PENANGANAN KELUHAN PELANGGAN PADA KASUS INSIDEN TERBAKARNYA TANGAN BAYI DI INKUBATOR RUMAH SAKIT X CUSTOMER COMPLAINT HANDLING IN CASE BABY HAND INCIDENT BURNING IN INCUBATOR X HOSPITAL Irwan Setiabudi, Elsye Maria Rosa Program Studi Manajemen Rumah Sakit universitas Muhammadiyah Yogyakarta Jalan Lingkar Selatan, Tamantirto, Kasihan, Bantul, Yogyakarta 55183 Email : [email protected], [email protected] ABSTRACT There was an incident of burning the hands of the baby in the incubator X hospital on May 26, 2007, which led to complaints and medical disputes. Complaints at the hospital is divided into three phases: the first form of the invention of the burning incident at hand baby incubator, phase II a discovery pain in the baby's head, and a phase III the presence of a reporting by parents of infants related medical disputes to the police. The research is a qualitative case study. Respondents consisted of seven informants. Data validation using triangulation method. This research found complaints phase I is not handled properly. Delay in delivery of information and poor communications staff continues into the cause of complaint. Complaints resolved with an apology, acquisition costs, and homecare. Phase II complaint is not handled properly. Directors who are not sympathetic attitude and making decisions to answer a subpoena late lead to complaints continued. Complaints resolved with a guarantee fee and refer patients. Complaints stage III dealt with negotiations and mediation. Case closed with an issued warrant termination of the investigation by the police and the provision of compensation to the parents of infants. Keywords: complaint handling, incident 1 2 ABSTRAK Terjadi insiden terbakarnya tangan bayi di inkubator RS X pada tanggal 26 Mei 2007 yang menyebabkan keluhan dan sengketa medik. Keluhan pada rumah sakit terbagi dalam tiga tahap yaitu tahap I berupa ditemukannya insiden terbakarnya tangan bayi di inkubator, tahap II berupa ditemukannya sakit di kepala bayi, dan tahap III berupa adanya pelaporan oleh orang tua bayi terkait sengketa medik ke polisi. Jenis penelitian adalah kualitatif studi kasus. Informan terdiri tujuh Responden, Validasi data menggunakan triangulasi metode. Dari penelitian ditemukan keluhan tahap I tidak ditangani dengan baik. Keterlambatan penyampaian informasi dan buruknya komunikasi staf menjadi penyebab keluhan berlanjut. Keluhan diselesaikan dengan permintaan maaf, pembebasan biaya, dan homecare. Keluhan tahap II tidak ditangani dengan baik. Sikap direktur yang tidak simpatik dan terlambat mengambil keputusan menjawab somasi menyebabkan keluhan berlanjut. Keluhan diselesaikan dengan jaminan biaya dan merujuk pasien. Keluhan tahap III ditangani dengan melakukan negosiasi dan mediasi. Kasus ditutup dengan terbitnya surat perintah penghentian penyidikan oleh polisi dan pemberian ganti rugi kepada orang tua bayi. Kata Kunci : penanganan keluhan, insiden 3 PENDAHULUAN Keselamatan (safety) telah menjadi isu global termasuk juga untuk rumah sakit. Keselamatan pasien merupakan prioritas utama untuk dilaksanakan di rumah sakit dan hal itu terkait dengan isu mutu dan citra rumah sakit. Sejak awal tahun 1900, institusi rumah sakit selalu meningkatkan mutu pada tiga elemen yaitu struktur, proses, dan outcome dengan berbagai macam program regulasi yang berwenang misalnya antara lain penerapan Standar Pelayanan Rumah Sakit, ISO, Indikator Klinis dan lain sebagainya. Namun harus diakui, pada pelayanan yang berkualitas masih terjadi Kejadian Tidak Diduga (KTD)1. Di Indonesia, telah dikeluarkan Keputusan Menteri nomor 496/Menkes/SK/IV/2005 tentang pedoman Audit Medis di Rumah Sakit yang bertujuan untuk tercapainya pelayanan medis prima di rumah sakit yang jauh dari insiden dan memberikan keselamatan pada pasien2. Undang-undang Republik Indonesia nomor 44 tahun 2009 tentang rumah sakit pasal 43 juga mengamanahkan bahwa “Rumah sakit wajib menerapkan standar keselamatan pasien”. Keselamatan pasien rumah sakit adalah suatu sistem dimana rumah sakit membuat asuhan pasien lebih aman yang meliputi asesmen risiko, identifikasi dan pengelolaan hal yang berhubungan dengan risiko pasien, pelaporan dan analisis insiden, kemampuan belajar dari insiden dan tindak lanjutnya serta implementasi solusi untuk meminimalkan timbulnya risiko dan mencegah terjadinya cedera yang disebabkan oleh kesalahan akibat melaksanakan suatu tindakan atau tidak mengambil tindakan yang seharusnya diambil3. Hampir setiap tindakan medik di rumah sakit menyimpan potensi resiko. Banyaknya jenis obat, jenis pemeriksaan dan prosedur, jumlah pasien dan staf rumah sakit yang cukup besar merupakan hal yang potensial bagi terjadinya insiden keselamatan pasien. Menurut Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1691/Menkes/PER/VII/2011 tentang Keselamatan Pasien, insiden keselamatan pasien didefinisikan sebagai : “Setiap kejadian yang tidak disengaja dan kondisi yang mengakibatkan atau berpotensi mengakibatkan cedera yang dapat dicegah pada pasien, terdiri dari Kejadian Tidak Diharapkan, Kejadian 4 Nyaris Cedera, Kejadian Tidak Cedera dan Kejadian Potensial Cedera”. Insiden tersebut bisa terjadi dalam tahap diagnosis, tahap pengobatan, tahap preventif, atau pada hal teknis yang lain seperti kegagalan komunikasi, kegagalan alat, atau sistem yang lain3. Ketika terjadi insiden keselamatan pasien, maka kemungkinan mengakibatkan keluhan/komplain pasien. Penelitian sebuah organisasi independen yang mengamati kualitas pelayanan kesehatan dan kesehatan masyarakat di Inggris dan Wales, The Healthcare Commission (HCC)4 menampilkan bahwa dari 16.000 keluhan yang diteliti terbagi atas : 1) keselamatan atas praktek klinik (22 persen), 2) buruknya komunikasi dari provider dan tidak banyak informasi buat pasien (16 persen), 3) praktek klinik yang tidak efektif dan prosedur administrasi (5 persen), 4) penanganan keluhan yang tidak baik (5 persen), 5) pembebasan dan koordinasi perawatan (4 persen), 6) kurangnya kebebasan dan respek (4 persen), 7) sikap staff yang buruk (4 persen), 8) kegagalan untuk mengikuti persetujuan (4 persen), 9) lingkungan yang buruk buat pasien, termasuk tempat yang tidak higienis (3 persen), 10) kurangnya akses dan terjadi perselisihan tentang catatan kesehatan pasien (3 persen). Keluhan pasti ada seberapapun kecilnya dan akan berdampak terhadap jumlah kunjungan dan citra rumah sakit apabila tidak dikelola dengan baik. Penanganan segera terhadap keluhan juga merupakan salah satu strategi reaktif terhadap munculnya risiko yang lebih besar lagi. Menurut Zimowski5 beberapa fakta tentang keluhan di rumah sakit adalah a) setiap satu pasien yang melakukan keluhan, 20 pasien yang tidak puas tidak melakukannya, b) setiap pasien yang tidak melakukan keluhan, 10 persen akan kembali dan 90 persen memilih pindah rumah sakit lain, c) Penanganan yang buruk pada keluhan pasien membutuhkan waktu rata-rata 10 tahun untuk memperbaiki kembali citra rumah sakit. Penanganan keluhan terhadap kasus insiden keselamatan pasien terjadi di Rumah Sakit X. Bentuk insiden adalah terbakarnya tangan bayi di inkubator. Insiden ditemukan pada tanggal 26 Mei 2007 pada pukul 02.30 WIB. Insiden menyebabkan timbulnya keluhan dari orang tua bayi kepada pihak rumah sakit. 5 Penanganan kasus ini berjalan satu tahun lebih yaitu dari bulan Mei 2007 hingga Oktober 2008 dan terbagi dalam tiga tahap penanganan keluhan. Tahap pertama adalah penanganan keluhan yang disebabkan ditemukannya insiden terbakarnya tangan bayi di inkubator. Tahap kedua adalah penanganan keluhan yang disebabkan ditemukannya sakit di kepala bayi. Dan tahap ketiga adalah penanganan keluhan yang disebabkan adanya laporan orang tua bayi ke pihak kepolisian. Insiden tangan bayi terbakar adalah insiden yang jarang terjadi tetapi berdampak besar bagi citra rumah sakit jika tidak dilakukan penanganan segera terhadap keluhan yang disampaikan. Berdasar hal itu maka perlu dilakukan penelitian tentang Penanganan Keluhan Pelanggan pada Kasus Insiden Tangan Bayi Terbakar di Inkubator Rumah Sakit X. Masalah penelitian yang diteliti adalah bagaimana penanganan keluhan pelanggan pada kasus insiden tangan bayi terbakar di inkubator Rumah Sakit X. BAHAN DAN CARA Jenis Penelitian Metode yang digunakan adalah penelitian kualitatif retrospektif dengan desain penelitian studi kasus. Subjek Penelitian 1. Responden/informan Subjek atau informan dalam penelitian ini terdiri dari pihak-pihak yang berpartisipasi aktif dalam penanganan keluhan pada insiden. Informan terdiri dari pihak-pihak yang terkait dan memiliki peran pada saat kasus insiden terjadi hingga terselesaikan yaitu Dokter Penanggung Jawab Pasien (DPJP), Direktur RS X, Bagian Elektromedik, Kepala Kamar Bayi, Wakil Direktur Keuangan, dan Kepala Complaint Center. Untuk melengkapi sudut pandang, informan ditambah dari ahli hukum kesehatan. 2. Sampling Sampling yang digunakan adalah purposive sampling dengan jenis judgment sampling. Ferdinand6 mengungkapkan bahwa judgment sampling dipilih 6 dengan menggunakan pertimbangan tertentu yang disesuaikan dengan tujuan penelitian atau masalah penelitian yang dikembangkan. Instrumen Penelitian Instrumen dalam penelitian ini adalah peneliti sendiri. Artinya peneliti menanyakan penanganan keluhan pelanggan pada kasus insiden terbakarnya tangan bayi didasarkan pada pedoman wawancara yang mengarah pada tujuan penelitian. Analisis Data Analisis data penelitian ini berdasar Denzin dan Lincoln7 yaitu terdiri atas tiga sub-proses yang saling terkait yaitu reduksi data (perangkuman data (data summary), pengodean (coding), merumuskan tema-tema, pengelompokan (clustering), dan penyajian cerita secara tertulis), penyajian data, dan pengambilan kesimpulan/verifikasi. HASIL 1. Profil Bayi Pasien dalam penelitian ini adalah bayi yang dilahirkan di Rumah Sakit X Yogyakarta pada tanggal 10 Mei 2007 secara prematur dengan berat badan lahir rendah (BBLR) yaitu 1500 gram, bayi selanjutnya dirawat di inkubator. Selain premature dengan BBLR, bayi juga mengalami kelainan bawaan lahir (congenital anomaly) akibat terinfeksi cmv (cytomegalovirus) dari ibunya. Infeksi cmv belum ditemukan di RS X, melainkan ketika bayi dirawat di RS JJ pada tahap keluhan kedua (ditemukannya sakit di kepala bayi) 2. Kronologis Insiden Insiden terbakarnya tangan bayi di inkubator ditemukan pada tanggal 26 Mei 2007 pukul 02.30 WIB, sedang monitor terakhir pada bayi pada pukul 01.45 WIB. Sesaat setelah insiden ditemukan, perawat sudah menghubungi dokter jaga UGD, tetapi belum bisa segera datang karena jumlah dokter hanya satu dan belum bisa meninggalkan UGD. Perawat belum berani menghubungi keluarga dikarenakan takut dan belum ada penanganan dari dokter jaga UGD. DPJP Pengganti mengetahui terjadinya insiden setelah ditelepon oleh Kepala Kamar Bayi pada pukul 06.30 WIB, setelah sebelumnya Kepala Kamar 7 Bayi mendapat pemberitahuan melalui telepon oleh koordinator shif malam pada pukul 05.00 WIB. Melalui komunikasi telepon kepala kamar bayi memberi saran agar menghubungi dokter jaga UGD kembali. Pertolongan oleh dokter jaga UGD pada pukul 06.00 WIB. Advise pemberitahuan keluarga pertama kali dikeluarkan oleh DPJP Pengganti, namun Kepala Kamar Bayi mengambil kebijakan untuk tidak menghubungi orang tua melalui telepon melainkan ditunggu kedatangannya pada pukul 09.00 WIB, alasannya adalah karena pada hari sebelumnya ibu bayi sudah bilang akan datang pada pukul 09.00 WIB. Pada pukul 09.00 WIB, Ibu bayi sampai di rumah sakit. Ibu bayi kaget mengetahui kondisi bayinya yang terbakar tangannya, lalu menelepon suaminya. Pihak rumah sakit melakukan pemberitahuan secara lisan tentang terjadinya insiden disertai dengan permintaan maaf. Setelah bapak bayi datang, rumah sakit melalui dokter jaga UGD dan perawat memberi penjelasan secara medis tentang insiden yang terjadi dan kondisi bayi. Penjelasan medis dari dokter dan perawat tidak membuat orang tua bayi puas. Ketika konfirmasi ke perawat dan dokter jaga, pihaknya tidak memperoleh jawaban yang jelas terkait luka bakar yang dialami anaknya, bahkan mereka berbelit-belit. Semula dikatakan akibat korsleting inkubator, tapi kemudian dikatakan akibat ulah tangan si bayi yang menyentuh bagian pemanas inkubator di bagian pinggir karena tidak dilapisi handuk. Gambar 1. Alur kronologis 8 3. Keluhan tahap I (insiden terbakarnya tangan bayi) a. Alasan penyampaian keluhan Keluhan disebabkan oleh ditemukannya insiden keselamatan pasien berupa terbakarnya tangan bayi di inkubator, keterlambatan penyampaian informasi, dan buruknya komunikasi staf. Keterlambatan penyampaian informasi terbagi dua yaitu kepada orang tua bayi dan DPJP pengganti. Karena hal tersebut, orang tua mengajukan keluhan tertulis yaitu kenapa orang tua tidak segera diberitahu padahal kejadian ditemukan dinihari dan kenapa dokter tidak segera visite. Buruknya komunikasi staf terbagi dua yaitu komunikasi dokter jaga UGD dan perawat karena kurangnya informasi penyebab insiden dan komunikasi sekretaris direktur karena kurang respek dan kurang koordinasi. Karena hal tersebut, orang tua bayi mengajukan keluhan tertulis kenapa tidak ada laporan ke atasan, bagaimana dengan kecacatan bayi, bagaimana biaya rumah sakit serta kompensasi. Keluhan tertulis disampaikan pada tanggal 23 Agustus 2007 pukul 14.20 WIB di bagian complain center. b. Akses Media yang digunakan untuk penerimaan akses adalah tatap muka. Tampak ada ketidakpuasan orang tua bayi dari tiap tahapan penerimaan akses keluhannya kepada rumah sakit. Kegagalan bertemu dengan direktur sebagai puncak kekecewaan atas penanganan keluhan tahap I di RS X. Rumah sakit melalui complain center sudah menerima keluhan tertulis c. Investigasi Investigasi kejadian sudah dilakukan tetapi laporan kejadian baru dibuat pada tanggal 28 Mei 2007. Investigasi kejadian dibuat oleh Kepala Kamar Bayi. Laporan disampaikan kepada Direktur RS X. Investigasi alat dilakukan pada pagi hari setelah petugas bagian elektromedik sampai di rumah sakit. Investigasi dilakukan setelah mendapat laporan dari perawat bahwa telah terjadi insiden di inkubator. Investigasi medik belum dilakukan. Hingga bayi pulang, rumah sakit belum melakukan investigasi medik. 9 Orang tua bayi Ya Komplain Puas Perawat dan Dokter Jaga Tidak Direktur Ya Puas Tidak Complaint Center Gambar 2. Alur keluhan tahap I d. Respon Pada tanggal 30 Mei 2007, direktur RS X membuat keputusan pembebasan biaya. Kemudian pada pukul 10.00 WIB di hari yang sama rumah sakit melalui Kepala Complaint Center dan Kepala Kamar bayi memberi penjelasan secara lisan kepada orang tua bayi terkait respon dan keputusan-keputusan yang diambil terhadap tuntutan orang tua bayi. Pada tanggal 31 Mei 2007, rumah sakit membuat permintaan maaf secara tertulis. Permohonan maaf terkait terjadinya insiden terbakarnya tangan bayi. e. Penyelesaian Bayi pulang dari RS X tanggal 9 Juni 2007 atau berusia satu bulan. Keluhan tahap I diselesaikan dengan pemberian kompensasi dan perawatan di rumah (homecare). 10 4. Keluhan tahap II (ditemukan sakit di kepala bayi) a. Alasan penyampaian keluhan Pada awal Agustus 2007, bayi kembali di rawat di RS X disebabkan oleh ditemukannya sakit di kepala bayi. Orang tua berpendapat penyakit di kepala bayi adalah akibat efek dari terjadinya insiden terbakarnya tangan bayi di inkubator pada tanggal 26 Mei 2007. Tuntutan orang tua bayi adalah 1) bayi di rujuk ke RS JJ, 2) Dokter yang menangani adalah dokter spesialis bedah plastik dan konstruksi kulit, dokter spesialis bedah anak, dan dokter spesialis anak, dan 3) pembebasan seluruh biaya perawatan di RS X dan jaminan biaya perawatan di RS JJ. Tuntutan disampaikan saat melakukan pertemuan dengan direktur pada tanggal 6 Agustus 2007. Karena belum ada kejelasan respon dari direktur, pada tanggal 18 Agustus 2007, orang tua bayi mengajukan somasi yang berisi permintaan supaya ada kepastian jawaban dari pihak rumah sakit terkait tuntutan pada tanggal 6 Agustus 2007 dan diberi batas waktu (deadline) hingga tanggal 21 Agustus 2007, apabila tidak ada kepastian jawaban, maka insiden yang dialami oleh bayi mereka akan dilaporkan kepada pihak yang berwajib. b. Akses Pada tanggal 6 Agustus 2007, akses orang tua dalam menyampaikan keluhan kepada Direktur RS X dilakukan secara langsung. Pertemuan antara orang tua dan direktur dilakukan dengan tatap muka. Sedangkan pada tanggal 18 Agustus 2007, orang tua sudah melibatkan pihak baru yaitu pengacara. Akses keluhan dilakukan dalam bentuk surat somasi kepada Direktur RS X. c. Investigasi Investigasi dilakukan oleh Komite Medis RS X dengan melakukan audit medis pada tanggal 8 Agustus 2007. Audit medis dilakukan pada apakah ditemukan prosedur yang salah pada ditemukannya insiden terbakarnya tangan bayi di inkubator. d. Respon Direktur memutuskan untuk memberi jawaban atas somasi yang disampaikan yaitu pembebasan biaya di rumah sakit X pada tanggal 20 11 Agustus 2007. DPJP membuat surat rujukan bayi ke RS JJ pada tanggal 21 Agustus 2007. Direktur RS X memberi jaminan pembiayaan bayi di RS JJ dengan catatan biaya yang terkait dengan peristiwa insiden ditanggung dan selain itu menjadi tanggung jawab orang tua bayi pada tanggal 21 Agustus 2007. Pembuatan keputusan pembebasan biaya, surat rujukan, dan jaminan pembiayan di RS JJ sangat mendekati batas waktu yang ditentukan oleh orang tua bayi dan pengacaranya. Hal ini menyebabkan kemungkinan terbukanya kesalahan dan keterlambatan dalam penyampaian informasi ke pihak terkait. e. Penyelesaian Keluhan tahap II diselesaikan dengan merujuk bayi ke RS JJ pada tanggal 21 Agustus 2007 dan menjamin biaya perawatannya. Bayi pulang dari RS JJ pada tanggal 10 September 2007 atau saat keluhan sudah masuk tahap III. Biaya perawatan selama di RS JJ adalah sebesar dua puluh satu juta rupiah. 5. Keluhan tahap III (adanya laporan orang tua bayi ke polisi) a. Alasan penyampaian keluhan Ketidakpuasan pada penanganan keluhan tahap II menjadi penyebab orang tua bayi melaporkan RS X kepada polisi. Alasannya adalah bahwa upaya penyelesaian kasus secara damai tidak ditanggapi oleh pihak rumah sakit. Tuntutannya adalah kasus ini diselesaikan secara hukum oleh pihak yang berwajib. Selain ke polisi, orang tua bayi menggunakan media massa untuk mengungkapkan rasa kecewanya kepada penanganan keluhan RS X. Judul media massa lebih banyak memberitakan bahwa insiden yang terjadi adalah akibat korsleting inkubator. Laporan ke polisi dan penyampaian ke media massa dilakukan pada tanggal 23 Agustus 2007. Berita yang dimuat di media online akan memiliki masa berita yang panjang dan susah dihapus, sehingga peristiwa insiden tetap bisa dibaca hingga waktu yang tidak bisa ditentukan. 12 b. Akses Akses keluhan yang diberikan rumah sakit adalah melalui tatap muka dengan polisi dan media. Selain tatap muka, akses keluhan juga melalui media surat panggilan dari kepolisian. c. Investigasi Investigasi keluhan tahap III dilakukan dengan investigasi mediko legal dan investigasi hukum. Investigasi mediko legal dilakukan oleh RS, IDI, dan PPNI. Investigasi hukum dilakukan oleh polisi. Investigasi medik dilaksanakan pada tanggal 8 Desember 2007, dan audit keperawatan pada tanggal 14 Januari 2008. Hasilnya adalah tidak tidak ditemukan unsur kelalaian, kesalahan, atau mal praktek medis dan mal praktek keperawatan. Investigasi hukum dilakukan polisi dengan tahapan penyelidikan dan penyidikan. Penyelidikan dimulai dengan menerima pengaduan dan penetapan pasal rujukan. Penyidikan dilakukan dengan pengumpulan alat bukti, penetapan tersangka, dan penerbitan SP3 (Surat Perintah Penghentian Penyidikan). Pengumpulan alat bukti dilakukan dengan meminta keterangan saksi, menyita rekam medis dan inkubator. Pasal rujukan yang dipakai adalah UU no. 29/2004 tentang Praktek Kedokteran Pasal 79 huruf c juncto pasal 518 dan UU no. 8/99 tentang perlindungan konsumen Pasal 62 juncto pasal 8 huruf a9. Keterangan saksi dilakukan dengan memanggil pihak-pihak yang dinilai memiliki keterangan. Surat panggilan pertama disampaikan kepada direktur RS pada tanggal 10 September 2007 untuk menghadap penyidik pada tanggal 15 September 2007. Surat panggilan berikutnya kepada perawat kamar bayi dinas siang dan malam, perawat jaga, kepala kamar bayi, perawat saat insiden (YF dan YM), bagian elektromedik, wadir pelayanan medik, perawat YM, perawat YF, Direktur RS, bagian inventaris, wadir pelayanan medik, dr. TT, Sp.A (DPJP Pengganti), dr. KK, Sp.A (DPJP). Polisi menetapkan tersangka perawat YF pada tanggal 4 Agustus 2008, dan DPJP Pengganti (dr. TT, Sp.A) pada tanggal 11 Agustus 2008. Dan pada tanggal 13 27 September 2008, polisi menerbitkan SP3. Alasan SP3 adalah sesuai SPO tidak cukup bukti. d. Respon Kasus ini berdurasi lebih dari satu tahun. Pada tanggal 16 Juni 2008 terjadi pergantian Direktur RS X. Pergantian ini berarti respon keluhan tahap III terbagi atas dua periodesasi, yaitu direktur lama dan direktur baru. Respon direktur lama dilakukan dengan penggunaan pengacara untuk pendampingan hukum dan negosiasi, mediasi melalui mediator (bupati dan dekan), mengirim alat bukti berupa surat IDI tentang penyakit di kepala bayi tidak terkait dengan insiden. Respon direktur baru dilakukan dengan konsolidasi internal menanggapi status tersangka, negosiasi dengan orang tua bayi, dan mediasi melalui tokoh agama yang dekat dengan orang tua bayi. e. Penyelesaian Keluhan tahap III diselesaikan dengan pemberian ganti rugi kepada orang tua bayi. Ganti rugi yang diberikan berupa uang sebesar seratus juta rupiah. Uang ganti rugi diperoleh dari asuransi profesi DPJP (dr. KK, Sp.A). Secara hukum, kasus ditutup dengan terbitnya SP3 tertanggal 27 September 2008 dengan nomor polisi B/02/IX/2008. f. Perbaikan rumah sakit pasca kasus Dari wawancara dengan direktur RS X, belajar dari insiden perbaikan rumah sakit pasca kasus yang dilakukan adalah 1) perbaikan alat dengan mengganti semua inkubator lama dengan inkubator yang baru, 2) perbaikan penanganan keluhan dengan baik terutama dalam pemberian informasi kepada pasien, 3) perbaikan pengisian berkas rekam medis, 4) dibuat kebijakan untuk dokter mengikuti asuransi profesi, 5) dijalin kerjasama dengan pengacara untuk menangani kasus hukum. 14 PEMBAHASAN 1. Penanganan keluhan tahap I a. Alasan penyampaian keluhan Insiden terbakarnya tangan bayi di inkubator menunjukkan bahwa rumah sakit mengalami masalah dalam program keselamatan pasien (patient safety). Menurut WHO10, keselamatan adalah prinsip dasar perawatan pasien dan komponen penting manajemen mutu. Ditambahkan oleh Depkes RI1, bahwa keselamatan pasien merupakan prioritas utama untuk dilaksanakan di rumah sakit dan hal itu terkait dengan isu mutu dan citra rumah sakit. Namun harus diakui, pada pelayanan yang berkualitas masih terjadi Kejadian Tidak Diduga (KTD). Penanganan keluhan pada insiden di RS X kurang baik disebabkan adanya keterlambatan informasi dan buruknya komunikasi staf. Keterlambatan penyampaian informasi kepada orang tua bayi disebabkan oleh perasaan takut perawat, tidak segeranya dokter jaga UGD melakukan penanganan bayi, tidak dilaksanakannya advise dr TT, Sp.A untuk menghubungi keluarga. Keterlambatan informasi kepada DPJP Pengganti disebabkan oleh waktu respon (respond time) penanganan dokter jaga UGD yang terlalu lama dalam menangani bayi yang mengalami insiden, tidak ditemukan keberadaan dokter jaga ruang rawat inap yang menyebabkan perawat hanya melakukan penyampaian informasi kepada dokter jaga UGD, dan tidak ditemukan catatan penyampaian informasi secara telepon oleh dokter UGD kepada DPJP Pengganti. Buruknya komunikasi staf (dokter jaga UGD dan perawat) akibat kurangnya informasi tentang penyebab insiden. Perbedaan waktu penyampaian informasi dan staf yang melakukan komunikasi dengan orang tua bayi membuka peluang terjadinya kurangnya informasi (the lack of information). Komunikasi serah terima pasien (patient hand-over) menurut WHO11, pastikan bahwa organisasi kesehatan menerapkan pendekatan 15 standar untuk komunikasi serah terima antara staf, perubahan shift, dan antara berbagai unit perawatan pasien dalam proses transfer pasien. Buruknya komunikasi staf (sekretaris direktur) dengan menjawab belum ada laporan ke direktur seharusnya tidak terjadi. Sekretaris direktur seharusnya bisa menjadi penghubung komunikasi antara direktur, kepala kamar bayi, DPJP Pengganti, dan Orang Tua Bayi. Komunikasi bisa dilakukan dengan telepon atau tatap muka dengan unit pelayanan yang menjadi titik keluhan yaitu kamar bayi. Sehingga jawaban bahwa belum ada laporan ke direktur bisa ditata kelola dengan lebih baik. b. Akses Akses antara rumah sakit dan orang tua bayi dalam penanganan keluhan pada kasus ini lebih banyak menggunakan metode tatap muka daripada menggunakan media lain seperti telepon. Alasan pihak rumah sakit (perawat) melakukan pilihan tatap muka sebagai pilihan akses komunikasi karena merasa hubungan ibu bayi dan perawat sudah dekat. Dalam penelusuran peneliti, jarak rumah sakit dengan rumah orang tua bayi bisa ditempuh kendaraan dengan waktu kurang dari satu jam, maka alangkah lebih baik bila rumah sakit menggunakan pilihan tatap muka dengan mengirim staf ke rumah orang tua bayi untuk memberitahukan telah terjadi insiden yang menimpa bayi mereka. c. Investigasi Investigasi medik terhadap keluhan tahap I belum dilakukan oleh komite medis rumah sakit. Peraturan tentang investigasi medik atau audit medik diatur dalam Peraturan Menteri Kesehatan nomor 496 tahun 2005. Dalam pandangan peneliti, investigasi medik semestinya sudah dilakukan pada penanganan keluhan tahap I dengan tujuan untuk mengetahui penyebab terjadinya insiden. Hal ini penting, mengingat orang tua bayi masih belum mendapatkan penyebab insiden. d. Respon Respon rumah sakit adalah dengan memberi penjelasan terkait dengan langkah-langkah yang sudah diambil oleh rumah sakit, mengabulkan 16 permintaan kompensasi berupa pembebasan biaya rumah sakit dan permohonan maaf secara tertulis dari rumah sakit. Commonwealth Ombusdman12, ketika penelitian atas pengaduan selesai, pengadu harus diberitahu secara khusus mengenai hasil penyelidikan, termasuk temuan atau keputusan yang dicapai. Bahkan ketika aspek lain dari keluhan tersebut masih diselidiki, pelapor biasanya akan menyambut penjelasan sementara dari apa yang telah diselesaikan. Apakah penjelasan harus diberikan secara lisan atau tertulis, atau keduanya akan tergantung pada keadaan. Penjelasan lisan biasanya akan lebih efisien dan akan diharapkan jika itu adalah metode komunikasi disukai oleh pengadu atau diadopsi dalam transaksi sebelumnya. Di sisi lain, penjelasan tertulis seringkali lebih cocok jika keluhan berkaitan dengan masalah serius, kompleks atau disengketakan. 2. Penanganan keluhan tahap II a. Alasan penyampaian keluhan Kegagalan keselamatan pasien (patient safety) menjadi alasan bayi kembali di rawat di Rumah Sakit X. Sakit di kepala bayi, pada keluhan tahap II menjadi perselisihan paham antara rumah sakit dan orang tua bayi. Rumah sakit menilai bahwa sakit di kepala bayi tidak terkait dengan insiden yang terjadi. Menurut data penelitian, sakit di kepala bayi baru diketahui setelah kasus memasuki keluhan tahap III, yaitu saat bayi menjalani perawatan di Rumah Sakit JJ. Ditemukan bahwa penyakit bayi akibat infeksi virus cmv di otak bayi sebagai transmisi kehamilan ibu ke bayinya. b. Akses Media tatap muka pada pertemuan antara orang tua bayi dan direktur RS X tidak direspon secara simpatik oleh direktur. Komplain ditanggapi direktur dengan respon tidak simpatik yang menyebabkan orang tua bayi emosi dan mennggunakan jasa pengacara untuk selanjutnya mengajukan somasi kepada rumah sakit. 17 Ketika orang tua bayi sudah melibatkan pengacara berarti sudah ada kepentingan lain selain kepentingan orang tua bayi terhadap rumah sakit. Dengan masuknya pihak lain seperti pengacara akan membuka keterlibatan pihak lain seperti polisi dan jaksa dalam penanganan kasus. Dan itu berarti semakin banyak pihak yang berkepentingan dalam penanganan kasus insiden. c. Investigasi Audit medik baru dilaksanakan 2 bulan setelah insiden. Menurut RVII sebagai ahli hukum kesehatan dijelaskan bahwa 1) tidak ada kata terlambat untuk waktu pelaksanaan audit medis sejauh seluruh data pendukung/alat-alat bukti itu sudah lengkap sehingga informasi yang dibutuhkan selama proses audit medis itu jika diperlukan semua tersedia, 2) tujuan audit adalah untuk melakukan sebuah analisa dan lain-lain faktorfaktor yang diduga dari penyebab dari terjadinya KTD, 3) audit medis tidak boleh ditunda-tunda jika terkait dengan persoalan lain, intistitusi lain, terkait juga dengan keluarga pasien, apakah juga menyangkut pihak kepolisian ataupun dengan organisasi profesi atau mungkin dinas kesehatan, maka tuntutan informasi yang cepat itu dibutuhkan, 4) audit medik ini bisa dijadikan sebagai petunjuk awal bahwa sesungguhnya apa yang terjadi sebenarnya dan apa yang harus diantisipasi untuk kalau dilakukan penyidikan lebih lanjut. d. Respon Respon direktur adalah dengan membuat keputusan pembebasan biaya di RS X, merujuk bayi ke RS JJ, dan memberi jaminan pembiayaan bayi di RS JJ dengan catatan biaya yang terkait dengan peristiwa insiden ditanggung dan selain itu menjadi tanggung jawab orang tua bayi Tanggal diterbitkannya keputusan dan pembuatan surat pembebasan biaya sangat mendekati batas waktu yang ditentukan oleh orang tua bayi dan pengacaranya. Sehingga memungkinkan terbukanya keterlambatan proses administrasi dan penyampaian informasi ke pihak-pihak terkait. 18 3. Penanganan keluhan tahap III a. Alasan penyampaian keluhan Orang tua merasa bahwa somasi yang disampaikan kepada direktur rumah sakit belum mendapat tanggapan yang serius, sehingga melanjutkan keluhannya ke ranah hukum. Orang tua melaporkan kasus ini ke polisi pada tanggal 23 Agustus 2007. Perselisihan antara orang tua bayi dan rumah sakit biasa dikenal dengan istilah sengketa medik. Pemicu terjadinya sengketa adalah kesalahpahaman, perbedaan penafsiran, ketidakjelasan pengaturan, ketidakpuasan, ketersinggungan, kecurigaan, tindakan yang tidak patut, curang atau tidak jujur, kesewenang-wenangan atau ketidakadilan, dan terjadinya keadaan yang tidak terduga. Nasser13 menyatakan bahwa sengketa medik adalah sengketa yang terjadi antara pasien atau keluarga pasien dengan tenaga kesehatan atau antara pasien dengan rumah sakit / fasilitas kesehatan. Biasanya yang dipersengketakan adalah hasil atau hasil akhir pelayanan kesehatan dengan tidak memperhatikan atau mengabaikan prosesnya. Padahal dalam hukum kesehatan diakui bahwa tenaga kesehatan atau pelaksana pelayanan kesehatan saat memberikan pelayanan hanya bertanggung jawab atas proses atau upaya yang dilakukan (Inspanning Verbintennis) dan tidak menjamin/ menggaransi hasil akhir (Resultalte Verbintennis). Biasanya pengaduan dilakukan oleh pasien atau keluarga pasien ke instansi kepolisian dan juga ke media massa. Akibatnya sudah dapat diduga pers menghukum tenaga kesehatan mendahului pengadilan dan menjadikan tenaga kesehatan sebagai bulan-bulanan, yang tidak jarang merusak reputasi nama dan juga karir tenaga kesehatan ini. Selain itu, orang tua juga menyampaikan keluhannya melalui media massa. Orang tua bayi menggunakan media massa untuk mengungkapkan rasa kecewanya kepada penanganan keluhan rumah sakit. Dengan dimuat di media massa insiden akan diketahui lebih banyak orang dan mempengaruhi nama baik serta kepercayaan orang terhadap layanan Rumah Sakit X. Menurut Hasanbasri14, keluhan pelanggan disampaikan 19 kepada media massa disamping menyebarkan berita buruk ada juga yang sifatnya minta kompensasi atau keadilan dari pihak rumah sakit b. Akses Media keluhan rumah sakit adalah dengan polisi dan media. Jika sudah melibatkan polisi, kemungkinan keterlibatan jaksa sangat besar. Banyaknya pihak luar yang terlibat dalam penanganan keluhan pasti semakin memberatkan rumah sakit. c. Investigasi Menurut RVII, diterangkan bahwa jika terjadi medical eror atau KTD maka dalam sudut pandang hukum dan sudut pandang medik bisa berbeda-beda. Artinya bisa saja secara profesi kedokteran dokter itu dinyatakan tidak bersalah tapi dari kacamata hukum, dokter dinyatakan bersalah atau sebaliknya dari kacamata hukum dinyatakan tidak bersalah tapi dari sisi profesi dokter dinyatakan salah. Penggunaan Undang-Undang nomor Nomor 29 Tahun 2004 tentang praktek kedokteran Pasal 79 huruf c juncto pasal 51 menurut peneliti kurang tepat, mengingat tidak ada peran dokter saat kronologis insiden terjadi. Dalam pandangan RVII sebagai ahli di bidang hukum kesehatan, dokter dalam kasus ini tidak patut untuk dijadikan tersangka, dokter sudah bekerja sesuai SOP, dia tidak tahu menahu tentang persoalan proses terjadinya kesalahan itu sama sekali tidak ada unsur dokter di dalamnya. Karena yang dokter berikan adalah standar perawatan pelayanan yang seharusnya dilakukan oleh perawat sehingga dokter tidak bersalah. Bila pihak kepolisian menggunakan tanggung gugat maka seharusnya pihak kepolisian dalam menetapkan tersangka adalah direktur RS. d. Respon Rumah sakit menggunakan mediasi untuk menyelesaikan kasus sengketa medik. Afandi15, proses mediasi merupakan upaya yang tepat dalam menyelesaikan sengketa medis antara dokter dan pasien kecuali 20 dalam proses pidana murni seperti pelecehan seksual, pengungkapan rahasia kedokteran, aborsi serta kelalaian berat, keterangan palsu, penipuan dan lain-lain. Penyelesaian melalui jalur litigasi akan merugikan kedua belah pihak. e. Perbaikan pasca kasus Menurut RVII, perbaikan yang dilakukan adalah 1) pengacara rumah sakit tidak diperlukan, karena sama saja rumah sakit menyiapkan perang di ranah hukum, 2) Rumah sakit lebih baik membangun komunikasi yang baik dengan setiap pelanggan, bila ada masalah yang berpotensi menjadi sebuah gugatan segeralah laporkan pendekatan untuk agar bisa ada solusinya, 3) Rumah sakit perlu mendidik pasien bahwa rumah sakit tidak pernah ada niat melukai pasien, jika ada musibah semata-mata adalah ujian dari Allah, 4) Jika ada keluhan karena KTD maka rumah sakit lebih memilih memakai jalur silaturrahim untuk damai. KESIMPULAN Penanganan keluhan insiden terbakarnya tangan bayi belum dilaksanakan dengan baik disebabkan a) keterlambatan penyampaian informasi disebabkan sikap takut perawat, tidak dilaksanakannya advise DPJP Pengganti, dan keterlambatan waktu respon dokter jaga UGD, b) buruknya komunikasi staf karena kurangnya informasi tentang penyebab insiden, kurang respek, dan kurang koordinasi. Keluhan diselesaikan dengan permintaan maaf, pemberian kompensasi pembebasan biaya perawatan, dan homecare. Penanganan keluhan ditemukannya sakit di kepala bayi belum dilaksanakan dengan baik disebabkan sikap direktur yang kurang simpatik, kurang respon dalam menanggapi tuntutan, dan terlambat dalam mengambil keputusan menjawab somasi. Keluhan diselesaikan dengan pemberian kompensasi jaminan biaya perawatan dan merujuk pasien ke rumah sakit lain. Penanganan keluhan laporan ke polisi diselesaikan dengan cara negosiasi dan mediasi sebagai alternatif penyelesaian sengketa medik yang efektif dibanding melalui litigasi (pengadilan).