BAB II KAJIAN TEORETIS DAN HIPOTESIS 2.1 Kajian

advertisement
6
BAB II
KAJIAN TEORETIS DAN HIPOTESIS
2.1 Kajian Teoretis
2.1.1 Pengertian Empati dan Kecenderungan Empati
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, kecenderungan berasal dari kata
cenderung yang memiliki arti condong, menaruh minat (keinginan, kasih, dsb),
ingin, mengarah, menjurus. Jadi kecenderungan itu sendiri berarti mempunyai
keinginan, kehendak, kesukaan, niat, hasrat, kegemaran, naluri, dan predisposisi.
Sedangkan empati merupakan suatu sikap yang ada pada seseorang yang
mencerminkan bahwa seseorang itu mengerti, memahami serta ikut merasakan
apa yang dirasakan oleh orang lain. Seseorang dapat berempati pada orang lain,
baik dalam situasi kesedihan maupun dalam situasi kebahagiaan. Seperti yang
dikatakan oleh Candra (2006:130) bahwa empati adalah kemampuan untuk
menghayati orang lain.
Selain itu, Hoffman (dalam Goleman 2006:148) melihat adanya proses
alamiah empati sejak bayi dan masa-masa selanjutnya. Sebagaimana telah
dibahas, pada umur satu tahun, anak-anak merasakan sakit pada dirinya
apabila melihat anak lain jatuh dan menangis; perasaannya sedemikian
kuat mengikat sehingga ia menaruh ibu jarinya dimulut dan
membenamkan kepalanya di pangkuan ibunya, seolah-olah ia sendiri
terluka. Setelah tahun pertama, ketika bayi sudah lebih menyadari bahwa
mereka berbeda dengan orang lain, mereka secara aktif mencoba
menghibur bayi lain yang menangis, misalnya dengan menawarkan
boneka beruang miliknya. Pada awal usia dua tahun, anak-anak mulai
memahami bahwa perasaan orang lain berbeda dengan perasaannya,
sehingga mereka lebih peka terhadap isyarat-isyarat yang mengungkapkan
perasaan orang lain; pada tahap ini mungkin, misalnya, mereka paham
bahwa untuk menjaga harga diri anak lain ketika menolong menhentikan
tangisnya adalah dengan tidak memberi perhatian khusus pada tangis itu.
7
Di samping itu, empati juga lebih jelas dapat dilihat pada masa kanakkanak, dimana individu sudah bisa berinteraksi dengan banyak orang. Dari masa
kanak-kanak, individu beranjak ke masa remaja. Disinilah sikap empati sangat
tampak karena individu sudah bisa berinteraksi dengan masyarakat luas. Dibawah
ini akan di jelaskan lebih lanjut oleh Goleman, sebagai berikut.
Goleman (2006:148) menjelaskan bahwa pada akhir masa kanak-kanak,
tingkat empati paling lanjut muncul ketika anak-anak sudah sanggup
memahami kesulitan yang ada di balik situasi yang tampak, dan menyadari
bahwa situasi atau status seseorang dalam kehidupan dapat menjadi
sumber beban stres kronis. Pada tahap ini, mereka dapat merasakan
kesengsaraan suatu golongan, misalnya kaum miskin, kaum tertindas,
mereka yang terkucil dari masyarakat. Pemahaman itu, dalam masa
remaja, dapat mendorong keyakinan moral yang berpusat pada kemauan
untuk meringankan ketidakberuntungan dan ketidakadilan.
Perkembangan empati pada seseorang ada yang bekembang dengan baik
dan ada juga yang tidak. Hal ini dikarenakan teradapat individu yang tidak
mendapatkan kesempatan untuk bekembang dengan baik oleh orang-orang yang
berada dilingkungannya. Sebagaimana di kemukakan oleh Ibung sebagai berikut.
Empati merupakan bawaan dari lahir, namun tidak akan berkembang jika
tidak diberi kesempatan berkembang dalam kehidupan seorang anak
selanjutnya. Perkembangan empati dimulai ketika seorang anak berusia
sekitar 4 tahun, ketika anak mulai mampu melihat hubungan dalam suatu
lingkungan sosial. Dalam hubungannya dengan keberadaan anak dalam
lingkungan sosialnya, kemampuan empati yang baik dari seorang anak,
akan sangat membantu adaptasi anak dalam suatu lingkungan, dan tentu
saja membuat anak lebih diterima dalam lingkungan tersebut. (Ibung,
2009:134).
Dari pernyataan para ahli tentang konsep dasar empati, maka dapat
disimpulkan bahwa empati secara alamiah sudah dimiliki oleh manusia sejak
masa bayi, anak-anak, remaja sampai pada masa dewasa.
8
Selanjutnya, Goleman (2006:135) mengemukakan bahwa empati di
bangun berdasarkan kesadaran diri; semakin terbuka kita kepada emosi diri
sendiri, semakin terampil kita membaca perasaan. Menurut Borba (tt:9) definisi
empati ialah “memahami dan merasakan kekhawatiran orang lain.” Sedangkan
Gusnarsa dan Singgih (2008:16) berpandangan bahwa “empati berarti
kemampuan untuk merasakan apa yang dirasakan orang lain menunjukkan bahwa
seseorang sudah lebih tinggi perkembangannya dari pada hanya sekedar
egosentris saja”.
Seseorang yang memiliki empati juga harus memiliki kemampuan untuk
berinteraksi dengan baik dengan orang lain. Hal ini dikarenakan jika seseorang itu
memiliki empati, namun orang itu tidak diterima oleh lingkungan sekitarnya maka
rasa empatinya sulit untuk direalisasikan pada lingkungannya tersebut. Oleh
karena itu, seseorang harus bisa berinteraksi dengan baik dengan lingkungannya
agar dia bisa merealisasikan kemampuan empatinya.
Kemampuan berempati yaitu kemampuan untuk mengetahui bagaimana
perasaan orang lain, ikut berperan dalam pergulatan dalam arena kehidupan, mulai
dari penjualan dan manajemen hingga ke asmara dan mendidik anak, dari belas
kasih hingga tindakan politik. (Goleman, 2006:136).
Kemampuan berempati yaitu ketika individu merasa bahwa dia berada pada
situasi dan kondisi orang lain. Dapat diartikan bahwa individu tersebut mampu
untuk menempatkan diri pada posisi orang lain. Hal ini dapat di lihat pada
pernyataan Ibung sebagai berikut.
Ibung (2009:132) menyatakan bahwa empati merupakan kemampuan
menempatkan diri pada posisi orang lain untuk mengerti dan merasakan
9
pemikiran dan perasaan orang lain. Ibung juga menjelaskan bahwa empati
tidak saja melibatkan perasaan, tapi juga pemikiran dan fleksibilitas.
Karena, dalam empati, seorang dituntut untuk dapat berikap fleksibel,
mencoba melihat permasalahan dari sudut pandang orang lain, bahkan
hingga ikut merasakan apa yang dirasakan orang tersebut, yang mungkin
saja jauh dari pemikirannya sendiri.
Titchener (dalam Taufik, 2012:12) mengemukakan bahwa “empati
membantu kita memahami fenomena-fenomena yang membingungkan seperti
fenomena ilusi visual. Karena ketika seseorang berempati dia sedang melakukan
diskusi dengan dirinya sendiri, antara dirinya dengan orang lain, dan antara
dirinya dengan lingkungannya.”
Dengan empati maka seseorang mampu berinteraksi dengan lingkungan
sekitarnya. Hal ini dapat dilihat seseorang yang menolong tetangganya untuk
menghilangkan api yang membakar rumah tetangganya tersebut. Selain itu,
seseorang yang memiliki empati berarti orang itu mampu untuk menerima
perbedaan individual. Sebagaimana di jelaskan oleh Wispe, sebagai berikut.
Wispe (dalam Taufik, 2012:71) mengatakan bahwa empati adalah “refers to
the attempt of one self to comprehend the positive and negative experiences of
another self.” Pernyataan tersebut memiliki arti yaitu proses yang terjadi lebih
mendalam yang didasarkan pada penerimaan perbedaan individual juga
merupakan upaya-upaya pemahaman terhadap kondisi orang lain yang berbasis
pada faktor kognitif dan afektif.
Pernyataan Wispe (dalam Taufik, 2012:71)
dibenarkan oleh Santrock
(2003:462) bahwa empati merupakan beraksi terhadap orang lain dengan respon
orang lain tersebut. Selain itu, seseorang yang berempati berarti dia siap untuk
10
melakukan sesuatu terhadap orang lain, sebagaimana dikemukakan oleh Ahmadi
sebagai berikut.
Ahmadi (2009:109) mengemukakan bahwa empati adalah suatu
kecenderungan untuk merasakan sesuatu yang dilakukan orang lain
andaikata dia dalam situasi orang lain. Karena empati orang menggunakan
perasaannya dengan efektif di dalam situasi orang lain, di dorong oleh
emosinya seolah-olah dia ikut mengambil bagian dalam gerakan-gerakan
yang dilakukan orang lain.
Dengan demikian, maka dapat disimpulkan bahwa kecenderungan empati
adalah keinginan ataupun kehendak hati seseorang untuk ikut merasakan apa yang
dirasakan oleh orang lain sehingga seseorang itu seakan-akan berada dalam situasi
orang lain. Seseorang yang dikatakan memiliki kecenderungan berempati apabila
dia memiliki kepekaan terhadap perasaannya.
2.1.2 Ciri – ciri Empati
Berdasarkan pengertian empati maka selanjutnya akan di jelaskan ciri-ciri
empati menurut para ahli sebagai berikut.
Menurut Borba (tt:22) ciri-ciri empati antara lain: (a) memahami ketika
orang merasa sedih dan ikut merasakannya; (b) menitikkan air mata ketika
melihat orang bersedih; (c) berusaha menghibur orang yang bersedih; (d)
menenagkan orang lain karena dapat memahami perasaan orang yang terluka; (e)
ikut gembira ketika orang lain menang. Adapun ciri-ciri empati menurut Dahlan
(2011:114) antara lain; (a) mampu menerima sudut pandang orang lain; (b)
memiliki kepekaan terhadap perasaan orang lain; (c) mampu mendengarkan orang
lain”.
11
Selain itu, Rogers (dalam Putra, tt:67) juga mengemukakan ciri-ciri empati
yakni; (a) seseorang yang memiliki kapasitas untuk merasakan perasaan orang
lain; (b) seseorang yang mampu mengkomunikasikan perasaan pada sensitivitas
pada level yang sesuai dengan kondosi emosional orang lain.
Dari pendapat para ahli tersebut, peneliti akan menggunakan ciri-ciri yang
telah dijelaskan oleh Rogers sebagai indikator penelitian.
2.1.3 Pentingnya Empati
Empati sangat penting bagi kehidupan manusia oleh karena itu empati harus
dimiliki oleh setiap insan manusia. Sebagaimana dikatakan oleh Goleman
(2006:147) bahwa “hidup tanpa empati pikiran pemerkosa, serta moral sosiopat.”
Selanjutnya pentingnya empati digambarkan oleh para ahli sebagai berikut:
empati sangat penting sebagai mediator perilaku agresif Fesbach (dalam Taufik,
2012:37), memiliki kontribusi dalam perilaku prososial Eisenberg (dalam Taufik,
2012:37), berkaitan dengan perkembangan moral Hoffman (dalam Taufik,
2012:37), dapat mereduksi prasangka Stephan & Finlay (dalam Taufik, 2012:37),
dan dapat menimbulkan keinginan untuk menolong Batson & Ahmad (dalam
Taufik, 2012:37).
Empati berperan meningkatkan sifat kemanusiaan, keadaban, dan moralitas.
Empati merupakan emosi yang mengusik hati nurani anak ketika melihat
kesusahan orang lain. Dengan belajar meningkatkan empati terhadap orang lain,
anak-anak dapat menjadikan dunia ini sebagai tempat yang penuh toleransi dan
kedamaian. (Borba, tt:21).
12
Dengan demikian disimpulkan bahwa pentingnya kecenderungan empati
bagi siswa ialah sangat diperlukan untuk melakukan pendidikan moral anak.
Seseorang akan mampu untuk turut merasakan apa yang dirasakan orang lain
sejauh ia tidak memusatkan diri pada apa yang dirasakan oleh dirinya saja.
(Gusnarsa dan Yulia Gusnarsa, 2008:76).
2.1.4 Faktor Mempengaruhi Empati
Adapun di bawah ini akan dijelaskan faktor-faktor yang mempengaruhi
empati menurut para ahli sebagai berikut.
Perry (dalam Borba, tt:20) mengungkapkan bahwa empati bisa rusak akibat
stres yang terjadi berulang-ulang selama 36 bulan pertama kehidupan anak seperti
kekerasan, pelantaran, dan trauma.
Menurut Taufik (2012:44) terdapat empat faktor yang mempengaruhi
empati, diantaranya:
a. Komponen Kognitif
Komponen
kognitif
merupakan
komponen
yang
menimbulkan
pemahaman terhadap perasaan orang lain. Hal ini diperkuat oleh pernyataan
beberapa ilmuan bahwa proses kognitif sangat berperan penting dalam proses
empati, selanjutnya Hoffman mendefinisikan komponen kognitif sebagai
kemampuan untuk memperoleh kembali pengalaman-pengalaman masa lalu dari
memori dan kemampuan untuk memproses informasi semantik melalui
pengalaman-pengalaman.
13
Komponen-komponen kognitif merupakan perwujudan dari multiple
dimensions, seperti kemampuan seseorang dalam menjelaskan suatu perilaku,
kemampuan untuk mengingat lai jejak-jejak intelektual dan verbal tentang orang
lain, dan kemampuan untuk membedakan atau menselaraskan kondisi emosional
edirinya dengan orang lain.
b. Komponen Afektif
Empati sebagai aspek afektif merujuk pada kemapuan menselaraskan
pengalaman emosional pada orang lain. Aspek empati ini terdiri atas simpati,
sensifitas, dan sharing penderitaan yang dialami orang lain seperti perasaan dekat
terhadap kesulitan-kesulitan orang lain yang diimajinasikan seakan-akan dialami
oleh diri sendiri. Selanjutnya dia menambahkan, empati afektif merupakan suatu
kondisi dimana pengalaman emosi seseorang sama dengan pengalaman emosi
yang sedang dirasakan oleh orang lain, atau perasaan mengalami bersama dengan
orang lain.
c. Komponen Kognitif dan Afektif
Selain dua kategori tersebut, belakangan para ahli lebih memandang
empati sebagai konsep multidimensional yang meliputi komponen afektif dan
kognitif secara bersama-sama, terdiri atas komponen afektif dan kognitif yang
tidak dapat dipisahkan, atau keduanya (kognitif dan afektif) dianggap sebagai satu
aspek. Sementara itu Brems menguji respons-respons empati pada 122 siswa
perguruan tinggi terhadap dua skala empati, yaitu skala yang mengukur berbagai
14
macam hubungan interpersonal dan altruisme. Hasilnya menunjukkan empati
terbagi ke dalam dua komponen kognitif dan afektif.
d. Komponen Komunikatif
Selanjutnya, beberapa teoretikus menambahkan komponen yang keempat
dari empati yaitu komunikatif. Munculnya komponen keempat ini didasarkan
pada asumsi awal bahwa komponen afektif dan kognitif akan tetap terpisah walau
keduanya tidak terjalin komunikasi. Teoritikus lainnya mengatakan yang
dimaksud komunikatif, yaitu perilaku yang mengekspresikan perasaan-perasaan
empatik. Komponen empati komunikatif adalah ekspresi dari pikiran-pikiran
empatik (intellectual empathy) dan perasaan-perasaan (empatic emotions)
terhadap orang lain yang dapat diekspresikan melalui kata-kata dan perbuatan.
2.1.5 Pengertian Bimbingan Kelompok
Bimbingan
kelompok
merupakan
suatu
media
bimbingan
yang
memungkinkan siswa untuk bisa saling menghargai pandapat orang lain serta
mampu untuk menemukan solusi atas permasalahan sehari-hari yang dihadapi
bersama.
Menurut Luddin (2010:47) Bimbingan kelompok dimaksudkan untuk
memungkinkan siswa secara bersama-sama memperoleh berbagai bahan dari nara
sumber yang bermanfaat untuk kehidupan sehari-hari, baik sebagai individu
maupun sebagai pelajar, anggota keluarga dan masyarakat. Bahan yang
dimaksudkan dapat juga dipergunakan sebagai acuan untuk mengambil
keputusan.
15
Selain itu, Hartinah juga menjelaskan tentang pengertian bimbingan
kelompok sebagai berikut.
Menurut Hartinah (2009:4) bahwa “teori pendekatan secara kelompok,
yaitu bimbingan yang dilaksanakan secara kelompok terhadap sejumlah individu
sekaligus beberapa orang atau individu sekaligus dapat menerima bimbingan yang
dimaksudkan.” Pengertian bimbingan kelompok yang lebih sederhana menunjuk
pada kegiatan bimbingan yang diberikan kepada kelompok individu yang
mengalami masalah yang sama. Bimbingan kelompok juga merupakan salah satu
bentuk usaha pemberian bantuan kepada orang-orang yang mengalami masalah.
Melihat hal itu, alangkah baiknya jika dalam bimbingan kelompok siswasiswa yang diikutkan adalah siswa-siswa yang benar-benar mengalami masalah
yang sama. Sehingga dalam pelaksanaannya bisa berjalan sesuai dengan tujuan
dari bimbingan kelompok itu sendiri.
Luddin (2010:47) jugan mengungkapkan bahwa dengan layanan
bimbingan
kelompok
para
siswa
dapat
diajak
untuk
bersama-sama
mengemukakan pendapat tentang sesuatu dan membicarakan topik-topik penting,
megembangkan nilai-nilai yang berhubungan dengan hal tersebut
dan
mengembangkan langkah-langkah bersama untuk menangani permasalahan yang
dibahas di dalam kelompok. (Luddin, 2010:47)
Selain itu, Wilis (2011:15) menegaskan bahwa bimbingan kelompok
adalah jika seorang pembimbing menghadapi banyak klien. Disini pembimbing
lebih banyak bersikap sebagai fasilitator untuk kelancaran diskusi kelompok dan
dinamika kelompok.
16
Jadi dapat disimpulkan bahwa bimbingan kelompok merupakan kegiatan
bimbingan yang dilakukan oleh seorang pembimbing untuk membimbing
individu-individu yang berjumlah lebih dari dua orang yang mengalami masalah
yang sama untuk mencari solusi secara bersama atas permasahan yang dihadapi.
2.1.6 Tujuan Bimbingan Kelompok
Adapun maksud dan tujuan dari bimbingan kelompok yakni agar siswa
bisa terlatih untuk saling menghargai pendapat, bisa melatih siswa untuk
mengeluarkan pendapat di depan orang banyak, serta mampu untuk menemukan
solusi secara bersama atas permasalahan yang didahadapi.
Disamping itu, menurut Juntika (2009:17) juga berkomentar bahwa tujuan
diadakannya bimbingan kelompok ialah mencegah berkembangnya masalah atau
masalah pada diri konseli (siswa). Selanjutnya, Hartinah menjelaskan tujuan
bimbingan kelompok sebagai berikut.
Tujuan bimbingan kelompok antara lain; (1) dapat melatih peserta didik
untuk dapat menghadapi suatu tugas bersama atau memecahkan suatu
masalah bersama, (2) dapat mendorong peserta didik untuk berani
mengemukakan pendapatnya dan menghargai pendapat orang lain, (3)
memberikan informasi yang sangat bermanfaat dan bernilai ekonomis, (4)
memberikan kesadaran bagi peserta didik bahwa mereka sebaiknya
menghadap guru pembimbing untuk mendapat bimbingan secara
mendalam. (Hartinah, 2009:8).
Penjelasan Hartinah disempurnakan lagi oleh Luddin (2010:47) sebagai
berikut.
Tujuan umum layanan bimbingan kelompok adalah terentaskannya
masalah yang dialami klien. Selain tujuan umum, adapun tujuan khusus
bimbingan kelompok yakni:
17
a) Memahami seluk beluk masalah yang dialami secara mendalam dan
komprehensif.
b) Pemahaman itu mengarah kepada dikembangkannya persepsi dan sikap
serta kegiatan untuk terentaskannya secara spesifik masalah yang dialami
klien.
c) Secara tidak langsung layanan bimbingan kelompok sering dijadikan
pengembangan/pemeliharaan potensi dan unsur positif klien sebagai fokus
dan sasaran layanan.
d) Pengembangan/pemeliharaan potensi dan unsur positif yang ada pada diri
klien, diperkuat oleh terentaskannya masalah yang sedang dialami klien.
e) Apabila masalah yang dialami klien menyangkut dilanggarnya hak-hak
klien teraniaya dalam kadar tertentu.
Dari penjelasan beberapa para ahli tersebut, maka dapat disimpulkan
bahwa tujuan bimbingan kelompok adalah melatih siswa untuk berbicara di depan
orang banyak, melatih siswa untuk mengambil keputusan, serta agar
terentaskannya masalah yang dihadapi siswa.
2.1.7 Teknik Bimbingan Kelompok
Selain pengertian serta tujuan bimbingan kelompok, di bawah ini juga
akan di bahas tentang teknik-teknik yang digunakan dalam bimbingan kelompok
sebagai berikut.
Menurut Willis (2011:15) terdapat berbagai macam teknik bimbingan
kelompok diantaranya :
18
a. Teknik diskusi
Teknik ini dilakukan oleh beberapa orang siswa untuk membicarakan
persoalan bersama.
b. Dinamika kelompok
Teknik ini dilakukan oleh beberapa anggota kelompok dengan membahas
suatu topik permasalahan yang terjadi dan mencari sebuah solusi secara bersama
terkait topik permasalahan tersebut.
c. Ceramah
Teknik ini dilakukan oleh guru, ataupun orang-orang tetentu untuk
menyampaikan sesuatu untuk membantu anggota mengubah perilakunya dalam
memecahkan persoalan hidup.
d. Program Homeroom
Teknik ini dilaksanakan dengan tujuan agar para anggota rileks sehingga
tercipta suasana seperti dirumah sehingga anggota kelompok bebas untuk
mengutarakan persoalan hidupnya.
e. Sosiodrama
Teknik ini merupakan metode kelompok dengan menggunakan drama
sosial atau kehidupan nyata dimasyarakat yang sesuai dengan masalah yang
dihadapi para anggota. Dengan demikian mereka dapat belajar bagaimana akibat
suatu perbuatan negatif atau bagaimana cara berbuat baik. Drama disusun untuk
permainan paling banyak 10 – 15 orang.
19
f. Psikodrama
Merupakan suatu metode kelompok dengan menggunakan suatu media
drama kejiwaan yang menyentuh sehingga berdampak positif bagi perubahan
perilaku anggota kelompok.
g. Karyawisata
Metode kelompok ini bermakna bagi para anggota yang mengalami stress
karena kelamaan proses belajar atau bekerja. Dengan berwisata akan terjadi
pelepasan energi lelah, cemas, dan duka.
h. Metode Tugas
Dengan memberi tugas bersama/berkelompok, akan terjalin kerjasama,
setia kawan, persahabatan dan juga pelepasan uneg-uneg yang kurang disenangi
dengan cara bebas.
2.1.8 Teknik Sosiodrama
Adapun pengertian sosiodrama menurut Surya (2006:47) yaitu suatu jenis
permainan yang dilakukan oleh beberapa orang anak untuk memainkan lakon
tertentu atau mendramatisasikan cara bertingkahlaku di dalam hubungan sosial
dengan membagi peran kepada masing-masing pemain.
Pendapat Surya (2006:47) dibenarkan oleh Endaswara (2003:259) bahwa
sosiodrama merupakan sebuah permainan drama singkat yang mengacu pada
sebuah masalah sosial.
Di samping itu, Menurut Santrock (dalam Ulfah dan Rahmawaty tt:4),
sosiodrama adalah permainan yang melibatkan interaksi sosial dengan teman-
20
teman sebaya. Sedangkan menurut Hurlock (dalam Ulfah dan Rahmawaty tt:4),
sosiodrama adalah permainan yang aktif terhadap perilaku dan bahasa.
Bergen (dalam Ulfah dan Rahmawaty tt:4) mengungkapkan bahwa
sosiodrama yaitu suatu jenis permainan cuma-cuma yang melibatkan imajinasi
anak dalam berinteraksi sosial dan berkreativitas. Selanjutnya, Hughes (dalam
Ulfah dan Rahmawaty tt:4) mendefinisikan sosiodrama yaitu suatu jenis
permainan yang melibatkan kelompok dan masing-masing anggota kelompok
memerankan suatu peran yang dimainkan.
Lain halnya yang dikemukakan oleh Smilansky (dalam Ulfah dan
Rahmawaty tt:4) bahwa sosiodrama sangat berperan dalam perkembangan
kreatifitas, inteligensi, keterampilan sosial dan perkembangan bahasa.
Dengan demikian, dari beberapa pendapat para ahli tersebut maka dapat
disimpulkan bahwa sosiodrama merupakan suatu teknik/permainan yang
melibatkan beberapa orang untuk memerankan tokoh tertentu dalam kehidupan
masyarat dengan mendramatisasikan hubungan-hubungan sosial.
2.1.9 Pengaruh Bimbingan Kelompok Teknik Sosiodrama Terhadap
Empati
Empati merupakan kemampuan diri yang membuat seseorang merasa atau
mengidentifikasi dirinya dalam keadaan perasaan atau pikiran yang sama dengan
orang lain. (Hapsari, 2005:62)
Menurut Chaplin (dalam Ulfah dan Rahmawaty tt:4), empati adalah
“realisasi dan pengertian terhadap perasaan, kebutuhan dan penderitaan pribadi
21
lain”. Kemampuan berempati sangat penting dalam diri anak. Anak akan menjadi
egois, bila tidak mempunyai kemampuan berempati. Kemampuan dalam
berempati diawali dengan sosialisasi, dalam bersosialisasi anak dapat merasakan
menolong dan ditolong orang lain. Komponen menolong dan ditolong merupakan
salah satu komponen afektif dari empati termasuk merasa simpati, dengan hal
tersebut individu belajar untuk mengenal diri sendiri dari sudut pandang orang
lain.
Melihat hal itu maka empati perlu ditumbuhkan di dalam diri individu
karna setiap individu merupakan makhluk sosial sementara empati adalah perilaku
sosial. Bisa dibayangkan jika terdapat makhluk sosial yang tidak dapat
berperilaku sosial dengan baik seperti yang dikatakan oleh Goleman (2006:147)
bahwa seseorang yang tidak memiliki sikap empati maka orang tersebut
merupakan pelaku kriminalitas seperti pemerkosa serta jiwa psikopat.
Terkait dengan hal itu, terdapat salah satu teknik yang dapat menunjang
tumbuh kembangya empati pada individu. Teknik itu ialah teknik sosiodrama. Hal
ini dikarenakan bahwa salah satu tujuan sosiodrama adalah menumbuhkan empati
pada seseorang yakni agar siswa dapat menghayati dan menghargai perasaan
orang lain. (Djamarah dan Zain, 2010:88).
Dalam permainan sosiodrama ini juga individu dapat mengekspresikan
dan mencoba peran yang diinginkan melalui tingkah laku dan bahasa,
mengembangkan daya pikir dan imajinasi yang ada dalam diri anak. Permainan
sosiodrama melibatkan beberapa orang sehingga memungkinkan terjadinya
interaksi sosial dan emosi di antara pemainnya. Selain itu, Menggunakan
22
permainan sosiodrama juga dapat
mengembangkan kreativitas individu,
menstimulasi individu untuk berperan sebagai orang lain, menambah daya
sosialisasi individu dengan orang lain sehingga dapat menumbuhkan rasa empati
pada anak.
Selanjutnya terdapat manfaat dan keuntungan dalam menggunakan
sosiodrama dalam menumbuhkan empati menurut Surya (2006:47) antara lain:
a) Mengajarkan pada setiap individu bagaimana memahami dan mengerti
perasaan orang lain.
Dalam permainan sosiodrama ini, individu dapat memahami dan mengerti
perasaan orang lain, sebab setiap anak diminta untuk melakonkan tokoh
tertentu. Untuk melakonkan tokoh tertentu tersebut, tentu anak harus
menjiwai sikap dan perilaku tokoh yang dimainkannya tersebut dengan
baik. Individu turut merasakan dan menghayati bagaimana sikap dan
perilaku tertentu yang diperankannya, di luar dirinya sendiri. Proses
peniruan yang dilakukan anak ini, secara tidak langsung mengajarkan pada
individu bagaimana memahami dan mengerti perasaan orang lain.
b) Cara menghargai pendapat orang lain.
Sosiodrama ini juga mengajarkan pada individu cara menghargai pendapat
orang lain. Permainan ini dilakukan tanpa suatu skenario yang matang seperti
pembuatan film/sinetron. Permainan sosiodrama ini, secara tidak langsung
mengajarkan pada pemainnya untuk bermusyawarah menentukan peran dan
menyelesaikan konflik berdasarkan kesepakatan bersama.
Di samping itu permainan sosiodrama juga berfungsi untuk melatih anak
bekerjasama, saling tolong menolong dan setia kawan yang merupakan bentuk
atau perwujudan sikap empati. Dengan demikian, permainan sosiodrama dapat
mempengaruhi diri anak.
23
Menurut Garvey (dalam Ulfa dan Rahmawaty, tt:5) permainan sosiodrama
merupakan tipe permainan yang kompleks, individu mulai merencanakan
perbuatan yang akan dilakukan, mentransformasikan ke suatu objek dengan
mengekspresikan ide dan perasaan tentang dunia sosial.
Berdasarkan uraian tersebut dapat diduga bahwa secara langsung
permainan sosiodrama berpengaruh dalam menumbuhkan kemampuan empati
pada individu. Misalkan jika individu memainkan sebuah adegan melihat suatu
kecelakaan kemudian dia menolong orang tersebut atau adegan lain berupa
seorang individu menengok temannya yang sedang sakit. Maka jika kejadian
tersebut terjadi dalam kehidupan nyata maka individu akan mengingat adegan
yang pernah diperankannya dan melakukan hal yang sama, yaitu menolong orang
yang mendapat kecelakaan atau menengok temannya yang sedang sakit. Oleh
karena itu peneliti merasa tertarik untuk mengadakan penelitian sehingga
penelitian ini bermaksud membuktikan pengaruh teknik sosiodrama terhadap
empati siswa.
Adapun tahap-tahap pelaksanaan pemainan sosiodrama, sebagai berikut:
(1) persiapan, dari mulai mempersiapkan konselor, tokoh-tokoh, topik yang akan
di bawakan, tujuan dari topik yang dibawakan pada sosiodrama itu; (2) membuat
skenario; (3) menentukan kelompok sesuai naskah; (4) menentukan kelompok
penonton untuk observasi; (5) pelaksanaan (6) evaluasi dan diskusi, evaluasi dapat
dilakukan dengan refleksi atau dengan cara laiseg (layanan segera), laijapan
(layanan jangka panjang). (7) ulangan permainan (rehersal), jika masih ada waktu
permainan dapat diulang kembali dengan pertukaran peran pemain.
24
2.2 Kerangka Berfikir
Alur kerangka berfikir dapat digambarkan secara praktis mengenai
pengaruh bimbingan kelompok teknik sosiodrama terhadap kecenderungan empati
siswa sebagai berikut.
INPUT
PROCES
OUTPUT
KURANGNYA
EMPATI
-
-
Tidak menghargai
teman.
Merasa
paling
hebat.
Iri melihat teman
yang
mempunyai
kelebihan.
Menertawakan
teman yang terjatuh
Acuh tak
acuh
terhadap teman.
Mementingkan
kehendak
sendiri
(Egois).
EMPATI BERUBAH
TEKNIK
SOSIODR
AMA
-
Menghargai teman.
Peduli
kepada
teman.
Dapat
menerima
pendapat teman.
Bisa bergau dengan
semua teman.
Menjaga perasaan
teman.
Menerima pendapat
teman.
25
2.3 Hipotesis
Adapun yang menjadi hipotesis dari penelitian ini adalah terdapat
pengaruh bimbingan kelompok teknik sosiodrama terhadap kecenderungan empati
siswa kelas VIII di SMP 2 Kota Gorontalo.
Download