agar menguntungkan mode
produksi. Pada keluarga kapitalis keluarga dan pendidikan diungkapkan
sebagai berikut ( Pip Jones, 2009:84) :
-
Keluarga, dalam masyarakat kapitalis cenderung mendorong dan
mereproduksi hubungan hirarki yang tidak egaliter, dan bertindak
sebagai katub pengaman, meredam rasa kurang senang, sehingga
keluarga kehilangan isi revolusionernya. Menyediakan tempat
dimana anak-anak dilahirkan, dikonsepsikan, dibesarkan dengan
aman, keluarga sebenarnya menyiapkan tenaga kerja untuk masa
depan. Inilah yang dimaksud ketika dikatakan bahwa keluarga
mereproduksi tenaga kerja atas dasar generasi selain keseharian.
-
Pendidikan, Bowles dan Gintis berpendapat bahwa persekolahan
bekerja di sepanjang “bayang-bayang panjang pekerjaan”, yang
berarti sistem pendidikan mencerminkan organisasi prouksi dalam
masyarakat kapitalis. Sebagian besar proses pekerjaan tercermin
pada
perpecahan
kurikulum
menjadi
“paket-paket”
kecil
pengetahuan, setiap subjek diceraikan dari semua yang lain;
kurangnya control terhadap proses pekerjaan tercermin pada tidak
berdayanya anak-anak sekolah berkenaan dengan apa yang akan
mereka pelajari dan bagaimana mempelajarinya di sekolah; dan
perlunya bekerja kalau ingin memperoleh upah ketika pekerjaan
terlihat tidak tentu arah.
Kehidupan keluarga dan sekolah yang menguntungkan kapitalisme dapat
secara absah dikatakan sebagai indentifikasi “fungsi” yang dijalankan isntitusiinstitusi tersebut dalam memenuhi kebutuhan kapitalisme.

Ideologi
Hubungan antara basis dan suprastruktur jelas dalam hal menonjolnya
keyakinan-keyakinan tertentu pada setiap masa yang juga mendukung
organisasi penduduk. Hal ini khususnya penting pada masyarakat
dimana aktivitas memproduksi barang melibatkan eksploitasi banyak
penduduk, membuat mereka tidak setara dan tidak beruntung. Bagi
Marxis ideologi adalah sistem keyakinan yang :
-
Melegitimasi sistem produksi berbasis kelas yang membuatnya
seolah benar dan adil, dan/atau
-
Mengaburkan realitas atas konsekuensi-konsekuensi dari kesadaran
orang.
Gagasan,
keyakinan,
dan
nilai-nilai
bertindak
sebagai
ideologi,
memelihara struktur yang ada, yang tanpa dukungan ideologi struktur tersebut
akan runtuh. Masa ke masa kelas dominan seringkali menerapkan pemaksaan
demi mempertahankan kekuasaan dan supremasinya, tidak berarti bahwa tanpa
pemaksaan itu eksploitasi tidak ada. Sebaliknya, kurangnya pemaksaan terangterangan tidak berarti oposisi meningkat, sehingga untuk membuat pihak
subordinat patuh dan tunduk tidak harus menggunakan kekuatan paksaan.
Kemudian yang terjadi adalah pihak yang didominasi tidak menyadari kondisi
mereka karena efektifnya ideologi yang disosialisasikan kepada mereka.
a.
Konsumerisme : Reproduksi Kebutuhan
Masyarakat kapitalis sangat bergantung pada reproduksi kebutuhan.
b.
Kepasrahan Pekerja Menerima Subordinasi
Kapitalisme bergantung pada sejumlah besar penduduk yang selalu
disosialisasikan agar menerima peranan subordinat mereka. Dalam
keluargalah
pertama
kali
mempelajari
makna
otoritas
dan
mematuhinya. Dalam hal ini pendidikan mendorong pembelajaran
tersebut.
c.
Pembenaran Ketidaksetaraan
Kapitalisme tergantung pada ketidasetaraan yang melekat, apabila
diakui, akan diterima sebagai hal yang adil. Contohnya, seringkali kita
diajarkan bahwa seseorang yang memiliki pendidikan tinggi atau
memiliki pekerjaan yang bagus dianggap sebagai yang berhasil,
sedangkan yang berpendidikan rendah dan berprofesi rendah / bergaji
renda dianggap orang yang gagal. Secara khusus, pendidikan pula
yang mengajarkan bahwa orang-orang yang “kurang mampu” harus
mau menerima ganjaran yang rendah (gaji rendah).
d.
Kesadaran Semu dan Kesadaran Kelas
Kelas
subordinat
tunduk
kepada
ideologi
dominan,
yang
menyembunyikan hakikat yang sebenarnya dari masyarakat kelas,
gambarannya tentang dunia dan tempatnya di dunia adalah keliru.
Kesadaran kelas subordinat mengenai realitas adalah semu / salah
terjadi apabila mode produksi berbasis kelas merosot barulah anggota
kelas subordinat mulai menyingkirkan citra keliru tentang dunia itu,
dan mulai menyadari realitas eksploitasi yang sesungguhnya.
Pandangan subyektif kelas subordinat sendiri dan kondisi mereka
bertemu dan sesuai dengan realitas obyektif. Munculnya kesadaran
tersebut yang menjadi kunci pembuka revolusi meruntuhkan kelas
dominan.
2.6.3. Hiperealitas ( Realitas Semu )
Selain teori kelas sosial Karl Marx, penulis menambahkan teori
hiperealitas yang dikemukakan oleh Jean Baudrillard sebagai teori pendukung
dalam skripsi ini.
Baudrillard mengemukakan teori yang memahami sifat dan pengaruh
komunikasi massa, dimana media massa menyimbolkan jaman baru, bentuk
produksi, dan konsumsi lama telah memberikan suatu jalan komunikasi baru,
dunia yang dikonstruksi dari model atau simulacra (realitas buatan).
Transisi historis dari modernitas ke postmodernitas dalam tiga tahap, yaitu
sejak jaman Renaissance hingga kini telah terjadi tiga kali revolusi simulacra,
yaitu counterfeit, production, dan simulation. Ketiga istilah tersebut mempunyai
arti yang sama yaitu, imitasi atau reproduksi image / obyek. Pertama, image
merupakan representasi dari realitas. Kedua, image menutupi realitas. Ketiga,
image menggantikan realitas yang telah sirna mennjadi simulacrum murni. Pada
tahap sign as sign simbol muncul dalam bentuk irruption. Kemudian Baudrillard
menambahkan pada tahap keempat, fractal atau viral, tahapan transeverything
yang mengubah radikal cara pandang kita terhadap dunia.
Baudrillard berpendapat bahwa pokok masalah
pertama,
dalam
perkembangan industri sejak jaman Reinasannce hingga sekarang adalah sejarah
imitasi / simulacra, atau reproduksi sehingga menimbulkan persoalan makna,
orisinalitas, dan identitas manusia. Kedua, masyarakat konsumen adalah
masyarakat dalam pertanyaan, karena mereka tidak mengetahui kebenaran yang
sesungguhnya. Ketiga, hilangnya realitas. Keempat, perkembangan teknologi
yang melampaui batas, dan mengubah cara pandang manusia terhadap dunia.
Manusia pada abad ini hidup dalam dunia yang penuh dengan simulasi,
dimana gambar, citra, atau penanda suatu peristiwa telah menggantikan
pengalaman. Nilai guna komoditas dan nilai imperative sebuah produksi pun telaj
digantikan
oleh
model,
kode,
tontonan,
dan
hiperealisme
“simulasi”.
Berkomunikasi melalui media membuat orang terjebak dalam permainan simulasi
yang tidak berhubungan yang tidak berhubungan dengan “realitas eksternal”. Pada
masa ini masyarakat sudah sirna dan digantikan oleh mass atau massa, yang tidak
mempunyai predikat, atribut, kualitas, maupun referensi. Obyek konsumen
menata perilaku melalui suatu sign function (fungsi tanda) secara linguistik.
Seperti iklan yang telah mengambil alih tanggung jawab moral atau moralitas
masyarakat, dan menggantikannya dengan moralitas hedonistik yang mengacu
pada kesenangan. Simulasi itu sendiri mengasilkan ruang yang disebut sebagai
ruang simulacrum yaitu, ruang yang berisi realitas-realitas semu (hiperreality).
Simulakrum adalah hasil penggadaan dan penggandaan sehingga tidak
menyertakan
realitas
atau
referensi
asli
dalam
proses
produksinya
(reproduksi) (Rosenue, 1992:XIV) (Argyo, 2009:15)
Kebebasan dan kemerdekaan yang diperoleh dari sitem komoditas “bebas
menjadi diri sendiri” pun diartikan sebagai “bebas untuk memproyeksikan
keinginan seseorang pada barang-barang industri”. Baudrillard berpendapat
bahwa, membeli komoditas adalah tindakan yang sudah direkayasa sebelumnya
dan terjadi pada persilangan dua sistem. Pertama, relasi individual yang bersifat
cair, tak saling berhubungan dengan individu lainnya. Kemudian yang kedua,
relasi produksi yang dikodifikasikan berkelanjutan dan merupakan sebuah
kesatuan. Tidak ada interaksi antara keduanya selain integrasi yang dipaksakan
dari sistem kebutuhan kepada sistem produksi. Obyek konsumsi adalah artikulasi
particular (parole) dari seperangkat ekspresi yang kehadirannya mendahului
komoditas (langue).
Melihat dalam sistem ini terlihat seperti orang yang sedang membangun
menara babel yang berbicara dalam bahasanya sendiri, sehingga antara satu sama
lain bertikai dan berebut pengaruh. Kebutuhan semacam ini diciptakan oleh obyek
konsumsi, yaitu obyek yang bertindak sebagai kategori obyek dengan caranya
yang sewenang-wenang dalam menentukan kategori manusia. Pada masyarakat
konsumen obyek menandai status sosial dan menggantikan segala macam
perbedaan dengan hirari sosial sosial yang ada. Contohnya, orang yang memakai
ponsel Iphone adalah orang kaya dan berstatus sosial tinggi, dan orang yang
memakai ponsel merk cina adalah orang yang berstatus sosial biasa.
Obyek hadir di luar dan di atas aspek kegunaan dan pertukaran.
Baudrillard menyebutnya dengan symbolic exchange, sesuatu yang menempatkan
obyek sebagai cermin subyek sebagaimana halnya cermin dan adegan (scene).
Cermin dan adegan kini digantikan oleh monitor (screen) dan jaringan (network).
Tidak ada lagi transedensi dan kedalaman, yang ada hanyalah permukaan
fungsional dari komunikasi. Dalam televisi, prototipe obyek adalah yang paling
indah pada jaman ini, alam dan tubuh kita telah berubag menjadi layar monitor.
Dalam sistem kapitalis hubungan manusia telah ditransformasikan menjadi
obyek yang dikontrol oleh kode atau tanda tertentu. Perbedaan status dimaknai
sebagai perbedaan konsumsi tanda, sehingga kekayaan diukur dari banyaknya
tanda yang dikonsumsi. Menurut Baudrillard, proses konsumsi dapat dianalisis
dalam prespektif dua aspek mendasar, yaitu : pertama, sebagai proses signifikasi
dan komunikasi yang didasarkan pada peraturan (kode) dimana praktek-praktek
konsumsi masuk dan mengambil maknanya. Dalam hal ini konsumsi merupakan
sistem pertukaran dan sepadan dengan bahasa. Kedua, sebagai proses klasifikasi
dan diferensiasi sosial dimana kali objek/tanda dijadikan bukan hanya sebagai
perbedaan yang signifikan dalam suatu kode tetapi sebagai nilai yang sesuai
aturan dalam sebuah hirarki. Konsumsi dapat menjadi obyek pembahasan yang
dapat menentukan kekuatan, terutama dalam distribusi nilai yang sesuai aturan
(melebihi hubungan dengan pertanda sosial lainnya : pengetahuan, kekuasaan,
budaya, dan lain-lain).
Hiperealitas / realitas semu terbentuk akibat dramatisasi yang dilakukan
melaui alur yang penuh aksi dramatis, kemudian secara umum dikendalikan oleh
rumah produksi yang membuatnya bukan lagi oleh pelaku utama yang memiliki
cerita. Akibatnya menjadi sulit membedakan mana nyata dan mana yang sekedar
tontonan, kepercayaan masyarakat terhadap kenyataan yang sebenarnya bukan
kenyataan. Pembodohohan atas realitas dapat menghasilkan pola budaya meniru
apa yang dilihatnya sebagai sebuah kenyataan di media televisi dilakukan dalam
kehidupan sehari-harinya dan dapat membentuk pola pikir hal yang serba instan.
“Baudrillard menerima konsekuensi radikal tentang yang dilihatnya sebagai
sangat merasuknya kode dalam masa modern akhir. Kode ini jelas terkait dengan
komputerisasi dan digitalisasi, juga cukup mendasar dalam fisika, biologi, dan
ilmu-ilmu alam lainnya dimana ia memberi kesempatan berlangsungnya
reproduksi sempurna dari suatu objek atau situasi; inilah sebabnya kode bisa
memberikan jalan sesuatu yang real dan membuka kesempatan bagi munculnya
realitas
2.7.
yang
disebutnya
sebagai
hiperrealitas
(Lechte,
2001:
352)”
Semiotika
Semiotika merupakan ilmu yang mempelajari tentang tanda. Tanda
terdapat di mana-mana, gerak, isyarat, lalu lintas, bendera, nyanyian, tarian,
pasien, sampai teriakan mahasiswa yang melakukan demontrasi.
Tanda tidak pernah mengatakan kebenaran secara keseluruhan. Tanda memediasi kenyataan, karena tanda membentuk berbagai hal sesuatu dari lingkungan
hal-hal yang diketahui yang terhingga kemungkinannya. Contohnya, jika kita
menyebut kucing maka, yang terlintas di pikiran adalah hewan berkaki empat,
berbulu, dan karnivora. Namun, bila dimaknai lagi ‘kucing’ juga mempunyai
makna hewan suci, atau bahkan hewan yang bisa membawa sial.
Suatu hal yang direpresentasikan, dan medium yang dipilih untuk
melakukan
itu
bisa
sangat
berpengaruh
pada
bagaimana
orang-orang
menafsirkannya. Ernst Cassier (1944:25) menyatakan, bahwa manusia tidak lagi
hanya hidup di dalam dunia nyata, tetapi juga di dunia simbolis. Dengan semakin
majunya kegiatan representasi mereka, kontak langsungnya dengan dunia nyata
semakin menurun juga.
Secara semiotika pesan adalah penanda, dan maknanya adalah petanda.
Pesan adalah sesuatu yang dikirimkan secara fisik dari satu orang atau alat ke
pasangannya, yang di dalamnya terdapat kumpulan naskah atau pelbagai jenis
informasi lain (seperti kepada siapa itu ditunjukan, apa bentuk isinya, dan
sebagainya). Pesan bisa dikirimkan secarasecara langsung dari pengirim ke
penerima melalui penghubung fisik, atau bisa juga dikirimkan, melalui secara
sebagian atau seluruhnya, melalui media elektronik, mekanik, atau digital9.
Teori yang digunakan untuk menganalisa semiotika komunikasi film “The
Help ” adalah teori semiotika Roland Barthes. Ia berpendapat bahwa bahasa
adalah sistem tanda yang mencerminkan asumsi – asumsi dari suaru masyarakat
tertentu dalam waktu tertentu dalam waktu tertentu.
1. Signifier
(penanda)
2. Signified
(petanda)
3. Denotative sign (tanda denotatif)
4. Conotative Signifier (Penanda Konotatif)
5. Conotative Signified
(Petanda Konotaitf)
6. Conotative Sign (Tanda Konotatif)
Gambar 2.1: Peta Tanda Roland Barthes.
( Paul Cobley & Litza Jansz, 1999:51 )
9
Danesi, Marcel. Pengantar Memahami Semiotika Media. 2010. Jalansutra : Yogyakarta, hal: 22.
: languange
: myth
Dari peta Barthes di atas dapat digambarkan bahwa tanda denotative (3)
terdiri atas penanda (1) (signifier) dan petanda (2) (signified), akan tetapi pada
saat yang bersamaan tanda denotatif adalah juga penanda konotatif (4). Denotasi
merupakan sistem signifikasi tingkat pertama, sementara kontotasi merupakan
tingkat kedua. Dalam hal ini denotasi lebih diasosiasikan dengan ketertutupan
makna. Sedangkan konotasi identik dengan operasi ideologi, yang disebut sebagi
‘mitos’ dan berfungsi untuk mengungkapkan dan memberikan pembenaran bagi
nilai-nilai dominan yang berlaku dalam suatu periode tertentu. Di dalam mitos
juga terdapat pola tiga dimensi penanda, petanda, dan tanda pada sistem
pemaknaan tataran kedua.
Pada tingkatan pertama (language) Barthes memperkenalkan signifier (1),
dan signified (2), yang gabungan keduanya menghasilkan sign (3) kembali
menjadi SIGNIFIER (4) dan digabungkan menjadi SIGNIFIED(5), dan menjadi
SIGN (6). Sign yang ditingkatan kedua inilah yang berupa myth disebut juga
metalanguange. Dapat dikatakan bahwa makna denotatif adalah makna yang
digunakan untuk mendeskripsikan makna defisional, literal, gamblang, atau
common sense dari sebuah tanda. Sedangkan makna konotatif mengacu pada
asosiasi-asosiasi budaya sosial dan personal berupa ideologis, emosional, dan lain
sebagainya.
Roland Barthes (1915-1980) menggunakan teori siginifiant-signifié dan
muncul dengan teori mengenai konotasi. Perbedaannya adalah Barthes
menekankan teorinya pada mitos dan pada masyarakat budaya tertentu (bukan
individual). Barthes mengemukakan bahwa semua hal yang dianggap wajar di
dalam suatu masyarakat adalah hasil dari proses konotasi. Perbedaan lainnya
adalah pada penekanan konteks pada penandaan. Barthes menggunakan
istilah expression (bentuk, ekspresi, untuk signifiant) dan contenu (isi, untuk
signifiè). Secara teoritis bahasa sebagai sistem memang statis, misalnya meja
hijau memang berarti meja yang berwarna hijau. Ini disebutnya bahasa
sebagai first order. Namun bahasa sebagai second order mengijinkan kata meja
hijau mengemban makna “persidangan”. Lapis kedua ini yang disebut konotasi.
Film The Help sebelumnya pernah diteliti oleh Astri Nur Afidah10, di
dalam jurnal penelitiannya ia membahas mengenai konflik ideologi antar kelas
yang terjadi antara kulit hitam dan kulit putih, serta pergerakan yang dilakukan
kulit hitam melawan kaum kulit putih. Dalam jurnal penelitian ini Astri sebagai
peneliti mengamati representasi konflik dan ideologi dari kelas sosial, yang
menyebabkan pergerakan perlawanan yang dilakukan orang kulit hitam kepada
majikannya, orang kulit putih. Selain itu ia juga menganalisa tata teknik yang
digunakan dalam film The Help.
Namun, peneliti merasa jurnal penelitian Astri Nur Afidah masih kurang,
terutama dalam hal fokus pemaknaan tindakan diskriminasi yang dilakukan kulit
putih terhadap kulit hitam . Oleh karena itu, peneliti merasa perlu melanjutkan dan
melengkapi hal yang dirasa kurang di dalam jurnal penelitian tersebut. Kemudian
peneliti memulai penelitian terhadap film The Help ini dengan mencari data-data
yang diperlukan untuk meneliti film tersebut.
10
Mahasiswa Jurusan Ilmu Komunikasi Universitas Diponegoro, penelitiannya berjudul :
Representasi Konflik Ideologi Antar Kelas Dalam Film The Help.
Kerangka Pikir
Film – The Help
Media komunikasi
massa
Memberikan simbolsimbol rasial
Berisi Isu rasial pekerja domestik di
Jackson, Mississippi. Tindakan kaum kulit
putih terhadap pekerja perempuan kaum
kulit hitam (afro american)
Analisa makna Semiotika
Teori Roland Barthes
Penelitian menghasilkan makna baik
konotatif maupun denotatif tindakan
diskriminatif dalam bentuk verbal dan
non-verbal yang dilakukan kulith putih
terhadap pekerja kulit hitam
Download