Prevalensi Gangguan Respirasi dan Hubungannya dengan Perilaku Warga Rumah Susun Serta Faktor yang berhubungan Vania Tryanni1, Elisna Syarifuddin2 1 Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia 2 Departemen Pulmonologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia [email protected] Abstrak Pendahuluan: Gangguan respirasi merupakan masalah kesehatan yang perlu menjadi perhatian dikarenkan tingginya angka mortalitas dan morbiditas karenya. Rumah susun sendiri merupakan salah satu alternatif tempat tinggal untuk kota padat seperti Jakarta. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui prevalensi gangguan respirasi dengan perilaku warga rumah susun di wilayah rumah susun Jakarta. Selain itu diliat juga faktor yang mempengaruhi perilaku seseorang. Metode: Metode yang digunakkan dalam penelitian ini adalah cross-sectional dimana pengumpulan data dilakukan dengan pengisian kuesioner. Penelitian ini melibatkan 120 keluarga yang tinggal di daerah rumah susun di Jakarta. Hasil: Dari 513 penghuni rumah susun didapatkan prevalensi gangguan respirasinya adalah 44.2%. Dimana gangguan yang paling sering dialami adalah gangguan saluran nafas atas termasuk ISPA, rhinitis,sinusitis, faringitis mencapai 32.9%. Disusul oleh TBC (7.6%) , PPOK (1.8%) dan asma (1%). Dari hasil analisis didapatkan tidak ada hubungan yang bermakna antara gangguan respirasi dengan perilaku. Analisis juga menunjukkan tidak terdapat hubungan antara perilaku seseorang dengan jenis kelamin, pekerjaan serta pendidikan. Diskusi: Perilaku tidak menunjukkan hubungan yang bermakna dengan ganguan respirasi dikarenakan analisis ini menilai hubungan perilaku respondent dan gangguan respirasi pada keluarga, padahal belum tentu semua anggota keluarga memiliki perilaku yang sama sehingga kurang tergambar. Kedua dibutuhkan indikator yang lebih objektif. Kata Kunci: Gangguan Respirasi, Jakarta, Perilaku, Rumah susun, Sosiodemografi Prevalence of Respiratory Disturbance and its association With Human Behavior in Flat Resident in Jakarta and Other Determining Factor Abstract Introduction: Respiratory disorder is a health problem that needs our attention because it’s cause high mortality and morbidity number. The purpose of this study is to determine the prevalence of respiratory disorder and its relationship with human behavior in residents of flat in Jakarta, also looked for factor that influence a person’s behavior. Method:This study methodology is cross sectional. The data is obtanaid by quostionare filling and involved 120 family that live in flats in Jakarta Results: Of 513 residents of the apartement the prevalence of respiratory disorder was 44.2%. Where the most often experienced disorder is upper respiratory illness, including upper respiratory infections, rhinitis, sinusitis, phrayngitis wich reach 32.9%. Follow by lung tuberculosis (7.6%), COPD (1.8%), and asthma (1%). The most experienced symptoms is shortness of breath (4.1%) beyond cough. From the analysis there isn’t significant relationship between repiratory disorder and behavior. The analysis also showed there was no correlation between health behavior with gender, occupation and education. Discussion: Overall behavioral and each indicators do not show significant correlation may caused by this analysis assessing the relationship of respondent behavior and respiration disorder in the family, though not necessarily all members of the family have the same behavior. Prevalensi gangguan..., Vania Tryanni, FK UI, 2013 Keyword : Flat, Health behavior, Jakarta, Respiratory disorder, Sosiodemografic Pendahuluan Sistem pernafasan adalah sistem yang sangat penting untuk kehidupan manusia. Ia memegang banyak peranan penting yang sec ara garis besar dibagi menjadi fungsi respirasi dan non-respirasi. Fungsi respirasi di sini adalah proses memasukan oksigen dari luar tubuh kedalam tubuh untuk digunakan lebih lanjut sebagai bahan utama metabolisme sel. 1 Karena fungsinya itu, sistem ini selalu terpapar ke dunia luar terhadap dunia luar yang menyebabkan kerentanan sistem ini untuk mengalami ganggguan. Gangguan sistem respirasi sendiri secara garis besar dibagi kedalam 2 kelompok, yaitu penyakit paru restriktif dan paru obstruktif yang masih terbagi kedalam beberapa kelompok kecil lainnya. Namun yang disayangkan kewaspadaan warga Indonesia terhadap gangguan ini masih relatif rendah. Mungkin hal ini dikarenakan gejala yang timbul sering dianggap sepele oleh masyrakat, seperti batuk dan sesak nafas.2 Penyakit saluran pernafasan memilki prevalensi yang cukup tinggi, di Amerika sendiri kira kira 35 juta warganya mengalami gangguan respirasi obstruktif. Gangguan ini menyebabkan angka morbitas yang tinggi, kira kira ia menghabiskan uang 154 juta dolar Amerika untuk mengatasi efeknya. Selain itu gangguan ini merupakan penyebab kematian ke-tiga tersering di dunia, setelah gangguan jantung dan kanker dan angka ini terus naik. Pada tahun 2008 insiden mortalitasnya hingga 135.5/100.000 kematian.2 Keadaannya di Indonesia tidak jauh berbeda, yang menjadi perhatian di Indonesia adalah infeksi TBC (Tuberculosis). Menurut RISKESDAS 2007, TBC merupakan penyebab kematian ke dua setelah stroke, dengan insidens 275/100.000 penduduk/tahun dengan prevalensi 0.99%. Pada tahun 2010 terjadi sedikit penurunan menjadi 244 kasus/100.000 penduduk /tahun dengan total prevalensi 177.926 penderita. Dengan prevalensi tertinggi terdapat pada wilayah Jawa Barat dengan total 29.851 kasus. Selain infeksi TBC yang juga menjadi perhatian adalah ISPA dengan prevalensi 25.5% dengan angka tertinggi di kota Kaimana (63.8%). Serta pneumonia dengan prevalensi 2.13%3,4. Sedangkan untuk penyakit paru kronis, COPD dengan prevalensi 5.6%5, dan Asma sekitar 13.6 bervariasi dari 2.1% hingga 22.2%%6. WHO mengatakan bahwa saat seseorang terinfeksi TBC maka ia akan kehilangan penghasilannya selama 3- 4 bulan karena proses pengobatan yang panjang. Prevalensi gangguan..., Vania Tryanni, FK UI, 2013 Demikian juga dengan penyakit paru obstruktif yang menyebabkan keterbatasan dalam melakukan aktifitas sehari hari.7 Di Wilayah Jakarta sendiri, pada tahun 2009 terdapat 13.377 kasus TBC klinis, dimana prevalensi paling tinggi berada di wilayah Jakarta Timur dengan 5123 kasus.8 Namun yang perlu diingat adalah gangguan respirasi ini adalah suatu gangguan yang dapat dicegah2. Salah satu faktor resiko adalah kebiasaan merokok, baik perokok aktif maupun pasif. Faktor resiko lainnya yang juga tidak kalah berbahaya adalah polutan dalam rumah yang berasal dari bahan bakar, Nitrit oksida, dan formaldehyde. Yang tidak kalah penting juga adalah polutan dari lingkungan luar seperti kendaraan bermotor, polutan lingkungan kerja, serta allergen. Dimana kesemua faktor resiko diatas sangat berkaitan dengan perilaku dan kebiasaan hidup seseorang9. Sehingga yang dapat dilakukan sekarang adalah memberikan penjelasan dan penyuluhan kepada masyarakat luas, bukan hanya mengenai TBC namun juga penyakit respirasi lainnya. Perlu juga diberi penjelasan mengenai gejala gejala gangguan respirasi sehingga meningkatkan kewaspadaan dari masyarakat. Rumah susun adalah salah satu alternatif tempat tinggal untuk Negara berkembang, dimana kepadatan penduduk yang tinggi tidak dibarengi dengan ketersediaan lahan tempat tinggal. Di Jakarta sendiri cukup banyak terdapat rumah susun . Kira kira tercatat terdapat 77 rumah susun dari berbagai tingkatan ekonomi. Dengan demikian cukup banyak penduduk Jakarta yang memilih tempat tinggal di area rumah susun. Untuk melakukan modifikasi perilaku bukanlah sebuah perkara yang mudah. Perilaku seseorang ditentukan oleh banyak faktor. Oleh karena itu agar pendekatan dan pengenalan perilaku sehat dapat berjalan secara efektif dan efisien, diperlukan terlebih dahulu mengenai karakterisitik warga serta karakteristik perilaku. Tinjauan Teoritis Penyakit respirasi digolongkan menjadi 2 kelompok besar, yaitu penyakit paru restriktif dan obstruktif. Namun kali ini dijadikan ke 2 kelompok lain yaitu infeksi dan obstruktif. Penyakit infeksi saluran nafas atas akut (ISNAA) adalah penyakit infeksi yang menyerang saluran nafas atas mulai dari faring hingga laring. Biasanya penyebabnya adalah infeksi virus yang kemudian mempermudah terjadinya infeksi bakteri. Infeksi saluran nafas bawah akut, adalah infeksi yang menyerang saluran nafas bawah yaitu mulai dari bronkus hingga alveolus. Beberapa penyakitnya antara lain bronchitis akut dan pneumonia. Salah satu masalahnya adalah seluruh penyakit ini memberikan manifestasi yang sama yaitu berupa batuk, sesak nafas, nyeri dada dan batuk darah. Prevalensi gangguan..., Vania Tryanni, FK UI, 2013 Salah satu penyakit infeksi yang telah dikenal lama adalah tuberculosis. Penyakit ini adalah infeksi kronik yang disebabka oleh kuman Mycobacterium tuberculosa. Walaupun dengan kemajuan tehnik pengobatan, diperkirakan 1/3 penduduk dunia pernah mengalami infeksi kuman ini. Dan di Indonesia sendiri penyakit ini merupakan penyebab kematian terbanyak ke-2. Penularannya lewat droplet mukus yang dihasilkan oleh batuk, namun tidak semua paparan menyebabkan terjadinya infeksi. Ada beberapa faktor yang mempengaruhi yaitu sumber infeksinnya. pertahanan tubuh, lama terhadap paparan serta lingkungan. Kelompok lainnya adalah penyakit paru obstruktif yang terdiri atas PPOK (penyakit paru obstruktif kronik), emfisema, bronchritis kronik, dan asma. Pada penderita PPOK terjadi limitasi saluran udara yang dapat terjadi sepenuhnya, bersifat reversibel dan progressive. Sedangkan emfisema adalah suati kondisi dimana terjadi pelebaran rongga udara pada bronkiolus distal sampai terminal disertai dengan destruksi dari dindingnya. Proses destruksi ini terjadi karena adanya inflamasi sedang-kroni, dan ketidak seimbangan antara protease dan anti-protease serta peningkatan dari oksidan bebas. Penyakit selanjutnya dalam kelompok ini adalah bronchitis kronik, yaitu suatu kondisi dimana pasien mengalami batuk dengan sputum yang persisten selama 3 bulan dalam 2 tahun terakhir. Pada dasarnya penyakit ini terjadi karena hipersekresi mukus serta hyperplasia sel goblet akibat dari peningkatan protease. Terakhir yang akan dibahas adalah mengenai asma, yaitu suatu penyakit inflamasi kronik yang menyebabkan episode berulang dari mengi, sulit bernafas,sesak dada dan batu terutama di malam atau pagi hari. Gejala ini dikaitkan dengan terjadinya bronkokontriksi. Seperti yang telah disebutkan di atas, penyakit paru sangat berkaitan dengan perilaku sehat. Perilaku sehat adalah respon berupa aktivitas seseorang baik yang terlihat maupun tidak terlihat terhadap stimulus atau objek yang berkaitan dengan sehat-sakit, penyakit, dan faktor faktor yang mempengaruhi kesehatan seperti lingkungan, makanan dan pelayanan kesehatan yang berkaitan dengan pemeliharaan dan peningkatan kesehatan. Menurut bloom suatu perilaku dibentuk mulai dari pengetahuan, sikap dan kemudian baru menjadi perilaku. Di Indonesia sendiri depaterman kesehatan telah menentukan 10 perilaku sehat antara lain mencari pertolongan persalinan, memberikan ASI eksklusif, tidak merokok, melakukan akitfitas fisik, mengkonsumsi sayur dan buah, kepemilikikan jaminan kesehatan, tersdia MCK, ari bersih, rumah tangga dengan kesesuaian luas dan dengan lantai bukan tanah. Pada penelitian kali ini perilaku yang dibahas termasuk didalamnya kebiasaan merokok, kebiasaan minum alkohol, kebiasaan memelihara binatang berbulu serta kebersihan lingkungan rumah. Prevalensi gangguan..., Vania Tryanni, FK UI, 2013 Merokok baik pasif maupun aktif, telah terbukti secara klinis memiliki efek yang buruk terhadap sistem respirasi. Merokok telah diketahui sebagai salah satu penyebab kanker baru, PPOK, serta faktor resiko dari beberapa penyakit infeksi.8 Kebiasaan minum alkohol kronik dapat menyebabkan gangguan fungsi pernafasan dengan menurunkan produksi gluthione (GSH) yang berfungsi sangat banyak dalam sistem pernafasan. Hal tersebut akan berdapampak pada lebih mudahnya terjadi ARDS (acute respiratory distress syndrome10, 8). Lokasi aktifitas sehari hari serta kebersihan rumah sangat mempengaruhi kesehatan respirasi, hal ini berkaitan dengan keberadaan polutan baik dalam maupun luar ruangan yang berkaitan dengan penyakit respirasi tertentu. 8 Memelihara binatang berbulu dapat menginduksi berbagai gangguan sistem respirasi, karena partikelnya yang kecil yang dapat menjadi alargen maupun vektor infeksi.8 Metode Penelitian Penelitian ini dilakukan pada rentang oktober 2011 hingga januari 2013. Dilakukan di 3 rumah susun kelas menengah kebawah di Jakarta. Dari 77 rumah susun yang ada di Jakarta, 44 diantaranya adalah rumah susun dari kelas menengah kebawah. Dari 44 rumah susun tersebut, Setelah mendapatkan rumah susuh dengan kelas ekonomi menengah ke bawah, kemudia dilakukan metode cluster random sampling diambil 3 rumah susun yang berbeda dari 3 kotamadya di wilayah DKI Jakarta. Didapatkan rumah susun Tanah tinggi di wilauah Jakarta Pusat, Rumah susun Penjaringan di Jakarta Utara dan Rumah susun Tambora di Jakarta barat. Dari masing masing rumah susun dipilih 4-8 blok tergantung dari besar rumah susun dengan metode random sampling. Kemudian dari tiap lantai pada tiap blok dipilih 2 kepala keluarga dengan metode random sampling. Sehingga didapatkan 120 respondent. Penelitian ini menggunakkan metode cross-sectional untuk mencari prevalensi gangguan respirasi dan hubungannya dengan perilaku masyrakat rumah susun. Data didapat dari pengisian 120 kuesioner yang dipandu, dapat dibacakan atau responden mengisi sendiri namun bertanya apabila ada pertanyaan yang tidak dimengerti. Kuesioner berisis data umum respoden, data gangguan respirasi dan data perilaku. Sebelum melakukan pengisian kuesioner, peneliti telah melakukan informed consent. Kuesioner yang digunakkan adalah kuesioner buatan sendiri yang telah di validasi. Prevalensi gangguan..., Vania Tryanni, FK UI, 2013 Seseorang dikatagorikan memiliki gangguan respirasi apabila ia pernah didiagnosa oleh dokter atau pernah mengalami gejala sakit respirasi berupa batuk, batuk darah, sesak nafas atau nyeri dada. Sedangkan data perilaku dilakukan dengan wawancara kebiasaan respondent. Data yang telah dikumpulkan kemudian di verifikasi dan di koding dengan manual. Kemudian dengan menggunakkan program SPPS for window 11.5 version, data akan dianlisis sesuai dengan jenis data dan sebarannya. Pada penelitian ini variabel data terdiri atas kelompok katagorik- katagorik sehingga diuji menggunakkan uji chi-square namun apabila tidak memenuhi syarat chi-square akan digunakkan uji kolmogorov-smirnov atau uji Fishcher tergantung dari jumlah data dan jumlah kolum. Dari uji yang dilakukan, akan didapatkan nila p. Suatu uji dianggap bermakna apabila nila p< 0.05 dan tidak bermakna apabila nila p>0.05. Kemudian data disajikan dalam bentuk tabel dan diagram. Hasil Penelitian Tabel 1. Prevalensi Gangguan Respirasi Kategori Gangguan Respirasi Pernah (%) Tidak Pernah (%) PPOK 9 (1,8) 504 (98,2) Batuk kronik 3 (0,6) 510 (99,4) Tuberkulosis paru 39 (7,6) 474 (92,4) Asma 5 (1,0) 508 (99,0) Pneumonia 1 (0,2) 512 (99,8) Infeksi jamur 4 (0,8) 509 (99,2) Gangguan saluran nafas atas 169 (32,9) 334 (67,1) Sesak nafas 21 (4.1) 492 (4.1) Nyeri dada 5 (1.0) 508 (99) Batuk darah 2 (0.4) 511 (99.6) Dari hasil data yang dikumpulkan didapatkan bahwa prevalensi gangguan respirasi di rumah susun pada wilayah Jakarta 44.2%. Dari tabel terlihat bahwa prevalensi paling besar adalah gangguan saluran nafas atas yang mencapai 169 kasus (32.9%) dan disusul dengan Prevalensi gangguan..., Vania Tryanni, FK UI, 2013 infeksi TB dengan prevalensi 7.6%. Yang paling rendah adalah prevalensi dari pneumonia yang hanya ditemukan 1 kasus (0.2%) Tabel 2. Sebaran Perilaku Sehat dan Hubungnnya Dengan Prevalensi Gangguan Respirasi Indikator Perilaku Perilaku keseluruhan Merokok Merokok dalam rumah Meminum Alkohol Lingkungan berbahaya Memelihara binatang berbulu Kebersihan rumah Baik Buruk Ya Tidak Ya Tidak Ya Tidak Ya Tidak Ya Gangguan Respirasi Sakit Tidak Sakit 37 (30.8) 16 (13.3) 51(40.5) 16 (13.3) 42 (35) 16 (13.3) 46 (38.3) 16 (13.3) 15 (12.5) 8 (6.7) 73 (60.8) 24 (20) 6 (5) 3 (2.5) 82 (68.3) 29 (24.2) 21 (17.5) 10 (8.3) 67 (55.8) 22 (18.3) 9 (7.5) 2 (1.7) P p>0.05* p>0.05* p>0.05* p>0.05* p>0.05* p>0.05* Tidak Ya Tidak 79 (65.8) 77 (64.2) 11 (9,2) 30 (25) 31 (25.8) 1 (0.8) p>0.05* ‘* Uji Chi-Square Terlihat total respondent yang memilki perilaku baik adalah 53 (44.2%), artinya mayoritas warga rumah susun belum memilki kesadaran pentingnya perilaku hidup sehat. Dari 44.2% respondent berperilaku sehat, 37 keluarga (30.8%), minimal salah satu anggota keluarga, pernah mengalami gangguan respirasi minimal 1 kali. Sedangkan 16 kepala keluarga lain yang berperilaku sehat, belum ada anggota keluarga yang pernah mengalami gangguan respirasi. Namun perbedaan ini tidak bermakna secara statistic (p=0.284). Dari data didapatkan juga bahwa 88 keluarga (73.3%) pernah mengalami gangguan respirasi, minimal 1 anggota kelurga mereka. Tabel 2 menggambarkan mengenai ringkasan indikator perilaku yang dipakai. Dikarenakan setiap penelitian tentang perilaku menggunakkan indikator yang berbeda beda, sehingga penulis merasa perlu untuk membandingkan antara masing masing indikator dengan prevalensi gangguan respirasi. Dari 13 pertanyaan, keseluruhannya dapat dipakai 6 indikator yang dianggap dapat mewakili perilaku seseorang dan benar benar merupakan perilaku sehat untuk menjaga kesehatan respirasi. Dari tabel diatas didapatkan bahwa dari 120 respondent yang diwawancarai, 58 orang (48.3%) merupakan perokok. Dimana 48 diantaranya, minimal Prevalensi gangguan..., Vania Tryanni, FK UI, 2013 salah satu anggota keluarganya pernah mengalami gangguan resirasi. Dari 58 orang tersebut, 23 diantaranya juga merokok dalam rumah. Setelag dilakukan analisi didapatkab bahwa tidak ada hubungan berarti antara kebiasaan merokok baik di dalam (p=0.233) maupun di luar rumah (p=0.494) dengan masalah gangguan respirasi yang dialami Demikikian juga dengan kebiasaan meminum alkohol (p=0.448), tidak memiliki hubungan dengan gangguan respirasi. Hanya sekitar 9 (7.5%) respondet yang meminum alkohol, dan 6 diantaranya salah satu anggota keluarganya pernah mengalami gangguan respirasi. Terdapat 31 respondent (25.8%) yang memiliki lingkungan aktifitas yang berbahaya. Berbahaya disini maksudnya adalah pabrik, pinggir jalan raya dan lingkungan aktifitas lainnya yang menyebabkan kontak dengan bahan kimia serta polutan udara yang berbahaya. Dari 31 respondent, 21 diantaranya salah satu anggota keluarga mereka pernah mengalami gangguan respirasi dan 10 diantaranya tidak. Namun perbedaan ini tidak bermakna pada uji chi-square dengan p=0.277. Hasil yang sama juga ditunjukkan oleh tingkat kebersihan rumah (p=0.117). 108 respondent (90%) dianggap memiliki kebersihan yang baik, dengan 77 diantaranya minimal salah satu anggota keluarganya pernah memiliki gangguan respirasi. Indikator yang terakhir adalah kebiasaan memelihara hewan berbulu. Terdapat 11 respondent (9.2%) yang memiliki peliharaan hewan berbulu, dan 9 orang dianataranya salah satu anggota keluarganya pernah mengalami gangguan respirasi. Dari hasil analisis, tidak didapatkan hubungan bermakna antara gangguan respirasi dan kebiasaan ini. Tabel 4. 2 Sebaran Sampel Berdasarkan Karakteristik Demografik dan Hubungannya dengan Perilaku Variabel Jenis Kelamin Katagorik Laki-laki Perempuan Pekerjaan Wiraswasta PNS Tidak Bekerja Pelajar Ibu Rumah Tangga Karyawan Tidak Jawab Pendidikan Pendidikan Rendah Terakhir Pendidikan Menengah Perilaku Baik 31 (25.8) 22 (18.3) 22 (18.3) 4 (3.3) 4 (3.3) 2 (1.7) 14 (11.7) 6 (5.0) 1 (0.8) 14 ( 11.7) 6 (5.0) Buruk 41 (34.2) 26 (21.7) 27 (22.5) 7 (5.8) 6 (5.0) 0 11 (9.2) 16 (13.3) 0 11 (9.2) 16 (13.3) Prevalensi gangguan..., Vania Tryanni, FK UI, 2013 P p>0.05* p>0.05** p>0.05* Pendidikan Tinggi 4 (3.3) 8 (6.7) ‘* Chi-Square ‘** Kolmogorov- Smirnov Dari tabel 4.5 didapatkan bahwa banyak karakteristik umum penduduk berhubungan dengan perilaku sehat seseorang. Jenis kelamin, kedudukan dalam keluarga, serta pekerjaan memiliki hubungan yang berarti dengan perilaku seseorang dengan p=0,455 . Disini terlihat bahwa kebanyakan laki laki ( 56.9%) dan perempuan ( 54,2%) masih memiliki perilaku yang kurag sehat. Dilihat dari presentasenya masih lebih banyak perempuan yang memiliki perilaku sehat, namun perbedaan ini tidak bermakna secara statistik. Dilihat dari pekerjaan, pelajar dan mahasiwa adalah yang memiliki perilaku sehat, 100% respondent yang berprofesi sebagai pelajar atau mahasiwa memiliki perilaku yang cukup sehat. Profesi dengan perilaku paling buruk adalah pegawai negeri sipil (63.6%) dan karyawan atau buruh (72.7%). Pada saat dilakukan analisis pertama menggunakan chisquare, ternyata tidak memenuhi syarat. Oleh karena itu dilakukan uji Kolmogorov Smirnov dengan P=0,581 artinya tidak terdapat hubungan antara pekerjaan seseorang dan perilakunya. Pendidikan tidak memilki hubungan berarti dengan perilaku dengan p=0.662. Terlihat bahwa yang berpendidikan rendah (termasuk bayi dibawah 3 tahun) memilki perilaku yang lebih baik. Kira kira 41.7% orang dengan pendidikan rendah memiliki perilaku yang cukup sehat.Yang sangat disayangkan adalah pada orang dengan tingkat pendidikan tinggi, presentasi perilaku sehatnya sangat turun hanya menjadi 33.3%. Sedangkan pada populasi dengan pendidikan menengah, 47.2% berperilaku sehat. Pembahasan Prevalensi gangguan respirasi Pada penelitian terhadap 120 kepala keluarga dengan sampel total 513 orang, didapatkan prevalensi gangguan respirasi mencapai 42.4%. Gangguan respirasi terbanyak adalah gangguan saluran nafas atas yang termasuk didalamnya batuk, sinusitis, rhinitis dan ISPA. Angka ini lebih tinggi dari hasil RISKEDAS 2007, yang menyatakan prevalensi ISPA Jakarta sebesar 22.6%. Angka di rumah susun lebih tinggi dikarenakan angka ini termasuk gangguan saluran nafas atas lainnya, seperti sinusitis dan rhinitis. Selain itu perlu juga diingat bahwa penelitian ini dilakukan di rumah susun dengan kelas menengah kebawah yang memiliki kesadaran yang lebih rendah dan faktor resiko yang lebih tinggi terhadap penyakit Prevalensi gangguan..., Vania Tryanni, FK UI, 2013 penyakit respirasi. Hal ini mungkin juga disebabkan karena perbedaan lingkungan di rumah susun dengan rumah biasa. Prevalensi kedua tertinggi adalah infeksi tuberculosis yang mencapai angka 7.6%. Angka in jauh lebih tinggi dari angka riskesdas 2007, yang menyatakan prevalensi TB di Jakarta berada di sekitar 1.26%. Hasil ini menunjukkan bahwa masyarakat rumah susun jauh lebih beresiko terhadap infeksi saluran pernafasan dibanding warga Jakarta secara keseluruhan. Selain karena lingkungan dan tingkat sosioekonomi, mungkin juga karena kuranganya kesadaran warga karena minimnya informasi. Menurut kebanyakan warga sangat jarang diadakan penyuluhan mengenai penyakit yang melibatkan seluruh warga rumah susun. Didapatkan juga prevalensi pneumonia di warga rumah susun sebesar 0.2%. Angka ini lebih tinggi dari angka RISKESDAS 2007 yang menyatakan bahwa prevalensi pneumonia mencapai angka 1.67%. Prevalensi pneumonia di rumah susun dapat lebih rendah mungkin karena jumlah perokok yang lebih rendah di wilayah rumah susun. Dari 513 sampel yang didapat, hanya 24% warga yang merupakan perokok sedangkan hasil riskesdas menujukkan jumlah perokok mencapai 34.2%. Seperti yang kita ketahui, bahwa pneumonia lebih sering terjadi pada orang dengan faktor resiko tertentu seperti perokok, lansia,penderita diabetes atau lainnya. Sayangnya faktor resiko penyakit pendahulu kurang dicari pada studi kali ini. Perlu diingat juga bahwa riskesdas juga turut memperhitungkan pneumonia yang terjadi pada anak dibawah 5 tahun, sedangkan populasi warga rumah susun yang berada di rumah susun sangat kecil hanya 9.3%. Kira kira sekitar 1% warga rumah susun yang telah didiagnosis oleh dokter mengalami asma. Masih berdasarkan riskesdas, didapatkan bahwa prevalensi asma nasional mencapai 4%, dan di Jakarta sendiri mencapai 2.2%. Hal ini menunjukkan prevalensi yang lebih rendah. Angka 2.2% sendiri adalah angka yangt telah didiagnosis dokter. Mungkin belum semua warga rumah susun yang memeliki asma, telah mendapatkan diagnosis dari dokter melihat dari sisi ketersediaan fasilitas kesehatan dan tingkat ekonominya. Gangguan respirasi dan perilaku Saat dianalisa , perilaku respondent secara keseluruhan tidak berhubungan bermakna dengan prevalensi gangguan respirasi di keluarga tersebut . Hasil ini bertentangan dengan banyak teori perilaku kesehatan seperti health belief mode dan triage epidemiologi. Hal ini mungkin terjadi karena perilaku satu orang dalam keluarga, dalam hal ini respondent, belum tentu dapat mewakilkan atau sama dengan perilaku anggota keluarga lain. Selain itu perlu juga diperhatikan adanya faktor lain yaitu kerentanan host dan agent infeksi/penyakit itu sendiri. Analisa ini menggunakkan gambaran kasar perilaku seseorang namun dikarenakan indikator Prevalensi gangguan..., Vania Tryanni, FK UI, 2013 perilaku yang dipakai di setiap penelitian berbeda maka tidak dapat dilakukan perbandingan dengan penelitian lainnya. Oleh karena itu ingin juga dilihat hubungan antara indikator perilaku yang dipakai dan hubungannya dengan prevalensi gangguan respirasi. Pertama adalah kebiasaan merokok, dari hasil studi ini ditemukan tidak ada hubungan antara merokok dengan gangguan respirasi. Hasil ini bertentangan dengan berbagai hasil penelitian sebelumnya. Rokok sejak tahun 1964 telah ditentukan oleh the Advisory Committee to the Surgeon General of the United States adalah faktor resiko utama dari kematian akibat bronchitis kronik dan emphysema11. Efek rokok bersifat dose dependent. Rokok juga dikaitkan dengan penyakit paru lainnya seperti idiophatic pulmonary fibrosis, histiocytosis, bronchiolitis dan lain sebagainya10 Hal ini mungkin dikaitkan dengan peran rokok yang meningkatkan proses inflmasi di paru12. Rokok juga menyebabkan terjadinya gangguan penyembuhan dan remodeling dari paru. 12 . Rokok juga dikaitkan dengan peningkatan resiko terkena penyakit infeksi karena mengurangi gerakan silia pada mukosa saluran respirasi. Selain itu rokok juga meningkatkan kemungkinan serangan asama dan infeksi Mycobacterium tuberculosa12,13. Tidak berhubungannya kebiasaan merokok dan gangguan respirasi ini mungkin dikarenakan efek rokok adalah dose dependent dan akumulatif sehingga dampaknya belum terlalu dirasakan sekarang. Selain itu rokok merupakan faktor resiko utama dari COPD dan keganasan, sedangkan prevalensi keduanya relatif kecil pada populasi sampel (1.8% dan 0%) sehingga hubungan keduanya tidak terlihat. Walau rokok juga memberikan dampak terhadap pertahanan dari sistem pernafasan yang memudahkan terjadinya proses infeksi, perlu diingat kembali bahwa banyak faktor yang mempengaruhi proses terjadinya penyakit infeksi saluran pernafasan. Indikator selanjuatnya adalah merokok dalam rumah. Merokok dalam rumah akan menjadikan penghuni rumah lainnya sebagai perokok pasif. Dikatakan bahwa perokok pasif tidak kalah berbahaya dibanding dengan perokok aktif, karena mereka menghirup kira kria 250 zat toxic. Secara ilmiah disebutkan tidak ada batas aman dari kadar asap rokok dalam rumah. Menghirup asap rokok dapat meningkatkan resiko terjadinya sudden infant death syndrome, penyakit telingan tengah, gangguan saluran respirasi bawah, dan batuk. Sedangkan untuk orang dewasa dapat meningkatkan resiko terjadinya COPD, kanker paru dan jenis kanker lainnya serta gangguan cardiovascular. Paparan terhadap ibu hamil dapat menyebabkan terjadinya gangguan fungsi paru janin8. Menurut penelitian dari Rivard14 dan Erlich15 adanya penghuni rumah yang merokok akan menyebabkan anak mengalami serangan asma. Dari Prevalensi gangguan..., Vania Tryanni, FK UI, 2013 penelitian lain mangatakan bahwa seorang anak yang merupakan perokok pasif dan ada salah satu anggota keluarga dirumahnya yang mengalami TBC, akan meningkatkan kemungkinan anak tersebut juga terinfeksi TBC hingga 5 kali lipat dibandingkan anak biasa16. Namun hasil yang berbeda ditunjukkan dari penelitian Kurniawati (2005) 17 yang menujukkan tidak ada hubungan berarti antara perokok dalam rumah dan serangan asma pada anak. Ketidakbermaknaan antara kebiasaan merokok dalam rumah dan gangguan respirasi mungkin disebabkan karena kesadaran anggota keluarga perokok untuk menyingkir saat akan merokok. Mungkin juga disebabkan karena bukaan ventilasi yang cukup. Salah satu yang perlu diingat juga adalah keadaan rumah susun yang bertingkat memungkinkan tingginya sirkulasi udara sehingga asap rokok relatif mudah keluar dari dalam lingkungan rumah. Selain itu mungkin kurang jelas juga mengenai batasan oprasional dari merokok dalam rumah itu sendiri, sehingga dapat terjadi kerancuan. Indikator lainnya adalah kebiasaan memelihara binatang. Beberapa literatur menyebutkan bahwa binatang peliharaan dapat membawa allergen yang sangat kecil dan menyebabkan serangan asma.17. Namun hasil penelitian lain menyebutkan tidak ada hubungan antara pemeliharaan binatang peliharaan asalkan binatang tersebut dilarang masuk rumah dan dimandikan 1 minggu sekali. Penelitian ini sesuai dengan hasil literatur kedua yang menyatakan tidak ada hubungan antara gangguan respirasi dan kepemilikan terhadap binatang berbulu. Hal ini mungkin berkaitan dengan tipe binatang yang dipelihara, kebersihan binatang dan intensitas binatang masuk kedalam rumah. Selanjutnya adalah mengenai kebiasaan membersihkan rumah. Kebersihan rumah berkaitan dengan tumpukan debu. Tumpukan debu yang banyak ini dapat mengandung tungau, debu, endotoksin dan nitrogen yang dapat memicu seragan asma pada anak (Koenig dan Shima)18. Ada juga penelitian Votja yang mengatakan debu dapat menempel pada kasur dan menyebabkan serangan asma.19 Namun hasil ini tidak sesuai dengan hasil studi kali ini yang menunjukkan tidak ada keterkaitan antara kebiasaan membersihkan rumah dan gangguan respirasi. Hal ini mungkin terjadi karena kurang objektifnya pengamatan mengenai kebersihan rumah. Selain itu salah satu studi17 mengatakan bahwa cara membersihkan debu yang paling tepat adalah dengan mengelap terlebih dahulu menggunakkan kain basah. Karena dapat mengurangi jumlah partikel debu yang berterbangan.Sehingga sekarang bukan hanya pola kebiasaan yang harus diubah, namun juga metodenya. Faktor yang mempengaruhi perilaku (jenis kelamin, pekerjaan, tingkat pendidikan) Dalam mempengaruhi perilaku seseorang, maka dibutuhkan pendekatan yang tepat. Dengan mengetahui faktor apa saja yang mempengaruhi perilaku seseorang, maka dapat Prevalensi gangguan..., Vania Tryanni, FK UI, 2013 dipilih pendekatan yang paling tepat untuk melakukan modifikasi perilaku. Dipilih 3 katagori sosiodemografik yaitu jenis kelamin, pekerjaan dan tingkat pendidikan. Dikatakan Johnston, et.al (2004) yang meneliti tentang perilaku buruk ( meminum alkohol). Ia menemukan bahwa 45% laki-laki adalah peminum berat, sedangkan wanita hanya 26.7%.20 Selain itu banyak juga peneletian yang mengatakan bahwa wanita lebih mudah memilki gaya hidup yang lebih sehat (Brener & Collins, 1998; Courtenay, 2000a; Kandrack et al., 1991) dan pria lebih mudah untuk terikat pada perilaku yang berbahaya (Courtenay 1998,2000a). Apabila dilihat dari masing masing indikator didapatkan bahwa laki laki lebih mudah untuk dapat terikat dengan penggunaan tembakau, alkohol dan steroid anabolic. Pola makan laki laki juga lebih buruk. Selain itu kesadaranya untuk melakukan usaha kesehatan preventif juga jauh lebih rendah dari perempuan. Ditambah lagi dengan kurangnya kesadaran atas keterbatasan dirinya saat menderita sakit kronik. Kesemuanya itu akhirnya mempengaruhi angka harapan hidup dan resiko kematian laki laki yang lebih tinggi.21 Kesemuanya itu mungkin terjadi karena ada pandangan bahwa kepercayaan pada kerentanan tubuh seseorang terhadap penyakit dianggap sebagai tanda tidak maskulin/ jantan dan merasa dikontrol oleh banyak hal. Hal ini yang akhirnya mengarah pada ketidapercayaan akan adanya faktor resiko dan akhirnya lebih berani mengambil perilaku yang lebih beresiko.27 Namun hal ini tidak sesuai dengan studi kali ini, yang menujukkan tidak ada hubungan bermakna antara jenis kelamin seseorang dengan perilaku mereka. Hal ini dapat terjadi karena penelitian ini tidak menyingkirkan perbedaan ras, usia, pengalaman masa lalu, pendidikan orang tua, dan lainnya yang dapat mempengaruhi perilaku seseorang. Selain itu perkembangan zaman menyebabkan banyak perempuan yang lebih berani bertindak dibandingkan dengan masa lalu. Studi kali ini juga tidak menunjukkan adanya hubungan bermakna antara pekerjaan dan perilaku seseorang. Namun didapatkan data bahwa perilaku paling sehat dimiliki oleh pelajar dan ibu rumah tangga, sedangkan perilaku paling tidak sehat dimiliki oleh karyawan swasta dan pegawai negeri sipil. Menurut Stokols (1992), keadaan lingkungan sekitar tempat kerja mempengaruhi dari kesehatan si pekerja22. Teori lain mengatakan bahwa keadaan lingkungan dapat merubah perilaku mereka lewat perubahan interpretasi seseorang terhadap suatu kejadian (Ewart,1991)23. Hal ini dapat menjelaskan mengapa karyawan dan pegawai negeri memilki perilaku kesehatan yang lebih buruk dibandingkan profesi lainnya. Prevalensi gangguan..., Vania Tryanni, FK UI, 2013 Seorang karyawan akan bekerja bersama banyak orang dalam 1 kantor, hal itu akan menyebabkan terbawanya pengaruh pengaruh. Misalnya seseorang pada awalnya menggangap bahwa merokok itu berbahaya kemudian jadi menggangap hal itu tidak berbahaya karena melihat banyak temannya yang merokok. Stokols (1992) juga mengatakan bahwa pekerjaan yang memiliki paparan terhadap lingkungan, keindahan dan fasilitas tertentu dapat meringkan stress, serta memperbaiki kesehatan fisik dan emosi29. Seperti yang kita ketahui perilaku seseorang sangat ditentukan oleh emosinya, saat emosi dalam keadaan stabil maka manusia cenderung untuk mengambil keputusan di luar logika. 13 Masih dari teori Stokols yang mengatakan bahwa stress emotional dapat muncul dari paparan kronik terhadap permintaan lingkungan29. Dalam kehidupan perekonomian sekarang ini maka tuntutan pekerjaan pun seperti tidak ada habisnya. Hal tersebut dapat berubah menjadi stressor kuat yang akhirnya akan menyebabkan manusia untuk cenderung mengambil keputusan di luar logika. Pelajar memiliki perilaku yang cenderung baik, tidak dapat dilepaskan dari faktor usia, pendidikan serta kedudukan dalam keluarga yang juga turut mempengaruhi perilaku seseorang. Perbedaan hasil ini mungkin dikarenakan banyak faktor lainnya yang juga turut mempengaruhi perilaku yang tidak disingkirkan. Dalam studi ini ditemukan bahwa tidak ada hubungan bermakna antara tingkat pendidikan dan kebiasaan hidup sehat. Namun data menunjukkan bahwa semakin tinggi tingkat pendidikan, maka akan semakin buruk tingkat perilaku sehatnya. Howard pada tahun 1988 telah menyatakan bahwa pengetahuan saja tidak akan merubah perilaku.24 O’Keeffe pada tahun 1990 juga menyatakan bahwa informasi penting untuk motivasi namun tidak cukup untuk menguragi perilaku beresiko, dibutuhkan dukungan terus menerus dari lingkungan25. Penelitian lain mengatakan saat masuk kedalam jenjang perkuliahan, maka akan terjadi pada paparan terhadap perilaku kurang sehat (merokok, alkohol), disertai dengan teman dan tanggapan positif terhadap hal tersebut (Borsari and Carey, 2001). Dari penelitian yang sama didapatkan alasan utama mereka melakukan perubahan tersebut adalah untuk memfasilitasi pertemanan dan penerimaan lingkungan. Namun menurut Jackson, et.al (2005) peningkatan pada fase perkuliahan adalah akibat adanya perubahan norma, dimana perilaku seperti itu jauh lebih di terima di lingkungan baru mereka. 28 Tidak dapat dipungkiri juga, semakin tinggi pendidikan seseorang maka semakin tinggi jenjang pekerjaan dan stress yang dimiliki, sehingga akan meningkatkan kebiasaan perilaku kurang sehat. Prevalensi gangguan..., Vania Tryanni, FK UI, 2013 Kesimpulan Prevalensi gangguan respirasi di rumah susun di Jakarta adalah 42.4% . Prevalensi adalah gangguan saluran nafas atas ( termasuk flu, sakit tenggorakan, sinusitis dan rhinitis) sebesar 32.9%. Disusul dengan TBC (7,6%), sesak nafas (4.1%), dan PPOK (1.8%). Mengenai perilaku sendiri, 44.1% responden tergolong memiliki perilaku kesehatan yang baik. Perlu diperhatikan angka perokok yang tinggi sekitar 48.3%. Didapatkan juga bahwa Prevalensi gangguan respirasi tidak memiliki hubungan berarti dengan gambaran perilaku secara garis besar, kebiasaan merokok, kebiasaan merokok dalam rumah, lokasi pekerjaaan, serta kebiasaan meminum alkohol, kebiasaan membersihkan rumah serta kebiasaan memelihara hewan berbulu. Serta perilaku seseoarang tidak terlalu dipengaruhi oleh faktor jenis kelamin, pendidikan terakhir dan pekerjaan. Namun perlu diingat bahwa banyak sekali faktor yang mempengaruhi perilaku seseorang, dan seluruh faktor tersebut saling berinteraksi. Saran Mengingat tingginya angka gangguan respirasi di wilayah rumah susun, maka perlu ditingkatkan kesadaran serta kewaspadaan terhadap gangguan respirasi. Hal ini dapat dilakukan dengan penyuluhan dan penggalakan program kesehata respirasi di Puskesmas setempat. Selain itu perlu juga diajarkan pentingnya dan bagaimana menjaga kebersihan lingkungan rumah. Selain itu untuk peneliti selanjutnya diharapkan dapat mengumpulkan data perilaku yang lebih objektif, dengan kuesioner yang diperjelas batasan oprasionalnya sehingga perilaku seseorang dapat benar benar tergambarkan dari hasil kuesioner tersebut. 1 Sherwood L. Human physiology from cells to systems. 6th ed. Brooks: Cole; 2008. 2 American Lung Association. New York:Lung Diseases Data;2008. 3 Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) 2007: Laporan Nasional 2007. Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Departemen Kesehatan RI;2008. 4 Indonesia. Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) 2010: Laporan Nasional 2010. Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Departemen Kesehatan RI; 2011. 5 Nazli,PAN. Prevalensi Penyakit Paru Obstruktif Kronik Berdasarkan Faktor Risiko di RSUP H. Adam Malik Medan Periode Juli 2010 – Juli 2011.[internet] 2011 [cited 2013 Jan 6]. Available from: http://repository.usu.ac.id/handle/123456789/31204 Prevalensi gangguan..., Vania Tryanni, FK UI, 2013 6 Zulkifas T, Yunus F, Wiyono WH. Prevalence of Asthma Based on ISAAC Questionnaire and Relationship with The Factors that Affect Asthma Among Junior High School in Intensive Regional Population at West Jakarta 2008. J Respir Indones. 2011;31(4):181-92 7 TBC Masalah Kesehatan Dunia.[internet].2011 [cited 2013 Jan 6]. A Available from: http://depkes.go.id/index.php/berita/press-release/1444-tbc-masalah-kesehatan-dunia.html. 8 Jakarta. Profil Kesehatan DKI Jakarta 2009. Jakarta: Dinas Kesehatan DKI Jakarta; 2010. 9 10 Risk factor for chronic respiratory diseases.USA: WHO; 2010. Moss M, et.al. The Effects of Chronic Alcohol Abuse on Pulmonary Glutathione Homeostasis. American Journal of Respiratory and Critical Care Medicine. 2000: 414-9. 11 Harrison TR, Resnick WR,editors. Harrison’s principles of internal medicine. Ed 16th. USA: Mc Graw Hill Company ;2005. 12 Kurniawati,AD. Analisis hubungan kondisi lingkungan rumah dan perilaku keluarga dengan kejadian serangan asma anak di kota Semarang 2005. [Internet].2006 [citied 2013 Jan 7] Available from: http://eprints.undip.ac.id/15377/1/Ari_Dwi_Kurniawati.pdf 13 Boon SD, Lil SW, Vener S. Assosiation between smoking and tuberculosis infection: a population survey in a high tuberculosis incidence area. Thorax 2005;60:555-7. 14 Rivard, C. Infante. Childhood Asthma And Indoor Environmental Risk Factor. American Journal Of Epidemiology. 1993; 137. 15 Ehrlich RI, Du T, Jordaan E, Zwarenatein M, Potter P, Volmink P and Weinberg E. Risk For Childhood Asthma And Wheezing: Importance Of Maternal And Household Smoking.American Journal Of Respiratory And Critical Care Medicine.1996; 154:3. 16 Amu FA. Hubungan Merokok dan Penyakit Tuberkulosis Paru. Jurnal Tuberkulosis Indonesia. 2008: 1-8. 17 MorganWJ. Result of a Home – Based Environmental Intervention among Urban children with Asthma. The New England Journal of Medicine. 2004; 351: 1068 – 80. 18 Koening, et.al. Pulmonary Effects Of Indoor And Outdoor Generated Particles In Children With Asthma, Environmental Health Perspectives. 2005;113:4. 19 Vojta PJ, et.al. Effects Of Physical Interventions On House Dust Mite Allergen Level In Carpet, Bed, and Upholstery Dust In Low Income, Urban Homes. Environmental Health Perspectives. 2001;109:8. 20 White HR, Jackson K. Sosial and Psychological Influences on Emerging Adult Drinking Behavior. Alcohol Research and Health.2000; 28: 182-90. Prevalensi gangguan..., Vania Tryanni, FK UI, 2013 21 Courtenay WH, Mccreary DR, Merighi JR. Gender and Ethnic Differences in Health Beliefs and Behavior. Journal of Health Psychology. 2002;7:219-­‐31 22 Stokols D. Establishing and Maintaining Healthy Environments: Toward a Social Ecology of Health Promotion. American Psychologist. 1992; 47: 6- 22. 23 Ewart CK. Social Action Theory for a Public Health Psychology. American Psychologist. 1991; 46: 931-46. 24 Howard M. Postponing Sexual Involvement Among Adolescents. Sexually Active Teenagers.1988; 2: 1-7.. 25 O'Keeffe MK, Nesselhof-Kendall 5, Baum A. Behavior and Prevention of AIDS: Bases of Research and Intervention. Personality and Social Psychology Bulletin. 1990; 16: 166-80. Prevalensi gangguan..., Vania Tryanni, FK UI, 2013