BAB II PERKEMBANGAN EKONOMI MAKRO A. UMUM Sesuai amanat GBHN Tahun 1999 – 2004, kebijakan ekonomi, yang terkait dengan ekonomi makro, diarahkan antara lain untuk: (a) mengelola kebijakan makro dan mikroekonomi secara terkoordinasi dan sinergis guna menentukan tingkat suku bunga yang rendah, tingkat inflasi yang terkendali, tingkat kurs rupiah yang stabil dan realistis; (b) mengembangkan kebijakan fiskal dengan memperhatikan prinsip transparansi, disiplin, keadilan, efisiensi, efektivitas, untuk menambah penerimaan negara dan mengurangi ketergantungan dana dari luar negeri; (c) mempercepat penyelamatan dan pemulihan ekonomi guna membangkitkan sektor riil terutama bagi pengusaha kecil, menengah, dan koperasi melalui upaya pengendalian laju inflasi, stabilisasi kurs rupiah pada tingkat yang realistis, tingkat suku bunga yang wajar, serta didukung oleh tersedianya likuiditas sesuai dengan kebutuhan; dan (d) menyehatkan APBN dengan mengurangi defisit anggaran melalui peningkatan disiplin anggaran, pengurangan subsidi dan pinjaman luar negeri secara bertahap, peningkatan penerimaan pajak progesif yang adil dan jujur, serta penghematan pengeluaran. Amanat GBHN Tahun 1999 – 2004 selanjutnya dijabarkan dalam rencana pembangunan lima tahunan, Program Pembangunan Nasional Tahun 2000 – 2004, dan dalam program kerja Kabinet Gotong Royong dengan mengupayakan normalisasi kehidupan ekonomi dan masyarakat dengan memperkuat dasar kehidupan perekonomian rakyat. Dalam mencapai sasaran-sasaran makro di atas, perekonomian dihadapkan pada beberapa kendala pokok yang mempengaruhi pencapaian keseluruhan sasaran makro sebagai berikut. Pertama adalah meningkatnya ketidakpastian eksternal berupa resesi ekonomi dan tragedi World Trade Center pada tahun 2001 serta memanasnya situasi politik di Timur Tengah yang pada gilirannya mempengaruhi sisi eksternal dari perekonomian nasional. Kedua adalah meningkatnya ketidakstabilan politik di dalam negeri terutama menjelang pelaksanaan Sidang Istimewa MPR tahun 2001 dan beberapa gangguan keamanan antara lain tragedi Bali tahun 2002 dan tragedi Hotel JW Marriot tahun 2003. Melalui koordinasi kebijakan moneter, fiskal, dan sektor riil serta didukung oleh berbagai kebijakan di bidang lainnya, prioritas kebijakan ekonomi makro diletakkan pada upaya untuk menjaga stabilitas ekonomi dengan tetap mendorong pertumbuhan ekonomi dalam kualitas yang lebih baik dalam rangka menciptakan lapangan kerja dan mengurangi jumlah penduduk miskin. Secara umum langkah-langkah kebijakan yang diarahkan untuk mencapai sasaran-sasaran makro sebagaimana yang tercantum dalam Program Pembangunan Nasional 2000 – 2004 dan Program Kerja Kabinet Gotong Royong telah memberi kemajuan yang berarti. Pertama, sejak memasuki tahun 2002, stabilitas ekonomi meningkat, tercermin dari stabil dan menguatnya nilai tukar rupiah; menurunnya laju inflasi dan suku bunga; meningkatnya ketahanan fiskal; serta meningkatnya cadangan devisa. II – 2 Pada tahun 2003, rata-rata nilai tukar rupiah mencapai Rp 8.572,/US$ atau menguat 16,4 persen dibandingkan dengan rata-rata tahun 2001; laju inflasi menurun menjadi 5,1 persen atau lebih rendah dibandingkan dua tahun sebelumnya; rata-rata tertimbang suku bunga SBI 1 bulan menurun menjadi 8,3 persen, jauh lebih rendah dibandingkan tahun 2001 yaitu sebesar 17,6 persen; defisit APBN menurun menjadi 2,1 persen PDB, lebih rendah dari tahun 2001 yaitu sebesar 2,8 persen; stok utang pemerintah menurun menjadi 69 persen PDB dibandingkan dengan tahun 2001 yaitu 87 persen PDB; serta cadangan devisa meningkat menjadi US$ 36,3 miliar atau US$ 8,3 miliar lebih tinggi dibandingkan akhir tahun 2001. Meningkatnya stabilitas ekonomi di dalam negeri memberi dorongan kepercayaan pada pasar modal. Pada akhir tahun 2003, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) di Bursa Efek Jakarta meningkat menjadi 691,9 atau 76,5 persen lebih tinggi dibandingkan akhir tahun 2001. Stabilitas moneter yang membaik juga didukung oleh perbankan yang makin sehat. Pada akhir tahun 2003, rasio kecukupan modal terjaga pada tingkat 19,4 persen; jauh di atas persyaratan minimum yaitu sebesar 8 persen. Dalam periode yang sama, kredit bermasalah (non-performing loan) menurun dari 12,1 persen menjadi 8,2 persen. Membaiknya stabilitas ekonomi juga didukung oleh terpeliharanya kepercayaan masyarakat terhadap sistem perbankan. Pada akhir tahun 2003, dana masyarakat yang dihimpun oleh perbankan meningkat menjadi Rp 888,6 triliun atau naik rata-rata 5,6 persen per tahun dibandingkan akhir tahun 2001. Dalam bulan Mei dan Juni 2004, stabilitas ekonomi mengalami tekanan eksternal yang berasal dari ekspektasi yang berlebihan terhadap perubahan kebijakan moneter yang dilakukan oleh Bank Sentral AS. Melalui langkah-langkah kebijakan yang diarahkan untuk meningkatkan stabilitas rupiah serta adanya kepastian bahwa perubahan kebijakan moneter AS dilakukan secara bertahap, stabilitas ekonomi di dalam negeri dapat dipertahankan. Kedua, secara bertahap pertumbuhan ekonomi meningkat dari 3,5 persen pada tahun 2001 menjadi 4,1 persen pada tahun 2003. II – 3 Pertumbuhan ekonomi yang relatif lebih rendah dari yang diharapkan ini antara lain disebabkan oleh perlambatan ekonomi dunia pada tahun 2001, meningkatnya persaingan di kawasan regional untuk menarik investasi, meningkatnya persaingan dalam perdagangan internasional, serta berbagai kendala dalam negeri yang mengakibatkan investasi dan ekspor non-migas belum pulih sebagaimana yang diharapkan. Membaiknya kondisi perekonomian tersebut membuat fungsi intermediasi perbankan dalam mendorong kegiatan ekonomi secara berangsur-angsur pulih. Pada akhir tahun 2003, jumlah dana yang disalurkan kepada masyarakat meningkat sebesar 15,4 persen per tahun dibandingkan akhir tahun 2001, termasuk di dalamnya adalah kredit usaha menengah, kecil, dan mikro yang meningkat rata-rata 32,9 persen per tahun dalam periode yang sama. Dengan meningkatnya dana yang disalurkan kepada masyarakat, loan to deposit ratio (LDR) meningkat dari 33,0 persen pada akhir tahun 2001 menjadi 43,2 persen pada akhir tahun 2003. Ketiga, meskipun perekonomian belum tumbuh pada tingkat yang mampu menciptakan lapangan kerja yang mencukupi bagi tambahan angkatan kerja baru, dengan stabilitas ekonomi yang terjaga, kualitas pertumbuhan ekonomi ditingkatkan untuk mengurangi jumlah penduduk miskin. Dalam tahun 2004, jumlah penduduk miskin menurun menjadi 36,1 juta jiwa atau 16,6 persen dari jumlah penduduk; lebih rendah dibandingkan tahun 2001 yang berjumlah 37,9 juta jiwa atau 18,4 persen dari jumlah penduduk. Secara umum normalisasi kehidupan ekonomi dan masyarakat dengan memperkuat dasar-dasar kehidupan perekonomian rakyat sudah berjalan dengan baik. Secara lebih rinci, perkembangan ekonomi makro tahun 2000 – 2004 dapat diuraikan sebagai berikut. B. PEREKONOMIAN DUNIA Perekonomian dalam negeri tidak terlepas dari pengaruh perekonomian dunia. Setelah tumbuh tinggi yaitu sebesar 4,7 persen pada tahun 2000, perekonomian dunia dalam tahun 2001 mengalami II – 4 resesi. Perlambatan perekonomian dunia tahun 2001 tersebut antara lain disebabkan oleh melemahnya kepercayaan internasional yang didorong oleh menurunnya investasi di bidang teknologi informasi. Dengan penggunaaan yang sudah meluas, penurunan investasi di bidang teknologi informasi memberi pengaruh yang cukup besar bagi banyak negara, termasuk negara-negara industri maju. Perlambatan ekonomi dunia tahun 2001 selanjutnya diperburuk oleh tragedi World Trade Center di New York, 11 September 2001, yang berpengaruh luas terhadap pasar modal di berbagai negara. Dalam keseluruhan tahun 2001, perekonomian dunia hanya tumbuh sebesar 2,4 persen. Perlambatan ekonomi dunia tahun 2001 berpengaruh terhadap perdagangan dunia. Volume perdagangan dunia pada tahun 2001 menurun 0,1 persen, jauh lebih rendah dibandingkan tahun sebelumnya yang meningkat 12,5 persen. Dengan melemahnya permintaan dunia, harga komoditi nonmigas di pasar internasional dalam tahun 2001 menurun sebesar 5,4 persen. Memasuki paruh kedua tahun 2002, perekonomian dunia secara berangsur-angsur meningkat didorong oleh kombinasi pelaksanaan kebijakan moneter yang longgar, pemberian stimulus oleh negara– negara maju dan negara-negara emerging market, serta meningkatnya investasi seiring dengan membaiknya kepercayaan masyarakat dan dunia usaha internasional. Dalam tahun 2002 dan 2003 perekonomian dunia tumbuh masing-masing sebesar 3,0 persen dan 3,9 persen. Sejalan dengan membaiknya perekonomian dunia, volume perdagangan dunia meningkat berturut-turut sebesar 3,1 persen dan 4,5 persen, serta harga komoditi non-migas naik berturut-turut 0,5 persen dan 7,1 persen dalam periode yang sama. Pada bulan Mei 2004, timbul gejolak eksternal yang bersumber dari ekspektasi yang berlebihan terhadap perubahan kebijakan moneter Amerika Serikat dari kebijakan moneter yang longgar kepada kebijakan moneter yang ketat yang dikuatirkan dilakukan secara drastis; meningkatnya keinginan RRC untuk memantapkan stabilitas moneternya dengan memperlambat laju pertumbuhan ekonominya; serta meningkatnya harga minyak di pasaran dunia berkaitan dengan tidak menentunya situasi keamanan di Irak pada khususnya dan Timur II – 5 Tengah pada umumnya. Ketiga tekanan eksternal tersebut melemahkan nilai tukar mata uang, termasuk rupiah; mengakibatkan gejolak pada pasar modal dunia, termasuk Indonesia; dan menimbulkan kekuatiran melemahnya pertumbuhan ekonomi dunia, termasuk kawasan Asia. Dengan kepastian bahwa Bank Sentral AS di dalam menerapkan kebijakan moneter yang agak ketat akan melakukannya secara hatihati dan bertahap, gejolak moneter internasional mereda. Dengan perubahan kebijakan moneter AS yang akan dilakukan secara bertahap tersebut serta momentum pertumbuhan ekonomi dunia yang diperkirakan tetap terpelihara dalam tahun 2004, perekonomian dunia pada tahun 2004 diperkirakan tumbuh sekitar 4,6 persen. Sejalan dengan itu, volume perdagangan dunia dalam tahun 2004 diperkirakan tumbuh sekitar 6,8 persen dan harga komiditi non-migas diperkirakan meningkat sebesar 7,6 persen. C. MONETER DAN PERBANKAN Dengan meningkatnya gejolak eksternal, upaya untuk meningkatkan stabilitas ekonomi ditingkatkan. Dalam tahun 2000 dan 2001, kebijakan moneter diarahkan untuk menyerap kelebihan likuiditas guna mengurangi tekanan terhadap nilai tukar dan inflasi. Namun demikian, dengan meningkatnya suhu politik di dalam negeri dan meningkatnya kebutuhan devisa untuk pembayaran utang, ratarata nilai tukar rupiah pada tahun 2000 dan tahun 2001 melemah berturut-turut menjadi Rp 8.405,-/US$ dan Rp 10.256,-/US$ dari Rp 7.848,-/US$ pada tahun 1999. Melemahnya nilai tukar rupiah dan meningkatnya laju pertumbuhan uang primer yang dalam tahun 2000 dan tahun 2001 mencapai 18,6 persen dan 17,9 persen telah mendorong kenaikan harga rata-rata barang dan jasa. Dalam tahun 2000 dan 2001, laju inflasi meningkat berturut-turut menjadi 9,3 persen dan 12,5 persen. Seiring dengan itu dalam tahun 2000 suku bunga SBI 1 bulan dan 3 bulan meningkat menjadi 14,5 persen dan 14,3 persen. Selanjutnya II – 6 dalam tahun 2001, suku bunga SBI 1 dan 3 bulan meningkat lagi masing-masing menjadi 17,6 persen. Dalam tahun 2002 kebijakan moneter tetap diarahkan untuk menyerap kelebihan likuiditas perbankan dengan tetap mempertimbangkan proses pemulihan ekonomi. Meningkatnya kepercayaan pelaku ekonomi dan menurunnya ekpektasi inflasi memberi ruang gerak bagi penurunan suku bunga. Agar kelebihan likuiditas dapat dikurangi, penurunan suku bunga SBI dilakukan secara bertahap sehingga tekanan inflasi masih dalam kisaran yang ditargetkan. Sinyal penurunan suku bunga ini dilakukan melalui penurunan suku bunga SBI dan suku bunga Fasilitas Simpanan Bank Indonesia (FASBI). Arah kebijakan ini dilanjutkan tahun 2003. Dengan arah kebijakan tersebut, dan seiring dengan membaiknya stabilitas politik pasca Sidang Istimewa Tahun 2001, memasuki tahun 2002 stabilitas ekonomi meningkat. Pada tahun 2002, rata-rata nilai tukar rupiah mencapai Rp 9.316,-/US$ atau menguat 9,2 persen dibandingkan tahun sebelumnya. Pada tahun 2003, penguatan rupiah terus berlanjut dan mencapai Rp 8.572,-/US$, atau menguat 8,0 persen dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Menguatnya nilai tukar rupiah dan terkendalinya pertumbuhan uang primer yang dalam tahun 2002 dan 2003 berturut-turut tumbuh 9,1 persen dan 10,3 persen turut membantu mengendalikan kenaikan harga rata-rata barang dan jasa. Dalam tahun 2002 dan 2003, laju inflasi turun menjadi 10,0 persen dan 5,1 persen. Terkendalinya laju inflasi selanjutnya memberi ruang gerak bagi penurunan suku bunga. Suku bunga rata-rata tertimbang SBI 1 bulan dan 3 bulan turun masing-masing menjadi 13,0 persen dan 13,1 persen pada bulan Desember 2002 dan kemudian menurun lagi masingmasing menjadi 8,3 persen pada bulan Desember 2003. Hal ini diikuti pula oleh suku bunga deposito 1 bulan yang menurun dari 16,1 persen pada bulan Desember 2001, menjadi 12,8 persen pada bulan Desember 2002 dan 6,6 persen pada bulan Desember 2003. Sejalan dengan menurunnya suku bunga simpanan, II – 7 rata-rata tertimbang suku bunga kredit modal kerja menurun dari 19,2 persen pada bulan Desember 2001 menjadi 18,3 persen pada bulan Desember 2002 dan 15,1 persen pada bulan Desember 2003; sedangkan suku bunga kredit investasi menurun dari 17,9 persen menjadi 17,8 persen dan 15,7 persen dalam periode yang sama. Dalam pada itu, pelaksanaan program restrukturisasi perbankan telah meningkatkan kesehatan perbankan, yang tercermin dari membaiknya rasio kecukupan modal (Capital Adequacy Ratio) dan menurunnya kredit bermasalah. Pada akhir tahun 2003, CAR meningkat menjadi 19,3 persen; lebih baik dibandingkan dengan kondisi akhir tahun 2000 yaitu sebesar 12,5 persen. Dalam periode yang sama, kredit bermasalah (non-performing loan) menurun dari 18,8 persen menjadi 8,2 persen. Dengan terjaganya kepercayaan masyarakat terhadap sistem perbankan, penghimpunan dana masyarakat oleh perbankan terus meningkat. Pada akhir Desember tahun 2003, dana masyarakat yang dihimpun oleh perbankan meningkat menjadi Rp 888,6 triliun atau naik rata-rata 8,4 persen per tahun dibandingkan akhir tahun 2000. Selanjutnya dengan prinsip kehati-hatian, fungsi intermediasi perbankan ditingkatkan. Pada akhir tahun 2003, jumlah dana yang disalurkan kepada masyarakat meningkat mencapai Rp 477,2 triliun atau naik rata-rata sebesar 14,2 persen per tahun dibandingkan akhir tahun 2000. Termasuk di dalamnya adalah kredit usaha menengah, kecil, dan mikro yang meningkat menjadi Rp 210,9 triliun atau naik rata-rata sebesar 32,9 persen per tahun dibandingkan akhir tahun 2001. Dengan meningkatnya dana yang disalurkan kepada masyarakat, loan to deposit ratio (LDR) meningkat dari 33,2 persen pada akhir tahun 2000 menjadi 43,2 persen pada akhir tahun 2003. Membaiknya fungsi intermediasi perbankan sebagian didukung oleh kemajuan dalam restrukturisasi utang perusahaan. Berbagai langkah ditempuh untuk mempercepat proses restrukturisasi, antara lain melalui Prakarsa Jakarta serta Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN). II – 8 Prakarsa Jakarta, sebagai lembaga mediasi antara debitor dan kreditor untuk melakukan restrukturisasi dan mediasi utang korporasi melalui berbagai bentuk, seperti pengalihan utang menjadi kepemilikan aset (debt to asset swap), sampai dengan pada masa berakhirnya pada tahun 2003 telah berhasil menyelesaikan 96 kasus utang senilai US$ 20,5 miliar. Restrukturisasi yang dilakukan BPPN, meskipun pada awalnya kurang berjalan seperti yang diharapkan, dengan terobosan yang menekankan pada perlunya diberikan fokus penyelesaian restrukturisasi khusus bagi aset-aset yang bersifat strategis, yaitu pinjaman yang memiliki dampak nasional yang cukup besar, namun dengan tetap memperhatikan keberlanjutan UKM, kinerjanya dapat diperbaiki. Pencapaian BPPN dalam penyelesaian aset kredit oleh Aset Manajemen Kredit (AMK) hingga tahun 2003 mencapai total penerimaan sebesar Rp 77,1 triliun dengan total pengalihan awal sebesar Rp 270,4 triliun. Dalam bulan Mei dan Juni 2004, stabilitas rupiah di dalam negeri mengalami tekanan eksternal yang berasal dari ekspektasi yang berlebihan terhadap perubahan kebijakan moneter Amerika Serikat yang pada gilirannya memberi tekanan pada nilai tukar mata uang dunia termasuk rupiah. Dalam upaya menjaga stabilitas nilai tukar, BI mengeluarkan Paket Kebijakan Stabilisasi Rupiah yang mencakup 3 (tiga) aspek, yaitu: (1) kebijakan pengendalian likuiditas rupiah untuk menyerap ekses likuiditas perbankan, melalui: (a) pengaktifan kembali Fasilitas Simpanan BI (FASBI) jangka waktu 7 hari sejak 7 Juni 2004; (b) penyempurnaan ketentuan Giro Wajib Minimum (GWM) dengan merubah GWM Rupiah bank umum yang semula ditetapkan 5 persen menjadi: (i) bank dengan total Dana Pihak Ketiga (DPK) lebih dari Rp 50 triliun dikenakan tambahan 3 persen sehingga menjadi 8 persen; (ii) bank dengan DPK Rp 10 – Rp 50 triliun dikenakan tambahan 2 persen sehingga menjadi 7 persen; (iii) bank dengan DPK Rp 1 – Rp 10 triliun dikenakan tambahan 1 persen sehingga menjadi 6 persen; serta (iv) bank dengan DPK kurang dari Rp 1 triliun tidak dikenakan tambahan sehingga tetap 5 persen; (2) penyempurnaan ketentuan kehati-hatian perbankan berkaitan dengan ketentuan Posisi Devisa Neto (PDN); serta (3) peningkatan pemantauan permintaan valas. II – 9 Dengan kepastian bahwa perubahan kebijakan moneter Bank Sentral AS dilakukan secara bertahap serta ditempuhnya langkahlangkah kebijakan moneter di dalam negeri untuk meningkatkan stabilitas rupiah, nilai tukar rupiah menguat kembali menjadi sekitar Rp 9.000,-/US$. Dalam semester I/2004, laju inflasi terkendali sebesar 3,3 persen dan suku bunga rata-rata tertimbang SBI 1 bulan dan 3 bulan berturut-turut sebesar 7,34 persen dan 7,25 persen. D. KEUANGAN NEGARA Pada tahun-tahun awal perlaksanaan Program Pembangunan Nasional dan Kabinet Gotong Royong, kebijakan keuangan negara diarahkan untuk menciptakan stimulus fiskal terbatas guna mendukung pemulihan ekonomi. Dalam tahun-tahun berikutnya kebijakan keuangan negara diarahkan untuk mewujudkan fiskal yang berkelanjutan. Arah kebijakan tersebut tercermin dari defisit anggaran yang menurun secara bertahap yang ditempuh melalui peningkatan di sisi penerimaan negara, pengendalian di sisi pengeluaran negara, dan optimasi di sisi pembiayaan defisit. Di sisi penerimaan, upaya peningkatan penerimaan pajak terus dilanjutkan dengan menyederhanakan administrasi pajak, menghilangkan berbagai pengecualian pajak, dan meningkatkan penegakan hukum. Di sisi pengeluaran, ditempuh langkah-langkah pokok untuk menekan biaya restrukturisasi perbankan yang dilakukan dengan kebijakan untuk menjaga stabilitas harga dalam rangka mewujudkan tingkat suku bunga yang rendah sehingga dapat memperingan pembayaran bunga obligasi dalam rangka rekapitalisasi perbankan; mengurangi subsidi secara bertahap dengan lebih mengarahkan kepada golongan masyarakat kurang mampu; mengendalikan peningkatan anggaran untuk belanja pegawai; serta membatasi pengeluaran pembangunan melalui penajaman alokasi anggaran. Dari sisi pembiayaan defisit, ketahanan fiskal ditingkatkan dengan mengurangi beban utang luar negeri dan mengoptimalkan II – 10 pembiayaan domestik dari penjualan aset hasil restrukturisasi perbankan; mengoptimalkan pendapatan dari privatisasi BUMN; serta menerbitkan obligasi dengan mempersiapkan secara matang infrastrukturnya dan mempertimbangkan secara seksama kondisi makro nasionalnya. Selama kurun waktu 2001 hingga 2003, pelaksanaan kebijakan keuangan negara telah memperkuat ketahanan fiskal dalam rangka mewujudkan fiskal yang berkelanjutan dengan tetap memberi dorongan secara terbatas pada momentum pemulihan ekonomi yang sedang berlangsung. Dengan langkah-langkah kebijakan tersebut, penerimaan pajak meningkat dari 12,6 persen PDB (Rp 185,5 triliun) pada tahun 2001 menjadi 13,0 persen PDB (Rp 210,1 triliun) pada tahun 2002 dan 13,5 persen PDB (Rp 241,6 triliun) pada tahun 2003. Dalam pada itu, meningkatnya ketegangan politik di Timur Tengah telah mendorong harga ekspor minyak mentah di pasar internasional. Pada tahun 2001 dan 2002, harga ekspor minyak mentah Indonesia di pasaran internasional berturut-turut mencapai US$ 24,6 per barel dan US$ 24,1 per barel. Dengan belum pulihnya situasi keamanan di Timur Tengah, harga minyak mentah Indonesia di pasaran internasional pada tahun 2003 meningkat menjadi US$ 27,9 per barel. Tingginya harga ekspor minyak mentah Indonesia terutama meningkatkan penerimaan negara bukan pajak dari sumber daya alam. Dengan langkah-langkah pengendalian, dalam tahun 2002 dan 2003 belanja negara dapat ditekan berturut-turut menjadi 20,0 persen PDB (Rp 322,2 triliun) dan 21,2 persen PDB (Rp 378,8 triliun); lebih rendah dibandingkan tahun 2001 yang mencapai 23,3 persen PDB (Rp 341,6 triliun). Pengendalian belanja negara ini terutama dilakukan dengan mengurangi beban subsidi secara bertahap; sedangkan anggaran pembangunan pemerintah pusat jumlahnya dipertahankan rata-rata sekitar 3 persen PDB. Selain melalui peningkatan penerimaan perpajakan dan pengendalian belanja negara, peningkatan ketahanan fiskal juga II – 11 didorong melalui optimasi pembiayaan defisit. Dalam kaitan itu dilaksanakan penjadwalan pinjaman luar negeri melalui Paris Club sebanyak tiga kali, masing-masing sebesar US$ 4,5 miliar, US$ 5,8 miliar dan US$ 5,4 miliar. Sejalan dengan itu, dilaksanakan pengelolaan pinjaman dalam negeri agar jatuh tempo pinjaman dapat lebih merata dan tidak terpusat pada tahun-tahun tertentu melalui reprofiling, buy back, debt switching, dan refinancing. Dengan pelaksanaan kebijakan tersebut, defisit anggaran secara bertahap dapat diturunkan menjadi 2,1 persen PDB pada tahun 2003, lebih rendah dibandingkan dengan 2,8 persen PDB pada tahun 2001. Sejalan dengan menurunnya defisit anggaran, stok utang pemerintah dapat diturunkan menjadi kurang dari 70 persen PDB pada tahun 2003 dari hampir 90 persen PDB pada tahun 2001. E. NERACA PEMBAYARAN Resesi ekonomi dunia yang terjadi pada tahun 2001 dan pemulihannya secara bertahap sejak tahun 2002 berpengaruh terhadap neraca pembayaran. Dalam tahun 2001, penerimaan ekspor non-migas turun menjadi US$ 44,8 miliar atau 11,0 persen lebih rendah dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Sejalan dengan memulihnya perekonomian dunia, permintaan terhadap komoditi ekspor mulai meningkat. Dalam tahun 2002 dan 2003, penerimaan ekspor nonmigas meningkat berturut-turut menjadi US$ 46,3 miliar dan US$ 48,0 miliar atau masing-masing naik sebesar 3,4 persen dan 3,7 persen. Dalam keseluruhan tahun 2001 – 2003, nilai ekspor nonmigas turun dengan rata-rata 1,3 persen per tahun, di bawah sasaran yang ingin dicapai yaitu rata-rata sebesar 11,2 persen per tahun. Rendahnya penerimaan ekspor nonmigas dalam beberapa tahun terakhir selain disebabkan oleh persaingan internasional yang cukup ketat, juga disebabkan oleh beberapa faktor internal antara lain masalah perburuhan, penyelundupan, dan infrastruktur yang kurang mendukung peningkatan investasi pada industri yang berorientasi ekspor. II – 12 Berbagai upaya telah ditempuh untuk mendorong kinerja ekspor nonmigas, meskipun belum memberikan hasil yang diharapkan. Dalam tahun 2001 ditempuh kebijakan antara lain berupa penurunan tarif pajak ekspor beberapa komoditas tertentu dan penyempurnaan sistem manajemen kuota tekstil. Dalam tahun 2002 dibentuk Tim Koordinasi Peningkatan Kelancaran Arus Barang Ekspor dan Impor untuk merumuskan langkah kebijakan yang terpadu dan terkoordinasi guna menunjang dan meningkatkan kelancaran arus barang serta daya saing ekspor Indonesia. Selanjutnya dalam tahun 2003 ditempuh upaya promosi ekspor dan penetrasi pasar terutama ke negara-negara nontradisional, pembebasan bea masuk komponen tertentu untuk meningkatkan investasi dan menurunkan biaya produksi, serta penyederhanaan perijinan di bidang investasi dengan menyediakan pelayanan satu atap. Sementara itu nilai ekspor migas dalam kurun waktu 2001 – 2003 tumbuh rata-rata sebesar 1,2 persen. Dalam lima bulan pertama tahun 2004 rata-rata harga ekspor minyak mentah Indonesia mencapai US$ 33,3/ barel. Tingginya harga minyak di pasar internasional antara lain disebabkan oleh meningkatnya permintaan dunia, isu terorisme, dan isu kurangnya pasokan minyak dunia. Peningkatan harga minyak dunia tersebut telah memberi dampak peningkatan defisit neraca perdagangan minyak, karena saat ini nilai ekspor minyak Indonesia lebih rendah dari nilai impornya. Namun, jika digabungkan dengan neraca perdagangan gas, neraca perdagangan migas masih surplus. Dengan melambatnya pertumbuhan ekonomi, impor nonmigas dalam tahun 2001 turun sebesar 15,8 persen; kemudian meningkat berturut-turut sebesar 0,1 persen pada tahun 2002 dan 9,4 persen pada tahun 2003. Sementara itu, impor migas dalam tahun 2001 turun sebesar 5,0 persen. Dengan harga minyak yang tinggi dan peningkatan kebutuhan bahan bakar dalam negeri, impor migas dalam tahun 2002 dan 2003 meningkat berturut-turut sebesar 17,5 persen dan 17,4 persen. Di sisi jasa-jasa, pengeluaran yang cukup besar terjadi untuk jasa pengangkutan barang impor dan pembayaran bunga pinjaman luar negeri. Sedangkan penerimaan masih tetap mengandalkan sektor II – 13 pariwisata dan pendapatan tenaga kerja Indonesia yang bekerja di luar negeri. Tragedi WTC September 2001, tragedi Bali Oktober 2002, isu SARS pada awal tahun 2003, perang Irak, dan tragedi J.W. Marriott Agustus 2003 telah memberi pengaruh negatif bagi dunia pariwisata nasional selama dua tahun terakhir. Dalam tahun 2002 dan 2003, arus wisatawan asing turun berturut-turut 2,3 persen dan 11,2 persen. Dengan meredanya kegiatan terorisme internasional, ditingkatkannya keamanan di dalam negeri, serta langkah-langkah untuk memulihkan iklim pariwisata khususnya di Bali, sejak triwulan IV/2003, arus wisatawan asing secara bertahap mulai pulih. Dengan perkembangan tersebut, defisit sektor jasa-jasa sebesar US$ 15,8 miliar pada tahun 2001, relatif tetap sebesar US$ 15,7 miliar dalam tahun 2002, dan meningkat menjadi US$ 16,5 miliar dalam tahun 2003. Defisit pendapatan bersih (net income) terus menunjukkan kecenderungan menurun. Hal tersebut antara lain disebabkan oleh berkurangnya transfer keuntungan dari perusahaan-perusahaan PMA ke luar negeri. Kondisi ini mengindikasikan bahwa investor asing yang ada masih berminat untuk terus melanjutkan usahanya di dalam negeri dengan tetap menanamkan keuntungan usahanya di Indonesia. Sementara itu, transfer berjalan bersih (net current transfer) cenderung meningkat terutama karena lebih besarnya penerimaan dana dari TKI yang bekerja di luar negeri dibandingkan dengan pengiriman dana yang berasal dari TKA yang bekerja di Indonesia. Naiknya penerimaan worker remittances juga menunjukkan semakin banyaknya TKI yang berangkat ke luar negeri, sejalan dengan upaya pemerintah untuk mengatasi tingginya pengangguran di dalam negeri yang meningkat pesat sejak terjadinya krisis ekonomi tahun 1997. Secara keseluruhan, neraca transaksi berjalan tahun 2001 – 2003 mengalami surplus, berturut-turut sebesar US$ 6,9 miliar, US$ 7,8 miliar, dan US$ 7,3 miliar. Di sisi neraca modal, beberapa upaya pokok ditempuh untuk mengurangi tekanan terhadap neraca modal. Dalam tahun 2002 ditempuh upaya penjadwalan kembali pinjaman luar negeri (PLN) pemerintah melalui Paris Club II, Paris Club III, dan London Club. II – 14 Dalam Paris Club III, penjadwalan tidak hanya mencakup pokok pinjaman, tetapi juga bunga pinjaman. Selanjutnya sebagai implikasi comparable treatment dari kesepakatan Paris Club III, pemerintah melakukan negosiasi dalam forum London Club sehingga penjadwalan kembali Pinjaman Komersial Luar Negeri (PKLN) mencakup pokok pinjaman dan bunga pinjaman sindikasi. Melalui upaya tersebut meningkatnya kewajiban pembayaran pinjaman luar negeri pemerintah yang jatuh tempo serta pinjaman IMF tidak memberi tekanan yang berat bagi neraca modal pemerintah. Defisit arus modal pemerintah bersih dalam tahun 2001 – 2003 meningkat dari US$ 2,2 miliar menjadi US$ 3,5 miliar. Hal ini sejalan dengan meningkatnya pembayaran kembali pinjaman pemerintah dan pinjaman dari IMF. Sejalan dengan meningkatnya arus masuk modal swasta dan menurunnya pembayaran utang luar negeri, defisit arus modal swasta neto turun dari US$ 8,3 miliar dalam tahun 2001 menjadi US$ 0,1 miliar dalam tahun 2003. Sementara itu, pembayaran utang luar negeri sektor swasta korporat meningkat cukup tajam seiring dengan semakin membaiknya kemampuan sektor swasta dalam memenuhi kewajiban luar negerinya. Dengan perkembangan pada neraca transaksi berjalan dan neraca modal tersebut, jumlah cadangan devisa selama 2001 - 2003 meningkat dari US$ 28,0 miliar menjadi US$ 36,3 miliar dalam tahun 2003, atau cukup untuk membiayai 7,1 bulan impor dan utang luar negeri pemerintah. Pada akhir bulan Juni 2004, jumlah cadangan devisa menurun menjadi US$ 34,9 miliar karena meningkatnya kebutuhan pembayaran utang luar negeri dan tekanan eksternal berkaitan dengan perubahan kebijakan moneter AS. F. PERTUMBUHAN EKONOMI Resesi dunia tahun 2001 dan meningkatnya persaingan dari negara-negara di Asia untuk menarik investasi mengakibatkan kurangnya dorongan investasi dan ekspor non-migas dalam pertumbuhan ekonomi. Dalam tahun 2001 dan 2002, minat investasi II – 15 menurun. Nilai persetujuan PMDN dalam tahun 2001 dan 2002 turun berturut-turut 37 persen dan 57 persen, sedangkan nilai persetujuan PMA berturut-turut turun 6 persen dan 35 persen dalam kurun waktu yang sama. Sejalan dengan membaiknya perekonomian dunia serta langkah-langkah kebijakan yang diarahkan untuk meningkatkan iklim investasi, nilai persetujuan investasi dalam tahun 2003 mulai meningkat. Dalam kurun waktu 2000 – 2003, rata-rata pertumbuhan ekonomi mencapai 4,0 persen. Dari sisi permintaan, pertumbuhan ekonomi terutama didorong oleh konsumsi rumah tangga dan pengeluaran pemerintah yang masing-masing tumbuh 3,2 persen dan 9,5 persen per tahun, sedangkan pembentukan modal tetap bruto serta ekspor barang dan jasa berturut-turut tumbuh rata-rata sebesar 6,2 persen dan 8,2 persen dalam kurun waktu yang sama. Pertumbuhan pembentukan modal tetap bruto serta ekspor barang dan jasa relatif tinggi pada tahun 2000 masing-masing sebesar 16,7 persen dan 26,5 persen terutama didorong oleh pertumbuhan ekonomi dunia yang tinggi. Adapun dari sisi produksi, pertumbuhan ekonomi didorong oleh sektor industri pengolahan non-migas dan sektor pertanian yang tumbuh rata-rata 4,6 persen dan 2,0 persen per tahun, sedangkan sektor-sektor lainnya tumbuh rata-rata 4,6 persen per tahun dalam kurun waktu yang sama. Dengan pertumbuhan ekonomi tersebut, peranan sektor pertanian dalam pembentukan PDB menurun dari 17,2 persen pada tahun 2000 menjadi 16,6 persen pada tahun 2003; sektor industri sedikit menurun dari 24,9 persen menjadi 24,7 persen; dan sektor-sektor lainnya meningkat dari 57,9 persen menjadi 58,8 persen dalam periode yang sama. Tingkat pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi dari pertumbuhan penduduk telah meningkatkan pendapatan nominal per kapita penduduk Indonesia dari Rp 6,1 juta pada tahun 2000 menjadi Rp 8,3 juta pada tahun 2003. Dalam harga konstan tahun 1993, PDB riil Indonesia tahun 2003 sudah melampaui tingkat sebelum krisis (tahun 1997), yaitu lebih tinggi sekitar 3 persen. Sedangkan II – 16 pendapatan riil per kapita penduduk Indonesia mendekati tingkat sebelum krisis. Pertumbuhan ekonomi rata-rata sebesar 4,0 persen per tahun tersebut kurang memadai untuk menciptakan lapangan kerja bagi angkatan kerja baru. Pada tahun 2003, jumlah pengangguran terbuka meningkat menjadi 9,5 juta jiwa (9,5 persen dari total angkatan kerja). Meskipun demikian, dengan stabilitas ekonomi yang tetap terjaga dan langkah-langkah untuk mengurangi jumlah penduduk miskin, persentase penduduk miskin pada tahun 2004 berhasil diturunkan menjadi 16,6 persen, lebih rendah dibandingkan dengan tahun 2001 dan sebelum krisis (1997) yaitu masing-masing sekitar 18,4 persen dan 17,7 persen. Dalam upaya meningkatkan iklim investasi ditempuh beberapa kebijakan pokok sebagai berikut. Pertama, meningkatkan kepastian hukum yang memberi kepastian usaha antara lain dengan mengupayakan penyelesaian RUU Penanaman Modal. Kepastian hukum juga ditingkatkan dengan melakukan harmonisasi peraturanperaturan daerah yang hingga bulan Maret 2004 telah dilakukan evaluasi terhadap lebih dari 3600 perda dengan sebanyak 161 perda dibatalkan dan 284 perda diminta direvisi oleh daerah yang bersangkutan. Kepastian hukum juga ditingkatkan dalam penyelesaian konflik pertambangan dan kehutanan dengan disetujuinya Perpu No. 1 Tahun 2004 tentang Perubahan UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan yang tetap mempertimbangkan ekologi dengan pemberian ijin yang terbatas. Dalam rangka mempercepat proses restrukturisasi utang diperluas pengadilan niaga ke beberapa kota besar seperti Surabaya, Medan, Semarang, dan Makasar selain di Jakarta Pusat. Kedua, menyederhanakan prosedur perijinan investasi dengan penetapan Keppres No. 29 Tahun 2004 tentang Penyelenggaraan Penanaman Modal dalam rangka PMA dan PMDN melalui Sistem Pelayanan Satu Atap. Ketiga, meningkatkan kemampuan kelembagaan dalam penanganan berbagai hambatan yang dihadapi oleh penanam modal termasuk masalah-masalah yang bersifat lintas sektor dan lintas daerah seperti keamanan, ketenagakerjaan, dan infrastruktur dengan pembentukan Tim Nasional Peningkatan Ekspor dan Peningkatan Investasi. Keempat, meningkatkan kerjasama internasional baik II – 17 bilateral, regional maupun multilateral di bidang penanaman modal, dalam bentuk kegiatan promosi dan pameran investasi dengan penyelenggaraan Tahun Investasi 2003 dan 2004. Secara umum kehidupan ekonomi sudah berjalan normal bagi penguatan dasar-dasar kehidupan perekonomian rakyat. II – 18