BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Tekanan Darah 2.1.1. Sistem Sirkulasi Tekanan darah berperan penting pada sistem sirkulasi tubuh manusia dan berjalan dalam keadaan homeostasis.Perubahan tekanan darah akan mempengaruhi sistem homeostasis ini, bahkan bisa mengganggu sistem transportasi oksigen, karbondioksida, nutrien, dan zat metabolisme lainnya. Bila hal ini terjadi fungsi organ-organ tubuh vitalakanterganggu seperti jantung, otak dan ginjal. Tanpa aliran yang konstan kepada organ-organ ini, kematian jaringan akan mengancam dalam hitungan menit, jam, atau hari. (Porth, 2011) Gambar 2.1.Tekanan intra arteri dari arteri brachialis.Tekanan nadi adalah perbedaan antara tekanan darah sistolik dengan diastolik. Pada daerah yang lebih gelap menunjukkan tekanan arteri rata-rata (mean arterial pressure = MAP). Tekanan darah arteri menunjukkan ejeksi ritmis darah dari ventrikel kiri ke aorta. Tekanan akan naik saat sistolik dan berkurang saat diastolik.Pada gambar 2.1 ditunjukkan perubahan tekanan arteri pembuluh darah besar di sirkulasi sistemik.Terdapat kenaikan yang tajam saat kontraksi ventrikel kiri mencapai puncak secara perlahan.Kira-kira 70% darah meninggalkan ventrikel kiri. Pada akhir sistolik tekanan akan turun membentuk suatu dicrotic Universitas Sumatera Utara notch atau takik saat tekanan ventrikel turun dibawah tekanan aorta. Saat katup aorta tertutup, tekanan sedikit meninggi yang merupakan kontraksi aorta dan pembuluh darah besar melawan penutupan katup. Ketika ventrikel relaksasi dan darah menuju ke pembuluh darah perifer saat diastolik, tekanan arteri turun tajam dan perlahan (Porth, 2011) Pada orang dewasa sehat, tekanan darah sistolik < 120 mmHg dan tekanan darah diastolik < 80 mmHg.Selisih antara kedua tekanan disebut tekanan nadi (kira-kira 40 mmHg).Tekanan arteri rata-rata (MAP) normal sekitar 90-100 mmHg yang menunjukkan tekanan rata-rata sistem arteri saat kontraksi dan relaksasi ventrikel. Rumus MAP (Porth, 2011) : MAP = TD sistolik + 2(TD diastolik) 3 Kebanyakan penulis menetukan suatu keadaan hipotensi sistolik < 90 mmHg, MAP≤ 65 -70 mmHg.Hipotensi menyebabkan distribusi aliran darah ke seluruh organ untuk menjaga autoregulasi terganggu(Kruger, 2009; Hasdai 2002). 2.1.2.Menentukan Tekanan Darah Komponen sistolik dan diastolik dari tekanan darah ditentukan oleh keluaran jantung (cardiac output = CO) dan resistensi vaskular perifer (vascular peripheral resistance = TPR) dengan rumus : Tekanan darah (TD) = CO x TPR Nilai tekanan darah tersebut dapat berubah-ubahsesuai dengan faktor yang berpengaruh padanya seperti curah jantung,isi sekuncup, denyut jantung, tahanan perifer dan sebagainya maupun padakeadaan olah raga, usia lanjut, jenis kelamin, suku bangsa, iklim, danpenyakitpenyakit jantung atau pembuluh darahnya.Sedangkan keluaran jantung (cardiac output) adalah hasil perkalian antara volume sekuncup (stroke volume = SV) dengan denyut jantung (heart rate = HR), sesuai dengan rumus (Ibnu, 1996; Kruger, 2009): CO = SV x HR Universitas Sumatera Utara Sistem sirkulasi dibagi menjadi 2 bagian, yaitu sirkulasi pulmonal yang merupakan tepat pertukaran gas dengan tekanan dan sirkulasi sistemik yang membawa oksigen dan nutrien ke seluruh jaringan.Komponen sistem sirkulasi ini terdiri dari jantung yang memompa darah, sistem arteri yang mendistribusikan darah teroksigenasi ke jaringan, sistem kapiler tempat pertukaran gas, nutrien dan zat sisa, serta sistem vena yang mengembalikan darah deoksigenasi ke jantung (Porth, 2011). Meskipun sistem sirkulasi pulmonal dan sistemik memiliki fungsi yang sama namun pada sistem sirkulasi pulmonal memiliki tekanan arteri rata-rata 12 mmHg memungkinkan darah mengalir ke bagian pulmonal secara perlahan. Sistem sirkulasi sistemik memiliki tekanan arteri rata-rata 90-100 mmHg untuk mengaliri darah ke seluruh jaringan dan melawan efek gravitasi. Jantung memiliki dua fungsi pompa, jantung bagian kanan memompa darah ke sistem pulmonal dan jantung bagian kiri memompa darah ke sistem sistemik. Untuk mendapatkan fungsi yang baik dan efektif, kedua bagian jantung memompa darah dalam jumlah yang sama dalam satu waktu. Jika CO jantung kiri lebih rendah dari jantung kanan maka darah akan terakumulasi di paru-paru, jika keluaran jantung kanan menurun maka darah akan terakumulasi di sistemik (Porth, 2011; Ibnu, 1996) Gambar 2.2. Sirkulasi sistemik dan pulmonal (Porth, 2011) Universitas Sumatera Utara Aliran darah dalam sirkulasi tergantung dari volume darah dan perbedaan tekanan untuk memudahkan perpindahan darah ke jaringan. Sekitar 4% jantung kiri dapat menampung volume darah, 16% di arteri dan arteriol, 4% di kapiler, 64% di venula dan vena, dan 4% di jantung kanan seperti yang ditunjukkan pada gambar 2.3. Arteri dan arteriol memiliki dinding yang tebal, elastis, dan memiliki tekanan yang tinggi. Sedangkan kapiler berukuran kecil, berdinding tipis, menghubungkan arteri dan vena. Venula dan vena berdinding tipis serta bertekanan rendah. Perbedaan tekanan arteri dan vena berkisar 84 mmHg yang memberi kekuatan aliran darah ke sistemik (Porth, 2011). Tekanan darah sistolik menggambarkan tekanan darah yang dikeluarkan ke aorta dan melawan regangan dinding aorta. Tekanan darah sistolik meningkat jika SV meningkat atau aorta dalam keadaan kaku atau rigid misalnya pada orang tua. Tekanan darah diastolik berasal dari energi dinding pembuluh aorta yang elastik, resistensi arteriol, dan kompetensi katup aorta. Semakin kecil sistem arteriol maka resistensi semakin besar. Gambar 2.3. Distribusi tekanan dan volume dalam sirkulasi sistemik. Pada grafik ditunjukkan hubungan terbalik tekanan internal dan volume dalam porsi yang berbeda di sirkulasi sistemik (Smith, 1990) Saat PVR semakin besar sistem simpatis teraktifasi dan tekanan darah diastolik meningkat. Katup aorta berperan dalam mengatur tekanan darah diastolik. Jika katup aorta tidak Universitas Sumatera Utara menutup sempurna, darah yang dipompa jantung saat sistolik akan masuk kembali ke ventrikel kiri sehingga menurunkan tekanan darah diastolik(Porth, 2011). Gambar 2.4. A) Tekanan darah sistolik menunjukkan darah diejeksikan ke aorta, merefleksikan SV, distensibilitas aorta, dan kecepatan darah yang dipompa. B)Tekanan darah diastolik merefleksikan tekanan darah arteri saat diastolik yang ditentukan oleh PVR (Porth, 2011). 2.1.3. Regulasi Tekanan Darah Menurut Ibnu Masud (1996),terdapat beberapa pusat yang mengawasi dan mengatur perubahan tekanan darah, yaitu : 1) Sistem saraf, yang terdiri dari pusat-pusat saraf yang terdapat di batang otak, misalnya pusat vasomotor dan diluar susunan saraf pusat, misalnya baroreseptor dan kemoreseptor. 2) Sistem humoral atau kimia, yang dapat berlangsung lokal atau sistemik, misalnya reninangiotensin, vasopressin, epinefrin, norepinefrin, asetilkolin, serotonin, adenosin dan kalsium, magnesium, hidrogen, kalium, dan sebagainya. Universitas Sumatera Utara 3) Sistem hemodinamik, yang lebih banyak dipengaruhi oleh volume darah, susunan kapiler, serta perubahan tekanan osmotik dan hidrostatik di bagian dalam dan di luar sistem vaskuler. Hampir semua sistem tersebut sukar dipisahkan mekanismenya pada peristiwa pengendalian tekanan darah dan tampaknya bekerja secara simultan dan saling melengkapi satu sama lain. Gambar 2.5.Tekanan darah dan faktor yang mempengaruhinya (Ibnu, 1996; Cohn, 1984). 2.1.4. Pemeriksaan Tekanan Darah Pada dasarnya pengukuran tekanan darah dapat dilakukan secara langsung maupun tidak langsung. Pengukuran tekanan darah secara langsung dapat dilakukan dengan memasukkan kanul atau jarum steril intra arteri kemudian dilihat perubahan tekanan pada manometer air raksa. Hal ini tidak mungkin dilakukan oleh karena berbahaya, dapat terjadi pendarahan, infeksi, dan komplikasi lain. Di lain pihak pemeriksaannya tidak mudah dan memerlukan keterampilan tersendiri dan hanya mungkin dilakukan di meja operasi dengan segala perlengkapan dan persyaratannya (Ibnu, 1996). Mengukur tekanan darah secara tidak langsung dapat dilakukan menggunakan metode palpasi atau auskultasi menggunakan sfigmomanometer. Metode ini dapat mengukur tekanan Universitas Sumatera Utara darah sistolik dan diastolik. Secara auskultasi, manset dipasang pada lengan atas dengan jarak sekitar 3 cm dari tepi bawah manset ke fossa cubiti, setelah itu raba arteri brachialis dan letakkan stetoskop diatasnya. Selanjutnya karet dipompakan udara ke dalam manset yang diikuti oleh kenaikan air raksa pada tabung manometer sampai dengan angka tertentu sehingga menyebabkan arteri terkompresi sehingga darah tidak mengalir sedemikian rupa. Jika udara didalam manset dikeluarkan perlahan, aliran udara keluar, dan disaat bersamaan terlihat penurunan air raksa dalam tabungnya. Suatu saaat akan terdengar suara letupan halus semakin mengeras dan jelas didengar. Desakan tersebut menimbulkan getaran pada dinding pembuluh darah dan gelombang fibrasinya terdengar di stetoskop. Suara letupan mengeras mulai melemah dan akhirnya menghilang sama sekali disebabkan darah mengalir tanpa hambatan sehingga hampir tidak menimbulkan suara fibrasi dinding pembuluh darah. Manifestasi terdengarnya letupan suara yang pertama kali terdengar merupakan tekanan darah sistolik dan menghilangnya suara letupan merupakan tekanan darah diastolik (Ibnu, 1996; Berg 2006). Dengan metode palpasi pengukuran tekanan darah juga dapat dilakukan, namun memiliki kelemahan. Metode ini tidak dapat digunakan mengukur tekanan darah diastolik namun keunggulannya dengan cara palpasi dapat memeriksa tekanan paling rendah pada sistem sirkulasi umum yang terjadi seperti pada keadaan syok sirkulasi (Ibnu, 1996; Berg 2006). 2.1.5. Sirkulasi Pembuluh Darah Koroner Sirkulasi koroner bertanggung jawab mengatur tekanan arteri yang diperlukan untuk perfusi sirkulasi sistemik dan pada saat yang sama memiliki mekanisme penghambat saat fase sistolik dalam siklus jantung. Kontraksi miokardium berhubungan dengan aliran darah koroner dan pasokan oksigen, dan keseimbangan antara suplai dan kebutuhan oksigen merupakan faktor penentu fungsi kontraksi jantung. Ketika hubungan ini terganggu tiba-tiba akan mempengaruhi keseimbangan tersebut, menyebabkan disfungsi miokard, mengakibatkan hipotensi, dan iskemik miokard. (Canon, 2012; Jeremias, 2010). Saat fase sistolik dan diastolik dalam siklus jantung terjadi perubahan aliran koroner (gambar 2.6).Kontraksi jantung saat fase sistolik meningkatkan tekanan jaringan untuk mencukupi perfusi dari subendokardium ke subepikardium jantung sehingga aliran darah koroner Universitas Sumatera Utara mencapai titik terendah. Pada saat yang sama kompresi sistolik menurunkan mikrosirkulasi pembuluh darah intramiokard (arteriol, kapiler, dan venula) dan meningkatkan aliran darah keluar vena koroner mencapai titik puncak. Saat fase diastolik, aliran darah masuk ke dalam intra koroner dengan gradien transmural menyokong perfusi ke pembuluh darah subendokardium sehingga aliran darah vena koroner berkurang (Canon, 2012; Klocke, 1983). Gambar 2.6.Fase coronary arterial inflow dan venous outflow pada keadaan istirahat dan pemberian adenosin vasodilatasi.Aretrial inflow secara primer muncul saat fase diastolik. Saat fase sistolik (garis putus-putus vertikal), arterial inflow menurun pada saat bersamaan venous outflow mencapai puncak, merefleksikan kompresi pembuluh darah mikrosirkular. Setelah pemberian adenosine, fase venous outflow lebih menonjol (Canty,1990) 2.1.6. Penentuan Konsumsi Oksigen Miokardium Penarikan oksigen miokardium mendekati nilai maksimal saat istirahat kira-kira 75% dari kadar oksigen arteri. Kemampuan untuk menarik oksigen untuk mencukupi kebutuhan miokardium terbatas pada aktifasi sistem simpatis dan pada keadaan iskemia subendokardium. Namun demikian coronary venous oxygen tension (Pvo2) hanya dapat menurun dari 25 sampai kira-kira 15 torr. Penarikan oksigen miokard saat istirahat meningkatkan konsumsi oksigen miokardium dan dapat ditunjukkan oleh peningkatan proporsi aliran koroner dan penghantaran oksigen pada gambar 2.7. Sebagai tambahan aliran koroner, hantaran oksigen ditentukan oleharterial oxygen content (PaO2). Hal ini sama dengan produk konsentrasi hemoglobin dan saturasi oksigen arteri ditambah sejumlah kecil oksigen terlarut dalam plasma yang berhubungan langsung terhadap PaO2. Untuk jumlah aliran berapa pun, keadaan anemia akan mengurangi Universitas Sumatera Utara hantaran oksigen dimana kurva disosiasi oksigen non linier menunjukkan berkurangnya kadar oksigen sampai PaO2 jatuh seperti yang ditunjukkan pada kurva tersebut (< 50 torr). Gambar 2.7.Persamaan Fick dan hubungan denyut jantung (HR) – tekanan darah sistolik (SBP) dan konsumsi oksigen miokardium (MVO2). A) MVO2 meningkat diimbangi oleh peningkatan aliran darah koroner secara linier berhubungan dengan produk ganda (double product). Peningkatan sebanyak 2 x lipat denyut jantung, tekanan darah sistolik, atau kontraktilitas akan meningkatkan 50% konsumsi oksigen miokardium. B) Pemberian B bloker berguna untuk menurunkan keluaran jantung dengan cara menurunkan produk ganda dan kontraktilitas. CaO2 = coronary arterial oxygen content; CBF = coronary blood flow; CvO2 = coronary venous oxygen content (Canon, 2012). Konsumsi oksigen miokardium ditentukan oleh denyut jantung, tekanan darah sistolik (myocardial wall stress), dan kontraktilitas ventrikel kiri. Secara eksperimen, area tekananvolume sistolik sebanding dengan kerja miokardium dan secara linier berhubungan konsumsi oksigen miokardium. Kebutuhan basal oksigen miokardium diperlukan untuk menjaga fungsi membran saat paling rendah, kira-kira 15% konsumsi oksigen saat istrahat (Canon, 2012; Homoud, 2008). 2.1.7. Autoregulasi Koroner Autoregulasi berfungsi melakukan proteksi perfusi organ akibat tekanan darah yang berfluktuasi. Sistem autoregulasi menjaga tekanan darah saat hipotensi di otak. Di miokardium menjaga aliran koroner yang terdapat stenosis saat hipotensi, dan pada ginjal menjaga perfusi rerata filtrasi glomerulus dan tekanan kapiler glomerulus (Levick, 2010). Aliran darah koroner regional dijaga agar tetap konstan dimana tekanan arteri koroner berada dibawah tekanan aorta Universitas Sumatera Utara dan konsumsi oksigen miokardium dipertahankan konstan (Canin, 2012; Kruger, 2009). Fenomena ini disebut autoregulasi (gambar 2.8). Gambar 2.8.Gambaran autoregulasi dalam keadaan basal diikuti keadaan stres metabolik (seperti takikardi). Pada jantung yang normal menjaga aliran darah koroner tetap konstan (gambar kiri) sebagai tekanan koroner regional yang bervariasi sesuai kebutuhan oksigen global (garis merah). Dibawah batas tekanan autoregulasi (± 40 mmHg), pembuluh darah subendokardium akan vasodilatasi maksimal dan terbentuk iskemik miokard. Aliran darah koroner berkurang pada tekanan lebih tinggi dari tekanan atrium kanan (P RA ) disebut tekanan aliran nol (P f=0 ), yang merupakan aliran darah balik tanpa ada kolateral koroner. (gambar kanan) Dalam keadaan stres, takikardi akan meningkatkan kompresi resistensi koroner dengan menurunkan waktu perfusi diastolik dan mengurangi efek vasodilatasi maksimal. Sebagai tambahan, jika kebutuhan oksigen miokardium yang bertambah atau berkurangnya konten oksigen arteri meningkatkan aliran istirahat. Perubahan ini mengurangi cadangan aliran koroner, perbandingan antara aliran koroner saat dilatasi dan istirahat, dan menyebabkan terjadinya iskemik dengan tekanan koroner yang tinggi (Canon, 2012). Saat tekanan berkurang dibawah ambang autoregulasi, resistensi arteri koroner berada dalam keadaan vasodilatasi maksimal dan aliran darah menjadi flow-dependent menghasilkan keadaan iskemia miokardium. Dalam keadaan hemodinamik yang normal, aliran darah koroner saat istirahat kira-kira 0.7-1.0 ml/menit/gr dan dapat meningkat 4-5x lipat saat vasodilatasi. Kemampuan dalam meningkatkan aliran darah melewati ambang batas saat istirahat sebagai respon vasodilatasi farmakologi disebut cadangan koroner (coronary reserve).Aliran darah saat vasodilatasi maksimal tergantung dari tekanan arteri koroner. Perfusi maksimal dan cadangan koronerberkurang saat perfusi subendokardium menurun (takikardi) saat fase diastolik atau Universitas Sumatera Utara preload meningkat. Cadangan koroner bisa berkurang pada keadaan apapun yang bisa meningkatkan aliran saat istirahat yaitu konsumsi oksigen saat tekanan sistolik naik, denyut jantung bertambah, dan perubahan kontraktilitas, serta berkurangnya suplai oksigen arteri (pada anemia, hipoksia). Namun dalam keadaan normal, keadaan dapat berubah menjadi iskemik subendokardium. Meskipun pada studi awal menunjukkan tekanan darah yang rendah membatasi autoregulasi menjadi 70 mmHg, studi pada binatang percobaan pada keadaan basal memperlihatkan bahwa aliran darah koroner dapat di autoregulasi menjadi tekanan koroner ratarata sampai posisi terendah 40 mmHg (tekanan darah diastolik 30 mmHg). Gambar 2.9. Variasi transmural pada autoregulasi koroner dan metabolisme miokardium. Meningkatnya kerentanan subendokardium (ENDO) versus subepikardium (EPI) terhadap iskemia menggambarkan sistem autoregulasi mencapai titik lemah pada tekanan koroner tinggi (40 versus 25 mmHg). Ini dihasilkan dari aliran tinggi saat istirahat dan kebutuhan oksigen di subendokardium dan meningkatnya sensitifitas kompresi sistolik, oleh karena aliran subendokardium hanya berlangsung saat fase diastolik. Pembuluh darah subendokardium menjadi vasodilatasi maksimal sebelum di subepikardium bersamaan dengan berkurangnya tekanan arteri koroner. Perbedaan transmural ini dapat bertambah saat takikardi atau preload yang besar yang mengurangi perfusi maksimal subendokardium (Canon, 2012). Tekanan darah koroner ini sama seperti pada manusia tanpa simtom iskemia, oklusi kronik distal, menggunakan tekanan mikromanometer. Takikardi akan meningkatkan batas tekanan auroregulasi yang rendah akibat kebutuhan aliran yang meningkat seiring berkurangnya waktu yang tersedia untuk perfusi (Canon, 2012). Universitas Sumatera Utara Gambar 2.9 adalah ilustrasi vasiasi transmural pada batas tekanan autoregulasi yang rendah yang menghasilkan iskemik subendokardium. Aliran darah subendokardium berlangsung saat fase diastolik dan berkurang dibawah tekanan koroner rata-rata 40 mmHg. Hal ini berbeda dengan aliran darah subepikardium, berlangsung saat siklus jantung dan terjaga sampai tekanan darah koroner 25 mmHg. Perbedaan ini oleh karena kebutuhan oksigen di subendokardium lebih tinggi. Perbedaan transmural pada tekanan autoregulasi rendah menyebabkan subendokardium rentan terhdap iskemia dengan adanya stenosis koroner (Canon, 2012). 2.1.8. Modulasi Tonus Koroner di Endotel Arteri di pembuluh darah epikardium tidak secara normal berperan terhadap resistensi vaskular koroner namun diameter arteri dimodulasi oleh sejumlah faktor parakrin yang dilepas oleh platelet, demikian juga dari agonis neurohormonal yang ada di sirkulasi, tonus neural, dan kontrol lokal vaskular shear stress. Faktor-faktor tersebut dapat dilihat pada tabel dibawah ini. Tabel 1. Endothelium-dependent dan efek langsung stimulus neural, autacoid, dan vasodilator pada tonus koroner. Universitas Sumatera Utara ADP = adenosine diphosphate; EDHF = endothelium-dependent hyperpolarizing factor (Canty, 1990). Menurut Levick, 2010, tonus vaskular dipengaruhi oleh 3 hirarki atau susunan, yaitu : Susunan dasar : merupakan sistem autoregulasi; susunan pertengahan : agen vasoaktif intrinsik yang diproduksi jaringan seperti vasodilator (adenosin, K+, CO 2 , laktat, fosfat, hiperosmolaritas, H 2 O 2 ), sekresi endotel (nictric oxide, endothelium derived hyperpolarizing factor, prostasiklin, endotelin), mediator inflamasi autacoid (histamin, bradikinin, platelet activating factor, leukotrien), dan vasospaame (serotonin, tromboxane); susunan teratas : regulasi ekstrinsik oleh sistem saraf simpatis, parasimpatis, dan sirkulasi hormon (adrenalin, angiotensin II, vasopressin). 2.1.9. Resistensi Vaskular Koroner Resistensi aliran darah koroner dibagi menjadi 3 komponen (gambar 2.10) dalam keadaan normal tidak dijumpai tekanan yang rendah di arteri epikardial disebut negligible conduit resistance (R1). Komponen kedua adalah coronary resistance (R2) yang dinamis dan secara primer berasal dari resistensi mikrosirkulasi arteri dan arteriol, didistribusikan melalui - Gambar 2.10. Skema komponen resistensi vaskular koroner dengan atau tanpa stenosis koroner. R 1 merupakan epicardial conduit artery resistance; R 2 adalah resistensi Universitas Sumatera Utara sekunder terhadap metabolik dan perubahan autoregulasi aliran koroner dan muncul di arteriol dan resistensi arteri; dan R 3 adalah compressive resistance yang lebih tinggi di subendokardium daripada di epikardium. Pada jantung normal , R 2 >R 3 >R 1 . Perkembangan stenosis arteri koroner proksimal atau vasodilatasi farmakologi menurunkan resistensi arteriolar (R 2 ).Pada keadaan epicardium mengalami stenosis yang berat R 1 >R 3 >R 2 (Canty, 1990). miokardium melewati resistensi pembuluh darah yang luas. Komponen ketiga adalah compressive reisitance (R3) tergantung siklus jantung dan berhubungan dengan kontraksi jantung dan tekanan sistolik di ventrikel kiri. Pada gagal jantung, efek kompresi akibat tekanan diastolik ventrikel yang meningkat akan mengganggu perfusi koroner melalui kompresi pasif pembuluh mikrosirkulasi dengan meningkatkan tekanan ekstravaskular jaringan. Preload yang meningkat menaikkan tekanan balik koroner diatas level tekanan vena koroner (Canty, 1990). 2.1.10. Fungsi Sistolik Ventrikel Kiri Terganggunya aliran arteri koroner epikardium, membuat miokardium kehilangan kemampuan untuk memperpendek dan melakukan fungsi kontraksi (gambar 2.11) dengan 4 pola kontraksi abnormal : 1) dissinkroni, merupakan dissosiasi waktu kontraksi pada segmen yang berdekatan; 2) hipokinetik, berkurangnya jarak pemendekan otot miokardium; 3) akinetik, penghentian pemendekan otot; 4) diskinetik, pengembangan otot yang paradoks dan systolic bulging. Peningkatan gerakan otot jantung pada daerah non infark bertahan selama 2 minggu, selama beberapa bagian otot jantung yang mendapat reperfusi akan menyembuh dan myocardial stunning menghilang (Hochman, 2003). Penderita STEMI menunjukkan berkurangnya fungsi kontraksi miokardium pada daerah non infark.Penemuan ini menunjukkan riwayat obstruksi arteri koroner sebelumnya yang menyuplai daerah non infark di ventrikel dan tidak mendapat cukup darah dari pembuluh darah kolateral sehingga disebut iskemia. Adanya kolateral yang terbentuk sebelum proses STEMI menyediakan suplai darah yang adekuat untuk fungsi sistolik pada daerah pembuluh darah arteri yang tersumbat dan mampu memperbaiki fraksi ejeksi ventrikel kiri segera setelah infark (Hochman, 2003). Universitas Sumatera Utara Gambar 2.11.Paradigma syok klasik (garis hitam). Pengaruh respon inflamasi (garis merah). iNOS = inducible nitric oxide synthase; LVEDP = LV end-diastolic pressure; NO = nitric oxide; SVR = systemic vascular resistance.(Hochman, 2003). Namun jika sejumlah besar miokardium terjadi cedera iskemia, fraksi ejeksi ventrikel kiri akan menurun, CO, SV, tekanan darah, puncak dP/dt menurun (dP/dt merupakan perubahan tekanan maksimum dan minimum pada ventrikel saat kontraksi isovolumik secara ekokardiografi), dan volume akhir sistolik meningkat. Volume akhir sistolik yang meningkat mungkin prediktor hemodinamik terhadap mortalitas pada pasien-pasien STEMI. Ekspansi sistolik yang paradoks tersebut akan menurunkan SV ventrikel kiri. Miosit yang nekrotik tertarik satu sama lain sehingga daerah yang infark akan menipis dan memanjang, khususnya pasien dengan infark di anterior luas, menghasilkan semakin luasnya proses dilatasi. Tingkat dilatasi ventrikel tergantung luas infark, patensi arteri yang mensuplai daerah infark, dan aktivasi sistem renin-angiotensin aldosteron (RAAS). Universitas Sumatera Utara Gambar 2.12.Sistem renin angiotensin aldosteron (Hochman, 2003). 2.1.11. Pengaruh Iskemia Miokard Terhadap Sirkulasi Pasien STEMI terjadi gangguan regulasi sirkulasi. Proses ini berawal dari obstruksi fungsional pembuluh darah koroner menghasilkan iskemia miokard regional sehingga menurunkan fungsi ventrikel kiri dan SV namun tekanan pengisian bertambah. Tekanan aorta menurun dan mengurangi perfusi koroner sehingga akan menambah berat iskemia dan merupakan lingkaran setan. Inflamasi sistemik sekunder dari proses infark akan melepas sitokin sehingga menyebabkan vasodilatasi dan menurunkan resistensi vaskular sistemik (gambar 2.11). Ketidakmampuan ventrikel kiri mengeluarkan SV juga meningkatkan preload sehingga ventrikel kiri berdilatasi dengan baik jika masih berkompensasi.Mekanisme kompensasi ini bertujuan mengembalikan SV mendekati normal dalam keadaan fraksi ejeksi yang sudah menurun.Dilatasi Universitas Sumatera Utara ventrikel kiri juga meningkatkan afterload, menurut hukum Laplace pada tekanan arteri tertentu ventrikel kiri harus berdilatasi melawan wall tension yang lebih tinggi.Hal ini bukan hanya menambah afterload namun juga menambah kebutuhan oksigen miokardium, yang mana miokardium sudah dalam keadaan iskemia (Hochman, 2003). 2.1.12. Pengukuran Tekanan Darah Pada Pasien Sindrom Koroner Akut Saat fase prehospital STEMI, monitor hemodinamik tidak ada dan mengenal keadaan ini harus dilakukan penilaian secara klinis dan mengukur tekanan darah dengan cuff.Hipotensi berhubungan dengan bradikardi sering menggambarkan vagotonia. Hipovolume relatif atau absolut sering dijumpai saat hipotensi baik dengan denyut jantung normal maupun takikardi..Keringat dingin, kurang minum, atau muntah sebelum keadaan infark menyertai STEMI ini menyokong terbentuknya hipovolemia.Walaupun dengan volume vaskular yang normal, hipovolemia relatif dapat muncul akibat fraksi ejeksi yang menurun dan tekanan pengisian ventrikel kiri meningkat setinggi 20 mmHg (Canon, 2012). Mengenal hipovolemia sangatlah penting pada pasien STEMI yang hipotensi, tak jarang tersembunyi jika tidak disertai monitor hemodinamik. Hipotensi menjadi absolut dengan tekanan pengisian ventrikel kiri 8 mmHg, atau relatif, dengan normal (8-12 mmHg) atau sedikit meningkat (13-18 mmHg). Pasien dengan hipotensi memiliki pulmonary capillary wedge pressure (PCWP)< 18 mmHg. Khusus untuk infark ventrikel kanan, hipotensi tekanan pengisian ventrikel kiri yang normal, rendah, dan sedikit meningkat (Canon, 2012). Gambar 2.13.Pengaruh fungsi ventrikel kiri terhadap survival pasien dengan infark miokard. EF = Ejection Fraction (Volpi, 1993). Universitas Sumatera Utara Disfungsi ventrikel kiri merupakan prediktor tunggal mortalitas pada pasien STEMI (gambar 2.13) Pasien dengan STEMI dapat terjadi disfungsi sistolik atau sistolik dan diastolik.Disfungsi diastolik ventrikel kiri dapat menyebabkan udem paru. Manifestasi klinis gagal jantung kiri semakin menonjol jika luas infark bertambah, pasien usia tua, dan diabetes. 2.2. Definisi dan Klasifikasi Sindrom Koroner Akut Sindrom koroner akut (SKA) adalah istilah untuk mendeskripsikan gejala yang disebabkan iskemik miokard akut. Iskemik akut disebabkan, namun tidak selalu, oleh karena ruptur plak aterosklerosis, fisura, erosi, atau kombinasi proses thrombosis intrakoroner, dan berhubungan dengan peningkatan kematian otot jantung (infark) yang terdiri dari infark miokard akut elevasi segmen ST (IMA-STE), infark miokard non elevasi segmen ST (IMA-NSTE), dan angina pektoris tidak stabil. Mengenal penderita dengan SKA sangatlah penting di suatu unit gawat darurat rumah sakit (RS) dan harus dilakukan triase dengan melakukan pemeriksaan elektrokardiografi (EKG) dan interpretasi yang akurat dalam waktu 10 menit sehingga diperoleh penanganan yang tepat (Bender, 2011; Fuster, 2012). 2.2.1. Diagnosis Sindrom Koroner Akut Diagnosis IMA STE ditegakkan apabila dijumpai nyeri dada khas infark, elevasi segmen ST yang persisten atau dijumpai left bundle branch block (LBBB) yang dianggap baru, peningkatan enzim jantung serial akibat nekrosis miokard (CKMB dan troponin) dan dijumpai abnormalitas wall motion regional yang baru pada pemeriksaan ekokardiografi (Van de Werf, 2008). SKA yang tidak disertai dengan elevasi segmen ST digolongkan menjadi angina pektoris tidak stabil dan IMA NSTE. Jika dijumpai peningkatan enzim jantung, maka penderita digolongkan ke dalam IMA NSTE dan jika enzim jantung normal maka kondisi ini disebut angina pektoris tidak stabil (Van de Werf, 2008; Bender, 2011; Antman, 2008). Universitas Sumatera Utara Gambar 2.14. Diagnosis SKA (Fuster, 2012) 2.3. Kerangka Teori Infark Miokard Inflamasi Sistemik Inflamasi sitokin ↑ Peroksinitrit ↑NO ↑, iNOS Vasodilatasi SVR ↓ Disfungsi miokard CO ↓, SV ↓ Perfusi koroner ↓ LVEDP ↓, udem paru Perfusi sistemik ↓ Hipoksia Hipotensi Iskemia Kompensasi Vasokonstriksi Kematian Gambar 2.15. Diagram kerangka teori, NO = nictric oxide; iNOS = inducible nitric oxide synthase; SVR = systemic vascular resisitance; LVEDP = left ventricle end diastolic pressure; CO = cardiac output; SV = stroke volume. Universitas Sumatera Utara 2.4. Kerangka Konsep Penderita dengan diagnosis STEMI onset < 12 jam UGD RSHAM Pengukuran tekanan darah sistolik : grup I TDS 90-139 mmHg, grup II TDS 140-180 mmHg Manifestasi klinis : killip, denyut jantung Kematian di RS Gambar 2.16. Diagram kerangka konsep Universitas Sumatera Utara