8 II KAJIAN KEPUSTAKAAN 2.1 Itik Cihateup Itik diklasifikasikan sebagai berikut (Srigandono, 1997; Scanes dkk., 2004) : Kingdom Subkingdom Filum Subfilum Infraphylum Superkelas Kelas Subkelas Superordo Ordo Infraordo Famili Genus Spesies : Animalia : Bilateria : Chordata : Vertebrata : Gnasthostomata : Tetrapoda : Aves : Neonithe : Anserimorphae : Anseriformes : Anserides : Anatidae : Anas : Anas platyrhynchos javanica Itik Cihateup merupakan itik lokal penghasil telur dan daging. Itik Cihateup sesuai dengan namanya berasal dari Desa Cihateup, Kecamatan Rajapolah, Kabupaten Tasikmalaya, Jawa Barat. Daerah tempat hidup itik merupakan dataran tinggi dengan ketinggian 378 m dpl sehingga sering disebut dengan itik gunung. Itik Cihateup penyebarannya sudah sampai hingga daerah Kabupaten Garut (Wulandari dkk. 2005; Matitaputty 2012) Itik merupakan unggas air yang memiliki ciri-ciri umum yaitu tubuh ramping, berjalan horizontal, berdiri hampir tegak seperti botol dan lincah sebagai ciri unggas petelur. Itik Cihateup memiliki karakteristik yang khas yaitu warna bulu bagian leher itik Cihateup jantan didominasi warna penciled dan ekor warna polos, sedangkan paruh dan shank didominasi warna hitam. Itik betina memiliki warna bulu bagian leher, dada, shank dan ekor yang sedikit berbeda dengan itik 9 jantan yaitu warna laced dan buttercup, sementara pada shank dan paruh tetap didominasi warna hitam (Wulandari dkk. 2005). Menurut Susanti dan Prasetyo (2007) itik Cihateup dapat memproduksi telur sampai 200 butir/ekor/tahun. A B A: Itik Cihateup jantan B: Itik Cihateup betina Ilustrasi 1. Itik Cihateup (Matitaputty, 2012) 2.2 Respon Fisiologis Itik Terhadap Lingkungan Ternak memerlukan lingkungan yang nyaman untuk mempertahankan hidup, berproduksi dan bereproduksi secara optimal. Lingkungan adalah semua keadaan, kondisi dan pengaruh-pengaruh sekitarnya yang dapat memengaruhi pertumbuhan, perkembangan dan produksi ternak (Ensminger dkk., 1990). Lingkungan yang tidak cocok seperti bersuhu terlalu tinggi atau rendah dapat menyebabkan ternak menjadi stres dan berakibat pada penurunan produksi. Berkurangnya performa pada ternak yang mengalami cekaman panas dan dingin merupakan akibat dari gangguan pada proses termoregulasi yang mempengaruhi perubahan keseimbangan energi, air dan endokrin (Johnson, 1987). Ternak akan berusaha meningkatkan produksi panas dalam tubuhnya saat suhu lingkungan turun sebaliknya ternak akan melakukan evaporasi untuk 10 melepaskan panas saat suhu lingkungan meningkat. Hubungan antara suhu lingkungan, suhu tubuh dan pengaturan panas tubuh ternak ternak dapat dilihat pada ilustrasi 2. Ilustrasi 2 . Diagram Hubungan antara Suhu Lingkungan dan Pengaturan Panas Tubuh Ternak (Yousef, 1985) Pengaturan suhu tubuh mamalia terdapat dua jenis sensor pengatur suhu, yaitu sensor panas dan sensor dingin yang berbeda tempat pada jaringan sekeliling (penerima di luar) dan jaringan inti (penerima di dalam) dari tubuh. Dari kedua jenis sensor ini, isyarat yang diterima langsung dikirimkan ke sistem saraf pusat dan kemudian dikirim ke syaraf motorik yang mengatur pengeluaran panas dan produksi panas untuk dilanjutkan ke jantung, paru-paru dan seluruh tubuh. Setelah itu terjadi umpan balik, dimana isyarat, diterima kembali oleh sensor panas dan sensor dingin melalui peredaran darah (Bligh dan Johnson, 1985). 11 Itik merupakan unggas air yang terbiasa hidup dikolam air untuk minum berenang dalam upaya menurunkan suhu tubuhnya terutama dengan mekanisme konveksi dan evaporasi. Itik yang dipelihara dalam kondisi minim air atau air hanya diberikan untuk kebutuhan minum saja serta suhu lingkungan yang tinggi akan menyebabkan itik mengalami stres atau cekaman panas. Stres memberikan sinyal terhadap hipotalamus dan merangsang sistem saraf simpatis, saraf mengirimkan sinyal langsung dari otak ke medulla adrenal untuk membebaskan epinefrin. Hormon epinefrin akan meningkatkan denyut jantung dan kontraksi jantung semakin kuat, memompa lebih banyak darah pada tiap denyutnya. Bronkiolus paru berdilatasi, memungkinkan lebih banyak udara yang bisa masuk ke paru- paru, aliran darah ke paru dan otot meningkat (Kadir, 2001). Respon yang menjadi indikator adaya cekaman panas pada tubuh ternak ditandai apabila adanya peningkatan suhu rektal, suhu kulit, frekuensi pernapasan dan denyut jantung, serta menurunnya konsumsi pakan dalam upaya mengurangi pembentukan panas dan meningkatkan pengeluaran panas (Purwanto dkk., 1996; Tamzil, 2014). 2.3 Termoregulasi Termoregulasi adalah proses yang melibatkan suatu mekanisme homeostatik makhluk hidup untuk mempertahankan suhu internal agar berada didalam kisaran yang relatif konstan. Homeostasis adalah penyesuaian diri untuk mencapai suatu keseimbangan (Abbas, 2009). Homeostasis ini berarti mempertahankan hidup normal baik pada tingkat seluler, jaringan, organ, dan individual. Ketidakmampuan ternak dalam mempertahankan homeostasis menyebabkan stres (Siegel, 1980; North, 1980; Young, 1981). Mekanisme 12 homeostasis mencakup keseimbangan panas, pengaturan panas, tekanan darah, pernapasan dan aktivitas lainnya di tubuh (Hafez, 1969). Itik merupakan hewan homeoterm yang suhu tubuhnya relatif konstan terhadap perubahan suhu lingkungan disekitanya. Suhu tubuh pada hewan homeoterm perlu diperhatikan karena kenaikan suhu tubuh akan memengaruhi proses biokimiawi dalam tubuh. Suhu tubuh akan memengaruhi energi kinetik dari molekul-molekul dalam tubuh yang dapat mengakibatkan terjadinya tubrukkan antara reaktan. Kenaikan suhu tubuh juga mengakibatkan enzim dalam tubuh bekerja lebih cepat hingga suhu yang terlalu tinggi akan mendenaturasikan enzim. Suhu tubuh normal pada ternak unggas berkisar antara 40,5-41,5oC (Etches dkk., 2008). Suhu tubuh merupakan indikator yang mudah diidentifikasi dari kondisi fisiologis. hipotalamus. Mekanisme pengaturan suhu tubuh dilakukan oleh Pemeliharaan yang dilakukan di atas kisaran suhu nyaman, ternak akan menderita stres karena kesulitan membuang suhu tubuhnya ke lingkungan (Cooper dan Washburn 1998; Austic, 2000). Respon fisiologis dapat diketahui diantaranya dengan melihat frekuensi denyut jantung, frekuensi pernapasan, dan suhu permukaan tubuh. 2.3.1 Laju Denyut Jantung Jantung merupakan komponen penyusun sistem sirkulasi yang berfungsi sebagai pompa penggerak cairan tubuh atau darah di sepanjang pembuluh dimana sangat dipengaruhi oleh banyak faktor seperti viskositas darah, tekanan hidrostatik, energi, tekanan darah, dan tahanan pada dinding pembuluh darah. Sistem kardiovaskular terlibat dalam mekanisme homeostasis sesuai dengan 13 fungsinya sebagai media transportasi di dalam tubuh yang berhubungan dengan suplai oksigen ke sel-sel tubuh, pertukaran gas, dan keseimbangan asam basa. Sistem kardiovaskular merupakan efektor yang efektif dalam pengaturan suhu tubuh dengan cara pengaliran panas dari pusat tubuh ke perifer. Saat keadaan lingkungan berada pada zona nyaman ternak, terdapat keseimbangan antara vasodilatasi dan vasokontriksi pusat tubuh dan pembuluh perifer, sehingga suhu tubuh dapat dipertahankan relatif konstan. Kecepatan denyut jantung dikendalikan oleh sistem saraf simpatis dan parasimpatis. Saraf simpatis bekerja untuk mempercepat denyut jantung, sedangkan saraf parasimpatis bekerja untuk memperlambatnya. Ritme denyut jantung juga dapat diubah oleh berbagai faktor selain saraf, antara lain dari rangsangan kimiawi seperti hormon, perubahan kadar oksigen dan karbondioksida ataupun rangsangan panas. Hormon adrenalin akan meningkatkan kontraksi jantung, sedangkan asetilkolin akan menurunkannya. Peningkatan kadar karbondioksida dan berbagai rangsang psikis juga dapat mempengaruhi kecepatan denyut jantung (Wiwi, 2006). Kecepatan denyut jantung yang normal secara umum cenderung lebih tinggi frekuensinya pada hewan yang kecil dan kemudian semakin lambat dengan semakin bertambah besarnya ukuran hewan. Peningkatan laju denyut jantung yang tajam terjadi pada saat peningkatan suhu lingkungan, gerakan dan aktivitas otot (Edey, 1983). 2.3.2 Laju Respirasi Respirasi pada hewan merupakan proses yang diatur oleh saraf untuk mencukupi kebutuhan akan oksigen dan pembuangan karbondioksida. Pengaturan tersebut bertujuan untuk menjaga keseimbangan kadar oksigen dan 14 karbondioksida dalam tubuh serta pelepasan panas dengan evaporasi. Hal ini penting karena kekurangan oksigen maupun kelebihan karbondioksida dalam darah atau cairan tubuh akan mengganggu proses fisiologis secara keseluruhan (Wiwi, 2006). Evaporasi adalah cara efektif untuk menghilangkan beban panas tubuh. Respirasi berfungsi sebagai parameter yang dapat digunakan sebagai pedoman untuk mengetahui fungsi organ-organ tubuh bekerja secara normal. Kecepatan respirasi meningkat berbanding lurus dengan meningkatnya suhu lingkungan. Hal ini disebabkan adanya mekanisme tubuh untuk mempertahankan keseimbangan fisiologik dalam tubuh hewan. Respirasi erat kaitannya dengan frekuensi denyut jantung, dengan peningkatan frekuensi respirasi yang meningkatnya aktivitas otot-otot respirasi mengakibatkan pemompaan darah ke seluruh permukaan tubuh sehingga akan terjadi pelepasan panas tubuh. 2.3.3 Suhu Permukaan Tubuh Ternak Unggas tidak memiliki kelenjar keringat, sehinga jalur utama untuk menjaga keseimbangan suhu tubuh adalah dengan pelepasan panas melalui penguapan (evaporasi pada kulit dan saluran pernapasan dengan cara panting (Hoffman dan Walsberg 1999). Hasil penelitian Aengwanich (2007) dan Rahardja (2013) menunjukkan penelitian pada unggas yang mengalami hipertermia, tampak bahwa terdapat peningkatan pengaliran darah hingga empat kali lipat ke pembuluh kapiler di kulit (termasuk kaki), jaringan rongga hidung dan mulut (nasobuccal) serta otot-otot pernapasan. Peningkatan pengaliran darah ini berkaitan dengan peranan Arteri-Vena Anastomosa (AVA) yang memiliki volume besar dan resistensi rendah untuk mengalirkan darah yang 15 diperlukan dalam pengeluaran panas. Penelitian yang menggunakan kaki belakang memberikan petunjuk bahwa pemanasan kulit atau hipotalamus atau sumsum tulang belakang mamalia memengaruhi AVA untuk berdilatasi, dan meningkatkan pengaliran darah melalui arteri femoralis. Panas juga dapat mendilatasikan AVA pada kaki dan jengger unggas, dan tampaknya peningkatan aliran darah ke lidah unggas adalah juga melalui AVA (Yahav, 2000; Tan dkk., 2010; Rahardja, 2013). 2.4 Minyak Buah Makasar Buah Makasar diklasifikasikan sebagai berikut (plantamor, 2012) : Kingdom Subkingdom Super Divisi Divisi Kelas Sub Kelas Ordo Famili Genus Spesies : Plantae : Tracheobionta : Spermatophyta : Magnoliophyta : Magnoliopsida : Rosidae : Sapindales : Simaroubaceae : Brucea : Brucea javanica (L.) Merr. Buah makasar (Brucea javanica (L.) Merr.) adalah tanaman perdu yang banyak tumbuh liar di hutan pada ketinggian 1 – 500 m dibawah permukaan laut. Tinggi 1 – 2.5 m, dan berambut halus bewarna kuning. Daunnya majemuk menyirip ganjil, jumlah anak daun 5 – 13 , bertangkai dengan posisi berhadapan. Helaian anak daun berbentuk lanset memanjang, ujung meruncing pangkal berbentuk baji, tepi bergerigi kasar, permukaan atas berwarna hijau dan permukaan bawah berwarna hijau muda, panjang daun 5-10 cm dengan lebar 2-4 cm. Bunga majemuk berkumpul dalam rangkaian berupa malai padat yang keluar dari ketiak daun dengan warna ungu kehijauan. Buahnya berbentuk bulat telur, 16 panjang sekitar 8 mm, jika sudah masak berwarna hitam, dan rasanya sangat pahit. Bijinya bulat berwarna putih. Buah ini mempunyai rasa yang sangat pahit karena mengandung banyak mengandung senyawa qassinoid. Sebagian senyawa yang terkandung dalam buah makasar sudah dilakukan penelitian sebagai anti tumor (Lee dkk., 1984; Fukamiya, dkk., 1992; Rahma dkk., 1999). Ilustrasi 3. Minyak Buah Makasar Kaffi dkk. (2011), Menyatakan bahwa berdasarkan hasil analisis GCMS (Gas Chromatography-Mass Spectrometri) menunjukkan bahwa terdapat dua kelompok senyawa di dalamnya yaitu asam lemak dan senyawa organik lainnya. Asam lemak yang paling banyak terkandung dalam minyak buah makasar adalah asam linoleat, yaitu sebesar 52,89%. Asam linoleat atau dikenal dengan istilah asam lemak omega 6 adalah asam lemak yang memiliki rantai karbon sebanyak 18 dan mengandung dua ikatan rangkap pada posisi 9 (C9-C10) dan 12 (C12-C13) dengan isomer geometris cis. Ikatan rangkap ini menyebabkan asam linoleat disebut asam lemak tidak jenuh (Murhadi, 2005). Asam linoleat akan diubah menjadi dihomo-gamma-linolenic acid (DGLA) dan asam arakhidonat, yang merupakan prekursor eikosanoid (Bergstrom dkk., 1964; van Dorp dkk., 1964) yang mirip hormon yaitu prostaglandin, 17 prostasiklin, tromboksan, dan leukotrien (Murray, 2003). Eikosanoid merupakan susbtansi messenger yang sangat berpengaruh terhadap regulasi berbagai macam proses termasuk sekresi asam lambung, kontraksi uterus, reproduksi, inflamasi mengatur tekanan darah, denyut jantung, fungsi kekebalan, rangsangan sistem saraf, kontraksi otot serta penyembuhan luka (Samuelsson, 1981 dan Murray, 2003).