Jurnal Pendidikan Penabur

advertisement
Diterbitkan oleh:
BADAN PENDIDIKAN KRISTEN PENABUR (BPK PENABUR)
I S S N : 1412-2588
Jurnal Pendidikan Penabur (JPP) dapat dipakai
sebagai medium tukar pikiran, informasi, dan
penelitian ilmiah para pemerhati masalah pendidikan.
Penanggung Jawab
Ir. Suwandi Supatra, MT.
Pemimpin Redaksi
Prof. Dr. BP. Sitepu, M.A.
Sekretaris Redaksi
Rosmawati Situmorang
Dewan Editor
Prof. Dr. BP. Sitepu, M.A.
Prof. Dr. Theresia K. Brahim
Dr. Ir. Hadiyanto Budisetio, M.M.
Dr. Elika Dwi Murwani, M.M.
Etiwati, S.Pd., M.M.
Ir. Budyanto Lestyana, M.Si.
Alamat Redaksi :
Jln. Tanjung Duren Raya No. 4 Blok E Lt. 5, Jakarta Barat 11470
Telepon (021) 5606773-76, Faks. (021) 5666968
http://www.bpkpenabur.or.id
E-mail : [email protected]
Jurnal Pendidikan Penabur
Nomor 24/Tahun ke-14/Juni 2015
ISSN: 1412-2588
Daftar Isi,
i
Pengantar Redaksi,
ii - v
Peningkatan Partisipasi dan Prestasi Belajar Drama Dengan Metode Investigasi Kelompok,
Yohanes Paiman,
1-26
Peran Role Playing Berbasis Komputer Pada Kesiapan Belajar Anak Usia Prasekolah 4-5 Tahun
Dilihat Dari Kematangan Emosional,
Felucia Hendriette,
27-48
Bimbingan Belajar Dalam Mengatasi Kesulitan Belajar Siswa Sekolah Dasar,
Fransiska,
49-58
Implementasi Refleksi Teologis Orasi Daud Bagi Perkembangan Karakter Siswa Melalui
Pendidikan Kristen,
Maria Evvy Yanti,
59-72
Hilda Karli,
Pemanfaatan Media Pembelajaran di Sekolah Dasar,
73-91
Penggunaan Fun Multiplication Beads Untuk Meningkatkan Kemampuan Perkalian Siswa,
Sih Retno Hastuti,
92-101
Tantangan Pendidikan Nasional Indonesia di Era AFTA 2015,
102-110
Isu Mutakhir: Ujian Nasional Berbasis Komputer,
Resensi buku: Guru Gokil Murid Unyu,
Kumalasari Onggobawono,
Mudarwan,
Wahyu Kris Aries Wirawardana,
111-114
115-119
Jurnal Pendidikan Penabur - No. 24/Tahun ke-14/Juni 2015
i
Pengantar Redaksi
etika peserta didik menjadi pusat perhatian dalam proses
pembelajaran, berbagai penelitian dilakukan untuk
memahami bagaimana sebenarnya manusia belajar. Hasil
penelitian itu dipergunakan mengembangkan pendekatan,
strategi, metode, dan teknik membelajarkan sehingga memudahkan
pemelajar memperoleh, mengembangkan, dan menerapkan
pengetahuan, keterampilan, dan sikap yang dipelajarinya. Berdasarkan
kajian psikologi, para ahli mengemukakan teori belajar mulai dari
teori behavioursme, kognitivisme, konstruktivisme, dan konektivisme
serta berbagai teori belajar lainnya. Semua teori itu pada hakikatnya
menjelaskan bagaimana proses belajar terjadi sesuai dengan
paradigma setiap teori.
Dilihat dari kronologinya, teori itu dapat dikenali sebagai teori
lama, baru, dan mutakhir. Akan tetapi, pada hakikatnya kebenaran
dan penggunaan teori tidaklah semata-mata ditentukan oleh waktu
teori itu ditemukan. Sebagai contoh, teori behaviorisme yang muncul
jauh sebelum teori belajar lainnya tidaklah berarti teori itu tidak berlaku
dan tidak dipakai lagi sekarang. Untuk keperluan pembelajaran
tertentu, teori itu lebih tepat dipergunakan daripada teori lainnya.
Misalnya, pembelajaran yang bertujuan untuk memperolah
kemampuan mekanistik, teori pembelajaran berdasarkan
behaviorisme paling sesuai. Sedangkan untuk kemampuan yang
bersifat kreatif/inovatif, pembelajaran yang berbasis teori kognitivisme
dan konstruktivisme lebih efektif. Dengan demikian, desain
pembelajaran dibuat berdasarkan dan ditentukan oleh tujuan
pembelajaran, karakteristik pemelajar, serta lingkungan belajar.
Di samping memperoleh kemampuan yang dikehendaki,
pengalaman belajar diharapkan dapat menambah keterampilan
pemelajar belajar sehingga pada waktunya dapat menjadikannya
pemelajar mandiri sepanjang hayatnya. Dalam kaitannya dengan
pengalaman belajar, berbagai gagasan juga berkembang. Edgar Dale
(1900–1985) misalnya mengemukakan Cone of Experience berdasarkan
kajiannya atas berbagai desain pembelajaran dan proses belajar. Cone
of Experience mengungkapkan perbedaan retensi atau kemampuan
mengingat manusia melalui pengalaman yang berbeda. Manusia
mengingat 10% dari membaca (membaca buku pelajaran), 20% dari
mendengar (penjelasan atau ceramah), 30% dari melihat (gambar),
50% dari mendengar dan melihat (pameran), 70% dari mengatakan
dan menulis (pembicara, pemapar), serta 90% dari melakukan sesuatu
(praktek, pemeran peran). Gambaran ini kemudian mengembangkan
teori belajar aktif, belajar dengan/sambil berbuat, belajar berdasarkan
pengalaman, belajar kontekstual dan berbagai teori lainnya yang
menekankan keaktifan pemelajar secara utuh. Berbagai strategi
pembelajaran dikembangkan oleh pembelajar agar pemelajar berperan
secara aktif dalam proses pembelajaran, misalnya dengan model
pembelajaran simulasi/bermain peran, pembelajaran berbasis
K
ii
Jurnal Pendidikan Penabur - No.24/Tahun ke-14/Juni 2015
masalah, pembelajaran kooperatif atau kolaboratif, dan pembelajaran
berbasis proyek.
Dalam hubungannya dengan pengalaman belajar ini juga, jauh
Sebelum Masehi, Kong Hu Chu (Confucius) yang hidup 551 – 479
Sebelum Masehi, berpendapat, apa yang hanya didengar akan cepat
dilupakan, apa yang hanya dilihat akan diingat, tetapi apa yang
dikerjakan akan dipahami. Pendapat ini menunjukkan keaktifan
pemelajar menentukan keberhasilan pembelajaran. Pembelajaran
secara verbalisme (hanya mendengar) sangat tidak efektif dibandingkan
dengan secara aktif menggunakan berbagai indera manusia. Pendapat
lain berkaitan dengan pentingnya keaktifan mental dan fisik pemelajar
terlihat dari pendapat Siberman yang mengatakan bahwa seseorang
akan lupa kalau hanya mendengar; mengingat sedikit apa yang
didengar dan dilihat; mulai memahami kalau mendengar, melihat, dan
mendiskusikan; memperoleh pengetahuan dan keterampilan kalau
mendengar, melihat, mendiskusikan, dan melakukan; serta akan
menguasai kalau mengajarkannya kepada orang lain.
Teori belajar dan membelajarkan menunjukkan pengalaman kongkrit tidak hanya memudahkan, tetapi memotivasi pemelajar belajar dan
menambah rasa ingin tahu secara terus menerus serta membuat belajar
menjadi kegiatan menyenangkan. Berbagai teori dan pendapat seperti
yang telah diungkapkan juga mendorong penggunaan alat peraga serta
media dalam proses pembelajaran. Terlebih-lebih perkembangan cepat
teknologi informasi dan komunikasi (TIK), mendorong lembaga pendidikan memanfaatka berbagai produk TIK dalam proses pembelajaran,
mulai dari yang sederhana sampai paling canggih. Tidak sedikit orang
berpendapat bahwa semakin canggih TIK yang diterapkan, semakin
meningkatkan mutu proses dan hasil pembelajaran.
Penelitian penggunaan TIK dalam pembelajaran, ternyata
membuktikan media pembelajaran bukanlah penentu hasil dan mutu
pembelajaran. Media pembelajaran secanggih apapun ‘hanya’ berfungsi mengantarkan pesan (bahan pelajaran) kepada pemelajar. Sebagai
pengangkut dan pengantar, media tidak dapat mengubah bahan pelajaran yang salah menjadi benar, yang acak-acakan menjadi sistematis,
yang membosankan menjadi menarik. Karakter dan cara pengemasan
bahan pelajaran, karakter pemelajar, serta lingkungan pembelajaran
juga merupakan faktor penentu yang perlu diperhatikan pembelajar.
Dengan demikian, bukan kecanggihan media yang menentukan, tetapi
bagaimana pembelajar kreatif menggunakan media yang ada
(sesederhana apa pun) sehingga membuat proses pembelajaran dapat
memudahkan pemelajar aktif, tertarik, dan termotivasi belajar.
Dengan menggunakan media yang tepat, berbagai kesulitan belajar
pemelajar dapat diatasi. Penjelasan verbal dapat diganti dengan
menghadirkan objek atau gambar (visual), sehingga tidak memerlukan
waktu yang lama (lebih efisien) dan pemelajar dapat mengerti/
memahaminya lebih akurat serta termotivasi belajar (lebih efektif).
Menggunakan fasilitas internet pembelajar dan pemelajar dapat
memperoleh berbagai informasi berkaitan dengan pokok bahasan.
Kemudahan menggali dan memperoleh berbgai informasi melalui TIK
mendorong semakin maraknya penggunaan TIK di lembaga pendidikan.
Jurnal Pendidikan Penabur - No.24/Tahun ke-14/Juni 2015
iii
Harga produk TIK yang semakin murah membuat beberapa negara
menerapkan Program Satu Laptop Untuk Setiap Anak (One Laptop Per
Child/OLPC) seperti di Peru, Spanyol, dan Cina. Belakangan ini di
Indonesia sejumlah sekolah juga menerapkan program ini. Akan tetapi
penelitian UNESCO dan Inter-american Development Bank (2010 - 2012)
di berbagai negera sedang berkembang menyimpulkan antara lain program penggunaan komputer untuk setiap anak (a) secara drastis meningkatkan kesempatan bagi anak menggunakan komputer, (b) tidak ada
bukti meningkatkan kemampuan matematika dan bahasa anak secara
signifikan, dan (c) dapat meningkatkan pengetahuan kognitif anak.
Setiap disiplin ilmu terus berkembang termasuk pendekatan, strategi, metode, dan teknik belajar dan membelajarkan. Dalam kenyataannya
jarang terdapat karakteristik pemelajar sepenuhnya homogen tetapi
berada pada rentang heterogen. Di lain pihak, keberhasilan
pembelajaran diukur dengan standar tertentu: standar lembaga
pendidikan, standar wilayah, atau standar nasional. Dengan demikian
apabila karakteristik masukan (pemelajar, sarana dan prasarana, dan
pembelajar) bervariasi sedangkan kualitas hasil pembelajaran
terstandar maka kegiatan dalam proses pembelajaran harus disesuaikan
dengan kondisi yang ada dan tidak dapat diseragamkan. Berarti,
pembelajar perlu jeli dan kreatif merancang dan mengembangkan
pendekatan, strategi, metode, atau teknik pembelajaran.
Mengacu pada pemikiran perlunya merancang dan menggunakan
pendekatan, strategi, metode, dan teknik pembelajaran yang bervariasi,
pembelajar dalam hal ini guru di sekolah mengatasi berbagai masalah
pembelajaran dengan memodifikasi atau mengembangkan proses
pembelajaran. Sebagai contoh, guru melakukan penelitian tindakan
kelas (PTK) dengan menerapkan strategi dan metode pembelajaran
untuk meningkatkan kualitas proses dan hasil belajar siswa.
Pengalaman membelajarkan mendorong guru kreatif mengembangkan
berbagai alternatif mengatasi masalah pembelajaran.
Jurnal Pendidikan Penabur Edisi Juni 2015 memuat hasil penelitian
berkaitan dengan proses pembelajaran terkait dengan startegi dan
metode pembelajaran seperti Peran Role Playing Berbasis Komputer
Pada Kesiapan Belajar Anak Usia Prasekolah 4-5 Tahun Dilihat Dari
Kematangan Emosional, Peningkatan Partisipasi dan Prestasi Belajar
Drama Dengan Metode Investigasi Kelompok, Kegiatan Bimbingan
Belajar Dalam Mengatasi Kesulitan Belajar Siswa Sekolah Dasar, dan
Pemanfaatan Media Pembelajaran di Sekolah Dasar. Tujuan utama
setiap penelitian ialah meningkatkan peran siswa dalam proses pembelajaran dengan menerapkan strategi atau metode pembelajaran yang
sesuai sehingga meningkatkan hasil belajarnya. Penelitian juga
menunjukkan antara lain tidak ada strategi atau metode pembelajaran
efektif dipergunakan untuk semua tujuan pembelajaran atau semua situasi.
Di samping laporan peneltian , Edisi ini juga memuat pengalaman
guru mengatasi kesulitan belajar matematika. Tidak sedikit siswa
menganggap matematika sulit dipelajari dan membosankan. Akan
tetapi dengan strategi dan metode pembelajaran yang kreatif guru dapat
mengubah persepsi negatif dengan menggunakan alat peraga atau
media sederhana yang dapat dibuat sendiri oleh guru, orang tua, atau
siswa sendiri. Pengalaman ini juga menunjukkan, media sederhana
iv
Jurnal Pendidikan Penabur - No.24/Tahun ke-14/Juni 2015
dapat dipergunakan memudahkan dan memotivasi siswa belajar. Oleh
karena itu, media paling efektif bukanlah selalu media berteknologi
tinggi, tetapi media yang ada di ruang belajar atau di sekolah. Kalau
yang ada, hanya papan tulis maka papan tulislah yang terbaik.
Persoalannya bagaiman guru dapat mempergunakan papan tulis
sehingga membuat siswa aktif dan termotivasi belajar.
Pendidikan pada hakikatnya bertujuan untuk mengubah karakter
dan dalam Sistem Pendidikan Nasional, tujuan pembentukan karakter
peserta didik itu terlihat jelas. Akan tetapi, dari waktu ke waktu
pembentukan karakter manusia Indonesia itu masih menjadi masalah
terlihat dari maraknya berbagai masalah sosial yang terjadi dalam
kehidupan sehari-sehari termasuk dalam kehidupan berbangsa dan
bernegara. Umat Kristen tentu terpanggil memberikan pemikiran dan
ikut melaksanakan pendidikan karakter bangsa Indonesia. Tulisan
berjudul Implementasi Refleksi Teologis Orasi Daud Menurut 1
Tawarikh 28:1-10 Bagi Perkembangan Karakter Siswa Melalui
Pendidikan Kristen merupakan kajian yang mencerahkan bagaimana
pendidikan karakter dapat dilakukan dalam proses pembelajaran.
Ketekunan, kesabaran, kejujuran, serta percaya diri merupakan
sejumlah unsur kepribadian yang perlu dimiliki siswa khususnya
dalam mengikuti setiap kegiatan evaluasi. Penggunaan ujian/tes
berbasis komputer merupakan salah satu teknik untuk menuntut siswa
berperilaku tekun dan sabar dalam belajar serta teliti, cermat, dan
percaya diri dalam mengerjakan soal-soal ujian. Ujian berbasis
komputer yang diterapkan di sejumlah sekolah dalam Ujian Nasional
(UN) tahun 2015 yang lalu terbukti membantu penyelenggaraan UN,
sungguhpun juga tidak terlepas dari berbagai kelemahan dan masalah
sebagaimana diangkat sebagai isu mutakhir dalam Edisi ini. Dengan
semakin merambahnya penggunaan TIK dalam berbagai kegiatan
pembelajaran di lembaga pendidikan, tidak dapat dipungkiri bahwa
TIK perlu diperkenalkan kepada siswa sedini mungkin dan dilatih
menggunakannya sehingga terampil dan terdidik dalam
memanfaatkan TIK untuk memecahkan berbagai masalah belajar.
Pengalaman empiris menunjukkan, TIK dapat mempermudah
proses dan mengatasi berbagai masalah pembelajaran. Untuk berbagai
kegiatan pembelajaran, TIK dapat menggantikan fungsi guru, namun
peranan guru tidak pernah sepenuhnya dapat digantikan oleh TIK.
Bahkan di negara yang sudah berteknologi maju sekali pun, siswa
masih mengharapkan interaksi langsung dengan guru dan TIK
diperlakukan sebagai pendukung pembelajaran. Apalagi untuk
pendidikan dasar, siswa masih sangat memerlukan sentuhan emosi
guru khususnya dalam mengembangkan kepribadian mereka.
Bagaimana guru berfungsi sehingga patut digugu dan ditiru, manjadi
bahasan dalam membicarakan buku Guru Gokil, Murid Unyu. Pendapat
dalam mengkaji isi buku ini menggambarkan besarnya harapan
peranan guru dalam membentuk kepribadian siswa dan tidak dapat
digantikan dengan TIK. Karena kegokil-lan bukti nyata bahwa seorang
guru telah-sedang-akan terus belajar sepanjang hayat. Selamat belajar.
Redaksi
Jurnal Pendidikan Penabur - No.24/Tahun ke-14/Juni 2015
v
Peningkatan Partisipasi dan Prestasi Belajar
Penelitian
Peningkatan Partisipasi dan Prestasi Belajar Drama
Dengan Metode Investigasi Kelompok
Yohanes Paiman
E-mail : [email protected]
SMPK BPK PENABUR Cirebon
Abstrak
elajar drama sering tidak menarik dan membosankan bagi siswa sehingga partisipasi
mereka kurang dan hasil belajarnya pun rendah karena guru menerapkan metode
pembelajaran yang kurang tepat. Penelitian ini mencoba membuat belajar drama
menyenangkan siswa sehingga partisipasi mereka meningkat dan dan hasil belajar mereka
bertambah baik. Penelitian tindakan kelas (PTK) ini dilakukan dengan menerapkan metode
investigasi kelompok di kelas 9A SMPK PENABUR Cirebon. Setelah melalui dua siklus, PTK ini
dapat meningkatkan partisipasi siswa dalam proses pembelajaran dan meningkatkan hasil belajar
mereka. Mengacu pada hasil PTK ini disimpulkan, metode investigasi kelompok dapat
meningkatkan partisipasi siswa dalam belajar serta meningkatkan hasil belajar. Agar metode
investigasi kelompok dapat efektif, penelitian ini memberikan sejumlah saran kepada guru yang
akan melaksanakannya.
B
Kata-kata kunci: model pembelajaran, metode pembelajaran, partisipasi belajar, hasil belajar, metode
investigasi kelompok.
Improving Learning Participation and Achievement in Drama Class
by Group Investigation Method
Abstract
The students often find learning drama dull and boring that make them perform low participation and poor
learning achievement due to unappropriate method practiced by the teacher. This classroom action research
(CAR) tried to imrove the quality of learning process and learning achievement in drama class by employing
group investigation at Grade 9 A of SMPK PENABUR, Cirebon. Having completing two cycles, the CAR
could improve the students’ learning participation and learning achievement in the drama class. Referring to
the favourable result, this CAR concluded, the group investigation method is effective to improve the students’
learning participation and learning achievement. To succeed the implementation of the group investigation
method, the teachers are provided with a number of suggestions.
Keywords: instructional model, instructional method, learning participation, learning achievement, group
investigation method.
Jurnal Pendidikan Penabur - No.24/Tahun ke-14/Juni 2015
1
Peningkatan Partisipasi dan Prestasi Belajar
Pendahuluan
Partisipasi siswa kelas 9A dalam tugas menyusun naskah drama sebagai tugas tambahan untuk
memperdalam pemahamannya tentang drama
belumlah optimal dan kurang antusias. Kondisi
ini nyata dari belum maksimalnya pengumpulan
tugas siswa sesuai jadwal yang disepakati
bersama. Dari 30 siswa, diperoleh data pengumpulan tugas dengan gelombang pengumpulan
tugas seperti berikut: 13, 4, dan 1 siswa sehingga
akhirnya terdata sejumlah 18 siswa. Sampai
tanggal 19 Maret 2015 (waktu yang disepakati
bersama), masih ada 12 orang belum juga
mengumpulkan tugas. Kondisi ini berdampak
pada kurang maksimalnya perolehan nilai tes
mereka dan menjadi kendala guru untuk menganalisis, merancang tindak lanjut pembelajaran.
Kondisi perilaku siswa demikian terjadi
karena siswa merasa kebingungan dalam
memilih, memilah jenis drama, dan bagaimana
cara menyusunnya. Rasa bingung itu terjadi
karena siswa kurang memahami seluk-beluk
drama secara jelas serta kurang bertanya pada
guru. Informasi ini penulis peroleh melalui
wawancara dengan beberapa siswa yang masih
belum mengumpulkan tugasnya. Mereka juga
berkomentar, guru agak cepat dan dominan
dalam tampil dan menjelaskan materi pelajaran.
Kondisi ini mengurangi keterlibatan siswa
dalam belajar, kurang mengalami sesuatu, dan
tidak membangun konsepnya. Guru cenderung
melakukan transfer of knowledge. Di luar itu, juga
disadari siswa, tugas mereka memang banyak,
sementara itu mereka kurang cermat dalam
mengelola waktu masing-masing.
Berdasarkan kondisi dan temuan itu, guru
perlu mengurangi dominansi diri dalam proses
pembelajaran dan harus memberikan banyak
kesempatan kepada siswa untuk membangun
konsepnya. Untuk mewujudkan hal ini dan
memperbaiki situasi, maka diusulkan penerapan
metode investigasi kelompok (Group Investigation) dalam pembelajaran berikutnya. Dalam
menerapkan metode ini, siswa dibagi menjadi
tujuh kelompok. Setiap kelompok terdiri atas
sekitar empat orang dan masing-masing
menunjuk ketua, sekretaris, penyaji, dan
anggota. Kelompok ditugasi mendalami materi
2
Jurnal Pendidikan Penabur - No.24/Tahun ke-14/Juni 2015
drama secara undian. Masing-masing membahas, mendalami, merumuskan konsep, dan
menyiapkan presentasi untuk forum kelas.
Penyaji wakil kelompok menjadi juru bicara
kelompok dan menyajikan paparan rumusan
materi yang disiapkan. Kelompok lain atau
forum kelas menyimaknya sebagai wawasan
barunya, serta menanggapinya. Begitu terus
bergulir, sampai kelompok dan materi terakhir
disajikan lengkap. Mereka aktif, penuh partisipasi belajar, dan rela berbagi kepada semua
rekannya. Mereka membagi dan menyerap
informasi dari hasil kerja kelompok dan
presentasi anggota kelompok lain. Di sini
terbangun sikap sosial, solidaritas, dan
partisipasi belajar bersama.
Metode investigasi kelompok memberikan
peluang partisipasi penuh kepada siswa untuk
berkreasi, membangun konsep, memilih, dan
mendalami jenis-jenis materi drama. Tugas
diberikan, disepakati waktu pengumpulannya,
lalu dibuat, dan dikumpulkan serentak tepat
waktu. Tes formatif diberikan dan siswa
mengerjakannya dengan benar karena sudah
paham. Nilainya bagus. Kedua tugas diselesaikan dengan benar dan tepat waktu. Dengan
demikian, guru dapat segera melakukan refleksi,
menganaslisis hasilnya untuk diperbandingkan
dengan perolehan nilai sebelumnya, serta
sebagai bahan merancang kegiatan pembelajaran selanjutnya.
Melalui perjalanan proses tersebut
diharapkan, target waktu belajar, target
partisipasi siswa, dan target prestasi hasil belajar
siswa dapat dipenuhi, diwujudkan, bahkan
ditingkatkan efisiensi, efektivitas, kualitas,
maupun produktivitasnya.
Rumusan Masalah
Dari fakta kasus pada latar belakang yang telah
diuraikan dapat dikatakan, kegalauan siswa
dalam belajar dan menulis naskah drama
disebabkan oleh kurang pahamnya siswa akan
materi drama. Kekurangpahaman siswa disebabkan oleh metode guru dalam menjelaskan
materi pembelajaran terlalu cepat dan kurang
tepat. Solusinya dengan mengganti metode
pembelajaran yang lebih cocok untuk meningkatkan partisipasi siswa dalam belajar dan
membangun konsep ilmu. Pilihan metode yang
Peningkatan Partisipasi dan Prestasi Belajar
cocok untuk penggalakan partisipasi belajar ini
adalah investigasi kelompok.
Berdasakan kondisi itu, maka dirumuskan
masalah sebagai berikut, “Mampukah penerapan metode investigasi kelompok meningkatkan
partisipasi dan prestasi belajar drama bagi siswa
di kelas 9A SMPK PENABUR Cirebon?”
Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka
penelitian ini hendak mewujudkan tujuan
berikut. Pertama, meningkatkan partisipasi siswa
dalam belajar drama. Kedua, meningkatkan
prestasi hasil belajar siswa. Ketiga, mendeteksi
seberapa jauh efektivitas peran dan dampak
metode belajar investigasi kelompok dalam
menolong kesulitan belajar siswa. Keempat,
membangun mutu proses belajar yang
berdampak pada peningkatan mutu siswa, mutu
guru, mutu sekolah/lembaga, dan mutu
pendidikan.
Manfaat Penelitian
Penelitian ini hendak mewujudkan manfaat
teoretik maupun manfaat praktis. Manfaat
teroretik penelitian ini adalah, bahwa penelitian
ini merupakan suatu upaya untuk meningkatkan kemampuan siswa dalam belajar drama dan
menulis naskah drama. Bahkan di luar itu,
penelitian ini juga sangat bermanfaat bagi
beberapa pihak, seperti: siswa, guru, sekolah/
lembaga, pengembangan proses belajar,
maupun orangtua/pemercaya sekolah.
Bagi siswa, penerapan metode investigasi
kelompok mengondisikan siswa lebih senang
dalam belajar dan membangun konsep drama;
siswa lebih partisipatif dalam belajar dan
membangun konsep; siswa lebih berhasil dalam
prestasi belajarnya; dan siswa dapat membangun karakter lebih dinamis dan berdampak.
Bagi guru, penerapan metode itu mengondisikan guru mampu menolong dan mengangkat
kesulitan belajar siswa dalam belajar drama;
guru semakin berpengalaman membangun
suasana belajar yang bernuansa PAIKEM
GEMBROT (pembelajaran yang aktif, inovatif,
kreatif, efektif, menyenangkan, gembira, banyak
curah pendapat dan berbobot ); guru semakin
berpengalaman dalam melakukan perubahan
paradigma belajar, dengan menerapkan model
dan metode pembelajaran yang tepat, produktif,
efektif, variatif, dan berkualitas; dan guru
semakin berpengalaman dalam melakukan PTK
dan menuangkannya dalam karya tulis.
Bagi sekolah/lembaga, penerapan metode
tepat seperti itu mengondisikan sekolah semakin
tampil berkualitas melalui terbangunnya
kualitas siswa, kualitas guru, dan pembelajaran;
sekolah semakin memiliki kultur ilmiah; dan
masyarakat pemercaya sekolah semakin
banyak/luas.
Bagi pengembangan proses belajar siswa,
penerapan metode itu mengondisikan pembelajaran semakin dinamis, produktif, progresif,
berkualitas; guru dan siswa semakin mudah
bersinergi dalam membangun PBM bermutu.
Bagi orang tua/pemercaya sekolah, lembaga
pendidikan bermutu mengondisikan orangtua
semakin percaya pada sekolah; orangtua rela
dan semangat mendukung upaya memajukan
sekolah.
Secara praktis penelitian ini dapat
memberikan sumbangan pemikiran dalam
pengembangan metode pembelajaran yang
inovatif dan kritis. Guru menjadi lebih kreatif
dalam menyajikan materi pembelajaran,
khususnya pembelajaran menulis naskah
drama. Dengan demikian, terwujud pembelajaran lebih menarik dan menyenangkan.
Selain itu, penggunaan metode investigasi
kelompok dalam pembelajaran menulis naskah
drama dapat menepis anggapan siswa bahwa
pembelajaran menulis naskah drama itu sulit,
membosankan, dan tidak menyenangkan. Siswa
diharapkan dapat lebih terampil menulis naskah
drama karena adanya variasi metode
pembelajaran yang dapat meningkatkan
motivasi dan minat mereka dalam pembelajaran
menulis naskah drama.
Kajian Pustaka
Metode Pembelajaran Ceramah bervariasi
Metode dan model pembelajaran cukup bervariasi dan menantang guru untuk mencoba dalam
proses pembelajaran (Suyanto 2013:113-174).
Pilihan metode yang tepat berpengaruh pada
suasana, proses, dan kualitas pembelajaran,
partisipasi siswa, dan kualitas hasil belajar. Pada
pembelajaran ber-PTK ini penulis hendak
Jurnal Pendidikan Penabur - No.24/Tahun ke-14/Juni 2015
3
Peningkatan Partisipasi dan Prestasi Belajar
memperbandingkan penerapan dua metode;
yaitu metode dan model pembelajaran ceramah
bervariasi dan investigasi kelompok. Metode
ceramah bervariasi adalah varian metode
ceramah. Metode ceramah beresensi menyajikan
ide dalam segala bentuk, variasi, dan gaya
penyajian penyaji (W James Popham 1992: 80).
Pada sumber lain disebut, ceramah adalah
berbicara/berpidato di depan banyak pendengar
untuk menyampaikan suatu hal, seperti
pengetahuan (Harimurti Kridalaksana 1999:
185). Tokoh pendidikan yang lain menyebut,
bahwa ceramah digunakan untuk menyampaikan informasi dan pengetahuan secara lisan
kepada siswa di kelas. Umumnya, siswa hanya
mengikuti secara satu arah (one way communication). Pada saat guru menerapkan metode
ceramah bervariasi, guru cenderung melakukan
transfer of knowledge (transfer ilmu pengetahuan
kepada murid). Guru aktif, murid pasif. Guru
berbicara, murid menyimak. Komunikasi yang
dibangun searah saja; yaitu guru-murid. Agar
suasana dapat berjalan kondusif, guru
memberikan variasi dengan sesekali/banyak
kali melontarkan pertanyaan untuk memancing
respon, pendalaman, partisipasi, dan keaktifan
murid. Dengan demikian dapat dipahami,
metode ceramah bervariasi merupakan metode
lontar ilmu kepada murid diselingi pertanyaan
untuk mengaktifkan murid. Metode ini sering
disebut juga metode kuliah bagi dosen di
perguruan tinggi. (W James Popham 1992: 6984).
Metode Pembelajaran Investigasi Kelompok
Pada kesempatan selanjutnya, penulis juga
menggunakan metode investigasi kelompok
untuk memperbandingkannya dengan metode
ceramah bervariasi dalam hal proses, dampak,
hasil yang diperoleh dalam pembelajaran, serta
kemampuan metode ini dalam mengatasi
persoalan belajar drama siswa.
Dewey (1916) dalam Hendy Hermawan
(2006: 27) menegaskan, keseluruhan kehidupan
sekolah harus ditata/diorganisasikan sebagai
miniatur kehidupan demokrasi, karena suasana
kelas merupakan analogi kehidupan masyarakat. Dengan demikian guru perlu berusaha
mewujudkan suasana kelas seperti suasana
kehidupan masyarakat itu (Joyce dan Weil, 1986:
4
Jurnal Pendidikan Penabur - No.24/Tahun ke-14/Juni 2015
228 dalam Hendy Hermawan (2006:27). Untuk
itu, siswa perlu mendapatkan kesempatan untuk
berpartisipasi dalam pembangunan sistem
sosial melalui pengalaman dan pembelajaran
bermasyarakat, demi kemajuan masyarakat itu.
Sharan (1992) mengembangkan model
pembelajaran kooperatif teknik investigasi
kelompok. Model ini bermaksud membina sikap
tanggung jawab dan bekerja sama dalam
kelompok, serta membina sikap saling
menghargai pendapat anggota kelompok, dan
pada ujungnya membiasakan untuk berani
mengemukakan pendapat.
Model investigasi kelompok ini menganut
langkah-langkah berikut. Pertama, guru
membagi kelas menjadi beberapa kelompok
heterogen, lalu kelompok membentuk pengurus
kelompok yang terdiri dari ketua, sekretaris,
penyaji, dan anggota. Kedua, guru menjelaskan
maksud, prosedur belajar dalam investigasi
kelompok. Ketiga, guru memanggil para ketua
kelompok untuk mengambil undian materi tugas
yang berbeda untuk didiskusikan dalam
kelompok dan disusun sistematika materi dan
rencana paparannya di depan forum kelas nanti.
Keempat, setiap kelompok bekerja secara
kooperatif dalam kelompoknya menyiapkan
paparan materi presentasi. Kelima, setelah
selesai, setiap kelompok tampil melalui juru
bicaranya menyampaikan paparan hasil
diskusinya; kelompok lain menyimak dan
menanggapinya. Urutan maju presentasi diundi
antarkelompok. Keenam, jika terjadi ketepatan
sajian konsep, guru memberikan penguatan;
sedangkan jika terjadi kekurangtepatan konsep,
guru memberikan klarifikasi.
Model pembelajaran ini memberikan kesempatan siswa untuk banyak berpartisipasi,
berinteraksi dalam membangun gagasan.
Semakin partisipasi belajar siswa tinggi,
penguasaan konsep dan materi pembelajaran
semakin dalam dan luas pula. Ini menguntungkan siswa ketika mereka menghadapi tes.
Hasilnya pasti baik dan memuaskan.
Penentu Sukses Belajar Siswa
Sukses belajar siswa ditentukan oleh banyak
faktor. Pertama, faktor minat dan motivasi siswa.
Minat ini merupakan daya dorong internal dan
laten. Kekuatan pengaruhnya luar biasa. Kedua,
Peningkatan Partisipasi dan Prestasi Belajar
faktor penyaji atau cara seorang guru mengelola
proses pembelajaran (Hendy Hermawan, 2006:
v). Gaya, sikap, teknik pendekatan menarik yang
guru suguhkan dalam melayani siswa
memberikan dampak semangat belajar tinggi.
Dinamika belajar terbangun. Belajar tidak capek
dan tidak membosankan. Ketiga, faktor metode
pembelajaran yang diterapkan guru. Pilihan
metode yang cocok dan disukai siswa menjadi
sumber kekuatan dan energi belajar tersendiri.
Keempat, faktor kebermanfaatan materi
pembelajaran itu bagi siswa dan kehidupannya.
Semakin sebuah materi pembelajaran dinilai
tinggi manfaatnya bagi hidup siswa kelak, maka
semangat belajar siswa semakin tumbuh dan
dinamis. Keterlibatan siswa dalam belajar
semakin nyata.
Berkaitan dengan hal tersebut, guru dalam
mengajar hendaknya mampu membantu siswa
memperoleh ide, keterampilan, nilai, cara
berpikir, sarana dan ruang untuk mengekspresikan diri, berbagai cara belajar bagaimana belajar,
sehingga siswa mampu meningkatkan
kemampuannya untuk belajar lebih mudah dan
lebih efektif di masa depan. Oleh karena itu,
proses pembelajaran harus memiliki makna
deskriptif, keterkinian, prospektif, dan
berorientasi ke masa depan (Hendy Hermawan,
2006: 3). Kondisi ini pasti mampu mendukung
siswa sukses dan berprestasi dalam belajar.
Penentu Kualitas Belajar Siswa
Kualitas belajar siswa dipengaruhi banyak
faktor. Pertama, faktor minat belajar siswa. Minat
yang positif, stabil, bersumber dari intern siswa
sangat mempengaruhi kinerja belajar yang
berdampak pada belajar efektif dan produktif.
Kedua, faktor guru dan gayapenyajiannya.
Ketokohan, semangat, kegigihan, kejuangan,
kemurnian, kebapakan/keibuan, ketulusan, dan
kesetiaan seorang guru dalam mengajar akan
sangat dirasakan siswa dalam seluruh aspek
kehidupannya. Jasanya akan dikenangnya
sepanjang masa, bahkan akan diceritakan
kepada saudara dan keturunannya. Ketiga, faktor
metode pembelajaran. Metode yang enak dan
menantang akan mengondisikan belajar siswa
dalam ambang semangat dan prestasi tinggi.
Keempat, faktor kondisi lingkungan yang
kondusif. Lingkungan kelas, luar kelas, bahkan
kultur tertentu sekolah akan sangat menopang
ketenangan dan kenyamanan belajar siswa.
Kondisi ini mendukung teraihnya prestasi tinggi
siswa. Kelima, faktor sinergi antarpihak dan
sarana. Kesamaan visi, kebutuhan, langkah, citacita, dan persepsi tentang pemanfaatan dan
optimalisasi sarana pendidikan menjadi bekal
tersendiri bagi niat untuk membangun mutu
belajar siswa. Untuk itu, kondisi seperti ini harus
dijaga dan diwujudkan terus (Suyanto 2013: 79111).
Drama
Pada bagian ini akan diuraikan hal-hal yang
berkaitan dengan drama yaitu tujuan belajar,
istilah, definisi/pengertian, sumber ide untuk
menulis, struktur teks, unsur intrinsik,.urutan
pentas, syarat pentas, urutan/langkah menulis
teks, struktur alur, jenis, menilai teks, dan menilai
pementasan. Tujuan belajar drama meliputi:
memahami konsep lengkap tentang drama;
terampil menulis naskah drama; terampil
berpentas drama; menilai naskah drama; menilai
pementasan drama.
Istilah-istilah drama meliputi: sandiwara
(sandi : rahasia, warah : ajaran ); teater (pementasan); fragmen ( cuplikan pentas kehidupan );
tonil (Belanda: toneel, artinya : tontonan) (Adhy
Asmara 1979 : 9-12). Ketiga, definisi drama dapat
dinyatakan seperti: pementasan/pemanggungan karya fiksi berupa dialog-monolog (Sumiati
Budiman 1987:49); pementasan karya fiksi
berupa dialog-monolog dan akting tokoh diiringi
musik yang sesuai, kostum yang pas, dekorasi
panggung/latar yang cocok, untuk menyampaikan sebuah konflik dan pesan (Laelasari 2006
:73-74);.seni yang mempertunjukkan pekerti
manusia dengan perbuatan dan dialog-monolog
(Soetarno 1976 : 20).
Sumber ide untuk menulis naskah drama
berasal dari: karya imajinasi pengarang (aslifiksi); parafrase ( ubah bentuk/tampilan ) karya
lain ; dari cerpen ke drama; bahan buku harian (
diary ) penga rang; modifikasi naskah drama lain;
mengubah skenario cerita film (E Kosasih 2008:
117-122; 131-137)..
Struktur teks drama meliputi: judul dan
pengarang; deskripsi tokoh dan watak/karakternya; paparan latar awal (ekspos suasana dan
persoalan); dialog-monolog tokoh yang
Jurnal Pendidikan Penabur - No.24/Tahun ke-14/Juni 2015
5
Peningkatan Partisipasi dan Prestasi Belajar
membangun alur; deskripsi perilaku tokoh (lakuan/akting); paparan latar (tempat, waktu, suasana, iringan musik); dan improvisasi pemain.
Unsur intrinsik drama meliputi: tema,
amanat/pesan cerita-pementasan, dialogmonolog, akting/tata laku, latar/panggung plus
iringan musik, tata lampu, dekorasi, alur/plot/
jaringan cerita, kostum/tata rias tokoh/karakterisasi tokoh, improvisasi tokoh (Adhy Asmara
1979: 53-67).
Urutan/struktur pementasan drama:
prolog, adegan dan babak, dan epilog.
Syarat pementasan drama meliputi: ada
repertoire, ada sutradara, ada pemain, ada latar/
panggung, ada kostum pemain, ada dekorasi,
iringan musik, ada sarana pendukung lain, ada
penonton (Soetarno 1976: 20).
Urutan langkah menulis naskah drama/
repertoire: ada/punya tema; ada pesan yang akan
disampaikan; merancang plot/skenario cerita;
memilih tokoh/pembeber tema-skenario; merancang tata laku-akting tokoh; mulai menulis
judul, deskripsi tokoh dan wataknya, latar awal,
dialog-monolog dilengkapi; dan akting tokoh,
latar antara, latar musik, tata lampu, suasana;
membaca naskah dan mengeditnya (Nurhadi
2007: 147-152)..
Urutan/struktur alur drama meliputi:
introduksi, perkenalan, tampilan masalah,
konflik, konflik merumit, klimaks, antiklimaks,
peleraian, penyelesaian/konklusi (Soetarno
1976: 21)..
Jenis dan bentuk drama meliputi: tragedi,
komedi, trage-komedi, opera/operet, tablopanto-mime, eketoprak, ludur, lenong,
sendratari, dagelan, dan wayang (Adhy Asmara
1979 : 50-52), ( Sumiati Budiman 1987:50-52),
(Soetarno 1976 : 21-23), (Laelasari 2006 :74-77)..
Menilai naskah drama mengarah pada
elemen: struktur teks, tata tulis, bahasa, dialogmonolog, lukisan akting, latar awal-tengahantara, tema-amanat/pesan, originalitas, asas
nilai manfaat teks, kejelasan alur dan pesan
(Nurhadi 2007: 161-166)..
Menilai pementasan drama mengarah pada
elemen: ketepatan pilihan tokoh dan karakter (karakterisasi), ketepatan pembabaran alur/plot;
originalitas dan kemenarikan pementasan.,
kesesu aian kostum, iringan musik/suasana/
dekorasi, improvisasi tokoh/kesigapan tokoh
6
Jurnal Pendidikan Penabur - No.24/Tahun ke-14/Juni 2015
dalam berperan, dialog-monolog tokoh/bahasa
tokoh, akting/perilaku/tata laku tokoh, kesesuaian dialog-monolog dengan akting tokoh, nilai
manfaat tema pementasan (Rendra 1976: 7-95),
(Nurhadi 2007: 187-194).
Metode Penelitian
Subjek Penelitian
Penelitian dilakukan di SMP Kristen PENABUR
Cirebon, Jalan Dr. Ciptomangunkusumo Nomor
24, Cirebon. Sekolah ini berada di tengah kota
dan di lingkungan bisnis, pendidikan, dan
perkantoran. Sekolah yang berdiri pada tanggal
1 Agustus 1951 ini telah melahirkan ribuan
alumni yang tersebar di seantero Nusantara
dengan pilihan tugas dan karier masing-masing.
Subjek penelitian adalah siswa kelas 9 A
yang termasuk kelas unggulan dengan jumlah
murid sebanyak 30 orang; terdiri atas 13 siswi
dan 17 siswa. Mayoritas siswa keturunan
China, yaitu sebanyak 26 orang, keturunan Jawa
dua orang, dan keturunan Batak dua orang.
Prosedur dan Siklus Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode Penelitian
Tindakan Kelas (PTK) dengan tujuan untuk
memperbaiki kompetensi, partisipasi, dan
prestasi siswa dalam belajar dan menulis teks
drama dengan menggunakan metode investigasi
kelompok. PTK merupakan suatu proses yang
menunjukkan
siklus-siklus
kegiatan
berkelanjutan dan berulang-ulang. Banyaknya
siklus bergantung kepada hasil dan pencapaian
kompetensi siswa yang diharapkan setelah
diproses dengan metode PTK. Minimal siklusnya
dua kali. Kalau hasil dan kompetensi siswa
sudah tercapai pada dua tahapan siklus, PTK
dianggap sudah tuntas. Jika dua kali siklus
belum tuntas, dilanjutkan ke siklus tiga. Begitu
seterusnya. Siklus maksimal tiga atau empat.
Proses PTK terdiri atas empat tahap; yaitu:
perencanaan, pelaksanaan/tindakan, pengamatan, dan refleksi. Berikut jabarannya.
Perencanaan
Dalam penelitian ini penulis/peneliti
merencanakan kegiatan perbaikan pembelajaran
dengan menggunakan metode investigasi
kelompok untuk meningkatkan partisipasi
belajar siswa, kompetensi, prestasi belajar dan
Peningkatan Partisipasi dan Prestasi Belajar
kemampuan menulis naskah drama pada siswa
kelas 9A. Metode ini digunakan untuk satu kali
pertemuan dalam dua jam pelajaran. Pada tahap
ini, penulis menyiapkan bahan-bahan seperti:
Rencana Perbaikan Pembelajaran (RPP) dan
lembar kerja siswa; perangkat pengumpulan
data, seperti lembar observasi dan alat tes siswa;
melakukan koordinasi dengan teman sejawat
dan murid untuk membantu pelaksanaan
penelitian ini.
Pelaksanaan
Pelaksanaan penelitian dilakukan dalam satu
kali pertemuan kelas, dua jam pelajaran dengan
prosedur kerja sebagai berikut: guru
menyampaikan salam pagi dan mengabsen
siswa; guru mengatur tempat duduk siswa dan
mendorong diwujudkannya kebersihan/K-3
kelas; guru mengajak siswa memahami standar
kompetensi, kompetensi dasar, dan tujuan
pembelajaran yang hendak diwujudkan bersama
hari ini; guru menjelaskan prosedur belajar hari
ini: pembukaan, pemahaman SK, KD, tujuan
pembelajaran, pembentukan kelompok, pengundian materi diskusi dan presentasi, presentasi
kelompok, tanggapan teman, tanya jawab ( klarifikasi dan penguatan ), penutup (tes, analisis
hasil tes), pemberian tugas rumah; pembentukan kelompok, ketua, presenter/juru bicara,
dan anggota; pengundian dan pembagian materi
heterogen; diskusi kelompok; presentasi wakilwakil kelompok, teman dan forum lain menyimak dan menanggapinya dengan baik; tanya
jawab/tanggapan; tes formatif; analisis hasil tes;
guru memberikan ulasan umum tentang belajar
menulis teks drama dengan metode investigasi
kelompok; dan guru memberikan tugas rumah
siswa untuk penajaman pemahaman.
Pengamatan
Sasaran pengamatan dalam proses penelitian ini
adalah kinerja guru di dalam menerapkan
metode investigasi kelompok untuk meningkatkan kompetensi siswa belajar menulis teks
drama, dan perilaku siswa dalam proses belajar
dan melakukan diskusi kelompok, mempresentasikan hasilnya, dan di dalam siswa memberikan tanggapan-tanggapan atau pertanyaan.
Refleksi
Penulis melakukan refleksi berdasarkan hasil
observasi guru, teman sejawat, siswa atas kinerja
guru dan perilaku belajar siswa dalam proses
belajar mengajar serta perolehan nilai siswa
selama proses pembelajaran. Hasil observasi
serta perolehan nilai siswa penulis gunakan
sebagai dasar perbaikan pembelajaran pada
siklus kedua. Refleksi tersebut penulis fokuskan
pada masalah utama penelitian, yaitu: cara guru
dalam merencanakan dan melaksanakan
kegiatan pembelajaran dengan metode
investigasi kelompok, dan pencapaian hasil
belajar siswa setelah guru menerapkan metode
investigasi kelompok dalam pembelajarannya.
Apabila perolehan nilai sebagian besar siswa
(yaitu 85%) belum mencapai standar KKM
sekolah (yaitu 85), maka dikategorikan pembelajaran belum tuntas atau gagal. Untuk itu perlu
dilakukan pengulangan pembelajaran dengan
perbaikan pada aspek tertentu. Aspek tersebut
berdasarkan temuan dan telaah guru selama
proses pembelajaran yang lalu berlangsung.
Misi umum penelitian ini adalah meningkatkan partisipasi dan prestasi belajar siswa
dalam belajar drama dan menulis naskah drama
dengan menggunakan metode investigasi
kelompok di kelas 9A. Kegiatan tersebut
dilaksanakan untuk mencapai KKM sekolah
sebesar 85. Apabila nilai sebagian besar siswa
(sejumlah 85 %) belum mencapai standar KKM
sekolah, maka pembelajarannya haruslah
diulang dengan siklus berikutnya. Siklus berikut
itu harus menerapkan perbaikan pada beberapa
aspek hasil telaah dan temuan selama proses
pembelajaran sebelumnya berlangsung.
Penerapan desain dan siklus pembelajaran di
atas dapat kita cermati pada Gambar 1.
Teknik Pengumpulan Data
Pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan tes dan observasi.
Tes
Tes yang dilakukan adalah postes dengan
bentuk pilihan ganda sebanyak 20 butir soal.
Bahan tes ini sesuai dengan indikator dan
tujuan siswa belajar drama dan menulis teks
Jurnal Pendidikan Penabur - No.24/Tahun ke-14/Juni 2015
7
Peningkatan Partisipasi dan Prestasi Belajar
Permasalahan
>
Perencanaan
tindakan 1
>
Pelaksanaan
tindakan 1
>
Siklus 1
Refleksi 1
<
Pengamatan/
Pengumpulan Data 1
>
Permasalahan
baru hasil refleksi
<
>
Siklus 2
Perencanaan
tindakan 2
Refleksi 2
<
>
<
Pelaksanaan
tindakan 2
Pengamatan/
Pengumpulan Data 2
Apabila permasalahan
belum terselesaikan
>
Dilanjutkan ke siklus
berikutnya/S3
>
Pengamatan/
Pengumpulan Data 3
Gambar 1: Alur Siklus Pembelajaran
drama yaitu siswa (a) mampu memahami
konsep drama secara utuh dan komprehensif,
(b) terampil menulis naskah drama, (c) terampil
bermain/berpentas drama, (d) terampil menilai
naskah drama, dan (e) terampil menilai
pementasan drama.
Tes diberikan dua kali, yaitu pada siklus 1
dan 2. Bentuk tes adalah pilihan ganda agar
segera diketahui hasil, perkembangan, dan
perbandingannya. Dengan demikian, analisis
dan kesimpulan penerapan metode baru dalam
pembelajaran bersiklus itu dapat terbaca.
Observasi
Observasi dilakukan guru sejawat dan siswa
terhadap guru dan siswa pada kedua siklus
yang dilakukan. Guru pengamat mengobservasi
kinerja guru dalam menerapkan metode
investigasi kelompok dan perilaku belajar siswa
dalam memberikan partisipasi belajar drama.
Siswa pengamat mengamati kinerja guru dalam
menerapkan metode investigasi kelompok dan
perilaku belajar siswa temannya dalam
memberikan partisipasi belajar drama.
Melalui hasil pengamatan kedua pihak,
maka kinerja guru menerapkan metode investigasi kelompok dan perilaku belajar siswa dalam
memberikan partisipasi belajar drama dapat
8
Jurnal Pendidikan Penabur - No.24/Tahun ke-14/Juni 2015
dicermati bagaimana perkembangan dan
kemajuan kompetensinya.
Teknik Analisis Data
Sesuai dengan teknik pengumpulan data, maka
ada dua macam data yang dianalisis dalam
penelitian ini.
Nilai siswa
Nilai ini merupakan potret kemampuan siswa
dalam belajar drama, sebelum dan setelah
penerapan metode investigasi kelompok.
Nilai siswa ini ada dua macam; yaitu hasil pos
tes pada siklus 1 dan 2. Nilainya berupa nilai
kuantitatif. Dengan nilai itu dapat dikaji (a)
berapa siswa yang meraih KKM, dan yang belum
KKM, (b) bagaimana tingkat ketuntasan belajar
kelasnya, (c) bagaimana perkembangan
kemajuan antara siklus pembelajaran kesatu dan
kedua setelah penerapan metode investigasi
kelompok dalam belajar drama, (d) soal tes
nomor mana saja yang masih merupakan
kesulitan siswa, dan (e) kalau nilai tes jelek/tak
memenuhi standar, apa langkah berikut.
Hasil observasi
Lembar hasil observasi guru/teman sejawat dan
siswa terhadap kinerja guru dan perilaku belajar
Peningkatan Partisipasi dan Prestasi Belajar
siswa dalam menerapkan metode investigasi
kelompok dalam belajar drama ini berupa nilai
kuantitatif. Data kondisinya digunakan untuk
menelaah dan menghubungkan data kondisi
satu dan lainnya, untuk akhirnya disimpulkan.
Kinerja guru dalam menerapkan metode
investigasi kelompok diobservasi dan dinilai
oleh teman sejawat dan siswanya. Sedangkan
perilaku belajar siswa dalam memberikan
partisipasi belajar drama dengan metode
investigasi kelompok diobservasi dan dinilai
oleh guru peneliti, guru observer/teman sejawat,
dan siswa/temannya sendiri.
Hasil Penelitian
Deskripsi Hasil Penelitian
Siklus 1
Pada siklus pembelajaran kesatu ini telah
dilakukan kegiatan perencanaan, pelaksanaan,
pengamatan, dan refleksi. Berikut ini uraiannya.
Perencanaan
Pada tahap ini peneliti menyiapkan dan menyusun RPP siklus 1; menghubungi guru/teman
sejawat, yaitu rekan guru Bahasa Indonesia,
untuk mengobservasi kinerja dirinya, mengobservasi perilaku belajar siswa, dan membantu
pelaksanaan kegiatan pembelajaran di kelas 9A,
atas izin Kepala Sekolah; menghu-bungi dua
orang siswa, siswa berkarakter, berwawasan,
dan loyal, untuk menjadi tenaga observer saat
pembelajaran dilakukan, guna mengobservasi
kinerja guru dan perilaku belajar temannya;
meminta seorang tenaga karyawan, yang
menguasai fotografi, untuk mendokumentasikan kegiatan pembelajaran ini; menetapkan
hari Kamis, 16 April 2015 jam ke-6-7, pukul 10.3012.10 adalah hari pembelajaran siklus 1 di kelas
9A bagi penerapan metode ceramah bervariasi
untuk meningkatkan kompetensi dan partisipasi
belajar siswa dalam belajar drama dan menulis
teks drama; dan akhirnya, menyiapkan
perangkat pendukung pembelajaran.
Pelaksanaan
Pada tahap ini penulis melakukan aneka
kegiatan di kelas 9A berupa: menyampaikan
salam pagi dan mengabsen siswa; mengatur
tempat duduk siswa dan mengelola K-3 kelas;
mengajak siswa memahami standar kompetensi,
kompetensi dasar, dan tujuan pembelajaran yang
hendak diwujudkan bersama hari ini;
menjelaskan prosedur belajar hari ini;
memberikan apersepsi uantuk merangsang
kesiapan belajar; menjelaskan materi dengan
metode ceramah bervariasi; memberikan
Tabel 1: Lembar Observasi Perilaku Belajar Siswa pada Siklus 1
No
Aspek Penilaian dalam
Observasi
Rentang Skor
Keterangan
Amat Baik
Baik
1
Perhatian Siswa
V
2
Minat dan Semangat Belajar
V
3
Minat Bertanya
V
4
Semangat Mencatat Materi
Pelajaran
V
5
Keterlibatan dalam Pelajaran
V
6
Konsentrasi Belajar
V
7
Partisipasi Siswa dalam
Pembelajaran
V
8
Hasil Prestasi Studi Siswa
V
Jumlah = 8 item/aspek
Sedang
Kurang
8
Jurnal Pendidikan Penabur - No.24/Tahun ke-14/Juni 2015
9
Peningkatan Partisipasi dan Prestasi Belajar
kesempatan siswa untuk bertanya materi pelajaran; memberikan postes; mengajak siswa menganalisis tes dan hasilnya; memberikan tugas
rumah siswa untuk penajaman dan pengayaan
konsep; akhirnya menutup pertemuan hari itu.
Pengamatan
Pada tahap ini penulis mengamati perilaku
belajar siswa, hasil postes, dan hasil observasi
dari dirinya, observer guru sejawat, maupun
siswa. Hasilnya sebagai berikut.
1. Pengamatan guru atas perilaku belajar siswa
Sambil mengajar guru mengamati, bahwa
kondisi perilaku belajar siswa tenang,
memperhatikan pembelajaran, mencatat
rangkuman penjelasan, tidak bertanya,
namun hasil postesnya ternyata ada sembilan orang tidak KKM; atau 30 % tidak KKM.
2. Pengamatan Teman Sejawat tentang
perilaku belajar siswa
Teman Sejawat menilai perilaku belajar
siswa sebagai baik, partisipasi belajar siswa
dan prestasi studinya baik, 8 item
pengamatan yang dinilai semua baik.
Deskripsinya terlihat pada Tabel 1.
3.
Pengamatan Siswa tentang perilaku siswa/
temannya
Dua orang siswa mengamati perilaku
belajar temannya sebagai cukup baik dan
kondusif. Ini nyata dari penilaian amat baik
1 poin, baik 8 poin, sedang 5 poin, dan
kurang 2 poin, sebagaimana terlihat pada
Tabel 2 a dan 2 b.
4. Pengamatan Teman Sejawat tentang kinerja
guru.
Teman sejawat mengamati, murid tenang,
perhatian baik, kurang bertanya/pasif,
partisipasi siswa baik, hasil prestasi baik.
Sedangkan penampilan guru dinilai cukup
kondusif, piawai dalam mengelola kelas,
menyenangkan siswa, menarik.
Teman Sejawat menilai kinerja guru sebagai
baik dalam kedelapan item pengamatan.
Deskripsinya terlihat pada Tabel 3.
5. Pengamatan Siswa tentang kinerja guru.
Dua orang siswa menilai kinerja guru sebagai amat baik 5 poin, baik 10 poin, sedang 1
poin, sebagaimana terlihat pada Tabel 4a
dan 4b.
6. Hasil postes siswa
Hasil postes siswa terlihat pada Tabel 5.
Refleksi
Penulis merasa dan menimbang, bahwa langkah
persiapan/perencanaan pembelajaran telah
dilakukan maksimal. RPP, materi pembelajaran,
sarana pendukung, seperti soal tes, fotokopi
rangkuman materi pelajaran untuk siswa sudah
Tabel 2 a: Lembar Observasi Perilaku Belajar Siswa pada Siklus 1
No
Aspek Penilaian dalam
Observasi
Rentang Skor
Keterangan
Amat Baik
Sedang
Kurang
1
Perhatian Siswa
2
Minat dan Semangat Belajar
3
Minat Bertanya
v
4
Semangat Mencatat Materi
Pelajaran
v
5
Keterlibatan dalam Pelajaran
6
Konsentrasi Belajar
v
7
Partisipasi Siswa dalam
Pembelajaran
v
8
Hasil Prestasi Studi Siswa
v
Jumlah = 8 item/aspek
10
Baik
Jurnal Pendidikan Penabur - No.24/Tahun ke-14/Juni 2015
v
v
v
4
2
2
Peningkatan Partisipasi dan Prestasi Belajar
Tabel 2 b: Lembar Observasi Perilaku Belajar Siswa pada Siklus 1
No
Aspek Penilaian dalam
Observasi
Rentang Skor
Keterangan
Amat Baik
Baik
1
Perhatian Siswa
2
Minat dan Semangat Belajar
3
Minat Bertanya
v
4
Semangat Mencatat Materi
Pelajaran
v
5
Keterlibatan dalam Pelajaran
6
Konsentrasi Belajar
7
Partisipasi Siswa dalam
Pembelajaran
v
8
Hasil Prestasi Studi Siswa
v
Sedang
Kurang
v
v
v
v
v
v
4
Jumlah = 8 item/aspek
1
3
4
2
2
Tabel 3: Lembar Observasi Teman Sejawat pada Siklus 1
No
Aspek Penilaian dalam
Observasi
Rentang Skor
Keterangan
Amat Baik
Baik
1
Pengarahan Guru
v
2
Metode yang Digunakan Guru
v
3
Penyajian Materi Guru dan
Sistematikanya
v
4
Kecakapan dan Keterlibatan
Guru Menangani Tanggapan
dan Penuntasan Pembelajaran
v
5
Kepiawaian Guru dalam
Menghidupkan Kelas
v
6
Penguasaan/Managemen
Kelas
v
7
Partisipasi Siswa dalam
Pembelajaran
v
8
Hasil Prestasi Studi Siswa
v
Jumlah = 8 item/aspek pengamatan
8
Sedang
Kurang
Jurnal Pendidikan Penabur - No.24/Tahun ke-14/Juni 2015
11
Peningkatan Partisipasi dan Prestasi Belajar
Tabel 4 a: Lembar Observasi Kinerja Guru pada Siklus 1
No
Aspek Penilaian dalam
Observasi
Rentang Skor
Keterangan
Amat Baik
Baik
1
Pengarahan Guru
2
Metode yang Digunakan Guru
3
Penyajian Materi Guru dan
Sistematikanya
v
4
Kecakapan dan Keterlibatan
Guru Menangani Tanggapan
dan Penuntasan Pembelajaran
v
5
Kepiawaian Guru dalam
Menghidupkan Kelas
v
6
Penguasaan/Managemen
Kelas
v
7
Partisipasi Siswa dalam
Pembelajaran
v
8
Hasil Prestasi Studi Siswa
v
Sedang
Kurang
v
v
Jumlah = 8 item/aspek pengamatan
3
4
1
Tabel 4 b: Lembar Observasi Kinerja Guru pada Siklus 1
No
Aspek Penilaian dalam
Observasi
Rentang Skor
Keterangan
Amat Baik
1
Pengarahan Guru
2
Metode yang Digunakan Guru
3
Penyajian Materi Guru dan
Sistematikanya
4
Kecakapan dan Keterlibatan
Guru Menangani Tanggapan
dan Penuntasan Pembelajaran
5
Kepiawaian Guru dalam
Menghidupkan Kelas
6
Penguasaan/Managemen
Kelas
7
Partisipasi Siswa dalam
Pembelajaran
v
8
Hasil Prestasi Studi Siswa
v
Jumlah = 8 item/aspek pengamatan
12
Baik
Jurnal Pendidikan Penabur - No.24/Tahun ke-14/Juni 2015
Sedang
v
v
v
v
V
v
V
v
3
2
4
6
1
Kurang
Peningkatan Partisipasi dan Prestasi Belajar
T abel 5: Hasil Postes pada Siklus 1
No
Nama Siswa
Nilai
1
Siswa 1
95
2
Siswa 2
95
3
Siswa 3
80
Nilai 100 = 2
4
Siswa 4
90
Nilai 95 = 2
5
Siswa 5
85
Nilai 90 = 10
6
Siswa 6
100
Nilai 85 = 7
7
Siswa 7
75
Nilai 80 = 6
8
Siswa 8
85
Nilai 75 = 1
9
Siswa 9
90
Nilai 70 = 1
10
Siswa 10
80
Nilai 0 = 1
11
Siswa 11
90
12
Siswa 12
90
13
Siswa 13
90
14
Siswa 14
90
15
Siswa 15
90
16
Siswa 16
80
17
Siswa 17
85
18
Siswa 18
80
19
Siswa 19
80
20
Siswa 20
85
21
Siswa 21
80
22
Siswa 22
0
23
Siswa 23
85
24
Siswa 24
100
25
Siswa 25
80
26
Siswa 26
90
27
Siswa 27
70
28
Siswa 28
90
29
Siswa 29
90
30
Siswa 30
85
Jumlah tu ntas/tak
tuntas
21/ 9
siswa
Keterangan
KKM
= 85
Sakit/tidak tuntas
Tuntas:
21(70%)
Tidak tuntas:
9 (30%)
tersedia dan dibagikan kepada siswa.
Pelaksanaan dan sarana pendukung telah
dioperasikan optimal. RPP yang disiapkan telah
dipraktikkan dalam pembelajaran. Guru
menjelaskan materi pembelajaran secara
sistematis dengan LCD, peluang siswa bertanya
disediakan, walaupun tak direspon seorang
pun, kondisi kelas sangat kondusif, tenang,
nyaman untuk memahami dan membangun
konsep.
Hasil observasi guru sejawat pun positif
dan sejalan dengan renungan di atas. Kinerja
guru baik, perilaku belajar siswa cukup baik.
Pendapat dan pemahaman ini juga didukung
oleh hasil observasi dua orang siswa. Kinerja
guru baik dan perilaku belajar siswa pun baik.
Hampir semuanya positif.
Perencanaan dan pelaksanaan pembelajaran yang optimal tersebut ternyata belum
menghasilkan partisipasi belajar siswa dan
prestasi belajar yang optimal. Ini ternyata dari
tidak satu pun siswa bertanya, menanggapi,
memberikan klarifikasi materi pelajaran saat
terjadi proses belajar mengajar. Siswa pasif dan
diam. Awalnya guru bangga karena merasa
upaya penjelasannya dapat ditangkap jelas oleh
siswa. Rasa bangga yang berujung agak kecewa.
Kecewa karena ternyata hasil tesnya (Tabel 5)
tidak optimal. Ada 9 siswa tidak mencapai KKM
sekolah, yaitu 85. Dari 30 siswa hanya 21 siswa
mencapai KKM. Ini berarti hanya 70% siswa
kelas itu tuntas belajar drama. Syarat tuntas
belajar kelas adalah 85%. Ini berarti bahwa
pembelajaran pada siklus 1 bermasalah.
Berdasarkan hasil investigasi guru
terhadap siswa setelah membahas soal tes
diperoleh beberapa masukan berikut. Paparan
materi belajar guru lancar, sistematika bagus,
volume suara dan intonasi baik, kelincahan dan
penguasaan materi guru baik, namun guru
terlalu cepat dalam menyampaikan materi
pelajaran. Komunikasi pembelajarannya
didominasi guru (one way communication). Guru
terus menyapa murid setelah proses paparan
materi pelajaran. Misalnya, “Bagaimana? Jelas?
Bisa dipahami? Oke?” Murid hanya menjawab,”Bisa.” “Mari kita lanjutkan. Oke.” Murid
hanya menjawab, “Oke.” Kondisi demikian
ternyata sulit diselami untuk mendeteksi
kesiapan murid menangkap dan menguasai
Jurnal Pendidikan Penabur - No.24/Tahun ke-14/Juni 2015
13
Peningkatan Partisipasi dan Prestasi Belajar
konsep materi guru. Inilah persoalan yang
terjadi.
Dari kajian dan refleksi di atas, maka dapat
disimpulkan, siklus pembelajaran kesatu
mengalami masalah: guru terlalu cepat dalam
menjelaskan materi pelajaran, guru melibatkan
siswa dalam belajar namun tidak direspon
positif murid, guru terlalu mendominasi
komunikasi pembelajaran, sapaan guru tak
berjawab menandai kepasifan siswa dan tanda
tanya atas kualitas pemahaman murid terhadap
materi pelajaran. Atas dasar semua itu,
pembelajaran harus dilanjutkan ke siklus kedua
dengan memperbaiki kinerja guru dan perilaku
belajar siswa. Pilihan jitu untuk memperbaiki
kondisi adalah menerapkan metode atau model
pembelajaran investigasi kelompok dalam siklus
pembelajaran kedua. Alasan pemilihan metode
adalah, bahwa metode ini mampu mengeksplorasi partisipasi dan demokrasi dalam belajar
siswa, sehingga berdampak pada peningkatan
prestasi siswa.
Perencanaan
Pada tahap ini peneliti menyiapkan beberapa
hal berikut : menyusun RPP siklus 2 dengan
revisi; menghubungi guru/teman sejawat untuk
mengobservasi dirinya dan murid, serta
membantu pelaksanaan kegiatan di kelas 9A,
atas izin Kepala Sekolah; menghubungi dua
siswa untuk menjadi tenaga observer saat
pembelajaran dilakukan, serta meminta seorang
Tenaga TU untuk mendokumentasikan kegiatan
pembelajaran ini; menetapkan hari Jumat, 17
April 2015, jam ke-8-9, pukul 12.10-13.30 adalah
hari pembelajaran siklus 2 di kelas 9A bagi
penerapan metode investigasi kelompok untuk
meningkatkan kompetensi, partisipasi, dan
prestasi belajar siswa dalam belajar drama dan
menulis naskah drama; dan terakhir, menyiapkan perangkat pendukung pembelajaran.
menyam-paikan salam pagi, mengabsen siswa,
mengatur piket kelas/mengelola K3 untuk
membersihkan kelas agar nyaman digunakan
untuk belajar; guru mengatur tempat duduk
siswa agar mereka nyaman belajar; guru
mengajak siswa memahami standar kompetensi,
kompetensi dasar, dan tujuan pembelajaran yang
hendak diwujudkan bersama hari ini; guru
menjelaskan prosedur belajar hari ini:
pembukaan, pemahaman SK, KD, tujuan
pembelajaran, pembentukan kelompok,
pengundian materi diskusi, penyiapan bahan
presentasi kelompok, presentasi kelompok,
tanggapan teman, tanya jawab ( klarifikasi dan
penguatan ), penutup (tes, analisis hasil tes),
pemberian tugas rumah untuk menguatkan
pemahaman konsep tentang drama dan
penyusunan naskah drama; pembentukan
kelompok diskusi, ketua, sekretaris, dan
presenter/juru bicara kelompok, anggota; yaitu
sebanyak tujuh kelompok, yang terdiri dari:
1. Kelompok Kesatu, dengan juru bicara AP
2. Kelompok Kedua., dengan juru bicara CLG
3. Kelompok Ketiga, dengan juru bicara MTS.
4. Kelompok Keempat, dengan juru bicara FTS.
5. Kelompok Kelima, dengan juru bicara JFK.
6. Kelompok Keenam, dengan juru bicara
HHW.
7. Kelompok Ketujuh, dengan juru bicara CSB.
Selesai membentuk kelompok dan
personalnya, guru melakukan pengundian dan
pembagian materi heterogen; memandu diskusi
kelompok; mengundi urutan presentasi materi
belajar yang disiapkan; memoderatori presentasi
wakil-wakil kelompok, teman dan forum lain
menyimak dan menanggapinya dengan baik;
memandu tanya jawab untuk penguatan
pemahaman konsep drama; memberikan tes
formatif/postes; melakukan analisis hasil tes
dan kesan pesan forum; guru memberikan
ulasan umum tentang belajar drama dan menulis
naskah drama dengan metode investigasi
kelompok; guru memberikan tugas rumah siswa
untuk penguatan konsep penyusunan naskah
drama; dan akhirnya, guru menutup pertemuan
hari ini.
Pelaksanaan
Pada tahap ini penulis melakukan proses
pembelajaran di kelas 9A berupa kegiatan: guru
Pengamatan
Pada tahap ini penulis mengamati perilaku
belajar siswa, hasil postes, dan hasil observasi
Siklus 2
Pada siklus pembelajaran kedua ini dilakukan
kegiatan
perencanaan,
pelaksanaan,
pengamatan, dan refleksi. Berikut uraiannya.
14
Jurnal Pendidikan Penabur - No.24/Tahun ke-14/Juni 2015
Peningkatan Partisipasi dan Prestasi Belajar
dari observer guru sejawat maupun siswa.
Hasilnya sebagai berikut.
1. Pengamatan guru atas perilaku belajar siswa
Sambil mengajar guru mengamati, bahwa
kondisi perilaku siswa dalam diskusi
kelompok cukup aktif berpendapat, cukup
hidup, dan dinamis memperhatikan dan
merespon presentasi teman kelompok lain,
bertanya kepada siswa presenter, yang pada
ujungnya berdampak hasil postesnya
ternyata 93,3% mencapai KKM.
Para presenter telah dapat mewakili
kelompoknya menyampaikan paparan
materi drama dengan baik, berani, tenang,
lancar, serta mampu menjawab pertanyaan
atau tanggapan kelompok lain. Ada 11
siswa penanya dengan 17 pertanyaan,
penguatan, dan tanggapan. Mereka itu
adalah: Penanya 1 ( 1 pertanyaan), Penanya
kedua (1 pertanyaan), Penanya ketiga (3
pertanyaan), Penanya keempat (2 pertanyaan), Penanya kelima (1 pertanyaan),
Penanya keenam (4 pertanyaan), Penanya
ketujuh (1 pertanyaan), Penanya kedelapan
(1 pertanyaan), Penanya kesembilan (1
pertanyaan), Penanya kesepuluh (1 pertanyaan), dan Penanya kesebelas (1 pertanyaan). Lintas bicara antarpihak telah
terjadi cukup semarak dan hidup, menarik,
dan menyenangkan, berkesan, serta ingin
diulang pada kesempatan lain. Data itu
menandai, bahwa partisipasi siswa dalam
diskusi internal cukup hidup dan aktif, juga
dalam forum diskusi kelas. Ini dapat
dinikmati saat guru keliling ke setiap
kelompok ketika mereka mendiskusikan
materi bagian kelompoknya, maupun saat
memoderatori penampilan wakil kelompok
dalam diskusi kelas yang lebih luas.
2. Hasil postes siswa
Hasil postes siswa terdeskripsi disajikan
pada Tabel 6.
3. Hasil observasi guru sejawat dan siswa
a. Observasi guru sejawat terhadap guru
Penampilan guru dinilai sangat
kondusif, piawai dalam mengelola kelas,
menyenangkan siswa, memotivasi kelas
sehingga kelas hidup. Lima dari delapan
aspek penilaian dinyatakan amat baik.
T abel 6: Hasil Postes pada Siklus 2
No
Nama Siswa
Nilai
1
Siswa 1
100
2
Siswa 2
100
3
Siswa 3
100
Nilai 100 = 20
4
Siswa 4
100
Nilai 95 = 5
5
Siswa 5
100
Nilai 90 = 3
6
Siswa 6
100
Nilai 80 = 1
7
Siswa 7
80
Nilai 80 = 1
8
Siswa 8
100
Nilai 0 =
9
Siswa 9
100
10
Siswa 10
95
11
Siswa 11
100
12
Siswa 12
100
13
Siswa 13
100
14
Siswa 14
100
15
Siswa 15
100
16
Siswa 16
100
17
Siswa 17
95
18
Siswa 18
100
19
Siswa 19
90
20
Siswa 20
100
21
Siswa 21
90
22
Siswa 22
0
23
Siswa 23
95
24
Siswa 24
100
25
Siswa 25
95
26
Siswa 26
95
27
Siswa 27
90
28
Siswa 28
100
29
Siswa 29
100
30
Siswa 30
100
Jumlah tu ntas/tak
tuntas
28/2orang
Keterangan
KKM
= 85
Sakit/tidak tuntas
Tu ntas: 28
(93,3%)
Tidak tuntas:
2 (6.7%)
Jurnal Pendidikan Penabur - No.24/Tahun ke-14/Juni 2015
15
Peningkatan Partisipasi dan Prestasi Belajar
Tiga item dinilai baik. Tabel 7 deskripsi
hasil observasinya.
b. Observasi guru sejawat terhadap
perilaku belajar siswa
Teman Sejawat mengamati siswa,
bahwa mereka aktif berdiskusi dan
berpartisipasi membangun ide, baik
dalam diskusi kelompok maupun
dalam forum kelas, hasil prestasi
belajarnya amat baik. Lima dari delapan
aspek penilaian dinyatakan amat baik,
sedangkan tiga aspeknya baik. Tabel 8
berisi deskripsi hasil observasinya.
c. Observasi siswa terhadap kinerja Guru
Dua orang siswa, Siswi 1 dan Siswa 2
diminta turut mengobservasi kegiatan
gurunya dalam mengajar dengan
metode investigasi kelompok. Mereka
menilai, bahwa proses ke-giatan
pembelajaran berjalan lancar, kondusif,
menyenangkan, memotivasi siswa
belajar dan bergagasan. Siswi 1 menilai
tiga dari delapan aspek kegiatan guru
dinilai amat baik; lima item dinilai baik.
Sedangkan S2 menilai dua item amat
baik dan 6 item baik sebagaimana
terlihat pada pada tabel 9a dan 9b.
4. Observasi siswa terhadap perilaku belajar
siswa
Dua orang siswa, Siswi 1 dan Siswa 2, turut
mengobservasi kegiatan temannya dalam
belajar dan diskusi. Mereka menilai, bahwa
kegiatan temannya aktif, partisipatif,
kondusif, senang, bahkan terlihat nyaman.
Kedua siswa mengamati dan menilai bahwa
kedelapan aspek pembelajaran siswa
dinilainya amat baik 5 poin, baik 10 poin,
dan sedang 1 poin. Deskripsi kondisi hasil
pengamatan mereka itu tertera pada tabel
10a dan 10b.
Refleksi
Mengingat kegagalan pada siklus 1, maka
penulis melakukan persiapan lebih baik dengan
memberikan penekanan perubahan berdasarkan aspek/titik kelemahan siklus 1. RPP, strategi
pembelajaran diubah, materi pembelajaran
bahan diskusi kelompok disiapkan, sarana
pendukung, seperti soal tes, fotokopi rangkuman
materi pelajaran untuk siswa disediakan dan
Tabel 7: Lembar Observasi Kinerja Guru pada Siklus 2
No
16
Aspek Penilaian dalam
Observasi
Rentang Skor
Keterangan
Amat Baik
Baik
1
Pengarahan Guru
v
2
Metode yang Digunakan Guru
v
3
Penyajian Materi Guru dan
Sistematikanya
4
Kecakapan dan Keterlibatan
Guru Menangani Tanggapan
dan Penuntasan Pembelajaran
5
Kepiawaian Guru dalam
Menghidupkan Kelas
v
6
Penguasaan/Managemen
Kelas
v
7
Partisipasi Siswa dalam
Pembelajaran
v
8
Hasil Prestasi Studi Siswa
v
Jumlah = 8 item/aspek pengamatan
5
Jurnal Pendidikan Penabur - No.24/Tahun ke-14/Juni 2015
v
v
3
Sedang
Kurang
Peningkatan Partisipasi dan Prestasi Belajar
dibagikan kepada siswa. Pelaksanaan dan
sarana pendukung telah dioperasikan optimal.
RPP yang disiapkan telah dipraktikkan dalam
pembelajaran. Guru menjelaskan dan menegaskan prosedur dan teknis belajar pada siklus 2
ini secara serius agar pembelajaran berjalan
efektif, sistematis, mencapai tujuan optimal,
peluang siswa bertanya disediakan, baik dalam
internal kelompok maupun forum kelas agar
kelas menjadi hidup; kondisi kelas sangat
Tabel 8: Lembar Observasi Perilaku Belajar Siswa pada Siklus 2
No
Aspek Penilaian dalam
Observasi
Rentang Skor
Keterangan
Amat Baik
Baik
1
Perhatian Siswa
v
2
Minat dan Semangat Belajar
v
3
Minat Bertanya
4
Semangat Mencatat Materi
Pelajaran
5
Keterlibatan dalam Pelajaran
v
6
Konsentrasi Belajar
v
7
Partisipasi Siswa dalam
Pembelajaran
v
8
Hasil Prestasi Studi Siswa
v
Jumlah = 8 item/aspek
Sedang
Kurang
V
v
5
3
Tabel 9a: Lembar Observasi Siswa atas Kinerja Guru pada Siklus 2
No
Aspek Penilaian dalam
Observasi
Rentang Skor
Keterangan
Amat Baik
Baik
1
Perhatian Siswa
v
2
Minat dan Semangat Belajar
v
3
Minat Bertanya
v
4
Semangat Mencatat Materi
Pelajaran
v
5
Keterlibatan dalam Pelajaran
v
6
Konsentrasi Belajar
v
7
Partisipasi Siswa dalam
Pembelajaran
v
8
Hasil Prestasi Studi Siswa
v
Jumlah = 8 item/aspek
3
Sedang
Kurang
5
Jurnal Pendidikan Penabur - No.24/Tahun ke-14/Juni 2015
17
Peningkatan Partisipasi dan Prestasi Belajar
kondusif, dinamis, kerjasama terba-ngun baik,
nyaman untuk memahami dan membangun
konsep.
Hasil observasi guru sejawat positif dan
sejalan dengan renungan di atas. Kinerja guru
baik, perilaku belajar siswa baik. Pendapat dan
pemahaman ini juga didukung oleh hasil
observasi dua orang siswa. Kinerja guru baik dan
perilaku belajar siswa pun baik. Semuanya
positif.
Tabel 9b: Lembar Observasi Siswa atas Kinerja Guru pada Siklus 2
No
Aspek Penilaian dalam
Observasi
Rentang Skor
Keterangan
Amat Baik
Baik
1
Perhatian Siswa
2
Minat dan Semangat Belajar
v
3
Minat Bertanya
v
4
Semangat Mencatat Materi
Pelajaran
v
5
Keterlibatan dalam Pelajaran
6
Konsentrasi Belajar
v
7
Partisipasi Siswa dalam
Pembelajaran
v
8
Hasil Prestasi Studi Siswa
v
Sedang
Kurang
v
v
Jumlah = 8 item/aspek
2
6
Tabel 10b: Lembar Observasi Perilaku Belajar Siswa pada Siklus 2
No
Aspek Penilaian dalam
Observasi
Rentang Skor
Keterangan
Amat Baik
1
Perhatian Siswa
2
Minat dan Semangat Belajar
v
3
Minat Bertanya
v
4
Semangat Mencatat Materi
Pelajaran
v
5
Keterlibatan dalam Pelajaran
6
Konsentrasi Belajar
v
7
Partisipasi Siswa dalam
Pembelajaran
v
8
Hasil Prestasi Studi Siswa
v
Jumlah = 8 item/aspek
18
Baik
Jurnal Pendidikan Penabur - No.24/Tahun ke-14/Juni 2015
v
v
2
6
Sedang
Kurang
Peningkatan Partisipasi dan Prestasi Belajar
Tabel 10a: Lembar Observasi Perilaku Belajar Siswa pada Siklus 2
No
Aspek Penilaian dalam
Observasi
Rentang Skor
Keterangan
Amat Baik
Baik
1
Perhatian Siswa
v
2
Minat dan Semangat Belajar
v
3
Minat Bertanya
4
Semangat Mencatat Materi
Pelajaran
5
Keterlibatan dalam Pelajaran
v
6
Konsentrasi Belajar
v
7
Partisipasi Siswa dalam
Pembelajaran
v
8
Hasil Prestasi Studi Siswa
v
Jumlah = 8 item/aspek
Perencanaan dan pelaksanaan pembelajaran yang optimal tersebut ternyata mampu
menghasilkan partisipasi belajar siswa dan
prestasi belajar yang optimal. Ini ternyata dari
adanya 11 siswa bertanya, menanggapi, memberikan klarifikasi materi pelajaran saat terjadi
proses belajar mengajar. Siswa aktif dan dinamis.
Guru bangga karena merasa perubahan metode
dan strategi pembelajaran yang dilakukan
menjadikan siswa nyaman belajar, berkomunikasi baik, dan bersama-sama membangun
konsep tentang drama. Rasa bangga itu berujung
puas dan bangga lagi. Dinyatakan demikian
karena ternyata partisipasi belajar siswa
berubah dan meningkat, bahkan hasil tesnya
optimal. Dua puluh delapan siswa dari 30 siswa
mencapai KKM sekolah, yaitu 85. Persentase
KKM 93,3%. Dua puluh dari 30 siswa memperoleh nilai 10/maksimal. Ini berarti terjadi
perubahan luar biasa dari siklus 1 ke siklus 2.
Berdasarkan hasil investigasi guru
terhadap siswa setelah membahas soal tes
diperoleh beberapa masukan berikut. Model
pembelajaran seperti ini enak, bagus, dan perlu
diulang lagi pada pokok pelajaran berikutnya.
Banyak siswa dapat atau terpaksa harus ikut
aktif dalam bergagasan. Tetapi bagus dan
bermanfaat. Perlu dikembangkan terus.
Sedang
Kurang
v
v
3
4
1
Dari kajian dan refleksi di atas, maka dapat
disimpulkan bahwa siklus pembelajaran kedua
mengalami peningkatan signifikan dan berhasil.
Kinerja guru dan perilaku belajar siswa berubah
ke arah yang lebih baik dan bermakna. Untuk
itu siklusnya berhenti di sini.
Pembahasan Hasil Penelitian
Berikut ini, penulis hendak menghubungkan
rumusan masalah, tujuan penelitian, temuan
fakta dan data penelitian (tes maupun observasi),
dan kajian teori untuk menyimpulkan sebuah
konsep. Rumusan masalah penelitian ini
adalah: “Mampukah penerapan metode investigasi kelompok meningkatkan partisipasi dan
prestasi belajar drama bagi siswa di kelas 9A
SMPK PENABUR Cirebon?” Rumusan masalah
ini dijabarkan ke dalam empat tujuan penelitian
berikut. Pertama, mening-katkan partisipasi
siswa dalam belajar drama. Kedua, meningkatkan prestasi hasil belajar siswa. Ketiga,
mendeteksi seberapa jauh efektivitas peran dan
dampak metode belajar Group Investigation dalam
menolong kesulitan belajar siswa. Keempat,
membangun mutu proses belajar yang berdampak pada peningkatan mutu siswa, mutu guru,
mutu sekolah/lembaga, dan mutu pendidikan.
Jurnal Pendidikan Penabur - No.24/Tahun ke-14/Juni 2015
19
Peningkatan Partisipasi dan Prestasi Belajar
12
11
10
8
6
4
2
0
0
Siklus 1
Siklus 2
Gambar 2: Partisipan Belajar
dan Penanya
100
90
80
70
60
50
40
30
20
10
0
93.3
70
KKM RPP
Ceramah
Bervariasi
KKM Investigasi
Kelompok
Gambar 3: Perbandingan Hasil KKM
Siklus/RPP1dan Siklus/RPP2 dalam %
Sesuai kajian pustaka, metode investigasi
kelompok diplih karena metode ini mampu
membangun sikap tanggung jawab dan kerjasama dalam kelompok, serta membina sikap saling
menghargai pendapat anggota kelompok, dan
pada ujungnya membiasakan untuk berani
mengemukakan pendapat. Kecuali itu, model ini
juga memberikan kesempatan siswa untuk
banyak berpartisipasi, berinteraksi dalam
membangun gagasan. Semakin partisipasi
belajar siswa tinggi, penguasaan konsep dan
materi pembelajaran semakin dalam dan luas
pula. Kondisi ini berdampak positif dan
produktif pada peningkatan prestasi siswa
sebagaimana terlihat pada Tabel 11.
Data Tabel 11 menunjukkan, pertama,
pilihan metode pembelajaran memberikan aneka
dampak pada kehidupan, nurani, perasaan,
sikap, partisipasi, dan prestasi belajar siswa. Ini
20
Jurnal Pendidikan Penabur - No.24/Tahun ke-14/Juni 2015
berarti bahwa ada hubungan linear-logis antara
pilihan metode pada kajian teori/pustaka
dengan rumusan masalah penelitian ini. Kedua,
dengan pilihan dan terapan metode
pembelajaran yang pas, partisipasi studi siswa
membaik. Partisipasi pada siklus 1 yang kurang
diminati nol, sedangkan partisipasi pada siklus
2 berupa 11 siswa penanggap dengan 17
produksi tanggapan. Ini membuktikan
tercapainya tujuan-kesatu penelitian ini dan
tampak jelas pada Gambar 2.
Ketiga, perolehan nilai siswa sebagai wujud
meterai kompetensi belajar siswa mengalami
perubahan variatif dan signifikan. Ini menunjukkan, bahwa pilihan metode pembelajaran dapat
mendongkrak minat belajar dan prestasi siswa,
serta mendukung pewujudan tujuan-kedua
penelitian ini. Kondisi ini dapat dicermati pada
Gambar 3 yang menunjukkan KKM meningkat
dari 70% menjadi 93.3%, melebihi KKM standar
sebesar 85%.
Pada siklus 1, siswa ber-KKM sebanyak 21
orang, tidak KKM sebanyak 9 orang. Pada siklus
2, siswa ber-KKM sebanyak 28 orang, tidak KKM
sebanyak 2 orang. Jumlah siswa tidak KKM
menurun, dan meningkatkan jumlah siswa berKKM. Jumlah siswa yang mengalami peningkatan poin nilai 27 orang, yang stagnan/jenuh
3 orang. Dua orang stagnan karena perolehan
nilai pada siklus 1-2 sudah maksimal; yaitu 100.
Satu orang stagnan karena sakit dan tidak ikut
proses belajar dan postes (Tabel 12).
Hasil postes mereka juga menunjukkan
perkembangan dan peningkatan signifikan. Ini
membuktikan, bahwa pemberlakuan metode
baru pada siklus 2 tepat dan produktif. Kalau
diperbandingkan peraihan nilai dan jumlah
kedua siklus, maka terlihat seperti Tabel 13.
Dari data tabel itu dapat dikatakan, bahwa
rentang variasi perolehan nilai pada siklus 1
lebih banyak daripada pada siklus 2.
Perbandingannya adalah 8:5. Rentang
panjangnya menunjukkan toleransi terhadap
perolehan nilai di bawah KKM tinggi,
sedangkan rentang pendeknya menun-jukkan
perolehan nilai di atas KKM tinggi pula.
Perubahan rentang variasi nilai dari siklus 1 ke
siklus 2 menunjukkan terjadinya perbaikan
kualitas pemahaman dan pembelajaran siswa.
Pemeroleh nilai ideal semakin banyak, sedang-
Peningkatan Partisipasi dan Prestasi Belajar
Tabel 11 : Relasi dan Dampak Multiaspek dalam Dua SiKlus
No
Relasi Multiaspek
Siklus 1
Siklus 2
Kondisi Perubahan
Kesimpulan
1
Terapan metode
Ceramah
Bervariasi
Investigasi
Kelompok
100 % berubah
Perlu berubah &
bermanfaat
2
Partisipasi Studi
0 penanggap
11 penanggap/17
tanggapan
37 %
Partisipasi studi
signifikan
3
Nilai/prestasi:
a.100/sempurna
b.nilai meningkat
c.nilai tetap
a.2 (6,7%)
b.21
c.3
a.20 (67%)
b.27
c.3
a.+ 18 siswa/900%
b.+ 6 (28,6%)
c.0 %
a. naik signifikan
b. naik signifikan
c.2 jenuh/1 sakit
Pencapaian KKM
a. Sesuai KKM
b. Di atas KKM
c. KKM ( 85 )
d. Tidak sesuai KKM
e. % KKM kelas (85%)
a.7
b.14
c.21
d. 9
e. 70%
a.0
b.28
c. 28
d. 2
e. 93,3%
a.7 siswa nilai naik
b.naik 100%
c.+ 7 siswa/33,3%
d.- 7 siswa/77,8%
e. naik 23,3%
a.naik signifikan
b. naik signifikan
c. naik signifikan
d. naik signifikan
e. di atas KKM
a.28 siswa
b.2 siswa
a.29 siswa
b.27 siswa
a.beda drastis
b.beda drastis
a.. Guru perlu
4
5
Kenyamanan studi
a. Kurang nyaman
b. Nyaman, momen
unjuk diri
refleksi
b.Guru perlu
refleksi
6
Alur komunikasi
Harus konsern satu
arah
Multiarah
Demokratis, bebas,
moderat
Siswa
menyenanginya.
7
Tekanan Belajar
Tinggi (16
siswa) berkata begitu
Fleksibel (25
siswa) merasa begitu
Demokratis, serius
tapi santai
Siswa kelas ini
kurang tahan
tekanan
8
Kebebasan Belajar
Rendah/kena komando
guru (29
siswa)
berkata itu
Tinggi/guru
keliling
kontrol diskusi kelompok; siswa
punya pagar
kelompok
Harkat diri siswa
diperhatikan
Siswa kelas ini
punya gengsi
tertentu
9
Kinerja Guru-Murid
Guru dituntut banyak,
murid pasif.
Guru capek,
murid enak.
Guru menjadi konduktor
Porsi dan persentase kinerja-hak
disesuaikan lebih
efektif dan
berdaya guna
tinggi
Perlu berubah &
bermanfaat seca ra
kontiniu, fle ksibel,
berdam pak positif
orchesta PBM.
Guru tak
terlalu
capek, murid
aktif kerja
10
Kajian Observer GuruSiswa pada Peneliti
5 Amat baik
18 Baik
1 Sedang
10 Amat baik
14 Baik
0 Sedang
meningkat
baik
Kinerja Guru/Pe
neliti tambah baik
11
Kajian Observer Guru-Siswa pada Perilaku Belajar Siswa
1 Amat Baik
16 Baik
5 Sedang
2 Kurang
10 Amat baik
13 Baik
1 Sedang
0 Kurang
Meningkat
Baik
Perilaku belajar
siswa berubah
membaik dan
signifikan
Jurnal Pendidikan Penabur - No.24/Tahun ke-14/Juni 2015
21
Peningkatan Partisipasi dan Prestasi Belajar
T ab el 12 : D ata P ero leh an N ilai P ostes S ik lu s 1 d an 2,
S erta P erk em b ang an n ya
No
N am a
S iswa
N ilai S ik lu s 1
M etod e
C eram ah
B ervariasi
N ilai S ik lu s 2
M etod e
C eram ah
B ervariasi
P erk em b an gan /
p eru b ah an
d am p ak
p en erap an
m etod e b aru
1
Sisw a 1
95
100
5
2
Siswa 2
95
100
5
3
Siswa 3
80
100
20
4
Siswa 4
90
100
10
5
Siswa 5
85
100
15
6
Siswa 6
100
100
0/ te tap
7
Siswa 7
75
80
5
8
Siswa 8
85
100
15
9
Siswa 9
90
100
10
10
Sis wa 10
80
95
15
11
Sis wa 11
90
100
10
12
Sis wa 12
90
100
10
13
Sis wa 13
90
100
10
14
Sis wa 14
90
100
10
15
Sis wa 15
90
100
10
16
Sis wa 16
85
100
15
17
Sis wa 17
80
95
15
18
Sis wa 18
85
100
15
19
Sis wa 19
80
90
10
20
Sis wa 20
80
100
20
21
Sis wa 21
85
90
5
22
Sis wa 22
0
0
0/ te tap
23
Sis wa 23
85
95
10
24
Sis wa 24
100
100
0/ te tap
25
Sis wa 25
80
95
5
26
Sis wa 26
90
95
5
27
Sis wa 27
70
90
20
28
Sis wa 28
90
100
10
29
Sis wa 29
90
100
10
30
Sis wa 30
85
100
15
21/ 9 o rang
70%/ 30%
28/ 2 siswa
93,3% / 6,7%
27/ 3 o rang
90% / 10%
Ju m lah
tu ntas / tak
tu ntas
22
Jurnal Pendidikan Penabur - No.24/Tahun ke-14/Juni 2015
kan pemeroleh nilai di
bawah KKM semakin kecil.
Ini membuktikan bahwa
penerapan strategi belajar
dengan metode investigasi
kelompok untuk belajar
menulis naskah drama
memang tepat, sehingga
pembelajaran dapat berhasil.
Dari data hasil pengamatan guru, guru sejawat,
maupun siswa, juga dari
hasil postes tersebut, dapat
dikatakan bahwa penerapan
metode investigasi kelompok
dalam pembelajaran drama
dan menulis naskah drama
berdampak sangat positif
dan berhasil, sehingga siklus
pembelajaran perlu dan
dapat dihentikan di sini.
Keempat, dari hasil jajag
ide setelah selesai PBM, guru
memperoleh beberapa masukan dan komentar siswa
yang mendorong guru untuk
bertindak mobile dan fleksibel
dalam memandu belajar
siswa dan dalam mengelola
kelas, serta dalam mengelola
kejiwaan/psikis siswa. Gaya
dan sikap hidup remaja
sekarang perlu dicermati,
diempati, jangan dilawan
atau dikerasi. Kita mesti
belajar pada filosofi Ki Hajar
Dewantara ini. Ing ngarso
sung tulodho, ing madyo
mangun karso, lan tut wuri
handayani, pungkasane aweh
hasil kang mentes lan maedahi.
Maknanya adalah, (sebagai
orangtua dan dewasa) di
depan kita menjadi teladan
hebat, di antara mereka kita
membangun
semangat
hidup-belajar dan motivasi,
dan di belakang mereka, kita
tetap berwibawa mengendalikan dan mengarahkan
Peningkatan Partisipasi dan Prestasi Belajar
Tabel 13: Perkembangan Peraihan Nilai Antarsiklus
No
Nilai
Raihan
Siklus 1
Metode
Ceramah
Bervariasi
Siklus 2
Metode
Investigasi
Kelompok
1
100
2
20
meningkat/tambah 18 orang
2
95
2
5
meningkat/tambah 3 orang
3
90
10
3
berkurang 7 orang, naik skor
4
85
7
0
berkurang 7 orang naik skor
5
80
6
1
berkurang 5 orang, naik skor
6
75
1
0
berkurang 1 orang, naik skor
7
70
1
0
erkurang 1 orang, naik skor
8
0
1
1
tetap, karena sakit
30 orang
/8 variasi
30 orang /
5 variasi
Jum- 8
lah variasi
Keterangan/ apresiasi
turun 3 variasi, naik skor
Tabel 14: Peningkatan Kinerja Guru dari Siklus 1 Ke Siklus 2
No
Aspek Penilaian dalam
Observasi
Penilaian
Observer
Siklus 1
Penilaian
Observer
Siklus 2
Keterangan
1
Perhatian Siswa
3 baik
1 amat baik
2 baik
meningkat
baik
2
Minat dan Semangat
Belajar
2 baik
1 sedang
3 baik
baik sekali
3
Minat Bertanya
1 amat baik
2 baik
1 amat baik
2 baik
cukup baik
4
Semangat Mencatat
Materi Pelajaran
1 amat baik
2 baik
3 baik
baik sekali
5
Keterlibatan dalam
Pelajaran
2 amat baik
1 baik
2 amat baik
1 baik
baik sekali
6
Konsentrasi Belajar
3 baik
2 amat baik
1 baik
meningkat
baik
7
Partisipasi Siswa dalam
Pembelajaran
1 amat baik
2 baik
2 amat baik
1 baik
meningkat
baik
8
Hasil Prestasi Studi Siswa
3 baik
2 amat baik
1 baik
meningkat
baik
5 amat baik
18 baik
1 Sedang
10 amat
baik
14 Baik
0 Sedang
meningkat
baik
Jumlah = 8 item/aspek
Jurnal Pendidikan Penabur - No.24/Tahun ke-14/Juni 2015
23
Peningkatan Partisipasi dan Prestasi Belajar
Tabel 15: Perubahan Perilaku Belajar Siswa dan Penilaian
Perilaku Belajar Siswa dari Ketiga Observer
(Guru Sejawat dan Siswa)
Aspek Penilaian dalam
Observasi
Penilaian
Observer
Siklus 1
Penilaian
Observer
Siklus 2
1
Perhatian Siswa
3 baik
1 amat baik meningkat
2 baik
baik
2
Minat dan Semangat
Belajar
2 baik
1 sedang
3 baik
3
Minat Bertanya
1 baik
1 sedang
1 kurang
2 amat baik meningkat
baik
1 baik
4
Semangat Mencatat
Materi Pelajaran
1 baik
1 sedang
1 kurang
2 baik
1 sedang
5
Keterlibatan dalam
Pelajaran
1 baik
1 sedang
2 amat baik meningkat
baik
1 baik
6
Konsentrasi Belajar
3 baik
1 amat baik meningkat
baik
2 baik
No
Keterangan
meningkat
baik
meningkat
baik
sekaligus mewujudkan
makna keempat di atas.
Guru baik dan kondusif.
Data ini dapat kita cermati
pada Tabel 14.
Keenam, hasil observasi guru sejawat dan
siswa terhadap perilaku
belajar siswa menunjukkan
peningkatan kualitas dan
gaya belajar siswa. Ini
membuktikan, bahwa ketika faktor kejiwaan siswa
disentuh, dijaga, diperhatikan, dan diberi porsi pas
dengan kondisi jiwa
mereka, maka mereka rela
memberikan partisipasi,
kontribusi, dan unjuk ide
diri secara positif dan bermakna. Kondisi ini dapat
dicermati pada Tabel 15.
Ketujuh, data pada
7 Partisipasi Siswa dalam 1 amat baik 2 amat baik meningkat
tabel dan grafik dalam
baik
Pembelajaran
2 baik
1 baik
bagian pembahasan hasil
8 Hasil Prestasi Studi
3 baik
2 amat baik meningkat
penelitian ini mendukung
baik
Siswa
1 baik
pewujudan tujuan peneliJumlah = 8 item/aspek
1 Amat
10 amat
meningkat
tian ketiga dan keempat;
Baik
baik
baik
yaitu mendeteksi kesahih16 Baik
13 Baik
an metode investigasi
5 Sedang
1 Sedang
kelompok dalam mem2 Kurang
0 Kurang
bangun sistem belajar
drama dan menulis naskah
drama, serta niat guru dan
untuk hidup (belajar) secara benar, dan akhirnya
siswa
membangun
mutu
proses pembelajaran
kita memetik hasil yang berkualitas dan memberi
banyak manfaat. Kondisi ini penulis simpulkan dapat dideteksi tepat dan dan terwujud.
Terakhir, metode pembelajaran berperan
dan rakit dari hasil investigasi terhadap siswa
terkait dengan butir 5, 6, 7, dan 8 tabel 11 di atas. penting dalam proses pembelajaran dan dalam
Guru/peneliti perlu mencermati konteks dan pencapaian berbagai aspek belajar siswa. Untuk
kondisi ini demi terbangunnnya hubungan itu, guru perlu memahami/menguasai aneka
guru-siswa yang kondusif, familier, dan metode pembelajaran, mampu menyimulasikan,
menerapkannya sesuai dengan jenis dan variasi
partnersif untuk belajar.
Kelima, hasil observasi guru sejawat dan materi pembelajaran. Pertimbangan pilihannya
siswa terhadap kinerja guru/peneliti menun- adalah, metode yang mudah dilakukan,
jukkan peningkatan kualitas dan kinerja guru. menyenangkan siswa, memotivasi siswa belajar
Ini menandai, guru bersikap adaptif, mobile, mandiri, serta yang mendukung partisipasi dan
empatik, dan menerapkan refleksi-evaluasi diri, prestasi belajar siswa tinggi.
24
Jurnal Pendidikan Penabur - No.24/Tahun ke-14/Juni 2015
Peningkatan Partisipasi dan Prestasi Belajar
Simpulan
Kesimpulan
Berdasakan perencanaan, pelaksanaan,
pengamatan proses dari banyak pihak, refleksi,
dan kajian teori serta data proses pembelajaran,
maka penulis menyimpulkan bahwa penerapan
metode investigasi kelompok dalam pembelajaran drama dan menulis naskah drama berhasil.
Keberhasilan itu ditandai oleh: pertama,
meningkatnya partisipasi siswa dalam belajar
drama dan menulis naskah drama; dari hanya
diam tanpa respon dalam belajar siklus 1 menjadi
ada 11 siswa bertanya dan menanggapi
presentasi rekannya pada siklus 2. Kedua,
meningkatnya prestasi hasil belajar siswa; pada
siklus 1 hanya dua orang meraih nilai 100/
maksimal, sedangkan pada siklus 2 berjumlah
20 orang meraih nilai 100/sempurna.Ketiga,
terdeteksinya seberapa jauh efektivitas peran
dan dampak metode belajar investigasi kelompok
dalam menolong kesulitan belajar siswa.
Faktanya adalah, ada 70% siswa KKM pada
siklus 1, sedangkan pada siklus 2 menjadi
93,3%, meningkat 23,3%. Keempat, terbangunnya
mutu proses belajar yang berdampak pada
peningkatan mutu siswa, mutu guru, mutu
sekolah/lembaga, dan mutu pendidikan.
Selain itu, penulis juga mampu menunjukkan secara rasional-kritis beberapa manfaat
pember-lakuan metode investigasi kelompok
dalam pembelajaran drama dan menulis naskah
drama, bagi beberapa pihak seperti berikut.
Bagi siswa, mereka lebih senang dalam
belajar dan membangun konsep drama dan
menulis teks drama; mereka lebih partisipatif
dalam belajar dan membangun konsep; siswa
lebih berhasil dalam prestasi belajarnya; siswa
dapat membangun karakter belajar lebih dinamis
dan berdampak.
Bagi guru, mereka mampu menolong dan
mengangkat kesulitan belajar siswa dalam
belajar konsep drama dan menulis teks drama;
guru semakin berpengalaman membangun
suasana belajar yang bernuansa PAIKEM
GEMBROT (pembelajaran yang aktif, inovatif,
kreatif, efektif, menyenangkan, gembira, penuh
brain storming, dan berbobot); guru semakin
berpengalaman dalam melakukan perubahan
paradigma belajar, melalui menerapkan model
dan metode pembelajaran yang variatif,
produktif, efektif, dan berkualitas; guru semakin
berpengalaman dalam melakukan PTK dan
menuangkannya dalam karya tulis.
Bagi pengembangan proses belajar siswa,
pembelajaran semakin dinamis, produktif,
progresif; guru dan siswa semakin mudah
bersinergi dalam membangun PBM bermutu.
Rekomendasi
Berdasarkan kesimpulan di atas, penulis perlu
menyampaikan rekomendasi berkaitan dengan
langkah persiapan/perencanaan, pelaksanaan,
pengamatan, dan evaluasi/pengamatan proses
pembelajaran seperti berikut. Pertama, persiapan
dan perencanaan pembelajaran perlu dipikirkan
dan disusun matang agar pelaksanaan
pembelajaran berjalan tertib, lancar, aman,
produktif, dan efektif. Kedua, pelaksanaan
pembelajaran perlu memberlakukan aneka
metode yang cocok untuk siswa dan materi
pelajaran, sehingga siswa senang dan temotivasi
belajar.Ketiga, guru perlu memberikan
pengarahan prosedur pembelajaran secara
serius dan jelas sehingga siswa tahu arah dan
mendukung pencapaian tujuan pembelajaran
secara optimal. Keempat, guru perlu cermat
mengamati sikap dan perilaku belajar siswa,
menemukan mana siswa yang perlu dibantu
atau bermasalah, apa perso-alannya, bagaimana
bantuan solusinya, sehingga siswa merasakan
kasih sayang dan perhatian guru atas
dirinya.Kelima, guru harus mampu membangun
partisipasi belajar siswa agar prestasi belajarnya
tinggi dan membanggakan banyak pihak. Siswa
terlatih beride.Keenam, guru harus piawai
menyajikan materi pelajaran secara sistematis,
menarik, menyenangkan, dan memotivasi siswa.
Ketujuh, guru harus piawai menghidupkan
kelas, meguasai, dan menerapkan managemen
kelas yang cocok dan dinamis.Kedelapan, guru
harus lincah dan cermat menerima dan
menangani respon siswa demi ketuntasan
pembelajaran yang dijalani. Kesembilan, guru
perlu menguasai teknik pengelolaan kejiwaan
siswa untuk dasar membangun pembelajaran
yang bersahabat. Terakhir, Kepala Sekolah dan
Guru Senior perlu memahami laporan ini dan
Jurnal Pendidikan Penabur - No.24/Tahun ke-14/Juni 2015
25
Peningkatan Partisipasi dan Prestasi Belajar
mengimpartasikannya kepada semua guru agar
guru maklum dan menerapkannya dalam
pembelajaran di kelasnya.
Daftar Pustaka
Asmara, Adhy. (1979) .Apresiasi drama untuk SLA.
Yogyakarta: CV Nur Cahaya
Budiman, Sumiati. (1987). Sari sastra Indonesia.
Klaten: PT Intan Pariwara
Hermawan, Hendy. (2006). Model-model
pembelajaran inovatif. Bandung: Citra
Praya
Kosasih, Engkos. (2008). Mandiri bahasa Indonesia
SMP/MTs kelas IX. Jakarta: Erlangga
Kridalaksana, Harimurti. (1999). Kamus besar
bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka
26
Jurnal Pendidikan Penabur - No.24/Tahun ke-14/Juni 2015
Laelasari. (2006). Kamus istilah sastra. Bandung:
Nuansa Aulia.
Nurhadi.(2007). Bahasa Indonesia untuk SMP kelas
IX.Jakarta: Erlangga
Popham, W. James dkk. (1992). Teknik mengajar
secara sistematis. Jakarta: Rineka Cipta
Rendra. (1976), Tentang bermain drama: Catatan
elementer bagi calon pemain. Jakarta:
Pustaka Jaya
Roestiyah. (1998). Strategi belajar mengajar.
Jakarta: Rineka Cipta
Soetarno. (1976). Peristiwa sastra Indonesia untuk
SMA. Surakarta: Widya Duta
Suyanto. (2013). Menjadi guru professional: Strategi
meningkatkan kualifikasi dan kualitas guru
di era global. Jakarta: Esensi
Sukidin dkk. (2010). Managemen penelitian
tindakan kelas. Surabaya: Insan Cendekia
Peran Role Playing Berbasis Komputer
Penelitian
Peran Role Playing Berbasis Komputer Pada
Kesiapan Belajar Anak Usia Prasekolah 4-5 Tahun
Dilihat Dari Kematangan Emosional
Felucia Hendriette
E-mail: [email protected]
Bagian Akademik PENABUR International
Abstrak
enelitian ini bertujuan untuk mengetahui kematangan emosional anak sebelum dan
sesudah perlakuan dan seberapa besar peran model pembelajaran Role Playing berbasis
komputer dapat meningkatkan kesiapan belajar anak usia prasekolah empat sampai lima
tahun yaitu dalam mengekspresikan diri, memahami perasaan orang lain, percaya diri dan
mengendalikan diri atau perasaannya. Penelitian yang dilakukan di TKK 6 PENABUR Jakarta
pada tahun 2013 ini menggunakan metode deskripsi kuantitatif dengan desain The One Group
Pretest-Posttest Design. Instrumen penelitian menggunakan rubrik observasi, wawancara dengan
guru dan orangtua siswa. Data diolah dengan menggunakan software SPSS 16. Kehandalan alat
ukur diuji menggunakan uji validitas konstruk, dan uji reliabilitas secara interrater reliability dengan
Cohan Kappa. Hasil penelitian ini menunjukkan ada peningkatan kematangan emosional setelah
diberikan perlakuan. Role Playing dapat meningkatkan kematangan emosional anak dari dimensi
memahami perasaan orang lain dan mengendalikan diri/perasaan. Peran pembelajaran berbasis
komputer juga dapat meningkatkan konsentrasi dan kesabaran anak.
P
Kata-kata kunci: kematangan emosional, Role Playing, pembelajaran berbasis komputer.
Computer-Based Role Playing to Improve the Learning Readiness of Four to Five Years
Pre-school Children Viewed from Emotional Maturity
Abstract
This study aims to determine the child’s emotional maturity before and after treatment and how big of
computer-based Role Playing model can improve learning readiness of four to five years preschool children to
express themselves, understand others’ feelings, self-confidence and self-control. This research conducted at
TKK 6 PENABUR Jakarta in 2013 applied descriptive quantitative method with the design of The One
Group Pretest-Posttest Design. Research instruments used the observation rubric, interview guides for the
teachers and parents. The collected datas were processed using SPSS 16 software. The instrument validity was
tested using the test construct validity, and the reliability was tested using interrater reliability test with
Kappa Cohan. The results of this study showed an increase in emotional maturity after a given treatment. Role
Playing can increase the child’s emotional maturity in the dimension of understanding the other people’s
feelings and self control. The role of computer-based instruction can also improve the children’s concentration
and patience.
Keywords: emotional maturity, Role Playing, computer-based learning.
Jurnal Pendidikan Penabur - No.24/Tahun ke-14/Juni 2015
27
Peran Role Playing Berbasis Komputer
Pendahuluan
Usia anak Taman Kanak-Kanak yang berkisar
tiga sampai lima tahun adalah usia pertumbuhan dan bermain. Artinya anatomi tubuh anak,
misalnya jaringan saraf dan otaknya, masih
dalam tahap pembentukan untuk menuju
kesempurnaan permanen, dan merupakan fase
bermain sebagai bagian pengenalan dan
pembelajaran terhadap lingkungan sekitarnya.
Pada masa balita ini perkembangan
kemampuan berbahasa, kreatifitas, kesadaran
sosial, emosional dan intelegensia berjalan
sangat cepat dan merupakan landasan
perkembangan berikutnya, termasuk landasan
untuk kesiapan mereka dalam sekolah.
Rafort (2004) menyatakan, konsep kesiapan
belajar biasanya mengacu pada pencapaian
anak dari satu rangkaian tertentu dari emosi,
perilaku, dan keterampilan kognitif yang
diperlukan untuk belajar, bekerja, dan fungsi
berhasil di sekolah. Sayangnya, filosofi umum
“siap untuk sekolah “ ini menempatkan beban
yang tidak semestinya pada anak dengan
mengharapkan mereka memenuhi harapan
sekolah. Anak memiliki kebutuhan yang luas
dan memerlukan dukungan dalam mempersiapkan mereka untuk standar pembelajaran
yang tinggi, yang akan mereka hadapi di sekolah
dasar.
Dalam praktek pendidikan sehari-hari, baik
orangtua di rumah, guru di sekolah maupun
berbagai media cetak/elektronik seringkali
memberikan tekanan yang tidak sesuai dengan
tahap perkembangan anak. Adanya tekanan
yang dialami anak masa prasekolah untuk
belajar dapat mempengaruhi perkembangan
emosionalnya, seperti yang diungkapkan oleh
Hurlock (1980: 241) bahwa ketegangan yang
terus menerus, jadwal yang ketat, dan terlalu
banyak pengalaman menggelisahkan yang
merangsang anak secara berlebihan akan
menimbulkan emosionalitas yang meninggi
pada anak.
Hurlock (1990:215) menyatakan, emosi
dapat mempengaruhi aktivitas mental, karena
kegiatan mental, seperti konsentrasi, pengingatan, dan penalaran, sangat mudah dipengaruhi
oleh emosi yang kuat. Anak menghasilkan
28
Jurnal Pendidikan Penabur - No.24/Tahun ke-14/Juni 2015
prestasi di bawah kemampuan intelektualnya
apabila emosinya terganggu.
Pengaruh emosional yang dapat
mempengaruhi prestasi dan kemampuan
intelektual anak dapat terlihat pada hasil
pengujian masuk anak TK ke jenjang SD.
Berdasarkan hasil wawancara pada tanggal 28
februari 2013 yang dilakukan peneliti dengan
Kepala Sekolah dan guru SD mengenai materi
pengujian masuk bagi anak TK untuk ke jenjang
SD Bilingual, selain psikotest terdapat juga dua
tes akademik yang di uji yaitu matematika dan
bahasa Inggris. Dalam pengujian matematika
ada tiga materi yang diuji yaitu penguasaan
konsep, berpikir logis dan komunikasi, serta
pemecahan masalah. Salah satu materi uji dalam
berpikir logis dan komunikasi adalah anak
harus menggambar berdasarkan bentuk yang
sudah disiapkan. Mereka harus mengekspresikan/mengungkapkan bentuk yang ada
menjadi sebuah gambar yang mempunyai arti.
Dari beberapa hasil yang didapatkan, pada
bagian ini anak kurang dapat menggambarkan
dan mengekspresikannya dengan baik.
Sedangkan dalam pengujian bahasa terdapat
pengujian mendengar, berbicara, dan menulis.
Dalam salah satu pengujian berbicara anak
diminta untuk menceritakan kejadian dalam
gambar yang telah disediakan. Untuk hasil
berbicara ini, juga beberapa anak kurang
memuaskan. Perlu adanya stimulasi dan latihan
yang memadai dalam hal mengekspresikan
perasaan mereka sendiri dalam bentuk gambar
dan kemampuan berbicara pada jenjang TK agar
anak mampu dan bisa mengekspresikannya baik
melalui pengujian tertulis maupun kelak dalam
proses belajar di sekolah dasar.
Untuk membuat anak mengerti akan apa
yang dipelajarinya, dalam proses kesiapan
belajar anak usia prasekolah 4-5 tahun guru
dapat menggunakan beberapa pendekatan.
Pendekatan yang digunakan memiliki kontribusi
besar dalam proses belajar mengajar dan transfer
ilmu pengetahuan. Banyak pendekatan yang
dapat diterapkan namun tetap harus dikaitkan
dengan tujuan yang akan dicapai. Kombinasi
beberapa pendekatan juga akan memperkaya
pemahaman anak. Menurut La Iru (2012:4),
pendekatan siswa aktif memandang pembelajaran akan terjadi apabila siswa terlibat aktif dalam
Peran Role Playing Berbasis Komputer
pembelajaran. Dengan menerapkan pendekatan
siswa aktif dalam pembelajaran, guru
hendaknya mengembangkan pembelajaran
yang dapat dijadikan wahana bagi siswa untuk
terlibat aktif dalam memahami kompleksitas
masalah pembelajaran.
Salah satu pendekatan efektif dalam metode
belajar anak prasekolah, yang juga dapat
meningkatkan kesiapan anak secara emosional,
adalah metode simulasi, Dalam proses pembelajaran menggunakan metode ini, kemampuan
anak berkaitan dengan keterampilan berinteraksi
dan berkomunikasi dalam kelompok dibina dan
dikembangkan. Dengan model pembelajaran
Bermain Peran (Role Playing), metode ini
mengutamakan pola permainan dalam bentuk
dramatisasi. Dramatisasi dilakukan oleh
kelompok siswa dengan mekanisme pelaksanaan yang diarahkan oleh guru untuk
melaksanakan kegiatan yang telah ditentukan/
direncanakan sebelumnya (La Iru, 2012:27).
Dalam kaitannya dengan kesiapan belajar
anak prasekolah maka pembelajaran berbasis
komputer dengan model simulasi Role Playing
sangat menarik untuk digunakan. Mengingat
di era digital ini, komputer telah menjadi bagian
hidup masyarakat, tidak hanya orang dewasa,
tetapi juga bagi anak-anak. Semakin banyak
anak yang memiliki akses komputer di rumah
atau di sekolah, memulai banyak pengalaman
dari permainan komputer.
Dewasa ini, pengembangan media sudah
mulai mengarah kepada computer-based
instruction (CBI) yaitu, sistem penyampaian
materi pelajaran yang berbasis microprocessor,
atau lebih dikenal dengan istilah PBK
(pembelajaran berbasis komputer) (Arsyad,
2005). Beberapa penelitian menunjukkan bahwa
PBK mampu memberikan dampak yang
konstruktif dalam memicu motivasi belajar anak.
PBK juga mampu mengakomodasi berbagai
potensi belajar, sehingga sangat cocok bagi kelas
yang memiliki heterogenitas tinggi. Kelebihan
lainnya adalah kemampuan manipulatif,
sehingga penyajian materi bisa lebih efektif dan
efesien (Miarso, 2005).
Berdasarkan latar belakang yang telah
diuraikan sebelumnya, dapat diidentifikasikan
masalah sebagai berikut. Pertama, kesiapan
belajar anak prasekolah dipengaruhi oleh
beberapa faktor, salah satunya adalah
perkembangan emosional anak. Pada usia
prasekolah 4-5 tahun anak belum dapat membuat
persepsi terhadap diri mereka sendiri, memahami perasaan orang lain dan mengekspresikan
perasaan mereka sendiri. Jadi emosi kesiapan
anak ini lebih pada kesiapan mereka dalam
berinteraksi dengan orang lain (egosentris
menurut Piaget dalam tahap pra-operasional)
dan mengungkapkan konsep diri mereka. Kedua,
penerapan model pembelajaran Role Playing
melalui PBK diduga mampu meningkatkan
perasaan emosional positif anak dalam hal
mengekspresikan perasaannya sendiri,
memahami orang lain, dan percaya diri, melalui
simulasi pembelajaran dalam bentuk animasi
yang menjelaskan konten secara menarik, hidup,
dan memadukan unsur teks, gambar, audio,
gerak, dan paduan warna yang sesuai dan
harmonis (Rusman 2012:231).
Penelitian ini merumuskan masalah:
bagaimanakah kematangan emosional anak
sebelum dan sesudah perlakuan dengan model
pembelajaran Role Playing? Apakah model
pembelajaran Role Playing melalui metode PBK
dapat meningkatkan kesiapan belajar anak usia
prasekolah empat sampai lima tahun dilihat dari
kematangan emosionalnya yaitu apakah model
pembelajaran Role Playing dapat meningkatkan
anak mengekspresikan dirinya? Apakah model
pembelajaran Role Playing dapat meningkatkan
anak memahami perasaan orang lain? Apakah
model pembelajaran Role Playing dapat
meningkatkan percaya diri anak? Apakah model
pembelajaran Role Playing dapat meningkatkan
anak untuk mengendalikan diri/perasaannya?
Tujuan penelitian ini secara umum
dimaksudkan untuk memperoleh data dan
informasi tentang seberapa besar peran model
pembelajaran Role Playing melalui pembelajaran berbasis komputer (PBK) dapat
meningkatkan kesiapan belajar anak usia
prasekolah empat sampai lima tahun dilihat dari
kematangan emosionalnya.
Hasil penelitian ini diharapkan dapat
memberikan manfaat bagi pihak-pihak berikut.
1. Bagi Guru dan sekolah
a. Memberikan masukan dan wacana
baru bagi guru bahwa penggunaan
metode mengajar yang bervariasi bukan
Jurnal Pendidikan Penabur - No.24/Tahun ke-14/Juni 2015
29
Peran Role Playing Berbasis Komputer
2.
hanya metode ceramah, dapat meningkatkan kualitas belajar siswa terutama
kesiapan siswa Taman Kanak-Kanak
untuk masuk ke jenjang pendidikan
lebih tinggi.
b. Memberikan informasi terhadap
pembelajaran berbasis komputer dan
kaitannya dengan kesiapan belajar
anak TK, terutama dalam kematangan
emosionalnya.
c. Hasil penelitian ini diharapkan dapat
dijadikan sumbangan dan pertimbangan dalam penyusunan materi pembelajaran berbantuan komputer yang
cocok untuk kesiapan sekolah anak
usia empat sampai lima tahun masuk
dalam jenjang pendidikan lebih tinggi.
Bagi Siswa dan Orang Tua:
a. Mendorong siswa untuk meningkatkan ketrampilan mengekspresikan
atau mengungkapkan perasaannya
yang berkaitan dengan proses dan
kegiatan belajar.
b. Memberikan pengalaman belajar yang
berbeda, menarik dan bermanfaat
dalam mengembangkan keterampilan
mengekpresikan perasaan siswa
melalui pembelajaran berbasis
komputer.
c. Orang tua dapat menumbuhkan sikap
positif dan motivasi belajar yang tinggi
terutama dalam kesiapan anak mereka
untuk belajar pada jenjang yang lebih
tinggi.
Kajian Pustaka
Kesiapan Belajar Anak
Dinyatakan dalam istilah yang sederhana,
kesiapan belajar di sekolah berarti bahwa
seorang anak siap untuk memasuki lingkungan
sosial terutama difokuskan pada pendidikan.
Penelitian telah menunjukkan bahwa banyak
aspek dari kehidupan anak-anak mempengaruhi
persiapan mereka untuk belajar sekolah formal,
termasuk kognitif, sosial, emosional, dan
pengembangan motorik, dan yang paling
penting, pendidikan awal di rumah, orangtua,
dan pengalaman prasekolah. Pertimbangan
30
Jurnal Pendidikan Penabur - No.24/Tahun ke-14/Juni 2015
kesiapan sekolah harus memperhitungkan
jangkauan dan kualitas pengalaman hidup awal
anak-anak, variasi normal yang luas dalam
perkembangan anak dan pembelajaran, dan
sejauh mana harapan sekolah yang sesuai
terhadap murid-murid TK dan menghormati
perbedaan individu (Rafoth, 2004).
Kesiapan didefinisikan sebagai tersiapkan
dan terbekali, siap melakukan, langsung
bertindak, atau menggunakan sesuatu (Seefeldt
& Wasik, 2008:33). Sejalan dengan ini,
Nurkancana (1986), menambahkan bahwa
kesiapan belajar dapat diartikan sebagai
sejumlah tingkat perkembangan yang harus
dicapai oleh seseorang untuk dapat menerima
suatu pelajaran baru. Kesiapan belajar erat
hubungannya dengan kematangan. Kesiapan
untuk menerima pelajaran baru akan tercapai
apabila seseorang telah mencapai tingkat
kematangan tertentu maka ia akan siap untuk
menerima pelajaran-pelajaran baru.
Teori Perkembangan Anak
Salah satu perkembangan anak yang penting
selain perkembangan kognitif, fisik/motorik,
bahasa dan bermain adalah perkembangan
emosi. Pada masa awal kanak-kanak, emosi
anak sangat kuat karena ketidakseimbangan
sehingga mudah terbawa ledakan-ledakan
sehingga sulit untuk dibimbing. Hal ini
dipengaruhi oleh kegiatan terlalu lelah bermain,
tidak mau tidur siang dan makan terlalu sedikit
sehingga ada gangguan fisiologis.
Emosi memegang peranan penting dalam
hidup seorang anak. Setiap bentuk emosi pada
dasarnya membuat hidup terasa lebih menyenangkan. Setiap orang punya kebutuhan memberi dan menerima afeksi. Saat yang terpenting
ketika masa awal kanak-kanak, bila kedua orang
tua kurang memberikan kasih sayangnya maka
anak akan mengalami berbagai macam gangguan. Bila kebutuhan emosional anak terpenuhi
secara seimbang dalam awal kehidup-annya
maka ia akan berkembang menjadi anak yang
mampu mewujudkan potensi secara optimal.
Metode belajar yang menunjang perkembangan emosi menurut Hurlock (1990:214)
terdiri dalam lima metode berikut.
1. Belajar secara coba dan ralat (trial and error
learning) terutama melibatkan aspek reaksi.
Peran Role Playing Berbasis Komputer
2.
3.
4.
5.
Anak belajar secara coba-coba untuk
mengekspresikan emosi dalam bentuk
perilaku yang memberikan pemuasan
terbesar kepadanya dan menolak perilaku
yang memberikan pemuasan sedikit atau
sama sekali tidak memberikan pemuasan.
Cara belajar ini umum digunakan pada
masa kanak-kanak awal dibandingkan
dengan sesudahnya, tetapi tidak pernah
ditinggalkan samasekali.
Belajar dengan cara meniru (learning by
imitation) sekaligus mempengaruhi aspek
rangsangan dan aspek reaksi. Dengan cara
mengamati hal-hal yang membangkitkan
emosi tertentu pada orang lain, anak-anak
bereaksi dengan emosi dan metode ekspresi
yang sama dengan orang-orang yang
diamati.
Belajar dengan cara mempersamakan diri
(learning by identification) sama dengan
belajar secara menirukan yaitu anak
menirukan reaksi emosional orang lain dan
tergugah oleh rangsangan yang sama
dengan rangsangan yang telah membangkitkan emosi orang yang ditiru. Metode ini
berbeda dari metode menirukan dalam dua
segi. Pertama, anak hanya menirukan orang
yang dikagumi dan mempunyai ikatan
emosional yang kuat dengannya. Kedua
ialah, motivasi untuk menirukan orang yang
dikagumi lebih kuat dibandingkan dengan
motivasi untuk menirukan sembarang
orang.
Belajar melalui pengkondisian (conditioning)
berarti belajar dengan cara asosiasi. Dalam
metode ini obyek dan situasi yang pada
mulanya gagal memancing reaksi
emosional kemudian dapat berhasil dengan
cara asosiasi. Metode ini berhubungan
dengan aspek reaksi.
Pelatihan (training) atau belajar di atas
bimbingan dan pengawasan, terbatas pada
aspek reaksi. Kepada anak diajarkan cara
bereaksi yang dapat diterima jika sesuatu
emosi terangsang. Dengan pelatihan, anakanak dirangsang untuk bereaksi terhadap
rangsangan yang biasanya membangkitkan
emosi yang menyenangkan dan dicegah
agar tidak bereaksi secara emosional
terhadap rangsangan yang membangkitkan
emosi yang tidak menyenangkan. Hal ini
dilakukan dengan cara mengendalikan
lingkungan apabila memungkinkan.
Karakteristik Perkembangan Emosional dan
Kematangan Emosi
Pada usia dini anak telah belajar tentang emosi,
walaupun di usia tersebut anak belum dapat
mengerti serangkaian emosi negatif yang
diekspresikan orang lain. Emosi menunjukkan
kondisi perasaan anak. Berbagai emosi yang
diekspresikan anak menunjukkan pada orang
lain, apa yang anak rasakan atau anak inginkan
pada saat tertentu.
Pada usia dua sampai enam tahun anak
mengalami kemajuan pesat dalam kemampuan
menyangkut emosional, yang sering disebut
sebagai kompetensi emosional (Berk 2008:369).
Pertama-tama anak mendapat pemahaman akan
emosi, menjadi mampu berbicara mengenai
perasaan yang dialami, dan mampu merespon
terhadap perasaan orang lain. Selain itu, anak
juga menjadi lebih baik dalam mengatur emosi,
terutama dalam mengatasi emosi negative yang
intens. Selanjutnya, keterampilan emosional
anak akan mencapai tingkat emosi yang disadari
(self-concious emotions) dan empati.
Ditambahkan pula oleh Ostroff (2013:130),
emosi menentukan apakah anak-anak berfokus
pada dan ingat informasi baru atau tidak.
Kemampuan untuk mengenali ekspresi
emosional terkait dengan kompetensi dan
pembelajaran sosial. Juga pengalaman
pembelajaran yang bertahan lama memiliki
makna emosional bagi pembelajarannya.
Hal ini didukung oleh teori pembelajaran
sosial dari Bandura (dalam Hergenhahn dan
Olson, 2009:360) yang mengatakan bahwa
proses mengamati dan meniru perilaku dan
sikap orang lain sebagai model merupakan
tindakan belajar. Teori Bandura menjelaskan
perilaku manusia dalam konteks interaksi timbal
balik yang berkesinambungan antara kognitif,
perilaku dan pengaruh lingkungan. Kondisi
lingkungan sekitar individu sangat berpengaruh
pada pola belajar sosial jenis ini. Bandura juga
percaya bahwa segala sesuatu yang dapat
dipelajari melalui pengalaman langsung juga
bisa dipelajari secara tidak langsung lewat
observasi (Hergenhahn dan Olson, 2009:385).
Jurnal Pendidikan Penabur - No.24/Tahun ke-14/Juni 2015
31
Peran Role Playing Berbasis Komputer
Model Pembelajaran “Role Playing”.
Model pembelajaran Role Playing adalah salah
satu model pembelajaran dari metode simulasi,
yang merupakan latihan menempatkan peserta
didik pada model situasi yang mencerminkan
kehidupan nyata. Simulasi menuntut peserta
didik untuk memainkan peran, membuat
keputusan dan menunjukkan konsekuensi.
Simulasi dapat membantu peserta didik untuk
memahami faktor-faktor penting dalam
kehidupan nyata, apa yang harus dimiliki dan
bagaimana cara memiliki agar bisa menjalankan
kehidupan pada
lingkungan nyata
(Mulyatiningsih, 2012:251).
Menurut La Iru (2012:27) metode simulasi
merupakan salah satu metode mengajar yang
dapat digunakan dalam pembelajaran
kelompok. Proses pembelajaran yang
menggunakan simulasi cenderung objeknya
bukan benda atau kegiatan yang sebenarnya,
melainkan kegiatan mengajar yang bersifat purapura. Dalam pembelajaran, siswa akan dibina
kemampuannya berkaitan dengan keterampilan
berinteraksi dan berkomunikasi dalam
kelompok. Di samping itu, dalam metode
simulasi siswa diajak untuk dapat bermain
peran beberapa perilaku yang dianggap sesuai
dengan tujuan pembelajaran. Selain itu menurut
La Iru (2012:27), dalam bermain peran lebih
menitikberatkan pada tujuan untuk mengingat
(retention) atau menciptakan kembali gambaran
masa silam yang memungkinkan terjadi pada
masa yang akan datang atau peristiwa yang
actual dan bermakna bagi kehidupan sekarang.
Ditambahkan pula oleh Mulyana, 2005
(dalam La Iru, 2012) pembelajaran dengan Role
Playing ada tujuh tahap yaitu pemilihan
masalah, memilih peran, menyusun tahaptahap bermain peran/membuat skenario,
menyiapkan pengamat, tahap pemeranan,
diskusi dan evaluasi serta pengambilan
keputusan. Dari tahapan model pembelajaran
Role Playing ini terutama dalam membuat
skenario untuk dipelajari atau menyusun tahaptahap bermain peran, dapat menggunakan
media komputer sebagai alat bantu. Seperti yang
dikemukakan oleh Suryadi (2002:191) bahwa
komputer bisa memainkan satu topik interaktif
yang menggabungkan kombinasi teks, gambar,
gambar bergerak, dan suara. Didukung pula
32
Jurnal Pendidikan Penabur - No.24/Tahun ke-14/Juni 2015
oleh Miarso (2004:465) yang mengatakan bahwa
komputer adalah media interaktif yang membuat
siswa dapat berinteraksi dengan sebuah
program, berinteraksi dengan mesin (misalnya
mesin pembelajaran, simulator atau terminal
komputer), dan juga dapat mengatur interaksi
antarsiswa secara teratur tetapi tidak terprogram.
Jadi dapat diambil kesimpulan, dalam membuat
atau menampilkan tahap-tahap bermain peran
termasuk percakapan yang akan diucapkan
melalui komputer, penulis akan menggunakan
program komputer yang ada gambar gerak dan
suaranya.
Komunikasi dan Percaya Diri Dalam Role
Playing
Bermain akan membuat siswa dapat melatih
kemampuannya untuk berkomunikasi, juga
emosi merupakan bentuk dari komunikasi, maka
perlu juga diketahui tentang komunikasi.
Komunikasi secara umum adalah proses pengiriman dan penerimaan pesan yang memungkinkan manusia untuk berbagi pengetahuan,
sikap, dan keterampilan. Komunikasi terdiri dari
dua dimensi - verbal dan nonverbal. Komunikasi
nonverbal didefinisikan sebagai komunikasi
tanpa kata-kata. Ini termasuk perilaku jelas
seperti ekspresi wajah, mata, menyentuh, dan
nada suara, serta pesan yang kurang jelas seperti
pakaian, postur dan jarak spasial antara dua
orang atau lebih (GenEducation, 2013).
Dalam berinteraksi dengan orang lain, anak
belajar berkomunikasi. Ini juga yang akan
membangun percaya dirinya. Oleh karena itu,
Role Playing sebagai model pembelajaran sosial
yang melibatkan banyak orang dapat menjadi
tempat berlatih anak-anak untuk dapat mengembangkan komunikasi dan percaya dirinya.
Pembelajaran Berbasis Komputer
Komputer sebagai salah satu bagian dari
rekayasa teknologi mengalami kemajuan yang
sangat pesat. Sebagai alat bantu, komputer
sangat cocok digunakan untuk pengembangan
kognitif anak usia dini yang memerlukan
simulasi, animasi dan visualisasi.
Menurut Rusman (2012:153), pembelajaran
berbasis komputer merupakan program
pembelajaran yang digunakan dalam proses
pembelajaran dengan menggunakan prangkat
Peran Role Playing Berbasis Komputer
lunak komputer (CD pembelajaran) berupa
progam komputer yang berisi tentang muatan
pembelajaran meliputi: judul, tujuan, materi
pembelajaran, dan evaluasi pembelajaran. Hal
tersebut sejalan dengan apa yang dikemukakan
oleh Smaldino, Russel, Heinich, dan Molenda
(2005:29) yang mengatakan bahwa sistem
komputer dapat menyampaikan pembelajaran
secara individual dan langsung kepada para
siswa dengan cara berinteraksi dengan mata
pelajaran yang diprogramkan ke dalam sistem
komputer. Menurut Rusman (2012: 148-149) CD
interaktif dapat digunakan pada pembelajaran
di sekolah sebab cukup efektif meningkatkan
hasil belajar siswa terutama komputer.
Pada dasarnya pembelajaran berbasis
komputer itu diciptakan untuk membantu
proses belajar terutama dalam hal mengatasi
masalah pembelajaran (Darmawan, 2007:192).
Hal ini menunjukkan bahwa penggunaan
pembelajaran berbasis komputer memiliki
kelebihan dibandingkan dengan pembelajaran
konvensional. Hal tersebut memperkuat bahwa
program yang akan dikembangkan akan
membantu proses pembelajaran. Kelebihan
penggunaan komputer dalam pembelajaran
menjadi salah satu indikator dalam pengembangan program e-learning model pembelajaran
berbasis komputer (Rusman 2013:188).
Keuntungan lain penggunaan komputer
dalam proses belajar dapat meningkatkan hasil
belajar dengan penggunaan waktu dan biaya
yang relatif kecil. Contoh yang tepat adalah
program komputer simulasi. Penggunaan
program ini dapat mengurangi biaya bahan dan
peralatan untuk melakukan percobaan (Pribadi
dan Rosita, 2000).
Ditambahkan juga oleh Rusman (2012:231),
model pembelajaran Role Playing merupakan
salah satu pembelajaran dari model simulasi
yang pada dasarnya merupakan salah satu
strategi pembelajaran yang bertujuan
memberikan pengalaman belajar yang lebih
kongkrit melalui penciptaan tiruan-tiruan
bentuk pengalaman yang mendekati suasana
sebenarnya dan berlangsung dalam suasana
yang tanpa risiko. Model simulasi termasuk salah
satu model CBI yang menampilkan materi
pelajaran yang dikemas dalam bentuk simulasi
pembelajaran dengan animasi yang menjelaskan
konten secara menarik, hidup, dan memadukan
unsur teks, gambar, audio, gerak, dan paduan
warna yang serasi dan harmonis.
Kerangka Berpikir
Kesiapan belajar erat hubungannya dengan
kematangan. Teori konstruktivis (teori Piaget dan
teori Vygotsky) tentang pembelajaran dan
kesiapan belajar menempatkan tanggungjawab
baik pada lingkungan (kekuatan eksternal)
maupun pada kematangan dan interaksi antara
keduanya. Seperti yang dikatakan oleh High
(2008), anak siap belajar pada saat mereka
mempunyai tingkat kematangan dengan memiliki pengendalian diri, hubungan sebaya, dan
kemampuan untuk mengikuti petunjuk. Rafort
(2004) juga mendukung, kesiapan belajar anak
mengacu pada pencapaian anak dari satu rangkaian tertentu dari emosi, perilaku, dan keterampilan kognitif yang diperlukan untuk belajar.
Emosi berperan penting bagi anak.
Perkembangan emosional pada masa kanakkanak awal memungkinkan mereka untuk
mencoba memahami reaksi emosional orang lain
dan mulai belajar mengendalikan emosi mereka
sendiri (Santrock, 2009,89). Juga diungkapkan
oleh Hurlock (1990, 241), emosi dapat
mempengaruhi aktifitas mental seperti
konsentrasi, pengingatan, dan penalaran.
Dalam kesempatan itu anak akan menghasilkan
prestasi di bawah kemampuan intelektual
mereka apabila emosi mereka terganggu.
Pada usia dua sampai enam tahun anak
mengalami kemajuan pesat dalam kemampuan
menyangkut emosional, yang sering disebut
sebagai kompetensi emosional (Berk 2008, 369).
Pertama-tama anak mendapat pemahaman akan
emosi, menjadi mampu berbicara mengenai
perasaan yang dialami, dan mampu merespon
perasaan orang lain. Selain itu, anak juga
menjadi lebih baik dalam mengatur emosi,
terutama dalam mengatasi emosi negatif yang
intens.
Kemampuan anak untuk mengenali
ekspresi emosional terkait dengan kompetensi
dan pembelajaran sosial. Teori pembelajaran
sosial yang mendukung hal tersebut
dikemukakan oleh Albert Bandura (dalam
Jurnal Pendidikan Penabur - No.24/Tahun ke-14/Juni 2015
33
Peran Role Playing Berbasis Komputer
Hergenhahn dan Olson 2009: 360), perilaku
manusia ada dalam konteks interaksi timbal
balik yang berkesinambungan antara kognitif,
perilaku, dan pengaruh lingkungan. Kondisi
lingkungan sekitar individu sangat berpengaruh
pada pola belajar sosial jenis ini. Dalam teori ini
anak belajar melalui meniru perilaku orang lain,
dimana dalam prosesnya mempunyai empat
unsur utama, yaitu (1) perhatian, subjek harus
memperhatikan tingkah laku model untuk dapat
memperlajarinya. (2) mengingat, agar informasi
yang sudah diperoleh dari observasi bisa
berguna, informasi itu harus diingat dan
disimpan. (3) reproduksi gerak, setelah
mengetahui atau mempelajari sesuatu tingkah
laku, subjek juga dapat menunjukkan
kemampuannya atau menghasilkan apa yang
disimpan dalam bentuk tingkah laku. (4)
motivasi, hal ini juga penting karena ia penggerak
individu untuk terus melakukan sesuatu.
Oleh karena itu, berdasarkan teori perkembangan anak dan teori tentang pembelajaran
sosial, usia empat sampai lima tahun adalah
usia bermain sambil belajar dan juga untuk
dapat meningkatkan kesiapan anak dalam
belajar secara emosionalnya sehingga perlu
dilatih. Oleh karena itu peneliti akan memberikan perlakuan model pembelajaran Role Playing.
Model pembelajaran Role Playing ini tepat
untuk dapat melihat dan mengamati kematangan emosional anak dalam:
(a) mengekspresi diri, seperti yang diungkapkan oleh Mulyatiningsih (2012,250-251)
bahwa bermain peran sangat potensial
untuk mengekspresikan perasaan dengan
memerankan sebagai tokoh hidup;
(b) memahami perasaan orang lain, juga
dengan menggunakan pendapat Mulyatiningsih (2012, 250-251) bahwa melalui
bermain peran sangat potensial untuk
mengembangkan pemahaman terhadap
perasaan dan perspektif orang lain menurut
variasi kepribadian dan isu sosial;
(c) percaya diri, yang menurut Beaty (2006,67)
bahwa memainkan peran dalam bermain
dramatik dapat juga berpengaruh pada
perilaku ketrampilan emosional anak yaitu
percaya diri; dan
(d) mengendalikan diri/perasaan, berdasarkan
pendapat Hurlock (1990, 231) bahwa
34
Jurnal Pendidikan Penabur - No.24/Tahun ke-14/Juni 2015
individu yang emosinya matang mampu
untuk mengontrol emosi yang dapat
diterima secara sosial dan dengan menggunakan pendapat Suparman (1997,92-93)
bahwa melalui bermain peran dapat
membentuk kesadaran sosial, mengubah
sikap serta mensimulasikan situasi kritis
yang mungkin terjadi dalam kehidupan
nyata maka bermain peran dapat juga
berpengaruh terhadap pengendalian diri/
perasaan.
Di samping itu, dalam role playing pada
tahapan memilih masalah, guru dapat
mengemukakan masalah yang diangkat dari
kehidupan peserta didik agar mereka dapat
merasakan masalah itu dan terdorong untuk
mencari penyelesaiannya. Seperti bermain peran
tentang menjaga kebersihan kelas. Subjek
penelitian diharapkan dapat meningkatkan
kemampuan emosionalnya, dalam hal ini
mampu mengekspresikan diri pada saat sedang
membersihkan kelas, mengontrol emosi agar
tidak berebutan saat membersihkan kotoran/
sampah yang ada di dalam kelas, percaya diri,
juga memahami perasaan orang lain pada saat
mereka sedang memerankan tokoh lain yang ada
dalam cerita.
Selain itu, peneliti juga menggunakan
metode PBK sebagai alat bantu. Metode ini juga
tepat untuk menunjang pembelajaran role
playing dan menciptakan pembelajaran lebih
interaktif. Seperti yang dikatakan oleh Rusman
(2012), salah satu model multimedia interaktif
adalah model simulasi dalam PBK yang pada
dasarnya merupakan salah satu strategi
pembelajaran yang bertujuan memberikan
pengalaman belajar yang lebih kongkrit melalui
penciptaan tiruan bentuk pengalaman yang
mendekati suasana yang sebenarnya.
Metode ini juga tepat untuk membantu guru
dalam membuat skenario dan menyusun tahaptahap role playing, juga bagi siswa agar dapat
lebih memahami peran yang diberikan, karena
dalam pembelajaran berbasis komputer anak
belajar melihat langsung animasi yang
ditampilkan dengan memperhatikan dan
mengingat (Bandura, Hergenhahn dan Olson,
2009), lalu memerankannya, sehingga
diharapkan anak dapat mengekpresikan
dirinya, memahami perasaan orang lain dan
Peran Role Playing Berbasis Komputer
mengkomunikasikannya juga percaya diri dan
mengendalikan dirinya sehingga dapat
meningkatkan kematangan secara emosional
dan berpengaruh pada kesiapan sekolah
mereka.
Pada Gambar berikut dapat dilihat kerangka
berfikir yang dipakai dalam penelitian ini.
Teori Pembelajaran
Sosial–Bandura
(Hergenhahn dan
Olson,2009
deskriptif. Dalam penelitian ini peneliti hanya
mengambil sebagian dari penelitian tersebut,
yaitu perlakuan dan perbandingan kondisi
sebelum dan sesudah perlakuan (pre and posttest) yang menjadikan penelitian ini penelitian
pre-experimental , dengan desain penelitian The
One Group Pretest-Posttest Design (Gay, 2003:372).
Perkembangan emosional
anak – Laura E.Berk
(Berk, 2008, Hurlock 1990
<
Teori Konstruktivisme:
Piaget & Vygotsky untuk
kesiapan belajar dan
perkembangan anak
(Santrock, 2009,
Hurlock,1990, Seefeldt &
Wasik, 2008)
<
>
Penerapan Role Play
Berbasis Komputer
(Ment,1999, La Iru,
2012, Rusman,2012)
>
Terjadi perubahan
emosional yang lebih baik
dalam hal
mengekspresikan diri,
memahami perasaan
orang lain, percaya diri
dan mengendalikan diri
>
Kematangan
emosional untuk
kesiapan belajar
Gambar Model Kerangka Teoritis
Hipotesis
Dengan memperhatikan landasan teori dan
kerangka berfikir di atas, maka dapat diajukan
hipotesis penelitian sebagai berikut:
H1: Peran Role Playing berbasis komputer
dapat meningkatkan kematangan emosional
siswa dalam hal mengekspresikan dirinya
H2: Peran Role Playing berbasis komputer
dapat meningkatkan kematangan emosional
siswa dalam hal memahami perasaan orang lain
H3: Peran Role Playing berbasis komputer
dapat meningkatkan kematangan emosional
siswa dalam hal percaya diri
H4: Peran Role Playing berbasis komputer
dapat meningkatkan kematangan emosional
siswa dalam hal mengendalikan diri/
perasaannya
Dalam penelitian semi-eksperimental ini
variabel yang diteliti adalah kematangan
emosional anak usia 4-5 tahun dalam kegiatan
Role Playing di kelas melalui pembelajaran
berbasis komputer. Peneliti mencoba mengetahui
manfaat kegiatan bermain peran melalui
penggunaan komputer yang belum pernah
dilakukan sebelumnya di kelas TK A maupun
kelas lain di sekolah tempat peneliti melakukan
penelitian.
Pada penelitian ini hanya ada satu
kelompok siswa yang diukur kematangan
emosionalnya melalui pengamatan sebelum dan
sesudah masa intervensi. Peneliti hanya
menggunakan satu kelompok siswa karena
kondisi tempat tidak memungkinkan untuk
membuat dua kelompok siswa di dalam kelas.
Rancangan penelitiannya dapat dilihat
Metode Penelitian
Penelitian ini pada dasarnya merupakan
penelitian kuantitatif yang merupakan penelitian
semi eksperimental (pre-experimental) dalam
bentuk pemaparan hasil pengamatan secara
pada Tabel 1.
Penelitian ini dilakukan di TKK 6 BPK
PENABUR Kelapa Gading. Sekolah ini
menyelenggarakan program usia 4-5 tahun atau
Jurnal Pendidikan Penabur - No.24/Tahun ke-14/Juni 2015
35
Peran Role Playing Berbasis Komputer
Tabel 1: Pre-Experimental One Group
Pretest-Posttest Design
O
X
Pre test:
Kematangaan
emosio-nal
O
Treatment::
Post test:
Model pembelKematangan
ajaran Role Playing emosional
melalui pembelajaran berbasis
komputer
(Sumber: Fraenkel & Wallen,2008:265)
jenjang TK A, dan menyelenggarakan kegiatan
bermain peran dalam kegiatan belajar mengajar.
Kelas yang dipilih adalah kelas TK A (K1-3).
Peneliti memilih sepuluh anak, lima laki-laki dan
lima perempuan, secara acak sesuai dengan
pendekatan purposive random sampling. Profil
singkat subjek penelitian terlihat pada Tabel 2.
Tabel 2: Subjek Penelitian
Nama
Jenis
Kelamin
Usia
AW
Laki-laki
5 tahun 3 bulan
CE
Perempuan
5 tahun 2 bulan
DL
Laki-laki
5 tahun 4 bulan
FA
Perempuan
5 tahun 3 bulan
GN
Laki-laki
5 tahun 4 bulan
CA
Perempuan
4 tahun 6 bulan
MW
Laki-laki
4 tahun 11 bulan
VN
Laki-laki
5 tahun 3 bulan
NA
Perempuan
4 tahun 11 bulan
VI
Perempuan
5 tahun
Catatan: Usia dihitung sampai bulan
Mei 2013.
Penelitian ini dilaksanakan pada semester
genap (term 4) tahun pelajaran 2012/2013.
Waktu penelitian (mulai dari perencanaan,
pelaksanaan dan pelaporan penelitian)
berlangsung dari Februari sampai awal Juni
2013.
36
Jurnal Pendidikan Penabur - No.24/Tahun ke-14/Juni 2015
Prosedur penelitian dilakukan dengan tiga
tahap seperti yang telah diuraikan dalam desain
penelitian yaitu:
(a) melakukan pengukuran awal (pre-test), yang
dilakukan untuk mengetahui kematangan
emosional subjek penelitian awal sebelum
treatment diberikan dengan menggunakan
rubrik observasi. Juga melakukan
wawancara sebagai latar belakang
kematangan emosional subjek penelitian
dengan guru kelas, orangtua subjek peneliti,
dan juga wawancara untuk mengetahui
kemampuan anak dalam pembelajaran
komputer dengan guru computer;
(b) perlakuan pada kelompok eksperimen yaitu
penerapan Role Playing dengan tahapan
menurut Ments (1999:30) sebagai berikut: (1)
menetapkan tujuan yang terintegrasi
dengan program pengajaran; (2)
menetapkan pembatas eksternal, yaitu
menetapkan tempat untuk bermain peran
(dalam penelitian ini tempat penelitian
dilakukan di dalam ruang kelas yang di
setting untuk bermain peran); (3) menyusun
faktor-faktor yang kritis dari permasalahan
yang ada (dalam hal ini mengenai
komunikasi yang akan menunjang
kematangan emosional mereka); (4)
memutuskan tipe atau struktur, seperti
menetapkan peraturan selama bermain
peran, fasilitas yang tersedia untuk Role
Playing juga analisis setelah bermain peran;
(5) memilih paket atau menulis bahan cerita
(Briefing) (Pada tahap ini dilakukan dengan
menggunakan komputer yaitu guru
memperlihatkan CD program pembelajaran
interaktif “Anak Mandiri” dengan animasi
tentang topik yang akan diperankan, yang
juga dikaitkan dengan penerapan program
animasi komputer melalui tahap proses
produksi program menurut Rusman
(2012:234-235), yaitu tahap: Pendahuluan,
berupa menyajikan cerita melalui program
animasi komputer tentang peran yang akan
dimainkan, meliputi: tampilan halaman
judul cerita, petunjuk menggunakan
program,
penyajian
informasi
menggunakan informasi visual seperti teks,
gambar dan image yang dimanipulasi, dan
penutup. Setelah siswa dapat memahami
Peran Role Playing Berbasis Komputer
situasi/masalah yang disajikan, kegiatan
dilanjutkan dengan pemilihan pemeran); (6)
pelaksanaan program, dalam tahap ini
diawali dengan latihan/mencoba terlebih
dahulu, setelah itu dilakukan permainan
ulang di depan kelas dengan perbaikan
seperlunya; (7) proses Debrief, evaluasi
proses permainan yang dilakukan dengan
bertanya langsung kepada pemeran (Juga
refleksi dilakukan terhadap peran yang
dimainkan, apa yang dirasakan siswa
ketika memainkan peran tersebut. Juga
menggambarkan ulang apa yang mereka
lihat dan lakukan dalam bentuk gambar
bebas, setelah itu mereka juga harus
menjawab beberapa pertanyaan yang sama
sehubungan dengan gambar yang mereka
buat); dan (8) follow up dilakukan untuk
mengingatkan anak tentang pentingnya
kegiatan Role Playing yang sudah mereka
lakukan, terutama mengenai sikap-sikap
positif yang sedang mereka lakukan dan
akan terus mereka lakukan; dan
(c) melakukan tes akhir (post-test), untuk
dibandingkan dengan tes awal yang
dilakukan setelah penerapan pembelajaran
menggunakan rubrik observasi. Pengukuran ini dilakukan dengan cara observasi
secara langsung selama tiga hari
pengamatan dengan kegiatan yang berbeda
yang sesuai dengan pembelajaran di kelas.
Alat dan bahan yang digunakan dalam
penelitian ini adalah sebagai berikut.
1.
Beberapa unit komputer dalam ruang
komputer yang berfungsi untuk menampilkan program paket pembelajaran.
2.
CD Program Pembelajaran Anak Mandiri.
Sebagai sarana pembelajaran yang dipakai
untuk proses briefing dalam model
pembelajaran Role Playing.
Penelitian ini menggunakan beberapa
instrumen untuk menjawab pertanyaan
penelitian. Untuk teknik dan instrumen
pengumpulan data yang diperlukan dalam
penelitian ini dilakukan dengan panduan
wawancara dan lembar rubrik observasi
terhadap kematangan emosional siswa yang
dilihat dari empat dimensi emosional anak usia
presekolah terlihat pada Tabel 3.
Sedangkan teknik dan instrumen pengumpulan data untuk perlakuan menggunakan
observasi dengan rubrik observasi untuk
variabel komunikasi yang terdiri atas lima
indikator dalam dua dimensi yaitu komunikasi
non verbal dan komunikasi verbal Tabel 4.
Teknik dan instrumen ini digunakan bersamaan
dengan treatment yang juga akan dicobakan
yaitu Role Playing.
Peneliti melakukan wawancara pertamatama dengan menyeleksi orang-orang yang
dapat memberikan informasi yang diperlukan
peneliti. Mereka adalah guru kelas, guru komputer dan orang tua. Teknik wawancara yang dipilih adalah wawancara terbuka dan pertanyaan
sudah ditentukan sebelumnya, tetapi jawaban
dapat diberikan bebas, tidak terikat.
Penelitian ini menggunakan interrater
reliability atau interjudge reliability. Pengambilan
nilai dilakukan oleh lebih dari satu orang, dalam
hal ini dua orang yaitu peneliti dan satu orang
guru kelas. Untuk mengetahui kekonsistenan
penilaian dari tiap indikator dari dua orang
penilai tersebut akan menggunakan uji Cohan
Kappa dengan SPSS versi 16 dengan value
menurut Landis, J.R., Koch, G.G. (1977, 33:159174) sebagai berikut.
0,0 – 0,20 slight agreement
0,21 – 0,40 fair agreement
0,41 – 0,60 moderate agreement
0,61 – 0,80 substantial agreement
0,81 – 1,0 almost perfect or perfect agreement
Untuk melihat perbedaan yang signifikan
antara pengukuran awal dan pengukuran akhir
keempat dimensi kematangan emosional
digunakan analisis statistik non parametrik Uji
Wilcoxon Signed Rank Test dengan menggunakan
SPSS versi 16 serta dianalisis secara deskriptif
kuantitatif dan semi kualitatif berdasarkan tiap
indikator kematangan emosional maupun rubrik
observasinya dengan wawancara dan hasil
portofolio anak.
Sedangkan pengaruh Role Playing
terhadap kematangan emosional anak dapat
dilihat dari data deskritif dengan perhitungan
persentasi antara komunikasi verbal dan non
verbal secara deskriptif kualitatif berdasarkan
hasil wawancara.
Jurnal Pendidikan Penabur - No.24/Tahun ke-14/Juni 2015
37
Peran Role Playing Berbasis Komputer
Tabel 3: Teknik dan Instrumen Pengumpulan Data
Varia-bel
Kema-tangan
emosional
Dimensi
Sumber
Data
Instrumen
Anak mampu
mengekpresikan emosi
yang sesuai
dengan
kondisi yang
ada
Anak dapat
mengekspresikan diri dalam bentuk
gerak sederhana dengan
irama musik
Anak dapat
mengekspresikan gerakan
sesuai
dengan lagu
atau cerita
Wawan-cara,
Observasi
Panduan
wawancara, Rubrik
observasi
Orangtua,
guru kelas
PerMen 58,
2009,
Kurikulum
2004
Pretest
posttest
Memah- ami
perasaan
orang
lain
dengan
menunjukkan
kepedulian
Anak
senang
menolong
Anak mau
meminta
maaf
Anak mau
mengajak
teman
bermain
Wawan-cara,
Observasi
Panduan
wawancara, Rubrik
observasi
Orangtua,
guru kelas
PerMen 58,
2009,
Kurikulum
2004
Pretest
posttest
Percaya
diri
Menunjuk
kan kebanggaan terhadap hasil
kerjanya
Mampu
mengerjakan tugas
sendiri
Wawan-cara,
Observasi
Panduan
wawancara, Rubrik
observasi,
Portofolio
Orangtua,
guru kelas
PerMen 58,
2009,
Kurikulum
2004
Pretest
posttest
Anak sabar
menunggu
giliran
Berhenti
bermain
pada
waktunya
Wawan-cara,
Observasi
Panduan
wawancara, Rubrik
observas
Orangtua,
guru kelas
PerMen 58,
2009,
Kurikulum
2004
Pretest
posttest
-
-
-
-
-
Mengen- dalikan
diri/perasaan
-
Referensi
Pelaksanaan
Teknik
Mengekspresikan
diri
Indikator
(Sumber indikator dari Standar kompetensi TKK dan Raudhatul Athfal, kurikulum 2004,
DePeNas, 2004 dan Peraturan Mentri Pendidikan Nasional, No.58 tahun 2009, Standar
PAUD).
38
Jurnal Pendidikan Penabur - No.24/Tahun ke-14/Juni 2015
Peran Role Playing Berbasis Komputer
Tabel 4. Teknik dan Instrumen Pengumpulan Data dalam Role Playing
Variabel
Dimensi
Komunikasi
Non
Verbal
-
Verbal
Indikator
Teknik
Instrumen
Sumber
Data
Ekpresi/
roman wajah
Menunjukkan
gerakan-gerakan anggota
tubuh
Observasi
Rubrik
observasi
Guru
kelas
Hurlock,1998:182
Kurikulum
2004
Treatment
Observkejadian yang asi
dilakukan
secara
sederhana
dalam role
playing
Menjawab
pertanyaan
tentang
informasi
dalam
roleplaying
secara
sederhana
Bercerita
tentang
gambar yang
dibuat
Rubrik
observasi
Guru
kelas
Kurikulum
2004
Treatment
- Menceritakan
-
-
Referensi
Pelaksanaan
(Sumber indikator dari Standar kompetensi TKK dan Raudhatul Athfal, Kurikulum 2004,
DePeNas, 2004 dan Hurlock 1998:180-183 untuk komunikasi ekspresi/roman wajah).
Hasil Penelitian
Dari total sampel yang diteliti yang berusia di
antara 5 tahun dan 5 bulan yaitu sebanyak 7
anak (70%), dan selebihnya berusia antara 4
tahun dan 4 bulan sebanyak 3 anak (30%). Asal
sekolah sampel penelitian pada saat awal masuk
jenjang TK A diketahui bahwa siswa lama (siswa
yang mengikuti program pembelajaran dari
jenjang PG (Play Group) atau kelompok bermain
di sekolah tempat penelitian) sebanyak 6 siswa
(60%), dan siswa baru (bukan berasal dari
sekolah yang sama) sebanyak 3 siswa (30%).
Sedangkan siswa yang belum pernah mengikuti
pembelajaran di Taman Kanak-Kanak sama
sekali sebanyak 1 siswa (10%).
Dilihat dari perilaku emosional sampel
pada semester I tahun ajaran 2012-2013 (Juli –
Desember 2012), kecenderungan anak yang
mempunyai perilaku emosional yang positif
yaitu percaya diri dan ceria sebanyak 5 anak
(50%), sedangkan anak yang terlihat mempunyai
perilaku emosional cenderung negatif yaitu
kurang percaya diri dan masih suka menangis
sebanyak 5 anak (50%).
Berikut adalah hasil perhitungan interrater
reliability saat pengukuran awal untuk variabel
kematangan emosional dengan empat dimensinya:
- Mengekspresikan diri Kappa value 0,467 moderate agreement
- Memahami Perasaan Orang Lain Kappa value
0,318 fair agreement
- Percaya Diri Kappa value 0,394 fair agreement
- Mengendalikan Diri/perasaan Kappa value
0,467 moderate agreement
Dari hasil pengukuran ini didapati bahwa
terdapat agreement yang sedang ini berarti bahwa
alat ukur yang digunakan cukup konsisten dan
bisa dipercaya.
Jurnal Pendidikan Penabur - No.24/Tahun ke-14/Juni 2015
39
Peran Role Playing Berbasis Komputer
Statistik Deskriptif Variabel Kematangan
Emosional
Nilai pengukuran awal dan akhir diperoleh dari
jumlah skor penilaian dalam rubrik observasi
dengan melakukan pengamatan selama proses
penerapan pembelajaran berlangsung di kelas
K1.3. Rubrik observasi ini berdasarkan indikator
kematangan emosional yang terdiri dari sepuluh
indikator dalam empat dimensi yaitu dimensi
mengekspresikan diri dengan indikator mengekspresikan emosi yang sesuai dengan kondisi
yang ada (senang, sedih, dan sebagainya),
mengekspresikan diri dalam bentuk gerak
sederhana dengan irama musik dan mengekspresikan gerakan sesuai dengan cerita. Dimensi
memahami perasaan orang lain dengan indikator senang menolong, mau memberi maaf, dan
mengajak teman bermain. Dimensi percaya diri
dengan indikator menunjukkan kebanggaan
terhadap hasil kerjanya dan mampu mengerjakan tugas sendiri. Dimensi mengendalikan diri
atau perasaan dengan indikator sabar
menunggu giliran dan berhenti bermain pada
waktunya. Data hasil pengukuran awal dan
akhir digunakan untuk mengetahui selisih
perbedaan kematangan emosional siswa setelah
penerapan dengan model pembelajaran Role
Playing.
Kategori penilaian persentasi untuk
kematangan emosional adalah sebagai berikut.
10 – 40
: rendah
>40 – 70
: sedang
>70 – 100 : tinggi
Untuk mengetahui nilai empat dimensi
kematangan emosional sebelum dan sesudah
perlakuan berdasarkan hasil nilai persentasi
pengukuran awal dan pengukuran akhir dirangkum dalam Tabel 5 berserta analisisnya.
Hasil total pengukuran awal dengan jumlah
sebesar 28 poin dari total nilai maksimum 40
poin adalah sebesar 70%, menunjukkan kematangan emosional anak pada awal sebelum
perlakuan adalah sedang. Pengukuran akhir
dengan jumlah sebesar 31,1 dari total nilai
maksimum 40 poin adalah 78%, menunjukkan
kematangan emosional anak setelah perlakuan
adalah tinggi. Yang berarti ada peningkatan
kematangan emosional anak setelah diberi
perlakuan.
Hasil Uji Hipotesis Penelitian
Pengujian hipotesis digunakan untuk menguji
hipotesis seperti yang diajukan pada Kajian
Pustaka bagian hipotesis. Untuk mengetahui
apakah ada perbedaan yang signifikan antara
hasil pengukuran awal dan akhir maka
dilakukan uji statistik terhadap data pretest dan
posttest yaitu dengan uji Wilcoxon Signed Ranks
Test. Ini merupakan pengujian terhadap
Tabel 5: Perbandingan Rata-Rata Skor Awal dan
Skor Akhir pada Kematangan Emosional
Demensi
Kematangan
Emosional
Rata-rata
Nilai
Pretest
Rata-rata
Nilai
Postest
Selisih
Score
Maximum
%
Awal
%
Akhir
Mengekspresikan
diri
9,2
9,5
0,3
12
77
79
Memahami
perasaan orang
lain
7,1
8,4
1,3
12
60
70
Percaya diri
6,2
6,7
0,5
8
78
84
Mengedalikan
diri/perasaan
5,5
6,5
1
8
69
81
Total
28
31,1
3,1
40
70
78
Sumber : Hasil Pengolahan Data (2013)
40
Jurnal Pendidikan Penabur - No.24/Tahun ke-14/Juni 2015
Peran Role Playing Berbasis Komputer
Tabel 6: Hasil Uji Wilcoxon Terhadap Pretest
dan Posttest Kematangan Emosional
Hasil Uji
Wilcoxon
Signed Ranks
Test
Kesimpulan
Hipotesis
Mengekspresikan
Diri
Asymp.Sig = ,726
p > ,05
Terima Ho
Memahami
perasaan orang
lain
Asymp.Sig
=,026
p < ,05
Tolak Ho
Percaya Diri
Asymp.Sig
=,129
p > ,05
Terima Ho
Mengendalikan
diri/perasaan
Asymp.Sig
=,004
p < ,05
Tolak Ho
Total
Asymp.Sig
=,007
p < ,05
Tolak Ho
Demensi
Kematangan
Emosional
Sumber : Hasil Pegolahan Data SPSS 16 (2013)
hipotesis mengenai kematangan emosional anak
pada pengukuran awal dan pengukuran akhir.
Hasil pengujian pada Tabel 6 menunjukkan
bahwa nilai total kematangan emosional adalah
p =,007 < ,05 yang berarti, ada perbedaan yang
signifikan antara hasil pengukuran awal dan
pengukuran akhir, dengan demikian Ho ditolak.
Yang berarti, ada peningkatan kematangan
emosional anak sesudah perlakuan.
Mengekspresikan Diri
Tabel 6 memperlihatkan dimensi mengekspresikan diri menunjukkan p =,726 > .05 yang berarti
bahwa tidak ada perbedaan yang signifikan
antara hasil pengukuran awal dan pengukuran
akhir, dengan demikian Ho diterima. Yang
berarti, tidak ada peningkatan mengekspresikan
diri anak sesudah perlakuan.
Memahami Perasaan Orang Lain
Dari tabel 6 juga terlihat, dimensi memahami
perasaan orang lain menunjukkan p=,026 < .05
yang berarti bahwa ada perbedaan yang signi-
fikan antara hasil pengukuran awal dan
pengukuran akhir, dengan demikian Ho ditolak.
Yang berarti, ada peningkatan memahami
perasaan orang lain pada anak sesudah
perlakuan.
Percaya Diri
Sedangkan untuk dimensi percaya diri
menunjukkan p=,129 > .05 yang berarti, tidak
ada perbedaan yang signifikan antara hasil
pengukuran awal dan pengukuran akhir,
dengan demikian Ho diterima. Yang berarti,
tidak ada peningkatan percaya diri anak
sesudah perlakuan.
Mengendalikan Diri/Perasaan
Dimensi mengendalikan diri menunjukkan
p=,004 < 0,05 yang berarti, ada perbedaan yang
signifikan antara hasil pengukuran awal dan
pengukuran akhir, dengan demikian Ho ditolak.
Yang berarti, ada peningkatan mengendalikan
diri/perasaan anak sesudah perlakuan.
Kesimpulannya, ada peningkatan sesudah
perlakuan terutama untuk memahami perasaan
orang lain dan mengendalikan diri sedangkan
untuk mengekpresikan diri dan percaya diri
tidak mengalami peningkatan. Juga untuk total
kematangan emosional mengalami peningkatan.
Statistik Deskriptif untuk Perlakuan Role
Playing
Dalam penelitian ini, rubrik observasi yang
berdasarkan indikator komunikasi terdiri atas
lima indikator dalam dua dimensi yaitu
komunikasi non verbal dan verbal. Berikut
adalah hasil perhitungan interrater reliability
yang dilakukan selama perlakuan:
Komunikasi Non Verbal Kappa value 0,868
perfect agreement
Komunikasi verbal Kappa value
0,494
moderate agreement
Dari hasil pengukuran ini didapati bahwa
terdapat agreement yang baik sekali, ini berarti
bahwa alat ukur yang digunakan konsisten dan
bisa dipercaya.
Untuk mengetahui besarnya persentasi
perbedaan jumlah total nilai dan rata-ratanya
dapat dilihat pada Tabel 7.
Hasil persentasi rata-rata untuk komunikasi verbal sebesar 10 (83%) lebih besar dari
Jurnal Pendidikan Penabur - No.24/Tahun ke-14/Juni 2015
41
Peran Role Playing Berbasis Komputer
Tabel 7. Persentasi Rata-rata
Komunikasi dalam Role Playing
Komunikasi
Non verbal
Verbal
Total
Rata-rata
Total Skor
%
6,4
10
8
12
80
83
16,4
20
82
Sumber: Hasil Pengolahan Data (2013)
persentasi rata-rata komunikasi nonverbal yaitu
sebesar 6,4 (80%). Hal ini berarti, anak lebih
banyak menggunakan bahasa verbal dari pada
non verbal. Terlihat juga bahwa persentasi total
rata-rata adalah 16,4 (82%). Hal ini
menandakan, komunikasi dalam Role Playing
sangat efektif walaupun pada saat awal
memainkannya mereka masih bingung dan lupa
dialog apa yang akan dikatakan tetapi setelah
tiga kali latihan sebelum melakukan Role Playing
sesungguhnya dan dua kali melihat simulasi
percakapan melalui komputer dengan program
CD interaktifnya, barulah anak dapat
mengucapkan dialog dengan lancar.
Di samping itu, komunikasi ini juga sangat
efektif terlihat dari salah satu item dalam
indikator verbal bahwa anak dapat bercerita
dengan percaya diri dengan poin tertinggi 4. Hal
ini didasarkan pada pendapat Seefeldt & Wasik
(2008:169), bahwa anak –anak yang memiliki
kepercayaan diri yang mantap umumnya
adalah pribadi yang bisa dan mau belajar, dapat
mengendalikan perilaku mereka sendiri, dan
berhubungan dengan orang lain secara efektif.
Berdasarkan hal tersebut juga secara langsung
dapat mempengaruhi emosi anak terutama
mengendalikan diri/perasaan dan memahami
perasaan orang lain, yang pada awalnya mereka
tidak mengerti dan tidak perduli terhadap orang
lain karena masih ada sikap egosentris yang
besar menjadi lebih perhatian dan sabar
terhadap orang lain. Didukung pula dari hasil
wawancara tambahan dengan guru perpustakaan yang secara rutin (setiap hari Jumat)
mengajarkan anak-anak untuk berani bercerita
di depan anak yang lain, terbukti bahwa
kesepuluh anak ini mampu bercerita dengan
baik yaitu bersuara lantang tanpa malu-malu
dan dapat bercerita berurutan dari awal sampai
akhir dengan sedikit bantuan dari guru.
42
Jurnal Pendidikan Penabur - No.24/Tahun ke-14/Juni 2015
Hasil Wawancara Sebagai Latar Belakang
Emosional Anak
Tanggapan guru kelas terhadap perilaku
emosional anak
Untuk mengetahui latar belakang keadaan
emosional kesepuluh anak sebagai subjek
penelitian, maka dilakukan wawancara dengan
nara sumber OL sebagai guru kelas yang
mengajar di kelas K1.3 selama tahun ajaran 20122013. Menurut guru OL, empat di antara
sepuluh anak sebagai sebjek penelitian adalah
anak baru yang saat jenjang KB bukan berasal
dari sekolah TKK 6 PENABUR Kelapa Gading
bahkan ada satu anak belum pernah sekolah di
jenjang KB manapun. Sedangkan enam anak
lainnya berasal dari jenjang KB di sekolah yang
sama. Pertanyaan untuk perilaku emosional
anak pada awal ketika sekolah jenjang TK A
dimulai, dijawab bahwa dari keenam anak yang
lama, terlihat senang, aktif dan percaya diri
karena sudah terbiasa dengan teman dan
lingkungan sekolahnya. Sedangkan keempat
anak yang baru terlihat ada yang masih
menangis, kurang percaya diri, pendiam dan
cenderung kasar (suka memukul).
Setelah kesepuluh anak ini sudah bisa
beradaptasi dan mengikuti rutinitas kegiatan di
kelas yang baru, maka perilaku emosional yang
terlihat untuk pertanyaan mengekspresikan diri
adalah kesepuluh anak ini mampu mengekspresikan emosi mereka sesuai dengan kondisi
yang ada seperti senang sedih, dan seterusnya,
tetapi tiga di antara anak tersebut dalam
mengekspresikan emosinya masih tergantung
dari suasana hatinya.
Untuk menjawab pertanyaan mengenai
memahami perasaan orang lain dengan
menunjukkan kepedulian, seperti senang
menolong, minta maaf, bermain bersama teman,
dijawab bahwa hanya ada tiga anak yang bisa
melakukannya secara spontan dan senang
membantu temannya sedangkan ketujuh anak
lainnya bisa melakukannya tapi dengan motivasi dan arahan guru, bahkan masih ada yang
pilih-pilih teman yang akan diajak bermain.
Menurut narasumber guru OL, kesepuluh
anak ini semuanya terlihat percaya diri setelah
beradaptasi dengan lingkungan dan rutinitas
sekolah. Yang berarti mereka senang dalam
mengikuti semua pelajaran yag diberikan, tidak
Peran Role Playing Berbasis Komputer
takut atau malu dalam menjawab pertanyaan
atau melakukan kegiatan yang diperintahkannya.
Untuk menjawab pertanyaan tentang
mengendalikan diri/perasaan saat menunggu
giliran dan berhenti bermain pada waktunya,
nara sumber guru OL setuju bahwa masih ada
anak yang harus diingatkan untuk berhenti
bermain pada waktunya dan masih ada yang
berebut mainan atau tidak sabar menunggu
giliran terutama dalam barisan saat mencuci
tangan. Hanya ada tiga anak yang sudah sabar
dan bertanggung jawab dalam bermain, juga
bisa mengendalikan dirinya.
Ditanyakan juga mengenai perilaku
emosional anak yang paling menonjol (positif),
dijawab bahwa AW dapat mengeskpresikan
emosinya sesuai dengan kondisi yang ada, CE
anak yang ceria dan ramah, DL anak yang
bertanggung jawab dan fokus pada pelajaran,
FA anak yang cerdas karena mempunyai
pikiran-pikiran yang melampaui anak
seusianya, GN senang bereksplorasi dengan
benda-benda di sekitarnya, CA anak yang ceria
dan antusias dengan pembelajaran di kelas, MW
anak yang ramah dan suka menolong, VN anak
yang mandiri dan senang berinteraksi dengan
teman-temannya, NA anak yang mandiri dan
antusias dalam belajar, dan VI dapat menguasai
dirinya atau mengendalikan emosinya, tidak
mudah terpengaruh dengan hal-hal negatif yang
dilihat.
Mengenai pertanyaan terakhir yang
merupakan kesimpulan dari pengamatan
emosional kesepuluh anak tersebut yaitu apakah
anak sudah dapat dikatakan siap untuk belajar
di sekolah jenjang lebih tinggi dikaitkan dengan
kematangan emosionalnya? (dijawab setelah
melakukan treatment) Narasumber guru OL
setuju bahwa kesepuluh anak tersebut sudah
siap untuk mengikuti kegiatan pembelajaran di
jenjang sekolah lebih tinggi karena adanya sikap
antusias belajar, sudah bisa diarahkan, senang
menyelidiki hal-hal baru dan bisa fokus pada
tugas dan tanggungjawab, apalagi setelah
mereka melakukan Role Playing, percaya diri
semakin bertambah dan sikap mau memahami
orang lain (seperti menolong teman dan meminta
maaf) bisa spontan langsung mereka lakukan
tanpa disuruh dan diingatkan oleh guru.
Tanggapan orangtua terhadap perilaku
emosional anak
Untuk mengetahui tanggapan orangtua
terhadap perilaku emosional anak di rumah,
dilakukan wawancara terhadap sepuluh
orangtua dari sepuluh subjek penelitian yang
dilakukan secara terpisah. Untuk menjawab
tentang perilaku emosional anak di rumah,
sebagian besar mereka berkata, anak mereka
sudah mandiri dan sudah tidak berteriak-teriak
atau menangis menjerit-jerit lagi. Anak bisa
mengekspresikan emosinya dengan baik tetapi
kadang-kadang masih suka menangis untuk halhal tertentu saja, seperti masih mengantuk tapi
harus pergi sekolah (hanya dua anak dari
sepuluh anak).
Untuk memahami perasaan orang lain,
sebagian besar anak sudah mau mengucapkan
terima kasih dan meminta maaf tapi masih ada
juga yang suka berebut mainan dengan kakak
atau adiknya. Hanya ada dua orangtua yang
sangat yakin kalau anak mereka suka mengalah
dan selalu mengucapkan terima kasih dan
meminta maaf apabila melakukan kesalahan
tanpa disuruh.
Kesepuluh orangtua setuju, anak mereka
sudah menunjukkan percaya diri terutama pada
saat diajak ke rumah saudara, bertemu orang lain
atau mau mengikuti kegiatan yang sifatnya
perlombaan atau pertunjukkan, tapi masih ada
beberapa orangtua yang menjawab kalau anak
mereka sudah menunjukkan percaya diri tapi
masih butuh waktu untuk beradaptasi.
Dalam menjawab pertanyaan tentang
mengendalikan diri, beberapa orangtua berkata,
anak mereka bisa mengerti atau menurut dan
mengendalikan dirinya bila tidak mendapatkan
apa yang mereka inginkan saat itu juga (ingin
beli mainan). Tetapi ada dua orangtua yang
berkata anak mereka masih tidak mau kalah dari
saudaranya dan kadang-kadang masih suka
ngambek.
Pertanyaan terakhir berhubungan dengan
tersedianya komputer/laptop di rumah,
kemampuan anak dalam menggunakannya dan
intensitas penggunaannya. Semua orangtua
menjawab bahwa di rumah punya komputer/
laptop dan anak bisa menggunakannya dengan
baik. Mereka bisa membuka, mencari program
sendiri terutama untuk games dan menggunakan
Jurnal Pendidikan Penabur - No.24/Tahun ke-14/Juni 2015
43
Peran Role Playing Berbasis Komputer
keyboard dan mouse dengan fasih. Untuk intensitas penggunaannya, kesepuluh orangtua
tersebut setuju memberikan batasan waktu
dalam bermain dengan komputer/laptop/i-pad.
Anak diberi kebebasan menggunakannya pada
saat akhir pekan (Sabtu dan Minggu) saja, tetapi
ada juga yang memberikan ijin bermain laptop/
i-pad pada hari biasa hanya dibatasi waktu dan
juga tidak pada saat jam sekolah. Mereka juga
berkata, anak mereka bisa mengerti dan mengendalikan dirinya untuk tidak terus bermain
games.
Tanggapan guru komputer terhadap pelajaran
komputer
Untuk mengetahui kondisi emosional anak pada
saat belajar dengan menggunakan komputer,
dilakukan wawancara dengan nara sumber
guru MA, sebagai guru komputer di sekolah
tempat penelitian dilakukan. Pelajaran komputer
diberikan sekali dalam seminggu, dengan
metode pembelajaran drill and practice , yang
sering digunakan dan disesuaikan dengan
tingkat kemampuan anak dan kebutuhan
pembelajaran.
Nara sumber guru MA mengatakan, semua
anak sudah dapat mengenal dan mengerti
kegunaan komputer bahkan semua anak sudah
dapat mengetik nama mereka sendiri tapi masih
dengan dua jari. Menjawab sikap anak saat
belajar program komputer, disebutkan hanya
satu anak saja yang kurang percaya diri
selebihnya percaya diri dan antusias. Sedangkan
untuk ekspresi emosi anak ketika tidak dapat
menjalankan program yang ada, dijawab dari
kesepuluh anak, enam anak gelisah dan
langsung bertanya, empat anak lainnya tetap
tenang lalu bertanya. Mengenai kesiapan belajar
anak yang dikaitkan dengan kematangan
emosionalnya dengan menggunakan program
komputer, narasumber guru MA menjawab
kesepuluh anak sudah siap untuk belajar.
Pembahasan
Dari hasil pengujian hipotesis tentang
kematangan emosional untuk dimensi
mengekspresikan diri, tidak ada pengaruh yang
signifikan antara pengukuran awal dan
pengukuran akhir p=,726 >.05. Ini berarti bahwa
44
Jurnal Pendidikan Penabur - No.24/Tahun ke-14/Juni 2015
tidak ada peningkatan mengekspresikan diri
anak sesudah perlakuan bermain peran (Role
Playing). Anak sudah dapat mengekspresikan
diri berdasarkan kategori yang sudah
ditentukan. Ketidaksignifikanan ini disebabkan
ada beberapa anak yang sudah dapat mencapai
skor maksimal pada pengukuran awal dan anak
sudah dapat mengekpresikan emosi dengan baik
dengan skor tertinggi pada saat treatment dengan
indikator komunikasi non verbal yaitu ekspresi/
roman wajah melalui Role Playing. Dikaitkan
juga dengan hasil wawancara dengan guru
kelas, orangtua, dan guru komputer bahwa
sebagian besar anak-anak subjek penelitian
sudah memiliki kemampuan mengekspresikan
dirinya yang tinggi. Juga adanya kesempatan
mengekspresikan diri dalam pelajaran dan
mengikuti pertunjukan yang sering mereka ikuti
membuat mereka sudah tidak canggung lagi
dalam mengekspresikan diri mereka. Apabila
dikaitkan dengan pendapat Lane (2008) bahwa
fungsi ekspresi wajah adalah menekankan kata
yang diucapkan, melengkapi komunikasi verbal,
dan mengarahkan alur komunikasi, maka pada
dimensi mengekspresikan emosi ini dapat
disimpulkan, anak sudah dapat melakukannya
sendiri tanpa di suruh guru. Didukung pula oleh
nilai akhir komunikasi yang juga tinggi untuk
komunikasi non verbal terutama ekspresi/roman
wajah.
Hasil yang tidak signifikan ini juga dapat
disebabkan karena penggunaan program CD
interaktif yang ada kurang menantang anak
untuk dapat mengekspresikan dirinya lebih lagi.
Didukung pula dari hasil validasi oleh expert
judgement dari dosen UPH yang memberikan
penilaian sedang, dan harus ada perbaikan. Ini
berarti, program simulasi yang ditampilkan
tidak dapat meningkatkan ekspresi anak dalam
bermain peran.
Hasil pengujian hipotesis tentang
memahami perasaan orang lain, ada perbedaan
yang signifikan antara hasil pengukuran awal
dan pengukuran akhir p=,026 < .05. Berarti, ada
peningkatan memahami perasaan orang lain
pada anak sesudah perlakuan. Hal ini dapat
didukung oleh hasil penilaian pada indikator
komunikasi verbal, dimana frekuensi mendapat
nilai tertinggi ada pada lima anak dari sepuluh
anak yang diteliti, yaitu dapat bercerita semua
Peran Role Playing Berbasis Komputer
bentuk gambar dengan percaya diri. Artinya,
anak dapat melakukannya dengan antusias
seperti yang dikatakan Seefeldt & Wasik
(2008:169), anak yang memiliki kepercayaan diri
yang mantap umumnya adalah pribadi yang
bisa dan mau belajar, dapat mengendalikan
perilaku mereka sendiri, dan berhubungan
dengan orang lain secara efektif. Kelima anak
tersebut dapat menceritakan kejadian yang
dilakukan dalam Role Playing secara sederhana
dan bercerita tentang gambar yang mereka buat
pada proses debriefing, yang berarti bahwa
mereka sudah dapat memahami perasaan orang
lain melalui kejadian yang mereka alami sendiri
maupun orang lain dalam peran yang
dimainkan yang membantu anak untuk bisa
berbagi perasaan dengan orang lain.
Didukung pula oleh Berk (2008:369),
mengenai kemampuan emosional sebagai
kompetensi emosional, dimana setelah anak
mendapatkan pemahaman akan emosi, anak
menjadi mampu berbicara mengenai perasaan
yang dialami dan mampu merespon terhadap
perasaan orang lain. Sedangkan menurut Monks
(2006:146), gambar anak sering dipakai sebagai
alat diagnostik dasarnya adalah bahwa anak
mengeluarkan perasaan dan pengalaman
melalui gambarnya. Selain itu gambaran anak
juga merupakan tolak ukur perkembangan
kecerdasan yang dapat memberikan pengertian
akan kualitas pengamatan kritis anak.
Dapat ditambahkan dan disimpulkan pula,
melalui bermain peran yang adalah pembelajaran sosial, anak dapat belajar dengan meniru
perlakuan orang lain melalui peran yang
dimainkan Hal ini dapat membantu anak lebih
mudah memahami perasaan orang lain
sehingga meningkatkan kepekaannya untuk
memahami perasaan orang lain.
Hasil uji hipotesis tentang percaya diri,
tidak ada perbedaan yang signifikan antara hasil
pengukuran awal dan pengukuran akhir p=,129
> .05, yang berarti tidak ada peningkatan percaya
diri anak sesudah perlakuan. Hal ini juga dapat
dilihat dari Tabel 5 tentang data rata-rata skor
awal yang didapatkan dibandingkan dengan
skor maksimum yang didapat untuk percaya diri
mempunyai selisih yang kecil. Sama dengan
mengekspresikan diri dan didukung oleh hasil
wawancara dengan guru kelas, anak sudah
mempunyai kepercayaan diri yang baik
sehingga tidak ada pengaruh yang signifikan
dengan bermain peran. Walaupun pada awal
pembelajaran percaya diri anak masih kurang
dan hasil wawancara dengan guru komputer
juga mengatakan bahwa masih ada anak yang
kurang percaya diri saat bermain komputer, hal
ini dapat dijelaskan karena waktu untuk
melakukan percobaan dan anak untuk beradaptasi perlu waktu lebih panjang, yang membuat
selisih poin yang didapat tidak berbeda besar.
Hasil uji hipotesis tentang mengendalikan
diri/perasaan, ada perbedaan yang signifikan
antara hasil pengukuran awal dan pengukuran
akhir p=,004 < 0,05, yang ber arti ada
peningkatan mengendalikan diri/perasaan
anak sesudah perlakuan. Ini menunjukkan,
dengan bermain peran (Role Playing) anak dapat
meningkatkan pengendalian diri mereka. Saat
bermain peran, anak secara bergantian berbicara
dan ada aturan main yang jelas, sehingga anak
dapat belajar sabar untuk menunggu gilirannya
berbicara, seperti menurut Seefeldt & Wasik
(2008:76), pada usia lima tahun anak senang
untuk bicara, mereka belajar kebiasaan bercakapcakap dan agak jarang memotong percakapan,
belajar antri, dan mendengar orang lain yang
sedang bicara. Dikaitkan dengan program CD
interaktif yang menggunakan model pembelajaran komputer, dalam proses briefing sebagai
pengganti skenario, anak melihat langsung
peran yang akan dimainkan melalui simulasi
dalam komputer masing-masing. Hal ini dapat
melatih mereka melihat dan mengikuti petunjuk
dari awal sampai akhir dengan sabar.
Terjadi pengaruh yang meningkat untuk
dimensi mengendalikan diri, karena pada awal
sebelum perlakuan dari hasil penghitungan
pada tabel 5 untuk rata-rata dimensi mengendalikan diri termasuk dalam kategori sedang
dengan poin sebesar 5,5. Keadaan ini didukung
pula oleh hasil wawancara dengan guru kelas
dan guru komputer bahwa anak terlihat gelisah
dan kurang sabar apabila tidak bisa menjalankan program di computer.Beberapa anak masih
suka berebut dalam barisan untuk masuk kelas
serta berebut mainan. Adanya peningkatan
berarti pembelajaran Role Playing dengan
komputer ini dapat meningkatkan pengendalian
diri atau perasaan anak serta dapat membantu
Jurnal Pendidikan Penabur - No.24/Tahun ke-14/Juni 2015
45
Peran Role Playing Berbasis Komputer
anak lebih berkonsentrasi. Hal ini didukung pula
oleh Sudjana dan Rivai (2001:37), kelebihan
pembelajaran dengan komputer adalah melatih
kesabaran anak dan kebiasaan pribadi yang
dapat diprogram melengkapi suasana sikap
yang lebih positif, terutama berguna sekali untuk
siswa yang lamban. Juga, kemampuan daya
rekamnya memungkinkan pengajaran
individual melalui komputer bisa dilaksanakan.
Implikasi hasil penelitian yang didapat terhadap pembelajaran di kelas adalah keterlibatan
guru secara aktif pada saat mengajar yaitu guru
lebih memotivasi dan memacu anak agar dapat
mengekpresikan diri dan meningkatkan percaya
diri melalui memberi kesempatan anak untuk
bernyanyi dan menghafal ayat Alkitab di depan
kelas, bercerita melalui show and tell hasil kerja
dan gambar yang dibuat, juga dalam question and
answer sehingga anak terpacu dan terlatih untuk
mengemukakan pendapatnya yang juga
berpengaruh terhadap emosi anak terutama
percaya diri dan ekspresi diri. Juga memberikan
kesempatan pada anak agar dapat tampil pada
kegiatan sekolah. Dari pihak sekolah, dalam hal
ini Kepala Sekolah, memberikan kesempatan
mengikuti perlombaan antar sekolah baik
tingkat kecamatan maupun provinsi.
Sedangkan kegiatan Role Playing ini dapat
diimplikasikan melalui pelajaran di kelas selain
bahasa Indonesia juga bisa dalam pelajaran
kognitif, seperti belajar penjumlahan sederhana
yang dibuat seperti suasana di pasar, anak bisa
membeli buah atau makanan dengan membayar
dari uang-uangan kertas, dan lain-lain. Selain
itu kegiatan Role Playing bisa juga dilakukan
saat pelajaran oleh raga. Ruangan di dekorasi
seperti di tengah hutan, anak-anak harus bisa
melompat, berjalan di papan titian dan
memanjat yang semuanya direkayasa dan ada
skenarionya agar pelajaran lebih bervariasi dan
menarik, membuat anak tidak takut saat berjalan
di papan titian untuk keseimbangannya dan
meningkatkan percaya dirinya juga.
Simpulan
Kesimpulan
Kematangan emosional anak sebelum perlakuan
dari hasil penghitungan rata-rata persentasi
46
Jurnal Pendidikan Penabur - No.24/Tahun ke-14/Juni 2015
awal dengan total score maksimumnya menunjukkan nilai yang sedang. Sedangkan hasil
perhitungan rata-rata persentasi akhir menunjukkan nilai tinggi. Yang berarti ada peningkatan
kematangan emosional setelah perlakuan
dengan model pembelajaran Role Playing.
Model pembelajaran Role Playing, dari hasil
perhitungan untuk tingkat signifikansinya,
menunjukkan bahwa untuk memahami perasaan orang lain dan mengendalikan diri dapat
meningkat, sedangkan untuk mengekspresikan
diri dan percaya diri tidak dapat meningkat.
Hasil yang tidak signifikan dan tidak meningkat
ini kemungkinan disebabkan oleh beberapa hal
berikut.
1. Waktu pelaksanaan Role Playing dan waktu
pengamatan yang kurang untuk anak dapat
meningkatkan percaya dirinya lagi.
2. Program CD interaktif yang dipakai dalam
proses briefing sebagai pengganti skenario
kurang menantang anak dalam mengekspresikan dirinya.
Model pembelajaran komputer dengan
menggunakan program simulasi dengan
animasi ini sangat menarik bagi anak, dapat
terlihat dari meningkatkan pengendalian diri
anak, hal ini berarti bahwa konsentrasi dan
kesabaran anak dapat terlatih dengan lebih baik.
Saran
Untuk guru dan sekolah
Model pembelajaran Role Playing sangat
menarik buat anak usia 4-6 tahun (TKA-TKB)
dan ternyata dapat meningkatkan memahami
perasaan orang lain dan mengendalikan diri,
siswa terlihat sangat senang dan semangat
dalam bermain peran. Oleh karena itu,
disarankan agar model pembelajaran ini tetap
terus dijalankan karena pembelajaran ini juga
dapat dipakai untuk menunjang pelajaran
karakter yang sedang digalakkan di setiap
sekolah. Hal ini baik karena dengan bermain
peran anak belajar cara berkomunikasi yang
baik, melatih sikap dan perilaku mereka sendiri
dan pemahaman kepada orang lain. Akan lebih
baik, apabila model pembelajaran Role Playing
ini dapat diintegrasikan ke dalam bidang
pengembangan dalam kurikulum pembelajaran
di TK A dan TK B, khususnya untuk bidang
Peran Role Playing Berbasis Komputer
pengembangan bahasa dan science. Semoga
model pembelajaran Role Playing ini dapat
menjadi alternatif bagi pengajaran di kelas untuk
terus melatih para penerus bangsa agar menjadi
individu yang lebih komunikatif, berempati,
mempunyai karakter yang baik, kritis dan kreatif
dalam berpikir yang dituangkan dalam bentuk
tulisan maupun lisan dalam kegiatan belajar,
dan dalam kehidupan siswa sehari-hari.
Dalam pelaksanaan pembelajaran dengan
Role Playing disarankan untuk memperhatikan
waktu, karena untuk proses persiapan awal,
briefing, uji coba dan pelaksanaannya sendiri
membutuhkan waktu yang lebih panjang, dari
hasil penilitian ini waktu minimum yang
diperlukan adalah 60 menit (2 jam pelajaran, 30
menit untuk briefing dan 30 menit untuk
pelaksanaan).
Disarankan juga untuk penelitian
selanjutnya dapat menggunakan indikator dan
program CD interaktif yang disesuaikan untuk
penilaian anak usia jenjang yang lebih tinggi
(usia 6-7 tahun), karena program ini bertujuan
untuk melihat kesiapan anak masuk dalam
sekolah formal. Tetapi disarankan pula, apabila
penelitian ini dilakukan pada sekolah lain yang
standar penilaian siswanya tidak sama atau
lebih rendah dengan sekolah tempat penelitian
ini, maka indikator dan program CD interaktif
ini bisa dipakai.
Penelitian ini hanya dilakukan pada satu
kelompok saja tanpa kelompok kontrol atau
kelompok pembanding, apabila dilakukan
penelitian lanjutan untuk model pembelajaran
bermain peran atau Role Playing, maka
diperlukan kelompok kontrol sehingga hasil
penelitian semakin valid. Juga disarankan untuk
persiapan penelitian selanjutnya melakukan
tahap uji alat ukur sehingga dapat
menyesuaikan standart penilaian yang akan
digunakan.
Untuk orangtua
Disarankan agar dapat meluangkan waktu
bersama anak terutama dalam bermain peran di
rumah, karena dengan bermain peran dapat
men-stimulasi anak dalam meningkatkan
kemampuan berbicara juga menciptakan
suasana kebersamaan yang nyaman dan
bahagia pada anak usia pra sekolah.
Dengan adanya kemajuan teknologi yang
pesat saat ini, diharapkan orangtua juga dapat
mendampingi anak dalam memperkenalkan
teknologi yang ada terutama dalam hal
komputerisasi. Pendampingan yang dilakukan
sejak masa prasekolah membuat anak belajar
berdisiplin dengan waktu dan bertanggung
jawab atas barang miliknya atau orang lain di
rumah. Selain itu disarankan juga untuk
menyediakan program games edukatif bagi anak
dan orangtua yang dapat bermain bersama.
Sehingga dapat diterapkan juga pembelajaran
berbasis komputer di rumah bersama anak.
Daftar Pustaka
Beaty, Janice J. (2004). Observing development of
the young children. 6th ed, Upper Saddle
River, NJ. Pearson Prentice Hall
Berk , Laura E. (2008). Infants, children and
adolecents, 6 th ed. Boston: Pearson
Education Inc
Darmawan, Deni. (2007). Teknologi informasi dan
komunikasi. Bandung: Arum Mandiri
Press
Departemen Pendidikan Nasional. Kurikulum
(2004). Standar kompetensi Taman KanakKanak dan Raudhatul Athfal. Jakarta
Fraenkel, Jack R., and Wallen, Norman E. (2008).
How to design and evaluate research in
education., 7 th ed, McGraw Hill
International Edition, NY
Gay, L.R., &Airasian, Peter (2003). Educational
research. Merrill Prentice Hall. New
Jersey, USA
High, Pamela C. School Readiness. Pediatrics
official journal of the American academy of
pediatrics. The American Academy of
Pediatrics, 141 Northwest Point
Boulevard, Elk Grove Village, Illinois,
60007. 2008
Hergenhahn, B.R., Olson, Matthew. H. (2009).
Theories of learning (Teori belajar). Jakarta:
Kencana Prenada Media Group
Hurlock, B. E. (1980). Psikologi perkembangan
(Edisi Kelima), Jakarta: Penerbit Erlangga
Hurlock, B. Elizabeth. (1992). Perkembangan anak
(Edisi Keenam), Jakarta: Penerbit
Erlangga
Jurnal Pendidikan Penabur - No.24/Tahun ke-14/Juni 2015
47
Peran Role Playing Berbasis Komputer
GenEducation. Komunikasi non verbal
(Terjemahan). http://www.hrepic.com/
Teaching/GenEducation/
nonverbcom/nonverbcom.htm. Di akses
Juni 2013. dan http://www.ling.
ed.ac.uk/linguist/ issues/9/9-230.html
La Iru & La Ode. (2012). Analisis penerapan.
pendekatan, metode, strategi, dan modelmodel pembelajaran. DIY- Bantul: Multi
Presindo
Landis, J. R.& Koch, G. G. (2008). The measurement
of observer agreement for categorical data.
Biometrics 33:159-174. 1977. TexaSoft,
http://www.stattutorials.com/SPSS/
TUTORIAL-SPSS-Interrater-Reliability
Kappa.htm
Lane, Shelley D. 92008). Interpersonal
communication: Competence and context.
Pearson Education Inc. USA
Ment, Morry Van. (1999). The effective useof roleplay. London: Kogan PageLimited.
Miarso, Yusufhadi. (2004). Menyemai benih
teknologi pendidikan. Jakarta: PustekkomKencana
Monks, F.J, Knoers, A.M.P, Haditono, Siti
Rahayu. (2006) Psikologi perkembangan.
Yogyakarta: Gajah Mada University
Press
Mulyatiningsih, Endang. (2012) metode penelitian
terapan. Bandung: Alfabeta
Nurkancana., Wayan, & Sumartana, PPN. (1986).
Evaluasi pendidikan. Surabaya: Usaha
Nasional
Ostroff, Wendy.L. (2013). Memahami cara anakanak belajar. Jakarta: PT.Indeks
Peraturan Menteri Pendidikan Nasional
(Permendiknas) No.8 tahun 2009 tentang
48
Jurnal Pendidikan Penabur - No.24/Tahun ke-14/Juni 2015
Standar Pendidikan Anak Usia Dini.
2009
Pribadi, Benny A. & Rosita, Tita. (2000). Prospek
Komputer Sebagai Media Pembelajaran
Interaktif Dalam Sistem Pendidikan Jarak
Jauh di Indonesia. Jurnal Pendidikan
(Online), Jilid 6, No. 4, (http://
www.ut.ac.id, diakses 20 Januari 2000).
Rafoth, Mary Ann. (2004). School readinesspreparing children for kindergarten and
beyond: Information for parents. National
association of school phychologists.
Bethesda, MD
Rusman. . (2012). Belajar dan pembelajaran berbasis
komputer. Bandung: Alfabeta
Santrock, John W. (2009). Psikologi pendidikan
(Educational psychology). Buku1. Edisi ke
3. McGraw-Hill. Jakarta: Salemba
Humanika
Seefeldt, Carol. & Wasik, Barbara A. (2008).
Pendidikan anak usia dini, Edisi Kedua.
Jakarta: PT Indeks
Smaldino, Sharon E., Russell, James D., Heinich,
Robert. & Molenda, Michael. (2005).
Instructional technology and media for
learning. 8th Ed. Upper Saddle River, New
Jersey: Pearson Education, Inc
Sudjana, Nana & Rivai, Ahmad. (2005). Media
pengajaran. Bandung: Sinar Baru
Algesindo
Suryadi, Harry. Editor: Sintha Ratnawati. (2002).
Sekolah alternative untuk anak”. Kumpulan
Artikel KOMPAS. Jakarta: Buku Kompas
Unicef. Communicating with children-build selfconfidence as well as competence.- Guideline
3A. www.unicef.org/cwc/cwc_58679.
htmlý. diakses 26 Mei 2011
Bimbingan Belajar Dalam Mengatasi Kesulitan Belajar Siswa
Penelitian
Bimbingan Belajar Dalam Mengatasi Kesulitan Belajar
Siswa Sekolah Dasar
Fransiska
E-mail: [email protected]
TKK SPRINGFIELD Jakarta Barat
Abstrak
enelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana bimbingan belajar dapat mengatasi
kesulitan belajar sehingga meningkatkan kemampuan siswa sekolah dasar. Tempat
penelitian di Bimbingan Belajar Setia berlokasi di Puri Indah, wilayah Kembangan, Jakarta
Barat, dalam tahun pelajaran 2014/2015, Subyek penelitian adalah siswa-siswi kelas 3
dari beberapa Sekolah Dasar di kecamatan Kembangan, yang mengikuti kelas di Bimbingan Belajar
Setia. Metode penelitian menggunakan pendekatan penelitian deskriptif kualitatif. Data
dikumpulkan dengan observasi, wawancara, dan studi dokumentasi, kemudian dianalisa dengan
interactive model dan keabsahan data dilakukan dengan triangulasi terhadap sumber data. Hasil
penelitian menunjukkan, dengan melakukan remedial dan pengayaan menggunakan model
bervariasi seperti model peer tutoring, dapat mengatasi kesulitan belajar siswa/i. Dengan saling
belajar dan berbagi dengan siswa yang lain dalam belajar dapat meningkatkan perolehan belajar
siswa/I yang ditunjukkan dengan peningkatan prestasi belajar dan siswa sudah dapat
berkonsentrasi sehingga mampu mengerjakan dan mengumpulkan tugas-tugas yang diberikan
oleh guru.
P
Kata-kata kunci: bimbingan belajar, kesulitan belajar, prestasi belajar.
Academic Guidance in Overcoming Learning Difficulties Faced by Primary School Students
Abstract
The purposes of this study are to find out how the academic guidance services reduce learning difficulties an
improve learning outcome of the elementary school students. The study, took place at Setia Academic Guidance
located at Puri Indah, Kembangan, West Jakarta, in the school year of 2014/2015, . The subject of this study
were The Elementary School students of Grde III from seberal Elementary Schools in Kembangan Subdistrict
jpining the class at Setia Academic Guidance. Apllying qualitative deccriptive approach, the study collected
the data using questionair, interview, and document study to be analyzed by interactive model and the data
validity was done through triangulation to the data resource. The study discovered, implementing remedial
and enrichment activities within various models such as peer tutoring can solve the students’ learning
difficulties and by learning from the others and sharing ideas can improve the students’ learning achievement
and the students are able to consentrate on completing the assignments given by the teacher.
Keywords: academic guidance, learning difficulties, learning achievement.
Jurnal Pendidikan Penabur - No.24/Tahun ke-14/Juni 2015
49
Bimbingan Belajar Dalam Mengatasi Kesulitan Belajar Siswa
Pendahuluan
Bisnis lembaga bimbingan belajar (bimbel) masih
menjanjikan. Kebutuhan para siswa sekolah
untuk meningkatkan kompetensi akademik,
seiring standar kelulusan yang terus meningkat,
membuat bisnis bimbel terus bermunculan.
Tidak sedikit para pelaku bisnis ini menawarkan
kemitraan usaha (Tri Sulistiowati dkk, 31 Maret
2014). Seperti juga dibahas pada majalah Info
Puri yang merupakan majalah info komunitas
kawasan Puri, banyaknya bimbingan belajar
yang menawarkan jasa mengajar siswa/i untuk
membantu mereka dalam pelajaran sekolah
dengan pilihan metode bimbingan yang
beragam (Gerson 2015:20).
Seorang individu telah belajar, bila terjadi
perubahan perilaku menjadi lebih baik dari
sebelumnya. Sardiman (2011:20-21) mengemukakan beberapa definisi belajar dari beberapa
ahli., seperti Cronbach yang mendefinisikan
“Learning is shown by a change in behavior as a result
of experience.” Harold Spears menyatakan
“Learning is to observe, to read, to imitate, to try
something themselves, to listen, to follow direction.”
Kemudian, Geoch mengatakan “Learning is a
change in performance as a result of practice.” Dari
tiga definisi yang dikutip, Sardiman
menyimpulkan bahwa: Belajar itu merupakan
perubahan tingkah laku atau penampilan
dengan serangkaian kegiatan misalnya dengan
membaca, mengamati, mendengarkan, meniru,
dan lain sebagainya. Belajar akan lebih berarti
dalam kehidupan seseorang, bila pelajar
mengalami atau melakukannya, jadi tidak hanya
bersifat verbalistik. Maka dapat diambil
kesimpulan bahwa belajar adalah suatu proses
perubahan tingkah laku pada seorang individu
serta hasil interaksi dengan individu lain dan
lingkungannya yang dilakukan secara langsung
dan berkesinambungan melalui observasi,
mendengarkan, dan mencoba.
Di kelompok yang mengikuti Bimbingan
Belajar Setia, siswa/i sekolah dasar dan orang
tua menganggap, belajar itu harus di sekolah
dan diberikan oleh guru bukan oleh orang tua.
Anggapan ini mengakibatkan anak tidak mau
lagi belajar di rumah orang tua yang memang
mempunyai latar belakang ekonomi yang lemah
50
Jurnal Pendidikan Penabur - No.24/Tahun ke-14/Juni 2015
dan kurang berpendidikan serta merasa
kesulitan membantu anak mereka belajar di
rumah. Anak mengangga, berangkat ke sekolah
adalah untuk belajar dan pemberian tugas oleh
guru untuk dikerjakan di rumah membebani
mereka, karena mereka harus belajar di rumah.
Anak menanti-nantikan waktu pulang sekolah
karena saat itu paling menyenangkan bermain
bersama temannya (baik teman di rumah
maupun teman sekolahnya), ataupun bermain
sendiri. Kegiatan belajar bagi siswa sekolah dasar
merupakan kegiatan yang dirasa tidak
menyenangkan. Banyak sekali alasan yang
mereka ungkapkan jika para pendidik (baik
orangtua maupun guru) meminta mereka belajar
(di sekolah maupun di rumah). Nazwa (salah
satu peserta bimbingan belajar yang duduk di
kelas 3) mengungkapkan bahwa, “Aku nggak
mau belajar matematika karena aku tidak
mengerti apa yang ditanyakan, aku tidak bisa
bertanya sama ibu atau bapak karena mereka
harus kerja dan ketika sampai rumah sudah
cape.” Contoh lainnya, Deni, murid bimbingan
belajar yang duduk di kelas 4, menyatakan
setelah selesai sekolah, mereka sering pergi ke
warung internet untuk bermain atau bahkan
menonton Youtube tanpa pengawasan orang tua
yang tidak mau pusing memikirkan pelajaran
anaknya. Putri bercerita dia suka sekali pergi ke
rumah teman dan bermain bersama temantemannya setelah pulang sekolah dan ia malas
mengerjakan pekerjaaan rumah yang diberikan
oleh guru di sekolah. Anak-anak masih
menganggap, kegiatan belajar merupakan
kegiatan membosankan dan belum mengerti
mengapa belajar dapat menjadi sesuatu yang
berguna.
Beberapa keluhan dari hasil wawancara itu
memperlihatkan hambatan ataupun kesulitan
belajar yang bila tidak tertangani dengan baik
akan menjadikan prestasi siswa tidak baik pula.
Oleh karena itu, Pengurus Bidang Diakonia
sebuah Gereja merasa perlu adanya bimbingan
belajar yang diberikan oleh guru atau orang yang
mampu membantu menjelaskan masalah untuk
meningkatkan prestasi belajar siswa. Bimbingan
adalah memberikan informasi, menuntun ke
suatu tujuan (Luddin, 2010:16). Bimbingan
belajar adalah bimbingan yang diberikan oleh
orang yang mampu untuk membantu individu
Bimbingan Belajar Dalam Mengatasi Kesulitan Belajar Siswa
dalam menghadapi dan memecahkan masalahmasalah yang berkaitan dengan belajar (Yusuf,
2005:10). Bimbingan belajar bagi siswa sekolah
dasar lebih difokuskan pada usaha-usaha untuk
meningkatkan prestasi belajar. Dalam meningkatkan prestasi belajar peserta didik, diperlukan
adanya kerjasama antara guru dan orang tua,
ketika orang tua merasa kesulitan untuk
membantu anak mereka maka mereka mencari
bantuan dari orang lain yang mampu untuk
membantu anak dalam menghadapi dan
memecahkan masalah dalam belajar untuk
meningkatkan prestasi belajar siswa.
Bimbingan belajar dirasakan perlu
diadakan karena masih munculnya permasalahan belajar yang dialami oleh siswa sekolah
dasar. Sebagai contoh, prestasi belajar yang
rendah, malas berangkat sekolah, dan
mengganggu temannya ketika proses pembelajaran berlangsung. Seperti yang diungkapkan
oleh guru kelas SDN Kembangan Utara 02 Pt
beberapa siswa sekolah dasar yang mengalami
kesulitan belajar dan hal ini belum dapat
ditangani dengan baik oleh wali kelas. Kesulitan
belajar tidak selalu mudah dikenali, terutama
pada tahun-tahun pertama SD (Gilmore,
2009:10). Sugihartono, dkk. (2007:149)
menjelaskan bahwa kesulitan belajar adalah
suatu gejala yang nampak pada peserta didik
yang ditandai dengan adanya prestasi belajar
yang rendah atau di bawah kriteria ketuntasan
minimal yang telah ditetapkan.
Berdasarkan uraian tersebut, penulis
mencoba menggambarkan tentang bimbingan
belajar yang dilaksanakan oleh Bimbingan
Belajar Setia khususnya dalam mengatasi
kesulitan siswa siswa sekolah dasar di daerah
Kembangan, Jakarta Barat. Salah satu keunikan
Bimbingan Belajar Setia ialah keterbatasan
jumlah gurunya menjadi masalah yang selalu
terjadi, karena guru yang mengajar adalah
sukarelawan dan tidak dibayar sama sekali oleh
gereja. Terkadang guru merasa, pengajaran
mereka kurang berarti untuk kesinambungan
pembelajaran di bimbingan belajar. Oleh karena
itu penulis merasa perlu melakukan penelitian
ini untuk mengetahui apakah bimbingan belajar
ini bermanfaat bagi peserta bimbingan
belajar.Alasan lain, penulis sendiri adalah
anggota gereja dan melihat bahwa bimbingan
belajar ini banyak membantu keluarga tidak
mampu yang tinggal di sekitar bimbingan
belajar. Dengan demikian menrik dan perlu
diteliti pelaksanaan bimbingan belajar yang
diberikan oleh Bimbingan Belajar Setia
khususnya khususnya dalam mengatasi
kesulitan siswa/I belajar dan meningkatkan
hasil belajarnya.
Perumusan Masalah
Atas dasar latar belakang yang sudah diuraikan,
maslah penelitian dirumuskan sebagai berikut.
1. Bagaimana bimbingan belajar mempengaruhi kemampuan siswa menghadapi
kesulitan belajar di sekolah?
2. Apakah dengan mengikuti bimbingan
belajar siswa akan dapat meningkatkan
prestasi belajar?
Tujuan Penelitian
Tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk
mendapat gambaran bagaimana bimbingan
belajar dapat membantu mengatasi kesulitan
belajar siswa/i sekolah dasar. Secara khusus
penelitian ini bermaksud mengetahu bagaimana
Bimbingan Belajar Setia dapat membantu
mengatasi kesulitan belajar siswa/i kelas 3 SD
di daerah Kembangan dan meningkatkan
prestasi belajar mereka pada pelajaran
Matematika.
Tinjauan Pustaka
Dalam penelitian diperjelas pengertian tentang
beberapa konsep penting yang dipergunakan,
yaitu hakekat (a) bimbingan belajar, (b) kesulitan
belajar, dan (c) prestasi belajar. Di samping
mengkaji hakikat ketiga konsep itu, juga
dikemukakan beberapa hasil penelitian yang
terkait.
Bimbingan Belajar.
Bimbingan belajar pada hakikatnya adalah
upaya yang diberikan kepada siswa/i untuk
membantu serta mempermudah mereka
mengubah prilaku dalam ranah kognitif,
psikomotorik, dan affektif melalui interaksi
dengan sumber belajar. Dengan demikian,
bimbingan belajar merupakan bantuan yang
Jurnal Pendidikan Penabur - No.24/Tahun ke-14/Juni 2015
51
Bimbingan Belajar Dalam Mengatasi Kesulitan Belajar Siswa
diberikan guru/tutor/pelatih kepada siswa/i
dan merupakan tambahan kegiatan pembelajaran yang dilakukan di luar sekolah. Kegiatan
pembelajaran utama tetap dilakukan di sekolah
yang dalam penelitian ini adalah di SD di
wilayah Kembangan. Bimbingan belajar tidak
melakukan kegiatan wajib bagi siswa/i.
Kegiatan bimbingan belajar biasanya
dilakukan oleh siswa/i yang mengalami
kesulitan belajar atau yang ingin memperdalam
atau memperluas kemampuannya dalam mata
pelajaran tertentu. Pemimbing dalam bimbingan
belajar pada umumnya berlatarbelakangkan
bidang studi yang sesuai dengan mata pelajaran
yang dibimbingnya.
Kesulitan Belajar
Kesulitan belajar menurut Suryabrata (2007:149)
mempunyai kriteria sebagai berikut.
1. Grade level, terjadi pada siswa yang tidak
naik kelas hingga dua kali.
2. Age level, terjadi pada siswa yang usianya
tidak sesuai dengan kelasnya, misal kelas 4
tapi usianya 13 tahun.
3. Intelligence level, terjadi pada siswa yang
kemampuannya di bawah rata-rata.
4. General level, terjadi pada siswa yang secara
umum dapat mencapai prestasi tetapi pada
beberapa mata pelajaran hasilnya dibawah
standar.
Mengacu pada pendapat Gilmore,
Sugihartono, dan Suryabrata tentang pengertian
kesulitan belajar, dapat disimpulkan bahwa
kesulitan belajar adalah suatu tanda individu
tidak berprestasi sesuai dengan kriteria yang
ditetapkan. Pada kenyataanny, banyak hal yang
menjadi penyebab siswa sekolah dasar mengalami kesulitan belajar adalah sebagai berikut.
Sugihartono (2007:154) menjelaskan ciri-ciri
anak mengalami kesulitan belajar yang menjadi
indikator kesulitan belajar adalah sebagai
berikut.
1.
Prestasi belajar yang rendah, ditandai
dengan adanya nilai di bawah standar
yang ditetapkan (di bawah nilai 6) atau
mendapatkan peringkat yang terakhir di
kelasnya.
2. Hasil yang dicapai tidak sesuai dengan
usaha yang dilakukan, ditandai dengan
52
Jurnal Pendidikan Penabur - No.24/Tahun ke-14/Juni 2015
sering belajar tanpa mendapat hasil yang
maksimal.
3. Lambat dalam melakukan tugas kegiatan
belajar serta terlambat datang ke sekolah.
4. Menunjukkan sikap tidak peduli dalam
mengikuti pelajaran, ditandai dengan
mengobrol dengan teman ketika proses
pelajaran berlangsung atau makan di dalam
kelas ketika mengikuti pelajaran.
5. Menunjukkan perilaku menyimpang,
seperti suka membolos sekolah atau keluar
masuk kelas ketika mengikuti pelajaran
6. Menunjukkan adanya gejala emosional
menyimpang, misalnya mudah marah dan
pemurung, teriak-teriak ketika mengikuti
pelajaran.
Gejala-gejala tersebut dialami oleh siswa/i
yang mengalami kesulitan belajar. Pada siswa
SD kelas 1, 2, dan 3, kesulitan belajar ditunjukkan
dengan sulit tepat waktu mematuhi instruksi
yang diberikan guru termasuk melakukan tugas
belajar, karena siswa kelas 1, 2, dan 3 masih pada
tahap penyesuaian diri dengan kegiatan sekolah
dasar. Untuk siswa kelas 4, 5, dan 6 kesulitan
belajar terlihat dari hasil belajar rendah, perilaku
menyimpang seperti suka menggangu teman,
suka membolos, suka beralasan untuk keluar
kelas, atau tidak mengerjakan tugas-tugas
belajar. Berdasarkan penjelasan di atas dapat
disimpulkan, prestasi belajar menurun, hasil
dicapai tidak sesuai dengan standar kriteria
seharusnya, lamban dalam mengerjakan tugas,
bersikap tidak peduli terhadap pelajaran,
menunjukkan perilaku dan gejala emosional
menyimpang, merupakan sejumlah indikator
kesulitan belajar siswa..
Hasil Belajar
Dimyati dan Mudjiono (2006:3-4) menyebutkan
hasil belajar merupakan hasil dari suatu
interaksi tindak belajar dan tindak mengajar.
Pembelajaran diakhiri dengan proses evaluasi
hasil belajar baik bagi siswa maupun guru.
Guru harus dapat menciptakan suasana kelas
yang kondusif, sehingga siswa merasa senang
belajar, dan siswa harus aktif dalam proses
pembelajaran di kelas dengan cara memberikan
kesempatan belajar kepada siswa sehingga
proses pembelajaran dapat berjalan dengan baik.
Bimbingan Belajar Dalam Mengatasi Kesulitan Belajar Siswa
Hasil belajar merupakan bagian terpenting
dalam pembelajaran. Nana Sudjana (2009:3)
menyatakan hasil belajar siswa pada hakikatnya
adalah perubahan tingkah laku sebagai hasil
belajar dalam pengertian yang lebih luas
mencakup bidang kognitif, afektif, dan
psikomotorik. Pendapat ini mengacu pada
taksonomi Benjamin S.Bloom, dkk., yang
mengelompokkan hasil belajar menjadi tiga
bagian, yaitu domain kognitif, doman afektif, dan
domain psikomotor. Domain kognitif merupakan
domain yang menekankan pada pengembangan
kemampuan dan keterampilan intelektual.
Domain afektif adalah domain yang berkaitan
dengan pengembangan perasaan, sikap, nilai
dan emosi, sedangkan domain psikomotor
berkaitan dengan kegiatan keterampilan
motorik. Walaupun taksonomi Bloom ini telah
mengalami revisi, tetap menggambarkan suatu
proses pembelajaran, cara kita memproses suatu
informasi sehingga dapat dimanfaat dalam
kehidupan sehari-hari. Beberapa prinsip di
dalamnya adalah sebagai berikut.
1. Sebelum kita memahami sebuah konsep
maka kita harus mengingatnya terlebih
dahulu.
2. Sebelum kita menerapkan maka kita harus
memahaminya terlebih dahulu.
3. Sebelum kita mengevaluasi dampaknya
maka kita harus mengukur atau menilai.
4. Sebelum kita berkreasi sesuatu maka kita
harus mengingat, memahami,
mengaplikasikan, menganalisis dan
mengevaluasi, serta memperbaharui.
Berdasarkan pengertian hasil belajar di atas,
disimpulkan bahwa hasil belajar adalah
kemampuan yang dimiliki siswa setelah
menerima pengalaman belajarnya. Kemampuan
tersebut mencakup aspek kognitif, afektif, dan
psikomotorik. Hasil belajar dapat dilihat melalui
kegiatan evaluasi yang bertujuan untuk
mendapatkan data pembuktian yang akan
menunjukkan tingkat kemampuan siswa dalam
mencapai tujuan pembelajaran. Hasil belajar
yang diteliti dalam penelitian ini adalah hasil
belajar pada pelajaran Matematika yang mana
sebagian besar siswa siswi mengikuti bimbingan
belajar karena merasa kesulitan memahami
pelajaran Matematika.
Hasil Penelitian yang Relevan
Ditemukan tiga penelitian sebelumnya yang
terkait dengan masalah penelitian ini. Pertama,
penelitian Bimbingan Belajar Terhadap Prestasi
Belajar dilakukan oleh Handoko Alex di SMP
Negeri 8 Yogyakarta. Penelitian ini menemukan,
terdapat pengaruh yang signifikan antara
bimbingan belajar dengan prestasi belajar
siswa. Hal ini dapat dilihat dari hubungan
fungsional antara bimbingan belajar (X) dengan
prestasi belajar siswa (Y) siswa kelas VIII SMP
Negeri 8 Yogyakarta tahun ajaran 2007/2008
dalam bentuk persamaan regresi linear yaitu Y
= 27.892 + 0.514X dengan koefisien korelasi
sebesar 0,628 pada taraf signifikansi 5% koefisien
arah regresi sebesar 0.514 artinya setiap kenaikan
satu unit X mengakibatkan 0.514 kenaikan Y.
Dengan perkataan lain, semakin sering siswa
mengikuti bimbingan belajar, semakin tinggi
pula prestasi belajar siswa.
Kedua, Nur Asih dari Universitas Negeri
Medan melakukan penelitian Pengaruh
Pemberian Layanan Bimbingan Belajar Terhadap
Kebiasaan Belajar Positif Siswa Tahun Ajaran 2014/
2015. Subyek Penelitian ini adalah siswa kelas
XI SMA Negeri 1 Karang Baru Tahun Ajaran
2014/2015. Hasil penelitian menunjukkan
bahwa pemberian layanan bimbingan belajar
diperoleh nilai rata-rata pre-test xA = 61,7 dan
Standart Deviasi (SD) = 1,96 sedangkan sesudah
dilaksanakan bimbingan belajar diperoleh nilai
rata-rata post-test Xb = 88,6 dan Standart Deviasi
(SD) = 3,33. Penelitian ini menyimpulkan,
pemberian layanan bimbingan belajar
berpengaruh terhadap kebiasaan belajar siswa
kelas XI SMA Negeri 1 Karang Baru Tahun
Ajaran 2014/ 2015. Hal ini teruji dengan
menggunakan uji t dengan hasil thitung > ttabel
yaitu 42,71 > 2,035 artinya terdapat pengaruh
yang signifikan dari pemberian layanan
bimbingan belajar terhadap kebiasaan belajar
positif siswa kelas XI SMA Negeri 1 Karang Baru
Tahun Ajaran 2014/ 2015, dapat diterima.
Ketiga, penelitian Pengaruh Bimbingan
Belajar Terhadap Prestasi Belajar Matematika Siswa
kelas V Se-Kecamatan Kebasen, dilakukan oleh
Desti Kurnia Sarasweni dari Universitas Negeri
Yogyakarta . Hasil penelitian menunjukkan
bahwa bimbingan belajar berpengaruh
Jurnal Pendidikan Penabur - No.24/Tahun ke-14/Juni 2015
53
Bimbingan Belajar Dalam Mengatasi Kesulitan Belajar Siswa
signifikan terhadap prestasi belajar matematika
sebesar 55%. Hal ini ditunjukkan dari
perhitungan Analisis Regresi yang memperoleh
F hitung = 5,49 > F table = 3,89.
Berdasarkan ketiga penelitian tersebut,
terlihat ada hasil positif bimbingan belajar
terhadap prestasi belajar siswa. Penelitian yang
dilakukan penulis pada kesempatan ini adalah
untuk mengetahui bagaimana bimbingan belajar
dapat mengatasi kesulitan belajar siswa/i dan
meningkatkan hasil belajar mereka di Bimbingan
Belajar Setia.
Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode penelitian
deskriptif kualitatif. Penelitian ini bertujuan
untuk membahas pelaksanaan layanan
Bimbingan Belajar Setia dalam mengatasi
kesulitan belajar siswa sekolah dasar di area
Kembangan. Subyek penelitian adalah siswasiswi kelas 3 SD tahun pelajaran 2014-2015 di
area Kembangan, Jakarta Barat yang mengikuti
bimbingan belajar di Bimbingan Belajar Setia.
Sebagian besar peserta sudah mulai mengikuti
bimbingan belajar sejak kelas 1 SD.
Teknik pengumpulan data adalah
observasi, wawancara dan studi dokumen.
Sedangkan analisis data menggunakan
interactive model, yaitu display, reduksi dan
verifikasi data. Uji keabsahan data yang
diperoleh dengan menggunakan triangulasi
data. Triangulasi yang digunakan yaitu
triangulasi sumber data dan triangulasi teknik
pengumpulan data. Triangulasi sumber data
dilakukan dengan melakukan wawancara
dengan guru, pengurus bimbingan belajar dan
orang tua dari peserta bimbingan belajar (foto
kegiatan bimbingan belajar). Triangulasi teknik
pengumpulan data dilakukan dengan
mengunjungi sekolah dari peserta bimbingan
belajar dan melakukan wawancara serta
meminta salinan raport dari peserta bimbingan
belajar (dokumentasi)
Hasil dan Pembahasan
Penelitian ini dilakukan di Bimbingan Belajar
Setia, karena di sekitar tempat ini banyak
keluarga dari kalangan kurang mampu yang
54
Jurnal Pendidikan Penabur - No.24/Tahun ke-14/Juni 2015
membutuhkan tempat bimbingan belajar yang
mau membantu mereka mengatasi kesulitan
belajar anak-anak mereka. Hal ini sesuai dengan
hasil wawancara dengan Ibu Muti salah seorang
ibu yang rajin mengantar anaknya ke bimbingan
belajar berikut ini: “Saya ingin anak saya jadi
anak pintar di sekolah, tapi kalau dia tanya
mengenai pelajaran kepada saya, saya tidak bisa
membantu dia, jadi saya kirim anak saya ke
sini.” Informasi yang dikemukakan oleh Ibu
Muti tersebut selaras pula dengan hasil
wawancara dengan salah satu guru bimbingan
belajar (Ibu Sintia) mengajar kelas 3: “Bimbingan
belajar ini membutuhkan guru karena ada cukup
banyak anak yang membutuhkan bantuan
untuk mengerti dan memahami pelajaran
matematika dan bahasa Inggris.” Bimbingan
Belajar ini ternyata masih membutuhkan guru
untuk menolong siswa/i mendapat pengajaran
yang setara.
Pelaksanaan bimbingan belajar tidak
mempunyai rencana pengajaran secara khusus
hanya berdasarkan bahan secara umum baik
dalam bidang Matematika maupun bahasa
Inggris. Hal ini sesuai dengan hasil wawancara
Bapak Andono, pengurus Bimbingan Belajar
Setia berikut ini :
“Pelaksanaan pembelajaran di Bimbingan
Belajar tidak dilaksanakan secara khusus tetapi
berdasarkan bahan pelajaran yang disediakan
oleh pengurus.” Senada dengan tersebut, Ibu
Muti juga menjelaskan bahwa: “Guru setiap
kelompok kelas bersama pengurus saling bekerja
sama mengajar anak-anak yang datang belajar
ke bimbingan belajar ini .”
Berdasarkan
informasi
tersebut,
pelaksanaan pembelajaran di Bimbingan Belajar
tersebut berdasarkan bahan yang sudah
disiapkan. Penelitian ini berfokus pada siswa
yang mengalami kesulitan belajar dan berikut
ini hasil observasi dan studi dokumentasi yang
dilakukan peneliti bersama-sama dengan
pengurus bimbingan belajar. Observasi
dilakukan pada saat bimbingan belajar
dilaksanakan, studi dokumentasi hasil
pekerjaan peserta bimbingan belajar dan raport
peserta bimbingan belajar.
Berdasarkan permasalahan yang terlihat
pada ketiga siswa tersebut, berikut ini petikan
wawancara bersama bapak Ando: “Ketiga siswa
Bimbingan Belajar Dalam Mengatasi Kesulitan Belajar Siswa
Tabel 1 : Permasalahan yang Ada
No
Nama
Kelas
Usia
Permasalahan
1
B
3
8
Tidak ada motivasi pada saat mengikuti pelajaran, sulit
berkonsentrasi, jarang mengumpulkan tugas-tugas, sulit
mengerti instruksi, suka mengganggu teman, pernah tidak
naik kelas di kelas 1.
2
P
3
8
Tidak ada motivasi pada saat mengikuti pelajaran, sulit
berkonsentrasi, jarang mengumpulkan tugas-tugas, suka
mengganggu teman, nilai yang didapat
selalu rendah baik nilai ulangan ataupun
nilai harian
3
N
3
8
Kurang motivasi, konsentrasi rendah, jarang mengumpulkan
tugas, nilai ulangan cukup baik tapi nilai harian tidak bagus
itu memang sulit mengerti pelajaran matematika
dan harus terus dibimbing setiap saat. Guruguru di sekolah pernah berdiskusi dengan kami
bagaimana membantu mereka untuk mengerti
pelajaran Matematika. Mereka juga sering sering
terlambat mengumpulkan PR dan nilai harian
kurang baik.” Maka diduga bahwa ketiga siswa
mengalami kesulitan belajar.
Berikut wawancara dengan Ibu Sintia yang
menjelaskan tentang hal tersebut: “Materi yang
diberikan pada saat kelas bimbingan belajar
berlangsung adalah sama untuk semua siswa
namun untuk siswa yang mengalami kesulitan
belajar disesuaikan dengan kecepatan dan
kemampuan mereka mengerjakan tugas.”
Senada dengan hal tersebut, Bapak Ando juga
menjelaskan seperti : “Peserta yang menghadapi
kesulitan diberi waktu dan perhatian lebih pada
saat di kelas bimbingan belajar, artinya tidak
diberikan kelas khusus untuk siswa yang
mempunyai kesulitan belajar.”
Bentuk layanan bimbingan belajar yang
dilaksanakan di sekolah tersebut adalah seperti
diungkapkan oleh Ibu Sintia : “Ketika siswa
mengerjakan latihan soal, dibimbing secara
individual atau dengan peer tutoring.
Bimbingannya secara langsung dan individual.”
Hasil observasi pada saat pelaksanaan layanan
bimbingan belajar untuk siswa yang mengalami
kesulitan belajar juga menunjukkan, siswa/i
yang mengalami kesulitan belajar langsung
dibimbing oleh Ibu Sintia dan terkadang juga
meminta teman yang sudah selesai mengerjakan
tugas untuk membantu Ibu Sintia (peer tutoring).
Peer tutoring merupakah salah satu strategi
yang efektif untuk mempromosikan studentcentered learning (Tan, 2003:1)
Sebagai guru, Ibu Sintia mempersiapkan
rencana untuk memberikan layanan bimbingan
belajar yang bukan berupa pembahasan materi
baru tapi hanya mengulang dan berlatih soalsoal yang telah disediakan oleh pengurus yang
disesuaikan dengan standar kelas yang ada.
“Saya hanya membuat rencana pembelajaran
berdasarkan materi yang diberikan kepada saya
lalu saya mengulang pembahasan mengenai
materi kepada siswa lalu mereka mengerjakan
latihan soal.” Kebenaran pernyataan itu terlihat
pada saat observasi yang dilakukan, materi
disesuaikan dengan kebutuhan siswa saat itu
juga. Seperti yang dijelaskan oleh Ibu Sintia
berikut ini: “Materi untuk siswa-siswa tersebut
sesuai dengan bahan yang sudah dipersiapkan,
artinya disesuaikan dengan kebutuhan,
misalnya melihat sampai di mana siswa itu
mampu mengerjakan soal-soal latihan, lihat dari
gerak gerik, tingkat konsentrasi dari siswa”
Keberhasilan bimbingan belajar mengatasi
kesulitan belajar ditunjukkan dengan
peningkatan prestasi belajar meskipun tidak
mengalami loncatan nilai yang tinggi. Seperti
dijelaskan Ibu Sintia berikut ini : “Ada perubahan pada siswa meskipun tidak semua siswa
mengalami peningkatan nilai sangat baik.”
Senada dengan hal tersebut, Bapak Ando
juga mengungkapkan : “Ada peningkatan nilai
Jurnal Pendidikan Penabur - No.24/Tahun ke-14/Juni 2015
55
Bimbingan Belajar Dalam Mengatasi Kesulitan Belajar Siswa
raport pada siswa yang bersangkutan yang
berarti ada peningkatan prestasi belajar.”
Menurut Bapak Ando, dalam wawancara
mengenai pelaksanaan layanan bimbingan
belajar, yang sering dilakukan adalah cara
seperti remedial, pengayaan, bimbingan kepada
peserta lebih disesuaikan dengan kemampuan
siswa secara individual. Terlihat adanya
peningkatan prestasi belajar dari ketiga siswa
yang mengalami kesulitan belajar, mereka juga
sudah dapat mengerjakan dan mengumpulkan
tugas-tugas secara mandiri. Seperti yang
diungkapkan oleh Ibu Sintia berikut : “Hasilnya,
mereka dapat memperoleh nilai yang lebih baik,
artinya hasil prestasi belajar meningkat. Selain
itu juga ditunjukkan dengan mau mengerjakan
dan mengumpulkan tugas-tugas yang
diberikan.” Tabel 2 menunjukkan perubahan
dari ketiga siswa yang mengalami kesulitan
belajar setelah diberikan layanan bimbingan
belajar. Berdasarkan tabel di atas terlihat,
pelaksanaan Bimbingan Belajar Setia dapat
mengatasi kesulitan belajar pada siswa yang
umum ada peningkatan prestasi belajar yang
ditunjukkan siswa yang bersangkutan.”
Peran orang tua dalam mengatasi kesulitan
belajar yang dialami siswa juga sangat penting
dengan memberi dukungan setiap harinya.
Berikut merupakan petikan wawancara dengan
Ibu Sintia yang menjelaskan tentang tindak
lanjut dari pelaksanaan layanan bimbingan
belajar: “Latihan setiap hari dan keterlibatan
orang tua di rumah sangat diperlukan karena
siswa berusia 6-12 tahun yang merupakan dasar
pertama dalam kehidupan sekolah.” Hal
tersebut juga ditegaskan oleh Bapak Ando:
“Tindak lanjutnya ya… dibutuhkan dukungan
dari orangtua siswa yang bersangkutan, agar
dapat dibantu dan dibimbing ketika berada di
rumah.”
Berdasarkan wawancara, observasi yang
dilakukan maka terlihat bahwa Bimbingan
Belajar Setia dapat membantu siswa mengatasi
kesulitan belajar. Hal ini ditunjukkan dengan
adanya peningkatan prestasi belajar dan siswa
sudah dapat berkonsentrasi sehingga mampu
Tabel 2: Perubahan yang Muncul
No
Nama
Kelas
Usia
Permasalahan
1
B
3
8
Masih harus dibimbing pada saat mengerjakan tugas-tugas
sekolah tapi dapat lebih berkonsentrasi, menunjukkan
peningkatan prestasi belajar dengan memperoleh nilai yang
lebih bagus, meskipun belum maksimal.
2
P
3
8
Ada peningkatan nilai harian,mampu mengerjakan tugas
secara lebih mandiri, sudah dapat memperhatikan pelajaran
yang disampaikan oleh guru
3
N
3
8
Ada peningkatan nilai pada nilai harian dan nilai ulangan,
ketepatan waktu pada saat pengumpulan tugas, dapat
berkonsentrasi dengan lebih baik.
bersangkutan. Perubahan terlihat pada siswa
secara umum adalah peningkatan nilai yang
diperoleh (nilai harian maupun nilai ulangan),
mengerjakan dan tepat waktu mengumpulkan
tugas, dan dapat berkonsentrasi dengan
memperhatikan pelajaran yang disampaikan
oleh guru. Hal ini juga diperkuat dengan
pernyataan Bapak Ando seperti berikut : “Secara
56
Jurnal Pendidikan Penabur - No.24/Tahun ke-14/Juni 2015
mengerjakan dan mengumpulkan tugas tugas
yang diberikan oleh guru.
Pembahasan
Peserta bimbingan belajar Setia pada umumnya
bersekolah di SDN di daerah Kembangan Jakarta
Barat. Informasi yang didapatkan dari
wawancara penulis dengan para siswa adalah
Bimbingan Belajar Dalam Mengatasi Kesulitan Belajar Siswa
mereka bersekolah dari jam 7 pagi – 12 siang,
dengan durasi setiap sesi 60 menit. Setiap
harinya siswa SD diberi waktu istirahat 2 kali
sehari. Menurut peserta di sekolah mereka
belajar tapi bila tidak mengerti mereka kesulitan
mendapat giliran bertanya atau juga mereka sulit
mengerti apa yang diterangkan oleh guru di
sekolah, ada siswa yang berkata bahwa kalau
di sekolah teman-temannya berisik jadi dia ingin
ikut berbicara dengan teman-temannya dan
tidak berkonsentrasi pada saat pembelajaran
terjadi. Berdasarkan observasi pada saat penulis
berkunjung ke salah satu sekolah, suasana
belajar terasa sekali sangat ramai dimana guru
sebagai sumber dari kegiatan belajar mengajar
sulit untuk mengontrol kelas karena jumlah
siswa yang cukup banyak. Hal ini merupakan
salah satu penyebab siswa merasa kesulitan
untuk mengerti materi pembahasan yang
diberikan oleh guru.
Pada saat penulis melakukan wawancara
dan observasi terlihat bahwa Bimbingan Belajar
Setia dapat membantu siswa mengatasi
kesulitan belajar, khususnya kelas 3 dalam
meningkatkan prestasi belajarnya. Menurut
Juntika (2006:52) pelaksanaan bimbingan belajar
dapat membantu siswa dalam mengembangkan
kebiasaan belajar yang baik untuk menguasai
pengetahuan dan keterampilan serta
menyiapkannya melanjutkan pendidikan ke
tingkat yang lebih tinggi. Melalui bimbingan
belajar siswa yang mempunyai kebiasaan
belajar yang baik akan dapat meningkatkan
prestasi belajar. Tujuan dari pengadaan
bimbingan belajar adalah membantu siswa
mengatasi kesulitan belajar, sehingga siswa
dapat optimal untuk mengembangkan potensi
yang dimiliki (Juntika, 2006:15). Jika siswa
mampu mengatasi kesulitan belajar maka
dikemudian hari aspek pribadi dan sosial siswa
dapat berkembang dengan lebih baik sehingga
dapat memilih dan merencanakan kehidupan
mereka di kemudian hari sesuai dengan
kemampuan mereka. Pada penelitian terlihat
bahwa siswa yang mengikuti bimbingan belajar
dapat mengatasi kesulitan belajar yang
ditunjukkan dengan peningkatan nilai di
sekolah dan dapat berkonsentrasi pada saat
mengerjakan serta mampu mengumpulkan
tugas tepat waktu. Dimana tujuan dari
pengadaan bimbingan belajar adalah siswa
mampu mengatasi kesulitan belajar dan
mengembangkan kebiasaan belajar yang baik,
sebagai dasar dari kegiatan bersekolah
selanjutnya,
sehingga
potensi
dan
pengembangan diri siswa dapat lebih optimal.
Guru bimbingan belajar harus mempersiapkan
dan mengerti kondisi dan kebutuhan siswa yang
bersangkutan. Sehingga tujuan dari adanya
bimbingan belajar dapat dicapai sesuai dengan
kebutuhan siswa dan pada akhirnya siswa
dapat mengembangkan kebiasaan belajar yang
baik secara optimal.
Simpulan
Kesimpulan
Pelaksanaan Bimbingan Belajar Setia berhasil
mengatasi kesulitan belajar yang dialami siswa
SD di area Kembangan, Jakarta Barat. Kegiatan
ataupun materi yang diberikan telah disiapkan
oleh pengurus dan tidak dirancang secara
khusus tapi disesuaikan dengan kebutuhan dan
kondisi siswa pada saat pelaksanaan. Materi
juga diberikan dengan metode peer tutoring, yang
memberikan kesempatan dan dorongan kepada
siswa/i, yang mengalami kesulitan belajar,
bekerja sama dengan teman yang belajar
bersama, sehingga siswa saling bekerja sama
dan belajar dalam mengerti materi yang
diberikan. Hasil ditunjukkan dengan perubahan
yang terjadi pada siswa, yang terlihat dengan
adanya peningkatan prestasi belajar dan siswa
sudah dapat berkonsentrasi sehingga mampu
mengerjakan dan mengumpulkan tugas tugas
yang diberikan oleh guru.
Saran
Oleh karena kesulitan belajar dan tidak
tercapainya hasil belajar siswa/i dipengaruhi
oleh strategi, metode, dan teknik pembelajaran,
disarankan setiap sekolah, memperhatikan
karakteristik mereka secara individual dan
menciptakan suasana menyenangkan melalui
berbagai kegiatan bervariasi, kretif dan inovatif.
Sedangkan Bimbingan Belajar Setia diharapkan
dapat meningkatkan kualitas proses bimbingan
belajar yang selama ini sudah dikembangkan,
sehingga semakin banyak siswa/i yang dapat
Jurnal Pendidikan Penabur - No.24/Tahun ke-14/Juni 2015
57
Bimbingan Belajar Dalam Mengatasi Kesulitan Belajar Siswa
mengatasi kesulitan belajar serta sekali gus
meningkatkan hasil belajarnya. Berbagai model
belajar hendaknya terus dikembangkan disertai
dengan persiapan bahan pelajaran dan metode
pembelajaran yang terkini, bervariasi, dan sesuai
dengan karakteristik siswa yang bersangkutan.
Daftar Pustaka
Sardiman, A.M. (2011). Interaksi dan motivasi
belajar mengajar. Jakarta: Rajawali Press
Arifin, Zainal. 2012. Evaluasi belajar. Jakarta:
Departemen Agama
Dimyati & Mudjiono. (2006). Belajar dan
pembelajaran. Jakarta: Rineka Cipta
Gerson, Ronald Petrus. Info puri. edisi 86/VIII/
April 2015.
Gilmore, Linda & Boulton-Lewis, Gillian M.
(2009). “Just Try Harder and You Will
Shine : A Study of 20 Lazy Children.
Australian journal of guidance and
counselling. Queensland: Australian
Academic Press
Grossman, Judy. (2011). Family Matters : The
Impact of Learning Disabilities. http://
www.idonline.org. Diunduh 4 April 2015
Juntika Nurihsan, A. (2005). Strategi layanan
bimbingan dan konseling. Bandung : Refika
Aditama
Luddin, Abu Bakar M. (2010). Dasar-dasar
konseling: Tinjauan dan praktik.
Ciptapustaka Media Perintis
58
Jurnal Pendidikan Penabur - No.24/Tahun ke-14/Juni 2015
Purwanti, Isti Yuni. (2009). Efektivitas program
layanan bimbingan kelompok melalui
permainan untuk mengatasi kesulitan belajar
siswa Sekolah Dasar: Studi eksperimen
terhadap siswa kelas 4 SDIT Salsabila
Purworejo Jawa Tengah dan SDIT Salsabila
Klaseman Yogyakarta. Tesis. Bandung:
Universitas Pendidikan Indonesia
Sugihartono, dkk. (2007). Psikologi pendidikan.
Yogyakarta : UNY Press
Sudjana Nana, Ibrahim. (2009). Penelitian dan
penilaian pendidikan. Bandung: Sinar Baru
Algensindo
Suherman, Bimbingan belajar. Internet akses:
http://file.upi.edu. Diunduh 9 April
2015.
Sulistiowati, Tri http://peluangusaha.
kontan.co.id/news/bisnis-bimbinganbelajar-masih-pintar Diunduh: 26 April
2015
Suryabrata, Sumadi. (2007). Psikologi Pendidikan
(Suatu penyajian secara operasional).
Yogyakarta: Rake Press
Tan, Charlene H.P. (2003). Peer tutoring—an
effective strategy to promote student-centred
learning. Singapore: CDTLink
http://www.bppk.depkeu.go.id/webpkn/
a t t a c h m e n t s / 7 6 6 _ 1 T a k s on o m i % 2 0 B l o o m % 2 0 -% 2 0 R )
Diakses pada 23 April 2015
______. (2006). Bimbingan dan konseling dalam
berbagai latar kehidupan. Bandung : Refika
Aditama
Implementasi Refleksi Teologis Orasi Daud
Penelitian
Implementasi Refleksi Teologis Orasi Daud
Bagi Perkembangan Karakter Siswa
Melalui Pendidikan Kristen
Maria Evvy Yanti
Email: [email protected]
SMAK BPK PENABUR Cianjur
Abstrak
enelitian ini bertujuan untuk menemukan esensi pengajaran dari 1 Tawarikh 28:1-10 bagi
pendidikan karakter siswa. Materi ini merupakan orasi yang diucapkan Daud di hadapan
seluruh umat Israel termasuk Salomo. Orasi ini sarat dengan pengajaran perilaku untuk
mempraktikkan ketaatan, ketekunan memlihara serta melakukan kehendak Allah. Metodologi
penelitian yang digunakan mengadopsi pendekatan kualitatif yang meliputi pendekatan analsis
struktur, kritik teks, kritik bentuk dan analisis refleksi teologis dari materi I Tawarikh 28:1-10. Hasil
penelitian ini menunjukkan implementasi dari orasi dalam I Tawarikh 28;1-10 untuk menumbuhkan
karakter melalui peran nilai-nilai ilahi Allah yaitu ketaatan dan ketekunan hidup menurut
kehendak-Nya. Penelitian ini menyarankan supaya praktik kehidupan umat berpusat pada
pengajaran kebenaran Allah yang terjadi dalam proses pembentukan karakter kristiani. Selain itu
menciptakan pendidikan yang berfokus pada ajaran Allah, menabur benih-benih nilai hidup,
menabur benih di hati sendiri dan orang lain, menabur iman, ilmu dan pelayanan.
P
Kata-kata kunci : implementasi, orasi, ketaatan, ketekunan
Implementation of Theological Reflection of David’s Oration for
Student’s Character Building Through Christian Education
Abstract
The research is intended to find out the essence of teaching by David in I Chronicles 28:1-10 for student’s
character education. This material is an oration delivered by David in front of all Israel people including
Salomo. The oration is full of behavior teaching to practice obedience and the persistence of dairy God’s will.
Research methodology used in this research adopts qualitative approach including : structure analysis, text
criticism, form criticism and analysis of theological reflection of I Chronicles 28:1-10. The result of this
research show the implementation of the oration (I Chronicles 28:1-10) to develop the characters through
values in God, like obedience and persistence in life based on God’s will. This research suggests that the
practise of human life should be centered on God’s truth teaching which happens in the process of Christian
characters formation. Besides it should create an education which focuses on God’s teaching, sow the seeds of
life value, both for ourselves and others, faith, knowledge and service.
Key words: implementation, oration, obedience, persistence
JJurnal Pendidikan Penabur - No.24/Tahun ke-14/Juni 2015
59
Implementasi Refleksi Teologis Orasi Daud
Pendahuluan
Menurut UUD 1945 Pasal 1 ayat 3 ’Negara
Indonesia adalah Negara Hukum’. Berdasarkan
kalimat tersebut sudah seharusnya supremasi
hukum di Indonesia ditegakkan. Namun, fenomena yang terjadi saat ini ternyata aparat
penegak hukum di Indonesia sedang diuji untuk
menyingkapkan kejahatan korupsi yang
semakin marak terjadi.
Tingginya dugaan dan kasus korupsi serta
melibatkan berbagai oknum aparatur negara
menimbulkan pertanyaan besar. Mengapa
terjadi demikian, seharusnya aparatur negara
yang berfungsi mencegah dan memberantas
tindakan korupsi malah ikut terlibat dalam
perbuatan korupsi. Selain tindakan korupsi,
perubahan arus hidup manusia yang cepat
dapat membawa dampak pada perubahan gaya
kehidupan mereka. Demikian pula meningkatnya kekerasan di hampir segala bidang
kehidupan yang hampir semua bermuara pada
penindasan dan kekerasan secara fisik ataupun
berupa tekanan-tekanan, stigma, perlakuan
tidak adil. Bahkan bagi mereka yang tidak dapat
menyikapi masa-masa sulit tersebut dengan
bijaksana, melakukan tindakan bunuh diri atau
membunuh orang lain.
Kekerasan dalam kehidupan masyarakat
menciptakan krisis nilai dan kepercayaan yang
merebak di mana-mana. Berbagai kecurangan
tanpa disadari telah dianggap sebagai hal yang
biasa dilakukan. Ironisnya ada banyak orang
pandai dan cerdas di masyarakat masa kini
namun kondisi yang terjadi tetap jauh dari yang
diharapkan. Fenomena ini merupakan salah satu
bukti yang memperlihatkan kecenderungan
masyarakat kita yang masih memandang segi
kognitif di atas segalanya. Padahal keunggulan
dalam segi kognitif tanpa diimbangi keunggulan
dalam bidang karakter akan menjadi suatu
kombinasi yang membahayakan bagi masa
depan kehidupan bangsa.1
Situasi perkembangan zaman semakin
mengkhawatirkan dan mengancam kehidupan
umat manusia. Thomas Lickona menggambarkan situasi jaman ini dengan penjelasannya
bahwa orang-orang pada masa ini demikian
cerdasnya dalam membedakan hal yang benar
60
Jurnal Pendidikan Penabur - No.24/Tahun ke-14/Juni 2015
dan salah, namun demikian ia tetap memilih
untuk melakukan yang salah.2 Situasi zaman
ini berhadapan dengan kehancuran nilai-nilai
moral dan merebaknya ketidakadilan. Budaya
kekerasan menjadi salah satu cirinya. Berbagai
fenomena tersebut dapat merembes ke dalam
berbagai bidang kehidupan salah satunya
pendidikan. Kasus kekerasan, kecurangan,
pelecehan seksual dan berbagai kasus lainnya
pun muncul di dalam lembaga yang diharapkan
menghasilkan generasi penerus bangsa.
Situasi lain berhubungan dengan praktik
kurikulum di sekolah-sekolah masih mengundang problematika. Praktik kurikulum pendidikan Indonesia memfokuskan murid supaya
sukses ujian nasional atau meraih Indeks Prestasi Kumulatif (IPK) yang tinggi. Penanaman nilainilai hidup yang menjunjung tinggi ketaatan
kepada Allah kurang diperhatikan dalam
pembelajaran di sekolah. Pemerintah mengklaim
keberhasilan para pelajar dalam olimpiade
dunia sebagai cerminan kualitas pendidikan di
Indonesia. Hal ini menjadikan pemerintah silau
pada prestasi secara kognitif saja.
Fenomena yang terjadi adalah isu bahwa
peserta didik hanya pintar secara intelektual
tetapi kurang berhasil dalam kualitas hidupnya.
Di lingkup pendidikan, kasus narkoba dan
budaya menyontek tetap berkembang dengan
terjadinya penyelewengan dalam soal ujian
nasional di beberapa tempat. 3 Banyak orang
pandai, tetapi moralitasnya tidak baik sehingga
melakukan tindak korupsi, tidak jujur, kurang
menghargai orang lain , dan tidak bertanggung
jawab.
Komunitas pendidikan di Indonesia tidak
luput dari serangkaian kasus plagiarisme.
Menurut berita di harian Tribune dituliskan
bahwa dosen lebih suka menjiplak tahun 2013
ada 808 kasus plagiarisme. Masih banyak dosen
yang melakukan plagiarisme untuk membeuat
karya ilmiah atau makalah yang dipublikasikan
pada jurnal ilmiah, nasional atau internasional.
Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi (Dirjen
DIKTI) Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan (Kemendikbud), Djoko Santoso, saat
dikonfirmasi tentang hal tersebut, mengakui
masih adanya proposal krusial dalam proses
sertifikasi dosen. Salah satunya adalah masih
adanya plagiarisme. Menurut data Kemen-
Implementasi Refleksi Teologis Orasi Daud
dikbud plagiat pada proses sertifikasi dosen
mencapai 808 kasus pada tahun 2013. Kasuskasus yang ditemui Kemendikbud antara lain
pemalsuan dokumen karya ilmiah, jurnal
rakitan, jurnal bodong, artikel sisipan, label
akreditasi palsu, nama pengarang sisipan, buku
lama tapi sampul baru dan nama pengarang
berbeda. Djoko menghimbau dan memberikan
peringatan kepada universitas dan Perguruan
Tinggi untuk tidak coba-coba melakukan
tindakan plagiarisme karena Kemendikbud
memiliki data yang lengkap. 4 Salah satu
penyebab suburnya plagiarisme adalah karena
tekanan dalam proses belajar mengajar yang
lebih menekankan pada pencapaian nilai angka
hasil belajar pada rapor, transkrip nilai dan
ijazah. Hal ini hampir tidak memperdulikan
integritas dan proses pendewasaan serta
perkembangan tanggung jawab peserta didik.
Seorang guru besar Filsafat Etika Politik STFT
Widya Sasana Malang mengatakan:
“Plagiarisme adalah tindakan pencurian
kreativitas intelektual yang meredupkan citra
rasa kreatif, ilmiah dan rusaknya bangunan
nurani, kejujuran dan cinta kebenaran”. 5
Maraknya plagiarisme merupakan tantangan
bagi pendidikan Kristen untuk mempertegas
proses pendidikan yang berintegritas dan jujur
sesuai dengan kehendak Allah.
Kurangnya perhatian pada nilai-nilai moral
dan religius dalam sistem pendidikan Indonesia
disertai dengan terjadinya kekerasan
antarpelajar. Tawuran antarpelajar, pemalakan,
pelecehan seksual, lemah secara mental,
ditemukannya narkoba di sekolah dan akhirakhir ini banyak muncul kasus siswa
melakukan bunuh diri. Berbagai rumusan
disusun untuk mencari akar permasalahan
kekerasan di kalangan pelajar ini. Salah satu
asumsi adalah lemahnya lembaga pendidikan
dalam membentuk individu menjadi pribadi
dewasa dan bertanggung jawab. Guru dianggap
gagal membentuk karakter pelajar yang cerdas
secara intelektual, sehat secara moral dan
berkarakter yang berpadanan pada citra ilahi
Allah
Berpijak pada fenomena yang terjadi,
penulis merasa perlu melakukan pengkajian dari
sudut pandang teologi sebagai salah satu
sumbangan pemikiran. Usaha-usaha yang
dilakukan dengan menganalisa teks 1 Tawarikh
(selanjutnya disingkat dengan Taw.) 28:1-10
sebagai salah satu pengajaran untuk
memberikan sumbangsih terhadap situasi yang
terjadi.
Pembahasan
Struktur dan Analisis Teks 1 Tawarikh 28:110
Bagian teks 1 Taw. 28:1-10 sebagai narasi yang
disebut dengan royal speeches yang disajikan
dalam bentuk orasi sesuai dengan konteks
Tawarikh. Tokoh Daud dan Salomo dituliskan
sebagai pemeran utama dan tokoh pahlawan
dalam Tawarikh.6 Karya 1 Taw. 28:1-10 sebagai
bagian dari kumpulan karya yang menampilkan
tokoh Daud dan Salomo yang telah berhasil
membangun kejayaan Israel baik dalam bidang
kultus dan pemerintahan. Welhausen
menuliskan peranan Daud yang dinyatakan
menurut pemberitaan Tawarikh sebagai pendiri
bait suci, ibadah publik, raja, pahlawan pasukan
militer, pemimpin kelompok imam dan kaum
Lewi.7 Mereka adalah raja-raja Israel yang dipilih
dan diteguhkan Allah. Seorang raja dan
kerajaan Israel merupakan institusi penting bagi
sejarah Israel. Pendapat ini dinyatakan juga
menurut Wellhausen yang disadur oleh
Gerbrandt yaitu, ‘The history of Israel reached its
highest point in the monarchy’.8
Karya 1 Taw.28:1-10 merupakan orasi Daud
yang memiliki dua bagian sastra, yaitu
pernyataan dan argumen yang berhubungan
dengan maksud perkataan yang disampaikan.9
Sementara pandangan modern mengatakan
lebih banyak lagi unsur-unsur dalam orasi yang
memiliki fungsi retorik meliputi bagian akar
perkataan dan bagian lain yang memuat
penjelasan yang melibatkan emosi dari orang
yang berorasi.10 Pada bagian ini Daud, Salomo
dan jemaah memiliki kedudukan bukan hanya
sebagai pembuat pernyataan-pernyataan saja.
Tetapi upacara yang dilakukan diyakini berada
dalam pendengaran Allah. Apa yang dikatakan
Daud di hadapan jemaah merupakan bagian
untuk menjalankan apa yang diperintahkan
Allah. Bagian yang menjadi refleksi kita adalah
relevansi dari orasi Daud dalam 1 Taw. 28:1-10
bagi umat melalui panggilan gereja dalam
JJurnal Pendidikan Penabur - No.24/Tahun ke-14/Juni 2015
61
Implementasi Refleksi Teologis Orasi Daud
pendidikan Kristen yang meliputi aspek
pengertian, peran pendidikan, para pelaku
pendidikan, isi dan kurikulum pendidikan nilainilai Kristiani yang dapat dipraktikkan.
Penulis Tawarikh secara teliti menuliskan
aspek-aspek tulisan sejarah dengan
mencantumkan berbagai cerita sejarah Israel
yang telah terjadi dan disampaikan pada situasi
maisng-masing11. Sementara Japhet menuliskan
pandangannya dengan kalimat, “Taking all this
consideration the best definition of Chronicles is that
of a history written not by a mere historian but by an
author who is fully aware of this task.”12 Pemberitaan
1 Taw. 28:1-10 sebagai salah satu contoh
pengulangan sejarah Israel yang telah tercatat
pada sumber-sumber tulisan lainnya (karya
sejarah Deuteronomistis) dan berisi orasi Daud
di hadapan jemaat Yerusalem. Melalui
pemberitaan ini, karya keselamatan dinyatakan
Allah kepada umat sebagai anugerah yang
dijalin melalui pola hidup taat kepada Allah
dengan memelihara dan melakukan perintahNya. Hal tersebut dapat diaktualisasikan dengan
memelihara kehidupan iman kepada Allah
secara murni melalui pelaksanaan ibadah.
Terciptanya pola kehidupan iman kepada Allah
menciptakan kehidupan umat, dari pemimpin
sampai pada rakyat biasa, bergantung pada
kepemimpinan Allah. Otoritas Allah yang
dinyatakan melalui perintah dan peraturan-
peraturan bagi semua umat menjadi dasar bagi
keberlangsungan berbagai aspek kehidupan
mereka.
Analisis Teks 1 Tawarikh 28:1-10
Narasi 1 Taw. 28:1-10 sebagai bagian unit literal
dari 28:1-29:30 yang menjelaskan mengenai
tindakan Daud ketika mengumpulkan semua
pembesar Israel di Yerusalem untuk
merencanakan pembangunan Bait Allah. Bagian
ini merupakan salah satu orasi Daud yang
dikategorikan sebagai pidato kenegaraan
dengan latar belakang cerita kerajaan Israel Raya
yang dipimpin Daud. Usaha yang dilakukan
penulis untuk menjelaskan bagian orasi Daud
dalam 1 Taw. 28:1-10 dilakukan melalui struktur
semantik teks seperti terlihat pada Gambar 1.
Dengan memperhatikan struktur 1 Taw.
28:1-10, bagian orasi Daud diawali dengan
perkataannya setelah mengumpulkan para
pembesar di Yerusalem. Bagian ini ditandai
dengan kata kerja (dia berkata) pada ayat 2.
Perkataan Daud ini dialamatkan kepada dua
pendengar, yaitu kelompok pembesar di Israel
(ayat 1) yang disebutkan Daud dan alamat yang
lain yaitu kepada Salomo.
Penulis atau redaktur Tawarikh
menggunakan setting istana Daud dengan
perangkat pemerintahannya sebagai raja Israel.
Perkataan Daud tersebut merupakan pidato
Pembesar Jerusalem (Kepala)
Kekudusan dalam pembangunan
Peliharalah dan tuntuntutlah segala perintah Tuhan
Supaya tetap mendiami negeri
Daud berkata
Rencana membuat tempat ibadah /perhentian untuk Tuhan
Supaya kekal kerajaanmu dan mendapat perkenan Allah
Bertekunlah melakukan segala perintah Tuhan
Hubungan yang baik dengan Allah
Salomo
Gambar 1: Orasi Daud dalam 1 Taw. 28: 1-10
62
Jurnal Pendidikan Penabur - No.24/Tahun ke-14/Juni 2015
Implementasi Refleksi Teologis Orasi Daud
kenegaraan yang resmi disampaikan di hadapan
para pembesar Yerusalem. Terdapat penjelasan
secara detail mengenai kelompok pembesar
Yerusalem yang berkumpul pada saat
mendengar pidato Daud tersebut. Penulis atau
redaktur menerangkan secara detail bahwa
kelompok ini mendapatkan pengaruh konsep
Persia pada bagian struktur pegawai istana13.
Isi pidato Daud yang ditujukan kepada
kelompok pembesar Yerusalem memberikan
pokok penting mengenai rencana Daud dan
konsekuensi untuk melaksanakan rencana
tersebut (ayat 1-8). Kemudian penulis atau
redaktur menuliskan kembali pokok penting
maksud perkataan Daud dan konsekuensinya
kepada Salomo sebagai seorang yang dipilih
untuk melaksanakan pembangunan bait Allah
(ayat 9-10). Tema utama nats ini adalah maksud
Daud mendirikan rumah perhentian14 untuk
tabut perjanjian Tuhan sebagai tumpuan kakiNya. Kehadiran Allah diyakini berada di tempat
perhentian-Nya (bait-Nya) yaitu di antara umatNya akan dapat terwujud apabila mereka
memelihara, menuntut dan bertekun melakukan
segala perintah Allah. Konsekuensi logis hidup
taat kepada perintah Allah yang telah hadir di
tengah umat adalah kesejahteraan dan kejayaan
kerajaan Israel selama-lamanya (ayat 6), tetap
mendiami negeri yang diberikan Allah selamalamanya (ayat 8) dan mendapat perkenanan
Allah (ayat 9).
Analisis Bentuk Teks 1 Tawarikh 28: 1-10
Bentuk sastra 1 Tawarikh 28:1-10 merupakan
jenis sastra laporan yang mengandung narasi
berupa orasi yaitu pidato atau perkataan
langsung yang disampaikan seseorang atau
pemimpin mengenai suatu hal di hadapan orang
banyak. Terdapat beberapa kriteria mengenai
perkataan raja dalam Tawarikh, yaitu: perkataan
langsung dari seorang raja di hadapan jemaah,
bukan bagian dari percakapan, dan isi
perkataannya sesuai dengan kerangka pikiran
yang disampaikan dan memiliki keunikan
dalam pemberitaan Tawarikh15. Berdasarkan
penelitiannya, Thronveit menuliskan pandangan Braun bahwa terdapat 26 perkataan raja yang
mengalami analisis, penterjemahan dan
peredaksian di antaranya 1Taw. 28:2-1016.
Pada bentuk sastra ini terdapat kesejajaran
penggunakan kalimat perintah dalam bentuk
orasi dari perkataan raja. Kalimat yang
dipergunakan bersifat retrospeksi terhadap
sejarah dan mengacu pada situasi mendesak.
Perkataan raja dalam Tawarikh memberi
perhatian pada kultus dan objek-objeknya
khususnya bait Allah. Penggambaran karakter
formal dalam orasi ini yaitu dirancang bagi
kelompok pendengar khusus dengan
menggunakan kalimat perintah atau yang sejajar
untuk memperkenalkan inti dari perkataan
ketika menyampaikan restropeksi sejarah
tersebut17.
Pesan Teologis Orasi Daud Menurut 1
Tawarikh 28 : 1-10
Orasi Daud yang tercatat dalam 1 Taw. 28:1-10
dilakukan di hadapan semua pemimpin
Yerusalem termasuk Salomo yang diproyeksikan
sebagai Raja Israel menggantikan Daud. Hal ini
mengindikasikan, Daud menyampaikan suatu
pengajaran yang penting baik bagi para
pemimpin pemerintah maupun rakyatnya.
Penggambaran Daud sebagai raja Israel
melalui orasinya dalam 1 Taw. 28:1-10 memiliki
tinjauan teologis berdasarkan konteksnya. Pesan
teologis tersebut dapat diuraikan sebagai berikut.
1. Menempatkan Allah dalam posisi utama
dengan menghadirkan otoritas-Nya dalam
kehidupan manusia. Di hadapan para
pembesar dan pemimpin Israel, Daud
membuka orasinya dengan menempatkan
Allah pada posisi utama. Daud memberikan
pengajaran bagaimana memulai suatu
langkah kehidupan dengan menghadirkan
Allah dalam kehidupan manusia.
Pembangunan tempat untuk Tabut
Perjanjian Allah menurut tinjauan teologi
sebagai simbol kehadiran Allah yang
berintervensi dalam sejarah Israel. Allah
sebagai sumber kehidupan manusia akan
terus hadir dan manusia menyembah-Nya
dalam kekudusan.
2. Menjaga kekudusan dan hubungan yang
baik dengan Allah dalam praktik kehidupan
umat. Pembangunan tempat kultus bagi
Allah dilakukan dalam kekudusan, hal ini
tidak berarti bahwa mereka yang memimpin
JJurnal Pendidikan Penabur - No.24/Tahun ke-14/Juni 2015
63
Implementasi Refleksi Teologis Orasi Daud
3.
64
pembangunan adalah orang kudus. Daud
digambarkan sebagai orang yang begitu
menjaga kekudusan Allah. Kesalahan yang
seharus tidak dilakukannya membuatnya
tidak layak untuk menunaikan tugas dari
Allah. Walaupun demikian, Daud tetap
menunaikan tanggung jawabnya dengan
benar di hadapan Allah. Aktualisasi
pembangunan bait Allah dilakukan oleh
mereka yang menjalin hubungan yang baik
dengan-Nya. Relasi ini digambarkan dalam
hubungan kedekatan seorang bapa dengan
anaknya.
Kehadiran Allah di tengah umat dapat terus
terpelihara apabila mereka bertekun,
memelihara, menuntut dan melakukan
segala perintah-Nya dalam ketaatan.
Ketaatan kepada Allah dilakukan di bawah
kepemimpinan seorang yang adalah
pilihan Allah. Ia adalah yang menghadirkan kuasa dan otoritas Allah di antara
umat-Nya. Karya Allah diyatakan dalam 1
Taw.28 : 5, “Dan dari antara anak-anakku
sekalian banyak anak telah dikaruniakan
Tuhan kepadaku Ia telah memilih anakku
Salomo untuk duduk di atas tahta
pemerintah Tuhan atas Israel”. Bagian ini
merupakan rangkaian orasi Daud di
hadapan bangsa Israel sehingga peristiwa
ini melibatkan semua umat. Perkataan ini
mengarah kepada pernyataan kerajaan
Allah yang hadir di tengah-tengah
kehidupan bangsa Israel yang dilegitimasikan kepada Salomo. Perhatian ayat ini
adalah pemilihan Allah atas Salomo yang
digambarkan oleh penulis Tawarikh
sebagai karya ilahi Allah. Legitimasi Allah
atas Salomo menunjukkan kedaulatan
Allah atas pemerintahan Daud. Ia
memadukan pemerintahan Allah dalam
setiap hal yang dilakukannya. Jacob M.
Myers menuliskan bahwa kisah pemilihan
Salomo menjadi raja Israel merupakan kisah
pengalihan takhta kerajaan Israel yang
bersifat religius18. Tema pemilihan dinasti
Daud untuk menjadi pemimpin bangsa
Israel merupakan pemenuhan janji Allah
kepadanya. Hubungan yang erat antara
Allah dengan keturunan Daud dinyatakan
melalui perjanjian yang mengikat dan
Jurnal Pendidikan Penabur - No.24/Tahun ke-14/Juni 2015
4.
menunjukkan partisipasi Allah dalam
pemerintahannya. Ketekunan memelihara
dan melakukan segala perintah Allah
untuk mengokohkan kehidupan umat.
Konsep perintah dan peraturan Allah
dalam kehidupan Israel dipraktikkan
melalui tanggung jawab pemimpin terpilih.
Penegakkan kebenaran, keadilan, dan
kesejahteraan masyarakat merupakan
bagian dari tugas dan tanggung jawab
pemimpin Allah. Pengakuan Allah sebagai
pemimpin tertinggi yang menyatakan
otoritasnya di hadapan umat merupakan
dasar terlaksananya kesejahteraan bagi
semua lapisan masyarakat. Upaya
membangun kehidupan atas dasar
perjanjian yang kudus dengan Allah
merupakan bagian dari pelaksanaan
perintah-Nya. Ketika konsep perjanjian
“Aku Allahmu dan engkau umat-Ku”
dipraktikkan dalam kehidupan umat, saat
itulah umat tunduk pada otoritas Allah
sehingga apapun yang dikerjakan
merepresentasikan kehendak-Nya. Konsep
bertekun melakukan perintah Allah dapat
diartikan sebagai kemampuan bertahan
untuk melakukan sesuatu secara aktif
perintah-perintah tersebut.
Kesejahteraan, kedamaian, dan kebahagiaan dialami umat melalui otoritas ilahi
Allah yang hadir di tengah kehidupan yang
diresponi dengan praktik kultus. Hal ini
dilakukan melalui ketekunan memelihara
dan melaksanakan perintah Allah. Hidup
dalam ketaatan kepada perintah Allah
membuahkan kehidupan yang sejahtera,
damai, dan bahagia. Israel akan tetap
mendiami negeri yang diberikan Allah dan
mewariskannya sampai selama-lamanya,
kerajaannya akan tetap kokoh sampai
selama-lamanya dan mereka mendapat
perkenanan Allah.
Relevansi Orasi Daud Menurut I Tawarikh
28:1-10 Bagi Umat Melalui Pendidikan Kristen
Bidang pendidikan memerlukan para pemimpin
yang tidak hanya berorientasi pada kepentingan
pribadinya tetapi memiliki kepekaan dan sikap
terhadap kesejahteraan bagi sesamanya.
Kebijakan yang diambil dalam bidang
Implementasi Refleksi Teologis Orasi Daud
pendidikan berfungsi mengembangkan
kemampuan dan membentuk watak serta
peradaban bangsa yang bermartabat. Hal ini
dilakukan dalam rangka mencerdaskan
kehidupan bangsa dan berperilaku yang
menunjukkan ketaatan kepada Allah.
Pola pendidikan yang menempatkan
ketaatan kepada Allah adalah pendidikan yang
tidak semata-mata menekankan sisi kognitif
untuk menghasilkan lulusan yang nantinya
hanya menjadi manusia yang berkualitas secara
ilmu. Akan tetapi, mereka juga menjadi individu
yang berperilaku benar di hadapan Allah yaitu
mengasihi Allah dan sesama secara
bertanggung jawab. Hal ini dapat terwujud
apabila para pemimpin di negara tercinta ini
membangun integritas atas dasar relasi yang
benar dengan Allah. Konsepsi dasar keimanan
kepada Allah dapat menumbuhkan keteladanan
bagi para siswa yang tidak hanya berkualitas
dalam pengetahuan tetapi juga menjadi pribadi
yang beriman kepada Allah dalam aspek
kemanusiaannya.
Tujuan Pendidikan Kristen
Kemajuan ilmu pengetahuan yang pesat
haruslah diimbangi dengan sistem pendidikan
yang mengabdikan pada kesejahteraan bersama
melalui pengembangan moral dan religi. Apabila
tidak disertai dengan sikap yang bijak dalam
menanggapi situasi ini, bisa saja terjadi
pergeseran paradigma keyakinan kehidupan
manusia yang bertuhankan pada pengetahuan.
Kehidupan manusia menjadi kehilangan
integritas karena segala sesuatu akan ditentukan
oleh pengetahuan dan mengarah pada pola
kehidupan hedonisme dan materialisme 19.
Seharusnya kemajuan pengetahuan lebih
mengarah pada penghayatan manusia kepada
otoritas Allah. Kehebatan manusia tetap
memiliki keterbatasan dan mereka harus
mengakui, Allah adalah pencipta dan manusia
adalah wakil Allah di bumi untuk menjalankan
kehendak-Nya.
Berhubungan dengan dimensi pendidikan
yang meliputi kehidupan religius manusia,
maka Doni Koesoema memberikan pengertian
bahwa pendidikan merupakan sebuah usaha
sadar yang ditujukan bagi pengembangan diri
manusia secara utuh, melalui berbagai macam
dimensi yang dimilikinya (religius, moral,
personal, sosial, kultural, temporal, institusional,
relasional) demi proses penyempurnaan dirinya
secara terus menerus dalam memaknai hidup
dan sejarahnya di dunia ini dalam kebersamaan
dengan orang lain20.
Pendidikan selain sebagai pengajaran ilmu
pengetahuan, dipahami juga sebagai proses
penanaman ajaran dan nilai-nilai Kristiani yang
bertujuan mengubah dan memperbaiki kualitas
hidup manusia dalam arti yang seluas-luasnya.
Kegiatan pendidikan termasuk dalam tiga tugas
panggilan gereja (koinonia, marturia, dan
diakonia). Dengan demikian, pendidikan Kristen
sebagai upaya untuk menyaksikan ajaran-ajaran
Allah, membina iman dan ketaatan masyarakat,
menolong masyarakat untuk mendapatkan
pengetahuan dan keterampilan sehingga
meningkatkan kualitas hidup dan kesejahteraan
sosial ekonomi mereka.
Sistem pendidikan yang berada di bawah
otoritas Allah akan menciptakan pola
kehidupan yang berkeadilan bagi semua
masyarakat21. Rasa humanis yang dinyatakan
melalui kesadaran akan keberagaman manusia
merupakan nilai rasa yang menjunjung tinggi
pada otoritas Allah sebagai pencipta. Kesadaran
ini akan bertumbuh atas dasar jalinan relasi
yang benar dengan Allah. Ketika manusia
menyatakan pengakuan Allah atas hidupnya
dan dengan kerendahan hati menempatkan
dirinya sebagai umat-Nya, maka integritas moral
akan terwujud. Konsep ini akan menciptakan
sistem pendidikan yang membebaskan manusia
dari kemiskinan dan bentuk penindasan.
Pendidikan yang membebaskan adalah
pendidikan yang mengembangkan rasa
tanggung jawab sebagai warga negara untuk
mewujudkan masyarakat Indonesia yang damai
dan berkeadilan 22. Pendidikan diupayakan
untuk bersahabat dan berpihak pada kaum
miskin dan lemah sehingga mereka memperoleh
kesempatan untuk belajar dan mengembangkan
dirinya23.
Sistem pendidikan Kristen perlu
dipraktikkan lebih holistik yang membantu anak
didik mengembangkan semua segi
kemanusiaannya seperti segi kognitif, segi
JJurnal Pendidikan Penabur - No.24/Tahun ke-14/Juni 2015
65
Implementasi Refleksi Teologis Orasi Daud
sosialitas, segi moral, dan segi spiritual.
Pandangan ini mengarahkan anak didik untuk
dapat melihat segi-segi kehidupan yang hidup
sebagai ciptaan yang menghargai Tuhan dan
ciptaan-Nya 24. Praktik pendidikan Kristen
memiliki tujuan untuk membangun peserta didik
supaya dapat mengembangkan iman dan
pengetahuannya tentang Firman Tuhan dalam
kehidupan mereka sehari-hari, sehingga mereka
dapat mengaktualisasikan diri sesuai dengan
maksud dan kehendak Tuhan Allah dalam
penciptaan25.
Pendidikan Karakter sebagai Bagian
Pendidikan Kristen
Salah satu bagian praktik Pendidikan Kristen
yang diajarkan kepada peserta didik adalah
pendidikan karakter. Beberapa waktu ini,
wacana tentang pendidikan karakter hangat
dibicarakan. Hal ini muncul bukan tanpa sebab,
tetapi ada berbagai urgensi yang terjadi dalam
masyarakat umum termasuk jemaat Kristen.
Urgensi mengenai pendidikan karakter ini
mengarahkan kepada pemahaman mengenai
pendidikan karakter itu sendiri supaya
terimplementasi dengan baik.
Istilah ‘karakter’ dipahami dengan cara
pandang yang berbeda, yaitu :sebagai sesuatu
yang dibawa sejak lahir (given) dan sebagai
sesuatu yang dikehendaki manusia dalam
proses yang dialaminya (willed)26. Manusia
memiliki berbagai kecenderungan yang dibawa
sejak lahir. Sejarah yang dialami manusia
memperlihatkan bahwa manusia dapat
beradaptasi dengan lingkungannya. Mereka
dapat bertumbuh sesuai dengan yang mereka
inginkan. Pandangan ini mengarahkan pada
pemahaman bahwa intervensi yang dilakukan
manusia secara sadar dalam proses pendidikan
dapat mengubah dan menentukan arah
perkembangan kehidupan manusia. Manusia
memiliki peran dan tanggung jawab untuk
membentuk karakter mereka. Karakter yang
dimiliki manusia merupakan suatu struktur
antropologis yang terarah dalam proses
penyempurnaan diri manusia secara terus
menerus dalam rangka menjawab hal-hal yang
menyangkut eksistensinya27.
Pendidikan karakter yang dialami manusia
meliputi pendidikan moral dan pendidikan
66
Jurnal Pendidikan Penabur - No.24/Tahun ke-14/Juni 2015
nilai. Pendidikan moral mengarahkan pada
pengambilan keputusan moral secara individu
dalam hal-hal yang berkenaan dengan apa yang
dianggap baik dan tidak baik dalam relasi
dengan orang lain. Sementara pendidikan nilai
diarahkan pada nilai-nilai yang menjadi
pedoman seorang individu dalam kehidupannya.
Tujuannya adalah mengaktualisasikan diri
dalam nilai-nilai tersebut. Nilai yang dimaksud
misalnya nilai kejujuran, nilai kesetiaan, dan nilai
kepedulian.
Pendidikan karakter melibatkan pendidikan
moral dan pendidikan nilai dalam praktiknya.
Seorang pendidik baik guru di gereja maupun di
sekolah bertanggung jawab supaya anak
didiknya mampu mempraktikkan implikasi etis
berbagai macam perubahan, mampu mengembangkan nilai-nilai dalam dirinya, serta mampu
mengambil keputusan berdasarkan pemahaman
yang jelas tentang nilai-nilai tersebut28.
Relasi antarpribadi dibutuhkan dalam
praktik pendidikan karakter sebagai suatu
perjumpaan yang saling memperkaya dan
menumbuhkan setiap individu dengan latar
belakang yang berbeda. Perbedaan ini
dipengaruhi oleh komunitas tempat individu itu
berada yang menciptakan nilai-nilai yang
berbeda pula. Melalui pendidikan karakter
keberagaman pemahaman tersebut diarahkan
untuk memperoleh pemahaman yang lebih jelas
akan praktik nilai-nilai yang terkandung. Hal ini
akan menciptakan individu yang mengabdikan
dirinya dengan penuh integritas untuk hidup
sesuai dengan nilai-nilai yang diyakininya itu.
Arah pendidikan karakter dalam komunitas
masyarakat dan jemaat khususnya mewujudkan
individu yang kualitas yang tinggi dalam
kompetensi serta praktik moral dan nilai hidup
yang sesuai dengan kehendak Allah.
Peran Nilai dalam Pendidikan Karakter
Pendidikan nilai bertujuan untuk aktualisasi diri
dengan mendalami nilai-nilai yang menjadi
acuan hidup seseorang. Sementara pendidikan
karakter lebih menekankan penerapannya dalam
konteks hubungan dengan lingkungan
sekitarnya. Pendidikan karakter merupakan
suatu usaha bersama dari suatu komunitas untuk
menampilkan suatu karakter tertentu sebagai
suatu hal yang dianggap baik dan berguna, tidak
Implementasi Refleksi Teologis Orasi Daud
hanya bagi diri sendiri tetapi juga bagi orang lain.
Dengan demikian, keselarasan dalam sikap dan
tingkah laku bersama merupakan salah satu
kunci keberhasilan pendidikan karakter.
Nilai-nilai yang teraktualisasi merupakan
pedoman berkembangnya karakter. Nilai yang
dimaksud adalah sesuatu yang dianggap sebagai
dasar atau alasan bagi manusia dalam
melakukan sesuatu. Dalam pembicaraan tentang
nilai terdapat dua bagian yang perlu
diperhatikan yaitu, nilai sebagai bagian dari
setiap individu dan nilai sebagai bagian dari
suatu masyarakat atau kebudayaan. Nilai
sebagai bagian dari individu merupakan suatu
hasil sementara dari proses yang dialami
individu dalam interaksinya dengan berbagai
lingkungan dimana ia berada. Nilai ini dapat
berbeda, tetapi dapat pula sama dengan nilai
suatu masyarakat atau kebudayaan. Pendidikan
karakter tidak berpretensi untuk mengikat nilai
individu dan serta merta menggantinya dengan
nilai-nilai tertentu yang dijunjung oleh suatu
lembaga. Pendidikan karakter memberikan ruang
bagi keberagaman itu untuk saling bertemu dan
berinteraksi dalam konteks menjawab tantangan
dan persoalan manusia dan mewujudkan peran
dan tanggung jawabnya di tengah dunia yang
terus berubah. Nilai-nilai yang dimiliki oleh
setiap individu akan terus dikembangkannya
sendiri, namun dalam praksisnya, karakter yang
diharapkan muncul dalam rangka kehidupan
bersama hadir sebagai koridor yang membatasi
individu dalam kesadarannya akan kebebasannya29.
Pendidikan karakter memberikan
kesadaran bagi siswa untuk menempatkan
dirinya dalam hubungan dengan sesama.
Sementara pendidikan nilai dapat memperkaya
wawasan anak akan kedalaman nilai-nilai
tersebut. Pendidikan karakter secara tidak
langsung dan tidak disadari sudah dilakukan
dan dialami oleh setiap manusia sepanjang
kehidupannya. Nilai-nilai yang umum diakui
orang sebagai sesuatu yang luhur, seperti
kejujuran dan keadilan sudah berkembang
sebelum anak masuk dunia pendidikan dan
masyarakatnya. Setiap individu lahir di tengahtengah keluarga dan terdapat penetapan nilainilai tertentu menjadi prasyarat tanpa sadar
sebagai pembentuk suatu keluarga. Terjadi
penetapan kesepakatan nilai-nilai tertentu yang
terbentuk dalam suatu keluarga. Asumsi ini
mengarahkan pada pemahaman pendidikan
karakter sudah dimulai sejak seorang individu
lahir di tengah-tengah keluarga sebagai suatu
komunitas yang menjunjung nilai-nilai tertentu
dalam bersikap dan berperilaku.
Pendidikan Kristen yang dinyatakan
melalui pendidikan karakter berdasarkan pada
nilai-nilai luhur kekristenan dilakukan oleh
gereja melalui sekolah Minggu dan sekolahsekolah Kristen secara terfokus, komprehensif
dan berkesinambungan. Terfokus berarti
pendidikan yang dilakukan bukan tanpa arah
tetapi memiliki suatu tujuan yang jelas dan dapat
diukur. Komprehensif berarti pendidikan yang
dilakukan menyeluruh dalam segala aspek
penyelenggaraan pendidikan. Berkesinambungan berarti proses pendidikan dilakukan
secara sistematis dengan memperhatikan
tahapan-tahapan perkembangan dan pencapaian setiap individu30.
Simpulan
Kesimpulan
Nilai-nilai Kristiani yang akan dijadikan sebagai
panduan
dilakukan
sebagai
usaha
mengintisarikan nilai-nilai utama sebagaimana
yang bersumber pada ajaran Allah. Usaha
menentukan nilai-nilai tersebut diartikan sebagai
acuan utama dalam menentukan sikap dan
perilaku. Ruang untuk menggumuli Nilai-Nilai
Kristiani diciptakan dalam interaksi yang
dilakukan oleh setiap individu dalam keluarga,
komunitas pendidikan dan masyarakat.
Situasi dan kondisi yang dihadapi jemaat
pasca pembuangan menggugah penulis
Tawarikh untuk menghasilkan tulisannya.
Melalui materi orasi Daud dalam 1 Taw. 28:1-10,
kehadiran otoritas Allah di tengah umat dalam
situasi umat yang mengalami krisis eksistensi,
krisis agama, dan krisis sosial dinyatakan.
Penulis Tawarikh menghadirkan otoritas Allah
dalam kehidupan umat melalui pengaktualisasian nilai-nilai kekudusan hidup, membangun
relasi dengan Allah, ketekunan, dan ketaatan
melakukan perintah Allah. Nilai-nilai tersebut
berlaku bagi semua umat termasuk para
JJurnal Pendidikan Penabur - No.24/Tahun ke-14/Juni 2015
67
Implementasi Refleksi Teologis Orasi Daud
pemimpin dan bangsawan sehingga kehidupan
beriman kepada Allah, kedamaian,
kesejahteraan, keadilan, dan mendapat
perkenanan Allah.
Implikasi
Pengajar Pendidikan Kristen
Keluarga
Pendidikan karakter dan nilai anak merupakan
tanggung jawab utama orang tua dalam
keluarga. Mereka berperilaku sebagai agen
pendidikan moral dan nilai hidup bagi anakanak, sehingga gereja perlu memberikan
perhatian pada pertumbuhan karakter keluargakeluarga tersebut. Keluarga mempengaruhi
pembentukan watak, iman dan tata nilai anakanaknya. Robert Coles mengakui bahwa
keluarga merupakan lingkungan primer dalam
membentuk kecerdasan moral anak31. Sebelum
menerima pengaruh dari teman sebaya dan guru
di sekolah, anak sudah mendapat pengaruh dari
keluarganya.
Terdapat hal-hal penting mengenai
pertumbuhan anak dalam keluarga, menurut
Paul Meier aspek-aspek yang bertumbuh dalam
kehidupan keluarga adalah kasih, disiplin,
konsistensi aturan, keteladanan, kepemimpinan32. Melalui uraian tersebut dikemukakan
bahwa karakter, tata nilai, potensi, dan cara
beriman tercipta dan berkembang dari keluarga
asal yaitu tempat dibesarkan. Dalam keluarga
pendidikan nilai-nilai Kristiani dapat dipraktikkan. Ada banyak cara dapat dikembangkan
orang tua dan komunitas keluarga untuk
menanamkan nilai-nilai tersebut kepada anak.
Orang tua dengan sadar menjadikan dirinya
teladan moral dalam mendemonstrasikan nilai
hidup dan karakter yang baik dan benar untuk
diteladani anak. Orang tua dapat memberi
berbagai latihan untuk terus berbuat baik
disertai hukuman dan pujian yang seimbang.
Orang tua dapat memberikan penjelasan melalui
nasihat dan diskusi untuk memberi informasi
kepada anak. Orang tua memelihara kedekatan
dengan anak supaya mereka dapat
mengidenfikasi dirinya. Orang tua dapat
membangun persahabatan dengan saudara di
lingkungan keluarga dan teman-teman di luar
rumah tempat anak belajar dari sesamanya.
68
Jurnal Pendidikan Penabur - No.24/Tahun ke-14/Juni 2015
Keluarga khususnya orang tua memiliki
tugas untuk mendidik anak-anaknya bertumbuh
dalam nilai-nilai kerohanian kepada Allah
dalam Yesus Kristus. Orang tua adalah tokoh
terdekat bagi anak yang Allah kehendaki
menjadi pembentuk generasi penerus. Kasih,
kesetiaan, dan kesediaan belajar terus menerus
itulah yang sangat diperlukan. Berhubungan
dengan tersebut keluarga secara teologis disebut
sebagai miniatur gereja. Keluarga sebagai
komunitas yang mengemban misi panggilan
Allah untuk menyatakan kasih dan kebenaranNya33. Keluarga memiliki tanggung jawab untuk
membimbing anak-anaknya dalam menentukan
sikap sesuai dengan nilai-nilai kebenaran Allah.
Keluarga menjadi tempat ditaburnya nilai-nilai
ketaatan, ketekunan, pengendalian diri,
kepeduliaan, kejujuran dan tuntunan Allah.
Guru Kristen
Guru Kristen yang dimaksud meliputi guru
Sekolah Minggu dan guru Pendidikan Agama
Kristen di sekolah. Mereka memiliki peranan
dalam pembentukan dan pertumbuhan spiritual
anak melalui praktik nilai-nilai Kristiani. Mereka
merupakan rekan kerja orang tua dalam
mendidik dan mengajar anak. Salah satu
keterampilan emosi dasar yang dimiliki guru
meliputi pengajaran mengenai pengenalan
perasaan dan memberikan label pada setiap
emosi yang dirasakan. Hal ini penting untuk
menyadari adanya hubungan antara pikiran,
perasaan dan tindakan. Seorang guru dapat
membimbing anak didiknya untuk mengenali
perasaan-perasaannya dalam berbagai situasi
serta memahami bagaimana munculnya
berbagai perasaan tersebut. Pada bagian ini
seorang guru mengajarkan dan memberikan
contoh bagaimana mencari cara untuk
mengendalikan emosi. Mengarahkan perasaan
takut, cemas dan sedih menjadi sesuatu yang
positif dalam hidup mereka.
Peranan seorang guru bukan hanya
sekadar mengajar dan menghasilkan orang yang
suci dan alim tetapi dengan pengetahuan yang
rendah. Pengajaran pengetahuan didasari
dengan pembentukan sikap menghargai orang
lain walaupun berbeda pendapat, saling
mempercayai keterampilan sosial, saling
Implementasi Refleksi Teologis Orasi Daud
mengampuni, dan membantu peserta didik
untuk memiliki ketaatan kepada kehendak
Allah. Pembinaan dan penanaman karakter
yang dikehendaki Allah harus benar-benar
dilakukan34.
Saran
Berdasarkan kesimpulan dan implikasi hasil
pembahasan sesuai dengan tujuan penelitian
yang dituliskan, terdapat beberapa saran yang
diharapkan dapat memberikan kontribusi dalam
merelevansikan orasi Daud dalam 1 Taw. 28:110 bagi pendidikan karakter. Saran-saran
tersebut sebagai berikut:
Pertama, praktik kehidupan umat harus
berpusat pada pengajaran kebenaran Allah
dengan menghadirkan otoritas-Nya. Kehadiran
Allah akan terlibat dalam proses pembentukan
manusia, karakter, keterampilan dan
kemampuan intelektualnya. Panggilan untuk
menghadirkan otoritas Allah dalam pendidikan
yang dijalankannya dapat diartikan bahwa
pendidikan Kristen terpanggil untuk
menjunjung prinsip-prinsip kebenaran dan
keadilan meskipun berada di tengah-tengah
degradasi moral dan praktik penghalalan segala
cara yang berkembang luas. Pendidikan Kristen
memiliki peran rangkap di tengah masyarakat,
yaitu terus mengupayakan menahan laju
kejahatan, kebobrokan, kepalsuan dan
ketidakadilan. Pada saat yang bersamaan harus
mengupayakan penyebaran secara luas asasasas kebenaran, keadilan dan kebaikan Allah.
Upaya mempertahankan jati diri dalam
pendidikan Kristen dilakukan dengan
mentransfer nilai-nilai moral dan pembentukan
karakter kepada seluruh anak didik. Para anak
didik tidak saja mendapat pengajaran tetapi
juga mengalami dan merasakan begaimana
kehidupan menjadi pelaku kebenaran Allah.
Kedua, Pendidikan Kristen sebagai pilar
untuk taat melakukan perintah dan peraturan
Allah. Praktik ketaatan ini dapat dinyatakan
melalui pelayanan yang holistik dalam aspek
pendidikan yang dilaksanakan. Melayani
sesama merupakan wujud dari melakukan
kehendak dan perintah Allah. Melayani berasal
dari hati, motivasi dan semangat serta jiwa yang
mendasari aktivitas tersebut. Pelayanan yang
dapat dilakukan pendidikan Kristen
memberikan perhatian yang lebih dalam bentuk
apresiasi terhadap hasil kerja dan prestasi para
siswa. Gereja dalam pendidikan Kristen
terpanggil untuk menjangkau sebanyak
mungkin orang untuk mendapatkan akses
pendidikan. Ia tidak menjadi eklusif dan
berdiam dalam menara gading. Sudah
selayaknya, ia tidak segan-segan turun tangan,
mengulurkan tangan, dan memberikan bantuan
kepada mereka yang membutuhkan. Pendidikan
Kristen harus memperhatikan dan memperjuangkan rakyat kecil dan kaum yang lemah agar
mendapat kesempatan memperolah pendidikan
yang baik.35 Melalui pilar pelayanan yang kokoh,
lembaga pendidikan Kristen akan meminimalisasikan konflik dan gesekan ke dalam
maupun keluar dengan mengusung praktik
ketaatan kapada kehendak Allah sehingga
tonggak kebenaran dan keadilan Allah akan
terus berdiri dengan kuat.
Ketiga, pendidikan yang jalankan oleh
lembaga-lembaga Kristen memperhatikan proses
humanisasi manusia dengan mengenal sumber
etika dan moral yang benar di hadapan Allah.
Upaya mewujudkan proses humanisasi ini
dapat dilakukan melalui sikap toleransi yang
tinggi yang menerima kepelbagaian umat
manusia. Proses pendidikan yang dipraktikan
harus dapat membebaskan manusia dari
kemiskinan dan penindasan. Berbagai penindasan seperti penindasan gender, penindasan
mayoritas harus dapat dihapuskan melalui
pendidikan yang membebaskan. Proses
pendidikan ini mengembangkan rasa tanggung
jawab sebagai warga negara untuk mewujudkan
masyarakat yang damai dan berkeadilan.
Keempat, usaha untuk menciptakan pendidikan
yang berfokus pada ajaran Allah melibatkan
peran serta guru sebagai tonggak pelaksana di
lapangan. Seorang guru yang mengajar anak
didik perlu mengembangkan mutu pemahaman
dan sikap hidup terhadap diri sendiri, orang
lain, alam, benda kehidupan dan pencipta
semuanya itu. Guru harus dapat menolong orang
bertumbuh dalam pemahaman dan nilai-nilai
hidup, menabur benih nilai-nilai hidup,
menabur benih di hati sendiri dan orang lain
serta menabur iman, ilmu dan pelayanan36.
JJurnal Pendidikan Penabur - No.24/Tahun ke-14/Juni 2015
69
Implementasi Refleksi Teologis Orasi Daud
Catatan kaki:
1
Made Pidarta, Landasan Kependidikan: Stimulus
Ilmu Pendidikan Bercorak Indonesia (Jakarta:PT
Rineka Cipta, 2000), 175-176.
2
Thomas Lickona, The Return of Character
Education, Jurnal Education Leadership (1993), 35.
3
Paul Suparno, Pendidikan Nilai di Sekolah dan
Persoalannya, dalam Education For Change
(Jakarta: BPK GM, 2010), 307.
4
http://www.tribunnews.com/nasional/2014/06/04
5
Armada Riyanto, “Kutuk Plagiarisme, Lalu?”
dalam harian Kompas, 24 Februari 2010.
6
Agus Santoso, Pengantar Perjanjian Lama, 155156.
7
Julius Wellhausen, Prolegomena to the History of
Ancient Israel (Cleveland: Meridian Books, 1957),
182.
8
Gerald Eddie Gerbrandt, Kingship According to
the Deuteronomistic History (Atlanta:Scholars,
1986), 18.
9
Aristotle, The Basic Works of Aristotle,Rhetorica,
diedit oleh R. Mckeon dan diterjemahkan oleh
W.Rhys Roberts (NewYork:Random House,
1955), 51.
10
Andrew G.Vough, Theologi, History And
Archeology in The Chronicler’s Account of
Hezekiah, diedit oleh Edelman, S B L no.4
(Atlanta:Scholar Press, 1999), 62.
11
Kenneth Hoglund , The Chronicler As
Historian, diedit oleh Patrick Graham, Steven
McKenzie, JSOTSup 238 (Sheffield:Sheffield
Academic Press, 1997), 25. Melalui narasi
Tawarikh, gambaran nabi-nabi menyampaikan
hubungan antara Allah dan komunitas melalui
tanggung jawab moral.
12
Japhet, I And II Chronicles, 34.
13
Gary N.Knoppers, I Chronicles , 938.
14
Michael Wilcock, The Message of Chronicles,
TBST (DownesGroves: IVP, 1987), 109.
15
Mark A. Throntveit, When Kings Speak, 10.
Analisa karakteristik perkataan raja
dikelompokkan menurut strukturnya dalam
James D. Newsome, The Chronicler’s View of
Prophecy (Vanderbilt Univ, 1973), 124.
Berdasarkan catatan disertasi Braun diuraikan
cirri-ciri bentuk perkataan raja yang ditemukan
dalam Tawarikh. Roddy L.Braun, Salomon the
Chosen Temple Builder, 581-590.
16
Mark A. Throntveit, When Kings Speak, 20.
17
Mark A. Throntveit, When Kings Speak, 34.
70
Jurnal Pendidikan Penabur - No.24/Tahun ke-14/Juni 2015
18
Jacob M. Myers, I Chronicles, 191.
H.A.R. Tilaar, 50 Tahun Pembangunan
Pendidikan
Nasional
1945-1995
(Jakarta:Grasindo, 1995), 619.
20
Doni Koesoema, Pendidikan Karakter (Jakarta:PT
Grasindo, 2007), 56.
21
H.A.R Tilaar dan Rianto Nugroho, Kebijakan
Pendidikan (Yogyakarta:Pustaka Pelajar, 2008),
30.
22
H.A.R Tilaar Perubahan Sosial dan Pendidikan:
Pengantar Pedagogik Transformatif untukIndonesia
(Jakarta:Grasindo, 2002), 203.
23
Ferawati, “Krisis Pendidikan: Peluang Pendidikan
Kristen Bermisi bagi Transformasi Bangsa”
diakses dari http://perkantasjatim.org, tanggal 17
November 2014.
24
Paul Suparno, Pendidikan Nilai di Sekolah dan
Persoalannya, 310.
25
Poerwodidagdo Judowibowo, Pendidikan Hak
Asasi Manusia dalam Pendidikan Agama Kristen,
dalam Ajar Mereka Melakukan (Jakarta: BPK
Gunung Mulia, 2003), 112-113.
26
Doni Koesoema A, Pendidikan Karakter (Jakarta:
Grasindo, 2007), 90. Pandangan ini mengacu
pada pemikiran Emmanuel Mounier lebih
menekankan pada willed sebagai sesuatu yang
dikehendaki oleh manusia sebagai arah
pengembangan diri yang ia tetapkan sendiri
secara sadar.
27
Doni Koesoema A, Pendidikan Karakter, 88.
28
Doni Koesoema A, Pendidikan Karakter, 199.
29
Doni Koesoema A, Pendidikan Karakter, 99.
30
Maryam K.Sutanto, Pendidikan karakter Berbasis
Nilai-Nilai Kristiani, kumpulan tulisan dalam
modul PBN2K (Jakarta:BPK Penabur, 2011), 11.
31
Robert Coles, Menumbuhkan Kecerdasan Moral
Pada Anak (Jakarta:Gramedia Pustaka
Utama,2000), 38.
32
Paul Meier, Christian Child Rearing and
Personality Development (NewYork :Baker Book
House, 1980), 81.
33
Marjorie L. Thompson, Keluarga Sebagai Pusat
Pembentukan: Sebuah Visi tentang Peran Keluarga
dalam Pembentukan Rohani (Jakarta:BPK GM,
2000), 24.
34
Samuel Karwur,”Pendidikan Kristen:Kritis!”,
diakses dari http:/blog.charismaindonesia.com,
tanggal 16 November 2014
35
Ferawati,” Krisis Pendidikan:Peluang
Pendidikan Kristen Bermisi bagi Transformasi
19
Implementasi Refleksi Teologis Orasi Daud
Bangsa”, diakses dari http://perkantasjatim.org,
tanggal 17 November 2014
36
Andar Ismail, Selamat Menabur (Jakarta:BPK
Gunung Mulia, 1997), 121.
Daftar Perpustakaan
Aristotle. (1955). The basic works of
aristotle,rhetorica, ed. oleh R. Mckeon dan
terj. W.Rhys Roberts. NewYork:Random
House
Braun, Roddy L. (1976). Solomon, the chosen temple
builder: The significance of 1 chronicles 22,
28, and 29 for the theology of Chronicles,
Chronicles. Journal of Biblical Literature 95:
581–590
D. Newsome. (1973). The chronicler’s view of
prophecy. Vanderbilt Univ
Ferawati, “Krisis Pendidikan: Peluang Pendidikan
Kristen Bermisi bagi Transformasi Bangsa”
diakses dari http://perkantasjatim.org,
17November 2014
Freedman, David N. (1992). The anchor Bible
dictionary : vol K- N, New York:
Doubleday
Gerbrandt, Gerald Eddie. (1986). Kingship
according to the deuteronomistic history.
Atlanta: Scholars
Hoglund, Kenneth. (1997). The chronicler as
historian, ed.Patrick Graham, Steven
McKenzie, JSOTSup 238, Sheffield:
Sheffield Academic Press
Ismail, Andar.(1997). Selamat menabur.
Jakarta:BPK Gunung Mulia
Japhet,Sara. (1993). I and II Chronicles, The old
testament library . London:SCM Press Ltd
Knoppers, Gary N. (2004). I Chronicles: A new
translation with introduction and
commentary: the anchor Bible. Virginia:
Doubleday
Koesoema,Doni. 2007. Pendidikan karakter.
Jakarta: PT Grasindo
Kroeskamp, H. (1974). Early schoolmasters in a
developing country. Assen: van Gorcum
Karwur,
Samuel,
2011"Pendidikan
Kristen:Kritis!”, diakses dari http://
blog.charismaindonesia.com, tanggal 16
November 2014
Lewis, Sherrill. (1960). Therise of christian
education.New York: The Macmillen
Company
Lukito, Handoyo. (1984). Tugas Panggilan Gereja
di Bidang Pendidikan”, Lampiran 5 Akta
Keputusan Persidangan Majelis Sinode ke42 Gereja Kristen Indonesia Jawa Barat
(Binawarga, 19-22 November)
Meier, Paul. 1980. Christian child rearing and
personality development, NewYork: Baker
Book House.
Myers, J.M. (1973). I Chronicles: The anchor
BibleNew York : Doubleday & Company,
Inc.
Boehlke, Robert R. (1991).Sejarah perkembangan
pikiran dan praktek PAK dari Plato sampai
I.G. Loyola. Jakarta: BPK Gunung Mulia
Paul Suparno. Pendidikan nilai di sekolah dan
persoalannya, 310
Pidarta, Made. (2000). Landasan kependidikan:
Stimulus ilmu pendidikan bercorak
Indonesia. Jakarta: PT Rineka Cipta
Poerwodidagdo, Judowibowo. (2003).
Pendidikan hak asasi manusia dalam
pendidikan agama Kristen, dalam ajar
mereka melakukan. Jakarta: BPK Gunung
Mulia
Raymond, D. Dillard.(1987). 2 Chronicles : Word
biblical commentary, ed. David Hubbard
and Glen Baker, Nashville : Thomas
Nelson Publisher
Rendrorff, Roff. (1991).Old testament an
introduction. Philadelphia: Fortress Press
Riley, William. (1993). King and cultus in
chronicles: Worship and the reinterpretation
of history Ed. David J.A. Clines and Philip
R. Davies (JSOT Supplement Series No.
160), Sheffield: Sheffield Academic Press
Riyanto, Armada. ( 2010). Kutuk plagiarisme, lalu?
dalam harian Kompas, 24 Februari.
Robert, Coles.(2000). Menumbuhkan kecerdasan
moral pada anak. Jakarta:Gramedia
Pustaka Utama
Santoso, Agus.(2007).Pengantar Perjanjian Lama:
Disusun berdasarkan sejarah terjadinya
perjanjian lama, Ungaran: Abdiel Press
Sparks,James T.(2008). The Chronicler’s
genealogies towards an understanding of I
JJurnal Pendidikan Penabur - No.24/Tahun ke-14/Juni 2015
71
Implementasi Refleksi Teologis Orasi Daud
Chronicles 1-9. Atlanta: Study Biblical
Literatur
Suparno, Paul. (2010). Education for change:
Pendidikan untuk perubahan: Pendidikan
nilai di Sekolah dan Persoalannya, ed. Elika
Dwi Murwarni, dkk, Jakarta: BPK
Gunung Mulia.
Sutanto, Maryam K. (2011). Pendidikan karakter
berbasis nilai-nilai Kristiani, kumpulan
tulisan dalam modul PBN2K, Jakarta:
BPK PENABUR
Selman, Martin J.(1994).I Chronicles, TOTC,
Leicester: IVP
Lickona, Thomas.(1993). The return of character
education, Jurnal education leadership.
Thompson, Marjorie L.( 2000). Keluarga sebagai
pusat pembentukan: Sebuah visi tentang
peran keluarga dalam pembentukan rohani.
Jakarta:BPK GM, 24
Throntveit, Mark A.(1987). When kings speak :
Royal Speech and Royal Prayer in
Chronicles, dissertation series (Society of
Biblical Literatureno. 93) Atlanta, Ga. :
Scholars Press
72
Jurnal Pendidikan Penabur - No.24/Tahun ke-14/Juni 2015
Tilaar,H.A.R. & Nugroho, Riant (2008). Kebijakan
pendidikan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Tilaar, H.A.R. (1995). 50 Tahun pembangunan
pendidikan nasional 1945-1995. Jakarta:
Grasindo
Tilaar, H.A.R. (2002). Perubahan sosial dan
pendidikan: Pengantar pedagogik
transformatif untukIndonesia. Jakarta:
Grasindo
Vough, Andrew G. (1999). Theology, history and
archeology in the chronicler’s account of
Hezekiah, ed. Edelman, S B L no.4, Atlanta:
Scholar Press
Wellhausen, Julius. (1957. Prolegomena to the
history of ancient Israel. Cleveland:
Meridian Books
Wilcock, Michael.(1987). The message of
Chronicles, TBST. Downes Groves: IVP
Williamson, H.G.M. 1982, 1 and 2 Chronicles : The
new century Bible commentary. London :
Marshall Morgan & Scott
______. 1986. 1 Chronicles. Word Biblical
Commentary 14. Waco: Word.
Pemanfaatan Media Pembelajaran di Sekolah Dasar
Opini
Pemanfaatan Media Pembelajaran di Sekolah Dasar
Hilda Karli
Email: [email protected]
Universitas Terbuka UPBJJ Bandung
Abstrak
iswa sekolah dasar masih pada tahap berpikir kongkrit, sehingga mengalami kesulitan
memahami konsep yang bersifat abstrak. Akan tetapi tidak jarang guru kurang memahami
karakteristik siswa yang demikian dan langsung menyajikan bahan pelajaran yang abstrak.
Akibatnya, siswa mengalami kesulitan belajar dan cepat lupa konsep abstrak yang dipelajarinya.
Tulisan ini membahas peran media pembelajaran sebagai salah satu sumber belajar dalam mengatasi
kesulitan siswa mempelajari konsep abstrak secara aktif, kreatif, efektif, dan menyenangkan dalam
setiap mata pelajaran. Setelah melalui berbagai kajian, tulisan ini berkesimpulan sebaiknya guru
SD menggunakan media pembelajaran yang bervariasi sesuai dengan karakteristik mata pelajaran
dan tujuan pembelajaran. Keberhasilan penggunaan media pembelajaran tergantung pada ketepatan
guru merencanakan, mengelola, dan memanfaatkannya untuk meningkatkan proses dan capaian
pembelajaran. Pada akhir tulisan ini, disampaikan bagaimana cara guru memilih dan menggunakan
media pembelajaran.
S
Kata-kata kunci: belajar, pembelajaran, sumber belajar, media pembelajaran, konsep kongkrit,
konsep abstrak, karakteristik siswa SD
Utilization of Instructional Media at Primary School
Absctact
The primary school children are still at the level of thinking concretely and find difficulties to understand
abstract concept. However, in practice the teachers often neglect the children’s characteristics of that age and
directly present the abstract concepts without using appropriate learning resources available in the instructional
environment. Consequently, the students find difficulties to understand the instructional materials and forget
them easily. This article discusses how appropriate instructional media can be used both by the teacher and the
children to learn abstract concepts in an active, creative, effective, as well as joyful instructional process of all
subjects. After a thorough discussion, the article concludes that the primary school teacher should use various
instructional media selectively based on the characteristics of each subject and the instructional objective. The
effectiveness of any instructional media much depends on how appropriately the teacher plans, manages, and
utilizes them to improve instructional process and outcome. At the end of the article, the teachers are provided
with some considerations in selecting and using instructional media.
Keywords: learning, instruction, instructional media, concrete concept, abstract concept, primary school
children’s characteristics
Jurnal Pendidikan Penabur - No.24/Tahun ke-14/Juni 2015
73
Pemanfaatan Media Pembelajaran di Sekolah Dasar
Pendahuluan
Kita akan segera hadapi Era Millenium dengan
perubahan pada aspek sosial, budaya, politik
dan tidak terkecuali pendidikan. Mengantisipasi keadaan tersebut diadakan berbagai
perubahan, salah satunyakurikulum. Kurikulum
yang terdiri atas tujuan, metode, sumber belajar,
dan proses pembelajaran merupakan kunci
keberhasilan dalam mempersiapkan sumber
daya manusia sesuai dengan kebutuhan zaman
yaitu berpikir kreatif, kritis, beriman, bertanggungjawab, mandiri, dan terampil. Salah satu
paradigma yang harus disesuaikan dengan
keadaan zaman adalah sumber belajar selain
pendidik dan proses pembelajarannya di kelas.
Sumber belajar menurut Mulyasa (2011:48),
segala sesuatu yang dapat memberikan
kemudahan pada siswa dalam memperoleh
sejumlah informasi, pengetahuan, pengalaman,
dan keterampilan dalam proses pembelajaran.
Oleh karena itu, sumber belajar salah satu
komponen pendukung terciptanya proses
pembelajaran yang menarik dan bermakna bagi
siswa. Komponen sumber belajar mencakup
pesan/bahan pelajaran, alat dan bahan yang
digunakan, sumber daya manusia, metode/
prosedur dan lingkungan sekitar. Alat bantu
yang digunakan guru saat mengajar di kelas
disebut media pembelajaran. Dalam konteks ini,
difokuskan pada sumber belajar yang berupa
media pembelajaran.
Dalam interaksi pembelajaran, guru
menyampaikan pesan ajaran berupa materi
pembelajaran kepada anak melalaui media
pembelajaran. Penggunaan media pada tahap
orientasi pembelajaran akan sangat membantu
keefektifan proses pembelajaran dan penyampaian pesan dan isi pelajaran pada saat itu.
Menurut Ausubel, proses belajar akan
mendatangkan hasil atau bermakna kalau guru
dalam menyajikan materi pelajaran yang baru
dapat menghubungkannya dengan konsep
yang relevan yang sudah ada dalam struktur
kognisi siswa. Guru harus dapat mengembangkan potensi kognitif siswa melalui proses
belajar yang bermakna. Aktivitas belajar siswa,
terutama mereka yang berada di tingkat
pendidikan dasar, akan bermanfaat kalau
74
Jurnal Pendidikan Penabur - No.24/Tahun ke-14/Juni 2015
mereka banyak dilibatkan dalam kegiatan
langsung, lebih efektif lagi kalau guru menggunakan penjelasan, peta konsep, demonstrasi,
diagram, atau ilustrasi. Siswa SD dengan usia
antara 7-12 tahun memiliki perkem-bangan
intelektual tahap operasional kongkret, sebab
berpikir logikanya didasarkan atas manipulasi
fisik dari obyek. Dengan kata lain, penggunaan
media dalam pembelajaran di SD sangat
diperlukan. Dengan menggunakan media
pembelajaran tersebut, siswa akan lebih mudah
memahami materi yang diajarkan dengan melihat secara nyata berdasarkan fakta yang jelas.
Sementara itu, melalui pengamatan penulis
terhadap proses pembelajaran matematika yang
dilakukan guru di SD ditemukan, pada
umumnya guru juga kurang tepat memaknai
sebuah konsep. Hal tersebut dapat dilihat dari
ilustrasi yang disajikan guru ketika
mengenalkan konsep. Hampir semua guru tidak
menyadari bahwa ilustrasi yang dibuatnya
tersebut tidak selaras dengan makna sebuah
konsep. Hasil pengamatan juga memperlihatkan, sebagian besar guru dalam menjelaskan
sebuah konsep dilakukan secara abstrak dan
tidak mempertimbangkan pola berpikir siswa
yang masih dalam tahap berpikir konkrit. Guru
juga lebih menekankan cara mengerjakan suatu
masalah dan tidak melakukan penekanan pada
penanaman makna. Pengamatan pada
pembelajaran IPA, guru menyampaikan sebuah
konsep dengan ceramah dan latihan soal saja
tanpa melibatkan siswa pada pembuktian
sebuah konsep dengan melakukan sebuah
percobaan. Siswa hanya mendapat informasi
dari buku bahan ajar dan guru saat menjelaskan
secara verbal. Pembelajaran IPS pun sama, guru
tidak pernah menunjukkan kepada siswa
keadaan sesungguhnya lingkungan atau
keadaan sosial yang terjadi di sekitar. Siswa
belajar sebuah konsep dengan mendengarkan,
mencatat, menulis dan ulangan saja. Dari hasil
observasi di lapanga,penulis menilai bahwa
guru kurang terampil dan kreatif dalam
pemanfaatan dan pengembangan media/alat
peraga.Guru saat mengajar cenderung bersikap
memberitahu, mengajari, melatih, seperti
mendrill untuk menyelesaikan soal, menanyakan
fakta, dan mementingkan hasil dari pada proses.
Guru memuji siswa jika yang bersangkutan
Pemanfaatan Media Pembelajaran di Sekolah Dasar
dapat menjawab soal dengan baik dan sebaliknya memarahi siswa jika salah menjawab. Juga,
guru mengajarkan materi secara urut halaman
per halaman tanpa membahas keterkaitan antar
konsep atau masalah serta sangat tergantung
pada buku teks.
Kegiatan Belajar Mengajar (KBM) yang
dilaksanakan setiap hari, merupakan kehidupan
dari suatu kelas. Guru dan peserta didik saling
terkait dalam pelaksanaan kegiatan yang telah
direncanakan oleh guru. Keberhasilan kegiatan
tersebut sepenuhnya menjadi tanggung jawab
guru, karena guru merupakan pengelola tunggal
di kelas. Oleh karena itu, bila siswa kurang bisa
menunjukan keterampilan dalam suatu mata
pelajaran, tuduhan kekurangberhasilan juga
tertuju kepada guru. Siswa adalah subjek yang
menerima pelajaran. Ada siswa pandai, kurang
pandai, dan tidak pandai. Setiap siswa
mempunyai bakat intelektual, emosional, sosial,
dan lain-lain yang sifatnya khusus (Arikunto
2009:296). Siswa yang pandai akan lebih mudah
menerima materi pembelajaran dibandingkan
dengan siswa yang kurang pandai dan yang
tidak pandai. Belum lagi perbedaan bakat,
emosional, dan sosial. Siswa yang berbakat,
emosi stabil, dan lingkungan sosial yang baik
akan lebih mudah mengikuti proses pembelajaran dibandingkan dengan siswa yang tidak
berbakat, emosi tidak stabil, dan anak yang
berasal dari lingkungan sosial yang buruk.
Perbedaan karakteristik ini menuntut guru
bersikap arif menyikapinya. Oleh karena itu,
media pembelajaran merupakan salah satu
faktor penting untuk dimanfaatkan dalam proses
pembelajaran mengembangkan SDM sesuai
kebutuhan zaman.
Perumusan Masalah
Mengacu pada latar belakang yang telah
diuraikan, masalah yang dikaji dalam tulisan
ini ialah sebagai berikut.
1. Apakah memang suatu keharusan mengajar di SD dengan menggunakan media
pembelajaran?
2. Mengapa setiap mata pelajaran di SD
sebaiknya menggunakan media pembelajaran?
3. Bagaimana merencanakan penggunaan
media pembelajaran di kelas?
Tinjauan Pustaka
Media Pembelajaran
Media pembelajaran adalah bagian dari sumber
belajar yang menurut Sudjana dan Rivai (2009:
78 ) suatu daya yang bisa dimanfaatkan guna
kepentingan proses belajar mengajar baik
langsung maupun tidak langsung, sebagian atau
keseluruhan.Komponen sumber belajar terdiri
atas (a) pesan: informasi yang akan disampaikan
pada orang dalam bentuk ide, fakta, makna, dan
data seperti materi pelajaran IPA, IPS, dan
Matematika; (b) orang : pelaku yang bertindak
sebagai penyalur atau penyimpan pesan seperti
guru, siswa, nara sumber, tokoh/ahli; (c) bahan:
barang yang berisi pesan untuk disampaikan
dengan menggunakan peralatan. Kadang
barang tersebut sudah siap disajikan seperti
buku bahan ajar, majalah, video, tape recorder,
film; (d) alat : barang yang digunakan untuk
meyampaikan pesan yang terdapat dalam bahan
seperti OHP, TV, radio, proyektor film, komputer;
(e) teknik : prosedur atau langkah tertentu dalam
menggunakan bahan, alat dan bahan, tata
tempat dalam menyampaikan pesan seperti :
simulasi, demosntrasi, paraktek, kerja kelompok,
bermain peran, bermain, studi lapangan,
bertanya; dan (f) latar : lingkungan di mana
pesan diterima oleh anak seperti lingkungan
fisik (kelas, perpustakaan, halaman bermain,
lapangan olahraga, laboratorium) dan
lingkungan non fisik (penerangan, sirkulasi
udara).(Warsita 2008; 209-210).
Media adalah bentuk jamak dari ‘medium’
yang berasal dari bahasa Latin yang berarti
perantara. Pengertian media pembelajaran
menurut Latuheru (1988: 14), media
pembelajaran adalah semua alat (bantu) atau
benda yang digunakan untuk kegiatan belajar
mengajar, dengan maksud menyampaikan
pesan (informasi) pembelajaran dari sumber
(guru maupun sumber lain) kepada penerima
(dalam hal ini siswa atau warga belajar). Dengan
perkataan lain, media pembelajaran merupakan
alat bantu untuk menyampaikan pesan dari
sumber kepada penerima. Media pembelajaran
merangsang pikiran, perasaan, perhatian, dan
minat serta perhatian siswa sehingga proses
belajar dapat terjalin. Sudrajat (2011: 20)
Jurnal Pendidikan Penabur - No.24/Tahun ke-14/Juni 2015
75
Pemanfaatan Media Pembelajaran di Sekolah Dasar
mengemukakan media berfungsi amtara lain (a)
mengatasi keterbatasan pengalaman yang
dimiliki oleh para siswa , (b) melampaui batasan
ruang kelas, (c) memungkinkan adanya
interaksi langsung antara siswa dengan
lingkungan (d) media menghasilkan
keseragaman pengamatan, (e) media dapat
menanamkan konsep dasar yang benar, kongkrit
, dan realistis, (f) media membangkitkan motivasi
dan merangsang siswa untuk belajar, (g) media
memberikan pengalaman yang integral/
menyeluruh dari yang kongkrit sampai dengan
abstrak, dan (h) membantu mengatasi hambatan
yang terjadi saat pembelajaran di dalam kelas.
Hamalik (2011: 15) mengemukakan,
pemakaian media pembelajaran dalam proses
belajar mengajar dapat membangkitkan
keinginan dan minat yang baru, membangkitkan
motivasi dan rangsangan kegiatan belajar, dan
bahkan membawa pengaruh psikologis
terhadap siswa. Penggunaan media pembelajaran pada tahap orientasi pembelajaran akan
sangat membantu keefektifan proses pembelajaran dan penyampaian pesan dan isi pelajaran
pada saat itu. Mulyasa (2011 : 26) mengemukakan manfaat media pembelajaran dalam
proses belajar mengajar (a) dapat memperjelas
penyajian pesan dan informasi sehingga dapat
memperlancar dan mening-katkan proses dan
hasil belajar; (b) dapat meningkatkan dan
mengarahkan perhatian siswa sehingga dapat
menimbulkan motivasi belajar, interaksi yang
lebih langsung antara siswa dengan
lingkungannya, dan memungkinkan siswa
untuk belajar sendiri-sendiri sesuai dengan
kemampuan dan minatnya; (c) dapat mengatasi
keterbatasan indera, ruang, dan waktu; (d) dapat
memberikan kesamaan pengalaman kepada
siswa tentang berbagai peristiwa di lingkungan
mereka; serta (e) memungkinkan terjadinya
interaksi langsung dengan guru, masyarakat,
dan lingkungan.
Media pembelajaran merupakan salah satu
faktor yang menentukan keberhasilan proses
pembelajaran di kelas antara guru dan siswa .
Pesan materi pembelajaran yang akan
disampaikan guru dapat diterima oleh semua
siswa dengan latar belakang yang berbeda-beda
dengan satu pandangan karena pikiran siswa
di arahkan pada satu media. Penggunaan media
76
Jurnal Pendidikan Penabur - No.24/Tahun ke-14/Juni 2015
kongkrit akan mempermudah siswa untuk
memaknai materi pembelajaran. Proses interaksi
belajar mengajar akan terjalin baik antara siswa
dan guru. Jika materi pembelajaran tersebut
diminati siswa maka motivasi belajar siswa
akan meningkat.
Leshin, dkk (dalam Arsyad, 2002: 79-101)
mengelompokkan media pembelajaran ke dalam
5 jenis: (a) media berbasis manusia merupakan
media yang digunakan untuk mengirim dan
mengkomunikasikan peran atau informasi; (b)
media pembelajaran berbasis cetakan yang
paling umum dikenal adalah buku teks, buku
penuntun, buku kerja atau latihan, jurnal,
majalah, dan lembar lepas; (c) media berbasis
visual (image) dalam hal ini memegang peranan
yang sangat penting dalam proses belajar karena
memperlancar pemahaman dan memperkuat
ingatan menumbuhkan minat siswa dan dapat
memberikan hubungan antara isi materi
pelajaran dengan dunia nyata; (d) media
berbasis audiovisual yaitu media visual yang
menggabungkan penggunaan suara dan
gambar; dan (e) media berbasis komputer yaitu
media yang dalam menggunakannya memakai
komputer.
Ada berbagai jenis media pembelajaran
seperti manusia, cetakan, visual, audiovisual,dan komputer. Semua jenis media
pembelajaran ini mempunyai kekurangan dan
kelebihan. Guru sebaiknya cermat dalam
memilih jenis media yang akan digunakan
dalam proses pembelajaran di kelas. Prinsip
pemilihan jenis media harus tepat guna, artinya
media pembelajaran yang digunakan sesuai
dengan kompetensi dasar yang akan dicapai
siswa. Selain itu,berdaya guna dan bervariasi,
artinya media pembelajaran yang digunakan
mampu mendorong sikap aktif dan
meningkatkan motivasi siswa dalam belajar.
Sebuah contoh, guru akan membelajarkan aspek
berbicara pada pelajaran bahasa Indonesia,
akan lebih tepat menggunakan manusia (teman,
guru, orang tua, nara sumber, dll) sebagai
medianya.Praktek berbicara langsung dengan
teman, guru, atau nara sumber sesuai topik
sesuai dengan tujuan pembelajaran akan sangat
bermakna bagi siswa . Penggunaan media dapat
digunakan 1 atau lebih jenis sekaligus dalam
prosesnya di kelas. Misalnya, apersepsi, untuk
Pemanfaatan Media Pembelajaran di Sekolah Dasar
menggunakan indra dan semua anggota
tubuhnya serta kemampuan berpikir.
Prestasi belajar siswa merupakan perubahan yang diperoleh siswa setelah mengikuti
proses pembelajaran yang ditandai dengan
adanya perubahan aspek kognitif, afektif dan
psikomotor. Berikut ini diperlihatkan Tabel
kaitan media pembelajaran dengan proses
penilaian ditinjau dari aspek kognitif, afektif dan
psikomotor (Muhibbin Syah, 2010:148-150).
Media pembelajaran yang digunakan saat
proses belajar mengajar sudah tepat, tetapi jika
guru mengabaikan 3 aspek penilaian yang harus
dikuasai oleh siswa yaitu aspek kognitif
(pengetahuan), afektif (sikap dan perilaku) dan
psikomotor (keterampilan atau tindakan), proses
pembelajaran tersebut akan menjadi sia-sia. Oleh
karena itu, guru harus cermat dalam
menentukan aspek penilaian selama proses
belajar mengajar berlangsung. Bukan hanya
sekedar latihan atau ulangan secara tertulis saja
yang menjadi penilaian tetapi aspek lain perlu
diperhatikan seperti saat siswa melakukan
kegiatan dan bagaimana sikap siswa dalam
seperti pada Gambar.
keseharian di kelas. Menjadikan anak
utuh artinya seimbang antara aspek
kognitif, afektif dan psikomotor dan
verbal
perlu memperhatikan bagaimana
visual
pengalaman bermakna dapat diterima
siswa dengan baik melalui 9 tahapan
rekaman radio
mulai dari pengalaman nyata
gambar hidup.
(melakukan kegiatan) sampai ceramah
pameran
(verbal visual) dikaitkan dengan media
pembelajaran. Oleh karena itu,
televisi
pemilihan media perlu dipersiapkan,
diorganisasikan, dilakukan, dan
karyawisata
dipantau. Pada saat persiapan, guru
dramatisasi
memilih jenis media apa yang sesuai
dengan karakter perkembangan siswa
pengamatan
dan mata pelajaran serta tujuan
pembelajaran, sehingga penggunaan
pengalaman langsung
media itu tepat guna dan berdaya
guna. Siswa SD masih membutuhkan
Gambar Pengalaman Belajar Menurut Dale
bantuan benda kongkrit serta praktek
langsung agar menjadi sebuah
pengalaman bagi dirinya. Guru perlu
Dari gambar dapat disimpulkan, pengalaman yang dapat memberikan sumber belajar mengorganisasikan media pembelajaran yang
tersebut bersifat kongkrit ke abstrak mulai dari dipilih tadi apakah dibuat sendiri atau dibuat
pengalaman langsung. siswa terlibat langsung oleh siswa , dipinjam atau dibeli. Guru juga perlu
memotivasi siswa, menggunakan media
audiovisual, sehingga siswa dapat melihat
langsung proses berbicara dan komponen apa
saja yang diperlukan saat berbicara. Jika
memungkinkan kondisianak dan sekolah
diakhir pembelajaran ada proyek secara
kelompok merekam wawancara seorang siswa
dengan nara sumber yang dipilih lalu
ditayangkan pada teman di kelas. Dalam hal ini
media yang digunakan berbasis komputer. Jadi
dalam proses pembelajaran bahasa Indonesia
ada 3 jenis media yang digunakan yaitu
manusia, audiovisual dan komputer.
Dalam kegiatan belajar mengajar antara
guru dan siswa, siswa dengan media atau siswa
dengan siswa selalu terjadi interaksi. Proses
interaksi tersebut akan memberikan pengalaman
bermakna bagi penerima pesan yaitu anak
sebagai pembelajar. Menurut Dale (dalam Tim
PPPPTK Matematika. 2008) ada 9 jenjang
bagaimana pengalaman dapat diterima siswa
ketika belajar. Pengalaman belajar yang dikenal
dengan istilah cone of experience ditunjukkan
Jurnal Pendidikan Penabur - No.24/Tahun ke-14/Juni 2015
77
Pemanfaatan Media Pembelajaran di Sekolah Dasar
Tabel 1: Aspek Penilaian Kognitif, Afektif dan Psikomotor
Aspek
Indikator
Penilaian
A. Kognitif
1.
Pengamatan
Dapat menunjukan
Dapat membandingkan
Dapat menghubungkan
Tes lisan
Tes tertulis
Observasi
2.
Ingatan
Dapat menyebutkan
Dapat menunjukan kembali
Tes lisan
Tes tertulis
Observasi
3.
Pemahaman
Dapat menjelaskan
Dapat mendefiniskan sendiri secara
lisan
4.
Penerapan
Dapat memberikan contoh
Dapat menggunakan secara tepat
Tes tertulis
Pemberian tugas
Observasi
5.
Analisis (pemeriksaan
dan pemilihan secara
teliti)
Dapat menguraikan
Dapat mengklasifikasikan
Tes Tertulis
Pemberian tugas
6.
Sintesis (membuat
panduan baru yang
utuh)
Dapat menghubungkan
Dapat menyimpulkan
Dapat menggeneralisasikan (prinsip)
Tes Tertulis
Pemberian tugas
Tes lisan
Tes Tertulis
B. Afektif
1.
Penerimaan
Menunjukkan sikap menerima
Menunjukkan sikap menolak
Tes tertulis
Tes skala sikap
Observasi
2.
Sambutan
Kesediaan berpartisipasi/terlibat
Kesediaan memanfaatkan
Tes skala sikap
Pemberian tugas
Observasi
3.
Apresiasi (sikap
menghargai)
Menganggap penting dan bermanfaat
Menganggap indah dan harmonis
mengagumi
Tes skala sikap
Pemberian tugas
Observasi
4.
Internalisasi
(pendalaman)
Mengakui dan menyakini
mengingkari
Tes skala sikap
Pemberian tugas
ekspresif (sikap)
dan proyektif
(ramalan)
5.
Karakteristik
(penghayatan)
Melembagakan atau meniadakan
menjelmakan dalam pribadi atau
perilaku sehari-hari
Pemberian tugas
ekspresif dan
proyektif
Observasi
78
Jurnal Pendidikan Penabur - No.24/Tahun ke-14/Juni 2015
Pemanfaatan Media Pembelajaran di Sekolah Dasar
C. Psikomotor
1.
Keterampilan bergerak
dan bertindak
Mengkoordinasikan gerakan mata,
Observasi
tangan, kaki, dan anggota tubuh lainnya Tes lisan
2.
Kecakapan ekspresif
verbal dan non verbal
Mengucapkan
Membuat mimik dan gerakan jasmani
merencanakan bagaimana media itu dipakai
dalam peroses pembelajaran di kelas.Untuk
kelancaran penggunaannya, guru hendaknya
mengujicobakan dulu media tersebut sebelum
proses pelaksanaan di kelas dengan
memperhatikan kondisi kelas misalnya cahaya,
udara, dan ruangan. Selanjutnya, guru mengajak
siswa melakukan kegiatan dengan media
pembelajaran melalui prosedur yang telah
disiapkan guru. Ketika pelaksanaan, guru
memantau siswa dengan melakukan penilaian
sesuai aspeknya (kognitif, afektif atau
psikomotor). Selanjutnya guru akan memantau
dan mengevaluasi penggunaan jenis media
pembelajaran yang sudah dilakukan saat
mengajar dengan melihat kelemahan yang perlu
diperbaiki dan keuntungan apa saja yang
diterima siswa belajar menggunakan bantuan
media tadi. Hal ini berguna untuk guru saat
menentukan jenis media pembelajaran pada
materi yang sama di tahun ajaran mendatang
lebih baik.
Teori Belajar
Teori belajar kognitif yang mendasari pentingnya
siswa SD menggunakan media pembelajaran
dalam kegiatan belajar mengajar di kelas adalah
teori belajar dari Piaget, Bruner dan Ausubel.
Menurut Piaget setiap siswa mengembangkan
kemampuan berpikirnya secara bertahap. Pada
satu tahap perkembangan tertentu akan muncul
skema atau struktur tertentu yang keberhasilannya tergantung pada perkembangan tahap
sebelumnya. Adapun tahapan-tahapan tersebut
adalah sebagai berikut.
Pertama, sensori motor(dari lahir sampai
kurang lebih umur 2 tahun). Dalam dua tahun
pertama kehidupan bayi ini, dia dapat sedikit
memahami lingkungannya dengan jalan
melihat, meraba atau memegang, mengecap,
mencium dan menggerakan. Dengan kata lain
Tes lisan
Observasi
Tes tindakan
mereka mengandalkan kemampuan sensorik
serta motoriknya. Beberapa kemampuan kognitif
yang penting muncul pada saat ini. Anak
tersebut mengetahui bahwa perilaku yang
tertentu menimbulkan akibat tertentu pula bagi
dirinya. Misalnya dengan menendang-nendang
dia tahu bahwa selimutnya akan bergeser
darinya.
Kedua, pra-operasional (kurang lebih umur
2 tahun hingga 7 tahun). Dalam tahap ini sangat
menonjol sekali kecenderungan anak untuk
selalu mengandalkan dirinya pada persepsinya
mengenai realitas. Dengan adanya perkembangan bahasa dan ingatan anakpun mampu
mengingat banyak hal tentang lingkungannya.
Intelek anak dibatasi oleh egosentrisnya yaitu ia
tidak menyadari orang lain mempunyai
pandangan yang berbeda dengannya.
Ketiga, operasi konkrit (kurang lebih 7 sampai
11 tahun). Pada tahap ini anak sudah
mengembangkan pikiran logis. Dalam upaya
mengerti tentang alam sekelilingnya mereka
tidak terlalu menggantungkan diri pada
informasi yang datang dari pancaindra. Anak
mampu berpikir secara operasi kongkrit sudah
menguasai sebuah pelajaran penting melalui
alat indranya. Anak-anak sering kali dapat
mengikuti logika atau penalaran, namun
mengetahui berbuat kesalahan.
Keempat, operasi formal (kurang lebih umur
11 tahun sampai 15 tahun). Pada tahap ini anak
sudah mampu berpikir abstrak yaitu berpikir
mengenai gagasan. Anak dengan operasi formal
ini sudah dapat memikirkan beberapa alternatif
pemecahan masalah. Mereka dapat
mengembangkan hukum-hukum yang berlaku
umum dan pertimbangan ilmiah. Pemikirannya
tidak jauh karena selalu terikat kepada hal-hal
yang besifat konkrit, mereka dapat membuat
hipotesis dan membuat kaidah mengenai halhal yang bersifat abstrak.
Jurnal Pendidikan Penabur - No.24/Tahun ke-14/Juni 2015
79
Pemanfaatan Media Pembelajaran di Sekolah Dasar
Menurut Piaget, usia SD masuk pada tahap
operasional konkret. Anak mampu berpikir logis,
memahami
konsep
percakapan,
mengorganisasikan objek ke dalam klasifikasi,
mampu mengingat, memahami dan
memecahkan masalah yang bersifat kongkret.
Penerapan Teori Piaget dalam pembelajaran di
kelas misalnya dengan menggunakan bendabenda kongkret, menggunakan alat visual
(OHP); menggunakan contoh-contoh yang akrab
dengan anak, dari sederhana menuju kompleks;
penyajian yang padat dan terorganisasi dan
latihan memecahkan masalah secara kongkret.
Siswa SD berada pada tahap operasional
kongkrit. Tindakan mental yang memungkinkan
siswa melakukan secara mental apa yang telah
dilakukan secara fisik sebelumnya. Operasi
kongkrit adalah juga tindakan mental yang
sebaliknya. Siswa pada tahap operasi konkret
memperlihatkan keterampilan konservasi dan
klasifikasi. Siswa ini membutuhkan tersedianya
dukungan perseptual untuk bernalar, pada
pemikiran selanjutnya menjadi lebih abstrak.
Pada tahap ini perlu ada media konkret untuk
membantu siswa dapat bernalar. Media
pembelajaran kongkret tersebut dapat
diobservasi oleh anak melalui kegiatan yang
dirancang oleh guru. Untuk dapat memahami
sebuah konsep, siswa SD perlu pengalaman
yang dapat mengubah pola pikir dari
pengalaman sebelumnya dengan mengeksplor
lingkungannya melalui alat indranya seperti
mengamati dengan mata, mendengar dengan
telinga, mencium dengan hidung, meraba
dengan kulit, dan merasakan dengan lidah.
Kitson dan Merry (1997:10) mengatakan bahwa:
Children in pimary years learn directly about
their immediate environment through
exploration using their sensen: by attenting to
the world around them through touching,
listening, tasting, smelling, and looking, they
begin to make generalisations. By generalizing
from these experiences, children begin to form
the basis of lasting understandings.
Bruner mengungkapkan, dalam proses
belajar sebaiknya siswa diberi kesempatan untuk
memanipulasi media pembelajaran. Melalui
media tersebut, siswa dapat melihat langsung
bagaimana keteraturan dan pola struktur yang
terdapat dalam benda. Ketika siswa mempelajari
80
Jurnal Pendidikan Penabur - No.24/Tahun ke-14/Juni 2015
suatu pengetahuan, misalnya mempelajari suatu
konsep matematika. Pengetahuan itu perlu
dipelajari dalam tahap-tahap tertentu, agar
pengetahuan itu dapat diinternalisasi dalam
pikiran (struktur kognitif) siswa tersebut. Proses
internalisasi akan terjadi secara sungguhsungguh (yang berarti proses belajar terjadi
secara optimal) jika pengetahuan yang
dipelajari itu dipelajari dalam tiga tahap, yang
macamnya dan urutannya adalah sebagai
berikut (Hudojo 1998:26)
1. Tahap enaktif, yaitu suatu tahap pembelajaran sesuatu pengetahuan di mana
pengetahuan itu dipelajari secara aktif,
dengan menggunakan benda-benda
kongkret atau menggunakan situasi yang
nyata.
2. Tahap ikonik, yaitu suatu tahap pembelajaran sesuatu pengetahuan di mana
pegetahuan itu direpresentasikan
(diwujudkan) dalam bentuk bayangan
visual (visual imagery), gambar, atau
diagram, yang menggambarkan kegiatan
kongkret atau situasi kongkret yang terdapat
pada tahap enaktif tersebut di atas.
3. Tahap simbolik, yaitu suatu tahap
pembelajaran di mana pengetahuan itu
direpresentasikan dalam bentuk simbolsimbol abstrak (abstract symbols yaitu simbolsimbo yang dipakai berdasarkan
kesepakatan orang-orang dalam bidang
yang bersangkutan), baik simbol-simbol
verbal (Misalnya huruf-huruf, kata-kata,
kalimat-kalimat) lambang-lambang
matematika, maupun lambang-lambang
abstrak lainnya.
Dari 3 tahap internalisasi berpikir dapat
disimpulkan,proses belajar akan berlangsung
secara optimal jika proses pembelajaran diawali
dengan tahap enaktif.Kemudian, jika tahap
belajar pertama ini telah dirasa cukup, siswa
beralih pada tahap kedua, yaitu tahap belajar
dengan menggunakan modus representasi
ikonik. Selanjutnya, tahap ketiga yaitu tahap
belajar dengan menggunakan modus
representasi simbolik.
Sebagai contoh, dalam mempelajari
penjumlahan dua bilangan cacah, pembelajaran
akan terjadi secara optimal jika mula-mula siswa mempelajari hal itu dengan mengguna-
Pemanfaatan Media Pembelajaran di Sekolah Dasar
kan benda-benda kongkret (Misalnya
menggabungkan 3 kelereng dengan 2 kelereng
dan kemudian menghitung banyaknya kelereng
semuanya). Kemudian kegiatan belajar
digunakan dengan menggunakan gambar atau
diagram yang mewakili 3 kelereng dan 2
kelereng yang digabungkan tersebut (dan
kemudian dihitung banyaknya kelereng
semuanya, dengan menggunakan gambar atau
diagram tersebut). Pada tahap yang kedua ini
dapat juga siswa melakukan penjumlahan itu
dengan menggunakan pembayangan visual
(visual imagery) dari kelereng-kelereng tersebut.
Pada tahap berikutnya, anak melakukan
penjumlahan kedua bilangan itu dengan
menggunakan lambang-lambang bilangan yaitu
3 + 2 = 5 (Widyadani, 2008:27).
Menurut Ausubel ada 4 tipe belajar salah
satunya adalah belajar dengan penemuan yang
bermakna yaitu mengaitkan pengetahuan yang
telah dimilikinya dengan materi pelajaran yang
dipelajari itu atau sebaliknya, siswa terlebih
dahulu menemukan pengetahuannya dari apa
yang ia pelajari kemudian pengetahuan baru
tersebut ia kaitkan dengan pengetahuan yang
sudah ada (langsung berhadapan dengan
bendanya, kongkret, siswa langsung menemukan maksud dalam pembelajaran). Pembelajaran
bermakna akan terjadi jika ada proses
pembelajaran ketika informasi baru
dihubungkan dengan struktur pengertian yang
sudah dimiliki seseorang yang sedang melalui
pembelajaran. Dengan demikian, faktor
intelektual-emosional siswa terlibat dalam
kegiatan pembelajaran. Seseorang belajar
dengan mengasosiasikan fenomena baru ke
dalam skema yang telah ia punya. Dalam proses
itu seseorang dapat memperkembangkan skema
yang ada atau dapat mengubahnya. Dalam
proses belajar ini siswa mengonstruksi apa yang
ia pelajari sendiri.
Oleh karena itu belajar bermakna itu bukan
siswa sekedar duduk mendengar lalu mengerjakan latihan soal selanjutnya menghafalkan dan
mengerjakan soal ulangan untuk memperoleh
skor tinggi. Belajar bermakna berarti belajar
menemukan konsep sendiri dengan mengaitkan
pengetahuan yang telah dimilikinya dengan
materi pelajaran yang dipelajari itu. Atau
menemukan konsep dari hasil percobaan/
kegiatan yang dilakukan atas bimbingan guru
dengan bantuan media pembelajaran. Hal ini
karena siswa usia SD berada pada tahap operasi
kongkrit ( 7-11 tahun) dan pada tahap ini siswa
sudah dapat mengembangkan pikiran logis
melalui bantuan benda kongkrit dan alat
indranya. Proses internalisasi berpikir siswa SD
akan optimal melalui 3 tahap, proses pembelajaran diawali dengan tahap enaktif
(menggunakan benda kongkrit), dan kemudian
jika tahap belajar pertama ini telah dirasa cukup,
anak beralih pada tahap kedua, yaitu tahap
belajar dengan menggunakan modus
representasi ikonik (gambar 2 dimensi), dan
selanjutnya, tahap ketiga yaitu tahap belajar
dengan menggunakan modus representasi
simbolik (tulisan huruf dan angka).
Jadi dalam proses belajar, sebaiknya siswa
diberi kesempatan memanipulasi benda media
pembelajaran. Melalui media tersebut, siswa
dapat melihat langsung bagaimana keteraturan
dan pola struktur yang terdapat dalam benda,
selanjutnya siswa akan menemukan konsep
sendiri yang bermakna kelak bagi dirinya. Guru
berfungsi sebagai mediator, fasilitator, motivator
dan teman bagi siswa saat belajar di kelas. Proses
pembelajaran yang diciptakan guru dalam
suasana menyenangkan akan membuat siswa
aktif, kreatif dan inovatif.
Karakteristik anak SD
Karakteristik siswa usia SD berbeda dengan
siswa usia PAUD atau SMP. Pada masa usia
tersebut siswa mengalami banyak perubahan
yang sangat drastis baik mental maupun fisik.
Usia siswa SD berkisar antara usia 7-12 tahun
dan mereka mengikuti pendidikan formal dari
kelas 1 sampai kelas 6. Kelas rendah terdiri atas
kelas 1,2, dan 3, sedangkan kelas-kelas tinggi
SD terdiri atas kelas 4, 5, dan 6 (Supandi,
1992:44). Ciri anak masa kelas rendah antaralain
(a) ada hubungan yang kuat antara keadaan
jasmani dan prestasi sekolah; (b) suka memuji
diri sendiri; (c) kalau tidak dapat menyelesaikan
suatu tugas atau pekerjaan, tugas atau pekerjaan
itu dianggapnya tidak penting; (d) suka
membandingkan dirinya dengan siswa lain, jika
hal itu menguntungkan dirinya; dan (e)suka
meremehkan orang lain. Ciri khas anak masa
kelas tinggi antaralain: (a) perhatiannya tertuju
Jurnal Pendidikan Penabur - No.24/Tahun ke-14/Juni 2015
81
Pemanfaatan Media Pembelajaran di Sekolah Dasar
kepada kehidupan praktis sehari-hari; (b) ingin
tahu, ingin belajar, dan realistis; (c) timbul minat
kepada pelajaran-pelajaran khusus; (d) siswa
memandang nilai sebagai ukuran yang tepat
mengenai prestasi belajarnya di sekolah; dan (e)
siswa suka membentuk kelompok sebaya atau
peergroup untuk bermain bersama, mereka
membuat peraturan sendiri dalam kelompoknya.
(Syaodih,2011: 7).
Secara umum perkembangan fisik siswa
usia SD ditandai dengan postur badan lebih
tinggi, berat, dan kuat sehingga peran gizi
makanan sangat penting. Terjadi perubahan
pada sistem tulang, otot dan keterampilan gerak
seperti berlari, memanjat, melompat, berenang,
naik sepeda, dan main sepatu roda. Oleh karena
itu, kegiatan fisik sangat diperlukan siswa SD
untuk melatih koordinasi dan kestabilan tubuh
dan energi yang tertumpuk perlu penyaluran.
Kegiatan bermain adalah dunia siswa, bermain
dapat di lakukan di rumah, sekolah secara
individual atau kelompok. Permainan yang
bersifat konstruktif sangat disukai, hal ini dapat
meningkatkan kreativitas anak. Siswa SD lebih
menyukai permainan kelompok karena secara
tidak langsung dapat mengembangkan konsep
diri dan pembentukan harga dirinya.
Uraian sebelumnya menunjukkan, karakteristik siswa usia SD masih senang bermain dan
berpetualang, rasa ingin tahu yang tinggi, punya
teman kelompok sebaya, sudah mulai belajar
sosialisasi dengan teman (sosiosentris), belajar
mematuhi aturan, perkembangan motorik kasar
dan halus yang sudah mulai matang. Media
pembelajaran yang menarik akan dapat
menjawab rasa ingin tahu siswa. Melibatkan
siswa dalam kegiatan langsung akan membuat
proses pembelajaran bermakna karena anakakan
berpikir untuk menemukan konsep bukan
sekedar dijejali oleh guru. Secara tidak langsung
kegiatan tersebut menyalurkan kesenangan
siswa bermain dan berpetualang. Selain itu
latihan perkembangan motorik baik kasar dan
halus lebih terlatih karena saat belajar dengan
media pembelajaran siswa akan mengotak atik
media tersebut. Media pembelajaran yang
digunakan secara kelompok akan bermanfaat
untuk mengajak siswa belajar sosialisasi dengan
teman, belajar mematuhi aturan yang dibuat
bersama dan belajar bertukar pendapat.
82
Jurnal Pendidikan Penabur - No.24/Tahun ke-14/Juni 2015
Pembahasan
Pendidikan sebagai usaha sadar dan terencana
mengandung arti, pendidikan perlu disusun
secara sistematis dan terarah agar tujuan
pendidikan nasional tercapai optimal, efektif,
efisien, dan bermutu. Pendidikan berfungsi
sebagai sarana mengembangkan berbagai
macam potensi diri setiap peserta didik. Pada
hakekatnya setiap orang terlahir memiliki
potensi diri yang berbeda. Setiap orang memiliki
dua potensi diri sebagai bibit yang tersembunyi
dan perlu dimunculkan dan dikembangkan
menjadi wujud nyata yaitu potensi rohani dan
jasmani. Potensi rohani seperti (1) potensi
berpikir yang menekankan pada akal dan
intelektual; (2) potensi rasa yang mengembangkan emosi; perasaan, dan estetika; (3) potensi
karsa untuk menggali hasrat, kemauan dan
keinginannya; (4) potensi cipta meningkatkan
kreatifitas dalam menciptakan sebuah ide atau
karya; (5) potensi karya untuk mengembangkan
keterampilan dalam menghasilkan sebuah
karya; dan (6) potensi budi nurani mengasah
kata hati dan budi pekertinya. Sedangkan
potensi jasmani melatih koordinasi gerak
anggota badan dan ketajaman pancaindra agar
hidup sehat dan terampil.
Potensi diri dapat dikembangkan melalui
bakat dan minat yang ada pada setiap orang
melalui rangsangan dari lingkungan yang
sengaja dikondisikan. Potensi diri tersebut dapat
berkembang ke arah yang baik atau tidak baik
tergantung dari lingkungan dan stimulus yang
diterimanya. Salah satu stimulus yang dapat
diberikan pada anak didik ialah memanfaatkan
media pembelajaran di lingkungannya. Di
bawah ini akan dibahas apakah memang suatu
keharusan mengajar di SD dengan media
pembelajaran.
Ditegaskan dalam PP No.17/2010 dalam
Pasal 67, salah satu fungsi pendidikan pada
SD/MI adalah memberikan dasar kemampuan
intelektual dalam bentuk kemampuan dan
kecakapan membaca, menulis, dan berhitung.
Sedangkan tujuan pendidikan dasar antara
lain(1) menjadikan manusia yang beriman dan
bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa,
berakhlak mulia, dan berkepribadian luhur; (2)
Pemanfaatan Media Pembelajaran di Sekolah Dasar
berilmu, cakap, kritis, kreatif, dan inovatif; (3) peraga merupakan media pembelajaran yang
sehat, mandiri, dan percaya diri; dan (4) toleran, mengandung atau membawakan ciri-ciri konsep
peka sosial, demokratis, danbertanggung jawab. yang dipelajari. Contoh: papan tulis, buku tulis,
SD sebagai dasar pondasi untuk melanjutkan dan daun pintu yang berbentuk persegipanjang
ke jenjang pendidikan lebih tinggi serta dapat berfungsi sebagai alat peraga pada saat
mempersiapkan anak untuk dapat mandiri guru menerangkan bangun geometri dalam
hidup tanpa tergantung pada orang lain. Oleh persegipanjang. Fungsi utama alat peraga
karena itu, perlu proses pembelajaran yang adalah untuk menurunkan keabstrakan dari
sesuai dengan karakteristik siswa SD.
konsep, agar siswa mampu menangkap arti
Pembelajaran adalah bentuk kegiatan sebenarnya dari konsep yang dipelajari. Dengan
menjalin hubungan interaksi dalam proses melihat, meraba, dan memanipulasi alat peraga
belajar mengajar antara siswa dan guru. Dalam maka siswa mempunyai pengalaman nyata
memberikan bimbingan atau dalam penyajian dalam kehidupan tentang arti konsep.
materi pelajaran hendaknya guru mengacu Sedangkan sarana merupakan media
kepada kebutuhan siswa, lingkungan, pembelajaran yang fungsi utamanya sebagai alat
kurikulum dan kebutuhan pada masa yang bantu untuk melakukan pembelajaran. Dengan
akan datang. Siswa SD umumnya masih senang mengguna-kan sarana tersebut diharapkan
bermain, melakukan sesuatu, melihat hal-hal dapat memperlancar pembelajaran. Contoh:
yang mereka belum pernah lihat dan rasa ingin papan tulis, jangka, peng-garis, lembar tugas
tahu yang tinggi,
(LT), lembar kerja
dan pola berpikir
(LK), dan alat-alat
yang operasional
permainan.
Setiap mata pelajaran memiliki
kongkrit artinya
Oleh karena
karakteristik
berbeda
sesuai
tujuan
masih
perlu
itu, guru dalam
yang akan dicapai, namun pada
bantuan benda
menyajikan materi
hakikatnya semua matapelajaran
kongkrit untuk
pelajaran selain
tersebut menanamkan sikap,
dapat memahami
memilih tema/
keterampilan, dan pengetahuan
suatu konse. Alat
topik yang cocok
pada
siswa.
bantu peraga dadengan kondisi
pat membuat ide
siswa, juga harus
abstrak menjadi
memilih
dan
lebih konkret untuk dipelajari. Membantu siswa menyajikan materi pelajaran dengan
lebih fokus pada pikiran dan ide-ide tentang menggunakan media pembelajaran. Komunisebuah masalah berarti pada gilirannya kasiadalah proses pertukaran pesan dengan
membantu mereka untuk memahami dan penggunaan kata-kata lisan, tindakan atau alat
menafsirkan informasi yang telah disajikan. bantu visual. Visual komunikasi atau alat bantu
Untuk siswa usia SD, taraf berpikir masih berada peraga yang digunakan untuk meningkatkan
dalam ranah konkret, artinya dalam memahami presentasi lisan, memberikan kejelasan yang
suatu konsep siswa masih harus dilibatkan lebih besar dan meningkatkan retensi mental
dengan kegiatan pembelajaran yang menggu- siswa. Setiap orang belajar akanmemproses
nakan benda nyata atau kejadian nyata yang informasi secara berbeda. Menggunakan
dapat diterima akal siswa usia SD.Berdasarkan kombinasi alat komunikasi lisan dan visual
hal tersebut di atas dapat disimpulkan, dalam akan membantu memahami informasi yang lebih
kegiatan pembelajaran, pengalaman siswa efektif. Hal ini diperkuat dengan pernyataan
memegang peranan yang penting dalam bahwa belajar yang efektif harus mulai dengan
keberhasilan pembelajaran. Agar pengalaman pengalaman langsung atau pengalaman
pembelajaran siswa dapat lebih bermakna, kongkrit dan menuju kepada pengalaman yang
dibutuhkan alat bantu belajar. Alat bantu belajar abstrak. Belajar akan lebih efektif jika dibantu
dapat berupa alat peraga atau media dengan alat peraga pengajaran dari pada bila
pembelajaran. Menurut Estiningsih (1994) alat belajar tanpa dibantu dengan alat pengajaran
Jurnal Pendidikan Penabur - No.24/Tahun ke-14/Juni 2015
83
Pemanfaatan Media Pembelajaran di Sekolah Dasar
(Bell,1978:31). Media pembelajaran akan
membuat kondisi pengajaran di kelas lebih
interaktif, membantu siswa lebih terlibat dalam
pembelajaran mereka sendiri sehingga
berdampak materi yang dipelajari akan bertahan
lama di benak siswa .
Salah satu fungsi pendidikan adalah
menjadikan siswa SD berilmu, cakap, kritis,
kreatif, dan inovatif melalui mata pelajaran
seperti IPS, IPA, Matematika, Bahasa Indonesia
dan PPKn. Setiap mata pelajaran memiliki
karakteristik berbeda sesuai tujuan yang akan
dicapai, namun pada hakikatnya semua
matapelajaran tersebut menanamkan sikap,
keterampilan, dan pengetahuan pada siswa.
Berikut ini akan diuraikan satu persatu
karakteristik mata pelajaran bahasa Indonesia,
matematika, PPkn, IPs dan IPA SD dan kaitannya dengan penggunaan media pembelajaran.
Bahasa merupakan alat komunikasi antar
manusia berupa bunyi simbol yang mengandung makna. Dengan bahasa, manusia dapat
mengaktualisasikan pikiran dan perasaannya,
serta dapat berinteraksi dengan sesamanya
untuk berbagai keperluan hidup. Demikian pula
bahasa Indonesia, sebagai sebuah bahasa, peran
dan fungsinya tidak akan jauh berbeda dengan
hal tersebut. Itulah sebabnya, pelaksanaan
pembelajaran bahasa Indonesia di sekolah harus
mengaitkan dengan fungsi bahasa sebagai
sarana komunikasi. Oleh karena itu, pendekatan
dan metode yang digunakan guru dalam
pembelajaran berpedoman pada fungsi bahasa
tersebut, yaitu metode atau pendekatan
komunikatif. Bahasa merupakan sebuah sistem.
Di dalam bahasa terdapat berbagai komponen
yang membentuk sistem bahasa, di antaranya
adalah komponen pada tataran bunyi (fonologi),
kata (morfologi), kalimat (sintaksis), dan makna
(semantik). Setiap komponen bukannya berdiri
sendiri, melainkan saling berkaitan. Oleh karena
bahasa Indonesia merupakan sebuah sistem,
pelaksanaan pembelajaran bahasa Indonesia di
sekolah yang baik dilakukan secara terpadu
(terintegrasi), bukan secara terpisah-pisah
(parsial). Keterpaduan itu tidak hanya lintas
materi, bila perlu lintas bidang atau lintas mata
pelajaran. Bahasa akan muncul dipengaruhi
salah satunya oleh situasi atau konteks tertentu.
Faktor konteks ini akan turut memberi kontribusi
84
Jurnal Pendidikan Penabur - No.24/Tahun ke-14/Juni 2015
dalam proses ‘pembentukan makna’ pada
bentuk bahasa yang muncul. Sehubungan
dengan hal tersebut, kegiatan pembelajaran
bahasaIndonesia yang baik di sekolah
dilakukan tanpa meninggalkan konteks
berbahasa. Dengan kata lain, pendekatan
kontekstual akan menjadi sebuah alternatif yang
tepat untuk digunakan dalam praktik
pembelajaran bahasa Indonesia.
Di antara tujuan yang diemban oleh mata
pelajaran bahasa Indonesia adalah siswa
memiliki keterampilan dalam berbahasa
Indonesia secara baik dan benar, baik secara
reseptif (membaca dan menyimak) maupun
secara produktif (berbicara dan menulis). Aspek
keterampilan, termasuk keterampilan berbahasa
Indonesia, biasanya akan dimiliki seseorang
apabila ia rajin berlatih. Berdasarkan asumsi
tersebut, konsekuensi pembelajaran bahasa
Indonesia lebih berorientasi pada praktik
berbahasa daripada teori pengetahuan bahasa.
Hal itu dilakukan agar tujuan terampil berbahasa Indonesia di kalangan siswa dapat terwujud.
Mata pelajaran Bahasa Indonesia terkesan
mengerjakan soal latihan lebih mengarah pada
gramatikal. Padahal karakteristik mata pelajaran
bahasa Indonesia bersifat kontekstual seperti
bagaimanatanya jawab yang sopan dan runtut
dengan orang yang diajak berbicara agar
mengandung makna. Pembelajaran tersebut
tidak bisa dilatih dalam tulisan seperti menjawab
soal latihan atau mengarang. Akan tetapi pada
keterampilan menyimak dan berbicara, siswa
secara langsung terlibat.Oleh karena proses
pembelajarannya akan menarik jika menggunakan tema sesuai minat siswa misalnya citacitaku, setiap siswa akan saling mewawancarai
teman mengenai cita-citanya. Atau mengundang nara sumber sebagai contoh bagaimana
mewawancarai yang benar atau memutarkan
film tentang wawancara seseorang. Contoh lain,
membelajarkan siswa mengungkapkan perasaan melalui tulisan, bukan sekedar menyalin atau
membuat puisi atau karangan tanpa bimbingan
yang hasilnya langsung dinilai oleh guru. Akan
tetapi guru membelajarkan secara bertahap
menuliskan puisi seperti menggunakan sebuah
benda kesayangannya di taruh di atas mejanya
lalu guru membacakan pertanyaan seperti benda
apa itu. Siswa menjawab sesuai benda yang ada
Pemanfaatan Media Pembelajaran di Sekolah Dasar
di atas meja. Lalu pertanyaan berikutnya
bagaimana ciri benda tersebut. Siswa lalu
menuliskan ciri benda berdasarkan warna,
ukuran, dst. Lalu guru bertanya lagi kapan
digunakan. Anak akan menjawabnya dst.
Tulisan hasil jawaban pernyataan guru tersebut
akan menjadi puisinya. Setiap anak memajang
hasil karyanya di papan tulis agar siswa lain
dapat membacanya. Melalui pertukaran
informasi puisi yang berbeda akan menambah
pengetahuan anak tentang puisi. Sesuaikan
tingkat kesulitan membuat puisi secara bertahap,
dari yang paling mudah dan kongkrit ke yang
sukar dan abstrak. Untuk memberanikan anak
bermain peran di depan teman-temannya,
sebaiknya tidak langsung diminta berdiri di
depan teman sekelas lalu bermain peran. Tentu
siswa akan gugup, malu, dan berbicara sesuai
yang dihafal dengan suara pelan dan tidak
dihayati.Mulailah dari kelompok kecil, misalnya
4 - 5orang duduk dilantai dan di setiap
kelompok ada selendang, topi, dan kacamata.
Media tersebut diperagakan oleh setiap siswa
di depan temannya dengan cara bebas
menggunakannya. Pertemuan selanjutnya
dengan kelompok 8-10 orang siswa boleh
bermain pantomin dan teman lainnya menebak.
Pertemuan selanjutnya 15-20 orang duduk
berkelompok menuliskan cita-cita pada secarik
kertas, lalu salah seorang siswa mengambil
tulisan tersebut dan membacakan seolah-olah
ia sebagai host sebuah acara pemberian tanda
penghargaan di sekolah. Lakukan secara
bergantian sehingga setiap anak mendapat
kesempatan untuk berbicara di depan teman
dengan gayanya masing-masing. Pertemuan
berikutnya, diminta2-3 orang membuat cerita
dan memerankan di depan kelas.
Menurut Branson (1999:4), karakteristik
Pendidikan Kewarganegaraan harus mencakup
tiga komponen. Pertama, Civic Knowledge
(pengetahuan kewarganegaraan), berkaitan
dengan kandungan atau nilai apa yang
seharusnya diketahui oleh warga negara. Aspek
ini menyangkut kemampuan akademikkeilmuan yang dikembangkan dari berbagai teori
atau konsep politik, hukum dan moral. Kedua,
Civic Skills (keterampilan kewarganegaraan)
meliputi keterampilan intelektual (intelectual
skills) dan keterampilan berpartisipasi
(participatory skills) dalam kehidupan berbangsa
dan bernegara. Contoh keterampilan intelektual
adalah keterampilan dalam merespon berbagai
persoalan politik. Ketiga ialah Civic Disposition
(watak kewarganegaraan). Komponen ini
sesungguhnya merupakan dimensi yang paling
substantif dan esensial dalam mata pelajaran
PPKn. Dimensi watak kewarganegaraan dapat
dipandang sebagai ‘muara’ dari pengembangan
kedua dimensi sebelumnya.
Dengan memperhatikan visi, misi, dan
tujuan mata pelajaran PPKn, karakteristik mata
pelajaran ini ditandai dengan penekanan pada
dimensi watak, karakter, sikap dan potensi lain
yang bersifat afektif/sikap. Contoh, kegiatan
pembelajaran siswa kelas 1 SD mengenai diri
sendiri dikaitkan dengan karakter siswa .
Karakter dapat terbentuk dari konsep diri yang
baik lalu diinternalisasikan dalam sikap seharihari menjadi sebuah pembiasaan. Siswa dalam
usia 7-8 tahun sedang mencari konsep dirinya,
oleh sebab itu saat membelajarkan dirinya
sebaiknya menumbuhkan konsep diri yang
positif seperti percaya diri dan tidak rendah diri
melalui berbagai kegiatan permainan seperti
menggunakan cermin lalu siswa tersebut
menggambarkan bagaimana wajahnya dan
menyebutkan ciri-ciri wajahnya. Wajah berbeda
dengan teman merupakan anugrah dari Tuhan
YME dan patut disyukuri. Siswa tersebut
dengan bangga dapat menyebutkan ciri
wajahnya pada teman melalui lisan atau
gambar.
Kegiatan lainnya untuk memperkenalkan
sikap yang baik dan buruk, dapat diputar film
fabel yang menggambarkan karakter tersebut.
Guru dapat menggunakan boneka tangan atau
panggung boneka untuk menceritakan tokoh
yang baik dan buruk sehingga siswa dapat
meniru karakter tokoh baik dalam kehidupan
sehari-hari. Saat menonton atau mendengarkan
dongeng sebaiknya siswa diajak berdiskusi
untuk tanya jawab mengenai tokoh dan
kemungkinan apa yang terjadi setelah suatu
kejadian berlangsung. Selain tidak jenuh dan
bosan, siswa dilatih mengungkapkan pikiran
melalui bahasa lisan.
Tujuan pendidikan IPS ialah mendidik dan
memberi bekal kemampuan dasar kepada siswa
untuk mengembangkan diri sesuai dengan bakat,
Jurnal Pendidikan Penabur - No.24/Tahun ke-14/Juni 2015
85
Pemanfaatan Media Pembelajaran di Sekolah Dasar
minat, kemampuan, dan lingkungannya, serta dimensi). Jika sudah paham, siswa diajak untuk
berbagai bekal siswa untuk melanjutkan mengamati peta atlas dalam bentuk buku atau
pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. display besar di gantung di papan tulis. Siswa
Pendidikan IPS lebih menekankan pada aspek dapat membuat atau melengkapi peta atlas
‘pendidikan’ dari pada ‘transfer konsep’, karena tersebut dengan gambar atau warna atau tulisan.
dalam pembelajaran pendidikan IPS siswa Tahapan siswa belajar konservasi ruang berupa
diharapkan memperoleh pemahaman terhadap lingkungan tempat tinggalnya, dimulai dari
sejumlah konsep dan mengembangkan serta benda kongkrit seperti globe lalu analogi dengan
melatih sikap, nilai, moral, dan keterampilannya buah semangka/bola plastik selanjutnya masuk
berdasarkan konsep yang telah dimilikinya. ke dua dimensi dalam bentuk gambar yang ada
Dengan demikian, pembelajaran pendidikan IPS di peta/atlas terakhir dalam simbol atau tulisan.
harus diformulasikannya pada aspek
Matematika memiliki bahasa dan aturan
kependidikannya. Konsep IPS, yaitu: (1) inter- yang terdefinisi dengan baik, penalaran yang
aksi, (2) saling ketergantungan, (3) kesinam- jelas dan sistematis, dan struktur atau
bungan dan perubahan, (4) keragaman/ keterkaitan antar konsep yang kuat. Unsur utama
kesamaan/ perbedaan, (5) konflik dan konsesus, pekerjaan matematika adalah penalaran
(6) pola (patron), (7) tempat, (8) kekuasaan (power), deduktif yang bekerja atas dasar asumsi
(9) nilai kepercayaan, (10) keadilan dan (kebenaran konsistensi). Selain itu, matematika
pemerataan, (11) kelangkaan (scarcity), (12) juga bekerja melalui penalaran induktif yang
kekhususan, (13) budaya (culture), dan (14) didasarkan fakta dan gejala yang muncul untuk
na sionalis me.
sampai
pada
Penerapan pemperkiraan tertenbelajaran IPS
tu. Tetapi perkirapada
jenjang
an ini tetap harus
Penerapan pembelajaran IPS pada
pendidikan SD
dibuktikan secara
jenjang pendidikan SD tidak hanya
tidak hanya berdeduktif, dengan
berorientasi pada pengembangan
orientasi pada
argumen yang
sosial tetapi juga berorientasi pada
pengembangan
konsisten. Matepengembangan keterampilan
sosial tetapi juga
matika sekolah
berpikir kritis, dan kecakapanberorientasi pada
adalah matemakecakapan dasar anak...
pengembangan
tika yang telah
keterampilan
dipilah
dan
berpikir kritis,
disesuaikan
dan kecakapan-kecakapan dasar anak yang dengan tahap perkembangan intelektual, siswa
berpihak pada kenyataan kehidupan sosial serta digunakan sebagai salah satu sarana
kemasyarakatan sehari-hari serta memenuhi untuk mengembangkan kemampuan berpikir
kebutuhan sosial di masyarakat.
siswa. Ada sedikit perbedaan antara matematika
Sebagai ilustrasi, untuk memperkenalkan sebagai ilmu dengan matematika sekolah.
kedudukan Indonesia di antara negara lainnya, Perbedaan itu dalam bentuk penyajian, pola
kegiatan di kelas menggunakan media buah pikir, keterbatasan semesta, dan tingkat
semangka atau bola plastik. Pola pikiran siswa keabstrakan (Ibrahim 2000: 43-44). Pada
masih holistik sehingga sulit jika langsung pembelajaran matematika di SD ada beberapa
diajak untuk melihat peta atlas 2 dimensi. Oleh karakteristik seperti penyajian, pola pikir,
karena itu, siswa diajak mengamati dunia semesta pembicaraan dan tingkat keabstrakan.
dengan globe atau dibuat analogi dengan buah
Penyajian matematika tidak harus diawali
semangka/bola plastik (benda kongkrit) yang dengan teorema atau definisi, tetapi harus
ditempel dengan kertas yang berbentuk pulau disesuaikan dengan taraf perkembangan berpikir
dan benua. Selanjutnya siswa diajak membuat siswa. Apalagi untuk tingkat SD, mereka belum
peta 2 dimensi dengan bola plastik tadi yang mampu seluruhnya berpikir deduktif dengan
dipotong sebagian menjadi sehelai plastik (2 obyek yang abstrak. Pendekatan yang induktif
86
Jurnal Pendidikan Penabur - No.24/Tahun ke-14/Juni 2015
Pemanfaatan Media Pembelajaran di Sekolah Dasar
dan menggunakan obyek yang kongkrit
merupakan sarana yang tepat untuk membelajarkan matematika, karena kemampuan
berpikir siswa SD masih dalam tahap operasional konkrit. Suatu konsep diangkat melalui
manipulasi dan observasi terhadap obyek
kongkrit, kemudian dilakukan proses abstraksi
dan idealisasi. Jadi, penggunaan media/alat
peraga untuk memahami suatu konsep atau
prinsip sangat penting dilakukan dalam proses
pembelajaran matematika di SD.
Sesuai tingkat perkembangan intelektual
siswa, matematika yang disajikan dalam jenjang
pendidikan juga menyesuaikan dalam kekomplekan semestanya. Semakin meningkat perkembangan intelektual siswa, semesta matematikanya semakin diperluas. Tingkat keabstrakan
matematika menyesuaikan dengan tingkat
perkembangan intelektual siswa. Di SD untuk
memahami materi pelajaran dimungkinkan
untuk mengkongkritkan obyek-obyek matematika. Akan tetapi, hal ini berbeda untuk jenjang
sekolah yang lebih tinggi. Semakin tinggi jenjang
sekolah, tingkat keabstrakannya semakin tinggi
pula.
Kegiatan menghitung dan menulis pada
siswa usia dini sudah diperkenalkan karena
tuntutan orang tua. Namun, ketika siswa masuk
kelas 1 SD konsep menghitung dan menulis
bilangan sudah lupa karena sewaktu
membelajarkan konsep menghitung, guru
kurang memahami pola pikir dan perkembangan
siswa. Guru jarang menggunakan benda
kongkrit untuk menghitung, umumnya menggunakan kartu yang mempunyai gambar dan
bilangan. Lalu siswa dilatih menulis bilangan
1-10. Siswa menjadi cepat lupa karena menghitung dan menulis bilangan mengguna-kan
pikiran abstrak, sedangkan siswa tersebut
masih berada pada pikiran kongkrit. Oleh karena
itu penggunaan media sangat diperlukan dalam
membelajarkan konsep berhitung. Melalui
berbagai macam permainan dengan menggunakan media di siswa ajak menghitung. Siswa
cepat ingat tapi cepat lupa merupakan
karakteristik siswa usia 6-8 tahun. Oleh karena
itu, konsep bermain hitung dengan media
dilakukan berulang-ulang. Jika sudah paham,
anakdiajak menggambarkan benda yang
dihitung pada kartu atau buku. Lakukan
berulang-ulang dengan benda yang berbeda dan
jumlahnya berbeda-beda. Setelah siswa paham
maka lanjutkan dengan menulis bilangan sesuai
dengan jumlah benda yang dhitung. Siswa
menggambar benda lalu menuliskan bilangannya. Tahap akhir yang dianggap paling sulit oleh
siswa adalah menuliskan bilangan saja karena
itu abstrak. Oleh karena itu, siswa kelas 1 SD
harus mengulang konsep berhitung yang sudah
diajarkan di PAUD dan setelah siswa ingat dan
paham baru melangkah pada simbol bilangan.
IPA merupakan cabang pengetahuan yang
berawal dari fenomena alam. IPA didefinisikan
sebagai sekumpulan pengetahuan tentang objek
dan fenomena alam yang diperoleh dari hasil
pemikiran dan penyelidikan ilmuwan yang
dilakukan dengan keterampilan bereksperimen
dengan mengguna-kan metode ilmiah. Pada
hakikatnya, IPA merupakan ilmu pengetahuan
tentang gejala alam yang dituangkan berupa
fakta, konsep, prinsip dan hukum yang teruji
kebenarannya melalui rangkaian kegiatan
ilmiah. IPA merupakan suatu rangkaian konsep
yang saling berkaitan. Bagan-bagan konsep
yang telah berkembang sebagai hasil eksperimen
dan observasi bermanfaat untuk eksperimen dan
observasi lebih lanjut (Depdiknas, 2006).
Sesuai dengan karakteristiknya, IPA
diharapkan dapat menjadi wahana bagi siswa
untuk mempelajari diri sendiri dan alam sekitar
serta pengembangan lebih lanjut dalam
kehidupan sehari-hari. Cakupan IPA yang
dipelajari di sekolah tidak hanya berupa
kumpulan fakta tetapi juga proses perolehan
fakta yang didasarkan pada kemampuan
menggunakan pengetahuan dasar IPA untuk
memprediksi atau menjelaskan berbagai
fenomena yang berbeda. Cakupan dan proses
belajar IPA disekolah sebagai berikut.
Pertama, proses belajar IPA melibatkan
hampir semua alat indra, seluruh proses berpikir,
dan berbagai macam gerakan otot. Contoh, untuk
mempelajari pemuaian pada benda, kita perlu
melakukan serangkaian kegiatan yang
melibatkan indra penglihat untuk mengamati
perubahan ukuran benda (panjang, luas, atau
volume), melibatkan gerakan otot untuk
melakukan pengukuran dengan menggunakan
Jurnal Pendidikan Penabur - No.24/Tahun ke-14/Juni 2015
87
Pemanfaatan Media Pembelajaran di Sekolah Dasar
alat ukur yangsesuai dengan benda yang diukur
dan cara pengukuran yang benar, agar diperoleh
data pengukuran kuantitatif yang akurat.
Kedua, belajar IPA dilakukan dengan
menggunakan berbagai macam cara (teknik).
Misalnya, observasi, eksplorasi, dan
eksperimen.
Ketiga, belajar IPA memerlukan berbagai
macam alat, terutama untuk membantu
pengamatan. Hal ini dilakukan karena kemampuan alat indra manusia itu sangat terbatas.
Selain itu, ada hal-hal tertentu bila data yang
kita peroleh hanya berdasarkan pengamatan
dengan indra, akan memberikan hasil yang
kurang obyektif, sementara itu IPA mengutamakan obyektivitas. Contoh : pengamatan untuk
mengukur suhu benda diperlukan alat bantu
pengukur suhu.
Keempat, belajar IPA merupakan proses aktif.
Belajar IPA merupakan sesuatu yang harus anak
lakukan, bukan sesuatu yang dilakukan untuk
anak. Dalam belajar IPA, siswa mengamati obyek
dan peristiwa, mengajukan pertanyaan,
memperoleh pengetahuan, menyusun penjelasan tentang gejala alam, menguji penjelasan
tersebut dengan cara-cara yang berbeda, dan
mengkomunikasikan gagasannya pada pihak
lain. Keaktifan secara fisik saja tidak cukup
untuk belajar IPA, siswa juga harus memperoleh
pengalaman berpikir melalui kebiasaan berpikir
dalam belajar IPA. Para ahli pendidikan dan
pembelajaran IPA menyatakan bahwa
pembelajaran IPA seyogianya melibatkan siswa
dalam berbagai ranah, yaitu rana kognitif,
psikomotorik,dan afektif. Keaktifan dalam
belajar IPA terletak pada dua segi, yaitu aktif
bertindak secara fisik atau hands-on dan aktif
berpikir atau mind-on(NCTM, 1973:20). Hal ini
dikuatkan dalam kurikulum IPA yang
menganjurkan pembelajaran IPA di sekolah
melibatkan siswa dalam penyelidikan yang
berorientasi inkuiri, dengan interaksi antara
siswa dengan guru dan siswa lainnya. Melalui
kegiatan penyelidikan, siswa membuat
hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya
dengan pengetahuan ilmiah yang ditemukannya
pada berbagai sumber, siswa menerapkan materi
IPA untuk mengajukan pertanyaan, siswa
menggunakan pengetahuannya dalam pemecahan masalah, perencanaan, membuat keputus88
Jurnal Pendidikan Penabur - No.24/Tahun ke-14/Juni 2015
an, diskusi kelompok, dan anak memperoleh
asesmen yang konsisten dengan suatu
pendekatan aktif untuk belajar.
Contoh kegiatan pembelajaran tata surya di
SD akan menarik dan bermakna jika diputarkan
film tentang tata surya sehingga anak tidak
miskonsepsi satu dengan lainnya. Siswa akan
terbayang posisi bumi, matahari, dan bulan
melalui tayangan film. Namun, bisa digunakan
media lain seperti bola ukuran besar (bumi) yang
disorot oleh lampu senter (matahari) dan bola
kecil (bulan). Tiga orang siswa memegang benda
tersebut lalu atur posisi siswa dan setiap siswa
berputar ke arah kanan. Kegiatan ini
menyimulasikan gerhana matahari, gerhana
bulan atau posisi yang teratur pada tata surya
terjadi. Setelah siswa paham konsep tata surya
melalui media maka siswa dapat menggambarkan pada buku dan menjelaskan secara lisan
atau tulisan. Media pembelajaran menjembatani
siswa dari berpikir kongkrit ke abstrak .
Agar proses pendidikan bermutu, pelaksanaanya dilakukan sesuai dengan Permen No.
41/2006 tentang Standar Proses yang menyatakan, proses pembelajaran pada satuan
pendidikan diselenggarakan secara interaktif,
inspiratif, menyenangkan, menantang, memotivasi siswa untuk berpartisipasi aktif, serta
memberikan ruang yang cukup bagi prakarsa,
kreativitas, dan kemandirian sesuai dengan
bakat, minat, dan perkembangan fisik serta
psikologis siswa. Salah satu sumber belajar yang
dapat dimanfaatkan oleh guru untuk membantu
proses pembelajaran yang berasaskan
pembelajaran yang aktif, kreatif, efektif, dan
menyenangkan (PAKEM) tersebut dengan
memanfaatkan media pembelajaran yang ada
lingkungannya. Tujuan memanfaatkan media
pembelajaran di kelas menurut Sukayati (2009:
89) adalah antara lain untuk meningkatkan
motivasi belajar anak sehingga siswa tertantang
belajar dari berbagai media untuk menjawab rasa
ingin tahu yang besar.
Media pembelajaran selalu berkaitan
dengan kompetensi dasar di kurikulum. Oleh
karena itu, dalam memilih, memanfaatkan dan
merancang media pembelajaran harus
disesuaikan dengan tujuan pembelajaran yang
tertuang dalam kurikulum. Media pembelajaran
yang tidak memenuhi kriteria dapat menye-
Pemanfaatan Media Pembelajaran di Sekolah Dasar
babkan kegagalan dalam penggunaannya.
Beberapa kriteria media pembelajaran antara
lain ekonomis, praktis, mudah diperoleh,
fleksibel (dapat dimanfaatkan untuk berbagai
tujuan intruksional dan tidak dipengaruhi oleh
kemajuan teknologi, nilai, budaya, dan lain-lain),
terkait dengan kurikulum (kompetensi dasar,
strategi pembelajaran, sistem evaluasi yang
digunakan), sesuai dengan karakteristik siswa,
dan kondisi pembelajaran.
Pembelajaran merupakan aktivitas dan
proses yang sistematis dan sistemik yang terdiri
atas beberapa komponen yaitu : guru, kurikulum,
siswa , fasilitas dan administrasi. Masingmasing komponen tidak bersifat parsial
(terpisah) atau berjalan sendiri-sendiri, tetapi
harus berjalan secara teratur, saling bergantung,
dan berkesinambungan. Untuk itu diperlukan
rancangan dan pengelolaan belajar yang baik
yang dikembangkan dalam rangka mencapai
tujuan pembelajaran.
Para guru dituntut agar mampu menggunakan media yang digunakan dalam
pembelajaran dan menggembangkan keterampilan membuat media pembelajaran yang akan
digunakannya apabila media tersebut belum
tersedia di sekolah. Dalam menyusun
perencanaan pembelajaran beberapa langkah
yang perlu diperhatikan oleh guru.
1. Merumuskan tujuan khusus. Dengan cara
identifikasi dan analisa kurikulum yang
berlaku selanjutnya susun indikator yang
akan dicapai. Untuk pembelajaran tematik
di SD perlu mengkaji dari beberapa mata
pelajaran yang dikaitkan. Misalnya mata
pelajaran Matematika, Bahasa Indonesia,
IPA, IPS, PPKN, dan SBDK agar tujuan
pembelajaran berkesinambungan dan utuh.
2. Memilih pengalaman belajar. Guru perlu
memilih dan menentukan materi yang akan
disajikan sesuai dengan minat, perkembangan dan kematangan siswa yang akan
belajar. Untuk siswa SD yang senang
bermain, melatih motorik kasar dan halus,
mencari konsep diri untuk membiasakan
diri menjadi sebuah karakter perlu
pengalaman yang melibatkan langsung.
3. Menentukan kegiatan belajar mengajar.
Siswa SD berkarakteristik senang bergerak
artinya akan cepat bosan jika duduk,
mencatat dan mendengar ceramah dari guru
saja. Oleh karena itu perlu didesain sebuah
kegiatan pembelajaran yang memotivasi
dan menantang siswa agar mereka mau
belajar. Guru perlu mempertimbangkan
metode pembelajaran dan media yang
digunakan saat siswa belajar. Hal ini terkait
dengan sumber belajar, fasilitas dan kondisi
siswa. Contohnya di area pantai dan area
persawahan, sumber belajar yang tersedia
akan berbeda karena budaya, mata
pencaharian, kekayaan alam yang berbeda.
Intinya guru dapat menfasilitasi belajar
siswa sehingga tujuan belajar anak tercapai
maksimal.
4. Menentukan orang yang akan terlibat
membantu dalam proses pembelajaran serta
memilih dan menentukan media yang tepat. Dalam mempersiapkan media pembelajaran
guru perlu mempertimbangkan bagaimana
mempersiapkannya. Mengorganisasikan
semua sumber daya yang ada adalah tugas
guru. Sekaligus guru menyeleksi media yang
sesuai digunakan saat pembelajaran.
Pemanfaatan media pembelajaran yang
tepat dan digunakan secara benar diharapkan
dapat mempermudah abstraksi, memperbaiki,
atau meningkatkan penguasaan konsep atau
fakta, memberikan motivasi, memberikan variasi
pembelajaran, meningkatkan efisiensi waktu,
dan meningkatkan keterlibatan anak dalam
pembelajaran. Menurut Ruseffendi (dalam
Pujiati, 2009a) penggunakan media
pembelajaran tidak selamanya membuahkan
hasil belajar yang lebih meningkat, lebih menarik,
dan sebagainya. Adakalanya menyebabkan hal
yang sebaliknya, yaitu menyebabkan kegagalan
anak dalam belajar. Kegagalan itu akan nampak
apabila generalisasi konsep abstrak dari
representasi hal-hal yang kongkrit tidak tercapai,
media yang digunakan hanya sekedar sajian
yang tidak memiliki nilai-nilai yang tidak
menunjang konsep-konsep yang diajarkan,
tidak disajikan pada saat yang tepat,
memboroskan waktu, diberikan pada siswa yang
sebenarnya tidak memerlukannya, dan tidak
menarik dan mempersulit konsep yang
dipelajari.
Jurnal Pendidikan Penabur - No.24/Tahun ke-14/Juni 2015
89
Pemanfaatan Media Pembelajaran di Sekolah Dasar
Simpulan
Kesimpulan
Globalisasi menuntut masyarakat untuk berpikir
kreatif dan kritis. Masyarakat yang produktif
akan menghasilkan produk bermutu sehingga
dapat bersaing dengan negara lain. Untuk
menghadapi tantangan zaman tersebut
diperlukan Sumber Daya Manusia (SDM) yang
memiliki kepribadian yang seimbang daya cipta,
karsa, dan karya untuk dapat bersaing dan
unggul. Salah satu cara untuk membentuk SDM
yang bermutu melalui pemanfaatan media
pembelajaran dalam dunia pendidikan.
Penggunaan media pembelajaran sangat
berguna melengkapi pemahaman siswa
terutama siswa SD terhadap materi yang
dipelajari dan prinsipnya untuk meningkatkan
efektivitas dan kelancaran proses belajar
Mata pelajaran yang diajarkan pada siswa
SD seperti Matematika, Bahasa Indonesia,
Agama, PPkn, IPA, IPs, SBDK, dan Penjas
memiliki karakteristik berbeda namun semua
mata pelajaran tersebut bertujuan menumbuhkan kematangan berpikir, emosional dan
spirituil pada siswa. Kompetensi dasar yang
ingin dicapai oleh setiap mata pelajaran berbedabeda namun proses pembelajaran yang
menyenangkan dan bermakna berlaku pada
setiap mata pelajaran. Oleh karena penggunaan
media pembelajaran sebagai jembatan untuk
mempermudah siswa berpikir dari kongkrit ke
abstrak serta meningkatkan motivasi siswa
belajar.
Keberhasilan penggunaan media
pembelajaran sangat tergantung pada ketepatan
pemilihannya yang harus mengacu pada
tuntutan kurikulum (kompetensi dasar, strategi
pembelajaran, dan evaluasi hasil belajar),
karakteristik bahan pembelajaran, karakteristik
siswa , serta lingkungan pembelajaran.
Saran
Guru sebagai agent transfer of knowledge yang
ingin mendapatkan hasil pembelajaran yang
baik hendaknya selalu berusaha memperbaiki
proses pembelajarannya dengan mengoptimalkan dan menciptakan ide kreatif melalui media
sehingga pembelajaran dapat berjalan dengan
90
Jurnal Pendidikan Penabur - No.24/Tahun ke-14/Juni 2015
optimal dan mencapai hasil maksimal.Cara dan
macam penggunaan setiap media memang
berbeda sesuai dengan konsep materi yang harus
dipahami oleh siswa dan disesuaikan dengan
metode pembelajaran yang digunakan. Guru
harus paham dan terampil dalam pengelola alat
peraga matematika yang digunakan. Jangan
sampai terjadi penggunaan media malah
mengacaukan jalannya pembelajaran yang
ditangani. Guru harus pula tahu apakah media
tersebut untuk penanaman konsep atau
pembinaan keterampilan. Dalam fungsi
pendidikan (PP 17/2010 dalam pasal 67), dalam
membekali siswa pengetahuan, keterampilan
dan sikap pengalaman belajar siswa sangatlah
penting. Pengalaman tersebut akan membentuk
suatu pemahaman apabila ditunjang dengan
alat bantu belajar, yang berfungsi untuk
mengkongkritkan materi-materi yang bersifat
abstrak. Oleh karena itu guru harus terus belajar
melalui baca buku, mengikuti seminar workhop,
mendisain media pembelajaran selanjutnya
didiskusikan dengan teman sejawat, membuka
pikiran (open minded) ketika ada masukan/saran
yang sifatnya membangun; melakukan PTK.
Daftar Pustaka
Arikunto, Agus. (2007). Pemanfaatan alat peraga
matematika di SD. Yogyakarta: PPPPTK
Matematika
Arsyad, Azhar. (2011). Media pembelajaran.
Jakarta: Rajawali Press
Branson. (1999). Theory of civic education: A forth
coming education. Canada: Sherbrooke
Depdiknas. (2006). Standar pendidikan nasional.
Jakarta: Pusat Kurikulum
Estiningsih, E. (1994).Landasan teknik pengajaran
hitung SD. Yogyakarta: PPPG Matematika
Bell, Frederich H,.(1978). Teaching and learning
mathematics. Iowa : Brown Company
Publisher
Hamalik, Oemar. (2011). Dasar-dasar
pengembangan kurikulum. Bandung: Rosda
Karya
Hudojo, H. (1998). Mengajar belajar matematika.
Jakarta: Depdikbud
Ibrahim, H, dkk. (2000). Media pembelajaran.
Malang: Universitas Negeri Malang
Pemanfaatan Media Pembelajaran di Sekolah Dasar
Kitson, Neil, & Merry, Roger. (1997). Teaching in
the primary school. London: Routledge
Kurjono. (2010). Proses belajar mengajar dengan
aspek-aspeknya: Panduan bagi para pendidik,
maha anak dan para praktisi pendidikan.
Bandung: ProgramStudi Pendidikan
Akuntansi: Tidak diterbitkan
Latuhera. (1988). Media pembelajaran. Jakarta:
Gramedia
Mulyasa, E. (2011). Kurikulum tingkat satuan
pelajaran. Bandung: Rosda Karya.
NCTM (1973). Instructional AIDs in mathematics:
Virginia (Thirty Year Book)
Pujiati. 2009a. Pemanfaatan alat peraga sebagai
media pembelajaran matematika SD.
Makalah tidak dipublikasikan.
Yogyakarta: PPPPTK Matematika
Pujiati. 2009b. Pembuatan alat peraga matematika.
Makalah tidak dipublikasikan. Yogyakarta:
PPPPTK Matematika
Peraturan Pemerintah No. 17 Tahun 2010
tentang
Pengelolaan
dan
Penyelenggaraan Pendidikan. Jakarta
Permendiknas 41/2007 tentang Standar Proses
Tim PPPPTK Matematika. 2008a. Petunjuk
penggunaan alat peraga matematika untuk
guru. Yogyakarta: Empat Pilar
Tim PPPPTK Matematika. 2008b. Petunjuk
penggunaan alat peraga matematika untuk
murid. Yogyakarta: Empat Pilar
Sadiman, Arif.(2007). Media pendidikan:
Pengertian,
pengembangan
dan
pemanfaatannya. Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada
Saud, Udin. (2009). Pengembangan profesi guru.
Bandung: Alfabeta
Sudjana, Nana dan Rivai, Ahmad. (2009). Media
pengajaran. Jakarta: Sinar Baru Algesindo
Sudrajat. (2005). Memanajemen pembelajaran.
Bandung:Pustaka Setia
Sukayati, Agus Suharjana. (2009). Pemanfaatan
alat peraga matematika dalam pembelajaran
di SD. Yogyakarta: Departemen
Pendidikan Nasional Direktorat Jenderal
Peningkatan Mutu Pendidik dan Tenaga
Kependidikan Pusat Pengembangan dan
Pemberdayaan Pendidik dan Tenaga
Kependidikan (PPPPTK) Matematika
Supandi.(1992). Strategi belajar mengajar.
Bandung: Rosda karya
Syah, Muhibbin. (2009). Psikologi belajar. Jakarta:
Raja Grafindo Persada
Syaodih, Erlina. (2011). Perkembangan anak.
Bandung: Rosda karya
Warsita, Bambang. (2008). Teknologi pembelajaran.
Jakrta: Rineka Cipta
Widyadani, SB. (2008). Media dan
pembelajarannya. Bandung: Media Perkasa
Jurnal Pendidikan Penabur - No.24/Tahun ke-14/Juni 2015
91
Penggunaan Fun Multiplication Beads
Opini
Penggunaan Fun Multiplication Beads Untuk
Meningkatkan Kemampuan Perkalian Siswa
Sih Retno Hastuti
Email: [email protected]
SDK 11 BPK PENABUR Jakarta
Abstrak
eserta didik kelas 2 SD mengalami kesulitan dalam penguasaan konsep perkalian dasar,
yaitu perkalian 2 bilangan satu angka dan perkalian dengan bilangan 10, pada pelajaran
Matematika. Padahal, penguasaan konsep perkalian merupakan hal yang penting karena
di kelas 3 peserta didik belajar materi pembagian. Salah satu faktor penyebab anak
mengalami kesulitan dalam menguasai konsep perkalian adalah pembelajaran yang kurang menarik
dan guru tidak menggunakan alat peraga. Tulisan ini membahas bagaimana pembuatan dan
penggunaan alat peraga Fun Multiplication Beads dapat meningkatkan kemampuan siswa kelas 2
SD dalam penguasaan materi perkalian pada pelajaran Matematika. Media ini sangat menarik
karena menggunakan metode permainan. Mengingat pentingnya penguasaan kemampuan
perkalian dasar bagi peserta didik kelas 2, tulisan ini menyarankan kepada Guru SD dan orang tua
untuk menggunakan alat peraga Fun Multiplication Beads dalam pelajaran Matematika untuk
melengkapi metode pembelajaran yang telah dilakukan di kelas.
P
Kata-kata kunci: perkalian, alat peraga, media, Fun Multiplication Beads, penguasaan matematika
Usage of Fun Beads Multiplication to Improve Student’s Multiplication Ability
Abstract
The students of Grade 2 in Primary Schools often find difficulties in understanding of basic multiplication
particularly the multiplication of 2 and 10. The problem arises as the teacher does not apply the appropriate
methods and use teaching aids. This article discusses how Fun Multiplication Beads can be made and used by
the teacher to facilitate the students to understand the basic multiplication. The students find learning as a fun
because they are learning through playing. This article recommends the teacher to apply this method to
motivate the students to learn mathematic concepts joyfully.
Keywords: multiplication, teaching aids, media, Fun Multiplication Beads, mathematic mastery
92
Jurnal Pendidikan Penabur - No.24/Tahun ke-14/Juni 2015
Penggunaan Fun Multiplication Beads
Pendahuluan
Pelajaran perkalian mulai diberikan di kelas 2
SD semester 2. Perkalian, khususnya perkalian
dasar, yaitu perkalian 2 bilangan satu angka dan
perkalian dengan bilangan 10 merupakan topik
krusial dalam pelajaran Matematika SD.
Perkalian lain yang lebih tinggi tingkatannya
dapat dicapai secara lebih mudah bila peserta
didik paham dan hafal perkalian dasar.
Demikian pula dengan pembagian yang akan
mulai diajarkan di kelas 3, akan dapat dengan
mudah dipahami peserta didik, bila mereka
paham dan hafal perkalian dasar.
Hingga saat ini banyak peserta didik
mengalami kesulitan dalam menerima pelajaran
perkalian. Mereka tidak paham dan terampil
perkalian dasar (perkalian dua bilangan satu
angka). Akibatnya, pelajaran perkalian dan
pembagian lanjut di kelas berikutnya
mengalami kesulitan. Sementara perkalian dan
pembagian harus dikuasai peserta didik sejak
dini karena selalu terkait dengan pelajaran
Matematika di kelas berikutnya bahkan hingga
jenjang yang lebih tinggi.
Hal ini dialami sendiri oleh anak penulis
ketika ia duduk di kelas 2 SD. Ia mengalami
kesulitan dalam perkalian 2 bilangan satu angka
dan perkalian dengan bilangan 10 sehingga
akhirnya penulis membuatkan tabel perkalian 1
– 10 dan menempelkannya di tempat yang
mudah dilihat. Hal tersebut dimaksudkan agar
ia dapat mudah menghafalkan perkalian dasar
dan perkalian dengan bilangan 10 karena sering
melihat tabel perkalian tersebut. Namun,
ternyata anak penulis tidak mengalami
kemajuan dalam penguasaan perkalian dasar.
Metode hafalan tidak menolong anak penulis
memahami konsep dan terampil dalam perkalian dasar dan perkalian dengan bilangan 10.
Kesulitan siswa memahami konsep
perkalian dasar dan perkalian dengan bilangan
10 disebabkan antara lain: metode ini kurang
menarik, belum menggunakan metode berhitung
yang mempermudah siswa belajar perkalian,
tidak mengajarkan konsep pembelajaran
perkalian itu sendiri, pembelajaran lebih
didominasi oleh guru, dan guru mengajar
dengan menerangkan kemudian memberikan
tugas. Guru juga belum menggunakan alat
peraga yang memadai sehingga pembelajaran
menjadi monoton dan verbalistik.
Ingatan siswa sangat terbebani menghafalkan pengertian dan mereka merasa terpaksa
sehingga pembelajaran terasa sangat
membosankan. Hal ini tentu sangat bertentangan dengan dunia mereka, yaitu bermain.
Menurut Papalia (2008), seorang ahli
perkembangan manusia, dunia anak adalah
dunia bermain. Dengan bermain anak-anak
menggunakan otot tubuhnya, menstimulasi
indera tubuh, mengeksplorasi dunia sekitar,
menemukan seperti apa dunia ini dan diri mereka sendiri. Lewat bermain, anak mempelajari hal
baru, kapan harus menggunakan keahlian
tersebut, serta memuaskan apa yang menjadi
kebutuhannya. Lewat bermain pun, fisik anak
akan terlatih, kemampuan kognitif dan berinteraksi dengan orang lain akan berkembang juga.
Oleh karena itu, penulis merancang alat
peraga Fun Multiplication Beads. Fun
Multiplication Beads adalah alat peraga yang
dirancang untuk meningkatkan kemampuan
peserta didik mulai kelas 2 SD dalam menguasai
konsep perkalian dasar dan perkalian dengan
bilangan 10. Media ini sangat menarik bagi anak
karena menggunakan metode permainan yang
menyentuh dunia anak. Anak akan mudah
paham dan mengingat perkalian dasar dan
perkalian dengan bilangan 10 karena mereka
mempelajarinya sambil bermain.
Perumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang di atas, dapat
diidentifikasikan beberapa permasalahan yang
timbul, antara lain:
1. Bagaimana alat peraga Fun Multiplication
Beads dapat meningkatkan kemampuan
peserta didik kelas 2 SD dalam perkalian
dasar dan perkalian dengan bilangan 10?
2. Bagaimana tahapan pembuatan alat peraga
Fun Multiplication Beads?
3. Bagaimana cara menggunakan alat peraga
Fun Multiplication Beads?
Tujuan
Berdasarkan rumusan masalah di atas, tulisan
ini bertujuan untuk mengetahui hal-hal berikut.
1. Bagaimana alat peraga Fun Multiplication
Beads dapat meningkatkan kemampuan
Jurnal Pendidikan Penabur - No.24/Tahun ke-14/Juni 2015
93
Penggunaan Fun Multiplication Beads
2.
3.
peserta didik kelas 2 SD dalam perkalian
dasar dan perkalian dengan bilangan 10.
Tahapan pembuatan alat peraga Fun
Multiplication Beads.
Cara menggunakan alat peraga Fun
Multiplication Beads.
Manfaat
Alat peraga Fun Multiplication Beads dapat
bermanfaat untuk menambah wawasan guru SD
tentang pemanfaatan dan pengembangan
media/alat peraga pelajaran Matematika untuk
meningkatkan kelancaran pelaksanaan tugas
profesionalnya sebagai pembimbing peserta
didik di sekolah.
Pembahasan
Perkalian dalam Pelajaran Matematika
Matematika merupakan ilmu universal yang
mendasari perkembangan teknologi modern dan
mempunyai peran penting dalam berbagai
disiplin dan memajukan daya pikir manusia.
Perkembangan pesat di bidang teknologi
komunikasi dan informasi dewasa ini dilandasi
oleh perkembangan Matematika. Untuk
menguasai dan mencipta teknologi di masa
depan diperlukan penguasaan Matematika
yang kuat sejak dini (Depdiknas, 2006).
Mata pelajaran Matematika bertujuan agar
peserta didik memiliki kemampuan sebagai
berikut (Depdiknas, 2006):
1. Memahami konsep Matematika, menjelaskan keterkaitan antarkonsep dan mengaplikasikan konsep atau algoritma, secara
luwes, akurat, efisien, dan tepat dalam
pemecahan masalah.
2. Menggunakan penalaran dalam pola dan
sifat, melakukan manipulasi Matematika,
dalam membuat generalisasi, menyusun
bukti, atau menjelaskan gagasan dan
pernyataan Matematika.
3. Memecahkan masalah yang meliputi
kemampuan memahami masalah, merancang model Matematika, menyelesaikan
model, dan menafsirkan solusi yang
diperoleh.
94
Jurnal Pendidikan Penabur - No.24/Tahun ke-14/Juni 2015
4.
Mengomunikasikan gagasan dengan
simbol, tabel, diagram, atau media lain
untuk memperjelas keadaan atau masalah.
5. Memiliki sikap menghargai kegunaan
Matematika dalam kehidupan, yaitu
memiliki rasa ingin tahu, perhatian, dan
minat dalam mempelajari Matematika, serta
sikap ulet dan percaya diri dalam
pemecahan masalah.
Dari tujuan pelajaran Matematika tersebut,
memahami konsep Matematika merupakan
tujuan yang harus dicapai lebih dulu agar tujuan
berikutnya lebih mudah dicapai. Konsep-konsep
Matematika yang harus dipahami di Sekolah
Dasar meliputi aspek bilangan, geometri, dan
pengolahan data. (Depdiknas, 2006). Pada aspek
bilangan terdapat konsep operasi perkalian
bilangan cacah yang harus dipahami peserta
didik SD kelas 2.
Untuk mencapai pemahaman konsep
operasi perkalian bilangan cacah bukan hal yang
mudah. Sampai sekarang ini, banyak peserta
didik yang masih mengalami kesulitan dalam
menerima pelajaran perkalian. Mereka tidak
paham dan hafal perkalian dasar (perkalian dua
bilangan satu angka), sehingga perkalian
berikutnya terasa semakin sulit dan akhirnya
dibenci dan ditakuti (Raharjo, 2009: 5).
Menurut Raharjo (2009: 5) cara mengajar
peserta didik supaya terampil perkalian dasar
masih menjadi masalah di lapangan. Masalah
yang dimaksud adalah peserta didik sulit
memahami dan sulit diajak terampil perkalian
dasar (perkalian dua bilangan satu angka).
Kesalahan ini kemudian dibebankan kepada
guru kelas 2. Hal yang sama berlaku pada
pembagian dasar kelas 2. Akibatnya pelajaran
perkalian dan pembagian tingkat lanjut di kelas
berikutnya mengalami kesulitan. Sementara itu,
perkalian dan pembagian harus dikuasai
peserta didik sejak dini karena selalu terkait
dengan pelajaran Matematika di kelas
berikutnya bahkan jenjang yang lebih tinggi.
Banyak siswa mengalami kesulitan dalam
perkalian dasar karena permasalahan dari
dalam diri siswa sendiri dan berasal dari guru.
Masalah dari siswa, di antaranya belum paham
operasi hitung perkalian dan siswa hanya
menghafal cara-cara tanpa memahami makna
Penggunaan Fun Multiplication Beads
dan manfaat materi yang dipelajari. Masalah
dari guru, di antaranya: tidak menggunakan alat
peraga yang relevan dalam pembelajaran, hanya
menggunakan gambar, guru menggunakan
pendekatan yang tidak tepat, kurang
menanamkan konsep dalam setiap materi
pelajaran, dan guru tidak memperhatikan tahap
dalam proses belajar, tapi langsung memberikan
penyelesaian soal.
Alat Peraga dalam Pelajaran Matematika
Salah satu cara bagi Guru SD untuk
meningkatkan pemahaman peserta didik dalam
perkalian dasar dan perkalian dengan bilangan
10 adalah dengan menggunakan alat peraga
dalam pembelajaran. Untuk itu, penulis
merancang alat peraga Fun Multiplication
Beads. Oleh karena, pada dasarnya anak belajar
melalui benda/objek konkret. Untuk memahami
konsep abstrak, anak memerlukan benda konkret
sebagai perantara atau visualisasinya.
Selanjutnya, konsep abstrak yang baru dipahami
peserta didik itu akan melekat dan tahan lama
bila peserta didik belajar melalui perbuatan dan
dapat dimengerti, bukan hanya mengingat fakta.
Dengan menggunakan alat peraga maka
terjadi hal-hal berikut.
1. Proses belajar mengajar termotivasi. Baik
siswa maupun guru, dan terutama siswa,
minatnya akan timbul. Ia akan senang,
terangsang, tertarik dan karena itu akan
bersikap positif terhadap pengajaran
Matematika.
2. Konsep abstrak Matematika tersajikan
dalam bentuk konkret dan karena itu dapat
dipahami dan dimengerti, dapat
ditanamkan pada tingkat-tingkat yang lebih
rendah.
3. Hubungan antara konsep abstrak
Matematika dengan benda-benda di alam
sekitar akan lebih dapat dipahami.
4. Konsep-konsep abstrak yang tersajikan
dalam bentuk konkret, yaitu dalam bentuk
model Matematik yang dapat dipakai
sebagai objek penelitian maupun sebagai
alat untuk meneliti ide-ide baru dan relasi
baru bertambah banyak. (Suherman, 2003:7).
Alat peraga merupakan media pembelajaran
yang mengandung ciri-ciri konsep yang
dipelajari (Sudjana, 2005:90). Alat peraga dalam
proses pembelajaran memegang peranan
penting sebagai alat bantu untuk menciptakan
proses pembelajaran yang efektif. Alat bantu
pembelajaran adalah perlengkapan yang
menyajikan satuan-satuan pengetahuan melalui
stimulasi pendengaran, penglihatan atau
keduanya untuk membantu pembelajaran
(Kochhar, 2008:214).
Manfaat alat peraga, menurut Suherman
(1994:274), di antaranya adalah membantu guru
dalam (a) memberi penjelasan konsep, (b)
merumuskan atau membentuk konsep, (c)
melatih siswa dalam keterampilan, (d) memberi
penguatan konsep pada siswa, (e) melatih siswa
dalam pemecahan masalah, (f) melatih siswa
dalam pengukuran, dan (g) mendorong siswa
untuk berfikir kritis dan analitik.
Penelitian yang dilaksanakan oleh Higgins
dan Suydam tahun 1976 (Suherman, 1994:273)
memberikan hasil bahwa secara umum alat
peraga berfungsi efektif dalam memotivasi
belajar siswa dan terdapat perbandingan 6 : 1
antara pengajaran yang menggunakan alat
peraga dengan yang tidak menggunakannya.
Pemahaman siswa tentang konsep
Matematika tidak akan terlepas dari kehidupan
nyata yang mereka hadapi sehari-hari. Selain
siswa akan benar-benar paham tentang konsep
yang dimaksud, mereka akan mampu berkreasi
dalam mengaplikasikan konsep Matematika
pada kehidupan nyata. Menurut J. Bruner (
dalam Hudojo Herman, 1998), penjelasan
konsep Matematika dimulai dengan benda
sesungguhnya (enactive), diteruskan dengan
gambar benda (iconic), dan dilanjutkan dengan
penggunaan simbol (symbolic).
Hudoyo (1998) menyatakan, belajar
Matematika merupakan proses membangun/
mengkonstruksi konsep dan prinsip, tidak
sekedar penggrojokan yang terkesan pasif dan
statis, namun belajar itu harus aktif dan dinamis.
Hal ini sesuai dengan pandangan konstruktivis,
yaitu suatu pandangan dalam mengajar dan
belajar di mana siswa membangun sendiri arti
dari pengalamannya dan interaksi dengan orang
lain, sedangkan tugas guru adalah memberikan
pengalaman yang bermakna bagi siswa.
Sedangkan menurut Piaget taraf berpikir anak
seusia SD adalah masih kongkret operasional.
Artinya, untuk memahami suatu konsep siswa
Jurnal Pendidikan Penabur - No.24/Tahun ke-14/Juni 2015
95
Penggunaan Fun Multiplication Beads
masih harus diberikan kegiatan yang
berhubungan dengan benda atau kejadian nyata
yang dapat diterima akal mereka. Berdasarkan
uraian sebelumnya, maka dalam belajar
Matematika pengalaman belajar siswa sangatlah
penting. Pengalaman tersebut akan membentuk
pemahaman apabila ditunjang dengan alat
bantu belajar, agar pemahaman Matematika
tersebut menjadi kongkret.
Diharapkan alat bantu belajar atau alat
peraga Fun Multiplication Beads dapat memberikan pengalaman belajar yang bermakna,
mengaktifkan dan menyenangkan siswa.
Alat Peraga Fun Multiplication Beads
Untuk membuat alat peraga Fun Multiplication
adapun bahan-bahan yang diperlukan seperti
terlihat pada gambar di bawah ini adalah: 1).
Cok Board; 2) PVC Board ; 3) Lem fox; ·4) Obeng; 5)
Satu set kartu perkalian dasar dan perkalian
dengan bilangan 10; 6) Manik-manik (100 buah);
7) Karakter penunjuk perkalian: Kepik; 8) Cutter;
dan 9) Penggaris sablon
Gambar 1: Fun Multiplication Beads
Gambar 3: PVC Board
Gambar 2: Cok Board
96
Jurnal Pendidikan Penabur - No.24/Tahun ke-14/Juni 2015
Penggunaan Fun Multiplication Beads
Gambar 7: Manik-manik
Gambar 4: Lem Fox
Gambar 8:
Karakter penunjuk perkalian: Kepik
Gambar 5: Obeng
Gambar 9: Cutter
Gambar 6: Kartu Perkalian
Gambar 10: Penggaris sablon
Jurnal Pendidikan Penabur - No.24/Tahun ke-14/Juni 2015
97
Penggunaan Fun Multiplication Beads
Teknik Pembuatan
Pertama, cok board sebagai papan perkalian,
dilubangi dengan menggunakan cutter dan
obeng. Besar lubang sebesar manik-manik.
Gambar 10: Pelubangan Cok Board
Kedua, tulis angka 1 – 10 di sisi bagian atas dan
sisi bagian kiri pada papan perkalian, nama
media: Fun Multiplication Beads, dan cara
bermain.
Gambar 11. Penempelan Cok Board
pada PVC Board
98
Jurnal Pendidikan Penabur - No.24/Tahun ke-14/Juni 2015
Ketiga, cok board yang sudah dilubangi
ditempelkan pada PVC Board dengan
menggunakan lem.
Keempat, buat satu set kartu perkalian dasar
dan perkalian dengan bilangan 10 pada program
MS. Word. Kemudian dicetak, dilaminasi, dan
digunting sesuai ukuran yang telah ditentukan.
Teknik Permainan
Alat peraga Fun Multiplication Beads dimainkan
dengan cara berikut.
1. Satu orang anak mengocok kartu dan
memilih salah satu kartu. Kartu yang
dipilihnya menunjukkan perkalian yang ia
pilih. Misalnya ia mendapatkan kartu
perkalian 5 x 2, maka:
Pertama, ia harus menyebutkan jawabannya.
Kedua, untuk membuktikan apakah
jawabannya benar atau tidak, ia akan:
a. Meletakkan karakter penunjuk perkalian “Kepik” pada papan perkalian, ke
baris (arah bawah) yang menunjukkan
angka 5, dan meletakkan karakter
penunjuk perkalian “Kepik” ke kolom
(arah kanan) yang menunjukkan angka 2.
b. Kemudian ia mengambil manik-manik,
dan meletakkan manik-manik tersebut
pada lubang yang ada di seluruh area
di sepanjang baris 5 dan kolom 2.
Pertama, ia akan meletakkan manikmanik pada baris 1, kolom 1 dan kolom 2.
Kedua, ia akan meletakkan manikmanik pada baris 2, kolom 1 dan kolom 2.
Ketiga, ia akan meletakkan manik-manik
pada baris 3, kolom 1 dan kolom 2.
Keempat, ia akan meletakkan manikmanik pada baris 4, kolom 1 dan kolom 2.
Kelima, ia akan meletakkan manikmanik pada baris 5, kolom 1 dan kolom 2.
c. Bila jumlah manik-manik di seluruh
lubang pada area tersebut sama dengan
jawabannya, maka jawaban anak
tersebut benar dan mendapat nilai 1.
2. Anak yang berikutnya akan melakukan
tahapan permainan yang sama.
3. Pemenangnya adalah siswa yang mendapat
nilai tertinggi.
4. Permainan ini dapat dimainkan oleh 2
orang atau lebih.
Penggunaan Fun Multiplication Beads
Metode Bermain dalam Penggunaan
Fun Multiplication Beads
Kegiatan ini di samping memenuhi kebutuhan
akan bermain, juga menambah atau memperkaya
pengalaman anak. Penggunaan Alat peraga Fun
Multiplication Beads dilakukan dengan
menggunakan metode bermain. Menurut Piaget,
bermain merupakan kegiatan yang dilakukan
berulang-ulang demi kesenangan (Piaget, 1951).
Secara lebih umum dalam istilah psikologi, Joan
Freeman dan Utami Munandar (1996)
mendefinisikan bermain sebagai suatu kegiatan
yang membantu anak mencapai perkembangan
yang utuh, baik fisik, intelektual, sosial, moral,
dan emosional.
Dari definisi tersebut, satu syarat mutlak
ketika anak melakukan kegiatan yang disebut
bermain adalah kegiatan yang dilakukannya itu
menimbulkan efek menyenangkan pada dirinya.
Namun ternyata, perasaan menyenangkan
hanyalah salah satu bagian kecil dari manfaat
yang didapatkan anak dari bermain.
Beberapa manfaat bermain adalah sebagai
berikut.
1. Melatih perkembangan sensorik dan
motorik
Anak akan terlatih ketika melakukan
beragam aktivitas sensorik serta motorik.
Permainan aktif melatih panca indera sang
anak. Dengan bermain menggunakan Fun
Multiplication Beads, semua anggota panca
indera anak tergerak melakukan sesuatu,
yaitu anak mengocok dan mengambil kartu,
meletakkan karakter penunjuk perkalian,
dan meletakkan manik-manik. Sebagai
hasilnya, organ sensorik dan motorik anak
semakin baik.
2. Mengasah memori otak
Anak kecil mempunyai organ memori yang
belum banyak terisi oleh beragam hal. Ketika
bermain, anak mengembangkan memori
yang ia miliki. Semakin anak bermain,
semakin terasah otaknya dan ia mampu
mendapatkan perkembangan memori jauh
lebih baik.
3. Mengembangkan etika
Ketika anak bermain, ia mempelajari banyak
aturan, mempunyai tingkat sportivitas, dan
4.
tentu saja belajar bagaimana membangun
etika yang benar. Hal ini akan menjadi bekal
anak kelak ketika berhadapan dengan
aturan di dunia.
Meningkatkan kreativitas anak
Saat melakukan permainan, anak dapat
mengeksplorasi dan menerapkan banyak
ide terkait dengan sistem permainan. Ketika
kreativitas tersebut terus diasah, anak bisa
menemukan berbagai ide cemerlang pada
masa yang akan datang.
Dengan keinginan anak bermain, orang tua
atau pendidik dapat memanfaatkan kegiatan
bermain untuk menanamkan pengertian dan
konsep pelajaran Matematika, khususnya dalam
hal ini penguasaan konsep perkalian dasar,
yaitu perkalian 2 bilangan satu angka dan
perkalian dengan bilangan 10. Diharapkan
melalui kegiatan ini, anak/peserta didik kelak:
(a) senang mengerjakan bahan pelajaran
matematika, khususnya perkalian dasar;
(b) terdorong dan menaruh minat untuk
mempelajari matematika secara sukarela;
(c) memiliki semangat bertanding dalam suatu
permainan dan berusaha untuk menjadi
pemenang dan terdorong memusatkan
perhatian pada permainan yang
dihadapinya;
(d) betul-betul memahami dan mengerti konsep
perkalian dasar, yaitu perkalian 2 bilangan
satu angka dan perkalian dengan bilangan
10, jika terlibat dalam kegiatan dan aktif;
(e) mengurangi ketegangan dalam pikirannya
setelah belajar matematika; dan
(f) memanfaatkan waktu luang dengan baik.
Dengan belajar Matematika sambil bermain,
anak akan berminat dan termotivasi mempelajari
Matematika serta meningkatkan pemahamannya. Oleh karena permainan Matematika
merupakan suatu kegiatan yang menggembirakan dan dapat menunjang tercapainya tujuan
instruksional dalam pelajaran Matematika.
Tujuan ini dapat menyangkut aspek kognitif,
psikomotor, dan afektif. Permainan yang
mengandung nilai-nilai Matematika dapat
meningkatkan keterampilan, penanaman
konsep, pemahaman, dan pemantapannya;
meningkatkan kemampuan menemukan,
memecahkan masalah, dan lain-lainnya.
Jurnal Pendidikan Penabur - No.24/Tahun ke-14/Juni 2015
99
Penggunaan Fun Multiplication Beads
Fun Multiplication Beads dan Konsep
Matematika
Dalam permainan menggunakan Fun
Multiplication Beads, guru mengaitkannya
dengan menjelaskan konsep perkalian dasar,
yaitu perkalian 2 bilangan satu angka dan
perkalian dengan bilangan 10. Oleh karena
kemampuan anak dimulai dari penjumlahan,
maka ajarkan konsep perkalian sebagai
penjumlahan berulang, artinya menjumlahkan
angka yang sama dengan berulang. Perkalian
ini mulai diajarkan kepada anak kelas 2 SD.
Misalnya, dalam perkalian 5 x 2. Bila
menggunakan alat peraga Fun Multiplication
Beads, mulailah mengajarkan kepada anak,
dengan menjumlahkan manik-manik saat ia
meletakkannya pada baris dan kolom:
1. Pada baris 1, anak akan meletakkan manikmanik pada kolom 1 dan kolom 2. Berapa
jumlah manik-manik pada baris 1? 2 manikmanik.
2. Pada baris 2, anak akan meletakkan manikmanik pada kolom 1 dan kolom 2. Berapa
jumlah manik-maniknya? 2 manik-manik.
3. Pada baris 3, anak akan meletakkan manikmanik pada kolom 1 dan kolom 2. Berapa
jumlah manik-maniknya? 2 manik-manik.
4. Pada baris 4, anak akan meletakkan manikmanik pada kolom 1 dan kolom 2. Berapa
jumlah manik-maniknya? 2 manik-manik.
5. Pada baris 5, anak akan meletakkan
manik-manik pada kolom 1 dan kolom 2.
Berapa jumlah manik-maniknya? 2 manikmanik.
Perkalian 5 x 2 = jumlah manik-manik baris 1 +
jumlah manik-manik baris 2 +
jumlah
manik-manik
baris 3 + jumlah manik-manik
baris 4 + jumlah manik-manik
baris 5
=2+2+2+2+2
= hitung banyak angka 2 x tulis
angka yang dijumlahkan
= 5 (baris) x 2 (jumlah manikmanik setiap baris)
=5x2
= 10
100
Jurnal Pendidikan Penabur - No.24/Tahun ke-14/Juni 2015
Untuk menambah pemahaman anak,
jelaskan dengan ilustrasi cerita sebagai berikut:
Agatha membawa 5 kantong plastik, setiap
kantong berisi 2 buah jeruk. Berapa buah jeruk
yang dibawa Agatha?
Untuk menghitung banyaknya buah jeruk, maka
yang dihitung adalah jeruknya.
Kantong pertama : ada 2 buah jeruk
Kantong kedua
: ada 2 buah jeruk
Kantong ketiga
: ada 2 buah jeruk
Kantong keempat : ada 2 buah jeruk
Kantong kelima : ada 2 buah jeruk
2 + 2 + 2 + 2 + 2 = hitung
banyak angka 2 x tulis angka
yang dijumlahkan
2 + 2 + 2 + 2 + 2 = 5 (banyak
kantong plastik) x 2 (isi jeruk
tiap kantong plastik)
2+2+2+2+2 =5x2
Bagaimana perkalian dengan bilangan
10? Contoh: 2 x 10. Bila menggunakan alat
peraga Fun Multiplication Beads, mulailah
mengajarkan kepada anak, dengan meletakkan
kepik penunjuk perkalian pada baris 2 dan
kolom 10. Kemudian letakkan manik-manik
sambil menjumlahkannya saat anak
meletakkannya pada baris dan kolom:
1. Pada baris 1, anak akan meletakkan manikmanik pada kolom: 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, 8, 9, 10.
Berapa jumlah manik-manik pada baris 1?
10 manik-manik.
2. Pada baris 2, anak akan meletakkan manikmanik pada kolom: 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, 8, 9, 10.
Berapa jumlah manik-maniknya? 10 manikmanik.
Perkalian 2 x 10 = jumlah manik-manik baris 1 +
jumlah manik-manik baris 2
= 10 + 10
= hitung banyak angka 10 x tulis
angka yang dijumlahkan
= 2 x 10
= 20
Dengan menggunakan permainan Fun
Multiplication Beads dan mengaitkannya
dengan konsep Matematika, khususnya
perkalian dasar, yaitu perkalian 2 bilangan satu
angka dan perkalian dengan bilangan 10,
diharapkan anak memahami konsep perkalian
dasar dengan benar dan dalam suasana yang
Penggunaan Fun Multiplication Beads
menyenangkan. Oleh karena, kegiatan belajar
dilakukan sambil bermain.
Simpulan
Guru kelas 2 SD dan orang tua peserta
didik diharapkan kreatif berinovasi merancang
alat peraga yang membantu siswa kelas 2 SD
dalam penguasaan pelajaran Matematika,
khususnya perkalian dasar (perkalian bilangan
satu angka) dan perkalian dengan bilangan 10.
Kesimpulan
Belajar perkalian dasar (perkalian bilangan satu
angka) dan perkalian dengan bilangan 10,
dengan menggunakan alat peraga Fun
Multiplication Beads dapat meningkatkan
kemampuan peserta didik dalam perkalian
dasar (perkalian bilangan satu angka) dan
perkalian dengan bilangan 10. Hal ini terjadi
karena kegiatan belajar tidak hanya dilakukan
dalam suasana yang menyenangkan dengan
metode bermain yang menyentuh dunia anak.
Kegiatan belajar juga memberikan pengalaman
langsung kepada anak menghitung perkalian,
yang merupakan penjumlahan berulang,
sehingga mereka mengetahui dengan benar
konsep perkalian dasar (perkalian bilangan satu
angka) dan perkalian dengan bilangan 10.
Guru dan orangtua dapat membuat alat
peraga Fun Multiplication Beads dengan cukup
mudah dengan mengikuti tahapan yang
diuraikan secara rinci dalam tulisan ini. Alat
peraga Fun Multiplication Beads juga cukup
mudah dipergunakan sebagaimana telah
dijelaskan dengan contoh..
Melalui belajar sambil bermain dengan
menggunakan alat peraga Fun Multiplication
Beads, diharapkan peserta didik dapat
menguasai perkalian dasar (perkalian bilangan
satu angka) dan perkalian dengan bilangan 10,
dengan lebih mudah.
Saran
Guru kelas 2 SD dan orang tua peserta didik
hendaknya membuat dan menggunakan alat
peraga Fun Multiplication Beads dalam
pelajaran Matematika di SD, khususnya dalam
perkalian dasar (perkalian bilangan satu angka)
dan perkalian dengan bilangan 10, untuk
melengkapi metode pembelajaran yang telah
dilakukan di kelas. Dengan demikian, anak
belajar melalui tahap-belajar enactive, iconic, dan
symboli. Pada tahap enactive, anak mulai belajar
dengan memanipulasi benda atau obyek konkret.
Daftar Pustaka
Depdiknas (2006). Permendiknas Nomor 22 Tahun
2006 Tentang Standar Isi Sekolah Menengah
Atas. Jakarta: Depdiknas
Freeman, Joan & Munandar, Utami. (1996).
Cerdas dan cemerlang, kiat menemukan dan
mengembangkan bakat anak usia 0-5 Tahun.
Jakarta: Gramedia
Hudojo, H. (1998). Mengajar belajar matematika.
Jakarta: Depdikbud
Hudojo, H. (1998). Pembelajaran matematika
menurut pandangan konstruktivistik.
Makalah disajikan dalam Seminar
Nasional. Pendidikan Matematika
Malang: Program Pascasarjana IKIP
Malang
Kochhar, S.K. 2008. Pembelajaran . Jakarta:
Gramedia Widiasarana
Papalia, Diane, Olds, Sally, & Feldman, Ruth.
(2008). Human development. New York:
Piaget, Jean. (1951). The child’s conception of the
world. Savage: LittlefieldPublishers
Raharjo, M., Waluyati, A., & Sutanti, T. (2009).
Pembelajaran operasi hitung perkalian dan
pembagian bilangan cacah di SD. Jakarta:
Depdiknas Pusat Pengembangan dan
Pemberdayaan Pendidikan dan Tenaga
Kependidikan (PPPPTK) Matematika
Sudjana, Nana. 2005. Dasar-dasar proses balajar
mengajar. Bandung: Sinar Baru
Algensindo
Suherman, Erman. 1994. Strategi belajar dan
mengajar matematika. Jakarta: Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat
Jenderal Pendidikan Dasar dan
Menengah
Suherman, Erman. 2003. Strategi pengajaran
matematika kontemporer. Bandung:
Universitas Pendidikan Indonesia
Jurnal Pendidikan Penabur - No.24/Tahun ke-14/Juni 2015
101
Tantangan Pendidikan Nasional Indonesia
Opini
Tantangan Pendidikan Nasional Indonesia
di Era AFTA 2015
Kumalasari Onggobawono
Email: [email protected]
Bagian Akademik PENABUR Internasional
Abstrak
endidikan nasional Indonesia memegang peranan pokok dalam kancah AFTA 2015, yang
sudah berjalan selama hampir lima bulan. Sebelum dicanangkannya AFTA, sudah muncul
kekhawatiran banyak kalangan tentang ketidaksiapan Indonesia dalam persaingan
dengan negara lain di tingkat ASEAN pada khususnya. Pendidikan menentukan
keberhasilan memenangkan persaingan. Tulisan ini membahas penyebab masih rendahnya mutu
pendidikan nasional Indonesia serta akibatnya di kemudian hari kalau tidak segera dilakukan
perbaikan mendasar. Salah satu penyebab yang dikaji ialah kesungguhan Pemerintah Indonesia
melaksanakan perintah UUD 1945 khususnya Pasal 30. Hasil kajian tulisan ini menunjukkan
masih banyak harus dibenahi dalam pengelolaan pendidikan nasional secara sistemik sehingga
sumber daya manusia Indonesia mampu memenangkan persaingan internasional dalam era
globalisasi.
P
Kata-kata kunci: sistem pendidikan nasional, mutu pendidikan, sumber daya manusia, AFTA
Indonesian National Education Challenges in the Era of AFTA in 2015
Abstract
Indonesian national education holds the primary role in the arena of AFTA in 2015, which has been passing
for nearly five months. Prior to the declaration of AFTA, a lot of people wondered and questioned the
unpreparedness of Indonesia in competition against the other countries in ASEAN region particularly. The
national education plays an importand role in winning the competition global. This article discussed and
analyzed the causes underlying the low quality of Indonesian national education as well as its effects in the
future if the problems are not fundamentally overcome. One of the main causes analysed is the Indonesian
Government’s sincerety to totally implement the order stated in Chapter 30 of 1945 Constitution. The analysis
in this article shows a number of problems in managing National Education System urgently need systemic
resolution that the Indonesian human resources can successfully compete at international level in the
globalization era.
Keywords: national education system, educational quality, human resources, AFTA
102
Jurnal Pendidikan Penabur - No.24/Tahun ke-14/Juni 2015
Tantangan Pendidikan Nasional Indonesia
Pendahuluan
Pada pertemuan tingkat Kepala Negara ASEAN
(ASEAN Summit) ke-4 di Singapura pada tahun
1992, para kepala negara mengumumkan
pembentukan suatu kawasan perdagangan
bebas AFTA (Asean Free Trade Agreement) di
kalangan negara-negara ASEAN dalam jangka
waktu 15 tahun dengan tujuan untuk
meningkatkan daya saing ekonomi kawasan
ASEAN di dunia. Secara umum, banyak peluang
keuntungan yang akan didapat Indonesia saat
diberlakukannya AFTA 2015 ini. Salah satunya
adalah akan mempermudah masyarakat
Indonesia bekerja di negara-negara ASEAN. Hal
ini tentunya dengan syarat bahwa SDM
Indonesia telah ’siap pakai’ sebagai tenaga kerja
luar negeri dengan tingkat keahlian yang
memadai. Lalu pertanyaannya, apakah
Indonesia telah siap dalam hal ini? Apakah
putera-puteri Indonesia telah siap secara
profesional di bursa kerja ASEAN? 1 Atau,
apakah pengangguran tenaga terdidik di
Indonesia akan meningkat, seiring dengan
banyaknya perusahaan di Indonesia yang
malah merekrut tenaga kerja dari negara anggota
ASEAN lain dengan kompetensi yang lebih baik
(khususnya dalam penguasaan bahasa Inggris)?
Mengingat dari sejumlah Negara ASEAN yang
terdiri dari Malaysia, Filipina, dan Singapura
umumnya menguasai bahasa Inggris dengan
baik sebagai bahasa kedua di negara mereka.
Pertanyaannya,
dapatkah
sistem
pendidikan nasional Indonesia menghasilkan
lulusan yang bisa menjadi pesaing yang handal,
sehingga dapat mengambil bagian penting dari
peluang ini? Akankah pendidikan nasional
Indonesia menghasilkan lebih banyak level
‘orang suruhan’ bangsa lain, ketika negara ini
mengekspor tenaga sopir, pekerja kasar di pabrik,
perkebunan atau rumah tangga ke negara lain
bukannya tenaga profesional, sementara negara
tetangga mengekspor guru/tenaga profesional
lainnya ke Negara kita? Salah satu persoalan
yang muncul terkait dengan diberlakukannya
AFTA sebagai bagian dari Asian Economic
Community (AEC) yang akan mulai berlangsung
penuh pada tahun 2015 ini adalah penguasaan
bahasa asing oleh tenaga terdidik di Indonesia.
Secara khusus persoalan ‘Kesiapan Sumber Daya
Manusia’ bermuara pada sistem pendidikan
nasional kita, seperti tertulis berikut:
“All over the world, education systems are being
asked to do more and do it better. Under pressure from
all sides, they must respond, as we have seen, to the
need for economic and social development, especially
vital to the poorest groups in the population. They
face a variety of cultural and ethical demands. In other
words, every one expects something from education.
Parents, working or jobless adults, business and
industry, communities, goverments and, of course,
children, pupils and students place great hope in
education. It is impossible for education to do
everything, however, and some of the hopes it inspires
will inevitably be dashed. Choices have to be made
and these can be difficult, especially where the equity
and quality of education systems are concerned.”2
Seluruh dunia mengharapkan agar system
pendidikan dapat melakukan sesuatu yang lebih
dan lebih lagi untuk membuat dunia ini lebih
baik lagi khususnya bagi kaum yang paling
lemah. Dengan kata lain, semua pihak baik orang
tua, bekerja ataupun yang sedang tidak
mempunyai pekerjaan menaruh harapan yang
sangat besar terhadap dunia pendidikan.
Sangatlah mustahil mengharapkan dunia
pendidikan dapat melakukan segalanya, pilihan
harus dibuat dan hal ini akan makin sulit ketika
kualitas pendidikan dan kesamaannya
merupakan sebuah keprihatinan. Tulisan ini
secara khusus akan menyampaikan beberapa isu
kritis sehubungan dengan AFTA 2015 dengan
meninjau kondisi pendidikan di Indonesia dan
kualitas sumber daya manusia.
Pembahasan
Kondisi Pendidikan di Indonesia
Penulis tidak mengangkat isu tentang
profesionalisme guru sehubungan dengan
kondisi pendidikan di Indonesia, walaupun
tentu saja profesionalisme guru adalah salah
satu faktor penting yang mempengaruhi kondisi
pendidikan. Penulis mengangkat subtopik
kondisi pendidikan dalam bahasan ini,
sehubungan dengan AFTA 2015 yang
memungkinkan anggota Negara ASEAN
membuka sekolah di Indonesia. Tahun lalu,
Jurnal Pendidikan Penabur - No.24/Tahun ke-14/Juni 2015
103
Tantangan Pendidikan Nasional Indonesia
pemerintah menerbitkan Permendiknas No. 31
Tahun 2014 tentang Kerja Sama Penyelenggaraan
dan Pengelolaan Pendidikan Oleh Lembaga
Pendidikan Asing dengan Lembaga Pendidikan di
Indonesia.
Salah satu isu kritis yang muncul terkait
dengan tantangan pendidikan nasional di
Indonesia, terlihat antara lain dari minat
masyarakat terhadap sekolah internasional yang
dibuka di Indonesia atau sekolah bertaraf
internasional yang sudah ditutup tahun lalu
oleh keputusan mahkamah konstitusi. Salah
satu alasannya adalah dianggap tidak sesuai
dengan semangat UUD 1945 dan dinilai telah
membentuk kastanisasi dalam pendidikan 1.
Tentu saja pangsa pasar untuk bersekolah di
sekolah internasional adalah dari masyarakat
dengan latar belakang ekonomi kuat yang
notabene punya kemampuan untuk ‘memilih’
mau menyekolahkan anaknya di mana, dengan
kualitas sejauh mana.
Terlepas dari keputusan MK, sejujurnya kita
perlu mempertanyakan secara kritis dalam diri
masing-masing tentang sebuah kenyataan
mengapa masyarakat memilih sekolah berlabel
‘internasional’. Banyak keluarga muda yang
telah mempunyai komitmen bersama pasangan
mereka untuk memberikan pendidikan terbaik
bagi anak mereka, bahkan kalau mungkin
melebihi pendidikan mereka saat ini. Bagi
mereka, ketika satu anak dilahirkan, mereka
telah merencanakan dengan matang budget
untuk anak tersebut sampai pendidikan S2,
walaupun tentu banyak pengorbanan yang akan
mereka tanggung. Semua itu dilakukan sebagai
buah tanggung jawab mereka kepada Tuhan di
dalam mendidik, juga untuk masa depan
cemerlang bagi anak mereka.
Sebenarnya, tujuan mulia dan perencanaan
matang keluarga muda di atas bisa dianalogikan
dengan bangsa Indonesia yang besar ini. Setiap
anak bangsa ini tentu mempunyai hak untuk
mendapatkan pendidikan yang terbaik yang
seharusnya bisa diberikan oleh Negara.
Ibaratnya Negara adalah orang tua bagi setiap
anak bangsanya yang mampu memberikan
pengayoman dan pendidikan terbaik, sesuai
dengan amanat di dalam Pasal 31, Bab XIII,
UUD 1945 tentang pendidikan. Dalam
amandemen ke 4 UUD 1945 tahun 2002, Pasal
104
Jurnal Pendidikan Penabur - No.24/Tahun ke-14/Juni 2015
ini sudah diubah menjadi lima ayat yaitu: (1)
Tiap-tiap warga negara berhak mendapat
pengajaran; (2) Setiap warga Negara wajib
mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah
wajib membiayainya; (3) Pemerintah
mengusahakan dan menyelenggarakan satu
sistem pendidikan nasional, yang meningkatkan
keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia
dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa;
(4) Negara memprioritaskan anggaran
pendidikan sekurang-kurangnya 20 persen dari
anggaran pendapatan dan belanja Negara serta
dari anggaran pendapatan dan belanja daerah
untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan
pendidikan nasional; (5) pemerintah memajukan
ilmu pengetahuan dan teknologi dengan
menjunjung tinggi nilai-nilai agama dan
persatuan bangsa untuk membangun
peradaban serta kesejahteraan umat manusia. 2
Segala ketentuan Pasal 31 itu, yang
hakikatnya dimaksudkan agar misi
mencerdaskan kehidupan bangsa dapat
tercapai, melalui UU No. 20 Tahun 2003
dipertegas lagi. Misalnya, ayat (1) dipertegas
dalam Pasal 5 Ayat (1) UU No. 20 Tahun 2003
tentang Sistem Pendidikan Nasional menjadi:
“Setiap warga Negara berhak memperoleh
pendidikan bermutu “. Contoh lain, tentang
wajib belajar, sebagaimana tertulis dalam Ayat
(2) misalnya, dalam UU No. 20 Tahun 2003
dipertegas bahwa pemerintah dan pemerintah
daerah wajib menyelenggarakan pendidikan
dasar yang wajib tanpa dipungut biaya. Tentang
anggaran pendidikan, UU No. 20 Tahun 2003
mempertegasnya dengan kata-kata “tidak
termasuk gaji guru dan penyelenggaraan
pendidikan kedinasan”.
Yang terjadi sekarang, ketentuan
mencerdaskan kehidupan bangsa diabaikan,
bahkan dalam banyak hal dilanggar, seperti
membiarkan lulusan SD masuk SMP negeri
disaring, padahal seharusnya wajib. Dibiarkannya perguruan tinggi negeri melanggar asas
demokrasi pendidikan dengan menetapkan tarif
masuk amat tinggi.3 Nampaknya para elit politik
tidak begitu peduli mencermati ini karena dalam
UUD 1945 tidak ada satu kalimat pun yang
secara eksplisit menyatakan “sanksi” bila suatu
pemerintahan mengabaikan atau melanggar
ketentuan yang diatur dalam UUD. Berbeda
Tantangan Pendidikan Nasional Indonesia
dengan Amerika Serikat yang secara tegas
menyatakan bahwa bila status Pemerintahan
menghalangi terwujudnya tugas itu maka rakyat
berhak untuk menggantinya, yang dalam kalimat
aslinya tertulis :
“...That, to secure these rights, the Government
are instituted among men, deriving their just powers
from the consent of the governed; that whenever any
form of government destructive of these ends. It is the
right of the people to alter or to abolish it, and to
institute a new government”
Karena tegasnya kalimat dalam Deklarasi
Kemerdekaan Amerika Serikat, Pemerintah
Amerika Serikat tidak ada yang berani
mengabaikan ketentuan yang tertulis dalam
UUD-nya, kalau perlu dengan kekuatan senjata
(misal Perang Saudara 1862 – 1865). Berbeda
dengan Indonesia, walaupun jelas-jelas
mengabaikan dan tidak melaksanakan ketentuan yang tertulis dalam UUD 1945 tetapi tidak
ada konsekuensi apapun. Dan tidak ada
kekuatan politik yang mengingatkan.4
Untuk meningkatkan 65 % sekolah di
Indonesia yang masih berada di bawah standar
nasional, pemerintah membutuhkan dana yang
besar, dan itu mustahil dipenuhi dengan 20 %
anggaran pendidikan sesuai yang ditetapkan
dalam UU No 20 Tahun 2003. DPR dan
pemerintah menetapkan gaji pendidik tidak
termasuk dalam lingkup anggaran pendidikan
sebesar 20% APBN. Akan tetapi alokasi dana
pendidikan saat ini yang memasukan gaji guru
dalam lingkup anggaran pendidikan
berdasarkan keputusan Mahkamah Konstitusi.
Dengan dana yang demikian, pendidikan
Indonesia pasti tak akan mengalami perubahan
berarti.
Dilihat dari segi sarana prasarana dan
fasilitas pendidikan, tidak banyak jumlah
sekolah negeri yang memenuhi syarat. Seringkali
ketika peresmian, semua peralatan tampak baru,
bagus, bersih dan ‘apik’ tetapi dalam pemeliharaannya, mutunya sungguh jauh di bawah
sekolah swasta yang baik (mengingat tidak
semua sekolah swasta dalam kondisi yang
memenuhi syarat). Contoh yang paling mudah,
tidak adanya lapangan olah raga yang memadai,
bahkan banyak pula yang tidak mempunyai
lapangan olah raga, fasilitas laboratorium yang
kurang memadai, penerangan yang temaram
walaupun lampu banyak terpasang tetapi hanya
sedikit yang menyala (pengalaman penulis
ketika membantu mengoreksi hasil ujian
nasional di sebuah sekolah negeri terkemuka di
kota Semarang beberapa tahun lalu), fasilitas
toilet yang sangat memprihatinkan (bau dan
jorok), kantin yang kurang memadai, dan segala
prasarana untuk mendukung kegiatan
pembelajaran yang jauh di bawah standard.
Melihat daya tampung sekolah negeri yang
baik terbatas jumlahnya untuk seluruh rakyat
negeri ini dan banyaknya kekurangan yang
terjadi di sekolah negeri yang lain, maka tidak
dapat disalahkan kalau masyarakat yang
mempunyai “kemampuan memilih” mempercayakan pendidikan anaknya di sekolah internasional bahkan dari tingkat TK sampai dengan
perguruan tinggi. Sekolah internasional juga
memberikan pengajaran yang bermutu dengan
tingkat kedisiplinan yang baik dan berorientasi
pada sistem pendidikan Eropa (Cambridge
International Examinations) atau IB Amerika
(International Baccalaureate) yang sudah diakui
dunia. Hal yang menarik lainnya adalah para
peserta didik yang berhasil memperoleh nilai
tinggi dalam ujian Cambridge atau IB bisa
langsung diterima di perguruan tertinggi terbaik
di tingkat dunia, seperti Princeton, Illinois,
Cambridge University.
Penulis mempunyai pendapat yang sama
dengan Prof. Soedijarto yang mengatakan,
“Karena itu kita tidak usah heran kalau para sarjana
yang selama sekolah dari SD sampai perguruan tinggi
dibiayai oleh orang tua tidak merasakan jasa
pemerintah. …paradigm ‘rate of return’ (investasi
yang telah ditanam oleh orang tua selama sekolah
harus kembali), akibatnya generasi muda menjadi
tipis patriotism”. Yang berbahaya adalah apabila
selama menempuh pendidikan dari sekolah
dasar sampai perguruan tinggi ada generasi
muda dibiayai oleh pihak yang berencana
mengubah NKRI yang berdasarkan Pancasila
dan UUD 1945. Bagaimana cita-cita Negara
kebangsaan oleh para pendiri bangsa ini dapat
tercapai apabila sampai dengan akhir-akhir ini,
walaupun pasal-pasal UUD 1945 telah
mempertegas tanggung jawab Pemerintah untuk
membiayai pendidikan, tetapi praktik penyelenggaraan pendidikan nasional menjadi
Jurnal Pendidikan Penabur - No.24/Tahun ke-14/Juni 2015
105
Tantangan Pendidikan Nasional Indonesia
semakin jauh dari semangat dan aksara yang
digariskan dalam UUD 19455.
Tingginya loyalitas warga bangsa terhadap
Negara bangsanya antara lain ditentukan oleh
kepedulian pemerintah suatu Negara kepada
warga negaranya. Dalam kaitan dengan
penyeleng-garaan pendidikan nasional hampir
seluruh Negara Eropa (Jerman, Perancis,
Belanda, dan seluruh Skandinavia), pendidikan
dari SD sampai Universitas dibiayai sepenuhnya
oleh pemerintah (Pusat dan Negara Bagian),
sehingga mereka dapat merasakan kontribusi
besar negaranya terhadap kesuksesan yang
mereka capai, sehingga menimbulkan jiwa
patriotik/heroik di dalam diri mereka.
Pengorbanan mereka terhadap negaranya lahir
dari kesadaran di dalam diri mereka. Model
pembiayaan penyelenggaraan pendidikan
nasional yang berkualitas merupakan salah satu
faktor penentu rasa kebangsaan, kebanggaan
sebagai warga suatu bangsa, dan loyalitas
terhadap Negara
bangsa. 6
adalah bahasa percakapan sehari-hari mereka,
bahasa China dan Indonesia pun dipelajari
sebagai persiapan menyasar pasar Indonesia
di masa depan.
Jauh berbeda dengan Indonesia yang
terkesan selama ini kurang melakukan
persiapan serta masih terlalu sibuk ribut dan
gonjang-ganjing tentang sesuatu yang tidak
substansial. Mulai dari tindak korupsi yang
sudah ‘membudaya’ dan dilakukan tanpa malu,
bahkan perebutan kekuasaan serta ‘perang
jabatan’ sepertinya telah menisbikan persiapan
kita menghadapi AFTA 2015. Masalah politik
nampaknya masih menjadi primadona di negeri
ini daripada bersama-sama mempersiapkan diri,
saling bantu dan saling sokong menghadapi
AFTA 2015. Sebetulnya semuanya harus
berperan, termasuk pemerintah, karena dampak
penerapan AFTA akan dirasakan oleh semua,
tidak hanya satu dua orang.7
Hal ini dikuatkan dengan pernyataan yang
diberikan oleh
Soedijarto pada 1
Maret
2014 8 ,
Menurut penulis, pendidikan di
Kualitas Sumber
bahwa di luar
negara ini masih belum tepat
Daya Manusia
negeri, contohnya
sasaran dalam mengenali
Dalam era AFTA
Amerika Serikat,
kebutuhan lapangan dengan sistem
2015 ini, tak hanya
70 persen biaya
pembelajaran di sekolah untuk
kemampuan
perguruan tinggi
para peserta didiknya... .
bernegosiasi
negeri/swas ta
produk, juga kuamerupakan
litas sumber daya
bantuan
dari
manusia menjadi isu kritis yang akan dihadapi pemerintah (lima persen dari pemerintah kota,
oleh bangsa Indonesia. Banyak sumber daya 45 persen pemerintah negara bagian, dan 20
manusia hebat di Indonesia tetapi berkemam- persen pemerintah pusat), sedangkan di
puan bahasa asing mereka, dalam hal ini, bahasa Indonesia, misalnya UI justru 60% adalah dari
Inggris sangat terbatas dibandingkan tenaga mahasiswa. Hal ini diakibatkan oleh anggaran
kerja dari Filipina, Malaysia, bahkan Singapura. pendidikan di Indonesia termasuk rendah,
Sebenarnya tidak dapat diperbandingkan sehingga menimbulkan keraguan bagi
mengingat bahasa Inggris merupakan bahasa masyarakat Indonesia untuk melihat kemajuan
kedua mereka dan bukan sebagai bahasa asing. pendidikan nasional. Masih ada hal-hal yang
Dengan demikian, siapa siap dia menang’ atau tertuang dalam pasal 31 UUD’45 diabaikan oleh
‘siapa terampil dan punya keahlian dialah yang pemerintah.
akan hidup.’
Menurut penulis, pendidikan di negara ini
Dibandingkan dengan negara ASEAN masih belum tepat sasaran dalam mengenali
lainnya, Pemerintah Thailand telah menyiapkan kebutuhan lapangan dengan sistem pembelsumber daya manusia mereka sebaik mungkin, ajaran di sekolah untuk para peserta didiknya,
yang salah satunya adalah dengan membuka sehingga peserta didik bisa memaksimalkan
sekolah bahasa Indonesia di negaranya. Di potensi yang dimilikinya untuk menjawab
Singapura, selain bahasa Inggris yang memang kebutuhan lapangan. Sebagai contoh, apa yang
106
Jurnal Pendidikan Penabur - No.24/Tahun ke-14/Juni 2015
Tantangan Pendidikan Nasional Indonesia
bisa diharapkan dari peningkatan kemampuan
berbahasa Inggris, manakala jam pelajaran
bahasa Inggris di sekolah menengah atas hanya
diberikan 2 jam pelajaran saja di dalam
pembelajaran Kurikulum Nasional 2013? 9.
Sistem pendidikan bahasa Inggris kita tidak
dikembangkan agar sesuai dengan kebutuhan
dunia kerja dan industri. Siswa hanya dibekali
kemampuan pasif seperti membaca dan tata
bahasa serta kosa kata sederhana sejak awal
mereka belajar bahasa Inggris. Selain itu,
bagaimana lulusan sekolah menengah atas bisa
‘memahami’ buku teks/buku sumber yang
mayoritas ditulis dalam bahasa Inggris ketika
mereka di universitas, apalagi mau bersaing
dengan tenaga terdidik dari luar negeri dalam
kancah AFTA.
Kalau penulis amati, hampir semua tenaga
‘cleaning service’ di sekolah atau di kantor adalah
lulusan SMK yang direkrut oleh pihak outsource.
Mereka hanyalah tenaga lepas yang digaji
harian, tidak mendapatkan jaminan kesehatan,
atau lainnya mengingat mereka bukanlah
karyawan tetap. Ada beberapa di antara mereka
yang mempu-nyai karakter yang baik, sehingga
diangkat menjadi tenaga sopir dan
mendapatkan gaji bulanan.
Di lain pihak banyak lulusan S1 dari
berbagai disiplin ilmu yang bekerja di bagian
yang bukan merupakan jurusan yang mereka
pelajari ketika duduk di bangku kuliah. Dari
masalah ini, dapat disimpulkan, terdapat hal
memprihatinkan tentang adanya kesenjangan
antara kebutuhan di lapangan dengan
pembelajaran di dalam ruang kelas dan ini
sangat dirasakan di negara berkembang.
Perlunya jalinan hubungan yang bersinergi
antara dunia pendidikan dengan dunia kerja
sangatlah dibutuhkan untuk ketersediaan
tenaga siap pakai ketika mereka menjadi alumni
sebuah institusi pendidikan. Apabila dunia
pendidikan dapat menyediakan tenaga yang
memang tepat untuk diberdayakan dalam dunia
kerja, tentunya akan sangat membantu
meningkatkan kualitas sumber daya manusia
seperti yang dituliskan dalam kutipan berikut
ini: “Co-operation with industry and agriculture has
also proven to increase the quality of tertiary education
in the countries in transition and in developing
countries, particularly if supported by national
authorities.” 10
Demikian pula, dilibatkannya dunia
pendidikan tinggi dalam sektor industri di dalam
melakukan proyek mereka akan memberikan
banyak keuntungan bagi kedua pihak. Sebagai
contoh, Akademi Sekretaris Tarakanita banyak
melakukan hubungan kerjasama dengan
berbagai perusahaan dan terjalin hubungan
kerjasama yang baik untuk para mahasiswinya
mempraktikan langsung pengetahuan dan
ketrampilan yang telah didapat di bangku
kuliah, terbukti efektif dalam membuka wawasan
dan masa depan yang cerah bagi lulusannya.
Semua alumni STIKS Tarakanita, Jakarta, telah
membuktikan kemampuannya dengan selalu
diterimanya mereka di institusi manapun.
Alumni STIKS Tarakanita selalu ‘laku’ di
pasaran kerja. Mereka tersebar di berbagai
perusahaan, baik perusaha-an perorangan
maunpun perusahaan publik, baik perusahaan
nasional maupun perusahaan multinasional.
Setiap tahun selalu saja ada penawaran untuk
posisi sekretaris alumni STIKS Tarakanita, baik
lewat iklan maupun yang langsung
menguhubungi kampus. Tentu ini merupakan
sebuah prestasi sekaligus prestise.11
Contoh lain, Politeknik ATMI (Akademi
Teknik Mesin dan Industri) Surakarta yang
berdiri sejak tahun 1968 di bawah naungan
Yayasan Karya Bakti Surakarta berkembang
menjadi institusi pendidikan tinggi yang
mempunyai pengaruh cukup besar pada
pendidikan profesional khususnya di bidang
industri otomotif: Mold & Dies, Tools and
Component Industries; Trading, Machineries &
Industrial Supplier Companies. di bidang Teknik
Mesin Industri (Teknik Manufaktur).12 Sejak
kunjungan Menteri Pendidikan Republik
Indonesia Prof. Dr. Ing. Wardiman Djojonegoro
pada tahun1995, ATMI kota Surakarta makin
dilibatkan dalam pengembangan pendidikan
kejuruan di Indonesia.
Kesuksesan dua institusi pendidikan
swasta yang siap pakai seperti dalam contoh di
atas, menunjukkan kualitas sumber daya
manusia yang terjamin baik memungkinkan
insan Indonesia dihargai di negaranya sendiri
sehingga siap memasuki era AFTA 2015.
Jurnal Pendidikan Penabur - No.24/Tahun ke-14/Juni 2015
107
Tantangan Pendidikan Nasional Indonesia
Sudahkah politeknik negeri milik pemerintah
mempunyai prestasi seperti yang sudah diraih
oleh pihak swasta seperti di atas? Menurut
penulis masih dibutuhkan perjalanan sangat
panjang dan terutama komitmen pemerintah di
dalam melaksanakan amanat UUD’45
khususnya Pasal 31 dan 34, sehingga para
lulusan yang adalah warga bangsa ini dapat
menghargai kontribusi Negara dalam wujud
nyata kesuksesan hidup mereka.
Pendidikan di era abad 21, sungguh sangat
membutuhkan keterlibatannya dengan dunia
kerja, untuk membuat ‘link” antara apa yang
dipelajari di bangku sekolah dengan dunia kerja
secara nyata ke depannya. Dengan dilibatkannya para praktisi dalam pengajaran di bangku
sekolah/kuliah akan membawa informasi
terbaru dalam dunia kerja secara nyata ke dalam
kelas. Dengan demikian akan mengurangi
kesenjangan yang muncul antara dunia kerja
dengan dunia pendidikan. Hal ini tertuang
dalam pernyataan Jacques Delors berikut ini.
“ Several university-industry projects show that
direct involvement of university students and teachers
brings a wealth of advantages, for instance learning
to work in a group; facing real problems which reach
from the idea to the market; recognizing that the
newest information is hardly good enough for
economic competition at the global level,… etc.13
Tahun 2013, Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan Nasional meluncurkan Kurikulum
2013 yang sering disebut dengan K-13. Di dalam
K-13 terdapat mata pelajaran baru yang wajib
diajarkan yang sungguh berbeda dengan
kurikulum sebelumnya. Mata pelajaran
keterampilan dan kewirausahaan serta
pelajaran ko-kurikulum wajib Pramuka harus
diajarkan di seluruh Indonesia. Hal ini
diharapkan akan menggali kreatifitas para siswa
untuk menciptakan lapangan kerja bukan
sebagai penunggu lowongan pekerjaan. Banyak
cara ditempuh untuk menggerakkan kegiatan
ini., di antaranya “My Father, My Menthor”adalah
sebuah upaya untuk menggerakkan program
kewirausahaan di sekolah yang diprakarsai oleh
Antonius Tanan, presiden Universitas Ciputra
sekaligus orang tua siswa. Siswa SMA kelas 10
pergi hanya bersama ayah mereka berkunjung
ke suatu tempat (misalnya: mal) dan kemudian
mereka akan mengadakan pengamatan bersama
108
Jurnal Pendidikan Penabur - No.24/Tahun ke-14/Juni 2015
mencermati hal-hal yang menumbuhkan kreasi
baru. Tentu saja disamping itu akan ada hal
positif lain yang akan mendekatkan hubungan
di antara ayah-anak. Ketika seorang ayah
menjadi pembicara di seminar untuk mensharing-kan pemikiran hebatnya di sini ia
bertindak sebagai mentor bagi anaknya. Hal ini
sungguh sesuai dengan yang dituliskan “…
developing entrepreneurial skills; and recognizing
self-employment opportunities, that is replacing
‘waiting for job’ by ‘creating jobs’..”14
Seorang anak tidak hanya belajar di bangku
sekolah, tetapi terjun langsung bersama orang
tua mereka di dunia nyata untuk
mempersiapkan diri menghadapi masa depan.
Simpulan
Menghadapi berbagai tantangan pendidikan
nasional Indonesia menghadapi AFTA 2015
agar mampu menjadi pesaing yang handal,
banyak sekali yang harus dikerjakan. Semuanya
dimulai dari membenahi ‘Pendidikan Nasional’,
sarana pra-sarana, sumber daya manusia (guru,
tenaga kependidikan, dan dinas pendidikan),
teknologi, dan komitmen para pemimpin negara
ini dalam melaksanakan amanat UUD’45.
Tanggung jawab penyelenggara pendidikan
bukan hanya pada menghadirkan guru di ruang
kelas, tetapi juga tanggung jawab orang tua
mengantarkan anak mereka ke masa depan
dengan tantangan yang lebih banyak.
Evaluasi pendidikan harus dipahami
dalam arti luas, meliputi tidak hanya penyediaan
sarana dan prasarana serta metode pembelajaran
dalam pendidikan tetapi juga pendanaan,
manajemen, arah umum dan mengejar tujuan
jangka panjang. Ini membawa konsep seperti hak
atas pendidikan, pemerataan, efisiensi, kualitas
dan alokasi sumber daya secara keseluruhan.
Hal-hal tersebut merupakan masalah bagi
otoritas publik seperti yang sudah dituangkan
dalam “ Choices for Education: the Political Factor”
berikut ini “The evaluation of education should be
understood in the broad sense, covering not only
educational provision and teaching methods but also
financing, management, general direction and the
pursuit of long-term objectives. It brings in such
concepts as the right to education, equity, efficiency,
Tantangan Pendidikan Nasional Indonesia
quality and the overall allocation of resources, and it
is largely a matter for the public authorities”. 15
Harapan besar seluruh bangsa Indonesia saat
ini kepada Presiden terpilih Bapak H. Joko
Widodo khususnya dalam membenahi ‘carut
marut’ dunia pendidikan di Indonesia.
Beberapa hal penting yang bisa membuat
Indonesia bisa bertahan, atau bahkan bisa
memanfaatkan AFTA 2015 untuk membuat
negara ini lebih maju adalah pendidikan yang
baik, hukum yang ditegakkan, kedisiplinan, dan
semangat optimisme untuk maju tiap – tiap
warga negara ini16 Dalam kaitannya dengan
usaha para pemimpin menyejahterakan
rakyatnya, ada kata-kata bijak dari kitab putera
Sirakh17 yang bunyinya sebagai berikut: (Sir. 10:1)
Pemerintah yang bijak mempertahankan ketertiban
pada rakyatnya, dan pemerintahan orang arif adalah
teratur; (Sir. 10:2) Seperti penguasa bangsa
demikianpun para pegawainya, dan seperti
pemerintah kota demikian pula semua penduduknya;
(Sir. 10:3) Raja yang tidak terdidik membinasakan
rakyatnya, tetapi sebuah kota sejahtera berkat kearifan
para pembesarnya.
Harapan seluruh masyarakat Indonesia ke
depannya, adalah memiliki para pemimpin
yang dapat memanfaatkan kekayaaan bangsa
ini untuk sepenuh-penuhnya kesejahteraan
rakyatnya melalui segala bidang khususnya
pendidikan, sehingga terwujudlah apa yang
diamanatkan dalam UUD’45 oleh para pendiri
Negara Indonesia. Apabila selama ini semboyan
yang didengungkan adalah “Jadilah pembayar
pajak yang baik”, maka sebaliknya rakyat
menyampaikan permohonan “Jadilah pengelola
pajak yang baik” dengan menggunakan seluasluasnya untuk kepentingan rakyat.
Catatan kaki:
1
Nugraha Danu pada http://mjeducation. com/
sekolah-rsbi-dihapuskan/13/01/12
2
Soedijarto, dalam Landasan dan Arah Pendidikan Nasional Kita hal. 38
3
Ibid., h. 40.
4
http://soedijarto.blogspot.com/2013/05/
pancasila-sebagai-filsafat-dasar-an_23.html
5
Soedijarto,dalam Seminar Nasional “Pancasila
dan Sistem Pendidikan Nasional” yang
diselenggarakan oleh PPA GMNI di Jakarta,
24 Juni 2011, hal. 21
6
Soedijarto, dalam “Pancasila Sebagai Filsafat
Dasar dan Ideologi Negara Kebangsaan
Indonesia dan Implikasinya terhadap
Penyelenggaraan Sistem Pendidikan Nasional
Indonesia”, April 2013, hal. 20
7
Michael Sendow dalam http://ekonomi.
kompasiana. com/bisnis/2014/03/05/
sumber-daya-pekerja-kita-menghadapi-afta2015-639570.html
8
http://www.satuharapan.com/read-detail/
read/pemilu-2014-prof-soedijarto-perhatianpemerintah-sangat-rendah-pada-pendidikan
9
Struktur Kurikulum Nasional SMA 2013
10
Jacques Delors, Learning The Treasure Within
(Report to Unesco of Internasional Commision
on Education for Twenty-first Century), h.219
11
http://www.stiks-tarakanita.ac.id/fokusutama/kerjasama.html
12
(http://www.atmi.ac.id/index.php/college/
about/education-partners 2014)
13
Jacques Delors, Learning The Treasure With in
(Report to Unesco of International Commision
on Education for Twenty-first Century), h.219
14
Ibid., h. 219
15
Jacques Delors, Learning The Treasure Within
(Report to Unesco of : Choices for Education:
the political factor), hal. 157
16
Peluang dan Tantangan Indonesia Hadapi
AFTA dan AEC 2015-Hima Manajemen FE
UNY
17
Kitab Deuterokanonika Putra Sirakh 10:1-3
Daftar Pustaka
Delors, Jacques. Learning the treasure within
(Report to Unesco of : Choices for
Education: the political factor).” 155.
UNESCO Publishing, 1998.
FE, Hima Manajemen. (2014). UNY, Peluang dan
tantangan Indonesia hadapi AFTA dan
AEC 2015.
http://ekonomi.kompasiana.com/bisnis/2014/03/05/
sumber-daya-pekerja-kita-menghadapi-afta2015-639570.html. Maret 05, 2014
http://mjeducation.com/sekolah-rsbi-dihapuskan.
Januari 13, 2012.
http://soedijarto.blogspot.com/2013/05/pancasilasebagai-filsafat-dasar-dan_23.html. Mei
2013
Jurnal Pendidikan Penabur - No.24/Tahun ke-14/Juni 2015
109
Tantangan Pendidikan Nasional Indonesia
http://www.atmi.ac.id/index.php/college/about/
education-partners 2014. April 19, 2014
http://www.atmi.ac.id/index.php/college/about/
education-partners. 2014
http://www.satuharapan.com/read-detail/read/
pemilu-2014-prof-soedijarto-perhatianpem eri nta h-sa nga t-rendah-pa da pendidikan. Juni 15, 2014
http://www.stiks-tarakanita.ac.id/fokus-utama/
kerjasama.html. 2014
ttp://analisadaily.com/news/read/afta-2015-danketidaksiapan-sdm-indonesia. Agustus 08,
2014
Sirakh, Yesus Bin. Putera Sirakh. In
Deuterokanonika, by Yesus Bin Sirakh. n.d
110
Jurnal Pendidikan Penabur - No.24/Tahun ke-14/Juni 2015
Soedijarto. (2008). Landasan dan arah pendidikan
nasional kita . Jakarta: PT. Kompas Media
Nusantara
_______. (2011). Pancasila sebagai filsafat dasar dan
ideologi negara kebangsaan Indonesia dan
implikasinya terhadap penyelenggaraan
sistem pendidikan nasional Indonesia,
dalam Seminar Nasional oleh PPA GMNI.
Jakarta
______. (1998). Learning the treasure within (Report
to Unesco of internasional commision on
education for twenty-first century).
Australia: UNESCO
______. Liputan 6.com: Indonesia Baru. Juni 15,
2014
Isu Mutakhir: Ujian Nasional Berbasis Komputer
Isu Mutakhir
Ujian Nasional Berbasis Komputer
Mudarwan
E-mail: [email protected]
Kurikulum dan Evaluasi BPK PENABUR Jakarta
Pendahuluan
elama bertahun-tahun,
tes tertulis (paper and
pen test) telah menjadi
cara yang paling
populer untuk mengukur
peserta didik dalam hal
pengetahuan, keterampilan
dan kemampuan, terutama
dalam penilaian pendidikan.
Namun perkembangan
teknologi dalam dekade ini,
terutama peningkatan
kemampuan perangkat keras
dan perangkat lunak
komputer telah menjadikan
Computer-based testing yang
disingkat CBT atau ujian
berbasis komputer mendapatkan popularitas yang semakin
besar. CBT dianggap menjadi
terobosan dalam penilaian
pendidikan yang menjawab
kebutuhan untuk memperoleh
hasil penilaian yang lebih
cepat dan lebih murah
pembiayaannya jika
dibandingkan menggunakan
cara-cara konvensional.
S
Menurut Davey, T. (2011:
1), paling tidak ada tiga
alasan mengapa menggunakan komputer untuk melakukan penilaian. Pertama, untuk
melakukan pengukuran
konstruksi atau keterampilan
yang tidak dapat sepenuhnya
atau tepat ditangkap oleh tes
atau ujian secara tertulis.
Kedua, untuk meningkatkan
pengukuran dengan meningkatkan presisi atau efisiensi
proses pengukuran. Ketiga,
untuk membuat administrasi
tes yang lebih efektif bagi
peserta ujian, penyelenggara
ujian, atau keduanya.
Menurut Scalise, K. & Gifford,
B. (2006: 4), dengan visual
yang dinamis, suara dan
interakti-vitas pengguna serta
adaptivitas individu peserta
tes dan pelaporan data yang
real-time, penilaian berbasis
komputer sangat memperluas
kemungkinan pengujian
melampaui keterbatasan tes
tertulis tradisional. Inovasi
teknologi berbasis komputer
menawarkan potensi untuk
penilaian formatif yang
berkualitas tinggi dan sesuai
dengan tujuan instruksional
kegiatan pembelajaran,
penilaian skala besar (large
scale assessment), dan tes
sumatif. Penggunaan
teknologi tersebut sangat
membantu inovasi dalam
penilaian dan mekanisme
umpan balik real-time yang
sangat bermanfaat baik bagi
guru maupun peserta didik.
Selanjutnya, Davey, T.
(2011: 1-2) menyatakan
beberapa keungulan
penggunaan komputer dalam
melakukan penilaian.
Menurutnya, tes tertulis
terbatas pada teks dan gambar
yang statis. Kertas tidak
dapat menawarkan interaksi
yang berarti dengan peserta
ujian, sehingga mempersempit
respons peserta ujian.
Sebaliknya, penggunaan
komputer, menolong para
pengembang tes dari
keterbatasan yang ada.
Komputer dapat menampilkan suara dan gerakan,
menawarkan interaksi yang
dinamis dengan peserta ujian,
dapat menerima respons
dengan beberapa cara dan
bahkan melakukan scoring
secara otomatis. Contoh:
Pertama, ujian untuk menilai
kemampuan berbahasa dapat
mengukur bukan saja kemampuan membaca dan menulis,
tetapi mencakup pula kemampuan memahami bahasa yang
diucapkan dan berbicara.
Kedua, sebuah tes yang
mengukur kemampuan
berbahasa dengan perangkat
lunak yang memungkinkan
siswa untuk berinteraksi
dengan perangkat lunak
Jurnal Pendidikan Penabur - No.24/Tahun ke-14/Juni 2015
111
Isu Mutakhir: Ujian Nasional Berbasis Komputer
tersebut untuk menghasilkan
atau mengungkapkan respons
mereka. Ketiga, sebuah tes
ilmu pengetahuan yang
memungkinkan siswa untuk
merancang dan melakukan
percobaan simulasi sebagai
sarana merespons. Keempat,
sebuah ujian sertifikasi medis
yang memungkinkan peserta
ujian melakukan simulasi
secara interaktif untuk
evaluasi, diagnosa, mengobati, dan mengelola pasien.
Kelima, tes tertulis yang
memungkinkan siswa menulis dan mengedit esai mereka
dalam lingkungan pengolah
kata (word processor) dan
selanjutnya, komputer tersebut mampu mencetak esai
secara otomatis serta
langsung memberikan peserta
tes umpan balik diagnostik,
ditambah dengan instruksi
untuk melakukan perbaikan
secara spesifik.
Menurut Thurlow, M., et
al. (2010: 1), secara umum ada
beberapa kelebihan penggunaan CBT, di antaranya: (1)
administrasi yang efisien, (2)
meningkatkan otentisitas
peserta tes, (3) pengembangan
item efisien, (4) lebih disukai
siswa pada era sekarang ini
(digital native), (5) meningkatkan kemampuan menulis
siswa, (6) opsi pilihan yang
bebas (mana yang mau
dikerjakan terlebih dahulu),
(7) hasil tes dapat segera
diketahui, serta (8) potensial
untuk mengalihkan fokus dari
penilaian kepada instruksi.
Davey, T. (2011: 2),
menambahkan bahwa
beberapa jenis CBT dapat
mengubah tidak hanya apa
yang diukur, namun proses
pengukuran itu sendiri. Kunci
112
untuk melakukannya adalah,
kemampuan komputer untuk
berinteraksi dan menyesuaikan diri dengan siswa yang
sedang diuji. Kemampuan
tersebut dinamakan adaptif.
Sebagai hasil uji adaptif itu,
jawaban untuk pertanyaan
sebelumnya menentukan
pertanyaan selanjutnya. Tes
atau ujian bersifat dinamis,
karena dapat berubah-ubah
seiring kemampuan
menjawab siswa, sehingga
dapat mengungkapkan
kemampuan siswa itu yang
sesungguhnya.
Di balik keuntungan dan
kelebihan penggunaan CBT,
terdapat beberapa kelemahan,
di antaranyan listrik dan
komputer. CBT memerlukan
listrik dengan jaringan stabil
serta laboratorium komputer
dengan perangkat keras dan
perangkat lunak yang
memadai dalam jumlah yang
cukup. Selain itu, jika sistem
atau perangkat lunak CBT
bermasalah maka
pelaksanaan tes berbasis
komputer dapat menjadi
tertunda. Di samping itu,
peserta tes CBT harus
memiliki pengetahuan dan
keterampilan komputer yang
memadai sehingga tidak
menimbulkan masalah yang
berarti dalam penerapan CBT.
Secara teoritis, CBT
hanya memanfaatkan
komputer untuk memindahkan lembaran soal dalam
bentuk kertas ke dalam
monitor komputer atau
dengan kata lain dari bentuk
analog ke bentuk digital. Jika
kualias butir soal UN yang
diujikan tidak baik, maka
secara otomatis hasil UN
tersebut belum dapat
Jurnal Pendidikan Penabur - No.24/Tahun ke-14/Juni 2015
menggambarkan kualitas
peserta didik yang
sesungguhnya. Mendikbud
Anies Baswesdan berharap
soal-soal UN di tahun-tahun
mendatang mampu menguji
kemampuan berpikir tingkat
tinggi (higher order thinking
skills) peserta didik (Kompas,
12 Januari 2015). Untuk itu,
model naskah soal akan
dibuat sekelas The Graduate
Record Examination (GRE) dan
The Scholastic Aptitude Test
(SAT). Oleh karena itu CBT,
barulah tahap permulaan
digitalisasi dan perkembangan sistem assessment.
Untuk meningkatkan kualitas
tes, CBT haruslah
dikembangkan menjadi
Computer Adaptive Test (CAT)
yang lebih mutakhir karena
dapat mengukur kemampuan
dan keterampilan peserta
didik yang sesungguhnya.
Ujian Nasional CBT
(UN-CBT)
Pusat Penilaian Pendidikan
(Puspendik) Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan
(Kemendikbud) telah
melakukan uji coba CBT
dalam penyelenggaraan Ujian
Nasional (UN) pada tahun
2014 lalu. Menurut
Maulipaksi, D. (2015: 9), CBT
bahkan sudah diujicobakan
oleh Puspendik pada UN
2014 di dua Sekolah
Indonesia Luar Negeri (SILN),
yaitu di Sekolah Indonesia
Kuala Lumpur dan Sekolah
Indonesia Singapura. Di
tahun 2015 ini, UN dengan
metode CBT diterapkan di
piloting school atau sekolah
perintis. Sekolah yang
menjadi perintis pelaksanaan
CBT adalah sekolah yang
Isu Mutakhir: Ujian Nasional Berbasis Komputer
bersedia dan memiliki
infrastruktur memadai.
Menurut Anbarini, R. (2015:
6), sebanyak 724 sekolah yang
tersebar di 129 kabupaten/
kota pada 27 provinsi di
Indonesia telah melewati
tahap verifikasi. Verifikasi
tersebut meliputi pengecekan
infrastruktur yang tersedia
dan kesediaan sekolah untuk
melaksanakan CBT.
Berdasarkan data Prosedur
Operasional Standar (POS)
UN 2015 yang diterbitkan
oleh Badan Standar Nasional
Pendidikan (BSNP), secara
umum kriteria sekolah atau
madrasah yang akan menjadi
pelaksana UN-CBT, sebagai
berikut: (1) tersedianya
komputer personal (personal
computer = PC) atau laptop
sebagai client dengan rasio
jumlah client dibanding
jumlah peserta UN minimal 1 :
3 serta client cadangan
minimal 10%; (2) server yang
memadai dilengkapi dengan
Uninterruptible Power Supply
(UPS); (3) jaringan lokal
(LAN) dengan media kabel;
(4) koneksi internet dengan
kecepatan yang memadai; (5)
asupan listrik memadai
(diutamakan memiliki genset
dengan kapasitas yang
memadai); dan (6) ruangan
ujian memadai. Dengan
tersedianya semua sarana
prasana tersebut UN-CBT
dapat dilaksanakan dengan
baik dan lancar. Harapannya,
di kemudian hari seluruh
sekolah di nusantara sudah
siap menggunakan CBT
dalam UN.
Menurut Anbarini, R.
(2015: 6), selama Maret 2015
seluruh siswa kelas XII yang
sekolahnya menjadi perintis
pelaksanaan CBT,
melaksanakan uji coba UN
dengan situasi yang
sebenarnya. Hal itu
dilakukan agar siswa terbiasa
mengerjakan soal UN dengan
pola tersebut. Prof. Nizam,
Kepala Puspendik
menyebutkan, uji coba telah
dilakukan di sejumlah
sekolah di Jabodetabek.
Hasilnya cukup memuaskan
karena kesiapan siswa
menggunakan komputer.
Bahkan, secara umum peserta
didik sangat diuntungkan,
karena mereka tidak harus
membulatkan jawaban,
menghapus dengan hati-hati
jika salah, atau mengotori
lembar jawaban. Siswa cukup
memilih jawaban yang tepat
di layar komputer.
Perpindahan nomor soal yang
dikerjakan pada UN CBT
dapat dengan mudah
dilakukan. Siswa bisa maju
mundur mengerjakan nomor
soal dari yang termudah
sampai yang tersulit (jika
dianggap ada). Dalam
mengerjakan soal, peserta
tinggal memilh nomor soal
yang dikehendaki. Nomor
soal yang sudah dikerjakan
akan muncul dengan tanda
dan warna yang berbeda.
Prof. Nizam juga
menambahkan, metode yang
akan digunakan saat CBT
adalah semionline. Artinya,
ujian dilayani dengan server
lokal, tetapi soalnya
disinkronisasi dengan server
pusat beberapa hari sebelum
jadwal UN dimulai.
Keunggulan dan
Kendala UN-CBT
Seiring dengan perkembangan
sistem komputerisasi yang
makin canggih, UN dengan
model CBT sudah selayaknya
diterapkan di Indonesia.
Dengan menerapkan UN-CBT,
akan terjadi efisiensi
anggaran karena fasilitas
komputer dapat
dipergunakan berulang kali
atau dapat dikatakan
investasi yang tidak habis
pakai dan bersifat paperless
atau mengurangi penggunaan
kertas, sehingga mendukung
gerakan go green. Tenaga
pendukung pelaksanaan
ujian pun akan secara
otomatis berkurang drastis.
Dengan sistem komputerisasi,
soal UN bisa disampaikan
langsung pada saat beberapa
jam sebelum pelaksanaan UN.
Dalam suaramerdeka.com
(2015) Mulyati menuliskan,
dari sisi kerahasiaan soal UN
CBT pasti lebih baik karena
mata rantai distribusi soal UN
sudah diputus menjadi sangat
pendek, tidak lagi melibatkan
pihak ketiga yakni percetakan.
Prosedur pelaksanaannya
pun lebih praktis hingga pada
saat pengoreksian jawaban.
Waktu tunggu hasil UN yang
selama ini selama sebulan,
bisa lebih diperpendek
bahkan bisa hanya satu
minggu saat sistemnya
terkomputerisasi.
Menurut Maulipaksi, D.
(2015: 9), UN tahun ini
dipastikan menggunakan
CBT pada sekolah-sekolah
perintis di Indonesia. Kepala
Puspendik mengatakan,
banyak keuntungan penggunaan CBT. Contoh, pelaksanaan ujian dapat lebih
fleksibel. Ketika anak siap
dan sekolah siap, ujian dapat
dilakukan, tanpa menunggu
jadwal yang ketat seperti
sekarang ini. Demikian pula
saat ingin mengulang UN.
Jurnal Pendidikan Penabur - No.24/Tahun ke-14/Juni 2015
113
Isu Mutakhir: Ujian Nasional Berbasis Komputer
Siswa cukup mendaftar dan
dapat mengikuti UN ulang
dengan menggunakan
komputer. Selain itu, bentuk
soal UN bisa lebih beragam,
tidak hanya pilihan ganda.
Misalnya dalam bentuk mini
esai, mengisi jawaban
langsung, menjodohkan,
memutar kalimat, dan lainlain. Tapi hal itu dilakukan
pada masa depan. Dengan
menggunakan CBT, siswa
juga cukup mengklik pilihan
jawaban yang tersedia tanpa
perlu melingkari lembar
jawaban yang tentu membutuhkan waktu lebih lama. Jika
salah memilih jawaban, siswa
juga cukup mengganti jawaban yang dipilihnya dengan
mengklik jawaban sebelumnya dan mengklik jawaban
baru. Ini berbeda dengan paper
based yang harus menghapus
pilihan jawaban yang telah
dihitamkan, kemudian
melingkari kembali
jawabannya.
Namun, di balik keunggulan sistem CBT, ada beberapa kendala yang menghadang. Kendala utama pada
infrastruktur sarana pendukung, yakni ketersediaan
jaringan listrik dan jaringan
internet serta intranet (LAN).
Indonesia merupakan negara
kepulauan yang tersebar dari
Sabang sampai Merauke, dari
Miangas sampai Pulau Rote.
Betapa luasnya jangkauan
listrik dan jaringan internet
yang harus disiapkan Pemerintah Indonesia untuk mengimplementasikan penerapan
UN-CBT. Hal itu menjadi
tantangan tersendiri. Hal
lainnya adalah kecenderungan sebagian siswa yang memiliki kecemasan saat menghadapi dan menggunakan
114
perangkat komputer. Saat
komputer yang digunakan
siswa bermasalah, misal hang
dan error, maka saat itu pula
tingkat kecemasan siswa
meningkat, mengingat keterbatasan waktu bagi siswa
untuk menjawab soal di komputer. Namun, hal itu dapat
diatasi dengan ketersediaan
proctor, yakni petugas yang
diberi kewenangan sebagai
pengawas pelaksanaan UNCBT di sekolah/madrasah
yang terlatih serta teknisi,
yaitu petugas pengelola laboratorium komputer (pranata
komputer) yang memadai.
Daftar Pustaka
Anbarini, R. (2015). Sekolah
Akan Lakukan UN
dengan CBT. Asah Asuh,
VI (2): 6. Dinduh dari
http://www.kemdiknas.
go.id/kemdikbud/
majalah/asahasuh2015/
AsahAsuh Edisi2.pdf
pada 10 Mei 2015.
____. (2015). Prosedur operasional standar (pos) penyelenggaraan ujian nasional
tahun pelajaran 2014/
2015. Badan Standar
Nasional Pendidikan
(BSNP). Jakarta: 1 - 49.
Davey, T. (2011). Practical
considerations in computerbased testing. Diunduh
dari http://www.ets.org
/Media/Research/pdf/
CBT-2011.pdf pada 15
Mei 2015.
Maulipaksi, D. (2015). Ujian
Berbasis Komputer Akan
Digunakan dalam UN.
Asah Asuh, VI (1): 9.
Diunduh dari http://
www.kemdiknas.go.id/
kemdikbud/majalah/
asahasuh2015/
Jurnal Pendidikan Penabur - No.24/Tahun ke-14/Juni 2015
AsahAsuhEdisi1.pdf
pada 10 Mei 2015.
Mulyati, S. (2015). Menanti
UN sistem komputer.
Diunduh dari http://
berita.suaramerdeka.
com/smcetak/menantiun-sistem-komputer/
pada 20 Mei 2015.
Parshall, C. G., Harmes, J. C.,
Davey, T. & Pashley, P. J.
(2010). Innovative Items
for Computerized
Testing. In: W. J. van der
Linden & C. A. W. Glas,
Hrsg Elements of adaptive
testing, statistics for social
and behavorial sciences.
Springer Science+
Business Media, New
York: 215-230.
Scalise, K. & Gifford, B. (2006).
Computer-Based
Assessment in E-Learning:
A Framework for
Constructing “Intermediate Constraint”
Questions and Tasks for
Technology Platforms
dalam The Journal of
Technology, Learning, and
Assessment, The
Technology and
Assessment Study
Collaborative, Caroline
A. & Peter S. Lynch
School of Education,
Boston College, Chestnut
Hill, MA, Volume 4,
Number 6: 1-43.
Thurlow, M., Lazarus, S. S.,
Albus, D., & Hodgson, J.
(2010), Computer-based
testing: Practices and
considerations (Synthesis
Report 78). Minneapolis,
MN: University of
Minnesota, National
Center on Educational
Outcomes diunduh dari
www.cehd.umn.edu/
nceo/onlinepubs/
synthesis78/
synthesis78.pdf pada 19
Mei 2015.
Resensi buku: Guru Gokil Murid Unyu
Resensi buku
Judul Buku :
Guru Gokil Murid Unyu
Pengarang :
J. Sumardianta
Penerbit :
PT Bentang Pustaka
Yogyakarta
Tahun Terbit:
November 2013
Cetakan :
Keempat
Jumlah Halaman :
xiv+306 halaman
ISBN:
978 – 602 – 7888 – 13 – 5
Resensi oleh :
Wahyu Kris Aries Wirawardana
E-mail: [email protected]
SMP Kristen Pamerdi Malang
D
Menjadi Guru Gokil
alam jagad sepakbola, pemain yang
hebat belum tentu bisa menjadi pelatih
yang hebat. Dan, pelatih yang hebat
belum tentu bisa menjadi pengamat yang hebat.
Jadi, pemain hebat yang
bisa menjadi pelatih sekaligus pengamat yang
hebat sangatlah langka.
Satu di antara yang langka itu adalah Johannes
Sumardianta.
Sumardianta
memang bukan pemain,
pelatih maupun pengamat sepak bola. Dia adalah seorang ‘pemain’,
‘pelatih’, sekaligus ‘pengamat’ pendidikan. ‘Pemain’ pendidikan, menjadi
guru, dilakoninya di
Blitar sebelum akhirnya
berlabuh di SMA Kolese De Britto Yogyakarta.
Pelatih pendidikan, menjadi nara sumber,
dijalaninya sampai ke seluruh penjuru negeri.
Pengamat pendidikan diwujudkannya melalui
karya tulis, terutama resensi buku, yang tersebar
di berbagai media. Tak heran jika orang yang
satu ini dikenal sebagai ‘raja’ resensi.
Apa jadinya jika ‘raja’ resensi menulis
buku? Tentu tidak sulit menjawabnya. Yang
sulit adalah mencari kata untuk meresensinya.
Membaca Guru Gokil 1
Murid Unyu2 merupakan
perjalanan. Seolah tanpa
sadar kita diajak belajar
tentang hakikinya belajar,
mendasarnya pendidikan
karakter, dan pentingnya
meng-uri-uri 3 budaya.
Untuk itu Sumardianta
memaksa pembaca, terutama guru, untuk berkomitmen menghidupi tiga hal
gokil.
Pertama, kembali
belajar layaknya seorang
pemenang. Belajar bukanlah kegiatan yang terbatas
pada duduk termenung menghadap buku dan
bukan pula masuk pagi pulang siang di gedung
yang bernama ‘sekolah’. Belajar adalah gaya
hidup. Gaya hidup seorang guru pemenang
adalah berani melawan kenyamanan, berani
Jurnal Pendidikan Penabur - No. 24/Tahun ke-14/Juni 2015
115
Resensi buku: Guru Gokil Murid Unyu
melawan ketakutan, serta berani mengambil Diharapkan, dengan hati nurani, ada migrasi
risiko (hal. 19). Guru pemenang tidak lagi peduli kesadaran dari kesadaran magis dan kesadaran
apa kata pecundang. Guru pemenang dihargai naif menuju kesadaran kritis. Kesadaran magis
bukan karena ditakuti melainkan karena (magical consciousness) membuat manusia berpikir
menghargai muridnya. Ini adalah proses dalam tempurung. Semua penindasan,
sepanjang hayat. Penuh perjalanan berliku kemiskinan, dan ketidakadilan diterima sebagai
tentunya. Namun, hanya dengan cara itulah kodrat Ilahi, yang tidak mungkin diganti apalagi
guru pemenang menyalakan setitik cahaya di dihilangkan. Hasilnya adalah paradigma
lorong kehidupan (hal. 17).
fatalistik. Kesadaran naif (naival consciousness )
Menjadi guru adalah kehormatan dan untuk mendakwa manusia sebagai kambing hitam
menjaga kehormatan itu, dibutuhkan pengorba- segala bentuk keterbelakangan dan ketidaknan. Pengorbanan ‘diri’ adalah yang terpenting. berdayaan. Sedangkan kesadaran kritis (critical
Kenyamanan status dan keengganan belajar consciousness ) memiliki perspektif lebih
harus diganti dengan anti kemapanan dan komperehensif. Semua ketidakadilan dan
kehausan belajar. Guru yang memperagakan penindasan secara ekonomi-sosial-politik
pembelajaran bermakna menandakan passion for berakar pada struktur dan sistem ekonomiknowledge4 (hal. 49). Hal ini didasari ketulusan sosial-politik yang didominasi penguasa.
untuk belajar, berbagi, merumuskan, dan
Kedua, turut menjadi teladan dalam
memraktikkan. Belajar selaras dengan kemauan pendidikan karakter. Dalam konteks Indonesia,
untuk selalu belajar ; berbagi selaras dengan tak ada yang lebih penting dari pendidikan
sikap altruis; serta merumuskan dan karakter. Guru di negara tetangga lebih khawatir
mempraktikkan selaras dengan pembukaan jika muridnya tidak jujur dan tidak hormat pada
wawasan baru
orang lain. Mereka
serta penyempurtidak khawatir jika
naan wawasan
muridnya tidak bisa
dalam tindakan
baca, tulis, dan
Indonesia punya banyak pemimpin
nyata.
hitung (calistung).
tapi miskin teladan kepemimpinan.
Tak
lupa,
Sementara di IndoKepemimpinan erat terkait dengan
Sumardianta juga
nesia, guru lebih
karakter dan tak bisa dilepaskan
menerbangkan
khawatir jika muriddari persoalan keteladanan.
kita ke Brasil untuk
nya tidak lulus ujian
mengunjungi
nasional daripada
pemikiran Paulo
tidak mau mengantre
Freire yang semakin menemukan relevansinya (hlm.6). Inilah yang harus diobrak-abrik 5 .
dengan kekinian Indonesia. Freire mengobarkan Indonesia punya banyak pemimpin tapi miskin
pendidikan sebagai bentuk pembebasan, teladan kepemimpinan. Kepemimpinan erat
pemerdekaan, dan penyadaran (hal. 256). terkait dengan karakter yang tak bisa dilepaskan
Pembebasan ala Freire bukanlah pembebasan dari persoalan keteladanan.
yang membalik posisi penindas dengan
Buku ini berlimpah teladan. Keteladanan
tertindas. Melainkan pembebasan yang yang dipaparkan pun beragam. Mulai dari
meniadakan praktik penindasan. Yang tertindas presiden sampai pemilik warung, mulai dari
dan penindas bersama-sama berjuang meraih tokoh nonfiksi sampai rekaan. Tentang
kemerdekaan. Yang tertindas merdeka dari pentingnya keluarga dalam pembentukan
penindasan. Penindas pun merdeka dari karakter, Sumardianta menyuguhkan keluarga
penindas sesungguhnya, yaitu nafsu untuk Iwan dalam novel 9 Summers 10 Autumn. Novel
menindas yang memerosotkan harkat manusia. ini berkisah tentang pergulatan Iwan yang masa
Solusinya harus bersumber pada kesadaran.
kecilnya di kota Batu penuh derita. Walau
Kesadaran, dalam konteks pendidikan, ayahnya tidak tamat SD, Iwan terus bertahan
diterjemahkan Freire sebagai proses perkem- hingga akhirnya mereguk kesuksesan hingga ke
bangan menuju pendidikan hati nurani. Times Square New York. Namun, gemerlap negara
116
Jurnal Pendidikan Penabur - No. 24/Tahun ke-14/Juni 2015
Resensi buku: Guru Gokil Murid Unyu
asing justru mengasingkannya ke kesunyian
paling sunyi karena jauh dari keluarga. Iwan
pun memilih pulang kampung, kembali berintim
dengan keluarga. Kehangatan masa kecil dalam
keluarga sederhana menjadikannya sosok
berkarakter yang tangguh mempertahankan
prinsip.
Tentang kejujuran, pembaca disuguhi kisah
inspiratif perusahaan Blue Bird yang membangun perusahaan dengan fondasi kejujuran.
Kejujuran tidak bisa diajarkan hanya dengan
menghafal “kejujuran adalah ...”. Kejujuran harus
dihidupkan dan dihidupi dalam kehidupan
sehari-hari. Ngelmu iku kalakone kanthi laku6 (hal.
155). Dengan fondasi kejujuran pula, Blue Bird
mengembangkan seluruh pemangku kepentingan untuk memiliki etos kerja penuh tanggung
jawab dan disiplin tanpa meninggalkan
kemurahan hati.
Ketika ketulusan menjadi langka dan
pengertian ‘sesama’ semakin sempit, pembaca
diajak menelusuri “Ah, Jakarta”. Penggalan
cerpen Ahmad Tohari ini meneladankan
ketulusan hati kepada sesama. Ada lembaran
kisah tentang seseorang yang memberi
tumpangan kepada karibnya. Walaupun sang
karib adalah seorang kriminal, dia tetap
merawatnya penuh ketulusan. Sementara
banyak orang memahami sesama sebagai orang
yang mendatangkan keuntungan. Dia menjadi
teladan untuk memahami siapa ‘sesama’ dan
bagaimana mengasihi (hal. 215).
Tak ketinggalan, karakter masyarakat yang
cenderung reaktif-impulsif- posesif pun menjadi
sorotan. Masyarakat butuh teladan. Tokoh Jawa
klasik Pangeran Samber Nyawa dan Pandita
Podo Winarno pun disodorkan. Sumardianta
mengajak kita meresapi keutamaan dan
kesederhanaan dari keduanya. Keutamaan
karakter lemah lembut namun tegas serta gigih
namun tidak kemrungsung 7 (hal. 114) harus
menjadi core value8 . Jika tidak, sekolah hanya
akan menjadi gedung ramai aktivitas tapi sepi
pendidikan karakter. Setiap pagi banyak yang
datang tapi siang pulang tanpa pengokohan
karakter.
Kerja keras, kejujuran dan ketulusan
merupakan karakter yang harus tertanam sejak
dini. Mengajarkannya di sekolah bukan perkara
mudah. Bagi guru yang ingin mengajarkan
karakter sebagai hafalan, jangan membaca buku
ini! Buku ini hanya cocok untuk guru yang
hendak membumikan karakter sampai pada
kedalaman pemahaman siswa. Sehingga siswa
mampu memancarkannya dalam praktek
kehidupan nyata.
Ketiga, menjadi penguri-uri budaya. Tak bisa
dipungkiri, Indonesia adalah gudangnya
kearifan lokal. Setiap pelosok negeri memiliki
kearifan lokal yang unik. Sayang, banyak orang
mengenalinya sebagai mitos. Setelah arus
informasi menderas, mitologi banyak
ditinggalkan. Padahal setiap mitologi dalam
kearifan lokal menggambarkan ideologi
masyarakat setempat. Sesungguhnya, mitologi
tersebut membuktikan betapa masyarakat zaman
dulu memiliki lompatan pemikiran yang
melebihi zamannya. Karena tak terakomodasi
dalam cara berkomunikasi pada zaman itu,
lompatan pemikiran itu mendarat sebagai
mitologi.
Mbah Maridjan adalah secuil teladan
bagaimana menguri-uri budaya kearifan lokal.
Letusan Merapi 2006 menjulangkan nama Mbah
Maridjan. Santer terdengar, Mbah Maridjan-lah
yang menghindarkan Dusun Kinahrejo dari
amukan Merapi (hal. 123). Media merespon,
memberi tawaran. Mbah Maridjan pun termakan
tawaran media yang menjadikannya ‘rosa’9 nan
fenome-nal namun komersil. Mitologi lama pun
berganti mitologi digital yang rapuh. Tidak lagi
disadari hakikat mitologi lama bahwa penguasa
Merapi (Eyang Permadi dan Kiai Sapuangin
misalnya) merupakan perlambang kearifan
ekologi, bukan sekadar mitologi. Mbah Maridjan
mengakhiri cerita dengan kematian. Tak
kelihatan lagi ke”rosa”an. Yang selalu lebih
‘rosa” tentu saja alam. Cerita Merapi dan Mbah
Maridjan menegur keras setiap kita yang pongah
dengan kecanggihan teknologi yang hampir
pasti anti ekologi.
Teladan lain adalah Warung Bu Ageng
yang digagas Butet Kertarajasa. Menguri-uri
budaya kearifan lokal dilakukannya dengan
desain warung yang tidak biasa. Perabotan
dirancang supaya tamu betah berlama-lama.
Dihiasi banyak lukisan kata yang menggugah.
Salah satunya memajang kalimat “Urip Mung
Mampir Guyu”10. Hidup hanya mampir tertawa.
Seolah menyindir masyarakat kini yang
Jurnal Pendidikan Penabur - No. 24/Tahun ke-14/Juni 2015
117
Resensi buku: Guru Gokil Murid Unyu
kehilangan senyum karena tergerus budaya hal ini bisa menjadi bumerang. Bisa jadi, buku
kemrungsung. Selain itu, ternyata, warung ini ini hanya menjadi kumpulan perspektif penulis
tutup hari Senin. Mengapa? Supaya bisa buku lain, bukan perspektif Sumardianta. Akan
istirahat. Supaya tidak terseret arus mentalitas tetapi, disitulah letak usikannya. Pembaca harus
serakah peraihan untung sebanyak-banyaknya. jeli membedakan. Mana perspektif Sumardianta,
Itulah teladan kearifan lokal yang selalu relevan mana perspektif penulis buku yang diresensi.
dengan perubahan zaman.
Buku ini juga menyiratkan kelebihan lain
Satu teladan lagi: multikultural. Sebagai seorang Sumardianta. Yaitu kemampuannya
negara multietnis, Indonesia memiliki lembaran meracik, meramu, dan menghidangkan hal-hal
cerita multikultural. Namun sayang, cerita rumit secara sederhana. Ia juga terampil
multikultural yang ada di depan mata adalah meneropong sesuatu dari sudut pandang yang
cerita-cerita destruktif, merusak keutamaan berbeda. Caranya memandang satu fenomena
multikultural itu sendiri. Bersyukur, masih ada seringkali berbeda bahkan bertolak belakang
tradisi kenduri dan penganan tradisional. dengan pandangan umum. Petualangan
Keduanya merupakan teladan tepat bagaimana Magellan dan Cheng Ho di mata Sumardianta
menjaga kerukunan dan menghidupi toleransi bukan sekadar perjalanan mengarungi lautan.
(hal.243). Kenduri juga menunjukkan Magellan dan Cheng Ho merupakan gambaran
keterbukaan. Mi Tiongkok, roti Eropa, dan gulai perkembangan teknologi pangan bangsa Asia
India rukun berdampingan mengitari nasi Jawa. dan Eropa. Alhasil, pembaca pun akan
Penganan lumpia menunjukkan bagaimana mendapatkan bonus ganda: menemukan banyak
m enya r ing
hal baru dan
budaya
yang
melihat sesuatu
kurang selaras
dengan ‘mata’
Urusan
pendidikan
adalah
urusan
dengan kearifan
baru.
kita semua. Jangan menunggu
lokal. Cara memaSumardianta
pemerintah untuk menggerakkan
sak lumpia merubisa dikatakan
perubahan. Mari mulai dari diri
pakan pengaruh
berhasil menamTiongkok. Tapi
pilkan corak baru
sendiri untuk menjadi pendidik
citarasanya yang
penulisan terutapenggerak perubahan.
manis merupakan
ma dalam menyutradisi
Jawa.
guhkan kosakata
Daging babi pun diganti ayam atau udang. Wah, yang tidak biasa. Hampir di seluruh bagian
sungguh hidangan multikultural yang tidak terdapat kata-kata yang unik bahkan ganjil. Baik
hanya lezat di lidah tapi juga sarat teladan.
dari bahasa Jawa maupun bahasa Latin.
Melalui buku ini, Sumardianta hendak Nggabrul 11 , derep 12 , klangenan 13 , numani 14 ,
merangkul semua kalangan untuk merenungi rumongso handarbeni15, melu hangrungkebi16, mulat
hakikat pendidikan. Urusan pendidikan terlalu sariro hangroso wani17, dan brayut18 merupakan
luas untuk dipercayakan kepada sekolah. sedikit contohnya. Walau bersumber dari bahasa
Urusan pendidikan adalah urusan kita semua. Jawa, kata-kata tersebut tidak lagi sering
Jangan menunggu pemerintah untuk terdengar dalam percakapan sehari-hari bahkan
menggerakkan perubahan. Mari mulai dari diri oleh masyarakat Jawa sekalipun. Banyak pula
sendiri untuk menjadi pendidik penggerak frase bahasa latin. Misalnya adalah requiem
perubahan. Salah satu caranya adalah dengan aeternam dona eis, domine: et luxperpetua luceat eis19
menjadi guru gokil.
(hal. 91). Contoh lain adalah via dell 20, amor
Membaca Guru Gokil Murid Unyu’ layak mundum fecit21, dan gioia senzaniente22. Persentase
disebut sebagai pengalaman. Kuat dalam pembaca yang memahami kata-kata langka dan
referensi. Cukup bernas untuk dijadikan refleksi frase- asing tersebut tentu sangat sedikit.
dan banyak di antaranya merupakan resensi. Mungkin kata-kata tersebut merupakan kata
Dengan membaca buku ini, pembaca sama yang paling tepat untuk mewakili konsep
dengan membaca intisari banyak buku. Namun, pemikirannya. Benar bahwa bahasa Indonesia
118
Jurnal Pendidikan Penabur - No. 24/Tahun ke-14/Juni 2015
Resensi buku: Guru Gokil Murid Unyu
tidak cukup kaya kosakata untuk menjelaskan
sebuah makna. Namun, ini bisa menjadi
bumerang. Karena Sumardianta seringkali
membiarkan kata dan frase tersebut berdiri bebas
tanpa terjemahan apalagi
penjelasan
kontekstualnya.
Dibandingkan dengan buku Path of Life
tulisan Komaruddin Hidayat (2014), karya
Sumardianta ini lebih mengerucut dan
membumi. Path of Life mengajak pembaca untuk
mendengarkan dan merenungkan makna di
balik fenomena, sedangkan Guru Gokil Murid
Unyu’ justru menantang pembaca untuk memberi
makna pada fenomena. Di sisi itulah
Sumardianta menjadi berbeda. Buku ini juga pas
jika disebut sebagai kelanjutan sekaligus
pelengkap buku Menjadi Manusia Pembelajar
tulisan Andrias Harefa (2000). Keduanya
menantang pembaca untuk melompatkan diri
dari paradigma lama menuju paradigma baru.
Lompatan paradigma tersebut mendesak
dilakukan terutama terkait penghayatan
terhadap kata ‘belajar’, ‘guru’, dan ‘pendidikan’.
Terlepas dari ‘bumerang-bumerang’
tersebut, buku ini menggambarkan kegokilan
penulisnya. Sebagai orang Indonesia-Jawa,
Sumardianta adalah penguri-uri budaya sejati.
Sebagai pendidik, Sumardianta adalah sorang
teladan pembelajar sejati. Tentu akan lebih gokil
jika Sumardianta memperkaya karyanya dengan
keunikan pendidikan dan budaya dari seluruh
penjuru Indonesia. Bukan hanya dalam kata dan
frase, tapi juga dalam sisi kreatif, dan kearifan
lokalnya. Dengan demikian, membaca karya
Sumardianta, pembaca diharapkan bisa lebih
utuh membaca pendidikan Indonesia.
Melalui buku ini, Sumardianta cukup
berhasil menghentak guru kembali mamaknai
hakikat keguruannya. Setelah membaca buku
ini, semua guru niscaya tidak akan ragu dan
tidak akan malu untuk melangkah maju menjadi
guru gokil. Hanya guru gokil-lah yang layak
disebut sebagai guru karena kegokilan
merupakan bukti nyata bahwa seorang guru
telah-sedang-akan terus belajar di sepanjang
hayatnya. Layak ditunggu, hentakan karya
Sumardianta berikutnya.
Catatan:
1) Gokil : bahasa gaul ‘Gila’, kreatif, tapi dalam
hal yang positif
2) Unyu’ : bahasa gaul yang artinya
menggemaskan, lucu, imut
3) Menguri-uri: bahasa Jawa yang artinya
melestarikan
4) passion for knowledge : hasrat kuat untuk
mempelajari pengetahuan baru
5) diobrak-abrik : bahasa Jawa yang artinya
merusak tatanan
6) Ngelmu iku kalakone kanthi laku : bahasa Jawa
yang artinya ilmu akan bermanfaat jika
dilakukan/diterapkan
7) kemrungsung : bahasa Jawa yang artinya
buru-buru, tergesa-gesa
8) core value : nilai inti
9) rosa : bahasa Jawa yang artinya kuat
10) Urip Mung Mampir Guyu : bahasa Jawa yang
artinya hidup hanya singgah untuk tertawa
11) Nggabrul : bahasa Jawa yang artinya omong
kosong
12) Derep : bahasa Jawa yang artinya memotong
butiran padi
13) Klangenan: bahasa Jawa yang artinya
kesukaan
14) numani : bahasa Jawa yang artinya membuat
ketagihan
15) rumongso handarbeni : bahasa Jawa yang
artinya merasa memiliki
16) melu hangrungkebi: bahasa Jawa yang artinya
ikut memelihara
17) mulat sariro hangroso wani : bahasa Jawa yang
artinya berani mawas diri
18) brayut : nama tokoh wayang kulit,
melambangkan cinta keluarga dan
kesuburan
19) requiem aeternam dona eis domine, et luxperpetua
luceat eis: bahasa Latin yang artinya
Berikanlah ia istirahat kekal dan semoga
tenang abadi menyinari dia.
20) via dell: bahasa Latin yang artinya jalan
lembah kecil (perjalanan)
21) amor mundum fecit : bahasa Latin yang artinya
dengan cinta menciptakan dunia
gioia senzaniente : bahasa Latin yang artinya
tidak ada sukacita
Jurnal Pendidikan Penabur - No. 24/Tahun ke-14/Juni 2015
119
1. Belum diterbitkan/ Belum Pernah dikirim ke Media Cetak Lain.
A. Persyaratan
2. Karya Asli: Dalam Bahasa Indonesia atau Bahasa Inggris
1. Kajian Pustaka
2. Kajian Empiris
3. Kajian/ Studi Kasus
B. Ragam Naskah
4. Evaluasi
5. Kajian Kebijakan
6. Kajian Pengembangan
7. Analisis Deskriptif/Opini
8. Resensi Buku
a. Menggambarkan Isi Naska, Singkat dan Padat
1. Judul
b. Tidak Spesifik/Sempit, Tidak Terlalu Umum
c. Paling panjang 14 Kata
a.Nama Lengkap, Tanpa Gelar
2. Identitas Penulis
b. Alamat e-mail Pribadi
c. Nama Institusi/Lembaga
i. Sifat: Informatif
ii. Latar Belakang Masalah & Masalah
iii. Tujuan
a. Isi
iv. Metode, Tempat & Waktu
v. Hasil & Saran
150 -200 kata
3. Abstrak
b. Panjang
Dalam 1 paragraf
Minimal 3 kata
c. Kata-Kata Kunci
Merupakan istilah/konsep penting
i. Bahasa Indonesia
d. Bahasa
Acuan Penulisan Ilmiah
ii. Bahasa Inggris
i. Latar Belakang Masalah
a. Isi
C. Struktur Naskah
ii. Rumusan Masalah
iii. Manfaat Penelitian
iv. Kajian Pustaka/Teori
4. Pendahuluan
i. Deskriptif
b. Bentuk
ii. Informatif
a. Jenis Penelitian
5. Metode Penelitian
b. Tempat dan Waktu Penelitian
c. Prosedur Penelitian: sumber, teknik pengumpulan & analisis data
i. Kualitatif
a. Hasil/Data
ii. Kuantitatif
i. Interpretasi
6. Hasil dan Pembahasan
b. Pembahasan
ii. Analisis: induktif, deduktif, komparatif
i. Makro/Umum
c. Implikasi
ii. Mikro/Khusus
a. Kesimpulan
7. Penutup
b. Saran
a. Gaya/Style: APA
b. Jumlah referensi minimal 5
8. Daftar Pustaka
c. Dirujuk langsung dlm tulisan
d. Terbitan minimal 5 thn terakhir
1. Format: A4
D. Fisik Naskah
2. Huruf: Book Antique- 10 point,
3. Panjang naskah: 4.000 - 10.000 kata dengan1,5 spasi
4. Wujud: Soft copy dan printout
Download