peranan orang tua dalam mendidik kecerdasan emosional anak

advertisement
PERANAN ORANG TUA DALAM
MENDIDIK KECERDASAN EMOSIONAL ANAK
USIA 6-12 TAHUN DALAM PERSPEKTIF
PENDIDIKAN ISLAM
Skripsi
Diajukan kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan untuk Memenuhi Salah Satu
Syarat mencapai Gelar Sarjana Pendidikan
Oleh:
Salamatul Firdaus
NIM 109011000277
JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
1437 H / 2016 M
PERANAN ORANG TUA DALAM
MENDIDIK KECERDASAN EMOSIONAL ANAK
USIA 6-12 TAHUN DALAM PERSPEKTIF
PENDIDIKAN ISLAM
Skripsi
Diajukan kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan untuk Memenuhi Salah Satu
Syarat mencapai Gelar Sarjana Pendidikan
Oleh:
Salamatul Firdaus
NIM 109011000277
JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
1437 H / 2016 M
PERANAN ORANG TUA DALAM
MENDIDIK KECERDASAN EMOSIONAL ANAK
USIA 6-12 TAHUN DALAM PERSPEKTIF
PENDIDIKAN ISLAM
Skripsi
Diajukan kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan untuk Memenuhi Salah Satu
Syarat mencapai Gelar Sarjana Pendidikan
Oleh:
Salamatul Firdaus
NIM 109011000277
JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
1437 H / 2016 M
ABSTRAK
Salamatul Firdaus (NIM. 109011000277), Peranan Orang Tua dalam
Mendidik Kecerdasan Emosional Anak Usia 6-12 Tahun dalam Perspektif
Pendidikan Islam.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui cara orang tua mendidik kecerdasan
emosional anak yang sesuai dengan perspektif pendidikan Islam, serta upaya dari
orang tua dalam mengoptimalkan perkembangan kecerdasan emosional anaknya.
Penelitian ini menggunakan pendekatan penelitian kualitatif dengan metode
penelitian kepustakaan (library research). Kualitatif dipahami sebagai metode
penelitian yang digunakan untuk meneliti pada kondisi obyek yang alamiah,
dimana peneliti adalah sebagai instrumen kunci, teknik pengumpulan data
dilakukan secara triangulasi, analisis data bersifat induktif, dan hasil penelitian
kualitatif lebih menekankan makna dari pada generalisasi. Sedangkanpenelitian
kepustakaan (library research) dimaknai sebagai segala usaha yang dilakukan
oleh peneliti untuk menghimpun informasi dari sumber-sumber pustaka yang
relevan dengan topik atau masalah yang akan atau sedang diteliti. Dalam proses
analisis data, penulis menggunakan metode deskriptif analisis yang terdiri dari
empat kegiatan yaitu pengumpulan data, reduksi data, penyajian data, dan
penarikan kesimpulan.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa peran orang tua dalam mendidik kecerdasan
emosional anak usia 6-12 tahun meliputi melatih anak untuk mengenali emosi
diri, Melatih anak untuk mengelola emosi, Melatih Anak Memotivasi Diri sendiri,
Melatih Anak Untuk Mengenali Emosi Orang Lain. Peran ini dapat dikenalkan
oleh orang tua melalui nilai-nilai yang dipraktekkan oleh diri orang tua sendiri
melalui kasih sayang afirmasif, mengajarkan tata krama, menumbuhkan empati
serta mengajarkan arti kejujuran dan berpikir realistik. Tujuan dari peran ini akan
lebih cepat tercapai jika orang tua menerapkan atau menggunakan pola/metode
asuh otoritatif. Orang tua otoritatif menghargai kemandirian anak dan menuntut
mereka untuk memenuhi standar tanggung jawab yang tinggi kepada keluarga.
Anak dihargai keberadaan dan kemampuannya dengan memberikan peran dalam
kehidupan sehari-hari. Rasa kepercayaan inilah yang membuat anak diakui dan
dihargai keberadaannya.
i
ABSTRACT
Salamatul Firdaus (NIM. 109011000277), The Role of Parents Educating
Emotional Intelligence in Children Aged 6-12 Years in the Perspective of
Islamic Education.
This study aims to find out how parents educate their children's emotional
intelligence in accordance with Islamic educational perspective, and also to know
how the efforts of parents to optimize the development of their emotional
intelligence.
This study used a qualitative research approach with methods of library research
(library research). Understood as a qualitative research methods used to examine
the condition of natural objects, where the researcher is a key instrument, data
collection techniques as triangulation, data analysis is inductive, and qualitative
research results further emphasize the significance of the generalization. While the
library research (library research) is defined as all the efforts made by researchers
to gather information from literature sources relevant to the topic or issue that will
be or are being studied. In the process of data analysis, the author uses descriptive
analysis method which consists of four activities, namely data collection, data
reduction, data presentation, and conclusion.
The results showed that the role of parents in educating their emotional
intelligence of children aged 6-12 years covering train children to recognize
emotions, train children to manage emotions, son motivate yourself coaching,
coaching kids to recognize emotions others. This role can be introduced by
parents through the values practiced by themselves parents, through affection
afirmasif, teach manners, developing empathy and teaches the meaning of honesty
and realistic thinking. The purpose of this role will be more quickly achieved if
parents apply or use the pattern / authoritative parenting methods. Authoritative
parents respect the child's independence and requires them to meet the standards
of high responsibility to the family. Kids appreciated the presence and ability to
provide a role in everyday life. A sense of trust that makes a child is recognized
and respected existence.
ii
KATA PENGANTAR
Puji Syukur Alhamdulillah dengan tulus penulis persembahkan kehadirat
Allah SWT. karena atas segala limpahan nikmat yang tak terhitung jumlahnya
penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Semoga rahmat Allah senantiasa
tercurahkan kepada junjungan kita Nabi Muhammad SAW. sebagai suri tauladan
yang sempurna bagi seluruh ummat manusia.
Dalam penyusunan skripsi ini, penulis tidak dapat menyelesaikan tanpa
bantuan dan partisipasi dari berbagai pihak, baik secara langsung maupun tidak
langsung. Oleh karena itu, dengan segala kerendahan hati, penulis menyampaikan
terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:
1. Prof. Dr. Ahmad Thib Raya, MA. Selaku Dekan Fakultas Ilmu Tarbiyah
dan Keguruan (FITK) Universitas Islam Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Dr. H. Abdul Majid Khon, M.Ag dan Hj. Marhamah Saleh, LC.MA selaku
Ketua dan Sekretaris Jurusan Pendidikan Agama Islam (PAI), Fakultas
Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK) Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta.
3. Heny Narendrany Hidayati, M.Pd., dosen pembimbing penulis, yang telah
mencurahkan waktu dan tenaganya dalam membimbing penulis dengan
penuh kesabaran dan keikhlasan, sampai penulisan skripsi ini dapat
terselesaikan.
4. Kedua orang tua tercinta dan tersayang, Ayahanda H. Moh. Zaedi Rumli
dan Ummi Hj. Sopiyah (Alm), dan Ibu Aminah sebagai ibu angkatku yang
selalu mendoakan, mendukung, menasehati, mengarahkan, mengorbankan
waktu, tenaga dan biaya, sehingga penulis dapat melaksanakan semua
kegiatan mulai dari awal hingga akhir, mulai dari perkuliahan sampai
menyelesaikan skripsi ini.
iii
5. Kakak-kakakku tersayang, Yayah Romsyiah, Abdul Muslikh, Fitriyanti,
Ahmad Baedowi, Aan Nurhayati dan A. Yanto beserta A Darta yang
senantiasa memberi motivasi dan masukan kepada penulis.
6. Dosen-dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan yang penuh inspiratif
dan pemberi motivasi.
7. Sahabat-sahabat PAI angakatan 2009 khususnya kelas G yang penuh
kisah, suka duka, canda tawa, dan senantiasa menyemangati dan memberi
masukan untuk skripsi ini.
8. Serta kepada seluruh pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu
dalam goresan ucapan teima kasih ini. Penulis ucapkan terima kasih,
semoga semangat keilmuan dan persahabatan kita senantiasa berjalan
terus. Aamiin ya robbal ‘aalamiin.
Penulis sadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan. Maka dari itu,
kritik dan saran yang membangun sangat penulis harapkan demi perbaikan
selanjutnya. Dan penulis juga berharap semoga skripsi ini bermanfaat untuk
menambah khazanah ilmu pengetahuan. Aamiin ya robbal ‘aalamiin.
Ciputat, 15 Juli 2016
Penulis
Salamatul Firdaus
iv
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL
LEMBAR PENGESAHAN PEMBIMBING
LEMBAR PENGESAHAN PENGUJI
SURAT PERYATAAN KARYA SENDIRI
ABSTRAK ........................................................................................................... i
ABSTRACT ....................................................................................................... ii
KATA PENGANTAR ....................................................................................... iii
DAFTAR ISI ..................................................................................................... v
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Massalah ........................................................................ 1
B. Identifikasi Masalah ............................................................................... 8
C. Pembatasan Masalah .............................................................................. 8
D. Rumusan masalah ................................................................................... 9
E. Tujuan Penelitian dan Manfaat Penelitian ................................................ 9
BAB II ACUAN TEORI
A. Konsep Pendidikan Islam ...................................................................... 11
1. Pengertian Pendidikan Islam ............................................................. 11
2. Tujuan Pendidikan Islam .................................................................. 17
B. Teori Kecerdasan Emosional ................................................................ 20
1. Pengertian Kecerdasan ..................................................................... 20
2. Pengertian Emosi ............................................................................. 22
3. Perkembangan Emosi Anak ............................................................. 25
4. Pengertian Kecerdasan Emosional ................................................... 31
5. Komponen Kecerdasan Emosional ................................................... 34
6. Perkembangan Kecerdasan Emai Anak ............................................ 38
C. Peran Orang Tua ................................................................................... 42
v
1. Pengertian Peran ............................................................................... 42
2. Pengertian Orang Tua ....................................................................... 43
3. Orang Tua sebagai Pendidik dalam Keluarga .................................... 45
D. Hasil Penelitian yang Relevan ............................................................... 47
BAB III METODOLOGI PENELITIAN
A. Objek dan Waktu Penelitian .................................................................. 49
B. Metode Penulisan .................................................................................. 49
C. Fokus Penelitian .................................................................................... 50
D. Prosedur Penelitian................................................................................ 50
BAB IV TEMUAN PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Temuan Hasil Analisis Deskriptif .......................................................... 53
1. Kecerdasan Emosional dalam Perspektif Islam .................................. 53
2. Emosi dalam Perspektif Ilmuan Islam ................................................ 58
3.Karakteristik Fase Perkembangan Emosi ............................................ 64
4. Pola Asuh Orang Tua sebagai Stimulan Kecerdasan Emosional ......... 69
B. Interpretasi Hasil Analisis ..................................................................... 74
1. Pola Pengasuhan Islami Sebagai Awal Pendidikan Kecerdasan
Emosional ....................................................................................... 74
2. Strategi Mengembangkan Kecerdasan Emosi Anak dalam Pendidikan
Islam ............................................................................................... 86
C. Pembahasan .......................................................................................... 95
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan ......................................................................................... 102
B. Implikasi ............................................................................................. 102
C. Saran ................................................................................................... 103
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 104
vi
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Mengembangkan potensi pada diri seorang anak, benar-benar merupakan
upaya yang sangat penting untuk dilakukan, terutama di kalangan orang tua
sebagai pendidik utama dan pertama di keluarga. Kebenaran akan hal tersebut
sebaiknya tidak dipandang sepele karena menyangkut banyak hal yang sangat
fundamental bagi masa depan individual sang anak, masa depan keluarga dan
lingkungan sekitarnya, bahkan bagi masa depan agama serta bangsanya. Jika
suatu bangsa berhasil membangun generasi yang unggul dalam berbagai aspek
kehidupan, maka akan mendapatkan posisi terhormat di tengah pergaulan
dunia.
Masa anak-anak adalah penentu masa depan. Baik atau buruknya masa
depan bangsa ditentukan oleh kualitas pendidikan anak-anak bangsa. Oleh
karena itu mulai dari awal manusia harus mendapat perhatian dan pendidikan
yang baik, yang mampu untuk membentuk manusia yang bertanggung jawab,
berkepribadian, berbudi pekerti luhur, dan berintelektual tinggi.
Ketika seorang anak pertama kali lahir ke dunia dan melihat apa yang ada
di dalam rumah dan sekelilingnya, tergambar dalam benaknya sosok awal dari
sebuah gambaran kehidupan. Bagaimana awalnya dia harus bisa melangkah
dalam hidupnya di dunia ini. Jiwanya yang masih suci dan bersih akan
menerima segala bentuk apa saja yang datang mempengaruhinya. Maka sang
anak akan dibentuk oleh setiap pengaruh yang datang dalam dirinya.1
Di samping keluarga sebagai tempat awal bagi proses sosialisasi anak,
keluarga juga merupakan tempat sang anak mengharapkan dan mendapatkan
pemenuhan kebutuhan. Kebutuhan akan kepuasan emosional telah dimiliki
1
Muhammad Nur Abdul Hafizh, Mendidik Anak Bersama Rasulullah, Terj. dari Manhaj AlTarbiyyah Al-Nabawiyah Li Al-Thifl oleh Kuswandani, Sugiri dan Ahmad Son Haji, (Bandung:
Al-Bayan, 1997), Cet. I, h. 35.
1
2
bayi yang baru lahir. Perkembangan jasmani anak tergantung pada
pemeliharaan fisik yang layak yang diberikan oleh orang tua. Dan juga
perkembangan sosial anak akan bergantung pada kesiapan keluarga sebagai
tempat sosialisasi yang layak.
Dilihat dari ajaran islam, anak adalah amanat Allah. Amanat wajib
dipertanggungjawabkan. Jelas, tanggung jawab orang tua terhadap anak
tidaklah kecil.2 Hal ini merupakan suatu wujud pertanggungjawaban dari
setiap orang tua anak kepada khaliknya. Dalam Al-Qur-an ada banyak ayat
yang menyerukan keharusan orang tua untuk selalu menjaga dan mendidik
seluruh anak-anaknya, sebagaimana yang ditegaskan dalam surat At-Tahrim
ayat 6 :
          
           
“Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu
dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu;
penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai
Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu
mengerjakan apa yang diperintahkan.” (Q.S. At-Tarhim:6)3
Kesadaran untuk mencerdaskan anak, tentulah dimiliki oleh setiap orang
tua yang bijak. Betapa banyaknya orang tua bekerja keras, membanting tulang,
mencari biaya untuk menyekolahkan anak-anaknya agar menjadi cerdas.
Sebagian diantara mereka bahkan rela hidup sederhana, mengorbankan apa
yang bisa dikorbankan, untuk mendapatkan anak-anak yang didambakan ini.
Tetapi persoalannya adalah bahwa pengorbanan dan kerja keras para orang tua
yang mengharapkan anak-anak cerdas ini, seringkali tidak disertai dengan
2
Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan Dalam Perspektif Islam, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya,
2007), Cet. 7, hal. 160.
3
Departemen Agama Republik Indonesia, Al-Qur’an dan Terjemahnya, (Bandung: Syamil
Qur’an, 2009), hal. 560.
3
kesadaran dan pengetahuan (know why dan know how) yang memadai tentang
mencerdaskan anak itu sendiri.4
Mayoritas orang tua menilai cerdas tidaknya seorang anak hanya dilihat
dari sisi kecerdasan intelektualnya saja tanpa menghiraukan faktor apa yang
telah mempengaruhinya, sehingga anaknya itu bisa berprestasi. Orang tua
akan sangat bangga apabila anaknya mendapatkan prestasi akademik yang
gemilang di kelas maupun di sekolahnya. Padahal, dari berbagai hasil
penelitian, telah banyak terbukti bahwa kecerdasan emosi memiliki peran
yang jauh lebih signifikan dibanding kecerdasan intelektual (IQ). Kecerdasan
otak (IQ) berperan sebatas syarat minimal meraih keberhasilan, namun
kecerdasan emosilah yang sesungguhnya mengantarkan seseorang menuju
puncak prestasi. Terbukti, banyak orang-orang yang memiliki kecerdasan
intelektual tinggi, terpuruk di tengah persaingan. Sebaliknya banyak yang
mempunyai kecerdasan intelektual biasa-biasa saja justru sukses menjadi
bintang-bintang kinerja, pengusaha-pengusaha sukses, dan pemimpinpemimpin di berbagai kelompok.
membuktikan eksistensinya.
Disinilah
kecerdasan emosi (EI)
5
Menurut Prof. Dr. Fawzia Aswin Hadis, guru besar Fakultas Psikologi
UI, ia berkata: “Pintar saja tidak cukup. Berbagai pengalaman menunjukkan,
banyak anak yang ‘berhasil’ di sekolah atau tergolong anak pandai dan juara
kelas, ternyata tidak berhasil dalam kehidupan. Sebaliknya, ada anak yang
tidak terlalu pandai, namun karena memiliki kemampuan sosial yang lebih
baik, ia lebih berhasil dalam mengarungi hidup di masyarakat.”6
Seringkali kita menjumpai seseorang yang mengalami kegagalan bukan
disebabkan kecerdasan intellegensinya yang rendah, namun cenderung karena
kecerdasan emosinya yang rendah. Daniel Goleman dalam Emotional
4
Suharsono, Mencerdaskan Anak: Mensintesakan Kembali Intelegensi Umum (IQ) dan
Intelegensi Emosional (IE) dengan Intelegensi Spiritual, (Jakarta: Inisiasi Press, 2000), Cet. I, hal.
2.
5
Ary Ginanjar Agustian, Rahasia Sukses Membangun Kecerdasan Emosi dan Spiritual ESQ
Emotional Spiritual Quotient ; The ESQ Way 165 1 Ihsan, 6 Rukun Iman dan 5 Rukun Islam,
(Jakarta: Agra Publishing, 2008), cet. 43, hal. xvi-xvii.
6
AR. Budi Darma, Kenedi Nurhan, Tony D. Widiastono, “Pintar Saja Tidak Cukup”,
Kompas, 29 Juni 1997.
4
Intellegence mengatakan bahwa kecerdasan emosi merupakan bagian
terpenting dari kecerdasan yang lain. Ia juga memaparkan bahwa manusia
mempunyai dua otak, dua pikiran dan dua jenis kecerdasan yang berlainan
yaitu kecerdasan rasional dan kecerdasan emosional. Keberhasilan kita dalam
kehidupan ditentukan oleh keduanya, tidak hanya IQ saja, akan tetapi
kecerdasan emosional-lah yang memegang peranan. Sungguh, intelektualitas
tak dapat bekerja dengan sebaik-baiknya tanpa kecerdasan emosional.7
Goleman juga berpandangan bahwa kecerdasan emosional merujuk
kepada kemempuan mengenali perasaan kita sendiri dan perasaan orang lain,
kemampuan memotivasi diri sendiri dan kemampuan mengelola emosi dengan
baik pada diri sendiri dan dalam hubungan dengan orang lain. Kecerdasan
emosi mencakup
kemampuan-kemampuan yang berbeda
tapi saling
melengkapi dengan kecerdasan akademik, yaitu kemampuan-kemampuan
kognitif murniyang diukur dengan IQ. Banyak orang yang cerdas, dalam arti
terpelajar, tetapi tidak mempunyai kecerdasan emosi, sehingga dalam bekerja
menjadi bawahan orang ber-IQ lebih rendah tetapi unggul dalam keterampilan
kecerdasan emosi.8
Banyak orang tua berpendapat bahwa tugas mencerdaskan anaknya
adalah tugasnya para guru dan institusi pendidikan, Sementara mereka sendiri
asyik dengan profesinya sendiri. Implikasi dari pendapat ini adalah munculnya
ketidakpedulian orang tua terhadap perkembangan spiritual, intelektual dan
moral anaknya sendiri. Ketika anaknya gagal memenuhi harapannya, pihak
pertama yang ditudingnya adalah guru dan institusi pendidikan. Pendapat
seperti ini jelas keliru dan merugikan diri kita sendiri. Bagaimanapun, guru,
sekolah dan institusi pendidikan lainnya, hanyalah pihak yang membantu
mencerdaskan anak-anak kita. Tugas utama mencerdaskan anak, tetaplah ada
pada orang tua itu sendiri.9
7
Daniel Goleman, Kecerdasan Emosional, Terj. dari Emotional Intellegence oleh T. Hermaya,
(Jakarta: Gramedia Pustaka Utama: 1996) cet. I, hal. 38
8
Desmita, Psikologi Perkembangan, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2012), Cet. Ke-7.
Hal. 170.
9
Suharsono, op. cit., hal. 2-3.
5
Dari beberapa hasil penelitian yang sudah ada, menunjukkan bahwa pola
asuh orang tua juga ikut berkontribusi dalam mengembangkan kecerdasan
emosi sang anak. Dari salah satu penelitian tersebut menyimpulkan bahwa ada
hubungan positif antara pola asuh orang tua dengan kecerdasan emosional
siswa. Apabila pola asuh orang tua baik atau tinggi, maka semakin baik pula
dan meningkat pula kecerdasan emosional siswa.
Terdapat 3 macam pola asuh orang tua, yakni otoriter, permisif dan
demokratis. Namun, idealnya orang tua menerapkan pola asuh demokratis,
karena dengan pola asuh demokratis anak akan mampu menerapkan prilaku
yang bersahabat, rasa percaya diri, mampu mengendalikan diri, bersikap
sopan, mau bekerjasama, rasa ingin tahu yang tinggi dan berorientasi terhadap
prestasi.10 Pola asuh demokratis juga sesuai dengan perkembangan anak pada
usia ini sehingga hal tersebut mengacu pada kecerdasan emosional anak.11
Pada saat ini, dunia pendidikan sering dikritik oleh masyarakat yang
disebabkan karena adanya sejumlah pelajar dan lulusan pendidikan tersebut
yang menunjukan sikap yang kurang terpuji. Banyak pelajar yang terlibat
tawuran,
melakukan
tindakan
kriminal,
pencurian,
penodongan,
penyimpangan seksual, menyalah-gunakan obat-obat terlarang dan lain
sebagainya. Perbuatan itu benar-benar telah meresahkan masyarakat dan para
aparat keamanan.12
Salah satu peneyebab dunia pendidikan kurang mampu menghasilkan
lulusan yang diharapkan adalah karena dunia pendidikan selama ini hanya
membina kecerdasan intelektual, wawasan dan keterampilan semata, tanpa
diimbangi dengan membina kecerdasan emosional.13 Sebagian para pendidik
khususnya para guru belum sepenuhnya menerapkan dan megembangkan
kecerdasan emosi yang dimiliki oleh anak didiknya. Mereka hanya fokus pada
10
Ridhoyanti Hidayah, “Hubungan Pola Asuh Orangtua dengan Kecerdasan Emosional Anak
Usia Prasekolah (4-6 Tahun) di TK Senaputra Kota Malang”, UMM Scientific Journal, Vol. 4,
2013. Hal.133.
11
Nur Dian Oktafiany, “Hubungan Pola Asuh Orangtua dengan Kecerdasan Emosional Siswa
di SMP Diponegoro 1 Jakarta”, Jurnal PPKN UNJ Online, Vol. 1, 2013, hal. 14.
12
Abuddin Nata, Manajemen Pendidikan: Mengatasi Kelemahan Pendidikan Islam di
Indonesia, (Bogor: Kencana, 2003), hal. 45.
13
Ibid., hal. 46.
6
pengembangan kognitifnya saja. Padahal masih banyak potensi peserta didik
yang apabila di eksplore lebih dalam lagi akan ditemukan potensi-potensi
yang tersembunyi dari anak tersebut.
Menurut Dr. Seto Mulyadi selaku pemerhati masalah anak, melihat
adanya kecenderungan anak mengalami kesulitan emosional, seperti mudah
merasa kesepian dan pemurung, mudah cemas, bertindak agresif, kurang
menghargai sopan santun dan lainnya. “Ini semua akan sangat merugikan
perkembangan anak-anak itu sendiri, meskipun mungkin mereka tampil
sebagai anak-anak yang pintar.”14
Dengan mengembangkan keterampilan emosi dan sosial pada anak, ia
akan lebih mampu mengatasi berbagai masalah yang timbul selama proses
perkembangannya menuju manusia dewasa. Tidak hanya itu, dengan melatih
dan mengasah keterampilan emosi dan sosialnya, anak-anak pun akan lebih
mampu mengatasi tantangan-tantangan emosionalnya dalam kehidupan
modern ini. Disinilah peranan pendidik dan orang tua khususunya sangat
dibutuhkan dalam usaha membantu anaknya untuk dapat mengembangkan
kecerdasan emosinya.
Lahirnya tema ini terinspirasi dari lingkungan tempat tinggal penulis
sendiri, tema penelitian ini muncul dari pengalaman pribadi dan pengamatan
sekilas di lingkungan keluarga besar penulis, yang mana mayoritas orang tua
masih berpandangan dan meyakini bahwa kecerdasan intelektual merupakan
aspek yang sangat penting dan berpengaruh dalam meraih prestasi atau
kesuksesan anaknya. Oleh sebab itu, para orang tua hanya fokus pada
pengembangan kecerdasan intelektualnya dan spiritualnya saja. Padahal, yang
memiliki peran penting dalam meraih kesuksesannya itu bukan saja dari IQ
anak tersebut, melainkan ada faktor-faktor lain yang ikut berperan dalam
memepengaruhinya. Salah satunya adalah kecerdasan emosional yang sangat
berpengaruh dalam perkembangan anak didik. Dan juga, menurut beberapa
ahli yang bergelut di bidang ini menjelaskan bahwa kecerdasan emosional
14
Seto Mulyadi dalam Surya Makmur Nasution, “IQ Tinggi Bukan Jaminan Sukses Anak di
Masa Depan”, Artikel Kompas, 3 Desember 1997, (Jakarta: Kompas Gramedia, 2005).
7
juga bisa dididik dan dikembangkan selayaknya kecerdasan intelektual,
mungkin yang berbeda hanya dalam cara mendidik dan pengembangannya
saja.
Menurut penulis sendiri, merubah paradigma berfikir mereka dari cara
mendidik anak sacara klasik kepada pendidikan modern saat ini merupakan
tanggung jawab kita semua sebagai generasi muda yang nantinya kelak akan
menjadi orang tua juga. Karena dalam mengembangkan keterampilan
emosional anak harus didukung dengan pengetahuan yang cukup bagi orang
tua agar menghasilkan anak-anak yang memiliki rasa empati yang tinggi,
dapat mengelola emosi negatif dan positif, mampu mengendalikan dan
menangani emosi dengan baik ketika berhubungan dengan orang lain dan
masih banyak lagi keterampilan-keterampilan yang akan dimiliki anak
tersebut.
Pada akhirnya, penulis memfokuskan penelitian ini pada anak usia 6
hingga 12 tahun, karena pada usia ini anak sudah mulai mengenal dan
memahami emosi dirinya sendiri maupun orang lain. Oleh sebab itu, dia mulai
belajar untuk mengendalikan dan mengontrol ekspresi emosinya. Dari sini,
tinggal bagaimana orang tua akan mendidik dan mengarahkan anaknya,
karena orang tualah yang sangat berpengaruh dalam pengendalian emosinya.
Apabila anak dikembangkan di lingkungan keluarga yang suasana emosinya
stabil, maka perkembangan emosi anak cenderung stabil atau sehat. Akan
tetapi, apabila yang terjadi sebaliknya, maka anak juga akan cenderung kurang
stabil emosinya.15
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah penulis kemukakan, maka
penulis tertarik untuk menganalisis permasalahan tersebut yang kemudian
penulis tuangkan dalam karya ilmiah yang berbentuk skripsi dengan judul
berikut:
“Peranan Orang Tua dalam Mendidik Kecerdasan Emosional Anak
Usia 6-12 Tahun dalam Perspektif Pendidikan Islam”.
15
Syamsu Yusuf dan Nani M. Sugandhi, Perkembangan Peserta Didik: Mata Kuliah Dasar
Profesi (MKDP) Bagi Para Mahasiswa Calon Guru di Lembaga Pendidikan Tenaga kependidikan
(LPTK), (Jakarta: Rajawali Pers, 2011), hal. 64.
8
B. Identifikasi Masalah
Berdasarkan uraian di atas, dapat kita ketahui bahwa betapa pentingnya
kontribusi keluarga, khususnya kedua orang tua agar proses perkembangan
aspek emosional anak dapat berjalan sesuai dengan apa yang kita harapkan.
Berdasarkan realita yang ada, maka masalah yang dapat diidentifikasi adalah
sebagai berikut:16
1. Masih banyak orang tua yang lebih menekankan Intellectual Qoution (IQ)
dari pada Emotional Qoution (EQ).
2. Kurangnya perhatian orang tua terhadap anaknya karena mayoritas orang
tua (ibu dan bapak) sibuk dengan pekerjaannya sehingga berdampak
pada buruknya sikap dan prilaku anak.
3. Pendidikan kecerdasan emosional belum sepenuhnya diterapkan dalam
lingkungan pendidikan.
C. Pembatasan Masalah
Supaya penelitian ini dapat terarah dan ruang lingkupnya lebih jelas, maka
penulis membatasi permasalahan-permasalahan yang muncul. Adapun
batasan-batasan masalah dalam penelitian ini sebagai berikut:
1.
Peranan Orang tua yang dimaksud disini adalah tindakan, tanggung
jawab orang tua terhadap anaknya baik dalam mendidik, membimbing,
melindungi dan menghidupi dengan cara-cara yang tepat dan kondisi
keluarga tempat si anak tinggal.
2.
Kecerdasan emosional yang dimaksud disini adalah kemampuan anak
untuk memahami perasaan dan emosi diri sendiri maupun orang lain,
sehingga bisa berinteraksi dengan baik. Kecerdasan emosi juga
melahirkan sifat dan sikap positif seperti percaya diri, jujur, rendah diri,
sabar, empati, bijkaksana dan lain sebagainya. Mendidik kecerdasan
emosional tidak dapat disandarkan hanya kepada guru di sekolah tetapi
harus ada peran serta orang tua secara aktif.
16
Identifikasi ini berdasarkan hasil dari pengamatan di sekitar tempat tinggal penulis di Desa
Lohbener Kec. Lohbener Kab. Indramayu.
9
3.
Usia anak dibatasi 6-12 tahun. Karena pada usia ini, anak bersifat
realistik, ingin tahu, ingin belajar, dan ingin bisa.17 Anak mulai
menyadari bahwa pengungkapan emosi secara kasar tidaklah diterima,
atau tidak disenangi oleh orang lain. Oleh karena itu dia mulai belajar
untuk mengendalikan dan mengontrol ekspresi emosinya. 18
D. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang dikemukakan di atas, maka dapat
dirumuskan permasalahan pokok, yaitu :
“Bagaimana peranan orang tua dalam mendidik kecerdasan emosional anak
usia 6-12 tahun menurut perspektif pendidikan islam?
E. Tujuan dan Manfaat Hasil Penelitian
Adapuun tujuan utama dari penelitian penulisan skripsi ini adalah penulis
ingin mengetahui bagaimana cara orang tua mendidik kecerdasan emosional
anaknya yang sesuaidengan perspektif pendidikan islam dan juga untuk
mengetahui bagaimana upaya-upaya dari orang tua dalam mengoptimalkan
perkembangan kecerdasan emosional anaknya.
Sedangkan untuk hasil penelitian ini diharapkan dapat membawa manfaat
dalam proses pembelajaran, yaitu:
1. Untuk memperoleh pengetahuan dan pemahaman mengenai peranan dan
tanggung jawab orang tua dalam mendidik dan mengembangkan
kecerdasan emosional anak.
2. Penelitian ini menjadi bahan pertimbangan bahwa dalam proses
pembelajaran tidak hanya berorientasi pada perkembangan intelektual
anak semata, akan tetapi kecerdasan emosional anak juga perlu
dikembangkan secara lebih maksimal.
17
M. Alisuf Sabri, Pengantar Psikologi Umum dan Perkembangan, (Jakarta: Pedoman Ilmu
Jaya, 1993), hal. 157.
18
Syamsu Yusuf, op.cit, hal. 63.
10
3. Untuk memberikan masukan bagaimana seharusnya orang tua mendidik
kecerdasan emosional anak menurut perspektif pendidikan islam.
4. Untuk memperluas paradigma berfikir dan khazanah keilmuan dalam
bidang pendidikan islam di dalam keluarga khususnya pada orang tua
anak.
BAB II
KAJIAN TEORI
A. Konsep Pendidikan Islam
1. Pengertian Pendidikan Islam
Kata “Islam” dalam “pendidikan Islam” jelas menunjukkan warna
pendidikan tertentu, yaitu pendidikan yang berwarna Islam, pendidikan
yang Islami, yaitu pendidikan yang berdasarkan islam. Sebelum membahas
pengertian pendidikan menurut islam itu sendiri, alangkah baiknya terlebih
dahulu membahas definisi pendidikan menurut para pakar, setelah itu
barulah membahas apa pendidikan menurut Islam. Pembahasan tentang
apa itu pendidikan menurut Islam yang terutama didasarkan keteranganketerangan menurut Al-Qur’an dan Al-Hadist, dan juga pendapat dari para
pakar pendidikan Islam.
Kata
“pendidikan”,
dalam
bahasa
Yunani,
dikenal
dengan
namapaedagogos yang berarti penuntun anak. Dalam bahasa Romawi,
dikenal dengan educare, artinya membawa keluar (sesuatu yang ada di
dalam).
Bahasa
Belanda
menyebut
istilah
pendidikan
dengan
namaopvoeden, yang berarti membesarkan atau mendewasakan, atau
voden artinya memberi makan. Dalam bahasa Inggris disebutkan dengan
istilah educate/education, yang berarti to give moral and intellectual
training artinya menanamkan moral dan melatih intelektual. 1
Dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003
tentang Sistem Pendidikan Nasional, yang dimaksud dengan pendidikan
adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan
proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan
potensi
dirinya
untuk
memiliki
1
kekuatan
spiritual
keagamaan,
A. Fatah Yasin, Dimensi-dimensi Pendidikan Islam, (Malang: UIN Malang Press, 2008),
Cet.I, hal.16.
11
12
pengendalian
diri,
kepribadian,
kecerdasan,
akhlak
mulia,
serta
keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa, dan negara. 2
Ahmad D. Marimba menyatakan bahwa pendidikan adalah bimbingan
atau pimpinan secara sadar oleh pendidik terhadap perkembangan jasmani
dan rohani anak didik menuju terbentuknya kepribadian yang utama.3
Sedangkan Lodge berpendapat bahwa pendidikan itu menyangkut
seluruh pengalaman.Orang tua mendidik anaknya, anak mendidik orang
tuanya,
guru
mendidik
muridnya,
dan
juga
murid
mendidik
gurunya.Semua yang kita sebut atau kita lakukan dapat disebut mendidik
kita. Begitu juga yang disebut dan dilakukan oleh orang lain terhadap kita,
dapat disebut mendidik kita. Dalam pengertian ini mengartikan bahwa
kehidupan adalah pendidikan, dan pendidikan adalah kehidupan.4
Sahal Mahfud menyatakan bahwa pendidikan pada dasarnya
merupakan usaha sadar yang membentuk watak dan prilaku secara
sistematis, terencana, dan terarah.5
Dalam beberapa literatur, Ahmad Tafsir menyimpulkan bahwa
pendidikan adalah “pengembangan pribadi dalam semua aspeknya, dengan
penjelasan bahwa yang dimaksud pengembangan pribadi ialah yang
mencakup pendidikan oleh diri sendiri, pendidikan oleh lingkungan, dan
pendidikan oleh orang lain (guru). Seluruh aspek mencakup jasmani, akal
dan hati.”6
Untuk menambah kejelasan tentang konsep dasar pendidikan dalam
perspektif islam, berikut ini akan diuraikan beberapa pengertian secara
etimologi maupun terminologi tentang pendidikan. Dalam bahasa arab
telah dijumpai tiga istilah yang sering digunakan untuk mengartikan
pendidikan atau pendidikan islam, yakni Ta’dib, Ta’lim, dan Tarbiyah.
2
Direktorat Jendral Pendidikan Islam, Undang-Undang Repulik Indonesia tentang Sistem
Pendidikan Nasional, (Jakarta: Departemen Agama RI, 2006), hal. 5.
3
Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam, (Bandung: Remaja Rosdakarya,
2007), Cet. Ke-7, hal. 24.
4
Ibid., hal. 25.
5
M. Bashori Muchsin, Moh Sulthon, dan Abdul Wahid, Pendidikan Islam Humanistik:
Alternatif Pendidikan Pembebasan Anak, (Bandung: PT. Refika Aditama, 2010), Cet. I, hal. 3.
6
Tafsir, op.cit., hal. 26.
13
Kata Ta’lim berasal dari kata ‘alama - ya’lamu yang berarti mengecap
atau memberi tanda. Atau, bisa juga berasal dari kata ‘alima – ya’lamu
yang berarti mengerti atau memberi tanda.Dan ada juga yang menjelaskan
bahwa kata ta’lim itu berasal dari akar kata ‘allama – yu’allimu – ta’liiman
yang berarti mengajar atau memberi ilmu.Beberapa akar kata tersebut
dapat disederhanakan bahwa kata ta’lim berarti upaya memberikan tanda
berupa ilmu atau mengajarkan sesuatu ilmu pada seseorang agar memiliki
pengetahuan tentang sesuatu. Seseorang mengajarkan ilmu kepada orang
lain agar orang tersebut memiliki ilmu pengetahuan, ini berarti yang
disentuh adalah aspek kognitif. 7
Kata Ta’dib berasal dari kata aduba – ya’dubu, yang berarti melatih
atau mendisiplinkan diri. Atau bisa juga berasal dari kata adaba – ya’dubu,
yang berarti menjamu atau memberi jamuan dengan cara sopan. Dan ada
juga yang mengatakan bahwa ta’dib berasal dari kata addaba – yuaddibu
– ta’diiban, yang berarti mendisiplinkan atau menanamkan sopan santun.
Jadi, kata ta’dib dapat disimpulkan sebagai upaya menjamu atau melayani
atau menanamkan atau mempraktikkan sopan santun kepada seseorang
agar bertingkah laku yang baik dan disiplin.Dalam bahasa pendidikan hal
tersebut bararti wilayah afektif dan psikomotorik, maksudnya seseorang
diajak untuk berdisiplin dan bertingkah laku positif.8
Sedangkan kata tarbiyah,berasal dari kata raba – yarbuw yang berarti
tumbuh, tambah, dan berkembang. Atau bisa pula dari kata rabiya – yarba,
yang berarti tumbuh menjadi besar atau dewasa.Dan bisa juga berasal dari
kata rabba – yurabbiy – tarbiyyatan, yang artinya memperbaiki, mengatur,
mengurus, memelihara atau mendidik.Dari beberapa istilah asal diatas
dapat disimpulkan bahwa kata tarbiyah berarti upaya memelihara,
mengurus, mengatur, dan memperbaiki sesuatu atau potensi atau fitrah
7
8
Yasin, op.cit., hal. 20
Yasin, op.cit., hal. 21
14
manusia yang sudah ada sejak lahir agar tumbuh dan berkembang menjadi
dewasa atau sempurna.9
Dari beberapa istilah diatas, yang sering populer digunakan untuk
mengartikan pendidikan atau pendidikan islam adalah kata tarbiyah atau
tarbiyah islamiyah. Kendati banyak para ahli pendidikan islam yang
berbeda pendapat mengenai kata yang lebih tepat untuk mengertikan
istilah pendidikan islam tersebut.
Muhammad al-Naquib al-Attas berpendapat bahwa istilah yang tepat
untuk mengartikan pendidikan atau pendidikan islam adalah ta’dib dan
bukan tarbiyah, karena tarbiyah terlalu luas dan mencakup pula
pendidikan untuk hewan, sedangkan ta’dib hanya berlaku untuk manusia.
Abdurrahman al-Nahlawi merumuskan bahwa istilah yang tepat untuk
mengartikan pendidikan islam adalah tarbiyah. Tarbiyah, maknanya
mengandung empat unsur pokok.Pertama, menjaga dan memelihara fitrah
anak menjelang dewasa. Kedua, mengembangkan seluruh potensi
manusia.Ketiga, membimbing dan mengarahkan seluruh fitrah manusia
menuju kesempurnaan, dan
keempat, dilaksanakan secara berangsur-
angsur atau bertahap. Pendapat ini dikuatkan oleh Imam al-Baidlawi,
bahwa yang mengena untuk mengartikan pendidikan islam adalah
tarbiyah, yaitu menyampaikan sesuatu dengan cara bertahap sedikit demi
sedikit sehingga mencapai kesempurnaan.10
Sementara Abdul Fatah Jalal dalam Kitab Min Ushul al-Tarbiyyah alIslamiyah berpendapat bahwa istilah ta’lim justru lebih tepat untuk
mengartikan pendidikan islam karena maknanya
lebih universal,
sedangkan tarbiyah hanya tepat untuk pengasuhan anak kecil. Ia
menjelaskan bahwa ta’lim itu lebih luas dibandingkan tarbiyah¸karena
Rasulullah saw ketika mengajarkan bacaan al-Qur’an kepada umat islam
9
Yasin, op.cit., hal. 22.
Yasin, op.cit., hal. 23.
10
15
tidak sekadar membaca, melainkan membaca dengan perenungan yang
bersifat pemahaman, tanggungjawab, dan amanah. 11
Berdasarkan adanya perbedaan pendapat diatas, hasil Konferensi
Internasional Pendidikan Islam Pertama (First World Conference on
Mulim Education) yang diselengarakan oleh Universitas King Abdul Aziz,
di Jeddah pada tahun 1977, belum berhasil membuat rumusan yang jelas
mengenai istilah yang tepat untuk mengartikan pendidikan islam, namun
dalam rekomendasinya konferensi tersebut menyimpulkan bahwa untuk
menjelaskan tentang pendidikan islam boleh menggunakan kata ta’lim,
ta’dib dan tarbiyah.12
Setelah mengetahui beberapa penjelasan secara etimologi untuk
mengartikan pendidikan islam, maka berikut ini akan dijelaskan beberapa
pengertian terminologi pendidikan islam, kendati tidak perlu lagi
memperdebatkan kata ta’lim, ta’dib atau tarbiyah. Yang lebih penting
adalah hakikat dari makna pendidikan islam itu sendiri.
Pengertian pendidikan islam menurut rumusan Seminar Nasional
tentang Pendidikan Islam se-Indonesia tahun 1960 adalah sebagai
pengarahan dan bimbingan terhadap pertumbuhan ruhani dan jasmani
manusia
menurut
ajaran
islam
dengan
hikmah
mengarahkan,
membelajarkan, melatih, mengasuh, dan mengawasi berlakunya semua
ajaran islam.
Hasil Konferensi Pendidikan Islam se-Dunia kedua tahun 1980 di
Islamabad, Pakistan, merumuskan bahwa pendidikan islam adalah suatu
usaha untuk mengembangkan manusia dalam semua aspeknya, baik aspek
spiritual, intelektual, imajinasi, jasmaniah, dan ilmiah baik secara
individual maupun kolektif menuju ke arah pencapaian kesempurnaan
hidup sesuai dengan ajaran islam.13
Omar
Muhammad
at-Toumy
al-Syaibani
mengatakan
bahwa
pendidikan islam merupakan usaha mengubah tingkah laku individu dalam
11
Yasin, op.cit, hal. 22.
Tafsir, loc. cit, hal. 28.
13
Yasin, op.cit, hal.24.
12
16
kehidupan pribadinya atau kehidupan kemasyarakatan dan kehidupan
dalam alam sekitarnya melalui proses kependidikan, dan perubahan itu
dilandasi oleh nilai-nilai islam.14Sedangkan Marimba mendefinisikan
pendidikan islam adalah bimbingan jasmani dan ruhani manusia
berdasarkan
hukum-hukum
islam
menuju
kepada
terbentuknya
kepribadian manusia yang utama menurut ukuran islam.15
Ahmad D. Marimbamengartikan pendidikan islam sebagai suatu
bimbingan jasmaniah dan rohaniah menuju terbantuknya kepribadian
utama menurut ukuran islam.16
Nur Uhbiyati sendiri mendefinisikan pendidikan islam itu sebagai
suatu sistem kependidikan yang mencakup seluruh aspek kehidupan yang
dibutuhkan oleh hamba Allah. Oleh karena Islam mempedomani seluruh
aspek kehidupan muslim baik duniawi maupun ukhrawi.17
Menurut Syah Muhammad A. Naquib al-Attas pendidikan islam
adalah usaha yang dilakukan pendidikan terhadap peserta didik untuk
pengenalan dan pengakuan tempat-tempat yang benar dari segala sesuatu
di dalam tatanan penciptaan sehingga membimbing ke arah pengenalan
dan pengakuan akan tempat Tuhan yang tepat di dalam tatanan wujud dan
kepribadian.18
Ahmad Tafsir juga menyimpulkan pendidikan islam sebagai
bimbingan yang diberikan oleh seseorang kepada seseorang agar ia
berkembang secara maksimal sesuai dengan ajaran islam. Lebih
singkatnya, pendidikan islam itu adalah bimbingan terhadap seseorang
agar ia menjadi Muslim semaksimal mungkin. 19 Bimbingan yang
dilakukan oleh orang tersebut bisa berlangsung di dalam keluarga,
masyarakat, maupun di sekolah/madrasah secara formal, sedangkan
14
M. Arifin, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: PT. Bina Aksara, 1987), hal. 13.
Yasin.op. cit.hal. 24
16
Muchsin, op. cit., hal. 6.
17
Nur Uhbiyati, Ilmu Pendidikan Islam II, (Bandung: CV. Pustaka Setia, 1999), hal. 13.
18
Muchsin, op.cit.,hal. 6.
19
Tafsir, op.cit., hal. 32
15
17
wilayah sasaran pendidikan islam itu adalah mencakup aspek jasmani dan
ruhani (akal dan hati).
Menurut Abdurrahman an-Nahlawi, pendidikan islam mengantarkan
manusia pada perilaku dan perbuatan manusia yang berpedoman pada
syariat Allah. Artinya, manusia tidak merasa keberatan atas ketetapan
Allah dan Rasul-Nya.20
Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa para ahli pendidikan
islam berbeda pendapat mengenai rumusan pendidikan islam. Ada yang
menitikberatkan pada segi pembentukan akhlak anak, ada pula yang
menuntut pendidikan teori dan praktik, sebagian lagi menghendaki
terwujud
kepribadian
muslim,
dan
lain-lain.
Perbedaan
tersebut
diakibatkan sesuatu hal yang lebih penting. Namun perbedaan tersebut
terdapat titik yang persamaan yaitu pendidikan islam dipahami sebagai
suatu proses pembentukan manusia menuju terciptanya insan kamil.
Dengan demikian, pendidikan agama islam merupakan bimbingan secara
sadar dan terus menerus dari seseorang kepada orang lain sesuai dengan
kemampuan dasar (fitrah) dan kemampuan ajarannya (pengaruh dari luar)
baik secara individual maupun secara kelompok, sehingga manusia
mampu memahami, menghayati dan mengamalkan ajaran islam secara
utuh dan benar, meliputi: aqidah (keimanan), syariah (ibadah dan
muamalah), dan akhlak (budi pekerti).
2. Tujuan Pendidikan Islam
Para ahli pendidikan telah memberikan definisi tentang tujuan
pendidikan islam, dimana rumusan atau definisi yang satu berbeda dengan
definisi yang lain. Walaupun demikian, pada hakekatnya tujuan dari
pendidikan islam itu sendiri adalah sama, mungkin hanya beda redaksinya
saja.
20
Abdurrahman An-Nahlawi, Pendidikan Islam di Rumah, Sekolah, dan Masyarakat, Terj.
dari Ushulut Tarbiyah Islamiyah wa asalibiha fil baiti wal madrasati wal mujtama oleh
Shihabuddin, (Jakarta: Gema Insani, 2004), Cet. IV, hal. 6.
18
Menurut Zakiah Dradjat,21 tujuan ialah sesuatu yang diharapkan
tercapai setelah sesuatu usaha atau kegiatan selesai. Maka pendidikan,
karena merupakan suatu usaha dan kegiatan yang berproses melalui tahaptahap dan tingkatan-tingkatan, tujuannya pun bertahap dan bertingkat.
Tujuan pendidikan agama menurut Mahmud Yunus22 ialah mendidik
anak-anak, pemuda-pemudi dan orang dewasa, supaya menjadi seorang
muslim sejati, beriman teguh, beramal saleh dan berakhlak mulia, sehingga
ia menjadi salah seorang anggota masyarakat yang sanggup hidup di atas
kaki sendiri, mengabdi pada Allah dan berbakti kepada bangsa dan tanah
airnya, bahkan sesama umat manusia.
Abd ar-Rahman an-Nahlawi berpendapat bahwa tujuan pendidikan
islam adalah mengembangkan pikiran manusia dan mengatur tingkah laku
serta perasaan mereka berdasarkan islam yang dalam proses akhirnya
bertujuan untuk merealisasikan ketaatan dan penghambaan kepada Allah
di dalam kehidupan manusia, baik individu maupun masyarakat.23 Tujuan
ini lebih menekankan pada kepasrahan kepada Tuhan yang menyatu dalam
diri secara individual maupun sosial.
Muhammad Athiyah al-Abrasy menyatakan bahwa tujuan pendidikan
islam adalah untuk membentuk akhlak mulia, persiapan menghadapi
kehidupan dunia akhirat, persiapan untuk mencari rizki, menumbuhkan
semangat ilmiah, dan menyiapkan profesionalisme subjek didik. Dari lima
rincian tujuan pendidikan tersebut, semuanya harus menuju pada titik
kesempurnaan yangsalah satu indikatornya adalah adanya nilai tambah
secara kuantitatif dan kualitatif.24
Zakiah Daradjat25 juga mengklasifikasikan tujuan pendidikan menjadi
beberapa bagian:
21
Zakiah Dradjat, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 2012), Cet. X, hal. 29.
Mahmud Yunus, Metodik Khusus Pendidikan Agama, (Jakarta: PT. Hida Karya Agung,
1992), hal.13.
23
Moh. Roqib, Ilmu Pendidikan Islam: Pengembangan Pendidikan Integratif di Sekolah,
Keluarga dan Masyarakat, (Yogyakarta: PT. Lkis Printing Cemerlang, 2009), hal. 29.
24
Ibid., hal. 28
25
Dradjat, op.cit, hal. 31
22
19
a. Tujuan Umum
Tujuan umum ialah tujuan yang akan dicapai dengan semnua
kegiatan pendidikan, baik dengan pengajaran atau dengan cara
lain.tujuan itu meliputi seluruh aspek kemanusiaan yang meliputi sikap,
tingkah laku, penampilan, kebiasaan dan pandangan. Tujuan umum ini
berbeda pada setiap tingkat umur, kecerdasan, situasi dan kondisi,
dengan kerangka yang sama.
Tujuan pendidikan islam harus dikaitkan pula dengan tujuan
pendidikan nasional negara tempat pendidikan islam itu dilaksanakan
dan harus dikaitkan pula dengan tujuan institusional lembaga yang
menyelenggarakan pendidikan itu. Tahap-tahapan dalam mencapai
tujuan itu pada pendidikan formal, dirumuskan dalam bentuk tujuan
kurikuler yang selanjutnya dikembangkan dalam tujuan instruksional.
b. Tujuan Akhir
Pendidikan islam itu berlangsung selama hidup, maka tujuan
akhirnya terdapat pada waktu hidup di dunia ini telah berakhir
pula.tujuan akhir pendidikan islam itu dapat dipahami dalam firman
Allah:

“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah sebenarbenar takwa kepada-Nya; dan janganlah sekali-kali kamu mati
melainkan dalam Keadaan beragama Islam.” (Q.S. Al-Imran: 102)26
Mati dalam keadaan berserah diri kepada Allah sebagai muslim
yang merupaka ujung dari takwa sebagai akhir dari proses hidup jelas
berisi kegiatan pendidikan. Inilah akhir dari proses pendidikan itu yang
dapat dianggap sebagai tujuan akhirnya. Insan kamil yang mati dan
akan menghadap Tuhannya merupakan tujuan akhir dari proses
pendidikan islam.
26
Departemen Agama Republik Indonesia, Al-Qur’an dan Terjemahnya, (Bandung: Syamil
Qur’an, 2009), hal. 63.
20
c. Tujuan Sementara
Tujuan sementara ialah tujuan yang akan dicapai setelah anak didik
diberi sejumlah pengalaman tertentu yang direncanakan dalam suatu
kurikulum pendidikan formal.
Pada tujuan sementara bentuk insan kamil dengan pola takwa
sudah kelihatan meskipun dalam ukuran sederhana, sekurangkurangnya beberapa ciri pokok sudah kelihatan pada pribadi anak didik.
Banyak sekali konsep dan teori tujuan Pendidikan Islam yang telah
dikemukakan oleh para ahli pendidikan, baik pada zaman klasik,
pertengahan maupun dewasa ini. Namun dapat dipahami, bahwa
beragamnya konsep dan teori tujuan pendidikan islam tersebut merupakan
bukti adanya usaha dari para intelektual muslim umumnya untuk
menciptakan suatu sistem pendidikan yang baik bagi masyarakatnya.27
B. Teori Kecerdasan Emosional
1. Pengertian Kecerdasan
Sebelum mendefinisikan arti dari kecerdasan emosional, alangkah
baiknyamelihat dulu arti kata dari kecerdasan dan emosional.Menurut
Howard Gardner, kecerdasan adalah kemampuan untuk memecahkan atau
menciptakan sesuatu yang bernilai bagi budaya tertentu. Sedangkan
menurut Alfred Binet dan Theodore Simon, kecerdasan terdiri dari tiga
komponen: kemampuan mengarahkan pikiran atau tindakan, kemampuan
mengubah arah tindakan jika tindakan tersebut telah dilakukan, dan
kemampuan mengkritik diri sendiri. 28
Piaget29 juga mengatakan, “Intellegence is what you use when you
don’t know what to do (kecerdasan adalah apa yang kita gunakan pada saat
kita tidak tahu apa yang harus dilakukan).” Dan juga Jhon W. Santrock
27
Armai Arief, Pengantar Ilmu dan Metodologi Pendidikan Islam, (Jakarta: Ciputat Pers,
2002), Cet. I, hal. 27.
28
Agus Efendi, Revolusi Kecerdasan Abad 21: Kritik MI, EI, SQ, AQ dan Successful
Intellegence Atas IQ, (Bandung: Alfabeta, 2005), hal. 81.
29
Ibid., hal. 83
21
mendefinisikan kecerdasan sebagai kemampuan menyelesaikan masalah
dan beradaptasi serta belajar dari pengalaman.30
Suharsono31 memaknai kecerdasan sebagai kemampuan manusia
untuk menyelesaikan problem dengan benar dan waktu yang relatif
singkat.Pada
intinya,
orang
yang
memiliki
kemampuan
untuk
memecahkan masalah secara benar, yang secara relatif lebih cepat
dibandingkan usia biologisnya. Misalnya, bila Ali dapat memecahkan
suatu soal matematika dengan benar dan lebih cepat dibandingkan dengan
anak-anak sebayanya, maka Ali dapat dikatan sebagai anak yang cerdas.
Tetapi, bila Mansur (seorang anak yang lebih muda usianya, misalnya
kelas III) dapat memecahkan soal untuk kelas V dengan benar dan relatif
cepat dibandingkan dengan kebanyakan anak-anak usia kelas V, maka
Mansur bisa dikatakan sangat cerdas.
Intellegensi atau kecerdasan, merupakan suatu kemampuan tertinggi
dari jiwa makhluk hidup yang hanya dimiliki oleh manusia. Intellegensi ini
diperoleh sejak lahir, dan sejak itu pula potensi intellegensi ini mulai
berfungsi mempengaruhi tempo dan kualitas perkembangan individu, dan
manakala sudah berkembang, maka fungsinya semakin berarti lagi bagi
manusia yaitu akan mempengaruhi kualitas penyesuaian dirinya dengan
lingkungannya. Kemampuan intellegensi dalam arti yang disebutkan
terakhir bukanlah kemampuan genetis yang dibawa sejak lahir, melainkan
merupakan hasil pembentukan atau perkembangan yang dicapai seorang
individu.32 Jadi kecerdasan itu bisa dididik dan dikembangkan sejak
seseorang itu lahir ke dunia ini, dengan kata lain, orang tua yang memiliki
kecerdasan yang tinggi belum tentu akan mewarisi kecerdasan itu kepada
anaknya. Anak tidak memiliki taraf kecerdasan yang sudah terbentuk dan
30
Jhon. W. Santrock, Perkembangan Anak Terj. dari Child Development, Eleventh Edition
oleh Mila Rachmawati dan Anna Kuswanti, (Jakarta: Erlangga, 2007), Jilid 1, Edisi Kesebelas,
hal. 317.
31
Suharsono, Mencerdaskan Anak: Mensintesakan Kembali Intelegensi Umum (IQ) dan
Intelegensi Emosional (EQ) dengan Intelegensi Spritual, (Jakarta: Inisiasi Press, 2000), Cet. I, hal.
34
32
M. Alisuf Sabri, Pengantar Psikologi Umum dan Perkembangan , (Jakarat: CV. Pedoman
Ilmu Jaya, 2001), cet. III, hal. 111.
22
tidak juga memiliki tempo perkembangan yang tidak bisa diubah.
Lingkungan dapat meningkatkan atau menurunkan taraf kecerdasan anak,
terutama pada masa-masa permulaan hidupnya.33
Oleh karena itu, persoalan berkenaan dengan kecerdasan adalah –
berbeda dengan tinggi, berat, dan usia – kecerdasan tidak dapat diukur
secara langsung. Kita tidak dapat membuka tempurung kepala seseorang
untuk melihat seberapa banyak kecerdasan yang ia miliki, kita hanya dapat
mengevaluasi kecerdasan secara tidak langsung dengan cara mempelajari
dan membandingkan tindakan kecerdasan yang ditunjukkan oleh orangorang.34
Maka fokus kecerdasan yang dimaksud dalam penelitian ini adalah
kecerdasan yang berkaitan dengan emosi. Dari beberapa definisi
kecerdasan diatas, penulis menyimpulkan arti dari kecerdasan itu sendiri
sebagai
kemampuan
menggunakan
ilmu
dengan
efektif
dan
menggabungkan informasi yang didapat dari penyesuaian diri dengan
situasi secara tepat dan efektif.
2. Pengertian Emosi
Selanjutnya, akar kata emosi adalah movere, kata kerja Bahasa Latin
yang berarti “menggerakkan, bergerak”, ditambah awalan “e-“ untuk
memberi arti “bergerak menjauh”, menyiratkan bahwa kecenderungan
bertindak merupakan hal mutlak dalam emosi.35
Menurut Richard S. Lazarus yang dikutip oleh M. darwis Hude dalam
bukunya, mendefinisikan emosi sebagai berikut:
Emotion: Differently described and explained by different psychologist,
but all agree that is a complex state of the organism, involving bodily
changes of a widespread character, --in breating, pulse, gland
secretion, etc. –and, on the mental side, a state of excitement or
perturbation, marked by strong feeling, and usually an impulse toward
a difinite form of behaviour. If the emotion is intense there is some
33
Joan Beck, Meningkatkan Kecerdasan Anak, (Jakarta: Pustaka Delapratasa, 1994), hal. 14.
Santrock, op.cit, hal. 317.
35
Daniel Goleman, Kecerdasan Emosional Terj. dari Emotional Intellegenceoleh T. Hermaya,
(Jakarta:Gramedia Pustaka Utama, 1996), Cet.1, hal. 7.
34
23
disturbance of the intellectual functions, a measure of dissosiation, and
a tendency towards action of an ungraded or protopathic character.
Beyond this description anything else would mean an entrance into the
controversial field.
(Emosi: dilukiskan dan dijelaskan secara berbeda oleh psikolog yang
berbeda, namun semua sepakat bahwa emosi adalah bentuk yang
kompleks dari organisme, yang melibatkan perubahan fisik dari
karakter yang luas –dalam bernafas, denyut nadi, produksi kelenjar,
dsb- dan, dari sudut mental, adalah suatu keadaan senang atau cemas,
yang ditandai adanya perasaan yang kuat, dan biasanya dorongan
menuju bentuk nyata dari suatu tingkah laku. Jika emosi itu sangat kuat
akan terjadi sejumlah gangguan terhadap fungsi intelektual, tingkat
disasosiasi dan kecenderungan terhadap tindakan yang bersifat tidak
terpuji. Diluar deskripsi ini, hal lain akan berarti masuk ke dalam
bidang yang kontroversial).36
M. Darwis Hude sendirimengartikan emosi sebagai gejala psikofisiologis yang menimbulkan efek pada persepsi, sikap dan tingkah laku
serta diekspresikan dalam bentuk ekspresi tertentu. Emosi dirasakan secara
psiko-fisik karena terkait langsung dengan jiwa dan fisik. Ketika emosi
bahagia meledak-ledak, ia secara psikis memberi kepuasan, tapi secara
fisiologis membuat jantung berdebar-debar atau langkah kaki terasa
ringan, juga tak terasa ketika berteriak puas kegirangan. Biasanya emosi
merupakan reaksi terhadap rangsangan dari luar dan dalam diri individu.
Sebagai contoh emosi gembira mendorong perubahan suasana hati
seseorang, sehingga secara fisiologi terlihat tertawa, emosi sedih
mendorong seseorang berperilaku menangis.37
Netty Hartati mengartikan emosi sebagai suasana kesadaran individu.
Emosi lebih kompak dari pada perasaan, dan emosi dapat timbul dari
kombinasi beberapa perasaan.Singkatnya, perasaan merupakan bagian dari
emosi. Jadi emosi dapat dapat didefinisikan sebagai stirred up or aroused
36
M. Darwis Hude, Emosi: Penjelajahan Religio-Psikologis tentang Emosi Manusia di dalam
Al-Quran, (Jakarta: Erlangga, 2006), hal.17.
37
Ibid., hal. 18
24
state of the human organization (emosi merupakan sesuatu keadaan yang
bergejolak dalam diri manusia). 38
Berbeda dengan Netty Hartati, Triantoro Safariamengartikan emosi
sebagai bentuk komunikasi yang dapat mempengaruhi orang lain. Guratan
ekspresi yang terlihat pada raut muka seseorang adalah bagian dari
emosi.Sejak dahulu di dalam kehidupan masyarakat primitif, dan di dalam
dunia buas binatang, guratan ekspresi merupakan bentuk komunikasi
seperti kata-kata.Saat sekarang pada masyarakat modern, guratan ekspresi
merupakan bentuk komunikasi yang lebih cepat dari kata-kata. 39
Salah satu pengendali kematangan emosi adalah pengetahuan yang
mendalam mengenai emosi itu sendiri. Banyak orang tidak tahu menahu
mengenai emosi atau bersikap negatif terhadap emosi karena kurangnya
pengetahuan akan aspek ini. Seorang anak yang terbiasa dididik orang
tuanya untuk tidak boleh menangis, tidak boleh terlalu memakai perasaan
akhirnya akan membangun kerangka berpikir bahwa perasaan, memang
sesuatu yang negatif dan oleh karena itu harus dihindari. Akibatnya anak
akan menjadi sangat rasional, sulit untuk memahami perasaan yang
dialami orang lain.
Emosi berperan penting dalam kehidupan.Menurut banyak bukti,
perasaan adalah sumber daya terampuh yang kita miliki. Emosi adalah
penyambung hidup bagi kesadaran diri dan kelangsungan diri yang secara
mendalam menghubungkan kita dengan diri kita sendiri dan dengan orang
lain, serta dengan alam dan kosmos.40
Banyak para ahli yang berbeda-beda pendapat dalam mengartikan
emosi ini, karena pada saat mereka mendefinisikan arti emosi tersebut,
kondisi emosi mereka juga berbeda-beda. Penulis sendiri mengartikan
emosi sebagai perubahan reaksi tubuh dalam menghadapi situasi tertentu.
38
Netty Hartati, Islam dan Psikologi, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2004), hal. 89-90.
Triantoro Safaria dan Nofrans Eka Saputra, Manajemen Emosi: Sebuah Panduan Cerdas
Bagaimana Mengelola Emosi Positif dalam Hidup Anda, (Jakarta: Bumi Aksara, 2009), Cet. I,
hal.16.
40
Jeanne Segal, Melejitkan Kepekaan Emosional: Cara Baru Praktis untuk Mendayagunakan
Potensi Insting dan Kekuatan Emosi Anda, (Bandung: Kaifa, 2000), Cet. I, hal. 19.
39
25
Dengan kata lain emosi merupakan suatu gejala perubahan psiko-fisiologis
yang bergejolak dalam diri manusia yang kemudian akan diekspresikannya
dalam bentuk sikap dan tingkah laku.
3. Perkembangan Emosi Anak
Pada setiap individu yang berkembang, perkembangannya meliputi
semua aspek kepribadian termasuk emosinya. Seiring berjalannya waktu,
perkembangan emosi terpengaruh oleh budaya, sehingga membentuk polapola ekspresi dan pengendalian emosi.Menurut Bimo
Walgito,41
perkembangan emosi setiap individu yang normal umumnya terdapat
memiliki gejala-gejala kejiwaan atau pernyataan-pernyataan jiwa yang
secara garis besarnya dibagi menjadi 4 bagian, yaitu:
a. Gejala
pengenalan
(kognisi)
yang
termasuk
kegiatan
psikis
pengenalan/kognisi ini adalah gejala-gejala jiwa seperti pengamatan,
tanggapan, ingatan, asosiasi, fantasi, berpikir, dan intellegensi.
b. Gejala jiwa perasaan (emosi), gejala jiwa ini dibagi menjadi 2 bagian:
perasaan-perasaan rendah (jasmaniah)dan perasaan-perasaan luhur
(ruhaniah). Perasaan-perasaan jasmaniah seperti perasaan pengindraan
dan perasaan kita. Sedangkan perasaan ruhaniah, seperti perasaan
keindahan, perasaan ke-Tuhanan, perasaan sosial, perasaan kesusilaan
dan perasaan intelektual.
c. Gejala jiwa kehendak (konasi): gejala kehendak ini ada 2 macam,
yaitu gejala kehendak yang indrawiah dan gejala kehendak ruhaniah.
Contoh dari kehendak indrawiah seperti trofisme, refleks, insting,
nafsu, kebiasaan, keinginan dan kecenderungan. Semua gejala
kehendah di atas tidak dipengaruhi oleh pikiran, dan gejala kehendak
yang ruhaniah, yaitu kemauan.
d. Gejala campuran yang termasuk gejala pikir ini adalah minat dan
perhatian, kelelahan dan sugesti.
41
Riana Mashar, Emosi Anak Usia Dini dan Strategi Pengembangannya, (Jakarta: Kencana,
2011), Cet. Ke-II, hal. 60
26
Pembagian gejala-gejala kejiwaan seperti ini banyak dipopulerkan
oleh para psikologi Eropa guna memudahkan orang dalam mempelajari
gejala-gejala kejiwaan pada manusia yang normal, karena setiap individu
manusia yang normal dan berbudaya dimanapun berada pada dirinya
terdapat keempat jenis gejala-gejala tersebut baik gejala pengenalan, gejala
perasaan (emosi), gejala kehendak, gejala-gejala campuran seperti
disebutkan diatas.42
Dalam diri individu biasanya memiliki emosi dominan. Menurut
Hurlock,43 emosi dominan adalah salah satu atau beberapa jenis emosi
yang berpengaruh kuat terhadap perilaku individu. Emosi dominan tidak
ditentukan oleh faktor bawaan tetapi lebih berhubungan dengan faktor
lingkungan tempat individu tumbuh, berhubungan dengan orang yang
berarti untuk kehidupannya dan bimbingan yang diterima dalam
mengendalikan emosi.
Emosi dominan pada diri individu akan
mempengaruhi kepribadian anak dan memengaruhi kemampuan sosialnya.
Emosi yang dominan akan menentukan suasana hati yang dirasakan. Anak
yang memiliki emosi dominan riang, akan memandang ringan rintangan
yang menghalangi langkahnya.
Dalam perkembangannya secara umum, emosi memliki fungsi dan
peranan dalam kehidupan seseorang sebagai berikut:
a. Merupakan bentuk komunikasi sehingga anak dapat menyatakan
segala kebutuhan dan perasaannya pada orang lain. Sebagai contoh,
anak yang merasakan sakit atau marah biasanya mengekspresikan
emosinya dengan menangis. Menangis merupakan bentuk komunikasi
anak dengan lingkungannya pada saat ia belum mampu mengutarakan
perasaannya dalam bentuk bahasa verbal. Demikian pula halnya
ekspresi tertawa terbahak-bahak, ataupun memeluk ibunya dengan
erat. Ini merupakan contoh bentuk komunikasi anak yang bermuatan
emosional.
42
43
Hartati,op.cit.,hal. 92-93.
Mashar, op.cit, hal. 68
27
b. Emosi berperan dalam mempengaruhi kepribadian dan penyesuaian
diri anak dengan lingkungan sosialnya, antara lain:
1) Tingkah laku emosi anak yang ditampilkan merupakan sumber
penilaian
lingkungan
sosial
terhadap
dirinya.
Penilaian
lingkungan sosial ini akan menjadi dasar individu dalam menilai
dirinya sendiri. Penilaian ini akan membentuk konsep diri anak
berdasarkan perlakuan tersebut. Sebagai contoh jika seorang anak
sering mengekspresikan ketidaknyamanannya dengan menangis,
lingkungan sosialnya akan menilai ia sebangai anak yang
“cengeng”. Anak akan diperlakuan sesuai dengan penilaiannya
tersebut, misalnya entah sering mengolo-olok anak, mengucilkan
atau menjadi overprotective. Perlakuan lingkungan terhdap anak
berpengaruh terhadap penilaian dan kepribadian diri anak.
2) Emosi
menyenangkan
atau
tidak
menyenangkan
dapat
memengaruhi interaksi sosial anak melalui reaksi-reaksi yang
ditampilkan lingkungannya. Melalui reaksi lingkungan sosial
anak dapat belajar untuk membentuk tingkah laku emosi yang
dapat diterima lingkungannya.
3) Emosi dapat memengaruhi iklim psikologis lingkungan. Tingkah
laku emosi anak yang ditampilkan dapat menentukan iklim
psikologis lingkungan. Artinya jika ada seorang anak yang
pemarah dalam suatu kelompok, maka dapat mempengaruhi
kondisi psikologis lingkungannya saat itu, misalnya permainan
menjadi tidak menyenangkan, timbul pertengkaran, atau malah
bubar.
4) Tingkah laku yang sama dan ditampilkan secara berulang dapat
menjadi suatu kebiasaan. Artinya, jika seorang anak yang ramah
dan suka menolong merasa senang dengan perilakunya tersebut
dan lingkungan pun menyukainya, maka anak akan melakukan
perbuatan tersebut berulang-ulang hingga akhirnya menjadi
kebiasaan.
28
5) Ketegangan emosi yang dimiliki anak dapat menghambat atau
mengganggu aktivitas motorik dan mental anak. Seorang anak
yang mengalami stres atau ketakutan dalam menghadapi situasi,
dapat menghambat anak ini untuk melakukan aktivitas. Misalnya,
seorang anak yang menolak bermain finger painting (melukis
dengan jari tangan) karena takut akan mengotori bajunya dan
dimarahi orang tuanya. Aktivitas finger painting
sangat baik
untuk melatih motorik halus dan indra peraba, namun karena
hambatan emosional yang dialami, anak menjadi kehilangan
keberanian untuk mencobanya dan kesempatan pengembangan
dirinya terhambat.44
Menginjak usia sekolah, anak mulai menyadari bahwa pengungkapan
emosi secara kasar tidaklah diterima oleh masyarakat. Oleh karena itu, dia
mulai belajar untuk mengendalikan dan mengontrol ekspresi emosinya.
Kemampuan mengontrol emosi diperoleh anak melalui peniruan dan
latihan (pembiasaan). Dalam proses peniruan, kemampuan orang tua
dalam mengendalikan emosinya sangatlah berpengaruh. Apabila anak
dikembangkan dalam lingkungan keluarga yang suasana emosinya stabil,
maka perkembangan emosi anak cenderung stabil. Akan tetapi, apabila
kebiasaan orang tua dalam mengekspresikan emosinya kurang stabil dan
kurang kontrol (seperti, melampiaskan kemarahan dengan sikap agresif,
mudah mengeluh, kecewa atau pesimis dalam menghadapi masalah), maka
perkembangan emosi anak cenderung kurang stabil. Emosi-emosi yang
secara umum dialami pada tahap perkembangan usia sekolah ini adalah
marah, takut, cemburu, iri hati, kasih sayang, rasa ingin tahu, dan
kegembiraan (rasa senang, nikmat atau bahagia).
Ketika anak menginjak usia 6 tahun, ia akan memiliki keterikatan
yang baik dengan orang tuanya, dan dalam batas-batas tertentu akan
terhindar dari ketakutan dan kegoncangan. Ia akan memahami dengan baik
44
Mashar, op.cit, hal. 70.
29
emosi dan perasaannya, serta mampu mengungkapkannya dengan bahasa
yang tepat.
Pada usia antara tujuh hingga delapan tahun, kesadaran anak atas
kehidupan pribadi dan privasi-nya akan bertambah. Ia akan lebih
bersinggungan dengan gagasan dan emosi khususnya. Pada usia ini pula
anak mulai membandingkan dirinya dengan teman seusianya. Ia akan lebih
memperhatikan kemampuannya, serta apa yang sanggup dan tidak
sanggup dilakukannya.
Pada usia antara 9 hingga 10 tahun, perhatian anak pada permainan
emajiner akan berkurang. Ia akan bertambah agresif dalam menekan
teman-temannya. Karena ia mulai mempunyai perasaan bersalah,
terkadang ia tidak membutuhkan orang lain yang menunjukkan benar atau
salahnya suatu perbuatan.45
Menurut Aliah B. Purwakania Hasan, anak pada usia ini mulai
mengetahui kapan harus mengontrol ekspresi emosi dan juga menguasai
keterampilan
regulasi
perilaku
yang
memungkinkan
mereka
menyembunyikan emosinya dengan cara yang sesuai dengan aturan sosial.
Pada usia ini anak juga lebih sensitif terhadap isyarat lingkungan sosial
yang mengatur keputusan dalam mengontrol emosi negatif. Secara umum,
anak juga lebih banyak mengatur kemarahan dan kesedihannya kepada
teman-temannya daripada orang tuanya, karena mereka mengharapkan
emosi negatif dari teman-temannya, seperti ejekan. 46
Emosi merupakan faktor dominan yang mempengaruhi tingkah laku
individu, dalam hal ini termasuk pula perilaku belajar. Emosi yang positif
seperti perasaan senang, bergairah, bersemangat atau rasa ingin tahu akan
mempengaruhi individu untuk mengonsentrasikan dirinya terhadap
45
Makmun Mubayidh, Kecerdasan dan Kesehatan Emosional Anak, Terj. dari Adz-Dzaka’ AlAthifli wa Ash-Shihhah Al-Athifiyah oleh Muh. Muchson Anasy, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar,
2006), Cet. I, hal. 67.
46
Aliah B. Purwakania Hasan, Psikologi Perkembangan Islami: Menyingkap rentang
kehidupan manusia dari prakelahiran hingga pasca kematian, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,
2008), hal. 168-169.
30
aktivitas belajar, seperti memperhatikan penjelasan guru, membaca buku,
aktif dalam berdiskusi, mengajarkan tugas, dan disiplin dalam belajar.
Sebaliknya, apabila yang menyertai proses itu emosi negatif, seperti
perasaan tidak senang, kecewa, tidak bergairah, maka proses belajar akan
mengalami hambatan, dalam arti individu tidak dapat memusatkan
perhatiannya untuk belajar sehingga kemungkinan besar dia akan
mengalami kegagalan dalam belajarnya.
Mengingat hal tersebut, maka guru sepatutnya mempunyai kepedulian
untuk menciptakan situasi belajar yang menyenangkan atau kondusif bagi
terciptanya proses belajar mengajar yang efektif. Upaya yang dapat
dilakukan, antara lain:
a. Mengembangkan iklim kelas yang bebas dari ketegangan (seperti,
guru bersikap atau tidak judes)
b. Memperlakukan peserta didik sebagai individu yang mempunyai
harga diri (seperti, tidak menganaktirikan atau menganakemaskan
anak, tidak mencemoohkan anak, dan menghargai anak)
c. Memberikan nilai secara objektif
d. Menghargai hasil karya peserta didik dan sebagainya. 47
4. Pengertian Kecerdasan Emosional
Istilah “Kecerdasan Emosional” pertama kali dilibatkan pada tahun
1990 oleh psikolog Peter Solovey dari Harvard University dan Jhon Mayor
dari University of New Hampshire untuk menerangkan kualitas-kualitas
emosional yang tampaknya penting bagi keberhasilan.48
Menurutnya kualitas-kualitas itu meliputi : empati, mengungkapkan
dan
memahami
perasaan,
mengendalikan
amarah,
kemandirian,
menyesuaikan diri, disukai, kemampuan menyelesaikan masalah antar
pribadi, ketekunan, kesetiakawanan, keramahan dan sikap hormat.
47
Syamsu Yusuf, Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja, (Bandung: PT Remaja
Rosdakarya, 2012), Cet. Ke-13, hal. 181-182.
48
Lawrence E. Shapiro, Mengajarkan Emotional Intellegence pada Anak, Terj. dariHow to
Raise A Child with A High EQ: A Parents’ Guide to Emotional Intellegence oleh Alex Tri
Kantjono, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1997), hal. 5.
31
Salovey dan Mayer mendefinisikan kecerdasan emosional sebagai
“kemampuan merasakan dan mengekspresikan emosi dengan tepat, sesuai
situasi (seperti menerima perspektif orang lain), kemampuan memahami
emosi dan pengetahuan emosional (seperti, memahami peran emosi dalam
hubungan
pertemanandan
pernikahan),
kemampuan
menggunakan
perasaan guna melancarkan pemikiran (seperti, berada dalam suasana hati
yang positif yang dikaitkan dengan pemikiran kreatif), serta kemampuan
mengatur emosi diri sendiri dan orang lain (seperti, kemampuan
mengendalikan amarah)”.49
Sedangkan Daniel Goleman mengartikan kecerdasan emosional
dengan kemampuan mengenali perasaan diri kita sendiri dan perasaan
orang lain, kemampuan memotivasi diri sendiri, dan kemampuan
mengelola emosi dengan baik pada diri sendiri, dan dalam hubungannya
dengan orang lain. Lanjutnya, orang-orang yang terampil dalam
kecerdasan sosial dapat menjalin hubungan dengan orang laindengan
cukup lancar, peka membaca reaksi dan perasaan mereka, mampu
memimpin dan mengorganisir, dan pintar menangani perselisihan yang
muncul dalam setiap kegiatan manusia. Mereka adalah pemimpinpemimpin alamiah, orang yang mampu menyuarakan perasaan kolektif
serta merumuskannya dengan jelas sebagai panduan bagi kelompok untuk
meraih sasaran. Mereka adalah jenis orang yang disukai oleh orang
disekitarnya karena secara emosional mereka menyenangkan, mereka
membuat orang lain merasa tenteram, dan menimbulkan komentar,
‘menyenangkan sekali bergaul dengannya.’50
Cooper dan Sawaf dalam bukunya Executive EQ, yang dikutip oleh
Agus Efendi mendefinisikan kecerdasan emosional sebagai berikut:
“Emotional Intellegence is ability to sense, understand, and effectively
apply the power and acumen of emotion as a source of human energy,
information, connection, and influence.” (Kecerdasan emosional adalah
49
Santrock, op. cit., hal. 326.
Agus Efendi, Revolusi Kecerdasan Abad 21: Kritik MI, EI, SQ, AQ dan Successful
Intellegence Atas IQ, (Bandung: Alfabeta, 2005), hal. 171-172.
50
32
kemempuan merasakan, memahami, dan secara efektif mengaplikasikan
kekuatan serta kecerdasan emosi sebagai sumber energi manusia,
informasi, hubungan, dan pengaruh). 51
Menurut Agus Efendi sendiri menyimpulkan bahwa kecerdasan
emosional itu antara lain adalah jenis kecerdasan yang fokusnya
memahami, mengenali, merasakan, mengelola dan memimpin perasaan
diri sendiri dan orang lain serta mengaplikasikannya dalam kehidupan
pribadi
dan
sosial,
kecerdasan
dalam
memahami,
mengenali,
meningkatkan, mengelola dan memimpin motivasi diri sendiri dan orang
lain untuk mengoptimalkan fungsi energi, informasi, hubungan dan
pengaruh bagi pencapaian-pencapaian tujuan yang dikehendaki dan
ditetapkan. 52
Sesuai definisi tentang Kecerdasan emosional (EI) yang disampaikan
oleh Daniel Goleman, yaitu kesanggupan untuk memperhitungkan atau
menyadari situasi tempat kita berada, untuk membaca emosi orang lain
dan emosi kita sendiri, serta untuk bertindak dengan cepat. Oleh sebab itu,
keterampilan untuk dapat mengenali kapan anda merasakan suatu emosi
dan mengidentifikasi parasaan anda serta kepekaan terhadap hadirnya
perasaan dalam diri orang lain merupakan salah satu sisi dari kecerdasan
emosional itu. Menyadari satu perasaan ketika perasaan itu sedang
berlangsung adalah juga landasan kecerdasan emosional yang paling kita
butuhkan.53
Dari definisi ini, kecerdasan Emosional mempunyai empat dimensi,
yaitu:
a. Mengenali, menerima, dan mengekspresikan emosi. Yaitu dengan cara
mampu membaca emosi yang tergambarkan pada wajah, suara, gerak
anggota badan, alunan musik, intisari cerita, dan juga mampu
mengungkapkan emosi-emosi ini dengan baik. Mampu membedakan
51
Ibid., hal. 172.
Ibid., hal. 173.
53
Andreas Hartono, EQ Parenting: Cara Praktis Menjadi Orangtua Pelatih Emosi, (Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama, 2012), Cet. II, hal.11
52
33
emosi orang lain, bentuk, dan tulisan, baik melalui suara, ekspresi
wajah dan tingkah laku.
b. Menyertakan emosi dalam kerja-kerja intelektual. Dengan cara
mampu mengaitkan emosi tertentu dengan tindakan responsive akal,
emosi mampu mengurutkan prioritas berpikir atau emosi mampu
mengarahkan kita untuk memikirkan suatu masalah yang jauh lebih
penting daripada masalah-masalah lainnya.
c. Memahami
dan
menganalisa
emosi.
Menambah
kemampuan
menganalisa masalah-masalah emosi, menganalisa emosi untuk
membedakan antara emosi yang serupa dan emosi yang bertolakbelakang, dan menggunakan pengetahuan ini dalam kehidupan seharihari. Mampu menafsirkan tanda-tanda yang disampaikan emosi.
Memahami nilai dan arti emosi dalam kehidupan manusia dan
keberlangsungan hudipnya.
d. Mengelola emosi. Memahami sejauh mana perilaku social dapat
mempengaruhi emosi, pengendalian emosi sendiri atau emosi orang
lain,
dan
mengetahui perkembangan
emosi
sendiri.
Mampu
bertanggung jawab secara pribadi atas perasaan dan kebahagiaannya.
Mampu membantu orang lain untuk mengenali dan memanfaatkan
emosinya.
Jadi
kecerdasan
emosional
(Emotional
Intellegence)
adalah
merupakan kemampuan untuk memahami emosi diri sendiri dan orang
lain, mengatur emosi dan dapat mengekspresikan emosi tersebut secara
tepat hingga mampu menyesuaikan diri secara mental terhadap lingkungan
yang dihadapi serta mampu merespon secara positif terhadap setiap
kondisi yang merangsang munculnya emosi-emosi tersebut. Dan juga
kecenderungan untuk bertindak serta suatu sikap yang dimiliki seseorang
yang dapat mempengaruhi keberhasilannya, karena kecerdasan IQ tidak
menjamin keberhasilan tanpa adanya kecerdasan emosional.
Orang yang memiliki kecerdasan emosional dalam hidupnya, ia akan
lebih bertanggung jawab, lebih tegas, lebih populer, dan mudah bergaul,
34
lebih bersifat sosial dan suka menolong, lebih memahami orang lain, lebih
tenggang rasa, penuh perhatian, lebih pintar menerapkan strategi yang
lebih peduli lingkungan untuk menyelesaikan masalah antar pribadi, lebih
harmonis, lebih demokratis, dan lebih trampil dalam menyelesaikan
konflik.
Kecerdasan emosi yang diperlukan untuk mengatasi berbagai masalah
kehidupan ini, terbukti merupakan dasar penting untuk menjadi manusi
dewasa yang bertanggung jawab, penuh perhatian dan cinta kasih, serta
produktif.Berbagai penelitian dalam bidang psikologi anak membuktikan
bahwa anak-anak yang memiliki kecerdasan emosi yang tinggi adalah
anak-anak yang bahagia, percaya diri, populer dan lebih sukses di
sekolah.Mereka lebih mampu menguasai gejolak emosi, menjalin
hubungan yang harmonis dengan orang lain, bisa mengelola stress dan
memiliki kesehatan mental yang baik.
Mengacu dari definisi-definisi kecerdasan emosional diatas, penulis
menyimpulkan bahwa kecerdasan emosional merupakan salah satu
kemampuan atau keterampilan seseorang untuk memotivasi diri sendiri
dan dapat memahami, mengenali, merasakan dan mengelola emosi atau
perasaan diri sendiri maupun orang lain dan mengaplikasikannya dalam
kehidupan pribadi dan sosialnya. Dengan memiliki kemampuan itu, maka
seseorang akan dengan mudah membaca reaksi dan perasaan orang lain,
pintar dalam menangani perselisihan yang muncul dalam kegiatan
masyarakat sehingga akan memudahkan kita dalam berinteraksi seharihari.
5. Komponen Kecerdasan Emosional
Dalam buku Psikologi Perkembangan karya Desmita, Daniel Goleman
mengklasifikasikan kecerdasan emosional atas lima komponen penting,
yaitu:54
54
Desmita,Psikiologi Perkembangan, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2012), cet. Ke-7,
hal.170-172.
35
a. Mengenali emosi diri – kesadaran diri (knowing one’s emotions-selfawareness), yaitu mengetahui apa yang dirasakan seseorang pada suatu
saat dan menggunakannya untuk memandu pengambilan keputusan diri
sendiri, memiliki tolok ukur yang realistis atas kemampuan diri dan
kepercayaan diri yang kuat. Kesadaran diri memungkinkan pikiran
rasional memberikan informasi penting untuk menyingkirkan suasana
hati yang tidak menyenangkan. Pada saat yang sama, kesadaran diri
dapat membantu mengelola diri sendiri dan hubungan antar personal
serta menyadari emosi dan pikiran sendiri. Semakin tinggi kesadaran
diri, maka akan semakin pandai dalam menangani perilaku negatif pada
diri sendiri.
b. Mengelola emosi (managing emotions), yaitu menangani emosi sendiri
agar berdampak positif bagi pelaksanaan tugas, peka terhadap kata hati
dan sanggup menunda kenikmatan sebelum tercapainya suatu tujuan,
serta mampu menetralisir tekanan emosi. Orang yang memiliki
kecerdasan emosional adalah orang yang mampu menguasai, mengelola
dan mengarahkan emosinya dengan baik. Pengendalian emosi tidak
hanya berarti meredam rasa tertekan atau menahan gejolak emosi,
melainkan juga bisa berarti dengan sengaja menghayati suatu emosi,
termasuk emosi yang tidak menyenangkan.
c. Motivasi diri (motivating oneself), yaitu menggunakan hasrat yang
paling dalam untuk menggerakkan dan menuntun manusia menuju
sasaran, membantu mengambil inisiatif dan bertindak sangat efektif
serta bertahan menghadapi kegagalan dan frustasi. Kunci motivasi
adalah memanfaatkan emosi, sehingga dapat mendukung kesuksesan
hidup seseorang. Ini berarti bahwa antara motivasi dan emosi
mempunyai hubungan yang sangat erat. Perasaan (emosi) menentukan
tindakan seseorang, dan sebaliknya perilaku sering kali menentukan
bagaimana emosinya. Bahkan menurut Goleman, motivasi dan emosi
pada dasarnya memiliki kesamaan, yaitu sama-sama menggerakkan.
Motivasi menggerakkan manusia untuk meraih sasaran, emosi menjadi
36
bahan
bakar
untuk
motivasi,
dan
motivasi
pada
gilirannya
menggerakkan persepsi dan membentuk tindakan-tindakan.
d. Mengenali emosi orang lain (recognizing emotions in other) – empati,
yaitu kemampuan untuk merasakan apa yang dirasakan orang lain,
mampu memahami perspektif mereka, menumbuhkan hubungan saling
percaya dan menyelaraskan diri dengan orang banyak atau masyarakat.
Hal ini berarti orang yang memiliki kecerdasan emosional ditandai
dengan kemampuannya untuk memahami perasaan atau emosi orang
lain. Emosi jarang diungkapkan melalui kata-kata, melainkan lebih
sering diungkapkan melalui pesan nonverbal, seperti melalui nada
suara, ekspresi wajah, garak-gerik, dan sebagainya. Kemampuan
mengindra, memahami, membaca perasaan dan emosi orang lain
melalui pesan-pesan non-verbal inimerupakan intisari dari empati.
e. Membina hubungan (handling relationships), yaitu kemampuan
mengendalikan dan menangani emosi dengan baik ketika berhubungan
dengan orang lain, cermat membaca situasi dan jaringan sosial,
berinteraksi dengan lancar, memahami dan bertindak bijaksana dalam
hubungan antar manusia. Singkatnya, keterampilan sosial merupakan
seni mempengaruhi orang lain.
Kelima aspek emosi ini, oleh Syamsu Yusuf dijabarkan dalam
pemetaan yang sistematis berdasarkan aspek/unsur dan ciri-ciri kecerdasan
emosi,55 yang ditunjukan dalam Tabel 2.1.
Tabel 2.1 Aspek Emosi dan Karakteristik Pelakunya
ASPEK
KARAKTERISTIK PELAKU
a. Mengenal dan merasakan emosi diri
1. Kesadaran Diri
sendiri
b. Memahami penyebab perasaan yang
55
Yusuf, op.cit, hal. 113.
37
timbul
c. Mengenal pengaruh perasaan dalam
tindakan
a.
Bersikap toleran terhadap frustasi dan
mampu mengelola amarah secara baik
b.
Lebih mampu mengungkapkan amarah
dengan tepat
c.
Dapat mengendalikan perilaku agresif
yang merusak diri sendiri dan orang
2. Mengelola emosi
lain
d.
Memiliki perasaan yang positif tentang
diri sendiri, sekolah dan keluarga
e.
Memiliki kemampuan untuk mengatasi
ketegangan jiwa (stress)
f.
Dapat mengurangi perasaan kesepian
dan cemas dalam pergaulan
3. Memanfaatkan emosi
secara Produktif
a.
Memiliki rasa tanggung jawab
b.
Mampu memusatkan perhatian pada
tugas yang dikerjakan
c.
Mampu mengendalikan diri dan tidak
bersifat impulsif
a.
Mampu menerima sudut pandang orang
lain
4. Empati
b.
Memiliki kepekaan terhadap perasaan
orang lain
c.
Mampu mendengarkan orang lain
a.
Memiliki pemahaman dan kemampuan
untuk menganalisis hubungan dengan
5. Membina hubungan
orang lain.
b.
Dapat menyelesaikan konflik dengan
38
orang lain
c.
Memiliki kemampuan berkomunikasi
dengan orang lain
d.
Memiliki sikap bersahabat atau mudah
bergaul dengan teman sebaya
e.
Memiliki sikap tenggang rasa dan
perhatian terhadap orang lain
f.
Memerhatikan kepentingan sosial
(senang menolong orang lain) dan dapat
hidup selaras dengan kelompok
g.
Bersikap senang berbagi rasa dan
bekerja sama
h.
Bersikap demokratis dalam bergaul
dengan orang lain
6. Perkembangan Kecerdasan Emosional Anak
Anak usia dini merupakan masa usia emas dimana perkembangan
otakatau berkembang sangat pesat atau lebih tepatnya saat yang penting
untukmerangsang kemampuan berpikir anak secara optimal. Belajar sejak
kecil berartimenerapkan pengetahuan yang dibutuhkan otak anak selama
tahun-tahun awalperkembangan mereka.Pembelajaran yang tepat sejak dini
diharapkan dapatmenunjang perkembangan mental yang dapat meningkatkan
motivasi belajar agarlebih bergairah dan lebih cerdas.
Anak
selain
tumbuh
secara
fisik,
juga
berkembang
secara
psikologis.Tidak bisa anak yang dulu sewaktu masih bayi tampak begitu lucu
dan penurut,sekarang pada usia 3 tahun misalnya, juga tetap dituntut untuk
lucu dan penurut.Ada fase-fase perkembangan yang dilaluinya dan anak
menampilkan berbagaiperilaku sesuai dengan ciri-ciri masing-masing fase
perkembangan tersebut.
Anak
usia
3-4
tahun
sudah
mempunyai
kemampuan
empati
meskipunmasih sesuai dengan egosentrisnya. Meskipun masih sangat kecil
39
kemampuanempatinya, kalau kita kembangkan dengan baik tentunya anak
usia prasekolah dansekolah dasar mempunyai ketahanan mental yang luar
biasa. Kalau kita amatisecara cermat, anak usia 3 – 4 tahun senang bermain
dengan berpura-pura menjadiorang dewasa. Mereka meniru tingkah laku
orang dewasa yang sedang bekerja,misalnya mencuci piring, memasak,
mengendarai mobil, menggendong bayi,menjadi guru dan sebagainya. Bagi
anak-anak, kegiatan menirukan tersebutsebagai kesempatan untuk belajar
memahami orang lain dan rasa keingintahuannya dapat tersalurkan.56
Dalam upaya mendidik atau membimbing anak, agar mereka dapat
mengembangkan potensi dirinya seoptimal mungkin, maka bagi para
pendidik, orang tua, atau siapa saja yang berkepentingan dalam pendidikan
anak, perlu dan dianjurkan untuk memahami perkembangan anak, karena
ada beberapa alasan berikut:
a. Masa anak merupakan periode perkembangan yang cepat dan terjadinya
perubahan dalam banyak aspek perkembangan.
b. Pengalaman masa kecil mempunyai pengaruh yang kuat terhadap
perkembangan berikutnya.
c. Pengetahuan terhadap perkembangan anak dapat membantu mereka
mengembangkan diri, dan memecahkan masalah yang dihadapinya.
d. Melalui pemahaman tentang
faktor-faktor
yang
mempengaruhi
perkambangan anak, dapat diantisipasi tentang berbagai upaya untuk
memfasilitasi perkembangan tersebut, baik di lingkungan keluarga,
sekolah maupun masyarakat. 57
Masa usia sekolah dasar sering disebut sebagai masa intelektual atau
masa keserasian bersekolah. Pada umur 6 atau 7 tahun biasanya anak telah
matang untuk memasuki sekolah dasar. Pada masa ini, secara relatif anakanak lebih mudah dididik dari pada masa sebelum dan sesudahnya. Masa
ini diperinci lagi menjadi dua fase, yaitu:
56
57
Shapiro,op.cit.,hal. 49-51.
Yusuf, op.cit, hal. 12.
40
a. Masa kelas rendah sekolah dasar, kira-kira 6 atau 7 tahun sampai umur
9 atau 10 tahun. Beberapa sifat anak-anak pada masa ini antara lain
sebagai berikut.
1) Adanya hubungan positif yang tinggi antara keadaan jasmani
dengan prestasi.
2) Sikap
tunduk
kepada
peraturan-peraturan permainan
yang
tradisional.
3) Adanya kecenderungan memuji diri sendiri.
4) Suka membanding-bandingkan dirinya dengan anak yang lain.
5) Apabila tidak dapat menyelesaikan suatu soal, maka soal itu
dinggap tidak penting.
6) Pada masa ini (terutama usia 6-8 tahun) anak menghendaki nilai
yang baik, tanpa mengingat apakah prestasinya memang pantas
diberi nilai baik atau tidak.
b. Masa kelas-kelas tinggi sekolah dasar, kira-kira umur 9 atau 10 tahun
sampai umur 12 atau 13 tahun. Beberapa sifat khas anak-anak pada
masa ini ialah:
1) Adanya minat terhadap kehidupan praktis sehari-hari yang konkret,
hal
ini
menimbulkan
adanya
kecenderungan
untuk
membandingkan pekerjaan-pekerjaan yang praktis.
2) Amat realistik, ingin mengetahui, ingin belajar.
3) Menjelang akhir masa ini telah ada minat kepada hal-hal dan mata
pelajaran khusus, yang oleh para ahli yang mengikuti teori faktor
ditafsirkan sebagai mulai menonjolnya faktor-faktor (bakat-bakat
khusus).
4) Sampai kira-kira umur 11 tahun anak membutuhkan guru atau
orang-orang dewasa lainnya untuk menyelesaikan tugas dan
memenuhi keinginannya. Selepas umur ini pada umumnya anak
menghadapi tugas-tugasnya dengan bebas dan berusaha untuk
menyelesaikannya.
41
5) Pada masa ini, anak memandang nilai (angka rapor) sebagai ukuran
yang tepat (sebaik-baiknya) mengenai prestasi sekolah.
6) Anak-anak pada masa usia ini gemar membentuk kelompok sebaya
biasanya untuk dapat bermain bersama-sama. Dalam permainan itu
biasanya anak tidak lagi terikat kepada peraturan permainan yang
tradisional (yang sudah ada), mereka membuat peraturan sendiri.
Berbeda dengan Alisuf Sabri, ia menyebutkan masa ini sebagai “masa
tidak rapih”, “masa bertengkar” dan “masa menyulitkan”. Anak-anak pada
masa ini disebut usia tidak rapih karena mereka cenderung tidak
memperdulikan atau ceroboh dalam penampilan dan kamarnya juga sangat
berantakan. Masa ini disebut usia bertengkar karena pada masa ini sering
terjadi pertengkaran antara anak dengan keluarga lainnya, sehingga
suasana rumah adakalanya tidak menyenangkan. Dan masa ini ini oleh
orang tua disebut dengan masa menyulitkan karena anak-anak tidak mau
lagi menurut perintah, mereka lebih banyak dipengaruhi/menuruti temantemannya daripada orang tua dan anggota keluarga lainnya. 58
Masa keserasian bersekolah ini diakhiri dengan suatu masa yang
biasanya disebut poeral. Berdasarkan penelitian para ahli, sifat-sifat khas
anak-anak masa poeral ini dapat diringkas dalam dua hal, yaitu:
a. Ditujukan untuk berkuasa: sikap, tingkah laku, dan perbuatan anak
poeral ditujukan untuk berkuasa; apa yang diidam-idamkannya adalah
si kuat, si jujur, si juara dan sebagainya.
b. Ekstraversi: berorientasi keluar dirinya; misalnya, untuk mencari
teman sebayanya untuk memenuhi kebutuhan fisiknya. Anak-anak
masa ini membutuhkan kelompok-kelompok sebaya, pada mereka
dorongan bersaing besar sekali, karena itu masa ini sering diberi ciri
sebagai masa “competitive socialization”.
Suatu hal penting pada masa ini ialah sikap anak terhadap otoritas
(kekuasaan), khususnya otoritas orang tua dan guru. Anak-anak poeral
58
M. Alisuf Sabri, Pengantar Psikologi Umum dan Perkembangan, (Jakarta: Pedoman Ilmu
Jaya, 1993), hal. 155.
42
menerima otoritas orang tua dan guru sebagai suatu hal yang wajar. Justru
karena hal tersebut, anak-anak mengharapkan adanya pihak orang tua dan
guru serta pemegang otoritas orang dewasa lain.59
C. Peran Orang Tua
1. Pengertian Peran
Menurut Friedman,
Peran adalah serangkaian perilaku
yang
diharapkan pada seseorang sesuai dengan posisi sosial yang diberikan baik
secara formal maupun secara informal.
Peran didasarkan pada
ketentuandan harapan, peran yang menerangkan apa yang individuindividu harus lakukan dalam suatu situasi tertentu agar dapat memenuhi
harapan-harapan mereka sendiri atau harapan orang lain menyangkut
peran-peran tersebut.60
Sedangkan
menurut Soerjono
Soekantomendefinisikan peranan
sebagai: Suatu konsep perihal apa-apa yang dapat dilakukan oleh individu
dalam masyarakat sebagai suatu organisasi. 61
Peran dapat dibedakan menjadi dua bagian, yaitu:
a. Peran Formal (Peran yang Nampak Jelas). Yaitu sejumlah perilaku yang
bersifat homogen. Peran formal yang standar terdapat dalam keluarga.
Peran dasar yang membentuk posisi sosial sebagai suami-ayah dan istriibu adalah peran sebagai penyedia, pengatur rumah tangga, memberikan
perawatan, sosialisasi anak, rekreasi, persaudaraan (memelihara
hubungan keluarga paternal dan maternal ), terapeutik, seksual.
b. Peran Informal (Peran Tertutup). Yaitu suatu peran yang bersifat
implisit (emosional) biasanya tidak tampak ke permukaan dan
dimainkan hanya untuk memenuhi kebutuhan emosional individu dan
untuk menjaga keseimbangan dalam keluarga, peran-peran informal
59
Yusuf,op.cit, hal. 24-26.
Pengertian Peran Menurut Para Ahli,2015, (http://www.sarjanaku.com). Di akses pada
tanggal 15 januari 2016.
61
Teguh Aditya, Pengertian Peran, 2015, (http://bukanpekerjasosial.blogspot.com).Di akses
pada tanggal 15 januari 2016.
60
43
mempunyai tuntutan yang berbeda, tidak terlalu dan didasarkan pada
atribut-atribut kepribadian anggota keluarga individual. Pelaksanaan
peran-peran informal yang efektif dapat mempermudah pelaksanaan
peran-peran formal.62
Apabila peran ibu digabungkan dengan dengan peran ayah maka akan
disebut peran orang tua, pastinya pengertian peran orang tua ini akan lebih
luas sehingga perilaku-perilaku yang diharapkan akan lebih beraneka
ragam.
Ketika kata peran dikaitkan dengan kata “orang tua”, maka bisa
memiliki arti sebagai bagian dari tugas utama yang harus dilaksanakan
oleh kedua orang tua baik ayah maupun ibu dalam mengasuh dan
mendidik anak-anaknya.
Peranan merupakan aspek dinamis kedudukan (status), apabila
seseorang telah melaksanakan hak dan kewajibannya sesuai dengan
kedudukannya maka dia telah menjalankan suatu peran. Keduanya tidak
dapat dipisah-pisahkan dan saling bertentangan satu sama lain. Setiap
orang mempunyai macam-macam peranan yang berasal dari pola-pola
pergaulan hidupnya. Hal tersebut sekaligus berarti bahwa peranan
menentukan apa yang diperbuatnya bagi masyarakat kepadanya.
Tidak semua orang mampu mengemban perannya dengan baik karena
ketidaktahuan mereka akan posisi kedudukannya, sehingga banyak orang
yang mengalami kegagalan dalam mencapai tujuannya karena tidak tahu
fungsi dan kedudukannya itu. Oleh sebab itu alangkah baiknya peranan
dilaksanakan
oleh
orang-orang
yang
dianggap
mampu
untuk
melaksanakan perannya. Dan jika suatu peran dilaksanakan dengan baik
maka dapat mewujudkan kehidupan manusia yang aman dan damai.
2. Pengertian Orang Tua
Sebelum membicarakan lebih lanjut mengenai peran dan tanggung
jawab orang tua, wajarlah apabila terlebih dahulu mengetahui siapakah
62
Aditya., loc.cit.
44
sebenarnya yang disebut “orang tua” dalam pendidikan yang berlangsung
dalam rumah tangga. Karena Orang tua merupakan pendidik utama dan
pertama bagi anak-anak mereka, dari merekalah anak mula-mula
menerima pendidikan. Dengan demikian bentuk pertama dari pendidikan
terdapat dalam kehidupan keluarga.63
Istilah orang tua bukanlah kata yang asing lagi di dengar di dalam
kehidupan sehari-hari. Secara umum, Orang tua biasa diartikan sebagai Ibu
dan bapak kandung atau bisa juga orang yang dianggap sudah tua.
Orang tua merupakan orang yang lebih tua atau orang yang
dituakan.Namun umumnya di masyarakat pengertian orang tua itu adalah
orang yang telah melahirkan kita yaitu ibu dan bapak. Ibu dan bapak selain
telah melahirkan kita ke dunia ini, ibu dan bapak jugalah yang mengasuh
dan membimbing anaknya dengan cara memberikan contoh yang baik
dalam menjalani kehidupan sehari-hari, selain itu orang tua juga telah
memperkenalkan anaknya kedalam hal-hal yang terdapat di dunia ini dan
menjawab secara jelas tentang sesuatu yang tidak dimengerti oleh anak.
Maka pengetahuan yang pertama diterima oleh anak adalah dari orang
tuanya.Karena orang tua adalah pusat kehidupan rohani si anak dan
sebagai penyebab berkenalnya dengan alam luar, maka setiap reaksi emosi
anak dan pemikirannya dikemudian hari terpengaruh oleh sikapnya
terhadap orang tuanya di permulaan hidupnya dahulu.64
Jadi, orangtua atau ibu dan bapak memegang peranan yang sangat
penting dan amat berpengaruh atas pendidikan anak-anak.Sejak seorang
anak lahir, ibunyalah yang selalu ada di sampingnya. Oleh karena itu ia
meniru perangai ibunya dan biasanya seorang anak lebih cinta kepada
ibunya, apabila ibu itu menjalankan tugasnya dengan baik dan penuh kasih
sayang. Ibu merupakan orang yang mula-mula dikenal anak yang menjadi
temanya dan yang pertama untuk dipercayainya.
63
Syaiful Bahri Djamarah, Pola Asuh Orang Tua dan Komunikasi dalam Keluarga: Upaya
Membangun Citra Membentuk Pribadi Anak, (Jakarta: Rineka Cipta, 2014), hal. 162.
64
Zakiah Daradjat, Ilmu Jiwa Agama, (Jakarta: Bulan Bintang, 2010), Cet. Ke-17, hal. 46.
45
Dari pengertian diatas penulis mengartikan orang tua (ibu/bapak)
sebagai orang yang melahirkan, merawat, mendidik dan bertanggung
jawab terhadap anak-anaknya dalam berbagai macam aspek kehidupan.
Mereka inilah yang terutama dan utama memegang peranan dalam
kelangsungan hidup suatu rumah tangga atau keluarga.
3. Orang Tua sebagai Pendidik dalam Keluarga
Lingkungan pertama dan utama yang dikenal anak adalah lingkungan
keluarga. Orangtua adalah guru, pembimbing, sekaligus pendorong yang
paling utama bagi anak-anak. Orang tua hendaknya dapat memetakan
langkah-langkah anak demi keberhasilan mereka di masa mendatang.
Melalui orang tua itulah anak pertama kali belajar tentang kebenaran dan
kemudian menanamkan kepercayaan atas kebenaran itu.
Akan tetapi, realitas saat ini tampaknya menunjukan fenomena yang
lain. Kenyataan-kenyataan ekonomi membuat orangtua terpaksa lebih
keras bekerja untuk memberi nafkah bagi keluarganya. Hal ini berarti
sebagian orangtua semakin kekurangan waktu yang dapat mereka gunakan
bersama anak-anak.
Kondisi diatas semakin diperparah lagi dengan kemajuan teknologi,
khususnyateknologi media audio visual seperti televisi. Televisi sebagai
salah satu kemajuan teknologi komunikasi saat ini dapat dinikmati dengan
mudah. Televisi berbagai saluran dapat dinikmati dan mampu menjangkau
komunikan dari berbagai pelosok. Televisi menjadi hiburan yang
ekonomis, menarik dan praktis. Televisi juga menjadi media yang sangat
mendominasi aktivitas keluarga. Keluarga bebas menikmati sajian sesuai
dengan selera tanpa seleksi dan tidak jarang anak sebagai anggota keluarga
hanya berinteraksi dengan televisi daripada dengan anggota keluarga
lainnya termasuk orangtua.
Berhadapan dengan realitas tersebut, tentu kita tidak harus bersikap
ekstrim dengan membuang atau mematikan televisi. Hal yang perlu
dilakukan oleh orangtua adalah menyiasati dengan sebaik mungkin dalam
46
upaya tetap membina komunikasi yang intensif dengan anak sebagai
bagian dari pelaksanaan tanggung jawab pendidikan.
Orangtua sebagai orang pertama dan utama dalam membentuk
perilaku anak hendaknya mampu menyediakan waktu yang memadai
untuk berkumpul bersama keluarga. Hal yang lebih penting adalah kualitas
pertemuan yang dilakukan secara
intensif
dan bukan kuantitas
pertemuan.kesempatan berkumpul harus dimanfaatkan untuk saling
berkomunikasi antar anggota keluarga dengan menumbuhkan keakraban
sesamanya. Dalam situasi demikian diharapkan orang tua memberi makna
pendidikan atau pengaruh yang bermanfaat dalam perkembangan anak.
Semenjak awal kehadirannya di muka bumi, setiap anak melibatkan
peran penting orang tuanya, seperti peran pendidikan. Peran-peran
pendidikan seperti ini tidak hanya menjadi kewajiban bagi orang tua, akan
tetapi sudah menjadi kebutuhan bagi orang tua.
Mendidik anak sudah kewajiban setiap orang tua. Dari aspek ajaran
islam,
mendidik
anak
merupakan
kewajiban
orang
tua
untuk
mempersiapkan anak-anaknya agar memiliki masa depan gemilang dan
tidak ada lagi kekhawatiran terhadap masa depannya kelak, yakni masa
depan yang baik, sehat, dan berdimensi spiritual tinggi. Semua prestasi itu
tidak mungkin diraih orang tua tanpa pendidikan yang baik bagi anak-anak
mereka.
Secara sosial-psikologis, keterlibatan orang tua dalam mendidik anakanaknya adalah tuntutan sosial dan kejiwaannya. Sebab, pada umumnya
setiap individu berkeinginan memiliki posisi terhormat di hadapan orang
lain dan setiap individu menyakini bahwa kehormatan adalah kebutuhan
naluri insaniahnya. Tidak seorang pun menjatuhkan martabatnya sendiri di
hadapan orang lain. Dalam konteks ini, anak adalah simbol sosial dan
kebanggaan psikologis orang tua di lingkungan sosialnya. Lingkungan
(yang baik) juga akan ikut berbangga hati jika terdapat anak, generasi
47
penerus yang berkualitas mampu meninggikan martabat dan nama baik
lingkungan sosial dan bangsanya. 65
Pendidikan yang diberikan oleh orang tua kepada anaknya bersifat
kodrati. Suasana dan strukturnya berjalan secara alami untuk membangun
situasi pendidikan. Situasi pendidikan itu terwujud berkat adanya
pergaulan dan hubungan saling mempengaruhi secara timbal balik antara
orang tua dan anak.66
Dengan demikian, kewajiban tebesar untuk mendidik anak-anak
berada di pundak orang tua. Pendidikan islam dalam keluarga tidak harus
terbelenggu dalam ketradisionalan. Sudah waktunya bagi orang tua untuk
menguasai ilmu-ilmu cara mendidik yang baik dan profesional, sehingga
nantinya diharapkan dapat melahirkan anak yang lebih bermutu dalam
penguasaan dan pengamalan ajaran agamanya.
D. Hasil Penelitian yang Relevan
Dalam penyusunan skripsi ini, penulis menemukan beberapa penelitian
yang relevan yaitu dari hasil penulis sebelumnya. Kajian yang relevan
tersebut antara lain adalah:
1. Penelitian yang dilakukan oleh Khairatul Magfirah yang berjudul
“Peranan Orang Tua dalam Pengembangan Kecerdasan Emosional dan
Spritual Anak (Studi Kasus di Lingkungan RT. 004 RW. O1 Kelurahan
Kamal Muara Kecamatan Penjaringan, Jakarta Utara)”. Penelitian
tersebut menggunakan pendekatan penelitian kualitatif dan metode yang
digunakannya adalah metode deskriptif. Dan hasil dari penelitian tersebut
menunjukkan bahwa peran orang tua dalam pengembangan kecerdasan
emosional dan spritual anak di lingkungan tersebut dapat dikatakan
kurang baik dan masih perlu ditingkatkan lagi. Hal tersebut dikarekan
mayoritas orang tua sibuk bekerja.67
65
Moh. Roqib, Ilmu Pendidikan Islam: Pengembangan Pendidikan Integratif di Sekolah,
Keluarga dan Masyarakat, (Yogyakarta: PT. Lkis Printing Cemerlang, 2009), hal. 40.
66
Bahri, op.cit, hal. 163.
67
Khairul Magfirah, “Peranan Orang Tua dalam Pengembangan Kecerdasan Emosional dan
Spritual Anak (Studi Kasus di Lingkungan RT. 004 RW. O1 Kelurahan Kamal Muara Kecamatan
48
2. Penelitian yang dilakukan oleh Nuraidah yang berjudul “Pengaruh
kecerdasan emosional terhadap perkembangan akhlak anak usia 8 – 11
tahun di MI Annuriyah Beji Depok”. Dalam penelitiannya, penulis
menggunakan metode penelitian deskriptif dan dalam pengolahan
datanya menggunakan SPSS (Statistical Package for Social Science).
Hasil dari penelitian tersebut menunjukan bahwa terdapat pengaruh
antara kecerdasan emosional terhadap Perkembangan Akhlak anak.
Artinya Semakin tinggi kecerdasan Emosional anak maka semakin tinggi
pula tingkat perkembangan Akhlak Anak.68
3. Penelitian yang dilakukan oleh Nurul Khalidah dengan judul “Mendidik
Kecerdasan Emosioanl Anak dalam Perspektif Pendidikan Islam (Telaah
Buku: Mengajarkan Emotional Intellegence pada Anak karya Lawrence
E. Shapiro, Ph.D.).69 Jenis penelitian tersebut adalah penelitian
kepustakaan (Library Research) dengan menggunakan pendekatan
kualitatif. Hasil dari penelitian tersebut adalah memberikan saran-saran
dan cara praktis dan mudah kepada orang tua dan pendidik untuk
mengajarkan pada anak bagaimana: membina persahabatan, bekerja
dalam
kelompok, berpikir realistis,
menghadapi dan mengatasi
kegagalan, mengendalikan emosi, pentingnya sopan santun, dan lain
sebagainya.
Penjaringan, Jakarta Utara)”, Skripsi pada FITK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Jakarta, 2014,
tidak dipublikasikan.
68
Nuraidah, “Pengaruh kecerdasan emosional terhadap perkembangan akhlak
anak usia 8 – 11 tahun di MI Annuriyah Beji Depok”, Skripsi pada Fakultas Ilm
Tarbiyah dan Keguruan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2013, tidak dipublikasikan.
69
Nurul Khalidah, “Mendidik Kecerdasan Emosioanl Anak dalam Perspektif Pendidikan Islam
(Telaah Buku: Mengajarkan Emotional Intellegence pada Anak karya Lawrence E. Shapiro,
Ph.D.), Skripsi pada Fakultas Tariyah UIN Sunan Kalijaga Jogjakarta, 2010, tidak dipublikasikan.
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Objek dan Waktu Penelitian
Objek yang dibahas dalam penelitian ini adalah peran orang tua dalam
mendidik dan mengembangakan kecerdasan emosional anak usia 6-12 tahun
yang sesuai dengan pandangan islam. Sedangkan waktu penelitian dilakukan
pada semester IIX (Dua Belas) mulai dari bulan Januari 2015 sampai dengan
selesai.
B. Metode Penulisan
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif. Secara terminologis
penelitian kualitatif ingin menggambarkan suatu strategi inkuiri secara akurat
yang memiliki perbedaan dengan penelitian kuantitatif yang lebih
menekankan pada pengumpulan dan analisis data numerik.1 Menurut
Sugiyono, “Penelitian kualitatif adalah metode penelitian yang digunakan
untuk meneliti pada kondisi obyek yang alamiah, dimana peneliti adalah
sebagai instrumen kunci, teknik pengumpulan data dilakukan secara
triangulasi, analisis data bersifat induktif, dan hasil penelitian kualitatif lebih
menekankan makna dari pada generalisasi.2
Dan dalam penelitian ini penulis menggunakan metode deskriptif.
Metode ini di dasarkan pada pertanyaan dasar, yaitu bagaimana.3 Metode
deskriptif menurut Bugin, “Metode yang bertujuan untuk menggambarkan,
meringkas berbagai kondisi, berbagai situasi, atau berbagai fenomena realitas
1
Suprapto, Metodologi Penelitian Ilmu Pendidikan dan Ilmu-Ilmu Pengetahuan Sosial,
( Yogyakarta: Center for Academic Publishing Service, 2013), hal. 34.
2
Sugiyono, Memahami Penelitian Kualitatif, (Bandung: CV. Alfabeta, 2008), Cet. Ke-4, hal.
1.
3
W. Gulo, Metodologi Penelitian, (Jakarta: PT. Gramedia Widiasarana Indonesia, 2002), Cet.
Ke-4, hal. 19.
49
50
sosial yang ada di masyarakat yang menjadi objek penilaian, dan berupaya
menarik realitas itu ke permukaan sebagai suatu ciri, karakter, sifat, model,
tanda atau gambaran tentang kondisi, situasi, ataupun fenomena tertentu.”4
Penelitian deskriptif pada umumnya dilakukan dengan tujuan utama, yaitu
menggambarkan secara sistematis fakta dan karakteristik objek atau subjek
yang diteliti secara tepat.
C. Fokus Penelitian
Berdasarkan judul, maka penulis memfokuskan kajian pada bagaimana
cara orang tua mendidik kecerdasan emosional anak yang sesuai dengan
pandangan ajaran agama islam. Dalam penelitian ini penulis memfokuskan
pada kecerdasan emosional yang dimiliki anak usia 6-12 tahun dan
bagaimana cara mendidiknya.
D. Prosedur Penelitian
Penelitian ini menggunakan pendekatan penelitian kualitatif dan adapun
metode yang digunakan penulis dalam penulisan skripsi ini adalah metode
penelitian kepustakaan (library research) karena permasalahan yang akan
diteliti mengkaji tentang bagaimana peran orang tua dalam mendidik
kecerdasan emosional anak usia 6-12 tahun menurut perspektif pendidikan
islam maka dari itu diperlukan banyaknya literatur-literatur yang relevan dan
sesuai dengan masalah yang akan dibahas dalam skripsi ini.
Untuk memudahkan pengumpulan data, fakta dan informasi yang
mengungkapkan dan menjelaskan permasalahan dalam penelitian ini, penulis
menggunakan metode penelitian studi kepustakaan, yaitu mengumpulkan
data, fakta dan informasi berupa tulisan-tulisan dengan bantuan bermacammacam material yang terdapat di ruangan perpustakaan untuk mencari pijakan
atau fondasi landasan teori, misalnya berupa jurnal, buku-buku yang relevan,
majalah, naskah, surat kabar, internet dan sumber lain yang berhubungan
dengan kecerdasan emosional menurut perspektif pendidikan islam.
4
Tim Penyusun, Pedoman Penulisan Skripsi (Jakarta: Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, 2013), hal. 62-63.
51
Sedangkan mengenai metode pembahasannya penulis menggunakan
metode deskriptif analisis, yaitu:
1. Pengumpulan data
Buku acuan yang penulis gunakan dalam penulisan ini yaitu:
a. Daniel Goleman, Kecerdasan Emosional, Terj. dari Emotional
Intellegence oleh T. Hermaya. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama: 1996.
b. Lawrence E. Shapiro, Mengajarkan Emotional Intellegence pada Anak,
Terj. dari How to Raise A Child with A High EQ: A Parents’ Guide to
Emotional Intellegence oleh Alex Tri Kantjono. Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama, 1997.
c. Muhammad Nur Abdul Hafizh, Mendidik Anak Bersama Rasulullah,
Terj. dari Manhaj Al-Tarbiyyah Al-Nabawiyyah Li Al-Thifl oleh
Kuswandani, Suguri, dan Ahmad Son Haji, Bandung: Al-Bayan, 1997.
d. Sumber sekunder dalam penulisan skripsi ini adalah buku-buku yang
relevan dan berkaitan dengan penelitian yang diteliti.
Setelah data-data terkumpul lengkap, berikutnya yang penulis lakukan
adalah membaca, mempelajari, meneliti, menyeleksi dan mengklasifikasi
data-data yang relevan dan yang mendukung pokok pembahasan, untuk
selanjutnya penulis analisis, simpulkan dalam satu pembahasan yang utuh.
2. Analisis Data
Dalam proses analisis data, penulis menggunakan metode deskriptif
analisis yang terdiri dari empat kegiatan yaitu pengumpulan data, reduksi
data, penyajian data, dan penarikan kesimpulan.
Analisis data merupakan proses mencari dan menyusun secara
sistematis data yang diperoleh dari hasil wawancara, catatan lapangan, dan
dokumentasi, dengan cara mengorganisasikan data ke dalam kategori,
menjabarkan dalam unit-unit, malakukan sintesa, menyusun ke dalam
pola, memilih mana yang penting dan yang akan dipelajari, dan membuat
52
kesimpulan sehingga mudah dipahami oleh diri sendiri maupun orang
lain.5
3. Penarikan kesimpulan
Setelah dilakukan reduksi data, langkah selanjutnya adalah menarik
kesimpulan dari data yang telah diperoleh dan diorganisir yang selanjutnya
dinarasikan untuk diambil kesimpulan.
5
Sugiyono, op. cit., hal. 88.
BAB IV
TEMUAN PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Temuan Hasil Analisis Deskriptif
1. Kecerdasan Emosional dalam Perspektif Islam
Kecerdasan emosi adalah kemampuan merasakan, memahami, dan
secara efektif menerapkan daya dan kepekaan emosi sebagai sumber
energy, informasi koneksi, dan pengaruh yang manusiawi. Dapat
dikatakan bahwa EQ adalah kemampuan mendengar suara hati sebagai
sumber informasi. Untuk pemilik EQ yang baik, baginya informasi tidak
hanya didapat lewat panca indra tapi ada sumber lain dari dalam dirinya
sendiri yakni suara hati. Bahkan sumber informasi yang disebut terakhir
akan menyaring dan memilah informasi yang didapat dari panca indra.
Hati adalah sumber keberanian dan semangat, integritas, dan
komitmen. Hati merupakan sumber energy dan perasaan terdalam yang
member dorongan untuk belajar, menciptakan kerja sama, memimpin, dan
melayani. Keharusan memelihara hati agar tidak kotor dan rusak sangat
dianjurkan oleh Islam. Hati yang bersih dan tidak tercemar dapat
memancarkan EQ dengan baik. Diantara hal yang merusak hati dan
memperlemah daya kerjanya adalah dosa. Oleh karena itu, ayat-ayat AlQuran dan Hadis Rasulullah SAW banyak bicara tentang kesucian hati.
Lihat ayat-ayat berikut ini:
          
            
1
1
         
Departemen Agama Republik Indonesia, Al-Qur’an dan Terjemahnya, (Bandung: Syamil
Qur’an, 2009), hal.174.
53
54
Firman Allah dalam Surat Al-A’raf:179 diatas menyatakan bahwa
orang yang hatinya tidak dapat berfungsi sebagaimana mestinya
disebabkan kotor disamakan dengan binatang, bahkan lebih hina lagi.
             
2
          
Firman Allah dalam Surat Al-Hajj: 46 menegaskan bahwa orang
yang tidak mengambil pelajaran dari perjalanan hidupnya di muka bumi
adalah orang yang buta hatinya.
             
             
3
             
Firman Allah dalam Surat Al-Baqarah: 74, menegaskan bahwa orang
yang hatinya tidak disinari dengan petunjuk Allah SWT diumpamakan
lebih keras dari batu.
            
4    
Firman Allah dalam Surat Fushshilat: 5 menyatakan adanya
pengakuan dari orang yang tidak menindahkan petunjuk agama bahwa hati
mereka tertutup dan telinga mereka tersumbat.
2
Ibid., hal. 337
Ibid., hal. 11.
4
Ibid., hal. 477.
3
55
Mengacu pada ayat di atas dapat disimpulkan bahwa kecerdasan
emosional berkaitan erat dengan kehidupan keagamaan. Apabila petunjuk
agama dijadikan panduan kehidupan, maka akan berdampak positif
terhadap kecerdasan emosi. Begitu pula sebaliknya.
Manusia adalah mahluk Allah yang paling potensial. Melalui
pendidikan Islam, potensi yang dimilikinya dapat memberikan peluang
untuk meningkatkan sumber daya dirinya. Hal ini sesuai dengan hadis
Nabi yang berbunyi:
‫ﻗﺎﻝ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﷲ ﺻﻠﻰ ﺍﷲ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﳑﻦ‬: ‫ﺍﻧﻪ ﻛﺎﻥ ﻳﻘﻮﻝ‬: ‫ﻋﻦ ﺍﰉ ﻫﺮﻳﺮﺓ‬
‫ﻣﻮﻟﻮﺩ ﺍﻻ ﻳﻮﻟﺪ ﻋﻠﻰ ﺍﻟﻔﻄﺮﺓ ﻓﺎﺑﻮﺍﻩ ﻳﻬﻮﺩﺍﻧﻪ ﺍﻭ ﻳﻨﺼﺮﺍﻧﻪ ﺍﻭ ﳝﺠﺴﺎﻧﻪ)ﺭﻭﺍﻩ‬
(‫ﻣﺴﻠﻢ‬
Dari Abi Hurairah, Rasulullah saw. Bersabda: “Tidaklah seorang anak
itu dilahirkan kecuali dalam keadaan fitrah, maka kedua orang tuanya
menjadikan Yahudi, Nasrani atau Majusi” (HR. Muslim).
Kata fitrah sebagaimana yang telah disebut dalam hadis di atas
menunjuk pada potensi yang dimiliki manusia semenjak lahir ke dunia.
Dan ketika dilahirkan sudah mempunyai kesiapan secara fitrah untuk
memeluk agama yang lurus, sebagaimana binatang yang dilahirkan dalam
keadaan lengkap dan tidak bercacat. 5 Fitrah manusia merupakan potensi
psikologis dan rohaniah yang sudah ada dalam desain awal penciptaannya,
baik potensi yang mendorong kepada hal-hal yang positif maupun yang
mendorong kepada hal-hal yang negatif.6 Akan tetapi apakah potensi itu
akan menjadi aktual atau tidak tergantung kepada proses berikutnya.
Potensi-potensi dasar manusiawi ini tidak akan berkembang sebagaimana
mestinya, jika lingkungan pendidikan yang ada tidak memadai.
5
Muhammad Utsman Najati, Psikologi Qurani: Dari Jiwa Hingga Ilmu Laduni Terj. dari Alqur’an wa ‘Ilm Nafs oleh Hedi Fajar dan Abdullah, (Bandung: Marja, 2010), Cet. I, hal. 39.
6
Manusia memiliki desain kejiwaan yang sempurna, memiliki potensi untuk memahami
kebaikan dan kejahatan dan bisa ditingkatkan kualitasnya menjadi suci dan dapat tercemar menjadi
kotor, sebagaimana firman Allah dalam surat Asy-Syams 91: 7-10, yang artinya: ”Dan jiwa serta
penyempurnaannya. Maka Allah mengilhamkan kepadanya kedurhakaan dan ketakwaannya.
Sungguh beruntung orang yang mensucikannya. Dan sungguh merugi orang yang mengotorinya.”
56
Lingkungan keluarga, sekolah, masyarakat dan informasi global yang
biasanya tersaji dalam hiburan media elektronik (cyberspace) sangat
berpengaruh dalam pertumbuhan bahkan perkembangan kecerdasan dan
kehidupan anak secara umum.7 Jadi tinggal bagaimana kedua orang tuanya
berperan mengaktualisasikan potensi fitrah itu menjadi Yahudi, Nasrani,
Majusi atau yang lainnya.
Demikian pula dalam surat Ar-Rum ayat 30, Allah menjelaskan
mengenai fitrah manusia yang berbunyi:
             
           
"Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama
(Allah). (Tetapkanlah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan
manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah.
(Itulah) agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak
mengetahui" (QS. Ar-Rum: 30).8
Manusia adalah makhluk psikologis dan sekaligus sebagai makhluk
sosial. Al-Qur'an menyebut manusia dengan sebutan insan yang bermakna
psikologis bahwa manusia dianugerahi potensi kejiwaan yang paling
prima. Manusia juga disebut an-Nās yang bermakna manusia sebagai
makhluk sosial. Hal ini mengarahkan manusia untuk cerdas dalam
mengoptimalkan potensi kejiwaannya dan potensi sosial semaksimal
mungkin sehingga melahirkan kecerdasan emosional.
Pengembangan kecerdasan emosional sebagai salah satu potensi
manusia selaras dengan tugas pendidikan adalah menemukan dan
mengembangkan kemampuan dasar yang dimiliki peserta didik, sehingga
dapat diaktualisasikan dalam kehidupan sehari-hari.
7
Suharsono, Mencerdaskan Anak: Mensintesakan Kembali Intelegensi Umum (IQ) dan
Intelegensi Emosional (IE) dengan Intelegensi Spiritual, (Jakarta: Inisiasi Press, 2000), Cet. I, hal.
80-81.
8
Depag, Alqur’an dan terjemahnya, op.cit., hlm. 407.
57
Kecerdasan emosional juga terkait dengan potensi manusia sebagai
mahluk sosial. Manusia harus mampu menempatkan diri dan berperan
sesuai dengan statusnya dalam masyarakat dan lingkungan dimanapun
manusia itu berada. Kehidupan sosial diawali dari tingkat sosial yang
terkecil, yaitu keluarga, kerabat, tetangga, suku atau etnis, bangsa hingga
ke masyarakat dunia.
Pemeliharaan dan pengembangan kecerdasan emosional sebagai
salah satu potensi manusia selaras dengan fungsi pendidikan yaitu sebagai
upaya mengembangkan semua potensi manusia secara maksimal menuju
kepribadian yang utama (insan kamil) sesuai dengan norma Islam.
Dalam sebuah peneliatan (Gohm dan Clore) menjabarkan empat sifat
laten pengalaman emosional ketika sedang berada dalam suasana emosi
tertentu. Dan hasilnya ternyata sangat berpengaruh pada kebahagiaan
seseorang, kesehatan mental, kecemasan, dan gaya atribusi kita. Keempat
sifat laten tersebut ialah:
a. Kejelasan (emotional clarity), dijabarkan sebagai kemampuan
seseorang dalam mengidentifikasikan dan membedakan emosi
spesifik yang sedang dirasakannya.
b. Intensitas (emotional intensity), diartikan seberapa kuat atau
besar intensitas emosi spesifik yang dapat dirasakannya.
c. Perhatian
(emotional
attention),
dijelaskan
sebagai
kecenderungan seseorang untuk mampu memahami, menilai, dan
menghargai emosi spesifik yang dirasakannya.
d. Ekspresi
(emotional
expression),
didefinisikan
sebagai
kecenderungan untuk mengungkapkan perasaan yang sedang
dirasakannya kepada orang lain. 9
9
Triantoro Safaria dan Nofrans Eka Saputra, Manajemen Emosi: Sebuah Panduan Cerdas
Bagaimana Mengelola Emosi Positif dalam Hidup Anda, (Jakarta: Bumi Aksara, 2009), Cet. I,
hal.16.
58
Aktualisasi dari kecerdasan emosional dapat membentuk kepribadian
manusia.
Meskipun
demikian
dalam
aktualiasasinya
kercerdasan
emosional itu juga dipengaruhi oleh faktor heriditas dan lingkungan,
sehingga tingkat kecerdasan emosional antara manusia sangat bervariatif.
2. Emosi dalam Perspektif Ilmuan Islam
Banyak tokoh ilmuan islam yang memperbincangkan maslah emosi.
Umumnya mereka membahas dalam bentuk derivatifnya sebagai cinta,
marah, sedih, berani dan semacamnya. Al-Ghazali adalah salah satu tokoh
yang sering membincangkan masalah ini. Seperti teorinya tentang nafs,
yang dia pecahkan menjadi nafs mutmainnah, lawwamah, dan nafs
amarah. Menurut Ibnu Qayyim kepribadian mutmainnah dan kepribadian
amarah ibarat dua kutub yang berlawanan, sedangkan kapribadian
lawwamah berada dalam posisi di tengah-tengah. Selain Al-Ghazali dan
Ibnu Qayyim, ada juga yang sering menyinggung aspek-aspek emosi pada
manusia, seperti Muhammad Iqbal, Ibn Miskawaih, Al-Razi dan lainnya.10
Proses penciptaan manusia menurut Al-ghazali memiliki 3 proses,
yakni: Taswiyah, Nafkh, dan Ruh.11 Dalam citra penciptaan ini unsur psiko
dan fisik telah melekat ada semenjak kejadian manusia. Setelah ia benarbenar barada di alam realita, maka muncullah potensi Gharizah, dalam
artian insting, naluri, tabiat, perangai, kejadian laten, ciptaan dan sifat
bawaan. Gharizah merupakan potensi laten yang ada pada psikofisik
manusia yang dibawanya sejak lahir dan yang akan menjadi pendorong
dan penentu bagi manusia, baik berupa perbuatan, sikap, ucapan, dan
sebagianya.
10
Netty Hartaty, dkk, Islam dan Psikologi, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2004), Cet.I,
hal. 104.
11
Taswiyah yaitu aktifitas di dalam tempat penerimaan ruh, yaitu tanah (al-thin) bagi Adam
dan air mani (al-Nutfah) bagi anak cucunya. Sedangkan Nafkh yaitu menyulutnya cahaya ruh pada
syaraf mani yang merupakan citra dan hasil. Citranya adalah seperti mengeluarkan angin dari
lambung zat yang meniupkan pada lambung orang yang diberi, sehingga syaraf-syarafnya
menyalakan cahaya. Dan Ruh ialah substansi yang bukan baru datang, sebab ia mampu mengenal
dirinya sendiri dan penciptanya, serta mampu memahami hal-hal yang masuk akal.
59
Iqbal berpendapat bahwa
tujuan seluruh kehidupan adalah
membentuk insan kamil dan setiap pribadi haruslah berusaha untuk
mencapainya. Apa yang dapat memperkuat pribadi adalah baik sifatnya
dan apa yang dapat melemahkan pribadi adalah buruk sifatnya. Hal-hal
yang dapat memperkuat pribadi menurutnya adalah:
a. Isyq-o-muhabbat, yakni cinta kasih.
Cinta sebagai daya aktif yang
memungkinkan individu memiliki daya penggerak yang kuat, manakala
ia dihadapkan kepada maksud-maksud yang bermanfaat. Dengan
demikian cinta mengandung arti yang luas daripada arti cinta
individual.
b. Toleransi, rasa tenggang-menenggang. Faqr yang artinya sikap tidak
mengharapkan imbalan dan ganjara-ganjaran yang akan diberikan di
dunia, sebab bercita-citakan yang lebih agung. 12
Ibnu Miskawaih berpendapat bahwa asas semua keutamaan adalah
cinta kepada semua manusia ( mahabbah al-insan li an-nas kaffah). Tanpa
cinta, suatu masyarakat tidak mungkin ditegakkan. Manusia tidak akan
sampai kepada tingkat kesempurnaan kecuali dengan memelihara jenisnya
serta menunjukkan pengertiannya kepada sesamanya.
Menurut Al-Razi, nafsu itu harus berada dibawah kendali akal dan
agama. Dan ada hubungan yang erat antara tubuh dan jiwa. Misalnya,
emosi jiwa tidak akan terjadi, kecuali dengan melalu persepsi indrawi.
Emosi jiwa yang berlebihan akan mempengaruhi keseimbangan tubuh,
sehingga timbul keragu-raguan yang melankolis. Al-Razi mengutuk cinta
sebagai suatu yang berlebihan, dan ketundukan kepada hawa nafsu, karena
hal itu dapat menghalangi orang dari belajar lebih banyak dan bekerja
lebih baik.
Emosi mempunyai fungsi penting dalam kehidupan manusia, karena
membantunya dalam memelihara diri dan melestarikannya. Akan tetapi,
emosi yang berlebihan dapat membahayakan kesehatan, baik fisik maupun
12
Hartaty, op. cit., hal. 109-110.
60
psikis. Misalnya, rasa takut bermanfaat bagi manusia karena akan
mendorongnya untuk menjaga diri. Tetapi, rasa takut yang berlebihan akan
membuatnya takut terhadap banyak hal meski itu tidak mengancam
keselamatannya. Dan ketakutan seperti ini malah bisa membahayakan
dirinya..
Al-Quran telah mendahului ilmu kedokteran dan psikologi modern
dalam
memberi
perhatian
serta
mengarahkan
manusia
untuk
mengendalikan emosi mereka. Sebab, dengan mengendalikan emosi akan
memberi banyak manfaat bagi kesehatan, yang baru diketahui secara
ilmiah dan mendetail pada zaman modern ini.
Al-Quran telah menjelaskan emosi-emosi yang dirasakan manusia
seperti takut, marah, cinta, gembira, benci, cemburu, iri, menyesal, malu
dan hina.
a.
Takut
Emosi takut adalah situasi bingung yang dialami semua orang. Al-
Quran menggambarkan situasi bingung ini sebagai goncangan hati yang
dahsyat yang membuat seseorang tidak mampu berpikir jernih dan
mengendalikan jiwanya. Perasaan takut yang mencekam dan tiba-tiba
dapat membuat manusia bingung serta panik sehingga tidak sanggup untuk
bergerak dan berpikir. Al-quran menggambarkan situasi ini sebagai situasi
pada Hari Kiamat kelak.
           
Artinya: Sebenarnya (azab) itu akan datang kepada mereka dengan
sekonyong-konyong lalu membuat mereka menjadi panik, Maka mereka
tidak sanggup menolaknya dan tidak (pula) mereka diberi tangguh. (QS. AlAnbiya: 40)
Perasaan takut biasanya disertai dengan perubahan yang terjadi pada
fungsi fisiologis perasaan yang tampak pada wajah, tekanan suara, dan
kondisi tubuh. Manusia biasanya merespon hal-hal yang ditakutinya
dengan menghindarkan diri darinya.
61
b. Marah
Marah merupakan emosi yang penting bagi manusia karena
mendorongnya untuk mempertahankan diri,. Ketika seseorang marah,
bertambahlah kekuatannya untuk melakukan upaya kerja keras yang
membutuhkan kerja fisik atau otot. Dalam keadaaan demikian ia akan
sanggup membela diri atau mengatasi rintangan yang menghalanginya
untuk mewujudkan tujuan-tujuan pentingnya.
Dalam Al-Quran dijelaskan mengenai emosi marah dan pengaruhnya
terhadap tingkah laku manusia, seperti penjelasan di surah Al-A’raf ayat
150 tentang kemarahan Nabi Musa AS saat kembali kepada kaumnya dan
mendapati mereka sedang menyembah anak sapi yang terbuat dari emas
buatan Samiri. Musa kemudian melemparkan lauh-lauh-nya,13 menjambak
dan menarik rambut kepala saudaranya sambil marah.
Saat orang dikuasai emosi marahnya maka kemampuan berpikir
secara sehat hilang. Terkadang ia melakukan perbuatan atau ucapan
permusuhan yang kemudian disesalinya. Ketika kemarahannya telah reda,
Musa mengetahui bahwa Harun telah melarangnya namun ia direndahkan
bahkan dibunuhnya. Musa lalu memohon ampunan Allah atas kemarahan
yang telah dilakukannya kepada harun, karena ia belum mengetahui
kejadian yang sebenarnya. 14
Dan dinyatakan juga dalam hadist-hadist sahih bahwa ketika ada
seseorang yang menemui Rasulullah SAW untuk minta dispensasi bagi
penerapan potong tangan, beliau tampak marah. Kemudian beliau bersabda
yang kata-katanya di kenang abadi:
“Orang-orang sebelum kalian hancur hanya karena jika orang
terhormat di antara mereka mencuri, maka mereka membiarkannya.
Namun jika yang mencuri adalah orang-orang lemah, mereka
13
Yaitu kepingan dari batu atau kayu yang ditulisi ayat-ayat Taurat yang diterima Musa AS
setelah bermunajat di bukit Thursina.
14
Muhammad Utsman Najati, Psikologi Qurani: Dari JiwaHIngga Ilmu Laduni, ( Bandung:
Marja, 2010), hal. 66-67.
62
menegakkan sanksi. Demi Allah, jika Fatimah binti Rasulullah
mencuri, niscaya akan kupotong juga tangannya.”
Ketika orang kehilangan kemampuannya untuk berpikir sehat akibat
marah atau emosi lainnya, hendaknya ia tidak melakukan perbuatan yang
mungkin akan disesalinya kemudian. Untuk itu ia harus belajar bagaimana
mengendalikan amarahnya.
c.
Cinta
Cinta berperan penting dalam kehidupan manusia, karena cinta
menjadi landasan utama dalam kehidupan suami istri, pembentukan
keluarga, dan pemeliharaan anak-anak. Cinta merupakan landasan bagi
terbentuknya ikatan hubungan yang akrab antara sesama manusia,
pengikat hubungan spritual yang kokoh antara orang beriman dengan
Allah yang membuatnya ikhlash beribadah mengikuti ketentuan dan
berpegang pada syariat-Nya. Cinta juga dapat membangun hubungan
spritual yang dalam antara kaum muslimin dengan Rasulullah SAW yang
mendorong
untuk
berpegang
teguh
pada
sunnah,
menjadikannya sebagai teladan dalam semua prilakunya.
ajaran,
serta
15
Dalam kehidupan, cinta diekspresikan dalam berbagai bentuk seperti
kecintaan seseorang kepada diri sendiri, mencintai pasangan atau anaknya,
mencintai harta, mencintai Allah dan Rasul-Nya, danmencintai alam
semesta beserta isinya.
d. Gembira
Manusia akan merasa gembira saat mendapatkan apa yang
diharapkannya seperti harta, kesuksesan, ilmu pengetahuan, keimanan, dan
ketakwaan. Gembira ini bersifat relatif tergantung pada tujuan-tujuan
manusia dalam
kehidupannya. Al-Quran menyebutkan dua jenis
kegembiraan ini dan menyebutkan kegembiraan orang-orang kafir dengan
kenikmatan hidup duniawinya.
15
Najati, op.cit., hal. 68.
63
           
     
Artinya: “Allah meluaskan rezki dan menyempitkannya bagi siapa
yang Dia kehendaki. mereka bergembira dengan kehidupan di dunia,
Padahal kehidupan dunia itu (dibanding dengan) kehidupan akhirat,
hanyalah kesenangan (yang sedikit).” (QS. Ar-Ra’d:26)
Al-Quran juga menyebutkan kegembiraan orang beriman dengan
diturunkannya Al-Quran yang memberi petunjuk kepada mereka terhadap
kebenaran, yang menjadi obat, petunjuk, dan rahmat.
“Hai manusia, Sesungguhnya telah datang kepadamu pelajaran dari
Tuhanmu dan penyembuh bagi penyakit-penyakit (yang berada) dalam
dada dan petunjuk serta rahmat bagi orang-orang yang beriman.
Katakanlah: "Dengan kurnia Allah dan rahmat-Nya, hendaklah dengan itu
mereka bergembira. kurnia Allah dan rahmat-Nya itu adalah lebih baik
dari apa yang mereka kumpulkan". (QS. Yunus; 57-58)
e.
Cemburu
Cemburu
adalah
emosi
atau
parasaan
tidak
nyaman
dan
menimbulkan kebencian dirasakan jika orang yang dicintai memberi
perhatian kepada selain dirinya. Perasaan cemburu ini sering terjadi
diantara sesama saudara ketika diantara mereka timbul rasa cemburu
karena merasa orang tua lebih mencintai saudaranyadibanding dirinya.
Biasanya kecemburuan ini disertai perasaan benci dan dengki, serta
keinginan untuk menyakiti orang yang menimbulkan kebenciannya itu. AlQuran menggambarkan kecemburuan seperti ini pada kisah kecemburuan
saudara-saudara Yusuf AS, karena ayah mereka (Ya’qub AS) lebih
mencintai Yusuf dan adiknya.
64
             
        
  
     
Artinya: (yaitu) ketika mereka berkata: "Sesungguhnya Yusuf dan
saudara kandungnya (Bunyamin) lebih dicintai oleh ayah kita dari pada
kita sendiri, Padahal kita (ini) adalah satu golongan (yang kuat).
Sesungguhnya ayah kita adalah dalam kekeliruan yang nyata. bunuhlah
Yusuf atau buanglah Dia kesuatu daerah (yang tak dikenal) supaya
perhatian ayahmu tertumpah kepadamu saja, dan sesudah itu hendaklah
kamu menjadi orang-orang yang baik." (QS. Yusuf: 8-9)
cemburu merupakan emosi ganda yang mengandung beberapa unsur
emosi lainnya, terutama emosi benci. Karena itu, wajarlah jika
kecemburuan biasanya disertai oleh rasa benci, dengki, dan keinginan
menyakiti orang yang menimbulkan kecemburuannya itu. Al-Quran
menjelaskan
ini dengan
kisah para saudara
yusuf
yang
ingin
menyingkirkan dan membunuhnya dengan memasukkannya ke dalam
sumur.16
3. Karakteristik Fase Perkembangan Emosi
Kecerdasan
Emosional adalah
kemampuan seseorang untuk
memahami dan mengelola perasaannya sendiri dan orang lain, dan
menggunakan informasi tersebut sebagai pedoman untuk mempersiapkan
kepada yang lebih baik, membuat keputusan yang lebih baik, berpikir lebih
kreatif, memotivasi diri sendiri dan orang lain, dan menikmati kesehatan
yang lebih baik, hubungan yang lebih baik dan kehidupan yang lebih
bahagia. Emotional Intelligence (EI) sering diukur sebagai Emotional
Intelligence Quotient (EQ). Social and emotional learning (SEL) adalah
proses belajar untuk mencapai kecerdasan emosional yang lebih tinggi.
Studi menunjukkan bahwa kecerdasan emosional adalah alat prediksi
terbaik dari prestasi masa depan anak; lebih baik dari pada faktor apa pun.
16
Najati, op.cit., hal. 83.
65
Sebagian orang mengatakan bahwa kecerdasan emosional adalah alat
prediksi yang lebih baik atas kesuksesan daripada IQ atau kombinasi
keterampilan tekhnis.
Emosi dapat dikelompokkan ke dalam dua bagian, yaitu emosi
sensoris dan emosi kejiwaan (psikis) 17.
a. Emosi Sensoris, yaitu emosi yang ditimbulkan oleh rangsangan dari
luar terhadap tubuh, seperti rasa dingin, manis, sakit, lelah, kenyang
dan lapar.
b. Emosi Psikis, yaitu emosi yang mempunyai alasan-alasan kejiwaan.
Yang termasuk emosi jenis ini diantaranya adalah :
1) Perasaan Intelektual, yaitu yang mempunyai sangkut paut dengan
ruang lingkup kebenaran. Perasaan ini diwujudkan dalam bentuk :
a) Rasa yakin dan tidak yakin terhadap suatu hasil karya ilmiah
b) Rasa gembira karena mendapat suatu kebenaran
c) Rasa puas karena dapat menyelesaikan persoalan – persoalan
ilmiah yang harus dipecahkan
2) Perasaan Sosial, yaitu perasaan yang menyangkut hubungan
dengan orang lain, baik bersifat perorangan maupun kelompok.
Wujud perasaan ini seperti :
a) Rasa solidaritas
b) Persaudaraan (ukhuwah)
c) Simpati
d) Kasih sayang, dan sebagainya
3) Perasaan Susila, yaitu perasaan yang berhubungan dengan nilainilai baik dan buruk atau etika (moral). Contohnya :
a) Rasa tanggung jawab (responsibility)
b) Rasa bersalah apabila melanggar norma
c) Rasa tentram dalam mentaati norma
17
Syamsu Yusuf, Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja, (Bandung: PT Remaja
Rosdakarya, 2012), Cet. Ke-13, hal. 117.
66
4) Perasaan Keindahan (estetis), yaitu perasaan yang berkaitan erat
dengan keindahan dari sesuatu, baik bersifat kebendaan ataupun
kerohanian
5) Perasaan Ketuhanan, yaitu merupakan kelebihan manusia sebagai
makluk Tuhan, dianugrahi fitrah (kemampuan atau perasaan)
untuk
mengenal
Tuhannya.
Dengan
kata
lain,
manusia
dianugerahi insting religius (naluri beragama). Karena memiliki
fitrah ini, maka manusia di juluki sebagai “Homo Divinans” dan
“Homo Religius”atau makluk yang berke-Tuhan-an atau makhluk
beragama.
Sedangkan mekanisme proses terjadinya emosi dalam diri seseorang
menurut Lewis and Roseblum ada 5 tahapan yaitu :18
a. Elicitors yaitu adanya dorongan peristiwa yang terjadi contoh :
Peristiwa banjir, gempa bumi maka timbullah perasaan emosi
seseorang.
b. Receptors yaitu kegiatan yang berpusat pada sistem syaraf contoh :
Akibat peristiwa banjir tersebut maka berfungsi sebagai indera
penerima.
c. State yaitu perubahan spesifik yang terjadi dalam aspek fisiologi
contoh : Gerakan reflex atau terkejut pada sesuatu yang terjadi.
d. Experission yaitu terjadinya perubahan pada rasiologis. Contoh :
Tubuh tegang pada saat tatap muka.
Kelima komponen diatas digambarkan dalam 3 variabel yang lebih
spesifik yaitu:
a. Variabel Stimulus: rangsangan yang menimbulkan emosi.
b. Variabel Organismik: Perubahan
fisiologis
yang
terjadi
saat
mengalami emosi.
c. Variabel Respon: Pada sambutan ekspresik atas terjadinya pengalaman
emosi.
18
Syamsu Yusuf, ibid, hal. 183
67
Ketiga variabel diatas akan senantiasa berjalin-berkelindan seiring
dengan perkembangan emosi anak. Bentuk nyata dari variabel stimulus,
variabel organismic dan variabel respon diatas akan dipengaruhi oleh
perkembangan emosi anak yang semakin berkembang seiring dengan
bertambahnya umur atau usia anak. Semakin bertambah umur anak, maka
semakin berubah bentuk-bentuk variabel tersebut.
Disisi lain, perkembangan emosi pada anak melalui beberapa fase
perkembangan sebagai berikut:
a. Pada bayi hingga 18 bulan
1) Pada fase ini, bayi butuh belajar dan mengetahui bahwa lingkungan
di sekitarnya aman dan familier. Perlakuan yang diterima pada fase
ini berperan dalam membentuk rasa percaya diri, cara pandangnya
terhadap orang lain serta interaksi dengan orang lain. Contoh ibu
yang memberikan ASI secara teratur memberikan rasa aman pada
bayi.
2) Pada minggu ketiga atau keempat bayi mulai tersenyum jika ia
merasa nyaman dan tenang. Minggu ke delapan ia mulai tersenyum
jika melihat wajah dan suara orang di sekitarnya.
3) Pada bulan keempat sampai kedelapan bayi mulai belajar
mengekspresikan emosi seperti gembira, terkejut, marah dan takut.
4) Pada bulan ke-12 sampai 15, ketergantungan bayi pada orang yang
merawatnya akan semakin besar. Ia akan gelisah jika ia dihampiri
orang asing yang belum dikenalnya.
5) Pada umur 18 bulan bayi mulai mengamati dan meniru reaksi
emosi yang di tunjukan orang-orang yang berada di sekitar dalam
merespon kejadian tertentu.19
b. 18 bulan sampai 3 tahun
19
Makmun Mubayidh, Kecerdasan dan Kesehatan Emosional Anak, Terj. dari Adz-Dzaka’ AlAthifli wa Ash-Shihhah Al-Athifiyah oleh Muh. Muchson Anasy, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar,
2006), Cet. I, hal. 63-64.
68
1) Pada fase ini, anak mulai mencari-cari aturan dan batasan yang
berlaku di lingkungannya. Ia mulai melihat akibat perilaku dan
perbuatannya yang akan banyak mempengaruhi perasaan dalam
menyikapi posisinya di lingkungan. Fase ini anak belajar
membedakan
cara
benar
dan
salah
dalam
mewujudkan
keinginannya.
2) Pada anak usia dua tahun belum mampu menggunakan banyak kata
untuk mengekspresikan emosinya. Namun ia akan memahami
keterkaitan ekspresi wajah dengan emosi dan perasaan. Pada fase
ini orang tua dapat membantu anak mengekspresikan emosi dengan
bahasa verbal. Caranya orang tua menerjemahkan mimik dan
ekspresi wajah dengan bahasa verbal.
3) Pada usia antara 2 sampai 3 tahun anak mulai mampu
mengekspresikan emosinya dengan bahasa verbal. Anak mulai
beradaptasi dengan kegagalan, anak mulai mengendalikan prilaku
dan menguasai diri.20
c. Usia antara 3 sampai 5 tahun
1) Pada fase ini anak mulai mempelajari kemampuan untuk
mengambil inisiatif sendiri. Anak mulai belajar dan menjalin
hubungan pertemanan yang baik dengan anak lain, bergurau dan
melucu serta mulai mampu merasakan apa yang dirasakan oleh
orang lain.
2) Pada fase ini untuk pertama kali anak mampu memahami bahwa
satu peristiwa bisa menimbulkan reaksi emosional yang berbeda
pada beberapa orang. Misalnya suatu pertandingan akan membuat
pemenang merasa senang, sementara yang kalah akan sedih. 21
d. Usia antara 5 sampai 12 tahun
1) Pada usia 5-6 anak mulai mempelajari kaidah dan aturan yang
berlaku. Anak mempelajari konsep keadilan dan rahasia. Anak
20
21
Ibid., hal. 64-65.
Ibid., hal. 65-66.
69
mulai mampu menjaga rahasia. Ini adalah keterampilan yang
menuntut kemampuan untuk menyembunyikan informasi informasi
secara terarah dan sensitif.
2) Anak usia 7-8 tahun perkembangan emosi pada masa ini anak telah
menginternalisasikan rasa malu
dan bangga.
Anak dapat
menverbalsasikan konflik emosi yang dialaminya. Semakin
bertambah usia anak, anak semakin menyadari perasaan diri dan
orang lain.
3) Anak usia 9-10 tahun anak dapat mengatur ekspresi emosi dalam
situasi sosial dan dapat berespon terhadap distress emosional yang
terjadi pada orang lain. Selain itu dapat mengontrol emosi negative
seperti takut dan sedih. Anak belajar apa yang membuat dirinya
sedih, marah atau takut sehingga belajar beradaptasi agar emosi
tersebut dapat dikontrol.22
4) Pada masa usia 11-12 tahun, pengertian anak tentang baik-buruk,
tentang norma-norma aturan serta nilai-nilai yang berlaku di
lingkungannya menjadi bertambah dan juga lebih fleksibel, tidak
sekaku saat di usia kanak-kanak awal. Mereka mulai memahami
bahwa penilaian baik-buruk atau aturan-aturan dapat diubah
tergantung dari keadaan atau situasi munculnya perilaku tersebut.
Nuansa emosi mereka juga makin beragam.
4. Pola Asuh Orang Tua sebagai Stimulan Kecerdasan Emosional
Para peneliti yang mempelajari reaksi orang tua terhadap anakanaknya menemukan bahwa ada tiga gaya bagaimana orang tua
menjalankan perannya sebagai orang tua, yaitu: otoriter, permisif dan
otoratif. Orang tua otoriter memberlakukan peraturan-peraturan yang ketat
dan menuntut agar peraturan-peraturan itu dipatuhi. Mereka yakin bahwa
anak-anak harus berada di tempat yang telah ditentukan dan tidak boleh
menyuarakan pendapatnya.
22
Ibid., hal. 66-67.
70
Hasil penelitian membuktikan bahwa anak-anak yang berasal dari
keluarga yang menerapkan sistem otoriter menjadikan anak tidak bahagia,
penyendiri dan sulit mempercayai orang lain. Kadar harga dirinya paling
rendah. Sebaliknya, orang tua yang permisif, berusaha menerima dan
mendidik sebaik mungkin, tetapi cenderung sangat pasif ketika sampai ke
masalah menanggapi kepatuhan. Orang tua permisif tidak begitu menuntut
dan cenderung tidak menetapkan sasaran yang jelas pada anaknya.
Sedangkan orang tua yang otoritatif berbeda dengan orang tua
otoriter dan permisif. Orang tua otoritatif menghargai kemandirian anak
dan menuntut mereka untuk memenuhi standar tanggung jawab yang
tinggi kepada keluarga. Anak dihargai keberadaan dan kemampuannya
dengan memberikan peran dalam kehidupan sehari-hari. Rasa kepercayaan
inilah yang membuat anak diakui dan dihargai keberadaannya. 23
Langkah
berikutnya
setelah
mengembangkan
lima
wilayah
kecerdasan, yang dapat dilakukan para orang tua maupun guru sebagai
orang yang dianggap lebih tua dan punya pengalaman yang lebih dari anak
bisa mengenalkan kecerdasan emosional dengan cara mengembangkan
kasih sayang afirmasif, mengajarkan tata krama, menumbuhkan empati
serta mengajarkan arti kejujuran dan berpikir realistik.
a. Mengembangkan Kasih Sayang Afirmasif.
Penelitian membuktikan bahwa hubungan yang terbuka dan
saling menyayangi dengan anak akan memberikn efek jangka panjang
berupa citra diri, keterampilan menguasai situasi dan kesehatan anak.
Selain itu orang tua juga dianjurkan meluangkan waktu khusus 20
menit per hari bersama anaknya sebagai cara untuk menjamin mereka
mendapatkan manfaat dari ungkapan sayang yang afirmasif. Sikap
saat meluangkan waktu dengan anak antara lain:
23
Lawrence E. Shapiro, Mengajarkan Emotional Intellegence pada Anak, Terj. dari How to
Raise A Child with A High EQ: A Parents’ Guide to Emotional Intellegence oleh Alex Tri
Kantjono, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1997), hal. 27-28.
71
1) Memuji anak bila berperilaku benar (misalnya dengan mengatakan
”Wah tinggi sekali menara yang kamu bangun!”) diusahakan
pujian itu akurat, jujur dan tidak dibuat-buat.
2) Tunjukkan minat Anda akan apa yang sedang dilakukan anak
dengan berpartisispasi dalam kegiatannya, dengan mengatakan apa
yang Anda lihat serta dengan merefleksikan perasaannya.
3) Jangan bertanya atau memerintah.24
Jika anak Anda berusia 4 – 9 tahun, cobalah membuat jadwal
main untuk waktu teratur beberapa kegiatannya. Yang dimaksud
dengan disiplin afirmasif adalah Anda harus mempunyai cara yang
telah dipikir matang, terencana dan sesuai untuk menanggapi perilaku
menyimpang anak Anda. Berikut ini beberapa prinsip dan strategi
sederhana untuk mendisiplinkan anak:
1) Membuat aturan dan batas yang jelas tentang kegiatan sehari-hari
yang ditulis dan ditempelkan.
2) Beri peringatan dan petunjuk apabila anak Anda mulai berbuat
kesalahan. Hal ini dilakukan untuk mengajari anak mengendalikan
diri.
3) Membentuk perilaku positif dengan mendukung perilaku yang baik
melalui pujian dan perhatian.
4) Didiklah anak sesuai harapan Anda.
5) Cegah masalah sebelum terjadi.
6) Memberikan hukuman yang sesuai apabila ada yang melanggar
peraturan yang telah disepakati, antara lain:
a) Memberikan teguran.
b) Bersikap konsekuensi wajar.
c) Menyetrap atau time out.
d) Menahan hak untuk menikmati sesuatu.
e) Koreksi berlebihan.
24
Ibid., hal. 29-31.
72
f) Sistem Angka.25
b. Mengajarkan Tata Krama
Jika anak Anda tidak mendapatkan nilai seperti yang Anda
harapkan, maka hal tersebut wajar karena sopan santun adalah sesuatu
yang dapat diekspresikan melalui perilaku dan relatif mudah
mengubahnya jika dilakukan sejak dini. Misalnya:
1) Memberikan arahan pada anak agar selalu memberi salam kepada
orang yang kita jumpai dengan mengatakan ”Selamat pagi”, atau
kalau sudah kenal dengan sapaan yang lebih hangat ”
Assalamu’alaikum” dan bertanya ”Apa kabar?”.
2) Jika baru dikenalkan orang baru yang sebelumnya belum dikenal,
maka jabatlah tangannya.
3) Selalu ucapkan terima kasih bila seseorang melakukan suatu
kebaikan pada anak, sekecil apapun.
Mengajarkan tata
krama
pada
anak usia
dini tentunya
membutuhkan proses dan waktu yang cukup panjang. Kalau nilai-nilai
sopan santun dan keramahn kita kenalkan tiap hari, maka anak akan
menyerap dan mengikuti apa yang kita ajarkan. Hal ini akan mudah
diterima anak, karena pada usia mereka kemampuan otak untuk
menyerap sesgala sesuatu yang ada di depan mereka sangat cepat.
Tentunya kita juga harus konsekuensi untuk tidak melanggar sendiri
apa yang telah kita ajarkan pada anak, karena hal itu akan
menimbulkan kebingungan pada anak dan anak tidak lagi mengikuti
arahan kita selanjutnya.
c. Menumbuhkan Empati Anak
Para psikolog menegaskan bahwa empati seseorang mulai
berkembang pada enam tahun pertama kehidupan. Mulai bayi sudah
dapat mengikuti tangisan bayi lain meskipun kejadian itu hanya
bersifat empati global. Antara usia satu sampai dua tahun mulai dapat
25
Ibid., hal. 31-35.
73
melihat kesusahan orang lain. Terkadang batita ingin meringankan
penderitaan orang lain dengan keterbatasan kognitifnya yang
terkadang menjadikan mereka mengalami kebingungan empatik.
Dengan betambah matangnya wawasan dan kemampuan kognitif
mereka, anak-anak bertahap belajar mengenali kesedihan orang lain
dan mampu menyesuaikan kepeduliannya dengan perilaku yang tepat.
Menjelang berakhirnya masa kanak-kanak antara usia sepuluh dan
dua belas tahun, anak-anak mengembangkan empati mereka tidak
hanya kepada orang yang mereka kenal atau mereka lihat secara
langsung, namun juga termasuk kelompok orang yang belum mereka
jumpai. Dalam tahap ini, yang disebut empati abstrak, anak-anak
mengungkapkan kepeduliannya terhadap orang-orang yang kurang
beruntung dibanding mereka.26
Beberapa hal yang dapat dilakukan untuk mengembangkan
empati anak terhadap sesama adalah:
1) Perketat tuntutan pada anak mengenai sikap peduli dan
tanggungjawab.
2) Ajari anak mempraktekkan perbuatan baik secara acak.
3) Libatkan anak dalam kegiatan pelayanan masyarakat.27
Untuk menjadikan kebaikan hati sebagai suatu kebiasaan, latihlah
anak apada tahap awal dengan selalu mencatat perbuatan baiak yang
telah dilakukan oleh seluruh anggota keluarga tiap hari selama
seminggu. Perbuatan baik ini bisa berupa hanya membukakan pintu
bagi orang lain atau menengok teman yang sakit. Apabila kebaikan
menjadi kebiasaan, Anda akan melihat bahwa anak akan ketagihan
dan mereka akan mencari jalan sendiri untuk melakukan lebih banyak
lagi kebaikan.
d. Mengajarkan Kejujuran dan Berpikir Realistis
26
27
Ibid., hal. 50-53.
Ibid., hal. 55-58.
74
Sebagaimana diketahui oleh semua orang tua, anak-anak berkata
bohong hampir sejak mereka mulai berbicara bahkan kadang-kadang
lebih cepat. Berbohong meskipun sering dimaklumi dari segi
perkembangan anak ini akan menjadi masalah bila berbohong menjadi
kebiasaan atau bahkan penting dalam hal-hal tertentu. Berbohong
mengikis kedekatan dan keakraban, berbohong menumbuhkan benih
ketidakpercayaan, karena perbuatan ini menghianati kepercayaan
orang lain.
Yang dapat dilakukan untuk mengajarkan pentingnya kejujuran
kepada anak antara lain dengan membangun kepercayaan dan
menghormati privasi anak Anda. Kita dapat mengajarkan kisah-kisah
keteladanan buah dari sutau kejujuran melalui buku-buku dan video
anak-anak untuk dinikmati bersama.
Dengan mengajarkan kejujuran sekaligus akan mengajarkan anak
untuk berpikir realistis. Anak-anak perlu belajar sejak dini untuk
mengevaluasi situasi mereka sendiri sesuai dengan kepentingannya.
Mereka tidak dapat belajar realistis jika orang tuanya merahasiakan
sesuatu di depan mereka. Sebagai orang tua ada kalanya di depan anak
jujur terhadap perasaan kita, tidak menyembunyikan kesalahan dan
menceritakan kebenaran kepada anak betapapun menyakitkan. Hal itu
kita lakukan tentunya dengan memperhatikan nilai etika agar anak
tidak salah tafsir.28
B. Interpretasi Hasil Analisis
1. Pola Pengasuhan Islami Sebagai Awal Pendidikan Kecerdasan
Emosional.
Pendidikan merupakan sektor yang paling menentukan dalam
keberhasilan
pembangunan.
Rendahnya
kualitas
pendidikan
akan
berdampak kepada rendahnya kualitas sumber daya manusia (SDM). Jika
28
Ibid., hal. 65-69.
75
kualitas SDM rendah, mana mungkin dapat membangun secara optimal.
Sumber daya insanilah kunci kemajuan dan keberhasilan. Namun,
membangun mutu insani yang berkualitas tidaklah cukup dengan hanya
mengandalkan kecerdasan intelektual, tetapi harus didukung oleh
kecerdasan emosional dan kecerdasan spiritual. Kecerdasan tersebut harus
pula didesain oleh kesadaran akan kebenaran sejati yang didorong oleh
kekuatan dan kesadaran untuk mencari rida Allah SWT sehingga
terbentuklan suatu pribadi yang memiliki komitmen dan integritas tinggi
serta ketakwaan.
Profil hasil pendidikan harus mampu membentuk karakter peserta
didik yang memiliki multiple intelligence, baik yang berkaitan dengan
intelektual, emosional, dan spiritual sehingga mereka mampu menghadapi
problema hidup dan kehidupannya. Selalu berupaya memecahkan
problema tersebut dengan motivasi yang tinggi serta mencari solusinya,
yang pada akhirnya mereka dapat hidup mandiri dan memiliki prinsip
hidup hanya kepada Allah SWT.
Pendidikan yang hanya mengedepankan kecerdasan intelektual tanpa
menyinergikan
nilai-nilai
kecerdasan
emosional
dan
spiritual,
dikhawatirkan pendidikan akan menghasilkan peserta didik yang pintar
tetapi buta hati. Terbukti banyak orang berpendidikan tinggi gelar di depan
dan di belakang, tetapi masih tetap melakukan korupsi, kolusi, dan
manipulasi; banyak lulusan pendidikan yang tidak dapat berkiprah di dunia
pekerjaan sehingga terjadilah pengangguran intelektual. Apabila populasi
pengangguran meningkat, terjadilah masalah sosial, seperti krisis moral
yang dapat berbuntut pada multikrisis yang kita saksikan dan dirasakan
sekarang ini. Keluarga merupakan lingkungan sosial pertama, tempat
berinteraksi anak dengan anggota keluarga yang lain. Pengaruh keluarga
terhadap pembentukan kepribadian sangat besar artinya. Orangtua sebagai
pembina pribadi yang pertama dalam hidup anak. Kegiatan pengasuhan
orangtua tidak hanya bagaimana orangtua memperlakukan anak, tetapi
76
bagaimana cara orangtua mendidik, membimbing dan melindungi anak
dari kecil hingga dewasa sesuai dengan nilai, norma dan kebudayaan
masyarakat.
Kecerdasan emosional yang perlu dikembangkan dan diintegrasikan
dalam
pendidikan
di
antaranya
empati,
mengendalikan
amarah,
kemandirian, disukai, ketekunan, kesetiakawanan, keramahan, sikap
hormat, kemampuan beradaptasi, kemampuan memecahkan masalah,
kecakapan sosial, integritas, konsisten, komitmen jujur, berpikir terbuka,
memiliki
prinsip,
kreatif,
bersifat
adil,
bijaksana,
kemampuan
mendengarkan, kemampuan berkomunikasi, motivasi, kemampuan bekerja
sama, keinginan untuk memberi kontribusi, dan masih banyak lagi
kualitas-kualitas emosional yang perlu dikembangkan dalam proses
pendidikan.
Kecerdasan spiritual merupakan kecerdasan untuk menempatkan
perilaku dan hidup kita secara profesional dalam konteks makna yang
lebih luas; kecerdasan spiritual dapat dijadikan landasan yang diperlukan
untuk memfungsikan kecerdasan intelektual dan emosional. Kecerdasan
emosional yang perlu dikembangkan dan diintegrasikan dalam proses
pendidikan, di antaranya adalah kemampuan untuk memberi makna ibadah
kepada Tuhan Yang Maha Esa pada setiap prilaku dan kegiatan melalui
langkah-langkah dan pemikiran yang bersifat fitrah menuju manusia yang
seutuhnya, dan memiliki pola pemikiran tauhid serta berprinsip hanya
kepada Allah SWT.
Menurut Baharuddin, sebagaimana dikutip Huraniyah, dalam
pandangan psikologi Islami manusia selalu dalam proses berhubungan
dengan alam (nature), manusia (sosial) dan Tuhan, ketiga hal tersebut turut
memberikan andil dalam membentuk tingkah laku manusia, salah satu
77
lingkungan sosial yang sering berhubungan dengan anak dari masa kecil
sampai remaja adalah lingkungan keluarga. 29
Keluarga merupakan lingkungan sosial pertama, tempat berinteraksi
anak dengan anggota keluarga yang lain. Pengaruh keluarga terhadap
pembentukan kepribadian sangat besar artinya. Bagi anak, orang tua
merupakan model nyang harus diteladani dan ditiru. Sebagai model, orang
tua seharusya memberikan contoh yang terbaik bagi anak dalam keluarga.
Sikap dan perilaku orang tua harus mencerminkan akhlak mulia. 30
Kepribadian orangtua, sikap dan cara hidupnya merupakan unsur
pendidikan
yang tidak
langsung,
yang dengan
sendirinya akan
mempengaruhi pertumbuhan kepribadian anak. Salah satu faktor yang
berpengaruh dalam pembentukan kepribadian tersebut adalah pola asuh
orangtua.
Kegiatan pengasuhan orangtua tidak hanya bagaimana orangtua
memperlakukan anak, tetapi bagaimana cara orangtua mendidik,
membimbing dan melindungi anak dari kecil hingga dewasa sesuai dengan
nilai,
norma
dan
kebudayaan masyarakat.
Orangtua
memelihara
pertumbuhan, bertanggung jawab dan berkewajiban mengusahakan
perkembangan anak agar sehat jasmani dan rohani.
Pola asuh Islami menurut Darajat, adalah suatu kesatuan yang utuh
dari sikap dan perlakuan orangtua kepada anak sejak masih kecil, baik
dalam mendidik, membina, membiasakan dan membimbing anak secara
optimal berdasarkan al-Qur’an dan al-Hadits. 31
Perkembangan agama pada seseorang terjadi melalui pengalaman
hidupnya semenjak kecil hingga remaja bahkan sampai dewasa yang
29
Huroniyah, F. Hubungan Antara Persepsi Pola Asuh Islami terhadap Kematangan
Beragama dan Kontrol Diri. (Yogyakarta: Tesis. Pascasarjana Universitas Gadjah Mada. 2004)
hal. 19
30
Syaiful Bahri Djamarah, Pola Asuh Orang Tua dan Komunikasi dalam Keluarga: Upaya
Membangun Citra Membentuk Pribadi Anak, (Jakarta: Rineka Cipta, 2014), hal. 47.
31
Zakiyah Daradjat. Pendidikan Islam dalam Keluarga dan Sekolah. (Jakarta: Ruhama,
1995), hal 23.
78
diperolehnya
dari
dalam
keluarga,
sekolah,
dan
masyarakat
lingkungannya. Semakin banyak pengalamannya yang sesuai dengan
ajaran agama akan semakin banyak unsur agama, maka sikap, tindakan,
kelakuan dan caranya menghadapi hidup akan sesuai dengan ajaran
agamanya.
Pada hakekatnya mengasuh anak adalah usaha nyata dari orangtua
dalam mensyukuri karunia Allah, serta mengemban amanat Nya sehingga
anak menjadi sumber kebahagiaan, penerus keturunan dan menjadi
manusia yang mandiri. Usaha nyata orangtua dimaksudkan adalah
mengembangkan totalitas potensi yang ada pada diri anak, secara garis
besar potensi anak dapat dibedakan menjadi dua, potensi rohaniah dan
potensi jasmaniah. Potensi rohaniah meliputi potensi pikir, potensi rasa,
dan potensi karsa. Sedangkan potensi jasmaniah meliputi potensi kerja dan
potensi sehat.32
Senada dengan hal tersebut diatas Faramaz dan Mahfuzh, 33
mengatakan bahwa hakekat pola asuh Islami adalah :
a. Menyelamatkan fitrah Islamiyah anak.
Pada dasarnya setiap anak yang terlahir kedunia ini menurut
pandangan Islam telah membawah fitrah Islamiyah. Oleh karena itu,
setiap orangtua wajib menyelamatkan dengan usaha yang nyata.
Usaha-usaha dalam mengembangkan potensi fitrah anak bisa ditempuh
dengan tiga cara, yaitu: (1) memanfaatkan berbagai kesempatan ketika
berkumpul bersama anak, baik siang maupun malam, (2) menjelaskan
tentang ke-Maha Kuasa-an Allah dalam menciptakan manusia, (3) di
dalam menanamkan tauhid (akidah) di dalam jiwa anak, bisa berkiblat
kepada langkah-langkah serta sterategi yang pernah dipergunakan oleh
para ulama.
b. Mengembangkan potensi pikir anak
32
33
Huroniyah, F. op.cit, 35.
Huroniyah, F. op.cit, 36.
79
Potensi kedua yang harus dikembangkan setelah potensi fitrah
Islamiah adalah potensi pikir anak, karena potensi inilah yang
membedakan antara mahluk Allah yang bernama manusia dengan
mahluk lain. Potensi pikir yang dimilki oleh anak perlu dikembangkan
melalui pendidikan khususnya pendidikan formal, sehingga potensi ini
tidak jumud dan statis.
Berkembangnya potensi pikir anak harus didasari oleh nilai-nilai
fitrah Islamiah yang ia bawah sejak lahir. Jangan sampai dengan
berkembangnya pemikiran anak, justru mencabut nilai-nilai aqidah
yang telah diikrarkan di hadapan Allah sebelum dilahirkan ke dunia.
Berkaitan dengan potensi pikir ini, Rasulullah saw bersabda :
“Pikirkanlah ciptaan Allah, tetapi jangan berpikir tentang Dzat
Allah Ta’ala sebab kalian akan rusak.”(H.R. Abu Syekh).
Hadis ini mengandung makna agar seluruh ummat manusia agar
mempergunakan akal sehatnya secara optimal untuk memikirkan
segala ciptaan Allah yang ada di dunia ini.
c. Mengembangkan potensi rasa anak
Bersamaan dengan diberikannya potensi pikir, setiap anak juga
dilengkapi dengan potensi rasa. Perasaan yang dijiwai oleh kaidah
Islamiyah anak akan tumbuh dewasa menjadi orang-orang yang
berakhlak baik dalam menjalin hubungan sang pencipta dan berakhlak
baik pula dalam bergaul sesama mahluk ciptaan-Nya. Masalah potensi
rasa ini dijelaskan Allah dalam firman-Nya:
“… dan kami jadikan mereka berpendengaran,
berpenglihatan dan berperasaan…” (Q.S. al-Ahkaf: 26)
Berdasarkan ayat di atas diharapkan menyadari betul bahwa
pendengaran, penglihatan dan perasaan manusia kelak akan dimintai
pertanggungjawaban di hadapan Allah SWT.
Berdasarkan ayat di atas, para orangtua muslim hendaknya
menanamkan pula kesadaran pada anak, bahwa perasaan itu akan
dimintakan pertanggungjawaban pada akhir kemudian. Dengan
80
terbiasanya perasaan terarah pada obyek yang positif menurut
pandangan aqidah dan terjauh dari obyek yang negative, niscaya akan
terbentuklah sebuah karakter muslim yang benar-benar membekas
pada diri anak.
d. Mengembangkan potensi karsa anak
Apabila fitrah Islamiah anak yang berupa akidah Islamiah anak
yang berupa akidah Islamiah itu telah terkembangkan sedemikian rupa
oleh pendidikan orangtua, sehingga potensi pikir dan potensi rasanya
selalu menyuarakan nilai-nilai akidahnya, maka potensi karsa anak pun
akan semakin cendrung untuk senantiasa berkarsa positif.
e. Mengembangkan potensi kerja anak
Manusia tidak akan dikatakan manusia tanpa dilengkapi dengan
tubuh atau aspek jasmaniah. Dengan kelengkapan jasmaniah, manusia
memiliki potensi kerja. Oleh karena itu setiap manusia yang terlahir ke
dunia memiliki potensi untuk bekerja.
Kerja
pada
dasarnya
merupakan
sebuah
aktivitas untuk
mendapatkan materi demi tercukupinya kebutuhan hidup seperti
sandang, pangan dan papan.
f. Mengembangkan potensi kesehatan anak
Setiap anak memiliki potensi sehat, dengan potensi sehat inilah
anak-anak dapat tumbuh secara wajar dan dapat melakukan segala
aktivitasnya dengan baik sehingga faktor kesehatan pun mendapatkan
tekanan yang serius dalam Islam. Karena dengan kesehatan itulah,
seseorang dapat berpikir baik, dapat merasa dengan baik, dapat
berkarsa dengan baik dan dapat pula bekerja dengan baik.
Islam jauh-jauh hari sudah memberikan petunjuk secara jelas,
komplit dan terpadu tentang konsep pentingnya menjaga kesehatan
baik secara jasmani maupun rohani. Konsep menjaga kesehatan
jasmani salah satunya adalah Thoharoh, menjaga thoharoh artinya
menjaga kesucian dan kebersihan dari semua aspek mulai dari sekujur
81
badan, makanan, pakaian, tempat tinggal maupun lingkungan. Dalam
Islam menjaga kesucian dan kebersihan termasuk bagian ibadah. Dari
‘Ali ra., dari Nabi SAW, beliau berkata, “Kunci shalat adalah
bersuci,” (HR. Ibnu Majah, al-Turmudzi, Ahmad, dan al-Darimi). Dari
Abu Malik, Al Harits bin Al Asy’ari radhiyallahu ‘anhu, ia berkata
telah bersabda Rasulullah SAW: ‘Suci itu sebagian dari iman.
(Muslim). Dari sisi pandang kebersihan dan kesehatan, thoharoh
merupakan salah satu bentuk upaya preventif, berguna untuk
menghindari penyebaran berbagai jenis kuman dan bakteri.
Yang kedua adalah Menjaga Makanan. Ajaran islam selalu
menekankan agar setiap orang memakan makanan yang baik dan halal,
baik dan halal itu baik secara dzatnya maupun secara mendapatkannya.
Allah memerintahkan kita untuk memakan makanan yang halal dan
baik sebagaimana dalam Firman Allah SWT di dalam Alquran, yang
artinya : “ Dan makanlah makanan yang halal lagi baik (thayib) dari
apa yang telah dirizkikan kepadamu dan bertaqwalah kepada Allah
yang kamu beriman kepada-Nya” (Q.S. Al-Maidah: 88). Dan ayat
lainnya, “makan dan minumlah kalian, dan janganlah berlebihlebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang
berlebih-lebihan.” (Q.S. al-A’raf: 31). Hal ini menunjukkan apresiasi
islam terhadap kesehatan, sebab makanan merupakan salah satu
penentu sehat tidaknya seseorang.
Dan yang ketiga adalah olahraga. Ajaran Islam ternyata begitu
sangat lengkap dan sempurna. Bahkan olahraga saja ternyata
dianjurkan oleh Nabi Muhammad SAW seperti olahraga berenang,
memanah, berlari, berkuda, bergulat, dan sebagainya. Olahraga
bertujuan untuk menjadikan manusia sehat dan kuat. Dalam Islam,
sehat dipandang sebagai nikmat kedua terbaik setelah Iman
Berdasarkan penjelasan tersebut di atas, dapat ditarik kesimpulan
bahwa, hakekat pengasuhan Islami dalam pandangan Islam adalah suatu
82
usaha nyata dari orangtua dalam mensyukuri kurnia Allah swt dalam
mengembangkan amanatnya serta usaha untuk menyelamatkan fitrah anak
meliputi potensi pikir, potensi rasa, potensi karsa, potensi kerja dan
mengembangkan potensi sehat anak. Semua potensi tersebut harus di
kembangkan agar kelak anak dapat tumbuh dan berkembang secara wajar,
selaras dan seimbang, sehingga kelak anak menjadi sumber kebahagian,
penerus keturunan dan menjadi manusia yang mandiri, membentuk pribadi
anak menjadi pribadi yang utuh yang diridloi oleh Allah SWT. Hal ini
dilakukan dalam upaya menyelamatkan anak sebagai generasi penerus
sebagaimana yang diharapkan dan didambakan oleh para orangtua.
Disisi lain, kecerdasan emosional anak dipengaruhi oleh beberapa
faktor yaitu faktor otak, faktor keluarga dan faktor lingkungan sekolah.
Menurut Goleman dan Declaire bahwa sepanjang sejarah perkembangan
manusia menunjukkan bahwa cara anak anak mempelajari keterampilan
emosi dan sosial dasar adalah dari orang tua, kaum kerabat dan tetangga,
dari jatuh bangunnya mereka bermain bersama teman sepermainannya,
dari lingkungan pembelajaran di sekolah dan dari dukungan sosialnya,
lebih lanjut mereka mengungkapkan bahwa ada beberapa prinsip dalam
mendidik dan melatih emosi anak, menentukan batas-batas emosi anak,
mendengarkan dengan penuh empati dan membantu akan memecahkan
masalah yang dihadapi. 34
Kecerdasan emosional seseorang juga dipengaruhi oleh faktor-faktor
seperti otak, keluarga, dan lingkungan sekolah:
a. Faktor otak.
Bagian otak manusia yang disebut sistem limbik merupakan pusat
emosi. Amigdala menjadi bagian penting dalam mengatur kehidupan
yang berkaitan dengan masalah-masalah emosional. Pemisahan
amigdala dari bagian-bagian otak lainnya akan menyebabkan
seseorang tidak mampu dalam menangkap makna emosional dari suatu
34
Daniel Goleman, Keceradasan Emosional. Terj. Hermaya, T. (Jakarta: PT Gramedia
Pustaka Utama. 2001), hal. 11
83
peristiwa. Ini berarti amigdala dalam struktur otak berfungsi sebagai
tempat ingatan emosi dan makna dari emosi. Joseph Ledoux,
menggambarkan
bahwa
orang
yang
kehilangan
amigdala
memperlihatkan minat yang kurang terhadap manusia dan menarik diri
dari hubungan antar manusia. Hal ini ditandai oleh ketidakmampuan
seseorang untuk mengenal keluarga, teman, dan bersikap pasif
terhadap lingkungannya. Orang akan kehilangan semua pemahaman
tentang perasaan dan kemampuan untuk merasakan perasaan. 35
b. Pola Asuh Orangtua
Terdapat tiga bentuk pola asuh orangtua terhadap anaknya, yaitu
otoriter, permisif, dan otoritatif.
36
Khususnya orang tua memegang
peranan penting terhadap perkembangan kecerdasan emosional.
Goleman berpendapat lingkungan keluarga merupakan sekolah
pertama bagi anak untuk mempelajari emosi.37 Dari keluargalah
seorang anak mengenal emosi dan yang paling utama adalah orang tua.
Bagaimana cara orang tua mengasuh dan memperlakukan anak adalah
tahapan awal yang diterima atau dipelajari oleh anak dalam mengenal
kehidupan.
c. Faktor lingkungan sekolah.
Guru memegang peranan penting dalam mengembangkan potensi
anak melalui teknik, gaya kepemimipinan dan metode mengajarnya
sehingga kecerdasan emosional berkembang secara maksimal. Kondisi
ini menuntut agar system pendidikan hendaknya tidak mengabaikan
berkembangnya otak kanan terutama perkembangan emosi dan konasi
seseorang. Setelah lingkungan keluraga, kemudian lingkungan sekolah
yang mengajarkan anak sebagai individu untuk mengembangkan
keintelektualan dan bersosial dengan sebayanya, sehingga anak dapat
35
Ibid., hal. 20.
Lawrence E. Shapiro, Mengajarkan Emotional Intellegence pada Anak, Terj. dari How to
Raise A Child with A High EQ: A Parents’ Guide to Emotional Intellegence oleh Alex Tri
Kantjono, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1997), hal. 27.
37
Goleman, op.cit, hal. 31.
36
84
berekspresi secara bebas tanpa terlalu banyak diatur dan diawasi secara
ketat.
Dari penjelasan diatas, dijelaskan bahwa kecerdasan emosional anak
pertama kali dipengaruhi oleh faktor keluarga yaitu pola asuh orang tua
terhadap anaknya dalam keluarga.
Terdapat tiga bentuk pola asuh orangtua terhadap anaknya, 38 yaitu
otoriter, permisif, dan otoritatif. Orangtua otoriter menerapkan aturan yang
ketat dan menuntut anak untuk mematuhi aturan tersebut. Anak dianggap
tidak memiliki potensi dan tidak memberi kesempatan yang seluas-luasnya
kepada anak untuk menyuarakan pendapatnya. Orangtua permisif
menjalankan perannya dengan menerima dan mendidik anak sebaik
mungkin, tetapi cenderung pasif dalam menetapkan batas-batas antara halhal yang dilarang dan hal yang dapat dilakukan oleh anak. Orangtua
seperti ini kurang menetukan sasaran yang jelas dan sedikit menuntut
kepada anak. Orangtua otoritatif adalah orangtua yang berusaha
menentukan batas-batas yang jelas dan menciptakan lingkungan yang baik
untuk tumbuh. Orangtua memberi bimbingan dan penjelasan, tidak
mengatur, dan memberi kebebasan kepada anak dalam mengambil
keputusan. Pola ini sangat menghargai kemandirian anak, tetapi menuntut
tanggung jawab yang tinggi terhadap keluarga, teman, dan lingkungan
masyarakat.
Berkaitan dengan pola asuh di atas, Gottman & DeClaire,39
menyebutkan tiga gaya mendidik anak yang kurang efektif secara
emosional, yaitu mengabaikan perasaan anak, memberi kebebasan yang
berlebihan kepada anak, menghina, dan tidak menghargai perasaan anak.
Orangtua
dalam keluarga
memiliki tanggung
jawab
dalam
mengembangkan emosi, sehingga mereka dituntut untuk memahami cara
38
Shapiro, op.cit, hal. 27-28.
Jhon Gottman & Jhon DeClaire, Kiat-kiat membesarkan anak yang memiliki kecerdasan
emosional. (Jakarta: Gramedia, 1997), hal. 15.
39
85
mendidik anak. Gottman dan DeClaire,40 menyebutkan lima prinsip dalam
mendidik dan melatih emosi anak.
a. Menyadari emosi. Orangtua mampu menyadari emosi diri dan
menyelaraskannya dengan perasaan anak.
b. Mengakui emosi anak sebagai peluang kedekatan dan mengajar.
c. Mendengarkan dengan penuh empati dan meneguhkan emosi anak.
d. Menamai emosi anak.
e. Menetukan batas-batas emosi dan membantu anak dalam memecahkan
masalah yang dihadapi.
Dampak pola asuh orangta terhadap perkembangan anak selanjutnya
sangat luas. Gotmann dan De Claire menemukan bahwa orangtua yang
terampil secara emosional memiliki anak yang sukses dalam pergaulan,
memperlihatkan lebih banyak kasih sayang dan sedikit konflik dengan
orangtua, lebih pintar dalam menangani emosi, dan lebih efektif dalam
mengendalikan emosi.41
Secara umum remaja sangat dipengaruhi oleh lingkungan sekitarnya
terutama lingkungan keluarga yakni kedua orangtua. Lingkungan keluarga
merupakan suatu istilah yang sering di jumpai dalam berbagai
pembicaraan mengenai perkembangan anak, karena lingkungan keluarga
mempunyai peran yang cukup penting dan mendasar dalam pembentukan
kepribadian anak. Menurut Kartono,42 keluarga merupakan lembaga
pertama dan terutama bagi anak sebagai tempat sosialisasi dan
mendapatkan pendidikan serta merasakan suasana yang aman, lebih lanjut
dikemukakan bahwa seluruh anggota keluarga diikat oleh suatu perasaan
sentimen yang dalam, rasa kasih sayang, loyalitas dan rasa solidaritas yang
murni.
Pola
asuh
yang
berdasarkan
ajaran
Islam
mengedepankan
keteladanan, pembiasaan, perhatian, dan nasehat atau bimbingan yang
40
Ibid, hal. 17.
Ibid, hal 25.
42
Kartono, K. Peran Keluarga Memandu Anak. (Jakarta, Rajawali, 1986), hal.27.
41
86
disampaikan dengan dialog, humor maupun logika argumentatif, tetapi
tetap menegakkan disiplin dengan memberikan tindakan tegas (hukuman)
jika diperlukan. Semua metode ini dilaksanakan atas dasar kasih sayang,
penghargaan terhadap anak, kesabaran dan ketulusan. Keteladanan adalah
tekhnik
yang
berpengaruh
dan
terbukti
sangat
berhasil
dalam
mempersiapkan dan membentuk aspek moral, spiritual dan etos sosial
anak. sepanjang waktu anak selalu mengawasi atau mengamati serta
memperhatikan apa yang dilakukan orangtua dan secara disadari bahwa
perilaku orangtua akan direkam oleh anak dan dijadikan internalisasi
dalam dirinya.
2. Strategi Mengembangkan Kecerdasan Emosi Anak dalam Pendidikan
Islam
Dalam pengertiannya yang lebih umum, strategi dapat dimaknai
sebagai pendayagunaan atas semua faktor atau kekuatan dalam rangka
mencapai suatu tujuan. Di dalamnya mengandung unsur perencanaan dan
pengerahan sesuai dengan kondisi dan situasi yang ada di lapangan. Maka
tidak jauh beda dengan strategi pendidikan yang pada hakikatnya juga
pengetahuan atau seni mendayagunakan semua faktor dan kekuatan untuk
mengamankan sasaran kependidikan yang hendak dicapai melalui
perencanaan dan pengarahan sesuai dengan kondisi lapangan yang ada,
lengkap dengan perhitungan tentang hambatan-hambatanya baik berupa
fisik maupun non fisik seperti mental spiritual, dan moral baik dari subyek
didik, obyek, maupun lingkungan sekitar.43
Adapun strategi pendidikan Islam
kaitannya dengan upaya
mengembangkan kecerdasan emosional merupakan kewajiban bagi setiap
orangtua, guru, dan masyarakat sebagai bagian dari sistem sosial.
a. Lingkungan keluarga
43
Ishak W Talibo, Membangun Kecerdasan Emosional dalam Perspektif Pendidikan Islam,,
(IQRA’ 25 Volume 5 Januari - Juni 2008) http://jurnaliqro.files.wordpress.com/2008/08/02
87
Keluarga merupakan sistem sosial terkecil dalam masyarakat
yang memegang peranan penting dalam penanaman nilai-nilai Islam.
Oleh karena itu, di dalam lingkungan keluarga anak seharusnya
mendapatkan bimbingan dan arahan atas segala potensi yang ada
dalam dirinya. Menurut Hurlock, keluarga merupakan “Training
Center” bagi penanaman nilai-nilai pengembangan fitrah atau jiwa
beragama
anak
seyogyanya
bersamaan
dengan perkembangan
kepribadiaannya yaitu sejak lahir bahkan lebih dari itu sejak dalam
kandungan.
Dalam hal ini, tidak dapat disangsikan bahwa yang menjadi
pendidik adalah orang yang telah dewasa. Karena tidak mungkin
seseorang akan mampu membawa arah anak-anak ke arah kedewasaan
itu, pertama-tama bukan karena anjuran-anjuran atau nasehat-nasehat
yang diberikan oleh pendidik, melainkan karena gambaran kedewasaan
yang senantiasa dibayangkan oleh sebab pergaulan mereka dengan
pendidik, orangtua mereka sendiri, setiap hari dalam lingkungan
sendiri. Karena itu setiap pendidik dapat diramalkan akan mengalami
kegagalan, jika orantuanya sendiri belum mencapai kedewasaan.
Kenyataan menunjukan bahwa cukup banyak keluarga, dimana
orangtua belum dapat dikatakan memenuhi syarat sebagai pendidik.
Maka dari itulah sebabanya campur tangan Negara terhadap
kelangsungan pendidikan anak menjadi relevan. Namun begitu, meski
sudah dibantu oleh negara dengan mencapuri urusan pendidikan
terhadap anak-anak, tetapi orang tua tetap bertanggung jawab terhadap
pendidikan anak-anaknya. Demikian penyusun katakan karena adanya
beberapa alasan. Di antaranya:
1) Ikatan keluarga yang merupakan ikatan perasaan antara orangtua
dan anaknya tidak mungkin tergantikan.
88
2) Sehubungan dengan point diatas, maka tidak akan ada seorang
anak yang akan menjadi normal, jika tidak ada hubungan perasaan
dengan orangtuanya dan
3) Proses kehidupan dalam lingkungan keluarga ialah proses hidup,
hidup manusia yang didukung oleh pendidikan yang sudah
menetap,
adat istiadat, kebiasaan, kepercayaan, dan lain
sebagainya.
Melihat dari beberapa uraian di atas, maka dapat kita simpulkan
bahwa keluarga merupakan unsur primer dalam peranannya mendidik
anak-anaknya sendiri. Keluarga muslim adalah pelindung pertama,
tempat anak dibesarkan dalam suasana yang mawaddah waramah.
Artinya sepasang suami isteri yang kedua tokohnya (ibu dan bapak)
berpadu dalam merealisasikan tujuan pendidikan.
Dalam konteks sosial, anak pasti hidup bermasyarakat dan
bergumul dengan budaya yang ada dalam masyarakat. Dalam hal ini
orang tua bertanggung jawab untuk mendidik anak agar menjadi orang
yang pandai hidup bermasyarakat dan hidup dengan budaya yang baik
dalam masyarakat. Sebagai anggota masyarakat, anak dituntut untuk
terlibat di dalamnya dan bukan sebagai penonton tanpa mengambil
peranan.44
Adapun tujuan dari pendidikan Islam
melalui keluarga
dimaksudkan untuk:45
1) Mendirikan syariat Allah dalam segala permasalahan rumah
tangga.
2) Mewujudkan ketentraman dan ketenangan psikologis.
3) Mewujudkan sunnah Rasulullah saw. Dengan melahirkan anakanak soleh.
44
Syaiful Bahri Djamarah, Pola Asuh Orang Tua dan Komunikasi dalam Keluarga: Upaya
Membangun Citra Membentuk Pribadi Anak, (Jakarta: Rineka Cipta, 2014), hal. 47.
45
Abdurrahman An-Nahlawi, Pendidikan Islam di Rumah, Sekolah, dan Masyarakat, Terj.
dari Ushulut Tarbiyah Islamiyah wa asalibiha fil baiti wal madrasati wal mujtama oleh
Shihabuddin, (Jakarta: Gema Insani, 2004), Cet. IV, hal. 139-144.
89
4) Memenuhi kebutuhan cinta kasih anak-anak.
5) Menjaga fitah anak agar anak tidak melakukan penyimpanganpenyimpangan.
Sementara itu, menurut Ishak bahwa upaya yang dapat dilakukan
oleh
orangtua
dalam
rangka
menanamkan
keimanan
dan
mengembangkan fitrah anak dalam lingkungan keluarga adalah
sebagaimana berikut:46
1) Tahap asuhan antara usia 0-2 tahun
Seperti kita ketahui bahwa pada usia 0-2, seorang anak
belumlah memiliki kesadaran dan daya intelektual. Sebaliknya, ia
hanya mampu menerima rangsangan yang bersifat biologis dan
psikologis melalui air susu ibunya. Oleh karena itu, interaksi
edukasi secara langsung juga tidak mungkin dapat dilakukan.
Karenanya proses edukasi dapat dilakukan dengan cara:
a) Mengazankan ditelinga kanan dan iqomah ditelinga kiri ketika
baru lahir. Dalam hal ini, Rasulullah Saw pernah bersabda yang
artinya: dari hasan bin Ali ra. Dia berkata: Rasulullah Saw.
Bersabda: “barang siapa lahir bayinya, maka hendaklah ia
membacakan azan pada telinga kanannya, dan iqomah pada
telinga kirinya, niscaya ia (bayi) tidak diganggu oleh jin”.
b) Akikah, dua kambing untuk laki-laki dan seekor kambing
untuk bayi perempuan. Sabda Rasulullah Saw yang artinya:
Diungkapkan oleh Baihaqi dari Abdullah bin Yazid dari
bapaknya yang bersumber dari Rasulullah Saw, sesuai
sabdanya “Akikah itu penyembelihannya pada hari ke tujuh
atau ke empat belas atau kedua puluh satu dari anak yang
dilahirkan”.
c) Memberi nama yang baik.
d) Membiasakan hidup bersih, suci, dan sehat.
46
Talibo, op.cit., hal. 23-24.
90
e) Memberi ASI sesuai dengan batas umur yang ditentukan, yaitu
usia dua tahun.
f) Memberi makan dan minuman yang bergizi.
2) Tahap pendidikan jasmani dan pelatihan panca indra (usia 3-12
tahun)
Fase ini lazim disebut fase anak-anak (al-thifl/shabi), yaitu
mulai masa neonatus sampai pada masa polusi (mimpi basah).
Pada fase ini anak mestilah dibiasakan dan dilatih hidup yang baik,
seperti dalam berbicara, makan, bergaul, penyesuaian diri dengan
lingkungan, dan berperilaku. Pertumbuhan fisik pada fase ini
berjalan wajar dan hampir sama pada semua anak. Pertumbuhan
otot-otot halus telah memungkinkan untuk melakukan kegiatan
yang memerlukan keserasian gerak, seperti melukis, menggambar
dan melakukan gerakan shalat.
Selain itu, perlu pengenalan aspek-aspek doktrinal agama,
terutama yang berkaitan dengan pengimanan, melalui metode
cerita dan uswah al-hasanah. Ketika anak masuk sekolah dasar,
dalam jiwanya ia telah membawa bekal rasa agama yang terdapat
dalam kepribadiannya, dari orang tuanya dan dari gurunya di
taman kanak-kanak. Jika didikan agama yang diterimanya dari
orang tuanya di rumah sejalan dan serasi dengan apa yang
diterimanya dari gurunya di taman kanak-kanak, maka ia masuk ke
sekolah dasar telah membawa dasar agama yang bulat (serasi).
Akan tetapi, jika berlainan maka yang dibawanya adalah keraguraguan. Demikian pula sikap orang tua yang acuh tak acuh atau
negatif terhadap agama, akan mempunyai akibat yang seperti itu
pula dalam pribadi anak.
3) Tahap pembentukan watak dan pendidikan (usia 12-20 tahun).
Fase ini lazimnya disebut fase tamyiz, yaitu fase di mana anak
mulai mampu membedakan yang baik dan buruk, yang benar dan
91
yang salah. Atau fase baligh (disebut juga mukallaf) di mana ia
telah sampai berkewajiban memikul beban taklif dari Allah swt.
Usia ini anak telah memiliki kesadaran penuh akan dirinya,
sehingga ia diberi beban tanggung jawab (taklif), terutama
tanggung jawab agama dan sosial.
4) Tahap Kematangan (usia 20-30 tahun)
Pada tahap ini, proses edukasi dapat dilakukan dengan
memberi pertimbangan dalam menentukan teman hidupnya yang
memiliki ciri mukafaah dalam aspek agama, ekonomi, sosial dan
sebagainya.
5) Tahap Kebijaksanaan (usia 30-meninggal)
Menjelang meninggal, fase ini lazimnya disebut fase azm al‘umr (lanjut usia) atau syuyukh (tua). Proses edukasi bisa dilakukan
dengan mengingatkan agar mereka berkenan sedekah atau zakat
bila ia lupa serta mengingatkan agar harta dan anak yang dimiliki
selalu didarmabaktikan kepada agama, Negara, dan masyarakat
sebelum menjelang hayatnya.
b. Lingkungan sekolah
Pendidikan anak pada dasarnya adalah tanggung jawab orang tua.
Hanya karena keterbatasan kemampuan orang tua, maka perlu adanya
bantuan dari orang-orang yang mampudan mau membantu orang tua
dalam pendidikan anak-anaknya, terutama dalam mengajarkan
berbagai ilmu dan keterampilan yang selalu berkembang dan dituntut
pengembangannya bagi kepentingan manusia.47 Salah satu caranya
adalah mempercayakannya kepada pihak sekolah.
Di lingkungan sekolah, anak-anak berkumpul dengan usia yang
nyaris sama dan dengan taraf kemampuan pengetahuan yang hampir
sederajat dan secara sekaligus akan menerima pelajaran yang sama.
Maka jika di lingkungan keluarga orangtua menjadi teladan bagi anak47
Zakiah Daradjat, Pendidikan Islam dalam Keluarga dan Sekolah, (Jakarta: Ruhama, 1995),
hal. 53.
92
anaknya, maka yang paling bertanggung jawab atas perkembangan
pendidikan anak dalam lingkungan sekolah adalah para gurunya.
Dalam hal ini, Islam memerintahkan bahwa tugas guru (sekolah)
adalah tidak hanya mengajar, melainkan juga mendidik. Guru bahkan
harus mampu menjadi teladan bagi para muridnya. Dan dalam segala
mata pelajaran, seorang guru harus mampu menanamkan rasa
keimanan dan akhlak sesuai dengan ajaran Islam bahkan di luar
sekolah pun sang guru harus mampu bertindak sebagai seorang
pendidik.
Agar seorang pendidik dapat menjalankan fungsi sebagaimana
yang telah dibebankan Allah kepada rasul dan pengikutnya, maka dia
harus memeiliki sifat-sifat berikut ini:48
1) Setiap pendidik harus memiliki sifat rabbani.
2) Seorang guru hendaknya menyempurnakan sifat rabbaniyahnya
dengan keikhlasan.
3) Seorang pendidik hendaknya mengajarkan ilmunya dengan sabar.
4) Seorang pendidik harus memiliki kejujuran dengan menerapkan
apa yang dia ajarkan dalam kehidupan pribadinya.
5) Seorang
guru
harus
senantiasa
meningkatkan
wawasan,
pengetahuan, dan kajiannya.
6) Seorang pendidik harus cerdik dan terampil dalam menciptakan
metode pengajaran yang variatif serta sesuai dengan situasi dan
materi pelajaran.
7) Harus mampu bersikap tegas dan meletakkan sesuatu sesuai
porsinyasehingga akan mampu mengontrol dan menguasai siswa.
8) Dituntut
untuk
memahami
psikologi
anak,
perkembangan, dan psikologi pendidikan.
9) Dituntut untuk peka terhadap fenomenakehidupan.
10) Memiliki sikap adil terhadap seluruh anak didiknya.
48
Abdurrahman, op.cit. hal. 170-176.
psikologi
93
Pada dasarnya, sekolah harus merupakan sebuah lembaga
pendidikan yang membantu bagi tercapainya cita-cita keluarga dan
masyarakat, khususnya masyarakat Islam. Oleh karena itu, lembaga
pendidikan harus mempunyai program pendidikan yang sistematis
dalam melaksanakan bimbingan pengajaran dan latihan kepada anak
(siswa) agar mereka berkembang sesuai dengan potensi yang ada
dalam dirinya.
c. Lingkungan Masyarakat
Allah telah menjadikan masyarakat Islami sebagai suatu
masyarakat yang menyuruh supaya berbuat makruf dan mencegah dari
yang mungkar. Dalam hal ini, Allah berfirman dalam al-Quran surat
Ali Imran ayat 110 yang artinya “kalian adalah umat yang terbaik
yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang makruf dan
mencegah dari yang mungkar”.
Oleh karena itu, dan berdasarkan dari firman Allah di atas, bahwa
masyarakat ikut bertanggung jawab dalam pendidikan anak. Yaitu,
masyarakat hendaknya turut bersikap aktif dalam rangka menjaga
fitrah anak dari segala macam perbuatan salah. Sedari kecil, anak
jangan sampai diperlihatkan sesuatu yang secara prinsipil melanggar
aturan agama. Sebab jika tidak, maka kelak ketika usia anak sudah
mencapai cukup usia dewasa, tidak menutup kemungkinan ia akan
berbuat hal serupa sebagaimana yang telah dicontohkan oleh
masyarakat sekelilingnya.
Lebih jauh, bahwa dalam masyarakat anak berinteraksi dengan
teman sebayanya. Hurlock mengemukakan bahwa aturan-aturan
(kelompok bermain) memberikan pengaruh pada pandangan moral dan
tingkah laku kelompoknya, kualitas perkembangan kesadaran anak
sangat bergantung pada kualitas perilaku orang dewasa atau warga
masyarakat.
94
Sementara itu, menurut Ishak W Talibo bahwa kualitas pribadi
orang dewasa yang kondusif bagi perkembangan kesadaran beragama
anak adalah:
1) Taat melaksanakan kewajiban agama seperti ibadah ritual,
menjalin persaudaraan, saling menolong dan bersikap jujur. Juga
membentuk pengajian anak-anak dan membentuk Majelis Taklim.
2) Menghindari diri dari sikap dan perilaku yang dilarang oleh agama.
Berdasarkan paparan di atas, dapat dikatakan bahwa untuk
membangun kecerdasan emosional dan spiritual maka segala
belenggu yang dapat membutakan hati harus dihilangkan lalu
menyeimbangkan
dengan
nilai-nilai
keimanan
kemudian
diaplikasikan dengan nilai-nilai keislaman. Di samping itu
lingkungan juga sangat mendukung pertumbuhan tersebut. Tidak
kondusifnya satu lingkungan dapat mengakibatkan tujuan yang
akan dicapai tidak berhasil dengan baik.49
Sementara itu, hingga kini pengembangan kecerdasan emosional
ditengah masyarakat kita sangat kurang mendapatkan perhatian.
Bahkan tidak jarang kita temui anggapan masyarakat yang menyatakan
bahwa permasalahan pendidikan anak adalah menjadi tanggungjawab
sekolah atau keluarga saja. Padahal, masyarakat adalah suatu institusi
yang juga bertanggungjwab terhadap pendidikan anak-anak.
Seperti yang telah kita ketahui bahwa sebagian besar anak-anak
menghabiskan
waktunya
bersama-sama
dengan
masyarakat
disekelilingnya. Mereka setiap harinya bermain, bercengkrama, dan
lain sebagainya bersama dengan tetangga-tentangganya. Oleh karena
itu, sudah menjadi keharusan bagi masyarakat untuk ikut mengambil
peran yang, mungkin, salah satunya melalui bentuk kerjasama, baik
dengan orangtua, sekolah, maupun dengan pihak lain untuk
memberikan pendidikan kepada anak-anak.
49
Ishak W Talibo, Membangun Kecerdasan Emosional dalam Perspektif Pendidikan Islam,,
(IQRA’ 25 Volume 5 Januari - Juni 2008) http://jurnaliqro.files.wordpress.com/2008/08/02
95
Dengan demikian, sesungguhnya bukanlah hal yang sulit untuk
dilakukan upaya-upaya pendidikan bagi anak-anak oleh masyarakat
apabila mereka mau bekerjasama sama terutamakepada para orangtua
dan pihak sekolah. Bagaimanapun, peran masyarakat terhadap
pendidikan anak-anak yang utama untuk mengembangkan kecerdasan
emosinya merupakan yang sangat penting.
C. Pembahasan
Setiap orang tua dalam menjalani kehidupan berumah tangga tentunya
memiliki tugas dan peran yang sangat penting, ada pun tugas dan peran orang
tua terhadap anaknya dapat dikemukakan sebagai berikut. (1). Melahirkan, (2).
Mengasuh, (3). Membesarkan, (4). Mengarahkan menuju kepada kedewasaan
serta menanamkan norma‐norma dan nilai‐nilai yang berlaku. Disamping itu
juga harus mampu mengembangkan potensi yang ada pada diri anak, memberi
teladan dan mampu mengembangkan pertumbuhan pribadi dengan penuh
tanggung jawab dan penuh kasih sayang. Anak‐anak yang tumbuh dengan
berbagai bakat dan kecenderungan masing‐masing adalah karunia yang sangat
berharga, yang digambarkan sebagai perhiasan dunia. Sebagaimana Firman
Allah Swt dalam Alquran surat Al‐Kahfi ayat 46.
           
   
“Harta dan anak‐anak adalah perhiasan kehidupan dunia, tetapi
amanah ‐amanah yang kekal lagi soleh adalah lebih baik pahalanya di
sisi Tuhanmu serta lebih baik untuk menjadi harapan.” (QS. Al‐Kahfi
ayat 46).50
Ayat di atas paling tidak mengandung dua pengertian. Pertama, mencintai
harta dan anak merupakan fitrah manusia, karena keduanya adalah perhiasan
dunia yang dianugerahkan Sang Pencipta. Kedua, hanya harta dan anak yang
50
Depag, Alqur’an dan Terjemahnya,Ibid., hal. 299.
96
shaleh yang dapat dipetik manfaatnya. Anak harus dididik menjadi anak yang
shaleh (dalam pengertian anfa’uhum linnas) yang bermanfaat bagi sesamanya.
Lingkungan
keluarga
sangat
mempengaruhi
bagi pengembangan
kepribadian anak dalam hal ini orang tua harus berusaha untuk menciptakan
lingkungan keluarga yang sesuai dengan keadaan anak. Dalam lingkungan
keluarga harus diciptakan suasana yang serasi, seimbang, dan selaras, orang
tua harus bersikap demokrasi baik dalam memberikan larangan, dan berupaya
merangsang anak menjadi percaya diri.
Salah satu tugas dan peran orang tua yang tidak dapat dipindahkan adalah
mendidik anak-anaknya. Sebab orang tua memberi hidup anak, maka mereka
mempunyai kewajiban yang teramat penting untuk mendidik anak mereka.
Jadi, tugas sebagai orang tua tidak hanya sekadar menjadi perantara makhluk
baru dengan kelahiran, tetapi juga memelihara dan mendidiknya, agar dapat
melaksanakan pendidikan terhadap anak‐anaknya, maka diperlukan adanya
beberapa pengetahuan tentang pendidikan.
Berdasarkan uraian di atas penulis dapat memberikan suatu kesimpulan
bahwa orang tua harus memperhatikan lingkungan keluarga, sehingga dapat
menciptakan lingkungan yang sehat, nyaman, serasi serta lingkungan yang
sesuai dengan keadaan anak. Komunikasi yang dibangun oleh orang tua
adalah komunikasi yang baik karena akan berpengaruh terhadap kepribadian
anak‐anaknya.
Salah satu kewajiban orang tua yang tidak dapat dipindahkan adalah
mendidik anak‐anaknya. Sebab seorang anak merupakan amanah dan
perhiasan yang wajib dijaga dengan sebaik‐baiknya. Apabila tidak dijaga akan
menyebabkan kualitas anak tidak terjamin, sehingga dapat membahayakan
masa depannya kelak. Orang tua harus dapat meningkatkan kualitas anak
dengan menanamkan nilai‐nilai yang baik dan ahlak yang mulia disertai
dengan ilmu pengetahuan agar dapat tumbuh manusia yang mengetahui
kewajiban dan hak‐haknya. Jadi, tugas orang tua tidak hanya sekadar menjadi
97
perantara adanya makhluk baru dengan kelahiran, tetapi juga mendidik dan
memeliharanya.
Nasikh
Ulwan dalam
bukunya
“Tarbiyah
Al‐Aulad
Fil-Islam,”
sebagaimana dikutif oleh Heri Noer Aly, merincikan bidang‐bidang
pendidikan anak sebagai berikut:
1. Pendidikan Keimanan, antara lain dapat dilakukan dengan menanamkan
tauhid kepada Allah dan kecintaannya kepada Rasul‐Nya.
2. Pendidikan Akhlak, antara lain dapat dilakukan dengan menanamkan dan
membiasakan kepada anak‐anak sifat terpuji serta menghindarkannya dari
sifat‐sifat tercela.
3. Pendidikan Jasmaniah, dilakukan dengan memperhatikan gizi anak dan
mengajarkanya cara‐cara hidup sehat.
4. Pendidikan Intelektual, dengan mengajarkan ilmu pengetahuan kepada
anak dan memberi kesempatan untuk menuntut mencapai tujuan
pendidikan anak.
Adapun fungsi keluarga secara ilmu menurut ST. Vembrianto
sebagaimana dikutip oleh Alisuf Sabri mempunyai 7 (tujuh) yang ada
hubungannya denagan si anak yaitu.
1. Fungsi biologis: keluaraga merupakan tempat lahirnya anak‐anak secara
biologis anak berasal dari orang tuanya.
2. Fungsi Afeksi: kerluarga merupakan tempat terjadinya hubungan sosial
yang penuh dengan kemesraan dan afeksi (penuh kasih sayang dan rasa
aman).
3. Fungsi sosial: fungsi keluaraga dalam membentuk kepribadian anak
melalui interaksi sosial dalam keluarga anak, mempelajari pola‐pola
tingkah laku, sikap keyakinan, cita‐ cita dan nilai‐nilai dalam keluarga
anak, masyarakat, dan rangka pengembangan kepribadiannnya.
4. Fungsi Pendidikan: keluarga sejak dulu merupakan institusi pendidikan
dalam
keluarga
dan
merupakan
satu‐satunya
institusi
untuk
mempersiapkan anak agar dapat hidup secara sosial dimasyarakat,
98
sekarang pun keluarga dikenal sebagai lingkungan pendidikan yang
pertama dan utama dalam mengembangkan dasar kepribadian anak.
5. Fungsi Rekreasi: kelurga merupakan tempat/medan rekreasi bagi
anggotanya untuk memperoleh afeksi, ketenangan, dan kegembiraan.
6. Fungsi Keagamaan : merupakan pusat pendidikan upacara dan ibadah
agama, fungsi ini penting artinya bagi penanaman jiwa agama pada si
anak.
7. Fungsi perlindungan: keluarga berfungsi memelihara, merawat dan
melindungi anak baik fisik maupun sosialnya.
Di samping itu, tugas orang tua adalah menolong anak‐anaknya,
menemukan, membuka, dan menumbuhkan kesedian‐kesedian bakat, minat
dan kemampuan akalnya dan memperoleh kebiasaan‐kebiasaan dan sikap
intelektual yang sehat dan melatih indera. Adapun cara lain mendidik anak
dijelaskan dalam Alquran.
            
     
”(Lukman berkata) : Wahai anakku, dirikanlah shalat dan perintahkan
(manusia) mengerjakan yang baik dan cegahlah (mereka) dari
perbutan yang munkar dan bersabarlah terhadap apa yang menimpa
kamu. Sesungguhnya yang demikian itu termasuk hal‐hal yang
diwajibkan (oleh Allah)”. (QS.Luqman : 17).51
Dalam
ayat
tersebut
terkandung
makna
cara
mendidik
yaitu
menggunakan kata “Wahai anakku”. Artinya seorang ayah/ibu apabila
berbicara dengan putra‐putrinya hendaknya menggunakan kata‐kata lemah
lembut. Orang tua memberikan arahan kepada anak‐anaknya untuk melakukan
perbuatan yang baik dan menjauhi perbuatan yang munkar dan selalu bersabar
dalam menjalani apapun yang terjadi dalam kehidupannya.
51
Depag, Alqur’an dan Terjemahnya,Ibid., hal. 412.
99
Setiap orang tua menginginkan anaknya menjadi orang yang berkembang
secara sempurna. Mereka menginginkan anak yang dilahirkan itu kelak
menjadi orang yang sehat dan kuat, berketrampilan, cerdas, pandai dan
beriman. Yang bertindak sebagai pendidik dalam keluarga adalah ayah dan ibu
(orang tua) si anak. Pendidikan yang harus dijalankan orang tua adalah
pendidikan bagi perkembangan akal dan rohani anak, pendidikan ini mengacu
pada aspek‐aspek kepribadian secara dalam garis besar. Menggenai
pendidikan akal yang dilakukan orang tua adalah menyekolahkan anak karena
sekolah merupakan lembaga paling baik dalam mengembangkan akal dan
interaksi sosial.
Kunci pendidikan dalam rumah tangga, sebenarnya terletak pada
pendidikan rohani dalam arti pendidikan kalbu, lebih tegas lagi pendidikan
agama bagi anak karena pendidikan agamalah yang berperan besar dalam
membentuk pandangan hidup seseorang. Ada dua arah mengenai kegunaan
pendidikan agama dalam rumah tangga. Pertama, penanaman nilai dalam arti
pandangan hidup, yang kelak mewarnai perkembangan jasmani dan akal.
Kedua, penanaman sikap yang kelak menjadi basis dalam menghargai guru
dan pengetahuan di sekolah.
Anak pada hakikatnya merupakan amanat dari Allah SWT yang harus
disyukuri, dan kita sebagai muslim wajib mengemban amanat itu dengan baik
dan benar. Cara mensyukuri karunia Allah tersebut yang berupa anak adalah
dengan melalui merawat, mengasuh, dan mendidik anak tersebut dengan baik
dan benar, agar mereka kelak tidak menjadi anak‐anak yang lemah, baik fisik
dam mental, serta lemah iman dan lemah kehidupan duniawinya.
Tujuan dari pendidikan tersebut adalah menjadi seorang muslim yang
sempurna, yang beriman dan bertakwa kepada Allah SWT. Orang tua adalah
pendidik pertama yang utama bagi anak, sebelum anak mengenal dunia luar,
maka terlebih dahulu anak mengenal orang tuanya yang merupakan orang
terdekat bagi anak. Setiap orang tua wajib mendidik dengan pendidikan yang
baik dan benar, sehingga mereka tumbuh dewasa menjadi seorang muslim
100
yang kuat, kuat dalam arti kuat iman dan Islamnya, wawasan dan
pengetahuannya luas, serta dewasa dalam bersikap dan dalam mengambil dan
menentukan keputusan.
Pendidikan yang dijalankan dengan cara sistematik dan penuh kesadaran
yang dilakukan orang tua agar didikannya itu sesuai dengan tujuan dari
pendidikan itu sendiri, yaitu mengarahkan anak kearah kedewasaan.
Adapun usaha‐usaha yang dilakukan untuk mencapai tujuan yang
diharapkan adalah sebagai berikut :
1. Menanamkan kepercayaan diri.
a. Menanamkan kepercayaan kepada Allah SWT agar merasakan bahwa
Allah SWT selalu dekat dan selanjutnya takut untuk melaksanakan
hal‐hal yang buruk.
b. Menanamkan
kepercayaan
tentang
adanya
malaikat,
dengan
menanamkan kepercayaan tersebut, dapat merasakan bahwa setiap
gerak garik selalu diawasi oleh para malaikat.
c. Menanamkan kepercayaan akan kitab Allah SWT.
d. Menanamkan kepercayaan akan rasul‐rasul‐Nya. Untuk mengambil
contoh tauladan dari mereka.
e. Menanamkan kepercayaan kepada Qodho dan Qodar.
f. Menanamkan
kepercayaan akan adanya
hari kiamat,
dengan
menanamkan kepercayaan ini, akan merasa takut melakukan perbuatan
tercela, karena saat diakhirat nanti ada balasannya.
2. Mengadakan bimbingan agama dengan cara mengikuti terus‐menerus
antara manusia dengan Allah SWT, dengan cara:
a. Menciptakan suasana pada hati mereka untuk merasakan adanya Allah
SWT dengan melihat segala keagungan yang telah terpana dan
terkesan kedala hati mereka.
b. Menanamkan pada hati mereka bahwa Allah SWT akan selalu hadir
dalam sanubari mereka di mana pun mereka berada.
101
c. Menanamkan pada hati mereka perasaan cinta kepada Allah SWT,
secara terus menerus mencari keridhaan‐Nya.
d. Menanamkan perasaan taqwa dan tunduk kepada Allah dan
mengorbankan perasaan damai bersama Allah SWT dalam keadan
apapun.
Demikianlah usaha yang dilakukan, semoga dengan cara yang telah
dilakukan dalam mengembangkan potensi beribadah anak tersebut dengan
dijalankan secara terus menerus, tanpa mengenal batas, maka Insya Allah hal
itu akan menemani perasaan jiwanya serta mendapat cahaya dan petunjuk dari
Allah SWT, yang selanjutnya akan terbentuklah kepribadian muslim yang
hakiki.
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Peran orang tua dalam mendidik kecerdasan emosional anak usia 6-12
tahun meliputi Melatih anak untuk mengenali emosi diri, Melatih anak untuk
mengelola emosi, Melatih Anak Memotivasi Diri sendiri, Melatih Anak
Untuk Mengenali Emosi Orang Lain. Peran ini dapat dikenalkan oleh orang
tua melalui nilai-nilai yang dipraktekkan oleh diri orang tua sendiri melalui
kasih sayang afirmasif, mengajarkan tata krama, menumbuhkan empati serta
mengajarkan arti kejujuran dan berpikir realistik. Tujuan dari peran ini akan
lebih cepat tercapai jika orang tua menerapkan atau menggunakan
pola/metode asuh otoritatif. Orang tua otoritatif menghargai kemandirian anak
dan menuntut mereka untuk memenuhi standar tanggung jawab yang tinggi
kepada keluarga. Anak dihargai keberadaan dan kemampuannya dengan
memberikan peran dalam kehidupan sehari-hari. Rasa kepercayaan inilah
yang membuat anak diakui dan dihargai keberadaannya.
B. Implikasi
Dalam rangka menstimulus kecerdasan emosional anak pada awalnya
adalah dengan mengoptimalkan peran anak dalam kehidupan sehari-hari.
Langkah tersebut dapat diawali dengan mengembangkan lima wilayah
kecerdasan emosional, antara lain kemampuan mengenali emosi diri,
mengelola emosi, memotivasi diri sendiri, mengenali emosi orang lain serta
membina hubungan yang baik dengan orang lain.
Agar lima wilayah kecerdasan emosional yang dikenalkan pada anak bisa
tersampaikan dengan baik, perlu juga didukung dengan kemampuan
kecerdasan emosional orang tua maupun guru. Para orang tua dan guru adalah
orang terdekat anak-anak, oleh karena itu mereka perlu memberikan teladan
terlebih dahulu agar anak yang mempunyai potensi luar biasa bisa
102
103
mempelajari keterampilan emosional dari orang-orang dewasa terdekatnya
secara lebih baik.
Disamping
dari
lingkungan
keluarga
dan
sekolah,
lingkungan
sosial/masyarakat perlu memberikan teladan dalam bentuk memberikan
suasana bermain yang merefleksikan lima wilayah kecerdasan emosional anak
tersebut.
Dengan demikian, kecerdasan emosional anak akan semakin tergali jika
didukung oleh teladan yang diberikan oleh orang-orang terdekatnya baik
dalam lingkungan keluarga, lingkungan sekolah maupun dalam lingkungan
masyarakat.
C. Saran
Setelah penulis mengetahui bagaimana peran orang tua dalam mendidik
kecerdasan emosional anak dalam
konsep pendidikan Islam, maka
perkenankan penulis untuk menyampaikan beberapa saran sebagai berikut:
1. Orang Tua
Orang tua untuk senantiasa memberikan suri tauladan yang baik di
dalam keluarga agar anak lebih mudah mendapatkan gambaran nyata
tentang kecerdasan emosional yang baik. Suri tauladan ini dimaksudkan
pada ekspresi-ekspresi emosi dari orang tua dalam berinteraksi dan
berkomunikasi dengan anak.
2. Guru
Sama halnya dengan orang tua, guru diharapkan untuk senantiasa
memberikan suri tauladan yang baik di sekolah agar stimulus yang
diberikan oleh orang tua di rumah dapat berlanjut di lingkungan sekolah.
Teladan oleh guru ini dimaksudkan pada ekspresi-ekspresi emosi dalam
proses pembelajaran di kelas dalam berinteraksi dan berkomunikasi
dengan anak.
DAFTAR PUSTAKA
Agustian, Ary Ginanjar. Rahasia Sukses Membangun Kecerdasan Emosi dan
Spiritual ESQ Emotional Spiritual Quotient ; The ESQ Way 165 1 Ihsan, 6
Rukun Iman dan 5 Rukun Islam. Jakarta: Agra Publishing, Cet. 43, 2008.
An-Nahlawi, Abdurrahman. Pendidikan Islam di Rumah, Sekolah, dan
Masyarakat, Terj. dari Ushulut Tarbiyah Islamiyah wa asalibiha fil baiti
wal madrasati wal mujtama oleh Shihabuddin. Jakarta: Gema Insani, Cet.
4, 2004.
AR. Budi Darma, Kenedi Nurhan, Tony D. Widiastono. “Pintar Saja Tidak
Cukup”, Kompas, 29 Juni 1997.
Arief, Armai. Pengantar Ilmu dan Metodologi Pendidikan Islam. Jakarta: Ciputat
Pers, Cet. I, 2002.
Arifin, M. Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta: PT. Bina Aksara, 1987.
Beck, Joan. Meningkatkan Kecerdasan Anak. Jakarta: Pustaka Delapratasa, 1994.
Daradjat, Zakiah. Ilmu Jiwa Agama. Jakarta: Bulan Bintang, Cet. 17, 2010.
_______, Zakiah. Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta: Bumi Aksara, Cet. 10, 2012.
_______, Zakiyah. Pendidikan Islam dalam Keluarga dan Sekolah. Jakarta:
Ruhama, 1995.
Departemen Agama Republik Indonesia. Al-Qur’an dan Terjemahnya. Bandung:
Syamil Qur’an, 2009.
Desmita. Psikologi Perkembangan. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, Cet. 7,
2012.
Direktorat Jendral Pendidikan Islam. Undang-Undang Repulik Indonesia tentang
Sistem Pendidikan Nasional. Jakarta: Departemen Agama RI, 2006.
Djamarah, Syaiful Bahri. Pola Asuh Orang Tua dan Komunikasi dalam Keluarga:
Upaya Membangun Citra Membentuk Pribadi Anak. Jakarta: Rineka
Cipta, 2014.
Efendi, Agus. Revolusi Kecerdasan Abad 21: Kritik MI, EI, SQ, AQ dan
Successful Intellegence Atas IQ. Bandung: Alfabeta, 2005.
104
105
Goleman, Daniel. Kecerdasan Emosional, Terj. dari Emotional Intellegence oleh
T. Hermaya. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, Cet. I, 1996.
Gottman, Jhon & DeClaire, Jhon. Kiat-kiat membesarkan anak yang memiliki
kecerdasan emosional. Jakarta: Gramedia, 1997.
Gulo, W. Metodologi Penelitian. Jakarta: PT. Gramedia Widiasarana Indonesia,
Cet. 4, 2002.
Hafizh, Muhammad Nur Abdul. Mendidik Anak Bersama Rasulullah, Terj. dari
Manhaj Al-Tarbiyyah Al-Nabawiyah Li Al-Thifl oleh Kuswandani, Sugiri
dan Ahmad Son Haji. Bandung: Al-Bayan, Cet. I, 1997.
Hartati, Netty. Islam dan Psikologi. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2004.
Hartono, Andreas. EQ Parenting: Cara Praktis Menjadi Orangtua Pelatih Emosi.
Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, Cet. II, 2012.
Hasan, Aliah B. Purwakania. Psikologi Perkembangan Islami: Menyingkap
rentang kehidupan manusia dari prakelahiran hingga pasca kematian.
Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2008.
Hidayah, Ridhoyanti. “Hubungan Pola Asuh Orangtua dengan Kecerdasan
Emosional Anak Usia Prasekolah (4-6 Tahun) di TK Senaputra Kota
Malang”. UMM Scientific Journal, Vol. 4, 2013.
Hude, M. Darwis. Emosi: Penjelajahan Religio-Psikologis tentang Emosi
Manusia di dalam Al-Quran. Jakarta: Erlangga, 2006.
Huroniyah, F. Hubungan Antara Persepsi Pola Asuh Islami terhadap
Kematangan Beragama dan Kontrol Diri. Yogyakarta: Tesis. Pascasarjana
Universitas Gadjah Mada. 2004.
Kartono, K. Peran Keluarga Memandu Anak. Jakarta, Rajawali, 1986.
Khalidah, Nurul.“Mendidik Kecerdasan Emosioanl Anak dalam Perspektif
Pendidikan Islam (Telaah Buku: Mengajarkan Emotional Intellegence
pada Anak karya Lawrence E. Shapiro, Ph.D.), Skripsi pada Fakultas
Tarbiyah UIN Sunan Kalijaga Jogjakarta, 2010, tidak dipublikasikan.
Magfirah, Khairul.“Peranan Orang Tua dalam Pengembangan Kecerdasan
Emosional dan Spritual Anak (Studi Kasus di Lingkungan RT. 004 RW.
O1 Kelurahan Kamal Muara Kecamatan Penjaringan, Jakarta Utara)”,
Skripsi pada FITK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Jakarta, 2014, tidak
dipublikasikan.
106
Mashar, Riana. Emosi Anak Usia Dini dan Strategi Pengembangannya. Jakarta:
Kencana, Cet. II, 2011.
Mubayidh, Makmun. Kecerdasan dan Kesehatan Emosional Anak, Terj. dari
Adz-Dzaka’ Al-Athifli wa Ash-Shihhah Al-Athifiyah oleh Muh. Muchson
Anasy. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, Cet. I, 2006.
Muchsin, M. Bashori. Moh Sulthon, dan Abdul Wahid. Pendidikan Islam
Humanistik: Alternatif Pendidikan Pembebasan Anak. Bandung: PT.
Refika Aditama, 2010.
Najati, Muhammad Utsman. Psikologi Qurani: Dari Jiwa Hingga Ilmu Laduni
Terj. dari Al-qur’an wa ‘Ilm Nafs oleh Hedi Fajar dan Abdullah. Bandung:
Marja, 2010.
Nasution, Surya Makmur. “IQ Tinggi Bukan Jaminan Sukses Anak di Masa
Depan”. Kompas, 3 Desember 1997.
Nata, Abuddin. Manajemen Pendidikan: Mengatasi Kelemahan Pendidikan Islam
di Indonesia, (Bogor: Kencana, 2003.
Nuraidah, “Pengaruh kecerdasan emosional terhadap perkembangan akhlak anak
usia 8 – 11 tahun di MI Annuriyah Beji Depok”, Skripsi pada Fakultas Ilm
Tarbiyah dan Keguruan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2013, tidak
dipublikasikan.
Oktafiany, Nur Dian. “Hubungan Pola Asuh Orangtua dengan Kecerdasan
Emosional Siswa di SMP Diponegoro 1 Jakarta”. Jurnal PPKN UNJ
Online, Vol. 1, 2013.
Pengertian Peran Menurut Para Ahli, 2015, (http://www.sarjanaku.com). Di
akses pada tanggal 15 januari 2016.
Roqib, Moh. Ilmu Pendidikan Islam: Pengembangan Pendidikan Integratif di
Sekolah, Keluarga dan Masyarakat. Yogyakarta: PT. Lkis Printing
Cemerlang, 2009.
Sabri, M. Alisuf. Pengantar Psikologi Umum dan Perkembangan. Jakarta:
Pedoman Ilmu Jaya, 1993.
_____, M. Alisuf. Pengantar Psikologi Umum dan Perkembangan. Jakarat: CV.
Pedoman Ilmu Jaya, Cet. 3, 2001.
107
Safaria, Triantoro dan Nofrans Eka Saputra. Manajemen Emosi: Sebuah Panduan
Cerdas Bagaimana Mengelola Emosi Positif dalam Hidup Anda. Jakarta:
Bumi Aksara, Cet. 1, 2009.
Santrock, Jhon. W. Perkembangan Anak Terj. dari Child Development, Eleventh
Edition oleh Mila Rachmawati dan Anna Kuswanti. Jakarta: Erlangga,
Jilid 1, 2007.
Segal, Jeanne. Melejitkan Kepekaan Emosional: Cara Baru Praktis untuk
Mendayagunakan Potensi Insting dan Kekuatan Emosi Anda. Bandung:
Kaifa, Cet. 1, 2000.
Shapiro, Lawrence E. Mengajarkan Emotional Intellegence pada Anak, Terj. dari
How to Raise A Child with A High EQ: A Parents’ Guide to Emotional
Intellegence oleh Alex Tri Kantjono. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama,
1997.
Sugiyono. Memahami Penelitian Kualitatif. Bandung: CV. Alfabeta, Cet. 4, 2008.
Suharsono. Mencerdaskan Anak: Mensintesakan Kembali Intelegensi Umum (IQ)
dan Intelegensi Emosional (IE) dengan Intelegensi Spiritual. Jakarta:
Inisiasi Press, Cet. I, 2000.
Suprapto. Metodologi Penelitian Ilmu Pendidikan dan Ilmu-Ilmu Pengetahuan
Sosial. Yogyakarta: Center for Academic Publishing Service, 2013.
Tafsir , Ahmad. Ilmu Pendidikan Dalam Perspektif Islam. Bandung: PT. Remaja
Rosdakarya, Cet. 7, 2007.
Talibo, Ishak W. Membangun Kecerdasan Emosional dalam Perspektif
Pendidikan Islam,, (IQRA’ 25 Volume 5 Januari - Juni 2008)
http://jurnaliqro.files.wordpress.com/2008/08/02
Teguh Aditya, Pengertian Peran, 2015, (http://bukanpekerjasosial.blogspot.com).
Di akses pada tanggal 15 januari 2016.
Tim Penyusun. Pedoman Penulisan Skripsi. Jakarta: Fakultas Ilmu Tarbiyah dan
Keguruan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, 2013
Uhbiyati, Nur. Ilmu Pendidikan Islam II. Bandung: CV. Pustaka Setia, 1999.
Yasin, A. Fatah. Dimensi-dimensi Pendidikan Islam. Malang: UIN Malang Press,
Cet. I, 2008.
108
Yunus, Mahmud. Metodik Khusus Pendidikan Agama. Jakarta: PT. Hida Karya
Agung, 1992.
Yusuf, Syamsu dan Sugandhi, Nani M. Perkembangan Peserta Didik: Mata
Kuliah Dasar Profesi (MKDP) Bagi Para Mahasiswa Calon Guru di
Lembaga Pendidikan Tenaga kependidikan (LPTK). Jakarta: Rajawali
Pers, 2011.
Yusuf, Syamsu. Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja. Bandung: PT
Remaja Rosdakarya, Cet. 13, 2012.
DAFTAR PUSTAKA
Agustian, Ary Ginanjar. Rahasia Sukses Membangun Kecerdasan Emosi dan
Spiritual ESQ Emotional Spiritual Quotient ; The ESQ Way 165 1 Ihsan, 6
Rukun Iman dan 5 Rukun Islam. Jakarta: Agra Publishing, Cet. 43, 2008.
An-Nahlawi, Abdurrahman. Pendidikan Islam di Rumah, Sekolah, dan
Masyarakat, Terj. dari Ushulut Tarbiyah Islamiyah wa asalibiha fil baiti
wal madrasati wal mujtama oleh Shihabuddin. Jakarta: Gema Insani, Cet.
4, 2004.
AR. Budi Darma, Kenedi Nurhan, Tony D. Widiastono. “Pintar Saja Tidak
Cukup”, Kompas, 29 Juni 1997.
Arief, Armai. Pengantar Ilmu dan Metodologi Pendidikan Islam. Jakarta: Ciputat
Pers, Cet. I, 2002.
Arifin, M. Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta: PT. Bina Aksara, 1987.
Beck, Joan. Meningkatkan Kecerdasan Anak. Jakarta: Pustaka Delapratasa, 1994.
Daradjat, Zakiah. Ilmu Jiwa Agama. Jakarta: Bulan Bintang, Cet. 17, 2010.
_______, Zakiah. Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta: Bumi Aksara, Cet. 10, 2012.
_______, Zakiyah. Pendidikan Islam dalam Keluarga dan Sekolah. Jakarta:
Ruhama, 1995.
Departemen Agama Republik Indonesia. Al-Qur’an dan Terjemahnya. Bandung:
Syamil Qur’an, 2009.
Desmita. Psikologi Perkembangan. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, Cet. 7,
2012.
Direktorat Jendral Pendidikan Islam. Undang-Undang Repulik Indonesia tentang
Sistem Pendidikan Nasional. Jakarta: Departemen Agama RI, 2006.
Djamarah, Syaiful Bahri. Pola Asuh Orang Tua dan Komunikasi dalam Keluarga:
Upaya Membangun Citra Membentuk Pribadi Anak. Jakarta: Rineka
Cipta, 2014.
Efendi, Agus. Revolusi Kecerdasan Abad 21: Kritik MI, EI, SQ, AQ dan
Successful Intellegence Atas IQ. Bandung: Alfabeta, 2005.
104
105
Goleman, Daniel. Kecerdasan Emosional, Terj. dari Emotional Intellegence oleh
T. Hermaya. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, Cet. I, 1996.
Gottman, Jhon & DeClaire, Jhon. Kiat-kiat membesarkan anak yang memiliki
kecerdasan emosional. Jakarta: Gramedia, 1997.
Gulo, W. Metodologi Penelitian. Jakarta: PT. Gramedia Widiasarana Indonesia,
Cet. 4, 2002.
Hafizh, Muhammad Nur Abdul. Mendidik Anak Bersama Rasulullah, Terj. dari
Manhaj Al-Tarbiyyah Al-Nabawiyah Li Al-Thifl oleh Kuswandani, Sugiri
dan Ahmad Son Haji. Bandung: Al-Bayan, Cet. I, 1997.
Hartati, Netty. Islam dan Psikologi. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2004.
Hartono, Andreas. EQ Parenting: Cara Praktis Menjadi Orangtua Pelatih Emosi.
Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, Cet. II, 2012.
Hasan, Aliah B. Purwakania. Psikologi Perkembangan Islami: Menyingkap
rentang kehidupan manusia dari prakelahiran hingga pasca kematian.
Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2008.
Hidayah, Ridhoyanti. “Hubungan Pola Asuh Orangtua dengan Kecerdasan
Emosional Anak Usia Prasekolah (4-6 Tahun) di TK Senaputra Kota
Malang”. UMM Scientific Journal, Vol. 4, 2013.
Hude, M. Darwis. Emosi: Penjelajahan Religio-Psikologis tentang Emosi
Manusia di dalam Al-Quran. Jakarta: Erlangga, 2006.
Huroniyah, F. Hubungan Antara Persepsi Pola Asuh Islami terhadap
Kematangan Beragama dan Kontrol Diri. Yogyakarta: Tesis. Pascasarjana
Universitas Gadjah Mada. 2004.
Kartono, K. Peran Keluarga Memandu Anak. Jakarta, Rajawali, 1986.
Khalidah, Nurul.“Mendidik Kecerdasan Emosioanl Anak dalam Perspektif
Pendidikan Islam (Telaah Buku: Mengajarkan Emotional Intellegence
pada Anak karya Lawrence E. Shapiro, Ph.D.), Skripsi pada Fakultas
Tarbiyah UIN Sunan Kalijaga Jogjakarta, 2010, tidak dipublikasikan.
Magfirah, Khairul.“Peranan Orang Tua dalam Pengembangan Kecerdasan
Emosional dan Spritual Anak (Studi Kasus di Lingkungan RT. 004 RW.
O1 Kelurahan Kamal Muara Kecamatan Penjaringan, Jakarta Utara)”,
Skripsi pada FITK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Jakarta, 2014, tidak
dipublikasikan.
106
Mashar, Riana. Emosi Anak Usia Dini dan Strategi Pengembangannya. Jakarta:
Kencana, Cet. II, 2011.
Mubayidh, Makmun. Kecerdasan dan Kesehatan Emosional Anak, Terj. dari
Adz-Dzaka’ Al-Athifli wa Ash-Shihhah Al-Athifiyah oleh Muh. Muchson
Anasy. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, Cet. I, 2006.
Muchsin, M. Bashori. Moh Sulthon, dan Abdul Wahid. Pendidikan Islam
Humanistik: Alternatif Pendidikan Pembebasan Anak. Bandung: PT.
Refika Aditama, 2010.
Najati, Muhammad Utsman. Psikologi Qurani: Dari Jiwa Hingga Ilmu Laduni
Terj. dari Al-qur’an wa ‘Ilm Nafs oleh Hedi Fajar dan Abdullah. Bandung:
Marja, 2010.
Nasution, Surya Makmur. “IQ Tinggi Bukan Jaminan Sukses Anak di Masa
Depan”. Kompas, 3 Desember 1997.
Nata, Abuddin. Manajemen Pendidikan: Mengatasi Kelemahan Pendidikan Islam
di Indonesia, (Bogor: Kencana, 2003.
Nuraidah, “Pengaruh kecerdasan emosional terhadap perkembangan akhlak anak
usia 8 – 11 tahun di MI Annuriyah Beji Depok”, Skripsi pada Fakultas Ilm
Tarbiyah dan Keguruan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2013, tidak
dipublikasikan.
Oktafiany, Nur Dian. “Hubungan Pola Asuh Orangtua dengan Kecerdasan
Emosional Siswa di SMP Diponegoro 1 Jakarta”. Jurnal PPKN UNJ
Online, Vol. 1, 2013.
Pengertian Peran Menurut Para Ahli, 2015, (http://www.sarjanaku.com). Di
akses pada tanggal 15 januari 2016.
Roqib, Moh. Ilmu Pendidikan Islam: Pengembangan Pendidikan Integratif di
Sekolah, Keluarga dan Masyarakat. Yogyakarta: PT. Lkis Printing
Cemerlang, 2009.
Sabri, M. Alisuf. Pengantar Psikologi Umum dan Perkembangan. Jakarta:
Pedoman Ilmu Jaya, 1993.
_____, M. Alisuf. Pengantar Psikologi Umum dan Perkembangan. Jakarat: CV.
Pedoman Ilmu Jaya, Cet. 3, 2001.
107
Safaria, Triantoro dan Nofrans Eka Saputra. Manajemen Emosi: Sebuah Panduan
Cerdas Bagaimana Mengelola Emosi Positif dalam Hidup Anda. Jakarta:
Bumi Aksara, Cet. 1, 2009.
Santrock, Jhon. W. Perkembangan Anak Terj. dari Child Development, Eleventh
Edition oleh Mila Rachmawati dan Anna Kuswanti. Jakarta: Erlangga,
Jilid 1, 2007.
Segal, Jeanne. Melejitkan Kepekaan Emosional: Cara Baru Praktis untuk
Mendayagunakan Potensi Insting dan Kekuatan Emosi Anda. Bandung:
Kaifa, Cet. 1, 2000.
Shapiro, Lawrence E. Mengajarkan Emotional Intellegence pada Anak, Terj. dari
How to Raise A Child with A High EQ: A Parents’ Guide to Emotional
Intellegence oleh Alex Tri Kantjono. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama,
1997.
Sugiyono. Memahami Penelitian Kualitatif. Bandung: CV. Alfabeta, Cet. 4, 2008.
Suharsono. Mencerdaskan Anak: Mensintesakan Kembali Intelegensi Umum (IQ)
dan Intelegensi Emosional (IE) dengan Intelegensi Spiritual. Jakarta:
Inisiasi Press, Cet. I, 2000.
Suprapto. Metodologi Penelitian Ilmu Pendidikan dan Ilmu-Ilmu Pengetahuan
Sosial. Yogyakarta: Center for Academic Publishing Service, 2013.
Tafsir , Ahmad. Ilmu Pendidikan Dalam Perspektif Islam. Bandung: PT. Remaja
Rosdakarya, Cet. 7, 2007.
Talibo, Ishak W. Membangun Kecerdasan Emosional dalam Perspektif
Pendidikan Islam,, (IQRA’ 25 Volume 5 Januari - Juni 2008)
http://jurnaliqro.files.wordpress.com/2008/08/02
Teguh Aditya, Pengertian Peran, 2015, (http://bukanpekerjasosial.blogspot.com).
Di akses pada tanggal 15 januari 2016.
Tim Penyusun. Pedoman Penulisan Skripsi. Jakarta: Fakultas Ilmu Tarbiyah dan
Keguruan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, 2013
Uhbiyati, Nur. Ilmu Pendidikan Islam II. Bandung: CV. Pustaka Setia, 1999.
Yasin, A. Fatah. Dimensi-dimensi Pendidikan Islam. Malang: UIN Malang Press,
Cet. I, 2008.
108
Yunus, Mahmud. Metodik Khusus Pendidikan Agama. Jakarta: PT. Hida Karya
Agung, 1992.
Yusuf, Syamsu dan Sugandhi, Nani M. Perkembangan Peserta Didik: Mata
Kuliah Dasar Profesi (MKDP) Bagi Para Mahasiswa Calon Guru di
Lembaga Pendidikan Tenaga kependidikan (LPTK). Jakarta: Rajawali
Pers, 2011.
Yusuf, Syamsu. Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja. Bandung: PT
Remaja Rosdakarya, Cet. 13, 2012.
DAFTAR PUSTAKA
Agustian, Ary Ginanjar. Rahasia Sukses Membangun Kecerdasan Emosi dan
Spiritual ESQ Emotional Spiritual Quotient ; The ESQ Way 165 1 Ihsan, 6
Rukun Iman dan 5 Rukun Islam. Jakarta: Agra Publishing, Cet. 43, 2008.
An-Nahlawi, Abdurrahman. Pendidikan Islam di Rumah, Sekolah, dan
Masyarakat, Terj. dari Ushulut Tarbiyah Islamiyah wa asalibiha fil baiti
wal madrasati wal mujtama oleh Shihabuddin. Jakarta: Gema Insani, Cet.
4, 2004.
AR. Budi Darma, Kenedi Nurhan, Tony D. Widiastono. “Pintar Saja Tidak
Cukup”, Kompas, 29 Juni 1997.
Arief, Armai. Pengantar Ilmu dan Metodologi Pendidikan Islam. Jakarta: Ciputat
Pers, Cet. I, 2002.
Arifin, M. Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta: PT. Bina Aksara, 1987.
Beck, Joan. Meningkatkan Kecerdasan Anak. Jakarta: Pustaka Delapratasa, 1994.
Daradjat, Zakiah. Ilmu Jiwa Agama. Jakarta: Bulan Bintang, Cet. 17, 2010.
_______, Zakiah. Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta: Bumi Aksara, Cet. 10, 2012.
_______, Zakiyah. Pendidikan Islam dalam Keluarga dan Sekolah. Jakarta:
Ruhama, 1995.
Departemen Agama Republik Indonesia. Al-Qur’an dan Terjemahnya. Bandung:
Syamil Qur’an, 2009.
Desmita. Psikologi Perkembangan. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, Cet. 7,
2012.
Direktorat Jendral Pendidikan Islam. Undang-Undang Repulik Indonesia tentang
Sistem Pendidikan Nasional. Jakarta: Departemen Agama RI, 2006.
Djamarah, Syaiful Bahri. Pola Asuh Orang Tua dan Komunikasi dalam Keluarga:
Upaya Membangun Citra Membentuk Pribadi Anak. Jakarta: Rineka
Cipta, 2014.
Efendi, Agus. Revolusi Kecerdasan Abad 21: Kritik MI, EI, SQ, AQ dan
Successful Intellegence Atas IQ. Bandung: Alfabeta, 2005.
104
105
Goleman, Daniel. Kecerdasan Emosional, Terj. dari Emotional Intellegence oleh
T. Hermaya. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, Cet. I, 1996.
Gottman, Jhon & DeClaire, Jhon. Kiat-kiat membesarkan anak yang memiliki
kecerdasan emosional. Jakarta: Gramedia, 1997.
Gulo, W. Metodologi Penelitian. Jakarta: PT. Gramedia Widiasarana Indonesia,
Cet. 4, 2002.
Hafizh, Muhammad Nur Abdul. Mendidik Anak Bersama Rasulullah, Terj. dari
Manhaj Al-Tarbiyyah Al-Nabawiyah Li Al-Thifl oleh Kuswandani, Sugiri
dan Ahmad Son Haji. Bandung: Al-Bayan, Cet. I, 1997.
Hartati, Netty. Islam dan Psikologi. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2004.
Hartono, Andreas. EQ Parenting: Cara Praktis Menjadi Orangtua Pelatih Emosi.
Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, Cet. II, 2012.
Hasan, Aliah B. Purwakania. Psikologi Perkembangan Islami: Menyingkap
rentang kehidupan manusia dari prakelahiran hingga pasca kematian.
Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2008.
Hidayah, Ridhoyanti. “Hubungan Pola Asuh Orangtua dengan Kecerdasan
Emosional Anak Usia Prasekolah (4-6 Tahun) di TK Senaputra Kota
Malang”. UMM Scientific Journal, Vol. 4, 2013.
Hude, M. Darwis. Emosi: Penjelajahan Religio-Psikologis tentang Emosi
Manusia di dalam Al-Quran. Jakarta: Erlangga, 2006.
Huroniyah, F. Hubungan Antara Persepsi Pola Asuh Islami terhadap
Kematangan Beragama dan Kontrol Diri. Yogyakarta: Tesis. Pascasarjana
Universitas Gadjah Mada. 2004.
Kartono, K. Peran Keluarga Memandu Anak. Jakarta, Rajawali, 1986.
Khalidah, Nurul.“Mendidik Kecerdasan Emosioanl Anak dalam Perspektif
Pendidikan Islam (Telaah Buku: Mengajarkan Emotional Intellegence
pada Anak karya Lawrence E. Shapiro, Ph.D.), Skripsi pada Fakultas
Tarbiyah UIN Sunan Kalijaga Jogjakarta, 2010, tidak dipublikasikan.
Magfirah, Khairul.“Peranan Orang Tua dalam Pengembangan Kecerdasan
Emosional dan Spritual Anak (Studi Kasus di Lingkungan RT. 004 RW.
O1 Kelurahan Kamal Muara Kecamatan Penjaringan, Jakarta Utara)”,
Skripsi pada FITK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Jakarta, 2014, tidak
dipublikasikan.
106
Mashar, Riana. Emosi Anak Usia Dini dan Strategi Pengembangannya. Jakarta:
Kencana, Cet. II, 2011.
Mubayidh, Makmun. Kecerdasan dan Kesehatan Emosional Anak, Terj. dari
Adz-Dzaka’ Al-Athifli wa Ash-Shihhah Al-Athifiyah oleh Muh. Muchson
Anasy. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, Cet. I, 2006.
Muchsin, M. Bashori. Moh Sulthon, dan Abdul Wahid. Pendidikan Islam
Humanistik: Alternatif Pendidikan Pembebasan Anak. Bandung: PT.
Refika Aditama, 2010.
Najati, Muhammad Utsman. Psikologi Qurani: Dari Jiwa Hingga Ilmu Laduni
Terj. dari Al-qur’an wa ‘Ilm Nafs oleh Hedi Fajar dan Abdullah. Bandung:
Marja, 2010.
Nasution, Surya Makmur. “IQ Tinggi Bukan Jaminan Sukses Anak di Masa
Depan”. Kompas, 3 Desember 1997.
Nata, Abuddin. Manajemen Pendidikan: Mengatasi Kelemahan Pendidikan Islam
di Indonesia, (Bogor: Kencana, 2003.
Nuraidah, “Pengaruh kecerdasan emosional terhadap perkembangan akhlak anak
usia 8 – 11 tahun di MI Annuriyah Beji Depok”, Skripsi pada Fakultas Ilm
Tarbiyah dan Keguruan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2013, tidak
dipublikasikan.
Oktafiany, Nur Dian. “Hubungan Pola Asuh Orangtua dengan Kecerdasan
Emosional Siswa di SMP Diponegoro 1 Jakarta”. Jurnal PPKN UNJ
Online, Vol. 1, 2013.
Pengertian Peran Menurut Para Ahli, 2015, (http://www.sarjanaku.com). Di
akses pada tanggal 15 januari 2016.
Roqib, Moh. Ilmu Pendidikan Islam: Pengembangan Pendidikan Integratif di
Sekolah, Keluarga dan Masyarakat. Yogyakarta: PT. Lkis Printing
Cemerlang, 2009.
Sabri, M. Alisuf. Pengantar Psikologi Umum dan Perkembangan. Jakarta:
Pedoman Ilmu Jaya, 1993.
_____, M. Alisuf. Pengantar Psikologi Umum dan Perkembangan. Jakarat: CV.
Pedoman Ilmu Jaya, Cet. 3, 2001.
107
Safaria, Triantoro dan Nofrans Eka Saputra. Manajemen Emosi: Sebuah Panduan
Cerdas Bagaimana Mengelola Emosi Positif dalam Hidup Anda. Jakarta:
Bumi Aksara, Cet. 1, 2009.
Santrock, Jhon. W. Perkembangan Anak Terj. dari Child Development, Eleventh
Edition oleh Mila Rachmawati dan Anna Kuswanti. Jakarta: Erlangga,
Jilid 1, 2007.
Segal, Jeanne. Melejitkan Kepekaan Emosional: Cara Baru Praktis untuk
Mendayagunakan Potensi Insting dan Kekuatan Emosi Anda. Bandung:
Kaifa, Cet. 1, 2000.
Shapiro, Lawrence E. Mengajarkan Emotional Intellegence pada Anak, Terj. dari
How to Raise A Child with A High EQ: A Parents’ Guide to Emotional
Intellegence oleh Alex Tri Kantjono. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama,
1997.
Sugiyono. Memahami Penelitian Kualitatif. Bandung: CV. Alfabeta, Cet. 4, 2008.
Suharsono. Mencerdaskan Anak: Mensintesakan Kembali Intelegensi Umum (IQ)
dan Intelegensi Emosional (IE) dengan Intelegensi Spiritual. Jakarta:
Inisiasi Press, Cet. I, 2000.
Suprapto. Metodologi Penelitian Ilmu Pendidikan dan Ilmu-Ilmu Pengetahuan
Sosial. Yogyakarta: Center for Academic Publishing Service, 2013.
Tafsir , Ahmad. Ilmu Pendidikan Dalam Perspektif Islam. Bandung: PT. Remaja
Rosdakarya, Cet. 7, 2007.
Talibo, Ishak W. Membangun Kecerdasan Emosional dalam Perspektif
Pendidikan Islam,, (IQRA’ 25 Volume 5 Januari - Juni 2008)
http://jurnaliqro.files.wordpress.com/2008/08/02
Teguh Aditya, Pengertian Peran, 2015, (http://bukanpekerjasosial.blogspot.com).
Di akses pada tanggal 15 januari 2016.
Tim Penyusun. Pedoman Penulisan Skripsi. Jakarta: Fakultas Ilmu Tarbiyah dan
Keguruan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, 2013
Uhbiyati, Nur. Ilmu Pendidikan Islam II. Bandung: CV. Pustaka Setia, 1999.
Yasin, A. Fatah. Dimensi-dimensi Pendidikan Islam. Malang: UIN Malang Press,
Cet. I, 2008.
108
Yunus, Mahmud. Metodik Khusus Pendidikan Agama. Jakarta: PT. Hida Karya
Agung, 1992.
Yusuf, Syamsu dan Sugandhi, Nani M. Perkembangan Peserta Didik: Mata
Kuliah Dasar Profesi (MKDP) Bagi Para Mahasiswa Calon Guru di
Lembaga Pendidikan Tenaga kependidikan (LPTK). Jakarta: Rajawali
Pers, 2011.
Yusuf, Syamsu. Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja. Bandung: PT
Remaja Rosdakarya, Cet. 13, 2012.
Download