Pemanfaatan wilayah pesisir (khususnya ekosistem mangrove

advertisement
Pemanfaatan
wilayah pesisir (khususnya ekosistem
mangrove) untuk tambak begitu intensifnya, sehingga daya
dukung lingkungan dan kelestarian sumberdaya alam di
ekosistem mangrove sering diabaikan. Hal ini tidak hanya
akan menurunkan produktifitas tambak saja, tapi juga
berakibat pada menurunnya produksi ikan dari hasil
tangkapan di laut. Permasalahan ini dapat diatasi dengan
menerapkan budidaya udang/ikan dalam tambak yang
ramah lingkungan, baik budidaya udang/ikan secara
ekstensif (tradisional) maupun semi intensif.Sistem
budidaya yang dapat diterapkan diantaranya adalah
budidaya mina wana (silvofishery).
Budidaya mina wana merupakan kegiatan budidaya udang
/ikan yang dipaduserasikan dengan upaya pelestarian
ekosistem mangrove. Upaya perpaduan kedua kegiatan
tersebut dilakukan melalui pengaturan tata letak wadah
budidaya sedemikian rupa sehingga kegiatan budidaya
dapat dilakukan secara optimal dan kelestarian ekosistem
mangrove dapat tetap terjaga.
Dengan demikian
berkembangnya
budidaya
mina
wana
akan
mengembangkan budidaya udang/ikan dalam tambak yang
ramah lingkungan yang pada gilirannya dapat membantu
menjaga keseimbangan lingkungan dan mengendalikan
kerusakan pantai.
Tanaman mangrove memiliki fungsi ekologi yang sangat
baik, antara lain adalah sebagai berikut :
- Dengan sistem perakaran yang kuat dan kokoh, tanaman
mangrove memiliki kemampuan untuk meredam
gelombang, menahan lumpur dan melindungi pantai dari
erosi.
- Tanaman mangrove yang banyak tumbuh di daerah
estuaria dapat berfungsi untuk mengurangi bencana
banjir.
- Tanaman mangrove memiliki kemampuan melakukan
proses kimia dan pemulihan (self purification) seperti
menyerap bahan pencemar (enviromental sevice)
khususnya bahan-bahan organik, sebagai sumber energi
bagi lingkungan perairan sekitarnya dan sebagai
penyupai bahan-bahan organik bagi lingkungan perairan.
- Tanaman mangrove mampu menjaga kestabilan dan
ketersediaan sumberdaya hayati wilayah pesisir
sehingga cocok sebagai nursery ground bagi juvenil
stage yang akan tumbuh dan berkembang menjadi
hewan dewasa, juga sebagai spawning ground beberapa
hewan perairan, serta sebagai feeding ground beberapa
spesies hewan perairan.
Desain konstruksi tambak/empang mina wana ada tiga
macam yaitu pola empang parit tradisional, empang parit
yang disempurnakan dan pola komplangan.
Desain konstruksi tambak pola empang parit
tradisional.
Dalam pola empang parit tradisional, areal tumbuh
mangrove dan tempat pemeliharaan udang/ikan berada
dalam satu hamparan. Pengelolaan air diatur melalui satu
buah pintu yang menghubungkan hamparan dengan
saluran air (Gambar 1 dan 2).
Keterangan :
A : saluran air
B : hamparan mangrove
C : parit pemeliharaan
secara ideal. Pada pola ini ancaman hama (burung) bagi
udang/ ikan yang dipelihara cukup tinggi, sinar matahari
terhalang menembus permukaan empang sehingga
pertumbuhan plankton dan bentos sebagai pakan alami
udang/ikan sangat kurang, serasah dan daun mangrove
yang jatuh ke dalam empang yang berlebihan dapat
menjadi penghambat pertumbuhan organisme yang
dibudidayakan.
Desain konstruksi tambak pola empang parit yang
disempurnakan.
Desain pola empang parit yang disempurnakan merupakan
pengembangan
pola
empang
parit
tradisional.
Perbedaannya, dalam empang parit yang disempurnakan
antara parit pemeliharaan udang/ikan dengan hamparan
mangrove dibatasi dengan tanggul pemisah. Pengelolaan
airnya diatur melalui tiga buah pintu. Dua pintu berfungsi
sebagai saluran masuk dan keluar, satu pintu berfungsi
sebagai saluran pasang surut bebas (Gambar 3 dan 4).
D : pintu air
E : pematang
Gambar 1. Desain pola empang parit tradisional
Keterangan :
A : saluaran air
E : pematang
B : hamparan mangrove
F : saluaran pasang surut
C : parit pemeliharaan ikan/
bebas untuk mangrove
udang
D : pintu air
G : tanggul pemisah
Gambar 3. Desain pola empang parit yang disempurnakan
Gambar 2. Tambak pola empang parit tradisional
Pola ini memiliki keunggulan pada desainnya yang sangat
sederhana, sehingga biaya yang dibutuhkan untuk
membangun empang ini relatif ringan. Kelemahannya,
karena genangan air empang menjadi satu dengan areal
tumbuhan mangrove upaya budidaya tidak dapat dilakukan
Gambar 4. Tambak pola empang parit yang disempurnakan
Pola ini memungkinkan untuk mencapai produksi yang
lebih tinggi dibanding pola empang parit tradisional. Biaya
yang dibutuhkan untuk membuat empang tipe ini juga agak
lebih besar, namun pembuatannya dapat dilakukan secara
bertahap pada setiap kegiatan pemeliharaan empang.
Kelemahan desain ini tempat pemeliharaan udang/ikan
kurang terintegrasi, luas paritnya terbatas, cahaya matahari
yang dapat menembus permukaan empang kurang
mencukupi.
membangun empang pola ini membutuhkan biaya yang
lebih besar.
TAMBAK MINA WANA
(SILVOFISHERY)
Desain konstruksi tambak pola komplangan.
Pada pola komplangan terdapat pemisahan yang nyata
antara areal budidaya dengan hamparan hutan mangrove.
Pada tanggul pemisah terdapat pintu air sebagai
penghubung yang berfungsi sebagai pintu masuk dan pintu
keluar. Ke arah hamparan mangrove dibuat saluran pasang
surut bebas (Gambar 5 dan 6).
Gambar 4. Tambak pola komplangan
Keterangan :
A : saluran air
B : hamparan mangrove
C : areal pemeliharaan udang/ikan
D : pintu air
E : pematang
F : saluran pasang surut bebas untuk mangrove
Selama ini pola empang parit merupakan pola yang paling
banyak digunakan. Hal ini disebabkan selain mudah
pelaksanaannya (pembuatannya) juga hasilnya relatif
besar. Produksi udang/ikan dari pola empang parit (80%
mangrove dan 20% empang) di kawasan mangrove
Ciasem Pamanukan Subang Jawa Barat menghasilkan
produktifitas per hektar sekitar 3,3 ton. Di Tegal Tangkil
dengan luas empang 150 Ha mampu menghasilkan
sumberdaya udang/ikan (bandeng, mujair) sebesar 489,5
ton pertahun.
Di kecamatan Pemangkat Kabupaten
Sambas produksi udang tambak pola empang parit
berkisar antara 750 kg sampai 1,5 ton per hektar. Udang
tersebut dipanen secara bertahap setelah mencapai ukuran
20 – 25 ekor/kg dengan lama pemeliharaan 4 – 8 bulan.
Gambar 5. Desain pola komplangan
Keunggulan pola komplangan ini terletak pada pemisahan
areal budidaya dan hamparan mangrove secara tegas.
Pada pola ini lahan pemeliharaan udang/ikan menyatu,
cahaya matahari dapat mencapai seluruh permukaan
empang, pertumbuhan udang/ikan dan mangrove tidak
saling menghambat, ancaman hama pengganggu relatif
kecil. Empang dengan pola ini sangat memungkinkan
untuk melakukan budidaya semi intensif. Namun untuk
Sumber : Media Akuakultur Vol. 2 No. 2 Thn. 2007,
Pemilihan dan Pembangunan Tambak Udang Berwawasan
Lingkungan (oleh Purnamawati dan Eko Dewantoro),
disalin kembali oleh subbid teknologi dan informasi
perikanan BP4K Kab. Lampung Timur.
Badan Pelaksana Penyuluhan
Pertanian, Perikanan dan Kehutanan
Kabupaten Lampung Timur
2012
Download