SEKOLAH MENENGAH UMUM (S M U) DENGAN LIFE SKILLS PROGRAM : UPAYA PEMBEKALAN KETERAMPILAN UNTUK BEKERJA BAGI SISWA SMU Oleh : Soetarno Program Studi Teknologi Pendidikan Program Pascasarjana Universitas Sebelas Maret Abstrak Salah satu misi pendidikan nasional adalah meningkatkan sumberdaya manusia yang produktif, mandiri, kreatif, terampil, dan berdaya saing. Kenyataan yang dijumpai, banyak lulusan Sekolah Menengah Umum (SMU) yang tidak melanjutkan ke pendidikan tinggi bahkan terdapat sebagian siswa SMU yang terpaksa putus sekolah karena berbagai sebab, padahal mereka tidak memperoleh bekal keterampilan bekerja untuk dapat bersaing memasuki dunia kerja. Model SMU dengan life skills program merupakan solusi yang dapat diambil untuk memberikan bekal keterampilan bekerja bagi para siswa SMU agar mereka memiliki keterampilan yang memadai untuk masuk ke dunia kerja. Life skills program diselenggarakan terintegrasi dengan kurikulum yang berlaku. Program ini diselenggarakan dengan pendekatan manajemen peningkatan mutu berbasis sekolah (MPMBS) dengan berlandaskan konsep competency-based education, quality standard, dan community-based education. Operasionalisasi model ini memerlukan kerjasama kemitraan dengan berbagai lembaga dalam masyarakat untuk mewujudkan pendidikan yang menggabungkan penguasaan kemampuan umum dengan keterampilan untuk bekerja dalam rangka mempersiapkan para siswa SMU yang tidak berkesempatan melanjutkan ke pendidikan tinggi atau bahkan mereka yang terpaksa tidak dapat menyelesaikan pendidikannya di SMU, dalam memasuki dunia kerja sebagai tenaga terampil. Kata Kunci: manajemen sekolah, life skills, kemandirian, kompetensi, sertifikasi, kemitraan. 1. Pendahuluan Visi pendidikan nasional adalah terwujudnya masyarakat Indonesia yang damai, demokratis, berakhlak, berkeahlian, berdaya saing, maju dan sejahtera dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang didukung oleh manusia Indonesia yang sehat, mandiri, beriman, bertaqwa, berakhlak mulia, cinta tanah air, berdasarkan hukum dan lingkungan, menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi, memiliki etos kerja yang tinggi serta berdisiplin. Untuk mewujudkan visi seperti itu, beberapa di antara misi pendidikan nasional adalah: (1) Mewujudkan sistem dan iklim pendidikan nasional yang demokratis 1 dan berkualitas guna mewujudkan bangsa yang berakhlak mulia, kreatif, inovatif, berwawasan kebangsaan, cerdas, sehat, disiplin, bertanggung jawab, terampil, serta menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi; dan (2) Meningkatkan kualitas sumber daya manusia yang produktif, mandiri, maju, berdaya saing, berwawasan lingkungan dan berkelanjutan dalam rangka memberdayakan masyarakat dan seluruh kekuatan ekonomi nasional terutama pengusaha kecil, menengah, dan koperasi. (Makmuri Muchlas, 2001: 2). Mewujudkan visi dan misi pendidikan nasional seperti itu merupakan tantangan berat bagi kita semua, apalagi dalam kondisi krisis ekonomi yang berkepanjangan yang belum memungkinkan penyediaan dana yang cukup untuk mendukung upaya-upaya yang diperlukan untuk itu. Fasli Jalal dan Dedi Supriadi (2001), juga mengungkapkan bahwa pendidikan nasional diharapkan mampu menghasilkan manusia dan masyarakat Indonesia yang demokratis-religius yang berjiwa mandiri, bermartabat, menjunjung tinggi harkat kemanusiaan, dan menekankan keunggulan sehingga tercapai kemajuan dan kemakmuran. Pengertian mandiri di sini mengandung sejumlah unsur penting yakni dimilikinya kemampuan (abilitas), sifat demokratis, toleran, kreatif, kompetitif, estetis, kritis, bijaksana, dan moral. (p. 63). Tantangan menyangkut hal ini menjadi lebih berat lagi bila dikaitkan dengan tuntutan perlunya pemberian keterampilan yang memadai bagi mereka yang akan memasuki angkatan kerja. Masih relatif tingginya angka putus sekolah pada jenjang Sekolah Menengah ke bawah serta tingginya jumlah yang tidak melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi merupakan tantangan berat bagi dunia pendidikan kita. Data Ditjen Dikdasmen Depdiknas (2001) menunjukkan tiap tahun terdapatnya 34,40% (956.400 siswa) SLTP yang tidak melanjutkan ke Sekolah Menengah dan terdapat 53,12% (814.300 siswa) Sekolah Menengah yang tidak melanjutkan ke Perguruan Tinggi. Bila angka-angka ini dijumlahkan dengan terdapatnya 377.600 siswa SLTP dan 133.600 siswa Sekolah Menengah yang putus sekolah, maka kita peroleh angka 2.281.900 siswa yang memerlukan penanganan khusus agar dapat memasuki dunia kerja sebagai angkatan kerja yang memiliki keterampilan untuk bekerja (life skills). Di antara jumlah ini memang terdapat sebagian yang berasal dari Sekolah Menengah Kejuruan yang telah memperoleh bekal keterampilan untuk bekerja yang relatif memadai, namun justru 2 sebagian besar dari jumlah tersebut adalah dari SLTP dan SMU yang tidak seberuntung rekan-rekan mereka dari Sekolah Menengah Kejuruan. Ini merupakan masalah besar yang menjadi tantangan bagi dunia pendidikan kita sebab bila tidak ditangani berarti akan menambah jumlah angkatan kerja yang tidak terampil. Harus ada intervensi dalam bentuk dilakukannya pendidikan untuk bekerja (life skill program) agar angkatan kerja tidak terampil tadi berubah menjadi angkatan kerja terampil. Program ini akan bermanfaat dalam turut bersaing memasuki dunia kerja khususnya bagi lulusan yang tidak melanjutkan maupun yang karena berbagai sebab terpaksa harus putus sekolah. Untuk mencari jalan keluar mengatasi masalah-masaha di atas, Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah telah merencanakan program intervensi program life skills yang tahapannya adalah sebagai berikut: (1) Tahap Pengembangan Program – 2001; (2) Implementasi Terbatas – 2002; dan (3) Implementasi Berkembang – 2003. Gagasan untuk menyelenggarakan life skills program bagi SMU merupakan salah satu alternatif untuk menjawab hal tersebut. Berikut ini akan dipaparkan model pengelolaan SMU dengan life skills program beserta bentuk operasionalisasinya. 2. Model S M U dengan Life Skills Program Model SMU dengan life skills program yang akan dikembangkan adalah dengan mengintegrasikan program-program life skills ke dalam Sekolah Menengah Umum yang ada. Penyelenggaraannya menggunakan pendekatan manajemen peningkatan mutu berbasis sekolah (MPMBS). Dengan demikian, ciri-ciri SMU yang mengintegrasikan program-program life skills adalah: a. Menggunakan kurikulum SMU yang berlaku ditambah dengan life skills program beserta sertifikasinya. b. Diselenggarakan dengan menggunakan pendekatan manajemen peningkatan mutu berbasisi sekolah (MPMBS) yang didukung pula dengan penggunaan prinsip-prinsip competency based education, quality standard, dan community based education. Model SMU dengan life skills program dapat digambarkan dalam gambar 1. 3 SMU dengan LIFE SKILLS PROGRAM SCHOOL BASED MANAGEMENT COMPETENCY BASED EDUCATION QUALITY STANDARD COMMUNITY BASED EDUCATION Gambar 1 Model SMU dengan Life Skills Program a. SMU dengan Life skills program disertai Sertifikasi 1). Penggunaan Kurikulum SMU yang Berlaku SMU dengan program life skills ini berpijak pada kurikulum yang berlaku. Prinsip yang dianut adalah bahwa penambahan program-program life skills yang ditawarkan dimaksudkan untuk memberikan nilai lebih agar mereka yang tidak melanjutkan ke perguruan tinggi maupun yang terpaksa putus sekolah telah memiliki bekal cukup untuk menjadi angkatan kerja terampil dan adanya program ini tidak memberatkan siswa. Sebagai ilustrasi, Kurikulum SMU – 1994 dikenal adanya kegiatan ekstra kurikuler yang salah satu materinya adalah kegiatan pembinaan keterampilan dan kewiraswastaan. (Direktorat Pembinaan Kesiswaan – Ditjen Dikdasmen, 1993: 8). Program-program life skills akan memanfaatkan porsi waktu seperti itu. 2). Pengertian Life Skills Mengutip Broling, Ditjen Dikdasmen Depdiknas (2001) menyatakan bahwa life skills include a wide range of knowledge and skill interaction believed to be essential for adult independent living. Lingkup life skills meliputi tiga kelompok keterampilan. Pertama, keterampilan untuk kehidupan sehari-hari yang mencakup: pengelolaan keuangan pribadi, pengelolaan rumah pribadi, pengeloaan kebutuhan pribadi, kesadaran keamanan, pengelolaan makan-minum, pengelolaan pakaian, tanggung jawab sebagai warga negara, rekreasi dan waktu luang, dan kesadaran lingkungan. Kedua, keterampilan 4 pribadi dan sosial yang mencakup: kesadaran diri (minat, sikap, kecakapan), percaya diri, tanggung jawab sosial, hubungan antar personal, komunikasi dengan orang lain, problem solving, dan kemandirian. Ketiga, kecakapan kerja yang mencakup: eksplorasi opsi-opsi pekerjaan, perencanaan kerja, sikap dan kebiasaan terhadap kerja, persiapan keterampilan kerja, latihan keterampilan fisik dan moral, job training, hand on life skill mastery. Jadi, life skills bukan semata-mata keterampilan fisik untuk bekerja, melainkan mencakup berbagai aspek yang terkait dengan kehidupan yang mandiri orang dewasa. Versi lain (http://www.usoe.k12.ut.us/curr/lifeskills/default.htm), menyatakan bahwa life skills harus mengandung ciri-ciri dimilikinya kecakapan-kecakapan: belajar sepanjang hayat, berpikir kompleks, komunikasi yang efektif, kolaborasi, warga negara yang bertanggung jawab, keterampilan untuk bekerja dan etika. 3). Sertifikasi Life Skills Program Sertifikasi life skills program merupakan salah satu bagian dari program ini. Sertifikat yang diperoleh menandakan bahwa seseorang telah dibekali keterampilan atau kompetensi-kompetensi tertentu untuk masuk sebagai angkatan kerja terampil. Selama sekolah belum memperoleh pengakuan untuk mengeluarkan sendiri sertifikat tersebut, sebaiknya sertifikasi dilakukan oleh lembaga eksternal yang sudah memiliki kewenangan atau pengakuan untuk itu. Dalam mempersiapkan siswa dalam memperoleh sertifikat tersebut, secara internal perlu disusun prosedur-prosedur yang harus ditempuh para siswa dalam menghadapi evaluasi untuk memperoleh sertifikat. Dalam kaitan ini pula, proses pembelajaran yang harus diselenggarakan untuk life skills program harus menggunakan pendekatan competency based education. b. Penggunaan Pendekatan Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah (MPMBS) yang Didukung Prinsip-prinsip Competency Based Education, Quality Standard, dan Community Based Education 1). Pendekatan MPMBS MPMBS dapat didefinisikan sebagai model manejemen yang memberikan otonomi lebih besar kepada sekolah dan mendorong sekolah untuk melakukan pengambilan keputusan secara partisipatif untuk memenuhi kebutuhan mutu sekolah atau 5 untuk mencapai tujuan mutu sekolah dalam kerangka pendidikan nasional. Esensi MPMBS = otonomi sekolah + pengambilan keputusan partisipatif untuk mencapai sasaran mutu sekolah. (Dit. SLTP – Ditjen Dikdasmen – Depdiknas, 2001: 9). Orientasi MPMBS adalah untuk meningkatkan keterlibatan berbagai pihak secara terpadu dalam pengelolaan sekolah. Sekolah dapat mengambil keputusan-keputusan yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat yang dilayaninya dan dapat mengefektifkan pemanfaatan sumber-sumber yang terbatas. Tujuan utama dari MPMBS adalah meningkatkan kinerja dan kualitas pendidikan yang disediakan sekolah bagi para siswanya. (http://www.ed.gov/pubs/SER/SchBasedMgmt/generate.html). Penerapan MPMBS mencakup: (1) penyampaian kurikulum yang mampu meningkatkan kualitas belajar siswa; (2) perencanaan, implementasi, dan penerimaan akuntabilitas; (3) penyesuaian dengan kebutuhan-kebutuhan masyarakat secara berimbang; (4) pengambilan keputusan bersifat demokratis dan inklusif; (5) penyelenggaraan manajemen sumber daya berbasis-lokal; (6) memaksimalkan efisensi dan keefektifan dalam penyampaian kurikulum, proses belajar para siswa, dan penggunaan sumber daya. (http://education.qld.gov.au/schools/sbm/about.htm). Sekolah yang menerapkan MPMBS memiliki karakteristik sebagai karakteristik sekolah efektif (effective school). Karakteristik itu mencakup input, proses, dan output. Dalam MPMBS, sebagai wujud desentralisasi pendidikan, terdapat sejumlah fungsi yang didesentralisasikan ke sekolah seperti yang terlihat pada gambar 2. (Dit. SLTP Ditjen Dikdasmen-Depdiknas, 2001: 24). Input Proses Perencanaan & Evaluasi Kurikulum Ketenagaan Fasilitas Keuangan Kesiswaan Hubungan Sekolah – Masyarakat Iklim sekolah Proses Belajar Mengajar Gambar 2 Fungsi-fungsi yang Didesentralisasikan ke Sekolah 6 Output Prestasi Siswa 2). Prinsip-prinsip Pendukung MPMBS: Competency Based Education, Quality Standard, dan Community Based Education a). Competency Based Education Pendekatan pendidikan berbasis kompetensi adalah pendidikan yang menetapkan kompetensi-kompetensi tertentu sebagai tujuan pembelajaran yang harus dicapai. Tiga komponen pokok dari pendekatan ini adalah: (1) seleksi atas kompetensi yang tepat dan diperlukan, (2) spesifikasi indikator-indikator evaluasi yang tepat untuk menentukan keberhasilan penccapaian kompetensi, (3) pengembangan strategi pembelajaran yang sesuai. (McAshan, 1979: 30). Kompetensi-kompetensi yang dianggap tepat diperlukan harus mengacu pada hasil analisis kebutuhan pembelajaran (need analysis) yang harus secara terus menerus dilakukan penyesuaian terhadap perubahan yang sangat cepat akibat berkembangnya kebutuhan masyarakat sebagai dampak perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Pengembangan kurikulum dengan pendekatan berbasis kompetensi perlu dilakukan agar lulusan pendidikan nasional memiliki keunggulan kompetitif dan komparatif sesuai standar mutu nasional dan internasional. Hal itu juga perlu untuk merespon secara proaktif berbagai perkembangan informasi, ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni, serta tuntutan desentralisasi sehingga lembaga pendidikan tidak akan kehilangan relevansi program pembelajarannya terhadap kepentingan daerah dan karakteristik peserta didik sekaligus tetap memiliki fleksibilitas kurikulum yang berdiversifikasi. (Pusat Kurikulum-Balitbang-Depdiknas, 2001). Pengertian kompetensi sendiri tidak semata-mata diartikan sebagai kemampuan melaksanakan tugas (pekerjaan) secara teknis yang biasanya bersifat unjuk kerja yang dapat diamati (observable performance), melainkan juga menyangkut kemampuankemampuan mendasar (key competencies) yang lebih bersifat intelektual dan mental emosional yang sangat diperlukan untuk pengembangan sikap profesional dalam bekerja dan pengembangan aspek-aspek kehidupan yang lebih luas, seperti peka dan responsif terhadap berbagai hal yang terjadi, rasional dan berpikir logis, mampu membuat keputusan, bertanggung jawab, mandiri dan sekaligus dapat bekerjasama (Balitbang dan Ditjen Dikdasmen – Depdikbud, 1999). Pengertian kompetensi seperti itu menunjukkan bahwa kompetensi-kompetensi yang perlu ditetapkan sebagai tujuan pembelajaran 7 mencakup pula aspek-aspek yang mempunyai sifat saling menguatkan dengan ciri-ciri life skills yang telah diutarakan di muka. b). Quality Standard Penggunaan landasan standar mutu dalam penyelenggaraan pendidikan menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari landasan-landasan pokok yang lain. Pendidikan dituntut agar mampu menghasilkan sumber daya manusia yang bermutu. Fasli Jalal dan Dedi Supriadi (2001) menekankan bahwa sumber daya manusia yang bermutu tidak mungkin dicapai tanpa adanya pengendalian mutu terpadu yang dilaksanakan melalui penerapan manajemen mutu terpadu (total quality management - TQM) dalam penyelenggaraan pendidikan secara konsisten. Penerapan TQM justru harus dilakukan di sekolah sebagai tataran satuan pendidikan yang menjadi ujung tombak dalam upaya peningkatan kualitas pendidikan. Mengutip pendapat Arcaro, pada tataran sekolah TQM menjadi total quality school (TQS) yang berpijak pada lima pilar, yakni: (1) terfokus pada customer (internal dan eksternal), (2) adanya keterlibatan total (total involvement), (3) adanya ukuran baku (standard), (4) adanya komitmen, (5) adanya perbaikan yang berkelanjutan. Penerapan TQM sendiri merupakan salah satu bentuk akuntabilitas pendidikan. (p. 105). Penerapan TQM secara konsisten mengharuskan dilakukannya inovasi yang berkesinambungan dan menekankan perlunya peningkatan dan perubahan yang bersifat berkelanjutan untuk mencapai suatu standar kualitas tertentu. Penerapan TQM di bidang pendidikan harus lebih difokuskan pada pemberian pengalaman belajar yang berkualitas kepada para peserta didik. (Sallis, 1993: 36-41). Pengendalian kualitas atau mutu dapat dilakukan sepanjang proses pendidikan. Sebagai rangkaian pengendalian sebelum sampai pada evaluasi hasil evaluasi dapat dilakukan pada setiap tahapan proses penyelenggaraan pendidikan sehingga hasilnya dapat digunakan untuk perbaikan masing-masing tahap tersebut. Cara seperti ini lebih menjamin peningkatan mutu menjadi lebih baik. (Salisbury, 1996: 94). 8 c). Community Based Education Nielsen (2001) memberikan definisi tentang pendidikan berbasis masyarakat adalah pendidikan yang sebagian besar keputusan-keputusannya dibuat oleh masyarakat. Ciri utama pendekatan ini adalah besarnya peranan masyarakat dalam pengambilan keputusan menyangkut penyelenggaraan pendidikan. Dalam kasus tertentu, pengendalian dan pengambilan keputusan secara penuh dilakukan masyarakat yang menyangkut: tujuan, pendanaan, kurikulum, materi belajar, standar dan ujian, persyaratan guru dan siswa, dan sebagainya. Dalam kasus lain keterlibatan masyarakat terletak pada pengambilan keputusan untuk bidang-bidang tertentu. (p. 178) Dengan ciri seperti itu, penggunaan pendekatan pendidikan berbasis masyarakat harus mampu mensinergikan penggunaan sumber daya yang ada dalam masyarakat. Kerjasama antar sekolah, misalnya antara Sekolah Menengah Umum dan Sekolah Menengah Kejuruan merupakan salah satu bentuk mensinergikan penggunaan sumber daya yang ada dalam masyarakat. Demikian pula kerjasama antara sekolah dengan lembaga-lembaga yang dapat menjadi atau memiliki sumber belajar adalah merupakan bentuk keterlibatan masyarakat dalam penyelenggaraan pendidikan. Keterlibatan berbagai pihak dalam masyarakat – termasuk pemerintah daerah - justru harus terus didorong agar masyarakat merasa turut memiliki dan memperoleh manfaat dari keberadaan sekolah. 3. BENTUK OPERASIONAL S M U DENGAN LIFE SKILLS PROGRAM Operasionalisasi SMU ini akan tetap berada pada koridor kebijakan-kebijakan nasional di bidang pendidikan dengan fokus upaya turut memecahkan masalah-masalah yang belum tertangani secara baik oleh sub-sistem yang ada. Dalam pelaksanaannya perlu dijalin kemitraan dengan Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) untuk jenis-jenis life skills yang relevan karena mereka memiliki pengalaman dalam mengaplikasikan konsep pendidikan berbasis kompetensi (competency based education) yang erat kaitannya dengan life skills program. Secara skematis operasionalisasi SMU dengan Life Skills Program ditampilkan dalam gambar 3 9 PEMDA: BAPPEDA DPRD SEKOLAH MENENGAH KEJURUAN ( SMK ) RUMPUN YANG RELEVAN LEMBAGA PENDIDIKAN/ KURSUS KETERAMPILAN PUSAT PENGEMBANGAN KEJURUAN/TEKNOLOGI DEPDIKNAS/ DISDIKNAS KOMITE/DEWAN PENDIDIKAN DAERAH BP3 PERGURUAN TINGGI LEMBAGA SERTIFIKASI SMU dengan Life Skills Program Perenc. & Ev. Kurikulum Ketenagaan Fasilitas Keuangan Kesiswaan Hub. Sek.Masy. Iklim Sek. P B M Prestasi Siswa (termasuk life skills) ORGANISASI PROFESI DUNIA INDUSTRI/ USAHA SUMBER BELAJAR/ PSB BALAI LATIHAN KERJA LEMBAGA SWADAYA MASYARAKAT Gambar 3 Pola Operasionalisasi Model SMU dengan Life Skills Program a. Posisi dan Status Life Skills Program dalam Kurikulum SMU Life skill program harus diintegrasikan ke dalam kurikulum yang berlaku. Apabila dalam kurikulum baru (pengganti Kurikulum – 1994) dimungkinkan untuk menggunakan waktu tersendiri sebagaimana mata pelajaran keterampilan di masa lalu, maka life skill program langsung dapat mengambil porsi yang disediakan. Apabila tidak, life skill program dapat mengambil porsi yang selama ini digunakan untuk kegiatan-kegiatan ekstra kurikuler. Dalam praktek selama ini, bagi sekolah-sekolah yang menerapkan MPMBS terkait dengan BOMM misalnya, mereka telah menyelenggarakan kegiatankegiatan keterampilan yang ternyata cukup mendapatkan peminat dari para siswa dan tidak dianggap sebagai tambahan beban belajar bagi mereka. Bahkan untuk tingkat Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP) penyelenggaraan kegiatan-kegiatan keterampilan justru tidak mengalami kesulitan karena dapat mengambil porsi muatan lokal yang memang disediakan. Kurikulum baru yang menampilkan kompetensi10 kompetensi dasar memberi kesempatan penuh kepada sekolah untuk mengatur waktu sehingga penempatan life skills program dapat diputuskan sendiri oleh sekolah. b. Alternatif-alternatif Life Skills Program yang Ditawarkan Dalam menentukan alternatif-alternatif life skills program yang akan ditawarkan, perlu dilakukan analisis kebutuhan pembelajaran (needs analysis) yang melibatkan dunia industri atau dunia usaha maupun organisasi profesi terkait sebagai nara sumber, juga keinginan atau kebutuhan para siswa sendiri beserta orang tuanya. Berbagai kemungkinan alternatif harus dipertimbangkan dari berbagai segi, antara lain: dari segi dukungan tenaga instruktur, dana, peralatan, serta kebutuhan pasar akan keterampilan tersebut. Beberapa jenis life skills program yang perlu dipertimbangkan antara lain: (1) keterampilan bidang komputer, (2) bahasa Inggris, (3) tata boga, (4) tata busana, (5) otomotif, (6) elektronik. c. Prosedur Pemilihan Life Skills oleh Siswa Keberhasilan program-program life skills akan banyak ditentukan oleh kesungguhan para siswa dalam mengikuti program tersebut di samping faktor-faktor yang lain. Oleh sebab itu, salah satu pertimbangan yang akan dimasukkan ke dalam penentuan posedur yang harus ditempuh bagi para siswa dalam memilih program life skills adalah faktor bakat dan minat siswa. Dengan lewat angket, para siswa yang akan memilih program yang akan diikutinya dapat ditelusuri bakat dan minatnya menyangkut suatu keterampilan tertentu yang ditawarkan kepada mereka. Dengan memperhatikan pula faktor-faktor lain seperti: daya tampung dan kebutuhan pasar, pihak sekolah dapat mengarahkan pilihan yang harus ditetapkan para siswa menyangkut keterampilan-keterampilan dari life skills program yang ditawarkan. d. Pelaksanaan Life Skills Program di Tingkat Sekolah 1). Pelatih/instruktur Dalam penentuan alternatif keterampilan-keterampilan life skills yang akan ditawarkan, ketersediaan pelatih/instruktur harus dijadikan pertimbangan. Dalam gam- 11 bar 3 tampak bahwa ada beberapa alternatif sumber lembaga untuk memperoleh tenaga pelatih/instruktur baik dari dalam maupun dari luar. Ke depan, SMU dengan Life Skills Program harus membuat program pengembangan sumber daya manusia secara sistematis untuk menyediakan tenaga-tenaga pelatih/instruktur yang memiliki kewenangan penuh di bidang masing-masing. 2). Peralatan Peralatan juga merupakan masalah yang harus dipecahkan melalui kerjasama kemitraan dengan berbagai lembaga yang tergambarkan pada gambar 3, di samping berusaha memanfaatkan peralatan atau fasilitas yang dimiliki. Perencanaan untuk melengkapi sendiri peralatan dan fasilitas yang diperlukan harus disiapkan untuk jangkauan ke depan. 3). Sumber Biaya Pendukung Model SMU ini harus berusaha menggali dana-dana dari masyarakat maupun dari orang tua melalui BP3, di samping mengajukan permohonan dana dari pemerintah baik pemerintah daerah maupun pusat seperti halnya dana BOMM. Sudah barang tentu penggalian dana secara mandiri harus didahulukan karena sumber dana seperti itu akan lebih terjamin kelangsungannya dibandingkan dana yang berasal dari pemerintah yang lebih banyak ditentukan oleh tingkat kemampuan keuangan negara serta prioritas yang dapat didanai. Pertanggungan jawab pemanfaatan dana secara transparan merupakan syarat mutlak agar penggalian dana dari berbagai sumber tidak terhambat. Berbagai lembaga seperti tergambar dalam gambar 3 seperti Pemerintah Daerah beserta Bappeda dan DPRD, Depdiknas/Dindiknas Pusat maupun Wilayah/Daerah, Komite/Dewan Pendidikan Daerah, BP3, Lembaga Swadaya Masyarakat – khususnya yang peduli terhadap pendidikan, dapat memerankan fungsinya untuk membantu mengatasi masalah dana bagi life skill program. 4). Proses Pembelajaran Belajar akan efektif apabila mampu menumbuhkan motivasi, konfidensi, kejelasan tujuan, belajar sekuensial, penghargaan dan umpan balik, serta transfer. (Tyler, [t.th]). Belajar juga akan efektif apabila strategi, metode, atau teknik pembelajaran yang digunakan disesuaikan dengan karakteristik materi ajaran, karakteristik siswa, 12 karakteristik guru, dan kondisi nyata sumber daya yang tersedia di sekolah serta lingkungan sekitarnya. Pembelajaran efektif juga dapat terjadi dengan menerapkan empat pilar pembelajaran: learning to know, learning to do, learning to live together dan learning to be. (Moegiadi, 2001: 6). Model-model atau pendekatan pembelajaran yang lebih bertumpu pada keaktifan siswa dalam belajar terutama dari segi keaktifan mental dan intelektual serta penyediaan suasana belajar yang menyenangkan harus lebih diutamakan ketimbang pendekatan yang berfokus pada guru. Kemampuan-kemampuan untuk belajar sepanjang hayat, kemampuan berpikir kompleks, kemampuan berkolaborasi, kemandirian, dan sebagainya yang merupakan aspek-aspek lain dari suatu life skill harus dapat diperoleh siswa melalui pengintegrasiannya dalam strategi, metode, atau pendekatan yang dipilih para pelatih/instruktur dalam proses pembelajaran keterampilan untuk bekerja. 5). Sertifikasi Sertifikasi merupakan salah satu aspek penting dalam competency based education yang juga merupakan konsep yang mendukung life skills program. Sebagai tanda bahwa seorang siswa telah menguasai kompetensi tertentu, harus dapat dibuktikan dengan adanya sertifikat yang menyatakan tentang hal itu. SMU dengan life skills program harus mengembangkan model-model evaluasi unjuk kerja selama proses belajar mengajar berlangsung sebagai bagian dari evaluasi internal untuk mempersiapkan para siswa menghadapi evaluasi eksternal dalam rangka sertifikasi kompetensi yang diperoleh para siswa dalam mengikuti life skills program. Untuk tahap-tahap awal, sertifikasi dapat dimintakan dari lembaga eksternal yang bersifat independen, misalnya dari Perguruan Tinggi atau SMK yang telah memiliki kewenangan untuk itu, sebelum ia sendiri mendapat pengakuan untuk sertifikasi. e. Monitoring dan Evaluasi Program Monitoring dan evaluasi perlu dilakukan pula oleh pihak luar sekolah untuk menilai seberapa jauh program ini telah berjalan secara efektif. Monitoring dan evaluasi program dilakukan dengan model evaluasi Context, Input, Process, dan Product (CIPP) yang dilakukan sepanjang berjalanannya program ini. Dengan penggunaan model CIPP, 13 monitoring dan evaluasi tidak hanya terbatas pada evaluasi terhadap proses belajar mengajar, melainkan mencakup seluruh aspek yang tercakup dalam evaluasi model CIPP tersebut. 4. Penutup Gagasan model yang dikembangkan ini diharapkan mampu menjawab permasalahan besar di bidang pendidikan yang menghadang kita yakni makin meluasnya jumlah tenaga tidak terampil yang berasal dari sekolah menengah umum yang turut memasuki dunia kerja. Walaupun model ini bukan merupakan sesuatu yang baru sama sekali, namun harus disadari bahwa penanganan bagi para siswa SMU yang tidak melanjutkan ke pendidikan tinggi maupun yang terpaksa putus sekolah belum dilakukan secara memadai. Memang, di tingkat SLTP atau di beberapa SMU serta di Madrasah Aliyah telah dilakukan pula program pendidikan keterampilan untuk bekerja (life skills program), namun hal itu belum dilakukan secara sistematis untuk mengatasi masalah yang ada. Oleh karena itu, model yang dikembangkan ini merupakan pilihan yang diharapkan dapat digunakan untuk mengatasi masalah tidak dimilikinya keterampilan untuk bekerja bagi para lulusan SMU yang tidak melanjutkan ke perguruan tinggi maupun siswa SMU yang karena berbagai sebab terpaksa putus sekolah. REFERENSI Balitbang dan Ditjen Dikdasmen – Depdikbud. 1999. Memahami kurikulum Sekolah Menengah Kejuruan, edisi 1999: Berpendekatan Competency based dan broad based. Jakarta: Depdikbud. Direktorat Pembinaan Kesiswaan – Ditjen Dikdasmen – Depdikbud. 1993. Informasi tentang kegiatan ekstra kurikuler sebagai salah satu jalur pembinaan kesiswaan. Jakarta: Direktorat Pembinaan Kesiswaan – Ditjen Dikdasmen Depdikbud Direktorat Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama – Ditjen Dikdasmen – Depdiknas. 2001. Manajemen peningkatan mutu berbasis sekolah: Buku 1 – konsep dan pelaksanaan. Jakarta: Dit. SLTP-Ditjen Dikdasmen-Depdiknas. Ditjen Dikdasmen – Depdiknas. 2001. “Pendidikan untuk bekerja”. paparan. Jakarta: Ditjen Dikdasmen Depdiknas. 14 Transparansi Fasli Jalal, & Dedi Supriadi. 2001. Reformasi pendidikan dalam konteks otonomi daerah. Jakarta: Depdiknas – Bappenas – Adicita Karya Nusa. http://www.ed.gov/pubs/SER/SchBasedMgmt/generate.html, diakses 2 Nopember 2001. http://education.qld.gov.au/schools/sbm/about.htm, diakses 2 Nopember 2001. http://www.usoe.k12.ut.us/curr/lifeskills/default.htm, diakses 2 Nopember 2001. Makmuri Muchlas. 2001. “Kebijakan bidang maajemen dan pelayanan pendidikan”. Paparan Sekretaris Jenderal pada Temu Konsultasi Nasional dalam rangka penerapan desentralisasi di bidang pendidikan, pemuda, dan olahraga. Solo, 2931 Oktober 2001. McAshan, H.H. 1979. Competency-based education and behavioral objectives. Englewood Cliffs, N.J.: Educational Technology Publications. Moegiadi. 2001. “Mutu, relevansi, dan pengelolaan pendidikan pada era otonomi daerah”. Makalah disajikan pada Acara Temu Konsultasi Nasional Bidang Pendidikan, Pemuda dan Olahraga, Solo 30 Oktober 2001. Nielsen, Dean. 2001. “Memetakan konsep pendidikan berbasis masyarakat.” Saduran Dedi Supriadi. Dalam Fasli Jalal & Dedi Supriadi (Eds.). Reformasi pendidikan dalam konteks otonomi daerah. Jakarta: Depdiknas – Bappenas – Adicita Karya Nusa. Pusat Kurikulum - Balitbang – Depdiknas. 2001. Kurikulum berbasis kompetensi : Kompetensi dasar mata pelajaran matematika untuk SLTP, buram ke-7 (Juli 2001). Jakarta: Pusat Kurikulum - Balitbang-Depdiknas. Salisbury, David F. 1996. Five technologies for educational change. Englewood Cliffs, N.J.: Educational Technology Publications. Sallis, Edward. 1993. Total quality management in education. London: Kogan Page. Tyler, Ralph W. [t.th.]. Conditions for effective learning. Amherst: Schoool of Education University of Massachusetts. 15 Curriculum Vitae Singkat Penulis Nama : Soetarno Lahir di Pati 13 Juli 1948. Dosen di Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret, Program Pascasarjana Universitas Sebelas Maret, dan Program Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Surakarta. Memperoleh gelar Doktor di bidang Teknologi Pendidikan dari IKIP Jakarta (sekarang Universitas Negeri Jakarta) tahun 1997. Aktif dalam berbagai kegiatan ilmiah di bidangnya, baik di tingkat regional, nasional, maupun internasional. Sejak tahun 1999 menjabat Asisten Direktur II Program Pascasarjana Universitas Sebelas Maret. 16