Kurikulum Pendidikan di Madrasah Yang dimaksud dengan kurikulum adalah sejumlah mata pelajaran yang harus ditempuh atau dipelajari oleh siswa dalam suatu periode tertentu. Dalam arti yang lebih luas, kurikulum sebenarnya bukan hanya sekadar rencana pelajaran, tapi semua yang1 secara nyata terjadi dalam proses pendidikan di sekolah. Dengan kata lain, kurikulum mencakup baik kegiatan yang dilakukan pada jam belajar maupun di luar jam belajar, sepanjang hal itu berlangsung di lembaga pendidikan. Karena itu ada istilah ekstra-kurikuler, yaitu berbagai kegiatan yang dilakukan di luar jam tatap muka di ruangan kelas. Akan tetapi, tentu saja kurikulum dalam pengertian seperti itu baru dikenal pada sistem pendidikan modern, baik sekolah maupun madrasah. Pada masa sebelumnya, meskipun sudah dikenal, muatan kurikulum tidak seketat pengertian tersebut. Kurikulum pendidikan madrasah merupakan pengembangan lebih lanjut dan lebih "standar" (dalam arti dapat digunakan secara seragam oleh siapa saja) dari kurikulum yang pernah dikenal pada masa Nabi Saw.. Kurikulum pendidikan pada masa Nabi Saw. ditentukan secara pribadi oleh beliau sendiri yang bertindak sebagai perancang pendidikan, konsultan sekaligus guru. Pada saat itu belum ada undang-undang pendidikan yang mengatur segala bentuk pengelolaan dan pengembangan pendidikan. Pada masa Khulafa alRasyidun dan Bani Umayyah kurikulum pendidikan ditentukan oleh para ulama dan khalifah yang memerintah pada masa itu. Sementara itu pada masa Dinasti Abbasyiah, ketika lembaga pendidikan model madrasah sudah mulai dikenal, kurikulum dan metode pendidikan 1 Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan dalam Persfuktif Islam (Bandung: Rosdakarya, 1992), h. 53. diurus oleh ulama, sedangkan khalifah tidak terlalu dominan dalam menentukan kebijakan-kebijakan pendidikan. Ini dilakukan dalam kerangka penghormatan mereka terhadap otorita lembaga pendidikan dan pengembangan ilmu pengetahuan yang dilakukan para ulama., selain karena mereka disibukkan dengan urusan politik. Sepanjang masa pendidikan klasik Islam, penentuan pengembangan pendidikan dasar, menengah dan tinggi berada di tangan ulama kelompok orang-orang berpengetahuan dan diterima secara otoritatif dalam soal-soal agama dan hukum. Keyakinan mereka berakar pada konservatisme agama dan keyakinan kokoh terhadap wahyu sebagai inti dari semua pengetahuan. Mengikuti arus penolakan atas aliran yang diilhami filsafatYunani terutama pasca alGhazali, kurikulum pendidikan belum terbentuk secara baku dalam bentuk peraturan, tetapi kurikulum dan metode di masjid, akademi dan madrasah mengikuti pola-pola yang dikembangkan dari majlis dan halaqah-halaqah ilmiah. Dengan demikian, yang dibicarakan dalam pengembangan madrasah lebih difokuskan pada kurikulum dan metode pengajaran saja. Hasan Asari memberikan penjelasan tentang kurikulum madrasah dengan konsep awal klasifikasi ilmu pengetahuan yang diajarkan di madrasah. Untuk memahami kurikulum madrasah secara lebih luas, menurutnya, perlu memahami perkembangan ilmu pengetahuan dan peradaban Islam yang dikembangkan para ulama dan ilmuwan Muslim. la mengutip pendapat Ibn Buthlan (w. 460/1068), seorang ahli kedokteran, berdasarkan riwayat Ibn Abi Ushaybi'ah, yang mengelompokkan ulama yang wafat pada sekitar pertengahan abad ke-5/11 ke dalam tiga kelompok berdasarkan cabang ilmu yang ditekuni yaitu: 1) ilmu-ilmu keagamaan; 2) ilmu-ilmu klasik (filsafat Yunani, filsafat (Timur) Persia dan sebagainya, yang disebut alazua'il)., dan 3) ilmu-ilmu sastra (adab). Makdisi, seperti diungkapkan Hasan Asari menulis: Nilai penting dari interrelasi ketiga kelompok (pengetahuan) ini paling baik diibaratkan dengan sebuah segitiga sama kaki yang terbalik. Dua kelompok pertama berada pada posisi dua ujung dasar segitiga yang telah terbalik ke atas dan kelompok ketiga ada pada puncak segitiga yang dibalik dari atas ke bawah. Ilmu-ilmu kelslaman menduduki tempat terhorn.at pada sebelah kanan, filsafat dan ilmu-ilmu alam di sudut sebelah kiri pada level yang sama dan ilmu-ilmu sastra berada pada sudut yang lebih rendah, dengan dua sisinya menuju pada dua kelompok yang lebih tinggi. Ilmu-ilmu keislaman memegang kontrol penuh dan menjadi unsur penting bagi lembaga-lembaga pendidikan. Naiknya ilmu-ilmu ini mulai terjadi secara nyata setelah gagalnya gerakan rasionalis (teologi Muktazilah dan filsafat) dan mencapai puncaknya pada pertengahan abad ke 5 H/l 1 M. Dalam kelompok mi, hukum Islam (fiqh) dianggap sebagai satu dari segala cabang pengetahuan dengan peringkat yang tertinggi, sementara ilmu-ilmu sastra berfungsi sebagai pelayannya. Kelompok lainnya, yang disebut ilmu-ilmu kuno, yaitu ilmu-ilmu yang berasal dariYunani ditentang oleh sarjana Muslim di tengah masyarakat, tetapi memperoleh penghormatan secara terselebung di kalangan sebagian terpelajar. Keterangan di atas cukup menggambarkan secara garis besar kurikulum pendidikan yang diajarkan di madrasah. Ilmu-ilmu agama sangat jelas mendominasi madrasah, seperti juga di lembaga masjid atau masjid khan. Sejauh pengamatan ahli sejarah pendidikan Islam, belum ada rincian yang jelas tentang kurikulum satu madrasah. Hal- hal ini dianggap sulit apabila dihubungkan dengan sifat-sifat madrasah. Pertama, tidak adanya ikatan organisatoris antara satu madrasah dengan yang lain. Setiap madrasah bebas menentukan materi dan bentuk pengajarannya sendiri sesuai dengan keinginan pemberi waqaf (waqif) yang mendukung operasinya. Kedua, setiap Syaikh atau mudarris bebas memilih bidang yang diajarkan. Jadi, sebagai kesimpulan umum, kurikulum madrasah terdiri dari ilmu-ilmu agama seperti: ilmu al-Qur'an, hadist, tafsir, fiqih, ushul fiqih, ilmu kalam dan lain-lain yang tergolong kelompok ilmu-ilmu keagamaan Islam ini. Ilmu-ilmu sastra yang dibutuhkan untuk mendukung ilmu-ilmu agama juga diajarkan di madrasah, tetapi tidak menjadi bagian utama dari kurikulum. Deskripsi madrasah terdahulu menunjukkan bahwa ahli bahasa arab (nahwi) adalah bagian dari staf di beberapa madrasah, namun posisinya jelas tidak sepenting posisi mudarris yang mengajar ilmu-ilmu agama. Ilmu-ilmu klasik belum diajarkan kecuali Filsafat, Kedokteran dan Astronomi, tetapi tidak begitu dominan, karena pelajaran ini memiliki lembaga pengajaran tersendiri (khusus). Di dalam pengembangan kurikulum khususnya pelajaran agama, madrasah mempunyai satu persoalan yaitu mengenai pelajaran Kalam. Para ahli menyebutkan bahwa Ilmu Kalam tidak mendapat tempat dalam kurikulum madrasah. Sementara, yang lain, berpendapat bahwa Ilmu Kalam mendapat tempat pada kurikulum madrasah. Untuk soal pertama, George Makdisi menulis bahwa madrasah bukanlah lembaga pengajaran fiqih (hukum). pengajaran Kalam tetapi lembaga Kemenangan aliran Asy'ariyah atas Muktazilah tidak ada hubungan dengan pembangunan madrasah Nizhamiyah dan madrasah tersebut bukanlah lembaga resmi pemerintah, tetapi lembaga yang dibangun oleh wazir Nizham al-Mulk karena kapasitasnya sebagai pribadi muslim. Makdisi menulis: Madrasah adalah lembaga pendidikan tinggi (colleges) hukum, dengan beberapa kajian tambahan. Staf pengajarannya tidak mencakup ahli kalam. Pengajar yang mendapat gelar guru besar (professor) adalah pengajar hukum. Mungkin saja ia juga sebagai ahli kalam, tetapi kapasitasnya lebih kepada ahli hukum (guru besar hukum). Di Madrasah tidak ada posisi untuk mengajarkan kalam. Sisi lain dari tesis Makdisi adalah melibatkan satu argumen linguistik berkaitan dengan satu istilah teknis yang secara luas dipakai dalam dunia pendidikan Islam pra-modern, sebagaimana terlihat dari sumber-sumber sejarah yang ada. Argumen linguistik ini mencakup semua istilah paedagogis yang berasal dari akar kata "d-rs". Argumen ini, terutama digunakan oleh Makdisi untuk mendukung pernyataannya bahwa madrasah (salah satu kata jadian d-r-s) adalah lembaga pendidikan fiqih. Makdisi menjelaskan: Justifikasi penerjemahan kata [madrasah] ini menjadi lembaga pendidika tinggi hukum [college of law] dapat ditemukan dalam arti teknis kata jadian dari akar kata d-r-s. Istilah untuk hukum adalah fiqih. Sebuah pelajaran fiqih disebut dengan dars; seorang guru besar fiqih adalah mudarris; dan darrasa, dalam penggunaannya bila tidak dikaitkan dengan ilmu tertentu, berarti mengajarkan fiqih,..... darrasa dan tadris, secaraberturut,berarti mengajarkan hukum dan hal-hal yang berhubungan dengan pengajaran hukum. Dan akhirnya istilah madrasah nama satu tempat (ism makan) dimana sebuah dars, yakni satu pelajaran fiqih, adalah merupakan kegiatan utama dari guru dan murid. .... tidak ada madrasah yang digunakan untuk tujuan utama yang lain; pengajaran disiplin-disiplin semacam ilmu Qur'an, hadits, nahu dan sebagainya hanyalah [kegiatan] sampingan. Dengan menunjukkan bahwa Madrasah Nizhamiyah tidak mempunyai guru ilmu kalam (teologi), ditambah dengan argumen linguistik yang menyimpulkan bahwa madrasah adalah lembaga pengajaran hukum, adalah wajar kalau kemudian Makdisi menyatakan bahwa kebangkitan aliran teologi Asy'ariyah tidak ada hubungannya dengan madrasah, persis sama dengan pendahulunya, masjid. Bagi Nizham al-Mulk, fungsi madrasah mengajarkan salah dari mazhab yang empat. Makdisi membantah Goldziher dalam kaitan soal antara ilmu kalam dengan madrasah. Goldziher menyebut bahwa madrasah Nizhamiyyah adalah prototipe lembaga pendidikan yang mengajarkan ilmu kalam dengan alasan bahwa pembangunan itu atas kemenangan paham Asy'ariyah terhadap muktazilah dan Hanbaliyah. Goldziher melihat teologi yang dianut Nizham al-Mulk sebagai kurikulum utama pengajaran menurutnya, di madrasah yang merupakan bagian ia bangun, dari sarana dan madrasah propaganda itu, untuk meyebarkan paham Asy'ariyah dan menguburkan paham-paham lain. Pandangan ketiga tidak melihat persoalan ini secara hitam putih dan menghasilkan posisi relatif di tengah. Beberapa penulis dapat dikelompokan ke dalam pandangan ini. Berikut ini akan kita kutipkan dua penulis dan sejarahwan Arab: 'Abd al-Lathif Tibawi dan M. Hasan Naqib. Tibawi, dalam satu artikel yang dia tulis sebagai respon terhadap tesis Makdisi, menyatakan bahwa spesialisasi seperti yang diinginkan oleh Makdisi adalah hal yang tidak mungkin pada abad ke5/11. Seseorang sarjana saat itu, menurut Tibawi, adalah orang yang menguasai berbagai cabang ilmu agama sekaligus, termasuk dalam hal ini Ilmu Kalam. Tibawi mengakui tidak adanya bukti langsung tentang isi kurikulum madrasah; namun katanya: "Satu hal kita ketahui secara agak pasti, yaitu bahwa madrasah melambangkan teologi ortodoks atau filsafat spekulatif dan natural, dan bahwa keseluruhan ilmu-ilmu agama ('ulum al-diri) termasuk cakupan kurikulum madrasah. Sisi lain dari argumen pandangan ketiga ini bertalian dengan argumen linguistik yang dilontarkan oleh Maksidi. Mudarris bukan satu-satunya istilah yang digunakan pada masa klasik dan pertengahan digunakan untuk merujuk pada pengajar fiqih di madrasah. Al-Ghazali menggunakan istilah mu'allim dan ustadz untuk maksud yang sama. Dars juga tidak selalu berarti pelajaran fiqih sebagaimana dalam pandangan Maksidi. Al-Ghazali mengutip satu hadits yaitu kata nadrusu (kata jadian dari d-r-s) digunakan untuk kajian hadits. Hal yang sama juga dapat dilihat dalam al-Daris, di mana al-Nu'aymi memberitakan bahwa Abu al-Khayr mengajar pada Dar al-Hadits al-Asyrafiyah; dan kalimat yang dia gunakan adalah: "wa-walla tadris dar al-hadits al-asyrafiyyah". Abu Nuwas bahkan menggunakan kata dars untuk pelajaran dari seorang mu'allim (guru) di kuttab. Ketidakpuasan terhadap argumen linguistik Maksidi juga dirasakan oleh Naqib yang, seperti Tibawi, juga meneliti penggunaan istilah-istilah tersebut dalam literatur Abad Pertengahan. Dia mengatakan, Dalam pemahaman kita, tadris adalah satu istilah kabur yang mencakup pengajaran lebih dari satu bidang kajian, dan istilah ini tidak selalu dapat disamakan dengan dars, yang oleh Maksidi dibatasi hanya untuk pengajaran fiqih. Penelitian kita terhadap istilah tadris tidak membuahkan satu petunjuk umum sehubungan dengan artinya yang paling tepat. Tentang hubungan madrasah dengan Kalam, Naqib menyatakan pandangan berikut: Madrasah Nizhamiyah adalah madrasah Syafi'iyah, jika jaringan lembaga pendidikan ini dilihat dalam konteks dokumen wakaf Nizhamiyah Baghdad dan Isfahan serta afiliasi mahasiswa dan stafnya, terutama pada mudarris, dan untuk siapa satu madrasah dibangun. Begitupun, Madrasah Nizhamiyah memang menyebarkan Kalam aliran Asy'ariyah, meskipun aspek ini harus dilihat dalam konteks kesyafi'iyahan lembaga tersebut,..... kita tidak punya bukti langsung bahwa para mudarris mengajarkan ilmu kalam di Madrasah Nizhamiyah. Sebelumnya, telah ditunjukkan bahwa alJuwaini, yang dipercayakan melaksanakan pengajaran (tadris'), memang mengajarkan kalam Asy'ariyah kepada mahasiswanya, sejumlah walaupun tidak dapat dipastikan apakah dia melakukan hal ini di Madrasah Nizhamiyah [Naisapur]. ...... hanya dalam hubungannya dengan wa'izh muballigh, pengkhotbah), berdasarkan kasus Madrasah Nizhamiyah Bagdad, kita memiliki bukti nyata bahwa sang wa'idh (juga beberapa mudarris) menyebarkan kalam Asy'ariyah di Nizhamiyah. Pada akhirnya, keberatan pandangan ketiga ini adalah penekanan yang terlalu ekstrim olek Maksidi pada sisi fiqih dari madrasah dan hal yang sama pada sisi Kalam oleh Goldziher. Hal ini terjadi pada Maksidi, nampaknya, karena kecende-rungannya untuk terlalu memusatkan perhatian pada mudarris dan dokumen wakaf yang ada, dan tidak memberikan perhatian yang memadai pada staf lain, seperti qari\ nahwi, pustakawan, dan terutama wa'idh, yang sesungguhnya juga merupakan bagian penting dari sistem pendidikan di madrasah. Kenyataan bahwa ia menulis sebagai respon kepada tesis Goldziher, kemungkinan besar, juga merupakan faktor lain. Goldziher jatuh pada persoalan yang sama tidak lain adalah karena penelitiannya memang terfokus pada sejarah perkembangan teologi, dan madrasah ia singgung tidak lebih dari sekadar justifikasi bagi tesis teologinya tentang kebangkitan aliran Asy'ariyah. Tanpa bermaksud menghentikan konflik pendapat tersebut, ada baiknya kurikulum pembicaraan madrasah ini dikembangkan selanjutnya. pada Ilmu-ilmu perkembangan agama memang mendominasi kurikulum lembaga pendidikan formal. Disiplin-disiplin yang perlu untuk memahami dan menjelaskan makna Al-Quran rumbuh menjadi inti dari pengajaran yaitu hadits dan tafsir. Seni berpidato juga merupakan bagian penting dari pendidikan ilmu-ilmu agama, sebab kemampuan untuk menyampaikan ceramah yang menggugah dan ceramah ilmiah adalah salah satu peran inti seorang ulama dalam pendidikan dan kehidupan keagamaan di masyarakat. Kemahiran berbicara di tengah publik mengandung semua aspek pendidikan dan pengalaman. Seperti dalam sistem retorika Yunani, ilmu-ilmu agama mencakup berbagai disiplin. Di samping itu, tafsir dan hadits didukung pula oleh logika dan grammatika serta tergantung pula pada pengetahuan sejarah, geograpi dan kesadaran umum tentang sistem pemerintahan dan sistem sosial. Ilmu-ilmu agama tidak mungkin diajarkan secara terpisah, karena itu semakin banyak para pengajar dan ulama mempertimbangkan pengetahuan dari berbagai disiplin ilmu untuk mendukung kurikulum pengajaran Al-Quran dan Hadits. Pada intinya, fiqih mendapat tempat dalam sistem ini sebagai satu bidang kajian khusus dalam mazhab tertentu, dan ilmu-ilmu agama yang lain berfungsi sebagai prasyarat. Di mesjid, mesjid khan, akademi dan madrasah studi fiqih diuraikan oleh seorang syaikh dalam satu silabus tertentu yang disebut ta'liqah Mated yang terkandung dalam ta'liqah menjadi latar belakang informasi yang dibutuhkan dalam debat lisan bentuk lain dari kurikulum pengajaran madrasah. Debat lisan bersifat formal tergantung pada aturan-aturan logika dan retorika di saat seseorang mempertahankan tesis dalam hal ini, satu pandangan hukum menghadapi seorang penantang yang akan mencoba membatalkan argumentasi dan logikanya. Ta'liqah tidak terbatas pada satu bidang saja, fiqih misalnya, bidang-bidang lainnya juga menggunakan bentuk ini. Selanjutnya, cakupan kurikulum lembaga pendidikan Islam pada abad ke-10 M dapat dilihat dari berbagai sumber. Salah satunya adalah kitab Al-Fihrist (Indeks) oleh Ibn Al-Nadim pada tahun 988 M. Sumber kedua persaudaraan pendidikan adalah sufi di pendidikannya karya-karya yang dunia secara Ikhwan mengabdikan Islam, yang menyeluruh diri Al-Shafa, pada peningkatan mengembangkan dalam sebuah program serangkaian risalah. Pendekatan mereka melalui ensiklopedik pendidikan, yang berasal dari Basrah pada paruh kedua abad ke-10 M, muncul dalam bentuk kompilasi yang sebagian Islam.Topik-topikyang besar tercakup dipakai dalam di dunia pendidikan ensiklopedia pengajaran tersebut adalah: Disiplin Umum: tulis-baca, arti kata dan grammatika, ilmu hitung, sastra (sajak dan puisi), ilmu tentang tanda-tanda dan isyarat, ilmu sulap, kimia, dagang dan keterampilan tangan, jual-beli, komersil, pertanian dan peternakan dan biografi serta kisah-kisah. Ilmu-ilmu Agama: Ilmu al-Qur'an. tafsir, hadis, fiqih, dzikir, zuhud, tasawuf dan syahadah. Ilmu-ilmu filosofis: matematika, logika, ilmu berhitung, geometri, astronomi, musik, aritmatika, hukum geometri, ilmu alam, antropologi, zat, bentuk, ruang, elemen, gerakan, kosmologi, produksi, peleburan, metereologi, menerologi, esensi alam dan manifestasinya, botani, zoologi, anatomi dan antropologi, persepsi inderawi, embriologi, manusia sebagai mikro kosmos; perkembangan jiwa (evolusi psikologis): tubuh dan jiwa; perbedaan bahasa-bahasa (pilologi), psikologi (pemahaman dunia kejiwaan dan sebagainya), teologi; doktrin teologi, doktrin esoteris Islam, susunan alam spritual, serta ilmu alam ghaib. Kurikulum ini dianggap sebagai kurikulum madrasah tinggi, karena sudah mengenalkan begitu banyak pelajaran umum. Tetapi, studi ilmu-ilmu asing itu tidak semua diajarkan mendetail pada tingkat madrasah umum atau khusus. Ada di antara ilmu-ilmu itu yang diajarkan pada tataran dasarnya saja, dan tempatnya pun tidak harus di lembaga formal seperti madrasah. Di rumah, di istana wazir dan pejabat negara, pelajaran-pelajaran ini lebih kental dikenalkan dan didalami. Secara umum pertumbuhan dan bentuk kurikulum perkembangan madrasah pendidikan pada Islam masa klasik menggunakan tiga bentuk kurikulum yaitu Subject Curriculum, Correlated Curriculum dan Integrated Curriculum. Ketiganya disesuaikan dengan perkembangan madrasah pada periode-periode tertentu. Subject Curriculum difokuskan pada materi pelajaran yang diberikan berdiri sendiri, tidak berhubungan dengan pelajaran yang lain. Dalam subject curriculum, mata pelajaran diajarkan secara mandiri, dikembangkan berdasarkan keluasan pelajaran tersebut terhadap ilmu pengetahuannya. Bentuk kurikulum ini biasanya terdapat pada pelajaran utama, seperti al-Qur'an,Tafsir, Fiqh dan lainalin. Kemudian pelajaran non-agama seperti fisika, biologi, ilmu berhitung, kedokteran dsb. Subject Curriculum dikembangkan pada masa awal berdirinya madrasah dan pertumbuhan pendidikan Islam klasik. Correlated Curricullum difokuskan pada satu materi pelajaran yang dihubungkan dengan materi pelajaran yang lain. Contohnya, materi tafsir dihubungkan dengan hadits, pelajaran fiqih dihubungkan dengan hadits dsb. Bentuk kurikulum seperti ini mendominasi pada masa akhir pendidikan Islam klasik, yaitu ketika ilmu pengetahuan sudah berkembang dan mengalami renaissance. Integrated Curriculum yaitu perpaduan antara materi satu dengan yang lain dan saling berkaitan, sehingga penyajian bahan pelajaran itu dalam bentuk unit. Kurikulum ini dilaksanakan dalam pengajaran unit, yaitu satu unit mempunyai tujuan yang bermakna bagi mahasiswa madrasah. Kurikulum ini diberikan di dalam pelajaran retorika (dakwah) pada masa Madrasah Nizhamiyah sampai pada perkembangan madrasah selanjutnya. b. Metode Pengajaran di Madrasah Jenis metode pengajaran yang diberikan di madrasah antara lain: hafalan, keteladanan, latihan dan praktek. Ini merupakan kelanjutan dari masa Rasulullah terutama ketika beliau memberikan pelajaran alQur'an. Pada perkembangan berikutnya, pendidikan Islam yang dilakukan di madrasah menggunakan metode talqin, di mana guru mendikte dan murid mencatat lalu menghafal. Setelah hafal, guru lalu menjelaskan maksudnya. Metode ini oleh Makdisi disebut sebagai metode tradisional; murid mencatat, menuliskan materi pelajaran, membaca, menghafal dan setelah itu berusaha memahami arti dan maksud pelajaran yang diberikan itu. Hasan Langgulung, menyebut metode pengajaran di madrasah pada masa pendidikan Islam klasik rnasih belum runtut. Tetapi setidaknya, metode induktif, deduktif, analogi, bercerita dan metode kunjungan sudah dilakukan. Yang tidak dapat terlupakan dalam pengembangan metode pengajaran adalah diperkenalkannya metode tanya-jawab yang biasanya dilakukan dalam sebuah ta 'liqah (perdebatan). Metode ini dilakukan pada pelajaran yang menuntut penjabaran rinci seperti pada tingkat atas dalam berbagai pelajaran, sebagaimana dilakukan dalam pembaharuan pendidikan Islam di Mesir dan Syria (1220 H/1805 M). Metode pengajaran yang diterapkan di madrasah-madrasah pada masa klasik Islam tidak bisa dilepaskan, bahkan sangat boleh jadi dipengaruhi langsung oleh tujuan pendidikan di madrasah itu sendiri. Karena itu di bawah ini akan dibahas sepintas lalu tujuan-tujuan pendidikan institusional, yang dikembangkan tujuan kurikuler, di madrasah, maupun tujuan baik tujuan instruksional.