Gereja Merumuskan Jawaban Sebuah Bentuk Pengakuan Iman Kontemporer di NTT (Jurnal APTK 2014) Ebenhaizer Nuban Timo1 Abstract Paper ini menarik perhatian pembaca untuk melihat upaya Gereja Kristen sepanjang abad untuk memahami persoalan-persoalan sosial kemasyarakatan di mana Gereja berada, lalu memberikan sikap terhadap masalah-masalah itu. Untuk maksud tadi, penulis melakukan kajian terhadap bagaimana sikap itu dirumuskan gereja dalam pengakuan imannya. Seperti nyata dalam paper ini, tiga pengakuan iman yang disusun gereja pada masa lalu bersangkut paut erat dengan permasalahan sosial, kemasyarakatan, juga persoalan-persoalan religius yang digumuli Gereja pada saat itu. Betapapun jawaban-jawaban gereja itu memiliki nilai teologis yang tinggi, tetapi tidak semuanya memberikan pegangan untuk orang percaya pada masa kini menjalani hidup dalam ketaatan kepada Allah. Secara khusus penulis memperlihatkan bahwa dalam konteks sosial kemasyarakat di Nusa Tenggara Timur, agaknya Gereja perlu merumuskan pengakuan iman yang baru, bukan untuk menggantikan pengakuan iman ekumenis, tetapi untuk melengkapinya. Kata Kunci: Credo, Pengakuan Gereja, Pergumulan Sosial This paper draws readers attention to understand how christian Church throughout the history has tried to find the answer to the social, historical and cultural questions faced by people and base on the questions the Church searches fo the answers. To reach this aim the author makes an analysis on the confession (credo) formulated by the Church. As the author emphasizes in this paper, three ecumenical credos the Church already recieves from the early christian community are closely connected with social and cultural problem of the early christian community. The author acknowledges that the content of those credo is supreme important to the present day Church, but he also make an appeal that the present day Church requires to reformulate their own credo (confession), because there are some new problems that are not sufficiently taken into attention by the early Church. To convince the readers about the neccesity of his appeal, the author draws readers attention to a credo (confession) decided by The Evangelical Church in Timor (GMIT) to be her own credo. This does not mean that GMIT does not use the three ecumenical credos any more. The new credo that GMIT produces is no mere that a supplement to those ecumenical credos. 1 Dosen dogmatik pada teologi di Fak. Teologi UKSW Salatiga di program Sarjana Satu dan Program Pasca-Sarjana Sosiologi Agama. Memperoleh gelar Doktor Teologi di Theologische Universiteit van de Gereformeerde Kerken in Nederland te Kampen tahun 2001 dalam bidang teologi sistimatika. Selain bidang utama dogmatika, ia juga meminati studi Perjanjian Lama, Hermeneutika, Teologi Dunia Ketiga dan Studi tentang Budaya. Keyword: Credo, Church Confession, Social problems. Sejarah dan Penjelasan Isi Pengakuan Iman Dalam sidang sinodenya yang ke-30 tahun 2003 di So’e, para utusan yang datang dari jemaat-jemaat di seluruh wilayah GMIT (Propensi NTT kecuali pulau Sumba dan dari Sumbawa di NTB) sepakat untuk menerima konsep Pengakuan Iman yang disiapkan oleh panitia materi untuk diujicoba selama periode 2003-2007. Jika pengakuan iman ini diterima dalam persidangan yang berikut di Kalabahi, Alor sinode akan menetapkannya sebagai Pengakuan Iman GMIT. Keputusan sinode di So’e diperkuat dengan keputusan sidang tahunan Majelis Sinode GMIT (Oktober 2004) untuk melakukan ujicoba pengakuan itu di seluruh GMIT mulai tanggal 31 Oktober 2004 dalam kebaktian pengucapan syukur HUT GMIT ke-57. Rumusan pengakuan iman itu kemudian dibahas lagi dalam persidangan Sinode GMIT ke-31 di Kalabahi. Di sinode yang sama hasil pembahasa dengan berbagai perubahan kemudian ditetapkan menjadi keputusan sinode. Rumusan lengkap Pengakuan Iman GMIT tertera di bagian akhir tulisan ini. Tentu saja reaksi warga GMIT terhadap pengakuan ini beragam. Ada yang berpendapat agar GMIT mendorong warganya mengenal dan menghayati Pengakuan-Pengakuan Iman oikumenis yang sudah ada, a.l: Pengakuan Iman Rasuli (PIR), Pengakuan Iman Nicea-Konstantinopel (PINK), dan Pengakuan Iman Athanasius (PIA). Mereka ini bersikap skeptis terhadap rumusan pengakuan iman baru. Alasannya pengakuan iman oikumenis saja belum sepenuhnya dikenal dan dihayati sungguh-sungguh oleh warga Gereja. Menambah satu pengakuan iman lagi hanya akan menyebabkan kebingungan di kalangan orang percaya. Selain reaksi tadi ada yang menyangka bahwa dengan disusunnya Pengakuan Iman GMIT maka orang percaya di GMIT akan jatuh ke dalam bahaya menjadi Gereja sektarian. Yakni yang memisahkan diri dari Gereja yang esa dan am (universal). Dengan memiliki pengakuan iman sendiri berarti GMIT berubah jadi Gereja suku (ghetto) yang cenderung menutup diri terhadap Gereja Kristus di seberhana muka bumi. Tetapi tidak sedikit peserta yang mengaku terkesima dengan upaya yang satu ini. Dengan lega mereka berkata: “Akhirnya, setelah lima puluh tahun lebih ada dan melayani di konteks NTT, GMIT berani mengaku imannya kepada Tuhan yang satu dan tidak berubah, dalam bahasa, metafora dan ungkapan-ungkapan yang akrab dengan kondisi manusianya karena digali dari konteks hidup, budaya dan pengharapan orang-orang di mana Gereja ada. GMIT tidak lagi sekadar mengaku imannya kepada Tuhan menurut apa kata orang, tetapi menurut kata hatinya sendiri berdasarkan pengalaman dan pergumulan konteksnya yang konkret.” Pendapat yang terakhir ini menegaskan bahwa dengan memiliki pengakuan iman sendiri, GMIT bukan jatuh dalam bahaya primordialisme iman. Ini justru sebuah langkah maju pemahaman diri GMIT sebagai Gereja esa dalam esensi pengakuan kepada Kristus tetapi bhineka dalam konteks dan cara pengungkapan iman. Bertolak dari kepelbagaian reaksi menyambut hadirnya Pengakuan Iman GMIT ada baiknya kita dalami sungguh-sungguh latar belakang yang mendorong upaya GMIT untuk memiliki pengakuan iman sendiri serta isi teologis, sosial dan kultural yang terkadung dalam Pengakuan Iman itu. Sebelum sampai pada pokok tersebut kita coba juga memahami secara garis besar sejarah dan kandungan teologis dari pengakuan iman sebelumnya yang dipakai GMIT, yakni: Pengakuan Iman Rasuli, Pengakuan Iman Nicea-Konstantinopel, dan Pengakuan Iman Athanasius. Kristus tidak berubah, ungkapan iman selalu baru Iman kepada Kristus tidak berubah. Tetapi rumusan pengakuan iman Gereja selalu diperbarui. Hal ini terjadi karena situasi yang manusia hadapi selalu baru. Semua orang Kristen mengakui Yesus sebagai Tuhan dan Juruselamat dunia. Tetapi coba lihat, waktu dalam keadaan sakit mereka menyapa Yesus sebagai tabib atau dokter yang baik. Saat berlayar mereka mengandalkan Yesus sebagai nahkoda. Yesus Kristus tidak berubah, kemarin, hari ini dan selama-lamanya (Ibr 3). Tetapi cara dan ungkapan pengakuan orang Kristen akan Kristus terus-menerus diperbarui sesuai dengan persoalan dan pergumulan yang mereka hadapi. Fakta ini dapat kita jejaki juga dalam tiga pengakuan iman oikumenis Gereja Kristen; Pengakuan Iman Rasuli, Pengakuan Iman Nicea-Konstantinopel, dan Pengakuan Iman Athanasius. Jelas salah satu fungsi dari Pengakuan Iman adalah sebagai pemandu bagi orang percaya untuk menjalani ziarah iman atau juga sebagai kaidah yang dapat dipakai untuk memberi sikap terhadap persoalan yang mereka hadapi. O. Noordman benar saat dia mengatakan: “Pengakuan Iman bukan rotan yang dipakai untuk menghukum, tetapi tongkat yang membantu untuk terus berjalan dengan tegak.”2 Sekarang kita mulai dengan menelusuri secara singkat sejarah terjadinya dan isi teologis dari Pengakuan Iman Rasuli, Pengakuan Iman Nicea-Konstantinopel, Pengakuan Iman Athanasius. Pengakuan Iman Rasuli Sejarah Penyusunannya Pengakuan Iman Rasuli yang sekarang kita miliki dalam bentuk pengakuan rangkap tiga (percaya kepada Allah Bapa, percaya kepada Yesus Kristus, percaya kepada Roh Kudus) berasal dari rumusan yang sangat pendek: “Yesus Kristus adalah Tuhan”. Rumusan yang singkat ini kemudian dikembangkan makin luas untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diajukan kepada Gereja dan orang percaya tentang arti Yesus Kristus dan karya-Nya bagi manusia. Pengembangan yang berhubungan dengan oknum kedua dalam ketritunggalan menekankan pengorbanan Kristus untuk keselamatan kita dalam dua status: kerendahan dan kemuliaan. Sejarah terjadinya Pengakuan Iman Rasuli sampai menjadi rumusan seperti yang kita kenal saat ini berlangsung lebih dari 700 tahun. Mulanya pengakuan itu dipakai untuk keperluan baptisan. Lama kelamaan menjadi bahan katekesasi dan mulai dipakai dalam peribadatan jemaat.3 Isi Pengakuan Iman Rasuli 2 3 G.W. Neven. The Name in the Theology of Oepke Noordman. Kampen: THU-K, 1999. Hlm. 21. J.L.Ch. Abineno. Ibadah dalam Jemaat Purba. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1983. Hlm. 7. Pengakuan Iman Rasuli mengungkapkan kepercayaan Gereja kepada Allah Tritunggal. Yang menjadi titik pusat dari pengakuan itu terletak pada pokok pengakuan akan Kristus dan pekerjaan-Nya. Kristologi merupakan pokok yang diulas secara panjang lebar. Itu tampak dalam komposisi berikut. Pengakuan tentang Allah Bapa hanya satu ayat. Tentang Roh Kudus dan pekerjaan-Nya yang diterapkan dalam kita (Gereja, pengampunan dosa, hidup yang kekal) empat ayat. Sedang tentang Kristus dan artinya bagi kita diuraikan dalam tujuh ayat. Kalau kita periksa ketujuh ayat itu nyata dengan jelas bahwa perhatian difokuskan pada pengorbanan Kristus bagi kita. Kristus berkorban untuk kita dan bagi keselamatan kita. Pengakuan Iman Rasuli lebih memperhatikan aspek pengorbanan Kristus. Ini sangat dikondisikan oleh persoalan waktu itu. Orang Kristen berhadapan dengan situasi kerohanian waktu itu yang dibentuk oleh agama-agama misteri. 4 Waktu itu orang mengajarkan tentang jalan keselamatan yang berpusat pada pengorbanan dan usaha manusia. Untuk selamat manusia harus bekerja keras. Bertarak, bertapa, puasa dan menyakiti diri dianggap sebagai perbuatan berpahala. Gereja dan orang Kristen menolak pandangan tersebut melalui rumusan pengakuan iman yang menekankan pengorbanan Kristus bagi keselamatan manusia. Jadi jelas bahwa Pengakuan Iman Rasuli dengan rumusan yang kita miliki saat ini lahir dalam konteks pergumulan yang konkret pada waktu itu. Pengakuan Iman Nicea-Konstantinopel Latar belakang lahirnya Keallahan logos adalah azas iman Kristen.5 Tetapi waktu keallahan ini dijelaskan orang Kristen terbagi dalam dua kubu. Kubu pertama menekankan keesaan Allah Bapa, Anak dan Roh Kudus. Yesus Kristus dan Roh Kudus satu hakikat dengan sang Bapa. Kita tidak punya tiga Allah, tetapi hanya satu Allah. Allah Bapa tidak lebih tinggi statusnya dari Yesus Kristus. Roh Kudus juga tidak lebih rendah kedudukan-Nya dari Yesus Kristus. Ketiganya sama-sama Allah, sederajat dan sehakikat. Tetapi penekanan ini justru membuat perbedaan di antara Bapa, Anak dan Roh Kudus diabaikan. Aleksander, uskup di Mesir adalah pendukung kubu ini. Pada sisi lain ada orang yang mencoba dengan sungguh-sungguh menekankan perbedaan antara Bapa, Anak dan Roh Kudus. Tetapi justru karena itu mereka jatuh dalam bahaya mengabaikan keesaan dari Bapa, Anak dan Roh Kudus sehingga timbul kesan bahwa Allah orang Kristen ada tiga. Atau, kalaupun hanya ada satu Allah maka ada tingkatan (hierarki). Allah Bapa lebih besar dari Yesus Kristus dan Roh Kudus. Gagasan ini diajarkan oleh bapak Gereja seperti Origenes. Bapak Gereja yang satu ini menutut agar percakapan tentang Allah harus memperhatikan dengan serius ketiga hypostasis Allah (Sang Bapa, Sang Anak dan Roh Kudus). Yang paling ekstrim dari antara mereka adalah Arius. Dia seorang Libia, tetapi menjadi imam yang bekerja di dalam wilayah uskup Aleksander di Mesir. Aleksander memberikan kedudukan yang tinggi kepadanya karena kecakapannya dalam mengajar dan berkhotbah. Tetapi konflik antara keduanya pecah juga. Itu terjadi sekitar tahun 318. Arius mengajarkan bahwa Yesus Kristus adalah Allah yang lebih rendah statusnya dari 4 5 Th. Van den End. Harta Dalam Bejana, Jakarta, Badan Penerbit Kristen 1995. Hlm 7. Tony Lane. Runtut Pijar Sejarah Pemikiran Kristiani, Jakarta, BPK Gunung Mulia, 1996. Hlm. 26. sang Bapa dan lebih tinggi kedudukannya dari Roh Kudus. Aleksander memecat Arius. Dia lalu kembali ke bagian Timur Kekaisaran Romawi. Di Kaisarea dia dipekerjakan oleh Eusebius, uskup Nikomedia. Aleksander segera bersurat kepada Eusebius tentang pemecatan Arius karena ia mengajarkan bahwa ada waktu di mana Yesus Kristus belum ada. Hanya Allah saja yang tidak berawal dan berakhir. Arius membalas surat bekas uskupnya. Dia mengatakan bahwa apa yang ia ajarkan adalah kepercayaan yang sejati. Dia katakan begini. “Hanya Allah saja yang tidak berawal dan kekal, tidak dilahirkan, tidak berakhir, benar, bijak, baik dan berdaulat. Sang Anak tidak kekal seperti Allah”.6 “Ada waktu di mana Yesus Kristus belum ada. Ia lalu diciptakan oleh sang Bapa sebagai makhluk yang pertama. Setelah itu barulah manusia. Yesus Kristus karena itu adalah ciptaan. Dia bukan sang pencipta.” (Lane, 1996, 27) Jelas bahwa bagi Arius Yesus Kristus tidak sehakikat dengan Allah Bapa dan Roh Kudus. Jemaat Kristen pada waktu itu binggung. Kesatuan Gereja Kristus di dunia berada dalam bahaya. Konstantinus Agung yang menjadi kaiser Roma waktu itu mengambil inisiatif untuk menyatukan orang Kristen yang terbagi dalam dua kubu. Ia memprakarsai diadakannya konsili di kota Nicea tahun 325. Di situ para uskup yang hadir berjumlah 220 (dikemudian hari menjadi tradisi bahwa jumlah peserta 318 orang). Mereka merumuskan sebuah Pengakuan Iman yang dijadikan sebagai pegangan bersama yang syah. Isi Pengakuan Iman yang disusun dan disepakati di Nicea berbunyi sebagai berikut: Kami percaya kepada satu Allah, Bapa yang Mahakuasa, pencipta segala sesuatu yang kelihatan dan yang tidak kelihatan. Dan kepada satu Tuhan, Yesus Kristus, Anak Allah, dilahirkan dari Bapa, hanya diperanakkan, yaitu dari substansi Bapa, Allah dari Allah, terang dari terang, Allah yang sejati dari Allah yang sejati, dilahirkan bukan diciptakan, berasal dari satu substansi dengan Bapa (homoousios), melalui siapa segala sesuatu ada, segala sesuatu baik yang di sorga maupun yang di bumi, yang oleh sebab kita manusia dan demi keselamatan kita, turun dan menjelma, menjadi manusia, menderita dan bangkit lagi pada hari yang ketiga, naik ke sorga dan akan datang untuk menghakimi yang hidup dan yang mati. Dan di dalam Roh Kudus. 218 uskup yang hadir setuju dengan rumusan ini dan membubuhkan tanda tangan mereka. Hanya dua orang yang keberatan, salah seorang di antara mereka adalah Arius. Dalam rumusan Pengakuan Iman itu status keallahan Yesus Kristus diakui sebagai yang sama dan setara dengan sang Bapa. Para uskup yang hadir sekaligus mengutuk ajaran yang mengatakan bahwa status keallahan Yesus Kristus lebih rendah dari Allah Bapa. Rumusan Pengakuan Iman ini disempurnakan lagi dalam konsili di kota Konstantinopel tahun 381 dengan menekankan kesetaraan antara Roh Kudus dengan sang Bapa dan sang Anak. Hasil lengkap dari dua konsili ini kita kenal dalam rumusan Pengakuan Iman Nicea-Konstantinopel yang kita pakai sampai hari ini. Jelasnya Pengakuan Iman Nicea-Konstantinopel lahir karena situasi konflik atau kontroversi tentang ketritunggalan Allah. Yang jadi pokok sengketa ialah apakah Logos yang menjelma dalam manusia Yesus dan Roh Kudus sehakikat dengan Allah Bapa? Pengakuan Iman Nicea-Konstantinopel dirumuskan sebagai senjata Gereja melawan 6 Frances Young. From Nicaea to Chalcendon, London, SCM Press, Ltd. 1983. 59. ajaran sesat mengenai ketritunggalan Allah. Isi Pengakuan Iman Nicea-Konstantinopel Sama seperti Pengakuan Iman Rasuli, Pengakuan Iman Nicea-Konstantinopel juga mengekspresikan kepercayaan Gereja kepada Allah Tritunggal. Yesus Kristus dan pekerjaan-Nya juga menjadi titik pusat dalam Pengakuan Iman Nicea-Konstantinopel. Tetapi yang jadi fokus bukan lagi makna pengorbanan Kristus bagi kita melainkan kesetaraan Logos yang menjelma dalam diri Yesus Kristus dengan Sang Bapa. Yang ditekankan dalam pengakuan iman ini adalah soal ketritunggalan Allah. Ini dikarenakan persoalan aktual yang dihadapi Gereja dan orang Kristen waktu itu adalah masalah ketritunggalan Allah. Oleh pengaruh Arius muncul keraguan orang percaya tentang kesetaraan antara Allah Bapa, Allah Putra dan Roh Kudus. Kalau ajaran yang disebarkan Arius benar maka bagaimana dengan keselamatan manusia? Bukankah untuk selamat dari kematian yang dahsyat manusia membutuhkan seorang juruselamat yang benar-benar Allah dan benar-benar manusia? Kalau Yesus Kristus bukan Allah, bagaimana Dia dapat membawa kita keluar dari cengkraman maut? Belajar dari Alkitab Gereja dan orang Kristen menolak bahkan mengutuk ajaran Arius. Senjata yang Gereja pakai untuk mempertahankan diri dari ajaran sesat tadi adalah sebuah rumusan pengakuan iman yang disusun di kota Nicea (thn. 325) dan disempurnakan dalam konsili di kota Konstantinopel (thn. 381). Formulasi kalimat-kalimat dalam Pengakuan Iman Nicea-Konstantinopel berikut ini: “Dan kepada satu Tuhan, Yesus Kristus, Anak Allah yang tunggal, yang lahir dari sang Bapa sebelum ada segala zaman. Allah dari Allah, terang dari terang. Allah yang sejati dari Allah yang sejati. Diperanakkan dan bukan dibuat. Sehakikat dengan sang Bapa. ... Aku percaya kepada Roh Kudus yang jadi Tuhan dan menghidupkan, yang keluar dari Sang Bapa dan Sang Anak. ...”, memang lahir dari kebutuhan konteks saat itu. Gereja melalui pengakuan iman ini berusaha memberi pegangan kepada orang-orang percaya untuk mengambil sikap terhadap ajaran sesat waktu itu. Jelas juga bahwa Pengakuan Iman Nicea-Konstantinopel terkondisi oleh pergumulan yang sangat konkret dari Gereja. Pengakuan Iman Athanasius Sejarah terbentuknya Setelah konsili Nicea (325) yang menghasilkan pengakuan iman Nicea yang isinya menolak ajaran Arius, para uskup pulang ke tempat masing-masing. Tetapi ajaran tentang keallahan Yesus Kristus, dan terlebih lagi keallahan Roh Kudus belum dipahami secara terang. Orang-orang pengikut Arius menafsirkan kata diperanakkan yang dipakai untuk Yesus Kristus dengan pengartian Dia lebih rendah kedudukannya dari Sang Bapa. Sedang para uskup yang hadir di Nicea terutama teman-teman Athanasius, yaitu mereka yang diam di bagian Barat Kerajaan Romawi mengartikan kata itu sebagai yang sama kedudukan dengan Sang Bapa. Mereka ini menekankan keesaan Allah. Lain lagi pendapat orang Kristen di bagian Timur. Oleh pengaruh Origenes mereka lebih suka bicara tentang tiga person (perbedaan-perbedaan dalam Allah antara Sang Bapa, Sang Anak, dan Sang Roh). Mereka tidak menolak keesaan hakikat Sang Bapa, Sang Anak, dan Sang Roh. Tetapi mereka tidak setuju dengan teman-temannya di Barat yang terlalu kuat menekankan keesaan sehingga tidak ada tempat untuk bicara tentang ketigaan Allah. Tentang Roh Kudus, karena di Nicea rumusan pengakuan iman mengenai-Nya hanya satu kalimat saja, tanpa penjelasan maka orang berpendapat bahwa Roh itu bukan pribadi. Ia hanya satu daya tak kelihatan. Kaum Arianisme (yakni yang mengembangkan pendapat Arius) berhasil menghasut beberapa kelompok Kristen, salah satu di antaranya kaum Kristen Tropici di Mesir7 mempropagandakan paham tentang Roh Kudus sebagai yang diciptakan dari yang tidak ada dan bukan sebuah pribadi. Pertikaian tentang ketritunggalan Allah tetap hidup pasca konsili Nicea. Dalam keadaan gelap dan kelam yang dahsyat karena pertikaian setelah Nicea, Athanasius tampil seperti sebuah bintang yang bersinar terang benderang mempertahankan ketritunggalan Allah. Athanasius lahir tahun 297 dan meninggal tahun 373. Ia mulanya seorang diaken dan sekretaris pribadi dari uskup Aleksander di Aleksandria Mesir. Karena tugasnya ini, pada waktu konsili Nicea (325) Athanasius mendampingi sang uskup menghadiri event akbar itu. Sepulang dari Nicea sang uskup meninggal dunia tahun (328). Athanasius menjadi uskup menggantikan Aleksander dalam usia 30 tahun.8 Sejak saat itu Athanasius mempertaruhkan seluruh waktu, tenaga, dan hikmatnya untuk membela ketritunggalan Allah dari serangan kaum Arianisme dan Tropici. Dengan bakat dan kemampuan menulis yang ada padanya serta keberanian yang luar biasa Athanasius menerbitkan cukup banyak buku. Isinya bersifat melindungi keallahan Yesus Kristus dan Roh Kudus dengan mengemukakan sejumlah argumen tak terbantahkan dari Alkitab. Keberanian ini harus dibayar mahal, karena dia ditangkap oleh kaiser, diasingkan bahkan pernah diculik untuk dibunuh, tetapi dia lolos secara ajaib. Pengakuan Iman Athanasius yang rumusannya kita cantumkan di depan disebut-sebut sebagai yang ditulis sendiri oleh Athanasius. Padahal jika diperiksa gaya berbahasa dan pola membangun argumentasi dalam rumusan itu terdapat perbedaan yang cukup jelas. Yang benar ialah: Pengakuan Iman itu ditulis setelah kematian Athanasius. Nama Athanasius dipakai untuk mengenang perjuangan dan kegigihannya yang melegenda dalam mempertahankan pengajaran yang orthodoks tentang iman.9 Isi Pengakuan Iman Athanasius Masih sama dengan dua Pengakuan Iman terdahulu, Pengakuan Iman Athanasius dirumuskan dengan memperhatikan struktur trinitarian (statmen iman tentang Sang Bapa, Sang Anak, dan Sang Roh). Dalam Pengakuan itu terbaca dengan jelas penolakan terhadap Arianisme pada satu sisi dan sikap yang fleksibel untuk mengakomodir kesenjangan antara pandangan tentang Allah yang beredar di bagian Timur dan Barat Kerajaan Romawi. Di Barat, seperti sudah kita katakan tekanan diberikan pada keesaan Allah, sedangkan di Timur orang lebih suka bicara tentang tiga hypostasis dalam Allah yang dibela mati-matian oleh Origenes. Pengakuan Iman Athanasius mencoba jalan kepada kombinasi pandangan homoousios Nicea (Anak dan Roh Kudus sehakikat dengan Sang Bapa = keesaan) dan pandangan di bagian Timur bahwa Allah adalah tiga hypostasis. 7 8 9 Tony Lane. Runtut Pijar Sejarah Pemikiran Kristiani, Jakarta, BPK Gunung Mulia, 1996. Hlm. 29. Frances Young. From Nicaea to Chalcendon. Hlm. 65. Frances Young. From Nicaea to Chalcendon. Hlm. 79. Jelas bahwa Pengakuan Iman Athanasius juga dirumuskan untuk memberi bimbingan dan tuntunan kepada jemaat untuk menghadapi keadaan dan pergumulan konkret yang dialami Gereja pada waktu itu. Kondisi dan pergumulan Gereja di Indonesia dan NTT sudah jauh berbeda dari apa yang dihadapi oleh jemaat purba. Mengulang begitu saja apa yang dikatakan pada waktu lalu memang baik, tetapi tidak banyak gunanya untuk menolong orang percaya masa kini dalam konteks Indonesia dan NTT untuk memaknai Allah secara konkret. Pengakuan Iman GMIT Alasan penyusunan pengakuan iman GMIT Penyusunan Pengakuan Iman yang baru oleh Gereja (GMIT) bukan sebuah keputusan yang mengada-ada. Tugas memiliki beberapa pertimbangan mendasar. Kita mencatat di sini tiga rujukan. Pertama, pertimbangan tata Gereja. Tata GMIT 1999 Bab II Pasal 4 Ayat 3 mengamanatkan Majelis Sinode dalam ketaatan kepada Tuhan yang tidak berubah sambil memperhatikan perubahan yang terus terjadi dalam konteks pelayanan GMIT untuk merumuskan sebuah pengakuan iman yang baru. Selengkapnya pasal itu berbunyi sebagai berikut: “Sesuai dengan tuntutan hakiki untuk mengaku imannya dengan jelas dan bermakna GMIT merumuskan dan menetapkan Pengakuan Imannya sendiri berdasarkan penafsiran yang tepat terhadap tuntutan perubahan dunia.”10 Pengakuan Iman yang dirumuskan dan ditetapkan sendiri oleh GMIT sama sekali tidak untuk menggantikan atau meniadakan tiga Pengakuan Iman oikumenis yang sudah ada. Kedudukan keempat Pengakuan Iman itu adalah sejajar dan saling melengkapi. Kedua, secara hakiki pengakuan iman harus lahir dari pengalaman perjumpaan yang hidup dengan Tuhan dalam konteks dan situasi masa kini. Prinsip ini berarti bahwa tidak cukup kita mengaku iman kepada Tuhan dengan menjiplak begitu saja apa yang sudah dikatakan orang lain. Kita pun perlu mengaku dengan bahasa dan suara hati kita sendiri. Secara Alkitabiah ini juga yang dikehendaki Yesus dari pengikut-pengikut-Nya. Kita melihat itu dalam Matius 16:13-20. Setelah tiga tahun bergaul dengan murid-murid serta mengajar mereka banyak hal tentang Allah melalui kata dan perbuatan, tiba saat Yesus meminta pendapat murid-murid tentang semua yang sudah mereka lihat, dengar, kenal dan hayati tentang Dia. Cara Yesus mengajukan pertanyaan kepada mereka sangat menarik. Ia mulai dengan pertanyaan yang bersifat umum. “Kata orang, siapakah Anak Manusia itu?” Reaksi murid-murid sangat antusias. Mereka berebutan memberi jawaban. Kemudian Yesus bertanya lagi: “Tapi apa katamu, siapakah Aku ini?” Yesus tidak ingin mereka berbicara tentang Dia menurut apa kata orang, tapi juga menurut pendapat atau pengalaman pribadi atau kelompok yang bersangkutan. Setelah 50 tahun ada di bumi NTT, GMIT telah berulang kali mengaku percaya pada Allah. Dan sejauh itu GMIT baru mengaku dengan menjiplak apa yang sudah dikatakan para pendahulunya, yakni mengulang saja apa yang sudah dirumuskan dalam Pengakuan Iman Rasuli, Pengakuan Iman Nicea-Konstantinopel, Pengakuan Iman Athanasius. Ini memang baik, tetapi belum cukup. Sebab kita tidak diminta oleh Tuhan untuk mengulang saja apa kata para nabi dan rasul, tetapi menjadi pengikut Kristus pada masa kini berdasarkan kesaksian para nabi dan rasul. 10 Majelis Sinode GMIT. Tata GMIT 1999 Bab II Pasal 4 Ayat 3. Kupang: Majelis Sinode GMIT 1999. Nah, kalau saja sekarang Yesus ada secara fisik di GMIT. Setelah mendengar jemaat-jemaat GMIT mengaku iman menurut rumusan Pengakuan Iman Rasuli, pasti Yesus akan bertanya lagi: “Tetapi menurut kamu sendiri siapakah Aku ini?” Ketiga, Yesus rindu mendengar apa pendapat GMIT tentang diri-Nya di tengah-tengah pergumulan konkret masyarakat dan warganya. Jadi kalau GMIT benar-benar hendak merumuskan pengakuan imannya, rumusan itu tidak bisa tidak harus memperhatikan konteks di mana ia ada dan berkiprah. Konteks GMIT berbeda dengan konteks orang-orang percaya pada masa lalu yang merumuskan Pengakuan Iman Rasuli, Pengakuan Iman Nicea-Konstantinopel, dan Pengakuan Athanasius. Ada banyak pertanyaan orang percaya masa kini di Asia, Indonesia dan NTT yang belum terakomodir dalam ketiga pengakuan iman terdahulu. Kita tidak bisa berdiam diri terhadap hal ini. Kekurangan-kekurangan di dalam tiga pengakuan iman oikumenis perlu dilengkapi oleh pengakuan iman yang akan GMIT rumuskan kalau kita setuju dengan O. Noordmans: “Pengakuan Iman bukan rotan untuk menghukum, tetapi tongkat untuk membantu berjalan.”11 Konteks dan pertanyaan masa kini GMIT Konteks di mana GMIT ada tidak lagi sama dengan konteks hidup jemaat mula-mula. Pertanyaan-pertanyaan yang digumuli dan meresahkan warga Gereja di NTT, Indonesia dan Asia masa kini jauh berbeda dari yang pernah digumuli Gereja purba. Berikut sebuah usaha sederhana untuk membentangkan di hadapan pembaca konteks dan pertanyaan-pertanyaan itu. Pergumulan Sosial Pertama, NTT ada dalam konteks dan menggumuli soal yang sama dengan di Asia. Alosius Pieris teolog terkemuka Asia memetakan identitas Asia dalam dua frasa yang berikut: Asia adalah negeri bagaikan samudra kemiskinan sekaligus tempat lahir banyak agama dunia. Kemiskinan yang mencolok dan kepelbagaian agama adalah dua kenyataan yang menghiasi wajah Asia.12 Kealpaan di dalam memperhatikan dua karakteristik ini, kata Yewangoe13 menyebakan Gereja dan teologinya menjadi steril. Artinya, ia tidak mempunyai manfaat apa-apa. Secara lebih tajam Nehru, mantan perdana mentri India mengatakan: “Jika Gereja di Asia memisahkan diri dari pergumulan-pergumulan Asia, ia patut dicurigai sebagai alat kolonialisme (kapitalisme).”14 C.S. Song seorang teolog terkemuka Asia yang lain mengatakan bahwa kemiskinan orang Asia bukan sebuah kodrat, melainkan produk penindasan. 15 Nuban Timo menggambarkan kemiskinan di Asia sebagai buah dari culture of oppression (budaya penindasan).16 Kemiskinan di Asia yang digambarkan sebagai sebuah samudra terjadi 11 G.W. Neven. The Name in the Theology of Oepke Noordmand. Hlm. 7. Pieris Aloysius. An Asian theology of Liberation. New York: Orbis Books. 1990. Hlm. xi. Lihat juga: A.A. Yewangoe. Theologia Crucis di Asia, Amsterdam, Rodopi, 1982. Hlm. 17. 13 A.A. Yewangoe. Kecenderungan-Kecenderungan Theologia di Asia, Dalam: Universitas Kristen Artha Wacana. Buku Ajar/Diktat. Kupang. 1992. Hlm 3. 14 A.A. Yewangoe. Kecenderungan-Kecenderungan Theologia di Asia. hlm. 3. 15 C.S. Song. Theology from the womb of Asia. New York. Orbis Books. 1986. Hlm. 74. 16 Eben Nuban Timor. Anak Matahari. Teologis Rakyat Bolelebo Tentang Pembangunan, Maumere, 12 karena penindasan. Pelakunya, kata Nuban Timo adalah para bangsawan dan penguasa. Sebuah pengakuan tentang Kristus di Asia belum merupakan ungkapan yang lahir dari rahim Asia jika kepedulian Allah terhadap orang miskin dan reaksi-Nya terhadap para penindas tidak mendapat perhatian. Hal ini menjadi kekurangan dalam tiga pengakuan iman oikumenis dari Gereja. GMIT mengartikulasikan iman kepada Allah dalam konteks kemiskinan masyarakat dan penindasan dengan frasa-frasa yang terbaca dalam pengakuan imannya. Dengan ini GMIT menunjukkan identitasnya sebagai Gereja orang-orang Asia. Ia karena itu bukan Gereja orang Belanda (Eropa) yang ada di Asia. Selanjutnya tentang kepelbagaian agama. Asia adalah rumah bagi semua agama besar di dunia. Agama itu banyak berperan dalam pembentukan budaya dan kepribadian orang Asia. Orang Asia bukan bangsa yang berpikir eksklusif, fanatis dan separatis. Toleransi antara umat beragama, respek terhadap dunia dan budaya telah mendarah daging dalam sikap hidup dan perilaku sosial bangsa-bangsa di Asia. Aspek ini tidak mendapat tempat yang cukup dalam tiga pengakuan iman oikumenis terdahulu. Dengan kesadaran penuh terhadap dunia sebagai objek kasih dan keselamatan Allah (Yoh 3:16) GMIT mengartikulasi hal ini dalam rumusan pengakuan berikut: “Kami mengaku bahwa dunia merupakan ladang kerja Allah. Gereja terpanggil untuk Allah dan untuk dunia, bukan untuk diri sendiri. Ibadah merupakan sarana kami menyatakan panggilan itu. Ibadah berlangsung setiap hari, dan di semua tempat.”17 Hal kedua yang menimbulkan kebingungan sekaligus menjadi pertanyaan hakiki bagi warga Gereja di Asia, Indonesia dan NTT adalah soal kesetaraan gender. Alkitab mengatakan bahwa Allah menciptakan manusia itu, laki-laki dan perempuan menurut gambar dan rupa Allah (Kej 1:26-27). Bukan hanya laki-laki saja yang diciptakan sesuai gambar Allah tetapi perempuan juga. Perempuan disiapkan Allah sebagai penolong yang sepadan bagi laki-laki (Kej 2:18). Tetapi dalam kenyataan bermasyarakat di Asia, perempuan belum diberi tempat yang sejajar dengan laki-laki. Padahal jika dibandingkan dengan laki-laki, peran dan sumbangsih perempuan dalam menggerakkan roda kehidupan sangat besar, dua bahkan tiga kali lipat dari laki-laki. Betapapun begitu perempuan belum diberikan penghargaan yang pantas. Ia tidak dianggap sebagai makhluk yang setara tetapi subordinat dari laki-laki. Bahkan perempuan dianggap sebagai barang milik laki-laki. Sebelum menikah ia adalah milik ayahnya. Setelah menikah ia milik suaminya. Itu sebabnya ia harus memakai nama marga ayahnya sebelum menikah dan nama marga suaminya setelah menikah. Mencermati kedudukan perempuan di Asia Soekarno berkesimpulan bahwa di Asia perempuan dianggap sebagai milik yang bernilai sapi, berharga sapi dan bisa ditukar dengan sapi.18 Ya, dalam banyak budaya di Asia hanya laki-laki saja yang diyakini diciptakan menurut gambar dan rupa Allah. Perempuan lebih banyak dilihat sebagai yang diciptakan menurut gambar dan rupa sapi.19 Pandangan ini jelas bertolak belakangan dengan kesaksian Kitab Suci. Kita berharap Pengakuan Iman yang berfungsi sebagai isi ringkas seluruh kesaksian Alkitab memberi dasar bagi warga Gereja untuk menyikapi soal ini. Tetapi harapan itulah tidak dapat kita Ledalero, 2004. Hlm. 11. 17 Lihat Rumusan Pengakuan Iman GMIT yang tertera dalam lampiran di akhir tulisan ini. 18 Soekarno. Sarinah Kewajiban Wanita Dalam Perjuangan Republik Indonesia. Jakarta: Inti Idayu Press Yayasan Pendidikan Soekarno. 1984. Hlm. 88-9. 19 Eben Nuban Timo. Hagar dan Putri-Putrinya, Jakarta Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2006. Hlm. 28. deteksi dalam rumusan Pengakuan Iman Rasuli, Pengakuan Iman Nicea-Konstantinopel dan Pengakuan Iman Athanasius. Dalam tiga Pengakuan Iman ini ungkapan-ungkapan yang dipakai justru sangat kental warna maskulinnya. Dalam kesadaran konteks yang demikian GMIT dalam Pengakuan Iman yang ia rumuskan berbicara secara tegas tentang kesetaraan antara laki-laki dan perempuan di hadapan Allah, dalam masyarakat dan juga dalam Gereja. Bahwa Allah sendiri diakui dalam Pengakuan Iman itu sebagai Tuhan yang berpaling kepada perempuan dan laki-laki, orang dewasa dan anak-anak. Hal ini GMIT artikulasikan dalam rumusan berikut: “... bergaul dengan orang-orang hina, mengampuni orang berdosa, memberkati anak-anak, dan mengangkat perempuan dan laki-laki sebagai saksi kebangkitanNya. Dalam Dia pemerintahan Allah yang mendatangkan damai sejahtera menjadi nyata.”20 Untuk lebih memberi dasar teologis pada rumusan ini GMIT bahkan menegaskan bahwa dalam Allah ada aspek feminin dan maskulin. Hal itu diartikulasikan dalam rumusan berikut: “Kami percaya kepada Allah, Bapa Yang Maha Kuasa. ... Yang mengasuh dan memelihara kami seperti seorang ibu.”21 Hal ketiga adalah persoalan ekologi. Alkitab memberi kesaksian bahwa Kristus memberi mandat kepada murid-murid untuk memberitakan Injil kepada segala makhluk (Mrk 16:15). Yang dimaksud dengan makhluk adalah realitas ciptaan, termasuk binatang-binatang, kayu, batu, air, tanah dan udara. Semua mereka harus ikut mengalami damai sejahtera yang merupakan hakikat dari Injil. Dalam arti ini, sikap orang-orang percaya terhadap lingkungan hidupnya (ekologi) perlu pula dipahami sebagai bentuk artikulasi imannya kepada Allah. Secara teologis orang Kristen dipanggil untuk membangun sikap hidup yang bersifat ramah terhadap lingkungan di mana dia hidup. Alasan yang mendasari sikap hidup yang ramah terhadap lingkungan dapat dideteksi juga dalam persepsi budaya orang Asia. Alam dipandang sebagai saudara bahkan sebagai ibu. Orang Indonesia menamakan negeri mereka ibu pertiwi. Suku-suku di NTT memandang bumi sebagai ibu yang memangku dan memberi makan. Sikap ramah terhadap alam tercermin dalam berbagai ritus yang berhubungan dengan siklus pertanian. Sebelum mengambil sesuatu dari alam untuk dikonsumsi mereka minta izin terlebih dahulu melalui ritus-ritus, seperti ritus panen lebah, buka hutan baru, dst. Karena pemikiran yang animistis sikap hormat dan ramah terhadap alam seperti ini berubah menjadi sikap penyembahan. Alam dianggap keramat. Ia sakral sehingga harus diperilah sebagai dewa (dewi). Manusia Asia, Indonesia dan NTT tradisional cenderung memperilah kayu, batu, tanah, air, udara dan binatang-binatang tertentu.22 Alkitab memang menekankan dengan kuat relasi yang tak terpisahkan antara manusia dan alam serta lingkungan hidupnya. Manusia dibentuk Allah dari debu tanah (Kej. 2:7). Binatang-binatang juga dibuat dari tanah (Kej. 2:19). Ternyata ada kekerabatan yang erat antara realitas insani, hewani dan alami. Ketiga unsur ini berkaitan erat satu sama lain. Itu sebabnya penting dalam pandangan Allah bahwa manusia memelihara dan menjaga kelestarian alam. Tetapi Alkitab menolak penyembahan terhadap alam. Alam bukan Allah. Ia bukan Pencipta melainkan ciptaan. Oleh pengaruh teknologi dan ilmu pengetahuan sikap hidup yang ramah terhadap lingkungan menjadi makin luntur dari kesadaran orang-orang beragama di NTT, Indonesia dan Asia. Lihat saja pada sampah yang berserakan di mana-mana. Bumi, tanah, 20 21 22 Lihat Rumusan Pengakuan Iman GMIT yang tertera dalam lampiran di akhir tulisan ini. Lihat Rumusan Pengakuan Iman GMIT yang tertera dalam lampiran di akhir tulisan ini. A.G. Honig. Ilmu Agama. Jakarta: BPK Gunung Mulia. 1994. Hlm. 45. udara, air, pohon dan batu dieksploitasi tanpa ampun. Tanah yang adalah elemen dasar untuk kita membangun dan menjalani hidup diperjualbelikan secara semena-mena. Akibatnya, dirasakan sendiri oleh manusia juga. Terjadi banjir, erosi, kekeringan dan bebagai wabah yang meminta korban jiwa. Siapa yang salah. Patutkah kita berkata seperti Ebit G. Ade: “Coba kita bertanya pada rumput yang bergoyang?”23 Melalui Pengakuan Iman yang mereka rumuskan warga GMIT mengartikulasi pandangan mereka tentang alam. Dalam Pengakuan itu terlihat adanya desakralisasi alam. Warga GMIT tidak menyembah dan memperilah alam. Tetapi menyatakan dengan tegas bahwa sikap hidup yang rukun dan ramah terhadap lingkungan hidupnya adalah panggilan Tuhan kepada mereka. Menghormati dan bersikap hormat terhadap ekologi adalah ibadah kepada Allah di dalam Yesus Kristus. Itu bukan penyembahan berhala. Dengan tegas GMIT berucap: “Ia (Yesus Kristus) mempersekutukan kami dengan Allah, dengan sesama dan dengan alam kami.” 24 GMIT lewat pernyataan iman ini memanggil seluruh warganya untuk menghormati dan menjaga kelestarian alam di mana dia hidup sebagai bagian dari ibadah kepada Allah di dalam Kristus. Pergumulan teologis Pengakuan Iman yang dirumuskan GMIT tidak sekadar mengartikulasi soal-soal sosial kemasyarakatan. Soal-soal teologis juga turut digumuli secara serius. Soal teologis pertama yang mendapat perhatian adalah ketritunggalan Allah. Bersama dengan Gereja sepanjang abad dan di semua tempat GMIT menjunjung tinggi ketritunggalan Allah sebagai mysterium salutis (misteri keselamatan) dunia dan manusia. Dan untuk menaruh keyakinan itu dalam hati warganya, GMIT mencoba menghindari konsep-konsep yang abstrak seperti hakikat, hipostasi. Penjelasan mengenai relasi di antara sang Bapa, sang Anak dan Roh Kudus coba dirumuskan dalam terminologi-terminologi yang familiar dengan pola pikir orang NTT. Demikianlah dipakai istilah Allah di atas kami sebagai atribut untuk sang Bapa, Allah di antara kami sebagai atribut untuk menyapa Yesus Kristus, dan sapaan kepada Roh Kudus diekspresikan dalam frasa Allah di dalam kami. Bahkan GMIT juga dengan tegas menyapa Allah sebagai Bapa dan Ibu yang menciptakan dan memelihara. Atribut-atribut ini langsung menimbulkan asosiasi kepenuhan, kesempurnaan dan keutuhan di benak semua orang NTT yang berpikir inklusif dan sinergi (atas-bawah, luar-dalam, laki-laki-perempuan, tua-muda, siang-malam, hidup-mati, suka-duka, dst). Soal teologis kedua yang ikut digumuli adalah Alkitab. GMIT berujar lewat Pengakuan Iman yang ia rumuskan bahwa Alkitab menjadi Firman Allah, karena Roh Kudus dan berkuasa dalam Gereja. Firman itu sampai kepada kita dalam kata-kata manusia. Rumusan Pengakuan ini adalah tanggapan GMIT terhadap padangan dalam masyarakat yang keliru terhadap Kitab Suci. Betapa sering Alkitab oleh warga GMIT dijadikan sebagai buku undang-undang iman, bersifat keramat, dan berkhasiat ayat demi ayat. Kadar keimanan seseorang seringkali dibuktikan dengan mengutip dan menghafal ayat-ayat Alkitab untuk maksud-maksud tertentu. Ayat-ayat Alkitab juga seringkali dianggap sebagai harga mati. Setiap kata yang tertulis di sana adalah Firman Allah. Melalui Pengakuan Imannya, GMIT menolak faham ini. Firman Allah hanya satu, Yesus 23 24 Demikian sepotong syair dari lagu Ebit G. Ade berjudul Surat Kepada Teman. Lihat Rumusan Pengakuan Iman GMIT yang tertera dalam lampiran di akhir tulisan ini. Kristus. Firman yang satu itu datang kepada kita dalam tiga bentuk: Firman yang dinyatakan (Yesus Kristus), Firman yang ditulis (Kitab Suci), dan Firman yang diberitakan (Proklamasi Gereja). Alkitab adalah Firman yang ditulis dalam kata-kata manusia. Jadi Alkitab itu bukan Firman Allah dalam arti langsung, tetapi Firman Allah yang dibungkus dalam kata-kata dan bahasa manusia. Jadi tidak semua hal dalam Alkitab adalah kata-kata Allah. Orang percaya perlu membaca Alkitab secara kritis untuk membedakan mana kata-kata manusia dan mana Firman Allah yang terdapat dalam Alkitab. Ketiga, hubungan Gereja dan dunia merupakan soal cukup rumit dan membingungkan. Juga di GMIT persoalan ini banyak menciptakan polemik. Separuh orang berpendapat bahwa hubungan Gereja dan dunia bercorak antitetis. Allah menetapkan Gereja untuk diselamatkan dan mentakdirkan dunia untuk dibinasakan. Sikap beriman yang benar ialah menjauhkan diri dari bahkan membenci dunia. Dunia dan segala yang ada di dalamnya, termasuk adat, dilihat sebagai jahat dan berdosa Allah akan menyelamatkan Gereja dan manusia yang di dalamnya. Dunia akan dihanguskan oleh Allah. Dalam terang ini, dunia dianggap sebagai tanah dagang, dan tempat tumpah air mata. Banyak warga GMIT yang menganut paham ini. Pada sisi lain ada juga paham yang bercorak totalitas dalam memahami relasi Gereja dan dunia. Dua entitas ini dilihat sebagai yang setara dan sama. Pemerintahan Kristus (Regnum Christi) adalah payung yang mengayomi Gereja dan dunia. Dari sudut pandangan Regnum Christi tadi Gereja dan dunia dilihat sebagai realitas yang telah diselamatkan. Gereja dan dunia ada untuk memberitakan karya keselamatan Kristus. Masing-masing mereka melakukan tugas yang satu dengan metode yang berbeda. Gereja memberitakan pemerintahan Kristus dengan cara membangun kesejahteraan manusia di sektor non fisik (mental, spiritual, etika dan moral) sedangkan dunia (pemerintah) memberitakan Kerajaan Allah dengan mengusahakan kesejahteraan di sektor-sektor fisik (ekonomi, politik, kesehatan, pendidikan dan komunikasi, dst). Gereja Masehi Injili di Timor mengambil posisi di tengah kedua paham ini. Ia memandang Gereja sebagai Rumah Allah dan dunia sebagai ladang kerja Allah. Gereja sebagai rumah. Ini sebuah metafora yang padat makna dan kontekstual. Sudah sejak tahun 1987 konsep ini digumuli dan dihayati oleh para pelaku pelayanan di GMIT. Dasar untuk itu nyata dalam sidang raya sinode GMIT ke-26 yang berlangsung di gedung kebaktian jemaat GMIT Paulus tingkat satu yang dilaksanakan di bawah tema: Kita Semua Adalah Anggota Keluarga Allah. Pemahaman ini terus-menerus diperdalam dalam periode pelayanan GMIT selanjutnya yang dirumuskan dalam tema: Roh Kudus Membebaskan Dan Mempersekutukan (1991-1995), Yesus Kristus Tiang Induk Rumah Allah (1995-1999), Rapih Tersusun dan Diikat Menjadi Satu (1999-2003). Dalam rumah Allah yang bernama GMIT kepalanya adalah Allah Bapa. Yesus Kristus adalah saudara sulung, sedang warga GMIT lainnya adalah saudara-saudara yang oleh kuat kuasa Roh Kudus dijadikan satu persekutuan yang rapi tersusun dan diikat menjadi satu untuk melaksanakan panca tugas pelayanan. Sebagai rumah Allah GMIT tidak dapat dibayangkan ada tanpa relasinya dengan dunia. Memang ada banyak hal yang jahat dalam dunia di mana GMIT ada. Tetapi di dunia yang jahat dan gelap itu kita dapat menemukan jejak-jejak Allah. Artinya, Allah sudah lebih dahulu ada dan bekerja di wilayah GMIT sebelum para misionaris datang untuk mendirikan Gereja. Dalam adat, budaya dan tradisi sosial masyarakat NTT kita dapat menemukan sidik jari Allah yang berkarya untuk keselamatan mereka. Betapapun memang diakui bahwa adat, budaya dan tradisi itu juga memiliki banyak sisi yang negatif. Keyakinan ini yang mendasari penggambaran dunia dalam rumusan Pengakuan Iman GMIT dengan metafora ladang kerja Allah, dan penegasan bahwa Roh Kudus juga berbicara kepada para leluhur dan pendahulu kami. Dengan rumusan yang terakhir tidak terkandung maksud penyembahan kepada para leluhur, seperti yang suka dipeletir beberapa orang, tetapi menegaskan karya Allah yang bebas dan mengatasi semua batas zaman dan geografi. Dengan menggambarkan Gereja sebagai rumah Allah dan dunia sebagai ladang kerja Allah warga GMIT menegaskan dua hal. Pertama, ada hubungan erat antara Gereja dan dunia sebagai hubungan yang tak terpisahkan antara rumah dan kebun dalam tata sosial masyarakat agraris di NTT. Nasib Gereja menyatu dengan nasib dunia di mana ia ada. Para penghuni rumah akan tersenyum bahagia. Mereka mulai melompat, menari, dan berpantun kalau keadaan panen di kebun menggembirakan. Tetapi engganlah mereka tersenyum, semua saudara-saudari bermuka muram dan sedih kalau ada berita sendu terdengar dari kebun, mengatakan: “Sayur kubis jatuh harga, pohon tomat kena hama, dan jualan pun tidak laku.” Kedua, dunia tidak harus dijauhi, diabaikan, apalagi didoakan untuk dikutuk dan dimusnahkan Allah. Kehancuran dan pemusnahan dunia sama dengan Kehancuran dan pemusnahan Gereja. Karena dunia adalah ladang kerja Allah maka adalah tugas Gereja dan seluruh warganya untuk membangun dunia dan masyarakat sesuai dengan kehendak Allah. Kalau pagar moral, etika, dan spiritual di kebun milik Tuhan Allah rusak adalah tugas Gereja dan warganya untuk membangun kembali pagar itu. Kalau di kebun milik Allah tumbuh rumput dan lelhanak, tugas Gereja untuk pergi membersihkan semua itu. Singkatnya, Gereja ada dalam dunia selaku pembawa damai sejahtera sebagaimana yang diproklamasikan GMIT melalui tema kerjanya di tahun 2003-2007: Damai Sejahtera Di Bumi. Jadi GMIT memandang dunia secara lebih positif. Ia ada sebagai pentas di mana damai sejahtera Allah harus dipertunjukkan. Dunia bukan tanah dagang, tempat tumpah air mata. Iman yang sejati dibuktikan lewat partisipasi yang dinamis dan membawa pembebasan di dalam dunia, bukan sekadar diucapkan di gedung-gedung kebaktian dan bilik-bilik doa. Aspek kultural Sebagai sebuah Pengakuan Iman yang dirumuskan dalam satu konteks budaya tertentu GMIT berusaha mengartikulasikan imannya dengan memperhatikan pola pikir yang dikenal dan berlaku dalam masyarakatnya. Dimensi kultural dari Pengakuan Iman GMIT paling nyata dalam tiga variable berikut. Pertama, di tempat kata aku yang lazim dalam Pengakuan Iman Rasuli, dan Nicea-Konstantinopel, GMIT memakai kata kami. Ini untuk menonjolkan corak berpikir masyarakat NTT yang bersifat kolektif dan inklusif, bukan individualis. Corak berpikir kolektif ini sebagai contoh tampak dalam kebiasaan berikut. Betapa pun majelis jemaat dan keluarga sudah berkumpul termasuk bapak dan mama serani, tetapi ibadah syukuran ulang tahun belum bisa dilakukan kalau kursi bapak desa atau tua adat masih kosong. Waktu melakukan kunjungan ke rayon-rayon di jemaat selalu orang berbicara begini: “Ini kita punya!” Padahal si penatua bermaksud mengatakan bahwa kebun atau sapi yang dimaksud adalah miliknya pribadi. Ini sekadar contoh berpikir kolektif orang NTT. Penggunaan kata kami percaya dalam Pengakuan Iman GMIT juga dapat dibenarkan secara teologis. Tentang iman dan keselamatan, Hadiwijono menulis begini: “Menurut Alkitab, keselamatan yang dikaruniakan oleh Tuhan Allah dengan perantaraan karya Tuhan Yesus Kristus itu pertama-tama bukan ditujukan kepada perorangan, melainkan kepada umat Allah sebagai keseluruhan, atau kepada umat Allah yang mewujudkan suatu kesatuan. Yang disebut anak Allah pertama-tama adalah seluruh persekutuan orang beriman. Akan tetapi oleh karena tiap orang beriman menjadi anggota umat Allah sebagai keseluruhan, maka dengan sendirinya tiap orang beriman juga mendapat bagian dari keselamatan tadi.”25 Karl Barth menggambarkan realisasi subjektif dari keselamatan Allah di dalam Yesus Kristus dengan menggunakan orde: Kristus – Gereja – Individu orang percaya.26 Ini bertentangan dengan gambaran tentang iman yang dipropagandakan kaum pietis-kharismatis yang tampak dalam skema: Kristus – Individu orang percaya – Gereja. Menurut para teolog protestan Gereja (persekutuan) menduduki tempat fundamental sedangkan karunia individual (iman, kasih dan pengharapan) bertumbuh dan berarti dalam konteks persekutuan. Dengan kata lain, kata Nuban Timo iman bertumbuh dalam persekutuan atau Gereja menjadi basis pertumbuhan iman, bukan sebaliknya, iman yang ada dalam diri pribadi-pribadi manusia yang melahirkan Gereja.27 Bahaya dari skema yang dipertahankan kaum pietis-kharismatis (Kristus – Individu orang percaya – Gereja) tampak dalam kecenderungan untuk mendirikan atau mengadakan Gereja-Gereja baru (denominasi) atas dasar iman-iman pribadi. Satu dua orang berpendapat lain dalam persekutuan, mereka boleh memisahkan diri dari Gereja induknya dan membuat Gereja sendiri. Gereja yang baru itu diorganisir dan dibangun berdasarkan keinginan dan keputusan si pendiri individual itu, termasuk di dalamnya penahbishan dan pengangkatan pendeta. Bukan hanya itu, kolekte ibadah pun dibawa pulang dan menjadi milik pribadi si pengkhotbah dan timnya. GMIT menolak kecenderungan ke arah itu waktu ia menggantikan kata “Aku percaya…” dengan “Kami percaya…” di dalam Pengakuan Imannya. Karunia, talenta, bakat dan pekerjaan dan persembahan individu dalam jemaat diberdayakan sebesar-besarnya untuk kepentingan bersama. Dengan demikian genaplah apa yang Paulus katakan: “Kepada tiap-tiap orang dikaruniakan pernyataan Roh untuk kepentingan bersama” (I Kor. 12:7.) Kita perlu kembali menempatkan paham tentang keselamatan, Gereja dan semua yang berhubungan dengan itu dalam orde yang benar: Kristus – Gereja – Individu. Corak kultural kedua yang ditonjolkan dalam Pengakuan Iman GMIT nyata dalam kerangka struktural rumusan Pengakuan Iman itu. Berbeda dengan tiga Pengakuan Iman oikumenis yang ada, Pengakuan Iman GMIT tidak disusun dengan struktur rangkap tiga (percaya pada Allah Bapa, Allah Anak, dan Allah Roh Kudus), tetapi dibuat dalam bentuk rangkap empat (statemen iman kepada Allah Tritunggal, statemen iman mengenai Alkitab, tentang Gereja, dan tentang dunia). Alasan untuk ini dijelaskan oleh H. Ten Napel dengan sangat baik. Menurut dia, bagi 25 Harun Hadiwijono. Iman Kristen. Jakarta: BPK Gunung Mulia. 1982. Hlm. 362. Karl Barth. Church Dogmatics IV/1. Edinburgh. 1974. Hlm. 740. 27 E.I. Nuban Timo. The Eschatological dimension in Karl Barth's Thinking and Speaking about the Future. Kampen: Drukkerij van den Berg. 2011. Hlm. 300. 26 orang-orang di benua Eropa dan yang dipengaruhi oleh filsafat Yunani bilangan tiga adalah simbol kesempurnaan dan keutuhan. Pengakuan iman kepada Allah disusun dalam kerangka berpikir rangkap tiga untuk menonjolkan karakter kesempurnaan dan keutuhan dalam Allah.28 Ini bertentangan dengan pola pikir orang-orang dalam budaya yang berbeda. Bagi orang NTT bilangan tiga dianggap sebagai angka yang berisiko. Jika orang NTT diajak foto bertiga ada ketakutan bahwa salah seorang di antara mereka akan terkena bencana. Memberikan oleh-oleh kepada rekan sekerja dengan jumlah di bawah tiga dianggap tidak sopan. Angka yang menunjuk pada kesempurnaan dan kepenuhan dalam budaya orang NTT adalah angka 4 ke atas, atau angka yang bisa diuraikan berpasang-pasangan. Jumlah ideal bibit yang harus ditanam dalam lubang adalah empat. Tiang-tiang utama yang menopang berdirinya sebuah rumah berjumlah empat buah. Memberitakan Allah dengan struktur berpikir rangkap tiga dalam konteks budaya dan masyarakat yang berpikir dalam kategori berpasang-pasangan akan memberi kesan bahwa ada sesuatu yang kurang dalam diri Allah. Kalau apa yang Ten Napel katakan tadi benar maka kita mau tidak mau harus merumuskan kembali paham kita tentang Allah dalam kerangka berpikir rangkap tiga yang kita terima dari masyarakat Atlantik Utara, jika kita ingin memberitakan Allah secara komunikatif dan efektif kepada masyarakat suku-suku di NTT. Inilah juga soal yang ikut digumuli dalam konsep pengakuan iman GMIT. Dalam pengakuan iman itu kita merumuskan pengakuan iman kita dalam kerangka berpikir rangkap empat: pernyataan iman kepada Allah, pernyataan iman tentang Alkitab, pernyataan iman tentang Gereja, pernyataan iman tentang dunia. Corak kultural ketiga dari Pengakuan Iman GMIT tampak dari warna ritmis dan puitis. Kata-kata, kalimat-kalimat dan ungkapan-ungkapan dalam Pengakuan Iman GMIT mengandung unsur parallelismus membrorum yang ritmis dan puitis. Ini untuk disesuaikan dengan atmosfir bahasa-bahasa rituil suku-suku di NTT yang bercorak parallel, ritmis dan puitis (suku Meto: natoni, suku Rote: tutui teteék, suku Keo di Flores: pata suda-seda). Penutup Demikianlah pemaparan singkat pikiran-pikiran yang melatarbelakangi perumusan Pengakuan Iman GMIT. Dua hal perlu kita catat. Pertama, Kalau kita memperhatikan tiga rumusan pengakuan iman oikumenis sebelum satu kesan tak terhindarkan. Rumusan-rumusan itu terlalu intelektual dan abstrak. Ia tidak menjawab tantangan konkret yang dihadapi manusia di Asia (termasuk NTT). Pengakuan Iman yang dirumuskan GMIT menjaga keseimbangan antara karakter intelektual dan konkret, karakter integritas (kesatuan dengan Gereja sejagat) dan identitas (berakar atau menyelam dalam pergumulan konteksnya). Kedua, tidak ada satu pun dari realitas ciptaan yang sempurna dan mutlak termasuk Pengakuan Iman Gereja. Yang sempurna itu hanya Allah dan karya-karya-Nya. Semua karya manusia dan Gereja, termasuk di dalamnya semua Pengakuan Iman terbilang pada apa yang oleh Karl Barth dinamakan sebagai opus imperfectum (karya yang jauh dari sempurna). Betapa pun begitu di dalam yang tidak sempurna itu terkandung kebenaran 28 Ini isi pertanyaan dalam seorang opponen (penguji) yang disampaikan kepada penulis saat mempertahankan disertasi doktor di Kampen, 22 Juni 2001. karena semua yang dirumuskan dalam Pengakuan-Pengakuan Iman, termasuk Pengakuan Iman GMIT berada dalam persesuaian (in agreement) dengan yang sempurna itu. Atas dasar itu biarlah kita terima dan pakai Pengakuan-Pengakuan Iman yang tidak sempurna itu sebagai tongkat yang membantu kita untuk terus berjalan ke arah kesempurnaan. In lumine tuo videmus lumen (Mzm. 36:10). Pengakuan Iman GMIT Kami percaya kepada Allah, Bapa Yang Mahakuasa Yang adalah Allah di atas kami Yang menciptakan langit dan bumi Serta segala sesuatu berpasang-pasangan Supaya bersekutu dan saling melengkapi Yang mengasuh dan memelihara kami seperti seorang ibu Kami percaya kepada Yesus Kristus, Anak Tunggal Bapa Yang adalah Allah di antara kami Yang adalah terang dunia Yang benar-benar Allah dan benar-benar manusia Yang oleh Roh Kudus lahir seperti kami dari seorang perempuan Yang menjadi satu dengan kami dalam suka dan duka Yang mempersatukan kami dengan Allah, dengan sesama dan dengan alam kami. Ia memberikan kabar baik kepada orang miskin Memberi pembebasan kepada orang tertindas Menghukum para penindas Memberi penglihatan kepada orang buta Bergaul dengan orang-orang hina Mengampuni orang berdosa, memberkati anak-anak Dan menjadikan perempuan dan laki-laki sebagai saksi-saksi-Nya Dalam Dia pemerintahan Allah yang mendatangkan Damai Sejahtera menjadi nyata. Ia menderita demi kami dan untuk keselamatan kami Yang ditolak oleh para penguasa yang lalim Ditangkap dan dihakimi dalam pengadilan yang tidak adil Yang disalibkan demi kami, mati dan dikuburkan seperti kami Yang telah bangkit pada Hari Minggu Dari antara orang mati sebagai sulung kami Naik ke sorga dan memegang segala kuasa di sorga dan di bumi Dan akan datang kembali sebagai Hakim Yang Agung dalam kemuliaan Kami percaya kepada Roh Kudus Yang adalah Roh Pencipta dan Roh Pendamai Yang adalah Allah di dalam kami Yang bekerja bersama kami dan melalui roh kami Yang telah berbicara kepada leluhur dan pendahulu kami Yang berbicara juga kepada kami Ia memanggil dan melengkapi kami untuk bersekutu, Bersaksi, beribadah, melayani dan menatalayani Ia memberi hidup baru bagi kami Menumbuhkan iman, kasih dan pengharapan akan kebangkitan Di langit yang baru dan bumi yang baru Kami mengaku bahwa Alkitab adalah Firman Allah oleh pekerjaan Roh Kudus Kami mengaku bahwa gereja adalah Rumah Allah Yesus Kristus adalah tiang induk di dalam rumah itu Kami mengaku bahwa dunia adalah ladang kerja Allah Gereja diutus Allah untuk menghadirkan syalom Allah dalam dunia Kami mengaku bahwa Baptisan Kudus dan Perjamuan Kudus Memeteraikan kami sebagai milik Allah Dalam Baptisan Kudus kami diterima sebagai anggota keluarga Allah Perjamuan Kudus adalah wujud persaudaraan kami dalam Kristus Bersama dengan mereka yang miskin dan menderita Dalam pengucapan syukur kepada Allah Kami mau mengiring Yesus Hidup kudus dan benar Melayani sesama Bekerja dalam dunia Dan bertekun dalam doa: Datanglah, ya Kristus Amin! Daftar Pustaka Barth Karl, Church Dogmatics IV/1, Edinburgh, T&T Clark, 1974. End Th. van den, Harta Dalam Bejana, Jakarta, Badan Penerbit Kristen 1995. Hadiwijono Harun, Iman Kristen, Jakarta, Badan Penerbit Kristen 1982. Honig, A.G. Ilmu Agama. Jakarta: BPK Gunung Mulia. 1994 Lane Tony, Runtut Pijar Sejarah Pemikiran Kristiani, Jakarta, BPK Gunung Mulia, 1996. Lohse Bernhard, Ringkasan Sejarah Dogma. Jakarta, BPK Gunung Mulia, 1996. Majelis Sinode GMIT. Haluan Kebijakan Umum Pelayanan. 1999-2003. Majelis Sinode GMIT. Tata GMIT 1999. Nuban Timo E.I., The Eschatological Dimension In Karl Barth Thinking and Speaking About the Future, Kampen, Drukkrij van den Berg, 2001. Nuban Timo Eben, Sejarah Pengakuan Iman, Kupang, Yayasan Afnekan, 2004. Nuban Timo Eben, Anak Matahari. Teologis Rakyat Bolelebo Tentang Pembangunan, Maumere, Ledalero, 2004. Nuban Timo Eben, Sidik Jari Allah Dalam Budaya, Maumere, Ledalero, 2005. Nuban Timo Eben, Pemberita Firman Pencinta Budaya, Jakarta Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2005. Nuban Timo Eben, Hagar dan Putri-Putrinya, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2006. Pieris Aloysius. An Asian theology of Liberation. New York: Orbis Books. 1990 Seng-Song Choan, Sebutkanlah Nama-Nama Kami, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 19. Seng-Song Choan, Theology from the womb of Asia. New York. Orbis Books. 1986. Soekarno. Sarinah Kewajiban Wanita Dalam Perjuangan Republik Indonesia. Jakarta: Inti Idayu Press - Yayasan Pendidikan Soekarno. 1984. Yewangoe A.A., Theologia Crucis di Asia, Amsterdam, Rodopi, 1982 Yewangoe A.A., Kecenderungan-Kecenderungan Theologia di Asia, Dalam: Universitas Kristen Artha Wacana. Buku Ajar/Diktat. Kupang. 1992. Young Frances, From Nicaea to Chalcendon, London, SCM Press, Ltd. 1983.