salam terhadap non-muslim perspektif hadis program studi tafsir

advertisement
SALAM TERHADAP NON-MUSLIM
PERSPEKTIF HADIS
Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Theologi Islam (S.Th.I)
Oleh
AI POPON FATIMAH
1110034000109
PROGRAM STUDI TAFSIR HADIS
FAKULTAS USHULUDDIN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1436 H/2014 M
\
LEMBARPERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa:
Nama
:
Ai Popon Fatimah
NIM
:
11
Fakultas/Jurusan
: Ushuluddin/ TafsirHadis
Judul Skripsi
: Salam Terhadap Non-Muslim Perspektif Hadis
10034000109
Dengan kesadaran dantanggung jawab yang besar terhadap pengembangan keihnuan,
:
penulis menyatakan bahwa:
l. Skripsi ini
merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu
persyaratan memperoleh gelar
stata
1
di Fakultas Ushuluddin, UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta.
'penelitian
Semua sumber yang saya gunakan dalarfi
dengan ketentuan yang berlaku di
ini telah saya cantumkan sesuai
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
,- Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya, maka saya
bersedia menerima sanksi yang berlaku di UIN Syarif Hidayullah.
\
7
SALAM TERIIADAP NON-MUSLIM
PERSPEKTIF HADIS
Skripsi
Diajukan Kepada Fakultas Ushuluddin Untuk Memenuhi Syarat
Mencapai Gelar Sarjana Theologi Islam
Oleh
AI POPON FATIMAII
NIM:
1110034000109
Di Bawah Bimbingan
Muhammad Zuhdi Zaini. M. Ae
NIP: 19650817 200003
1 001
JURUSAN TAFSIRHADIS
FAKULTAS USHULUDDIN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2014n{/ 1435H
PENGESAHAN PANITIA UJIAN
Skripsi yang beg'udul SALAM TERHADAP NON-MUSLIM PERSPEKTIF IIADIS
telah diujikan di dalam sidang Munaqasyah, Fakultas Ushuluddin, UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta, pada tanggal 9 Oktober 2014. Skripsi
ini telah diterima sebagai salah satu syarat untuk
memperoleh gelar Sarjana Program Strata Satu (S1) pada Jurusan Tafsir Hadis.
Jakarla, 9 Oktober 2014
Sekretaris Merangkap Anggota,
Ketua Merangkap Anggota,
/'fr4'
Dr. Lilik Ummi Kaltsum. M. Ag
NIP. 19711003 199903 2 C1l
Jauhar Azizy.
MA
NIP. 19820821 200801
1 012
Anggota
M\_+,
Maulana. M. Ag
NIP. 19650207 199903 1001
Dr. Ativatul Ulva. M. Ae
NIP. 19700112 199603 2 001
Muhammad Zuhdi. M. Ae
NIP. 19650817 200003 1 001
PEDOMAN TRANSLITERASI
Letters of the Alphabet
ḥ
ṣ
ḍ
ṭ
ẓ
i
Vowels and Diphthongs
ā
á
ū
ii
ī
KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam atas segala rahmat dan karuniaNya skripsi ini dapat tersekesaikan. Shalawat dan salam semoga senantiasa
tercurahkan kepada nabi Muhammad Saw.
Terimakasih penulis ucapkan kepada semua pihak yang ikut andil dalam
penulisan skripsi ini. Ungkapan terimakasih ini khususnya penulis sampaikan kedapa:
1. Dekan fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah, bapak Prof. Dr.
Masri Mansoer, MA beserta jajarannya
2. Ketua jurusan Tafsir Hadis, ibu Dr. Lilik Ummi Kaltsum, M. Ag, beserta
jajarannya
3. Bapak Muhammad Zuhdi Zaini, M. Ag selaku pembimbing skripsi yang
telah memberikan koreksi dan saran-saran yang membangun
4. Seluruh dosen yang telah memberikan ilmunya, semoga ilmu yang
Bapak/Ibu sampaikan bisa bermanfaat
5. Seluruh pegawai TU yang telah membantu penulis selama menjadi
mahasiswa
6. Pimpinan dan staf perpustakaan utama UIN Syarif Hidayatullah serta
pimpinan dan staf perpustakaan fakultas Ushuluddin yang telah membantu
penulis dalam pencarian sumber dan referensi
7. Kedua orang tua yang paling berjasa sepanjang hidup penulis, terimakasih
atas segala do’a, dukungan dan pengorbanannya yang tidak bisa terbayar
dengan apapun
8. Kakakku beserta suami yang selalu memberi motivasi dan dukungan, serta
keponakan-keponakanku, semoga kalian menjadi orang yang sukses,
berbakti, dan selalu jadi kebanggaan keluarga
iii
9. My roommate, Hani Hilyati Ubaidah, yang selalu memberi motivasi, ideide cemerlang, dan menjadi alarm yang selalu mengingatkan untuk
mengerjakan skripsi dan tugas-tugas lainnya
10. Sahabat-sahabatku yang selalu memberi semangat, membagi ilmu dan
pemikirannya,
‘cewek-cewek
berbakat’
Hani
Hilyati
Ubaidah,
Syarifatunnisa, Dede Rihana, Sa’adatul Jannah, Ina Nurjannah, Ai
Nurfatwa, ‘para pencari dosen’ Annisa, Noviyanti, Nurlaely
11. Teman sekaligus guru, Nurul Hasanah Lc, Aceng Aum Umar Fahmi Lc,
Muhammad Lailu Ramadhana, dan Dani Kamaluddin. Terima kasih sudah
mau berbagi ilmu dengan kami
12. Keluarga besar Tafsir Hadis angkatan 2010, terutama teman-teman Tafsir
Hadis D, Muhammad Gozali, M. Khoiri, Nurkholis, Danisi, dan semua
teman yang tidak bisa disebutkan satu-persatu
13. Teman-teman KKN MENARA 2013, Ayu Safitri, Asih Lestari, Nida
Alawiyah, Ahmad Karoamain, Eristia Mulyawan, Reza Zainuar Pahlevi,
Muhammad Qalbi, dan yang lainnya
14. Keluarga besar Pesantren Luhur Sabilussalam, Guru besar, ustadz-ustadz,
dan teman-teman seangkatan.
Ciputat, 29 September 2014-10-06
Ai Popon Fatimah
iv
ABSTRAK
Islam adalah agama yang menjunjung tinggi toleransi, tidak hanya toleransi
antar sesama Muslim, tapi juga toleransi dengan agama lain. Hal ini bertujuan untuk
menciptakan perdamaian dalam kehidupan manusia. Diantara wujud perdamaian
adalah dengan menebar salam. Salam merupakan ungkapan doʻ a dan pengharapan
akan kedamaian dan keselamatan. Mengucapkan salam berarti mendoakan orang lain
agar keselamatan senantiasa mengiringi setiap langkahnya. Dalam kajian sosiologi,
non-Islam adalah mereka yang berada di luar agama Islam. Termasuk dalam kategori
ini adalah mereka yang memeluk agama Katolik, Hindu, Budha,Yahudi, Konghucu,
Sinto dan agama-agama lainnya.
Al-Quran maupun hadis, keduanya banyak menjelaskan tentang tata cara
bergaul dengan orang lain, baik itu sesama Muslim ataupun non-Muslim. Contohnya
adalah hadis-hadis mengenai salam terhadap non-Muslim. Hadis melarang Muslim
untuk memulai salam kepada non-Muslim, namun membolehkan untuk menjawab
salam darinya. Hadis juga membolehkan memberi salam dalam majlis yang di sana
terdapat umat Muslim dan non-Muslim. Selain itu juga hadis menjelaskan bagaimana
menulis surat untuk non-Muslim serta bagaimana membalas salam yang tertulis
dalam surat yang diterima dari non-Muslim.
Mengenai hadis-hadis tentang salam terhadap non-Muslim, banyak sekali
ditemukan hikmah, diantaranya adalah jangan terburu-buru melakukan tindakan
untuk sesuatu yang masih bisa diusahakan dengan jalan yang lebih baik, saling
berdamai dengan agama lain, serta lemah lembut dalam menghadapi musuh.
v
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING
HALAMAN PENGESAHAN
PEDOMAN TRANSLITERASI
KATA PENGANTAR
ABSTRAK
DAFTAR ISI
BAB I
.......................................................
……………………………………………
i
iii
……………………………………………………………
v
……………………………………………………
vi
……………………………
1
A. Latar Belakang Masalah ……………………………
1
B. Identifikasi, Pembatasan dan Rumusan Masalah ……
6
……………………………
7
D. Tinjauan Pustaka ……………………………………
9
PENDAHULUAN
C. Metode Penelitian
……………………
10
……………………………
11
E. Tujuan dan Manfaat Penelitian
F. Sistematika Penulisan
vi
BAB II
……………………………
12
……………………………………
12
……………………………
12
2. Etika Salam ……………………………………
15
……………………………
18
……………………………………
23
1. Definisi Non-muslim ……………………………
23
2. Hubungan Nabi dengan Non-muslim……………
28
TINJAUAN UMUM
A. Salam
1. Definisi Salam
3.
Hikmah Salam
B. Non-Muslim
BAB III
HADIS-HADIS YANG BERKAITAN DENGAN SALAM
TERHADAP NON-MUSLIM
A. Takhrij Hadis
...........……………
31
.......................................................
31
B. Hadis-hadis yang Berkaitan dengan
Salam Terhadap non-Muslim
…………....………
35
1. Bagaimana Menjawab Salam non-Muslim
a. Menjawab salam dengan redaksi
“wa ‟alaikum”
...........................................
35
b. Menjawab salam dengan redaksi “‟alaika”
atau“wa ‟alaika” ...........................................
36
c. Menjawab dengan “ „alaika mā qulta”...........
38
2. Menjawab Salam non-Muslim dalam Surat .......
44
vii
3. Larangan Memulai Salam kepada
non-Muslim
........................................................
45
4. Memberi Salam dalam Majlis yang Berisi
Kaum Muslim dan Musyrik ..............................
48
5. Bagaimana Menulis Surat Kepada
non-Muslim
......................................................
52
6. Mengucapkan Salam Kepada non-Muslim...........
53
a. Tidak Perlu Menarik Ucapan Salam
…………………..
53
b. Meminta Kembali Ucapan Salam …………..
54
Kepada non-Muslim
7. Tidak mengucapkan dan juga tidak menjawab
salam atas orang yang berdosa
..................
55
yang Memberi Salam ..........................................
56
8. Larangan Membunuh non-Muslim
BAB IV
PENUTUP
……………………………………
59
1. Kesimpulan
……………………………………
59
2. Saran-saran
……………………………………
60
……………………………………………
62
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
……………………………………………………. 65
viii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Manusia adalah makhluk sosial yang tak dapat terlepas dari kehidupan
bersama manusia lainnya. Dengan sendirinya, manusia individu itu memasyarakatkan
dirinya melebur dalam kehidupan bersama. Maka apapun yang dibuatnya, dapat
mempengaruhi dan akan mempunyai makna bagi masyarakat pada umumnya. Dan
sebaliknya apapun yang terjadi di masyarakat akan dapat mempengaruhi terhadap
perkembangan pribadi setiap individu yang ada di dalamnya.1
Sebagai ajaran universal yang kosmopolit, Islam tidak menafikan hubungan
kemanusiaan dengan agama lain. Sebaliknya, Islam bukan saja menjastifikasi dengan
tegas bentuk pemaksaan dalam rekrutmen menganut agama, tetapi lebih dari itu
ajaran asasinya sangat menjunjung tinggi hak-hak non-Muslim yang ada di wilayah
kekuasaan Islam. Karenanya, hubungan Muslim dan non-Muslim pada dasarnya
adalah cinta damai, terkecuali saat munculnya pemaksaan dan pelanggaran yang
dapat memicu konfrontasi pada kedua belah pihak.
1
Asmaran As, Pengantar Studi Akhlaq, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1994) h. 51
1
2
Dalam konteks ini pendapat yang menyatakan bahwa hukum dasar hubungan
Muslim dan non-Muslim adalah damai memiliki relevansi dan signifikansinya.
Sebab, kebanyakan ayat-ayat qitāl (perang) dalam al-Quran menunjukan adanya
pembatasan pada kondisi-kondisi tertentu, seperti demi membasmi kezaliman,
menekan tersebarnya fitnah, menghalau serangan lawan, serta memelihara
kelangsungan dakwah. Selama bukan dalam konteks seperti itu maka konfrontasi atau
pertempuran dalam bentuk apapun tidak diperbolehkan oleh ajaran agama.
Dari penjabaran tersebut jelas bahwa Islam adalah agama damai dan dakwah
yang sangat menjunjung tinggi kebebasan yang bertanggung jawab. Cerminan lain
wujud toleransi adalah bahwa Islam mengayomi secara penuh hak-hak kaum dhimmi,
yakni non-Muslim yang mengadakan perjanjian damai di wilayah kekuasaan umat
Islam.2
Dalam masyarakat Muslim, toleransi keagamaan atau toleransi religio-politik
barangkali merupakan isu utama, dibandingkan dengan toleransi politik secara umum.
Toleransi keagamaan yang khusus ini secara historis disebut “toleration”, dan
pertama kali ditelaah oleh Jhon Locke (1963) dalam konteks hubungan antara gereja
dan negara di Inggris. Toleration di sini mengacu pada kesediaan untuk tidak
mencampuri keyakinan, sikap, dan tindakan orang lain, meskipun mereka tidak
2
Abu Yasid, Islam Moderat, (Makasar: Erlangga, 2014) h.45-47
3
disukai. Negara tidak boleh terlibat dalam urusan agama, dan juga tidak boleh
ditangani oleh kelompok agama tertentu.3
Toleransi merujuk pada sikap dan prilaku kaum Muslim terhadap nonMuslim, dan sebaliknya. Secara historis, toleransi khusus mengacu pada hubungan
antara kaum Muslim dan para pengikut agama Semitis lainnya, yakni Yahudi dan
Kristen. Hubungan antara kaum Muslim, Kristen dan Yahudi sangat rumit dan
mengalami pasang surut dari abad ke abad. Bernard Lewis (1985) menulis bahwa
sumber toleransi di tengah-tengah kaum Muslim terhadap non-Muslim seperti umat
Kristen dan Yahudi tidak jelas. Sebagian berasal dari beberapa doktrin ajaran agama
Islam sendiri, dan sebagiannya lagi berasal dari pengalaman sejarah dan sosial-politik
yang panjang.4
Dalam kajian sosiologi, non-Islam adalah mereka yang berada di luar agama
Islam. Termasuk dalam kategori ini adalah mereka yang memeluk agama Katolik,
Hindu, Budha,Yahudi, Konghucu, Sinto dan agama-agama lainnya.5
Sedangkan dalam literatur Islam, secara bahasa kata kafir berasal dari kata
kafara-yakfuru-kufran yang berarti menutup sesuatu,6 dan secara teminologis kafir
adalah orang-orang yang menolak atau menentang agama Allah. Mereka disebut kafir
karena akal dan hati mereka tertutup dari mengakui agama Allah atau secara
3
Saiful Mujani, Muslim Demokrat: Islam, Budaya Demokrasi, dan partisipasi politik di
Indonesia Pasca-Orde Baru, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, tt) h.159
4
Saiful Mujani, Muslim Demokrat: Islam, Budaya Demokrasi, dan partisipasi politik di
Indonesia Pasca-Orde Baru, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, tt) h.159
5
Makalah Nikah Beda Agama, h.4
6
Warson Munawir, Al-Munawir, cet ke 14, (Surabaya: Pustaka Progressif, 1997) h.1217
4
singkatnya bisa berarti bahwa mereka yang berada di luar Islam (non-Muslim) disebut
sebagai orang kafir. Kata mushrik berasal dari kata: ashraka yushriku ishrakanshirkan yang berarti menyekutukan Allah dengan sesuatu baik dengan menyembah
benda-benda maupun menyembah Allah sambil tetap menyembah benda-benda.7
Di Indonesia yang masyarakatnya diberi kebebasan untuk memeluk agama,
tentu saja dalam kehidupan sehari-hari kita juga berdampingan dengan non-Muslim.
Maka tentu akan sulit bagi kita menghindari interaksi sosial dengan mereka yang
non-Muslim. Selain itu, Islam merupakan agama yang sangat menjunjung tinggi etika
dan toleransi. Namun, apakah Islam memberikan perlakuan yang sama perihal etika
antar Muslim dan etika terhadap non-Muslim terutama dalam hal memberi dan
menjawab salam.
Salam merupakan salah satu adab yang khas dalam Islam. Salam juga
merupakan suatu tanda penghormatan dan sebagai doʻ a untuk keselamatan. Sesama
umat Islam bila saling berpapasan hendaklah mengucapkan “Assalāmu ʻ alaikum”.
Maka menjadi wajib hukumnya bagi orang yang menerima salam untuk
menjawabnya dengan ucapan “Wa ʻ alaikum al-salām”. Hal inilah yang menjadi
identitas Islam sebagai agama yang damai dan saling menghormati antar umatnya
bahkan terhadap agama lain.
Lafaz salam merupakan sebuah kata yang sangat indah dan sarat makna yang
dengannya kita menyampaikan doʻ a kebaikan dan keselamatan kepada lawan bicara
7
Warson Munawir,al-Munawir, cet ke 14 (Surabaya: Pustaka Progressif, 1997) h:13
5
kita dan pada saat yang sama kita memberikan jaminan kepadanya bahwa ia tidak
akan menjumpai bahaya dan kerugian dari sisi kita yang memberikan salam.
Yang menjadi pembahasan dalam konteks ini adalah bahwa ada hadis Nabi
yang melarang umatnya untuk memulai salam kepada non-Muslim ketika bertemu,
bahkan dalam hadis itu juga diperintahkan untuk mendesak mereka ke jalan yang
sempit. Hadisnya ialah:
“Janganlah kalian mendahului orang-orang Yahudi dan Nasrani memberi
salam. Apabila kalian berpapasan dengan salah seorang di antara mereka di
jalan, maka desaklah dia ke jalan yang paling sempit.” 8
Ada juga hadis Nabi yang menjelaskan bagaimana cara menjawab salam nonMuslim:
Nabi SAW bersabda: "Apabila Ahl al-Kitāb mengucapkan salam kepada kalian maka
ucapkanlah: wa ʻ alaikum (Dan atas kalian)."9
Hadis ini menjelaskan perintah Nabi jika seorang Ahl al-Kitāb mengucapkan
salam maka jawablah dengan kalimat “Wa ʻ alaikum”.
Selain kedua hadis di atas, masih banyak hadis yang berkaitan dengan salam
terhadap non-Muslim yang menarik perhatian penulis.
Ṣ ahih Muslim, Kitab : Salam, Bab : Larangan memulai Ahl al-Kitāb dalam memberikan
salam, No. Hadis: 4030, (CD Lidwa Pustaka)
9
Ṣ ahih al-Bukhari, Kitab : Meminta Izin, Bab : Bagaimana menjawab salam Ahl dhimmah,
No. Hadis: 5788, (CD Lidwa Pustaka)
8
6
Dari latar belakang ini, maka penulis merasa perlu untuk membahas hal
tersebut dengan menulis penelitian dengan judul “SALAM TERHADAP NONMUSLIM PERSPEKTIF HADIS”.
B. Identifikasi, Pembatasan dan Rumusan Masalah
a. Identifikasi masalah
Identifikasi masalah dari penulisan skripsi ini adalah:
1. Apa saja hadis yang menjelaskan tentang salam terhadap non-Muslim?
2. Bagaimana hadis mengatur salam terhadap non-Muslim?
3. Bagaimana menyikapi non-Muslim yang sangat toleran terhadap umat Islam?
b. Pembatasan masalah
Masalah yang dibahas dalam penelitian ini hanya terkait pengkajian hadishadis yang berkaitan dengan salam terhadap non-Muslim dari al-Kutūb al-Tis„ah saja
supaya penulisan skripsi lebih terfokus, sistematis dan tidak melebar.
c. Rumusan masalah
Berdasarkan identifikasi masalah yang telah dipaparkan di atas, rumusan
masalah yang penulis angkat dalam penelitian ini adalah “Bagaimana hadis mengatur
tata cara salam terhadap non-Muslim baik dalam hal memulai atau menjawab salam
secara langsung ataupun melalui surat?”
7
C. Metode Penelitian
Sumber utama penelitian ini adalah al-Kutub al-Tisʻ ah yang memuat hadishadis tersebut dengan sharḥ -nya. Untuk pelacakan dan penelusuran hadis tersebut
dalam al-Kutub al-Tisʻ ah, penulis menggunakan metode takhrīj hadis dengan
menggunakan kamus hadis melalui petunjuk lafal hadis dengan kitab al-Mu„jam alMufahras li Alfāẓ al-Ḥ adīth dan kata kunci (tema) hadis dengan kitab Miftāh Kunūz
al-Sunnah. Di samping itu, digunakan juga jasa komputer dengan program CD Lidwa
yang mampu mengakses sembilan kitab sumber primer hadis. Sedangkan sumber
penunjangnya adalah kitab-kitab dan buku-buku yang relevan dengan kajian ini.
Dalam penelitian ini, penulis menggunakan metode tematik (mauḍ u„i). Metode
mauḍ u„i adalah mengumpulkan hadis-hadis yang terkait dengan satu topik atau satu
tujuan kemudian disusun sesuai dengan asbāb al-wurūd dan pemahamannya yang
disertai dengan penjelasan, pengungkapan dan penafsiran tentang masalah tertentu 10.
Berdasarkan penjelasan di atas, metode mauḍ u„i harus memenuhi beberapa
unsur, yaitu:
1. Menentukan topik atau judul yang akan dikaji
2. Mengumpulkan hadis-hadis yang terkait dengan topik yang telah ditentukan
3. Melakukan pensyarahan atau pengkajian sesuai dengan tema
Abd al-Hayy al-Farmāwī, al-Bidāyah fī al-Tafsīr al-Maudȗ ‟ī Dirāsah Manhajiah
Maudȗ ‟iyah. diterj. Rosehan Anwar dan Maman Abd Jalil, Metode Tafsir Maudhui. (Cet. I; Bandung:
Pustaka Setia, 1423 H/2002 M), h. 44.
10
8
4. Memilih salah satu atau seluruh aspek ontologis, epistemologis dan aksiologis
yang terkait dengan tema.11
Sedangkan langkah-langkah pengkajian hadis dengan metode mauḍ u„i antara
lain dapat dilakukan dengan:
a. Menentukan tema atau masalah yang akan dibahas
b. Menghimpun atau mengumpulkan data hadis-hadis yang terkait dalam
satu tema, baik secara lafaz maupun secara makna melalui kegiatan
takhrij al-hadis
c. Melakukan
kategorisasi
berdasarkan
kandungan
hadis
dengan
memperhatikan kemungkinan perbedaan peristiwa wurudnya hadis
(tanawwu‟) dan perbedaan periwayatan hadis.
d. Melakukan kegiatan i‟tibar12 dengan melengkapi seluruh sanad
e. Melakukan penelitian sanad yang meliputi penelitian kualitas pribadi
perawi, kapasitas intelektualnya dan metode periwayatan yang
digunakan.
11
Arifuddin Ahmad, Metode Tematik dalam Pengkajian Hadis, (Makassar: Rapat Senat Luar
Biasa UIN Alauddin Makassar) h. 20-21
12
I‟tibar adalah suatu proses yang membandingkan antara beberapa riwayat untuk mengetahui
apakah perawinya itu sendiri meriwayatkan hadis tersebut ataukah ada perawi lain yang
meriwayatkannya. Jika ada perawi/sanad yang lain, apakah kedua sanad itu sama di tingkat sahabat
ataukah berbeda? Jika sama ditingkat sahabat akan tetapi berbeda ditingkat setelah disebut berarti
hadis tersebut ada muta‟bi‟-nya, jika berbeda ditingkat sahabat maka hadis tersebut ada syahid-nya.
Abd Haq ibn Saifuddin al-Dahlawī, Muqaddimah fī Ușȗ l al-Hadīs (Cet. II; Bairut: Dār al-Basyāir alIslāmiyah, 1406 H/1989 M), h. 56-57. Bandingkan dengan Mahmud al-Ţahhān, Taisīr Musţalah alHadīs, (Cet.II; al-Riyādh: Maktabah al-Ma’ārif, 1407 H/1987 M), h. 142.
9
f. Melakukan penelitian matan yan meliputi kemungkinan adanya „illat
(cacat) dan syaẓ (kejanggalan).
g. Mempelajari term-term yang mengandung arti serupa
h. Membandingkan berbagai syarah hadis
i. Melengkapi pembahasan dengan hadis-hadis atau ayat-ayat pendukung
j. Menyusun hasil penelitian menurut kerangka besar konsep.13
D. Tinjauan Pustaka
Dalam melakukan sebuah penelitian, tentunya seorang penulis akan
memerlukan beberapa referensi sebagai bahan untuk tulisan yang akan diteliti agar
tidak terkesan mengarang ataupun tanpa landasan. Untuk menghindari terjadinya
plagiarisme dan menegaskan perbedaan antara yang akan penulis bahas dengan
tulisan yang telah ada sebelumnya, maka penulis akan mengulas tulisan lain yang
dirasa memiliki judul ataupun pembahasan yang hampir serupa dengan apa yang akan
penulis bahas.
Di antara tulisan tersebut adalah skripsi dengan judul: “Larangan Memulai
Salam Kepada Ahli Kitab” yang ditulis oleh Indra Gunawan, mahasiswa jurusan
Tafsir Hadis fakultas Ushuluddin tahun 2003.
13
Arifuddin Ahmad, Metode Tematik dalam Pengkajian Hadis, (Makassar: Rapat Senat Luar
Biasa UIN Alauddin Makassar) h. 20-21
10
Pokok masalah dari skripsi ini adalah bahwa teks hadis tentang larangan
memulai salam kepada Ahl al-Kitāb akan menimbulkan kerancuan penafsiran
dikalangan umat Islam sendiri, khususnya bagi mereka yang awam.
Adapun rumusan masalah yang diangkat dalam skripsi ini adalah “Apakah
hadis yang berkaitan dengan larangan memulai salam kepada Ahl al-Kitāb ini ṣ ahiḥ
dari segi kualitas sanad, lalu bagaimana ulama menyikapi kandungan matan hadisnya,
dan kebolehan hadis ini dijadikan hujjah?
E. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Setiap penelitian tentu memiliki tujuan dan manfaat. Begitu juga halnya
penulisan skripsi ini memiliki tujuan sebagai berikut:
1. Mengklasifikasi hadis-hadis tentang salam terhadap non-Muslim
2. Membantu memberikan kontribusi serta pemahaman dalam dunia pendidikan
dan sosial
3. Dalam rangka memenuhi syarat memperoleh gelar Sarjana Theologi Islam
(S.Th.I) Fakultas Ushuluddin di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah
Jakarta.
11
F. Sistematika Penulisan
BAB I berupa pendahuluan yang berisi latar belakang masalah penulisan
skripsi, rumusan dan batasan masalah yang diangkat, serta metode penelitian yang
penulis terapkan dalam penelitian ini. Selain itu, di bab ini juga dipaparkan tinjauan
pustaka, tujuan penelitian dan sistematika penulisan.
BAB II berupa tinjauan umum tentang definisi salam dan non-Muslim. Serta
bagaimana Nabi berhubungan dengan non-Muslim.
BAB III berupa kajian tematik mengenai hadis-hadis yang berkaitan dengan
salam terhadap non-Muslim serta penjabaran fiqh al-hadis dari hadis-hadis tersebut.
BAB IV berupa penutup, yang meliputi; Kesimpulan, yang berisi jawaban
atas pertanyaan yang telah disebutkan dalam perumusan masalah, dan Saran, berisi
saran-saran seputar isi serta esensi terhadap hasil penelitian yang ditulis.
BAB II
TINJAUAN UMUM
A. Salam
1.
Definisi Salam
Islam adalah ajaran yang secara konsisten mengajarkan tentang pentingnya
arti sebuah perdamaian dan kedeamaian. Konsistensi ini dapat dibuktikan oleh
rangkaian kata s-l-m yang mempunyai arti mencari perdamaian, selamat, menyerah,
pasrah, tunduk dan patuh, terhindar dari cacat dan aib. Al-Quran secara konsisten
pula memakai kata ini sebagai al-Salam (nama bagi Allah Yang Maha Damai),
Muslim (subjek yang melakukan pencarian jalan hidup damai), Silm (perdamaian itu
sendiri), Islam (nama bagi agama yang para Nabi diutus untuk meninggikan kalimat
Allah), agar manusia hidup dalam kedamaian diri, keluarga, sosial masyarakat, alam
kubur, sampai kepada masuknya mereka ke surga Dār al-Salam.1
Kata salam berasal dari bahasa Arab yang berarti damai, sejahtera. Dipakai
terutama sebagai pernyataan penghormatan.2 Salam tidak hanya memberi pengertian
1
Ahmad Rifai, Konsep al-Quran tentang al-Salām, (TESIS UIN Syarif Hidayatullah Jakarta,
2005) h. 25
2
Tom Jacob, Syalom, Salam, Selamat: Beberapa Refleksi Kritis mengenai Soteriologi,
(Yogyakarta: Kanisius, 2007 ) h.9
12
13
selamat, tetapi mempunyai kandungan bebas dari segala ketergantungan dan tekanan,
sehingga hidupnya terasa damai, tentram, dan selamat.
Secara etimologi kata al-Salam atau salam terambil dari kata kerja fi‟il
maḍ y (bentuk lampau) yang terdiri dari tiga huruf sin, lam dan mim ‫( سلم‬salima)
yang mempunyai arti terhindar dari mara bahaya, terbebas dari cacat, dan mencari
perdamaian. Dari akar kata yang sama terambil pula kata ‫( اسلم‬aslama) bentuk fiʻ il
maḍ i mazid bi harfin (tambahan satu huruf) dengan fiʻ il muḍ ari ‫( يسلم‬yaslimu).
Dari kata tersebut terambil kata Islam yang berarti tunduk dan patuh, serta khuḍ ʻ u,
kata ini juga merupakan nama bagi agama yang dibawa Nabi Muhammad saw.3
Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) menerangkan kata damai sebagai
padanan dari kata salam yang berarti tidak ada perang, tidak ada kerusuhan dengan
suasana yang aman, tentram dan tenang, di mana tidak ada permusuhan antar warga
masyarakat.4 Sehingga perdamaian dapat berarti penghentian permusuhan dan konflik
yang dapat menyebabkan kondisi yang tidak harmonis dalam jiwa manusia. Karena
sifat dasar manusia adalah ingin selalu hidup dalam kebaikan dan kedamaian.5
Untuk mewujudkan sifat saling berdamai ini, maka dibutuhkan satu
hubungan praktis yang dapat mempertemukan semua manusia pada kondisi tenang
3
Abu al-Husain Ahmad Ibn Faris Ibn Zakariya, Mu„jam Maqayis al-Lughah, jilid 3, (Cairo:
Maktab Ibn Mandhur, Lisan al-„Arab, (Beirut: Dar al-Fikr) h.342-344
4
Depdikbud, Kamus Besar Bahasa Indonesia, cet. I, (Jakarta: Balai Pustaka, 1998) h.182-183
5
Ahmad Rifai, Konsep al-Quran tentang al-Salām, (TESIS UIN Syarif Hidayatullah Jakarta,
2005) h. 26
14
dan damai. Sehingga
perkataan salam menjadi sebuah ucapan doʻ a sekiranya
manusia dianugerahkan keterhindaran dari segala bencana dan mara bahaya yang
dapat menimpanya.6
Pakar tafsir Indonesia M. Quraish Shihab secara implisit mendefinisikan
salam yang dikutip dari al-Biqa‟i dalam kitab Naẓ mu al-Ḍ ular dengan “batas antara
keharmonisan (kedekatan) dan perpisahan, serta batas antara rahmat dan siksaan”.7
Kemudian pakar tafsir ini membagi salam atau damai menjadi dua, yakni
damai pasif dan damai positif. Salam atau damai pasif adalah perkataan yang
diucapkan apabila terjadi hal-hal yang tidak diinginkan, tetapi tidak mengakibatkan
kekurangan atau kecelakaan. Adapun salam atau damai positif adalah ucapan selamat
(congratulation) dari seseorang kepada orang lain yang mendapatkan kesuksesan
dalam usahanya atau karirnya. Karena ucapan yang seperti ini tidak saja ia terhindar
dari keburukan dan kesialan, bahkan lebih dari itu, ia mendapatkan kebajikan atau
kesuksesan. 8
6
Ahmad Rifai, Konsep al-Quran tentang al-Salām, (TESIS UIN Syarif Hidayatullah Jakarta,
2005) h. 26
7
Muhammad Quraish Shihab, Menyingkap Tabir Ilahi: Asma al-Husna dalam Perspektif alQuran, (Jakarta: Lentera Hati, 2001) cet.IV h. 46
8
Muhammad Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian al-Quran,
(Jakarta: Lentera Hati, 2002) vol.7, h. 135
15
2.
Etika Salam
Islam sebagai agama yang mengajarkan tentang pentingnya cara hidup yang
Islami sesuai dengan garis ketetapan Ilahi, di samping mengajarkan tata cara
beribadah kepada Allah swt. juga mengatur pola berinteraksi sosial antar sesama
manusia.
Secara lebih praktis kita diajarkan untuk banyak mengucapkan salam kepada
Allah (taḥ iyyah), salam kepada Nabi Muhammad dan kepada semua Nabi dan Rasul
(ṣ alawat) dan kepada semua umat Islam.
Dalam kehidupan sehari-hari, ucapan salam sebagai penghormatan serta
tegur sapa kepada orang Mukmin dengan Mukmin lainnya agar selalu mendapat
keselamatan dan kedamaian, tergambar dalam al-Quran surat al-Nur [24] ayat 61:
           ...
         
Maka apabila kamu memasuki (suatu rumah dari) rumah- rumah (ini)
hendaklah kamu memberi salam kepada (penghuninya yang berarti memberi
salam) kepada dirimu sendiri, salam yang ditetapkan dari sisi Allah, yang
diberi berkat lagi baik. Demikianlah Allah menjelaskan ayat-ayat(Nya)
bagimu, agar kamu memahaminya.
Ulama mutaqaddimīn berbeda pendapat tentang arti buyūtun jamak dari kata
baitun pada ayat dia atas. Sebagian mereka, Ibrahim al-Nakhaʻ i dan Hasan
mengartikan dengan masjid, sementara Ibn „Arabi mengartikan kata umum untuk
semua rumah, tidak hanya untuk masjid. Ibn „Abbas menyatakan “jika seseorang
memasuki mesjid atau masuk ke dalam rumah yang tidak dihuni, maka hendaknya
16
mengucapkan assalāmu ʻ alainā wa „alā „ibādillāhi al-ṣ ālihīn” yang artinya
“kedamaian atau keselamatan atas kita dan atas hamba-hamba-Nya yang baik.
Sedangkan Ibn „Umar mengatakan “jika masuk ke rumag kosong maka ucapkan
assalāmu ʻ alainā wa „alā „ibādillāhi al-ṣ ālihīn, jika ada penghuninya maka
ucapkanlah assalāmu ʻ alaikun wa rahmatullāhi”.9
Salam juga diucapkan sebelum masuk ke rumah orang lain dan meminta izin
untuk memasuki rumah tersebut kepada penghuninya, sebagaimana firman Allah QS
al-Nur [24] ayat 27:
         
         
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memasuki rumah yang
bukan rumahmu sebelum meminta izin dan memberi salam kepada
penghuninya. yang demikian itu lebih baik bagimu, agar kamu (selalu) ingat.
Kalimat salam yang dicontohkan oleh Nabi adalah ucapan “assalāmu
„alaikum wa rahmatullāhi wa barakātuh” yang berarti “semoga keselamatan, rahmat
dan barakah Allah tercurahkan kepadamu”. Doa yang diajarkan didalamnya tidak
hanya tentang keselamatan, keamanan dan kedamaian dalam hidup saja, melainkan
juga rahmat atau kasih sayang dan barakah atau bertambahnya aneka kebajikan
dalam hidup dari-Nya juga.10
Abu „Abd Allah Muhammad Ibn Ahmad al-Anshari al-Qurthubi, al-Jami„ li Aḥ kam alQuran, (Beirut: Dar al-Fikr, 1993), jilid 6 juz 11-12, h. 209
10
Ahmad Rifai, Konsep al-Quran tentang al-Salām, (TESIS UIN Syarif Hidayatullah Jakarta,
2005) h. 138
9
17
Kata “semoga” dapat berarti “saya berharap” atau “harapan saya”. Satu
ungkapan yang terlahir dari hati nurani yang tulus dan dalam agar seseorang
mendapatkan kedamaian, keselamatan, rahmat dan barakah dari Allah Swt ketika
seorang mulsim akan mengawali interaksinya dengan orang lain atau berpisah dengan
mereka.11
Oleh karenanya, berdasarkan isi kandungan makna salam seseorang akan
menjadi Muslim yang sejati ketika seorang Muslim yang lain mendapat ketenangan,
keamanan dan kedamaian dari segala ucapan-ucapan yang dapat menyakitkan hati
serta aman dari tingkah laku dan perbuatan yang dapat membuat perasaan tak aman,
serta resah pada diri saudaranya. Sebagai mana Nabi saw telah bersabda:12
Dari „Abd Allah ibn; Amr RA. dari Nabi SAW. telah bersabda: “Muslim
sejati adalah orang yang (apabila) orang Islam lainnya (merasa) aman dari
gangguan lisan dan tangannya.”
Nabi SAW. juga mendidik adab seorang Muslim dalam mengucapkan salam
dengan sabdanya:
11
Ahmad Rifai, Konsep al-Quran tentang al-Salām, (TESIS UIN Syarif Hidayatullah Jakarta,
2005) h. 138
12
Al-Bukhari, Ṣ aḥ iḥ Bukhori, kitab al-Iman no indeks 9 ( indeks dalam program CD
Lidwa)
18
Rasullah SAW. telah bersabda: “Orang yang berada di atas kendaraan
memberi salam kepada orang yang berjalan kaki, orang yang berjalan
memberi salam kepada orang yang sedang duduk, dan kelompok yang
sedikit memberi salam kepada yang banyak”. Dalam riwayat lain dijelaskan
orang yang lebih muda memberi salam kepada yang lebih tua”.
3.
Hikmah Salam
Allah telah mengatur jalan-jalan kedamaian tersebut secara kaffah yang
diwujudkan melalui pola hidup Islami. Dengan berpegang kepada kitab Allah dan
sunnah Rasul-Nya, mencari hidayah atau bimbingan Allah, selalu bertawakkal
kepada-Nya diawali dari berpikir Islami, berkata-kata sambil menyebarkan dan
membudayakan salam kepada siapa saja agar tumbuh perasaan saling mencintai,
kemudian bertindak mengambil langkah dan kebijakan yang tidak merugikan diri dan
orang lain, seraya mengharap keridhaan-Nya.13
Suatu ketika Rasulullah SAW. pernah ditanya tentang amal perbuatan yang
utama dalam Islam. “Perbuatan apakah yang lebih baik dalam Islam?”. Maka beliau
menjawab: “Engkau memberi makan (kepada orang-orang yang lapar) dan
mengucapkan salam kepada orang yang kalian kenal maupun tidak kau kenal.14
13
Ahmad Rifai, Konsep al-Quran tentang al-Salam, (Tesis UIN Syarif Hidayatullah, 2005) h.
14
Al-Bukhari, Ṣ aḥ iḥ Bukhari, kitab al-Iman no indeks 12 (Indeks dalam program CD
189-190
Lidwa)
19
Abu Umamah ra meriwayatkan bahwa Rasulullah SAW bersabda,”Siapa
yang mengucapkan, „Assalāmu „alaikum,” maka di catat 10 kebajikan untuknya;
siapa yang mengucapkan, „Assalāmu „alaikum wa rahmatullāh‟, maka dicatat 20
kebajikan untuknya; dan siapa yang mengucapkan, „assalāmu „alaikum wa
rahmatullāh wa barakātuh,‟ maka dicatat 30 kebajikan untuknya.”15
Al-Quran, dengan hukum dan arahnya yang agung, meletakan pilar-pilar
asasi untuk membangun masyarakat yang saling mencintai sesama sebagaimana
mencintai diri sendiri. Rasa cinta demikian ini mungkin terwujud manakala hati
mereka bersih dari sifat permusuhan dan dengki.16
Tidak diragukan lagi, seorang Muslim yang memulai salam kepada Muslim
lainya yang kemudian menjawab dengan salam yang lebih baik, pada dasarnya
sedang berusaha untuk saling mempererat ikatan cinta dan kasih sayang.17
Tidak sampai di situ, Allah tidak menjadikan kehidupan ini hanya berhenti
di dunia saja, akan tetapi ada kehidupan akhirat yang kekal dan abadi. Fase interval
antara hidup di dunia dan di akhirat disebut kehidupan alam kubur atau barzakh.
Orang yang sudah wafat sekalipun masih mendapatkan ucapan salam dari mereka
yang masih hidup. Ucapan salam untuk orang-orang yang sudah wafat adalah:
15
Ensiklopedi Tematis al-Quran, terj. Ahmad Fawaidz Syadzili, (Jakarta: PT Kharisma Ilmu,
tt) jilid 3, h. 24
16
Ensiklopedi Tematis al-Quran, terj. Ahmad Fawaidz Syadzili, (Jakarta: PT Kharisma Ilmu,
tt) jilid 3, h. 28
17
Ensiklopedi Tematis al-Quran, terj. Ahmad Fawaidz Syadzili, (Jakarta: PT Kharisma Ilmu,
tt) jilid 3, h. 28
20
Telah menceritakan kepada kami Al Qa'nabi dari Malik dari Al 'Ala` bin
Abdurrahman, dari ayahnya dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah
shallallahu 'alaihi wasallam keluar menuju sebuah kuburan kemudian
mengucapkan: “al-salāmu „alaikum dāra qaumin mukminīn, wa innā
inshaa allāhu bikum lāhiquun” (Semoga keselamatan terlimpah kepada
kalian wahai penghuni kampung kaum mukminin, sesungguhnya insya
Allah kami akan menyusul kalian).” 18
Nabi SAW. Bersabda dalam sebuah hadis:
Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin „Auf, telah menceritakan
kepada kami Al Muqri`, telah menceritakan kepada kami Haiwah, dari Abu
Shakhr Humaid bin Ziyad dari Yazid bin Abdullah bin Qusaiṭ dari Abu
Hurairah bahwa Rasulullah SAW. berkata: “Tidaklah seseorang
memberikan salam kepadaku melainkan Allah akan mengembalikan
nyawaku hingga aku membalas salamnya.”19
Naṣ ini menunjukan bahwa orang yang sudah terbujur kaku di dalam
kuburnya masih bisa mengetahui kedatangan dan menjawab salam orang yang masih
18
Abu Daud, Sunan Abu Daud, Kitab al-Janāiz, no indeks 2818 (Indeks dalam program CD
Lidwa)
19
Abu Daud, Sunan Abu Daud, Kitab : Manasik, Bab : Ziarah kubur, No. Hadis : 1745
(Indeks dalam program CD Lidwa)
21
hidup. Dalam salah satu riwayat dijelaskan bahwa satu ketika Nabi saw. pernah
memerintahkan para sahabat untuk mengumpulkan para korban perang Badr
(musyrikin Quraisy) dan melemparkannya ke dalam lubang bekas sumur.20
Nabi SAW. bersabda:
Telah menceritakan kepada kami Ibrahim bin Al Mundzir telah
menceritakan kepada kami Muhammad bin Fulaih bin Sulaiman dari Musa
bin „Uqbah dari Ibnu Syihab dia berkata, „Ini berkenaan dengan peperangan
yang dialami Rasulullah, kemudian ia menyebutkan hadis. Setelah
melemparkan mereka ke dalam sumur badar, Rasulullah shallallahu 'alaihi
wasallam bersabda kepada mereka: “Apakah kalian mendapati apa yang
dijanjikan Rabb kalian adalah benar?” Musa berkata, Nafi‟ mengatakan,
Abdullah berkata, “Para sahabat bertanya, “Wahai Rasulullah, apakah
engkau menyeru orang yang telah mati?” Rasulullah shallallahu 'alaihi
wasallam menjawab: “Tidaklah kalian lebih mendengar ucapanku daripada
mereka.” Abu Abdullah mengatakan, “Kemudian orang-orang Quraisy yang
20
Ibn Qayyim al-Jawziyyah, al-Rūh, (Beirut: Dār al-Kitab al-„Arabi, 1999) h. 23
22
ikut serta dalam perang Badr dikumpulkan, dan yang diberi bagian harta
rampasan perang berjumlah delapan puluh satu orang.” Urwah bin Az Zubair
berkata, Az Zubair berkata, “Bagian (dari rampasan perang) mereka dibagibagi, dan mereka diberi seratus bagian. Wallahu a'lam.”21
Dari riwayat-riwayat di atas menunjukan bahwa orang yang sudah wafat pun
mendengar ucapan salam. Salam sebagai doʻ a juga kiranya terlimpahkan secara
langgeng dan mantap kepada mereka yang sudah berada di alam barzakh. Di sini
seorang pengucap salam menaruh harapan agar si mayit mendapat ketenangan dan
kedamaian hidup di alam barunya, serta terhindarnya si mayit dari siksa kubur.22
Salam perdamaian yang diinginkan dalam Islam adalah tidak hanya sekedar
berdamai dengan sesama manusia ketika hidup di dunia. Tetapi perdamaian yang di
maksud adalah sikap untuk selalu berdamai dan melakukan perbaikan dalam rangka
menjaga keharmonisan hidup dan keseimbangan alam. Perdamaian yang diusahakan
ini tidak hanya berlangsung di dunia melainkan akan terbawa sampai ke akhirat.
Fungsi salam dalam kehidupan adalah: pertama, menebarkan salam berarti
mendoakan manusia supaya selamat dan sejahtera. Kedua, orang yang gemar
mengucapkan salam adalah orang yang rendah hati dan orang yang rendah hati jauh
dari kesombongan. Ketiga, salam dapat mempererat tali persaudaraan dan
Ṣ ahih al-Bukhari, Kitab : Peperangan, Bab : Malaikat ikut menyaksikan perang Badar, No.
Hadis : 3722
22
Ahmad Rifai, Konsep al-Quran tentang al-Salām, (TESIS UIN Syarif Hidayatullah Jakarta,
2005) h. 142
21
23
menjauhkan dari rasa permusuhan dan pertikaian. Keempat, menebarkan salam
berarti menebarkan kasih sayang diantara sesama manusia.23
B. Non-Muslim
1. Definisi Non-Muslim
Definisi non-Muslim dapat dilihat dari pengertian Muslim dengan mendapat
kata imbuhan non yang berarti tidak atau bukan. Maka non-Muslim berarti orang
yang tidak atau bukan beragama Islam.24 Dalam kajian sosiologi, non-Muslim adalah
mereka
yang berada di luar agama Islam. Termasuk dalam kategori ini adalah
mereka yang memeluk agama Katolik, Hindu, Budha,Yahudi, Konghucu, Sinto dan
agama-agama lainnya.25
Kelompok non-Muslim dapat dibedakan menjadi beberapa kelompok.
Abdullah Nashih „Ulwan membaginya menjadi empat kelompok, yaitu: kelompok
Ahl al-Kitāb, kelompok atheis dan murtad, kelompok paganis dan musyrik, dan
kelompok orang-orang munafik.26
a. Kelompok Ahl al-Kitāb
23
Ahmad Kusaeri, Akidah Akhlak, (Bandung: Grafindo Media Pratama, 2008) h. 68
Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta:
Balai Pustaka, 1994) h. 692
25
Makalah Nikah Beda Agama, h.4
26
Abdullah Nashih „Ulwan, Konsep Islam Terhadap Non-Muslim, Penerjemah: Kathur
Suhardi, (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 1996) h. 46
24
24
Yang dimaksud dengan kelompok Ahl al-Kitāb adalah orang-orang yang
beragama berdasarkan salah satu kitab samawi dan mengikuti salah seorang
Nabi. Ahl al-Kitāb merupakan sebutan bagi kelompok orang yang
mempercayai dan berpegang teguh kepada agama yang memiliki kitab suci
yang berasal dari Tuhan, selain al-Quran.27 Orang yang tetap berpegang
teguh pada agama yang di bawa Nabinya sebelum kenabian Muhammad atau
sesudah kedatangan beliau tapi dakwah Islam belum sampai kepadanya,
maka dia adalah orang Mukmin. Sedangkan orang yang tetap pada
agamanya, padahal ia mengetahui akan kerasulan Muhammad dan dakwah
beliau, maka ia termasuk kelompok orang-orang kafir. Ahl al-Kitāb terdiri
dari dua kelompok, yakni kelompok Yahudi yang berpegang teguh kepada
syari„at Nabi Musa yang menerima kitab Taurat, dan kelompok Nashrani
yang berpegang teguh kepada syari„at Nabi Isa yang menerima kitab Injil.
b. Kelompok Atheis dan Murtad
Murtad artinya perbuatan orang Muslim yang meninggalkan agama yang
telah diridhai Allah, lalu memeluk agama lain, atau meyakini suatu akidah
dan ideologi tertentu yang bertentangan dengan tatanan Islam. Sedangkan
atheis adalah pengingkaran terhadap dzat Illahi, menolak risalah samawi
yang telah diturunkan Allah kepada Rasul-rasul-Nya. Atau dengan
pengertian lain bahwa atheis merupakan pengingkaran tentang hal-hal gaib
27
Abdul Aziz Dahlan, Ensiklopedi Hukum Islam, Jilid I, ed, (Jakarta:Ichtiar Baru Van Hoeve,
1996), h. 46
25
yang dibawa dan disampaikan lewat para rasul.28 Yang disebut atheis
sebetulnya terdiri dari masing-masing „atheis praktis‟, yaitu orang-orang
yang tidak percaya Tuhan sebab tidak ada pewartaan tentang Tuhan
kepadanya, dan „atheis teoritis‟, yaitu orang-orang yang tidak percaya Tuhan
sebab rasionya yang terbatas mencoba mewacanakan-Nya demikian di
bawah kendali hatinya yang telah lebih dulu menyangkali-Nya.29
c. Kelompok Paganis dan Musyrik
Kelompok paganis adalah orang-orang yang membuat sesembahan selain
Allah, atau mengambil tuhan di samping Allah. Yang termasuk ke dalam
kelompok ini adalah orang-orang yang menyembah api, bintang, orangorang majusi, penyembah patung, dan lain-lain. Kelompok paganis terbagi
dua, yaitu kelompok orang musyrik Arab, dan kelompok selain yang berasal
dai bangsa Arab, seperti orang-orang Majusi. 30
Sedangkan kata mushrik berasal dari kata: ashraka yushriku ishrakanshirkan yang berarti menyekutukan Allah dengan sesuatu baik dengan
menyembah
benda-benda
maupun
menyembah
Allah
sambil
menyembah benda-benda.31
d. Kelompok orang-orang Munafik
28
Abdullah Nashih „Ulwan, Konsep Islam Terhadap Non-Muslim, Penerjemah: Kathur
Suhardi, (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 1996) h. 62
29
Remi Sylado, Mimi Lan Mintuna: Trafiking Perempuan Indonesia, h. 128
30
Abdullah Nashih „Ulwan, Konsep Islam Terhadap Non-Muslim, Penerjemah: Kathur
Suhardi, (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 1996) h. 55
31
Warson Munawir, Al-Munawir, cet ke 14 (Surabaya: Pustaka Progressif, 1997) h:13
tetap
26
Kemunafikan adalah suatu sikap pada diri seseorang yang mengaku-ngaku
Islam, tetapi jauh di lubuk hatinya menyimpan kekufuran dan tujuan-tujuan
yang tidak baik. Sifat-sifat yang terdapat dalam diri orang munafik antara
lain ialah: perkataannya selalu bohong, perbuatannya dipenuhi bahaya dan
kerusakan, selalu memakai topeng yang berganti-ganti sesuai dengan kondisi
yang dihadapinya. 32
Di samping pembagian tersebut, terdapat juga pembagian golongan nonMuslim menurut Endang Saefuddin Anshari, yaitu:33
a. Kafir, yaitu orang yang menolak kebenaran dari Allah. Dalam literatur
Islam, secara bahasa kata kafir berasal dari kata kafara-yakfuru-kufran yang
berarti menutup sesuatu,34 dan secara teminologis kafir adalah orang-orang
yang menolak atau menentang agama Allah. Mereka disebut kafir karena
akal dan hati mereka tertutup dari mengakui agama Allah atau secara
singkatnya bisa berarti bahwa mereka yang berada di luar Islam (nonMuslim) disebut sebagai orang kafir.
b. Musyrik, yaitu orang-orang yang menyekutukan Allah. Ciri-cirinya:
menganggap adanya tuhan lain selain Allah, menganggap Allah beranak dan
diperanakkan, menjadikan selain Allah sebagai tujuan terakhir pengabdian
hidupnya.
32
Abdullah Nashih „Ulwan, Konsep Islam Terhadap Non-Muslim, Penerjemah: Kathur
Suhardi, (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 1996) h. 94
33
Endang Saefuddin Anshari, Wawasan Islam Pokok-Pokok Fikiran tentang Islam dan
Umatnya, (Jakarta: Rajawali, 1986) h. 64-65
34
Warson Munawir, Al-Munawir, cet ke 14 (Surabaya: Pustaka Progressif, 1997) h.1217
27
c. Munafik, yaitu orang-orang yang bermuka dua.
d. Fasiq, yaitu orang-orang yang dengan sadar melanggar batas ketentuan
Allah.
e. Ẓ alim, yaitu orang-orang yang aniaya termasuk pada diri sendiri, orang yang
tidak menempatkan sesuatu pada tempatnya, orang yang menghukum tidak
berdasarkan hukum yang adil.
f. Mutraf, yaitu orang yang tidak mau mensyukuri nikmat, orang yang diberi
kekayaan dan kekuasaan akan tetapi menggunakannya untuk maksiat kepada
Allah.35
Sementara Yusuf Qardhawi membagi pemeluk non-Muslim menjadi dua
kelompok, yaitu:36
a. Pemeluk agama wathaniyah (berhala) atau agama budaya, seperti kaum
musyrikin penyembah berhala, kaum majusi penyembah api, dan kaum
ṣ abiah penyembah bintang-bintang.
b. Pemeluk agama samawi atau kitabiyah, yaitu mereka yang mempunyai
agama samawi pada asalnya dan mempunyai kitab yang diturunkan dari
sisi Allah, seperti Yahudi dan Nasrani, yang oleh al-Quran disebut
35
Endang Saefuddin Anshari, Wawasan Islam Pokok-Pokok Fikiran tentang Islam dan
Umatnya, (Jakarta: Rajawali, 1986) h. 64-65
36
Yusuf Qardhawi, Fatwa-fatwa Kontemporer, Penerjemah: As„ad Yasin, (Jakarta: Gema
Insani Press, 1995) h. 965
28
dengan Ahl al-Kitāb sebagai sikap lemah lembut kepada mereka dan
untuk menyenangkan mereka.37
2. Hubungan Nabi dengan Non-Muslim
Dalam sejarah dunia, Muslim dikenal sebagai umat yang toleran. Ketika
Islam berjaya di India dan Andalusia (Spanyol), umat non-Muslim dapat hidup
dengan damai dan aman untuk beribadah secara leluasa. Begitu juga dalam sejarah
Nabi Muhammad SAW yang menjunjung tinggi toleransi seperti yang terkandung
dalam isi Piagam Madinah, Nabi Muhammad SAW mencanangkan pola hubungan
dengan non-Muslim, dimana dinyatakan bahwa non-Muslim yang hidup dalam
wilayah Islam (Dār al-Islam) merupakan orang-orang yang dilindungi oleh hukum.
Selama mereka tidak membuat keonaran atau melakukan agresi dan konspirasi, maka
mereka mendapatkan hak perlindungan dan peribadatan.38
Pada masa-masa keemasan Islam, antara abad ke-10 sampai 13, tidak ada
kasus mencolok tentang konflik antara umat Islam dan non-Muslim. Sebaliknya,
hubungan mereka justru sangat harmonis dan saling mendukung. Banyak sarjana
Muslim yang belajar kepada orang-orang Kristen, seperti halnya al-Farabi, dan
37
Yusuf Qardhawi, Fatwa-fatwa Kontemporer, Penerjemah: As„ad Yasin, (Jakarta: Gema
Insani Press, 1995) h. 965
38
Mulayadi Kartanegara, Islam: Buat yang Pengen Tahu, (Erlangga, 2007) h.82
29
banyak pula ulama yang memiliki murid non-Islam seperti Yahudi, Nasrani,
Zoroastrian, dan sebagainya.39
Pada tahun 622, Nabi Muhammad dan kaum Muslim Mekah berhijrah ke
Madinah untuk mencari kebebasan melakukan praktik ibadah dan kebebasan
hambatan menjalankan agama. Dengan kedatangan Nabi di Madinah, negara Islam
pertama pun lahir. Dalam tahapan kehidupannya ini, Nabi Muhammad bukan hanya
seorang pembawa pesan Tuhan, tetapi juga merupakan seorang kepala negara. Salah
satu tindakan pertamanya sebagai pemimpin negara adalah mengeluarkan Perjanjian
Madinah (Saḥ ifat al-Madinah), yang merinci hubungan-hubungan antara Muslim
yang berhijrah ke Madinah, orang Muslim yang merupakan warga asli Madinah, para
penyembah berhala (kaum pagan) warga asli Madinah, dan orang-orang Yahudi
warga asli Madinah.40
Perjanjian Madinah secara spesifik menetapkan bahwa orang Yahudi di
Madinah merupakan satu komunitas dengan kaum Muslim yang beriman, bahwa
mereka bebas untuk menganut dan mempraktikkan agama mereka sendiri, dan bahwa
mereka mendapatkan semua hak yang berkaitan dengan Muslim yang beriman.
Perjanjian Madinah mengikat orang-orang Yahudi dan Arab untuk bersatu dalam
sebuah negara Islam yang masih baru ini melalui sebuah fakta pertahanan yang sama.
39
Mulayadi Kartanegara, Islam: Buat yang Pengen Tahu, (Erlangga, 2007) h.82-84
Jerald F. Dirks, Abrahamic Faiths: Titik Temu dan Titik Seteru antara Islam, Kristen dan
Yahudi, terj. Santi Indra Astuti (Jakarta: PT Serambi Ilmu Semesta, 2006) h. 189
40
30
Ringkasnya, semua orang terlepas dari identitas keagamaan dan etnisnya, harus
diperlakukan setara di bawah sistem hukum, keadilan, dan moralitas yang universal.41
Walau sudah berusia 1400 tahun, Perjanjian Madinah Nabi masih tetap
merupakan model toleransi dan pluralisme keagamaan yang ideal. Kendati demikian,
Perjanjian Madinah sulit dikatakan sebagai satu-satunya contoh perlakuan Nabi
Muhammad berkaitan dengan hubungan-hubungan antara Muslim dan non-Muslim.
Ucapan-ucapan Nabi Muhammad berikut ini juga relevan bagi diskusi tersebut.
Al-„Irbad ibn Sariyat al-Sulami mengatakan Nabi mengatakan:
“Sesungguhnya Allah „azza wa jalla tidak menghalalkan bagi kalian untuk
memasuki rumah-rumah Ahl al-Kitāb kecuali dengan izin, dan tidak halal
memukul wanita mereka, serta makan buah mereka apabila mereka telah
memberikan kepada kalian apa yang menjadi kewajiban atas mereka.”42
Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Minhal telah menceritakan
kepada kami Yazid bin Zuraʻ i telah menceritakan kepada kami Umar bin
Muhammad dari Ayahnya dari Ibnu Umar RA. dia berkata; Rasulullah
SAW. bersabda: “Jibril senantiasa mewasiatkanku untuk berbuat baik
41
Jerald F. Dirks, Abrahamic Faiths: Titik Temu dan Titik Seteru antara Islam, Kristen dan
Yahudi, terj. Santi Indra Astuti (Jakarta: PT Serambi Ilmu Semesta, 2006) h. 190
42
Sunan Abu Daud, Kitab : Pajak, Kepemimpinan dan Fai, Bab : Mengambil pajak dari ahli
dzimmah jika mereka menyelisihi dalam jual beli, No. Hadis : 2652 (CD Lidwa Pustaka)
31
terhadap tetangga sehingga aku mengira tetangga juga akan mendapatkan
harta waris.”43
Seperti diilustrasikan di atas, Nabi Muhammad secara spesifik melarang
orang-orang Islam melakukan tindakan-tindakan yang tidak adil pada para Ahl alKitāb. Beliau mengajarkan bahwa seorang Muslim hendaknya selalu memperlakukan
tetangga-tetangganya, apakah Muslim ataupun non-Muslim, dengan perilaku
teladan.44
43
44
Ṣ aḥ iḥ al-Bukhari, Kitab : Adab, Bab : Wasiat jibril kepada tetangga, No. Hadis : 5556
Jerald F. Dirks, Abrahamic Faiths: Titik Temu dan Titik Seteru antara Islam, Kristen dan
Yahudi, terj. Santi Indra Astuti (Jakarta: PT Serambi Ilmu Semesta, 2006) h. 191
BAB III
HADIS-HADIS YANG BERKAITAN DENGAN SALAM AHL AL-KITAB
A. Takhrij Hadis
Pada bab ini, penulis menguraikan mengenai hadis-hadis yang berkaitan
dengan salam Ahl al-Kitāb. Langkah pertama, penulis melacak hadis melalui metode
takhrij al-ḥ adith bi al-lafẓ dengan menggunakan kitab al-Mu‟jam al-Mufahras.
Data yang disajikan dari penelusuran kata ‫ سلم‬adalah sebagai berikut:1
)‫إذا سلّن عليكن أهل الكتبة فقىلىا (وعليكن‬
،،۷۸ ،۹ ‫ م سالم‬،،۴ ‫ هستدين‬،۲۲ ‫خ استئران‬
۹۹ ،۳ ،۰۰۹ ،۲ ‫ حن‬،،۸ ‫ دي استئران‬،،۳ ‫ط سالم‬
Dari data di atas ditemukan 8 riwayat, masing-masing terletak dalam kitabkitab berikut:
1. Ṣ aḥ iḥ al-Al-Bukhari, kitab Isti‟dzhān no.22, kitab Murtadain no.4
2.
Ṣ aḥ iḥ Muslim, kitab Salam no.9 dan 87
3. Muwaṭ ṭ a Malik, kitab Salam no.3
4. Sunan al-Darimī, kitab Isti‟dhān no.7
5. Musnad Aḥ mad bin Hambal, jilid 2 halaman 900 dan jilid 3 halaman 99
Wensinck, Arnold John. Mu„jam Al-Mufaḥ ras Li Alfāẓ al-Hadith al-Nabawī. Jilid 5.
Leiden: Maktabah Barbal 1936.
1
31
32
Kemudian penulis menelusuri hadis melalui metode awal matan dengan
menggunakan kitab Mausuah al-Aṭ raf, dan data yang disajikan oleh kitab ini adalah
sebagai berikut:2
‫إذا سلن عليكن أحد هن أهل الكتبة‬
--۲۵۲۹۸ ‫ كنز‬-- ۳٩۹۸ ‫ – ه‬۳۳۰٣ ‫ت‬
۴۴۲ : ۷ ‫ – ش‬٣۷۷ :٩۸ ‫هنثىز‬
Jumlah riwayat berdasarkan kitab ini ada 4 riwayat, yaitu:
1. Sunan al-Tirmidhy, nomor hadis 3301
2. Sunan Ibn Majah, nomor hadis 3697
3. Al-Suyuṭ i, bab 67 nomor hadis 188
4. Ibn Abi Shaibah, bab 8 nomor hadis 442
Dalam kitab ini juga diinformasikan bahwa hadis ini juga dapat dilacak
dalam kitab Kanz al-„Umal nomor 25297.
Kemudian penulis juga menelusuri hadis melalui metode tematik dengan
menggunakan kitab Kanz al-„Umal, dan data yang disajikan oleh kitab ini adalah
sebagai berikut:3
‫ و عليكن‬: ‫ – إذاسلن عليكن أحد هن أهل الكتبة فقىلىا‬۲۵۲۹۸
)‫) ت ه عن أنس‬٣( ‫(حن ق‬
Abu Hajar Muhammad al-Sa„id bin Basyuni, Mausu„ah al-Aṭ raf al-Ḥ adith al-Sharif,
jilid.1, h.332
3
Al-Muttaqi al-Syadzaily al-Madiny, Kanz al-„Umal fi Sunan al-Aqwal wa al-Af„al, (Beirut:
Muassasah al-Risalah, 1409 H) h.123
2
33
Dari penelusuran dengan metode ini, didapatkan informasi bahwa hadis ini
diriwayatkan oleh Ahmad Ibn Hanbal, muttafaq „alaih (Bukhari dan Muslim), alTirmidzi, dan Ibn Majah.
Selain dari metode-metode di atas, penulis juga menelusuri hadis melalui
metode tematik dengan menggunakan kitab Miftāh Kunūz al-Sunah, dan data yang
disajikan oleh kitab ini adalah sebagai berikut:4
‫هَتًَ وكيف ُيسَّلنُ علً اليهُىدِ وال َنصَبزَي‬
۲۲ ‫ و‬۲۰ ‫ ة‬۸۹ ‫بخ – ك‬
٣۳ – ٣۰ ‫ قب‬۹-٩ ‫ ح‬۳۹ ‫هس – ك‬
٣۳۸ ‫ ة‬۴۰ ‫ ك‬-- ‫بد‬
٣۲ ‫ ة‬۴۰ ‫ ك‬، ۴٣ ‫ ة‬٣۹ ‫تس – ك‬
٣۳ ‫ ة‬۳۳ ‫سخ – ك‬
۸ ‫ ة‬٣۹ ‫هً – ك‬
۸٣ ‫ ص‬۲ ‫ ق‬۴ ‫عد – ﺟ‬
،۴۵۹ ‫ و‬۴۴۵ ‫ و‬۳۴٩ ‫ و‬۲٩٩ ‫حن – ثبن ص‬
۲٣۲ ‫ و‬۲۰۲ ‫ و‬٣٣۵ ‫ و‬٣٣۳ ‫ و‬۹۹ ‫ثبلث ص‬
،۲۹۰ ‫ و‬۲۸۸ ‫ و‬۲۸۳ ‫ و‬۲۲۲ ‫ و‬۲٣۴ ‫و‬
۳۹۷ ‫ و‬۲۳۳ ‫ و‬٣۴۳ ‫زابع ص‬
۲۴۲۴ ‫ و‬۲۰٩۹ ‫ و‬٣۹۸٣ ‫ط – ح‬
4
Muhammad Fu‟ad „abdul baqi, Miftāh Kunūz al-Sunah, (Lahore: Isaroh Tarjamanu alSunah,1931) h.242
34
Dari hasil penelusuran di atas, ditemukan sebelas hadis yang berkaitan
dengan salam terhadap non-Muslim Hadis-hadis tersebut diklasifikasikan ke dalam
poin-poin sebagai berikut:
1. Bagaimana Menjawab Salam non-Muslim
2. Menjawab Salam non-Muslim dalam Surat
3. Larangan Memulai Salam kepada non-Muslim
4. Memberi Salam dalam Majlis yang Berisi Kaum Muslim dan Musyrik
5. Bagaimana Menulis Surat Untuk non-Muslim
6. Mengucapan Salam Kepada non-Muslim
7. Tidak mengucapkan dan juga tidak menjawab salam atas orang yang
berdosa
8. Larangan Membunuh non-Muslim yang Memberi Salam
Untuk tema yang pertama, yaitu bagaimana menjawab salam non-Muslim
terdapat tiga hadis yang berkaitan. Pertama, Menjawab dengan “wa „alaikum”.
Kedua, Menjawab dengan “‟alaika” atau “wa „alaika”. Ketiga Menjawab dengan “
„alaika mā qulta”.
Tema ke-enam, yaitu mengucapkan salam kepada non-Muslim terdapat dua
hadis yang berkaitan. Pertama, tidak perlu menarik ucapan salam kepada nonMuslim. Kedua, meminta kembali ucapan salam. Sementara untuk tema-tema yang
lainnya, masing-masing hanya terdapat satu hadis saja.
35
B. Hadis-hadis yang Berkaitan dengan Salam Terhadap non-Muslim
1. Bagaimana Menjawab Salam non-Muslim
Tema yang pertama membahas mengenai hadis-hadis tentang bagaimana
Nabi menjawab salam non-Muslim, terdapat tiga hadis yang termasuk dalam tema
ini, yaitu Nabi menjawab salam dengan ucapan “wa „alaikum”, Nabi menjawab
dengan ucapan“‟alaika” atau “wa „alaika”, serta Nabi memerintahkan untuk
menjawab dengan “ „alaika mā qulta”.
a. Menjawab dengan “wa „alaikum”
Telah bercerita kepada kami Sulaiman bin Harb telah bercerita kepada kami
Hammad dari Ayyub dari Ibnu Abi Mulaikah dari „Aisyah RA. bahwa orangorang Yahudi datang menemui Nabi SAW. lalu mereka mengucapkan “alsāmu „alaika” (Kecelakaan atau racun buatmu), maka „Aisyah melaknat
mereka. Beliau bertanya: “Kenapa kamu berbuat begitu”. Aku jawab:
“Apakah Tuan tidak mendengar apa yang mereka ucapkan?” Beliau
menjawab: “Apakah kamu tidak mendengar apa yang aku katakan?” (Aku
kepada mereka): “Wa „alaikum (namun juga buat kalian)”.5
Hadis ini menggambarkan tentang kelembutan Nabi bahkan saat menghadapi
musuhnya yang secara terang-terangan menghinanya dengan mengucapkan perkataan
Ṣ ahih al-Bukhari, Kitab : Jihad dan penjelajahan, Bab : Mendoakan orang-orang musyrik
agar mendapatkan kekalahan dan kehancuran, No. Hadis : 2718, (CD Lidwa Pustaka)
5
36
yang kasar padanya. „Aisyah menerangkan, bahwa beberapa orang Yahudi masuk ke
tempat Nabi lalu mengatakan “al-sāmu „alaikum” dengan cara memberi pengertian,
bahwa mereka mnegucapkan “al-salāmu „alaika”.
Melihat peristiwa itu, „Aisyah mengucapkan “wa „alaikum al-sāmu wa alla„nat” kepada para tamu Yahudi yang tidak sopan itu. Nabi menegur „Aisyah
dengan mengatakan “Perlahan-lahan, hai „Aisyah. Sesungguhnya Allah menyukai
keramahan dalam semua urusan.” Maka „Aisyah bertanya kepada beliau, “Ya
Rasulullah, apa engkau tidak mendengar yang mereka ucapkan?”. Rasulullah
menjawab “Aku telah mengucapkan „wa „alaikum‟.”6
Hadis ini ṣ aḥ iḥ karena diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari. Hadis-hadis yang
diriwayatkan oleh Imam al-Bukahri dan Imam Muslim telah disepakati ke-ṣ aḥ iḥ annya oleh para ulama.
b. Menjawab dengan “‟alaika” atau “wa „alaika”
6
Tim penulis Paramadina, Fiqih Lintas Agama: Membangun Masyarakat Inklusif-Pluralis,
(Jakarta: Paramadina, 2004) h. 69
37
Telah menceritakan kepada kami Yahya bin Yahya, Yahya bin Ayyub,
Qutaibah dan Ibnu Hujr lafazh ini miliknya Yahya bin Yahya. berkata Yahya
bin Yahya; Telah mengabarkan kepada kami. Dan yang lainya berkata; Telah
menceritakan kepada kami Isma„il yaitu Ibnu Ja„far dari „Abdullah bin Dinar
bahwa ia mendengar Ibnu 'Umar berkata; Rasulullah SAW. bersabda: “Orangorang Yahudi, bila mereka memberi salam kepadamu, maka salah seorang di
antara mereka ada yang mengucapkan: Al-sāmu „alaikum (semoga kematian
bagi kalian). Maka jawablah: „Alaika!” Dan telah menceritakan kepadaku
Zuhair bin Harb; Telah menceritakan kepada kami „Abdur Rahman dari
Sufyan dari „Abdullah bin Dinar dari Ibnu „Umar dari Nabi SAW. dengan
redaksi yang serupa. Hanya saja dia berkata; „Maka ucapkanlah oleh kalian;
„Wa „alaika‟.7
Para ulama berbeda pendapat tentang menyebutkan atau tidak menyebutkan
huruf wawu dalam menjawab ucapan salam non-Muslim, karena perbedaan
pandangan mereka mengenai riwayat yang lebih kuat diantara kedua riwayatnya.
Ibn „Abd al-Barr menyebutkan dari Ibn Habib, bahwa pengucapannya tanpa
huruf wawu adalah karena jika diucapkan dengan huruf wawu berarti menyertakan
kita didalamnya. Ia memaparkan, bahwa huruf wawu dalam redaksi seprti ini
mengandung arti mengakui redaksi pertama dan mengaitkan redaksi kedua dengan
yang pertama, seperti ucapan “Zaidun Kātibun, faqultu: washāriʻ un” artinya: Zaid
adalah penulis, lalu aku mengatakan dan juga penyair. Ini berarti menetapkan kedua
sifat itu pada diri Zaid.
Ṣ ahih Muslim, Kitab : Salam, Bab : Larangan memulai Ahl al-Kitāb dalam memberikan
salam, No. Hadis : 4026, (CD Lidwa Pustaka)
7
38
Ibn Baṭ al menukil dari al-Khatabi menyerupai apa yang dikatakan oleh Ibn
Habib, dia berkata, “riwayat orang yang meriwayatkannya dengan redaksi “‟alaikum”
tanpa huruf wawu adalah lebih baik daripada riwayat yang menyebutkan huruf wawu,
karena maknanya adalah “aku mengembalikan apa yang kalian katakana itu kepada
diri kalian”. Sebab, dengan menyertakan huruf wawu, maka maknanya menjadi
“ʻ alaiya wa „alaikum” (atasku dan atas kalian), karena huruf wawu adalah partikel
penggabung yang berfungsi menyertakan.”8
Sama halnya dengan hadis pertama, hadis ini berderajat ṣ aḥ iḥ , karena
diriwayatkan oleh Imam Muslim.
c. Menjawab dengan “ „alaika mā qulta”
Telah menceritakan kepada kami Abdu bin Humaid telah menceritakan
kepada kami Yunus dari Syaiban dari Qatadah telah menceritakan kepada
kami Anas bin Malik bahwa seorang Yahudi datang kepada Nabi SAW. serta
8
Al-Nawawi, Sharah al-Nawawi „ala Muslim, (CD al-Maktabah al-Syamilah, Global Islamic
Software, 1991-1997)
39
para sahabatnya kemudian mengatakan; Al-sāmu 'alaikum. Kemudian orangorang menjawab. Lalu Nabi SAW. bertanya: “Tahukah kalian apa yang ia
katakan ini?” Mereka berkata; Allah dan Rasul-Nya lebih mengetahui wahai
Nabi Allah. Beliau berkata: “Tidak, akan tetapi ia mengatakan demikian dan
demikian, tolong ringkuslah Yahudi itu kepadaku.” Kemudian mereka pun
meringkus Yahudi dan diseret ke hadapan Rasulullah Saw.
Beliau
menginterogasinya dengan bertanya: “Apakah engkau mengatakan; Al-sāmu
„alaikum?” (kematian untuk kalian)? Ia berkata; „ya‟. Nabi saw. berkata di
saat itu: “Apabila salah seorang dari ahli kitab mengucapkan salam kepada
kalian maka katakan; „alaika maa qulta.” (bahkan untuk mu yang kau
ucapkan itu) Beliau membaca ayat: “Dan apabila mereka datang kepadamu,
mereka mengucapkan salam kepadamu dengan memberi salam yang bukan
ditentukan Allah untukmu.” (QS. Almujadilah 8), Abu Isa berkata; hadis ini
adalah hadis hasan ṣ ahih.9
Anas bin Malik berkata “Datang orang Yahudi kepada Nabi dan para sahabat
Nabi, mereka mengucapkan “al-sāmu „alaikum” yang artinya kematian atas kalian,
maka para sahabat menjawabnya, mereka mengira bahwa yang diucapakan Yahudi
adalah “al-salāmu „alaikum”. Nabi bertanya “Apakah kalian tahu apa yang Yahudi
itu katakan?” sahabat menjawab “Sesungguhnya Allah dan Rasul-Nya lebih
mengetahui akan hal itu.” Nabi berkata “Tidak, sesungguhnya dia mengatakan „alsāmu „alaikum‟, bawalah Yahudi itu kepadaku!” kemudian Nabi bertanya kepada
Yahudi itu “Apakah kamu mengtakan „al-sāmu „alaikum‟? dia menjawab “ya”. Nabi
berkata menganai hal ini “Apabila salah seorang Ahl al-Kitāb mengucapkan salam
kepadamu, maka jawablah “atasmu apa yang engkau katakan”. Kemudian Nabi
membacakan ayat “Dan apabila mereka (Yahudi) datang kepadamu, mereka
mengucapkan salam kepadamu dengan memberi salam yang bukan ditentukan Allah
untukmu", yaitu ucapa „al-sāmu „alaikum‟. Al-Qurthubi berkata “Yahudi mendatangi
9
Sunan al-Tirmidzi, Kitab : Tafsir al Qur`an, Bab : Diantara surat al-Mujādilah, No. Hadis :
3223, (CD Lidwa Pustaka)
40
Nabi mengatakan „al-sāmu „alaikum‟, secara ẓ ahir dia mengatakan „al-salāmu
„alaikum‟, tetapi dalam hatinya ia mendo„akan kematian, maka nabi menjawab
„alaikum‟ dalam riwayat lain mengatakan „wa „alaikum‟.”10
Hadis ini merupakan asbāb al-wurūd dari al-Quran surat al-Mujadilah ayat 8:
             
            
   
         
  
Apakah tidak kamu perhatikan orang-orang yang telah dilarang mengadakan
pembicaraan rahasia, kemudian mereka kembali (mengerjakan) larangan itu
dan mereka mengadakan pembicaraan rahasia untuk berbuat dosa,
permusuhan dan durhaka kepada Rasul. dan apabila mereka datang kepadamu,
mereka mengucapkan salam kepadamu dengan memberi salam yang bukan
sebagai yang ditentukan Allah untukmu. dan mereka mengatakan kepada diri
mereka sendiri: “Mengapa Allah tidak menyiksa kita disebabkan apa yang kita
katakan itu?” cukuplah bagi mereka Jahannam yang akan mereka masuki. dan
neraka itu adalah seburuk-buruk tempat kembali. (Qs. Al-Mujadilah: 8)
Pada ayat ke 7 surat al-Mujadilah telah dijelaskan bahwa segala bisikan,
desas-desus dan pertemuan rahasia pasti Allah mengetahuinya. Maka orang yang
beriman akan berhati-hati akan hal itu. Tetapi bagi orang-orang yang bersifat
munafik, meskipun mereka telah diperingati supaya bergaul dengan jujur dan dilarang
10
Imam al-Hafiẓ Abi al-„ula Muhammad „Abdurrahman Ibn „Abdurrahim al-Mubarakfuriy,
Tuhfat al-Ahwadhi bi Sharh Jāmi„ al-Tirmidhi, (Beirut: Daar al-Kutb al-„Alamiyah, 1410 H-1990 M)
h. 136
41
melakukan pembicaraan rahasia, namun mereka tetap melakukannya. Mereka selalu
mencari berbagai jalan supaya kewibawaan Rasul dapat dirusak.
Yang menjadi bisikan rahasia mereka ada tiga hal, 1) dosa, yaitu memfitnah,
mengada-ada, membalas dendam, 2) permusuhan, diantaranya mengatur siasat untuk
mengalahkan lawan. 3) menentang Rasul.
Hasil dari pembicaraan rahasia mereka adalah mereka sengaja menemui Rasul
bukan dengan maksud yang baik, melainkan karena hendak mempertontonkan
kebenciannya dengan mengucapkan kata-kata yang pada lahirnya seperti memberi
hormat, tetapi dalam batinnya berisi penghinaan dan kutukan. Yaitu dengan
mengucapkan “al-sāmu‟alaikum” seperti dalam hadis di atas.11
Mereka melakukan hal itu semata-mata untuk membuktikan kenabian
Muhammad. Merka berkata dalam hati, “Mengapa Allah tidak menyiksa kita
disebabkan apa yang kita katakan itu?” artinya mereka berkata „jika benar
Muhammad itu nabi, tentu kehormatannya dijaga oleh Tuhan, maka atas ucapan
seperti itu pastilah Allah tidak akan menangguhkan azab-Nya. Tetapi Allah tidak
mengazab kami.” Dikatakan bahwa orang-orang Yahudi itu mengucapkan „dan
kematian tas kalian‟ jika Muhammad benar seorang nabi, maka ucapannya atas kami
akan langsung dikabulkan oleh Allah, dan mereka pasti akan segera mati. Di sinilah
letak keheranan mereka, padahal mereka Ahl al-Kitāb, semestinya mereka tahu
bahwa para nabi memang terkadang murka, tetapi kemurkaan mereka bukan berarti
11
Hamka, Tafsir al-Azhar, juz 28 (Jakarta: Pustaka Panji Mas, 2000) h. 21-23
42
langsung diiringi azab Allah kepada orang-orang yang membuat para nabi murka.
Selain itu juga mereka tidak mengerti bahwa Allah mempunyai sifat Maha Pemurah,
Dia tidak menyegerakan azab kepada mereka karena mencela-Nya, apalagi hanya
karena mereka mencela nabi-Nya. Maka di akhir ayat ini Allah berfirman, “Cukuplah
bagi mereka Jahannam.” Balasan bagi mereka adalah neraka Jahannam yang
merupakan seburuk-buruknya tempat kembali.12
Di akhir hadis ini dikemukakan pendapat dari Abu Isa bahwa hadis ini
berkualitas ḥ asan ṣ aḥ iḥ .
Dari tema di atas, bisa disimpulkan bahwa di kalangan ulama ada perbedaan
pendapat tentang hukum menjawab salam dari non-Muslim. Diantaranya adalah:
Menurut Imam Malik, sperti yang diriwayatkan oleh Asyhab dan Ibn Wahab
darinya, ia berpendapat bahwa menjawab salam kepada Ahl al-Kitāb bukanlah suatu
kewajiban, jika mereka mengucapkan salam kepadamu, maka jawablah: „alaika.
Sementara Ibn Ṭ awus memilih jawaban dalam menjawab salam
mereka
adalah dengan mengucapkan „alāka al-salām, yakni salam tersebut terangkat darimu.
Ada pula yang memilih jawaban “al-silam” dengan menkasrahkan huruf sin yang
berarti batu.13
12
Syaikh Imam al-Qurthubi, Tafsir al-Qurthubi, juz 18. Penerjemah; Dudi Rasyadi, dkk.
(Jakarta: Pustaka Azzam, 2009) h. 165
13
Syaikh Imam al-Qurthubi, Tafsir al-Qurthubi, juz 18. Penerjemah; Dudi Rasyadi, dkk.
(Jakarta: Pustaka Azzam, 2009) h. 164
43
Menurut madzhab al-Shafiʻ i, memberi salam kepada mereka, haram
hukumnya, tetapi menjawabnya adalah wajib dengan perkataan “wa „alaikum” saja.
Kebanyakan ulama salaf membolehkan kita memberi salam kepada orang kafir.14
Dalam kitab Sharah Ṣ aḥ iḥ Muslim, Imam Nawawi mengatakan bahwa para
ulama berbeda pendapat tentang menjawab salam Ahl al-Kitāb dan memulai salam
kepada mereka. Imam Nawawi dan para ulama sepakat mengharamkan memulai
salam atas Ahl al-Kitāb dan mewajibkan menjawab salam mereka dengan ucapan
“wa „alaikum” atau “ʻ alaikum” saja. Al-Mawardi berpendapat boleh menjawab
salam Ahl al-Kitāb dengan ucapan “wa „alaikum salam” tanpa “warahmatullah”,
apabila mereka mengucapkan salam yang benar yaitu “al-salāmu‟alaikum”.15
Ibn Qayyim berkata: jumhur ulama berpendapat wajib menjawab salam Ahl
al-Kitāb, dan menurutnya inilah pendapat yang benar. Sebagian ulama berpendapat
tidak wajib menjawab salam mereka sebagaimana tidak wajib menjawab salam
kepada ahli bid‟ah. Beliau berkata: “Jika orang yang mendengar yakin bahwa yang
diucapkan Ahl al-Dhimmi adalah “salāmun „alaikum” dan ia tidak ragu akan hal itu,
maka wajib menjawab “wa „alaika salam” dan sungguh ini termasuk balasan yang
adil.
Hal ini tidak meniadakan sedikitpun kandungan hadis, karena Nabi hanya
memerintahkan untuk menjawab salam secara ringkas dengan mengucapkan “wa
14
Hasbi As Shidiqie, Mutiara Hadis, jilid VII, h. 228
Al-Nawawi, Sharḥ al-Nawawi „alā Muslim, kitab al-salam no. 4024, CD al-Maktabah alSyamilah, Global Islamic Software, 1991-1997
15
44
„alaikum”, Karena ada sebab yang telah disebutkan bahwa yang diucapkan mereka
adalah umpatan “al-sāmu „alaikum”.16
Tentang hal ini,
penulis setuju dengan pendapat al-Mawardi yang
menyatakan boleh menjawab salam non-Muslim dengan ucapan “wa „alaikum
salam” tanpa “warahmatullāh”, apabila mereka mengucapkan salam yang benar
yaitu “al-salāmu‟alaikum”.
2. Menjawab Salam non-Muslim dalam Surat
Tema kedua yaitu membahas tentang bagaimana membalas surat dari nonMuslim yang disertakan dengan salam. Hadisnya yaitu:
17
Telah menceritakan kepada kami Yahya bin Basyir ia berkata: “Telah
mengabarkan kepada kami al-Hakim bin al-Mubarak ia berkata: “Telah
mengabarkan kepada kami „Ibad (yakni Ibn „Ibad) dari „Ᾱ ṣ im al-Ahwal dari
Abī „Uthman al-Nahdi ia berkata: “Abu Musa menulis surat kepada Dihqan,
ia memberi salam dalam suratnya. Dikatakan kepadanya: “apakah aku harus
memberi salam sedangkan ia orang kafir?” dia berkata: “sesungguhnya dia
memberi salam dalam suratnya, maka aku menjawabnya.”18
16
Ibn Qayyim, Ahkamu Ahl al-Dhimmah, CD al-Maktabah al-Syamilah, Global Islamic
Software, 1991-1997
17
Al-Imam al-Hafiẓ Muhammad bin Isma„il al-Bukhari, al-Ada al-Mufrad, (Beirut: Dār alKitab al-„Ilmiah, 1990 M/ 1410 H) h. 322
18
Hadis ini merupakan hadis ṣ aḥ iḥ karena diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari.
45
Nabi memberi contoh, apabila ada seorang non-Muslim yang mengucapkan
salam, beliau menjawab salam non-Muslim tersebut sesuai dengan yang mereka
ucapkan. Maka demikian pula halnya apabila menerima surat dari non-Muslim yang
disertakan dengan salam, maka kita dianjurkan untuk membalas ucapan salamnya.
3. Larangan Memulai Salam kepada non-Muslim
Hadis tentang larangan memulai salam kepada non-Muslim disertakan
dengan perintah untuk mendesaknya ke jalan yang sempit. Terdapat satu hadis yang
termasuk ke dalam tema ini, yaitu:
19
Telah menceritakan kepada kami Qutaibah bin Sa„id; Telah menceritakan
kepada kami „Abdul „Aziz yaitu al-Darāwardi dari Suhail dari Bapaknya dari
Abu Hurairah bahwa Rasulullah SAW. bersabda: “Janganlah kalian mendahului
Ṣ ahih Muslim, Kitab : Salam, Bab : Larangan memulai Ahl al-Kitāb dalam memberikan
salam, No. Hadis : 4030, (CD Lidwa Pustaka)
19
46
orang-orang Yahudi dan Nasrani memberi salam. Apabila kalian berpapasan
dengan salah seorang di antara mereka di jalan, maka desaklah dia ke jalan
yang paling sempit.” Dan telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Al
Mutsanna; Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Ja‟far; Telah
menceritakan kepada kami Syu‟bah; Demikian juga diriwayatkan dari jalur
yang lain; Dan telah menceritakan kepada kami Abu Bakr bin Abu Syaibah dan
Abu Kuraib keduanya berkata; Telah menceritakan kepada kami Waki‟ dari
Sufyan; Demikian juga diriwayatkan dari jalur yang lain; Dan telah
menceritakan kepadaku Zuhair bin Harb; Telah menceritakan kepada kami Jarir
seluruhnya dari Suhail melalui sanad ini. Dan di dalam Hadis Waki' disebutkan;
„Apabila kalian bertemu dengan orang Yahudi.‟ Sedangkan dalam Hadis Ibnu
Ja'far dari Syu‟bah dia berkata mengenai Ahl al-Kitāb juga di dalam Hadis Jarir
dengan lafazh; „Apabila kalian bertemu dengan mereka.‟ (tanpa menyebutkan
salah seorang di antara mereka).20
Abu Umamah berkata, “Sesungguhnya Allah SWT. menjadikan salam sebagai
penghormatan bagi umat kami dan perlindungan bagi Ahl al-Dhimmi di tengah kami.
Ibn Abi Syaibah meriwayatkan hadis melalui „Aun bin Abdul Aziz tentang memberi
salam lebih dulu kepada Ahl al-Dhimmi. Ia menjawab, “Kami hanya menjawab salam
mereka, tidak memberi salam lebih dulu kepada mereka.” „Aun berkata, “Saya
bertanya kepadanya, „Bagaimana pendapatmu?‟ menurut saya, tidak apa-apa
memberi salam lebih dulu kepada mereka.”21
Larangan yang sangat jelas dari Nabi dalam hadis ini, juga dalam riwayat lain
yaitu yang diriwayatkan oleh Muslim dan al-Bukhari dari jalur Abu Hurairah secara
marfu‟, “Janganlah kalian memulai salam kepada orang-orang Yahudi dan orangorang Nasrani, dan pepetkanlah mereka ke jalan yang paling sempit. Dalam riwayat
Imam al-Bukhari dan al-Nasai dari hadis Abu Basrah al-Ghifari bahwa Nabi SAW.
Hadis ini merupakan hadis ṣ aḥ iḥ karena diriwayatkan oleh Imam Muslim.
Yusuf Qardhawi, Fiqh al-Jihad: Dirasah Muqaranah li Aḥ kamihi wa Falsafah fi Dhaʻ u
al-Quran wa al-Sunnah, penerjemah: Irfan Maulana Hakim, dkk (Bandung: Mizan Pustaka, 2010) h.
783
20
21
47
Bersabda: “Sesungguhnya besok aku akan berkendaraan kepada orang-orang Yahudi,
maka janganlah kalian memulai salam kepada mereka.”22
Banyak ulama yang membenarkan untuk memulai salam kepada non-Muslim,
paling tidak dalam pengertian damai pasif. Sahabat Nabi, Ibn „Abbas, dan
sekelompok ulama selain beliau berpendapat demikian. Larangan Nabi mereka
pahami dalam konteks zamannya, yaitu ketika orang-orang Yahudi mengucapkan
“al-sāmu „alaikum” yang berarti kutukan atau kematian untuk kalian. 23
Ibn Abi Syaibah bertanya kepada Umar bin Abdul Aziz tentang memberi
salam lebih dulu kepada dhimmi. Ia menjawab, “Kami hanya menjawab salam
mereka, tidak memberi salam lebih dulu kepada mereka.” Aun bekata, “Saya
bertanya kepadanya, „Bagaimana pendapatmu?‟ Menurut saya, tidak apa-apa
memberi salam lebih dulu kepada mereka.24
Hadis mengenai larangan memberi salam lebih dulu kepada non-Muslim,
menjelaskan latar belakang munculnya larangan tersebut, yang terkait dengan kondisi
perang dan pertemuan musuh di medan pertempuran, yaitu tempat yang biasanya
tidak ada pemberian salam. Mungkin juga ucapan itu menegaskan kebolehan jika ada
motif yang menuntut pemberian salam, seperti kekerabatan, persahabatan,
Al-Asqalani, Ibn Hajar. Fath al-Baari Sharah: Ṣ ahih Bukhari, Juz 30, Penerjemah:
Amiruddin. (Jakarta: Pustaka Azzam, 2008), h. 135
23
Quraish Shihab, Secercah Cahaya Ilahi: Hidup Bersama al-Quran, (Bandung: Mizan
Pustaka, 2007) h. 432
24
Yusuf Qardhawi, Fiqh al-Jihad: Dirasah Muqaranah li Aḥ kamihi wa Falsafah fi Dhaʻ u
al-Quran wa al-Sunnah, penerjemah: Irfan Maulana Hakim, dkk. (Bandung: Mizan Pustaka, 2010),
h.783
22
48
ketetanggaan, perjalanan, atau keperluan. Al-Qurthubi telah menyebutkan hal tersebut
dari al-Nakha„i. Ia berkata, “untuk menakwilkan hadis dari Abu Hurairah mengenai
larangan memberi salam lenih dulu kepada non-Muslim, jika tidak ada alasan bagi
kalian untuk memulai salam kepada mereka, seperti memenuhi perlindungan, adanya
keperluan kalian kepada mereka, suatu hak, ketetanggaan atau dalam perjalanan.”25
Mengenai penghormatan selain bacaan salam, seperti mengucapkan „selamat
pagi‟, „selamat sore‟, atau „selamat datang‟ tidak ada halangan akan hal itu.26
4. Memberi Salam dalam Majlis yang Berisi Kaum Muslim dan
Musyrik
Dalam tema ke empat ini hanya ditemukan satu hadis saja, yaitu peristiwa
saat Nabi melewati majlis yang di dalamnya terdapat kaum Muslim, kaum musyrik,
penyembah berhala, dan orang-orang Yahudi.
Yusuf Qardhawi, Fiqh al-Jihad: Dirasah Muqaranah li Aḥ kamihi wa Falsafah fi Dhaʻ u
al-Quran wa al-Sunnah, penerjemah: Irfan Maulana Hakim, dkk. (Bandung: Mizan Pustaka, 2010),
h.783
26
Yusuf Qardhawi, Fiqh al-Jihad: Dirasah Muqaranah li Aḥ kamihi wa Falsafah fi Dhaʻ u
al-Quran wa al-Sunnah, penerjemah: Irfan Maulana Hakim, dkk. (Bandung: Mizan Pustaka, 2010),
h.783
25
49
Telah menceritakan kepada kami Ibrahim bin Musa telah mengabarkan
kepada kami Hisyam dari Ma‟mar dari al-Zuhri dari „Urwah bin Zubair dia
berkata; telah mengabarkan kepadaku Usamah bin Zaid bahwa Nabi SAW.
mengendarai keledai milik beliau, di atasnya ada pelana bersulam beludru
Fadaki, sementara Usamah bin Zaid membonceng di belakang beliau ketika
hendak menjenguk Sa„ad bin „Ubadah di Bani al-Harits al-Khazraj, peristiwa
itu terjadi sebelum perang Badar, lalu beliau berjalan hingga melewati suatu
majlis yang di majlis tersebut bercampur antara kaum Muslimin, orang-orang
musyrik, para penyembah patung, dan orang-orang Yahudi, dan dalam majlis
tersebut terdapat pula „Abdullah bin Ubay bin Salul dan „Abdullah bin
Rawahah, saat majlis itu dipenuhi kepulan debu hewan kendaraan, „Abdullah
bin Ubai menutupi hidungnya dengan selendang sambil berkata: “Jangan
mengepuli kami dengan debu,” kemudian Nabi SAW. mengucapkan salam
50
pada mereka lalu berhenti dan turun, Nabi SAW. mengajak mereka menuju
Allah sambil membacakan al-Quran kepada mereka. „Abdullah bin Ubay bin
Salul berkata kepada beliau: “Wahai saudara! Sesungguhnya apa yang kamu
katakan tidak ada kebaikannya sedikit pun, bila apa yang kau katakan itu
benar, maka janganlah kamu mengganggu kami di majlis ini, silahkan kembali
ke kendaraan anda, lalu siapa saja dari kami mendatangi anda, silahkan anda
bercerita padanya.” „Abdullah bin Rawahah berkata; “Wahai Rasulullah,
bergabunglah dengan kami di majlis ini karena kami menyukai hal itu.” Maka
Kaum Muslimin, orang-orang musyrik dan orang-orang Yahudi pun saling
mencaci hingga mereka hendak saling menyerang, Nabi terus menenangkan
mereka hingga mereka semuanya diam, kemudian beliau naik kendaraan
hingga masuk ke kediaman Sa‟d bin „Ubadah, lalu beliau bersabda: “Hai
Sa‟d! Apa kau tidak mendengar ucapan Abu Hubab?” maksud beliau tentang
ucapan „Abdullah bin Ubay. Beliau bersabda: “Dia telah mengatakan ini dan
ini.” Sa‟ad berkata; “Maafkan dia wahai Rasulullah dan berlapang dadalah
kepadanya, demi Allah, Allah telah memberi anda apa yang telah diberikan
pada anda. (dahulu) Penduduk telaga ini (penduduk Madinah) bersepakat
untuk memilihnya dan mengangkatnya, namun karena kebenaran yang
diberikan kepada anda itu muncul, sehingga menghalanginya („Abdullah bin
Ubay) menjabat sebagai pemimpin, maka seperti itulah perbuatannya
sebagaimana yang anda lihat.” Akhirnya beliau pun mema'afkannya.27
Dalam hadis ini disebutkan, “Hingga beliau melewati suatu kumpulan orang
yang terdiri dari kaum Muslimin, kaum musyrikin” dan disebutkan juga “Lalu Nabi
memberi salam kepada mereka. Al-Nawawi berkata: “Sunnahnya, apabila melewati
suatu perkumpulan yang di dalamnya terdapat orang Islam dan orang kafir adalah
mengucapkan salam dengan lafaẓ yang lebih umum namun yang dimaksud adalah
orang Islam. Untuk pendapat ini, al-Nawawi berdalih dengan hadis bab ini, dan ini
merupakan cabang dari larangan mengucapkan salam lebih dulu kepada orang kafir.28
Ṣ ahih al- Bukhari, Kitab : Meminta Izin, Bab : Mengucapkan salam kepada majlis berisi
orang Muslim dan musyrik, No. Hadis : 5784 (CD Lidwa Pustaka)
28
Al-Asqalani, Ibn Hajar. Fath al-Baari Sharah: Ṣ ahih Bukhari, Juz 30, Penerjemah:
Amiruddin. (Jakarta: Pustaka Azzam, 2008), h. 134
27
51
Al-Ṭ abari berkata, “Tidak ada kontradiksi antara hadis Usamah yang
menyebutkan ucapan salam Nabi SAW kepada orang-orang kafir yang sedang
bersama dengan orang-orang Islam, dengan hadis Abu Hurairah yang melarang
mengucapkan salam kepada orang kafir, karena hadis Abu Hurairah bersifat umum
sedangkan hadis Usamah bersifat khusus. Oleh karena itu, hadis Abu Hurairah
khusus dalam kondisi apabila memulai salam tanpa sebab dan tanpa keperluan yang
terkait dengan hak persahabatan, atau bertetangga atau membalas kebaikan dan
sejenisnya. Maksudnya adalah melarang memulai salam kepada mereka dengan
salam yang disyari„atkan. Adapun memberi salam kepada mereka dengan lafaẓ yang
tidak mencakup mereka, misalnya dengan mengucapkan “al-salāmu „alaina wa „alā
„ibādi Allahi al-Ṣ alihīn” (semoga kesejahteraan dilimpahkan kepada kami dan
kepada para hamba Allah yang ṣ alih)” maka hal itu di perbolehkan, sebagaimana
yang dituliskan Nabi SAW. kepada raja Hiraklius dan raja lainnya.29
Memberi salam kepada non-Muslim jika mereka berada di suatu tempat
pertemuan yang di situ mereka berkumpul dengan orang-orang Muslim, tidak ada
silang pendapat mengenai bolehnya memberi salam kepada mereka. Abu Umamah
berkata, “Sesungguhnya Allah menjadikan salam sebagai penghormatan bagi umat
kami dan perlindungan bagi dhimmi di tengah kami.”30
Al-Asqalani, Ibn Hajar. Fath al-Baari Sharah: Ṣ ahih Bukhari, Juz 30, Penerjemah:
Amiruddin. (Jakarta: Pustaka Azzam, 2008), h. 136
30
Yusuf Qardhawi, Fiqh al-Jihad: Dirasah Muqaranah li Aḥ kamihi wa Falsafah fi Dhaʻ u
al-Quran wa al-Sunnah, penerjemah: Irfan Maulana Hakim, dkk. (Bandung: Mizan Pustaka, 2010),
h.783
29
52
Hadis ini merupakan hadis ṣ aḥ iḥ dan boleh dijadikan hujjah karena
diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari.
5. Bagaimana Menulis Surat Untuk non-Muslim
Cara Nabi menulis surat kepada non-Muslim ditemukan hanya satu hadis,
yaitu Nabi memulai suratnya dengan menuliskan “Bi ismi Allah al-Rahmān alRahīm”.
31
Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Muqatil Abu al-Hasan telah
mengabarkan kepada kami „Abdullah telah mengabarkan kepada kami Yunus
dari al-Zuhri dia berkata; telah mengabarkan kepadaku „Ubaidullah bin
Abdullah bin „Utbah bahwa Ibnu Abbas telah mengabarkan kepadanya bahwa
Abu Sufyan bin Harb telah mengabarkan kepadanya bahwa Heraklius (raja
Ramawi) pernah mengutusnya kepada sekelompok orang orang Quraisy yaitu
para pedagang di Syam, setelah itu para pedagang tersebut menemuinya -lalu
Ṣ ahih al-Bukhari, Kitab : Meminta Izin, Bab : Bagaimana surat untuk Ahl al-Kitāb, No.
Hadis : 5790, (CD Lidwa Pustaka)
31
53
perawi menyebutkan riawayat hadits, dia berkata; “Kemudian Heraklius
meminta surat Rasulullah SAW., ketika dibaca ternyata di dalamnya tertulis
“Bi ismi Allah al-Rahmān al-Rahīm (dengan nama Allah yang maha pengasih
lagi maha penyayang), dari Muhammad hamba Allah dan Rasul-Nya kepada
Heraklius raja Ramawi, salam kesejahteraan bagi yang mengikuti petunjuk,
amma ba'du.”32
Pada bab ini, Imam al-Bukhari menyebutkan bagian hadis Abu Sufyan yang
menceritakan kisah Heraklius. Ibn Baṭ ṭ al berkata, “Hadis ini menunjukkan
bolehnya menulis Bi ismi Allah al-Rahmān al-Rahīm kepada Ahl Al-Kitāb, dan
mencantumkan lebih dulu nama pengirim daripada nama penerima.” Dia berkata:
“Hadis ini juga berfungsi sebagai dalil bagi kalangan yang membolehkan berkirim
surat kepada Ahl Al-Kitāb dengan memberi salam jika diperlukan.
Ibn Hajar mengatakan: “Tentang bolehnya memberi salam secara mutlak
perlu dicermati lebih lanjut. Yang ditunjukkan oleh hadis ini adalah salam yang
sifatnya terbatas, sebagaimana yang disebutkan dalam riwayat ini, “Semoga
keselamatan dilimpahkan kepada orang yang mengikuti petunjuk,” atau boleh juga
dengan kalimat “semoga keselamatan dilimpahkan kepada orang yang berpegang
teguh dalam kebenaran” atau kalimat lainnya yang serupa.33
6. Mengucapkan Salam Kepada non-Muslim
Ada dua hadis yang berkaitan dengan tema ini, yaitu tidak perlu menarik
kembali ucapan salam, dan meminta kembali salam yang telah diucapkan.
a. Tidak Perlu Menarik Ucapan Salam Kepada non-Muslim
Hadis ini berkualitas ṣ aḥ iḥ karena diriwayatkan oleh Imam al-Bukari.
Al-Asqalani, Ibn Hajar. Fath al-Baari Sharah: Ṣ ahih Bukhari, Juz 30, Penerjemah:
Amiruddin. (Jakarta: Pustaka Azzam, 2008), h. 165
32
33
54
Telah menceritakan kepadaku dari Malik dari „Abdullah bin Dinar dari
„Abdullah bin Umar berkata Rasulullah SAW. bersabda: “Jika salah seorang
Yahudi mengucapkan salam kepada kalian, hanyasanya mereka
mengucapkan; al-sāmu „alaikum (kebinasaan atas kalian) maka jawablah;
„alaika (juga atas kalian). ”Yahya berkata; “Malik ditanya tentang seseorang
yang memberi salam kepada orang Yahudi atau Nasrani, apakah dia harus
menarik ucapannya? dia menjawab, “Tidak perlu.”34
Ibn Arabi menukil dari Malik, “Bila memulai salam kepada seseorang yang
diduganya sebagai Muslim namun ternyata kafir, maka Ibn Umar menarik kembali
salamnya. Menurut Malik, itu tidak perlu. Ibn al-„Arabi berkata, “Tidak ada gunanya
menarik salam saat itu, karena orang kafir itu tidak mendapatkan sesuatu dari salam
itu, sebab salam yang ditunjukkan untuk orang Muslim.35
Mengenai kualitas hadis ini, penulis tidak meneliti lebih lanjut karena skripsi
ini tidak membahas takhrij hadis secara spesifik.
b. Meminta kembali ucapan salam
Muwaṭ ṭ a al-Malik, Kitab : Lain-lain, Bab : Memberi salam kepada Yahudi dan Nashrani,
No. Hadis : 1514, (CD Lidwa Pustaka)
35
Al-Asqalani, Ibn Hajar. Fath al-Baari Sharah: Ṣ ahih Bukhari, Juz 30, Penerjemah:
Amiruddin. (Jakarta: Pustaka Azzam, 2008), h. 159
34
55
36
Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Kathir ia berkata: telah
menceritakan kepada kami Sufyan dari Abi Ja‟far dari „Abdurrahman ia
berkata: Ibn „Umar melewati seorang Nasrnani, ia memberi salam kepadanya,
aku memberi tahu bahwa orang itu adalah Nasrani, ketika mengetahui hal itu,
ia kembali kepada Nasrani dan berkata: “Kembalikan padaku salamku!”37
Hadis ini menceritakan bahwa Ibn „Umar melewati seseorang yang tidak ia
kenal, kemudian ia member salam. Ternyata orang itu adalah seorang Nasrani, maka
Ibn „Umar meminta orang itu untuk mengembalikan salam yang telah ia ucapkan.
Sebagian ulama berpendapat bahwa itu berguna sebagai pemberitahuan kepada orang
kafir tersebut bahwa ia tidak berhak mendapat salam lebih dulu. 38
7. Tidak mengucapkan dan juga tidak menjawab salam atas orang yang
berdosa
Yang termasuk ke dalam tema ini ada satu hadis yang diriwayatkan dari
beberapa jalur periwayatan. Diantaranya yang diriwatkan oleh Imam al-Bukhari:
36
Al-Imam al-Hafiẓ Muhammad bin Isma„il al-Bukhari, al-Ada al-Mufrad, (Beirut: Dār alKitab al-„Ilmiah, 1990 M/ 1410 H) h. 325
37
Hadis ini merupakan hadis ṣ aḥ iḥ karena diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari.
38
Al-Asqalani, Ibn Hajar. Fath al-Baari Sharah: Ṣ ahih Bukhari, Juz 30, Penerjemah:
Amiruddin. (Jakarta: Pustaka Azzam, 2008), h. 159
56
39
Telah menceritakan kepada kami Abu Bukair telah menceritakan kepada kami
Al Laits dari „Uqail dari Ibnu Syihab dari Abdurrahman bin Abdullah bin Ka'b
bahwa Abdullah bin Ka‟b berkata; saya medengar Ka‟b bin Malik bercerita
ketika dia tidak mengikuti perang tabuk (tanpa udzur), Rasulullah melarang
berbicara kepada kami, kemudian aku mendatangi Rasulullah, aku memberi
salam kepadanya, dalam hatiku berkata; “Apakah beliau menggerak-gerakkan
bibirnya untuk menjawab salam ataukah tidak, hingga hal itu berlangsung
genap lima puluh malam, setelah itu barulah Nabi mengumumkan penerimaan
Allah atas taubat kami setelah shalat subuh.”40
Hadis ini menjelaskan larangan mengucapkan dan menjawab salam kepada
orang yang berdosa selama lima puluh hari, atau selama orang itu belum bertaubat
akan dosa yang telah dilakukannya.
Al-Nawawi berkata, “Bila terpaksa harus mengucapkan salam, karena jika
tidak mengucapkan dikhawatirkan dapat menimbulkan kerusakan pada agama atau
duniawi, maka boleh mengucapkan salam.” Demikian juga yang dikatakan oleh Ibn
al-Arabi, dia menambahkan, “Dengan meniatkan bahwa al-Salām adalah salah satu
asma‟ Allah, jadi dengan begitu, dia mengucapkan, “Allah mengawasi kalian.” AlMuhallab berkata, “Tidak mengucapkan salam pada pelaku maksiat adalah sunnah
yang dilakukan ulama salaf.” Ibn Wahab berkata, “Boleh memulai salam kepada
Ṣ ahih al-Bukhari, Kitab : Meminta Izin, Bab : Tidak mengucapkan dan juga tidak
menjawab salam atas orang yang berdosa, No. Hadis : 5785, (CD Lidwa Pustaka)
40
Hadis ini berkualitas ṣ aḥ iḥ karena diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari.
39
57
setiap orang, sekalipun kepada orang kafir.” Ia berdalil dengan firman Allah Qs alBaqarah ayat 83, “Serta ucapkanlah kata-kata yang baik kepada setiap manusia.”41
8. Larangan Membunuh Ahl Al-Kitāb yang Memberi Salam
Tema terakhir ini hanya terdapat satu hadis yang merupakan asbab alwurud dari al-Quran surat al-Nisā ayat 94.
42
Telah menceritakan kepadaku „Ali bin „Abdullah Telah menceritakan kepada
kami Sufyan dari „Amru dari „Atha dari Ibnu „Abbas RA. mengenai firman
Allah: “Dan janganlah kamu mengatakan kepada orang yang mengucapkan
salam kepadamu: „Kamu bukan seorang mu‟min.” (Qs. Al-Nisā: 94) Ibn
„Abbas berkata; “Beberapa orang Muslim menemui seseorang yang tengah
berada di kambing-kambing miliknya lalu ia mengucapkan: “al-salāmu
„alaikum.” Namun mereka menangkapnya lalu membunuhnya kemudian
mengambil kambing-kambing tersebut, hingga ayat; “dengan harapan kalian
mendapatkan kekayaan dunia, yaitu kambing-kambing itu. Ibn Abbas
membacanya; “al-Salāma.”43
Hadis ini merupakan asbab al-wurud dari Surat Al-Nisā ayat 94. Dalam suatu
penyerangan ke salah satu negeri musuh, terdapatlah seorang laki-laki dengan harta
Al-Asqalani, Ibn Hajar. Fath al-Baari Sharah: Ṣ ahih Bukhari, Juz 30, Penerjemah:
Amiruddin. (Jakarta: Pustaka Azzam, 2008), h. 139
42
Ṣ ahih al-Bukhari, Kitab : Tafsir Al Qur`an, Bab : [Bab] Surat al-Nisā` ayat 94, No. Hadis :
4225, (CD Lidwa Pustaka)
43
Hadis ini merupakan hadis ṣ aḥ iḥ karena diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari.
41
58
bendanya. Orang itu mengucapkan “Al-salāmu „alaikum.” Tetapi pasukan Muslim
tidak mempedulikan salam dari orang itu, dia langsung dibunuh. Hal ini disampaikan
kepada Rasulullah dan harta bendanya diserahkan kepada beliau. Maka turunlah ayat
ini, di antaranya yang menyinggung harta itu: “Karena karena kamu mengharapkan
harta dunia.”
Surat Al-Nisā ayat 94 ini merupakan himbauan agar tidak semberono dan
terburu nafsu, tetapi hendaklah teliti dan hati-hati. Jangan sampai orang yang tidak
bersalah menerima akibat dari hawa nafsu semata.
Apabila orang kafir mengucapkan salam, tandanya dia telah meminta damai,
tetapi dia tetap dibunuh dan diambil harta bendanya. Bisa saja orang itu sebenarnya
telah masuk Islam, tetapi karena alasan tertentu dia menyembunyikan ke-Islamannya. Bukankah dulu juga orang-orang Muslim ini kafir, lalu mereka diberi petunjuk
untuk masuk Islam dengan alasan yang beragam.44
Ayat ini merupakan celaan yang keras tetapi dilakukan dengan cara halus oleh
Allah. Yaitu janganlah kamu terburu-buru membunuh orang yang telah mengucapkan
salam kepadamu lalu menuduhnya belum Islam, karena kamu mengharapkan dengan
sebab kematiannya itu hendak merampas harta bendanya. Sebab di dalam peperangan
halal mengambil harta rampasan (ghanimah) dari musuh. Jangan sampai terburu
menghilangkan jiwa karena mengharapkan hartanya, karena harta hanyalah kekayaan
sementara dunia, tidak bersifat kekal. Yang kekal hanyalah takwa dan amal salih.
Harta tidak hanya didapatkan dari ghanimah saja, Allah dapat membukakan banyak
44
Hamka. Tafsir al-Azhar, Juz V. (Jakarta: Pustaka Panji Mas, 1985) h. 213
59
pintu lain sebagai sumber harta, yang bisa di dapatkan dengan usaha yang sungguhsungguh.45
45
Hamka. Tafsir al-Azhar, Juz V. (Jakarta: Pustaka Panji Mas, 1985) h. 212
BAB IV
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Kesimpulan dari pembahasan hadis tematik mengenai salam terhadap nonMuslim adalah:
1. Ketika non-Muslim mengucapkan salam kepada seorang Muslim, maka
diperbolehkan untuk menjawab salam tersebut dengan ucapan “wa
„alaikum” atau “wa „alaika” atau menjawab sesuai dengan yang mereka
ucapkan.
2. Mengenai membalas surat dari non-Muslim yang disertakan dengan
salam, hadis membolehkan menjawab salam tersebut.
3. Secara kontekstual, hadis yang melarang umat Muslim untuk memulai
salam kepada non-Muslim datang ketika sedang terjadi permusuhan antara
Muslim dan non-Muslim. Sehingga untuk hal-hal yang terkait dengan
kekerabatan, persahabatan, ketetanggaan, perjalanan, atau keperluan
lainnya, kita tetap diperbolehkan memulai salam kepada non-Muslim.
4. Hadis membolehkan memberi salam di dalam majlis perkumpulan umat
Muslim dan non-Muslim.
5. Diperbolehkan menyertakan salam dalam surat yang ditujukan kepada
non-Muslim.
59
60
6. Nabi melarang menarik ucapan salam yang diucapkan kepadan nonMuslim yang diduga sebagai orang Muslim.
7. Nabi melarang mengucapkan dan menjawab salam kepada orang yang
berdosa selama lima puluh hari, atau selama orang itu belum bertaubat
atas dosa yang telah dilakukannya.
8. Jika ada non-Muslim yang mengucapkan salam, janganlah mengatakan
kepadanya “Kamu bukanlah seorang Muslim” lantas membunuhnya.
B. SARAN
Islam adalah agama yang menjunjung tinggi toleransi antar umat beragama,
tidak hanya sekedar toleransi terhadap sesama muslim saja. Setiap Muslim dituntut
agar memperlakukan semua manusia dengan kebajikan dan keadilan, walaupun
mereka tidak mengakui agama Islam, selama mereka tidak menghalangi
penyebarannya, tidak memerangi para penyerunya dan tidak menindas para
pemeluknya
Penulis menghimbau kepada para pembaca agar senantiasa menanamkan
sikap toleransi dalam kehidupan sehari-hari agar terwujud kehidupan yang damai dan
tentram. selain itu juga untuk mencerminkan bahwa Islam adalah agama yang damai
dan mencintai perdamaian.
61
Penulis menyadari bahwa dalam tulisan ini masih banyak kekurangan, oleh
sebab itu saran dan kritik yang membangun sangat penulis harapkan sebagai bahan
perbaikan untuk penulisan karya ilmiah kedepannya.
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad, Arifuddin. Metode Tematik dalam Pengkajian Hadis. Makassar: Rapat Senat
Luar Biasa UIN Alauddin Makassar.
Anshari, Endang Saefuddin. Wawasan Islam Pokok-Pokok Fikiran tentang Islam dan
Umatnya. Jakarta: Rajawali, 1986.
Asmaran As, Pengantar Studi Akhlaq Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1994.
Al-Asqalani, Ibn Hajar. Fath al-Baari Sharah: Ṣ ahih Bukhari, Juz 30, Penerjemah:
Amiruddin. Jakarta: Pustaka Azzam, 2008.
Al-Baqi, Muhammad Fu’ad ‘Abd. Miftāh Kunūz al-Sunah. Lahore: Idharoh
Tarjamanu al-Sunah,1931.
al-Bukhari, Al-Imam al-Hafiẓ Muhammad bin Isma‘il. al-Ada al-Mufrad. Beirut:
Dār al-Kitab al-‘Ilmiah, 1990 M/ 1410 H.
Dahlan, Abdul Aziz. Ensiklopedi Hukum Islam, Jilid I. Jakarta: Ichtiar Baru Van
Hoeve, 1996.
al-Dahlawī, Abd Haq Ibn Saifuddin. Muqaddimah fī Ușȗ l al-Hadīs, Cet. II. Bairut:
Dār al-Basyāir al-Islāmiyah, 1406 H/1989 M.
Depdikbud, Kamus Besar Bahasa Indonesia, cet. I. Jakarta: Balai Pustaka, 1998.
Dirks, Jerald F. Abrahamic Faiths: Titik Temu dan Titik Seteru antara Islam, Kristen
dan Yahudi, terj. Santi Indra Astuti. Jakarta: PT Serambi Ilmu Semesta, 2006.
al-Farmāwī, Abd al-Hayy. al-Bidāyah fī al-Tafsīr al-Maudȗ ’ī Dirāsah Manhajiah
Maudȗ ’iyah. diterj. Rosehan Anwar dan Maman Abd Jalil, Metode Tafsir
Maudhui. Cet. I. Bandung: Pustaka Setia, 1423 H/2002 M.
Hamka. Tafsir al-Azhar, Juz 5. Jakarta: Pustaka Panji Mas, 1985.
Tafsir al-Azhar, juz 28. Jakarta: Pustaka Panji Mas, 2000.
Ibn Basyuni, Abu Hajar Muhammad al-Sa‘id. Mausu‘ah al-Aṭ raf al-Ḥ adith alNabawi al-Sharif, jilid.1. Beirut: Dār al-Kitab al-‘Ilmiyah. tt
62
63
Ibn Qayyim. Ahkamu Ahl al-Dhimmah. CD al-Maktabah al-Syamilah, Global Islamic
Software, 1991-1997
Ibn Zakariya, Abu al-Husain Ahmad Ibn Faris. Mu‘jam Maqayis al-Lughah, jilid 3.
Cairo: Maktab Ibn Mandhur, Lisan al-‘Arab. Beirut: Dar al-Fikr. tt
Jacob, Tom. Syalom, Salam, Selamat: Beberapa Refleksi Kritis mengenai Soteriologi.
Yogyakarta: Kanisius, 2007.
Kartanegara, Mulayadi. Islam: Buat yang Pengen Tahu. Erlangga, 2007.
Kusaeri, Ahmad. Akidah Akhlak. Bandung: Grafindo Media Pratama, 2008.
Lembaga Ilmu Dakwah dan Publikasi Sarana Keagamaan, Ensiklopedi Hadis Kitab 9
Imam. CD Lidwa Pustaka. 2010
al-Madiny, Al-Muttaqi al-Syadzaily. Kanz al-‘Umal fi Sunan al-Aqwal wa al-Af‘al.
Beirut: Muassasah al-Risalah, 1409 H.
al-Mubarakfuriy, Imam al-Hafiẓ Abi al-‘ula Muhammad ‘Abdurrahman Ibn
‘Abdurrahim. Tuhfat al-Ahwadhi bi Sharh Jāmi‘ al-Tirmidhi. Beirut: Daar alKutb al-‘Alamiyah, 1410 H-1990 M.
Mujani, Saiful. Muslim Demokrat: Islam, Budaya Demokrasi, dan partisipasi politik
di Indonesia Pasca-Orde Baru. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, tt.
Munawir, Warson. Al-Munawir, cet ke 14. Surabaya: Pustaka Progressif, 1997.
Al-Nawawi. Sharah al-Nawawi ‘ala Muslim. CD al-Maktabah al-Syamilah, Global
Islamic Software, 1991-1997.
Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahas, Kamus Besar Bahasa Indonesia.
Jakarta: Balai Pustaka, 1994.
Qardhawi, Yusuf. Fatwa-fatwa Kontemporer, Penerjemah: As‘ad Yasin. Jakarta:
Gema Insani Press, 1995.
Fiqh al-Jihad: Dirasah Muqaranah li Aḥ kamihi wa Falsafah fi Dhaʻ u alQuran wa al-Sunnah, penerjemah: Irfan Maulana Hakim, dkk. Bandung:
Mizan Pustaka, 2010.
al-Qurthubi, Abu ‘Abd Allah Muhammad Ibn Ahmad al-Anshari. Al-Jami‘ li Aḥ kam
al-Quran, jilid 6 juz 11-12. Beirut: Dar al-Fikr, 1993
64
Tafsir al-Qurthubi, juz 18. Penerjemah; Dudi Rasyadi, dkk. Jakarta: Pustaka
Azzam, 2009.
Rifai, Ahmad. Konsep al-Quran tentang al-Salam. Tesis UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta, 2005.
Al-Shidiqie, Hasbi. Mutiara Hadis, jilid VII.
Shihab, Muhammad Quraish. Menyingkap Tabir Ilahi: Asma al-Husna dalam
Perspektif al-Quran, cet.IV. Jakarta: Lentera Hati, 2001.
Tafsir al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian al-Quran, vol.7. Jakarta:
Lentera Hati, 2002.
Secercah Cahaya Ilahi: Hidup Bersama al-Quran. Bandung: Mizan Pustaka,
2007.
Syadzili, Ahmad Fawaidz. Ensiklopedi Tematis al-Quran, terj. jilid 3. Jakarta: PT
Kharisma Ilmu, tt.
Sylado, Remi. Mimi Lan Mintuna: Trafiking Perempuan Indonesia.
Tim penulis Paramadina, Fiqih Lintas Agama: Membangun Masyarakat InklusifPluralis. Jakarta: Paramadina, 2004.
‘Ulwan, Abdullah Nashih. Konsep Islam Terhadap Non-Muslim, Penerjemah: Kathur
Suhardi. Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 1996.
Wensinck, Arnold John. Mu‘jam Al-Mufaḥ ras Li Alfāẓ al-Hadith al-Nabawī. Jilid 5.
Leiden: Maktabah Barbal 1936.
Yasid, Abu. Islam Moderat. Makasar: Erlangga. 2014
LAMPIRAN
TAKHRIJ HADIS
1. Bagaimana menjawab salam Ahl al-Dhimmah
a. Sumber : Ṣ aḥ iḥ al-Bukhari, Kitab : Meminta Izin, Bab : Bagaimana
menjawab salam Ahl al-Dhimmah, No. Hadis : 5788
b. Sumber : Ṣ aḥ iḥ al-Bukhari, Kitab : Meminta taubat orang-orang murtad dan
para pembangkan serta memerangi mereka, Bab : Jika Ahl al-Dhimmah
mencela Nabi SAW, No. Hadis : 6414
65
66
c. Sumber : Ibn Majah, Kitab : Adab, Bab : Menjawab salam Ahl al-Dhimmah,
No. Hadis : 3687
d. Sumber : Ibn Majah, Kitab : Adab, Bab : Menjawab salam Ahl al-Dhimmah,
No. Hadis : 3688
e. Sumber : Musnad Ahmad, Kitab: Musnad sahabat yang banyak meriwayatkan
hadis , Bab : Musnad Abdullah bin Umar bin al-Khatthab RA, No. Hadis :
4970
67
2. Larangan Memulai Salam kepada non-Muslim
Sumber : Tirmidhi, Kitab : Meminta izin dan Adab, Bab : Mengucapkan
salam untuk Ahl al-Dhimmah, No. Hadis : 2624
3. Memberi Salam dalam Majlis yang Berisi Kaum Muslim dan Musyrik
Sumber : Ṣ aḥ iḥ Muslim, Kitab : Jihad dan ekspedisi, Bab : Do‘a Nabi
kepada Allah dan kesabarannya dalam menghadapi gangguan orang-orang
Munafik, No. Hadis : 3356
68
4. Bagaimana Menulis Surat Kepada non-Muslim
a. Sumber : Ṣ aḥ iḥ Muslim, Kitab : Jihad dan ekspedisi, Bab : Surat Nabi SAW
kepada Hiraclius, No. Hadis : 3322
69
70
71
b. Sumber : Tirmidhi, Kitab : Meminta izin dan Adab, Bab : Bagaimana menulis
untuk pelaku kesyirikan, No. Hadis : 2641
c. Sumber : Sunan Abu Daud, Kitab : Adab, Bab : Bagaimana menulis surat
kepada Ahl al-Dhimmah, No. Hadis : 4470
72
5. Tidak boleh memberi dan menjawab salam kepada orang yang berdosa
a. Sumber : Ṣ aḥ iḥ al-Bukhari, Kitab : Hukum-hukum, Bab : Bolehkah imam
berhak mencegah orang berdosa dan pelaku kemaksiatan dari bicara?, No.
Hadis : 6684
b. Sumber : Sunan Abu Daud, Kitab : Sunnah, Bab : Menjauhi dan benci
terhadap ahli ahwa` (pengikut hawa nafsu), No. Hadis : 3984
73
6. Larangan Membunuh non-Muslim yang memberi Salam
Sumber : Ṣ aḥ iḥ Muslim, Kitab : Tafsir, Bab : Bab, No. Hadis : 5350
Download