BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Karyawan merupakan sumber daya penting bagi kelangsungan hidup organisasi. Berdasarkan pandangan teori resource based view (RBV), organisasi akan memperoleh keunggulan kompetitifnya apabila mampu mengelola sumber daya yang mereka miliki dengan baik, termasuk manusia di dalamnya (Barney, 2007). Namun, pengelolaan sumber daya manusia (karyawan) bukan merupakan pekerjaan yang mudah karena setiap manusia memiliki kebutuhan dan keinginan yang beragam. Tidak terkelola dengan baiknya kebutuhan dan keinginan karyawan menimbulkan reaksi berupa sikap menyimpang dari karyawan, misalnya penarikan diri (withdrawal). Salah satu bentuk penarikan diri yang paling merugikan organisasi adalah keluarnya karyawan dari suatu pekerjaan (turnover) (Krausz et al., 1998). Berdasarkan penelitian Price dalam Hong dan Kaur (2008) keluarnya karyawan dari pekerjaan dapat terjadi karena dua hal, yaitu keluar karena kebijakan organisasi (involuntary turnover) dan keluar karena kemauan sendiri (voluntary turnover). Keluarnya karyawan karena kemauan sendiri merupakan hal yang paling dihindari organisasi karena bersifat merugikan (Price & Mueller, 1981). Kerugian yang dialami organisasi akibat sikap karyawan ini adalah organisasi harus menanggung sejumlah biaya yang telah diinvestasikan, diantaranya biaya perekrutan dan biaya pelatihan. Di samping itu, organisasi akan menghabiskan 1 banyak waktu dan tenaga untuk melakukan perekrutan kembali guna mengisi posisi yang ditinggalkan oleh karyawan terdahulunya (Hinkin & Tracey, 2000; Amah, 2009; Davidson et al., 2010), hilangnya implicit knowledge yang dimiliki oleh karyawan yang mengundurkan diri (Coff, 1997), serta menurunnya tingkat kompetisi organisasi dalam suatu industri (Lado & Wilson, 1994). Untuk menghindari dampak negatif yang ditimbulkan akibat keluarnya karyawan karena kemauannya sendiri, perlu dipelajari lebih mendalam mengenai penyebab karyawan melakukannya. Beberapa peneliti tertarik dan telah mencoba mengatasi sikap keluarnya karyawan dari pekerjaan atas kemauannya sendiri dengan cara mencari dan mempelajari penyebab sikap yang ditunjukkan karyawan tersebut. Hasilnya menunjukkan bahwa variabel-variabel seperti kesempatan yang tidak karyawan peroleh dalam pekerjaannya, bayaran yang tidak sesuai, karakteristik individu, lingkungan kerja, tanggung jawab kekerabatan (kinship resposibility), iklim organisasi, komitmen organisasi, tekanan pekerjaan, dan persepsi keadilan organisasi merupakan anteseden dari sikap keluarnya karyawan dari pekerjaan atas kemauannya sendiri (Price & Mueller, 1981; Hong & Kaur, 2008; Lambert & Hogan, 2008; Smyth et al., 2009). Variabel lainnya yang bisa digunakan sebagai prediktor sikap karyawan untuk keluar dari pekerjaannya secara sukarela adalah konflik pekerjaan dan keluarga. Spector et al. (2007) menemukan bahwa konflik antara pekerjaan dan keluarga secara positif dan signifikan mempengaruhi niat karyawan untuk keluar dari pekerjaannya. 2 Konflik pekerjaan dan keluarga merupakan isu penting yang banyak dipelajari dalam kaitannya dengan niat karyawan untuk keluar dari pekerjaannya. Berdasarkan arahnya, konflik pekerjaan dan keluarga dibedakan menjadi dua bentuk yaitu konflik yang berasal dari pekerjaan ke keluarga (work interfere with family) dan konflik yang berasal dari keluarga ke pekerjaan (family interfere with work) (Foley et al., 2005). Kedua arah konflik ini menjelaskan bahwa baik di ranah pekerjaan maupun di ranah keluarga sama-sama memiliki tuntutan yang tinggi atas kontribusi seorang individu. Hal ini sesuai dengan teori konflik peran yang dikemukakan oleh Greenhaus dan Beutell (1985). Berdasarkan bentuknya, konflik pekerjaan dan keluarga dibedakan menjadi tiga yaitu konflik berdasarkan waktu (time-based conflict), konflik berdasarkan ketegangan (strain-based conflict), dan konflik berdasarkan perilaku (behaviourbased conflict) (Greenhaus & Beutell, 1985). Ketiga bentuk konflik ini menjelaskan bahwa tuntutan akan waktu, ketegangan yang di rasakan, dan perilaku individu pada kedua ranah kehidupannya berkontribusi menimbulkan konflik. Misalnya, seseorang yang berprofesi sebagai dokter yang mana memiliki tuntutan waktu yang sangat tinggi pada pekerjaannya, akan merasakan konflik ketika tuntutan waktu yang diharapkan salah satu anggota keluarganya (misalnya: anak) untuk sekadar menghadiri rapat orang tua di sekolahnya tidak terpenuhi. Pada awalnya, isu konflik pekerjaan dan keluarga berkembang di dunia Barat, yang berbudaya individualis. Pada budaya ini keluarga dan pekerjaan merupakan dua hal yang bersifat independen dan tidak terkait satu dengan lainnya (Hofstede et al., 2010). Artinya, apabila seseorang ingin meningkatkan eksistensi diri di satu ranah, ranah lain harus dikorbankan. Penelitian pertamanya dilakukan 3 pada tahun 1964 oleh Khan et al. (Greenhaus & Beutell, 1985), yang mengangkat isu konflik peran dalam menjelaskan konflik yang terjadi antara pekerjaan dan keluarga. Isu konflik pekerjaan dan keluarga ini terus dikembangkan dan mulai tahun 1990-an beberapa peneliti (Aryee et al., 1999; Fu & Shaffer, 2001; Hofstede et al., 2010) telah melakukan penelitian di negara Timur (Asia) yang berbudaya kolektifis. Dalam budaya ini pekerjaan dan keluarga merupakan dua ranah yang saling mendukung, yang ketika seseorang ingin memperoleh kesejahteraan dalam keluarga, posisi keuangan mereka harus stabil (Wang et al., 2010). Untuk mewujudkan hal tersebut, individu harus memiliki posisi yang baik dalam pekerjaannya. Dengan demikian, berbagai tuntutan (waktu, tenaga, pikiran) yang harus dipenuhi pada ranah pekerjaan akan dilakukan guna memperoleh kesejahteraan keluarga. Di sisi lain, keluarga juga akan memberikan dukungannya dengan cara memperkecil tuntutan mereka. Oleh karena itu, isu konflik pekerjaan dan keluarga dalam negara yang berbudaya kolektifis seharusnya kecil atau bahkan tidak ada. Selanjutnya pada tahun 2000-an beberapa peneliti membandingkan isu konflik pekerjaan dan keluarga antara negara yang berpaham budaya berbeda (individualis dan kolektifis), seperti dilakukan oleh Spector et al. (2004); Spector et al. (2007). Mereka melakukan penelitian dengan tujuan membandingkan isu konflik yang terjadi di negara-negara yang berbudaya individualis dan kolektifis. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa baik di negara berbudaya kolektifis maupun individualis sama-sama mengalami perasaan konflik pekerjaan dan keluarga. Dengan demikian, dampaknya terhadap niat keluar dari pekerjaan juga 4 positif dan signifikan, walaupun tingkat signifikansi di negara individualis lebih tinggi daripada di negara kolektifis. Hasil penelitian Spektor et al. (2007) bertentangan dengan konsep yang diajukan oleh Hofstede et al. (2010) bahwa kebudayaan yang berbeda dapat mempengaruhi seseorang dalam merasakan konflik (perceived conflict). Dengan demikian, dampaknya terhadap sikap karyawan (misalnya: niat untuk keluar dari pekerjaannya) dalam menanggulangi konflik seharusnya juga berbeda. Adanya inkonsistensi hasil penelitian yang ditemukan oleh Spector et al. dan Hofstede et al. memberikan celah bagi peneliti untuk menengahi gap tersebut dengan memasukkan variabel pemoderasi yaitu gender, dukungan sosial, dan nilai individu. Konsep teori peran gender yang disampaikan oleh Gutek et al. (1991) menyatakan bahwa perempuan akan lebih mencurahkan perannya pada ranah keluarga/sosial, sedangkan laki-laki akan lebih mencurahkan perannya pada ranah pekerjaan. Apabila pekerjaan menghalangi pemenuhan peran seorang laki-laki pada ranah keluarga, kondisi tersebut tidak akan berdampak negatif pada sikap karyawan di ranah pekerjaan (misalnya: niat karyawan untuk keluar dari pekerjaan). Berbeda halnya dengan perempuan, ketika pekerjaan menghalangi pemenuhan peran seorang perempuan dalam keluarga, hal tersebut akan membuat reaksi negatif bagi sikap karyawan perempuan tersebut (misalnya: mengundurkan diri dari pekerjaannya). Diperkirakan laki-laki akan cenderung mengalami konflik yang bersumber dari keluarga, sedangkan perempuan akan cenderung mengalami konflik yang bersumber dari pekerjaan. 5 Teori peran gender tersebut bertentangan dengan teori rasional. Dalam teori rasional ini disebutkan bahwa baik laki-laki dan perempuan akan mengalami konflik yang sama di dalam pekerjaan maupun rumah tangga mereka, apabila tidak terwujud keseimbangan di dalam pelaksanaan kedua peran tersebut. Penelitian yang dilakukan oleh Keith dan Schafer dalam Gutek et al. (1991) membuktikan kebenaran teori rasional ini. Dukungan sosial juga merupakan variabel yang penting dalam mengatasi niat karyawan untuk keluar dari pekerjaannya. Alasannya, dukungan sosial merupakan variabel situasional yang mampu meningkatkan perasaan nyaman dan memungkinkan seseorang untuk mengendalikan diri agar tidak bertindak emosional, misalnya memiliki niat keluar dari pekerjaan (Borg & Elizur, 1992). Berdasarkan teori pertukaran sosial (social exchange theory) Blau dalam Allen et al. (2003), dukungan sosial yang diberikan kepada seseorang baik dari keluarga maupun pekerjaannya, akan menjadikan orang tersebut memiliki perasaan berkewajiban untuk membalas apa yang telah diberikan dengan berperilaku positif. Misalnya, dalam ranah pekerjaan ketika individu merasakan adanya dukungan sosial dari supervisor dan/atau rekan kerja, maka kinerja dan komitmen mereka terhadap organisasi lebih meningkat (Eisenberger et al., 1990). Pada dasarnya dukungan sosial bisa berasal dari dua sumber yaitu dari sumber yang bersifat formal, misalnya tempat penitipan anak, organisasi kesehatan mental dan self-help group, dan dari sumber yang bersifat nonformal, misalnya keluarga, teman, dan rekan kerja (Lakey & Cohen, 2000; Frye & Breaugh, 2004). Beberapa penelitian terdahulu membuktikan output positif yang dihasilkan dengan adanya dukungan sosial, misalnya merurunnya tingkat stess, 6 menurunnya burn out, serta menurunnya niat karyawan untuk keluar dari pekerjaannya (Eisenberger et al., 2002; Frye & Breaugh, 2004; Eder & Eisenberger, 2008; Kossek et al., 2011). Penelitian Carlson dan Perrewe (1999) mengkaji kesesuaian variabel dukungan sosial sebagai variabel anteseden, moderasi, intervening, dan variabel independen pada hubungan antara pemicu stres (stressor) dan konflik pekerjaankeluarga. Hasilnya menunjukkan bahwa dukungan sosial paling cocok sebagai variabel anteseden dari pemicu stres. Namun dalam penelitian lain dukungan sosial dinilai mampu memoderasi pengaruh konflik pekerjaan dan keluarga pada output negatif, misalnya burnout dan niat keluar dari pekerjaan (Nissly et al., 2005; Lingard & Francis, 2006). Hal tersebut menunjukkan bahwa dukungan sosial merupakan suatu variabel yang dapat memperlemah pengaruh variabel bebas pada variabel terikat, sehingga tepat digunakan sebagai variabel pemoderasi. Dalam konteks niat karyawan untuk keluar dari pekerjaannya, dukungan sosial mampu memediasi dengan baik hubungan negatif antara dukungan supervisor yang dirasakan oleh karyawan dan niat karyawan untuk keluar dari pekerjaannya (Eisenberger et al., 2002). Hal tersebut menunjukkan bahwa dukungan sosial yang dirasakan karyawan dari supervisornya akan menurunkan niat mereka untuk keluar dari pekerjaannya apabila karyawan merasakan dukungan sosial dari organisasinya. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa dukungan sosial dapat mempengaruhi sikap yang ditunjukkan karyawan terhadap organisasinya. 7 Penelitian terdahulu mengenai dukungan sosial ini lebih banyak mencermati dukungan yang berasal dari satu ranah saja yaitu dari organisasi atau keluarga saja (Ford et al., 2007) dan kebanyakan lebih memfokuskan penelitiannya pada dukungan sosial dari pekerjaan (Eisenberger et al.,1986; Foley et al., 2005). Dukungan sosial yang berasal dari keluarga juga sangat penting (Seiger & Wiese, 2009; Michel et al., 2010), terkait individu yang tidak hanya hidup di ranah pekerjaan namun juga di ranah keluarga. Dalam penelitian ini, peneliti akan mengangkat kedua dukungan sosial ini ke dalam konteks hubungan antara konfik pekerjaan dan keluarga dengan niat karyawan untuk keluar dari pekerjaannya, dan menjadikan dukungan sosial sebagai variabel pemoderasi. Pemahaman nilai yang dianut individu dalam memprioritaskan keluarga atau pekerjaan juga merupakan hal penting karena dapat memberikan pandangan yang berguna bagi organisasi tentang motivasi karyawan untuk bekerja di suatu organisasi (Masuda & Sortheix, 2011). Terkait dengan ranah pekerjaan dan keluarga, ketika nilai yang dianut seseorang bertentangan dengan nilai salah satu ranah, motivasi seseorang untuk memenuhi perannya dalam ranah tersebut akan menurun, dan beralih pada ranah yang sejalan dengan nilai yang mereka anut. Sheldon dan Elliot (1999) berargumen bahwa seseorang akan cenderung mengupayakan tujuannya berdasarkan nilai yang diyakini. Hal tersebut menunjukkan bahwa semakin tinggi seseorang memprioritaskan suatu nilai, mereka akan berusaha mewujudkan hal yang mereka yakini dan mengorbankan hal yang bertentangan dengan nilainya untuk memperoleh kebahagiaan hidup. Promislo et al. (2010) meneliti salah satu nilai yang dianut individu yaitu materialisme, yang mendorong individu lebih memprioritaskan pekerjaannya 8 untuk mengejar materi daripada keluarga. Artinya, waktu dan tenaga individu tersebut dihabiskan untuk pekerjaannya sehingga pemenuhan peran di ranah keluarga menjadi sangat sedikit. Hal tersebut memicu terjadinya konflik keluarga yang bersumber dari pekerjaan. Dalam penelitian ini, nilai yang dianut individu yaitu nilai yang lebih memprioritaskan keluarga dibandingkan pekerjaan akan berperan sebagai variabel moderasi pengaruh konflik pekerjaan dan keluarga pada niat karyawan untuk keluar dari pekerjaannya. Penggunaan variabel nilai individu yang lebih memprioritaskan keluarga dibandingkan dengan pekerjaan didasari oleh pendapat Greenhaus et al. (2003) bahwa ketika seseorang lebih memprioritaskan keluarga daripada pekerjaannya, kesejahteraan yang dirasakan oleh individu akan lebih tinggi. Penelitian ini menguji pengaruh konflik pekerjaan dan keluarga terhadap niat karyawan untuk berhenti dari pekerjaannya. Ada enam dimensi yang digunakan dalam penelitian ini terkait konflik pekerjaan dan keluarga yang diadopsi dari Stephen dan Somer dalam Carlson et al. (2003) yaitu berdasarkan arah konflik (konflik pekerjaan-keluarga dan konflik keluarga-pekerjaan) dan bentuk konflik (konflik yang didasari waktu, konflik yang didasari ketegangan, dan konflik yang didasari oleh sikap). Peneliti juga memasukkan variabel moderasi gender, dukungan sosial, dan nilai individu yang diduga mampu memberikan nilai sigifikansi yang lebih baik pada hubungan antara konflik pekerjaan dan keluarga terhadap niat karyawan untuk keluar dari pekerjaannya. Industri yang digunakan sebagai tempat penelitian adalah industri jasa yaitu perhotelan. Alasan dipilihnya perhotelan sebagai lokasi penelitian karena perhotelan memiliki beberapa karakter yang mengindikasikan tuntutan yang tinggi 9 pada waktu dan tenaga karyawannya, sehingga berpotensi menyebabkan ketegangan dan diduga dapat memicu niat karyawan untuk keluar dari pekerjaannya. Adapun karakteristik pekerjaan dalam industri perhotelan adalah waktu kerja panjang, hari kerja panjang, rendahnya keselamatan kerja, tingginya kebutuhan untuk berkoordinasi dengan karyawan di departemen lain, serta shift (pergantian jam kerja) yang bersifat irregular (Blomme et al., 2010). Alasan lain pemilihan perhotelan sebagai tempat penelitian karena masih sedikit peneliti yang menggunakan hotel sebagai tempat penelitian, terkait dengan konteks yang digunakan dalam penelitian ini yaitu konflik pekerjaan dan keluarga serta niat karyawan untuk keluar dari pekerjaannya (Henly et al., 2006; Deery, 2008). Lokasi yang dipilih dalam penelitian ini adalah Bali karena beberapa alasan. Alasan pertama adalah industri perhotelan di Bali dari tahun ke tahun mengalami peningkatan (Dinas Pariwisata Bali, 2011), sehingga mempermudah peneliti untuk memperoleh responden yang relevan. Hal ini dapat dilihat pada Gambar 1.1. Gambar 1.1 Peningkatan Jumlah Akomodasi Perhotelan di Bali ROOMS FOR VISITORS IN BALI 50000 45000 40000 35000 30000 25000 20000 15000 10000 5000 0 1986 1994 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 YEAR Star Rooms Non-Star Rooms Sumber: Dinas Pariwisata Bali (2011) Alasan kedua karena Bali merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang keterlibatan masyarakatnya di ranah pekerjaan tinggi, hal ini dilihat dari 10 persentase jumlah penduduk Bali yang bekerja yaitu 97,96% (Sumber: Badan Pusat Statistik Bali-BPS Bali, 2012), terutama di sektor industri pariwisata dengan tuntutan kerja yang tinggi seperti yang telah dijelaskan sebelumnya. Hal ini berpotensi menyebankan konfik peran yang arahnya datang dari pekerjaaan. Di ranah keluarga, masyarakat Bali juga memiliki tuntutan peran yang tinggi (Subiyanto, 2004; Sumatika, 2006), yaitu perannya sebagai orangtua (pendidik, pembentuk moralitas anak, pemberi kasih sayang), perannya dalam mengatur rumah tangga (membersihkan rumah, berbakti kepada leluhur dengan menghaturkan saiban setiap hari, berbakti kepada orangtua/mertua), serta perannya dalam kehidupan sosial. Kegiatan-kegiatan yang harus dijalankan di ranah keluarga tersebut, memicu terjadinya konflik peran yang arahnya datang dari keluarga. Hal ini relevan dengan konteks penelitian ini. Masyarakat Bali yang menganut budaya paternalistik berpotensi menimbulkan konflik pekerjaan dan keluarga jika dilihat dari peran gender. Tingginya angka perempuan yang memasuki dunia kerja di Bali berpotensi mengakibatkan konflik keluarga yang bersumber dari pekerjaan. Perempuan Bali, yang tugas utamanya adalah melakukan pekerjaan rumah tangga (Mendrova, 2011) akan merasakan konflik ketika mereka bekerja. Di sisi lain, laki-laki yang tugas utamanya adalah bekerja untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarga, juga akan merasakan konflik pekerjaan yang berasal dari keluarga. Hal ini disebabkan oleh tuntutan di ranah keluarga yang tinggi akan partisipasinya dalam kegiatan tersebut, misalnya perannya dalam mendidik anak, membentuk karakter anak, dan perannya dalam kegiatan upacara untuk para leluhur (piodalan di merajan). Jadi pemilihan Bali sebagai lokasi penelitian akan sangat relevan dengan konteks 11 konflik pekerjaan dan keluarga terhadap niat karyawan untuk keluar dari pekerjaannya. 1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang penelitian, masalah yang akan dikaji dalam penelitian, terkait masalah teoretis adalah sebagai berikut. a. Tidak konsistensinya hasil penelitian Spector et al. (2007) dengan konsep yang diajukan oleh Hofstede et al. (2010). Dalam hasil penelitian Spector tersebut menunjukkan bahwa masyarakat yang menganut budaya kolektifis dan individualis mengalami persepsi yang sama akan konflik keluarga dan pekerjaan, berbeda dengan konsep yang diajukan oleh Hofstede bahwa masyarakat yang menganut budaya kolektifis cenderung tidak mengalami konflik karena pekerjaan dan keluarga bersifat saling menguntungkan. Pada penelitian ini peneliti memasukkan variabel gender, dukungan sosial, dan nilai individu yang diduga mampu mempertegas pengaruh konflik pekerjaan keluarga, dan niat karyawan untuk keluar dari organisasi. b. Pada penelitian terdahulu masih jarang ditemukan variabel nilai individu sebagai pemoderasi pada pengaruh konflik pekerjaan dan keluarga terhadap niat karyawan untuk keluar dari organisasi. Variabel ini dinilai penting karena mampu menjustifikasi kesesuaian nilai yang dianut karyawan dengan sikap mereka dalam mempersepsikan konflik. c. Dalam penelitian ini peneliti menggunakan variabel gender dan dukungan sosial sebagai variabel pemoderasi dalam konteks konflik pekerjaan dan keluarga. Kedua variabel ini belum banyak digunakan dalam konteks konflik 12 pekerjaan dan keluarga, meskipun dalam konteks lain sudah pernah digunakan. 1.3 Pertanyaan Penelitian Penelitian ini meyakini bahwa konflik pekerjaan dan keluarga mempengaruhi niat karyawan untuk keluar dari pekerjaannya, baik secara langsung maupun melalui variabel moderasi. Berkaitan dengan hal tersebut, pertanyaan penelitiannya adalah sebagai berikut. 1. Apakah konflik pekerjaan-keluarga berpengaruh positif pada niat karyawan untuk keluar dari pekerjaannya? 2. Apakah konflik keluarga-pekerjaan berpengaruh positif pada niat karyawan untuk keluar dari pekerjaannya? 3. Apakah gender memoderasi pengaruh konflik pekerjaan-keluarga pada niat karyawan untuk keluar dari pekerjaannya dan cenderung terjadi pada perempuan? 4. Apakah gender memoderasi pengaruh konflik keluarga-pekerjaan pada niat karyawan untuk keluar dari pekerjaannya dan cenderung terjadi pada laki-laki? 5. Apakah dukungan sosial memoderasi pengaruh konflik pekerjaan-keluarga pada niat karyawan untuk keluar dari pekerjaannya? 6. Apakah dukungan sosial memoderasi pengaruh konflik keluarga-pekerjaan pada niat karyawan untuk keluar dari pekerjaannya? 7. Apakah nilai individu memoderasi pengaruh konflik pekerjaan-keluarga pada niat karyawan untuk keluar dari pekerjaannya? 13 8. Apakah nilai individu memoderasi pengaruh konflik keluarga-pekerjaan pada niat karyawan untuk keluar dari pekerjaannya? 1.4 Tujuan Penelitian Berdasarkan pertanyaan penelitian di atas, tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut. 1. Menguji pengaruh konflik pekerjaan-keluarga pada niat karyawan untuk keluar dari pekerjaannya. 2. Menguji pengaruh konflik keluarga-pekerjaan pada niat karyawan untuk keluar dari pekerjaannya. 3. Menguji variabel moderasi gender pada pengaruh konflik pekerjaankeluarga terhadap niat karyawan untuk keluar dari pekerjaannya 4. Menguji variabel moderasi gender pada pengaruh konflik keluargapekerjaan terhadap niat karyawan untuk keluar dari pekerjaannya 5. Menguji variabel moderasi dukungan sosial pada pengaruh konflik pekerjaan-keluarga terhadap niat karyawan untuk keluar dari pekerjaannya 6. Menguji variabel moderasi dukungan sosial pada pengaruh konflik keluarga-pekerjaan terhadap niat karyawan untuk keluar dari pekerjaannya 7. Menguji variabel moderasi nilai individu pada pengaruh konflik pekerjaan-keluarga terhadap niat karyawan untuk keluar dari pekerjaannya 8. Menguji variabel moderasi nilai individu pada pengaruh konflik keluargapekerjaan terhadap niat karyawan untuk keluar dari pekerjaannya 14 1.5 Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat baik secara teoritis maupun praktis. Adapun manfaat penelitian ini adalah sebagai berikut. 1. Manfaat Teoritis Penelitian ini diharapkan dapat berkontribusi dalam memperkaya literatur niat karyawan untuk keluar dari pekerjaannya dan variabel-variabel yang mempengaruhinya. 2. Manfaat Praktis Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan informasi dan menjadi bahan pertimbangan bagi praktisi (manajer) untuk lebih memperhatikan penyebab-penyebab niat karyawan untuk keluar dari pekerjaannya. Dengan demikian, dalam proses seleksi karyawan selanjutnya, manajer lebih selektif dalam memilih karyawan. Diharapkan pula manajer lebih bersikap fokus dalam mengelola karyawannya, dan mempertimbangkan segala kebutuhan dan keinginan karyawan dalam penyusunan kebijakan kerja di perusahaan. 1.6 Sistematika Penulisan Sistematika penulisan yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: Bab I Pendahuluan Bab ini berisi penjelasan mengenai latar belakang, rumusan masalah, pertanyaan penelitian, tujuan penelitian, manfaat penelitian, dan sistematika penulisan. 15 Bab II Landasan Teori, Pengembangan Hipotesis, dan Model Penelitian. Bab ini menyajikan penjelasan mengenai tinjauan literatur berkaitan dengan teori-teori yang menjadi landasan penelitian, pengembangan hipotesis, dan rerangka penelitian. Bab III Metode Penelitian Bab ini menjelaskan tentang srategi penelitian yang digunakan, definisi operasional dan pengukuran variabel, penyampelan, objek dan lokasi penelitian, instrumen penelitian, serta pengumpulan dan teknik analisis data. Bab IV Hasil dan Pembahasan Bab ini berisi penjelasan mengenai karakteristik responden penelitian, hasil pengolahan dan analisis data penelitian. Bab V Kesimpulan, Implikasi, Keterbatasan, dan Saran bagi Penelitian Selanjutnya Bab ini menyajikan penjelasan tentang kesimpulan penelitian, implikasi, keterbatasan penelitian dan rekomendasi untuk penelitian selanjutnya. 16