lembaga upaya paksa dalam putusan - E

advertisement
LEMBAGA UPAYA PAKSA DALAM PUTUSAN
PENGADILAN TATA USAHA NEGARA (PTUN)
Oleh :
Indriati Amarini
Abstrak
Memasuki usia Pengadilan Tata Usaha Negara yang ke 15 tahun sejak
kelahirannya 1991 yang lalu, lembaga ini masih juga belum bertaring. Meski
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 Tentang Pengadilan Tata Usaha Negara
telah direvisi dengan keluarnya Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 yang
mengamandemen Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 dengan menambahkan
lembaga upaya paksa. Hal inipun belum dapat dilaksanakan karena belum ada
aturan tentang penerapan upaya paksa.
Kata Kunci : Upaya Paksa dalam putusan PTUN
A. PENDAHULUAN
Undang-Undang Dasar 1945 menentukan bahwa kekuasaan kehakiman
merupakan kekuasaan yang merdeka yang dilakukan oleh sebuah Mahkamah
Agung dan badan peradilan dibawahnya untuk menyelenggarakan peradilan
guna menegakkan hukum dan keadilan. Berdasarkan amanat Undang-Undang
Dasar 1945 tersebut membawa konsekwensi perlunya pembentukan atau
perubahan seluruh perundang-undangan di bidang kekuasaan kehakiman.
Perubahan dimaksud dalam rangka memperkuat prinsip kekuasaan kehakiman
yang merdeka dan bebas dari pengaruh kekuasaan lainnya dalam
menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan.
Pembentukan peraturan perundang-undangan di bidang kekuasaan
kehakiman yang telah dilakukan adalah dengan disahkannya Undang-Undang
Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman sebagai pengganti
Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok
Kekuasaan Kehakiman sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang
Nomor 35 Tahun 1999. Disamping itu telah diubah pula Undang-Undang Nomor
14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung dengan dikeluarkannya UndangUndang Nomor 5 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor
14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung.
Sehubungan dengan hal tersebut, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986
yang merupakan salah satu undang-undang yang mengatur lingkungan
peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung perlu pula dilakukan
perubahan seiring dengan perkembangan tuntutan
masyarakat.
Perubahan secara umum atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986
Tentang Peradilan Tata Usaha Negara pada dasarnya untuk menyesuaikan
terhadap Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman
dan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang Perubahan atas UndangUndang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah
Agung.
Perubahan penting lainnya atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986
tentang Peradilan Tata Usaha Negara dapat dilihat sebagai berikut :
1. Syarat untuk menjadi Hakim dalam pengadilan di lingkungan Peradilan
Tata Usaha Negara ;
2. Batas umur pengangkatan Hakim dan pemberhentian Hakim ;
3. Pengaturan tata cara pengangkatan dan pemberhentian Hakim ;
4. Pengaturan pengawasan terhadap Hakim ;
5. Penghapusan ketentuan hukum acara yang mengatur masuknya pihak
ketiga dalam suatu sengketa ;
6. Adanya sanksi terhadap pejabat karena tidak dilaksanakannya putusan
pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.
Berdasarkan uraian tersebut di atas, penulis mencoba mengangkat
permasalahan-permasalah disekitar pelaksanaan penerapan lembaga upaya
paksa kepada para pejabat yang tidak melaksanakan putusan Pengadilan Tata
Usaha Negara yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.
B. PEMBAHASAN
Pengadilan Tata Usaha Negara merupakan suatu terobosan dalam
masyarakat yang menganggap tidak mengenal adanya ruang gerak hukum untuk
mengadili pejabat. Meskipun suatu terobosan namun tidaklah sebesar yang
dibayangkan kebanyakan orang. Kebanyakan orang beranggapan dengan
adanya lembaga ini maka semua sengketa tata usaha negara dapat diajukan ke
Pengadilan Tata Usaha Negara.
Sebelum seseorang mengajukan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha
Negara ada dua hal yang perlu diperhatikan yaitu :
Pertama : masalah tenggang waktu pengajuan gugatan
sebagaimana tertuang dalam Pasal 55 Undang-Undang Nomor 5
Tahun 1986. Dimana gugatan dapat diajukan hanya dalam
tenggang waktu sembilan puluh hari terhitung sejak saat
diterimanya atau diumumkannya Keputusan Badan atau Pejabat
Tata Usaha Negara.
Kedua : masalah upaya administratif sebagaimana yang telah
diatur dalam Pasal 48 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986.
Apabila Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara diberi wewenang
oleh atau berdasarkan peraturan perundang-undangan untuk
menyelesaikan secara administrasi sengketa Tata Usaha Negara
tertentu, maka sengketa tersebut harus diselesaikan melalui upaya
administratif yang tersedia dan Pengadilan Tata Usaha Negara
baru berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan
sengketa jika seluruh upaya administratif yang bersangkutan telah
digunakan.
Selain itu apa yang dimaksud dengan sengketa Tata Usaha Negara yang
merupakan kompetensi absolut Pengadilan Tata Usaha Negara juga harus
diperhatikan karena dapat mengakibatkan gugatan dinyatakan tidak dapat
diterima atau tidak berdasar (dismissed). Adapun pengertian Sengketa Tata
Usaha Negara adalah sengketa yang timbul dalam bidang Tata Usaha Negara
antara orang atau badan hukum perdata dengan Badan atau Pejabat Tata
Usaha Negara, baik di pusat maupun di daerah, sebagai akibat dikeluarkannya
Keputusan Tata Usaha Negara, termasuk sengketa kepegawaian berdasarkan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Berdasarkan pengertian sengketa tata usaha negara diatas maka ada dua
unsur sengketa tata usaha negara yaitu,
Pertama : subyek yang bersengketa yaitu pihak penggugat adalah
orang atau badan hukum perdata dan tergugat adalah selalu
badan atau pejabat tata usaha negara.
Kedua
: obyeknya adalah Keputusan Tata Usaha Negara.
Apabila melihat kompetensi Pengadilan Tata Usaha Negara di atas, hanya
terbatas pada keputusan badan atau pejabat tata usaha negara yang tertulis,
bahkan batasan ini lebih dipersempit dengan adanya kriteria bahwa keputusan
tersebut harus bersifat konkrit, individual dan final yang menimbulkan akibat
hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata.
Disamping adanya upaya mempersempit pengertian keputusan tata usaha
negara tadi, memang juga ada upaya untuk memperluas yaitu terdapat pada
Pasal 3 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 yang berbunyi : apabila badan
atau pejabat tata usaha negara tidak mengeluarkan keputusan, sedangkan hal
ini menjadi kewajibannya maka hal itu disamakan dengan keputusan tata usaha
negara. Selain itu juga memo atau nota bisa dimasukkan dalam pengertian tata
usaha negara asalkan jelas isinya dan kepada siapa memo atau nota tersebut
ditujukan.
Penilaian badan peradilan inipun hanya dari segi hukumnya (rechmatigheid)
saja. Sedangkan alasan-alasan yang dapat digunakan sebagaimana diatur
dalam Pasal 53 Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 sebagai berikut :
a. Keputusan Tata Usaha Negara yang digugat itu bertentangan dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku
a. Keputusan Tata Usaha Negara yang digugat itu bertentangan dengan
asas-asas umum pemerintahan yang baik
Pembuat undang-undang memasukkan Pasal 53 ayat (2) huruf b dan c yaitu
larangan De tournement de pouvoir dan melanggar larangan willekeur dalam
satu ketentuan yaitu keputusan tata usaha negara yang digugat itu bertentangan
dengan asas-asas umum pemerintahan yang baik (AAUPB).
Alasan-alasan inilah yang digunakan untuk menggugat dan merupakan
dasar-dasar (kriteria atau ukuran) untuk menguji (toetsinggronden) bagi hakim
Pengadilan Tata Usaha Negara pada waktu menilai apakah keputusan yang
disengketakan itu bersifat melawan hukum atau tidak.
Berkaitan dengan penerapan asas-asas umum pemerintahan yang baik atau
AAUPB sebagaimana diatur Pasal 53 ayat (2) Undang-Undang Nomor 9 Tahun
2004, ditentukan sebagai berikut :
a. Apabila Hakim menerapkan AAUPB sebagai alat Penguji, harus
disebutkan asas mana dari AAUPB yang dipakai untuk menguji
keabsahan keputusan tata usaha negara tersebut di dalam pertimbangan
hukum dan amar putusan
b. Dalam hal hakim menerapkan AAUPB sebagai alat untuk menguji,
hakim mengacu pada AAUPB sebagaimana dimaksud dalam penjelasan
pasal 53 ayat 2 huruf b Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 tentang
perubahan atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan
Tata Usaha Negara. Namun untuk terwujudnya rasa keadilan bagi
pencari keadilan jika hakim tidak menemukan AAUPB mana yang akan
dipakai sebagai alat penguji keabsahan keputusan tata usaha negara
pada penjelasan pasal tersebut, maka dengan mendasarkan pada
ketentuan Pasal 28 ayat (1) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004
tentang Kekuasaan Kehakiman, hakim mencari dan menemukan AAUPB
yang lain untuk dipakai sebagai alat penguji keabsahan dan untuk
membatalkan keputusan tata usaha negara (Rakernas Teknis Peradilan
Mahkamah Agung RI 18-22 September 2005).
Berkaitan dengan putusan Pengadilan Tata Usaha Negara, berdasarkan
ketentuan Pasal 97 ayat 7 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 dapat berupa :
1. Gugatan ditolak
2. Gugatan tidak diterima
3. Gugatan dinyatakan gugur
4. Gugatan dikabulkan
Apabila gugatan itu ditolak, tidak diterima dan dinyatakan gugur maka tidak
diperlukan follow up. Sedangkan apabila gugatan dikabulkan, dapat berupa
pembatalan untuk seluruhnya atau sebagian dari keputusan Tata Usaha Negara
yang digugat.
Selanjutnya menurut ketentuan Pasal 97 ayat 8 dijelaskan bahwa dalam
hal guigatan dikabulkan, maka dalam putusan Pengadilan dapat ditetapkan
kewajiban yang harus dilaksanakan oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha
Negara yang mengeluarkan dapat berupa :
1. Pencabutan Keputusan Tata Usaha Negara yang bersangkutan,
2. Pencabutan Keputusan Tata Usaha Negara yang bersangkutan dan
menerbitkan Keputusan Tata Usaha Negara yang baru
3. Penerbitan Keputusan Tata Usaha Negara dalam hal gugatan didasarkan
Pasal 3
Pengadilan Tata Usaha Negara dalam hal ini tidak berwenang untuk
mengeluarkan sesuatu keputusan Tata Usaha Negara karena exclusievly
merupakan wewenang Pemerintah. Oleh karena itu pada akhirnya putusan
Pengadilan itu harus dilaksanakan oleh pemerintah. Demikian pula dalam hal
suatu Keputusan Tata Usaha Negara yang telah dibatalkan harus dihapuskan,
dimana keputusan yang dinyatakan batal itu masih harus dicabut oleh Badan
atau Pejabat Tata Usaha Negara yang mengeluarkan. Jadi dalam diktum
putusan Pengadilan hanya memuat perintah agar keputusan Tata Usaha Negara
yang disengketakan dan dinyatakan tidak sah itu dicabut.
Mengenai permasalahan ini, undang-undang memberikan jalan keluar
bahwa dalam waktu 4 (empat) bulan setelah putusan pengadilan yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap, tergugat tidak melaksanakan kewajibannya
maka Keputusan Tata Usaha Negara yang disengketakan itu tidak mempunyai
kekuatan hukum lagi.Tetapi ketentuan ini tidak menampung pelaksanaan kasus
apabila Tergugat dibebani kewajiban untuk mencabut keputusan tata usaha
negara yang bersangkutan dan menerbitkan keputusan yang baru. Dengan
hilangnya keputusan yang lama saja sebenarnya tidak cukup.
Selanjutnya bagaimana kita memperoleh kepastian dilaksanakannya
putusan Pengadilan apabila Tergugat tidak dengan sukarela melaksanakan
putusan Pengadilan. Mengenai permasalahan ini, berdasarkaan Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1986 jo. Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 memberikan
ketentuan yaitu :



apabila dalam hal Tergugat ditetapkan harus melaksanakan kewajibannya
dan kemudian setelah 3 (tiga) bulan ternyata kewajiban tersebut tidak
dilaksanakannya, Penggugat mengajukan permohonan kepada Ketua
Pengadilan agar memerintahkan Tergugat melaksanakan putusan
Pengadilan.
Apabila Tergugat tidak bersedia melaksanakan putusan Pengadilan yang
telah memperoleh kekuatan hukum tetap, terhadap pejabat yang
bersangkutan dikenakan upaya paksa berupa pembayaran sejumlah uang
paksa dan/atau sanksi administratif
Pejabat yang tidak melaksanakan putusan pengadilan sebagaimana di
atas, diumumkan pada media massa cetak setempat oleh Panitera.
Berdasarkan hal tersebut, yang sebenarnya memerlukan eksekusi adalah
kewajiban-kewajiban yang dibebankan kepada Tergugat atau Badan atau
Pejabat Tata Usaha Negara yang mengeluarkan keputusan Tata Usaha
Negara seperti yang diatur dalam Pasal 97 ayat 8, 9. 10 dan 11.
Salah satu materi yang diamandemen adalah permasalahan eksekusi
putusan Pengadilan Tata Usaha Negara. Hal ini dikarenakan kelancaran
jalannya eksekusi putusan Pengadilan Tata Usaha Negara sebagaimana
ditentukan dalam Pasal 116 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 akan sangat
tergantung pada kesadaran sukarela serta sikap dan perilaku dari seluruh jajaran
pemerintah (Pasal 116 s/d Pasal 119) dan nampaknya pembuat undang-undang
belum sampai hati memberikan posisi yang lebih kuat pada pencari keadilan
(Indroharto, 1993: 245).
Mengenai permasalahan eksekusi putusan Pengadilan Tata Usaha ini, ada
fakta banyak pejabat yang tidak melaksanakan putusan Pengadilan Tata Usaha
Negara. Berdaasarkan penelitian tahun 2004 lalu dari 180 putusan Pengadilan
Tata Usaha Negara Medan yang memiliki kekuatan tetap dan nilai eksekusi,
hanya sekitar 28,59 % putusan yang dilaksanakan oleh Tergugat atau Pejabat
(Kompas, Jumat 13 Januari 2006).
Ketentuan normatif tentang upaya paksa sebagaimana diuraikan di atas,
diatur dalam Pasal 116 ayat (4) Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 yaitu
dalam hal tergugat tidak bersedia melaksanakan putusan pengadilan yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap, terhadap pejabat yang bersangkutan
dikenakan upaya paksa berupa pembayaran sejumlah uang paksa dan/atau
sanksi administratif. Dalam ayat (5) mengatur bahwa Pejabat yang tidak
melaksanakan putusan pengadilan sebagaimana dimaksud pada ayat (4)
diumumkan pada media massa cetak setempat oleh Panitera sejak tidak
terpenuhinya ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3). Berdasarkan
Pasal tersebut di atas, ada 3 (tiga) upaya paksa dalam Undang-Undang Nomor
9 Tahun 2004 yaitu perintah membayar uang paksa atau dwangsom, sanksi
administratif dan pemberitahuan di media cetak setempat atau asas publikasi
putusan yang tidak dilaksanakan.
Dari ketiga jenis upaya paksa tersebut diatas, baru dua yang dapat
dilaksanakan yaitu pemberitahuan di media cetak dan sanksi administratif
(khususnya untuk pegawai negeri sipil) sebagaimana diatur dalam Peraturan
Pemerintah Nomor 30 Tahun 1980 tentang Disiplin Pegawai Negeri Sipil. Sanksi
membayar uang paksa atau dwangsom belum bisa dilaksanakan karena belum
ada Peraturan Pemerintah yang mengatur tentang cara pembayaran uang
paksa, siapa yang harus menanggung uang paksa (pejabat yang bersangkutan
atau negara) dan untuk siapa uang paksa itu akan diberikan.
Mengenai upaya paksa yang berupa Pengumuman pejabat yang tidak
melaksanakan putusan pengadilan dalam media massa bisa diterapkan atas
biaya pemohon eksekusi. Adapun contoh pengumuman di media massa
sebagai berikut : (Varia Peradilan Tahun Ke XX No. 240 September 2005).
PENGUMUMAN
Jurusita/Jurusita Pengganti Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta
berdasarkan Penetapan Ketua Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta
Nomor ……..tanggal……tahun……….dengan ini mengumumkan bahwa :
1………..(Nama dan Jabatan Tergugat) telah dihukum : (kutip amar
putusan)
berdasarkan putusan Pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap
(dalam hal ini Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta No…….jo
Putusan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara Jakarta No. ….Putusan
Mahkamah Agung RI No…..Putusan Peninjauan Kembali….)
2. Putusan Pengadilan tersebut sampai dengan lewat batas tenggang
waktu sebagaimana dimaksud oleh Pasal 116 ayat (5) Undan-Undang
Nomor 9 Tahun 2004 belum dilaksanakan oleh…..(Nama dan Jabatan
Tergugat)
Demikian agar diketahui masyarakat
Jakarta,
2006
JURUSITA/JURUSITA PENGGANTI
PENGADILAN TATA USAHA NEGARA
JAKARTA
……………………………..
NIP.
Mengenai teknis pelaksanaan upaya paksa terhadap eksekusi putusan
dilakukan oleh Jurusita. Lembaga jurusita dalam Amandemen Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1986 yaitu Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 dihidupkan
kembali sebagaimana diatur dalam Pasal 39A sampai Pasal 39E. Adapun Tugas
pokok dan fungsi Jurusita/Jurusita Pengganti sebagai berikut :
1. Menyampaikan surat-surat berupa :




Panggilan-panggilan sidang
Pemberitahuan putusan
Teguran/peringatan (Aanmaning)
Dan surat-surat lain
2. Melaksanakan upaya paksa terhadap eksekusi putusan atas perintah
dan di bawah pengawaan Ketua Pengadilan



Melaksanakan pengenaan upaya paksa
Mengumumkan di dalam media massa cetak setempat nama dan jabatan
Tergugat yang tidak melaksanakan putusan
Melaksanakan tugas yang berkaitan dengan pengenaan sanksi
administratif dan sebagainya
3. Menandatangani berita acara pelaksanaan upaya paksa terhadap
eksekusi putusan
4. Memberitahukan pelaksanaan upaya paksa kepada Penggugat,
Tergugat, dan atasan Tergugat dan pihak terkait.
Sedangkan tanggung jawab Jurusita adalah bertanggungjawab atas
penyelesaian tugas pokok sebagaimana diuraikan di atas (Varia Peradilan
Tahun XX No. 240 September 2005)
Pembentukan lembaga upaya paksa ini bertujuan agar lembaga
Pengadilan Tata Usaha Negara dapat lebih berpihak pada masyarakat pencari
keadilan . Hal ini dikarenakan ada suatu fenomena dalam masyarakat enggan
untuk mengajukan perkara ke Pengadilan Tata Usaha Negara. Hal ini bisa dilihat
dari fakta dimana terjadi penurunan jumlah perkara yang masuk ke Pengadilan
Tata Usaha Negara. Data di Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta
menunjukkan tahun 2001 jumlah perkara yang masuk mencapai 225 kasus.
Pada 2002 terdapat perkara masuk 222 kasus, disusul 226 pada tahun 2003.
Sedangkan pada tahun 2004 mulai menurun menjadi sebanyak 177 kasus.
Penurunan semakin besar pada tahun 2005 yaitu 155 kasus (Kompas, 13
Januari 2006). Penurunan jumlah perkara ini juga terjadi pada Pengadilan Tata
Usaha Negara yang lain.
Mengenai penyebab penurunan jumlah perkara yang masuk ke Pengadilan
Tata Usaha Negara belum dapat diketahui secara pasti akan tetapi perlu ada
upaya untuk membuat putusan lembaga ini lebih bermanfaat bagi para pencari
keadilan. Oleh karena itu diharapkan pemerintah segera
menerbitkan
Peraturan Pemerintah yang mengatur lebih lanjut
pelaksanaan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004. Dengan diterbitkan
peraturan pelaksananya diharapkan lembaga upaya paksa dapat diterapkan
dengan baik sebagaimana amanat dari perubahan Undang-Undang Nomor 5
Tahun `1986.
C. SIMPULAN
Dalam negara hukum yang menjunjung tinggi prinsip “the rule of law” maka
negara harus menjunjung tinggi hak-hak asasi manusia, menjunjung tinggi
legalitas hukum dan keharusan adanya badan peradilan bebas yang mempunyai
kewenangan mengadakan penilaian terhadap perbuatan-perbuatan yang
dilakukan oleh penguasa (pejabat).
Apabila kita berpijak pada prinsip-prinsip negara hukum, Pengadilan Tata
Usaha Negara merupakan lembaga yuridis yang seharusnya mampu memaksa
pejabat untuk secara konsisten dan konsekwen melandaskan setiap tindakan
dan kebijakannya atas hukum.
Memasuki usia ke lima belas tahun, Pengadilan Tata Usaha Negara masih
belum bertaring. Meskipun Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 telah direvisi
dengan mengadakan perubahan beberapa pasal dalam Undang-Undang Nomor
9 Tahun 2004. Salah satu penambahan dengan diadakannya upaya paksa. Ada
tiga macam upaya paksa sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 9
Tahun 2004 yaitu membayar uang paksa atau dwangsom, sanksi administratif
dan pemberitahuan di media cetak setempat.
D. DAFTAR PUSTAKA
Indroharto, 1994, Usaha Memahami Undang-Undang Tentang Peradilan
Tata Usaha Negara Buku I Pengertian Dasar Hukum Tata Usaha Negara,
Jakarta, Pustaka Sinar Harapan
-----------, 1993, Usaha Memahami Undang-Undang Tentang Peradilan
Tata Usaha Negara Buku II Beracara Di Pengadilan Tata Usaha Negara,
Jakarta, Pustaka Sinar Harapan
Setiadi, Wicipto, 1994, Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara Suatu
Perbandingan, Jakarta, Raja Graffindo Persada
Ikatan Hakim Indonesia, Varia Peradilan, Tahun XX No. 240 September 2005
Peraturan Perundang-undangan
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha
Negara
Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 Tentang Perubahan Atas UndangUndang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara
BIODATA
Indriati Amarini, lahir di Purwokerto 20 Agustus 1969, memperoleh gelar
Sarjana Hukum Universitas Jenderal Soedirman (UNSOED) 1993. Diangkat
sebagai dosen Kopertis sejak tahun 1994. Menyelesaikan Program Magister Ilmu
Hukum di Universitas Diponegoro (UNDIP) tahun 2002 dan sekarang sebagai
dosen Kopertis Wilayah VI dipekerjakan pada Fakultas Hukum Universitas
Muhammadiyah Purwokerto.
Download