Edisi Ekonomi dan Sosial Konsekuensi Konflik Pekerjaan - Keluarga (Work-Family Conflict) Pada Pekerja Wanita Yang Menikah di Kota Pontianak Endang Dhamayantie Staf Pengajar Fakultas Ekonomi Universitas Tanjungpura ABSTRAK Dual-career family telah menjadi fenomena sosial dan psikologi di kota-kota besar. Kecenderungan perubahan pola kerja wanita dan munculnya gejala keluarga berkarir ganda sangat relevan dengan potensi munculnya konflik pekerjaan-keluarga dan konflik keluarga-pekerjaan. Bagi organisasi bisnis dan pemerintah yang mempekerjakan wanita harus memperhatikan konsekuensi negatif yang mungkin muncul akibat konflik tersebut jika konflik tersebut tidak dapat dikelola dengan baik. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui tingkat signifikansi pengaruh konflik pekerjaan-keluarga dan konflik keluarga-pekerjaan terhadap stres pekerjaan serta pengaruh stres pekerjaan terhadap kepuasan kerja. Penelitian ini dilakukan pada pekerja wanita yang telah menikah (berkeluarga) dengan kriteria 1) bekerja secara penuh di luar rumah dalam pekerjaan profesional atau manajerial yang mempunyai orientasi karir, 2) mempunyai suami yang bekerja sebagai profesional atau manajerial di Kota Pontianak. Jumlah sampel sebanyak 120 responden ditentukan dengan menggunakan metode area sampling. Dari 6 kecamatan yang ada di kota Pontianak, dipilih 4 kecamatan yang dekat dengan pusat kota dengan alasan karakteristik wanita pekerja adalah homogen, masing-masing kecamatan diambil 30 responden. Untuk menganalisis data digunakan Structural Equation Modelling (SEM). Hasil penelitian menunjukkan bahwa konflik pekerjaan-keluarga tidak berpengaruh positif signifikan terhadap stres pekerjaan, konflik keluarga-pekerjaan berpengaruh positif signifikan terhadap stres pekerjaan, dan stres pekerjaan tidak berpengaruh negatif signifikan teradap kepuasan kerja, ini berarti stres pekerjaan bukanlah variabel perantara. Kata Kunci: Konflik pekerjaan-keluarga, konflik keluarga-pekerjaan, stres pekerjaan dan kepuasan kerja. PENDAHULUAN Fenomena dual-career family sudah menjadi suatu kecenderungan baru di kota-kota besar. Sejak tahun 1980 proporsi jumlah wanita yang bekerja telah meningkat begitu cepat (Singarimbun, 1999 dalam Sukresna, Jurnal Penelitian Universitas Tanjungpura Volume XV No.3 Juli 2009 23 Edisi Ekonomi dan Sosial 2004). Hal ini tentunya akan memberikan dampak kepada perubahan struktur keluarga Indonesia. Penelitian yang dilakukan oleh Wirutomo (1994) menunjukkan bukti yang mendukung kecenderungan tersebut, misalnya; fenomena keluarga inti, pola peruabahan pekerja wanita, gejala dual-career family, dan meningkatnya kasus-kasus perceraian. Model keluarga tradisionalsuami sebagai pencari nafkah dan istri sebagai ibu rumah tangga menjadi sebuah peninggalan masyarakat masa lalu (Hall dan Hall, 1980; Piotrkwoski, Rapoport, dan Rapoport, 1987 dalam Duxbury dan Higgins, 1991). Tekanan inflasi ekonomi (Lee dan Kanungo, 1984 dalam Duxbury dan Higgins, 1991) dan kebutuhan psikologi sosial untuk “aktualisasi diri” (Nieva, 1985 dalam Duxbury dan Higgins, 1991) telah memberikan keberanian pada wanita untuk mengambil peran lebih aktif dalam masyarakat secara umum (Cooper, 1981 dalam Duxbury dan Higgins, 1991). Pembagian kerja tradisional tidak lagi menjadi pilihan ketika dihadapkan pada pengelolaan harmoni kerja dan keluarga. Para wanita semakin dituntut untuk berhadapan dengan permintaan pekerjaan yang membatasi perannya dalam keluarga. Kecenderungan ini menghasilkan peningkatan tingkat konflik pekerjaan-keluarga (Duxbury dan Higgins, 1991). Meskipun pada awalnya isu konflik pekerjaan-keluarga dirasakan terjadi dalam negara-negara industri barat, khususnya Amerika Serikat, namun globalisasi bisnis dan ekonomi telah membuat isu konflik pekerjaankeluarga menjadi penting dinegaranegara berkembang (Soepatini, 2002). Meningkatnya peran pekerja wanita dalam dunia bisnis merupakan fenomena yang tak dapat dihindari. Hal ini didorong oleh perubahan peran wanita dan keluarga akibat tantangan jaman, sehingga memunculkan credo baru dalam masyarakat yang menyatakan “mother’ place is at work” (Sutarso, 2001). Wirutomo (1994) menunjukkan kecenderungan perubahan pola kerja wanita dan munculnya gejala “keluarga berkarir ganda” sangat relevan dengan potensi munculnya konflik pekerjaankeluarga. Banyak faktor yang mendorong wanita terlibat di wilayah publik dengan menjadi wanita karir. Menurut Mardikanto (1997), seorang istri yang berkarir (melakukan pekerjaan mencari nafkah) dapat didorong oleh alasan-alasan ekonomi (mencari penghasilan sebagai tambahan untuk keluarga) dan dapat juga didorong oleh alasan non ekonomi (memperoleh kekuasaan lebih besar salam kehidupan rumah tangganya dan motif intrinsik untuk menunjukkan eksistensinya sebagai manusia yang mampu berprestasi dan hidup mandiri di dalam keluarga maupun dalam kehidupan masyarakat). Sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Widiastuti (2004) menyimpulkan bahwa faktor yang mempengaruhi Jurnal Penelitian Universitas Tanjungpura Volume XV No.3 Juli 2009 24 Edisi Ekonomi dan Sosial seorang wanita untuk bekerja atau tidak bekerja diklasifikasikan menjadi faktor ekonomi dan faktor non ekonomi. Faktor ekonomi yaitu jumlah tanggungan keluarga, rasio pendapatan kepala keluarga terhadap total pendapatan keluarga, dan rasio pendapatan keluarga lain (tambahan) terhadap total pendapatan keluarga. Sedangkan faktor non ekonomi yaitu tingkat pendidikan, usia wanita, usia anak terkecil, dan tugas pengasuhan anak, pada keputusan wanita untuk bekerja atau tidak bekerja. Sebagai sebuah pribadi, wanita memiliki harapan-harapan, kebutuhan-kebutuhan, minat dan potensi sendiri. Merujuk pada pandangan psikologi humanistik yang menekankan nilai positif manusia dan kemampuan potensial yang dimilikinya, perempuan juga membutuhkan aktualisasi diri, yang pada akhirnya juga membawa dampak positif pada pengembangan umat manusia secara umum (Widiastuti, 2004). Hal ini sejalan dengan hasil studi Mardikanto (1997) yang menemukan bahwa alasan para isteri berperan ganda adalah motivasi intrinsik atau dorongan yang tumbuh dari dalam diri mereka sendiri lebih dominan dibandingkan motivasi dari luar. Semakin meningkatnya jumlah wanita berkeluarga yang merambah dan menekuni karir harus menjadi perhatian bagi perusahaan yang memperkerjakan mereka. Banyak riset yang menunjukkan bahwa konflik pekerjaan-keluarga memiliki konsekuensi negatif bagi perusahaan apabila tidak dikelola dengan baik. Berdasarkan penelitian Burke dan McKeen (1993) dalam Soepatini (2002) ditemukan bahwa wanita yang mencoba menyeimbangkan karir manajerial / karir professional dengan tanggung jawab keluarga memperlihatkan kepuasan kerja, kepuasan karir dan keterlibatan kerja yang rendah daripada wanita yang secara khusus menekankan pada karir mereka. Hal ini menurut Abbot et.al (1998) dalam Soepatini (2002) dikarenakan adanya kecenderungan untuk menganggap bahwa wanita mempunyai tanggung jawab utama untuk hal-hal yang bersifat domestik walaupun wanita tersebut merupakan wanita pekerja. Namun konflik pekerjaankeluarga telah dikembangkan dalam beberapa konstrak dari dua tipe konflik yang berbeda yaitu pekerjaan menggangu kehidupan keluarga (konflik pekerjaan-keluarga) dan kehidupan keluarga menggangu tanggung jawab pekerjaan (konflik keluarga-pekerjaan). Berdasarkan fenomena yang tampak dan hasil temuan penelitian mengindikasikan semakin nyatanya keberadaan konflik pekerjaankeluarga beserta konsekuensinya sangat menarik bagi peneliti untuk meneliti konsekuensi konflik pekerjaan-keluarga dan konflik keluarga-pekerjaan terhadap pekerja wanita yang telah berkeluarga baik bagi karyawan maupun bagi perusahaan yang memperkejakannya. Jurnal Penelitian Universitas Tanjungpura Volume XV No.3 Juli 2009 25 Edisi Ekonomi dan Sosial Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka yang menjadi permasalahan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Apakah konflik pekerjaankeluarga berpengaruh positif terhadap stres pekerjaan? 2. Apakah konflik keluargapekerjaan berpengaruh positif terhadap stres pekerjaan? 3. Apakah stres pekerjaan berpengaruh negatif terhadap kepuasan kerja? Kerangka Konseptual Penelitian Identifikasi terhadap konsekuensi dari munculnya konflik pekerjaan-keluarga dari berbagai penelitian bisa dilihat dari dampak secara fisik seperti kesehatan fisik melemah (Frone et.al., 1991 dalam Marchese et.al., 2002), tingkat depresi yang tinggi dan insiden hipertensi (Frone et.al., 1997 dalam Marchese et.al., 2002), depresi dan keluhan kesehatan (Thomas dan Ganster, 1995 dalam Marchese et.al., 2002), dan penyakit jantung koroner (Haynes et.al., 1984 dalam Marchese et.al., 2002). Disamping itu, terdapat pula konsekuensi konflik pekerjaankeluarga terhadap perilaku. Beberapa penelitian menunjukan bahwa terdapat hubungan antara konflik pekerjaan-keluarga dan konflik keluarga pekerjaan terhadap kebiasaan meminum minuman keras / beralkohol tinggi (Frone et.al., 1994 dalam Marchese, 2002), konflik pekerjaan-keluarga berhubungan megatif dengan produktifitas kerja (Cascio, 1991 dalam Marchese et.al., 2002) dan kemangkiran (Goff et.al., 1990; Haynes et.al., 1984 dalam Marchese et.al., 2002). Hasil penelitian juga mengidentifikasi berbagai macam sikap negatif yang dihubungkan dengan konflik pekerjaan-keluarga dan konflik keluarga-pekerjaan seperti ketidakpuasan (Burke, 1988; Kossek dan Ozeki, 1998; Thomas dan Ganster, 1995 dalam Marchese et.al., 2002), kegelisahan (Matthews et.al., 1996 dalam Marchese, 2002), rendahnya komitmen organisasi (Wiley, 1987 dalam Marchese, 2002) dan stres (Burley, 1995; Small dan Riley, 1990 dalam Marchese et.al., 2002) dan Judge dan Boudreau (1994). Konflik Pekerjaan-Keluarga Stres Kerja Kepuasan Kerja Konflik Keluarga-Pekerjaan Gambar 1. Kerangka Pikir Penelitian Jurnal Penelitian Universitas Tanjungpura Volume XV No.3 Juli 2009 26 Edisi Ekonomi dan Sosial Penelitian ini berusaha untuk menunjukkan secara empiris hubungan antara konflik pekerjaankeluarga dan konflik keluargapekerjaan dengan stres pekerjaan dan hubungan antara stres pekerjaan dengan kepuasan kerja pekerja wanita yang telah menikah (berkeluarga). Kerangka konseptual dalam penelitian ini dapat digambarkan dalam sebuah model pada Gambar 1. Hipotesis Penelitian 1. Konflik pekerjaan-keluarga berpengaruh positif signifikan terhadap stres pekerjaan. 2. Konflik keluarga-pekerjaan berpengaruh positif signifikan terhadap stres pekerjaan. 3. Stres pekerjaan berpengaruh negatif signifikan terhadap kepuasan kerja. METODE PENELITIAN Identifikasi Variabel 1. Variabel independen terdiri dari : a) Konflik Pekerjaan-Keluarga (X1) b) Konflik Keluarga-Pekerjaan (X2) 2. Variabel dependen terdiri dari: a) Stres Kerja (Y1) b) Kepuasan kerja (Y2) Populasi dan Sampel Penelitian Populasi dalam penelitian ini adalah pekerja wanita yang telah menikah (berkeluarga) dan bekerja pada sebuah organisasi guna memperoleh penghasilan di wilayah Pontianak. Penarikan sampel sebanyak 120 pekerja wanita yang telah menikah (berkeluarga) dengan kriteria 1) bekerja secara penuh di luar rumah dalam pekerjaan profesional atau manajerial yang mempunyai orientasi karir, 2) mempunyai suami yang bekerja sebagai profesional atau manajerial. Penentuan sampel tersebut menggunakan metode area sampling. Dari 6 kecamatan yang ada di kota Pontianak, dipilih 4 kecamatan yang dekat dengan pusat kota dengan alasan karakteristik wanita pekerja adalah homogen sehingga 4 kecamatan dianggap dapat mewakili 6 kecamatan yang ada, kemudian dari 4 kecamatan tersebut masingmasing diambil 30 responden. Model dan Teknik Analisis Model analisis yang digunakan dalam penelitian ini melalui Structural Equation Modeling (SEM) dengan bantuan sofware LISREL 8.30. Teknik analisis untuk menguji hipotesis berdasarkan Structural Equation Modeling (SEM) adalah: 1. Validitas model pengukuran (measurement model); dilakukan dengan Confirmatory factor analysis. 2. Kesesuaian model struktur (structur model); dilakukan dengan analisis jalur. Asumsi-asumsi yang harus dipenuhi dalam teknik analisis ini adalah: 1. Adanya normalitas sebaran. 2. Hubungan antara variabel yang ada dalam model linier dan kausal. 3. Variabel dependen digambarkan sebagai kombinasi linier dari Jurnal Penelitian Universitas Tanjungpura Volume XV No.3 Juli 2009 27 Edisi Ekonomi dan Sosial variabel independen yang terdapat dalam sistem. 4. unidimensionality skala pengukuran yang dipergunakan. 5. Tidak ada multikolinearitas antara variabel bebas. 6. Variabel-variabelnya dikur dalam skala interval. ANALISIS DAN PEMBAHASAN Analisis Model Pengukuran Setelah asumsi-asumsi yang mendasari SEM dipenuhi, analisis selanjutnya adalah pengukuran kesesuaian model. Kesesuaian model dievaluasi melalui berbagai kriteria goodness-of-fit. Goodness-of-fit adalah pengukuran kesesuaian matriks input observasi atau aktual (kovarians atau korelasi) dengan prediksi model yang diajukan (Hair et.al., 1995 : 640). Hasil pengukuran goodness-of-fit menunjukkan bahwa hasil dari pengukuran kesesuaian absolut (absolute fit measure) dan pengukuran kesesuaian inkremental (incremental fit measure) berada diatas indeks yang disyaratkan, sehingga model dapat diterima. Jadi dapat disimpulkan bahwa hampir semua goodness-of-fit yang digunakan mempunyai nilai yang memungkinkan untuk melakukan analisis atas parameter hasil estimasi. Tabel 3.1 Pengukuran Goodness-of-Fit Goodness-of-Fit Indeks Absolute Fit Measure Chi square (X2) 1,02 Degree of freedom 1 Significance level 0,60 Goodness-of-fit index (GFI) 1,00 Root mean square residual (RMR) 0,028 Root mean square error of approximation (RMSEA) 0,0 Incremntal Fit Measure Adjusted goodness-of-fit index 0,98 Incremental fit index 1,11 Normed fit index 0,91 Comparative fit index 1,00 Jurnal Penelitian Universitas Tanjungpura Volume XV No.3 Juli 2009 28 Edisi Ekonomi dan Sosial Parsimonious Fit Measure Parsimonious normed fit index (PNFI) 0,30 Parsimonious goodness-of-fit index (PGFI) 0,20 Sumber : Data Primer Diolah, 2008. hubungan yang dihipotesiskan antar konstrak yang menjelaskan sebuah kausalitas, termasuk di dalamnya kausalitas berjenjang (Ferdinand, 2000 : 21). Analisis Model Struktural Pengujian model struktural meliputi signifikan koefisien estimasi. Dalam SEM pemodelan struktural menggambarkan hubungan- Tabel 3.2 Hasil Estimasi Parameter Terstandarisasi dalam Model Struktural Parameter Estimasi t-value t-kritis Keterangan -0,08 -0,85 1,98 Tidak Signifikan 0,23 2,55 1,98 Signifikan -0,05 -0,54 1,98 Tidak Signifikan Konflik pekerjaan-keluarga terhadap stres kerja Konflik keluarga-pekerjaan terhadap stres kerja Stres kerja terhadap kepuasan kerja Sumber: Gambar 5.1 dan 5.2. Berdasarkan koefisien estimasi, dilakukan pengujian hubunganhubungan yang dihipotesiskan dengan uji-t, yaitu dengan membandingkan antara nilai t-kritis dengan t-value. Untuk menilai signifikansi suatu hubungan ditetapkan derajat signifikansi sebesar 0,05 dengan nilai kritis 1,98 untuk uji dua ekor. Tabel 3.2 menyajikan hasil estimasi tersebut. Jurnal Penelitian Universitas Tanjungpura Volume XV No.3 Juli 2009 29 Edisi Ekonomi dan Sosial 1.00 KPK 0.16 -0.08 0.23 1.00 STRES 0.95 PUAS 1.00 -0.05 KKP Chi-Square=1.02, df=2, P-value=0.60157, RMSEA=0.000 Gambar 3.1. Estimasi Parameter Model Struktural Sumber : Data Primer Diolah, 2008. 7.65 KPK 1.71 -0.85 2.55 7.65 KKP STRES 7.65 PUAS 7.65 -0.54 Chi-Square=1.02, df=2, P-value=0.60157, RMSEA=0.000 Gambar 3.2. T-Value Model Struktural Sumber : Data Primer Diolah, 2008. Pembahasan Hasil Penelitian Dari ketiga hubungan variabel yang dihipotesiskan ternyata hanya satu hipotesis yang menunjukkan hasil yang signifikan yaitu pengaruh konflik keluarga-pekerjaan terhadap stres pekerjaan. Hal ini disebabkan tidak adanya keseimbangan tanggung jawab dalam keluarga dan dalam mengelola pekerjaan atau dengan kata lain saling bertentangan dalam beberapa hal. Artinya urusan rumah/keluarga yang berlebihan membawa dampak terhadap tugas- Jurnal Penelitian Universitas Tanjungpura Volume XV No.3 Juli 2009 30 Edisi Ekonomi dan Sosial tugas kantor yang tidak dapat diselesaikan dengan baik. Tekanan keluarga (family demand) mengacu terutama pada tekanan waktu yang berkaitan dengan tugas seperti house keeping dan child care. Tekanan keluarga sering dikaitkan dengan karakteristik keluarga seperti; jumlah tanggungan, ukuran keluarga dan komposisi keluarga (Soepatini, 2002). Dua hipotesis lainnya menunjukkan hasil yang tidak signifikan yaitu pengaruh konflik pekerjaan-keluarga terhadap stres pekerjaan. Hal ini disebabkan pekerjaan yang dilakukan tidak terlalu menguras tenaga dan pikiran atau dengan kata lain kuantitas pekerjaan yang dilakukan masih dalam jumlah yang wajar sehingga masih dapat diselesaikan dikantor tanpa mengganggu urusan keluarga. Hipotesis lain yang tidak signifikan adalah pengaruh stres pekerjaan terhadap kepuasan kerja, sehingga dalam penelitian stres pekerjaan bukan merupakan variabel perantara antara konflik pekerjaankeluarga dengan kepuasan kerja dan konflik keluarga-pekerjaan dengan kepuasan kerja. KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan 1. Konflik pekerjaan-keluarga tidak berpengaruh positif signifikan terhadap stres pekerjaan. 2. Konflik keluarga-pekerjaan berpengaruh positif signifikan terhadap stres pekerjaan. 3. Stres pekerjaan tidak berpengaruh negatif signifikan terhadap kepuasan kerja. Saran 1. Organisasi bisnis maupun pemerintah harus senantiasa memperhatikan setiap konflik yang terjadi pada karyawan, baik konflik pekerjaan-keluarga maupun konflik keluarga-pekerjaan karena dapat mengurangi komitmen karyawan kepada organisasi yang berakibat pada munculnya stres pekerjaan dan kepuasan kerja yang rendah. 2. Organisasi bisnis maupun pemerintah dapat mengadopsi strategi-strategi tertentu untuk mengelola konflik pekerjaankeluarga dan keluarga pekerjaan sehingga dapat mengurangi beban konflik pada diri karyawan. DAFTAR PUSTAKA Duxbury, L.E dan CA Higgins, 1991. Gender Differences in WorkFamily Conflict. Journal of Applied Psychology, Vol 76, pp 60-74. Ferdinand, Augusty, 2000. Structural Equation Modeling Dalam Penelitian Manajemen. Badan Penerbit Universitas Dipenogoro, Semarang. Hair Jr, J.F., et. al, 1995. Multivariate Data Analysis. Fourth Edition, Prentice Hall, New Jersey. Jurnal Penelitian Universitas Tanjungpura Volume XV No.3 Juli 2009 31 Edisi Ekonomi dan Sosial Judge, Timothy A. dan John W. Boudreau dan Robert D. Bretz, Jr, 1994. Job and Life Attitudes of Male Executives. Journal of Applied Psychology, Vol.79, pp. 767-782. Marchese, Marc C., Gregory Bassham dan Jack Ryan, 2002. WorkFamily Conflict: A Virtue Ethics Analysis. Journal of Business Ethics. Vol. 40, pp. 145-154. Widiastuti, Nur, 2004. Faktor-faktor Yang Mempngaruhi Keputusan Wanita Untuk Bekerja atau Tidak Bekerja (Studi Kasus di Kota Yogyakarta). Kajian Bisnis STIE Widya Wiwaha Yogyakarta, Vol. 12, No. 2, Hal. 271-286. Wirutomo, P., 1994. Sosialisasi dalam Keluarga Indonesia. Prisma, Vol. 23, Hal 11-26. Mardikanto, Totok, 1997. Persepsi Masyarakat Terhadap Peran Ganda Wanita Indonesia. Makalah Semiloka Nasional Retrospeksi Peran Ganda Wanita Indonesia, 19-20 Desember, Solo. Soepatini, 2002. Family-Friendly Policies Sebagai Upaya Organisasi Mengurangi WorkFamily Conflict. Majalah Usahawan, No. 05, Hal. 28-31. Sukresna, I Made, 2004. Comparison of Dual Career and Traditionalcareer Men in the Work-Family Conflict at Jakarta. Majalah Usahawan, No. 08, Hal. 49-55. Sutarso, Yudi, 2001. Manajemen Karier di Tengah Reposisi Sumber Daya Manusia dan Perkembangan Pekerja Wanita. Ventura, Vol 4, Hal.48-59. Widiastuti, Imron, 2003. Wanita Saat Ini, Antara Karier dan Keluarga. Jurnal Ekonomi Manajemen dan Akuntansi, Vol 1, Hal. 114-123. Jurnal Penelitian Universitas Tanjungpura Volume XV No.3 Juli 2009 32