KEMITRAAN USAHA DAN JARINGAN SOSIAL PEMBUDIDAYA RUMPUT LAUT DI KABUPATEN BONE (Studi Kasus Kelurahan Pallete, Kecamatan Taneteriattang Timur) PARTNERSHIP AND SOCIAL NET SEA WEED CULTIVATOR IN TAKALAR REGENCY (Case Study on Pallete Village, Taneteriattang Timur Sub district) Oleh : Amiluddin ABSTRACK This research to know characteristic and partnership pattern on sea weeds cultivator society, relevance patterns production system partnership and marketing to social net construction and implication to sea weeds cultivator’s household welfare. The data was collected through interview, quisionere and direct obeservation. The data was analysed by using qualitative and quantitative. The result of this research partnership that did by sea weed cultivator consisting of three patterns which is; pattern traditional partnership, market and government. Patron-client social net is still institution in society so punggawa's position so sentral well of dimensioning economic and also social. Implication to welfare hasn’t on level that significant yet cause cultivator position effect in partnership don't in bargaining position one that one par bases its role. Keywords : Partnership, Social net and cultivator. PENDAHULUAN Masyarakat pesisir sebagai suatu komunitas memiliki karakteristik ”survival of the fittest” yang sangat lekat atau menjadi ciri dalam kehidupannya. Salah satu bentuk strategi sosial (adaptasi) yang senantiasa dilakukan dalam menghadapi lingkungan pekerjaan serta kondisi-kondisi dari berbagai keterbatasan yang dialami adalah melalui pertukaran sosial atau jaringan sosial. Konteks jaringan sosial (social net) untuk jaringan produksi dan pemasaran yang terbentuk, ternyata seringkali kepadanya hanya ditempatkan atau diposisikan sebagai objek eksploitatif oleh para pemilik modal. Harga ikan maupun komoditas budidaya, sebagai sumber pendapatan mereka, tetap ”dikendalikan” oleh para pemilik modal atau para pedagang/tengkulak, sehingga distribusi pendapatan menjadi sangat tidak merata (Bailey, 1982; Mubyarto dan Dove, 1985). Iskandar dan Matsuda (1989) menyebutkan pula bahwa dalam hubungan produksi (relation of production) yang terjadi antara nelayan dengan tengkulak telah menyebabkan margin yang jatuh ke tangan nelayan dan pembudidaya ikan hanya sekitar 5 hingga 10 persen saja, selebihnya jatuh ke tangan mereka (para tengkulak tingkat desa, pedagang tingkat lokal, pedagang tingkat regional dan sebagainya) Dalam konteks sekarang, seiring dengan upaya pemberdayaan masyarakat, strategi yang banyak dikembangkan baik dari pemerintah, maupun swasta dalam mengatasi situasi tersebut adalah melalui konsep kemitraan. Jika dikontekskan konsep kemitraan dengan usaha perikanan yang digeluti oleh masyarakat pesisir di Sulawesi Selatan, maka salah satu potensi komoditas perikanan adalah budidaya rumput laut. 1 Komoditas ini (rumput laut ; sea weed) telah dijadikan sebagai komoditas unggulan dalam revitalisasi dibidang perikanan yang memiliki nilai tambah (added value) tinggi. Pola kemitraan usaha melalui jaringan produksi dan pemasaran pada kondisi ideal akan membuka akses mereka (orang miskin) terhadap teknologi, pasar, pengetahuan, modal, manajemen, serta pergaulan bisnis yang akan berdampak pada peningkatan aksebilitas dan kesejahteraannya secara menyeluruh Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui karakteristik usaha dan pola kemitraan pada masyarakat pembudidaya rumput laut, keterkaitan pola kemitraan sistem produksi dan pemasaran terhadap konstruksi jaringan sosial serta implikasi terhadap kesejahteraan rumahtangga pembudidaya rumput laut. METODOLOGI PENELITIAN Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juni - Agustus 2010, di Kelurahan Pallette Kecamatan Taneteriatang Timur Kabupaten Bone. Keseluruhan tahapan penelitan, mulai persiapan, pengumpulan data maupun pengolahan data dilakukan dengan prinsip pendekatan kualitatif dan kuantitatif (Creswell, 1994). Teknik pengumpulan data adalah observasi, wawancara dan studi literatur. Data yang dikumpulkan meliputi data primer dan data sekunder. Data sekunder diperoleh melalui studi pustaka. Data primer dikumpulkan melalui wawancara mendalam (indept interview) dan kuisioner. Populasi adalah seluruh pembudidaya di Desa Punaga sebayak 409 orang pembudidaya, sampel (30%) sebanyak 123 orang pembudidaya. Wawancara mendalam dilakukan terhadap beberapa orang tertentu (key informan) yang dilakukan secara purposif, yaitu dipilih orang-orang yang dianggap mengetahui permasalahan yang diteliti. Mereka itu adalah ponggawa, pa’palele, tokoh masyarakat, sawi. Selain dengan cara purposive pemilihan informan juga dilakukan dengan cara snowball, yaitu melalui informasi dari informan yang sudah diwawancari sebelumnya (Milles, 1992). HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Karakteristik Usaha dan Pola kemitraan Masyarakat Pembudidaya Rumput Laut 1. Lingkungan Sosiokultur Masyarakat Struktur sosial di Kelurahan Pallette teridentifikasi sedikitnya dua pola hubungan sosial yang ada, yakni; struktur masyarakat komunal dan struktur berdasarkan ikatan pekerjaan. Struktur masyarakat komunal menggambarkan pola hubungan sosial berdasarkan ikatan ketetanggaan, kekerabatan, dan kepercayaan/ keagamaan yang tercirikan dalam pola hubungan berdasarkan sistem kekerabatan bersama dengan prosesiprosesi khasnya, seperti upacara kematian (angaji punna banni) dan tradisi Maulid yang tergambarkan dalam sistem agama dan kepercayaan masyarakat. Sementara untuk struktur berdasarkan ikatan pekerjaan mempolakan hubungan sosial yang menyangkut dengan mata pencaharian sebagai aktivitas ekonomi masyarakat. Konteks tersebut dikenal dengan pola hubungan punggawa-sawi, dimana punggawa sebagai pemilik alat produksi dan sawi sebagai tenaga pekerja. 2. Karakterisik Pola Kemitraan Usaha 2 Dari hasil penelitian ditemukan bahwa sedikitnya tiga bentuk pola kemitraan usaha budidaya rumput laut di Kelurahan Pallette sebagai karakteristik kerjasama usaha (kemitraan) dalam ruang sosial masyarakat, meskipun dalam operasionalitasnya nampak saling tumpang tindih dan bervariasi, sehingga dari bentuk yang satu dengan yang lainnya tidak dapat secara tegas dipisahkan dari pengaruh bentuk lainnya. Ketiga karakteristik ketiga pola kemitraan usaha budidaya rumput laut di Kelurahan Pallette adalah : a. Pola Kemitraan Tradisional. Kerjasama usaha yang terjadi pada masyarakat pembudidaya rumput laut mengikuti pola hubungan patron – client b. Pola Kemitraan Pemerintah. pola kemitraan yang dilakukan oleh pemerintah, sedikit-banyaknya juga telah megintroduksi ciri dari model atau pola kemitraan inti plasma. Dalam hal ini (Dinas Perikanan sebagai unit kasus) telah menempatkan diri dalam posisi sebagai perusahaan plasma, dengan melakukan pembuatan demplot sebagai budidaya percontohan yang sekaligus berfungsi sebagai “kebun bibit” bagi masyarakat, disamping bimbingan/pelayanan teknis dan permodalan kepada pembudidaya rumput laut. c. Pola Kemitraan Pasar. Konsep yang serupa atau hampir serupa dengan pola kemitraan dagang umum dimana dicirikan sebagai pola hubungan kemitraan antara usaha kecil dengan usaha menengah atau besar, yang didalamnya usaha menengah atau usaha besar memasarkan hasil produksi usaha kecil atau usaha kecil memasok kebutuhan yang diperlukan oleh usaha menengah atau usaha besar. Tabel 1. Perbedaan Karakteristik Pola Kemitraan Tradisional, Pemerintah dan Pasar Secara Konseptual. Aspek Bentuk Kemitraan Orientasi Utama Sifat kerja sistem sosialnya Sandaran kontrol sosial Tradisional Kemitraan Kerjasama Operasional Agribisnis Pemenuhan kebutuhan hidup komunal Patron-klien dan berdasarkan egaliter kultural (cultural compliance) Pola Kemitraan Pemerintah Pola Kemitraan Inti Plasma Melayani masyarakat Monopolis Coersive compliance Pasar Kemitraan Dagang Umum Keuntungan profit (profit oreinted) Kompetitif. penuh perhitungan (renumeration compliance) Penerapan bentuk simbol Mistis melalui singkritinisasi Pseudorealis Realis Bentuk norma utama Modifikasi perilaku Individualis Komunal & kepatuhan Sumber : Data Primer Setelah Diolah, 2010. B. Keterkaitan Pola Kemitraan Sistem Produksi dan Pemasaran terhadap Konstruksi Jaringan Sosial Masyarakat 1. Jaringan Sosial dalam Sistem Produksi Pembudidaya Rumput Laut 3 Pada umumnya, para pembudidaya rumput laut di Kelurahan Pallette adalah pemilik alat produksi dan ikut terlibat langsung dalam proses produksi. Hanya sebagian kecil dari mereka yang masih tergolong menjadi tenaga upahan harian merawat lahan budidaya rumput laut khususnya milik punggawa. Konstruksi jaringan sosial sehubungan dengan kegiatan produksi budidaya rumput laut secara sederhana terbagi dalam tiga pola hubungan kerja yaitu; kegiatan penyediaan alat-alat produksi, kegiatan budidaya dan pemeliharaan alat-alat produksi serta kegiatan panen dan pasca panen. Tabel 2. Pihak-Pihak Pemberi Dana Produksi Kepada Pembudidaya Rumput Laut di Kelurahan Pallette No 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. Pihak Pemberi Dana Produksi Bank Koperasi Bank dan Koperasi Tengkulak (pappalele ); punggawa Kerabat Kerabat dan Koperasi Teman Tidak berhutang/tidak menjawab Jumlah Koperasi Frekuensi 5 9 11 73 7 4 3 10 122 Bank (-) 1 3 (- ) 2 3 Pembudidaya rumput laut Keluarga (-) 1 Pappalele 2 3 (- ) 3 2 1 Punggawa (- ) 2 3 3 2 (-) Tetangga (+) Jasa Bengkel (%) 4,10 7,37 9,02 59,83 5,74 3,28 2,46 8,20 100 3 2 3 (+) 3 Toko Bahan/Alat Pemerintah Keterangan gambar : _____ hubungan dalam jaringan produksi 1 = hubungan vertikal 2 = hubungan diagonal 3 = hubungan horisontal ( +) = posisi pembudidaya lebih dominan (-) = posisi pembudidaya subordinat Gambar 1. Jaringan Sosial dalam Sistem Produksi dengan Pembudidaya Rumput Laut di Pandang sebagai Pusat. 2. Jaringan Sosial dalam Sistem Pemasaran Pembudidaya Rumput Laut 4 Pendekatan jaringan sosial dalam sistem pemasaran melihat pasar sebagai suatu struktur hubungan antara beberapa aktor pasar. seperti perusahaan, pesaing, pemasok (rekanan), distributor, pelanggang, pembeli dan seterusnya (Polany, 1957 dan Evers, 1998). Kesemua aktor tersebut membentuk suatu kompleksitas jaringan hubungan yang tidak hanya melibatkan modal financial (uang) tetapi juga modal budaya (cultural capital) dan modal social (social capital). Hal ini terkontekskan karena pasar berjalan dipandang tidak hanya sekedar karena adanya permintaan dan penawaran tetapi lebih dari itu, yaitu adanya kompleksitas jaringan aktor pasar yang menggunakan berbagai macam energi sosial budaya seperti trust (kepercayaan), clientization serta berbagai motif bentuk hubungan seperti kekerabatan, suku, daerah, dan seterusnya (Polanyi, 2003). Temuan dilapangan menunjukkan bahwa fenomena transformasi dari pasar lokal ke pasar nasional dan internasional yang teramati cukup kuat dalam pasar perdagangan komoditas rumput laut, sehingga transformasi ekonomi suatu masyarakat menuju kearah yang lebih sejahtera khususnya bagi golongan produsen dapat tercapai tidak relevan. Karena persoalan jarak sosial dalam jaringan sosial (produksi dan pemasaran) serta tidak tersedianya kelembagaan formal yang menangani masalah ini, sehingga dapat diasumsikan pembudidaya banyak di perlakukan tidak adil oleh pelaku-pelaku ekonomi baik dari dalam (pengusaha aras lokal) maupun dari luar desa (pengusaha supra lokal). 2 Pappalele 3 (+) Pedagang Desa Koperasi 23 1 2 3 (-) 2 3 Pedagang Kecamatan 3 2 (-) Pembudidaya rumput laut Jasa Angkut ( +) 3 3 2 2 23 2 (-) 1 3 (- ) 23 23 23 Punggawa Kaki tangan Eskportir Keterangan gambar : _____ hubungan dalam jaringan pemasaran 1 = hubungan vertikal 2 = hubungan diagonal 3 = hubungan horisontal (+) = posisi pembudidaya lebih dominan ( - ) = posisi pembudidaya subordinat Gambar 2. Jaringan Sosial dalam Sistem Pemasaran dengan Pembudidaya Rumput Laut di Pandang sebagai Pusat. Tabel 3. Perbedaan Peranan dari Ketiga Aktor yang Terlibat dalam Sistem Bagi Hasil pada aktivitas Budidaya Rumput Laut di Kelurahan Pallette Proses Sosial Substantif yang Menjadi bagian Hubungan Produksi Hubungan Aktor 5 Pemilikan ekonomi : kontrol atas investasi Pappalele dengan + pembudidaya (sawi) maksimal Punggawa dengan + sawi maksimal Pembudidaya (sawi) dengan pappalele parsial Sawi dengan Punggawa Sumber : Hasil Penelitian Setelah Diolah, 2008. Keterangan : + : kontrol sepenuhnya - : tidak ada control C. Penguasaan : kontrol atas produksi fisik Parsial + Maksimal + Maksimal - Penguasaan : kontrol atas tenaga kerja orang lain parsial + maksimal parsial - parsial : kontrol lemah maksimal : kontrol residual Implikasi Pola Kemitraan Usaha terhadap Kesejahteraan Rumahtangga Pembudidaya Rumput Laut 1. Hubungan Pola Kemitraan terhadap Struktur Nafkah (Livelihood Structure) dalam Ekonomi Rumahtangga Pembudidaya Tulisan Pakpahan dan Pasandaran (1990) menyebutkan bahwa masalah mempertahankan kelangsungan hidup berbeda-beda menurut derajatnya yakni mulai dari mempertahankan masalah hidup dan mati sampai dengan mempertahankan hidup agar dapat menjalankan aktivitas sehari-hari seperti mampu bekerja secara normal sesuai dengan jenis pekerjaannya masing-masing. Lapangan pekerjaan yang tersedia bagi rumahtangga merupakan sumber tersedianya pendapatan bagi rumahtangga yang bersangkutan. Seberapa luas tersedianya lapangan pekerjaan dapat dimanfaatkan sesuai dengan keterampilan yang dimiliki setiap anggota rumahtangga akan menentukan derajat tingkat pendapatan bagi rumahtangga tersebut. Hasil temuan dilapangan memperlihatkan bahwa struktur nafkah komunitas rumahtangga pembudidaya rumput laut di Kelurahan Pallette, ada kaitannya antara kombinasi pola kemitraan, penguasaan lahan budidaya dengan kegiatan pencaharian nafkah. Kegiatan pencarian nafkah dalam kaitannya dengan pola kemitraan menunjukkan hipotetis adanya perbedaan kemampuan diantara berbagai lapisan sosial rumahtangga pembudidaya di desa ini dalam membangun jaringan social (social net) mengelola sumberdaya yang dimilikinya. Pada masyarakat pembudidaya di Kelurahan Pallette strategi nafkah yang diadaptasi dan memberi gambaran terhadap struktur nafkah (livelihood structure) dalam ekonomi rumahtangganya, teridentifikasi dalam tiga hal : (1) intensifikasi atau ekstensifikasi usaha yang digelutinya, (2) pola nafkah ganda (keragaman nafkah), dan (3) migrasi temporer. Untuk strategi pertama (intesifikasi atau ekstensifikasi) banyak terbangun melalui jaringan integrasi dari pola-pola kemitraan usaha yang dilakukkan. Jaringan relasi dan hubungan sosial merupakan pencerminan hubungan antar status-status dan peran-peran dalam masyarakat. Secara skematik dapat dilihat pada gambar 3. 6 Individu (aktor) Keterangan : : jaringan didalam komunitas : jaringan diluar komunitas Gambar 3. Konfigurasi jaringan ditingkat aktor yang mencerminkan arah hubungan jaringan baik dalam komunitas maupun diluar komunitas Tabel 4. Perbedaan Karakteristik Struktur Nafkah dalam Ekonomi Rumahtangga Pembudidaya Rumput Laut. Lapisan Sosial Rumahtangga Aspek Struktur Nafkah Keterkaitan Pola Kemitraan Orientasi Utama/ Basis Ekonomi Strategi Konfigurasi Jaringan dalam komunitas Lapisan Atas Intensifikasi/ ekstensifikasi Usaha Budidaya Pemerintah, Pasar profit oreinted , komersialis, kapitalis strategi akumulasi (accumulating strategy) (+ ) Lapisan Menengah Pola Nafkah Ganda Lapisan Bawah Migrasi Temporer Pemerintah, Pasar Tradisional Semi-komersialis Keamanan subsistensi strategi konsolidasi (consolidating strategy) bertahan hidup (survival strategy) (+) (-) Sumber : Data Primer Setelah Diolah, 2010. 2. Aliran Pendapatan Rumahtangga Pembudidaya Rumput Laut Kombinasi sumber nafkah akan memberikan dampak terhadap sumber pendapatan rumahtangga yang bersangkutan. Untuk masyarakat pedesaan pada umumnya porsi besarnya pendapatan dari pertanian dan luar pertanian masih memberikan tampilan yang sangat jelas (Sayogyo, 1991). Kondisi ini juga tampak pada rumahtangga 7 pembudidaya rumput laut yang tinggal di wilayah pesisir bahwa porsi besarnya pendapatan dibidang perikanan sangat signifikan dibanding aliran pendapatan di bidang lain. Dari hasil perhitungan jumlah pendapatan responden (lihat lampiran 3) maka total pendapatan yang diperoleh dari hasil pendapatan sampingan dan pendapatan pokok sebagai pembudidaya rumput laut diperoleh hasil pendapatan per bulan sebesar Rp. 1.355.336 atau sekitar Rp. 45.179 per hari. Realitas ini menunjukkan bahwa responden di Desa Punaga tidak dapat dikategorikan ke dalam masyarakat miskin, hal ini jika kita mengacu pada standar Bapenas yang menyatakan bahwa masyarakat dikategorikan miskin apabila pendapatan hariannya $ 1 per hari, dengan mengacu dari standar kurs dolar ($) dewasa ini yang berada pada kisaran Rp. 9.000 - Rp.10.000. Dan jika menggunakan standar Bank Dunia yaitu sebesar $ 2 per hari, maka dapat disimpulkan bahwa berdasarkan kedua standar tersebut di atas memperlihatkan kondisi masyarakat di lokasi penelitian tidak berada dalam kategori miskin dengan total pendapatan rata berada di atas atau > $ 2 per hari, dengan kisaran yang > Rp. 18.000 – Rp. 20.000 per hari. Dalam skala yang lebih makro dengan membandingkan Upah Minimum Regional (UMR) atau UMP (Upah Minimum Provinsi) sebesar Rp. 610.000 maka pendapatan sudah melewati standard yang dimaksud. Tabel 5. Komposisi Responden Menurut Mata Pencaharian Sampingan No. 1. 2. 3. Mata Pencaharian Sampingan Petani/berkebun Nelayan Buruh/pemberian jasa (tk. Batu, tk. Becak, tk. Ojek, sopir, dll.) 4. Peternak 5. Wiraswasta 6. Tanpa Penghasilan Sampingan Total Sumber : Data Primer Setelah Diolah, 2010. Jumlah Responden (orang) 53 34 16 % 43,09 27,64 13,01 11 4 5 123 8,94 3,25 4,07 100 Sementara untuk alokasi pendapatan, Kondisi yang paling umum terdapat di pedesaan adalah rata-rata per tahun mengeluarkan lebih banyak dari total pengeluaran rumahtangganya untuk konsumsi pangan dan kegiatan-kegiatan yang menyangkut upacara budaya. Pola pengeluaran rumahtangga seperti gambaran tersebut merupakan ciri umum masyarakat desa, yaitu porsi konsumsi pangan rumahtangga (terbanyak untuk konsumsi beras) lebih besar daripada konsumsi non pangan. Beberapa responden memberikan alasan mengapa rumahtangga mereka mengeluarkan biaya yang sangat besar untuk konsumsi pangan dan kegiatan-kegiatan yang menyangkut upacara budaya dibanding pengeluaran non pangan dan lainnya, terutama karena pekerjaan sebagai pembudidaya dan petani adalah pekerjaan “berat” yang membutuhkan banyak tenaga. Diakuinya juga bahwa untuk bisa mempunyai banyak tenaga maka seorang petani harus makan yang banyak. Namun adapula responden mengatakan bahwa banyak makan sudah merupakan kebiasaan masyarakat di desa sejak turun temurun, tetapi responden tidak tahu secara pasti mengapa hal tersebut bisa terjadi. Sementara untuk kegiatan-kegiatan yang berhubungan dengan upacara budaya lebih sebagai eksistesi akan keberadaan mereka dalam satu komunitas. Secara teoritis konteks tersebut dapat dihubungkan dengan tulisan Indriayanti (2007) bahwa salah satu ciri khas masyarakat pedesaan adalah 8 pengalihan pendapatan untuk konsumsi pangan dan kegiatan budaya lebih besar dibandingkan pengalihan pendapatan untuk kebutuhan lainnya, khususnya untuk kegiatan-kegiatan yang menyangkut acara-acara budaya karena adanya kebanggan sosial yang diperolehnya. Sementara hukum Engel (Engel’s law) disebutkan bahwa semakin tinggi pendapatan seseorang maka persentase konsumsi untuk makanan relatif semakin berkurang (Nurland, 1993). Tabel 6. Gambaran Selisih Pendapatan dan Pengeluaran Responden Nilai Perbandingan (Selisih) Nilai Perbandingan Positif Nilai Perbandingan Negatif Tidak memiliki nilai perbandingan (impas) Total Jumlah Responden (orang) 74 6 43 123 % 60 5 35 100 Sumber : Data Primer Setelah Diolah, 2010. 3. Hubungan Pola Kemitraan dengan Kesejahteraan Rumahtangga Pembudidaya Rumput Laut Pola kemitraan ini (tradisional dan pasar) secara empirik dapat diasumsikan bahwa dominasi partisipan yang bermitra, kekuatan dari salah satu pihak (punggawa, pappalele dan eksportir) membuka akses permodalan dan informasi pasar kepada pihak mitranya tidak pada tataran kesadaran yang saling menguntungkan, sehingga bantuan modal usaha, pembelian hasil produksi tidak serta merta dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi rumahtangga pembudidaya rumput laut dalam konteks general di desa ini. Bahkan bantuan-bantuan modal yang senantiasa diberikan justru dijadikan sebagai ”senjata” dan strategi untuk ”mengikat” pembudidaya dalam dimensi ketergantungan. Dan yang menjadi menarik di Kelurahan Pallette sebagai kasusistik dalam konteks ini adalah adanya dominasi aliran penghasilan rumahtangga untuk kegiatan-kegiatan yang sifatnya kultural, sehingga kelompok pelepas uang (debitor lokal) memperoleh ruang yang strategis dengan posisi yang diperankan untuk senantiasa menghasilkan sesuatu yang selalu menguntungkan baginya baik dari segi finansial, akses kepada pembeli serta penghormatan sosial dari masyarakat. Dapat di istilahkan bahwa masyarakat di Kelurahan Pallette, perolehan pendapatan dari pekerjaan yang dilakukan hanya direduksi semata-mata untuk membiayai upacara-upacara adat, dan jika perolehan penghasilan tidak mencukupi maka strategi peminjaman kepada pemilik modal merupakan hal normatif yang harus mereka lakukan. Sementara untuk pola kemitraan pemerintah untuk konteks empirik di desa ini, meskipun bantuan modal juga menjadi bagian dari kegiatan yang diintroduksi kepada masyarakat pembudidaya, namun kegiatan yang lebih dominan adalah bantuan teknis dengan tujuan terjadinya transper teknologi kepada masyarakat pembudidaya. Model kemitraan yang seperti ini memberikan harapan yang besar akan pengembangan usaha masyarakat. Artinya, tahap awal dalam upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat terlebih dahulu harus memperkenalkan teknologi yang dapat meningkatkan produksi dari usaha mereka, yang kemudian diikuti oleh dukungan permodalan dan kepastian pasar serta perlindungan regulative dari pemerintah yang menjamin dari kepastian dan keberlanjutan usaha masyarakat. 9 KESIMPULAN Adapun kesimpulan dari hasil penelitian yang telah dilakukan adalah sebagai berikut : 1. Karakteristik usaha budidaya rumput laut mencirikan sebuah bentuk usaha rumahtangga dengan pelibatan sepenuhnya anggota keluarga inti (nuclear family) sebagai tenaga kerja. Sementara konstruksi pola kemitraan teridentifikasi tiga bentuk pola kemitraan sebagai karakteristik kerjasama usaha yaitu; pola kemitraan tradisional, pola kemitraan pasar dan pola kemitraan pemerintah yang dalam operasionalitasnya saling tumpang tindih dan bervariasi dari pengaruh bentuk yang satu dengan yang lainnya. 2. Keterkaitan pola kemitraan sistem produksi dan pemasaran masih didominasi oleh konstruksi jaringan sosial secara tradisional yang masih kental dengan hubungan relasi patron-klien yang berbasis tradisi. 3. Implikasi pola kemitraan usaha terhadap kesejahteraan rumahtangga pembudidaya rumput laut di Kelurahan Pallette belum berada pada tataran yang signifkan akibat posisi pembudidaya dalam kemitraan tidak dalam kondisi tawar (bargaining position) yang setara berdasarkan peranannya. DAFTAR PUSTAKA Bailey, C. 1982. Mengelola sumber daya yang terbuka: Kasus penangkapan ikan di daerah pantai, dalam D.C. Korten dan Syahrir (Eds). Pembangunan berdimensi kerakyatan. Kerjasama Yayasan Obor Indonesia dan USAID. YOI. Jakarta. Creswell, John W. 1994. Research Desaign : Qualitative & Quantitative Approaches. Sage Publication, Inc. California. Evers, Hans-Dieter. 1998. Globalisasi dan Kebudayaan Ekonomi Pasar, Prisma, No. 5. LP3ES. Jakarta. Indaryanti, Yoyoh. 2007. Sistem Ekonomi Rumahtangga Komunitas Lokal di DAS Citanduy : Livelihood Structure Approach. Makalah Seminar. Matsuda, Yoshiaki. 1998. Study on Capital Formation in Coastal Fishing Vilages of Java, Indonesia. A Socio-Economic Study on Indonesia Fisheries Development, Bogor Agriculture University. Bogor. Miles, M.B. dan A.M. Huberman. 1992. Analisis Data Kualitatif: Buku Sumber tentang Metode-metode Baru. Jakarta: UI Press. Mubyarto, Loekman Sutrisno, dan Dove. 1984. Nelayan dan Kemiskinan: Studi Ekonomi-Antropologi di Dua Desa Pantai. Penerbit Rajawali. Jakarta. 10 Nurland, Farida. 1993. Alokasi Waktu dan Pengeluaran Rumahtangga Nelayan Etnis Bugis, Makassar dan Mandar di Sulawesi Selatan. (Disertasi) PPS IPB – UNHAS. Ujung Pandang. Polanyi, Karl. 2003. Transformasi Besar : Asal Usul Politik dan Ekonomi Zaman Sekarang. (Terjemahan). Pustaka Pelajar. Yogyakarta. Sajogyo. 1991. Garis Kemiskinan dan Kebutuhan Minimum Pangan. Aditya Media.. Yogyakarta. 11