perbedaan empati antara siswa laki

advertisement
BAB II
LANDASAN TEORETIK
2.1 Pengertian Empati
Menurut Winkel dan Sri Hastuti (2004) empati yaitu mampu mendalami
pikiran dan menghayati perasaan siswa, seolah-olah konselor pada saat ini
menjadi siswa tanpa terbawa-bawa sendiri oleh semua itu dan kehilangan
kesadaran akan pikiran serta perasaan pada diri sendiri. Dalam psikologi dan
psikiatri yang berorientasikan humanistic, empati merupakan bagian penting dari
teknik-teknik konseling. Rogers merupakan salah satu tokoh awal yang
menunjukkan pentingnya empati dalam proses konseling (Cotton,2001). Rogers
mengungkapkan berempati berarti mempersepsi kerangka pikir internal orang lain
secara tepat mencakup unsur-unsur emosional dan cara-cara bertingkah laku,
disertai dengan kepedulian seolah-olah diri sendiri adalah orang lain yang sedang
dipersepsi tetapi tetapi tanpa kehilangan kesadaran sedang mengandaikan sebagai
orang lain.
Inti empati yang praktis adalah mendengarkan dengan seksama dunia
internal orang lain. Melibatkan pribadi utuh, termasuk pemahaman kognitif, dan
respons tubuh, emosional, dan intuitif. Yang penting terkait dengan empati adalah
menjadi sadar dengan keadaan internal seseorang ‘seolah-olah’ Anda adalah dia,
namun tanpa pernah kehilangan kesadaran keadaan internal anda sendiri. Dengan
cara ini, kongruensi dan empati menjadi proses yang parallel.
10
Mengkomunikasikan empati adalah penting bagi klien agar tahu bahwa
individu tersebut dipahami, dan bagi konselor untuk mengecek pemahamannya.
Dampaknya, konselor mengatakan, “Beginilah saya merasakan itu bagi anda.
Benarkah?” Walaupun klien seorang ahli, ia tetaplah klien, proses yang saling
menguatkan. Respons empatik sering kali meliputi penyampaian kata-kata verbal
apa yang didengar dan dirasakan, namun expresi wajah, nada suara, gerak-gerik
dan kehadiran yang diam dan membisu bisa mempunyai arti dalam pemahaman
konselor.
Pengalaman bisa didekati pada tahap yang berbeda dan, begitu pula dengan
kongruensi, apa yang harus dikatakan dan kapan mengatakannya adalah isu
utama. Merespons dengan aspek situasi permukaan ketika klien mengalami
perasaan yang sangat mendalam, atau senaliknya, justru akan mengguncang
proses eksplorasi karena tidak cukup dekat dengan pengalaman klien. Jika kita
tetap menentukan tingkat respons empatik, maka kita juga membangun rasa
aman. Tinggal ‘bersama’ klien dan kadang-kadang menangani hal-hal yang bisa
dirasakan, namun tak benar-benar sepenuhnya terbentuk di alam kesadaran klien
tersebut sebagai tinggal dengan tepian kesadaran. Hal itu membantu klien
mengungkap aspek baru tentang dirinya, tanpa harus mencabut mereka dari
wilayah atau perasaan di mana mereka terlibat didalamnya. (Palmer Stephen
Ed.2011)
Empati suatu istilah umum yang dapat digunakan untuk pertemuan, pengaruh
dan interaksi di antara kepribadian-kepribadian. “ Empati ” merupakan arti dari
11
kata “einfulung” yang dipakai oleh para psikolog Jerman. Secara harfiah ia berarti
“merasakan ke dalam”. Empati berasal dari kata Yunani “pathos”, yang berarti
perasaan yang mendalam dan kuat yang mendekati penderitaan, dan kemudian
diberi awalan “in”. Kata ini paralel dengan kata “ simpati “. Tetapi antara
keduanya terdapat perbedaan. Bila simpati berarti merasakan bersama dan
mungkin mengarah pada sentimentalitas, maka empati mengacu pada keadaan
identifikasi kepribadian yang lebih mendalam kepada seseorang, sedemikian
sehingga seseorang yang berempati sesaat melupakan/kehilangan identitas dirinya
sendiri. Dalam proses empati yang mendalam dan misterius inilah berlangsung
proses pengertian, pengaruh dan bentuk hubungan antar pribadi yang penting
lainnya
Kalau mau merujuk pada teori kompetensi, tingkatan yang paling rendah
adalah ketika individu baru dapat memahami ungkapan verbal, entah itu perasaan
atau pikiran. Tingkatan menengahnya adalah ketika sudah dapat memahami isu
kompleks yang ada di balik suatu percakapan; mampu mengerti penyebab yang
kompleks dari perbuatan, pola kebiasaan ataupun masalah seseorang di masa lalu.
Dan, yang paling tinggi adalah memahami lalu tergerak untuk memberikan
bantuan nyata yang dibutuhkan orang itu berdasarkan keadaannya.
Empati ini sangat dibutuhkan. Jika dikaitkan dengan penjelasan sebelumnya,
empati akan membuat setiap individu terbiasa menjadi orang yang tidak terlalu
efektif dan tidak terlalu human. Empati akan membuat kita dapat memisahkan
orang dan masalahnya dengan cepat; empati akan mendorong kita untuk lebih
12
melihat bagaimana menyelesaikan masalah ketimbang bagaimana menyerang
orang (concerning on people).
Ada pemikiran dari Daniel Goleman (2001) soal melatih empati.” Untuk
melatih empati, Goleman menyarankan lima hal, yaitu:
a. Cepat menangkap isi perasaan dan pikiran orang lain (under-standing
others).
b. Memberikan pelayanan
yang dibutuhkan orang lain
(service
orientation).
c. Memberikan masukan-masukan positif atau membangun orang lain
(developing others).
d. Mengambil manfaat dari perbedaan, bukan menciptakan konflik dari
perbedaan (leveraging diversity).
e. Memahami aturan main yang tertulis atau yang tidak tertulis dalam
hubungan kita dengan orang lain (political awareness).
Egan (1975, dalam Ivey et al, 1987) membedakan dua tipe untuk memahami
“emphatic understanding”, yakni :
a. Empati primer, adalah empati sebagaimana dikemukakan oleh Rogers.
Membentuk fondasi dan atmosfer inti helping relationship. Termasuk
mendengarkan
semua
pesan
dan
meresponnya.
Kemampuan
paraphrasing dan merefleksikan perasaan konselor dengan baik akan
memulai dasar empati untuk memahami klien.
13
Contoh perkataan : “ Sekarang saya bisa merasakan betapa sedih Anda
pada waktu itu”.
b. Empati lanjutan (advanced accurate emphaty)
Memahami hal yang tersembunyi dari klien, bentuk dasar dari empati
lanjutan adalah memberi respon dan pemahaman terhadap hal yang
tidak langsung dikatakan klien. Di mana konselor memberikan lebih
dari dirinya dan seringkali membutuhkan upaya langsung untuk
mempengaruhi klien. Karena informasi itu selalu subjektif bagi
interpretasi individu, konselor harus menyusun kembali situasi,
kepercayaan, atau pengalaman untuk membantu klien melihatnya dari
perspektif yang berbeda dan mengecek apakah interpretasi itu sudah
benar.
Advanced emphaty lebih kritis, mendalam, dan membahas masalah yang
sensitif oleh karena itu dapat menyebabkan klien bertambah stress. Untuk
mencegah klien mengalami emosi berlebihan dan melakukan perlawanan respon
empati konselor harus bersifat sementara dan hati-hati.
Contoh perkataan :
“ Saya akan merasa sedih juga” ; ”Dari apa yang kamu katakan......” ; ” Apakah
hal ini ......?” ; ”Sepertinya hal ini .......”
Menurut Rogers (dalam Gunarsa Singgih, 1992), empati bukan hanya sesuatu
yang bersifat kognitif namun meliputi emosi dan pengalaman. Juga diartikan
sebagai usaha menglami dunia klien sebagaimana klien mengalaminya. Karena
14
itu, seorang kenselor harus berusaha memahami pengalaman klien dari sudut
klien itu sendiri. Rogers mengemukakan tentang emphatic understanding, yakni
kemampuan untuk memasuki dunia pribadi orang. Emphatic understanding
merupakan salah satu dari tiga atribut yang harus dimiliki oleh seorang terapis
dalam usaha mengubah perilaku klien. Atribut yang lain yaitu kewajaran atau
keadaan sebenarnya (realness) dan menerima (acceptance) atau memperhatikan
(care).
a. Tanpa empati, tidak mungkin ada pengertian. Memahami secara empati
merupakan kemampuan seseorang untuk memahami cara pandang dan
perasaan orang lain. Memahami secara empati bukanlah memahami orang
lain secara objektif, tetapi sebaliknya berusaha memahami pikiran dan
perasaan orang lain
dengan cara orang lain tersebut berpikir dan
merasakan atau melihat dirinya sendiri. Memahami klien berdasarkan
kerangka persepsi dan perasaan klien sendiri oleh Rogers disebut internal
frame of reference, artinya menggunakan kerangka pemikiran internal.
b. Menurut Rogers empati konselor sebagai salah satu factor kunci yang
membantu klien untuk memecahkan masalah personalnya. Ketika
individu mulai berempati kepada orang lain, individu meletakkan diri
individu tersebut “in their shoes”, melihat dunia dari mata indidu tersebut,
membayangkan bagaimana bila menjadi individu yang lain, dan berusaha
merasakan apa yang individu lain rasakan.
15
c. Faktor sosial dan budaya (seperti gender, etnis, perbedaan kultur)
mempunyai
pengaruh
dalam
pengekspresian
emosi.
Faktor
ini
mempengaruhi cara bagaimana konselor merespon secara emosional.
d. Jika klien merasa dimengerti, maka individu tersebut akan lebih mudah
membuka diri untuk mengungkapkan pengalamanya dan berbagi
pengalaman tersebut
dengan orang lain. Klien
yang membagi
pengalamannya secara mendalam memungkinkan untuk menilai kapan
dan di mana individu tersebut membutuhkan dukungan, dan potensi
kesulitan yang membutuhkan fokus untuk rencana perubahan.
Saat klien melihat empati pada diri konselor, klien tersebut akan lebih nyaman
untuk dan tidak melakukan defend seperti penyangkalan, penarikan diri, dll.
Artinya empati konselor mampu memfasilitsi perubahan pada klien. Sebaliknya
akan lebih mau membuka diri terhadap dunia luar dengan cara yang lebih
konstruktif. Karena itulah istilah empati ditambah menjadi perkataan “emphatic
understanding”.
2.2 Aspek Pada Empati
Menurut Eisenberg (2002) dalam aspek empati, bahwa dalam proses individu
berempati melibatkan aspek afektif dan kognitif. Aspek afektif merupakan
kecenderungan seseorang untuk mengalami perasaan emosional orang lain yaitu
ikut merasakan ketika orang lain merasa sedih, menangis, terluka, menderita,
bahkan disakiti. Sedangkan aspek kognitif dalam empati difokuskan pada proses
intelektual untuk memahami prespektif orang lain dengan tepat dan menerima
16
pandangan mereka misalnya membayangkan perasaan orang lain ketika marah,
kecewa, senang, memahami keadaan orang lain dari cara berbicara, dari raut
wajah, cara pandang dalam dalam berpendapat.
Dari komponen kognitif diturunkan aspek perspective taking dan fantasy :
a. Perspective taking adalah kecenderungan individu untuk mengambil alih
secara spontan sudut pandang orang lain.
b. Fantasy adalah kecenderungan individu untuk mengubah pola diri secara
imajinatif ke dalam pikiran, perasaan, dan tindakan dari karakter-karakter
khayalan pada buku, film, permainan atau orang lain.
Dari komponen afektif diturunkan aspek empatjic concern dan personel distress :
a. Empathic concern merupakan perasaan simpati dan perhatian terhadap orang
lain, khususnya untuk berbagi pengalaman atau secara tidak langsung
merasakan penderitaan orang lain.
b. Personal Distress adalah reaksi pribadi terhadap penderitaan orang lain yang
meliputi perasaan terkejut, takut, cemas, prihatin dan tidak berdaya.
2.3 Empati Laki-Laki dan Perempuan
Pada manusia, ini berarti bahwa anak yang baru lahir secara otomatis akan
mulai menangis jika mendengar rekan-rekan lain untuk menangis. Jadi ketika
melihat seseorang yang tersenyum sehingga individu merasa umumnya lebih
bahagia ketika individu melihat seseorang yang tampak marah individu akan
merasa sering lebih marah atau lebih takut.
17
Pada usia satu dan dua tahun, anak mulai dapat membedakan antara
dirinya dengan orang lain, mulai dapat membedakan kesusahan yang dirasakan
oleh dirinya dan bukan dari orang lain atau sebaliknya. Seiring dengan
pertumbuhan kognitif, anak mulai mengenali kesedihan pada orang lain dan
mampu menyesuaikan kepeduliannya dengan perilaku yang tepat. Perilaku empati
anak perempuan dan laki-laki mempunyai status sosial yang sama, hanya saja
bentuk empati antara perempuan dan laki-laki berbeda.
Perilaku empati pada anak perempuan terlihat pada anak yang membantu
adiknya meredam kesedihan, sedangkan pada anak laki-laki seperti membantu
temannya mengendarai sepeda. Pria empati lebih baik pada pria budaya pop
biasanya digambarkan sebagai lebih egois daripada wanita ketika datang ke
aktivitas asmara, tapi budaya pop bisa sangat bodoh. Lebih menenangkan, sebuah
studi baru menunjukkan banyak sangat fokus pada memastikan pasangan mereka
menikmati dirinya sendiri.
Penelitian yang dilakukan oleh Maccoby dan Jacklin (1974) menunjukkan
bahwa pada usia awal perkembangan anak laki- laki lebih banyak menunjukkan
sikap empati dari pada anak perempuan. Namun demikian, seiring dengan
perkembangannya perempuan lebih banyak menunjukkan empati dari pada lakilaki.
Pola pengasuhan memengaruhi kepribadian anak ketika tumbuh dewasa.
Anak laki-laki yang dididik dengan baik dan benar sejak belia, akan tumbuh
menjadi pribadi yang membanggakan dan dapat diandalkan oleh keluarganya.
18
Orang tua perlu membekali anak, terutama anak laki-laki, dengan empati sejak
belia. Anak laki-laki yang semasa tumbuh kembangnya terlatih berempati, ia akan
tampil sebagai pribadi yang memahami perasaan orang lain. Pribadi penuh empati
seperti ini memudahkan ia untuk berteman, dan menjadikannya sebagai calon
suami
dan
ayah
yang
baik
untuk
keluarganya
kelak.
Dalam perkembangannya, empati sudah ada sejak usia awal, yang ditunjukkan
melalui reaksi fasial, kemudian mengalami perkembangan sejalan dengan
pertambahan usia (Levine dan Hoffman, 1975), elaborasi kognisi (Hoffman,
1976). Jika dalam perjalanannya ternyata antara satu orang dengan yang lainnya
memiliki perbedaan dalam memberikan atau menerima reaksi empati, hal itu
dikarenakan oleh (a) perbedaan jenis kelamin, (b) perbedaan self esteem dan (c)
tuntutan keluarga.
2.4 Proses Perkembangan Empati
Menurut Eisenberg (2002) ada lima factor yang mempengaruhi proses
perkembangan empati pada diri seseorang yaitu:
a. Pola Asuh
(1) Pola Asuh Demokratis
Pola asuh demokratis adalah pola asuh yang memprioritaskan
kepentingan anak, akan tetapi tidak ragu-ragu mengendalikan mereka.
Orang tua dengan pola asuh ini bersikap rasional, selalu mendasari
tindakannya pada rasio atau pemikiran-pemikiran. Orang tua tipe ini juga
bersikap realistis terhadap kemampuan anak, tidak berharap yang
19
berlebihan yang melampaui kemampuan anak. Orang tua tipe ini juga
memberikan kebebasan kepada anak untuk memilih dan melakukan suatu
tindakan, dan pendekatannya kepada anak bersifat hangat.
(2) Pola Asuh Otoriter
Pola asuh otoriter adalah suatu bentuk pola asuh yang menuntut anak agar
patuh dan tunduk terhadap semua perintah dan aturan yang dibuat oleh
orang tua tanpa ada kebebasan untuk bertanya atau mengemukakan
pendapatnya sendiri. Orang tua tipe ini cenderung memaksa, memerintah
dan menghukum. Apabila anak tidak mau melakukan apa yang dikatakan
oleh orang tua, maka orang tua tipe ini tidak segan menghukum anak.
(3) Pola Asuh Permisif
Pola asuh ini memberikan pengawasan yang sangat longgar. Memberikan
kesempatan pada anaknya untuk melakukan sesuatu tanpa pengawasan
yang
cukup
darinya.
Mereka
cenderung
tidak
menegur
atau
memperingatkan anak apabila anak sedang dalam bahaya, dan sangat
sedikit bimbingan yang diberikan oleh mereka. Namun orang tua tipe ini
biasanya bersifat hangat, sehingga seringkali disukai oleh anak.
(4) Pola Asuh Penelantar
Orang tua tipe ini pada umumnya memberikan waktu dan biaya yang
sangat minim pada anak-anaknya. Waktu mereka banyak digunakan untuk
keperluan pribadi mereka, seperti bekerja, dan juga kadangkala biaya pun
dihemat-hemat untuk anak mereka.
20
b. Kebutuhan
Individu yang mempunyai kebutuhan afiliasi yang tinggi akan
mempunyai tingkat empati dan nilai prososial yang rendah, sedangkan
individu yang memiliki kebutuhan afiliasi yang rendah akan mempunyai
tingkat empati yang tinggi.
c. Jenis Kelamin
Perempuan mempunyai tingkat empati yang lebih tinggi dari pada
laki-laki. Persepsi ini didasarkan ada kepercayaan bahwa perempuan lebih
nurturance (bersifat memelihara) dan lebih berorientasi interpersonal
dibandingkan laki-laki. Untuk respon empati, mendapatkan hasil bahwa anak
perempuan lebih empatik dalam merespon secara verbal keadaan distress
orang lain. Empati adalah merupakan ciri khas dari wanita yang lebih peka
terhadap emosi orang lain dan bias lebih mengungkapkan emosinya
dibandingkan laki-laki (Koestner, 1990)
Ada persamaan yang dimiliki laki-laki maupun perempuan dalam
empati, yaitu adanya respons dari otak (pemindaian otak untuk menyelidiki
reaksi terhadap suatu yang “menyentuh) ketika melihat seseorang yang sedang
mengalami perasaan senang atau sedih. Hal ini dikemukakan oleh Dr. Klaas
Enoo Stephen (2008).
Kemampuan
berempati
akan
semakin
bertambah
dengan
meningkatnya usia. Sealanjutnya Koestner (1990) menyatakan bahwa
21
semakin tua seseorang semakin baik kemampuan empatinya dikarenakan
pemahaman persoektif.
d. Derajat Kematangan Psikis
Empati juga dipengaruhi oleh derajat kematangan. Derajat kematangan
adalah besarnya kemampuan dalam memandang, menempatkan diri pada
perasaan orang lain serta melihat kenyataan dengan empati secara
proporsional. Derajat kematangan seseorang akan sangat mempengaruhi
kemampuan empatinya terhadap orang lain. Seseorang dengan derajat
kematangan yang baik akan mampu untuk menampilkan empati yang tinggi
pula.
e. Sosialisasi
Sosialisasi merupakan proses melatih kepekaan diri terhadap
rangsangan social yang berhubungan dengan empati dan sesuai dengan
norma, nilai atau harapan social. Sosialisasi memungkinkan seseorang dapat
mengalami empati artinya mengarahkan seseorang untuk melihat keadaan
orang lain dan berfikir tentang orang lain. Sosialisasi menjadi dasar penting
dalam berempati karena dapat melahirkan sikap empati pada anak, kepekaan
social juga berpengaruh pada perkembangan empati anak terhadap
lingkungan.
Betapa pentingnya empati itu dalam kehidupan sehari-hari, karena akan
menjaga bagaimana mengatur perasaan individu terhadap orang lain, tidak
22
sembarangan dan tidak sembrono, karena mereka juga manusia, tetangga juga
manusia, polisi juga manusia, dokter juga manusia, guru juga manusia, tokoh
agama juga manusia, maka kita harus saling menghormati satu sama lain, saling
menyayangi satu sama lain, saling tolong satu sama lain. Respons empati,
terutama untuk menolong orang lain yang sedang kesusahan.
Empati adalah sikap atau perilaku memahami sesuatu dari sudut pandang
atau perasaan orang lain. Sikap-sikap sejenis tidak peduli, egois, cuek, hanya
memikirkan diri sendiri merupakan cerminan rendahnya empati. Dalam banyak
kasus, tipisnya empati ini dapat menjadi penyulut beragam konflik. Berbeda
dengan simpati yang lebih merujuk pada ekspresi ataupun tindakan mengasihani
seseorang, empati lebih merupakan upaya memahami posisi seseorang dan apa
yang sedang dirasakannya. Empati, karenanya, lebih dari sekadar rasa kasihan. Di
dalamnya terkandung maksud untuk menghargai dan menghormati orang di
sekitarnya. Kunci untuk memahami persaan orang lain adalah mampu membaca
pesan nonverbal :
1. nada bicara
3. ekpresi
2. gerak-gerik
4. wajah dan sebagainya
Upaya yang dilakukan dalam mengembangkan empati menurut Eisenberg
(2002) upaya-upaya tersebut antara lain :
23
a. Menyadari sepenuhnya emosi, semakin terbuka seseorang dalam
emosinya maka akan semakin ia membaca perasaan seseorang.
b. Belajar mendengar pendapat orang lain, memberikan kesempatan
kepada orang lain untuk menyelesaikan apa yang dikatakannya
kemudian mengajukan pertanyaan sebelum memberikan penilaian.
c. Memperhatikan orang lain di jalan, di restoran dan bus dan
mencoba memahami perasaan melalui raut mukanya.
d. Menilai orang lain tidak hanya didasarkan pada tampak luar saja.
Mengetahui sikap dasar seseorang, melalui pembicaraan dan tanya
jawab yang menarik.
e. Melihat film pendek di televisi dan mencoba memperkirakan
pokok persoalan yang dibicarakan. Untuk itu setiap diri perlu
menempatkan diri dalam adekan itu.
f. Role play atau bermain peran. Teknik bermain peran dinilai
sebagai tehnik yang efektif dan akan membantu seseorang
membentuk pemahaman yang lebih dalam.
g. Menganalisis
perbedaan
dalam
suatu
pembicaraan
yang
bertentangan dengan pendapat yang kita sampaikan.
h. Bertanya pada diri sendiri mengapa dalam situasi tertentu
memberikan reaksi tertentu untuk mengetahui latar belakang
tingkah laku sendiri, akan mudah untuk menempatkan diri dalam
kedudukan orang lain.
24
i. Mencari sebab-sebab dalam diri sendiri ketika tidak menyukai
seseorang.
j. Mencoba
mencari
sebanyak
mungkin
keterangan
tentang
seseorang sebelum melakukan penilaian terhadap orang itu. Jika
kita mengetahui mengapa seseorang mempunyai tingkah laku
tertentu, maka kita akan dapat menilainya dengan lebih cepat dan
bagaimana sikap kita terhadapnya akan menjadi lebih sesuai.
k. Mengingat setiap orang dipengaruhi oelh perasaan dan periakunya.
2.5 Empati dalam Bimbingan dan Konseling
Seorang siswa membutuhkan pendidikan yang benar dan berhasil tidak
sekedar membekali para siswa dengan kepiawaian akademik yang mungkin
membatu meningkatkan empati kognitif, melainkan juga mengoreksi dan
memperbaiki defisiensi empatinya. Guru pembimbing harus tanggap empatik
yang tepat terhadap siswa yang memerlukan serta merawat dalam kerangka
menumbuh-kembangkan kemampuan empati emosional para siswa (Trusty, Ng &
Wattis, 2005). Empati perlu ditumbuh-kembangkan dalam iklim relasi pada setiap
pendidikan-pelatihan para siswa agar iklim relasi ini dapat berperan korektif
terhadap kemungkinan empati pada para siswa serta berperan menumbuhkembangkan kemampuan empati setiap siswa.
Dalam bimbingan dan konseling empati adalah sebuah kemampuan untuk
melihat, memahami, dan merasakan sesuatu hal yang terjadipada diri orang
laindari sudut pandang orang lain tersebut, bukan dari sudut pandang pribadi.
25
Agar dapat membantu siswa, maka guru pembimbing harus dapat memahami diri
dan dunia siswanya dari sudut pandang siswa. Guru pembimbing memberikan
keyakinan pada diri siswa bahwa guru pembimbing memahami keadaan dan
perasaan siswa yang unik. Bahkan sering kali siswa berusaha menutupi sebagian
besar diri mereka. Siswa jarang menampilkan dunia dalam diri mereka kecuali
terhadap orang yang mereka percayai. Orang yang mendapatkan kepercayaan ini
adalah orang yang dapat membantu dan merasakan isi pikiran pengalaman hidup
maupun perasaan mereka. Keberhasilan konseling sangat ditentukan oleh
kemampuan guru pembimbing dalam berempati. Jika guru pembimbing mampu
berempati terhadap siswa, maka siswa nantinya akan lebih terbuka . dengan
demikian konseling pun akan berjalan dengan lebih lancer (Willis, 2004).
Ketrampilan melakukan empati harus selalu dilatih, agar sebagai guru
pembimbing tetap peka terhadap berbagai emosi yang dirasakan siswa dan mudah
dalam memahami isis atau jalan pikiran mereka. Latihan berempati melibatkan
kemampuan memasuki dunia siswa melalui angkapan-ungkapan empati yang
sekiranya dapat menyentuh perasaan dan memperlihatkam pada siswa akan
kepedulian guru pembimbing. Kemampuan guru pembimbing melakukan empati
akan membuat siswa bersikap terbuka. Dengan demikian, siswa akan bersedia
mengungkapkan dunia dalam dirinya dengan cara yang jauh lebih baik. Dunia
dalam diri ini berbentuk pikiran, emosi, maupun pengalaman hidupnya yang
tersembunyi, dan bahkan sisi kelam dalam dirinya (Willis, 2004)
26
2.6 Penelitian yang Terkait
Penelitian Hadjar (2006) berjudul “Perbedaan Empati Siswa Laki-Laki
Dengan Siswa Perempuan Reguler Terhadap Siswa Berkebutuhan Khusus” yang
menggunakan rancangan penelitian deskriptif, dengan subjek penelitian
berjumlah 90 siswa regular usia 12-17 tahun. Hasilnya menunjukkan ada
perbedaan signifikan empati baik afektif maupun kognitif antara siswa laki-laki
dan perempuan. Dengan hasil empati pada aspek afektif siswa perempuan
berjumlah 53 siswa dengan persentase 56,7%. Sedangkan klasifikasi rendah
berjumlah 37 siswa laki-laki dengan persentase 43,3%. Dan pada aspek kognitif
menunjukkan 80,4% siswa perempuan mampu memahami dan berfikir siswa
berkebutuhan khusus dan mengerti bahwa berkelakuan khusus memiliki cara yang
berbeda-beda dalam menyelesaikan masalahnya., sedangkan siswa laki-laki hanya
menunjukkan 19,6% dalam memahami cara berfikir siswa berkebutuhan khusus.
Toussant (2005), dalam penelitian menunjukkan hasil bahwa wanita lebih
berempatik dari pada pria. Namun, perempuan dan laki-laki sama-sama
memaafkan. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa ada perbedaan yang
signifikan dimana perempuan lebih empatik dari pada laki-laki, dan ada
perbedaan antara empati dan permintaan maaf berdasarkan gender.
2.7 Hipotesa
Hipotesa dalam penelitian ini dirumuskan sebagai berikut:
“Ada perbedaan yang signifikan empati antara siswa laki-laki dengan
empati siswa perempuan di kelas IX SMP Negeri 3 Salatiga.”
27
Download