6 BAB II KAJIAN TEORETIS DAN HIPOTESIS 2.1 Kajian Teoretis 2.1.1 Pengertian Empati dan Kecenderungan Empati Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, kecenderungan berasal dari kata cenderung yang memiliki arti condong, menaruh minat (keinginan, kasih, dsb), ingin, mengarah, menjurus. Jadi kecenderungan itu sendiri berarti mempunyai keinginan, kehendak, kesukaan, niat, hasrat, kegemaran, naluri, dan predisposisi. Sedangkan empati merupakan suatu sikap yang ada pada seseorang yang mencerminkan bahwa seseorang itu mengerti, memahami serta ikut merasakan apa yang dirasakan oleh orang lain. Seseorang dapat berempati pada orang lain, baik dalam situasi kesedihan maupun dalam situasi kebahagiaan. Seperti yang dikatakan oleh Candra (2006:130) bahwa empati adalah kemampuan untuk menghayati orang lain. Selain itu, Hoffman (dalam Goleman 2006:148) melihat adanya proses alamiah empati sejak bayi dan masa-masa selanjutnya. Sebagaimana telah dibahas, pada umur satu tahun, anak-anak merasakan sakit pada dirinya apabila melihat anak lain jatuh dan menangis; perasaannya sedemikian kuat mengikat sehingga ia menaruh ibu jarinya dimulut dan membenamkan kepalanya di pangkuan ibunya, seolah-olah ia sendiri terluka. Setelah tahun pertama, ketika bayi sudah lebih menyadari bahwa mereka berbeda dengan orang lain, mereka secara aktif mencoba menghibur bayi lain yang menangis, misalnya dengan menawarkan boneka beruang miliknya. Pada awal usia dua tahun, anak-anak mulai memahami bahwa perasaan orang lain berbeda dengan perasaannya, sehingga mereka lebih peka terhadap isyarat-isyarat yang mengungkapkan perasaan orang lain; pada tahap ini mungkin, misalnya, mereka paham bahwa untuk menjaga harga diri anak lain ketika menolong menhentikan tangisnya adalah dengan tidak memberi perhatian khusus pada tangis itu. 7 Di samping itu, empati juga lebih jelas dapat dilihat pada masa kanakkanak, dimana individu sudah bisa berinteraksi dengan banyak orang. Dari masa kanak-kanak, individu beranjak ke masa remaja. Disinilah sikap empati sangat tampak karena individu sudah bisa berinteraksi dengan masyarakat luas. Dibawah ini akan di jelaskan lebih lanjut oleh Goleman, sebagai berikut. Goleman (2006:148) menjelaskan bahwa pada akhir masa kanak-kanak, tingkat empati paling lanjut muncul ketika anak-anak sudah sanggup memahami kesulitan yang ada di balik situasi yang tampak, dan menyadari bahwa situasi atau status seseorang dalam kehidupan dapat menjadi sumber beban stres kronis. Pada tahap ini, mereka dapat merasakan kesengsaraan suatu golongan, misalnya kaum miskin, kaum tertindas, mereka yang terkucil dari masyarakat. Pemahaman itu, dalam masa remaja, dapat mendorong keyakinan moral yang berpusat pada kemauan untuk meringankan ketidakberuntungan dan ketidakadilan. Perkembangan empati pada seseorang ada yang bekembang dengan baik dan ada juga yang tidak. Hal ini dikarenakan teradapat individu yang tidak mendapatkan kesempatan untuk bekembang dengan baik oleh orang-orang yang berada dilingkungannya. Sebagaimana di kemukakan oleh Ibung sebagai berikut. Empati merupakan bawaan dari lahir, namun tidak akan berkembang jika tidak diberi kesempatan berkembang dalam kehidupan seorang anak selanjutnya. Perkembangan empati dimulai ketika seorang anak berusia sekitar 4 tahun, ketika anak mulai mampu melihat hubungan dalam suatu lingkungan sosial. Dalam hubungannya dengan keberadaan anak dalam lingkungan sosialnya, kemampuan empati yang baik dari seorang anak, akan sangat membantu adaptasi anak dalam suatu lingkungan, dan tentu saja membuat anak lebih diterima dalam lingkungan tersebut. (Ibung, 2009:134). Dari pernyataan para ahli tentang konsep dasar empati, maka dapat disimpulkan bahwa empati secara alamiah sudah dimiliki oleh manusia sejak masa bayi, anak-anak, remaja sampai pada masa dewasa. 8 Selanjutnya, Goleman (2006:135) mengemukakan bahwa empati di bangun berdasarkan kesadaran diri; semakin terbuka kita kepada emosi diri sendiri, semakin terampil kita membaca perasaan. Menurut Borba (tt:9) definisi empati ialah “memahami dan merasakan kekhawatiran orang lain.” Sedangkan Gusnarsa dan Singgih (2008:16) berpandangan bahwa “empati berarti kemampuan untuk merasakan apa yang dirasakan orang lain menunjukkan bahwa seseorang sudah lebih tinggi perkembangannya dari pada hanya sekedar egosentris saja”. Seseorang yang memiliki empati juga harus memiliki kemampuan untuk berinteraksi dengan baik dengan orang lain. Hal ini dikarenakan jika seseorang itu memiliki empati, namun orang itu tidak diterima oleh lingkungan sekitarnya maka rasa empatinya sulit untuk direalisasikan pada lingkungannya tersebut. Oleh karena itu, seseorang harus bisa berinteraksi dengan baik dengan lingkungannya agar dia bisa merealisasikan kemampuan empatinya. Kemampuan berempati yaitu kemampuan untuk mengetahui bagaimana perasaan orang lain, ikut berperan dalam pergulatan dalam arena kehidupan, mulai dari penjualan dan manajemen hingga ke asmara dan mendidik anak, dari belas kasih hingga tindakan politik. (Goleman, 2006:136). Kemampuan berempati yaitu ketika individu merasa bahwa dia berada pada situasi dan kondisi orang lain. Dapat diartikan bahwa individu tersebut mampu untuk menempatkan diri pada posisi orang lain. Hal ini dapat di lihat pada pernyataan Ibung sebagai berikut. Ibung (2009:132) menyatakan bahwa empati merupakan kemampuan menempatkan diri pada posisi orang lain untuk mengerti dan merasakan 9 pemikiran dan perasaan orang lain. Ibung juga menjelaskan bahwa empati tidak saja melibatkan perasaan, tapi juga pemikiran dan fleksibilitas. Karena, dalam empati, seorang dituntut untuk dapat berikap fleksibel, mencoba melihat permasalahan dari sudut pandang orang lain, bahkan hingga ikut merasakan apa yang dirasakan orang tersebut, yang mungkin saja jauh dari pemikirannya sendiri. Titchener (dalam Taufik, 2012:12) mengemukakan bahwa “empati membantu kita memahami fenomena-fenomena yang membingungkan seperti fenomena ilusi visual. Karena ketika seseorang berempati dia sedang melakukan diskusi dengan dirinya sendiri, antara dirinya dengan orang lain, dan antara dirinya dengan lingkungannya.” Dengan empati maka seseorang mampu berinteraksi dengan lingkungan sekitarnya. Hal ini dapat dilihat seseorang yang menolong tetangganya untuk menghilangkan api yang membakar rumah tetangganya tersebut. Selain itu, seseorang yang memiliki empati berarti orang itu mampu untuk menerima perbedaan individual. Sebagaimana di jelaskan oleh Wispe, sebagai berikut. Wispe (dalam Taufik, 2012:71) mengatakan bahwa empati adalah “refers to the attempt of one self to comprehend the positive and negative experiences of another self.” Pernyataan tersebut memiliki arti yaitu proses yang terjadi lebih mendalam yang didasarkan pada penerimaan perbedaan individual juga merupakan upaya-upaya pemahaman terhadap kondisi orang lain yang berbasis pada faktor kognitif dan afektif. Pernyataan Wispe (dalam Taufik, 2012:71) dibenarkan oleh Santrock (2003:462) bahwa empati merupakan beraksi terhadap orang lain dengan respon orang lain tersebut. Selain itu, seseorang yang berempati berarti dia siap untuk 10 melakukan sesuatu terhadap orang lain, sebagaimana dikemukakan oleh Ahmadi sebagai berikut. Ahmadi (2009:109) mengemukakan bahwa empati adalah suatu kecenderungan untuk merasakan sesuatu yang dilakukan orang lain andaikata dia dalam situasi orang lain. Karena empati orang menggunakan perasaannya dengan efektif di dalam situasi orang lain, di dorong oleh emosinya seolah-olah dia ikut mengambil bagian dalam gerakan-gerakan yang dilakukan orang lain. Dengan demikian, maka dapat disimpulkan bahwa kecenderungan empati adalah keinginan ataupun kehendak hati seseorang untuk ikut merasakan apa yang dirasakan oleh orang lain sehingga seseorang itu seakan-akan berada dalam situasi orang lain. Seseorang yang dikatakan memiliki kecenderungan berempati apabila dia memiliki kepekaan terhadap perasaannya. 2.1.2 Ciri – ciri Empati Berdasarkan pengertian empati maka selanjutnya akan di jelaskan ciri-ciri empati menurut para ahli sebagai berikut. Menurut Borba (tt:22) ciri-ciri empati antara lain: (a) memahami ketika orang merasa sedih dan ikut merasakannya; (b) menitikkan air mata ketika melihat orang bersedih; (c) berusaha menghibur orang yang bersedih; (d) menenagkan orang lain karena dapat memahami perasaan orang yang terluka; (e) ikut gembira ketika orang lain menang. Adapun ciri-ciri empati menurut Dahlan (2011:114) antara lain; (a) mampu menerima sudut pandang orang lain; (b) memiliki kepekaan terhadap perasaan orang lain; (c) mampu mendengarkan orang lain”. 11 Selain itu, Rogers (dalam Putra, tt:67) juga mengemukakan ciri-ciri empati yakni; (a) seseorang yang memiliki kapasitas untuk merasakan perasaan orang lain; (b) seseorang yang mampu mengkomunikasikan perasaan pada sensitivitas pada level yang sesuai dengan kondosi emosional orang lain. Dari pendapat para ahli tersebut, peneliti akan menggunakan ciri-ciri yang telah dijelaskan oleh Rogers sebagai indikator penelitian. 2.1.3 Pentingnya Empati Empati sangat penting bagi kehidupan manusia oleh karena itu empati harus dimiliki oleh setiap insan manusia. Sebagaimana dikatakan oleh Goleman (2006:147) bahwa “hidup tanpa empati pikiran pemerkosa, serta moral sosiopat.” Selanjutnya pentingnya empati digambarkan oleh para ahli sebagai berikut: empati sangat penting sebagai mediator perilaku agresif Fesbach (dalam Taufik, 2012:37), memiliki kontribusi dalam perilaku prososial Eisenberg (dalam Taufik, 2012:37), berkaitan dengan perkembangan moral Hoffman (dalam Taufik, 2012:37), dapat mereduksi prasangka Stephan & Finlay (dalam Taufik, 2012:37), dan dapat menimbulkan keinginan untuk menolong Batson & Ahmad (dalam Taufik, 2012:37). Empati berperan meningkatkan sifat kemanusiaan, keadaban, dan moralitas. Empati merupakan emosi yang mengusik hati nurani anak ketika melihat kesusahan orang lain. Dengan belajar meningkatkan empati terhadap orang lain, anak-anak dapat menjadikan dunia ini sebagai tempat yang penuh toleransi dan kedamaian. (Borba, tt:21). 12 Dengan demikian disimpulkan bahwa pentingnya kecenderungan empati bagi siswa ialah sangat diperlukan untuk melakukan pendidikan moral anak. Seseorang akan mampu untuk turut merasakan apa yang dirasakan orang lain sejauh ia tidak memusatkan diri pada apa yang dirasakan oleh dirinya saja. (Gusnarsa dan Yulia Gusnarsa, 2008:76). 2.1.4 Faktor Mempengaruhi Empati Adapun di bawah ini akan dijelaskan faktor-faktor yang mempengaruhi empati menurut para ahli sebagai berikut. Perry (dalam Borba, tt:20) mengungkapkan bahwa empati bisa rusak akibat stres yang terjadi berulang-ulang selama 36 bulan pertama kehidupan anak seperti kekerasan, pelantaran, dan trauma. Menurut Taufik (2012:44) terdapat empat faktor yang mempengaruhi empati, diantaranya: a. Komponen Kognitif Komponen kognitif merupakan komponen yang menimbulkan pemahaman terhadap perasaan orang lain. Hal ini diperkuat oleh pernyataan beberapa ilmuan bahwa proses kognitif sangat berperan penting dalam proses empati, selanjutnya Hoffman mendefinisikan komponen kognitif sebagai kemampuan untuk memperoleh kembali pengalaman-pengalaman masa lalu dari memori dan kemampuan untuk memproses informasi semantik melalui pengalaman-pengalaman. 13 Komponen-komponen kognitif merupakan perwujudan dari multiple dimensions, seperti kemampuan seseorang dalam menjelaskan suatu perilaku, kemampuan untuk mengingat lai jejak-jejak intelektual dan verbal tentang orang lain, dan kemampuan untuk membedakan atau menselaraskan kondisi emosional edirinya dengan orang lain. b. Komponen Afektif Empati sebagai aspek afektif merujuk pada kemapuan menselaraskan pengalaman emosional pada orang lain. Aspek empati ini terdiri atas simpati, sensifitas, dan sharing penderitaan yang dialami orang lain seperti perasaan dekat terhadap kesulitan-kesulitan orang lain yang diimajinasikan seakan-akan dialami oleh diri sendiri. Selanjutnya dia menambahkan, empati afektif merupakan suatu kondisi dimana pengalaman emosi seseorang sama dengan pengalaman emosi yang sedang dirasakan oleh orang lain, atau perasaan mengalami bersama dengan orang lain. c. Komponen Kognitif dan Afektif Selain dua kategori tersebut, belakangan para ahli lebih memandang empati sebagai konsep multidimensional yang meliputi komponen afektif dan kognitif secara bersama-sama, terdiri atas komponen afektif dan kognitif yang tidak dapat dipisahkan, atau keduanya (kognitif dan afektif) dianggap sebagai satu aspek. Sementara itu Brems menguji respons-respons empati pada 122 siswa perguruan tinggi terhadap dua skala empati, yaitu skala yang mengukur berbagai 14 macam hubungan interpersonal dan altruisme. Hasilnya menunjukkan empati terbagi ke dalam dua komponen kognitif dan afektif. d. Komponen Komunikatif Selanjutnya, beberapa teoretikus menambahkan komponen yang keempat dari empati yaitu komunikatif. Munculnya komponen keempat ini didasarkan pada asumsi awal bahwa komponen afektif dan kognitif akan tetap terpisah walau keduanya tidak terjalin komunikasi. Teoritikus lainnya mengatakan yang dimaksud komunikatif, yaitu perilaku yang mengekspresikan perasaan-perasaan empatik. Komponen empati komunikatif adalah ekspresi dari pikiran-pikiran empatik (intellectual empathy) dan perasaan-perasaan (empatic emotions) terhadap orang lain yang dapat diekspresikan melalui kata-kata dan perbuatan. 2.1.5 Pengertian Bimbingan Kelompok Bimbingan kelompok merupakan suatu media bimbingan yang memungkinkan siswa untuk bisa saling menghargai pandapat orang lain serta mampu untuk menemukan solusi atas permasalahan sehari-hari yang dihadapi bersama. Menurut Luddin (2010:47) Bimbingan kelompok dimaksudkan untuk memungkinkan siswa secara bersama-sama memperoleh berbagai bahan dari nara sumber yang bermanfaat untuk kehidupan sehari-hari, baik sebagai individu maupun sebagai pelajar, anggota keluarga dan masyarakat. Bahan yang dimaksudkan dapat juga dipergunakan sebagai acuan untuk mengambil keputusan. 15 Selain itu, Hartinah juga menjelaskan tentang pengertian bimbingan kelompok sebagai berikut. Menurut Hartinah (2009:4) bahwa “teori pendekatan secara kelompok, yaitu bimbingan yang dilaksanakan secara kelompok terhadap sejumlah individu sekaligus beberapa orang atau individu sekaligus dapat menerima bimbingan yang dimaksudkan.” Pengertian bimbingan kelompok yang lebih sederhana menunjuk pada kegiatan bimbingan yang diberikan kepada kelompok individu yang mengalami masalah yang sama. Bimbingan kelompok juga merupakan salah satu bentuk usaha pemberian bantuan kepada orang-orang yang mengalami masalah. Melihat hal itu, alangkah baiknya jika dalam bimbingan kelompok siswasiswa yang diikutkan adalah siswa-siswa yang benar-benar mengalami masalah yang sama. Sehingga dalam pelaksanaannya bisa berjalan sesuai dengan tujuan dari bimbingan kelompok itu sendiri. Luddin (2010:47) jugan mengungkapkan bahwa dengan layanan bimbingan kelompok para siswa dapat diajak untuk bersama-sama mengemukakan pendapat tentang sesuatu dan membicarakan topik-topik penting, megembangkan nilai-nilai yang berhubungan dengan hal tersebut dan mengembangkan langkah-langkah bersama untuk menangani permasalahan yang dibahas di dalam kelompok. (Luddin, 2010:47) Selain itu, Wilis (2011:15) menegaskan bahwa bimbingan kelompok adalah jika seorang pembimbing menghadapi banyak klien. Disini pembimbing lebih banyak bersikap sebagai fasilitator untuk kelancaran diskusi kelompok dan dinamika kelompok. 16 Jadi dapat disimpulkan bahwa bimbingan kelompok merupakan kegiatan bimbingan yang dilakukan oleh seorang pembimbing untuk membimbing individu-individu yang berjumlah lebih dari dua orang yang mengalami masalah yang sama untuk mencari solusi secara bersama atas permasahan yang dihadapi. 2.1.6 Tujuan Bimbingan Kelompok Adapun maksud dan tujuan dari bimbingan kelompok yakni agar siswa bisa terlatih untuk saling menghargai pendapat, bisa melatih siswa untuk mengeluarkan pendapat di depan orang banyak, serta mampu untuk menemukan solusi secara bersama atas permasalahan yang didahadapi. Disamping itu, menurut Juntika (2009:17) juga berkomentar bahwa tujuan diadakannya bimbingan kelompok ialah mencegah berkembangnya masalah atau masalah pada diri konseli (siswa). Selanjutnya, Hartinah menjelaskan tujuan bimbingan kelompok sebagai berikut. Tujuan bimbingan kelompok antara lain; (1) dapat melatih peserta didik untuk dapat menghadapi suatu tugas bersama atau memecahkan suatu masalah bersama, (2) dapat mendorong peserta didik untuk berani mengemukakan pendapatnya dan menghargai pendapat orang lain, (3) memberikan informasi yang sangat bermanfaat dan bernilai ekonomis, (4) memberikan kesadaran bagi peserta didik bahwa mereka sebaiknya menghadap guru pembimbing untuk mendapat bimbingan secara mendalam. (Hartinah, 2009:8). Penjelasan Hartinah disempurnakan lagi oleh Luddin (2010:47) sebagai berikut. Tujuan umum layanan bimbingan kelompok adalah terentaskannya masalah yang dialami klien. Selain tujuan umum, adapun tujuan khusus bimbingan kelompok yakni: 17 a) Memahami seluk beluk masalah yang dialami secara mendalam dan komprehensif. b) Pemahaman itu mengarah kepada dikembangkannya persepsi dan sikap serta kegiatan untuk terentaskannya secara spesifik masalah yang dialami klien. c) Secara tidak langsung layanan bimbingan kelompok sering dijadikan pengembangan/pemeliharaan potensi dan unsur positif klien sebagai fokus dan sasaran layanan. d) Pengembangan/pemeliharaan potensi dan unsur positif yang ada pada diri klien, diperkuat oleh terentaskannya masalah yang sedang dialami klien. e) Apabila masalah yang dialami klien menyangkut dilanggarnya hak-hak klien teraniaya dalam kadar tertentu. Dari penjelasan beberapa para ahli tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa tujuan bimbingan kelompok adalah melatih siswa untuk berbicara di depan orang banyak, melatih siswa untuk mengambil keputusan, serta agar terentaskannya masalah yang dihadapi siswa. 2.1.7 Teknik Bimbingan Kelompok Selain pengertian serta tujuan bimbingan kelompok, di bawah ini juga akan di bahas tentang teknik-teknik yang digunakan dalam bimbingan kelompok sebagai berikut. Menurut Willis (2011:15) terdapat berbagai macam teknik bimbingan kelompok diantaranya : 18 a. Teknik diskusi Teknik ini dilakukan oleh beberapa orang siswa untuk membicarakan persoalan bersama. b. Dinamika kelompok Teknik ini dilakukan oleh beberapa anggota kelompok dengan membahas suatu topik permasalahan yang terjadi dan mencari sebuah solusi secara bersama terkait topik permasalahan tersebut. c. Ceramah Teknik ini dilakukan oleh guru, ataupun orang-orang tetentu untuk menyampaikan sesuatu untuk membantu anggota mengubah perilakunya dalam memecahkan persoalan hidup. d. Program Homeroom Teknik ini dilaksanakan dengan tujuan agar para anggota rileks sehingga tercipta suasana seperti dirumah sehingga anggota kelompok bebas untuk mengutarakan persoalan hidupnya. e. Sosiodrama Teknik ini merupakan metode kelompok dengan menggunakan drama sosial atau kehidupan nyata dimasyarakat yang sesuai dengan masalah yang dihadapi para anggota. Dengan demikian mereka dapat belajar bagaimana akibat suatu perbuatan negatif atau bagaimana cara berbuat baik. Drama disusun untuk permainan paling banyak 10 – 15 orang. 19 f. Psikodrama Merupakan suatu metode kelompok dengan menggunakan suatu media drama kejiwaan yang menyentuh sehingga berdampak positif bagi perubahan perilaku anggota kelompok. g. Karyawisata Metode kelompok ini bermakna bagi para anggota yang mengalami stress karena kelamaan proses belajar atau bekerja. Dengan berwisata akan terjadi pelepasan energi lelah, cemas, dan duka. h. Metode Tugas Dengan memberi tugas bersama/berkelompok, akan terjalin kerjasama, setia kawan, persahabatan dan juga pelepasan uneg-uneg yang kurang disenangi dengan cara bebas. 2.1.8 Teknik Sosiodrama Adapun pengertian sosiodrama menurut Surya (2006:47) yaitu suatu jenis permainan yang dilakukan oleh beberapa orang anak untuk memainkan lakon tertentu atau mendramatisasikan cara bertingkahlaku di dalam hubungan sosial dengan membagi peran kepada masing-masing pemain. Pendapat Surya (2006:47) dibenarkan oleh Endaswara (2003:259) bahwa sosiodrama merupakan sebuah permainan drama singkat yang mengacu pada sebuah masalah sosial. Di samping itu, Menurut Santrock (dalam Ulfah dan Rahmawaty tt:4), sosiodrama adalah permainan yang melibatkan interaksi sosial dengan teman- 20 teman sebaya. Sedangkan menurut Hurlock (dalam Ulfah dan Rahmawaty tt:4), sosiodrama adalah permainan yang aktif terhadap perilaku dan bahasa. Bergen (dalam Ulfah dan Rahmawaty tt:4) mengungkapkan bahwa sosiodrama yaitu suatu jenis permainan cuma-cuma yang melibatkan imajinasi anak dalam berinteraksi sosial dan berkreativitas. Selanjutnya, Hughes (dalam Ulfah dan Rahmawaty tt:4) mendefinisikan sosiodrama yaitu suatu jenis permainan yang melibatkan kelompok dan masing-masing anggota kelompok memerankan suatu peran yang dimainkan. Lain halnya yang dikemukakan oleh Smilansky (dalam Ulfah dan Rahmawaty tt:4) bahwa sosiodrama sangat berperan dalam perkembangan kreatifitas, inteligensi, keterampilan sosial dan perkembangan bahasa. Dengan demikian, dari beberapa pendapat para ahli tersebut maka dapat disimpulkan bahwa sosiodrama merupakan suatu teknik/permainan yang melibatkan beberapa orang untuk memerankan tokoh tertentu dalam kehidupan masyarat dengan mendramatisasikan hubungan-hubungan sosial. 2.1.9 Pengaruh Bimbingan Kelompok Teknik Sosiodrama Terhadap Empati Empati merupakan kemampuan diri yang membuat seseorang merasa atau mengidentifikasi dirinya dalam keadaan perasaan atau pikiran yang sama dengan orang lain. (Hapsari, 2005:62) Menurut Chaplin (dalam Ulfah dan Rahmawaty tt:4), empati adalah “realisasi dan pengertian terhadap perasaan, kebutuhan dan penderitaan pribadi 21 lain”. Kemampuan berempati sangat penting dalam diri anak. Anak akan menjadi egois, bila tidak mempunyai kemampuan berempati. Kemampuan dalam berempati diawali dengan sosialisasi, dalam bersosialisasi anak dapat merasakan menolong dan ditolong orang lain. Komponen menolong dan ditolong merupakan salah satu komponen afektif dari empati termasuk merasa simpati, dengan hal tersebut individu belajar untuk mengenal diri sendiri dari sudut pandang orang lain. Melihat hal itu maka empati perlu ditumbuhkan di dalam diri individu karna setiap individu merupakan makhluk sosial sementara empati adalah perilaku sosial. Bisa dibayangkan jika terdapat makhluk sosial yang tidak dapat berperilaku sosial dengan baik seperti yang dikatakan oleh Goleman (2006:147) bahwa seseorang yang tidak memiliki sikap empati maka orang tersebut merupakan pelaku kriminalitas seperti pemerkosa serta jiwa psikopat. Terkait dengan hal itu, terdapat salah satu teknik yang dapat menunjang tumbuh kembangya empati pada individu. Teknik itu ialah teknik sosiodrama. Hal ini dikarenakan bahwa salah satu tujuan sosiodrama adalah menumbuhkan empati pada seseorang yakni agar siswa dapat menghayati dan menghargai perasaan orang lain. (Djamarah dan Zain, 2010:88). Dalam permainan sosiodrama ini juga individu dapat mengekspresikan dan mencoba peran yang diinginkan melalui tingkah laku dan bahasa, mengembangkan daya pikir dan imajinasi yang ada dalam diri anak. Permainan sosiodrama melibatkan beberapa orang sehingga memungkinkan terjadinya interaksi sosial dan emosi di antara pemainnya. Selain itu, Menggunakan 22 permainan sosiodrama juga dapat mengembangkan kreativitas individu, menstimulasi individu untuk berperan sebagai orang lain, menambah daya sosialisasi individu dengan orang lain sehingga dapat menumbuhkan rasa empati pada anak. Selanjutnya terdapat manfaat dan keuntungan dalam menggunakan sosiodrama dalam menumbuhkan empati menurut Surya (2006:47) antara lain: a) Mengajarkan pada setiap individu bagaimana memahami dan mengerti perasaan orang lain. Dalam permainan sosiodrama ini, individu dapat memahami dan mengerti perasaan orang lain, sebab setiap anak diminta untuk melakonkan tokoh tertentu. Untuk melakonkan tokoh tertentu tersebut, tentu anak harus menjiwai sikap dan perilaku tokoh yang dimainkannya tersebut dengan baik. Individu turut merasakan dan menghayati bagaimana sikap dan perilaku tertentu yang diperankannya, di luar dirinya sendiri. Proses peniruan yang dilakukan anak ini, secara tidak langsung mengajarkan pada individu bagaimana memahami dan mengerti perasaan orang lain. b) Cara menghargai pendapat orang lain. Sosiodrama ini juga mengajarkan pada individu cara menghargai pendapat orang lain. Permainan ini dilakukan tanpa suatu skenario yang matang seperti pembuatan film/sinetron. Permainan sosiodrama ini, secara tidak langsung mengajarkan pada pemainnya untuk bermusyawarah menentukan peran dan menyelesaikan konflik berdasarkan kesepakatan bersama. Di samping itu permainan sosiodrama juga berfungsi untuk melatih anak bekerjasama, saling tolong menolong dan setia kawan yang merupakan bentuk atau perwujudan sikap empati. Dengan demikian, permainan sosiodrama dapat mempengaruhi diri anak. 23 Menurut Garvey (dalam Ulfa dan Rahmawaty, tt:5) permainan sosiodrama merupakan tipe permainan yang kompleks, individu mulai merencanakan perbuatan yang akan dilakukan, mentransformasikan ke suatu objek dengan mengekspresikan ide dan perasaan tentang dunia sosial. Berdasarkan uraian tersebut dapat diduga bahwa secara langsung permainan sosiodrama berpengaruh dalam menumbuhkan kemampuan empati pada individu. Misalkan jika individu memainkan sebuah adegan melihat suatu kecelakaan kemudian dia menolong orang tersebut atau adegan lain berupa seorang individu menengok temannya yang sedang sakit. Maka jika kejadian tersebut terjadi dalam kehidupan nyata maka individu akan mengingat adegan yang pernah diperankannya dan melakukan hal yang sama, yaitu menolong orang yang mendapat kecelakaan atau menengok temannya yang sedang sakit. Oleh karena itu peneliti merasa tertarik untuk mengadakan penelitian sehingga penelitian ini bermaksud membuktikan pengaruh teknik sosiodrama terhadap empati siswa. Adapun tahap-tahap pelaksanaan pemainan sosiodrama, sebagai berikut: (1) persiapan, dari mulai mempersiapkan konselor, tokoh-tokoh, topik yang akan di bawakan, tujuan dari topik yang dibawakan pada sosiodrama itu; (2) membuat skenario; (3) menentukan kelompok sesuai naskah; (4) menentukan kelompok penonton untuk observasi; (5) pelaksanaan (6) evaluasi dan diskusi, evaluasi dapat dilakukan dengan refleksi atau dengan cara laiseg (layanan segera), laijapan (layanan jangka panjang). (7) ulangan permainan (rehersal), jika masih ada waktu permainan dapat diulang kembali dengan pertukaran peran pemain. 24 2.2 Kerangka Berfikir Alur kerangka berfikir dapat digambarkan secara praktis mengenai pengaruh bimbingan kelompok teknik sosiodrama terhadap kecenderungan empati siswa sebagai berikut. INPUT PROCES OUTPUT KURANGNYA EMPATI - - Tidak menghargai teman. Merasa paling hebat. Iri melihat teman yang mempunyai kelebihan. Menertawakan teman yang terjatuh Acuh tak acuh terhadap teman. Mementingkan kehendak sendiri (Egois). EMPATI BERUBAH TEKNIK SOSIODR AMA - Menghargai teman. Peduli kepada teman. Dapat menerima pendapat teman. Bisa bergau dengan semua teman. Menjaga perasaan teman. Menerima pendapat teman. 25 2.3 Hipotesis Adapun yang menjadi hipotesis dari penelitian ini adalah terdapat pengaruh bimbingan kelompok teknik sosiodrama terhadap kecenderungan empati siswa kelas VIII di SMP 2 Kota Gorontalo.