BAB II KAJIAN TEORI 2.1 Ujian Nasional Ujian Nasional (UN

advertisement
BAB II
KAJIAN TEORI
2.1 Ujian Nasional
Ujian Nasional (UN) merupakan suatu penilaian untuk mengetahui apakah
rumusan tujuan pendidikan yang diterjemahkan ke dalam kurikulum dapat dicapai
atau tidak. Guza (2008: 8) mengemukakan bahwa Ujian Nasional pada hakekatnya
berbasis hasil (output-based) dan hasil belajar siswa diukur dengan menggunakan
standar nasional yang mengacu pada kurikulum nasional pula sehingga Ujian
Nasional pada hakikatnya merupakan bentuk ujian berdasarkan patokan (criterion
reference test). Menurut peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 153
Tahun 2003 tujuan Ujian Nasional adalah untuk mengukur pencapaian hasil belajar
peserta didik melalui pemberian tes pada sekolah dasar, sekolah lanjutan tingkat
pertama, dan sekolah lanjutan tingkat atas. Selain itu Ujian Nasional bertujuan untuk
mengukur mutu pendidikan dan mempertanggungjawabkan penyelenggaraan
pendidikan di tingkat nasional, provinsi, kabupaten, sampai tingkat sekolah
(Subagiyo, 2008: 248).
Perlu dipahami oleh semua pihak bahwa Ujian Nasional adalah penilaian hasil
belajar oleh pemerintah yang bertujuan untuk menilai pencapaian kompetensi lulusan
secara nasional pada mata pelajaran tertentu pada kelompok mata pelajaran
ilmu pengetahuan dan teknologi. Hasil Ujian Nasional digunakan sebagai salah
satu pertimbangan untuk pemetaan mutu program atau satuan pendidikan, sebagai
dasar seleksi masuk jenjang pendidikan berikutnya, penentuan kelulusan siswa dari
program dan atau satuan pendidikan tertentu serta sebagai dasar pemberian
bantuan pada satuan pendidikan dalam meningkatkan kualitas pendidikan.
Persoalan sebenarnya bukan Ujian Nasional itu sendiri, tetapi perlu kajian dari
berbagai sudut pandang diantaranya, adalah: (1) ketidaksiapan siswa, guru ataupun
sekolah menghadapi kenyataan dari “cermin prestasi diri” yang disebut ujian nasional
tersebut, (2) proses pendidikan yang selama ini berlangsung banyak memberi
kemudahan, termasuk dalam pembelajaran, yang menyebabkan banyak pihak
baik siswa, guru maupun orang tua yang terbuai oleh keberhasilan semu yang
berupa angka-angka yang bisa dibuat oleh siapa saja, (3) adanya kecenderungan
umum bahwa evaluasi yang kehilangan makna, karena evaluasi yang seharusnya
menjadi sarana atau cermin kemampuan diri, selama ini bukan lagi menjadi sarana
tetapi menjadi tujuan.
2.2 Kesulitan Belajar
Menurut Sudrajat (2007:2-8) bahwa kesulitan belajar siswa mencakup
pengertian yang luas yaitu: 1) learning disorder, 2) learning disfunction, 3)
underachiever, 4) slow learning, 5) learning disabilities.
Learning disorder atau kekacauan belajar adalah keadaan dimana proses
belajar seseorang terganggu karena timbulnya respon yang bertentangan. Dimana
belajarnya terganggu atau terhambat oleh adanya respon-respon dari luar yang
bertentangan sehingga hasil belajar menjadi rendah dari potensi yang dimilikinya.
Contoh: siswa yang sudah terbiasa belajar dengan suasanya hening atau tenang,
mungkin akan mengalami kesulitan belajar jika suasana ramai. Learning disfunction
merupakan gejala dimana proses belajar yang dilakukan siswa tidak berfungsi dengan
baik, meskipun siswa tersebut tidak menunjukkan adanya subnormalitas mental,
gangguan alat indera, atau gangguan psikologi lainnya. Underachiever spesifik pada
siswa yang memiliki potensi intelektual tergolong tinggi namun prestasi dan hasil
belajarnya rendah. Slow learner atau lambat belajar yaitu siswa yang lambat dalam
menerima penjelasan guru dalam proses belajar sehingga dia membutuhkan waktu
yang lebih lama dibandingkan dengan kelompok yang memiliki intelektual yang
sama. Learning disabilities atau ketidak mampuan belajar mengacu pada gejala
dimana siswa tidak mampu belajar atau menghindari belajar, sehingga hasil belajar di
bawah potensi intelektual.
Dengan demikian siswa yang mengalami kesulitan belajar adalah siswa yang
mengalami kegagalan dalam penguasaan mata pelajaran yang disampaikan oleh guru
dalam proses belajar mengajar. Namun selain itu, prestasi atau hasil belajar yang
diperoleh siswa rendah.
2.3 Diagnosis Kesulitan Belajar
Dunia pendidikan mengartikan diagnosis kesulitan belajar sebagai segala
usaha yang dilakukan untuk memahami dan menetapkan jenis dan sifat kesulitan
belajar, juga mempelajari faktor-faktor yang menyebabkan kesulitan belajar serta cara
menetapkan dan kemungkinan mengatasinya berdasarkan data dan informasi yang
seobyektif mungkin.
Perlunya diadakan diagnosis belajar karena berbagai hal. Pertama, setiap
siswa hendaknya mendapat kesempatan dan pelayanan untuk berkembang secara
maksimal. Kedua, adanya perbedaan kemampuan, kecerdasan, bakat, minat dan latar
belakang lingkungan masing-masing siswa. Ketiga, sistem pengajaran di sekolah
seharusnya
memberi
kesempatan pada
siswa
untuk
maju
sesuai
dengan
kemampuannya. Dan keempat, untuk menghadapi permasalahan yang dihadapi oleh
siswa, hendaknya guru beserta Badan Penyuluhan (BP) lebih intensif dalam
menangani siswa dengan menambah pengetahuan, sikap yang terbuka dan mengasah
ketrampilan dalam mengidentifikasi kesulitan belajar siswa.
Ada beberapa gejala sebagai indikator adanya kesulitan belajar (Ahmadi,
dalam Azizah dan Nasroh : 2011):
1) Menunjukkan prestasi belajar yang rendah (di bawah rata–rata nilai yang dicapai
oleh kelompok siswa di kelas).
2) Hasil belajar yang dicapai tidak seimbang dengan usaha belajar yang dilakukan.
3) Siswa lambat dalam melakukan tugas–tugas kegiatan belajar.
Hendriono (dalam Azizah dan Nasroh : 2011) bahwa sejumlah siswa yang
mendapat kesulitan dalam mencapai hasil belajar secara tuntas dengan variasi dua
kelompok besar. Kelompok pertama merupakan sekelompok siswa yang belum
mencapai tingkat ketuntasan, akan tetapi sudah hampir mencapainya. Siswa tersebut
mendapat kesulitan dalam menetapkan penguasaan bagian-bagian yang sulit dari
seluruh bahan yang harus dipelajari. Kelompok yang lain, adalah sekelompok siswa
yang belum mencapai tingkat ketuntasan yang diharapkan karena ada konsep dasar
yang belum dikuasai. Bisa pula ketuntasan belajar tidak bisa dicapai karena proses
belajar yang sudah ditempuh tidak sesuai dengan karakteristik siswa yang
bersangkutan. Jenis dan tingkat kesulitan yang dialami oleh siswa tidak sama karena
secara konseptual berbeda dalam memahami bahan yang dipelajari secara
menyeluruh.
Sasaran dari kegiatan diagnosis pada dasarnya ditujukan untuk memahami
karakteristik dan faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya kesulitan serta upaya
mengatasi kesulitan. Dari ketiga pola indikator di atas dapat disimpulkan bahwa
langkah-langkah pokok diagnosis kesulitan belajar adalah sebagai berikut:
1) Mengidentifikasi siswa yang diperkirakan mengalami kesulitan belajar. Adapun
langkah-langkah mengidentifikasi siswa yang mengalami kesulitan belajar yaitu :
a. Menandai siswa dalam satu kelas atau dalam satu kelompok yang
diperkirakan mengalami kesulitan belajar baik bersifat umum maupun khusus
dalam bidang studi.
b. Melakukan tes diagnosis dengan membagikan permasalahan yang terkait
dengan materi
c. Menganalisis hasil diagnosis dengan melihat sifat kesalahan yang dibuat.
2) Mengalokasikan letak kesulitan atau permasalahannya, dengan cara mendeteksi
kesulitan belajar pada bidang studi tertentu. Dengan membandingkan angka nilai
prestasi siswa yang bersangkutan dari bidang studi yang diikuti atau dengan
angka nilai rata-rata
rata dari setiap bidang studi. Atau dengan melakukan analisis
terhadap catatan mengenai proses belajar.
3) Melokalisasikan jenis faktor dan sifat yang menyebabkan mengalami berbagai
kesulitan.
4) Memperkirakan
rkirakan
alternatif
pertolongan.
Menetapkan
kemungkinan
cara
mengatasinya baik yang bersifat mencegah (preventif) maupun penyembuhan
(kuratif). Wijayanti (dalam Azizah dan Nasroh : 2011).
2.4 Pewarisan Sifat
Mendel diakui sebagai Bapak Genetika karena dianggap sebagai penemu
prinsip dasar penurunan sifat (hereditas) yang sering dikenal dengan hukum Mendel.
Pada percobaan persilangan satu sifat beda, J.G Mendel menyilangkan tanaman ercis
biji bulat dengan ercis biji keriput. Seluruh turunan pertama (F1) yang muncul adalah
biji bulat. Nampak F1 ciri bentuk biji keriput tertutup oleh ciri biji bulat (biji bulat
menang terhadap biji keriput). Semua ciri yang nampak pada F1 disebut dominan,
sedangkan yang tidak nampak disebut resesif (Nusantari, 2011).
Gambar : 2.1 Sebuah Penyilangan Genetik
Sumber : (Campbell, 2002)
Mendel melanjutkan percobaan persilangan hingga munculnya turunan kedua
(F2). Hasil persilangan F1, diteruskan percobaan persilangan hingga munculnya F2.
Seluruh keturunan pertaman (F1) yang telah tumbuh dari biji, ditumbuhkan terus dan
dibiarkan melakukan pembuahan sendiri. Biji yang dihasilkan ternyata bulat dan
keriput, dan letaknya pada tiap polong berhadap-hadapan. Jumlah biji bulat adalah
sebanyak 5.474 buah, sedangkan yang keriput 1.850 buah. Rasio biji bulat dan
keriput adalah 2,96:1 atau mendekati 3:1 (Nusantari, 2011).
Bukti-bukti persilangan Mendel yaitu:
1) ciri polong hijau dominan, polong kuning resesif,
2) ciri polong mengembung dominan, polong tidak mengembung resesif,
3) ciri batang tinggi dominan, batang pendek resesif,
4) ciri kulit biji abu-abu dominan, kulit biji putih resesif,
5) ciri biji kuning dominan, biji hijau resesif.
J.G Mendel ingin menguji apakah biji bulat dan keriput sudah merupakan
galur murni. Dengan demikian biji bulat maupun keriput ditanam, setelah tumbuh dan
berkembang dibiarkan melakukan pembuahan sendiri. Biji-biji yang dihasilkan dari
pembuahan itu selanjutnya diperiksa. Ternyata biji keriput tumbuh, berkembang, dan
menghasilkan tanaman ercis yang berbiji bulat dan keriput. Rinciannya adalah sekitar
1/3 biji bulat tumbuh berkembang menghasilkan tanaman ercis yang seluruh bijinya
bulat, sedangkan sekitar 2/3 biji bulat tumbuh, berkembang, dan menghasilkan ¾
tanaman ercis biji bulat serta 1/4 biji keriput. Dari hasil itu selanjutnya terbukti bahwa
biji-biji ercis yang keriput pada F2 (1/4 bagian) sudah merupakan galur murni,
sedangkan biji bulat (3/4 bagian) bukan merupakan galur murni. Demikian pula
sekitar 1/3 biji bulat sudah merupakan galur murni, sedangkan sekitar 2/3 bagian
bukan merupakan galur murni karena selanjutnya masih akan tumbuh, berkembang,
dan menghasilkan tanaman ercis biji bulat dan keriput (rasio 3:1).
J.G Mendel berpendapat bahwa galur murni ciri biji bulat pada tanaman ercis
ditentukan oleh dua factor yang satu sama lain identik (ciri homozigot), demikian
pula galur murni ciri biji keriput. Akan tetapi 2/3 biji bulat pada F2 tumbuh mejadi
tanaman ercis biji bulat dan keriput (rasio 3:1), bukan tergolong galur murni, dan
ditentukan oleh dua factor yang satu sama lain tidak identik (ciri heterozigot)
(Nusantari, 2011).
J.G Mendel menyimpulkan bahwa pada individu-individu heterozigot, satu
alel dominan sedangkan yang lain resesif. Dari kenyataan bahwa ciri-ciri induk
muncul kembali pada turunan tanaman ercis yang tumbuh dari biji heterozigot, J.G
Mendel menyimpulkan bahwa kedua factor untuk tiap ciri tidak bergabung (tidak
bercampur), kedua factor itu tetap berdiri sendiri selama hidupnya individu dan masih
pada waktu pembentukan gamet. Separuh gamet membawahi satu factor, sedangkan
separuh yang lain membawahi factor lainnya, biasah diartikan sebagai Hukum
Pemisahan Mendel.
J.G
Mendel
melakukan
percobaan
persilangan
dihibrid
pada
satu
percobaannya, tanaman ercis berbiji bulat dan kuning disilangkan dengan yang berbiji
keriput dan hijau. Ciri biji hasil persilangan (F1) seluruhnya bulat dan hijau, tapi pada
F2 muncul hasil yang menarik.
Berkenaan dengan ciri biji hasil persilangan pada F2, J.G Mendel
mempertimbangkan dua kemungkinan yaitu:
a) ciri yang berasal dari satu induk akan diwariskan bersama-sama,
b) ciri yang berasal dari satu induk akan diwariskan secara bebas satu sama lain.
Apabila kemungkinan a benar, maka pada F2 hanya dijumpai dua macam ciri
biji (bulat kuning dan keriput hijau) dalam rasio 3:1 sesuai dengan hukum pemisahan
Mendel akan tetapi jika yang benar kemungkinan b, maka pada F2 akan dijumpai
empat macam ciri biji dalam rasio 9:3:3:1. Keempat ciri biji itu adalah bulat kuning,
bulat hijau, keriput kuning, keriput hijau. Hasil pada F2 sebanyak empat macam,
yaitu: bulat kuning sebanyak 315 butir, bulat hijau sebanyak 108 butir, keriput kuning
sebanyak 101 butir, keriput hijau sebanyak 32 butir dengan rasio mendekati 9:3:3:1
(Nusantari, 2011).
J.G Mendel juga mempunyai pandangan tentang kerja atau tanggung jawab
dari factor. Sebuah factor atau unit karakter menentukan atau mengontrol sebuah
karakter. Berkenaan dengan hal ini Gardner dkk. (1991) menyatakan “Mendel
berpendapat bahwa satu gen (tunggal) bertanggungjawab terhadap satu sifat”. Dengan
demikian hukum pemisahan Mendel dan hukum pilihan bebas Mendel mula-mula
adalah tiap factor atau pasangan factor bebas berdiri sendiri satu sama lain.
Hukum Mendel I dan II disebut sebagai hukum Mendel klasik. Apa yang
berpisah dan berkombinasi bebas pada hukum Mendel. Gen bekerja sepasang atau
sealel seperti yang menjadi konsep mendel hanya berlaku pada makhluk hidup
eukariot. Mendel I dan II hanya berlaku pada makhluk hidup eukariot yang
berkembang biak secara seksual. Waktu dan tempat Hukum Mendel. Hubungan
konsep Hukum Mendel I dan II dengan pembelahan meiosis. Hubungan mendel
dengan fertilisasi. Hubugan hukum Mendel dengan pewarisan sifat pada manusia,
tumbuhan dan hewan (Nusantari, 2011).
Berikut ini konsep Mendel masa kini sebagai temuan sesudah Mendel:
1. Peristiwa yang berlangsung mengikuti Hukum Mendel
Hukum pemisahan Mendel dan hukum pilihan bebas Mendel masa kini sudah
tidak tepat sama lagi dengan hukum-hukum itu dalam bentuknya yang mula-mula.
Perilaku kromosom dalam pembentukan gamet setara dengan teori yang dinyatakan
Mendel. Ada kesetaraan antara hukum Mendel I pada proses meiosis yakni
kesetaraan alel dan pasangan kromosom yang mengalami segregasi atau proses
pemisahan kromosom homolog pada meiosis I anaphase I. Ada kesetaraan hukum
mendel II dengan berbagai kemungkinan kombinasi kromosom pada meiosis I.
2. Makhluk hidup yang mengalami Hukum Mendel
Peristiwa hukum pemisahan dan pilihan bebas Mendel berlangsung dalam
proses pembelahan meiosis. Peristiwa hukum pemisahan dan pilihan bebas Mendel
terjadi dikalangan makhluk hidup haploid (seluler prokariotik) tidak pernah
mengalami peristiwa pemisahan dan pilihan bebas Mendel, sekalipun berbiak secara
seksual. Pada makhluk hidup seluler triploid, tetaploid atau poliploid umumnya yang
berbiak secara seksual tidak berlangsung tepat sebagaimana hukum pemisahan
Mendel dan hukum pilihan bebas Mendel. Dengan demikina makhluk hidup diploid
yang berkembangbiak secara seksual akan mengalami peristiwa pemisahan Mendel
dan pilihan bebas Mendel. Tempat berlangsungnya hukum Mendel I dan II dari tubuh
makhluk hidiup diploid yang berkembangbiak secara seksual adalah organ reproduksi
jantan dan betina. Berbagai organ reproduksi pada makhluk hidup lainnya.
Peristiwa hukum pemisahan dan pilihan bebas Mendel ada jamur berlangsung
di sporangium. Sel yang mengalami adalah zigospora. Zigospora mengalami meiosis.
Hukum pemisahan dan pilihan bebas Mendel pada ganggang Clamydomonas dan
Spirogyra berlangsung pada zigot yang sedang mengalami pematangan. Ganggang
perang mengalami Mendel I dan II di dalam sporangium, sel yang mengalami
peristiwa itu adalah zoospore diploid.
Hukum pemisahan dan pilihan bebas Mendel pada berbagai jenis lumut
peristiwa berlangsung di dalam sporangium. Tempat berlangsungnya sel induk spora.
Hukum I dan II pada paku-pakuan berlangsung di dalam sporangium, tempat
berlangsungnya di sel induk spora yakni mikrospora dan megaspora.
Hukum pemisahan dan pilihan bebas Mendel pada tumbuhan berbiji terbuka
dan tertutup peristiwa berlangsung di mikrosporangia dan megasporangia. Pada
tumbuhan
berbiji
terbuka
mikrosporangia
terdapat
pada
strobilus
jantan,
megasporangia (ovum) terdapat pada strobilus betina. Pada tumbuhan berbiji tertutup
mikrosporangia disebut sebagai antena (kepala sari) sebagai bagian dari benang sari,
megaspore (ovulus atau bakal biji) merupakan bagian dari pistil (putik).
Hukum I dan II pada jalur hewan, paramecium berlangsung di sel paramecium
yakni mikronukleolus. Hewan multiseluler (bersel banyak) berbagai jenis avertebrata
maupun vertebrata peristiwa berlangsung di dam gonad jantan dan gonad betina.
Hewan multiseluler termasuk manusia gonad jantan disebut testis dan gonad betina
disebut ovarium.
Waktu peristiwa Mendel I dan II adalah pada makhluk hidup (tumbuhan
maupun
hewan)
yang
berkembangbiak
secara
seksual
memasuki
periode
perkembangan dewasa kelamin yakni terjadi selama berlangsungnya proses tertentu
yakni meiosis yang menghasilkan gamet.
3. Yang berpisah dan berkombinasi bebas
Hukum Mendel I dan hukum pemisahan gen yang terangkai dalam kromosom
saat meiosis. Jadi yang berpisah adalah gen yang terangkai dalam kromosom. Mendel
II adalah hukum kombinasi bebas adalah gen-gen yang terangkai dalam kromosom
yang sehomolog selama meiosis. Jadi yang berkombinasi bebas adalah adalah gen
yang terangkai dalam kromosom, bukan gen yang terpisah dalam bentuk sendirisendiri. Factor – factor (gen) adalah pasangan kromosom yang berbeda, dan factorfactor (gen) pada percobaan persilangan J.G Mendel berperan sebagai penanda
kromosom tempat terpautnya yang melakukan pemisahan dan pilihan bebas adalah
pasangan kromosom.
Sekalipun pandangan dasar J.G Mendel tentang keberadaan factor atau gen
tidak benar, tetapi hukum Mendel I dan II masih bisa dipertahankan. Dalam hal ini
yang mengalami pemisahan bebas dan penggabungan kembali secara bebas adalah
kromosom dan bukan factor atau gen, sebagaiman dugaan Mendel mula-mula factor
atau gen yang ikut memisah dan bergabung kembali bersama dengan kromosom.
Inilah hukum Mendel I dan II versi kedua.
4. Konsep dominan dan resesif Mendel bukan sebagai hukum utama Pewarisan pada
makhluk hidup
Sebagai contoh tipe golongan darah, pada multiple alel ini tidak ada
dominansi. Seiring perkembangan pewarisan sifat, ternyata hanya sedikit karakter
yang ditentukan oleh satu gen. Kebanyakan karakter dipengaruhi oleh rangkaian gengen seperti karakter warna rambut dan warna mata. Gen juga bisa mempengaruhi
lebih dari satu karakter. Perluasan pola pewarisan sifat Mendel seperti bentuk
pewarisan sifat kodominan, terpaut kromosom X, Polygen (sifat dihasilkan lebih dari
satu gen) dan pewarisan multifactor.
5. Hukum mendel terjadi pada persilangan Monohybrid, Dihibrid dan Polihibrid
Pada persilangan monohybrid terjadi mendel I dan II. Pada persilangan
dihibrid terjadi persilangn Mendel I dan II. Demikian juga pada persilangan trihibrid
dan polihibrid terjadi Mendel I dan II. Karena hukum ini terjadi pada saat meiosis.
Semua makhluk hidup diploid berbiak scara seksual akan mengalaminya.
P1
:
G
F1
:
:
♀ UU
(Ungu)
U
x
x
Uu
(Ungu)
♂ uu
(Putih)
u
Gambar: 2.2 Persilangan Monohibrid
Sumber : (Suryo, 2008)
Hukum Mendel I adalah hukum pemisahan gen yang terangkai pada
kromosom yang kejadiannya pada meiosis I tahap anaphase. Hukum Mendel II
adalah hukum pilihan bebas dari gen yang terangkai pada kromosom yang
kejadiannya pada meiosis I fase metaphase. Hukum Mendel II terjadi lebih dulu
kemudian dilanjutkan Mendel I. Jelaslah bahwa disebut sebagai hukum Mendel I
karena hukum Mendel I ditemukan lebih dulu melalui persilangan monohybrid dan
Mendel II ditemukan sesudahnya melalui persilangan dihibrid.
P1:
G1:
F1:
P2:
G2:
♀ BBKK
x
(Biji bulat berwarna kuning)
BK
x
BbKk
BbKk
x
BK, Bk, bK,bk
♂ bbkk
(Biji keriput hijau)
bk
BbKk
BK, Bk, bK,bk
Gambar: 2.3 Persilangan Dihibrid
Sumber : (Suryo, 2008)
6. Hukum Mendel, meiosis, dan fertilisasi
Hukum Mendel pertama kali pada persilangan tanaman ercis. Rasio turunan
yang dihasilkan dapat diketahui melalui hasil persilangan. Temuan Mendel I dapat
terdeteksi melalui penanda kacanag ercis dengan fenotif bulat dan keriput. Penanda
tersebut terlihat dari hasil persilangan. Jadi jelas bahwa rasio fenotif yang dihasilkan
melalui rasio keturunan adalah hasil fertilisasi gamet jantan dan betina. Fertilisasi
terjadi setelah pembentukan gamet jantan dan betina melalui meiosis.
7. Kerja gen berpasangan hanya berlaku pada makhluk hidup diploid yang berbiak
secara seksual.
Pada makhluk hidup eukariotik yang berbiak secara seksual (diploid)
kemunculan tiap karakter ditentukan oleh dua factor berpasangan. Pada makhluk
hidup seluler eukariotik ada yang tergolong haploid karena parthenogenesis, triploid,
tetraploid, bahkan polyploidy. Pada makhluk hidup seluler eukariotik diploid juga
dibatasi pada gen yang berada di dalam inti bukan di luar inti sel yakni materi genetic
DNA.
Pada masa Mendel dinyatakan bahwa sebuah factor atau unit karakter (gen)
mengontrol sebuah karakter. Menurut Goodenough karakter dikontrol oleh “ satu
lokus gen”. berdasarkan pandangan ini ada orang yang dapat membenarkan bahwa
memang ada karakter yang dikontrol oleh satu gen. Walaupun juga dapat lebih dari
satu gen dan ada juga satu gen yang mengontrol dari satu karakter.
8. Bentuk - bentuk yang dianggap sebagai penyimpangan Mendel akibat
penempatan hukum Mendel
Mendel I akan menghasilkan F2 dengan rasio 3:1. Mendel II akan
menghasilkan F2 dengan rasio 9:3:3:1. Banyak bentuk persilangan yang dianggap
sebagai bentuk penyimpangan semu hukum Mendel. Banyak peristiwa lainnya yang
berpengaruh pada rasio keturunan. Selama ini peristiwa non disjunction, pindah
silang, pautan dianggap peristiwa yang menyebabkan rasio Mendel menyimpang dari
rasio 3:1 ataupun 9:3:3:1. Non disjunction dan pindah silang dianggap merupakan
penyimpangan Mendel karena mengubah rasio Mendel. Pindah silang adalah
fenomena alamiah yang wajar dan memperkaya variabilitas genetic suatu populasi.
Pautan yang dianggap sebagai salah satu bentuk penyimpangan dari mendel.
Sebenarnya pautan adalah suatu fenomena alam yang normal. Hal ini karena Mendel
peristiwa pemisahan dan kombinasi bebas yang terjadi pada kacang ercis kebetulan
mengguanakan gen yang terletak pada kromosom berbeda. Pautan terkait dengan
letak gen yang terpaut pada satu kromosom. Apabila 2 gen berada pada kromosom
yang sama maka disebut terpaut. Adanya 2 gen pada kromosom yang sama
menyebabkan 2 gen tersebut tidak akan mengalami pemisahan dan pilihan bebas. Bila
persilangan yang mengguanakan penanda 2 gen tetapi berada pada kromosom yang
sama maka rasio Mendel II tidak akan terlihat sebagai 9:3:3:1.
Epistasis hipotasis adalah fenomena alamiah yang ada selain fenomena
Mendel. Epistasis hipostasis berakibat pada perbandingan yang tidak sama dengan
Mendel sebagai hukum genetika yang utama, sehingga bila tidak sesuai dengan
hukum Mendel dimasukkan sebagai penyimpangan.
Hukum Mendel I dan II terjadi pada anaphase I dan metaphase I. Sebelum
terjadi Mendel I dan II gen-gen dapat mengalami non disjunction yang terjadi pada
anaphase I maupun II. Individu yang mengalami non disjunction juga mengalami
Mendel I dan II. Fenotif pada non disjunction ini dapat dilihat pada fenotif
keturunannya.
Hubungan antara hukum Mendel I dan pindah silang adalah hukum Mendel I
dan II terjadi pada anaphase I dan metaphase I. Sebelum terjadi Mendel I dan II gengen dalam satu kromosom dapat mengalami pindah silang yang terjadi pada profase I.
Gen rekombinan juag mengalami Mendel I dan II karena gen-gennya mengalami
metaphase I dan anaphase I. Fenotip rekombinan dapat dilihat dari fenotip yang
muncul pada keturunannya.
Hubungan pautan dengan pindah silang. Pindah silang dapat terjadi pada
kromosom autosom maupun gonosom. Pindah silang dapat dilihat dari dua gen yang
terpaut pada kromosom autosom, demikian juga pindah silang dapat terlihat pada dua
gen yang terpaut kromosom kelamin. Pindah silang dapat terlihat pada pengamatan
tipe rekombinan dari keturunannya.
Download