BAB II KAJIAN TEORI 2.1 Ujian Nasional Ujian Nasional (UN) merupakan suatu penilaian untuk mengetahui apakah rumusan tujuan pendidikan yang diterjemahkan ke dalam kurikulum dapat dicapai atau tidak. Guza (2008: 8) mengemukakan bahwa Ujian Nasional pada hakekatnya berbasis hasil (output-based) dan hasil belajar siswa diukur dengan menggunakan standar nasional yang mengacu pada kurikulum nasional pula sehingga Ujian Nasional pada hakikatnya merupakan bentuk ujian berdasarkan patokan (criterion reference test). Menurut peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 153 Tahun 2003 tujuan Ujian Nasional adalah untuk mengukur pencapaian hasil belajar peserta didik melalui pemberian tes pada sekolah dasar, sekolah lanjutan tingkat pertama, dan sekolah lanjutan tingkat atas. Selain itu Ujian Nasional bertujuan untuk mengukur mutu pendidikan dan mempertanggungjawabkan penyelenggaraan pendidikan di tingkat nasional, provinsi, kabupaten, sampai tingkat sekolah (Subagiyo, 2008: 248). Perlu dipahami oleh semua pihak bahwa Ujian Nasional adalah penilaian hasil belajar oleh pemerintah yang bertujuan untuk menilai pencapaian kompetensi lulusan secara nasional pada mata pelajaran tertentu pada kelompok mata pelajaran ilmu pengetahuan dan teknologi. Hasil Ujian Nasional digunakan sebagai salah satu pertimbangan untuk pemetaan mutu program atau satuan pendidikan, sebagai dasar seleksi masuk jenjang pendidikan berikutnya, penentuan kelulusan siswa dari program dan atau satuan pendidikan tertentu serta sebagai dasar pemberian bantuan pada satuan pendidikan dalam meningkatkan kualitas pendidikan. Persoalan sebenarnya bukan Ujian Nasional itu sendiri, tetapi perlu kajian dari berbagai sudut pandang diantaranya, adalah: (1) ketidaksiapan siswa, guru ataupun sekolah menghadapi kenyataan dari “cermin prestasi diri” yang disebut ujian nasional tersebut, (2) proses pendidikan yang selama ini berlangsung banyak memberi kemudahan, termasuk dalam pembelajaran, yang menyebabkan banyak pihak baik siswa, guru maupun orang tua yang terbuai oleh keberhasilan semu yang berupa angka-angka yang bisa dibuat oleh siapa saja, (3) adanya kecenderungan umum bahwa evaluasi yang kehilangan makna, karena evaluasi yang seharusnya menjadi sarana atau cermin kemampuan diri, selama ini bukan lagi menjadi sarana tetapi menjadi tujuan. 2.2 Kesulitan Belajar Menurut Sudrajat (2007:2-8) bahwa kesulitan belajar siswa mencakup pengertian yang luas yaitu: 1) learning disorder, 2) learning disfunction, 3) underachiever, 4) slow learning, 5) learning disabilities. Learning disorder atau kekacauan belajar adalah keadaan dimana proses belajar seseorang terganggu karena timbulnya respon yang bertentangan. Dimana belajarnya terganggu atau terhambat oleh adanya respon-respon dari luar yang bertentangan sehingga hasil belajar menjadi rendah dari potensi yang dimilikinya. Contoh: siswa yang sudah terbiasa belajar dengan suasanya hening atau tenang, mungkin akan mengalami kesulitan belajar jika suasana ramai. Learning disfunction merupakan gejala dimana proses belajar yang dilakukan siswa tidak berfungsi dengan baik, meskipun siswa tersebut tidak menunjukkan adanya subnormalitas mental, gangguan alat indera, atau gangguan psikologi lainnya. Underachiever spesifik pada siswa yang memiliki potensi intelektual tergolong tinggi namun prestasi dan hasil belajarnya rendah. Slow learner atau lambat belajar yaitu siswa yang lambat dalam menerima penjelasan guru dalam proses belajar sehingga dia membutuhkan waktu yang lebih lama dibandingkan dengan kelompok yang memiliki intelektual yang sama. Learning disabilities atau ketidak mampuan belajar mengacu pada gejala dimana siswa tidak mampu belajar atau menghindari belajar, sehingga hasil belajar di bawah potensi intelektual. Dengan demikian siswa yang mengalami kesulitan belajar adalah siswa yang mengalami kegagalan dalam penguasaan mata pelajaran yang disampaikan oleh guru dalam proses belajar mengajar. Namun selain itu, prestasi atau hasil belajar yang diperoleh siswa rendah. 2.3 Diagnosis Kesulitan Belajar Dunia pendidikan mengartikan diagnosis kesulitan belajar sebagai segala usaha yang dilakukan untuk memahami dan menetapkan jenis dan sifat kesulitan belajar, juga mempelajari faktor-faktor yang menyebabkan kesulitan belajar serta cara menetapkan dan kemungkinan mengatasinya berdasarkan data dan informasi yang seobyektif mungkin. Perlunya diadakan diagnosis belajar karena berbagai hal. Pertama, setiap siswa hendaknya mendapat kesempatan dan pelayanan untuk berkembang secara maksimal. Kedua, adanya perbedaan kemampuan, kecerdasan, bakat, minat dan latar belakang lingkungan masing-masing siswa. Ketiga, sistem pengajaran di sekolah seharusnya memberi kesempatan pada siswa untuk maju sesuai dengan kemampuannya. Dan keempat, untuk menghadapi permasalahan yang dihadapi oleh siswa, hendaknya guru beserta Badan Penyuluhan (BP) lebih intensif dalam menangani siswa dengan menambah pengetahuan, sikap yang terbuka dan mengasah ketrampilan dalam mengidentifikasi kesulitan belajar siswa. Ada beberapa gejala sebagai indikator adanya kesulitan belajar (Ahmadi, dalam Azizah dan Nasroh : 2011): 1) Menunjukkan prestasi belajar yang rendah (di bawah rata–rata nilai yang dicapai oleh kelompok siswa di kelas). 2) Hasil belajar yang dicapai tidak seimbang dengan usaha belajar yang dilakukan. 3) Siswa lambat dalam melakukan tugas–tugas kegiatan belajar. Hendriono (dalam Azizah dan Nasroh : 2011) bahwa sejumlah siswa yang mendapat kesulitan dalam mencapai hasil belajar secara tuntas dengan variasi dua kelompok besar. Kelompok pertama merupakan sekelompok siswa yang belum mencapai tingkat ketuntasan, akan tetapi sudah hampir mencapainya. Siswa tersebut mendapat kesulitan dalam menetapkan penguasaan bagian-bagian yang sulit dari seluruh bahan yang harus dipelajari. Kelompok yang lain, adalah sekelompok siswa yang belum mencapai tingkat ketuntasan yang diharapkan karena ada konsep dasar yang belum dikuasai. Bisa pula ketuntasan belajar tidak bisa dicapai karena proses belajar yang sudah ditempuh tidak sesuai dengan karakteristik siswa yang bersangkutan. Jenis dan tingkat kesulitan yang dialami oleh siswa tidak sama karena secara konseptual berbeda dalam memahami bahan yang dipelajari secara menyeluruh. Sasaran dari kegiatan diagnosis pada dasarnya ditujukan untuk memahami karakteristik dan faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya kesulitan serta upaya mengatasi kesulitan. Dari ketiga pola indikator di atas dapat disimpulkan bahwa langkah-langkah pokok diagnosis kesulitan belajar adalah sebagai berikut: 1) Mengidentifikasi siswa yang diperkirakan mengalami kesulitan belajar. Adapun langkah-langkah mengidentifikasi siswa yang mengalami kesulitan belajar yaitu : a. Menandai siswa dalam satu kelas atau dalam satu kelompok yang diperkirakan mengalami kesulitan belajar baik bersifat umum maupun khusus dalam bidang studi. b. Melakukan tes diagnosis dengan membagikan permasalahan yang terkait dengan materi c. Menganalisis hasil diagnosis dengan melihat sifat kesalahan yang dibuat. 2) Mengalokasikan letak kesulitan atau permasalahannya, dengan cara mendeteksi kesulitan belajar pada bidang studi tertentu. Dengan membandingkan angka nilai prestasi siswa yang bersangkutan dari bidang studi yang diikuti atau dengan angka nilai rata-rata rata dari setiap bidang studi. Atau dengan melakukan analisis terhadap catatan mengenai proses belajar. 3) Melokalisasikan jenis faktor dan sifat yang menyebabkan mengalami berbagai kesulitan. 4) Memperkirakan rkirakan alternatif pertolongan. Menetapkan kemungkinan cara mengatasinya baik yang bersifat mencegah (preventif) maupun penyembuhan (kuratif). Wijayanti (dalam Azizah dan Nasroh : 2011). 2.4 Pewarisan Sifat Mendel diakui sebagai Bapak Genetika karena dianggap sebagai penemu prinsip dasar penurunan sifat (hereditas) yang sering dikenal dengan hukum Mendel. Pada percobaan persilangan satu sifat beda, J.G Mendel menyilangkan tanaman ercis biji bulat dengan ercis biji keriput. Seluruh turunan pertama (F1) yang muncul adalah biji bulat. Nampak F1 ciri bentuk biji keriput tertutup oleh ciri biji bulat (biji bulat menang terhadap biji keriput). Semua ciri yang nampak pada F1 disebut dominan, sedangkan yang tidak nampak disebut resesif (Nusantari, 2011). Gambar : 2.1 Sebuah Penyilangan Genetik Sumber : (Campbell, 2002) Mendel melanjutkan percobaan persilangan hingga munculnya turunan kedua (F2). Hasil persilangan F1, diteruskan percobaan persilangan hingga munculnya F2. Seluruh keturunan pertaman (F1) yang telah tumbuh dari biji, ditumbuhkan terus dan dibiarkan melakukan pembuahan sendiri. Biji yang dihasilkan ternyata bulat dan keriput, dan letaknya pada tiap polong berhadap-hadapan. Jumlah biji bulat adalah sebanyak 5.474 buah, sedangkan yang keriput 1.850 buah. Rasio biji bulat dan keriput adalah 2,96:1 atau mendekati 3:1 (Nusantari, 2011). Bukti-bukti persilangan Mendel yaitu: 1) ciri polong hijau dominan, polong kuning resesif, 2) ciri polong mengembung dominan, polong tidak mengembung resesif, 3) ciri batang tinggi dominan, batang pendek resesif, 4) ciri kulit biji abu-abu dominan, kulit biji putih resesif, 5) ciri biji kuning dominan, biji hijau resesif. J.G Mendel ingin menguji apakah biji bulat dan keriput sudah merupakan galur murni. Dengan demikian biji bulat maupun keriput ditanam, setelah tumbuh dan berkembang dibiarkan melakukan pembuahan sendiri. Biji-biji yang dihasilkan dari pembuahan itu selanjutnya diperiksa. Ternyata biji keriput tumbuh, berkembang, dan menghasilkan tanaman ercis yang berbiji bulat dan keriput. Rinciannya adalah sekitar 1/3 biji bulat tumbuh berkembang menghasilkan tanaman ercis yang seluruh bijinya bulat, sedangkan sekitar 2/3 biji bulat tumbuh, berkembang, dan menghasilkan ¾ tanaman ercis biji bulat serta 1/4 biji keriput. Dari hasil itu selanjutnya terbukti bahwa biji-biji ercis yang keriput pada F2 (1/4 bagian) sudah merupakan galur murni, sedangkan biji bulat (3/4 bagian) bukan merupakan galur murni. Demikian pula sekitar 1/3 biji bulat sudah merupakan galur murni, sedangkan sekitar 2/3 bagian bukan merupakan galur murni karena selanjutnya masih akan tumbuh, berkembang, dan menghasilkan tanaman ercis biji bulat dan keriput (rasio 3:1). J.G Mendel berpendapat bahwa galur murni ciri biji bulat pada tanaman ercis ditentukan oleh dua factor yang satu sama lain identik (ciri homozigot), demikian pula galur murni ciri biji keriput. Akan tetapi 2/3 biji bulat pada F2 tumbuh mejadi tanaman ercis biji bulat dan keriput (rasio 3:1), bukan tergolong galur murni, dan ditentukan oleh dua factor yang satu sama lain tidak identik (ciri heterozigot) (Nusantari, 2011). J.G Mendel menyimpulkan bahwa pada individu-individu heterozigot, satu alel dominan sedangkan yang lain resesif. Dari kenyataan bahwa ciri-ciri induk muncul kembali pada turunan tanaman ercis yang tumbuh dari biji heterozigot, J.G Mendel menyimpulkan bahwa kedua factor untuk tiap ciri tidak bergabung (tidak bercampur), kedua factor itu tetap berdiri sendiri selama hidupnya individu dan masih pada waktu pembentukan gamet. Separuh gamet membawahi satu factor, sedangkan separuh yang lain membawahi factor lainnya, biasah diartikan sebagai Hukum Pemisahan Mendel. J.G Mendel melakukan percobaan persilangan dihibrid pada satu percobaannya, tanaman ercis berbiji bulat dan kuning disilangkan dengan yang berbiji keriput dan hijau. Ciri biji hasil persilangan (F1) seluruhnya bulat dan hijau, tapi pada F2 muncul hasil yang menarik. Berkenaan dengan ciri biji hasil persilangan pada F2, J.G Mendel mempertimbangkan dua kemungkinan yaitu: a) ciri yang berasal dari satu induk akan diwariskan bersama-sama, b) ciri yang berasal dari satu induk akan diwariskan secara bebas satu sama lain. Apabila kemungkinan a benar, maka pada F2 hanya dijumpai dua macam ciri biji (bulat kuning dan keriput hijau) dalam rasio 3:1 sesuai dengan hukum pemisahan Mendel akan tetapi jika yang benar kemungkinan b, maka pada F2 akan dijumpai empat macam ciri biji dalam rasio 9:3:3:1. Keempat ciri biji itu adalah bulat kuning, bulat hijau, keriput kuning, keriput hijau. Hasil pada F2 sebanyak empat macam, yaitu: bulat kuning sebanyak 315 butir, bulat hijau sebanyak 108 butir, keriput kuning sebanyak 101 butir, keriput hijau sebanyak 32 butir dengan rasio mendekati 9:3:3:1 (Nusantari, 2011). J.G Mendel juga mempunyai pandangan tentang kerja atau tanggung jawab dari factor. Sebuah factor atau unit karakter menentukan atau mengontrol sebuah karakter. Berkenaan dengan hal ini Gardner dkk. (1991) menyatakan “Mendel berpendapat bahwa satu gen (tunggal) bertanggungjawab terhadap satu sifat”. Dengan demikian hukum pemisahan Mendel dan hukum pilihan bebas Mendel mula-mula adalah tiap factor atau pasangan factor bebas berdiri sendiri satu sama lain. Hukum Mendel I dan II disebut sebagai hukum Mendel klasik. Apa yang berpisah dan berkombinasi bebas pada hukum Mendel. Gen bekerja sepasang atau sealel seperti yang menjadi konsep mendel hanya berlaku pada makhluk hidup eukariot. Mendel I dan II hanya berlaku pada makhluk hidup eukariot yang berkembang biak secara seksual. Waktu dan tempat Hukum Mendel. Hubungan konsep Hukum Mendel I dan II dengan pembelahan meiosis. Hubungan mendel dengan fertilisasi. Hubugan hukum Mendel dengan pewarisan sifat pada manusia, tumbuhan dan hewan (Nusantari, 2011). Berikut ini konsep Mendel masa kini sebagai temuan sesudah Mendel: 1. Peristiwa yang berlangsung mengikuti Hukum Mendel Hukum pemisahan Mendel dan hukum pilihan bebas Mendel masa kini sudah tidak tepat sama lagi dengan hukum-hukum itu dalam bentuknya yang mula-mula. Perilaku kromosom dalam pembentukan gamet setara dengan teori yang dinyatakan Mendel. Ada kesetaraan antara hukum Mendel I pada proses meiosis yakni kesetaraan alel dan pasangan kromosom yang mengalami segregasi atau proses pemisahan kromosom homolog pada meiosis I anaphase I. Ada kesetaraan hukum mendel II dengan berbagai kemungkinan kombinasi kromosom pada meiosis I. 2. Makhluk hidup yang mengalami Hukum Mendel Peristiwa hukum pemisahan dan pilihan bebas Mendel berlangsung dalam proses pembelahan meiosis. Peristiwa hukum pemisahan dan pilihan bebas Mendel terjadi dikalangan makhluk hidup haploid (seluler prokariotik) tidak pernah mengalami peristiwa pemisahan dan pilihan bebas Mendel, sekalipun berbiak secara seksual. Pada makhluk hidup seluler triploid, tetaploid atau poliploid umumnya yang berbiak secara seksual tidak berlangsung tepat sebagaimana hukum pemisahan Mendel dan hukum pilihan bebas Mendel. Dengan demikina makhluk hidup diploid yang berkembangbiak secara seksual akan mengalami peristiwa pemisahan Mendel dan pilihan bebas Mendel. Tempat berlangsungnya hukum Mendel I dan II dari tubuh makhluk hidiup diploid yang berkembangbiak secara seksual adalah organ reproduksi jantan dan betina. Berbagai organ reproduksi pada makhluk hidup lainnya. Peristiwa hukum pemisahan dan pilihan bebas Mendel ada jamur berlangsung di sporangium. Sel yang mengalami adalah zigospora. Zigospora mengalami meiosis. Hukum pemisahan dan pilihan bebas Mendel pada ganggang Clamydomonas dan Spirogyra berlangsung pada zigot yang sedang mengalami pematangan. Ganggang perang mengalami Mendel I dan II di dalam sporangium, sel yang mengalami peristiwa itu adalah zoospore diploid. Hukum pemisahan dan pilihan bebas Mendel pada berbagai jenis lumut peristiwa berlangsung di dalam sporangium. Tempat berlangsungnya sel induk spora. Hukum I dan II pada paku-pakuan berlangsung di dalam sporangium, tempat berlangsungnya di sel induk spora yakni mikrospora dan megaspora. Hukum pemisahan dan pilihan bebas Mendel pada tumbuhan berbiji terbuka dan tertutup peristiwa berlangsung di mikrosporangia dan megasporangia. Pada tumbuhan berbiji terbuka mikrosporangia terdapat pada strobilus jantan, megasporangia (ovum) terdapat pada strobilus betina. Pada tumbuhan berbiji tertutup mikrosporangia disebut sebagai antena (kepala sari) sebagai bagian dari benang sari, megaspore (ovulus atau bakal biji) merupakan bagian dari pistil (putik). Hukum I dan II pada jalur hewan, paramecium berlangsung di sel paramecium yakni mikronukleolus. Hewan multiseluler (bersel banyak) berbagai jenis avertebrata maupun vertebrata peristiwa berlangsung di dam gonad jantan dan gonad betina. Hewan multiseluler termasuk manusia gonad jantan disebut testis dan gonad betina disebut ovarium. Waktu peristiwa Mendel I dan II adalah pada makhluk hidup (tumbuhan maupun hewan) yang berkembangbiak secara seksual memasuki periode perkembangan dewasa kelamin yakni terjadi selama berlangsungnya proses tertentu yakni meiosis yang menghasilkan gamet. 3. Yang berpisah dan berkombinasi bebas Hukum Mendel I dan hukum pemisahan gen yang terangkai dalam kromosom saat meiosis. Jadi yang berpisah adalah gen yang terangkai dalam kromosom. Mendel II adalah hukum kombinasi bebas adalah gen-gen yang terangkai dalam kromosom yang sehomolog selama meiosis. Jadi yang berkombinasi bebas adalah adalah gen yang terangkai dalam kromosom, bukan gen yang terpisah dalam bentuk sendirisendiri. Factor – factor (gen) adalah pasangan kromosom yang berbeda, dan factorfactor (gen) pada percobaan persilangan J.G Mendel berperan sebagai penanda kromosom tempat terpautnya yang melakukan pemisahan dan pilihan bebas adalah pasangan kromosom. Sekalipun pandangan dasar J.G Mendel tentang keberadaan factor atau gen tidak benar, tetapi hukum Mendel I dan II masih bisa dipertahankan. Dalam hal ini yang mengalami pemisahan bebas dan penggabungan kembali secara bebas adalah kromosom dan bukan factor atau gen, sebagaiman dugaan Mendel mula-mula factor atau gen yang ikut memisah dan bergabung kembali bersama dengan kromosom. Inilah hukum Mendel I dan II versi kedua. 4. Konsep dominan dan resesif Mendel bukan sebagai hukum utama Pewarisan pada makhluk hidup Sebagai contoh tipe golongan darah, pada multiple alel ini tidak ada dominansi. Seiring perkembangan pewarisan sifat, ternyata hanya sedikit karakter yang ditentukan oleh satu gen. Kebanyakan karakter dipengaruhi oleh rangkaian gengen seperti karakter warna rambut dan warna mata. Gen juga bisa mempengaruhi lebih dari satu karakter. Perluasan pola pewarisan sifat Mendel seperti bentuk pewarisan sifat kodominan, terpaut kromosom X, Polygen (sifat dihasilkan lebih dari satu gen) dan pewarisan multifactor. 5. Hukum mendel terjadi pada persilangan Monohybrid, Dihibrid dan Polihibrid Pada persilangan monohybrid terjadi mendel I dan II. Pada persilangan dihibrid terjadi persilangn Mendel I dan II. Demikian juga pada persilangan trihibrid dan polihibrid terjadi Mendel I dan II. Karena hukum ini terjadi pada saat meiosis. Semua makhluk hidup diploid berbiak scara seksual akan mengalaminya. P1 : G F1 : : ♀ UU (Ungu) U x x Uu (Ungu) ♂ uu (Putih) u Gambar: 2.2 Persilangan Monohibrid Sumber : (Suryo, 2008) Hukum Mendel I adalah hukum pemisahan gen yang terangkai pada kromosom yang kejadiannya pada meiosis I tahap anaphase. Hukum Mendel II adalah hukum pilihan bebas dari gen yang terangkai pada kromosom yang kejadiannya pada meiosis I fase metaphase. Hukum Mendel II terjadi lebih dulu kemudian dilanjutkan Mendel I. Jelaslah bahwa disebut sebagai hukum Mendel I karena hukum Mendel I ditemukan lebih dulu melalui persilangan monohybrid dan Mendel II ditemukan sesudahnya melalui persilangan dihibrid. P1: G1: F1: P2: G2: ♀ BBKK x (Biji bulat berwarna kuning) BK x BbKk BbKk x BK, Bk, bK,bk ♂ bbkk (Biji keriput hijau) bk BbKk BK, Bk, bK,bk Gambar: 2.3 Persilangan Dihibrid Sumber : (Suryo, 2008) 6. Hukum Mendel, meiosis, dan fertilisasi Hukum Mendel pertama kali pada persilangan tanaman ercis. Rasio turunan yang dihasilkan dapat diketahui melalui hasil persilangan. Temuan Mendel I dapat terdeteksi melalui penanda kacanag ercis dengan fenotif bulat dan keriput. Penanda tersebut terlihat dari hasil persilangan. Jadi jelas bahwa rasio fenotif yang dihasilkan melalui rasio keturunan adalah hasil fertilisasi gamet jantan dan betina. Fertilisasi terjadi setelah pembentukan gamet jantan dan betina melalui meiosis. 7. Kerja gen berpasangan hanya berlaku pada makhluk hidup diploid yang berbiak secara seksual. Pada makhluk hidup eukariotik yang berbiak secara seksual (diploid) kemunculan tiap karakter ditentukan oleh dua factor berpasangan. Pada makhluk hidup seluler eukariotik ada yang tergolong haploid karena parthenogenesis, triploid, tetraploid, bahkan polyploidy. Pada makhluk hidup seluler eukariotik diploid juga dibatasi pada gen yang berada di dalam inti bukan di luar inti sel yakni materi genetic DNA. Pada masa Mendel dinyatakan bahwa sebuah factor atau unit karakter (gen) mengontrol sebuah karakter. Menurut Goodenough karakter dikontrol oleh “ satu lokus gen”. berdasarkan pandangan ini ada orang yang dapat membenarkan bahwa memang ada karakter yang dikontrol oleh satu gen. Walaupun juga dapat lebih dari satu gen dan ada juga satu gen yang mengontrol dari satu karakter. 8. Bentuk - bentuk yang dianggap sebagai penyimpangan Mendel akibat penempatan hukum Mendel Mendel I akan menghasilkan F2 dengan rasio 3:1. Mendel II akan menghasilkan F2 dengan rasio 9:3:3:1. Banyak bentuk persilangan yang dianggap sebagai bentuk penyimpangan semu hukum Mendel. Banyak peristiwa lainnya yang berpengaruh pada rasio keturunan. Selama ini peristiwa non disjunction, pindah silang, pautan dianggap peristiwa yang menyebabkan rasio Mendel menyimpang dari rasio 3:1 ataupun 9:3:3:1. Non disjunction dan pindah silang dianggap merupakan penyimpangan Mendel karena mengubah rasio Mendel. Pindah silang adalah fenomena alamiah yang wajar dan memperkaya variabilitas genetic suatu populasi. Pautan yang dianggap sebagai salah satu bentuk penyimpangan dari mendel. Sebenarnya pautan adalah suatu fenomena alam yang normal. Hal ini karena Mendel peristiwa pemisahan dan kombinasi bebas yang terjadi pada kacang ercis kebetulan mengguanakan gen yang terletak pada kromosom berbeda. Pautan terkait dengan letak gen yang terpaut pada satu kromosom. Apabila 2 gen berada pada kromosom yang sama maka disebut terpaut. Adanya 2 gen pada kromosom yang sama menyebabkan 2 gen tersebut tidak akan mengalami pemisahan dan pilihan bebas. Bila persilangan yang mengguanakan penanda 2 gen tetapi berada pada kromosom yang sama maka rasio Mendel II tidak akan terlihat sebagai 9:3:3:1. Epistasis hipotasis adalah fenomena alamiah yang ada selain fenomena Mendel. Epistasis hipostasis berakibat pada perbandingan yang tidak sama dengan Mendel sebagai hukum genetika yang utama, sehingga bila tidak sesuai dengan hukum Mendel dimasukkan sebagai penyimpangan. Hukum Mendel I dan II terjadi pada anaphase I dan metaphase I. Sebelum terjadi Mendel I dan II gen-gen dapat mengalami non disjunction yang terjadi pada anaphase I maupun II. Individu yang mengalami non disjunction juga mengalami Mendel I dan II. Fenotif pada non disjunction ini dapat dilihat pada fenotif keturunannya. Hubungan antara hukum Mendel I dan pindah silang adalah hukum Mendel I dan II terjadi pada anaphase I dan metaphase I. Sebelum terjadi Mendel I dan II gengen dalam satu kromosom dapat mengalami pindah silang yang terjadi pada profase I. Gen rekombinan juag mengalami Mendel I dan II karena gen-gennya mengalami metaphase I dan anaphase I. Fenotip rekombinan dapat dilihat dari fenotip yang muncul pada keturunannya. Hubungan pautan dengan pindah silang. Pindah silang dapat terjadi pada kromosom autosom maupun gonosom. Pindah silang dapat dilihat dari dua gen yang terpaut pada kromosom autosom, demikian juga pindah silang dapat terlihat pada dua gen yang terpaut kromosom kelamin. Pindah silang dapat terlihat pada pengamatan tipe rekombinan dari keturunannya.