f. pertumbuhan ekonomi

advertisement
BAB II
PERKEMBANGAN EKONOMI MAKRO
A. UMUM
Sesuai amanat GBHN Tahun 1999 – 2004, kebijakan ekonomi,
yang terkait dengan ekonomi makro, diarahkan antara lain untuk: (a)
mengelola kebijakan makro dan mikroekonomi secara terkoordinasi
dan sinergis guna menentukan tingkat suku bunga yang rendah,
tingkat inflasi yang terkendali, tingkat kurs rupiah yang stabil dan
realistis; (b) mengembangkan kebijakan fiskal dengan memperhatikan
prinsip transparansi, disiplin, keadilan, efisiensi, efektivitas, untuk
menambah penerimaan negara dan mengurangi ketergantungan dana
dari luar negeri; (c) mempercepat penyelamatan dan pemulihan
ekonomi guna membangkitkan sektor riil terutama bagi pengusaha
kecil, menengah, dan koperasi melalui upaya pengendalian laju
inflasi, stabilisasi kurs rupiah pada tingkat yang realistis, tingkat suku
bunga yang wajar, serta didukung oleh tersedianya likuiditas sesuai
dengan kebutuhan; dan (d) menyehatkan APBN dengan mengurangi
defisit anggaran melalui peningkatan disiplin anggaran, pengurangan
subsidi dan pinjaman luar negeri secara bertahap, peningkatan
penerimaan pajak progesif yang adil dan jujur, serta penghematan
pengeluaran.
Amanat GBHN Tahun 1999 – 2004 selanjutnya dijabarkan dalam
rencana pembangunan lima tahunan, Program Pembangunan Nasional
Tahun 2000 – 2004, dan dalam program kerja Kabinet Gotong
Royong dengan mengupayakan normalisasi kehidupan ekonomi dan
masyarakat dengan memperkuat dasar kehidupan perekonomian
rakyat.
Dalam mencapai sasaran-sasaran makro di atas, perekonomian
dihadapkan pada beberapa kendala pokok yang mempengaruhi
pencapaian keseluruhan sasaran makro sebagai berikut.
Pertama adalah meningkatnya ketidakpastian eksternal berupa
resesi ekonomi dan tragedi World Trade Center pada tahun 2001 serta
memanasnya situasi politik di Timur Tengah yang pada gilirannya
mempengaruhi sisi eksternal dari perekonomian nasional. Kedua
adalah meningkatnya ketidakstabilan politik di dalam negeri terutama
menjelang pelaksanaan Sidang Istimewa MPR tahun 2001 dan
beberapa gangguan keamanan antara lain tragedi Bali tahun 2002 dan
tragedi Hotel JW Marriot tahun 2003.
Melalui koordinasi kebijakan moneter, fiskal, dan sektor riil serta
didukung oleh berbagai kebijakan di bidang lainnya, prioritas
kebijakan ekonomi makro diletakkan pada upaya untuk menjaga
stabilitas ekonomi dengan tetap mendorong pertumbuhan ekonomi
dalam kualitas yang lebih baik dalam rangka menciptakan lapangan
kerja dan mengurangi jumlah penduduk miskin.
Secara umum langkah-langkah kebijakan yang diarahkan untuk
mencapai sasaran-sasaran makro sebagaimana yang tercantum dalam
Program Pembangunan Nasional 2000 – 2004 dan Program Kerja
Kabinet Gotong Royong telah memberi kemajuan yang berarti.
Pertama, sejak memasuki tahun 2002, stabilitas ekonomi
meningkat, tercermin dari stabil dan menguatnya nilai tukar rupiah;
menurunnya laju inflasi dan suku bunga; meningkatnya ketahanan
fiskal; serta meningkatnya cadangan devisa.
II – 2
Pada tahun 2003, rata-rata nilai tukar rupiah mencapai Rp 8.572,/US$ atau menguat 16,4 persen dibandingkan dengan rata-rata tahun
2001; laju inflasi menurun menjadi 5,1 persen atau lebih rendah
dibandingkan dua tahun sebelumnya; rata-rata tertimbang suku bunga
SBI 1 bulan menurun menjadi 8,3 persen, jauh lebih rendah
dibandingkan tahun 2001 yaitu sebesar 17,6 persen; defisit APBN
menurun menjadi 2,1 persen PDB, lebih rendah dari tahun 2001 yaitu
sebesar 2,8 persen; stok utang pemerintah menurun menjadi 69 persen
PDB dibandingkan dengan tahun 2001 yaitu 87 persen PDB; serta
cadangan devisa meningkat menjadi US$ 36,3 miliar atau US$ 8,3
miliar lebih tinggi dibandingkan akhir tahun 2001. Meningkatnya
stabilitas ekonomi di dalam negeri memberi dorongan kepercayaan
pada pasar modal. Pada akhir tahun 2003, Indeks Harga Saham
Gabungan (IHSG) di Bursa Efek Jakarta meningkat menjadi 691,9
atau 76,5 persen lebih tinggi dibandingkan akhir tahun 2001.
Stabilitas moneter yang membaik juga didukung oleh perbankan
yang makin sehat. Pada akhir tahun 2003, rasio kecukupan modal
terjaga pada tingkat 19,4 persen; jauh di atas persyaratan minimum
yaitu sebesar 8 persen. Dalam periode yang sama, kredit bermasalah
(non-performing loan) menurun dari 12,1 persen menjadi 8,2 persen.
Membaiknya stabilitas ekonomi juga didukung oleh
terpeliharanya kepercayaan masyarakat terhadap sistem perbankan.
Pada akhir tahun 2003, dana masyarakat yang dihimpun oleh
perbankan meningkat menjadi Rp 888,6 triliun atau naik rata-rata 5,6
persen per tahun dibandingkan akhir tahun 2001.
Dalam bulan Mei dan Juni 2004, stabilitas ekonomi mengalami
tekanan eksternal yang berasal dari ekspektasi yang berlebihan
terhadap perubahan kebijakan moneter yang dilakukan oleh Bank
Sentral AS. Melalui langkah-langkah kebijakan yang diarahkan untuk
meningkatkan stabilitas rupiah serta adanya kepastian bahwa
perubahan kebijakan moneter AS dilakukan secara bertahap, stabilitas
ekonomi di dalam negeri dapat dipertahankan.
Kedua, secara bertahap pertumbuhan ekonomi meningkat dari 3,5
persen pada tahun 2001 menjadi 4,1 persen pada tahun 2003.
II – 3
Pertumbuhan ekonomi yang relatif lebih rendah dari yang diharapkan
ini antara lain disebabkan oleh perlambatan ekonomi dunia pada tahun
2001, meningkatnya persaingan di kawasan regional untuk menarik
investasi, meningkatnya persaingan dalam perdagangan internasional,
serta berbagai kendala dalam negeri yang mengakibatkan investasi
dan ekspor non-migas belum pulih sebagaimana yang diharapkan.
Membaiknya kondisi perekonomian tersebut membuat fungsi
intermediasi perbankan dalam mendorong kegiatan ekonomi secara
berangsur-angsur pulih. Pada akhir tahun 2003, jumlah dana yang
disalurkan kepada masyarakat meningkat sebesar 15,4 persen per
tahun dibandingkan akhir tahun 2001, termasuk di dalamnya adalah
kredit usaha menengah, kecil, dan mikro yang meningkat rata-rata
32,9 persen per tahun dalam periode yang sama. Dengan
meningkatnya dana yang disalurkan kepada masyarakat, loan to
deposit ratio (LDR) meningkat dari 33,0 persen pada akhir tahun 2001
menjadi 43,2 persen pada akhir tahun 2003.
Ketiga, meskipun perekonomian belum tumbuh pada tingkat yang
mampu menciptakan lapangan kerja yang mencukupi bagi tambahan
angkatan kerja baru, dengan stabilitas ekonomi yang terjaga, kualitas
pertumbuhan ekonomi ditingkatkan untuk mengurangi jumlah
penduduk miskin. Dalam tahun 2004, jumlah penduduk miskin
menurun menjadi 36,1 juta jiwa atau 16,6 persen dari jumlah
penduduk; lebih rendah dibandingkan tahun 2001 yang berjumlah
37,9 juta jiwa atau 18,4 persen dari jumlah penduduk.
Secara umum normalisasi kehidupan ekonomi dan masyarakat
dengan memperkuat dasar-dasar kehidupan perekonomian rakyat
sudah berjalan dengan baik. Secara lebih rinci, perkembangan
ekonomi makro tahun 2000 – 2004 dapat diuraikan sebagai berikut.
B. PEREKONOMIAN DUNIA
Perekonomian dalam negeri tidak terlepas dari pengaruh
perekonomian dunia. Setelah tumbuh tinggi yaitu sebesar 4,7 persen
pada tahun 2000, perekonomian dunia dalam tahun 2001 mengalami
II – 4
resesi. Perlambatan perekonomian dunia tahun 2001 tersebut antara
lain disebabkan oleh melemahnya kepercayaan internasional yang
didorong oleh menurunnya investasi di bidang teknologi informasi.
Dengan penggunaaan yang sudah meluas, penurunan investasi di
bidang teknologi informasi memberi pengaruh yang cukup besar bagi
banyak negara, termasuk negara-negara industri maju. Perlambatan
ekonomi dunia tahun 2001 selanjutnya diperburuk oleh tragedi World
Trade Center di New York, 11 September 2001, yang berpengaruh
luas terhadap pasar modal di berbagai negara. Dalam keseluruhan
tahun 2001, perekonomian dunia hanya tumbuh sebesar 2,4 persen.
Perlambatan ekonomi dunia tahun 2001 berpengaruh terhadap
perdagangan dunia. Volume perdagangan dunia pada tahun 2001
menurun 0,1 persen, jauh lebih rendah dibandingkan tahun
sebelumnya yang meningkat 12,5 persen. Dengan melemahnya
permintaan dunia, harga komoditi nonmigas di pasar internasional
dalam tahun 2001 menurun sebesar 5,4 persen.
Memasuki paruh kedua tahun 2002, perekonomian dunia secara
berangsur-angsur meningkat didorong oleh kombinasi pelaksanaan
kebijakan moneter yang longgar, pemberian stimulus oleh negara–
negara maju dan negara-negara emerging market, serta meningkatnya
investasi seiring dengan membaiknya kepercayaan masyarakat dan
dunia usaha internasional. Dalam tahun 2002 dan 2003 perekonomian
dunia tumbuh masing-masing sebesar 3,0 persen dan 3,9 persen.
Sejalan dengan membaiknya perekonomian dunia, volume
perdagangan dunia meningkat berturut-turut sebesar 3,1 persen dan
4,5 persen, serta harga komoditi non-migas naik berturut-turut 0,5
persen dan 7,1 persen dalam periode yang sama.
Pada bulan Mei 2004, timbul gejolak eksternal yang bersumber
dari ekspektasi yang berlebihan terhadap perubahan kebijakan
moneter Amerika Serikat dari kebijakan moneter yang longgar kepada
kebijakan moneter yang ketat yang dikuatirkan dilakukan secara
drastis; meningkatnya keinginan RRC untuk memantapkan stabilitas
moneternya dengan memperlambat laju pertumbuhan ekonominya;
serta meningkatnya harga minyak di pasaran dunia berkaitan dengan
tidak menentunya situasi keamanan di Irak pada khususnya dan Timur
II – 5
Tengah pada umumnya. Ketiga tekanan eksternal tersebut
melemahkan nilai tukar mata uang, termasuk rupiah; mengakibatkan
gejolak pada pasar modal dunia, termasuk Indonesia; dan
menimbulkan kekuatiran melemahnya pertumbuhan ekonomi dunia,
termasuk kawasan Asia.
Dengan kepastian bahwa Bank Sentral AS di dalam menerapkan
kebijakan moneter yang agak ketat akan melakukannya secara hatihati dan bertahap, gejolak moneter internasional mereda. Dengan
perubahan kebijakan moneter AS yang akan dilakukan secara bertahap
tersebut serta momentum pertumbuhan ekonomi dunia yang
diperkirakan tetap terpelihara dalam tahun 2004, perekonomian dunia
pada tahun 2004 diperkirakan tumbuh sekitar 4,6 persen. Sejalan
dengan itu, volume perdagangan dunia dalam tahun 2004 diperkirakan
tumbuh sekitar 6,8 persen dan harga komiditi non-migas diperkirakan
meningkat sebesar 7,6 persen.
C. MONETER DAN PERBANKAN
Dengan meningkatnya gejolak eksternal, upaya untuk
meningkatkan stabilitas ekonomi ditingkatkan. Dalam tahun 2000 dan
2001, kebijakan moneter diarahkan untuk menyerap kelebihan
likuiditas guna mengurangi tekanan terhadap nilai tukar dan inflasi.
Namun demikian, dengan meningkatnya suhu politik di dalam negeri
dan meningkatnya kebutuhan devisa untuk pembayaran utang, ratarata nilai tukar rupiah pada tahun 2000 dan tahun 2001 melemah
berturut-turut menjadi Rp 8.405,-/US$ dan Rp 10.256,-/US$ dari Rp
7.848,-/US$ pada tahun 1999.
Melemahnya nilai tukar rupiah dan meningkatnya laju
pertumbuhan uang primer yang dalam tahun 2000 dan tahun 2001
mencapai 18,6 persen dan 17,9 persen telah mendorong kenaikan
harga rata-rata barang dan jasa. Dalam tahun 2000 dan 2001, laju
inflasi meningkat berturut-turut menjadi 9,3 persen dan 12,5 persen.
Seiring dengan itu dalam tahun 2000 suku bunga SBI 1 bulan dan 3
bulan meningkat menjadi 14,5 persen dan 14,3 persen. Selanjutnya
II – 6
dalam tahun 2001, suku bunga SBI 1 dan 3 bulan meningkat lagi
masing-masing menjadi 17,6 persen.
Dalam tahun 2002 kebijakan moneter tetap diarahkan untuk
menyerap
kelebihan
likuiditas
perbankan
dengan
tetap
mempertimbangkan proses pemulihan ekonomi. Meningkatnya
kepercayaan pelaku ekonomi dan menurunnya ekpektasi inflasi
memberi ruang gerak bagi penurunan suku bunga. Agar kelebihan
likuiditas dapat dikurangi, penurunan suku bunga SBI dilakukan
secara bertahap sehingga tekanan inflasi masih dalam kisaran yang
ditargetkan. Sinyal penurunan suku bunga ini dilakukan melalui
penurunan suku bunga SBI dan suku bunga Fasilitas Simpanan Bank
Indonesia (FASBI). Arah kebijakan ini dilanjutkan tahun 2003.
Dengan arah kebijakan tersebut, dan seiring dengan membaiknya
stabilitas politik pasca Sidang Istimewa Tahun 2001, memasuki tahun
2002 stabilitas ekonomi meningkat. Pada tahun 2002, rata-rata nilai
tukar rupiah mencapai Rp 9.316,-/US$ atau menguat 9,2 persen
dibandingkan tahun sebelumnya. Pada tahun 2003, penguatan rupiah
terus berlanjut dan mencapai Rp 8.572,-/US$, atau menguat 8,0 persen
dibandingkan dengan tahun sebelumnya.
Menguatnya nilai tukar rupiah dan terkendalinya pertumbuhan
uang primer yang dalam tahun 2002 dan 2003 berturut-turut tumbuh
9,1 persen dan 10,3 persen turut membantu mengendalikan kenaikan
harga rata-rata barang dan jasa. Dalam tahun 2002 dan 2003, laju
inflasi turun menjadi 10,0 persen dan 5,1 persen.
Terkendalinya laju inflasi selanjutnya memberi ruang gerak bagi
penurunan suku bunga. Suku bunga rata-rata tertimbang SBI 1 bulan
dan 3 bulan turun masing-masing menjadi 13,0 persen dan 13,1 persen
pada bulan Desember 2002 dan kemudian menurun lagi masingmasing menjadi 8,3 persen pada bulan Desember 2003.
Hal ini diikuti pula oleh suku bunga deposito 1 bulan yang
menurun dari 16,1 persen pada bulan Desember 2001, menjadi 12,8
persen pada bulan Desember 2002 dan 6,6 persen pada bulan
Desember 2003. Sejalan dengan menurunnya suku bunga simpanan,
II – 7
rata-rata tertimbang suku bunga kredit modal kerja menurun dari 19,2
persen pada bulan Desember 2001 menjadi 18,3 persen pada bulan
Desember 2002 dan 15,1 persen pada bulan Desember 2003;
sedangkan suku bunga kredit investasi menurun dari 17,9 persen
menjadi 17,8 persen dan 15,7 persen dalam periode yang sama.
Dalam pada itu, pelaksanaan program restrukturisasi perbankan
telah meningkatkan kesehatan perbankan, yang tercermin dari
membaiknya rasio kecukupan modal (Capital Adequacy Ratio) dan
menurunnya kredit bermasalah. Pada akhir tahun 2003, CAR
meningkat menjadi 19,3 persen; lebih baik dibandingkan dengan
kondisi akhir tahun 2000 yaitu sebesar 12,5 persen. Dalam periode
yang sama, kredit bermasalah (non-performing loan) menurun dari
18,8 persen menjadi 8,2 persen.
Dengan terjaganya kepercayaan masyarakat terhadap sistem
perbankan, penghimpunan dana masyarakat oleh perbankan terus
meningkat. Pada akhir Desember tahun 2003, dana masyarakat yang
dihimpun oleh perbankan meningkat menjadi Rp 888,6 triliun atau
naik rata-rata 8,4 persen per tahun dibandingkan akhir tahun 2000.
Selanjutnya dengan prinsip kehati-hatian, fungsi intermediasi
perbankan ditingkatkan. Pada akhir tahun 2003, jumlah dana yang
disalurkan kepada masyarakat meningkat mencapai Rp 477,2 triliun
atau naik rata-rata sebesar 14,2 persen per tahun dibandingkan akhir
tahun 2000. Termasuk di dalamnya adalah kredit usaha menengah,
kecil, dan mikro yang meningkat menjadi Rp 210,9 triliun atau naik
rata-rata sebesar 32,9 persen per tahun dibandingkan akhir tahun
2001. Dengan meningkatnya dana yang disalurkan kepada
masyarakat, loan to deposit ratio (LDR) meningkat dari 33,2 persen
pada akhir tahun 2000 menjadi 43,2 persen pada akhir tahun 2003.
Membaiknya fungsi intermediasi perbankan sebagian didukung
oleh kemajuan dalam restrukturisasi utang perusahaan. Berbagai
langkah ditempuh untuk mempercepat proses restrukturisasi, antara
lain melalui Prakarsa Jakarta serta Badan Penyehatan Perbankan
Nasional (BPPN).
II – 8
Prakarsa Jakarta, sebagai lembaga mediasi antara debitor dan
kreditor untuk melakukan restrukturisasi dan mediasi utang korporasi
melalui berbagai bentuk, seperti pengalihan utang menjadi
kepemilikan aset (debt to asset swap), sampai dengan pada masa
berakhirnya pada tahun 2003 telah berhasil menyelesaikan 96 kasus
utang senilai US$ 20,5 miliar. Restrukturisasi yang dilakukan BPPN,
meskipun pada awalnya kurang berjalan seperti yang diharapkan,
dengan terobosan yang menekankan pada perlunya diberikan fokus
penyelesaian restrukturisasi khusus bagi aset-aset yang bersifat
strategis, yaitu pinjaman yang memiliki dampak nasional yang cukup
besar, namun dengan tetap memperhatikan keberlanjutan UKM,
kinerjanya dapat diperbaiki. Pencapaian BPPN dalam penyelesaian
aset kredit oleh Aset Manajemen Kredit (AMK) hingga tahun 2003
mencapai total penerimaan sebesar Rp 77,1 triliun dengan total
pengalihan awal sebesar Rp 270,4 triliun.
Dalam bulan Mei dan Juni 2004, stabilitas rupiah di dalam negeri
mengalami tekanan eksternal yang berasal dari ekspektasi yang
berlebihan terhadap perubahan kebijakan moneter Amerika Serikat
yang pada gilirannya memberi tekanan pada nilai tukar mata uang
dunia termasuk rupiah. Dalam upaya menjaga stabilitas nilai tukar, BI
mengeluarkan Paket Kebijakan Stabilisasi Rupiah yang mencakup 3
(tiga) aspek, yaitu: (1) kebijakan pengendalian likuiditas rupiah untuk
menyerap ekses likuiditas perbankan, melalui: (a) pengaktifan kembali
Fasilitas Simpanan BI (FASBI) jangka waktu 7 hari sejak 7 Juni 2004;
(b) penyempurnaan ketentuan Giro Wajib Minimum (GWM) dengan
merubah GWM Rupiah bank umum yang semula ditetapkan 5 persen
menjadi: (i) bank dengan total Dana Pihak Ketiga (DPK) lebih dari Rp
50 triliun dikenakan tambahan 3 persen sehingga menjadi 8 persen;
(ii) bank dengan DPK Rp 10 – Rp 50 triliun dikenakan tambahan 2
persen sehingga menjadi 7 persen; (iii) bank dengan DPK Rp 1 – Rp
10 triliun dikenakan tambahan 1 persen sehingga menjadi 6 persen;
serta (iv) bank dengan DPK kurang dari Rp 1 triliun tidak dikenakan
tambahan sehingga tetap 5 persen; (2) penyempurnaan ketentuan
kehati-hatian perbankan berkaitan dengan ketentuan Posisi Devisa
Neto (PDN); serta (3) peningkatan pemantauan permintaan valas.
II – 9
Dengan kepastian bahwa perubahan kebijakan moneter Bank
Sentral AS dilakukan secara bertahap serta ditempuhnya langkahlangkah kebijakan moneter di dalam negeri untuk meningkatkan
stabilitas rupiah, nilai tukar rupiah menguat kembali menjadi sekitar
Rp 9.000,-/US$. Dalam semester I/2004, laju inflasi terkendali sebesar
3,3 persen dan suku bunga rata-rata tertimbang SBI 1 bulan dan 3
bulan berturut-turut sebesar 7,34 persen dan 7,25 persen.
D. KEUANGAN NEGARA
Pada tahun-tahun awal perlaksanaan Program Pembangunan
Nasional dan Kabinet Gotong Royong, kebijakan keuangan negara
diarahkan untuk menciptakan stimulus fiskal terbatas guna
mendukung pemulihan ekonomi. Dalam tahun-tahun berikutnya
kebijakan keuangan negara diarahkan untuk mewujudkan fiskal yang
berkelanjutan. Arah kebijakan tersebut tercermin dari defisit anggaran
yang menurun secara bertahap yang ditempuh melalui peningkatan di
sisi penerimaan negara, pengendalian di sisi pengeluaran negara, dan
optimasi di sisi pembiayaan defisit.
Di sisi penerimaan, upaya peningkatan penerimaan pajak terus
dilanjutkan
dengan
menyederhanakan
administrasi
pajak,
menghilangkan berbagai pengecualian pajak, dan meningkatkan
penegakan hukum.
Di sisi pengeluaran, ditempuh langkah-langkah pokok untuk
menekan biaya restrukturisasi perbankan yang dilakukan dengan
kebijakan untuk menjaga stabilitas harga dalam rangka mewujudkan
tingkat suku bunga yang rendah sehingga dapat memperingan
pembayaran bunga obligasi dalam rangka rekapitalisasi perbankan;
mengurangi subsidi secara bertahap dengan lebih mengarahkan
kepada golongan masyarakat kurang mampu; mengendalikan
peningkatan anggaran untuk belanja pegawai; serta membatasi
pengeluaran pembangunan melalui penajaman alokasi anggaran.
Dari sisi pembiayaan defisit, ketahanan fiskal ditingkatkan
dengan mengurangi beban utang luar negeri dan mengoptimalkan
II – 10
pembiayaan domestik dari penjualan aset hasil restrukturisasi
perbankan; mengoptimalkan pendapatan dari privatisasi BUMN; serta
menerbitkan obligasi dengan mempersiapkan secara matang
infrastrukturnya dan mempertimbangkan secara seksama kondisi
makro nasionalnya.
Selama kurun waktu 2001 hingga 2003, pelaksanaan kebijakan
keuangan negara telah memperkuat ketahanan fiskal dalam rangka
mewujudkan fiskal yang berkelanjutan dengan tetap memberi
dorongan secara terbatas pada momentum pemulihan ekonomi yang
sedang berlangsung.
Dengan langkah-langkah kebijakan tersebut, penerimaan pajak
meningkat dari 12,6 persen PDB (Rp 185,5 triliun) pada tahun 2001
menjadi 13,0 persen PDB (Rp 210,1 triliun) pada tahun 2002 dan
13,5 persen PDB (Rp 241,6 triliun) pada tahun 2003.
Dalam pada itu, meningkatnya ketegangan politik di Timur
Tengah telah mendorong harga ekspor minyak mentah di pasar
internasional. Pada tahun 2001 dan 2002, harga ekspor minyak
mentah Indonesia di pasaran internasional berturut-turut mencapai
US$ 24,6 per barel dan US$ 24,1 per barel. Dengan belum pulihnya
situasi keamanan di Timur Tengah, harga minyak mentah Indonesia di
pasaran internasional pada tahun 2003 meningkat menjadi US$ 27,9
per barel. Tingginya harga ekspor minyak mentah Indonesia terutama
meningkatkan penerimaan negara bukan pajak dari sumber daya alam.
Dengan langkah-langkah pengendalian, dalam tahun 2002 dan
2003 belanja negara dapat ditekan berturut-turut menjadi 20,0 persen
PDB (Rp 322,2 triliun) dan 21,2 persen PDB (Rp 378,8 triliun); lebih
rendah dibandingkan tahun 2001 yang mencapai 23,3 persen PDB (Rp
341,6 triliun). Pengendalian belanja negara ini terutama dilakukan
dengan mengurangi beban subsidi secara bertahap; sedangkan
anggaran pembangunan pemerintah pusat jumlahnya dipertahankan
rata-rata sekitar 3 persen PDB.
Selain melalui peningkatan penerimaan perpajakan dan
pengendalian belanja negara, peningkatan ketahanan fiskal juga
II – 11
didorong melalui optimasi pembiayaan defisit. Dalam kaitan itu
dilaksanakan penjadwalan pinjaman luar negeri melalui Paris Club
sebanyak tiga kali, masing-masing sebesar US$ 4,5 miliar, US$ 5,8
miliar dan US$ 5,4 miliar. Sejalan dengan itu, dilaksanakan
pengelolaan pinjaman dalam negeri agar jatuh tempo pinjaman dapat
lebih merata dan tidak terpusat pada tahun-tahun tertentu melalui
reprofiling, buy back, debt switching, dan refinancing.
Dengan pelaksanaan kebijakan tersebut, defisit anggaran secara
bertahap dapat diturunkan menjadi 2,1 persen PDB pada tahun 2003,
lebih rendah dibandingkan dengan 2,8 persen PDB pada tahun 2001.
Sejalan dengan menurunnya defisit anggaran, stok utang pemerintah
dapat diturunkan menjadi kurang dari 70 persen PDB pada tahun 2003
dari hampir 90 persen PDB pada tahun 2001.
E. NERACA PEMBAYARAN
Resesi ekonomi dunia yang terjadi pada tahun 2001 dan
pemulihannya secara bertahap sejak tahun 2002 berpengaruh terhadap
neraca pembayaran. Dalam tahun 2001, penerimaan ekspor non-migas
turun menjadi US$ 44,8 miliar atau 11,0 persen lebih rendah
dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Sejalan dengan memulihnya
perekonomian dunia, permintaan terhadap komoditi ekspor mulai
meningkat. Dalam tahun 2002 dan 2003, penerimaan ekspor nonmigas meningkat berturut-turut menjadi US$ 46,3 miliar dan US$
48,0 miliar atau masing-masing naik sebesar 3,4 persen dan 3,7
persen.
Dalam keseluruhan tahun 2001 – 2003, nilai ekspor nonmigas
turun dengan rata-rata 1,3 persen per tahun, di bawah sasaran yang
ingin dicapai yaitu rata-rata sebesar 11,2 persen per tahun. Rendahnya
penerimaan ekspor nonmigas dalam beberapa tahun terakhir selain
disebabkan oleh persaingan internasional yang cukup ketat, juga
disebabkan oleh beberapa faktor internal antara lain masalah
perburuhan, penyelundupan, dan infrastruktur yang kurang
mendukung peningkatan investasi pada industri yang berorientasi
ekspor.
II – 12
Berbagai upaya telah ditempuh untuk mendorong kinerja ekspor
nonmigas, meskipun belum memberikan hasil yang diharapkan.
Dalam tahun 2001 ditempuh kebijakan antara lain berupa penurunan
tarif pajak ekspor beberapa komoditas tertentu dan penyempurnaan
sistem manajemen kuota tekstil. Dalam tahun 2002 dibentuk Tim
Koordinasi Peningkatan Kelancaran Arus Barang Ekspor dan Impor
untuk merumuskan langkah kebijakan yang terpadu dan terkoordinasi
guna menunjang dan meningkatkan kelancaran arus barang serta daya
saing ekspor Indonesia. Selanjutnya dalam tahun 2003 ditempuh
upaya promosi ekspor dan penetrasi pasar terutama ke negara-negara
nontradisional, pembebasan bea masuk komponen tertentu untuk
meningkatkan investasi dan menurunkan biaya produksi, serta
penyederhanaan perijinan di bidang investasi dengan menyediakan
pelayanan satu atap.
Sementara itu nilai ekspor migas dalam kurun waktu 2001 – 2003
tumbuh rata-rata sebesar 1,2 persen. Dalam lima bulan pertama tahun
2004 rata-rata harga ekspor minyak mentah Indonesia mencapai US$
33,3/ barel. Tingginya harga minyak di pasar internasional antara lain
disebabkan oleh meningkatnya permintaan dunia, isu terorisme, dan
isu kurangnya pasokan minyak dunia. Peningkatan harga minyak
dunia tersebut telah memberi dampak peningkatan defisit neraca
perdagangan minyak, karena saat ini nilai ekspor minyak Indonesia
lebih rendah dari nilai impornya. Namun, jika digabungkan dengan
neraca perdagangan gas, neraca perdagangan migas masih surplus.
Dengan melambatnya pertumbuhan ekonomi, impor nonmigas
dalam tahun 2001 turun sebesar 15,8 persen; kemudian meningkat
berturut-turut sebesar 0,1 persen pada tahun 2002 dan 9,4 persen pada
tahun 2003. Sementara itu, impor migas dalam tahun 2001 turun
sebesar 5,0 persen. Dengan harga minyak yang tinggi dan peningkatan
kebutuhan bahan bakar dalam negeri, impor migas dalam tahun 2002
dan 2003 meningkat berturut-turut sebesar 17,5 persen dan 17,4
persen.
Di sisi jasa-jasa, pengeluaran yang cukup besar terjadi untuk jasa
pengangkutan barang impor dan pembayaran bunga pinjaman luar
negeri. Sedangkan penerimaan masih tetap mengandalkan sektor
II – 13
pariwisata dan pendapatan tenaga kerja Indonesia yang bekerja di luar
negeri. Tragedi WTC September 2001, tragedi Bali Oktober 2002, isu
SARS pada awal tahun 2003, perang Irak, dan tragedi J.W. Marriott
Agustus 2003 telah memberi pengaruh negatif bagi dunia pariwisata
nasional selama dua tahun terakhir. Dalam tahun 2002 dan 2003, arus
wisatawan asing turun berturut-turut 2,3 persen dan 11,2 persen.
Dengan meredanya kegiatan terorisme internasional, ditingkatkannya
keamanan di dalam negeri, serta langkah-langkah untuk memulihkan
iklim pariwisata khususnya di Bali, sejak triwulan IV/2003, arus
wisatawan asing secara bertahap mulai pulih. Dengan perkembangan
tersebut, defisit sektor jasa-jasa sebesar US$ 15,8 miliar pada tahun
2001, relatif tetap sebesar US$ 15,7 miliar dalam tahun 2002, dan
meningkat menjadi US$ 16,5 miliar dalam tahun 2003.
Defisit pendapatan bersih (net income) terus menunjukkan
kecenderungan menurun. Hal tersebut antara lain disebabkan oleh
berkurangnya transfer keuntungan dari perusahaan-perusahaan PMA
ke luar negeri. Kondisi ini mengindikasikan bahwa investor asing
yang ada masih berminat untuk terus melanjutkan usahanya di dalam
negeri dengan tetap menanamkan keuntungan usahanya di Indonesia.
Sementara itu, transfer berjalan bersih (net current transfer)
cenderung meningkat terutama karena lebih besarnya penerimaan
dana dari TKI yang bekerja di luar negeri dibandingkan dengan
pengiriman dana yang berasal dari TKA yang bekerja di Indonesia.
Naiknya penerimaan worker remittances juga menunjukkan semakin
banyaknya TKI yang berangkat ke luar negeri, sejalan dengan upaya
pemerintah untuk mengatasi tingginya pengangguran di dalam negeri
yang meningkat pesat sejak terjadinya krisis ekonomi tahun 1997.
Secara keseluruhan, neraca transaksi berjalan tahun 2001 – 2003
mengalami surplus, berturut-turut sebesar US$ 6,9 miliar, US$ 7,8
miliar, dan US$ 7,3 miliar.
Di sisi neraca modal, beberapa upaya pokok ditempuh untuk
mengurangi tekanan terhadap neraca modal. Dalam tahun 2002
ditempuh upaya penjadwalan kembali pinjaman luar negeri (PLN)
pemerintah melalui Paris Club II, Paris Club III, dan London Club.
II – 14
Dalam Paris Club III, penjadwalan tidak hanya mencakup pokok
pinjaman, tetapi juga bunga pinjaman. Selanjutnya sebagai implikasi
comparable treatment dari kesepakatan Paris Club III, pemerintah
melakukan negosiasi dalam forum London Club sehingga
penjadwalan kembali Pinjaman Komersial Luar Negeri (PKLN)
mencakup pokok pinjaman dan bunga pinjaman sindikasi. Melalui
upaya tersebut meningkatnya kewajiban pembayaran pinjaman luar
negeri pemerintah yang jatuh tempo serta pinjaman IMF tidak
memberi tekanan yang berat bagi neraca modal pemerintah. Defisit
arus modal pemerintah bersih dalam tahun 2001 – 2003 meningkat
dari US$ 2,2 miliar menjadi US$ 3,5 miliar. Hal ini sejalan dengan
meningkatnya pembayaran kembali pinjaman pemerintah dan
pinjaman dari IMF.
Sejalan dengan meningkatnya arus masuk modal swasta dan
menurunnya pembayaran utang luar negeri, defisit arus modal swasta
neto turun dari US$ 8,3 miliar dalam tahun 2001 menjadi US$ 0,1
miliar dalam tahun 2003. Sementara itu, pembayaran utang luar negeri
sektor swasta korporat meningkat cukup tajam seiring dengan semakin
membaiknya kemampuan sektor swasta dalam memenuhi kewajiban
luar negerinya.
Dengan perkembangan pada neraca transaksi berjalan dan neraca
modal tersebut, jumlah cadangan devisa selama 2001 - 2003
meningkat dari US$ 28,0 miliar menjadi US$ 36,3 miliar dalam tahun
2003, atau cukup untuk membiayai 7,1 bulan impor dan utang luar
negeri pemerintah. Pada akhir bulan Juni 2004, jumlah cadangan
devisa menurun menjadi US$ 34,9 miliar karena meningkatnya
kebutuhan pembayaran utang luar negeri dan tekanan eksternal
berkaitan dengan perubahan kebijakan moneter AS.
F. PERTUMBUHAN EKONOMI
Resesi dunia tahun 2001 dan meningkatnya persaingan dari
negara-negara di Asia untuk menarik investasi mengakibatkan
kurangnya dorongan investasi dan ekspor non-migas dalam
pertumbuhan ekonomi. Dalam tahun 2001 dan 2002, minat investasi
II – 15
menurun. Nilai persetujuan PMDN dalam tahun 2001 dan 2002 turun
berturut-turut 37 persen dan 57 persen, sedangkan nilai persetujuan
PMA berturut-turut turun 6 persen dan 35 persen dalam kurun waktu
yang sama. Sejalan dengan membaiknya perekonomian dunia serta
langkah-langkah kebijakan yang diarahkan untuk meningkatkan iklim
investasi, nilai persetujuan investasi dalam tahun 2003 mulai
meningkat.
Dalam kurun waktu 2000 – 2003, rata-rata pertumbuhan ekonomi
mencapai 4,0 persen. Dari sisi permintaan, pertumbuhan ekonomi
terutama didorong oleh konsumsi rumah tangga dan pengeluaran
pemerintah yang masing-masing tumbuh 3,2 persen dan 9,5 persen per
tahun, sedangkan pembentukan modal tetap bruto serta ekspor barang
dan jasa berturut-turut tumbuh rata-rata sebesar 6,2 persen dan 8,2
persen dalam kurun waktu yang sama. Pertumbuhan pembentukan
modal tetap bruto serta ekspor barang dan jasa relatif tinggi pada
tahun 2000 masing-masing sebesar 16,7 persen dan 26,5 persen
terutama didorong oleh pertumbuhan ekonomi dunia yang tinggi.
Adapun dari sisi produksi, pertumbuhan ekonomi didorong oleh
sektor industri pengolahan non-migas dan sektor pertanian yang
tumbuh rata-rata 4,6 persen dan 2,0 persen per tahun, sedangkan
sektor-sektor lainnya tumbuh rata-rata 4,6 persen per tahun dalam
kurun waktu yang sama.
Dengan pertumbuhan ekonomi tersebut, peranan sektor pertanian
dalam pembentukan PDB menurun dari 17,2 persen pada tahun 2000
menjadi 16,6 persen pada tahun 2003; sektor industri sedikit menurun
dari 24,9 persen menjadi 24,7 persen; dan sektor-sektor lainnya
meningkat dari 57,9 persen menjadi 58,8 persen dalam periode yang
sama.
Tingkat pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi dari
pertumbuhan penduduk telah meningkatkan pendapatan nominal per
kapita penduduk Indonesia dari Rp 6,1 juta pada tahun 2000 menjadi
Rp 8,3 juta pada tahun 2003. Dalam harga konstan tahun 1993, PDB
riil Indonesia tahun 2003 sudah melampaui tingkat sebelum krisis
(tahun 1997), yaitu lebih tinggi sekitar 3 persen. Sedangkan
II – 16
pendapatan riil per kapita penduduk Indonesia mendekati tingkat
sebelum krisis.
Pertumbuhan ekonomi rata-rata sebesar 4,0 persen per tahun
tersebut kurang memadai untuk menciptakan lapangan kerja bagi
angkatan kerja baru. Pada tahun 2003, jumlah pengangguran terbuka
meningkat menjadi 9,5 juta jiwa (9,5 persen dari total angkatan kerja).
Meskipun demikian, dengan stabilitas ekonomi yang tetap terjaga dan
langkah-langkah untuk mengurangi jumlah penduduk miskin,
persentase penduduk miskin pada tahun 2004 berhasil diturunkan
menjadi 16,6 persen, lebih rendah dibandingkan dengan tahun 2001
dan sebelum krisis (1997) yaitu masing-masing sekitar 18,4 persen
dan 17,7 persen.
Dalam upaya meningkatkan iklim investasi ditempuh beberapa
kebijakan pokok sebagai berikut. Pertama, meningkatkan kepastian
hukum yang memberi kepastian usaha antara lain dengan
mengupayakan penyelesaian RUU Penanaman Modal. Kepastian
hukum juga ditingkatkan dengan melakukan harmonisasi peraturanperaturan daerah yang hingga bulan Maret 2004 telah dilakukan
evaluasi terhadap lebih dari 3600 perda dengan sebanyak 161 perda
dibatalkan dan 284 perda diminta direvisi oleh daerah yang
bersangkutan. Kepastian hukum juga ditingkatkan dalam penyelesaian
konflik pertambangan dan kehutanan dengan disetujuinya Perpu No. 1
Tahun 2004 tentang Perubahan UU No. 41 Tahun 1999 tentang
Kehutanan yang tetap mempertimbangkan ekologi dengan pemberian
ijin yang terbatas. Dalam rangka mempercepat proses restrukturisasi
utang diperluas pengadilan niaga ke beberapa kota besar seperti
Surabaya, Medan, Semarang, dan Makasar selain di Jakarta Pusat.
Kedua, menyederhanakan prosedur perijinan investasi dengan
penetapan Keppres No. 29 Tahun 2004 tentang Penyelenggaraan
Penanaman Modal dalam rangka PMA dan PMDN melalui Sistem
Pelayanan Satu Atap. Ketiga, meningkatkan kemampuan kelembagaan
dalam penanganan berbagai hambatan yang dihadapi oleh penanam
modal termasuk masalah-masalah yang bersifat lintas sektor dan lintas
daerah seperti keamanan, ketenagakerjaan, dan infrastruktur dengan
pembentukan Tim Nasional Peningkatan Ekspor dan Peningkatan
Investasi. Keempat, meningkatkan kerjasama internasional baik
II – 17
bilateral, regional maupun multilateral di bidang penanaman modal,
dalam bentuk kegiatan promosi dan pameran investasi dengan
penyelenggaraan Tahun Investasi 2003 dan 2004.
Secara umum kehidupan ekonomi sudah berjalan normal bagi
penguatan dasar-dasar kehidupan perekonomian rakyat.
II – 18
Download