Diterbitkan oleh: BADAN PENDIDIKAN KRISTEN PENABUR (BPK PENABUR) I S S N : 1412-2588 Jurnal Pendidikan Penabur (JPP) dapat dipakai sebagai medium tukar pikiran, informasi, dan penelitian ilmiah para pemerhati masalah pendidikan. Penanggung Jawab Ir. Suwandi Supatra, MT. Pemimpin Redaksi Prof. Dr. BP. Sitepu, M.A. Sekretaris Redaksi Rosmawati Situmorang Dewan Editor Prof. Dr. BP. Sitepu, M.A. Prof. Dr. Theresia K. Brahim Dr. Ir. Hadiyanto Budisetio, M.M. Dr. Elika Dwi Murwani, M.M. Etiwati, S.Pd., M.M. Ir. Budyanto Lestyana, M.Si. Alamat Redaksi : Jln. Tanjung Duren Raya No. 4 Blok E Lt. 5, Jakarta Barat 11470 Telepon (021) 5606773-76, Faks. (021) 5666968 http://www.bpkpenabur.or.id E-mail : [email protected] Jurnal Pendidikan Penabur Nomor 24/Tahun ke-14/Juni 2015 ISSN: 1412-2588 Daftar Isi, i Pengantar Redaksi, ii - v Peningkatan Partisipasi dan Prestasi Belajar Drama Dengan Metode Investigasi Kelompok, Yohanes Paiman, 1-26 Peran Role Playing Berbasis Komputer Pada Kesiapan Belajar Anak Usia Prasekolah 4-5 Tahun Dilihat Dari Kematangan Emosional, Felucia Hendriette, 27-48 Bimbingan Belajar Dalam Mengatasi Kesulitan Belajar Siswa Sekolah Dasar, Fransiska, 49-58 Implementasi Refleksi Teologis Orasi Daud Bagi Perkembangan Karakter Siswa Melalui Pendidikan Kristen, Maria Evvy Yanti, 59-72 Hilda Karli, Pemanfaatan Media Pembelajaran di Sekolah Dasar, 73-91 Penggunaan Fun Multiplication Beads Untuk Meningkatkan Kemampuan Perkalian Siswa, Sih Retno Hastuti, 92-101 Tantangan Pendidikan Nasional Indonesia di Era AFTA 2015, 102-110 Isu Mutakhir: Ujian Nasional Berbasis Komputer, Resensi buku: Guru Gokil Murid Unyu, Kumalasari Onggobawono, Mudarwan, Wahyu Kris Aries Wirawardana, 111-114 115-119 Jurnal Pendidikan Penabur - No. 24/Tahun ke-14/Juni 2015 i Pengantar Redaksi etika peserta didik menjadi pusat perhatian dalam proses pembelajaran, berbagai penelitian dilakukan untuk memahami bagaimana sebenarnya manusia belajar. Hasil penelitian itu dipergunakan mengembangkan pendekatan, strategi, metode, dan teknik membelajarkan sehingga memudahkan pemelajar memperoleh, mengembangkan, dan menerapkan pengetahuan, keterampilan, dan sikap yang dipelajarinya. Berdasarkan kajian psikologi, para ahli mengemukakan teori belajar mulai dari teori behavioursme, kognitivisme, konstruktivisme, dan konektivisme serta berbagai teori belajar lainnya. Semua teori itu pada hakikatnya menjelaskan bagaimana proses belajar terjadi sesuai dengan paradigma setiap teori. Dilihat dari kronologinya, teori itu dapat dikenali sebagai teori lama, baru, dan mutakhir. Akan tetapi, pada hakikatnya kebenaran dan penggunaan teori tidaklah semata-mata ditentukan oleh waktu teori itu ditemukan. Sebagai contoh, teori behaviorisme yang muncul jauh sebelum teori belajar lainnya tidaklah berarti teori itu tidak berlaku dan tidak dipakai lagi sekarang. Untuk keperluan pembelajaran tertentu, teori itu lebih tepat dipergunakan daripada teori lainnya. Misalnya, pembelajaran yang bertujuan untuk memperolah kemampuan mekanistik, teori pembelajaran berdasarkan behaviorisme paling sesuai. Sedangkan untuk kemampuan yang bersifat kreatif/inovatif, pembelajaran yang berbasis teori kognitivisme dan konstruktivisme lebih efektif. Dengan demikian, desain pembelajaran dibuat berdasarkan dan ditentukan oleh tujuan pembelajaran, karakteristik pemelajar, serta lingkungan belajar. Di samping memperoleh kemampuan yang dikehendaki, pengalaman belajar diharapkan dapat menambah keterampilan pemelajar belajar sehingga pada waktunya dapat menjadikannya pemelajar mandiri sepanjang hayatnya. Dalam kaitannya dengan pengalaman belajar, berbagai gagasan juga berkembang. Edgar Dale (1900–1985) misalnya mengemukakan Cone of Experience berdasarkan kajiannya atas berbagai desain pembelajaran dan proses belajar. Cone of Experience mengungkapkan perbedaan retensi atau kemampuan mengingat manusia melalui pengalaman yang berbeda. Manusia mengingat 10% dari membaca (membaca buku pelajaran), 20% dari mendengar (penjelasan atau ceramah), 30% dari melihat (gambar), 50% dari mendengar dan melihat (pameran), 70% dari mengatakan dan menulis (pembicara, pemapar), serta 90% dari melakukan sesuatu (praktek, pemeran peran). Gambaran ini kemudian mengembangkan teori belajar aktif, belajar dengan/sambil berbuat, belajar berdasarkan pengalaman, belajar kontekstual dan berbagai teori lainnya yang menekankan keaktifan pemelajar secara utuh. Berbagai strategi pembelajaran dikembangkan oleh pembelajar agar pemelajar berperan secara aktif dalam proses pembelajaran, misalnya dengan model pembelajaran simulasi/bermain peran, pembelajaran berbasis K ii Jurnal Pendidikan Penabur - No.24/Tahun ke-14/Juni 2015 masalah, pembelajaran kooperatif atau kolaboratif, dan pembelajaran berbasis proyek. Dalam hubungannya dengan pengalaman belajar ini juga, jauh Sebelum Masehi, Kong Hu Chu (Confucius) yang hidup 551 – 479 Sebelum Masehi, berpendapat, apa yang hanya didengar akan cepat dilupakan, apa yang hanya dilihat akan diingat, tetapi apa yang dikerjakan akan dipahami. Pendapat ini menunjukkan keaktifan pemelajar menentukan keberhasilan pembelajaran. Pembelajaran secara verbalisme (hanya mendengar) sangat tidak efektif dibandingkan dengan secara aktif menggunakan berbagai indera manusia. Pendapat lain berkaitan dengan pentingnya keaktifan mental dan fisik pemelajar terlihat dari pendapat Siberman yang mengatakan bahwa seseorang akan lupa kalau hanya mendengar; mengingat sedikit apa yang didengar dan dilihat; mulai memahami kalau mendengar, melihat, dan mendiskusikan; memperoleh pengetahuan dan keterampilan kalau mendengar, melihat, mendiskusikan, dan melakukan; serta akan menguasai kalau mengajarkannya kepada orang lain. Teori belajar dan membelajarkan menunjukkan pengalaman kongkrit tidak hanya memudahkan, tetapi memotivasi pemelajar belajar dan menambah rasa ingin tahu secara terus menerus serta membuat belajar menjadi kegiatan menyenangkan. Berbagai teori dan pendapat seperti yang telah diungkapkan juga mendorong penggunaan alat peraga serta media dalam proses pembelajaran. Terlebih-lebih perkembangan cepat teknologi informasi dan komunikasi (TIK), mendorong lembaga pendidikan memanfaatka berbagai produk TIK dalam proses pembelajaran, mulai dari yang sederhana sampai paling canggih. Tidak sedikit orang berpendapat bahwa semakin canggih TIK yang diterapkan, semakin meningkatkan mutu proses dan hasil pembelajaran. Penelitian penggunaan TIK dalam pembelajaran, ternyata membuktikan media pembelajaran bukanlah penentu hasil dan mutu pembelajaran. Media pembelajaran secanggih apapun ‘hanya’ berfungsi mengantarkan pesan (bahan pelajaran) kepada pemelajar. Sebagai pengangkut dan pengantar, media tidak dapat mengubah bahan pelajaran yang salah menjadi benar, yang acak-acakan menjadi sistematis, yang membosankan menjadi menarik. Karakter dan cara pengemasan bahan pelajaran, karakter pemelajar, serta lingkungan pembelajaran juga merupakan faktor penentu yang perlu diperhatikan pembelajar. Dengan demikian, bukan kecanggihan media yang menentukan, tetapi bagaimana pembelajar kreatif menggunakan media yang ada (sesederhana apa pun) sehingga membuat proses pembelajaran dapat memudahkan pemelajar aktif, tertarik, dan termotivasi belajar. Dengan menggunakan media yang tepat, berbagai kesulitan belajar pemelajar dapat diatasi. Penjelasan verbal dapat diganti dengan menghadirkan objek atau gambar (visual), sehingga tidak memerlukan waktu yang lama (lebih efisien) dan pemelajar dapat mengerti/ memahaminya lebih akurat serta termotivasi belajar (lebih efektif). Menggunakan fasilitas internet pembelajar dan pemelajar dapat memperoleh berbagai informasi berkaitan dengan pokok bahasan. Kemudahan menggali dan memperoleh berbgai informasi melalui TIK mendorong semakin maraknya penggunaan TIK di lembaga pendidikan. Jurnal Pendidikan Penabur - No.24/Tahun ke-14/Juni 2015 iii Harga produk TIK yang semakin murah membuat beberapa negara menerapkan Program Satu Laptop Untuk Setiap Anak (One Laptop Per Child/OLPC) seperti di Peru, Spanyol, dan Cina. Belakangan ini di Indonesia sejumlah sekolah juga menerapkan program ini. Akan tetapi penelitian UNESCO dan Inter-american Development Bank (2010 - 2012) di berbagai negera sedang berkembang menyimpulkan antara lain program penggunaan komputer untuk setiap anak (a) secara drastis meningkatkan kesempatan bagi anak menggunakan komputer, (b) tidak ada bukti meningkatkan kemampuan matematika dan bahasa anak secara signifikan, dan (c) dapat meningkatkan pengetahuan kognitif anak. Setiap disiplin ilmu terus berkembang termasuk pendekatan, strategi, metode, dan teknik belajar dan membelajarkan. Dalam kenyataannya jarang terdapat karakteristik pemelajar sepenuhnya homogen tetapi berada pada rentang heterogen. Di lain pihak, keberhasilan pembelajaran diukur dengan standar tertentu: standar lembaga pendidikan, standar wilayah, atau standar nasional. Dengan demikian apabila karakteristik masukan (pemelajar, sarana dan prasarana, dan pembelajar) bervariasi sedangkan kualitas hasil pembelajaran terstandar maka kegiatan dalam proses pembelajaran harus disesuaikan dengan kondisi yang ada dan tidak dapat diseragamkan. Berarti, pembelajar perlu jeli dan kreatif merancang dan mengembangkan pendekatan, strategi, metode, atau teknik pembelajaran. Mengacu pada pemikiran perlunya merancang dan menggunakan pendekatan, strategi, metode, dan teknik pembelajaran yang bervariasi, pembelajar dalam hal ini guru di sekolah mengatasi berbagai masalah pembelajaran dengan memodifikasi atau mengembangkan proses pembelajaran. Sebagai contoh, guru melakukan penelitian tindakan kelas (PTK) dengan menerapkan strategi dan metode pembelajaran untuk meningkatkan kualitas proses dan hasil belajar siswa. Pengalaman membelajarkan mendorong guru kreatif mengembangkan berbagai alternatif mengatasi masalah pembelajaran. Jurnal Pendidikan Penabur Edisi Juni 2015 memuat hasil penelitian berkaitan dengan proses pembelajaran terkait dengan startegi dan metode pembelajaran seperti Peran Role Playing Berbasis Komputer Pada Kesiapan Belajar Anak Usia Prasekolah 4-5 Tahun Dilihat Dari Kematangan Emosional, Peningkatan Partisipasi dan Prestasi Belajar Drama Dengan Metode Investigasi Kelompok, Kegiatan Bimbingan Belajar Dalam Mengatasi Kesulitan Belajar Siswa Sekolah Dasar, dan Pemanfaatan Media Pembelajaran di Sekolah Dasar. Tujuan utama setiap penelitian ialah meningkatkan peran siswa dalam proses pembelajaran dengan menerapkan strategi atau metode pembelajaran yang sesuai sehingga meningkatkan hasil belajarnya. Penelitian juga menunjukkan antara lain tidak ada strategi atau metode pembelajaran efektif dipergunakan untuk semua tujuan pembelajaran atau semua situasi. Di samping laporan peneltian , Edisi ini juga memuat pengalaman guru mengatasi kesulitan belajar matematika. Tidak sedikit siswa menganggap matematika sulit dipelajari dan membosankan. Akan tetapi dengan strategi dan metode pembelajaran yang kreatif guru dapat mengubah persepsi negatif dengan menggunakan alat peraga atau media sederhana yang dapat dibuat sendiri oleh guru, orang tua, atau siswa sendiri. Pengalaman ini juga menunjukkan, media sederhana iv Jurnal Pendidikan Penabur - No.24/Tahun ke-14/Juni 2015 dapat dipergunakan memudahkan dan memotivasi siswa belajar. Oleh karena itu, media paling efektif bukanlah selalu media berteknologi tinggi, tetapi media yang ada di ruang belajar atau di sekolah. Kalau yang ada, hanya papan tulis maka papan tulislah yang terbaik. Persoalannya bagaiman guru dapat mempergunakan papan tulis sehingga membuat siswa aktif dan termotivasi belajar. Pendidikan pada hakikatnya bertujuan untuk mengubah karakter dan dalam Sistem Pendidikan Nasional, tujuan pembentukan karakter peserta didik itu terlihat jelas. Akan tetapi, dari waktu ke waktu pembentukan karakter manusia Indonesia itu masih menjadi masalah terlihat dari maraknya berbagai masalah sosial yang terjadi dalam kehidupan sehari-sehari termasuk dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Umat Kristen tentu terpanggil memberikan pemikiran dan ikut melaksanakan pendidikan karakter bangsa Indonesia. Tulisan berjudul Implementasi Refleksi Teologis Orasi Daud Menurut 1 Tawarikh 28:1-10 Bagi Perkembangan Karakter Siswa Melalui Pendidikan Kristen merupakan kajian yang mencerahkan bagaimana pendidikan karakter dapat dilakukan dalam proses pembelajaran. Ketekunan, kesabaran, kejujuran, serta percaya diri merupakan sejumlah unsur kepribadian yang perlu dimiliki siswa khususnya dalam mengikuti setiap kegiatan evaluasi. Penggunaan ujian/tes berbasis komputer merupakan salah satu teknik untuk menuntut siswa berperilaku tekun dan sabar dalam belajar serta teliti, cermat, dan percaya diri dalam mengerjakan soal-soal ujian. Ujian berbasis komputer yang diterapkan di sejumlah sekolah dalam Ujian Nasional (UN) tahun 2015 yang lalu terbukti membantu penyelenggaraan UN, sungguhpun juga tidak terlepas dari berbagai kelemahan dan masalah sebagaimana diangkat sebagai isu mutakhir dalam Edisi ini. Dengan semakin merambahnya penggunaan TIK dalam berbagai kegiatan pembelajaran di lembaga pendidikan, tidak dapat dipungkiri bahwa TIK perlu diperkenalkan kepada siswa sedini mungkin dan dilatih menggunakannya sehingga terampil dan terdidik dalam memanfaatkan TIK untuk memecahkan berbagai masalah belajar. Pengalaman empiris menunjukkan, TIK dapat mempermudah proses dan mengatasi berbagai masalah pembelajaran. Untuk berbagai kegiatan pembelajaran, TIK dapat menggantikan fungsi guru, namun peranan guru tidak pernah sepenuhnya dapat digantikan oleh TIK. Bahkan di negara yang sudah berteknologi maju sekali pun, siswa masih mengharapkan interaksi langsung dengan guru dan TIK diperlakukan sebagai pendukung pembelajaran. Apalagi untuk pendidikan dasar, siswa masih sangat memerlukan sentuhan emosi guru khususnya dalam mengembangkan kepribadian mereka. Bagaimana guru berfungsi sehingga patut digugu dan ditiru, manjadi bahasan dalam membicarakan buku Guru Gokil, Murid Unyu. Pendapat dalam mengkaji isi buku ini menggambarkan besarnya harapan peranan guru dalam membentuk kepribadian siswa dan tidak dapat digantikan dengan TIK. Karena kegokil-lan bukti nyata bahwa seorang guru telah-sedang-akan terus belajar sepanjang hayat. Selamat belajar. Redaksi Jurnal Pendidikan Penabur - No.24/Tahun ke-14/Juni 2015 v Peningkatan Partisipasi dan Prestasi Belajar Penelitian Peningkatan Partisipasi dan Prestasi Belajar Drama Dengan Metode Investigasi Kelompok Yohanes Paiman E-mail : [email protected] SMPK BPK PENABUR Cirebon Abstrak elajar drama sering tidak menarik dan membosankan bagi siswa sehingga partisipasi mereka kurang dan hasil belajarnya pun rendah karena guru menerapkan metode pembelajaran yang kurang tepat. Penelitian ini mencoba membuat belajar drama menyenangkan siswa sehingga partisipasi mereka meningkat dan dan hasil belajar mereka bertambah baik. Penelitian tindakan kelas (PTK) ini dilakukan dengan menerapkan metode investigasi kelompok di kelas 9A SMPK PENABUR Cirebon. Setelah melalui dua siklus, PTK ini dapat meningkatkan partisipasi siswa dalam proses pembelajaran dan meningkatkan hasil belajar mereka. Mengacu pada hasil PTK ini disimpulkan, metode investigasi kelompok dapat meningkatkan partisipasi siswa dalam belajar serta meningkatkan hasil belajar. Agar metode investigasi kelompok dapat efektif, penelitian ini memberikan sejumlah saran kepada guru yang akan melaksanakannya. B Kata-kata kunci: model pembelajaran, metode pembelajaran, partisipasi belajar, hasil belajar, metode investigasi kelompok. Improving Learning Participation and Achievement in Drama Class by Group Investigation Method Abstract The students often find learning drama dull and boring that make them perform low participation and poor learning achievement due to unappropriate method practiced by the teacher. This classroom action research (CAR) tried to imrove the quality of learning process and learning achievement in drama class by employing group investigation at Grade 9 A of SMPK PENABUR, Cirebon. Having completing two cycles, the CAR could improve the students’ learning participation and learning achievement in the drama class. Referring to the favourable result, this CAR concluded, the group investigation method is effective to improve the students’ learning participation and learning achievement. To succeed the implementation of the group investigation method, the teachers are provided with a number of suggestions. Keywords: instructional model, instructional method, learning participation, learning achievement, group investigation method. Jurnal Pendidikan Penabur - No.24/Tahun ke-14/Juni 2015 1 Peningkatan Partisipasi dan Prestasi Belajar Pendahuluan Partisipasi siswa kelas 9A dalam tugas menyusun naskah drama sebagai tugas tambahan untuk memperdalam pemahamannya tentang drama belumlah optimal dan kurang antusias. Kondisi ini nyata dari belum maksimalnya pengumpulan tugas siswa sesuai jadwal yang disepakati bersama. Dari 30 siswa, diperoleh data pengumpulan tugas dengan gelombang pengumpulan tugas seperti berikut: 13, 4, dan 1 siswa sehingga akhirnya terdata sejumlah 18 siswa. Sampai tanggal 19 Maret 2015 (waktu yang disepakati bersama), masih ada 12 orang belum juga mengumpulkan tugas. Kondisi ini berdampak pada kurang maksimalnya perolehan nilai tes mereka dan menjadi kendala guru untuk menganalisis, merancang tindak lanjut pembelajaran. Kondisi perilaku siswa demikian terjadi karena siswa merasa kebingungan dalam memilih, memilah jenis drama, dan bagaimana cara menyusunnya. Rasa bingung itu terjadi karena siswa kurang memahami seluk-beluk drama secara jelas serta kurang bertanya pada guru. Informasi ini penulis peroleh melalui wawancara dengan beberapa siswa yang masih belum mengumpulkan tugasnya. Mereka juga berkomentar, guru agak cepat dan dominan dalam tampil dan menjelaskan materi pelajaran. Kondisi ini mengurangi keterlibatan siswa dalam belajar, kurang mengalami sesuatu, dan tidak membangun konsepnya. Guru cenderung melakukan transfer of knowledge. Di luar itu, juga disadari siswa, tugas mereka memang banyak, sementara itu mereka kurang cermat dalam mengelola waktu masing-masing. Berdasarkan kondisi dan temuan itu, guru perlu mengurangi dominansi diri dalam proses pembelajaran dan harus memberikan banyak kesempatan kepada siswa untuk membangun konsepnya. Untuk mewujudkan hal ini dan memperbaiki situasi, maka diusulkan penerapan metode investigasi kelompok (Group Investigation) dalam pembelajaran berikutnya. Dalam menerapkan metode ini, siswa dibagi menjadi tujuh kelompok. Setiap kelompok terdiri atas sekitar empat orang dan masing-masing menunjuk ketua, sekretaris, penyaji, dan anggota. Kelompok ditugasi mendalami materi 2 Jurnal Pendidikan Penabur - No.24/Tahun ke-14/Juni 2015 drama secara undian. Masing-masing membahas, mendalami, merumuskan konsep, dan menyiapkan presentasi untuk forum kelas. Penyaji wakil kelompok menjadi juru bicara kelompok dan menyajikan paparan rumusan materi yang disiapkan. Kelompok lain atau forum kelas menyimaknya sebagai wawasan barunya, serta menanggapinya. Begitu terus bergulir, sampai kelompok dan materi terakhir disajikan lengkap. Mereka aktif, penuh partisipasi belajar, dan rela berbagi kepada semua rekannya. Mereka membagi dan menyerap informasi dari hasil kerja kelompok dan presentasi anggota kelompok lain. Di sini terbangun sikap sosial, solidaritas, dan partisipasi belajar bersama. Metode investigasi kelompok memberikan peluang partisipasi penuh kepada siswa untuk berkreasi, membangun konsep, memilih, dan mendalami jenis-jenis materi drama. Tugas diberikan, disepakati waktu pengumpulannya, lalu dibuat, dan dikumpulkan serentak tepat waktu. Tes formatif diberikan dan siswa mengerjakannya dengan benar karena sudah paham. Nilainya bagus. Kedua tugas diselesaikan dengan benar dan tepat waktu. Dengan demikian, guru dapat segera melakukan refleksi, menganaslisis hasilnya untuk diperbandingkan dengan perolehan nilai sebelumnya, serta sebagai bahan merancang kegiatan pembelajaran selanjutnya. Melalui perjalanan proses tersebut diharapkan, target waktu belajar, target partisipasi siswa, dan target prestasi hasil belajar siswa dapat dipenuhi, diwujudkan, bahkan ditingkatkan efisiensi, efektivitas, kualitas, maupun produktivitasnya. Rumusan Masalah Dari fakta kasus pada latar belakang yang telah diuraikan dapat dikatakan, kegalauan siswa dalam belajar dan menulis naskah drama disebabkan oleh kurang pahamnya siswa akan materi drama. Kekurangpahaman siswa disebabkan oleh metode guru dalam menjelaskan materi pembelajaran terlalu cepat dan kurang tepat. Solusinya dengan mengganti metode pembelajaran yang lebih cocok untuk meningkatkan partisipasi siswa dalam belajar dan membangun konsep ilmu. Pilihan metode yang Peningkatan Partisipasi dan Prestasi Belajar cocok untuk penggalakan partisipasi belajar ini adalah investigasi kelompok. Berdasakan kondisi itu, maka dirumuskan masalah sebagai berikut, “Mampukah penerapan metode investigasi kelompok meningkatkan partisipasi dan prestasi belajar drama bagi siswa di kelas 9A SMPK PENABUR Cirebon?” Tujuan Penelitian Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka penelitian ini hendak mewujudkan tujuan berikut. Pertama, meningkatkan partisipasi siswa dalam belajar drama. Kedua, meningkatkan prestasi hasil belajar siswa. Ketiga, mendeteksi seberapa jauh efektivitas peran dan dampak metode belajar investigasi kelompok dalam menolong kesulitan belajar siswa. Keempat, membangun mutu proses belajar yang berdampak pada peningkatan mutu siswa, mutu guru, mutu sekolah/lembaga, dan mutu pendidikan. Manfaat Penelitian Penelitian ini hendak mewujudkan manfaat teoretik maupun manfaat praktis. Manfaat teroretik penelitian ini adalah, bahwa penelitian ini merupakan suatu upaya untuk meningkatkan kemampuan siswa dalam belajar drama dan menulis naskah drama. Bahkan di luar itu, penelitian ini juga sangat bermanfaat bagi beberapa pihak, seperti: siswa, guru, sekolah/ lembaga, pengembangan proses belajar, maupun orangtua/pemercaya sekolah. Bagi siswa, penerapan metode investigasi kelompok mengondisikan siswa lebih senang dalam belajar dan membangun konsep drama; siswa lebih partisipatif dalam belajar dan membangun konsep; siswa lebih berhasil dalam prestasi belajarnya; dan siswa dapat membangun karakter lebih dinamis dan berdampak. Bagi guru, penerapan metode itu mengondisikan guru mampu menolong dan mengangkat kesulitan belajar siswa dalam belajar drama; guru semakin berpengalaman membangun suasana belajar yang bernuansa PAIKEM GEMBROT (pembelajaran yang aktif, inovatif, kreatif, efektif, menyenangkan, gembira, banyak curah pendapat dan berbobot ); guru semakin berpengalaman dalam melakukan perubahan paradigma belajar, dengan menerapkan model dan metode pembelajaran yang tepat, produktif, efektif, variatif, dan berkualitas; dan guru semakin berpengalaman dalam melakukan PTK dan menuangkannya dalam karya tulis. Bagi sekolah/lembaga, penerapan metode tepat seperti itu mengondisikan sekolah semakin tampil berkualitas melalui terbangunnya kualitas siswa, kualitas guru, dan pembelajaran; sekolah semakin memiliki kultur ilmiah; dan masyarakat pemercaya sekolah semakin banyak/luas. Bagi pengembangan proses belajar siswa, penerapan metode itu mengondisikan pembelajaran semakin dinamis, produktif, progresif, berkualitas; guru dan siswa semakin mudah bersinergi dalam membangun PBM bermutu. Bagi orang tua/pemercaya sekolah, lembaga pendidikan bermutu mengondisikan orangtua semakin percaya pada sekolah; orangtua rela dan semangat mendukung upaya memajukan sekolah. Secara praktis penelitian ini dapat memberikan sumbangan pemikiran dalam pengembangan metode pembelajaran yang inovatif dan kritis. Guru menjadi lebih kreatif dalam menyajikan materi pembelajaran, khususnya pembelajaran menulis naskah drama. Dengan demikian, terwujud pembelajaran lebih menarik dan menyenangkan. Selain itu, penggunaan metode investigasi kelompok dalam pembelajaran menulis naskah drama dapat menepis anggapan siswa bahwa pembelajaran menulis naskah drama itu sulit, membosankan, dan tidak menyenangkan. Siswa diharapkan dapat lebih terampil menulis naskah drama karena adanya variasi metode pembelajaran yang dapat meningkatkan motivasi dan minat mereka dalam pembelajaran menulis naskah drama. Kajian Pustaka Metode Pembelajaran Ceramah bervariasi Metode dan model pembelajaran cukup bervariasi dan menantang guru untuk mencoba dalam proses pembelajaran (Suyanto 2013:113-174). Pilihan metode yang tepat berpengaruh pada suasana, proses, dan kualitas pembelajaran, partisipasi siswa, dan kualitas hasil belajar. Pada pembelajaran ber-PTK ini penulis hendak Jurnal Pendidikan Penabur - No.24/Tahun ke-14/Juni 2015 3 Peningkatan Partisipasi dan Prestasi Belajar memperbandingkan penerapan dua metode; yaitu metode dan model pembelajaran ceramah bervariasi dan investigasi kelompok. Metode ceramah bervariasi adalah varian metode ceramah. Metode ceramah beresensi menyajikan ide dalam segala bentuk, variasi, dan gaya penyajian penyaji (W James Popham 1992: 80). Pada sumber lain disebut, ceramah adalah berbicara/berpidato di depan banyak pendengar untuk menyampaikan suatu hal, seperti pengetahuan (Harimurti Kridalaksana 1999: 185). Tokoh pendidikan yang lain menyebut, bahwa ceramah digunakan untuk menyampaikan informasi dan pengetahuan secara lisan kepada siswa di kelas. Umumnya, siswa hanya mengikuti secara satu arah (one way communication). Pada saat guru menerapkan metode ceramah bervariasi, guru cenderung melakukan transfer of knowledge (transfer ilmu pengetahuan kepada murid). Guru aktif, murid pasif. Guru berbicara, murid menyimak. Komunikasi yang dibangun searah saja; yaitu guru-murid. Agar suasana dapat berjalan kondusif, guru memberikan variasi dengan sesekali/banyak kali melontarkan pertanyaan untuk memancing respon, pendalaman, partisipasi, dan keaktifan murid. Dengan demikian dapat dipahami, metode ceramah bervariasi merupakan metode lontar ilmu kepada murid diselingi pertanyaan untuk mengaktifkan murid. Metode ini sering disebut juga metode kuliah bagi dosen di perguruan tinggi. (W James Popham 1992: 6984). Metode Pembelajaran Investigasi Kelompok Pada kesempatan selanjutnya, penulis juga menggunakan metode investigasi kelompok untuk memperbandingkannya dengan metode ceramah bervariasi dalam hal proses, dampak, hasil yang diperoleh dalam pembelajaran, serta kemampuan metode ini dalam mengatasi persoalan belajar drama siswa. Dewey (1916) dalam Hendy Hermawan (2006: 27) menegaskan, keseluruhan kehidupan sekolah harus ditata/diorganisasikan sebagai miniatur kehidupan demokrasi, karena suasana kelas merupakan analogi kehidupan masyarakat. Dengan demikian guru perlu berusaha mewujudkan suasana kelas seperti suasana kehidupan masyarakat itu (Joyce dan Weil, 1986: 4 Jurnal Pendidikan Penabur - No.24/Tahun ke-14/Juni 2015 228 dalam Hendy Hermawan (2006:27). Untuk itu, siswa perlu mendapatkan kesempatan untuk berpartisipasi dalam pembangunan sistem sosial melalui pengalaman dan pembelajaran bermasyarakat, demi kemajuan masyarakat itu. Sharan (1992) mengembangkan model pembelajaran kooperatif teknik investigasi kelompok. Model ini bermaksud membina sikap tanggung jawab dan bekerja sama dalam kelompok, serta membina sikap saling menghargai pendapat anggota kelompok, dan pada ujungnya membiasakan untuk berani mengemukakan pendapat. Model investigasi kelompok ini menganut langkah-langkah berikut. Pertama, guru membagi kelas menjadi beberapa kelompok heterogen, lalu kelompok membentuk pengurus kelompok yang terdiri dari ketua, sekretaris, penyaji, dan anggota. Kedua, guru menjelaskan maksud, prosedur belajar dalam investigasi kelompok. Ketiga, guru memanggil para ketua kelompok untuk mengambil undian materi tugas yang berbeda untuk didiskusikan dalam kelompok dan disusun sistematika materi dan rencana paparannya di depan forum kelas nanti. Keempat, setiap kelompok bekerja secara kooperatif dalam kelompoknya menyiapkan paparan materi presentasi. Kelima, setelah selesai, setiap kelompok tampil melalui juru bicaranya menyampaikan paparan hasil diskusinya; kelompok lain menyimak dan menanggapinya. Urutan maju presentasi diundi antarkelompok. Keenam, jika terjadi ketepatan sajian konsep, guru memberikan penguatan; sedangkan jika terjadi kekurangtepatan konsep, guru memberikan klarifikasi. Model pembelajaran ini memberikan kesempatan siswa untuk banyak berpartisipasi, berinteraksi dalam membangun gagasan. Semakin partisipasi belajar siswa tinggi, penguasaan konsep dan materi pembelajaran semakin dalam dan luas pula. Ini menguntungkan siswa ketika mereka menghadapi tes. Hasilnya pasti baik dan memuaskan. Penentu Sukses Belajar Siswa Sukses belajar siswa ditentukan oleh banyak faktor. Pertama, faktor minat dan motivasi siswa. Minat ini merupakan daya dorong internal dan laten. Kekuatan pengaruhnya luar biasa. Kedua, Peningkatan Partisipasi dan Prestasi Belajar faktor penyaji atau cara seorang guru mengelola proses pembelajaran (Hendy Hermawan, 2006: v). Gaya, sikap, teknik pendekatan menarik yang guru suguhkan dalam melayani siswa memberikan dampak semangat belajar tinggi. Dinamika belajar terbangun. Belajar tidak capek dan tidak membosankan. Ketiga, faktor metode pembelajaran yang diterapkan guru. Pilihan metode yang cocok dan disukai siswa menjadi sumber kekuatan dan energi belajar tersendiri. Keempat, faktor kebermanfaatan materi pembelajaran itu bagi siswa dan kehidupannya. Semakin sebuah materi pembelajaran dinilai tinggi manfaatnya bagi hidup siswa kelak, maka semangat belajar siswa semakin tumbuh dan dinamis. Keterlibatan siswa dalam belajar semakin nyata. Berkaitan dengan hal tersebut, guru dalam mengajar hendaknya mampu membantu siswa memperoleh ide, keterampilan, nilai, cara berpikir, sarana dan ruang untuk mengekspresikan diri, berbagai cara belajar bagaimana belajar, sehingga siswa mampu meningkatkan kemampuannya untuk belajar lebih mudah dan lebih efektif di masa depan. Oleh karena itu, proses pembelajaran harus memiliki makna deskriptif, keterkinian, prospektif, dan berorientasi ke masa depan (Hendy Hermawan, 2006: 3). Kondisi ini pasti mampu mendukung siswa sukses dan berprestasi dalam belajar. Penentu Kualitas Belajar Siswa Kualitas belajar siswa dipengaruhi banyak faktor. Pertama, faktor minat belajar siswa. Minat yang positif, stabil, bersumber dari intern siswa sangat mempengaruhi kinerja belajar yang berdampak pada belajar efektif dan produktif. Kedua, faktor guru dan gayapenyajiannya. Ketokohan, semangat, kegigihan, kejuangan, kemurnian, kebapakan/keibuan, ketulusan, dan kesetiaan seorang guru dalam mengajar akan sangat dirasakan siswa dalam seluruh aspek kehidupannya. Jasanya akan dikenangnya sepanjang masa, bahkan akan diceritakan kepada saudara dan keturunannya. Ketiga, faktor metode pembelajaran. Metode yang enak dan menantang akan mengondisikan belajar siswa dalam ambang semangat dan prestasi tinggi. Keempat, faktor kondisi lingkungan yang kondusif. Lingkungan kelas, luar kelas, bahkan kultur tertentu sekolah akan sangat menopang ketenangan dan kenyamanan belajar siswa. Kondisi ini mendukung teraihnya prestasi tinggi siswa. Kelima, faktor sinergi antarpihak dan sarana. Kesamaan visi, kebutuhan, langkah, citacita, dan persepsi tentang pemanfaatan dan optimalisasi sarana pendidikan menjadi bekal tersendiri bagi niat untuk membangun mutu belajar siswa. Untuk itu, kondisi seperti ini harus dijaga dan diwujudkan terus (Suyanto 2013: 79111). Drama Pada bagian ini akan diuraikan hal-hal yang berkaitan dengan drama yaitu tujuan belajar, istilah, definisi/pengertian, sumber ide untuk menulis, struktur teks, unsur intrinsik,.urutan pentas, syarat pentas, urutan/langkah menulis teks, struktur alur, jenis, menilai teks, dan menilai pementasan. Tujuan belajar drama meliputi: memahami konsep lengkap tentang drama; terampil menulis naskah drama; terampil berpentas drama; menilai naskah drama; menilai pementasan drama. Istilah-istilah drama meliputi: sandiwara (sandi : rahasia, warah : ajaran ); teater (pementasan); fragmen ( cuplikan pentas kehidupan ); tonil (Belanda: toneel, artinya : tontonan) (Adhy Asmara 1979 : 9-12). Ketiga, definisi drama dapat dinyatakan seperti: pementasan/pemanggungan karya fiksi berupa dialog-monolog (Sumiati Budiman 1987:49); pementasan karya fiksi berupa dialog-monolog dan akting tokoh diiringi musik yang sesuai, kostum yang pas, dekorasi panggung/latar yang cocok, untuk menyampaikan sebuah konflik dan pesan (Laelasari 2006 :73-74);.seni yang mempertunjukkan pekerti manusia dengan perbuatan dan dialog-monolog (Soetarno 1976 : 20). Sumber ide untuk menulis naskah drama berasal dari: karya imajinasi pengarang (aslifiksi); parafrase ( ubah bentuk/tampilan ) karya lain ; dari cerpen ke drama; bahan buku harian ( diary ) penga rang; modifikasi naskah drama lain; mengubah skenario cerita film (E Kosasih 2008: 117-122; 131-137).. Struktur teks drama meliputi: judul dan pengarang; deskripsi tokoh dan watak/karakternya; paparan latar awal (ekspos suasana dan persoalan); dialog-monolog tokoh yang Jurnal Pendidikan Penabur - No.24/Tahun ke-14/Juni 2015 5 Peningkatan Partisipasi dan Prestasi Belajar membangun alur; deskripsi perilaku tokoh (lakuan/akting); paparan latar (tempat, waktu, suasana, iringan musik); dan improvisasi pemain. Unsur intrinsik drama meliputi: tema, amanat/pesan cerita-pementasan, dialogmonolog, akting/tata laku, latar/panggung plus iringan musik, tata lampu, dekorasi, alur/plot/ jaringan cerita, kostum/tata rias tokoh/karakterisasi tokoh, improvisasi tokoh (Adhy Asmara 1979: 53-67). Urutan/struktur pementasan drama: prolog, adegan dan babak, dan epilog. Syarat pementasan drama meliputi: ada repertoire, ada sutradara, ada pemain, ada latar/ panggung, ada kostum pemain, ada dekorasi, iringan musik, ada sarana pendukung lain, ada penonton (Soetarno 1976: 20). Urutan langkah menulis naskah drama/ repertoire: ada/punya tema; ada pesan yang akan disampaikan; merancang plot/skenario cerita; memilih tokoh/pembeber tema-skenario; merancang tata laku-akting tokoh; mulai menulis judul, deskripsi tokoh dan wataknya, latar awal, dialog-monolog dilengkapi; dan akting tokoh, latar antara, latar musik, tata lampu, suasana; membaca naskah dan mengeditnya (Nurhadi 2007: 147-152).. Urutan/struktur alur drama meliputi: introduksi, perkenalan, tampilan masalah, konflik, konflik merumit, klimaks, antiklimaks, peleraian, penyelesaian/konklusi (Soetarno 1976: 21).. Jenis dan bentuk drama meliputi: tragedi, komedi, trage-komedi, opera/operet, tablopanto-mime, eketoprak, ludur, lenong, sendratari, dagelan, dan wayang (Adhy Asmara 1979 : 50-52), ( Sumiati Budiman 1987:50-52), (Soetarno 1976 : 21-23), (Laelasari 2006 :74-77).. Menilai naskah drama mengarah pada elemen: struktur teks, tata tulis, bahasa, dialogmonolog, lukisan akting, latar awal-tengahantara, tema-amanat/pesan, originalitas, asas nilai manfaat teks, kejelasan alur dan pesan (Nurhadi 2007: 161-166).. Menilai pementasan drama mengarah pada elemen: ketepatan pilihan tokoh dan karakter (karakterisasi), ketepatan pembabaran alur/plot; originalitas dan kemenarikan pementasan., kesesu aian kostum, iringan musik/suasana/ dekorasi, improvisasi tokoh/kesigapan tokoh 6 Jurnal Pendidikan Penabur - No.24/Tahun ke-14/Juni 2015 dalam berperan, dialog-monolog tokoh/bahasa tokoh, akting/perilaku/tata laku tokoh, kesesuaian dialog-monolog dengan akting tokoh, nilai manfaat tema pementasan (Rendra 1976: 7-95), (Nurhadi 2007: 187-194). Metode Penelitian Subjek Penelitian Penelitian dilakukan di SMP Kristen PENABUR Cirebon, Jalan Dr. Ciptomangunkusumo Nomor 24, Cirebon. Sekolah ini berada di tengah kota dan di lingkungan bisnis, pendidikan, dan perkantoran. Sekolah yang berdiri pada tanggal 1 Agustus 1951 ini telah melahirkan ribuan alumni yang tersebar di seantero Nusantara dengan pilihan tugas dan karier masing-masing. Subjek penelitian adalah siswa kelas 9 A yang termasuk kelas unggulan dengan jumlah murid sebanyak 30 orang; terdiri atas 13 siswi dan 17 siswa. Mayoritas siswa keturunan China, yaitu sebanyak 26 orang, keturunan Jawa dua orang, dan keturunan Batak dua orang. Prosedur dan Siklus Penelitian Penelitian ini menggunakan metode Penelitian Tindakan Kelas (PTK) dengan tujuan untuk memperbaiki kompetensi, partisipasi, dan prestasi siswa dalam belajar dan menulis teks drama dengan menggunakan metode investigasi kelompok. PTK merupakan suatu proses yang menunjukkan siklus-siklus kegiatan berkelanjutan dan berulang-ulang. Banyaknya siklus bergantung kepada hasil dan pencapaian kompetensi siswa yang diharapkan setelah diproses dengan metode PTK. Minimal siklusnya dua kali. Kalau hasil dan kompetensi siswa sudah tercapai pada dua tahapan siklus, PTK dianggap sudah tuntas. Jika dua kali siklus belum tuntas, dilanjutkan ke siklus tiga. Begitu seterusnya. Siklus maksimal tiga atau empat. Proses PTK terdiri atas empat tahap; yaitu: perencanaan, pelaksanaan/tindakan, pengamatan, dan refleksi. Berikut jabarannya. Perencanaan Dalam penelitian ini penulis/peneliti merencanakan kegiatan perbaikan pembelajaran dengan menggunakan metode investigasi kelompok untuk meningkatkan partisipasi belajar siswa, kompetensi, prestasi belajar dan Peningkatan Partisipasi dan Prestasi Belajar kemampuan menulis naskah drama pada siswa kelas 9A. Metode ini digunakan untuk satu kali pertemuan dalam dua jam pelajaran. Pada tahap ini, penulis menyiapkan bahan-bahan seperti: Rencana Perbaikan Pembelajaran (RPP) dan lembar kerja siswa; perangkat pengumpulan data, seperti lembar observasi dan alat tes siswa; melakukan koordinasi dengan teman sejawat dan murid untuk membantu pelaksanaan penelitian ini. Pelaksanaan Pelaksanaan penelitian dilakukan dalam satu kali pertemuan kelas, dua jam pelajaran dengan prosedur kerja sebagai berikut: guru menyampaikan salam pagi dan mengabsen siswa; guru mengatur tempat duduk siswa dan mendorong diwujudkannya kebersihan/K-3 kelas; guru mengajak siswa memahami standar kompetensi, kompetensi dasar, dan tujuan pembelajaran yang hendak diwujudkan bersama hari ini; guru menjelaskan prosedur belajar hari ini: pembukaan, pemahaman SK, KD, tujuan pembelajaran, pembentukan kelompok, pengundian materi diskusi dan presentasi, presentasi kelompok, tanggapan teman, tanya jawab ( klarifikasi dan penguatan ), penutup (tes, analisis hasil tes), pemberian tugas rumah; pembentukan kelompok, ketua, presenter/juru bicara, dan anggota; pengundian dan pembagian materi heterogen; diskusi kelompok; presentasi wakilwakil kelompok, teman dan forum lain menyimak dan menanggapinya dengan baik; tanya jawab/tanggapan; tes formatif; analisis hasil tes; guru memberikan ulasan umum tentang belajar menulis teks drama dengan metode investigasi kelompok; dan guru memberikan tugas rumah siswa untuk penajaman pemahaman. Pengamatan Sasaran pengamatan dalam proses penelitian ini adalah kinerja guru di dalam menerapkan metode investigasi kelompok untuk meningkatkan kompetensi siswa belajar menulis teks drama, dan perilaku siswa dalam proses belajar dan melakukan diskusi kelompok, mempresentasikan hasilnya, dan di dalam siswa memberikan tanggapan-tanggapan atau pertanyaan. Refleksi Penulis melakukan refleksi berdasarkan hasil observasi guru, teman sejawat, siswa atas kinerja guru dan perilaku belajar siswa dalam proses belajar mengajar serta perolehan nilai siswa selama proses pembelajaran. Hasil observasi serta perolehan nilai siswa penulis gunakan sebagai dasar perbaikan pembelajaran pada siklus kedua. Refleksi tersebut penulis fokuskan pada masalah utama penelitian, yaitu: cara guru dalam merencanakan dan melaksanakan kegiatan pembelajaran dengan metode investigasi kelompok, dan pencapaian hasil belajar siswa setelah guru menerapkan metode investigasi kelompok dalam pembelajarannya. Apabila perolehan nilai sebagian besar siswa (yaitu 85%) belum mencapai standar KKM sekolah (yaitu 85), maka dikategorikan pembelajaran belum tuntas atau gagal. Untuk itu perlu dilakukan pengulangan pembelajaran dengan perbaikan pada aspek tertentu. Aspek tersebut berdasarkan temuan dan telaah guru selama proses pembelajaran yang lalu berlangsung. Misi umum penelitian ini adalah meningkatkan partisipasi dan prestasi belajar siswa dalam belajar drama dan menulis naskah drama dengan menggunakan metode investigasi kelompok di kelas 9A. Kegiatan tersebut dilaksanakan untuk mencapai KKM sekolah sebesar 85. Apabila nilai sebagian besar siswa (sejumlah 85 %) belum mencapai standar KKM sekolah, maka pembelajarannya haruslah diulang dengan siklus berikutnya. Siklus berikut itu harus menerapkan perbaikan pada beberapa aspek hasil telaah dan temuan selama proses pembelajaran sebelumnya berlangsung. Penerapan desain dan siklus pembelajaran di atas dapat kita cermati pada Gambar 1. Teknik Pengumpulan Data Pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan tes dan observasi. Tes Tes yang dilakukan adalah postes dengan bentuk pilihan ganda sebanyak 20 butir soal. Bahan tes ini sesuai dengan indikator dan tujuan siswa belajar drama dan menulis teks Jurnal Pendidikan Penabur - No.24/Tahun ke-14/Juni 2015 7 Peningkatan Partisipasi dan Prestasi Belajar Permasalahan > Perencanaan tindakan 1 > Pelaksanaan tindakan 1 > Siklus 1 Refleksi 1 < Pengamatan/ Pengumpulan Data 1 > Permasalahan baru hasil refleksi < > Siklus 2 Perencanaan tindakan 2 Refleksi 2 < > < Pelaksanaan tindakan 2 Pengamatan/ Pengumpulan Data 2 Apabila permasalahan belum terselesaikan > Dilanjutkan ke siklus berikutnya/S3 > Pengamatan/ Pengumpulan Data 3 Gambar 1: Alur Siklus Pembelajaran drama yaitu siswa (a) mampu memahami konsep drama secara utuh dan komprehensif, (b) terampil menulis naskah drama, (c) terampil bermain/berpentas drama, (d) terampil menilai naskah drama, dan (e) terampil menilai pementasan drama. Tes diberikan dua kali, yaitu pada siklus 1 dan 2. Bentuk tes adalah pilihan ganda agar segera diketahui hasil, perkembangan, dan perbandingannya. Dengan demikian, analisis dan kesimpulan penerapan metode baru dalam pembelajaran bersiklus itu dapat terbaca. Observasi Observasi dilakukan guru sejawat dan siswa terhadap guru dan siswa pada kedua siklus yang dilakukan. Guru pengamat mengobservasi kinerja guru dalam menerapkan metode investigasi kelompok dan perilaku belajar siswa dalam memberikan partisipasi belajar drama. Siswa pengamat mengamati kinerja guru dalam menerapkan metode investigasi kelompok dan perilaku belajar siswa temannya dalam memberikan partisipasi belajar drama. Melalui hasil pengamatan kedua pihak, maka kinerja guru menerapkan metode investigasi kelompok dan perilaku belajar siswa dalam memberikan partisipasi belajar drama dapat 8 Jurnal Pendidikan Penabur - No.24/Tahun ke-14/Juni 2015 dicermati bagaimana perkembangan dan kemajuan kompetensinya. Teknik Analisis Data Sesuai dengan teknik pengumpulan data, maka ada dua macam data yang dianalisis dalam penelitian ini. Nilai siswa Nilai ini merupakan potret kemampuan siswa dalam belajar drama, sebelum dan setelah penerapan metode investigasi kelompok. Nilai siswa ini ada dua macam; yaitu hasil pos tes pada siklus 1 dan 2. Nilainya berupa nilai kuantitatif. Dengan nilai itu dapat dikaji (a) berapa siswa yang meraih KKM, dan yang belum KKM, (b) bagaimana tingkat ketuntasan belajar kelasnya, (c) bagaimana perkembangan kemajuan antara siklus pembelajaran kesatu dan kedua setelah penerapan metode investigasi kelompok dalam belajar drama, (d) soal tes nomor mana saja yang masih merupakan kesulitan siswa, dan (e) kalau nilai tes jelek/tak memenuhi standar, apa langkah berikut. Hasil observasi Lembar hasil observasi guru/teman sejawat dan siswa terhadap kinerja guru dan perilaku belajar Peningkatan Partisipasi dan Prestasi Belajar siswa dalam menerapkan metode investigasi kelompok dalam belajar drama ini berupa nilai kuantitatif. Data kondisinya digunakan untuk menelaah dan menghubungkan data kondisi satu dan lainnya, untuk akhirnya disimpulkan. Kinerja guru dalam menerapkan metode investigasi kelompok diobservasi dan dinilai oleh teman sejawat dan siswanya. Sedangkan perilaku belajar siswa dalam memberikan partisipasi belajar drama dengan metode investigasi kelompok diobservasi dan dinilai oleh guru peneliti, guru observer/teman sejawat, dan siswa/temannya sendiri. Hasil Penelitian Deskripsi Hasil Penelitian Siklus 1 Pada siklus pembelajaran kesatu ini telah dilakukan kegiatan perencanaan, pelaksanaan, pengamatan, dan refleksi. Berikut ini uraiannya. Perencanaan Pada tahap ini peneliti menyiapkan dan menyusun RPP siklus 1; menghubungi guru/teman sejawat, yaitu rekan guru Bahasa Indonesia, untuk mengobservasi kinerja dirinya, mengobservasi perilaku belajar siswa, dan membantu pelaksanaan kegiatan pembelajaran di kelas 9A, atas izin Kepala Sekolah; menghu-bungi dua orang siswa, siswa berkarakter, berwawasan, dan loyal, untuk menjadi tenaga observer saat pembelajaran dilakukan, guna mengobservasi kinerja guru dan perilaku belajar temannya; meminta seorang tenaga karyawan, yang menguasai fotografi, untuk mendokumentasikan kegiatan pembelajaran ini; menetapkan hari Kamis, 16 April 2015 jam ke-6-7, pukul 10.3012.10 adalah hari pembelajaran siklus 1 di kelas 9A bagi penerapan metode ceramah bervariasi untuk meningkatkan kompetensi dan partisipasi belajar siswa dalam belajar drama dan menulis teks drama; dan akhirnya, menyiapkan perangkat pendukung pembelajaran. Pelaksanaan Pada tahap ini penulis melakukan aneka kegiatan di kelas 9A berupa: menyampaikan salam pagi dan mengabsen siswa; mengatur tempat duduk siswa dan mengelola K-3 kelas; mengajak siswa memahami standar kompetensi, kompetensi dasar, dan tujuan pembelajaran yang hendak diwujudkan bersama hari ini; menjelaskan prosedur belajar hari ini; memberikan apersepsi uantuk merangsang kesiapan belajar; menjelaskan materi dengan metode ceramah bervariasi; memberikan Tabel 1: Lembar Observasi Perilaku Belajar Siswa pada Siklus 1 No Aspek Penilaian dalam Observasi Rentang Skor Keterangan Amat Baik Baik 1 Perhatian Siswa V 2 Minat dan Semangat Belajar V 3 Minat Bertanya V 4 Semangat Mencatat Materi Pelajaran V 5 Keterlibatan dalam Pelajaran V 6 Konsentrasi Belajar V 7 Partisipasi Siswa dalam Pembelajaran V 8 Hasil Prestasi Studi Siswa V Jumlah = 8 item/aspek Sedang Kurang 8 Jurnal Pendidikan Penabur - No.24/Tahun ke-14/Juni 2015 9 Peningkatan Partisipasi dan Prestasi Belajar kesempatan siswa untuk bertanya materi pelajaran; memberikan postes; mengajak siswa menganalisis tes dan hasilnya; memberikan tugas rumah siswa untuk penajaman dan pengayaan konsep; akhirnya menutup pertemuan hari itu. Pengamatan Pada tahap ini penulis mengamati perilaku belajar siswa, hasil postes, dan hasil observasi dari dirinya, observer guru sejawat, maupun siswa. Hasilnya sebagai berikut. 1. Pengamatan guru atas perilaku belajar siswa Sambil mengajar guru mengamati, bahwa kondisi perilaku belajar siswa tenang, memperhatikan pembelajaran, mencatat rangkuman penjelasan, tidak bertanya, namun hasil postesnya ternyata ada sembilan orang tidak KKM; atau 30 % tidak KKM. 2. Pengamatan Teman Sejawat tentang perilaku belajar siswa Teman Sejawat menilai perilaku belajar siswa sebagai baik, partisipasi belajar siswa dan prestasi studinya baik, 8 item pengamatan yang dinilai semua baik. Deskripsinya terlihat pada Tabel 1. 3. Pengamatan Siswa tentang perilaku siswa/ temannya Dua orang siswa mengamati perilaku belajar temannya sebagai cukup baik dan kondusif. Ini nyata dari penilaian amat baik 1 poin, baik 8 poin, sedang 5 poin, dan kurang 2 poin, sebagaimana terlihat pada Tabel 2 a dan 2 b. 4. Pengamatan Teman Sejawat tentang kinerja guru. Teman sejawat mengamati, murid tenang, perhatian baik, kurang bertanya/pasif, partisipasi siswa baik, hasil prestasi baik. Sedangkan penampilan guru dinilai cukup kondusif, piawai dalam mengelola kelas, menyenangkan siswa, menarik. Teman Sejawat menilai kinerja guru sebagai baik dalam kedelapan item pengamatan. Deskripsinya terlihat pada Tabel 3. 5. Pengamatan Siswa tentang kinerja guru. Dua orang siswa menilai kinerja guru sebagai amat baik 5 poin, baik 10 poin, sedang 1 poin, sebagaimana terlihat pada Tabel 4a dan 4b. 6. Hasil postes siswa Hasil postes siswa terlihat pada Tabel 5. Refleksi Penulis merasa dan menimbang, bahwa langkah persiapan/perencanaan pembelajaran telah dilakukan maksimal. RPP, materi pembelajaran, sarana pendukung, seperti soal tes, fotokopi rangkuman materi pelajaran untuk siswa sudah Tabel 2 a: Lembar Observasi Perilaku Belajar Siswa pada Siklus 1 No Aspek Penilaian dalam Observasi Rentang Skor Keterangan Amat Baik Sedang Kurang 1 Perhatian Siswa 2 Minat dan Semangat Belajar 3 Minat Bertanya v 4 Semangat Mencatat Materi Pelajaran v 5 Keterlibatan dalam Pelajaran 6 Konsentrasi Belajar v 7 Partisipasi Siswa dalam Pembelajaran v 8 Hasil Prestasi Studi Siswa v Jumlah = 8 item/aspek 10 Baik Jurnal Pendidikan Penabur - No.24/Tahun ke-14/Juni 2015 v v v 4 2 2 Peningkatan Partisipasi dan Prestasi Belajar Tabel 2 b: Lembar Observasi Perilaku Belajar Siswa pada Siklus 1 No Aspek Penilaian dalam Observasi Rentang Skor Keterangan Amat Baik Baik 1 Perhatian Siswa 2 Minat dan Semangat Belajar 3 Minat Bertanya v 4 Semangat Mencatat Materi Pelajaran v 5 Keterlibatan dalam Pelajaran 6 Konsentrasi Belajar 7 Partisipasi Siswa dalam Pembelajaran v 8 Hasil Prestasi Studi Siswa v Sedang Kurang v v v v v v 4 Jumlah = 8 item/aspek 1 3 4 2 2 Tabel 3: Lembar Observasi Teman Sejawat pada Siklus 1 No Aspek Penilaian dalam Observasi Rentang Skor Keterangan Amat Baik Baik 1 Pengarahan Guru v 2 Metode yang Digunakan Guru v 3 Penyajian Materi Guru dan Sistematikanya v 4 Kecakapan dan Keterlibatan Guru Menangani Tanggapan dan Penuntasan Pembelajaran v 5 Kepiawaian Guru dalam Menghidupkan Kelas v 6 Penguasaan/Managemen Kelas v 7 Partisipasi Siswa dalam Pembelajaran v 8 Hasil Prestasi Studi Siswa v Jumlah = 8 item/aspek pengamatan 8 Sedang Kurang Jurnal Pendidikan Penabur - No.24/Tahun ke-14/Juni 2015 11 Peningkatan Partisipasi dan Prestasi Belajar Tabel 4 a: Lembar Observasi Kinerja Guru pada Siklus 1 No Aspek Penilaian dalam Observasi Rentang Skor Keterangan Amat Baik Baik 1 Pengarahan Guru 2 Metode yang Digunakan Guru 3 Penyajian Materi Guru dan Sistematikanya v 4 Kecakapan dan Keterlibatan Guru Menangani Tanggapan dan Penuntasan Pembelajaran v 5 Kepiawaian Guru dalam Menghidupkan Kelas v 6 Penguasaan/Managemen Kelas v 7 Partisipasi Siswa dalam Pembelajaran v 8 Hasil Prestasi Studi Siswa v Sedang Kurang v v Jumlah = 8 item/aspek pengamatan 3 4 1 Tabel 4 b: Lembar Observasi Kinerja Guru pada Siklus 1 No Aspek Penilaian dalam Observasi Rentang Skor Keterangan Amat Baik 1 Pengarahan Guru 2 Metode yang Digunakan Guru 3 Penyajian Materi Guru dan Sistematikanya 4 Kecakapan dan Keterlibatan Guru Menangani Tanggapan dan Penuntasan Pembelajaran 5 Kepiawaian Guru dalam Menghidupkan Kelas 6 Penguasaan/Managemen Kelas 7 Partisipasi Siswa dalam Pembelajaran v 8 Hasil Prestasi Studi Siswa v Jumlah = 8 item/aspek pengamatan 12 Baik Jurnal Pendidikan Penabur - No.24/Tahun ke-14/Juni 2015 Sedang v v v v V v V v 3 2 4 6 1 Kurang Peningkatan Partisipasi dan Prestasi Belajar T abel 5: Hasil Postes pada Siklus 1 No Nama Siswa Nilai 1 Siswa 1 95 2 Siswa 2 95 3 Siswa 3 80 Nilai 100 = 2 4 Siswa 4 90 Nilai 95 = 2 5 Siswa 5 85 Nilai 90 = 10 6 Siswa 6 100 Nilai 85 = 7 7 Siswa 7 75 Nilai 80 = 6 8 Siswa 8 85 Nilai 75 = 1 9 Siswa 9 90 Nilai 70 = 1 10 Siswa 10 80 Nilai 0 = 1 11 Siswa 11 90 12 Siswa 12 90 13 Siswa 13 90 14 Siswa 14 90 15 Siswa 15 90 16 Siswa 16 80 17 Siswa 17 85 18 Siswa 18 80 19 Siswa 19 80 20 Siswa 20 85 21 Siswa 21 80 22 Siswa 22 0 23 Siswa 23 85 24 Siswa 24 100 25 Siswa 25 80 26 Siswa 26 90 27 Siswa 27 70 28 Siswa 28 90 29 Siswa 29 90 30 Siswa 30 85 Jumlah tu ntas/tak tuntas 21/ 9 siswa Keterangan KKM = 85 Sakit/tidak tuntas Tuntas: 21(70%) Tidak tuntas: 9 (30%) tersedia dan dibagikan kepada siswa. Pelaksanaan dan sarana pendukung telah dioperasikan optimal. RPP yang disiapkan telah dipraktikkan dalam pembelajaran. Guru menjelaskan materi pembelajaran secara sistematis dengan LCD, peluang siswa bertanya disediakan, walaupun tak direspon seorang pun, kondisi kelas sangat kondusif, tenang, nyaman untuk memahami dan membangun konsep. Hasil observasi guru sejawat pun positif dan sejalan dengan renungan di atas. Kinerja guru baik, perilaku belajar siswa cukup baik. Pendapat dan pemahaman ini juga didukung oleh hasil observasi dua orang siswa. Kinerja guru baik dan perilaku belajar siswa pun baik. Hampir semuanya positif. Perencanaan dan pelaksanaan pembelajaran yang optimal tersebut ternyata belum menghasilkan partisipasi belajar siswa dan prestasi belajar yang optimal. Ini ternyata dari tidak satu pun siswa bertanya, menanggapi, memberikan klarifikasi materi pelajaran saat terjadi proses belajar mengajar. Siswa pasif dan diam. Awalnya guru bangga karena merasa upaya penjelasannya dapat ditangkap jelas oleh siswa. Rasa bangga yang berujung agak kecewa. Kecewa karena ternyata hasil tesnya (Tabel 5) tidak optimal. Ada 9 siswa tidak mencapai KKM sekolah, yaitu 85. Dari 30 siswa hanya 21 siswa mencapai KKM. Ini berarti hanya 70% siswa kelas itu tuntas belajar drama. Syarat tuntas belajar kelas adalah 85%. Ini berarti bahwa pembelajaran pada siklus 1 bermasalah. Berdasarkan hasil investigasi guru terhadap siswa setelah membahas soal tes diperoleh beberapa masukan berikut. Paparan materi belajar guru lancar, sistematika bagus, volume suara dan intonasi baik, kelincahan dan penguasaan materi guru baik, namun guru terlalu cepat dalam menyampaikan materi pelajaran. Komunikasi pembelajarannya didominasi guru (one way communication). Guru terus menyapa murid setelah proses paparan materi pelajaran. Misalnya, “Bagaimana? Jelas? Bisa dipahami? Oke?” Murid hanya menjawab,”Bisa.” “Mari kita lanjutkan. Oke.” Murid hanya menjawab, “Oke.” Kondisi demikian ternyata sulit diselami untuk mendeteksi kesiapan murid menangkap dan menguasai Jurnal Pendidikan Penabur - No.24/Tahun ke-14/Juni 2015 13 Peningkatan Partisipasi dan Prestasi Belajar konsep materi guru. Inilah persoalan yang terjadi. Dari kajian dan refleksi di atas, maka dapat disimpulkan, siklus pembelajaran kesatu mengalami masalah: guru terlalu cepat dalam menjelaskan materi pelajaran, guru melibatkan siswa dalam belajar namun tidak direspon positif murid, guru terlalu mendominasi komunikasi pembelajaran, sapaan guru tak berjawab menandai kepasifan siswa dan tanda tanya atas kualitas pemahaman murid terhadap materi pelajaran. Atas dasar semua itu, pembelajaran harus dilanjutkan ke siklus kedua dengan memperbaiki kinerja guru dan perilaku belajar siswa. Pilihan jitu untuk memperbaiki kondisi adalah menerapkan metode atau model pembelajaran investigasi kelompok dalam siklus pembelajaran kedua. Alasan pemilihan metode adalah, bahwa metode ini mampu mengeksplorasi partisipasi dan demokrasi dalam belajar siswa, sehingga berdampak pada peningkatan prestasi siswa. Perencanaan Pada tahap ini peneliti menyiapkan beberapa hal berikut : menyusun RPP siklus 2 dengan revisi; menghubungi guru/teman sejawat untuk mengobservasi dirinya dan murid, serta membantu pelaksanaan kegiatan di kelas 9A, atas izin Kepala Sekolah; menghubungi dua siswa untuk menjadi tenaga observer saat pembelajaran dilakukan, serta meminta seorang Tenaga TU untuk mendokumentasikan kegiatan pembelajaran ini; menetapkan hari Jumat, 17 April 2015, jam ke-8-9, pukul 12.10-13.30 adalah hari pembelajaran siklus 2 di kelas 9A bagi penerapan metode investigasi kelompok untuk meningkatkan kompetensi, partisipasi, dan prestasi belajar siswa dalam belajar drama dan menulis naskah drama; dan terakhir, menyiapkan perangkat pendukung pembelajaran. menyam-paikan salam pagi, mengabsen siswa, mengatur piket kelas/mengelola K3 untuk membersihkan kelas agar nyaman digunakan untuk belajar; guru mengatur tempat duduk siswa agar mereka nyaman belajar; guru mengajak siswa memahami standar kompetensi, kompetensi dasar, dan tujuan pembelajaran yang hendak diwujudkan bersama hari ini; guru menjelaskan prosedur belajar hari ini: pembukaan, pemahaman SK, KD, tujuan pembelajaran, pembentukan kelompok, pengundian materi diskusi, penyiapan bahan presentasi kelompok, presentasi kelompok, tanggapan teman, tanya jawab ( klarifikasi dan penguatan ), penutup (tes, analisis hasil tes), pemberian tugas rumah untuk menguatkan pemahaman konsep tentang drama dan penyusunan naskah drama; pembentukan kelompok diskusi, ketua, sekretaris, dan presenter/juru bicara kelompok, anggota; yaitu sebanyak tujuh kelompok, yang terdiri dari: 1. Kelompok Kesatu, dengan juru bicara AP 2. Kelompok Kedua., dengan juru bicara CLG 3. Kelompok Ketiga, dengan juru bicara MTS. 4. Kelompok Keempat, dengan juru bicara FTS. 5. Kelompok Kelima, dengan juru bicara JFK. 6. Kelompok Keenam, dengan juru bicara HHW. 7. Kelompok Ketujuh, dengan juru bicara CSB. Selesai membentuk kelompok dan personalnya, guru melakukan pengundian dan pembagian materi heterogen; memandu diskusi kelompok; mengundi urutan presentasi materi belajar yang disiapkan; memoderatori presentasi wakil-wakil kelompok, teman dan forum lain menyimak dan menanggapinya dengan baik; memandu tanya jawab untuk penguatan pemahaman konsep drama; memberikan tes formatif/postes; melakukan analisis hasil tes dan kesan pesan forum; guru memberikan ulasan umum tentang belajar drama dan menulis naskah drama dengan metode investigasi kelompok; guru memberikan tugas rumah siswa untuk penguatan konsep penyusunan naskah drama; dan akhirnya, guru menutup pertemuan hari ini. Pelaksanaan Pada tahap ini penulis melakukan proses pembelajaran di kelas 9A berupa kegiatan: guru Pengamatan Pada tahap ini penulis mengamati perilaku belajar siswa, hasil postes, dan hasil observasi Siklus 2 Pada siklus pembelajaran kedua ini dilakukan kegiatan perencanaan, pelaksanaan, pengamatan, dan refleksi. Berikut uraiannya. 14 Jurnal Pendidikan Penabur - No.24/Tahun ke-14/Juni 2015 Peningkatan Partisipasi dan Prestasi Belajar dari observer guru sejawat maupun siswa. Hasilnya sebagai berikut. 1. Pengamatan guru atas perilaku belajar siswa Sambil mengajar guru mengamati, bahwa kondisi perilaku siswa dalam diskusi kelompok cukup aktif berpendapat, cukup hidup, dan dinamis memperhatikan dan merespon presentasi teman kelompok lain, bertanya kepada siswa presenter, yang pada ujungnya berdampak hasil postesnya ternyata 93,3% mencapai KKM. Para presenter telah dapat mewakili kelompoknya menyampaikan paparan materi drama dengan baik, berani, tenang, lancar, serta mampu menjawab pertanyaan atau tanggapan kelompok lain. Ada 11 siswa penanya dengan 17 pertanyaan, penguatan, dan tanggapan. Mereka itu adalah: Penanya 1 ( 1 pertanyaan), Penanya kedua (1 pertanyaan), Penanya ketiga (3 pertanyaan), Penanya keempat (2 pertanyaan), Penanya kelima (1 pertanyaan), Penanya keenam (4 pertanyaan), Penanya ketujuh (1 pertanyaan), Penanya kedelapan (1 pertanyaan), Penanya kesembilan (1 pertanyaan), Penanya kesepuluh (1 pertanyaan), dan Penanya kesebelas (1 pertanyaan). Lintas bicara antarpihak telah terjadi cukup semarak dan hidup, menarik, dan menyenangkan, berkesan, serta ingin diulang pada kesempatan lain. Data itu menandai, bahwa partisipasi siswa dalam diskusi internal cukup hidup dan aktif, juga dalam forum diskusi kelas. Ini dapat dinikmati saat guru keliling ke setiap kelompok ketika mereka mendiskusikan materi bagian kelompoknya, maupun saat memoderatori penampilan wakil kelompok dalam diskusi kelas yang lebih luas. 2. Hasil postes siswa Hasil postes siswa terdeskripsi disajikan pada Tabel 6. 3. Hasil observasi guru sejawat dan siswa a. Observasi guru sejawat terhadap guru Penampilan guru dinilai sangat kondusif, piawai dalam mengelola kelas, menyenangkan siswa, memotivasi kelas sehingga kelas hidup. Lima dari delapan aspek penilaian dinyatakan amat baik. T abel 6: Hasil Postes pada Siklus 2 No Nama Siswa Nilai 1 Siswa 1 100 2 Siswa 2 100 3 Siswa 3 100 Nilai 100 = 20 4 Siswa 4 100 Nilai 95 = 5 5 Siswa 5 100 Nilai 90 = 3 6 Siswa 6 100 Nilai 80 = 1 7 Siswa 7 80 Nilai 80 = 1 8 Siswa 8 100 Nilai 0 = 9 Siswa 9 100 10 Siswa 10 95 11 Siswa 11 100 12 Siswa 12 100 13 Siswa 13 100 14 Siswa 14 100 15 Siswa 15 100 16 Siswa 16 100 17 Siswa 17 95 18 Siswa 18 100 19 Siswa 19 90 20 Siswa 20 100 21 Siswa 21 90 22 Siswa 22 0 23 Siswa 23 95 24 Siswa 24 100 25 Siswa 25 95 26 Siswa 26 95 27 Siswa 27 90 28 Siswa 28 100 29 Siswa 29 100 30 Siswa 30 100 Jumlah tu ntas/tak tuntas 28/2orang Keterangan KKM = 85 Sakit/tidak tuntas Tu ntas: 28 (93,3%) Tidak tuntas: 2 (6.7%) Jurnal Pendidikan Penabur - No.24/Tahun ke-14/Juni 2015 15 Peningkatan Partisipasi dan Prestasi Belajar Tiga item dinilai baik. Tabel 7 deskripsi hasil observasinya. b. Observasi guru sejawat terhadap perilaku belajar siswa Teman Sejawat mengamati siswa, bahwa mereka aktif berdiskusi dan berpartisipasi membangun ide, baik dalam diskusi kelompok maupun dalam forum kelas, hasil prestasi belajarnya amat baik. Lima dari delapan aspek penilaian dinyatakan amat baik, sedangkan tiga aspeknya baik. Tabel 8 berisi deskripsi hasil observasinya. c. Observasi siswa terhadap kinerja Guru Dua orang siswa, Siswi 1 dan Siswa 2 diminta turut mengobservasi kegiatan gurunya dalam mengajar dengan metode investigasi kelompok. Mereka menilai, bahwa proses ke-giatan pembelajaran berjalan lancar, kondusif, menyenangkan, memotivasi siswa belajar dan bergagasan. Siswi 1 menilai tiga dari delapan aspek kegiatan guru dinilai amat baik; lima item dinilai baik. Sedangkan S2 menilai dua item amat baik dan 6 item baik sebagaimana terlihat pada pada tabel 9a dan 9b. 4. Observasi siswa terhadap perilaku belajar siswa Dua orang siswa, Siswi 1 dan Siswa 2, turut mengobservasi kegiatan temannya dalam belajar dan diskusi. Mereka menilai, bahwa kegiatan temannya aktif, partisipatif, kondusif, senang, bahkan terlihat nyaman. Kedua siswa mengamati dan menilai bahwa kedelapan aspek pembelajaran siswa dinilainya amat baik 5 poin, baik 10 poin, dan sedang 1 poin. Deskripsi kondisi hasil pengamatan mereka itu tertera pada tabel 10a dan 10b. Refleksi Mengingat kegagalan pada siklus 1, maka penulis melakukan persiapan lebih baik dengan memberikan penekanan perubahan berdasarkan aspek/titik kelemahan siklus 1. RPP, strategi pembelajaran diubah, materi pembelajaran bahan diskusi kelompok disiapkan, sarana pendukung, seperti soal tes, fotokopi rangkuman materi pelajaran untuk siswa disediakan dan Tabel 7: Lembar Observasi Kinerja Guru pada Siklus 2 No 16 Aspek Penilaian dalam Observasi Rentang Skor Keterangan Amat Baik Baik 1 Pengarahan Guru v 2 Metode yang Digunakan Guru v 3 Penyajian Materi Guru dan Sistematikanya 4 Kecakapan dan Keterlibatan Guru Menangani Tanggapan dan Penuntasan Pembelajaran 5 Kepiawaian Guru dalam Menghidupkan Kelas v 6 Penguasaan/Managemen Kelas v 7 Partisipasi Siswa dalam Pembelajaran v 8 Hasil Prestasi Studi Siswa v Jumlah = 8 item/aspek pengamatan 5 Jurnal Pendidikan Penabur - No.24/Tahun ke-14/Juni 2015 v v 3 Sedang Kurang Peningkatan Partisipasi dan Prestasi Belajar dibagikan kepada siswa. Pelaksanaan dan sarana pendukung telah dioperasikan optimal. RPP yang disiapkan telah dipraktikkan dalam pembelajaran. Guru menjelaskan dan menegaskan prosedur dan teknis belajar pada siklus 2 ini secara serius agar pembelajaran berjalan efektif, sistematis, mencapai tujuan optimal, peluang siswa bertanya disediakan, baik dalam internal kelompok maupun forum kelas agar kelas menjadi hidup; kondisi kelas sangat Tabel 8: Lembar Observasi Perilaku Belajar Siswa pada Siklus 2 No Aspek Penilaian dalam Observasi Rentang Skor Keterangan Amat Baik Baik 1 Perhatian Siswa v 2 Minat dan Semangat Belajar v 3 Minat Bertanya 4 Semangat Mencatat Materi Pelajaran 5 Keterlibatan dalam Pelajaran v 6 Konsentrasi Belajar v 7 Partisipasi Siswa dalam Pembelajaran v 8 Hasil Prestasi Studi Siswa v Jumlah = 8 item/aspek Sedang Kurang V v 5 3 Tabel 9a: Lembar Observasi Siswa atas Kinerja Guru pada Siklus 2 No Aspek Penilaian dalam Observasi Rentang Skor Keterangan Amat Baik Baik 1 Perhatian Siswa v 2 Minat dan Semangat Belajar v 3 Minat Bertanya v 4 Semangat Mencatat Materi Pelajaran v 5 Keterlibatan dalam Pelajaran v 6 Konsentrasi Belajar v 7 Partisipasi Siswa dalam Pembelajaran v 8 Hasil Prestasi Studi Siswa v Jumlah = 8 item/aspek 3 Sedang Kurang 5 Jurnal Pendidikan Penabur - No.24/Tahun ke-14/Juni 2015 17 Peningkatan Partisipasi dan Prestasi Belajar kondusif, dinamis, kerjasama terba-ngun baik, nyaman untuk memahami dan membangun konsep. Hasil observasi guru sejawat positif dan sejalan dengan renungan di atas. Kinerja guru baik, perilaku belajar siswa baik. Pendapat dan pemahaman ini juga didukung oleh hasil observasi dua orang siswa. Kinerja guru baik dan perilaku belajar siswa pun baik. Semuanya positif. Tabel 9b: Lembar Observasi Siswa atas Kinerja Guru pada Siklus 2 No Aspek Penilaian dalam Observasi Rentang Skor Keterangan Amat Baik Baik 1 Perhatian Siswa 2 Minat dan Semangat Belajar v 3 Minat Bertanya v 4 Semangat Mencatat Materi Pelajaran v 5 Keterlibatan dalam Pelajaran 6 Konsentrasi Belajar v 7 Partisipasi Siswa dalam Pembelajaran v 8 Hasil Prestasi Studi Siswa v Sedang Kurang v v Jumlah = 8 item/aspek 2 6 Tabel 10b: Lembar Observasi Perilaku Belajar Siswa pada Siklus 2 No Aspek Penilaian dalam Observasi Rentang Skor Keterangan Amat Baik 1 Perhatian Siswa 2 Minat dan Semangat Belajar v 3 Minat Bertanya v 4 Semangat Mencatat Materi Pelajaran v 5 Keterlibatan dalam Pelajaran 6 Konsentrasi Belajar v 7 Partisipasi Siswa dalam Pembelajaran v 8 Hasil Prestasi Studi Siswa v Jumlah = 8 item/aspek 18 Baik Jurnal Pendidikan Penabur - No.24/Tahun ke-14/Juni 2015 v v 2 6 Sedang Kurang Peningkatan Partisipasi dan Prestasi Belajar Tabel 10a: Lembar Observasi Perilaku Belajar Siswa pada Siklus 2 No Aspek Penilaian dalam Observasi Rentang Skor Keterangan Amat Baik Baik 1 Perhatian Siswa v 2 Minat dan Semangat Belajar v 3 Minat Bertanya 4 Semangat Mencatat Materi Pelajaran 5 Keterlibatan dalam Pelajaran v 6 Konsentrasi Belajar v 7 Partisipasi Siswa dalam Pembelajaran v 8 Hasil Prestasi Studi Siswa v Jumlah = 8 item/aspek Perencanaan dan pelaksanaan pembelajaran yang optimal tersebut ternyata mampu menghasilkan partisipasi belajar siswa dan prestasi belajar yang optimal. Ini ternyata dari adanya 11 siswa bertanya, menanggapi, memberikan klarifikasi materi pelajaran saat terjadi proses belajar mengajar. Siswa aktif dan dinamis. Guru bangga karena merasa perubahan metode dan strategi pembelajaran yang dilakukan menjadikan siswa nyaman belajar, berkomunikasi baik, dan bersama-sama membangun konsep tentang drama. Rasa bangga itu berujung puas dan bangga lagi. Dinyatakan demikian karena ternyata partisipasi belajar siswa berubah dan meningkat, bahkan hasil tesnya optimal. Dua puluh delapan siswa dari 30 siswa mencapai KKM sekolah, yaitu 85. Persentase KKM 93,3%. Dua puluh dari 30 siswa memperoleh nilai 10/maksimal. Ini berarti terjadi perubahan luar biasa dari siklus 1 ke siklus 2. Berdasarkan hasil investigasi guru terhadap siswa setelah membahas soal tes diperoleh beberapa masukan berikut. Model pembelajaran seperti ini enak, bagus, dan perlu diulang lagi pada pokok pelajaran berikutnya. Banyak siswa dapat atau terpaksa harus ikut aktif dalam bergagasan. Tetapi bagus dan bermanfaat. Perlu dikembangkan terus. Sedang Kurang v v 3 4 1 Dari kajian dan refleksi di atas, maka dapat disimpulkan bahwa siklus pembelajaran kedua mengalami peningkatan signifikan dan berhasil. Kinerja guru dan perilaku belajar siswa berubah ke arah yang lebih baik dan bermakna. Untuk itu siklusnya berhenti di sini. Pembahasan Hasil Penelitian Berikut ini, penulis hendak menghubungkan rumusan masalah, tujuan penelitian, temuan fakta dan data penelitian (tes maupun observasi), dan kajian teori untuk menyimpulkan sebuah konsep. Rumusan masalah penelitian ini adalah: “Mampukah penerapan metode investigasi kelompok meningkatkan partisipasi dan prestasi belajar drama bagi siswa di kelas 9A SMPK PENABUR Cirebon?” Rumusan masalah ini dijabarkan ke dalam empat tujuan penelitian berikut. Pertama, mening-katkan partisipasi siswa dalam belajar drama. Kedua, meningkatkan prestasi hasil belajar siswa. Ketiga, mendeteksi seberapa jauh efektivitas peran dan dampak metode belajar Group Investigation dalam menolong kesulitan belajar siswa. Keempat, membangun mutu proses belajar yang berdampak pada peningkatan mutu siswa, mutu guru, mutu sekolah/lembaga, dan mutu pendidikan. Jurnal Pendidikan Penabur - No.24/Tahun ke-14/Juni 2015 19 Peningkatan Partisipasi dan Prestasi Belajar 12 11 10 8 6 4 2 0 0 Siklus 1 Siklus 2 Gambar 2: Partisipan Belajar dan Penanya 100 90 80 70 60 50 40 30 20 10 0 93.3 70 KKM RPP Ceramah Bervariasi KKM Investigasi Kelompok Gambar 3: Perbandingan Hasil KKM Siklus/RPP1dan Siklus/RPP2 dalam % Sesuai kajian pustaka, metode investigasi kelompok diplih karena metode ini mampu membangun sikap tanggung jawab dan kerjasama dalam kelompok, serta membina sikap saling menghargai pendapat anggota kelompok, dan pada ujungnya membiasakan untuk berani mengemukakan pendapat. Kecuali itu, model ini juga memberikan kesempatan siswa untuk banyak berpartisipasi, berinteraksi dalam membangun gagasan. Semakin partisipasi belajar siswa tinggi, penguasaan konsep dan materi pembelajaran semakin dalam dan luas pula. Kondisi ini berdampak positif dan produktif pada peningkatan prestasi siswa sebagaimana terlihat pada Tabel 11. Data Tabel 11 menunjukkan, pertama, pilihan metode pembelajaran memberikan aneka dampak pada kehidupan, nurani, perasaan, sikap, partisipasi, dan prestasi belajar siswa. Ini 20 Jurnal Pendidikan Penabur - No.24/Tahun ke-14/Juni 2015 berarti bahwa ada hubungan linear-logis antara pilihan metode pada kajian teori/pustaka dengan rumusan masalah penelitian ini. Kedua, dengan pilihan dan terapan metode pembelajaran yang pas, partisipasi studi siswa membaik. Partisipasi pada siklus 1 yang kurang diminati nol, sedangkan partisipasi pada siklus 2 berupa 11 siswa penanggap dengan 17 produksi tanggapan. Ini membuktikan tercapainya tujuan-kesatu penelitian ini dan tampak jelas pada Gambar 2. Ketiga, perolehan nilai siswa sebagai wujud meterai kompetensi belajar siswa mengalami perubahan variatif dan signifikan. Ini menunjukkan, bahwa pilihan metode pembelajaran dapat mendongkrak minat belajar dan prestasi siswa, serta mendukung pewujudan tujuan-kedua penelitian ini. Kondisi ini dapat dicermati pada Gambar 3 yang menunjukkan KKM meningkat dari 70% menjadi 93.3%, melebihi KKM standar sebesar 85%. Pada siklus 1, siswa ber-KKM sebanyak 21 orang, tidak KKM sebanyak 9 orang. Pada siklus 2, siswa ber-KKM sebanyak 28 orang, tidak KKM sebanyak 2 orang. Jumlah siswa tidak KKM menurun, dan meningkatkan jumlah siswa berKKM. Jumlah siswa yang mengalami peningkatan poin nilai 27 orang, yang stagnan/jenuh 3 orang. Dua orang stagnan karena perolehan nilai pada siklus 1-2 sudah maksimal; yaitu 100. Satu orang stagnan karena sakit dan tidak ikut proses belajar dan postes (Tabel 12). Hasil postes mereka juga menunjukkan perkembangan dan peningkatan signifikan. Ini membuktikan, bahwa pemberlakuan metode baru pada siklus 2 tepat dan produktif. Kalau diperbandingkan peraihan nilai dan jumlah kedua siklus, maka terlihat seperti Tabel 13. Dari data tabel itu dapat dikatakan, bahwa rentang variasi perolehan nilai pada siklus 1 lebih banyak daripada pada siklus 2. Perbandingannya adalah 8:5. Rentang panjangnya menunjukkan toleransi terhadap perolehan nilai di bawah KKM tinggi, sedangkan rentang pendeknya menun-jukkan perolehan nilai di atas KKM tinggi pula. Perubahan rentang variasi nilai dari siklus 1 ke siklus 2 menunjukkan terjadinya perbaikan kualitas pemahaman dan pembelajaran siswa. Pemeroleh nilai ideal semakin banyak, sedang- Peningkatan Partisipasi dan Prestasi Belajar Tabel 11 : Relasi dan Dampak Multiaspek dalam Dua SiKlus No Relasi Multiaspek Siklus 1 Siklus 2 Kondisi Perubahan Kesimpulan 1 Terapan metode Ceramah Bervariasi Investigasi Kelompok 100 % berubah Perlu berubah & bermanfaat 2 Partisipasi Studi 0 penanggap 11 penanggap/17 tanggapan 37 % Partisipasi studi signifikan 3 Nilai/prestasi: a.100/sempurna b.nilai meningkat c.nilai tetap a.2 (6,7%) b.21 c.3 a.20 (67%) b.27 c.3 a.+ 18 siswa/900% b.+ 6 (28,6%) c.0 % a. naik signifikan b. naik signifikan c.2 jenuh/1 sakit Pencapaian KKM a. Sesuai KKM b. Di atas KKM c. KKM ( 85 ) d. Tidak sesuai KKM e. % KKM kelas (85%) a.7 b.14 c.21 d. 9 e. 70% a.0 b.28 c. 28 d. 2 e. 93,3% a.7 siswa nilai naik b.naik 100% c.+ 7 siswa/33,3% d.- 7 siswa/77,8% e. naik 23,3% a.naik signifikan b. naik signifikan c. naik signifikan d. naik signifikan e. di atas KKM a.28 siswa b.2 siswa a.29 siswa b.27 siswa a.beda drastis b.beda drastis a.. Guru perlu 4 5 Kenyamanan studi a. Kurang nyaman b. Nyaman, momen unjuk diri refleksi b.Guru perlu refleksi 6 Alur komunikasi Harus konsern satu arah Multiarah Demokratis, bebas, moderat Siswa menyenanginya. 7 Tekanan Belajar Tinggi (16 siswa) berkata begitu Fleksibel (25 siswa) merasa begitu Demokratis, serius tapi santai Siswa kelas ini kurang tahan tekanan 8 Kebebasan Belajar Rendah/kena komando guru (29 siswa) berkata itu Tinggi/guru keliling kontrol diskusi kelompok; siswa punya pagar kelompok Harkat diri siswa diperhatikan Siswa kelas ini punya gengsi tertentu 9 Kinerja Guru-Murid Guru dituntut banyak, murid pasif. Guru capek, murid enak. Guru menjadi konduktor Porsi dan persentase kinerja-hak disesuaikan lebih efektif dan berdaya guna tinggi Perlu berubah & bermanfaat seca ra kontiniu, fle ksibel, berdam pak positif orchesta PBM. Guru tak terlalu capek, murid aktif kerja 10 Kajian Observer GuruSiswa pada Peneliti 5 Amat baik 18 Baik 1 Sedang 10 Amat baik 14 Baik 0 Sedang meningkat baik Kinerja Guru/Pe neliti tambah baik 11 Kajian Observer Guru-Siswa pada Perilaku Belajar Siswa 1 Amat Baik 16 Baik 5 Sedang 2 Kurang 10 Amat baik 13 Baik 1 Sedang 0 Kurang Meningkat Baik Perilaku belajar siswa berubah membaik dan signifikan Jurnal Pendidikan Penabur - No.24/Tahun ke-14/Juni 2015 21 Peningkatan Partisipasi dan Prestasi Belajar T ab el 12 : D ata P ero leh an N ilai P ostes S ik lu s 1 d an 2, S erta P erk em b ang an n ya No N am a S iswa N ilai S ik lu s 1 M etod e C eram ah B ervariasi N ilai S ik lu s 2 M etod e C eram ah B ervariasi P erk em b an gan / p eru b ah an d am p ak p en erap an m etod e b aru 1 Sisw a 1 95 100 5 2 Siswa 2 95 100 5 3 Siswa 3 80 100 20 4 Siswa 4 90 100 10 5 Siswa 5 85 100 15 6 Siswa 6 100 100 0/ te tap 7 Siswa 7 75 80 5 8 Siswa 8 85 100 15 9 Siswa 9 90 100 10 10 Sis wa 10 80 95 15 11 Sis wa 11 90 100 10 12 Sis wa 12 90 100 10 13 Sis wa 13 90 100 10 14 Sis wa 14 90 100 10 15 Sis wa 15 90 100 10 16 Sis wa 16 85 100 15 17 Sis wa 17 80 95 15 18 Sis wa 18 85 100 15 19 Sis wa 19 80 90 10 20 Sis wa 20 80 100 20 21 Sis wa 21 85 90 5 22 Sis wa 22 0 0 0/ te tap 23 Sis wa 23 85 95 10 24 Sis wa 24 100 100 0/ te tap 25 Sis wa 25 80 95 5 26 Sis wa 26 90 95 5 27 Sis wa 27 70 90 20 28 Sis wa 28 90 100 10 29 Sis wa 29 90 100 10 30 Sis wa 30 85 100 15 21/ 9 o rang 70%/ 30% 28/ 2 siswa 93,3% / 6,7% 27/ 3 o rang 90% / 10% Ju m lah tu ntas / tak tu ntas 22 Jurnal Pendidikan Penabur - No.24/Tahun ke-14/Juni 2015 kan pemeroleh nilai di bawah KKM semakin kecil. Ini membuktikan bahwa penerapan strategi belajar dengan metode investigasi kelompok untuk belajar menulis naskah drama memang tepat, sehingga pembelajaran dapat berhasil. Dari data hasil pengamatan guru, guru sejawat, maupun siswa, juga dari hasil postes tersebut, dapat dikatakan bahwa penerapan metode investigasi kelompok dalam pembelajaran drama dan menulis naskah drama berdampak sangat positif dan berhasil, sehingga siklus pembelajaran perlu dan dapat dihentikan di sini. Keempat, dari hasil jajag ide setelah selesai PBM, guru memperoleh beberapa masukan dan komentar siswa yang mendorong guru untuk bertindak mobile dan fleksibel dalam memandu belajar siswa dan dalam mengelola kelas, serta dalam mengelola kejiwaan/psikis siswa. Gaya dan sikap hidup remaja sekarang perlu dicermati, diempati, jangan dilawan atau dikerasi. Kita mesti belajar pada filosofi Ki Hajar Dewantara ini. Ing ngarso sung tulodho, ing madyo mangun karso, lan tut wuri handayani, pungkasane aweh hasil kang mentes lan maedahi. Maknanya adalah, (sebagai orangtua dan dewasa) di depan kita menjadi teladan hebat, di antara mereka kita membangun semangat hidup-belajar dan motivasi, dan di belakang mereka, kita tetap berwibawa mengendalikan dan mengarahkan Peningkatan Partisipasi dan Prestasi Belajar Tabel 13: Perkembangan Peraihan Nilai Antarsiklus No Nilai Raihan Siklus 1 Metode Ceramah Bervariasi Siklus 2 Metode Investigasi Kelompok 1 100 2 20 meningkat/tambah 18 orang 2 95 2 5 meningkat/tambah 3 orang 3 90 10 3 berkurang 7 orang, naik skor 4 85 7 0 berkurang 7 orang naik skor 5 80 6 1 berkurang 5 orang, naik skor 6 75 1 0 berkurang 1 orang, naik skor 7 70 1 0 erkurang 1 orang, naik skor 8 0 1 1 tetap, karena sakit 30 orang /8 variasi 30 orang / 5 variasi Jum- 8 lah variasi Keterangan/ apresiasi turun 3 variasi, naik skor Tabel 14: Peningkatan Kinerja Guru dari Siklus 1 Ke Siklus 2 No Aspek Penilaian dalam Observasi Penilaian Observer Siklus 1 Penilaian Observer Siklus 2 Keterangan 1 Perhatian Siswa 3 baik 1 amat baik 2 baik meningkat baik 2 Minat dan Semangat Belajar 2 baik 1 sedang 3 baik baik sekali 3 Minat Bertanya 1 amat baik 2 baik 1 amat baik 2 baik cukup baik 4 Semangat Mencatat Materi Pelajaran 1 amat baik 2 baik 3 baik baik sekali 5 Keterlibatan dalam Pelajaran 2 amat baik 1 baik 2 amat baik 1 baik baik sekali 6 Konsentrasi Belajar 3 baik 2 amat baik 1 baik meningkat baik 7 Partisipasi Siswa dalam Pembelajaran 1 amat baik 2 baik 2 amat baik 1 baik meningkat baik 8 Hasil Prestasi Studi Siswa 3 baik 2 amat baik 1 baik meningkat baik 5 amat baik 18 baik 1 Sedang 10 amat baik 14 Baik 0 Sedang meningkat baik Jumlah = 8 item/aspek Jurnal Pendidikan Penabur - No.24/Tahun ke-14/Juni 2015 23 Peningkatan Partisipasi dan Prestasi Belajar Tabel 15: Perubahan Perilaku Belajar Siswa dan Penilaian Perilaku Belajar Siswa dari Ketiga Observer (Guru Sejawat dan Siswa) Aspek Penilaian dalam Observasi Penilaian Observer Siklus 1 Penilaian Observer Siklus 2 1 Perhatian Siswa 3 baik 1 amat baik meningkat 2 baik baik 2 Minat dan Semangat Belajar 2 baik 1 sedang 3 baik 3 Minat Bertanya 1 baik 1 sedang 1 kurang 2 amat baik meningkat baik 1 baik 4 Semangat Mencatat Materi Pelajaran 1 baik 1 sedang 1 kurang 2 baik 1 sedang 5 Keterlibatan dalam Pelajaran 1 baik 1 sedang 2 amat baik meningkat baik 1 baik 6 Konsentrasi Belajar 3 baik 1 amat baik meningkat baik 2 baik No Keterangan meningkat baik meningkat baik sekaligus mewujudkan makna keempat di atas. Guru baik dan kondusif. Data ini dapat kita cermati pada Tabel 14. Keenam, hasil observasi guru sejawat dan siswa terhadap perilaku belajar siswa menunjukkan peningkatan kualitas dan gaya belajar siswa. Ini membuktikan, bahwa ketika faktor kejiwaan siswa disentuh, dijaga, diperhatikan, dan diberi porsi pas dengan kondisi jiwa mereka, maka mereka rela memberikan partisipasi, kontribusi, dan unjuk ide diri secara positif dan bermakna. Kondisi ini dapat dicermati pada Tabel 15. Ketujuh, data pada 7 Partisipasi Siswa dalam 1 amat baik 2 amat baik meningkat tabel dan grafik dalam baik Pembelajaran 2 baik 1 baik bagian pembahasan hasil 8 Hasil Prestasi Studi 3 baik 2 amat baik meningkat penelitian ini mendukung baik Siswa 1 baik pewujudan tujuan peneliJumlah = 8 item/aspek 1 Amat 10 amat meningkat tian ketiga dan keempat; Baik baik baik yaitu mendeteksi kesahih16 Baik 13 Baik an metode investigasi 5 Sedang 1 Sedang kelompok dalam mem2 Kurang 0 Kurang bangun sistem belajar drama dan menulis naskah drama, serta niat guru dan untuk hidup (belajar) secara benar, dan akhirnya siswa membangun mutu proses pembelajaran kita memetik hasil yang berkualitas dan memberi banyak manfaat. Kondisi ini penulis simpulkan dapat dideteksi tepat dan dan terwujud. Terakhir, metode pembelajaran berperan dan rakit dari hasil investigasi terhadap siswa terkait dengan butir 5, 6, 7, dan 8 tabel 11 di atas. penting dalam proses pembelajaran dan dalam Guru/peneliti perlu mencermati konteks dan pencapaian berbagai aspek belajar siswa. Untuk kondisi ini demi terbangunnnya hubungan itu, guru perlu memahami/menguasai aneka guru-siswa yang kondusif, familier, dan metode pembelajaran, mampu menyimulasikan, menerapkannya sesuai dengan jenis dan variasi partnersif untuk belajar. Kelima, hasil observasi guru sejawat dan materi pembelajaran. Pertimbangan pilihannya siswa terhadap kinerja guru/peneliti menun- adalah, metode yang mudah dilakukan, jukkan peningkatan kualitas dan kinerja guru. menyenangkan siswa, memotivasi siswa belajar Ini menandai, guru bersikap adaptif, mobile, mandiri, serta yang mendukung partisipasi dan empatik, dan menerapkan refleksi-evaluasi diri, prestasi belajar siswa tinggi. 24 Jurnal Pendidikan Penabur - No.24/Tahun ke-14/Juni 2015 Peningkatan Partisipasi dan Prestasi Belajar Simpulan Kesimpulan Berdasakan perencanaan, pelaksanaan, pengamatan proses dari banyak pihak, refleksi, dan kajian teori serta data proses pembelajaran, maka penulis menyimpulkan bahwa penerapan metode investigasi kelompok dalam pembelajaran drama dan menulis naskah drama berhasil. Keberhasilan itu ditandai oleh: pertama, meningkatnya partisipasi siswa dalam belajar drama dan menulis naskah drama; dari hanya diam tanpa respon dalam belajar siklus 1 menjadi ada 11 siswa bertanya dan menanggapi presentasi rekannya pada siklus 2. Kedua, meningkatnya prestasi hasil belajar siswa; pada siklus 1 hanya dua orang meraih nilai 100/ maksimal, sedangkan pada siklus 2 berjumlah 20 orang meraih nilai 100/sempurna.Ketiga, terdeteksinya seberapa jauh efektivitas peran dan dampak metode belajar investigasi kelompok dalam menolong kesulitan belajar siswa. Faktanya adalah, ada 70% siswa KKM pada siklus 1, sedangkan pada siklus 2 menjadi 93,3%, meningkat 23,3%. Keempat, terbangunnya mutu proses belajar yang berdampak pada peningkatan mutu siswa, mutu guru, mutu sekolah/lembaga, dan mutu pendidikan. Selain itu, penulis juga mampu menunjukkan secara rasional-kritis beberapa manfaat pember-lakuan metode investigasi kelompok dalam pembelajaran drama dan menulis naskah drama, bagi beberapa pihak seperti berikut. Bagi siswa, mereka lebih senang dalam belajar dan membangun konsep drama dan menulis teks drama; mereka lebih partisipatif dalam belajar dan membangun konsep; siswa lebih berhasil dalam prestasi belajarnya; siswa dapat membangun karakter belajar lebih dinamis dan berdampak. Bagi guru, mereka mampu menolong dan mengangkat kesulitan belajar siswa dalam belajar konsep drama dan menulis teks drama; guru semakin berpengalaman membangun suasana belajar yang bernuansa PAIKEM GEMBROT (pembelajaran yang aktif, inovatif, kreatif, efektif, menyenangkan, gembira, penuh brain storming, dan berbobot); guru semakin berpengalaman dalam melakukan perubahan paradigma belajar, melalui menerapkan model dan metode pembelajaran yang variatif, produktif, efektif, dan berkualitas; guru semakin berpengalaman dalam melakukan PTK dan menuangkannya dalam karya tulis. Bagi pengembangan proses belajar siswa, pembelajaran semakin dinamis, produktif, progresif; guru dan siswa semakin mudah bersinergi dalam membangun PBM bermutu. Rekomendasi Berdasarkan kesimpulan di atas, penulis perlu menyampaikan rekomendasi berkaitan dengan langkah persiapan/perencanaan, pelaksanaan, pengamatan, dan evaluasi/pengamatan proses pembelajaran seperti berikut. Pertama, persiapan dan perencanaan pembelajaran perlu dipikirkan dan disusun matang agar pelaksanaan pembelajaran berjalan tertib, lancar, aman, produktif, dan efektif. Kedua, pelaksanaan pembelajaran perlu memberlakukan aneka metode yang cocok untuk siswa dan materi pelajaran, sehingga siswa senang dan temotivasi belajar.Ketiga, guru perlu memberikan pengarahan prosedur pembelajaran secara serius dan jelas sehingga siswa tahu arah dan mendukung pencapaian tujuan pembelajaran secara optimal. Keempat, guru perlu cermat mengamati sikap dan perilaku belajar siswa, menemukan mana siswa yang perlu dibantu atau bermasalah, apa perso-alannya, bagaimana bantuan solusinya, sehingga siswa merasakan kasih sayang dan perhatian guru atas dirinya.Kelima, guru harus mampu membangun partisipasi belajar siswa agar prestasi belajarnya tinggi dan membanggakan banyak pihak. Siswa terlatih beride.Keenam, guru harus piawai menyajikan materi pelajaran secara sistematis, menarik, menyenangkan, dan memotivasi siswa. Ketujuh, guru harus piawai menghidupkan kelas, meguasai, dan menerapkan managemen kelas yang cocok dan dinamis.Kedelapan, guru harus lincah dan cermat menerima dan menangani respon siswa demi ketuntasan pembelajaran yang dijalani. Kesembilan, guru perlu menguasai teknik pengelolaan kejiwaan siswa untuk dasar membangun pembelajaran yang bersahabat. Terakhir, Kepala Sekolah dan Guru Senior perlu memahami laporan ini dan Jurnal Pendidikan Penabur - No.24/Tahun ke-14/Juni 2015 25 Peningkatan Partisipasi dan Prestasi Belajar mengimpartasikannya kepada semua guru agar guru maklum dan menerapkannya dalam pembelajaran di kelasnya. Daftar Pustaka Asmara, Adhy. (1979) .Apresiasi drama untuk SLA. Yogyakarta: CV Nur Cahaya Budiman, Sumiati. (1987). Sari sastra Indonesia. Klaten: PT Intan Pariwara Hermawan, Hendy. (2006). Model-model pembelajaran inovatif. Bandung: Citra Praya Kosasih, Engkos. (2008). Mandiri bahasa Indonesia SMP/MTs kelas IX. Jakarta: Erlangga Kridalaksana, Harimurti. (1999). Kamus besar bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka 26 Jurnal Pendidikan Penabur - No.24/Tahun ke-14/Juni 2015 Laelasari. (2006). Kamus istilah sastra. Bandung: Nuansa Aulia. Nurhadi.(2007). Bahasa Indonesia untuk SMP kelas IX.Jakarta: Erlangga Popham, W. James dkk. (1992). Teknik mengajar secara sistematis. Jakarta: Rineka Cipta Rendra. (1976), Tentang bermain drama: Catatan elementer bagi calon pemain. Jakarta: Pustaka Jaya Roestiyah. (1998). Strategi belajar mengajar. Jakarta: Rineka Cipta Soetarno. (1976). Peristiwa sastra Indonesia untuk SMA. Surakarta: Widya Duta Suyanto. (2013). Menjadi guru professional: Strategi meningkatkan kualifikasi dan kualitas guru di era global. Jakarta: Esensi Sukidin dkk. (2010). Managemen penelitian tindakan kelas. Surabaya: Insan Cendekia Peran Role Playing Berbasis Komputer Penelitian Peran Role Playing Berbasis Komputer Pada Kesiapan Belajar Anak Usia Prasekolah 4-5 Tahun Dilihat Dari Kematangan Emosional Felucia Hendriette E-mail: [email protected] Bagian Akademik PENABUR International Abstrak enelitian ini bertujuan untuk mengetahui kematangan emosional anak sebelum dan sesudah perlakuan dan seberapa besar peran model pembelajaran Role Playing berbasis komputer dapat meningkatkan kesiapan belajar anak usia prasekolah empat sampai lima tahun yaitu dalam mengekspresikan diri, memahami perasaan orang lain, percaya diri dan mengendalikan diri atau perasaannya. Penelitian yang dilakukan di TKK 6 PENABUR Jakarta pada tahun 2013 ini menggunakan metode deskripsi kuantitatif dengan desain The One Group Pretest-Posttest Design. Instrumen penelitian menggunakan rubrik observasi, wawancara dengan guru dan orangtua siswa. Data diolah dengan menggunakan software SPSS 16. Kehandalan alat ukur diuji menggunakan uji validitas konstruk, dan uji reliabilitas secara interrater reliability dengan Cohan Kappa. Hasil penelitian ini menunjukkan ada peningkatan kematangan emosional setelah diberikan perlakuan. Role Playing dapat meningkatkan kematangan emosional anak dari dimensi memahami perasaan orang lain dan mengendalikan diri/perasaan. Peran pembelajaran berbasis komputer juga dapat meningkatkan konsentrasi dan kesabaran anak. P Kata-kata kunci: kematangan emosional, Role Playing, pembelajaran berbasis komputer. Computer-Based Role Playing to Improve the Learning Readiness of Four to Five Years Pre-school Children Viewed from Emotional Maturity Abstract This study aims to determine the child’s emotional maturity before and after treatment and how big of computer-based Role Playing model can improve learning readiness of four to five years preschool children to express themselves, understand others’ feelings, self-confidence and self-control. This research conducted at TKK 6 PENABUR Jakarta in 2013 applied descriptive quantitative method with the design of The One Group Pretest-Posttest Design. Research instruments used the observation rubric, interview guides for the teachers and parents. The collected datas were processed using SPSS 16 software. The instrument validity was tested using the test construct validity, and the reliability was tested using interrater reliability test with Kappa Cohan. The results of this study showed an increase in emotional maturity after a given treatment. Role Playing can increase the child’s emotional maturity in the dimension of understanding the other people’s feelings and self control. The role of computer-based instruction can also improve the children’s concentration and patience. Keywords: emotional maturity, Role Playing, computer-based learning. Jurnal Pendidikan Penabur - No.24/Tahun ke-14/Juni 2015 27 Peran Role Playing Berbasis Komputer Pendahuluan Usia anak Taman Kanak-Kanak yang berkisar tiga sampai lima tahun adalah usia pertumbuhan dan bermain. Artinya anatomi tubuh anak, misalnya jaringan saraf dan otaknya, masih dalam tahap pembentukan untuk menuju kesempurnaan permanen, dan merupakan fase bermain sebagai bagian pengenalan dan pembelajaran terhadap lingkungan sekitarnya. Pada masa balita ini perkembangan kemampuan berbahasa, kreatifitas, kesadaran sosial, emosional dan intelegensia berjalan sangat cepat dan merupakan landasan perkembangan berikutnya, termasuk landasan untuk kesiapan mereka dalam sekolah. Rafort (2004) menyatakan, konsep kesiapan belajar biasanya mengacu pada pencapaian anak dari satu rangkaian tertentu dari emosi, perilaku, dan keterampilan kognitif yang diperlukan untuk belajar, bekerja, dan fungsi berhasil di sekolah. Sayangnya, filosofi umum “siap untuk sekolah “ ini menempatkan beban yang tidak semestinya pada anak dengan mengharapkan mereka memenuhi harapan sekolah. Anak memiliki kebutuhan yang luas dan memerlukan dukungan dalam mempersiapkan mereka untuk standar pembelajaran yang tinggi, yang akan mereka hadapi di sekolah dasar. Dalam praktek pendidikan sehari-hari, baik orangtua di rumah, guru di sekolah maupun berbagai media cetak/elektronik seringkali memberikan tekanan yang tidak sesuai dengan tahap perkembangan anak. Adanya tekanan yang dialami anak masa prasekolah untuk belajar dapat mempengaruhi perkembangan emosionalnya, seperti yang diungkapkan oleh Hurlock (1980: 241) bahwa ketegangan yang terus menerus, jadwal yang ketat, dan terlalu banyak pengalaman menggelisahkan yang merangsang anak secara berlebihan akan menimbulkan emosionalitas yang meninggi pada anak. Hurlock (1990:215) menyatakan, emosi dapat mempengaruhi aktivitas mental, karena kegiatan mental, seperti konsentrasi, pengingatan, dan penalaran, sangat mudah dipengaruhi oleh emosi yang kuat. Anak menghasilkan 28 Jurnal Pendidikan Penabur - No.24/Tahun ke-14/Juni 2015 prestasi di bawah kemampuan intelektualnya apabila emosinya terganggu. Pengaruh emosional yang dapat mempengaruhi prestasi dan kemampuan intelektual anak dapat terlihat pada hasil pengujian masuk anak TK ke jenjang SD. Berdasarkan hasil wawancara pada tanggal 28 februari 2013 yang dilakukan peneliti dengan Kepala Sekolah dan guru SD mengenai materi pengujian masuk bagi anak TK untuk ke jenjang SD Bilingual, selain psikotest terdapat juga dua tes akademik yang di uji yaitu matematika dan bahasa Inggris. Dalam pengujian matematika ada tiga materi yang diuji yaitu penguasaan konsep, berpikir logis dan komunikasi, serta pemecahan masalah. Salah satu materi uji dalam berpikir logis dan komunikasi adalah anak harus menggambar berdasarkan bentuk yang sudah disiapkan. Mereka harus mengekspresikan/mengungkapkan bentuk yang ada menjadi sebuah gambar yang mempunyai arti. Dari beberapa hasil yang didapatkan, pada bagian ini anak kurang dapat menggambarkan dan mengekspresikannya dengan baik. Sedangkan dalam pengujian bahasa terdapat pengujian mendengar, berbicara, dan menulis. Dalam salah satu pengujian berbicara anak diminta untuk menceritakan kejadian dalam gambar yang telah disediakan. Untuk hasil berbicara ini, juga beberapa anak kurang memuaskan. Perlu adanya stimulasi dan latihan yang memadai dalam hal mengekspresikan perasaan mereka sendiri dalam bentuk gambar dan kemampuan berbicara pada jenjang TK agar anak mampu dan bisa mengekspresikannya baik melalui pengujian tertulis maupun kelak dalam proses belajar di sekolah dasar. Untuk membuat anak mengerti akan apa yang dipelajarinya, dalam proses kesiapan belajar anak usia prasekolah 4-5 tahun guru dapat menggunakan beberapa pendekatan. Pendekatan yang digunakan memiliki kontribusi besar dalam proses belajar mengajar dan transfer ilmu pengetahuan. Banyak pendekatan yang dapat diterapkan namun tetap harus dikaitkan dengan tujuan yang akan dicapai. Kombinasi beberapa pendekatan juga akan memperkaya pemahaman anak. Menurut La Iru (2012:4), pendekatan siswa aktif memandang pembelajaran akan terjadi apabila siswa terlibat aktif dalam Peran Role Playing Berbasis Komputer pembelajaran. Dengan menerapkan pendekatan siswa aktif dalam pembelajaran, guru hendaknya mengembangkan pembelajaran yang dapat dijadikan wahana bagi siswa untuk terlibat aktif dalam memahami kompleksitas masalah pembelajaran. Salah satu pendekatan efektif dalam metode belajar anak prasekolah, yang juga dapat meningkatkan kesiapan anak secara emosional, adalah metode simulasi, Dalam proses pembelajaran menggunakan metode ini, kemampuan anak berkaitan dengan keterampilan berinteraksi dan berkomunikasi dalam kelompok dibina dan dikembangkan. Dengan model pembelajaran Bermain Peran (Role Playing), metode ini mengutamakan pola permainan dalam bentuk dramatisasi. Dramatisasi dilakukan oleh kelompok siswa dengan mekanisme pelaksanaan yang diarahkan oleh guru untuk melaksanakan kegiatan yang telah ditentukan/ direncanakan sebelumnya (La Iru, 2012:27). Dalam kaitannya dengan kesiapan belajar anak prasekolah maka pembelajaran berbasis komputer dengan model simulasi Role Playing sangat menarik untuk digunakan. Mengingat di era digital ini, komputer telah menjadi bagian hidup masyarakat, tidak hanya orang dewasa, tetapi juga bagi anak-anak. Semakin banyak anak yang memiliki akses komputer di rumah atau di sekolah, memulai banyak pengalaman dari permainan komputer. Dewasa ini, pengembangan media sudah mulai mengarah kepada computer-based instruction (CBI) yaitu, sistem penyampaian materi pelajaran yang berbasis microprocessor, atau lebih dikenal dengan istilah PBK (pembelajaran berbasis komputer) (Arsyad, 2005). Beberapa penelitian menunjukkan bahwa PBK mampu memberikan dampak yang konstruktif dalam memicu motivasi belajar anak. PBK juga mampu mengakomodasi berbagai potensi belajar, sehingga sangat cocok bagi kelas yang memiliki heterogenitas tinggi. Kelebihan lainnya adalah kemampuan manipulatif, sehingga penyajian materi bisa lebih efektif dan efesien (Miarso, 2005). Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan sebelumnya, dapat diidentifikasikan masalah sebagai berikut. Pertama, kesiapan belajar anak prasekolah dipengaruhi oleh beberapa faktor, salah satunya adalah perkembangan emosional anak. Pada usia prasekolah 4-5 tahun anak belum dapat membuat persepsi terhadap diri mereka sendiri, memahami perasaan orang lain dan mengekspresikan perasaan mereka sendiri. Jadi emosi kesiapan anak ini lebih pada kesiapan mereka dalam berinteraksi dengan orang lain (egosentris menurut Piaget dalam tahap pra-operasional) dan mengungkapkan konsep diri mereka. Kedua, penerapan model pembelajaran Role Playing melalui PBK diduga mampu meningkatkan perasaan emosional positif anak dalam hal mengekspresikan perasaannya sendiri, memahami orang lain, dan percaya diri, melalui simulasi pembelajaran dalam bentuk animasi yang menjelaskan konten secara menarik, hidup, dan memadukan unsur teks, gambar, audio, gerak, dan paduan warna yang sesuai dan harmonis (Rusman 2012:231). Penelitian ini merumuskan masalah: bagaimanakah kematangan emosional anak sebelum dan sesudah perlakuan dengan model pembelajaran Role Playing? Apakah model pembelajaran Role Playing melalui metode PBK dapat meningkatkan kesiapan belajar anak usia prasekolah empat sampai lima tahun dilihat dari kematangan emosionalnya yaitu apakah model pembelajaran Role Playing dapat meningkatkan anak mengekspresikan dirinya? Apakah model pembelajaran Role Playing dapat meningkatkan anak memahami perasaan orang lain? Apakah model pembelajaran Role Playing dapat meningkatkan percaya diri anak? Apakah model pembelajaran Role Playing dapat meningkatkan anak untuk mengendalikan diri/perasaannya? Tujuan penelitian ini secara umum dimaksudkan untuk memperoleh data dan informasi tentang seberapa besar peran model pembelajaran Role Playing melalui pembelajaran berbasis komputer (PBK) dapat meningkatkan kesiapan belajar anak usia prasekolah empat sampai lima tahun dilihat dari kematangan emosionalnya. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi pihak-pihak berikut. 1. Bagi Guru dan sekolah a. Memberikan masukan dan wacana baru bagi guru bahwa penggunaan metode mengajar yang bervariasi bukan Jurnal Pendidikan Penabur - No.24/Tahun ke-14/Juni 2015 29 Peran Role Playing Berbasis Komputer 2. hanya metode ceramah, dapat meningkatkan kualitas belajar siswa terutama kesiapan siswa Taman Kanak-Kanak untuk masuk ke jenjang pendidikan lebih tinggi. b. Memberikan informasi terhadap pembelajaran berbasis komputer dan kaitannya dengan kesiapan belajar anak TK, terutama dalam kematangan emosionalnya. c. Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sumbangan dan pertimbangan dalam penyusunan materi pembelajaran berbantuan komputer yang cocok untuk kesiapan sekolah anak usia empat sampai lima tahun masuk dalam jenjang pendidikan lebih tinggi. Bagi Siswa dan Orang Tua: a. Mendorong siswa untuk meningkatkan ketrampilan mengekspresikan atau mengungkapkan perasaannya yang berkaitan dengan proses dan kegiatan belajar. b. Memberikan pengalaman belajar yang berbeda, menarik dan bermanfaat dalam mengembangkan keterampilan mengekpresikan perasaan siswa melalui pembelajaran berbasis komputer. c. Orang tua dapat menumbuhkan sikap positif dan motivasi belajar yang tinggi terutama dalam kesiapan anak mereka untuk belajar pada jenjang yang lebih tinggi. Kajian Pustaka Kesiapan Belajar Anak Dinyatakan dalam istilah yang sederhana, kesiapan belajar di sekolah berarti bahwa seorang anak siap untuk memasuki lingkungan sosial terutama difokuskan pada pendidikan. Penelitian telah menunjukkan bahwa banyak aspek dari kehidupan anak-anak mempengaruhi persiapan mereka untuk belajar sekolah formal, termasuk kognitif, sosial, emosional, dan pengembangan motorik, dan yang paling penting, pendidikan awal di rumah, orangtua, dan pengalaman prasekolah. Pertimbangan 30 Jurnal Pendidikan Penabur - No.24/Tahun ke-14/Juni 2015 kesiapan sekolah harus memperhitungkan jangkauan dan kualitas pengalaman hidup awal anak-anak, variasi normal yang luas dalam perkembangan anak dan pembelajaran, dan sejauh mana harapan sekolah yang sesuai terhadap murid-murid TK dan menghormati perbedaan individu (Rafoth, 2004). Kesiapan didefinisikan sebagai tersiapkan dan terbekali, siap melakukan, langsung bertindak, atau menggunakan sesuatu (Seefeldt & Wasik, 2008:33). Sejalan dengan ini, Nurkancana (1986), menambahkan bahwa kesiapan belajar dapat diartikan sebagai sejumlah tingkat perkembangan yang harus dicapai oleh seseorang untuk dapat menerima suatu pelajaran baru. Kesiapan belajar erat hubungannya dengan kematangan. Kesiapan untuk menerima pelajaran baru akan tercapai apabila seseorang telah mencapai tingkat kematangan tertentu maka ia akan siap untuk menerima pelajaran-pelajaran baru. Teori Perkembangan Anak Salah satu perkembangan anak yang penting selain perkembangan kognitif, fisik/motorik, bahasa dan bermain adalah perkembangan emosi. Pada masa awal kanak-kanak, emosi anak sangat kuat karena ketidakseimbangan sehingga mudah terbawa ledakan-ledakan sehingga sulit untuk dibimbing. Hal ini dipengaruhi oleh kegiatan terlalu lelah bermain, tidak mau tidur siang dan makan terlalu sedikit sehingga ada gangguan fisiologis. Emosi memegang peranan penting dalam hidup seorang anak. Setiap bentuk emosi pada dasarnya membuat hidup terasa lebih menyenangkan. Setiap orang punya kebutuhan memberi dan menerima afeksi. Saat yang terpenting ketika masa awal kanak-kanak, bila kedua orang tua kurang memberikan kasih sayangnya maka anak akan mengalami berbagai macam gangguan. Bila kebutuhan emosional anak terpenuhi secara seimbang dalam awal kehidup-annya maka ia akan berkembang menjadi anak yang mampu mewujudkan potensi secara optimal. Metode belajar yang menunjang perkembangan emosi menurut Hurlock (1990:214) terdiri dalam lima metode berikut. 1. Belajar secara coba dan ralat (trial and error learning) terutama melibatkan aspek reaksi. Peran Role Playing Berbasis Komputer 2. 3. 4. 5. Anak belajar secara coba-coba untuk mengekspresikan emosi dalam bentuk perilaku yang memberikan pemuasan terbesar kepadanya dan menolak perilaku yang memberikan pemuasan sedikit atau sama sekali tidak memberikan pemuasan. Cara belajar ini umum digunakan pada masa kanak-kanak awal dibandingkan dengan sesudahnya, tetapi tidak pernah ditinggalkan samasekali. Belajar dengan cara meniru (learning by imitation) sekaligus mempengaruhi aspek rangsangan dan aspek reaksi. Dengan cara mengamati hal-hal yang membangkitkan emosi tertentu pada orang lain, anak-anak bereaksi dengan emosi dan metode ekspresi yang sama dengan orang-orang yang diamati. Belajar dengan cara mempersamakan diri (learning by identification) sama dengan belajar secara menirukan yaitu anak menirukan reaksi emosional orang lain dan tergugah oleh rangsangan yang sama dengan rangsangan yang telah membangkitkan emosi orang yang ditiru. Metode ini berbeda dari metode menirukan dalam dua segi. Pertama, anak hanya menirukan orang yang dikagumi dan mempunyai ikatan emosional yang kuat dengannya. Kedua ialah, motivasi untuk menirukan orang yang dikagumi lebih kuat dibandingkan dengan motivasi untuk menirukan sembarang orang. Belajar melalui pengkondisian (conditioning) berarti belajar dengan cara asosiasi. Dalam metode ini obyek dan situasi yang pada mulanya gagal memancing reaksi emosional kemudian dapat berhasil dengan cara asosiasi. Metode ini berhubungan dengan aspek reaksi. Pelatihan (training) atau belajar di atas bimbingan dan pengawasan, terbatas pada aspek reaksi. Kepada anak diajarkan cara bereaksi yang dapat diterima jika sesuatu emosi terangsang. Dengan pelatihan, anakanak dirangsang untuk bereaksi terhadap rangsangan yang biasanya membangkitkan emosi yang menyenangkan dan dicegah agar tidak bereaksi secara emosional terhadap rangsangan yang membangkitkan emosi yang tidak menyenangkan. Hal ini dilakukan dengan cara mengendalikan lingkungan apabila memungkinkan. Karakteristik Perkembangan Emosional dan Kematangan Emosi Pada usia dini anak telah belajar tentang emosi, walaupun di usia tersebut anak belum dapat mengerti serangkaian emosi negatif yang diekspresikan orang lain. Emosi menunjukkan kondisi perasaan anak. Berbagai emosi yang diekspresikan anak menunjukkan pada orang lain, apa yang anak rasakan atau anak inginkan pada saat tertentu. Pada usia dua sampai enam tahun anak mengalami kemajuan pesat dalam kemampuan menyangkut emosional, yang sering disebut sebagai kompetensi emosional (Berk 2008:369). Pertama-tama anak mendapat pemahaman akan emosi, menjadi mampu berbicara mengenai perasaan yang dialami, dan mampu merespon terhadap perasaan orang lain. Selain itu, anak juga menjadi lebih baik dalam mengatur emosi, terutama dalam mengatasi emosi negative yang intens. Selanjutnya, keterampilan emosional anak akan mencapai tingkat emosi yang disadari (self-concious emotions) dan empati. Ditambahkan pula oleh Ostroff (2013:130), emosi menentukan apakah anak-anak berfokus pada dan ingat informasi baru atau tidak. Kemampuan untuk mengenali ekspresi emosional terkait dengan kompetensi dan pembelajaran sosial. Juga pengalaman pembelajaran yang bertahan lama memiliki makna emosional bagi pembelajarannya. Hal ini didukung oleh teori pembelajaran sosial dari Bandura (dalam Hergenhahn dan Olson, 2009:360) yang mengatakan bahwa proses mengamati dan meniru perilaku dan sikap orang lain sebagai model merupakan tindakan belajar. Teori Bandura menjelaskan perilaku manusia dalam konteks interaksi timbal balik yang berkesinambungan antara kognitif, perilaku dan pengaruh lingkungan. Kondisi lingkungan sekitar individu sangat berpengaruh pada pola belajar sosial jenis ini. Bandura juga percaya bahwa segala sesuatu yang dapat dipelajari melalui pengalaman langsung juga bisa dipelajari secara tidak langsung lewat observasi (Hergenhahn dan Olson, 2009:385). Jurnal Pendidikan Penabur - No.24/Tahun ke-14/Juni 2015 31 Peran Role Playing Berbasis Komputer Model Pembelajaran “Role Playing”. Model pembelajaran Role Playing adalah salah satu model pembelajaran dari metode simulasi, yang merupakan latihan menempatkan peserta didik pada model situasi yang mencerminkan kehidupan nyata. Simulasi menuntut peserta didik untuk memainkan peran, membuat keputusan dan menunjukkan konsekuensi. Simulasi dapat membantu peserta didik untuk memahami faktor-faktor penting dalam kehidupan nyata, apa yang harus dimiliki dan bagaimana cara memiliki agar bisa menjalankan kehidupan pada lingkungan nyata (Mulyatiningsih, 2012:251). Menurut La Iru (2012:27) metode simulasi merupakan salah satu metode mengajar yang dapat digunakan dalam pembelajaran kelompok. Proses pembelajaran yang menggunakan simulasi cenderung objeknya bukan benda atau kegiatan yang sebenarnya, melainkan kegiatan mengajar yang bersifat purapura. Dalam pembelajaran, siswa akan dibina kemampuannya berkaitan dengan keterampilan berinteraksi dan berkomunikasi dalam kelompok. Di samping itu, dalam metode simulasi siswa diajak untuk dapat bermain peran beberapa perilaku yang dianggap sesuai dengan tujuan pembelajaran. Selain itu menurut La Iru (2012:27), dalam bermain peran lebih menitikberatkan pada tujuan untuk mengingat (retention) atau menciptakan kembali gambaran masa silam yang memungkinkan terjadi pada masa yang akan datang atau peristiwa yang actual dan bermakna bagi kehidupan sekarang. Ditambahkan pula oleh Mulyana, 2005 (dalam La Iru, 2012) pembelajaran dengan Role Playing ada tujuh tahap yaitu pemilihan masalah, memilih peran, menyusun tahaptahap bermain peran/membuat skenario, menyiapkan pengamat, tahap pemeranan, diskusi dan evaluasi serta pengambilan keputusan. Dari tahapan model pembelajaran Role Playing ini terutama dalam membuat skenario untuk dipelajari atau menyusun tahaptahap bermain peran, dapat menggunakan media komputer sebagai alat bantu. Seperti yang dikemukakan oleh Suryadi (2002:191) bahwa komputer bisa memainkan satu topik interaktif yang menggabungkan kombinasi teks, gambar, gambar bergerak, dan suara. Didukung pula 32 Jurnal Pendidikan Penabur - No.24/Tahun ke-14/Juni 2015 oleh Miarso (2004:465) yang mengatakan bahwa komputer adalah media interaktif yang membuat siswa dapat berinteraksi dengan sebuah program, berinteraksi dengan mesin (misalnya mesin pembelajaran, simulator atau terminal komputer), dan juga dapat mengatur interaksi antarsiswa secara teratur tetapi tidak terprogram. Jadi dapat diambil kesimpulan, dalam membuat atau menampilkan tahap-tahap bermain peran termasuk percakapan yang akan diucapkan melalui komputer, penulis akan menggunakan program komputer yang ada gambar gerak dan suaranya. Komunikasi dan Percaya Diri Dalam Role Playing Bermain akan membuat siswa dapat melatih kemampuannya untuk berkomunikasi, juga emosi merupakan bentuk dari komunikasi, maka perlu juga diketahui tentang komunikasi. Komunikasi secara umum adalah proses pengiriman dan penerimaan pesan yang memungkinkan manusia untuk berbagi pengetahuan, sikap, dan keterampilan. Komunikasi terdiri dari dua dimensi - verbal dan nonverbal. Komunikasi nonverbal didefinisikan sebagai komunikasi tanpa kata-kata. Ini termasuk perilaku jelas seperti ekspresi wajah, mata, menyentuh, dan nada suara, serta pesan yang kurang jelas seperti pakaian, postur dan jarak spasial antara dua orang atau lebih (GenEducation, 2013). Dalam berinteraksi dengan orang lain, anak belajar berkomunikasi. Ini juga yang akan membangun percaya dirinya. Oleh karena itu, Role Playing sebagai model pembelajaran sosial yang melibatkan banyak orang dapat menjadi tempat berlatih anak-anak untuk dapat mengembangkan komunikasi dan percaya dirinya. Pembelajaran Berbasis Komputer Komputer sebagai salah satu bagian dari rekayasa teknologi mengalami kemajuan yang sangat pesat. Sebagai alat bantu, komputer sangat cocok digunakan untuk pengembangan kognitif anak usia dini yang memerlukan simulasi, animasi dan visualisasi. Menurut Rusman (2012:153), pembelajaran berbasis komputer merupakan program pembelajaran yang digunakan dalam proses pembelajaran dengan menggunakan prangkat Peran Role Playing Berbasis Komputer lunak komputer (CD pembelajaran) berupa progam komputer yang berisi tentang muatan pembelajaran meliputi: judul, tujuan, materi pembelajaran, dan evaluasi pembelajaran. Hal tersebut sejalan dengan apa yang dikemukakan oleh Smaldino, Russel, Heinich, dan Molenda (2005:29) yang mengatakan bahwa sistem komputer dapat menyampaikan pembelajaran secara individual dan langsung kepada para siswa dengan cara berinteraksi dengan mata pelajaran yang diprogramkan ke dalam sistem komputer. Menurut Rusman (2012: 148-149) CD interaktif dapat digunakan pada pembelajaran di sekolah sebab cukup efektif meningkatkan hasil belajar siswa terutama komputer. Pada dasarnya pembelajaran berbasis komputer itu diciptakan untuk membantu proses belajar terutama dalam hal mengatasi masalah pembelajaran (Darmawan, 2007:192). Hal ini menunjukkan bahwa penggunaan pembelajaran berbasis komputer memiliki kelebihan dibandingkan dengan pembelajaran konvensional. Hal tersebut memperkuat bahwa program yang akan dikembangkan akan membantu proses pembelajaran. Kelebihan penggunaan komputer dalam pembelajaran menjadi salah satu indikator dalam pengembangan program e-learning model pembelajaran berbasis komputer (Rusman 2013:188). Keuntungan lain penggunaan komputer dalam proses belajar dapat meningkatkan hasil belajar dengan penggunaan waktu dan biaya yang relatif kecil. Contoh yang tepat adalah program komputer simulasi. Penggunaan program ini dapat mengurangi biaya bahan dan peralatan untuk melakukan percobaan (Pribadi dan Rosita, 2000). Ditambahkan juga oleh Rusman (2012:231), model pembelajaran Role Playing merupakan salah satu pembelajaran dari model simulasi yang pada dasarnya merupakan salah satu strategi pembelajaran yang bertujuan memberikan pengalaman belajar yang lebih kongkrit melalui penciptaan tiruan-tiruan bentuk pengalaman yang mendekati suasana sebenarnya dan berlangsung dalam suasana yang tanpa risiko. Model simulasi termasuk salah satu model CBI yang menampilkan materi pelajaran yang dikemas dalam bentuk simulasi pembelajaran dengan animasi yang menjelaskan konten secara menarik, hidup, dan memadukan unsur teks, gambar, audio, gerak, dan paduan warna yang serasi dan harmonis. Kerangka Berpikir Kesiapan belajar erat hubungannya dengan kematangan. Teori konstruktivis (teori Piaget dan teori Vygotsky) tentang pembelajaran dan kesiapan belajar menempatkan tanggungjawab baik pada lingkungan (kekuatan eksternal) maupun pada kematangan dan interaksi antara keduanya. Seperti yang dikatakan oleh High (2008), anak siap belajar pada saat mereka mempunyai tingkat kematangan dengan memiliki pengendalian diri, hubungan sebaya, dan kemampuan untuk mengikuti petunjuk. Rafort (2004) juga mendukung, kesiapan belajar anak mengacu pada pencapaian anak dari satu rangkaian tertentu dari emosi, perilaku, dan keterampilan kognitif yang diperlukan untuk belajar. Emosi berperan penting bagi anak. Perkembangan emosional pada masa kanakkanak awal memungkinkan mereka untuk mencoba memahami reaksi emosional orang lain dan mulai belajar mengendalikan emosi mereka sendiri (Santrock, 2009,89). Juga diungkapkan oleh Hurlock (1990, 241), emosi dapat mempengaruhi aktifitas mental seperti konsentrasi, pengingatan, dan penalaran. Dalam kesempatan itu anak akan menghasilkan prestasi di bawah kemampuan intelektual mereka apabila emosi mereka terganggu. Pada usia dua sampai enam tahun anak mengalami kemajuan pesat dalam kemampuan menyangkut emosional, yang sering disebut sebagai kompetensi emosional (Berk 2008, 369). Pertama-tama anak mendapat pemahaman akan emosi, menjadi mampu berbicara mengenai perasaan yang dialami, dan mampu merespon perasaan orang lain. Selain itu, anak juga menjadi lebih baik dalam mengatur emosi, terutama dalam mengatasi emosi negatif yang intens. Kemampuan anak untuk mengenali ekspresi emosional terkait dengan kompetensi dan pembelajaran sosial. Teori pembelajaran sosial yang mendukung hal tersebut dikemukakan oleh Albert Bandura (dalam Jurnal Pendidikan Penabur - No.24/Tahun ke-14/Juni 2015 33 Peran Role Playing Berbasis Komputer Hergenhahn dan Olson 2009: 360), perilaku manusia ada dalam konteks interaksi timbal balik yang berkesinambungan antara kognitif, perilaku, dan pengaruh lingkungan. Kondisi lingkungan sekitar individu sangat berpengaruh pada pola belajar sosial jenis ini. Dalam teori ini anak belajar melalui meniru perilaku orang lain, dimana dalam prosesnya mempunyai empat unsur utama, yaitu (1) perhatian, subjek harus memperhatikan tingkah laku model untuk dapat memperlajarinya. (2) mengingat, agar informasi yang sudah diperoleh dari observasi bisa berguna, informasi itu harus diingat dan disimpan. (3) reproduksi gerak, setelah mengetahui atau mempelajari sesuatu tingkah laku, subjek juga dapat menunjukkan kemampuannya atau menghasilkan apa yang disimpan dalam bentuk tingkah laku. (4) motivasi, hal ini juga penting karena ia penggerak individu untuk terus melakukan sesuatu. Oleh karena itu, berdasarkan teori perkembangan anak dan teori tentang pembelajaran sosial, usia empat sampai lima tahun adalah usia bermain sambil belajar dan juga untuk dapat meningkatkan kesiapan anak dalam belajar secara emosionalnya sehingga perlu dilatih. Oleh karena itu peneliti akan memberikan perlakuan model pembelajaran Role Playing. Model pembelajaran Role Playing ini tepat untuk dapat melihat dan mengamati kematangan emosional anak dalam: (a) mengekspresi diri, seperti yang diungkapkan oleh Mulyatiningsih (2012,250-251) bahwa bermain peran sangat potensial untuk mengekspresikan perasaan dengan memerankan sebagai tokoh hidup; (b) memahami perasaan orang lain, juga dengan menggunakan pendapat Mulyatiningsih (2012, 250-251) bahwa melalui bermain peran sangat potensial untuk mengembangkan pemahaman terhadap perasaan dan perspektif orang lain menurut variasi kepribadian dan isu sosial; (c) percaya diri, yang menurut Beaty (2006,67) bahwa memainkan peran dalam bermain dramatik dapat juga berpengaruh pada perilaku ketrampilan emosional anak yaitu percaya diri; dan (d) mengendalikan diri/perasaan, berdasarkan pendapat Hurlock (1990, 231) bahwa 34 Jurnal Pendidikan Penabur - No.24/Tahun ke-14/Juni 2015 individu yang emosinya matang mampu untuk mengontrol emosi yang dapat diterima secara sosial dan dengan menggunakan pendapat Suparman (1997,92-93) bahwa melalui bermain peran dapat membentuk kesadaran sosial, mengubah sikap serta mensimulasikan situasi kritis yang mungkin terjadi dalam kehidupan nyata maka bermain peran dapat juga berpengaruh terhadap pengendalian diri/ perasaan. Di samping itu, dalam role playing pada tahapan memilih masalah, guru dapat mengemukakan masalah yang diangkat dari kehidupan peserta didik agar mereka dapat merasakan masalah itu dan terdorong untuk mencari penyelesaiannya. Seperti bermain peran tentang menjaga kebersihan kelas. Subjek penelitian diharapkan dapat meningkatkan kemampuan emosionalnya, dalam hal ini mampu mengekspresikan diri pada saat sedang membersihkan kelas, mengontrol emosi agar tidak berebutan saat membersihkan kotoran/ sampah yang ada di dalam kelas, percaya diri, juga memahami perasaan orang lain pada saat mereka sedang memerankan tokoh lain yang ada dalam cerita. Selain itu, peneliti juga menggunakan metode PBK sebagai alat bantu. Metode ini juga tepat untuk menunjang pembelajaran role playing dan menciptakan pembelajaran lebih interaktif. Seperti yang dikatakan oleh Rusman (2012), salah satu model multimedia interaktif adalah model simulasi dalam PBK yang pada dasarnya merupakan salah satu strategi pembelajaran yang bertujuan memberikan pengalaman belajar yang lebih kongkrit melalui penciptaan tiruan bentuk pengalaman yang mendekati suasana yang sebenarnya. Metode ini juga tepat untuk membantu guru dalam membuat skenario dan menyusun tahaptahap role playing, juga bagi siswa agar dapat lebih memahami peran yang diberikan, karena dalam pembelajaran berbasis komputer anak belajar melihat langsung animasi yang ditampilkan dengan memperhatikan dan mengingat (Bandura, Hergenhahn dan Olson, 2009), lalu memerankannya, sehingga diharapkan anak dapat mengekpresikan dirinya, memahami perasaan orang lain dan Peran Role Playing Berbasis Komputer mengkomunikasikannya juga percaya diri dan mengendalikan dirinya sehingga dapat meningkatkan kematangan secara emosional dan berpengaruh pada kesiapan sekolah mereka. Pada Gambar berikut dapat dilihat kerangka berfikir yang dipakai dalam penelitian ini. Teori Pembelajaran Sosial–Bandura (Hergenhahn dan Olson,2009 deskriptif. Dalam penelitian ini peneliti hanya mengambil sebagian dari penelitian tersebut, yaitu perlakuan dan perbandingan kondisi sebelum dan sesudah perlakuan (pre and posttest) yang menjadikan penelitian ini penelitian pre-experimental , dengan desain penelitian The One Group Pretest-Posttest Design (Gay, 2003:372). Perkembangan emosional anak – Laura E.Berk (Berk, 2008, Hurlock 1990 < Teori Konstruktivisme: Piaget & Vygotsky untuk kesiapan belajar dan perkembangan anak (Santrock, 2009, Hurlock,1990, Seefeldt & Wasik, 2008) < > Penerapan Role Play Berbasis Komputer (Ment,1999, La Iru, 2012, Rusman,2012) > Terjadi perubahan emosional yang lebih baik dalam hal mengekspresikan diri, memahami perasaan orang lain, percaya diri dan mengendalikan diri > Kematangan emosional untuk kesiapan belajar Gambar Model Kerangka Teoritis Hipotesis Dengan memperhatikan landasan teori dan kerangka berfikir di atas, maka dapat diajukan hipotesis penelitian sebagai berikut: H1: Peran Role Playing berbasis komputer dapat meningkatkan kematangan emosional siswa dalam hal mengekspresikan dirinya H2: Peran Role Playing berbasis komputer dapat meningkatkan kematangan emosional siswa dalam hal memahami perasaan orang lain H3: Peran Role Playing berbasis komputer dapat meningkatkan kematangan emosional siswa dalam hal percaya diri H4: Peran Role Playing berbasis komputer dapat meningkatkan kematangan emosional siswa dalam hal mengendalikan diri/ perasaannya Dalam penelitian semi-eksperimental ini variabel yang diteliti adalah kematangan emosional anak usia 4-5 tahun dalam kegiatan Role Playing di kelas melalui pembelajaran berbasis komputer. Peneliti mencoba mengetahui manfaat kegiatan bermain peran melalui penggunaan komputer yang belum pernah dilakukan sebelumnya di kelas TK A maupun kelas lain di sekolah tempat peneliti melakukan penelitian. Pada penelitian ini hanya ada satu kelompok siswa yang diukur kematangan emosionalnya melalui pengamatan sebelum dan sesudah masa intervensi. Peneliti hanya menggunakan satu kelompok siswa karena kondisi tempat tidak memungkinkan untuk membuat dua kelompok siswa di dalam kelas. Rancangan penelitiannya dapat dilihat Metode Penelitian Penelitian ini pada dasarnya merupakan penelitian kuantitatif yang merupakan penelitian semi eksperimental (pre-experimental) dalam bentuk pemaparan hasil pengamatan secara pada Tabel 1. Penelitian ini dilakukan di TKK 6 BPK PENABUR Kelapa Gading. Sekolah ini menyelenggarakan program usia 4-5 tahun atau Jurnal Pendidikan Penabur - No.24/Tahun ke-14/Juni 2015 35 Peran Role Playing Berbasis Komputer Tabel 1: Pre-Experimental One Group Pretest-Posttest Design O X Pre test: Kematangaan emosio-nal O Treatment:: Post test: Model pembelKematangan ajaran Role Playing emosional melalui pembelajaran berbasis komputer (Sumber: Fraenkel & Wallen,2008:265) jenjang TK A, dan menyelenggarakan kegiatan bermain peran dalam kegiatan belajar mengajar. Kelas yang dipilih adalah kelas TK A (K1-3). Peneliti memilih sepuluh anak, lima laki-laki dan lima perempuan, secara acak sesuai dengan pendekatan purposive random sampling. Profil singkat subjek penelitian terlihat pada Tabel 2. Tabel 2: Subjek Penelitian Nama Jenis Kelamin Usia AW Laki-laki 5 tahun 3 bulan CE Perempuan 5 tahun 2 bulan DL Laki-laki 5 tahun 4 bulan FA Perempuan 5 tahun 3 bulan GN Laki-laki 5 tahun 4 bulan CA Perempuan 4 tahun 6 bulan MW Laki-laki 4 tahun 11 bulan VN Laki-laki 5 tahun 3 bulan NA Perempuan 4 tahun 11 bulan VI Perempuan 5 tahun Catatan: Usia dihitung sampai bulan Mei 2013. Penelitian ini dilaksanakan pada semester genap (term 4) tahun pelajaran 2012/2013. Waktu penelitian (mulai dari perencanaan, pelaksanaan dan pelaporan penelitian) berlangsung dari Februari sampai awal Juni 2013. 36 Jurnal Pendidikan Penabur - No.24/Tahun ke-14/Juni 2015 Prosedur penelitian dilakukan dengan tiga tahap seperti yang telah diuraikan dalam desain penelitian yaitu: (a) melakukan pengukuran awal (pre-test), yang dilakukan untuk mengetahui kematangan emosional subjek penelitian awal sebelum treatment diberikan dengan menggunakan rubrik observasi. Juga melakukan wawancara sebagai latar belakang kematangan emosional subjek penelitian dengan guru kelas, orangtua subjek peneliti, dan juga wawancara untuk mengetahui kemampuan anak dalam pembelajaran komputer dengan guru computer; (b) perlakuan pada kelompok eksperimen yaitu penerapan Role Playing dengan tahapan menurut Ments (1999:30) sebagai berikut: (1) menetapkan tujuan yang terintegrasi dengan program pengajaran; (2) menetapkan pembatas eksternal, yaitu menetapkan tempat untuk bermain peran (dalam penelitian ini tempat penelitian dilakukan di dalam ruang kelas yang di setting untuk bermain peran); (3) menyusun faktor-faktor yang kritis dari permasalahan yang ada (dalam hal ini mengenai komunikasi yang akan menunjang kematangan emosional mereka); (4) memutuskan tipe atau struktur, seperti menetapkan peraturan selama bermain peran, fasilitas yang tersedia untuk Role Playing juga analisis setelah bermain peran; (5) memilih paket atau menulis bahan cerita (Briefing) (Pada tahap ini dilakukan dengan menggunakan komputer yaitu guru memperlihatkan CD program pembelajaran interaktif “Anak Mandiri” dengan animasi tentang topik yang akan diperankan, yang juga dikaitkan dengan penerapan program animasi komputer melalui tahap proses produksi program menurut Rusman (2012:234-235), yaitu tahap: Pendahuluan, berupa menyajikan cerita melalui program animasi komputer tentang peran yang akan dimainkan, meliputi: tampilan halaman judul cerita, petunjuk menggunakan program, penyajian informasi menggunakan informasi visual seperti teks, gambar dan image yang dimanipulasi, dan penutup. Setelah siswa dapat memahami Peran Role Playing Berbasis Komputer situasi/masalah yang disajikan, kegiatan dilanjutkan dengan pemilihan pemeran); (6) pelaksanaan program, dalam tahap ini diawali dengan latihan/mencoba terlebih dahulu, setelah itu dilakukan permainan ulang di depan kelas dengan perbaikan seperlunya; (7) proses Debrief, evaluasi proses permainan yang dilakukan dengan bertanya langsung kepada pemeran (Juga refleksi dilakukan terhadap peran yang dimainkan, apa yang dirasakan siswa ketika memainkan peran tersebut. Juga menggambarkan ulang apa yang mereka lihat dan lakukan dalam bentuk gambar bebas, setelah itu mereka juga harus menjawab beberapa pertanyaan yang sama sehubungan dengan gambar yang mereka buat); dan (8) follow up dilakukan untuk mengingatkan anak tentang pentingnya kegiatan Role Playing yang sudah mereka lakukan, terutama mengenai sikap-sikap positif yang sedang mereka lakukan dan akan terus mereka lakukan; dan (c) melakukan tes akhir (post-test), untuk dibandingkan dengan tes awal yang dilakukan setelah penerapan pembelajaran menggunakan rubrik observasi. Pengukuran ini dilakukan dengan cara observasi secara langsung selama tiga hari pengamatan dengan kegiatan yang berbeda yang sesuai dengan pembelajaran di kelas. Alat dan bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut. 1. Beberapa unit komputer dalam ruang komputer yang berfungsi untuk menampilkan program paket pembelajaran. 2. CD Program Pembelajaran Anak Mandiri. Sebagai sarana pembelajaran yang dipakai untuk proses briefing dalam model pembelajaran Role Playing. Penelitian ini menggunakan beberapa instrumen untuk menjawab pertanyaan penelitian. Untuk teknik dan instrumen pengumpulan data yang diperlukan dalam penelitian ini dilakukan dengan panduan wawancara dan lembar rubrik observasi terhadap kematangan emosional siswa yang dilihat dari empat dimensi emosional anak usia presekolah terlihat pada Tabel 3. Sedangkan teknik dan instrumen pengumpulan data untuk perlakuan menggunakan observasi dengan rubrik observasi untuk variabel komunikasi yang terdiri atas lima indikator dalam dua dimensi yaitu komunikasi non verbal dan komunikasi verbal Tabel 4. Teknik dan instrumen ini digunakan bersamaan dengan treatment yang juga akan dicobakan yaitu Role Playing. Peneliti melakukan wawancara pertamatama dengan menyeleksi orang-orang yang dapat memberikan informasi yang diperlukan peneliti. Mereka adalah guru kelas, guru komputer dan orang tua. Teknik wawancara yang dipilih adalah wawancara terbuka dan pertanyaan sudah ditentukan sebelumnya, tetapi jawaban dapat diberikan bebas, tidak terikat. Penelitian ini menggunakan interrater reliability atau interjudge reliability. Pengambilan nilai dilakukan oleh lebih dari satu orang, dalam hal ini dua orang yaitu peneliti dan satu orang guru kelas. Untuk mengetahui kekonsistenan penilaian dari tiap indikator dari dua orang penilai tersebut akan menggunakan uji Cohan Kappa dengan SPSS versi 16 dengan value menurut Landis, J.R., Koch, G.G. (1977, 33:159174) sebagai berikut. 0,0 – 0,20 slight agreement 0,21 – 0,40 fair agreement 0,41 – 0,60 moderate agreement 0,61 – 0,80 substantial agreement 0,81 – 1,0 almost perfect or perfect agreement Untuk melihat perbedaan yang signifikan antara pengukuran awal dan pengukuran akhir keempat dimensi kematangan emosional digunakan analisis statistik non parametrik Uji Wilcoxon Signed Rank Test dengan menggunakan SPSS versi 16 serta dianalisis secara deskriptif kuantitatif dan semi kualitatif berdasarkan tiap indikator kematangan emosional maupun rubrik observasinya dengan wawancara dan hasil portofolio anak. Sedangkan pengaruh Role Playing terhadap kematangan emosional anak dapat dilihat dari data deskritif dengan perhitungan persentasi antara komunikasi verbal dan non verbal secara deskriptif kualitatif berdasarkan hasil wawancara. Jurnal Pendidikan Penabur - No.24/Tahun ke-14/Juni 2015 37 Peran Role Playing Berbasis Komputer Tabel 3: Teknik dan Instrumen Pengumpulan Data Varia-bel Kema-tangan emosional Dimensi Sumber Data Instrumen Anak mampu mengekpresikan emosi yang sesuai dengan kondisi yang ada Anak dapat mengekspresikan diri dalam bentuk gerak sederhana dengan irama musik Anak dapat mengekspresikan gerakan sesuai dengan lagu atau cerita Wawan-cara, Observasi Panduan wawancara, Rubrik observasi Orangtua, guru kelas PerMen 58, 2009, Kurikulum 2004 Pretest posttest Memah- ami perasaan orang lain dengan menunjukkan kepedulian Anak senang menolong Anak mau meminta maaf Anak mau mengajak teman bermain Wawan-cara, Observasi Panduan wawancara, Rubrik observasi Orangtua, guru kelas PerMen 58, 2009, Kurikulum 2004 Pretest posttest Percaya diri Menunjuk kan kebanggaan terhadap hasil kerjanya Mampu mengerjakan tugas sendiri Wawan-cara, Observasi Panduan wawancara, Rubrik observasi, Portofolio Orangtua, guru kelas PerMen 58, 2009, Kurikulum 2004 Pretest posttest Anak sabar menunggu giliran Berhenti bermain pada waktunya Wawan-cara, Observasi Panduan wawancara, Rubrik observas Orangtua, guru kelas PerMen 58, 2009, Kurikulum 2004 Pretest posttest - - - - - Mengen- dalikan diri/perasaan - Referensi Pelaksanaan Teknik Mengekspresikan diri Indikator (Sumber indikator dari Standar kompetensi TKK dan Raudhatul Athfal, kurikulum 2004, DePeNas, 2004 dan Peraturan Mentri Pendidikan Nasional, No.58 tahun 2009, Standar PAUD). 38 Jurnal Pendidikan Penabur - No.24/Tahun ke-14/Juni 2015 Peran Role Playing Berbasis Komputer Tabel 4. Teknik dan Instrumen Pengumpulan Data dalam Role Playing Variabel Dimensi Komunikasi Non Verbal - Verbal Indikator Teknik Instrumen Sumber Data Ekpresi/ roman wajah Menunjukkan gerakan-gerakan anggota tubuh Observasi Rubrik observasi Guru kelas Hurlock,1998:182 Kurikulum 2004 Treatment Observkejadian yang asi dilakukan secara sederhana dalam role playing Menjawab pertanyaan tentang informasi dalam roleplaying secara sederhana Bercerita tentang gambar yang dibuat Rubrik observasi Guru kelas Kurikulum 2004 Treatment - Menceritakan - - Referensi Pelaksanaan (Sumber indikator dari Standar kompetensi TKK dan Raudhatul Athfal, Kurikulum 2004, DePeNas, 2004 dan Hurlock 1998:180-183 untuk komunikasi ekspresi/roman wajah). Hasil Penelitian Dari total sampel yang diteliti yang berusia di antara 5 tahun dan 5 bulan yaitu sebanyak 7 anak (70%), dan selebihnya berusia antara 4 tahun dan 4 bulan sebanyak 3 anak (30%). Asal sekolah sampel penelitian pada saat awal masuk jenjang TK A diketahui bahwa siswa lama (siswa yang mengikuti program pembelajaran dari jenjang PG (Play Group) atau kelompok bermain di sekolah tempat penelitian) sebanyak 6 siswa (60%), dan siswa baru (bukan berasal dari sekolah yang sama) sebanyak 3 siswa (30%). Sedangkan siswa yang belum pernah mengikuti pembelajaran di Taman Kanak-Kanak sama sekali sebanyak 1 siswa (10%). Dilihat dari perilaku emosional sampel pada semester I tahun ajaran 2012-2013 (Juli – Desember 2012), kecenderungan anak yang mempunyai perilaku emosional yang positif yaitu percaya diri dan ceria sebanyak 5 anak (50%), sedangkan anak yang terlihat mempunyai perilaku emosional cenderung negatif yaitu kurang percaya diri dan masih suka menangis sebanyak 5 anak (50%). Berikut adalah hasil perhitungan interrater reliability saat pengukuran awal untuk variabel kematangan emosional dengan empat dimensinya: - Mengekspresikan diri Kappa value 0,467 moderate agreement - Memahami Perasaan Orang Lain Kappa value 0,318 fair agreement - Percaya Diri Kappa value 0,394 fair agreement - Mengendalikan Diri/perasaan Kappa value 0,467 moderate agreement Dari hasil pengukuran ini didapati bahwa terdapat agreement yang sedang ini berarti bahwa alat ukur yang digunakan cukup konsisten dan bisa dipercaya. Jurnal Pendidikan Penabur - No.24/Tahun ke-14/Juni 2015 39 Peran Role Playing Berbasis Komputer Statistik Deskriptif Variabel Kematangan Emosional Nilai pengukuran awal dan akhir diperoleh dari jumlah skor penilaian dalam rubrik observasi dengan melakukan pengamatan selama proses penerapan pembelajaran berlangsung di kelas K1.3. Rubrik observasi ini berdasarkan indikator kematangan emosional yang terdiri dari sepuluh indikator dalam empat dimensi yaitu dimensi mengekspresikan diri dengan indikator mengekspresikan emosi yang sesuai dengan kondisi yang ada (senang, sedih, dan sebagainya), mengekspresikan diri dalam bentuk gerak sederhana dengan irama musik dan mengekspresikan gerakan sesuai dengan cerita. Dimensi memahami perasaan orang lain dengan indikator senang menolong, mau memberi maaf, dan mengajak teman bermain. Dimensi percaya diri dengan indikator menunjukkan kebanggaan terhadap hasil kerjanya dan mampu mengerjakan tugas sendiri. Dimensi mengendalikan diri atau perasaan dengan indikator sabar menunggu giliran dan berhenti bermain pada waktunya. Data hasil pengukuran awal dan akhir digunakan untuk mengetahui selisih perbedaan kematangan emosional siswa setelah penerapan dengan model pembelajaran Role Playing. Kategori penilaian persentasi untuk kematangan emosional adalah sebagai berikut. 10 – 40 : rendah >40 – 70 : sedang >70 – 100 : tinggi Untuk mengetahui nilai empat dimensi kematangan emosional sebelum dan sesudah perlakuan berdasarkan hasil nilai persentasi pengukuran awal dan pengukuran akhir dirangkum dalam Tabel 5 berserta analisisnya. Hasil total pengukuran awal dengan jumlah sebesar 28 poin dari total nilai maksimum 40 poin adalah sebesar 70%, menunjukkan kematangan emosional anak pada awal sebelum perlakuan adalah sedang. Pengukuran akhir dengan jumlah sebesar 31,1 dari total nilai maksimum 40 poin adalah 78%, menunjukkan kematangan emosional anak setelah perlakuan adalah tinggi. Yang berarti ada peningkatan kematangan emosional anak setelah diberi perlakuan. Hasil Uji Hipotesis Penelitian Pengujian hipotesis digunakan untuk menguji hipotesis seperti yang diajukan pada Kajian Pustaka bagian hipotesis. Untuk mengetahui apakah ada perbedaan yang signifikan antara hasil pengukuran awal dan akhir maka dilakukan uji statistik terhadap data pretest dan posttest yaitu dengan uji Wilcoxon Signed Ranks Test. Ini merupakan pengujian terhadap Tabel 5: Perbandingan Rata-Rata Skor Awal dan Skor Akhir pada Kematangan Emosional Demensi Kematangan Emosional Rata-rata Nilai Pretest Rata-rata Nilai Postest Selisih Score Maximum % Awal % Akhir Mengekspresikan diri 9,2 9,5 0,3 12 77 79 Memahami perasaan orang lain 7,1 8,4 1,3 12 60 70 Percaya diri 6,2 6,7 0,5 8 78 84 Mengedalikan diri/perasaan 5,5 6,5 1 8 69 81 Total 28 31,1 3,1 40 70 78 Sumber : Hasil Pengolahan Data (2013) 40 Jurnal Pendidikan Penabur - No.24/Tahun ke-14/Juni 2015 Peran Role Playing Berbasis Komputer Tabel 6: Hasil Uji Wilcoxon Terhadap Pretest dan Posttest Kematangan Emosional Hasil Uji Wilcoxon Signed Ranks Test Kesimpulan Hipotesis Mengekspresikan Diri Asymp.Sig = ,726 p > ,05 Terima Ho Memahami perasaan orang lain Asymp.Sig =,026 p < ,05 Tolak Ho Percaya Diri Asymp.Sig =,129 p > ,05 Terima Ho Mengendalikan diri/perasaan Asymp.Sig =,004 p < ,05 Tolak Ho Total Asymp.Sig =,007 p < ,05 Tolak Ho Demensi Kematangan Emosional Sumber : Hasil Pegolahan Data SPSS 16 (2013) hipotesis mengenai kematangan emosional anak pada pengukuran awal dan pengukuran akhir. Hasil pengujian pada Tabel 6 menunjukkan bahwa nilai total kematangan emosional adalah p =,007 < ,05 yang berarti, ada perbedaan yang signifikan antara hasil pengukuran awal dan pengukuran akhir, dengan demikian Ho ditolak. Yang berarti, ada peningkatan kematangan emosional anak sesudah perlakuan. Mengekspresikan Diri Tabel 6 memperlihatkan dimensi mengekspresikan diri menunjukkan p =,726 > .05 yang berarti bahwa tidak ada perbedaan yang signifikan antara hasil pengukuran awal dan pengukuran akhir, dengan demikian Ho diterima. Yang berarti, tidak ada peningkatan mengekspresikan diri anak sesudah perlakuan. Memahami Perasaan Orang Lain Dari tabel 6 juga terlihat, dimensi memahami perasaan orang lain menunjukkan p=,026 < .05 yang berarti bahwa ada perbedaan yang signi- fikan antara hasil pengukuran awal dan pengukuran akhir, dengan demikian Ho ditolak. Yang berarti, ada peningkatan memahami perasaan orang lain pada anak sesudah perlakuan. Percaya Diri Sedangkan untuk dimensi percaya diri menunjukkan p=,129 > .05 yang berarti, tidak ada perbedaan yang signifikan antara hasil pengukuran awal dan pengukuran akhir, dengan demikian Ho diterima. Yang berarti, tidak ada peningkatan percaya diri anak sesudah perlakuan. Mengendalikan Diri/Perasaan Dimensi mengendalikan diri menunjukkan p=,004 < 0,05 yang berarti, ada perbedaan yang signifikan antara hasil pengukuran awal dan pengukuran akhir, dengan demikian Ho ditolak. Yang berarti, ada peningkatan mengendalikan diri/perasaan anak sesudah perlakuan. Kesimpulannya, ada peningkatan sesudah perlakuan terutama untuk memahami perasaan orang lain dan mengendalikan diri sedangkan untuk mengekpresikan diri dan percaya diri tidak mengalami peningkatan. Juga untuk total kematangan emosional mengalami peningkatan. Statistik Deskriptif untuk Perlakuan Role Playing Dalam penelitian ini, rubrik observasi yang berdasarkan indikator komunikasi terdiri atas lima indikator dalam dua dimensi yaitu komunikasi non verbal dan verbal. Berikut adalah hasil perhitungan interrater reliability yang dilakukan selama perlakuan: Komunikasi Non Verbal Kappa value 0,868 perfect agreement Komunikasi verbal Kappa value 0,494 moderate agreement Dari hasil pengukuran ini didapati bahwa terdapat agreement yang baik sekali, ini berarti bahwa alat ukur yang digunakan konsisten dan bisa dipercaya. Untuk mengetahui besarnya persentasi perbedaan jumlah total nilai dan rata-ratanya dapat dilihat pada Tabel 7. Hasil persentasi rata-rata untuk komunikasi verbal sebesar 10 (83%) lebih besar dari Jurnal Pendidikan Penabur - No.24/Tahun ke-14/Juni 2015 41 Peran Role Playing Berbasis Komputer Tabel 7. Persentasi Rata-rata Komunikasi dalam Role Playing Komunikasi Non verbal Verbal Total Rata-rata Total Skor % 6,4 10 8 12 80 83 16,4 20 82 Sumber: Hasil Pengolahan Data (2013) persentasi rata-rata komunikasi nonverbal yaitu sebesar 6,4 (80%). Hal ini berarti, anak lebih banyak menggunakan bahasa verbal dari pada non verbal. Terlihat juga bahwa persentasi total rata-rata adalah 16,4 (82%). Hal ini menandakan, komunikasi dalam Role Playing sangat efektif walaupun pada saat awal memainkannya mereka masih bingung dan lupa dialog apa yang akan dikatakan tetapi setelah tiga kali latihan sebelum melakukan Role Playing sesungguhnya dan dua kali melihat simulasi percakapan melalui komputer dengan program CD interaktifnya, barulah anak dapat mengucapkan dialog dengan lancar. Di samping itu, komunikasi ini juga sangat efektif terlihat dari salah satu item dalam indikator verbal bahwa anak dapat bercerita dengan percaya diri dengan poin tertinggi 4. Hal ini didasarkan pada pendapat Seefeldt & Wasik (2008:169), bahwa anak –anak yang memiliki kepercayaan diri yang mantap umumnya adalah pribadi yang bisa dan mau belajar, dapat mengendalikan perilaku mereka sendiri, dan berhubungan dengan orang lain secara efektif. Berdasarkan hal tersebut juga secara langsung dapat mempengaruhi emosi anak terutama mengendalikan diri/perasaan dan memahami perasaan orang lain, yang pada awalnya mereka tidak mengerti dan tidak perduli terhadap orang lain karena masih ada sikap egosentris yang besar menjadi lebih perhatian dan sabar terhadap orang lain. Didukung pula dari hasil wawancara tambahan dengan guru perpustakaan yang secara rutin (setiap hari Jumat) mengajarkan anak-anak untuk berani bercerita di depan anak yang lain, terbukti bahwa kesepuluh anak ini mampu bercerita dengan baik yaitu bersuara lantang tanpa malu-malu dan dapat bercerita berurutan dari awal sampai akhir dengan sedikit bantuan dari guru. 42 Jurnal Pendidikan Penabur - No.24/Tahun ke-14/Juni 2015 Hasil Wawancara Sebagai Latar Belakang Emosional Anak Tanggapan guru kelas terhadap perilaku emosional anak Untuk mengetahui latar belakang keadaan emosional kesepuluh anak sebagai subjek penelitian, maka dilakukan wawancara dengan nara sumber OL sebagai guru kelas yang mengajar di kelas K1.3 selama tahun ajaran 20122013. Menurut guru OL, empat di antara sepuluh anak sebagai sebjek penelitian adalah anak baru yang saat jenjang KB bukan berasal dari sekolah TKK 6 PENABUR Kelapa Gading bahkan ada satu anak belum pernah sekolah di jenjang KB manapun. Sedangkan enam anak lainnya berasal dari jenjang KB di sekolah yang sama. Pertanyaan untuk perilaku emosional anak pada awal ketika sekolah jenjang TK A dimulai, dijawab bahwa dari keenam anak yang lama, terlihat senang, aktif dan percaya diri karena sudah terbiasa dengan teman dan lingkungan sekolahnya. Sedangkan keempat anak yang baru terlihat ada yang masih menangis, kurang percaya diri, pendiam dan cenderung kasar (suka memukul). Setelah kesepuluh anak ini sudah bisa beradaptasi dan mengikuti rutinitas kegiatan di kelas yang baru, maka perilaku emosional yang terlihat untuk pertanyaan mengekspresikan diri adalah kesepuluh anak ini mampu mengekspresikan emosi mereka sesuai dengan kondisi yang ada seperti senang sedih, dan seterusnya, tetapi tiga di antara anak tersebut dalam mengekspresikan emosinya masih tergantung dari suasana hatinya. Untuk menjawab pertanyaan mengenai memahami perasaan orang lain dengan menunjukkan kepedulian, seperti senang menolong, minta maaf, bermain bersama teman, dijawab bahwa hanya ada tiga anak yang bisa melakukannya secara spontan dan senang membantu temannya sedangkan ketujuh anak lainnya bisa melakukannya tapi dengan motivasi dan arahan guru, bahkan masih ada yang pilih-pilih teman yang akan diajak bermain. Menurut narasumber guru OL, kesepuluh anak ini semuanya terlihat percaya diri setelah beradaptasi dengan lingkungan dan rutinitas sekolah. Yang berarti mereka senang dalam mengikuti semua pelajaran yag diberikan, tidak Peran Role Playing Berbasis Komputer takut atau malu dalam menjawab pertanyaan atau melakukan kegiatan yang diperintahkannya. Untuk menjawab pertanyaan tentang mengendalikan diri/perasaan saat menunggu giliran dan berhenti bermain pada waktunya, nara sumber guru OL setuju bahwa masih ada anak yang harus diingatkan untuk berhenti bermain pada waktunya dan masih ada yang berebut mainan atau tidak sabar menunggu giliran terutama dalam barisan saat mencuci tangan. Hanya ada tiga anak yang sudah sabar dan bertanggung jawab dalam bermain, juga bisa mengendalikan dirinya. Ditanyakan juga mengenai perilaku emosional anak yang paling menonjol (positif), dijawab bahwa AW dapat mengeskpresikan emosinya sesuai dengan kondisi yang ada, CE anak yang ceria dan ramah, DL anak yang bertanggung jawab dan fokus pada pelajaran, FA anak yang cerdas karena mempunyai pikiran-pikiran yang melampaui anak seusianya, GN senang bereksplorasi dengan benda-benda di sekitarnya, CA anak yang ceria dan antusias dengan pembelajaran di kelas, MW anak yang ramah dan suka menolong, VN anak yang mandiri dan senang berinteraksi dengan teman-temannya, NA anak yang mandiri dan antusias dalam belajar, dan VI dapat menguasai dirinya atau mengendalikan emosinya, tidak mudah terpengaruh dengan hal-hal negatif yang dilihat. Mengenai pertanyaan terakhir yang merupakan kesimpulan dari pengamatan emosional kesepuluh anak tersebut yaitu apakah anak sudah dapat dikatakan siap untuk belajar di sekolah jenjang lebih tinggi dikaitkan dengan kematangan emosionalnya? (dijawab setelah melakukan treatment) Narasumber guru OL setuju bahwa kesepuluh anak tersebut sudah siap untuk mengikuti kegiatan pembelajaran di jenjang sekolah lebih tinggi karena adanya sikap antusias belajar, sudah bisa diarahkan, senang menyelidiki hal-hal baru dan bisa fokus pada tugas dan tanggungjawab, apalagi setelah mereka melakukan Role Playing, percaya diri semakin bertambah dan sikap mau memahami orang lain (seperti menolong teman dan meminta maaf) bisa spontan langsung mereka lakukan tanpa disuruh dan diingatkan oleh guru. Tanggapan orangtua terhadap perilaku emosional anak Untuk mengetahui tanggapan orangtua terhadap perilaku emosional anak di rumah, dilakukan wawancara terhadap sepuluh orangtua dari sepuluh subjek penelitian yang dilakukan secara terpisah. Untuk menjawab tentang perilaku emosional anak di rumah, sebagian besar mereka berkata, anak mereka sudah mandiri dan sudah tidak berteriak-teriak atau menangis menjerit-jerit lagi. Anak bisa mengekspresikan emosinya dengan baik tetapi kadang-kadang masih suka menangis untuk halhal tertentu saja, seperti masih mengantuk tapi harus pergi sekolah (hanya dua anak dari sepuluh anak). Untuk memahami perasaan orang lain, sebagian besar anak sudah mau mengucapkan terima kasih dan meminta maaf tapi masih ada juga yang suka berebut mainan dengan kakak atau adiknya. Hanya ada dua orangtua yang sangat yakin kalau anak mereka suka mengalah dan selalu mengucapkan terima kasih dan meminta maaf apabila melakukan kesalahan tanpa disuruh. Kesepuluh orangtua setuju, anak mereka sudah menunjukkan percaya diri terutama pada saat diajak ke rumah saudara, bertemu orang lain atau mau mengikuti kegiatan yang sifatnya perlombaan atau pertunjukkan, tapi masih ada beberapa orangtua yang menjawab kalau anak mereka sudah menunjukkan percaya diri tapi masih butuh waktu untuk beradaptasi. Dalam menjawab pertanyaan tentang mengendalikan diri, beberapa orangtua berkata, anak mereka bisa mengerti atau menurut dan mengendalikan dirinya bila tidak mendapatkan apa yang mereka inginkan saat itu juga (ingin beli mainan). Tetapi ada dua orangtua yang berkata anak mereka masih tidak mau kalah dari saudaranya dan kadang-kadang masih suka ngambek. Pertanyaan terakhir berhubungan dengan tersedianya komputer/laptop di rumah, kemampuan anak dalam menggunakannya dan intensitas penggunaannya. Semua orangtua menjawab bahwa di rumah punya komputer/ laptop dan anak bisa menggunakannya dengan baik. Mereka bisa membuka, mencari program sendiri terutama untuk games dan menggunakan Jurnal Pendidikan Penabur - No.24/Tahun ke-14/Juni 2015 43 Peran Role Playing Berbasis Komputer keyboard dan mouse dengan fasih. Untuk intensitas penggunaannya, kesepuluh orangtua tersebut setuju memberikan batasan waktu dalam bermain dengan komputer/laptop/i-pad. Anak diberi kebebasan menggunakannya pada saat akhir pekan (Sabtu dan Minggu) saja, tetapi ada juga yang memberikan ijin bermain laptop/ i-pad pada hari biasa hanya dibatasi waktu dan juga tidak pada saat jam sekolah. Mereka juga berkata, anak mereka bisa mengerti dan mengendalikan dirinya untuk tidak terus bermain games. Tanggapan guru komputer terhadap pelajaran komputer Untuk mengetahui kondisi emosional anak pada saat belajar dengan menggunakan komputer, dilakukan wawancara dengan nara sumber guru MA, sebagai guru komputer di sekolah tempat penelitian dilakukan. Pelajaran komputer diberikan sekali dalam seminggu, dengan metode pembelajaran drill and practice , yang sering digunakan dan disesuaikan dengan tingkat kemampuan anak dan kebutuhan pembelajaran. Nara sumber guru MA mengatakan, semua anak sudah dapat mengenal dan mengerti kegunaan komputer bahkan semua anak sudah dapat mengetik nama mereka sendiri tapi masih dengan dua jari. Menjawab sikap anak saat belajar program komputer, disebutkan hanya satu anak saja yang kurang percaya diri selebihnya percaya diri dan antusias. Sedangkan untuk ekspresi emosi anak ketika tidak dapat menjalankan program yang ada, dijawab dari kesepuluh anak, enam anak gelisah dan langsung bertanya, empat anak lainnya tetap tenang lalu bertanya. Mengenai kesiapan belajar anak yang dikaitkan dengan kematangan emosionalnya dengan menggunakan program komputer, narasumber guru MA menjawab kesepuluh anak sudah siap untuk belajar. Pembahasan Dari hasil pengujian hipotesis tentang kematangan emosional untuk dimensi mengekspresikan diri, tidak ada pengaruh yang signifikan antara pengukuran awal dan pengukuran akhir p=,726 >.05. Ini berarti bahwa 44 Jurnal Pendidikan Penabur - No.24/Tahun ke-14/Juni 2015 tidak ada peningkatan mengekspresikan diri anak sesudah perlakuan bermain peran (Role Playing). Anak sudah dapat mengekspresikan diri berdasarkan kategori yang sudah ditentukan. Ketidaksignifikanan ini disebabkan ada beberapa anak yang sudah dapat mencapai skor maksimal pada pengukuran awal dan anak sudah dapat mengekpresikan emosi dengan baik dengan skor tertinggi pada saat treatment dengan indikator komunikasi non verbal yaitu ekspresi/ roman wajah melalui Role Playing. Dikaitkan juga dengan hasil wawancara dengan guru kelas, orangtua, dan guru komputer bahwa sebagian besar anak-anak subjek penelitian sudah memiliki kemampuan mengekspresikan dirinya yang tinggi. Juga adanya kesempatan mengekspresikan diri dalam pelajaran dan mengikuti pertunjukan yang sering mereka ikuti membuat mereka sudah tidak canggung lagi dalam mengekspresikan diri mereka. Apabila dikaitkan dengan pendapat Lane (2008) bahwa fungsi ekspresi wajah adalah menekankan kata yang diucapkan, melengkapi komunikasi verbal, dan mengarahkan alur komunikasi, maka pada dimensi mengekspresikan emosi ini dapat disimpulkan, anak sudah dapat melakukannya sendiri tanpa di suruh guru. Didukung pula oleh nilai akhir komunikasi yang juga tinggi untuk komunikasi non verbal terutama ekspresi/roman wajah. Hasil yang tidak signifikan ini juga dapat disebabkan karena penggunaan program CD interaktif yang ada kurang menantang anak untuk dapat mengekspresikan dirinya lebih lagi. Didukung pula dari hasil validasi oleh expert judgement dari dosen UPH yang memberikan penilaian sedang, dan harus ada perbaikan. Ini berarti, program simulasi yang ditampilkan tidak dapat meningkatkan ekspresi anak dalam bermain peran. Hasil pengujian hipotesis tentang memahami perasaan orang lain, ada perbedaan yang signifikan antara hasil pengukuran awal dan pengukuran akhir p=,026 < .05. Berarti, ada peningkatan memahami perasaan orang lain pada anak sesudah perlakuan. Hal ini dapat didukung oleh hasil penilaian pada indikator komunikasi verbal, dimana frekuensi mendapat nilai tertinggi ada pada lima anak dari sepuluh anak yang diteliti, yaitu dapat bercerita semua Peran Role Playing Berbasis Komputer bentuk gambar dengan percaya diri. Artinya, anak dapat melakukannya dengan antusias seperti yang dikatakan Seefeldt & Wasik (2008:169), anak yang memiliki kepercayaan diri yang mantap umumnya adalah pribadi yang bisa dan mau belajar, dapat mengendalikan perilaku mereka sendiri, dan berhubungan dengan orang lain secara efektif. Kelima anak tersebut dapat menceritakan kejadian yang dilakukan dalam Role Playing secara sederhana dan bercerita tentang gambar yang mereka buat pada proses debriefing, yang berarti bahwa mereka sudah dapat memahami perasaan orang lain melalui kejadian yang mereka alami sendiri maupun orang lain dalam peran yang dimainkan yang membantu anak untuk bisa berbagi perasaan dengan orang lain. Didukung pula oleh Berk (2008:369), mengenai kemampuan emosional sebagai kompetensi emosional, dimana setelah anak mendapatkan pemahaman akan emosi, anak menjadi mampu berbicara mengenai perasaan yang dialami dan mampu merespon terhadap perasaan orang lain. Sedangkan menurut Monks (2006:146), gambar anak sering dipakai sebagai alat diagnostik dasarnya adalah bahwa anak mengeluarkan perasaan dan pengalaman melalui gambarnya. Selain itu gambaran anak juga merupakan tolak ukur perkembangan kecerdasan yang dapat memberikan pengertian akan kualitas pengamatan kritis anak. Dapat ditambahkan dan disimpulkan pula, melalui bermain peran yang adalah pembelajaran sosial, anak dapat belajar dengan meniru perlakuan orang lain melalui peran yang dimainkan Hal ini dapat membantu anak lebih mudah memahami perasaan orang lain sehingga meningkatkan kepekaannya untuk memahami perasaan orang lain. Hasil uji hipotesis tentang percaya diri, tidak ada perbedaan yang signifikan antara hasil pengukuran awal dan pengukuran akhir p=,129 > .05, yang berarti tidak ada peningkatan percaya diri anak sesudah perlakuan. Hal ini juga dapat dilihat dari Tabel 5 tentang data rata-rata skor awal yang didapatkan dibandingkan dengan skor maksimum yang didapat untuk percaya diri mempunyai selisih yang kecil. Sama dengan mengekspresikan diri dan didukung oleh hasil wawancara dengan guru kelas, anak sudah mempunyai kepercayaan diri yang baik sehingga tidak ada pengaruh yang signifikan dengan bermain peran. Walaupun pada awal pembelajaran percaya diri anak masih kurang dan hasil wawancara dengan guru komputer juga mengatakan bahwa masih ada anak yang kurang percaya diri saat bermain komputer, hal ini dapat dijelaskan karena waktu untuk melakukan percobaan dan anak untuk beradaptasi perlu waktu lebih panjang, yang membuat selisih poin yang didapat tidak berbeda besar. Hasil uji hipotesis tentang mengendalikan diri/perasaan, ada perbedaan yang signifikan antara hasil pengukuran awal dan pengukuran akhir p=,004 < 0,05, yang ber arti ada peningkatan mengendalikan diri/perasaan anak sesudah perlakuan. Ini menunjukkan, dengan bermain peran (Role Playing) anak dapat meningkatkan pengendalian diri mereka. Saat bermain peran, anak secara bergantian berbicara dan ada aturan main yang jelas, sehingga anak dapat belajar sabar untuk menunggu gilirannya berbicara, seperti menurut Seefeldt & Wasik (2008:76), pada usia lima tahun anak senang untuk bicara, mereka belajar kebiasaan bercakapcakap dan agak jarang memotong percakapan, belajar antri, dan mendengar orang lain yang sedang bicara. Dikaitkan dengan program CD interaktif yang menggunakan model pembelajaran komputer, dalam proses briefing sebagai pengganti skenario, anak melihat langsung peran yang akan dimainkan melalui simulasi dalam komputer masing-masing. Hal ini dapat melatih mereka melihat dan mengikuti petunjuk dari awal sampai akhir dengan sabar. Terjadi pengaruh yang meningkat untuk dimensi mengendalikan diri, karena pada awal sebelum perlakuan dari hasil penghitungan pada tabel 5 untuk rata-rata dimensi mengendalikan diri termasuk dalam kategori sedang dengan poin sebesar 5,5. Keadaan ini didukung pula oleh hasil wawancara dengan guru kelas dan guru komputer bahwa anak terlihat gelisah dan kurang sabar apabila tidak bisa menjalankan program di computer.Beberapa anak masih suka berebut dalam barisan untuk masuk kelas serta berebut mainan. Adanya peningkatan berarti pembelajaran Role Playing dengan komputer ini dapat meningkatkan pengendalian diri atau perasaan anak serta dapat membantu Jurnal Pendidikan Penabur - No.24/Tahun ke-14/Juni 2015 45 Peran Role Playing Berbasis Komputer anak lebih berkonsentrasi. Hal ini didukung pula oleh Sudjana dan Rivai (2001:37), kelebihan pembelajaran dengan komputer adalah melatih kesabaran anak dan kebiasaan pribadi yang dapat diprogram melengkapi suasana sikap yang lebih positif, terutama berguna sekali untuk siswa yang lamban. Juga, kemampuan daya rekamnya memungkinkan pengajaran individual melalui komputer bisa dilaksanakan. Implikasi hasil penelitian yang didapat terhadap pembelajaran di kelas adalah keterlibatan guru secara aktif pada saat mengajar yaitu guru lebih memotivasi dan memacu anak agar dapat mengekpresikan diri dan meningkatkan percaya diri melalui memberi kesempatan anak untuk bernyanyi dan menghafal ayat Alkitab di depan kelas, bercerita melalui show and tell hasil kerja dan gambar yang dibuat, juga dalam question and answer sehingga anak terpacu dan terlatih untuk mengemukakan pendapatnya yang juga berpengaruh terhadap emosi anak terutama percaya diri dan ekspresi diri. Juga memberikan kesempatan pada anak agar dapat tampil pada kegiatan sekolah. Dari pihak sekolah, dalam hal ini Kepala Sekolah, memberikan kesempatan mengikuti perlombaan antar sekolah baik tingkat kecamatan maupun provinsi. Sedangkan kegiatan Role Playing ini dapat diimplikasikan melalui pelajaran di kelas selain bahasa Indonesia juga bisa dalam pelajaran kognitif, seperti belajar penjumlahan sederhana yang dibuat seperti suasana di pasar, anak bisa membeli buah atau makanan dengan membayar dari uang-uangan kertas, dan lain-lain. Selain itu kegiatan Role Playing bisa juga dilakukan saat pelajaran oleh raga. Ruangan di dekorasi seperti di tengah hutan, anak-anak harus bisa melompat, berjalan di papan titian dan memanjat yang semuanya direkayasa dan ada skenarionya agar pelajaran lebih bervariasi dan menarik, membuat anak tidak takut saat berjalan di papan titian untuk keseimbangannya dan meningkatkan percaya dirinya juga. Simpulan Kesimpulan Kematangan emosional anak sebelum perlakuan dari hasil penghitungan rata-rata persentasi 46 Jurnal Pendidikan Penabur - No.24/Tahun ke-14/Juni 2015 awal dengan total score maksimumnya menunjukkan nilai yang sedang. Sedangkan hasil perhitungan rata-rata persentasi akhir menunjukkan nilai tinggi. Yang berarti ada peningkatan kematangan emosional setelah perlakuan dengan model pembelajaran Role Playing. Model pembelajaran Role Playing, dari hasil perhitungan untuk tingkat signifikansinya, menunjukkan bahwa untuk memahami perasaan orang lain dan mengendalikan diri dapat meningkat, sedangkan untuk mengekspresikan diri dan percaya diri tidak dapat meningkat. Hasil yang tidak signifikan dan tidak meningkat ini kemungkinan disebabkan oleh beberapa hal berikut. 1. Waktu pelaksanaan Role Playing dan waktu pengamatan yang kurang untuk anak dapat meningkatkan percaya dirinya lagi. 2. Program CD interaktif yang dipakai dalam proses briefing sebagai pengganti skenario kurang menantang anak dalam mengekspresikan dirinya. Model pembelajaran komputer dengan menggunakan program simulasi dengan animasi ini sangat menarik bagi anak, dapat terlihat dari meningkatkan pengendalian diri anak, hal ini berarti bahwa konsentrasi dan kesabaran anak dapat terlatih dengan lebih baik. Saran Untuk guru dan sekolah Model pembelajaran Role Playing sangat menarik buat anak usia 4-6 tahun (TKA-TKB) dan ternyata dapat meningkatkan memahami perasaan orang lain dan mengendalikan diri, siswa terlihat sangat senang dan semangat dalam bermain peran. Oleh karena itu, disarankan agar model pembelajaran ini tetap terus dijalankan karena pembelajaran ini juga dapat dipakai untuk menunjang pelajaran karakter yang sedang digalakkan di setiap sekolah. Hal ini baik karena dengan bermain peran anak belajar cara berkomunikasi yang baik, melatih sikap dan perilaku mereka sendiri dan pemahaman kepada orang lain. Akan lebih baik, apabila model pembelajaran Role Playing ini dapat diintegrasikan ke dalam bidang pengembangan dalam kurikulum pembelajaran di TK A dan TK B, khususnya untuk bidang Peran Role Playing Berbasis Komputer pengembangan bahasa dan science. Semoga model pembelajaran Role Playing ini dapat menjadi alternatif bagi pengajaran di kelas untuk terus melatih para penerus bangsa agar menjadi individu yang lebih komunikatif, berempati, mempunyai karakter yang baik, kritis dan kreatif dalam berpikir yang dituangkan dalam bentuk tulisan maupun lisan dalam kegiatan belajar, dan dalam kehidupan siswa sehari-hari. Dalam pelaksanaan pembelajaran dengan Role Playing disarankan untuk memperhatikan waktu, karena untuk proses persiapan awal, briefing, uji coba dan pelaksanaannya sendiri membutuhkan waktu yang lebih panjang, dari hasil penilitian ini waktu minimum yang diperlukan adalah 60 menit (2 jam pelajaran, 30 menit untuk briefing dan 30 menit untuk pelaksanaan). Disarankan juga untuk penelitian selanjutnya dapat menggunakan indikator dan program CD interaktif yang disesuaikan untuk penilaian anak usia jenjang yang lebih tinggi (usia 6-7 tahun), karena program ini bertujuan untuk melihat kesiapan anak masuk dalam sekolah formal. Tetapi disarankan pula, apabila penelitian ini dilakukan pada sekolah lain yang standar penilaian siswanya tidak sama atau lebih rendah dengan sekolah tempat penelitian ini, maka indikator dan program CD interaktif ini bisa dipakai. Penelitian ini hanya dilakukan pada satu kelompok saja tanpa kelompok kontrol atau kelompok pembanding, apabila dilakukan penelitian lanjutan untuk model pembelajaran bermain peran atau Role Playing, maka diperlukan kelompok kontrol sehingga hasil penelitian semakin valid. Juga disarankan untuk persiapan penelitian selanjutnya melakukan tahap uji alat ukur sehingga dapat menyesuaikan standart penilaian yang akan digunakan. Untuk orangtua Disarankan agar dapat meluangkan waktu bersama anak terutama dalam bermain peran di rumah, karena dengan bermain peran dapat men-stimulasi anak dalam meningkatkan kemampuan berbicara juga menciptakan suasana kebersamaan yang nyaman dan bahagia pada anak usia pra sekolah. Dengan adanya kemajuan teknologi yang pesat saat ini, diharapkan orangtua juga dapat mendampingi anak dalam memperkenalkan teknologi yang ada terutama dalam hal komputerisasi. Pendampingan yang dilakukan sejak masa prasekolah membuat anak belajar berdisiplin dengan waktu dan bertanggung jawab atas barang miliknya atau orang lain di rumah. Selain itu disarankan juga untuk menyediakan program games edukatif bagi anak dan orangtua yang dapat bermain bersama. Sehingga dapat diterapkan juga pembelajaran berbasis komputer di rumah bersama anak. Daftar Pustaka Beaty, Janice J. (2004). Observing development of the young children. 6th ed, Upper Saddle River, NJ. Pearson Prentice Hall Berk , Laura E. (2008). Infants, children and adolecents, 6 th ed. Boston: Pearson Education Inc Darmawan, Deni. (2007). Teknologi informasi dan komunikasi. Bandung: Arum Mandiri Press Departemen Pendidikan Nasional. Kurikulum (2004). Standar kompetensi Taman KanakKanak dan Raudhatul Athfal. Jakarta Fraenkel, Jack R., and Wallen, Norman E. (2008). How to design and evaluate research in education., 7 th ed, McGraw Hill International Edition, NY Gay, L.R., &Airasian, Peter (2003). Educational research. Merrill Prentice Hall. New Jersey, USA High, Pamela C. School Readiness. Pediatrics official journal of the American academy of pediatrics. The American Academy of Pediatrics, 141 Northwest Point Boulevard, Elk Grove Village, Illinois, 60007. 2008 Hergenhahn, B.R., Olson, Matthew. H. (2009). Theories of learning (Teori belajar). Jakarta: Kencana Prenada Media Group Hurlock, B. E. (1980). Psikologi perkembangan (Edisi Kelima), Jakarta: Penerbit Erlangga Hurlock, B. Elizabeth. (1992). Perkembangan anak (Edisi Keenam), Jakarta: Penerbit Erlangga Jurnal Pendidikan Penabur - No.24/Tahun ke-14/Juni 2015 47 Peran Role Playing Berbasis Komputer GenEducation. Komunikasi non verbal (Terjemahan). http://www.hrepic.com/ Teaching/GenEducation/ nonverbcom/nonverbcom.htm. Di akses Juni 2013. dan http://www.ling. ed.ac.uk/linguist/ issues/9/9-230.html La Iru & La Ode. (2012). Analisis penerapan. pendekatan, metode, strategi, dan modelmodel pembelajaran. DIY- Bantul: Multi Presindo Landis, J. R.& Koch, G. G. (2008). The measurement of observer agreement for categorical data. Biometrics 33:159-174. 1977. TexaSoft, http://www.stattutorials.com/SPSS/ TUTORIAL-SPSS-Interrater-Reliability Kappa.htm Lane, Shelley D. 92008). Interpersonal communication: Competence and context. Pearson Education Inc. USA Ment, Morry Van. (1999). The effective useof roleplay. London: Kogan PageLimited. Miarso, Yusufhadi. (2004). Menyemai benih teknologi pendidikan. Jakarta: PustekkomKencana Monks, F.J, Knoers, A.M.P, Haditono, Siti Rahayu. (2006) Psikologi perkembangan. Yogyakarta: Gajah Mada University Press Mulyatiningsih, Endang. (2012) metode penelitian terapan. Bandung: Alfabeta Nurkancana., Wayan, & Sumartana, PPN. (1986). Evaluasi pendidikan. Surabaya: Usaha Nasional Ostroff, Wendy.L. (2013). Memahami cara anakanak belajar. Jakarta: PT.Indeks Peraturan Menteri Pendidikan Nasional (Permendiknas) No.8 tahun 2009 tentang 48 Jurnal Pendidikan Penabur - No.24/Tahun ke-14/Juni 2015 Standar Pendidikan Anak Usia Dini. 2009 Pribadi, Benny A. & Rosita, Tita. (2000). Prospek Komputer Sebagai Media Pembelajaran Interaktif Dalam Sistem Pendidikan Jarak Jauh di Indonesia. Jurnal Pendidikan (Online), Jilid 6, No. 4, (http:// www.ut.ac.id, diakses 20 Januari 2000). Rafoth, Mary Ann. (2004). School readinesspreparing children for kindergarten and beyond: Information for parents. National association of school phychologists. Bethesda, MD Rusman. . (2012). Belajar dan pembelajaran berbasis komputer. Bandung: Alfabeta Santrock, John W. (2009). Psikologi pendidikan (Educational psychology). Buku1. Edisi ke 3. McGraw-Hill. Jakarta: Salemba Humanika Seefeldt, Carol. & Wasik, Barbara A. (2008). Pendidikan anak usia dini, Edisi Kedua. Jakarta: PT Indeks Smaldino, Sharon E., Russell, James D., Heinich, Robert. & Molenda, Michael. (2005). Instructional technology and media for learning. 8th Ed. Upper Saddle River, New Jersey: Pearson Education, Inc Sudjana, Nana & Rivai, Ahmad. (2005). Media pengajaran. Bandung: Sinar Baru Algesindo Suryadi, Harry. Editor: Sintha Ratnawati. (2002). Sekolah alternative untuk anak”. Kumpulan Artikel KOMPAS. Jakarta: Buku Kompas Unicef. Communicating with children-build selfconfidence as well as competence.- Guideline 3A. www.unicef.org/cwc/cwc_58679. htmlý. diakses 26 Mei 2011 Bimbingan Belajar Dalam Mengatasi Kesulitan Belajar Siswa Penelitian Bimbingan Belajar Dalam Mengatasi Kesulitan Belajar Siswa Sekolah Dasar Fransiska E-mail: [email protected] TKK SPRINGFIELD Jakarta Barat Abstrak enelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana bimbingan belajar dapat mengatasi kesulitan belajar sehingga meningkatkan kemampuan siswa sekolah dasar. Tempat penelitian di Bimbingan Belajar Setia berlokasi di Puri Indah, wilayah Kembangan, Jakarta Barat, dalam tahun pelajaran 2014/2015, Subyek penelitian adalah siswa-siswi kelas 3 dari beberapa Sekolah Dasar di kecamatan Kembangan, yang mengikuti kelas di Bimbingan Belajar Setia. Metode penelitian menggunakan pendekatan penelitian deskriptif kualitatif. Data dikumpulkan dengan observasi, wawancara, dan studi dokumentasi, kemudian dianalisa dengan interactive model dan keabsahan data dilakukan dengan triangulasi terhadap sumber data. Hasil penelitian menunjukkan, dengan melakukan remedial dan pengayaan menggunakan model bervariasi seperti model peer tutoring, dapat mengatasi kesulitan belajar siswa/i. Dengan saling belajar dan berbagi dengan siswa yang lain dalam belajar dapat meningkatkan perolehan belajar siswa/I yang ditunjukkan dengan peningkatan prestasi belajar dan siswa sudah dapat berkonsentrasi sehingga mampu mengerjakan dan mengumpulkan tugas-tugas yang diberikan oleh guru. P Kata-kata kunci: bimbingan belajar, kesulitan belajar, prestasi belajar. Academic Guidance in Overcoming Learning Difficulties Faced by Primary School Students Abstract The purposes of this study are to find out how the academic guidance services reduce learning difficulties an improve learning outcome of the elementary school students. The study, took place at Setia Academic Guidance located at Puri Indah, Kembangan, West Jakarta, in the school year of 2014/2015, . The subject of this study were The Elementary School students of Grde III from seberal Elementary Schools in Kembangan Subdistrict jpining the class at Setia Academic Guidance. Apllying qualitative deccriptive approach, the study collected the data using questionair, interview, and document study to be analyzed by interactive model and the data validity was done through triangulation to the data resource. The study discovered, implementing remedial and enrichment activities within various models such as peer tutoring can solve the students’ learning difficulties and by learning from the others and sharing ideas can improve the students’ learning achievement and the students are able to consentrate on completing the assignments given by the teacher. Keywords: academic guidance, learning difficulties, learning achievement. Jurnal Pendidikan Penabur - No.24/Tahun ke-14/Juni 2015 49 Bimbingan Belajar Dalam Mengatasi Kesulitan Belajar Siswa Pendahuluan Bisnis lembaga bimbingan belajar (bimbel) masih menjanjikan. Kebutuhan para siswa sekolah untuk meningkatkan kompetensi akademik, seiring standar kelulusan yang terus meningkat, membuat bisnis bimbel terus bermunculan. Tidak sedikit para pelaku bisnis ini menawarkan kemitraan usaha (Tri Sulistiowati dkk, 31 Maret 2014). Seperti juga dibahas pada majalah Info Puri yang merupakan majalah info komunitas kawasan Puri, banyaknya bimbingan belajar yang menawarkan jasa mengajar siswa/i untuk membantu mereka dalam pelajaran sekolah dengan pilihan metode bimbingan yang beragam (Gerson 2015:20). Seorang individu telah belajar, bila terjadi perubahan perilaku menjadi lebih baik dari sebelumnya. Sardiman (2011:20-21) mengemukakan beberapa definisi belajar dari beberapa ahli., seperti Cronbach yang mendefinisikan “Learning is shown by a change in behavior as a result of experience.” Harold Spears menyatakan “Learning is to observe, to read, to imitate, to try something themselves, to listen, to follow direction.” Kemudian, Geoch mengatakan “Learning is a change in performance as a result of practice.” Dari tiga definisi yang dikutip, Sardiman menyimpulkan bahwa: Belajar itu merupakan perubahan tingkah laku atau penampilan dengan serangkaian kegiatan misalnya dengan membaca, mengamati, mendengarkan, meniru, dan lain sebagainya. Belajar akan lebih berarti dalam kehidupan seseorang, bila pelajar mengalami atau melakukannya, jadi tidak hanya bersifat verbalistik. Maka dapat diambil kesimpulan bahwa belajar adalah suatu proses perubahan tingkah laku pada seorang individu serta hasil interaksi dengan individu lain dan lingkungannya yang dilakukan secara langsung dan berkesinambungan melalui observasi, mendengarkan, dan mencoba. Di kelompok yang mengikuti Bimbingan Belajar Setia, siswa/i sekolah dasar dan orang tua menganggap, belajar itu harus di sekolah dan diberikan oleh guru bukan oleh orang tua. Anggapan ini mengakibatkan anak tidak mau lagi belajar di rumah orang tua yang memang mempunyai latar belakang ekonomi yang lemah 50 Jurnal Pendidikan Penabur - No.24/Tahun ke-14/Juni 2015 dan kurang berpendidikan serta merasa kesulitan membantu anak mereka belajar di rumah. Anak mengangga, berangkat ke sekolah adalah untuk belajar dan pemberian tugas oleh guru untuk dikerjakan di rumah membebani mereka, karena mereka harus belajar di rumah. Anak menanti-nantikan waktu pulang sekolah karena saat itu paling menyenangkan bermain bersama temannya (baik teman di rumah maupun teman sekolahnya), ataupun bermain sendiri. Kegiatan belajar bagi siswa sekolah dasar merupakan kegiatan yang dirasa tidak menyenangkan. Banyak sekali alasan yang mereka ungkapkan jika para pendidik (baik orangtua maupun guru) meminta mereka belajar (di sekolah maupun di rumah). Nazwa (salah satu peserta bimbingan belajar yang duduk di kelas 3) mengungkapkan bahwa, “Aku nggak mau belajar matematika karena aku tidak mengerti apa yang ditanyakan, aku tidak bisa bertanya sama ibu atau bapak karena mereka harus kerja dan ketika sampai rumah sudah cape.” Contoh lainnya, Deni, murid bimbingan belajar yang duduk di kelas 4, menyatakan setelah selesai sekolah, mereka sering pergi ke warung internet untuk bermain atau bahkan menonton Youtube tanpa pengawasan orang tua yang tidak mau pusing memikirkan pelajaran anaknya. Putri bercerita dia suka sekali pergi ke rumah teman dan bermain bersama temantemannya setelah pulang sekolah dan ia malas mengerjakan pekerjaaan rumah yang diberikan oleh guru di sekolah. Anak-anak masih menganggap, kegiatan belajar merupakan kegiatan membosankan dan belum mengerti mengapa belajar dapat menjadi sesuatu yang berguna. Beberapa keluhan dari hasil wawancara itu memperlihatkan hambatan ataupun kesulitan belajar yang bila tidak tertangani dengan baik akan menjadikan prestasi siswa tidak baik pula. Oleh karena itu, Pengurus Bidang Diakonia sebuah Gereja merasa perlu adanya bimbingan belajar yang diberikan oleh guru atau orang yang mampu membantu menjelaskan masalah untuk meningkatkan prestasi belajar siswa. Bimbingan adalah memberikan informasi, menuntun ke suatu tujuan (Luddin, 2010:16). Bimbingan belajar adalah bimbingan yang diberikan oleh orang yang mampu untuk membantu individu Bimbingan Belajar Dalam Mengatasi Kesulitan Belajar Siswa dalam menghadapi dan memecahkan masalahmasalah yang berkaitan dengan belajar (Yusuf, 2005:10). Bimbingan belajar bagi siswa sekolah dasar lebih difokuskan pada usaha-usaha untuk meningkatkan prestasi belajar. Dalam meningkatkan prestasi belajar peserta didik, diperlukan adanya kerjasama antara guru dan orang tua, ketika orang tua merasa kesulitan untuk membantu anak mereka maka mereka mencari bantuan dari orang lain yang mampu untuk membantu anak dalam menghadapi dan memecahkan masalah dalam belajar untuk meningkatkan prestasi belajar siswa. Bimbingan belajar dirasakan perlu diadakan karena masih munculnya permasalahan belajar yang dialami oleh siswa sekolah dasar. Sebagai contoh, prestasi belajar yang rendah, malas berangkat sekolah, dan mengganggu temannya ketika proses pembelajaran berlangsung. Seperti yang diungkapkan oleh guru kelas SDN Kembangan Utara 02 Pt beberapa siswa sekolah dasar yang mengalami kesulitan belajar dan hal ini belum dapat ditangani dengan baik oleh wali kelas. Kesulitan belajar tidak selalu mudah dikenali, terutama pada tahun-tahun pertama SD (Gilmore, 2009:10). Sugihartono, dkk. (2007:149) menjelaskan bahwa kesulitan belajar adalah suatu gejala yang nampak pada peserta didik yang ditandai dengan adanya prestasi belajar yang rendah atau di bawah kriteria ketuntasan minimal yang telah ditetapkan. Berdasarkan uraian tersebut, penulis mencoba menggambarkan tentang bimbingan belajar yang dilaksanakan oleh Bimbingan Belajar Setia khususnya dalam mengatasi kesulitan siswa siswa sekolah dasar di daerah Kembangan, Jakarta Barat. Salah satu keunikan Bimbingan Belajar Setia ialah keterbatasan jumlah gurunya menjadi masalah yang selalu terjadi, karena guru yang mengajar adalah sukarelawan dan tidak dibayar sama sekali oleh gereja. Terkadang guru merasa, pengajaran mereka kurang berarti untuk kesinambungan pembelajaran di bimbingan belajar. Oleh karena itu penulis merasa perlu melakukan penelitian ini untuk mengetahui apakah bimbingan belajar ini bermanfaat bagi peserta bimbingan belajar.Alasan lain, penulis sendiri adalah anggota gereja dan melihat bahwa bimbingan belajar ini banyak membantu keluarga tidak mampu yang tinggal di sekitar bimbingan belajar. Dengan demikian menrik dan perlu diteliti pelaksanaan bimbingan belajar yang diberikan oleh Bimbingan Belajar Setia khususnya khususnya dalam mengatasi kesulitan siswa/I belajar dan meningkatkan hasil belajarnya. Perumusan Masalah Atas dasar latar belakang yang sudah diuraikan, maslah penelitian dirumuskan sebagai berikut. 1. Bagaimana bimbingan belajar mempengaruhi kemampuan siswa menghadapi kesulitan belajar di sekolah? 2. Apakah dengan mengikuti bimbingan belajar siswa akan dapat meningkatkan prestasi belajar? Tujuan Penelitian Tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk mendapat gambaran bagaimana bimbingan belajar dapat membantu mengatasi kesulitan belajar siswa/i sekolah dasar. Secara khusus penelitian ini bermaksud mengetahu bagaimana Bimbingan Belajar Setia dapat membantu mengatasi kesulitan belajar siswa/i kelas 3 SD di daerah Kembangan dan meningkatkan prestasi belajar mereka pada pelajaran Matematika. Tinjauan Pustaka Dalam penelitian diperjelas pengertian tentang beberapa konsep penting yang dipergunakan, yaitu hakekat (a) bimbingan belajar, (b) kesulitan belajar, dan (c) prestasi belajar. Di samping mengkaji hakikat ketiga konsep itu, juga dikemukakan beberapa hasil penelitian yang terkait. Bimbingan Belajar. Bimbingan belajar pada hakikatnya adalah upaya yang diberikan kepada siswa/i untuk membantu serta mempermudah mereka mengubah prilaku dalam ranah kognitif, psikomotorik, dan affektif melalui interaksi dengan sumber belajar. Dengan demikian, bimbingan belajar merupakan bantuan yang Jurnal Pendidikan Penabur - No.24/Tahun ke-14/Juni 2015 51 Bimbingan Belajar Dalam Mengatasi Kesulitan Belajar Siswa diberikan guru/tutor/pelatih kepada siswa/i dan merupakan tambahan kegiatan pembelajaran yang dilakukan di luar sekolah. Kegiatan pembelajaran utama tetap dilakukan di sekolah yang dalam penelitian ini adalah di SD di wilayah Kembangan. Bimbingan belajar tidak melakukan kegiatan wajib bagi siswa/i. Kegiatan bimbingan belajar biasanya dilakukan oleh siswa/i yang mengalami kesulitan belajar atau yang ingin memperdalam atau memperluas kemampuannya dalam mata pelajaran tertentu. Pemimbing dalam bimbingan belajar pada umumnya berlatarbelakangkan bidang studi yang sesuai dengan mata pelajaran yang dibimbingnya. Kesulitan Belajar Kesulitan belajar menurut Suryabrata (2007:149) mempunyai kriteria sebagai berikut. 1. Grade level, terjadi pada siswa yang tidak naik kelas hingga dua kali. 2. Age level, terjadi pada siswa yang usianya tidak sesuai dengan kelasnya, misal kelas 4 tapi usianya 13 tahun. 3. Intelligence level, terjadi pada siswa yang kemampuannya di bawah rata-rata. 4. General level, terjadi pada siswa yang secara umum dapat mencapai prestasi tetapi pada beberapa mata pelajaran hasilnya dibawah standar. Mengacu pada pendapat Gilmore, Sugihartono, dan Suryabrata tentang pengertian kesulitan belajar, dapat disimpulkan bahwa kesulitan belajar adalah suatu tanda individu tidak berprestasi sesuai dengan kriteria yang ditetapkan. Pada kenyataanny, banyak hal yang menjadi penyebab siswa sekolah dasar mengalami kesulitan belajar adalah sebagai berikut. Sugihartono (2007:154) menjelaskan ciri-ciri anak mengalami kesulitan belajar yang menjadi indikator kesulitan belajar adalah sebagai berikut. 1. Prestasi belajar yang rendah, ditandai dengan adanya nilai di bawah standar yang ditetapkan (di bawah nilai 6) atau mendapatkan peringkat yang terakhir di kelasnya. 2. Hasil yang dicapai tidak sesuai dengan usaha yang dilakukan, ditandai dengan 52 Jurnal Pendidikan Penabur - No.24/Tahun ke-14/Juni 2015 sering belajar tanpa mendapat hasil yang maksimal. 3. Lambat dalam melakukan tugas kegiatan belajar serta terlambat datang ke sekolah. 4. Menunjukkan sikap tidak peduli dalam mengikuti pelajaran, ditandai dengan mengobrol dengan teman ketika proses pelajaran berlangsung atau makan di dalam kelas ketika mengikuti pelajaran. 5. Menunjukkan perilaku menyimpang, seperti suka membolos sekolah atau keluar masuk kelas ketika mengikuti pelajaran 6. Menunjukkan adanya gejala emosional menyimpang, misalnya mudah marah dan pemurung, teriak-teriak ketika mengikuti pelajaran. Gejala-gejala tersebut dialami oleh siswa/i yang mengalami kesulitan belajar. Pada siswa SD kelas 1, 2, dan 3, kesulitan belajar ditunjukkan dengan sulit tepat waktu mematuhi instruksi yang diberikan guru termasuk melakukan tugas belajar, karena siswa kelas 1, 2, dan 3 masih pada tahap penyesuaian diri dengan kegiatan sekolah dasar. Untuk siswa kelas 4, 5, dan 6 kesulitan belajar terlihat dari hasil belajar rendah, perilaku menyimpang seperti suka menggangu teman, suka membolos, suka beralasan untuk keluar kelas, atau tidak mengerjakan tugas-tugas belajar. Berdasarkan penjelasan di atas dapat disimpulkan, prestasi belajar menurun, hasil dicapai tidak sesuai dengan standar kriteria seharusnya, lamban dalam mengerjakan tugas, bersikap tidak peduli terhadap pelajaran, menunjukkan perilaku dan gejala emosional menyimpang, merupakan sejumlah indikator kesulitan belajar siswa.. Hasil Belajar Dimyati dan Mudjiono (2006:3-4) menyebutkan hasil belajar merupakan hasil dari suatu interaksi tindak belajar dan tindak mengajar. Pembelajaran diakhiri dengan proses evaluasi hasil belajar baik bagi siswa maupun guru. Guru harus dapat menciptakan suasana kelas yang kondusif, sehingga siswa merasa senang belajar, dan siswa harus aktif dalam proses pembelajaran di kelas dengan cara memberikan kesempatan belajar kepada siswa sehingga proses pembelajaran dapat berjalan dengan baik. Bimbingan Belajar Dalam Mengatasi Kesulitan Belajar Siswa Hasil belajar merupakan bagian terpenting dalam pembelajaran. Nana Sudjana (2009:3) menyatakan hasil belajar siswa pada hakikatnya adalah perubahan tingkah laku sebagai hasil belajar dalam pengertian yang lebih luas mencakup bidang kognitif, afektif, dan psikomotorik. Pendapat ini mengacu pada taksonomi Benjamin S.Bloom, dkk., yang mengelompokkan hasil belajar menjadi tiga bagian, yaitu domain kognitif, doman afektif, dan domain psikomotor. Domain kognitif merupakan domain yang menekankan pada pengembangan kemampuan dan keterampilan intelektual. Domain afektif adalah domain yang berkaitan dengan pengembangan perasaan, sikap, nilai dan emosi, sedangkan domain psikomotor berkaitan dengan kegiatan keterampilan motorik. Walaupun taksonomi Bloom ini telah mengalami revisi, tetap menggambarkan suatu proses pembelajaran, cara kita memproses suatu informasi sehingga dapat dimanfaat dalam kehidupan sehari-hari. Beberapa prinsip di dalamnya adalah sebagai berikut. 1. Sebelum kita memahami sebuah konsep maka kita harus mengingatnya terlebih dahulu. 2. Sebelum kita menerapkan maka kita harus memahaminya terlebih dahulu. 3. Sebelum kita mengevaluasi dampaknya maka kita harus mengukur atau menilai. 4. Sebelum kita berkreasi sesuatu maka kita harus mengingat, memahami, mengaplikasikan, menganalisis dan mengevaluasi, serta memperbaharui. Berdasarkan pengertian hasil belajar di atas, disimpulkan bahwa hasil belajar adalah kemampuan yang dimiliki siswa setelah menerima pengalaman belajarnya. Kemampuan tersebut mencakup aspek kognitif, afektif, dan psikomotorik. Hasil belajar dapat dilihat melalui kegiatan evaluasi yang bertujuan untuk mendapatkan data pembuktian yang akan menunjukkan tingkat kemampuan siswa dalam mencapai tujuan pembelajaran. Hasil belajar yang diteliti dalam penelitian ini adalah hasil belajar pada pelajaran Matematika yang mana sebagian besar siswa siswi mengikuti bimbingan belajar karena merasa kesulitan memahami pelajaran Matematika. Hasil Penelitian yang Relevan Ditemukan tiga penelitian sebelumnya yang terkait dengan masalah penelitian ini. Pertama, penelitian Bimbingan Belajar Terhadap Prestasi Belajar dilakukan oleh Handoko Alex di SMP Negeri 8 Yogyakarta. Penelitian ini menemukan, terdapat pengaruh yang signifikan antara bimbingan belajar dengan prestasi belajar siswa. Hal ini dapat dilihat dari hubungan fungsional antara bimbingan belajar (X) dengan prestasi belajar siswa (Y) siswa kelas VIII SMP Negeri 8 Yogyakarta tahun ajaran 2007/2008 dalam bentuk persamaan regresi linear yaitu Y = 27.892 + 0.514X dengan koefisien korelasi sebesar 0,628 pada taraf signifikansi 5% koefisien arah regresi sebesar 0.514 artinya setiap kenaikan satu unit X mengakibatkan 0.514 kenaikan Y. Dengan perkataan lain, semakin sering siswa mengikuti bimbingan belajar, semakin tinggi pula prestasi belajar siswa. Kedua, Nur Asih dari Universitas Negeri Medan melakukan penelitian Pengaruh Pemberian Layanan Bimbingan Belajar Terhadap Kebiasaan Belajar Positif Siswa Tahun Ajaran 2014/ 2015. Subyek Penelitian ini adalah siswa kelas XI SMA Negeri 1 Karang Baru Tahun Ajaran 2014/2015. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemberian layanan bimbingan belajar diperoleh nilai rata-rata pre-test xA = 61,7 dan Standart Deviasi (SD) = 1,96 sedangkan sesudah dilaksanakan bimbingan belajar diperoleh nilai rata-rata post-test Xb = 88,6 dan Standart Deviasi (SD) = 3,33. Penelitian ini menyimpulkan, pemberian layanan bimbingan belajar berpengaruh terhadap kebiasaan belajar siswa kelas XI SMA Negeri 1 Karang Baru Tahun Ajaran 2014/ 2015. Hal ini teruji dengan menggunakan uji t dengan hasil thitung > ttabel yaitu 42,71 > 2,035 artinya terdapat pengaruh yang signifikan dari pemberian layanan bimbingan belajar terhadap kebiasaan belajar positif siswa kelas XI SMA Negeri 1 Karang Baru Tahun Ajaran 2014/ 2015, dapat diterima. Ketiga, penelitian Pengaruh Bimbingan Belajar Terhadap Prestasi Belajar Matematika Siswa kelas V Se-Kecamatan Kebasen, dilakukan oleh Desti Kurnia Sarasweni dari Universitas Negeri Yogyakarta . Hasil penelitian menunjukkan bahwa bimbingan belajar berpengaruh Jurnal Pendidikan Penabur - No.24/Tahun ke-14/Juni 2015 53 Bimbingan Belajar Dalam Mengatasi Kesulitan Belajar Siswa signifikan terhadap prestasi belajar matematika sebesar 55%. Hal ini ditunjukkan dari perhitungan Analisis Regresi yang memperoleh F hitung = 5,49 > F table = 3,89. Berdasarkan ketiga penelitian tersebut, terlihat ada hasil positif bimbingan belajar terhadap prestasi belajar siswa. Penelitian yang dilakukan penulis pada kesempatan ini adalah untuk mengetahui bagaimana bimbingan belajar dapat mengatasi kesulitan belajar siswa/i dan meningkatkan hasil belajar mereka di Bimbingan Belajar Setia. Metode Penelitian Penelitian ini menggunakan metode penelitian deskriptif kualitatif. Penelitian ini bertujuan untuk membahas pelaksanaan layanan Bimbingan Belajar Setia dalam mengatasi kesulitan belajar siswa sekolah dasar di area Kembangan. Subyek penelitian adalah siswasiswi kelas 3 SD tahun pelajaran 2014-2015 di area Kembangan, Jakarta Barat yang mengikuti bimbingan belajar di Bimbingan Belajar Setia. Sebagian besar peserta sudah mulai mengikuti bimbingan belajar sejak kelas 1 SD. Teknik pengumpulan data adalah observasi, wawancara dan studi dokumen. Sedangkan analisis data menggunakan interactive model, yaitu display, reduksi dan verifikasi data. Uji keabsahan data yang diperoleh dengan menggunakan triangulasi data. Triangulasi yang digunakan yaitu triangulasi sumber data dan triangulasi teknik pengumpulan data. Triangulasi sumber data dilakukan dengan melakukan wawancara dengan guru, pengurus bimbingan belajar dan orang tua dari peserta bimbingan belajar (foto kegiatan bimbingan belajar). Triangulasi teknik pengumpulan data dilakukan dengan mengunjungi sekolah dari peserta bimbingan belajar dan melakukan wawancara serta meminta salinan raport dari peserta bimbingan belajar (dokumentasi) Hasil dan Pembahasan Penelitian ini dilakukan di Bimbingan Belajar Setia, karena di sekitar tempat ini banyak keluarga dari kalangan kurang mampu yang 54 Jurnal Pendidikan Penabur - No.24/Tahun ke-14/Juni 2015 membutuhkan tempat bimbingan belajar yang mau membantu mereka mengatasi kesulitan belajar anak-anak mereka. Hal ini sesuai dengan hasil wawancara dengan Ibu Muti salah seorang ibu yang rajin mengantar anaknya ke bimbingan belajar berikut ini: “Saya ingin anak saya jadi anak pintar di sekolah, tapi kalau dia tanya mengenai pelajaran kepada saya, saya tidak bisa membantu dia, jadi saya kirim anak saya ke sini.” Informasi yang dikemukakan oleh Ibu Muti tersebut selaras pula dengan hasil wawancara dengan salah satu guru bimbingan belajar (Ibu Sintia) mengajar kelas 3: “Bimbingan belajar ini membutuhkan guru karena ada cukup banyak anak yang membutuhkan bantuan untuk mengerti dan memahami pelajaran matematika dan bahasa Inggris.” Bimbingan Belajar ini ternyata masih membutuhkan guru untuk menolong siswa/i mendapat pengajaran yang setara. Pelaksanaan bimbingan belajar tidak mempunyai rencana pengajaran secara khusus hanya berdasarkan bahan secara umum baik dalam bidang Matematika maupun bahasa Inggris. Hal ini sesuai dengan hasil wawancara Bapak Andono, pengurus Bimbingan Belajar Setia berikut ini : “Pelaksanaan pembelajaran di Bimbingan Belajar tidak dilaksanakan secara khusus tetapi berdasarkan bahan pelajaran yang disediakan oleh pengurus.” Senada dengan tersebut, Ibu Muti juga menjelaskan bahwa: “Guru setiap kelompok kelas bersama pengurus saling bekerja sama mengajar anak-anak yang datang belajar ke bimbingan belajar ini .” Berdasarkan informasi tersebut, pelaksanaan pembelajaran di Bimbingan Belajar tersebut berdasarkan bahan yang sudah disiapkan. Penelitian ini berfokus pada siswa yang mengalami kesulitan belajar dan berikut ini hasil observasi dan studi dokumentasi yang dilakukan peneliti bersama-sama dengan pengurus bimbingan belajar. Observasi dilakukan pada saat bimbingan belajar dilaksanakan, studi dokumentasi hasil pekerjaan peserta bimbingan belajar dan raport peserta bimbingan belajar. Berdasarkan permasalahan yang terlihat pada ketiga siswa tersebut, berikut ini petikan wawancara bersama bapak Ando: “Ketiga siswa Bimbingan Belajar Dalam Mengatasi Kesulitan Belajar Siswa Tabel 1 : Permasalahan yang Ada No Nama Kelas Usia Permasalahan 1 B 3 8 Tidak ada motivasi pada saat mengikuti pelajaran, sulit berkonsentrasi, jarang mengumpulkan tugas-tugas, sulit mengerti instruksi, suka mengganggu teman, pernah tidak naik kelas di kelas 1. 2 P 3 8 Tidak ada motivasi pada saat mengikuti pelajaran, sulit berkonsentrasi, jarang mengumpulkan tugas-tugas, suka mengganggu teman, nilai yang didapat selalu rendah baik nilai ulangan ataupun nilai harian 3 N 3 8 Kurang motivasi, konsentrasi rendah, jarang mengumpulkan tugas, nilai ulangan cukup baik tapi nilai harian tidak bagus itu memang sulit mengerti pelajaran matematika dan harus terus dibimbing setiap saat. Guruguru di sekolah pernah berdiskusi dengan kami bagaimana membantu mereka untuk mengerti pelajaran Matematika. Mereka juga sering sering terlambat mengumpulkan PR dan nilai harian kurang baik.” Maka diduga bahwa ketiga siswa mengalami kesulitan belajar. Berikut wawancara dengan Ibu Sintia yang menjelaskan tentang hal tersebut: “Materi yang diberikan pada saat kelas bimbingan belajar berlangsung adalah sama untuk semua siswa namun untuk siswa yang mengalami kesulitan belajar disesuaikan dengan kecepatan dan kemampuan mereka mengerjakan tugas.” Senada dengan hal tersebut, Bapak Ando juga menjelaskan seperti : “Peserta yang menghadapi kesulitan diberi waktu dan perhatian lebih pada saat di kelas bimbingan belajar, artinya tidak diberikan kelas khusus untuk siswa yang mempunyai kesulitan belajar.” Bentuk layanan bimbingan belajar yang dilaksanakan di sekolah tersebut adalah seperti diungkapkan oleh Ibu Sintia : “Ketika siswa mengerjakan latihan soal, dibimbing secara individual atau dengan peer tutoring. Bimbingannya secara langsung dan individual.” Hasil observasi pada saat pelaksanaan layanan bimbingan belajar untuk siswa yang mengalami kesulitan belajar juga menunjukkan, siswa/i yang mengalami kesulitan belajar langsung dibimbing oleh Ibu Sintia dan terkadang juga meminta teman yang sudah selesai mengerjakan tugas untuk membantu Ibu Sintia (peer tutoring). Peer tutoring merupakah salah satu strategi yang efektif untuk mempromosikan studentcentered learning (Tan, 2003:1) Sebagai guru, Ibu Sintia mempersiapkan rencana untuk memberikan layanan bimbingan belajar yang bukan berupa pembahasan materi baru tapi hanya mengulang dan berlatih soalsoal yang telah disediakan oleh pengurus yang disesuaikan dengan standar kelas yang ada. “Saya hanya membuat rencana pembelajaran berdasarkan materi yang diberikan kepada saya lalu saya mengulang pembahasan mengenai materi kepada siswa lalu mereka mengerjakan latihan soal.” Kebenaran pernyataan itu terlihat pada saat observasi yang dilakukan, materi disesuaikan dengan kebutuhan siswa saat itu juga. Seperti yang dijelaskan oleh Ibu Sintia berikut ini: “Materi untuk siswa-siswa tersebut sesuai dengan bahan yang sudah dipersiapkan, artinya disesuaikan dengan kebutuhan, misalnya melihat sampai di mana siswa itu mampu mengerjakan soal-soal latihan, lihat dari gerak gerik, tingkat konsentrasi dari siswa” Keberhasilan bimbingan belajar mengatasi kesulitan belajar ditunjukkan dengan peningkatan prestasi belajar meskipun tidak mengalami loncatan nilai yang tinggi. Seperti dijelaskan Ibu Sintia berikut ini : “Ada perubahan pada siswa meskipun tidak semua siswa mengalami peningkatan nilai sangat baik.” Senada dengan hal tersebut, Bapak Ando juga mengungkapkan : “Ada peningkatan nilai Jurnal Pendidikan Penabur - No.24/Tahun ke-14/Juni 2015 55 Bimbingan Belajar Dalam Mengatasi Kesulitan Belajar Siswa raport pada siswa yang bersangkutan yang berarti ada peningkatan prestasi belajar.” Menurut Bapak Ando, dalam wawancara mengenai pelaksanaan layanan bimbingan belajar, yang sering dilakukan adalah cara seperti remedial, pengayaan, bimbingan kepada peserta lebih disesuaikan dengan kemampuan siswa secara individual. Terlihat adanya peningkatan prestasi belajar dari ketiga siswa yang mengalami kesulitan belajar, mereka juga sudah dapat mengerjakan dan mengumpulkan tugas-tugas secara mandiri. Seperti yang diungkapkan oleh Ibu Sintia berikut : “Hasilnya, mereka dapat memperoleh nilai yang lebih baik, artinya hasil prestasi belajar meningkat. Selain itu juga ditunjukkan dengan mau mengerjakan dan mengumpulkan tugas-tugas yang diberikan.” Tabel 2 menunjukkan perubahan dari ketiga siswa yang mengalami kesulitan belajar setelah diberikan layanan bimbingan belajar. Berdasarkan tabel di atas terlihat, pelaksanaan Bimbingan Belajar Setia dapat mengatasi kesulitan belajar pada siswa yang umum ada peningkatan prestasi belajar yang ditunjukkan siswa yang bersangkutan.” Peran orang tua dalam mengatasi kesulitan belajar yang dialami siswa juga sangat penting dengan memberi dukungan setiap harinya. Berikut merupakan petikan wawancara dengan Ibu Sintia yang menjelaskan tentang tindak lanjut dari pelaksanaan layanan bimbingan belajar: “Latihan setiap hari dan keterlibatan orang tua di rumah sangat diperlukan karena siswa berusia 6-12 tahun yang merupakan dasar pertama dalam kehidupan sekolah.” Hal tersebut juga ditegaskan oleh Bapak Ando: “Tindak lanjutnya ya… dibutuhkan dukungan dari orangtua siswa yang bersangkutan, agar dapat dibantu dan dibimbing ketika berada di rumah.” Berdasarkan wawancara, observasi yang dilakukan maka terlihat bahwa Bimbingan Belajar Setia dapat membantu siswa mengatasi kesulitan belajar. Hal ini ditunjukkan dengan adanya peningkatan prestasi belajar dan siswa sudah dapat berkonsentrasi sehingga mampu Tabel 2: Perubahan yang Muncul No Nama Kelas Usia Permasalahan 1 B 3 8 Masih harus dibimbing pada saat mengerjakan tugas-tugas sekolah tapi dapat lebih berkonsentrasi, menunjukkan peningkatan prestasi belajar dengan memperoleh nilai yang lebih bagus, meskipun belum maksimal. 2 P 3 8 Ada peningkatan nilai harian,mampu mengerjakan tugas secara lebih mandiri, sudah dapat memperhatikan pelajaran yang disampaikan oleh guru 3 N 3 8 Ada peningkatan nilai pada nilai harian dan nilai ulangan, ketepatan waktu pada saat pengumpulan tugas, dapat berkonsentrasi dengan lebih baik. bersangkutan. Perubahan terlihat pada siswa secara umum adalah peningkatan nilai yang diperoleh (nilai harian maupun nilai ulangan), mengerjakan dan tepat waktu mengumpulkan tugas, dan dapat berkonsentrasi dengan memperhatikan pelajaran yang disampaikan oleh guru. Hal ini juga diperkuat dengan pernyataan Bapak Ando seperti berikut : “Secara 56 Jurnal Pendidikan Penabur - No.24/Tahun ke-14/Juni 2015 mengerjakan dan mengumpulkan tugas tugas yang diberikan oleh guru. Pembahasan Peserta bimbingan belajar Setia pada umumnya bersekolah di SDN di daerah Kembangan Jakarta Barat. Informasi yang didapatkan dari wawancara penulis dengan para siswa adalah Bimbingan Belajar Dalam Mengatasi Kesulitan Belajar Siswa mereka bersekolah dari jam 7 pagi – 12 siang, dengan durasi setiap sesi 60 menit. Setiap harinya siswa SD diberi waktu istirahat 2 kali sehari. Menurut peserta di sekolah mereka belajar tapi bila tidak mengerti mereka kesulitan mendapat giliran bertanya atau juga mereka sulit mengerti apa yang diterangkan oleh guru di sekolah, ada siswa yang berkata bahwa kalau di sekolah teman-temannya berisik jadi dia ingin ikut berbicara dengan teman-temannya dan tidak berkonsentrasi pada saat pembelajaran terjadi. Berdasarkan observasi pada saat penulis berkunjung ke salah satu sekolah, suasana belajar terasa sekali sangat ramai dimana guru sebagai sumber dari kegiatan belajar mengajar sulit untuk mengontrol kelas karena jumlah siswa yang cukup banyak. Hal ini merupakan salah satu penyebab siswa merasa kesulitan untuk mengerti materi pembahasan yang diberikan oleh guru. Pada saat penulis melakukan wawancara dan observasi terlihat bahwa Bimbingan Belajar Setia dapat membantu siswa mengatasi kesulitan belajar, khususnya kelas 3 dalam meningkatkan prestasi belajarnya. Menurut Juntika (2006:52) pelaksanaan bimbingan belajar dapat membantu siswa dalam mengembangkan kebiasaan belajar yang baik untuk menguasai pengetahuan dan keterampilan serta menyiapkannya melanjutkan pendidikan ke tingkat yang lebih tinggi. Melalui bimbingan belajar siswa yang mempunyai kebiasaan belajar yang baik akan dapat meningkatkan prestasi belajar. Tujuan dari pengadaan bimbingan belajar adalah membantu siswa mengatasi kesulitan belajar, sehingga siswa dapat optimal untuk mengembangkan potensi yang dimiliki (Juntika, 2006:15). Jika siswa mampu mengatasi kesulitan belajar maka dikemudian hari aspek pribadi dan sosial siswa dapat berkembang dengan lebih baik sehingga dapat memilih dan merencanakan kehidupan mereka di kemudian hari sesuai dengan kemampuan mereka. Pada penelitian terlihat bahwa siswa yang mengikuti bimbingan belajar dapat mengatasi kesulitan belajar yang ditunjukkan dengan peningkatan nilai di sekolah dan dapat berkonsentrasi pada saat mengerjakan serta mampu mengumpulkan tugas tepat waktu. Dimana tujuan dari pengadaan bimbingan belajar adalah siswa mampu mengatasi kesulitan belajar dan mengembangkan kebiasaan belajar yang baik, sebagai dasar dari kegiatan bersekolah selanjutnya, sehingga potensi dan pengembangan diri siswa dapat lebih optimal. Guru bimbingan belajar harus mempersiapkan dan mengerti kondisi dan kebutuhan siswa yang bersangkutan. Sehingga tujuan dari adanya bimbingan belajar dapat dicapai sesuai dengan kebutuhan siswa dan pada akhirnya siswa dapat mengembangkan kebiasaan belajar yang baik secara optimal. Simpulan Kesimpulan Pelaksanaan Bimbingan Belajar Setia berhasil mengatasi kesulitan belajar yang dialami siswa SD di area Kembangan, Jakarta Barat. Kegiatan ataupun materi yang diberikan telah disiapkan oleh pengurus dan tidak dirancang secara khusus tapi disesuaikan dengan kebutuhan dan kondisi siswa pada saat pelaksanaan. Materi juga diberikan dengan metode peer tutoring, yang memberikan kesempatan dan dorongan kepada siswa/i, yang mengalami kesulitan belajar, bekerja sama dengan teman yang belajar bersama, sehingga siswa saling bekerja sama dan belajar dalam mengerti materi yang diberikan. Hasil ditunjukkan dengan perubahan yang terjadi pada siswa, yang terlihat dengan adanya peningkatan prestasi belajar dan siswa sudah dapat berkonsentrasi sehingga mampu mengerjakan dan mengumpulkan tugas tugas yang diberikan oleh guru. Saran Oleh karena kesulitan belajar dan tidak tercapainya hasil belajar siswa/i dipengaruhi oleh strategi, metode, dan teknik pembelajaran, disarankan setiap sekolah, memperhatikan karakteristik mereka secara individual dan menciptakan suasana menyenangkan melalui berbagai kegiatan bervariasi, kretif dan inovatif. Sedangkan Bimbingan Belajar Setia diharapkan dapat meningkatkan kualitas proses bimbingan belajar yang selama ini sudah dikembangkan, sehingga semakin banyak siswa/i yang dapat Jurnal Pendidikan Penabur - No.24/Tahun ke-14/Juni 2015 57 Bimbingan Belajar Dalam Mengatasi Kesulitan Belajar Siswa mengatasi kesulitan belajar serta sekali gus meningkatkan hasil belajarnya. Berbagai model belajar hendaknya terus dikembangkan disertai dengan persiapan bahan pelajaran dan metode pembelajaran yang terkini, bervariasi, dan sesuai dengan karakteristik siswa yang bersangkutan. Daftar Pustaka Sardiman, A.M. (2011). Interaksi dan motivasi belajar mengajar. Jakarta: Rajawali Press Arifin, Zainal. 2012. Evaluasi belajar. Jakarta: Departemen Agama Dimyati & Mudjiono. (2006). Belajar dan pembelajaran. Jakarta: Rineka Cipta Gerson, Ronald Petrus. Info puri. edisi 86/VIII/ April 2015. Gilmore, Linda & Boulton-Lewis, Gillian M. (2009). “Just Try Harder and You Will Shine : A Study of 20 Lazy Children. Australian journal of guidance and counselling. Queensland: Australian Academic Press Grossman, Judy. (2011). Family Matters : The Impact of Learning Disabilities. http:// www.idonline.org. Diunduh 4 April 2015 Juntika Nurihsan, A. (2005). Strategi layanan bimbingan dan konseling. Bandung : Refika Aditama Luddin, Abu Bakar M. (2010). Dasar-dasar konseling: Tinjauan dan praktik. Ciptapustaka Media Perintis 58 Jurnal Pendidikan Penabur - No.24/Tahun ke-14/Juni 2015 Purwanti, Isti Yuni. (2009). Efektivitas program layanan bimbingan kelompok melalui permainan untuk mengatasi kesulitan belajar siswa Sekolah Dasar: Studi eksperimen terhadap siswa kelas 4 SDIT Salsabila Purworejo Jawa Tengah dan SDIT Salsabila Klaseman Yogyakarta. Tesis. Bandung: Universitas Pendidikan Indonesia Sugihartono, dkk. (2007). Psikologi pendidikan. Yogyakarta : UNY Press Sudjana Nana, Ibrahim. (2009). Penelitian dan penilaian pendidikan. Bandung: Sinar Baru Algensindo Suherman, Bimbingan belajar. Internet akses: http://file.upi.edu. Diunduh 9 April 2015. Sulistiowati, Tri http://peluangusaha. kontan.co.id/news/bisnis-bimbinganbelajar-masih-pintar Diunduh: 26 April 2015 Suryabrata, Sumadi. (2007). Psikologi Pendidikan (Suatu penyajian secara operasional). Yogyakarta: Rake Press Tan, Charlene H.P. (2003). Peer tutoring—an effective strategy to promote student-centred learning. Singapore: CDTLink http://www.bppk.depkeu.go.id/webpkn/ a t t a c h m e n t s / 7 6 6 _ 1 T a k s on o m i % 2 0 B l o o m % 2 0 -% 2 0 R ) Diakses pada 23 April 2015 ______. (2006). Bimbingan dan konseling dalam berbagai latar kehidupan. Bandung : Refika Aditama Implementasi Refleksi Teologis Orasi Daud Penelitian Implementasi Refleksi Teologis Orasi Daud Bagi Perkembangan Karakter Siswa Melalui Pendidikan Kristen Maria Evvy Yanti Email: [email protected] SMAK BPK PENABUR Cianjur Abstrak enelitian ini bertujuan untuk menemukan esensi pengajaran dari 1 Tawarikh 28:1-10 bagi pendidikan karakter siswa. Materi ini merupakan orasi yang diucapkan Daud di hadapan seluruh umat Israel termasuk Salomo. Orasi ini sarat dengan pengajaran perilaku untuk mempraktikkan ketaatan, ketekunan memlihara serta melakukan kehendak Allah. Metodologi penelitian yang digunakan mengadopsi pendekatan kualitatif yang meliputi pendekatan analsis struktur, kritik teks, kritik bentuk dan analisis refleksi teologis dari materi I Tawarikh 28:1-10. Hasil penelitian ini menunjukkan implementasi dari orasi dalam I Tawarikh 28;1-10 untuk menumbuhkan karakter melalui peran nilai-nilai ilahi Allah yaitu ketaatan dan ketekunan hidup menurut kehendak-Nya. Penelitian ini menyarankan supaya praktik kehidupan umat berpusat pada pengajaran kebenaran Allah yang terjadi dalam proses pembentukan karakter kristiani. Selain itu menciptakan pendidikan yang berfokus pada ajaran Allah, menabur benih-benih nilai hidup, menabur benih di hati sendiri dan orang lain, menabur iman, ilmu dan pelayanan. P Kata-kata kunci : implementasi, orasi, ketaatan, ketekunan Implementation of Theological Reflection of David’s Oration for Student’s Character Building Through Christian Education Abstract The research is intended to find out the essence of teaching by David in I Chronicles 28:1-10 for student’s character education. This material is an oration delivered by David in front of all Israel people including Salomo. The oration is full of behavior teaching to practice obedience and the persistence of dairy God’s will. Research methodology used in this research adopts qualitative approach including : structure analysis, text criticism, form criticism and analysis of theological reflection of I Chronicles 28:1-10. The result of this research show the implementation of the oration (I Chronicles 28:1-10) to develop the characters through values in God, like obedience and persistence in life based on God’s will. This research suggests that the practise of human life should be centered on God’s truth teaching which happens in the process of Christian characters formation. Besides it should create an education which focuses on God’s teaching, sow the seeds of life value, both for ourselves and others, faith, knowledge and service. Key words: implementation, oration, obedience, persistence JJurnal Pendidikan Penabur - No.24/Tahun ke-14/Juni 2015 59 Implementasi Refleksi Teologis Orasi Daud Pendahuluan Menurut UUD 1945 Pasal 1 ayat 3 ’Negara Indonesia adalah Negara Hukum’. Berdasarkan kalimat tersebut sudah seharusnya supremasi hukum di Indonesia ditegakkan. Namun, fenomena yang terjadi saat ini ternyata aparat penegak hukum di Indonesia sedang diuji untuk menyingkapkan kejahatan korupsi yang semakin marak terjadi. Tingginya dugaan dan kasus korupsi serta melibatkan berbagai oknum aparatur negara menimbulkan pertanyaan besar. Mengapa terjadi demikian, seharusnya aparatur negara yang berfungsi mencegah dan memberantas tindakan korupsi malah ikut terlibat dalam perbuatan korupsi. Selain tindakan korupsi, perubahan arus hidup manusia yang cepat dapat membawa dampak pada perubahan gaya kehidupan mereka. Demikian pula meningkatnya kekerasan di hampir segala bidang kehidupan yang hampir semua bermuara pada penindasan dan kekerasan secara fisik ataupun berupa tekanan-tekanan, stigma, perlakuan tidak adil. Bahkan bagi mereka yang tidak dapat menyikapi masa-masa sulit tersebut dengan bijaksana, melakukan tindakan bunuh diri atau membunuh orang lain. Kekerasan dalam kehidupan masyarakat menciptakan krisis nilai dan kepercayaan yang merebak di mana-mana. Berbagai kecurangan tanpa disadari telah dianggap sebagai hal yang biasa dilakukan. Ironisnya ada banyak orang pandai dan cerdas di masyarakat masa kini namun kondisi yang terjadi tetap jauh dari yang diharapkan. Fenomena ini merupakan salah satu bukti yang memperlihatkan kecenderungan masyarakat kita yang masih memandang segi kognitif di atas segalanya. Padahal keunggulan dalam segi kognitif tanpa diimbangi keunggulan dalam bidang karakter akan menjadi suatu kombinasi yang membahayakan bagi masa depan kehidupan bangsa.1 Situasi perkembangan zaman semakin mengkhawatirkan dan mengancam kehidupan umat manusia. Thomas Lickona menggambarkan situasi jaman ini dengan penjelasannya bahwa orang-orang pada masa ini demikian cerdasnya dalam membedakan hal yang benar 60 Jurnal Pendidikan Penabur - No.24/Tahun ke-14/Juni 2015 dan salah, namun demikian ia tetap memilih untuk melakukan yang salah.2 Situasi zaman ini berhadapan dengan kehancuran nilai-nilai moral dan merebaknya ketidakadilan. Budaya kekerasan menjadi salah satu cirinya. Berbagai fenomena tersebut dapat merembes ke dalam berbagai bidang kehidupan salah satunya pendidikan. Kasus kekerasan, kecurangan, pelecehan seksual dan berbagai kasus lainnya pun muncul di dalam lembaga yang diharapkan menghasilkan generasi penerus bangsa. Situasi lain berhubungan dengan praktik kurikulum di sekolah-sekolah masih mengundang problematika. Praktik kurikulum pendidikan Indonesia memfokuskan murid supaya sukses ujian nasional atau meraih Indeks Prestasi Kumulatif (IPK) yang tinggi. Penanaman nilainilai hidup yang menjunjung tinggi ketaatan kepada Allah kurang diperhatikan dalam pembelajaran di sekolah. Pemerintah mengklaim keberhasilan para pelajar dalam olimpiade dunia sebagai cerminan kualitas pendidikan di Indonesia. Hal ini menjadikan pemerintah silau pada prestasi secara kognitif saja. Fenomena yang terjadi adalah isu bahwa peserta didik hanya pintar secara intelektual tetapi kurang berhasil dalam kualitas hidupnya. Di lingkup pendidikan, kasus narkoba dan budaya menyontek tetap berkembang dengan terjadinya penyelewengan dalam soal ujian nasional di beberapa tempat. 3 Banyak orang pandai, tetapi moralitasnya tidak baik sehingga melakukan tindak korupsi, tidak jujur, kurang menghargai orang lain , dan tidak bertanggung jawab. Komunitas pendidikan di Indonesia tidak luput dari serangkaian kasus plagiarisme. Menurut berita di harian Tribune dituliskan bahwa dosen lebih suka menjiplak tahun 2013 ada 808 kasus plagiarisme. Masih banyak dosen yang melakukan plagiarisme untuk membeuat karya ilmiah atau makalah yang dipublikasikan pada jurnal ilmiah, nasional atau internasional. Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi (Dirjen DIKTI) Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud), Djoko Santoso, saat dikonfirmasi tentang hal tersebut, mengakui masih adanya proposal krusial dalam proses sertifikasi dosen. Salah satunya adalah masih adanya plagiarisme. Menurut data Kemen- Implementasi Refleksi Teologis Orasi Daud dikbud plagiat pada proses sertifikasi dosen mencapai 808 kasus pada tahun 2013. Kasuskasus yang ditemui Kemendikbud antara lain pemalsuan dokumen karya ilmiah, jurnal rakitan, jurnal bodong, artikel sisipan, label akreditasi palsu, nama pengarang sisipan, buku lama tapi sampul baru dan nama pengarang berbeda. Djoko menghimbau dan memberikan peringatan kepada universitas dan Perguruan Tinggi untuk tidak coba-coba melakukan tindakan plagiarisme karena Kemendikbud memiliki data yang lengkap. 4 Salah satu penyebab suburnya plagiarisme adalah karena tekanan dalam proses belajar mengajar yang lebih menekankan pada pencapaian nilai angka hasil belajar pada rapor, transkrip nilai dan ijazah. Hal ini hampir tidak memperdulikan integritas dan proses pendewasaan serta perkembangan tanggung jawab peserta didik. Seorang guru besar Filsafat Etika Politik STFT Widya Sasana Malang mengatakan: “Plagiarisme adalah tindakan pencurian kreativitas intelektual yang meredupkan citra rasa kreatif, ilmiah dan rusaknya bangunan nurani, kejujuran dan cinta kebenaran”. 5 Maraknya plagiarisme merupakan tantangan bagi pendidikan Kristen untuk mempertegas proses pendidikan yang berintegritas dan jujur sesuai dengan kehendak Allah. Kurangnya perhatian pada nilai-nilai moral dan religius dalam sistem pendidikan Indonesia disertai dengan terjadinya kekerasan antarpelajar. Tawuran antarpelajar, pemalakan, pelecehan seksual, lemah secara mental, ditemukannya narkoba di sekolah dan akhirakhir ini banyak muncul kasus siswa melakukan bunuh diri. Berbagai rumusan disusun untuk mencari akar permasalahan kekerasan di kalangan pelajar ini. Salah satu asumsi adalah lemahnya lembaga pendidikan dalam membentuk individu menjadi pribadi dewasa dan bertanggung jawab. Guru dianggap gagal membentuk karakter pelajar yang cerdas secara intelektual, sehat secara moral dan berkarakter yang berpadanan pada citra ilahi Allah Berpijak pada fenomena yang terjadi, penulis merasa perlu melakukan pengkajian dari sudut pandang teologi sebagai salah satu sumbangan pemikiran. Usaha-usaha yang dilakukan dengan menganalisa teks 1 Tawarikh (selanjutnya disingkat dengan Taw.) 28:1-10 sebagai salah satu pengajaran untuk memberikan sumbangsih terhadap situasi yang terjadi. Pembahasan Struktur dan Analisis Teks 1 Tawarikh 28:110 Bagian teks 1 Taw. 28:1-10 sebagai narasi yang disebut dengan royal speeches yang disajikan dalam bentuk orasi sesuai dengan konteks Tawarikh. Tokoh Daud dan Salomo dituliskan sebagai pemeran utama dan tokoh pahlawan dalam Tawarikh.6 Karya 1 Taw. 28:1-10 sebagai bagian dari kumpulan karya yang menampilkan tokoh Daud dan Salomo yang telah berhasil membangun kejayaan Israel baik dalam bidang kultus dan pemerintahan. Welhausen menuliskan peranan Daud yang dinyatakan menurut pemberitaan Tawarikh sebagai pendiri bait suci, ibadah publik, raja, pahlawan pasukan militer, pemimpin kelompok imam dan kaum Lewi.7 Mereka adalah raja-raja Israel yang dipilih dan diteguhkan Allah. Seorang raja dan kerajaan Israel merupakan institusi penting bagi sejarah Israel. Pendapat ini dinyatakan juga menurut Wellhausen yang disadur oleh Gerbrandt yaitu, ‘The history of Israel reached its highest point in the monarchy’.8 Karya 1 Taw.28:1-10 merupakan orasi Daud yang memiliki dua bagian sastra, yaitu pernyataan dan argumen yang berhubungan dengan maksud perkataan yang disampaikan.9 Sementara pandangan modern mengatakan lebih banyak lagi unsur-unsur dalam orasi yang memiliki fungsi retorik meliputi bagian akar perkataan dan bagian lain yang memuat penjelasan yang melibatkan emosi dari orang yang berorasi.10 Pada bagian ini Daud, Salomo dan jemaah memiliki kedudukan bukan hanya sebagai pembuat pernyataan-pernyataan saja. Tetapi upacara yang dilakukan diyakini berada dalam pendengaran Allah. Apa yang dikatakan Daud di hadapan jemaah merupakan bagian untuk menjalankan apa yang diperintahkan Allah. Bagian yang menjadi refleksi kita adalah relevansi dari orasi Daud dalam 1 Taw. 28:1-10 bagi umat melalui panggilan gereja dalam JJurnal Pendidikan Penabur - No.24/Tahun ke-14/Juni 2015 61 Implementasi Refleksi Teologis Orasi Daud pendidikan Kristen yang meliputi aspek pengertian, peran pendidikan, para pelaku pendidikan, isi dan kurikulum pendidikan nilainilai Kristiani yang dapat dipraktikkan. Penulis Tawarikh secara teliti menuliskan aspek-aspek tulisan sejarah dengan mencantumkan berbagai cerita sejarah Israel yang telah terjadi dan disampaikan pada situasi maisng-masing11. Sementara Japhet menuliskan pandangannya dengan kalimat, “Taking all this consideration the best definition of Chronicles is that of a history written not by a mere historian but by an author who is fully aware of this task.”12 Pemberitaan 1 Taw. 28:1-10 sebagai salah satu contoh pengulangan sejarah Israel yang telah tercatat pada sumber-sumber tulisan lainnya (karya sejarah Deuteronomistis) dan berisi orasi Daud di hadapan jemaat Yerusalem. Melalui pemberitaan ini, karya keselamatan dinyatakan Allah kepada umat sebagai anugerah yang dijalin melalui pola hidup taat kepada Allah dengan memelihara dan melakukan perintahNya. Hal tersebut dapat diaktualisasikan dengan memelihara kehidupan iman kepada Allah secara murni melalui pelaksanaan ibadah. Terciptanya pola kehidupan iman kepada Allah menciptakan kehidupan umat, dari pemimpin sampai pada rakyat biasa, bergantung pada kepemimpinan Allah. Otoritas Allah yang dinyatakan melalui perintah dan peraturan- peraturan bagi semua umat menjadi dasar bagi keberlangsungan berbagai aspek kehidupan mereka. Analisis Teks 1 Tawarikh 28:1-10 Narasi 1 Taw. 28:1-10 sebagai bagian unit literal dari 28:1-29:30 yang menjelaskan mengenai tindakan Daud ketika mengumpulkan semua pembesar Israel di Yerusalem untuk merencanakan pembangunan Bait Allah. Bagian ini merupakan salah satu orasi Daud yang dikategorikan sebagai pidato kenegaraan dengan latar belakang cerita kerajaan Israel Raya yang dipimpin Daud. Usaha yang dilakukan penulis untuk menjelaskan bagian orasi Daud dalam 1 Taw. 28:1-10 dilakukan melalui struktur semantik teks seperti terlihat pada Gambar 1. Dengan memperhatikan struktur 1 Taw. 28:1-10, bagian orasi Daud diawali dengan perkataannya setelah mengumpulkan para pembesar di Yerusalem. Bagian ini ditandai dengan kata kerja (dia berkata) pada ayat 2. Perkataan Daud ini dialamatkan kepada dua pendengar, yaitu kelompok pembesar di Israel (ayat 1) yang disebutkan Daud dan alamat yang lain yaitu kepada Salomo. Penulis atau redaktur Tawarikh menggunakan setting istana Daud dengan perangkat pemerintahannya sebagai raja Israel. Perkataan Daud tersebut merupakan pidato Pembesar Jerusalem (Kepala) Kekudusan dalam pembangunan Peliharalah dan tuntuntutlah segala perintah Tuhan Supaya tetap mendiami negeri Daud berkata Rencana membuat tempat ibadah /perhentian untuk Tuhan Supaya kekal kerajaanmu dan mendapat perkenan Allah Bertekunlah melakukan segala perintah Tuhan Hubungan yang baik dengan Allah Salomo Gambar 1: Orasi Daud dalam 1 Taw. 28: 1-10 62 Jurnal Pendidikan Penabur - No.24/Tahun ke-14/Juni 2015 Implementasi Refleksi Teologis Orasi Daud kenegaraan yang resmi disampaikan di hadapan para pembesar Yerusalem. Terdapat penjelasan secara detail mengenai kelompok pembesar Yerusalem yang berkumpul pada saat mendengar pidato Daud tersebut. Penulis atau redaktur menerangkan secara detail bahwa kelompok ini mendapatkan pengaruh konsep Persia pada bagian struktur pegawai istana13. Isi pidato Daud yang ditujukan kepada kelompok pembesar Yerusalem memberikan pokok penting mengenai rencana Daud dan konsekuensi untuk melaksanakan rencana tersebut (ayat 1-8). Kemudian penulis atau redaktur menuliskan kembali pokok penting maksud perkataan Daud dan konsekuensinya kepada Salomo sebagai seorang yang dipilih untuk melaksanakan pembangunan bait Allah (ayat 9-10). Tema utama nats ini adalah maksud Daud mendirikan rumah perhentian14 untuk tabut perjanjian Tuhan sebagai tumpuan kakiNya. Kehadiran Allah diyakini berada di tempat perhentian-Nya (bait-Nya) yaitu di antara umatNya akan dapat terwujud apabila mereka memelihara, menuntut dan bertekun melakukan segala perintah Allah. Konsekuensi logis hidup taat kepada perintah Allah yang telah hadir di tengah umat adalah kesejahteraan dan kejayaan kerajaan Israel selama-lamanya (ayat 6), tetap mendiami negeri yang diberikan Allah selamalamanya (ayat 8) dan mendapat perkenanan Allah (ayat 9). Analisis Bentuk Teks 1 Tawarikh 28: 1-10 Bentuk sastra 1 Tawarikh 28:1-10 merupakan jenis sastra laporan yang mengandung narasi berupa orasi yaitu pidato atau perkataan langsung yang disampaikan seseorang atau pemimpin mengenai suatu hal di hadapan orang banyak. Terdapat beberapa kriteria mengenai perkataan raja dalam Tawarikh, yaitu: perkataan langsung dari seorang raja di hadapan jemaah, bukan bagian dari percakapan, dan isi perkataannya sesuai dengan kerangka pikiran yang disampaikan dan memiliki keunikan dalam pemberitaan Tawarikh15. Berdasarkan penelitiannya, Thronveit menuliskan pandangan Braun bahwa terdapat 26 perkataan raja yang mengalami analisis, penterjemahan dan peredaksian di antaranya 1Taw. 28:2-1016. Pada bentuk sastra ini terdapat kesejajaran penggunakan kalimat perintah dalam bentuk orasi dari perkataan raja. Kalimat yang dipergunakan bersifat retrospeksi terhadap sejarah dan mengacu pada situasi mendesak. Perkataan raja dalam Tawarikh memberi perhatian pada kultus dan objek-objeknya khususnya bait Allah. Penggambaran karakter formal dalam orasi ini yaitu dirancang bagi kelompok pendengar khusus dengan menggunakan kalimat perintah atau yang sejajar untuk memperkenalkan inti dari perkataan ketika menyampaikan restropeksi sejarah tersebut17. Pesan Teologis Orasi Daud Menurut 1 Tawarikh 28 : 1-10 Orasi Daud yang tercatat dalam 1 Taw. 28:1-10 dilakukan di hadapan semua pemimpin Yerusalem termasuk Salomo yang diproyeksikan sebagai Raja Israel menggantikan Daud. Hal ini mengindikasikan, Daud menyampaikan suatu pengajaran yang penting baik bagi para pemimpin pemerintah maupun rakyatnya. Penggambaran Daud sebagai raja Israel melalui orasinya dalam 1 Taw. 28:1-10 memiliki tinjauan teologis berdasarkan konteksnya. Pesan teologis tersebut dapat diuraikan sebagai berikut. 1. Menempatkan Allah dalam posisi utama dengan menghadirkan otoritas-Nya dalam kehidupan manusia. Di hadapan para pembesar dan pemimpin Israel, Daud membuka orasinya dengan menempatkan Allah pada posisi utama. Daud memberikan pengajaran bagaimana memulai suatu langkah kehidupan dengan menghadirkan Allah dalam kehidupan manusia. Pembangunan tempat untuk Tabut Perjanjian Allah menurut tinjauan teologi sebagai simbol kehadiran Allah yang berintervensi dalam sejarah Israel. Allah sebagai sumber kehidupan manusia akan terus hadir dan manusia menyembah-Nya dalam kekudusan. 2. Menjaga kekudusan dan hubungan yang baik dengan Allah dalam praktik kehidupan umat. Pembangunan tempat kultus bagi Allah dilakukan dalam kekudusan, hal ini tidak berarti bahwa mereka yang memimpin JJurnal Pendidikan Penabur - No.24/Tahun ke-14/Juni 2015 63 Implementasi Refleksi Teologis Orasi Daud 3. 64 pembangunan adalah orang kudus. Daud digambarkan sebagai orang yang begitu menjaga kekudusan Allah. Kesalahan yang seharus tidak dilakukannya membuatnya tidak layak untuk menunaikan tugas dari Allah. Walaupun demikian, Daud tetap menunaikan tanggung jawabnya dengan benar di hadapan Allah. Aktualisasi pembangunan bait Allah dilakukan oleh mereka yang menjalin hubungan yang baik dengan-Nya. Relasi ini digambarkan dalam hubungan kedekatan seorang bapa dengan anaknya. Kehadiran Allah di tengah umat dapat terus terpelihara apabila mereka bertekun, memelihara, menuntut dan melakukan segala perintah-Nya dalam ketaatan. Ketaatan kepada Allah dilakukan di bawah kepemimpinan seorang yang adalah pilihan Allah. Ia adalah yang menghadirkan kuasa dan otoritas Allah di antara umat-Nya. Karya Allah diyatakan dalam 1 Taw.28 : 5, “Dan dari antara anak-anakku sekalian banyak anak telah dikaruniakan Tuhan kepadaku Ia telah memilih anakku Salomo untuk duduk di atas tahta pemerintah Tuhan atas Israel”. Bagian ini merupakan rangkaian orasi Daud di hadapan bangsa Israel sehingga peristiwa ini melibatkan semua umat. Perkataan ini mengarah kepada pernyataan kerajaan Allah yang hadir di tengah-tengah kehidupan bangsa Israel yang dilegitimasikan kepada Salomo. Perhatian ayat ini adalah pemilihan Allah atas Salomo yang digambarkan oleh penulis Tawarikh sebagai karya ilahi Allah. Legitimasi Allah atas Salomo menunjukkan kedaulatan Allah atas pemerintahan Daud. Ia memadukan pemerintahan Allah dalam setiap hal yang dilakukannya. Jacob M. Myers menuliskan bahwa kisah pemilihan Salomo menjadi raja Israel merupakan kisah pengalihan takhta kerajaan Israel yang bersifat religius18. Tema pemilihan dinasti Daud untuk menjadi pemimpin bangsa Israel merupakan pemenuhan janji Allah kepadanya. Hubungan yang erat antara Allah dengan keturunan Daud dinyatakan melalui perjanjian yang mengikat dan Jurnal Pendidikan Penabur - No.24/Tahun ke-14/Juni 2015 4. menunjukkan partisipasi Allah dalam pemerintahannya. Ketekunan memelihara dan melakukan segala perintah Allah untuk mengokohkan kehidupan umat. Konsep perintah dan peraturan Allah dalam kehidupan Israel dipraktikkan melalui tanggung jawab pemimpin terpilih. Penegakkan kebenaran, keadilan, dan kesejahteraan masyarakat merupakan bagian dari tugas dan tanggung jawab pemimpin Allah. Pengakuan Allah sebagai pemimpin tertinggi yang menyatakan otoritasnya di hadapan umat merupakan dasar terlaksananya kesejahteraan bagi semua lapisan masyarakat. Upaya membangun kehidupan atas dasar perjanjian yang kudus dengan Allah merupakan bagian dari pelaksanaan perintah-Nya. Ketika konsep perjanjian “Aku Allahmu dan engkau umat-Ku” dipraktikkan dalam kehidupan umat, saat itulah umat tunduk pada otoritas Allah sehingga apapun yang dikerjakan merepresentasikan kehendak-Nya. Konsep bertekun melakukan perintah Allah dapat diartikan sebagai kemampuan bertahan untuk melakukan sesuatu secara aktif perintah-perintah tersebut. Kesejahteraan, kedamaian, dan kebahagiaan dialami umat melalui otoritas ilahi Allah yang hadir di tengah kehidupan yang diresponi dengan praktik kultus. Hal ini dilakukan melalui ketekunan memelihara dan melaksanakan perintah Allah. Hidup dalam ketaatan kepada perintah Allah membuahkan kehidupan yang sejahtera, damai, dan bahagia. Israel akan tetap mendiami negeri yang diberikan Allah dan mewariskannya sampai selama-lamanya, kerajaannya akan tetap kokoh sampai selama-lamanya dan mereka mendapat perkenanan Allah. Relevansi Orasi Daud Menurut I Tawarikh 28:1-10 Bagi Umat Melalui Pendidikan Kristen Bidang pendidikan memerlukan para pemimpin yang tidak hanya berorientasi pada kepentingan pribadinya tetapi memiliki kepekaan dan sikap terhadap kesejahteraan bagi sesamanya. Kebijakan yang diambil dalam bidang Implementasi Refleksi Teologis Orasi Daud pendidikan berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat. Hal ini dilakukan dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa dan berperilaku yang menunjukkan ketaatan kepada Allah. Pola pendidikan yang menempatkan ketaatan kepada Allah adalah pendidikan yang tidak semata-mata menekankan sisi kognitif untuk menghasilkan lulusan yang nantinya hanya menjadi manusia yang berkualitas secara ilmu. Akan tetapi, mereka juga menjadi individu yang berperilaku benar di hadapan Allah yaitu mengasihi Allah dan sesama secara bertanggung jawab. Hal ini dapat terwujud apabila para pemimpin di negara tercinta ini membangun integritas atas dasar relasi yang benar dengan Allah. Konsepsi dasar keimanan kepada Allah dapat menumbuhkan keteladanan bagi para siswa yang tidak hanya berkualitas dalam pengetahuan tetapi juga menjadi pribadi yang beriman kepada Allah dalam aspek kemanusiaannya. Tujuan Pendidikan Kristen Kemajuan ilmu pengetahuan yang pesat haruslah diimbangi dengan sistem pendidikan yang mengabdikan pada kesejahteraan bersama melalui pengembangan moral dan religi. Apabila tidak disertai dengan sikap yang bijak dalam menanggapi situasi ini, bisa saja terjadi pergeseran paradigma keyakinan kehidupan manusia yang bertuhankan pada pengetahuan. Kehidupan manusia menjadi kehilangan integritas karena segala sesuatu akan ditentukan oleh pengetahuan dan mengarah pada pola kehidupan hedonisme dan materialisme 19. Seharusnya kemajuan pengetahuan lebih mengarah pada penghayatan manusia kepada otoritas Allah. Kehebatan manusia tetap memiliki keterbatasan dan mereka harus mengakui, Allah adalah pencipta dan manusia adalah wakil Allah di bumi untuk menjalankan kehendak-Nya. Berhubungan dengan dimensi pendidikan yang meliputi kehidupan religius manusia, maka Doni Koesoema memberikan pengertian bahwa pendidikan merupakan sebuah usaha sadar yang ditujukan bagi pengembangan diri manusia secara utuh, melalui berbagai macam dimensi yang dimilikinya (religius, moral, personal, sosial, kultural, temporal, institusional, relasional) demi proses penyempurnaan dirinya secara terus menerus dalam memaknai hidup dan sejarahnya di dunia ini dalam kebersamaan dengan orang lain20. Pendidikan selain sebagai pengajaran ilmu pengetahuan, dipahami juga sebagai proses penanaman ajaran dan nilai-nilai Kristiani yang bertujuan mengubah dan memperbaiki kualitas hidup manusia dalam arti yang seluas-luasnya. Kegiatan pendidikan termasuk dalam tiga tugas panggilan gereja (koinonia, marturia, dan diakonia). Dengan demikian, pendidikan Kristen sebagai upaya untuk menyaksikan ajaran-ajaran Allah, membina iman dan ketaatan masyarakat, menolong masyarakat untuk mendapatkan pengetahuan dan keterampilan sehingga meningkatkan kualitas hidup dan kesejahteraan sosial ekonomi mereka. Sistem pendidikan yang berada di bawah otoritas Allah akan menciptakan pola kehidupan yang berkeadilan bagi semua masyarakat21. Rasa humanis yang dinyatakan melalui kesadaran akan keberagaman manusia merupakan nilai rasa yang menjunjung tinggi pada otoritas Allah sebagai pencipta. Kesadaran ini akan bertumbuh atas dasar jalinan relasi yang benar dengan Allah. Ketika manusia menyatakan pengakuan Allah atas hidupnya dan dengan kerendahan hati menempatkan dirinya sebagai umat-Nya, maka integritas moral akan terwujud. Konsep ini akan menciptakan sistem pendidikan yang membebaskan manusia dari kemiskinan dan bentuk penindasan. Pendidikan yang membebaskan adalah pendidikan yang mengembangkan rasa tanggung jawab sebagai warga negara untuk mewujudkan masyarakat Indonesia yang damai dan berkeadilan 22. Pendidikan diupayakan untuk bersahabat dan berpihak pada kaum miskin dan lemah sehingga mereka memperoleh kesempatan untuk belajar dan mengembangkan dirinya23. Sistem pendidikan Kristen perlu dipraktikkan lebih holistik yang membantu anak didik mengembangkan semua segi kemanusiaannya seperti segi kognitif, segi JJurnal Pendidikan Penabur - No.24/Tahun ke-14/Juni 2015 65 Implementasi Refleksi Teologis Orasi Daud sosialitas, segi moral, dan segi spiritual. Pandangan ini mengarahkan anak didik untuk dapat melihat segi-segi kehidupan yang hidup sebagai ciptaan yang menghargai Tuhan dan ciptaan-Nya 24. Praktik pendidikan Kristen memiliki tujuan untuk membangun peserta didik supaya dapat mengembangkan iman dan pengetahuannya tentang Firman Tuhan dalam kehidupan mereka sehari-hari, sehingga mereka dapat mengaktualisasikan diri sesuai dengan maksud dan kehendak Tuhan Allah dalam penciptaan25. Pendidikan Karakter sebagai Bagian Pendidikan Kristen Salah satu bagian praktik Pendidikan Kristen yang diajarkan kepada peserta didik adalah pendidikan karakter. Beberapa waktu ini, wacana tentang pendidikan karakter hangat dibicarakan. Hal ini muncul bukan tanpa sebab, tetapi ada berbagai urgensi yang terjadi dalam masyarakat umum termasuk jemaat Kristen. Urgensi mengenai pendidikan karakter ini mengarahkan kepada pemahaman mengenai pendidikan karakter itu sendiri supaya terimplementasi dengan baik. Istilah ‘karakter’ dipahami dengan cara pandang yang berbeda, yaitu :sebagai sesuatu yang dibawa sejak lahir (given) dan sebagai sesuatu yang dikehendaki manusia dalam proses yang dialaminya (willed)26. Manusia memiliki berbagai kecenderungan yang dibawa sejak lahir. Sejarah yang dialami manusia memperlihatkan bahwa manusia dapat beradaptasi dengan lingkungannya. Mereka dapat bertumbuh sesuai dengan yang mereka inginkan. Pandangan ini mengarahkan pada pemahaman bahwa intervensi yang dilakukan manusia secara sadar dalam proses pendidikan dapat mengubah dan menentukan arah perkembangan kehidupan manusia. Manusia memiliki peran dan tanggung jawab untuk membentuk karakter mereka. Karakter yang dimiliki manusia merupakan suatu struktur antropologis yang terarah dalam proses penyempurnaan diri manusia secara terus menerus dalam rangka menjawab hal-hal yang menyangkut eksistensinya27. Pendidikan karakter yang dialami manusia meliputi pendidikan moral dan pendidikan 66 Jurnal Pendidikan Penabur - No.24/Tahun ke-14/Juni 2015 nilai. Pendidikan moral mengarahkan pada pengambilan keputusan moral secara individu dalam hal-hal yang berkenaan dengan apa yang dianggap baik dan tidak baik dalam relasi dengan orang lain. Sementara pendidikan nilai diarahkan pada nilai-nilai yang menjadi pedoman seorang individu dalam kehidupannya. Tujuannya adalah mengaktualisasikan diri dalam nilai-nilai tersebut. Nilai yang dimaksud misalnya nilai kejujuran, nilai kesetiaan, dan nilai kepedulian. Pendidikan karakter melibatkan pendidikan moral dan pendidikan nilai dalam praktiknya. Seorang pendidik baik guru di gereja maupun di sekolah bertanggung jawab supaya anak didiknya mampu mempraktikkan implikasi etis berbagai macam perubahan, mampu mengembangkan nilai-nilai dalam dirinya, serta mampu mengambil keputusan berdasarkan pemahaman yang jelas tentang nilai-nilai tersebut28. Relasi antarpribadi dibutuhkan dalam praktik pendidikan karakter sebagai suatu perjumpaan yang saling memperkaya dan menumbuhkan setiap individu dengan latar belakang yang berbeda. Perbedaan ini dipengaruhi oleh komunitas tempat individu itu berada yang menciptakan nilai-nilai yang berbeda pula. Melalui pendidikan karakter keberagaman pemahaman tersebut diarahkan untuk memperoleh pemahaman yang lebih jelas akan praktik nilai-nilai yang terkandung. Hal ini akan menciptakan individu yang mengabdikan dirinya dengan penuh integritas untuk hidup sesuai dengan nilai-nilai yang diyakininya itu. Arah pendidikan karakter dalam komunitas masyarakat dan jemaat khususnya mewujudkan individu yang kualitas yang tinggi dalam kompetensi serta praktik moral dan nilai hidup yang sesuai dengan kehendak Allah. Peran Nilai dalam Pendidikan Karakter Pendidikan nilai bertujuan untuk aktualisasi diri dengan mendalami nilai-nilai yang menjadi acuan hidup seseorang. Sementara pendidikan karakter lebih menekankan penerapannya dalam konteks hubungan dengan lingkungan sekitarnya. Pendidikan karakter merupakan suatu usaha bersama dari suatu komunitas untuk menampilkan suatu karakter tertentu sebagai suatu hal yang dianggap baik dan berguna, tidak Implementasi Refleksi Teologis Orasi Daud hanya bagi diri sendiri tetapi juga bagi orang lain. Dengan demikian, keselarasan dalam sikap dan tingkah laku bersama merupakan salah satu kunci keberhasilan pendidikan karakter. Nilai-nilai yang teraktualisasi merupakan pedoman berkembangnya karakter. Nilai yang dimaksud adalah sesuatu yang dianggap sebagai dasar atau alasan bagi manusia dalam melakukan sesuatu. Dalam pembicaraan tentang nilai terdapat dua bagian yang perlu diperhatikan yaitu, nilai sebagai bagian dari setiap individu dan nilai sebagai bagian dari suatu masyarakat atau kebudayaan. Nilai sebagai bagian dari individu merupakan suatu hasil sementara dari proses yang dialami individu dalam interaksinya dengan berbagai lingkungan dimana ia berada. Nilai ini dapat berbeda, tetapi dapat pula sama dengan nilai suatu masyarakat atau kebudayaan. Pendidikan karakter tidak berpretensi untuk mengikat nilai individu dan serta merta menggantinya dengan nilai-nilai tertentu yang dijunjung oleh suatu lembaga. Pendidikan karakter memberikan ruang bagi keberagaman itu untuk saling bertemu dan berinteraksi dalam konteks menjawab tantangan dan persoalan manusia dan mewujudkan peran dan tanggung jawabnya di tengah dunia yang terus berubah. Nilai-nilai yang dimiliki oleh setiap individu akan terus dikembangkannya sendiri, namun dalam praksisnya, karakter yang diharapkan muncul dalam rangka kehidupan bersama hadir sebagai koridor yang membatasi individu dalam kesadarannya akan kebebasannya29. Pendidikan karakter memberikan kesadaran bagi siswa untuk menempatkan dirinya dalam hubungan dengan sesama. Sementara pendidikan nilai dapat memperkaya wawasan anak akan kedalaman nilai-nilai tersebut. Pendidikan karakter secara tidak langsung dan tidak disadari sudah dilakukan dan dialami oleh setiap manusia sepanjang kehidupannya. Nilai-nilai yang umum diakui orang sebagai sesuatu yang luhur, seperti kejujuran dan keadilan sudah berkembang sebelum anak masuk dunia pendidikan dan masyarakatnya. Setiap individu lahir di tengahtengah keluarga dan terdapat penetapan nilainilai tertentu menjadi prasyarat tanpa sadar sebagai pembentuk suatu keluarga. Terjadi penetapan kesepakatan nilai-nilai tertentu yang terbentuk dalam suatu keluarga. Asumsi ini mengarahkan pada pemahaman pendidikan karakter sudah dimulai sejak seorang individu lahir di tengah-tengah keluarga sebagai suatu komunitas yang menjunjung nilai-nilai tertentu dalam bersikap dan berperilaku. Pendidikan Kristen yang dinyatakan melalui pendidikan karakter berdasarkan pada nilai-nilai luhur kekristenan dilakukan oleh gereja melalui sekolah Minggu dan sekolahsekolah Kristen secara terfokus, komprehensif dan berkesinambungan. Terfokus berarti pendidikan yang dilakukan bukan tanpa arah tetapi memiliki suatu tujuan yang jelas dan dapat diukur. Komprehensif berarti pendidikan yang dilakukan menyeluruh dalam segala aspek penyelenggaraan pendidikan. Berkesinambungan berarti proses pendidikan dilakukan secara sistematis dengan memperhatikan tahapan-tahapan perkembangan dan pencapaian setiap individu30. Simpulan Kesimpulan Nilai-nilai Kristiani yang akan dijadikan sebagai panduan dilakukan sebagai usaha mengintisarikan nilai-nilai utama sebagaimana yang bersumber pada ajaran Allah. Usaha menentukan nilai-nilai tersebut diartikan sebagai acuan utama dalam menentukan sikap dan perilaku. Ruang untuk menggumuli Nilai-Nilai Kristiani diciptakan dalam interaksi yang dilakukan oleh setiap individu dalam keluarga, komunitas pendidikan dan masyarakat. Situasi dan kondisi yang dihadapi jemaat pasca pembuangan menggugah penulis Tawarikh untuk menghasilkan tulisannya. Melalui materi orasi Daud dalam 1 Taw. 28:1-10, kehadiran otoritas Allah di tengah umat dalam situasi umat yang mengalami krisis eksistensi, krisis agama, dan krisis sosial dinyatakan. Penulis Tawarikh menghadirkan otoritas Allah dalam kehidupan umat melalui pengaktualisasian nilai-nilai kekudusan hidup, membangun relasi dengan Allah, ketekunan, dan ketaatan melakukan perintah Allah. Nilai-nilai tersebut berlaku bagi semua umat termasuk para JJurnal Pendidikan Penabur - No.24/Tahun ke-14/Juni 2015 67 Implementasi Refleksi Teologis Orasi Daud pemimpin dan bangsawan sehingga kehidupan beriman kepada Allah, kedamaian, kesejahteraan, keadilan, dan mendapat perkenanan Allah. Implikasi Pengajar Pendidikan Kristen Keluarga Pendidikan karakter dan nilai anak merupakan tanggung jawab utama orang tua dalam keluarga. Mereka berperilaku sebagai agen pendidikan moral dan nilai hidup bagi anakanak, sehingga gereja perlu memberikan perhatian pada pertumbuhan karakter keluargakeluarga tersebut. Keluarga mempengaruhi pembentukan watak, iman dan tata nilai anakanaknya. Robert Coles mengakui bahwa keluarga merupakan lingkungan primer dalam membentuk kecerdasan moral anak31. Sebelum menerima pengaruh dari teman sebaya dan guru di sekolah, anak sudah mendapat pengaruh dari keluarganya. Terdapat hal-hal penting mengenai pertumbuhan anak dalam keluarga, menurut Paul Meier aspek-aspek yang bertumbuh dalam kehidupan keluarga adalah kasih, disiplin, konsistensi aturan, keteladanan, kepemimpinan32. Melalui uraian tersebut dikemukakan bahwa karakter, tata nilai, potensi, dan cara beriman tercipta dan berkembang dari keluarga asal yaitu tempat dibesarkan. Dalam keluarga pendidikan nilai-nilai Kristiani dapat dipraktikkan. Ada banyak cara dapat dikembangkan orang tua dan komunitas keluarga untuk menanamkan nilai-nilai tersebut kepada anak. Orang tua dengan sadar menjadikan dirinya teladan moral dalam mendemonstrasikan nilai hidup dan karakter yang baik dan benar untuk diteladani anak. Orang tua dapat memberi berbagai latihan untuk terus berbuat baik disertai hukuman dan pujian yang seimbang. Orang tua dapat memberikan penjelasan melalui nasihat dan diskusi untuk memberi informasi kepada anak. Orang tua memelihara kedekatan dengan anak supaya mereka dapat mengidenfikasi dirinya. Orang tua dapat membangun persahabatan dengan saudara di lingkungan keluarga dan teman-teman di luar rumah tempat anak belajar dari sesamanya. 68 Jurnal Pendidikan Penabur - No.24/Tahun ke-14/Juni 2015 Keluarga khususnya orang tua memiliki tugas untuk mendidik anak-anaknya bertumbuh dalam nilai-nilai kerohanian kepada Allah dalam Yesus Kristus. Orang tua adalah tokoh terdekat bagi anak yang Allah kehendaki menjadi pembentuk generasi penerus. Kasih, kesetiaan, dan kesediaan belajar terus menerus itulah yang sangat diperlukan. Berhubungan dengan tersebut keluarga secara teologis disebut sebagai miniatur gereja. Keluarga sebagai komunitas yang mengemban misi panggilan Allah untuk menyatakan kasih dan kebenaranNya33. Keluarga memiliki tanggung jawab untuk membimbing anak-anaknya dalam menentukan sikap sesuai dengan nilai-nilai kebenaran Allah. Keluarga menjadi tempat ditaburnya nilai-nilai ketaatan, ketekunan, pengendalian diri, kepeduliaan, kejujuran dan tuntunan Allah. Guru Kristen Guru Kristen yang dimaksud meliputi guru Sekolah Minggu dan guru Pendidikan Agama Kristen di sekolah. Mereka memiliki peranan dalam pembentukan dan pertumbuhan spiritual anak melalui praktik nilai-nilai Kristiani. Mereka merupakan rekan kerja orang tua dalam mendidik dan mengajar anak. Salah satu keterampilan emosi dasar yang dimiliki guru meliputi pengajaran mengenai pengenalan perasaan dan memberikan label pada setiap emosi yang dirasakan. Hal ini penting untuk menyadari adanya hubungan antara pikiran, perasaan dan tindakan. Seorang guru dapat membimbing anak didiknya untuk mengenali perasaan-perasaannya dalam berbagai situasi serta memahami bagaimana munculnya berbagai perasaan tersebut. Pada bagian ini seorang guru mengajarkan dan memberikan contoh bagaimana mencari cara untuk mengendalikan emosi. Mengarahkan perasaan takut, cemas dan sedih menjadi sesuatu yang positif dalam hidup mereka. Peranan seorang guru bukan hanya sekadar mengajar dan menghasilkan orang yang suci dan alim tetapi dengan pengetahuan yang rendah. Pengajaran pengetahuan didasari dengan pembentukan sikap menghargai orang lain walaupun berbeda pendapat, saling mempercayai keterampilan sosial, saling Implementasi Refleksi Teologis Orasi Daud mengampuni, dan membantu peserta didik untuk memiliki ketaatan kepada kehendak Allah. Pembinaan dan penanaman karakter yang dikehendaki Allah harus benar-benar dilakukan34. Saran Berdasarkan kesimpulan dan implikasi hasil pembahasan sesuai dengan tujuan penelitian yang dituliskan, terdapat beberapa saran yang diharapkan dapat memberikan kontribusi dalam merelevansikan orasi Daud dalam 1 Taw. 28:110 bagi pendidikan karakter. Saran-saran tersebut sebagai berikut: Pertama, praktik kehidupan umat harus berpusat pada pengajaran kebenaran Allah dengan menghadirkan otoritas-Nya. Kehadiran Allah akan terlibat dalam proses pembentukan manusia, karakter, keterampilan dan kemampuan intelektualnya. Panggilan untuk menghadirkan otoritas Allah dalam pendidikan yang dijalankannya dapat diartikan bahwa pendidikan Kristen terpanggil untuk menjunjung prinsip-prinsip kebenaran dan keadilan meskipun berada di tengah-tengah degradasi moral dan praktik penghalalan segala cara yang berkembang luas. Pendidikan Kristen memiliki peran rangkap di tengah masyarakat, yaitu terus mengupayakan menahan laju kejahatan, kebobrokan, kepalsuan dan ketidakadilan. Pada saat yang bersamaan harus mengupayakan penyebaran secara luas asasasas kebenaran, keadilan dan kebaikan Allah. Upaya mempertahankan jati diri dalam pendidikan Kristen dilakukan dengan mentransfer nilai-nilai moral dan pembentukan karakter kepada seluruh anak didik. Para anak didik tidak saja mendapat pengajaran tetapi juga mengalami dan merasakan begaimana kehidupan menjadi pelaku kebenaran Allah. Kedua, Pendidikan Kristen sebagai pilar untuk taat melakukan perintah dan peraturan Allah. Praktik ketaatan ini dapat dinyatakan melalui pelayanan yang holistik dalam aspek pendidikan yang dilaksanakan. Melayani sesama merupakan wujud dari melakukan kehendak dan perintah Allah. Melayani berasal dari hati, motivasi dan semangat serta jiwa yang mendasari aktivitas tersebut. Pelayanan yang dapat dilakukan pendidikan Kristen memberikan perhatian yang lebih dalam bentuk apresiasi terhadap hasil kerja dan prestasi para siswa. Gereja dalam pendidikan Kristen terpanggil untuk menjangkau sebanyak mungkin orang untuk mendapatkan akses pendidikan. Ia tidak menjadi eklusif dan berdiam dalam menara gading. Sudah selayaknya, ia tidak segan-segan turun tangan, mengulurkan tangan, dan memberikan bantuan kepada mereka yang membutuhkan. Pendidikan Kristen harus memperhatikan dan memperjuangkan rakyat kecil dan kaum yang lemah agar mendapat kesempatan memperolah pendidikan yang baik.35 Melalui pilar pelayanan yang kokoh, lembaga pendidikan Kristen akan meminimalisasikan konflik dan gesekan ke dalam maupun keluar dengan mengusung praktik ketaatan kapada kehendak Allah sehingga tonggak kebenaran dan keadilan Allah akan terus berdiri dengan kuat. Ketiga, pendidikan yang jalankan oleh lembaga-lembaga Kristen memperhatikan proses humanisasi manusia dengan mengenal sumber etika dan moral yang benar di hadapan Allah. Upaya mewujudkan proses humanisasi ini dapat dilakukan melalui sikap toleransi yang tinggi yang menerima kepelbagaian umat manusia. Proses pendidikan yang dipraktikan harus dapat membebaskan manusia dari kemiskinan dan penindasan. Berbagai penindasan seperti penindasan gender, penindasan mayoritas harus dapat dihapuskan melalui pendidikan yang membebaskan. Proses pendidikan ini mengembangkan rasa tanggung jawab sebagai warga negara untuk mewujudkan masyarakat yang damai dan berkeadilan. Keempat, usaha untuk menciptakan pendidikan yang berfokus pada ajaran Allah melibatkan peran serta guru sebagai tonggak pelaksana di lapangan. Seorang guru yang mengajar anak didik perlu mengembangkan mutu pemahaman dan sikap hidup terhadap diri sendiri, orang lain, alam, benda kehidupan dan pencipta semuanya itu. Guru harus dapat menolong orang bertumbuh dalam pemahaman dan nilai-nilai hidup, menabur benih nilai-nilai hidup, menabur benih di hati sendiri dan orang lain serta menabur iman, ilmu dan pelayanan36. JJurnal Pendidikan Penabur - No.24/Tahun ke-14/Juni 2015 69 Implementasi Refleksi Teologis Orasi Daud Catatan kaki: 1 Made Pidarta, Landasan Kependidikan: Stimulus Ilmu Pendidikan Bercorak Indonesia (Jakarta:PT Rineka Cipta, 2000), 175-176. 2 Thomas Lickona, The Return of Character Education, Jurnal Education Leadership (1993), 35. 3 Paul Suparno, Pendidikan Nilai di Sekolah dan Persoalannya, dalam Education For Change (Jakarta: BPK GM, 2010), 307. 4 http://www.tribunnews.com/nasional/2014/06/04 5 Armada Riyanto, “Kutuk Plagiarisme, Lalu?” dalam harian Kompas, 24 Februari 2010. 6 Agus Santoso, Pengantar Perjanjian Lama, 155156. 7 Julius Wellhausen, Prolegomena to the History of Ancient Israel (Cleveland: Meridian Books, 1957), 182. 8 Gerald Eddie Gerbrandt, Kingship According to the Deuteronomistic History (Atlanta:Scholars, 1986), 18. 9 Aristotle, The Basic Works of Aristotle,Rhetorica, diedit oleh R. Mckeon dan diterjemahkan oleh W.Rhys Roberts (NewYork:Random House, 1955), 51. 10 Andrew G.Vough, Theologi, History And Archeology in The Chronicler’s Account of Hezekiah, diedit oleh Edelman, S B L no.4 (Atlanta:Scholar Press, 1999), 62. 11 Kenneth Hoglund , The Chronicler As Historian, diedit oleh Patrick Graham, Steven McKenzie, JSOTSup 238 (Sheffield:Sheffield Academic Press, 1997), 25. Melalui narasi Tawarikh, gambaran nabi-nabi menyampaikan hubungan antara Allah dan komunitas melalui tanggung jawab moral. 12 Japhet, I And II Chronicles, 34. 13 Gary N.Knoppers, I Chronicles , 938. 14 Michael Wilcock, The Message of Chronicles, TBST (DownesGroves: IVP, 1987), 109. 15 Mark A. Throntveit, When Kings Speak, 10. Analisa karakteristik perkataan raja dikelompokkan menurut strukturnya dalam James D. Newsome, The Chronicler’s View of Prophecy (Vanderbilt Univ, 1973), 124. Berdasarkan catatan disertasi Braun diuraikan cirri-ciri bentuk perkataan raja yang ditemukan dalam Tawarikh. Roddy L.Braun, Salomon the Chosen Temple Builder, 581-590. 16 Mark A. Throntveit, When Kings Speak, 20. 17 Mark A. Throntveit, When Kings Speak, 34. 70 Jurnal Pendidikan Penabur - No.24/Tahun ke-14/Juni 2015 18 Jacob M. Myers, I Chronicles, 191. H.A.R. Tilaar, 50 Tahun Pembangunan Pendidikan Nasional 1945-1995 (Jakarta:Grasindo, 1995), 619. 20 Doni Koesoema, Pendidikan Karakter (Jakarta:PT Grasindo, 2007), 56. 21 H.A.R Tilaar dan Rianto Nugroho, Kebijakan Pendidikan (Yogyakarta:Pustaka Pelajar, 2008), 30. 22 H.A.R Tilaar Perubahan Sosial dan Pendidikan: Pengantar Pedagogik Transformatif untukIndonesia (Jakarta:Grasindo, 2002), 203. 23 Ferawati, “Krisis Pendidikan: Peluang Pendidikan Kristen Bermisi bagi Transformasi Bangsa” diakses dari http://perkantasjatim.org, tanggal 17 November 2014. 24 Paul Suparno, Pendidikan Nilai di Sekolah dan Persoalannya, 310. 25 Poerwodidagdo Judowibowo, Pendidikan Hak Asasi Manusia dalam Pendidikan Agama Kristen, dalam Ajar Mereka Melakukan (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2003), 112-113. 26 Doni Koesoema A, Pendidikan Karakter (Jakarta: Grasindo, 2007), 90. Pandangan ini mengacu pada pemikiran Emmanuel Mounier lebih menekankan pada willed sebagai sesuatu yang dikehendaki oleh manusia sebagai arah pengembangan diri yang ia tetapkan sendiri secara sadar. 27 Doni Koesoema A, Pendidikan Karakter, 88. 28 Doni Koesoema A, Pendidikan Karakter, 199. 29 Doni Koesoema A, Pendidikan Karakter, 99. 30 Maryam K.Sutanto, Pendidikan karakter Berbasis Nilai-Nilai Kristiani, kumpulan tulisan dalam modul PBN2K (Jakarta:BPK Penabur, 2011), 11. 31 Robert Coles, Menumbuhkan Kecerdasan Moral Pada Anak (Jakarta:Gramedia Pustaka Utama,2000), 38. 32 Paul Meier, Christian Child Rearing and Personality Development (NewYork :Baker Book House, 1980), 81. 33 Marjorie L. Thompson, Keluarga Sebagai Pusat Pembentukan: Sebuah Visi tentang Peran Keluarga dalam Pembentukan Rohani (Jakarta:BPK GM, 2000), 24. 34 Samuel Karwur,”Pendidikan Kristen:Kritis!”, diakses dari http:/blog.charismaindonesia.com, tanggal 16 November 2014 35 Ferawati,” Krisis Pendidikan:Peluang Pendidikan Kristen Bermisi bagi Transformasi 19 Implementasi Refleksi Teologis Orasi Daud Bangsa”, diakses dari http://perkantasjatim.org, tanggal 17 November 2014 36 Andar Ismail, Selamat Menabur (Jakarta:BPK Gunung Mulia, 1997), 121. Daftar Perpustakaan Aristotle. (1955). The basic works of aristotle,rhetorica, ed. oleh R. Mckeon dan terj. W.Rhys Roberts. NewYork:Random House Braun, Roddy L. (1976). Solomon, the chosen temple builder: The significance of 1 chronicles 22, 28, and 29 for the theology of Chronicles, Chronicles. Journal of Biblical Literature 95: 581–590 D. Newsome. (1973). The chronicler’s view of prophecy. Vanderbilt Univ Ferawati, “Krisis Pendidikan: Peluang Pendidikan Kristen Bermisi bagi Transformasi Bangsa” diakses dari http://perkantasjatim.org, 17November 2014 Freedman, David N. (1992). The anchor Bible dictionary : vol K- N, New York: Doubleday Gerbrandt, Gerald Eddie. (1986). Kingship according to the deuteronomistic history. Atlanta: Scholars Hoglund, Kenneth. (1997). The chronicler as historian, ed.Patrick Graham, Steven McKenzie, JSOTSup 238, Sheffield: Sheffield Academic Press Ismail, Andar.(1997). Selamat menabur. Jakarta:BPK Gunung Mulia Japhet,Sara. (1993). I and II Chronicles, The old testament library . London:SCM Press Ltd Knoppers, Gary N. (2004). I Chronicles: A new translation with introduction and commentary: the anchor Bible. Virginia: Doubleday Koesoema,Doni. 2007. Pendidikan karakter. Jakarta: PT Grasindo Kroeskamp, H. (1974). Early schoolmasters in a developing country. Assen: van Gorcum Karwur, Samuel, 2011"Pendidikan Kristen:Kritis!”, diakses dari http:// blog.charismaindonesia.com, tanggal 16 November 2014 Lewis, Sherrill. (1960). Therise of christian education.New York: The Macmillen Company Lukito, Handoyo. (1984). Tugas Panggilan Gereja di Bidang Pendidikan”, Lampiran 5 Akta Keputusan Persidangan Majelis Sinode ke42 Gereja Kristen Indonesia Jawa Barat (Binawarga, 19-22 November) Meier, Paul. 1980. Christian child rearing and personality development, NewYork: Baker Book House. Myers, J.M. (1973). I Chronicles: The anchor BibleNew York : Doubleday & Company, Inc. Boehlke, Robert R. (1991).Sejarah perkembangan pikiran dan praktek PAK dari Plato sampai I.G. Loyola. Jakarta: BPK Gunung Mulia Paul Suparno. Pendidikan nilai di sekolah dan persoalannya, 310 Pidarta, Made. (2000). Landasan kependidikan: Stimulus ilmu pendidikan bercorak Indonesia. Jakarta: PT Rineka Cipta Poerwodidagdo, Judowibowo. (2003). Pendidikan hak asasi manusia dalam pendidikan agama Kristen, dalam ajar mereka melakukan. Jakarta: BPK Gunung Mulia Raymond, D. Dillard.(1987). 2 Chronicles : Word biblical commentary, ed. David Hubbard and Glen Baker, Nashville : Thomas Nelson Publisher Rendrorff, Roff. (1991).Old testament an introduction. Philadelphia: Fortress Press Riley, William. (1993). King and cultus in chronicles: Worship and the reinterpretation of history Ed. David J.A. Clines and Philip R. Davies (JSOT Supplement Series No. 160), Sheffield: Sheffield Academic Press Riyanto, Armada. ( 2010). Kutuk plagiarisme, lalu? dalam harian Kompas, 24 Februari. Robert, Coles.(2000). Menumbuhkan kecerdasan moral pada anak. Jakarta:Gramedia Pustaka Utama Santoso, Agus.(2007).Pengantar Perjanjian Lama: Disusun berdasarkan sejarah terjadinya perjanjian lama, Ungaran: Abdiel Press Sparks,James T.(2008). The Chronicler’s genealogies towards an understanding of I JJurnal Pendidikan Penabur - No.24/Tahun ke-14/Juni 2015 71 Implementasi Refleksi Teologis Orasi Daud Chronicles 1-9. Atlanta: Study Biblical Literatur Suparno, Paul. (2010). Education for change: Pendidikan untuk perubahan: Pendidikan nilai di Sekolah dan Persoalannya, ed. Elika Dwi Murwarni, dkk, Jakarta: BPK Gunung Mulia. Sutanto, Maryam K. (2011). Pendidikan karakter berbasis nilai-nilai Kristiani, kumpulan tulisan dalam modul PBN2K, Jakarta: BPK PENABUR Selman, Martin J.(1994).I Chronicles, TOTC, Leicester: IVP Lickona, Thomas.(1993). The return of character education, Jurnal education leadership. Thompson, Marjorie L.( 2000). Keluarga sebagai pusat pembentukan: Sebuah visi tentang peran keluarga dalam pembentukan rohani. Jakarta:BPK GM, 24 Throntveit, Mark A.(1987). When kings speak : Royal Speech and Royal Prayer in Chronicles, dissertation series (Society of Biblical Literatureno. 93) Atlanta, Ga. : Scholars Press 72 Jurnal Pendidikan Penabur - No.24/Tahun ke-14/Juni 2015 Tilaar,H.A.R. & Nugroho, Riant (2008). Kebijakan pendidikan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar Tilaar, H.A.R. (1995). 50 Tahun pembangunan pendidikan nasional 1945-1995. Jakarta: Grasindo Tilaar, H.A.R. (2002). Perubahan sosial dan pendidikan: Pengantar pedagogik transformatif untukIndonesia. Jakarta: Grasindo Vough, Andrew G. (1999). Theology, history and archeology in the chronicler’s account of Hezekiah, ed. Edelman, S B L no.4, Atlanta: Scholar Press Wellhausen, Julius. (1957. Prolegomena to the history of ancient Israel. Cleveland: Meridian Books Wilcock, Michael.(1987). The message of Chronicles, TBST. Downes Groves: IVP Williamson, H.G.M. 1982, 1 and 2 Chronicles : The new century Bible commentary. London : Marshall Morgan & Scott ______. 1986. 1 Chronicles. Word Biblical Commentary 14. Waco: Word. Pemanfaatan Media Pembelajaran di Sekolah Dasar Opini Pemanfaatan Media Pembelajaran di Sekolah Dasar Hilda Karli Email: [email protected] Universitas Terbuka UPBJJ Bandung Abstrak iswa sekolah dasar masih pada tahap berpikir kongkrit, sehingga mengalami kesulitan memahami konsep yang bersifat abstrak. Akan tetapi tidak jarang guru kurang memahami karakteristik siswa yang demikian dan langsung menyajikan bahan pelajaran yang abstrak. Akibatnya, siswa mengalami kesulitan belajar dan cepat lupa konsep abstrak yang dipelajarinya. Tulisan ini membahas peran media pembelajaran sebagai salah satu sumber belajar dalam mengatasi kesulitan siswa mempelajari konsep abstrak secara aktif, kreatif, efektif, dan menyenangkan dalam setiap mata pelajaran. Setelah melalui berbagai kajian, tulisan ini berkesimpulan sebaiknya guru SD menggunakan media pembelajaran yang bervariasi sesuai dengan karakteristik mata pelajaran dan tujuan pembelajaran. Keberhasilan penggunaan media pembelajaran tergantung pada ketepatan guru merencanakan, mengelola, dan memanfaatkannya untuk meningkatkan proses dan capaian pembelajaran. Pada akhir tulisan ini, disampaikan bagaimana cara guru memilih dan menggunakan media pembelajaran. S Kata-kata kunci: belajar, pembelajaran, sumber belajar, media pembelajaran, konsep kongkrit, konsep abstrak, karakteristik siswa SD Utilization of Instructional Media at Primary School Absctact The primary school children are still at the level of thinking concretely and find difficulties to understand abstract concept. However, in practice the teachers often neglect the children’s characteristics of that age and directly present the abstract concepts without using appropriate learning resources available in the instructional environment. Consequently, the students find difficulties to understand the instructional materials and forget them easily. This article discusses how appropriate instructional media can be used both by the teacher and the children to learn abstract concepts in an active, creative, effective, as well as joyful instructional process of all subjects. After a thorough discussion, the article concludes that the primary school teacher should use various instructional media selectively based on the characteristics of each subject and the instructional objective. The effectiveness of any instructional media much depends on how appropriately the teacher plans, manages, and utilizes them to improve instructional process and outcome. At the end of the article, the teachers are provided with some considerations in selecting and using instructional media. Keywords: learning, instruction, instructional media, concrete concept, abstract concept, primary school children’s characteristics Jurnal Pendidikan Penabur - No.24/Tahun ke-14/Juni 2015 73 Pemanfaatan Media Pembelajaran di Sekolah Dasar Pendahuluan Kita akan segera hadapi Era Millenium dengan perubahan pada aspek sosial, budaya, politik dan tidak terkecuali pendidikan. Mengantisipasi keadaan tersebut diadakan berbagai perubahan, salah satunyakurikulum. Kurikulum yang terdiri atas tujuan, metode, sumber belajar, dan proses pembelajaran merupakan kunci keberhasilan dalam mempersiapkan sumber daya manusia sesuai dengan kebutuhan zaman yaitu berpikir kreatif, kritis, beriman, bertanggungjawab, mandiri, dan terampil. Salah satu paradigma yang harus disesuaikan dengan keadaan zaman adalah sumber belajar selain pendidik dan proses pembelajarannya di kelas. Sumber belajar menurut Mulyasa (2011:48), segala sesuatu yang dapat memberikan kemudahan pada siswa dalam memperoleh sejumlah informasi, pengetahuan, pengalaman, dan keterampilan dalam proses pembelajaran. Oleh karena itu, sumber belajar salah satu komponen pendukung terciptanya proses pembelajaran yang menarik dan bermakna bagi siswa. Komponen sumber belajar mencakup pesan/bahan pelajaran, alat dan bahan yang digunakan, sumber daya manusia, metode/ prosedur dan lingkungan sekitar. Alat bantu yang digunakan guru saat mengajar di kelas disebut media pembelajaran. Dalam konteks ini, difokuskan pada sumber belajar yang berupa media pembelajaran. Dalam interaksi pembelajaran, guru menyampaikan pesan ajaran berupa materi pembelajaran kepada anak melalaui media pembelajaran. Penggunaan media pada tahap orientasi pembelajaran akan sangat membantu keefektifan proses pembelajaran dan penyampaian pesan dan isi pelajaran pada saat itu. Menurut Ausubel, proses belajar akan mendatangkan hasil atau bermakna kalau guru dalam menyajikan materi pelajaran yang baru dapat menghubungkannya dengan konsep yang relevan yang sudah ada dalam struktur kognisi siswa. Guru harus dapat mengembangkan potensi kognitif siswa melalui proses belajar yang bermakna. Aktivitas belajar siswa, terutama mereka yang berada di tingkat pendidikan dasar, akan bermanfaat kalau 74 Jurnal Pendidikan Penabur - No.24/Tahun ke-14/Juni 2015 mereka banyak dilibatkan dalam kegiatan langsung, lebih efektif lagi kalau guru menggunakan penjelasan, peta konsep, demonstrasi, diagram, atau ilustrasi. Siswa SD dengan usia antara 7-12 tahun memiliki perkem-bangan intelektual tahap operasional kongkret, sebab berpikir logikanya didasarkan atas manipulasi fisik dari obyek. Dengan kata lain, penggunaan media dalam pembelajaran di SD sangat diperlukan. Dengan menggunakan media pembelajaran tersebut, siswa akan lebih mudah memahami materi yang diajarkan dengan melihat secara nyata berdasarkan fakta yang jelas. Sementara itu, melalui pengamatan penulis terhadap proses pembelajaran matematika yang dilakukan guru di SD ditemukan, pada umumnya guru juga kurang tepat memaknai sebuah konsep. Hal tersebut dapat dilihat dari ilustrasi yang disajikan guru ketika mengenalkan konsep. Hampir semua guru tidak menyadari bahwa ilustrasi yang dibuatnya tersebut tidak selaras dengan makna sebuah konsep. Hasil pengamatan juga memperlihatkan, sebagian besar guru dalam menjelaskan sebuah konsep dilakukan secara abstrak dan tidak mempertimbangkan pola berpikir siswa yang masih dalam tahap berpikir konkrit. Guru juga lebih menekankan cara mengerjakan suatu masalah dan tidak melakukan penekanan pada penanaman makna. Pengamatan pada pembelajaran IPA, guru menyampaikan sebuah konsep dengan ceramah dan latihan soal saja tanpa melibatkan siswa pada pembuktian sebuah konsep dengan melakukan sebuah percobaan. Siswa hanya mendapat informasi dari buku bahan ajar dan guru saat menjelaskan secara verbal. Pembelajaran IPS pun sama, guru tidak pernah menunjukkan kepada siswa keadaan sesungguhnya lingkungan atau keadaan sosial yang terjadi di sekitar. Siswa belajar sebuah konsep dengan mendengarkan, mencatat, menulis dan ulangan saja. Dari hasil observasi di lapanga,penulis menilai bahwa guru kurang terampil dan kreatif dalam pemanfaatan dan pengembangan media/alat peraga.Guru saat mengajar cenderung bersikap memberitahu, mengajari, melatih, seperti mendrill untuk menyelesaikan soal, menanyakan fakta, dan mementingkan hasil dari pada proses. Guru memuji siswa jika yang bersangkutan Pemanfaatan Media Pembelajaran di Sekolah Dasar dapat menjawab soal dengan baik dan sebaliknya memarahi siswa jika salah menjawab. Juga, guru mengajarkan materi secara urut halaman per halaman tanpa membahas keterkaitan antar konsep atau masalah serta sangat tergantung pada buku teks. Kegiatan Belajar Mengajar (KBM) yang dilaksanakan setiap hari, merupakan kehidupan dari suatu kelas. Guru dan peserta didik saling terkait dalam pelaksanaan kegiatan yang telah direncanakan oleh guru. Keberhasilan kegiatan tersebut sepenuhnya menjadi tanggung jawab guru, karena guru merupakan pengelola tunggal di kelas. Oleh karena itu, bila siswa kurang bisa menunjukan keterampilan dalam suatu mata pelajaran, tuduhan kekurangberhasilan juga tertuju kepada guru. Siswa adalah subjek yang menerima pelajaran. Ada siswa pandai, kurang pandai, dan tidak pandai. Setiap siswa mempunyai bakat intelektual, emosional, sosial, dan lain-lain yang sifatnya khusus (Arikunto 2009:296). Siswa yang pandai akan lebih mudah menerima materi pembelajaran dibandingkan dengan siswa yang kurang pandai dan yang tidak pandai. Belum lagi perbedaan bakat, emosional, dan sosial. Siswa yang berbakat, emosi stabil, dan lingkungan sosial yang baik akan lebih mudah mengikuti proses pembelajaran dibandingkan dengan siswa yang tidak berbakat, emosi tidak stabil, dan anak yang berasal dari lingkungan sosial yang buruk. Perbedaan karakteristik ini menuntut guru bersikap arif menyikapinya. Oleh karena itu, media pembelajaran merupakan salah satu faktor penting untuk dimanfaatkan dalam proses pembelajaran mengembangkan SDM sesuai kebutuhan zaman. Perumusan Masalah Mengacu pada latar belakang yang telah diuraikan, masalah yang dikaji dalam tulisan ini ialah sebagai berikut. 1. Apakah memang suatu keharusan mengajar di SD dengan menggunakan media pembelajaran? 2. Mengapa setiap mata pelajaran di SD sebaiknya menggunakan media pembelajaran? 3. Bagaimana merencanakan penggunaan media pembelajaran di kelas? Tinjauan Pustaka Media Pembelajaran Media pembelajaran adalah bagian dari sumber belajar yang menurut Sudjana dan Rivai (2009: 78 ) suatu daya yang bisa dimanfaatkan guna kepentingan proses belajar mengajar baik langsung maupun tidak langsung, sebagian atau keseluruhan.Komponen sumber belajar terdiri atas (a) pesan: informasi yang akan disampaikan pada orang dalam bentuk ide, fakta, makna, dan data seperti materi pelajaran IPA, IPS, dan Matematika; (b) orang : pelaku yang bertindak sebagai penyalur atau penyimpan pesan seperti guru, siswa, nara sumber, tokoh/ahli; (c) bahan: barang yang berisi pesan untuk disampaikan dengan menggunakan peralatan. Kadang barang tersebut sudah siap disajikan seperti buku bahan ajar, majalah, video, tape recorder, film; (d) alat : barang yang digunakan untuk meyampaikan pesan yang terdapat dalam bahan seperti OHP, TV, radio, proyektor film, komputer; (e) teknik : prosedur atau langkah tertentu dalam menggunakan bahan, alat dan bahan, tata tempat dalam menyampaikan pesan seperti : simulasi, demosntrasi, paraktek, kerja kelompok, bermain peran, bermain, studi lapangan, bertanya; dan (f) latar : lingkungan di mana pesan diterima oleh anak seperti lingkungan fisik (kelas, perpustakaan, halaman bermain, lapangan olahraga, laboratorium) dan lingkungan non fisik (penerangan, sirkulasi udara).(Warsita 2008; 209-210). Media adalah bentuk jamak dari ‘medium’ yang berasal dari bahasa Latin yang berarti perantara. Pengertian media pembelajaran menurut Latuheru (1988: 14), media pembelajaran adalah semua alat (bantu) atau benda yang digunakan untuk kegiatan belajar mengajar, dengan maksud menyampaikan pesan (informasi) pembelajaran dari sumber (guru maupun sumber lain) kepada penerima (dalam hal ini siswa atau warga belajar). Dengan perkataan lain, media pembelajaran merupakan alat bantu untuk menyampaikan pesan dari sumber kepada penerima. Media pembelajaran merangsang pikiran, perasaan, perhatian, dan minat serta perhatian siswa sehingga proses belajar dapat terjalin. Sudrajat (2011: 20) Jurnal Pendidikan Penabur - No.24/Tahun ke-14/Juni 2015 75 Pemanfaatan Media Pembelajaran di Sekolah Dasar mengemukakan media berfungsi amtara lain (a) mengatasi keterbatasan pengalaman yang dimiliki oleh para siswa , (b) melampaui batasan ruang kelas, (c) memungkinkan adanya interaksi langsung antara siswa dengan lingkungan (d) media menghasilkan keseragaman pengamatan, (e) media dapat menanamkan konsep dasar yang benar, kongkrit , dan realistis, (f) media membangkitkan motivasi dan merangsang siswa untuk belajar, (g) media memberikan pengalaman yang integral/ menyeluruh dari yang kongkrit sampai dengan abstrak, dan (h) membantu mengatasi hambatan yang terjadi saat pembelajaran di dalam kelas. Hamalik (2011: 15) mengemukakan, pemakaian media pembelajaran dalam proses belajar mengajar dapat membangkitkan keinginan dan minat yang baru, membangkitkan motivasi dan rangsangan kegiatan belajar, dan bahkan membawa pengaruh psikologis terhadap siswa. Penggunaan media pembelajaran pada tahap orientasi pembelajaran akan sangat membantu keefektifan proses pembelajaran dan penyampaian pesan dan isi pelajaran pada saat itu. Mulyasa (2011 : 26) mengemukakan manfaat media pembelajaran dalam proses belajar mengajar (a) dapat memperjelas penyajian pesan dan informasi sehingga dapat memperlancar dan mening-katkan proses dan hasil belajar; (b) dapat meningkatkan dan mengarahkan perhatian siswa sehingga dapat menimbulkan motivasi belajar, interaksi yang lebih langsung antara siswa dengan lingkungannya, dan memungkinkan siswa untuk belajar sendiri-sendiri sesuai dengan kemampuan dan minatnya; (c) dapat mengatasi keterbatasan indera, ruang, dan waktu; (d) dapat memberikan kesamaan pengalaman kepada siswa tentang berbagai peristiwa di lingkungan mereka; serta (e) memungkinkan terjadinya interaksi langsung dengan guru, masyarakat, dan lingkungan. Media pembelajaran merupakan salah satu faktor yang menentukan keberhasilan proses pembelajaran di kelas antara guru dan siswa . Pesan materi pembelajaran yang akan disampaikan guru dapat diterima oleh semua siswa dengan latar belakang yang berbeda-beda dengan satu pandangan karena pikiran siswa di arahkan pada satu media. Penggunaan media 76 Jurnal Pendidikan Penabur - No.24/Tahun ke-14/Juni 2015 kongkrit akan mempermudah siswa untuk memaknai materi pembelajaran. Proses interaksi belajar mengajar akan terjalin baik antara siswa dan guru. Jika materi pembelajaran tersebut diminati siswa maka motivasi belajar siswa akan meningkat. Leshin, dkk (dalam Arsyad, 2002: 79-101) mengelompokkan media pembelajaran ke dalam 5 jenis: (a) media berbasis manusia merupakan media yang digunakan untuk mengirim dan mengkomunikasikan peran atau informasi; (b) media pembelajaran berbasis cetakan yang paling umum dikenal adalah buku teks, buku penuntun, buku kerja atau latihan, jurnal, majalah, dan lembar lepas; (c) media berbasis visual (image) dalam hal ini memegang peranan yang sangat penting dalam proses belajar karena memperlancar pemahaman dan memperkuat ingatan menumbuhkan minat siswa dan dapat memberikan hubungan antara isi materi pelajaran dengan dunia nyata; (d) media berbasis audiovisual yaitu media visual yang menggabungkan penggunaan suara dan gambar; dan (e) media berbasis komputer yaitu media yang dalam menggunakannya memakai komputer. Ada berbagai jenis media pembelajaran seperti manusia, cetakan, visual, audiovisual,dan komputer. Semua jenis media pembelajaran ini mempunyai kekurangan dan kelebihan. Guru sebaiknya cermat dalam memilih jenis media yang akan digunakan dalam proses pembelajaran di kelas. Prinsip pemilihan jenis media harus tepat guna, artinya media pembelajaran yang digunakan sesuai dengan kompetensi dasar yang akan dicapai siswa. Selain itu,berdaya guna dan bervariasi, artinya media pembelajaran yang digunakan mampu mendorong sikap aktif dan meningkatkan motivasi siswa dalam belajar. Sebuah contoh, guru akan membelajarkan aspek berbicara pada pelajaran bahasa Indonesia, akan lebih tepat menggunakan manusia (teman, guru, orang tua, nara sumber, dll) sebagai medianya.Praktek berbicara langsung dengan teman, guru, atau nara sumber sesuai topik sesuai dengan tujuan pembelajaran akan sangat bermakna bagi siswa . Penggunaan media dapat digunakan 1 atau lebih jenis sekaligus dalam prosesnya di kelas. Misalnya, apersepsi, untuk Pemanfaatan Media Pembelajaran di Sekolah Dasar menggunakan indra dan semua anggota tubuhnya serta kemampuan berpikir. Prestasi belajar siswa merupakan perubahan yang diperoleh siswa setelah mengikuti proses pembelajaran yang ditandai dengan adanya perubahan aspek kognitif, afektif dan psikomotor. Berikut ini diperlihatkan Tabel kaitan media pembelajaran dengan proses penilaian ditinjau dari aspek kognitif, afektif dan psikomotor (Muhibbin Syah, 2010:148-150). Media pembelajaran yang digunakan saat proses belajar mengajar sudah tepat, tetapi jika guru mengabaikan 3 aspek penilaian yang harus dikuasai oleh siswa yaitu aspek kognitif (pengetahuan), afektif (sikap dan perilaku) dan psikomotor (keterampilan atau tindakan), proses pembelajaran tersebut akan menjadi sia-sia. Oleh karena itu, guru harus cermat dalam menentukan aspek penilaian selama proses belajar mengajar berlangsung. Bukan hanya sekedar latihan atau ulangan secara tertulis saja yang menjadi penilaian tetapi aspek lain perlu diperhatikan seperti saat siswa melakukan kegiatan dan bagaimana sikap siswa dalam seperti pada Gambar. keseharian di kelas. Menjadikan anak utuh artinya seimbang antara aspek kognitif, afektif dan psikomotor dan verbal perlu memperhatikan bagaimana visual pengalaman bermakna dapat diterima siswa dengan baik melalui 9 tahapan rekaman radio mulai dari pengalaman nyata gambar hidup. (melakukan kegiatan) sampai ceramah pameran (verbal visual) dikaitkan dengan media pembelajaran. Oleh karena itu, televisi pemilihan media perlu dipersiapkan, diorganisasikan, dilakukan, dan karyawisata dipantau. Pada saat persiapan, guru dramatisasi memilih jenis media apa yang sesuai dengan karakter perkembangan siswa pengamatan dan mata pelajaran serta tujuan pembelajaran, sehingga penggunaan pengalaman langsung media itu tepat guna dan berdaya guna. Siswa SD masih membutuhkan Gambar Pengalaman Belajar Menurut Dale bantuan benda kongkrit serta praktek langsung agar menjadi sebuah pengalaman bagi dirinya. Guru perlu Dari gambar dapat disimpulkan, pengalaman yang dapat memberikan sumber belajar mengorganisasikan media pembelajaran yang tersebut bersifat kongkrit ke abstrak mulai dari dipilih tadi apakah dibuat sendiri atau dibuat pengalaman langsung. siswa terlibat langsung oleh siswa , dipinjam atau dibeli. Guru juga perlu memotivasi siswa, menggunakan media audiovisual, sehingga siswa dapat melihat langsung proses berbicara dan komponen apa saja yang diperlukan saat berbicara. Jika memungkinkan kondisianak dan sekolah diakhir pembelajaran ada proyek secara kelompok merekam wawancara seorang siswa dengan nara sumber yang dipilih lalu ditayangkan pada teman di kelas. Dalam hal ini media yang digunakan berbasis komputer. Jadi dalam proses pembelajaran bahasa Indonesia ada 3 jenis media yang digunakan yaitu manusia, audiovisual dan komputer. Dalam kegiatan belajar mengajar antara guru dan siswa, siswa dengan media atau siswa dengan siswa selalu terjadi interaksi. Proses interaksi tersebut akan memberikan pengalaman bermakna bagi penerima pesan yaitu anak sebagai pembelajar. Menurut Dale (dalam Tim PPPPTK Matematika. 2008) ada 9 jenjang bagaimana pengalaman dapat diterima siswa ketika belajar. Pengalaman belajar yang dikenal dengan istilah cone of experience ditunjukkan Jurnal Pendidikan Penabur - No.24/Tahun ke-14/Juni 2015 77 Pemanfaatan Media Pembelajaran di Sekolah Dasar Tabel 1: Aspek Penilaian Kognitif, Afektif dan Psikomotor Aspek Indikator Penilaian A. Kognitif 1. Pengamatan Dapat menunjukan Dapat membandingkan Dapat menghubungkan Tes lisan Tes tertulis Observasi 2. Ingatan Dapat menyebutkan Dapat menunjukan kembali Tes lisan Tes tertulis Observasi 3. Pemahaman Dapat menjelaskan Dapat mendefiniskan sendiri secara lisan 4. Penerapan Dapat memberikan contoh Dapat menggunakan secara tepat Tes tertulis Pemberian tugas Observasi 5. Analisis (pemeriksaan dan pemilihan secara teliti) Dapat menguraikan Dapat mengklasifikasikan Tes Tertulis Pemberian tugas 6. Sintesis (membuat panduan baru yang utuh) Dapat menghubungkan Dapat menyimpulkan Dapat menggeneralisasikan (prinsip) Tes Tertulis Pemberian tugas Tes lisan Tes Tertulis B. Afektif 1. Penerimaan Menunjukkan sikap menerima Menunjukkan sikap menolak Tes tertulis Tes skala sikap Observasi 2. Sambutan Kesediaan berpartisipasi/terlibat Kesediaan memanfaatkan Tes skala sikap Pemberian tugas Observasi 3. Apresiasi (sikap menghargai) Menganggap penting dan bermanfaat Menganggap indah dan harmonis mengagumi Tes skala sikap Pemberian tugas Observasi 4. Internalisasi (pendalaman) Mengakui dan menyakini mengingkari Tes skala sikap Pemberian tugas ekspresif (sikap) dan proyektif (ramalan) 5. Karakteristik (penghayatan) Melembagakan atau meniadakan menjelmakan dalam pribadi atau perilaku sehari-hari Pemberian tugas ekspresif dan proyektif Observasi 78 Jurnal Pendidikan Penabur - No.24/Tahun ke-14/Juni 2015 Pemanfaatan Media Pembelajaran di Sekolah Dasar C. Psikomotor 1. Keterampilan bergerak dan bertindak Mengkoordinasikan gerakan mata, Observasi tangan, kaki, dan anggota tubuh lainnya Tes lisan 2. Kecakapan ekspresif verbal dan non verbal Mengucapkan Membuat mimik dan gerakan jasmani merencanakan bagaimana media itu dipakai dalam peroses pembelajaran di kelas.Untuk kelancaran penggunaannya, guru hendaknya mengujicobakan dulu media tersebut sebelum proses pelaksanaan di kelas dengan memperhatikan kondisi kelas misalnya cahaya, udara, dan ruangan. Selanjutnya, guru mengajak siswa melakukan kegiatan dengan media pembelajaran melalui prosedur yang telah disiapkan guru. Ketika pelaksanaan, guru memantau siswa dengan melakukan penilaian sesuai aspeknya (kognitif, afektif atau psikomotor). Selanjutnya guru akan memantau dan mengevaluasi penggunaan jenis media pembelajaran yang sudah dilakukan saat mengajar dengan melihat kelemahan yang perlu diperbaiki dan keuntungan apa saja yang diterima siswa belajar menggunakan bantuan media tadi. Hal ini berguna untuk guru saat menentukan jenis media pembelajaran pada materi yang sama di tahun ajaran mendatang lebih baik. Teori Belajar Teori belajar kognitif yang mendasari pentingnya siswa SD menggunakan media pembelajaran dalam kegiatan belajar mengajar di kelas adalah teori belajar dari Piaget, Bruner dan Ausubel. Menurut Piaget setiap siswa mengembangkan kemampuan berpikirnya secara bertahap. Pada satu tahap perkembangan tertentu akan muncul skema atau struktur tertentu yang keberhasilannya tergantung pada perkembangan tahap sebelumnya. Adapun tahapan-tahapan tersebut adalah sebagai berikut. Pertama, sensori motor(dari lahir sampai kurang lebih umur 2 tahun). Dalam dua tahun pertama kehidupan bayi ini, dia dapat sedikit memahami lingkungannya dengan jalan melihat, meraba atau memegang, mengecap, mencium dan menggerakan. Dengan kata lain Tes lisan Observasi Tes tindakan mereka mengandalkan kemampuan sensorik serta motoriknya. Beberapa kemampuan kognitif yang penting muncul pada saat ini. Anak tersebut mengetahui bahwa perilaku yang tertentu menimbulkan akibat tertentu pula bagi dirinya. Misalnya dengan menendang-nendang dia tahu bahwa selimutnya akan bergeser darinya. Kedua, pra-operasional (kurang lebih umur 2 tahun hingga 7 tahun). Dalam tahap ini sangat menonjol sekali kecenderungan anak untuk selalu mengandalkan dirinya pada persepsinya mengenai realitas. Dengan adanya perkembangan bahasa dan ingatan anakpun mampu mengingat banyak hal tentang lingkungannya. Intelek anak dibatasi oleh egosentrisnya yaitu ia tidak menyadari orang lain mempunyai pandangan yang berbeda dengannya. Ketiga, operasi konkrit (kurang lebih 7 sampai 11 tahun). Pada tahap ini anak sudah mengembangkan pikiran logis. Dalam upaya mengerti tentang alam sekelilingnya mereka tidak terlalu menggantungkan diri pada informasi yang datang dari pancaindra. Anak mampu berpikir secara operasi kongkrit sudah menguasai sebuah pelajaran penting melalui alat indranya. Anak-anak sering kali dapat mengikuti logika atau penalaran, namun mengetahui berbuat kesalahan. Keempat, operasi formal (kurang lebih umur 11 tahun sampai 15 tahun). Pada tahap ini anak sudah mampu berpikir abstrak yaitu berpikir mengenai gagasan. Anak dengan operasi formal ini sudah dapat memikirkan beberapa alternatif pemecahan masalah. Mereka dapat mengembangkan hukum-hukum yang berlaku umum dan pertimbangan ilmiah. Pemikirannya tidak jauh karena selalu terikat kepada hal-hal yang besifat konkrit, mereka dapat membuat hipotesis dan membuat kaidah mengenai halhal yang bersifat abstrak. Jurnal Pendidikan Penabur - No.24/Tahun ke-14/Juni 2015 79 Pemanfaatan Media Pembelajaran di Sekolah Dasar Menurut Piaget, usia SD masuk pada tahap operasional konkret. Anak mampu berpikir logis, memahami konsep percakapan, mengorganisasikan objek ke dalam klasifikasi, mampu mengingat, memahami dan memecahkan masalah yang bersifat kongkret. Penerapan Teori Piaget dalam pembelajaran di kelas misalnya dengan menggunakan bendabenda kongkret, menggunakan alat visual (OHP); menggunakan contoh-contoh yang akrab dengan anak, dari sederhana menuju kompleks; penyajian yang padat dan terorganisasi dan latihan memecahkan masalah secara kongkret. Siswa SD berada pada tahap operasional kongkrit. Tindakan mental yang memungkinkan siswa melakukan secara mental apa yang telah dilakukan secara fisik sebelumnya. Operasi kongkrit adalah juga tindakan mental yang sebaliknya. Siswa pada tahap operasi konkret memperlihatkan keterampilan konservasi dan klasifikasi. Siswa ini membutuhkan tersedianya dukungan perseptual untuk bernalar, pada pemikiran selanjutnya menjadi lebih abstrak. Pada tahap ini perlu ada media konkret untuk membantu siswa dapat bernalar. Media pembelajaran kongkret tersebut dapat diobservasi oleh anak melalui kegiatan yang dirancang oleh guru. Untuk dapat memahami sebuah konsep, siswa SD perlu pengalaman yang dapat mengubah pola pikir dari pengalaman sebelumnya dengan mengeksplor lingkungannya melalui alat indranya seperti mengamati dengan mata, mendengar dengan telinga, mencium dengan hidung, meraba dengan kulit, dan merasakan dengan lidah. Kitson dan Merry (1997:10) mengatakan bahwa: Children in pimary years learn directly about their immediate environment through exploration using their sensen: by attenting to the world around them through touching, listening, tasting, smelling, and looking, they begin to make generalisations. By generalizing from these experiences, children begin to form the basis of lasting understandings. Bruner mengungkapkan, dalam proses belajar sebaiknya siswa diberi kesempatan untuk memanipulasi media pembelajaran. Melalui media tersebut, siswa dapat melihat langsung bagaimana keteraturan dan pola struktur yang terdapat dalam benda. Ketika siswa mempelajari 80 Jurnal Pendidikan Penabur - No.24/Tahun ke-14/Juni 2015 suatu pengetahuan, misalnya mempelajari suatu konsep matematika. Pengetahuan itu perlu dipelajari dalam tahap-tahap tertentu, agar pengetahuan itu dapat diinternalisasi dalam pikiran (struktur kognitif) siswa tersebut. Proses internalisasi akan terjadi secara sungguhsungguh (yang berarti proses belajar terjadi secara optimal) jika pengetahuan yang dipelajari itu dipelajari dalam tiga tahap, yang macamnya dan urutannya adalah sebagai berikut (Hudojo 1998:26) 1. Tahap enaktif, yaitu suatu tahap pembelajaran sesuatu pengetahuan di mana pengetahuan itu dipelajari secara aktif, dengan menggunakan benda-benda kongkret atau menggunakan situasi yang nyata. 2. Tahap ikonik, yaitu suatu tahap pembelajaran sesuatu pengetahuan di mana pegetahuan itu direpresentasikan (diwujudkan) dalam bentuk bayangan visual (visual imagery), gambar, atau diagram, yang menggambarkan kegiatan kongkret atau situasi kongkret yang terdapat pada tahap enaktif tersebut di atas. 3. Tahap simbolik, yaitu suatu tahap pembelajaran di mana pengetahuan itu direpresentasikan dalam bentuk simbolsimbol abstrak (abstract symbols yaitu simbolsimbo yang dipakai berdasarkan kesepakatan orang-orang dalam bidang yang bersangkutan), baik simbol-simbol verbal (Misalnya huruf-huruf, kata-kata, kalimat-kalimat) lambang-lambang matematika, maupun lambang-lambang abstrak lainnya. Dari 3 tahap internalisasi berpikir dapat disimpulkan,proses belajar akan berlangsung secara optimal jika proses pembelajaran diawali dengan tahap enaktif.Kemudian, jika tahap belajar pertama ini telah dirasa cukup, siswa beralih pada tahap kedua, yaitu tahap belajar dengan menggunakan modus representasi ikonik. Selanjutnya, tahap ketiga yaitu tahap belajar dengan menggunakan modus representasi simbolik. Sebagai contoh, dalam mempelajari penjumlahan dua bilangan cacah, pembelajaran akan terjadi secara optimal jika mula-mula siswa mempelajari hal itu dengan mengguna- Pemanfaatan Media Pembelajaran di Sekolah Dasar kan benda-benda kongkret (Misalnya menggabungkan 3 kelereng dengan 2 kelereng dan kemudian menghitung banyaknya kelereng semuanya). Kemudian kegiatan belajar digunakan dengan menggunakan gambar atau diagram yang mewakili 3 kelereng dan 2 kelereng yang digabungkan tersebut (dan kemudian dihitung banyaknya kelereng semuanya, dengan menggunakan gambar atau diagram tersebut). Pada tahap yang kedua ini dapat juga siswa melakukan penjumlahan itu dengan menggunakan pembayangan visual (visual imagery) dari kelereng-kelereng tersebut. Pada tahap berikutnya, anak melakukan penjumlahan kedua bilangan itu dengan menggunakan lambang-lambang bilangan yaitu 3 + 2 = 5 (Widyadani, 2008:27). Menurut Ausubel ada 4 tipe belajar salah satunya adalah belajar dengan penemuan yang bermakna yaitu mengaitkan pengetahuan yang telah dimilikinya dengan materi pelajaran yang dipelajari itu atau sebaliknya, siswa terlebih dahulu menemukan pengetahuannya dari apa yang ia pelajari kemudian pengetahuan baru tersebut ia kaitkan dengan pengetahuan yang sudah ada (langsung berhadapan dengan bendanya, kongkret, siswa langsung menemukan maksud dalam pembelajaran). Pembelajaran bermakna akan terjadi jika ada proses pembelajaran ketika informasi baru dihubungkan dengan struktur pengertian yang sudah dimiliki seseorang yang sedang melalui pembelajaran. Dengan demikian, faktor intelektual-emosional siswa terlibat dalam kegiatan pembelajaran. Seseorang belajar dengan mengasosiasikan fenomena baru ke dalam skema yang telah ia punya. Dalam proses itu seseorang dapat memperkembangkan skema yang ada atau dapat mengubahnya. Dalam proses belajar ini siswa mengonstruksi apa yang ia pelajari sendiri. Oleh karena itu belajar bermakna itu bukan siswa sekedar duduk mendengar lalu mengerjakan latihan soal selanjutnya menghafalkan dan mengerjakan soal ulangan untuk memperoleh skor tinggi. Belajar bermakna berarti belajar menemukan konsep sendiri dengan mengaitkan pengetahuan yang telah dimilikinya dengan materi pelajaran yang dipelajari itu. Atau menemukan konsep dari hasil percobaan/ kegiatan yang dilakukan atas bimbingan guru dengan bantuan media pembelajaran. Hal ini karena siswa usia SD berada pada tahap operasi kongkrit ( 7-11 tahun) dan pada tahap ini siswa sudah dapat mengembangkan pikiran logis melalui bantuan benda kongkrit dan alat indranya. Proses internalisasi berpikir siswa SD akan optimal melalui 3 tahap, proses pembelajaran diawali dengan tahap enaktif (menggunakan benda kongkrit), dan kemudian jika tahap belajar pertama ini telah dirasa cukup, anak beralih pada tahap kedua, yaitu tahap belajar dengan menggunakan modus representasi ikonik (gambar 2 dimensi), dan selanjutnya, tahap ketiga yaitu tahap belajar dengan menggunakan modus representasi simbolik (tulisan huruf dan angka). Jadi dalam proses belajar, sebaiknya siswa diberi kesempatan memanipulasi benda media pembelajaran. Melalui media tersebut, siswa dapat melihat langsung bagaimana keteraturan dan pola struktur yang terdapat dalam benda, selanjutnya siswa akan menemukan konsep sendiri yang bermakna kelak bagi dirinya. Guru berfungsi sebagai mediator, fasilitator, motivator dan teman bagi siswa saat belajar di kelas. Proses pembelajaran yang diciptakan guru dalam suasana menyenangkan akan membuat siswa aktif, kreatif dan inovatif. Karakteristik anak SD Karakteristik siswa usia SD berbeda dengan siswa usia PAUD atau SMP. Pada masa usia tersebut siswa mengalami banyak perubahan yang sangat drastis baik mental maupun fisik. Usia siswa SD berkisar antara usia 7-12 tahun dan mereka mengikuti pendidikan formal dari kelas 1 sampai kelas 6. Kelas rendah terdiri atas kelas 1,2, dan 3, sedangkan kelas-kelas tinggi SD terdiri atas kelas 4, 5, dan 6 (Supandi, 1992:44). Ciri anak masa kelas rendah antaralain (a) ada hubungan yang kuat antara keadaan jasmani dan prestasi sekolah; (b) suka memuji diri sendiri; (c) kalau tidak dapat menyelesaikan suatu tugas atau pekerjaan, tugas atau pekerjaan itu dianggapnya tidak penting; (d) suka membandingkan dirinya dengan siswa lain, jika hal itu menguntungkan dirinya; dan (e)suka meremehkan orang lain. Ciri khas anak masa kelas tinggi antaralain: (a) perhatiannya tertuju Jurnal Pendidikan Penabur - No.24/Tahun ke-14/Juni 2015 81 Pemanfaatan Media Pembelajaran di Sekolah Dasar kepada kehidupan praktis sehari-hari; (b) ingin tahu, ingin belajar, dan realistis; (c) timbul minat kepada pelajaran-pelajaran khusus; (d) siswa memandang nilai sebagai ukuran yang tepat mengenai prestasi belajarnya di sekolah; dan (e) siswa suka membentuk kelompok sebaya atau peergroup untuk bermain bersama, mereka membuat peraturan sendiri dalam kelompoknya. (Syaodih,2011: 7). Secara umum perkembangan fisik siswa usia SD ditandai dengan postur badan lebih tinggi, berat, dan kuat sehingga peran gizi makanan sangat penting. Terjadi perubahan pada sistem tulang, otot dan keterampilan gerak seperti berlari, memanjat, melompat, berenang, naik sepeda, dan main sepatu roda. Oleh karena itu, kegiatan fisik sangat diperlukan siswa SD untuk melatih koordinasi dan kestabilan tubuh dan energi yang tertumpuk perlu penyaluran. Kegiatan bermain adalah dunia siswa, bermain dapat di lakukan di rumah, sekolah secara individual atau kelompok. Permainan yang bersifat konstruktif sangat disukai, hal ini dapat meningkatkan kreativitas anak. Siswa SD lebih menyukai permainan kelompok karena secara tidak langsung dapat mengembangkan konsep diri dan pembentukan harga dirinya. Uraian sebelumnya menunjukkan, karakteristik siswa usia SD masih senang bermain dan berpetualang, rasa ingin tahu yang tinggi, punya teman kelompok sebaya, sudah mulai belajar sosialisasi dengan teman (sosiosentris), belajar mematuhi aturan, perkembangan motorik kasar dan halus yang sudah mulai matang. Media pembelajaran yang menarik akan dapat menjawab rasa ingin tahu siswa. Melibatkan siswa dalam kegiatan langsung akan membuat proses pembelajaran bermakna karena anakakan berpikir untuk menemukan konsep bukan sekedar dijejali oleh guru. Secara tidak langsung kegiatan tersebut menyalurkan kesenangan siswa bermain dan berpetualang. Selain itu latihan perkembangan motorik baik kasar dan halus lebih terlatih karena saat belajar dengan media pembelajaran siswa akan mengotak atik media tersebut. Media pembelajaran yang digunakan secara kelompok akan bermanfaat untuk mengajak siswa belajar sosialisasi dengan teman, belajar mematuhi aturan yang dibuat bersama dan belajar bertukar pendapat. 82 Jurnal Pendidikan Penabur - No.24/Tahun ke-14/Juni 2015 Pembahasan Pendidikan sebagai usaha sadar dan terencana mengandung arti, pendidikan perlu disusun secara sistematis dan terarah agar tujuan pendidikan nasional tercapai optimal, efektif, efisien, dan bermutu. Pendidikan berfungsi sebagai sarana mengembangkan berbagai macam potensi diri setiap peserta didik. Pada hakekatnya setiap orang terlahir memiliki potensi diri yang berbeda. Setiap orang memiliki dua potensi diri sebagai bibit yang tersembunyi dan perlu dimunculkan dan dikembangkan menjadi wujud nyata yaitu potensi rohani dan jasmani. Potensi rohani seperti (1) potensi berpikir yang menekankan pada akal dan intelektual; (2) potensi rasa yang mengembangkan emosi; perasaan, dan estetika; (3) potensi karsa untuk menggali hasrat, kemauan dan keinginannya; (4) potensi cipta meningkatkan kreatifitas dalam menciptakan sebuah ide atau karya; (5) potensi karya untuk mengembangkan keterampilan dalam menghasilkan sebuah karya; dan (6) potensi budi nurani mengasah kata hati dan budi pekertinya. Sedangkan potensi jasmani melatih koordinasi gerak anggota badan dan ketajaman pancaindra agar hidup sehat dan terampil. Potensi diri dapat dikembangkan melalui bakat dan minat yang ada pada setiap orang melalui rangsangan dari lingkungan yang sengaja dikondisikan. Potensi diri tersebut dapat berkembang ke arah yang baik atau tidak baik tergantung dari lingkungan dan stimulus yang diterimanya. Salah satu stimulus yang dapat diberikan pada anak didik ialah memanfaatkan media pembelajaran di lingkungannya. Di bawah ini akan dibahas apakah memang suatu keharusan mengajar di SD dengan media pembelajaran. Ditegaskan dalam PP No.17/2010 dalam Pasal 67, salah satu fungsi pendidikan pada SD/MI adalah memberikan dasar kemampuan intelektual dalam bentuk kemampuan dan kecakapan membaca, menulis, dan berhitung. Sedangkan tujuan pendidikan dasar antara lain(1) menjadikan manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, dan berkepribadian luhur; (2) Pemanfaatan Media Pembelajaran di Sekolah Dasar berilmu, cakap, kritis, kreatif, dan inovatif; (3) peraga merupakan media pembelajaran yang sehat, mandiri, dan percaya diri; dan (4) toleran, mengandung atau membawakan ciri-ciri konsep peka sosial, demokratis, danbertanggung jawab. yang dipelajari. Contoh: papan tulis, buku tulis, SD sebagai dasar pondasi untuk melanjutkan dan daun pintu yang berbentuk persegipanjang ke jenjang pendidikan lebih tinggi serta dapat berfungsi sebagai alat peraga pada saat mempersiapkan anak untuk dapat mandiri guru menerangkan bangun geometri dalam hidup tanpa tergantung pada orang lain. Oleh persegipanjang. Fungsi utama alat peraga karena itu, perlu proses pembelajaran yang adalah untuk menurunkan keabstrakan dari sesuai dengan karakteristik siswa SD. konsep, agar siswa mampu menangkap arti Pembelajaran adalah bentuk kegiatan sebenarnya dari konsep yang dipelajari. Dengan menjalin hubungan interaksi dalam proses melihat, meraba, dan memanipulasi alat peraga belajar mengajar antara siswa dan guru. Dalam maka siswa mempunyai pengalaman nyata memberikan bimbingan atau dalam penyajian dalam kehidupan tentang arti konsep. materi pelajaran hendaknya guru mengacu Sedangkan sarana merupakan media kepada kebutuhan siswa, lingkungan, pembelajaran yang fungsi utamanya sebagai alat kurikulum dan kebutuhan pada masa yang bantu untuk melakukan pembelajaran. Dengan akan datang. Siswa SD umumnya masih senang mengguna-kan sarana tersebut diharapkan bermain, melakukan sesuatu, melihat hal-hal dapat memperlancar pembelajaran. Contoh: yang mereka belum pernah lihat dan rasa ingin papan tulis, jangka, peng-garis, lembar tugas tahu yang tinggi, (LT), lembar kerja dan pola berpikir (LK), dan alat-alat yang operasional permainan. Setiap mata pelajaran memiliki kongkrit artinya Oleh karena karakteristik berbeda sesuai tujuan masih perlu itu, guru dalam yang akan dicapai, namun pada bantuan benda menyajikan materi hakikatnya semua matapelajaran kongkrit untuk pelajaran selain tersebut menanamkan sikap, dapat memahami memilih tema/ keterampilan, dan pengetahuan suatu konse. Alat topik yang cocok pada siswa. bantu peraga dadengan kondisi pat membuat ide siswa, juga harus abstrak menjadi memilih dan lebih konkret untuk dipelajari. Membantu siswa menyajikan materi pelajaran dengan lebih fokus pada pikiran dan ide-ide tentang menggunakan media pembelajaran. Komunisebuah masalah berarti pada gilirannya kasiadalah proses pertukaran pesan dengan membantu mereka untuk memahami dan penggunaan kata-kata lisan, tindakan atau alat menafsirkan informasi yang telah disajikan. bantu visual. Visual komunikasi atau alat bantu Untuk siswa usia SD, taraf berpikir masih berada peraga yang digunakan untuk meningkatkan dalam ranah konkret, artinya dalam memahami presentasi lisan, memberikan kejelasan yang suatu konsep siswa masih harus dilibatkan lebih besar dan meningkatkan retensi mental dengan kegiatan pembelajaran yang menggu- siswa. Setiap orang belajar akanmemproses nakan benda nyata atau kejadian nyata yang informasi secara berbeda. Menggunakan dapat diterima akal siswa usia SD.Berdasarkan kombinasi alat komunikasi lisan dan visual hal tersebut di atas dapat disimpulkan, dalam akan membantu memahami informasi yang lebih kegiatan pembelajaran, pengalaman siswa efektif. Hal ini diperkuat dengan pernyataan memegang peranan yang penting dalam bahwa belajar yang efektif harus mulai dengan keberhasilan pembelajaran. Agar pengalaman pengalaman langsung atau pengalaman pembelajaran siswa dapat lebih bermakna, kongkrit dan menuju kepada pengalaman yang dibutuhkan alat bantu belajar. Alat bantu belajar abstrak. Belajar akan lebih efektif jika dibantu dapat berupa alat peraga atau media dengan alat peraga pengajaran dari pada bila pembelajaran. Menurut Estiningsih (1994) alat belajar tanpa dibantu dengan alat pengajaran Jurnal Pendidikan Penabur - No.24/Tahun ke-14/Juni 2015 83 Pemanfaatan Media Pembelajaran di Sekolah Dasar (Bell,1978:31). Media pembelajaran akan membuat kondisi pengajaran di kelas lebih interaktif, membantu siswa lebih terlibat dalam pembelajaran mereka sendiri sehingga berdampak materi yang dipelajari akan bertahan lama di benak siswa . Salah satu fungsi pendidikan adalah menjadikan siswa SD berilmu, cakap, kritis, kreatif, dan inovatif melalui mata pelajaran seperti IPS, IPA, Matematika, Bahasa Indonesia dan PPKn. Setiap mata pelajaran memiliki karakteristik berbeda sesuai tujuan yang akan dicapai, namun pada hakikatnya semua matapelajaran tersebut menanamkan sikap, keterampilan, dan pengetahuan pada siswa. Berikut ini akan diuraikan satu persatu karakteristik mata pelajaran bahasa Indonesia, matematika, PPkn, IPs dan IPA SD dan kaitannya dengan penggunaan media pembelajaran. Bahasa merupakan alat komunikasi antar manusia berupa bunyi simbol yang mengandung makna. Dengan bahasa, manusia dapat mengaktualisasikan pikiran dan perasaannya, serta dapat berinteraksi dengan sesamanya untuk berbagai keperluan hidup. Demikian pula bahasa Indonesia, sebagai sebuah bahasa, peran dan fungsinya tidak akan jauh berbeda dengan hal tersebut. Itulah sebabnya, pelaksanaan pembelajaran bahasa Indonesia di sekolah harus mengaitkan dengan fungsi bahasa sebagai sarana komunikasi. Oleh karena itu, pendekatan dan metode yang digunakan guru dalam pembelajaran berpedoman pada fungsi bahasa tersebut, yaitu metode atau pendekatan komunikatif. Bahasa merupakan sebuah sistem. Di dalam bahasa terdapat berbagai komponen yang membentuk sistem bahasa, di antaranya adalah komponen pada tataran bunyi (fonologi), kata (morfologi), kalimat (sintaksis), dan makna (semantik). Setiap komponen bukannya berdiri sendiri, melainkan saling berkaitan. Oleh karena bahasa Indonesia merupakan sebuah sistem, pelaksanaan pembelajaran bahasa Indonesia di sekolah yang baik dilakukan secara terpadu (terintegrasi), bukan secara terpisah-pisah (parsial). Keterpaduan itu tidak hanya lintas materi, bila perlu lintas bidang atau lintas mata pelajaran. Bahasa akan muncul dipengaruhi salah satunya oleh situasi atau konteks tertentu. Faktor konteks ini akan turut memberi kontribusi 84 Jurnal Pendidikan Penabur - No.24/Tahun ke-14/Juni 2015 dalam proses ‘pembentukan makna’ pada bentuk bahasa yang muncul. Sehubungan dengan hal tersebut, kegiatan pembelajaran bahasaIndonesia yang baik di sekolah dilakukan tanpa meninggalkan konteks berbahasa. Dengan kata lain, pendekatan kontekstual akan menjadi sebuah alternatif yang tepat untuk digunakan dalam praktik pembelajaran bahasa Indonesia. Di antara tujuan yang diemban oleh mata pelajaran bahasa Indonesia adalah siswa memiliki keterampilan dalam berbahasa Indonesia secara baik dan benar, baik secara reseptif (membaca dan menyimak) maupun secara produktif (berbicara dan menulis). Aspek keterampilan, termasuk keterampilan berbahasa Indonesia, biasanya akan dimiliki seseorang apabila ia rajin berlatih. Berdasarkan asumsi tersebut, konsekuensi pembelajaran bahasa Indonesia lebih berorientasi pada praktik berbahasa daripada teori pengetahuan bahasa. Hal itu dilakukan agar tujuan terampil berbahasa Indonesia di kalangan siswa dapat terwujud. Mata pelajaran Bahasa Indonesia terkesan mengerjakan soal latihan lebih mengarah pada gramatikal. Padahal karakteristik mata pelajaran bahasa Indonesia bersifat kontekstual seperti bagaimanatanya jawab yang sopan dan runtut dengan orang yang diajak berbicara agar mengandung makna. Pembelajaran tersebut tidak bisa dilatih dalam tulisan seperti menjawab soal latihan atau mengarang. Akan tetapi pada keterampilan menyimak dan berbicara, siswa secara langsung terlibat.Oleh karena proses pembelajarannya akan menarik jika menggunakan tema sesuai minat siswa misalnya citacitaku, setiap siswa akan saling mewawancarai teman mengenai cita-citanya. Atau mengundang nara sumber sebagai contoh bagaimana mewawancarai yang benar atau memutarkan film tentang wawancara seseorang. Contoh lain, membelajarkan siswa mengungkapkan perasaan melalui tulisan, bukan sekedar menyalin atau membuat puisi atau karangan tanpa bimbingan yang hasilnya langsung dinilai oleh guru. Akan tetapi guru membelajarkan secara bertahap menuliskan puisi seperti menggunakan sebuah benda kesayangannya di taruh di atas mejanya lalu guru membacakan pertanyaan seperti benda apa itu. Siswa menjawab sesuai benda yang ada Pemanfaatan Media Pembelajaran di Sekolah Dasar di atas meja. Lalu pertanyaan berikutnya bagaimana ciri benda tersebut. Siswa lalu menuliskan ciri benda berdasarkan warna, ukuran, dst. Lalu guru bertanya lagi kapan digunakan. Anak akan menjawabnya dst. Tulisan hasil jawaban pernyataan guru tersebut akan menjadi puisinya. Setiap anak memajang hasil karyanya di papan tulis agar siswa lain dapat membacanya. Melalui pertukaran informasi puisi yang berbeda akan menambah pengetahuan anak tentang puisi. Sesuaikan tingkat kesulitan membuat puisi secara bertahap, dari yang paling mudah dan kongkrit ke yang sukar dan abstrak. Untuk memberanikan anak bermain peran di depan teman-temannya, sebaiknya tidak langsung diminta berdiri di depan teman sekelas lalu bermain peran. Tentu siswa akan gugup, malu, dan berbicara sesuai yang dihafal dengan suara pelan dan tidak dihayati.Mulailah dari kelompok kecil, misalnya 4 - 5orang duduk dilantai dan di setiap kelompok ada selendang, topi, dan kacamata. Media tersebut diperagakan oleh setiap siswa di depan temannya dengan cara bebas menggunakannya. Pertemuan selanjutnya dengan kelompok 8-10 orang siswa boleh bermain pantomin dan teman lainnya menebak. Pertemuan selanjutnya 15-20 orang duduk berkelompok menuliskan cita-cita pada secarik kertas, lalu salah seorang siswa mengambil tulisan tersebut dan membacakan seolah-olah ia sebagai host sebuah acara pemberian tanda penghargaan di sekolah. Lakukan secara bergantian sehingga setiap anak mendapat kesempatan untuk berbicara di depan teman dengan gayanya masing-masing. Pertemuan berikutnya, diminta2-3 orang membuat cerita dan memerankan di depan kelas. Menurut Branson (1999:4), karakteristik Pendidikan Kewarganegaraan harus mencakup tiga komponen. Pertama, Civic Knowledge (pengetahuan kewarganegaraan), berkaitan dengan kandungan atau nilai apa yang seharusnya diketahui oleh warga negara. Aspek ini menyangkut kemampuan akademikkeilmuan yang dikembangkan dari berbagai teori atau konsep politik, hukum dan moral. Kedua, Civic Skills (keterampilan kewarganegaraan) meliputi keterampilan intelektual (intelectual skills) dan keterampilan berpartisipasi (participatory skills) dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Contoh keterampilan intelektual adalah keterampilan dalam merespon berbagai persoalan politik. Ketiga ialah Civic Disposition (watak kewarganegaraan). Komponen ini sesungguhnya merupakan dimensi yang paling substantif dan esensial dalam mata pelajaran PPKn. Dimensi watak kewarganegaraan dapat dipandang sebagai ‘muara’ dari pengembangan kedua dimensi sebelumnya. Dengan memperhatikan visi, misi, dan tujuan mata pelajaran PPKn, karakteristik mata pelajaran ini ditandai dengan penekanan pada dimensi watak, karakter, sikap dan potensi lain yang bersifat afektif/sikap. Contoh, kegiatan pembelajaran siswa kelas 1 SD mengenai diri sendiri dikaitkan dengan karakter siswa . Karakter dapat terbentuk dari konsep diri yang baik lalu diinternalisasikan dalam sikap seharihari menjadi sebuah pembiasaan. Siswa dalam usia 7-8 tahun sedang mencari konsep dirinya, oleh sebab itu saat membelajarkan dirinya sebaiknya menumbuhkan konsep diri yang positif seperti percaya diri dan tidak rendah diri melalui berbagai kegiatan permainan seperti menggunakan cermin lalu siswa tersebut menggambarkan bagaimana wajahnya dan menyebutkan ciri-ciri wajahnya. Wajah berbeda dengan teman merupakan anugrah dari Tuhan YME dan patut disyukuri. Siswa tersebut dengan bangga dapat menyebutkan ciri wajahnya pada teman melalui lisan atau gambar. Kegiatan lainnya untuk memperkenalkan sikap yang baik dan buruk, dapat diputar film fabel yang menggambarkan karakter tersebut. Guru dapat menggunakan boneka tangan atau panggung boneka untuk menceritakan tokoh yang baik dan buruk sehingga siswa dapat meniru karakter tokoh baik dalam kehidupan sehari-hari. Saat menonton atau mendengarkan dongeng sebaiknya siswa diajak berdiskusi untuk tanya jawab mengenai tokoh dan kemungkinan apa yang terjadi setelah suatu kejadian berlangsung. Selain tidak jenuh dan bosan, siswa dilatih mengungkapkan pikiran melalui bahasa lisan. Tujuan pendidikan IPS ialah mendidik dan memberi bekal kemampuan dasar kepada siswa untuk mengembangkan diri sesuai dengan bakat, Jurnal Pendidikan Penabur - No.24/Tahun ke-14/Juni 2015 85 Pemanfaatan Media Pembelajaran di Sekolah Dasar minat, kemampuan, dan lingkungannya, serta dimensi). Jika sudah paham, siswa diajak untuk berbagai bekal siswa untuk melanjutkan mengamati peta atlas dalam bentuk buku atau pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. display besar di gantung di papan tulis. Siswa Pendidikan IPS lebih menekankan pada aspek dapat membuat atau melengkapi peta atlas ‘pendidikan’ dari pada ‘transfer konsep’, karena tersebut dengan gambar atau warna atau tulisan. dalam pembelajaran pendidikan IPS siswa Tahapan siswa belajar konservasi ruang berupa diharapkan memperoleh pemahaman terhadap lingkungan tempat tinggalnya, dimulai dari sejumlah konsep dan mengembangkan serta benda kongkrit seperti globe lalu analogi dengan melatih sikap, nilai, moral, dan keterampilannya buah semangka/bola plastik selanjutnya masuk berdasarkan konsep yang telah dimilikinya. ke dua dimensi dalam bentuk gambar yang ada Dengan demikian, pembelajaran pendidikan IPS di peta/atlas terakhir dalam simbol atau tulisan. harus diformulasikannya pada aspek Matematika memiliki bahasa dan aturan kependidikannya. Konsep IPS, yaitu: (1) inter- yang terdefinisi dengan baik, penalaran yang aksi, (2) saling ketergantungan, (3) kesinam- jelas dan sistematis, dan struktur atau bungan dan perubahan, (4) keragaman/ keterkaitan antar konsep yang kuat. Unsur utama kesamaan/ perbedaan, (5) konflik dan konsesus, pekerjaan matematika adalah penalaran (6) pola (patron), (7) tempat, (8) kekuasaan (power), deduktif yang bekerja atas dasar asumsi (9) nilai kepercayaan, (10) keadilan dan (kebenaran konsistensi). Selain itu, matematika pemerataan, (11) kelangkaan (scarcity), (12) juga bekerja melalui penalaran induktif yang kekhususan, (13) budaya (culture), dan (14) didasarkan fakta dan gejala yang muncul untuk na sionalis me. sampai pada Penerapan pemperkiraan tertenbelajaran IPS tu. Tetapi perkirapada jenjang an ini tetap harus Penerapan pembelajaran IPS pada pendidikan SD dibuktikan secara jenjang pendidikan SD tidak hanya tidak hanya berdeduktif, dengan berorientasi pada pengembangan orientasi pada argumen yang sosial tetapi juga berorientasi pada pengembangan konsisten. Matepengembangan keterampilan sosial tetapi juga matika sekolah berpikir kritis, dan kecakapanberorientasi pada adalah matemakecakapan dasar anak... pengembangan tika yang telah keterampilan dipilah dan berpikir kritis, disesuaikan dan kecakapan-kecakapan dasar anak yang dengan tahap perkembangan intelektual, siswa berpihak pada kenyataan kehidupan sosial serta digunakan sebagai salah satu sarana kemasyarakatan sehari-hari serta memenuhi untuk mengembangkan kemampuan berpikir kebutuhan sosial di masyarakat. siswa. Ada sedikit perbedaan antara matematika Sebagai ilustrasi, untuk memperkenalkan sebagai ilmu dengan matematika sekolah. kedudukan Indonesia di antara negara lainnya, Perbedaan itu dalam bentuk penyajian, pola kegiatan di kelas menggunakan media buah pikir, keterbatasan semesta, dan tingkat semangka atau bola plastik. Pola pikiran siswa keabstrakan (Ibrahim 2000: 43-44). Pada masih holistik sehingga sulit jika langsung pembelajaran matematika di SD ada beberapa diajak untuk melihat peta atlas 2 dimensi. Oleh karakteristik seperti penyajian, pola pikir, karena itu, siswa diajak mengamati dunia semesta pembicaraan dan tingkat keabstrakan. dengan globe atau dibuat analogi dengan buah Penyajian matematika tidak harus diawali semangka/bola plastik (benda kongkrit) yang dengan teorema atau definisi, tetapi harus ditempel dengan kertas yang berbentuk pulau disesuaikan dengan taraf perkembangan berpikir dan benua. Selanjutnya siswa diajak membuat siswa. Apalagi untuk tingkat SD, mereka belum peta 2 dimensi dengan bola plastik tadi yang mampu seluruhnya berpikir deduktif dengan dipotong sebagian menjadi sehelai plastik (2 obyek yang abstrak. Pendekatan yang induktif 86 Jurnal Pendidikan Penabur - No.24/Tahun ke-14/Juni 2015 Pemanfaatan Media Pembelajaran di Sekolah Dasar dan menggunakan obyek yang kongkrit merupakan sarana yang tepat untuk membelajarkan matematika, karena kemampuan berpikir siswa SD masih dalam tahap operasional konkrit. Suatu konsep diangkat melalui manipulasi dan observasi terhadap obyek kongkrit, kemudian dilakukan proses abstraksi dan idealisasi. Jadi, penggunaan media/alat peraga untuk memahami suatu konsep atau prinsip sangat penting dilakukan dalam proses pembelajaran matematika di SD. Sesuai tingkat perkembangan intelektual siswa, matematika yang disajikan dalam jenjang pendidikan juga menyesuaikan dalam kekomplekan semestanya. Semakin meningkat perkembangan intelektual siswa, semesta matematikanya semakin diperluas. Tingkat keabstrakan matematika menyesuaikan dengan tingkat perkembangan intelektual siswa. Di SD untuk memahami materi pelajaran dimungkinkan untuk mengkongkritkan obyek-obyek matematika. Akan tetapi, hal ini berbeda untuk jenjang sekolah yang lebih tinggi. Semakin tinggi jenjang sekolah, tingkat keabstrakannya semakin tinggi pula. Kegiatan menghitung dan menulis pada siswa usia dini sudah diperkenalkan karena tuntutan orang tua. Namun, ketika siswa masuk kelas 1 SD konsep menghitung dan menulis bilangan sudah lupa karena sewaktu membelajarkan konsep menghitung, guru kurang memahami pola pikir dan perkembangan siswa. Guru jarang menggunakan benda kongkrit untuk menghitung, umumnya menggunakan kartu yang mempunyai gambar dan bilangan. Lalu siswa dilatih menulis bilangan 1-10. Siswa menjadi cepat lupa karena menghitung dan menulis bilangan mengguna-kan pikiran abstrak, sedangkan siswa tersebut masih berada pada pikiran kongkrit. Oleh karena itu penggunaan media sangat diperlukan dalam membelajarkan konsep berhitung. Melalui berbagai macam permainan dengan menggunakan media di siswa ajak menghitung. Siswa cepat ingat tapi cepat lupa merupakan karakteristik siswa usia 6-8 tahun. Oleh karena itu, konsep bermain hitung dengan media dilakukan berulang-ulang. Jika sudah paham, anakdiajak menggambarkan benda yang dihitung pada kartu atau buku. Lakukan berulang-ulang dengan benda yang berbeda dan jumlahnya berbeda-beda. Setelah siswa paham maka lanjutkan dengan menulis bilangan sesuai dengan jumlah benda yang dhitung. Siswa menggambar benda lalu menuliskan bilangannya. Tahap akhir yang dianggap paling sulit oleh siswa adalah menuliskan bilangan saja karena itu abstrak. Oleh karena itu, siswa kelas 1 SD harus mengulang konsep berhitung yang sudah diajarkan di PAUD dan setelah siswa ingat dan paham baru melangkah pada simbol bilangan. IPA merupakan cabang pengetahuan yang berawal dari fenomena alam. IPA didefinisikan sebagai sekumpulan pengetahuan tentang objek dan fenomena alam yang diperoleh dari hasil pemikiran dan penyelidikan ilmuwan yang dilakukan dengan keterampilan bereksperimen dengan mengguna-kan metode ilmiah. Pada hakikatnya, IPA merupakan ilmu pengetahuan tentang gejala alam yang dituangkan berupa fakta, konsep, prinsip dan hukum yang teruji kebenarannya melalui rangkaian kegiatan ilmiah. IPA merupakan suatu rangkaian konsep yang saling berkaitan. Bagan-bagan konsep yang telah berkembang sebagai hasil eksperimen dan observasi bermanfaat untuk eksperimen dan observasi lebih lanjut (Depdiknas, 2006). Sesuai dengan karakteristiknya, IPA diharapkan dapat menjadi wahana bagi siswa untuk mempelajari diri sendiri dan alam sekitar serta pengembangan lebih lanjut dalam kehidupan sehari-hari. Cakupan IPA yang dipelajari di sekolah tidak hanya berupa kumpulan fakta tetapi juga proses perolehan fakta yang didasarkan pada kemampuan menggunakan pengetahuan dasar IPA untuk memprediksi atau menjelaskan berbagai fenomena yang berbeda. Cakupan dan proses belajar IPA disekolah sebagai berikut. Pertama, proses belajar IPA melibatkan hampir semua alat indra, seluruh proses berpikir, dan berbagai macam gerakan otot. Contoh, untuk mempelajari pemuaian pada benda, kita perlu melakukan serangkaian kegiatan yang melibatkan indra penglihat untuk mengamati perubahan ukuran benda (panjang, luas, atau volume), melibatkan gerakan otot untuk melakukan pengukuran dengan menggunakan Jurnal Pendidikan Penabur - No.24/Tahun ke-14/Juni 2015 87 Pemanfaatan Media Pembelajaran di Sekolah Dasar alat ukur yangsesuai dengan benda yang diukur dan cara pengukuran yang benar, agar diperoleh data pengukuran kuantitatif yang akurat. Kedua, belajar IPA dilakukan dengan menggunakan berbagai macam cara (teknik). Misalnya, observasi, eksplorasi, dan eksperimen. Ketiga, belajar IPA memerlukan berbagai macam alat, terutama untuk membantu pengamatan. Hal ini dilakukan karena kemampuan alat indra manusia itu sangat terbatas. Selain itu, ada hal-hal tertentu bila data yang kita peroleh hanya berdasarkan pengamatan dengan indra, akan memberikan hasil yang kurang obyektif, sementara itu IPA mengutamakan obyektivitas. Contoh : pengamatan untuk mengukur suhu benda diperlukan alat bantu pengukur suhu. Keempat, belajar IPA merupakan proses aktif. Belajar IPA merupakan sesuatu yang harus anak lakukan, bukan sesuatu yang dilakukan untuk anak. Dalam belajar IPA, siswa mengamati obyek dan peristiwa, mengajukan pertanyaan, memperoleh pengetahuan, menyusun penjelasan tentang gejala alam, menguji penjelasan tersebut dengan cara-cara yang berbeda, dan mengkomunikasikan gagasannya pada pihak lain. Keaktifan secara fisik saja tidak cukup untuk belajar IPA, siswa juga harus memperoleh pengalaman berpikir melalui kebiasaan berpikir dalam belajar IPA. Para ahli pendidikan dan pembelajaran IPA menyatakan bahwa pembelajaran IPA seyogianya melibatkan siswa dalam berbagai ranah, yaitu rana kognitif, psikomotorik,dan afektif. Keaktifan dalam belajar IPA terletak pada dua segi, yaitu aktif bertindak secara fisik atau hands-on dan aktif berpikir atau mind-on(NCTM, 1973:20). Hal ini dikuatkan dalam kurikulum IPA yang menganjurkan pembelajaran IPA di sekolah melibatkan siswa dalam penyelidikan yang berorientasi inkuiri, dengan interaksi antara siswa dengan guru dan siswa lainnya. Melalui kegiatan penyelidikan, siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan pengetahuan ilmiah yang ditemukannya pada berbagai sumber, siswa menerapkan materi IPA untuk mengajukan pertanyaan, siswa menggunakan pengetahuannya dalam pemecahan masalah, perencanaan, membuat keputus88 Jurnal Pendidikan Penabur - No.24/Tahun ke-14/Juni 2015 an, diskusi kelompok, dan anak memperoleh asesmen yang konsisten dengan suatu pendekatan aktif untuk belajar. Contoh kegiatan pembelajaran tata surya di SD akan menarik dan bermakna jika diputarkan film tentang tata surya sehingga anak tidak miskonsepsi satu dengan lainnya. Siswa akan terbayang posisi bumi, matahari, dan bulan melalui tayangan film. Namun, bisa digunakan media lain seperti bola ukuran besar (bumi) yang disorot oleh lampu senter (matahari) dan bola kecil (bulan). Tiga orang siswa memegang benda tersebut lalu atur posisi siswa dan setiap siswa berputar ke arah kanan. Kegiatan ini menyimulasikan gerhana matahari, gerhana bulan atau posisi yang teratur pada tata surya terjadi. Setelah siswa paham konsep tata surya melalui media maka siswa dapat menggambarkan pada buku dan menjelaskan secara lisan atau tulisan. Media pembelajaran menjembatani siswa dari berpikir kongkrit ke abstrak . Agar proses pendidikan bermutu, pelaksanaanya dilakukan sesuai dengan Permen No. 41/2006 tentang Standar Proses yang menyatakan, proses pembelajaran pada satuan pendidikan diselenggarakan secara interaktif, inspiratif, menyenangkan, menantang, memotivasi siswa untuk berpartisipasi aktif, serta memberikan ruang yang cukup bagi prakarsa, kreativitas, dan kemandirian sesuai dengan bakat, minat, dan perkembangan fisik serta psikologis siswa. Salah satu sumber belajar yang dapat dimanfaatkan oleh guru untuk membantu proses pembelajaran yang berasaskan pembelajaran yang aktif, kreatif, efektif, dan menyenangkan (PAKEM) tersebut dengan memanfaatkan media pembelajaran yang ada lingkungannya. Tujuan memanfaatkan media pembelajaran di kelas menurut Sukayati (2009: 89) adalah antara lain untuk meningkatkan motivasi belajar anak sehingga siswa tertantang belajar dari berbagai media untuk menjawab rasa ingin tahu yang besar. Media pembelajaran selalu berkaitan dengan kompetensi dasar di kurikulum. Oleh karena itu, dalam memilih, memanfaatkan dan merancang media pembelajaran harus disesuaikan dengan tujuan pembelajaran yang tertuang dalam kurikulum. Media pembelajaran yang tidak memenuhi kriteria dapat menye- Pemanfaatan Media Pembelajaran di Sekolah Dasar babkan kegagalan dalam penggunaannya. Beberapa kriteria media pembelajaran antara lain ekonomis, praktis, mudah diperoleh, fleksibel (dapat dimanfaatkan untuk berbagai tujuan intruksional dan tidak dipengaruhi oleh kemajuan teknologi, nilai, budaya, dan lain-lain), terkait dengan kurikulum (kompetensi dasar, strategi pembelajaran, sistem evaluasi yang digunakan), sesuai dengan karakteristik siswa, dan kondisi pembelajaran. Pembelajaran merupakan aktivitas dan proses yang sistematis dan sistemik yang terdiri atas beberapa komponen yaitu : guru, kurikulum, siswa , fasilitas dan administrasi. Masingmasing komponen tidak bersifat parsial (terpisah) atau berjalan sendiri-sendiri, tetapi harus berjalan secara teratur, saling bergantung, dan berkesinambungan. Untuk itu diperlukan rancangan dan pengelolaan belajar yang baik yang dikembangkan dalam rangka mencapai tujuan pembelajaran. Para guru dituntut agar mampu menggunakan media yang digunakan dalam pembelajaran dan menggembangkan keterampilan membuat media pembelajaran yang akan digunakannya apabila media tersebut belum tersedia di sekolah. Dalam menyusun perencanaan pembelajaran beberapa langkah yang perlu diperhatikan oleh guru. 1. Merumuskan tujuan khusus. Dengan cara identifikasi dan analisa kurikulum yang berlaku selanjutnya susun indikator yang akan dicapai. Untuk pembelajaran tematik di SD perlu mengkaji dari beberapa mata pelajaran yang dikaitkan. Misalnya mata pelajaran Matematika, Bahasa Indonesia, IPA, IPS, PPKN, dan SBDK agar tujuan pembelajaran berkesinambungan dan utuh. 2. Memilih pengalaman belajar. Guru perlu memilih dan menentukan materi yang akan disajikan sesuai dengan minat, perkembangan dan kematangan siswa yang akan belajar. Untuk siswa SD yang senang bermain, melatih motorik kasar dan halus, mencari konsep diri untuk membiasakan diri menjadi sebuah karakter perlu pengalaman yang melibatkan langsung. 3. Menentukan kegiatan belajar mengajar. Siswa SD berkarakteristik senang bergerak artinya akan cepat bosan jika duduk, mencatat dan mendengar ceramah dari guru saja. Oleh karena itu perlu didesain sebuah kegiatan pembelajaran yang memotivasi dan menantang siswa agar mereka mau belajar. Guru perlu mempertimbangkan metode pembelajaran dan media yang digunakan saat siswa belajar. Hal ini terkait dengan sumber belajar, fasilitas dan kondisi siswa. Contohnya di area pantai dan area persawahan, sumber belajar yang tersedia akan berbeda karena budaya, mata pencaharian, kekayaan alam yang berbeda. Intinya guru dapat menfasilitasi belajar siswa sehingga tujuan belajar anak tercapai maksimal. 4. Menentukan orang yang akan terlibat membantu dalam proses pembelajaran serta memilih dan menentukan media yang tepat. Dalam mempersiapkan media pembelajaran guru perlu mempertimbangkan bagaimana mempersiapkannya. Mengorganisasikan semua sumber daya yang ada adalah tugas guru. Sekaligus guru menyeleksi media yang sesuai digunakan saat pembelajaran. Pemanfaatan media pembelajaran yang tepat dan digunakan secara benar diharapkan dapat mempermudah abstraksi, memperbaiki, atau meningkatkan penguasaan konsep atau fakta, memberikan motivasi, memberikan variasi pembelajaran, meningkatkan efisiensi waktu, dan meningkatkan keterlibatan anak dalam pembelajaran. Menurut Ruseffendi (dalam Pujiati, 2009a) penggunakan media pembelajaran tidak selamanya membuahkan hasil belajar yang lebih meningkat, lebih menarik, dan sebagainya. Adakalanya menyebabkan hal yang sebaliknya, yaitu menyebabkan kegagalan anak dalam belajar. Kegagalan itu akan nampak apabila generalisasi konsep abstrak dari representasi hal-hal yang kongkrit tidak tercapai, media yang digunakan hanya sekedar sajian yang tidak memiliki nilai-nilai yang tidak menunjang konsep-konsep yang diajarkan, tidak disajikan pada saat yang tepat, memboroskan waktu, diberikan pada siswa yang sebenarnya tidak memerlukannya, dan tidak menarik dan mempersulit konsep yang dipelajari. Jurnal Pendidikan Penabur - No.24/Tahun ke-14/Juni 2015 89 Pemanfaatan Media Pembelajaran di Sekolah Dasar Simpulan Kesimpulan Globalisasi menuntut masyarakat untuk berpikir kreatif dan kritis. Masyarakat yang produktif akan menghasilkan produk bermutu sehingga dapat bersaing dengan negara lain. Untuk menghadapi tantangan zaman tersebut diperlukan Sumber Daya Manusia (SDM) yang memiliki kepribadian yang seimbang daya cipta, karsa, dan karya untuk dapat bersaing dan unggul. Salah satu cara untuk membentuk SDM yang bermutu melalui pemanfaatan media pembelajaran dalam dunia pendidikan. Penggunaan media pembelajaran sangat berguna melengkapi pemahaman siswa terutama siswa SD terhadap materi yang dipelajari dan prinsipnya untuk meningkatkan efektivitas dan kelancaran proses belajar Mata pelajaran yang diajarkan pada siswa SD seperti Matematika, Bahasa Indonesia, Agama, PPkn, IPA, IPs, SBDK, dan Penjas memiliki karakteristik berbeda namun semua mata pelajaran tersebut bertujuan menumbuhkan kematangan berpikir, emosional dan spirituil pada siswa. Kompetensi dasar yang ingin dicapai oleh setiap mata pelajaran berbedabeda namun proses pembelajaran yang menyenangkan dan bermakna berlaku pada setiap mata pelajaran. Oleh karena penggunaan media pembelajaran sebagai jembatan untuk mempermudah siswa berpikir dari kongkrit ke abstrak serta meningkatkan motivasi siswa belajar. Keberhasilan penggunaan media pembelajaran sangat tergantung pada ketepatan pemilihannya yang harus mengacu pada tuntutan kurikulum (kompetensi dasar, strategi pembelajaran, dan evaluasi hasil belajar), karakteristik bahan pembelajaran, karakteristik siswa , serta lingkungan pembelajaran. Saran Guru sebagai agent transfer of knowledge yang ingin mendapatkan hasil pembelajaran yang baik hendaknya selalu berusaha memperbaiki proses pembelajarannya dengan mengoptimalkan dan menciptakan ide kreatif melalui media sehingga pembelajaran dapat berjalan dengan 90 Jurnal Pendidikan Penabur - No.24/Tahun ke-14/Juni 2015 optimal dan mencapai hasil maksimal.Cara dan macam penggunaan setiap media memang berbeda sesuai dengan konsep materi yang harus dipahami oleh siswa dan disesuaikan dengan metode pembelajaran yang digunakan. Guru harus paham dan terampil dalam pengelola alat peraga matematika yang digunakan. Jangan sampai terjadi penggunaan media malah mengacaukan jalannya pembelajaran yang ditangani. Guru harus pula tahu apakah media tersebut untuk penanaman konsep atau pembinaan keterampilan. Dalam fungsi pendidikan (PP 17/2010 dalam pasal 67), dalam membekali siswa pengetahuan, keterampilan dan sikap pengalaman belajar siswa sangatlah penting. Pengalaman tersebut akan membentuk suatu pemahaman apabila ditunjang dengan alat bantu belajar, yang berfungsi untuk mengkongkritkan materi-materi yang bersifat abstrak. Oleh karena itu guru harus terus belajar melalui baca buku, mengikuti seminar workhop, mendisain media pembelajaran selanjutnya didiskusikan dengan teman sejawat, membuka pikiran (open minded) ketika ada masukan/saran yang sifatnya membangun; melakukan PTK. Daftar Pustaka Arikunto, Agus. (2007). Pemanfaatan alat peraga matematika di SD. Yogyakarta: PPPPTK Matematika Arsyad, Azhar. (2011). Media pembelajaran. Jakarta: Rajawali Press Branson. (1999). Theory of civic education: A forth coming education. Canada: Sherbrooke Depdiknas. (2006). Standar pendidikan nasional. Jakarta: Pusat Kurikulum Estiningsih, E. (1994).Landasan teknik pengajaran hitung SD. Yogyakarta: PPPG Matematika Bell, Frederich H,.(1978). Teaching and learning mathematics. Iowa : Brown Company Publisher Hamalik, Oemar. (2011). Dasar-dasar pengembangan kurikulum. Bandung: Rosda Karya Hudojo, H. (1998). Mengajar belajar matematika. Jakarta: Depdikbud Ibrahim, H, dkk. (2000). Media pembelajaran. Malang: Universitas Negeri Malang Pemanfaatan Media Pembelajaran di Sekolah Dasar Kitson, Neil, & Merry, Roger. (1997). Teaching in the primary school. London: Routledge Kurjono. (2010). Proses belajar mengajar dengan aspek-aspeknya: Panduan bagi para pendidik, maha anak dan para praktisi pendidikan. Bandung: ProgramStudi Pendidikan Akuntansi: Tidak diterbitkan Latuhera. (1988). Media pembelajaran. Jakarta: Gramedia Mulyasa, E. (2011). Kurikulum tingkat satuan pelajaran. Bandung: Rosda Karya. NCTM (1973). Instructional AIDs in mathematics: Virginia (Thirty Year Book) Pujiati. 2009a. Pemanfaatan alat peraga sebagai media pembelajaran matematika SD. Makalah tidak dipublikasikan. Yogyakarta: PPPPTK Matematika Pujiati. 2009b. Pembuatan alat peraga matematika. Makalah tidak dipublikasikan. Yogyakarta: PPPPTK Matematika Peraturan Pemerintah No. 17 Tahun 2010 tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan. Jakarta Permendiknas 41/2007 tentang Standar Proses Tim PPPPTK Matematika. 2008a. Petunjuk penggunaan alat peraga matematika untuk guru. Yogyakarta: Empat Pilar Tim PPPPTK Matematika. 2008b. Petunjuk penggunaan alat peraga matematika untuk murid. Yogyakarta: Empat Pilar Sadiman, Arif.(2007). Media pendidikan: Pengertian, pengembangan dan pemanfaatannya. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada Saud, Udin. (2009). Pengembangan profesi guru. Bandung: Alfabeta Sudjana, Nana dan Rivai, Ahmad. (2009). Media pengajaran. Jakarta: Sinar Baru Algesindo Sudrajat. (2005). Memanajemen pembelajaran. Bandung:Pustaka Setia Sukayati, Agus Suharjana. (2009). Pemanfaatan alat peraga matematika dalam pembelajaran di SD. Yogyakarta: Departemen Pendidikan Nasional Direktorat Jenderal Peningkatan Mutu Pendidik dan Tenaga Kependidikan Pusat Pengembangan dan Pemberdayaan Pendidik dan Tenaga Kependidikan (PPPPTK) Matematika Supandi.(1992). Strategi belajar mengajar. Bandung: Rosda karya Syah, Muhibbin. (2009). Psikologi belajar. Jakarta: Raja Grafindo Persada Syaodih, Erlina. (2011). Perkembangan anak. Bandung: Rosda karya Warsita, Bambang. (2008). Teknologi pembelajaran. Jakrta: Rineka Cipta Widyadani, SB. (2008). Media dan pembelajarannya. Bandung: Media Perkasa Jurnal Pendidikan Penabur - No.24/Tahun ke-14/Juni 2015 91 Penggunaan Fun Multiplication Beads Opini Penggunaan Fun Multiplication Beads Untuk Meningkatkan Kemampuan Perkalian Siswa Sih Retno Hastuti Email: [email protected] SDK 11 BPK PENABUR Jakarta Abstrak eserta didik kelas 2 SD mengalami kesulitan dalam penguasaan konsep perkalian dasar, yaitu perkalian 2 bilangan satu angka dan perkalian dengan bilangan 10, pada pelajaran Matematika. Padahal, penguasaan konsep perkalian merupakan hal yang penting karena di kelas 3 peserta didik belajar materi pembagian. Salah satu faktor penyebab anak mengalami kesulitan dalam menguasai konsep perkalian adalah pembelajaran yang kurang menarik dan guru tidak menggunakan alat peraga. Tulisan ini membahas bagaimana pembuatan dan penggunaan alat peraga Fun Multiplication Beads dapat meningkatkan kemampuan siswa kelas 2 SD dalam penguasaan materi perkalian pada pelajaran Matematika. Media ini sangat menarik karena menggunakan metode permainan. Mengingat pentingnya penguasaan kemampuan perkalian dasar bagi peserta didik kelas 2, tulisan ini menyarankan kepada Guru SD dan orang tua untuk menggunakan alat peraga Fun Multiplication Beads dalam pelajaran Matematika untuk melengkapi metode pembelajaran yang telah dilakukan di kelas. P Kata-kata kunci: perkalian, alat peraga, media, Fun Multiplication Beads, penguasaan matematika Usage of Fun Beads Multiplication to Improve Student’s Multiplication Ability Abstract The students of Grade 2 in Primary Schools often find difficulties in understanding of basic multiplication particularly the multiplication of 2 and 10. The problem arises as the teacher does not apply the appropriate methods and use teaching aids. This article discusses how Fun Multiplication Beads can be made and used by the teacher to facilitate the students to understand the basic multiplication. The students find learning as a fun because they are learning through playing. This article recommends the teacher to apply this method to motivate the students to learn mathematic concepts joyfully. Keywords: multiplication, teaching aids, media, Fun Multiplication Beads, mathematic mastery 92 Jurnal Pendidikan Penabur - No.24/Tahun ke-14/Juni 2015 Penggunaan Fun Multiplication Beads Pendahuluan Pelajaran perkalian mulai diberikan di kelas 2 SD semester 2. Perkalian, khususnya perkalian dasar, yaitu perkalian 2 bilangan satu angka dan perkalian dengan bilangan 10 merupakan topik krusial dalam pelajaran Matematika SD. Perkalian lain yang lebih tinggi tingkatannya dapat dicapai secara lebih mudah bila peserta didik paham dan hafal perkalian dasar. Demikian pula dengan pembagian yang akan mulai diajarkan di kelas 3, akan dapat dengan mudah dipahami peserta didik, bila mereka paham dan hafal perkalian dasar. Hingga saat ini banyak peserta didik mengalami kesulitan dalam menerima pelajaran perkalian. Mereka tidak paham dan terampil perkalian dasar (perkalian dua bilangan satu angka). Akibatnya, pelajaran perkalian dan pembagian lanjut di kelas berikutnya mengalami kesulitan. Sementara perkalian dan pembagian harus dikuasai peserta didik sejak dini karena selalu terkait dengan pelajaran Matematika di kelas berikutnya bahkan hingga jenjang yang lebih tinggi. Hal ini dialami sendiri oleh anak penulis ketika ia duduk di kelas 2 SD. Ia mengalami kesulitan dalam perkalian 2 bilangan satu angka dan perkalian dengan bilangan 10 sehingga akhirnya penulis membuatkan tabel perkalian 1 – 10 dan menempelkannya di tempat yang mudah dilihat. Hal tersebut dimaksudkan agar ia dapat mudah menghafalkan perkalian dasar dan perkalian dengan bilangan 10 karena sering melihat tabel perkalian tersebut. Namun, ternyata anak penulis tidak mengalami kemajuan dalam penguasaan perkalian dasar. Metode hafalan tidak menolong anak penulis memahami konsep dan terampil dalam perkalian dasar dan perkalian dengan bilangan 10. Kesulitan siswa memahami konsep perkalian dasar dan perkalian dengan bilangan 10 disebabkan antara lain: metode ini kurang menarik, belum menggunakan metode berhitung yang mempermudah siswa belajar perkalian, tidak mengajarkan konsep pembelajaran perkalian itu sendiri, pembelajaran lebih didominasi oleh guru, dan guru mengajar dengan menerangkan kemudian memberikan tugas. Guru juga belum menggunakan alat peraga yang memadai sehingga pembelajaran menjadi monoton dan verbalistik. Ingatan siswa sangat terbebani menghafalkan pengertian dan mereka merasa terpaksa sehingga pembelajaran terasa sangat membosankan. Hal ini tentu sangat bertentangan dengan dunia mereka, yaitu bermain. Menurut Papalia (2008), seorang ahli perkembangan manusia, dunia anak adalah dunia bermain. Dengan bermain anak-anak menggunakan otot tubuhnya, menstimulasi indera tubuh, mengeksplorasi dunia sekitar, menemukan seperti apa dunia ini dan diri mereka sendiri. Lewat bermain, anak mempelajari hal baru, kapan harus menggunakan keahlian tersebut, serta memuaskan apa yang menjadi kebutuhannya. Lewat bermain pun, fisik anak akan terlatih, kemampuan kognitif dan berinteraksi dengan orang lain akan berkembang juga. Oleh karena itu, penulis merancang alat peraga Fun Multiplication Beads. Fun Multiplication Beads adalah alat peraga yang dirancang untuk meningkatkan kemampuan peserta didik mulai kelas 2 SD dalam menguasai konsep perkalian dasar dan perkalian dengan bilangan 10. Media ini sangat menarik bagi anak karena menggunakan metode permainan yang menyentuh dunia anak. Anak akan mudah paham dan mengingat perkalian dasar dan perkalian dengan bilangan 10 karena mereka mempelajarinya sambil bermain. Perumusan Masalah Berdasarkan uraian latar belakang di atas, dapat diidentifikasikan beberapa permasalahan yang timbul, antara lain: 1. Bagaimana alat peraga Fun Multiplication Beads dapat meningkatkan kemampuan peserta didik kelas 2 SD dalam perkalian dasar dan perkalian dengan bilangan 10? 2. Bagaimana tahapan pembuatan alat peraga Fun Multiplication Beads? 3. Bagaimana cara menggunakan alat peraga Fun Multiplication Beads? Tujuan Berdasarkan rumusan masalah di atas, tulisan ini bertujuan untuk mengetahui hal-hal berikut. 1. Bagaimana alat peraga Fun Multiplication Beads dapat meningkatkan kemampuan Jurnal Pendidikan Penabur - No.24/Tahun ke-14/Juni 2015 93 Penggunaan Fun Multiplication Beads 2. 3. peserta didik kelas 2 SD dalam perkalian dasar dan perkalian dengan bilangan 10. Tahapan pembuatan alat peraga Fun Multiplication Beads. Cara menggunakan alat peraga Fun Multiplication Beads. Manfaat Alat peraga Fun Multiplication Beads dapat bermanfaat untuk menambah wawasan guru SD tentang pemanfaatan dan pengembangan media/alat peraga pelajaran Matematika untuk meningkatkan kelancaran pelaksanaan tugas profesionalnya sebagai pembimbing peserta didik di sekolah. Pembahasan Perkalian dalam Pelajaran Matematika Matematika merupakan ilmu universal yang mendasari perkembangan teknologi modern dan mempunyai peran penting dalam berbagai disiplin dan memajukan daya pikir manusia. Perkembangan pesat di bidang teknologi komunikasi dan informasi dewasa ini dilandasi oleh perkembangan Matematika. Untuk menguasai dan mencipta teknologi di masa depan diperlukan penguasaan Matematika yang kuat sejak dini (Depdiknas, 2006). Mata pelajaran Matematika bertujuan agar peserta didik memiliki kemampuan sebagai berikut (Depdiknas, 2006): 1. Memahami konsep Matematika, menjelaskan keterkaitan antarkonsep dan mengaplikasikan konsep atau algoritma, secara luwes, akurat, efisien, dan tepat dalam pemecahan masalah. 2. Menggunakan penalaran dalam pola dan sifat, melakukan manipulasi Matematika, dalam membuat generalisasi, menyusun bukti, atau menjelaskan gagasan dan pernyataan Matematika. 3. Memecahkan masalah yang meliputi kemampuan memahami masalah, merancang model Matematika, menyelesaikan model, dan menafsirkan solusi yang diperoleh. 94 Jurnal Pendidikan Penabur - No.24/Tahun ke-14/Juni 2015 4. Mengomunikasikan gagasan dengan simbol, tabel, diagram, atau media lain untuk memperjelas keadaan atau masalah. 5. Memiliki sikap menghargai kegunaan Matematika dalam kehidupan, yaitu memiliki rasa ingin tahu, perhatian, dan minat dalam mempelajari Matematika, serta sikap ulet dan percaya diri dalam pemecahan masalah. Dari tujuan pelajaran Matematika tersebut, memahami konsep Matematika merupakan tujuan yang harus dicapai lebih dulu agar tujuan berikutnya lebih mudah dicapai. Konsep-konsep Matematika yang harus dipahami di Sekolah Dasar meliputi aspek bilangan, geometri, dan pengolahan data. (Depdiknas, 2006). Pada aspek bilangan terdapat konsep operasi perkalian bilangan cacah yang harus dipahami peserta didik SD kelas 2. Untuk mencapai pemahaman konsep operasi perkalian bilangan cacah bukan hal yang mudah. Sampai sekarang ini, banyak peserta didik yang masih mengalami kesulitan dalam menerima pelajaran perkalian. Mereka tidak paham dan hafal perkalian dasar (perkalian dua bilangan satu angka), sehingga perkalian berikutnya terasa semakin sulit dan akhirnya dibenci dan ditakuti (Raharjo, 2009: 5). Menurut Raharjo (2009: 5) cara mengajar peserta didik supaya terampil perkalian dasar masih menjadi masalah di lapangan. Masalah yang dimaksud adalah peserta didik sulit memahami dan sulit diajak terampil perkalian dasar (perkalian dua bilangan satu angka). Kesalahan ini kemudian dibebankan kepada guru kelas 2. Hal yang sama berlaku pada pembagian dasar kelas 2. Akibatnya pelajaran perkalian dan pembagian tingkat lanjut di kelas berikutnya mengalami kesulitan. Sementara itu, perkalian dan pembagian harus dikuasai peserta didik sejak dini karena selalu terkait dengan pelajaran Matematika di kelas berikutnya bahkan jenjang yang lebih tinggi. Banyak siswa mengalami kesulitan dalam perkalian dasar karena permasalahan dari dalam diri siswa sendiri dan berasal dari guru. Masalah dari siswa, di antaranya belum paham operasi hitung perkalian dan siswa hanya menghafal cara-cara tanpa memahami makna Penggunaan Fun Multiplication Beads dan manfaat materi yang dipelajari. Masalah dari guru, di antaranya: tidak menggunakan alat peraga yang relevan dalam pembelajaran, hanya menggunakan gambar, guru menggunakan pendekatan yang tidak tepat, kurang menanamkan konsep dalam setiap materi pelajaran, dan guru tidak memperhatikan tahap dalam proses belajar, tapi langsung memberikan penyelesaian soal. Alat Peraga dalam Pelajaran Matematika Salah satu cara bagi Guru SD untuk meningkatkan pemahaman peserta didik dalam perkalian dasar dan perkalian dengan bilangan 10 adalah dengan menggunakan alat peraga dalam pembelajaran. Untuk itu, penulis merancang alat peraga Fun Multiplication Beads. Oleh karena, pada dasarnya anak belajar melalui benda/objek konkret. Untuk memahami konsep abstrak, anak memerlukan benda konkret sebagai perantara atau visualisasinya. Selanjutnya, konsep abstrak yang baru dipahami peserta didik itu akan melekat dan tahan lama bila peserta didik belajar melalui perbuatan dan dapat dimengerti, bukan hanya mengingat fakta. Dengan menggunakan alat peraga maka terjadi hal-hal berikut. 1. Proses belajar mengajar termotivasi. Baik siswa maupun guru, dan terutama siswa, minatnya akan timbul. Ia akan senang, terangsang, tertarik dan karena itu akan bersikap positif terhadap pengajaran Matematika. 2. Konsep abstrak Matematika tersajikan dalam bentuk konkret dan karena itu dapat dipahami dan dimengerti, dapat ditanamkan pada tingkat-tingkat yang lebih rendah. 3. Hubungan antara konsep abstrak Matematika dengan benda-benda di alam sekitar akan lebih dapat dipahami. 4. Konsep-konsep abstrak yang tersajikan dalam bentuk konkret, yaitu dalam bentuk model Matematik yang dapat dipakai sebagai objek penelitian maupun sebagai alat untuk meneliti ide-ide baru dan relasi baru bertambah banyak. (Suherman, 2003:7). Alat peraga merupakan media pembelajaran yang mengandung ciri-ciri konsep yang dipelajari (Sudjana, 2005:90). Alat peraga dalam proses pembelajaran memegang peranan penting sebagai alat bantu untuk menciptakan proses pembelajaran yang efektif. Alat bantu pembelajaran adalah perlengkapan yang menyajikan satuan-satuan pengetahuan melalui stimulasi pendengaran, penglihatan atau keduanya untuk membantu pembelajaran (Kochhar, 2008:214). Manfaat alat peraga, menurut Suherman (1994:274), di antaranya adalah membantu guru dalam (a) memberi penjelasan konsep, (b) merumuskan atau membentuk konsep, (c) melatih siswa dalam keterampilan, (d) memberi penguatan konsep pada siswa, (e) melatih siswa dalam pemecahan masalah, (f) melatih siswa dalam pengukuran, dan (g) mendorong siswa untuk berfikir kritis dan analitik. Penelitian yang dilaksanakan oleh Higgins dan Suydam tahun 1976 (Suherman, 1994:273) memberikan hasil bahwa secara umum alat peraga berfungsi efektif dalam memotivasi belajar siswa dan terdapat perbandingan 6 : 1 antara pengajaran yang menggunakan alat peraga dengan yang tidak menggunakannya. Pemahaman siswa tentang konsep Matematika tidak akan terlepas dari kehidupan nyata yang mereka hadapi sehari-hari. Selain siswa akan benar-benar paham tentang konsep yang dimaksud, mereka akan mampu berkreasi dalam mengaplikasikan konsep Matematika pada kehidupan nyata. Menurut J. Bruner ( dalam Hudojo Herman, 1998), penjelasan konsep Matematika dimulai dengan benda sesungguhnya (enactive), diteruskan dengan gambar benda (iconic), dan dilanjutkan dengan penggunaan simbol (symbolic). Hudoyo (1998) menyatakan, belajar Matematika merupakan proses membangun/ mengkonstruksi konsep dan prinsip, tidak sekedar penggrojokan yang terkesan pasif dan statis, namun belajar itu harus aktif dan dinamis. Hal ini sesuai dengan pandangan konstruktivis, yaitu suatu pandangan dalam mengajar dan belajar di mana siswa membangun sendiri arti dari pengalamannya dan interaksi dengan orang lain, sedangkan tugas guru adalah memberikan pengalaman yang bermakna bagi siswa. Sedangkan menurut Piaget taraf berpikir anak seusia SD adalah masih kongkret operasional. Artinya, untuk memahami suatu konsep siswa Jurnal Pendidikan Penabur - No.24/Tahun ke-14/Juni 2015 95 Penggunaan Fun Multiplication Beads masih harus diberikan kegiatan yang berhubungan dengan benda atau kejadian nyata yang dapat diterima akal mereka. Berdasarkan uraian sebelumnya, maka dalam belajar Matematika pengalaman belajar siswa sangatlah penting. Pengalaman tersebut akan membentuk pemahaman apabila ditunjang dengan alat bantu belajar, agar pemahaman Matematika tersebut menjadi kongkret. Diharapkan alat bantu belajar atau alat peraga Fun Multiplication Beads dapat memberikan pengalaman belajar yang bermakna, mengaktifkan dan menyenangkan siswa. Alat Peraga Fun Multiplication Beads Untuk membuat alat peraga Fun Multiplication adapun bahan-bahan yang diperlukan seperti terlihat pada gambar di bawah ini adalah: 1). Cok Board; 2) PVC Board ; 3) Lem fox; ·4) Obeng; 5) Satu set kartu perkalian dasar dan perkalian dengan bilangan 10; 6) Manik-manik (100 buah); 7) Karakter penunjuk perkalian: Kepik; 8) Cutter; dan 9) Penggaris sablon Gambar 1: Fun Multiplication Beads Gambar 3: PVC Board Gambar 2: Cok Board 96 Jurnal Pendidikan Penabur - No.24/Tahun ke-14/Juni 2015 Penggunaan Fun Multiplication Beads Gambar 7: Manik-manik Gambar 4: Lem Fox Gambar 8: Karakter penunjuk perkalian: Kepik Gambar 5: Obeng Gambar 9: Cutter Gambar 6: Kartu Perkalian Gambar 10: Penggaris sablon Jurnal Pendidikan Penabur - No.24/Tahun ke-14/Juni 2015 97 Penggunaan Fun Multiplication Beads Teknik Pembuatan Pertama, cok board sebagai papan perkalian, dilubangi dengan menggunakan cutter dan obeng. Besar lubang sebesar manik-manik. Gambar 10: Pelubangan Cok Board Kedua, tulis angka 1 – 10 di sisi bagian atas dan sisi bagian kiri pada papan perkalian, nama media: Fun Multiplication Beads, dan cara bermain. Gambar 11. Penempelan Cok Board pada PVC Board 98 Jurnal Pendidikan Penabur - No.24/Tahun ke-14/Juni 2015 Ketiga, cok board yang sudah dilubangi ditempelkan pada PVC Board dengan menggunakan lem. Keempat, buat satu set kartu perkalian dasar dan perkalian dengan bilangan 10 pada program MS. Word. Kemudian dicetak, dilaminasi, dan digunting sesuai ukuran yang telah ditentukan. Teknik Permainan Alat peraga Fun Multiplication Beads dimainkan dengan cara berikut. 1. Satu orang anak mengocok kartu dan memilih salah satu kartu. Kartu yang dipilihnya menunjukkan perkalian yang ia pilih. Misalnya ia mendapatkan kartu perkalian 5 x 2, maka: Pertama, ia harus menyebutkan jawabannya. Kedua, untuk membuktikan apakah jawabannya benar atau tidak, ia akan: a. Meletakkan karakter penunjuk perkalian “Kepik” pada papan perkalian, ke baris (arah bawah) yang menunjukkan angka 5, dan meletakkan karakter penunjuk perkalian “Kepik” ke kolom (arah kanan) yang menunjukkan angka 2. b. Kemudian ia mengambil manik-manik, dan meletakkan manik-manik tersebut pada lubang yang ada di seluruh area di sepanjang baris 5 dan kolom 2. Pertama, ia akan meletakkan manikmanik pada baris 1, kolom 1 dan kolom 2. Kedua, ia akan meletakkan manikmanik pada baris 2, kolom 1 dan kolom 2. Ketiga, ia akan meletakkan manik-manik pada baris 3, kolom 1 dan kolom 2. Keempat, ia akan meletakkan manikmanik pada baris 4, kolom 1 dan kolom 2. Kelima, ia akan meletakkan manikmanik pada baris 5, kolom 1 dan kolom 2. c. Bila jumlah manik-manik di seluruh lubang pada area tersebut sama dengan jawabannya, maka jawaban anak tersebut benar dan mendapat nilai 1. 2. Anak yang berikutnya akan melakukan tahapan permainan yang sama. 3. Pemenangnya adalah siswa yang mendapat nilai tertinggi. 4. Permainan ini dapat dimainkan oleh 2 orang atau lebih. Penggunaan Fun Multiplication Beads Metode Bermain dalam Penggunaan Fun Multiplication Beads Kegiatan ini di samping memenuhi kebutuhan akan bermain, juga menambah atau memperkaya pengalaman anak. Penggunaan Alat peraga Fun Multiplication Beads dilakukan dengan menggunakan metode bermain. Menurut Piaget, bermain merupakan kegiatan yang dilakukan berulang-ulang demi kesenangan (Piaget, 1951). Secara lebih umum dalam istilah psikologi, Joan Freeman dan Utami Munandar (1996) mendefinisikan bermain sebagai suatu kegiatan yang membantu anak mencapai perkembangan yang utuh, baik fisik, intelektual, sosial, moral, dan emosional. Dari definisi tersebut, satu syarat mutlak ketika anak melakukan kegiatan yang disebut bermain adalah kegiatan yang dilakukannya itu menimbulkan efek menyenangkan pada dirinya. Namun ternyata, perasaan menyenangkan hanyalah salah satu bagian kecil dari manfaat yang didapatkan anak dari bermain. Beberapa manfaat bermain adalah sebagai berikut. 1. Melatih perkembangan sensorik dan motorik Anak akan terlatih ketika melakukan beragam aktivitas sensorik serta motorik. Permainan aktif melatih panca indera sang anak. Dengan bermain menggunakan Fun Multiplication Beads, semua anggota panca indera anak tergerak melakukan sesuatu, yaitu anak mengocok dan mengambil kartu, meletakkan karakter penunjuk perkalian, dan meletakkan manik-manik. Sebagai hasilnya, organ sensorik dan motorik anak semakin baik. 2. Mengasah memori otak Anak kecil mempunyai organ memori yang belum banyak terisi oleh beragam hal. Ketika bermain, anak mengembangkan memori yang ia miliki. Semakin anak bermain, semakin terasah otaknya dan ia mampu mendapatkan perkembangan memori jauh lebih baik. 3. Mengembangkan etika Ketika anak bermain, ia mempelajari banyak aturan, mempunyai tingkat sportivitas, dan 4. tentu saja belajar bagaimana membangun etika yang benar. Hal ini akan menjadi bekal anak kelak ketika berhadapan dengan aturan di dunia. Meningkatkan kreativitas anak Saat melakukan permainan, anak dapat mengeksplorasi dan menerapkan banyak ide terkait dengan sistem permainan. Ketika kreativitas tersebut terus diasah, anak bisa menemukan berbagai ide cemerlang pada masa yang akan datang. Dengan keinginan anak bermain, orang tua atau pendidik dapat memanfaatkan kegiatan bermain untuk menanamkan pengertian dan konsep pelajaran Matematika, khususnya dalam hal ini penguasaan konsep perkalian dasar, yaitu perkalian 2 bilangan satu angka dan perkalian dengan bilangan 10. Diharapkan melalui kegiatan ini, anak/peserta didik kelak: (a) senang mengerjakan bahan pelajaran matematika, khususnya perkalian dasar; (b) terdorong dan menaruh minat untuk mempelajari matematika secara sukarela; (c) memiliki semangat bertanding dalam suatu permainan dan berusaha untuk menjadi pemenang dan terdorong memusatkan perhatian pada permainan yang dihadapinya; (d) betul-betul memahami dan mengerti konsep perkalian dasar, yaitu perkalian 2 bilangan satu angka dan perkalian dengan bilangan 10, jika terlibat dalam kegiatan dan aktif; (e) mengurangi ketegangan dalam pikirannya setelah belajar matematika; dan (f) memanfaatkan waktu luang dengan baik. Dengan belajar Matematika sambil bermain, anak akan berminat dan termotivasi mempelajari Matematika serta meningkatkan pemahamannya. Oleh karena permainan Matematika merupakan suatu kegiatan yang menggembirakan dan dapat menunjang tercapainya tujuan instruksional dalam pelajaran Matematika. Tujuan ini dapat menyangkut aspek kognitif, psikomotor, dan afektif. Permainan yang mengandung nilai-nilai Matematika dapat meningkatkan keterampilan, penanaman konsep, pemahaman, dan pemantapannya; meningkatkan kemampuan menemukan, memecahkan masalah, dan lain-lainnya. Jurnal Pendidikan Penabur - No.24/Tahun ke-14/Juni 2015 99 Penggunaan Fun Multiplication Beads Fun Multiplication Beads dan Konsep Matematika Dalam permainan menggunakan Fun Multiplication Beads, guru mengaitkannya dengan menjelaskan konsep perkalian dasar, yaitu perkalian 2 bilangan satu angka dan perkalian dengan bilangan 10. Oleh karena kemampuan anak dimulai dari penjumlahan, maka ajarkan konsep perkalian sebagai penjumlahan berulang, artinya menjumlahkan angka yang sama dengan berulang. Perkalian ini mulai diajarkan kepada anak kelas 2 SD. Misalnya, dalam perkalian 5 x 2. Bila menggunakan alat peraga Fun Multiplication Beads, mulailah mengajarkan kepada anak, dengan menjumlahkan manik-manik saat ia meletakkannya pada baris dan kolom: 1. Pada baris 1, anak akan meletakkan manikmanik pada kolom 1 dan kolom 2. Berapa jumlah manik-manik pada baris 1? 2 manikmanik. 2. Pada baris 2, anak akan meletakkan manikmanik pada kolom 1 dan kolom 2. Berapa jumlah manik-maniknya? 2 manik-manik. 3. Pada baris 3, anak akan meletakkan manikmanik pada kolom 1 dan kolom 2. Berapa jumlah manik-maniknya? 2 manik-manik. 4. Pada baris 4, anak akan meletakkan manikmanik pada kolom 1 dan kolom 2. Berapa jumlah manik-maniknya? 2 manik-manik. 5. Pada baris 5, anak akan meletakkan manik-manik pada kolom 1 dan kolom 2. Berapa jumlah manik-maniknya? 2 manikmanik. Perkalian 5 x 2 = jumlah manik-manik baris 1 + jumlah manik-manik baris 2 + jumlah manik-manik baris 3 + jumlah manik-manik baris 4 + jumlah manik-manik baris 5 =2+2+2+2+2 = hitung banyak angka 2 x tulis angka yang dijumlahkan = 5 (baris) x 2 (jumlah manikmanik setiap baris) =5x2 = 10 100 Jurnal Pendidikan Penabur - No.24/Tahun ke-14/Juni 2015 Untuk menambah pemahaman anak, jelaskan dengan ilustrasi cerita sebagai berikut: Agatha membawa 5 kantong plastik, setiap kantong berisi 2 buah jeruk. Berapa buah jeruk yang dibawa Agatha? Untuk menghitung banyaknya buah jeruk, maka yang dihitung adalah jeruknya. Kantong pertama : ada 2 buah jeruk Kantong kedua : ada 2 buah jeruk Kantong ketiga : ada 2 buah jeruk Kantong keempat : ada 2 buah jeruk Kantong kelima : ada 2 buah jeruk 2 + 2 + 2 + 2 + 2 = hitung banyak angka 2 x tulis angka yang dijumlahkan 2 + 2 + 2 + 2 + 2 = 5 (banyak kantong plastik) x 2 (isi jeruk tiap kantong plastik) 2+2+2+2+2 =5x2 Bagaimana perkalian dengan bilangan 10? Contoh: 2 x 10. Bila menggunakan alat peraga Fun Multiplication Beads, mulailah mengajarkan kepada anak, dengan meletakkan kepik penunjuk perkalian pada baris 2 dan kolom 10. Kemudian letakkan manik-manik sambil menjumlahkannya saat anak meletakkannya pada baris dan kolom: 1. Pada baris 1, anak akan meletakkan manikmanik pada kolom: 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, 8, 9, 10. Berapa jumlah manik-manik pada baris 1? 10 manik-manik. 2. Pada baris 2, anak akan meletakkan manikmanik pada kolom: 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, 8, 9, 10. Berapa jumlah manik-maniknya? 10 manikmanik. Perkalian 2 x 10 = jumlah manik-manik baris 1 + jumlah manik-manik baris 2 = 10 + 10 = hitung banyak angka 10 x tulis angka yang dijumlahkan = 2 x 10 = 20 Dengan menggunakan permainan Fun Multiplication Beads dan mengaitkannya dengan konsep Matematika, khususnya perkalian dasar, yaitu perkalian 2 bilangan satu angka dan perkalian dengan bilangan 10, diharapkan anak memahami konsep perkalian dasar dengan benar dan dalam suasana yang Penggunaan Fun Multiplication Beads menyenangkan. Oleh karena, kegiatan belajar dilakukan sambil bermain. Simpulan Guru kelas 2 SD dan orang tua peserta didik diharapkan kreatif berinovasi merancang alat peraga yang membantu siswa kelas 2 SD dalam penguasaan pelajaran Matematika, khususnya perkalian dasar (perkalian bilangan satu angka) dan perkalian dengan bilangan 10. Kesimpulan Belajar perkalian dasar (perkalian bilangan satu angka) dan perkalian dengan bilangan 10, dengan menggunakan alat peraga Fun Multiplication Beads dapat meningkatkan kemampuan peserta didik dalam perkalian dasar (perkalian bilangan satu angka) dan perkalian dengan bilangan 10. Hal ini terjadi karena kegiatan belajar tidak hanya dilakukan dalam suasana yang menyenangkan dengan metode bermain yang menyentuh dunia anak. Kegiatan belajar juga memberikan pengalaman langsung kepada anak menghitung perkalian, yang merupakan penjumlahan berulang, sehingga mereka mengetahui dengan benar konsep perkalian dasar (perkalian bilangan satu angka) dan perkalian dengan bilangan 10. Guru dan orangtua dapat membuat alat peraga Fun Multiplication Beads dengan cukup mudah dengan mengikuti tahapan yang diuraikan secara rinci dalam tulisan ini. Alat peraga Fun Multiplication Beads juga cukup mudah dipergunakan sebagaimana telah dijelaskan dengan contoh.. Melalui belajar sambil bermain dengan menggunakan alat peraga Fun Multiplication Beads, diharapkan peserta didik dapat menguasai perkalian dasar (perkalian bilangan satu angka) dan perkalian dengan bilangan 10, dengan lebih mudah. Saran Guru kelas 2 SD dan orang tua peserta didik hendaknya membuat dan menggunakan alat peraga Fun Multiplication Beads dalam pelajaran Matematika di SD, khususnya dalam perkalian dasar (perkalian bilangan satu angka) dan perkalian dengan bilangan 10, untuk melengkapi metode pembelajaran yang telah dilakukan di kelas. Dengan demikian, anak belajar melalui tahap-belajar enactive, iconic, dan symboli. Pada tahap enactive, anak mulai belajar dengan memanipulasi benda atau obyek konkret. Daftar Pustaka Depdiknas (2006). Permendiknas Nomor 22 Tahun 2006 Tentang Standar Isi Sekolah Menengah Atas. Jakarta: Depdiknas Freeman, Joan & Munandar, Utami. (1996). Cerdas dan cemerlang, kiat menemukan dan mengembangkan bakat anak usia 0-5 Tahun. Jakarta: Gramedia Hudojo, H. (1998). Mengajar belajar matematika. Jakarta: Depdikbud Hudojo, H. (1998). Pembelajaran matematika menurut pandangan konstruktivistik. Makalah disajikan dalam Seminar Nasional. Pendidikan Matematika Malang: Program Pascasarjana IKIP Malang Kochhar, S.K. 2008. Pembelajaran . Jakarta: Gramedia Widiasarana Papalia, Diane, Olds, Sally, & Feldman, Ruth. (2008). Human development. New York: Piaget, Jean. (1951). The child’s conception of the world. Savage: LittlefieldPublishers Raharjo, M., Waluyati, A., & Sutanti, T. (2009). Pembelajaran operasi hitung perkalian dan pembagian bilangan cacah di SD. Jakarta: Depdiknas Pusat Pengembangan dan Pemberdayaan Pendidikan dan Tenaga Kependidikan (PPPPTK) Matematika Sudjana, Nana. 2005. Dasar-dasar proses balajar mengajar. Bandung: Sinar Baru Algensindo Suherman, Erman. 1994. Strategi belajar dan mengajar matematika. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah Suherman, Erman. 2003. Strategi pengajaran matematika kontemporer. Bandung: Universitas Pendidikan Indonesia Jurnal Pendidikan Penabur - No.24/Tahun ke-14/Juni 2015 101 Tantangan Pendidikan Nasional Indonesia Opini Tantangan Pendidikan Nasional Indonesia di Era AFTA 2015 Kumalasari Onggobawono Email: [email protected] Bagian Akademik PENABUR Internasional Abstrak endidikan nasional Indonesia memegang peranan pokok dalam kancah AFTA 2015, yang sudah berjalan selama hampir lima bulan. Sebelum dicanangkannya AFTA, sudah muncul kekhawatiran banyak kalangan tentang ketidaksiapan Indonesia dalam persaingan dengan negara lain di tingkat ASEAN pada khususnya. Pendidikan menentukan keberhasilan memenangkan persaingan. Tulisan ini membahas penyebab masih rendahnya mutu pendidikan nasional Indonesia serta akibatnya di kemudian hari kalau tidak segera dilakukan perbaikan mendasar. Salah satu penyebab yang dikaji ialah kesungguhan Pemerintah Indonesia melaksanakan perintah UUD 1945 khususnya Pasal 30. Hasil kajian tulisan ini menunjukkan masih banyak harus dibenahi dalam pengelolaan pendidikan nasional secara sistemik sehingga sumber daya manusia Indonesia mampu memenangkan persaingan internasional dalam era globalisasi. P Kata-kata kunci: sistem pendidikan nasional, mutu pendidikan, sumber daya manusia, AFTA Indonesian National Education Challenges in the Era of AFTA in 2015 Abstract Indonesian national education holds the primary role in the arena of AFTA in 2015, which has been passing for nearly five months. Prior to the declaration of AFTA, a lot of people wondered and questioned the unpreparedness of Indonesia in competition against the other countries in ASEAN region particularly. The national education plays an importand role in winning the competition global. This article discussed and analyzed the causes underlying the low quality of Indonesian national education as well as its effects in the future if the problems are not fundamentally overcome. One of the main causes analysed is the Indonesian Government’s sincerety to totally implement the order stated in Chapter 30 of 1945 Constitution. The analysis in this article shows a number of problems in managing National Education System urgently need systemic resolution that the Indonesian human resources can successfully compete at international level in the globalization era. Keywords: national education system, educational quality, human resources, AFTA 102 Jurnal Pendidikan Penabur - No.24/Tahun ke-14/Juni 2015 Tantangan Pendidikan Nasional Indonesia Pendahuluan Pada pertemuan tingkat Kepala Negara ASEAN (ASEAN Summit) ke-4 di Singapura pada tahun 1992, para kepala negara mengumumkan pembentukan suatu kawasan perdagangan bebas AFTA (Asean Free Trade Agreement) di kalangan negara-negara ASEAN dalam jangka waktu 15 tahun dengan tujuan untuk meningkatkan daya saing ekonomi kawasan ASEAN di dunia. Secara umum, banyak peluang keuntungan yang akan didapat Indonesia saat diberlakukannya AFTA 2015 ini. Salah satunya adalah akan mempermudah masyarakat Indonesia bekerja di negara-negara ASEAN. Hal ini tentunya dengan syarat bahwa SDM Indonesia telah ’siap pakai’ sebagai tenaga kerja luar negeri dengan tingkat keahlian yang memadai. Lalu pertanyaannya, apakah Indonesia telah siap dalam hal ini? Apakah putera-puteri Indonesia telah siap secara profesional di bursa kerja ASEAN? 1 Atau, apakah pengangguran tenaga terdidik di Indonesia akan meningkat, seiring dengan banyaknya perusahaan di Indonesia yang malah merekrut tenaga kerja dari negara anggota ASEAN lain dengan kompetensi yang lebih baik (khususnya dalam penguasaan bahasa Inggris)? Mengingat dari sejumlah Negara ASEAN yang terdiri dari Malaysia, Filipina, dan Singapura umumnya menguasai bahasa Inggris dengan baik sebagai bahasa kedua di negara mereka. Pertanyaannya, dapatkah sistem pendidikan nasional Indonesia menghasilkan lulusan yang bisa menjadi pesaing yang handal, sehingga dapat mengambil bagian penting dari peluang ini? Akankah pendidikan nasional Indonesia menghasilkan lebih banyak level ‘orang suruhan’ bangsa lain, ketika negara ini mengekspor tenaga sopir, pekerja kasar di pabrik, perkebunan atau rumah tangga ke negara lain bukannya tenaga profesional, sementara negara tetangga mengekspor guru/tenaga profesional lainnya ke Negara kita? Salah satu persoalan yang muncul terkait dengan diberlakukannya AFTA sebagai bagian dari Asian Economic Community (AEC) yang akan mulai berlangsung penuh pada tahun 2015 ini adalah penguasaan bahasa asing oleh tenaga terdidik di Indonesia. Secara khusus persoalan ‘Kesiapan Sumber Daya Manusia’ bermuara pada sistem pendidikan nasional kita, seperti tertulis berikut: “All over the world, education systems are being asked to do more and do it better. Under pressure from all sides, they must respond, as we have seen, to the need for economic and social development, especially vital to the poorest groups in the population. They face a variety of cultural and ethical demands. In other words, every one expects something from education. Parents, working or jobless adults, business and industry, communities, goverments and, of course, children, pupils and students place great hope in education. It is impossible for education to do everything, however, and some of the hopes it inspires will inevitably be dashed. Choices have to be made and these can be difficult, especially where the equity and quality of education systems are concerned.”2 Seluruh dunia mengharapkan agar system pendidikan dapat melakukan sesuatu yang lebih dan lebih lagi untuk membuat dunia ini lebih baik lagi khususnya bagi kaum yang paling lemah. Dengan kata lain, semua pihak baik orang tua, bekerja ataupun yang sedang tidak mempunyai pekerjaan menaruh harapan yang sangat besar terhadap dunia pendidikan. Sangatlah mustahil mengharapkan dunia pendidikan dapat melakukan segalanya, pilihan harus dibuat dan hal ini akan makin sulit ketika kualitas pendidikan dan kesamaannya merupakan sebuah keprihatinan. Tulisan ini secara khusus akan menyampaikan beberapa isu kritis sehubungan dengan AFTA 2015 dengan meninjau kondisi pendidikan di Indonesia dan kualitas sumber daya manusia. Pembahasan Kondisi Pendidikan di Indonesia Penulis tidak mengangkat isu tentang profesionalisme guru sehubungan dengan kondisi pendidikan di Indonesia, walaupun tentu saja profesionalisme guru adalah salah satu faktor penting yang mempengaruhi kondisi pendidikan. Penulis mengangkat subtopik kondisi pendidikan dalam bahasan ini, sehubungan dengan AFTA 2015 yang memungkinkan anggota Negara ASEAN membuka sekolah di Indonesia. Tahun lalu, Jurnal Pendidikan Penabur - No.24/Tahun ke-14/Juni 2015 103 Tantangan Pendidikan Nasional Indonesia pemerintah menerbitkan Permendiknas No. 31 Tahun 2014 tentang Kerja Sama Penyelenggaraan dan Pengelolaan Pendidikan Oleh Lembaga Pendidikan Asing dengan Lembaga Pendidikan di Indonesia. Salah satu isu kritis yang muncul terkait dengan tantangan pendidikan nasional di Indonesia, terlihat antara lain dari minat masyarakat terhadap sekolah internasional yang dibuka di Indonesia atau sekolah bertaraf internasional yang sudah ditutup tahun lalu oleh keputusan mahkamah konstitusi. Salah satu alasannya adalah dianggap tidak sesuai dengan semangat UUD 1945 dan dinilai telah membentuk kastanisasi dalam pendidikan 1. Tentu saja pangsa pasar untuk bersekolah di sekolah internasional adalah dari masyarakat dengan latar belakang ekonomi kuat yang notabene punya kemampuan untuk ‘memilih’ mau menyekolahkan anaknya di mana, dengan kualitas sejauh mana. Terlepas dari keputusan MK, sejujurnya kita perlu mempertanyakan secara kritis dalam diri masing-masing tentang sebuah kenyataan mengapa masyarakat memilih sekolah berlabel ‘internasional’. Banyak keluarga muda yang telah mempunyai komitmen bersama pasangan mereka untuk memberikan pendidikan terbaik bagi anak mereka, bahkan kalau mungkin melebihi pendidikan mereka saat ini. Bagi mereka, ketika satu anak dilahirkan, mereka telah merencanakan dengan matang budget untuk anak tersebut sampai pendidikan S2, walaupun tentu banyak pengorbanan yang akan mereka tanggung. Semua itu dilakukan sebagai buah tanggung jawab mereka kepada Tuhan di dalam mendidik, juga untuk masa depan cemerlang bagi anak mereka. Sebenarnya, tujuan mulia dan perencanaan matang keluarga muda di atas bisa dianalogikan dengan bangsa Indonesia yang besar ini. Setiap anak bangsa ini tentu mempunyai hak untuk mendapatkan pendidikan yang terbaik yang seharusnya bisa diberikan oleh Negara. Ibaratnya Negara adalah orang tua bagi setiap anak bangsanya yang mampu memberikan pengayoman dan pendidikan terbaik, sesuai dengan amanat di dalam Pasal 31, Bab XIII, UUD 1945 tentang pendidikan. Dalam amandemen ke 4 UUD 1945 tahun 2002, Pasal 104 Jurnal Pendidikan Penabur - No.24/Tahun ke-14/Juni 2015 ini sudah diubah menjadi lima ayat yaitu: (1) Tiap-tiap warga negara berhak mendapat pengajaran; (2) Setiap warga Negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya; (3) Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional, yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa; (4) Negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya 20 persen dari anggaran pendapatan dan belanja Negara serta dari anggaran pendapatan dan belanja daerah untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional; (5) pemerintah memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan menjunjung tinggi nilai-nilai agama dan persatuan bangsa untuk membangun peradaban serta kesejahteraan umat manusia. 2 Segala ketentuan Pasal 31 itu, yang hakikatnya dimaksudkan agar misi mencerdaskan kehidupan bangsa dapat tercapai, melalui UU No. 20 Tahun 2003 dipertegas lagi. Misalnya, ayat (1) dipertegas dalam Pasal 5 Ayat (1) UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional menjadi: “Setiap warga Negara berhak memperoleh pendidikan bermutu “. Contoh lain, tentang wajib belajar, sebagaimana tertulis dalam Ayat (2) misalnya, dalam UU No. 20 Tahun 2003 dipertegas bahwa pemerintah dan pemerintah daerah wajib menyelenggarakan pendidikan dasar yang wajib tanpa dipungut biaya. Tentang anggaran pendidikan, UU No. 20 Tahun 2003 mempertegasnya dengan kata-kata “tidak termasuk gaji guru dan penyelenggaraan pendidikan kedinasan”. Yang terjadi sekarang, ketentuan mencerdaskan kehidupan bangsa diabaikan, bahkan dalam banyak hal dilanggar, seperti membiarkan lulusan SD masuk SMP negeri disaring, padahal seharusnya wajib. Dibiarkannya perguruan tinggi negeri melanggar asas demokrasi pendidikan dengan menetapkan tarif masuk amat tinggi.3 Nampaknya para elit politik tidak begitu peduli mencermati ini karena dalam UUD 1945 tidak ada satu kalimat pun yang secara eksplisit menyatakan “sanksi” bila suatu pemerintahan mengabaikan atau melanggar ketentuan yang diatur dalam UUD. Berbeda Tantangan Pendidikan Nasional Indonesia dengan Amerika Serikat yang secara tegas menyatakan bahwa bila status Pemerintahan menghalangi terwujudnya tugas itu maka rakyat berhak untuk menggantinya, yang dalam kalimat aslinya tertulis : “...That, to secure these rights, the Government are instituted among men, deriving their just powers from the consent of the governed; that whenever any form of government destructive of these ends. It is the right of the people to alter or to abolish it, and to institute a new government” Karena tegasnya kalimat dalam Deklarasi Kemerdekaan Amerika Serikat, Pemerintah Amerika Serikat tidak ada yang berani mengabaikan ketentuan yang tertulis dalam UUD-nya, kalau perlu dengan kekuatan senjata (misal Perang Saudara 1862 – 1865). Berbeda dengan Indonesia, walaupun jelas-jelas mengabaikan dan tidak melaksanakan ketentuan yang tertulis dalam UUD 1945 tetapi tidak ada konsekuensi apapun. Dan tidak ada kekuatan politik yang mengingatkan.4 Untuk meningkatkan 65 % sekolah di Indonesia yang masih berada di bawah standar nasional, pemerintah membutuhkan dana yang besar, dan itu mustahil dipenuhi dengan 20 % anggaran pendidikan sesuai yang ditetapkan dalam UU No 20 Tahun 2003. DPR dan pemerintah menetapkan gaji pendidik tidak termasuk dalam lingkup anggaran pendidikan sebesar 20% APBN. Akan tetapi alokasi dana pendidikan saat ini yang memasukan gaji guru dalam lingkup anggaran pendidikan berdasarkan keputusan Mahkamah Konstitusi. Dengan dana yang demikian, pendidikan Indonesia pasti tak akan mengalami perubahan berarti. Dilihat dari segi sarana prasarana dan fasilitas pendidikan, tidak banyak jumlah sekolah negeri yang memenuhi syarat. Seringkali ketika peresmian, semua peralatan tampak baru, bagus, bersih dan ‘apik’ tetapi dalam pemeliharaannya, mutunya sungguh jauh di bawah sekolah swasta yang baik (mengingat tidak semua sekolah swasta dalam kondisi yang memenuhi syarat). Contoh yang paling mudah, tidak adanya lapangan olah raga yang memadai, bahkan banyak pula yang tidak mempunyai lapangan olah raga, fasilitas laboratorium yang kurang memadai, penerangan yang temaram walaupun lampu banyak terpasang tetapi hanya sedikit yang menyala (pengalaman penulis ketika membantu mengoreksi hasil ujian nasional di sebuah sekolah negeri terkemuka di kota Semarang beberapa tahun lalu), fasilitas toilet yang sangat memprihatinkan (bau dan jorok), kantin yang kurang memadai, dan segala prasarana untuk mendukung kegiatan pembelajaran yang jauh di bawah standard. Melihat daya tampung sekolah negeri yang baik terbatas jumlahnya untuk seluruh rakyat negeri ini dan banyaknya kekurangan yang terjadi di sekolah negeri yang lain, maka tidak dapat disalahkan kalau masyarakat yang mempunyai “kemampuan memilih” mempercayakan pendidikan anaknya di sekolah internasional bahkan dari tingkat TK sampai dengan perguruan tinggi. Sekolah internasional juga memberikan pengajaran yang bermutu dengan tingkat kedisiplinan yang baik dan berorientasi pada sistem pendidikan Eropa (Cambridge International Examinations) atau IB Amerika (International Baccalaureate) yang sudah diakui dunia. Hal yang menarik lainnya adalah para peserta didik yang berhasil memperoleh nilai tinggi dalam ujian Cambridge atau IB bisa langsung diterima di perguruan tertinggi terbaik di tingkat dunia, seperti Princeton, Illinois, Cambridge University. Penulis mempunyai pendapat yang sama dengan Prof. Soedijarto yang mengatakan, “Karena itu kita tidak usah heran kalau para sarjana yang selama sekolah dari SD sampai perguruan tinggi dibiayai oleh orang tua tidak merasakan jasa pemerintah. …paradigm ‘rate of return’ (investasi yang telah ditanam oleh orang tua selama sekolah harus kembali), akibatnya generasi muda menjadi tipis patriotism”. Yang berbahaya adalah apabila selama menempuh pendidikan dari sekolah dasar sampai perguruan tinggi ada generasi muda dibiayai oleh pihak yang berencana mengubah NKRI yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Bagaimana cita-cita Negara kebangsaan oleh para pendiri bangsa ini dapat tercapai apabila sampai dengan akhir-akhir ini, walaupun pasal-pasal UUD 1945 telah mempertegas tanggung jawab Pemerintah untuk membiayai pendidikan, tetapi praktik penyelenggaraan pendidikan nasional menjadi Jurnal Pendidikan Penabur - No.24/Tahun ke-14/Juni 2015 105 Tantangan Pendidikan Nasional Indonesia semakin jauh dari semangat dan aksara yang digariskan dalam UUD 19455. Tingginya loyalitas warga bangsa terhadap Negara bangsanya antara lain ditentukan oleh kepedulian pemerintah suatu Negara kepada warga negaranya. Dalam kaitan dengan penyeleng-garaan pendidikan nasional hampir seluruh Negara Eropa (Jerman, Perancis, Belanda, dan seluruh Skandinavia), pendidikan dari SD sampai Universitas dibiayai sepenuhnya oleh pemerintah (Pusat dan Negara Bagian), sehingga mereka dapat merasakan kontribusi besar negaranya terhadap kesuksesan yang mereka capai, sehingga menimbulkan jiwa patriotik/heroik di dalam diri mereka. Pengorbanan mereka terhadap negaranya lahir dari kesadaran di dalam diri mereka. Model pembiayaan penyelenggaraan pendidikan nasional yang berkualitas merupakan salah satu faktor penentu rasa kebangsaan, kebanggaan sebagai warga suatu bangsa, dan loyalitas terhadap Negara bangsa. 6 adalah bahasa percakapan sehari-hari mereka, bahasa China dan Indonesia pun dipelajari sebagai persiapan menyasar pasar Indonesia di masa depan. Jauh berbeda dengan Indonesia yang terkesan selama ini kurang melakukan persiapan serta masih terlalu sibuk ribut dan gonjang-ganjing tentang sesuatu yang tidak substansial. Mulai dari tindak korupsi yang sudah ‘membudaya’ dan dilakukan tanpa malu, bahkan perebutan kekuasaan serta ‘perang jabatan’ sepertinya telah menisbikan persiapan kita menghadapi AFTA 2015. Masalah politik nampaknya masih menjadi primadona di negeri ini daripada bersama-sama mempersiapkan diri, saling bantu dan saling sokong menghadapi AFTA 2015. Sebetulnya semuanya harus berperan, termasuk pemerintah, karena dampak penerapan AFTA akan dirasakan oleh semua, tidak hanya satu dua orang.7 Hal ini dikuatkan dengan pernyataan yang diberikan oleh Soedijarto pada 1 Maret 2014 8 , Menurut penulis, pendidikan di Kualitas Sumber bahwa di luar negara ini masih belum tepat Daya Manusia negeri, contohnya sasaran dalam mengenali Dalam era AFTA Amerika Serikat, kebutuhan lapangan dengan sistem 2015 ini, tak hanya 70 persen biaya pembelajaran di sekolah untuk kemampuan perguruan tinggi para peserta didiknya... . bernegosiasi negeri/swas ta produk, juga kuamerupakan litas sumber daya bantuan dari manusia menjadi isu kritis yang akan dihadapi pemerintah (lima persen dari pemerintah kota, oleh bangsa Indonesia. Banyak sumber daya 45 persen pemerintah negara bagian, dan 20 manusia hebat di Indonesia tetapi berkemam- persen pemerintah pusat), sedangkan di puan bahasa asing mereka, dalam hal ini, bahasa Indonesia, misalnya UI justru 60% adalah dari Inggris sangat terbatas dibandingkan tenaga mahasiswa. Hal ini diakibatkan oleh anggaran kerja dari Filipina, Malaysia, bahkan Singapura. pendidikan di Indonesia termasuk rendah, Sebenarnya tidak dapat diperbandingkan sehingga menimbulkan keraguan bagi mengingat bahasa Inggris merupakan bahasa masyarakat Indonesia untuk melihat kemajuan kedua mereka dan bukan sebagai bahasa asing. pendidikan nasional. Masih ada hal-hal yang Dengan demikian, siapa siap dia menang’ atau tertuang dalam pasal 31 UUD’45 diabaikan oleh ‘siapa terampil dan punya keahlian dialah yang pemerintah. akan hidup.’ Menurut penulis, pendidikan di negara ini Dibandingkan dengan negara ASEAN masih belum tepat sasaran dalam mengenali lainnya, Pemerintah Thailand telah menyiapkan kebutuhan lapangan dengan sistem pembelsumber daya manusia mereka sebaik mungkin, ajaran di sekolah untuk para peserta didiknya, yang salah satunya adalah dengan membuka sehingga peserta didik bisa memaksimalkan sekolah bahasa Indonesia di negaranya. Di potensi yang dimilikinya untuk menjawab Singapura, selain bahasa Inggris yang memang kebutuhan lapangan. Sebagai contoh, apa yang 106 Jurnal Pendidikan Penabur - No.24/Tahun ke-14/Juni 2015 Tantangan Pendidikan Nasional Indonesia bisa diharapkan dari peningkatan kemampuan berbahasa Inggris, manakala jam pelajaran bahasa Inggris di sekolah menengah atas hanya diberikan 2 jam pelajaran saja di dalam pembelajaran Kurikulum Nasional 2013? 9. Sistem pendidikan bahasa Inggris kita tidak dikembangkan agar sesuai dengan kebutuhan dunia kerja dan industri. Siswa hanya dibekali kemampuan pasif seperti membaca dan tata bahasa serta kosa kata sederhana sejak awal mereka belajar bahasa Inggris. Selain itu, bagaimana lulusan sekolah menengah atas bisa ‘memahami’ buku teks/buku sumber yang mayoritas ditulis dalam bahasa Inggris ketika mereka di universitas, apalagi mau bersaing dengan tenaga terdidik dari luar negeri dalam kancah AFTA. Kalau penulis amati, hampir semua tenaga ‘cleaning service’ di sekolah atau di kantor adalah lulusan SMK yang direkrut oleh pihak outsource. Mereka hanyalah tenaga lepas yang digaji harian, tidak mendapatkan jaminan kesehatan, atau lainnya mengingat mereka bukanlah karyawan tetap. Ada beberapa di antara mereka yang mempu-nyai karakter yang baik, sehingga diangkat menjadi tenaga sopir dan mendapatkan gaji bulanan. Di lain pihak banyak lulusan S1 dari berbagai disiplin ilmu yang bekerja di bagian yang bukan merupakan jurusan yang mereka pelajari ketika duduk di bangku kuliah. Dari masalah ini, dapat disimpulkan, terdapat hal memprihatinkan tentang adanya kesenjangan antara kebutuhan di lapangan dengan pembelajaran di dalam ruang kelas dan ini sangat dirasakan di negara berkembang. Perlunya jalinan hubungan yang bersinergi antara dunia pendidikan dengan dunia kerja sangatlah dibutuhkan untuk ketersediaan tenaga siap pakai ketika mereka menjadi alumni sebuah institusi pendidikan. Apabila dunia pendidikan dapat menyediakan tenaga yang memang tepat untuk diberdayakan dalam dunia kerja, tentunya akan sangat membantu meningkatkan kualitas sumber daya manusia seperti yang dituliskan dalam kutipan berikut ini: “Co-operation with industry and agriculture has also proven to increase the quality of tertiary education in the countries in transition and in developing countries, particularly if supported by national authorities.” 10 Demikian pula, dilibatkannya dunia pendidikan tinggi dalam sektor industri di dalam melakukan proyek mereka akan memberikan banyak keuntungan bagi kedua pihak. Sebagai contoh, Akademi Sekretaris Tarakanita banyak melakukan hubungan kerjasama dengan berbagai perusahaan dan terjalin hubungan kerjasama yang baik untuk para mahasiswinya mempraktikan langsung pengetahuan dan ketrampilan yang telah didapat di bangku kuliah, terbukti efektif dalam membuka wawasan dan masa depan yang cerah bagi lulusannya. Semua alumni STIKS Tarakanita, Jakarta, telah membuktikan kemampuannya dengan selalu diterimanya mereka di institusi manapun. Alumni STIKS Tarakanita selalu ‘laku’ di pasaran kerja. Mereka tersebar di berbagai perusahaan, baik perusaha-an perorangan maunpun perusahaan publik, baik perusahaan nasional maupun perusahaan multinasional. Setiap tahun selalu saja ada penawaran untuk posisi sekretaris alumni STIKS Tarakanita, baik lewat iklan maupun yang langsung menguhubungi kampus. Tentu ini merupakan sebuah prestasi sekaligus prestise.11 Contoh lain, Politeknik ATMI (Akademi Teknik Mesin dan Industri) Surakarta yang berdiri sejak tahun 1968 di bawah naungan Yayasan Karya Bakti Surakarta berkembang menjadi institusi pendidikan tinggi yang mempunyai pengaruh cukup besar pada pendidikan profesional khususnya di bidang industri otomotif: Mold & Dies, Tools and Component Industries; Trading, Machineries & Industrial Supplier Companies. di bidang Teknik Mesin Industri (Teknik Manufaktur).12 Sejak kunjungan Menteri Pendidikan Republik Indonesia Prof. Dr. Ing. Wardiman Djojonegoro pada tahun1995, ATMI kota Surakarta makin dilibatkan dalam pengembangan pendidikan kejuruan di Indonesia. Kesuksesan dua institusi pendidikan swasta yang siap pakai seperti dalam contoh di atas, menunjukkan kualitas sumber daya manusia yang terjamin baik memungkinkan insan Indonesia dihargai di negaranya sendiri sehingga siap memasuki era AFTA 2015. Jurnal Pendidikan Penabur - No.24/Tahun ke-14/Juni 2015 107 Tantangan Pendidikan Nasional Indonesia Sudahkah politeknik negeri milik pemerintah mempunyai prestasi seperti yang sudah diraih oleh pihak swasta seperti di atas? Menurut penulis masih dibutuhkan perjalanan sangat panjang dan terutama komitmen pemerintah di dalam melaksanakan amanat UUD’45 khususnya Pasal 31 dan 34, sehingga para lulusan yang adalah warga bangsa ini dapat menghargai kontribusi Negara dalam wujud nyata kesuksesan hidup mereka. Pendidikan di era abad 21, sungguh sangat membutuhkan keterlibatannya dengan dunia kerja, untuk membuat ‘link” antara apa yang dipelajari di bangku sekolah dengan dunia kerja secara nyata ke depannya. Dengan dilibatkannya para praktisi dalam pengajaran di bangku sekolah/kuliah akan membawa informasi terbaru dalam dunia kerja secara nyata ke dalam kelas. Dengan demikian akan mengurangi kesenjangan yang muncul antara dunia kerja dengan dunia pendidikan. Hal ini tertuang dalam pernyataan Jacques Delors berikut ini. “ Several university-industry projects show that direct involvement of university students and teachers brings a wealth of advantages, for instance learning to work in a group; facing real problems which reach from the idea to the market; recognizing that the newest information is hardly good enough for economic competition at the global level,… etc.13 Tahun 2013, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Nasional meluncurkan Kurikulum 2013 yang sering disebut dengan K-13. Di dalam K-13 terdapat mata pelajaran baru yang wajib diajarkan yang sungguh berbeda dengan kurikulum sebelumnya. Mata pelajaran keterampilan dan kewirausahaan serta pelajaran ko-kurikulum wajib Pramuka harus diajarkan di seluruh Indonesia. Hal ini diharapkan akan menggali kreatifitas para siswa untuk menciptakan lapangan kerja bukan sebagai penunggu lowongan pekerjaan. Banyak cara ditempuh untuk menggerakkan kegiatan ini., di antaranya “My Father, My Menthor”adalah sebuah upaya untuk menggerakkan program kewirausahaan di sekolah yang diprakarsai oleh Antonius Tanan, presiden Universitas Ciputra sekaligus orang tua siswa. Siswa SMA kelas 10 pergi hanya bersama ayah mereka berkunjung ke suatu tempat (misalnya: mal) dan kemudian mereka akan mengadakan pengamatan bersama 108 Jurnal Pendidikan Penabur - No.24/Tahun ke-14/Juni 2015 mencermati hal-hal yang menumbuhkan kreasi baru. Tentu saja disamping itu akan ada hal positif lain yang akan mendekatkan hubungan di antara ayah-anak. Ketika seorang ayah menjadi pembicara di seminar untuk mensharing-kan pemikiran hebatnya di sini ia bertindak sebagai mentor bagi anaknya. Hal ini sungguh sesuai dengan yang dituliskan “… developing entrepreneurial skills; and recognizing self-employment opportunities, that is replacing ‘waiting for job’ by ‘creating jobs’..”14 Seorang anak tidak hanya belajar di bangku sekolah, tetapi terjun langsung bersama orang tua mereka di dunia nyata untuk mempersiapkan diri menghadapi masa depan. Simpulan Menghadapi berbagai tantangan pendidikan nasional Indonesia menghadapi AFTA 2015 agar mampu menjadi pesaing yang handal, banyak sekali yang harus dikerjakan. Semuanya dimulai dari membenahi ‘Pendidikan Nasional’, sarana pra-sarana, sumber daya manusia (guru, tenaga kependidikan, dan dinas pendidikan), teknologi, dan komitmen para pemimpin negara ini dalam melaksanakan amanat UUD’45. Tanggung jawab penyelenggara pendidikan bukan hanya pada menghadirkan guru di ruang kelas, tetapi juga tanggung jawab orang tua mengantarkan anak mereka ke masa depan dengan tantangan yang lebih banyak. Evaluasi pendidikan harus dipahami dalam arti luas, meliputi tidak hanya penyediaan sarana dan prasarana serta metode pembelajaran dalam pendidikan tetapi juga pendanaan, manajemen, arah umum dan mengejar tujuan jangka panjang. Ini membawa konsep seperti hak atas pendidikan, pemerataan, efisiensi, kualitas dan alokasi sumber daya secara keseluruhan. Hal-hal tersebut merupakan masalah bagi otoritas publik seperti yang sudah dituangkan dalam “ Choices for Education: the Political Factor” berikut ini “The evaluation of education should be understood in the broad sense, covering not only educational provision and teaching methods but also financing, management, general direction and the pursuit of long-term objectives. It brings in such concepts as the right to education, equity, efficiency, Tantangan Pendidikan Nasional Indonesia quality and the overall allocation of resources, and it is largely a matter for the public authorities”. 15 Harapan besar seluruh bangsa Indonesia saat ini kepada Presiden terpilih Bapak H. Joko Widodo khususnya dalam membenahi ‘carut marut’ dunia pendidikan di Indonesia. Beberapa hal penting yang bisa membuat Indonesia bisa bertahan, atau bahkan bisa memanfaatkan AFTA 2015 untuk membuat negara ini lebih maju adalah pendidikan yang baik, hukum yang ditegakkan, kedisiplinan, dan semangat optimisme untuk maju tiap – tiap warga negara ini16 Dalam kaitannya dengan usaha para pemimpin menyejahterakan rakyatnya, ada kata-kata bijak dari kitab putera Sirakh17 yang bunyinya sebagai berikut: (Sir. 10:1) Pemerintah yang bijak mempertahankan ketertiban pada rakyatnya, dan pemerintahan orang arif adalah teratur; (Sir. 10:2) Seperti penguasa bangsa demikianpun para pegawainya, dan seperti pemerintah kota demikian pula semua penduduknya; (Sir. 10:3) Raja yang tidak terdidik membinasakan rakyatnya, tetapi sebuah kota sejahtera berkat kearifan para pembesarnya. Harapan seluruh masyarakat Indonesia ke depannya, adalah memiliki para pemimpin yang dapat memanfaatkan kekayaaan bangsa ini untuk sepenuh-penuhnya kesejahteraan rakyatnya melalui segala bidang khususnya pendidikan, sehingga terwujudlah apa yang diamanatkan dalam UUD’45 oleh para pendiri Negara Indonesia. Apabila selama ini semboyan yang didengungkan adalah “Jadilah pembayar pajak yang baik”, maka sebaliknya rakyat menyampaikan permohonan “Jadilah pengelola pajak yang baik” dengan menggunakan seluasluasnya untuk kepentingan rakyat. Catatan kaki: 1 Nugraha Danu pada http://mjeducation. com/ sekolah-rsbi-dihapuskan/13/01/12 2 Soedijarto, dalam Landasan dan Arah Pendidikan Nasional Kita hal. 38 3 Ibid., h. 40. 4 http://soedijarto.blogspot.com/2013/05/ pancasila-sebagai-filsafat-dasar-an_23.html 5 Soedijarto,dalam Seminar Nasional “Pancasila dan Sistem Pendidikan Nasional” yang diselenggarakan oleh PPA GMNI di Jakarta, 24 Juni 2011, hal. 21 6 Soedijarto, dalam “Pancasila Sebagai Filsafat Dasar dan Ideologi Negara Kebangsaan Indonesia dan Implikasinya terhadap Penyelenggaraan Sistem Pendidikan Nasional Indonesia”, April 2013, hal. 20 7 Michael Sendow dalam http://ekonomi. kompasiana. com/bisnis/2014/03/05/ sumber-daya-pekerja-kita-menghadapi-afta2015-639570.html 8 http://www.satuharapan.com/read-detail/ read/pemilu-2014-prof-soedijarto-perhatianpemerintah-sangat-rendah-pada-pendidikan 9 Struktur Kurikulum Nasional SMA 2013 10 Jacques Delors, Learning The Treasure Within (Report to Unesco of Internasional Commision on Education for Twenty-first Century), h.219 11 http://www.stiks-tarakanita.ac.id/fokusutama/kerjasama.html 12 (http://www.atmi.ac.id/index.php/college/ about/education-partners 2014) 13 Jacques Delors, Learning The Treasure With in (Report to Unesco of International Commision on Education for Twenty-first Century), h.219 14 Ibid., h. 219 15 Jacques Delors, Learning The Treasure Within (Report to Unesco of : Choices for Education: the political factor), hal. 157 16 Peluang dan Tantangan Indonesia Hadapi AFTA dan AEC 2015-Hima Manajemen FE UNY 17 Kitab Deuterokanonika Putra Sirakh 10:1-3 Daftar Pustaka Delors, Jacques. Learning the treasure within (Report to Unesco of : Choices for Education: the political factor).” 155. UNESCO Publishing, 1998. FE, Hima Manajemen. (2014). UNY, Peluang dan tantangan Indonesia hadapi AFTA dan AEC 2015. http://ekonomi.kompasiana.com/bisnis/2014/03/05/ sumber-daya-pekerja-kita-menghadapi-afta2015-639570.html. Maret 05, 2014 http://mjeducation.com/sekolah-rsbi-dihapuskan. Januari 13, 2012. http://soedijarto.blogspot.com/2013/05/pancasilasebagai-filsafat-dasar-dan_23.html. Mei 2013 Jurnal Pendidikan Penabur - No.24/Tahun ke-14/Juni 2015 109 Tantangan Pendidikan Nasional Indonesia http://www.atmi.ac.id/index.php/college/about/ education-partners 2014. April 19, 2014 http://www.atmi.ac.id/index.php/college/about/ education-partners. 2014 http://www.satuharapan.com/read-detail/read/ pemilu-2014-prof-soedijarto-perhatianpem eri nta h-sa nga t-rendah-pa da pendidikan. Juni 15, 2014 http://www.stiks-tarakanita.ac.id/fokus-utama/ kerjasama.html. 2014 ttp://analisadaily.com/news/read/afta-2015-danketidaksiapan-sdm-indonesia. Agustus 08, 2014 Sirakh, Yesus Bin. Putera Sirakh. In Deuterokanonika, by Yesus Bin Sirakh. n.d 110 Jurnal Pendidikan Penabur - No.24/Tahun ke-14/Juni 2015 Soedijarto. (2008). Landasan dan arah pendidikan nasional kita . Jakarta: PT. Kompas Media Nusantara _______. (2011). Pancasila sebagai filsafat dasar dan ideologi negara kebangsaan Indonesia dan implikasinya terhadap penyelenggaraan sistem pendidikan nasional Indonesia, dalam Seminar Nasional oleh PPA GMNI. Jakarta ______. (1998). Learning the treasure within (Report to Unesco of internasional commision on education for twenty-first century). Australia: UNESCO ______. Liputan 6.com: Indonesia Baru. Juni 15, 2014 Isu Mutakhir: Ujian Nasional Berbasis Komputer Isu Mutakhir Ujian Nasional Berbasis Komputer Mudarwan E-mail: [email protected] Kurikulum dan Evaluasi BPK PENABUR Jakarta Pendahuluan elama bertahun-tahun, tes tertulis (paper and pen test) telah menjadi cara yang paling populer untuk mengukur peserta didik dalam hal pengetahuan, keterampilan dan kemampuan, terutama dalam penilaian pendidikan. Namun perkembangan teknologi dalam dekade ini, terutama peningkatan kemampuan perangkat keras dan perangkat lunak komputer telah menjadikan Computer-based testing yang disingkat CBT atau ujian berbasis komputer mendapatkan popularitas yang semakin besar. CBT dianggap menjadi terobosan dalam penilaian pendidikan yang menjawab kebutuhan untuk memperoleh hasil penilaian yang lebih cepat dan lebih murah pembiayaannya jika dibandingkan menggunakan cara-cara konvensional. S Menurut Davey, T. (2011: 1), paling tidak ada tiga alasan mengapa menggunakan komputer untuk melakukan penilaian. Pertama, untuk melakukan pengukuran konstruksi atau keterampilan yang tidak dapat sepenuhnya atau tepat ditangkap oleh tes atau ujian secara tertulis. Kedua, untuk meningkatkan pengukuran dengan meningkatkan presisi atau efisiensi proses pengukuran. Ketiga, untuk membuat administrasi tes yang lebih efektif bagi peserta ujian, penyelenggara ujian, atau keduanya. Menurut Scalise, K. & Gifford, B. (2006: 4), dengan visual yang dinamis, suara dan interakti-vitas pengguna serta adaptivitas individu peserta tes dan pelaporan data yang real-time, penilaian berbasis komputer sangat memperluas kemungkinan pengujian melampaui keterbatasan tes tertulis tradisional. Inovasi teknologi berbasis komputer menawarkan potensi untuk penilaian formatif yang berkualitas tinggi dan sesuai dengan tujuan instruksional kegiatan pembelajaran, penilaian skala besar (large scale assessment), dan tes sumatif. Penggunaan teknologi tersebut sangat membantu inovasi dalam penilaian dan mekanisme umpan balik real-time yang sangat bermanfaat baik bagi guru maupun peserta didik. Selanjutnya, Davey, T. (2011: 1-2) menyatakan beberapa keungulan penggunaan komputer dalam melakukan penilaian. Menurutnya, tes tertulis terbatas pada teks dan gambar yang statis. Kertas tidak dapat menawarkan interaksi yang berarti dengan peserta ujian, sehingga mempersempit respons peserta ujian. Sebaliknya, penggunaan komputer, menolong para pengembang tes dari keterbatasan yang ada. Komputer dapat menampilkan suara dan gerakan, menawarkan interaksi yang dinamis dengan peserta ujian, dapat menerima respons dengan beberapa cara dan bahkan melakukan scoring secara otomatis. Contoh: Pertama, ujian untuk menilai kemampuan berbahasa dapat mengukur bukan saja kemampuan membaca dan menulis, tetapi mencakup pula kemampuan memahami bahasa yang diucapkan dan berbicara. Kedua, sebuah tes yang mengukur kemampuan berbahasa dengan perangkat lunak yang memungkinkan siswa untuk berinteraksi dengan perangkat lunak Jurnal Pendidikan Penabur - No.24/Tahun ke-14/Juni 2015 111 Isu Mutakhir: Ujian Nasional Berbasis Komputer tersebut untuk menghasilkan atau mengungkapkan respons mereka. Ketiga, sebuah tes ilmu pengetahuan yang memungkinkan siswa untuk merancang dan melakukan percobaan simulasi sebagai sarana merespons. Keempat, sebuah ujian sertifikasi medis yang memungkinkan peserta ujian melakukan simulasi secara interaktif untuk evaluasi, diagnosa, mengobati, dan mengelola pasien. Kelima, tes tertulis yang memungkinkan siswa menulis dan mengedit esai mereka dalam lingkungan pengolah kata (word processor) dan selanjutnya, komputer tersebut mampu mencetak esai secara otomatis serta langsung memberikan peserta tes umpan balik diagnostik, ditambah dengan instruksi untuk melakukan perbaikan secara spesifik. Menurut Thurlow, M., et al. (2010: 1), secara umum ada beberapa kelebihan penggunaan CBT, di antaranya: (1) administrasi yang efisien, (2) meningkatkan otentisitas peserta tes, (3) pengembangan item efisien, (4) lebih disukai siswa pada era sekarang ini (digital native), (5) meningkatkan kemampuan menulis siswa, (6) opsi pilihan yang bebas (mana yang mau dikerjakan terlebih dahulu), (7) hasil tes dapat segera diketahui, serta (8) potensial untuk mengalihkan fokus dari penilaian kepada instruksi. Davey, T. (2011: 2), menambahkan bahwa beberapa jenis CBT dapat mengubah tidak hanya apa yang diukur, namun proses pengukuran itu sendiri. Kunci 112 untuk melakukannya adalah, kemampuan komputer untuk berinteraksi dan menyesuaikan diri dengan siswa yang sedang diuji. Kemampuan tersebut dinamakan adaptif. Sebagai hasil uji adaptif itu, jawaban untuk pertanyaan sebelumnya menentukan pertanyaan selanjutnya. Tes atau ujian bersifat dinamis, karena dapat berubah-ubah seiring kemampuan menjawab siswa, sehingga dapat mengungkapkan kemampuan siswa itu yang sesungguhnya. Di balik keuntungan dan kelebihan penggunaan CBT, terdapat beberapa kelemahan, di antaranyan listrik dan komputer. CBT memerlukan listrik dengan jaringan stabil serta laboratorium komputer dengan perangkat keras dan perangkat lunak yang memadai dalam jumlah yang cukup. Selain itu, jika sistem atau perangkat lunak CBT bermasalah maka pelaksanaan tes berbasis komputer dapat menjadi tertunda. Di samping itu, peserta tes CBT harus memiliki pengetahuan dan keterampilan komputer yang memadai sehingga tidak menimbulkan masalah yang berarti dalam penerapan CBT. Secara teoritis, CBT hanya memanfaatkan komputer untuk memindahkan lembaran soal dalam bentuk kertas ke dalam monitor komputer atau dengan kata lain dari bentuk analog ke bentuk digital. Jika kualias butir soal UN yang diujikan tidak baik, maka secara otomatis hasil UN tersebut belum dapat Jurnal Pendidikan Penabur - No.24/Tahun ke-14/Juni 2015 menggambarkan kualitas peserta didik yang sesungguhnya. Mendikbud Anies Baswesdan berharap soal-soal UN di tahun-tahun mendatang mampu menguji kemampuan berpikir tingkat tinggi (higher order thinking skills) peserta didik (Kompas, 12 Januari 2015). Untuk itu, model naskah soal akan dibuat sekelas The Graduate Record Examination (GRE) dan The Scholastic Aptitude Test (SAT). Oleh karena itu CBT, barulah tahap permulaan digitalisasi dan perkembangan sistem assessment. Untuk meningkatkan kualitas tes, CBT haruslah dikembangkan menjadi Computer Adaptive Test (CAT) yang lebih mutakhir karena dapat mengukur kemampuan dan keterampilan peserta didik yang sesungguhnya. Ujian Nasional CBT (UN-CBT) Pusat Penilaian Pendidikan (Puspendik) Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) telah melakukan uji coba CBT dalam penyelenggaraan Ujian Nasional (UN) pada tahun 2014 lalu. Menurut Maulipaksi, D. (2015: 9), CBT bahkan sudah diujicobakan oleh Puspendik pada UN 2014 di dua Sekolah Indonesia Luar Negeri (SILN), yaitu di Sekolah Indonesia Kuala Lumpur dan Sekolah Indonesia Singapura. Di tahun 2015 ini, UN dengan metode CBT diterapkan di piloting school atau sekolah perintis. Sekolah yang menjadi perintis pelaksanaan CBT adalah sekolah yang Isu Mutakhir: Ujian Nasional Berbasis Komputer bersedia dan memiliki infrastruktur memadai. Menurut Anbarini, R. (2015: 6), sebanyak 724 sekolah yang tersebar di 129 kabupaten/ kota pada 27 provinsi di Indonesia telah melewati tahap verifikasi. Verifikasi tersebut meliputi pengecekan infrastruktur yang tersedia dan kesediaan sekolah untuk melaksanakan CBT. Berdasarkan data Prosedur Operasional Standar (POS) UN 2015 yang diterbitkan oleh Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP), secara umum kriteria sekolah atau madrasah yang akan menjadi pelaksana UN-CBT, sebagai berikut: (1) tersedianya komputer personal (personal computer = PC) atau laptop sebagai client dengan rasio jumlah client dibanding jumlah peserta UN minimal 1 : 3 serta client cadangan minimal 10%; (2) server yang memadai dilengkapi dengan Uninterruptible Power Supply (UPS); (3) jaringan lokal (LAN) dengan media kabel; (4) koneksi internet dengan kecepatan yang memadai; (5) asupan listrik memadai (diutamakan memiliki genset dengan kapasitas yang memadai); dan (6) ruangan ujian memadai. Dengan tersedianya semua sarana prasana tersebut UN-CBT dapat dilaksanakan dengan baik dan lancar. Harapannya, di kemudian hari seluruh sekolah di nusantara sudah siap menggunakan CBT dalam UN. Menurut Anbarini, R. (2015: 6), selama Maret 2015 seluruh siswa kelas XII yang sekolahnya menjadi perintis pelaksanaan CBT, melaksanakan uji coba UN dengan situasi yang sebenarnya. Hal itu dilakukan agar siswa terbiasa mengerjakan soal UN dengan pola tersebut. Prof. Nizam, Kepala Puspendik menyebutkan, uji coba telah dilakukan di sejumlah sekolah di Jabodetabek. Hasilnya cukup memuaskan karena kesiapan siswa menggunakan komputer. Bahkan, secara umum peserta didik sangat diuntungkan, karena mereka tidak harus membulatkan jawaban, menghapus dengan hati-hati jika salah, atau mengotori lembar jawaban. Siswa cukup memilih jawaban yang tepat di layar komputer. Perpindahan nomor soal yang dikerjakan pada UN CBT dapat dengan mudah dilakukan. Siswa bisa maju mundur mengerjakan nomor soal dari yang termudah sampai yang tersulit (jika dianggap ada). Dalam mengerjakan soal, peserta tinggal memilh nomor soal yang dikehendaki. Nomor soal yang sudah dikerjakan akan muncul dengan tanda dan warna yang berbeda. Prof. Nizam juga menambahkan, metode yang akan digunakan saat CBT adalah semionline. Artinya, ujian dilayani dengan server lokal, tetapi soalnya disinkronisasi dengan server pusat beberapa hari sebelum jadwal UN dimulai. Keunggulan dan Kendala UN-CBT Seiring dengan perkembangan sistem komputerisasi yang makin canggih, UN dengan model CBT sudah selayaknya diterapkan di Indonesia. Dengan menerapkan UN-CBT, akan terjadi efisiensi anggaran karena fasilitas komputer dapat dipergunakan berulang kali atau dapat dikatakan investasi yang tidak habis pakai dan bersifat paperless atau mengurangi penggunaan kertas, sehingga mendukung gerakan go green. Tenaga pendukung pelaksanaan ujian pun akan secara otomatis berkurang drastis. Dengan sistem komputerisasi, soal UN bisa disampaikan langsung pada saat beberapa jam sebelum pelaksanaan UN. Dalam suaramerdeka.com (2015) Mulyati menuliskan, dari sisi kerahasiaan soal UN CBT pasti lebih baik karena mata rantai distribusi soal UN sudah diputus menjadi sangat pendek, tidak lagi melibatkan pihak ketiga yakni percetakan. Prosedur pelaksanaannya pun lebih praktis hingga pada saat pengoreksian jawaban. Waktu tunggu hasil UN yang selama ini selama sebulan, bisa lebih diperpendek bahkan bisa hanya satu minggu saat sistemnya terkomputerisasi. Menurut Maulipaksi, D. (2015: 9), UN tahun ini dipastikan menggunakan CBT pada sekolah-sekolah perintis di Indonesia. Kepala Puspendik mengatakan, banyak keuntungan penggunaan CBT. Contoh, pelaksanaan ujian dapat lebih fleksibel. Ketika anak siap dan sekolah siap, ujian dapat dilakukan, tanpa menunggu jadwal yang ketat seperti sekarang ini. Demikian pula saat ingin mengulang UN. Jurnal Pendidikan Penabur - No.24/Tahun ke-14/Juni 2015 113 Isu Mutakhir: Ujian Nasional Berbasis Komputer Siswa cukup mendaftar dan dapat mengikuti UN ulang dengan menggunakan komputer. Selain itu, bentuk soal UN bisa lebih beragam, tidak hanya pilihan ganda. Misalnya dalam bentuk mini esai, mengisi jawaban langsung, menjodohkan, memutar kalimat, dan lainlain. Tapi hal itu dilakukan pada masa depan. Dengan menggunakan CBT, siswa juga cukup mengklik pilihan jawaban yang tersedia tanpa perlu melingkari lembar jawaban yang tentu membutuhkan waktu lebih lama. Jika salah memilih jawaban, siswa juga cukup mengganti jawaban yang dipilihnya dengan mengklik jawaban sebelumnya dan mengklik jawaban baru. Ini berbeda dengan paper based yang harus menghapus pilihan jawaban yang telah dihitamkan, kemudian melingkari kembali jawabannya. Namun, di balik keunggulan sistem CBT, ada beberapa kendala yang menghadang. Kendala utama pada infrastruktur sarana pendukung, yakni ketersediaan jaringan listrik dan jaringan internet serta intranet (LAN). Indonesia merupakan negara kepulauan yang tersebar dari Sabang sampai Merauke, dari Miangas sampai Pulau Rote. Betapa luasnya jangkauan listrik dan jaringan internet yang harus disiapkan Pemerintah Indonesia untuk mengimplementasikan penerapan UN-CBT. Hal itu menjadi tantangan tersendiri. Hal lainnya adalah kecenderungan sebagian siswa yang memiliki kecemasan saat menghadapi dan menggunakan 114 perangkat komputer. Saat komputer yang digunakan siswa bermasalah, misal hang dan error, maka saat itu pula tingkat kecemasan siswa meningkat, mengingat keterbatasan waktu bagi siswa untuk menjawab soal di komputer. Namun, hal itu dapat diatasi dengan ketersediaan proctor, yakni petugas yang diberi kewenangan sebagai pengawas pelaksanaan UNCBT di sekolah/madrasah yang terlatih serta teknisi, yaitu petugas pengelola laboratorium komputer (pranata komputer) yang memadai. Daftar Pustaka Anbarini, R. (2015). Sekolah Akan Lakukan UN dengan CBT. Asah Asuh, VI (2): 6. Dinduh dari http://www.kemdiknas. go.id/kemdikbud/ majalah/asahasuh2015/ AsahAsuh Edisi2.pdf pada 10 Mei 2015. ____. (2015). Prosedur operasional standar (pos) penyelenggaraan ujian nasional tahun pelajaran 2014/ 2015. Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP). Jakarta: 1 - 49. Davey, T. (2011). Practical considerations in computerbased testing. Diunduh dari http://www.ets.org /Media/Research/pdf/ CBT-2011.pdf pada 15 Mei 2015. Maulipaksi, D. (2015). Ujian Berbasis Komputer Akan Digunakan dalam UN. Asah Asuh, VI (1): 9. Diunduh dari http:// www.kemdiknas.go.id/ kemdikbud/majalah/ asahasuh2015/ Jurnal Pendidikan Penabur - No.24/Tahun ke-14/Juni 2015 AsahAsuhEdisi1.pdf pada 10 Mei 2015. Mulyati, S. (2015). Menanti UN sistem komputer. Diunduh dari http:// berita.suaramerdeka. com/smcetak/menantiun-sistem-komputer/ pada 20 Mei 2015. Parshall, C. G., Harmes, J. C., Davey, T. & Pashley, P. J. (2010). Innovative Items for Computerized Testing. In: W. J. van der Linden & C. A. W. Glas, Hrsg Elements of adaptive testing, statistics for social and behavorial sciences. Springer Science+ Business Media, New York: 215-230. Scalise, K. & Gifford, B. (2006). Computer-Based Assessment in E-Learning: A Framework for Constructing “Intermediate Constraint” Questions and Tasks for Technology Platforms dalam The Journal of Technology, Learning, and Assessment, The Technology and Assessment Study Collaborative, Caroline A. & Peter S. Lynch School of Education, Boston College, Chestnut Hill, MA, Volume 4, Number 6: 1-43. Thurlow, M., Lazarus, S. S., Albus, D., & Hodgson, J. (2010), Computer-based testing: Practices and considerations (Synthesis Report 78). Minneapolis, MN: University of Minnesota, National Center on Educational Outcomes diunduh dari www.cehd.umn.edu/ nceo/onlinepubs/ synthesis78/ synthesis78.pdf pada 19 Mei 2015. Resensi buku: Guru Gokil Murid Unyu Resensi buku Judul Buku : Guru Gokil Murid Unyu Pengarang : J. Sumardianta Penerbit : PT Bentang Pustaka Yogyakarta Tahun Terbit: November 2013 Cetakan : Keempat Jumlah Halaman : xiv+306 halaman ISBN: 978 – 602 – 7888 – 13 – 5 Resensi oleh : Wahyu Kris Aries Wirawardana E-mail: [email protected] SMP Kristen Pamerdi Malang D Menjadi Guru Gokil alam jagad sepakbola, pemain yang hebat belum tentu bisa menjadi pelatih yang hebat. Dan, pelatih yang hebat belum tentu bisa menjadi pengamat yang hebat. Jadi, pemain hebat yang bisa menjadi pelatih sekaligus pengamat yang hebat sangatlah langka. Satu di antara yang langka itu adalah Johannes Sumardianta. Sumardianta memang bukan pemain, pelatih maupun pengamat sepak bola. Dia adalah seorang ‘pemain’, ‘pelatih’, sekaligus ‘pengamat’ pendidikan. ‘Pemain’ pendidikan, menjadi guru, dilakoninya di Blitar sebelum akhirnya berlabuh di SMA Kolese De Britto Yogyakarta. Pelatih pendidikan, menjadi nara sumber, dijalaninya sampai ke seluruh penjuru negeri. Pengamat pendidikan diwujudkannya melalui karya tulis, terutama resensi buku, yang tersebar di berbagai media. Tak heran jika orang yang satu ini dikenal sebagai ‘raja’ resensi. Apa jadinya jika ‘raja’ resensi menulis buku? Tentu tidak sulit menjawabnya. Yang sulit adalah mencari kata untuk meresensinya. Membaca Guru Gokil 1 Murid Unyu2 merupakan perjalanan. Seolah tanpa sadar kita diajak belajar tentang hakikinya belajar, mendasarnya pendidikan karakter, dan pentingnya meng-uri-uri 3 budaya. Untuk itu Sumardianta memaksa pembaca, terutama guru, untuk berkomitmen menghidupi tiga hal gokil. Pertama, kembali belajar layaknya seorang pemenang. Belajar bukanlah kegiatan yang terbatas pada duduk termenung menghadap buku dan bukan pula masuk pagi pulang siang di gedung yang bernama ‘sekolah’. Belajar adalah gaya hidup. Gaya hidup seorang guru pemenang adalah berani melawan kenyamanan, berani Jurnal Pendidikan Penabur - No. 24/Tahun ke-14/Juni 2015 115 Resensi buku: Guru Gokil Murid Unyu melawan ketakutan, serta berani mengambil Diharapkan, dengan hati nurani, ada migrasi risiko (hal. 19). Guru pemenang tidak lagi peduli kesadaran dari kesadaran magis dan kesadaran apa kata pecundang. Guru pemenang dihargai naif menuju kesadaran kritis. Kesadaran magis bukan karena ditakuti melainkan karena (magical consciousness) membuat manusia berpikir menghargai muridnya. Ini adalah proses dalam tempurung. Semua penindasan, sepanjang hayat. Penuh perjalanan berliku kemiskinan, dan ketidakadilan diterima sebagai tentunya. Namun, hanya dengan cara itulah kodrat Ilahi, yang tidak mungkin diganti apalagi guru pemenang menyalakan setitik cahaya di dihilangkan. Hasilnya adalah paradigma lorong kehidupan (hal. 17). fatalistik. Kesadaran naif (naival consciousness ) Menjadi guru adalah kehormatan dan untuk mendakwa manusia sebagai kambing hitam menjaga kehormatan itu, dibutuhkan pengorba- segala bentuk keterbelakangan dan ketidaknan. Pengorbanan ‘diri’ adalah yang terpenting. berdayaan. Sedangkan kesadaran kritis (critical Kenyamanan status dan keengganan belajar consciousness ) memiliki perspektif lebih harus diganti dengan anti kemapanan dan komperehensif. Semua ketidakadilan dan kehausan belajar. Guru yang memperagakan penindasan secara ekonomi-sosial-politik pembelajaran bermakna menandakan passion for berakar pada struktur dan sistem ekonomiknowledge4 (hal. 49). Hal ini didasari ketulusan sosial-politik yang didominasi penguasa. untuk belajar, berbagi, merumuskan, dan Kedua, turut menjadi teladan dalam memraktikkan. Belajar selaras dengan kemauan pendidikan karakter. Dalam konteks Indonesia, untuk selalu belajar ; berbagi selaras dengan tak ada yang lebih penting dari pendidikan sikap altruis; serta merumuskan dan karakter. Guru di negara tetangga lebih khawatir mempraktikkan selaras dengan pembukaan jika muridnya tidak jujur dan tidak hormat pada wawasan baru orang lain. Mereka serta penyempurtidak khawatir jika naan wawasan muridnya tidak bisa dalam tindakan baca, tulis, dan Indonesia punya banyak pemimpin nyata. hitung (calistung). tapi miskin teladan kepemimpinan. Tak lupa, Sementara di IndoKepemimpinan erat terkait dengan Sumardianta juga nesia, guru lebih karakter dan tak bisa dilepaskan menerbangkan khawatir jika muriddari persoalan keteladanan. kita ke Brasil untuk nya tidak lulus ujian mengunjungi nasional daripada pemikiran Paulo tidak mau mengantre Freire yang semakin menemukan relevansinya (hlm.6). Inilah yang harus diobrak-abrik 5 . dengan kekinian Indonesia. Freire mengobarkan Indonesia punya banyak pemimpin tapi miskin pendidikan sebagai bentuk pembebasan, teladan kepemimpinan. Kepemimpinan erat pemerdekaan, dan penyadaran (hal. 256). terkait dengan karakter yang tak bisa dilepaskan Pembebasan ala Freire bukanlah pembebasan dari persoalan keteladanan. yang membalik posisi penindas dengan Buku ini berlimpah teladan. Keteladanan tertindas. Melainkan pembebasan yang yang dipaparkan pun beragam. Mulai dari meniadakan praktik penindasan. Yang tertindas presiden sampai pemilik warung, mulai dari dan penindas bersama-sama berjuang meraih tokoh nonfiksi sampai rekaan. Tentang kemerdekaan. Yang tertindas merdeka dari pentingnya keluarga dalam pembentukan penindasan. Penindas pun merdeka dari karakter, Sumardianta menyuguhkan keluarga penindas sesungguhnya, yaitu nafsu untuk Iwan dalam novel 9 Summers 10 Autumn. Novel menindas yang memerosotkan harkat manusia. ini berkisah tentang pergulatan Iwan yang masa Solusinya harus bersumber pada kesadaran. kecilnya di kota Batu penuh derita. Walau Kesadaran, dalam konteks pendidikan, ayahnya tidak tamat SD, Iwan terus bertahan diterjemahkan Freire sebagai proses perkem- hingga akhirnya mereguk kesuksesan hingga ke bangan menuju pendidikan hati nurani. Times Square New York. Namun, gemerlap negara 116 Jurnal Pendidikan Penabur - No. 24/Tahun ke-14/Juni 2015 Resensi buku: Guru Gokil Murid Unyu asing justru mengasingkannya ke kesunyian paling sunyi karena jauh dari keluarga. Iwan pun memilih pulang kampung, kembali berintim dengan keluarga. Kehangatan masa kecil dalam keluarga sederhana menjadikannya sosok berkarakter yang tangguh mempertahankan prinsip. Tentang kejujuran, pembaca disuguhi kisah inspiratif perusahaan Blue Bird yang membangun perusahaan dengan fondasi kejujuran. Kejujuran tidak bisa diajarkan hanya dengan menghafal “kejujuran adalah ...”. Kejujuran harus dihidupkan dan dihidupi dalam kehidupan sehari-hari. Ngelmu iku kalakone kanthi laku6 (hal. 155). Dengan fondasi kejujuran pula, Blue Bird mengembangkan seluruh pemangku kepentingan untuk memiliki etos kerja penuh tanggung jawab dan disiplin tanpa meninggalkan kemurahan hati. Ketika ketulusan menjadi langka dan pengertian ‘sesama’ semakin sempit, pembaca diajak menelusuri “Ah, Jakarta”. Penggalan cerpen Ahmad Tohari ini meneladankan ketulusan hati kepada sesama. Ada lembaran kisah tentang seseorang yang memberi tumpangan kepada karibnya. Walaupun sang karib adalah seorang kriminal, dia tetap merawatnya penuh ketulusan. Sementara banyak orang memahami sesama sebagai orang yang mendatangkan keuntungan. Dia menjadi teladan untuk memahami siapa ‘sesama’ dan bagaimana mengasihi (hal. 215). Tak ketinggalan, karakter masyarakat yang cenderung reaktif-impulsif- posesif pun menjadi sorotan. Masyarakat butuh teladan. Tokoh Jawa klasik Pangeran Samber Nyawa dan Pandita Podo Winarno pun disodorkan. Sumardianta mengajak kita meresapi keutamaan dan kesederhanaan dari keduanya. Keutamaan karakter lemah lembut namun tegas serta gigih namun tidak kemrungsung 7 (hal. 114) harus menjadi core value8 . Jika tidak, sekolah hanya akan menjadi gedung ramai aktivitas tapi sepi pendidikan karakter. Setiap pagi banyak yang datang tapi siang pulang tanpa pengokohan karakter. Kerja keras, kejujuran dan ketulusan merupakan karakter yang harus tertanam sejak dini. Mengajarkannya di sekolah bukan perkara mudah. Bagi guru yang ingin mengajarkan karakter sebagai hafalan, jangan membaca buku ini! Buku ini hanya cocok untuk guru yang hendak membumikan karakter sampai pada kedalaman pemahaman siswa. Sehingga siswa mampu memancarkannya dalam praktek kehidupan nyata. Ketiga, menjadi penguri-uri budaya. Tak bisa dipungkiri, Indonesia adalah gudangnya kearifan lokal. Setiap pelosok negeri memiliki kearifan lokal yang unik. Sayang, banyak orang mengenalinya sebagai mitos. Setelah arus informasi menderas, mitologi banyak ditinggalkan. Padahal setiap mitologi dalam kearifan lokal menggambarkan ideologi masyarakat setempat. Sesungguhnya, mitologi tersebut membuktikan betapa masyarakat zaman dulu memiliki lompatan pemikiran yang melebihi zamannya. Karena tak terakomodasi dalam cara berkomunikasi pada zaman itu, lompatan pemikiran itu mendarat sebagai mitologi. Mbah Maridjan adalah secuil teladan bagaimana menguri-uri budaya kearifan lokal. Letusan Merapi 2006 menjulangkan nama Mbah Maridjan. Santer terdengar, Mbah Maridjan-lah yang menghindarkan Dusun Kinahrejo dari amukan Merapi (hal. 123). Media merespon, memberi tawaran. Mbah Maridjan pun termakan tawaran media yang menjadikannya ‘rosa’9 nan fenome-nal namun komersil. Mitologi lama pun berganti mitologi digital yang rapuh. Tidak lagi disadari hakikat mitologi lama bahwa penguasa Merapi (Eyang Permadi dan Kiai Sapuangin misalnya) merupakan perlambang kearifan ekologi, bukan sekadar mitologi. Mbah Maridjan mengakhiri cerita dengan kematian. Tak kelihatan lagi ke”rosa”an. Yang selalu lebih ‘rosa” tentu saja alam. Cerita Merapi dan Mbah Maridjan menegur keras setiap kita yang pongah dengan kecanggihan teknologi yang hampir pasti anti ekologi. Teladan lain adalah Warung Bu Ageng yang digagas Butet Kertarajasa. Menguri-uri budaya kearifan lokal dilakukannya dengan desain warung yang tidak biasa. Perabotan dirancang supaya tamu betah berlama-lama. Dihiasi banyak lukisan kata yang menggugah. Salah satunya memajang kalimat “Urip Mung Mampir Guyu”10. Hidup hanya mampir tertawa. Seolah menyindir masyarakat kini yang Jurnal Pendidikan Penabur - No. 24/Tahun ke-14/Juni 2015 117 Resensi buku: Guru Gokil Murid Unyu kehilangan senyum karena tergerus budaya hal ini bisa menjadi bumerang. Bisa jadi, buku kemrungsung. Selain itu, ternyata, warung ini ini hanya menjadi kumpulan perspektif penulis tutup hari Senin. Mengapa? Supaya bisa buku lain, bukan perspektif Sumardianta. Akan istirahat. Supaya tidak terseret arus mentalitas tetapi, disitulah letak usikannya. Pembaca harus serakah peraihan untung sebanyak-banyaknya. jeli membedakan. Mana perspektif Sumardianta, Itulah teladan kearifan lokal yang selalu relevan mana perspektif penulis buku yang diresensi. dengan perubahan zaman. Buku ini juga menyiratkan kelebihan lain Satu teladan lagi: multikultural. Sebagai seorang Sumardianta. Yaitu kemampuannya negara multietnis, Indonesia memiliki lembaran meracik, meramu, dan menghidangkan hal-hal cerita multikultural. Namun sayang, cerita rumit secara sederhana. Ia juga terampil multikultural yang ada di depan mata adalah meneropong sesuatu dari sudut pandang yang cerita-cerita destruktif, merusak keutamaan berbeda. Caranya memandang satu fenomena multikultural itu sendiri. Bersyukur, masih ada seringkali berbeda bahkan bertolak belakang tradisi kenduri dan penganan tradisional. dengan pandangan umum. Petualangan Keduanya merupakan teladan tepat bagaimana Magellan dan Cheng Ho di mata Sumardianta menjaga kerukunan dan menghidupi toleransi bukan sekadar perjalanan mengarungi lautan. (hal.243). Kenduri juga menunjukkan Magellan dan Cheng Ho merupakan gambaran keterbukaan. Mi Tiongkok, roti Eropa, dan gulai perkembangan teknologi pangan bangsa Asia India rukun berdampingan mengitari nasi Jawa. dan Eropa. Alhasil, pembaca pun akan Penganan lumpia menunjukkan bagaimana mendapatkan bonus ganda: menemukan banyak m enya r ing hal baru dan budaya yang melihat sesuatu kurang selaras dengan ‘mata’ Urusan pendidikan adalah urusan dengan kearifan baru. kita semua. Jangan menunggu lokal. Cara memaSumardianta pemerintah untuk menggerakkan sak lumpia merubisa dikatakan perubahan. Mari mulai dari diri pakan pengaruh berhasil menamTiongkok. Tapi pilkan corak baru sendiri untuk menjadi pendidik citarasanya yang penulisan terutapenggerak perubahan. manis merupakan ma dalam menyutradisi Jawa. guhkan kosakata Daging babi pun diganti ayam atau udang. Wah, yang tidak biasa. Hampir di seluruh bagian sungguh hidangan multikultural yang tidak terdapat kata-kata yang unik bahkan ganjil. Baik hanya lezat di lidah tapi juga sarat teladan. dari bahasa Jawa maupun bahasa Latin. Melalui buku ini, Sumardianta hendak Nggabrul 11 , derep 12 , klangenan 13 , numani 14 , merangkul semua kalangan untuk merenungi rumongso handarbeni15, melu hangrungkebi16, mulat hakikat pendidikan. Urusan pendidikan terlalu sariro hangroso wani17, dan brayut18 merupakan luas untuk dipercayakan kepada sekolah. sedikit contohnya. Walau bersumber dari bahasa Urusan pendidikan adalah urusan kita semua. Jawa, kata-kata tersebut tidak lagi sering Jangan menunggu pemerintah untuk terdengar dalam percakapan sehari-hari bahkan menggerakkan perubahan. Mari mulai dari diri oleh masyarakat Jawa sekalipun. Banyak pula sendiri untuk menjadi pendidik penggerak frase bahasa latin. Misalnya adalah requiem perubahan. Salah satu caranya adalah dengan aeternam dona eis, domine: et luxperpetua luceat eis19 menjadi guru gokil. (hal. 91). Contoh lain adalah via dell 20, amor Membaca Guru Gokil Murid Unyu’ layak mundum fecit21, dan gioia senzaniente22. Persentase disebut sebagai pengalaman. Kuat dalam pembaca yang memahami kata-kata langka dan referensi. Cukup bernas untuk dijadikan refleksi frase- asing tersebut tentu sangat sedikit. dan banyak di antaranya merupakan resensi. Mungkin kata-kata tersebut merupakan kata Dengan membaca buku ini, pembaca sama yang paling tepat untuk mewakili konsep dengan membaca intisari banyak buku. Namun, pemikirannya. Benar bahwa bahasa Indonesia 118 Jurnal Pendidikan Penabur - No. 24/Tahun ke-14/Juni 2015 Resensi buku: Guru Gokil Murid Unyu tidak cukup kaya kosakata untuk menjelaskan sebuah makna. Namun, ini bisa menjadi bumerang. Karena Sumardianta seringkali membiarkan kata dan frase tersebut berdiri bebas tanpa terjemahan apalagi penjelasan kontekstualnya. Dibandingkan dengan buku Path of Life tulisan Komaruddin Hidayat (2014), karya Sumardianta ini lebih mengerucut dan membumi. Path of Life mengajak pembaca untuk mendengarkan dan merenungkan makna di balik fenomena, sedangkan Guru Gokil Murid Unyu’ justru menantang pembaca untuk memberi makna pada fenomena. Di sisi itulah Sumardianta menjadi berbeda. Buku ini juga pas jika disebut sebagai kelanjutan sekaligus pelengkap buku Menjadi Manusia Pembelajar tulisan Andrias Harefa (2000). Keduanya menantang pembaca untuk melompatkan diri dari paradigma lama menuju paradigma baru. Lompatan paradigma tersebut mendesak dilakukan terutama terkait penghayatan terhadap kata ‘belajar’, ‘guru’, dan ‘pendidikan’. Terlepas dari ‘bumerang-bumerang’ tersebut, buku ini menggambarkan kegokilan penulisnya. Sebagai orang Indonesia-Jawa, Sumardianta adalah penguri-uri budaya sejati. Sebagai pendidik, Sumardianta adalah sorang teladan pembelajar sejati. Tentu akan lebih gokil jika Sumardianta memperkaya karyanya dengan keunikan pendidikan dan budaya dari seluruh penjuru Indonesia. Bukan hanya dalam kata dan frase, tapi juga dalam sisi kreatif, dan kearifan lokalnya. Dengan demikian, membaca karya Sumardianta, pembaca diharapkan bisa lebih utuh membaca pendidikan Indonesia. Melalui buku ini, Sumardianta cukup berhasil menghentak guru kembali mamaknai hakikat keguruannya. Setelah membaca buku ini, semua guru niscaya tidak akan ragu dan tidak akan malu untuk melangkah maju menjadi guru gokil. Hanya guru gokil-lah yang layak disebut sebagai guru karena kegokilan merupakan bukti nyata bahwa seorang guru telah-sedang-akan terus belajar di sepanjang hayatnya. Layak ditunggu, hentakan karya Sumardianta berikutnya. Catatan: 1) Gokil : bahasa gaul ‘Gila’, kreatif, tapi dalam hal yang positif 2) Unyu’ : bahasa gaul yang artinya menggemaskan, lucu, imut 3) Menguri-uri: bahasa Jawa yang artinya melestarikan 4) passion for knowledge : hasrat kuat untuk mempelajari pengetahuan baru 5) diobrak-abrik : bahasa Jawa yang artinya merusak tatanan 6) Ngelmu iku kalakone kanthi laku : bahasa Jawa yang artinya ilmu akan bermanfaat jika dilakukan/diterapkan 7) kemrungsung : bahasa Jawa yang artinya buru-buru, tergesa-gesa 8) core value : nilai inti 9) rosa : bahasa Jawa yang artinya kuat 10) Urip Mung Mampir Guyu : bahasa Jawa yang artinya hidup hanya singgah untuk tertawa 11) Nggabrul : bahasa Jawa yang artinya omong kosong 12) Derep : bahasa Jawa yang artinya memotong butiran padi 13) Klangenan: bahasa Jawa yang artinya kesukaan 14) numani : bahasa Jawa yang artinya membuat ketagihan 15) rumongso handarbeni : bahasa Jawa yang artinya merasa memiliki 16) melu hangrungkebi: bahasa Jawa yang artinya ikut memelihara 17) mulat sariro hangroso wani : bahasa Jawa yang artinya berani mawas diri 18) brayut : nama tokoh wayang kulit, melambangkan cinta keluarga dan kesuburan 19) requiem aeternam dona eis domine, et luxperpetua luceat eis: bahasa Latin yang artinya Berikanlah ia istirahat kekal dan semoga tenang abadi menyinari dia. 20) via dell: bahasa Latin yang artinya jalan lembah kecil (perjalanan) 21) amor mundum fecit : bahasa Latin yang artinya dengan cinta menciptakan dunia gioia senzaniente : bahasa Latin yang artinya tidak ada sukacita Jurnal Pendidikan Penabur - No. 24/Tahun ke-14/Juni 2015 119 1. Belum diterbitkan/ Belum Pernah dikirim ke Media Cetak Lain. A. Persyaratan 2. Karya Asli: Dalam Bahasa Indonesia atau Bahasa Inggris 1. Kajian Pustaka 2. Kajian Empiris 3. Kajian/ Studi Kasus B. Ragam Naskah 4. Evaluasi 5. Kajian Kebijakan 6. Kajian Pengembangan 7. Analisis Deskriptif/Opini 8. Resensi Buku a. Menggambarkan Isi Naska, Singkat dan Padat 1. Judul b. Tidak Spesifik/Sempit, Tidak Terlalu Umum c. Paling panjang 14 Kata a.Nama Lengkap, Tanpa Gelar 2. Identitas Penulis b. Alamat e-mail Pribadi c. Nama Institusi/Lembaga i. Sifat: Informatif ii. Latar Belakang Masalah & Masalah iii. Tujuan a. Isi iv. Metode, Tempat & Waktu v. Hasil & Saran 150 -200 kata 3. Abstrak b. Panjang Dalam 1 paragraf Minimal 3 kata c. Kata-Kata Kunci Merupakan istilah/konsep penting i. Bahasa Indonesia d. Bahasa Acuan Penulisan Ilmiah ii. Bahasa Inggris i. Latar Belakang Masalah a. Isi C. Struktur Naskah ii. Rumusan Masalah iii. Manfaat Penelitian iv. Kajian Pustaka/Teori 4. Pendahuluan i. Deskriptif b. Bentuk ii. Informatif a. Jenis Penelitian 5. Metode Penelitian b. Tempat dan Waktu Penelitian c. Prosedur Penelitian: sumber, teknik pengumpulan & analisis data i. Kualitatif a. Hasil/Data ii. Kuantitatif i. Interpretasi 6. Hasil dan Pembahasan b. Pembahasan ii. Analisis: induktif, deduktif, komparatif i. Makro/Umum c. Implikasi ii. Mikro/Khusus a. Kesimpulan 7. Penutup b. Saran a. Gaya/Style: APA b. Jumlah referensi minimal 5 8. Daftar Pustaka c. Dirujuk langsung dlm tulisan d. Terbitan minimal 5 thn terakhir 1. Format: A4 D. Fisik Naskah 2. Huruf: Book Antique- 10 point, 3. Panjang naskah: 4.000 - 10.000 kata dengan1,5 spasi 4. Wujud: Soft copy dan printout