Penggunaan Metode Bermain Peran (Role Play) dalam

advertisement
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Empati
2.1.1. Pengertian Empati
Istilah “empati” berasal dari kata Einfuhlung yang digunakan oleh seorang
psikolog Jerman, secara harfiah berarti “merasa terlibat” (Tubbs, 2000:2)). Eisenberg
(2002 : 9) menyatakan empati adalah sebuah respons afektif yang berasal dari
penangkapan atau pemahaman keadaan emosi atau kondisi lain, dan yang mirip dengan
perasaan orang lain. Sebuah respons afektif, yaitu sebagai situasi orang lain dari situasi
diri sendiri. Empati juga sebagai kemampuan untuk meletakkan diri sendiri dalam posisi
orang lain dan mampu menghayati pengalaman orang lain tersebut. Sedangkan
penangkapan atau pemahaman keadaan emosi, yaitu dimana empati terjadi ketika
seseorang dapat merasakan apa yang dirasakan orang lain namun tetap tidak kehilangan
realitas dirinya. Hal ini berarti emosi yang tergugah untuk ikut merasakan apa yang
orang lain rasakan tidak lantas membuat seseorang menjadi kehilangan identitas dan
sikap dirinya.
Salah satu kemampuan seseorang agar berhasil berinteraksi dengan orang lain
adalah empati. Sari (2003 : 83) mengatakan bahwa tanpa kemampuan empati orang
dapat menjadi terasing, salah menafsirkan perasaan sehingga mati rasa atau tumpulnya
perasaan yang berakibat rusaknya hubungan. Selanjutnya dikatakan salah satu wujud
kurangnya empati adalah ketika seseorang cenderung menyamaratakan orang lain
dengan dirinya, bukan memandang sebagai individu yang unik. Dalam kamus psikologi,
empati diartikan sebagai pemahman terhadap pikiran-pikiran dan perasaan-perasan
10
orang lain dengan cara menempatkan diri kedalam kerangka pedoman psikologis orang
lain tersebut (Setiawati, 2007 : 2). Menurut Gunarsa (2000 : 80) empati dianggap
sebagai salah satu cara yang efektif dalam usaha mengenali, memahami, dan
mengevaluasi orang lain.
Menurut Eisenberg dan Strayer (1990 : 4-5), empati didefinisikan sebagai usaha
seseorang menyadari diri untuk memahami pengalaman positif dan negative dari orang
lain. Empati juga merupakan respon emosional yang berasal dari kondisi emosi orang
lain dan hal itu sama dengan situasi emosi orang lain. Selanjutnya Goleman (2003 :
136), menambahkan tentang faktor konstitusional dan terutama dari keturunan. Dengan
demikian cara merespon dari empati yang dirasakan seseorang berbeda antara satu
orang dengan yang lain.
Selanjutnya Eisenberg (2002) menyatakan bahwa tiadanya attunement
(penyesuaian diri) dalam jangka panjang antara orang tua dan anak akan menimbulkan
kerugian emosional yang sangat besar bagi si anak. Apabila orang tua terus menerus
gagal memperlihatkan empati apa pun dalam bentuk emosi tertentu (kebahagiaan,
kesedihan, kebutuhan membelai) pada anak, anak akan mulai menghindar untuk
mengungkapkannya.
Selanjutnya Eisenberg (2002) juga menyatakan empati penting bagi individu,
karena dengan empati seseorang dapat:
a) Menyesuaikan diri
Empati mempermudah proses adaptasi karena ada kesadaran dalam diri
bahwa sudut pandang setiap orang berbeda. Orang yang memiliki rasa empati yang
baik, maka penyesuaian dirinya akan dimanifestasikan dalam sifat optimis dan
fleksibel.
b) Mempercepat hubungan dengan orang lain
Jika setiap orang berusaha untuk berempati, maka setiap individu akan
mudah untuk merasa diterima dan dipahami oleh orang lain.
11
c) Meningkatkan harga diri
Empati dapat meningkatkan harga diri seseorang. Dimulai dari peran empati
dalam hubungan sosial. Hubungan sosial merupakan media berkreasai dan
menyatakan identitas diri.
d) Meningkatkan pemahaman diri
Kemampuan memahami perasan orang lain dan menunjukkannya cara
berkomunikasi tanpa harus secara nyata terlibat dalam perasaan orang lain,
menyebabkan seorang individu sadar bahwa orang lain dapat melakukan penilaian
berdasarkan perilakunya. Hal itu menyebabkan individu lebih sadar dan
memperhatikan pendapat orang lain tentang dirinya. Melalui proses tersebut akan
terbentuk pemahaman diri yang terjadi dengan perbandingan sosial yang dilakukan
dengan membandingkan diri sendiri dengan orang lain.
Disisi lain Carl Rogers 1975 (dalam Cotton, 2001) pentingnya empati dalam
pembelajaran, empati menjadi terbukti bagian penting juga dalam proses belajar
mengajar. Untuk menjadi pengajar yang efektif, orang perlu memiliki kemampuan ini.
Seorang pengajar memerlukan empati untuk memahami kondisi muridnya untuk dapat
membantunya belajar dan memperoleh pengetahuan. Pengajar yang tidak memahami
perasaan-perasaan, pikiran-pikiran, motif-motif dan orientasi tindakan muridnya akan
sulit untuk membantu dan memfasilitasi kegiatan belajar murid-muridnya.
Berdasarkan pengertian empati dari Eisenberg (2002) dapat ditarik kesimpulan
bahwa empati adalah keadaan seseorang memahami perasaan orang lain yang seolaholah dialami individu itu sendiri yang berasal dari keadaan atau kondisi emosi orang
lain yang mirip dengan keadaan atau emosi orang tersebut.
Empati
merupakan
bagian
penting
social
competency
(kemampuan
sosial).Empati juga merupakan salah satu dari unsur-unsur kecerdasan sosial. Ia terinci
dan berhubungan erat dengan komponen-komponen lain, seperti empati dasar,
penyelarasan, ketepatan empatik dan pengertian sosial. Empati dasar yakni memiliki
12
perasaan dengan orang lain atau merasakan isyarat-isyarat emosi non verbal.
Penyelarasan yakni mendengarkan dengan penuh reseptivitas, menyelaraskan diri pada
seseorang. Ketepatan empatik yakni memahami pikiran, perasaan dan maksud orang
lain dan pengertian sosial yakni mengetahui bagiamana dunia sosial bekerja (Goleman,
Daniel, 2007 :114)
Empati merupakan proses yang penting, tidak hanya dalam
membentuk karakter tetapi juga dalam membaca permainan-permainannya. Empati
berkenaan dengan “sensitivitas” yang bermakna sebagai suatu kepekaan rasa terhadap
hal-hal yang berkaitan secara emasional. Kepekaan rasa ini suatu kemmpuan dalam
bentuk mengenali dan mengerti perasaan orang lain ( Setiawati dkk, 2007 : 2).
Menurut Ubaydillah (2005) empati adalah kemampuan seseorang dalam
menyelami perasaan orang lain tanpa harus tenggelam di dalamnya. Empati adalah
kemampuan kita dalam mendengarkan perasaan orang lain tanpa harus larut.
Rumusan lain dari pengertian empati adalah sebagai perpaduan antara kualitas
berfikir dan perasaan. Selain itu, Sari dkk (2003 : 83-83) mengatakan bahwa empati
adalah kemampuan individu untuk menempatkan diri dalam memahami kondisi atau
keadaan pikiran, sifat serta perasaan orang lain, mengendalikan diri, ramah, dan
humanis.
Dalam kamus Oxford berempati diartikan sebagai kemampuan memproyeksikan
diri dan memahami sedemikian penuh
hingga kehilangan identitas dirinya. Dari
pengertian tersebut, maka ada tiga cirri pokok empati, yaitu: kemanapuan
memproyeksikan dirinya pada sesuatu atau seseorang, kemampuan memahami sepenuh
hati, dan hilangnya identitas diri ( Setiawati dkk, 2007 : 1). Menutut Batson dkk (
13
dikutip Eisemberg dan Strayer. 1990 : 146), empati didefinisikan sebagai perasaan yang
ditunjukkan dengan sikap, merasa kasihan, dan kelembutan sebagai akubat dari
menyaksikan penderitaan orang lain.
Dengan empati seseorang berusaha melihat seperti apa yang orang lain
lihat, merasakan seperti apa yang orang lain rasakan. Empati memerlukan kerjasama
antara kemampuan menerima, memahami secara kognitif dan afektif. Komponen
kognitif melibatkan pemahaman terhadap perasaan orang lain, baik melalui tandatanda atau proses hubungan yang simpel maupun pengambilan perspektif yang
kompleks. Selamjutnya empati juga melibatkan kemampuan afektif, yaitu respon
emosional yang sesuai ( Sari dkk, 2003 : 83-84). Menurut teori Titchener (dikutip
dalam Goleman, 2003 : 139) empati berasal dari semacam peniruan fisik atas beban
orang lain, yang kemudian menimbulkan perasaan yang serupa dalam diri
seseorang. Lebih lanjut Eisenberg dan Strayer (1990 : 390) menyatakan bahwa
empati diperlukan perasaan dalam diri seseorang dan perasaan-perasaan orang lain.
Menurut (Bullmer), empati adalah suatu proses ketika seseorang merasakan
perasaan orang lain dan menangkap arti perasaan itu, kemudian mengkomunikasikannya
dengan kepekaan sedemikian rupa hingga menunjukkan bahwa ia sungguh-sungguh
mengerti perasaan orang lain itu. Bullmer menganggap empati lebih merupakan
pemahaman terhadap orang lain ketimbang suatu diagnosis dan evaluasi terhadap orang
lain. Empati menekankan kebersamaan dengan orang lain lebih daripada sekadar
hubungan yang menempatkan orang lain sebagai obyek manipulatif.
14
(Taylor) menyatakan bahwa empati merupakan faktor esensial untuk
membangun hubungan yang saling memercayai. Taylor memandang empati sebagai
usaha menyelam ke dalam perasaan orang lain untuk merasakan dan menangkap makna
perasaan itu. Empati memberikan sumbangan guna terciptanya hubungan yang saling
memercayai karena empati mengkomunikasikan sikap penerimaan dan pengertian
terhadap perasaan orang lain secara tepat.
Sedangkan (Alfred Adler) menyebut empati sebagai penerimaan terhadap
perasaan orang lain dan meletakkan diri pada tempat orang itu. Empathy berarti to feel
in, berdiri sebentar pada sepatu orang lain untuk merasakan betapa dalamnya perasaan
orang itu. Berempati tidak melenyapkan kedirian individu. Perasaan individu sendiri
takkan hilang ketika individu mengembangkan kemampuan untuk menerima pula
perasaan orang lain yang juga tetap menjadi milik orang itu. Menerima diri orang lain
pun tidak identik dengan menyetujui perilakunya. Meskipun demikian, empati
menghindarkan tekanan, pengadilan, pemberian nasihat apalagi keputusan. Dalam
berempati, kita berusaha mengerti bagaimana orang lain merasakan perasaan tertentu
dan mendengarkan bukan sekadar perkataannya melainkan tentang hidup pribadinya:
siapa dia dan bagaimana dia merasakan dirinya dan dunianya.
Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa definisi empati adalah
kemampuan individu yang melibatkan aspek-aspek kognitif dan afektif dalam diri
individu untuk menempatkan diri dalam memgenali, memahami, mengerti, dan
menerima dengan sepenuh hati akan adanya perasaan, pikiran, pandangan, dan
pengalaman positif maupun negative dari orang lain sehingga timbul perasaan toleransi,
15
menghargai perasaan orang lain, mengendalikan diri, ramah, dan humanis. Kemampuan
berempati, yaitu kemampuan untuk mengetahui bagaimana perasaan orang lain.
2.1.2. Aspek-aspek yang mempengaruhi empati empati
Menurut Eisenberg (2002), bahwa dalam proses individu berempati melibatkan
aspek afektif dan kognitif.
a.
Aspek afektif : Aspek afektif merupakan kecenderungan seseorang untuk
mengalami perasaan emosional orang lain yaitu ikut merasakan ketika orang lain
merasa sedih, menangis, terluka, menderita bahkan disakiti.
b.
aspek kognitif : Aspek kognitif dalam empati difokuskan pada proses intelektual
untuk memahami perspektif / sudut pandang orang lain dengan tepat dan menerima
pandangan mereka, misalnya membayangkan perasaan orang lain ketika marah, kecewa,
senang, memahami keadaan orang lain dari; cara berbicara, dari raut wajah, cara
pandang dalam berpendapat.
Secara umum empati merupakan reaksi individu untuk turut mengalami
pengalaman yang dirasakan oleh orang lain. Mark H. Davis (dalam Spiro dan Weitz
1990 : 63) membagi empat reaksi individu tersebut sebagai aspek dalam kemampuan
empati, empati tipe tersebut meliputi :
a.
Perspektive taking, yaitu kencenderungan individu untuk mengambil alih secara
spontan sudut pandang orang lain. Aspek ini mengukur sejauh mana seorang individu
mampu memandang kejadian sehari-hari dari perspektif orang lain.
16
b.
Fantasy, yaitu kecenderungan seorang individu untuk mengubah diri ke dalam
perasaan dan tindakan dari karakter-karakter kayalan yang terdapat pada buku-buku,
layar kaca, bioskop maupun dunia permainan.
c.
Emphatic concern, yaitu orientasi seseorang individu terhadap orang lain, yang
berupa perasaan simpati, kasihan, dan peduli terhadap orang lain yang tertimpa
kemalangan. Aspek ini merupakan cerminan dari perasaan kahangatan dari simpati
yang erat kaitannya dengan kepekaan dan kepedulian terhadap orang lain.
d.
Personal distress, yaitu orientasi seseorang terhadap dirinya sendiri yang meliputi
perasaan cemas dan gelisah dalam situasi interpersonal.
2.1.3. Proses dalam empati
Dalam penelitian Duan dan Hill ( dalam Trusty dkk, 2005 : 66) tentang
penelitian proses dan definisi empati dalam mekanisme kognitif dan afektif,
menghasilkan bahwa ada tiga proses umum, yaitu :
a.
Proses kognitif atau intelektual. Empati kognitif digambarkan sebagai
kemampuan intelektual menilai pandangan orang lain.
b.
Proses afeksi atau emosional. Empati emosional sebagai respon emosi untuk
emosi orang lain, maksudnya merasakan apa yang dirasakan orang lain.
c.
Proses yang meliputi fenomena kognitif dan afektif.
Selanjutnya Feshbach ( dikutip dalam Eisenberg dan strayer, 1990 : 9) juga
mengutarakan dua tipe proses kognitif yang diperlukan dalam empati, yaitu :
17
a.
Kemampuan untuk membedakan dan menamai (label) perasaan orang lain.
b.
Kemampuan untuk menerima pandangan dan peran orang lain.
Berdaskan uraian diatas, maka dapat disimpulkan bahwa proses empati ada tiga,
yaitu proses kognitif, afektif, dan proses campuran dari keduanya.
2.1.4. Faktor-faktor yang mempengaruhi empati
Menurut Sharon (1999 : 208) menyebutkan bahwa ada dua faktor yang
mempengaruhi empati, yaitu :
a. Kematangan kognitif
Faktor kematangan kognitif berpengaruh terhadap kemampuan berempati,
sebab dalam memahami penderitaan orang lain deperlukan bukan hanya sekedar
proses berfikir, akan tetapi juga kematangan kognisi, sehingga bisa ikut
memahami penderitaan orang lain tanpa harus benar-benar mengalaminya.
b. Kesadaran akan kebaradaan orang lain
Dengan menyadari bahwa orang lain itu ada, seseorang tidak dapat hidup
tanpa orang-orang de sekelilingnya, maka diharapkan akan timbul sikap peduli
terhadap orang lain, yang merupakan sikap dasar empati.
Thomson (dalam Eisenberg dan Strayer 1987 : 135-137) juga menyebutkan faktorfaktor empati, yaitu :
a. Karakteristik kepribadian
Kemampuan berempati seseorang dipengaruhi oleh karakteristik
kepribadian yang dimiliki oleh seseorang dengan yang lain berbeda. Oleh
karena itu perkembangan empati seseorang tidak sama antara satu dengan yang
lain, tergantung pada karakteristik kepribadian yang dimiliki individu. Hal
tersebut mempengaruhi penyesuaian dirinya, sehingga individu dengan
kepribadian tipe A akan lebih mudah berempati pada individu lain.
b. Lingkungan teman sebaya
Hubungan teman sebaya ini mencangkup keterlibatan dengan teman sebaya
termasuk didalamnya adalah hubungan dengan saudara kandung. Semakun dekat
hubungan denga teman sebaya, seseorang akan semakin mampu
mengekspresikan kemampuan empatinya.
18
2.1.5.
Menumbuhkan dan Mengembangkan Empati Usaha untuk menumbuhkan
empati menurut Eisenberg (2002)) :
1.
2.
3.
4.
Menceritakan apa dan mengapa perasaan orang. Empati dapat ditumbuhkan
dengan menceritakan apa dan mengapa seseorang mengalami sesuatu. Seseorang
akan lebih mudah turut merasa dengan orang lain kalau orang itu memunyai
informasi tentang apa yang dirasakan orang itu (what the person feels).
Selanjutnya, orang akan lebih bersedia untuk berempati kalau ia mengerti
mengapa orang itu merasa seperti yang dirasakannya (why he feels as he does).
Informasi yang paling efektif untuk membangkitkan empati adalah informasi
mengenai apa yang sedang diperjuangkan orang itu dan apa perjuangannya
untuk mencapai tujuannya.
Menyatakan kesenangan, pujian, atau penghargaan. Selanjutnya, orang tua,
pendidik lainnya, atau guru perlu menopang kesediaan anak untuk berempati
dengan menyatakan kesenangan, pujian, atau penghargaan mereka atas empati
yang ditunjukkannya.
Menunjukkan akibat dari perbuatan anak terhadap perasaan orang lain. Orang
tua yang secara konsisten bereaksi terhadap perbuatan negatif anaknya dengan
menunjukkan pada perasaan yang telah ditimbulkannya pada orang tersebut,
cenderung memunyai anak yang lebih sanggup memahami sudut pandang orang
lain, lebih empatik, dan lebih bersedia berbuat baik.
Mendorongan pada anak untuk berbuat baik akan datang dari diri anak itu
sendiri. Di sini, empati akan bertindak sebagai pencetus untuk disiplin diri.
Upaya yang dapat dilakukan untuk mengembangkan empati menurut Eisenberg
(2002) upaya-upaya tersebut yaitu sebagai berikut:
a.
b.
c.
d.
e.
f.
g.
Menyadari sepenuhnya emosi, semakin terbuka seseorang terhadap emosinya
maka akan semakin ia membaca perasaan seseorang.
Belajar mendengar pendapat orang lain, memberikan kesempatan kepada orang
lain untuk menyelesaikan apa yang dikatakannya kemudian mengajukan
pertanyaan sebelum memberikan penilaian.
Memperhatikan orang lain di jalan, di restoran dan di bus dan mencoba
memahami perasaannya melalui raut mukanya.
Menilai orang lain tidak hanya didasarkan pada tampak luar saja. Mengetahui
sikap dasar seseorang, melalui pembicaraan dan tanya jawab yang menarik.
Melihat film pendek di televisi dan mencoba memperkirakan pokok persoalan
yang dibicarakan. Untuk itu setiap diri perlu menempatkan diri dalam adegan
itu.
Role Play atau bermain peran. Teknik bermain peran dinilai sebagai teknik
yang efektif dan akan membantu seeorang membentuk pemahaman yang
lebih dalam.
Menganalisis perbedaan dalam suatu pembicaraan yang bertentangan dengan
pendapat yang kita sampaikan.
19
h.
i.
j.
k.
Bertanya pada diri sendiri mengapa dalam situasi tertentu memberikan reaksi
tertentu untuk mengetahui latar belakang tingkah laku sendiri, akan mudah
untuk menempatkan diri dalam kedudukan orang lain.
Mencari sebab-sebab dalam diri sendiri ketika tidak menyukai seseorang.
Mencoba mencari sebanyak mungkin keterangan tentang seseorang sebelum
melakukan penilaian terhadap orang itu. Jika kita mengetahui mengapa
seseorang mempunyai tingkah laku tertentu, maka kita akan dapat menilainya
dengan lebih tepat dan bagaimanana sikap kita terhadapnya akan menjadi lebih
sesuai.
Mengingat setiap orang dipengaruhi oleh perasaan dan perilakunya.
Berdasarkan uraian tentang upaya menumbuhkan dan mengembangkan empati
yang dikemukakan oleh Eisenberg (2002) pada intinya harus dapat memahami
perasaan orang lain dalam keadaan senang maupun sedih.
2.2. Pengembangan Empati Melalui Teman Sebaya
Dalam kamus konseling (Sudarsono,1997:31), teman sebaya berarti. temanteman yang sesuai dan sejenis, perkumpulan atau kelompok pra puberteit yang
mempunyai sifat- sifat tertentu dan terdiri dari satu jenis. Sedangkan pengertian
kelompok menurut Billig, (Sarwono,2005: 22) yaitu sebagai kumpulan orang- orang
yang anggota- anggotanya sadar atau tahu akan adanya satu identitas sosial bersama.
Menurut Johnson (Sarwono, 2005: 23) Kelompok adalah kumpulan dua orang individu
atau lebih yang berinteraksi tatap muka, yang masing- masing menyadari
keanggotaanya dalam kelompok, masing- masing menyadari keberadaan orang lain
yang juga anggota kelompok dan masing- masing menyadari saling ketergantungan
secara positif dalam mencapai tujuan bersama. Dari beberapa pengertian di atas dapat
disimpulkan bahwa kelompok adalah kumpulan dua orang atau lebih yang saling
berkaitan, berinteraksi dan saling mempengaruhi dalam perilaku untuk mencapai tujuan
bersama.
Teman sebaya atau peers adalah anak-anak dengan tingkat kematangan atau
usia yang kurang lebih sama. Salah satu fungsi terpenting dari kelompok teman sebaya
20
adalah untuk memberikan sumber informasi dan komparasi tentang dunia di luar
keluarga. Melalui kelompok teman sebaya anak-anak menerima umpan balik dari
teman-teman mereka tentang kemampuan mereka. Anak-anak menilai apa-apa yang
mereka lakukan, apakah dia lebih baik dari pada teman-temannya, sama, ataukah
lebih buruk dari apa yang anak-anak lain kerjakan. Hal demikian akan sulit dilakukan
dalam keluarga karena saudara-saudara kandung biasanya lebih tua atau lebih muda
(bukan sebaya) (Santrock, 2004 : 287).
Penelitian yang dilakukan Willard Hartup (1996, 2000, 2001; Hartup &
Abecassiss, 2002; dalam Santrock, 2004 : 352) selama tiga dekade menunjukkan bahwa
sahabat dapat menjadi sumber-sumber kognitif dan emosi sejak masa kanak-kanak
sampai dengan masa tua. Sahabat dapat memperkuat harga diri dan perasaan bahagia.
Sejalan dengan hasil penelitian tersebut, Cowie and Wellace (2000 : 8) jugamenemukan
bahwa dukungan teman sebaya banyak membantu atau memberikan keuntungan kepada
anak-anak yang memiliki problem sosial dan problem keluarga, dapat membantu
memperbaiki iklim sekolah, serta memberikan pelatihan keterampilan sosial.
Menurut Widyana (dalam Faridah, 2005), sistem pendidikan yang ada lebih
mementingkan unsur kecerdasan intelektual dari pada kecerdasan emosional. Hal ini
menyebabkan terjadi ketidakseimbangan dalam diri anak. Sistem pendidikan yang ada
pada kenyataannya melahirkan sistem bank concept yaitu suatu metode guru sebagai
orang yang memiliki berbagai kelebihan, sementara anak didik dianggap tidak memiliki
pengetahuan apa-apa. Hal ini akan menyebabkan tidak adanya proses dialogis dalam
belajar mengajar, anak tidak dilibatkan secara afeksi maupun emosi, namun selalu
dituntut untuk berfikir hanya 6dalam tataran kognitif. Akibatnya adalah kurangnya
21
empati yang dimiliki oleh anak, sehingga ketika seorang anak menginginkan sesuatu
individu akan mengambil keputusan hanya dengan pertimbangan logis kognitif tanpa
melibatkan afeksi.
Kemampuan berempati anak akan berkembang seiring dengan bertambahnya
pengalaman hidup dan interaksi dengan individu-individu lain. Interaksi dengan teman
sebaya memiliki peran penting dalam proses sosialisasi anak yang berkaitan dengan
penerapan nilai yang dapat diterima oleh lingkungan sosial dalam suatu permainan
(Hetherington & Parke, 1999). Teman sebaya merupakan sumber informasi bagi
seorang anak untuk mengetahui nilai dan bagaimana bersikap baik dalam memainkan
suatu permainan melalui modelling dan reinforcement. Anak lain berfungsi sebagai
social model yang akan ditiru oleh anak dan pengukuh atas perilaku-perilakunya. Anak
memperoleh rentang pengetahuan yang luas dan bermacam respon dengan cara
mengobservasi dan melakukan imitasi perilaku teman sebayanya, dan dengan adanya
reinforcement atau penguat anak akan mampu menilai respon mana yang dapat diterima
oleh teman-temannya (Hetherington & Parke, 1999). Proses imitasi dan pengukuhan ini
biasanya diikuti dengan peningkatan interaksi teman sebaya yang pada akhirnya
diharapkan berpengaruh pada peningkatan kemampuan empati anak.
2.2.1. Hubungan empati dengan teman sebaya
Empati merupakan salah satu kecakapan seseorang dalam memahami pikiran
dan perasaan orang lain sedemikian pula sehingga seseorang itu biasa tahu apa yang
dipikirkan dan dirasakan orang lain, dan selanjutnya seseorang tersebut dapat bersikap
bijak sesuai dengan pikiran, perasaan dan keinginan orang lain tersebut tanpa
22
mengorbankan emosi atau perasaan diri sendiri. Setyawati (dalam Laksana, dkk., 2009)
mengemukan bahwa empati berkenaan dengan sensitivitas yang bermakna sebagai suatu
kepekaan rasa terhadap hal-hal yang berkaitan secara emosional. Kepekaan rasa ini
adalah suatu kemampuan dalam bentuk mengenali dan mengerti perasaan orang lain.
Dalam kehidupan sehari-hari, sensitivitas terdapat pada kemampuan bertenggang-rasa.
Ketika tenggang rasa sudah muncul pada diri seseorang maka akan diikuti dengan
munculnya sikap penuh pengertian dan peduli pada sesama.
Setiap orang mempunyai kemampuan yang berbeda-beda dalam berempati.
Reaksi empati terhadap orang lain seringkali berdasarkan pada pengalaman masa lalu.
Seseorang biasanya akan merespon pengalaman orang lain secara lebih empatik apabila
orang itu mempunyai pengalaman yang mirip dengan orang tersebut (Staub, 1978).
Kemampuan berempati juga dipengaruhi oleh kemampuan sosial kognitif yaitu
keterampilan memproses semua informasi yang ada dalam proses sosial. Ciri sifat
empati dalam diri seseorang akan menentukan perilakunya dalam merespon suatu
situasi. Beberapa penelitian Eisenberg dan Strayer (dalam 4 Pandiangan, 2005)
membuktikan bahwa empati memiliki peranan yang besar dalam menggerakkan
perilaku positif kepada orang lain. Selanjutnya penelitian lain membuktikan bahwa
individu yang memiliki empati yang tinggi lebih berorientasi kepada orang lain yang
mengalami kesulitan dan cenderung berusaha meringankan kesulitan orang lain dengan
cara membantu dan mengatasi permasalahan-permasalahan orang tersebut tanpa banyak
mempertimbangkan
pengorbanan
waktu,
tenaga,
dan
biaya
yang
harus
dikeluarkannya.Empati pada dasarnya telah ada dalam diri anak, tetapi jika tidak diasah
maka kemampuan ini akan hilang (Faridah, 2005). Oleh karena itu, empati sangat baik
23
jika ditanamkan sejak dini pada anak. Dengan empati, diharapkan anak mampu
merasakan apa yang dirasakan oleh orang lain dan belajar bahwa tidak setiap
keinginannya dapat terpenuhi.
2.3. Empati dalam Bimbingan dan Konseling
Dalam bimbingan dan konseling empati adalah sebuah kemampuan untuk
melihat, memahami, dan merasakan sesuatu hal yang terjadi pada diri orang lain dari
sudut pandang orang lain tersebut, bukan dari sudut pandang pribadi. Agar dapat
membantu siswa, maka guru pembimbing harus dapat memahami diri dan dunia
siswanya dari sudut pandang siswa. Guru pembimbing memberikan keyakinan pada diri
siswa bahwa guru pembimbing memahami keadaan dan perasaan siswa yang unik.
Siswa yang dihadapi biasanya hanya menampilkan diri mereka sebagian saja dan tidak
utuh. Bahkan seringkali siswa berusaha menutupi sebagian besar diri mereka. Siswa
jarang menampilkan dunia dalam diri mereka, kecuali teerhadap orang yang mereka
percayai. Orang yang mendapatkan kepercayaan ini adalah orang yang dapat memahami
dan merasakan isi pikiran, pengalaman hidup, maupun perasaan mereka. Keberhasilan
konseling sangat ditentukan oleh kemampuan guru pembimbing dalam berempati. Jika
guru pembimbing mampu berempati terhadap siswa, maka siswa nantinya akan lebih
terbuka. Dengan demikian, konseling pun akan berjalan dengan lebih lancar (Willis,
2004 : 24).
Keterampilan melakukan empati harus selalu dilatih, agar sebagai guru
pembimbing tetap peka terhadap berbagai emosi yang dirasakan siswa dan mudah
dalam memahami isi atau jalan pikiran mereka. Latihan berempati melibatkan
kemampuan memasuki dunia siswa melalui ungkapan-ungkapan empati yang sekiranya
24
dapat menyentuh perasaan dan memperlihatkan pada siswa akan kepedulian guru
pembimbing. Kemampuan guru pembimbing melakukan empati akan membuat siswa
bersikap terbuka. Dengan demikian, siswa akan bersedia mengungkapkan dunia dalam
dirinya dengan cara yang jauh lebih baik. Dunia dalam diri ini dapat berbentuk pikiran,
emosi, maupun pengalaman hidupnya yang tersembunyi, dan bahkan sisi kelam dalam
dirinya (Willis, 2004 : 30).
Menurut Winkel dan Sri Hastuti (2006) empati yaitu, empati mampu mendalami
pikiran dan menghayati perasaan siswa, seolah-olah konselor pada saat ini menjadi
siswa, tanpa terbawa-bawa sendiri oleh semua itu dan kehilangan kesadaran akan
pikiran serta perasaan pada diri sendiri. Dalam psikologi dan psikiatri yang berorientasi
humanistik, empati merupakan bagian penting dari teknik konseling. Rogers (1999)
merupakan salah satu tokoh awal yang menunjukkan pentingnya empati dalam proses
konseling (Cotton, 2001). Rogers mengungkapkan, berempati berarti mempersepsi
kerangka pikir internal orang lain secara tepat mencakup unsur-unsur emosional dan
cara-cara bertingkah laku, disertai dengan kepedulian seolah-olah diri sendiri adalah
orang lain yang sedang dipersepsi tetapi
tanpa kehilangan kesadaran sedang
mengandaikan sebagai orang lain.
Keefektifan proses konseling tak dapat di pungkiri antara lain ditentukan oleh
kemampuan empati konselor atau psikoterapis. Kemampuan empati tidak hanya sebatas
merasakan bagaimana perasaan orang lain, tetapi juga memerlukan kemampuan
mengartikulasikan perasaan tersebut, sehingga orang lain merasa dipahami. Komunikasi
antarpribadi akan berlangsung kondusif apabila komunikator (pengirim pesan)
menunjukkan rasa empati pada komunikan (penerima pesan). Apabila empati tumbuh
25
dalam proses komunikasi antarpribadi, maka suasana hubungan komunikasi akan dapat
berkembang dan tumbuh sikap saling pengertian dan penerimaan.
Dalam psikologi dan psikiatri yang berorientasi humanistik, empati merupakan
bagian penting dari teknik konseling. Carl Rogers 1975 (dalam Cotton, 2001)
merupakan salah satu tokoh awal yang menunjukkan pentingnya empati dalam proses
konseling. Menurutnya, berempati berarti mempersepsi kerangka pikir internal orang
lain secara tepat mencakup unsur-unsur emosional dan cara-cara bertingkahlaku,
disertai dengan kepedulian seolah-olah diri sendiri adalah orang lain yang sedang
dipersepsi tetapi tanpa kehilangan kesadaran sedang mengandaikan sebagai orang lain.
Dengan kata lain, berempati adalah mengandaikan diri kita sebagai orang lain tanpa
larut secara emosional dalam kondisi orang yang diandaikan. Seorang konselor
memerlukan empati untuk memahami kondisi psikis klien yang sedang dibantunya.
2.4. Metode Role Playing ( Sosiodrama)
2.4.1. Pengertian role play
Menurut Bennett (Romlah, 2001 : 99) bahwa : permainan peranan adalah suatu
alat belajar yang menggambarkan keterampilan-keterampilan dan pengertian-pengertian
mengenai hubungan antar manusia dengan jalan memerankan situasi-situasi yang
paralel dengan yang terjadi dalam kehidupan yang sebenarnya. Bennett menyebutkan
dua macam permainan peranan, yaitu sosiodrama dan psikodrama.
1)
Sosiodrama
Sosiodrama adalah permainan peranan yang ditujukan untuk memecahkan
masalah sosial yang timbul dalam hubungan antar manusia. Menurut Moreno,
26
sosiodrama adalah satu pengalaman grup sebagai suatu jalan utuh untuk eksplorasi
sosial dan transformasi antar kelompok (kellermann.2007). sosiodrama menurut Winkel
dan Sri Hastuti (2006) merupakan dramatisasi dari berbagai persoalan yang dapat
timbul dari berbagai pergaulan dengan orang-orang lain, termasuk konflik yang di alami
dalam pergaulan sosial.
Winkel dan Sri Hastuti (2006) Mengambarkan bahwa Sosiodrama melalui
ilustrasi sebagai berikut salah satu problem yang dihadapi oleh murid dalam pergaulan
sehari-hari diperankan atau dimainkan oleh siswa dengan tujuan bersama-sama untuk
mencari penyelesaian problematika itu. Misalnya dua siswa berperanan sebagai ayah –
ibu yang bersikap “serba kolot” dua anak lain berperanan sebagai anak yang bersikap
serba modern. Sosiodrama dapat diselengarakan dalam pelajaran atau home room;
semua murid berperan serta aktif dengan mendiskusikan masalahnya atau dengan
memegang salah satu peran dalam drama (role playing).
Kegiatan sosiodrama merupakan
suatu dramatisasi dari persoalan-persoalan
yang dapat timbul dalam pergaulan dengan orang-orang lain, termasuk konflik yang
sering sering dialami dalam pergaulan sosial. Untuk itu digunakan rolr playing, yaitu
beberapa orang mengisi peranan tertentu dan memainkan suatu adegan tentang
pergaulan sosial yang mengandung persoalan yang harus diselesaikan. Para pembawa
peran membawakan adegan itusesuai dengan peranan (role) yang ditentukan bagi
masing-masing peran; adegan itu diperankan dan dimainkan dihadapkan kesejumlah
penonton yang menyaksikan adegan itu dan melibatkan diri dan mendiskusikan jalan
cerita setelah sandiwara selesai dimainkan.
27
Sosiodrama berbeda dengan psikodrama. Yang terahir juga berupa sandiwara
tetapi isinya berkisar pada persoalan-persoalan yang berkaitan dengan gangguan serius
dalam kesehatan mental para partisipan, sehingga tujuanya adalah perombakan dalam
struktur kepribadian seseorang. Melalui dramatisasi ini para pemain memproyeksikan
sikap, perasaan dan tingkah laku dari orang yang diperankan. Dengan demikian mereka
menjadi lebih sadar akan bagai manakah perasaan orang lain.
Sosiodrama bersifat kegiatan pedagogik dan bertujuan membantu baik pihak
peran maupun para penyaksi untuk lebih memahami seluk beluk pergaulan sosial dan
membantu mereka meningkatkan kemampuan bergau dengan orang lain secara wajar
dan sehat. Sosiodrama menekankan aspek perkembangan sosial seseorang bukan inti
paling dasar dalam kepribadianya. Oleh karena itu sosiodrama merupakan kegiatan
yang dapat sangat cocok untuk membantu banyak anak muda dalam meningkatkan
perkembangan sosialnya. Sosiodrama sangat sesuai sebagai kegiatan dalam bimbingan
kelompok.
Menurut Winkel dan Sri Hastuti (2006) Tujuan dari kegiatan sosiodrama ialah
mengembangkan
pemahaman
tentang
sebab-sebab
atau
faktor-faktor
yang
menimbulkan konflik-konflik dalam pergaulan secara manusia misalnya dalam
lingkungan keluarga atau dalam lingkungan sekolah.
A.
Kebaikan Metode Sosiodrama
a)
Dapat berkesan dengan kuat dan tahan lama dalam ingatan siswa. Disamping
merupakan pengaman yang menyenangkan yang saling untuk dilupakan
28
b)
Sangat menarik bagi siswa, sehingga memungkinkan kelas menjadi dinamis dan
penuh antusias
c)
Membangkitkan gairah dan semangat optimisme dalam diri siswa serta
menumbuhkan rasa kebersamaan dan kesetiakawanan sosial yang tinggi
d)
Dapat menghayati peristiwa yang berlangsung dengan mudah, dand apat memetik
butir- butir hikmah yang terkandung di dalamnya dengan penghayatan siswa sendiri
e)
Dimungkinkan dapat meningkatkan kemampuan profesional siswa, dan dapat
menumbuhkan / membuka kesempatan bagi lapangan kerja.
B. Kelemahan-kelemahan sosiodrama
Sebagaimana dengan metode-metode yang lain, metode sosiodrama dan bermain
perananmemiliki sisi-sisi kelemahan. Namun yang penting disini, kelemahan dalam
suatu metode tertentu dapat ditutupi dengan memakai metode yang lain.Mungkin sekali
kita perlu memakai metode diskusi, ausid visual, tanya jawab dan metode- metode lain
yang dapat dianggap melengkapi metode sosiodrama/bermain peranan Kelemahan
metode sosiodrama dan bermain peranan ini terletak pada :
a)
Sosiodrama dan bermain peranan memelrukan waktu yang relatif panjang/banyak
b)
Memerlukan kreativitas dan daya kreasi yang tinggi dari pihak guru maupun
murid. Dan ini tidak semua guru memilikinya
c)
Kebanyakan siswa yang ditunjuk sebagai pemeran merasa malu untuk
memerlukan suatu adegan tertentu
d)
Apabila pelaksanaan sosiodrama dan bermain pemeran mengalami kegagalan,
bukan saja dapat memberi kesan kurang baik, tetapi sekaligus berarti tujuan pengajaran
tidak tercapai
29
e)
Tidak semua materi pelajaran dapat disajikan melalui metode ini
f)
Pada pelajaran agama masalah keimanan, sulit disajikan melalui metode
sosiodrama dan bermain peranan ini.
2).Psikodrama
Menurut Corey (Romlah, 2001:107) bahwa : ‘psikodrama merupakan permainan
yang dimaksudkan agar individu yang bersangkutan dapat memperoleh pengertian yang
lebih baik tentang dirinya, dapat menemukan konsep dirinya, menyatakan kebutuhankebutuhannya, dan menyatakan reaksi terhadap tekanan-tekanan terhadap dirinya.
Langkah pelaksanaan psikodrama terdiri dari tiga tahap,yaitu persiapan, pelaksanaan
dan diskusi atau tahap berbagi pendapat dan perasaan. Tahap persiapan dilakukan untuk
memotivasi anggota kelompok agar mereka siap berpartisipasi secara aktif dalam
permainan, dan menciptakan perasaan sama dan saling percaya dalam kelompok. Tahap
pelaksanaan terdiri dari kegiatan dimana pemain utama dan pemain pembantu
memperagakan permainannya. Dengan bantuan pemimpin kelompok dan anggota
kelompok lain. Tahap diskusi atau tahap bertukar pendapat dan kesan, para anggota
kelompok diminta untuk memberikan tanggapan dan sumbangan pikiran terhadap
permainan yang dilakukan pemain utama. Tahap diskusi ini penting karena merupakan
rangkaian proses perubahan perilaku pemeran utama kearah keseimbangan pribadi.
Menurut (Wikipedia), Salah satu cara terbaik untuk mengajar siswa berempati
ialah dengan bermain peran (role play). Dengan bermain peran, siswa diajak untuk
mengalami dunia dari sudut pandang orang lain. Dengan membayangkan bahwa
dirinyalah yang menjadi orang tersebut, individu bisa melihat dari mata orang tersebut,
30
bersikap seperti orang tersebut, dan bisa menyelami perasaan orang itu (be other
person). Adalah penting dalam permainan peran ini bahwa siswa mendapat kesempatan
untuk mencoba peran yang tidak biasa baginya, sehingga individu belajar melihat dari
sudut pandang orang lain. Kejadian sehari-hari dapat juga digunakan sebagai latihan
empati. Misalnya, saat guru meminta siswa untuk mengecilkan suara atau mematikan
nada dering handphone-nya, Guru perlu mengatakan kebutuhan dan perasaannya, serta
menjelaskan akibat yang dirasakan oleh siswa lain dari suara bising ringtone tersebut.
Keterangan ini membuat siswa merespons berdasarkan rasa peduli akan suasana kelas
yang nyaman dan bukan karena rasa takut dimarahi. Daniel Goleman (2007), dalam
buku Emotional Intelligence, mengemukakan, empati memungkinkan seseorang untuk
menghayati masalah atau kebutuhan yang tersirat di balik perasaan orang lain, yang
tidak hanya diungkapkan melalui kata-kata. Melalui empati, kita tidak hanya keluar diri
dalam usaha memahami orang lain, tetapi juga melakukan pemahaman internal terhadap
diri sendiri
Role playing (bermain peran) merupakan suatu teknik pembelajaran untuk
menghadapi proses pemikiran dan perasaan yang majemuk secara efektif (Reni
Akbar- Hawadi dkk, 2001). Sedangkan pengertian metode role playing menurut
Kiranawati (2007) adalah “suatu cara penguasaan bahan-bahan
pelajaran
melalui
pengembangan imajinasi dan penghayatan siswa”.
2.4.2. Tahap-Tahap Role Play
Bermain Peran (Role Playing) merupakan salah satu model pembelajaran yang
diarahkan pada upaya pemecahan masalah-masalah yang berkaitan dengan hubungan
31
antarmanusia (interpersonal relationship), terutama yang menyangkut kehidupan
peserta didik. Pengalaman belajar yang diperoleh dari metode ini meliputi, kemampuan
kerjasama, komunikatif, dan menginterprestasikan suatu kejadian. Melalui bermain
peran, peserta didik mencoba mengeksplorasi hubungan-hubungan antarmanusia dengan
cara memperagakan dan mendiskusikannya, sehingga secara bersama-sama para peserta
didik dapat mengeksplorasi parasaan-perasaan, sikap-sikap, nilai-nilai, dan berbagai
strategi pemecahan masalah.
Dengan mengutip dari Shaftel dan Shaftel, E. Mulyasa (2003) mengemukakan
tahapan pembelajaran bermain peran meliputi :
a.
b.
c.
d.
e.
f.
g.
h.
i.
j.
menghangatkan suasana dan memotivasi peserta didik;
memilih peran;
menyusun tahap-tahap peran;
menyiapkan pengamat;
menyiapkan format pengamat;
tahap pemeranan;
diskusi dan evaluasi tahap diskusi dan evaluasi tahap I ;
pemeranan ulang; dan
diskusi dan evaluasi tahap II; dan
membagi pengalaman dan pengambilan keputusan
Pada metode
ini,
murid
memainkan peran sehingga
dapat menghayati
sesuatu. Role play memang dimaksudkan untuk melakukan analisis kompetensi
berdasarkan pengamatan dan penilaian terhadap sejumlah orang yang melakukan
peran tertentu. Melalui kegiatan ini diharapkan diperoleh sejumlah peran tertentu
yang
ada
di
dalam masyarakat,
sebagai
bahan
untuk mengidentifikasikan
kompetensi yang perlu dikembangkan dan dimiliki oleh murid. Moedjiono dan
Dimyati (1991) menyatakan bahwa :
Bermain peran (role playing), yakni memainkan peranan dari peran-peran
yang sudah pasti berdasarkan kejadian terdahulu, yang dimaksudkan untuk
32
menciptakan kemungkinan-kemungkinan kejadian masa yang akan datang,
menciptakan peristiwa mutakhir yang dapat dipercaya, atau mengkhayalkan
situasi pada suatu tempat dan/atau waktu tertentu.
Role Playing juga perlu diterapkan dalam pembelajaran, Slameto (1991) juga
berpendapat sebagai berikut:
Gunakan Role Play: Jika peserta perlu mengetahui lebih banyak tentang
pandangan
yang berlawanan, jika peserta mempunyai kemampuan untuk
memakainya, pada waktu membantu peserta “memahami” sesuatu masalah, jika
ingin mencoba mengubah sikap, jika pengaruh emosi dapat membantu dalam
penyajian masalah.
Role play tidak dirancang dengan niat menjadi suatu pertunjukkan publik.
Meskipun demikian, siswa sulit untuk menghilangkan kecemasan tersebut. Di
samping itu, guru perlu mengemukakan tujuan pembelajaran dari role play supaya
dapat menggugah motivasi siswa untuk kreatif dalam mengembangkan perannya.
Pola organisasi role play disesuaikan dengan tujuan-tujuan yang menuntut bentuk
partisipasi
menyatakan
tertentu.
“Ada
Seperti
3
yang diungkapkan
oleh
pola organisasi Role playing
Oemar
yaitu
Hamalik
tunggal,
(1990)
jamak dan
ulangan”. Penjelasannya dapat diuraikan sebagai berikut:
1.
2.
3.
Bermain peranan tunggal (single role play). Dalam hal ini mengantar siswa
bertindak sebagai pengamat terhadap permainan yang sedang dipertunjukkan.
Bermain peranan jamak (multiple role-play). Para siswa dibagi menjadi
beberapa kelompok dengan banyak anggota yang sama dan penentuannya
disesuaikan dengan banyaknya peran yang dibutuhkan.
Peranan ulangan (role-play repetition). Peranan utama dalam suatu drama
atau simulasi dapat dilakukan oleh setiap siswa secara bergiliran.
Metode adalah salah satu komponen yang harus diperhatikan dalam setiap proses
belajar mengajar. Sebagaimana suryadisastra, dkk(1991/1992 :91) mengungkapkan
bahwa :
33
Metode adalah cara yang dianggap efisien yang digunakan oleh guru dalam
menyampaikan suatu pelajaran tertentu kepada siswa , agar tujuanyang telah
dirumuskan sebelumnya dalam proses kegiatan pembelajaran dapat tercapai secara
efektif.
Salah satu proses belajar mengajar adalah bermain peran. Wahab, A.A (2007 : 109)
mengemukakan dalam bukunya bahwa : Bermain peran (role play) adalah berakting
sesuai dengan peran yang telah ditentukan terlebih dahulu untuk tujuan-tujuan tertentu.
Model bermain peran berasumsi bahwa proses psikologis yang tersembunyi,
berupa sikap, nilai, perasaan dan system keyakinan, dapat diangkat ke taraf sadar
melalui kombinasi pemeranan secara spontan. Dengan demikian, para pserta didik dapat
menguji sikap dan nilainya yang sesuai dengan orang lain, apakah sikap dan nilai yang
dimilikinya perlu dipertahankan atau diubah. Tanpa bantuan orang lain, para peserta
didik sulit untuk menilai sikap dan nilai yang dimilikinya.
2.4.3. Manfaat bermain peran :
a.
siswa selalu belajar dari meniru atau menduplikasi tindakan orang lain, termasuk
orang tua mereka dan teman sebaya. Memainkan peran adalah hanyalah sebuah
kelanjutan dari pembelajaran yang telah dilakukan oleh siswa.
b.
siswa menikmati bermain, terutama kaum muda. Jika siswa sudah termotivasi
untuk bermain, belajar melalui bermain akan menjadi lebih mudah.
c.
bermain peran mendorong penggunaan berpikir kritis karena melibatkan analisis
dan pemecahan masalah, sehingga memainkan peran merupakan metode pembelajaran
kognitif
34
d.
bermain peran mengajarkan banyak pelajaran, beberapa pelajaran penting
kebanyakan mengajarkan pelajaran yang dibutuhkan dalam masyarakat,, kerjasama
kompetisi dan empati.
e.
Participation dalam peran-play memungkinkan siswa untuk membuat keputusan,
dan melalui umpan balik ia menerima, ia melihat hasil perbuatannya, dan karena itu
dapat mempelajari cara menyesuaikan kata-kata dan tindakan untuk menghasilkan hasil
yang lebih disukai.
2.5. Hubungan Empati Dengan Bermain Peran ( Role Play )
Seperti yang telah di ungkapkan diatas, bahwa aspek- aspek yang mempengaruhi
empati adalah aspek kognitif dan aspek afektif. Dengan bermain peran, siswa diajak
untuk mengalami dunia dari sudut pandang orang lain. Dengan membayangkan bahwa
dirinyalah yang menjadi orang tersebut, ia bisa melihat dari mata orang tersebut,
bersikap seperti orang tersebut, dan bisa menyelami perasaan orang itu (be other
person). Jika seseorang yang berwatak baik, mendapatkan peran dengan watak yang
jahat, tidaklah mungkin seseorang tersebut akan sama seperti keadaan dirinya yang
sesungguhnya. Seseorang tersebut harus bisa memahami watak perang yang bersikap
jahat dan mempraktekkannya tanpa harus merubah sikap aslinya yang baik menjadi
jahat. Dalam hal ini peran empati sangatlah penting guna memahami peran yang akan
dimainkan.
Dalam permainan peran, penghayatan watak dan tokoh yang akan diperankannya
juga dapat mengembangkan pola berfikir dan pola pembentukan empati. Daniel
Goleman, dalam buku Emotional Intelligence, mengemukakan, empati memungkinkan
35
seseorang untuk menghayati masalah atau kebutuhan yang tersirat di balik perasaan
orang lain, yang tidak hanya diungkapkan melalui kata-kata. Melalui empati, kita tidak
hanya keluar diri dalam usaha memahami orang lain, tetapi juga melakukan pemahaman
internal terhadap diri sendiri.
Melalui bermain peran, peserta didik mencoba mengeksplorasi hubungan-hubungan
antarmanusia dengan cara memperagakan dan mendiskusikannya, sehingga secara
bersama-sama para peserta didik dapat mengeksplorasi parasaan-perasaan, sikap-sikap,
nilai-nilai, dan berbagai strategi pemecahan masalah, dan dapat mengukur sejauh mana
individu mampu memandang kejadian sehari-hari dari perspektif orang lain
2.6. Penelitian yang berhubungan
Adam Blatner (2006), dalam penelitian yang berjudul “Penggunaan bermain
peran dalam pengajaran empati”. Aktivitas permainan peran bisa mengembangkan pola
pikir, yang lebih fleksibel pada diri ahli klinis. Perubahan peran bisa membangun
sebuah kebiasaan berempati dan mampu bergerak dengan mudah di antara kerangkakerangka referensi. Terdapat kedalaman dan juga perluasan pikiran dalam tipe
pembelajaran eksperiensial ini. Spontanitas bergantung pada reseptivitas pada alam
bawah sadar dan ini akan mengembangkan hubungan yang lebih bersemangat dengan
ketidaksadaran kreatif.
Anis (2006) meneliti dalam PTBK (penelitian teknik bimingan dan konseling)
yang dilakukan tentang Upaya Mengembangkan Empati Mahasiswa dengan
Memanfaatkan Media Bimbingan. Tujuan yang akan dicapai yaitu untuk mengetahui
cara mengembangkan empati mahasiswa BK dengan memanfaatkan media bimbingan.
36
Media bimbingan merupakan alat, media yang dapat dijadikan sebagai sarana untuk
memperlancar dalam
hal menanamkan
layanan bimbingan kepada manusia.
Keterampilan empati yang merupakan kompetensi wajib bagi konselor dapat
dikembangkan dengan memanfaatkan media bimbingan tersebut. Media bimbingan
yang dimanfaatkan yaitu peer counseling yang dipadukan dengan kegiatan outbond dan
melihat film yang alur ceritanya dapat mengembangkan empati seseorang (judul:
“Children
of
Heaven”).
Keberhasilan
setiap
mahasiswa
diukur
berdasarkan
bertambahnya skor dalam skala empati yang diberlakukan setiap kali selesai siklus dan
sesuai hasil pengamatan selama tindakan berlangsung. Hasil penelitian ini menunjukkan
bahwa tingkat empati mahasiswa pada kondisi awal secara keseluruhan mencapai skor
798. Setelah siklus I naik menjadi 820 (2,76 %) dan setelah melalui siklus II bertambah
menjadi 829 (1,10 % dari siklus I, dan 3,88 % dari kondisi awal). Secara perorangan,
saat kondisi awal terdapat 3 orang tergolong empati sedang dan 9 orang
berkecenderungan empati tinggi. Setelah melalui siklus I dan siklus II, semua
mahasiswa berada pada kategori empati tinggi. Meskipun tingkat perkembangannya
sangat kecil, pemanfaatan media bimbingan tetap mempunyai kontribusi dalam
mengembangkan empati mahasiswa.
Penelitian Kurniati (2006: 3) mengungkapan bahwa bermain peran dapat
digunakan sebagai media bimbingan dan konseling yang efektif pada siswa pendidikan
dasar.
Endang Komara (2009), dalam penelitiannya nya yang berjudul “Bermain peran
dalam pembelajaran partisipasif”. Melalui bermain peran (role playing), para peserta
didik mencoba mengeksplorasi hubungan antar manusia dengan cara memperagakannya
37
dan mendiskusikannya sehingga secara bersama-sama para peserta didik dapat
mengeksplorasi perasaan, sikap, nilai, dan berbagai strategi pemecahan masalah.
Sebagai suatu model pembelajaran, bermain peran berakar pada dimensi pribadi dan
social. Dari dimensi pribadi model ini berusaha membantu peserta didik menemukan
makna dari lingkungan social yang bermanfaat bagi dirinya. Juga melalui model ini para
peserta didik diajak untuk belajar memecahkan masalah pribadi yang sedang
dihadapinya dengan bantuan kelompok social yang beranggotakan teman-teman
sekelas. Dari dimensi social, model ini memberikan kesempatan kepada peserta didik
untuk bekerja sama dalam menganalisis situasi social, terutama masalah yang
menyangkut hubungan antar pribadi peserta didik. Pemecahan masalah dilakukan secara
demokratis. Dengan demikian melalui model ini peserta didik juga dilatih untuk
menjunjung tinggi nilai-nilai demokratis.
2.7. Hipotesis
Hipotesis merupakan jawaban sementara terhadap hasil penelitian yang akan
dilakukan. Dengan hipotesis, penelitian menjadi jelas arah pengujiannya dengan kata
lain hipotesis membimbing penulis dalam melaksanakan penelitian di lapangan baik
sebagai objek pengujian maupun dalam pengumpulan data, maka peneliti mengajukan
hipotesis sebagai berikut:
Adanya peningkatan yang signifikan pada empati teman sebaya siswa XII.D
Administrasi Perkantoran SMK PGRI 02 Salatiga melalui layanan BK dengan
menggunakan metode role play.
38
Download