Analisis struktur dan strategi nafkah rumahtangga

advertisement
Laporan Studi Pustaka (KPM 403)
ANALISIS STRUKTUR DAN STRATEGI NAFKAH
RUMAHTANGGA PETANI DI KAWASAN HUTAN
OLEH:
TOMI AS’AD GINANJAR
I34110093
DOSEN PEMBIMBING
Dr Ir Arya Hadi Dharmawan, MSc.Agr
DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN
MASYARAKAT
FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2014
ii
PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa Studi Pustaka yang berjudul “Analisis
Struktur dan Strategi Nafkah Rumahtangga Petani di Kawasan Hutan”
benar-benar hasil karya saya sendiri yang belum pernah diajukan sebagai karya
ilmiah pada perguruan tinggi atau lembaga manapun, dan tidak mengandung
bahan-bahan yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh pihak lain kecuali sebagai
bahan rujukan yang dinyatakan dalam naskah. Demikian pernyataan ini saya buat
dengan sesungguhnya dan saya bersedia mempertanggungjawabkan pernyataan
ini.
Bogor, November 2014
Tomi As’ad Ginanjar
NIM. I34110093
iii
ABSTRAK
TOMI AS’AD GINANJAR. Analisis Struktur dan Strategi Nafkah Rumahtangga
Petani Di Kawasan Hutan. Dibawah bimbingan Dr. Ir ARYA HADI
DHARMAWAN, Msc. Agr.
Rumahtangga di kawasan hutan masih menggantungkan kehidupannya pada
kegiatan pertanian dan kerentanan dapat terjadi, yamg diakibatkan oleh pengaruh
alam. Karena sifat alam yang tidak dapat di prediksi. Strategi nafkah yang
dilakukan oleh rumahtangga petani di kawasan hutan ini tidak hanya dari sektor
pertanian melainkan juga dari sektor non-pertanian. Dalam penelitian ini
bertujuan untuk mengetahui bagaimana rumahtangga petani dapat menghadapi
kerentanan yang di akibatkan dari alam. Strategi yang dilakukan oleh
rumahtangga petani dengan memanfaatkan dan mengelola kelima aset modal yaitu
modal alamiah, modal sosial, modal fisik, modal manusia, dan modal finansial
yang sedemikian rupa guna menunjang keberlanjuatan strategi nafkah yang
bervariasi agar dapat kembali pada kondisi normal. Oleh karena itu, perlu dikaji
bagaimana rumahtangga petani di kawasan hutan dapat bertahan hidup dengan
memanfaatkan dan mengelola aset modal, strategi nafkah, yang berpengaruh pada
tingkat pendapatan yang berkontribusi bagi rumahtangga untuk dapat kembali
pada kondisi normal.
Kata kunci: Rumahtangga petani, kerentanan, resiliensi, aset modal, strategi
nafkah.
ABSTRACT
TOMI AS’AD GINANJAR . Structure and Strategy Analysis of Farmer
Household Livelihoods in the Forest Zone. Supervised by Dr. Ir ARYA HADI
DHARMAWAN, Msc. Agr.
Smallholding forests in forest areas still are dependent on agriculture and forest
sector, they are economic caused by natural influences that can not be predicted.
Livelihood strategies undertaken by the smallholding forests in the forests not
only from agriculture but also from the non-agricultural sector. In this study aims
to determine how the smallholding forests may face a forest sector that causes of
nature. Strategy undertaken by the smallholding forests use and manage capital
assets, such as natural capital, social capital, physical capital, human capital,
and financial capital, to support the livelihood strategies to return the normal
conditions. Therefore, it is necessary to study how the smallholding forests in
forest areas can survive by utilizing and managing capital assets and livelihood
strategies, which affects the level of income that contribute to the household, so
that return to normal conditions.
Keywords: Smallholding forests, vulnerability, resilience, capital assets,
livelihood strategies.
iv
ANALISIS STRUKTUR DAN STRATEGI NAFKAH
RUMAHTANGGA PETANI DI KAWASAN HUTAN
Oleh
TOMI AS’AD GINANJAR
I34110093
Laporan Studi Pustaka
sebagai syarat kelulusan KPM 403
pada
Mayor Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat
Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat
Fakultas Ekologi Manusia
Institut Pertanian Bogor
DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN
MASYARAKAT
FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2014
v
LEMBAR PENGESAHAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa Laporan Studi Pustaka yang disusun oleh:
Nama Mahasiswa : Tomi As’ad Ginanjar
Nomor Pokok
: I34110093
Judul
: Analisis Struktur dan Strategi Nafkah Rumahtangga Petani
di Kawasan Hutan
dapat diterima sebagai syarat kelulusan mata kuliah Studi Pustaka (KPM 403)
pada Mayor Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Departemen
Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia,
Institut Pertanian Bogor.
Menyetujui,
Dosen Pembimbing
Dr. Ir Arya Hadi Dharmawan, MSc. Agr.
NIP. 19630914 199003 1 002
Mengetahui,
Ketua Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat
Fakultas Ekologi Manusia
Dr. Ir. Siti Amanah, MSc.
NIP. 19670903 199212 2 001
Tanggal Pengesahan: _______________
vi
PRAKATA
Puji dan syukur penulis ucapkan atas ke hadirat Allah SWT yang telah
melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan
laporan Studi Pustaka berjudul “Analisis Struktur dan Strategi Nafkah
Rumahtangga Petani di Kawasan Hutan” ini dengan baik. Laporan Studi Pustaka
ini ditujukan untuk memenuhi syarat kelulusan MK Studi Pustaka (KPM 403)
pada Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Fakultas
Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor.
Ucapan terimakasih penulis sampaikan kepada Bapak Dr. Ir Arya Hadi
Dharmawan, Msc.Agr sebagai dosen pembimbing yang telah memberikan saran
dan masukan selama proses penulisan hingga penyelesaian laporan studi pustaka
ini. Penulis juga menyampaikan hormat dan terimakasih kepada orang tua tercinta
Bapak Dr. H. T. Achmad Boestomi (Alm) dan Ibu Elis Sulaefah, S.Pd yang selalu
mendoakan dan senantiasa melimpahkan kasih sayangnya kepada penulis. Tidak
lupa juga penulis ucapkan terimakasih kepada teman-teman SKPM 48, sahabatsahabat penulis, dan rekan-rekan satu bimbingan yang memberikan masukan,
memotivasi, dan mendengarkan keluh kesah penulis.
Semoga Laporan Studi Pustaka ini bermanfaat bagi semua pihak.
Bogor, November 2014
Tomi As’ad Ginanjar
NIM. I34110093
vii
DAFTAR ISI
PERNYATAAN .....................................................................................
ABSTRAK ..............................................................................................
LEMBAR PENGESAHAN ....................................................................
PRAKATA ..............................................................................................
DAFTAR ISI ...........................................................................................
DAFTAR GAMBAR ..............................................................................
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang ..................................................................................
1.2 Rumusan Masalah .............................................................................
1.3 Tujuan Penelitian ..............................................................................
1.4 Kegunaan Penelitian..........................................................................
BAB II RINGKASAN DAN ANALISIS BACAAN
Struktur dan Strategi Nafkah Rumahtangga Petani Peserta Program
PHBM Di Bogorejo ................................................................................
Analisis Struktur dan Strategi Nafkah Rumahtangga Petani Sekitar
Kawasan Hutan Konservasi ....................................................................
Strategi Nafkah Rumahtangga Desa Sekitar Hutan ................................
Strategi Nafkah Rumahtangga Petani Tembakau di Gunung Sumbing ..
Rural Livelihood and Poverty Reduction Polices ...................................
Rural Livelihood an Diversity In Developing Countries ........................
Forest Policy and Economics ..................................................................
Livelihood Strategies, Resilience, and Transformability In African
Agroecosystem ........................................................................................
Model Partisipatif Perhutanan Sosial Menuju Pengelolaan Hutan
Berkelanjutan ..........................................................................................
Strategi Coping dan Nafkah Serta Dampaknya Terhadap
Keberfungsian dan Ketahanan Fisik Keluarga Petani Miskin di
Kabupaten Blora......................................................................................
BAB III RANGKUMAN DAN PEMBAHASAN
3.1 Rumahtangga Petani (RTP)...............................................................
3.2 Konsep Resiliensi ..............................................................................
3.3 Struktur Nafkah .................................................................................
3.4 Strategi Nafkah Rumahtangga ..........................................................
3.5 Kemiskinan .......................................................................................
BAB IV KESIMPULAN
4.1 Hasil Rangkuman dan Pembahasan ..................................................
4.2 Pertanyaan Penelitian ........................................................................
4.3 Kerangka Pemikiran ..........................................................................
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................
RIWAYAT HIDUP ...............................................................................
Hal
ii
iii
v
vi
vii
viii
1
2
3
3
5
9
13
16
19
20
22
25
28
31
35
35
36
37
39
41
41
42
45
47
viii
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1. Konsep segilima pentagon (modal) Ellis (2000) ............................
38
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Hutan merupakan suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi
sumberdaya alam hayati yang didominasi oleh pepohonan dalam persekutuan alam
lingkungannya yang satu dengan yang lainnya tidak dapat dipisahkan. Keberadaan hutan
sebagai bagian dari sebuah ekosistem yang besar memiliki arti dan peran penting dalam
menyangga suatu sistem kehidupan. Berbagai manfaat besar dapat diperoleh dari
keberadaan hutan melalui fungsinya baik sebagai penyangga sumberdaya bagi manusia
dan lingkungan (Suryatmojo, 2004). Hutan memiliki tujuan untuk dapat memperoleh
manfaat yang optimal bagi kesejahteraan seluruh masyarakat secara berkeadilan dengan
tetap menjaga kelestariannya, dengan didukung undang-undang no 41 tahun 1999 salah
satu penyelenggaraan hutan yang bertujuan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat
yang berkeadilan dan berkelanjutan dengan mengoptimalkan aneka fungsi produksi untuk
mencapai manfaat lingkungan, sosial, budaya, dan ekonomi yang seimbang dan lestari.
Pengelolaan hutan meliputi kegiatan tata hutan, penyusunan rencana pengelolaan
hutan, pemanfaatan hutan, penggunaan kawasan hutan, rehabilitasi, reklamasi hutan,
perlindungan hutan, dan konservasi hutan bertujuan agar dapat bermanfaat bagi
masyarakat maka diperlukannya kerjasama antara masyarakat dalam pengelolaan hutan
agar tetap lestari maka hutan dapat dibedakan berdasarkan kepemilikannya. Hutan dapat
dibedakan menjadi dua yaitu hutan negara dan hutan milik, hutan negara adalah kawasan
hutan yang tumbuh di atas lahan yang tidak dibebani hak milik, sedangkan hutan milik
atau hutan rakyat adalah hutan yang tumbuh di atas lahan milik rakyat baik secara
perorangan maupun bersama-sama atau badan hukum (Departemen Kehutanan, 2012).
Mengacu pada (Dharmawan, 2001 dalam Prasetya 2013) menyebutkan bahwa
sumber nafkah rumahtangga sangat beragam (multiple source of livelihood) karena
rumahtangga tidak tergantung hanya pada satu unit pekerjaan tertentu dalam jangka
waktu tertentu dan tidak ada satu sumber nafkah yang dapat memenuhi semua kebutuhan
rumahtangga. Sumber nafkah merupakan aset sumberdaya yang dimiliki rumahtangga
dalam mencapai tujuan nafkah rumahtangga, maka (Ellis, 2000 dalam Prasetya 2013)
sumber nafkah rumahtangga dibedakan menjadi tiga kategori. Pertama, sumber nafkah
yang berasal dari pertanian (On farm) pendapatan yang diperoleh dari pertanian. Kedua,
sumber nafkah (Off farm) pendapatan yang berupa upah tenaga kerja pertanian. Dan
ketiga, sumber nafkah (Non farm) pendapatan yang berasal dari luar kegiatan pertanian.
Rumahtangga petani yang dikenal dalam bahasa inggris dengan istilah Farm
Household mempunyai pengertian dan karakteristik yaitu suatu unit kelembagaan yang
setiap saat mengambil keputusan produksi pertanian, konsumsi, curahan kerja, dan
reproduksi (Nakajima, 1986). Pertanian sebagai suatu industri yang memiliki ciri yang
dapat diidentifikasi yang diduga memiliki hubungan dengan perilaku dan pemenuhan
kebutuhan dasar rumahtangga petani yaitu dari karakteristik, sosial, budaya maupun
ekonomi, pendidikan non formal, motivasi berprestasi, orientasi nilai budaya, harapan
atau aspirasi, luas pemilikan dan penguasaan lahan, pendapatan rumahtangga, akses
2
informasi, sumber modal dan kepedulian pemimpin formal dan informal dalam
penanggulangan kemiskinan.
Kemiskinan merupakan salah satu isu penting dalam pelaksanaan pembangunan,
bukan hanya Indonesia melainkan hampir di semua Negara di dunia. Pengurangan
kemiskinan dan kelaparan ditempatkan sebagai tujuan pertama pembangunan millennium
atau Millenium Development Goal (MDGs). Hal ini didasarkan atas kenyataan bahwa
kemiskinan merupakan masalah sosial yang krusial dan berdampak luas terhadap
berbagai aspek kehidupan masyarakat, bangsa dan negara. Dalam konteks ini kemiskinan
sering dikaitkan dengan rendahnya etos kerja atau rajin atau tidaknya seseorang dalam
bekerja mengolah sumberdaya alam yang tersedia. Kemiskinan dapat berdampak luas
dalam menciptakan kondisi yang yang mengakibatkan salah satu pihak tidak memiliki
akses dan tidak dapat memenuhi kebutuhan dasar rumahtangga.
Maka dari itu, berdasarkan struktur nafkah rumahtangga petani dan beragamnya
strategi nafkah rumahtangga petani di kawasan hutan agar dapat tetap bertahan hidup ini
dapat memunculkan hal yang perlu dikaji karena dengan semakin banyaknya pilihan
dalam mencari pola penghidupan akan berdampak kepada ketahanan suatu rumahtangga
dalam mencukupi kebutuhan dasarnya.
1.2 Rumusan Masalah
Kemiskinan merupakan suatu kondisi terjadinya kekurangan pada taraf hidup
manusia secara fisik (kebutuhan dasar materi dan biologis termasuk kekurangan nutrisi
kesehatan, pendidikan, dan perumahan) serta sosial (resiko kehidupan, kondisi
ketergantungan, ketidakberdayaan, dan kepercayaan diri yang kurang) (Urip, 208 dalam
Prasetya 2013). Kondisi ini membentuk lingkaran kemiskinan dan jika tidak diputus akan
berlangsung secara turun-temurun.
Menurut (Dharmawan et.al. 2010 dalam Prasetya 2013) kemiskinan bukan hanya
berkaitan dengan pendapatan, tetapi juga mencakup kerentanan dan kerawanan orang atau
kelempok orang baik laki-laki maupun perempuan untuk menjadi miskin dan keterbatasan
akses masyarakat miskin dalam penentuan kebijakan publik yang berdampak pada
kehidupan mereka.
Mengacu pada Dharmawan 2001 bahwa sumber nafkah rumahtangga sangat
beragam (multiple sourece of livelihood) karena rumahtangga tidak tergantung hanya
pada satu unit pekerjaan tertentu dalam jangka waktu tertentu dan tidak ada satu sumber
nafkah yang dapat memenuhi semua kebutuhan rumahtangga. Sumberdaya mengacu
kepada semua hal yang dapat dimanfaatkan atau tidak oleh rumah tangga, aset juga
mengacu kepada semua hal yang dapat dimanfaatkan oleh rumahtangga. Banyaknya
alternatif dalam mencari sumber nafkah di kawasan hutan untuk menutupi kebutuhan
dasar rumahtangga tetapi masih ada permasalahan yang muncul dimulai dari
pertumbuhan penduduk yang meningkat, belum paham dan masih rendahnya pendidikan
masyarakat tentang memahami fungsi sumberdaya di kawasan hutan, dan pola adaptasi
dengan produksi yang subsisten menyebabkan pendapatan rumahtangga tidak dapat
termaksimalkan dengan baik.
Maka dari itu, dengan banyaknya alternatif dalam mencari sumber nafkah
rumahtangga terdapat hal yang menarik untuk dikaji yang merujuk pada uraian diatas
3
tentang struktur dan strategi rumahtangga petani dikawasan hutan dengan
beberapa pertanyaan, sebagai berikut:
1. Bagaimana bentuk penguasaan aset modal rumahtangga petani di kawasan hutan?
2. Bagaimana penerapan strategi nafkah rumahtangga petani di kawasan hutan?
3. Seberapa besar pengaruh resiliensi terhadap struktur dan strategi rumahtangga
petani di kawasan hutan?
1.3 Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menjawab permasalahan-permasalahan
yang telah dirumuskan sebelumnya, antara lain:
1. Untuk menganalisis bentuk penguasaan aset modal rumahtangga petani di
kawasan hutan
2. Untuk menganalisis penerapan strategi nafkah rumahtangga petani di kawasan
hutan
3. Untuk menganalisis pengaruh resiliensi struktur dan strategi nafkah rumah tangga
petani di kawasan hutan
1.4 Kegunaan Penelitian
Berdasarkan tujuan penelitian, maka diharapkan penelitian ini dapat memberikan
manfaat sebagai berikut:
1. Bagi akademisi, penelitian ini bisa menjadi proses pembelajaran dalam memahami
kejadian atau fenomena sosial khususnya dalam livelihood studies.
2. Bagi masyarkat, penelitian ini diharapkan menjadi wacana dalam menambah
pengetahuan bagi masyarakat umum.
4
BAB II
RINGKASAN DAN ANALISIS BACAAN
1. Judul
: Struktur dan Strategi Nafkah Rumahtangga Petani
Peserta Program Pengelolaan Hutan Bersama
Masyarakat (PHBM) di Bogorejo
Tahun
: 2013
Jenis Pustaka
: Skripsi
Bentuk Pustaka
: Elektronik
Nama Penulis
: Anandita Rostu Prasetya
Nama Editor
: Judul Buku
: Kota Penerbit dan : Departemen SKPM, Fakultas Ekologi Manusia,
Nama Penerbit
IPB, Bogor.
Nama Jurnal
: Repository IPB
Volume (edisi): Hal
: Alamat URL/doi
: http://repository.ipb.ac.id/handle/123456789/66017
Tanggal diunduh
: 4 Oktober 2014
Ringkasan Bacaan
Rumahtangga petani dapat dipandang sebagai satu kesatuan unit ekonomi,
mempunyai tujuan yang ingin dipenuhi dari sejumlah sumberdaya yang dimiliki,
kemudian sebagai unit ekonomi rumahtangga, petani akan memaksimumkan tujuannya
dengan keterbatasan sumberdaya yang dimiliki. Rumahtangga petani dalam
memaksimumkan ekonomi dan kebutuhan hidupnya dilakukan dengan berbagai cara yang
tidak hanya memfokuskan pada satu unit pekerjaan tertentu saja, melainkan dengan
beragam strategi nafkah yang dilakukan. Strategi nafkah yang dilakukan oleh
rumahtangga petani bertujuan untuk memenuhi kebutuhan hidup dan mempertahankan
keberlangsungan hidup dengan memperoleh sumber pendapatan yang berasal dari
berbagai sektor struktur nafkah.
Fakta di lapangan khususnya di kawasan hutan rakyat Wan Abdul Rachman
bahwa jumlah anggota yang ditanggung oleh kepala rumahtangga berjumlah satu hingga
dua orang. Mayoritas setiap kepala rumahtangga menanggung seorang istri saja atau satu
orang istri dan satu anak usia sekolah. Anak perempuan yang sudah dewasa dan menikah
ikut tinggal bersama suaminya, sedangkan anak laki-laki yang sudah dewasa pergi keluar
desa untuk bekerja atau sudah menikah dan tidak ikut tinggal bersama orang tuanya. Hal
ini menyebabkan peran tenaga kerja keluarga yang dapat membantu kegiatan usaha tani
keluarga sangat minim. Umumnya dalam kegiatan usahatani, kepala keluarga
menggunakan tenaga kerja upah (buruh tani) untuk membantu mengerjakan usahatani di
lahan miliknya. Program PHBM di kawasan Tahura Wan Abdul Rachman perlu
memperhatikan dan memiliki prinsip seperti pendekatan kelompok, keserasian,
kepemimpinan dari mereka sendiri, pendekatan kemitraan, swadaya, belajar sambil
bekerja, pendekatan keluarga, dan dari masyarakat untuk masyarakat. Keberhasilan
program juga dipengaruhi oleh peran dari pemerintah dan masyarakat. Program PHBM
di kawasan Tahura Wan Abdul Rachman perlu memperhatikan dan memiliki prinsip
6
seperti pendekatan kelompok, keserasian, kepemimpinan dari mereka sendiri, pendekatan
kemitraan, swadaya, belajar sambil bekerja, pendekatan keluarga, dan dari masyarakat
untuk masyarakat. Keberhasilan program juga dipengaruhi oleh peran dari pemerintah
dan masyarakat, karena keduanya saling berkolaborasi untuk menjalankan fungsi dan
peranannya masing-masing. Fungsi pemerintah sebagai kontrol untuk tetap menjaga
kondisi Tahura Wan Abdul Rachman agar hutan memiliki fungsi ekologi melalui
program PHBM. Peran masyarakat memanfaatkan dan mengakses hutan secara ekologis
dengan menanam tanaman bertajuk tinggi, tetapi bernilai ekonomis serta menjaga fungsi
hutan agar ketersediaan air yang berkelanjutan. Pengelolaan sumberdaya hutan secara
manajeman kolaboratif merupakan suatu langkah perubahan status Tahura Wan Abdul
Rachman yang sebelumnya berstatus hutan lindung menjadi taman hutan raya.
Manajemen kolaboratif melalui program PHBM diinisiatif oleh pemerintah agar hutannya
lestari secara ekologis tetapi masyarakatnya sejahtera secara ekonomi.
Bentuk-bentuk strategi nafkah dari kasus rumahtangga petani di Dusun III, Desa
Bogorejo yang diamati terdapat empat bentuk strategi nafkah. Pertama, strategi
ekstensifikasi lahan pertanian dilakukan dengan cara menambahdan memperluas areal
lahan garapan pertanian ke lahan hutan ke dalam kawasan Tahura Wan Abdul Rachman
melalui program PHBM. Kedua, pola nafkah ganda dilakukan dengan cara mencari
sumber pendapatan lain sebagai alternatif, diantaranya adalah bekerja di sektor off-farm
sebagai buruh tani dan buruh nyadap karet di PTPN VII serta bekerja di sektor non
pertanian sebagai buruh bangunan, berdagang warung, pegawai negeri (PNS), supir,
satpam, usaha salan, dagang rongsokan dan kontrakkan rumah. Ketiga, strategi bermitra
dengan Tahura Wan Abdul Rachman dilakukan dengan cara diberikan izin akses
menggarap lahan di dalam kawasan Tahura Wan Abdul Rachman melalui program
PHBM oleh pihak UPTD Tahura Wan Abdul Rachman. Bermitra disini rumahtangga
petani diikutsertakan dan dilibatkan dalam setiap tahapan mulai dari perencanaan sampai
evaluasi secara partisipatif dan sesuai dengan tata aturan yang berlaku. Keempat, strategi
migrasi dilakukan dengan cara mobilisasi ke daerah lain di luar desanya untuk hidup
menetap maupun sementara dengan tujuan agar memperoleh tambahan pendapatan di luar
desa. Pekerjaan yang dilakukan dengan strategi migrasi adalah satpam, buruh bangunan,
dan supir truk.
Struktur pendapatan adalah komposisi pendapatan rumahtangga petani dari
berbagai aktifitas nafkah yang dilakukan oleh seluruh anggota rumahtangga. Pendapatan
yang diperoleh rumahtangga petani di Dusun III, Desa Bogorejo berasal dari sektor
PHBM (hutan rakyat), sektor pertanian, dan sektor non pertanian. Ketiga sektor tersebut
saling melengkapi untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari setiap rumahtangga
petani. Rumahtangga petani dengan lapisan pendapatan atas, sektor yang memberikan
sumbangan besar dan persentase terhadap struktur nafkah rumahtangga petani adalah
sektor pertanian dengan pendapatan pertahun sebesar Rp. 26 812 200 dan persentase
sebesar 62,6 persen. Pada rumahtangga petani lapisan pendapatan menengah, sektor yang
memberikan sumbangan terbesar dan persentase terhadap struktur nafkah rumahtangga
petani adalah sektor pertanian, dengan pendapatan pertahun sebesar Rp 7 647 421 dan
persentase sebesar 45,3 persen. Kemudian pada rumahtangga petani dengan lapis
7
pendapatan bawah, sektor yang memberikan sumbangan terbesar dan persentase
terhadap struktur nafkah rumahtangga petani adalah sektor pertanian, dengan pendapatan
pertahun sebesar Rp 2 467 363 dan persentase 64,7 persen. Hal ini dikarenakan
pendapatan yang diperoleh dari sektor petanian memiliki banyak jenis hasil yang
didapatkan, mulai dari tanaman perkebunan, tanaman pertanian, dari hewan ternak,
dengan bekerja sebagai buruh tani di lah milik warga yang lebih luas. Sektor pertanian
berpengaruh besar dalam memberikan sumbangan pendapatan dan persentase
terhadap struktur nafkah rumahtangga petani di Dusun III, Desa Bogorejo
dibandingkan dengan sektor PHBM (hutan rakyat) dan sektor nonpertanian. Sumber
pendapatan dari sektor PHBM tidaklah terlalu besar memberikan sumbangan
pendapatan dan persentase terhadap struktur nafkah rumahtangga petani. Hal ini
dikarenakan pendapatan yang diperoleh dari sektor PHBM hanya memliki satu jenis
hasil yang didapatakan dari menjual hasil panen tanaman MPTS/bertajuk tinggi, seperti
karet, kemiri, petai, dan durian. Meski demikian, sumber pendapatan dari sektor PHBM
(hutan rakyat) telah membantu meningkatkan sumbangan pendapatan dan persentase
terhadap struktur nafkah rumahtangga petani dalam memenuhi kebutuhan hidup seharihari serta membiayai modal usahatani. Sumber pendapatan dari sektor non-pertanian
hanya memberikan sumbangan pendapatan dan persentase terhadap struktur nafkah
rumahtangga petani pada lapisan pendapatan atas dan menengah saja. Sedangkan, pada
lapisan pendapatan bawah tidak sedikit pun memberikan sumbangan pendapatan dan
persentase terhadap struktur nafkah rumahtangga petani. Hal ini dikarenakan terdapat
beberapa rumahtangga petani yang berpendidikan rendah serta kurangnya keahlian
sumberdaya manusia untuk mengakses pekerjaan di sektor nonpertanian. Selain itu,
terdapat beberapa rumahtangga petani yang sudah tercukupi pendapatannya dari sektor
PHBM (hutan rakyat) dan sektor pertanian, sehingga tidak perlu mencari alternative
pekerjaan dari sektor non-pertanian.
Analisis Bacaan
Rumahtangga
Petani
Rumahtangga petani dapat dipandang sebagai kesatuan unit ekonomi, mempunyai
tujuan yang ingin dipenuhi dari sejumlah sumberdaya yang dimiliki, kemudian sebagai
unit ekonomi rumahtangga petani akan memaksimumkan tujuannya dengan keterbatasan
sumberdaya yang dimiliki. Strategi nafkah yang dilakukan memiliki tujuan untuk
8
memenuhi kebutuhan hidup dan mempertahankan keberlangsungan hidup, dengan
memperoleh sumbe pendapatan yang berasal dari berbagai sektor struktur nafkah.
Dalam kasus bacaan ini mayoritas setiap kepala rumahtangga menanggung
seorang istri saja atau satu orang istri dan satu anak usia sekolah. Hal ini menyebabkan
peran tenaga kerja keluarga yang dapat membantu kegaitan usaha tani keluarga. Bentuk
strategi nafkah dari kasus rumahtangga petani di Dusun III, Desa Bogorejo yang diamati
terdapat empat bentuk strategi nafkah. Pertama, melakukan strategi ekstensifikasi lahan
pertanian. Kedua, pola nafkah ganda dilakukan dengan cara mencari sumber pendapatan
lain sebagai alternatif. Ketiga, strategi bermitra dengan Tahura Wan Abdul Rachman
dilakukan dengan cara diberikan izin akses menggarap lahan di dalam kawasan Tahura
Wan Abdul Rachman melalui program PHBM. Keempat, strategi migrasi dilakukan
dengan cara mobilisasi ke daerah lain di luar desanya untuk hidup menetap maupun
sementara dengan tujuan memperoleh pendapatan.
Meski demikian, sumber pendapatan dari sektor PHBM telah membantu
meningkatkan sumbangan pendapatan dan persentase terhadap struktur nafkah
rumahtangga petani dalam memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.
9
2. Judul
: Analisis
Struktur
dan
Strategi
Nafkah
Rumahtangga Petani Sekitar Kawasan Hutan
Konservasi di Desa Cipeuteuy, Kabupaten
Sukabumi
Tahun
: 2013
Jenis Pustaka
: Skripsi
Bentuk Pustaka
: Elektronik
Nama Penulis
: Novia Fridayanti
Nama Editor
: Judul Buku
: Kota Penerbit dan : Departemen SKPM, Fakultas Ekologi Manusia,
Nama Penerbit
IPB, Bogor.
Nama Jurnal
: Repository IPB
Volume (edisi): Hal
: Alamat URL/doi
: http://repository.ipb.ac.id/handle/123456789/63159
Tanggal diunduh
: 4 Oktober 2014
Ringkasan Bacaan
Akibat adanya perluasan kawasan hutan konservasi seperti yang terjadi pada kasus
Taman Nasional Ginung Halimun Salak tentu mempengaruhi berbagai aspek kehidupan
masyarakat, terutama masyarakat yang menggantungkan hidupnya pada sumberdaya
hutan. Perluasan kawasan TNHGS ini mengakibatkan perubahan struktur agraria. Muncul
ketidakjelasan status lahan, yang awalnya dimanfaatkan oleh masyarakat berubah menjadi
zona konservasi dan dilindungi. Hak masyarakat yang selama ini mengelola dan
memanfaatkan lahan tersebut menjadi buram bahkan hilang sehingga masyarakat menjadi
kehilangan lahan garapannya. Perluasan ini juga membatasi akses dan kontrol masyarakat
terhadap lahan. Meski lagi-lagi awalnya masyarakat bebas mengakses dan mengontrol
pemanfaatan sumberdaya lahan dan hutan, namun kemudia muncul aturan-aturan yang
langsung mengekang kebebasan masyarakat.
Mata pencaharian masyarakat di Desa Cipeuteuy memang masih bergantung pada
pertanian. Lebih dari 50 persen warganya berprofesi sebagai petani dan buruh tani.
Berdasarkan karakteristik sistem pertaniannya, pertanian yang dilakukan oleh petani di
desa ini terbagi jadi dua jenis yaitu petani sayur dan petani padi. Petani sayur beroreintasi
pada produksi yang artinya memaksimalkan hasil produksi karena tujuan ekonomi. Hasil
panen sayuran dijual untuk memperoleh pendapatan guna memenuhi kebutuhan seharihari. Berbeda dengan hal tersebut, petani padi justu berorientasi pada konsumsi karena
hasil panen padi digunakan untuk kebuthan sehari-hari, hasil panen padi tidak dijual
melainkan untuk dikonsumsi sendiri oleh rumahtangga petani yang menanamnya.
Tentunya apabila musim sedang normal, bukan pada musim paceklik. Sistem pertanian
warga sendiri masih bergantung pada keberadaan sumberdaya dari kawasan hutan
TNHGS. Lahan yang dipergunakan oleh mayoritas petani berda di dalam kawasan
TNHGS melalui sistem “pinjam-pakai” meskipun ada juga yang memiliki lahan sendiri.
Begitupun untuk irigasi diambil dari mata air dalam kawasan hutan, akses permodalan
dan kelembagaan pertanian telah ada untuk membantu kelompok-kelompok tani, namun
fungsinya masih belum dimanfaatkan dengan maksimal.
Pengelolaan hutan TNGHS pada masa sebelum ditunjuk menjadi areal
konservasi berada di tangan Perum Perhutani. Pada masa itu, masyarakat masih
10
memiliki kebebasan untuk mengakses sumberdaya dalam hutan. Namun kebebasan akses
yang diperoleh masyarakat dalam memanfaatkan kawasan hutan tidak diikuti dengan
adanya hak yang sah atas penguasaan atas lahan tersebut. Artinya, masyarakat tidak
memiliki kekuatan untuk merebut kembali lahan garapan mereka jika digusur oleh
Perhutani selaku pengelola lahan hutan. Bisa dikatakan, masyarakat hanya memiliki
hak pemanfaatan terhadap lahan tersebut namun tidak secara sah memiliki. Meskipun
terdapat zona-zona yang sebenarnya bisa dimanfaatkan oleh masyarakat, namun
lahan-lahan garapan masyarakat sebelum berstatus taman nasional telah memasuki zona
inti atau zona rimba. Tentu saja status penguasaan lahan kawasan TNGHS yang tidak
jelas ini menyebabkan ketidakamanan petani dalam menggunakan lahan tersebut.
Apalagi mayoritas lahan yang digunakan oleh petani di desa ini adalah lahan pinjam
pakai dari pihak TNGHS dan eks HGU PT. Intan Hepta. Kedua jenis lahan
tersebut merupakan lahan milik negara. Ketergantungan terhadap lahan milik Negara
ini tentu mempengaruhi cara berstrategi petani dalam mencari nafkah bagi
rumahtangganya. Hasil penelitian memperlihatkan bahwa sektor non-pertanian telah
menjadi tempat bergantung masyarakat selain pertanian. Strategi nafkah masyarakat
di desa ini cukup banyak memanfaatkan sektor non-pertanian seperti menjadi pedagang di
pasar, pedagang ternak, pedagang warung, buruh bangunan, buruh hutan, hingga tukang
ojek. Macam-macam mata pencaharian yang dilakukan rumahtangga petani ini
memperlihatkan bahwa mereka telah cukup jauh memanfaatkan sektor ini di samping
basis nafkah utama mereka yaitu pertanian. Maka dari itu, pengelolaan kawasan
TNGHS yang dijalankan oleh BTNGHS mempengaruhi status penguasaan lahan
masyarakat, terutama lahan yang selama ini digunakan oleh mereka untuk kegiatan
pertanian. Status penguasaan lahan yang berada diatas perjanjian yang tidak jelas
membuat masyarakat takut untuk mengembangkan pertaniannya. Jika begitu, masyarakat
harus memiliki pekerjaan lain selain petani untuk memenuhi kebutuhan ekonomi mereka
yang juga terus meningkat.
Tingkat pendapatan dari sektor pertanian terdiri dari on farm dan off farm yaitu
sebagai petani dan buruh tani. Petani di Desa Cipeuteuy terdir dari dua jenis yaitu petani
sayur untuk memperoleh pendapatan berbentuk uang dari hasil produksinya. Sedangkan
untuk pendapatan dari sektor non pertanian (non farm) diperoleh dari pekerjaan sebagai
buruh bangunan, tukang ojek, pedagang, usaha warung, buruh hutan, atau menjadi guru.
Berdasarkan golongan pendapatan, golongan tinggi pendapatannya berasal dari sektor
non pertanian dari usaha berdagang di warung yaitu 34 persen, golongan sedang
pendapatan terbesar dari kiriman anggota keluarga yang bekerja di luar desa sebesar 32
persen, dan golongan rendah pemasukan terbesar dari pekerjaan sebagai buruh bangunan
mencapai 37 persen. Kontribusi pendapatan pertanian dan sektor non pertanian terhadap
rata-rata rumahtangga pertahun hampir seimbang, maka dapat disimpulkan bahwa
meskipun masyarakat mengaku pekerjaan utamanya adalah petani, namun untuk basis
nafkah sebenarnya adalah kedua sektor nafkah yaitu pertanian dan non pertanian. Artinya
telah terjadi transformasi sosial dimana nilai pertanian bagi masyarakat cenderung
menurun, karena dipengaruhi oleh kebutuhan rumahtangga yang besar, pengeluaran
pangan menjadi penyumbang terbesar, dan diikuti oleh pengeluaran lain seperti
transportasi, listrik, dan pendidikan anak. Penerapan strategi nafkah masyarakat
11
Cipeuteuy sangat bervariasi, para petani tidak hanya memanfaatkan sektor pertanian
untuk memenuhi kebutuhan mereka, melainkan juga sektor non pertanian. Pada akhirnya
sulit untuk dibedakan mana yang menjadi basis nafkah utama masyarakat di desa ini
apakah sektor pertanian atau telah beralih ke sektor non pertanian. Sektor nafkah yang
dijalankan oleh masyarakat tetap memanfaatkan livelihood asset dalam penerapannya
kelima aset modal dilakukan oleh masyarakat di Desa Cipeuteuy diantaranya modal
sumberdaya alam antara lain lahan pertanian, baik lahan kawasan TNHGS, lahan
perhutani, atau milik sendiri, modal sosial berupa jaringan pemasok alat pertanian tidak
ditemukan di desa ini, modal fisik dilihat dari kepemilikan aset rumahtangga contohnya
rumah, kendaraan bermotor, modal finansial berupa tabungan dan investasi pun tidak
ditemukan, modal manusia dimana banyak petani hanya memanfaatkan tenaga kerja
keluarga, meskipun ada juga yang masih menggunakan jasa buruh tani. Masyarakat
bergantung kepada pinjaman kepada tetangga atau saudara untuk biaya darurat.
Analisis Bacaan
Adanya perluasan kawasan hutan konservasi seperti yang terjadi di Taman
Nasional Gunung Halimun Salak tentu mengakibatkan beberapa pengaruh pada berbagai
aspek kehidupan masyarakat. Terutama bagi masyarakat yang menggantungkan hidupnya
pada sumberdaya hutan. Perluasan kawasan TNGHS mengakibatkan terjadinya
perubahan struktur agraria, muncul ketidakjelasan status lahan yang awalnya bisa di
manfaatkan menjadi tidak bisa karena telah berubah status menjadi kawasan konservasi
dan dilindungi.
Mata pencaharian masyarakat dalam bahan bacaan ini masih bergantung pada
pertanian, hampir 50 persen warga berprofesi sebagai petani dan buruh tani. Pertanian
pada bacaan ini terbagi menjadi dua bagian. Pertama, berorientasi kepada petani sayur
dimana hasil produksinya dijual untuk memperoleh pendapatan guna memenuhi
12
kebutuhan sehari-hari. Berbeda dengan yang kedua, dimana petani padi justru berorientasi
kepada konsumsi karena hasil panen padi digunakan untuk kebutuhan sehari-hari.
Dalam keadaan krisis masyarakat biasanya mencari alternatif lain dalam
memenuhi kebutuhan hidup keluarganya. Kontribusi pendapatan pertanian dan sektor non
pertanian terhadap rata-rata rumahtangga pertahun hampir seimbang, maka dapat
disimpulkan bahwa meskipun masyarakat mengaku pekerjaannya utamanya sebagai
petani, namun basis nafkah mereka sebenarnya adalah kedua sektor nafkah yaitu
pertanuan dan non pertanian. Disini telah terjadi transformasi sosial dimana nilai
pertanian bagi masyarakat cenderung menurun karena dipengaruhi oleh kebutuhan
rumahtangga yang besar. Akibat hal ini sulit untuk dibedakan man yang menjadi basis
nafkah utama masyarakat di desa ini apakah sektor pertanian atau beralih kepada sektor
non pertanian.
13
3. Judul
: Strategi Nafkah Rumahtangga Desa Sekitar Hutan
(Studi Kasus Desa Peserta PHBM di Kabupaten
Kuningan, Provinsi Jawa Barat
Tahun
: 2006
Jenis Pustaka
: Tesis
Bentuk Pustaka
: Elektronik
Nama Penulis
: Agustina Multi Purnomo
Nama Editor
: Judul Buku
: Kota Penerbit dan : Program Studi Sosiologi Pedesaan, Sekolah Pasca
Nama Penerbit
Sarjana IPB, Bogor.
Nama Jurnal
: Repository IPB
Volume (edisi): Hal
: Alamat URL/doi
: http://repository.ipb.ac.id/handle/123456789/8466
Tanggal diunduh
: 4 Oktober 2014
Ringkasan Bacaan
Penelitian bersandar kepada konsep strategi nafkah PHBM. PHBM menawarkan
lahan hutan sebagai sumber nafkah bagi masyarakat di sekitar hutan termasuk Desa
Padabeunghar. Akses lahan hutan disertai pemberian bibit tanaman yang bertujuan untuk
mengurangi biaya yang dikeluarkan rumahtangga dan meningkatkan pendapatan
rumahtangga. Sumberdaya hutan, bibit dan pendampingan serta bagi hasil dianggap dapat
mendorong tindakan pengelolaan sumberdaya hutan. Studi sumber nafkah dan aktivitas
nafkah digunakan untuk memahami strategi nafkah rumahtangga, bagaimana sumber
nafkah digunakan dan pilihan aktivitas nafkah yang dilakukan. Tipologi strategi nafkah
rumahtangga penduduk Desa Padabeunghar menunjukan rasionalitas rumahtangga yang
mendasari tindakan-tindakan yang diambil dan membentuk strategi nafkah rumahtangga,
rasionalitas strategi nafkah rumahtangga merupakan penjelasan perbedaan strategi nafkah
yang dirancang PHBM dengan strategi nafkah yang dilakukan rumahtangga di Desa
Padabeunghar.
Karakteristik ekonomi dan sosial masyarakat padabeunghar menggambarkan
sebuah komunitas dengan keterbatasan sumberdaya alam dan penguatan ikatan sosial
yang berbasis kelembagaan sosial. Komunitas petani Desa Padabeunghar memiliki
hubungan sosial solidaritas yang erat manjadi landasan aktivitas ekonomi rumahtangga.
Hubungan sosial menjadi dasar pembentukan rumahtangga dan hubungan antar anggota
komunitas, keterbatasan sumberdaya alam yang dapat dimiliki rumahtangga dapat diatasi
dengan akses manfaat lahan hutan Perhutani dan lahan kebun karet. Sebagai komunitas
terbuka Desa Padabeunghar mendapatkan fasilitas dan bantuan yang membuka akses
sumberdaya bagi rumahtangga, ketebukaan ini juga mempengaruhi pola mobilitas
penduduk terutama peluang kerja di perantauan, merantau menjadi salah satu pilihan
pekerjaan bagi anggota rumahtangga petani di Desa Padabeunghar.
Aktivitas nafkah rumahtangga di Desa Padabeunghar dilakukan berdasarkan dua
basis aktivitas, penggunaan sumberdaya dan upaya untuk membangun hubungan baik
antara anggota komunitas. Aktivitas nafkah dilakukan berdasarkan sumber nafkah yang
ada dan dapat diakses oleh rumahtangga, upaya untuk menghasilkan sumber nafkah dan
mengurangi penggunaan sumber nafkah. Aktivitas nafkah dilakukan dengan dua hal yaitu
alokasi tenaga kerja rumahtangga dan substansi pendapatan. Alokasi diperlukan agar
14
rumahtangga dapat melakukan berbagai aktivitas nafkah dalam waktu yang sama,
sedangkan substansi pendapatan dilakukan rumahtangga untuk memenuhi kebutuhan
rumahtangga yang tidak dapat dipenuhi oleh penerapan satu buah aktivitas nafkah,
substansi dilakukan jika rumahtangga memiliki tenaga kerja dan melakukan alokasi
tenaga kerja. Selain dipengaruhi oleh ketersediaan sumber nafkah, aktivitas nafkah
dipengaruhi oleh faktor dorongan kebutuhan, pertimbangan pendapatan yang akan
diperoleh, biaya yang dikeluarkan dan resiko yang dihadapi serta nilai yang berkembang
dalam masyarakat, pertimbangan inilah yang melandasi pembentukan strategi nafkah
rumahtangga.
Strategi nafkah penduduk Desa Padabeunghar merujuk suatu pola dimana terdapat
desakan nafkah pada modal alami dan peluang pekerjaan terutama pekerjaan di luar desa.
Modal alami merupakan penjaga keamanan konsumsi rumahtangga. Pengelolaan modal
alami merujuk kepada pola pengamanan konsumsi, oreintasi hasil untuk pemenuhan
kebutuhan rumahtangga, penghasilan jangka pendek serta pengamanan rumahtangga dari
resiko yang mungkin ditanggung karena pengelolaan modal alam termasuk sumberdaya
hutan dilakukan dengan ekstensifikasi, menanam tanaman jangka pendek yang mudah
dikelola dan pasti menghasilkan, mengurangi resiko kerugian, serta menekan biaya
dengan mengurangi penggunaan pupuk kimia. Desakan nafkah pada peluang pekerjaan
menyebabkan pengurangan jumlah penduduk Desa Padabeunghar yang menggarap lahan
termasuk lahan hutan. Desakan nafkah pada peluang pekerjaan menunjukan orientasi
nafkah penduduk Desa Padabeunghar mengarah pada kesejahteraan material dan ekonomi
uang. Peluang pekerjan dipilih karena menyediakan peluang untuk mendapatkan uang
dalam jumlah besar dalam waktu bersamaan. Pergeseran tidak menyebabkan pengurangan
pengaruh modal sosial. Modal sosial dibutuhkan sebagai pengamanan ekonomi dan
sosial. Komunitas memberikan fasilitas yang menjamin setiap orang didalam komunitas
dapat mengatasi kekurangan sumberdaya dengan cara membagi sumberdaya kepada
anggota komunitas. Ikatan sosial dalam rumahtangga dan antar rumahtangga memberi
jaminan keamanan ekonomi dan sosial tidak hanya pada saat ini namun di masa yang
akan datang bahkan di saat memasuki usia lansia. Rumahtangga di Desa Padabeunghar
memiliki rasionalitas sendiri yang berbeda dengan pola nafkah yang dirancang PHBM.
Beberapa hal yang dapat disimpulkan dari perbedaan dasar rasionalisme tindakan antara
penduduk Desa Padabeunghar dan PHBM adalah perbedaan pandangan terhadap lahan
hutan, perbedaan pandangan tentang produktivitas hasil, perbedaan pandangan tentang
kesejahteraan ekonomi dan keamanan produksi.
15
Analisis Bacaan
Kesejahteran
PHBM menawarkan lahan hutan sebagai sumber nafkah bagi masyarakat sekitar
hutan di Desa Padabeunghar. Akses lahan hutan disertai pemberian bibit tanaman yang
bertujuan untuk mengurangi biaya yang dikeluarkan rumahtangga dan meningkatkan
pendapatan rumahtangga. Karakteristik ekonomi dan sosial masyarakat Padabeunghar
menggambarkan sebuah komunitas dengan keterbatasan sumberdaya alam dan penguatan
ikatan sosial yang berbasis kelembagaan sosial. Komunitas petani Desa Padabeunghar
memiliki solidaritas yang erat menjadi landasan aktivitas ekonomi rumahtangga.
Dari hasil pengamatan bahwa aktivitas nafkah rumahtangga di Desa
Padabeunghar dilakukan berdasarkan dua basis aktivitas yaitu penggunaan sumberdaya
dan upaya untuk membangun hubungan baik dengan antar anggota komunitas. Aktivitas
nafkah dilakukan dengan dua hal yaitu alokasi tenaga kerja rumahtangga dan substansi
pendapatan. Alokasi diperlukan agar rumahtangga dapat melakukan berbagai aktivitas
nafkah dalam waktu yang sama. Sedangkan, substansi pendapatan dilakukan
rumahtangga untuk memenuhi kebutuhan rumahtangga yang tidak dipenuhi oleh satu
basis aktivitas rumahtangga saja.
Strategi nafkah rumahtangga Desa Padabeunghar merujuk pada suatu pola dimana
terdapat desakan nafkah pada modal alamai dan peluang pekerjaan terutama pekerjaan di
luar desa. Modal alami dilakukan sebagai penjaga keamanan konsumsi rumahtangga
tetapi sifatnya cenderung pemenuhan jangka pendek saja. Desakan nafkah pada peluang
pekerjaan menyebabkan pengurangan jumlah penduduk Desa Padabeunghar yang
menggarap lahan, orientasi nafkah penduduk Desa Padabeunghar mengarah pada
kesejahteraan material dan ekonomi uang. Peluang pekerjaan dipilih karena dianggap
mampu menyediakan peluang dalam jumlah banyak dan dalam waktu yang bersamaan.
Ikatan sosial dalam rumahtangga dan antar rumahtangga sangat kuat walaupun
terjadi pergeseran tidak melunturkan modal sosial agar dapat memberikan jaminan
keamanan ekonomi dan sosial untuk bekal di masa yang akan datang supaya hidup
sejahtera.
16
4. Judul
: Strategi Nafkah Rumahtangga Petani Tembakau
Di Lereng Gunung Sumbing
Tahun
: 2009
Jenis Pustaka
: Tesis
Bentuk Pustaka
: Cetak
Nama Penulis
: Widiyanto
Nama Editor
: Judul Buku
: Kota Penerbit dan : Program Studi Sosiologi Pedesaan, Sekolah Pasca
Nama Penerbit
Sarjana IPB, Bogor.
Nama Jurnal
: Volume (edisi): Hal
: Alamat URL/doi
: Tanggal diunduh
: Ringkasan Pustaka
Menurut Ellis (2000) sebagian besar rumahtangga pedesaan pada umumnya tidak
dapat menghindar dari resiko, apakah yang disebabkan oleh manusia atau karena faktor
lingkungan. Pada petani tembakau berhadapan dengan beberapa resiko. Pertama, karena
tembakau merupakan tanaman bebas yang diperdagangkan tanpa campur tangan aparat
desa, sehingga petani berhadapan langsung dengan pasar, akibatnya sangat rentan
terhadap fluktuasi harga yang dipengaruhi aktor. Kedua, pertanian tembakau sangat
rentan terhadap perubahan cuaca dan musim. Luas lahan pertanian sebagai basis
kehidupan utama semakin terfragmentasi karena diwariskan kepada generasi berikutnya
dan hal tersebut dapat mempengaruhi kepemilikan sumberdaya yang dimiliki petani baik
asset alami, fisik, SDM, sosial, dan financial. Berbagai sumberdaya tersebut dapat
dikombinasikan sehingga akan membentuk strategi nafkah tertentu. Strategi tersebut
dilandasi oleh berbagai etika moral ekonomi nafkah.
Aktivitas nafkah dapat berupa pekerjaan pertanian dan non pertanian. Tembakau
merupakan komoditi komersial (High value commodity) telah membawa pengaruh
kapitalisme di pedesaan. Implikasinya petani pedesaan mengalami mixed ethic, pada satu
sisi berorientasi pada etika sosial-kolektif dan pada sisi yang lain harus berorientasi pada
keuntungan material. Kedua etika tersebut dimainkan oleh rumahtangga petani sebagai
upaya membangun sistem nafkah yang berkelanjutan. Masuknya kapitalisme dipedesaan
secara perlahan melemahkan etika sosial-kolektif yang berbasis pada resiprositas. Hal ini
dapat ditandai dengan berubahnya sistem royongan menjadi sistem upah, dan munculnya
perilaku manipulatif.
Strategi nafkah yang dibangun oleh rumahtangga tembakau dengan
mengkombinasikan aset-aset (modal) yang dimiliki yaitu modal alami, modal fisik, modal
finansial, modal sumberdaya manusia, dan modal sosial. Secara umum rumahtangga
petani di daerah pegunungan sumbing membangun beberapa strategi nafkah yaitu strategi
produksi, solidaritas vertikal, solidaritas horizontal, berhutang, patronase, serabutan,
akumulasi, dan manipulasi komoditas. Sedangkan kelembagaan yang dibangun oleh
petani sebagai implementasi dari strategi nafkah adalah sistem nitip, royongan, gabung
hasil panen, dan maro.
17
Berbagai strategi nafkah tersebut lebih banyak memainkan modal sosial sebagai asset
penting dalam membangun sistem penghidupan yang berkelanjutan. Sedangkan pada
situasi krisis, petani membangun sistem nafkah yang agak berbeda yaitu dengan
melakukan migrasi temporer. Strategi ini dilakukan pada saat gagal panen berturut-turut
sehingga tidak memiliki modal finansial untuk berusaha tani. Setelah kondisi tembakau
membaik maka petani yang melakukan migrasi akan kembali bergelut dengan tembakau.
Melihat berbagai strategi yang diterapkan baik pada situasi normal maupun krisis
menunjukkan bahwa petani memiliki mekanisme yang dinamis dan fleksibel dalam
merespon setiap perubahan kondisi. Sistem yang berperan penting dalam membangun
keberlanjutan penghidupan petani adalah etika sosial-kolektif yang berasaskan pada
resiprositas. Melalui asuransi kolektif, rumahtangga petani mampu bertahan dan
memperbaiki standar hidupnya.
Analisis Bacaan
Melemahkan
etika sosialkolektif
Kapitalisme
Perilaku
Manipulatif
Rumahtangga
Tembakau
Strategi produksi, solidaritas
vertikal, solidaritas horizontal,
berhutang, patronase, serabutan,
akumulasi, manipulasi komoditas.
Pada dasarnya rumahtangga pedesaan tidak dapat menghindar dari resiko baik
yang disebabkan oleh manusia atau faktor lingkungan. Dalam bacaan ini dengan
mengambil kasus di petani tembakau Temanggung berhadapan dengan beberapa resiko
Pertama, karena tembakau merupakan tanaman bebas yang diperdagangkan tanpa campur
tangan aparat desa, sehingga petani berhadapan langsung dengan pasar, akibatnya sangat
rentan terhadap fluktuasi harga yang dipengaruhi aktor. Kedua, pertanian tembakau
sangat rentan terhadap perubahan cuaca dan musim.
Aktivitas nafkah dapat berupa pekerjaan dari sektor pertanian ataupun non
pertanian. Tembakau merupakan komoditi komersil sehingga membawa pengaruh
kapitalisme di pedesaan, sehingga petani pedesaan mengalami mixed ethic, pada satu sisi
berorientasi pada etika sosial-kolektif dan di sisi lain berorientasi pada keuntungan
material. Dengan masuknya kapitalisme di pedesaan secara perlaha melemahkan etika
sosial-kolektif yang berbasis resiprositas ditandai dengan munculnya perilaku
manipulatif.
Secara umum rumahtangga petani di daerah pegunungan sumbing membangun
beberapa strategi nafkah yaitu strategi produksi, solidaritas vertikal, solidaritas horizontal,
berhutang, patronase, serabutan, akumulasi, dan manipulasi komoditas. Melihat berbagai
strategi yang diterapkan baik pada situasi normal maupun krisis menunjukan bahwa
18
petani memiliki mekanisme yang dinamis dan fleksibel dalam merespon setiap kondisi,
dengan asuransi kolektif rumahtangga petani mampu bertahan dan memperbaiki standar
hidupnya.
19
5. Judul
: Rural livelihood and Poverty Reduction Policies
Tahun
: 2005
Jenis Pustaka
: Buku
Bentuk Pustaka
: Elektronik
Nama Penulis
: Frank Ellis dan H. Ade Freeman
Nama Editor
: Judul Buku
: Kota Penerbit dan : Routladge, London dan New York
Nama Penerbit
Nama Jurnal
: Volume (edisi): Hal
: Alamat URL/doi
: Tanggal diunduh
: Ringkasan Bacaan
Istilah mata pencaharian yaitu mencoba untuk memperoleh penghidupan dan
bukan hanya apa yang orang lakukan dalam rangka untuk bertahan hidup, tetapi
sumberdaya yang memberikan mereka kemampuan untuk membangun sebuah kehidupan.
Faktor risiko bahwa mereka harus mempertimbangkan dalam mengelola sumberdaya
mereka, konteks bidang kelembagaan dan baik yang membantu atau menghalangi
mereka dalam mengejar atau meningkatkan taraf hidup.
Dalam pendekatan penghidupan, sumberdaya juga disebut asset atau modal, dan
sering dikategorikan antara lima tipe-tipe aset yang berbeda atau lebih yang dimiliki, dan
diakses oleh anggota keluarga: yang 1) modal manusia (keterampilan, pendidikan,
kesehatan), 2) modal fisik (barang diproduksi investasi), 3) modal finansial (uang,
tabungan, akses pinjaman), 4) modal alam (tanah, air, pohon, merumput dll) dan 5) modal
sosial (jaringan dan Asosiasi).
Kategori aset ini memang sedikit dan tidak semua sumberdaya yang orang
bawakan cocok dalam membangun kehidupan mereka. Meski begitu, mereka memiliki
tujuan yang berguna dalam membedakan jenis aset yang cenderung berbeda dengan
kebijakan lingkungan. Misalnya, sumberdaya manusia menghubungkan untuk kebijakan
sosial, pendidikan dan kesehatan sementara, modal alam menghubungkan untuk
penggunaan tanah, kebijakan pertanian dan lingkungan hidup. Ini merupakan nilai yang
menyebutkan dalam melewati kategori modal sosial yang masih agak sulit dipahami
sebagai panduan untuk meningkatkan masyarakat miskin meskipun dengan satu dekade
atau lebih pendidikan menjadi renungan tentang hal itu (Harriss 1997). Sementara itu
dapat mudah diterima bahwa kualitas keterhubungan jenis sosial tertentu dapat membuat
perbedaan besar bagi orang-orang yang memiliki mata pencaharian, faktor kualitas ini
sulit untuk dijabarkan. Sebagai contoh, ikatan kekeluargaan dapat memainkan peran
sebagai jaringan dukungan dan sebagai tuntutan pada sumber daya untuk memenuhi
kewajiban keluarga. Demikian juga, beberapa jenis hubungan sosial tampaknya dirancang
untuk lebih menjaga orang miskin dalam kerangka dasar penghidupan, daripada
menempatkan mereka untuk membantu mengatasi kemiskinan contohnya buruh terikat,
sistem kasta, dan beberapa jenis kewenangan tradisional.
20
6. Judul
: Rural livelihood and Diversity In Developing
Countries
: 2000
: Buku
: Cetak
: Frank Ellis
: : dan : Oxford University Press, United Kingdom
Tahun
Jenis Pustaka
Bentuk Pustaka
Nama Penulis
Nama Editor
Judul Buku
Kota Penerbit
Nama Penerbit
Nama Jurnal
: Volume (edisi): Hal
: Alamat URL/doi
: Tanggal diunduh
: Ringkasan Bacaan
Konsep mata pencaharian secara luas digunakan dalam tulisan-tulisan yang
kontemporer di kemiskinan dan pembangunan pedesaan, tetapi makna dapat sering
muncul sulit dipahami, baik karena ketidakjelasan atau definisi yang berbeda yang
ditemui dalam sumber yang berbeda. definisi kamus adalah 'cara hidup ' yang langsung
membuatnya lebih dari diterima hanya identik dengan pendapatan karena ini
mengarahkan perhatian dengan cara di mana hidup diperoleh, bukan hanya hasil dalam
hal pendapatan atau konsumsi yang dicapai. definisi yang populer adalah yang disediakan
oleh Chambers dan Conway (1992:7) dimana mata pencaharian “terdiri dari kemampuan,
aset (toko, sumber daya, klaim dan akses) dan kegiatan yang diperlukan untuk sarana
hidup". Definisi ini, dengan perubahan kecil, telah digunakan oleh beberapa peneliti
mengadopsi pendekatan mata pencaharian pedesaan (Carswell, 1997; Hussein dan
Nelson, 1998; Scoones, 1998).
Fitur penting dari definisi mata pencaharian ini adalah untuk mengarahkan
perhatian hubungan antara aset dan dimiliki orang-orang pilihan dalam praktek untuk
mengejar kegiatan alternatif yang dapat menghasilkan tingkat pendapatan yang
diperlukan untuk kelangsungan hidup. sebagai contoh, kurangnya pendidikan berarti
modal manusia yang rendah, salah satu dari beberapa jenis aset, dan ini termasuk individu
dari kegiatan yang memerlukan tingkat tertentu dari pendidikan atau keterampilan
pencapaian untuk berpartisipasi di dalamnya.
Mata pencaharian terdiri dari aset (alam, fisik, manusia, keuangan dan sosial
modal), kegiatan, dan akses ke ini (dimediasi oleh lembaga dan hubungan sosial) yang
bersama-sama menentukan hidup yang diperoleh oleh individu atau rumah tangga.
Pendapatan rumahtangga dibagi menjadi tiga kategori. Pertama, pendapatan
pertanian (on farm) yakni pendapatan yang diperoleh dari pertanian yang diperhitungkan
sendiri seperti lahan miliki sendiri atau lahan yang diperoleh melalui pembelian tunai atau
bagi hasil. Kedua, pendapatan off farm, yakni pendapatan yang berupa upah tenaga kerja
pertanian termasuk upah dalam bentuk pemberian barang seperti padi dan bentuk upah
kerja yang lain. Ketiga, pendapatan non pertanian (non farm), yakni pendapatan yang
berasal dari luar kegiatan pertanian yang dibagi menjadi enam kategori yaitu (1) upah
tenaga kerja pedesaan bukan dari pertanian; (2) usaha sendiri di luar kegiatan pertanian
21
atau pendapatan bisnis; (3) pendapatan dari hak milik (misal: sewa); (4) kiriman
dari buruh migran yang pergi ke kota; (5) transfer dari urban yang lain seperti pendapatan
pensiunan dan (6) kiriman dari buruh migran yang pergi ke luar negeri.
Di utama, buku ini sesuai dengan sistem klasifikasi. penghasilan dari farm diambil
sebagai singkatan berarti pendapatan yang dihasilkan dalam pertanian atau dari sumber
daya lingkungan selain dari rekening sendiri pertanian. pendapatan non-pertanian
biasanya digunakan berarti pendapatan yang meningkat dari luar pertanian, meskipun
kadang-kadang, untuk menghindari pengulangan frase beberapa, pendapatan nonpertanian digunakan sebagai singkatan untuk semua tidak sendiri pertanian sumber
pendapatan, oleh karena itu off-farm mengambil pendapatan juga. Pengertian di mana
pendapatan non pertanian yang digunakan harus selalu jelas dari teks.
Dalam analisis data, pendapatan dibedakan antara lima kategori utama (1) Nonfarm: tenaga kerja tidak terampil, kerja upah, dan laba usaha non-pertanian; (2) pertanian:
laba dari penjualan tanaman, konsumsi sendiri, buruh off-farm; (3) transfer: pengiriman
uang nasional dan internasional, pensiun dan pembayaran kepada orang miskin; (4)
ternak: laba dari penjualan ternak, unggas dan sendiri-konsumsi; (5) sewa pendapatan:
dari kepemilikan aset, termasuk tanah, mesin, dan air. Meskipun biasanya tanaman dan
ternak, pendapatan digabungkan bersama di bawah kategori pertanian umum, dalam hal
ini ternak pendapatan dibagi dari tanaman pendapatan karena maknanya berbeda bagi
ketidaksetaraan pendapatan, terkait dengan distribusi yang tidak seimbang lahan untuk
produksi tanaman.
Istilah keanekaragaman dan diversifikasi dalam konteks kehidupan lebih lanjut
perlu klarifikasi. keragaman merujuk kepada keberadaan, pada titik waktu, banyak
sumber pendapatan yang berbeda, sehingga juga biasanya membutuhkan hubungan sosial
yang beragam untuk mendukung mereka. diversifikasi, di sisi lain, menafsirkan
penciptaan keragaman sebagai proses yang berkelanjutan sosial dan ekonomi,
mencerminkan faktor tekanan dan kesempatan yang menyebabkan keluarga untuk
mengadopsi strategi penghidupan semakin rumit dan beraneka ragam.
Sementara keragaman dan diversifikasi dapat diambil secara keseluruhan berarti
beberapa dan mengalikan sumber pendapatan, mereka lebih sering dipanggil dalam
konteks pembangunan pedesaan untuk menyiratkan diversifikasi dari pertanian sebagai
sarana utama atau dominan kelangsungan hidup pedesaan. dengan demikian ekspresi
'sangat beragam mata pencaharian desa' biasanya menyampaikan gagasan tentang mata
pencaharian di mana rekening sendiri pertanian telah menjadi proporsi yang relatif kecil
dari portofolio kelangsungan hidup secara keseluruhan yang disatukan oleh keluarga
petani.
Mata pencaharian pedesaan diversifikasi didefinisikan sebagai proses yang rumah
tangga pedesaan membangun portofolio semakin beragam kegiatan dan aset untuk
bertahan hidup dan meningkatkan standar hidup mereka.
22
7. Judul
Tahun
Jenis Pustaka
Bentuk Pustaka
Nama Penulis
:
:
:
:
:
Forest Policy and Economics
2014
Jurnal
Elektronik
Adefires Worku, Jurgen Pretzsch, Habremariam
Kassa, Eckhard Auch.
: : dan : Dresden, Germany
Nama Editor
Judul Buku
Kota Penerbit
Nama Penerbit
Nama Jurnal
: Volume (edisi): Hal
: Volume 41, Halaman 51-59
Alamat URL/doi
: Tanggal diunduh
: Ringkasan Bacaan
Ethiopia adalah negara agraria mana tanaman tradisional dan produksi ternak
mempekerjakan lebih dari 85% dari populasi (Ethiopia NAPA, 2007;MoFED, 2012).
Produksi tanaman adalah strategi utama penghidupan di Highlands, dimana curah hujan
relatif tinggi. Sebagian besar (lebih dari 70%) dari daratan Etiopia adalah lahan kering,
ditandai dengan rendah dan pola curah hujan yang tak terduga (EAC, 2007). Daerah ini
adalah buruk dikembangkan dan menderita marginalisasi sejarah politik dan
ekonomi(Fekadu, 2009). Pastoralism tradisional dan agro pastoralism strategi utama
penghidupan di drylands, dimana rumah tangga tergantung pada produksi ternak untuk
proporsi yang signifikan dari makanan mereka, pendapatan dan tenaga penggerak (Dalle
et al., 2005; FAO, 2009). Produksi peternakan ini tidak hanya andalan, tetapi juga
kebanggaan mereka sosial dan keamanan. Untuk berabad-abad, strategi penghidupan
pastoral dan agro-pastoral mampu mempertahankan perbedaan budaya dan fleksibilitas,
mana kompleks adat mengatur sistem pengetahuan manajemen sumber daya bersama
dasar dan terus-menerus beradaptasi dengan lingkungan yang sangat tidak pasti, terutama
iklim (Brooks, 2006; Homann, 2008). ). Tujuan dari penelitian ini adalah untuk
memeriksa pentingnya hutan kering pendapatan dan mengidentifikasi faktor
pengkondisian hutan kering pendapatan ketergantungan di pastoral dan agro-pastoral
sistem produksi daerah somalia negara di Ethiopia.
Hubungan antara pendapatan dari hutan yang kering, kemiskinan mitigasi,
pendapatan kesetaraan dan mengatasi dampak negatif dari kekeringan telah menarik
sedikit perhatian penelitian di Ethiopia. Temuan-temuan dari studi ini menunjukkan dua
permasalahan utama. Pertama adalah tren mata pencaharian kerentanan dalam bidang
studi secara khusus yang juga akan menjadi kasus di drylands Tanduk Afrika secara
umum. Kekeringan, penggurunan dan degradasi hutan adalah tantangan utama yang
menghambat perkembangan drylands. Terlepas dari masalah kompleks yang dihadapi
ekosistem ini, pertumbuhan populasi manusia adalah menciptakan tekanan tambahan
pada hutan kering dan ekosistem besar (Teketay, 2004-5). Membalikkan kerusakan
lingkungan melalui penanaman pohon kegiatan di daerah lahan kering telah terbukti
menjadi sulit karena berbagai alasan dan ada hanya kisah sukses terbatas. Ini
menunjukkan kebutuhan untuk mempertahankan sebanyak mungkin hutan yang kering
dan woodlands ini ekosistem yang rapuh dan menjelajahi pilihan untuk meningkatkan
signifikansi mereka ekonomi, ekologi, sosial budaya dan politik. Kedua intinya adalah
bahwa peran hutan kering bermain dalam meningkatkan kapasitas adaptif dari
kekeringan, kerentan masyarakat tidak boleh diabaikan.
23
Implikasi kebijakan keseluruhan dari temuan-temuan yang saat ini adalah bahwa,
hutan kering pendapatan memegang posisi penting dalam kehidupan pastoral dan agro
masyarakat pastoral. Tidak mempertimbangkan sumbangan ini dalam rumahtangga
akuntansi pendapatan, kemiskinan jumlah kepala ketidaksetaraan rasio dan meningkatkan
pendapatan. Rupanya, hal ini penting untuk meningkatkan manajemen hutan kering untuk
peningkatan mata pencaharian, mereka juga sambil mengamankan fungsi ekologi jangka
panjang. Ini dapat dicapai melalui promosi dan integrasi ke dalam perencanaan
pembangunan nasional, regional dan lokal.
Pengelolaan hutan kering harus menjadi bagian dari perencanaan penggunaan
tanah secara keseluruhan. Sejumlah pilihan untuk meningkatkan produktivitas dan
kesinambungan hutan kering harus diteliti. Misalnya, memperkenalkan agro kehutanan
Parklands dalam sistem agro-pastoral produksi baru muncul,mempromosikan nilai
tambahan dan komersialisasi nilai tinggi hutan
produk-produk seperti gusi dan resin melalui skala kecil dan menengah perusahaan, dan
menggabungkan pengelolaan hutan kering dengan yang mendatang REDD +
(pengurangan emisi dari deforestasi dan degradasi hutan), CDM (mekanisme
pembangunan bersih) dan CRGE (iklim ekonomi hijau kokoh) inisiatif adalah beberapa
daerah penelitian potensi.
Saat ini tingkat pengamatan lapangan juga menunjukkan kebutuhan untuk menilai
status populasi, penelitian hutan dan mengusulkan mekanisme intervensi seperti di
beberapa daerah yang terdegradasi sangat parah. Top-Down saat ini rencana yang
bertujuan menyelesaikan penggembala dan melibatkan mereka dalam kebutuhan produksi
tanaman untuk memperhitungkan kemungkinan berkembang tambahan hutan berdasarkan
mata pencaharian serta. Sebelum terlalu kering hutan dikonversi ke cropland, yang
akhirnya mengakibatkan ireversibel kerusakan pada ekosistem lahan kering rapuh.
Akhirnya, upaya harus dibuat untuk memperkirakan dan nilai kontribusi hutan
yang kering untuk mata pencaharian melalui produksi ternak dan untuk mengeksplorasi
kesempatan tambahan untuk meningkatkan kontribusi ekonomi dari hutan yang kering
untuk mata pencaharian dan perekonomian nasional yang luas sehingga masyarakat dan
pemerintah akan melihat manfaat ekonomi dan terlibat dalam manajemen yang
bertanggungjawab berkurang kering sumber daya hutan dan hutan dasar di Tanduk Afrika
dengan juga kontribusi besar dalam memerangi desertifikasi.
24
Analisis Bacaan
No
1.
2.
Geografis
Highland
Dryland
Kegiatan
Produksi
Pertanian
Produksi
Ternak
Vulnarability
1. Kurang
Pengetahuan
2. Populasi
Manusia
1. Kekeringan,
Pengguguran,
degradasi
hutan.
2. Populasi
manusia.
Resilience
1. Manajeman
dari pemerintah
2. Memperkenalk
an agro-pastoral
untuk
intensivikasi
3. Migrasi
1. Beradaptasi
1.
dengan
lingkungan
terutama iklim.
2. Memperkenalk
an agro-forestry
dengan agropastoral.
3. Hutan kering
di konversi
menjadi cropland.
Faktor
Eksternal
-
Pengetahuan
lokal.
Pada bacaan ini mengambil kasus di daerah Somalia di Ethiopia dimana terdapat dua
geografis yang berbeda yaitu Highland dan Dryland. Highland fokus peningkatan usaha
pada bidang produksi tanaman dimana curah hujan relatif tinggi tetapi sebagian besar di
Ethiopia berlahan kering, ditandai dengan rendah dan pola curah hujan yang tidak
terduga. Dryland fokus peningkatan usaha rumahtangga bergantung pada produksi
ternak. Masalah yang dihadapi oleh highland yang menyebabkan kurang maksimalnya
pendapatan rumahtangga diakibatkan karena kurangnya pengetahuan, dan meningkatnya
pertumbuhan populasi manusia. Sedangkan, masalah di Dryland yang menyebabkan tidak
maksimalnya pendapatan rumahtangga karena kekeringan, pengguguran, degradasi hutan,
dan meningkatnya populasi manusia.
Perlu pemecahan masalah yang tepat sasaran agar terjadi peningkatan pendapat
rumahtangga di Ethiopia maka dalam bacaan ini terdapat beberapa strategi yang coba
dilaksanakan yaitu memperkenalkan agro-pastoral, beradaptasi dengan lingkungan, dan
pengkonversian hutan kering menjadi cropland. Strategi tersebut diharapkan dapat
menjadi lahan untuk mencari mata pencaharian dan meningkatkan kontribusi ekonomi
dari hutan kering.
25
8. Judul
: Livelihood
Strategies,
Resilience,
Transfomability In African Agroecosystems
: 2014
: Jurnal
: Elektronik
: Pablo Tittonell
: : dan : Wageningen, Netherland
and
Tahun
Jenis Pustaka
Bentuk Pustaka
Nama Penulis
Nama Editor
Judul Buku
Kota Penerbit
Nama Penerbit
Nama Jurnal
: Volume (edisi): Hal
: Volume (edisi) 126, Hal 2-14
Alamat URL/doi
: Tanggal diunduh
: Ringkasan Bacaan
Luas dan kegigihan kemiskinan di pedesaan di benua Afrika adalah sering
dideskripsikan “siklus setan” ke bawah spiral atau “jebakan kemiskinan” (e.g.,Lybbert et
al., 2004) dalam upaya untuk menggambarkan kausalitas bermain antara proses
demografis, kerusakan sumberdaya, politik nasional atau regional dan global perubahan.
Secara eksplisit atau tidak, pandangan ini bergantung kepada dua asumsi utama yang
saling terkait: (1) adanya alternatif sistem sebut rezim atau sistem, sering digunakan
untuk mewakili dinamika dan salib-skala interaksi dalam sistem ekologi sosial, dan (2)
kurungan hierarki di skala, yang saya akan menjelaskan di sini menggunakan analogi
Matryoshka bersarang boneka setiap sistem tingkat batas adalah terbatas oleh mereka dan
masing-masing sub-supra sistem. Ini dua asumsi mendukung, misalnya, konsep fraktal
kemiskinan perangkap atau diri memperkuat salib skala dampak (cf.Barret dan menelan,
2006). Rendah pada skala spasial yang lebih tinggi mencegah positif rezim bergeser pada
skala spasial yang lebih rendah, atau di skala waktu, karena melewati kerugian dari
guncangan dapat bertahan di seluruh generasi. Hal ini menyiratkan bahwa strategi untuk
mengurangi kemiskinan untuk propend siklus atau spiral ke atas harus mampu
memprovokasi sistem Shift di tertentu kritis ambang batas.
Studi ini diteliti untuk menggambarkan bagaimana konsep dari sistem ekologi
dapat digunakan dalam konsep dan belajar kunci sifat petani Afrika. Fokusnya adalah
pada badan manusia dalam menjelaskan keragaman strategi penghidupan yang
menggunakan konsep-konsep dari ketahanan dan transformability, bukan pada proses
biofisik mendasari lintasan agro ekosistem (Tittonell dan Giller, 2013). Menggambarkan
rumahtangga keragaman sebagai alternatif sistem rezim yang ikuti lintasan non-linear
menyiratkan setidaknya dengan analogi yang seperangkat peternakan di suatu daerah
mungkin menunjukkan atribut dinamika penduduk. Analogi ini mungkin berlaku dalam
banyak kasus, tetapi tidak selalu begitu ketika datang untuk menggambarkan kekuatan
yang menjaga rumahtangga rezim sistem tertentu yang mencegah perubahan. Ini adalah
karena ketidakadilan sering diperkuat oleh sifat dari lembaga-lembaga lokal yang sangat
ulet.
Petani miskin tanpa ternak wajah saldo negatif gizi dan penurunan terus-menerus
produktivitas tanah. Petani miskin akan juga sering tergantung pada pemilik peternakan
hewan kekuasaan untuk menyiapkan tanah mereka pada waktu hujan pertama, dan
26
akhirnya untuk mengakses beberapa pupuk untuk membuahi ladang mereka, yang mereka
mendapat dalam pertukaran buruh. Akibatnya, petani miskin desa sering tanamantanaman mereka terlambat dan dengan sedikit input nutrisi. Lebih sedikit sumberdaya
diberkahi rumahtangga wajah penurunan hasil, lebih sedikit kesempatan, kuat
ketergantungan pada rumahtangga kaya, dan negosiasi tidak menguntungkan istilah khas
umpan balik yang positif.
Situasi seperti itu tidak adil cenderung tangguh, diperkuat oleh lembaga lokal dan
kekuasaan, dan diperparah ketika waktu sulit, seperti dalam kasus kekeringan atau
ketidakstabilan politik. Dalam kasus tersebut teori tidak baik, karena tidak masuk akal
untuk menggambarkan keragaman rumahtangga sebagai alternatif sistem rezim ketika
alternatif tidak benar-benar ada. Ini bisa lebih baik digambarkan sebagai endogenously
diperkuat kemiskinan perangkap. Ketika mobilitas mungkin, ketika kecenderungan ke
atas dan bergeser ke bawah ada, cara rumahtangga keragaman pengertian dapat membuka
wawasan baru. Ini menyiratkan bahwa tipping poin atau ambang batas dapat ditemukan
luar yang meningkatkan ketersediaan sumberdaya dapat merangsang sistem bergeser ke
arah yang diinginkan. Dengan cara ini keluarga keragaman pengertian juga menyiratkan
bahwa dalam merancang pengembangan program ini. Ini tidak cukup untuk hanya
membebaskan pertanian masukan untuk petani, untuk menyediakan mereka dengan satu
inovasi teknologi, atau untuk membantu mereka mendapatkan akses ke lebih banyak
lahan atau aset modal.
Lintas agroekosistem yang kompleks sistem sosio-ekologis, dengan dimensi
budaya dan biologis, dan ketahanan dan kemampuan beradaptasi hasil dari agregasi
keputusan individu. Pengambilan keputusan seringkali menanggapi aturan dan tradisi
yang didirikan oleh agen yang bersaing untuk bernegosiasi atas penggunaan berkelompok
sumberdaya yang dimiliki. Langkah kunci untuk memahami strategi adaptasi kemudian
adalah studi tentang persepsi lokal dan pengetahuan yang menopang mekanisme
ketahanan masyarakat adat, terutama pada skala lanskap dan fungsi.
Sementara kebutuhan agroecology untuk memberikan jawaban teknis untuk
penajaman berkelanjutan lanskap petani, perkembangan kebijakan dan pasar dibutuhkan
untuk berurusan dengan efek Matryoshka. Pergeseran diinginkan sistem pertanian dapat
hanya dirangsang dengan bekerja pada kedua ujungnya secara bersamaan. Dalam
merancang seperti intervensi, operasional definisi dari sifat-sifat sistem seperti nonlinearitas, irreversibility, konvergensi/divergensi dan histeresis sangat penting untuk
memahami dinamika yang mengatur agroekosistem ketahanan dan transformability.
27
Analisis Bacaan
Kegiatan
1.
2.
Produksi
Pertanian
Produksi
Ternak
Vulnarability
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
Kerusakan SD
Kebijakan ekologi
sosial
Ketidakstabilan
politik
Tidak memiliki
hewan ternak atau
lahan
Menurunnya produksi
tanah
Ketergantungan
terhadap pemilik
lahan dan ternak.
Kekuasaan
Kekeringan
Resilience
Konsep
Membuka
wawasan baru
2. Intensifikasi
3. Inovasi teknologi
4. Memperluas
akses
5. Aset modal
1. Agroekosistem, yang
kompleks sistem
sosio-ekologis,
dengan dimensi
budaya dan biologis,
dan ketahanan dan
kemampuan
beradaptasi hasil dari
agregasi keputusan
individu
2. Agroecology untuk
memberikan jawaban
teknis untuk
penajaman
berkelanjutan lanskap
petani,
perkembangan
kebijakan dan pasar
dibutuhkan untuk
berurusan dengan
efek Matryoshka
1.
Pada bacaan ini untuk menggambarkan bagaimana konsep dari sistem ekologi
dapat digunakan dalam konsep dan berlajar kunci sifat petani Afrika. Bacaan ini juga
memiliki fokus pada manusia dalam menjelaskan keragaman strategi penghidupan yang
menggunakan konsep-konsep dari ketahanan dan transformability. Potret petani miskin
tanpa lahan dan ternak sebagai wajah gizi negatif dan penurunan produktivitas tanah.
Petani miskin juga sering tergantung pada pemilik lahan dan peternakan, akhirnya mereka
tidak memiliki kesempatan, ketergantungan yang tinggi, dan sulit memenuhi kebutuhan
hidupnya.
Ketidakadilan yang dialami oleh petani harus dipecahkan dengan membuka
wawasan baru, meningkatkan ketersedia sumberdaya, menyediakan satu inovasi
teknologi, dan membantu mereka untuk mendapatkan akses yang lebih banyak terutama
dalam hal lahan dan modal.
28
9. Judul
: Model Partisipatif Perhutanan Sosial Menuju
Pengelolaan Hutan Berkelanjutan
Tahun
: 2011
Jenis Pustaka
: Disertasi
Bentuk Pustaka
: Cetak
Nama Penulis
: Bambang Dipokusumo
Nama Editor
: Judul Buku
: Kota Penerbit dan : Program Studi Ilmu Penyuluhan Kehutanan,
Nama Penerbit
Sekolah Pasca Sarjana IPB, Bogor
Nama Jurnal
: Volume (edisi): Hal
: Alamat URL/doi
: Tanggal diunduh
: Ringkasan Bacaan
Konsep pembangunan berkelanjutan sesungguhnya merupakan hasil dari beberapa
pertemuan lingkungan hidup sedunia dan pertemuan tingkat tinggi dunia seperti
Konferensi PBB di Stocholm 16 Juni 1972 yang menghasilkan konsep Ecological
Development atau Pembangunan Berwawasan Lingkungan.
Dalam pembangungan berkelanjutan hubungan ketiga aspek tersebut. Hubungan
antara aspek sosial dan lingkungan berkaitan dengan partisipasi dan keadilan antar
generasi. Sedangkan hubungan antara aspek sosial dan ekonomi berkaitan dengan
kesempatan kerja dan keadilan antar generasi. Sementara itu hubungan antara aspek
lingkungan dan ekonomi berkaitan dengan nilai ekonomi yang disediakan oleh
lingkungan. Sejak saat itu, pembangunan berkelanjutan menjadi agenda penting dalam
pembangunan, karena menjadi acuan pokok berbagai bangsa dan negara dalam mencapai
kesejahteraan rakyat dan bangsanya yang selalu berhadapan dengan kepentingan
lingkungan. Hal ini mengedepankan pengelolaan hutan secara integral, bukan hanya pada
aspek teknis (kayunya), tetapi juga meliputi aspek ekologi (lingkungan), kemasyarakatan
dan juga kepentingan global.
Pengelolaan mengedepankan aspek manajeman, aspek ekologi dan pelibatan
masyarakat telah tertuang dalam kongres kehutanan dunia. Konteks pengelolaan hutan
yang melibatkan masyarakat dalam pengelolaan hutan telah dirumuskan dalam Kongres
Kehutanan Sedunia ke-8 tahun 1978 di Jakarta dengan konsep “forest for people”, dan
berkembang menjadi istilah dan lebih dikenal dengan istilah “Forestry for Local
Community Development”. Pelibatan masyarakat dalam pengelolaan hutan mendapat
perhatian dan dianggap penting, mengingat bahwa masyarakat yang berdomisili di dalam
dan disekitar kawasan hutan merupakan masyarakat miskin dan rentan terhadap
perubahan pembangunan serta dianggap merupakan ancaman terhadap lingkungan.
Pelibatan masyarakat dalam hutan bertujuan untuk peningkatan kesejahteraan penduduk
29
pedesaan dan mengikutsertakan dalam pengambilan keputusan yang mampu merubah
penghidupan mereka.
Kawasan hutan yang dikelola masyarakat merupakan kawasan hutan lindung dan
hutan produksi yang tidak dibebani hak ataupun kawasan hutan dengan kondisi kritis.
Batasan hak dalam pengelolaan sumberdaya yang bersifat common-pool resources
menurut Agrawal dan Ostrom (2001) bahwa hak bundle of right mengandung empat
unsur penting yaitu Withdrawal, management, exclusion, dan alenation. Hak dalam
pengelolaan sumberdaya hutan yang melibatkan masyarakat di Indonesia Program
Perhutanan Sosial (Social Forestry) seperti Hutan Kemasyarakatan (Hkm).
Secara umum pengembangan Hutan Kemasyarakatan memiliki beberapa tujuan
penting yaitu untuk mewujudkan keberdayaan dan kesejahteraan masyarakat di dalam dan
di sekitar hutan melalui manfaat ekologi, ekonomi, dan sosial budaya dari hutan secara
seimbang dan berkelanjutan. Dengan adanya kelembagaan yang mengatur dan
mengendalikan partisipan dalam pengelolaan sumberdaya hutan tentunya akan
memberikan hubungan kedepan yang berkaitan dengan bentuk partisipasi dan selanjutnya
akan memberikan dampak kondisi terhadap sumberdaya hutan dan berkelanjutan
pembangunan Hkm. Dengan adanya kebijakan pemerintah yang melibatkan masyarakat
dalam pembangunan Hkm ternyata memberikan implikasi yaitu munculnya berbagai
model-model Hkm yang tergantung dari partisipan sebagai investornya.
Berdasarkan hasil analisis dalam bacaan ini ada beberapa point yang dihasilkan
yang sesuai dengan tujuan dari bacaan yaitu kebijakan tentang pembangunan hak
kemasyarakatan (Hkm) mengalami perkembangan yang mengarah kepada keberpihakan
pemerintah terhadap peningkatan kesejateraan dan hak masyarakat yang berdomisili di
sekitar kawasan hutan, tetapi dalam prosesnya masih kurang karena dorongan partisipasi
masyarakat dalam program pembangunan Hkm. Kepastian hak pengelolaan kawasan
Hkm mengalami gangguan sebagai akibat dari konflik kebjiakan tentang penetapan tahura
dan penetapan Pencadangan Areal Hkm pada kawasan Hutan Lindung Sesaot. Faktor
sosial ekonomi mempengaruhi bentuk dan tingkat partisipasi masyarakat dalam
pembangunan Hkm. Namun pengaruh faktor kelembagaan seperti tipe kepemimpinan
hanya mempengaruhi kewenangan dalam pengambilan keputusan. Kontribusi terhadap
teori partisipasi adalah terjadinya paradoks teori partisipasi yang dikarenakan oleh
pertentangan hubungan antara kebijakan insentif (hak atau right dan aktivitas konservasi
dengan arah partisipasi masyarakat dalam program pembangunan Hkm dan konservasi
kawasan hutan.
30
Analisis Bacaan
Partisipasi
Kelembagaan
Pembangunan Berkelanjutan:
Kesejahteraan
1. Pengintegrasian aspek sosial,
ekonomi, dan lingkungan
2. Pelibatan Masyarakat (social
forestry)
3. Kebijakan Pemerintah
Partisipasi
Dalam pembangunan berkelanjutan hubungan antara aspek sosial, aspek ekonomi,
dan aspek lingkungan saling berkaitan. Seperti hubungan antara aspek sosial dan
lingkungan berkaitan dengan partisipasi dan keadilan antar generasi. Sedangkan
hubungan aspek sosial dan ekonomi berkaitan dengan kesempatan kerja. Sementara itu
hubungan antara aspek lingkungan dan ekonomi berkaitan dengan nilai ekonomi yang
disediakan oleh lingkungan.
Batasan hak dalam pengelolaan sumberdaya yang bersifat common pool
resources. Hak dalam pengelolaan sumberdaya hutan yang melibatkan masyarakat di
Indonesia Program Perhutanan Sosial (Social Forestry) seperti Hutan Kemasyarakatan
(Hkm). Secara umum pengembangan Hutan Kemasyarakatan memiliki beberapa tujuan
penting yaitu mewujudkan keberdayaan dan kesejahteraan masyarakat di dalam dan di
sekitar hutan melalui manfaat ekologi, ekonomi, dan sosial budaya.
Pelibatan masyarakat dalam pengelolaan hutan sangat penting dengan tujuan
untuk meningkatkan kesejahteraan penduduk dan mengikutsertakan dalam pengambilan
keputusan yang mampu merubah penghidupan mereka. Tetapi perlu adanya kelembagaan
yang mampu mengatur dan mengendalikan. Maka dengan adanya kelembagaan yang
mengatur dan mengendalikan partisipan dalam pengelolaan sumberdaya hutan akan
memberikan hubungan kedepan. Terutama berkaitan dengan bentuk partisipasi dan
memberikan dampak terhadap sumberdaya hutan dan berkelanjutan pembangunan Hkm.
31
10. Judul
: Strategi Coping Dan Nafkah Serta Dampaknya
Terhadap Keberfungsian Dan Ketahanan Fisik
Keluarga Petani Miskin Di Kabupaten Blora.
Tahun
: 2012
Jenis Pustaka
: Disertasi
Bentuk Pustaka
: Cetak
Nama Penulis
: Wasito
Nama Editor
: Judul Buku
: Kota Penerbit dan : Program Studi Sosiologi Pedesaan, Sekolah Pasca
Nama Penerbit
Sarjana IPB, Bogor.
Nama Jurnal
: Volume (edisi): Hal
: Alamat URL/doi
: Tanggal diunduh
: Ringkasan Bacaan
Empat konsep teori Struktural fungsional yang melandasi penelitian ini yaitu
sistem, struktur sosial, fungsi, dan keseimbangan. Keluarga sebagai sistem yang dinamis,
terdiri dari berbagai bagian subsistem yang saling berhubungan, berfungsi memelihara
keseimbangan sosial masyarakat. Sistem sosial sebagai sistem yang harmonis,
berkelanjutan, dan senantiasa menuju keseimbangan. Keseimbangan sistem yang stabil
dalam keluarga, dan kestabilan sistem sosial dalam masyarakat. Sistem berarti baik
berada pada lapisan individual, lapisan institusional (keluarga), dan pada lapisan
masyarakat. Sistem keluarga juga tidak akan lepas dari interaksinya dengan sistem-sistem
lainnya yang ada, seperti sistem ekonomi, politik, pendidikan, kesehatan, dan agama, juga
keluarga berfungsi dalam memelihara keseimbangan sosial masyarakat. Menurut
Struktural Fungsional (Talcott Parson), ekonomi (adaptasi, A), merupakan salah satu dari
beberapa subsistem masyarakat, yaitu pencapaian tujuan (G), integrasi (I) untuk mencapai
keseimbangan, dan pola pemeliharaan dan manajeman (L), mempunyai satu sistem nilai
dan kepercayaan. Institusi khusus yang berfungsi pemeliharaan laten adalah agama, ilmu
pengetahuan, keluarga dan pendidikan.
Pada sistem kehidupan keluarga petani miskin di Kab. Blora, diduga penghasilan
dari usahatani dan buruh tani tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan pokok, mereka
akan mengalokasikan tenaga keluarga, pola nafkah ganda, mengerjakan berbagai jenis
pekerjaan (the multiple employment strategy), senada dengan temuan White (1991),
Dharmawan et al (2004) di luar Blora, dan nafkah berbasis modal sosial (kepercayaan,
relasi, dan jaringan sosial (Putman)) sebagai strategi bertahan hidup, yang sangat
tergantung pada pertanian. Jika berkelanjutan nafkah terancam mereka akan melakukan
strategi coping, dengan mengubah strategi nafkah yang biasa dengan strategi nafkah baru,
menggunakan sumber-sumber nafkah. Teori yang mendasari strategi coping adalah teori
perilaku. Tingkah laku adalah fungsi dari pada sikap (Ahmadi 1999; Azwar 2003). Sikap
dan tingkah laku ibarat dua sisi mata uang yang tidak dapat dipisahkan. Strategi coping
yang dilakukan dalam kontek krisis, dalam kontek penelitian ini musim tidak panen
(durasi waktu) yang dominan, atau kemarau panjang, yang disertai tekanan sumberdaya,
diduga berbeda dengan strategi coping dalam kondisi normal, dalam kontek penelitian ini
musim panen.
32
Strategi coping dan nafkah berbasis modal sosial yang dilakukan keluarga petani
miskin diharapkan dapat mengoptimalkan keberfungsian keluarga dalam memenuhi
kebutuhan pokok (pangan, kesehatan, pendidikan, perumahan) dari berbagai kerentanan,
perubahan sumberdaya, dan krisis. Setiap keluarga akan mengembangkan sistem
penyesuaian diri (adaptasi) dalam merespon perubahan, baik bersifat jangka pendek
(coping mechanism), atau yang lebih bersifat jangka panjang (adaptive mechanism).
Secara operasional, diduga terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi strategi
coping, nafkah berbasis modal sosial, keberfungsian keluarga, dan pemenuhan kebutuhan
pokok. Strategi coping dan nafkah berbasis modal sosial sebagai bagian dari perilaku
keluarga akan dipengaruhi berbagai faktor prodispocing (pengetahuan, sikap, dan nilai),
faktor enabling (sarana dan fasilitas), dan faktor reinforcing (dukungan masyarakat dan
lingkungan). Apabila keluarga memiliki sedikit sumber coping, baik secara individu atau
kolektif, maka proses coping tidak akan pernah dimulai, dan tekananm krisis dapat terjadi
berkelanjutan.
Dalam bacaan ini berfokus pada tentang ekosistem keluarga dalam menganalisis
strategi coping, strategi nafkah berbasis modal sosial, dan dampaknya terhadap
keberfungsian keluarga, pemenuhan kebutuhan pokok (pangan, kesehatan, pendidikan,
perumahan), dan ketahanan fisik keluarga. Secara umum ada perbedaan pada keluarga
contoh tiga zona agroekosistem dalam strategi coping aspek ekonomi. Namun tidak
berbeda pada karakteristik keluarga (mikro), sikap keluarga terhadap lingkungan sosial
ekonomi, budaya, dan ekologi (meso), serta sikap keluarga terhadap dukungan sosial
ekonomi dan kebijakan (makro).
Faktor yang mempengaruhi strategi coping dalam penelitian ini yang tentunya
dilakukan oleh keluarga contohnya secara signifikan adalah pendidikan, ukuran keluarga,
sikap keluarga pada tatanan meso, dan strategi nafkah berbasis modal sosial. Keempat
variabel berpengaruh negatif terhadap strategi coping. Pendidikan dan besar keluarga
berpengaruh pada strategi nafkah berbasis modal sosial yang dilakukan keluarga. Kedua
variabel berpengaruh positif terhadap strategi nafkah. Maka dalam pemenuhan kebutuhan
pokok dan ketahanan fisik keluarga dipengaruhi secara positif oleh sikap pada tatanan
meso dan keberfungsian keluarga. Sementara keberfungsian keluarga sendiri dipengaruhi
secara negatif oleh besar keluarga dan dipengaruhi secara positif oleh strategi coping.
Hasil analisi menujukan bahwa faktor yang berpengaruh secara langsung terhadap
pemenuhan kebutuhan pokok dan ketahanan fisik keluarga adalah sikap keluarga pada
tatanan meso dan keberfungsian keluarga. Pemenuhan kebutuhan
pokok juga
dipengaruhi secara tidak langsung oleh strategi coping, strategi nafkah, pendidikan, dan
besar keluarga. Pemenuhan kebutuhan pokok keluarga mendapat dukungan wilayah
(ketahanan pangan desa, infrastruktur pengairan P4MI) dan ikatan sosial yang tinggi
masyarakat.
33
Analisis Bacaan
Keluarga
Miskin
Krisis
Strategi
Coping
Cara Bertahan
Hidup dengan
Modal Sosial
Keluarga merupakan sistem yang dinamis, terdiri dari berbagai bagian subsistem
yang saling berhubungan. Pada sistem kehidupan keluarga miskin di Kab Blora, diduga
pengahasilan dari usahatani dan buruh tani namun tidak cukup untuk memenuhi
kebutuhan pokok, mereka akan mengalokasikan tenaga keluarga, pola nafkah ganda, dan
mengerjakan berbagai macam pekerjaan.
Strategi coping dilakukan ketika dalam kontek krisis, pada saat tidak panen, atau
kemarau panjang. Dengan strategi coping keluarga bertahan hidup dengan meningkatkan
modal sosial yang dilakukan keluarga petani miskin, diharapkan dengan mengoptimalkan
keberfungsian keluarga dalam memenuhi kebutuhan pokok dari berbagai kerentanan,
perubahan sumberdaya, dan krisis.
34
BAB III
RANGKUMAN DAN PEMBAHASAN
3.1 Rumahtangga Petani (RTP)
Pengertian Rumahtangga Petani (RTP) dalam bahasa inggris dikenal dengan
istilah Farm Household mempunyai pengertian dan karakteristik yaitu satu unit
kelembagaan yang setiap saat mengambil keputusan produksi pertania, konsumsi,
curahan kerja, dan reproduksi (Nakajima 1986). RTP dapat dipandang sebagai satu
kesatuan unit ekonomi, mempunyai tujuan yang ingin dipenuhi dari sejumlah sumberdaya
yang dimiliki, kemudian sebagai unit ekonomi RTP akan memaksimalkan tujuannya
dengan keterbatasan sumberdaya yang dimiliki. Pola perilaku RTP dalam aktivitas
pertanian maupun penentuan jenis-jenis komoditas yang diusahakan dapat bersifat
subsisten, semi komersial, dan sampai berorientasi ke pasar.
Nakajima (1986) mengatakan bahwa pertanian sebagai suatu industri memiliki
karakteristik yang dapat diklarisifikasikan kedalam tiga kelompok yaitu:
1. Karakteristik teknologi dan produksi pertanian.
2. Karakteristik rumahtangga petani sebagai satu kesatuan unit ekonomi (produksi
pertanian sebagian besar di bawah kontrol rumahtangga petani).
3. Karakteristik dari komoditas pertanian.
Nakajima (1986) memberikan defenisi RTP (farm household) sebagai satu
kesatuan unit yang kompleks dari perusahaan pertanian (farm firm), rumahtangga pekerja
dan rumahtangga konsumen (the laborer’s household and consumer’s household) dengan
prinsip perilaku yang memaksimalkan utilitas. Produktivitas pertanian sangat ditentukan
oleh keberadaan RTP dan lingkungan sekitarnya. Secara spesifik, RTP merupakan satu
unit kelembagaan yang setiap saat memutuskan produksi pertanian, konsumsi, dan
reproduksi. Pola perilaku RTP mempunyai karakteristik semikomersial, sebagian hasil
produksi dijual ke pasar dan sebagian dikonsumsi rumahtangga sendiri, membayar atau
membeli sebagian input seperti pupuk, obat-obatan, dan sewa tenaga kerja. Tetapi juga
dapat menjual atau mempergunakan input pertanian milik keluarga sendiri.
3.2 Konsep Resiliensi
Menurut Adger (2000), resiliensi merupakan kebalikan dari kerentanan
(vurnerability), dimana kedua konsep tersebut laksana dua sisi mata uang. Konsep
resiliensi merupakan konsep yang luas, didalamnya termasuk kapasitas dan kemampuan
merespon dalam situasi krisis,konflik,darurat. Resiliensi merupakan kemampuan untuk
bertahan dan kembali ke keadaan semula pada saat terjadi bencana. Resiliensi merupakan
proses yang dinamis mencakup adaptasi yang positif saat rerjadi bencana. Resiliensi pada
saat bencana adalah kemampuan untuk mencegah atau melindungi serangan dan ancaman
yang memiliki banyak resiko dan kejadian. Resiliensi termasuk dalam sistem penguatan,
membangun pertahanan, dan mengimplementasikan back up system, dan pengurangan
kerugian (James et al. 2006 dalam Praptiwi 2009)
Palmer (1997) dalam Praptiwi (2009) mendeskrispsikan empat tipe resiliensi, yaitu:
1. Anomic survival; orang atau keluarga yang dapat bertahan dari gangguan
36
2. Regenerative resilience; dapat melengkapi usaha untuk mengembangkan
kompetnsi dari mekanisme coping
3. Adaptive resilience; periode yang relatif berlanjut dari pelaksanaan dan strategi
coping
4. Flourishing resilience; penerapan yang luas dari perilaku dan strategi coping
Michalski & Watson dalam Praptiwi (2009) memaparkan berbagai karakteristik
rumahtangga yang memiliki resiliensi, yakni:
1. Kompeten dalam menyelesaikan masalah dan kemampuan dalam mengambil
keputusan
2. Adanya pembagian tugas dalam rumahtangga
3. Fleksibilitas dan kemampuan adaptasi untuk mencapai tujuan
4. Kemampuan komunikasi yang baik
5. Mempunyai hubungan yang konsisten dengan sesama.
3.3 Sumber Pendapatan Rumahtangga
Fitur penting dalam defenisi mata pencaharian ini adalah untuk mengarahkan
perhatian hubungan antara aset dan dimiliki orang-orang pilihan dalam praktek untuk
mengejar kegiatan alternative yang dapat menghasilkan tingkat pendapatan yang
diperlukan untuk kelangsungan hidup. Mata pencaharian terdiri dari aset (alam, fisik,
manusia, keuangan dan sosial modal), kegiatan, dan akses ini (dimediasi oleh lembaga
dan hubungan sosial) yang bersama-sama menentukan hidup yang diperoleh oleh individu
atau rumahtangga.
Menurut Ellis (2000), pendapatan rumahtangga dibagi menjadi tiga kategori.
Pertama, pendapatan pertanian (on farm) yakni pendapatan yang diperoleh dari pertanian
yang diperhitungkan sendiri seperti lahan milik sendiri atau lahan yang diperoleh melalui
pembelian tunai atau bagi hasil. Kedua, pedapatan (off farm), yakni pendapatan yang
berupa upah tenaga kerja pertanian termasuk upah dalam bentuk pemberian barang
seperti padi dan upah kerja yang lain. Ketiga, pendapatan non pertanian (Non Farm),
yakni pendapatan yang berasal dari luar kegiatan pertanian yang dibagi menjadi enam
kategori yaitu (1) upah tenaga kerja pedesaan bukan dari pertanian; (2) usaha sendiri di
luar kegiatan pertanian atau pendapatan bisnis; (3) pendapatan dari hak miliki (misal:
sewa); (4) kiriman dari buruh migran yang pergi ke kota; (5) transfer dari urban yang lain
seperti pendapatan pensiunan dan (6) kiriman dari buruh migran yang pergi ke luar
negeri.
Ellis (2000) mengatankan bahwa terdapat lima kategori modal utama sebagai
basis nafkah yaitu sebagai berikut:
1. Modal alam mengacu pada sumberdaya alam (tanah, air, pohon) yang
menghasilkan produk yang digunakan oleh populasi manusia untuk kelangsungan
hidup mereka.
2. Modal fisik mengacu pada aset dibawa untuk mengeksistensikan proses produksi
ekonomi.
3. Modal manusia mengacu pada tingkat pendidikan dan status kesehatan individu
dan populasi.
4. Modal finansial mengacu pada stok uang tunai yang dapat diakses untuk membeli
baik barang produksi atau konsumsi, dan akses pada kredit, dan
37
5. Modal sosial mengacu pada jaringan sosial dan asosiasi di mana orang
berpartisipasi, dan mereka dapat memperoleh dukungan yang memberikan
kontribusi untuk mata pencaharian mereka.
Ellis (2000) mengelompokkan pendapatan menjadi pendapatan uang (in cash)
atau bentuk kontribusi lain (in kind) untuk kesejahteraan material individu atau keluarga
yang diperoleh dari berbagai kegiatan. Bentuk pendapatan tunai meliputi penjualan
tanaman atau ternak, gaji atau upah, sewa dan kiriman uang (remittance). Pendapatan
dalam bentuk lain mengacu pada konsumsi produk tanaman sendiri, pembayaran dalam
bentuk barang, dan transfer atau pertukaran barang konsumsi antara rumahtangga dalam
komunitas desa atau antara rumahtangga dengan desa dan kota.
Upaya dalam mempertahankan kelangsungan hidup, rumahtangga petani tidak
hanya menerapkan salah satu strategi nafkah tetapi dengan mengkombinasikan dari
berbagai bentuk strategi nafkah. Masitoh (2005) mengatakan bahwa terdapat enam bentuk
strategi nafkah yang dilakukan rumahtangga petani yaitu sebagai berikut:
1. Strategi waktu (pola musiman), strategi ini dilakukan dengan memanfaatkan saatsaat tertentu atau peristiwa tertentu yang terjadi.
2. Strategi alokasi sumberdaya manusia (tenaga kerja), strategi ini dilakukan dengan
memanfaatkan seluruh tenaga kerja yang dimilikinya untuk melakukan pekerjaan
sesuai dengan kemampuan masing-masing.
3. Strategi intensifikasi pertanian, strategi ini dilakukan dengan memanfaatkan lahan
pertanian secara maksimal.
4. Strategi spasial, strategi ini dilakukan dengan berbasiskan rekayasa sumberdaya
yang dilakukan dalam rangka peningkatan pendapatan keluarga guna
mempertahankan kelangsungan hidup rumahtangga.
5. Strategi pola nafkah ganda, strategi ini dilakukan dengan cara
menganekaragamkan nafkah, dan
6. Strategi berbasiskan modal sosial, strategi ini dilakukan dengan memanfaatkan
kelembagaan kesejahteraan asli dan pola hubungan produksi.
3.4 Strategi Nafkah Rumahtangga
Strategi nafkah (livelihood strategy) adalah seperangkat pilihan tindakan dari
berbagai alternatif yang ada dengan memanfaatkan berbagai sumberdaya (baik
sumberdaya berupa barang atau kegiatana ekonomi, maupun dengan memanfaatkan
modal sosial) untuk dapat memenuhi kebutuhan guna mempertahankan keberlangsungan
hidup. Ellis (2000) mengatakan bahwa nafkah mengarah kepada perhatian hubungan
antara aset dan pilihan orang untuk kegiatan alternatif yang dapat menghasilkan tingkat
pendapatan untuk bertahan hidup, dimana sebuahnafkah terdiri dari aset (alam, fisik,
manusia, modal keuangan, dan sosial) kegiantan dan akses (dimediasi oleh lembaga dan
hubungan sosial) yang bersama-sama menentukan hidup individu atau rumahtangga.
Strategi nafkah dilakukan melalui pola jaringan keamanan sosial berlapis dilakukan untuk
menghadapi beberapa kemungkinan buruk yang menimpa individu atau rumahtangga
yaitu menyusun formasi keamanan sosial sebagai berikut: keamanan sosial berbasis
keluarga, keamanan sosial berbasis pertemanan, keamanan sosial berbasis patron-klien,
38
keamanan sosial berbasis kelembagaan lokal, dan keamanan sosial berbasis pertetanggaan
Iqbal (2004) dalam Prasetya (2013).
Chambers dan Conway (1992) dalam Ellis (2000) membagi strategi nafkah
rumahtangga kedalam tiga tahap yaitu despertion, vulnerability, dan independence.
Masing-masing tahap tersebut memiliki prioritas pemenuhan kebutuhan yang berbeda
pula. Tahap pertama yaitu Despertion, tujuannya adalah bertahan hidup (survival), cara
yang ditempuh adalah dengan menjadi buruh lepas, memanfaatkan common proverty,
migrasi musiman, dan meminjam dari patron. Tahap kedua yaitu Vulnerability, jaminan
keamanan adalah tujuan utamanya, diperoleh dengan mengembangkan aset,
menggadaikan aset, dan berhutang. Tahap ketiga yaitu Independence, kehormatan diri,
misalnya berusaha membebaskan diri dari status klien dalam hubungan patron-klien,
melunasi hutan, menabung dan membeli atau mengembangkan aset yang mereka miliki.
Scoones (1998) mengatakan bahwa dalam penerapan strategi nafkah,
rumahtangga petani memanfaaatkan berbagai sumberdaya yang dimiliki dalam upaya
untuk mempertahankan hidup. Strategi nafkah (livelihood strategy) diklasifikasikan
berdasarkan tiga kategori, yaitu (1) rekayasa sumber nafkah pertanian, yang dilakukan
dengan memanfaatkan sektor pertanian secara efektif dan efisien baik melalui
penambahan input eksternal seperti teknologi dan tenaga kerja (intensifikasi), maupun
dengan memperluas lahan garapan (ekstensifikasi); (2) pola nafkah ganda (diversifikasi),
yang dilakukan dengan menerapkan keanekaragaman pola nafkah dengan cara pekerjaan
lain selain pertanian untuk meningkatkan pendapatan atau dengan mengerahkan tenaga
kerja keluarga (ayah, ibu, dan anak) untuk ikut bekerja, selain pertanian, dan memperoleh
pendapatan; dan (3) rekayasa spasial (migrasi), merupakan usaha yang dilakukan dengan
melakukan mobilitas ke daerah lain di luar desanya, baik secara permanen maupun
sirkuler untuk memperoleh pendapatan tambahan. White (1990) dalam Prasetya (2013)
mengatakan bahwa dibedakan rumahtangga petani kedalam tiga kelompok dengan
strategi nafkah yang berbeda. Pertama, rumahtangga yang mengusahakan tanah pertanian
luas, yang menguasai surplus produk pertanian diatas kebutuhan hidup mereka. Surplus
ini seringkali dimanfaatkan untuk membiayai pekerjaan di luar sektor non-pertanian,
dengan imbalan penghasilan yang relatif tinggi pula. Pada golongan pertama, strategi
nafkah yang mereka terapkan adalah strategi akumulasi dimana hasil pertaniannya
mampu diinvestasikan kembali baik pada sektor pertanian maupun non-pertanian. Kedua,
rumahtangga usaha tani sedang (usahatani hanya mampu memenuhi kebutuhan
subsisten). Mereka biasanya bekerja pada sektor non-pertanian dalam upaya melindungi
diri dari gagal panen atau memberikan sumber pendapatan yang berkelanjutan mengingat
usaha pertanian bersifat musiman. Strategi mereka ini dapat disebut sebagai strategi
konsolidasi. Ketiga, rumahtangga usaha tani gurem atau tidak bertanah. Mereka bekerja
dari usaha tani ataupun buruh tani, dimana penghasilannya tidak dapat mencukupi
kebutuhan dasar. Rumahtangga ini akan mengalokasikan sebagian dari tenaga kerja
mereka tanpa modal, dengan imbalan yang rendah kedalam kegiatan luar pertanian.
Rumahtangga golongan ketiga ini menerapkan strategi bertahan hidup (survival strategy).
Sistem kehidupan (livelihood system) keluarga petani pada setiap lapisan atau
strata sosial ekonomi akan berbeda. Pada keluarga petani lapisan bawah petani gurem
(miskin) penghasilan dari usahatani dan buruk tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan
39
hidup, mereka akan mengalokasikan tenaga kerja ke sektor non pertanian sebagai strategi
bertahan hidup. Dalam Ellis (2000) pada konsep segilima pentagon, ada lima tipe modal
yang dapat dimiliki atau dikuasai oleh keluarga untuk pencapaian sistem kehidupannya
yaitu modal manusia, modal fisik, modal finansial, modal alam, dan modal sosial. Konsep
ini menjadi aset utama bagi orang miskin dalam kehidupannya. Kelima modal ini perlu
untuk dikelola secara berkelanjutan, agar faktor-faktor yang mempengaruhi kehidupan,
interaksi antara faktor, serta keberlanjutan untuk menyambung hidup. Rumahtangga
petani tak bertanah (miskin) umumnya menerapkan strategi bertahan hidup (survival
strategi).
Modal Manusia
Modal Sosial
Modal Fisik
Modal Alamiah
Modal Finansial
Gambar 1. Konsep segilima pentagon (modal) Ellis (2000)
Gambar 1. Untuk mempermudah memahami seberapa besar akses keluarga dari
setiap tipologi aktivitas nafkah terhadap setiap jenis modal, kami berusaha
memvisualisasi grafik pentagon dalam dua dimensi, yaitu (1) Tanda negatif (arah panah
mengarah ke dalam) di dalam komponen setiap modal yang menjadi sumber menandakan
masalah yang perlu penanganan, (2) Tanda positif (arah panah mengarah ke luar)
menunjukan modal yang dapat dikembangkan lebih lanjut. Perbandingan antara tanda
plus dan minus akan menentukan arah panah yang berada dalam pentagon. Bila tanda
minus lebih banyak dari pada tanda plus, maka panah dalam pentagon akan mengarah ke
dalam, begitupun sebaliknya.
3.5 Kemiskinan
Badan Pusat Statistik (BPS) mendefenisikan kemiskinan sebagai ketidakmampuan
memenuhi kebutuhan dasar untuk kehidupan yang layak (kebutuhan dasar makanan
maupun kebutuhan dasar bukan makanan). Lebih lanjut Urip (2008) menyatakan bahwa
dalam menggolongkan penduduk ke dalam miskin atau tidak miskin, BPS
membandingkan tingkat konsumsi penduduk dengan garis kemiskinan atau jumlah rupiah
konsumsi orang per bulan.
Urip (2008) menjelaskan bahwa kemiskinan adalah kondisi terjadinya kekurangan
pada taraf hidup manusia secara fisik (kebutuhan dasar materi dan biologis termasuk
kekurangan nutrisi, kesehatan, pendidikan, dan perumahan) serta sosial (risiko kehidupan,
kondisi ketergantungan, ketidakberdayaan, dan kepercayaan diri yang kurang).
40
Chambers (1996) menyatakan bahwa kemiskinan (poverty) adalah konsep
integrasi dari lima dimensi yaitu (1) kemiskinan (proper); (2) ketidakberdayaan
(powerless); (3) kerentanan menghadapi situasi darurat (state of emergency); (4)
ketergantungan (dependence); dan (5) ketersaingan (isolation) baik secara geografis
maupun sosiologis.
Tingkat kemiskinan merupakan suatu yang dapat diukur sehingga munculah garis
kemiskinan. Terdapat beberapa konsep atau pendekatan yang dapat digunakan dalam
menghitung angka kemiskinan, diantaranya konsep kebutuhan dasar (the concept of
minimum needs) dan konsep satuan pengukuran (unit measure).
Konsep kebutuhan dasar diadopsi oleh BPS dan menjadi standar penentuan angka
kemiskinan di Indonesia. BPS menggunakan suatu garis kemiskinan yang dinyatakan
dalam rupiah untuk membedakan antara penduduk miskin dan bukan penduduk miskin.
Nilai rupiah tersebut ditentukan berdasarkan nilai yang dibutuhkan untuk memenuhi
kebutuhan minimum makanan dan bukan makanan. Kebutuhan makanan minimum
makanan adalah besarnya nilai rupiah yang dikeluarkan untuk dapat memenuhi kebutuhan
minimum energi sebesar 2100 kalori per hari, sedangkan kriteria kebutuhan minimum
bukan makan adalah nilai rupiah yang dikeluarkan untuk dapat memenuhi kebutuhan
lainnya selain makanan misalnya perumahan, pakaian, pendidikan, kesehatan, dan
sebagainya. Urip (2008).
Sementara itu, konsep satuan pengukuran mengacu pada penjelasan dalam teori
ekonomi bahwa kemampuan seseorang untuk memenuhi barang dan jasa tercermin dari
daya beli (purchasing power) dan satuan mata uang merupakan pendekatan yang paling
efektif untuk mengukur daya beli. Konsep tersebut di adopsi oleh World Bank untuk
menjadi standar kemiskinan, dimana penduduk miskin adalah mereka yang
berpenghasilan dibawah $2 per hari.
41
BAB IV
KESIMPULAN
4.1 Hasil Rangkuman dan Pembahasan
Pada era globalisasi ini menuntut persaingan yang harus dihadapi oleh setiap
individu bahkan sampai dengan rumahtangga, yang menuntut setiap individu sebagai
aktor dalam mencari penghidupan harus mampu meningkatkan kualitas dalam dirinya.
Sumber nafkah merupakan suatu aset sumberdaya yang dimiliki oleh rumahtangga untuk
mencapai tujuan nafkah rumahtangga. Rumahtangga tidak tergantung hanya pada satu
unit pekerjaan tertentu, dalam jangka waktu tertentu, dan tidak ada satu sumber nafkah
yang dapat memenuhi semua kebutuhan rumahtangga.
Struktur pendapatan adalah suatu komposisi pendapatan rumahtangga petani dari
berbagai aktivitas nafkah yang dilakukan oleh seluruh anggota rumahtangga. Sumber
nafkah rumahtangga dapat dibedakan menjadi tiga kategori. Pertama, sumber nafkah
yang berasal pertanian (on farm) pendapatan yang diperoleh dari pertanian. Kedua,
sumber nafkah (off farm) pendapatan yang berupa upah tenaga kerja pertanian. Ketiga,
sumber nafkah (non farm) pendapatan yang berasal dari luar kegiatan pertanian.
Sedangkan, strategi nafkah merupakan seperangkat pilihan tindakan dari berbagai
alternative yang ada dengan memanfaatkan berbagai sumberdaya untuk dapat memenuhi
kebutuhan guna mempertahankan keberlangsungan hidup.
Hutan merupakan suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi
sumberdaya alam hayati yang didominasi oleh pepohonan dalam persekutuan alam
lingkungannya yang satu dengan yang lainnya tidak dapat dipisahkan. Dengan berbagai
manfaat yang ada dalam hutan, rumahtangga petani yang ada dikawasan hutan memiliki
kesempatan dalam memperoleh manfaat yang optimal bagi kesejahteraan rumahtangga
petani.
Namun, sebagai suatu usaha dalam mempertahankan keberlangsungan hidup
struktur dan strategi nafkah rumahtangga ini memiliki banyak kendala yaitu seperti
pemilikan lahan, penguasaan lahan, dan pengusahaan lahan. Pertama, pemilikan lahan
menunjukan kepada penguasaan formal. Kedua, penguasaan menunjuk kepada
penguasaan efektif. Misalnya, jika sebidang tanah disewakan kepada orang lain maka
orang lain itulah secara efektif menguasainya. Ketiga, pengusahaan menunjuk kepada
bagaimana cara sebidang tanah diusahakan secara produktif. Dengan adanya beberapa
kendala ini kita dapat melihat seperti apa struktur nafkah rumahtangga petani dan
beragamnya strategi nafkah rumahtangga petani di kawasan hutan agar tetap bertahan
hidup. Resiliensi merupakan kemampuan untuk bertahan dan kembali ke keadaan semula
pada saat terjadi bencana. Resiliensi merupakan proses yang dinamis mencakup adaptasi
yang positif saat rerjadi bencana. Resiliensi pada saat bencana adalah kemampuan untuk
mencegah atau melindungi serangan dan ancaman yang memiliki banyak resiko dan
kejadian.
4.2 Pertanyaan Penelitian
Berdasarkan rangkuman, pembahasan, dan simpulan yang telah dibuat, maka
dapat dirumuskan pertanyaan penelitian, antara lain:
42
1. Bagaimana bentuk penguasaan aset modal rumahtangga petani di kawasan hutan?
2. Bagaimana penerapan strategi nafkah rumahtangga petani di kawasan hutan?
3. Seberapa besar pengaruh resiliensi terhadap struktur dan strategi rumahtangga
petani di kawasan hutan?
4.3 Kerangka Pemikiran
Rumahtangga
Petani
Kerentanan
(Vulnerability):
1. Bencana Alam
Strategi Nafkah:
1. Rekayasa
sumber nafkah
pertanian
2. Pola nafkah
ganda
3. Rekayasa
Spasial (Migrasi)
Livelihood Asset:
1.
2.
3.
4.
5.
Modal Manusia
Modal Alamiah
Modal Fisik
Modal Finansial
Model Sosial
Resiliensi
Tingkat Pendapatan:
1. On Farm
2. Off Farm
3. Non Farm
Keterangan:
Hubungan
Rumahtangga petani bisa dipandang sebagai suatu unit ekonomi, yang memiliki
tujuan ingin dipenuhi dari sejumlah sumberdaya yang dimiliki, sebagai unit ekonomi
rumahtangga petani akan memaksimumkan tujuannya, dengan keterbatasan sumberdaya
yang dimiliki.
Usaha dalam pertanian merupakan usaha yang rentan. Hal ini bisa saja di
akibatkan keterbatasan petani terhadap berbagai hal seperti akses terhadap informasi,
teknologi dan sebagainya. Kerentanan pada petani dengan adanya ketergantungan
terhadap alam yang sangat tinggi dalam menggantungkan kehidupannya, sementara alam
memiliki sifat yang tidak dapat diprediksi dan tidak menentu. Usaha yang dilakukan
43
untuk keluar dari permasalahan, petani dapat menerapkan berbagai strategi untuk dapat
tetap bertahan hidup. Beragam strategi dapat diterapkan oleh petani sesuai dengan kondisi
alam dan karakteristiknya. Salah satunya dengan mengelola dan memanfaatkan livelihood
asset berupa modal fisik, alam, finansial, sosial, dan manusia. Dengan tujuan
rumahtangga petani dapat bertahan hidup.
44
45
DAFTAR PUSTAKA
Dipokusumo. B. 2011. Model Partisipatif Perhutanan Sosial Menuju Pengelolaan Hutan
Berkelanjutan. [Disertasi]. Bogor (ID). Institut Pertanian Bogor
Ellis F. 2000. Rural livelihood and Diversity In Developing Countries. United Kingdom.
Oxford
Ellis F dan Freeman HA. 2005. Rural livelihood and Poverty Reduction Policies. London
(UK)
Fridayanti N. 2013. Analisis Struktur dan Strategi Nafkah Rumahtangga Petani Sekitar
Kawasan Hutan Konservasi di Desa Cipeuteuy, Kabupaten Sukabumi. [skripsi].
Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor
Masitoh AD. 2005. Analisis Strategi Rumahtangga Petani Perkebunan Rakyat (Suatu
Kajian Perbandingan: Komunitas Teh Ciguha Jawa Barat dan Komunitas
Petani Perkebunan Tebu Puri Jawa Timur). [Skripsi]. Bogor [ID]: Institut
Pertanian Bogor. 130 hal
Nakajima C. 1986. Subjective Equilibrium Theory of the Farm Household.
Amsterdam Elsevier Science Publisher BV.
Prasetya. AR. 2013. Struktur dan Strategi Nafkah Rumahtangga Petani Peserta Program
Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM). [skripsi]. Bogor (ID): Institut
Pertanian Bogor
Purnomo AM. 2006. Strategi Nafkah Rumahtangga Desa Sekitar Hutan (Studi Kasus
Desa Peserta PHBM di Kabupaten Kuningan, Provinsi Jawa Barat. [tesis]. Bogor
(ID). Institut Pertanian Bogor
Scoones. 1998. Sustainable Rural Livelihoods a Framework for Analysis. IDS
Working Paper 72. Brighton [UK]: Institute for Development Studies.
Tittonell P. 2014. Livelihood Strategies, Resilience, and Transfomability In African
Agroecosystems. Netherland. Wageningen
Urip S. 2008. Perkembangan jumlah penduduk miskin dan factor penyebabnya. Di
dalam: Yusdaja et al., editor. Peran Sektor Pertanian dalam Penanggulangan
Kemiskiskinan. Bogor [ID]: Pusat Ananlisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan
Pertanian.
Wasito. 2012. Strategi Coping Dan Nafkah Serta Dampaknya Terhadap Keberfungsian
Dan Ketahanan Fisik Keluarga Petani Miskin Di Kabupaten Blora. [Disertasi].
Bogor (ID). Institut Pertanian Bogor
Widiyanto. 2009. Strategi Nafkah Rumahtangga Petani Tembakau Di Lereng Gunung
Sumbing. [tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor
Worku A et.all. 2014. Forest Policy and Economics. Germany. Dresden
46
47
RIWAYAT HIDUP
Tomi As’ad Ginanjar dilahirkan di Tasikmalaya pada tanggal 25 Juni 1993 adalah
anak tunggal dari pasangan Drs. H. T. Achmad Boestomi dan Elis Sulaefah, S,Pd.
Pendidikan formal yang pernah dijalani adalah TK Perwari I periode 1998-1999, SDN
Awipari II periode 1999-2005, SMP Negeri 11 Tasikmalaya periode 2005-2008, SMA
Negeri 3 Kota Tasikmalaya periode 2008-2011. Pada tahun 2011, penulis diterima
sebagai salah satu mahasiswa di Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan
Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor melalui jalur SNMPTN
undangan.
Selain aktif dalam perkuliahan, penulis juga aktif mengikuti kegiatan di dalam dan
luar kampus. Penulis juga aktif sebagai pengurus Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM)
Fakultas Ekologi Manusia (FEMA). Divisi Pengembangan Budaya, Olahraga, dan Seni.
pada masa kepengurusan 2012/2013. Penulis juga aktif dalam berbagai kegiatan
kepanitiaan dalam beberapa event di IPB antara lain dalam Masa Perkenalan Fakultas dan
Masa Perkenalan Departemen SKPM pada tahun 2013, kepanitiaan Ecology Sport and
Art ke 6, Familarity Night 2013, Connection 2014 yang diadakan oleh Himasiera dan
BEM FEMA.
Download