TINJAUAN PUSTAKA Lingkungan Hidup Sapi FH

advertisement
TINJAUAN PUSTAKA
Lingkungan Hidup Sapi FH
Lingkungan merupakan keseluruhan faktor eksternal tidak-genetik yang
mempengaruhi pertumbuhan ternak. Lingkungan ternak dapat dibagi menjadi
lingkungan fisik, sosial dan termal. Faktor fisik diantaranya ruang, cahaya, suara,
tekanan dan peralatan. Faktor sosial meliputi jumlah ternak dalam satu kandang dan
tingkah laku ternak. Faktor termal meliputi temperatur udara, kelembaban relatif,
pergerakan udara dan radiasi (Esmay, 1978).
Keadaan lingkungan yang selamanya dapat memberikan kenyamanan pada
ternak untuk berproduksi secara optimal, sehingga perlu pengendalian lingkungan
ternak. Kondisi panas di atas normal mempengaruhi temperatur, kelembaban relatif,
radiasi matahari, yang dapat mempengaruhi beban penerimaan panas yang
mempengaruhi performa, pengurangan tingkat
kenyamanan ternak dan dapat
menyebabkan kematian (Mader et al, 2006).
Wilayah yang sesuai untuk pengembangan sapi perah adalah daerah yang
mempunyai suhu lingkungan antara 0-20 oC. Jika suhu lingkungan turun hingga
kurang dari 0 oC, produksi akan berkurang. Suhu kritis di daerah subtropis yang
menyebabkan penurunan produksi susu pada sapi Holstein dan Jersey adalah 21-25
o
C, Brown Swiss adalah 30-32 oC dan Brahman adalah 38 oC (Sainsbury dan
Sainsbury, 1982).
Sapi FH akan berproduksi tinggi jika ditempatkan pada suhu lingkungan 18,3
o
C dengan kelembaban 55%. Jika melebihi suhu tersebut ternak akan melakukan
penyesuaian secara fisiologis dan tingkah laku. Secara fisiologis ternak akan
mengalami cekaman panas dan akan berakibat pada: 1) penurunan nafsu makan;
2) peningkatan konsumsi minum; 3) penurunan metabolisme dan peningkatan
katabolisme; 4) peningkatan pelepasan panas melalui penguapan; 5) penurunan
konsentrasi hormon dalam darah; 6) peningkatan suhu tubuh, respirasi dan denyut
jantung (Mc. Dowell, 1972); dan 7) meningkatnya intensitas berteduh sapi (Ingram
dan Dauncey, 1985).
Menurut Yani (2007), suhu udara dalam kandang berasal dari suhu udara
lingkungan yang naik pada pagi sampai siang hari dan menurun kembali pada sore
hari. Di daerah Darmaga Bogor pada pukul 09.20 WIB suhu udara dalam kandang
memiliki kecenderungan meningkat dari posisi dekat lantai menuju posisi dekat atap
karena panas matahari yang diterima atap dihantarkan ke dalam kandang sehingga
semakin dekat dengan atap suhu udara semakin tinggi.
Termoregulasi
Termoregulasi adalah pengaturan suhu tubuh yang tergantung kepada
produksi panas melalui metabolisme dan pelepasan panas tersebut ke lingkungan
atau suatu proses yang terjadi pada hewan untuk mengatur suhu tubuhnya supaya
konstan, paling tidak suhu tubuhnya tidak mengalami perubahan terlalu besar
(Isnaeni, 2006). Energi dibutuhkan untuk mendukung fungsi normal tubuh ternak
seperti respirasi, pencernaan dan metabolisme untuk pertumbuhan dan produksi susu.
Pada hewan yang lebih aktif, lebih banyak energi yang dikeluarkan untuk
mendukung aktivitasnya dan faktor ekstrinsik yang paling besar mempengaruhi
metabolisme adalah temperatur (Ensminger dan Tyler, 2006). Menurut Amir (2010)
peningkatan kandungan energi ransum sapi perah dara PFH menyebabkan
peningkatan respon termoregulasinya.
Menurut Brown-Brandl et al. (2006), adanya kontinuitas produksi panas oleh
tubuh, maka keseimbangan hanya mungkin jika ada kontinuitas aliran panas pada
perbedaan temperatur antara tubuh dan lingkungan. Menurut Isnaeni (2006),
kesulitan dalam pelepasan panas secara sensible, menyebabkan ternak melepaskan
panas secara insensible (evaporasi). Schutz et al. (2008) menyatakan evaporasi pada
dasarnya dikontrol oleh ternak dan stres panas yang secara tiba-tiba dapat segera
menyebabkan proses fisiologis pada sapi, dan pada saat istirahat hewan lebih toleran
pada suhu tinggi.
Panas yang dibentuk di dalam tubuh diperoleh dari panas hasil kegiatan
metabolisme di dalam tubuh dan panas dari luar tubuh. Produksi panas di dalam
tubuh antara lain berasal dari metabolisme basal, panas hasil kegiatan pencernaan,
kerja pada otot dan metabolisme proses-proses produksi. Panas yang diperoleh dari
luar tubuh berupa penyerapan panas dari radiasi matahari di sekitar ternak (baik
langsung maupun pantulannya), melalui konduksi dengan benda yang lebih panas
dan melalui konveksi oleh aliran udara panas di sekitarnya (Rahardja, 2007).
4
Suhu Rektal
Suhu tubuh menunjukkan kemampuan tubuh untuk melepas dan menerima
panas. Pengukuran suhu tubuh pada dasarnya sulit dilakukan, karena pengukuran
suhu tubuh merupakan resultan dari berbagai pengukuran di berbagai tempat
(Schmidt-Nielsen, 1997). Pada sapi perah, suhu tubuh (suhu rektal) normal berada
pada kisaran 37,8 – 39,2 oC dengan rataan suhu rektal sebesar 38,5 oC (Kelly, 1984).
Sedangkan menurut Ensminger dan Tyler (2006), suhu normal rektal sapi perah
berkisar antara 38,0 – 39,3 o C dengan rataan sebesar 38,4 oC. Namun pada kondisi
tertentu suhu rektal dapat bervariasi, diantaranya pada saat estrus atau birahi,
pergantian musim dan pergantian waktu antara pagi hari dengan sore hari (Curtis,
1983).
Selain itu menurut Purwanto et al. (1991), suhu rektal sapi perah meningkat
pada suhu lingkungan 30 oC dibandingkan dengan suhu 10 atau 20 oC.
Suhu
lingkungan yang panas akan menurunkan pelepasan panas tubuh melalui jalur
sensible (tidak evaporatife). Sebaliknya pelepasan panas tubuh melalui jalur
evaporasi akan meningkat sehingga mengakibatkan produksi panas metabolis akan
berubah mengikuti respon termoregulasi.
Pengaruh Lingkungan Mikro terhadap Ternak
Perah Fries Holland
Ternak merupakan hewan homeoterm yaitu hewan yang selalu berusaha
untuk mempertahankan suhu tubuhnya tetap seiring dengan berubahnya suhu
lingkungan. Suhu tubuh ternak selalu diupayakan untuk tetap konstan melalui
mekanisme umpan balik negatif pada hipotalamus. Suhu yang konstan sangat
dibutuhkan oleh ternak karena beberapa alasan. Perubahan suhu lingkungan dapat
mempengaruhi konformasi protein dan aktifitas enzim yang dapat menyebabkan
reaksi di dalam sel terganggu. Perubahan suhu berpengaruh terhadap energi kinetik
yang dimiliki setiap molekul sehingga dapat meningkatkan laju reaksi di dalam sel
(Isnaeni, 2006).
Kenaikan suhu udara mengakibatkan peningkatan frekuensi denyut jantung
dan pernafasannya setiap menitnya. Peningkatan produksi panas selalu diikuti
dengan peningkatan suhu rektal, frekuensi pernafasan dan denyut jantung (Purwanto
et al., 1991). Peningkatan frekuensi pernafasan diharapkan dapat membantu hewan
5
7
meningkatkan pelepasan panas melalui pernafasan.
Peningkatan denyut jantung
dapat membantu transportasi oksigen dan zat makanan ke seluruh tubuh, selain itu
peningkatan denyut jantung juga membantu transportasi panas metabolisme ke
seluruh tubuh yang dapat meningkatkan suhu permukaan tubuh (Gatenby dan
Martawidjaya, 1986). Fluktuasi perubahan suhu dapat mengakibatkan stres pada
ternak. Stres secara fisiologis dicirikan dengan peningkatan aktivitas kelenjar
Pituitari-adrenal dan usaha pengembalian respon homeostasis. Variasi lingkungan
memberikan efek yang luas terhadap respon fisiologis yang berhubungan dengan
aktivasi sistem syaraf simpati dan medula adrenal (Dantzer dan Movemede, 1987).
Menurut
menguntungkan
Sugeng
terhadap
(1998),
suhu
kehidupan
udara
ternak
yang
sapi.
tinggi
sangat
kurang
Pengaruh
yang
kurang
menguntungkan ini dalam hal konsumsi pakan, air minum dan tingkah laku. Ternak
sapi yang tertimpa suhu tinggi akan mengalami stres berat dan gagal dalam mengatur
panas tubuh. Akibatnya ternak yang bersangkutan akan banyak minum tetapi nafsu
makan berkurang dan makanan yang dikonsumsi rendah.
Kelembaban adalah jumlah uap air dalam udara. Kelembaban udara penting,
karena mempengaruhi kecepatan kehilangan panas dari ternak. Kelembaban dapat
menjadi kontrol dari evaporasi kehilangan panas
melalui kulit dan saluran
pernafasan. Kelembaban biasanya diekspresikan sebagai kelembaban relatif (Rh).
Pada saat kelembaban tinggi, evaporasi terjadi secara lambat, kehilangan panas
terbatas dan dengan demikian mempengaruhi keseimbangan termal ternak (Yani dan
Purwanto, 2006).
Kelembaban nisbi mempengaruhi pada pernafasan dan peluh
hewan. Udara yang sangat kering menyebabkan ketidaknyamanan pada hewan.
Kelembaban nisbi rendah, angin dan suhu tinggi menyebabkan meningkatnya
kebutuhan air untuk hewan (Tjasyono, 2004). Kelembaban tinggi dapat berakibat
langsung terhadap penurunan jumlah panas yang hilang akibat penguapan. Pada
kelembaban tinggi, penguapan tertahan yang berarti akan meningkatkan panas pada
sapi (Sugeng, 1998).
Menurut Yani dan Purwanto (2006) kecepatan angin meningkat seiring
dengan meningkatnya suhu udara dan radiasi matahari. Sementara disisi lain tubuh
sapi FH memerlukan kecepatan angin yang lebih untuk mereduksi cekaman
panasnya, sehingga pengaruh kecepatan angin pada siang hari pada kondisi udara
6
8
cerah tidak banyak berpengaruh terhadap penurunan cekaman panas tubuh sapi FH.
Selanjutnya Lee dan Keala (2005) menyatakan bahwa penambahan kecepatan angin
akan membantu sapi FH menurunkan cekaman panas pada saat malam hari karena
pada malam hari metabolisme sapi FH lebih diarahkan untuk mempertahankan suhu
tubuh. Penambahan kecepatan angin (1,125 m/det) dapat mengoptimalkan kerja
metabolisme sapi FH sehingga ternak tersebut merasa nyaman.
Jaringan Syaraf Tiruan (Artificial Neural Network)
Jaringan Syaraf Tiruan (JST) atau Artificial Neural Network adalah suatu
metode komputasi yang meniru sistem jaringan syaraf biologis. Metode ini
menggunakan elemen perhitungan tidak linier dasar yang disebut neuron yang
diorganisasikan sebagai jaringan yang saling berhubungan sehingga mirip dengan
jaringan syaraf manusia. Jaringan syaraf tiruan dibentuk untuk memecahkan suatu
masalah tertentu seperti pengenalan pola atau klasifikasi karena proses pembelajaran
(Eliyani, 2005).
Sejak ditemukan pertama kali oleh McCulloch dan Pitts pada tahun 1948,
JST telah berkembang pesat dan telah digunakan pada banyak aplikasi. Jaringan
Syaraf Tiruan (JST) telah dikembangkan sejak tahun 1940. Belum ada definisi yang
baku mengenai JST ini. Teori yang menginspirasi lahirnya sistem jaringan syaraf
muncul dari bermacam disiplin ilmu: terutama dari neuro science, teknik, dan ilmu
komputer, juga dari psikologi, matematika, fisika, dan ilmu bahasa. Ilmu-ilmu ini
bekerja bersama untuk satu tujuan yaitu pengembangan sistem kecerdasan
(Kusumadewi, 2003).
Menurut Puspatiningrum (2006), hal yang ingin dicapai dengan melatih JST
adalah untuk mencapai keseimbangan antara kemampuan memorisasi dan
generalisasi. Kemampuan memorisasi adalah kemampuan JST untuk mengambil
kembali secara sempurna sebuah pola yang telah dipelajari, sedangkan kemampuan
generalisasi adalah kemampuan JST untuk menghasilkan respon yang bisa diterima
terhadap pola-pola input yang serupa (namun tidak identik) dengan pola-pola yang
sebelumnya telah dipelajari. Hal ini sangat bermanfaat bila pada suatu saat ke dalam
JST diinputkan informasi baru yang belum pernah dipelajari, maka JST itu masih
akan tetap dapat memberikan tanggapan yang baik, memberikan keluaran yang
paling mendekati.
7
Prinsip kerja dari JST itu mengadopsi prinsip kerja penyaluran informasi
sistem jaringan syaraf pada manusia. Namun, keterbatasan yang dimiliki oleh JST
merupakan sebagian kecil dari kemampuan sistem syaraf pada manusia. Setiap polapola informasi input dan output yang diberikan ke dalam JST diproses dalam neuron.
Neuron-neuron tersebut terkumpul di dalam lapisan-lapisan yang disebut Neuron
layer yang terdiri dari lapisan input, lapisan tersembunyi dan lapisan output
(Kusumadewi, 2003).
Selanjutnya Kusumadewi (2003), mengatakan bahwa arsitektur jaringan
dalam aplikasinya antara lain: 1). Jaringan layar tunggal (single layer network)
contohnya adaline, hopfield, dan perceptron. 2). Jaringan layar jamak (multi layer
network) contohnya madaline, backpropagation dan neocognitron. 3). Jaringan
dengan lapisan kompetitif (Competitif layer network) contohnya LVQ.
Konsep kerja bagaimana informasi tersalurkan dalam JST dimulai dari nodenode input. Misalkan ada sinyal yang masuk ke node input. Node-node input ini
memiliki fungsi untuk menerima sinyal informasi dari luar dan meneruskannya ke
node-node pada lapisan tersembunyi. Tidak semua sinyal yang dikirimkan akan
disampaikan ke node-node tersembunyi.
Besarnya sinyal yang disampaikan akan tergantung dari tingkat kekuatan
hubungan antara tiap-tiap node input dengan masing-masing node tersembunyi.
Seperti manusia, ketika kita belajar belum tentu apa yang kita pelajari dapat kita
pahami, maka untuk menganalogikan tingkat kekuatan hubungan ini, digunakanlah
faktor pembobot (weight). Sehingga, sinyal yang diterima oleh node-node di lapisan
tersembunyi merupakan sinyal terbobot atau weigthed signal.
Propagasi Balik (Back propagation)
Metode propagasi balik perambatan galat mundur (back propagation) adalah
sebuah metode sistematik untuk pelatihan multilayer jaringan syaraf tiruan. Metode
ini memiliki dasar matematis yang kuat, obyektif dan algoritma ini mendapatkan
bentuk persamaan dan nilai koefisien dalam formula dengan meminimalkan jumlah
kuadrat galat error melalui model yang dikembangkan (training set) (Brace, 1997).
a. Pada lapisan masukan, dihitung keluaran dari setiap elemen pemroses melalui
lapisan luar.
8
b. Dihitung kesalahan pada lapisan luar yang merupakan selisih antara data aktual
dan target.
c. Kesalahan tersebut ditransformasikan pada kesalahan yang sesuai di sisi masukan
elemen pemroses.
d. Propagasi balik di lakukan terhadap kesalahan-kesalahan ini pada keluaran setiap
elemen pemroses ke kesalahan yang terdapat pada masukan. proses ini diulangi
sampai masukan tercapai.
e. Seluruh bobot diubah dengan menggunakan kesalahan pada sisi masukan elemen
dan luaran elemen pemroses yang terhubung.
Tiruan neuron dalam struktur JST sebagai elemen pemroses dapat dilihat
pada Gambar 1.
Gambar 1. Tiruan Neuron dalam struktur JST sebagai elemen pemroses
Keterangan :
aj : Nilai aktivasi dari unit j.
wj,i : Bobot dari unit j ke unit i
ini: Penjumlahan bobot dan masukan ke unit i
g : Fungsi aktivasi
ai : Nilai aktivasi dari unit i
Sumber : Eliyani (2005)
9
Download