Muda Merawat Tradisi

advertisement
| 19
MINGGU, 29 AGUSTUS 2010 | MEDIA INDONESIA
Muda Merawat Tradisi
K
OPINI MUDA
ALAU kamu pikir
seni tradisional itu
gak keren, kayaknya
kamu bakal berpikir
ulang saat melihat aksi Karinding Attack, band perkusi alat
musik Sunda. Lagunya bukan
lagu-lagu Sunda, melainkan
lagu karya mereka sendiri
yang pesannya beragam, dari
semangat anak muda hingga
pesan sosial.
Personelnya terdiri dari delapan orang. Ada Man Jasad,
Utun, Jawis, dan Aki Ameng
yang memainkan alat musik
karinding. Lainnya, ada Iman
Zimbot dan Okid pada alat
musik tiup, serta Kimung dan
Hendra memainkan alat pukul
celempung.
Karinding merupakan alat
tiup tradisional yang turuntemurun ada dalam tradisi
sunda. Terbuat dari bambu dan
berukuran kecil. Panjangnya
tak lebih dari pulpen biasa.
Karinding disebut sebagai alat
musik pukul terkecil karena
dibunyikan dengan dipukul
menggunakan jari. Pukulannya harus tepat hingga bambu
yang di tengah bergetar dan
menimbulkan suara.
Konon, karinding sering dibunyikan untuk meditasi. Ada
juga yang menggunakannya
untuk mengusir hama di sawa,
untuk hiburan, hingga sebagai
pesan ungkapan cinta.
Man Jasad tak mengklaim
karinding berasal dari Sunda.
Pasalnya, walau bentuknya
beda, banyak alat musik kuno
yang mirip dengan karinding.
Misalnya alat musik juhab dati
Tibet atau xomus dari Mongol.
Awalnya, mereka mengenal
karinding dari Endang Sugriwa
atau yang dikenal dengan nama
Abah Olot, pemain sekaligus
pembuat karinding. Pada 2006,
Abah Olot mulai memperkenalkan lagi karinding.
“Ia terdorong untuk lebih
memperkenalkan karinding
karena waktu itu ia baca suatu
majalah yang bilang bahwa
karinding sudah punah,” kisah
Utun.
Dari situ, Utun mulai belajar
membunyikan karinding. Tak
gampang, karena butuh dua
minggu untuk bisa membuat
alat itu berbunyi. Barulah 4-6
bulan kemudian, Utun mulai
bisa memainkan nada dengan
benar.
“Ke mana-mana bawa karinding. Upaya belajar itu juga
yang akhirnya memperkenalkan karinding ke teman-teman
di komunitas,” ujarnya.
Satu karinding memiliki beberapa bunyi dalam nada dasar
yang sama. Bisa dimainkan
dalam nada pentatonis atau
diatonis. Komposisinya mirip
alat musik angklung, satu pemain memegang satu nada.
“Karena keterbatasan orang,
kita belum bisa begitu. Bunyinya baru sebatas rampak saja.
Tapi memang sedang menuju
ke sana,” ujar Iman Zimbot.
Karinding Attack lalu mulai
banyak melakukan pentas
musik. Di antaranya kolaborasi bersama Beatbox di Sabuga
pada 2009, dan yang terbaru
kolaborasi bersama seniman
Tisna Sanjaya di FSRD ITB dalam rangka merespons penggusuran pemandian Cihampelas.
Sasando Berto
MI/CHRISTINE
Karinding Attack beraksi.
DOK PRIBADI
Sigit Pamungkas
Perjuangan Abah Olot dan
anak muda Bandung ini tak
sia-sia. Karena belakangan, kelompok musik karinding mulai
bermunculan. Namanya beragam, seperti Kramat (Karinding
Air Mata), Karmila (Karinding
Militan Anarki), hingga Kapir
(Karinding Pipir).
“Anak-anak SMA yang main.
Teman dari luar negeri juga kita
racuni dengan karinding. Jadi,
ketika pulang kampung, mereka bawa karinding dan main
di sana,” tambah Man Jasad.
Utun menambahkan, Karinding Attack merupakan salah
satu dari gerakan Sunda underground yang punya misi membangkitkan lokalitas. Dengan
gerakan ini, tradisi dan budaya
Sunda lebih mudah diterima
anak muda. Beberapa pakem
pun sengaja diubah agar bisa
lebih diterima. Misalnya lagu
yang menggunakan bahasa
Indonesia atau penggabungan
unsur-unsur musik metal.
Kombinasi yang keluar
pakem ini disadari sebagai
upaya memopulerkan seni
Sunda. Karena, kesenian akan
jadi jembatan bagi anak muda
mengenal budaya Sunda yang
sesungguhnya.
“Kami bangga dengan Sun-
Aku belajar gamelan sejak kelas empat SD. Di
sekolah ada program pelajaran musik art teater
atau MAT. Tiap siswa boleh memilih salah satu.
Pilihan di pelajaran musik ada banyak, seperti
keyboard, gitar, dan biola. Tapi, yang tradisional
cuma gamelan. Ternyata belajar gamelan asyik
juga. Jadi, aku memilih melanjutkan belajar sampai SMP. Jarang anak muda yang bisa gamelan,
kebanyakan orang tua-tua. Tapi, justru karena itu,
kita jadi bisa mencuri perhatian.
Kebisaanku main gamelan membuat aku sering
diikutsertakan dalam lomba
ataupun pentas seni.
Aku orang Bali. Peralatan
musiknya enggak jauh beda
dari gamelan. Kalau ada acara budaya Bali dan kurang
orang, aku sering diminta
membantu dan menjadi
pemain yang termuda.
Made Agustha Intaran
Sukma
Kelas 8 SMP Madania PIS
Parung, Bogor, Jawa Barat
DOK PRIBADI
Berto Pah
Bagi kami Sunda
bukan cuma budaya.
Sunda is a way
of life.”
Man Jasad
Pendiri Karinding Attack
da. Bagi kami Sunda bukan
cuma budaya. Sunda is a way of
life,” ujar Man Jasad yang langsung diamini seluruh anggota
Karinding Attack.
Keris Sigit
Mengabdi menjaga tradisi
juga dilakukan Sigit Pamungkas, 24. Ia kini kuliah semester
X di Institut Seni Indonesia
Solo, Jurusan Seni Kriya. Di
kampus, ia mengikuti unit kegiatan mahasiswa Tosan Aji.
Sigit mengenal keris sejak kecil. Kakek, bapak, dan kakaknya
merupakan dalang wayang kulit. Di tiap pertunjukan wayang
kulit, mereka selalu menyisipkan sebilah keris di pinggang.
Keris ini bukan sekadar hiasan.
Bagi pedalang, keris yang digu-
nakan harus berlekuk lima.
“Dapurnya pandowo cinarito.
Filosofinya agar dalang bisa
pintar bercerita,” ujar Sigit.
Ia prihatin kalau melihat
anak muda dan anak kecil sekarang. Beberapa yang ditemui
Sigit merasa takut melihat keris.
Disangka punya kekuatan gaib
yang menyeramkan.
“Kalau kita takut, bagaimana
kita bisa kenal? Dan kalau kita
tidak kenal, bagaimana kita
bisa mencintai?” tukasnya.
Membuat keris ia akui memang tak gampang. Pemula
butuh waktu 6 bulan untuk
membuat bilahnya saja. Kalau
yang sudah mahir, bisa memakan waktu 14 hari saja.
Proses yang paling sulit adalah menempa besi dan yang
paling rumit saat harus membuat corak keris yang disebut
pamor.
Sigit sudah membuat lebih
dari 15 buah. Selain membuat keris, ia juga membuat
perhiasan dengan corak dan
metode pembuatan keris.
Sebuah upaya modifikasi dan
kreasi agar keris tak monoton.
Ia tak pernah memandang keris
sebagai benda gaib, melainkan
sebuah karya seni agung yang
punya filosofi mendalam.
Kalau ada anak muda cenderung menjauh dari
budaya lokal, mungkin karena kemasannya jadul,
‘bukan gue banget.’
Misalnya wayang. Kalau kisah atau isu yang diangkat dekat dengan keseharian saat ini, mungkin
lebih menarik perhatian. Terbukti pertunjukan seni
budaya lokal kontemporer banyak diminati.
Saat Komunitas Taman Seni Indonesia (Kota
Seni) menyajikan pentas wayang beber di Goethe,
Ancol, dan Taman Suropati, respons anak-anak
muda sangat bagus.
Menurut rencana, akhir
tahun ini kami akan menyiapkan pentas wayang
beber lagi dengan kemasan
yang lebih metropolitan.
Tidak sekadar gambar, tapi
juga dibantu pencahayaan
yang oke serta desain grafis
yang menarik.
Bukhi Prima Putri, 25
Teknik Arsitektur Universitas Budi Luhur
Aktif di Komunitas Taman Seni Indonesia
Jauh dari Nusa Tenggara
Timur (NTT), tepatnya di Pulau
Rote, ada Berto Pah, 23, yang
melestarikan budaya leluhur
dengan bermain sasando.
Alat musik tradisional ini
juga bisa digunakan untuk
menyambut tamu dari luar dan
mengisi acara-acara adat lainnya. Berto mulai memainkan
sasando sejak umur sembilan
tahun.
Awalnya ia melihat sang
kakak sering ke luar negeri dan
dapat uang banyak dari hasil
bermain sasando. Apalagi rumahnya di Oebelo sana adalah
rumah sederhana sekaligus
workshop yang suka dikunjungi
bule-bule.
“Akhirnya saya terpacu untuk belajar, nekat main di kampung dan ternyata disawer.
Tapi saya berpikir enggak bisa
di sini terus, dan akhirnya
nekat ke Jakarta pada 2006,”
ujarnya.
Memutuskan ke Jakarta bukan semata-mata mencari uang,
tetapi juga untuk mengenalkan
alat musik tradisional ini kepada masyarakat. Alat musik
sasando bisa dipadu dengan
budaya pop sekarang. Selama 4
tahun di Jakarta, ia biasa tampil
di depan tamu-tamu asing di
Departemen Sosial.
Tahun ini, baru ia mengikuti acara mencari bakat yang
diadakan di salah satu stasiun swasta. Lagi-lagi ia menjalankan misinya mengibarkan
sasando, walaupun tidak sampai juara.
Alat musik sasando terdiri
dari daun lontar untuk gaung
suaranya, ada tali gitar yang
biasa dipetik, tabung ditengahtengahnya adalah bambu, lalu
dilengkapi dengan kayu mirah,
kayu cendana, atau kayu jati,
tinggal dipilih. Posisi senarnya
melingkar, sisi kanan untuk
pengiring (ritme), sisi kiri untuk bas (melodi).
Berto yang sekolah elektronik menambahkan spool di
dalam bambu, sehingga membuat sasando menjadi elektrik.
Sasando biasanya berdampingan dengan alat musik lain,
seperti, gong besi, gong kayu,
tambur, atau gendang, sasando
gong dan sasando biola yang
terdiri dari 24-100 tali gitar
atau senar.
Di Indonesia sendiri jarang
sekali ada yang memainkan
sasando secara berkelompok.
Padahal kalau dipadukan, sepertinya akan indah sekali.
Menurut Berto, yang juga
penyuka harpa, musik sasando
sekarang memang gitu-gitu saja,
chord-nya terbatas. Walaupun,
Berto percaya musik atau nadanada dalam petikan sasando
bisa dikembangkan.
Nah, yang jadi masalah, ia
belum bisa menemukan orang
yang tepat untuk di ajak diskusi. Ia mengaku bahwa belajar
autodidak sepertinya berbeda
dengan yang sekolahan.
Kalau yang sekolah musik
mungkin bisa mengembangkan
musik sasando dengan teoriteori bekal sekolah. Karena
itu, Berto sangat ingin sekolah
musik untuk mengembangkan alat musik tradisional
kebanggaannya ini! (Christine
Franciska/M-2)
Saya mengenal karawitan sejak kelas empat
SD karena jadi pelajaran wajib di sekolah. Saat
masuk SMPN 4 Solo saya lanjut ikut dalam ekskul
karawitan.
Di SMA sempat vakum, tetapi begitu kuliah
kembali menekuni karawitan. Kebetulan musik
karawitan masuk Unit Kegiatan Mahasiswa Universitas Sebelas Maret (UNS).
Memainkan karawitan ada keasyikan tersendiri.
Musik ini juga bisa, kok, dikolaborasikan dengan
alat lain yang modern. Di UNS saja tiap tahun ada
pentas kolaborasi karawitan dengan marching
band dan paduan suara.
Harapan saya, dengan
ikut karawitan ini saya bisa
turut melestarikan budaya
Jawa Tengah. Oh iya, barubaru ini saya baru saja
menjadi juara II Lomba
Tangkai Tari Pekan Seni
Mahasiswa Daerah SeJawa Tengah, lo!
Nugrahir Rizka Gustiawan, 21
Jurusan Akuntansi Fakultas Ekonomi UNS
How to?
Belajar bersama
Kang Hendra
KARINDING dalam bahasa Sunda terdiri dari dua kata, yaitu
ka dan rinding. Ka berarti kakak, sedangkan rinding berarti
seni. Dengan begitu, karinding bisa diartikan sebagai kakaknya
seni Sunda.
Kang Hendra dari Karinding Attack berbaik hati menjelaskan
bagaimana caranya memainkan karinding. Untuk lebih lengkap,
Kang Hendra bahkan membuat DVD tutorial memainkan karinding. Kalau berminat, bisa gabung di grup Facebook mereka
dengan nama Karinding Attack.
1
Ada beberapa
cara memegang
karinding. Prinsipnya, gunakan tangan
kiri untuk memegang
karinding dan tangan
kanan untuk memukul
sisi lainnya. Memegang
karinding harus kokoh
dan kuat. Kalau tak
kuat, ketika dipukul, karinding tak akan mengeluarkan suara.
Setelah dipegang
dengan kokoh,
pukullah sisi lainnya dengan menggunakan tangan kanan.
Spesifiknya, menggunakan buku jadi telunjuk yang paling atas.
Memukul pun tak boleh
asal, harus dipantul
hingga bagian bambu
tipis di tengahnya bergetar dan menimbulkan suara. Latihlah
kemampuan pukul ini beberapa saat tanpa meniupnya terlebih
dahulu.
2
3
Setelah terbiasa,
tempelkan bagian
tengah karinding
di mulut. Jangan dulu
meniupnya. Cukup pukul karinding dengan
buku jari. Bunyi yang
dihasilkan itulah yang
disebut sebagai nada
dasar.
FOTO-FOTO: MI/CHRISTINE
Pirigan tonggeret
Variasi nada yang paling dasar dari karinding adalah nada
tonggeret.Tonggeret dalam bahasa Sunda juga berarti seekor
serangga kecil. Serangga ini selalu berbunyi pada sore hari
seiring dengan tenggelamnya matahari. Biasanya tonggeret
berbunyi berbarengan dengan kelompoknya yang lain pada
sebuah pohon.
Tonggeret terdiri dari dua nada. Pertama, mainkan nada dasar
(tanpa nafas) lalu ditarik sedikit (seperti mengambil nafas
ketika kita sedang berlari).
Nada kedua, dibunyikan dengan kebalikannya, yaitu diawali
dengan nada dasar lalu nafas dihembuskan keluar. Bunyikan
dua nada itu secara bergantian terus-menerus dan jadilah
variasi nada tonggeret.
Pirigan lempa lempi lempong
Kalau tonggeret terdiri dari dua pukulan nada, lempa lempi
lempong memiliki empat pukulan nada. Nada pertama, sama
dengan nada dasar tonggeret yang ditarik seperti kita sedang
mengambil nafas. Nada kedua, posisinya ditahan sedikit. Nada
ketiga sama dengan nada pertama (dengan menarik nafas).
Dan nada terakhir dihembuskan mirip nada kedua tonggeret.
Lakukan berulang kali dan jadilah susunan nada lempa lempi
lempong. (M-2)
Karinding Merinding!
MOVE Quiz kali ini kita bikin spesial. Kenapa? Karena kita akan
mempersembahkan hadiah yang bikin kamu semua merinding!
Yup, apalagi kalau bukan: Satu buah karinding lengkap dengan
CD Tutorialnya!! Seru kan?
Karena hadiahnya spesial, kamu juga harus memberikan hal
spesial buat Redaksi supaya bisa kepilih sebagai pemenang. Nah,
caranya cukup sederhana.
Yakinkan Redaksi Move kalau kamu memang betul-betul ingin
belajar memainkan karinding dan cinta dengan budaya bangsa.
Gimana meyakinkannya? Kita membebaskan kamu berkreativitas. Bisa berbentuk cerita, foto gokil, video, lagu ciptaan sendiri,
kartu, puisi, esai, atau lainnya (yang jelas harus dalam format
digital karena kirimnya pakai e-mail).
Kirim file kamu itu ke [email protected] dan jangan
lupa sertakan juga biodata lengkap (nama, sekolah/kampus, no
telepon, alamat), biar kita gampang hubungi kamu. Kita tunggu
paling lambat 7 September 2010.
Pengumuman pemenang akan kita tampilkan di Move edisi 12
September 2010.
Download