Edisi Ekonomi dan Sosial Edisi Ekonomi dan Sosial Konsekuensi

advertisement
Edisi Ekonomi dan Sosial
Konsekuensi Konflik Pekerjaan - Keluarga
(Work-Family Conflict) Pada Pekerja Wanita
Yang Menikah di Kota Pontianak
Endang Dhamayantie
Staf Pengajar Fakultas Ekonomi Universitas Tanjungpura
ABSTRAK
Dual-career family telah menjadi fenomena sosial dan psikologi di kota-kota
besar. Kecenderungan perubahan pola kerja wanita dan munculnya gejala keluarga
berkarir ganda sangat relevan dengan potensi munculnya konflik pekerjaan-keluarga
dan konflik keluarga-pekerjaan. Bagi organisasi bisnis dan pemerintah yang
mempekerjakan wanita harus memperhatikan konsekuensi negatif yang mungkin
muncul akibat konflik tersebut jika konflik tersebut tidak dapat dikelola dengan baik.
Tujuan penelitian ini untuk mengetahui tingkat signifikansi pengaruh konflik
pekerjaan-keluarga dan konflik keluarga-pekerjaan terhadap stres pekerjaan serta
pengaruh stres pekerjaan terhadap kepuasan kerja.
Penelitian ini dilakukan pada pekerja wanita yang telah menikah (berkeluarga)
dengan kriteria 1) bekerja secara penuh di luar rumah dalam pekerjaan profesional
atau manajerial yang mempunyai orientasi karir, 2) mempunyai suami yang bekerja
sebagai profesional atau manajerial di Kota Pontianak. Jumlah sampel sebanyak 120
responden ditentukan dengan menggunakan metode area sampling. Dari 6
kecamatan yang ada di kota Pontianak, dipilih 4 kecamatan yang dekat dengan pusat
kota dengan alasan karakteristik wanita pekerja adalah homogen, masing-masing
kecamatan diambil 30 responden. Untuk menganalisis data digunakan Structural
Equation Modelling (SEM).
Hasil penelitian menunjukkan bahwa konflik pekerjaan-keluarga tidak
berpengaruh positif signifikan terhadap stres pekerjaan, konflik keluarga-pekerjaan
berpengaruh positif signifikan terhadap stres pekerjaan, dan stres pekerjaan tidak
berpengaruh negatif signifikan teradap kepuasan kerja, ini berarti stres pekerjaan
bukanlah variabel perantara.
Kata Kunci: Konflik pekerjaan-keluarga, konflik keluarga-pekerjaan, stres pekerjaan
dan kepuasan kerja.
PENDAHULUAN
Fenomena dual-career family
sudah menjadi suatu kecenderungan
baru di kota-kota besar. Sejak tahun
1980 proporsi jumlah wanita yang
bekerja telah meningkat begitu cepat
(Singarimbun, 1999 dalam Sukresna,
Jurnal Penelitian Universitas Tanjungpura Volume XV No.3 Juli 2009
23
Edisi Ekonomi dan Sosial
2004). Hal
ini
tentunya
akan
memberikan
dampak
kepada
perubahan
struktur
keluarga
Indonesia. Penelitian yang dilakukan
oleh Wirutomo (1994) menunjukkan
bukti
yang
mendukung
kecenderungan
tersebut,
misalnya;
fenomena
keluarga inti, pola
peruabahan pekerja wanita, gejala
dual-career family, dan meningkatnya
kasus-kasus perceraian.
Model keluarga tradisionalsuami sebagai pencari nafkah dan
istri sebagai ibu rumah tangga menjadi
sebuah
peninggalan
masyarakat masa lalu (Hall dan Hall,
1980; Piotrkwoski, Rapoport, dan
Rapoport, 1987 dalam Duxbury dan
Higgins, 1991). Tekanan inflasi
ekonomi (Lee dan Kanungo, 1984
dalam Duxbury dan Higgins, 1991)
dan kebutuhan psikologi sosial untuk
“aktualisasi diri” (Nieva, 1985 dalam
Duxbury dan Higgins, 1991) telah
memberikan keberanian pada wanita
untuk mengambil peran lebih aktif
dalam masyarakat secara umum
(Cooper, 1981 dalam Duxbury dan
Higgins, 1991).
Pembagian kerja tradisional
tidak lagi menjadi pilihan ketika
dihadapkan
pada
pengelolaan
harmoni
kerja dan keluarga. Para
wanita
semakin
dituntut
untuk
berhadapan
dengan
permintaan
pekerjaan yang membatasi perannya
dalam keluarga. Kecenderungan ini
menghasilkan
peningkatan
tingkat
konflik pekerjaan-keluarga (Duxbury
dan Higgins, 1991).
Meskipun pada awalnya isu
konflik pekerjaan-keluarga dirasakan
terjadi dalam negara-negara industri
barat, khususnya Amerika Serikat,
namun globalisasi bisnis dan ekonomi
telah membuat isu konflik pekerjaankeluarga menjadi penting dinegaranegara
berkembang
(Soepatini,
2002).
Meningkatnya peran pekerja
wanita dalam dunia bisnis merupakan
fenomena yang tak dapat dihindari.
Hal ini didorong oleh perubahan
peran wanita dan keluarga akibat
tantangan
jaman,
sehingga
memunculkan credo baru dalam
masyarakat
yang
menyatakan
“mother’ place is at work” (Sutarso,
2001).
Wirutomo (1994)
menunjukkan
kecenderungan
perubahan pola kerja wanita dan
munculnya gejala “keluarga berkarir
ganda”
sangat
relevan
dengan
potensi munculnya konflik pekerjaankeluarga.
Banyak
faktor
yang
mendorong wanita terlibat di wilayah
publik dengan menjadi wanita karir.
Menurut Mardikanto (1997), seorang
istri
yang
berkarir
(melakukan
pekerjaan mencari nafkah) dapat
didorong oleh alasan-alasan ekonomi
(mencari
penghasilan
sebagai
tambahan untuk keluarga) dan dapat
juga didorong oleh alasan non
ekonomi
(memperoleh
kekuasaan
lebih besar salam kehidupan rumah
tangganya dan motif intrinsik untuk
menunjukkan eksistensinya sebagai
manusia yang mampu berprestasi
dan hidup mandiri di dalam keluarga
maupun
dalam
kehidupan
masyarakat).
Sejalan
dengan
penelitian
yang
dilakukan
oleh
Widiastuti
(2004)
menyimpulkan
bahwa faktor yang mempengaruhi
Jurnal Penelitian Universitas Tanjungpura Volume XV No.3 Juli 2009
24
Edisi Ekonomi dan Sosial
seorang wanita untuk bekerja atau
tidak bekerja diklasifikasikan menjadi
faktor ekonomi dan faktor non
ekonomi. Faktor ekonomi yaitu jumlah
tanggungan
keluarga,
rasio
pendapatan kepala keluarga terhadap
total pendapatan keluarga, dan rasio
pendapatan keluarga lain (tambahan)
terhadap total pendapatan keluarga.
Sedangkan faktor non ekonomi yaitu
tingkat pendidikan, usia wanita, usia
anak terkecil, dan tugas pengasuhan
anak, pada keputusan wanita untuk
bekerja atau tidak bekerja.
Sebagai
sebuah
pribadi,
wanita
memiliki
harapan-harapan,
kebutuhan-kebutuhan,
minat
dan
potensi
sendiri.
Merujuk
pada
pandangan psikologi humanistik yang
menekankan nilai positif manusia dan
kemampuan
potensial
yang
dimilikinya,
perempuan
juga
membutuhkan aktualisasi diri, yang
pada
akhirnya
juga
membawa
dampak positif pada pengembangan
umat
manusia
secara
umum
(Widiastuti, 2004). Hal ini sejalan
dengan hasil studi Mardikanto (1997)
yang menemukan bahwa alasan para
isteri berperan ganda adalah motivasi
intrinsik atau dorongan yang tumbuh
dari dalam diri mereka sendiri lebih
dominan dibandingkan motivasi dari
luar.
Semakin
meningkatnya
jumlah wanita berkeluarga yang
merambah dan menekuni karir harus
menjadi perhatian bagi perusahaan
yang
memperkerjakan
mereka.
Banyak riset yang menunjukkan
bahwa
konflik
pekerjaan-keluarga
memiliki konsekuensi negatif bagi
perusahaan apabila tidak dikelola
dengan baik.
Berdasarkan penelitian Burke dan
McKeen (1993)
dalam Soepatini
(2002) ditemukan bahwa wanita yang
mencoba
menyeimbangkan
karir
manajerial / karir professional dengan
tanggung
jawab
keluarga
memperlihatkan
kepuasan
kerja,
kepuasan karir dan keterlibatan kerja
yang rendah daripada wanita yang
secara khusus menekankan pada
karir mereka. Hal ini menurut Abbot
et.al (1998) dalam Soepatini (2002)
dikarenakan adanya kecenderungan
untuk menganggap bahwa wanita
mempunyai tanggung jawab utama
untuk hal-hal yang bersifat domestik
walaupun wanita tersebut merupakan
wanita pekerja.
Namun
konflik
pekerjaankeluarga telah dikembangkan dalam
beberapa konstrak dari dua tipe
konflik yang berbeda yaitu pekerjaan
menggangu
kehidupan
keluarga
(konflik
pekerjaan-keluarga)
dan
kehidupan
keluarga
menggangu
tanggung jawab pekerjaan (konflik
keluarga-pekerjaan).
Berdasarkan fenomena yang
tampak dan hasil temuan penelitian
mengindikasikan semakin nyatanya
keberadaan
konflik
pekerjaankeluarga
beserta
konsekuensinya
sangat menarik bagi peneliti untuk
meneliti
konsekuensi
konflik
pekerjaan-keluarga
dan
konflik
keluarga-pekerjaan terhadap pekerja
wanita yang telah berkeluarga baik
bagi
karyawan
maupun
bagi
perusahaan
yang
memperkejakannya.
Jurnal Penelitian Universitas Tanjungpura Volume XV No.3 Juli 2009
25
Edisi Ekonomi dan Sosial
Perumusan Masalah
Berdasarkan
latar
belakang
masalah di atas, maka yang menjadi
permasalahan dalam penelitian ini
adalah sebagai berikut:
1. Apakah
konflik
pekerjaankeluarga
berpengaruh
positif
terhadap stres pekerjaan?
2. Apakah
konflik
keluargapekerjaan
berpengaruh
positif
terhadap stres pekerjaan?
3. Apakah
stres
pekerjaan
berpengaruh
negatif
terhadap
kepuasan kerja?
Kerangka Konseptual Penelitian
Identifikasi
terhadap
konsekuensi dari munculnya konflik
pekerjaan-keluarga
dari
berbagai
penelitian bisa dilihat dari dampak
secara fisik seperti kesehatan fisik
melemah (Frone et.al., 1991 dalam
Marchese
et.al.,
2002),
tingkat
depresi yang tinggi dan insiden
hipertensi (Frone et.al., 1997 dalam
Marchese et.al., 2002), depresi dan
keluhan kesehatan (Thomas dan
Ganster, 1995 dalam Marchese et.al.,
2002), dan penyakit jantung koroner
(Haynes et.al., 1984 dalam Marchese
et.al., 2002).
Disamping itu, terdapat pula
konsekuensi
konflik
pekerjaankeluarga terhadap perilaku. Beberapa
penelitian
menunjukan
bahwa
terdapat hubungan antara konflik
pekerjaan-keluarga
dan
konflik
keluarga
pekerjaan
terhadap
kebiasaan meminum minuman keras /
beralkohol tinggi (Frone et.al., 1994
dalam Marchese, 2002), konflik
pekerjaan-keluarga
berhubungan
megatif dengan produktifitas kerja
(Cascio, 1991 dalam Marchese et.al.,
2002) dan kemangkiran (Goff et.al.,
1990; Haynes et.al., 1984 dalam
Marchese et.al., 2002).
Hasil
penelitian
juga
mengidentifikasi
berbagai
macam
sikap negatif yang dihubungkan
dengan konflik pekerjaan-keluarga
dan konflik keluarga-pekerjaan seperti
ketidakpuasan (Burke, 1988; Kossek
dan Ozeki, 1998; Thomas dan
Ganster, 1995 dalam Marchese et.al.,
2002), kegelisahan (Matthews et.al.,
1996
dalam
Marchese,
2002),
rendahnya
komitmen
organisasi
(Wiley, 1987 dalam Marchese, 2002)
dan stres (Burley, 1995; Small dan
Riley, 1990 dalam Marchese et.al.,
2002) dan Judge dan Boudreau
(1994).
Konflik
Pekerjaan-Keluarga
Stres Kerja
Kepuasan Kerja
Konflik
Keluarga-Pekerjaan
Gambar 1. Kerangka Pikir Penelitian
Jurnal Penelitian Universitas Tanjungpura Volume XV No.3 Juli 2009
26
Edisi Ekonomi dan Sosial
Penelitian
ini
berusaha
untuk
menunjukkan
secara
empiris
hubungan antara konflik pekerjaankeluarga dan konflik keluargapekerjaan dengan stres pekerjaan
dan hubungan antara stres pekerjaan
dengan kepuasan kerja pekerja
wanita
yang
telah
menikah
(berkeluarga). Kerangka konseptual
dalam
penelitian
ini
dapat
digambarkan dalam sebuah model
pada Gambar 1.
Hipotesis Penelitian
1. Konflik
pekerjaan-keluarga
berpengaruh positif signifikan
terhadap stres pekerjaan.
2. Konflik
keluarga-pekerjaan
berpengaruh positif signifikan
terhadap stres pekerjaan.
3. Stres
pekerjaan
berpengaruh
negatif
signifikan
terhadap
kepuasan kerja.
METODE PENELITIAN
Identifikasi Variabel
1. Variabel independen terdiri dari :
a) Konflik Pekerjaan-Keluarga (X1)
b) Konflik Keluarga-Pekerjaan (X2)
2. Variabel dependen terdiri dari:
a) Stres Kerja (Y1)
b) Kepuasan kerja (Y2)
Populasi dan Sampel Penelitian
Populasi dalam penelitian ini adalah
pekerja wanita yang telah menikah
(berkeluarga) dan bekerja pada
sebuah organisasi guna memperoleh
penghasilan di wilayah Pontianak.
Penarikan sampel sebanyak 120
pekerja wanita yang telah menikah
(berkeluarga) dengan kriteria 1)
bekerja secara penuh di luar rumah
dalam pekerjaan profesional atau
manajerial yang mempunyai orientasi
karir, 2) mempunyai suami yang
bekerja sebagai profesional atau
manajerial.
Penentuan
sampel
tersebut menggunakan metode area
sampling. Dari 6 kecamatan yang ada
di kota Pontianak, dipilih 4 kecamatan
yang dekat dengan pusat kota
dengan alasan karakteristik wanita
pekerja adalah homogen sehingga 4
kecamatan dianggap dapat mewakili
6 kecamatan yang ada, kemudian
dari 4 kecamatan tersebut masingmasing diambil 30 responden.
Model dan Teknik Analisis
Model analisis yang digunakan dalam
penelitian ini melalui Structural
Equation Modeling (SEM) dengan
bantuan sofware LISREL 8.30. Teknik
analisis untuk menguji hipotesis
berdasarkan
Structural
Equation
Modeling (SEM) adalah:
1. Validitas
model
pengukuran
(measurement model); dilakukan
dengan
Confirmatory
factor
analysis.
2. Kesesuaian
model
struktur
(structur
model);
dilakukan
dengan analisis jalur.
Asumsi-asumsi yang harus dipenuhi
dalam teknik analisis ini adalah:
1. Adanya normalitas sebaran.
2. Hubungan antara variabel yang ada
dalam model linier dan kausal.
3. Variabel dependen digambarkan
sebagai kombinasi linier dari
Jurnal Penelitian Universitas Tanjungpura Volume XV No.3 Juli 2009
27
Edisi Ekonomi dan Sosial
variabel independen yang terdapat
dalam sistem.
4. unidimensionality
skala
pengukuran yang dipergunakan.
5. Tidak ada multikolinearitas antara
variabel bebas.
6. Variabel-variabelnya dikur dalam
skala interval. ANALISIS DAN
PEMBAHASAN
Analisis Model Pengukuran
Setelah asumsi-asumsi yang
mendasari SEM dipenuhi, analisis
selanjutnya
adalah
pengukuran
kesesuaian model. Kesesuaian model
dievaluasi melalui berbagai kriteria
goodness-of-fit.
Goodness-of-fit
adalah pengukuran kesesuaian matriks
input observasi atau aktual (kovarians
atau korelasi) dengan prediksi model
yang diajukan (Hair et.al., 1995 : 640).
Hasil pengukuran goodness-of-fit
menunjukkan bahwa hasil dari
pengukuran
kesesuaian
absolut
(absolute fit measure) dan pengukuran
kesesuaian inkremental (incremental
fit measure) berada diatas indeks yang
disyaratkan, sehingga model dapat
diterima. Jadi dapat disimpulkan
bahwa hampir semua goodness-of-fit
yang digunakan mempunyai nilai yang
memungkinkan untuk melakukan
analisis atas parameter hasil estimasi.
Tabel 3.1
Pengukuran Goodness-of-Fit
Goodness-of-Fit
Indeks
Absolute Fit Measure
Chi square (X2)
1,02
Degree of freedom
1
Significance level
0,60
Goodness-of-fit index (GFI)
1,00
Root mean square residual (RMR)
0,028
Root mean square error of approximation (RMSEA)
0,0
Incremntal Fit Measure
Adjusted goodness-of-fit index
0,98
Incremental fit index
1,11
Normed fit index
0,91
Comparative fit index
1,00
Jurnal Penelitian Universitas Tanjungpura Volume XV No.3 Juli 2009
28
Edisi Ekonomi dan Sosial
Parsimonious Fit Measure
Parsimonious normed fit index (PNFI)
0,30
Parsimonious goodness-of-fit index (PGFI)
0,20
Sumber : Data Primer Diolah, 2008.
hubungan yang dihipotesiskan antar
konstrak yang menjelaskan sebuah
kausalitas, termasuk di dalamnya
kausalitas berjenjang (Ferdinand,
2000 : 21).
Analisis Model Struktural
Pengujian model struktural
meliputi signifikan koefisien estimasi.
Dalam SEM pemodelan struktural
menggambarkan
hubungan-
Tabel 3.2
Hasil Estimasi Parameter Terstandarisasi dalam Model Struktural
Parameter
Estimasi
t-value
t-kritis
Keterangan
-0,08
-0,85
1,98
Tidak Signifikan
0,23
2,55
1,98
Signifikan
-0,05
-0,54
1,98
Tidak Signifikan
Konflik pekerjaan-keluarga terhadap
stres kerja
Konflik keluarga-pekerjaan terhadap
stres kerja
Stres kerja terhadap kepuasan kerja
Sumber: Gambar 5.1 dan 5.2.
Berdasarkan koefisien estimasi,
dilakukan
pengujian
hubunganhubungan
yang
dihipotesiskan
dengan uji-t,
yaitu dengan
membandingkan antara nilai t-kritis
dengan
t-value.
Untuk
menilai
signifikansi
suatu
hubungan
ditetapkan derajat signifikansi sebesar
0,05 dengan nilai kritis 1,98 untuk uji
dua ekor. Tabel 3.2 menyajikan hasil
estimasi tersebut.
Jurnal Penelitian Universitas Tanjungpura Volume XV No.3 Juli 2009
29
Edisi Ekonomi dan Sosial
1.00
KPK
0.16
-0.08
0.23
1.00
STRES
0.95
PUAS
1.00
-0.05
KKP
Chi-Square=1.02, df=2, P-value=0.60157, RMSEA=0.000
Gambar 3.1. Estimasi Parameter Model Struktural
Sumber : Data Primer Diolah, 2008.
7.65
KPK
1.71
-0.85
2.55
7.65
KKP
STRES
7.65
PUAS
7.65
-0.54
Chi-Square=1.02, df=2, P-value=0.60157, RMSEA=0.000
Gambar 3.2. T-Value Model Struktural
Sumber : Data Primer Diolah, 2008.
Pembahasan Hasil Penelitian
Dari ketiga hubungan variabel
yang dihipotesiskan ternyata hanya
satu hipotesis yang menunjukkan
hasil yang signifikan yaitu pengaruh
konflik keluarga-pekerjaan terhadap
stres pekerjaan. Hal ini disebabkan
tidak adanya keseimbangan tanggung
jawab dalam keluarga dan dalam
mengelola pekerjaan atau dengan
kata lain saling bertentangan dalam
beberapa
hal.
Artinya
urusan
rumah/keluarga
yang
berlebihan
membawa dampak terhadap tugas-
Jurnal Penelitian Universitas Tanjungpura Volume XV No.3 Juli 2009
30
Edisi Ekonomi dan Sosial
tugas kantor yang tidak dapat
diselesaikan dengan baik. Tekanan
keluarga (family demand) mengacu
terutama pada tekanan waktu yang
berkaitan dengan tugas seperti house
keeping dan child care. Tekanan
keluarga sering dikaitkan dengan
karakteristik keluarga seperti; jumlah
tanggungan, ukuran keluarga dan
komposisi keluarga (Soepatini, 2002).
Dua
hipotesis
lainnya
menunjukkan hasil
yang tidak
signifikan yaitu pengaruh konflik
pekerjaan-keluarga terhadap stres
pekerjaan.
Hal
ini
disebabkan
pekerjaan yang dilakukan tidak terlalu
menguras tenaga dan pikiran atau
dengan kata lain kuantitas pekerjaan
yang dilakukan masih dalam jumlah
yang wajar sehingga masih dapat
diselesaikan
dikantor
tanpa
mengganggu urusan keluarga.
Hipotesis lain yang tidak
signifikan adalah pengaruh stres
pekerjaan terhadap kepuasan kerja,
sehingga dalam penelitian stres
pekerjaan bukan merupakan variabel
perantara antara konflik pekerjaankeluarga dengan kepuasan kerja dan
konflik keluarga-pekerjaan dengan
kepuasan kerja.
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
1. Konflik pekerjaan-keluarga tidak
berpengaruh positif signifikan
terhadap stres pekerjaan.
2.
Konflik
keluarga-pekerjaan
berpengaruh positif signifikan
terhadap stres pekerjaan.
3. Stres pekerjaan tidak berpengaruh
negatif
signifikan
terhadap
kepuasan kerja.
Saran
1.
Organisasi bisnis maupun
pemerintah
harus
senantiasa
memperhatikan setiap konflik yang
terjadi pada karyawan, baik konflik
pekerjaan-keluarga
maupun
konflik keluarga-pekerjaan karena
dapat
mengurangi
komitmen
karyawan kepada organisasi yang
berakibat pada munculnya stres
pekerjaan dan kepuasan kerja yang
rendah.
2.
Organisasi
bisnis
maupun
pemerintah dapat mengadopsi
strategi-strategi tertentu untuk
mengelola konflik pekerjaankeluarga dan keluarga pekerjaan
sehingga dapat mengurangi beban
konflik pada diri karyawan.
DAFTAR PUSTAKA
Duxbury, L.E dan CA Higgins, 1991.
Gender Differences in WorkFamily Conflict. Journal of
Applied Psychology, Vol 76, pp
60-74.
Ferdinand, Augusty, 2000. Structural
Equation Modeling Dalam
Penelitian Manajemen. Badan
Penerbit
Universitas
Dipenogoro, Semarang.
Hair Jr, J.F., et. al, 1995. Multivariate
Data Analysis. Fourth Edition,
Prentice Hall, New Jersey.
Jurnal Penelitian Universitas Tanjungpura Volume XV No.3 Juli 2009
31
Edisi Ekonomi dan Sosial
Judge, Timothy A. dan John W.
Boudreau dan Robert D. Bretz,
Jr, 1994. Job and Life Attitudes
of Male Executives. Journal of
Applied Psychology, Vol.79, pp.
767-782.
Marchese, Marc C., Gregory Bassham
dan Jack Ryan, 2002. WorkFamily Conflict: A Virtue Ethics
Analysis. Journal of Business
Ethics. Vol. 40, pp. 145-154.
Widiastuti, Nur, 2004. Faktor-faktor
Yang Mempngaruhi Keputusan
Wanita Untuk Bekerja atau Tidak
Bekerja (Studi Kasus di Kota
Yogyakarta). Kajian Bisnis
STIE
Widya
Wiwaha
Yogyakarta, Vol. 12, No. 2, Hal.
271-286.
Wirutomo, P., 1994. Sosialisasi dalam
Keluarga Indonesia. Prisma,
Vol. 23, Hal 11-26.
Mardikanto, Totok, 1997. Persepsi
Masyarakat Terhadap Peran
Ganda
Wanita
Indonesia.
Makalah Semiloka Nasional
Retrospeksi
Peran
Ganda
Wanita
Indonesia,
19-20
Desember, Solo.
Soepatini, 2002. Family-Friendly
Policies
Sebagai
Upaya
Organisasi Mengurangi WorkFamily
Conflict.
Majalah
Usahawan, No. 05, Hal. 28-31.
Sukresna, I Made, 2004. Comparison
of Dual Career and Traditionalcareer Men in the Work-Family
Conflict at Jakarta. Majalah
Usahawan, No. 08, Hal. 49-55.
Sutarso,
Yudi, 2001. Manajemen
Karier di Tengah Reposisi
Sumber Daya Manusia dan
Perkembangan
Pekerja
Wanita. Ventura, Vol 4,
Hal.48-59.
Widiastuti, Imron, 2003. Wanita Saat
Ini, Antara Karier dan
Keluarga. Jurnal Ekonomi
Manajemen dan Akuntansi,
Vol 1, Hal. 114-123.
Jurnal Penelitian Universitas Tanjungpura Volume XV No.3 Juli 2009
32
Download