LEMBAGA UPAYA PAKSA DALAM PUTUSAN PENGADILAN TATA USAHA NEGARA (PTUN) Oleh : Indriati Amarini Abstrak Memasuki usia Pengadilan Tata Usaha Negara yang ke 15 tahun sejak kelahirannya 1991 yang lalu, lembaga ini masih juga belum bertaring. Meski Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 Tentang Pengadilan Tata Usaha Negara telah direvisi dengan keluarnya Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 yang mengamandemen Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 dengan menambahkan lembaga upaya paksa. Hal inipun belum dapat dilaksanakan karena belum ada aturan tentang penerapan upaya paksa. Kata Kunci : Upaya Paksa dalam putusan PTUN A. PENDAHULUAN Undang-Undang Dasar 1945 menentukan bahwa kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka yang dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan dibawahnya untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. Berdasarkan amanat Undang-Undang Dasar 1945 tersebut membawa konsekwensi perlunya pembentukan atau perubahan seluruh perundang-undangan di bidang kekuasaan kehakiman. Perubahan dimaksud dalam rangka memperkuat prinsip kekuasaan kehakiman yang merdeka dan bebas dari pengaruh kekuasaan lainnya dalam menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. Pembentukan peraturan perundang-undangan di bidang kekuasaan kehakiman yang telah dilakukan adalah dengan disahkannya Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman sebagai pengganti Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 1999. Disamping itu telah diubah pula Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung dengan dikeluarkannya UndangUndang Nomor 5 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung. Sehubungan dengan hal tersebut, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 yang merupakan salah satu undang-undang yang mengatur lingkungan peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung perlu pula dilakukan perubahan seiring dengan perkembangan tuntutan masyarakat. Perubahan secara umum atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara pada dasarnya untuk menyesuaikan terhadap Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman dan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang Perubahan atas UndangUndang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung. Perubahan penting lainnya atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara dapat dilihat sebagai berikut : 1. Syarat untuk menjadi Hakim dalam pengadilan di lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara ; 2. Batas umur pengangkatan Hakim dan pemberhentian Hakim ; 3. Pengaturan tata cara pengangkatan dan pemberhentian Hakim ; 4. Pengaturan pengawasan terhadap Hakim ; 5. Penghapusan ketentuan hukum acara yang mengatur masuknya pihak ketiga dalam suatu sengketa ; 6. Adanya sanksi terhadap pejabat karena tidak dilaksanakannya putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Berdasarkan uraian tersebut di atas, penulis mencoba mengangkat permasalahan-permasalah disekitar pelaksanaan penerapan lembaga upaya paksa kepada para pejabat yang tidak melaksanakan putusan Pengadilan Tata Usaha Negara yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. B. PEMBAHASAN Pengadilan Tata Usaha Negara merupakan suatu terobosan dalam masyarakat yang menganggap tidak mengenal adanya ruang gerak hukum untuk mengadili pejabat. Meskipun suatu terobosan namun tidaklah sebesar yang dibayangkan kebanyakan orang. Kebanyakan orang beranggapan dengan adanya lembaga ini maka semua sengketa tata usaha negara dapat diajukan ke Pengadilan Tata Usaha Negara. Sebelum seseorang mengajukan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara ada dua hal yang perlu diperhatikan yaitu : Pertama : masalah tenggang waktu pengajuan gugatan sebagaimana tertuang dalam Pasal 55 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986. Dimana gugatan dapat diajukan hanya dalam tenggang waktu sembilan puluh hari terhitung sejak saat diterimanya atau diumumkannya Keputusan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara. Kedua : masalah upaya administratif sebagaimana yang telah diatur dalam Pasal 48 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986. Apabila Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara diberi wewenang oleh atau berdasarkan peraturan perundang-undangan untuk menyelesaikan secara administrasi sengketa Tata Usaha Negara tertentu, maka sengketa tersebut harus diselesaikan melalui upaya administratif yang tersedia dan Pengadilan Tata Usaha Negara baru berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan sengketa jika seluruh upaya administratif yang bersangkutan telah digunakan. Selain itu apa yang dimaksud dengan sengketa Tata Usaha Negara yang merupakan kompetensi absolut Pengadilan Tata Usaha Negara juga harus diperhatikan karena dapat mengakibatkan gugatan dinyatakan tidak dapat diterima atau tidak berdasar (dismissed). Adapun pengertian Sengketa Tata Usaha Negara adalah sengketa yang timbul dalam bidang Tata Usaha Negara antara orang atau badan hukum perdata dengan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara, baik di pusat maupun di daerah, sebagai akibat dikeluarkannya Keputusan Tata Usaha Negara, termasuk sengketa kepegawaian berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Berdasarkan pengertian sengketa tata usaha negara diatas maka ada dua unsur sengketa tata usaha negara yaitu, Pertama : subyek yang bersengketa yaitu pihak penggugat adalah orang atau badan hukum perdata dan tergugat adalah selalu badan atau pejabat tata usaha negara. Kedua : obyeknya adalah Keputusan Tata Usaha Negara. Apabila melihat kompetensi Pengadilan Tata Usaha Negara di atas, hanya terbatas pada keputusan badan atau pejabat tata usaha negara yang tertulis, bahkan batasan ini lebih dipersempit dengan adanya kriteria bahwa keputusan tersebut harus bersifat konkrit, individual dan final yang menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata. Disamping adanya upaya mempersempit pengertian keputusan tata usaha negara tadi, memang juga ada upaya untuk memperluas yaitu terdapat pada Pasal 3 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 yang berbunyi : apabila badan atau pejabat tata usaha negara tidak mengeluarkan keputusan, sedangkan hal ini menjadi kewajibannya maka hal itu disamakan dengan keputusan tata usaha negara. Selain itu juga memo atau nota bisa dimasukkan dalam pengertian tata usaha negara asalkan jelas isinya dan kepada siapa memo atau nota tersebut ditujukan. Penilaian badan peradilan inipun hanya dari segi hukumnya (rechmatigheid) saja. Sedangkan alasan-alasan yang dapat digunakan sebagaimana diatur dalam Pasal 53 Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 sebagai berikut : a. Keputusan Tata Usaha Negara yang digugat itu bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku a. Keputusan Tata Usaha Negara yang digugat itu bertentangan dengan asas-asas umum pemerintahan yang baik Pembuat undang-undang memasukkan Pasal 53 ayat (2) huruf b dan c yaitu larangan De tournement de pouvoir dan melanggar larangan willekeur dalam satu ketentuan yaitu keputusan tata usaha negara yang digugat itu bertentangan dengan asas-asas umum pemerintahan yang baik (AAUPB). Alasan-alasan inilah yang digunakan untuk menggugat dan merupakan dasar-dasar (kriteria atau ukuran) untuk menguji (toetsinggronden) bagi hakim Pengadilan Tata Usaha Negara pada waktu menilai apakah keputusan yang disengketakan itu bersifat melawan hukum atau tidak. Berkaitan dengan penerapan asas-asas umum pemerintahan yang baik atau AAUPB sebagaimana diatur Pasal 53 ayat (2) Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004, ditentukan sebagai berikut : a. Apabila Hakim menerapkan AAUPB sebagai alat Penguji, harus disebutkan asas mana dari AAUPB yang dipakai untuk menguji keabsahan keputusan tata usaha negara tersebut di dalam pertimbangan hukum dan amar putusan b. Dalam hal hakim menerapkan AAUPB sebagai alat untuk menguji, hakim mengacu pada AAUPB sebagaimana dimaksud dalam penjelasan pasal 53 ayat 2 huruf b Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara. Namun untuk terwujudnya rasa keadilan bagi pencari keadilan jika hakim tidak menemukan AAUPB mana yang akan dipakai sebagai alat penguji keabsahan keputusan tata usaha negara pada penjelasan pasal tersebut, maka dengan mendasarkan pada ketentuan Pasal 28 ayat (1) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, hakim mencari dan menemukan AAUPB yang lain untuk dipakai sebagai alat penguji keabsahan dan untuk membatalkan keputusan tata usaha negara (Rakernas Teknis Peradilan Mahkamah Agung RI 18-22 September 2005). Berkaitan dengan putusan Pengadilan Tata Usaha Negara, berdasarkan ketentuan Pasal 97 ayat 7 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 dapat berupa : 1. Gugatan ditolak 2. Gugatan tidak diterima 3. Gugatan dinyatakan gugur 4. Gugatan dikabulkan Apabila gugatan itu ditolak, tidak diterima dan dinyatakan gugur maka tidak diperlukan follow up. Sedangkan apabila gugatan dikabulkan, dapat berupa pembatalan untuk seluruhnya atau sebagian dari keputusan Tata Usaha Negara yang digugat. Selanjutnya menurut ketentuan Pasal 97 ayat 8 dijelaskan bahwa dalam hal guigatan dikabulkan, maka dalam putusan Pengadilan dapat ditetapkan kewajiban yang harus dilaksanakan oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang mengeluarkan dapat berupa : 1. Pencabutan Keputusan Tata Usaha Negara yang bersangkutan, 2. Pencabutan Keputusan Tata Usaha Negara yang bersangkutan dan menerbitkan Keputusan Tata Usaha Negara yang baru 3. Penerbitan Keputusan Tata Usaha Negara dalam hal gugatan didasarkan Pasal 3 Pengadilan Tata Usaha Negara dalam hal ini tidak berwenang untuk mengeluarkan sesuatu keputusan Tata Usaha Negara karena exclusievly merupakan wewenang Pemerintah. Oleh karena itu pada akhirnya putusan Pengadilan itu harus dilaksanakan oleh pemerintah. Demikian pula dalam hal suatu Keputusan Tata Usaha Negara yang telah dibatalkan harus dihapuskan, dimana keputusan yang dinyatakan batal itu masih harus dicabut oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang mengeluarkan. Jadi dalam diktum putusan Pengadilan hanya memuat perintah agar keputusan Tata Usaha Negara yang disengketakan dan dinyatakan tidak sah itu dicabut. Mengenai permasalahan ini, undang-undang memberikan jalan keluar bahwa dalam waktu 4 (empat) bulan setelah putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, tergugat tidak melaksanakan kewajibannya maka Keputusan Tata Usaha Negara yang disengketakan itu tidak mempunyai kekuatan hukum lagi.Tetapi ketentuan ini tidak menampung pelaksanaan kasus apabila Tergugat dibebani kewajiban untuk mencabut keputusan tata usaha negara yang bersangkutan dan menerbitkan keputusan yang baru. Dengan hilangnya keputusan yang lama saja sebenarnya tidak cukup. Selanjutnya bagaimana kita memperoleh kepastian dilaksanakannya putusan Pengadilan apabila Tergugat tidak dengan sukarela melaksanakan putusan Pengadilan. Mengenai permasalahan ini, berdasarkaan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 jo. Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 memberikan ketentuan yaitu : apabila dalam hal Tergugat ditetapkan harus melaksanakan kewajibannya dan kemudian setelah 3 (tiga) bulan ternyata kewajiban tersebut tidak dilaksanakannya, Penggugat mengajukan permohonan kepada Ketua Pengadilan agar memerintahkan Tergugat melaksanakan putusan Pengadilan. Apabila Tergugat tidak bersedia melaksanakan putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, terhadap pejabat yang bersangkutan dikenakan upaya paksa berupa pembayaran sejumlah uang paksa dan/atau sanksi administratif Pejabat yang tidak melaksanakan putusan pengadilan sebagaimana di atas, diumumkan pada media massa cetak setempat oleh Panitera. Berdasarkan hal tersebut, yang sebenarnya memerlukan eksekusi adalah kewajiban-kewajiban yang dibebankan kepada Tergugat atau Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang mengeluarkan keputusan Tata Usaha Negara seperti yang diatur dalam Pasal 97 ayat 8, 9. 10 dan 11. Salah satu materi yang diamandemen adalah permasalahan eksekusi putusan Pengadilan Tata Usaha Negara. Hal ini dikarenakan kelancaran jalannya eksekusi putusan Pengadilan Tata Usaha Negara sebagaimana ditentukan dalam Pasal 116 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 akan sangat tergantung pada kesadaran sukarela serta sikap dan perilaku dari seluruh jajaran pemerintah (Pasal 116 s/d Pasal 119) dan nampaknya pembuat undang-undang belum sampai hati memberikan posisi yang lebih kuat pada pencari keadilan (Indroharto, 1993: 245). Mengenai permasalahan eksekusi putusan Pengadilan Tata Usaha ini, ada fakta banyak pejabat yang tidak melaksanakan putusan Pengadilan Tata Usaha Negara. Berdaasarkan penelitian tahun 2004 lalu dari 180 putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Medan yang memiliki kekuatan tetap dan nilai eksekusi, hanya sekitar 28,59 % putusan yang dilaksanakan oleh Tergugat atau Pejabat (Kompas, Jumat 13 Januari 2006). Ketentuan normatif tentang upaya paksa sebagaimana diuraikan di atas, diatur dalam Pasal 116 ayat (4) Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 yaitu dalam hal tergugat tidak bersedia melaksanakan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, terhadap pejabat yang bersangkutan dikenakan upaya paksa berupa pembayaran sejumlah uang paksa dan/atau sanksi administratif. Dalam ayat (5) mengatur bahwa Pejabat yang tidak melaksanakan putusan pengadilan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diumumkan pada media massa cetak setempat oleh Panitera sejak tidak terpenuhinya ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3). Berdasarkan Pasal tersebut di atas, ada 3 (tiga) upaya paksa dalam Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 yaitu perintah membayar uang paksa atau dwangsom, sanksi administratif dan pemberitahuan di media cetak setempat atau asas publikasi putusan yang tidak dilaksanakan. Dari ketiga jenis upaya paksa tersebut diatas, baru dua yang dapat dilaksanakan yaitu pemberitahuan di media cetak dan sanksi administratif (khususnya untuk pegawai negeri sipil) sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 30 Tahun 1980 tentang Disiplin Pegawai Negeri Sipil. Sanksi membayar uang paksa atau dwangsom belum bisa dilaksanakan karena belum ada Peraturan Pemerintah yang mengatur tentang cara pembayaran uang paksa, siapa yang harus menanggung uang paksa (pejabat yang bersangkutan atau negara) dan untuk siapa uang paksa itu akan diberikan. Mengenai upaya paksa yang berupa Pengumuman pejabat yang tidak melaksanakan putusan pengadilan dalam media massa bisa diterapkan atas biaya pemohon eksekusi. Adapun contoh pengumuman di media massa sebagai berikut : (Varia Peradilan Tahun Ke XX No. 240 September 2005). PENGUMUMAN Jurusita/Jurusita Pengganti Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta berdasarkan Penetapan Ketua Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta Nomor ……..tanggal……tahun……….dengan ini mengumumkan bahwa : 1………..(Nama dan Jabatan Tergugat) telah dihukum : (kutip amar putusan) berdasarkan putusan Pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap (dalam hal ini Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta No…….jo Putusan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara Jakarta No. ….Putusan Mahkamah Agung RI No…..Putusan Peninjauan Kembali….) 2. Putusan Pengadilan tersebut sampai dengan lewat batas tenggang waktu sebagaimana dimaksud oleh Pasal 116 ayat (5) Undan-Undang Nomor 9 Tahun 2004 belum dilaksanakan oleh…..(Nama dan Jabatan Tergugat) Demikian agar diketahui masyarakat Jakarta, 2006 JURUSITA/JURUSITA PENGGANTI PENGADILAN TATA USAHA NEGARA JAKARTA …………………………….. NIP. Mengenai teknis pelaksanaan upaya paksa terhadap eksekusi putusan dilakukan oleh Jurusita. Lembaga jurusita dalam Amandemen Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 yaitu Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 dihidupkan kembali sebagaimana diatur dalam Pasal 39A sampai Pasal 39E. Adapun Tugas pokok dan fungsi Jurusita/Jurusita Pengganti sebagai berikut : 1. Menyampaikan surat-surat berupa : Panggilan-panggilan sidang Pemberitahuan putusan Teguran/peringatan (Aanmaning) Dan surat-surat lain 2. Melaksanakan upaya paksa terhadap eksekusi putusan atas perintah dan di bawah pengawaan Ketua Pengadilan Melaksanakan pengenaan upaya paksa Mengumumkan di dalam media massa cetak setempat nama dan jabatan Tergugat yang tidak melaksanakan putusan Melaksanakan tugas yang berkaitan dengan pengenaan sanksi administratif dan sebagainya 3. Menandatangani berita acara pelaksanaan upaya paksa terhadap eksekusi putusan 4. Memberitahukan pelaksanaan upaya paksa kepada Penggugat, Tergugat, dan atasan Tergugat dan pihak terkait. Sedangkan tanggung jawab Jurusita adalah bertanggungjawab atas penyelesaian tugas pokok sebagaimana diuraikan di atas (Varia Peradilan Tahun XX No. 240 September 2005) Pembentukan lembaga upaya paksa ini bertujuan agar lembaga Pengadilan Tata Usaha Negara dapat lebih berpihak pada masyarakat pencari keadilan . Hal ini dikarenakan ada suatu fenomena dalam masyarakat enggan untuk mengajukan perkara ke Pengadilan Tata Usaha Negara. Hal ini bisa dilihat dari fakta dimana terjadi penurunan jumlah perkara yang masuk ke Pengadilan Tata Usaha Negara. Data di Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta menunjukkan tahun 2001 jumlah perkara yang masuk mencapai 225 kasus. Pada 2002 terdapat perkara masuk 222 kasus, disusul 226 pada tahun 2003. Sedangkan pada tahun 2004 mulai menurun menjadi sebanyak 177 kasus. Penurunan semakin besar pada tahun 2005 yaitu 155 kasus (Kompas, 13 Januari 2006). Penurunan jumlah perkara ini juga terjadi pada Pengadilan Tata Usaha Negara yang lain. Mengenai penyebab penurunan jumlah perkara yang masuk ke Pengadilan Tata Usaha Negara belum dapat diketahui secara pasti akan tetapi perlu ada upaya untuk membuat putusan lembaga ini lebih bermanfaat bagi para pencari keadilan. Oleh karena itu diharapkan pemerintah segera menerbitkan Peraturan Pemerintah yang mengatur lebih lanjut pelaksanaan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004. Dengan diterbitkan peraturan pelaksananya diharapkan lembaga upaya paksa dapat diterapkan dengan baik sebagaimana amanat dari perubahan Undang-Undang Nomor 5 Tahun `1986. C. SIMPULAN Dalam negara hukum yang menjunjung tinggi prinsip “the rule of law” maka negara harus menjunjung tinggi hak-hak asasi manusia, menjunjung tinggi legalitas hukum dan keharusan adanya badan peradilan bebas yang mempunyai kewenangan mengadakan penilaian terhadap perbuatan-perbuatan yang dilakukan oleh penguasa (pejabat). Apabila kita berpijak pada prinsip-prinsip negara hukum, Pengadilan Tata Usaha Negara merupakan lembaga yuridis yang seharusnya mampu memaksa pejabat untuk secara konsisten dan konsekwen melandaskan setiap tindakan dan kebijakannya atas hukum. Memasuki usia ke lima belas tahun, Pengadilan Tata Usaha Negara masih belum bertaring. Meskipun Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 telah direvisi dengan mengadakan perubahan beberapa pasal dalam Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004. Salah satu penambahan dengan diadakannya upaya paksa. Ada tiga macam upaya paksa sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 yaitu membayar uang paksa atau dwangsom, sanksi administratif dan pemberitahuan di media cetak setempat. D. DAFTAR PUSTAKA Indroharto, 1994, Usaha Memahami Undang-Undang Tentang Peradilan Tata Usaha Negara Buku I Pengertian Dasar Hukum Tata Usaha Negara, Jakarta, Pustaka Sinar Harapan -----------, 1993, Usaha Memahami Undang-Undang Tentang Peradilan Tata Usaha Negara Buku II Beracara Di Pengadilan Tata Usaha Negara, Jakarta, Pustaka Sinar Harapan Setiadi, Wicipto, 1994, Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara Suatu Perbandingan, Jakarta, Raja Graffindo Persada Ikatan Hakim Indonesia, Varia Peradilan, Tahun XX No. 240 September 2005 Peraturan Perundang-undangan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 Tentang Perubahan Atas UndangUndang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara BIODATA Indriati Amarini, lahir di Purwokerto 20 Agustus 1969, memperoleh gelar Sarjana Hukum Universitas Jenderal Soedirman (UNSOED) 1993. Diangkat sebagai dosen Kopertis sejak tahun 1994. Menyelesaikan Program Magister Ilmu Hukum di Universitas Diponegoro (UNDIP) tahun 2002 dan sekarang sebagai dosen Kopertis Wilayah VI dipekerjakan pada Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Purwokerto.