Laporan Studi Pustaka (KPM 403) ANALISIS STRUKTUR DAN STRATEGI NAFKAH RUMAHTANGGA PETANI DI KAWASAN HUTAN OLEH: TOMI AS’AD GINANJAR I34110093 DOSEN PEMBIMBING Dr Ir Arya Hadi Dharmawan, MSc.Agr DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2014 ii PERNYATAAN Dengan ini saya menyatakan bahwa Studi Pustaka yang berjudul “Analisis Struktur dan Strategi Nafkah Rumahtangga Petani di Kawasan Hutan” benar-benar hasil karya saya sendiri yang belum pernah diajukan sebagai karya ilmiah pada perguruan tinggi atau lembaga manapun, dan tidak mengandung bahan-bahan yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh pihak lain kecuali sebagai bahan rujukan yang dinyatakan dalam naskah. Demikian pernyataan ini saya buat dengan sesungguhnya dan saya bersedia mempertanggungjawabkan pernyataan ini. Bogor, November 2014 Tomi As’ad Ginanjar NIM. I34110093 iii ABSTRAK TOMI AS’AD GINANJAR. Analisis Struktur dan Strategi Nafkah Rumahtangga Petani Di Kawasan Hutan. Dibawah bimbingan Dr. Ir ARYA HADI DHARMAWAN, Msc. Agr. Rumahtangga di kawasan hutan masih menggantungkan kehidupannya pada kegiatan pertanian dan kerentanan dapat terjadi, yamg diakibatkan oleh pengaruh alam. Karena sifat alam yang tidak dapat di prediksi. Strategi nafkah yang dilakukan oleh rumahtangga petani di kawasan hutan ini tidak hanya dari sektor pertanian melainkan juga dari sektor non-pertanian. Dalam penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana rumahtangga petani dapat menghadapi kerentanan yang di akibatkan dari alam. Strategi yang dilakukan oleh rumahtangga petani dengan memanfaatkan dan mengelola kelima aset modal yaitu modal alamiah, modal sosial, modal fisik, modal manusia, dan modal finansial yang sedemikian rupa guna menunjang keberlanjuatan strategi nafkah yang bervariasi agar dapat kembali pada kondisi normal. Oleh karena itu, perlu dikaji bagaimana rumahtangga petani di kawasan hutan dapat bertahan hidup dengan memanfaatkan dan mengelola aset modal, strategi nafkah, yang berpengaruh pada tingkat pendapatan yang berkontribusi bagi rumahtangga untuk dapat kembali pada kondisi normal. Kata kunci: Rumahtangga petani, kerentanan, resiliensi, aset modal, strategi nafkah. ABSTRACT TOMI AS’AD GINANJAR . Structure and Strategy Analysis of Farmer Household Livelihoods in the Forest Zone. Supervised by Dr. Ir ARYA HADI DHARMAWAN, Msc. Agr. Smallholding forests in forest areas still are dependent on agriculture and forest sector, they are economic caused by natural influences that can not be predicted. Livelihood strategies undertaken by the smallholding forests in the forests not only from agriculture but also from the non-agricultural sector. In this study aims to determine how the smallholding forests may face a forest sector that causes of nature. Strategy undertaken by the smallholding forests use and manage capital assets, such as natural capital, social capital, physical capital, human capital, and financial capital, to support the livelihood strategies to return the normal conditions. Therefore, it is necessary to study how the smallholding forests in forest areas can survive by utilizing and managing capital assets and livelihood strategies, which affects the level of income that contribute to the household, so that return to normal conditions. Keywords: Smallholding forests, vulnerability, resilience, capital assets, livelihood strategies. iv ANALISIS STRUKTUR DAN STRATEGI NAFKAH RUMAHTANGGA PETANI DI KAWASAN HUTAN Oleh TOMI AS’AD GINANJAR I34110093 Laporan Studi Pustaka sebagai syarat kelulusan KPM 403 pada Mayor Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat Fakultas Ekologi Manusia Institut Pertanian Bogor DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2014 v LEMBAR PENGESAHAN Dengan ini saya menyatakan bahwa Laporan Studi Pustaka yang disusun oleh: Nama Mahasiswa : Tomi As’ad Ginanjar Nomor Pokok : I34110093 Judul : Analisis Struktur dan Strategi Nafkah Rumahtangga Petani di Kawasan Hutan dapat diterima sebagai syarat kelulusan mata kuliah Studi Pustaka (KPM 403) pada Mayor Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor. Menyetujui, Dosen Pembimbing Dr. Ir Arya Hadi Dharmawan, MSc. Agr. NIP. 19630914 199003 1 002 Mengetahui, Ketua Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat Fakultas Ekologi Manusia Dr. Ir. Siti Amanah, MSc. NIP. 19670903 199212 2 001 Tanggal Pengesahan: _______________ vi PRAKATA Puji dan syukur penulis ucapkan atas ke hadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan laporan Studi Pustaka berjudul “Analisis Struktur dan Strategi Nafkah Rumahtangga Petani di Kawasan Hutan” ini dengan baik. Laporan Studi Pustaka ini ditujukan untuk memenuhi syarat kelulusan MK Studi Pustaka (KPM 403) pada Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor. Ucapan terimakasih penulis sampaikan kepada Bapak Dr. Ir Arya Hadi Dharmawan, Msc.Agr sebagai dosen pembimbing yang telah memberikan saran dan masukan selama proses penulisan hingga penyelesaian laporan studi pustaka ini. Penulis juga menyampaikan hormat dan terimakasih kepada orang tua tercinta Bapak Dr. H. T. Achmad Boestomi (Alm) dan Ibu Elis Sulaefah, S.Pd yang selalu mendoakan dan senantiasa melimpahkan kasih sayangnya kepada penulis. Tidak lupa juga penulis ucapkan terimakasih kepada teman-teman SKPM 48, sahabatsahabat penulis, dan rekan-rekan satu bimbingan yang memberikan masukan, memotivasi, dan mendengarkan keluh kesah penulis. Semoga Laporan Studi Pustaka ini bermanfaat bagi semua pihak. Bogor, November 2014 Tomi As’ad Ginanjar NIM. I34110093 vii DAFTAR ISI PERNYATAAN ..................................................................................... ABSTRAK .............................................................................................. LEMBAR PENGESAHAN .................................................................... PRAKATA .............................................................................................. DAFTAR ISI ........................................................................................... DAFTAR GAMBAR .............................................................................. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang .................................................................................. 1.2 Rumusan Masalah ............................................................................. 1.3 Tujuan Penelitian .............................................................................. 1.4 Kegunaan Penelitian.......................................................................... BAB II RINGKASAN DAN ANALISIS BACAAN Struktur dan Strategi Nafkah Rumahtangga Petani Peserta Program PHBM Di Bogorejo ................................................................................ Analisis Struktur dan Strategi Nafkah Rumahtangga Petani Sekitar Kawasan Hutan Konservasi .................................................................... Strategi Nafkah Rumahtangga Desa Sekitar Hutan ................................ Strategi Nafkah Rumahtangga Petani Tembakau di Gunung Sumbing .. Rural Livelihood and Poverty Reduction Polices ................................... Rural Livelihood an Diversity In Developing Countries ........................ Forest Policy and Economics .................................................................. Livelihood Strategies, Resilience, and Transformability In African Agroecosystem ........................................................................................ Model Partisipatif Perhutanan Sosial Menuju Pengelolaan Hutan Berkelanjutan .......................................................................................... Strategi Coping dan Nafkah Serta Dampaknya Terhadap Keberfungsian dan Ketahanan Fisik Keluarga Petani Miskin di Kabupaten Blora...................................................................................... BAB III RANGKUMAN DAN PEMBAHASAN 3.1 Rumahtangga Petani (RTP)............................................................... 3.2 Konsep Resiliensi .............................................................................. 3.3 Struktur Nafkah ................................................................................. 3.4 Strategi Nafkah Rumahtangga .......................................................... 3.5 Kemiskinan ....................................................................................... BAB IV KESIMPULAN 4.1 Hasil Rangkuman dan Pembahasan .................................................. 4.2 Pertanyaan Penelitian ........................................................................ 4.3 Kerangka Pemikiran .......................................................................... DAFTAR PUSTAKA ............................................................................ RIWAYAT HIDUP ............................................................................... Hal ii iii v vi vii viii 1 2 3 3 5 9 13 16 19 20 22 25 28 31 35 35 36 37 39 41 41 42 45 47 viii DAFTAR GAMBAR Gambar 1. Konsep segilima pentagon (modal) Ellis (2000) ............................ 38 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hutan merupakan suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumberdaya alam hayati yang didominasi oleh pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya yang satu dengan yang lainnya tidak dapat dipisahkan. Keberadaan hutan sebagai bagian dari sebuah ekosistem yang besar memiliki arti dan peran penting dalam menyangga suatu sistem kehidupan. Berbagai manfaat besar dapat diperoleh dari keberadaan hutan melalui fungsinya baik sebagai penyangga sumberdaya bagi manusia dan lingkungan (Suryatmojo, 2004). Hutan memiliki tujuan untuk dapat memperoleh manfaat yang optimal bagi kesejahteraan seluruh masyarakat secara berkeadilan dengan tetap menjaga kelestariannya, dengan didukung undang-undang no 41 tahun 1999 salah satu penyelenggaraan hutan yang bertujuan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat yang berkeadilan dan berkelanjutan dengan mengoptimalkan aneka fungsi produksi untuk mencapai manfaat lingkungan, sosial, budaya, dan ekonomi yang seimbang dan lestari. Pengelolaan hutan meliputi kegiatan tata hutan, penyusunan rencana pengelolaan hutan, pemanfaatan hutan, penggunaan kawasan hutan, rehabilitasi, reklamasi hutan, perlindungan hutan, dan konservasi hutan bertujuan agar dapat bermanfaat bagi masyarakat maka diperlukannya kerjasama antara masyarakat dalam pengelolaan hutan agar tetap lestari maka hutan dapat dibedakan berdasarkan kepemilikannya. Hutan dapat dibedakan menjadi dua yaitu hutan negara dan hutan milik, hutan negara adalah kawasan hutan yang tumbuh di atas lahan yang tidak dibebani hak milik, sedangkan hutan milik atau hutan rakyat adalah hutan yang tumbuh di atas lahan milik rakyat baik secara perorangan maupun bersama-sama atau badan hukum (Departemen Kehutanan, 2012). Mengacu pada (Dharmawan, 2001 dalam Prasetya 2013) menyebutkan bahwa sumber nafkah rumahtangga sangat beragam (multiple source of livelihood) karena rumahtangga tidak tergantung hanya pada satu unit pekerjaan tertentu dalam jangka waktu tertentu dan tidak ada satu sumber nafkah yang dapat memenuhi semua kebutuhan rumahtangga. Sumber nafkah merupakan aset sumberdaya yang dimiliki rumahtangga dalam mencapai tujuan nafkah rumahtangga, maka (Ellis, 2000 dalam Prasetya 2013) sumber nafkah rumahtangga dibedakan menjadi tiga kategori. Pertama, sumber nafkah yang berasal dari pertanian (On farm) pendapatan yang diperoleh dari pertanian. Kedua, sumber nafkah (Off farm) pendapatan yang berupa upah tenaga kerja pertanian. Dan ketiga, sumber nafkah (Non farm) pendapatan yang berasal dari luar kegiatan pertanian. Rumahtangga petani yang dikenal dalam bahasa inggris dengan istilah Farm Household mempunyai pengertian dan karakteristik yaitu suatu unit kelembagaan yang setiap saat mengambil keputusan produksi pertanian, konsumsi, curahan kerja, dan reproduksi (Nakajima, 1986). Pertanian sebagai suatu industri yang memiliki ciri yang dapat diidentifikasi yang diduga memiliki hubungan dengan perilaku dan pemenuhan kebutuhan dasar rumahtangga petani yaitu dari karakteristik, sosial, budaya maupun ekonomi, pendidikan non formal, motivasi berprestasi, orientasi nilai budaya, harapan atau aspirasi, luas pemilikan dan penguasaan lahan, pendapatan rumahtangga, akses 2 informasi, sumber modal dan kepedulian pemimpin formal dan informal dalam penanggulangan kemiskinan. Kemiskinan merupakan salah satu isu penting dalam pelaksanaan pembangunan, bukan hanya Indonesia melainkan hampir di semua Negara di dunia. Pengurangan kemiskinan dan kelaparan ditempatkan sebagai tujuan pertama pembangunan millennium atau Millenium Development Goal (MDGs). Hal ini didasarkan atas kenyataan bahwa kemiskinan merupakan masalah sosial yang krusial dan berdampak luas terhadap berbagai aspek kehidupan masyarakat, bangsa dan negara. Dalam konteks ini kemiskinan sering dikaitkan dengan rendahnya etos kerja atau rajin atau tidaknya seseorang dalam bekerja mengolah sumberdaya alam yang tersedia. Kemiskinan dapat berdampak luas dalam menciptakan kondisi yang yang mengakibatkan salah satu pihak tidak memiliki akses dan tidak dapat memenuhi kebutuhan dasar rumahtangga. Maka dari itu, berdasarkan struktur nafkah rumahtangga petani dan beragamnya strategi nafkah rumahtangga petani di kawasan hutan agar dapat tetap bertahan hidup ini dapat memunculkan hal yang perlu dikaji karena dengan semakin banyaknya pilihan dalam mencari pola penghidupan akan berdampak kepada ketahanan suatu rumahtangga dalam mencukupi kebutuhan dasarnya. 1.2 Rumusan Masalah Kemiskinan merupakan suatu kondisi terjadinya kekurangan pada taraf hidup manusia secara fisik (kebutuhan dasar materi dan biologis termasuk kekurangan nutrisi kesehatan, pendidikan, dan perumahan) serta sosial (resiko kehidupan, kondisi ketergantungan, ketidakberdayaan, dan kepercayaan diri yang kurang) (Urip, 208 dalam Prasetya 2013). Kondisi ini membentuk lingkaran kemiskinan dan jika tidak diputus akan berlangsung secara turun-temurun. Menurut (Dharmawan et.al. 2010 dalam Prasetya 2013) kemiskinan bukan hanya berkaitan dengan pendapatan, tetapi juga mencakup kerentanan dan kerawanan orang atau kelempok orang baik laki-laki maupun perempuan untuk menjadi miskin dan keterbatasan akses masyarakat miskin dalam penentuan kebijakan publik yang berdampak pada kehidupan mereka. Mengacu pada Dharmawan 2001 bahwa sumber nafkah rumahtangga sangat beragam (multiple sourece of livelihood) karena rumahtangga tidak tergantung hanya pada satu unit pekerjaan tertentu dalam jangka waktu tertentu dan tidak ada satu sumber nafkah yang dapat memenuhi semua kebutuhan rumahtangga. Sumberdaya mengacu kepada semua hal yang dapat dimanfaatkan atau tidak oleh rumah tangga, aset juga mengacu kepada semua hal yang dapat dimanfaatkan oleh rumahtangga. Banyaknya alternatif dalam mencari sumber nafkah di kawasan hutan untuk menutupi kebutuhan dasar rumahtangga tetapi masih ada permasalahan yang muncul dimulai dari pertumbuhan penduduk yang meningkat, belum paham dan masih rendahnya pendidikan masyarakat tentang memahami fungsi sumberdaya di kawasan hutan, dan pola adaptasi dengan produksi yang subsisten menyebabkan pendapatan rumahtangga tidak dapat termaksimalkan dengan baik. Maka dari itu, dengan banyaknya alternatif dalam mencari sumber nafkah rumahtangga terdapat hal yang menarik untuk dikaji yang merujuk pada uraian diatas 3 tentang struktur dan strategi rumahtangga petani dikawasan hutan dengan beberapa pertanyaan, sebagai berikut: 1. Bagaimana bentuk penguasaan aset modal rumahtangga petani di kawasan hutan? 2. Bagaimana penerapan strategi nafkah rumahtangga petani di kawasan hutan? 3. Seberapa besar pengaruh resiliensi terhadap struktur dan strategi rumahtangga petani di kawasan hutan? 1.3 Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menjawab permasalahan-permasalahan yang telah dirumuskan sebelumnya, antara lain: 1. Untuk menganalisis bentuk penguasaan aset modal rumahtangga petani di kawasan hutan 2. Untuk menganalisis penerapan strategi nafkah rumahtangga petani di kawasan hutan 3. Untuk menganalisis pengaruh resiliensi struktur dan strategi nafkah rumah tangga petani di kawasan hutan 1.4 Kegunaan Penelitian Berdasarkan tujuan penelitian, maka diharapkan penelitian ini dapat memberikan manfaat sebagai berikut: 1. Bagi akademisi, penelitian ini bisa menjadi proses pembelajaran dalam memahami kejadian atau fenomena sosial khususnya dalam livelihood studies. 2. Bagi masyarkat, penelitian ini diharapkan menjadi wacana dalam menambah pengetahuan bagi masyarakat umum. 4 BAB II RINGKASAN DAN ANALISIS BACAAN 1. Judul : Struktur dan Strategi Nafkah Rumahtangga Petani Peserta Program Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM) di Bogorejo Tahun : 2013 Jenis Pustaka : Skripsi Bentuk Pustaka : Elektronik Nama Penulis : Anandita Rostu Prasetya Nama Editor : Judul Buku : Kota Penerbit dan : Departemen SKPM, Fakultas Ekologi Manusia, Nama Penerbit IPB, Bogor. Nama Jurnal : Repository IPB Volume (edisi): Hal : Alamat URL/doi : http://repository.ipb.ac.id/handle/123456789/66017 Tanggal diunduh : 4 Oktober 2014 Ringkasan Bacaan Rumahtangga petani dapat dipandang sebagai satu kesatuan unit ekonomi, mempunyai tujuan yang ingin dipenuhi dari sejumlah sumberdaya yang dimiliki, kemudian sebagai unit ekonomi rumahtangga, petani akan memaksimumkan tujuannya dengan keterbatasan sumberdaya yang dimiliki. Rumahtangga petani dalam memaksimumkan ekonomi dan kebutuhan hidupnya dilakukan dengan berbagai cara yang tidak hanya memfokuskan pada satu unit pekerjaan tertentu saja, melainkan dengan beragam strategi nafkah yang dilakukan. Strategi nafkah yang dilakukan oleh rumahtangga petani bertujuan untuk memenuhi kebutuhan hidup dan mempertahankan keberlangsungan hidup dengan memperoleh sumber pendapatan yang berasal dari berbagai sektor struktur nafkah. Fakta di lapangan khususnya di kawasan hutan rakyat Wan Abdul Rachman bahwa jumlah anggota yang ditanggung oleh kepala rumahtangga berjumlah satu hingga dua orang. Mayoritas setiap kepala rumahtangga menanggung seorang istri saja atau satu orang istri dan satu anak usia sekolah. Anak perempuan yang sudah dewasa dan menikah ikut tinggal bersama suaminya, sedangkan anak laki-laki yang sudah dewasa pergi keluar desa untuk bekerja atau sudah menikah dan tidak ikut tinggal bersama orang tuanya. Hal ini menyebabkan peran tenaga kerja keluarga yang dapat membantu kegiatan usaha tani keluarga sangat minim. Umumnya dalam kegiatan usahatani, kepala keluarga menggunakan tenaga kerja upah (buruh tani) untuk membantu mengerjakan usahatani di lahan miliknya. Program PHBM di kawasan Tahura Wan Abdul Rachman perlu memperhatikan dan memiliki prinsip seperti pendekatan kelompok, keserasian, kepemimpinan dari mereka sendiri, pendekatan kemitraan, swadaya, belajar sambil bekerja, pendekatan keluarga, dan dari masyarakat untuk masyarakat. Keberhasilan program juga dipengaruhi oleh peran dari pemerintah dan masyarakat. Program PHBM di kawasan Tahura Wan Abdul Rachman perlu memperhatikan dan memiliki prinsip 6 seperti pendekatan kelompok, keserasian, kepemimpinan dari mereka sendiri, pendekatan kemitraan, swadaya, belajar sambil bekerja, pendekatan keluarga, dan dari masyarakat untuk masyarakat. Keberhasilan program juga dipengaruhi oleh peran dari pemerintah dan masyarakat, karena keduanya saling berkolaborasi untuk menjalankan fungsi dan peranannya masing-masing. Fungsi pemerintah sebagai kontrol untuk tetap menjaga kondisi Tahura Wan Abdul Rachman agar hutan memiliki fungsi ekologi melalui program PHBM. Peran masyarakat memanfaatkan dan mengakses hutan secara ekologis dengan menanam tanaman bertajuk tinggi, tetapi bernilai ekonomis serta menjaga fungsi hutan agar ketersediaan air yang berkelanjutan. Pengelolaan sumberdaya hutan secara manajeman kolaboratif merupakan suatu langkah perubahan status Tahura Wan Abdul Rachman yang sebelumnya berstatus hutan lindung menjadi taman hutan raya. Manajemen kolaboratif melalui program PHBM diinisiatif oleh pemerintah agar hutannya lestari secara ekologis tetapi masyarakatnya sejahtera secara ekonomi. Bentuk-bentuk strategi nafkah dari kasus rumahtangga petani di Dusun III, Desa Bogorejo yang diamati terdapat empat bentuk strategi nafkah. Pertama, strategi ekstensifikasi lahan pertanian dilakukan dengan cara menambahdan memperluas areal lahan garapan pertanian ke lahan hutan ke dalam kawasan Tahura Wan Abdul Rachman melalui program PHBM. Kedua, pola nafkah ganda dilakukan dengan cara mencari sumber pendapatan lain sebagai alternatif, diantaranya adalah bekerja di sektor off-farm sebagai buruh tani dan buruh nyadap karet di PTPN VII serta bekerja di sektor non pertanian sebagai buruh bangunan, berdagang warung, pegawai negeri (PNS), supir, satpam, usaha salan, dagang rongsokan dan kontrakkan rumah. Ketiga, strategi bermitra dengan Tahura Wan Abdul Rachman dilakukan dengan cara diberikan izin akses menggarap lahan di dalam kawasan Tahura Wan Abdul Rachman melalui program PHBM oleh pihak UPTD Tahura Wan Abdul Rachman. Bermitra disini rumahtangga petani diikutsertakan dan dilibatkan dalam setiap tahapan mulai dari perencanaan sampai evaluasi secara partisipatif dan sesuai dengan tata aturan yang berlaku. Keempat, strategi migrasi dilakukan dengan cara mobilisasi ke daerah lain di luar desanya untuk hidup menetap maupun sementara dengan tujuan agar memperoleh tambahan pendapatan di luar desa. Pekerjaan yang dilakukan dengan strategi migrasi adalah satpam, buruh bangunan, dan supir truk. Struktur pendapatan adalah komposisi pendapatan rumahtangga petani dari berbagai aktifitas nafkah yang dilakukan oleh seluruh anggota rumahtangga. Pendapatan yang diperoleh rumahtangga petani di Dusun III, Desa Bogorejo berasal dari sektor PHBM (hutan rakyat), sektor pertanian, dan sektor non pertanian. Ketiga sektor tersebut saling melengkapi untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari setiap rumahtangga petani. Rumahtangga petani dengan lapisan pendapatan atas, sektor yang memberikan sumbangan besar dan persentase terhadap struktur nafkah rumahtangga petani adalah sektor pertanian dengan pendapatan pertahun sebesar Rp. 26 812 200 dan persentase sebesar 62,6 persen. Pada rumahtangga petani lapisan pendapatan menengah, sektor yang memberikan sumbangan terbesar dan persentase terhadap struktur nafkah rumahtangga petani adalah sektor pertanian, dengan pendapatan pertahun sebesar Rp 7 647 421 dan persentase sebesar 45,3 persen. Kemudian pada rumahtangga petani dengan lapis 7 pendapatan bawah, sektor yang memberikan sumbangan terbesar dan persentase terhadap struktur nafkah rumahtangga petani adalah sektor pertanian, dengan pendapatan pertahun sebesar Rp 2 467 363 dan persentase 64,7 persen. Hal ini dikarenakan pendapatan yang diperoleh dari sektor petanian memiliki banyak jenis hasil yang didapatkan, mulai dari tanaman perkebunan, tanaman pertanian, dari hewan ternak, dengan bekerja sebagai buruh tani di lah milik warga yang lebih luas. Sektor pertanian berpengaruh besar dalam memberikan sumbangan pendapatan dan persentase terhadap struktur nafkah rumahtangga petani di Dusun III, Desa Bogorejo dibandingkan dengan sektor PHBM (hutan rakyat) dan sektor nonpertanian. Sumber pendapatan dari sektor PHBM tidaklah terlalu besar memberikan sumbangan pendapatan dan persentase terhadap struktur nafkah rumahtangga petani. Hal ini dikarenakan pendapatan yang diperoleh dari sektor PHBM hanya memliki satu jenis hasil yang didapatakan dari menjual hasil panen tanaman MPTS/bertajuk tinggi, seperti karet, kemiri, petai, dan durian. Meski demikian, sumber pendapatan dari sektor PHBM (hutan rakyat) telah membantu meningkatkan sumbangan pendapatan dan persentase terhadap struktur nafkah rumahtangga petani dalam memenuhi kebutuhan hidup seharihari serta membiayai modal usahatani. Sumber pendapatan dari sektor non-pertanian hanya memberikan sumbangan pendapatan dan persentase terhadap struktur nafkah rumahtangga petani pada lapisan pendapatan atas dan menengah saja. Sedangkan, pada lapisan pendapatan bawah tidak sedikit pun memberikan sumbangan pendapatan dan persentase terhadap struktur nafkah rumahtangga petani. Hal ini dikarenakan terdapat beberapa rumahtangga petani yang berpendidikan rendah serta kurangnya keahlian sumberdaya manusia untuk mengakses pekerjaan di sektor nonpertanian. Selain itu, terdapat beberapa rumahtangga petani yang sudah tercukupi pendapatannya dari sektor PHBM (hutan rakyat) dan sektor pertanian, sehingga tidak perlu mencari alternative pekerjaan dari sektor non-pertanian. Analisis Bacaan Rumahtangga Petani Rumahtangga petani dapat dipandang sebagai kesatuan unit ekonomi, mempunyai tujuan yang ingin dipenuhi dari sejumlah sumberdaya yang dimiliki, kemudian sebagai unit ekonomi rumahtangga petani akan memaksimumkan tujuannya dengan keterbatasan sumberdaya yang dimiliki. Strategi nafkah yang dilakukan memiliki tujuan untuk 8 memenuhi kebutuhan hidup dan mempertahankan keberlangsungan hidup, dengan memperoleh sumbe pendapatan yang berasal dari berbagai sektor struktur nafkah. Dalam kasus bacaan ini mayoritas setiap kepala rumahtangga menanggung seorang istri saja atau satu orang istri dan satu anak usia sekolah. Hal ini menyebabkan peran tenaga kerja keluarga yang dapat membantu kegaitan usaha tani keluarga. Bentuk strategi nafkah dari kasus rumahtangga petani di Dusun III, Desa Bogorejo yang diamati terdapat empat bentuk strategi nafkah. Pertama, melakukan strategi ekstensifikasi lahan pertanian. Kedua, pola nafkah ganda dilakukan dengan cara mencari sumber pendapatan lain sebagai alternatif. Ketiga, strategi bermitra dengan Tahura Wan Abdul Rachman dilakukan dengan cara diberikan izin akses menggarap lahan di dalam kawasan Tahura Wan Abdul Rachman melalui program PHBM. Keempat, strategi migrasi dilakukan dengan cara mobilisasi ke daerah lain di luar desanya untuk hidup menetap maupun sementara dengan tujuan memperoleh pendapatan. Meski demikian, sumber pendapatan dari sektor PHBM telah membantu meningkatkan sumbangan pendapatan dan persentase terhadap struktur nafkah rumahtangga petani dalam memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. 9 2. Judul : Analisis Struktur dan Strategi Nafkah Rumahtangga Petani Sekitar Kawasan Hutan Konservasi di Desa Cipeuteuy, Kabupaten Sukabumi Tahun : 2013 Jenis Pustaka : Skripsi Bentuk Pustaka : Elektronik Nama Penulis : Novia Fridayanti Nama Editor : Judul Buku : Kota Penerbit dan : Departemen SKPM, Fakultas Ekologi Manusia, Nama Penerbit IPB, Bogor. Nama Jurnal : Repository IPB Volume (edisi): Hal : Alamat URL/doi : http://repository.ipb.ac.id/handle/123456789/63159 Tanggal diunduh : 4 Oktober 2014 Ringkasan Bacaan Akibat adanya perluasan kawasan hutan konservasi seperti yang terjadi pada kasus Taman Nasional Ginung Halimun Salak tentu mempengaruhi berbagai aspek kehidupan masyarakat, terutama masyarakat yang menggantungkan hidupnya pada sumberdaya hutan. Perluasan kawasan TNHGS ini mengakibatkan perubahan struktur agraria. Muncul ketidakjelasan status lahan, yang awalnya dimanfaatkan oleh masyarakat berubah menjadi zona konservasi dan dilindungi. Hak masyarakat yang selama ini mengelola dan memanfaatkan lahan tersebut menjadi buram bahkan hilang sehingga masyarakat menjadi kehilangan lahan garapannya. Perluasan ini juga membatasi akses dan kontrol masyarakat terhadap lahan. Meski lagi-lagi awalnya masyarakat bebas mengakses dan mengontrol pemanfaatan sumberdaya lahan dan hutan, namun kemudia muncul aturan-aturan yang langsung mengekang kebebasan masyarakat. Mata pencaharian masyarakat di Desa Cipeuteuy memang masih bergantung pada pertanian. Lebih dari 50 persen warganya berprofesi sebagai petani dan buruh tani. Berdasarkan karakteristik sistem pertaniannya, pertanian yang dilakukan oleh petani di desa ini terbagi jadi dua jenis yaitu petani sayur dan petani padi. Petani sayur beroreintasi pada produksi yang artinya memaksimalkan hasil produksi karena tujuan ekonomi. Hasil panen sayuran dijual untuk memperoleh pendapatan guna memenuhi kebutuhan seharihari. Berbeda dengan hal tersebut, petani padi justu berorientasi pada konsumsi karena hasil panen padi digunakan untuk kebuthan sehari-hari, hasil panen padi tidak dijual melainkan untuk dikonsumsi sendiri oleh rumahtangga petani yang menanamnya. Tentunya apabila musim sedang normal, bukan pada musim paceklik. Sistem pertanian warga sendiri masih bergantung pada keberadaan sumberdaya dari kawasan hutan TNHGS. Lahan yang dipergunakan oleh mayoritas petani berda di dalam kawasan TNHGS melalui sistem “pinjam-pakai” meskipun ada juga yang memiliki lahan sendiri. Begitupun untuk irigasi diambil dari mata air dalam kawasan hutan, akses permodalan dan kelembagaan pertanian telah ada untuk membantu kelompok-kelompok tani, namun fungsinya masih belum dimanfaatkan dengan maksimal. Pengelolaan hutan TNGHS pada masa sebelum ditunjuk menjadi areal konservasi berada di tangan Perum Perhutani. Pada masa itu, masyarakat masih 10 memiliki kebebasan untuk mengakses sumberdaya dalam hutan. Namun kebebasan akses yang diperoleh masyarakat dalam memanfaatkan kawasan hutan tidak diikuti dengan adanya hak yang sah atas penguasaan atas lahan tersebut. Artinya, masyarakat tidak memiliki kekuatan untuk merebut kembali lahan garapan mereka jika digusur oleh Perhutani selaku pengelola lahan hutan. Bisa dikatakan, masyarakat hanya memiliki hak pemanfaatan terhadap lahan tersebut namun tidak secara sah memiliki. Meskipun terdapat zona-zona yang sebenarnya bisa dimanfaatkan oleh masyarakat, namun lahan-lahan garapan masyarakat sebelum berstatus taman nasional telah memasuki zona inti atau zona rimba. Tentu saja status penguasaan lahan kawasan TNGHS yang tidak jelas ini menyebabkan ketidakamanan petani dalam menggunakan lahan tersebut. Apalagi mayoritas lahan yang digunakan oleh petani di desa ini adalah lahan pinjam pakai dari pihak TNGHS dan eks HGU PT. Intan Hepta. Kedua jenis lahan tersebut merupakan lahan milik negara. Ketergantungan terhadap lahan milik Negara ini tentu mempengaruhi cara berstrategi petani dalam mencari nafkah bagi rumahtangganya. Hasil penelitian memperlihatkan bahwa sektor non-pertanian telah menjadi tempat bergantung masyarakat selain pertanian. Strategi nafkah masyarakat di desa ini cukup banyak memanfaatkan sektor non-pertanian seperti menjadi pedagang di pasar, pedagang ternak, pedagang warung, buruh bangunan, buruh hutan, hingga tukang ojek. Macam-macam mata pencaharian yang dilakukan rumahtangga petani ini memperlihatkan bahwa mereka telah cukup jauh memanfaatkan sektor ini di samping basis nafkah utama mereka yaitu pertanian. Maka dari itu, pengelolaan kawasan TNGHS yang dijalankan oleh BTNGHS mempengaruhi status penguasaan lahan masyarakat, terutama lahan yang selama ini digunakan oleh mereka untuk kegiatan pertanian. Status penguasaan lahan yang berada diatas perjanjian yang tidak jelas membuat masyarakat takut untuk mengembangkan pertaniannya. Jika begitu, masyarakat harus memiliki pekerjaan lain selain petani untuk memenuhi kebutuhan ekonomi mereka yang juga terus meningkat. Tingkat pendapatan dari sektor pertanian terdiri dari on farm dan off farm yaitu sebagai petani dan buruh tani. Petani di Desa Cipeuteuy terdir dari dua jenis yaitu petani sayur untuk memperoleh pendapatan berbentuk uang dari hasil produksinya. Sedangkan untuk pendapatan dari sektor non pertanian (non farm) diperoleh dari pekerjaan sebagai buruh bangunan, tukang ojek, pedagang, usaha warung, buruh hutan, atau menjadi guru. Berdasarkan golongan pendapatan, golongan tinggi pendapatannya berasal dari sektor non pertanian dari usaha berdagang di warung yaitu 34 persen, golongan sedang pendapatan terbesar dari kiriman anggota keluarga yang bekerja di luar desa sebesar 32 persen, dan golongan rendah pemasukan terbesar dari pekerjaan sebagai buruh bangunan mencapai 37 persen. Kontribusi pendapatan pertanian dan sektor non pertanian terhadap rata-rata rumahtangga pertahun hampir seimbang, maka dapat disimpulkan bahwa meskipun masyarakat mengaku pekerjaan utamanya adalah petani, namun untuk basis nafkah sebenarnya adalah kedua sektor nafkah yaitu pertanian dan non pertanian. Artinya telah terjadi transformasi sosial dimana nilai pertanian bagi masyarakat cenderung menurun, karena dipengaruhi oleh kebutuhan rumahtangga yang besar, pengeluaran pangan menjadi penyumbang terbesar, dan diikuti oleh pengeluaran lain seperti transportasi, listrik, dan pendidikan anak. Penerapan strategi nafkah masyarakat 11 Cipeuteuy sangat bervariasi, para petani tidak hanya memanfaatkan sektor pertanian untuk memenuhi kebutuhan mereka, melainkan juga sektor non pertanian. Pada akhirnya sulit untuk dibedakan mana yang menjadi basis nafkah utama masyarakat di desa ini apakah sektor pertanian atau telah beralih ke sektor non pertanian. Sektor nafkah yang dijalankan oleh masyarakat tetap memanfaatkan livelihood asset dalam penerapannya kelima aset modal dilakukan oleh masyarakat di Desa Cipeuteuy diantaranya modal sumberdaya alam antara lain lahan pertanian, baik lahan kawasan TNHGS, lahan perhutani, atau milik sendiri, modal sosial berupa jaringan pemasok alat pertanian tidak ditemukan di desa ini, modal fisik dilihat dari kepemilikan aset rumahtangga contohnya rumah, kendaraan bermotor, modal finansial berupa tabungan dan investasi pun tidak ditemukan, modal manusia dimana banyak petani hanya memanfaatkan tenaga kerja keluarga, meskipun ada juga yang masih menggunakan jasa buruh tani. Masyarakat bergantung kepada pinjaman kepada tetangga atau saudara untuk biaya darurat. Analisis Bacaan Adanya perluasan kawasan hutan konservasi seperti yang terjadi di Taman Nasional Gunung Halimun Salak tentu mengakibatkan beberapa pengaruh pada berbagai aspek kehidupan masyarakat. Terutama bagi masyarakat yang menggantungkan hidupnya pada sumberdaya hutan. Perluasan kawasan TNGHS mengakibatkan terjadinya perubahan struktur agraria, muncul ketidakjelasan status lahan yang awalnya bisa di manfaatkan menjadi tidak bisa karena telah berubah status menjadi kawasan konservasi dan dilindungi. Mata pencaharian masyarakat dalam bahan bacaan ini masih bergantung pada pertanian, hampir 50 persen warga berprofesi sebagai petani dan buruh tani. Pertanian pada bacaan ini terbagi menjadi dua bagian. Pertama, berorientasi kepada petani sayur dimana hasil produksinya dijual untuk memperoleh pendapatan guna memenuhi 12 kebutuhan sehari-hari. Berbeda dengan yang kedua, dimana petani padi justru berorientasi kepada konsumsi karena hasil panen padi digunakan untuk kebutuhan sehari-hari. Dalam keadaan krisis masyarakat biasanya mencari alternatif lain dalam memenuhi kebutuhan hidup keluarganya. Kontribusi pendapatan pertanian dan sektor non pertanian terhadap rata-rata rumahtangga pertahun hampir seimbang, maka dapat disimpulkan bahwa meskipun masyarakat mengaku pekerjaannya utamanya sebagai petani, namun basis nafkah mereka sebenarnya adalah kedua sektor nafkah yaitu pertanuan dan non pertanian. Disini telah terjadi transformasi sosial dimana nilai pertanian bagi masyarakat cenderung menurun karena dipengaruhi oleh kebutuhan rumahtangga yang besar. Akibat hal ini sulit untuk dibedakan man yang menjadi basis nafkah utama masyarakat di desa ini apakah sektor pertanian atau beralih kepada sektor non pertanian. 13 3. Judul : Strategi Nafkah Rumahtangga Desa Sekitar Hutan (Studi Kasus Desa Peserta PHBM di Kabupaten Kuningan, Provinsi Jawa Barat Tahun : 2006 Jenis Pustaka : Tesis Bentuk Pustaka : Elektronik Nama Penulis : Agustina Multi Purnomo Nama Editor : Judul Buku : Kota Penerbit dan : Program Studi Sosiologi Pedesaan, Sekolah Pasca Nama Penerbit Sarjana IPB, Bogor. Nama Jurnal : Repository IPB Volume (edisi): Hal : Alamat URL/doi : http://repository.ipb.ac.id/handle/123456789/8466 Tanggal diunduh : 4 Oktober 2014 Ringkasan Bacaan Penelitian bersandar kepada konsep strategi nafkah PHBM. PHBM menawarkan lahan hutan sebagai sumber nafkah bagi masyarakat di sekitar hutan termasuk Desa Padabeunghar. Akses lahan hutan disertai pemberian bibit tanaman yang bertujuan untuk mengurangi biaya yang dikeluarkan rumahtangga dan meningkatkan pendapatan rumahtangga. Sumberdaya hutan, bibit dan pendampingan serta bagi hasil dianggap dapat mendorong tindakan pengelolaan sumberdaya hutan. Studi sumber nafkah dan aktivitas nafkah digunakan untuk memahami strategi nafkah rumahtangga, bagaimana sumber nafkah digunakan dan pilihan aktivitas nafkah yang dilakukan. Tipologi strategi nafkah rumahtangga penduduk Desa Padabeunghar menunjukan rasionalitas rumahtangga yang mendasari tindakan-tindakan yang diambil dan membentuk strategi nafkah rumahtangga, rasionalitas strategi nafkah rumahtangga merupakan penjelasan perbedaan strategi nafkah yang dirancang PHBM dengan strategi nafkah yang dilakukan rumahtangga di Desa Padabeunghar. Karakteristik ekonomi dan sosial masyarakat padabeunghar menggambarkan sebuah komunitas dengan keterbatasan sumberdaya alam dan penguatan ikatan sosial yang berbasis kelembagaan sosial. Komunitas petani Desa Padabeunghar memiliki hubungan sosial solidaritas yang erat manjadi landasan aktivitas ekonomi rumahtangga. Hubungan sosial menjadi dasar pembentukan rumahtangga dan hubungan antar anggota komunitas, keterbatasan sumberdaya alam yang dapat dimiliki rumahtangga dapat diatasi dengan akses manfaat lahan hutan Perhutani dan lahan kebun karet. Sebagai komunitas terbuka Desa Padabeunghar mendapatkan fasilitas dan bantuan yang membuka akses sumberdaya bagi rumahtangga, ketebukaan ini juga mempengaruhi pola mobilitas penduduk terutama peluang kerja di perantauan, merantau menjadi salah satu pilihan pekerjaan bagi anggota rumahtangga petani di Desa Padabeunghar. Aktivitas nafkah rumahtangga di Desa Padabeunghar dilakukan berdasarkan dua basis aktivitas, penggunaan sumberdaya dan upaya untuk membangun hubungan baik antara anggota komunitas. Aktivitas nafkah dilakukan berdasarkan sumber nafkah yang ada dan dapat diakses oleh rumahtangga, upaya untuk menghasilkan sumber nafkah dan mengurangi penggunaan sumber nafkah. Aktivitas nafkah dilakukan dengan dua hal yaitu alokasi tenaga kerja rumahtangga dan substansi pendapatan. Alokasi diperlukan agar 14 rumahtangga dapat melakukan berbagai aktivitas nafkah dalam waktu yang sama, sedangkan substansi pendapatan dilakukan rumahtangga untuk memenuhi kebutuhan rumahtangga yang tidak dapat dipenuhi oleh penerapan satu buah aktivitas nafkah, substansi dilakukan jika rumahtangga memiliki tenaga kerja dan melakukan alokasi tenaga kerja. Selain dipengaruhi oleh ketersediaan sumber nafkah, aktivitas nafkah dipengaruhi oleh faktor dorongan kebutuhan, pertimbangan pendapatan yang akan diperoleh, biaya yang dikeluarkan dan resiko yang dihadapi serta nilai yang berkembang dalam masyarakat, pertimbangan inilah yang melandasi pembentukan strategi nafkah rumahtangga. Strategi nafkah penduduk Desa Padabeunghar merujuk suatu pola dimana terdapat desakan nafkah pada modal alami dan peluang pekerjaan terutama pekerjaan di luar desa. Modal alami merupakan penjaga keamanan konsumsi rumahtangga. Pengelolaan modal alami merujuk kepada pola pengamanan konsumsi, oreintasi hasil untuk pemenuhan kebutuhan rumahtangga, penghasilan jangka pendek serta pengamanan rumahtangga dari resiko yang mungkin ditanggung karena pengelolaan modal alam termasuk sumberdaya hutan dilakukan dengan ekstensifikasi, menanam tanaman jangka pendek yang mudah dikelola dan pasti menghasilkan, mengurangi resiko kerugian, serta menekan biaya dengan mengurangi penggunaan pupuk kimia. Desakan nafkah pada peluang pekerjaan menyebabkan pengurangan jumlah penduduk Desa Padabeunghar yang menggarap lahan termasuk lahan hutan. Desakan nafkah pada peluang pekerjaan menunjukan orientasi nafkah penduduk Desa Padabeunghar mengarah pada kesejahteraan material dan ekonomi uang. Peluang pekerjan dipilih karena menyediakan peluang untuk mendapatkan uang dalam jumlah besar dalam waktu bersamaan. Pergeseran tidak menyebabkan pengurangan pengaruh modal sosial. Modal sosial dibutuhkan sebagai pengamanan ekonomi dan sosial. Komunitas memberikan fasilitas yang menjamin setiap orang didalam komunitas dapat mengatasi kekurangan sumberdaya dengan cara membagi sumberdaya kepada anggota komunitas. Ikatan sosial dalam rumahtangga dan antar rumahtangga memberi jaminan keamanan ekonomi dan sosial tidak hanya pada saat ini namun di masa yang akan datang bahkan di saat memasuki usia lansia. Rumahtangga di Desa Padabeunghar memiliki rasionalitas sendiri yang berbeda dengan pola nafkah yang dirancang PHBM. Beberapa hal yang dapat disimpulkan dari perbedaan dasar rasionalisme tindakan antara penduduk Desa Padabeunghar dan PHBM adalah perbedaan pandangan terhadap lahan hutan, perbedaan pandangan tentang produktivitas hasil, perbedaan pandangan tentang kesejahteraan ekonomi dan keamanan produksi. 15 Analisis Bacaan Kesejahteran PHBM menawarkan lahan hutan sebagai sumber nafkah bagi masyarakat sekitar hutan di Desa Padabeunghar. Akses lahan hutan disertai pemberian bibit tanaman yang bertujuan untuk mengurangi biaya yang dikeluarkan rumahtangga dan meningkatkan pendapatan rumahtangga. Karakteristik ekonomi dan sosial masyarakat Padabeunghar menggambarkan sebuah komunitas dengan keterbatasan sumberdaya alam dan penguatan ikatan sosial yang berbasis kelembagaan sosial. Komunitas petani Desa Padabeunghar memiliki solidaritas yang erat menjadi landasan aktivitas ekonomi rumahtangga. Dari hasil pengamatan bahwa aktivitas nafkah rumahtangga di Desa Padabeunghar dilakukan berdasarkan dua basis aktivitas yaitu penggunaan sumberdaya dan upaya untuk membangun hubungan baik dengan antar anggota komunitas. Aktivitas nafkah dilakukan dengan dua hal yaitu alokasi tenaga kerja rumahtangga dan substansi pendapatan. Alokasi diperlukan agar rumahtangga dapat melakukan berbagai aktivitas nafkah dalam waktu yang sama. Sedangkan, substansi pendapatan dilakukan rumahtangga untuk memenuhi kebutuhan rumahtangga yang tidak dipenuhi oleh satu basis aktivitas rumahtangga saja. Strategi nafkah rumahtangga Desa Padabeunghar merujuk pada suatu pola dimana terdapat desakan nafkah pada modal alamai dan peluang pekerjaan terutama pekerjaan di luar desa. Modal alami dilakukan sebagai penjaga keamanan konsumsi rumahtangga tetapi sifatnya cenderung pemenuhan jangka pendek saja. Desakan nafkah pada peluang pekerjaan menyebabkan pengurangan jumlah penduduk Desa Padabeunghar yang menggarap lahan, orientasi nafkah penduduk Desa Padabeunghar mengarah pada kesejahteraan material dan ekonomi uang. Peluang pekerjaan dipilih karena dianggap mampu menyediakan peluang dalam jumlah banyak dan dalam waktu yang bersamaan. Ikatan sosial dalam rumahtangga dan antar rumahtangga sangat kuat walaupun terjadi pergeseran tidak melunturkan modal sosial agar dapat memberikan jaminan keamanan ekonomi dan sosial untuk bekal di masa yang akan datang supaya hidup sejahtera. 16 4. Judul : Strategi Nafkah Rumahtangga Petani Tembakau Di Lereng Gunung Sumbing Tahun : 2009 Jenis Pustaka : Tesis Bentuk Pustaka : Cetak Nama Penulis : Widiyanto Nama Editor : Judul Buku : Kota Penerbit dan : Program Studi Sosiologi Pedesaan, Sekolah Pasca Nama Penerbit Sarjana IPB, Bogor. Nama Jurnal : Volume (edisi): Hal : Alamat URL/doi : Tanggal diunduh : Ringkasan Pustaka Menurut Ellis (2000) sebagian besar rumahtangga pedesaan pada umumnya tidak dapat menghindar dari resiko, apakah yang disebabkan oleh manusia atau karena faktor lingkungan. Pada petani tembakau berhadapan dengan beberapa resiko. Pertama, karena tembakau merupakan tanaman bebas yang diperdagangkan tanpa campur tangan aparat desa, sehingga petani berhadapan langsung dengan pasar, akibatnya sangat rentan terhadap fluktuasi harga yang dipengaruhi aktor. Kedua, pertanian tembakau sangat rentan terhadap perubahan cuaca dan musim. Luas lahan pertanian sebagai basis kehidupan utama semakin terfragmentasi karena diwariskan kepada generasi berikutnya dan hal tersebut dapat mempengaruhi kepemilikan sumberdaya yang dimiliki petani baik asset alami, fisik, SDM, sosial, dan financial. Berbagai sumberdaya tersebut dapat dikombinasikan sehingga akan membentuk strategi nafkah tertentu. Strategi tersebut dilandasi oleh berbagai etika moral ekonomi nafkah. Aktivitas nafkah dapat berupa pekerjaan pertanian dan non pertanian. Tembakau merupakan komoditi komersial (High value commodity) telah membawa pengaruh kapitalisme di pedesaan. Implikasinya petani pedesaan mengalami mixed ethic, pada satu sisi berorientasi pada etika sosial-kolektif dan pada sisi yang lain harus berorientasi pada keuntungan material. Kedua etika tersebut dimainkan oleh rumahtangga petani sebagai upaya membangun sistem nafkah yang berkelanjutan. Masuknya kapitalisme dipedesaan secara perlahan melemahkan etika sosial-kolektif yang berbasis pada resiprositas. Hal ini dapat ditandai dengan berubahnya sistem royongan menjadi sistem upah, dan munculnya perilaku manipulatif. Strategi nafkah yang dibangun oleh rumahtangga tembakau dengan mengkombinasikan aset-aset (modal) yang dimiliki yaitu modal alami, modal fisik, modal finansial, modal sumberdaya manusia, dan modal sosial. Secara umum rumahtangga petani di daerah pegunungan sumbing membangun beberapa strategi nafkah yaitu strategi produksi, solidaritas vertikal, solidaritas horizontal, berhutang, patronase, serabutan, akumulasi, dan manipulasi komoditas. Sedangkan kelembagaan yang dibangun oleh petani sebagai implementasi dari strategi nafkah adalah sistem nitip, royongan, gabung hasil panen, dan maro. 17 Berbagai strategi nafkah tersebut lebih banyak memainkan modal sosial sebagai asset penting dalam membangun sistem penghidupan yang berkelanjutan. Sedangkan pada situasi krisis, petani membangun sistem nafkah yang agak berbeda yaitu dengan melakukan migrasi temporer. Strategi ini dilakukan pada saat gagal panen berturut-turut sehingga tidak memiliki modal finansial untuk berusaha tani. Setelah kondisi tembakau membaik maka petani yang melakukan migrasi akan kembali bergelut dengan tembakau. Melihat berbagai strategi yang diterapkan baik pada situasi normal maupun krisis menunjukkan bahwa petani memiliki mekanisme yang dinamis dan fleksibel dalam merespon setiap perubahan kondisi. Sistem yang berperan penting dalam membangun keberlanjutan penghidupan petani adalah etika sosial-kolektif yang berasaskan pada resiprositas. Melalui asuransi kolektif, rumahtangga petani mampu bertahan dan memperbaiki standar hidupnya. Analisis Bacaan Melemahkan etika sosialkolektif Kapitalisme Perilaku Manipulatif Rumahtangga Tembakau Strategi produksi, solidaritas vertikal, solidaritas horizontal, berhutang, patronase, serabutan, akumulasi, manipulasi komoditas. Pada dasarnya rumahtangga pedesaan tidak dapat menghindar dari resiko baik yang disebabkan oleh manusia atau faktor lingkungan. Dalam bacaan ini dengan mengambil kasus di petani tembakau Temanggung berhadapan dengan beberapa resiko Pertama, karena tembakau merupakan tanaman bebas yang diperdagangkan tanpa campur tangan aparat desa, sehingga petani berhadapan langsung dengan pasar, akibatnya sangat rentan terhadap fluktuasi harga yang dipengaruhi aktor. Kedua, pertanian tembakau sangat rentan terhadap perubahan cuaca dan musim. Aktivitas nafkah dapat berupa pekerjaan dari sektor pertanian ataupun non pertanian. Tembakau merupakan komoditi komersil sehingga membawa pengaruh kapitalisme di pedesaan, sehingga petani pedesaan mengalami mixed ethic, pada satu sisi berorientasi pada etika sosial-kolektif dan di sisi lain berorientasi pada keuntungan material. Dengan masuknya kapitalisme di pedesaan secara perlaha melemahkan etika sosial-kolektif yang berbasis resiprositas ditandai dengan munculnya perilaku manipulatif. Secara umum rumahtangga petani di daerah pegunungan sumbing membangun beberapa strategi nafkah yaitu strategi produksi, solidaritas vertikal, solidaritas horizontal, berhutang, patronase, serabutan, akumulasi, dan manipulasi komoditas. Melihat berbagai strategi yang diterapkan baik pada situasi normal maupun krisis menunjukan bahwa 18 petani memiliki mekanisme yang dinamis dan fleksibel dalam merespon setiap kondisi, dengan asuransi kolektif rumahtangga petani mampu bertahan dan memperbaiki standar hidupnya. 19 5. Judul : Rural livelihood and Poverty Reduction Policies Tahun : 2005 Jenis Pustaka : Buku Bentuk Pustaka : Elektronik Nama Penulis : Frank Ellis dan H. Ade Freeman Nama Editor : Judul Buku : Kota Penerbit dan : Routladge, London dan New York Nama Penerbit Nama Jurnal : Volume (edisi): Hal : Alamat URL/doi : Tanggal diunduh : Ringkasan Bacaan Istilah mata pencaharian yaitu mencoba untuk memperoleh penghidupan dan bukan hanya apa yang orang lakukan dalam rangka untuk bertahan hidup, tetapi sumberdaya yang memberikan mereka kemampuan untuk membangun sebuah kehidupan. Faktor risiko bahwa mereka harus mempertimbangkan dalam mengelola sumberdaya mereka, konteks bidang kelembagaan dan baik yang membantu atau menghalangi mereka dalam mengejar atau meningkatkan taraf hidup. Dalam pendekatan penghidupan, sumberdaya juga disebut asset atau modal, dan sering dikategorikan antara lima tipe-tipe aset yang berbeda atau lebih yang dimiliki, dan diakses oleh anggota keluarga: yang 1) modal manusia (keterampilan, pendidikan, kesehatan), 2) modal fisik (barang diproduksi investasi), 3) modal finansial (uang, tabungan, akses pinjaman), 4) modal alam (tanah, air, pohon, merumput dll) dan 5) modal sosial (jaringan dan Asosiasi). Kategori aset ini memang sedikit dan tidak semua sumberdaya yang orang bawakan cocok dalam membangun kehidupan mereka. Meski begitu, mereka memiliki tujuan yang berguna dalam membedakan jenis aset yang cenderung berbeda dengan kebijakan lingkungan. Misalnya, sumberdaya manusia menghubungkan untuk kebijakan sosial, pendidikan dan kesehatan sementara, modal alam menghubungkan untuk penggunaan tanah, kebijakan pertanian dan lingkungan hidup. Ini merupakan nilai yang menyebutkan dalam melewati kategori modal sosial yang masih agak sulit dipahami sebagai panduan untuk meningkatkan masyarakat miskin meskipun dengan satu dekade atau lebih pendidikan menjadi renungan tentang hal itu (Harriss 1997). Sementara itu dapat mudah diterima bahwa kualitas keterhubungan jenis sosial tertentu dapat membuat perbedaan besar bagi orang-orang yang memiliki mata pencaharian, faktor kualitas ini sulit untuk dijabarkan. Sebagai contoh, ikatan kekeluargaan dapat memainkan peran sebagai jaringan dukungan dan sebagai tuntutan pada sumber daya untuk memenuhi kewajiban keluarga. Demikian juga, beberapa jenis hubungan sosial tampaknya dirancang untuk lebih menjaga orang miskin dalam kerangka dasar penghidupan, daripada menempatkan mereka untuk membantu mengatasi kemiskinan contohnya buruh terikat, sistem kasta, dan beberapa jenis kewenangan tradisional. 20 6. Judul : Rural livelihood and Diversity In Developing Countries : 2000 : Buku : Cetak : Frank Ellis : : dan : Oxford University Press, United Kingdom Tahun Jenis Pustaka Bentuk Pustaka Nama Penulis Nama Editor Judul Buku Kota Penerbit Nama Penerbit Nama Jurnal : Volume (edisi): Hal : Alamat URL/doi : Tanggal diunduh : Ringkasan Bacaan Konsep mata pencaharian secara luas digunakan dalam tulisan-tulisan yang kontemporer di kemiskinan dan pembangunan pedesaan, tetapi makna dapat sering muncul sulit dipahami, baik karena ketidakjelasan atau definisi yang berbeda yang ditemui dalam sumber yang berbeda. definisi kamus adalah 'cara hidup ' yang langsung membuatnya lebih dari diterima hanya identik dengan pendapatan karena ini mengarahkan perhatian dengan cara di mana hidup diperoleh, bukan hanya hasil dalam hal pendapatan atau konsumsi yang dicapai. definisi yang populer adalah yang disediakan oleh Chambers dan Conway (1992:7) dimana mata pencaharian “terdiri dari kemampuan, aset (toko, sumber daya, klaim dan akses) dan kegiatan yang diperlukan untuk sarana hidup". Definisi ini, dengan perubahan kecil, telah digunakan oleh beberapa peneliti mengadopsi pendekatan mata pencaharian pedesaan (Carswell, 1997; Hussein dan Nelson, 1998; Scoones, 1998). Fitur penting dari definisi mata pencaharian ini adalah untuk mengarahkan perhatian hubungan antara aset dan dimiliki orang-orang pilihan dalam praktek untuk mengejar kegiatan alternatif yang dapat menghasilkan tingkat pendapatan yang diperlukan untuk kelangsungan hidup. sebagai contoh, kurangnya pendidikan berarti modal manusia yang rendah, salah satu dari beberapa jenis aset, dan ini termasuk individu dari kegiatan yang memerlukan tingkat tertentu dari pendidikan atau keterampilan pencapaian untuk berpartisipasi di dalamnya. Mata pencaharian terdiri dari aset (alam, fisik, manusia, keuangan dan sosial modal), kegiatan, dan akses ke ini (dimediasi oleh lembaga dan hubungan sosial) yang bersama-sama menentukan hidup yang diperoleh oleh individu atau rumah tangga. Pendapatan rumahtangga dibagi menjadi tiga kategori. Pertama, pendapatan pertanian (on farm) yakni pendapatan yang diperoleh dari pertanian yang diperhitungkan sendiri seperti lahan miliki sendiri atau lahan yang diperoleh melalui pembelian tunai atau bagi hasil. Kedua, pendapatan off farm, yakni pendapatan yang berupa upah tenaga kerja pertanian termasuk upah dalam bentuk pemberian barang seperti padi dan bentuk upah kerja yang lain. Ketiga, pendapatan non pertanian (non farm), yakni pendapatan yang berasal dari luar kegiatan pertanian yang dibagi menjadi enam kategori yaitu (1) upah tenaga kerja pedesaan bukan dari pertanian; (2) usaha sendiri di luar kegiatan pertanian 21 atau pendapatan bisnis; (3) pendapatan dari hak milik (misal: sewa); (4) kiriman dari buruh migran yang pergi ke kota; (5) transfer dari urban yang lain seperti pendapatan pensiunan dan (6) kiriman dari buruh migran yang pergi ke luar negeri. Di utama, buku ini sesuai dengan sistem klasifikasi. penghasilan dari farm diambil sebagai singkatan berarti pendapatan yang dihasilkan dalam pertanian atau dari sumber daya lingkungan selain dari rekening sendiri pertanian. pendapatan non-pertanian biasanya digunakan berarti pendapatan yang meningkat dari luar pertanian, meskipun kadang-kadang, untuk menghindari pengulangan frase beberapa, pendapatan nonpertanian digunakan sebagai singkatan untuk semua tidak sendiri pertanian sumber pendapatan, oleh karena itu off-farm mengambil pendapatan juga. Pengertian di mana pendapatan non pertanian yang digunakan harus selalu jelas dari teks. Dalam analisis data, pendapatan dibedakan antara lima kategori utama (1) Nonfarm: tenaga kerja tidak terampil, kerja upah, dan laba usaha non-pertanian; (2) pertanian: laba dari penjualan tanaman, konsumsi sendiri, buruh off-farm; (3) transfer: pengiriman uang nasional dan internasional, pensiun dan pembayaran kepada orang miskin; (4) ternak: laba dari penjualan ternak, unggas dan sendiri-konsumsi; (5) sewa pendapatan: dari kepemilikan aset, termasuk tanah, mesin, dan air. Meskipun biasanya tanaman dan ternak, pendapatan digabungkan bersama di bawah kategori pertanian umum, dalam hal ini ternak pendapatan dibagi dari tanaman pendapatan karena maknanya berbeda bagi ketidaksetaraan pendapatan, terkait dengan distribusi yang tidak seimbang lahan untuk produksi tanaman. Istilah keanekaragaman dan diversifikasi dalam konteks kehidupan lebih lanjut perlu klarifikasi. keragaman merujuk kepada keberadaan, pada titik waktu, banyak sumber pendapatan yang berbeda, sehingga juga biasanya membutuhkan hubungan sosial yang beragam untuk mendukung mereka. diversifikasi, di sisi lain, menafsirkan penciptaan keragaman sebagai proses yang berkelanjutan sosial dan ekonomi, mencerminkan faktor tekanan dan kesempatan yang menyebabkan keluarga untuk mengadopsi strategi penghidupan semakin rumit dan beraneka ragam. Sementara keragaman dan diversifikasi dapat diambil secara keseluruhan berarti beberapa dan mengalikan sumber pendapatan, mereka lebih sering dipanggil dalam konteks pembangunan pedesaan untuk menyiratkan diversifikasi dari pertanian sebagai sarana utama atau dominan kelangsungan hidup pedesaan. dengan demikian ekspresi 'sangat beragam mata pencaharian desa' biasanya menyampaikan gagasan tentang mata pencaharian di mana rekening sendiri pertanian telah menjadi proporsi yang relatif kecil dari portofolio kelangsungan hidup secara keseluruhan yang disatukan oleh keluarga petani. Mata pencaharian pedesaan diversifikasi didefinisikan sebagai proses yang rumah tangga pedesaan membangun portofolio semakin beragam kegiatan dan aset untuk bertahan hidup dan meningkatkan standar hidup mereka. 22 7. Judul Tahun Jenis Pustaka Bentuk Pustaka Nama Penulis : : : : : Forest Policy and Economics 2014 Jurnal Elektronik Adefires Worku, Jurgen Pretzsch, Habremariam Kassa, Eckhard Auch. : : dan : Dresden, Germany Nama Editor Judul Buku Kota Penerbit Nama Penerbit Nama Jurnal : Volume (edisi): Hal : Volume 41, Halaman 51-59 Alamat URL/doi : Tanggal diunduh : Ringkasan Bacaan Ethiopia adalah negara agraria mana tanaman tradisional dan produksi ternak mempekerjakan lebih dari 85% dari populasi (Ethiopia NAPA, 2007;MoFED, 2012). Produksi tanaman adalah strategi utama penghidupan di Highlands, dimana curah hujan relatif tinggi. Sebagian besar (lebih dari 70%) dari daratan Etiopia adalah lahan kering, ditandai dengan rendah dan pola curah hujan yang tak terduga (EAC, 2007). Daerah ini adalah buruk dikembangkan dan menderita marginalisasi sejarah politik dan ekonomi(Fekadu, 2009). Pastoralism tradisional dan agro pastoralism strategi utama penghidupan di drylands, dimana rumah tangga tergantung pada produksi ternak untuk proporsi yang signifikan dari makanan mereka, pendapatan dan tenaga penggerak (Dalle et al., 2005; FAO, 2009). Produksi peternakan ini tidak hanya andalan, tetapi juga kebanggaan mereka sosial dan keamanan. Untuk berabad-abad, strategi penghidupan pastoral dan agro-pastoral mampu mempertahankan perbedaan budaya dan fleksibilitas, mana kompleks adat mengatur sistem pengetahuan manajemen sumber daya bersama dasar dan terus-menerus beradaptasi dengan lingkungan yang sangat tidak pasti, terutama iklim (Brooks, 2006; Homann, 2008). ). Tujuan dari penelitian ini adalah untuk memeriksa pentingnya hutan kering pendapatan dan mengidentifikasi faktor pengkondisian hutan kering pendapatan ketergantungan di pastoral dan agro-pastoral sistem produksi daerah somalia negara di Ethiopia. Hubungan antara pendapatan dari hutan yang kering, kemiskinan mitigasi, pendapatan kesetaraan dan mengatasi dampak negatif dari kekeringan telah menarik sedikit perhatian penelitian di Ethiopia. Temuan-temuan dari studi ini menunjukkan dua permasalahan utama. Pertama adalah tren mata pencaharian kerentanan dalam bidang studi secara khusus yang juga akan menjadi kasus di drylands Tanduk Afrika secara umum. Kekeringan, penggurunan dan degradasi hutan adalah tantangan utama yang menghambat perkembangan drylands. Terlepas dari masalah kompleks yang dihadapi ekosistem ini, pertumbuhan populasi manusia adalah menciptakan tekanan tambahan pada hutan kering dan ekosistem besar (Teketay, 2004-5). Membalikkan kerusakan lingkungan melalui penanaman pohon kegiatan di daerah lahan kering telah terbukti menjadi sulit karena berbagai alasan dan ada hanya kisah sukses terbatas. Ini menunjukkan kebutuhan untuk mempertahankan sebanyak mungkin hutan yang kering dan woodlands ini ekosistem yang rapuh dan menjelajahi pilihan untuk meningkatkan signifikansi mereka ekonomi, ekologi, sosial budaya dan politik. Kedua intinya adalah bahwa peran hutan kering bermain dalam meningkatkan kapasitas adaptif dari kekeringan, kerentan masyarakat tidak boleh diabaikan. 23 Implikasi kebijakan keseluruhan dari temuan-temuan yang saat ini adalah bahwa, hutan kering pendapatan memegang posisi penting dalam kehidupan pastoral dan agro masyarakat pastoral. Tidak mempertimbangkan sumbangan ini dalam rumahtangga akuntansi pendapatan, kemiskinan jumlah kepala ketidaksetaraan rasio dan meningkatkan pendapatan. Rupanya, hal ini penting untuk meningkatkan manajemen hutan kering untuk peningkatan mata pencaharian, mereka juga sambil mengamankan fungsi ekologi jangka panjang. Ini dapat dicapai melalui promosi dan integrasi ke dalam perencanaan pembangunan nasional, regional dan lokal. Pengelolaan hutan kering harus menjadi bagian dari perencanaan penggunaan tanah secara keseluruhan. Sejumlah pilihan untuk meningkatkan produktivitas dan kesinambungan hutan kering harus diteliti. Misalnya, memperkenalkan agro kehutanan Parklands dalam sistem agro-pastoral produksi baru muncul,mempromosikan nilai tambahan dan komersialisasi nilai tinggi hutan produk-produk seperti gusi dan resin melalui skala kecil dan menengah perusahaan, dan menggabungkan pengelolaan hutan kering dengan yang mendatang REDD + (pengurangan emisi dari deforestasi dan degradasi hutan), CDM (mekanisme pembangunan bersih) dan CRGE (iklim ekonomi hijau kokoh) inisiatif adalah beberapa daerah penelitian potensi. Saat ini tingkat pengamatan lapangan juga menunjukkan kebutuhan untuk menilai status populasi, penelitian hutan dan mengusulkan mekanisme intervensi seperti di beberapa daerah yang terdegradasi sangat parah. Top-Down saat ini rencana yang bertujuan menyelesaikan penggembala dan melibatkan mereka dalam kebutuhan produksi tanaman untuk memperhitungkan kemungkinan berkembang tambahan hutan berdasarkan mata pencaharian serta. Sebelum terlalu kering hutan dikonversi ke cropland, yang akhirnya mengakibatkan ireversibel kerusakan pada ekosistem lahan kering rapuh. Akhirnya, upaya harus dibuat untuk memperkirakan dan nilai kontribusi hutan yang kering untuk mata pencaharian melalui produksi ternak dan untuk mengeksplorasi kesempatan tambahan untuk meningkatkan kontribusi ekonomi dari hutan yang kering untuk mata pencaharian dan perekonomian nasional yang luas sehingga masyarakat dan pemerintah akan melihat manfaat ekonomi dan terlibat dalam manajemen yang bertanggungjawab berkurang kering sumber daya hutan dan hutan dasar di Tanduk Afrika dengan juga kontribusi besar dalam memerangi desertifikasi. 24 Analisis Bacaan No 1. 2. Geografis Highland Dryland Kegiatan Produksi Pertanian Produksi Ternak Vulnarability 1. Kurang Pengetahuan 2. Populasi Manusia 1. Kekeringan, Pengguguran, degradasi hutan. 2. Populasi manusia. Resilience 1. Manajeman dari pemerintah 2. Memperkenalk an agro-pastoral untuk intensivikasi 3. Migrasi 1. Beradaptasi 1. dengan lingkungan terutama iklim. 2. Memperkenalk an agro-forestry dengan agropastoral. 3. Hutan kering di konversi menjadi cropland. Faktor Eksternal - Pengetahuan lokal. Pada bacaan ini mengambil kasus di daerah Somalia di Ethiopia dimana terdapat dua geografis yang berbeda yaitu Highland dan Dryland. Highland fokus peningkatan usaha pada bidang produksi tanaman dimana curah hujan relatif tinggi tetapi sebagian besar di Ethiopia berlahan kering, ditandai dengan rendah dan pola curah hujan yang tidak terduga. Dryland fokus peningkatan usaha rumahtangga bergantung pada produksi ternak. Masalah yang dihadapi oleh highland yang menyebabkan kurang maksimalnya pendapatan rumahtangga diakibatkan karena kurangnya pengetahuan, dan meningkatnya pertumbuhan populasi manusia. Sedangkan, masalah di Dryland yang menyebabkan tidak maksimalnya pendapatan rumahtangga karena kekeringan, pengguguran, degradasi hutan, dan meningkatnya populasi manusia. Perlu pemecahan masalah yang tepat sasaran agar terjadi peningkatan pendapat rumahtangga di Ethiopia maka dalam bacaan ini terdapat beberapa strategi yang coba dilaksanakan yaitu memperkenalkan agro-pastoral, beradaptasi dengan lingkungan, dan pengkonversian hutan kering menjadi cropland. Strategi tersebut diharapkan dapat menjadi lahan untuk mencari mata pencaharian dan meningkatkan kontribusi ekonomi dari hutan kering. 25 8. Judul : Livelihood Strategies, Resilience, Transfomability In African Agroecosystems : 2014 : Jurnal : Elektronik : Pablo Tittonell : : dan : Wageningen, Netherland and Tahun Jenis Pustaka Bentuk Pustaka Nama Penulis Nama Editor Judul Buku Kota Penerbit Nama Penerbit Nama Jurnal : Volume (edisi): Hal : Volume (edisi) 126, Hal 2-14 Alamat URL/doi : Tanggal diunduh : Ringkasan Bacaan Luas dan kegigihan kemiskinan di pedesaan di benua Afrika adalah sering dideskripsikan “siklus setan” ke bawah spiral atau “jebakan kemiskinan” (e.g.,Lybbert et al., 2004) dalam upaya untuk menggambarkan kausalitas bermain antara proses demografis, kerusakan sumberdaya, politik nasional atau regional dan global perubahan. Secara eksplisit atau tidak, pandangan ini bergantung kepada dua asumsi utama yang saling terkait: (1) adanya alternatif sistem sebut rezim atau sistem, sering digunakan untuk mewakili dinamika dan salib-skala interaksi dalam sistem ekologi sosial, dan (2) kurungan hierarki di skala, yang saya akan menjelaskan di sini menggunakan analogi Matryoshka bersarang boneka setiap sistem tingkat batas adalah terbatas oleh mereka dan masing-masing sub-supra sistem. Ini dua asumsi mendukung, misalnya, konsep fraktal kemiskinan perangkap atau diri memperkuat salib skala dampak (cf.Barret dan menelan, 2006). Rendah pada skala spasial yang lebih tinggi mencegah positif rezim bergeser pada skala spasial yang lebih rendah, atau di skala waktu, karena melewati kerugian dari guncangan dapat bertahan di seluruh generasi. Hal ini menyiratkan bahwa strategi untuk mengurangi kemiskinan untuk propend siklus atau spiral ke atas harus mampu memprovokasi sistem Shift di tertentu kritis ambang batas. Studi ini diteliti untuk menggambarkan bagaimana konsep dari sistem ekologi dapat digunakan dalam konsep dan belajar kunci sifat petani Afrika. Fokusnya adalah pada badan manusia dalam menjelaskan keragaman strategi penghidupan yang menggunakan konsep-konsep dari ketahanan dan transformability, bukan pada proses biofisik mendasari lintasan agro ekosistem (Tittonell dan Giller, 2013). Menggambarkan rumahtangga keragaman sebagai alternatif sistem rezim yang ikuti lintasan non-linear menyiratkan setidaknya dengan analogi yang seperangkat peternakan di suatu daerah mungkin menunjukkan atribut dinamika penduduk. Analogi ini mungkin berlaku dalam banyak kasus, tetapi tidak selalu begitu ketika datang untuk menggambarkan kekuatan yang menjaga rumahtangga rezim sistem tertentu yang mencegah perubahan. Ini adalah karena ketidakadilan sering diperkuat oleh sifat dari lembaga-lembaga lokal yang sangat ulet. Petani miskin tanpa ternak wajah saldo negatif gizi dan penurunan terus-menerus produktivitas tanah. Petani miskin akan juga sering tergantung pada pemilik peternakan hewan kekuasaan untuk menyiapkan tanah mereka pada waktu hujan pertama, dan 26 akhirnya untuk mengakses beberapa pupuk untuk membuahi ladang mereka, yang mereka mendapat dalam pertukaran buruh. Akibatnya, petani miskin desa sering tanamantanaman mereka terlambat dan dengan sedikit input nutrisi. Lebih sedikit sumberdaya diberkahi rumahtangga wajah penurunan hasil, lebih sedikit kesempatan, kuat ketergantungan pada rumahtangga kaya, dan negosiasi tidak menguntungkan istilah khas umpan balik yang positif. Situasi seperti itu tidak adil cenderung tangguh, diperkuat oleh lembaga lokal dan kekuasaan, dan diperparah ketika waktu sulit, seperti dalam kasus kekeringan atau ketidakstabilan politik. Dalam kasus tersebut teori tidak baik, karena tidak masuk akal untuk menggambarkan keragaman rumahtangga sebagai alternatif sistem rezim ketika alternatif tidak benar-benar ada. Ini bisa lebih baik digambarkan sebagai endogenously diperkuat kemiskinan perangkap. Ketika mobilitas mungkin, ketika kecenderungan ke atas dan bergeser ke bawah ada, cara rumahtangga keragaman pengertian dapat membuka wawasan baru. Ini menyiratkan bahwa tipping poin atau ambang batas dapat ditemukan luar yang meningkatkan ketersediaan sumberdaya dapat merangsang sistem bergeser ke arah yang diinginkan. Dengan cara ini keluarga keragaman pengertian juga menyiratkan bahwa dalam merancang pengembangan program ini. Ini tidak cukup untuk hanya membebaskan pertanian masukan untuk petani, untuk menyediakan mereka dengan satu inovasi teknologi, atau untuk membantu mereka mendapatkan akses ke lebih banyak lahan atau aset modal. Lintas agroekosistem yang kompleks sistem sosio-ekologis, dengan dimensi budaya dan biologis, dan ketahanan dan kemampuan beradaptasi hasil dari agregasi keputusan individu. Pengambilan keputusan seringkali menanggapi aturan dan tradisi yang didirikan oleh agen yang bersaing untuk bernegosiasi atas penggunaan berkelompok sumberdaya yang dimiliki. Langkah kunci untuk memahami strategi adaptasi kemudian adalah studi tentang persepsi lokal dan pengetahuan yang menopang mekanisme ketahanan masyarakat adat, terutama pada skala lanskap dan fungsi. Sementara kebutuhan agroecology untuk memberikan jawaban teknis untuk penajaman berkelanjutan lanskap petani, perkembangan kebijakan dan pasar dibutuhkan untuk berurusan dengan efek Matryoshka. Pergeseran diinginkan sistem pertanian dapat hanya dirangsang dengan bekerja pada kedua ujungnya secara bersamaan. Dalam merancang seperti intervensi, operasional definisi dari sifat-sifat sistem seperti nonlinearitas, irreversibility, konvergensi/divergensi dan histeresis sangat penting untuk memahami dinamika yang mengatur agroekosistem ketahanan dan transformability. 27 Analisis Bacaan Kegiatan 1. 2. Produksi Pertanian Produksi Ternak Vulnarability 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. Kerusakan SD Kebijakan ekologi sosial Ketidakstabilan politik Tidak memiliki hewan ternak atau lahan Menurunnya produksi tanah Ketergantungan terhadap pemilik lahan dan ternak. Kekuasaan Kekeringan Resilience Konsep Membuka wawasan baru 2. Intensifikasi 3. Inovasi teknologi 4. Memperluas akses 5. Aset modal 1. Agroekosistem, yang kompleks sistem sosio-ekologis, dengan dimensi budaya dan biologis, dan ketahanan dan kemampuan beradaptasi hasil dari agregasi keputusan individu 2. Agroecology untuk memberikan jawaban teknis untuk penajaman berkelanjutan lanskap petani, perkembangan kebijakan dan pasar dibutuhkan untuk berurusan dengan efek Matryoshka 1. Pada bacaan ini untuk menggambarkan bagaimana konsep dari sistem ekologi dapat digunakan dalam konsep dan berlajar kunci sifat petani Afrika. Bacaan ini juga memiliki fokus pada manusia dalam menjelaskan keragaman strategi penghidupan yang menggunakan konsep-konsep dari ketahanan dan transformability. Potret petani miskin tanpa lahan dan ternak sebagai wajah gizi negatif dan penurunan produktivitas tanah. Petani miskin juga sering tergantung pada pemilik lahan dan peternakan, akhirnya mereka tidak memiliki kesempatan, ketergantungan yang tinggi, dan sulit memenuhi kebutuhan hidupnya. Ketidakadilan yang dialami oleh petani harus dipecahkan dengan membuka wawasan baru, meningkatkan ketersedia sumberdaya, menyediakan satu inovasi teknologi, dan membantu mereka untuk mendapatkan akses yang lebih banyak terutama dalam hal lahan dan modal. 28 9. Judul : Model Partisipatif Perhutanan Sosial Menuju Pengelolaan Hutan Berkelanjutan Tahun : 2011 Jenis Pustaka : Disertasi Bentuk Pustaka : Cetak Nama Penulis : Bambang Dipokusumo Nama Editor : Judul Buku : Kota Penerbit dan : Program Studi Ilmu Penyuluhan Kehutanan, Nama Penerbit Sekolah Pasca Sarjana IPB, Bogor Nama Jurnal : Volume (edisi): Hal : Alamat URL/doi : Tanggal diunduh : Ringkasan Bacaan Konsep pembangunan berkelanjutan sesungguhnya merupakan hasil dari beberapa pertemuan lingkungan hidup sedunia dan pertemuan tingkat tinggi dunia seperti Konferensi PBB di Stocholm 16 Juni 1972 yang menghasilkan konsep Ecological Development atau Pembangunan Berwawasan Lingkungan. Dalam pembangungan berkelanjutan hubungan ketiga aspek tersebut. Hubungan antara aspek sosial dan lingkungan berkaitan dengan partisipasi dan keadilan antar generasi. Sedangkan hubungan antara aspek sosial dan ekonomi berkaitan dengan kesempatan kerja dan keadilan antar generasi. Sementara itu hubungan antara aspek lingkungan dan ekonomi berkaitan dengan nilai ekonomi yang disediakan oleh lingkungan. Sejak saat itu, pembangunan berkelanjutan menjadi agenda penting dalam pembangunan, karena menjadi acuan pokok berbagai bangsa dan negara dalam mencapai kesejahteraan rakyat dan bangsanya yang selalu berhadapan dengan kepentingan lingkungan. Hal ini mengedepankan pengelolaan hutan secara integral, bukan hanya pada aspek teknis (kayunya), tetapi juga meliputi aspek ekologi (lingkungan), kemasyarakatan dan juga kepentingan global. Pengelolaan mengedepankan aspek manajeman, aspek ekologi dan pelibatan masyarakat telah tertuang dalam kongres kehutanan dunia. Konteks pengelolaan hutan yang melibatkan masyarakat dalam pengelolaan hutan telah dirumuskan dalam Kongres Kehutanan Sedunia ke-8 tahun 1978 di Jakarta dengan konsep “forest for people”, dan berkembang menjadi istilah dan lebih dikenal dengan istilah “Forestry for Local Community Development”. Pelibatan masyarakat dalam pengelolaan hutan mendapat perhatian dan dianggap penting, mengingat bahwa masyarakat yang berdomisili di dalam dan disekitar kawasan hutan merupakan masyarakat miskin dan rentan terhadap perubahan pembangunan serta dianggap merupakan ancaman terhadap lingkungan. Pelibatan masyarakat dalam hutan bertujuan untuk peningkatan kesejahteraan penduduk 29 pedesaan dan mengikutsertakan dalam pengambilan keputusan yang mampu merubah penghidupan mereka. Kawasan hutan yang dikelola masyarakat merupakan kawasan hutan lindung dan hutan produksi yang tidak dibebani hak ataupun kawasan hutan dengan kondisi kritis. Batasan hak dalam pengelolaan sumberdaya yang bersifat common-pool resources menurut Agrawal dan Ostrom (2001) bahwa hak bundle of right mengandung empat unsur penting yaitu Withdrawal, management, exclusion, dan alenation. Hak dalam pengelolaan sumberdaya hutan yang melibatkan masyarakat di Indonesia Program Perhutanan Sosial (Social Forestry) seperti Hutan Kemasyarakatan (Hkm). Secara umum pengembangan Hutan Kemasyarakatan memiliki beberapa tujuan penting yaitu untuk mewujudkan keberdayaan dan kesejahteraan masyarakat di dalam dan di sekitar hutan melalui manfaat ekologi, ekonomi, dan sosial budaya dari hutan secara seimbang dan berkelanjutan. Dengan adanya kelembagaan yang mengatur dan mengendalikan partisipan dalam pengelolaan sumberdaya hutan tentunya akan memberikan hubungan kedepan yang berkaitan dengan bentuk partisipasi dan selanjutnya akan memberikan dampak kondisi terhadap sumberdaya hutan dan berkelanjutan pembangunan Hkm. Dengan adanya kebijakan pemerintah yang melibatkan masyarakat dalam pembangunan Hkm ternyata memberikan implikasi yaitu munculnya berbagai model-model Hkm yang tergantung dari partisipan sebagai investornya. Berdasarkan hasil analisis dalam bacaan ini ada beberapa point yang dihasilkan yang sesuai dengan tujuan dari bacaan yaitu kebijakan tentang pembangunan hak kemasyarakatan (Hkm) mengalami perkembangan yang mengarah kepada keberpihakan pemerintah terhadap peningkatan kesejateraan dan hak masyarakat yang berdomisili di sekitar kawasan hutan, tetapi dalam prosesnya masih kurang karena dorongan partisipasi masyarakat dalam program pembangunan Hkm. Kepastian hak pengelolaan kawasan Hkm mengalami gangguan sebagai akibat dari konflik kebjiakan tentang penetapan tahura dan penetapan Pencadangan Areal Hkm pada kawasan Hutan Lindung Sesaot. Faktor sosial ekonomi mempengaruhi bentuk dan tingkat partisipasi masyarakat dalam pembangunan Hkm. Namun pengaruh faktor kelembagaan seperti tipe kepemimpinan hanya mempengaruhi kewenangan dalam pengambilan keputusan. Kontribusi terhadap teori partisipasi adalah terjadinya paradoks teori partisipasi yang dikarenakan oleh pertentangan hubungan antara kebijakan insentif (hak atau right dan aktivitas konservasi dengan arah partisipasi masyarakat dalam program pembangunan Hkm dan konservasi kawasan hutan. 30 Analisis Bacaan Partisipasi Kelembagaan Pembangunan Berkelanjutan: Kesejahteraan 1. Pengintegrasian aspek sosial, ekonomi, dan lingkungan 2. Pelibatan Masyarakat (social forestry) 3. Kebijakan Pemerintah Partisipasi Dalam pembangunan berkelanjutan hubungan antara aspek sosial, aspek ekonomi, dan aspek lingkungan saling berkaitan. Seperti hubungan antara aspek sosial dan lingkungan berkaitan dengan partisipasi dan keadilan antar generasi. Sedangkan hubungan aspek sosial dan ekonomi berkaitan dengan kesempatan kerja. Sementara itu hubungan antara aspek lingkungan dan ekonomi berkaitan dengan nilai ekonomi yang disediakan oleh lingkungan. Batasan hak dalam pengelolaan sumberdaya yang bersifat common pool resources. Hak dalam pengelolaan sumberdaya hutan yang melibatkan masyarakat di Indonesia Program Perhutanan Sosial (Social Forestry) seperti Hutan Kemasyarakatan (Hkm). Secara umum pengembangan Hutan Kemasyarakatan memiliki beberapa tujuan penting yaitu mewujudkan keberdayaan dan kesejahteraan masyarakat di dalam dan di sekitar hutan melalui manfaat ekologi, ekonomi, dan sosial budaya. Pelibatan masyarakat dalam pengelolaan hutan sangat penting dengan tujuan untuk meningkatkan kesejahteraan penduduk dan mengikutsertakan dalam pengambilan keputusan yang mampu merubah penghidupan mereka. Tetapi perlu adanya kelembagaan yang mampu mengatur dan mengendalikan. Maka dengan adanya kelembagaan yang mengatur dan mengendalikan partisipan dalam pengelolaan sumberdaya hutan akan memberikan hubungan kedepan. Terutama berkaitan dengan bentuk partisipasi dan memberikan dampak terhadap sumberdaya hutan dan berkelanjutan pembangunan Hkm. 31 10. Judul : Strategi Coping Dan Nafkah Serta Dampaknya Terhadap Keberfungsian Dan Ketahanan Fisik Keluarga Petani Miskin Di Kabupaten Blora. Tahun : 2012 Jenis Pustaka : Disertasi Bentuk Pustaka : Cetak Nama Penulis : Wasito Nama Editor : Judul Buku : Kota Penerbit dan : Program Studi Sosiologi Pedesaan, Sekolah Pasca Nama Penerbit Sarjana IPB, Bogor. Nama Jurnal : Volume (edisi): Hal : Alamat URL/doi : Tanggal diunduh : Ringkasan Bacaan Empat konsep teori Struktural fungsional yang melandasi penelitian ini yaitu sistem, struktur sosial, fungsi, dan keseimbangan. Keluarga sebagai sistem yang dinamis, terdiri dari berbagai bagian subsistem yang saling berhubungan, berfungsi memelihara keseimbangan sosial masyarakat. Sistem sosial sebagai sistem yang harmonis, berkelanjutan, dan senantiasa menuju keseimbangan. Keseimbangan sistem yang stabil dalam keluarga, dan kestabilan sistem sosial dalam masyarakat. Sistem berarti baik berada pada lapisan individual, lapisan institusional (keluarga), dan pada lapisan masyarakat. Sistem keluarga juga tidak akan lepas dari interaksinya dengan sistem-sistem lainnya yang ada, seperti sistem ekonomi, politik, pendidikan, kesehatan, dan agama, juga keluarga berfungsi dalam memelihara keseimbangan sosial masyarakat. Menurut Struktural Fungsional (Talcott Parson), ekonomi (adaptasi, A), merupakan salah satu dari beberapa subsistem masyarakat, yaitu pencapaian tujuan (G), integrasi (I) untuk mencapai keseimbangan, dan pola pemeliharaan dan manajeman (L), mempunyai satu sistem nilai dan kepercayaan. Institusi khusus yang berfungsi pemeliharaan laten adalah agama, ilmu pengetahuan, keluarga dan pendidikan. Pada sistem kehidupan keluarga petani miskin di Kab. Blora, diduga penghasilan dari usahatani dan buruh tani tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan pokok, mereka akan mengalokasikan tenaga keluarga, pola nafkah ganda, mengerjakan berbagai jenis pekerjaan (the multiple employment strategy), senada dengan temuan White (1991), Dharmawan et al (2004) di luar Blora, dan nafkah berbasis modal sosial (kepercayaan, relasi, dan jaringan sosial (Putman)) sebagai strategi bertahan hidup, yang sangat tergantung pada pertanian. Jika berkelanjutan nafkah terancam mereka akan melakukan strategi coping, dengan mengubah strategi nafkah yang biasa dengan strategi nafkah baru, menggunakan sumber-sumber nafkah. Teori yang mendasari strategi coping adalah teori perilaku. Tingkah laku adalah fungsi dari pada sikap (Ahmadi 1999; Azwar 2003). Sikap dan tingkah laku ibarat dua sisi mata uang yang tidak dapat dipisahkan. Strategi coping yang dilakukan dalam kontek krisis, dalam kontek penelitian ini musim tidak panen (durasi waktu) yang dominan, atau kemarau panjang, yang disertai tekanan sumberdaya, diduga berbeda dengan strategi coping dalam kondisi normal, dalam kontek penelitian ini musim panen. 32 Strategi coping dan nafkah berbasis modal sosial yang dilakukan keluarga petani miskin diharapkan dapat mengoptimalkan keberfungsian keluarga dalam memenuhi kebutuhan pokok (pangan, kesehatan, pendidikan, perumahan) dari berbagai kerentanan, perubahan sumberdaya, dan krisis. Setiap keluarga akan mengembangkan sistem penyesuaian diri (adaptasi) dalam merespon perubahan, baik bersifat jangka pendek (coping mechanism), atau yang lebih bersifat jangka panjang (adaptive mechanism). Secara operasional, diduga terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi strategi coping, nafkah berbasis modal sosial, keberfungsian keluarga, dan pemenuhan kebutuhan pokok. Strategi coping dan nafkah berbasis modal sosial sebagai bagian dari perilaku keluarga akan dipengaruhi berbagai faktor prodispocing (pengetahuan, sikap, dan nilai), faktor enabling (sarana dan fasilitas), dan faktor reinforcing (dukungan masyarakat dan lingkungan). Apabila keluarga memiliki sedikit sumber coping, baik secara individu atau kolektif, maka proses coping tidak akan pernah dimulai, dan tekananm krisis dapat terjadi berkelanjutan. Dalam bacaan ini berfokus pada tentang ekosistem keluarga dalam menganalisis strategi coping, strategi nafkah berbasis modal sosial, dan dampaknya terhadap keberfungsian keluarga, pemenuhan kebutuhan pokok (pangan, kesehatan, pendidikan, perumahan), dan ketahanan fisik keluarga. Secara umum ada perbedaan pada keluarga contoh tiga zona agroekosistem dalam strategi coping aspek ekonomi. Namun tidak berbeda pada karakteristik keluarga (mikro), sikap keluarga terhadap lingkungan sosial ekonomi, budaya, dan ekologi (meso), serta sikap keluarga terhadap dukungan sosial ekonomi dan kebijakan (makro). Faktor yang mempengaruhi strategi coping dalam penelitian ini yang tentunya dilakukan oleh keluarga contohnya secara signifikan adalah pendidikan, ukuran keluarga, sikap keluarga pada tatanan meso, dan strategi nafkah berbasis modal sosial. Keempat variabel berpengaruh negatif terhadap strategi coping. Pendidikan dan besar keluarga berpengaruh pada strategi nafkah berbasis modal sosial yang dilakukan keluarga. Kedua variabel berpengaruh positif terhadap strategi nafkah. Maka dalam pemenuhan kebutuhan pokok dan ketahanan fisik keluarga dipengaruhi secara positif oleh sikap pada tatanan meso dan keberfungsian keluarga. Sementara keberfungsian keluarga sendiri dipengaruhi secara negatif oleh besar keluarga dan dipengaruhi secara positif oleh strategi coping. Hasil analisi menujukan bahwa faktor yang berpengaruh secara langsung terhadap pemenuhan kebutuhan pokok dan ketahanan fisik keluarga adalah sikap keluarga pada tatanan meso dan keberfungsian keluarga. Pemenuhan kebutuhan pokok juga dipengaruhi secara tidak langsung oleh strategi coping, strategi nafkah, pendidikan, dan besar keluarga. Pemenuhan kebutuhan pokok keluarga mendapat dukungan wilayah (ketahanan pangan desa, infrastruktur pengairan P4MI) dan ikatan sosial yang tinggi masyarakat. 33 Analisis Bacaan Keluarga Miskin Krisis Strategi Coping Cara Bertahan Hidup dengan Modal Sosial Keluarga merupakan sistem yang dinamis, terdiri dari berbagai bagian subsistem yang saling berhubungan. Pada sistem kehidupan keluarga miskin di Kab Blora, diduga pengahasilan dari usahatani dan buruh tani namun tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan pokok, mereka akan mengalokasikan tenaga keluarga, pola nafkah ganda, dan mengerjakan berbagai macam pekerjaan. Strategi coping dilakukan ketika dalam kontek krisis, pada saat tidak panen, atau kemarau panjang. Dengan strategi coping keluarga bertahan hidup dengan meningkatkan modal sosial yang dilakukan keluarga petani miskin, diharapkan dengan mengoptimalkan keberfungsian keluarga dalam memenuhi kebutuhan pokok dari berbagai kerentanan, perubahan sumberdaya, dan krisis. 34 BAB III RANGKUMAN DAN PEMBAHASAN 3.1 Rumahtangga Petani (RTP) Pengertian Rumahtangga Petani (RTP) dalam bahasa inggris dikenal dengan istilah Farm Household mempunyai pengertian dan karakteristik yaitu satu unit kelembagaan yang setiap saat mengambil keputusan produksi pertania, konsumsi, curahan kerja, dan reproduksi (Nakajima 1986). RTP dapat dipandang sebagai satu kesatuan unit ekonomi, mempunyai tujuan yang ingin dipenuhi dari sejumlah sumberdaya yang dimiliki, kemudian sebagai unit ekonomi RTP akan memaksimalkan tujuannya dengan keterbatasan sumberdaya yang dimiliki. Pola perilaku RTP dalam aktivitas pertanian maupun penentuan jenis-jenis komoditas yang diusahakan dapat bersifat subsisten, semi komersial, dan sampai berorientasi ke pasar. Nakajima (1986) mengatakan bahwa pertanian sebagai suatu industri memiliki karakteristik yang dapat diklarisifikasikan kedalam tiga kelompok yaitu: 1. Karakteristik teknologi dan produksi pertanian. 2. Karakteristik rumahtangga petani sebagai satu kesatuan unit ekonomi (produksi pertanian sebagian besar di bawah kontrol rumahtangga petani). 3. Karakteristik dari komoditas pertanian. Nakajima (1986) memberikan defenisi RTP (farm household) sebagai satu kesatuan unit yang kompleks dari perusahaan pertanian (farm firm), rumahtangga pekerja dan rumahtangga konsumen (the laborer’s household and consumer’s household) dengan prinsip perilaku yang memaksimalkan utilitas. Produktivitas pertanian sangat ditentukan oleh keberadaan RTP dan lingkungan sekitarnya. Secara spesifik, RTP merupakan satu unit kelembagaan yang setiap saat memutuskan produksi pertanian, konsumsi, dan reproduksi. Pola perilaku RTP mempunyai karakteristik semikomersial, sebagian hasil produksi dijual ke pasar dan sebagian dikonsumsi rumahtangga sendiri, membayar atau membeli sebagian input seperti pupuk, obat-obatan, dan sewa tenaga kerja. Tetapi juga dapat menjual atau mempergunakan input pertanian milik keluarga sendiri. 3.2 Konsep Resiliensi Menurut Adger (2000), resiliensi merupakan kebalikan dari kerentanan (vurnerability), dimana kedua konsep tersebut laksana dua sisi mata uang. Konsep resiliensi merupakan konsep yang luas, didalamnya termasuk kapasitas dan kemampuan merespon dalam situasi krisis,konflik,darurat. Resiliensi merupakan kemampuan untuk bertahan dan kembali ke keadaan semula pada saat terjadi bencana. Resiliensi merupakan proses yang dinamis mencakup adaptasi yang positif saat rerjadi bencana. Resiliensi pada saat bencana adalah kemampuan untuk mencegah atau melindungi serangan dan ancaman yang memiliki banyak resiko dan kejadian. Resiliensi termasuk dalam sistem penguatan, membangun pertahanan, dan mengimplementasikan back up system, dan pengurangan kerugian (James et al. 2006 dalam Praptiwi 2009) Palmer (1997) dalam Praptiwi (2009) mendeskrispsikan empat tipe resiliensi, yaitu: 1. Anomic survival; orang atau keluarga yang dapat bertahan dari gangguan 36 2. Regenerative resilience; dapat melengkapi usaha untuk mengembangkan kompetnsi dari mekanisme coping 3. Adaptive resilience; periode yang relatif berlanjut dari pelaksanaan dan strategi coping 4. Flourishing resilience; penerapan yang luas dari perilaku dan strategi coping Michalski & Watson dalam Praptiwi (2009) memaparkan berbagai karakteristik rumahtangga yang memiliki resiliensi, yakni: 1. Kompeten dalam menyelesaikan masalah dan kemampuan dalam mengambil keputusan 2. Adanya pembagian tugas dalam rumahtangga 3. Fleksibilitas dan kemampuan adaptasi untuk mencapai tujuan 4. Kemampuan komunikasi yang baik 5. Mempunyai hubungan yang konsisten dengan sesama. 3.3 Sumber Pendapatan Rumahtangga Fitur penting dalam defenisi mata pencaharian ini adalah untuk mengarahkan perhatian hubungan antara aset dan dimiliki orang-orang pilihan dalam praktek untuk mengejar kegiatan alternative yang dapat menghasilkan tingkat pendapatan yang diperlukan untuk kelangsungan hidup. Mata pencaharian terdiri dari aset (alam, fisik, manusia, keuangan dan sosial modal), kegiatan, dan akses ini (dimediasi oleh lembaga dan hubungan sosial) yang bersama-sama menentukan hidup yang diperoleh oleh individu atau rumahtangga. Menurut Ellis (2000), pendapatan rumahtangga dibagi menjadi tiga kategori. Pertama, pendapatan pertanian (on farm) yakni pendapatan yang diperoleh dari pertanian yang diperhitungkan sendiri seperti lahan milik sendiri atau lahan yang diperoleh melalui pembelian tunai atau bagi hasil. Kedua, pedapatan (off farm), yakni pendapatan yang berupa upah tenaga kerja pertanian termasuk upah dalam bentuk pemberian barang seperti padi dan upah kerja yang lain. Ketiga, pendapatan non pertanian (Non Farm), yakni pendapatan yang berasal dari luar kegiatan pertanian yang dibagi menjadi enam kategori yaitu (1) upah tenaga kerja pedesaan bukan dari pertanian; (2) usaha sendiri di luar kegiatan pertanian atau pendapatan bisnis; (3) pendapatan dari hak miliki (misal: sewa); (4) kiriman dari buruh migran yang pergi ke kota; (5) transfer dari urban yang lain seperti pendapatan pensiunan dan (6) kiriman dari buruh migran yang pergi ke luar negeri. Ellis (2000) mengatankan bahwa terdapat lima kategori modal utama sebagai basis nafkah yaitu sebagai berikut: 1. Modal alam mengacu pada sumberdaya alam (tanah, air, pohon) yang menghasilkan produk yang digunakan oleh populasi manusia untuk kelangsungan hidup mereka. 2. Modal fisik mengacu pada aset dibawa untuk mengeksistensikan proses produksi ekonomi. 3. Modal manusia mengacu pada tingkat pendidikan dan status kesehatan individu dan populasi. 4. Modal finansial mengacu pada stok uang tunai yang dapat diakses untuk membeli baik barang produksi atau konsumsi, dan akses pada kredit, dan 37 5. Modal sosial mengacu pada jaringan sosial dan asosiasi di mana orang berpartisipasi, dan mereka dapat memperoleh dukungan yang memberikan kontribusi untuk mata pencaharian mereka. Ellis (2000) mengelompokkan pendapatan menjadi pendapatan uang (in cash) atau bentuk kontribusi lain (in kind) untuk kesejahteraan material individu atau keluarga yang diperoleh dari berbagai kegiatan. Bentuk pendapatan tunai meliputi penjualan tanaman atau ternak, gaji atau upah, sewa dan kiriman uang (remittance). Pendapatan dalam bentuk lain mengacu pada konsumsi produk tanaman sendiri, pembayaran dalam bentuk barang, dan transfer atau pertukaran barang konsumsi antara rumahtangga dalam komunitas desa atau antara rumahtangga dengan desa dan kota. Upaya dalam mempertahankan kelangsungan hidup, rumahtangga petani tidak hanya menerapkan salah satu strategi nafkah tetapi dengan mengkombinasikan dari berbagai bentuk strategi nafkah. Masitoh (2005) mengatakan bahwa terdapat enam bentuk strategi nafkah yang dilakukan rumahtangga petani yaitu sebagai berikut: 1. Strategi waktu (pola musiman), strategi ini dilakukan dengan memanfaatkan saatsaat tertentu atau peristiwa tertentu yang terjadi. 2. Strategi alokasi sumberdaya manusia (tenaga kerja), strategi ini dilakukan dengan memanfaatkan seluruh tenaga kerja yang dimilikinya untuk melakukan pekerjaan sesuai dengan kemampuan masing-masing. 3. Strategi intensifikasi pertanian, strategi ini dilakukan dengan memanfaatkan lahan pertanian secara maksimal. 4. Strategi spasial, strategi ini dilakukan dengan berbasiskan rekayasa sumberdaya yang dilakukan dalam rangka peningkatan pendapatan keluarga guna mempertahankan kelangsungan hidup rumahtangga. 5. Strategi pola nafkah ganda, strategi ini dilakukan dengan cara menganekaragamkan nafkah, dan 6. Strategi berbasiskan modal sosial, strategi ini dilakukan dengan memanfaatkan kelembagaan kesejahteraan asli dan pola hubungan produksi. 3.4 Strategi Nafkah Rumahtangga Strategi nafkah (livelihood strategy) adalah seperangkat pilihan tindakan dari berbagai alternatif yang ada dengan memanfaatkan berbagai sumberdaya (baik sumberdaya berupa barang atau kegiatana ekonomi, maupun dengan memanfaatkan modal sosial) untuk dapat memenuhi kebutuhan guna mempertahankan keberlangsungan hidup. Ellis (2000) mengatakan bahwa nafkah mengarah kepada perhatian hubungan antara aset dan pilihan orang untuk kegiatan alternatif yang dapat menghasilkan tingkat pendapatan untuk bertahan hidup, dimana sebuahnafkah terdiri dari aset (alam, fisik, manusia, modal keuangan, dan sosial) kegiantan dan akses (dimediasi oleh lembaga dan hubungan sosial) yang bersama-sama menentukan hidup individu atau rumahtangga. Strategi nafkah dilakukan melalui pola jaringan keamanan sosial berlapis dilakukan untuk menghadapi beberapa kemungkinan buruk yang menimpa individu atau rumahtangga yaitu menyusun formasi keamanan sosial sebagai berikut: keamanan sosial berbasis keluarga, keamanan sosial berbasis pertemanan, keamanan sosial berbasis patron-klien, 38 keamanan sosial berbasis kelembagaan lokal, dan keamanan sosial berbasis pertetanggaan Iqbal (2004) dalam Prasetya (2013). Chambers dan Conway (1992) dalam Ellis (2000) membagi strategi nafkah rumahtangga kedalam tiga tahap yaitu despertion, vulnerability, dan independence. Masing-masing tahap tersebut memiliki prioritas pemenuhan kebutuhan yang berbeda pula. Tahap pertama yaitu Despertion, tujuannya adalah bertahan hidup (survival), cara yang ditempuh adalah dengan menjadi buruh lepas, memanfaatkan common proverty, migrasi musiman, dan meminjam dari patron. Tahap kedua yaitu Vulnerability, jaminan keamanan adalah tujuan utamanya, diperoleh dengan mengembangkan aset, menggadaikan aset, dan berhutang. Tahap ketiga yaitu Independence, kehormatan diri, misalnya berusaha membebaskan diri dari status klien dalam hubungan patron-klien, melunasi hutan, menabung dan membeli atau mengembangkan aset yang mereka miliki. Scoones (1998) mengatakan bahwa dalam penerapan strategi nafkah, rumahtangga petani memanfaaatkan berbagai sumberdaya yang dimiliki dalam upaya untuk mempertahankan hidup. Strategi nafkah (livelihood strategy) diklasifikasikan berdasarkan tiga kategori, yaitu (1) rekayasa sumber nafkah pertanian, yang dilakukan dengan memanfaatkan sektor pertanian secara efektif dan efisien baik melalui penambahan input eksternal seperti teknologi dan tenaga kerja (intensifikasi), maupun dengan memperluas lahan garapan (ekstensifikasi); (2) pola nafkah ganda (diversifikasi), yang dilakukan dengan menerapkan keanekaragaman pola nafkah dengan cara pekerjaan lain selain pertanian untuk meningkatkan pendapatan atau dengan mengerahkan tenaga kerja keluarga (ayah, ibu, dan anak) untuk ikut bekerja, selain pertanian, dan memperoleh pendapatan; dan (3) rekayasa spasial (migrasi), merupakan usaha yang dilakukan dengan melakukan mobilitas ke daerah lain di luar desanya, baik secara permanen maupun sirkuler untuk memperoleh pendapatan tambahan. White (1990) dalam Prasetya (2013) mengatakan bahwa dibedakan rumahtangga petani kedalam tiga kelompok dengan strategi nafkah yang berbeda. Pertama, rumahtangga yang mengusahakan tanah pertanian luas, yang menguasai surplus produk pertanian diatas kebutuhan hidup mereka. Surplus ini seringkali dimanfaatkan untuk membiayai pekerjaan di luar sektor non-pertanian, dengan imbalan penghasilan yang relatif tinggi pula. Pada golongan pertama, strategi nafkah yang mereka terapkan adalah strategi akumulasi dimana hasil pertaniannya mampu diinvestasikan kembali baik pada sektor pertanian maupun non-pertanian. Kedua, rumahtangga usaha tani sedang (usahatani hanya mampu memenuhi kebutuhan subsisten). Mereka biasanya bekerja pada sektor non-pertanian dalam upaya melindungi diri dari gagal panen atau memberikan sumber pendapatan yang berkelanjutan mengingat usaha pertanian bersifat musiman. Strategi mereka ini dapat disebut sebagai strategi konsolidasi. Ketiga, rumahtangga usaha tani gurem atau tidak bertanah. Mereka bekerja dari usaha tani ataupun buruh tani, dimana penghasilannya tidak dapat mencukupi kebutuhan dasar. Rumahtangga ini akan mengalokasikan sebagian dari tenaga kerja mereka tanpa modal, dengan imbalan yang rendah kedalam kegiatan luar pertanian. Rumahtangga golongan ketiga ini menerapkan strategi bertahan hidup (survival strategy). Sistem kehidupan (livelihood system) keluarga petani pada setiap lapisan atau strata sosial ekonomi akan berbeda. Pada keluarga petani lapisan bawah petani gurem (miskin) penghasilan dari usahatani dan buruk tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan 39 hidup, mereka akan mengalokasikan tenaga kerja ke sektor non pertanian sebagai strategi bertahan hidup. Dalam Ellis (2000) pada konsep segilima pentagon, ada lima tipe modal yang dapat dimiliki atau dikuasai oleh keluarga untuk pencapaian sistem kehidupannya yaitu modal manusia, modal fisik, modal finansial, modal alam, dan modal sosial. Konsep ini menjadi aset utama bagi orang miskin dalam kehidupannya. Kelima modal ini perlu untuk dikelola secara berkelanjutan, agar faktor-faktor yang mempengaruhi kehidupan, interaksi antara faktor, serta keberlanjutan untuk menyambung hidup. Rumahtangga petani tak bertanah (miskin) umumnya menerapkan strategi bertahan hidup (survival strategi). Modal Manusia Modal Sosial Modal Fisik Modal Alamiah Modal Finansial Gambar 1. Konsep segilima pentagon (modal) Ellis (2000) Gambar 1. Untuk mempermudah memahami seberapa besar akses keluarga dari setiap tipologi aktivitas nafkah terhadap setiap jenis modal, kami berusaha memvisualisasi grafik pentagon dalam dua dimensi, yaitu (1) Tanda negatif (arah panah mengarah ke dalam) di dalam komponen setiap modal yang menjadi sumber menandakan masalah yang perlu penanganan, (2) Tanda positif (arah panah mengarah ke luar) menunjukan modal yang dapat dikembangkan lebih lanjut. Perbandingan antara tanda plus dan minus akan menentukan arah panah yang berada dalam pentagon. Bila tanda minus lebih banyak dari pada tanda plus, maka panah dalam pentagon akan mengarah ke dalam, begitupun sebaliknya. 3.5 Kemiskinan Badan Pusat Statistik (BPS) mendefenisikan kemiskinan sebagai ketidakmampuan memenuhi kebutuhan dasar untuk kehidupan yang layak (kebutuhan dasar makanan maupun kebutuhan dasar bukan makanan). Lebih lanjut Urip (2008) menyatakan bahwa dalam menggolongkan penduduk ke dalam miskin atau tidak miskin, BPS membandingkan tingkat konsumsi penduduk dengan garis kemiskinan atau jumlah rupiah konsumsi orang per bulan. Urip (2008) menjelaskan bahwa kemiskinan adalah kondisi terjadinya kekurangan pada taraf hidup manusia secara fisik (kebutuhan dasar materi dan biologis termasuk kekurangan nutrisi, kesehatan, pendidikan, dan perumahan) serta sosial (risiko kehidupan, kondisi ketergantungan, ketidakberdayaan, dan kepercayaan diri yang kurang). 40 Chambers (1996) menyatakan bahwa kemiskinan (poverty) adalah konsep integrasi dari lima dimensi yaitu (1) kemiskinan (proper); (2) ketidakberdayaan (powerless); (3) kerentanan menghadapi situasi darurat (state of emergency); (4) ketergantungan (dependence); dan (5) ketersaingan (isolation) baik secara geografis maupun sosiologis. Tingkat kemiskinan merupakan suatu yang dapat diukur sehingga munculah garis kemiskinan. Terdapat beberapa konsep atau pendekatan yang dapat digunakan dalam menghitung angka kemiskinan, diantaranya konsep kebutuhan dasar (the concept of minimum needs) dan konsep satuan pengukuran (unit measure). Konsep kebutuhan dasar diadopsi oleh BPS dan menjadi standar penentuan angka kemiskinan di Indonesia. BPS menggunakan suatu garis kemiskinan yang dinyatakan dalam rupiah untuk membedakan antara penduduk miskin dan bukan penduduk miskin. Nilai rupiah tersebut ditentukan berdasarkan nilai yang dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan minimum makanan dan bukan makanan. Kebutuhan makanan minimum makanan adalah besarnya nilai rupiah yang dikeluarkan untuk dapat memenuhi kebutuhan minimum energi sebesar 2100 kalori per hari, sedangkan kriteria kebutuhan minimum bukan makan adalah nilai rupiah yang dikeluarkan untuk dapat memenuhi kebutuhan lainnya selain makanan misalnya perumahan, pakaian, pendidikan, kesehatan, dan sebagainya. Urip (2008). Sementara itu, konsep satuan pengukuran mengacu pada penjelasan dalam teori ekonomi bahwa kemampuan seseorang untuk memenuhi barang dan jasa tercermin dari daya beli (purchasing power) dan satuan mata uang merupakan pendekatan yang paling efektif untuk mengukur daya beli. Konsep tersebut di adopsi oleh World Bank untuk menjadi standar kemiskinan, dimana penduduk miskin adalah mereka yang berpenghasilan dibawah $2 per hari. 41 BAB IV KESIMPULAN 4.1 Hasil Rangkuman dan Pembahasan Pada era globalisasi ini menuntut persaingan yang harus dihadapi oleh setiap individu bahkan sampai dengan rumahtangga, yang menuntut setiap individu sebagai aktor dalam mencari penghidupan harus mampu meningkatkan kualitas dalam dirinya. Sumber nafkah merupakan suatu aset sumberdaya yang dimiliki oleh rumahtangga untuk mencapai tujuan nafkah rumahtangga. Rumahtangga tidak tergantung hanya pada satu unit pekerjaan tertentu, dalam jangka waktu tertentu, dan tidak ada satu sumber nafkah yang dapat memenuhi semua kebutuhan rumahtangga. Struktur pendapatan adalah suatu komposisi pendapatan rumahtangga petani dari berbagai aktivitas nafkah yang dilakukan oleh seluruh anggota rumahtangga. Sumber nafkah rumahtangga dapat dibedakan menjadi tiga kategori. Pertama, sumber nafkah yang berasal pertanian (on farm) pendapatan yang diperoleh dari pertanian. Kedua, sumber nafkah (off farm) pendapatan yang berupa upah tenaga kerja pertanian. Ketiga, sumber nafkah (non farm) pendapatan yang berasal dari luar kegiatan pertanian. Sedangkan, strategi nafkah merupakan seperangkat pilihan tindakan dari berbagai alternative yang ada dengan memanfaatkan berbagai sumberdaya untuk dapat memenuhi kebutuhan guna mempertahankan keberlangsungan hidup. Hutan merupakan suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumberdaya alam hayati yang didominasi oleh pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya yang satu dengan yang lainnya tidak dapat dipisahkan. Dengan berbagai manfaat yang ada dalam hutan, rumahtangga petani yang ada dikawasan hutan memiliki kesempatan dalam memperoleh manfaat yang optimal bagi kesejahteraan rumahtangga petani. Namun, sebagai suatu usaha dalam mempertahankan keberlangsungan hidup struktur dan strategi nafkah rumahtangga ini memiliki banyak kendala yaitu seperti pemilikan lahan, penguasaan lahan, dan pengusahaan lahan. Pertama, pemilikan lahan menunjukan kepada penguasaan formal. Kedua, penguasaan menunjuk kepada penguasaan efektif. Misalnya, jika sebidang tanah disewakan kepada orang lain maka orang lain itulah secara efektif menguasainya. Ketiga, pengusahaan menunjuk kepada bagaimana cara sebidang tanah diusahakan secara produktif. Dengan adanya beberapa kendala ini kita dapat melihat seperti apa struktur nafkah rumahtangga petani dan beragamnya strategi nafkah rumahtangga petani di kawasan hutan agar tetap bertahan hidup. Resiliensi merupakan kemampuan untuk bertahan dan kembali ke keadaan semula pada saat terjadi bencana. Resiliensi merupakan proses yang dinamis mencakup adaptasi yang positif saat rerjadi bencana. Resiliensi pada saat bencana adalah kemampuan untuk mencegah atau melindungi serangan dan ancaman yang memiliki banyak resiko dan kejadian. 4.2 Pertanyaan Penelitian Berdasarkan rangkuman, pembahasan, dan simpulan yang telah dibuat, maka dapat dirumuskan pertanyaan penelitian, antara lain: 42 1. Bagaimana bentuk penguasaan aset modal rumahtangga petani di kawasan hutan? 2. Bagaimana penerapan strategi nafkah rumahtangga petani di kawasan hutan? 3. Seberapa besar pengaruh resiliensi terhadap struktur dan strategi rumahtangga petani di kawasan hutan? 4.3 Kerangka Pemikiran Rumahtangga Petani Kerentanan (Vulnerability): 1. Bencana Alam Strategi Nafkah: 1. Rekayasa sumber nafkah pertanian 2. Pola nafkah ganda 3. Rekayasa Spasial (Migrasi) Livelihood Asset: 1. 2. 3. 4. 5. Modal Manusia Modal Alamiah Modal Fisik Modal Finansial Model Sosial Resiliensi Tingkat Pendapatan: 1. On Farm 2. Off Farm 3. Non Farm Keterangan: Hubungan Rumahtangga petani bisa dipandang sebagai suatu unit ekonomi, yang memiliki tujuan ingin dipenuhi dari sejumlah sumberdaya yang dimiliki, sebagai unit ekonomi rumahtangga petani akan memaksimumkan tujuannya, dengan keterbatasan sumberdaya yang dimiliki. Usaha dalam pertanian merupakan usaha yang rentan. Hal ini bisa saja di akibatkan keterbatasan petani terhadap berbagai hal seperti akses terhadap informasi, teknologi dan sebagainya. Kerentanan pada petani dengan adanya ketergantungan terhadap alam yang sangat tinggi dalam menggantungkan kehidupannya, sementara alam memiliki sifat yang tidak dapat diprediksi dan tidak menentu. Usaha yang dilakukan 43 untuk keluar dari permasalahan, petani dapat menerapkan berbagai strategi untuk dapat tetap bertahan hidup. Beragam strategi dapat diterapkan oleh petani sesuai dengan kondisi alam dan karakteristiknya. Salah satunya dengan mengelola dan memanfaatkan livelihood asset berupa modal fisik, alam, finansial, sosial, dan manusia. Dengan tujuan rumahtangga petani dapat bertahan hidup. 44 45 DAFTAR PUSTAKA Dipokusumo. B. 2011. Model Partisipatif Perhutanan Sosial Menuju Pengelolaan Hutan Berkelanjutan. [Disertasi]. Bogor (ID). Institut Pertanian Bogor Ellis F. 2000. Rural livelihood and Diversity In Developing Countries. United Kingdom. Oxford Ellis F dan Freeman HA. 2005. Rural livelihood and Poverty Reduction Policies. London (UK) Fridayanti N. 2013. Analisis Struktur dan Strategi Nafkah Rumahtangga Petani Sekitar Kawasan Hutan Konservasi di Desa Cipeuteuy, Kabupaten Sukabumi. [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor Masitoh AD. 2005. Analisis Strategi Rumahtangga Petani Perkebunan Rakyat (Suatu Kajian Perbandingan: Komunitas Teh Ciguha Jawa Barat dan Komunitas Petani Perkebunan Tebu Puri Jawa Timur). [Skripsi]. Bogor [ID]: Institut Pertanian Bogor. 130 hal Nakajima C. 1986. Subjective Equilibrium Theory of the Farm Household. Amsterdam Elsevier Science Publisher BV. Prasetya. AR. 2013. Struktur dan Strategi Nafkah Rumahtangga Petani Peserta Program Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM). [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor Purnomo AM. 2006. Strategi Nafkah Rumahtangga Desa Sekitar Hutan (Studi Kasus Desa Peserta PHBM di Kabupaten Kuningan, Provinsi Jawa Barat. [tesis]. Bogor (ID). Institut Pertanian Bogor Scoones. 1998. Sustainable Rural Livelihoods a Framework for Analysis. IDS Working Paper 72. Brighton [UK]: Institute for Development Studies. Tittonell P. 2014. Livelihood Strategies, Resilience, and Transfomability In African Agroecosystems. Netherland. Wageningen Urip S. 2008. Perkembangan jumlah penduduk miskin dan factor penyebabnya. Di dalam: Yusdaja et al., editor. Peran Sektor Pertanian dalam Penanggulangan Kemiskiskinan. Bogor [ID]: Pusat Ananlisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian. Wasito. 2012. Strategi Coping Dan Nafkah Serta Dampaknya Terhadap Keberfungsian Dan Ketahanan Fisik Keluarga Petani Miskin Di Kabupaten Blora. [Disertasi]. Bogor (ID). Institut Pertanian Bogor Widiyanto. 2009. Strategi Nafkah Rumahtangga Petani Tembakau Di Lereng Gunung Sumbing. [tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor Worku A et.all. 2014. Forest Policy and Economics. Germany. Dresden 46 47 RIWAYAT HIDUP Tomi As’ad Ginanjar dilahirkan di Tasikmalaya pada tanggal 25 Juni 1993 adalah anak tunggal dari pasangan Drs. H. T. Achmad Boestomi dan Elis Sulaefah, S,Pd. Pendidikan formal yang pernah dijalani adalah TK Perwari I periode 1998-1999, SDN Awipari II periode 1999-2005, SMP Negeri 11 Tasikmalaya periode 2005-2008, SMA Negeri 3 Kota Tasikmalaya periode 2008-2011. Pada tahun 2011, penulis diterima sebagai salah satu mahasiswa di Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor melalui jalur SNMPTN undangan. Selain aktif dalam perkuliahan, penulis juga aktif mengikuti kegiatan di dalam dan luar kampus. Penulis juga aktif sebagai pengurus Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Fakultas Ekologi Manusia (FEMA). Divisi Pengembangan Budaya, Olahraga, dan Seni. pada masa kepengurusan 2012/2013. Penulis juga aktif dalam berbagai kegiatan kepanitiaan dalam beberapa event di IPB antara lain dalam Masa Perkenalan Fakultas dan Masa Perkenalan Departemen SKPM pada tahun 2013, kepanitiaan Ecology Sport and Art ke 6, Familarity Night 2013, Connection 2014 yang diadakan oleh Himasiera dan BEM FEMA.