KAJIAN KHUSUS BBPSEKP tAHUN 2015

advertisement
LAPORAN TEKNIS
TA 2015
KAJIAN KHUSUS PROGRAM PEMBANGUNAN
KELAUTAN DAN PERIKANAN
Tukul Rameyo Adi, Achmad Zamroni, Sonny Koeshendrajana,
Zahri Nasution, Tajerin, Fatriyandi Nur Priyatna, Rizki Muhartono,
Andrian Ramadhan, Subhechanis Saptanto, Arfah Elly
Balai Besar Penelitian Sosial Ekonomi Kelautan Dan Perikanan
Badan Penelitian Dan Pengembangan Kelautan Dan Perikanan
Kementerian Kelautan Dan Perikanan
2015
LAPORAN TEKNIS
[KAJIAN KHUSUS BBPSEKP TAHUN 2015]
LEMBAR PENGESAHAN
Satuan Kerja (Satker)
:
Judul Kegiatan Penelitian
:
Status
Pagu Anggaran
:
:
Tahun Anggaran
Sumber Anggaran
:
:
Penanggung jawab kegiatan
:
Balai Besar Penelitian Sosial Ekonomi Kelautan dan
Perikanan
Kajian Khusus Program Pembangunan Kelautan dan
Perikanan
Lanjutan
Rp 659.916.000
(Enam Ratus Lima Puluh Sembilan sembilan Ratus
Enam Belas Ribu Rupiah)
2015
APBN, DIPA Satker Balai Besar Penelitian Sosial
Ekonomi Kelautan dan Perikanan Tahun 2015
Achmad Zamroni, S.Pi., M.Sc., Ph.D
NIP. 19780821 200312 1 002
Jakarta,
Desember
2015
Penanggung Jawab
Achmad Zamroni, S.Pi., M.Sc., Ph.D
NIP. 19780821 200312 1 002
Mengetahui/Menyetujui:
Kepala Balai Besar Penelitian
Sosial Ekonomi Kelautan dan Perikanan
Dr. Ir. Tukul Rameyo Adi, M.T
NIP. 19610210 199003 1 001
| LEMBAR PENGESAHAN
I
LAPORAN TEKNIS
[KAJIAN KHUSUS BBPSEKP TAHUN 2015]
COPY ROKP
RENCANA OPERASIONAL KEGIATAN PENELITIAN (ROKP)
BALAI BESAR PENELITIAN SOSIAL EKONOMI
KELAUTAN DAN PERIKANAN
1. JUDUL KEGIATAN
:
Kajian Khusus Program Pembangunan
Kelautan dan Perikanan
2. SUMBER DAN TAHUN
ANGGARAN
:
APBN 2015
3. STATUS KEGIATAN
:
Lanjutan
Kajian khusus ini dilakukan secara rutin setiap
tahunnya di BBPSEKP dalam rangka analisis
secara responsif dan antisipatif terhadap isu-isu
aktual bidang kelautan dan perikanan
4. PROGRAM
:
a. Komoditas
:
Kelautan dan Perikanan
b. Bidang/Masalah
c. Penelitian Pengembangan
d. Manajemen Penelitian
:
:
:
e. IKU KKP yang direspon
:
Sosial Ekonomi dan Kelembagaan
Sosial Ekonomi Kelautan dan Perikanan
Balai Besar Penelitian Sosial Ekonomi Kelautan
dan Perikanan
- Produksi Kelautan dan Perikanan
- Jumlah Pulau-Pulau Kecil termasuk PulauPulau Terluar yang Dikelola
- Wilayah perairan bebas IUU Fishing dan
kegiatan yang merusak SDKP
5. TARGET OUTPUT KEGIATAN
:
a. Target rekomendasi yang
dihasilkan
b. Jumlah Karya Tulis Ilmiah (KTI)
c. Target kertas kebijakan (Policy
Brief)
6. PERKIRAAN TEMA
REKOMENDASI YANG
DIHASILKAN
:
10 (sepuluh) buah
:
:
10 (sepuluh) buah
10 (sepuluh) buah
:
Tema rekomendasi disesuaikan dengan 10
topik kajian yang dilakukan
| COPY ROKP
II
LAPORAN TEKNIS
[KAJIAN KHUSUS BBPSEKP TAHUN 2015]
7. LOKASI KEGIATAN
:
8. PENELITI YANG TERLIBAT
:
Jawa dan Luar Jawa
S3/PPO
Teknik
BBPSEKP
2.
Dr. Ir. Tukul Rameyo Adi,
M.T
Dr. Achmad Zamroni
Alokasi
Waktu
(OB)
4
S3/PJPO
BBPSEKP
4
3
Dr. Sonny Koeshendrajana
S3/Anggota
BBPSEKP
3
4
5.
6
Prof. Dr. Zahri Nasution
Dr. Tajerin
Fatriyandi Nur Priyatna, S.Pi,
MSi
Andrian Ramadhan, S.Pi, MT
S3/Anggota
S3/Anggota
S2/Anggota
Pengelolaan
SDKP
Ekonomi
Sumberdaya
Sosiologi
Ekonomi
Sosiologi
BBPSEKP
BBPSEKP
BBPSEKP
3
3
3
Perencanaan
BBPSEKP
Wilayah
Sosiologi
BBPSEKP
Ekonomi Moneter BBPSEKP
3
BBPSEKP
3
No
1
7
8
9
10
11
14
15
Nama
Pendidikan/
Jabatan
S2/Anggota
Rizki Muhartono, S.Pi., M.Si S2/Anggota
Subhechanis Saptanto, S.E., S2/Anggota
M.E
PM
PM
PM
Arfah Elly
PUMK
9. TUJUAN
Disiplin Ilmu
Tugas/
Instansi
3
3
:
TUJUAN UTAMA
Tujuan utama penelitian ini adalah untuk merespon isu-isu aktual dan kebijakan kelautan dan
perikanan sebagai masukan pengambilan kebijakan pembangunan kelautan dan perikanan.
TUJUAN SPESIFIK
Tujuan secara spesifik penelitian disesuaikan dengan hasil ekstraksi isu-isu aktual yang
berkembang. Sampai dengan saat ini beberapa topik yang telah teridentifikasi adalah sebagai
berikut :
[1] Kajian dampak pencabutan subsidi BBM paska moratorium ijin kapal penangkapan ikan
terhadap produksi dan pendapatan nelayan
[2] Dampak moratorium ijin kapal penangkapan ikan dan transhipment terhadap usaha
perikanan tangkap
[3] Prakiraan dampak implementasi peraturan menteri KP (PermenKP No. 1/2015 dan Permen
KP No. 2/2015) pada usaha perikanan
[4] Analisis dampak sosial ekonomi pelarangan ekspor benih lobster pada usaha perikanan
lobster di Pulau Lombok, NTB.
[5] Dampak Moratorium Kapal Ex-Asing Terhadap Kondisi Pasar Tuna Di Indonesia
[6] Kajian supply ikan di pasar domestik dalam rangka kesiapan menghadapi Ramadhan dan
hariraya idul fitri 1436 H” (2015).
[7] Rapid Assessment terhadap Perikanan Bandeng sebagai Antisipasi Kebijakan Pelarangan
| COPY ROKP
III
LAPORAN TEKNIS
[KAJIAN KHUSUS BBPSEKP TAHUN 2015]
Ekspor Nener Bandeng
[8] Dampak Pemberlakuan Generalized System of Preference (GSP) 2015 Terhadap Ekspor KP
Indonesia ke Pasar USA
[9] Strategi Pengelolaan Perikanan Paska Moratorium Ijin Kapal Penangkapan Ikan.
[10] Kajian supply ikan di pasar domestik dalam rangka kesiapan menghadapi natal 2015 dan
tahun baru 2016
[11] Kajian pendahuluan manfaat dan kerugian keikutsertaan indonesia di dalam trans pacific
Partnership (TPP) bagi perdagangan di sector Kelautan dan perikanan
Topik-topik lainnya akan ditentukan kemudian sesuai dengan isu dan urgensi pelaksanaan analisis
untuk mendukung pengambilan kebijakan di sektor kelautan dan perikanan.
10. LATAR BELAKANG
:
Penyusunan kebijakan pembangunan kelautan dan perikanan yang melibatkan, mendengarkan
dan mempertimbangkan masukan, saran dan kebutuhan pemangku kepentingan dan pelaku usaha
memerlukan analisis serta alternatif pemecahan masalah terhadap dinamika pembangunan
kelautan dan perikanan yang dilakukan secara cepat dan tepat. Faktor penting dalam membuat
dan memperbaiki kebijakan pembangunan kelautan dan perikanan yang lebih tepat sasaran, waktu
dan program. Penelitian secara khusus terhadap program-program pembangunan kelautan dan
perikanan merupakan media untuk menghasilkan analisis tersebut. Melalui penelitian, pemetaan
permasalahan atau kebutuhan, analisa serta saran pemecahan masalah bisa dihasilkan.
Analisis sebagai dasar perumusan kebijakan semakin diperlukan untuk merespon ataupun langkah
antisipatif dalam pembangunan kelautan dan perikanan yang sangat dipengaruhi oleh kondisi dan
konstelasi global, nasional dan lokal. Kebijakan merupakan tindakan yang dilakukan oleh
pemangku kepentingan dalam rangka mengantisipasi dan memecahkan masalah yang terjadi.
Kebijakan tidak selalu diterima oleh akademisi, pelaku usaha dan masyarakat, jika kebijakan
dinilai tidak tepat baik secara sosial, ekonomi maupun politik yang berkembang.
Kajian khusus yang dilakukan dengan pendekatan analisis kebijakan merupakan disiplin ilmu
terapan yang menggunakan berbagai metode pengkajian untuk menghasilkan dan
mentranformasikan informasi-informasi agar dapat dimanfaatkan secara politis dalam
menyelesaikan masalah kebijakan. Oleh karena itu pengambilan suatu kebijakan tentunya
memerlukan analisis yang cukup jeli, dengan menggunakan berbagai model serta pendekatan
yang sesuai dengan permasalahan yang akan dipecahkan. Atas dasar hal-hal diatas, BBPSEKP
perlu melakukan Kajian Khusus Akselerasi Implementasi Program Pemerintah dalam Mendorong
Pembangunan Kelautan dan Perikanan.
11. KELUARAN
:
Dari hasil penelitian ini diharapkan akan diperoleh keluaran berupa :
a. Sepuluh (10) kertas kebijakan (policy brief);
b. Sepuluh (10) naskah karya tulis ilmiah;
12. METODOLOGI PENELITIAN
:
11. 1.
Kerangka Pemikiran
Penelitian kebijakan pada dasarnya menggunakan berbagai metode dan menggabungkannya
dalam suatu analisis kebijakan yang utuh. Hal ini didasari oleh studi kebijakan public yang
| COPY ROKP
IV
LAPORAN TEKNIS
[KAJIAN KHUSUS BBPSEKP TAHUN 2015]
bermaksud untuk menggambarkan, menganalisis dan menjelaskan secara cermat berbagai sebab
dan akibat dari tindakan-tindakan pemerintah Wahab (2004).
Pada prakteknya proses didalam analisis kebijakan publik menurut James Anderson dalam
Indiahono (2009) adalah sebagai berikut :
[1] Perumusan masalah yaitu merumuskan berbagai kondisi yang berpotensi menyebabkan
atau telah menjadi masalah
[2] Peramalan yaitu membuat prediksi dan konsekuensi dari berbagai alternatif kebijakan
yang dirumuskan
[3] Rekomendasi kebijakan yaitu memberikan informasi manfaat bersih dari setiap alternatif
kebijakan serta memberikan rekomendasi terhadap alternatif kebijakan dengan manfaat
bersih yang paling besar
[4] Monitoring kebijakan yaitu menyajikan konsekuensi saat ini dan masa lalu dari
diterapkannya kebijakan yang diambil beserta kendala-kendala yang dhadapi
[5] Evaluasi kebijakan yakni memberikan informasi mengenai kinerja dan hasil dari suatu
kebijakan
Beberapa model studi kebijakan dikembangkan oleh para ahli seperti Anderson (1979) serta
Lester dkk (2000) yang dapat dirangkum sebagai berikut :
a)
Model Pluralis
Model ini menitikberatkan pada hubungan antar kelompok-kelompok yang merupakan titik
sentral dari suatu realitas politik. Kelompok dipandang sebagai jembatan antara individu dan
pemerintah. Politik adalah arena perjuangan ke-lompok untuk memenangkan kebijakan
publik. Model ini memiliki sisi positif dan negatif. Sisi positif karena kebijakan yang diambil
didasarkan pada kepentingan kelompok dan tidak atas dasar kepentingan pribadi. Sementara
sisi negatifnya adalah bila kelompok tersebut tidak memikirkan kepentingan kelompok lain,
sehingga kebijakan yang diambil hanya akan menguntungkan kelompok tertentu.
b)
Model Elitis
Model ini beranggapan bahwa masyarakat secara umum bersifat apatis dan kekurangan
informasi mengenai kebijakan publik. Dengan alasan tersebut ke-lompok elitlah yang
mengambil peran besar. Model ini memiliki keuntungan dari sisi efektifitas waktu sedangkan
kerugiannya adalah bila kelompok elit yang mengambil kebijakan hanya didasarkan pada
kepentingan pribadi. Konsek-uensinya dapat menimbulkan permasalahan besar
dimasyarakat bila kepentingan mereka diabaikan.
Model Sistem
Model ini menilai kebijakan sebagai keluaran dari suatu sistem (policy as system output).
Kebijakan publik dinilai sebagai suatu respon sistem politik terhadap lingkungan faktornya
seperti sosial, politik, ekonomi, geografis dan lain sebagainya. Inti dari model ini adalah
kebijakan public sebagai keluaran dari sistem politik. Model ini pada prakteknya telah
menilai berbagai faktor diatas sehingga lebih komplek.
Model Rasional
Model ini menyatakan bahwa kebijakan merupakan suatu pencapaian sasaran secara efisien.
Model ini mnitikberatkan pada pembuatan keputusan yang ra-sional dengan bermodalkan
pada komprehensivitas informasi dan keahlian pembuat keputusan.
Model Inskrementalis
Memandang kebijakan publik sebagai tindak lanjut aktivitas pemerintah dengan modifikasimodifikasi yang bersifat incremental (bagian perbagian). Da-sar pemikiran model ini adalah
adanya kecenderungan dari pemegang kebijakan untuk tidak melakukan perubahan yang
besar terhadap kegiatan yang telah berjalan sebelumnya. Dalam model ini memiliki
kelebihan apabila kebijakan yang dikeluarkan oleh pengambil kebijakan sebelumnya
merupakan sebuah kebijakan yang tepat maka model ini akan sangat efektif. Sebaliknya bila
c)
d)
e)
| COPY ROKP
V
LAPORAN TEKNIS
f)
[KAJIAN KHUSUS BBPSEKP TAHUN 2015]
kebijjakan sebelumnya tidak tepat dan kebijakan tersebut dilanjutkan akan menimbulkan
permasalahan
Model Institusional
Model institusional menggambarkan tentang struktur organisasi, tugas-tugas dan fungsifungsi pejabat organisasi, serta mekanisme organisasi, Relasi antara kebijakan publik dan
lembaga-lembaga pemerintah dinilai erat. Kebijakan tidak akan menjadi kebijakan publik
sebelum diangkat, dilaksanakan dan diperkuat oleh lembaga pemerintah.
| COPY ROKP
VI
LAPORAN TEKNIS
[KAJIAN KHUSUS BBPSEKP TAHUN 2015]
Tabel 1. Matriks Urgensi, Keterkaitan dan Relevansi serta Cakupan Topik Kajian Khusus dengan Isu Strategis di Bidang Kelautan dan
Perikanan Tahun 2015
No
1.
2.
Topik
Urgensi
Kajian dampak pencabutan subsidi BBM paska moratorium
ijin kapal penangkapan ikan terhadap produksi dan
pendapatan nelayan
Sangat
penting
Dampak moratorium ijin kapal penangkapan ikan dan
transshipment terhadap hasil tangkapan nelayan
Sangat
penting
-
3.
Prakiraan dampak implementasi peraturan menteri KP
Permen KP No. 2/2015) pada usaha perikanan tangkap.
Sangat
penting
4.
Analisis dampak pelarangan ekspor benih lobster terhadap
usaha perikanan lobster di Pulau Lombok, NTB
Sangat
penting
5.
Dampak Moratorium Kapal Ex-Asing Terhadap Kondisi
Pasar Tuna Di Indonesia
Sangat
penting
6.
Kajian supply ikan di pasar domestik dalam rangka kesiapan
menghadapi Ramadhan dan hariraya idul fitri 1436 H” (2015).
Sangat
penting
Keterkaitan
dengan Isu
Strategis
Kebijakan makro
ekonomi
Target
pembangunan KP
Target produksi
perikanan tangkap
Industrialisasi
- Produksi sektor
KP
- Pengembangan
ekonomi
masayarakat
- Produksi sektor
KP
- Pengembangan
ekonomi
masayarakat
- Pengembangan
ekonomi
masyarakat
- Ketahanan pangan
- Ketahanan
ekonomi KP
Keterkaitan
dengan Isu
Nasional
- Ketahanan
ekonomi
Cakupan
Kajian
Dampak
Nasional
- Subsidi
- Target produksi
nasional
- Ketahanan
pangan
- Pengentasan
kesmiskinan
- Ketahanan
pangan
- Pengentasan
kemiskinan
Nasional
Kedaerahan
- Produksi budidaya
udang nas.
- Adopsi tek- nologi
masy.
- Ketahanan pangan
- Produksi dan
keberlanjutan usaha
- Kemiskinan
- Ketahanan
pangan
- Pengentasan
kemiskinan
Global
Nasional
Kedaerahan
- Ketahanan pangan
- Produksi dan
keberlanjutan usaha
- Kemiskinan
- Industrialisasi
perikanan
Nasional
- Industrialisasi
Nasional
- Program
industrialisasi
- Keberlanjutan
usaha
- Program
industrialisasi
Nasional
Kedaerahan
| COPY ROKP
VII
LAPORAN TEKNIS
Tabel
N
o
1.
[KAJIAN KHUSUS BBPSEKP TAHUN 2015]
Identifikasi Topik , Permasalahan, Tujuan,Metode Analisis dan Perkiraan Output Penelitian Kajian Khusus Tahun 2014
Topik
7
Kajian Analisis Kebijakan
Pengembangan Budidaya Bandeng
8
Dampak Pemberlakuan Generalized
System of Preference (GSP) 2015
Terhadap Ekspor KP Indonesia ke
Pasar USA
Kajian supply ikan di pasar
domestik dalam rangka kesiapan
menghadapi natal 2015 dan tahun
baru 2016
9
10
Kajian pendahuluan manfaat dan
kerugian
Keikutsertaan indonesia di dalam
trans pacific
Partnership (TPP)) bagi
perdagangan di sektor
Kelautan dan perikanan
Urgensi
Keterkaitan dengan
Isu Strategis
Peningkatan inflasi berpotensi
menurunkan daya beli masyarakat
terhadap komoditas KP, disisi lain
situasi tersebut akan meningkatkan
impor produk perikanan dan
menurunkan expor.
Dampak positif dan negatif
penerapan zero tarif beberapa
produk perikanan
- Kebijakan makro
ekonomi
- Target pembangunan
KP
Supply dan demand tidak
seimbang pada hari-hari besar
- Produksi sektor KP
- Pengembangan
ekonomi
masayarakat
Dampak positif dan negatif
penerapan zero tarif beberapa
produk perikanan
- Target produksi
perikanan tangkap
- Industrialisasi
- Ketahanan pangan
- Ketahanan ekonomi
KP
Keterkaitan
dengan Isu
Nasional
- Ketahanan
ekonomi
Cakupan
Kajian
Dampak
Nasional
- Subsidi
- Target produksi
nasional
- Ketahanan
pangan
- Pengentasan
kesmiskinan
- Ketahanan
pangan
- Pengentasan
kemiskinan
Nasional
Kedaeraha
n
- Produksi budidaya
udang nas.
- Adopsi tek- nologi
masy.
- Ketahanan pangan
- Produksi dan
keberlanjutan usaha
- Kemiskinan
- Industrialisasi
Nasional
Global
Nasional
Kedaeraha
n
- Program
industrialisasi
*Metode analisis: Metode analisis dapat dikembangkan dan dirubah sesuai dengan kebutuhan masing-masing topik penelitian
| COPY ROKP
VIII
LAPORAN TEKNIS
[KAJIAN KHUSUS BBPSEKP TAHUN 2015]
13. RUANG LINGKUP KEGIATAN
Kegiatan riset analisis kebijakan pembangunan sektor kelautan dan perikanan ini mencakup
beberapa tahapan, yaitu:
a. Identifikasi topik kajian sesuai dengan isu aktual pada sektor perikanan dan kelautan
yang berkembang. Isu aktual tersebut dapat bersumber dari lingkup unit kerja atau dari
luar unit kerja Kementerian Kelautan dan Perikanan.
b. Penyusunan term of reference tentang isu yang terpilih agar terdapat panduan dan arah
dalam penelusuran isu yang dipelajari.
c. Pengumpulan data pada lokasi sesuai dengan isu tersebut.
d. Pengolahan dan analisis data.
e. Penulisan hasil penelitian.
f. Penyampaian hasil penelitian kepada stakeholder terkait.
14. DATA YANG DIKUMPULKAN
Data yang dikumpulkan pada kegiatan riset ini berupa data primer dan sekunder. Data
sekunder yang dapat dikumpulkan antara lain berupa laporan hasil penelitian dan atau kajian yang
terkait dengan berbagai topik kajian khusus.
15. TEKNIK PENGUMPULAN DATA
Metode pengumpulan dilakukan melalui metode survey yang dilakukan terutama untuk
melihat secara cepat kondisi sosial, ekonomi dan budaya serta kebutuhan teknologi menggunakan
dengan kuesioner terstruktur. Penentuan responden dalam kegiatan survey dilakukan sesuai
dengan kriteria dan topik kajian khusus. Pengumpulan data dan fakta juga dilakukan
menggunakan metoda Desk Study, Participatory Rapid Appraisal (PRA) (Townsley, 1996) dan
observasi serta survei menggunakan panduan daftar topik pertanyaan yang kemudian
dikumpulkan dengan cara wawancara langsung dan mendalam terhadap responden
kunci.Responden kunci adalah informan yang digunakan sebagai sumber informasi dan data
sesuai dengan topik analisis kebijakan.
16. METODE ANALISA DATA
Data yang telah dikumpulkan dianalisis menggunakan metode analisis data kualitatif dan
kuantitatif. Analisis data kualitatif merupakan penelusuran terhadap pernyataan-pernyataan
umum tentang hubungan antar berbagai kategori data yang berasal dari data yang tersedia
(Marshall dan Rossman, 1989).
17. TAHAPAN KEGIATAN
Tahapan kegiatan disesuaikan untuk masing-masing topik kajian. Secara umum tahapan
yang dapat dilakukan adalah sebagai berikut:
1. Persiapan dan Pemantapan Pelaksanaan Kegiatan
a. Penyusunan ROKP
b. Pemantapan ROKP
c. Finalisasi ROKP
d. Studi literatur dalam rangka persiapan FGD,
e. Focus Group Discussion (FGD) dengan Stakeholders
f. FGD dalam rangka koordinasi dan sinkronisasi dengan pemerintah daerah, Dinas
Kelautan dan Perikanan, Bappeda, LSM, dan pemangku kepentingan lainnya.
2. Analisis Data dan Penyusunan Laporan
3. Sosialisasi Hasil
| COPY ROKP
IX
LAPORAN TEKNIS
[KAJIAN KHUSUS BBPSEKP TAHUN 2015]
Pada masing-masing topik terpilih, di awali dengan Surat Keputusan Kepala Balai dengan
lampiran ke anggotaan tim peneliti kajian khusus dan dilengkapi dengan Terms Of Reference
(TOR).
18. ANGGARAN
KODE
521211
522141
522151
521811
522141
524111
:
Rincian Komposisi Pembiayaan
Belanja Bahan
Belanja Barang Untuk Persediaan barang Konsumsi
Belanja Jasa Profesi
Honor Output Kegiatan
Belanja Sewa
Belanja Perjalanan Lainnya
Jumlah
Jumlah (Rp.)
80.322.000,80.000.000,145.800.000,11.520.000,39.900.000,302.374.000,659.916.000,-
| COPY ROKP
%
12.17
12.12
22.09
1.75
6.05
45.82
100,00
X
LAPORAN TEKNIS
19. RENCANA
KEGIATAN
[KAJIAN KHUSUS BBPSEKP TAHUN 2015]
OPERASIONAL :
KEGIATAN ACARA
1
Persiapan administrasi
Penyusunan ROKP
X
X
Pembahasan ROKP
TOPIK 1
X
2
3
4
- Studi Pustaka/survei awal
X
- Pengumpulan data
X
- Pembuatan laporan
X
-Sosialisasi hasil
5
Bulan
6
7
8
9
10
11
X
TOPIK 2
- Studi Pustaka/survei awal
X
- Pengumpulan data
X
- Pembuatan laporan
X
-Sosialisasi hasil
X
TOPIK 3
- Studi Pustaka/survei awal
X
- Pengumpulan data
X
- Pembuatan laporan
X
-Sosialisasi hasil
X
TOPIK 4
- Studi Pustaka/survei awal
X
- Pengumpulan data
X
- Pembuatan laporan
X
-Sosialisasi hasil
X
TOPIK 5
- Studi Pustaka/survei awal
X
- Pengumpulan data
X
- Pembuatan laporan
X
-Sosialisasi hasil
X
TOPIK 6
- Studi Pustaka/survei awal
X
- Pengumpulan data
X
- Pembuatan laporan
X
-Sosialisasi hasil
Topik 7
- Pembuatan TOR 1
X
X
X
- Studi Pustaka/survei awal
X
- Pengumpulan data
X
- Pembuatan laporan
X
-Sosialisasi hasil
X
| COPY ROKP
XI
12
LAPORAN TEKNIS
[KAJIAN KHUSUS BBPSEKP TAHUN 2015]
TOPIK 8
- Studi Pustaka/survei awal
X
- Pengumpulan data
X
- Pembuatan laporan
X
-Sosialisasi hasil
X
TOPIK 9
- Studi Pustaka/survei awal
X
- Pengumpulan data
X
- Pembuatan laporan
X
-Sosialisasi hasil
X
TOPIK 10
- Studi Pustaka/survei awal
X
- Pengumpulan data
X
- Pembuatan laporan
X
-Sosialisasi hasil
X
20. TAHAPAN PEMBIAYAAN
Tahapan
Pelaksanaan
a. Persiapan,
Studi Pustaka
Belanja Bahan
Belanja Barang
Untuk
Persediaan
Barang
Konsumsi
Belanja Jasa
Profesi
Belanja
Perjalanan Biasa
b.Pengumpulan
Data Primer
Belanja Bahan
Honor Output
Kegiatan
Belanja Barang
Untuk
Persediaan
Barang
Konsumsi
1
0
2
1.622
:
3
4
5
1.622
1.622
1.622
Bulan ke- (Rp.000)
6
7
8
9
10
11
12
1.622
0
0
3.000
3.000
2.000
2.000
0
0
4.500
6.000
4.500
3.000
0
0
3.600
4.800
1.200
2.400
0
0
0
4.688
4.688
6.608
4.768
0
2.400
2.720
4.000
2.400
0
Belanja Sewa
0
3.000
3.000
2.000
3.000
3.000
0
4.200
6.300
10.500
11.200
6.300
0
0
Belanja Jasa
Profesi
Belanja
Perjalanan Biasa
c. Pengolahan
Data, Analisis
data
0
0
2.700
1.800
3.600
5.400
900
0
0
11.994
27.987
39.982
75.965
67.969
55.974
0
Belanja Bahan
0
0
2.000
4.960
4.960
4.960
4.960
0
0
0
2.000
3.000
3.000
3.000
3.000
0
0
0
7.500
12.000
8.400
7.500
0
0
Belanja Barang
Untuk
Persediaan
Barang
Konsumsi
Belanja Jasa
Profesi
Belanja
Perjalanan Biasa
3.937
0
2.625
3.937
| COPY ROKP
0
XII
LAPORAN TEKNIS
[KAJIAN KHUSUS BBPSEKP TAHUN 2015]
d. Penyusunan
dan Penajaman
Policy Brief
Belanja Bahan
Belanja Barang
Untuk
Persediaan
Barang
Konsumsi
Belanja Jasa
Profesi
e. Seminar dan
Sosialisasi
Belanja Bahan
Belanja Barang
Untuk
Persediaan
Barang
Konsumsi
Belanja Jasa
Profesi
0
640
5.460
7.712
5.204
2.440
0
0
2.700
2.700
3.600
3.600
6.300
0
9.000
15.000
12.000
9.000
9.000
0
0
0
0
2.000
4.000
0
0
3.000
21.000
6.300
3.600
3.600
3.600
0
0
8.164
Rencana Realisasi Fisik
Tahapan
1
2
3
4
5
6
Belanja Bahan
0
0
5
10
20
10
Belanja Sewa
0
0
5
10
20
Belanja Jasa
Profesi
Belanja Barang
Non
Operasional
Lainnya
Belanja Barang
Untuk
Persediaan
Barang
Konsumsi
Honor Output
Kegiatan
Belanja
Perjalanan
Lainnya
0
0
5
10
0
0
5
0
0
0
0
Bulan ke- (%)
7
8
9
10
11
12
20
10
10
10
5
0
10
20
10
10
10
5
0
20
10
20
10
10
10
5
0
10
20
10
20
10
10
10
5
0
5
10
20
10
20
10
10
10
5
0
0
5
10
20
10
20
10
10
10
5
0
0
5
10
20
10
20
10
10
10
5
0
Pelaksanaan
21. DAFTAR PUSTAKA
:
Anderson ,1979. Evaluasi adalah the appraisal of assesstment of policy including its content
implementation and impact (penilaian atau pengukuran kebijakan termasuk isi,
Implementasi dan dampaknya)
Budi Winarno, 2004. Teori dan Proses Kebijakan Publik. Yogyakarta : Media Pressindo.
Dunn, N William, 2000, Pengantar Analisis Kebijakan Publik. edisi kedua. Penerbit Gajah Mada
University Press. Yogyakarta.
Indiahono D. 2009. Perbandingan Administrasi Publik: Model, Konsep dan Aplikasi. Yogyakarta.
Gava Media
Lester, James P. and Joseph Stewart. 2000. Public Policy: An Evolutionary Approach. Australia:
Wadsworth, Second Edition.
| COPY ROKP
XIII
LAPORAN TEKNIS
[KAJIAN KHUSUS BBPSEKP TAHUN 2015]
RINGKASAN
Kajian khusus kebijakan inovatif dalam rangka percepatan program pembangunan kelautan dan
perikanan Tahun Anggaran 2015 mempunyai topik-topik kajian yang disesuaikan dengan isu dan
urgensi pelaksanaan analisis untuk mendukung pengambilan kebijakan di sektor kelautan dan
perikanan (top-down). Pada Tahun 2015 ini, Kajian Khusus Program Pembangunan Kelautan dan
Perikanan Tahun Anggaran 2015 telah melakukan yang meliputi sepuluh judul kajian, yaitu:
[1]
Kajian dampak pencabutan subsidi BBM paska moratorium ijin kapal penangkapan ikan
terhadap produksi dan pendapatan nelayan
[2]
Dampak moratorium ijin kapal penangkapan ikan dan transhipment terhadap usaha
perikanan tangkap
[3]
Prakiraan dampak implementasi peraturan menteri KP (PermenKP No. 1/2015 dan Permen
KP No. 2/2015) pada usaha perikanan
[4]
Analisis dampak sosial ekonomi pelarangan ekspor benih lobster pada usaha perikanan
lobster di Pulau Lombok, NTB.
[5]
Dampak Moratorium Kapal Ex-Asing Terhadap Kondisi Pasar Tuna Di Indonesia
[6]
Kajian supply ikan di pasar domestik dalam rangka kesiapan menghadapi Ramadhan dan
hariraya idul fitri 1436 H” (2015).
[7]
Rapid Assessment terhadap Perikanan Bandeng sebagai Antisipasi Kebijakan Pelarangan
Ekspor Nener Bandeng
[8]
Kajian Analisis Kebijakan Pengembangan Budidaya Bandeng
[9]
Dampak Pemberlakuan Generalized System of Preference (GSP) 2015 Terhadap Ekspor
KP Indonesia ke Pasar USA
[10] Kajian supply ikan di pasar domestik dalam rangka kesiapan menghadapi natal 2015 dan
tahun baru 2016
[11] Kajian pendahuluan manfaat dan kerugian keikutsertaan indonesia di dalam trans pacific
Partnership (TPP) bagi perdagangan di sector Kelautan dan perikanan
| RINGKASAN
XIV
LAPORAN TEKNIS
[KAJIAN KHUSUS BBPSEKP TAHUN 2015]
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan ke hadirat Allah subhanahu wa ta’ala atas segala limpahan rahmat
dan karunia-Nya sehingga tim peneliti dapat menyelesaikan laporan sampai Semester II pada
kagiatan “Kajian Khusus Program Pembangunan Kelautan Dan Perikanan”. Laporan ini
adalah hasil kajian terhadap isu dan urgensi dalam pembangunan kelautan dan perikanan serta
respon terhadap permintaan dari Kementerian Kelautan dan Perikanan maupun Badan Penelitian
dan Pengembangan KP. Kami menyadari bahwa laporan ini dapat diselesaikan atas kerjasama
semua Tim peneliti BBPSEKP yang terlibat dalam masing-masing topik kajian. Oleh karena itu,
kami menyampaikan rasa hormat dan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak
yang membantu dalam pembuatan laporan ini.
Kami juga menyadari bahwa laporan ini masih jauh dari sempurna, baik materi maupun cara
penulisannya meskipun tim peneliti telah berupaya dengan segala kemampuan dan pengetahuan
yang dimiliki. Oleh karena itu, tim peneliti dengan rendah hati dan dengan tangan terbuka
menerima masukan dan saran guna penyempurnaan laporan ini.
Jakarta,
Desember 2015
Tim Peneliti
| KATA PENGANTAR
XV
LAPORAN TEKNIS
[KAJIAN KHUSUS BBPSEKP TAHUN 2015]
SUSUNAN TIM PENELITI
Kajian 1 : Kajian dampak pencabutan subsidi BBM paska moratorium ijin kapal
penangkapan ikan terhadap produksi dan pendapatan nelayan
:Subechanis Saptanto
Ketua Tim Pelaksana
Anggota 1
:Andrian Ramadhan
Anggota 2
:Rizki Aprilian
Anggota 3
:Achmad Zamroni
Kajian 2 : Dampak moratorium ijin kapal penangkapan ikan dan transshipment terhadap
hasil tangkapan nelayan
Ketua Tim Pelaksana
: Yayan Hikmayani
Anggota 1
: Istiana
Anggota 2
: Rikrik Rahardian
Anggota 3
: Rizki Muhartono
Anggota 4
: Tukul Rameyo Adi
Kajian 3 : Prakiraan dampak implementasi peraturan menteri KP Permen KP No. 2/2015) pada
usaha perikanan tangkap
Ketua Tim Pelaksana
: Radityo Pramoda
Anggota 1
: Fatriyandi Nur Priyatna
Anggota 2
: Maulana Firdaus
Anggota 3
: Sonny Koeshendrajana
Kajian 4 : Analisis dampak pelarangan ekspor benih lobster terhadap usaha perikanan lobster di
Pulau Lombok, NTB
Ketua Tim Pelaksana
: Achmad Zamroni
Anggota 1
: Fatriyandi Nur Priyatna
Anggota 2
: Dedi Adhuri
Anggota 3
: Tukul Rameyo Adi
Kajian 5 : Dampak Moratorium Kapal Ex-Asing Terhadap Kondisi Pasar Tuna Di Indonesia
Ketua Tim Pelaksana
: Subhechanis Saptanto, ME
Anggota 1
: Risna Yusuf
Anggota 2
: Freshty Yulia Arthatiani
Anggota 3
: Tenny Aprilliani
Kajian 6 : Kajian supply ikan di pasar domestik dalam rangka kesiapan menghadapi Ramadhan
dan hariraya idul fitri 1436 H” (2015).
Ketua Tim Pelaksana
: Siti Hajar Suryawati
Anggota 1
: Subhechanis Saptanto
Anggota 2
: Budi Wardono
Anggota 3
: Cornelia Mirwantini Witomo
Anggota 4
: Tukul Rameyo Adi
| SUSUNAN TIM PENELITI
XVI
LAPORAN TEKNIS
[KAJIAN KHUSUS BBPSEKP TAHUN 2015]
Kajian 7 : Rapid Assessment terhadap Perikanan Bandeng sebagai Antisipasi Kebijakan
Pelarangan Ekspor Nener Bandeng
Ketua Tim Pelaksana
: Fatriyandi Nur Priyatna
Anggota 1
: Irwan Mulyawan
Anggota 2
: Cristina Yuliaty
Anggota 3
: Estu Sri Luhur
Anggota 4
: Achmad Zamroni
Anggota 5
: Tukul Rameyo Adi
Kajian 8: Kajian Analisis Kebijakan Pengembangan Budidaya Bandeng
Ketua Tim Pelaksana
: Irwan Mulyawan
Anggota 1
: Fatriyandi Nur Priyatna
Anggota 2
: Achmad Zamroni
Anggota 3
: Maulana Firdaus
Kajian 9: Dampak Pemberlakuan Generalized System of Preference (GSP) 2015 Terhadap
Ekspor KP Indonesia ke Pasar USA
Ketua Tim Pelaksana
: Tajerin
Anggota 1
: Rikrik Rahardian
Kajian 10: Kajian supply ikan di pasar domestik dalam rangka kesiapan menghadapi natal
2015 dan tahun baru 2016
Ketua Tim Pelaksana
: Achmad Zamroni
Anggota 1
: Fatriyandi Nur Priyatna
Anggota 2
: Irwan Mulyawan
Anggota 3
: Andrian Ramadhan
Anggota 4
: Tukul Rameyo Adi
Kajian 11: Kajian pendahuluan manfaat dan kerugian keikutsertaan indonesia di dalam
trans pasific partnership bagi perdagangan di sektor Kelautan dan Perikanan
Ketua Tim Pelaksana
: Fatriyandi Nur Priyatna
Anggota 1
: Tukul Rameyo Adi
Anggota 2
: Rikrik Rahardian
Anggota 3
: Radityo Pamoda
|
XVII
LAPORAN TEKNIS
[KAJIAN KHUSUS BBPSEKP TAHUN 2015]
DAFTAR ISI
Halaman
LEMBAR PENGESAHAN.......................................................................................................... I
COPY ROKP .............................................................................................................................. II
RINGKASAN ......................................................................................................................... XIV
KATA PENGANTAR .............................................................................................................. XV
SUSUNAN TIM PENELITI .................................................................................................. XVI
DAFTAR ISI ........................................................................................................................ XVIII
DAFTAR TABEL................................................................................................................... XXI
DAFTAR GAMBAR ............................................................................................................. XXV
DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................................... XXVIII
I.
II.
III.
IV.
PENDAHULUAN ............................................................................................................. 1
TINJAUAN ISU-ISU STRATEGIS SEKTOR KP ........................................................ 2
METODOLOGI ................................................................................................................ 5
3.1. Landasan Teori ........................................................................................................... 5
3.2.
Ruang Lingkup Kegiatan ............................................................................................ 6
3.3.
3.4.
Data yang dikumpulkan .............................................................................................. 7
Teknik Pengumpulan Data ......................................................................................... 7
3.5.
Metode Analisa Data .................................................................................................. 7
3.6.
Tahapan Kegiatan ....................................................................................................... 7
HASIL KEGIATAN ......................................................................................................... 8
4.1. Analisis Kebijakan Dampak Penyusunan Harga BBM Bersubsidi untuk Nelayan .... 8
Pendahuluan ................................................................................................................ 8
Tinjauan Pustaka ....................................................................................................... 10
Metode Penelitian ...................................................................................................... 14
Hasil Dan Pembahasan ............................................................................................. 16
Kondisi Terkini di Lokasi........................................................................................... 21
Kesimpulan Dan Rekomendasi Kebijakan ................................................................. 35
Daftar Pustaka ........................................................................................................... 35
4.2. Dampak Moratorium Kapal Ex-Asing terhadap kondisi pasar tuna indonesia ......... 37
Pendahuluan .............................................................................................................. 37
Metode Penelitian ...................................................................................................... 38
Hasil Dan Pembahasan ............................................................................................. 40
Kesimpulan dan Rekomendasi Kebijakan.................................................................. 56
Daftar Pustaka ........................................................................................................... 58
4.3.
Prakiraan Dampak Implementasi Peraturan Menteri KP No. 2/2015 pada Usaha
Perikanan Tangkap ................................................................................................... 59
Pendahuluan .............................................................................................................. 59
Metode Penelitian ...................................................................................................... 60
Model Ekonomi Makro Pembangunan KP ................................................................ 61
| DAFTAR ISI
XVIII
LAPORAN TEKNIS
[KAJIAN KHUSUS BBPSEKP TAHUN 2015]
Simulasi Dampak PERMEN KP No. 2/2015 ............................................................. 61
Pembahasan............................................................................................................... 63
Kesimpulan ................................................................................................................ 73
Rekomendasi Kebijakan............................................................................................. 74
Daftar Pustaka ........................................................................................................... 74
4.4. Analisis Dampak Pelarangan Ekspor Benih Lobster terhadap Usaha Perikanan
Lobster di Pulau Lombok ......................................................................................... 76
Pendahuluan .............................................................................................................. 76
Metodologi Penelitian ............................................................................................... 77
Hasil Dan Pembahasan ............................................................................................. 77
Kesimpulan Dan Rekomendasi Kebijakan ................................................................. 86
Daftar Pustaka ........................................................................................................... 88
4.5.
Dampak Kebijakan Moratorium dan Transhipment pada Usaha Perikanan
Indonesia ................................................................................................................... 89
Pendahuluan .............................................................................................................. 89
Metode Penelitian ...................................................................................................... 91
Hasil Dan Pembahasan ............................................................................................. 93
Rekomendasi Kebijakan........................................................................................... 101
Implikasi Kebijakan ................................................................................................. 101
Langkah Eksekusi .................................................................................................... 101
Daftar Pustaka ......................................................................................................... 102
4.6.
Kajian Supply Ikan di Pasar Domestik dalam Rangka Kesiapan Manghadapi
Ramadhan dan Hari Raya Idul Fitri (2015). ........................................................... 103
Pendahuluan ............................................................................................................ 103
Tinjauan Pustaka ..................................................................................................... 104
Metode Penelitian .................................................................................................... 106
Hasil Dan Pembahasan ........................................................................................... 109
Kesimpulan Dan Rekomendasi Kebijakan ............................................................... 121
Daftar Pustaka ......................................................................................................... 122
Daftar Lampiran ...................................................................................................... 125
4.7.
Rapid Assessment terhadap Perikanan Bandeng sebagai Antisipasi Kebijakan
Pelarangan Ekspor Nener Bandeng ........................................................................ 132
Pendahuluan ............................................................................................................ 132
Metodologi ............................................................................................................... 133
Hasil Dan Pembahasan ........................................................................................... 134
Kesimpulan Dan Rekomendasi Kebijakan ............................................................... 140
Daftar Pustaka ......................................................................................................... 141
4.8.
Kajian Analisis Kebijakan Pengembangan Budidaya Bandeng ............................. 142
Pendahuluan ............................................................................................................ 142
Usaha Budidaya Bandeng di Kabupaten Gresik ..................................................... 144
Pemasaran Ikan Bandeng di Kabupaten Gresik...................................................... 154
| DAFTAR ISI
XIX
LAPORAN TEKNIS
[KAJIAN KHUSUS BBPSEKP TAHUN 2015]
Analisis Persaingan dan Peluang Usaha ................................................................ 156
Daftar Pustaka ......................................................................................................... 161
4.9.
Dampak Pemberlakuan Generalized System of Preference (GSP) 2015 terhadap
Ekspor KP Indonesia ke Pasar USA ....................................................................... 162
Pendahuluan ............................................................................................................ 162
Metode Penelitian .................................................................................................... 163
Tinjauan Pustaka ..................................................................................................... 169
Pembahasan............................................................................................................. 178
Kesimpulan .............................................................................................................. 182
Rekomendasi dan Implikasi Kebijakan .................................................................... 183
Daftar Pustaka ......................................................................................................... 184
4.10. Kajian Supply Ikan di Pasar Domestik dalam Rangka Kesiapan Menghadapi Natal
2015 dan Tahun Baru 2016..................................................................................... 185
Pendahuluan ............................................................................................................ 185
Tinjauan Pustaka ..................................................................................................... 187
Metode Penelitian .................................................................................................... 191
Hasil Dan Pembahasan ........................................................................................... 194
Kesimpulan Dan Rekomendasi Kebijakan ............................................................... 217
Daftar Pustaka ......................................................................................................... 218
4.11. Kajian Cepat Tentang Manfaat Dan Kerugian Keikutsertaan Indonesia Di Dalam
Trans Pasific Partnership (TPP) Bagi Perdagangan Di Sektor Kelautan Dan Perikanan
222
Pendahuluan ............................................................................................................ 222
Metode Penelitian .................................................................................................... 223
Hasil Dan Pembahasan ........................................................................................... 223
Kesimpulan Dan Rekomendasi Kebijakan ............................................................... 230
Daftar Pustaka ......................................................................................................... 231
| DAFTAR ISI
XX
LAPORAN TEKNIS
[KAJIAN KHUSUS BBPSEKP TAHUN 2015]
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 4-1. 1.
Perubahan Harga BBM bersubsidi periode Juni 2014 – Januari 2015 ........... 8
Tabel 4-1. 2.
Asumsi – asumsi Yang Digunakan untuk perhitungan Prakiraan Dampak
Penyesuaian Harga BBM terhadap Kondisi Usaha. ..................................... 16
Tabel 4-1. 3.
Simulasi Dampak Penyesuaian Harga BBM Solar Terhadap Kondisi Usaha
Dengan Harga Rp.5.500,-/Liter .................................................................... 18
Tabel 4-1. 4.
Simulasi Dampak Penyesuaian Harga BBM Solar terhadap usaha dengan
harga Rp 6.400,-/liter.................................................................................... 19
Tabel 4-1. 5.
Simulasi Dampak Penyesuaian Harga BBM Solar terhadap usaha dengan
harga Rp 7.500,-/liter.................................................................................... 19
Tabel 4-1. 6.
Simulasi Dampak Penyesuaian Harga BBM Solar terhadap usaha dengan
harga Rp 13.500,-/liter.................................................................................. 20
Tabel 4-1. 7.
Produktivitas Alat Tangkap di PPN Brondong Tahun 2013 ........................ 21
Tabel 4-1. 8.
Jumlah Nelayan Berdasarkan Jumlah Kapal Perikanan yang Bongkar di
Pelabuhan Perikanan Nusantara Brondong Tahun 2013 .............................. 22
Tabel 4-1. 9.
Jumlah Alat Tangkap Berdasarkan
Jumlah Kapal Perikanan yang
Bongkar di Pelabuhan Perikanan Nusantara Brondong, Tahun 2013 .......... 22
Tabel 4-1. 10.
Jumlah Kunjungan Kapal Peralat Tangkap di Pelabuhan Perikanan Nusantara
Brondong Tahun 2013 .................................................................................. 23
Tabel 4-1. 11.
Penyaluran Logistik Kapal Per Trip Kapal pada PPN Brondong, Kabupaten
Lamongan, 2013. .......................................................................................... 24
Tabel 4-1. 12.
Perkembangan Armada Penangkapan di PPP Muncar
Tahun 2004 2014 .............................................................................................................. 26
Perkembangan Alat Tangkap di PPP Muncar Tahun 2004 - 2013 ............... 26
Tabel 4-1. 13.
Tabel 4-1. 14.
Perkembangan Produktivitas Perikanan Tangkap Laut di PPP Muncar Tahun
2004 - 2013................................................................................................... 27
Tabel 4-1. 15.
Jumlah Perbekalan Bulanan Nelayan PPP Muncar Tahun 2014 .................. 28
Tabel 4-1. 16.
Perkembangan Kapal Penangkap Ikan di PPN Pekalongan ......................... 28
Tabel 4-1. 17.
Perkembangan Kapal Penangkap Ikan Menurut Alat Tangkap yang digunakan
...................................................................................................................... 29
Tabel 4-1. 18.
Perkembangan Produksi dan Nilai Produksi Hasil Perikanan di PPN
Pekalongan ................................................................................................... 30
Tabel 4-2. 1.
Matriks Tujuan Penelitian, Kebutuhan Data, Teknik Pengumpulan dan
Analisis Data serta Sumber Data Kegiatan Penelitian.................................. 40
Tabel 4-2. 2.
NIlai Ekspor Tuna Berdasarkan daerah Asal Tahun 2010-2012 (USD) ...... 41
Tabel 4-2. 3.
Perkembangan Produksi Tuna di PPS Nizam Zachman Tahun 2011-2013
(Ton) ............................................................................................................. 42
Tabel 4-2. 4.
Jenis Alat Penangkap Tuna di PPSNZJ Pada Tahun 2008-2013.................. 43
Tabel 4-2. 5.
Volume Produksi Tuna Cakalang Tongkol (TCT) Pada Tahun 2010-2012
(Ton) ............................................................................................................. 44
Tabel 4-2. 6.
Jumlah Armada Penangkan Tuna di Provinsi Bali Pada Tahun 2010-2012 . 44
Tabel 4-2. 7.
Jenis Alat Tangkap Tuna di Provinsi Bali Pada Tahun 2010-2012 .............. 44
| DAFTAR TABEL
XXI
LAPORAN TEKNIS
[KAJIAN KHUSUS BBPSEKP TAHUN 2015]
Tabel 4-2. 8.
Kapal Ex Asing Yang Ada Di Kolam Pelabuhan Perikanan Samudera Nizam
Zachman Jakarta, Maret 2015 ...................................................................... 48
Tabel 4-2. 9.
Pelaksanaan Penerbitan Sertifikat Hasil Tangkap Ikan di PPS Nizam Zahman,
Tahun 2010-2014 ......................................................................................... 50
Tabel 4-2. 10.
Perkembangan Volume dan Nilai Ekspor Komoditas Tuna di DKI Jakarta
Triwulan 4, tahun 2013 (Sebelum Moratorium Kapal Eks Asing)............... 51
Tabel 4-2. 11.
Perkembangan Volume dan Nilai Ekspor Komoditas Tuna di DKI Jakarta
Triwulan 4, tahun 2014 (Sesudah Moratorium Kapal Eks Asing) ............... 51
Perkembangan Volume dan Nilai Ekspor Komoditas Tuna di DKI Jakarta
Triwulan 1, tahun 2014 (Sebelum Moratorium Kapal Eks Asing)............ 51
Tabel 4-2. 12.
Tabel 4-2. 13.
Perkembangan Volume dan Nilai Ekspor Komoditas Tuna di DKI Jakarta
Triwulan 1, tahun 2015 (Sesudah Moratorium Kapal Eks Asing) ............... 52
Tabel 4-2. 14.
Perubahan Volume dan Nilai Komoditas Tuna Indonesia di Pasar Ekspor pada
Triwulan 4 .................................................................................................... 53
Tabel 4-2. 15.
Perubahan Volume dan Nilai Komoditas Tuna Indonesia di Pasar Ekspor pada
Triwulan 1, ................................................................................................... 53
Tabel 4-2. 16.
Perubahan Harga Komoditas Tuna Indonesia di Pasar Ekspor, tahun 20142015 .............................................................................................................. 53
Tabel 4-2. 17.
Perkembangan Volume dan Nilai Ekspor Komoditas Tuna di Pelabuhan
Benoa, tahun 2014 ........................................................................................ 54
Tabel 4-2. 18.
Perkembangan Volume dan Nilai Ekspor Ikan Tuna di Pelabuhan Benoa,
Tahun 2015 ................................................................................................... 55
Perubahan Volume dan Nilai Komoditas Tuna Indonesia di Pasar Ekspor . 55
Tabel 4-2. 19.
Tabel 4-2. 20.
Tabel 4-3. 2.
Perubahan Harga Komoditas Tuna Indonesia di Pasar Ekspor, tahun 20142015 .............................................................................................................. 56
Data Statistik Enam Alat Tangkap yang Terkena PERMEN KP No. 2
2015 .............................................................................................................. 62
Data Statistik Empat Alat Tangkap Pengganti ............................................. 62
Tabel 4-3. 3.
Simulasi yang dilakukan pada penelitian ..................................................... 63
Tabel 4-3. 4.
Posisi Hukum Pemerintah Terhadap Berlakunya Permen KP No. 2/2015... 66
Tabel 4-3. 5.
Perkiraan Dampak Kedua Simulasi Terhadap Perekonomian Nasional....... 68
Tabel 4-3. 6.
Perkirakaan Dampak Kedua Simulasi Terhadap Beberapa Variabel Mikro di
Sektor KP Indonesia ..................................................................................... 69
Tabel 4-4. 1.
Identifikasi faktor internal (S-W) terhadap pemanfaatan sumberdaya
lobster ........................................................................................................... 82
Tabel 4-4. 2.
Identifikasi faktor internal (S-W) terhadap pemanfaatan sumberdaya
lobster ........................................................................................................... 83
Tabel 4-5. 1.
Matriks Metode Penelitian ........................................................................... 92
Tabel 4-5. 2.
Data Keberangkatan Kapal dari PPS Nizam Zachman Berdasarkan Jenis
Kapal, Oktober 2014-Februari 2015............................................................. 95
Tabel 4-5. 3.
Data Produk Tangkapan yang Didaratkan di PPS Nizam Zachman
Berdasarkan Jenis Kapal, Oktober 2014–Februari 2015 .............................. 96
Tabel 4-5. 4.
Jumlah Persetujuan Berlayar (SPB) Berdasarkan Jenis Kapal, Oktober
2014-Februari 2015 di PPS Bitung .............................................................. 96
Tabel 4-3. 1.
| DAFTAR TABEL
XXII
LAPORAN TEKNIS
[KAJIAN KHUSUS BBPSEKP TAHUN 2015]
Tabel 4-5. 5.
Besaran Dampak Moratorium dan Transshipment Terhadap Pelaku Usaha
Penangkapan Dan Pengangkutan Di Kedua Lokasi Penelitian .................... 97
Tabel 4-5. 6.
Besaran Dampak Moratorium dan Transshipment Terhadap Pelaku Usaha
Pengolahan Ikan di Kedua Lokasi Penelitian ............................................... 99
Tabel 4-5. 7.
Kegiatan Yang Sebaiknya dilakukan Pasca Moratorium ........................... 101
Tabel 4-6. 1.
Jenis dan Kebutuhan Data Kajian............................................................... 107
Tabel 4-6. 2.
Rekapitulasi Status Ketersediaan Ikan dari Perikanan Tangkap pada Tiap
Kwartal ....................................................................................................... 111
Tabel 4-6. 3.
Status Ketersediaan Ikan dari Perikanan Tangkap pada Tiap Kwartal Menurut
Pulau Utama di Indonesia........................................................................... 112
Tabel 4-6. 4.
Permintaan Ikan Pada Saat Menjelang Bulan Ramadhan, Bulan Ramadhan
dan Setelah Ramadhan Menurut Komoditas, 2014 .................................... 113
Tabel 4-6. 5.
Permintaan Komoditas Ikan Pada Saat Menjelang Bulan Ramadhan, Bulan
Ramadhan dan Setelah Ramadhan Menurut Region dan Provinsi, 2014 ... 114
Tabel 4-6. 6.
Permintaan Komoditas Ikan Pada Saat Menjelang Bulan Ramadhan, Bulan
Ramadhan dan Setelah Ramadhan Menurut Region dan Provinsi, 2014 ... 115
Tabel 4-6. 7.
Permintaan Ikan Pada Saat Menjelang Bulan Ramadhan, Bulan Ramadhan
dan Setelah Ramadhan Menurut Komoditas, 2014 .................................... 117
Analisis ketidakstabilan harga menghadapi hari raya idul fitri menurut Klaster
.................................................................................................................... 121
Tabel 4-6. 8.
Tabel 4-6. 9.
Tabel 4-7. 1.
Keragaan Budidaya Ikan Bandeng di Indonesia RPJMN II ....................... 133
Keragaan usaha Nener di Gondol, bali ....................................................... 138
Tabel 4-7. 2.
Nilai Biaya Produksi Usaha Nener (Rp per Tahun) ................................... 138
Tabel 4-7. 3.
Nilai Manfaat Produksi Usaha Nener per Tahun (Rp per tahun) ............... 139
Tabel 4-7. 4.
Tabel 4-8. 1.
Nilai Ekonomi Usaha Nener per Tahun (Rp per tahun) ............................. 140
Perkembangan pendapatan petani ikan tahun 2008 s/d 2012 ..................... 144
Tabel 4-8. 2.
Luas Tambak Bersih dan Produksi Propinsi Jawa Timur........................... 144
Tabel 4-8. 3.
Biaya Investasi Pendederan dan Pembesaran Bandeng .............................. 151
Tabel 4-8. 4.
Biaya Operasional Pendederan dan Pembesaran Bandeng......................... 152
Tabel 4-8. 5.
Produksi dan Pendapatan Kotor Per Semester ........................................... 152
Tabel 4-8. 6.
Nilai Biaya Produksi Usaha budidaya Bandeng ......................................... 153
Tabel 4-8. 7.
Tabel 4-8. 8.
Nilai Manfaat Produksi Usaha Budidaya Bandeng .................................... 153
Permintaan Bandeng Nasional, 2004 - 2015 .............................................. 155
Tabel 4-8. 9.
Tabel 4-9. 1.
Produksi Ikan Bandeng (Tambak) di Kabupaten Gresik, Tahun 2010 - 2014
(kg) ............................................................................................................. 156
Efek Kesejahteraan dari Free Trade terhadap Trade Creation (TC) ......... 174
Tabel 4-9. 2.
Efek Kesejahteraan dari Free Trade terhadap Trade Divertion (TD) ........ 177
Tabel 4-9. 3.
Hasil Simulasi Penerapan GSP 2015 di USA............................................. 182
Tabel 4-10. 1.
Jenis dan Kebutuhan Data Kajian............................................................... 192
Tabel 4-10. 2.
Sebaran jumlah penduduk Indonesia yang beragama Kristiani tahun 2010 dan
proyeksi penduduk tahun 2015................................................................... 194
Tabel 4-10. 3.
Rekapitulasi Status Ketersediaan Ikan dari Perikanan Tangkap pada Tiap
Kwartal ....................................................................................................... 199
| DAFTAR TABEL
XXIII
LAPORAN TEKNIS
[KAJIAN KHUSUS BBPSEKP TAHUN 2015]
Tabel 4-10. 4.
Status Ketersediaan Ikan dari Perikanan Tangkap pada Tiap Kwartal Menurut
Pulau Utama di Indonesia........................................................................... 199
Tabel 4-10. 5.
Permintaan Ikan Pada Saat Menjelang dan Setelah Hari Natal dan Tahun Baru
Menurut Komoditas, 2014 - 2015 .............................................................. 201
Tabel 4-10. 6.
Permintaan Komoditas Ikan Pada Saat Menjelang dan Setelah Hari Natal dan
Tahun Baru Menurut Region, 2014 - 2015 ................................................ 202
Tabel 4-10. 7.
Permintaan Komoditas Ikan Pada Saat Menjelang dan Setelah Hari Natal dan
Tahun Baru Menurut Region, 2014 - 2015 ................................................ 204
Permintaan Ikan Pada Saat Menjelang dan Setelah Hari Natal dan Tahun Baru
Menurut Komoditas, 2014 - 2015 .............................................................. 205
Tabel 4-10. 8.
Tabel 4-10. 9.
Karakteristik Responden di Lokasi Penelitian, Tahun 2015 (Satuan = %) 211
Tabel 4-10. 10.
Preferensi Konsumen Terhadap Jenis Produk Pangan Hewani di Lokasi
Penelitian, Tahun 2015 (Satuan = %) ......................................................... 213
Preferensi Konsumen Terhadap Jenis Ikan di Lokasi Penelitian, Tahun 2015
(Satuan = %) ............................................................................................... 213
Tabel 4-10. 11.
Tabel 4-10. 12.
Preferensi Konsumen Terhadap Ikan Segar dan Olahan di Lokasi Penelitian,
Tahun 2015 (Satuan = %) ........................................................................... 214
Tabel 4-10. 13.
Preferensi Konsumen Terhadap Jenis Ikan di Lokasi Penelitian, Tahun 2015
(Satuan = %) ............................................................................................... 214
Tabel 4-10. 14.
Preferensi Konsumen Terhadap Jenis Ikan Olahan di Lokasi Penelitian, Tahun
2015 (Satuan = %) ...................................................................................... 215
Tabel 4-10. 15.
Perilaku Konsumen dalam Memilih Tempat Pembelian Ikan di Lokasi
Penelitian, Tahun 2015 (Satuan = %) ......................................................... 216
|
XXIV
LAPORAN TEKNIS
[KAJIAN KHUSUS BBPSEKP TAHUN 2015]
DAFTAR GAMBAR
Halaman
Gambar 3.1.
Kerangka Analisis Kebijakan ......................................................................... 5
Gambar 4-1. 1.
Efek Subsidi dan Elastisitas Permintaan ...................................................... 11
Gambar 4-1. 2.
Efek Subsidi dan Elastisitas Penawaran ....................................................... 12
Gambar 4-1. 3.
Kerangka Pemikiran Analisis Kebijakan Penyesuaian Harga BBM Bersubsidi
Untuk Nelayan Tahun 2015 ......................................................................... 15
Gambar 4-1. 4.
Nilai R/C Rasio Berdasarkan Empat Penyesuaian Harga BBM pada Berbagai
Ukuran Kapal ............................................................................................... 20
Gambar 4-1. 5.
Jumlah Kunjungan Kapal Per Alat Tangkap pada Pelabuhan Perikanan
Brondong, Kabupaten Lamongan, Tahun 2013 ........................................... 23
Gambar 4-1. 6.
Perkembangan Produksi Perikanan di PPP Muncar selama 5 tahun
terakhir. ........................................................................................................ 27
Gambar 4-1. 7.
Proporsi Kapal Penangkap Ikan di PPN Pekalongan tahun 2014 ................ 28
Gambar 4-1. 8.
Perkembangan Nilai Produksi Pada PPN Pekalongan ................................. 29
Gambar 4-1. 9.
Gambar 4-1. 10.
Perkembangan Nilai Produksi Pada PPN Pekalongan ................................. 30
Proporsi Ikan Hasil Tangkapan pada PPN Pekalongan ................................ 31
Gambar 4-1. 11.
Gambar 4-1. 12.
Jumlah Trip menurut WPP pada kapal-kapal nelayan di PPN Pekalongan
tahun 2014 .................................................................................................... 31
Perkembangan jumlah nelayan di PPN Pekalongan ..................................... 32
Gambar 4-1. 13.
Perkembangan Jumlah Kapal di PPN Palabuhan Ratu Tahun 1993-2013 ... 33
Gambar 4-1. 14.
Gambar 4-1. 15.
Perkembangan Produksi Perikanan di PPN Palabuhan Ratu........................ 33
Proporsi Produksi Perikanan di PPN Palabuhan Ratu .................................. 34
Gambar 4-1. 16.
Perkembangan jumlah nelayan di PPN Palabuhan Ratu .............................. 34
Gambar 4-2. 1.
Kerangka Pemikiran Kegiatan Penelitian ..................................................... 39
Gambar 4-2. 2.
Gambar 4-2. 3.
Total Produksi Ikan PPSNZJ Periode 2009-2013 ........................................ 42
Produksi Perikanan Tangkap Provinsi Bali Tahun 2009-2013 .................... 43
Gambar 4-2. 4.
Kapal Eks-Asing berdasarkan Asal Negara ................................................. 47
Gambar 4-3. 1.
Dampak Kedua Simulasi terhadap Produksi Domestik Berbagai komoditas
KP Indonesia ................................................................................................ 70
Gambar 4-3. 2.
Dampak Kedua Simulasi terhadap Harga Berbagai komoditas KP
Indonesia ...................................................................................................... 71
Gambar 4-3. 3.
Dampak Kedua Simulasi Terhadap Angka Ekspor Komoditas KP
Indonesia ...................................................................................................... 72
Dampak Kedua Simulasi Terhadap Nilai Impor Berbagai Komoditas KP
Indonesia ...................................................................................................... 73
Gambar 4-3. 4.
Gambar 4-4. 1.
Gambar 4-4. 2.
Alat “pocong” untuk menangkap benih Lobster di Pulau Lombok.............. 78
Perkembangan Harga Benih lobster di NTB (hasil wawancara) .................. 81
Gambar 4-5. 1.
Kerangka Pemikiran Kajian Dampak Kebijakan Moratorium dan
Transhipment Pada Usaha Perikanan Indonesia........................................... 91
Gambar 4-5. 2.
Para Pelaku Usaha KP yang Terdampak oleh Kedua Permen KP ............... 94
| DAFTAR GAMBAR
XXV
LAPORAN TEKNIS
[KAJIAN KHUSUS BBPSEKP TAHUN 2015]
Gambar 4-6. 1.
Kerangka Pendekatan Kajian Supply Ikan di Pasar Domestik Menghadapi
Hari Raya Idul Fitri 1436 H ....................................................................... 107
Gambar 4-6. 2.
Perkembangan Produksi Perikanan di Indonesia, 2006 - 2014 .................. 109
Gambar 4-6. 3.
Proporsi Ekspor terhadap Produksi Perikanan di Indonesia, 2006 - 2014 . 110
Gambar 4-6. 4.
Perkembangan Konsumsi Ikan Nasional, 2006 - 2014............................... 110
Gambar 4-6. 5.
Perkembangan Konsumsi Kalori dan Protein Ikan Tahun 2010 - 2014 ..... 111
Gambar 4-6. 6.
Perkembangan Inflasi Kelompok Bahan Makanan pada Tahun 2006 2014 ............................................................................................................ 118
Gambar 4-6. 7.
Pergerakan indeks ketidakstabilan harga komoditas ikan pada saat sebelum
puasa (a), pada saat puasa/lebaran (b) dan pada saat setelah lebaran (c) ... 119
Gambar 4-6. 8.
Tingkat Indeks Ketidakstabilan Harga di Ibukota Propinsi ( Maret-Desember
2014)........................................................................................................... 119
Gambar 4-7. 1.
Skema Diversifikasi Nener dan Pemasarannya .......................................... 136
Gambar 4-8. 1.
Grafik perkembangan luas lahan tambak di Indonesia, 2005-2013 ........... 142
Gambar 4-8. 2.
Grafik perkembangan produksi tambak di Indonesia, 2005-2013 ............. 143
Gambar 4-8. 3.
Perkembangan produksi Bandeng di Kabupaten Gresik. ........................... 143
Gambar 4-8. 4.
Alur Pemasaran Ikan Bandeng di Kabupaten Gresik ................................. 158
Gambar 4-9. 1.
Terjadinya Trade Creation Sebagai Dampak Dari Kesepakatan Perdagangan
Bilateral ...................................................................................................... 172
Gambar 4-9. 2.
Kurva Demand dan Supply dalam Trade Creation .................................... 173
Gambar 4-9. 3.
Terjadinya Trade Diversion Sebagai Dampak Dari Kesepakatan Perdagangan
Bilateral ...................................................................................................... 176
Gambar 4-9. 4.
Trade Diversion .......................................................................................... 176
Gambar 4-9. 5.
Perkembangan Nilai Ekspor Produk KP Indonesia ke USA, 2010-2014 ... 179
Gambar 4-9. 6.
Gambar 4-9. 7.
Pertumbuhan Nilai Ekspor Produksi KP Indonesia ke USA, 2010-2014... 180
Perkembangan Komposisi Ekspor Produk KP Indonesia ke USA, 20102014 ............................................................................................................ 181
Kerangka Pendekatan Kajian Supply Ikan di Pasar Domestik Menghadapi
Hari Natal dan Tahun Baru 2016................................................................ 191
Gambar 4-10. 1.
Gambar 4-10. 2.
Gambar 4-10. 3.
Perkembangan Produksi Perikanan di Indonesia, 2006 - 2014 .................. 196
Proporsi Ekspor terhadap Produksi Perikanan di Indonesia, 2006 - 2014 . 197
Gambar 4-10. 4.
Perkembangan Konsumsi Ikan Nasional, 2006 - 2014............................... 197
Gambar 4-10. 5.
Perkembangan Konsumsi Kalori dan Protein Ikan Tahun 2010 - 2014 ..... 198
Gambar 4-10. 6.
Perkembangan Inflasi Kelompok Bahan Makanan pada Tahun 2006 2014 ............................................................................................................ 206
Gambar 4-10. 7.
Indeks Harga Konsumen dan Inflasi bahan makanan pada tahun 2015 ..... 207
Gambar 4-10. 8.
Pergerakan indeks ketidakstabilan harga komoditas ikan pada saat sebelum
natal& tahun baru (a), pada saat natal& tahun baru (b) dan pada saat setelah
natal & tahun baru (c) ................................................................................. 208
Gambar 4-10. 9.
Total Produksi Perikanan Tangkap dan Budidaya Propinsi Sumatera Utara
Tahun 2013-2014 ....................................................................................... 209
Gambar 4-11. 1.
Perkembangan Neraca Perdagangan Produk Perikanan Indonesia ke Negaranegara TPP, 2010-2014 .............................................................................. 228
| DAFTAR GAMBAR
XXVI
LAPORAN TEKNIS
Gambar 4-11. 2.
[KAJIAN KHUSUS BBPSEKP TAHUN 2015]
Perkembangan Neraca Perdagangan Produk Perikanan Primer Indonesia ke
Negara-negara TPP, 2010-2014 ................................................................. 229
Gambar 4-10. 10. Perkembangan Neraca Perdagangan Produk Perikanan Olahan Indonesia ke
Negara-negara TPP, 2010-2014 ................................................................. 230
| DAFTAR GAMBAR
XXVII
LAPORAN TEKNIS
[KAJIAN KHUSUS BBPSEKP TAHUN 2015]
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
Lampiran 4-6. 1.
Tingkat Konsumsi Ikan per Kapita per Tahun, 2006 - 2013 ...................... 125
Lampiran 4-6. 2.
Penyediaan Ikan untuk Konsumsi dari Perikanan Tangkap, 2008 - 2013 .. 125
Lampiran 4-6. 3.
Ketersediaan per Kapita Nutrisi dari Ikan dari Perikanan Tangkap, 2008 2012 ............................................................................................................ 125
Lampiran 4-6. 4.
Konsumsi Kalori dari Ikan menurut Propinsi Tahun 2014......................... 126
Lampiran 4-6. 5.
Lampiran 4-6. 6.
Konsumsi Protein Ikan menurut Propinsi Tahun 2014 .............................. 127
Status Ketersediaan Ikan menurut Kuartal dan Provinsi di Indonesia Tahun
2013 ............................................................................................................ 128
Lampiran 4-6. 7.
Indeks Ketidakstabilan Harga Ikan Pada Saat Sebelum Bulan Ramadhan 2014
.................................................................................................................... 131
| DAFTAR LAMPIRAN
XXVIII
LAPORAN TEKNIS
[KAJIAN KHUSUS BBPSEKP TAHUN 2015]
I.
PENDAHULUAN
Kebijakan merupakan tindakan yang dilakukan oleh pemangku kepentingan dalam rangka
mengantisipasi dan memecahkan masalah yang terjadi. Namun demikian kebijakan tidak selalu
diterima oleh akademisi, pelaku usaha dan masyarakat. Hal ini terjadi bila kebijakan dinilai tidak
tepat baik secara sosial, ekonomi maupun politik yang berkembang. Oleh karena itu pengambilan
suatu kebijakan tentunya memerlukan analisis yang cukup jeli, dengan menggunakan berbagai
model serta pendekatan yang sesuai dengan permasalahan yang akan dipecahkan.
Analisis kebijakan merupakan disiplin ilmu terapan yang menggunakan berbagai metode
pengkajian untuk menghasilkan dan mentranformasikan informasi-informasi agar dapat
dimanfaatkan secara politis dalam menyelesaikan masalah kebijakan. Oleh karena itu
pengambilan suatu kebijakan tentunya memerlukan analisis yang cukup jeli, dengan
menggunakan berbagai model serta pendekatan yang sesuai dengan permasalahan yang akan
dipecahkan.
Penyusunan kebijakan pembangunan kelautan dan perikanan yang melibatkan, mendengarkan
dan mempertimbangkan masukan, saran dan kebutuhan pemangku kepentingan serta pelaku
usaha memerlukan analisis serta alternatif pemecahan masalah akan dinamika pembangunan
kelautan dan perikanan. Analisis yang tajam, cepat dan tepat merupakan faktor penting dalam
membuat dan memperbaiki kebijakan pembangunan kelautan dan perikanan yang lebih tepat
sasaran, waktu dan program. Penelitian secara khusus akan program-program pembangunan
kelautan dan perikanan merupakan media untuk menghasilkan analisis tersebut. Melalui
penelitian, pemetaan permasalahan atau kebutuhan, analisa serta saran pemecahan masalah bisa
dihasilkan.
Kebijakan yang kurang atau tidak berbasis penelitian hasil analisis memiliki kecenderungan
kegagalan atau ketidakefektifan pada tahapan implementasi, sehingga menyebabkan tujuan yang
diharapkan menjadi tidak tercapai. Analisis sebagai dasar perumusan kebijakan semakin
diperlukan untuk merespon ataupun langkah antisipatif dalam pembangunan kelautan dan
perikanan yang sangat dipengaruhi oleh kondisi dan konstelasi global, nasional dan lokal. Oleh
karena itu, ketersediaan bahan masukan berupa data dan informasi yang relevan menjadi semakin
sangat penting dalam dinamika pembangunan sektor kelautan dan perikanan serta perumusan
langkah antisipatif dan responsif yang cepat dan tepat.
Atas dasar hal-hal diatas, BBPSEKP perlu melakukan Kajian Khusus Akselerasi Implementasi
Program Pemerintah dalam Mendorong Pembangunan Kelautan dan Perikanan.
PENDAHULUAN
1
LAPORAN TEKNIS
II.
[KAJIAN KHUSUS BBPSEKP TAHUN 2015]
TINJAUAN ISU-ISU STRATEGIS SEKTOR KP
Penjelasan mengenai isu strategis pembangunan kelautan Indonesia perlu didukung oleh ketiga
informasi penting sebagaimana tertuang dalam rancangan teknokratik “Rencana Pembangunan
Jangka Menengah Nasional” (RPJMN) 2015-2019, khususnya mengenai: agenda, arah kebijakan
nasional dan beberapa misi penting terkait dengan pembangunan kelautan ke depan; serta
dinamika pembangunan global.
Pertama, agenda pembangunan kelautan tersebut ditetapkan lima hal pokok yang menjadi fokus
pembangunan kelautan ke depan, yaitu:
(1) Terwujudnya kedaulatan atas wilayah perairan Indonesia dan yurisdiksi nasional.
(2) Termanfaatkannya sumber daya kelautan untuk pembangunan ekonomi nasional.
(3) Terwujudnya pelayanan angkutan laut dalam rangka meningkatkan konektivitas laut yang
didukung oleh keselamatan maritim yang handal dan manajemen yang bermutu serta industri
maritim yang memadai.
(4) Terpeliharanya kelestarian fungsi lingkungan hidup dan sumber daya hayati laut.
(5) Terwujudnya SDM dan IPTEK kelautan yang berkualitas dan meningkatnya wawasan dan
budaya bahari.
Kedua, arah dan kebijakan pembangunan kelautan juga fokus pada lima hal pokok:
(1) Penegakan Kedaulatan dan Yurisdiksi Nasional.
(2) Percepatan Pengembangan Ekonomi Kelautan.
(3) Meningkatkan dan Mempertahankan Kualitas, Daya Dukung dan Kelestarian Fungsi
Lingkungan Laut.
(4) Peningkatan Wawasan dan Budaya Bahari, Serta Penguatan Peran SDM dan Iptek Kelautan.
(5) Peningkatan Harkat dan Taraf Hidup Nelayan dan masyarakat pesisir.
Ketiga, misi penting terkait dengan pembangunan kelautan dan perikanan ke depan sebagaimana
tertuang dalam rancangan teknokratik RPJMN 2015-2019, menjadi salah satu amanat ndangUndang No. 17 Tahun 2017 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN)
2005-2025, khususnya tertuang pada:
(1) Misi ke-2: mewujudkan bangsa yang berdaya saing,
(2) Misi ke-6: mewujudkan Indonesia yang asri dan lestari,
(3) Misi ke-7: mewujudkan Indonesia menjadi negara kepulauan yang mandiri, maju, kuat dan
berbasis kepentingan nasional.
Keempat, dinamika pembangunan global yang tertuang dalam MDG’s (Millenium Development
Goals) dan Sustainable Development Goals (SDGs) yang turut mempengaruhi dinamika
pembangunan Indonesia, khususnya terkait perubahan secara fundamental di sektor kelautan dan
perikanan secara nasional. Dinamika pembangunan global tersebut bertumpu pada tiga aspek
mendasar, yakni:
(1) Ketahanan pangan (food security),
(2) Keberlanjutan pembangunan (sustainable development),
(3) Daya saing (competitiveness).
TINJAUAN ISU-ISU STRATEGIS SEKTOR KP
2
LAPORAN TEKNIS
[KAJIAN KHUSUS BBPSEKP TAHUN 2015]
Setelah memperhatikan agenda, arah kebijakan nasional dan beberapa misi penting terkait dengan
pembangunan kelautan ke depan serta dinamika pembangunan global, dapat dirumuskan
beberapa isu strategis pembangunan kelautan Indonesia tahun 2015-2019, yaitu meliputi: (1)
pengembangan produk perikanan untuk ketahanan pangan dan gizi nasional; (2) peningkatan daya
saing dan nilai tambah produk kelautan dan perikanan; (3) pendayagunaan potensi ekonomi
sumberdaya kelautan; (4) pengelolaan sumberdaya yang berkelanjutan; (5) peningkatan
kesejahteraan; dan (6) pengembangan SDM dan IPTEK kelautan dan perikanan. Masing-masing
isu strategis pembangunan kelautan tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut:
(1) Pengembangan produk perikanan untuk ketahanan pangan dan gizi nasional
Undang-Undang No 12 Tahun 2014 tentang Pangan menyebutkan bahwa pangan adalah segala
sesuatu yang berasal dari sumber hayati produk pertanian, perkebunan, kehutanan, perikanan,
peternakan, perairan, dan air, baik yang diolah maupun tidak diolah. Sementara itu, UndangUndang No 45 Tahun 2009 tentang Perikanan Pasal 3, salah satu tujuan Pengelolaan Perikanan
adalah mendorong perluasan dan kesempatan kerja dan meningkatkan ketersediaan dan konsumsi
sumber protein ikan dan Undang-Undang No 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan menyatakan
bahwa arah pembangunan gizi adalah perbaikan gizi masyarakat melalui perbaikan pola konsumsi
sesuai gizi seimbang dan perbaikan perilaku sadar gizi, aktivitas fisik dan kesehatan. Ikan telah
berperan penting dalam penyediaan sumber protein hewani masyarakat Indonesia, dan peran
tersebut masih dapat ditingkatkan. Peningkatan Konsumsi Ikan sangat dianjurkan oleh para ahli
kesehatan termasuk hasil dari Joint FAO & WHO Expert Consultation: Risks & Benefits on Fish
Consumption. Pola Pangan Harapan (PPH) untuk masyarakat Indonesia, konsumsi ikan minimal
31,4 kg/kap/thn.
Beberapa fakta menunjukkan bahwa: (a) protein ikan memberi kontribusi terbesar dalam
kelompok sumber protein hewani, yakni sekitar 57,2%; (b) adanya kecenderungan pergeseran
konsumen masyarakat dari red meat kepada white meat; (c) ikan memiliki kandungan lemak,
vitamin, dan mineral yang sangat baik dan prospektif (lebih baik dari protein hewani lainnya); (d)
nutrisi ikan mudah dicerna dan diserap tubuh sehingga sangat sesuai dari mulai balita hingga
manula; (e) ikan mempunyai keragaman yang sangat tinggi baik dari segi jenis, bentuk, warna,
rasa, ukuran dan harga sehingga dapat diproses lebih lanjut menjadi berbagai macam produk
untuk beragam konsumen; dan (f) ikan berperan penting dalam Gerakan Peningkatan Gizi pada
1.000 Hari Pertama Kehidupan, bahkan pemerintah telah menerbitkan Kepres No. 3 Tahun 2014
tentang Hari Ikan Nasional. Konsumsi ikan per kapita cenderung terus meningkat sebagai
dampak dari kampanye mengenai manfaat mengkonsumsi ikan untuk kesehatan. Peningkatan
konsumsi ikan harus diikuti dengan peningkatan pasokan untuk mencukupi kebutuhan konsumsi
di dalam negeri. Konsekuensi pemenuhan kebutuhan tersebut dilakukan melalui peningkatan
pasokan ikan dari hasil produksi, baik dari kegiatan penangkapan maupun budidaya ikan.
(2) Peningkatan daya saing dan nilai tambah produk kelautan dan perikanan
Produksi perikanan Indonesia menduduki peringkat kedua di dunia, baik untuk perikanan tangkap
maupun perikanan budidaya (FAO, 2012). Namun demikian, posisi Indonesia dalam perdagangan
hasil perikanan dunia menduduki peringkat ke-7. Hal ini menunjukkan masih belum adanya daya
saing perikanan Indonesia di dunia. Saat ini sebagian besar UMKM perikanan belum memenuhi
standar mutu dengan kemampuan SDM dan finansial yang sangat terbatas. Pada tahun 2013,
jumlah Unit Pengolahan Ikan (UPI) Skala Besar hanya sebanyak 627 UPI dari total UPI lebih dari
63.000. Ke depan perlu ditingkatkan daya saing, nilai tambah dan diversifikasi produk. Pada era
globalisasi dan pasar bebas, negara-negara akan berusaha mengambil manfaat ekonomi guna
meningkatkan daya saingnya. Indonesia sebagai salah satu negara yang memiliki potensi ekonomi
kelautan dan perikanan yang tinggi dituntut untuk dapat memanfaatkan peluang ini agar mampu
mendukung pengembangan industri kelautan dan perikanan nasional. Value chain perikanan
menunjukkan tren bahwa nilai tambah berada di hulu bukan di hilir, sementara di negara maju,
20% nilai tambah berada di hulu dan sisanya 80% di hilir (USDA , The Economic Research
TINJAUAN ISU-ISU STRATEGIS SEKTOR KP
3
LAPORAN TEKNIS
[KAJIAN KHUSUS BBPSEKP TAHUN 2015]
Service’s, Feb 2011). Peningkatan daya saing bidang kelautan dan perikanan ditopang melalui
pengelolaan serta pemanfaatan sumberdaya alam secara ramah lingkungan dan berkelanjutan.
Peningkatan daya saing memerlukan penyediaan dukungan inovasi IPTEK, serta sumberdaya
manusia yang kompeten.
(3) Pendayagunaan potensi ekonomi sumberdaya kelautan
Isu strategis pendayagunaan potensi ekonomi sumberdaya kelautan pada kurun waktu lima tahun
kedepan akan lebih berorientasi pada pemanfaatan dan pengelolaan potensi sumberdaya kelautan,
terutama menyangkut: (a) optimalisasi pendayagunaan pulau-pulau kecil termasuk pulau-pulau
kecil terluar, (b) efektifitas pengelolaan kawasan konservasi perairan, (c) penanggulangan IUU
fishing dan kegiatan yang merusak, (d) kerentanan ekosistem, (e) penyerasian tata kelola laut, (f)
optimalisasi pemanfaatan ekonomi sumberdaya kelautan, dan (g) peningkatan peran masyarakat
hukum adat, lokal dan tradisional.
(4) Pengelolaan Sumber daya Kelautan dan Perikanan yang Keberlanjutan
Kekayaan sumberdaya kelautan dan perikanan merupakan kumpulan sumber daya yang
berpotensi besar, yakni sumber daya terbarukan yang dapat dikelola untuk menghasilkan
pendapatan yang berkelanjutan. Pembangunan berkelanjutan dan ramah lingkungan mutlak
diperlukan untuk mengantisipasi penurunan cadangan sumberdaya alam di masa mendatang.
Upaya menjaga keberlanjutan sumberdaya dilakukan melalui konservasi, peningkatan kualitas
dan rehabilitasi lingkungan, serta adaptasi perubahan iklim dan mitigasi bencana.
(5) Peningkatan kesejahteraan pelaku usaha kelautan dan perikanan
Kesejahteraan Pelaku Usaha Perikanan (budidaya, penangkapan, pengolahan dan pemasaran)
merupakan salah satu pilar penting dalam peningkatan daya saing perekonomian dan merupakan
tahapan penting dalam mencapai kesejahteraan masyarakat. Kesejahteraan pelaku usaha dapat
digambarkan dari kemampuan pelaku usaha untuk memenuhi kebutuhan dengan pendapatan yang
diperolehnya. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik, tahun 2013 jumlah penduduk miskin
mencapai 28,07 juta orang, dimana 25,14% diperkirakan tinggal di wilayah pesisir. Kondisi ini
menggambarkan tentang kondisi sebagian pelaku usaha perikanan Indonesia yang merupakan
persoalan yang kompleks dan multidimensional yang membutuhkan pendekatan komprehensif
untuk menyelesaikannya.
(6) Pengembangan SDM dan IPTEK kelautan dan perikanan
Pengembangan SDM dan IPTEK sangat penting dalam meningkatkan daya saing bidang Kelautan
dan Perikanan di Indonesia. Isu daya saing ini sangat relevan dengan kebutuhan pembangunan
kelautan dan perikanan pada RPJMN ketiga (2015 –2019), dimana pembangunan diarahkan pada
keunggulan kompetitif perekonomian yang berbasis SDA yang tersedia, SDM yang berkualitas,
dan kemampuan IPTEK. Penguatan IPTEK merupakan amanah konstitusi pada pasal 31 (ayat 5)
UUD 1945 dimana disebutkan bahwa pemerintah memajukan nilai pengetahuan dan teknologi
untuk memajukan peradaban serta kesejahteraan masyarakat. Namun, hal ini belum didukung
oleh sumberdaya yang ada terutama dari aspek pendanaan. Selama ini, dana riset Indonesia
hanya sebesar 0,08% dari PDB nasional. Rendahnya alokasi dana ini berpengaruh terhadap
rendahnya produktivitas karya ilmiah di bidang kelautan dan perikanan.
TINJAUAN ISU-ISU STRATEGIS SEKTOR KP
4
LAPORAN TEKNIS
[KAJIAN KHUSUS BBPSEKP TAHUN 2015]
III.
3.1.
METODOLOGI
Landasan Teori
Penelitian kebijakan pada dasarnya menggunakan berbagai metode dan menggabungkannya
dalam suatu analisis kebijakan yang utuh. Hal ini didasari oleh studi kebijakan public yang
bermaksud untuk menggambarkan, menganalisis dan menjelaskan secara cermat berbagai sebab
dan akibat dari tindakan-tindakan pemerintah Wahab (2004).
Pada prakteknya proses didalam analisis kebijakan publik menurut James Anderson dalam
Indiahono (2009) adalah sebagai berikut :
1. Perumusan masalah yaitu merumuskan berbagai kondisi yang berpotensi menyebabkan atau
telah menjadi masalah
2. Peramalan yaitu membuat prediksi dan konsekuensi dari berbagai alternatif kebijakan yang
dirumuskan
3. Rekomendasi kebijakan yaitu memberikan informasi manfaat bersih dari setiap alternatif
kebijakan serta memberikan rekomendasi terhadap alternatif kebijakan dengan manfaat
bersih yang paling besar
4. Monitoring kebijakan yaitu menyajikan konsekuensi saat ini dan masa lalu dari
diterapkannya kebijakan yang diambil beserta kendala-kendala yang dhadapi
5. Evaluasi kebijakan yakni memberikan informasi mengenai kinerja dan hasil dari suatu
kebijakan.
Gambar 3.1.
Kerangka Analisis Kebijakan
Sumber : Dunn (2000)
Beberapa model studi kebijakan dikembangkan oleh para ahli seperti Anderson (1979) serta
Lester dkk (2000) yang dapat dirangkum sebagai berikut :
a.
Model Pluralis
Model ini menitikberatkan pada hubungan antar kelompok-kelompok yang merupakan titik
sentral dari suatu realitas politik. Kelompok dipandang sebagai jembatan antara individu dan
pemerintah. Politik adalah arena perjuangan ke-lompok untuk memenangkan kebijakan publik.
Model ini memiliki sisi positif dan negatif. Sisi positif karena kebijakan yang diambil didasarkan
pada kepentingan kelompok dan tidak atas dasar kepentingan pribadi. Sementara sisi negatifnya
adalah bila kelompok tersebut tidak memikirkan kepentingan kelompok lain, sehingga
kebijakan yang diambil hanya akan menguntungkan kelompok tertentu.
METODOLOGI|Landasan Teori
5
LAPORAN TEKNIS
b.
[KAJIAN KHUSUS BBPSEKP TAHUN 2015]
Model Elitis
Model ini beranggapan bahwa masyarakat secara umum bersifat apatis dan kekurangan informasi
mengenai kebijakan publik. Dengan alasan tersebut ke-lompok elitlah yang mengambil peran
besar. Model ini memiliki keuntungan dari sisi efektifitas waktu sedangkan kerugiannya adalah
bila kelompok elit yang mengambil kebijakan hanya didasarkan pada kepentingan pribadi.
Konsek-uensinya dapat menimbulkan permasalahan besar dimasyarakat bila kepentingan mereka
diabaikan.
c.
Model Sistem
Model ini menilai kebijakan sebagai keluaran dari suatu sistem (policy as system output).
Kebijakan publik dinilai sebagai suatu respon sistem politik terhadap lingkungan faktornya
seperti sosial, politik, ekonomi, geografis dan lain sebagainya. Inti dari model ini adalah kebijakan
public sebagai keluaran dari sistem politik. Model ini pada prakteknya telah menilai berbagai
faktor diatas sehingga lebih komplek.
d. Model Rasional
Model ini menyatakan bahwa kebijakan merupakan suatu pencapaian sasaran secara efisien.
Model ini mnitikberatkan pada pembuatan keputusan yang ra-sional dengan bermodalkan pada
komprehensivitas informasi dan keahlian pembuat keputusan.
e.
Model Inskrementalis
Memandang kebijakan publik sebagai tindak lanjut aktivitas pemerintah dengan modifikasimodifikasi yang bersifat incremental (bagian perbagian). Da-sar pemikiran model ini adalah
adanya kecenderungan dari pemegang kebijakan untuk tidak melakukan perubahan yang besar
terhadap kegiatan yang telah berjalan sebelumnya. Dalam model ini memiliki kelebihan apabila
kebijakan yang dikeluarkan oleh pengambil kebijakan sebelumnya merupakan sebuah kebijakan
yang tepat maka model ini akan sangat efektif. Sebaliknya bila kebijjakan sebelumnya tidak tepat
dan kebijakan tersebut dilanjutkan akan menimbulkan permasalahan
f.
Model Institusional
Model institusional menggambarkan tentang struktur organisasi, tugas-tugas dan fungsi-fungsi
pejabat organisasi, serta mekanisme organisasi, Relasi antara kebijakan publik dan lembagalembaga pemerintah dinilai erat. Kebijakan tidak akan menjadi kebijakan publik sebelum
diangkat, dilaksanakan dan diperkuat oleh lembaga pemerintah.
3.2.
Ruang Lingkup Kegiatan
Kegiatan riset analisis kebijakan pembangunan sektor kelautan dan perikanan ini mencakup
beberapa tahapan, yaitu:
a.
b.
c.
d.
e.
f.
Identifikasi topik kajian sesuai dengan isu aktual pada sektor perikanan dan kelautan yang
berkembang. Isu aktual tersebut dapat bersumber dari lingkup unit kerja atau dari luar unit
kerja Departemen Kelautan dan Perikanan.
Penyusunan term of reference tentang isu yang terpilih agar terdapat panduan dan arah
dalam penelusuran isu yang dipelajari.
Pengumpulan data pada lokasi sesuai dengan isu tersebut.
Pengolahan dan analisis data.
Penulisan hasil penelitian.
Penyampaian hasil penelitian kepada stakeholder terkait.
METODOLOGI|Ruang Lingkup Kegiatan
6
LAPORAN TEKNIS
3.3.
[KAJIAN KHUSUS BBPSEKP TAHUN 2015]
Data yang dikumpulkan
Data yang dikumpulkan pada kegiatan riset ini berupa data primer dan sekunder. Data sekunder
yang dapat dikumpulkan antara lain berupa laporan hasil penelitian dan atau kajian yang terkait
dengan berbagai topik kajian khusus.
3.4.
Teknik Pengumpulan Data
Metode pengumpulan dilakukan melalui metode survey yang dilakukan terutama untuk melihat
secara cepat kondisi sosial, ekonomi dan budaya serta kebutuhan teknologi menggunakan dengan
kuesioner terstruktur. Penentuan responden dalam kegiatan survey dilakukan sesuai dengan
kriteria dan topik kajian khusus. Pengumpulan data dan fakta juga dilakukan menggunakan
metoda Desk Study, Participatory Rapid Appraisal (PRA) (Townsley, 1996) dan observasi serta
survei menggunakan panduan daftar topik pertanyaan yang kemudian dikumpulkan dengan cara
wawancara langsung dan mendalam terhadap responden kunci.Responden kunci adalah informan
yang digunakan sebagai sumber informasi dan data sesuai dengan topik analisis kebijakan.
3.5.
Metode Analisa Data
Data yang telah dikumpulkan dianalisis menggunakan metode analisis data kualitatif dan
kuantitatif. Analisis data kualitatif merupakan penelusuran terhadap pernyataan-pernyataan
umum tentang hubungan antar berbagai kategori data yang berasal dari data yang tersedia
(Marshall dan Rossman, 1989).
3.6.
Tahapan Kegiatan
Tahapan kegiatan disesuaikan untuk masing-masing topik kajian. Secara umum tahapan yang
dapat dilakukan adalah sebagai berikut:
1. Persiapan dan Pemantapan Pelaksanaan Kegiatan
a. Penyusunan ROKP
b. Pemantapan ROKP
c. Finalisasi ROKP
d. Studi literatur dalam rangka persiapan FGD,
e. Focus Group Discussion (FGD) dengan Stakeholders
2. FGD dalam rangka koordinasi dan sinkronisasi dengan pemerintah daerah, Dinas Kelautan
dan Perikanan, Bappeda, LSM, dan pemangku kepentingan lainnya.
3. Analisis Data dan Penyusunan Laporan
4. Sosialisasi Hasil
Pada masing-masing topik terpilih, di awali dengan Surat Keputusan Kepala Balai dengan
lampiran ke anggotaan tim peneliti kajian khusus dan dilengkapi dengan Terms Of Reference
(TOR).
Namun demikian, metodologi yang digunakan pada setiap topik kajian adalah tidak sama. Secara
detil, metodologi yang digunakan akan dijelaskan pada BAB IV sesuai dengan topik kajian yang
diteliti.
METODOLOGI|Data yang dikumpulkan
7
LAPORAN TEKNIS
[KAJIAN KHUSUS BBPSEKP TAHUN 2015]
IV.
4.1.
HASIL KEGIATAN
Analisis Kebijakan Dampak Penyusunan Harga BBM Bersubsidi untuk
Nelayan
Pendahuluan
Bahan Bakar Minyak (BBM) merupakan input produksi vital bagi kegiatan usaha
produksi ikan di sektor kelautan dan perikanan, baik pada usaha-usaha perikanan tangkap,
budidaya maupun pengolahan. Pada usaha perikanan tangkap, pengeluaran untuk pembelian
BBM mencapai 50 - 70% dari total biaya operasional melaut. Beberapa hal yang mempengaruhi
besar kecilnya pengeluaran BBM diantaranya adalah besaran ukuran kapal, jenis peralatan
tangkap yang digunakan, jangka waktu melaut, banyaknya trip penangkapan dalam suatu periode,
jarak ke lokasi tangkapan, dan lain sebagainya. Kondisi saat ini, usaha nelayan untuk melakukan
penangkapan ikan semakin bertambah besar karena sumberdaya perikanan semakin sulit
ditemukan. Nelayan harus menambah hari dan jarak melaut untuk menangkap ikan yang
ketersediaannya semakin langka dan berkurang (Kinseng, 2007). Perkembangan terkini, nelayan
dihadapkan pada ketidakpastian harga BBM bersubsidi dan sulitnya memperoleh BBM bersubsidi.
Kondisi ini menyebabkan ketidakpastian usaha perikanan tangkap.
Pada awal pemerintahannya, Presiden Indonesia menaikkan harga BBM bersubsidi.
Kenaikan tersebut dipicu oleh tingginya impor BBM yang dilakukan oleh Indonesia ditambah
adanya kenaikan harga minyak dunia. Kondisi ini menyebabkan keuangan negara terbebani untuk
BBM bersubsidi. Pemerintah mengumumkan kenaikan harga BBM pada tanggal 18 November
2014 dimana BBM jenis solar naik sekitar 36% dari Rp. 5.500 per liter menjadi Rp. 7.500 per
liter dan BBM jenis bensin premium naik sebesar 31% dari Rp. 6.500 per liter menjadi Rp. 8.500
per liter. Pada awal tahun 2015, terjadi fluktuasi harga minyak dunia yang cenderung turun.
Kondisi ini menyebabkan pemerintah mengambil kebijakan untuk menurunkan kembali harga
BBM bersubdisi. Bahkan dalam bulan Januari tahun 2015, terjadi penurunan harga sebanyak 2
kali (Tabel 4.1.1).
Tabel 4-1. 1. Perubahan Harga BBM bersubsidi periode Juni 2014 – Januari 2015
Tanggal
Harga BBM Solar bersubsidi
Perubahan (%)
22 Juni 2014
Rp. 5.500
18 November 2014
Rp. 7.500
(+) 36%
19 Januari 2015
Rp. 6.400 (seluruh Indonesia, kec
(-) 15%
Bali & Madura)
Rp. 6.720 (Bali dan Madura)
Sumber: Diolah dari berbagai sumber
Permasalahan
Fenomena penyesuaian harga BBM bersubsidi di masa-masa mendatang kemungkinan
besar akan terjadi mengingat pemerintah mewacanakan menetapkan floating price untuk BBM.
Bagi pelaku usaha perikanan tangkap, ketidakpastian harga BBM menyebabkan ketidakpastian
usaha penangkapan juga. Pada saat harga BBM mengalami kenaikan, sebagian besar pelaku usaha
merasa terhambat atau bahkan tidak dapat melakukan aktifitas penangkapan. Sisi positifnya,
tekanan terhadap sumberdaya perikanan berkurang karena effort nelayan juga berkurang sehingga
stok sumberdaya dapat meningkat. Sebaliknya, apabila harga BBM menurun, pelaku usaha
mendapatkan angin segar untuk dapat kembali melakukan aktivitas usahanya, namun sumberdaya
perikanan kembali tertekan.
Selain permasalahan penyesuain harga BBM bersubsidi, berkembang pula wacana terkait
HASIL KEGIATAN|Analisis Kebijakan Dampak Penyusunan Harga BBM
Bersubsidi untuk Nelayan
8
LAPORAN TEKNIS
[KAJIAN KHUSUS BBPSEKP TAHUN 2015]
dengan siapa yang berhak memperoleh BBM bersubsidi pada pelaku usaha perikanan. Mengacu
kepada Peraturan Presiden No 191 Tahun 2014 1, terdapat batasan bahwa kapal berukuran lebih
dari 30 GT tidak memperoleh jatah BBM bersubsidi, artinya pelaku usaha dengan ukuran kapal
lebih besar dar 30 GT harus membeli BBM dengan harga keekonomian. Alasan utama mengapa
kapal berukuran lebih dari 30 GT tidak mendapatkan jatah subsidi BBM diantaranya adalah
pertama, BBM subsidi untuk kapal diatas 30 GT mengalami kebocoran akibat penjualan BBM di
tengah laut (Putra, 2015). Kedua, nelayan kecil (berukuran kurang dari 30 GT) mengkonsumsi
sedikit dari jatah subsidi yang disediakan yang mana penggunaan BBM bersubsidi justru paling
besar dinikmati oleh kapal bertonase di atas 30 GT, yakni hampir 60-70 persen dari total alokasi
BBM bersubsidi (Anonim, 2014). Ketiga, dengan pembatasan subsidi BBM kepada kapal
berukuran lebih dari 30GT, maka pemerintah melalui KKP memiliki dana sebesar Rp. 11 triliun
untuk dialihkan mengganti kebutuhan nelayan (Maharani, 2014).
Namun, pembatasan subsidi BBM hanya kepada kapal berukuran <30 GT juga
mengakibatkan beberapa hal diantaranya pertama, akan terjadi gejolak sosial akibat dari
menganggurnya anak buah kapal (ABK) karena operasi penangkapan ikan berhenti (Oktaveri,
2014; Abdianci, 2015; Sihaloho, 2015). Kedua, secara langsung, apabila kebijakan tersebut
diterapkan akan berdampak negatif terhadap upaya pencapai target produksi ikan dari usaha
penangkapan ikan; dan secara langsung juga akan berpengaruh terhadap tingkat pendapatan
nelayan yang pada gilirannya berakibat pada tingkat kesejahteraan kelompok masyarakat nelayan
tersebut.
Berdasarkan pemaparan tersebut, maka penelitian analisis kebijakan penyesuaian harga
BBM bersubsidi untuk nelayan relevan dilakukan. Pertanyaan penelitian yang akan dijawab
diantaranya adalah bagaimana pengaruh dari kenaikan atau penurunan harga BBM bersubsidi
terhadap biaya operasional dan keuntungan usaha perikanan tangkap?. Berapa besaran harga
BBM subsidi yang ideal yang dapat diterima oleh nelayan?. Oleh karena itu, upaya perumusan
kebijakan yang bersifat antisipatif maupun responsif terhadap kebijakan penyesuaian harga
BBM maupun subsidi BBM pada sektor perikanan perlu dilakukan. Upaya perumusan kebijakan
juga bermaksud untuk memberikan saran dan masukan kepada pemangku kebijakan khususnya
Menteri Kelautan dan Perikanan dalam bentuk langkah-langkah apa yang perlu dilakukan
sehingga kegatan usaha perikanan tangkap tetap lestari sekaligus kesejahteraan masyarakat
pelaku usaha perikanan tangkap dapat ditingkatkan.
Tujuan Penelitian
Analisis kebijakan penyesuaian harga bbm bersubsidi untuk nelayan ini bertujuan untuk:
1.
2.
Mengkaji pengaruh penyesuaian harga BBM terhadap biaya operasional usaha perikanan
tangkap laut.
Mengkaji dampak penyesuian harga BBM terhadap tingkat keuntungan usaha perikanan
tangkap laut.
1
PERATURAN PRESIDEN NO 191 TAHUN 2014 tentang penyediaan, pendistribusian dan harga jual eceran bahan
bakar minyak. “Nelayan yang menggunakan kapal ikan Indonesia dengan ukuran maksimum 30 (tiga puluh) GT yang
terdaftar di Kementerian Kelautan dan Perikanan dan Perikanan SKPD Provinsi/Kabupaten/Kota yang membidangi
perikanan dengan verifikasi dan surat rekomendasi dari pelabuhan perikanan atau kepala SKPD
Provinsi/Kabupaten/Kota yang membidangi perikanan sesuai dengan kewenangannya masing – masing.
HASIL KEGIATAN|Analisis Kebijakan Dampak Penyusunan Harga BBM
Bersubsidi untuk Nelayan
9
LAPORAN TEKNIS
[KAJIAN KHUSUS BBPSEKP TAHUN 2015]
Tinjauan Pustaka
Subsidi menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah bantuan uang dan sebagainya
kepada yayasan, perkumpulan dan sebagainya (biasanya dari pihak pemerintah). Menurut Todaro
(2009), subsidi adalah bentuk bantuan keuangan yang dibayarkan kepada suatu bisnis atau sektor
ekonomi. Sedangkan menurut Spencer et. al dalam Handoko dan patriadi (2005), subsidi
merupakan pembayaran yang dilakukan pemerintah kepada perusahaan atau rumah tangga untuk
mencapai tujuan tertentu yang membuat mereka dapat memproduksi atau mengkonsumsi suatu
produk dalam kuantitas yang lebih besar atau pada harga yang lebih murah. Secara ekonomi,
tujuan subsidi adalah mengurangi harga atau menambah keluaran (output). Sedangkan menurut
Sukirno (2005), subsidi pada dasarnya merupakan pemberian pemerintah kepada produsen untuk
mengurangi biaya produksi yang ditanggung oleh produsen. Subsidi dapat mengurangi harga.
Batas keuntungan yang didapat oleh produsen dengan adanya subsidi bergantung kepada besarnya
penurunan harga yang berlaku (Sukirno, 2005). Selanjutnya menurut Suparmoko, subsidi
(transfer) adalah salah satu bentuk pengeluaran pemerintah yang juga diartikan sebagai pajak
negatif yang akan menambah pendapatan mereka yang menerima subsidi atau mengalami
peningkatan pendapatan riil apabila mereka mengkonsumsi atau membeli barang-barang yang
disubsidi oleh pemerintah dengan harga juga yang rendah. Subsidi dapat dibedakan dalam dua
bentuk yaitu subsidi dalam bentuk uang (cash transfer) dan subsidi dalam bentuk barang atau
subsidi innatura (in kind subsidy). Menurut Nota Keuangan dan RAPBN 2014, subsidi adalah
alokasi anggaran yang disalurkan melalui perusahaan/lembaga yang memproduksi, menjual
barang dan jasa yang memenuhi hajat hidup orang banyak sedemikian rupa, sehingga harga
jualnya dapat terjangkau oleh masyarakat. Menurut Kusuma (2012), terdapat dua pendekatan
subsidi yang berbeda yakni dari sisi profit loss maupun cost lost.
Pendekatan profit loss diterapkan dalam lingkup mikroekonomi sedangkan cost lost
terdapat pada kebijakan ekonomi yang lebih bersifat ke arah makroekonomi. Meski kedua konsep
itu berbeda namun pertemuan kedua konsep itu terletak pada sasarannya yaitu harga (price
equilibrium). Pada pendekatan profit loss, pihak produsen tidak mendapatkan profit dan juga tidak
mengalami kerugian. Penghitungan harga pokok sudah memperhitungkan seluruh biaya produksi
yang dibayarkan oleh konsumen. Sedangkan pendekatan dengan kebijakan, subsidi bertujuan
untuk menekan harga penjualan di bawah harga yang biasanya berlaku. Besarnya subsidi dapat
menggantikan tambahan keuntungan atau tambahan keuntungan ditambah beberapa biaya
produksi yang terdapat pada harga pokok. Berdasarkan teori ekonomi mikro, pengaruh subsidi
dapat dijelaskan sebagai berikut.
Pengaruh Subsidi terhadap Keseimbangan Pasar
Subsidi merupakan kebalikan dari pajak, sehingga sering disebut dengan pajak negatif.
Subsidi yang diberikana atas produksi/penjualan sesuatu barang menyebabkan harga jual barang
tersebut menjadi lebih rendah. Dengan adanya subsidi, biaya produksi suatu barang menjadi lebih
rendah sehingga produsen bersedia menjual produknya lebih murah. Misalnya exist condition
belum ada subsidi, tingkat keseimbangan berada pada E dan keseimbangan ini menunjukkan
harga di P dan jumlah barang yang diperjualbelikan adalah Q. Subsidi sebesar R akan menggeser
kurva penawaran dari SS menjadi S1S1 dan keseimbangan bergeser pula kepada E1. Sekarang
harga adalah P1 dan jumlah barang yang diperjualbelikan adalah Q1. Dengan cara yang sama
menunjukkan bahwa subsidi sebesar R akan menyebabkan harga turun dari P ke P1 dan jumlah
barang yang diperjualbelikan akan meningkat dari Q ke Q1.
Berdasarkan Gambar dibawah semakin elastis permintaan maka semakin besar bagian
dari subsidi yang akan diperoleh penjual dan semakin elastis permintaan maka semakin banyak
pertambahan jumlah barang yang diperjualbelikan.
P
P
P1
A
S
S1
R
E
HASIL KEGIATAN|Analisis Kebijakan Dampak Penyusunan Harga BBM
Bersubsidi untuk Nelayan
D
E1
10
LAPORAN TEKNIS
(I)
[KAJIAN KHUSUS BBPSEKP TAHUN 2015]
Permintaan Elastis
S
P
R
S1
E
P
P1
A
E1
D
Q
Q
(II)
Q1
Permintaan In Elastis
Gambar 4-1. 1.
Efek Subsidi dan Elastisitas Permintaan
Hubungan subsidi dengan elastisitas penawaran dapat dilihat pada Gambar berikut.
Misalkan keseimbangan awal ada di titik E, pada saat harga P dan jumlah barang yang
diperjualbelikan adalah Q. Jika jumlah subsidi pemerintah adalah sebesar R dan menyebabkan
kurva penawaran bergeser menjadi S1S1 dan keseimbangan yang baru adalah E1. Hal ini berarti
harga turun menjad P1 dan jumlah barang yang diperjualbelikan telah naik menjadi Q1. Dengan
cara yang sama, dengan subsidi sebesar R akan menurunkan harga dari P menjadi P1 dan jumlah
barang yang diperjualbelikan meningkat dari Q menjadi Q1.
S
P
P
R
E
S1
E1
P1
A
D
Q
Q
(I)
Q1
Penawaran Elastis
HASIL KEGIATAN|Analisis Kebijakan Dampak Penyusunan Harga BBM
Bersubsidi untuk Nelayan
11
LAPORAN TEKNIS
[KAJIAN KHUSUS BBPSEKP TAHUN 2015]
S
P
R S1
E
P
E1
P1
D
A
Q
Q
(II)
Q1
Penawaran In Elastis
Gambar 4-1. 2.
Efek Subsidi dan Elastisitas Penawaran
Hal ini berarti semakin elastis penawaran maka semakin kecil bagian dari subsidi yang
akan diperoleh penjual dan semakin elastis penawaran maka semakin banyak jumlah barang yang
diperjualbelikan. Menurut Handoko dan Patriadi (2005), subsidi memberikan efek positif dan
negatif sebagai berikut.
Efek Positif Subsidi
Kebijakan pemberian subsidi biasanya dikaitkan kepada barang dan jasa yang memiliki
positif eksternalitas dengan tujuan agar untuk menambah output dan lebih banyak sumber daya
yang dialokasikan ke barang dan jasa tersebut, misalnya pendidikan dan teknologi tinggi. Pada
umumnya pelaksanaan subsidi yang dilakukan oleh pemerintah dapat dirasakan oleh masyarakat
yang berlaku sebagai konsumen maupun produsen yaitu : a) meningkatkan kualitas ekonomi; b)
meningkatkan kebutuhan ekonomi bagi masyarakat yang berpendapatan rendah; c) mencegah
terjadinya kebangkrutan pelaku usaha.
Efek Negatif Subsidi
Secara umum efek negatif subsidi adalah:
1. Subsidi menciptakan alokasi sumber daya yang tidak efisien. Karena konsumen
membayar barang dan jasa pada harga yang lebih rendah daripada harga pasar maka ada
kecenderungan konsumen tidak hemat dalam mengkonsumsi barang yang disubsidi. Karena harga
yang disubsidi lebih rendah daripada biaya kesempatan (opportunity cost) maka terjadi
pemborosan dalam penggunaan sumber daya untuk memproduksi barang yang disubsidi.
2. Subsidi menyebabkan distorsi harga.
Menurut Basri (2002), subsidi yang tidak transparan dan tidak well-targeted akan
mengakibatkan:
a. Subsidi besar yang digunakan untuk program populis cenderung menciptakan distorsi baru
dalam perekonomian
b. Subsidi menciptakan suatu inefisiensi
c. Subsidi tidak dinikmati oleh mereka yang berhak
3. Subsidi dapat mengganggu pasar dan memakan biaya ekonomi yang besar
4. Mematikan para pesaing dalam arti pihak swasta yang dirugikan.
HASIL KEGIATAN|Analisis Kebijakan Dampak Penyusunan Harga BBM
Bersubsidi untuk Nelayan
12
LAPORAN TEKNIS
[KAJIAN KHUSUS BBPSEKP TAHUN 2015]
Jenis Subsidi
Jenis-jenis subsidi adalah: (1) direct subsidies, (2) indirect subsidies, (3) labor subsidies,
(4) tax subsidies, (5) production subsidies, (6) regulatory advantages, (7) infrastructure subsidies,
(8) trade protection (import), (9) export subsidies (trade promotion), (10) procurement subsidies,
(11) consumption subsidies, (12) tax breaks and corporate welfare, dan (13) subsidies due to the
effect of debt guarantees. Khusus untuk subsidi konsumsi, pemerintah memberikan subsidi ini
melalui pembelian barang atau jasa, penggunaan asset atau property pemerintah pada harga di
bawah harga pasar. Contoh: pemerintah membeli bahan bakar minyak atau barang lainya dengan
harga yang lebih tinggi dan menjualnya ke masyarakat dengan harga yang lebih rendah (Bappenas,
2007).
Menurut Bappenas (2007), subsidi pada dasarnya mempunyai fungsi sebagai: (1) alat
pemerataan output melalui mekanisme peningkatan elastisitas permintaan, (2) alat stabilitas harga
melalui mekanisme intervensi harga, dan (3) alat optimalisasi output melalui mekanisme
elastisitas penawaran. Di lain pihak subsidi juga memiliki eksternalitas negatif, seperti yang
dinyatakan oleh Basri (2002), bahwa subsidi yang tidak transparan dan tidak jelas targetnya akan
menyebabkan: (1) distorsi baru dalam perekonomian, (2) menciptakan inefisiensi, dan (3) tidak
dinikmati oleh masyarakat yang berhak. Relatif rendahnya harga barang subsidi berdampak pada
perilaku masyarakat yang kurang kurang hemat dalam konsumsi dan karenanya terjadi
pemborosan sumberdaya yang digunakan untuk memproduksi barang tersebut.
Nugroho (2005) mendefinisikan subsidi yang berkaitan dengan subsidi BBM yaitu
pembayaran yang dilakukan oleh Pemerintah Indonesia kepada Pertamina, sebagai pemegang
monopoli pendistribusian BBM di Indonesia, dalam situasi dimana pendapatan yang diperoleh
PT Pertamina (persero) dari tugas menyediakan BBM di pasar domestik lebih rendah
dibandingkan biaya yang dikeluarkan untuk menyediakan dan mendistribusikan BBM. Subsidi
BBM menjadi salah satu instrumen untuk memeratakan penggunaan energi di masyarakat,
terutama masyarakat berpenghasilan rendah. Kebijakan subsidi diberlakukan pada saat harga
suatu produk energi dinilai tidak sebanding dengan daya beli masyarakat khususnya masyarakat
yang berpenghasilan rendah (Yusgiantoro, 2000).
Hubungan Subsidi dengan Sumber Daya Ikan
Kewajiban pemerintah adalah memberikan iklim yang konduksif bagi keberlanjutan
usaha produksi yang mampu mensejahterakan masyarakat. Salah satu bentuk campur tangan
pemerintah adalah melalui mekanisme yang biasa disebut sebagai belanja/pengeluaran negara
atau government expenditure. Pengeluaran pemerintah ini dapat berupa subsidi, pemberian gaji
pegawai negeri, pembangunan infrastruktur, serta pembuatan dan penyediaan public goods.
Namun, pengeluaran pemerintah ini memiliki ambiguitas hakikat. Contohnya,
subsidipemerintahuntukpertanian
(termasuk
di
dalamnya
perikanan)
bisadiartikansebagaisubsidiproduksiatauredistribusipembayarantransfer payment.
Subsidi idealnya disalurkan langsung dan hanya diberikan kepada kelompok sasaran.
Salah satu kelompok sasaran tentu saja masyarakat berpenghasilan rendah atau miskin.
Pradiptyo (2013) mengungkapkan bahwa alokasi subsidi yang diberikan pemerintah kepada
masyarakat pada tahun 2012 cukup besar, yakni mencapai Rp 346,4 triliun atau 34,33 persen dari
total anggaran belanja pemerintah pusat (APBN); dari total subsidi yang diberikan, 61,17 persen
atau (Rp 211,9 triliun) dialokasikan untuk BBM. Meskipun demikian, subsidi yang telah
dikucurkan pemerintah tersebut relatif belum dapat dinikmati oleh kelompok sasaran yang dituju,
khususnya adalah masyarakat nelayan yang selama ini dikenal sebagai kelompok masyarakat
pada lapisan yang paling miskin.
HASIL KEGIATAN|Analisis Kebijakan Dampak Penyusunan Harga BBM
Bersubsidi untuk Nelayan
13
LAPORAN TEKNIS
[KAJIAN KHUSUS BBPSEKP TAHUN 2015]
Ada berbagai strategi pemberian subsidi pemerintah kepada masyarakat. Bank Dunia
(Anonim, 2014b) memberikan isyarat agar pemerintah memberikan subsidi yang bersifat tetap;
tetapi diingatkan bahwa kebijakan ini sangat beresiko bila penerapannya kurang bijaksana.
Kebijkan senada dikemukakan oleh Bank Indonesia (Anonim, 2014a) yang menyatakan bahwa
subsidi tetap itu akan efektif mengurangi risiko fiskal karena tidak bergantung pada nilai tukar.
Sebagai gambaran, jika tiap satu liter BBM disubsidi dengan nilai tertentu, maka besar subsidi
yang digelontorkan pemerintah per tahun akan tetap. “Dan tidak akan terpengaruh oleh fluktuasi
harga minyak dunia.”
Sasaran Penggunaan Subsidi BBM di Sektor Kelautan dan Perikanan
Melalui Peraturan Presiden Nomor 55 Tahun 2005 yang diubah dengan Peraturan
Presiden Nomor 9 Tahun 2006, pemerintah membatasi kelompok masyarakat yang berhak
membeli BBM subsidi. Premium dibatasi penggunanya untuk kegiatan usaha kecil, transportasi,
dan pelayanan umum. Minyak solar dibatasi penggunanya untuk kegiatan usaha kecil, usaha
perikanan, transportasi, dan pelayanan umum. Minyak tanah dibatasi penggunanya pada
rumahtangga dan usaha kecil untuk memasak dan penerangan. Kedua kebijakan, yaitu kebijakan
penciutan jenis BBM yang disubsidi dan penciutan kelompok konsumen yang berhak membeli
BBM subsidi, telah mampu mengurangi volume penjualan BBM yang disubsidi, dari semula
59.6 juta kiloliter pada tahun 2005 menjadi 37.9 juta kiloliter pada tahun 2006.
Untuk sektor perikanan, BBM diperlukan untuk menggerakkan berbagai kegiatan
produksi, baik pada perikanan tangkap, budidaya maupun pengolahan. Pada usaha penangkapan,
BBM pada umumnya digunakan untuk menggerakkan kapal, jaring, alat pendingin (freezer) dan
alat penerangan. Menurut Muhartono (2004), penggunaan BBM pada usaha penangkapan
terutama adalah untuk jenis oli, solar, bensin, dan minyak tanah, yang berkontribusi hingga 60%
dari biaya operasional penangkapan. Pada usaha perikanan budidaya, BBM terutama digunakan
pada usaha budidaya tambak; pada jenis usaha ini untuk memproduksi1 kg udang dibutuhkan
hampir 1,2 liter solar (Anonim, 2011). Sementara itu, pada usaha pengolahan hasil perikanan,
BBM diperlukan untuk menggerakkan mesin penanganan pasca panen (pendingin) dan berbagai
jenis alat pematangan (perebusan, pengukusan, penggorengan, dan sebagainya).
Metode Penelitian
Kerangka Pemikiran
Kegiatan usaha penangkapan merupakan kegiatan pemanfaatan sumberdaya ikan di laut
oleh pelaku utama yaitu nelayan. Usaha perikanan tangkap merupakan kegiatan usaha perikanan
yang dalam kegiatan operasi penangkapannya menggunakan Bahan Bakar Minyak (BBM)
sebagai penggerak kapal motor. Sehingga BBM menjadi salah satu komponen utama dengan
biaya yang dikeluarkan untuk BBM ini memiliki persentase yang cukup besar dari keseluruhan
biaya setiap trip nya.Kerangka pemikiran analisis kebijakan penyesuaian harga BBM bersubsidi
untuk nelayan ditampilkan pada Gambar 4-1. 3.
HASIL KEGIATAN|Analisis Kebijakan Dampak Penyusunan Harga BBM
Bersubsidi untuk Nelayan
14
LAPORAN TEKNIS
[KAJIAN KHUSUS BBPSEKP TAHUN 2015]
Harga BBM
Upaya
Penangkapan
Biaya Operasional
Penerimaan Usaha
Keuntungan Usaha
Rekomendasi Kebijakan untuk Menjamin Kepastian Usaha
Gambar 4-1. 3.
Kerangka Pemikiran Analisis Kebijakan Penyesuaian Harga BBM
Bersubsidi Untuk Nelayan Tahun 2015
Waktu dan Lokasi Penelitian
Kegiatan ini dilaksanakan selama 30 hari kerja yang dilakukan pada bulan Januari –
Februari 2015. Lokasi penelitian dilakukan di Pelabuhan Perikanan Pantai (PPP) Muncar,
Pelabuhan Perikanan Nusantara (PPN) Brondong Kabupaten Lamongan, PPN Pekalongan di
Kota Pekalongan dan PPN Palabuhan Ratu di Kabupaten Sukabumi, dengan pertimbangan bahwa
di lokasi tersebut terdapat armada kapal berdasarkan ukuran kapal.
Jenis, Sumber dan Metode Pengumpulan Data
Untuk memperoleh data dan informasi secara komprehensif dan akurat, analisis ini
didukung oleh data-data primer dan sekunder. Data primer diperoleh dari responden/sampel
penelitian yang ditentukan secara purposif (purposive sampling) mencakup: nelayan pada
berbagai ukuran kapal (< 5 GT, 5 – 10 GT, 10 – 20 GT, 30 – 50 GT, 50 – 100 GT, 100 – 200 GT
dan > 200 GT). Pada tiap ukuran kapal tersebut dipilih jenis alat tangkap yang dominan di masing
– masing lokasi penelitian. Sementara itu, data-data sekunder diperoleh dari laporan penelitian,
laporan kajian, dan data-data pada berbagai instansi terkait.
Teknik yang dipergunakan untuk pengumpulan data primer adalah teknik wawancara
terhadap responden terpilih, dengan cakupan informasi meliputi biaya investasi, biaya tidak tetap
(variable) per trip, biaya tetap (fixed) per tahun, penerimaan usaha per trip, informasi operasional
usaha.
Metode Analisis Data
Data yang terkumpul melalui metode survey dan studi pustaka ditabulasi dan dianalisis
secara deskriptif dan disajikan dalam bentuk tabel. Pembahasan dalam kajian ini difokuskan pada
dinamika usaha perikanan tangkap menurut berbagai ukuran kapal pada saat sebelum dan sesudah
kenaikan harga BBM yang terjadi bulan Nopember tahun 2014 dan bulan Januari 2015. Analisis
yang dilakukan adalah analisis statistik deskriptif dan analisis usaha.
Perhitungan analisis usaha menggunakan rumus sebagai berikut:
Л = TR – TC .............................................(1)
Total Cost (TC) dihitung melalui rumus :
TC = FC + VC...........................................(2)
HASIL KEGIATAN|Analisis Kebijakan Dampak Penyusunan Harga BBM
Bersubsidi untuk Nelayan
15
LAPORAN TEKNIS
[KAJIAN KHUSUS BBPSEKP TAHUN 2015]
Perhitungan nilai R/C Ratio usaha perikanan tangkapdiperoleh melalui rumus :
𝑇𝑅 TR
R/C Ratio = 𝑇𝐶 TC .................................... (3)
Perhitungan nilai profitabilitas usaha perikanan tangkap diperoleh melalui rumus:
𝑇𝑅 Л
Profitabilitas = 𝑇𝐶 TC ..............................(4)
Dimana л = Keuntungan Usaha
TR = Total Revenue (Total Penerimaan)
TC = Total Cost (Total Biaya)
FC = Fixed Costs (Biaya Tetap)
VC = Variable Costs (Biaya Variabel)
Terkait dengan prakiraan dampak penyesuaian harga BBM terhadap kondisi usaha, maka
digunakan beberapa asumsi – asumsi diantaranya adalah jumlah BBM, jumlah trip, kebutuhan
armada BBM per tahun dan per bulan. Selain itu, untuk kebutuhan perhitungan dampak terhadap
kondisi usaha, digunakan empat penyesuaian harga BBM yaitu Rp. 5.500/liter, Rp. 6.400/liter,
Rp. 7.500/liter dan Rp. 13.500/ liter. Harga pertama hingga ke tiga merupakan harga riil yang
diumumkan oleh pemerintah, sedangkan harga ke empat merupakan harga maksimal yang
memberikan dampak Break Even Point (BEP) terhadap ukuran kapal 50 – 100 GT.
Tabel 4-1. 2.
Asumsi – asumsi Yang Digunakan untuk perhitungan Prakiraan Dampak
Penyesuaian Harga BBM terhadap Kondisi Usaha.
Ukuran Kapal (GT)
Kategori Asumsi
Jumlah BBM
(armada/trip) (primer)
Jumlah Trip
(armada/tahun)
Kebutuhan BBM
(armada / tahun)
Kebutuhan BBM
(armada / bulan)
Kebutuhan BBM total
(liter/tahun) (dalam
000)
% kebutuhan BBM
terhadap kebutuhan
total
<5
5-10
10-20
20-30
30-50
50-100
100 200
20
80
452
3,600
7,111
30,000
56,929
216
36
20
18
9
4
3
4,320
2,880
9,040
64,800
64,000
120,000
170,78
6
360
240
753
5,400
5,333
10,000
14,232
594,518
111,571
105,316
493,776
58,880
200,400
201,52
7
34
6
6
28
3
11
11
Hasil Dan Pembahasan
Analisis Usaha Armada Perikanan Tangkap (Updating Simulasi tahun 2014)
Biaya Investasi
Dalam usaha penangkapan ikan, nelayan memiliki investasi pada kapal, mesin, dan
peralatan pendukung. Biaya investasi yang dibutuhkan makin besar sesuai dengan ukuran armada.
Biaya investasi tertinggi dikeluarkan oleh kelompok armada > 100-200 GT yang mencapai 4,75
M dan biaya investasi terendah dikeluarkan oleh armada< 5 GT sekitar 31,5 jt. Kapal merupakan
investasi yang sangat penting karena mencapai sekitar 70% dari total investasi. Mesin yang
digunakan oleh kapal bervariasi dari yang fungsinya hanya sebagai pendorong kapal hingga yang
berfungsi sebagai penarik jaring. Investasi mesin mencapai nilai hingga 20% dari total investasi.
Alat tangkap yang digunakan mencapai sekitar 8% dari total investasi sedangkan sisanya
digunakan untuk pembelian alat pendukung. Alat pendukung yang digunakan dalam perikanan
HASIL KEGIATAN|Analisis Kebijakan Dampak Penyusunan Harga BBM
Bersubsidi untuk Nelayan
16
LAPORAN TEKNIS
[KAJIAN KHUSUS BBPSEKP TAHUN 2015]
tangkap laut seperti jaket pelampung, lampu, peralatan masak, dan GPS.
Biaya Tetap dan Operasional
Secara umum biaya yang dikeluarkan untuk melakukan usaha budidaya adalah biaya
tetap (fixed cost) dan biaya variabel (variable cost). Biaya tetapmerupakan biaya yang besarnya
tidak akan dipengaruhi oleh tingkat operasi pada periode waktu tertentu. Biaya ini harus
dikeluarkan sesuai dengan kebutuhan teknis meskipun tidak operasional (sedang tidak
operasional). Biaya ini selalu dihubungkan dengan usia teknis sarana atau prasarana yang dipakai
serta umur pakai yang berlaku lebih dari satu tahun penggunaannya. Adapun biaya tetap dalam
kaitan dengan pemeliharaan kapal, sarana alat tangkap dan alat pendukung dalam aktivitas
penangkapan. Biaya variabelmerupakan biaya yang besarnya bervariasi mengikuti secara
proposional dengan jumlah produksi yang dihasilkan, biaya variabel akan nol/tidak ada apabila
produksinya nol atau tidak dilakukan kegiatan usaha penangkapan ikan.
Input produksi perikanan tangkap terdiri dari pembelian BBM : solar, bensin, oli, gas dan
minyak tanah; pembelian air bersih, es, ransum, dan umpan. Pembelian BBM merupakan biaya
operasional yang paling besar yang dikeluarkan oleh nelayan mencapai rata-rata sekitar 70% dari
total biaya operasional. Jarak antara tempat pendaratan ikan atau landing based dengan fishing
ground dan jarak antar fishing ground sangat mempengaruhi jumlah BBM yang dikonsumsi oleh
setiap kapal per tripnya. Pembelian BBM oleh nelayan atau pemilik kapal dengan harga di atas
harga normalmenjadi beban tambahan dalam biaya operasional kapal. Selama ini, nelayan skala
kecil terutama > 5 GT selama ini membeli BBM dengan harga di atas harga normal (harga SPBU).
Mereka masih kesulitan dalam mengakses BBM dengan harga normal karena rata-rata jarak dari
tempat pendaratan ikan ke SPBN, SPDN dan SPBU relatif jauh. Oleh karena itu, nelayan
melakukan beberapa strategi dalam menekan biaya operasional. Ada beberapa pola nelayan dalam
mendapatkan BBM dan menormalisasi biaya operasional, yaitu:
1. Mendaratkan ikan di tempat terdekat dengan fishing ground.
2. Menjual ikan secara langsung dengan pembeli yang menerima berbagai jenis ikan dengan
berbagai kualitas.
3. Menjual ikan di tengah laut untuk mengurangi biaya-biaya untuk pelelangan, biaya tambat
kapal.
Beberapa strategi di atas biasanya dilakukan oleh nelayan di beberapa wilayah perikanan
di Indonesia terutama di Jawa. Hal tersebut terpaksa dilakukan nelayan karena untuk menjaga
keberlanjutan usaha, mengingat mereka tidak bisa menghindar dari kenaikan harga BBM.
Berdasarkan skala usaha perikanan tangkap, perahu < 5 GT merupakan kelompok kapal sebagai
konsumen BBM terbesar dibandingkan dengan kelompok kapal yang lainnya. Sementara itu,
kelompok kapal 20-30 GT, 30-50 GT dan 100-200 GT adalah kelompok yang mengkonsumsi
BBM paling kecil. Hasil ini mempertimbangkan jumlah trip per tahun dan jumlah total kebutuhan
BBM pada masing-masing kelompok kapal. Berdasarkanjumlah perahu, kelompok perahu > 300
GT adalah konsumen BBM terbesar mengingat jumlah kapalnya sedikit dibandingkan kelompok
kapal < 5 GT. Biaya tetap paling besar dikelaurkan oleh kelompok armada 100-200 GT yang
mencapai sekitar 430 jt/tahun dan yang paling kecil adalah kelompok armada < 5 GT yakni
sebesar 8,7 juta per tahun. Biaya variabel berubah karena terjadi kenaikan harga BBM solar.
Sebelum bulan Nopember 2014 harga BBM solar adalah Rp 5.500/liter, kemudian setelah bulan
Nopember naik menjadi Rp 7.500,-/liter dan kemudian pada bulan Januari turun kembali menjadi
Rp 6.400,-/liter. Biaya tidak tetap paling besar ada pada kelompok armada 100-200 GT yakni
mencapai Rp 1,078 M - Rp 1,42 M/tahun dan paling kecil ada pada armada < 5 GT yakni sebesar
Rp 40 jutat-Rp 48 juta/tahun.
HASIL KEGIATAN|Analisis Kebijakan Dampak Penyusunan Harga BBM
Bersubsidi untuk Nelayan
17
LAPORAN TEKNIS
[KAJIAN KHUSUS BBPSEKP TAHUN 2015]
Penerimaan dan Keuntungan Usaha
Secara umum, penerimaan usaha dari beberapa kelompok armada paling besar ada pada
kelompok 100-200 GT yakni sebesar 3,5 M/tahun dan yang paling kecil ada pada kelompok < 5
GT yaitu sebesar 97 jt/tahun. Sedangkan keuntungan yang diterima oleh nelayan pada kelompok
100-200 GT sebesar 2,058 M/tahun dan kelompok < 5 GT sebesar 49 juta/tahun. R/C ratio dari
kelompok 20-30 GT paling besar diantara kelompok armada lainnya yaitu sebesar 2,93 hingga
3,40 dan yang paling kecil ada pada kelompok armada ukuran 5-10 GT yakni sebesar 1,31 sampai
1,42.
Prakiraan Dampak Penyesuaian Harga BBM terhadap Kondisi Usaha
Penyesuaian harga BBM khususnya solar yang terjadi pada akhir tahun 2014 hingga
Januari 2015 memberi dampak kepada sektor kelautan dan perikanan karena BBM merupakan
input yang paling dominan dalam mendukung usaha penangkapan. Berdasarkan hasil analisis
diperoleh informasi bahwa kapal berukuran 50 – 100 GT adalah kelompok yang paling sensitif
terkena dampak akibat perubahan harga solar dari Rp 5.500,- ke Rp 7.500,- (harga BBM naik
36%) keuntungan menurun sebesar 25% dan ketika harga solar menjadi Rp 6.400,- (harga BBM
turun 15%), keuntungan naik sebesar 18%. Sedangkan kapal berukuran 20 – 30 GT adalah
kelompok yang memiliki dampak paling kecil terhadap perubahan harga. Harga BBM naik 36%
menyebabkan keuntungan menurun sebesar 7% dan harga BBM turun sebesar 15% menyebabkan
keuntungan naik sebesar 4%. Jika harga solar dinaikkan hingga menjadi Rp 13.500,- dan harga
ikan diasumsikan tetap maka kelompok kapal 50-100 GT berada pada kondisi Break Even Point
(titik impas) dimana R/C Ratio = 1. Kenaikan harga BBM tanpa disertai oleh kenaikan harga ikan
dipastikan menyebabkan kerugian bagi nelayan di setiap ukuran armada. Sehingga perlu ada
kebijakan-kebijakan yang tepat dapat mengatasi permasalahan tersebut seperti perbaikan
infrastruktur kelautan dan perikanan pada seluruh pelabuhan perikanan dan perbaikan sistem
distribusi ikan untuk menjaga kestabilan harga ikan.
Tabel prakiraan dampak penyesuaian harga BBM dapat dilihat pada Tabel 4-1. 3 hingga
Tabel 4-1. 6. Pada Tabel 4-1. 3 digunakan asumsi harga solar Rp 5.500,- per liter dan tidak adanya
perubahan harga ikan hasil tangkapan nelayan. Harga solar tersebut, merupakan harga
awal/normal sebelum adanya perubahan harga BBM.Berdasarkan harga BBM tersebut, maka
nilai R/C ratio rata-rata masih di atas 1 sehingga usaha masih bisa dianggap layak. R/C ratio
terbesar pada ukuran kapal 20-30 GT sebesar 3,40 dan yang paling kecil ada pada ukuran 5-10
GT yaitu sebesar 1,42. Secara lebih lengkap, simulasi dampak penyesuaian harga terhadap kondisi
usaha dapat dilihat sebagai berikut.
Tabel 4-1. 3.
Simulasi Dampak Penyesuaian Harga BBM Solar Terhadap Kondisi Usaha
Dengan Harga Rp.5.500,-/Liter
Kapal menurut ukuran
KOMPONEN
Biaya Investasi
Biaya
Tetap
Tidak
Biaya Tetap
Total Biaya
Penerimaan
Keuntungan
R/C Ratio
< 5 GT
5-10 GT
10-20 GT
31.512.00
0
39.594.66
0
123.900.00
0
355.000.00
0
108.958.18
8
8.721.200
26.520.000
48.315.86
0
97.200.00
0
48.884.14
0
2,01
42.005.258
68.525.258
97.200.000
28.674.743
1,42
80.675.000
20-30 GT
30-50 GT
50-100 GT
760.000.000
657.565.000
1.402.000.00
0
581.583.675
630.492.000
799.113.850
219.675.000
164.375.000
189.633.18
8
367.000.00
0
177.366.81
3
801.258.675
794.867.000
2.727.000.00
0
1.925.741.32
5
2.055.000.00
0
1.260.133.00
0
1,94
3,40
2,59
100 - 200
GT
4.750.000.00
0
1.078.997.42
9
348.150.000
429.875.000
1.147.263.85
0
2.110.000.00
0
1.508.872.42
9
3.567.857.14
3
2.058.984.71
4
962.736.150
1,84
2,36
Keterangan: Asumsi Harga Ikan Tetap, Produksi Perikanan Tetap, dan Kebutuhan BBM/trip tetap
HASIL KEGIATAN|Analisis Kebijakan Dampak Penyusunan Harga BBM
Bersubsidi untuk Nelayan
18
LAPORAN TEKNIS
[KAJIAN KHUSUS BBPSEKP TAHUN 2015]
Simulasi kedua adalah menggunakan harga BBM sebesar Rp. 6.400 (kenaikan sebesar
16% dari harga BBM eksisting). Kondisi kenaikan harga BBM tersebut, secara umum
memberikan dampak yang besar terhadap keuntungan usaha yang mana keuntungan usaha
mengalami penurunan pada seluruh ukuran kapal. Pada akhirnya, penurunan keuntungan usaha
akan mempengaruhi juga R/C ratio. Nilai R/C rasio pada harga BBM Rp. 6.400 terendah maupun
tertinggi sama dengan nilai R/C rasio pada harga BBM Rp. 5.500 yaitu pada ukuran kapal 5 – 10
GT dan 20 – 30 GT.
Tabel 4-1. 4.
Simulasi Dampak Penyesuaian Harga BBM Solar terhadap usaha dengan
harga Rp 6.400,-/liter
Kapal menurut ukuran
KOMPONEN
Biaya Investasi
Biaya
Tetap
Tidak
Biaya Tetap
Total Biaya
Penerimaan
Keuntungan
R/C Ratio
< 5 GT
5-10 GT
10-20 GT
31.512.00
0
43.482.66
0
123.900.00
0
355.000.00
0
117.094.18
8
8.721.200
26.520.000
44.597.258
52.203.86
0
97.200.00
0
44.996.14
0
97.200.000
1,86
1,37
71.117.258
26.082.743
80.675.000
100 - 200
GT
4.750.000.00
0
1.232.704.57
1
20-30 GT
30-50 GT
50-100 GT
760.000.000
657.565.000
1.402.000.00
0
639.903.675
701.394.000
907.113.850
219.675.000
164.375.000
348.150.000
429.875.000
1.255.263.85
0
2.110.000.00
0
1.662.579.57
1
3.567.857.14
3
1.905.277.57
1
197.769.18
8
367.000.00
0
169.230.81
3
859.578.675
865.769.000
2.727.000.00
0
1.867.421.32
5
2.055.000.00
0
1.189.231.00
0
1,86
3,17
2,37
854.736.150
1,68
2,15
Keterangan: Asumsi Harga Ikan Tetap, Produksi Perikanan Tetap, dan Kebutuhan BBM/trip tetap
Simulasi ketiga adalah menggunakan harga BBM Rp. 7.500 (kenaikan sebesar Rp. 17%
dari harga Rp. 6.400). Kondisi tersebut semakin memberikan tekanan yang lebih besar kepada
keuntungan usaha perikanan. Menurut nilai R/C rasionya, nilai terendah maupun tertinggi juga
tidak banyak perubahan yaitu pada ukuran kapal 5 – 10 GT dan ukuran 20 – 30 GT.
Tabel 4-1. 5.
Simulasi Dampak Penyesuaian Harga BBM Solar terhadap usaha dengan
harga Rp 7.500,-/liter
Kapal menurut ukuran
KOMPONEN
Biaya Investasi
Biaya
Tetap
Tidak
Biaya Tetap
Total Biaya
Penerimaan
Keuntungan
R/C Ratio
< 5 GT
5-10 GT
10-20 GT
31.512.00
0
48.234.66
0
123.900.00
0
355.000.00
0
127.038.18
8
8.721.200
26.520.000
56.955.86
0
97.200.00
0
40.244.14
0
1,71
47.765.258
74.285.258
97.200.000
22.914.743
1,31
80.675.000
20-30 GT
30-50 GT
760.000.000
657.565.000
711.183.675
788.052.000
219.675.000
164.375.000
207.713.18
8
367.000.00
0
159.286.81
3
930.858.675
952.427.000
2.727.000.00
0
1.796.141.32
5
2.055.000.00
0
1.102.573.00
0
1,77
2,93
2,16
50-100 GT
1.402.000.00
0
1.039.113.85
0
100 - 200
GT
4.750.000.00
0
1.420.568.85
7
348.150.000
429.875.000
1.387.263.85
0
2.110.000.00
0
1.850.443.85
7
3.567.857.14
3
1.717.413.28
6
722.736.150
1,52
1,93
Keterangan: Asumsi Harga Ikan Tetap, Produksi Perikanan Tetap, dan Kebutuhan BBM/trip tetap
Pada simulasi keempat, harga BBM diasumsikan naik mencapai Rp. 13.500 per liter.
Alasan dari penggunaan harga tersebut karena nilai ini merupakan titik impas / Break Even Point
(BEP) pada ukuran kapal 50 – 100 GT. Dengan kata lain, harga BBM tersebut merupakan harga
maksimal kondisi usaha pada berbagai ukuran kapal dapat berjalan. Harga BBM yang melebihi
nilai tersebut, dapat dipastikan usaha perikanan tidak dapat berjalan dan dapat menimbulkan
gejolak pada pelaku usaha perikanan. Namun, perlu diperjelas kembali bahwa hasil analisis
tersebut menggunakan beberapa asumsi diantaranya adalah 1) harga ikan tetap, 2) volume ikan
hasil tangkapan tetap, dan 3) kebutuhan BBM per trip tetap. Dengan kata lain, hasil analisis ini
HASIL KEGIATAN|Analisis Kebijakan Dampak Penyusunan Harga BBM
Bersubsidi untuk Nelayan
19
LAPORAN TEKNIS
[KAJIAN KHUSUS BBPSEKP TAHUN 2015]
terdapat kelemahan karena tidak memperhitungkan perubahan/dinamika harga ikan, produksi
maupun kebutuhan BBM.
Tabel 4-1. 6.
Simulasi Dampak Penyesuaian Harga BBM Solar terhadap usaha dengan
harga Rp 13.500,-/liter
Kapal menurut ukuran
KOMPONEN
Biaya Investasi
Biaya
Tetap
Tidak
Biaya Tetap
Total Biaya
Penerimaan
Keuntungan
< 5 GT
5-10 GT
10-20 GT
31.512.00
0
69.834.66
0
123.900.00
0
355.000.00
0
176.758.18
8
8.721.200
26.520.000
78.555.86
0
97.200.00
0
18.644.14
0
R/C Ratio
1,24
63.605.258
90.125.258
97.200.000
7.074.743
1,08
20-30 GT
30-50 GT
760.000.000
657.565.000
1.067.583.67
5
1.260.732.00
0
50-100 GT
1.402.000.00
0
1.759.113.85
0
100 - 200
GT
4.750.000.00
0
2.445.283.14
3
80.675.000
219.675.000
164.375.000
348.150.000
429.875.000
257.433.18
8
367.000.00
0
109.566.81
3
1.287.258.67
5
2.727.000.00
0
1.439.741.32
5
1.425.107.00
0
2.055.000.00
0
2.107.263.85
0
2.110.000.00
0
2.875.158.14
3
3.567.857.14
3
629.893.000
2.736.150
692.699.000
1,43
2,12
1,44
1,00
1,24
Keterangan: Asumsi Harga Ikan Tetap, Produksi Perikanan Tetap, dan Kebutuhan BBM/trip tetap
Gambar 4-1. 4 menunjukan rangkuman perbandingan nilai R/C rasio terhadap empat
penyesuian harga pada berbagai ukuran kapal. Terlihat bahwa pada seluruh ukuran kapal,
perubahan harga BBM sangat mempengaruhi nilai R/C rasio. Penurunan pada masing – masing
ukuran kapal terlihat sangat statis (tidak dinamis) karena telah dijelaskan sebelumnya bahwa
hanya harga BBM yang mengalami perubahan. Berdasarkan Gambar tersebut, dapat dijelaskan
bahwa terdapat dua kelompok ukuran kapal yang memiliki perbedaan kerentanan terhadap
kenaikan harga BBM. Kelompok pertama terdiri dari ukuran kapal < 5 GT, 5 – 10 GT, 10 – 20
GT dan 50 – 100 GT. Kelompok ini dapat dikategorikan kerentanan tinggi terhadap perubahan
harga BBM karena nilai R/C rasionya kurang dari 2. Sedangkan kelompok kedua terdiri dari
ukuran kapal 20 – 30 GT, 30 – 50 GT dan lebih dari 100 GT yang memiliki kerentanan rendah
karena nilai R/C rasio lebih dari 2. Hal ini menunjukan bahwa kelompok 1 yang didominasi oleh
perikanan skala kecil kondisi usahanya sangat memang lebih rentan terhadap perubahan harga
BBM dibandingkan dengan kelompok 2 yang didominasi oleh perikanan skala besar.
3,50
3,00
R/C Rasio
2,50
2,00
1,50
1,00
0,50
5.500
6.400
7.500
13.500
Harga BBM (Rp)
< 5 GT
Gambar 4-1. 4.
5-10 GT
10-20 GT
20-30 GT
30-50 GT
50-100 GT
100 - 200 GT
Nilai R/C Rasio Berdasarkan Empat Penyesuaian Harga BBM pada
Berbagai Ukuran Kapal
HASIL KEGIATAN|Analisis Kebijakan Dampak Penyusunan Harga BBM
Bersubsidi untuk Nelayan
20
LAPORAN TEKNIS
[KAJIAN KHUSUS BBPSEKP TAHUN 2015]
Kondisi Terkini di Lokasi
Pelabuhan Perikanan Brondong
Brondong merupakan salah satu kecamatan yang berada di Kabupaten Lamongan, jawa
Timur yang berada pada koordinat antara 06 53’ 30,81” – 7 23’6” Lintang Selatan dan 112 17’
01,22” - 112 33’12” Bujur Timur, dengan batas-batas wilayah sebagai berikut : sebelah utara
berbatasan dengan Laut Jawa, sebelah Selatan berbatasan dengan Kecamatan Laren dan Solokuro,
sebelah barat berbatasan dengan Kabupaten Tuban dan sebelah timur berbatasan dengan
Kecamatan Paciran. Salah satu pelabuhan yang terletak di Brondong adalah Pelabuhan Perikanan
Nusantara (PPN) Brondong.
Tabel 4-1. 7.
Produktivitas Alat Tangkap di PPN Brondong Tahun 2013
Produktivitas alat tangkap (kg/trip)
No
Bulan
Dogol
Purse
Dogol
Rawai
Payang
Harian
Seine
1 Januari
5.454
160
200
0
0
2 Pebruari
6.609
170
904
0
0
3 Maret
6.798
121
903
3.915
0
4 April
6.926
132
810
0
0
5 Mei
6.674
123
727
1.400
5.500
6 Juni
6.620
160
731
0
11.150
7 Juli
6.427
131
728
600
13.625
8 Agustus
6.170
136
738
0
0
9 September
7.895
130
835
8.375
0
10 Oktober
7.908
136
821
0
0
11 Nopember
8.473
158
858
0
0
12 Desember
8.397
250
898
0
0
Rata-rata
84.351
1.807
9.153
14.290
30.275
Sumber: Laporan Tahunan PPN Brondong, Kabupaten Lamongan Tahun 2013
1.
Gill Net
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
Dogol
Alat tangkap yang konstruksinya menyerupai payang tetapi lebih kecil dengan rincian :
tali Selambar 1200m, bahan jaring 26 peace, panjang jaring 36 m dan lebarnya 8m, efektif
digunakan untuk menangkap ikan demersal seperti : Beloso, Kakap Merah, Lencam, Ikan Jaket,
Cumi-cumi, Swanggi, Kapas-kapas, Kerong-kerong, dll. Jenis armada yang digunakan adalah
kapal motor dengan ukuran 5-10 GT serta 10-20 GT yang dilengkapi mesin 3 buah x 40 PK.
Jumlah kapal dogol di PPN Brondong sebanyak 353 armada.
2.
Rawai
Alat tangkap sejenis pancing dengan sistem penggulungan main line yang memiliki
spesifikasi panjang main line 5.000 m, Panjang Banch Line 2m, hook/pancing 1.000 buah. Jenis
armada yang digunakan adalah kapal motor dengan ukuran 5-10 GT dengan area Fishing
Groundnya di sekitar perairan masalembu dan matasiri.
3.
Purse Seine
Alat tangkap ini adalah sejenis jaring yang disetting pada daerah permukaan, perairan
(jaring permukaan) dengan ukuran jaring mencapai 68 peace. Armada yang digunakan adalah
kapal motor dengan ukuran 30-50 GT dan hasil tangkapannya berupa ikan pelagis kecil seperti :
Tembang, Lemuru, Tenggiri, Kembung, Layang dll.
HASIL KEGIATAN|Analisis Kebijakan Dampak Penyusunan Harga BBM
Bersubsidi untuk Nelayan
21
LAPORAN TEKNIS
4.
[KAJIAN KHUSUS BBPSEKP TAHUN 2015]
Collecting
Kapal collecting adalah kapal penampung dari kapal operasi, yang cara kerjanya hanya
menampung atau mengangkut ikan dari hasil tangkapan kapal penangkap ikan lain untuk dijual
di daerah tertentu. Lama operasi kapal jenis ini adalah 9-13 bulan sehingga untuk kapal jenis ini
memiliki persediaan perbekalan yang cukup banyak.
Dari laporan Bulan Desember tahun 2013 dapat disimpulkan bahwa rata-rata pendapatan
pemilik kapal (Juragan) perbulan untuk pengguna kapal motor 10-20 GT menggunakan alat
tangkap dogol adalah sebesar Rp.3.848.000,- untuk nelayan buruh (ABK) sebesar Rp.
1.616.000,- . Untuk Kapal 20-30 GT tanpa alat tangkap, Juragan sebesar Rp. 18.410.000,- dan
ABK sebesar Rp. 939.000,-. Sedangkan untuk kapal 5-10 GT dengan alat tangkap rawai,
juragannya mendapat pendapatan sebesar Rp. 1.340.000,- dan ABK mendapat Rp. 4.340.000,perbulan.
Tabel 4-1. 8.
Jumlah Nelayan Berdasarkan Jumlah Kapal Perikanan yang Bongkar di
Pelabuhan Perikanan Nusantara Brondong Tahun 2013
Jumlah kapal
Jumlah Nelayan /
Jumlah Nelayan
No
Jenis Alat Tangkap
Perikanan
Kapal (orang)
(orang)
(Unit)
1 Mini purse seine
2
25
50
2 Dogol Mingguan
1.197
10
11.970
3 Dogol Harian
27
5
135
4 Payang
2
8
16
5 Rawai
247
7
1.729
6 Gill net
7 Collecting
102
7
714
Jumlah
1.577
14.614
Sumber: Laporan Tahunan PPN Brondong, Kabupaten Lamongan Tahun 2013
Tabel 4-1. 9.
Jumlah Alat Tangkap Berdasarkan
Jumlah Kapal Perikanan yang
Bongkar di Pelabuhan Perikanan Nusantara Brondong, Tahun 2013
Jumlah Alat Tangkap
No.
Jenis Alat Tangkap
Keterangan
(Unit)
1
Mini purse seine
2
20-30 GT
2
Dogol Besar
1.197
10-20 GT
3
Dogol Kecil
27
< 10 GT
4
Payang
2
10-20 GT
5
Rawai
247
<10 GT
6
Gill net
10-20 GT
7
Lain – lain / collecting
<10 GT
Jumlah
1.475
Sumber: Laporan Tahunan PPN Brondong, Kabupaten Lamongan Tahun 2013
Frekuensi Kunjungan Kapal
Jumlah kunjungan kapal / perahu pada suatu pelabuhan dapat menjadi salah satu indikator
besarnya tingkat operasional pelabuhan tersebut. Kunjungan kapal tersebut dihitung dari
frekuensi kapal yang datang ke dermaga Pelabuhan Perikanan Nusantara Brondong untuk
melakukan aktivitas bongkar setelah pulang dari menangkap ikan. Dibanding tahun 2012 jumlah
kunjungan kapal pada tahun 2013 mengalami penurunan sebesar 17,86 %. Pada tahun 2012
jumlah kunjungan kapal sebanyak 9.474 kapal termasuk kapal collecting yaitu kapal yang
mengangkut ikan bukan berasal dari tangkapannya sendiri.
HASIL KEGIATAN|Analisis Kebijakan Dampak Penyusunan Harga BBM
Bersubsidi untuk Nelayan
22
LAPORAN TEKNIS
[KAJIAN KHUSUS BBPSEKP TAHUN 2015]
Penurunan Jumlah Kunjungan Kapal Perikanan Pada Pelabuhan Perikanan Nusantara
Brondong disebabkan karena hari operasi penangkapan semakin lama dengan fishing ground
semakin jauh,Cuaca yang kondisinya berubah-ubah sehingga nelayan menunggu hari yang baik
untuk pergi melaut.Berikut ini Tabel 4-1.10, jumlah kunjungan kapal perikanan di
Pelabuhan Perikanan Nusantara Brondong tahun 2013.
Tabel 4-1. 10. Jumlah Kunjungan Kapal Peralat Tangkap di Pelabuhan Perikanan
Nusantara Brondong Tahun 2013
BULAN
Januari
Pebruari
Maret
April
Mei
Juni
Juli
Agustus
September
Oktober
Nopember
Desember
Jumlah
Dogol
Mingguan
Dogol
Harian
250
468
612
688
476
511
521
307
603
541
687
641
6.305
208
191
222
172
161
166
154
129
158
140
174
162
2.037
Payang/
Pukat
Hitam
0
0
4
0
1
0
1
0
4
0
0
0
10
Rawai
Gill
Net
Purse
Saine
Angkut/
Collecting
Jumlah
3
31
71
110
66
79
76
45
93
70
89
38
771
-
0
0
0
0
0
0
0
0
1
0
1
0
2
6
27
28
26
14
20
7
26
46
51
49
49
349
467
717
937
996
718
776
759
507
905
802
1000
890
9.474
Sumber: Laporan Tahunan PPN Brondong, Kabupaten Lamongan Tahun 2013
Dari tabel 4-1.10 diatas dapat diketahui bahwa alat tangkap yang paling produktif untuk
digunakan di perairan Laut Utara Jawa (WPP-712) adalah dogol atau lampara dasar. Hal ini dilihat
dari jumlah kunjungan kapal per alat tangkap mulai dari bulan januari sampai dengan Desember
2013 yang paling banyak adalah kapal dengan alat tangkap dogol. Pada gambar berikut ini
merupakan grafik kunjungan kapal per tangkap per bulan pada Pelabuhan Perikanan Nusantara
Brondong pada Tahun 2013
DESEMBER
NOPEMBER
OKTOBER
SEPTEMBER
AGUSTUS
JULI
JUNI
MEI
APRIL
MARET
PEBRUARI
JANUARI
ANGKUT/ COLLECTING
PURSE SAINE
GILL NET
RAWAI
DOGOL HARIAN
DOGOL MINGGUAN
Gambar 4-1. 5.
Jumlah Kunjungan Kapal Per Alat Tangkap pada Pelabuhan
Perikanan Brondong, Kabupaten Lamongan, Tahun 2013
Sumber: Laporan Tahunan PPN Brondong, Kabupaten Lamongan Tahun 2013
Pada grafik diatas kunjungan kapal dengan alat tangkap dogol mingguan cenderung
HASIL KEGIATAN|Analisis Kebijakan Dampak Penyusunan Harga BBM
Bersubsidi untuk Nelayan
23
LAPORAN TEKNIS
[KAJIAN KHUSUS BBPSEKP TAHUN 2015]
meningkat karena banyaknya permintaan pasar dan pengusaha terhadap ikan segar demersal hasil
tangkapan alat tangkap dogol. Kapal dengan alat tangkap dogol kecil atau yang disebut dogol
harian adalah kapal yang berangkat dengan one day fishing dengan ukuran kapal dibawah 10 GT
kunjungannya cenderung menurun karena fishing ground yang semakin jauh dan armada tersebut
tidak memiliki memiliki biaya operasional yang tinggi serta tidak memiliki kemampuan kapal
untuk menjelajah lebih jauh. Kapal dengan alat tangkap payang dan Purse seine jumlahnya
sedikit sehingga junlah kunjungannya stabil. Kapal Rawai dan collecting jumlah kunjungannya
cenderung meningkat karena banyaknya kapal yang datang dari kalimantan untuk kapal collecting
dengan tujuan memasarkan ikan di Pelabuhan Perikanan Nusantara Brondong yang memiliki
harga saing yang bagus.
Perbekalan merupakan hal penting yang menjadi salah satu faktor utama besar atau
kecilnya pendapatan nelayan. Pada waktu melaut nelayan harus menyiapkan segala kebutuhan
perbekalan seperti es, air tawar, solar, olie, garam, serta kebutuhan bahan makan. Untuk
kebutuhan es nelayan mendapat pasokan dari Perum PPS Cabang Brondong dan dari Unit Bisnis
Perikanan Terpadu yang mengelola pabrik es PPN Brondong, serta unit usaha kecil di kawasan
pelabuhan. Sedangkan air tawar dan solar diperoleh dari Perum, garam, olie, dan bahan makan
didapatkan dari unit usaha kecil. Selain itu kebutuhan nelayan akan BBM saat ini merupakan
suatu hal yang sangat penting, mengingat beberapa tahun terakhir harga BBM di Indonesia
meningkat secara bertahap sedangkan daerah penangkapan ikan saat ini semakin jauh hal ini
mengakibatkan penggunaan BBM solar di PPN Brondong terus meningkat dari tahun ke tahun.
Berikut ini merupakan Penyaluran Logistik operasional kapal untuk satu kali operasi (7 hari)
berdasarkan jenis kapal
Tabel 4-1. 11. Penyaluran Logistik Kapal Per Trip Kapal pada PPN Brondong, Kabupaten
Lamongan, 2013.
Solar ( liter )
200
Kapal 10 - 20
GT
1.4
Olie ( liter )
10
30
30
Es ( balok )
70
250
400
Garam ( kg )
50
500
1000
Air Minum ( galon )
2
8
10
Minyak Tanah (liter)
-
30
45
Air Tawar ( Blong )
1
12
14
Logistik Kapal
Bahan Makan
Kapal < 10 GT
Lumsum
Lumsum
Kapal 20 - 30
GT
2.5
Lumsum
Sumber: Laporan Tahunan PPN Brondong, Kabupaten Lamongan Tahun 2013
Berdasarkan Tabel 4-1.11 diatas penyaluran logistik untuk Pertrip Kapal di Pelabuhan
Perikanan Nusantara Brondong secara umum sudah terpenuhi dengan baik, namun disisi lain
masih terdapat beberapa kekurangan terutama untuk memenuhi kebutuhan es dan solar.
Kebutuhan nelayan akan BBM sampai rata-rata setiap bulannya sebanyak ± 1.617.840 liter,
sedangkan yang sudah tersalurkan rata-rata perbulannya sebanyak ± 720.000 liter. Sehingga
berdasarkan data yang ada, di Pelabuhan Perikanan Nusantara Brondong terus mengusulkan
penambahan kuota BBM ke pihak Pertamina untuk memenuhi kebutuhan tersebut.
Permasalahan :
1. Kurangnya kesadaran masyarakat nelayan akan pentingnya menjaga kebersihan di areal
tempat Pelelangan ikan.
2. Pusat Pemasaran dan Distribusi Ikan ( PPDI ) sudah dioperasionalkan, tapi masih belum
optimal karena kurangnya fasilitas pendukung.
HASIL KEGIATAN|Analisis Kebijakan Dampak Penyusunan Harga BBM
Bersubsidi untuk Nelayan
24
LAPORAN TEKNIS
[KAJIAN KHUSUS BBPSEKP TAHUN 2015]
3. Belum terselesaikannya fasilitas jalan yang baik untuk operasional Pusat Pemasaran dan
distribusi ikan.
4. Kolam pelabuhan dan alur pelayaran menuju pelabuhan masih terlalu dangkal sehingga kapal
besar > 30 GT tidak bisa masuk.
5. Kurangnya kesadaran serta disiplin masyarakat untuk melengkapi dan mengurus ijin
(SIUP,SIPI,SIKPI).
6. Syahbandar pelabuhan dan Pengawas perikanan belum dilengkapi dengan sarana yang
memadai sehingga personil sulit untuk melaksanakan pengawasan laut secara terpadu.
7. Jumlah trip berkurang karena fishing ground semakin jauh dan suplai BBM tersendat.
8. Kebutuhan nelayan akan BBM terus meningkat setiap tahunnya sedangkan kuota yang ada di
Pelabuhan Perikanan Nusantara Brondong tidak mencukupi kebutuhan tersebut.
Upaya pemecahan masalah :
1. Mengalokasikan anggaran untuk operasional K3, mengadakan MOU dengan Pihak kedua
sebagai penyedia tenaga kebersihan, menunjuk petugas pengendali K3 yang bertanggung
jawab terhadap masalah kebersihan di areal pelabuhan.
2. Mengusulkan anggaran untuk pembangunan lanjutan jalan komplek untuk operasional
Pusat Pemasaran dan Distribusi Ikan ( PPDI ) pada Tahun 2014, serta menyiapkan tenaga
operasional PPDI.
3. Segera merealisasikan pembangunan berdasarkan Review Master plan yang sudah tersedia.
4. Merencanakan kegiatan pengerukan kolam pelabuhan hingga kedalaman mencapai – 4 LWS
pada tahun mendatang.
5. Menyiapkan fasilitas tambat dan berlabuh yang dapat dimanfaatkan oleh kapal yang
berukuran > 30 GT.
6. Melakukan koordinasi dengan pemilik kapal dan nelayan serta sosialisasi secara terus
menerus kepada masyarakat nelayan mengenai PP. No. 54 tahun 2002 tentang Perijinan, PP
No. 19 tahun 2008 tentang Tarif dan Imbalan Jasa, Undang - Undang No. 31 tahun 2004 dan
selalu berkoordinasi dengan instansi terkait.
7. Membentuk tim Pengamanan laut terpadu dan tim penertiban TPI dengan instansi terkait
dengan melibatkan aparat dan elemen masyarakat serta menyusun sistem pengamanan
(Pokwasmas).
8. Jumlah Kuota BBM dari Pertamina perlu ditambah.
9. Perlu penerapan program pemulihan SDI dan One man thousand fries, serta perlu
penambahan penggunaan es dan penerapan cold chain system.
10. Perlu dibangun fasilitas pendukung di Lahan baru, agar operasional PPDI lebih optimal antara
lain : Outlet, SPDN, Pabrik Es, Kios-kios dan Tempat Parkir.
Pelabuhan Perikanan Pantai (PPP) Muncar Kabupaten Banyuwangi
Kecamatan Muncar terletak di Selat Bali pada posisi 08⁰.10’ – 08⁰.50’ LS atau 114⁰.15’
– 115⁰.15’ BT, memiliki teluk bernama Teluk Pangpang dan mempunyai panjang pantai sebanyak
 13 km. Dari panjang pantai tersebut, sebanyak 5,5 km panjang pantai dimanfaatkan oleh nelayan
sebagai tempat pendaratan ikan. Kecamatan Muncar mempunyai penduduk 128.271 Jiwa dan
masyarakatnya terutama dari segi struktur budaya nelayan terdiri dari Suku Jawa, Madura, Osing,
dan Bugis dimana sebagian besar masyarakat nelayan di kecamatan menggantungkan hidupnya
pada sumberdaya perikanan.
Berdasarkan karakteristik armada penangkapan ikan, jenis kapal di PPP Muncar
didominasi oleh kapal motor (Inboard). Secara lebih khusus, kapal motor didominasi oleh ukuran
kapal yang relatif kecil yaitu kurang dari 10 GT. Jenis kapal yang umum berada di PPP Muncar
adalah kapal purse seine “slerek”, kapal purse seine “tubanan”, kapal pancing rawai hiu, bagan
perahu, dll. Dilihat dari perkembangannya, jumlah armada penangkapan relatif mengalami
penurunan dalam lima tahun terakhir. Penurunan tersebut lebih disebabkan karena produksi
HASIL KEGIATAN|Analisis Kebijakan Dampak Penyusunan Harga BBM
Bersubsidi untuk Nelayan
25
LAPORAN TEKNIS
[KAJIAN KHUSUS BBPSEKP TAHUN 2015]
perikanan yang terus menurun. Selain itu juga disebabkan karena semakin mahalnya harga bahan
baku pembuatan kapal.
Tabel 4-1. 12. Perkembangan Armada Penangkapan di PPP Muncar
Tahun 2004 - 2014
Tahun
Kategori dan Ukuran Kapal
2004
2007
2010
2011
2013
2014
Perahu Tanpa Motor
165
96
121
111
108
118
Motor Tempel (Outboard Motor)
950
1.401
676
686
671
680
Kapal Motor (Inboard Motor)
1028
1.074
1.074
1.077
1.056
1067
- < 10 GT
835
885
885
888
867
862
- 11 - 30 GT
193
189
189
189
189
205
Sumber: Statistik PPP Muncar , 2014 (Diolah)
Berdasarkan karakteristik alat tangkapnya, setidaknya dapat terbagi menjadi 6 jenis alat
tangkap yaitu payang, pancing, jaring, purse seine, gill net dan perangkap. Perkembangan alat
tangkap dalam lima tahun terakhir secara umum juga mengalami penurunan. Namun, kalau dilihat
secara lebih rinci, jenis alat tangkap purse seine, jaring dan gill net mengalami kenaikan. Target
ikan tangkapan pada alat tangkap tersebut adalah ikan lemuru yang memang merupakan ikan
dominan dalam hal produksi maupun nilai produksi. Selain ikan lemuru, tangkapan dominan
nelayan di PPP muncar lainnya adalah ikan layang, tongkol, tuna dan cakalang.
Tabel 4-1. 13. Perkembangan Alat Tangkap di PPP Muncar Tahun 2004 - 2013
Alat Tangkap
Payang (Pelagic Danish Seine)
Pancing (Hook and Lines)
Jaring (Net)
Purse Seinne
Gill Net
Perangkap (Trap)
JUMLAH
2004
93
833
174
190
731
149
2.021
2007
44
1.206
129
185
1.242
142
2.806
Tahun
2010
42
628
120
203
907
224
1.900
2011
42
347
147
203
338
282
1.077
2013
42
23
255
207
529
287
1.056
Sumber: Statistik PPP Muncar , 2013 (Diolah)
Dilihat dari perkembangan produksinya, dalam lima tahun terakhir, nelayan
memproduksi ikan yang cenderung menurun. Berdasarkan hasil wawancara kepada nelayan,
alasan semakin rendahnya produksi ikan diantaranya adalah karena telah rusaknya sebagian besar
ekosistem / rumah ikandi wilayah ini, banyaknya jumlah nelayan yang menangkap ikan baik dari
dalam daerah Muncar maupun luar daerah muncar, serta penggunaan alat tangkap khususnya
lampu untuk menarik ikan pada malam hari yang semakin lama semakin banyak dipergunakan.
HASIL KEGIATAN|Analisis Kebijakan Dampak Penyusunan Harga BBM
Bersubsidi untuk Nelayan
26
LAPORAN TEKNIS
35.000.000
[KAJIAN KHUSUS BBPSEKP TAHUN 2015]
32.782.997
30.000.000
22.046.289
25.000.000
16.526.715
20.000.000
11.459.005
15.000.000
10.000.000
8.010.771
5.000.000
0
2009
2010
2011
2012
2013
produksi PPP Muncar 5 tahun (kg)
Gambar 4-1. 6.
Perkembangan Produksi Perikanan di PPP Muncar selama 5 tahun
terakhir.
Sumber: Statistik PPP Muncar, 2013
Perkembangan produksi yang menurun juga terlihat dari semakin rendahnya
produktivitas perikanan berdasarkan armada penangkapan, alat tangkap dan jumlah nelayan.
Penurunan produktivitas yang paling rendah yaitu produktivitas berdasarkan jumlah nelayan.
Kondisi ini disebabkan karena perkembangan jumlah nelayan dalam lima tahun terakhir
mengalami kecenderungan peningkatan namun disisi lain, perkembangan volume produksi relatif
mengalami kecenderungan penurunan.
Tabel 4-1. 14. Perkembangan Produktivitas Perikanan Tangkap Laut di PPP Muncar
Tahun 2004 - 2013
Uraian
Volume Produksi (kg)
2004
2007
2010
2011
2013
23.777.43
9
3.006
2.021
11.958
60.393.64
8
3.549
2.806
12.762
22.046.28
9
2.824
1.900
13.360
16.526.71
5
2.840
1.077
13.186
8.002.35
7
2.783
1.056
13.143
17.017
7.807
5.819
2.875
21.523
11.603
15.345
7.578
4.732
1.650
1.253
609
Jumlah armada penangkapan (unit)
Jumlah alat tangkap (unit)
Jumlah nelayan (orang)
Produktivitas berdasarkan armada
7.910
penangkapan (kg/unit)
Produktivitas berdasarkan alat
11.765
tangkap (kg/unit)
Produktivitas berdasarkan jumlah
1.988
nelayan (kg/orang)
Sumber: Statistik PPP Muncar , 2013 (Diolah)
Secara umum, perbekalan yang dibutuhkan oleh nelayan muncar diantaranya adalah Es,
garam dan solar. Pada tahun 2013, jumlah pabrik es yang terdapat di daerah muncar adalah sekitar
7 pabrik es dengan kapasitas produksi rata2 mencapai 3600 batang atau 110 ton perhari. Selain
es, dibutuhkan juga garam untuk mengawetkan ikan. Garam dan es khususnya bagi nelayan ikan
lemuru di muncar sangat penting tergantung dari besar kecilnya ikan lemuru yang akan ditangkap.
Pada saat musim ikan lemuru berukuran besar, maka penggunaan es ditingkatkan dan penggunaan
garam diturunkan. Ikan lemuru yang besar memiliki harga yang relatif tinggi, sehingga
memerlukan es yang banyak agar tidak terjadi penurunan mutu kualitas ikan. Ikan lemuru
berukuran besar akan ditampung oleh pabrik pengalengan ikan sebagai bahan baku ikan sarden.
Sebaliknya, apabila hasil tangkapan yang didapatkan adalah ikan lemuru kecil, maka nelayan
HASIL KEGIATAN|Analisis Kebijakan Dampak Penyusunan Harga BBM
Bersubsidi untuk Nelayan
27
LAPORAN TEKNIS
[KAJIAN KHUSUS BBPSEKP TAHUN 2015]
akan lebih banyak menggunakan garam. Hal ini disebabkan karena ikan lemuru kecil hanya dijual
kepada pabrik pengolahan tepung ikan dengan harga yang relatif rendah. Kondisi ini dilakukan
juga untuk mengurangi biaya perbekalan melaut. Terkait dengan kebutuhan solar, setidaknya di
daerah muncar terdapat dua SPDN khusus untuk nelayan. Kebutuhan solar bulanan nelayan
muncar cukup bervariasi, yaitu berkisar antara 220 – 422 kilo liter per bulan. Namun, menurut
laporan dari PPP Muncar, logistik operasional kapal nelayan yang disediakan pelabuhan
perikanan pantai muncar hingga saat ini belum mencukupi, akibat dari banyaknya kapal yang
terdapat di muncar.
Tabel 4-1. 15. Jumlah Perbekalan Bulanan Nelayan PPP Muncar Tahun 2014
Bulan
Jeni
s
Satu
an
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
Es
Balo
k
7.050
2.950
4.250
4.700
15.12
3
13.12
5
13.12
5
9.110
13.47
0
19.06
0
13.54
6
27.75
0
Gara
m
Kg
1.500
1.000
1.500
2.500
1.700
2.700
2.550
1.950
1.500
2.100
1.700
2.600
Sola
r
Liter
422.0
70
322.3
85
322.3
85
341.2
30
361.8
23
249.3
76
221.8
70
337.1
42
356.4
84
356.4
84
373.5
18
322.8
12
Sumber: Statistik PPP Muncar, 2014
Pelabuhan Perikanan Nusantara Pekalongan
Perikanan tangkap di PPN Pekalongan pada tahun 2014 didominasi oleh kapal-kapal
berukuran menengah khususnya antara 11-30 GT yang mencapai 58%. Kapal ukuran ini juga
mengalami pertumbuhan yang positif dari tahun 2009-2014 sebesar 35% per tahun. Kapal ukuran
lain yang juga mengalami pertumbuhan tertinggi adalah pada kelas 31-50 GT. Kedua kelas
tersebut tumbuh tinggi seiring dengan peralihan alat tangkap nelayan menjadi mini purse sein.
3%
23%
< 10 GT
7%
11 - 30 GT
31 - 50 GT
6%
58%
3%
51 - 70 GT
71 - 100 GT
101 - 130 GT
> 130 GT
Gambar 4-1. 7.
Proporsi Kapal Penangkap Ikan di PPN Pekalongan tahun 2014
Sumber : PPN Pekalongan diolah, 2015
Tabel 4-1. 16. Perkembangan Kapal Penangkap Ikan di PPN Pekalongan
Ukuran Kapal
2009
2010
2011
2012
2013
2014 Pertumbuhan
< 10 GT
609
429
296
291
200
25
-36%
11 - 30 GT
116
87
59
55
60
198
35%
31 - 50 GT
0
0
3
9
11
9
68%
51 - 70 GT
23
26
24
20
20
21
-1%
71 - 100 GT
108
107
97
81
77
77
-6%
101 - 130 GT
13
15
11
9
8
9
-6%
> 130 GT
2
1
1
0
0
0
-50%
Sumber : PPN Pekalongan (diolah), 2015
HASIL KEGIATAN|Analisis Kebijakan Dampak Penyusunan Harga BBM
Bersubsidi untuk Nelayan
28
LAPORAN TEKNIS
[KAJIAN KHUSUS BBPSEKP TAHUN 2015]
Tabel 4-1. 17. Perkembangan Kapal Penangkap Ikan Menurut Alat Tangkap yang
digunakan
N Tahu Jumla
Pukat
Pukat Cincin
Jaring
Pancing Lainny
o Years
n
h
Cincin
Kecil Seine
Insang
a
Total
Purse
Seine Mini Purse
Gill
Net
Long
Others
Line
568
353
4
96
65
50
1 2,005
444
229
14
137
26
38
2 2,006
425
225
10
180
10
0
3 2,007
608
170
328
110
0
0
4 2,008
871
146
609
116
0
0
5 2,009
665
149
429
87
0
0
6 2,010
491
136
296
59
0
0
7 2,011
465
119
291
55
0
0
8 2,012
376
116
200
60
0
0
9 2,013
339
116
148
50
0
25
10 2,014
R(%)
-15%
-11%
374%
-3%
-14%
-6%
Sumber : PPN Pekalongan diolah, 2015
Kondisi perikanan di PPN Pekalongan mengalami penurunan yang cukup tinggi dalam
kurun waktu 15 tahun terakhir dengan rata-rata penurunan sebesar 10% per tahun. Sebagai
perbandingan pada tahun 2000 produksi hampir mencapai 65 ribu ton sedangkan pada tahun 2014
produksi hanya tercatat kurang dari 22 ribu ton. Hal ini menunjukkan terjadinya pelemahan sektor
perikanan tangkap yang berimbas pada semakin sepinya aktivitas di TPI Kota Pekalongan secara
umum. Meski demikian, dalam kurun waktu 5 tahun terakhir produksi terlihat lebih stabil dengan
kecenderungan meningkat sebesar 3% per tahun.
80.000.000
60.000.000
40.000.000
20.000.000
0
2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014
Produksi (KG)
Linear (Produksi (KG))
Gambar 4-1. 8.
Perkembangan Nilai Produksi Pada PPN Pekalongan
Sumber: DPPK Kota Pekalongan, 2013 dan PPN Pekalongan diolah, 2015
Penurunan produksi berimbas pada tren nilai produksi yang juga mengalami
pertumbuhan negatif. Namun demikian penurunan nilai produksi tidak sedalam penurunan
produksi bila dilihat dari nilai nominal. Rata-rata penurunan nilai produksi tercatat hanya sebesar
2% pertahun. Hal yang menarik terlihat dari data 5 tahun terakhir yang mengalami peningkatan
cukup tinggi yaitu sebesar 14% pertahun. Hal ini menandakan kondisi usaha sudah mulai
mengalami perbaikan dan cukup stabil
HASIL KEGIATAN|Analisis Kebijakan Dampak Penyusunan Harga BBM
Bersubsidi untuk Nelayan
29
LAPORAN TEKNIS
[KAJIAN KHUSUS BBPSEKP TAHUN 2015]
250.000.000
200.000.000
150.000.000
100.000.000
50.000.000
0
2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014
Nilai Produksi
Linear (Nilai Produksi)
Gambar 4-1. 9.
Perkembangan Nilai Produksi Pada PPN Pekalongan
Sumber: DPPK Kota Pekalongan, 2013 dan PPN Pekalongan diolah, 2015
Tabel 4-1. 18. Perkembangan Produksi dan Nilai Produksi Hasil Perikanan di PPN
Pekalongan
No Tahun
Produksi
Nilai Produksi
Harga Rata2/Kg
Produksi Rata2/hari
.
Years
Productio
Production
Average
Average
n )
Value )
Price/Kg
Production/day
( ton
( Rp.000
(Rp)
(ton)
1
2005
43,350.00 177,962,509.00
3,079.04
163.79
2
2006
32,099.00 151,235,697.00
4,105.25
120.42
3
2007
29,285.00 131,742,543.00
4,711.54
89.16
4
2008
23,110.00
146,336,901.00
4,498.64
81.35
5
2009
24,896.44 134,354,474.00
6,332.19
64.19
6
2010
18,523.36 120,997,571.00
5,396.53
69.16
7
2011
18,830.55 127,435,762.00
6,532.16
51.45
8
2012
19,578.74 137,869,561.00
7,041.80
54.39
9
2013
17,751.43 164,554,681.00
9,269.94
49.31
10
2014
20,790.95 199,907,092.00
9,615.10
57.75
R
-7%
2%
15%
-10%
( % )- rata kenaikan / penurunan per
R : Rata
tahun.
Sumber: PPN Pekalongan,
2015
Jenis ikan yang didaratkan pada PPN Pekalongan di dominasi oleh ikan-ikan pelagis kecil
seperti layang (50%), tembang (21%) dan lemuru (20%). Hal ini tidak lepas dari lokasi
penangkapan ikan dan jenis alat tangkap yang banyak digunakan. Nelayan yang berpangkalan di
PPN Pekalongan sebagian besar beroperasi pada WPP 712 dan WPP 713 dengan alat tangkap
yang banyak digunakan adalah purse sein dan gillnet. Hanya beberapa kapal saja yang tercatat
beroperasi di WPP 711. Menurut nelayan lokasi operasi penangkapan ikan disesuaikan dengan
kondisi musim ikan. Operasi penangkapan pada WPP 713 banyak dilakukan pada bulan Juli
sampai dengan Desember sedangkan operasi tangkapan pada WPP 712 dilakukan hampir
sepanjang tahun. Kapal-kapal dengan alat tangkap gill net hanya beroperasi pada satu WPP saja
yaitu 712.
HASIL KEGIATAN|Analisis Kebijakan Dampak Penyusunan Harga BBM
Bersubsidi untuk Nelayan
30
LAPORAN TEKNIS
[KAJIAN KHUSUS BBPSEKP TAHUN 2015]
Layang (Scads)
20%
50%
Selar (Trevalies)
Tembang / Jui
21%
Lemuru (Indian oil
Sardinella)
Kembung (Mackerels)
Gambar 4-1. 10.
Proporsi Ikan Hasil Tangkapan pada PPN Pekalongan
Sumber: DPPK Kota Pekalongan, 2013
400
350
300
250
200
WPP RI 712
150
WPP RI 713
100
Jumlah
50
0
Gambar 4-1. 11.
Jumlah Trip menurut WPP pada kapal-kapal nelayan di PPN
Pekalongan tahun 2014
Sumber: DPPK Kota Pekalongan, 2015
HASIL KEGIATAN|Analisis Kebijakan Dampak Penyusunan Harga BBM
Bersubsidi untuk Nelayan
31
LAPORAN TEKNIS
[KAJIAN KHUSUS BBPSEKP TAHUN 2015]
25.000
20.000
15.000
10.000
5.000
0
2005
2006
2007
2008
Nelayan/ Fishermens
Gambar 4-1. 12.
2009
2010
2011
2012
2013
2014
Linear (Nelayan/ Fishermens)
Perkembangan jumlah nelayan di PPN Pekalongan
Sumber: DPPK Kota Pekalongan, 2015
Respon Nelayan PPN Pekalongan Terhadap Kebijakan Penyesuaian Harga BBM
Kapal-kapal purse sein di Pekalongan berukuran antara 60-70 GT dengan wilayah operasi
laut jawa dan selat makasar. BBM yang diperlukan untuk melaut pada kedua wilayah tersebut
berbeda dimana pada lat Jawa BBM yang dibutuhkan antara 20.000-25.000 liter sedangkan di
selat Makasar antara 25.000-30.000 liter. Banyaknya BBM yang digunakan tidak lepas dari
lamanya waktu penangkapan yang mencapai 2 bulan per trip nya. Dalam satu tahun kapal-kapal
jenis ini umumnya hanya dapat melaut sebanyak 4 trip karena waktu yang tersisa harus digunakan
untuk perbaikan kapal, mengurus dokumen-dokumen yang dibutuhkan untuk melaut, serta
menunggu ketersediaan BBM bersubsidi yang dapat mencapai lebih dari 1 bulan.
Penyesuaian harga BBM diketahui telah memukul usaha perikanan tangkap di PPN
Pekalongan. Kapal-kapal diatas 30 GT bahkan harus membayar lebih tinggi karena harus
menggunakan BBM industri dengan harga yang jauh lebih tinggi dibandingkan dengan harga
BBM bersubsidi. Hal ini terkait Perpres 191 yang melarang kapal-kapal nelayan di atas 30 GT
menggunakan BBM bersubsidi. Menurut nelayan kebijakan ini berpotensi mematikan usaha
karena biaya yang dikeluarkan akan menjadi terlalu besar sehingga berpotensi tidak dapat ditutupi
oleh hasil tangkapan yang bisa diperoleh.
Perkembangan Perikanan Tangkap di Pelabuhan Perikanan Nusantara Palabuhan
Ratu
Kondisi usaha perikanan di PPN Palabuhan Ratu mengalami pertumbuhan positif dalam
kurun waktu 20 tahun terakhir. Hal ini menandakan potensi selatan Jawa yang terus dioptimalkan
oleh masyarakat. Pertumbuhan terutama ditandai dengan jumlah kapal-kapal motor yang tumbuh
sebesar 13% pertahun sedangkan perahu motor tempel hanya tumbuh rata-rata sebesar 3%
pertahun. Namun demikian, proporsi motor tempel masih sedikit lebih besar yaitu 52%
berbanding 48% untul kapal motor.
HASIL KEGIATAN|Analisis Kebijakan Dampak Penyusunan Harga BBM
Bersubsidi untuk Nelayan
32
LAPORAN TEKNIS
[KAJIAN KHUSUS BBPSEKP TAHUN 2015]
700
600
500
400
300
200
100
Perahu Motor Tempel (PMT)
Gambar 4-1. 13.
2013
2012
2011
2010
2009
2008
2007
2006
2005
2004
2003
2002
2001
2000
1999
1998
1997
1996
1995
1994
1993
-
Kapal Motor (KM)
Perkembangan Jumlah Kapal di PPN Palabuhan Ratu Tahun 19932013
Sumber : PPN Palabuhan Ratu, 2013
Perkembangan jumlah kapal diiringi pula dengan peningkatan produksi yang tumbuh
sebesar 10% pertahun. Pertumbuhan ini disebabkan oleh semakin banyaknya nelayan yang
melakukan ekspansi usaha khususnya di WPP 573 yang merupakan samudera hindia. Jenis
sumberdaya ikan yang paling banyak dicari pada wilayah ini adalah jenis pelagis besar seperti
tuna, cakalang dan tongkol. Oleh karena itu jenis tersebut mendominasi ikan hasil tangkapan
nelayan. Pertumbuhan produksi tuna juga didukung oleh semakin maraknya penggunaan rumpon
laut dalam.
16000000
14000000
12000000
10000000
8000000
6000000
4000000
2000000
0
Produksi
Gambar 4-1. 14.
Linear (Produksi)
Perkembangan Produksi Perikanan di PPN Palabuhan Ratu
Sumber: PPN Palabuhan Ratu, 2014
HASIL KEGIATAN|Analisis Kebijakan Dampak Penyusunan Harga BBM
Bersubsidi untuk Nelayan
33
LAPORAN TEKNIS
5%
3%
1%
2%
[KAJIAN KHUSUS BBPSEKP TAHUN 2015]
3% 1%
2% 2%
4%
32%
1%
7%
1%
7%
Tuna Mata Besar
Eteman/Koyo
Lisong
Tenggiri
28%
Tuna Madidihang
Layang
Layaran
Swanggi/Camaul
Gambar 4-1. 15.
Tuna Albakor
Layur
Peperek
Ikan Lainnya
Cakalang
Pedang-pedang
Cucut
Tongkol Abu-abu
Tembang
Setuhuk Loreng
Tongkol Komo
Tongkol Krai
Proporsi Produksi Perikanan di PPN Palabuhan Ratu
Sumber: PPN Palabuhan Ratu, 2014
Jumlah nelayan yang menggunakan PPN Palabuhan Ratu juga turut tercatat naik setiap
tahunnya. Laju pertumbuhan jumlah nelayan mencapai 4% pertahunnya. Saat ini jumlah nelayan
tercatat mencapai 5.081 orang atau lebih dari dua kali lipat dari jumlah nelayan yang tercatat pada
tahun 2.000. Kondisi ini menunjukkan bahwa semakin banyak nelayan yang bergantung hidupnya
dari usaha perikanan di PPN Palabuhan Ratu.
7.000
6.000
5.000
4.000
3.000
2.000
1.000
Gambar 4-1. 16.
2013
2012
2011
2010
2009
2008
2007
2006
2005
2004
2003
2002
2001
2000
1999
1998
1997
1996
1995
1994
1993
-
Perkembangan jumlah nelayan di PPN Palabuhan Ratu
Sumber: PPN Palabuhan Ratu, 2014
HASIL KEGIATAN|Analisis Kebijakan Dampak Penyusunan Harga BBM
Bersubsidi untuk Nelayan
34
LAPORAN TEKNIS
[KAJIAN KHUSUS BBPSEKP TAHUN 2015]
Respon Nelayan PPN Palabuhan Ratu Terhadap Kebijakan Penyesuaian Harga BBM
Dampak kenaikan BBM dirasakan oleh berbagai lapisan usaha yang ada di Palabuhan
Ratu. Pada saat harga BBM naik menjadi Rp. 8500, hanya 20% kapal yang tetap melaut.
Selebihnya kapal-kapal memilih tidak melaut karena biaya operasional tidak lagi sebanding
dengan hasil yang diperoleh. Kapal-kapal diatas 20 GT memiliki trip panjang mencapai 6 bulan
sehingga masih banyak kapal-kapal yang berada ditengah laut pada saat harga BBM naik.
Sementara kapal-kapal yang kembali pada saat harga BBM naik memilih tidak melaut. Penurunan
harga BBM pada saat bulan Januari yang pertama, nelayan skala kecil dibawah < 10 GT telah
kembali melaut namun dengan melakukan efisiensi bahan bakar. Langkah yang dilakkan adalah
mempersempit wilayah penangkapan ikan sehingga diperkirakan mengalami penurunan hasil
tangkapan antara 30-50%, misalnya kapal-kapal payang yang membawa BBM sebanyak 5 jerigen
hanya dapat membawa 3 jerigen. Pada kapal-kapal diatas 20-30 GT adaptasi terhadap mahalnya
biaya operasional dilakukan dengan sistem titip. Kapal-kapal yang bernaung dalam satu usaha
yang sama akan saling menitipkan hasil tangkapan kepada kapal ikan yang sudah akan pulang
kedarat. Hal ini akan menghemat bahan bakar karena bahan bakar yang diperlukan untuk pergi
ke lokasi penangkapan mencapai 2500 liter dengan waktu tempuh 5 hari.
Kesimpulan Dan Rekomendasi Kebijakan
Kesimpulan
Beberapa kesimpulan yang dapat ditarik dari hasil penelitian ini adalah :
1. Penyesuaian harga BBM memiliki pengaruh yang sangat besar terhadap biaya operasional
dan keuntungan usaha. Pada seluruh ukuran kapal peningkatan harga BBM akan secara
otomatis meningkatkan biaya operasional usaha dan menurunkan keuntungan usaha.
2. Terdapat dua kelompok ukuran kapal yang memiliki perbedaan kerentanan terhadap
kenaikan harga BBM. Kelompok pertama terdiri dari ukuran kapal < 5 GT, 5 – 10 GT, 10 –
20 GT dan 50 – 100 GT. Kelompok ini dapat dikategorikan kerentanan tinggi terhadap
perubahan harga BBM karena nilai R/C rasionya kurang dari 2. Sedangkan kelompok kedua
terdiri dari ukuran kapal 20 – 30 GT, 30 – 50 GT dan lebih dari 100 GT yang memiliki
kerentanan rendah karena nilai R/C rasio lebih dari 2.
3. Kelompok 1 yang didominasi oleh perikanan skala kecil kondisi usahanya sangat memang
lebih rentan terhadap perubahan harga BBM dibandingkan dengan kelompok 2 yang
didominasi oleh perikanan skala besar.
Rekomendasi Kebijakan
Rekomendasi kebijakan yang dirumuskan berdasarkan hasil penelitian ini adalah sebagai berikut :
1) Perubahan harga BBM khususnya solar yang terjadi pada akhir tahun 2014 hingga Januari
2015 memberikan dampak positif dan negative terhadap pelaku usaha, khususnya nelayan
nelayan; secara penurunan harga BBM berpotensi menaikkan tingkat keuntungan yang
diterima, sebaliknya peningkatan BBM berpotensi menurunkan tingkat keuntungan usaha.
2) Perlu adanya bantuan permodalan dan pendampingan yang untuk mendorong pelaku usaha
berpindah dari kapal 50-100 GT ke kapal berukuran 20-30 GT atau ke kapal berukuran diatas
100 GT. Hal ini didasarkan pada hasil kajian dimana kelompok ukuran kapal 50-100 GT
yang paling sensitif terkena dampak akibat perubahan harga solar. Setiap kenaikan harga
BBM solar sebesar 1% akan menurunkan keuntungan usaha sebesar 0,7% . Sementara kapal
20-30 GT dan > 100 GT mengalami penurunan sebesar 0.2% dan 0.5%.
Daftar Pustaka
HASIL KEGIATAN|Analisis Kebijakan Dampak Penyusunan Harga BBM
Bersubsidi untuk Nelayan
35
LAPORAN TEKNIS
[KAJIAN KHUSUS BBPSEKP TAHUN 2015]
Anonymous, 2014a. Bank Dunia Dukung Subsidi BBM Tetap. http://www.tempo.co/ read
/news/2014/04/07/092568561/Bank-Dunia-Dukung-Subsidi-BBM-Tetap di akses 9 April
2014.
Anonymous,
2014b.
BI
Dorong
Penerapan
Subsidi
Tetap
BBM.
http://www.tempo.co/read/news/2014/04/03/087567696/BI-Dorong-Penerapan-SubsidiTetap-BBM. Di akses 9 April 2014.
Badan Perencanaan Pembangunan Nasional. 2007. Laporan Akhir Kajian Kerangka Subsidi di
Indonesia. Direktorat Keuangan Negara, Badan Perencanaan Pembangunan Nasional,
Jakarta.
Handoko, R dan P. Patriadi. 2005. Evaluasi Kebijakan Subsidi Non BBM. Kajian Ekonomi dan
Keuangan. Vol 9 No. 4. Jakarta
Kusuma,
L.
2012.
Definisi
Subsidi
:
Menelaah
Kontroversi.
http://leo4kusuma.blogspot.com/2012/01/definisi-subsidi-menelaah-kontroversi.html.
Nugroho, H. 2005. Apakah Persoalannya pada Subsidi BBM? Tinjauan terhadap Masalah Subsidi
BBM, Ketergantungan pada Minyak Bumi, Manajemen Energi Nasional, dan
Pembangunan Infrastruktur Energi. Majalah Perencanaan Pembangunan, 10(2): 2-18.
Pradiptyo, R.
2013.
Hitung-hitungan Subsidi BBM. http://bisniskeuangan.kompas
.com/ead/2013/06/18/0746006/Hitunghitungan.Subsidi.BBM di akses 10 April 2014.
Sukirno, S. 2005. Makro Ekonomi Teori Pengantar. Raja Grafindo Perkasa. Jakarta.
Suryawati, S.H., R. Muhartono, dan E.S. Luhur. 2012. Potensi Kebijakan Subsidi Bbm Berbasis
Pendaratan Hasil Tangkap Ikan. Laporan Teknis Kajian Khusus Program-Program
Pembangunan Kelautan dan Perikanan. Balai Besar Penelitian Sosial Ekonomi Kelautan
dan Perikanan BalitbangKP – KKP. Jakarta.
Suryawati, S.H., A. Ramadhan, A. Zamroni dan A. H. Purnomo. 2013.
Kebijakan
Antisipatif Dalam Menghadapi Dinamika Harga BBM Pada Usaha Perikanan Tangkap. J.
Kebijakan Kelautan dan Perikanan. Vol .. (..): ....
Suryawati, S.H., R. Muhartono, E.S. Luhur, A.H. Purnomo dan N.T. Bualangi. 2012a. Kajian
Kelayakan Pengembangan Energi Berbasis Sumberdaya Kelautan dan Efisiensi
Penggunaan Energi dalam Usaha – Usaha Perikanan. Laporan Akhir Kegiatan Penelitian.
Balai Besar Penelitian Sosial Ekonomi Kelautan dan Perikanan BalitbangKP – KKP.
Jakarta.
Suryawati, S.H., R. Muhartono, dan E.S. Luhur. 2012b. Potensi Kebijakan Subsidi BBM Berbasis
Pendaratan Hasil Tangkap Ikan. Laporan Teknis Kajian Khusus Program-Program
Pembangunan Kelautan dan Perikanan.Balai Besar Penelitian Sosial Ekonomi Kelautan
dan Perikanan BalitbangKP – KKP. Jakarta.
Todaro, M.P& S. C. Smith, 2009. Economic Development (ed. 10th). Addison Wesley.
Yusgiantoro, P. 2000. Ekonomi Energi, Teori dan Praktik. Pustaka Lembaga Penelitian,
Pengkajian, dan Pengembangan Ekonomi dan Sosial, Jakarta.
HASIL KEGIATAN|Analisis Kebijakan Dampak Penyusunan Harga BBM
Bersubsidi untuk Nelayan
36
LAPORAN TEKNIS
4.2.
[KAJIAN KHUSUS BBPSEKP TAHUN 2015]
Dampak Moratorium Kapal Ex-Asing terhadap kondisi pasar tuna
indonesia
Pendahuluan
Salah satu satu kebijakan yang dikeluarkan oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan
pada Kabinet Kerja saat ini adalah Kebijakan Moratorium terkait perizinan usaha penangkapan
ikan untuk kapal eks asing berukuran lebih dari 30 GT di perairan Indonesia yang diterapkan sejak
bulan Nopember 2014 hingga 30 April 2015. Kebijakan moratorium eks kapal asing ini
ditetapkan dalam Peraturan Menteri No. 56/2014 yang isinya adalah kapal yang pembuatan
dilakukan di luar negeri tidak akan dberikan izin baru Surat Ijin Usaha Perikanan (SIUP), Surat
Ijin Penangkapan Ikan (SIPI), Surat Ijin Kelayakan Penangkapan Ikan (SIKPI) dan perpanjangan
SIPI dan SIKPI. Berdasarkan kajian awal dari Institut Pertanian Bogor (IPB) sebelum diterapkan
kebijakan moratorium tersebut diperoleh informasi bahwa terdapat 1.240 kapal buatan asing dari
total 5.329 kapal yang berukuran di atas 30 GT di Indonesia (Kurniawan, 2014). Kebijakan
moratorium diambil oleh pemerintah karena kerugian besar dari sektor kelautan dan perikanan
yang disebabkan beroperasinya kapal-kapal eks asing tersebut. Pada tahun 2013, PNBP dari total
5.329 kapal tersebut sebesar 250 miliar rupiah. Jumlah ini sangat jauh bila dibandingkan dengan
kerugian sebesar US$ 20 miliar atau Rp 240 triliun rupiah akibat Illegal, Unreported dan
Unregulated (IUU) fishing yang terjadi di perairan Indonesia. (Nurhayat, 2014).
Salah satu komoditas yang menjadi tangkapan dominan kapal eks asing yang berukuran
lebih dari 30 GT adalah ikan tuna. Hal ini dikarenakan tuna merupakan jenis ikan ekonomis tinggi.
Bagi Indonesia, ikan tuna merupakan komoditas penghasil devisa negara nomor dua setelah
udang. Pada tahun 2013, volume ekspor TTC mencapai sekitar 209.410 ton dengan nilai
USD$ 764,8 juta atau 19% dari total nilai ekspor perikanan Indonesia (Dirjen P2HP, 2014). Pada
tahun 2009, secara angka potensi produksi komoditas tuna di Indonesia diperkirakan hampir
mencapai 1,2 juta ton per tahun, dengan nilai ekspor lebih dari 3,5 miliar Dolar Amerika Serikat
(AS). Jika dilihat dari hasil produksi, pada tahun 2011 produksi tuna dunia sebesar 6,8 juta ton
dan pada tahun 2012 meningkat menjadi lebih dari 7 juta ton. Dari produksi tersebut Indonesia
memasok lebih dari 16% produksi tuna dunia. Tuna juga diketahui memiliki permintaan
konsumen yang cukup tinggi akibat mulai bergesernya selera konsumen dunia dari red meat ke
white meat. Dengan potensi yang dimiliki dan peluang pasar yang besar, sehingga tidak
mengherankan apabila sebagian besar produksi tuna Indonesia di ekspor ke beberapa negara
tujuan seperti Jepang, Uni Eropa dan Amerika.
Berbagai tanggapan muncul dengan adanya kebijakan moratoritum tersebut. Menurut
Laoli (2015), dengan adanya kebijakan tersebut hendaknya lebih dapat dibedakan kapal eks asing
yang memiliki ijin dan tidak karena jika semua kapal eks asing dilarang untuk menangkap maka
dapat berpengaruh terhadap supply ikan dan penurunan volume ekspor. Lebih lanjut Susanti
(2015) menyatakan bahwa kebijakan moratorium tersebut berimplikasi pada penurunan
produksi ikan hasil tangkapan dari para pengusaha perikanan tetapi penurunan volume tersebut
terkompensasi oleh naiknya harga ikan di pasar tujuan ekspor. Dari berbagai hal yang telah
disebutkan di atas maka penelitian ini ingin menjawab bagaimana sebenarnya dampak kebijakan
moratorium pasar tuna Indonesia.
Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menganalisis dampak kebijakan moratorium
kapal eks asing terhadap kondisi pasar tuna Indonesia, terutama untuk membandingkan kondisi
pasar ekspor tuna sebelum dan sesudah adanya kebijakan moratorium.
Prakiraan Keluaran
HASIL KEGIATAN|Dampak Moratorium Kapal Ex-Asing terhadap kondisi pasar
tuna indonesia
37
LAPORAN TEKNIS
[KAJIAN KHUSUS BBPSEKP TAHUN 2015]
1. Rekomendasi Kebijakan terkait dampak moratorium kapal ex-asing terhadap kondisi
pasar tuna Indonesia
2. Karya Tulis Ilmiah
Metode Penelitian
Tinjauan Pustaka
Deskripsi Tuna
Tuna merupakan ikan laut yang terdiri dari beberapa famili Scombridae, terutama genus
Thunnus. Daging yang dimiliki berwarna merah muda sampai merah tua. Hal ini karena otot tuna
lebih banyak mengandung myoglobin dari pada ikan lainnya (Mc Afee et al. 2009). Beberapa
spesies tuna yang lebih besar, seperti tuna sirip biru (bluefin tuna), dapat menaikkan suhu
darahnya di atas suhu air dengan aktivitas ototnya. Hal ini menyebabkan mereka dapat hidup di
air yang lebih dingin dan dapat bertahan dalam kondisi yang beragam (Lennert-cody 2008).
Tuna adalah ikan yang memiliki nilai komersial tinggi. Tubuh ikan tuna tertutup oleh sisik
kecil berwarna biru tua dan agak gelap pada bagian atas tubuhnya. Sebagian besar mempunyai
sirip tambahan yang berwarna kuning cerah dengan pinggiran berwarna gelap (Burhanuddin et al.
1984). Menurut taksonomi (sistematika ikan), jenis-jenis ikan tuna termasuk ke dalam Famili
Scombridae. Secara global, terdapat 7 spesies ikan tuna yang memiliki nilai ekonomis penting,
yaitu albacore (Thunnus alalunga), bigeye tuna (Thunnus obesus), atlantic bluefin tuna (Thunnus
thynnus), pacific bluefin tuna (Thunnus oreintalis), southern bluefin tuna (Thunnus maccoyii),
yellowfin tuna (Thunnus albacares), dan skipjack tuna (Katsuwonus pelamis), kecuali pacific
bluefin dan southern bluefin tuna, kelima spesies tuna lainnya hidup dan berkembang di perairan
Samudra Pasifik, Atlantik, dan Hindia (Dahuri, 2008). Alat tangkap yang digunakan untuk
menangkap tuna diantaranya adalah tuna longline, pancing tonda, pool line/huhate, handline
dan purse seine.
Kebijakan Moratorium Kapal Eks Asing
Kebijakan pengelolaan sumberdaya perikanan pada dasarnya bertujuan agar sumberdaya
ikan dapat dinikmati oleh generasi penerus di masa datang dan meningkatkan kesejahteraan
rakyat khususnya yang memiliki mata pencaharian di laut. Salah satu kebijakan yang berkaitan
dengan pengelolaan sumberdaya perikanan adalah kebijakan moratorium eks kapal asing ini
ditetapkan dalam Peraturan Menteri No. 56/2014. Hal ini dilakukan karena banyak terjadi praktik
IUU Fishing yang dilakukan oleh oknum nelayan baik dari dalam maupun luar negeri yang sangat
merugikan negara. Bila dilihat dari luas wilayah perairan Indonesia yang mencapai UNCLOS
1982 yang mencapai 3.544.744 km2 dengan potensi perikanan sebesar 6.520.300 ton/tahun
berdasarkan Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan tentang Estimasi Potensi Sumberdaya
Ikan di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara RI. Namun potensi dan luas wilayah perairan
tersebut namun volume dan nilai ekspornya masih kalah jauh dibandingkan dengan negaranegara tetangga seperti Thailand dan Vietnam.
Menurut Sularso (2015), kebijakan moratorium dapat berfungsi : 1) mengendalikan
jumlah produksi hasil tangkapan sehingga tidak terjadi over fishing; 2) meningkatkan
produktivitas kapal nelayan asli Indonesia; 3) Meningkatkan daya saing produksi ikan Indonesia
secara global.
Ruang Lingkup dan Kerangka Pemikiran
Penelitian ini akan lebih difokuskan dampak moratorium terhadap kondisi pasar tuna
Indonesia khususnya ekspor karena hasil produksi tuna cukup banyak yang dijual ke mancanegara.
HASIL KEGIATAN|Dampak Moratorium Kapal Ex-Asing terhadap kondisi pasar
tuna indonesia
38
LAPORAN TEKNIS
[KAJIAN KHUSUS BBPSEKP TAHUN 2015]
Dengan adanya kebijakan moratorium ini diduga akan menyebabkan berkurangnya jumlah kapal
eks asing yang melakukan kegiatan penangkapan sehingga berdampak terhadap nilai ekspor tuna
Indonesia. Kerangka pemikiran dapat dilihat pada Gambar 4-2. 1 sebagai berikut.
Kondisi Existing : Produksi dan
Ekspor Tuna Indonesia
Rekomendasi Kebijakan
Dampak Moratorium Kapal Ex
Asing terhadap Pasar Ekspor
Tuna Indonesia
Gambar 4-2. 1.
Permen KP No. 56 :
Moratorium Kapal Ex-Asing
Kapal Ex-Asing : Jumlah
kapal, jumlah produksi dan
nilai
Kondisi Pasar Ekspor :
Produksi, Nilai Produksi dan
Strategi Keberlanjutan Usaha
Kerangka Pemikiran Kegiatan Penelitian
Waktu dan Lokasi Penelitian
Lokasi penelitian dilakukan di Jakarta dan Bali karena di lokasi tersebut merupakan
salah satu daerah ekspor tuna terbesar dan jumlah kapal ex-asing yang ada di wilayah tersebut
relatif banyak. Menurut data yang dikeluarkan oleh Ditjen Tangkap tercatat ada kapal eks asing
sebanyak 107 unit dari 756 kapal yang terdapat di Benoa yang melakukan penangkapan tuna.
Sedangkan lokasi Jakarta dipilih atas dasar Jakarta merupakan salah satu pelabuhan ekspor
terbesar di Indonesia. Waktu penelitian dilakukan dari bulan April hingga bulan Mei 2015.
Jenis dan Sumber Data
Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan sekunder. Data
primer berasal dari wawancara dengan pelaku usaha eksportir tuna. Data sekunder bersumber dari
data produksi, pola pemasaran, dan ekspor perikanan. .Sumber data berasal dari Pelabuhan, Dinas
KP di lokasi penelitian dan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP).
Metode Pengumpulan Data
Data-data yang digunakan dalam penelitian diperoleh melalui penelusuran pustaka (desk
study) yang relevan dengan kegiatan penelitian dan survey lapang.
Metode Analisis Data
Data-data yang telah dikumpulkan kemudian ditabulasi dan dianalisis secara deskriptif
HASIL KEGIATAN|Dampak Moratorium Kapal Ex-Asing terhadap kondisi pasar
tuna indonesia
39
LAPORAN TEKNIS
[KAJIAN KHUSUS BBPSEKP TAHUN 2015]
dan disajikan dalam bentuk tabel dan grafik. Selanjutnya hasil analisis akan diinterpretasikan
untuk menghasilkan informasi yang dapat menjawab tujuan dari penelitian.
Tabel 4-2. 1.
Matriks Tujuan Penelitian, Kebutuhan Data, Teknik Pengumpulan dan
Analisis Data serta Sumber Data Kegiatan Penelitian
Teknik
Tujuan Penelitian
Data yang diperlukan
Pengumpula
sumber
n/ Analisis
Mengidentifikasi
1) Jumlah kapal eks asing di
Desk Study
Ditjen
kondisi pasar ekspor
Indonesia berdasarkan negara asal,
dan
Tangkap,
tuna Indonesia
pelabuhan pendaratan; 2) Jumlah
Wawancara
BKIPM,
(sebelum dan pada saat produksi dan nilai produksi
dengan Pelaku Pelabuhan
berlakunya Permen
komoditas tuna yang dihasilkan oleh Usaha
Perikanan
KKP No. 56).
kapal eks asing; 3) Data
perkembangan ekspor tuna
Indonesia bulanan ke negara tujuan
utama; dan 4) Strategi yang
dilakukan oleh eksportir demi
keberlanjutan usaha.
Menganalisis dampak
Hasil analisis dari tujuan 1.
Statistik
Olahan
moratorium kapal eks
Deskriptif
dan
asing terhadap kondisi
Interpreta
pasar ekspor tuna
si Data
Indonesia
Rekomendasi
Hasil analisis dari tujuan 2.
FGD
Diskusi
Kebijakan
Hasil Dan Pembahasan
Gambaran Umum Kondisi
Tuna Indonesia
Sebelum Permen KKP No. 56 Secara Nasional
Sebelum adanya Peraturan Menteri No 56 tentang Moratorium Kapal Eks Asing, secara
nasional produksi tuna mengalami peningkatan dari tahun 2002 hingga 2012 yaitu sebesar ratarata 6,5% per tahun. Sedangkan volume ekspor tuna ke dunia pada tahun 2012 mencapai 533 ribu
ton dengan nilai ekspor mencapai 116 juta USD. Tuna diekspor dalam bentuk segar, beku dan
kaleng. Selama ini tuna dipasarkan dalam bentuk segar, beku dan kaleng dimana market share
tuna segar ke Jepang 93%, AS 4% dan Uni Eropa 3%. Pasar tuna beku ke Jepang sebesar 50%,
AS sebesar 32% dan Uni Eropa 17%. Pasar Ekspor tuna kaleng ke Uni Eropa 36%, Jepang 33%
dan AS 31%. Hal ini menunjukkan bahwa Jepang merupakan negara tujuan ekspor utama tuna
Indonesia.
Data ekspor yang diperoleh dari Direktorat Jenderal Pengolahan dan Pemasaran (Ditjen
P2HP) dari tahun 2010-2012 menunjukkan bahwa terdapat lima daerah ekspor utama untuk
komoditas tuna baik dalam bentuk tuna segar, tuna beku dan tuna kaleng di Indonesia sebelum
disalurkan ke berbagai negara tujuan ekspor. Beberapa daerah asal ekspor tersebut digambarkan
dalam tabel 4-2.2 sebagai berikut:
HASIL KEGIATAN|Dampak Moratorium Kapal Ex-Asing terhadap kondisi pasar
tuna indonesia
40
LAPORAN TEKNIS
[KAJIAN KHUSUS BBPSEKP TAHUN 2015]
Tabel 4-2. 2.
NIlai Ekspor Tuna Berdasarkan daerah Asal Tahun 2010-2012 (USD)
Jenis Komoditas Tuna (US$)
Persentase
No.
Daerah
(%)
Segar
Beku
Kaleng
28,378,129
87,892,008
53,396,802
1
DKI Jakarta
36%
951,585
33,863,222
143,217,130
2
Surabaya
37%
2,849,092
13,403,767
51,597,031
3
Bitung
14%
53,726,626
3,265,486
4
Bali
12%
3,200
3,136,541
5
Ambon
1%
85,908,633
141,561,024 248,210,963
100%
Total
Sumber : Rekap Ekspor Tuna (Ditjen P2HP,2014)
Berdasarkan tabel 4-2.2 diatas maka dapat diketahui bahwa daerah asal ekspor utama tuna
Indonesia berasal dari DKI Jakarta yaitu sebesar 36% dengan komoditas dominanya adalah tuna
beku, sedangkan untuk tuna kaleng dominan diekspor dari daerah Surabaya. Komoditas tuna
segar banyak diekspor dari Bali dengan presentase mencapai 63% dari total ekspor tuna segar dari
seluruh daerah di Indonesia, namun secara keseluruhan Bali menempati posisi keempat sebagai
daerah ekspor setelah DKI Jakarta, Surabaya dan Bitung.
Sebelum Permen KKP No. 56 di lokasi penelitian (Perkembangan Produksi,vol dan
nilai ekspor, pasar tujuan ekspor)
DKI Jakarta
Seperti dijelaskan pada Tabel 4-2.2 yang menunjukkan bahwa daerah asal utama ekspor
tuna adalah berasal dari DKI Jakarta maka salah satu lokasi penelitian untuk menggambarkan
dampak moratorium kapal eks asing terhadap ekspor tuna dilakukan pengambilan data pada lokasi
DKI Jakarta khususnya pada Pelabuhan Perikanan Samudera Nizam Zachman (PPSNZJ) Muara
Baru. Berdasarkan laporan statistik PPSNZJ tahun 2013 dapat diketahui bahwa produksi
perikanan berasal dari produksi laut yaitu produksi kapal penangkap ikan yang mendaratkan ikan
hasil tangkapan di PPSNZJ dan produksi ikan masuk yaitu produksi kapal pengangkut ikan dari
pelabuhan lain, maupun daerah luar DKI Jakarta yang kiangkuut ke PPSNZJ melalui jalur darat
maupun jalur laut. Total nilai produksi ikan pada tahun 2013 mencapai 252.762,72 ton yang
terdiri dari produksi laut sebesar 113.342.916 Ton (44.84%) dan produksi ikan masuk sebesar
139.419.808 Ton (42.87%) dan sisanya produksi ikan impor sebesar 31.054,498 Ton (12.29%).
Jeis ikan yang dominan dari produksi laut pada tahun ini adalah Cakalang (29.72%), Tuna Sirip
Kuning (15,43%), Tuna Mata Besar (12,84%) sedangkan untuk produksi ikan masuk didominasi
oleh ikan layang, sanglir, lemuru dan juga tuna yang sebagian besar didatangkan dari Provinsi
Sulawesi Utara. Total produksi ikan pada PPSNZJ periode 2009-2013 digambarkan sebagai
berikut:
HASIL KEGIATAN|Dampak Moratorium Kapal Ex-Asing terhadap kondisi pasar
tuna indonesia
41
LAPORAN TEKNIS
[KAJIAN KHUSUS BBPSEKP TAHUN 2015]
300000
252762,72
250000
211807,37
186388,35
200000
187403,28
133402,61
150000
100000
50000
0
2009
2010
2011
2012
2013
Gambar 4-2. 2. Total Produksi Ikan PPSNZJ Periode 2009-2013
Sumber : Laporan Statistik PPSNZJ (2014)
Jika dilihat volume produksi perikanan tangkap berdasarkan jenis komoditasnya yaitu
Tuna Tongkol dan Cakalang (TCT), terlihat bahwa volume produksi pada tahun 2010-2013
mengalami peningkatan sebesar 34% seperti terlihat pada tabel perkembangan Produksi Tuna
Cakalang Tongkol (TCT) Pada Tahun 2011-2013 (Ton) sebagai berikut
Tabel 4-2. 3.
Perkembangan Produksi Tuna di PPS Nizam Zachman Tahun 2011-2013
(Ton)
Tahun
Jenis Ikan
2011
2012
2013
Cakalang
35,229.46
30,552.47
33,684.84
Tongkol
10,906.39
2,201.36
3,081.87
Tuna Mata Besar
10,374.86
13,593.93
14,553.92
Tuna Sirip Biru
3,913.74
47.41
30.75
Yellow Fin
11,152.57
13,605.61
17,489.28
Total
71.577.02
60,000.78
68,840.67
Sumber : Laporan Statistik PPSNZJ (2014)
Berdasarkan tabel 4-2.3diatas dapat diketahui bahwa dari sisi produksi TTC komoditas
yang paling dominan pada PPSNZJ yang mewakili kondisi di daerah DKI Jakarta adalah cakalang
yang diikuti oleh produksi ikan yellow fin tuna, sedangkan untuk tuna sirip biru memang
mengalami penurunan setiap tahunya, hal tersebut juga terjadi secara global dimana terkait
dengan ketersedian sumberdaya tuna sirip biru yang semakin langka.
Data lain yang diperoleh menyebutkan terdapat tiga jenis alat tangkap yang digunakan
dalam menangkap komoditas tuna pada PPSNZJ yakni rawai tuna, purse seine dan handline.
Berdasarkan alat tangkap tuna yang digunakan, terlihat bahwa pada tahun 2008-2013 jumlah alat
tangkap mengalami peningkatan rata-rata sebesar 4%. Fenomena yang menarik adalah makin
menurunya alat tangkap tuna longline namun makin meningkatnya pengguna alat tangkap purse
seine. Berdasarkan hasil wawancara dengan beberapa pelaku usaha dapat diketahui bahwa
penurunan alat tangkap longline disebabkan biaya operasional yang semakin tinggi yang tidak
berimbang dengan hasil yang diperoleh karena alat tangkap ini dikhususkan untuk menangkap
HASIL KEGIATAN|Dampak Moratorium Kapal Ex-Asing terhadap kondisi pasar
tuna indonesia
42
LAPORAN TEKNIS
[KAJIAN KHUSUS BBPSEKP TAHUN 2015]
komoditas tuna, sedangkan untuk alat tangkap purse seine dapat menangkap segala jenis
komoditas sehingga menurut pengakuan pelaku usaha dianggap lebih menguntungkan. Data
lengkap terkait jenis alat tangkap tuna yang digunakan pada PPSNZJ terlihat pada tabel 4-2.4
sebagai berikut:
Tabel 4-2. 4.
Jenis Alat Penangkap Tuna di PPSNZJ Pada Tahun 2008-2013
Jenis Alat Tangkap
2008
2009
2010
2011
2012
Rawai tuna/longline
Pukat cincin/purse seine
Handline
478
172
468
194
453
218
12
442
265
11
TOTAL
650
662
683
718
366
345
15
726
2013
339
426
13
778
Sumber : Laporan Statistik PPSNZJ (2014)
Provinsi Bali
Salah satu lokasi pendaratan tuna dominan terdapat di Provinsi Bali dimana di lokasi
tersebut banyak terdapat alat tangkap longline. Provinsi Bali merupakan salah satu daerah
penghasil tuna yang cukup besar, selain dari potensi perikanan tangkap yang dimiliki, tuna dari
Bali juga berasal dari daerah Kawasan Timur Indonesia (KTI) yang dibawa oleh kapal-kapal besar
untuk diolah atau diekspor ke negara tujuan melalu Provinsi Bali. Secara umum potensi perikanan
tangkap laut provinsi Bali sebesar 147.278,75 ton per tahun. Jika dilihat pada tahun 2009 sampai
dengan 2013, rata-rata pertumbuhan produksi perikanan tangkap sebesar 1,6%. Pada tahun
2009 jumlah produksi perikanan tangkap sebesar Rp. 102.572,50 ton (Rp. 838 juta), tahun 2010
jumlah produksi sebesar Rp. 105.566,2 ton (Rp. 1 miliar), tahun 2011 jumlah produksi sebesar
Rp. 101.371,6 ton (Rp. 1,4 miliar), tahun 2012 jumlah produksi sebesar 81.734,7 ton (Rp 1,2
miliar) dan tahun 2013 jumlah produksi sebesar 103.591,9 ton (Rp. 1,7 miliar). Produksi
perikanan tangkap provinsi Bali tahun 2009-2013 dapat dilihat pada Gambar 4-2.3 sebagai berikut.
Gambar 4-2. 3. Produksi Perikanan Tangkap Provinsi Bali Tahun 2009-2013
Sumber : Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Bali (2014)
HASIL KEGIATAN|Dampak Moratorium Kapal Ex-Asing terhadap kondisi pasar
tuna indonesia
43
LAPORAN TEKNIS
[KAJIAN KHUSUS BBPSEKP TAHUN 2015]
Jika dilihat volume produksi perikanan tangkap berdasarkan jenis komoditasnya yaitu
Tuna Tongkol dan Cakalang (TCT), terlihat bahwa volume produksi pada tahun 2010-2013
mengalami peningkatan sebesar 34% seperti terlihat pada Tabel 4-2. 5.
Tabel 4-2. 5.
Volume Produksi Tuna Cakalang Tongkol (TCT) Pada Tahun
(Ton)
Tahun (ton)
No.
Jenis Ikan
2010
2011
1
Tongkol Krai
730,4
580,6
2
Tongkol Komo
3
Cakalang
3.235,8
4.569,3
4
Albakora
2.786,0
2.887,1
5
Manddihang/Yellowfin Tuna
6.483,3
3.366,3
6
Tuna sirip biru selatan/Southern Bluefin Tuna
1.418,9
1.334,8
7
Tuna Mata Besar/Big eye tuna
3.670,2
2.560,8
8
Tongkol abu-abu/Longtail tuna
252,7
913,2
Total
18.577,3
16.212,1
Sumber : Laporan Statistik Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Bali, 2013
2010-2012
2012
14.227,0
5.771,5
4.916,0
3.566,2
824,0
1.908,7
254,1
31.467,5
Jenis armada penangkapan tuna yang ada di Provinsi Bali mengalami penurunan sebesar
8% yaitu pada tahun 2010-2011, sedangkan pada tahun 2011-2012 tidak mengalami perubahan.
Pada tahun 2010 total jumlah armada penangkapan ikan sebesar 893 unit sedangkan pada tahun
2010 dan 2012 masing-masing sebesar 813 unit, seperti yang terlihat pada Tabel 4-2. 6.
Tabel 4-2. 6.
Jumlah Armada Penangkan Tuna di Provinsi Bali Pada Tahun 2010-2012
Tahun (unit)
No
Jenis Armada
2010
2011
2012
1
Motor Tempel
179
179
179
2
<10 GT
9
9
9
3
11-30 GT
178
178
178
4
31-50 GT
172
87
87
5
51-100 GT
176
176
176
6
>100 GT
179
184
184
Total
893
813
813
Sumber : Laporan Statistik Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Bali, 2013
Berdasarkan alat tangkap tuna yang digunakan, terlihat bahwa pada tahun 2010-2012
jumlah alat tangkap mengalami penurunan sebesar 26%. Pada Tabel 4-2. 7 terlihat bahwa
penurunan signifikan terjadi pada penggunaan alat tangkap pancing ulur (handline) dan pancing
tonda.
Tabel 4-2. 7.
No
Jenis Alat Tangkap Tuna di Provinsi Bali Pada Tahun 2010-2012
Tahun (unit)
Jenis Alat Tangkap
2010
2011
2012
1
Rawai tuna/Longline
545
530
706
2
Pancing ulur/Handline
3.177
907
990
3
Huhate/Pole and line
-
-
-
HASIL KEGIATAN|Dampak Moratorium Kapal Ex-Asing terhadap kondisi pasar
tuna indonesia
44
LAPORAN TEKNIS
No
[KAJIAN KHUSUS BBPSEKP TAHUN 2015]
Jenis Alat Tangkap
4
Pukat cincin/Purse Seine
5
Pancing tonda
Total
Tahun (unit)
2010
2011
2012
-
19
20
1.189
158
118
4.911,0
1.614,0
1.834,0
Sumber : Laporan Statistik Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Bali, 2013
Produksi tuna dengan menggunakan alat tangkap longline pada triwulan I pada 2014
sebesar 9.566,68 ton dan pada triwulan I tahun 2015 sebesar 7.728,77 ton dengan kata lain
produksi menurun sebesar 19,2%. Sedangkan volume ekspor tuna dari Bali pada triwulan I
tahun 2014 sebesar 8.950,46 ton dan di triwulan I tahun 2015 sebesar 8.435,18 ton atau menurun
sebesar 5,76%. Secara rinci komoditas tuna yang diekspor mengalami perubahan sebagai
berikut : a) volume ekspor tuna segar berkurang sebesar 13%, tuna beku naik 99% & tuna kaleng
turun sebesar 27%; 2) Nilai ekspor tuna segar naik 1%, tuna beku naik 123% dan tuna kaleng
turun sebesar 24%; 3) Harga tuna segar naik sebesar 12%, tuna beku naik 21% dan tuna kaleng
naik sebesar 5%. Penurunan volume produksi dan ekspor tuna di Bali tersebut disebabkan oleh
kebijakan moratorium kapal eks-asing dan transhipment. Tujuan pasar ekspor tuna segar yang
berasal dari Bali banyak yang dikirim ke Jepang, sedangkan tuna beku dan kaleng cenderung ke
pasar Uni Eropa dan Amerika Serikat.
Pasar Jepang
Konsumen Jepang memiliki tingkat konsumsi ikan yang tinggi, disamping itu mereka
lebih menyukai ikan tuna dalam bentuk segar, biasanya ikan tuna dalam bentuk segar langsung
diekspor melalui jalur udara. Biasaya tuna segar diekspor dalam bentuk whole fresh tuna. Secara
nasional untuk pasar Jepang lebih banyak dieskpor produk fresh tuna dari Indonesia sedangkan
untuk pasar USA dan Uni Eropa lebih banyak mengekspor canned tuna dari Indonesia. Pesaing
utama Indonesia untuk ekspor tuna yaitu Vietnam dan Thailand. Berdasarkan perkembangan
harga di kedua pasar USA dan Jepang, harga komoditas tuna Indonesia rata-rata hampir selalu
lebih rendah dibandingkan dengan harga pesaingnya. Menurut Rahadian dkk (2012) harga
komoditas tuna Indonesia di pasar Jepang pada tahun 2011 hanya menempati posisi keempat, di
bawah Vietnam, Thailand dan Malaysia. Rendahnya harga tersebut dapat dilihat dari dua sisi
yakni di satu sisi menjadi faktor penunjang bagi tingginya daya saing dan tingginya volume
ekspor ke Jepang, akan tetapi di sisi lain juga menjadi indikator rendahnya penghargaan
konsumen di Jepang atas komoditas tuna Indonesia.
Pasar AS
Permintaan tuna di AS memang relatif tinggi terutama untuk produk frozen tuna baik
dalam bentuk tuna saku, loin maupun tuna cube dan steak. Selain itu Indonesia juga dikenal
sebagai daerah penghasil ikan kaleng, produk canned tuna dari Indonesia juga memiliki pasar
utama negara AS. Pasar AS biasanya lebih menyukai ikan kaleng dengan lebih banyak brain
(garam) dan tanpa minyak, hal ini menjadi pertimbangan bagi pelaku usaha yang ingin
memasarkan produknya ke AS. Standar dari FDA yang cukup ketat dalam penentuan produk
makanan yang diekspor ke USA menyebabkan adanya hambatan non tariff. Hal ini sesuai
dengan penelitian Rinto (2011) yang menyebutkan bahwa pada tahun 2010 tercatat 146 kasus
penolakan ekspor produk perikanan Indonesia ke AS dimana sebanyak 64% kasus penolakan
disebabkan oleh adanya bakteri pathogen maupun toksin yang dihasilkan seperti histamin, 26%
disebabkan filthy, 6% disebabkan oleh adanya residu kimia, dan 4 % disebabkan oleh
misbranding. Bila kasus penolakan ekspor ke pasar AS maka pengusaha banyak mengalihkan
produk ekspornya ke pasar lainnya seperti pasar Thailand, hal tersebut dikarenakan hambatan non
HASIL KEGIATAN|Dampak Moratorium Kapal Ex-Asing terhadap kondisi pasar
tuna indonesia
45
LAPORAN TEKNIS
[KAJIAN KHUSUS BBPSEKP TAHUN 2015]
tariff bagi produk yang dihasilkan oleh perusahaan yang sudah terkena kasus tolakan ekspor yang
tidak diperbolehkan lagi mengakses pasar AS. Harga tuna di USA yang relatif tinggi juga menjadi
pertimbangan bagi pelaku usaha. Meskipun hambatan non tariff yang diberlakukan cukup rumit
namun dengan harga tuna yang relatif lebih tinggi maka menjadi faktor penarik bagi pengusaha.
Negara pesaing utama Indonesia di AS adalah produk ikan kaleng yang berasal dari Thailand dan
Vietnam namun berdasarkan wawancara dengan pelaku usaha dapat diketahui bahwa dari sisi
kualitas produk tuna Indonesia mampu bersaing dan bahkan dianggap lebih baik dari sisi citarasa
dan kualitasnya dibandingkan tuna dari negara lainya.
Pasar Uni Eropa
Hambatan non tariff adalah hambatan yang biasa terdapat pada Pasar Uni Eropa terkait
dengan produk tuna. Hal ini dikarenakan adanya kunci pokok regulasi yang ditetapkan oleh
Komisi Eropa yang menitik beratkan pada perlindungan konsumen tingkat tinggi untuk standar
mutu dan keamanan pangan Uni Eropa yaitu EC No.178/2002. Saat peraturan tersebut
dikeluarkan, salah satu kebijakan yang cukup signifikan mempengaruhi perkembangan impor
pangan Uni Eropa adalah diterapkannya Rapid Alert System for Food and Feeds (RASFF). Hal
ini berdampak kepada peredaran produk negara eksportir di Uni Eropa. RASFF merupakan
jejaring kerja dalam sistem siaga cepat untuk pemberitahuan resiko langsung atau tak langsung
pada kesehatan manusia yang berasal dari bahan pangan atau pakan. Hambatan tarif menjadi
pertimbangan tersendiri, berdasarkan data P2HP, KKP tahun 20010-2012 yang telah diolah
dapat diketahui bahwa untuk negara di Uni Eropa yang menjadi tujuan utama ekspor dari
Indonesia adalah ke negara Jerman sebesar 32% dari total ekspor tuna dari Indonesia ke Uni
Eropa, kemudian Spanyol 21%, United Kingdom 20%, dan sisanya adalah berbagai negara
lainya. Uni Eropa yang terdiri dari banyak negara pda umumnya menjadi pangsa pasar yang
strategis bagi produk tuna Indonesia, hal ini juga diimbangi dengan harga tuna yang relatif cukup
tinggi pada pasar yang dimaksud. Kualitas produk Indonesia menurut data dari eksportir juga
dapat bersaing dengan produk dari negara Filipina, Thailand dan China yang menjadi negara
pesaing di Uni Eropa. Permintaan ekspor ke Uni Eropa biasanya dipenuhi oleh eksportir tuna di
Indonesia melalui pengiriman dengan jalur laut, yaitu melalui kapal.
Kondisi Kapal Ex-Asing yang beroperasi di Indonesia
Menurut data yang diperoleh dari Kementerian Kelautan dan Perikanan terdapat kapal
buatan asing sebanyak ± 1100 kapal buatan asing atau mencapai 22,28% dari total 4.964 kapal
pemegang izin penangkapan. Kapal eks-asing itu paling banyak berasal dari China, Thailand,
Taiwan, Jepang dan Filipina. Hal ini menunjukkan bahwa kapal-kapal eks-asing banyak berasal
dari wilayah Asia.
HASIL KEGIATAN|Dampak Moratorium Kapal Ex-Asing terhadap kondisi pasar
tuna indonesia
46
LAPORAN TEKNIS
35
[KAJIAN KHUSUS BBPSEKP TAHUN 2015]
33,82
Persentase
30
23,42
25
18,44
20
15
8,14
10
10,40
5,79
5
0
China
Filipina
Jepang
Taiwan
Thailand
Lain-lain
Asal Negara
Gambar 4-2. 4.
Kapal Eks-Asing berdasarkan Asal Negara
Hasil pengumpulan data dan wawancara dengan Pejabat yang berwenang pada PPSNZJ
menyebutkan bahwa dampak moratorium ex kapal asing tidak mempengaruhi sistem perizinan
kapal ikan di PPS Nizam Zahman, karena memang sejak tahun 2013 kapal ex asing dengan alat
tangkap longline sudah tidak memperpanjang perizinan penangkapan ikan lagi. Dari sisi jumlah
juga hanya terdapat 15 kapal dari 1624 kapal yang terdata pada PPSNZJ sehingga tidak
berpengaruh secara signifikan dampak permen KP 56 tersebut khusunya pada daerah Jakarta.
Data kapal eks asing yang beroperasi pada PPSNZJ DKI Jakarta dapat dilihat pada Tabel 4-2.8
berikut:
HASIL KEGIATAN|Dampak Moratorium Kapal Ex-Asing terhadap kondisi pasar
tuna indonesia
47
LAPORAN TEKNIS
Tabel 4-2. 8.
N
O
1
2
[KAJIAN KHUSUS BBPSEKP TAHUN 2015]
Kapal Ex Asing Yang Ada Di Kolam Pelabuhan Perikanan Samudera
Nizam Zachman Jakarta, Maret 2015
NAMA
KAPAL
PEMILIK
KUSUMA GRAHA
(Eks. MV. DANIELA)
HASLINDO II (Eks.
MARUKY
BOSHI
MARU NO.32)
TRI
KUSUMA
GRAHA, PT
SUMBER
HASLINDO, PT
SUMBER
HASLINDO, PT
SUMBER
HASLINDO, PT
SUMBER
HASLINDO, PT
SUMBER
HASLINDO, PT
RICO
DIAN
JAYATAMA, PT
ALAT
TANGK
AP
ANG
TGL
TERAKHIR
KELUAR
04/02/15
LL
01/11/10
LL
26/05/12
LL
04/04/13
JI
04/04/14
RT
23/06/13
GN
14/03/14
KETERANGAN
SPB TERAKHIR
ADA
SPB TERAKHIR
ADA
SPB TERAKHIR
ADA
SPB TERAKHIR
ADA
SPB TERAKHIR
ADA
SPB TERAKHIR
ADA
SPB TERAKHIR
ADA
BELUM PERNAH
KELUAR
(STBLKK)
3
HASLINDO 7
4
HASLINDO 8
5
HASLINDO 5
6
HASLINDO 6
7
LULU MARINA 33
8
SINAR ABADI 69
TUNA
PERMATA
REZEKI, PT
PS
9
MINA FAJAR 16
(Eks.
SOMBON
PHOON)
ASROBEN. PT
GN
03/03/14
SPB TERAKHIR
ADA
10
NAILI - XV (EKS.
DAE II NO.301)
LL
16/04/13
SPB TERAKHIR
ADA
11
NAILI – XVI
LL
05/03/13
SPB TERAKHIR
ADA
12
NAILI – II
HL
15/01/14
SPB TERAKHIR
ADA
13
SULTRA MANDIRI
01
ANG
28/08/10
SPB TERAKHIR
ADA
PC
26/08/13
SPB TERAKHIR
ADA
ANG
13/01/15
SPB TERAKHIR
ADA
SAMUDERA
MANDIRI SELATAN,
PT
SAMUDERA
MANDIRI SELATAN,
PT
WENY YUHADI
14
SULTRA MANDIRI 02
SAMUDERA
MANDIRI SELATAN,
PT
SAMUDERA
MANDIRI SELATAN,
PT
15
GLORIA
ARIFIN WIJAYA
Sumber : PPS Nizam Zahman, 2015
Berdasarkan data dan informasi dari Asosiasi Tuna Longline Indonesia (ATLI) terdapat
kapal eks-asing sebanyak 122 kapal dari 45 perusahaan/pemilik yang ada di Benoa, Denpasar.
Kapal tersebut tidak lagi melaut karena terkena aturan Permen KP No 56.
HASIL KEGIATAN|Dampak Moratorium Kapal Ex-Asing terhadap kondisi pasar
tuna indonesia
48
LAPORAN TEKNIS
[KAJIAN KHUSUS BBPSEKP TAHUN 2015]
Dampak Moratorium Kapal Ex-Asing Terhadap Kondisi Pasar Ekspor Tuna
Indonesia
DKI Jakarta
Pelaku usaha khususnya eksportir Tuna di PPS Nizam Zahman, berdasarkan hasil
wawancara tidak merasakan dampak kebijakan moratorium kapal ex asing secara signifikan.
Dampak yang dirasakan lebih kepada kebijakan pelarangan kapal ‘transshipment terhadap
kualitas tuna yang didaratkan. Waktu operasional kapal tuna (longline) yang mencapai 8 bulan
hingga 1 tahun sangat membutuhkan kapal transshipment khususnya untuk produk tuna segar,
tanpa adanya kapal transit akhirnya produk tuna yang dihasilkan oleh kapal long line adalah tuna
beku. Langkah responsif yang dilakukan oleh eksportir tuna karena kesulitan pemenuhan kuota
ekspor tuna segar dan beku adalah :
1. Mengkomunikasikan dengan pihak ‘buyer’ (pembeli) terkait kesulitan pemenuhan kuota
sesuai dengan perjanjian yang telah disepakati, khususnya untuk produk tuna segar.
2. Upaya pemenuhan tuna segar dengan cara membeli tuna segar dari nelayan di Palabuhan
ratu dan Cilacap.
3. Akan dilakukan impor tuna dari negara lain (seperti Jepang, China dan Filipina) dengan
kualitas yang lebih bagus karena penanganan pasca panen yang lebih baik.
4. Mengalihkan komoditas ekspor dari tuna segar menjadi tuna beku karena kualitas tuna
segar yang tidak dapat dipenuhi
5. Mengalihkan pasar tuna ke non eropa atau pasar lain yang tidak membutuhkan sertifikasi
SHTI karena pelarangan kapal transshipment menyulitkan dalam pengurusan lembar
awal SHTI karena beberapa kapal sudah terlanjur berangkat sebelum diberlakukanya
kebijakan pelarangan transshipment sehingga SIPI tidak sesuai dengan SIUP jika ingin
diubah menjadi SIPI laut lepas.
Langkah antisipatif yang dilakukan oleh pelaku usaha khususnya eksportir yang memiliki
kapal transshipment dan kapal penangkap ikan adalah :
1. Merubah fungsi kapal penampung di laut menjadi kapal pengangkut dari pelabuhan ke
pelabuhan (port to port).
2. Merubah SIUP dan SIPI kapal menjadi laut lepas untuk memperluas daerah penangkapan
ikan karena adanya potensi SDI yang belum termanfaatkan akibat adanya pelarangan
armada kapal eks asing
3. Perubahan alat tangkap dari Longline menjadi Gillnet.
Pemerintah : dampaknya thd sistem perijinan dan pengawasan
Kapal ex asing yang berlabuh di PPS Nizam Zahman sampai dengan bulan Maret 2015
hanya berjumlah 15 unit kapal seperti pada Tabel 4-2.9. Khusus kapal longline yang menangkap
ikan tuna hanya berjumlah lima unit yang sudah tidak beroperasi lagi sejak tahun 2013 yang
disebabkan karena ketidakmampuan untuk pembiayaan operasional kapal.
Kebijakan
moratorium ex kapal asing di PPS Nizam Zahman tidak mempengaruhi produksi ikan tuna secara
signifikan karena kapal-kapal tersebut memang sudah berhenti beroperasi sejak tahun 2013.
Beberapa kapal longline ex asing tersebut beralih fungsi menjadi kapal transit.
Dampak moratorium ex kapal asing tidak mempengaruhi sistem perizinan kapal ikan di
PPS Nizam Zahman, karena memang sejak tahun 2013 kapal ex asing dengan alat tangkap
longline sudah tidak memperpanjang perizinan penangkapan ikan lagi. Beberapa perijinan yang
untuk komoditas ikan tuna khususnya untuk pasar luar negeri diantaranya :
1. Health Certificatee (HC) sebagai persyaratan umum untuk ekspor ikan ke luar negeri.
2. Sertifikat Hasil Penangkapan Ikan (SHTI ) sebagai persyaratan untuk pasar Uni Eropa.
HASIL KEGIATAN|Dampak Moratorium Kapal Ex-Asing terhadap kondisi pasar
tuna indonesia
49
LAPORAN TEKNIS
[KAJIAN KHUSUS BBPSEKP TAHUN 2015]
Penerbitan sertifikat hasil tangkap ikan di PPS Nizam Zahman,khususnya untuk Lembar
Turunan mengalami peningkatan dari tahun ke tahun, hal ini menunjukkan bahwa kesadaran
pelaku usaha perikanan (pemilik kapal, eksportir) semakin meningkat dalam hal tertib
administrasi. Perkembangan penerbitan SHTI di PPS Nizam Zahman periode Tahun 2010-2014
dapat dilihat pada Tabel 4-2.9
Sertifikat Hasil Tangkapan Ikan (SHTI) dikeluarkan oleh Direktorat Jenderal Perikanan
Tangkap, Kementerian Kelautan dan Perikanan selaku Otoritas Kompeten (Commpetent
Authority) dan divalidasi oleh unit kerjayang telah ditunjuk sebagai Otoritas Kompeten Lokal.
Sertifikat Hasil Tangkapan Ikan diberikan bagi produk yang akan dieksport ke UniEropa baik
secara langsung maupun tidak langsung dan mulai diberlakukan sejak tanggal 01 Januari 2010
dengan acuan EC Regulation 1005/2008. Sertifikat ini tidak berlaku bagi produk – produk
perikanan dari hasil kegiatan budidaya (air tawar, payau dan laut), produk perikanan air tawar,
ikan hias, kekerangan, rumput laut, scallops dan oyster.
Sertifikat hasil tangkapan ikan (SHTI) diterapkan terhadap semua perdagangan produk
hasil tangkapan perikanan laut, baik yang diolah maupun tidak diolah, berasal dari kapal
penangkap ikan Negara bendera Indonesia dan dieksport melalui / tidak melalui Negara ketiga ke
Negara – Negara Uni Eropa melalui alat pengangkut apapun. SHTI juga diterapkan terhadap
produk hasil tangkapan perikanan laut yang berasal dari kegiatan transshipment dan pengolahan.
Ketentuan tentang transshipment tetap mengacu pada peraturan yang berlaku.
Otoritas KompetenLokal (OKL) yang ditunjuk di pelabuhan masing-masing akan
memvalidasi SHTI setelah terlebih dahulu diverifikasi oleh pihak PSDKP (Pemanfaatan Sumber
Daya Kelautan dan Perikanan) setempat.
Dalampelaksanaan, yang dimaksuddengansertifikathasiltangkapanikanadalah:
1. Sertifikat hasil tangkapan ikan (SHTI), adalah surat keterangan yang menyatakan bahwa
hasil perikanan yang akan dieksport bukan dari kegiatan illegal, unreported and
unregulated (IUU) fishing.
2. SHTI –Lembar Awal adalah surat keterangan yang memuat informasi hasil tangkapan
ikan yang didaratkan dari kapal penangkap ikan untuk tujuan pencatatan.
3. SHTI – Lembar Turunan adalah surat keterangan yang memuat informasi sebagian atau
seluruh hasil tangkapan ikan sesuai dengan lembar awal sebagai dokumen yang
menyertai produk perikanan yang dipasarkan ke UniEropa.
4. SHTI – Lembar Turunan yang Disederhanakan adalah surat keterangan yang memuat
informasi hasil tangkapan ikan yang didaratkan dari kapal penangkap ikan sebagai
dokumen yang menyertai produk perikanan yang dipasarkan ke Uni Eropa.
Tabel 4-2. 9.
Pelaksanaan Penerbitan Sertifikat Hasil Tangkap Ikan di PPS Nizam
Zahman, Tahun 2010-2014
TAHUN
SHTI
TOTAL
PERSENTASE (%)
2010
2011
2012
2013
2014
755
1.040
251
231
252
2.529
17,16
LA
1.201 2.646 1.060 1.849 4.232
10.988
74,55
LT
80
184
139
318
501
1.222
8.29
LTS
TOTAL
14.739
100,00
Sumber : PPS Nizam Zahman, 2015
Keterangan :
LA = Lembar Awal
LT = Lembar Turunan
LTS = Lembar Turunan yang disederhanakan
HASIL KEGIATAN|Dampak Moratorium Kapal Ex-Asing terhadap kondisi pasar
tuna indonesia
50
LAPORAN TEKNIS
[KAJIAN KHUSUS BBPSEKP TAHUN 2015]
Berdasarkan tabel 4-2.9 tersebut diatas dapat diketahui bahwa secara rata-rata terdapat
peningkatan setiap tahunya pada pengurusan SHTI pada PPSNZJ terutama pada SHTI lembar
turunan, hal ini menunjukkan bahwa pada PPSNZJ komoditas ekspor yang dihasilkan kebanyakan
berasal dari daerah lain yang sebagai penerbit lembar awalnya. Lembar turunan tersebut biasanya
diurus oleh UPI setelah adanya SHTI lembar awal , karakteristik di DKI Jakarta yang memiliki
banyak UPI sehingga lebih banyak pengurusan lembar turunan pada daerah ini. Hal tersebut
sekaligus dapat menunjukkan kesadaran dari pelaku usaha untuk memenuhi syarat ekspor dari
negara tujuan, namun yang disayangkan persyaratan pengurusan SHTI hanya berlaku untuk
negara tujuan Uni Eropa sehingga pencatatan tersebut tidak menggambarkan kondisi ekspor
secara nasional. Langkah kedepanya dapat memberlakukan aturan pengurusan SHTI keseluruh
pelaku usaha dengan meningkatkan kesadaran pelaku usaha terhadap traceability dan pelaporan
data dalam mendukung berbagai kebijakan pemerintah untuk meningkatkan sektor perikanan dan
kelautan.
Kebijakan moratorium kapal eks-asing yang telah diberlakukan sejak bulan November
2014 yang kemudian diperpanjang sampai tahun 2015 tentunya berdampak pada kondisi
komoditas tuna Indonesia di pasar ekspor. Untuk melihat sejauh mana dampak kebijakan
moratorium ini terhadap kondisi komoditas tuna Indonesia dipilih lokasi-lokasi penelitian yang
dapat dijelaskan secara detail pada Tabel 4-2.10 di bawah ini.
Tabel 4-2. 10.
Perkembangan Volume dan Nilai Ekspor Komoditas Tuna di DKI
Jakarta Triwulan 4, tahun 2013 (Sebelum Moratorium Kapal Eks Asing)
Tahun 2013
TOTAL
Jenis
Olahan
Tuna
Volume
Nilai
Volume
Nilai
Volume
Nilai
Volume
Nilai
Tuna
Segar
560,261
5,042,347
550,747
4,956,727
624,772
5,622,949
1,735,78
0
15,622,
024
1,198,837
10,789,534
831,415
7,482,736
509,875
4,588,875
2,540,12
7
22,861,
145
-
-
-
-
-
-
Tuna
Beku
Tuna
Kaleng
Oktober
November
Desember
-
Sumber : data LPPMHP Jakarta diolah (2015)
Tabel 4-2. 11.
Perkembangan Volume dan Nilai Ekspor Komoditas Tuna di DKI
Jakarta Triwulan 4, tahun 2014 (Sesudah Moratorium Kapal Eks Asing)
Tahun 2014
TOTAL
Jenis
Olahan
Tuna
Volume
Nilai
Volume
Nilai
Volume
Nilai
Volume
Nilai
Tuna
Segar
361,890
3,257,006
401,300
3,611,702
576,141
5,185,273
1,339,331
12,053,
981
Tuna
Beku
847,791
7,630,119
688,570
6,197,130
760,791
6,847,119
2,297,152
20,674,
368
Tuna
Kaleng
361,890
3,257,006
401,300
3,611,702
576,141
5,185,273
1,339,331
12,053,
981
Oktober
November
Desember
Sumber : data LPPMHP Jakarta diolah (2015)
Tabel 4-2. 12.
Perkembangan Volume dan Nilai Ekspor Komoditas Tuna di DKI
Jakarta Triwulan 1, tahun 2014 (Sebelum Moratorium Kapal Eks Asing)
Tahun 2014
TOTAL
HASIL KEGIATAN|Dampak Moratorium Kapal Ex-Asing terhadap kondisi pasar
tuna indonesia
51
LAPORAN TEKNIS
Jenis
Olahan
Tuna
[KAJIAN KHUSUS BBPSEKP TAHUN 2015]
Januari
Februari
Maret
Volume
Nilai
Volume
Nilai
Volume
Nilai
Volume
Nilai
Tuna
Segar
583,667
19,518,528
390,724
3,516,516
429,657
3,866,911
1,404,048
26,901,9
55
Tuna
Beku
729,942
3,198,171
673,217
6,058,951
435,883
3,922,943
1,839,042
13,180,0
64
Tuna
Kaleng
-
-
-
-
-
-
-
Sumber : data LPPMHP Jakarta diolah (2015)
Tabel 4-2. 13.
Perkembangan Volume dan Nilai Ekspor Komoditas Tuna di DKI
Jakarta Triwulan 1, tahun 2015 (Sesudah Moratorium Kapal Eks Asing)
Tahun 2015
TOTAL
Jenis
Olahan
Tuna
Volume
Nilai
Volume
Nilai
Volume
Nilai
Volume
Nilai
Tuna
Segar
410,674
3,696,064
372,167
9,516,240
244,403
8,125,402
1,027,24
4
21,337,
706
Tuna
Beku
1,013,869
9,124,821
697,023
1,918,083
732,875
3,508,582
2,443,76
7
14,551,
485
-
-
-
-
-
-
Tuna
Kaleng
Januari
Februari
Maret
-
Sumber : data LPPMHP Jakarta diolah (2015)
Pada tabel 4-2.10 diatas menunjukkan data yang dikeluarkan oleh LPPMHP DKI Jakarta
tahun 2013-2015 yang menunjukkan bahwa volume ekspor ikan tuna setelah adanya kebijakan
moratorium kapal ex asing mengalami penurunan pada Triwulan 4 yaitu periode OktoberDesember tahun 2014 yang dibandingkan dengan dengan periode Oktober-Desember tahun 2013
dimana dapat diketahui dari tabel telah terjadi penurunan tuna segar sebesar 23% dan tuna beku
sebesar 10%. Selain itu data juga membandingkan nilai ekspor pada Triwulan 1 yakni JanuariMaret tahun 2014 yang dibandingkn dengan periode Januari-Maret 2015 setelah diberlakukanya
Permen KP 56 Moratoraium Kapal eks asing yang juga secara rata-rata mengalami penurunan
sebesar 27% untuk tuna segar dan mengalami peningkatan pada tuna beku sebesar 33%.
Perubahan volume ekspor tuna dibandingkan antara periode yang sama (pada tahun yang berbeda
diindikasikan karena beberapa faktor penyebab diantaranya :
1. Adanya perubahan kualitas lingkungan perairan laut;
2. Dampak dari beberapa kebijakan yang dikeluarkan oleh KKP terkait penanganan IUU
Fishing (Pelarangan Alat Tangkap, Moratorium Kapal Asing dan Transhipment);
3. Peningkatan kualitas tuna yang didaratkan karena adanya peningkatan penanganan pasca
tangkap
Ekspor ikan Tuna dikelompokkan kedalam dua kelompok besar yaitu Tuna segar dan
Tuna beku dengan pasar utama tujuan ekspor yaitu Jepang, Amerika, Uni Eropa, Timur Tengah
dan Thailand. Pasar ekspor terbesar untuk tuna segar adalah Jepang dengan persentase diatas 70%,
sedangkan tuna beku pasar ekspor terbesar adalah Amerika dan UE dengan kisaran persentase
20-30%. Data pada tabel diatas menunjukkan bahwa terdapat perubahan (shifting) produk tuna
yang dihasilkan setelah adanya kebijakan moratorium. Data ini menunjukkan bahwa ekspor tuna
segar mengalami penurunan sebesar 24%, disisi lain ekspor tuna beku justru mengalami kenaikan
sebesar 8%. Berdasarkan hasil wawancara dengan pelaku usaha/eksportir tuna di PPS Nizam
Zahman, perubahan volume produk tuna yang ekspor bukan karena dampak moratorium eks kapal
asing melainkan karena moratorium kapal transshipment. Waktu operasional kapal longline
HASIL KEGIATAN|Dampak Moratorium Kapal Ex-Asing terhadap kondisi pasar
tuna indonesia
52
LAPORAN TEKNIS
[KAJIAN KHUSUS BBPSEKP TAHUN 2015]
selama 8-12 bulan, tidak memungkinan untuk menghasilkan tuna segar tanpa adanya kapal transit.
Moratorium terhadap kapal transshipment merupakan salah satu penyebab penurunan ekspor ikan
segar. Kapal-kapal longline yang sebelumnya bisa menitipkan tuna segar kepada kapal transit
beralih pada pembekuan tuna langsung diatas kapal. Berdasarkan hasil wawancara juga
menyebutkan bahwa pengaruh dari pelarangan kapal transshipment dirasakan ole pelaku usaha
karena untuk komoditas tuna segar harus dalam kualitas yang baik dan kurang dari 15 hari setelah
penangkapan, sehingga dengan pelarangan transshipment komoditas tuna yang dihasilkan tidak
memenuhi standar untuk diekspor menjadi komoditas tuna segar sehingga dialihkan menjadi tuna
beku.
Tabel 4-2. 14.
Perubahan Volume dan Nilai Komoditas Tuna Indonesia di Pasar Ekspor
pada Triwulan 4
Perubahan (%)
Jenis Olahan Tuna
Okt
Nov
Des
Tuna Segar
Vol
Nilai
Vol
Nilai
-35.41 -35.41 -27.14 -27.14
Tuna Beku
-29.28 -29.28 -17.18 -17.18 49.21 49.21
Tuna Kaleng
Sumber : data LPPMHP Jakarta diolah (2015)
-
Vol
-7.78
Rata-rata
-
Nilai
-7.78
-
Vol
Nilai
-23.44 -23.44
0.92
0.92
-
-
-
Tabel 4-2. 15.
Perubahan Volume dan Nilai Komoditas Tuna Indonesia di Pasar Ekspor
pada Triwulan 1,
Perubahan (%)
Rata-rata
Jenis Olahan Tuna
Jan
Feb
Mar
Vol
Nilai
Vol
Tuna Segar
-29.64
-81.06
-4.75
170.62 -43.12 110.13 -25.83 66.56
Tuna Beku
38.90
185.31
3.54
-68.34
68.14
-10.56
36.86
35.47
-
-
-
-
-
Tuna Kaleng
Sumber : data LPPMHP Jakarta diolah (2015)
Nilai
Vol
Nilai
Vol
Nilai
Berdasarkan tabel 4-2.15 perubahan volume dan nilai komoditas tuna Indonesia pada
triwulan 4 dan triwulan 1 setelah diberlakukanya moratorium kapal eks asing dapat dilihat bahwa
terjadi perubahan yang cukup signifikan untuk komoditas tuna segar yakni penurunan sebsar
23,44% pada triwulan 4 dan 25,83% pada triwulan 1, sedangkan untuk komoditas tuna beku justru
mengalami peningkatan signifikan yakni sebesar 0,92% pada triwulan 4 dan 36,86 % pada
triwulan 1. Hal tersebut menunjukkan bahwa terjadi peralihan komoditas ekspor dari komoditas
tuna segar menjadi tuna beku yang berkaitan juga dengan pemberlakuan kebijakan KKP tentang
pelarangan kapal transshipment sehingga menyebabkan bahan baku tuna segar sulit diperoleh
pelaku usaha.
Selain melihat perubahan yang terjadi pada sisi volume dan nilai komoditas tuna
Indonesia di pasar ekspor, juga melihat perubahan harga komoditas berdasarkan jenis tuna yang
di ekspor (segar, beku dan kaleng)seperti dijelaskan pada tabel 4-2.16 di bawah ini.
Tabel 4-2. 16.
Perubahan Harga Komoditas Tuna Indonesia di Pasar Ekspor, tahun
2014-2015
Jenis Olahan Tuna
Perubahan Harga (%)
Rata-Rata
Okt
Nov
Des
Jan
Feb
Mar
HASIL KEGIATAN|Dampak Moratorium Kapal Ex-Asing terhadap kondisi pasar
tuna indonesia
53
LAPORAN TEKNIS
[KAJIAN KHUSUS BBPSEKP TAHUN 2015]
Tuna Segar
0.00
0.00
0.00
-73.09
184.11
269.40
63.40
Tuna Beku
0.00
0.00
0.00
105.41
-69.42
-46.81
-1.80
Tuna Kaleng
Sumber : Data LPPMHP DKI Jakarta diolah 2015
Tabel 4-2.16 di atas menunjukan perubahan harga komoditas tuna Indonesia di pasar
ekspor. Perubahan harga ini dilihat berdasarkan jenis tuna (segar, beku dan kaleng). Secara rinci
rata-rata perubahan harga untuk tuna segar dimana mengalami kenaikan sebesar 63,44%,
sedangkan untuk komoditas tuna beku mengalami penurunan sebesar 1,80 % . Jika dilihat secara
rinci perubahan harga komoditas tuna segar pada bulan Januari terjadi penurunan harga sebesar
73,09%, yang kemudian meningkat secara signikan pada bulan Februari sebesar 184,11%, dan
kembali meningkat pada bulan Maret sebesar 269,40%. Perbandingan harga untuk komoditas
Tuna beku pada bulan Januari mengalami kenaikan harga sebesar 105,41% yang kemudian
mengalami penurunan sebesar 69,42% pada bulan Februari dan 46,81% pada bulan Maret.
Secara umum yang mengalami perubahan signifikan adalah harga tuna segar yang secara ratarata naik sebesar 63,40% namun hal ini juga dibarengi dengan penurunan volume ekspor
komoditas tuna segar dari DKI Jakarta yang disebabkan sulitnya bahan baku yang memenuhi
standar kualitas ekspor tuna segar.
Provinsi Bali
Kebijakan moratorium kapal eks-asing yang telah diberlakukan sejak bulan November
2014 tentunya berdampak pada kondisi komoditas tuna Indonesia di pasar ekspor. Untuk melihat
sejauh mana dampak kebijakan moratorium ini terhadap kondisi komoditas tuna Indonesia dipilih
lokasi-lokasi penelitian yang dapat dijelaskan secara detail pada tabel-tabel di bawah ini.
Tabel 4-2. 17.
Perkembangan Volume dan Nilai Ekspor Komoditas
Benoa, tahun 2014
2014
Januari
Februari
Jenis Olahan
Tuna
Volume
Nilai
Volume
Nilai
Tuna di Pelabuhan
Maret
Volume
Nilai
Tuna Segar
406.551
2.416.648
311.767
1.963.763
496.679
3.135.258
Tuna Beku
473.611
2.267.524
487.934
2.107.512
648.297
2.105.885
-
202.835
745.162
238.412
975.980
Tuna Kaleng
Sumber : data diolah (2015)
Pada Tabel di atas menunjukan perkembangan volume dan nilai Ekspor Komoditas Tuna
Indonesia tahun 2014 dimana jika dilihat berdasarkan volume nya untuk tuna segar pada bulan
Januari, Februari dan Maret masing-masing mencapai 406.551 Kg, 311.767 Kg dan 496.679 Kg.
Jika dilihat dari sisi nilainya pada bulan Januari mencapai US$ 2.416.648 namun pada bulan
Februari terjadi penurunan sebesar US$ 1.963.763. selanjutnya pada bulan Maret terjadi kenaikan
sebesar US$ 3.135.258. selanjutnya tuna beku pada bulan Januari sampai bulan Maret 2014
dilihat dari sisi volumenya terjadi kenaikan yang semula sebesar 473.611 Kgpada bulan Januari
menjadi 487.934 Kg pada bulan Februari dan selanjutnya naik sebesar 646.297 Kg pada bulan
Maret 2014. Namun pada sisi nilai sama halnya dengan tuna segar dimana terjadi fluktuasi nilai
pada bulan januari sebesar US$ 2.267.524 menjadi US$ 2.107.512 pada bulan Februari dan bulan
Maret menjadi US$ 2.105.885. pada tuna kaleng bulan Januari tidak terjadi ekspor tuna kaleng,
namun pada bulan Februari dan Maret ekspor tuna kaleng terjadi kenaikan baik dari sisi volume
dan nilai yaitu masing-masing untuk volume 202.835 Kg bulan februari menjadi 238.412 Kg.
Sedangkan untuk nilainya semula sebesar US$ 745.162 mencapai US$ 975.980.
HASIL KEGIATAN|Dampak Moratorium Kapal Ex-Asing terhadap kondisi pasar
tuna indonesia
54
LAPORAN TEKNIS
[KAJIAN KHUSUS BBPSEKP TAHUN 2015]
Tabel 4-2. 18.
Jenis
Tuna
Perkembangan Volume dan Nilai Ekspor Ikan Tuna di Pelabuhan Benoa,
Tahun 2015
2015
Olahan
Jan
Feb
Mar
Volume
Nilai
Volume
Nilai
Volume
Nilai
Tuna Segar
286.915
1.857.476
396.567
3.289.009
312.171
1.853.940
Tuna Beku
999.764
3.630.840
1.338.251
6.656.400
718.542
4.039.741
150.486
82.505
343.182
187.365
788.962
Tuna Kaleng
33.731
Sumber : data diolah (2015)
Pada Tabel di atas menunjukan perkembangan volume dan nilai Ekspor Komoditas Tuna
Indonesia taahun 2015 dimana jika dilihat berdasarkan volume nya untuk tuna segar pada bulan
Januari, Februari dan Maret masing-masing mencapai 286.915 Kg, 396.567 Kg dan 312.171
Kg. Jika dilihat dari sisi nilainya pada bulan Januari mencapai US$ 1.857.476 namun pada bulan
Februari terjadi kenaikan sebesar US$ 3.289.009. selanjutnya pada bulan Maret terjadi penurunan
sebesar US$ 1.853.940. selanjutnya tuna beku pada bulan Januari sampai bulan Maret 2014
dilihat dari sisi volumenya terjadi kenaikan yang semula sebesar 999.764 Kg pada bulan Januari
menjadi 1.338.251 Kg pada bulan Februari dan selanjutnya naik sebesar 718.542 Kg pada bulan
Maret 2014. Namun pada sisi nilai sama halnya dengan tuna segar dimana terjadi fluktuasi nilai
pada bulan januari sebesar US$ 3.630.840 menjadi US$ 6.656.400 pada bulan Februari dan bulan
Maret menjadi US$ 4.039.741. pada tuna kaleng bulan Januari sebesar 33.731 Kg tuna kaleng,
bulan Februari dan Maret ekspor tuna kaleng terjadi kenaikan baik dari sisi volume dan nilai yaitu
masing-masing untuk volume 82.505 Kg bulan februari menjadi 187.365 Kg. Sedangkan untuk
nilainya semula sebesar US$ 150.486 mencapai US$ 343.182 pada bulan Februari dan
US$ 788.962. Selanjutnya dengan melihat perkembangan volume dan nilai komoditas tuna
Indonesia di pasar ekspor dapat dilihat perubahannya pada masing-masing jenis tuna (baik tuna
segar, tuna beku dan tuna kaleng) dengan membandingkan kedua jenis tuna tersebut di bulan
Januari, Februari dan Maret pada tahun 2014 dan bulan yang sama tahun 2015 seperti dijelaskan
pada tabel di bawah ini.
Tabel 4-2. 19.
Perubahan Volume dan Nilai Komoditas Tuna Indonesia di Pasar Ekspor
Perubahan (%)
Rata-rata
Jenis Olahan
Jan
Feb
Mar
Tuna
Vol
Nilai
Vol
Nilai
Vol
Nilai
Vol
Nilai
Tuna Segar
(29)
(23)
27
67
(37)
(41)
(13)
1
Tuna Beku
111
60
174
216
11
92
99
123
(59)
(54)
(21)
(19)
(27)
(24)
Tuna Kaleng
Sumber : Data primer diolah (2015)
Tabel di atas menunjukan bahwa secara rata-rata pada triwulan pertama (bulan januari
sampai Maret) volume ikan tuna segar mengalami penurunan untuk tuna segar mengalami
penurunan sebesar 13% sedangkan nilainya mengalami kenaikan sebesar 1%. Jika dilihat per
bulan untuk tuna segar di bulan Januari mengalami penurunan volume dan nilai masing-masing
sebesar 29% dan 23%. Di bulan Februari terjadi kenaikan baik sisi volume dan nilai masingmasing sebesar 27% dan 67%, akan tetapi di bulan maret terjadi penurunan volume dan nilai tuna
segar masing-masing sebesar 37% dan 41%. Pada tuna beku secara rata-rata baik volume dan
nilai terjadi kenaikan sebesar 99% dan 123%. Jika dilihat secara rinci per bulannya (Januari
HASIL KEGIATAN|Dampak Moratorium Kapal Ex-Asing terhadap kondisi pasar
tuna indonesia
55
LAPORAN TEKNIS
[KAJIAN KHUSUS BBPSEKP TAHUN 2015]
sampai Maret pada tahun 2014 dan 2015 terlihat baik secara volume dan nilai tuna beku terjadi
kenaikan sebesar 111% (sisi volume) dan 60% (sisi nilai ). Pada bulan Februari pun terjadi
kenaikan volume sebesar 174% dan nilai sebesar 216%. Di bulan Maret terjadi kenaikan sebesar
11% untuk volume dan 92% untuk nilai. Tuna kaleng secara rata-rata terjadi penurunan volume
sebesar 27% dan nilai sebesar 24%. Secara rinci tuna kaleng bulan Februari terjadi penurunan
volume dan nilai masing-masing sebesar 59% dan 54%, sedangkan di bulan Maret terjadi
penurunan sebesar 21% dan 19%. Selain melihat perubahan yang terjadi pada sisi volume dan
nilai komoditas tuna Indonesia di pasar ekspor, juga melihat perubahan harga komoditas
berdasarkan jenis tuna yang di ekspor (segar, beku dan kaleng)seperti dijelaskan pada tabel di
bawah ini.
Tabel 4-2. 20.
Perubahan Harga Komoditas Tuna Indonesia di Pasar Ekspor, tahun
2014-2015
Perubahan Harga (%)
Jenis Olahan Tuna
Jan
Feb
Mar
Rata-rata (%)
Tuna Segar
8,911207
Tuna Beku
-24,1459
Tuna Kaleng
0
Sumber : data diolah 2015
31,670885
15,157729
13,223462
-5,91803
73,07756
2,862136
11,55468675
21,36312329
5,361866046
Tabel 4-2.20 menunjukan perubahan harga komoditas tuna di pasar ekspor. Perubahan
harga ini dilihat berdasarkan jenis tuna (segar, beku dan kaleng). Secara rinci rata-rata perubahan
harga tuna segar mengalami kenaikan sebesar 11,55%, tuna beku sebesar 21,36% dan tuna kaleng
sebesar 5,36%. Jika dilihat secara rinci perubahan harga komoditas tuna segar pada bulan Januari
terjadi kenaikan sebesar 8,91%, bulan Februari sebesar 31,67%, akan tetapi pada bulan Maret
mengalami penurunan harga sebesar -5,92%. Perbandingan Tuna beku pada tahun 2014 dan tahun
2015 pada bulan Januari mengalami penurunan sebesar -24,14%, akan tetapi pada bulan Februari
dan Maret masing-masing terjadi kenaikan sebesar 15,16% dan 73,08%. Tuna kaleng pada bulan
Januari tidak mengalami perubahan namun pada bulan Februari terjadi kenaikan sebesar 13,22%
dan 2,8% kenaikan pada bulan Maret.
Kesimpulan dan Rekomendasi Kebijakan
Kesimpulan
Tuna merupakan salah satu komoditas perikanan yang memiliki nilai ekonomis tinggi.
Seiring dengan adanya Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan No. 56 tentang adanya
Moratorium Kapal Ex Asing menimbulkan beberapa dampak terhadap Pasar Tuna di lokasi
penelitian sebagai berikut.
Lokasi Bali :
1. Menurut informasi dari ATLI yang berpusat di Bali terdapat kapal eks asing sebanyak
122 unit yang tidak lagi beroperasi melakukan penangkapan tuna karena kebijakan
moratorium kapal eks asing.
2. Secara rata-rata pada triwulan pertama (bulan januari sampai Maret) volume ikan tuna
segar mengalami penurunan untuk tuna segar mengalami penurunan sebesar 13%
sedangkan nilainya mengalami kenaikan sebesar 1%.
3. Pada bulan Januari untuk tuna segar mengalami penurunan volume dan nilai masingmasing sebesar 29% dan 23%. Di bulan Februari terjadi kenaikan baik sisi volume dan
HASIL KEGIATAN|Dampak Moratorium Kapal Ex-Asing terhadap kondisi pasar
tuna indonesia
56
LAPORAN TEKNIS
[KAJIAN KHUSUS BBPSEKP TAHUN 2015]
nilai masing-masing sebesar 27% dan 67%, akan tetapi di bulan maret terjadi penurunan
volume dan nilai tuna segar masing-masing sebesar 37% dan 41%.
4. Pada tuna beku secara rata-rata baik volume dan nilai terjadi kenaikan sebesar 99% dan
123%. Jika dilihat secara rinci per bulannya (Januari sampai Maret pada tahun 2014 dan
2015 terlihat baik secara volume dan nilai tuna beku terjadi kenaikan sebesar 111% (sisi
volume) dan 60% (sisi nilai ). Pada bulan Februari pun terjadi kenaikan volume sebesar
174% dan nilai sebesar 216%. Di bulan Maret terjadi kenaikan sebesar 11% untuk volume
dan 92% untuk nilai.
5. Tuna kaleng secara rata-rata terjadi penurunan volume sebesar 27% dan nilai sebesar
24%. Secara rinci tuna kaleng bulan Februari terjadi penurunan volume dan nilai masingmasing sebesar 59% dan 54%, sedangkan di bulan Maret terjadi penurunan sebesar 21%
dan 19%.
6. Rata-rata perubahan harga untuk tuna segar dimana mengalami kenaikan sebesar 11,55%,
tuna beku sebesar 21,36% dan tuna kaleng sebesar 5,36%.
Lokasi Jakarta :
1. Berdasarkan data dari PPSNZJ diketahui bahwa hanya ada 15 kapal eks asing yang
berpangkalan di DKI Jakarta dan sebagian besar diantaranya sudah tidak beroperasi
sehingga dampak dari Permen KP 56 tahun 2014 tentang Moratorium Perizinan Usaha
Perikanan Tangkap tidak berdampak signifikan terhadap ekspor dari DKI Jakarta.
2. Secara rata-rata pada triwulan keempat (oktober-desember) sejak diberlakukanya Permen
KP 56 tahun 2014 volume ekspor tuna mengalami penurunan sebesar 16% namun
mengalami peningkatan sebesar 3% pada triwulan 1 (bulan januari sampai Maret) .
3. Komoditas ekspor tuna dari daerah DKI Jakarta terdiri dari tuna segar dan tuna beku,
dimana pada triwulan 4 (oktober-desember) tuna segar mengalami penurunan sebesar
23% dan 27% pada triwulan 1 (januari-maret)
4. Komoditas ekspor tuna beku yang berasal dari DKI Jakarta mengalami penurunan
sebesar 10% pada triwulan 4 (oktober-desember) namun mengalami peningkatan sebesar
33% pada triwulan 1 (januari-maret)
5. Penurunan volume ekspor secara signifikan dialami oleh komoditas tuna segar terutama
pada bulan Oktober, Januari dan Maret.. Sedangkan untuk tuna beku justru mengalami
kenaikan volume ekspor pada bulan Desember, Januari dan Maret.
6. Rata-rata perubahan harga untuk tuna segar pada periode pemberlakuan permen KP 56
tahun 2014 mengalami kenaikan sebesar 63,40% sedangkan untuk tuna beku justru
mengalami penurunan sebesar 1,80%
7. Pelaku usaha di DKI Jakarta lebih mengeluhkan kebijakan pelarangan transshipment
yang menyebabkan kesulitan memperoleh kualitas bahan baku tuna segar sehingga
banyak mengalihkan produksinya menjadi tuna beku. Selain itu kebijakan tersebut juga
berkaitan dengan efisiensi biaya operasional.
Rekomendasi Kebijakan
Penurunan volume produksi yang dapat berdampak pada penurunan volume ekspor
hendaknya harus diimbangi dengan adanya peningkatan harga ekspor sehingga nilai ekspor tidak
mengalami penurunan. Jika terjadi penurunan makan dapat berdampak pada penerimaan devisa
negara yang secara makro dapat menyebabkan penurunan kontribusi PDB dari sektor perikanan.
Pemberlakuan Permen KP 56 tahun 2014 tentang Moratorium Perizinan Usaha Perikanan
Tangkap di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia yang diperpanjang
HASIL KEGIATAN|Dampak Moratorium Kapal Ex-Asing terhadap kondisi pasar
tuna indonesia
57
LAPORAN TEKNIS
[KAJIAN KHUSUS BBPSEKP TAHUN 2015]
berlakunya dengan penerbitan Permen KP 10 Tahun 2015 tentang perubahan Permen KP 56
Tahun 2014 berdasarkan hasil kajian dihasilkan beberapa rekomendasi sebagai berikut:
1.
Perlu untuk disiapkan armada penangkapan ikan dari lokal dan penguatan SDM. Hal ini
disebabkan karena terdapat potensi yang tidak termanfaatkan pada daerah penangkapan
tertentu yang sebelumnya banyak beroperasi kapal eks asing karena pelarangan kapal eks
asing tidak disiapkan armada pengganti untuk memanfaatkan sumberdaya tersebut
Perlu adanya evaluasi terhadap pelarangan kapal eks asing, harus dilakukan verifikasi
secara benar dan pengawasan melekat terhadap kepemilikan kapal tersebut apabila
memang dikelola dan dimanfaatkan oleh WNI diperbolehkan untuk beroperasi
Perlunya pemberlakuan pelaporan SHTI bagi semua pelaku usaha penangkapan ikan untuk
menjamin asal-usul kapal tidak hanya terbatas bagi pelaku usaha dengan tujuan ekspor uni
eropa, hal ini akan mempermudah mekanisme pengawasan pencatatan data ikan dan
membantu apabila akan dilakukan kebijakan kuota terhadap sumberdaya.
Peningkatan pengawasan terhadap pelaksanaan kebijakan moratorium kapal eks asing
sehingga tepat sasaran
2.
3.
4.
Daftar Pustaka
KKP. 2014. Statistik Ekspor Komoditas Perikanan Indonesia 2013. Direktorat Jenderal
Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perikanan (P2HP).
Kurniawan, A. 2014. Susi Usul Subsidi untuk Kapal Besar
http://www.indopos.co.id/2014/11/susi-usul-subsidi-untuk-kapal-besardihapuskan.html.
Laoli,
N.
2015.
Ekspor
Tuna
Pengusaha
Tuna
http://industri.kontan.co.id/news/pengusaha-tuna-siap-ekspor
Dihapuskan.
Siap
Ekspor.
Nurhayat, W. 2014. 2014. Menteri Susi: Kerugian Akibat Illegal Fishing Rp 240 Triliun.
http://finance.detik.com/read/2015/02/06/143512/2825834/4/dampak-kebijakan-menteri-susidari-1300-kapal-eks-asing-hanya-67-yang-berlayar.
Sularso, A. 2015. Impliksi Moratorium Kapal Eks Asing. http://ajisularso.com/implikasimoratorium-kapal-ikan-eks-asing/.
Susant,
I. 2015. Tuna Indonesia Dihargai Lebih Tinggi. http://www.koransindo.com/read/973227/150/tuna-indonesia-dihargai-lebih-tinggi-1425693969
Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap. 2014. Buku Statistik 2013 Pelabuhan Perikanan
Samudera Nizam Zachman. Jakarta
HASIL KEGIATAN|Dampak Moratorium Kapal Ex-Asing terhadap kondisi pasar
tuna indonesia
58
LAPORAN TEKNIS
4.3.
[KAJIAN KHUSUS BBPSEKP TAHUN 2015]
Prakiraan Dampak Implementasi Peraturan Menteri KP No. 2/2015 pada
Usaha Perikanan Tangkap
Pendahuluan
Latar Belakang
Potensi sumber daya kelautan perikanan (KP), merupakan kekayaan yang dikuasai negara
dan perlu dijaga kelestariannya, serta dimanfaatkan untuk kesejahteraan rakyat. Hal ini sesuai
dengan amanat Pasal 33, Ayat (3), Bab XIV, Undang-undang Dasar 1945: “bumi dan air dan
kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk
sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”. Ketentuan pasal tersebut, merupakan landasan
konstitusional dan menjadi garis petunjuk pengaturan berbagai hal yang berkaitan dengan
pengelolaan sumber daya. Mengacu kepada hal tersebut, Kementerian Kelautan dan Perikanan
(KKP) memberlakukan Peraturan Menteri KP Nomor Peraturan Menteri KP Nomor 2 Tahun 2015,
tentang Larangan Penggunaan Alat Penangkapan Ikan Pukat Hela (Trawls) dan Pukat Tarik (Seine
Nets) di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia (Permen KP No. 2/2015).
Permen KP No. 2/2015, pemberlakuannya dimaksudkan untuk mengatur mengenai
penggunaan alat tangkap Pukat Hela dan Pukat Tarik, yang sudah menyebabkan berkurangnya
sumber daya ikan (SDI) dan mengancam kelestarian. Potensi SDI sebagaimana dimaksudkan
dalam kedua peraturan tersebut membutuhkan pembangunan sistem hukum secara holistik, agar
dapat menciptakan manajemen yang tertib dalam implementasinya. Pemberdayaan hukum yang
dilakukan pemerintah sebagai politik pembangunan SDI, bertujuan untuk menjaga potensi SDI
secara lestari atas dasar partisipatif aktif dan bermanfaat.
Pemberdayaan perlu dilakukan, guna menindaklanjuti menurunnya populasi yang sudah
mengancam kelestarian. Parameter yang termuat dalam kedua Permen tersebut, mengacu kepada
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004, tentang Perikanan, sebagaimana telah diubah dengan
Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31
Tahun 2004 tentang Perikanan, yang termuat dalam Pasal 6, ayat (1):
(1) Pengelolaan perikanan dalam wilayah pengelolaan periknan Republik Indonesia
dilakukan untuk tercapainya manfaat yang optimal dan berkelanjutan, serta terjaminnya
kelestarian sumber daya ikan.
Permen KP 2/2015, sangat diperlukan untuk menjaga keberlangsungan sumber daya ikan,
agar dapat berkontribusi terhadap masyarakat kelautan dan perikanan. Paradigma ekonomi dalam
angka yang dijadikan dasar mengelola sumber daya ikan selama ini, harus segera diseimbangkan
dengan menekan berbagai kemungkinan dampak negatif. Keberadaan Permen KP No. 2/2015,
menjadi penting sebagai penjaga nilai strategis untuk menselaraskan pembangunan Kelautan dan
Perikanan (KP) dengan pelestarian. Menurut Supriatna (2008), pengelolaan sumber daya harus
lestari dan berkelanjutan, sehingga manfaatnya dapat dinikmati generasi penerus.
Permasalahan
Penerbitan Permen KP No. 2/2015, muatan materinya banyak menimbulkan polemik
terhadap pelaku perikanan. Penolakan pemberlakuan terjadi oleh nelayan yang selama ini
menggunakan alat tangkap Pukat Hela dan Pukat Tarik untuk mencari ikan. Penerapan Permen
KP No. 2/2015, justru menyebabkan nelayan yang menggunakan alat tangkap tersebut tidak dapat
melaut (izinnya tidak keluar) dan tidak mendapatkan penghasilan. Pemerintah (KKP) sebagai
otoritas yang bertanggung jawab terhadap lahirnya Permen KP Permen KP No. 2/2015, sampai
saat ini belum memberikan solusi atas diterbitkannya kebijakan tersebut.
HASIL KEGIATAN|Prakiraan Dampak Implementasi Peraturan Menteri KP No.
2/2015 pada Usaha Perikanan Tangkap
59
LAPORAN TEKNIS
[KAJIAN KHUSUS BBPSEKP TAHUN 2015]
Tujuan Penelitian
1.
2.
3.
Mengkaji kebijakan Permen KP No. 2/2015.
Mengkaji prakiraan dampak sosial ekonomi terhadap diberlakukannya Permen KP No.
2/2015.
Merumuskan rekomendasi kebijakan terkait disahkannya Permen KP No. 2/2015.
Metode Penelitian
Pendekatan Penelitian
Penelusuran dan pengkajian materi ketentuan Permen KP No. 2/2015 serta dampak sosial,
dilakukan secara kualitatif. Kajian difokuskan untuk menggali informasi mengenai materi pokok
yang menjadi faktor diterbitkannya kedua peraturan tersebut. Hasil kajian yang diperoleh,
selanjutnya diinterpretasikan menggunakan teori yang relevan dan dikaitkan dengan prakiraan
dampak implementasinya. Keluaran interpretasi tersebut dirangkum menjadi kajian hukum dan
dampak sosial, serta wacana kebijakan lanjutan, dalam mendorong perbaikan/perubahan berbagai
ketentuan ke arah yang lebih baik.
Kajian untuk menghasilkan dampak ekonomi dari penerapan kedua Peraturan tersebut,
maka akan dilakukan simulasi dengan menggunakan model ekonomi makro pembangunan KP
2014. Model tersebut merupakan sebuah model kesetimbangan umum dalam bentuk computable
general equilibrium (CGE), yang dikembangkan oleh BBPSEKP sejak tahun 2014, sehingga
terkustomisasi untuk menganalisis dampak kebijakan terhadap performa baik perekonomian
nasional maupun perekonomian sektor KP.
Kebutuhan Data
1. Simulasi Dampak
Sebagai input bagi kegiatan simulasi dampak dampak PERMEN KP 2 2015, akan
dibutuhkan data sekunder berupa jumlah alat tangkap baik alat tangkap secara total maupun
khusus berbagai alat tangkap yang terkena dampak dari peraturan tersebut. Data-data yang
diperlukan tersebut akan diperoleh di instansi-instansi penyedia data terkait, seperti Pusat Data
dan Informasi KKP (PUSDATIN KKP), Ditjen Perikanan Budidaya, dan Ditjen Perikanan
Tangkap.
2. Permodelan Ekonomi
Data dasar yang dipergunakan oleh model ekonomi makro pembangunan KP adalah Tabel
Input-Output (I-O) 2008 yang dipublikasikan oleh Biro Pusat Statistik (BPS). Tabel I-O pada
dasarnya adalah sebuah matriks NxN yang menggambarkan saling keterkaitan berbagai sektor
dalam sebuah perekonomian. Apabila dibaca secara baris, tabel I-O menggambarkan bagaimana
output suatu sektor akan diserap oleh sektor-sektor lain, dan oleh permintaan akhir (Konsumsi,
Pemerintah, Investas dan Net-Ekspor). Sedangkan jika dibaca secara kolom, maka tabel I-O
menggambarkan struktur biaya produksi suatu sektor atau dengan kata lain dari sektor mana saja
input bagi produksi suatu sektor diperoleh dan berapa besaran Nilai Tambah yang timbul dari
proses produksi di suatu sektor (Miller & Blair, 1985).
Tabel I-O 2008 tersebut ternyata tidak memiliki struktur perekonomian yang cukup
representatif bagi sektor Kelautan dan Perikanan (KP), karena hanya diwakili oleh hanya satu
sektor Perikanan saja. Oleh karena itu, dirasa perlu untuk dilakukan proses disagregasi agar
berbagai produk KP dapat lebih terwakili di dalam tabel I-O 2008 tersebut. Pada tabel I-O yang
dipergunakan pada kajian ini, sektor Perikanan didisagregasi menjadi tujuh kelompok produk
yaitu: Tuna, Tongkol dan Cakalang (TTC), Perikanan Tangkap Lain, Patin, Kerapu, Rumput Laut,
HASIL KEGIATAN|Prakiraan Dampak Implementasi Peraturan Menteri KP No.
2/2015 pada Usaha Perikanan Tangkap
60
LAPORAN TEKNIS
[KAJIAN KHUSUS BBPSEKP TAHUN 2015]
Perikanan Budidaya Lain, dan Udang. Selain itu, Industri Pengolahan Makanan juga dipecah
menjadi tiga kelompok produk: Industri Ikan Olahan, Industri Ikan Kering, dan Industri Makanan
Lain. Sehingga Tabel I-O 2008 yang semula berisi 66 sektor, mengembang menjadi 75 sektor
(Tajerin, et al., 2014).
Model Ekonomi Makro Pembangunan KP
Tabel I-O 2008 yang telah didisagregasi menjadi 75 sektor, selanjutnya dijadikan
database bagi model Computable General Equilibrium (CGE) yang dipergunakan melakukan
simulasi kebijakan moratorium untuk menghasilkan perkiraan dampak ekonomi dari kebijakan
moratorium. Model CGE yang dipergunakan tersebut dikembangkan oleh Balai Besar Penelitian
Sosial Ekonomi Kelautan dan Perikanan pada tahun 2013, dan dikembangkan lebih lanjut pada
tahun 2014 ini (Tajerin, et al., 2014; Zulham, et al., 2013).
Model kesetimbangan umum sangat berguna untuk melihat dampak dari perubahan suatu
variabel – semisal permintaan akhir – terhadap kesetimbangan perekonomian secara keseluruhan.
Meskipun demikian, kekurangan dari model kesetimbangan umum ini adalah sifat analisisnya
yang sangat linier. Oleh karena itu, model CGE dikembangkan sebagai upaya untuk menutupi
kekurangan dari model-model terdahulu tersebut, melalui diterapkannya persamaan-persamaan
yang non-linier di dalam model CGE (Horridge J. M., 2008).
Model CGE yang dikembangkan oleh BBPSEKP tersebut dibangun dengan mengadopsi
model ORANI-G. ORANI adalah sebuah model ekonomi keseimbangan umum aplikatif dari
Australia, yang pertamakali dikembangkan pada tahun 1970an. Model-model awal dari ORANI
bersifat statis, sedangkan versi terkini dari ORANI – semacam ORANI-F dan MONASH – telah
memadukan elemen dinamis. ORANI-G terdiri dari berbagai persamaan yang menggambarkan
keadaan pada suatu waktu tertentu dari:
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
Permintaan produsen terhadap input dan faktor produksi primer;
Suplai komoditas;
Permintaan input bagi pembentukan model;
Permintaan rumahtangga;
Permintaan ekspor;
Permintaan pemerintah;
Hubungan antara nilai dasar terhadap biaya produksi dan harga konsumen;
Kondisi keseimbangan bagi komoditas dan faktor produksi primer; dan
Berbagai variabel makroekonomi dan indeks harga.
Persamaan permintaan dan suplai bagi pelaku swasta diturunkan dari penyelesaian
permasalahan optimasi (minimisasi biaya, memaksimalkan utilitas, dll.) yang diasumsikan
mendasari perilaku dari para pelaku ekonomi sesuai dengan mazhab ekonomi neoklasik. Para
pelaku ekonomi diasumsikan bersifat price takers, dan para produsen menghadapi pasar
persaingan sempurna yang mencegah diperolehnya keuntungan murni (Dixon, 1982; Horridge, et.
al., 1988; Horridge, 2003).
Simulasi Dampak PERMEN KP No. 2/2015
Seperti telah dikemukakan pada bagian terdahulu, bahwa pemberlakuan PERMEN KP
No. 2 Tahun 2015 akan mengakibatkan pelarangan beroperasi bagi alat tangkap golongan trawl
di wilayah perairan Indonesia. Berdasarkan data yang diperoleh dari Ditjen Perikanan Tangkap,
KKP, terdapat enam jenis alat tangkap tergolong trawl yang dilarang beroperasi di perairan
Indonesia, yaitu:
1. Pukat Tarik Udang Ganda;
2. Pukat Tarik Udang Tunggal;
3. Pukat Tarik Berbingkai;
HASIL KEGIATAN|Prakiraan Dampak Implementasi Peraturan Menteri KP No.
2/2015 pada Usaha Perikanan Tangkap
61
LAPORAN TEKNIS
[KAJIAN KHUSUS BBPSEKP TAHUN 2015]
4. Pukat Tarik Ikan;
5. Payang (Termasuk Lampara);
6. Dogol (Termasuk Lamdas, Jaring Arad dan Cantrang).
Tabel 4-3.1 menunjukkan secara terperinci data statistik jumlah unit, volume produksi,
serta produktivitas dari keenam alat tangkap tersebut. Dengan menjumlahkan data persentase
kontribusi produktivitas keenam alat tangkap tersebut, maka dapat diperoleh angka perkiraan total
penurunan produktivitas usaha perikanan tangkap sektor KP akibat penerapan PERMEN KP No.
2 2015, yaitu sebesar 24%. Angka 24% tersebut akan dipergunakan sebagai dasar bagi Simulasi1, yang menggambarkan kondisi pada saat diberlakukannya PERMEN KP No. 2 2015, sehingga
mengakibatkan terjadinya penurunan produktivitas (sebesar 24%) akibat tidak dapat
beroperasinya keenam alat tangkap tersebut.
Tabel 4-3. 1.
Data Statistik Enam Alat Tangkap yang Terkena PERMEN KP No. 2 2015
Produksi
Produktivitas
Alat Tangkap
Unit
Share
(Ton)
(Ton/Unit)
1.164
30.961
26,60
9%
1 Pukat Tarik Udang Ganda
4.387
25.011
5,70
2%
2 Pukat Tarik Udang Tunggal
3.109
515
0,17
0%
3 Pukat Tarik Berbingkai
10.884
245.692
22,57
7%
4 Pukat Tarik Ikan
31.190
267.438
8,57
3%
5 Payang (Termasuk Lampara)
Dogol (Termasuk Lamdas,
26.413
241.155
9,13
3,03%
6
Jaring Arad, Cantrang)
Total
24%
Sumber: Data Statistik Perikanan Tangkap 2013, Ditjen Perikanan Tangkap-KKP
Terkait dengan maraknya protes atas penerapan PERMEN KP No. 2 2015 ini, akhir-akhir
ini telah muncul wacana counter policy untuk mengatasi dampak negatif yang dirasakan oleh para
pengguna alat tangkap yang dilarang tersebut, melalui pemberian bantuan berupa alat tangkap
alternatif. Oleh karena itu, selain Simulasi-1, pada penelitian ini juga akan dilakukan Simulasi-2,
untuk menunjukkan dampak ekonomi dari counter policy tersebut. Tabel 4-3.2. menunjukkan
hasil olahan data statistik dari empat alat tangkap yang akan diberikan kepada para nelayan
sebagai pengganti keenam alat tangkap yang dilarang.
Tabel 4-3. 2.
Data Statistik Empat Alat Tangkap Pengganti
Produktivitas
Alat Tangkap
Unit
Produksi (Ton)
(Ton/Unit)
22.310
1.178.597
52,83
1 Pukat Cincin
131.135
542.792
4,14
2 Jaring Insang Hanyut
20.255
160.825
7,94
3 Jaring Insang Lingkar
111.361
421.330
3,78
4 Jaring Insang Tetap
Total
Sumber: Data Statistik Perikanan Tangkap 2013, Ditjen Perikanan Tangkap-KKP
Share
18%
1%
3%
1%
23%
Dari tabel 4-3.2 tersebut diperoleh informasi bahwa pada tahun 2013 yang lalu, keempat
alat tangkap tersebut secara total memberikan kontribusi produktivitas terhadap sektor perikanan
sebesar 23%. Oleh karena itu, apabila terjadi peningkatan volume dari keempat alat tangkap
tersebut sebesar 100% dari angka 2013, maka akan terjadi peningkatan produktivitas sebesar 23%,
sehingga secara total, Simulasi-2 akan mengakibatkan penurunan produktivitas di subsektor
perikanan tangkap sebesar 1% saja (Penurunan Produktivitas akibat berkurangnya alat-alat yang
dilarang sebesar 24% - Peningkatan produktivitas akibat peningkatan alat tangkap alternatif
HASIL KEGIATAN|Prakiraan Dampak Implementasi Peraturan Menteri KP No.
2/2015 pada Usaha Perikanan Tangkap
62
LAPORAN TEKNIS
[KAJIAN KHUSUS BBPSEKP TAHUN 2015]
sebesar 23%).
Secara singkat, pada penelitian ini akan dilakukan dua buah simulasi. Simulasi-1 yang
menggambarkan dampak dari penerapan PERMEN KP No. 2 2015; dan Simulasi-2 yang
menggambarkan dampak dari penerapan PERMEN KP No. 2 2015, dan penerapan counter policy
berupa pemberian alat tangkap alternatif. Keterangan mengenai kedua simulasi yang akan
dilakukan pada penelitian ini dapat dilihat pada tabel 4-3. 3.
Tabel 4-3. 3.
Simulasi yang dilakukan pada penelitian
No. Simulasi
Keterangan
Variabel
1
Simulasi-1 Menggambarkan dampak Produktivitas
dilarangnya alat tangkap Subsektor Perikanan
trawl
Tangkap
Produktivitas
2
Simulasi-2 1. Menggambarkan
dampak
dilarangnya Subsektor Perikanan
alat tangkap trawl
Tangkap
2. Menggambarkan
Produktivitas
dampak pemberian alat subsektor perikanan
tangkap pengganti
tangkap
Besaran
Menurun sebesar
24%
Menurun sebesar
24%
Meningkat
sebesar 23%
Pembahasan
Kebijakan Permen KP No. 2/2015
Hukum dapat berfungsi sebagai sarana pembaharuan di dalam masyarakat. Permen KP
No. 2/2015, telah memberikan aturan dan norma baru guna mewujudkan pelestarian SDI.
Ketentuan dan norma baru tersebut mengatur mengenai pelarangan alat tangkap Trawls dan Seine
Nets. Pengembalian manfaat ekonomi yang lebih besar kepada negara untuk kesejahteraan
nelayan tradisional, membawa perubahan pengelolaan penangkapan ikan. Kondisi ini terjadi
karena adanya pergeseran nilai dan kultur masyarakat seiring dengan adanya perubahan kebijakan.
Keberadaan Permen KP No. 2/2015, merupakan dasar seluruh proses sosial maupun pengelolaan
SDI. Kondisi ini menimbulkan perubahan kebiasaan dalam memanfaatkan SDI, sehingga
memerlukan adanya upaya penyesuaian untuk menyikapinya.
Tata Bahasa
Permen KP No. 2/2015, merupakan rangkaian bahasa yang memuat ketentuan tentang
upaya pemerintah (KKP) untuk mengelola sumber daya kelauatan dan perikanan dalam wilayah
kedaulatan Indonesia. Mengacu kepada hal tersebut, naskah resmi Permen KP No. 2/2015 harus
menggunakan tata bahasa yang baik dan benar. Hal tersebut dimaksudkan, agar maksud yang
diinginkan pemerintah (KKP) dapat tersampaikan dan dipahami dengan baik. Berdasarkan kajian
diketahui, bahwa struktur bahasa yang digunakan untuk judul Permen KP No. 2/2015 kurang
memperhatikan tata Bahasa Indonesia yang baik dan benar. Kata asing (Trawls) dan (Seine Nets)
seharusnya dihilangkan, karena sudah memiliki kata baku di dalam bahasa Indonesia (Pukat Hela
dan Pukat Tarik).
Konsistensi penerjemahan kata asing kurang diperhatikan oleh pelaksana/pembuat
kebijakan (seharusnya seluruh kata asing diterjemahkan semua). Kebiasaan umum untuk
pembuatan peraturan resmi sebaiknya tidak memasukkan kata asing, kecuali kata yang dimaksud
belum memiliki padanan resmi dalam Bahasa Indonesia. Banyaknya kalimat/kata yang tidak
efektif dalam Permen KP No. 2/2015, menyebabkan kalimat yang dimaksud terlalu panjang. Pasal
1 yang memuat pengertian umum, seharusnya berisi tentang definisi kata/kalimat yang menjadi
ketentuan umum dan disebutkan secara berulang-ulang. Hal tersebut untuk menghindari
penulisan yang tidak efektif dan efisien. Kondisi ini menunjukkan bahwa, pembuatan Permen ini
HASIL KEGIATAN|Prakiraan Dampak Implementasi Peraturan Menteri KP No.
2/2015 pada Usaha Perikanan Tangkap
63
LAPORAN TEKNIS
[KAJIAN KHUSUS BBPSEKP TAHUN 2015]
dilakukan secara terburu-buru atau perancang peraturan kurang memahami tata cara penulisan
peraturan resmi yang baik.
Judul Permen KP No. 2/2015, tentang “larangan penggunaan alat penangkapan ikan”,
mempunyai terminologi yang berbeda dengan yang dimaksud dalam permen itu sendiri. Menurut
Pusat Bahasa (2008) definisi penangkapan adalah, proses, cara, perbuatan menangkap, sedangkan
definis penangkap adalah alat untuk menangkap. Berdasarkan terminologi kata tersebut diketahui
bahwa akhiran “an”, memberikan makna kata kerja dan bukan kata benda. Maksud pembuatan
kebijakan di dalam Permen KP No. 2/2015, adalah bahwa yang dilarang adalah alat tangkap (alat
penangkap) dan bukan prosesnya.
Penulisan kata pada peraturan resmi sebesar Peraturan Menteri, seyogyanya tidak boleh
ada kesalahan dalam struktur dan tata bahasa, serta memperhatikan kaedah pembuatan peraturan
yang benar. Hal ini untuk menghindari adanya ambiguitas dan pemahaman yang berbeda bagi
pembacanya. Kesalahan penulisan atau kaedah dalam Permen KP No. 2/2015 memang bukan
faktor yang dapat membatalkan kebijakan tersebut, akan tetapi dapat menyebabkan keraguan
terhadap kapabilitas perancang peraturan yang dimiliki pemerintah (KKP). Kesalahan penulisan
yang memiliki intepretasi/pemahaman yang berbeda seharusnya dihindari, karena dapat menjadi
celah untuk menghindari kebijakan yang dimaksud.
Implementasi Permen KP No. 2/2015
Dasar pertimbangan lahirnya Permen KP No. 2/2015, adalah menurunnya SDI dan
terancamnya kelestarian lingkungan, yang diakibatkan oleh penggunaan alat penangkapan ikan
Trawls dan Seine Nets. Potensi yang dimiliki tersebut, harus dikelola secara berkesinambungan
dan berwawasan global dengan memperhatikan keberlanjutannya berdasarkan hukum nasional.
Supriatna (2008), berpendapat bahwa pelestarian sumber daya salah satunya harus
memperhatikan spesies komunitas. Hal ini dimaksudkan agar tercapai pemanfaatan yang optimal,
serta terjaminnya kelestarian sumber daya ikan dan lingkungannya.
Secara umum Permen KP No. 2/2015, mengatur tentang jenis alat tangkap Trawls dan
Seine Nets yang dilarang digunakan. Pelarangan penggunaan alat tangkap Trawls, sebelumnya
sudah diatur melalui Keputusan Presiden Nomor 39 Tahun 1980, tentang Penghapusan Jaring
Trawl (Keppres No. 39/1980). Penerbitan Keppres No. 39/1980, dilatarbelakangi untuk
mendorong peningkatan produksi yang dihasilkan oleh nelayan tradisional dan untuk
menghindari ketegangan sosial. Secara umum Keppres No. 39/1980, mengatur mengenai
penghapusan jumlah kapal yang menggunakan alat tangkap Trawl secara bertahap yang
beroperasi sekitar wilayah Jawa dan Bali.
Keppres No. 39/1980, dapat dikatakan belum efektif karena alat tangkap Trawl masih
tetap digunakan oleh para nelayan sampai diterbitkannya Permen KP No. 2/2015. Beberapa
kemungkinan yang menyebabkan Keppres ini kurang efektif adalah: sistem pengawasan yang
buruk; ketegasan aparatur di lapangan; serta pemberian sanksi yang keras. Permen KP No. 2/2015,
merupakan bukti ketegasan pimpinan tertinggi KKP pada era pergantian presiden yang baru.
Disahkannya Permen KP No. 2/2015, sayangnya mendapatkan penolakan dari nelayan yang
selama ini menggunakan alat tangkap Trawl dan Seine Nets. Menurut Suara Merdeka1 (2015):
“Para nelayan di Kota Pekalongan tidak terdampak secara langsung Peraturan Menteri (Permen)
Kelautan dan Perikanan Nomor 2 Tahun 2015 yang melarang penggunaan alat tangkap ikan pukat
hela (trawls) dan pukat tarik. Namun nelayan yang tergabung dalam Himpunan Nelayan Seluruh
Indonesia (HNSI) Kota Pekalongan menyatakan sikap menolak Permen yang diberlakukan sejak 9
Januari tersebut. Kepala Pelaksana Harian dan Bendahara HNSI Kota Pekalongan, Imamnu
mengatakan, di Kota Pekalongan nelayan dalam mencari ikan menggunakan alat grinaid atau
dengan jaring nilon. Sehingga tidak terdampak langsung dengan peraturan Menteri Kelautan dan
Perikanan tersebut yang melarang penggunaan alat tangkap ikan pukat hela dan pukat tarik.Namun
sebagai wujud solidaritas sesama nelayan, tentu saja kami juga merasa keberatan dengan peraturan
HASIL KEGIATAN|Prakiraan Dampak Implementasi Peraturan Menteri KP No.
2/2015 pada Usaha Perikanan Tangkap
64
LAPORAN TEKNIS
[KAJIAN KHUSUS BBPSEKP TAHUN 2015]
tersebut. Peraturan itu akan membuat banyak ribuan nelayan bahkan jutaan nelayan akan kehilangan
mata pencaharaiannya”.
Menurut Suara Merdeka2 (2015):
“Gelombang penolakan terhadap pemberlakukan Peraturan Menteri (Permen) Kelautan dan
Perikanan RI Nomor 2 Tahun 2015 tentang Larangan Penggunaan Alat Tangkap Ikan Pukat Hela
(Trawls) dan Pukat Tarik (Seine Nets) di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara RI, terus
berdatangan termasuk dari para nelayan di Brebes dan HNSI Cabang Brebes. Pemberlakukan
Permen itu membuat para nelayan tidak bisa melaut. Apalagi, di Kabupaten Brebes mayoritas
nelayannya menggunakan alat tangkap yang termasuk dilarang dalam permen tersebut. Kami minta
kebijakan yang telah diberlakukan sejak 9 Januari lalu ini, dikaji ulang karena dinilai
menyengsarakan nelayan. Kami tidak bisa melaut karena imbas pemberlakuan kebijakan tersebut.
Hal ini dikarenakan, mayoritas nelayan Brebes menggunakan alat tangkap yang termasuk dilarang
dalam Permen. Imbas diberkalukan kebijakan itu kini sudah puluhan kapal nelayan tidak bisa melaut
karena izinnya tidak keluar. Jika itu dibiarkan, berarti para nelayan tidak mendapatkan penghasilan
karena tidak melaut”.
Berdasarkan kedua kasus tersebut, diketahui bahwa pemberlakuan Permen KP No.
2/2015, ternyata tidak melalui sosialisasi terlebih dahulu. Situasi ini menurut Rahardjo (2009),
menyebabkan terjadinya hambatan sehingga sulit bagi hukum untuk dapat mengaturnya dengan
berhasil. Cakupan materi Permen KP No. 2/2015, bisa dikatakan kebijakan yang membutuhkan
pendekatan sosiologis dan memerlukan proses. Hal ini menuntut adanya keseriusan proses
sosialisasi secara holistik, agar muatan materinya bisa dipahami dan dilaksanakan dengan baik.
Menurut Abdurrahman (2009), proses sosialisasi hukum sangat diperlukan agar masyarakat
berperilaku sebagaimana yang diharapkan oleh hukum. Sosialisasi permen KP No. 2/2015, pada
pelaksanaannya tidak tersampaikan dengan baik kepada masyarakat nelayan.
Menurut Soekanto dalam Abdurrahman (2009), derajat tinggi rendahnya kepatuhan
terhadap hukum positif tertulis, salah satunya didasarkan pengetahuan dan pemahaman hukum.
Pengenalan kebijakan Permen KP No. 2/2015, implementasinya kurang mendapat respon yang
baik. Kondisi tersebut, disebabkan nelayan kurang memahami dengan baik tujuan kebijakan
tersebut. Efektivitas pengelolaan perikanan menuju ke arah yang lebih baik, memerlukan rencana
aksi untuk mencapai target yang diinginkan. Perumusan rencana aksi idealnya didukung dengan
kajian penelitian yang komprehensif, serta dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.
Berlakunya Permen KP No. 2/2015 dirasakan sangat terburu-buru dan dipaksakan.
Kebijakan yang diatur dalam permen tersebut, seharusnya melalui kajian ilmiah terlebih
dahulu (khususnya sosial dan ekonomi). Kajian ilmiah sosial dan ekonomi diperlukan untuk
mengetahui dampak yang akan ditimbulkan dalam mengantispasi tidak tercapainya tujuan yang
dimaksud. Kepastian hukum sangat dibutuhkan untuk memperhitungkan dan mengantisipasi
resiko diberlakukannya suatu peraturan sebagai kebijakan publik (Sulistiyono dan Rustamaji,
2009). Satjipto Rahardjo dalam Abdurrahman (2009), menyatakan bahwa tata hukum itu
merupakan saringan yang menyaring kebijaksanaan pemerintah, sehingga menjadi tindakan yang
dapat dilaksanakan.
Pelarangan alat tangkap yang diatur Permen KP No. 2/2015, seharusnya pemerintah
(KKP) sudah mempersiapkan alternatif untuk menggantinya atau telah mempunyai perencanaan
matang dalam mengantisipasinya. Kondisi ini membutktikan bahwa pemerintah (KKP) belum
mampu menciptakan kebijakan yang mampu diterapkan untuk mengatasi permasalahan. Menurut
Subarsono (2011), ketika kebijakan publik berisi nilai yang bertentangan dengan nilai yang hidup
di masyarakat, maka kebijakan publik tersebut akan mendapat resistensi ketika
diimplementasikan.
Tanggung jawab pemerintah (KKP) sebagai sebuah institusi, dapat dikatakan kurang
sejalan dengan kapasitas organisasi yang dimiliki. Implikasi permasalahan governance yang
HASIL KEGIATAN|Prakiraan Dampak Implementasi Peraturan Menteri KP No.
2/2015 pada Usaha Perikanan Tangkap
65
LAPORAN TEKNIS
[KAJIAN KHUSUS BBPSEKP TAHUN 2015]
terjadi dengan berlakunya Permen KP No. 2/2015, telah menegaskan adanya persoalan kebijakan
operasional di lapangan. Persoalan tersebut, terlihat pada hilangnya beberapa komponen penting
governance dalam prosesi pengawalan tindak lanjut Permen KP No. 2/2015 yang sudah dilakukan.
Posisi Pemerintah (KKP) dalam Menyikapi Berlakukan Permen KP No. 2/2015
Kebijakan merupakan alat utama yang dijadikan pedoman pengaturan pelaksanaan tugas
kepemerintahan. Kebijakan sebagai instrumen pengelolaan pemerintahan, merupakan mata rantai
utama dalam operasionalisasi fungsi kepemerintahan. Sebagai mata rantai utama, jika kebijakan
itu keliru atau tidak tepat dalam menangani persoalan pembangunan suatu wilayah,
konsekuensinya adalah kegagalan pemerintah sebagai fungsi implementatif (Islamy, 2004). Posisi
hukum yang dapat diambil pemerintah (KKP) terhadap disahkannya Permen KP No. 2/2015,
dapat dilihat pada Tabel 4-3.4.
Tabel 4-3. 4.
Posisi Hukum Pemerintah Terhadap Berlakunya Permen KP No. 2/2015
Posisi Hukum
Strategi
Implikasi
 Melakukan sosialiasi yang baik
 Membentuk tim khusus yang bekerja
2/2015 tetap
sama dengan otoritas daerah untuk
diberlakukan
melakukan pendekatan secara
sosiologis kepada nelayan yang
menggunakan alat penangkap Trawls
dan Seine Nets
 Menyiapkan sistem manajemen
pengawasan yang ketat dan terpadu
 Mengatur pemberian sanksi yang tegas
bagi pelanggarnya
 Melakukan kajian ilmiah terkait
pengganti alat tangkap ramah
lingkungan
 Membuat petunjuk pelaksana terhadap
pengaturan operasional alat penangkap
Trawls dan Seine Nets
Merevisi
 Mencantumkan pasal yang terkait
pengaturan sanksi
Permen KP No.
 Menambah muatan materi dalam Pasal
2/2015
1 yang terkait definisi/pengertian asing
dan pengulangan kata
 Menambahkan pasal yang mengatur
tentang tata cara pelaksanaan
penghapusan alat penangkap Trawls
dan Seine Nets
 Menambahkan pasal yang memberikan
solusi alternatif pengganti alat
penangkap Trawls dan Seine Nets
Mencabut
 Menyiapkan rancangan Peraturan
Menteri yang baru yang lebih terarah
Permen KP No.
dalam mengantisipasi pemberlakuannya
2/2015
 Menyiapkan tenaga ahli untuk
perancang peraturan untuk membuat
naskah resminya
Permen KP No.
 Terjadi gelombang penolakan
oleh nelayan yang menggunakan
alat penangkap Trawls dan Seine
Nets
 Menyiapkan alternatif pengganti
alat penangkapTrawls dan Seine
Nets
 Merencanakan alternatif
pekerjaan/usaha bagi tenaga kerja
yang menggatungkan
kehidupannya dari alat penangkap
Trawls dan Seine Nets
 Mengalokasikan anggaran khusus
untuk memberikan insentif
kepada nelayan atau membuat
program baru
 Menyiapkan tenaga ahli
(Balitbang KP) untuk mengkaji
permasalahan yang terjadi di
lapangan (sosial dan ekonomi)
 Membutuhkan waktu dan
anggaran tambahan kembali untuk
menyusun naskah peraturan
resminya
 Pemborosan terhadap anggaran
negara dan waktu
 Kredibilitas pemerintah (KKP)
dalam membuat kebijakan dimata
publik sudah diragukan
kapasitasnya
HASIL KEGIATAN|Prakiraan Dampak Implementasi Peraturan Menteri KP No.
2/2015 pada Usaha Perikanan Tangkap
66
LAPORAN TEKNIS
Posisi Hukum
[KAJIAN KHUSUS BBPSEKP TAHUN 2015]
Strategi
Implikasi
 Melakukan kajian ilmiah secara
komprehensif berbagai kemungkinan
yang akan terjadi, agar pemberlakukan
kebijakannya dapat digunakan untuk
jangka waktu panjang
Berdasarkan Tabel diatas, diketahui bahwa setiap tindakan hukum terhadap disahkannya
Permen KP No. 2/2015, memiliki implikasi yang membutuhkan pemikiran, tenaga, waktu, dan
anggaran lebih untuk menyikapinya. Kondisi ini sebenarnya bisa dihindari, jika pemerintah
(KKP) melakukan kajian ilmiah terlebih dahulu dan memliki sumber daya manusia yang
kompeten dalam merancang peraturan. Menurut Subarsono (2011), suatu kebijakan yang telah
direkomendasikan untuk ditetapkan bukanlah jaminan bahwa kebijakan tersebut pasti berhasil
diimplementasikan. Inti kebijakan dimaknai bahwa apabila pemerintah ingin melaksanakan
sesuatu, maka harus ada tujuan dan kebijaksanaannya (meliputi semua tindakan pemerintah).
Posisi pemerintah (KKP) bukan sekedar mengutarakan keinginannya saja, tetapi juga harus
menerapkan secara benar kebijakan yang telah dikeluarkan.
Dampak Sosial Permen KP No. 2/2015
Menurut Scott (2008), kelembagaan mencakup regulasi, norma, dan elemen budaya
kognitif, bersama-sama dengan kegiatan dan sumber daya yang ada, dalam upaya mewujudkan
stabilitas serta memaknai sesuatu dalam kehidupan sosial. Yustika (2006), mengatakan bahwa
perubahan kelembagaan dianggap mempunyai kekuatan aktif (besar) dalam mempengaruhi aspek
kehidupan sosial, hukum, ekonomi, dan lainnya. Kedua pendapat tersebut memberikan
pandangan, apabila norma yang mengatur interaksi sosial berubah, maka seluruh pola hubungan
sosial masyarakat dapat pula berubah.
Penerbitan Permen KP No.2/2015, secara umum memberikan dampak terhadap
keberlangsungan usaha perikanan tangkap di seluruh wilayah perairan Indonesia, khususnya bagi
wilayah yang didominasi oleh armada yang menggunakan alat tangkap tersebut, antara lain
wilayah Banten, Cirebon, Brebes, Tegal, Pemalang, Batang, dan Madura. Larangan penggunaan
jaringan cantrang yang dikeluarkan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) terus
mendapatkan penolakan dari masyarakat nelayan. Sedikitnya 100 ribu jiwa terkena dampak
langsung dari penerbitan Permen KP No. 2/2015 dan lebih dari 500 ribu jiwa lainnya yang terkena
dampak tidak langsung akibat terhentinya aktivitas anak buah kapal (Liputan 6, 2015).
Berdasarkan informasi yang diperoleh, diketahui bahwa ada beberapa nelayan (pemilik,
nahkoda, dan ABK) yang mengalami kerugian secara langsung. Hal tersebut dikarenakan tidak
dapat beroperasinya armada penangkapan yang mereka miliki. Pihak yang langsung terkena
dampak regulasi ini adalah pengusaha kapal, nelayan, maupun pekerja di sektor industri perikanan
yang mengandalkan pasokan bahan baku ikan dari kapal cantrang (80 persen nelayan di Jawa
Tengah menggunakan jenis alat tangkap cantrang atau sejenisnya). Para nelayan itu tersebar
dihampir semua daerah pantai di Jawa Tengah, mulai dari Brebes, Tegal, Pemalang, Batang, Pati,
dan Rembang (Liputan 6, 2015). Di Jawa Tengah, sebanyak 120.966 nelayan menggantungkan
hidupnya dengan cantrang tersebut. Mereka menggunakan 10.758 unit kapal atau 41,25% dari
total jumlah kapal yang ada di provinsi ini. Jaring cantrang banyak digunakan kapal-kapal nelayan
di wilayah pantura Jawa.
Alat tangkap cantrang, payang, dan sejenisnya, sebenarnya muncul sebagai solusi atas
HASIL KEGIATAN|Prakiraan Dampak Implementasi Peraturan Menteri KP No.
2/2015 pada Usaha Perikanan Tangkap
67
LAPORAN TEKNIS
[KAJIAN KHUSUS BBPSEKP TAHUN 2015]
penghapusan jaring trawl atau pukat harimau, seperti diatur dalam Keputusan Presiden No 39
tahun 1980. Jumlah kapal yang menggunakan alat tangkap cantrang, payang, dogol, dan
sejenisnya dengan berbagai ukuran dan kapasitas mencapai lebih dari 1.500 unit. Setiap kapal
cantrang berukuran 30 gross tonnage (GT) melibatkan 20 orang dalam melaut. Serapan tenaga
kerja dari sektor hasil tangkapan cantrang memang besar, karena banyak perusahaan yang
melakukan pengolahan bahan baku ikan bernilai ekspor ini. Industri pengolahan ikan hasil
tangkapan cantrang, seperti filet ikan, tepung ikan, dan lainnya (Sindonews.com, 2015 diakses
pada 16 Maret 2015).
Penerbitan Permen KP No. 2/2015, berdampak pada aktivitas usaha penangkapan dengan
alat tangkap cantrang di Jawa Tengah, baik dari hulu dan hilir. Secara sosial dampak dari
penerbitan Permen KP No. 2/2015ini yaitu terjadinya perubahan status pekerjaan, dimana yang
terlihat jelas adalah pada Anak Buah Kapal. ABK kapal cantrang yang sudah tidak beroperasi lagi,
pada umumnya beralih mata pencaharian. Ada yang menjadi nelayan pada armada dengan alat
tangkap selain cantrang (pancing, bubu), menjadi pembudidaya, beralih ke sektor pertanian dan
bagi ABK yang tidak memiliki kesempatan kerja maka sebagian besar menjadi pengangguran.
Dampak Ekonomi Permen KP No. 2/2015
Bagian ini akan menjelaskan hasil dari kedua simulasi yang dilakukan dengan
menggunakan model Pembangunan Makro Ekonomi CGE KP, yang berupa dampak ekonomi dari
pemberlakukan PERMEN KP No. 2/2015, baik di tingkat makro maupun di tingkat mikro.
Subbagian pertama akan membahas dampak ekonomi di tingkat makro (Nasional), dilanjutkan
dengan dampak ekonomi di tingkat mikro (Sektor KP).
Dampak Terhadap Perekonomian Nasional
Hasil olahan model dari Simulasi-1 dan Simulasi-2 telah diringkas pada Tabel 4-3.5.
Pada tersebut dapat dilihat dampak dari kedua simulasi terhadap besaran empat variabel makro
ekonomi nasional, yaitu: 1). Pertumbuhan ekonomi Nasional yang diwakili oleh Real GDP; 2).
Inflasi yang diwakili oleh Consumer Price Index (CPI); 3). Pertumbuhan volume ekspor
Nasional; dan 4). Pertumbuhan volume impor Nasional.
Tabel 4-3. 5.
Variabel
Perkiraan Dampak Kedua Simulasi Terhadap Perekonomian Nasional
Simulasi-1
Simulasi-2
Real GDP (%)
-0,93
-0,027
Consumer price index (%)
1,289
0,031
Export volume index (%)
0,651
0,004
-0,705
-0,014
Import volume index, C.I.F. weights (%)
Sumber: Olahan Model Ekonomi Makro Pembangunan KP, 2014
Pemberlakuan PERMEN KP No. 2/2015 diperkirakan akan berkontribusi terhadap
penurunan pertumbuhan ekonomi nasional. Pemberlakuan tanpa disertai dengan counter policy
akan mengakibatkan penurunan pertumbuhan nasional yang cukup signifikan, yaitu sebesar 1%.
Apabila pemberlakuan peraturan tersebut disertai dengan counter policy, meskipun diperkirakan
tetap mengakibatkan penurunan pertumbuhan, akan tetapi besarannya tidak terlalu signifikan,
yaitu sebesar 0,027% saja.
Dari sisi inflasi, pemberlakuan peraturan ini juga cenderung mengakibatkan terjadinya
inflasi. Tanpa disertai counter policy, maka penerapan peraturan ini akan secara cukup kuat
HASIL KEGIATAN|Prakiraan Dampak Implementasi Peraturan Menteri KP No.
2/2015 pada Usaha Perikanan Tangkap
68
LAPORAN TEKNIS
[KAJIAN KHUSUS BBPSEKP TAHUN 2015]
mendorong terjadinya inflasi, dengan perkiran besaran 1,3%. Jika pemberlakuan peraturan
tersebut dilakukan dengan disertai counter policy, meskipun tetap mendorong terjadinya inflasi,
akan tetapi besarannya relatif jauh lebih rendah pada kisaran 0,031% saja.
Dampak pelarangan alat tangkap trawl berdampak positif terhadap perdagangan
internasional Indonesia. Hal tersebut dapat dilihat dari terjadinya pertumbuhan volume ekspor
nasional dan menurunnya volume impor nasional. Pemberlakuan peraturan tanpa counter policy
diperkirakan akan mengakibatkan pertumbuhan volume ekspor nasional sebesar 0,7% dan
penurunan volume impor nasional sebesar 0,7%. Sedangkan pemberlakuan peraturan dengan
disertai counter policy diperkirakan akan mengakibatkan pertumbuhan volume ekspor nasional
dan volume impor nasional dengan besaran yang relatif lebih kecil, masing-masing sebesar
0,004% dan 0,014%.
Dampak Terhadap Perekonomian Mikro Sektor KP
Hasil olehan model atas kedua simulasi telah diringkas pada tabel 6. Dampak dari
simulasi dilihat dari empat variabel mikro ekonomi sektor KP, yaitu: 1). Produksi Domestik; 2).
Harga Komoditas; 3). Ekspor Komoditas; dan 4). Impor Komoditas. Pada bagian selanjutnya,
dampak penerapan peraturan terhadap masing-masing variabel tersebut akan dijelaskan.
Tabel 4-3. 6.
Perkirakaan Dampak Kedua Simulasi Terhadap Beberapa Variabel
Mikro di Sektor KP Indonesia
Produk
Produksi
Domestik
Sim-1
Sim-2
Sim-1
Sim-2
Sim-1
Sim-2
Sim-1
Sim-2
TTC
-10,826
-0,422
78,201
2,142
-5,26
-11,859
-0,479
2,646
-2,827
-0,08
112,08
3
-11,92
6,439
0
114,40
7
226,48
9
-15,329
3,716
Ikan Tangkap Lain
76,619
84,795
0
-0,499
Kerapu
-11,234
-0,47
3,042
-0,47
-5,485
-0,084
Ikan Budidaya
Lain
Udang
-3,135
-0,092
0,365
0,012
-2,478
-0,055
-8,251
24,361
0,502
Garam
-2,707
-0,06
-4,281
0
0
259,48
8
0
13,86
5
0
Ikan Kering
-6,023
-0,155
15,418
0,376
0,198
0,103
0,297
7,334
7,334
0,96
-0,084
-11,234
91,982
91,982
35,361
-5,484
Rumput Laut
179,95
4
179,95
4
-11,262
-52,51
33,976
0,592
Ikan Olahan
-6,601
-0,167
24,396
0,466
1,529
2,436
38,836
0,64
Patin
Harga
Ekspor
-0,4
3,042
68,807
Impor
5,194
Sumber: Olahan Model Ekonomi Makro Pembangunan KP, 2014
Produksi Domestik Komoditas KP
Subsektor perikanan tangkap nampaknya memiliki keterkaitan yang cukup tinggi dengan
berbagai subsektor KP lainnya. Hal tersebut dapat dilihat dari dampak penurunan produktivitas
di subsektor perikanan tangkap yang ternyata berpengaruh terhadap seluruh komoditas KP. Baik
dengan maupun tanpa counter policy, pelarangan penggunaan alat tangkap trawl ternyata
berdampak terhadap penurunan produksi domestik seluruh komoditas KP Indonesia. Meskipun
tetap mengakibatkan penurunan produksi domestik seluruh komoditas KP Indonesia, akan tetapi
HASIL KEGIATAN|Prakiraan Dampak Implementasi Peraturan Menteri KP No.
2/2015 pada Usaha Perikanan Tangkap
69
LAPORAN TEKNIS
[KAJIAN KHUSUS BBPSEKP TAHUN 2015]
dapat dilihat bahwa penerapan peraturan dengan disertai counter policy secara signifikan mampu
meredam dampak buruk penerapan peraturan terhadap produksi domestik berbagai komoditas KP,
seperti dapat dilihat pada Gambar 4-3.1.
Dampak terburuk terhadap produksi domestik akibat pelarangan trawl tanpa counter
policy dialami oleh kelompok Komoditas Primer yang dihasilkan di laut, Ikan Tangkap Lain
merupakan komoditas KP yang mengalami penurunan produksi domestik tertinggi sebesar
hampir 12%, disusul oleh komoditas Rumput laut dan Kerapu sebesar 11%, dan komoditas
TTC sebesar hampir 11%. Kelompok berikutnya yang mengalami penurunan produksi
domestik tertinggi adalah komoditas KP olahan, Ikan Olahan mengalami penurunan produksi
domestik sebesar hampir 7%, dan Ikan Kering mengalami penurunan produksi domestik sebesar
6%. Komoditas KP lainnya juga mengalami penurunan produksi domestik, akan tetapi dengan
besaran di bawah 4% saja.
Ikan Olahan
Ikan Kering
Garam
Udang
Ikan Budidaya Lain
Rumput Laut
Kerapu
Patin
Ikan Tangkap Lain
TTC
-14
-12
-10
-8
Produksi Domestik Simulasi-2
-6
-4
-2
0
Produksi Domestik Simulasi-1
Gambar 4-3. 1.
Dampak Kedua Simulasi terhadap Produksi Domestik Berbagai
komoditas KP Indonesia
Sumber: Olahan Model Ekonomi Makro Pembangunan KP, 2014
Efektifitas dari counter policy yang dilakukan, seperti yang ditunjukkan pada Gambar 43. 1., dapat dikatakan sangat tinggi. Pelarangan alat tangkap trawl disertai dengan counter policy
ternyata mampu meredam penurunan produksi domestik seluruh komoditas KP Indonesia ke ratarata besaran di bawah 0,5%.
Harga Komoditas KP
Berbeda dengan variabel produksi domestik KP, pelarangan penggunaan trawl
mengakibatkan gejolak terhadap variabel harga komoditas KP dengan arah yang berbeda.
Beberapa komoditas KP – terutama yang dihasilkan di laut – mengalami peningkatan harga,
sedangkan komoditas lainnya mengalami penurunan harga. Secara grafis, gejolak tersebut telah
diringkas dan dapat dilihat pada Gambar 4-3.2.
Pelarangan alat tangkap trawl tanpa disertai counter policy diperkirakan akan
mengakibatkan gejolak harga yang cukup signifikan. Peningkatan harga tertinggi terjadi pada
HASIL KEGIATAN|Prakiraan Dampak Implementasi Peraturan Menteri KP No.
2/2015 pada Usaha Perikanan Tangkap
70
LAPORAN TEKNIS
[KAJIAN KHUSUS BBPSEKP TAHUN 2015]
empat komoditas KP Primer berikut: Rumput laut dan Kerapu dengan besaran sekitar 180%, Ikan
Tangkap Lain sebesar 112%, dan TTC sebesar mendekati 80%. Selain komoditas KP primer,
Komoditas KP olahan juga mengalami peningkatan harga, Ikan Olahan mengalami peningkatan
harga sebesar 24%, sedangkan Ikan Kering mengalami peningkatan harga sebesar 15%.
Peningkatan harga tersebut terjadi sebagai efek dari terjadinya pengurangan pasokan. Komoditas
lainnya diperkirakan akan mengalami penurunan harga, seperti Garam sebesar 4%, Udang
sebesar 8%, Patin dan Ikan Budidaya Lain sebesar 11%. Penurunan harga tersebut
dimungkinkan terjadi sebagai akibat penurunan permintaan dari keempat komoditas tersebut.
Ikan Olahan
Ikan Kering
Garam
Udang
Ikan Budidaya Lain
Rumput Laut
Kerapu
Patin
Ikan Tangkap Lain
TTC
-50
0
50
Harga Simulasi-2
100
150
200
Harga Simulasi-1
Gambar 4-3. 2.
Dampak Kedua Simulasi terhadap Harga Berbagai komoditas KP
Indonesia
Sumber: Olahan Model Ekonomi Makro Pembangunan KP, 2014
Dari Gambar 4-3.2. Dapat dilihat betapa efektif counter policy yang dilakukan dalam
meredam gejolak harga yang diperkirakan akan terjadi. Peningkatan harga yang sangat tinggi
pada komoditas rumput Laut, Kerapu, Ikan Tangkap Lain, dan TTC, dengan besaran rata-rata
ratusan persen, mampu diredam hingga menurun pada kisaran 2-3% saja. Komoditas lainnya
bahkan dapat dikatakan hampir tidak mengalami perubahan harga. Sehingga dapat dikatakan
bahwa counter policy yang dilakukan mampu menjaga stabilitas harga berbagai komoditas KP
Indonesia.
Ekspor Komoditas KP
Dari sisi perdagangan internasional, pelarangan penggunaan alat tangkap trawl tanpa
disertai counter policy diperkirakan akan berdampak terhadap menurunnya nilai ekspor hampir
seluruh komoditas KP secara signifikan. Meskipun demikian, hasil simulasi juga menunjukkan
bahwa beberapa komoditas KP tetap mampu mengalami pertumbuhan nilai ekspor – terutama
komoditas KP budidaya. Gambar 4-3.3. Secara ringkas menunjukkan dampak dari pelarangan alat
tangkap trawl terhadap nilai ekspor berbagai komoditas KP Indonesia.
HASIL KEGIATAN|Prakiraan Dampak Implementasi Peraturan Menteri KP No.
2/2015 pada Usaha Perikanan Tangkap
71
LAPORAN TEKNIS
[KAJIAN KHUSUS BBPSEKP TAHUN 2015]
Ikan Olahan
Ikan Kering
Garam
Udang
Ikan Budidaya Lain
Rumput Laut
Kerapu
Patin
Ikan Tangkap Lain
TTC
-100
-80
-60
-40
Ekspor Simulasi-2
-20
0
20
40
60
Ekspor Simulasi-1
Gambar 4-3. 3.
Dampak Kedua Simulasi Terhadap Angka Ekspor Komoditas KP
Indonesia
Sumber: Olahan Model Ekonomi Makro Pembangunan KP, 2014
Penurunan nilai ekspor tertinggi dialami oleh Rumput Laut dan Kerapu sebesar 91%,
disusul oleh Ikan Tangkap Lain sebesar 85%, TTC sebesar 77%, Ikan Olahan sebesar 69%,
dan Ikan Kering sebesar 53%. Penurunan tersebut nampaknya terjadi sebagai akibat dari
berkurangnya pasokan dan peningkatan harga komoditas, yang mengakibatkan menurunnya
dayasaing ekspor komoditas KP. Adapun komoditas KP yang diperkirakan akan mengalami
peningkatan nilai ekspor adalah Ikan Budidaya Lain sebesar 35%, dan Udang sebesar 24%.
Nampaknya faktor penurunan harga kedua komoditas tersebut mengakibatkan terjadinya
peningkatan dayasaing sehingga meningkatkan angka ekspor.
Dari gambar 4-3.3. dapat diperhatikan bahwa counter policy yang dilakukan diperkirakan
akan dapat menahan laju penurunan ekspor secara signifikan. Penurunan ekspor pada enam
komoditas KP dengan besaran berkisar antara 53% hingga 91% dapat diredam hingga ke kisaran
di bawah 10% saja. Meskipun demikian counter policy tersebut nampaknya akan memiliki trade
off, sebab hasil simulasi juga memperkirakan akan terjadinya penurunan terhadap peningkatan
ekspor komoditas Ikan Budidaya Lain dan Udang secara signifikan.
Impor Komoditas KP
Dari sisi lain perdagangan internasional, Variabel Nilai Impor, nampaknya pelarangan
alat tangkap trawl berdampak pada peningkatan nilai impor beberapa komoditas KP dengan
besaran yang sangat tinggi. Meskipun simulasi juga menunjukkan bahwa beberapa komoditas KP
mampu mengurangi nilai impor, akan tetapi besarannya relatif sangat kecil jika dibandingkan
peningkatan yang dialami oleh komoditas-komoditas KP lainnya. Gambar 4-3. 4 menunjukkan
ringkasan dari hasil kedua simulasi yang dilakukan.
HASIL KEGIATAN|Prakiraan Dampak Implementasi Peraturan Menteri KP No.
2/2015 pada Usaha Perikanan Tangkap
72
LAPORAN TEKNIS
[KAJIAN KHUSUS BBPSEKP TAHUN 2015]
Ikan Olahan
Ikan Kering
Garam
Udang
Ikan Budidaya Lain
Rumput Laut
Kerapu
Patin
Ikan Tangkap Lain
TTC
-50
0
50
100
Impor Simulasi-2
150
200
250
300
Impor Simulasi-1
Gambar 4-3. 4.
Dampak Kedua Simulasi Terhadap Nilai Impor Berbagai Komoditas
KP Indonesia
Sumber: Olahan Model Ekonomi Makro Pembangunan KP, 2014
Peningkatan impor Komoditas KP dapat terjadi sebagai akibat berkurangnya pasokan
komoditas serupa di dalam negeri, baik untuk tujuan konsumsi maupun untuk tujuan bahan baku
industri. Dari hasil simulasi penerapan aturan tanpa counter policy, terlihat bahwa komoditas
Udang diperkirakan akan mengalami peningkatan nilai impor tertinggi sebesar 260%, disusul
oleh Ikan Tangkap Lain sebesar 227%, TTC sebesar 114%, Ikan Olahan sebesar 39%, dan
Ikan Kering sebesar 34%. Sedangkan komoditas lainnya mengalami penurunan angka impor,
seperti Patin sebesar 15%, Kerapu dan Rumput Laut sebesar 5%.
Gambar 4-3. 4 juga menunjukkan bahwa counter policy yang dilakukan diperkirakan
cukup efektif dalam meredam peningkatan permintaan impor yang terjadi. Peningkatan Impor
dengan kisaran sebesar 34%-260% dapat diredam menjadi kisaran di bawah 14% saja. Meskipun
counter policy ini juga diperkirakan mengurangi penurunan permintaan impor beberapa
komoditas KP, akan tetapi angka penurunan tersebut tidak terlalu signifikan dibandingkan dengan
peningkatan impor yang dapat diredam.
Kesimpulan
Pemberlakuan Permen KP No. 2/2015, mempunyai maksud untuk menjaga sumber daya
wilayah perairan Indonesia dapat dimanfaatkan secara maksimal dan berkesinambungan. Materi
ketentuan Permen KP No. 2/2015 meskipun mempunyai maksud yang baik, tetapi realisasinya
mengalami hambatan. Hal ini dikarenakan tidak adanya proses sosialisasi yang baik, kajian ilmiah,
dan kurang siapnya pemerintah untuk mengantisipasi kemungkinan yang terjadi dengan
berlakunya kebijakan tersebut. Penulisan naskah resmi Permen KP No. 2/2015, berdasarkan
kajian belum memenuhi kaedah struktur/tata Bahasa Indonesia yang baik dan benar. Secara umum
kebijakan Permen KP No. 2/2015 penetapannya terkesan dipaksakan, sehingga misi yang
diharapkan kurang tersampaikan dengan baik.
Dampak sosial terkait penerbitan Permen KP No. 2/2015, adalah adanya perubahan status
pekerjaan (khususnya ABK). Berubahnya status pekerjaan ini menyebabkan adanya penurunan
pendapatan yang diperoleh dan bahkan menghilangkan penghasilan utama. Penetapan Permen KP
No. 2/2015, dampak sosial yang paling besar dirasakan adalah meningkatnya angka
pengangguran.Pemberlakuan Permen KP No. 2/2015 tanpa disertai counter policy berupa
program pengalihan nelayan ke alat tangkap alternatif yang relatif lebih ramah lingkungan
HASIL KEGIATAN|Prakiraan Dampak Implementasi Peraturan Menteri KP No.
2/2015 pada Usaha Perikanan Tangkap
73
LAPORAN TEKNIS
[KAJIAN KHUSUS BBPSEKP TAHUN 2015]
diperkirakan akan berdampak buruk, baik bagi perekonomian secara makro (Nasional) maupun
secara mikro (di Sektor KP).
Pada sisi ekonomi makro, hasil simulasi menunjukkan pelarangan alat tangkap trawl,
ceteris paribus, akan berkontribusi secara signifikan terhadap penurunan pertumbuhan ekonomi
nasional sebesar 1%, dan inflasi sebesar 1,3%. Pada sisi ekonomi mikro, hasil simulasi
menunjukkan bahwa pelarangan alat tangkap trawl, ceteris paribus, akan mengakibatkan
penurunan produksi seluruh komoditas KP secara signifikan, gejolak pada harga seluruh
komoditas KP secara signifikan, penurunan nilai ekspor secara signifikan pada beberapa
komoditas unggulan KP dan peningkatan nilai impor secara signifikan pada beberapa komoditas
unggulan KP.
Rekomendasi Kebijakan
Berdasarkan hasil kajian, strategi kebijakan yang dapat direkomendasi adalah tetap
memberlakukan Permen KP No. 2/2015, dengan melakukan tindak lanjut:







Mensosialisasikan dan menyelenggarakan pelatihan penggunaan alat tangkap ramah
lingkungan (apabila sudah ada alternatif alat tangkap pengganti);
Membentuk tim khusus (KKP) yang bekerja sama dengan otoritas daerah untuk melakukan
pendekatan secara sosiologis kepada nelayan yang terkena implikasi Permen KP No. 2/2015;
Berkoordinasi dengan pemerintah daerah terkait, perguruan tinggi, organisasi nelayan, dan
tokoh masyarakat, untuk melakukan simulasi serta pemantauan lapangan (kegiatan ini
dimaksudkan untuk mengetahui: operasional alat tangkap Permen KP No. 2/2015 apakah
memiliki status merusak atau tidak merusaknya). Hasil simulasi yang dilakukan nantinya
harus dapat diterima oleh semua pihak;
Membuat skema pembiayaan untuk membantu nelayan peralihan ke alat tangkap ramah
lingkungan melalui organisasi nelayan atau kelembagaan koperasi nelayan;
Berkoordinasi dengan pihak terkait (Kementerian Perhubungan/Syahbandar) untuk
melakukan pengukuran ulang akte ukuran kapal ikan dan memfasilitasi penerbitan surat izin
baru;
Membuat petunjuk pelaksana yang jelas dan terarah terhadap pengaturan operasional alat
penangkap Trawls dan Seine Nets;
Membuat sistem manajemen pengawasan yang ketat dan terpadu terhadap pelaksanaan
Permen KP No. 2/2015, terutama terhadap perlindungan wilayah penangkapan bagi nelayan
tradisional (bekerja sama dengan organisasi nelayan, institusi penegak hukum. Hal ini untuk
menghindari konflik alat tangkap pada setiap provinsi/kabupaten/kota pesisir.
Daftar Pustaka
Abdurrahman, M. 2009. Sosiologi dan Metode Penelitian Hukum. UMM Press. Malang
Dixon, P.B. 1982. Orani: A Multisectoral Model of the Australian Economy. Monash University.
Australia
Horridge, J.M. 2003. Orani-G: A Generic Single-Country Computable General Equilibrium
Model. Center of Policy Studies and Impact Project, Monash University
Horridge, J.M. 2008. Handbook of Computable General Equilibrium Modeling: Volume 1A.
Oxford: North-Holland
Horridge, J.M. Parmenter, B., & Pearson, K. 1988. ORANI-G: A General Equilibrium Model of
the Australian Economy. Center of Policy Studies and Impact Project, Monash University.
Australia
Irianto, S. dan Shidarta. 2009. Metode Penelitian Hukum (Konstelasi dan Refleksi). Yayasan
Obor Indonesia. Jakarta
HASIL KEGIATAN|Prakiraan Dampak Implementasi Peraturan Menteri KP No.
2/2015 pada Usaha Perikanan Tangkap
74
LAPORAN TEKNIS
[KAJIAN KHUSUS BBPSEKP TAHUN 2015]
Islamy, M.I. 2004. Prinsip-Prinsip Perumusan Kebijaksanaan Negara. PT. Bumi Aksara. Jakarta
Liputan 6. 2015. Nelayan Beber Dampak Besar Larangan Penggunaan Cantrang.
http://bisnis.liputan6.com/read/2185219/nelayan-beber-dampak-besar-laranganpenggunaan-cantrang. Tanggal diunduh: 15 Maret 2015Miller, R. E., & Blair, P. D. 1985.
Input-Output Analysis: Foundations and Extentions. Prentice Hall, Inc. New Jersey
Pusat Bahasa. 2008. Kamus Bahasa Indonesia. Departemen Pendidikan Nasional. Jakarta
Rahardjo, S. 2009. Sisi-Sisi Lain dari Hukum di Indonesia. PT Kompas Media Nusantara. Jakarta
Scott, R.W. 2008. Institutions and Organizations: Ideas an Interest. Sage Publication. London
Sindonews, 2015. Nelayan Protes Larangan Pukat Hela dan Tarik. http://daerah.sindonews.
com/read/956325/22/nelayan-protes-larangan-pukat-hela-dan-tarik-1422339985.
Tanggal diunduh: 16 Maret 2015
Suara Merdeka1. 2015. HNSI Tolak Permen Kelautan dan Perikanan Nomor 2/2015.
http://berita.suaramerdeka.com/smcetak/hnsi-tolak-permen-kelautan-dan-perikanannomor22015/. Tanggal diunduh: 5 Maret 2015
Suara Merdeka2. 2015. Nelayan Tolak Permen Kelautan No 2/2015. http://berita.suara
merdeka.com/smcetak/nelayan-tolak-permen-kelautan-no-2-2015/. Tanggal diunduh: 17
Maret 2015
Subarsono, A.G. 2011. Analisis Kebijakan Publik (Konsep, Teori, dan Aplikasi). Pustaka Pelajar.
Yogyakarta
Sulistiyono, A. dan M. Rustamaji. 2009. Hukum Ekonomi Sebagai Panglima. Masmedia Buana
Pustaka. Sidoarjo-Jawa Timur
Supriatna, J. 2008. Melestarikan Alam Indonesia. Yayasan Obor Indonesia. Jakarta
Tajerin, Rahadian, R., Saptanto, S., Sriluhur, E., Mira, & Muhibuddin. 2014. LAPORAN AKHIR
TAHUN: Permodelan Ekonomi Makro Pembangunan Kelautan dan Perikanan Indonesia.
BBPSEKP. Jakarta
Yustika, A.E. 2006. Ekonomi Kelembagaan: Definisi, Teori, & Strategi. Banyumedia Publishing.
Malang
Zulham, A., Rahadian, R., Hermanto, Yusuf, A. A., Margoyuwono, Kristyantoadi, S., et al. 2013.
LAPORAN TEKNIS: Permodelan Dampak Kebijakan Kelautan dan Perikanan pada
Indikator-indikator Keberlanjutan Terkait Kebijakan Blue Ekonomi. BBPSEKP. Jakarta
Undang-Undang dan Peraturan
Undang-Undang Dasar 1945, Perubahan pertama disahkan 19 Oktober 1999, Perubahan kedua
disahkan 18 Agustus 2000, Perubahan ketiga disahkan 10 Nopember 2001, Perubahan
keempat disahkan 10 Agustus 2002
Undang-Undang No. 31 Tahun 2004, tentang Perikanan, Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2004 No. 118, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia No. 4433,
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No. 45 Tahun 2009, tentang Perubahan
atas Undang-Undang No. 31 Tahun 2004, tentang Perikanan, Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2009 No. 154, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia No. 5073
Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 2 Tahun 2015, tentang Larangan Penggunaan
Alat Penangkapan Ikan Pukat Hela (Trawls) dan Pukat Tarik (Seine Nets) di Wilayah
Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia. Berita Negara Republik Indonesia
Tahun 2015 Nomor
HASIL KEGIATAN|Prakiraan Dampak Implementasi Peraturan Menteri KP No.
2/2015 pada Usaha Perikanan Tangkap
75
LAPORAN TEKNIS
4.4.
[KAJIAN KHUSUS BBPSEKP TAHUN 2015]
Analisis Dampak Pelarangan Ekspor Benih Lobster terhadap Usaha
Perikanan Lobster di Pulau Lombok
Pendahuluan
Latar Belakang
Lobster adalah salah satu komoditas perikanan yang bernilai jual tinggi karena tingginya
permintaan pasar untuk di wilayah Asia, Eropa dan Amerika. Lobster diperoleh dari hasil
penangkapan namun berjalannya waktu sulitnya memperoleh lobster ukuran konsumsi (30 cm
keatas) di alam lepas maka sejak tahun 2000an lobster mulai dibudidayakan (cari sumber literatur
sejarah budidaya lobster di Indonesia atau Asia) dengan cara pembesaran dari bibit lobster yang
diperoleh dari alam dengan ukuran kurang lebih 10 cm dengan masa budidaya selama 18 - 24
bulan.
Berkembangnya waktu dua tahun terakhir permintaan lobster kini tidak hanya untuk
ukuran konsumsi namun bibit lobster yang dari ukuran dibawah 10 cm yang dulunya tidak ada
nilai jual ke pembudidaya.Permintaan bibit tersebut berasal dari Negara Vietnam karena
kebutuhan lobster untuk acara festival bulan. Maraknya perkembangan penangkap lobster di
Lombok Timur mampu mengalihkan minat beberapa orang yang dulunya bekerja sebagai tenaga
kerja Indonesia kembali ke tanah air menangkap bibit lobster.
Secara signifikan penangkapan bibit lobster membawa dampak secara ekonomi kepada
kehidupan masyarakat pesisir dalam satu hari mampu memperoleh pendapatan lebih dari satu juta
tanpa harus mengeluarkan biaya ratusan ribu rupiah dan secara sosial banyak masyarakat yang
dulunya bekerja sebagai tenaga kerja diluar negeri kini mampu memiliki usaha di daerahnya
sendiri, namun secara ekologi banyak perkiraan akan terjadi penurunan stok bibit lobster akibat
tingginya effort karena faktor ekonomi yang menguntungkan. Berdasarkan situasi tersebut
Kementrian Kelautan Perikanan mengeluarkan Peraturan Menteri KP No 1 Tahun 2015 tentang
Penangkapan Lobster (Panulirus spp), Kepiting (Scylla sp) dan Rajungan (Portunus pelagicus
spp) dan selanjutnya yang mengatur perdagangan bibit lobster berdasarkan ukuran dan berat
lobster tersebut. Terbitnya Permen KP tersebut membawa dampak yang signifikan terhadap
masyarakat pesisir khususnya penangkap bibit lobster.
Berdasarkan latar belakang dan masalah diatas, tujuan dari penelitian ini adalah untuk
mengetahui (1). Bagaimanakah kondisi umum perikanan tangkap bibit lobster mencakup ekologi
sosial ekonomi; (2). Bagaimanakah kedepan perkiraan dampak Permen KP No 1 Tahun 2015
tentang Penangkapan Lobster (Panulirus spp), Kepiting (Scylla sp) dan Rajungan (Portunus
pelagicus spp) setelah diberlakukan mencakup ekologi sosial ekonomi; (3). Bagaimanakah
strategi pengelolaan pemanfaatan bibit lobster yang menjunjung nilai keberlanjutan secara
ekologi, ekonomi dan sosial.
Permasalahan
Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan No. 1 Tahun 2015, pada intinya memberikan
pembatasan ukuran lobster yang boleh ditangkap dan diperjual belikan (>8 cm) akan
menyebabkan penurunan hasil tangkapan nelayan, nelayan kini harus melepaskan hasil tangkapan
yang tidak sesuai dengan aturan. Sebelum adanya aturan yang saat ini diberlakukan, lobster
berbagai ukuran laku dijual di pedagang pengumpul. Lobster yang berukuran besar habitatnya
berada lebih ke tengah perairan dan pada perairan yang lebih dalam. Kondisi ini menyebabkan
nelayan membutuhkan lebih banyak bahan bakar dan penambahan alat bantu dalam kegiatan
penangkapan. Sebagian nelayan di Indonesia, khususnya di wilayah NTB telah cukup lama
melakukan penangkapan benih lobster.
HASIL KEGIATAN|Analisis Dampak Pelarangan Ekspor Benih Lobster terhadap
Usaha Perikanan Lobster di Pulau Lombok
76
LAPORAN TEKNIS
[KAJIAN KHUSUS BBPSEKP TAHUN 2015]
Dikhawatirkan sebagian nelayan melakukan usaha penangkapan lobster seringkali
dilakukan dengan cara dan alat atau bahan yang tidak ramah lingkungan, sehingga menimbulkan
kerusakan pada habitat lobster dan lingkungannya
Disisi lain, adanya ekspor benih lobster telah menimbulkan beberapa permasalahan; 1)
Alokasi benih lobster untuk memenuhi kebutuhan lokal menjadi sekitar 10%. 2) kemampuan atau
daya beli pembudidaya lobster lokal (Lombok Timur) hanya Rp. 5000, sedangkan harga benih
lobster sudah berkisar antara Rp. 14.000 – Rp. 15.000.
Metodologi Penelitian
Waktu dan Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan akhir Februari – awal Maret 2015 di Lombok
Tengah dan Lombok Timur. Perairan laut Kabupaten Lombok Tengah dan Kabupaten Lombok
Timur dihubungkan oleh ekosistem Teluk Ekas yang di dalamnya termasuk Teluk Awang dan
Teluk Bumbang. Lokasi-lokasi tersebut merupakan tempat berkumpulnya benih lobster dan
aktifitas kegiatan penangkapan benih lobster.
Secara geografis Provinsi Nusa Tenggara Barat terletak pada posisi antara 08°10' s.d
09°05' LS dan 115°40' s.d 119°05' BT, merupakan provinsi kepulauan yang terdiri dari 2 pulau
besar yaitu Pulau Lombok dan Pulau Sumbawa, serta dikelilingi oleh 278 pulau -pulau kecil. Luas
wilayah administrasi mencapai 49.312,19 km2,terdiri dari luas perairan 29.159,04 km2 ( 59o/o
dari luas wilayah ) dan luas daratan 20.153,15 km2 dengan panjang pantai 2.333 km.
Hasil Dan Pembahasan
Sejarah benih Lobster di Pulau Lombok
Budidaya lobster di Pulau Lombok mulai berkembang pada awal tahun 2000-an setelah
tingginya permintaan terhadap lobster, dan Indonesia belum bisa memenuhi pasokan. Benih
lobster ditemukan oleh pembudidaya kerapu yang menempel pada jaring keramba. Lobster punya
kebiasaan menempel terutama pada subtrat tertentu seperti daun, ranting, kayu dan lainnya.
Kebiasaan tersebut memberikan ide mengembangkan alat tangkap benih lobster sederhana yaitu
sebatang kayu atau bambu yang digantungi karung bekas atau bahan lainnya di sepanjang
bambu tersebut, sampai saat ini bahan yang digunakan adalah karung bekas semen. Metode yang
digunakan untuk menangkap benih lobster adalah “pocong” yang terbuat dari karung bekas semen
yang dibentuk lipat bulat dan digantung pada waring/jaring dan menggunakan alat bantu lampu
(hanya di Teluk Awang).
Budidaya lobster pertama kali diperkenalkan oleh proyek Australian Centre for
Agricultural Research (ACIAR) dengan menemukan benih lobster di Teluk Awang. Pada awalnya,
budidaya lobster dan penangkapan benih lobster menjadi alternatif mata pencaharian oleh nelayan.
Upaya penangkapan benih lobster hanya dilakukan oleh beberapa orang nelayan (sebagian besar
dilakukan oleh nelayan yang memiliki Karamba Jaring Apung-KJA ) dan dapat dikatakan "hanya
sebagai kegiatan tambahan atau sambilan" karena kegiatan utamanya adalah nelayan penangkap
ikan konsumsi, baik untuk memenuhi kebutuhan pangan keluarga maupun untuk dipasarkan. Pada
saat itu, permintaan benih lobster dari luar daerah Nusa Tenggara Barat (NTB) dapat dikatakan
hampir tidak ada, sehingga upaya penangkapan benih lobster hanya untuk memenuhi kebutuhan
lokal (pembudidaya) dengan harga jual yang relatif stabil. Nelayan yang melakukan upaya
penangkapan benih lobster semakin bertambah banyak. Nelayan penangkap ikan konsumsi yang
mengalihkan usahanya menjadi penangkap benih lobster sebagai cara mereka meningkatkan
pendapatan.
HASIL KEGIATAN|Analisis Dampak Pelarangan Ekspor Benih Lobster terhadap
Usaha Perikanan Lobster di Pulau Lombok
77
LAPORAN TEKNIS
Gambar 4-4. 1.
[KAJIAN KHUSUS BBPSEKP TAHUN 2015]
Alat “pocong” untuk menangkap benih Lobster di Pulau Lombok
Sumber : Data Primer (Photo by: Achmad Zamroni)
Benih lobster yang ada di perairan NTB menurut beberapa penelitian berasal dari hasil
spawning induk lobster yang ada di Perairan Australia, Oman, Afrika, Philipina dan Perairan
Spartley.
Perkembangan Lobster di Nusa Tenggara Barat (NTB)
Provinsi NTB memiliki potensi sumberdaya laut, pesisir dan pulau-pulau kecil, diantaranya
adalah potensi perikanan tangkap dan perikanan budidaya. Salah satu potensi sumberdaya ikan
yang sangat penting, bernilai ekonomis tinggi dan volumenya cukup besar adalah benih lobster
yang tersebar di seluruh wilayah pesisir bagian selatan Pulau Lombok dan Pulau Sumbawa.
Menurut Dinas Kelautan dan Perikanan Propinsi NTB (2015)Sebaran benih lobster
dipesisir pantai Provinsi NTB meliputi;
[1]. Kabupaten Lombok Barat tersebar di pesisir pantai Blongas, Teluk Sepi dan Pantai
Pengantap.
[2]. Kabupaten Lombok Tengah tersebar di pesisir pantai Selong Belanak, Gerupuk, Bumbang
dan Teluk Awang.
[3]. Kabupaten Lombok Timur tersebar di pesisir pantai Batu Nampar, Teluk Ekas, Serewe,
Rungkang dan Tanjung Luar.
[4]. Kabupaten Sumbawa tersebar di pesisir pantai Labangka dan Lunyuk.
[5]. Kabupaten Dompu tersebai·di pesisir pantai Lamaci, Teluk Cempi, dan
[6]. Kabupaten Bima tersebar di pesisir pantai Teluk Waworada.
Pada awalnya sekitar tahun 1996 sampai 2011 kegiatan penangkapan benih
lobster hanya ditujukan untuk memenuhi kebutuhan pembudidaya lobster dalam KJA di
Kftbupaten Lombok Timur dengan harga benih lobster pada saat itu berkisar antara Rp. 1.500 s.d
Rp. 5.000 per ekor.
Upaya penangkapan benih lobster hanya dilakukan oleh beberapa orang
nelayan ( sebagian besar dilakukan oleh nelayan yang memiliki KJA ) dan dapat dikatakan
"liarnya sebagai kegiatan tambahan atau sambilan" karena kegiatan utamanya adalah nelayan
penangkap ikan konsumsi, baik untu k memenuhi kebutuhan pangan keluarga maupun untuk
dipasarkan.
HASIL KEGIATAN|Analisis Dampak Pelarangan Ekspor Benih Lobster terhadap
Usaha Perikanan Lobster di Pulau Lombok
78
LAPORAN TEKNIS
[KAJIAN KHUSUS BBPSEKP TAHUN 2015]
Permintaan benih lobster dari luar daerah NTB dapat dikatakan hampir tidak ada, sehingga
upaya penangkapan benih lobster hanya untuk memenuhi kebutuhan lokal dengan harga jual yang
relatif stabil (pembeli lokal). Selanjutnya mulai tahun 2012 upaya penangkapan benih lobster
mulai marak dan semakin berkem bang dengan adanya permintaan benih dari luar negeri, antara
lain Vietnam dan Malaysia. Nelayan yang melakukan upaya penangkapan benih lobster inipun
semakin bertambah banyak, bahkan tidak hanya dilakukan oleh nelayan yang berprofesi sebagai
penangkap benih saja, melainkan dilakukan pula oleh nelayan penangkap ikan konsumsi yang
mengalihkan usahanya menjadi penangkap benih lobster (diversifikasi usahapenangkapan ikan).
Sampai dengan akhir tahun 2014 jumlah nelayan penangkap benih lobster di NTB sudah
mencapai ± 5.632 orang.
Harga benih lobster dengan ukuran tersebut di atas berkisar
antara Rp.
16.000 sampai Rp. 20.000 per ekor, merupakan harga yang sangat menjanjikan bagi nelayan untuk
menopang pendapatan dan kesejahteraan keluarganya.Pemasaran benih lobster dilakukan
domestik ( antar pulau ) dan luar negeri, terutama ekspor ke Vietnam dan Malaysia melalui Bali
( Kuta, Denpasar ) dan Jawa ( Surabaya, Jakarta ). Benih lobster ditangkap menggunakan alat
tangkap yang bersifat pasif, selektif dan ramah lingkungan, berupa atraktor yang terbuat daii
kertas bekas kantong semen, dfrangkai membentuk kipas dan dikaitkan ke wa1ing menyerupai
bentuk pocong. Oleh masyarakat setempat alat tangkap ini disebut atau dikenal dengan nama lokal
''pocong". Selain kertas bekas kantong semen, sebagian nelayan membuat "pocong" dari bahan
tapis kelapa. Jenis lobster yang tertangkap didominasi oleh Lobster Pasir ( 75°/o dari basil
tangkapan ) dan Lobster Mutiara ( 25%> dari basil tangkapan ).
Pocong dioperasikan dengan cara digantung pada Karamba Jaling Apung ( KJA )
berukuran 7 x 8 meter dengan kapasitas 100 - 120 buah pocong per unit KJA, sedangkan bila
menggunakan longline dengan panjang tali induk 50 meter dapat digantung pocong sebanyak 25
buah. Pocong I atractor ditenggelamkan ke dalam perairan dengan vaiiasi kedalaman 1,5 -10
meter & Pocong dibiarkan dalam perairan selama 1- 2 hari, kemudian diangkat ke perm ukaan air
dan melepaskan benih lobster yang menempel pada kertas semen yang berbentuk kipas,
selanjutnya dipindahkan ke dalam jaiing streamine yang dipasang dalam Karam ba Jaring Apung
( KJA ).
Benih lobster yang umumnya ditangkap dan dipasarkan dominan berukuran 2 -5 cm
(panjang total badan) atau berat badan sekitar 1- 2 gram per ekor (masih bersifat planktonis), dan
sebagian kecil ada yang tertangkap berukuran panjang total badan 6 - 8 cm (ukuran
jangkrik). Menurut catatan Dinas Kelautan dan Perikanan Propinsi Nusa Tenggara Barat, sebelum
adanya PERMEN KP No. 01 tahun 2015 jumlah pengiriman benih lobster dari NTB rata - rata
mencapai 40 boks per hari yang berisi benih lobster sebanyak 28.800 ekor dengan nilai Rp 1,4
miliar ( US$ 4 per benih lobster ). Dengan demikian maka diperkirakan nilai ekonomi yang hilang
dalam satu tahun mencapai Rp. 210 miliar, dengan asumsi bahwa frekuensi pengiriman dalam
satu tahun dilakukan sebanyak 150 hari.
Ditingkat nelayan penangkap benih lobster, pendapatan kotor dapat mencapai Rp.
8.640.000 per orang per bulan, dengan perhitungan secara makro sbb :
a.
b.
c.
d.
Jumlah hari menangkap dalam setiap bulan = 15 hari
Jumlah benih lobster yang tertangkap rata - rata per hari = 32 ekor
Harga jual benih lobster rata - rata per ekor = Rp. 18.000,·
Jumlah nilai jual benih lobster setiap bulan ( a x bx c ) = Rp. 8.640.000 & Jika di NTB
terdapat ± 5.632 orang nelayan penangkap benih lobster (Lombok Tengah: 2.451 orang,
Lombok Timur : 1.691 orang, Lombok Barat 1.490 orang), maka pendapatan nelayan yang
hilang sebagai akibat atau konsekuensi dari diberlakukannya PERMEN KP No. 01 tahun
2015 mencapai Rp. 48.660.480 per bulan atau sama dengan Rp. 291.962.880.000 per tahun
HASIL KEGIATAN|Analisis Dampak Pelarangan Ekspor Benih Lobster terhadap
Usaha Perikanan Lobster di Pulau Lombok
79
LAPORAN TEKNIS
[KAJIAN KHUSUS BBPSEKP TAHUN 2015]
(dalam 1tahun upaya penangkapan benih lobster efektif diasumsikan dilakukan selama 6
bulan).
Kabupaten Lombok Tengah merupakan sentra terbesar usaha penangkapan benih lobster di
Provinsi NTB karena memiliki potensi benih lobster yang paling besar dan melibatkan banyak
pelaku usaha dibandingkan dengan kabupaten - kabupaten lainnya. Jumlah nelayan penangkap
benih lobster di Kabupaten Lombok Tengah sebanyak 2.451 orang yang tersebar di 3 ( tiga )
kawasan penangkapan yaitu :



Teluk Awang : 764 orang
Teluk Bumbang dan Teluk Gerupuk: 1.487 orang
Selong Belanak: 200 orang
Jumlah pengumpul benih lobster di Kab. Lombok Tengah sebanyak 60 orang yang tersebar
di 4 desa sebagai berikut :




Desa Mertak Kecamatan Pujut: 30 orang
Desa Sengkol Kecamatan Pujut: 17 orang
Desa Selong Belanak Kecamatan Praya Barat: 9 orang
Desa Bilelando Kecamatan Praya Timur: 4 orang
Kegiatan usaha lobster di Kabupaten Lombok Timur yaitu usaha pembudidayaan dalam
KJA yang benihnya diperoleh dari perairan Kabupaten Lombok Tengah. Selanjutnya benih lobster
menyebar pula ke perairan pantai Lombok Timur, sehingga banyak nelayan yang menangkap
benih lobster. Saat ini di Kabupaten Lombok Timur tidak hanya terdapat usaha pembudidayaan
saja, tetapi juga usaha penangkapan benih lobster sudah banyak dilakukan oleh nelayan. Saat ini
jumlah penangkap benih lobster di Kabupaten Lombok Timur tercatat sebanyak 1.691 orang
nelayan.
Kabupaten lainnya di Provinsi NTB yang berada disebelah selatan menghadap Samudera
Hindia (Lombok Barat, Sumbawa Barat, Sumbawa, Dompu dan Bima), juga terdapat potensi
usaha penangkapan benih lobster, meskipun hasilnya tidak sebanyak di Kabupaten Lombok
Tengah dan Lombok Timur.
Kabupaten Lombok Tengah merupakan sentra terbesar usaha penangkapan benih lobster di
Provinsi NTB karena memiliki potensi benih lobster yang paling besar dan melibatkan banyak
pelaku usaha dibandingkan dengan kabupaten - kabupaten lainnya. Jumlah nelayan penangkap
benih lobster di Kabupaten Lombok Tengah sebanyak 2.451 orang yang tersebar di 3 ( tiga )
kawasan penangkapan yaitu: Teluk Awang ( 764 orang), Teluk Bumbang dan Teluk Gerupuk
(1.487 orang) dan Selong Belanak (200 orang). Sementara itu, jumlah pengumpul benih lobster
di Kabupaten Lombok Tengah sebanyak 60 orang yang tersebar di 4 desa yaitu: Desa Mertak
Kecamatan Pujut (30 orang), Desa Sengkol Kecamatan Pujut
(17 orang), Desa
Selong Belanak Kecamatan Praya Barat
(9 orang), Desa Bilelando Kecamatan Praya
Timur (4 orang).
HASIL KEGIATAN|Analisis Dampak Pelarangan Ekspor Benih Lobster terhadap
Usaha Perikanan Lobster di Pulau Lombok
80
LAPORAN TEKNIS
Gambar 4-4. 2.
[KAJIAN KHUSUS BBPSEKP TAHUN 2015]
Perkembangan Harga Benih lobster di NTB (hasil wawancara)
Pada Tahun 1996 sampai 2011, kegiatan penangkapan benih lobster hanya ditujukan untuk
memenuhi kebutuhan pembudidaya lobster dalam KJA di Kabupaten Lombok Timur dengan
harga benih lobster pada saat itu berkisar antara Rp. 1.500 s.d Rp. 5.000 per ekor.
Selanjutnya mulai Tahun 2012, upaya penangkapan benih lobster mulai marak dan semakin
berkembang dengan adanya permintaan benih dari luar negeri, antara lain Vietnam dan Malaysia.
Sejak Tahun 2013, harga benih lobster meningkat seiring dengan mulai dilakukan ekspor benih
lobster ke Vietnam, usaha budidaya dan penangkapan benih lobster menjadi sumber pendapatan
utama bagi nelayan. Berdasarkan hasil FGD dengan pelaku usaha lobster, perkembangan harga
benih sejak Tahun 2009 s.d Tahun 2014 masing-masing adalah sebagai berikut; Rp. 500/ekor
(1999), Rp. 1000/ekor (1999), Rp. 2500/ (2000) ekor dan Rp. 4000/ekor (2003), Rp. 5000/ekor
(2004), Rp. 7000/ekor-ukuran 50 gram (2010), Rp. 10.000 – Rp. 12.000/ekor (2013), Rp.
15.000/ekor (2014) (Gambar 4-4.2). Pada Tahun 2013, lebih dari 4 juta (empat juta) benih lobster
berhasil diekspor. Lokasi penangkapan benih lobster di Lombok Tengah tersebar di 3 (tiga) lokasi
yaitu Teluk Awang, Teluk Bumbang dan Teluk Gerupuk.
Dampak diberlakukannya Permen KP 1/2015 tentang penangkapan lobster,
kepiting dan rajungan
Pemberlakuan permen No. 1/2015, telah memberikan dampak terhadap kehidupan sosial
ekonomi di Lombok Tengah. Menurut peserta FGD, sejak Tahun 2000 jumlah karamba dan
penangkap lobster bertambah tetapi jumlah hasil tangkapan dirasakan tidak menurun. Salah satu
peserta FGD menjamin jika dalam 5 tahun kedepan jumlah bibit lobster menurun dia bersedia
untuk dihukum, dan bersedia menandatangani perjanjian.
Saat ini, Permen KP No. 1/2015 telah berdampak pada aktifitas penangkapan lobster turun
drastis (hampir 100%) dan tidak ada aktifitas pekerjaan lainnya. Nelayan tidak bersedia
melakukan budidaya lobster lagi mengingat biaya yang besar terutama untuk pakan. Dampak
yang terjadi saat ini adalah: a) Kesulitan mencukupi kebutuhan sehari-hari; b) Kesulitan
membiayai anak sekolah; c) 100% karamba menganggur; d) Kejahatan meningkat/keamanan
wilayah menurun; e) Aktifitas ”bank harian” kembali meningkat; f) Pengumpul berpotensi
kehilangan modal yang diberikan kepada nelayan (terutama modal yang dikeluarkan untuk KJA
sesaat sebelum ada Permen 1/2015; g) Pendapatan nelayan saat ini menjadi Rp. 30.000 per hari,
itu bagi yang masih mempunyai perahu kecil untuk menangkap ikan.
HASIL KEGIATAN|Analisis Dampak Pelarangan Ekspor Benih Lobster terhadap
Usaha Perikanan Lobster di Pulau Lombok
81
LAPORAN TEKNIS
[KAJIAN KHUSUS BBPSEKP TAHUN 2015]
Jumlah penangkap dan pengumpul benih lobster sebanyak 5.609 orang dengan pendapatan
rata-rata Rp. 8.600.000/KK/bulan terancam keberlanjutan usahanya. KJA sebanyak 519 lubang
KJA di Kabupaten Lombok Timur tidak dapat beroperasi karena tidak adanya pasokan benih.
Secara alamiah, benih lobster alam tidak dapat berkembang karena dapat dimakan oleh predator.
Skenario Kebijakan dan Program Prioritas
Skenario kebijakan
Berdasarkan analisis SWOT terhadap pemanfaatan sumberdaya lobster dan dampaknya, telah
teridentifikasi faktor-faktor yang menjadi kekuatan (S), Kelemahan (W), Peluang (O) dan
Ancaman (T), yaitu Tabel 4-4.1 dan Tabel 4-4.2.
Identifikasi faktor internal (S-W) terhadap pemanfaatan sumberdaya
lobster
Faktor Internal (S-W)
Tabel 4-4. 1.
Kekuatan (S)
Skor
a
> 80% Jenis benih lobster yang tertangkap adalah lobster pasir dan mutiara
0,31
b
Hasil benih lobster sebagai penopang utama ekonomi RT nelayan di NTB
0,4
c
Pertambahan jumlah effort penangkapan benih (keramba dan pelaku) sejak tahun
2000 tidak menurunkan jumlah tangkapan benih lobster
0,31
d
Awig-awig sudah punya peran dalam penangkapan induk
0,21
e
Keberadaan awig-awig pelarangan penangkapan induk lobster
0,21
f
Secara alami benih lobster akan dimakan predator
0,31
g
Kembalinya penangkapan induk lobster menggunakan alat tidak ramah lingkungan
0,21
h
Jumlah KJA di Loteng 6.449 unit dan pengumpul 60 orang
0,15
i
Ada program rumah ikan (kerjasama Balitbang KP denganPemprov NTB)
0,24
j
Tim Pengawas lobster dari Pemprov. NTB
0,24
K
Disiapkan 20 lokasi konservasi untuk dilakukan restocking (Alor, Maumere, Sikka,
Loteng, Lotim, Simelue);
0,4
l
Bulan puncak penangkapan benih lobster dari bulan Maret hingga Juni
0,21
Kelemahan (W)
Skor
a
75% ukuran benih Lobster pasir dan Mutiara dominan tertangkap 2-5 cm
0,34
b
Nalayan tidak berminat melakukan budidaya lobster
0,57
c
Budidaya lobster membutuhkan biaya besar
0,36
d
Kompensasi dari larangan penangkapan dan ekspor benih lobster blm ada.
0,8
e
Teknologi pembenihan lobster yang aplikatif bagi masyarakat belum ada/tersedia
0,96
HASIL KEGIATAN|Analisis Dampak Pelarangan Ekspor Benih Lobster terhadap
Usaha Perikanan Lobster di Pulau Lombok
82
LAPORAN TEKNIS
[KAJIAN KHUSUS BBPSEKP TAHUN 2015]
Tabel 4-4. 2.
Identifikasi faktor internal (S-W) terhadap pemanfaatan sumberdaya
lobster
Faktor Eksternal (O-T)
Peluang (O)
Skor
a
Potensi SD Lombster NTB tersebar di 6 wilayah kabupaten
0,48
b
Ekspor benih lobster ikut meningkatkan harga ditingkat lokal
0,33
c
Nelayan menganggap tidak masalah “kran” ekspor ditutup
0,33
d
Nelayan ingin pasar benih dalam negeri dibuka
0,3
e
Nelayan ingin penangkapan benih ukuran 2-5 cm diperbolehkan
0,2
f
Nelayan setuju harga benih untuk pasar dalam negeri antara Rp. 7000 – Rp. 10.000
0,2
g
Nelayan tidak bisa menjual lobster ukuran < 300 gram
0,12
h
Benih lobster ditangkap menggunakan alat tangkap yang bersifat pasif, selektif dan
ramah lingkungan (atraktor dari kertas bekas kantong semen)
0,48
i
Nilai ekonomi benih lobster mencapai Rp. 210 miliar/tahun (asumsi frekuensi 0,33
pengiriman sebanyak 150 hari/tahun).
Ancaman (T)
Skor
a
Secara alami benih lobster akan dimakan predator
0,28
b
Kembalinya penangkapan induk lobster menggunakan alat tidak ramah lingkungan
0,18
c
Larangan penangkapan benih lobster memicu penangkapan induk lobster
0,28
d
Daya beli pembudidaya terhadap benih lobster menurun
0,28
e
Larangan ekspor benih menurunkan pendapatan nelayan
0,28
f
100% karamba idle
0,18
g
Pengumpul mengalami kerugian Rp. 100 Jt – Rp. 400 Jt
0,08
h
KJA di Lotim berkurang > 70%
0,15
I
Penangkapan benih lobster menjadi sumber pendapatan utama
0,18
J
Nelayan kesulitan membiayai sekolah anak
0,28
K
Tingkat Kejahatan meningkat/keamanan wilayah menurun
0,28
L
Aktifitas ”bank harian” kembali meningkat
0,18
M Jumlah TKI/TKW perpotensi meningkat lagi
0,18
N
Hasil tangkapan rata2 benih lobster di Kabupaten Lombok Tengah 330.000 - 400.000 0,28
ekor/bulan
O
Jumlah nelayan penangkap benih lobster di NTB sudah mencapai 5.632 orang (2014) 0,21
Skenario kebijakan yang dapat dilakukan merupakan hasil perhitungan skor faktor S-W-OT. Hasil perhitungan skor tersebut telah menghasilkan skenario atau strategi SO, WO, ST dan WT.
Skenario yang ditampilkan dipilih ranking ketiga teratas dari masing-masing strategi.
1. Strategi SO:
HASIL KEGIATAN|Analisis Dampak Pelarangan Ekspor Benih Lobster terhadap
Usaha Perikanan Lobster di Pulau Lombok
83
LAPORAN TEKNIS
[KAJIAN KHUSUS BBPSEKP TAHUN 2015]
a. Melakukan kajian bio ekologi lobster untuk mengetahui siklus hidup dan produktifitas
dan MSY.
b. Memanfaatkan 6 (enam) wilayah potensial di NTB untuk menangkap benih lobster yang
digunakan untuk mensupply keperluan restocking nasional di 20 wilayah di Indonesia,
jika hasil kajian point 1a menunjukkan bahwa lokasi tersebut sesuai dengan kebutuhan
anakan lobster untuk berkembang.
c. Merevitalisasi budidaya KJA pembesaran lobster k jenis lobster pasir dan lobster mutiara.
2. Strategi WO:
a. Memperbolehkan penangkapan benih lobster untuk kebutuhan budidaya (pembesaran)
domestik (dalam negeri) sesuai dengan target MSY yang ditunjukkan pada kajian
bioekologi (Strategi SO Point 1a).
b. Menjamin pasar dan harga jual lobster ukuran konsumsi sebagai kompensasi pelarangan
ekspor benih lobster.
c. Menata kembali pola kerjasma budidaya lobster: Kabupaten Lombok Tengah sebagai
supply benih dan Kabupaten Lombok Timur sebagai pembesaran lobster (ukuran
konsumsi).
3. Strategi ST:
a. Meningkatkan atau mendorong peran awig-awig atau kearifan lokal lainnya untuk
melakukan pengawasan terhadap penangkapan dan melakukan pembatasan pada jumlah
hasil tangkapan dan penjualan.
b. Merujuk hasil program restocking benih lobster, perlu mengkaji penataan skema
pengembangan budidaya lobster dan penguasaan teknologi pembenihan sebagai strategi
jangka menengah dan jangka panjang.
c. Memanfaatkan rumah ikan untuk konservasi dan melakukan quota penangkapan agar
ekonomi lokal tetap berjalan, termasuk menetapkan harga benih untuk budidaya di tingkat
lokal.
4. Strategi WT:
a. Memanfaatkan benih lobster pasir dan mutiara untuk dibudidayakan di KJA yang idle.
b. Merancang skema subsidi untuk pembudidaya lobster dengan tujuan memunculkan minat
nelayan untuk melakukan budidaya lobster.
c. Merancang pengelolaan dana dari TKI oleh lembaga keuangan yang mempunyai
kredibilitas dalam membangun usaha dan investasi budidaya lobster.  ditambah di
dalam impact negative permen KP 2 peningkatan kecenderungan menjadi TKI
Program Prioritas
Keempat skenario kebijakan di atas diterjemahkan ke dalam program-program prioritas
sebagai berikut:
1. Strategi S-O:
a. Melindungi benih lobster dengan ukuran 2-5 cm
dengan menggunakan alat tangkap ramah
lingkungan untuk menunjang pendapatan nelayan
dengan memperhatikan peluang pasar dalam/luar
negeri.  lihat revisi di atas
b. Memanfaatkan 6 (enam) wilayah potensial di NTB
untuk menangkap benih lobster yang digunakan
untuk mensupply keperluan restocking nasional di
20 wilayah di Indonesia.
c. Memanfaatkan 2 (dua) jenis lobster (Pasir dan
Mutiara) yang mempunyai nilai ekonomis tinggi
untuk menjadi keseimbangan pasar di dalam dan
1. Meninjau kembali Permen KP No
1/2015 dengan mempertimbangkan
membolehkan penangkapan benih dan
jual beli benih lobster untuk
restocking dan usaha budidaya
domestic
2. Melakukan kajian cepat bioekologi
lobster
3. Mempercepat program restocking
benih lobster dan revitalisasi budidaya
lobster dengan asupan benih sesuai
dengan usulan dari kajian bioekologi
HASIL KEGIATAN|Analisis Dampak Pelarangan Ekspor Benih Lobster terhadap
Usaha Perikanan Lobster di Pulau Lombok
84
LAPORAN TEKNIS
[KAJIAN KHUSUS BBPSEKP TAHUN 2015]
luar negeri, baik benih maupun ukuran konsumsi.
2. Strategi W-O:
a. Membuka peluang pasar dalam negeri untuk benih
maupun ukuran konsumsi sebagai kompensasi
ditutupnya “kran” ekspor benih lobster.
b. Menata skema budidaya lobster (ukuran konsumsi)
untuk tetap menjadi nilai ekonomi yang berpotensi
hilang akibat ditutupnya “kran” ekspor dan
penangkapan benih ukuran tertentu.
c. Memperbolehkan penangkapan benih lobster untuk
kebutuhan budidaya (pembesaran) dengan
mempertimbangkan untuk memberikan
subsidi/kompensasi dari besarnya biaya operasional
budidaya lobster.
3. Strategi S-T:
d. Meningkatkan atau mendorong peran awig-awig
atau kearifan lokal lainnya untuk melakukan
pengawasan terhadap penangkapan dan melakukan
pembatasan pada jumlah hasil tangkapan dan
penjualan.
e. Merujuk hasil program restocking benih lobster
untuk mengkaji penataan skema budidaya lobster
dan penguasaan teknologi pembenihan sebagai
strategi jangka menengah dan jangka panjang.
f. Memanfaatkan rumah ikan untuk konservasi dan
melakukan quota penangkapan agar ekonomi lokal
tetap berjalan, termasuk menetapkan harga benih
untuk budidaya di tingkat lokal.
4. Strategi W-T:
a. Memanfaatkan benih lobster pasir dan mutiara
untuk dibudidayakan di KJA yang idle.
b. Merancang skema subsidi untuk pembudidaya
lobster dengan tujuan memunculkan minat nelayan
untuk melakukan budidaya lobster.
c. Merancang pengelolaan dana dari TKI oleh lembaga
keuangan yang memiliki kredibilitas dalam
membangun usaha & investasi budidaya lobster.
4. Menetapkan quota penangkapan dan
perdagangan benih lobster yang
mencakup: Jumlah, harga (dlm negeri
dan ekspor), jenis lobster (tidak hanya
mutiara dan pasir), ukuran benih yang
diperdagangkan (min. 6 – 8 cm).
5. Pengaturan bulan yang diperbolehkan
dilakukan penangkapan berdasarkan
bulan puncak penangkapan benih
lobster (Maret s.d Juni)
6. Pengembangkan teknologi pembibitan
dan budidaya lobster.
1. Menyusun Juklak penanggulangan
dampak sosial ekonomi dari
pemberlakuan Permen KP 1/2015
2. Menyusun Blue Print pengembangan
budidaya lobster.
1. Memperbanyak pengawas dan pospos pengawasan
2. Memperluas daerah konservasi atau
membentuk daerah konservasi baru
1. Membentuk lembaga keuangan mikro
untuk penyediaan investasi budidaya
lobster
2. Membuka pasar dan memberikan
peluang ekspor untuk lobster ukuran
konsumsi serta jaminan harganya.
HASIL KEGIATAN|Analisis Dampak Pelarangan Ekspor Benih Lobster terhadap
Usaha Perikanan Lobster di Pulau Lombok
85
LAPORAN TEKNIS
[KAJIAN KHUSUS BBPSEKP TAHUN 2015]
Kesimpulan Dan Rekomendasi Kebijakan
Kesimpulan
1. Hasil tangkapan benih lobster sudah menjadi mata pencaharian utama nelayan di Lombok
Tengah dan Lombok Timur dan penopang utama ekonomi rumah tangga mereka.
2. Fenomena ekspor benih lobster telah berdampak pada berkurangnya aktivitas pembesaran
lobster (KJA) di wilayah tersebut, terutama di Lombok Timur.
3. Permintaan terhadap benih lobster maupun lobster (konsumsi) sama-sama masih terbuka dan
cenderung meningkat, tetapi minat nelayan untuk melakukan pembesaran lobster semakin
menurun. Hal ini dikhawatirkan dapat mengurangi stok lobster (ukuran konsumsi),
berkurangnya sumberdaya lobster di Lombok Tengah dan Lombok Timur.
4. Oleh karena itu, perikanan lobster di kawasan tersebut perlu dikendalikan dengan
mempertimbangan aspek sosial, ekonomi dan ekologi.
5. Sebagai rencana tindak lanjut menyikapi gejolak sosial sebagai bentuk reaksi dari
implementasi peraturan menteri No. 1/2015, maka beberapa hal yang sebaiknya dapat
dilakukan adalah:
a) Mediasi dengan para pelaku usaha lobster untuk memperoleh feedback.
b) Pendampingan sebagai proses rekayasa sosial dalam rangka mengendalikan
penangkapan dan ekspor benih lobster. Misalnya: re-alokasi benih lobster hasil
tangkapan nelayan untuk ekspor dan pembesaran, tentunya disertai berbagai strategi
(subsidi).
c) Melakukan kajian market intelligent sebagai salah satu langkah antisipasi timbulnya
“praktek-praktek illegal” lainnya.
Rekomendasi Kebijakan
Berdasarkan FGD rapat penanggulangan dampak dari pemberlakuan PERMEN KP
No. 1/PERMEN-KP/2015 dipimpin oleh Kepala Badan LITBANG KP dan dihadiri oleh
Perwakilan tiap Eselon I KKP, Dinas KP Propinsi NTB, Dinas KP Kabupaten Lombok Tengah
dan Lombok Timur, serta WWF. Rapat penanggulangan dampak dari pemberlakuan PERMEN
KP No. 1/PERMEN-KP/2015 dilaksanakan di Gd. Balitbang KP 1, pada tanggal 4 Maret 2015
sebagai langkah dalam hal menanggulangi dampak di atas, masing-masing Eselon I lingkup KKP
telah mempersiapkan langkah-langkah sebagai berikut:
1. Jangka Pendek
a. Kegiatan penanggulangan, melalui pengalihan usaha sebagai berikut :
No.
Kegiatan
Penanggung
Jawab
Anggota
DJPB
P2HP,
BPSDM,
LITBANG,
Dinas KP,
ARLI
2
Budidaya Ikan Laut (KJA dan PUMM) DJPB
P2HP,
BPSDM,
LITBANG,
Dinas KP
3
Sylvofishery (Kepiting & Rajungan)
BPSDM,
LITBANG,
DJPT,
1
Budidaya Rumput Laut (PUMM dan
pembangunan kebun bibit rumput laut)
DJPB
Kabupaten
Lombok
Timur,
Lombok
Tengah,
Lombok Barat
Lombok
Timur,
Lombok
Tengah,
Lombok Barat
Tarakan,
Langkat,
Kaltim
HASIL KEGIATAN|Analisis Dampak Pelarangan Ekspor Benih Lobster terhadap
Usaha Perikanan Lobster di Pulau Lombok
86
LAPORAN TEKNIS
4
5
[KAJIAN KHUSUS BBPSEKP TAHUN 2015]
Budidaya Abalone dg IMTA
Restocking Lobster
LITBANG
LITBANG
BKIPM,
Dinas KP,
KP3K,
WWF,
APRI,
PSDKP
DJPB,
BPSDM,
P2HP, Dinas
KP
DJPB,
KP3K,
BPSDM,
BKIPM,
Dinas KP,
WWF,
PSDKP
(Prop.),
Cilacap,
Pangandaran,
Makassar
Lombok
Timur
Pangandaran,
Simelue,
(Ditambah
kawasan
konservasi)
b. Sosialisasi pemberlakuan PERMEN KP No. 1/PERMEN-KP/2015 dan pengalihan usaha,
sebagai berikut :
No. Komoditas
1
Lobster
2
Kepiting Bakau dan Rajungan
Lokasi
Lombok Tengah
Lombok Timur
Bengkulu (Prop.)
Lampung Selatan
Cilacap
Pangandaran
Tarakan
Langkat
Kaltim (Prop.)
Makassar
Cilacap
Pangandaran
Asahan
Tim Sosialisasi
DJPT, DJPB, LITBANG,
BPSDM, P2HP, KP3K,
BKIPM, WWF
DJPT, DJPB, LITBANG,
BPSDM, P2HP, KP3K,
BKIPM, WWF, APRI
HASIL KEGIATAN|Analisis Dampak Pelarangan Ekspor Benih Lobster terhadap
Usaha Perikanan Lobster di Pulau Lombok
87
LAPORAN TEKNIS
[KAJIAN KHUSUS BBPSEKP TAHUN 2015]
c. Jadwal kegiatan sosialisasi akan ditetapkan oleh DJPT sebagai koordinator Sosialisasi
2. Jangka menengah – panjang
No
Program Prioritas
1. Menyusun Juklak
penanggulangan dampak sosial
ekonomi dari pemberlakuan
Permen KP 1/2015
Pelaksana
Institusi yg terlibat
DJPT
Setjen KKP, Biro
Hukum
Balitbang, KKP
2.
Menyusun Blue Print
DJPB
pengembangan budidaya lobster.
DJPT, Balitbang KP
3
Memperluas daerah konservasi
atau membentuk daerah
konservasi baru
Membentuk lembaga keuangan
mikro untuk penyediaan
investasi budidaya lobster
KP3K
DJPT, DJPB, Balitbang
KP
KP3K
P2HP, Balitbang KP
Merancang riset nasional dalam
rangka mensinergikan program
riset perikanan lobster.
Balitbang
KP
Dewan Riset Nasional,
Perguruan Tinggi
BPPT,
LIPI
4
5
Output
Dokumen
Juklak
Dokumen
Blue Print
dan roadmap
Peta wilayah
konservasi
Konsep
lembaga
keuangan
mikro
Roadmap
riset terpadu
Daftar Pustaka
Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia No. 1/PERMEN-KP/2015 tentang
penangkapan lobster (Panulirus spp.), Kepiting (Scylla spp.), dan Rajungan (Portunus
pelagicus spp.)
Surat Edaran No. 18/Men KP/I/2015 tentang Penangkapan Lobster, Kepiting dan Rajungan
Data nelayan penangkap benih lobster kabupaten lombok tengah. Dinas kelautan dan perikanan
kabupaten lombok tengah. 2014
Kajian/analisis pengelolaan benih lobster di NTB. Dinas Kelautan dan Perikanan Prop. NTB.
2015.
HASIL KEGIATAN|Analisis Dampak Pelarangan Ekspor Benih Lobster terhadap
Usaha Perikanan Lobster di Pulau Lombok
88
LAPORAN TEKNIS
4.5.
[KAJIAN KHUSUS BBPSEKP TAHUN 2015]
Dampak Kebijakan Moratorium dan Transhipment pada Usaha Perikanan
Indonesia
Pendahuluan
Latar Belakang
Praktek IUU (Ilegal Unreported Unregulated) Fishing diduga sudah secara kronis
merugikan perekonomian Indonesia 2 ’ 3 ’ 4 . Menurut data FAO, dalam siaran pers BPK 2013,
kerugian yang dialami oleh Indonesia akibat IUU fishing adalah sebesar USD 3,125 million atau
Rp30 triliun pertahunnya. Salah satu indikator dari maraknya kegiatan IUU fishing ini
ditunjukkan dari nilai ekspor perikanan Indonesia, yang pada tahun 2011 hanya mencapai $ 3,34
Milyar. Angka tersebut jauh lebih rendah jika dibandingkan dengan nilai ekspor yang dicapai
Vietnam pada tahun yang sama. Meskipun Vietnam memiliki luasan laut yang lebih kecil
dibandingkan Indonesia, namun nilai ekspor perikanan vietnam pada tahun 2011 lalu bisa
mencapai $ 25 milyar. Hal tersebut dapat dilihat sebagai indikasi dari betapa tingginya aliran
produk perikanan yang masuk ke Vietnam dari hasil tangkapan di luar perairannya – salah satunya
dari Perairan Indonesia.
Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), di bawah kepemimpinan Menteri Susi
Pudjiastuti, nampaknya menitik beratkan misi KKP ke arah keberlanjutan sumberdaya dan usaha
di sektor Kelautan dan Perikanan (KP) Indonesia. Hal tersebut dapat diamati dari program utama
yang digulirkan KKP semenjak menjabat sebagai MenKP, dimana pemberantasan praktek IUU
fishing dijadikan isu strategis yang harus diselesaikan dalam jangka pendek. Praktek pencurian
ikan oleh pihak asing yang telah menggerogoti sumberdaya ikan Indonesia selama ini, umumnya
muncul dalam modus penjualan ikan di tengah laut dengan menggunakan praktek trans-shipment,
dan praktek penangkapan menggunakan kapal ex-asing berbendera Indonesia dengan izin yang
yang digandakan. Oleh karena itu, kebijakan pertama MenKP yang digulirkan untuk mengatasi
IUU fishing di Indonesia dalam jangka pendek adalah melakukan penghentian terhadap kedua
praktek tersebut, melalui Peraturan Menteri.
Pelarangan praktek penangkapan oleh kapal ex-asing tanpa izin dan berizin ganda
diwujudkan melalui peraturan Nomor 56/PERMEN-KP/2014. Peraturan ini secara umum
merupakan sebuah moratorium, atau penghentian sementara perizinan usaha perikanan tangkap
di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia bagi kapal perikanan yang
pembuatannya dilakukan di luar negeri. Penghentian sementara perizinan yang dituangkan dalam
aturan ini adalah : (a) tidak dilakukan penerbitan izin baru bagi Surat Izin Usaha Perikanan
(SIUP), Surat Izin Penangkapan Ikan (SIPI) dan Surat Izin Kapal Pengangkut Ikan (SIKPI); (b)
terhadap SIPI dan SIKPI yang telah habis masa berlakunya tidak dilakukan perpanjangan; (c)
bagi SIPI atau SIKPI yang masih berlaku dilakukan analisis dan evaluasi sampai dengan masa
berlaku SIPI atau SIKPI berakhir; dan (d) apabila berdasarkan hasil analisis dan evaluasi
ditemukan pelanggaran, akan dikenakan sanksi administrasi sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan. Penghentian sementara perizinan usaha perikanan tangkap berlaku sampai
dengan tanggal 30 April 2015.
Pelarangan praktek trans-shipment diwujudkan melalui peraturan MenKP
No.57/PERMEN-KP/2014 tentang pelarangan praktek trans-shipment. Berdasarkan aturan
tersebut, kapal-kapal pengangkut tidak diperkenankan sama sekali melakukan praktek transshipment atau mengalihkan ikan dari kapal tangkap ke kapal pengangkut di tengah laut. Di bawah
peraturan ini, kapal-kapal pengangkut hanya diperkenankan untuk melakukan pengangkutan ikan
2
3
4
http://www.republika.co.id/berita/nasional/umum/14/04/18/n47hwb-astaga-negara-dirugikan-rp-101-tdari-pencurian-ikan
http://www.beritasatu.com/ekonomi/178619-ri-rugi-rp-100-t-per-tahun-akibat-pemancingan-ilegal.html
http://www.indonesia.go.id/en/ministries/ministers/ministry-of-communication-and-informatics/881ekonomi/2526-fao-akibat-iuu-kerugian-diperkirakan-rp30-triliun
HASIL KEGIATAN|Dampak Kebijakan Moratorium dan Transhipment pada
Usaha Perikanan Indonesia
89
LAPORAN TEKNIS
[KAJIAN KHUSUS BBPSEKP TAHUN 2015]
yang bersifat port-to-port. Berbeda dengan PERMEN-KP No. 56, PERMEN-KP No. 57 tidak
memiliki batas waktu, sehingga berlaku hingga diturunkannya peraturan lain.
Implementasi kedua PERMEN tersebut tentunya akan berdampak secara langsung pada
jangka pendek terhadap para pelaku usaha di sektor perikanan tangkap. Diperkirakan tidak hanya
para pelaku IUU fishing saja yang akan merasakan dampak dari kedua peraturan ini. Para
pengusaha penangkapan dan pengolahan diperkirakan akan mengalami peningkatan biaya
operasional dan kelangkaan bahan baku, para ABK dan buruh akan kehilangan pekerjaan dan
penurunan pendapatan, bahkan berbagai usaha jasa penunjang seperti perbengkelan, penyedia
ransum, dan lain sebagainya juga akan mengalami kelesuan akibat menurunnya permintaan.
Dilain pihak, ada pula yang memperkirakan bahwa kedua kebijakan tersebut akan berdampak
negatif di jangka pendek, namun akan memberikan dampak positif pada jangka menengah dan
panjang, seperti para nelayan kecil yang akan berpeluang memperoleh hasil tangkapan lebih
banyak pada saat mulai terjadi peningkatan jumlah sumberdaya Ikan.
Pada akhir tahun 2014 yang lalu, bersamaan dengan diberlakukannya kebijakan
moratorium, Balai Besar Penelitian Sosial Ekonomi Kelautan dan Perikanan (BBPSEKP) telah
mencoba melakukan sebuah kajian antisipatif untuk memperkirakan dampak ekonomi dari
kebijakan tersebut. Kajian tersebut mempergunakan sebuah model ekonomi makro pembangunan
KP untuk mensimulasikan dampak dari pemberlakuan kebijakan moratorium. Hasil simulasi
menunjukkan bahwa, ceteris paribus, adanya kebijakan moratorium cenderung mendorong
terjadinya perlambatan pertumbuhan perekonomian secara nasional, akan tetapi karena besaran
dampak yang dihasilkan sangatlah rendah – pada angka di bawah 0,1% saja – maka dapat
dikatakan tidak cukup signifikan untuk memberikan dampak buruk terhadap perekonomian
nasional. Meskipun demikian, hasil simulasi juga menunjukkan kecenderungan terjadinya
penurunan produksi di sektor perikanan tangkap dan pengolahan hasil perikanan (Rahadian, R.,
et.al., 2014).
Tujuan
Pada dasarnya, kajian yang dilakukan ini merupakan lanjutan dari kajian 2014 yang
bersifat pendahuluan. Kajian lanjutan ini tidak hanya memfokuskan penelitian pada dampak
kebijakan moratorium saja, tapi juga kepada dampak dari pelarangan praktek trans-shipment.
Secara sederhana, tujuan dari kajian lanjutan ini adalah untuk menghasilkan gambaran dampak
secara riil dari kedua kebijakan MenKP yang dimaksud, terhadap para pelaku usaha di sektor KP,
setelah kedua kebijakan tersebut digulirkan. Tujuan umum tersebut selanjutnya dibagi menjadi
tiga tujuan yang lebih spesifik, yaitu untuk:
1. Mengidentifikasi pelaku usaha perikanan yang terkena dampak langsung dari aturan
trans-shipment dan moratorium;
2. Mengukur dampak kebijakan moratorium dan trans-shipment terhadap para pelaku
usaha;
3. Merekomendasikan kebijakan terkait dampak moratorium dan trans-shipment terhadap
pelaku usaha.
Perkiraan Keluaran
Dengan tercapainya tujuan penelitian seperti yang telah dijabarkan pada bagian
sebelumnya, maka diharapkan penelitian ini akan menghasilkan beberapa output seperti berikut
di bawah ini:
1. Data dan informasi terkait pelaku usaha perikanan yang terkena dampak langsung dari
aturan trans-shipment dan moratorium;
2. Data dan informasi terkait besaran dampak moratorium dan trans-shipment terhadap
pelaku usaha;
3. Rekomendasikan kebijakan terkait dampak moratorium dan trans-shipment terhadap
HASIL KEGIATAN|Dampak Kebijakan Moratorium dan Transhipment pada
Usaha Perikanan Indonesia
90
LAPORAN TEKNIS
[KAJIAN KHUSUS BBPSEKP TAHUN 2015]
pelaku usaha.
Metode Penelitian
Kerangka penelitian
Permasalahan :
Kebijakan:
“IUU Fishing”
1. PERMEN-KP No. 56/2014
2. PERMEN-KP No. 57/2014
Dampak Kebijakan Terhadap Para Pelaku
Usaha KP
Identifikasi Pelaku Usaha KP yang
Terdampak
Besaran Dampak Yang Diterima
Rekomendasi Kebijakan
Gambar 4-5. 1.
Kerangka Pemikiran Kajian Dampak Kebijakan Moratorium dan
Transhipment Pada Usaha Perikanan Indonesia
Kebijakan pemberlakukan moratorium dan pelarangan kegiatan trans-shipment yang
digulirkan pada akhir tahun 2014 lalu, saat ini mulai dirasakan dampaknya oleh para pelaku usaha
di sektor KP. Penelitian ini akan melakukan survey ke beberapa lokasi yang merupakan sentra
dari usaha KP di Indonesia, untuk mengidentifikasi siapa saja pelaku usaha yang terdampak oleh
kedua kebijakan tersebut dan mengkuantifikasi besaran dari dampak yang diterima oleh masingmasing pelaku yang teridenfikasi. Diharapkan dari kedua informasi yang diperoleh tersebut,
penelitian ini dapat menghasilkan rekomendasi kebijakan untuk mengatasi dampak negatif dari
kedua kebijakan yang telah digulirkan tersebut. Adapun yang dimaksud dengan Usaha KP dalam
penelitian ini adalah berbagai usaha yang dikelompokan menjadi usaha penangkapan Ikan laut,
usaha pengolahan ikan dan usaha pendukung kedua usaha terdahulu.
Waktu dan Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret sampai dengan April 2015, dengan dua
lokasi penelitian yang dipilih secara purposive, yaitu Bitung dan DKI Jakarta. Bitung dipilih
sebagai lokasi penelitian sebab lokasi tersebut memiliki tempat pendaratan ikan yang berskala
besar, selain juga merupakan sentra usaha pengolahan produk KP dengan skala yang beragam –
dari skala tradisional hingga ke skala yang moderen. Sedangkan DKI jakarta dipilih dengan alasan
bahwa lokasi ini, selain sebagai lokasi berbagai institusi yang menyediakan data sekunder, juga
memiliki dua pelabuhan pendaratan ikan yang cukup besar dan merupakan sentra usaha
pengolahan produk KP.
HASIL KEGIATAN|Dampak Kebijakan Moratorium dan Transhipment pada
Usaha Perikanan Indonesia
91
LAPORAN TEKNIS
[KAJIAN KHUSUS BBPSEKP TAHUN 2015]
Teknik Pengumpulan Data
Jenis dari kajian ini pada dasarnya adalah sebuah studi kasus yang meneliti tentang status
subyek penelitian yang berkenaan dengan suatu fase khas dari keseluruhan personalitas (Nazir
1988). Subyek penelitian adalah para pelaku usaha di sektor KP sebagai pihak yang terkena
langsung dampak dari kebijakan moratorium dan trans-shipment. Adapun data yang diambil
meliputi baik data primer maupun data sekunder.
Data primer diperoleh dari analisis dokumen, observasi dan wawancara. Untuk
memverifikasi data-data tersebut dilakukan proses triangulasi. Menurut Sitorus (1998),
triangulasi dapat diartikan sebagai "kombinasi sumber data " yang memadukan sedikitnya tiga
metode, seperti observasi, wawancara dan analisis dokumen. Kelebihan dari metode ini adalah
saling menutupi kelemahan antara satu metode dengan metode lainnya, sehingga hasil yang
diharapkan dari realitas sosial masyarakat menjadi lebih valid. Observasi dilakukan untuk
memperoleh gambaran lebih jelas tentang kehidupan sosial (Nasution 2006). Dengan observasi
sebagai alat pengumpul data, diusahakan mengamati keadaan yang wajar dan yang sebenarnya
tanpa usaha yang disengaja untuk mempengaruhi, mengatur atau memanipulasinya. Wawancara
atau interview adalah suatu bentuk komunikasi verbal jadi semacam percakapan yang bertujuan
untuk memperoleh informasi (Nasution, 2006).
Menurut Nasution (2006), Sumber data sekunder adalah sumber bahan bacaan. Bahan
sekunder adalah hasil pengumpulan oleh orang lain dengan maksud tersendiri dan mempunyai
kategorisasi atau klasifikasi menurut keperluan mereka. Data sekunder berupa bahan-bahan
tertulis yang berupa laporan tahunan, hasil penelitian terdahulu (sebelumnya), buku serta
publikasi media cetak maupun elektronik. Data ini dipakai sebagai pelengkap temuan atau sebagai
starting point untuk memperoleh orientasi yang lebih luas mengenai topik yang diteliti. Sumber
data sekunder yaitu: kementrian kelautan dan perikanan, pelabuhan perikanan, dinas kelautan dan
perikanan, badan pusat statistik,
Metoda Analisis Data
Analisis data bertujuan untuk menyederhanakan data dalam bentuk yang lebih mudah
dipahami (Nazir 1988). Data yang telah terkumpul dalam penelitian ini dikelompokkan,
kemudian disusun, ditabulasi dan dilakukan analisis secara deskriptif kualitatif. Analisa data
dilakukan berdasarkan informasi yang didapat dari wawancara dan observasi lapang.
Tabel 4-5. 1.
Matriks Metode Penelitian
Data yang
Tujuan Penelitian
diperlukan
Mengidentifikasi
pelaku usaha perikanan
Informasi pelaku
yang terkena dampak
usaha perikanan
aturan
transshipment
dilokasi penelitian
dan moratorium
Data jumlah kapal,
wilayah tangkap,
produksi ikan, data
usaha, data
perkiraan
kerugian/keuntung
an dari moratorium
Merekomendasikan
Kompilasi dan
kebijakan
terkait
analisa data
Mengukur
dampak
moratorium
dan
transshipment
terhadap pelaku usaha
Teknik
Pengumpulan
Sumber
Observasi lapang
dan wawancara
Pelaku usaha perikanan,
tokoh masyarakat, dinas
perikanan, pelabuhan
perikanan
Desk study,
Observasi lapang
dan wawancara
DJPT, PPS, perusahaan
yang menggunakan
Kapal eks asing,
perusahaan yang tidak
menggunakan Kapal eks
asing, nahkoda, abk
Desk study
Tim Peneliti,
Narasumber
HASIL KEGIATAN|Dampak Kebijakan Moratorium dan Transhipment pada
Usaha Perikanan Indonesia
92
LAPORAN TEKNIS
Tujuan Penelitian
Mengidentifikasi
pelaku usaha perikanan
yang terkena dampak
aturan
transshipment
dan moratorium
[KAJIAN KHUSUS BBPSEKP TAHUN 2015]
Data yang
diperlukan
Teknik
Pengumpulan
Sumber
Informasi pelaku
usaha perikanan
dilokasi penelitian
Observasi lapang
dan wawancara
Pelaku usaha perikanan,
tokoh masyarakat, dinas
perikanan, pelabuhan
perikanan
dampak
moratorium
dan
transshipment
terhadap pelaku usaha
Hasil Dan Pembahasan
Kebijakan Kementerian Kelautan dan Perikanan pada kabinet kerja fokus kepada
keberlanjutan sumberdaya perikanan. Salah satu program utamanya yaitu pemberantasan Illegal,
unreported, unregulated (IUU) fishing, Kegiatan IUU fishing tersebut terbukti telah merugikan
negara triliunan rupiah . Salah satu pelaku IUU fishing yaitu kegiatan yang dilakukan oleh kapal
eks asing dan transhipment. Kegiatan penangkapan ikan yang dilakukan oleh kapal-kapal eks
asing sering disinyalir bermasalah dengan perizinannya. sebagai contoh kasus bahwa izin
kapal yang sama digunakan oleh beberapa kapal. Hal ini menyebabkan kerugian karena data
ikan hasil tangkapan tidak sesuai dengan data yang dilaporkan. Disamping itu, ternyata banyak
ditemukan kegiatan penangkapan oleh kapal-kapal eks asing tersebut langsung di bawa ke luar
perairan Indonesia. Perizinan kapal eks asing tidak sesuai dengan persyaratannya. Sebagai
contoh kasus dari 1.300 kapal eks asing yang beredar di Indonesia, ada 870 kapal yang tidak
memiliki
izin
karena
tidak
memenuhi
persyaratan
(http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2015/03/25.
Kegiatan kapal Transhipment juga disinyalir telah merugikan Indonesia karena
menyebabkan data hasil tangkapan ikan menjadi bias, karena banyak disinyalir ikan yang
dikumpulkan langsung dijual di luar negeri dan tidak didaratkan terlebih dulu di pelabuhan
sehingga tidak tercatat.
Identifikasi Pelaku Usaha Kelautan dan Perikanan Yang Terdampak
Dari hasil wawancara terhadap para stakeholder usaha sektor KP di kedua lokasi
penelitian, telah diperoleh informasi mengenai para pelaku usaha sektor KP yang menerima
dampak, baik langsung maupun tidak langsung, dari Kebijakan moratorium dan pelarangan
praktek trans-shipment. Gambar 2 menunjukkan para pelaku usaha KP yang terkena dampak
kedua kebijakan MENKP tersebut.
Berdasarkan pengamatan di lapangan, nampaknya kedua peraturan tersebut sangat efektif
dan tepat sasaran dalam memenuhi tujuannya. Kebijakan moratorium telah berhasil
menghentikan kegiatan penangkapan ikan oleh kapal eks asing, yang dapat dilihat dari
menghilangnya kapal-kapal eks asing yang biasanya beroperasi di Pelabuhan Perikanan
Samudera Bitung. Kebijakan penghentian praktek trans-shipment juga telah diberlakukan dengan
efektif, yang ditunjukkan dengan banyaknya kapal pengangkut yang bersandar di Pelabuhan
Nizam Zahman karena tidak beroperasi lagi, dan memunculkan biaya sandar yang harus dibayar
oleh pemilik kapal – sebagai ilustrasi, di PPS Nizam Zachman dikenakan biaya sandar sebesar
Rp. 2000/m2 ukuran kapal.
Dari fakta tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa pelaku usaha yang terkena dampak
secara langsung dari kedua kebijakan tersebut adalah para pemilik kapal eks asing dan kapal
HASIL KEGIATAN|Dampak Kebijakan Moratorium dan Transhipment pada
Usaha Perikanan Indonesia
93
LAPORAN TEKNIS
[KAJIAN KHUSUS BBPSEKP TAHUN 2015]
pengangkut yang biasa melakukan trans-shipment. Dampak yang diterima tersebut muncul dalam
bentuk berkurangnya kegiatan operasional penangkapan dan pengangkutan, serta meningkatnya
biaya operasional penangkapan. Selain para pemilik kapal, dampak langsung juga dirasakan oleh
para ABK termasuk Nakhoda melalui hilangnya sumber pendapatan dan/atau turunnya
pendapatan akibat berkurangnya waktu melaut.
Usaha KP
Usaha
Penangkapan
Usaha
Pengolahan
Usaha
Penunjang
Pengusaha
Pengusaha
Usaha
Transportasi
Nakhoda
Buruh
Pedagang
Ransum
ABK
Pedagang
Alat
Perikanan
Jasa
Perbaikan
Kapal
Jasa cold
storage
Gambar 4-5. 2.
Para Pelaku Usaha KP yang Terdampak oleh Kedua Permen KP
Berhentinya aktivitas penangkapan oleh kapal eks asing dan praktek trans-shipment
tersebut selanjutnya berdampak pada unit pengolahan ikan (UPI) melalui berkurangnya pasokan
bahan baku. Tidak sedikit UPI yang harus menghentikan usaha akibat kurangnya pasokan tersebut,
terutama UPI yang sepenuhnya mengandalkan pasokan bahan baku dari hasil tangkapan kapal
eks asing. Meskipun demikian, banyak juga UPI yang ternyata mampu bertahan melanjutkan
kegiatan pengolahan dengan cara memperoleh bahan baku dari luar daerah, bahkan dari luar
negeri. Dampak lanjutan tersebut juga dirasakan oleh para buruh pengolahan yang mengalami
penurunan pendapatan akibat waktu bekerja yang berkurang atau bahkan mengalami kehilangan
sumber pendapatan akibat berhentinya operasi pengolahan di UPI.
Selain kegiatan usaha penangkapan dan pengolahan, dari hasil wawancara dengan pelaku
usaha di lokasi penelitian, diperoleh juga informasi bahwa sebagian besar usaha penunjang bagi
penangkapan dan pengolahan mengalami kelesuan usaha. Namun meskipun demikian, terdapat
beberapa usaha penunjang yang menerima dampak positif dari kedua peraturan tersebut. Usaha
penunjang seperti Penyedia Ransum, Perbaikan Kapal dan Alat-alat Perikanan adalah beberapa
dari usaha penunjang yang mengalami kelesuan usaha akibat penurunan permintaan. Di sisi lain,
usaha jasa transportasi darat dan jasa penyewaan cold storage di beberapa pelabuhan ternyata
menerima dampak positif dari kedua kebijakan tersebut. Hal tersebut berkaitan dengan
dilarangnya praktek trans-shipment, yang menyebabkan banyak usaha penangkapan di Jakarta
memutuskan untuk melakukan penyewaan cold storage di pelabuhan terdekat dari fishing ground,
yaitu Cilacap dan Pelabuhan Ratu, untuk ditimbun hingga jumlahnya mencukupi untuk diangkut
menggunakan kapal angkut secara port to port. Selain itu, banyak usaha penangkap ikan bernilai
ekonomis tinggi, semisal tuna, memilih untuk mendaratkan tangkapannya di pelabuhan terdekat
fishing ground dan langsung mengirimkannya ke UPI di Jakarta melalui alat transportasi darat..
HASIL KEGIATAN|Dampak Kebijakan Moratorium dan Transhipment pada
Usaha Perikanan Indonesia
94
LAPORAN TEKNIS
[KAJIAN KHUSUS BBPSEKP TAHUN 2015]
Estimasi Besaran Dampak
Dampak Pada Usaha Perikanan Tangkap
Semenjak Permen KP No. 56/2014 dan Permen KP 57/2014 diberlakukan pada awal
november 2014 hingga April 2015 ini, tercatat telah terjadi penurunan kapal yang melaut di
Pelabuhan Perikanan Samudera (PPS) Nizam Zachman seperti yang ditampilkan pada Tabel 45.2. Dari Tabel tersebut dapat kita lihat bahwa secara total, semenjak kedua peraturan
diberlakukan, telah terjadi penurunan jumlah kapal yang melaut dari PPS Nizam Zachman sebesar
rata-rata 5% per bulan, atau secara total sebesar 24%. Apabila dikelompokkan berdasarkan jenis
kapal/alat tangkapnya, maka penurunan melaut tertinggi terjadi pada kapal jenis Angkut,
seerupakan kelompok berikut yang mengalami penurunan tertinggi, dengan total sebesar 44%,
dan Rawai Tuna, dengan total sebesar 42%.
Nampaknya pemberlakuan kedua peraturan yang berbarengan dengan terjadinya musim
paceklik lah yang telah mengakibatkan terjadinya penurunan tersebut. Hal tersebut dapat dilihat
dari terjadinya fenomena penurunan yang diikuti dengan peningkatan. Tabel 4-5.2 menunjukkan
bahwa penurunan terjadi sejak bulan November 2014 dan mengalami titik paling rendah pada
bulan Januari 2015, dengan angka penurunan sebesar 38% dari angka bulan Oktober 2014. Akan
tetapi bersamaan dengan mulai berakhirnya musim paceklik, maka pada bulan Februari 2015
mulai terjadi peningkatan jumlah kapal yang melaut, meskipun dengan angka yang masih di
bawah angka bulan Oktober 2014. Meskipun terjadi peningkatan akan tetapi telah terjadi
penurunan kapal yang melaut dengan rata-rata sebanyak 20% per bulan, atau secara total,
sebanyak 66% sepanjang periode pengamatan.
Tabel 4-5. 2.
Data Keberangkatan Kapal dari PPS Nizam Zachman Berdasarkan Jenis
Kapal, Oktober 2014-Februari 2015
Jenis Kapal
Oktober
November Desember
Januari
Februari
Angkut
70
78
37
34
24
Bouke Ami
158
165
122
87
167
Lain-lain
9
12
12
122
5
Pukat Cincin
118
108
80
0
82
Rawai Tuna
45
40
24
5
26
Total
400
403
275
248
304
Sumber: PPS NIZAM ZACHMAN Jakarta, 2015
Dari sisi produksi, secara total, terjadi kecenderungan penurunan total produksi
tangkapan yang didaratkan di PPS Nizam Zachman, dengan rata-rata 11% perbulannya sepanjang
periode Oktober 2014 hingga Februari 2015 ini. Serupa dengan angka kapal yang melaut,
kecenderungan tersebut nampaknya terjadi sebagai akibat dari pengaruh musim penangkapan saja.
Hal tersebut dapat dilihat dari penurunan yang mencapai titik terendah di angka 5780 Ton pada
bulan Januari 2015, dan meskipun belum menyamai angka produksi pada Oktober 2014, akan
tetapi nampaknya mulai terjadi kecenderungan peningkatan produksi tangkapan pada bulan
Februari 2015, seiring dengan mulai bergantinya musim tangkapan.
HASIL KEGIATAN|Dampak Kebijakan Moratorium dan Transhipment pada
Usaha Perikanan Indonesia
95
LAPORAN TEKNIS
Tabel 4-5. 3.
[KAJIAN KHUSUS BBPSEKP TAHUN 2015]
Data Produk Tangkapan yang Didaratkan di PPS Nizam Zachman
Berdasarkan Jenis Kapal, Oktober 2014–Februari 2015
Jenis Kapal
Angkut
Oktober
2014
1867,535
Produksi (Satuan: Ton)
November
Desember
Januari 2015
2014
2014
2321,399
979,001
0
Februari
2015
0
Bouke Ami
1840,515
1148,508
1650,231
1460,654
722,113
Pukat Cincin
6526,409
4769,734
5491,662
3777,331
5292,066
Rawai Tuna
1079,691
734,138
360,481
379,65
444,092
3,76
0
314,007
162,734
7,676
11317,91
8973,779
8795,382
5780,369
6465,947
Lainnya
TOTAL
Sumber: Olahan
Data
PPS Nizam Zachman, 2015
Apabila data tersebut dipilah berdasarkan alat tangkap yang digunakan, maka dapat
dilihat bahwa Kedua PERMEN KP, yang diberlakukan pada November 2015 lalu, nampaknya
sangat berdampak terhadap kegiatan operasi Kapal Angkut – yang umumnya melakukan kegiatan
Trans-shipment. Meskipun pada awal diberlakukan PERMEN terkait trans-shipment memang
sempat terjadi puncak pendaratan ikan bagi Kapal Angkut pada angka 2321 Ton, akan tetapi
selepas itu terjadi penurunan pendaratan yang luarbiasa signifikan dan terjadi penghentian secara
total operasi pengangkutan pada bulan Januari dan Februari 2015 ini.
Pada Tabel 4-5. 4, terlihat jumlah kapal yang berlayar sejak diberlakukannya peraturan
menteri kelautan terkait moratorium. Secara umum, terjadi pertumbuhan yang negatif -0,141 yang
menunjukkan terjadi penurunan jumlah kapal yang berlayar.
Tabel 4-5. 4.
Jumlah Persetujuan Berlayar (SPB) Berdasarkan Jenis Kapal, Oktober
2014-Februari 2015 di PPS Bitung
Februari
Alat tangkap
Oktober
November
Desember
Januari
Bottom Long Line
0
Gill Net
5
Hand line
82
Kapal Latih
1
Kapal Penelitian
0
Light Boat
44
Pancing Cumi
0
Pengangkut
214
Pole and Line
78
Pukat ikan
0
Purse Seine
274
Tuna Hand line
532
Tuna long line
11
Kapal Izin baru
0
Jumlah
1241
Sumber: PPS Bitung 2014 & 2015
1
0
2
71
1
1
36
0
187
71
3
242
579
15
0
1209
0
46
2
1
36
0
78
31
0
258
315
6
0
773
0
0
40
0
0
57
0
40
36
0
252
371
4
4
804
HASIL KEGIATAN|Dampak Kebijakan Moratorium dan Transhipment pada
Usaha Perikanan Indonesia
0
0
41
0
0
34
0
36
28
0
236
234
2
0
611
96
LAPORAN TEKNIS
[KAJIAN KHUSUS BBPSEKP TAHUN 2015]
Estimasi, besaran dampak kedua Permen di kedua lokasi telah dianalisis secara tabulasi
dan dapat dilihat pada Tabel 4-5.5 dan Tabel 5-4.6. Tabel 4-5.5 merangkum estimasi besaran
dampak dari kedua PERMEN KP yang dialami oleh para pelaku usaha penangkapan dan
pengangkutan baik di Jakarta maupun Bitung. Tabel 4-5-6 menyampaikan informasi mengenai
besaran dampak dari kedua PERMEN KP yang diterima oleh para pelaku usaha pengolahan baik
di Jakarta maupun Bitung.
Tabel 4-5. 5.
Besaran Dampak Moratorium dan Transshipment Terhadap
Pelaku
Usaha Penangkapan Dan Pengangkutan Di Kedua Lokasi Penelitian
Uraian
Jakarta1
Bitung2
Sebelum
Setelah Permen
Sebelum Permen
Setelah
Permen
57/2014
56/2014
Permen
57/2014
56/2014
Produksi
Produksi
yang - Terjadi penurunan - Produksi ikan
- Penurunan
tercatat di PPS produksi ikan
yang didaratkan
produksi ikan
Nizam Zahman yang didaratkan
di PPS
yang
pada
Bulan sebesar 11% per
sebanyak
didaratkan
Nopember 2014 bulan
6.808.343 kg
sebesar >50%
sebanyak
(Februari 2014)
menjadi
- Terjadi
8973,779 ton
1.987.707 kg
peningkatan
- Produksi kapal (≤
(Februari
produksi
10GT) 100-500
2015)
walaupun tidak
kg/trip
signifikan oleh
- Produksi kapal
kapal <30 GT.
(≤ 10 GT)
meningkat
200% menjadi
1-2 ton/trip
Jumlah trip - Jumlah trip kapal - Jumlah trip kapal
Jumlah trip kapal Jumlah
trip
≤ 10 GT dalam 1 kapal ≤ 10 GT
transhipment
transhipmen
minggu sebanyak dalam 1 minggu
6 - 12 bulan/trip
menjadi 2-4
2-3 trip
sebanyak 7 trip
bulan/trip
- Jumlah hari
melaut Kapal <
- Jumlah hari
30 GT 3-5 bln
melaut Kapal < 30
(BBM di supply)
GT berkurang
menjadi 2 bln
- > 30 GT
sesuai BBM
kapasitas palka
50 ton namun
- Produksi
hasil tangkapan
tangkapan sesuai
dapat mencapai
dengan kapasitas
100 ton/trip
palka nya
Pendapata Pendapatan
Penururnan
- Nahkoda dan Abk - ABK kapal
n nelayan
nelayan < 30 GT pendapatan
kapal eks asing
eks asing dan
Rp. 15.000/hari di nelayan < 30 GT dan transhipment
transhipment
tambah bonus
berkurang karena memperoleh
kehilangan
tidak mendapatkan pendapatan
pendapatan
bonus
harian dan bonus
dari bonus
bahkan
- Nelayan dengan
menganggur.
kapal 10 GT
Nakhoda
memperoleh
masih
pendapatan hanya
dipertahankan
Rp
50.000dengan
150.000 /hari
HASIL KEGIATAN|Dampak Kebijakan Moratorium dan Transhipment pada
Usaha Perikanan Indonesia
97
LAPORAN TEKNIS
Uraian
[KAJIAN KHUSUS BBPSEKP TAHUN 2015]
Jakarta1
Sebelum
Setelah Permen
Permen
57/2014
57/2014
Bitung2
Sebelum Permen
56/2014
Jarak
Fishing
Ground
Kapal-kapal
Tetap di wilayah Wilayah
transhipmen > 30 Laut Jawa
penangkapan
GT di Laut Jawa
kapal ≤ 10 GT di
dan
Samudera
lokasi 4 mil
Hindia
Harga Ikan
Rata-rata harga
ikan
hasil
tangkapan kapal
< 30 GT Rp.
10000/kg
Rata-rata
harga
ikan
meningkat
menjadi
Rp.
12.000/kg
Penggunaa
n BBM
penggunaan
BBM
mengandalkn dari
tambahan supply
dan
dapat
mencapai
750
kiloliter
Penurunan
- Akses BBM utk
konsumsi
BBM nelayan perahu
menjadi
250 ≤ 10 GT sulit
kiloliter
karena
hanya
untuk
penggunaaan satu
trip saja
Jumlah
Kapal
kapal
kapal yang transhipment
melaut
seluruhnya dapat
beroperasi
Mengalami
- Kapal eks asing
penurunan kapal dan transhipment
yang
beroperasi seluruhnya
rata-rata 11%.
beroperasi
- Kapal ≤ 10 GT
yang beroperasi
terbatas
Mengalami
normal
kelesuan
usaha
akibat
berkurangnya
permintaan
atas
jasa
yang
disediakan
Usaha
pendukung
(bengkel/d
ocking,
rumah
makan,
jasa
angkut dll)
normal
Harga ikan hasil
tangkapan nelayan
≤ 10 GT : Rp.
5.000/kg
Setelah
Permen
56/2014
diberikan gaji
bulanan
- Pendapatan
nelayan kecil
meningkat >
80%
Wilayah
tangkapan kapal
≤ 10 di sekitar
2 mil karena
sudah banyak
ikan
Terjadi
peningkatan
harga
ikan
menjadi
10.000/kg
(100%)
- Akses
memperoleh
BBM
lebih
mudah
- kapal ≤ 10 GT
konsumsi
BBM
berkurang 30%
- Kapal
eks
asing
tdk
beroperasi
- Jumlah operasi
kapal ≤ 10 GT
meningkat
Usaha
pendukung
seperti
toko
yang menjual
kebutuhan
sehari-hari,
warung-warung
makanan, kuli
angkut, dan ojek
mengalami
penurunan
pendapatan
karena
konsumen
berkurang
HASIL KEGIATAN|Dampak Kebijakan Moratorium dan Transhipment pada
Usaha Perikanan Indonesia
98
LAPORAN TEKNIS
[KAJIAN KHUSUS BBPSEKP TAHUN 2015]
Ket: 1) Transhipment; 2) Moratorium
Sumber: Hasil Survey Dampak Moratorium dan Pelarangan Trans-shipment , BBPSEKP – 2015.
Dampak Pada Usaha Pengolahan Ikan
Implementasi Permen 56 dan 57 tahun 2014 telah ditasakan secara langsung oleh usaha
pengolahan ikan. Dampak langsung tersebut berupa berkurangnya pasokan bahan baku yang
semula diperoleh dari kapal-kapal eks asing dan kapal pengangkut baik milik perusahaa
pengolahan sendiri maupun maupun bukan, Akibat berkurangnya pasokan untuk bahan baku
pengolahan, maka berakibat berkurangnya jumlah produksi sebesar 11% - 50%. Dampak
terbesar diterima oleh UPI yang ada di Bitung. Hal ini disebabkan pada awalnya kapal-kapal
eks asing yang mensupply kebutuhan bahan baku mencukup, namun setelah moratorium
diberlakukan kapal-kapal tersebut tidak beroperasi. Lain halnya di DKI Jakarta, kekurangan
pasokan bahan baku tersebut disebabkan kapal-kapal transhipmen sudah tidak bongkar muat lagi
di Pelabuhan Nizam Zahman, tapi di Pelabuhanratu dan Cilacap. Sehingga menyebabkan
pasokan terlambat datang. Disamping itu berkurangnya jumlah kapal-kapal transhipmnet yang
beroperarsi karena harus membenahi izinnya dan menyesuaikan dengan aturan yang berlaku..
Dampak yang lainnya, meningkatnya biaya distribusi bahan baku dari wilayah atau
pelbuhan lain ke lokasi UPI sehingga menambah biaya transportasi dan distribusinya.
Kelangkaaan pasokan tersebut secara pasti akan mempengaruhi pemenuhan kuota ekspor yang
sudah disepakati antara Upi dengan pihak pembeli di luar negeri.
Untuk menyikapi
permasalahan tersebut, pemlik unit pengolahan ikan mengimpor bahan baku ikan dari Jepang atau
negara lainnya.
Tabel 4-5. 6.
Uraian
Besaran Dampak Moratorium dan Transshipment Terhadap Pelaku Usaha
Pengolahan Ikan di Kedua Lokasi Penelitian
Jakarta 1
Bitung2
Sebelum
Sesudah
Sebelum
Produksi
Waktu
- Produksi berkurang - Waktu produksi
produksi
7 50%, karena
7 hari
hari
per pasokan bahan
kerja/minggu
minggu
baku tersendat
- Pasokan ikan
karena supply - Bahan Baku impor
stabil
bahan baku dari Jepang
lancar
Jumlah UPI UPI
tuna - UPI Tuna
Jumlah UPI di
yang masih masih 50% berkurang tinggal
dalam pelabuhan
beroperasi
operasi
8 unit
sekitar 30%
Tenaga Kerja
Sesudah
- Waktu produksi
2-3 hari
kerja/minggu
- Berkurang > 50
% , karena
kekurangan
bahan baku.
Jumlah UPI di
dalam pelabuhan
yang beroperasi 6
unit
Hari Kerja 7 Jumlah hari kerja - 700.000 per
- Terjadi
hari
oper berkurang 50%
minggu
pengurangan
minggu
tenaga kerja
- jumlah jam
sebanyak 80 %
kerja 60-70 jam
per minggu
- Dilakukan
sistem rooling
pegawai.
- Jumlah jam
kerja 12 -24
jam per minggu
HASIL KEGIATAN|Dampak Kebijakan Moratorium dan Transhipment pada
Usaha Perikanan Indonesia
99
LAPORAN TEKNIS
[KAJIAN KHUSUS BBPSEKP TAHUN 2015]
Jakarta 1
Uraian
Sebelum
Supply Ikan Normal
Ke
Pasar
Ekspor
Pasokan
Dari KapalBahan baku
kapal
transhipment
sendiri atau
sekitar Muara
Baru
Biaya
perolehan
bahan baku
Normal
Bitung2
Sesudah
Sebelum
Berkurang
75% Normal
perbulan
Sesudah
Supply
ikan
kalengan
berkurang 70%
Mengandalkan
Sumber pasokan - Berkurang hanya
pasokan
dari dari
dalam mengandalkan
oelabuhan Ratu dan Bitung
pasokan dari
Cilacap
kapal-kapal
kecil.
- UPI Cakalang
fufu (asap),
pasokan bahan
baku
mendatangkan
dari luar propinsi
(Gorontalo) .
pasokan bahan
baku cakalang
berkurang
sebanyak 50%
Mengalami
Normal
Mengalami
peningkatan
peningkatan biaya
>20% , karena
transportasi>50%
menggunakan
karena
harus
transportasi
darat
mendatangkan
dari Pelabuhan Ratu
dariluar
daerah
dan Cilacap ke
(gorontalo)
Jakarta
(Untuk
Tuna)
Ket: 1) Transhipment; 2) Moratorium
Sumber: Hasil Survey Dampak Moratorium dan Pelarangan Trans-shipment , BBPSEKP – 2015.
Respon Para Pelaku Usaha Terhadap Dampak Kedua Peraturan
Usaha Pengolahan
-
Untuk pemenuhan kebutuhan bahan baku, UPI melakukan impor bahan baku dari Jepang.
atau mendatangkan dari provinsi lain;
Sebagain kecil UPI yang mampu bertahan, tidak serta merta melakukan PHK, hanya
mengurangi jam kerja pegawai saja, mengingat spesifikasi skill yang cukup tinggi dari buruh
pengolahan;
Bagi UPI yang melakukan usaha terpadu dan harus menghentikan usaha penangkapan, maka
akan langsung memberhentikan ABK namun tetap mempertahankan dan menggaji nakhoda.
Usaha Penangkapan dan pengangkutan:
-
Untuk mengatasi dampak PERMEN 57/2014, para pemilik kapal penangkapan yang
memiliki modal, umumnya akan tetap melakukan operasi penangkapan, namun dengan
waktu operasi yang terbatas oleh kapasitas Palka;
Melakukan pendaratan ikan di pelabuhan terdekat dari fishing ground (Cilacap dan
HASIL KEGIATAN|Dampak Kebijakan Moratorium dan Transhipment pada
Usaha Perikanan Indonesia
100
LAPORAN TEKNIS
-
[KAJIAN KHUSUS BBPSEKP TAHUN 2015]
Pelabuhan Ratu), dan menyewa cold storage;
Melakukan pengangkutan ikan secara port to port pada saat cold storage sewaan di
pelabuhan terdekat dari fishing ground sudah penuh;
Melakukan pengiriman ikan bernilai ekonomis tinggi (Tuna) dari pelabuhan terdekat dari
fishing ground menggunakan alat transportasi darat, untuk dikirim ke UPI di Jakarta;
Rekomendasi Kebijakan
a)
Pemerintah harus melakukan perbaikan sistem perizinan terutama untuk kapal eks asing yang
pemilik dan ABK nya orang Indonesia, serta kapal transhipmet yang beroperasi dengan
melaporkan hasil tangkapannya secara transparan
b)
Pemerintah harus meningkatkan sistem pengawasan. Dapat dilakukan melalui peningkatan
kapasitas pengawas, menambah jumlah pengawas serta mempekuat armada serta peralatan
pengawasan
c)
Pemerintah harus melakukan audit kepada perusahaan perikanan terutama perusahaan besar
secara lebih transparan
d)
Guna meningkatkan efektivitas penangkapan, sebaiknya segera dilakukan program
peningkatan keahlian ABK Lokal serta sertifikasi kepada nelayan agar memiliki sistem
pengupahan yang lebih layak
e)
Semakin pentingnya peran nelayan dengan armada kecil sangat berpeluang untuk terjalinnya
kemitraan dengan UPI. Untuk itu pemerintah harus mendorong peluang tersebut melalui
peningkatan kapasitas nelayan serta pemberian insentif subsidi BBM atau input produksi
Implikasi Kebijakan
a) Kebijakan mengoperasionalkan kembali kapal eks asing di mungkinkan bagi kapal yang
kepemilikannya oleh pengusaha Indonesia;
b) Kebijakan pelarangan praktek transshipmen, perizinannya
perlu direvisi terkait
lokasi/wilayah pemberlakuannya.dipilih untuk daerah-daerah tertentu saja, terutama lokasilokasi yang dekat dengan perbatasan (wilayah timur Indonesia);
c) Meningkatkan kapasitas keterampilan ABK Indonesia melalui sertifikasi dan perjanjian
kontrak kerja antara ABK dengan pemilik, agar ABK menjadi profesi yang formal;
d) Meningkatkan pengawasan pada usaha penangkapan melalui penyelenggaraan Audit pada
usaha perikanan skala besar yang menggunakan kapal eks asing dan kapal-kapal transhipment,
disertai usaha peningkatan kapasitas dan kuantitas baik sumberdaya manusia maupun
peralatan pengawasan.
e) Kapal-kapal kecil sangat potensial untuk menjalin kemitraan dengan UPI, sehingga
diantisipasi dengan perbaikan praktek penanganan ikan yang baik di atas kapal, sehingga dapat
memenuhi syarat kualitas bahan baku untuk UPI.
f) Perbaikan sistem perizinan penangkapan ikan sebaiknya menggunakan sistem kuota hasil
tangkapan; dimana izin diberikan atas dasar jumlah tangkapan maksimal per tahun untuk
setiap kapal.
Langkah Eksekusi
Sebagai langkah dalam hal menanggulangi dampak kebijakan masing-masing Eselon I
lingkup KKP mempersiapkan langkah-langkah, diantaranya :
Tabel 4-5. 7.
Kegiatan Yang Sebaiknya dilakukan Pasca Moratorium
HASIL KEGIATAN|Dampak Kebijakan Moratorium dan Transhipment pada
Usaha Perikanan Indonesia
101
LAPORAN TEKNIS
No
1
2
3
4
5
[KAJIAN KHUSUS BBPSEKP TAHUN 2015]
Kegiatan
Perbaikan Sistem Perizinan
Perbaikan Sistem Audit Perusahaan Perikanan
Perbaikan Sistem Pengawasan
Peningkatan Keahlian ABK Lokal
Penggagasan Kemitraan Antara UPI Dengan Usaha
Penangkapan Ikan Kecil Sebagai Supplier Bahan Baku
Penanggungjawab
DJPT
DJPT
P2SDKP
BPSDM
P2HP
Daftar Pustaka
http://www.bpk.go.id/assets/files/storage/2013/12/file_storage_1386744323.pdf
http://www.indonesia.go.id/en/ministries/ministers/ministry-of-communication-andinformatics/881-ekonomi/2526-fao-akibat-iuu-kerugian-diperkirakan-rp30-triliun
http://www.rri.co.id/post/berita/122962/ekonomi/moratorium_izin_kapal_industri_dapat_bahan
_baku_tambahan.html
http://www.mongabay.co.id/2014/11/12/menteri-kelautan-moratorium-izin-kapal-bangkitkanindustri-pengolahan-ikan/
http://ajisularso.com/implikasi-moratorium-kapal-ikan-eks-asing/
http://www.koran-sindo.com/read/938858/150/moratorium-izin-kapal-perlu-ditinjau-ulang1418872961
http://kkp.go.id/index.php/berita/dukung-moratorium-kapal-kkp-latih-eks-abk-kapal-asing/
http://industri.bisnis.com/read/20141127/99/276112/dampak-moratorium-kapal-produksi-ikanmelimpah
Nazir, M. 1998. Metode penelitian. Ghalia Indonesia. Jakarta. 622 hal
Nasution. 2006. Metode Research (Penelitian Ilmiah). Jakarta: Bumi Aksara.
Peraturan Menteri kelautan dan perikanan republik indonesia nomor 56/permen-kp/2014 tentang
penghentian sementara (moratorium) perizinan usaha perikanan tangkap di wilayah
pengelolaan perikanan negara republik indonesia (dokumen negara)
Peraturan Menteri kelautan dan perikanan Republik Indonesia Nomor 57/permen-kp/2014
tentang Perubahan kedua atas peraturan menteri kelautan dan perikanan nomor
Per.30/men/2012 tentang usaha perikanan tangkap di wilayah pengelolaan perikanan negara
Republik Indonesia
Rahadian, R., Tajerin. 2014. Dampak Ekonomi Implementasi Moratorium Izin Kegiatan
Penangkapan Ikan. Tidak dipublikasikan.
Anonymous.
Menteri Susi Tak Akan Perpanjang Moratorium Kapal Eks-Asing.
http://bisniskeuangan. kompas .com/ read/2015/03/25. Diakses pada tanggal 27 Maret
2015.
HASIL KEGIATAN|Dampak Kebijakan Moratorium dan Transhipment pada
Usaha Perikanan Indonesia
102
LAPORAN TEKNIS
4.6.
[KAJIAN KHUSUS BBPSEKP TAHUN 2015]
Kajian Supply Ikan di Pasar Domestik dalam Rangka Kesiapan Manghadapi
Ramadhan dan Hari Raya Idul Fitri (2015).
Pendahuluan
Latar Belakang
Pembangunan pangan merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dengan
pembangunan nasional. Hal tersebut dituangkan pada Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2007
tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional tahun 2005 hingga 2025, yang
menegaskan bahwa “pembangunan dan perbaikan gizi dilaksanakan secara lintas sektor meliputi
produksi, pengolahan, distribusi hingga konsumsi pangan dengan kandungan gizi yang cukup,
seimbang serta terjamin keamanannya”. Berdasarkan peraturan perundangan tersebut dapat
dilihat bahwa pangan merupakan dasar utama untuk mewujudkan sumber daya manusia yang
berkualitas yang sangat ditentukan oleh status gizi yang baik. Apabila dicermati maka hal ini
selaras dengan konsep ketahanan pangan nasional yang dituangkan pada Undang-Undang Nomor
18 Tahun 2012.
Sektor perikanan berpeluang untuk menopang program nasional ketahanan pangan,
terutama dalam hal pencukupan kebutuhan protein. Ikan merupakan sumber pangan yang
memiliki kandungan protein hewani tinggi dan menyumbang sebesar 55% dalam penyediaan
protein di Indonesia (Heruwati, 2002). Selain itu kapasitas produksi sumberdaya perikanan
Indonesia cukup memadai. Mengacu pada data Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), pada
tahun 2013 volume produksi ikan segar adalah sebesar 19,56 juta ton, produksi ikan olahan
sebesar 4,1 juta ton volume ekspor sebesar 621ribu ton, volume impor produk perikanan sebesar
155ribu ton dan konsumsi ikan sebesar 12,2 juta ton.
Bukti empiris memperlihatkan adanya indikasi yang sangat kuat terjadinya peningkatan
konsumsi ikan, seiring dengan peningkatan tingkat konsumsi ikan dari tahun ke tahun.
Berdasarkan data yang dikeluarkan oleh KKP (2014), tahun 2006 tingkat konsumsi ikan adalah
25,03 kg/kap/tahun. Pada tahun 2010 tingkat konsumsi ikan penduduk Indonesia sudah mulai
memenuhi standar FAO, yaitu 30.48 kg/kapita per tahun, namun tingkat konsumsi ikan tersebut
masih tergolong rendah diantara beberapa negara di dunia. Pada tahun 2013 tingkat konsumsi
ikan adalah sebesar 35,14/kg/kap/tahun atau meningkat rata-rata hampir sebesar 4,97 %/tahun
(KKP, 2013).
Pada bulan puasa dan menjelang idul fitri biasanya semua bahan pangan mengalami
peningkatan permintaan yang berpengaruh pada stok barang termasuk komoditas ikan.
Permintaan yang tinggi terhadap suatu barang biasanya dapat menyebabkan kenaikan harga
barang. Barang yang biasanya mengalami kenaikan harga yaitu tujuh komoditas utama pangan
antara lain minyak goreng, daging sapi, daging ayam, hortikultura, gulapasir, tepung terigu, ikan
dan udang serta beras. Oleh karena itu, dalam rangka pemenuhan kebutuhan pangan termasuk
ikan menjelang hari raya idul fitri 1436 H, data dan informasi tentang stok ikan di pasar domestik
dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan dalam melakukan perencanaan, evaluasi dan
antisipasi ketersediaan ikan.
Perumusan Masalah
Pada bulan ramadhan dan lebaran, permintaan ikan mengalami kenaikan karena konsumsi
ikan meningkat. Terdapat asumsi permintaan ikan menjelang puasa yaitu naik sebesar 20%, saat
puasa naik sebesar 15% dan saat lebaran naik sebesar 30%. Agar tidak terjadi gejolak pada
masyarakat, pemerintah perlu menciptakan situasi yang kondusif dengan cara memenuhi
permintaan pasar. Untuk mencukupi permintaan atau kebutuhan ikan pada bulan ramadhan dan
lebaran, pemerintah perlu mengetahui ketersediaan (stok) ikan yang ada dan kecukupannya serta
HASIL KEGIATAN|Kajian Supply Ikan di Pasar Domestik dalam Rangka
Kesiapan Manghadapi Ramadhan dan Hari Raya Idul Fitri (2015).
103
LAPORAN TEKNIS
[KAJIAN KHUSUS BBPSEKP TAHUN 2015]
pendistribusiannya.
Seperti sudah menjadi tradisi, pada saat bulan suci ramadhan ketersediaan dan harga pangan
selalu mewarnai dinamika perdagangan dalam negeri, tak terkecuali dengan bulan ramdahan dan
Idul Fitri tahun ini yang jatuh pada bulan Juni sampai bulan Juli 2015. Pada bulan-bulan tersebut
harga-harga kebutuhan mulai mengalami kenaikan dan seolah sulit untuk dihindarkan.
Fenomena kenaikan harga menjelang puasa dan lebaran yang merupakan siklus tahunan dipicu
oleh lonjakan permintaan bahan-bahan pokok dan dapat diperburuk pada situasi kelangkaan.
Lonjakan harga terjadi khususnya pada komoditas daging, ayam dan telur, dimana komoditas
tersebut dianggap sebagai menu “wajib” untuk menemani sajian selama lebaran. Jika
dibandingkan dengan sumber protein hewan lainnya, ikan cenderung stabil baik dalam pasokan,
permintaan maupun harga pada saat menjelang puasa hingga menjelang lebaran. Walaupun
meningkat, peningkatannya relatif kecil (kisaran harganya masih berada dibawah harga daging
dan ayam).
Selama menjelang datangnya bulan puasa hingga lebaran tahun 2015, ketersediaan pasokan
pangan ikan relatif aman, mengingat permintaan terhadap ikan tidak melonjak seperti halnya
daging dan telur. Meskipun ketersediaan ikan diperkirakan aman, pemerintah tetap perlu
melakukan pemantauan pasokan dan harga ikan sehingga tidak mengalami kekurangan pasokan
akibat kurang lancarnya distribusi pemasaran ikan dari daerah sentra produksi ke konsumen.
Banyak kebutuhan menjelang idul fitri sehingga menyebabkan masyarakat cenderung
mencari barang yang harganya terjangkau dan dapat memenuhi semua kebutuhan termasuk
pangan. Oleh karena itu, dalam rangka pemenuhan kebutuhan pangan termasuk ikan menjelang
idul fitri 1436 H, data dan informasi terkait stok ikan di pasar domestik dapat dijadikan sebagai
bahan pertimbangan dalam melakukan perencanaan, evaluasi dan antisipasi ketersediaan ikan.
Dengan demikian, perlu kajian mengenai ketersediaan ikan (stok ikan) selama bulan tersebut.
Tujuan Penelitian
Tujuan dari kajian ini adalah :
1. Mengkaji ketersediaan stok ikan di pasar domestik menjelang Hari Raya Idul Fitri 1436 H;
2. Merumuskan kebijakan dan strategi kecukupan stok ikan menjelang Hari Raya Idul Fitri 1436
H.
Keluaran
Keluaran dari Kajian Supply Ikan di Pasar Domestik Dalam Rangka Kesiapan Menghadapi
Hari Raya Idul Fitri 1436 H adalah tersusunnya rekomendasi kebijakan tentang status
ketersediaan ikan dan kecukupan stok ikan menjelang Hari Raya Idul Fitri 1436 H.
Tinjauan Pustaka
Ketahanan Pangan
Pengertian tentang ketahanan pangan (food security) berubah dari waktu ke waktu.
Pengertian luas ketahanan pangan adalah terjaminnya akses pangan buat segenap rumah tangga
serta individu setiap waktu sehingga mereka dapat bekerja dan hidup sehat (Braun dkk, 1992;
Soetrisno, 1995; Suhardjo, 1995; Suhardjo, 1996; Soetrisno, 1997). Di Indonesia pengertian
ketahanan pangan tercantum dalam Undang-Undang RI Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan
adalah bahwa kemampuan setiap individu atau rumah tangga untuk mendapatkan bahan makanan
yang cukup, aman, dan bergizi yang memenuhi kebutuhan makanan sesuai dengan standar untuk
hidup sehat. Selanjutnya berubah dalam Undang-Undang RI No 18 Tahun 2012 tentang
HASIL KEGIATAN|Kajian Supply Ikan di Pasar Domestik dalam Rangka
Kesiapan Manghadapi Ramadhan dan Hari Raya Idul Fitri (2015).
104
LAPORAN TEKNIS
[KAJIAN KHUSUS BBPSEKP TAHUN 2015]
Pangan bahwa ketahanan pangan adalah kondisi terpenuhinya pangan bagi negara sampai dengan
perseorangan, yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya,
aman, beragam, bergizi, merata, dan terjangkau serta tidak bertentangan dengan agama,
keyakinan, dan budaya masyarakat, untuk dapat hidup sehat, aktif, dan produktif secara
berkelanjutan.
Menurut Soetrisno (1995) terdapat dua komponen penting dalam ketahanan pangan yaitu
ketersediaan dan akses terhadap pangan. Maka tingkat ketahanan pangan suatu negara/wilayah
dapat bersumber dari kemampuan produksi, kemampuan ekonomi untuk menyediakan pangan
dan kondisi yang membedakan tingkat kesulitan dan hambatan untuk akses pangan. Menurut
Pribadi (2005) cakupan ketahanan pangan adalah: (1) Ketersediaan ketersediaan pangan
mencakup produksi, cadangan dan pemasukan; (2) Distribusi/aksesibilitas mencakup akses fisik
(mudah dijangkau) dan ekonomi (terjangkau daya beli) bagi individu untuk mendapatkan pangan;
serta (3) Konsumsi mencakup mutu dan keamanan serta kecukupan gizi individu. Dengan
demikian ketahanan pangan bukan hanya mengenai masalah produksi, tetapi juga merupakan
masalah keterjangkuan dan distribusi. Hal senada dinyatakan Sawit dan Ariani (1997) bahwa
penentu ketahanan pangan di tingkat rumah tangga adalah akses terhadap pangan, ketersediaan
pangan dan resiko yang terkait dengan akses ketersediaan pangan tersebut.
Ketersediaan/Stok Ikan
Stok merupakan sejumlah bahan makanan yang dikuasai/disimpan oleh pemerintah atau
swasta seperti yang terdapat di pabrik, gedung, depo, lumbung petani/rumah tangga dan
pasar/pedagang yang dimaksudkan sebagai cadangan dan akan digunakan apabila sewaktu-waktu
diperlukan. Perubahan stok merupakan selisih antara stok akhir tahun dengan stok awal tahun.
Perubahan stok ini hasilnya bisa negatif dan positif. Bila negatif berarti ada penurunan stok
akibat pelepasan stok ke pasar. Sedangkan bila positif berarti ada peningkatan stok yang berasal
dari komoditas yang beredar di pasar. Dengan demikian komoditas yang beredar di pasar
menjadi menurun (BPS, 2010).
Ketersediaan pangan merupakan suatu kondisi penyediaan pangan yang mencakup
makanan dan minuman yang berasal dari tanaman, ternak dan ikan bagi penduduk suatu wilayah
dalam suatu kurun waktu tertentu, yang juga merupakan suatu sistem yang berjenjang mulai dari
nasional, provinsi, lokal dan rumah tangga. Ketersediaan pangan ditingkat rumah tangga harus
selalu dijaga agar keluarga tetap cukup kebutuhan pangannya yang sekaligus akan berdampak
positif terpelihara kesehatannya karena kecukupan gizi selalu terjamin (Indriana dan Widajanti,
2005).
Ketersediaan pangan mencakup aspek produksi dan distribusi pangan, dalam konteks
perikanan ketersediaan ikan dihitung dengan memperhatikan produksi, ekspor dan impor hasil
perikanan. Ketersediaan ikan dihitung dengan menggunakan Neraca Bahan Makanan (NBM)
dimana NBM merupakan tabel yang memuat informasi tentang situasi pengadaan (produksi,
cadangan/stok, impor/ekspor), penggunaan (pemakaian untuk pakan, benih, industri pangan dan
non pangan, tercecer) serta penyediaan pangan subsektor perikanan untuk dikonsumsi penduduk
pada suatu wilayah (negara/propinsi/kabupaten) dalam suatu kurun waktu tertentu.
Ketersediaan pangan mencerminkan pangan yang tersedia untuk dikonsumsi masyarakat,
yang merupakan produksi domestik yang dikoreksi dengan penggunaan untuk bibit/benih,
industri, kehilangan/susut, ekspor dan stok ditambah impor. Perkembangan ketersediaan pangan
di Indonesia secara keseluruhan masih di atas yang dianjurkan Widyakarya Nasional Pangan dan
Gizi. Rata-rata kecukupan energi dan protein bagi penduduk Indonesia masing-masing sebesar
2150 Kilo kalori dan 57 gram per orang per hari pada tingkat konsumsi (Permenkes No 75 Tahun
2013).
HASIL KEGIATAN|Kajian Supply Ikan di Pasar Domestik dalam Rangka
Kesiapan Manghadapi Ramadhan dan Hari Raya Idul Fitri (2015).
105
LAPORAN TEKNIS
[KAJIAN KHUSUS BBPSEKP TAHUN 2015]
Pemenuhan Protein Hewani Ikan
Tingkat konsumsi merupakan ukuran yang digunakan untuk melihat tinggi atau rendahnya
permintaan seseorang terhadap barang atau jasa tertentu, dalam hal ini permintaan untuk
mengkonsumsi ikan. Tingkat konsumsi akan sangat berpengaruh terhadap pola dan gaya hidup
konsumen. Tingkat konsumsi biasanya disesuaikan dengan pendapatan, harga produk dan
tingkat kebutuhannya.
Menurut Oktari (2008), tingkat konsumsi ikan merupakan banyaknya ikan yang dikonsumsi
oleh individu dalam satuan gram/kapita/hari. Tingkat konsumsi seorang dengan yang lain berbeda,
karena adanya perbedaan ini maka cara dan besarnya konsumsi seorang dengan yang lain akan
berbeda. Tingkat konsumsi dapat juga dijadikan sebagai tolak ukur seseorang untuk menilai
kekayaan atau kesejahteraan.
Konsumsi ikan banyak dipengaruhi oleh ikan yang tersedia, dimana ketersediaan ikan ini
juga banyak ditentukan oleh produksi. Namun menurut Suhardjo (1990), walaupun produksi ikan
cukup, tidak berarti konsumsi ikan juga cukup karena banyak faktor yang sangat berpengaruh
dalam hal mengkonsumsi ikan.
Menurut Ariningsih (2004), tingkat kecukupan protein adalah banyaknya asupan protein
seseorang dibandingkan dengan asupan protein yang dianjurkan untuk memenuhi kebutuhan
hidupnya. Penggunaan nilai protein cukup untuk menggambarkan kecukupan pangan rumah
tangga, karena konsumsi protein dibutuhkan untuk memulihkan sel-sel tubuh yang rusak pada
usia dewasa atau untuk menjamin pertumbuhan normal pada usia muda (Irawan, 2002).
Protein terdiri dari asam-asam amino. Disamping menyediakan asam amino esensial,
protein juga mensuplai energi dalam keadaan energi terbatas dari karbohidrat dan lemak.
Protein atau asam amino esensial berfungsi terutama sebagai katalisator, pembawa, pengerak,
pengatur, ekpresi genetik, neurotransmitter, penguat struktur, penguat immunitas dan untuk
pertumbuhan (Hardinsyah et al., 2001). Ikan sebagai pendamping pangan pokok seperti nasi,
umbi-umbian dan meningkatkan mutu protein pangan pokok yang dikonsumsi (Karyadi dan
MUhilal, 1987).
Metode Penelitian
Kerangka Pendekatan
Untuk mengkaji supply ikan di pasar domestik menghadapi hari raya idul fitri 1436 H
dilakukan dengan pendekatan konsep ketahanan pangan. Cakupan ketahanan pangan adalah: 1)
ketersediaan pangan yang mencakup produksi, cadangan dan pemasukan; 2)
distribusi/aksesibilitas mencakup fisik (mudah dijangkau) dan ekonomi (terjangkau daya beli);
dan 3) konsumsi mencakup mutu dan keamanan serta kecukupan gizi individu. Dalam bagian ini
yang akan dianalisis adalah ketersediaan ikan.
HASIL KEGIATAN|Kajian Supply Ikan di Pasar Domestik dalam Rangka
Kesiapan Manghadapi Ramadhan dan Hari Raya Idul Fitri (2015).
106
LAPORAN TEKNIS
[KAJIAN KHUSUS BBPSEKP TAHUN 2015]
Sistem Ketahanan Pangan
Produksi
Ekonomi
Ketersediaan
Pangan
Cadangan
Distribusi
Pangan
Fisik
Pemasukan
Konsumsi
Pangan
Mutu
Keterangan
:
Gambar 4-6. 1.
Keamanan
Kecukupan
Fokus Kajian
Kerangka Pendekatan Kajian Supply Ikan di Pasar Domestik
Menghadapi Hari Raya Idul Fitri 1436 H
Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian dilaksanakan di Jakarta dan Bogor, pada bulan Juni 2015. Bulan ini bertepatan
dengan awal ramadhan 1436 H.
Metode Pengumpulan Data
Metode yang digunakan dalam kajian ini adalah desk study yaitu mengkaji berbagai literatur,
data pendukung serta hasil studi yang telah dilakukan oleh berbagai pihak terutama yang
berhubungan dengan kegiatan kajian yang akan dilakukan. Jenis data yang digunakan dalam
penelitian ini adalah data sekunder. Data-data yang digunakan disajikan pada Tabel 4-6. 1.
Tabel 4-6. 1.
Jenis dan Kebutuhan Data Kajian
No
Jenis Data
Sumber Data
1
Jumlah produksi perikanan
KKP
2
Tingkat konsumsi ikan
KKP
3
Kansumsi kalori dan protein ikan
BPS
4
Harga ikan
KKP, BPS
5
Inflasi bahan makanan
BPS
6
Jumlah ekspor perikanan
KKP
Metode Analisis Data
Kajian ini menggunakan pendekatan non parametrik (tidak memerlukan distribusi normal
pada populasi/sampel) untuk mengukur 2 analisis meliputi: 1) analisis deskriptif untuk
menentukan ketersediaan dan permintaan ikan; dan 2) ketidakstabilan harga ikan melalui
Coppock Instability Index (CII) yang dikembangkan oleh Coppock (1962).
HASIL KEGIATAN|Kajian Supply Ikan di Pasar Domestik dalam Rangka
Kesiapan Manghadapi Ramadhan dan Hari Raya Idul Fitri (2015).
107
LAPORAN TEKNIS
[KAJIAN KHUSUS BBPSEKP TAHUN 2015]
Analisis Deskriptif
Analisis deskriptif dilakukan terhadap permintaan dan ketersediaan ikan. Tingkat
permintaan ikan dihitung berdasarkan perubahan harga ikan pada tingkat konsumen. Status
permintaan ikan dibagi menjadi 3 kategori yaitu: 1) rendah jika total 1 – 9 jenis komoditas ikan
mengalami kenaikan harga; 2) sedang jika total 10 – 18 jenis komoditas ikan mengalami kenaikan
harga; dan 3) tinggi jika total 19 – 27 jenis komoditas ikan mengalami kenaikan harga.
Status ketersediaan ikan/supply ikan dapat dilihat melalui pengkategorian sebagai berikut :
1) bila volume produksi pada suatu kwartal lebih dari volume produksi rata-rata maka dapat
dikatakan cukup tersedia pada kwartal tersebut; dan 2) bila volume produksi pada suatu kwartal
kurang dari volume produksi rata-rata maka dapat dikatakan kurang tersedia pada kwartal tersebut.
Analisis Indeks Ketidakstabilan
Indeks ketidakstabilan dihasilkan dari CII adalah ketidakstabilan harga ikan yang
dipengaruhi oleh banyak faktor seperti musim penangkapan, fluktuasi permintaan ikan
masyarakat dan berbagai faktor lainnya termasuk permintaan menjelang perayaan hari keagamaan.
Harga ikan yang dianalisis merupakan harga ikan dari 27 komoditas perikanan pada masa
menjelang ramadhan dan lebaran (bulan Juni, Juli dan Agustus tahun 2014). Metode Coppock
Instability Index (CII) dapat dituliskan sebagai berikut (Fauzi, 2010; Fauzi dan Anna, 2010) :
CII= |anti log √log 𝑣 − 1| ∗ 100
Dimana
log v didefisnisikan sebagai
1
∑
𝑛−1
Vlog =
((𝑙𝑜𝑔𝑥𝑖+1−𝑥1 ) −
∑ (𝑙𝑜𝑔𝑥𝑖+1 −𝑋𝑖)
𝑖
𝑛−1
)
Keterangan :
CII
: Coppock Instability Indexs
n
: Jumlah tahun;
x
: Nilai variabel yang diobservasi
t
: Tahun
Hasil indeks yang tinggi menunjukkan tingginya ketidakstabilan variabel ekonomi
perikanan yang diukur yang dapat disimpulkan merupakan interaksi dari berbagai faktor (Fauzi,
2010; Fauzi dan Anna, 2010). Apabila digunakan dengan indikator pertumbuhan (CGR), CII
dapat menjadi instrumen yang kuat untuk membaca perkembangan perkembangan perikanan
selama kurun waktu yang panjang (Fauzi, 2010).
HASIL KEGIATAN|Kajian Supply Ikan di Pasar Domestik dalam Rangka
Kesiapan Manghadapi Ramadhan dan Hari Raya Idul Fitri (2015).
108
LAPORAN TEKNIS
[KAJIAN KHUSUS BBPSEKP TAHUN 2015]
Hasil Dan Pembahasan
Kondisi Pasokan Ikan
Ketersediaan pangan merupakan prasyarat penting bagi keberlanjutan konsumsi. Untuk
memenuhi kebutuhan konsumsi ikan, pemerintah melakukan berbagai upaya untuk meningkatkan
produksi domestik. Produksi perikanan Indonesia menunjukkan kecenderungan meningkat,
namun kecenderungan tersebut tidak sama untuk perikanan tangkap dan perikanan budidaya. Bila
terjadi kondisi surplus, ikan dapat diperdagangkan antar wilayah dan ekspor. Sebaliknya jika
defisit maka ikan untuk konsumsi domestik dapat dipenuhi dari pasar impor. Gambar 4-6. 1
menunjukkan indikasi mengenai kecenderungan tersebut. Dalam grafik ini, untuk produksi
budidaya tidak memasukkan komoditas rumput laut karena dalam analisis kajian ini difokuskan
pada konsumsi ikan.
Perkembangan Produksi Perikanan
Juta ton
7
6
5
4
3
2
1
2006
2007
2008
2009
Produksi tangkap
Gambar 4-6. 2.
2010
2011
2012
2013
2014
Produksi budidaya (tanpa rumput laut)
Perkembangan Produksi Perikanan di Indonesia, 2006 - 2014
Sumber: KKP (2014)
Produksi perikanan yang dihasilkan baik dari kegiatan penangkapan maupun budidaya,
tidak semuanya disediakan untuk konsumsi domestik. Setiap tahunnya ada produksi yang
diekspor (Gambar 4-6. 3) ke berbagai negara tujuan. Dari tahun 2006 sampai dengan 2014,
proporsi ekspor perikanan menunjukkan kecenderungan menurun meskipun volume ekspor relatif
stabil. Hal ini dikarenakan produksi domestik meningkat. Pada tahun 2014 lebih dari 90% dari
total produksi tersedia untuk memasok kebutuhan konsumsi dalam negeri.
HASIL KEGIATAN|Kajian Supply Ikan di Pasar Domestik dalam Rangka
Kesiapan Manghadapi Ramadhan dan Hari Raya Idul Fitri (2015).
109
LAPORAN TEKNIS
[KAJIAN KHUSUS BBPSEKP TAHUN 2015]
Proporsi ekspor terhadap produksi
Juta ton
12,00
10,00
8,00
6,00
4,00
2,00
0,00
2006
2007
2008
2009
2010
Produksi
Gambar 4-6. 3.
2011
2012
2013
2014
Ekspor
Proporsi Ekspor terhadap Produksi Perikanan di Indonesia, 2006 - 2014
Sumber: KKP (2014)
Perkembangan Tingkat Konsumsi Ikan
Konsumsi ikan nasional mengalami peningkatan dengan rata-rata peningkatan sebesar
4,87% selama periode tahun 2006 - 2014. Pada tahun 2006 tingkat konsumsi ikan per kapita
penduduk Indonesia adalah sebesar 25,03 Kg/Kap/Th, sampai tahun 2013 sebesar 35,14
Kg/Kap/Th dan diprediksi sebesar 37,80 Kg/Kap/Th (KKP, 2014). Pada tahun 2015 target
konsumsi ikan nasional adalah sebesar 40,90 Kg/Kap/Th.
Angka ini kurang lebih setara dengan 13 gram protein/kapita/hari atau 25% dari angka
kecukupan gizi (AKG) yang direkomendasikan oleh Widya Karya Pangan dan Gizi X tahun 2012
yang dipertegas dalam Peraturan Menteri Keseharan RI No 75 Tahun 2013, yaitu asupan protein
57 gram/kapita/hari. Angka 25 % tersebut tentu sangat signifikan mengingat bahwa sejauh ini
ikan tidak tercantum dalam daftar komoditas ketahanan pangan, baik di tingkat nasional maupun
regional.
Kg/kap/tahun
40,00
35,00
30,00
25,00
20,00
15,00
10,00
5,00
2006
2007
Gambar 4-6. 4.
2008
2009
2010
2011
2012
2013
2014
Perkembangan Konsumsi Ikan Nasional, 2006 - 2014
Sumber: data diolah (KKP, 2014)
HASIL KEGIATAN|Kajian Supply Ikan di Pasar Domestik dalam Rangka
Kesiapan Manghadapi Ramadhan dan Hari Raya Idul Fitri (2015).
110
LAPORAN TEKNIS
[KAJIAN KHUSUS BBPSEKP TAHUN 2015]
Persyaratan kecukupan (sufficiency condition) untuk mencapai keberlanjutan konsumsi
pangan adalah adanya aksesibilitas fisik dan ekonomi terhadap pangan. Aksesibilitas ini tercermin
dari jumlah dan jenis pangan yang dikonsumsi oleh rumah tangga. Dengan demikian data
konsumsi pangan secara riil dapat menunjukkan kemampuan rumah tangga dalam mengakses
pangan dan menggambarkan tingkat kecukupan pangan dalam rumah tangga. Perkembangan
tingkat konsumsi pangan tersebut secara implisit juga merefleksikan tingkat pendapatan atau daya
beli masyarakat terhadap pangan.
Kalori/kap/tahun
50
49
48
47
45,34
46
45
7,63
44
43
42
41
40
2010
Gram/kap/tahun
47,83
47,26
8,02
7,85
8,2
47,08
8
45,45
7,82
7,8
7,6
7,56
7,4
7,2
7
2011
Konsumsi Kalori
Gambar 4-6. 5.
8,4
2012
2013
2014
Konsumsi Protein
Perkembangan Konsumsi Kalori dan Protein Ikan Tahun 2010 - 2014
Sumber: BPS (2014)
23 propinsi di Indonesia konsumsi kalori dan protein ikan tahun 2014 nya berada di atas
rata-rata konsumsi kalori dan protein ikan nasional, sisanya pada 10 propinsi tingkat konsumsinya
di bawah rata-rata nasional. Propinsi yang dikatakan rendah tersebut diantaranya adalah Bengkulu,
Lampung, DKI Jakarta, Banten, Jawa Barat, Jawa Tengah, DI Yogyakarta, Jawa Timur, Bali dan
Nusa Tenggara Timur.
Peta Ketersediaan Ikan
Menurut data statistik perikanan tangkap tahun 2013, provinsi yang memiliki jumlah
produksi perikanan tangkap paling besar terdapat di wilayah Sumatera Utara (9,08%), Maluku
(9,02%), dan Jawa Timur (6,33%) dan yang paling rendah ada di wilayah DI Yogyakarta (0,08%).
Produksi perikanan pada kwartal I dan II banyak provinsi yang volumenya berada di bawah ratarata namun pada kwartal III dan IV mengalami situasi yang sebaliknya. Kurang stabilnya
ketersediaan ikan dari sisi produksi tersebut dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti musim
penangkapan dan tinggi rendahnya permintaan ikan. Pada Tabel 4-6. 2 berikut ditampilkan
status ketersediaan ikan berdasarkan pulau utama. Tabel 4-6. 2 berikut menunjukkan rekapitulasi
status ketersediaan ikan dari perikanan tangkap pada tiap-tiap kwartal.
Tabel 4-6. 2.
Status
Kurang
Cukup
Rekapitulasi Status Ketersediaan Ikan dari Perikanan Tangkap pada Tiap
Kwartal
Kwartal I
Kwartal II
Kwartal III
Kwartal IV
26
17
10
14
7
16
23
19
Sumber : KKP (2013), diolah
Bila dikaitkan dengan ketersediaan ikan menjelang hari raya idul fitri yang pada tahun
HASIL KEGIATAN|Kajian Supply Ikan di Pasar Domestik dalam Rangka
Kesiapan Manghadapi Ramadhan dan Hari Raya Idul Fitri (2015).
111
LAPORAN TEKNIS
[KAJIAN KHUSUS BBPSEKP TAHUN 2015]
sebelumnya jatuh pada kwartal ke-3 yakni pada periode bulan Juli – September diperoleh
informasi seperti yang ditampilkan pada Tabel 4-6.2 di atas dapat dilihat bahwa Pulau Sumatera
dan Sulawesi berada pada kategori “Kurang”. Sedangkan menurut provinsi, produksi pada
kwartal provinsi yang termasuk ke dalam kategori “Cukup” pada kwartal 3 ada sebanyak 23
provinsi sedangkan sisanya sebanyak 10 provinsi termasuk kedalam kategori kurang. Provinsi
yang dikatakan kurang tersebut diantaranya adalah Sumatera Utara, Sumatera Barat, Bangka
Belitung, Bengkulu, DKI Jakarta, Jawa Tengah, Sulawesi Utara, Gorontalo, Sulawesi Tengah dan
Papua. Secara nasional produksi ikan dari sektor tangkap pada kwartal III berada di atas nilai ratarata dimana volume produksi sekitar 1.573.252 ton sedangkan voume rata-ratanya sebesar
1.528.844 ton sehingga termasuk ke dalam kategori cukup tersedia. Status ketersediaan ikan dari
perikanan tangkap pada tiap kwartal menurut pulau utama di Indonesia disajikan pada Tabel 4-6.
3. Status ketersediaan ikan dari perikanan tangkap pada tiap kwartal menurut propinsi secara
lengkap disajikan pada Lampiran 5.
Tabel 4-6. 3.
Status Ketersediaan Ikan dari Perikanan Tangkap pada Tiap Kwartal
Menurut Pulau Utama di Indonesia
No
Pulau
KW 1
KW 2
KW 3
KW 4
1
Sumatera
Kurang
Cukup
Kurang
Kurang
2
Jawa
Kurang
Cukup
Cukup
Cukup
3
Bali - Nusatenggara
Kurang
Kurang
Cukup
Cukup
4
Kalimantan
Kurang
Cukup
Cukup
Kurang
5
Sulawesi
Kurang
Cukup
Kurang
Cukup
6
Maluku - Papua
Kurang
Kurang
Cukup
Cukup
Sumber : KKP (2013), diolah
Peta Permintaan Ikan
Analisis permintaan komoditas ikan menjelang bulan ramadhan salah satunya dapat
diperkirakan menggunakan pendekatan harga. Pendekatan harga yang dimaksud adalah melihat
harga komoditas ikan pada waktu tertentu dibandingkan dengan harga rata – rata selama satu
tahun tersebut. Apabila harga pada waktu tertentu lebih tinggi dari harga rata – rata tahunan, maka
terdapat kemungkinan adanya peningkatan permintaan komoditas ikan. Sebaliknya, apabila harga
pada waktu tertentu lebih rendah dibandingkan dengan harga rata – rata tahunan, maka terdapat
kemungkinan adanya penurunan permintaan akan komoditas perikanan.
Pada analisis ini untuk menduga permintaan komoditas ikan tahun 2015, digunakan data –
data yang berasal dari statistik harga konsumen perdesaan kelompok makanan tahun 2014 yang
dikeluarkan oleh Badan Pusat Statistik (BPS). Jenis komoditas ikan yang digunakan dalam
analisis ini adalah sejumlah 27 jenis ikan. Jenis komoditas tersebut diantaranya adalah ikan olahan
asin teri, Pindang Bandeng, Tongkol Asap, Ikan Kaleng serta ikan segar diantaranya adalah
Bandeng, Baronang, Cakalang, Cumi – cumi, Ekor Kuning, Gabus, Kakap, Kembung, Kerang,
Ketamba, Layang, Lele, Mas, Mujair, Nila, Patin, Selar, Tembang, Tenggiri, Teri, Tongkol, Udang
Tambak dan Udang Laut.
Tabel 4-6.4 memperlihatkan kemungkinan permintaan ikan pada saat menjelang bulan
ramadhan, pada saat bulan ramadhan, dan setelah bulan ramadhan tahun 2014 yang dilihat
menurut komoditas perikanan. Pada saat sebelum ramadhan, terlihat bahwa sebagian besar
komoditas ikan mengalami penurunan permintaan, kecuali dua komoditas ikan yaitu tongkol asap
dan udang laut. Kalau dilihat secara lebih rinci, komoditas tongkol asap memiliki minimal,
maksimal dan rata – rata harga pada saat bulan juni berturut – turut adalah Rp. 12.000/kg, Rp.
97.000/kg dan Rp. 30.000/kg. Sementara itu, komoditas udang laut seharga Rp. 36.000, Rp.
94.000/kg dan Rp. 57.000/kg.
HASIL KEGIATAN|Kajian Supply Ikan di Pasar Domestik dalam Rangka
Kesiapan Manghadapi Ramadhan dan Hari Raya Idul Fitri (2015).
112
LAPORAN TEKNIS
[KAJIAN KHUSUS BBPSEKP TAHUN 2015]
Tabel 4-6. 4.
Permintaan Ikan Pada Saat Menjelang Bulan Ramadhan, Bulan
Ramadhan dan Setelah Ramadhan Menurut Komoditas, 2014
Permintaan Terhadap Komoditas Ikan
Setelah
No
Komoditas
Sebelum
Pada Saat
Ramadhan
Ramadhan (Juni)
Ramadhan (Juli)
(Agustus)
1
turun
naik
naik
Asin Teri
2
turun
naik
naik
Bandeng
3
turun
naik
naik
Baronang
4
turun
naik
naik
Cakalang
5
turun
naik
naik
Cumi - cumi
6
turun
naik
naik
Ekor Kuning
7
turun
naik
naik
Gabus
8
turun
naik
naik
Ikan Kaleng
9
turun
naik
naik
Kakap
10
turun
naik
naik
Kembung
11
turun
naik
naik
Kerang
12
turun
naik
naik
Ketamba
13
turun
naik
naik
Layang
14
turun
naik
naik
Lele
15
turun
naik
naik
Mas
16
turun
naik
naik
Mujair
17
turun
naik
naik
Nila
18
turun
naik
turun
Patin
19
turun
naik
turun
Pindang Bandeng
20
turun
naik
naik
Selar
21
turun
turun
naik
Tembang
22
turun
naik
naik
Tenggiri
23
turun
naik
naik
Teri
24
turun
naik
naik
Tongkol
25
naik
naik
naik
Tongkol Asap
26
naik
naik
naik
Udang Laut
27
turun
naik
naik
Udang Tambak
Sumber: Data Susenas (2014) Diolah
Permintaan ikan pada saat bulan ramadhan maupun setelah bulan ramadhan, mengalami
perubahan dibandingkan dengan sebelum ramadhan. Pada saat kedua bulan tersebut, terlihat
bahwa permintaan akan komoditas ikan meningkat pada sebagian besar komoditas ikan.
Tingginya permintaan komoditas ikan pada waktu tersebut disebabkan karena komoditas ikan
saat ini sudah menjadi komoditas pokok ataupun alternatif masyarakat disamping komoditas
daging ayam maupun daging sapi. Kalau dikaitkan dengan kondisi riil permintaan ikan pada saat
bulan puasa tahun 2015, maka analisis berdasarkan data tahun 2014 tersebut sangat relevan dan
sesuai seperti yang diberitakan pada beberapa media online yang dilaporkan oleh Sunartono
HASIL KEGIATAN|Kajian Supply Ikan di Pasar Domestik dalam Rangka
Kesiapan Manghadapi Ramadhan dan Hari Raya Idul Fitri (2015).
113
LAPORAN TEKNIS
[KAJIAN KHUSUS BBPSEKP TAHUN 2015]
(2005)5, Afif (2015)6 dan Pasopati (2015)7.
Tabel 4-6.5 memperlihatkan permintaan komoditas ikan yang dilihat berdasarkan region
dan provinsi. Pada dasarnya Tabel 4-6.5 menggunakan data yang sama pada Tabel 4-6.4, namun
permintaan ikan tersebut dirinci menurut region dan provinsi. Pada saat sebelum bulan ramadhan,
permintaan ikan cenderung rendah hingga sedang pada seluruh region dan provinsi. Pada saat
bulan puasa, terdapat 14 provinsi yang mengalami peningkatan permintaan yang tersebar di
seluruh region. Region kalimantan mengalami peningkatan permintaan ikan pada seluruh wilayah
provinsinya. Hasil menarik diperlihatkan pada region maluku, papua dan sulawesi yang dikenal
sebagai daerah penghasil ikan, relatif permintaan ikan pada wilayah ini relatif lebih rendah
dibandingkan dengan region di wilayah barat. Alasan mengapa di satu wilayah mengalami
permintaan tinggi maupun rendah memang sulit untuk dijelaskan, tergantung dari karakteristik
masyarakat setempat. Karakteristik tersebut diantaranya adalah faktor banyaknya penduduk,
preferensi konsumsi ikan, maupun produksi ikan di wilayah tersebut.
Tabel 4-6. 5.
Permintaan Komoditas Ikan Pada Saat Menjelang Bulan Ramadhan,
Bulan Ramadhan dan Setelah Ramadhan Menurut Region dan Provinsi,
2014
Kategori Permintaan Komoditas Ikan
Setelah
Region (Provinsi)
Sebelum
Pada Saat
Ramadhan
Ramadhan (Juni) Ramadhan (Juli)
(Agustus)
Bali dan Nusa Tenggara
Bali
Sedang
Tinggi
Tinggi
Nusa Tenggara Barat
Sedang
Tinggi
Tinggi
Nusa Tenggara Timur
Rendah
Sedang
Sedang
Jawa
Banten
Sedang
Sedang
Sedang
D. I. Yogyakarta
Rendah
Sedang
Tinggi
DKI Jakarta
Sedang
Tinggi
Sedang
Jawa Barat
Rendah
Tinggi
Tinggi
Jawa Tengah
Rendah
Tinggi
Tinggi
Jawa Timur
Rendah
Sedang
Tinggi
Kalimantan
Kalimantan Barat
Sedang
Tinggi
Sedang
Kalimantan Selatan
Sedang
Tinggi
Tinggi
Kalimantan Tengah
Sedang
Tinggi
Tinggi
Kalimantan Timur
Sedang
Tinggi
Tinggi
Maluku
Maluku
Sedang
Sedang
Tinggi
Maluku Utara
Rendah
Sedang
Sedang
Papua
5
Sunartono.
2015.
Permintaan
Ikan
Nila
Melonjak
Di
Bulan
Ramadan.
http://www.harianjogja.com/read/20150623/8/825/permintaan-ikan-nila-melonjak-di-bulan-ramadan
.
Diakses tanggal 29 Juni 2015.
6
Afif. 2015. Bulan Ramadan, penjualan ikan bakar di Aceh meningkat tajam.
http://www.merdeka.com/peristiwa/bulan-ramadan-penjualan-ikan-bakar-di-aceh-meningkat-tajam.html.
Diakses tanggal 29 Juni 2015.
7
Pasopati, G. 2015. Jelang Ramadan, Harga Ikan Bakal Naik 10-20 Persen.
http://www.cnnindonesia.com/ekonomi/20150615120734-92-60034/jelang-ramadan-harga-ikan-bakalnaik-10-20-persen/Diakses tanggal 29 Juni 2015.
HASIL KEGIATAN|Kajian Supply Ikan di Pasar Domestik dalam Rangka
Kesiapan Manghadapi Ramadhan dan Hari Raya Idul Fitri (2015).
114
LAPORAN TEKNIS
Region (Provinsi)
[KAJIAN KHUSUS BBPSEKP TAHUN 2015]
Kategori Permintaan Komoditas Ikan
Setelah
Sebelum
Pada Saat
Ramadhan
Ramadhan (Juni) Ramadhan (Juli)
(Agustus)
Rendah
Tinggi
Tinggi
Rendah
Rendah
Rendah
Papua
Papua Barat
Sulawesi
Gorontalo
Sedang
Sulawesi Barat
Rendah
Sulawesi Selatan
Sedang
Sulawesi Tengah
Rendah
Sulawesi Tenggara
Sedang
Sulawesi Utara
Rendah
Sumatera
Aceh
Sedang
Bengkulu
Rendah
Jambi
Rendah
Kep. Bangka Belitung
Sedang
Kepulauan Riau
Sedang
Lampung
Rendah
Riau
Sedang
Sumatera Barat
Sedang
Sumatera Selatan
Sedang
Sumatera Utara
Sedang
Sumber: Data Susenas (2014) Diolah
Sedang
Rendah
Sedang
Sedang
Tinggi
Sedang
Tinggi
Rendah
Tinggi
Tinggi
Tinggi
Sedang
Sedang
Rendah
Sedang
Sedang
Tinggi
Sedang
Sedang
Tinggi
Tinggi
Sedang
Sedang
Rendah
Sedang
Tinggi
Tinggi
Tinggi
Sedang
Tinggi
Tinggi
Tinggi
Tabel 4-6. 6.
Permintaan Komoditas Ikan Pada Saat Menjelang Bulan Ramadhan,
Bulan Ramadhan dan Setelah Ramadhan Menurut Region dan Provinsi,
2014
Kategori Permintaan Komoditas Ikan
Region (Provinsi)
Bulan Juli
Bulan Juli
Bulan Agustus
Bali dan Nusa Tenggara
Bali
2
3
3
Nusa Tenggara Barat
2
3
3
Nusa Tenggara Timur
1
2
2
Jawa
Banten
2
2
2
D. I. Yogyakarta
1
2
3
DKI Jakarta
2
3
2
Jawa Barat
1
3
3
Jawa Tengah
1
3
3
Jawa Timur
1
2
3
Kalimantan
Kalimantan Barat
2
3
2
Kalimantan Selatan
2
3
3
Kalimantan Tengah
2
3
3
Kalimantan Timur
2
3
3
Maluku
Maluku
2
2
3
Maluku Utara
1
2
2
Papua
HASIL KEGIATAN|Kajian Supply Ikan di Pasar Domestik dalam Rangka
Kesiapan Manghadapi Ramadhan dan Hari Raya Idul Fitri (2015).
115
LAPORAN TEKNIS
[KAJIAN KHUSUS BBPSEKP TAHUN 2015]
Region (Provinsi)
Kategori Permintaan Komoditas Ikan
Bulan Juli
Bulan Juli
Bulan Agustus
1
3
3
1
1
1
Papua
Papua Barat
Sulawesi
Gorontalo
2
Sulawesi Barat
1
Sulawesi Selatan
2
Sulawesi Tengah
1
Sulawesi Tenggara
2
Sulawesi Utara
1
Sumatera
Aceh
2
Bengkulu
1
Jambi
1
Kep. Bangka Belitung
2
Kepulauan Riau
2
Lampung
1
Riau
2
Sumatera Barat
2
Sumatera Selatan
2
Sumatera Utara
2
Keterangan: 1 = Rendah, 2 = Sedang, 3 = Tinggi
2
1
2
2
3
2
3
1
3
3
3
2
2
1
2
2
3
2
2
3
3
2
2
1
2
3
3
3
2
3
3
3
Sumber: Data Susenas (2014) Diolah
HASIL KEGIATAN|Kajian Supply Ikan di Pasar Domestik dalam Rangka
Kesiapan Manghadapi Ramadhan dan Hari Raya Idul Fitri (2015).
116
LAPORAN TEKNIS
[KAJIAN KHUSUS BBPSEKP TAHUN 2015]
Tabel 4-6. 7.
Permintaan Ikan Pada Saat Menjelang Bulan Ramadhan, Bulan
Ramadhan dan Setelah Ramadhan Menurut Komoditas, 2014
Permintaan Terhadap Komoditas Ikan
No
Komoditas
Sebelum Puasa Pada Saat Puasa
Setelah Puasa
1
Bandeng
turun
naik
naik
2
Baronang
turun
naik
naik
3
Cakalang
turun
naik
naik
4
Cumi - cumi
turun
naik
naik
5
Ekor Kuning
turun
naik
naik
6
Gabus
turun
naik
naik
7
Kakap
turun
naik
naik
8
Kembung
turun
naik
naik
9
Kerang
turun
naik
naik
10
Layang
turun
naik
naik
11
Lele
turun
naik
naik
12
turun
naik
naik
Mujair
13
Nila
turun
naik
naik
14
Patin
turun
naik
turun
15
Selar
turun
naik
naik
16
Tembang
turun
turun
naik
17
Tenggiri
turun
naik
naik
18
Teri
turun
naik
naik
19
Asin Teri
turun
naik
naik
20
Tongkol
turun
naik
naik
21
Tongkol Asap
naik
naik
naik
22
Udang Laut
naik
naik
naik
23
Udang Tambak
turun
naik
naik
24
Ikan Kaleng
turun
naik
naik
25
Ketamba
turun
naik
naik
26
Mas
turun
naik
naik
27
Pindang Bandeng
turun
naik
turun
Sumber: BPS, 2014 (diolah)
Karakteristik Inflasi Bahan Makanan
Inflasi adalah kenaikan harga-harga secara umum dan terus menerus. Kenaikan pada suatu
atau beberapa barang saja dan tidak berdampak pada sebagian besar barang, bukanlah disebut
inflasi. Demikian juga halnya jika kenaikan harga-harga barang yang sifatnya sesaat karena
perayaan hari keagamaan, seperti pada perayaan hari lebaran, natal, tahun baru, bukanlah
merupakan inflasi. Sebaliknya, yaitu penurunan harga-harga secara umum dan terus menerus
disebut deflasi (Setyowati, 2004). Berikut gambaran perkembangan inflasikelompok bahan
makanan pada tahun 2006 sampai 2014.
HASIL KEGIATAN|Kajian Supply Ikan di Pasar Domestik dalam Rangka
Kesiapan Manghadapi Ramadhan dan Hari Raya Idul Fitri (2015).
117
LAPORAN TEKNIS
[KAJIAN KHUSUS BBPSEKP TAHUN 2015]
6
5
2006
4
2007
3
2008
2
2009
1
2010
0
2011
2012
-1
2013
-2
2014
-3
-4
Gambar 4-6. 6.
Perkembangan Inflasi Kelompok Bahan Makanan pada Tahun 2006 2014
Sumber: BPS (2015)
Indeks Ketidakstabilan Harga Ikan
Pengukuran indeks ketidakstabilan harga ikan menjelang hari raya idul fitri dalam kajian
ini menggunakan Coppock Instability Index (CII). Analisis periode bulan april – juni 2014, untuk
mengindikasikan periode yang sama pada tahun 2015. Berdasarkan hasil analisis indeks
ketidakstabilan harga pada periode sebelum, saat dan sesudah bulan puasa/lebaran dapat dilihat
pada Gambar 4-6.7 yang mengilustrasikan pola hubungan antara harga ikan berdasarkan
komoditasnya. Hasil analisis menunjukkan bahwa terjadi pergeseran indek ketidakstabilan harga
pada komoditas-komoditas ikan pada ketiga periode tersebut. Sebelum puasa sebagian indek
berada pada kuadran I/kiri atas (High growth low risk) yang menunjukan indeks yang stabil,
kemudian pada bulan puasa indek ketidakstabilan cenderung bergeser ke kuardran II/kanan atas
(high growth high risk) yang menunjukkan ketidakstabilan yang tinggi (tidak stabil). Sedangkan
pada masa setelah puasa/lebaran, indeks cenderung bergeser ke kuadran IV/kiri bawah (low
growth low risk) yang menunjukan kecenderungan bahwa terjadi penurunan permintaan ikan
setelah puasa.
HASIL KEGIATAN|Kajian Supply Ikan di Pasar Domestik dalam Rangka
Kesiapan Manghadapi Ramadhan dan Hari Raya Idul Fitri (2015).
118
LAPORAN TEKNIS
[KAJIAN KHUSUS BBPSEKP TAHUN 2015]
a
b
Kode
c
Komoditas
Bandeng
Baronang
Cakalang
Cumi-cumi
Ekor Kuning
Gabus
Kakap Merah
Kembung
Kerang Darah
Layang
Lele
Mujair
Nila
Patin
Selar
Tembang
Tenggiri
Teri
Teri Asin
Tongkol
Udang Dogol
Udang Krosok
Keterangan:
a. Sebelum puasa
b. Puasa/lebaran
c. Setelah puasa/
lebaran
Gambar 4-6. 7.
Pergerakan indeks ketidakstabilan harga komoditas ikan pada saat
sebelum puasa (a), pada saat puasa/lebaran (b) dan pada saat setelah
lebaran (c)
Sumber: Data Harga Ikan Harian Direktorat Jenderal P2HP (2014) (Diolah)
Kode
Gambar 4-6. 8.
Komoditas
Kab.Kupang
Kota Banda Aceh
Kota Bandung
Kota Banjarmasin
Kota Bengkulu
Kota Denpasar
Kota Gorontalo
Kota Jakarta Pusat
Kota Jambi
Kota Jayapura
Kota Kendari
Kota Makasar
Kota Mataram
Kota Medan
Kota Padang
Kota Samarinda
Kota Semarang
Kota Serang
Kota Sorong
Kota Surabaya
Kota Ternate
CII
231
193
234
207
175
249
195
224
225
244
197
258
207
237
248
220
236
183
203
193
209
Growth
-0.002
-0.014
-0.002
-0.007
-0.032
-0.001
0.013
-0.003
0.003
0.001
-0.011
-0.001
-0.007
-0.002
0.0011
-0.0040
-0.0020
-0.0220
0.0089
-0.0142
0.0066
Tingkat Indeks Ketidakstabilan Harga di Ibukota Propinsi ( MaretDesember 2014)
Sumber: P2HP, 2014 (diolah)
HASIL KEGIATAN|Kajian Supply Ikan di Pasar Domestik dalam Rangka
Kesiapan Manghadapi Ramadhan dan Hari Raya Idul Fitri (2015).
119
LAPORAN TEKNIS
[KAJIAN KHUSUS BBPSEKP TAHUN 2015]
Analisis ketidakstabilan harga di ibukota Propinsi di Indonesia dapat dibedakan menjadi
empat klaster (Gambar 4-6.7 dan 4-6.8) yaitu Klaster I, Klaster II, Klaster III dan Klaster IV.
Klaster I yaitu kelompok yang mempunyai tingkat pertumbuhann dan tingkat ketidakstabilan
yang rendah yaitu kota-kota Bengkulu, Serang, Surabaya, Mataram, Kendari, Banda Aceh,
Banjarmasin dan Samarinda. Kota-kota yang termasuk dalam Kluster I tersebut dalam periode
Maret-Desember 2014 mempunyai tingkat harga yang stabil dengan pertumbuhan yang rendah,
artinya di kelompok I tersebut tidak mengalami gelojak harga. Kondisi ini bagus dari segi
kestabilan namun dari segi pertumbuhan kurang baik karena tidak merangsang tumbuhnya
permintaan. Kluster II, yang meliputi kota-kota Gorontalo, Sorong dan Ternate, dimana tingkat
pertumbuhannya tinggi dan resikonya rendah, dari sudut pandang ekonomi baik untuk
merangsang pertumbuhan ekonomi karena permintaan tinggi sehingga muncul pertumbuhan.
Kluster III, dimana tingkat pertumbuhan dan tingkat resikonya tinggi, kota-kota yang
termasuk kluster III yaitu Denpasar, Jambi, Makasar, Jayapura, Bandung dan Medan. Kondisi
tersebut dari segi ekonomi ada pertumbuhan yang tinggi disertai dengan resiko yang tinggi, resiko
yang tinggi ini bisa menyebabkan berkuragnya pasokan yang dapat menyebabkan harga-harga
semakin naik. Kluster IV, kelompok yang mempunyai pertumbuhan rendah tetapi dengan resiko
yang tinggi, kondisi tersebut menyebabkan munculkan resiko namun tidak disertai dengan
pertumbuhan. Kota-kota yang termasuk klaster IV yaitu Jakarta dan Semarang.
HASIL KEGIATAN|Kajian Supply Ikan di Pasar Domestik dalam Rangka
Kesiapan Manghadapi Ramadhan dan Hari Raya Idul Fitri (2015).
120
LAPORAN TEKNIS
[KAJIAN KHUSUS BBPSEKP TAHUN 2015]
Tabel 4-6. 8.
Analisis ketidakstabilan harga menghadapi hari raya idul fitri menurut
Klaster
No
Klaster
Kabupaten
1
Klaster I. LGLR
Bengkulu
(Low Growth Low Risk)
Serang
Surabaya
mataram
Kendari
Banda aceh
Banjarmasin
Samarinda
2
Klaster II. HGLR
Gorontalo
(High Growth Low Risk)
Sorong
Ternate
3
Klaster III. HGHR
Denpasar
(High Growth High Risk)
Jambi
Jaya pura
Makasar
Semarang
Medan
Bandung
Kupang
4
Klaster IV. LGHR
Jakarta
(Low Growth High Risk)
Semarang
Sumber: P2HP, 2014 (diolah)
Kesimpulan Dan Rekomendasi Kebijakan
Kesimpulan
1. Secara empiris penelitian ini menunjukkan bahwa produksi perikanan yang dihasilkan baik
dari kegiatan penangkapan maupun budidayamenunjukkan kecenderungan adanya
peningkatan. Produksi ini tidak semuanya disediakan untuk konsumsi domestik. Setiap
tahunnya ada produksi yang diekspor ke berbagai negara tujuan.
2. Konsumsi ikan nasional mengalami peningkatan dengan rata-rata peningkatan sebesar 4,87%
selama periode tahun 2006 - 2014. Pada tahun 2006 tingkat konsumsi ikan per kapita
penduduk Indonesia adalah sebesar 25,03 Kg/Kap/Th, sampai tahun 2013 sebesar 35,14
Kg/Kap/Th dan diprediksi sebesar 37,80 Kg/Kap/Th. Pada tahun 2015 adalah sebesar 40,90
Kg/Kap/Th.
3. Angka ini kurang lebih setara dengan 13 gram protein/kapita/hari atau 25% dari angka
kecukupan gizi (AKG) yang direkomendasikan oleh Widya Karya Pangan dan Gizi X tahun
2012 yang dipertegas dalam Peraturan Menteri Keseharan RI No 75 Tahun 2013, yaitu asupan
protein 57 gram/kapita/hari. Angka 25 % tersebut tentu sangat signifikan mengingat bahwa
sejauh ini ikan tidak tercantum dalam daftar komoditas ketahanan pangan, baik di tingkat
nasional maupun regional.
4. 23 propinsi di Indonesia konsumsi kalori dan protein ikan tahun 2014 nya berada di atas ratarata konsumsi kalori dan protein ikan nasional, sisanya pada 10 propinsi tingkat konsumsinya
di bawah rata-rata nasional. Propinsi yang dikatakan rendah tersebut diantaranya adalah
Bengkulu, Lampung, DKI Jakarta, Banten, Jawa Barat, Jawa Tengah, DI Yogyakarta, Jawa
Timur, Bali dan Nusa Tenggara Timur.
5. Menurut data statistik perikanan tangkap tahun 2013, provinsi yang memiliki jumlah
produksi perikanan tangkap paling besar terdapat di wilayah Sumatera Utara (9,08%),
HASIL KEGIATAN|Kajian Supply Ikan di Pasar Domestik dalam Rangka
Kesiapan Manghadapi Ramadhan dan Hari Raya Idul Fitri (2015).
121
LAPORAN TEKNIS
[KAJIAN KHUSUS BBPSEKP TAHUN 2015]
Maluku (9,02%), dan Jawa Timur (6,33%) dan yang paling rendah ada di wilayah DI
Yogyakarta (0,08%). Produksi perikanan pada kwartal I dan II banyak provinsi yang
volumenya berada di bawah rata-rata namun pada kwartal III dan IV mengalami situasi yang
sebaliknya. Kurang stabilnya ketersediaan ikan dari sisi produksi tersebut dipengaruhi oleh
beberapa faktor seperti musim penangkapan dan tinggi rendahnya permintaan ikan.
6. Bila dikaitkan dengan ketersediaan ikan menjelang hari raya idul fitri yang pada tahun
sebelumnya jatuh pada kwartal ke-3 yakni pada periode bulan Juli – September diperoleh
informasi seperti yang ditampilkan pada Tabel 4-6.2 di atas dapat dilihat bahwa Pulau
Sumatera dan Sulawesi berada pada kategori “Kurang”. Sedangkan menurut provinsi,
produksi pada kwartal provinsi yang termasuk ke dalam kategori “Cukup” pada kwartal 3
ada sebanyak 23 provinsi sedangkan sisanya sebanyak 10 provinsi termasuk kedalam kategori
kurang. Provinsi yang dikatakan kurang tersebut diantaranya adalah Sumatera Utara,
Sumatera Barat, Bangka Belitung, Bengkulu, DKI Jakarta, Jawa Tengah, Sulawesi Utara,
Gorontalo, Sulawesi Tengah dan Papua. Secara nasional produksi ikan dari sektor tangkap
pada kwartal III berada di atas nilai rata-rata dimana volume produksi sekitar 1.573.252 ton
sedangkan voume rata-ratanya sebesar 1.528.844 ton sehingga termasuk ke dalam kategori
cukup tersedia.
7. Hasil analisis indeks ketidakstabilan pada harga ikan yang dianalisis menunjukkan bahwa
terjadi pergeseran indek ketidakstabilan harga pada komoditas-komoditas ikan pada ketiga
periode tersebut. Sebelum puasa sebagian indek berada pada kuadran I/kiri atas (High growth
low risk) yang menunjukan indeks yang stabil, kemudian pada bulan puasa indek
ketidakstabilan cenderung bergeser ke kuardran II/Kanan atas (high growth high risk) yang
menunjukkan ketidakstabilan yang tinggi (tidak stabil). Sedangkan pada masa setelah
puasa/lebaran, indeks cenderung bergeser ke kuadran IV/Kiri bawah (low growth low
risk)yang menunjukan kecenderungan bahwa terjadi penurunan permintaan ikan setelah
puasa.
Rekomendasi Kebijakan
1. Pemantauan harga ikan menjelang hari raya Idul Fitri.
2. Perlu adanya perbaikan sistem distribusi ikan agar ketersediaan ikan dapat lebih merata
khususnya pada wilayah Jawa dan Bali.
3. Peningkatan konsumsi ikan terutama pada wilayah Jawa dan Bali.
4. Pengembangan distribusi ikan dengan mengefektifkan Sistem Logistik Ikan Nasional yang
terintegrasi antar pusat produksi dan konsumsi.
5. Pengembangan pangan lokal sebagai upaya mendukung diversifikasi produksi dan konsumsi
ikan.
6. Sinergitas dan koordinasi kebijakan pemerintah pusat dan daerah antar sektor untuk memenuhi
kebutuhan dan konsumsi ikan.
Daftar Pustaka
Ariningsih, E. 2004. Kajian Konsumsi Protein Hewani pada Masa Krisis Ekonomi di Jawa. Pusat
Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian. Badan Penelitian dan
Pengembangan Pertanian. Departemen Pertanian. Bogor.
Aswatini, H. Romdiati, B. Setiawan, A. Latifa, Fitranita, M. Noveria. 2004. Ketahanan Pangan,
Kemiskinan dan Sosial Demografi Rumah Tangga. Pusat Penelitian Kependudukan.
Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. Jakarta.
Badan Pusat Statistik. 2010. Neraca Bahan Makanan: Studi Keterbandingan Data Ketersediaan
dan Data Konsumsi. Jakarta-Indonesia.
Badan Pusat Statistik. 2014. Statistik Harga Konsumen
HASIL KEGIATAN|Kajian Supply Ikan di Pasar Domestik dalam Rangka
Kesiapan Manghadapi Ramadhan dan Hari Raya Idul Fitri (2015).
122
LAPORAN TEKNIS
[KAJIAN KHUSUS BBPSEKP TAHUN 2015]
Badan Pusat Statistik. 2012. Konsumsi Kalori dan Protein Penduduk Indonesia dan Provinsi 2012.
Buku 2 Survey Sosial Ekonomi Nasional berdasarkan Hasil Susenas September 2012.
Badan Pusat Statistik. Jakarta.
Badan Pusat Statistik. 2013. Konsumsi Kalori dan Protein Penduduk Indonesia dan Provinsi 2013.
Buku 2 Survey Sosial Ekonomi Nasional berdasarkan Hasil Susenas September 2013.
Badan Pusat Statistik. Jakarta.
Badan Pusat Statistik. 2014. Konsumsi Kalori dan Protein Penduduk Indonesia dan Provinsi 2014.
Buku 2 Survey Sosial Ekonomi Nasional berdasarkan Hasil Susenas September 2014.
Badan Pusat Statistik. Jakarta.
Berg, A dan R.J Muscat. 1985. Faktor Gizi. (Penerjemah, Sediaoetama). Bhatara. Jakarta.
Braun, VJ, H. Bouis, S. Kumar and R. Pandya-Lorch. 1992. Improving Food Security of The
Poor: Concept, Policy and Programs. IPRI. Washington DC.
Coppock, J.D. 1962. International Economic Instability. McGraw-Hill Publishing Company. New
York.
Fauzi, A. 2010. Ekonomi Perikanan Teori, Kebijakan, dan Pengelolaan. Gramedia Pustaka
Utama. Jakarta.
Fauzi, A. dan S. Anna. 2010. Growth and Instability of Small Pelagic Fisheries of the North
Coast of Java, Indonesia: Lesson Learned for Fisheries Policy. China-USA Business
Review, ISSN 1537-1514 June 2012, Vol. 11, No. 6, 739-748. David Publishing. Page
739 – 748.
Hardinsyah, Irawati, A, Kartono, D, Prihartini S, Linorita I, Amilia L, Fermanda M, Adyas EE,
Yudianti D, Kusrto CM dan Heryanto Y. 2012. Pola Konsumsi Pangan dan Gizi
Penduduk Indonesia. Departemen Gizi Masyarakat FEMA IPB dan Badan Litbangkes
Kemenkes RI. Bogor. Kementerian Kelautan dan Perikanan. 2013. Kelautan dan
Perikanan dalam Angka 2013. Jakarta. 212 Hal.
Indriana S. dan L. Widajanti. 2005. Hubungan Pendapatan, Pengetahuan Gizi Ibu dengan
Ketersediaan Ikan Tingkat Rumah Tangga Daerah Perkotaan. Jurnal Gizi Indonesia,
Volume 1 Nomor 1 Desember 2005.
Irawan, B. 2002. Elastisitas Konsumsi Kalori dan Protein di Tingkat Rumah Tangga. Jurnal Agro
Ekonomi 20 (1): 25-47.
Karyadi dan Muhilal. 1987. Nilai Tambah Ikan bagi Gizi dan Kesehatan Masyarakat. Makalah
Seminar Manfaat Ikan Bagi Pembangunan Sumberdaya Manusia. Departemen
Kesehatan RI. Jakarta.
Kementerian Kelautan dan Perikanan. 2013. Kelautan dan Perikanan dalam Angka 2013. Jakarta.
212 Hal.
Kementerian Kelautan dan Perikanan. 2014. Kelautan dan Perikanan dalam Angka 2014. Jakarta.
212 Hal.
Lubis, B. 1987. Pengolahan dan Pemasaran Ikan Untuk Pemerataan Konsumsi. Seminar Manfaat
Ikan Bagi Pembangunan Sumberdaya Manusia. Jakarta.
Oktari, R.N. 2008. Konsumsi Ikan Anak Usia Sekolah pada Keluarga Nelayan dan Non Nelayan
Berdasarkan Keadaan Sosial Ekonomi. Skripsi Sarjana yang Tidak Dipublikasikan.
Program Studi GiziMasyarakat dan Sumberdaya Keluarga, Fakultas Pertanian, Institut
Pertanian Bogor. Bogor.
HASIL KEGIATAN|Kajian Supply Ikan di Pasar Domestik dalam Rangka
Kesiapan Manghadapi Ramadhan dan Hari Raya Idul Fitri (2015).
123
LAPORAN TEKNIS
[KAJIAN KHUSUS BBPSEKP TAHUN 2015]
Pribadi, N. 2005. Program Ketahanan Pangan: Konsep dan Implementasinya. Makalah
disampaikan dalam Penyusunan Indikator Kinerja Program Ketahanan Pangan di Badan
Perencanaan Pembangunan Nasional. Tanggal 15 Agustus 2005. Jakarta.
Sawit, H. dan M. Ariani. 1997. Konsep dan Kebijaksanaan Ketahanan Pangan. Makalah
Pembanding pada Seminar PraWidyakarya Nasional Pangan dan Gizi VI di Bulog.
Tanggal 26 – 27 Juni. Jakarta.
Setyowati, E., R.S. Damayanti, Subagyo dan R. Badrudin. 2004. Pengantar Ekonomi Mikro Edisi
2. STIE YKPN. Yogyakarta.
Soetrisno, N. 1995. Ketahanan Pangan Dunia: Konsep, Pengukuran dan Faktor Dominan. Majalah
Pangan No. 21 Nol. V Tahun 1995.
Soetrisno, N. 1997. Konsep dan Kebijaksanaan Ketahanan Pangan dalam Repelita VII. Makalah
disampaikan pada Seminar PraWidyakarya Nasional Pangan dan Gizi VI di Bulog.
Tanggal 26 – 27 Juni. Jakarta.
Suhardjo. 1994. Pola Konsumsi Ikan di Indonesia. Makalah disampaikan pada Widyakarya
Nasional Pangan dan Gizi V. Tanggal 20 – 22 April. Jakarta.
Suhardjo. 1996. Pengertian dan Kerangka Pikir Ketahanan Pangan Rumah Tangga. Makalah
disampaikan pada Lokakarya Ketahanan Pangan Rumah Tangga. Tanggal 26 – 30 Mei.
Yogyakarta.
Undang-Undang dan Peraturan
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan.Disahkan di Jakarta
pada tanggal 4 November 1996.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan. Disahkan di Jakarta
pada tanggal 16 November 2012.
Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 75 Tahun 2013 tentang Angka
Kecukupan Gizi yang Dianjurkan bagi Bangsa Indonesia. Ditetapkan di Jakarta pada
tanggal 28 November 2013.
HASIL KEGIATAN|Kajian Supply Ikan di Pasar Domestik dalam Rangka
Kesiapan Manghadapi Ramadhan dan Hari Raya Idul Fitri (2015).
124
LAPORAN TEKNIS
[KAJIAN KHUSUS BBPSEKP TAHUN 2015]
Daftar Lampiran
Lampiran 4-6. 1. Tingkat Konsumsi Ikan per Kapita per Tahun, 2006 - 2013
Tingkat Konsumsi
Rata-Rata Peningkatan
No
Tahun
(Kg/kap/tahun)
(%/tahun)
1
2006
25,03
2
2007
26,00
3.88
3
2008
28,00
7.69
4
2009
29,08
3.86
5
2010
30,48
4.81
6
2011
32,25
5.81
7
2012
33,89
5.09
8
2013
35,14
3.69
Sumber: KKP, 2014
Lampiran 4-6. 2. Penyediaan Ikan untuk Konsumsi dari Perikanan Tangkap, 2008 - 2013
No
Tahun
Total (1000 Ton)
Per Kapita (Kg/Kapita/Tahun)
1
2008
7.072,00
31,00
2
2009
7.754,00
33,51
3
2010
9.119,00
38,39
4
2011
10.282,00
42,49
5
2012
11.588,00
47,22
6
2013
11.886,00
47,77
Sumber: KKP, 2014
Lampiran 4-6. 3. Ketersediaan per Kapita Nutrisi dari Ikan dari Perikanan Tangkap, 2008
- 2012
Kalori
Protein
Lemat
No
Tahun
(Kkal/Kapita/Hari) (Gram/Kapita/Hari) (Gram/Kapita/Hari)
1
2008
53,00
9,53
1,19
2
2009
58,00
10,30
1,31
3
2010
66,00
11,65
1,53
4
2011
71,00
12,57
1,68
5
2012
78,00
13,73
1,88
Sumber: KKP, 2014
HASIL KEGIATAN|Kajian Supply Ikan di Pasar Domestik dalam Rangka
Kesiapan Manghadapi Ramadhan dan Hari Raya Idul Fitri (2015).
125
LAPORAN TEKNIS
[KAJIAN KHUSUS BBPSEKP TAHUN 2015]
Lampiran 4-6. 4. Konsumsi Kalori dari Ikan menurut Propinsi Tahun 2014
Konsumsi Kalori dari Ikan menurut Propinsi Tahun 2014
Indonesia
Papua Barat
Papua
Maluku Utara
Maluku
Sulawesi Tenggara
Sulawesi Selatan
Sulawesi Barat
Sulawesi Tengah
Gorontalo
Sulawesi Utara
Kalimantan Timur
Kalimantan Selatan
Kalimantan Tengah
Kalimantan Barat
Nusa Tenggara Timur
Nusa Tenggara Barat
Perkotaan + Perdesaan
B a l i
Perdesaan
Jawa Timur
Perkotaan
D.I. Yogyakarta
Jawa Tengah
Jawa Barat
Banten
DKI Jakarta
Lampung
Bengkulu
Bangka Belitung
Sumatera Selatan
Jambi
Kepulauan Riau
Riau
Sumatera Barat
Sumatera Utara
Kkal/kap/hari
Aceh
-
20,00
40,00
60,00
80,00
100,00
120,00
140,00
Sumber: BPS (2014)
HASIL KEGIATAN|Kajian Supply Ikan di Pasar Domestik dalam Rangka
Kesiapan Manghadapi Ramadhan dan Hari Raya Idul Fitri (2015).
126
LAPORAN TEKNIS
[KAJIAN KHUSUS BBPSEKP TAHUN 2015]
Lampiran 4-6. 5. Konsumsi Protein Ikan menurut Propinsi Tahun 2014
Konsumsi Protein Ikan menurut Propinsi Tahun 2014
Nasional
Papua Barat
Papua
Maluku Utara
Maluku
Sulawesi Tenggara
Sulawesi Selatan
Sulawesi Barat
Sulawesi Tengah
Gorontalo
Sulawesi Utara
Kalimantan Timur
Kalimantan Selatan
Kalimantan Tengah
Kalimantan Barat
Perkotaan + Perdesaan
Nusa Tenggara Timur
Perdesaan
Nusa Tenggara Barat
Perkotaan
B a l i
Jawa Timur
D.I. Yogyakarta
Jawa Tengah
Jawa Barat
Banten
DKI Jakarta
Lampung
Bengkulu
Bangka Belitung
Sumatera Selatan
Jambi
Kepulauan Riau
Riau
Sumatera Barat
Sumatera Utara
Gram/kap/hari
Aceh
-
5,00
10,00
15,00
20,00
25,00
Sumber: BPS (2014)
HASIL KEGIATAN|Kajian Supply Ikan di Pasar Domestik dalam Rangka
Kesiapan Manghadapi Ramadhan dan Hari Raya Idul Fitri (2015).
127
LAPORAN TEKNIS
[KAJIAN KHUSUS BBPSEKP TAHUN 2015]
Lampiran 4-6. 6. Status Ketersediaan Ikan menurut Kuartal dan Provinsi di Indonesia Tahun 2013
PTL
PTPU
Total
N
Provinsi
KW
KW
KW
KW
KW
KW
KW
KW
KW
KW
KW
o
1
2
3
4
1
2
3
4
1
2
3
38
40
40
34
38
40
41
1 Aceh
607
361
720
004
371
410
399
399
978
771
119
128
132 124
122
12
11
11
12
140
144
135
2 Sumatera Utara
869
934 232
324
058
516
208
170
927
450
440
62
51
43
53
2
3
2
2
65
54
45
3 Sumatera Barat
901
405
546
152
466
066
355
485
367
471
901
21
21
24
25
4
4
4
4
25
26
29
4 Riau
503
695
681
400
315
389
357
395
818
084
038
Kepulauan
26
42
40
31
26
42
40
5
Riau
309
218
610
460
309
218
610
11
12
12
11
1
1
1
2
12
14
14
6 Jambi
181
338
606
588
738
865
850
092
919
203
456
Sumatera
8
12
14
10
11
14
14
11
20
26
28
7
Selatan
525
190
004
045
660
549
221
393
185
739
225
Kepulauan
48
62
44
43
48
62
44
8 Bangka
944
843
188
268
944
843
188
Belitung
14
13
11
11
15
13
12
9 Bengkulu
824
339
726
029
322
344
345
357
146
683
071
38
41
41
41
1
1
1
1
40
43
42
10 Lampung
553
805
042
707
701
500
501
552
254
305
543
14
13
14
15
14
14
15
11 Banten
91
88
90
129
923
935
581
167
296
014
023
42
52
48
66
42
52
48
12 DKI Jakarta
133
031
787
782
133
031
787
45
49
55
56
3
2
2
2
48
52
58
13 Jawa Barat
295
780
512
875
165
539
668
775
460
319
180
14 Jawa Tengah
48
55
52
67
4
5
4
5
52
60
57
KW
4
34
403
134
494
55
637
29
795
31
460
13
680
21
438
Ratarata
38
818
138
828
55
344
27
684
35
149
13
815
24
147
Status Ketersediaan
KW KW KW KW
1
2
3
4
Cuk Cuk Cuk Kur
up
up
up
ang
Cuk Cuk Kur Kur
up
up
ang ang
Cuk Kur Kur Cuk
up
ang ang up
Kur Kur Cuk Cuk
ang ang up
up
Kur Cuk Cuk Kur
ang up
up
ang
Kur Cuk Cuk Kur
ang up
up
ang
Kur Cuk Cuk Kur
ang up
up
ang
43
268
49 Kur
811 ang
Cuk
up
Kur
ang
Kur
ang
11
386
43
259
15
671
66
782
59
650
72
13
072
42
340
14
751
52
433
54
652
60
Cuk
up
Cuk
up
Kur
ang
Kur
ang
Kur
ang
Kur
Kur
ang
Cuk
up
Cuk
up
Kur
ang
Cuk
up
Kur
Kur
ang
Cuk
up
Cuk
up
Cuk
up
Cuk
up
Cuk
Cuk
up
Kur
ang
Kur
ang
Kur
ang
Kur
ang
Kur
HASIL KEGIATAN|Kajian Supply Ikan di Pasar Domestik dalam Rangka Kesiapan Manghadapi Ramadhan dan Hari Raya Idul
Fitri (2015).
128
LAPORAN TEKNIS
N
o
Provinsi
15
DI
Yogyakarta
16
Jawa Timur
17
Bali
18
19
20
21
22
23
Nusa Tenggara
Barat
Nusa Tenggara
Timur
Kalimantan
Barat
Kalimantan
Tengah
Kalimantan
Selatan
Kalimantan
Timur
24
Sulawesi Utara
25
Gorontalo
26
27
28
Sulawesi
Tengah
Sulawesi
Selatan
Sulawesi Barat
[KAJIAN KHUSUS BBPSEKP TAHUN 2015]
KW
1
026
433
PTL
KW KW
2
3
377
859
1
570
230
58
573
80
142
18
541
28
694
21
702
27
845
15
897
35
536
24
942
69
170
22
486
68
158
64
520
9
19
659
32
217
25
999
29
423
17
427
42
975
27
214
72
375
23
753
71
541
65
648
12
119
013
31
487
36
825
30
198
30
528
16
248
44
807
24
996
68
381
22
826
63
894
79
443
11
KW
4
967
1
163
120
601
32
565
44
454
25
926
32
283
16
740
53
373
29
995
73
054
22
374
56
391
68
285
12
KW
1
665
PTPU
KW KW
2
3
156
872
KW
4
020
KW
1
691
Total
KW
KW
2
3
533
731
1
923
606
KW
4
987
1
599
Status Ketersediaan
KW KW KW KW
1
2
3
4
986 ang ang ang up
1 Kur Kur Cuk Cuk
250 ang ang up
up
Ratarata
437
353
376
436
870
2
203
2
118
2
297
1
948
60
776
82
260
121
310
122
549
96 Kur
724 ang
Kur
ang
Cuk
up
Cuk
up
295
331
336
379
881
940
909
846
-
-
-
-
10
642
8
569
14
085
9
675
10
983
9
216
17
565
9
619
10
778
9
481
16
911
13
105
11
051
8
313
16
453
10
842
591
610
590
529
247
220
234
182
556
3
468
-
536
3
800
-
675
3
561
-
709
3
516
-
18
836
29
575
21
702
38
487
24
466
49
621
34
617
69
761
22
733
68
714
67
988
9
19
990
33
157
25
999
40
406
26
643
60
540
36
833
72
985
23
973
72
077
69
448
12
31
823
37
734
30
198
41
306
25
729
61
718
38
101
68
971
23
060
64
569
83
004
11
32
944
45
300
25
926
43
334
25
053
69
826
40
837
73
583
22
556
57
100
71
801
12
25
898
36
442
25
956
40
883
25
473
60
426
37
597
71
325
23
081
65
615
73
060
11
Kur
ang
Kur
ang
Cuk
up
Kur
ang
Cuk
up
Cuk
up
Kur
ang
Cuk
up
Cuk
up
Cuk
up
Kur
ang
Cuk
Cuk
up
Cuk
up
Cuk
up
Cuk
up
Cuk
up
Cuk
up
Cuk
up
Kur
ang
Kur
ang
Kur
ang
Cuk
up
Cuk
Cuk
up
Cuk
up
Kur
ang
Cuk
up
Kur
ang
Cuk
up
Cuk
up
Cuk
up
Kur
ang
Kur
ang
Kur
ang
Cuk
Kur
ang
Kur
ang
Kur
ang
Kur
ang
Kur
ang
Kur
ang
Kur
ang
Kur
ang
Kur
ang
Cuk
up
Kur
ang
Kur
HASIL KEGIATAN|Kajian Supply Ikan di Pasar Domestik dalam Rangka Kesiapan Manghadapi Ramadhan dan Hari Raya Idul
Fitri (2015).
129
LAPORAN TEKNIS
N
o
Provinsi
KW
1
766
Sulawesi
20
29
Tenggara
567
139
30 Maluku
386
37
31 Maluku Utara
027
70
32 Papua
419
30
33 Papua Barat
622
Sumber: KKP (2014) (diolah)
[KAJIAN KHUSUS BBPSEKP TAHUN 2015]
PTL
KW KW
2
3
224
686
28
33
023
710
131
140
398 412
39
39
379
447
71
71
292
188
29
31
668
336
KW
4
134
42
249
140
616
35
688
73
440
30
148
KW
1
PTPU
KW KW
2
3
KW
4
425
426
1
002
1
375
10
7
7
9
-
-
-
-
1
930
1
944
1
964
1
993
59
58
59
54
KW
1
766
20
992
139
396
37
027
72
349
30
681
Total
KW
KW
2
3
224
686
28
34
449
712
131
140
405
419
39
39
379
447
73
73
236
152
29
31
726
395
KW
4
134
43
624
140
625
35
688
75
433
30
202
Ratarata
453
31
944
137
961
37
885
73
543
30
501
Status Ketersediaan
KW KW KW KW
1
2
3
4
ang up
up
up
Kur Kur Cuk Cuk
ang ang up
up
Cuk Kur Cuk Cuk
up
ang up
up
Kur Cuk Cuk Kur
ang up
up
ang
Kur Kur Kur Cuk
ang ang ang up
Cuk Kur Cuk Kur
up
ang up
ang
HASIL KEGIATAN|Kajian Supply Ikan di Pasar Domestik dalam Rangka Kesiapan Manghadapi Ramadhan dan Hari Raya Idul
Fitri (2015).
130
LAPORAN TEKNIS
[KAJIAN KHUSUS BBPSEKP TAHUN 2015]
Lampiran 4-6. 7. Indeks Ketidakstabilan Harga Ikan Pada Saat Sebelum Bulan
Ramadhan 2014
No
Komoditas
CII
Growth
1
2
3
1
2
3
1
Bandeng
250
281
260
0.001
0.000
-0.001
2
Baronang
295
226
243
0.000
-0.003
-0.001
3
Cakalang
204
274
232
0.008
0.000
-0.002
4
Cumi-cumi
239
257
228
0.002
0.001
-0.003
5
Ekor Kuning
215
228
229
-0.005
0.003
0.003
6
Gabus
210
221
266
0.006
-0.004
0.000
7
Kakap Merah
312
239
256
0.000
0.002
-0.001
8
Kembung
218
254
300
0.004
-0.001
0.000
9
Kerang Darah
221
219
235
-0.004
0.004
-0.002
10
Layang
212
254
222
0.006
-0.001
-0.004
11
Lele
249
234
230
0.001
-0.002
0.002
12
Mujair
243
228
238
-0.001
0.003
-0.002
13
Nila
238
260
228
-0.002
-0.001
0.003
14
Patin
227
249
238
0.003
-0.001
0.002
15
Selar
221
218
255
0.0037
-0.0044
0.0008
16
Tembang
210
217
230
0.0063
-0.0046
-0.0025
17
Tenggiri
235
248
205
0.0020
0.0011
-0.0079
18
Teri
215
204
239
0.0050
-0.0083
-0.0016
19
Teri Asin
209
259
223
-0.0067
-0.0007
-0.0035
20
Tongkol
217
270
244
0.0045
-0.0004
-0.0013
21
Udang Dogol
213
252
262
0.0055
-0.0009
-0.0006
22
Udang Krosok
222
233
232
0.0036
-0.0022
-0.0023
Sumber: Data Harga Ikan Harian Direktorat Jenderal P2HP (2014), Diolah
Keterangan: 1. Sebelum bulan ramadhan; 2. Saat ramadhan; 3. Setelah ramadhan
HASIL KEGIATAN|Kajian Supply Ikan di Pasar Domestik dalam Rangka
Kesiapan Manghadapi Ramadhan dan Hari Raya Idul Fitri (2015).
131
LAPORAN TEKNIS
4.7.
[KAJIAN KHUSUS BBPSEKP TAHUN 2015]
Rapid Assessment terhadap Perikanan Bandeng sebagai Antisipasi Kebijakan
Pelarangan Ekspor Nener Bandeng
Pendahuluan
Budidaya ikan bandeng di Indonesia berada pada kawasan budidaya dengan luas kurang
lebih sebesar 600.000 Ha, dengan total produksi yang dicapai pada tahun 2014 sebesar 621.393
ton, dari sasaran produksi sebesar
750.000 ton atau sebesar 82,8%. Daerah penghasil bandeng
tersebar antara lain di Sulawesi Selatan, sulawesi Tenggara, Sulawesi Barat, Kalimantan Timur,
Jawa Barat, Jawa timur dan Jawa Tengah. Budidaya Bandeng di Indonesia sebagian besar
menerapkan teknologi tradisional dengan hasil rata rata 500 kg-1 ton per ha per tahun
dan
sebagian kecil menerapkan teknologi semi intensif dengan hasil rata-rata 3 ton per ha per tahun.
Kebutuhan benih sebagian besar diperoleh dari hatcheri skala besar dan skal kecil yang
tersebar di Bali yang terkonsentrasi di Kabupaten Buleleng. Hatcheri skala besar sebanyak 176
unit dan hatcheri skala kecil sebanyak 4500 unit dengan total produksi 10, 2 – 12 Juta ekor
nener per hari. Total produksi dari daerah Bali diperkirakan sekitar 4,32 milyar dan daerah lain
seperti Sulawesi, Jawa, Sumatera, Kalimantan sebanyak 0.38 milyar sehingga total produksi
nasional sebesar 4,7 milyar. Teknologi pembenihan bandeng di Indonesia sudah sangat maju,
dimana pada awalnya hingga ukuran panen diperlukan
waktu pemeliharaan selama 35 -40 hari.
Namun sekarang hanya memerlukan waktu pemeliharaan selama 17-18 hari, sehingga produksi
nener menjadi semakin banyak.
Berdasarkan data dari BKIPM ekspor nener tahun 2014 sebesar 1,4 milyar ekor dengan
negara tujuan Philipina (1,24 milyar ekor), Taiwan (88 juta ekor), Singapura (76,5 juta ekor),
Thailand (27,5 juta ekor), Srilanka (11,7 juta ekor), Malaysia (4,4 juta ekor), Hongkong (2,5 juta
ekor), China (0,8 juta ekor), Colombia (0,74 juta ekor), East Timor (0,28 juta ekor) dan Vietnam
(75 ribu ekor) dengan nilai ekspor Rp 200 milyar.
Produksi nener untuk kebutuhan budidaya bandeng di Indonesia dari data yang dihimpun
melalui pembudidaya bandeng
dan pembenihan nener secara kuantitas jumlahnya sudah
terpenuhi. Namun demikian secara kualitas masih belum memenuhi syarat. Data yang diperoleh
menyatakan bahwa untuk nener yang dihasilkan dari sulawesi (PT. Esa Putlii) hanya
mengeluarkan satu tingkatan mutu sedangkan yang dihasilkan dari daerah lain seperti dari Bali
mengeluarkan nener dalam beberapa tingkatan mutu. Sehingga menyebabkan kualitas nener yang
disuplai oleh pembudidaya tidak seragam dan berakibat pada hasil produksi yang kurang optimal.
Harga nener dipengaruhi dari bulan-bulan ekspor dan bulan-bulan tidak ada ekspor. Pada saat
tidak ada ekspor harga nener Rp 8-12/ekor sedangkan pada saat ekspor harga nener Rp 20 –
28/ekor. Nener berkualitas baik sulit bersaing dengan nener berkualitas rendah dikarenakan faktor
harga. Harga nener di Filipina berkisar antara Rp 57 – 120/ekor; dimana untuk nener ukuran 3
HASIL KEGIATAN|Rapid Assessment terhadap Perikanan Bandeng sebagai
Antisipasi Kebijakan Pelarangan Ekspor Nener Bandeng
132
LAPORAN TEKNIS
[KAJIAN KHUSUS BBPSEKP TAHUN 2015]
(panjang 10 sd 12 mm) berharga Rp 57 s/d Rp 63 per ekor, benih ukuran 4 (panjang 14 mm)
berharga Rp 72 s/d Rp 85 per ekor dan benih ukuran 5 (panjang 16 mm) berharga Rp 100 s/d
Rp 120 per ekor. Informasi harga nener berdasar ukuran di philipina ini hanya diketahui oleh
beberapa eksportir nener saja dan tidak diketahui oleh pembenih nener di Bali, sehingga HSRT
tidak bisa mengambil peluang keuntungan yang lebih besar. Hal ini sangat merugikan para
pembenih nener khususnya di Bali dan di Indonesia pada umumnya.
Tabel 4-6. 9.
Keragaan Budidaya Ikan Bandeng di Indonesia RPJMN II
Budidaya Bandeng
2010
2011
2012
2013
2014
Sasaran Pembesaran (ton)
349.600
419.000
503.400
700.000
750.000
Realisasi Pembesaran (ton)
421.757
467.449
518.939
627.333
621.393*
2.095.00
2.517.00
3.020.00
0
0
0
2.626.17
2.594.47
4.101.72
3.217.200
9
5
3
*
593.010
1.459.825
Sasaran Benih Bandeng
1.748.000
3.500.000
(X1000 ekor)
Realisasi Benih Bandeng (X 1000
2.425.696
ekor)
494.115,
Ekspor Nener (X1000 ekor)
346.058
390.372
1
*) Angka sementara yang belum divalidasi
Keperluan nener untuk budidaya bandeng di Indonesia saat ini diperoleh dari Unit-Unit
pembenihan baik skala besar maupun skala kecil yang tersebar di Bali, Sulawesi Selatan dan
Jawa. Harga Nener Indonesia sangat fluktuatif, pada bulan bulan tidak terjadi ekspor harga nener
paling rendah dan meningkat pada bulan bulan terjadi ekspor. Ekspor nener kebanyakan ditujukan
ke negara –negara Asia terutama Filipina dan Taiwan.
Metodologi
Metodologi yang digunakan dalam penelitian ini bersifat kualitatif, yaitu melibatkan
interpretasi dan juga pendekatan naturalistik terhadap subjek penelitian, serta tidak jarang
menggunakan berbagai metode atau pendekatan pada satu fokus kajian (Denzin and Lincoln,
1994). Sementara itu, studi kasus digunakan untuk membatasi fokus dan subjek penelitian pada
hal-hal atau kasus yang terkait dengan kondisi dan karakteristik usaha budidaya nener. Studi kasus
yang digunakan bersifat studi kasus intrinsik, yaitu didorong oleh suatu ketertarikan pada satu
fenomena tertentu dan bukan sebagai upaya untuk membangun suatu teori, walaupun tidak
dibatasi untuk sama sekali tidak diperkenankan untuk membangun suatu teori (Stake, 1994). Hal
yang mendasari penggunaan studi kasus intrinsik adalah adanya keinginan untuk mempelajari dan
mengeksplorasi karakteristik usaha budidaya nener di lokasi penelitian.
HASIL KEGIATAN|Rapid Assessment terhadap Perikanan Bandeng sebagai
Antisipasi Kebijakan Pelarangan Ekspor Nener Bandeng
133
LAPORAN TEKNIS
[KAJIAN KHUSUS BBPSEKP TAHUN 2015]
Lokasi sampling kegiatan kajian khusus rapid assessment antisipasi kebijakan pengelolaan
nener, dilakukan di Dusun Gondol, Desa Penyabangan, Kecamatan Grokgak, Kabupaten
Buleleng, Bali. Pertimbangan dipilihnya lokasi ini karena di lokasi ini terdapat banyak usaha
rakyat dalam budidaya nener. Data yang dikumpulkan berupa data primer yang diperoleh dari
pembudidaya nener, bandar ikan atau pengepul, serta asosiasi pembudidaya nener setempat.
Teknik pemilihan responden dilakukan secara sengaja dan snowballing. Sementara teknik
pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan teknik wawancara mendalam dan juga
berperan sebagai observer.
Analisis data dilakukan secara deskriptif dan diinterpretasikan menggunakan metode logik.
Metode logik adalah cara menalar dimana data diamati dan dipilah-pilah, buktinya dicari dan
dipertimbangkan, dianalisis dan kemudian kesimpulan diambil (Nazir, 1988). Analisis hubungan
antara fakta sosial dinyatakan menggunakan pendekatan deskriptif dan kualitatif. Analisis
menggunakan metode analisis ekonomi terhadap keragaan usaha budidaya nener juga dilakukan
untuk memperoleh informasi tentang besaran nilai ekonomi dari kegiatan usaha produksi nener
di lokasi penelitian.
Hasil Dan Pembahasan
Keragaan Usaha Budidaya Nener Di Gondol
Budidaya nener memegang peranan penting bagi kehidupan ekonomi rumah tangga
masyarakat setempat. Sehingga sangat besar ketergantungan masyarakat setempat terhadap usaha
ini, hal ini dapat terlihat pada minimnya pendapatan rumah tangga dari sektor lainnya menjadikan
usaha budidaya nener ini andalan usaha keluarga.
Awalnya, usaha budidaya ini dicontohkan dari hasil penelitian penetasan dan budidaya
nener oleh peneliti, dari Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Budidaya laut, Balitbang
Kelautan dan Perikanan di Gondol. Hasil penelitian ini kemudian dikembangkan untuk menjadi
contoh di masyarakat dan mendapat respon positif dan berhasil berkembang menjadikan usaha
ini sebagai pendapatan utama bagi masyarakat setempat untuk berbudidaya nener. Usaha ini mulai
dirintis pada tahun 1997, beberapa masyarakat mencoba untuk mencontoh pembudidayaan nener
dan berhasil serta memberi hasil pendapatan yang baik, sehingga marak dicontoh dan dilakukan
oleh anggota masyarakat lainnya disekitarnya.
Namun, pada tahun akhir tahun 1999 hingga tengah tahun 2000, terjadi penurunan harga
nener yang sangat drastis, menurut beberapa informan, nener sulit terjual meski diturunkan hingga
Rp 2-3 per ekor tetap tidak laku terjual. Pada masa tersebut, banyak sekali anggota masyarakat di
sekitar Gondol yang harus dengan cepat mengambil keputusan untuk memenuhi kebutuhan rumah
tangga, sehingga banyak dari kolam/bak budidaya dan lahan budidaya yang dijual. Hal ini juga
menunjukkan betapa rentannya ketahanan dan keberlanjutan berusaha secara umum bagi
HASIL KEGIATAN|Rapid Assessment terhadap Perikanan Bandeng sebagai
Antisipasi Kebijakan Pelarangan Ekspor Nener Bandeng
134
LAPORAN TEKNIS
[KAJIAN KHUSUS BBPSEKP TAHUN 2015]
masyarakat setempat. Lahan yang kurang produktif, ketahanan modal yang terbatas menyebabkan
kurang variasi bidang usaha yang mampu dilakukan oleh masyarakat setempat.
Kerentanan tersebut juga disebabkan tidak mampunya lahan untuk mendukung difersifikasi
usaha ini. Usaha ini hanya penetasan telur bandeng dan budidaya nener. Induk bandeng
dibeli/datangkan dari Gresik, ditetaskan kemudian dibudidaya hingga menjadi nener dan
kemudian dijual. Ketidakmampuan lahan ini, utamanya ditentukan oleh minimnya lahan budidaya
serta suplai air tawar. Lahan mangrove yang sangat cocok untuk tambak tidak ada serta suplai air
tawar sangat minim. Namun dengan begitu saja, kebutuhan nener yang diproduksi dapat
memenuhi kebutuhan dalam negeri bahkan diekspor terutama Filipina dan Vietnam.
Budidaya nener dilakukan pada bak/kolam berukuran dalam Panjang x Lebar x tinggi
(1.5 x 3 x 1) m. Umumnya, tiap pembudidaya memiliki 8 unit kolam. Tiap kolam akan ditebar
sebanyak 50 – 70 ribu butir telur. Produksi nener di Kecamatan Grokgak, Kabupaten Buleleng,
Bali mencapai 15-25 juta nener per hari. Harga domestik berkisar Rp 5 per ekor hingga Rp 15 per
ekor. Untuk memenuhi kebutuhan dan permintaan domestik hanya dibutuhkan 7,5 – 15 juta ekor
per hari sepanjang tahun pemintaan ini dapat dipenuhi. Sedangkan untuk kebutuhan ekspor
dibutuhkan 15 – 20 juta ekor per hari yang hanya pada bulan Februari, Maret dan April. Jumlah
rumah tangga pelaku usaha budidaya nener ini menurut asosiasi nener di Gondol sebanyak 506
pelaku usaha (RTP).
Keragaan Jaringan Pemasaran Nener Dalam Negeri Dan Luar Negeri
Selama ini rantai suplai nener berdasarkan ukuran yang diperdagangkan, berturut-turut
adalah telur, nener, gelondongan, bandeng, induk bandeng. Sementara itu, berdasarkan lokasi,
rantai suplainya sebagai berikut: Telur dan nener diproduksi di Gondol nener dijual ke
Makassar, Lamongan, Gresik, Balikpapan, Jawa Barat, Lampung (Gambar 4-7. 1).
HASIL KEGIATAN|Rapid Assessment terhadap Perikanan Bandeng sebagai
Antisipasi Kebijakan Pelarangan Ekspor Nener Bandeng
135
LAPORAN TEKNIS
[KAJIAN KHUSUS BBPSEKP TAHUN 2015]
Gambar 4-7. 1.
Skema Diversifikasi Nener dan Pemasarannya
Pengembangan (nener, gelondongan, bandeng)
Telur Nener  Gelondongan  Bandeng Sarden  Bandeng  Induk Bandeng
Pengembangan produksi bandeng diperlukan untuk mengembangkan usaha bandeng.
Sebagaimana rantai/siklus bandeng diatas, seharusnya tiap tahapan memiliki peluang
pengembangan untuk diterapkan di masyarakat. Beberapa hal yang bisa dijadikan sebagai upaya
untuk pengembangan nener adalah dengan memandang pengembangan nener sebagai suatu
kesatuan utuh sistem produksi bandeng secara keseluruhan.
Diversifikasi produksi bandeng

Bandeng presto

Bandeng cabut duri

Nugget bandeng

Sarden bandeng

Abon bandeng

Bakso bandeng

Bandeng kaleng

Dan lainnya
HASIL KEGIATAN|Rapid Assessment terhadap Perikanan Bandeng sebagai
Antisipasi Kebijakan Pelarangan Ekspor Nener Bandeng
136
LAPORAN TEKNIS
[KAJIAN KHUSUS BBPSEKP TAHUN 2015]
Diversifikasi produk turunan dari bandeng merupakan diversifikasi usaha yang akan
memacu permintaan produk bandeng. Hal ini kemudian diharapkan dengan meningkatnya
permintaan bandeng maka produksi nener di Gondol dan beberapa sentra nener lainnya dapat
meningkat.
Pengembangan gelondongan
Gelondongan merupakan bagian dalam rantai produk nener yang sangat dibutuhkan dalam
upaya meningkatan penangkapan ikan, khususnya ikan tuna dan cakalang. Pengembangan
gelondongan ini penting untuk menyuplai permintaan gelondongan disektor ini. Sebagaimana
diketahui lokasi jenis tuna dan cakalang yang menggunakan gelondongan sebagai umpan berada
di sentra-sentra penangkapan dan pendaratan ikan di sekitar laut Banda dan Sawu.
Secara strategis mendekatkan sentra produksi gelondongan didekat sentra penangkapan
dan pendaratan ikan tunda cakalang akan memberi biaya input yang efisien bagi usaha
penangkapan ini. Dengan model backyard farming dalam kolam, budidaya gelondongan dapat
diatur suplai dan produksinya guna memenuhi permintaan gelondongan bagi penangkap tuna
cakalang.
Intensifikasi tambak  semi intensif.
Peningkatan tambak dengan tekonologi yang ramah lingkungan dan murah akan memicu
produktifitas budidaya bandeng. Peningkatan buddaya bandeng semi intensif, diyakini cukup
efisien dan efektif meningkatkan produktifitas usaha bandeng, serta cukup ramah lingkungan.
Pakan dan Teknologi pendukung lainnya
Sebagaiman diketahui usaha budidaya umumnya secara otomatis menempatkan pakan
sebagai variable cost yang sensitive dalam struktur biaya budidaya. Sehingga investasi
pemerintah dalam penyediaan pakan dan teknologi pakan yang efektif dan murah akan
memudahkan pengembangan usaha bandeng.
Transportasi dan cargo(jasa kurir)
Transportasi, memegang peranan penting dalam distribusi bandeng. Sebagai contoh untuk
gelondongan yang diproduksi di Gresik, dilepas dengan harga Rp 400 per ekor, namun tiba di
Benoa, Bali, naik mencapai Rp 900 per ekor. Selisih / margin ini sebenarnya cukup mengiurkan
usaha budidaya gelondongan, sekaligus mengisyaratkan perlunya penataan sistem distribusi
barang dalam untuk sektor perikanan. Selisih sebesar Rp 500 per ekor ini terlalu menekan usaha
penangkapan tuna cakalang sehingga menciptakan tata distribusi barang yang mendukung usaha
HASIL KEGIATAN|Rapid Assessment terhadap Perikanan Bandeng sebagai
Antisipasi Kebijakan Pelarangan Ekspor Nener Bandeng
137
LAPORAN TEKNIS
[KAJIAN KHUSUS BBPSEKP TAHUN 2015]
lainnya perlu dipikirkan jalannya untuk efisien dan efektif dalam meningkatkan upaya
penangkapan tuna cakalang,
Pasar luar negeri
Peluang pasar luar negeri juga perlu dikembangkan, misalnya dengan menyisipkan
bandeng kaleng (sarde bandeng) dan varian produk lainnya dalam aktifitas luar luar negeri warga
Negara Indonesia, seperti ibadah haji dan pengiriman Tenaga Kerja Indonesia (TKI).
Diharapakan akan tercipta pasar luar negeri dengan memanfaatkan peluang tersebut.
Keragaan Usaha Dan Potensi Nilai Ekonomi Usaha Nener
Berdasarkan data dan informasi primer yang diperoleh dari lokasi Gondol, maka diperoleh
gambaran keragaan usaha dan potensi nilai ekonomi usaha nener di Gondol, Bali sebagai berikut
(Tabel 4-7.1)
Tabel 4-7. 1.
Keragaan usaha Nener di Gondol, bali
Supply
(Produksi)
15-25
Demand
Domestik
Ekspor
Jumlah
RTP
juta 11 juta ekor 14 juta ekor per hari selama 506
ekor per hari
per hari
Harga
Rp 28 – 30 per ekor
3 bulan dalam 1 tahun
Nilai Ekonomi Usaha Nener
Keragaan usaha nener di lokasi penelitian kemudian diolah dengan menggunakan
pendekatan analisis ekonomi sederhana untuk mengetahui seberapa besar nilai ekonomi dari
seluruh keragaan usaha nener yang ada. Untuk itu diperlukan analisis terkait dengan nilai biaya
produksi usaha nener per tahun (Tabel 4-7.2) dan juga nilai manfaat produksi usaha nener per
tahun (Tabel 4-7.3).
Tabel 4-7. 2.
Nilai Biaya Produksi Usaha Nener (Rp per Tahun)
Produksi
Biaya Produksi per tahun
15 juta ekor per hari selama sembilan bulan dari 506 15 juta ekor per hari x 9 bulan x 30 hari
RTP Pembudidaya Nener dengan biaya produksi x Rp 5 per ekor = Rp 20.250.000.000
sebesar Rp 5 per ekor
25 juta ekor per hari selama tiga bulan dari 506 RTP 25 juta ekor per hari x 3 bulan x 30 hari
Pembudidaya Nener dengan biaya produksi sebesar x Rp 5 per ekor = 11.250.000.000
Rp 5 per ekor
Total Nilai Biaya Produksi Nener
31.500.000.000
HASIL KEGIATAN|Rapid Assessment terhadap Perikanan Bandeng sebagai
Antisipasi Kebijakan Pelarangan Ekspor Nener Bandeng
138
LAPORAN TEKNIS
[KAJIAN KHUSUS BBPSEKP TAHUN 2015]
Tabel 4-7.2 memberikan gambaran seberapa besar keseluruhan nilai biaya produksi dari
usaha nener di lokasi penelitian. Terlihat secara keseluruhan biaya produksi yang diperlukan
dalam satu tahun sebesar Rp 31.500.000.000. Nampak juga terlihat bahwa terdapat dua
karakteristik usaha budidaya nener, yaitu saat musim untuk memenuhi kebutuhan pasar domestik
dan saat musim untuk memenuhi permintaan pasar ekspor. Hal ini terjadi karena sebenarnya
secara teknologi, budidaya nener sudah mampu menghasilkan produksi nener seperti pada saat
adanya permintaan ekspor. Namun hal ini tidak dilakukan karena kemampuan pasar domestik
untuk menyerap sangat terbatas, sementara jika dipaksakan untuk diproduksi berlebih hanya akan
menambah biaya produksi dan kerugian pembudidaya saja.
Tabel 4-7. 3.
Nilai Manfaat Produksi Usaha Nener per Tahun (Rp per tahun)
Permintaan
Manfaat Produksi per tahun
11 juta ekor per hari untuk domestik dengan harga 11 juta ekor per hari x 9 bulan x 30 hari
nener Rp 28 per ekor
x Rp 28 per ekor = 83.160.000.000
25 juta ekor per hari selama tiga bulan dengan 25 juta ekor per hari x 9 bulan x 30 hari
biaya produksi sebesar Rp 5 per ekor
Total Nilai manfaat Produksi Nener
x Rp 30 per ekor = 67.500.000.000
150.660.000.000
Sementara pada Tabel 4-7.3 terlihat nilai keseluruhan manfaat produksi usaha nener per
tahun di lokasi penelitian. Seperti dijelaskan sebelumnya bahwa terdapat dua karakteristik usaha
nener, saat ada permintaan ekspor dan saat hanya ada permintaan domestik. Total nilai manfaat
usaha produksi nener dari Tabel 4-7.3 sebesar Rp 150.660.000.000 per tahun. Terlihat bahwa total
manfaat produksi nener saat terjadi permintaan ekspor nener tinggi sebesar Rp 67.500.000.000
per tahun yang terjadi selama tiga bulan saja. Jumlah produksi nener yang mencapai 25 juta ekor
per hari tersebut sebenarnya untuk memenuhi kebutuhan domestik sebesar 11 juta ekor per hari
dan 14 juta ekor per hari untuk kebutuhan ekspor. Jadi secara jumlah dengan adanya ekspor tidak
mengganggu kebutuhan domestik, namun demikian pada saat yang bersamaan harga jual menjadi
meningkat selama periode ekspor tersebut.
HASIL KEGIATAN|Rapid Assessment terhadap Perikanan Bandeng sebagai
Antisipasi Kebijakan Pelarangan Ekspor Nener Bandeng
139
LAPORAN TEKNIS
Tabel 4-7. 4.
[KAJIAN KHUSUS BBPSEKP TAHUN 2015]
Nilai Ekonomi Usaha Nener per Tahun (Rp per tahun)
Nilai Biaya Produksi
31.500.000.000
Nilai Manfaat
Nilai Kehilangan
Nilai Ekonomi Usaha
Produksi
Sisa Produksi
Nener
150.660.000.000
10.800.000.000
171.360.000.000
Tabel 4-7.4 memperlihatkan besaran nilai ekonomi keseluruhan usaha nener di lokasi
penelitian. Nilai ekonomi usaha nener di lokasi Gondol, Bali setiap tahunnya sebesar Rp
171.360.000.000 yang diperoleh dari 506 RTP. Terlihat bahwa terdapat nilai kehilangan yang
berasal dari sisa produksi selama sembilan bulan akibat tidak terserapnya sejumlah 4 juta nener
oleh pasar domestik.
Ekspor
Berdasarkan hasil informasi di lokasi, ekspor nener tidak berjalan sepanjang tahun. Ekspor
nener hanya dilakukan pada bulan Februari, Maret, April. Hal ini terkait dengan permintaan pasar
untuk ekspor terjadi pada tiga bulan tersebut. Harga ekspor berkisar
Rp 20 per ekor hingga Rp
30 per ekor dengan volume permintaan 15 – 20 juta ekor per hari. Pasar tujuan ekspor yang
teridentifikasi adalah Taiwan, Filipina dan Vietnam.
Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka potensi nilai ekspor nener yang berasal dari
lokasi Gondol, Bali sebesar Rp 37.800.000.000 per tahun dengan jumlah permintaan sebanyak 14
juta ekor per hari selama 3 bulan. Sementara nilai kehilangan produksi akibat produksi nener
berlebih dan tidak terserap oleh pasar baik domestik maupun ekspor selama 9 bulan sebesar Rp
10.800.000.000 per tahun dengan jumlah nener sebanyak 4 juta ekor per hari.
Kesimpulan Dan Rekomendasi Kebijakan
Kesimpulan
Budidaya nener dilakukan pada bak/kolam berukuran dalam Panjang x Lebar x tinggi
(1.5 x 3 x 1) m. Umumnya, tiap pembudidaya memiliki 8 unit kolam. Tiap kolam akan ditebar
sebanyak 50 – 70 ribu butir telur. Produksi nener di Kecamatan Grokgak, Kabupaten Buleleng,
Bali mencapai 15-25 juta nener per hari. Harga domestik berkisar Rp 5 per ekor hingga Rp 15 per
ekor. Untuk memenuhi kebutuhan dan permintaan domestik hanya dibutuhkan 7,5 – 15 juta ekor
per hari sepanjang tahun pemintaan ini dapat dipenuhi. Sedangkan untuk kebutuhan ekspor
dibutuhkan 15 – 20 juta ekor per hari yang hanya pada bulan Februari, Maret dan April. Jumlah
rumah tangga pelaku usaha budidaya nener ini menurut asosiasi nener di Gondol sebanyak 506
pelaku usaha (RTP).
HASIL KEGIATAN|Rapid Assessment terhadap Perikanan Bandeng sebagai
Antisipasi Kebijakan Pelarangan Ekspor Nener Bandeng
140
LAPORAN TEKNIS
[KAJIAN KHUSUS BBPSEKP TAHUN 2015]
Nilai ekonomi usaha nener di lokasi Gondol, Bali setiap tahunnya sebesar Rp
171.360.000.000. Potensi nilai ekspor nener yang berasal dari lokasi Gondol, Bali sebesar Rp
37.800.000.000
per tahun selama tiga bulan. Sementara nilai kehilangan produksi akibat
produksi nener berlebih dan tidak terserap oleh pasar baik domestik maupun ekspor selama 9
bulan sebesar Rp 10.800.000.000
per tahun.
Rekomendasi Kebijakan
Rekomendasi kebijakan yang bisa diberikan terkait dengan upaya pengembangan dan
pengaturan usaha budidaya nener adalah dengan memberikan rekomendasi berupa program
prioritas dan langkah eksekusi yang sebaiknya dilakukan oleh direktorat jenderal teknis terkait.
Program prioritas yang sebaiknya dilakukan untuk pengembangan perikanan bandeng, khususnya
nener adalah: (a) Pengaturan tata niaga nener baik domestik maupun ekspor bertujuan melindungi
pembudidaya bandeng akibat peningkatan harga nener yang tinggi sebagai konsekuensi
permintaan ekspor nener; (b) Pengembangan paket stimulus budidaya bandeng domestik untuk
menyerap hasil produksi nener berlebih sehingga pembudidaya nener terlindungi dari terlalu
rendahnya harga nener; dan (c) Mengoptimalkan peluang ekspor bandeng memanfaatkan
perjanjian kerjasama ekonomi baik regional maupun bilateral terhadap negara-negara potensial,
sebagai contoh mengoptimalkan Early Harvest Program antara China dengan negara-negara
ASEAN dalam kerangka AFTA sehingga mampu bersaing dengan Taiwan untuk pasar ekspor
bandeng ke China. Sementara langkah eksekusi strategis yang sebaiknya dilakukan adalah: (a)
Ditjen Perikanan Budidaya menyiapkan kebijakan dan program stimulus untuk pengembangan
budidaya bandeng yang berorientasi ekspor dengan tetap menjaga kebutuhan domestik; (b) Ditjen
Perikanan Budidaya menyiapkan dan menegakkan pengawasan kualitas nener yang diproduksi
dan menyiapkan program-program bantuan bagi usaha budidaya nener agar memenuhi standar
kelayakan kualitas nener yang diproduksi; dan (c) Ditjen Penguatan Daya Saing Produk Kelautan
dan Perikanan menyiapkan program optimalisasi peluang pasar ekspor bandeng melalui
kerjasama ekonomi bilateral dan regional.
Daftar Pustaka
Denzin, N.K and Lincoln, Y.S. 1994. Introduction: Entering the Field of Qualitative Research
in Denzin, N.K and Lincoln, Y.S [Eds]. 1994. Handbook of Qualitative Research. Sage
Publications, Inc. United State of America. 1-18 p.
Nazir, M. 1988. Metode Penelitian. Ghalia Indonesia. Jakarta
Stake, R. E. 1994. Case Studies in Denzin, N.K and Lincoln, Y.S [Eds]. 1994. Handbook of
Qualitative Research. Sage Publications, Inc. U S A. 236-247 p.
HASIL KEGIATAN|Rapid Assessment terhadap Perikanan Bandeng sebagai
Antisipasi Kebijakan Pelarangan Ekspor Nener Bandeng
141
LAPORAN TEKNIS
4.8.
[KAJIAN KHUSUS BBPSEKP TAHUN 2015]
Kajian Analisis Kebijakan Pengembangan Budidaya Bandeng
Pendahuluan
Bandeng adalah jenis ikan konsumsi yang tidak asing bagi masyarakat. Bandeng
merupakan hasil tambak, dimana budidaya ikan ini mula-mula merupakan pekerjaan sampingan
bagi nelayan yang tidak dapat pergi melaut. Itulah sebabnya secara tradisional tambak terletak di
tepi pantai. Bandeng merupakan hewan air yang handal, artinya bandeng dapat hidup di air tawar,
air asin maupun air payau. Selain itu bandeng relatif tahan terhadap berbagai jenis penyakit yang
biasanya menyerang hewan air. Sampai saat ini sebagian besar budidaya bandeng masih dikelola
dengan teknologi yang relatif sederhana dengan tingkat produktivitas yang relatif rendah. Jika
dikelola dengan sistim yang lebih intensif produktivitas bandeng dapat ditingkatkan hingga 3 kali
lipatnya.
Berdasarkan luas lahan tambak di Indonesia, pengembangan budidaya bandeng cukup
terbentur dengan konversi lahan. Baik lahan mangrove yang dikonversi menjadi tambak maupun
konversi lahan tambak yang telah ada menjadi penggunaan lahan lainnya. Gambar 4-8.1
menunjukkan luas lahan tambak di Indonesia dalam kurun waktu 2005-2015. Terlihat luas tambak
Luas (Ha)
berfluktuasi, artinya terjadi pembukaan lahan baru & konversi untuk penggunaan lainnya.
800.000
750.000
700.000
650.000
600.000
550.000
500.000
450.000
400.000
350.000
300.000
749.220
682.857
657.346
682.725
512.524
486.982
613.175
650.509
452.901
Tahun
Gambar 4-8. 1.
Grafik perkembangan luas lahan tambak di Indonesia, 2005-2013
Sumber: BPS, 2015
Sedangkan, perkembangan produksi perikanan dari tambak di Indonesia 2005-2013
menunjukkan peningkatan produksi yang cukup baik. Rata-rata pertumbuhan produksi perikanan
hasil tambak meningkat 19,47% per tahun. Pada Gambar 4-8.2, terlihat fluktuasi perkembangan
produksi perikanan hasil tambak di Indonesia. Potensi dan perkembangan produksi ini dapat
diartikan sebagai semakin efektifnya kegiatan pertambakan untuk berproduksi.
HASIL KEGIATAN|Kajian Analisis Kebijakan Pengembangan Budidaya Bandeng
142
LAPORAN TEKNIS
[KAJIAN KHUSUS BBPSEKP TAHUN 2015]
Produksi Tambak (Ton)
2.500.000
2.344.671
2.000.000
1.756.799
1.500.000
959.509
1.000.000
643.975
500.000
1.602.748
1.416.038
907.123
933.832
y = 199645x - 4E+08
R² = 0,8988
629.610
-
Tahun
Gambar 4-8. 2.
Grafik perkembangan produksi tambak di Indonesia, 2005-2013
Sumber: BPS, 2015
Kabupaten Gresik sebagai salah satu penghasil bandeng dengan luas tambak yang luas di
Indonesia, telah lama mengembankan budidaya bandeng. Dengan produksi yang terus meningkat,
Kabupaten Gresik terus berupaya untuk mengembangkan dan membudayakan bandeng sebagai
sumber protein bagi masyarakat setempat. Pada Gambar 4-8.3, terlihat perkembangan budidaya
Produksi (Ton)
bandeng di Kabupaten Gresik yang terus menunjukkan kecenderungan (trend) meningkat
45.000
40.000
35.000
30.000
25.000
20.000
14.624
15.000
10.000
12.167
5.000
-
39.912
39.545
16.918
16.839
17.813
y = 4686,7x - 9E+06
R² = 0,7255
Tahun
Gambar 4-8. 3.
Perkembangan produksi Bandeng di Kabupaten Gresik.
Sumber: statistik perikanan Dinas Kelautan, Perikanan dan Peternakan, Gresik 2013
Adapun pendapatan sebagai indikator kesejahteraan masyarakat kelautan dan perikanan
di Kabupaten Gresik secara keseluruhan menunjukkan peningkatan yang positif. pendapatan
petani ikan/udang juga mengalami hal yang sama seperti pendapatan nelayan. Perkembangan
pendapatan petani ikan dapat dilihat sebagaimana tabel di bawah ini.
HASIL KEGIATAN|Kajian Analisis Kebijakan Pengembangan Budidaya Bandeng
143
LAPORAN TEKNIS
Tabel 4-8. 1.
[KAJIAN KHUSUS BBPSEKP TAHUN 2015]
Perkembangan pendapatan petani ikan tahun 2008 s/d 2012
Pendapatan rata-rata petani ikan
Prosentase kenaikan atau penurunan
(Rp)/Tahun
dibanding tahun sebelumnya (%)
2008
14.999.950,00
26,58
2009
14.500.000,00
(3,33)
2010
21.000.000,00
44,83
2011
22.200.000,00
5,71
2012
25.576.000,00
15,21
Tahun
Sumber: laporan tahunan Dinas Kelautan, Perikanan dan Peternakan, Gresik 2013.
Pendapatan petani ikan pada tahun 2012 juga mengalami kenaikan. Hal ini disebabkan
oleh banyaknya petani yang cukup sukses dalam panen akibat serangan penyakit yang bisa
diantisipasi dengan cukup baik.
Pendapatan petani tahun 2012 mengalami kenaikan sebesar 15,21%,Hal ini terjadi
karena pada tahun 2012 nilai harga jual komoditas perikanan pada umumnya menunjukkan
kecenderungan cukup baik dan volume produksi hasil budidaya juga cenderung naik sehingga
prosentase peningkatan pendapatan petani ikan/udang cukup besar.
Usaha Budidaya Bandeng di Kabupaten Gresik
Propinsi Jawa Timur merupakan salah satu sentra pengembangan bandeng dengan areal
tambak yang cukup luas. Tahun 2013 luas tambak Jawa Timur tercatat seluas 51 ha. Sementara
itu di Jawa Timur pusat tambak terletak di Kabupaten Gresik, Sidoarjo dan Lamongan dengan
luas tambak masing-masing seluas 30% dari luas tambak Jawa Timur (BPS, 2015).
Tabel 4-8. 2.
Tahun
Luas Tambak Bersih dan Produksi Propinsi Jawa Timur
Luas Tambak (Ha)
Produksi (Ton)
2005
60,951
122,467
2006
48,655
75,954
2007
51,609
104,865
2008
57,512
78,922
2009
50,229
111,445
2010
60,649
158,927
2011
59,577
177,682
2012
64,815
170,434
2013
51,287
177,077
Sumber : BPS, 2015.
HASIL KEGIATAN|Kajian Analisis Kebijakan Pengembangan Budidaya Bandeng
144
LAPORAN TEKNIS
[KAJIAN KHUSUS BBPSEKP TAHUN 2015]
Teknologi budidaya tambak di Gresik umumnya masih tradisional dan tradional plus
(pemberian pakan). Tambak lebih banyak digunakan untuk pemeliharaan bandeng dan udang
secara polikultur, karena dianggap menguntungkan. Sistem polikultur dalam sebidang lahan
tambak tentunya memberi keunntungan yang berlipat bagi para pembudidaya tambak.
Dalam kegiatan budidaya terutama kegiatan pembesaran ikan bandeng terdapat berbagai
macam cara diantaranya adalah dengan cara tradisional, semi intensif dan intensif. Menurut
Anonym (2001) berdasarkan tingkat teknologi, budidaya bandeng di Indonesia terbagi menjadi
tiga metode, yaitu:
1.
Tambak tradisional/ekstensif. Tambak tradisional tidak menggunakan kincir karena
kepadatan sebar berkisar 0,5-1 ekor/m2 luas lahan. Pakan yang diberikan sebagian besar
berasal dari sumber alami; sedangkan tradisional plus yaitu pemberian pakan buatan.
2.
Tambak semi intensif. Padat penebaran pada tambak semi intensif berkisar antara 2-3
ekor/m2. Peralatan kincir dipergunakan untuk teknologi ini sebanyak 1-2 kincir per petak
lahan (0,5 ha). Pakan yang diberikan berupa pellet dengan kualitas yang baik;
3.
Tambak intensif. Padat penebaran bibit pada tambak intensif sekitar 5 ekor/m2 dilengkapi
kincir 3 buah untuk setiap petak (0,5 ha). Pakan yang digunakan berupa pellet yang telah
teruji.
Pelaksanaan pembangunan perikanan di Kabupaten Gresik dititik beratkan kepada
peningkatan produksi dan produktifitas Upaya-upaya dalam rangka peningkatan produksi dan
produktifitas antara lain ditempuh melalui Intensifikasi tambak, diversifikasi usaha dan
ekstensifikasi. Secara keseluruhan program-program intensifikasi dan ekstensifikasi terus
diupayakan.
Ekstensifikasi tambak juga dilakukan, karena beberapa lahan tambak telah beralih
fungsi pada penggunaan lahan lainnya. Dari data produksi ikan Bandeng tahun 2014 sebanyak
65,975.68 ton dari hasil budidaya (tambak payau dan tambak tawar) tahun 2013 sebesar 68,811.44
ton terjadi penurunan sebesar 2,835.76.
Pola Usaha Budidaya Bandeng di Kabupaten Gresik.
Secara garis besar, berbagai varian segmen usaha yang telah tumbuh dan berkembang
dengan efisien dalam pemeliharaan bandeng di Gresik terbagi menjadi 2 (dua) varian usaha, yaitu
(Dinas Kelautan dan Perikanan Kab. Gresik, 2011) :
a.
Penggelondongan bandeng
b.
Pembesaran/pembudidayaan bandeng
HASIL KEGIATAN|Kajian Analisis Kebijakan Pengembangan Budidaya Bandeng
145
LAPORAN TEKNIS
[KAJIAN KHUSUS BBPSEKP TAHUN 2015]
Penggelondongan Bandeng
Penggelondongan bandeng merupakan kegiatan pemeliharaan bandeng mulai dari ukuran
benih sampai dengan ukuran (size) tertentu, dengan tujuan utama untuk penyediaan benih
bandeng bagi kegiatan pemeliharaan bandeng yang lebih besar. Sentra usaha penggelondongan
bandeng di Gresik umumnya berlokasi di beberapa wilayah hinterland dan sentra budidaya
ikan/udang, yaitu di
Kecamatan Bungah, Kecamatan Manyar, Kecamatan Duduk
Sampeyan (sentra budidaya ikan/udang) dan Kecamatan Kebomas (sentra budidaya ikan/udang).
Varian segmen usaha penggelondongan bandeng yang diusahakan oleh pengusaha gelondongan
bandeng terdiri dari beberapa sub varian, meliputi :
a. Penggelondongan bandeng sampai ukuran 2 – 3 cm.
Kegiatan
pemeliharaan
ini
dilakukan
secara
monokultur
dengan
teknologi
sederhana/tradisional pada lahan-lahan tambak tradisional. Waktu pemeliharaan berlangsung
sekitar 1 (satu) bulan sejak nener ditebar. Hasil produksi dari kegiatan usaha ini, oleh masyarakat
pembudidaya ikan di Gresik biasa disebut nener gelondongan. Atau kadang-kadang disebut juga
nener semarangan karena produk ini biasanya banyak dikirim ke wilayah Semarang dan
sekitarnya. Harga nener gelondongan atau nener semarangan bisa berkisar Rp.400.000,-(Empat
ratus ribu rupiah) per Rean (1 rean setara 5.500 ekor). Sentra produksi jenis nener
gelondongan/semarangan berlokasi di Desa Taggulrejo Kecamatan Manyar dan sekitarnya
b. Penggelondongan bandeng sampai ukuran 3-5 cm
Waktu pemeliharaan berlangsung sekitar 30-45 hari dari ukuran 2-3 cm atau sekitar 6075 hari dari ukuran nener. Jenis produk usaha ini, oleh masyarakat pembudidaya ikan di Gresik
biasa disebut (benih) bandeng kasaran. Ukuran benih bandeng mencapai 3-5 cm. Metode
pemeliharaannya juga dilakukan secara monokultur dengan penerapan teknologi Tradisional.
Jenis Bandeng kasaran ini juga digunakan untuk segmentasi usaha penggelondongan bandeng
berikutnya.
Produk segmentasi ini (bandeng kasaran) banyak dijual ke beberapa daerah di Jawa Timur,
Jawa Tengah (khususnya Semarang), dan sebagian lagi ke Jawa Barat (khususnya Karawang).
Harga jual bandeng kasaran (size 3-5 cm) bisa mencapai Rp.700.000,- (Tujuh Ratus Ribu Rupiah)
per Rean ( 1 rean setara 5.500 ekor).
Sentra produksi juga berlokasi di Desa Tanggulrejo
Kecamatan Manyar dan Desa Betoyo Kecamatan Manyar dan sekitarnya.
HASIL KEGIATAN|Kajian Analisis Kebijakan Pengembangan Budidaya Bandeng
146
LAPORAN TEKNIS
c.
[KAJIAN KHUSUS BBPSEKP TAHUN 2015]
Penggelondongan bandeng sampai ukuran 5-7 cm
Produk segmentasi usaha ini. biasa disebut juga benih bandeng “rame tangan“. Masa
pemeliharaan sekitar 90-105 hari dari ukuran nener. Harga jual bisa mencapai Rp.1.200.000,(Satu juta dua ratus ribu rupiah) per Rean ( 1 rean setara 5.500 ekor). Sentra produksi juga
terletak di Desa Tanggulrejo Kecamatan Manyar dan Desa Betoyo Kecamatan Manyar dan
sekitarnya
d. Penggelondongan bandeng sampai ukuran 7-9 cm.
Para penggelondong bandeng yang berusaha di segmen ini biasanya memelihara benih
bandeng dari ukuran 3-5 cm sekitar 75 hari atau memelihara benih bandeng dari ukuran 2 – 3 cm
selama sekitar 120 hari. Metode pemeliharaannya juga dilakukan secara monokultur di lahanlahan tambak tradisional. Sentra produksi juga terletak di Desa Tanggulrejo dan Desa Betoyo
Kecamatan Manyar dan sekitarnya
Wilayah pemasaran dari produk ini umumnya didominasi pangsa pasar di Bali untuk
dipelihara lebih lanjut sampai ukuran 10-12 cm atau yang lebih dikenal dengan Bandeng Umpan.
Disebut bandeng umpan karena jenis produk ini (size bandeng 10-12 cm) digunakan sebagai
sebagai umpan tuna. Harga jual benih bandeng 7-9 cm berkisar Rp.1.700.000,-(Satu juta tujuh
ratus ribu rupiah) per Rean
e. Penggelondongan bandeng sampai ukuran 10-12 cm
Produk segmentasi ini, biasa disebut bandeng semian, bandeng semi-balian atau bandeng
umpan. Disebut balian karena produk ini pada awalnya dipasarkan ke Bali dalam keadaan hidup
sebagai umpan untuk menangkap tuna di laut. Metode pemeliharaannya secara monokultur di
lahan-lahan tambak tradisional. Sentra pemeliharaan juga terletak di Desa Betoyo dan Desa
Tanggulrejo Kecamatan Manyar.
Rata-rata penjualan jenis bandeng ini bisa mencapai sekitar 150.000 ekor per hari atau
4,5 juta ekor per bulan, atau 54 juta ekor per tahun. Harga jual bisa mencapai Rp.2.000.000,- (Dua
juta rupiah) per Rean. Dalam beberapa tahun terakhir, permintaan atau penjualan bandeng umpan
tidak hanya dalam kondisi hidup tetapi juga dalam kondisi beku (umpan beku).
Di Kabupaten Gresik, produk gelondongan bandeng berukuran 7-9 cm (poin d) atau 1012 cm (poin e) biasanya banyak digunakan oleh pembudidaya bandeng di Mengare untuk
dibudidayakan sampai ukuran konsumsi atau sampai ukuran calon induk. Mengare merupakan
pulau kecil di wilayah Kecamatan Bungah, yang merupakan sentra produksi bandeng konsumsi
paling lezat, dan sentra produksi calon induk bandeng dan bandeng kawak terbesar di Gresik.
Wilayah pemasaran bandeng dari Mengare, disamping dijual di wilayah Gresik tetapi juga
sebagian besar dipasarkan keluar daerah seperti : Jawa Barat (khususnya Karawang) dan
HASIL KEGIATAN|Kajian Analisis Kebijakan Pengembangan Budidaya Bandeng
147
LAPORAN TEKNIS
[KAJIAN KHUSUS BBPSEKP TAHUN 2015]
sekitarnya, dan atau dipasarkan dalam keadaan hidup sebagai calon induk.
Dengan demikian, hampir semua sub varian segmentasi usaha penggelondonga bandeng,
baik berupa produk bandeng gelondongan, bandeng semarangan, bandeng kasaran, bandeng
rame-tangan, dan bandeng semian/semi-balian tersentra di Kecamatan Manyar dan sekitarnya
Budidaya/Pembesaran Bandeng
Segmentasi usaha budidaya ini adalah kegiatan membudidayakan bandeng sampai
ukuran tertentu, dengan tujuan utama untuk memproduksi bandeng konsumsi (untuk konsumsi)
atau calon induk. Pada segmentasi usaha budidaya/pembesaran bandeng terdapat beberapa varian
segmentasi usaha, yaitu :
a. Budidaya bandeng konsumsi.
Jenis bandeng ini memang diproduksi dan dijual khusus untuk memenuhi kebutuhan
konsumsi, yang dipasarkan didalam maupun diluar Gresik, baik dalam bentuk segar maupun
sebagai bahan baku berbagai produk olahan (seperti : otak-otak bandeng, nugget, krispi, bakso,
dan berbagai produk olahan lainnya berbahan baku bandeng)
Volume produksi penjualan bandeng konsumsi di Gresik, baik yang berukuran 100–200
gram per ekor sampai dengan ukuran 300–400 gram per ekor bisa mencapai sekitar 75 - 100 ton
perhari. Atau rata-rata sebanyak 2.800 ton per bulan. Tidak semua hasil produksi bandeng yang
dibudidayakan di Gresik dijual kepada pengepul bandeng di Gresik tetapi sebagian lainnya juga
dijual ke wilayah Lamongan.
Metode pemeliharaan bandeng konsumsi dilakukan dengan 2 (dua) metode, yakni secara
polikultur dengan udang atau secara monokultur. Sentra produksi bandeng atau sentra budidaya
bandeng secara polikultur tersebar di wilayah kecamatan yang berpotensi perikanan budidaya.
Sedangkan sentra poduksi bandeng konsumsi, calon induk bandeng, dan bandeng kawak secara
monokultur terbatas pada wilayah tertentu, yakni : di wilayah Mengare Kecamatan Bungah
(hinterland), dan sebagian kecil berada di wilayah Kecamatan Sidayu (minapolis) dan Kecamatan
Ujung Pangkah (hinterland)
Upaya penyediaan pakan bandeng dalam berbudidaya bandeng juga berbeda. Pakan
bandeng secara polikultur umumnya lebih mengandalkan ketersediaan pakan alami di tambak
melalui pemupukan. Sedangkan penyediaan pakan bandeng secara monokultur lebih
mengandalkan pakan dari pabrikan (pakan pellet)
Sedangkan harga jual bandeng konsumsi di pasaran pada umumnya cukup variatif
tergantung pada situasi/kondisi musim maupun momentum tertentu. Namun secara garis besar,
harga bandeng konsumsi mencapai kisaran :
HASIL KEGIATAN|Kajian Analisis Kebijakan Pengembangan Budidaya Bandeng
148
LAPORAN TEKNIS
[KAJIAN KHUSUS BBPSEKP TAHUN 2015]
• Size ± 200 gram per ekor berkisar Rp.10.000,- s/d Rp.16.000,-/kilogram
• Size ± 400 gramper ekor berkisar Rp. 14.000,- s/d Rp.20.000,-/kilogram
• Size ± 500 gramper ekor berkisar Rp 16.000,- s/d Rp.22.000,-/kilogram
Harga tertinggi biasanya dicapai pada saat momentum “ Tradisi Pasar Bandeng dan
Lelang Bandeng Tradisional di Kabupaten Gresik ” yang digelar setiap 1 tahun sekali menjelang
akhir Ramadhan. Harga bandeng bisa mencapai :
• Size 500–900 gram per ekor bisa mencapai ±
Rp.24.000,- per kilogram ;
• Size 1,0 – 1,4 kg per ekor = ± Rp.35.000,- per kilogram ;
• Size 1,5 – 1,9 kg per ekor = ± Rp.50.000,- per kilogram ;
• Size 2,0 – 2,4 kg per ekor = ± Rp.65.000,- per kilogram ;
• Size 2,5 – 2,9 kg per ekor = ± Rp.75.000,- per kilogram ;
• Size 3,0 kg per ekor = ± Rp.150.000,- per kilogram.
b. Budidaya bandeng ukuran 3-5 Kg per ekor.
Jenis bandeng ini biasanya diproduksi dan dijual sebagai calon induk untuk memasok
kebutuhan calon induk di panti-panti pembenihan di wilayah Bali. Sentra budidaya bandeng calon
induk terletak di wilayah Mengare Kecamatan Bungah (hinterland). Harga bandeng dalam
keadaan hidup bisa mencapai Rp.250.000,- s/d Rp.300.000,- per kilogram
c. Budidaya bandeng “kawak”,
Bandeng yang dihasilkan biasanya memiliki bobot tubuh lebih dari 6 Kg per ekor.
Segmentasi usaha ini hanya dilakukan oleh sebagian kecil pembudidaya bandeng yang memiliki
hobi untuk membudidayakan bandeng kawak. Bandeng ini biasanya hanya dijual/dilelang atau
diikutkan kontes pada momentum “ Tradisi Pasar Bandeng dan Lelang/Kontes Bandeng
Tradisional untuk Rakyat di Kabupaten Gresik” yang dilaksanakan setiap 1 tahun sekali
menjelang akhir Ramadhan sebagai daya tarik wisata khas Kabupaten Gresik.
Pada tahun 2011, 2012, dan 2013, pemenang kontes (lelang) bandeng diberi hadiah oleh
Pemerintah Kabupaten Gresik, berupa umroh atau uang pembinaan setara Rp. Rp.20.000.000,(Dua puluh juta rupiah) bagi Pemenang Kesatu. Sedangkan bagi Pemenang Kedua diberikan
hadiah Rp.15.000.000,- (Lima belas jua rupiah) dan Pemenang Ketiga menerima hadiah sebesar
Rp.10.000.000.- (Sepuluh juta rupiah). Pada tahun 2014, pemenang kontes terdiri dari 5 (lima)
orang, yaitu : Pemenang I (hadiah Rp.15.000.000,-) , Pemenang II (hadiah Rp.12.000.000,-),
Pemenang III (hadiah Rp.10.000.000,-), Pemenang Harapan I (hadiah Rp.5.000.000,-) dan
Pemenang Harapan II (hadiah Rp.3.000.000,-)
HASIL KEGIATAN|Kajian Analisis Kebijakan Pengembangan Budidaya Bandeng
149
LAPORAN TEKNIS
[KAJIAN KHUSUS BBPSEKP TAHUN 2015]
Budidaya bandeng terdiri dari 3 kegiatan yang dapat dilakukan secara terpisah atau
bersamaan tergantungkepada kemampuan pengelolaan pengusaha. Dalam segmentasi kegiatan
yakni, (a). pendederan dan (b).pembesaran dengan pola usaha monokultur. Tingkat teknologi
yangdigunakan adalah semi intensif dengan kriteria sebagai berikut, (a).spesifikasi tambak lebih
sederhana dari pada tambak intensif penuh (b).pemberian pupuk sesuai standar tambak intensif
(c). pemberian pakanadalah 60% dari pemberian pakan secara intensif.Skala usaha dilihat dari
tambak kotor adalah 20.000 m2, lahan tersebut 70%untuk tambak dan 30% sisanya untuk
pematang dan peruntukan lainnya.Dari luas tambak bersih, 14.000 m2 dibagi menjadi 4 petak
tambak masing-masingseluas 3.500 m2. Satu petak (3.500 m2) digunakan untukpendederan dan
10.500 m2 untuk tambak pembesaran. Hasil panenpendederan yang berupa glondongan sebagian
dijual dan sebagian lagi untukdipelihara di tambak pembesaran. Hasil tambak pembesaran yang
berupabandeng konsumsi seluruhnya dijual.Pemilihan tingkat teknologi dan luas tambak tersebut
didasarkan
padakenyataan
di
Kabupaten
Sidoarjo.
Dalam
skala
yang
bervariasi
masyarakatpetambak Gresiksebagian besar menggunakan pola pemeliharaan dengansistim semi
intensif. Sementara luas tambak didasarkan pada rata-ratapemilikan tambak per rumah tangga.
Struktur Biaya Investasi dan Biaya Operasional
Biaya Investasi
Biaya investasi adalah biaya tetap yang harus dikeluarkan oleh petambakuntuk memulai
usahanya. Biaya investasi meliputi biaya perijinan, sewatambak dan pengolahan tambak serta
pembelian peralatan (Tabel 4-8. 3). Biaya perijinan bernilai nol sebab biaya itu telah dibayar
pemilik pada saat membuat tambak. Total biaya investasi yang diperlukan untuk tambak seluas2
ha sekitar Rp 8 juta dengan biaya terbesar pelengkapan tambak. Biaya perlengkapan tambak
adalah biaya untuk membeli pompa air dan membuat rumah pandega. Rumah pandega diperlukan
sebab tambak berada di lokasiyang relatif jauh dari pemukiman sehingga diperlukan tempat untuk
penunggu tambak. Tambak disewa selama 4 tahun, tetapi pembayaran sewa dilakukan setiap
tahun. Sewa tambak saat penelitian adalah Rp 1.250.000 per ha per tahun. Pengolahan tambak
memerlukan biaya yang besar terutama untuk biaya tenaga kerja. Peralatan antara lain adalah
jaring, ember dan serok.
HASIL KEGIATAN|Kajian Analisis Kebijakan Pengembangan Budidaya Bandeng
150
LAPORAN TEKNIS
Tabel 4-8. 3.
No
[KAJIAN KHUSUS BBPSEKP TAHUN 2015]
Biaya Investasi Pendederan dan Pembesaran Bandeng
Jenis Biaya
1
Perijinan
2
Nilai (Rp)
Penyusutan (Rp)
0
0
Sewa Tambak
2.500.000
2.500.000
3
Perbaikan Tambak
2.135.000
427.000
4
Peralatan Tambak
507.000
262.000
5
Perlengkapan Tambak
3.180.000
1.288.250
Jumlah biaya investasi
8.322.000
4.477.250
Sumber : Bank Indonesia, 2013.
Biaya Operasional
Biaya operasional adalah biaya yang harus dikeluarkan ketika tambak dioperasikan untuk
memelihara bandeng. Budidaya bandeng memerlukan bibit dan pakan. Untuk menambah sediaan
makanan alami maka diperlukan pemupukan pada tambak. Untuk mengelola tambak diperlukan
tenaga kerja (Tabel 4-8.3). Biaya operasional terbesar (lebih dari 50%) adalah biaya pakan. Salah
satu ciri penting pengelolaan tambak semi intensif adalah pemberian pakan. Biaya pakan menjadi
cukup besar sebab pakan yang diberikan adalah pakan buatan pabrik yang saat ini harganya masih
sangat tergantung pada harga bahan baku pakan yang sebagian besar masih didatangkan dari pasar
luar negeri.Biaya kedua terbesar (sekitar 10%) adalah biaya tenaga kerja. Tenaga yang diperlukan
adalah 2 tenaga upahan tetap dan 1 tenaga pemilik, dengan upah sesuai jumlah produksi dan
tenaga tidak tetap yang diperlukan saat panen. Upah semester 1 lebih tinggi dari pada semester 2
sebab pada semester ini rata-rata pendapatan dari tambak relatif lebih tinggi dibanding semester
2.Dua tenaga upahan bertugas untuk mengelola tambak sekaligus menjaga tambak selama 24 jam.
Pemilik tambak diasumsikan menerima upah yang sama dengan pekerjanya. Informasi dari
petambak menyatakan bahwa sebagai pemilik pekerjaan yang harus dilakukan hanyalah
mengawasi pengelolaan tambak yang dilakukan oleh pekerjanya dan mengatur administrasi
tambak yang tidak dilakukan secara formal (tidak ada pembukuan yang dilakukan). Dengan
demikian upah itupun telah memadai bahkan upah ini sudah termasuk biaya untuk membayar
listrik penerangan tambak dan biaya administrasi lain. Itulah sebabnya biaya administrasi tidak
lagi diperhitungkan tersendiri.Tabel 4-8.4.
HASIL KEGIATAN|Kajian Analisis Kebijakan Pengembangan Budidaya Bandeng
151
LAPORAN TEKNIS
Tabel 4-8. 4.
No
[KAJIAN KHUSUS BBPSEKP TAHUN 2015]
Biaya Operasional Pendederan dan Pembesaran Bandeng
Jenis Biaya
Semester I,
Semester I,
Semester 2,
Tahun 1
Tahun 2-4
Tahun 1-4
1
Benih
5.040.000
5.040.000
5.040.000
2
Pupuk
5.082.525
5.082.525
4.356.450
3
Pakan
21.325.000
22.335.525
23.324.088
4
Tenaga Kerja
11.325.000
11.535.000
8.730.000
42.962.813
40.392.530
41.450.538
Jumlah
Sumber : Bank Indonesia, 2013.
3. Produksi dan Pendapatan
Hasil produksi usaha ini adalah bandeng bibit (glondongan) dan bandeng konsumsi.
Untuk glondongan setiap semester dihasilkan 147.000 ekor bandeng. Sementara produksi
bandeng konsumsi mencapai 8.400 ekor pada semester pertama tahun pertama kemudian
meningkat menjadi 11.200 ekor pada semester ke dua. Dengan tingkat produksi itu usaha tambak
bandeng semi intensif ini menghasilkan pendapatan kotor sekitar Rp 44 juta padatahun ke 1
semester1 dan lebih dari Rp 50 juta pada periode berikutnya (Tabel 4-8.5).
Tabel 4-8. 5.
Produksi dan Pendapatan Kotor Per Semester
Tahun
Uraian
Satuan
Semester I
Semester II
1. Bandeng Glondongan
1-4
a. Luas tambak per M2
3.500
3.500
panen
b. Frekuensi panen
Kali
2
2
c. Produksi per panen
Ekor
73.500
73.500
d. Total Produksi
Ekor
147.000
147.000
Ekor
7.000
3.500
Ekor
140.000
143.500
Rp
28.000.000
28.700.000
3.500
3.500
-
Dibesarkan
sendiri
-
Dijual
e. Pendapatan Kotor
2. Bandeng Konsumsi
1
a. Luas tambak per M2
panen
b. Frekuensi panen
Kali
3
4
c. Produksi per panen
Ekor
2.800
2.800
d. Total produksi
Ekor
8.400
11.200
Kg
2.800
3.733
HASIL KEGIATAN|Kajian Analisis Kebijakan Pengembangan Budidaya Bandeng
152
LAPORAN TEKNIS
Tahun
2-4
[KAJIAN KHUSUS BBPSEKP TAHUN 2015]
Uraian
Satuan
Semester I
Semester II
e. Pendapatan kotor
Rp
16.800.000
22.400.000
a. Frekuensi panen
Kali
5
4
b. Total produksi
Ekor
14.000
11.200
Kg
4.667
3.733
Rp
28.000.000
22.400.000
c. Pendapatan kotor
Sumber : Bank Indonesia, 2013.
Overview Keragaan Usaha dan Potensi Nilai Ekonomi Usaha Budidaya Bandeng
Tabel 4-8. 6.
Nilai Biaya Produksi Usaha budidaya Bandeng
Jumlah
Biaya
Biaya Nener
Ekor per
Produksi
(ekor/Ha)
Rean
(ekor)
Gelondonga
n
Biaya
Produksi
65,340,000
Biaya
Biaya
Rean
Pupuk
Pakan
(Rp/Ha)
(Rp)
(Rp)
Sub Total Biaya
Produksi
Gelondongan
(Rp)
21,325,00
700,000
8,342,407,525
5,082,525 0
Biaya
Satu
Harga per
Biaya
Biaya
Sub Total Biaya
Gelondongan
Rean
Rean
Pupuk
Pakan
Produksi
(ekor/Ha)
(ekor)
(Rp/Ha)
(Rp)
(Rp)
Bandeng (Rp)
Bandeng
Konsumsi
5500
Harga per
59,400,000
5500
1,400,000
35,541,66
8,470,875
15,164,012,542
7
Total
Biaya
Tabel 4-8. 7.
23,506,420,067
Nilai Manfaat Produksi Usaha Budidaya Bandeng
Nilai Manfaat
Produksi
Produksi per
Jumlah Ekor
Harga per Rean
Tahun (ekor)
per Rean (ekor)
(Rp)
Gelondongan
54,000,000
Nilai Manfaat
Produksi per Tahun (kg)
Produksi Bandeng
Konsumsi
5,500
Nilai Ekonomi (Rp)
19,636,363,636
2,000,000
Harga per kg (Rp)
25,200,000
Nilai Ekonomi (Rp)
15,000
Total Nilai Manfaat Produksi
397,636,363,636
Bandeng
Rente Ekonomi Pemanfaatan
Budidaya Bandeng
378,000,000,000
Rp 374,129,943,570/kg
HASIL KEGIATAN|Kajian Analisis Kebijakan Pengembangan Budidaya Bandeng
153
LAPORAN TEKNIS
[KAJIAN KHUSUS BBPSEKP TAHUN 2015]
Pemasaran Ikan Bandeng di Kabupaten Gresik
Permintaan
Di Gresik, permintaan bandeng konsumsi 91% berasal dari pasar lokal (kabupaten), 6%
pasar provinsi, 3% pasar nasional dan tidak ada data bandeng yang dijual di pasar internasional
(Bappekab Sidoarjo dan FE UNAIR, 2003). Namun demikian dari Statistik Sidoarjo dalam Angka
tahun 1997, Kabupaten Sidoarjo mencatat ekspor bandeng sebanyak 5.880 ton dengan nilai lebih
dari US $ 7 juta. Bandeng yang dipasarkan sebagian masuk ke pengolahan ikan, pada tahun 2002
tercatat produksi bandeng beku mencapai 1.077 ton atau 0,35% dari total ikan olahan (Dinas
Statistik Jawa Timur, 2002).
Bandeng dikonsumsi oleh seluruh golongan masyarakat baik di pedesaan maupun di
perkotaan. Konsumsi bandeng penduduk pedesaan lebih rendah dari pada penduduk perkotaan
dengan perbandingan 0,884 kg/kap/th dan 1,664 kg/kap/th. Hal ini terkait dengan ketersediaan
bandeng di daerah perkotaan yang cukup memadai. Daerah produksi bandeng umumnya berada
di pantai yang relatif dekat dengan daerah perkotaan sehingga bandeng tersedia dalam jumlah
yang cukup. Sementara itu untuk wilayah pedesaan yang jauh dari daerah produksi relatif sulit
ditemukan bandeng karena pemasaran bandeng yang masih dalam bentuk segar sangat rawan
akan kerusakan.
Makin tinggi pendapatan masyarakat makin tinggi pula tingkat konsumsi bandeng
mereka, untuk masyarakat golongan bawah (< Rp 80.000 per kap per tahun) tidak/belum
mengkonsumsi bandeng. Di daerah pedesaan ketika pendapatan mencapai Rp 500.000,- per kapita
per bulan konsumsi bandeng mengalami penurunan, sementara di daerah perkotaan dengan
pendapatan yang sama, sekalipun telah mencapai konsumsi yang cukup tinggi (3,016 kg/kap/th)
konsumsi belum mengalami penurunan. Angka-angka ini seharusnya tidak diinterpretasikan
sebagai kejenuhan konsumsi, sebab menurut standar kesehatan tingkat konsumsi protein hewani
masyarakat belum memenuhi standar. Pada tahun 2003 konsumsi protein hewani baru mencapai
11,76 gram/kap/hari sementara standar yang dianjurkan adalah 15 gram per capita per hari.
Berdasar konsumsi per kapita dapat diperkirakan permintaan bandeng nasional.
Konsumsi bandeng per kapita per tahun untuk tahun 2004 adalah 1.752 kg, tahun 2015 adalah
1.933 kg.
Berdasar asumsi diatas maka perkiraan permintaan bandeng tahun 2004-2015 dapat dilihat
pada Tabel 4-8. 8. Melalui perkiraan permintaan ini dapat dilihat bahwa pertumbuhan permintaan
bandeng nasional mencapai 6,33% rata-rata per tahun. Pertumbuhan yang cukup tinggi ini diduga
terkait dengan beberapa aspek, antara lain:
HASIL KEGIATAN|Kajian Analisis Kebijakan Pengembangan Budidaya Bandeng
154
LAPORAN TEKNIS
1.
[KAJIAN KHUSUS BBPSEKP TAHUN 2015]
Tingkat pendidikan yang semakin tinggi. Semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang
maka akan semakin tinggi pemahamannya akan pola konsumsi yang sehat, itulah sebabnya
konsumsi sumber protein hewani pun menjadi semakin tinggi.
2.
Pendapatan. Sebagai sumber protein yang belum terpenuhi standar kecukupannya,
konsumsi protein akan bertambah seiring dengan pertambahan pendapatan. Makin tinggi
pendapatan yang berarti makin tinggi daya beli maka akan makin tinggi tingkat konsumsi
protein, dan sebaliknya.
Tabel 4-8. 8.
Permintaan Bandeng Nasional, 2004 - 2015
Tahun
Konsumsi (Kg/kap)
Penduduk (juta)
Permintaan (ton)
2004
1.752
212.565
184.275
2005
1.759
214.365
185.828
2006
1.767
216.166
187.382
2007
1.775
217.966
188.935
2008
1.782
219.766
190.489
2009
1.790
221.567
192.042
2010
1.862
238.519
206.670
2011
1.869
240.289
208.198
2012
1.877
242.119
209.778
2013
1.897
246.950
213.946
2014
1.918
251.781
218.114
2015
1.933
255.462
221.290
Sumber : BPS, 2015, diolah.
Penawaran
Besarnya jumlah penawaran bandeng dapat diperkirakan dengan mengasumsikan bahwa
seluruh produksi bandeng terjual. Hasil utama tambak selain bandeng adalah udang. Pada
sebagian kecil tambak kadang ditebar juga beberapa jenis ikan misalkan tawes atau gurami.
Berikut disajikan data produksi tambak Kabupaten Gresik selama 6 tahun terakhir untuk
menggambarkan jumlah penawaran bandeng.
HASIL KEGIATAN|Kajian Analisis Kebijakan Pengembangan Budidaya Bandeng
155
LAPORAN TEKNIS
Tabel 4-8. 9.
Produksi
[KAJIAN KHUSUS BBPSEKP TAHUN 2015]
Ikan Bandeng (Tambak) di Kabupaten Gresik, Tahun 2010 -
2014 (kg)
No
Tahun
Bandeng
1
2010
16.838.597
2
2011
16.918.394
3
2012
n.a
4
2013
39.911.999
5
2014
39.545.462
Sumber: Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Gresik, 2014.
Dari data produksi tambak Kabupaten Gresik terlihat bahwa produksi bandeng meningkat
dari tahun ke tahun. Hal ini disebabkan dari adanya peralihan komoditas budidaya dari udang ke
bandeng. Kegagalan udang membuat sebagian petambak beralih ke budidaya bandeng yang relatif
tahan terhadap penyakit, hal ini terlihat dari makin tingginya proporsi produksi bandeng terhadap
udang dan ikan lainnya.
Analisis Persaingan dan Peluang Usaha
Sebagai sumber protein hewani bandeng saling bersaing dengan beberapa jenis sumber
protein lain. Tahun 2003 sepuluh sumber protein hewani yang terbanyak dikonsumsi penduduk
Indonesia adalah produk ayam dan ikan dengan kata lain produk yang berasal dari ayam (daging
dan telur) lebih disukai masyarakat. Hal ini diduga terkait dengan beberapa hal diantaranya:
1.
Harga bandeng (ikan secara umum) relatif lebih mahal dibandingkan produk ayam.
2.
Produk ayam tersedia dekat dengan konsumen, artinya produk ayam baik yang segar
maupun dalam bentuk olahan mudah diperoleh konsumen.
3.
Bandeng di pusat produksi cukup mudah diperoleh dengan harga yang relatif murah, tetapi
makin jauh dari pusat produksi makin sulit menemukan bandeng yang baik.
4.
Promosi terhadap produk ikan relatif sangat kurang dibanding produk ayam, sehingga
produk ikan relatif kurang dikenal masyarakat, akibatnya tingkat konsumsinya rendah.
Harga Bandeng
Harga bandeng ditentukan oleh berapa faktor, antara lain:
1. Wilayah produksi dan daerah pemasaran. Makin jauh bandeng dari wilayah produksi
maka makin mahal harganya.
2. Kualitas bandeng yang dihasilkan. Semakin bagus kualitas bandeng makin mahal
harganya. Pengecekan kualitas badeng dapat dilihat dari beberapa cara yakni:

Rupa : cemerlang sampai kotor
HASIL KEGIATAN|Kajian Analisis Kebijakan Pengembangan Budidaya Bandeng
156
LAPORAN TEKNIS
[KAJIAN KHUSUS BBPSEKP TAHUN 2015]

Bau : amis spesifik sampai busuk

Tekstur : elastis kompak sampai lunak sekali

Mata : cembung, transparan, pupil hitam sampai kornea putih,kotor, pupil putih
tenggelam

Insang : merah cerah, filamen teratur, amis segar, tidak berlendir sampai memutih
kotor, bau, filamen menyempit

Daging : pinkish agak transparan, bening, cemerlang sampai elastis kompak tak berair lengket dan mudah membubur.
3. Ukuran bandeng. Semakin besar ukuran bandeng semakin tinggi harga setiap kg-nya. Di
wilayah Gresik dikenal beberapa ukuran bandeng yakni:

Bandeng umpan/balian : 10-12 ekor per kg

Bandeng biasa/normal : 3 - 4 ekor per kg

Bandeng super : 1 - 2 ekor per kg

Bandeng super besar : 1 ekor 4 kg
Bandeng umpan, biasa dan super diproduksi dan diperdagangkan secara rutin setiap saat.
Pada masa tertentu dihasilkan pula bandeng super besar dengan ukuran sekitar 4 kg per ekor.
Bandeng super besar yang masa pemeliharaannya mencapai 4 tahun tidak sulit dijumpai di pasar
pada hari-hari besar Islam yang biasanya menjadi hari pesta bagi sebagian masyarakat. Bandeng
super besar ini juga menjadi komoditi yang dilombakan pada hari-hari tertentu dan dilelang.
Setiap tahun di Gresik bandeng super besar yang dilelang menghasilkan pendapatan jutaan rupiah
bagi pemiliknya, yaitu:
1. Harga yang terbentuk di TPI yaitu harga yang diterima petambak.Pada tingkat ini harga
terbentuk sepenuhnya berdasar kekuatan permintaan dan penawaran.
2. Harga yang terbentuk di tingkat pedagang besar. Harga pada tingkat ini ditentukan oleh
pedagang besar.
3. Harga di tingkat konsumen. Pada tingkat ini kembali harga ditentukan oleh kekuatan
tawar antara penjual (pedagang pengecer) dan pembeli (konsumen).
Jalur Pemasaran
Jalur pemasaran bandeng di wilayah Gresik relatif pendek. Bandeng dari tambak sebagian
besar (84%) dibawa oleh petambak ketempat pelelangan ikan . TPI bisa berlokasi di tempat
khusus yang telah dibangun dan disediakan pemerintah. Aktivitas di TPI umumnya berlangsung
pagi sekali atau sore sekali. Dalam sebuah TPI biasanya terdapat beberapa agen yang akan
menjadi juru lelang, tetapi ada juga TPI yang hanya mempunyai satu agen. TPI dengan banyak
agen lebih disukai petambak karena petambak memiliki alternatif tempat penjualan sehingga
kekuatan agen untuk menekan petambak menjadi berkurang.
HASIL KEGIATAN|Kajian Analisis Kebijakan Pengembangan Budidaya Bandeng
157
LAPORAN TEKNIS
Gambar 4-8. 4.
[KAJIAN KHUSUS BBPSEKP TAHUN 2015]
Alur Pemasaran Ikan Bandeng di Kabupaten Gresik
Bandeng yang telah sampai di agen selanjutnya akan dilelang oleh agen kepada
pedangang besar. Di sini petambak hanya bisa menyaksikan transaksi tanpa dapat mempengaruhi
apapun, bahkan siapa pembeli bandengnya petambak tidak mengetahui. Jika bandeng telah terjual
maka petambak hanya akan menerima nota bahwa bandeng seberat sekian terjual dengan harga
sekian. Sementara itu pembayaran dilaksanakan paling cepat satu minggu setelah transaksi.
Sebagai juru lelang agen akan menerima pendapatan 5% dari nilai transaksi. Bandeng yang telah
dibeli pedagang besar selanjutnya didistribusikan ke restoran, perusahaan pengolahan ikan dan
pedagang pengecer di pasar-pasar tradisional.
Distribusi ke restoran dan perusahaan pengolahan umumnya berdasarkan pesanan oleh
karena itu jika pedagang besar telah memperoleh pesanan mereka akan melakukan sortir bandeng
sesuai pesanan yang diterima. Dengan demikian bandeng yang didistribusikan kepada pedagang
pengecer adalah sisa bandeng pesanan.Bandeng akan dijumpai konsumen di pasar tradisional,
pasar kering (supermarket) atau restoran/toko penjual oleh-oleh khas Sidoarjo. Di pasar
tradisional bandeng dijual secara eceran sesuai selera pembeli dan tawar menawar menjadi ciri
khas pasar tradisional. Sementara jika bandeng telah berada di pasar kering maka konsumen
hanya bisa menerima harga yang telah ditentukan penjual. Bandeng yang tidak dijual melalui TPI
bisa mengalir langsung ke pengecer atau ke konsumen.
HASIL KEGIATAN|Kajian Analisis Kebijakan Pengembangan Budidaya Bandeng
158
LAPORAN TEKNIS
[KAJIAN KHUSUS BBPSEKP TAHUN 2015]
Kendala Pemasaran
Proses penjualan melalui Kelemahan pemasaran bandeng adalah tingginya biaya
transaksi yang muncul dari sistim pembayaran kepada petambak yang ditetapkan oleh agen.
Ketika transaksi terjadi petambak hanya menerima nota yang berisi jumlah bandeng yang terjual
dan harganya. Dalam nota tidak disebutkan kapan pembayaran akan dilakukan. Dengan demikian
waktu pembayaran menjadi tidak pasti. Ketika petambak datang untuk meminta bayaran dengan
sangat mudah agen mengatakan belum ada uang dan petambak tidak dapat melakukan apapun
untuk menagih uangnya. Menghadapi hal ini maka yang dilakukan petambak adalah menunggu
di TPI. Seminggu setelah transaksi petambak akan datang ke TPI untuk menunggu dan mengamati
agennya. Ketika dilihat ada pedagang yang melakukan pembayaran maka petambak akan segera
datang untuk menagih pembayaran bandengnya. Posisi yang sangat lemah pada petambak ini
sangat merugikan, sebab tidak jarang terjadi ketika ada petambak yang sangat memerlukan uang
dia akan meminta pembayaran tanpa menunggu ada pedagang yang membayar. Pada kasus ini
agen akan melakukan pembayaran tetapi petambak harus rela dipotong nilai penjualannya sebesar
25% dari nilai transaksi sebagai biaya karena meminta pembayaran yang dianggap lebih cepat.
Pedagang besar tidak membayar tunai kepada agen, tetapi karena pedagang besar terikat dengan
kegiatan lelang berikutnya agen memiliki kekuatan tawar yang relatif tinggi kepada pedagang
besar. Jika pedagang besar tidak membayar bandeng yang telah dibawa maka agen akan melarang
pedagang ini untuk ikut lelang di tempatnya. Kendala berikutnya dalam pemasaran bandeng
adalah kendala umum yang dihadapi komoditi pertanian, yakni cepat rusaknya barang. Dengan
cepat rusaknya barang sementara petambak tidak memiliki alat pengolahan bandeng maka
kekuatan tawar petambak tetap pada posisi yang lemah. Kendala pemasaran lainnya adalah duri
bandeng. Bandeng memiliki duri halus yang cukup mengganggu jika tidak dihilangkan. Sampai
saat ini hanya konsumen tradisional yang menyukai bandeng dengan duri itu, sementara
konsumen umum lebih menyukai bandeng olahan seperti bandeng prestoatau otak-otak. Kurang
bervariasinya produk bandeng juga menjadi hambatan peningkatan permintaan
Rekomendasi Pengembangan Bandeng
Pengembangan bandeng mesti dipandang sebagai pilihan pengembangan yang secara
keseluruhan mempertimbangkan manfaat ekonomi, keberlanjutan sumberdaya lingkungan serta
aspek kecenderungan dan adaptibilitas masyarakat. Semakin banyak pilihan pengembangan
sumberdaya yang menjadi opsi pengelolaan, mengarahkan pengembangan ikan bandeng sebagai
orientasi pengembangan usaha perikanan berbasis masyarakat merupakan pilihan strategis.
Terkait dengan lahan tambak, pengembangan budidaya ini membutuhkan koordinasi
yang intensif dengan badan pertanahan, kehutanan, serta pemerintah daerah/kota untuk
membenahi fungsi lahan yang ada. Sehingga perlu ada kebijakan strategis terkait lahan tambak
HASIL KEGIATAN|Kajian Analisis Kebijakan Pengembangan Budidaya Bandeng
159
LAPORAN TEKNIS
[KAJIAN KHUSUS BBPSEKP TAHUN 2015]
yang telah ada untuk tidak beralih fungsi. Oleh karena itu, diperlukan program yang mengarahkan
petambak untuk meningkatkan teknologi budidaya pada tingkat intensif.
Besarnya nilai ekonomi bandeng menjadikan produktifitas sub-sektor ini perlu dipacu
untuk mensejahterakan masyarakat. Berdasarkan pendekatan ekonomi yang digunakan
disarankan untuk lebih memprioritaskan bandeng konsumsi, karena memiliki nilai ekonomi yang
lebih besar, sehingga peluang untuk mendapatkan untung lebih besar.
Terkait dengan beragamnya jenis kualitas ikan yang mempengaruhi harga ikan bandeng,
serta akses pasar yang dikuasai sistem yang memperpanjang rantai suplai, disarankan adanya
sentra-sentra pemasaran atau memperkuat Sistem Logistik Ikan Nasional (SLIN) yang sifatnya
mengedukasi dan menjaga kualitas produk dan harga produk ikan bandeng.
Adapun alternatif rekomendasi pengembangan perikanan bandeng untuk meningkatkan
produktifitas dan pengelolaan perikanan bandeng antara lain:
Diversifikasi produksi akhir bandeng
Diversifikasi produk akhir Bandeng merupakan diversifikasi usaha yang akan memacu
permintaan produk bandeng, diharapkan dengan meningkatnya permintaan bandeng produksi
Bandeng.

Bandeng presto
• Bandeng cabut duri

Nugget bandeng
• Sarden bandeng

Abon bandeng
• Bakso bandeng

Bandeng Crispy
• Sate Bandeng

Scallop bandeng
Pengembangan Gelondongan
Gelondongan merupakan bagian dalam rantai produk nener yang sangat dibutuhkan
dalam upaya meningkatan penangkapan ikan, khususnya ikan tuna dan cakalang. Pengembangan
gelondongan ini penting untuk menyuplai permintaan gelondongan disektor ini. Sebagaimana
diketahui lokasi jenis tuna dan cakalang yang menggunakan gelondongan sebagai umpan berada
di sentra-sentra penangkapan dan pendaratan ikan di sekitar laut Banda dan Sawu.
Secara strategis mendekatkan sentra produksi gelondongan didekat sentra penangkapan
dan pendaratan ikan tunda cakalang akan memberi biaya input yang efisien bagi usaha
penangkapan ini. Dengan model backyard farming dalam kolam, budidaya gelondongan dapat
diatur suplai dan produksinya guna memenuhi permintaan gelondongan bagi penangkap tuna
cakalang.
Intensifikasi tambak  semi intensif.
HASIL KEGIATAN|Kajian Analisis Kebijakan Pengembangan Budidaya Bandeng
160
LAPORAN TEKNIS
[KAJIAN KHUSUS BBPSEKP TAHUN 2015]
Peningkatan tambak baik ekstensifikasi maupun intensifikasi dengan teknologi yang
ramah lingkungan dan murah akan memacu produktifitas budidaya bandeng.
Peningkatan
buddaya bandeng semi intensif, diyakini cukup efisien dan efektif meningkatkan produktifitas
usaha bandeng, serta cukup ramah lingkungan,
Pakan dan Teknologi pendukung lainnya
Sebagaiman diketahui usaha budidaya umumnya secara otomatis menempatkan pakan
sebagai variable cost yang sensitive dalam struktur biaya budidaya. Sehingga investasi
pemerintah dalam penyediaan pakan dan teknologi pakan yang efektif dan murah akan
memudahkan pengembangan usaha bandeng.
Transportasi dan cargo(jasa kurir)
Transportasi, memegang peranan penting dalam distribusi bandeng. Sebagai contoh
untuk gelondongan yang diproduksi di Gresik, besarnya selisih / margin, sebenarnya cukup
mengiurkan usaha budidaya gelondongan, sekaligus mengisyaratkan perlunya penataan sistem
distribusi barang dalam untuk sektor perikanan. Selisih sebesar Rp 500 per ekor ini terlalu
menekan usaha penangkapan tuna cakalang sehingga menciptakan tata distribusi barang yang
mendukung usaha lainnya perlu dipikirkan jalannya untuk efisien dan efektif dalam
meningkatkan upaya penangkapan tuna cakalang,
Pasar luar negeri
Peluang pasar luar negeri juga perlu dikembangkan, misalnya dengan menyisipkan
bandeng kaleng (sarde bandeng) dan varian produk lainnya dalam aktifitas luar luar negeri warga
Negara Indonesia, seperti ibadah haji dan pengiriman Tenaga Kerja Indonesia (TKI).
Diharapakan akan tercipta pasar luar negeri dengan memanfaatkan peluang tersebut.
Daftar Pustaka
Kordi MGH. 2007. Pembenihan Bandeng. PT. Perca, Jakarta.
Murtidjo, BA. 2007. Seri Budidaya Bandeng Tuntunan bagi Petambak dan Peminat Budidaya
Bandeng Intensif. Kanisius Yokyakarta.
Anonym. 2001. Bandeng. http://[email protected]
HASIL KEGIATAN|Kajian Analisis Kebijakan Pengembangan Budidaya Bandeng
161
LAPORAN TEKNIS
4.9.
[KAJIAN KHUSUS BBPSEKP TAHUN 2015]
Dampak Pemberlakuan Generalized System of Preference (GSP) 2015 terhadap
Ekspor KP Indonesia ke Pasar USA
Pendahuluan
Latar Belakang
Dalam hubungan dagang internasional dengan negara-negara maju, salah satu fasilitas
kemudahan perdagangan yang disediakan bagi eksportir dari negara-negara berkembang adalah
Generalized System of Preference (GSP). Pada prinsipnya, GSP adalah sebuah sistem tariff impor
di negara-negara maju, yang dikhususkan bagi berbagai produk yang berasal dari negara-negara
berkembang (Developing Countries/DC) dan terbelakang (Least-Developed Countries/LDC).
Awalnya fasilitas ini diajukan ke sidang WTO sebagai alat untuk mengatasi adanya ketimpangan
dayasaing antara negara-negara maju dengan negara-negara berkembang, sehingga negara-negara
berkembang diperkenankan menerima kemudahan berupa pengenaan tariff bea masuk lebih
rendah daripada tariff normal – Most Favoured Nation (MFN) – dari negara maju.
Pada perkembangan selanjutnya, fasilitas ini juga dipergunakan sebagai insentif bagi
negara-negara berkembang agar mau membuka perekonomiannya dan menjadikan perdagangan
sebagai sumber dari pertumbuhan ekonominya, seperti yang dialami oleh beberapa negara
ASEAN – Indonesia, Thailand, Vietnam dan Malaysia – bahkan juga Republik Rakyat Tiongkok
(RRT). Umumnya berbagai produk yang termasuk ke dalam daftar GSP ini akan dikenakan tariff
0%. Sejak pertamakali diperkenalkan pada awal tahun 70-an, fasilitas GSP ini telah diaplikasikan
oleh negara-negara maju seperti USA, Uni-Eropa dan Jepang. Meskipun GSP ini diadopsi oleh
hampir seluruh negara maju, akan tetapi penentuan berbagai negara penerima fasilitas
(Beneficiaries) serta produk apa saja yang diperkenankan memperoleh fasilitas GSP ditentukan
oleh masing-masing negara.
Salah satu negara yang menerapkan fasilitas GSP yang selama ini telah dinikmati oleh
Indonesia sebagai negara eksportir adalah USA. Pada bulan Juli setiap tahunnya, pemerintah USA
menerbitkan sebuah Panduan GSP, berisikan daftar negara-negara yang memperoleh fasilitas GSP
(Beneficiaries) serta daftar produk apa saja yang memperoleh fasilitas GSP. Pada Juli 2015 yang
lalu, panduan GSP di pasar USA terkini telah dipublikasi secara resmi. Setiap perubahan yang
terjadi pada rejim GSP tersebut, tentunya akan secara langsung berpengaruh terhadap harga
berbagai produk eligible yang diekspor oleh para
beneficiaries ke USA, dan tentunya akan
berdampak pada perubahan market share baik pada produk yang ada pada eligible list maupun
pada produk-produk diluar list tersebut. Oleh karena itu, sebagai salah satu produk yang diekspor
ke USA, Produk Kelautan dan Perikanan (KP) juga akan terpengaruh oleh perubahan yang terjadi
pada rejim US-GSP 2015 ini.
HASIL KEGIATAN|Dampak Pemberlakuan Generalized System of Preference
(GSP) 2015 terhadap Ekspor KP Indonesia ke Pasar USA
162
LAPORAN TEKNIS
[KAJIAN KHUSUS BBPSEKP TAHUN 2015]
Tujuan Penelitian
Tujuan utama dari penulisan Karya Tulis Ilmiah ini adalah untuk menyediakan informasi
terkait dampak dari penerapan kebijakan US-GSP 2015 terhadap perdagangan produk Kelautan
dan Perikanan (KP) Indonesia ke Pasar USA, melalui:
1. Kajian terkait rejim GSP yang diberlakukan di USA pada tahun 2015 ini;
2. Analisis dampak diberlakukannya US-GSP 2015 terhadap ekspor produk KP Indonesia
ke pasar USA.
Metode Penelitian
Metode Pengumpulan data
Data yang akan dipergunakan sebagai bahan analisis dalam penelitian ini bersifat data
kuantitatif sekunder. Data yang diperlukan tersebut berupa nilai ekspor berbagai komoditas
perikanan Indonesia dan negara-negara beneficiaries GSP yang diekspor ke USA pada tahun 2014
dan juga besaran tarif bea masuk berbagai komoditas yang diekspor ke USA baik dari GSP
beneficiaries maupun non-beneficiaries. Data tersebut sepenuhnya tersedia pada database TRAIN,
yang dikelola oleh UNCTAD.
Metode Analisis Data
Dalam pelaksanaannya, direncanakan analisis yang dilakukan dalam kajian ini akan
dilakukan dengan menggunakan pendekatan analisis data “SMART MODEL”. Smart Model ini
pada dasarnya merupakan pengembangan lebih lanjut dari “Model Produk Terdiferensiasi”,
yang dikembangkan oleh Verdoorn (1960) dalam Busse and Groβmann (2004). Model ini pada
awalnya diformulasi untuk tujuan analisis lebih dari sisi kepentingan negara konsumen (buyer)
dari komoditas-komoditas atau produk-produk yang diimpor dari negara produsen.
Namun
dalam perkembangan selanjutnya, model tersebut disempurnakan oleh UNCTAD dan the World
Bank sehingga dapat digunakan untuk analisis, tidak saja untuk kepentingan negara konsumen
tetapi juga negara produsen yang melakukan kesepakatan perdagangan (ekonomi). Model ini
dikenal dengan dikenal dengan sebutan “SMART MODEL”. Berikut ini dijelaskan masingmasing model tersebut.
(1) Model Produk Terdiferensiasi
“Model Produk Terdiferensiasi” (Differentiated Product Model) Verdoorn, meskipun
telah berumur hampir 50 tahun, namun model ini merupakan model keseimbangan parsial yang
tepat untuk menganalisis efek perdagangan dari kesepakatan kemitraan ekonomi yang di usulkan.
HASIL KEGIATAN|Dampak Pemberlakuan Generalized System of Preference
(GSP) 2015 terhadap Ekspor KP Indonesia ke Pasar USA
163
LAPORAN TEKNIS
[KAJIAN KHUSUS BBPSEKP TAHUN 2015]
Model ini didasarkan pada asumsi-asumsi normal dari analisis keseimbangan parsial,
seperti tidak adanya perubahan pada pendapatan atau nilai tukar uang, fungsi permintaan impor
yang iso-elastis, dan elastisitas supply yang tidak terhingga. Asumsi terakhir tadi sering
diterapkan dalam model-model perdagangan internasional, sangat rasional, karena Jepang,
Amerika Serikat dan Uni Eropa adalah negara-negara besar dan total ekspor masing-masing
negara ke Indonesia relatif kecil jika dibandingkan dengan total ekspor masing-masing negara ke
dunia.
Model Verdoorn menitikberatkan pada impor dari berbagai sumber, yaitu impor dari
preference beneficiaries (Q1) dan dari non-beneficiaries (Q2). Model ini berdasarkan pada dua
asumsi kunci. Pertama, fungsi permintaan dari the preference donor (Indonesia) untuk berbagai
barang, adalah sebagai berikut:
Q1 + Q2 = Q = βP1εα1P2εα2 .................................................................. (1)
dimana P1 dan P2 adalah harga impor dari beneficiaries dan non-beneficiaries, α1 dan α2 adalah
koefisien-koefisien share (α1= Q1/(Q1+Q2), dan α1+α1=1), β adalah sebuah parameter dan ε
mewakili elastisitas permintaan impor. Dengan menggunakan elastisitas permintaan impor, data
impor dapat dipergunakan tanpa harus mengandalkan data produksi domestik. Asumsi tersebut
tidak hanya memudahkan, tetapi juga sangat diperlukan pada kasus Indonesia, karena data yang
diperlukan tidak tersedia.
Kedua, elastisitas substitusi (σ) impor preferred dan non-preferred dapat dinyatakan
sebagai berikut:
Q1

Q2

P1

 ................................................................................ (2)
P2 
Jika tarif (t) dihilangkan hanya untuk impor yang preferred Q1 dan elastisitas supply adalah tak
terhingga, maka harga impor beneficiaries P1 berubah sebesar:
P1
P1

t
1 t
.................................................................................................... (3)
Maka total ekspansi impor dari sudut pandang negara-negara yang prefered sehubungan dengan
perdagangan preferences dapat dinyatakan dalam persamaan sebagai berikut:
Q1
 t 
 1  1  1 
 ................................................................ (4)
Q1
1 t 
Reaksi berantai terjadi dalam dua tahap: pertama, tarif dikurangi hanya terhadap Q1, dan P1 turun,
lalu konsumen mensubstitusi Q1 dengan Q2. Persamaan (4) dapat direkaulang dengan cara
mensubstitusikan α2 untuk α2:
HASIL KEGIATAN|Dampak Pemberlakuan Generalized System of Preference
(GSP) 2015 terhadap Ekspor KP Indonesia ke Pasar USA
164
LAPORAN TEKNIS
[KAJIAN KHUSUS BBPSEKP TAHUN 2015]
Q
 t 
    2    
 .................................................................. (5)
Q1
1 t 
Perubahan total pada preffered import dapat diuraikan menjadi Trade Creation (TC) dan
Trade Diversion (TD). TC didefinisikan sebagai perubahan pada impor dari negara-negara
beneficiaries (Q1) dan terdiri dari efek konsumsi, yang merupakan peningkatan pada konsumsi
keseluruhan yang diakibatkan oleh penurunan harga, dan pengalihan produksi domestik. Efek ini
dapat diturunkan dari sudut pandang negara prefered sebagai berikut:
 t 
TC  Q1 

1 t 
.................................................................................. (6)
Selanjutnya, TD didefinisikan sebagai substitusi dari baik impor yang bersifat prefered maupun
non-prefered sebagai akibat dari peniadaan tarif yang preferential:
 t 
TD  Q1 2    

1 t 
...................................................................... (7)
Terakhir, perubahan yang diharapkan pada Penerimaan Cukai/Custom Revenue (CR)
adalah sama dengan jumlah kewajiban impor bagi impor dari negara-negara yang prefered Q1,
yang sekarang sudah tidak termasuk lagi dalam tarif impor, dan penggantian impor-impor dari
negara-negara yang non-prefered (TD) dikalikan dengan tarif impor:
CR  Q1  TD t ............................................................................... (8)
Estimasi TC dan TD dan perubahan pada pendapatan cukai dilakukan pada Harmonised
System (HS) level empat digit. Pada tingkat aggregasi tersebut, Tabel HS terdiri dari sekitar 1,240
barang. Pendekatan disaggregasi dengan tingkat ketelitian seperti ini menjamin estimasi efek
perdagangan yang lebih akurat, karena, pada kasus adanya TD, menyertakan kompetisi dari
berbagai negara pada level yang tepat. Selain itu, hal ini memungkinkan identifikasi berbagai
komoditas yang kemungkinan besar akan terpengaruh oleh EPA. Berbagai tarif dan data
perdagangan diperolah dari berbagai narasumber seperti Trade Analysis and Information System
(TRAINS) UNCTAD, database terintegrasi WTO, database COMTRADE, BPS, DEPERDAG
dan berbagai sumber data lainnya.
Seperti dapat dilihat dari persamaan (6) dan (7), estimasi TC & TD pada model produk
yang terdiferensiasi memerlukan estimasi elastisitas baik permintaan impor maupun substitusi.
Sayangnya estimasi handal dari kedua elastisitas tersebut bagi Indonesia pada tingkat HS 4 digit
tidak tersedia. Untuk mengatasinya, maka nilai-nilai elastisitas tersebut ditentukan berdasarkan
asumsi (yang didekati dari beberapa hasil riset yang relevan). Secara spesifik, untuk memperoleh
estimasi elastisitas tersebut dibuat tiga buah skenario, yaitu skenario rendah, menengah dan tinggi
yang masing-masing skenario berbeda pada angka elastisitas yang diasumsikan nantinya.
HASIL KEGIATAN|Dampak Pemberlakuan Generalized System of Preference
(GSP) 2015 terhadap Ekspor KP Indonesia ke Pasar USA
165
LAPORAN TEKNIS
[KAJIAN KHUSUS BBPSEKP TAHUN 2015]
(2) SMART MODEL
Partial equilibrium SMART model merupakan pengembangan lebih lanjut dari
Differentiated Product Model, yang dikembangkan oleh UNCTAD dan the World Bank sejak
tahun 1980an terutama untuk menilai dampak dari GATT rounds. Terkait dengan tujuan yang
ingin dicapai dari kajian ini, SMART Model dalam hal ini dipandang lebih tepat dibandingkan
dengan pendahulunya (Differentiated Product Model), karena mampu menganalisis efek
perdagangan bilateral antara negara-negara maju dan berkembang, tanpa mengalami bias
terhadap negara maju (Superior Party) seperti yang terjadi dengan menggunakan Differentiated
Product Model.
The SMART model terdapat dalam WITS software, penggunaan SMART
mengevaluasi dan melihat konsekuensi dan dampak dari
dapat
perubahan kebijakan perdagangan
(dalam ukuran tarif) dalam beberapa variabel-variabel yang terkait dengan konsekuensi kerjasama
bilateral, yaitu: Efek Trade Creation (TC), Efek Trade Diversion (TD), dan Agregasi TC dan TD.
Selain itu, lebih lanjut lagi, SMART Model juga akan dapat menunjukkan variabel-variabel yang
berkaitan dengan dampak dari kerjasama bilateral, yaitu: Variasi penerimaan tariff dan Perubahan
dalam Surplus (Konsumen, Produsen dan Nasional).
The SMART model memiliki 3 jenis elastisitas:
(i) Supply elasticities, yang mana dapat bernilai (=99). Hal ini berarti bahwa peningkatan
permintaan untuk barang tertentu akan selalu dicocokan oleh produsen dan eksportir dari
barang tersebut, tanpa adanya dampak pada harga barang tersebut.
(ii) Import substitution elasticities barang yang sama dari Negara yang berbeda imperfectly
substitutable. Dalam SMART, import substitution elasticity bernilai 1.5 untuk setiap barang
(iii) Import demand elasticity mengukur respon permintaan dalam beralih ke harga import.
DalamSMART, import demand elasticity berdasarkan pada “price elasticities in international
trade”.
Asumsi penting lainnya dari model ini adalah perfect competition, dimana dalam
pemotongan tariff secara penuh dicerminkan dalam harga yang dibayarkan konsumen.
HASIL KEGIATAN|Dampak Pemberlakuan Generalized System of Preference
(GSP) 2015 terhadap Ekspor KP Indonesia ke Pasar USA
166
LAPORAN TEKNIS
[KAJIAN KHUSUS BBPSEKP TAHUN 2015]
(3) Model Matematika:
- Trade Creation (TC)
Trade creation menangkap aspek perkembangan perdagangan (liberalisasi) sebagai
contoh Free Trade Area. Derivasi dimulai dari fungsi import demand dan export supply:
Fungsi permintaan impor yang disederhanakan untuk Negara j dari Negara k untuk komoditas t:
Mtjk = f(Yj, Ptj, Pik) ..............................................................................
(9)
Fungsi supply ekspor untuk komoditas i dari negara k dapat disederhanakan seperti berikut:
Xijk = f(Pijk) ......................................................................................... (10)
Keseimbangan perdagangan antara kedua Negara adalah persamaan keseimbangan
parsial standar:
Mtjk=Xijk .............................................................................................. (11)
Dalam lingkungan perdagangan bebas, harga domestic komoditas i di Negara j dari
Negara k akan berubah seiring dengan perubahan tariff seperti:
Pijk=Pikj(1+ttjk) ..................................................................................... (12)
Untuk menurunkan formula TC, sesuai dengan Laird dan Yeats (1986), persamaan (12)
di atas diturunkan secara total untuk memperoleh:
dPijk = Pikjdtijk + (1+tijk)dPikj ................................................................. (13)
Persamaan (12) dan (13) disubstitusikan untuk memperoleh persamaan elastisitas
permintaan impor untuk memperoleh:
dM tjk
M ijk
 dt tjk
dPtjk
  im 

 1  t  P
ijk
ikj

Persamaan identitas (11),
dM ijk
M ijk





dX ikj
X ikj
................................................................ (14)
dapat dipergunakan untuk menurunkan persamaan
elastisitas supply ekspor berikut:
dPikj
Pikj

1 dM ijk
 te M ijk
................................................................................ (15)
yang jika digunakan pada Persamaan (14), akan memungkinkan untuk memperhitungkan
efek TC. Dari Persamaan (11) efek TC sama dengan pertumbuhan ekspor Negara k atas komoditas
HASIL KEGIATAN|Dampak Pemberlakuan Generalized System of Preference
(GSP) 2015 terhadap Ekspor KP Indonesia ke Pasar USA
167
LAPORAN TEKNIS
[KAJIAN KHUSUS BBPSEKP TAHUN 2015]
i ke negara j:
TC ijk  M ijk im
dt ijk
..................................................... (16)

1   im  
 1  t ijk 

 ie  


Jika  ie =  , maka persamaan (15) dapat disederhanakan sebagai berikut:
TCijk   M ijk
m
i
1  t   1  t 
1  t 
1
ijk
0
ijk
0
ijk
..........................................................
(17)
Dimana TCijk adalah penjumlahan dari TC dalam U$ juta atas komoditas i yang
terpengaruh oleh perubahan tariff dan  im adalah elastisitas permintaan impor untuk komoditas
i pada Negara pengimpor dari mitra dagang yang relevan. Mijk adalah tingkat permintaan impor
0
1
saat ini untuk komoditas i. t ijk
dan t ijk
mewakili tariff awal dan akhir bagi komoditas i. Dengan
demikian TC sangat dipengaruhi oleh tingkat impor sekarang, elastisitas permintaan impor, dan
perubahan relatif dari tariff.
-
Trade Diversion
Berlawanan dengan trade creation, trade diversion memilii persamaan sebagai berikut:
M

  M ijk
k
 
 
 M    M  M
 P P  P P 
ijK
ijk
K
k
ijk
ijK
ijk
K
ijK


 .................................. (18)
ijK
dimana k menunjukan impor dari negara mitra, dan K dari rest of the world (ROW).
Persamaan (18) tersebut selanjutnya dapat diperluas, dan melalui substitusi dan pengaturan ulang
dapat dipergunakan untuk memperoleh persamaan TD, sebagai berikut:
TDijk 
M M
ijk
M ijk
k
M M
ijk
k
k
ijk
K
  M ijK
K
 Pijk Pijk 
ijK
M
Pijk PijK
 Pijk PijK 
  M ijk
M
Pijk PijK
k
...........
(19)
Persamaan (19) dapat disederhanakan khusus untuk kasus EPA. Termin pergerakan
harga relatif pada persamaan seperti ditulis oleh Laird dan Yeats (1986) menangkap pergerakan
akibat perubahan tarif atau insiden distorsi non-tarif bagi negara mitra dan ROW. Oleh karenanya
perdagangan beralih ke negara mitra EPA, TDEPA dapat ditangkap dengan cara mereduksi
HASIL KEGIATAN|Dampak Pemberlakuan Generalized System of Preference
(GSP) 2015 terhadap Ekspor KP Indonesia ke Pasar USA
168
LAPORAN TEKNIS
[KAJIAN KHUSUS BBPSEKP TAHUN 2015]
persamaan (10) sebagai berikut:
TD EPA
 1  t 1EU

M EU M ROW 
 1 M
0
 1  t EU


1
 1  t EU

M EU  M ROW  M EU 
 1 M
0
 1  t EU

.....................................
(20)
Persamaan (20) menunjukkan tambahan impor negara mitra kepada mitra EPA nya sebagai hasil
dari TC.
Tinjauan Pustaka
Metode Analisis Kuantitatif mengenai Konsekuensi dan Dampak Kesepakatan
Bilateral
Analisis mengenai konsekuensi FTA terhadap arus perdagangan dan penerimaan
pemerintah biasanya dilakukan menggunakan baik framework keseimbangan parsial (partial
equilibrium) maupun umum (general equilibrium). Dengan titik berat pada pasar maupun produk
individu, model-model keseimbangan parsial memungkinkan dilakukannya studi yang sangat
mendetail akan dampak dari perubahan instrumen kebijakan perdagangan. Sebaliknya, modelmodel keseimbangan umum berusaha untuk mengestimasi efek preferensi tarif yang diskriminatif
terhadap perekonomian secara keseluruhan, dengan cara mempertimbangkan keterkaitan antar
sektor. Pada dasarnya, model-model keseimbangan umum lebih cocok untuk menganalisis efek
terhadap perdagangan dan kesejahteraan secara keseluruhan. Kelemahan terbesar dari modelmodel ini adalah kebutuhan akan ketersediaan informasi yang mendetail mengenai perekonomian
yang terlibat, seperti data produksi sektoral dalam bentuk neraca sosial ekonomi/ SNSE (social
Accounting Matrix/SAM).
Selain SNSE, untuk kajian yang lebih luas terutama dikaitkan dengan kesejahteraan
(wellfare), untuk kajian dampak dari free-trade ini dapat digunakan General equilibrium models
seperti GTAP. GTAP ini adalah merupakan suatu perangkat metodologi penting dalam analisis
kebijakan perdagangan, dikarenakan GTAP tidak hanya mengukur efek langsung dari perubahan
yang disimulasikan, akan tetapi juga efek tidak langsungnya (second-round), yang mana terdiri
dari efek inter-industri dan adjustment ekonomi makro. Partial equilibrium model memiliki
beberapa keterbatasan. Salah satu yang utamanya adalah implikasi intersektoral (efek secondround) dari perubahan kebijakan perdagangan tidak diikutkan dalam perhitungan. Terlepas dari
keterbatasan tersebut, partial equilibrium framework lebih cocok untuk melihat perlakuan yang
berbeda dan khusus yang mendasar pada analisis simulasi. Partial equilibrium models memiliki
HASIL KEGIATAN|Dampak Pemberlakuan Generalized System of Preference
(GSP) 2015 terhadap Ekspor KP Indonesia ke Pasar USA
169
LAPORAN TEKNIS
[KAJIAN KHUSUS BBPSEKP TAHUN 2015]
keuntungan yaitu bekerja pada level yang sangat detail.
Karena data produksi domestik yang diperlukan kurang baik kualitasnya, maka analisis
terhadap efek perdagangan dan fiskal dari kesepakatan kemitraan ekonomi menggunakan
framework keseimbangan parsial. Secara umum terdapat dua model dasar keseimbangan parsial
yang dapat dipergunakan untuk menganalisis kedua efek tersebut. Model pertama berlandaskan
asumsi komoditas homogen, sedangkan model kedua dibangun berdasarkan asumsi ”Armington”
(Armington, 1969), dimana Armington meneliti sifat dari fungsi permintaan impor ketika barangbarang impor dan barang produksi domestik dipergunakan sebagai barang substitusi tidak
sempurna. Metode yang dipergunakan dalam penelitian ini termasuk ke dalam kategori yang
kedua, karena mayoritas ekspor Jepang, Amerika Serikat dan Eropa ke Indonesia terdiri dari
barang-barang manufaktur. Komoditas-komoditas manufaktur berupa peralatan transportasi serta
telekomunikasi, dan mesin listrik serta non-listrik akan cenderung terdiferensiasi berdasarkan
negara asal dibandingkan bahan mentah atau barang-barang pertanian.
Secara teoritis FTA akan memberikan harapan adanya keuntungan berupa trade creation
yang lebih besar dari kerugian berupa trade diversion bagi masing-masing negara pelaku
kesepakatan bilateral. Menurut Hady (2001), dengan analisis partial equilibrium, trade creation
adalah penggantian dimana produk domestik suatu negara yang melakukan integrasi ekonomi
regional melalui pembentukan FTA atau CU (custom unions) dengan produk impor yang lebih
murah dari anggota lain. Jika seluruh sumber daya digunakan secara full employment dan dengan
melakukan spesialisasi berdasarkan comparative advantage, masing-masing negara akan
memperoleh dampak positif berupa peningkatan kesejahteraan masyarakat karena memperoleh
barang dengan harga yang relatif lebih murah.
Efek positif dari trade creation ini bukan hanya berlaku untuk negara anggota, tetapi juga
untuk negara lain yang bukan anggota karena adanya peningikatan spesialisasi produksi yang
mendorong peningkatan impor dari negara lain (rest of the world). Terjadinya trade creation
dapat diilustrasikan dengan grafik berikut (D. Salvatore, 1993 dalam Hady, 2001).
Sejumlah Prinsip Dasar dalam Kerjasama Perdagangan
Dalam bagian ini kita akan memahami landasan teori dari sejumlah prinsip dasar yang
ada dalam kerja sama liberalisasi perdagangan multilateral (WTO) maupun regional (RTA).
Konsep-konsep most-favoured nations (MFN), reciprocity, dan national treatment perlu dibahas
dengan pertimbangan bahwa konsep-konsep tersebut menjadi bagian integral dalam kesepakankesepakatan WTO. Dalam tataran kerja sama regional, konsep Trade Diversion dan Trade
Creation dijelaskan dengan pendekatan partial equilibrium. Kedua konsep tersebut membantu
kita dalam memahami bahwa penbentukan RTA pada dasarnya dapat mendatangkan keuntungan
tapi juga kerugian bagi negara anggota. Konsep rules of origin (ROO) dielaborasi untuk
HASIL KEGIATAN|Dampak Pemberlakuan Generalized System of Preference
(GSP) 2015 terhadap Ekspor KP Indonesia ke Pasar USA
170
LAPORAN TEKNIS
[KAJIAN KHUSUS BBPSEKP TAHUN 2015]
memahami mengapa efektivitas RTA dapat terancam bila konsep ini tidak diterapkan dengan baik.
Konsep most-favoured nations
(MFN) dalam kerja sama perdagangan merujuk pada
status yang diberikan oleh suatu negara kepada negara mitra dagangnya, dimana negara mitra
dagang tersebut akan memperoleh semua kemudahan perdagangan, misalnya tarif yang rendah,
seperti yang diperoleh negara-negara ketiga lainnya. Dalam praktek, negara yang memperoleh
status MFS setidaknya tidak akan diperlakukan lebih buruk dari negara lainnya. WTO pada
dasarnya mengharuskan setiap negara anggota untuk memberikan status MRN kepada negara
anggota lainnya. Perkecualian diterapkan pada perdagangan dengan sejumlah negara berkembang,
kerja sama-kerja sama perdagangan regional, dan upaya anti-dumping.
Konsep MFN umumnya dibedakan dengan konsep reciprocity. Dalam konsep terakhir
tersebut, perlakuan istimewa yang diberikan suatu negara kepada negara mitra dagangnya hanya
berlaku jika negara mitra dagang tersebut juga memberikan perlakuan istimewa hanya kepada
negara pertama tersebut. Negara-negara di luar kesepakatan dimaksud tidak menikmati perlakuan
istimewa tersebut. Paling maksimal, negara-negara tersebut hanya mendapatkan kemudahan
MFN.
Di bawah perlakuan nasional (national treatment), bilamana sebuah negara memberikan
hak istimewa, keuntungan, ataupun kemudahan tertentu kepada warga negaranya, negara tersebut
juga memberikan keuntungan-keuntungan tersebut kepada warga negara-negara lain yang berada
di negara pertama tersebut. Dalam perjanjian antar negara, perlakuan nasional berarti bahwa suatu
negara harus memberikan perlakuan yang sama bagi warga negara-negara yang melakukan
kesepakatan.
Viner (1950) adalah pihak pertama yang mencetuskan konsep trade diversion (TD) dan
trade creation (TC). TD adalah situasi dimana RTA mengalihkan perdagangan dari pemasok yang
lebih efisien di luar RTA ke pemasok yang kurang efisien yang berasal dari dalam RTA. TD bisa
meningkatkan kesejahteraan negara anggota RTA, namun mungkin pula menurunkannya.
Sementara itu, TC pada dasarnya adalah lahirnya perdagangan pasca pembentukan RTA. Pasokan
berasal dari negara dengan efisiensi produksi yang lebih baik. TC mendorong kenaikkan
kesejahteraan negara anggota RTA.
Untuk menjelaskan baik TC maupun TD dengan pendekatan partial equilibrium, kita
asumsikan bahwa suatu negara kecil A menjalin gubungan ekspor-impor sebuah produk homogen
X dengan dua negara besar B dan C. Negara A mengenakan tarif MFN spesifik untuk impor X
dari kedua negara. Negara A akan menjalin kerjasama perdagangan regional (RTA) dengan negara
B. Setelah RTA terbentuk, impor x dari negara di luar RTA (C) tetap dikenakan tarif seperti semula.
Di sini juga diasumsikan bahwa negara C dapat memproduksi produk X dengan lebih efisien
daripada negara B. Dalam arti, produk tersebut ditawarkan di pasar dunia oleh negara C dengan
HASIL KEGIATAN|Dampak Pemberlakuan Generalized System of Preference
(GSP) 2015 terhadap Ekspor KP Indonesia ke Pasar USA
171
LAPORAN TEKNIS
[KAJIAN KHUSUS BBPSEKP TAHUN 2015]
harga lebih murah. Di bawah ini , kita akan menganalisa dampak kesejahteraan, khususnya bagi
negara A, dari pembentukkan
kerja sama RTA di atas.
Penciptaan Perdagangan (Trade Creation)
Secara umum, penciptaan perdagangan memiliki arti, area perdagangan bebas
menciptakan perdagangan yang tidak akan ada sebelumnya. Sebagai akibatnya, pasokan terjadi
dari produsen suatu produk yang lebih efisien.
Dalam semua kasus, penciptaan perdagangan
akan meningkatkan kesejahteraan nasional suatu Negara. Seperti yang dijelaskan dalam diagram
pada Gambar 4-9. 1.
Px(U$)
Sx
E
G
A
J
H
C
M
N
V
U
Z
Gambar 4-9. 1.
S1 + T
B
S1
W
Dx
Qx
Terjadinya Trade Creation Sebagai Dampak Dari Kesepakatan
Perdagangan Bilateral
Sumber: Diadopsi dari D. Salvatore, 1993 dalam Hady, 2001
Dari gambar 4-9.1 dapat kita lihat bagaimana terjadinya efek positif dari trade creation
sebagai akibat dilakukannya Kesepakatan Perdagangan Bilateral. Awalnya, pada saat tarif masih
dikenakan atas impor, kurva penawaran adalah S1+T, dimana jumlah impor komoditas X adalah
sebanyak JH dan produksi komoditas X domestik adalah sebesar GJ. Sedangkan, setelah
diberlakukan kesepakatan Perdagangan dengan dicabutnya tarif, kurva penawaran adalah S1,
dimana jumlah impor komoditas X meningkat menjadi sebanyak CB, dan produksi domestik
komoditas X menurun menjadi sebanyak AC. Peningkatan impor dari JH menjadi CB inilah yang
merupakan efek positif sebagai dampak trade creation akibat diberlakukannya kesepakatan
perdagangan bilateral. Penjelas lebih lanjut mengani trade creation (TC) tersebut dapat dilihat
melalui diagram yang tertera pada Gambar 4-9. 2.
HASIL KEGIATAN|Dampak Pemberlakuan Generalized System of Preference
(GSP) 2015 terhadap Ekspor KP Indonesia ke Pasar USA
172
LAPORAN TEKNIS
Gambar 4-9. 2.
[KAJIAN KHUSUS BBPSEKP TAHUN 2015]
Kurva Demand dan Supply dalam Trade Creation
Sumber: Suranovic, 1997
Diagram pada Gambar 4-9.2 di atas menunjukan kurva demand dan supply untuk Negara
A. PB dan PC menggambarkan harga pasokan barang dalam perdagangan bebas dari Negara B
dan Negara C dan sebaliknya. Perlu dicatat bahwa Negara C diasumsikan mampu untuk memasok
produk pada tingkat harga yang lebih rendah dibandingkan dengan Negara B. Perlu dicatat bahwa
Negara B harus memiliki tariff untuk produk yang diimpor dari Negara C, pasar pada Negara B
akan dipasok oleh C.
Sama halnya denga pengalihan perdagangan, pada penciptaan perdagangan diasumsikan
bahwa A memiliki tariff spesifik tB = tC = t* dimana A mengimpor dari Negara B dan C. Tarif
mengakibatkan meningkatnya harga pasokan dalam negeri dari PTB ke PTC. Besarnya tarif
dinotasikan dengan garis hijau terputus dalam diagram, dimana menunjukan bahwa t*=PTB – PB
= PTC – PC.
Sejak diberlakukannya tariff, harga autarky di Negara A yang ditunjukan dengan symbol
PA pada diagram menjadi lebih murah dibandingkan dengan harga dengan tariff PTB dan PTC,
dalam hal ini produk tidak akan diimpor, kecuali jika Negara A akan memasok permintaan dalam
negerinya pada S1 = D1. Dalam kasus ini tariff original dilarang.
Selanjutnya, asumsikan negara A dan B membentuk FTA dan A menghapuskan tariff
impornya dari Negara B. Sekarang tB = 0 tetapi tc sama seperti at t*. Harga barang dalam negeri
dari Negara B dan C sekarang menjadi PB dan PTc. Sejak PB < PA, Negara A akan mengimpor
semua produk dari Negara B setelah adanya FTA. Pada harga dalam negeri yang lebih rendah,
PB, import akan meningkat ke batas garis biru atau dari D2 ke S2. Sejak perdagangan terjadi
HASIL KEGIATAN|Dampak Pemberlakuan Generalized System of Preference
(GSP) 2015 terhadap Ekspor KP Indonesia ke Pasar USA
173
LAPORAN TEKNIS
[KAJIAN KHUSUS BBPSEKP TAHUN 2015]
dengan FTA, dan tidak akan terjadi sebelumnya, hal tersebut bisa dikatakan perdagangan
diciptakan. Efek Kesejahteraan di Gambarkan dalam Tabel 4-9.1.
Tabel 4-9. 1.
Efek Kesejahteraan dari Free Trade terhadap Trade Creation (TC)
Efek Kesejahteraan dari Free Trade Area membentuk Penciptaan Perdagangan
Negara A
Surplus Konsumen
+ (a + b + c)
Surplus Produsen
-a
Penerimaan Pemerintah
0
Kesejahteraan Nasional
+ (b + c)
Sumber: Suranovic, 1997
Dampak FTA terhadap:
(1) Konsumen Negara A – Konsumen produk dari Negara yang mengimpor memperoleh
keuntungan dari adanya FTA. Penurunan harga dalam negeri dari barang impor dan subtitusi
dalam negeri meningkatkan surplus konsumen di dalam pasar. Berdasarkan Tabel dan
Gambar diatas dapat terlihat bagaimana besaran dari perubahan surplus konsumen;
(2) Produsen Negara A – Produsen di Negara pengimpor menderita kerugian sebagai akibat dari
FTA. Penurunan harga produk di pasar domestik mengurangi surplus produsen dalam
industri. Penurunan harga juga mengakibatkan penurunan output dari perusahaan yang sudah
ada sebelumnya (dan mungkin beberapa perusahaan akan menutup usahanya), penurunan
penyerapan tenaga kerja dan penurunan keuntungan dan atau pembayaran untuk biaya tetap.
Berdasarkan Tabel dan Gambar diatas dapat terlihat bagaimana besaran dari perubahan
surplus produsen;
(3) Pemerintah Negara A –Sejak tariff awal dilarang dan produknya tidak secara original
diimpor, maka tidak akan ada penerimaaan dari tariff awal. Jadi dalam hal ini FTA
menunjukan tidak adanya kehilangan dalam penerimaan;
(4) Kesejahteraan Nasional Negara A - Kesejahteraan agregat bagi Negara dapat ditentukan
dengan menjumlahkan penerimaan dan kerugian konsumen, produsen dan pemerintah. Efek
bersihnya terdiri dari dua komponen yaitu : (a) perolehan efisiensi produksi (b) perolehan
efisiensi konsumsi. Hal tersebut berarti penciptaan perdagangan timbul ketika FTA dibentuk.
Berdasarkan Tabel dan Gambar diatas dapat terlihat bagaimana besaran dari perubahan
kesejahteraan nasional.
HASIL KEGIATAN|Dampak Pemberlakuan Generalized System of Preference
(GSP) 2015 terhadap Ekspor KP Indonesia ke Pasar USA
174
LAPORAN TEKNIS
[KAJIAN KHUSUS BBPSEKP TAHUN 2015]
Pengalihan Perdagangan (Trade Diversion)
Selanjutnya dengan model analisis yang sama, trade diversion merupakan dampak negatif
dari impor barang yang harganya relatif lebih murah dari negara bukan anggota FTA atau CU,
sehingga akan digantikan dengan impor yang harganya relatif lebih mahal dari negara anggota.
Hal ini dapat terjadi karena adanya preferential tariff yang diberikan kepada sesama negara
anggota.
Dengan demikian, trade diversion dapat mengurangi manfaat yang seharusnya
diperoleh dari spesialisasi perdagangan internasional berdasarkan comparative advantage. Ini
akibat adanya pergeseran produksi dari negara (bukan anggota) yang lebih efisien ke negara
(anggota) yang kurang efisien.
Dari gambar 4-9.3. terlihat bagaimana efek negatif dari trade diversion terjadi ketika
dilakukan
kesepakatan
perdagangan
bilateral.
Sebelum
diberlakukannya
kesepakatan
perdagangan, kurva penawaran komoditas X adalah dari negara 2 adalah sebesar S2+T, dari negara
1 sebesar S1+T, dan impor adalah sebesar JH dari negara 1, dan produksi domestik sebanyak GJ.
Selanjutnya setelah dilakukan kesepakatan perdagangan dengan negara 2, maka penawaran dari
negara 1 tetap pada S1+T, sedangkan penawaran dari negara 2 adalah S2, maka jumlah impor
adalah sebanyak CB dari negara 2, dan produksi domestik sebanyak G’C. Pada situasi ini terjadi
efek negatif dari Trade diversion setelah diberlakukannya kesepakatan dengan negara 2, sebesar
hilangnya kesempatan mengimpor dari negara 1 akibat tidak mengalami pencabutan tarif.
Secara umum, pengalihan perdagangan memiliki arti bahwa area perdagangan bebas
mengalihkan perdagangan, dari pemasok yang lebih efisien di luar FTA ke pemasok yang lebih
tidak efisien di dalam FTA. Dalam beberapa kasus, pengalihan perdagangan akan mengurangi
kesejahteraan suatu negara, akan tetapi di beberapa kasus kesejahteraan nasional dapat meningkat
dengan adanya pengalihan perdagangan. Penjelas lebih lanjut mengenai trade divertion (TD)
tersebut dapat dilihat melalui diagram yang tertera pada Gambar 4-9. 3.
HASIL KEGIATAN|Dampak Pemberlakuan Generalized System of Preference
(GSP) 2015 terhadap Ekspor KP Indonesia ke Pasar USA
175
LAPORAN TEKNIS
[KAJIAN KHUSUS BBPSEKP TAHUN 2015]
Px(U$)
Sx
E
G
G’
J
C
H
J’
H’
M
N
S1+T
B
S2
Dx
S1
Z
Gambar 4-9. 3.
Qx
Terjadinya Trade Diversion Sebagai Dampak Dari Kesepakatan
Perdagangan Bilateral
Sumber: Diadopsi dari D. Salvatore, 1993 dalam Hady, 2001
Diagram pada Gambar 4-9. 3 menunjukan kurva demand dan supply untuk Negara A. PB
dan PC menggambarkan harga pasokan barang dalam perdagangan bebas dari Negara B dan
Negara C dan sebaliknya. Perlu dicatat bahwa Negara C diasumsikan mampu untuk memasok
produk pada tingkat harga yang lebih rendah dibandingkan dengan Negara B.
Gambar 4-9. 4.
Trade Diversion
Sumber: Suranovic, 1999
HASIL KEGIATAN|Dampak Pemberlakuan Generalized System of Preference
(GSP) 2015 terhadap Ekspor KP Indonesia ke Pasar USA
176
LAPORAN TEKNIS
[KAJIAN KHUSUS BBPSEKP TAHUN 2015]
Diasumsikan bahwa A memiliki tariff spesifik tB = tC = t* dimana A mengimpor dari
Negara B dan C. Tarif mengakibatkan meningkatnya harga pasokan dalam negeri dari PTB ke
PTC. Besarnya tarif dinotasikan dengan garis hijau terputus dalam diagram, dimana menunjukan
bahwa t*=PTB – PB = PTC – PC.
Sejak diberlakukannya tarif, harga produk yang ditawarkan Negara C lebih murah, maka
Negara A akan mengimpor produknya dari Negara C dan tidak akan melakukan perdagangan
dengan Negara B. Import ditunjukan oleh garis merah, atau dengan jarak antara D1 – S1.
Sedangkan penerimaan tariff awal ditunjukan oleh area (c + e), dimana tingkat tariff dikalikan
dengan kuantitas barang yang diimpor.
Selanjutnya, asumsikan negara A dan B membentuk FTA dan A menghapuskan tariff
impornya dari Negara B. Sekarang tB = 0 tetapi tc sama seperti at t*. Harga barang dalam negeri
dari Negara B dan C sekarang menjadi PB dan PTc. Sejak PB < PTc, Negara A akan mengimpor
semua produk dari Negara B seteah adanya FTA dan tidak akan mengimpor apa-apa dari Negara
C. Pada harga dalam negeri yang lebih rendah, PB, import akan meningkat dari D2 ke S2, yang
ditunjukan oleh garis biru. Juga sejak adanya free trade, harga di Negara C lebih rendah
dibandingkan harga di Negara B, hal tersebut bisa dikatakan perdagangan dialihkan dari pemasok
yang lebih efisien ke pemasok yang lebih tidak efisien. Efek Kesejahteraan di Gambarkan dalam
Tabel 4-9.2 .
Tabel 4-9. 2.
Efek Kesejahteraan dari Free Trade terhadap Trade Divertion (TD)
Efek Kesejahteraan dari Free Trade Area membentuk Pengalihan Perdagangan
Negara A
Surplus Konsumen
+ (a + b + c + d)
Surplus Produsen
-a
Penerimaan Pemerintah
- (c + e)
Kesejahteraan Nasional
+ (b + d) – e
Sumber: Suranovic,1997
HASIL KEGIATAN|Dampak Pemberlakuan Generalized System of Preference
(GSP) 2015 terhadap Ekspor KP Indonesia ke Pasar USA
177
LAPORAN TEKNIS
[KAJIAN KHUSUS BBPSEKP TAHUN 2015]
Dampak FTA terhadap:
(1) Konsumen Negara A – Konsumen produk dari Negara yang mengimpor memperoleh
keuntungan dari adanya FTA. Penurunan harga dalam negeri dari barang impor dan subtitusi
dalam negeri meningkatkan surplus konsumen di dalam pasar. Berdasarkan Tabel dan
Gambar diatas dapat terlihat bagaimana besaran dari perubahan surplus konsumen;
(2) Produsen Negara A – Produsen di Negara pengimpor menderita kerugian sebagai akibat dari
FTA. Penurunan harga produk di pasar domestik mengurangi surplus produsen dalam
industri. Penurunan harga juga mengakibatkan penurunan output dari perusahaan yang sudah
ada sebelumnya (dan mungkin beberapa perusahaan akan menutup usahanya), penurunan
penyerapan tenaga kerja dan penurunan keuntungan dan atau pembayaran untuk biaya tetap.
Berdasarkan Tabel dan Gambar diatas dapat terlihat bagaimana besaran dari perubahan
surplus produsen;
(3) Pemerintah Negara A – Kerugian pemerintah adalah kehilangan seluruh penerimaan dari
tariff barang impor. Penurunan penerimaan pemerintah ini dapat juga mengurangi belanja
pemerintah atau bahkan meningkatkanhutang pemerintah. Berdasarkan Tabel dan Gambar
diatas dapat terlihat bagaimana besaran dari perubahan penerimaan pemerintah;
(4) Kesejahteraan Nasional Negara A – Kesejahteraan agregat bagi Negara dapat ditentukan
dengan menjumlahkan penerimaan dan kerugian konsumen, produsen dan pemerintah. Efek
bersihnya terdiri dari tiga komponen yaitu : (a) perolehan efisiensi produksi (b) perolehan
efisiensi konsumsi (c) dan kerugian penerimaan tarif. Perlu dicatat bahwa tidak semua
kerugian penerimaan tariff (c + e) ditunjukan dalam kerugian suatu Negara. Hal itu
dikarenakan beberapa dari kerugian total (area c) dipindahkan ke konsumen. Berdasarkan
Tabel dan Gambar diatas dapat terlihat bagaimana besaran dari perubahan kesejahteraan
nasional.
Pembahasan
US-GSP 2015
Hasil study pustaka terhadap berbagai dokumen terkait rejim GSP USA 2015 telah
memberikan beberapa informasi kunci yang dapat dirangkum sebagai berikut:

Rejim US-GSP 2015 – terkait produk KP – relatif tidak mengalami perbedaan dengan
rejim GSP USA 2012;

Di pasar USA, beneficiaries digolongkan menjadi kelompok A, yang umumnya terdiri
dari negara-negara berkembang (DC), dan A+ (LDC), yang umumnya negara-negara
kurang berkembang (LDC);
HASIL KEGIATAN|Dampak Pemberlakuan Generalized System of Preference
(GSP) 2015 terhadap Ekspor KP Indonesia ke Pasar USA
178
LAPORAN TEKNIS

[KAJIAN KHUSUS BBPSEKP TAHUN 2015]
Hingga 2015 ini, Indonesia masih merupakan salah satu dari 120 negara beneficiaries
yang tergolong kedalam kelompok A di pasar USA;

Berdasarkan daftar produk US-GSP yang dipublikasikan pada tahun 2012 dan berlaku
hingga saat ini, terdapat 34 Produk Perikanan Indonesia yang dapat memanfaatkan
fasilitas GSP ini;

Dari ke-34 produk yang berada pada daftar tersebut, berbagai produk perikanan unggulan
Indonesia, seperti Udang dan Tuna, tidak termasuk ke dalam daftar produk penerima
fasilitas GSP di pasar USA.
Perkembangan Ekspor Produk KP Indonesia ke USA Periode 2012-2014
Sepanjang periode 2010-2014, ekspor produk KP Indonesia ke USA mengalami
kecenderungan yang cukup menggembirakan. Data menunjukkan bahwa nilai ekspor Kelautan
dan Perikanan (KP) Indonesia ke USA mengalami peningkatan pesat sejak tahun 2010 yang lalu.
Seperti ditunjukkan pada Gambar 4-9. 5, terdapat kecenderungan pertumbuhan nilai ekspor
produk KP Indonesia ke USA, dari total senilai U$ 817.948.156 pada tahun 2010 menjadi senilai
U$ 1.798.285.130 pada tahun 2014.
1.800.000.000
492.024.232
1.600.000.000
1.400.000.000
365.385.137
1.200.000.000
256.340.865
1.000.000.000
800.000.000
203.523.948
600.000.000
400.000.000
257.473.909
614.424.208
1.306.260.898
768.917.319
839.364.912
925.226.675
200.000.000
-
2010
Gambar 4-9. 5.
2011
2012
2013
Perikanan Primer
Perikanan Olahan
2014
Perkembangan Nilai Ekspor Produk KP Indonesia ke USA, 2010-2014
Sumber: Olahan Database TRAINS, WITS
Meskipun nampak menggembirakan, dari sisi pertumbuhan, terlihat adanya perlambatan
pertumbuhan yang cukup tajam pada pra 2012. Dari pertumbuhan sebesar 25,3% pada 2010-2011,
total ekspor produk KP Indonesia ke USA meluncur turun ke angka pertumbuhan 7% pada periode
2011-2012. Akan tetapi selepas 2012, kembali terjadi lonjakan pertumbuhan total ekspor produk
KP yang cukup signifikan. Pertumbuhan total ekspor produk KP beranjak naik ke angka 17,7%
pada periode 2012-2013 dan mencapai 39,3% pada periode 2013-2014. Pertumbuhan dengan pola
serupa juga terjadi pada ekspor produk KP Primer yang terjun bebas dari angka 26,0% pada
HASIL KEGIATAN|Dampak Pemberlakuan Generalized System of Preference
(GSP) 2015 terhadap Ekspor KP Indonesia ke Pasar USA
179
LAPORAN TEKNIS
[KAJIAN KHUSUS BBPSEKP TAHUN 2015]
periode 2010-2011 ke angka 9,2% pada periode 2011-2012, lalu merangkak naik ke 10,2% pada
periode 2012-2013 dan melonjak tajam ke angka 41,2% pada periode 2013-2014. Pada ekspor
produk KP Olahan, terjadi pola pertumbuhan yang fluktuatif, dari pertumbuhan sebesar 0,4%
pada periode 2011-2012, meroket ke angka 41,9% pada periode 2012-2013 dan akhirnya sedikit
melambat ke angka 34,7% pada periode 2013-2014.
45,0%
41,9%
40,0%
39,3%
35,0%
41,2%
34,7%
Pertumbuhan Total Nilai
Ekspor
30,0%
25,0% 25,3%26,0%25,1%
20,0%
Pertumbuhan Nilai Ekspor
Perikanan Primer
17,7%
15,0%
10,0%
7,0%
5,0%
0,0%
2011
Gambar 4-9. 6.
9,2%
0,4%
2012
10,2%
Pertumbuhan Nilai Ekspor
Perikanan Olahan
2013
2014
Pertumbuhan Nilai Ekspor Produksi KP Indonesia ke USA, 2010-2014
Sumber: Olahan Database TRAINS, WITS
Hal menggembirakan yang terkuak dari data pada gambar 4-9.6 adalah adanya peralihan
ekspor produk KP Indonesia ke USA, dari produk primer ke produk olahan. Secara rata-rata, pada
periode pasca 2012, pertumbuhan ekspor yang dialami produk KP olahan adalah sebesar 38,3%.
Angka tersebut jauh melebihi angka pertumbuhan ekspor produk KP primer yang hanya mencapai
25,7%, bahkan berada di atas rata-rata total produk KP
(28%). Sehingga dapat tidak salah
apabila dikatakan bahwa lonjakan pertumbuhan ekspor produk KP Indonesia ke USA, yang
terjadi pasca 2012, tersebut didorong oleh terjadinya peningkatan pertumbuhan ekspor produk KP
olahan.
Peralihan ekspor produk KP Indonesia ke USA dari primer ke olahan seperti yang telah
disampaikan di atas masih jauh dari dari ideal. Dari sisi komposisi, terlihat bahwa produk primer
masih tetap mendominasi ekspor produk KP Indonesia ke USA. Seperti dapat diamati pada
gambar 4-9.7, terlihat betapa angka share ekspor produk KP primer Indonesia ke USA pra 2012
tidak bergeming dari angka 75%. Meskipun terjadi perubahan pada pasca 2012, akan tetapi share
ekspor produk KP primer Indonesia ke USA masih tetap cukup tinggi pada angka 72% dan 73%.
HASIL KEGIATAN|Dampak Pemberlakuan Generalized System of Preference
(GSP) 2015 terhadap Ekspor KP Indonesia ke Pasar USA
180
LAPORAN TEKNIS
100,00%
90,00%
80,00%
70,00%
60,00%
50,00%
40,00%
30,00%
20,00%
10,00%
0,00%
24,88%
[KAJIAN KHUSUS BBPSEKP TAHUN 2015]
25,00%
23,47%
28,31%
27,36%
Perikanan Olahan
75,12%
75,00%
76,53%
71,69%
72,64%
2010
2011
2012
2013
2014
Gambar 4-9. 7.
Perikanan Primer
Perkembangan Komposisi Ekspor Produk KP Indonesia ke USA, 20102014
Sumber: Olahan Database TRAINS, WITS
Perubahan seperti yang dicermati pada gambar 4-9.7 tersebut nampaknya berkaitan
dengan diberlakukannya rejim
GSP USA 2012.
Pada rejim GSP USA 2012, terdapat
kecenderungan pemberian fasilitas GSP, dengan tarif bea masuk sebesar 0%, atas produk-produk
KP Olahan. Seperti telah disampaikan pada bagian terdahulu, daftar produk GSP 2012 tersebut
masih diberlakukan hingga rejim GSP USA 2015 ini.
Hasil Simulasi Dampak Penerapan Rejim GSP 2015 di USA
Untuk mengetahui dampak dari penerapan rejim GSP USA 2015, maka telah dilakukan
sebuah simulasi dengan menggunakan model SMART yang dikembangkan oleh WITS-UNCTAD.
Tabel 4-9.3 menunjukkan hasil simulasi penerapan GSP 2015 USA terhadap ekspor Produk KP
Indonesia ke USA. Penerapan GSP berdasarkan rejim tahun 2015 di
pasar USA memberikan
potensi peningkatan ekspor bagi produk Perikanan Indonesia sebesar U$ 152.311.680 – dimana
senilai U$73.710.364 berupa Produk KP Primer dan senilai U$ 78.601.316 berupa produk KP
Olahan. Nilai peningkatan ekspor KP tersebut menempatkan Indonesia sebapai top 3 gainers
negara eksportir produk KP ke USA di bawah Thailand dan Malaysia.
HASIL KEGIATAN|Dampak Pemberlakuan Generalized System of Preference
(GSP) 2015 terhadap Ekspor KP Indonesia ke Pasar USA
181
LAPORAN TEKNIS
Tabel 4-9. 3.
No.
[KAJIAN KHUSUS BBPSEKP TAHUN 2015]
Hasil Simulasi Penerapan GSP 2015 di USA
Negara
Peningkatan Ekspor
Peningkatan Ekspor
KP Primer
KP Olahan
Peningkatan
Ekspor KP
Total
1
Thailand
82.946.173
103.178.075
186.124.248
2
Malaysia
47.173.322
114.075.237
161.248.559
3
Indonesia
73.710.364
78.601.316
152.311.680
4
Philippines
-
110.016.164
110.016.164
5
Argentina
23.850.254
81.756.199
105.606.453
6
Myanmar
19.489.368
83.055.908
102.545.276
7
Ecuador
1
86.179.131
86.179.132
8
China
16.547.285
67.414.126
83.961.411
9
India
-
82.429.763
82.429.763
10
Fiji
-
25.254.984
25.254.984
11
Venezuela
11.169.473
4.357
11.173.830
12
Bangladesh
-
10.300.391
10.300.391
13
Turkey
-
2.725.145
2.725.145
Sumber: Olahan SMART Model, WITS
Hal yang patut dicermati dari hasil simulasi tersebut adalah bahwa meskipun secara total
Indonesia berhasil menempati urutan ketiga, akan tetapi apabila dilihat dari sisi peningkatan
ekspor produk KP olahan ke USA, maka Indonesia hanya menempati urutan ke-8 di bawah
Argentina. Indonesia bahkan kalah cukup jauh di sisi peningkatan ekspor produk KP olahan ketika
dibandingkan dengan empat tetangga pesaing di ASEAN – Malaysia yang menempati posisi
pertama, Philippines di posisi kedua, Thailand di posisi ketiga dan Myanmar di posisi kelima. Hal
tersebut mengindikasikan betapa Indonesia sangat tertinggal oleh negara-negara pesaingnya
dalam mengembangkan produk KP olahan, sehingga respon terhadap perubahan kebijakan pada
rejim GSP USA 2015 tersebut menjadi kurang tinggi.
Kesimpulan
Secara ringkas, kajian yang dilakukan telah menghasilkan beberapa kesimpulan seperti
di bawah berikut:

Data menunjukkan terdapat kecenderungan pertumbuhan ekspor produk perikanan
Indonesia ke USA sejak periode 2012-2014, seiring dengan diberlakukannya kebijakan
US-GSP 2012;
HASIL KEGIATAN|Dampak Pemberlakuan Generalized System of Preference
(GSP) 2015 terhadap Ekspor KP Indonesia ke Pasar USA
182
LAPORAN TEKNIS

[KAJIAN KHUSUS BBPSEKP TAHUN 2015]
Terdapat kecenderungan peningkatan pangsa ekspor produk KP olahan ke pasar USA –
meskipun kecil – pada periode 2012-2014 lalu. Hal ini nampaknya terkait dengan adanya
insentif pada US-GSP 2012 yang cenderung memberikan kemudahan bagi produk KP
olahan dibandingkan produk KP primer;

Berbagai produk perikanan unggulan Indonesia, seperti Udang dan Tuna, tidak termasuk
ke dalam daftar produk penerima fasilitas GSP;

Hasil simulasi menunjukkan bahwa rejim terkini GSP di USA (2015), jika dimanfaatkan,
akan dapat mendorong peningkatan ekspor produk KP Indonesia ke USA, terutama untuk
komoditas olahan.
Rekomendasi dan Implikasi Kebijakan
Rekomendasi Kebijakan
Mengingat potensi manfaatnya yang sangat baik dalam mendorong peningkatan ekspor
Produk Olahan Ikan ke pasar USA, maka kebijakan GSP USA 2015 ini perlu disikapi melalui
beberapa kebijakan sebagai berikut:

Peningkatan kesadaran para eksportir produk olehan perikanan terkait fasilitas GSP, agar
para eksportir yang sudah ada sekarang mampu memanfaatkan fasilitas tersebut secara
maksimal di jangka pendek;

Merubah mindset ekspor ke USA, mengurangi ketergantungan terhadap ekspor
komoditas primer dan beralih ke eksor produk olahan, untuk mendorong ekspor produk
perikanan Indonesia ke Indonesia di jangka panjang;

Mempercepat perkembangan pengolah produk perikanan – terutama di Indonesia Timur
– untuk mendorong peningkatan produksi olahan perikanan di jangka panjang.
Implikasi Kebijakan
Beberapa program yang harus disiapkan oleh KKP untuk menyikapi kebijakan perdagangan USA
– melalui rejim US-GSP 2015 – adalah:

Kebijakan sosialisasi mengenai kelengkapan dokumen-dokumen ekspor produk-produk
perikanan yang termasuk ke dalam daftar GSP USA;

Melanjutkan dan mengintensifkan kebijakan industrialisasi produk perikanan;

Membangun Indonesia Timur sebagai pusat Industri produk olahan perikanan Indonesia;

Mempersiapkan jalur logistik dan ekspor ikan nasional;

Mempermudah permodalan bagi pengusaha pengolah produk perikanan kecil dan
menengah di Indonesia Timur.
HASIL KEGIATAN|Dampak Pemberlakuan Generalized System of Preference
(GSP) 2015 terhadap Ekspor KP Indonesia ke Pasar USA
183
LAPORAN TEKNIS
[KAJIAN KHUSUS BBPSEKP TAHUN 2015]
Daftar Pustaka
Amjadi, A., Schuler, P., Kuwahara, H., & Quadros, S. (2011). WITS. User's Manual. Geneva:
World Bank.
Jammes, O., & Olarreaga, M. (2005). Explaining SMART and GSIM. The World Bank.
Krugman, P. R. (1991). Ekonomi Internasional Teori dan Kebijakan. Jakarta: PT. RajaGrafindo
Persada.
Laird, S., & Yeats, A. (1986). The UNCTAD Trade Policy Simulation Model. Geneva: UNCTAD.
Office of the United States Trade Representatives. (2012). GSP Eligible: All BDCs . Washington,
D.C.: Office of the United States Trade Representatives.
Office of the United States Trade Representatives. (2015). GSP - Eligible Agricultural Product.
Washington, D.C.: Office of the United States Trade Representatives.
Office of the United States Trade Representatives. (2015). GSP GUIDE BOOK. Washington,
D.C.: Office of the United States Trade Representatives.
Pratomo, W. (2004). Teori Kerjasama Perdagangan Internasional. Dalam S. Arifin, D. E. RAE, &
C. P. Joseph., Kerja Sama Perdagangan Internasional : Peluang dan Tantangan Bagi
Indonesia. Jakarta: PT. Gramedia.
Sobri. (2001). Perdagangan Bebas dan Proteksi dalam buku Ekonomi Internasional. Teori,
Masalah dan Kebijaksanaannya, Edisi Revisi. Yograkarta: BPFE UII .
HASIL KEGIATAN|Dampak Pemberlakuan Generalized System of Preference
(GSP) 2015 terhadap Ekspor KP Indonesia ke Pasar USA
184
LAPORAN TEKNIS
4.10.
[KAJIAN KHUSUS BBPSEKP TAHUN 2015]
Kajian Supply Ikan di Pasar Domestik dalam Rangka Kesiapan Menghadapi Natal
2015 dan Tahun Baru 2016
Pendahuluan
Latar Belakang
Pembangunan pangan merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dengan
pembangunan nasional. Hal tersebut dituangkan pada Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2007
tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional tahun 2005 hingga 2025, yang
menegaskan bahwa “pembangunan dan perbaikan gizi dilaksanakan secara lintas sektor meliputi
produksi, pengolahan, distribusi hingga konsumsi pangan dengan kandungan gizi yang cukup,
seimbang serta terjamin keamanannya”. Berdasarkan peraturan perundangan tersebut dapat
dilihat bahwa pangan merupakan dasar utama untuk mewujudkan sumber daya manusia yang
berkualitas yang sangat ditentukan oleh status gizi yang baik. Apabila dicermati maka hal ini
selaras dengan konsep ketahanan pangan nasional yang dituangkan pada Undang-Undang Nomor
18 Tahun 2012, bahwa “Ketahanan Pangan adalah kondisi terpenuhinya pangan bagi negara
sampai dengan perseorangan, yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah
maupun mutunya, aman, beragam, bergizi, merata, dan terjangkau serta tidak bertentangan
dengan agama, keyakinan, dan budaya masyarakat, untuk dapat hidup sehat, aktif, dan produktif
secara berkelanjutan”.
Sektor perikanan berpeluang untuk menopang program nasional ketahanan pangan,
terutama dalam hal pencukupan kebutuhan protein. Ikan merupakan sumber pangan yang
memiliki kandungan protein hewani tinggi dan menyumbang sebesar 55% dalam penyediaan
protein di Indonesia (Heruwati, 2002). Selain itu kapasitas produksi sumberdaya perikanan
Indonesia cukup memadai. Mengacu pada data Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), pada
tahun 2013 volume produksi ikan segar adalah sebesar 19,56 juta ton, produksi ikan olahan
sebesar 4,1 juta ton volume ekspor sebesar 621ribu ton, volume impor produk perikanan sebesar
155 ribu ton dan konsumsi ikan sebesar 12,2 juta ton.
Bukti empiris memperlihatkan adanya indikasi yang sangat kuat terjadinya peningkatan
konsumsi ikan, seiring dengan peningkatan tingkat konsumsi ikan dari tahun ke tahun.
Berdasarkan data yang dikeluarkan oleh KKP (2014), tahun 2006 tingkat konsumsi ikan adalah
25,03 kg/kap/tahun. Pada tahun 2010 tingkat konsumsi ikan penduduk Indonesia sudah mulai
memenuhi standar FAO, yaitu 30.48 kg/kapita per tahun, namun tingkat konsumsi ikan tersebut
masih tergolong rendah diantara beberapa negara di dunia. Pada tahun 2013 tingkat konsumsi
ikan adalah sebesar 35,14/kg/kap/tahun atau meningkat rata-rata hampir sebesar 4,97 %/tahun
(KKP, 2013).
HASIL KEGIATAN|Kajian Supply Ikan di Pasar Domestik dalam Rangka
Kesiapan Menghadapi Natal 2015 dan Tahun Baru 2016
185
LAPORAN TEKNIS
[KAJIAN KHUSUS BBPSEKP TAHUN 2015]
Pada bulan-bulan tertentu seperti hari raya natal dan tahun baru biasanya semua bahan
pangan mengalami peningkatan permintaan yang berpengaruh pada stok barang termasuk
komoditas ikan. Permintaan yang tinggi terhadap suatu barang biasanya dapat menyebabkan
kenaikan harga barang.
Barang yang biasanya mengalami kenaikan harga yaitu tujuh
komoditasutamapangan antara lain minyak goreng, daging sapi, daging ayam, hortikultura, gula
pasir, tepung terigu, ikan dan udang serta beras. Oleh karena itu, dalam rangka pemenuhan
kebutuhan pangan termasuk ikan menjelang hari raya natal dan tahun baru, data dan informasi
tentang stok ikan di pasar domestik dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan dalam
melakukan perencanaan, evaluasi dan antisipasi ketersediaan ikan. Kajian ini juga akan
dilengkapi dengan analisis preferensi konsumen yang bertujuan melihat minat konsumen pada
komoditas pangan ikani. Hal ini dibutuhkan untuk mengantisipasi kebutuhan ikan pada hari raya
tersebut termasuk jenis dan bentuk ikan yang diminati konsumen.
Perumusan Masalah
Pada Bulan Desember dimana terdapat hari raya natal dan tahun baru, permintaan ikan
mengalami kenaikan karena konsumsi ikan meningkat. Apalagi stok ikan tidak memiliki
distribusi yang merata maka harus dipikirkan bagaimmana kondisi ketersediaan ikan pada lokasilokasi yang memiliki jumlah penganut Kristiani yang tinggi. Agar tidak terjadi gejolak pada
masyarakat, pemerintah perlu menciptakan situasi yang kondusif dengan cara memenuhi
permintaan pasar. Untuk mencukupi permintaan atau kebutuhan ikan pada hari natal dan tahun
baru, pemerintah perlu mengetahui ketersediaan (stok) ikan yang ada dan kecukupannya serta
pendistribusiannya.
Pada akhir tahun biasanya harga-harga kebutuhan mulai mengalami kenaikan dan seolah
sulit untuk dihindarkan.
Fenomena kenaikan harga menjelang natal dan tahun baru merupakan
siklus tahunan dipicu oleh lonjakan permintaan bahan-bahan pokok dan dapat diperburuk pada
situasi kelangkaan. Lonjakan harga terjadi khususnya pada komoditas daging, ayam dan telur,
dimana komoditas tersebut dianggap sebagai masakan yang dihidangkan selama perayaan natal
dan tahun baru. Ikan sebagai salah satu sumber protein juga harus dilihat dalam ketersediaanya.
Selain untuk antisipasi kebutuhan juga dapat digunakan sebagai salah satu alternatif bahan
masakan dalam merayakan hari raya natal dan tahun baru.
Oleh karena itu, dalam rangka pemenuhan kebutuhan pangan termasuk ikan menjelang hari
raya natal dan tahun baru, data dan informasi terkait stok ikan di pasar domestik dapat dijadikan
sebagai bahan pertimbangan dalam melakukan perencanaan, evaluasi dan antisipasi ketersediaan
ikan. Dengan demikian, perlu kajian mengenai ketersediaan ikan (stok ikan) selama bulan tersebut
dan analisis preferensi konsumen.
HASIL KEGIATAN|Kajian Supply Ikan di Pasar Domestik dalam Rangka
Kesiapan Menghadapi Natal 2015 dan Tahun Baru 2016
186
LAPORAN TEKNIS
[KAJIAN KHUSUS BBPSEKP TAHUN 2015]
Tujuan Penelitian
Tujuan dari kajian ini adalah :
1. Mengkaji ketersediaan stok ikan di pasar domestik menjelang Hari Raya Natal dan Tahun
Baru;
2. Menganalisis preferensi konsumen terhadap produk makanan hewani
3. Merumuskan kebijakan dan strategi kecukupan stok ikan menjelang Hari Raya Natal dan
Tahun Baru.
Keluaran
Keluaran dari Kajian Supply Ikan di Pasar Domestik Dalam Rangka Kesiapan Menghadapi
Hari Raya Natal 2015 dan Tahun Baru 2016 adalah tersusunnya rekomendasi kebijakan tentang
status ketersediaan ikan dan kecukupan stok ikan menjelang Hari Raya Natal dan Tahun Baru.
Tinjauan Pustaka
Ketahanan Pangan
Pengertian tentang ketahanan pangan (food security) berubah dari waktu ke waktu.
Pengertian luas ketahanan pangan adalah terjaminnya akses pangan buat segenap rumah tangga
serta individu setiap waktu sehingga mereka dapat bekerja dan hidup sehat (Braun dkk, 1992;
Soetrisno, 1995; Suhardjo, 1995; Suhardjo, 1996; Soetrisno, 1997). Di Indonesia pengertian
ketahanan pangan tercantum dalam Undang-Undang RI Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan
adalah bahwa kemampuan setiap individu atau rumah tangga untuk mendapatkan bahan makanan
yang cukup, aman, dan bergizi yang memenuhi kebutuhan makanan sesuai dengan standar untuk
hidup sehat.
Selanjutnya berubah
dalam Undang-Undang RI No 18 Tahun 2012 tentang
Pangan bahwa ketahanan pangan adalah kondisi terpenuhinya pangan bagi negara sampai dengan
perseorangan, yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya,
aman, beragam, bergizi, merata, dan terjangkau serta tidak bertentangan dengan agama,
keyakinan, dan budaya masyarakat, untuk dapat hidup sehat, aktif, dan produktif secara
berkelanjutan.
Menurut Soetrisno (1995) terdapat dua komponen penting dalam ketahanan pangan yaitu
ketersediaan dan akses terhadap pangan.
Maka tingkat ketahanan pangan suatu negara/wilayah
dapat bersumber dari kemampuan produksi, kemampuan ekonomi untuk menyediakan pangan
dan kondisi yang membedakan tingkat kesulitan dan hambatan untuk akses pangan.
Menurut
Pribadi (2005) cakupan ketahanan pangan adalah: (1) Ketersediaan ketersediaan pangan
mencakup produksi, cadangan dan pemasukan; (2) Distribusi/aksesibilitas mencakup akses fisik
(mudah dijangkau) dan ekonomi (terjangkau daya beli) bagi individu untuk mendapatkan pangan;
HASIL KEGIATAN|Kajian Supply Ikan di Pasar Domestik dalam Rangka
Kesiapan Menghadapi Natal 2015 dan Tahun Baru 2016
187
LAPORAN TEKNIS
[KAJIAN KHUSUS BBPSEKP TAHUN 2015]
serta (3) Konsumsi mencakup mutu dan keamanan serta kecukupan gizi individu. Dengan
demikian ketahanan pangan bukan hanya mengenai masalah produksi, tetapi juga merupakan
masalah keterjangkuan dan distribusi. Hal senada dinyatakan Sawit dan Ariani (1997) bahwa
penentu ketahanan pangan di tingkat rumah tangga adalah akses terhadap pangan, ketersediaan
pangan dan resiko yang terkait dengan akses ketersediaan pangan tersebut.
Ketersediaan/Stok Ikan
Stok merupakan sejumlah bahan makanan yang dikuasai/disimpan oleh pemerintah atau
swasta seperti yang terdapat di pabrik, gedung, depo, lumbung petani/rumah tangga dan
pasar/pedagang yang dimaksudkan sebagai cadangan dan akan digunakan apabila sewaktu-waktu
diperlukan.
Perubahan stok merupakan selisih antara stok akhir tahun dengan stok awal tahun.
Perubahan stok ini hasilnya bisa negatif dan positif. Bila negatif berarti ada penurunan stok
akibat pelepasan stok ke pasar. Sedangkan bila positif berarti ada peningkatan stok yang berasal
dari komoditas yang beredar di pasar.
Dengan demikian komoditas yang beredar di pasar
menjadi menurun (BPS, 2010).
Ketersediaan pangan merupakan suatu kondisi penyediaan pangan yang mencakup
makanan dan minuman yang berasal dari tanaman, ternak dan ikan bagi penduduk suatu wilayah
dalam suatu kurun waktu tertentu, yang juga merupakan suatu sistem yang berjenjang mulai dari
nasional, provinsi, lokal dan rumah tangga.
Ketersediaan pangan ditingkat rumah tangga harus
selalu dijaga agar keluarga tetap cukup kebutuhan pangannya yang sekaligus akan berdampak
positif terpelihara kesehatannya karena kecukupan gizi selalu terjamin (Indriana dan Widajanti,
2005). Ketersediaan pangan mencakup aspek produksi dan distribusi pangan, dalam konteks
perikanan ketersediaan ikan dihitung dengan memperhatikan produksi, ekspor dan impor hasil
perikanan. Ketersediaan ikan dihitung dengan menggunakan Neraca Bahan Makanan (NBM)
dimana NBM merupakan tabel yang memuat informasi tentang situasi pengadaan (produksi,
cadangan/stok, impor/ekspor), penggunaan (pemakaian untuk pakan, benih, industri pangan dan
non pangan, tercecer) serta penyediaan pangan subsektor perikanan untuk dikonsumsi penduduk
pada suatu wilayah (negara/propinsi/kabupaten) dalam suatu kurun waktu tertentu.
Ketersediaan pangan mencerminkan pangan yang tersedia untuk dikonsumsi masyarakat,
yang merupakan produksi domestik yang dikoreksi dengan penggunaan untuk bibit/benih,
industri, kehilangan/susut, ekspor dan stok ditambah impor. Perkembangan ketersediaan pangan
di Indonesia secara keseluruhan masih di atas yang dianjurkan Widyakarya Nasional Pangan dan
Gizi. Rata-rata kecukupan energi dan protein bagi penduduk Indonesia masing-masing sebesar
2150 Kilo kalori dan 57 gram per orang per hari pada tingkat konsumsi (Permenkes No 75 Tahun
2013).
HASIL KEGIATAN|Kajian Supply Ikan di Pasar Domestik dalam Rangka
Kesiapan Menghadapi Natal 2015 dan Tahun Baru 2016
188
LAPORAN TEKNIS
[KAJIAN KHUSUS BBPSEKP TAHUN 2015]
Pemenuhan Protein Hewani Ikan
Tingkat konsumsi merupakan ukuran yang digunakan untuk melihat tinggi atau rendahnya
permintaan seseorang terhadap barang atau jasa tertentu, dalam hal ini permintaan untuk
mengkonsumsi ikan. Tingkat konsumsi akan sangat berpengaruh terhadap pola dan gaya hidup
konsumen.
Tingkat konsumsi biasanya disesuaikan dengan pendapatan, harga produk dan
tingkat kebutuhannya.
Menurut Oktari (2008), tingkat konsumsi ikan merupakan banyaknya ikan yang
dikonsumsi oleh individu dalam satuan gram/kapita/hari. Tingkat konsumsi seorang dengan yang
lain berbeda, karena adanya perbedaan ini maka cara dan besarnya konsumsi seorang dengan
yang lain akan berbeda. Tingkat konsumsi dapat juga dijadikan sebagai tolak ukur seseorang
untuk menilai kekayaan atau kesejahteraan.
Konsumsi ikan banyak dipengaruhi oleh ikan yang tersedia, dimana ketersediaan ikan ini
juga banyak ditentukan oleh produksi. Namun menurut Suhardjo (1990), walaupun produksi ikan
cukup, tidak berarti konsumsi ikan juga cukup karena banyak faktor yang sangat berpengaruh
dalam hal mengkonsumsi ikan.
Menurut Ariningsih (2004), tingkat kecukupan protein adalah banyaknya asupan protein
seseorang dibandingkan dengan asupan protein yang dianjurkan untuk memenuhi kebutuhan
hidupnya.
Penggunaan nilai protein cukup untuk menggambarkan kecukupan pangan rumah
tangga, karena konsumsi protein dibutuhkan untuk memulihkan sel-sel tubuh yang rusak pada
usia dewasa atau untuk menjamin pertumbuhan normal pada usia muda (Irawan, 2002).
Protein terdiri dari asam-asam amino.
Disamping menyediakan asam amino esensial,
protein juga mensuplai energi dalam keadaan energi terbatas dari karbohidrat dan lemak.
Protein atau asam amino esensial berfungsi terutama sebagai katalisator, pembawa, pengerak,
pengatur, ekpresi genetik, neurotransmitter, penguat struktur, penguat immunitas dan untuk
pertumbuhan (Hardinsyah et al., 2001). Ikan sebagai pendamping pangan pokok seperti nasi,
umbi-umbian dan meningkatkan mutu protein pangan pokok yang dikonsumsi (Karyadi dan
Muhilal, 1987).
Preferensi Konsumsi Ikan
Sikap konsumen merupakan konsep paling penting dalam studi perilaku konsumen.
Dengan mengetahui sikap konsumen, para pemasar dapat mempengaruhi pelaku pembelian
konsumen.
Teori terbaru menganggap bahwa sikap konsumen memiliki sifat multi dimesi,
sehingga pendekatan yang dilakukan harus bersifat multi atribut.
Menurut Schifman dan
Kanuk (2000) analisa sikap terdapat pendapat tersebut dapat dipahami bahwa preferensi
konsumen merupakan nilai-nilai yang dianut dan dipertahankan oleh konsumen. Kotler (2000)
HASIL KEGIATAN|Kajian Supply Ikan di Pasar Domestik dalam Rangka
Kesiapan Menghadapi Natal 2015 dan Tahun Baru 2016
189
LAPORAN TEKNIS
[KAJIAN KHUSUS BBPSEKP TAHUN 2015]
mendefisinikan preferensi konsumen sebagai suatu pilihan suka atau tidak suka oleh seseorang
terhadap produk yang dikonsumsi. Preferensi konsumen menunjukan kesukaan konsumen dari
berbafai pilihan produk yang ada. Dengan demikian, preferensi merupakan gambaran-gambaran
dari nilai-nilai terbaik yang dipertimbangkan konsumen dalam menentukan sebuah pilihan.
Sudibyo (2002) mengatakan bahwa faktor-faktor yang menentukan preferensi konsumen terbagi
menjadi dua, yaitu : 1) Bersifat ekonomis, mencakup nilai dari pengorbanan dan manfaat yang
dapat diraih; dan 2) Bersifat non ekonomis, mencakup kebutuhan aktualisasi diri dan penghargaan
dari lingkungan.
Pengukuran terhadap preferensi konsumen sangat penting untuk dilakukan karena sebagai
dasar untuk menarik minat konsumen terhadap suatu produk tertentu dan acuan bagiperusahaan
untuk program-program pembangunan loyalitas konsumen.
Selain itu, keberlangsungan
interaksi antara perusahaan dengan konsumen dapat terus dipertahankan. Sehingga dapat
dikatakan bahwa pengukuran tingkat preferensi konsumen pada dasarnya berkaitan dengan
pengukuran faktor-faktor yang membentuk sebuah preferensi konsumen.
Saat ini terjadi perubahan preferensi konsumen yang ditunjukkan dengan semakin
banyaknya atribut suatu produk yang harus dievaluasi. Saat ini dan pada masa yang akan datang,
konsumen tidak hanya mengevaluasi suatu komoditas berdasarkan atribut utama (seperti jenis dan
harga), tetapi menuntut pula atribut yang lebih lengkap dan rinci, seperti:
a. Kualitas (komposisi bahan baku)
b. Komposisi nutrisi (kandungan lemak, asam amino, vitamin, dan kolesterol)
c. Keselamatan mengkonsumsi (kandungan residu antibiotika, pestisida, dan kandungan
mikroorganisme)
d. Lingkungan hidup (terkait dengan kelestarian alam)
e. Jenis dan efektivitas pelayanan
Kolter (2000) mengemukakan 4 (empat) macam perilaku pembelian konsumen :
a. Perilaku pembelian rumit, terjadi bila produk mahal, jarang dibeli, berisiko, sangat
mengekpresikan diri, dan pembeli dihadapkan pada banyak pilihan dengan perbedaan yang
sangat besar antar merk.
b. Perilaku pembelian pengurangan ketidaknyamanan, terjadi apabila konsumen sangat terlibat
dalam proses pembelian dan hanya terdapat sedikit perbedaan antar merk
c. Perilaku pembelian karena kebiasaan, terjadi bila keterlibatan konsumen dalam pembelian
rendah dan hanya terdapat sedikit perbedaan antar merk. Sehingga konsumen cenderung
menjadi penerima informasi pasif melalui iklan dan pembelian tidak terikat pada merk
tertentu. Pada perilaku pembelian ini program promosi dan penurunan harga sangat
berdampak pada penjualan.
HASIL KEGIATAN|Kajian Supply Ikan di Pasar Domestik dalam Rangka
Kesiapan Menghadapi Natal 2015 dan Tahun Baru 2016
190
LAPORAN TEKNIS
[KAJIAN KHUSUS BBPSEKP TAHUN 2015]
d. Perilaku pembelian yang mencari variasi, ditandai dari seringnya konsumen melakukan
pergantian merk yang bukan disebabkan karena ketidakpuasan terhadap produk, melainkan
hanya untuk mencari variasi produk.
Metode Penelitian
Kerangka Pendekatan
Untuk mengkaji supply ikan di pasar domestik menghadapi hari raya natal dan tahun baru
dilakukan dengan pendekatan konsep ketersediaan pangan khususnya ikan. Ketersediaan ikan
diperoleh dari produksi ikan, cadangan ikan dan pemasukan ikan. Ketersediaan ikan sendiri
terkait faktor jumlah penduduk, yang berimplikasi bahwa peningkatan jumlah penduduk akan
mempengaruhi permintaan ketersediaan ikan untuk dikonsumsi. Oleh karena itu ketersediaan ikan
harus dipertahankan sama atau lebih besar daripada kebutuhan penduduk. Secara ringkas
kerangka pendekatan penelitian disajikan pada Gambar 4-10.1.
Produksi ikan
Cadangan ikan
Pemasukan ikan
Ketersediaan
ikan
Penduduk
Kebutuhan
Konsumsi
ikan
ikan
Preferensi
Gambar 4-10. 1. Kerangka Pendekatan Kajian Supply Ikan di Pasar Domestik
Menghadapi Hari Natal dan Tahun Baru 2016
HASIL KEGIATAN|Kajian Supply Ikan di Pasar Domestik dalam Rangka
Kesiapan Menghadapi Natal 2015 dan Tahun Baru 2016
191
LAPORAN TEKNIS
[KAJIAN KHUSUS BBPSEKP TAHUN 2015]
Jenis dan Sumber Data
Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan sekunder. Data-data
sekunder yang digunakan antara lain jumlah penduduk, jumlah konsumsi ikan, jumlah konsumsi
protein, potensi ikan, produksi ikan, ekspor perikanan, impor perikanan dan pengolahan
perikanan. Sumber data berasal dari Badan Pusat Statistik (BPS) dan Kementerian Kelautan dan
Perikanan (KKP).
Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian dilaksanakan di DKI Jakarta, Kota Medan (Sumatera Utara) dan Kota Manado
(Sulawesi Utara) pada bulan November - Desember 2015. Lokasi penelitian dipilih secara sengaja
(purposive), yang diambil dengan pertimbangan-pertimbangan tertentu sesuai tujuan penelitian
(Singarimbun dan Effendi, 1995). Pemilihan lokasi Kota Medan dan Kota Manado sebagai lokasi
penelitian berdasarkan dominasi penduduk kristiani dan dominasi produksi perikanan serta
aksesibilitas menuju lokasi tersebut.
Metode Pengumpulan dan Analisis Data
Metode yang digunakan dalam kajian ini adalah survey lapang dan desk study. Untuk
survey lapang akan dilakukan observasi dan wawancara dengan kuesioner. Sedangkan untuk
metode desk study, akan dikaji berbagai literatur, data pendukung serta hasil studi yang telah
dilakukan oleh berbagai pihak terutama yang berhubungan dengan kegiatan kajian yang akan
dilakukan.
Tabel 4-10. 1.
Jenis dan Kebutuhan Data Kajian
No
Jenis Data
Sumber Data
1
Jumlah produksi perikanan
KKP
2
Tingkat konsumsi ikan
KKP
3
Kansumsi kalori dan protein ikan
BPS
4
Harga ikan
KKP, BPS
5
Inflasi bahan makanan
BPS
6
Jumlah ekspor perikanan
KKP
7
Preferensi konsumsi ikan
Primer
HASIL KEGIATAN|Kajian Supply Ikan di Pasar Domestik dalam Rangka
Kesiapan Menghadapi Natal 2015 dan Tahun Baru 2016
192
LAPORAN TEKNIS
[KAJIAN KHUSUS BBPSEKP TAHUN 2015]
Data yang terkumpul dianalisis secara deskriptif kuantitatif sehingga mencapai keluaran
rekomendasi tentang ketersediaan supply ikan menghadapi hari raya Natal 2015 dan Tahun Baru
2016.
Metode Analisis Data
Kajian ini menggunakan pendekatan non parametrik (tidak memerlukan distribusi normal
pada populasi/sampel) untuk mengukur 2 analisis meliputi: 1) analisis deskriptif untuk
menentukan ketersediaan dan permintaan ikan; dan 2) ketidakstabilan harga ikan melalui
Coppock Instability Index (CII) yang dikembangkan oleh Coppock (1962).
Analisis Deskriptif
Analisis deskriptif dilakukan terhadap permintaan dan ketersediaan ikan. Tingkat
permintaan ikan dihitung berdasarkan perubahan harga ikan pada tingkat konsumen. Status
permintaan ikan dibagi menjadi 3 kategori yaitu: 1) rendah jika total 1 – 9 jenis komoditas ikan
mengalami kenaikan harga; 2) sedang jika total 10 – 18 jenis komoditas ikan mengalami kenaikan
harga; dan 3) tinggi jika total 19 – 27 jenis komoditas ikan mengalami kenaikan harga.
Status ketersediaan ikan/supply ikan dapat dilihat melalui pengkategorian sebagai berikut :
1) bila volume produksi pada suatu kwartal lebih dari volume produksi rata-rata maka dapat
dikatakan cukup tersedia pada kwartal tersebut; dan 2) bila volume produksi pada suatu kwartal
kurang dari volume produksi rata-rata maka dapat dikatakan kurang tersedia pada kwartal tersebut.
Analisis Indeks Ketidakstabilan
Indeks ketidakstabilan dihasilkan dari CII adalah ketidakstabilan harga ikan yang
dipengaruhi oleh banyak faktor seperti musim penangkapan, fluktuasi permintaan ikan
masyarakat dan berbagai faktor lainnya termasuk permintaan menjelang perayaan hari natal dan
tahun baru. Harga ikan yang dianalisis merupakan harga ikan dari 27 komoditas perikanan pada
masa menjelang dan setelah hari natal dan tahun baru (bulan November dan Desember tahun 2014
serta bulan Januari tahun 2015).
Metode Coppock Instability Index (CII) dapat dituliskan
sebagai berikut (Fauzi, 2010; Fauzi dan Anna, 2010):
CII= |anti log √log 𝑣 − 1| ∗ 100
Dimana
log v didefisnisikan sebagai:
1
Vlog =𝑛−1 ∑ ((𝑙𝑜𝑔𝑥𝑖+1−𝑥1 ) −
∑ (𝑙𝑜𝑔𝑥𝑖+1 −𝑋𝑖)
𝑖
𝑛−1
)
HASIL KEGIATAN|Kajian Supply Ikan di Pasar Domestik dalam Rangka
Kesiapan Menghadapi Natal 2015 dan Tahun Baru 2016
193
LAPORAN TEKNIS
[KAJIAN KHUSUS BBPSEKP TAHUN 2015]
Keterangan :
CII
: Coppock Instability Indexs
n
: Jumlah tahun;
x
: Nilai variabel yang diobservasi
t
: Tahun
Hasil indeks yang tinggi menunjukkan tingginya ketidakstabilan variabel ekonomi
perikanan yang diukur yang dapat disimpulkan merupakan interaksi dari berbagai faktor (Fauzi,
2010; Fauzi dan Anna, 2010). Apabila digunakan dengan indikator pertumbuhan (CGR), CII
dapat menjadi instrumen yang kuat untuk membaca perkembangan perkembangan perikanan
selama kurun waktu yang panjang (Fauzi, 2010).
Hasil Dan Pembahasan
Komposisi Penduduk Indonesia
Jumlah penduduk Indonesia berdasarkan hasil sensus penduduk tahun 2010 adalah
237,641,326 jiwa dengan penduduk yang beragama Kristen dan protestan adalah sebanyak
23,436,386 jiwa. Sebagian besar tinggal di wilayah timur Indonesia dengan persentase terbesar
yaitu 89% tinggal di Propinsi Nusa Tenggara Timur, selanjutnya di Papua (83%) dan Sulawesi
Utara (68%).
Untuk wilayah Indonesia bangian barat sebagian besar tinggal di Propinsi
Sumatera Utara sebanyak 31%. Pada tahun 2015 berdasarkan hasil proyeksi diperkirakan jumlah
penduduk Indonesia adalah 255,461,700 jiwa dengan rata-rata peningkatan penduduk sebesar
7,5%. Sebaran jumlah penduduk Indonesia yang beragama Kristiani dan proyeksi penduduk tahun
2015 dapat dilihat pada Tabel 4-10. 2 berikut.
Tabel 4-10. 2.
Sebaran jumlah penduduk Indonesia yang beragama Kristiani tahun 2010
dan proyeksi penduduk tahun 2015
No
Propinsi
1
Aceh
2
Penduduk
Penduduk
Kristiani
Persentase
Proyeksi 2015
4,494,410
53,624
1,19
5,002,000
Sumatera Utara
12,982,204
4,025,737
31,01
13,937,800
3
Sumatera Barat
4,846,909
109,681
2,26
5,196,300
4
Riau
5,538,367
529,078
9,55
6,344,400
5
Jambi
3,092,265
95,561
3,09
3,402,100
6
Sumatera Selatan
7,450,394
114,671
1,54
8,052,300
7
Bengkulu
1,715,518
35,088
2,05
1,874,900
8
Lampung
7,608,405
184,269
2,42
8,117,300
HASIL KEGIATAN|Kajian Supply Ikan di Pasar Domestik dalam Rangka
Kesiapan Menghadapi Natal 2015 dan Tahun Baru 2016
194
LAPORAN TEKNIS
No
9
[KAJIAN KHUSUS BBPSEKP TAHUN 2015]
Propinsi
Kep.
Penduduk
Penduduk
Kristiani
Persentase
Proyeksi 2015
Bangka
Belitung
1,223,296
36,791
3,01
1,372,800
10
Kepulauan Riau
1,679,163
225,828
13,45
1,973,000
11
DKI Jakarta
9,607,787
1,027,527
10,69
10,177,900
12
Jawa Barat
43,053,732
1,030,147
2,39
46,709,600
13
Jawa Tengah
32,382,657
890,436
2,75
11,955,200
14
DI Yogyakarta
3,457,491
260,017
7,52
33,774,100
15
Jawa Timur
37,476,757
872,671
2,33
38,847,600
16
Banten
10,632,166
384,755
3,62
4,152,800
17
Bali
3,890,757
95,851
2,46
4,835,600
18
Nusa Tenggara Barat
4,500,212
22,756
0,51
5,120,100
19
Nusa Tenggara Timur
4,683,827
4,163,094
88,88
4,789,600
20
Kalimantan Barat
4,395,983
1,508,622
34,32
2,495,000
21
Kalimantan Tengah
2,212,089
411,632
18,61
3,989,800
22
Kalimantan Selatan
3,626,616
64,019
1,77
38,847,600
23
Kalimantan Timur
3,553,143
476,009
13,40
4,068,600
24
Sulawesi Utara
2,270,596
1,544,121
68,01
2,412,100
25
Sulawesi Tengah
2,635,009
469,113
17,80
2,876,700
26
Sulawesi Selatan
8,034,776
737,006
9,17
8,520,300
27
Sulawesi Tenggara
2,232,586
54,011
2,42
2,499,500
28
Gorontalo
1,040,164
17,320
1,67
1,133,200
29
Sulawesi Barat
1,158,651
176,538
15,24
1,282,200
30
Maluku
1,533,506
738,470
48,16
1,686,500
31
Maluku Utara
1,038,087
263,849
25,42
1,162,300
32
Papua Barat
760,422
462,304
60,80
871,500
33
Papua
2,833,381
2,355,790
83,14
3,149,400
237,641,326
23,436,386
9,86
255,461,700
Indonesia
Sumber: BPS (2010)
HASIL KEGIATAN|Kajian Supply Ikan di Pasar Domestik dalam Rangka
Kesiapan Menghadapi Natal 2015 dan Tahun Baru 2016
195
LAPORAN TEKNIS
[KAJIAN KHUSUS BBPSEKP TAHUN 2015]
Kondisi Pasokan Ikan
Ketersediaan dan kecukupan pangan sangat penting untuk keberlanjutan konsumsi
sehingga dirasakan sangat penting bagi pemerintah untuk melakukan berbagai upaya untuk
mencukupi kebutuhan dalam negeri. Berdasarkan data statistik perikanan, produksi perikanan
Indonesia menunjukkan adanya peningkatan baik dari sisi perikanan tangkap maupun perikanan
budidaya. Produksi perikanan tangkap meningkat rata-rata sebesar 3,58% pertahun dan produksi
perikanan budidaya juga meningkat sebesar 16,37% per tahun. Bilamana terjadi kondisi surplus
produksi, maka komoditas dapat diekspor antar negara atau didistribusikan antar wilayah. Namun
bila jumlah ikan defisit sedangkan permintaan ikan tinggi maka dapat dipenuhi dari jalur impor.
Perkembangan produksi ikan dari tahun 2006-2014 dapat dilihat pada Gambar 4-10.2.
Juta ton
7
6
5
4,69
5,04
5,00
5,11
5,38
5,71
6,09
6,20
3,99
4
3
2
5,82
2,36
1,31
1,47
2,76
4,29
3,16
1,75
1,71
1
2006
2007
2008
2009
Produksi tangkap
2010
2011
2012
2013
2014
Produksi budidaya (tanpa rumput laut)
Gambar 4-10. 2. Perkembangan Produksi Perikanan di Indonesia, 2006 - 2014
Sumber: KKP (2014)
Tidak semua jenis ikan yang diproduksi itu dikonsumsi secara domestik namun ada juga
yang dikirim ke luar negeri yang dapat memberikan devisa bagi negara. Bila dilakukan
pembanding antara produksi dan ekspor dari tahun 2006-2014, terjadi kenaikan produksi (tangkap
dan budidaya) sebesar 7,30% dan jumlah ekspor meningkat sebesar 0,89%. Pada Gambar 4-10.3
dapat dilihat perkembangan produksi dan ekspor perikanan dari tahun 2006-2014.
HASIL KEGIATAN|Kajian Supply Ikan di Pasar Domestik dalam Rangka
Kesiapan Menghadapi Natal 2015 dan Tahun Baru 2016
196
LAPORAN TEKNIS
[KAJIAN KHUSUS BBPSEKP TAHUN 2015]
Juta ton
12,00
10,00
8,00
6,00
4,00
7,75
8,47
8,98
10,08
10,49
6,00
6,51
6,71
6,85
0,93
0,85
0,91
0,88
1,10
1,16
1,23
1,26
0,92
2006
2007
2008
2009
2010
2011
2012
2013
2014
2,00
0,00
Produksi
Ekspor
Gambar 4-10. 3. Proporsi Ekspor terhadap Produksi Perikanan di Indonesia, 2006 - 2014
Sumber: KKP (2014)
4.3 Perkembangan Tingkat Konsumsi Ikan
Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik diperoleh informasi bahwa konsumsi ikan
nasional mengalami peningkatan dengan rata-rata peningkatan sebesar 4,87% selama periode
tahun 2006 - 2014.
Pada tahun 2006 tingkat konsumsi ikan per kapita penduduk Indonesia
adalah sebesar 25,03 Kg/Kap/Th, sampai tahun 2013 sebesar 35,14 Kg/Kap/Th dan diprediksi
sebesar 37,80 Kg/Kap/Th (KKP, 2014). Pada tahun 2015 target konsumsi ikan nasional adalah
sebesar 40,90 Kg/Kap/Th. Nilai konsumsi ini mengindikasikan kurang lebih setara dengan 13
gram protein/kapita/hari atau 25% dari angka kecukupan gizi (AKG) yang direkomendasikan oleh
Widya Karya Pangan dan Gizi X tahun 2012 yang dipertegas dalam Peraturan Menteri Keseharan
RI No 75 Tahun 2013, yaitu asupan protein 57 gram/kapita/hari. Pada Gambar 4-10.4 dapat dilihat
perkembangan data konsumsi dari tahun 2006-2014.
Kg/kap/tahun
40,00
35,00
30,00
25,00
25,03
26,00
2006
2007
28,00
29,08
30,48
2008
2009
2010
32,25
33,89
35,14
2012
2013
37,80
20,00
15,00
10,00
5,00
2011
2014
Gambar 4-10. 4. Perkembangan Konsumsi Ikan Nasional, 2006 - 2014
Sumber: data diolah (KKP, 2014)
HASIL KEGIATAN|Kajian Supply Ikan di Pasar Domestik dalam Rangka
Kesiapan Menghadapi Natal 2015 dan Tahun Baru 2016
197
LAPORAN TEKNIS
[KAJIAN KHUSUS BBPSEKP TAHUN 2015]
Persyaratan kecukupan (sufficiency condition) untuk mencapai keberlanjutan konsumsi
pangan adalah adanya aksesibilitas fisik dan ekonomi terhadap pangan. Aksesibilitas ini tercermin
dari jumlah dan jenis pangan yang dikonsumsi oleh rumah tangga. Dengan demikian data
konsumsi pangan secara riil dapat menunjukkan kemampuan rumah tangga dalam mengakses
pangan dan menggambarkan tingkat kecukupan pangan dalam rumah tangga. Perkembangan
tingkat konsumsi pangan tersebut secara implisit juga merefleksikan tingkat pendapatan atau daya
beli masyarakat terhadap pangan.
23 propinsi di Indonesia konsumsi kalori dan protein ikan tahun 2014 nya berada di atas
rata-rata konsumsi kalori dan protein ikan nasional, sisanya pada 10 propinsi tingkat konsumsinya
di bawah rata-rata nasional. Propinsi yang dikatakan rendah tersebut diantaranya adalah Bengkulu,
Lampung, DKI Jakarta, Banten, Jawa Barat, Jawa Tengah, DI Yogyakarta, Jawa Timur, Bali dan
Nusa Tenggara Timur.
Kalori/kap/tahu
n
50
49
48
47
45,34
46
45
7,63
44
43
42
41
40
2010
Gram/kap/tahu
n
8,4
47,83
47,26
47,08
8,02
8
45,45
7,85
8,2
7,82
7,8
7,6
7,56
7,4
7,2
7
2011
2012
Konsumsi Kalori
2013
2014
Konsumsi Protein
Gambar 4-10. 5. Perkembangan Konsumsi Kalori dan Protein Ikan Tahun 2010 - 2014
Sumber: BPS (2014)
4.4 Pemetaan Ketersediaan Ikan
Menurut data statistik perikanan tangkap tahun 2013, provinsi yang memiliki jumlah
produksi perikanan tangkap paling besar terdapat di wilayah Sumatera Utara (9,08%), Maluku
(9,02%), dan Jawa Timur (6,33%) dan yang paling rendah ada di wilayah DI Yogyakarta (0,08%).
Produksi perikanan pada kwartal I dan II banyak provinsi yang volumenya berada di bawah ratarata namun pada kwartal III dan IV mengalami situasi yang sebaliknya. Kurang stabilnya
ketersediaan ikan dari sisi produksi tersebut dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti musim
penangkapan dan
tinggi rendahnya permintaan ikan. Pada Tabel 4-10.3 berikut ditampilkan
status ketersediaan ikan berdasarkan pulau utama. Tabel 4-10.3 berikut menunjukkan rekapitulasi
HASIL KEGIATAN|Kajian Supply Ikan di Pasar Domestik dalam Rangka
Kesiapan Menghadapi Natal 2015 dan Tahun Baru 2016
198
LAPORAN TEKNIS
[KAJIAN KHUSUS BBPSEKP TAHUN 2015]
status ketersediaan ikan dari perikanan tangkap pada tiap-tiap kwartal.
Tabel 4-10. 3.
Rekapitulasi Status Ketersediaan Ikan dari Perikanan Tangkap pada Tiap
Kwartal
Status
Kwartal I
Kwartal II
Kwartal III
Kwartal IV
Kurang
26
17
10
14
Cukup
7
16
23
19
Sumber : KKP (2013), diolah
Bila dikaitkan dengan ketersediaan ikan menjelang hari nataldan tahun baru yang biasa
jatuh pada saat kwartal ke-4 yakni pada periode bulan Desember diperoleh informasi seperti yang
ditampilkan pada Tabel 4-10.3 di atas dapat dilihat bahwa Pulau Sumatera dan Kalimantan berada
pada kategori “Kurang”. Sedangkan menurut provinsi, produksi pada kwartal
provinsi yang
termasuk ke dalam kategori “Cukup” pada kwartal 4 ada sebanyak19 provinsi sedangkan sisanya
sebanyak 14 provinsi termasuk kedalam kategori kurang. Provinsi yang dikatakan kurang tersebut
diantaranya adalah Aceh, Sumatera Utara, Kep. Riau, Jambi, Sumatera Selatan, Kep. Bangka
Belitung, Bengkulu, Nusa Tenggara Timur, Kalimantan Tengah, Gorontalo, Sulawesi Tengah,
Sulawesi Selatan, Maluku Utara dan Papua Barat. Secara nasional produksi ikan dari sektor
tangkap pada kwartal IV berada di atas nilai rata-rata dimana volume produksi sekitar 1.604.024
ton sedangkan voume rata-ratanya sebesar 1.528.844 ton sehingga termasuk ke dalam kategori
cukup tersedia. Status ketersediaan ikan dari perikanan tangkap pada tiap kwartal menurut pulau
utama di Indonesia disajikan pada Tabel 4-10.4.
Tabel 4-10. 4.
Status Ketersediaan Ikan dari Perikanan Tangkap pada Tiap Kwartal
Menurut Pulau Utama di Indonesia
No
Pulau
KW 1
KW 2
KW 3
KW 4
1
Sumatera
Kurang
Cukup
Kurang
Kurang
2
Jawa
Kurang
Cukup
Cukup
Cukup
3
Bali - Nusatenggara
Kurang
Kurang
Cukup
Cukup
4
Kalimantan
Kurang
Cukup
Cukup
Kurang
5
Sulawesi
Kurang
Cukup
Kurang
Cukup
6
Maluku - Papua
Kurang
Kurang
Cukup
Cukup
Sumber : KKP (2013), diolah
HASIL KEGIATAN|Kajian Supply Ikan di Pasar Domestik dalam Rangka
Kesiapan Menghadapi Natal 2015 dan Tahun Baru 2016
199
LAPORAN TEKNIS
[KAJIAN KHUSUS BBPSEKP TAHUN 2015]
Pemetaan Permintaan Ikan
Analisis permintaan komoditas ikan menjelang Natal dan Tahun Baru salah satunya dapat
diperkirakan menggunakan pendekatan harga. Pendekatan harga yang dimaksud adalah melihat
harga komoditas ikan pada waktu tertentu dibandingkan dengan harga rata – rata selama satu
tahun tersebut. Apabila harga pada waktu tertentu lebih tinggi dari harga rata – rata tahunan, maka
terdapat kemungkinan adanya peningkatan permintaan komoditas ikan. Sebaliknya, apabila harga
pada waktu tertentu lebih rendah dibandingkan dengan harga rata – rata tahunan, maka terdapat
kemungkinan adanya penurunan permintaan akan komoditas perikanan.
Pada analisis ini untuk menduga permintaan komoditas ikan tahun 2015, digunakan data –
data yang berasal dari statistik harga konsumen perdesaan kelompok makanan tahun 2014 yang
dikeluarkan oleh Badan Pusat Statistik (BPS). Jenis komoditas ikan yang digunakan dalam
analisis ini adalah sejumlah 27 jenis ikan. Jenis komoditas tersebut diantaranya adalah ikan olahan
asin teri, Pindang Bandeng, Tongkol Asap, Ikan Kaleng serta ikan segar diantaranya adalah
Bandeng, Baronang, Cakalang, Cumi – cumi, Ekor Kuning, Gabus, Kakap, Kembung, Kerang,
Ketamba, Layang, Lele, Mas, Mujair, Nila, Patin, Selar, Tembang, Tenggiri, Teri, Tongkol, Udang
Tambak dan Udang Laut.
Tabel 4-10. 5 memperlihatkan kemungkinan permintaan ikan pada saat menjelang Natal
dan Tahun Baru menurut komoditas perikanan. Menjelang Natal dan Tahun Baru, terlihat bahwa
sebagian besar komoditas ikan mengalami penurunan permintaan, kecuali dua komoditas ikan
yaitu tongkol asap dan udang laut. Kalau dilihat secara lebih rinci, komoditas tongkol asap
memiliki minimal, maksimal dan rata – rata harga pada saat bulan juni berturut – turut adalah Rp.
12.000/kg, Rp. 97.000/kg dan Rp. 30.000/kg. Sementara itu, komoditas udang laut seharga Rp.
36.000, Rp. 94.000/kg dan Rp. 57.000/kg.
HASIL KEGIATAN|Kajian Supply Ikan di Pasar Domestik dalam Rangka
Kesiapan Menghadapi Natal 2015 dan Tahun Baru 2016
200
LAPORAN TEKNIS
Tabel 4-10. 5.
[KAJIAN KHUSUS BBPSEKP TAHUN 2015]
Permintaan Ikan Pada Saat Menjelang dan Setelah Hari Natal dan Tahun
Baru Menurut Komoditas, 2014 - 2015
Permintaan Terhadap Komoditas Ikan
No
Komoditas
Sebelum Natal dan
Saat Natal dan
Setelah Natal dan
Tahun Baru
Tahun Baru
Tahun Baru
(November)
(Desember)
(Januari)
1
Asin Teri
turun
naik
naik
2
Bandeng
turun
naik
naik
3
Baronang
turun
naik
naik
4
Cakalang
turun
naik
naik
5
Cumi - cumi
turun
naik
naik
6
Ekor Kuning
turun
naik
naik
7
Gabus
turun
naik
naik
8
Ikan Kaleng
turun
naik
naik
9
Kakap
turun
naik
naik
10
Kembung
turun
naik
naik
11
Kerang
turun
naik
naik
12
Ketamba
turun
naik
naik
13
Layang
turun
naik
naik
14
Lele
turun
naik
naik
15
Mas
turun
naik
naik
16
Mujair
turun
naik
naik
17
Nila
turun
naik
naik
18
Patin
turun
naik
turun
19
Pindang Bandeng
turun
naik
turun
20
Selar
turun
naik
naik
21
Tembang
turun
turun
naik
22
Tenggiri
turun
naik
naik
23
Teri
turun
naik
naik
24
Tongkol
turun
naik
naik
25
Tongkol Asap
naik
naik
naik
26
Udang Laut
naik
naik
naik
27
Udang Tambak
turun
naik
naik
Sumber: Data Susenas (2014) Diolah
HASIL KEGIATAN|Kajian Supply Ikan di Pasar Domestik dalam Rangka
Kesiapan Menghadapi Natal 2015 dan Tahun Baru 2016
201
LAPORAN TEKNIS
[KAJIAN KHUSUS BBPSEKP TAHUN 2015]
Permintaan ikan pada saat natal dan tahun baru, mengalami perubahan dibandingkan
dengan sebelumnya. Pada saat kedua bulan tersebut, terlihat bahwa permintaan akan komoditas
ikan meningkat pada sebagian besar komoditas ikan. Tingginya permintaan komoditas ikan pada
waktu tersebut disebabkan karena komoditas ikan saat ini sudah menjadi komoditas pokok
ataupun alternatif masyarakat disamping komoditas daging ayam maupun daging sapi.
Tabel 4-10. 6 memperlihatkan permintaan komoditas ikan yang dilihat berdasarkan region
dan provinsi. Pada dasarnya Tabel 4-10. 6 menggunakan data yang sama pada Tabel 4-10.5,
namun permintaan ikan tersebut dirinci menurut region dan provinsi. Pada saat sebelum natal dan
tahun baru, permintaan ikan cenderung rendah hingga sedang pada seluruh region dan provinsi.
Pada saat natal, terdapat 14 provinsi yang mengalami peningkatan permintaan yang tersebar di
seluruh region. Region kalimantan mengalami peningkatan permintaan ikan pada seluruh wilayah
provinsinya. Hasil menarik diperlihatkan pada region maluku, papua dan sulawesi yang dikenal
sebagai daerah penghasil ikan, relatif permintaan ikan pada wilayah ini relatif lebih rendah
dibandingkan dengan region di wilayah barat. Alasan mengapa di satu wilayah mengalami
permintaan tinggi maupun rendah memang sulit untuk dijelaskan, tergantung dari karakteristik
masyarakat setempat. Karakteristik tersebut diantaranya adalah faktor banyaknya penduduk,
preferensi konsumsi ikan, maupun produksi ikan di wilayah tersebut.
Tabel 4-10. 6.
Permintaan Komoditas Ikan Pada Saat Menjelang dan Setelah Hari Natal
dan Tahun Baru Menurut Region, 2014 - 2015
Kategori Permintaan Komoditas Ikan
Sebelum Natal
Saat Natal dan
Setelah Natal
dan Tahun Baru
Tahun Baru
dan Tahun Baru
(November)
(Desember)
(Januari)
Bali
Sedang
Tinggi
Tinggi
Nusa Tenggara Barat
Sedang
Tinggi
Tinggi
Nusa Tenggara Timur
Rendah
Sedang
Sedang
Banten
Sedang
Sedang
Sedang
D. I. Yogyakarta
Rendah
Sedang
Tinggi
DKI Jakarta
Sedang
Tinggi
Sedang
Jawa Barat
Rendah
Tinggi
Tinggi
Jawa Tengah
Rendah
Tinggi
Tinggi
Jawa Timur
Rendah
Sedang
Tinggi
Sedang
Tinggi
Sedang
Region (Provinsi)
Bali dan Nusa Tenggara
Jawa
Kalimantan
Kalimantan Barat
HASIL KEGIATAN|Kajian Supply Ikan di Pasar Domestik dalam Rangka
Kesiapan Menghadapi Natal 2015 dan Tahun Baru 2016
202
LAPORAN TEKNIS
[KAJIAN KHUSUS BBPSEKP TAHUN 2015]
Kategori Permintaan Komoditas Ikan
Sebelum Natal
Saat Natal dan
Setelah Natal
dan Tahun Baru
Tahun Baru
dan Tahun Baru
(November)
(Desember)
(Januari)
Kalimantan Selatan
Sedang
Tinggi
Tinggi
Kalimantan Tengah
Sedang
Tinggi
Tinggi
Kalimantan Timur
Sedang
Tinggi
Tinggi
Maluku
Sedang
Sedang
Tinggi
Maluku Utara
Rendah
Sedang
Sedang
Papua
Rendah
Tinggi
Tinggi
Papua Barat
Rendah
Rendah
Rendah
Gorontalo
Sedang
Sedang
Tinggi
Sulawesi Barat
Rendah
Rendah
Rendah
Sulawesi Selatan
Sedang
Sedang
Tinggi
Sulawesi Tengah
Rendah
Sedang
Tinggi
Sulawesi Tenggara
Sedang
Tinggi
Tinggi
Sulawesi Utara
Rendah
Sedang
Sedang
Aceh
Sedang
Sedang
Sedang
Bengkulu
Rendah
Rendah
Rendah
Jambi
Rendah
Sedang
Sedang
Kep. Bangka Belitung
Sedang
Sedang
Tinggi
Kepulauan Riau
Sedang
Tinggi
Tinggi
Lampung
Rendah
Sedang
Tinggi
Riau
Sedang
Sedang
Sedang
Sumatera Barat
Sedang
Tinggi
Tinggi
Sumatera Selatan
Sedang
Tinggi
Tinggi
Sumatera Utara
Sedang
Sedang
Tinggi
Region (Provinsi)
Maluku
Papua
Sulawesi
Sumatera
Sumber: Data Susenas (2014) Diolah
HASIL KEGIATAN|Kajian Supply Ikan di Pasar Domestik dalam Rangka
Kesiapan Menghadapi Natal 2015 dan Tahun Baru 2016
203
LAPORAN TEKNIS
Tabel 4-10. 7.
[KAJIAN KHUSUS BBPSEKP TAHUN 2015]
Permintaan Komoditas Ikan Pada Saat Menjelang dan Setelah Hari Natal
dan Tahun Baru Menurut Region, 2014 - 2015
Region (Provinsi)
Kategori Permintaan Komoditas Ikan
Bulan Juli
Bulan Juli
Bulan Agustus
Bali
2
3
3
Nusa Tenggara Barat
2
3
3
Nusa Tenggara Timur
1
2
2
Banten
2
2
2
D. I. Yogyakarta
1
2
3
DKI Jakarta
2
3
2
Jawa Barat
1
3
3
Jawa Tengah
1
3
3
Jawa Timur
1
2
3
Kalimantan Barat
2
3
2
Kalimantan Selatan
2
3
3
Kalimantan Tengah
2
3
3
Kalimantan Timur
2
3
3
Maluku
2
2
3
Maluku Utara
1
2
2
Papua
1
3
3
Papua Barat
1
1
1
Gorontalo
2
2
3
Sulawesi Barat
1
1
1
Sulawesi Selatan
2
2
3
Sulawesi Tengah
1
2
3
Sulawesi Tenggara
2
3
3
Sulawesi Utara
1
2
2
Aceh
2
2
2
Bengkulu
1
1
1
Bali dan Nusa Tenggara
Jawa
Kalimantan
Maluku
Papua
Sulawesi
Sumatera
HASIL KEGIATAN|Kajian Supply Ikan di Pasar Domestik dalam Rangka
Kesiapan Menghadapi Natal 2015 dan Tahun Baru 2016
204
LAPORAN TEKNIS
[KAJIAN KHUSUS BBPSEKP TAHUN 2015]
Jambi
1
2
2
Kep. Bangka Belitung
2
2
3
Kepulauan Riau
2
3
3
Lampung
1
2
3
Riau
2
2
2
Sumatera Barat
2
3
3
Sumatera Selatan
2
3
3
Sumatera Utara
2
2
3
Keterangan: 1 = Rendah, 2 = Sedang, 3 = Tinggi
Sumber: Data Susenas (2014) Diolah
Tabel 4-10. 8.
Permintaan Ikan Pada Saat Menjelang dan Setelah Hari Natal dan Tahun
Baru Menurut Komoditas, 2014 - 2015
Permintaan Terhadap Komoditas Ikan
No
Komoditas
Sebelum Natal
Pada Saat Natal
Setelah Natal dan
dan Tahun Baru
dan Tahun Baru
Tahun Baru
1
Bandeng
turun
naik
naik
2
Baronang
turun
naik
naik
3
Cakalang
turun
naik
naik
4
Cumi - cumi
turun
naik
naik
5
Ekor Kuning
turun
naik
naik
6
Gabus
turun
naik
naik
7
Kakap
turun
naik
naik
8
Kembung
turun
naik
naik
9
Kerang
turun
naik
naik
10
Layang
turun
naik
naik
11
Lele
turun
naik
naik
12
Mujair
turun
naik
naik
13
Nila
turun
naik
naik
14
Patin
turun
naik
turun
15
Selar
turun
naik
naik
16
Tembang
turun
turun
naik
17
Tenggiri
turun
naik
naik
18
Teri
turun
naik
naik
19
Asin Teri
turun
naik
naik
HASIL KEGIATAN|Kajian Supply Ikan di Pasar Domestik dalam Rangka
Kesiapan Menghadapi Natal 2015 dan Tahun Baru 2016
205
LAPORAN TEKNIS
[KAJIAN KHUSUS BBPSEKP TAHUN 2015]
20
Tongkol
turun
naik
naik
21
Tongkol Asap
naik
naik
naik
22
Udang Laut
naik
naik
naik
23
Udang Tambak
turun
naik
naik
24
Ikan Kaleng
turun
naik
naik
25
Ketamba
turun
naik
naik
26
Mas
turun
naik
naik
27
Pindang Bandeng
turun
naik
turun
Sumber: BPS, 2014 (diolah)
Karakteristik Inflasi Bahan Makanan
Inflasi adalah kenaikan harga-harga secara umum dan terus menerus. Kenaikan pada suatu
atau beberapa barang saja dan tidak berdampak pada sebagian besar barang, bukanlah disebut
inflasi. Demikian juga halnya jika kenaikan harga-harga barang yang sifatnya sesaat karena
perayaan hari keagamaan, seperti pada perayaan hari lebaran, natal, tahun baru, bukanlah
merupakan inflasi. Sebaliknya, yaitu penurunan harga-harga secara umum dan terus menerus
disebut deflasi (Setyowati, 2004). Berikut gambaran perkembangan inflasi kelompok bahan
makanan pada tahun 2006 sampai 2014.
6
5
2006
4
2007
3
2008
2
2009
1
2010
0
2011
2012
-1
2013
-2
2014
-3
-4
Gambar 4-10. 6. Perkembangan Inflasi Kelompok Bahan Makanan pada Tahun 2006 2014
Sumber: BPS (2015)
HASIL KEGIATAN|Kajian Supply Ikan di Pasar Domestik dalam Rangka
Kesiapan Menghadapi Natal 2015 dan Tahun Baru 2016
206
LAPORAN TEKNIS
[KAJIAN KHUSUS BBPSEKP TAHUN 2015]
Badan Pusat Statistik mencatat indeks harga konsumen pada bulan November 2015
mengalami inflasi sebesar 0,21% dengan IHK sebesar 121,82. Angka ini lebih rendah bila
dibandingkan periode yang sama tahun 2014 yang juga mengalami inflasi sebesar 1,5%. Laju
inflasi tahun kalender yakni dari Januari-November 2015 sebesar 2,37%. Tingkat inflasi tahun ke
tahun yakni dari November 2015 terhadap November 2014 sebesar 4,89%. Indeks harga
konsumen dan tingkat inflasi bahan makanan periode Jauari sampai November 2015 disajikan
pada Gambar 4-10.7.
123
2,50
2,00
122
1,50
121
1,00
120
0,50
119
0,00
-0,50
118
-1,00
117
-1,50
116
-2,00
IHK
Inflasi bahan makanan
Gambar 4-10. 7. Indeks Harga Konsumen dan Inflasi bahan makanan pada tahun 2015
Sumber: BPS, 2015
Indeks Ketidakstabilan Harga Ikan
Pengukuran indeks ketidakstabilan harga ikan menjelang hari natal tahun 2015 dan tahun
baru 2016 dalam kajian ini menggunakan Coppock Instability Index (CII). Analisis dilakukan
menggunakan data harga ikan pada tingkat konsumen dalam periode bulan november – desember
2014 dan januari 2015, untuk mengindikasikan periode yang sama natal 2015 dan tahun baru
2016. Hasil analisis indeks ketidakstabilan harga pada periode sebelum, pada saat dan sesudah
natal dan tahun baru menunjukkan bahwa terjadi pergeseran indek ketidakstabilan harga pada
komoditas-komoditas ikan pada ketiga periode tersebut. Sebelum natal dan tahun baru sebagian
indek berada pada kuadran I/kiri atas (High growth low risk) yang menunjukan indeks yang
stabil, kemudian pada bulan Desember (saat natal dan menjelang tahun baru) indek
ketidakstabilan cenderung bergeser ke kuadran III/kiri bawah (High growth high risk) yang
menunjukkan kestabilan yang rendah. Sedangkan pada masa setelah natal dan tahun baru, indeks
cenderung berada pada kuadran III dan kuadran IV (bagian bawah) yang menunjukan
kecenderungan bahwa terjadi penurunan permintaan ikan setelah natal dan tahun baru. Pergerakan
HASIL KEGIATAN|Kajian Supply Ikan di Pasar Domestik dalam Rangka
Kesiapan Menghadapi Natal 2015 dan Tahun Baru 2016
207
LAPORAN TEKNIS
[KAJIAN KHUSUS BBPSEKP TAHUN 2015]
indeks ketidakstabilan harga komoditas ikan pada periode sebelum, pada saat dan sesudah natal
dan tahun baru dapat dilihat pada Gambar 4-10.8 yang mengilustrasikan pola hubungan antara
harga ikan berdasarkan komoditasnya.
Kode
Komoditas
Bandeng
Baronang
Cakalang
Cumi-cumi
Ekor Kuning
Gabus
Kakap Merah
Kembung
Kerang Darah
Layang
Lele
Mujair
Nila
Patin
Selar
Tembang
Tenggiri
Teri
Teri Asin
Tongkol
Udang Dogol
Udang Krosok
Gambar 4-10. 8. Pergerakan indeks ketidakstabilan harga komoditas ikan pada saat
sebelum natal& tahun baru (a), pada saat natal& tahun baru (b) dan
pada saat setelah natal & tahun baru (c)
Sumber: Data Harga Ikan Harian Direktorat Jenderal P2HP (2014) (Diolah)
HASIL KEGIATAN|Kajian Supply Ikan di Pasar Domestik dalam Rangka
Kesiapan Menghadapi Natal 2015 dan Tahun Baru 2016
208
LAPORAN TEKNIS
[KAJIAN KHUSUS BBPSEKP TAHUN 2015]
Preferensi Konsumen tehadap Ikan sebagai Sumber Pangan Hewani (Studi kasus
di Sumatera Utara dan Sulawesi Utara)
Preferensi konsumen terhadap produk perikanan bertujuan untuk melihat pilihan suka atau
tidak suka masing-masing individu untuk memilih sumber proteinnya.
Pilihan-pilihan tersebut
akhirnya akan dianalisis untuk menentukan jenis produk mana yang paling disukai atau tidak
disukai sehingga pasokan terhadap produk tersebut dapat ditingkatkan pada daerah-daerah
penelitian.
Propinsi Sumatera Utara merupakan salah satu propinsi yang memiliki potensi kelautan
dan perikanan yang cukup tinggi. Potensi tersebut terdiri dari potensi perikanan tangkap dan
perikanan budidaya, dimana potensi perikanan tangkap terdiri dari potensi Selat Malaka sebesar
276.030 ton/tahun dan potensi di Samudera Hindia sebesar 1.076.960 ton/tahun. Sedangkan
produksi perikanan budidaya terdiri budidaya tambak 20.000 Ha dan budidaya laut 100.000 Ha,
budidaya air tawar 81.372,84 Ha dan perairan umum 155.797 Ha, kawasan pesisir Sumatera Utara
mempunyai panjang pantai 1300 Km yang terdiri dari panjang Pantai Timur 545 km, panjang
Pantai Barat 375 Km dan Kepulauan Nias dan Pulau-Pulau Baru Sepanjang 350 Km. Untuk total
produksi perikanannya, Propinsi Sumatera Utara pada tahun 2014 berhasil memproduksi
sebanyak 795.652 ton dari perikanan tangkap dan budidaya. Berikut grafik produksi perikanan
tangkap dan budidaya Propinsi Sumatera Utara pada tahun 2013-2014.
600.000
553.311
568.484
500.000
400.000
300.000
200.000
Perikanan Tangkap
175.721
209.524
Perikanan Budidaya
100.000
0
2013
2014
Gambar 4-10. 9. Total Produksi Perikanan Tangkap dan Budidaya Propinsi Sumatera
Utara Tahun 2013-2014
Dari grafik tersebut dapat terlihat bahwa masih ada potensi perikanan baik tangkap maupun
budidaya yang belum dimanfaatkan. Hal ini dikarenakan antara potensi dan produksi masih
memiliki selisih yang cukup jauh. Untuk produksi olahan ikan di Propinsi Sumatera Utara
404.003 ton/tahun. Sedangkan volume ekspor hasil perikanan pada tahun 2014 sebesar 57.214
ton/tahun. Angka konsumsi ikan masyarakat Propinsi Sumatera Utara sebesar 40,1 kg/kap/tahun.
HASIL KEGIATAN|Kajian Supply Ikan di Pasar Domestik dalam Rangka
Kesiapan Menghadapi Natal 2015 dan Tahun Baru 2016
209
LAPORAN TEKNIS
[KAJIAN KHUSUS BBPSEKP TAHUN 2015]
Berdasarkan data demografi penduduk, masyarakat di Provinsi Sulawesi Utara yang
beragama Nasrani ada sebanyak 68,01% sehingga cukup banyak yang merayakan Natal dam
tahun baru. Selain itu Sulawesi Utara merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang merupakan
daerah penghasil ikan. Berdasarkan data dari statistik perikanan KP tahun 2014 menunjukkan
bahwa produksi ikan dari Provinsi Sulawesi Utara berjumlah 281.305 ton (KKP, 2013). Pada
tahun 2012 masyarakat di Provinsi Sulawesi Utara mengkonsumsi ikan sebanyak 13,34
gr/kap/tahun, daging sebanyak 0,81 gr/kap/tahun, telur sebanyak 1,38 gr/kap/tahun dan susu
sebanyak 1,28 gr/kap/tahun (BPS, 2014).
Karakteristik Responden
Pada umumnya responden dari Sumatera Utara berasal dari wilayah Kota Medan, Kota
Sibolga, Kota Tebing Tinggi, Kota Binjai, Kabupaten Serdang Bedagai, Kabupaten Deli Serdang,
Kabupaten Batubara, Kabupaten Labuan Batu Utara dan Kabupaten Langkat. Untuk komposisi
responden merupakan responden asli Kota Medan sebesar 29 %. Jenis kelamin responden lebih
banyak didominasi oleh laki-laki yakni sebesar 57,9%. Usia responden lebih didominasi oleh usia
24-30 tahun yang mencapai 52,6%. Status responden lebih banyak yang sudah menikah yakni
berkisar 88,2%. Pendidikan responden umumnya adalah S1 yang mencapai 81,6% dengan
pekerjaan pada umumnya adalah pegawai negeri sipil yang mencapai 53,9% dari total responden.
Kisaran pendapatan per bulan responden lebih banyak berada pada kisaran Rp 1.500.000 – Rp
2.500.000,- yaitu sebesar 47,4%. Para responden rata-rata memiliki pengeluaran berkisar Rp
1.500.000,- tiap bulannya.
Pada umumnya responden di Propinsi Sulawesi Utara berasal dari wilayah Manado,
Minahasa, Gorontalo dan Sangihe yakni mencapai 60% dari total responden sedangkan sisanya
berasal dari luar Pulau Sulawesi.
Jenis kelamin responden lebih banyak didominasi oleh
perempuan yakni sebesar 62%. Usia responden lebih didominasi oleh usia > 40 tahun yang
mencapai 32%.
Status responden lebih banyak yang sudah menikah yakni berkisar 87%.
Pendidikan responden umumnya adalah SMU/SMK yang mencapai 51% dengan pekerjaan pada
umumnya adalah pegawai swasta yang mencapai 42% dari total responden. Kisaran pendapatan
per bulan responden lebih banyak berada pada kisaran Rp 1.500.000 – Rp 2.500.000,- yaitu
sebesar 40%. Rata-rata pengeluaran responden berkisar Rp 1.300.000,- tiap bulannya. Tabel 4-10.
9 menampilkan karakteristik responden secara lengkap.
HASIL KEGIATAN|Kajian Supply Ikan di Pasar Domestik dalam Rangka
Kesiapan Menghadapi Natal 2015 dan Tahun Baru 2016
210
LAPORAN TEKNIS
Tabel 4-10. 9.
No
I
II
[KAJIAN KHUSUS BBPSEKP TAHUN 2015]
Karakteristik Responden di Lokasi Penelitian, Tahun 2015 (Satuan = %)
Karakteristik Responden
IV
Sulawesi Utara
57,9
38,0
b. Perempuan
43,4
62,0
a. 17 – 23 Tahun
26,3
12
b. 24 – 30 Tahun
52,6
27
c. 31 – 40 Tahun
9,2
29
11,8
32
a. Menikah
88,2
87
b. Belum Menikah
11,8
13
0
15
b. SMU/SMK
6,6
51
c.Diploma
7,9
7
d.S1
81,6
22
e.S2
4
4
f. S3
0
1
7,9
2
b. Pegawai Swasta
17,1
42
c. Pegawai Negeri
53,9
13
d. Wiraswasta/Pengusaha
2,7
6
e. Pedagang
2,7
9
f. Dosen
2,7
2
0
2
11,9
20
1,5
2
0
2
0
3
1,3
8
47,4
40
Usia
Status Nikah
Pendidikan
Pekerjaan
a. Pelajar/Mahasiswa
g. Guru
h. Ibu Rumah Tangga
i. Pensiunan
f. Lainnya
VI
Sumatera Utara
a. Laki-laki
a. SD/SLTP
V
Kota Manado,
Jenis Kelamin
d. > 40 Tahun
III
Kota Medan,
Pendapatan
a. < Rp 500.000
b. Rp 500.000 – Rp 1.500.000
c. Rp 1.500.000 – Rp 2.500.000
HASIL KEGIATAN|Kajian Supply Ikan di Pasar Domestik dalam Rangka
Kesiapan Menghadapi Natal 2015 dan Tahun Baru 2016
211
LAPORAN TEKNIS
No
[KAJIAN KHUSUS BBPSEKP TAHUN 2015]
Karakteristik Responden
Kota Medan,
Kota Manado,
Sumatera Utara
Sulawesi Utara
d. Rp 2.500.000 – Rp 3.500.000
40,8
27
e. Rp 3.500.000 – Rp 4.500.000
9,2
12
f. Rp 4.500.000 – Rp 5.500.000
1,3
4
0
6
g. > Rp 5.500.000
Sumber : Data Primer (diolah), 2015
Daya Beli Responden
Responden di Kota Medan memiliki pilihan yang seimbang antara ikan, ayam dan daging.
Analisis yang dilakukan dengan skala likert menunjukkan bahwa tingkat kesukaan masyarakat
khususnya di Kota Medan terhadap ikan sekitar 65,4%
atau berada pada kriteria suka.
Sedangkan kesukaan terhadap daging unggas dan sapi masing-masing sebesar 60,4% dan 63%
yang juga pada level suka. Hal ini menunjukkan bahwa responden yang dipilih secara acak di
Medan cenderung fleksibel dalam pilihan sumber pangan hewaninya.. Responden yang membeli
ikan rata-rata mengeluarkan biaya sebesar Rp 75.000,- tiap belanja yang dilakukan dalam 3 kali
setiap minggunya sehingga responden mengeluarkan biaya untuk membeli ikan sekitar Rp
847.895,- setiap bulannya atau sebesar 65% dari total pengeluaran rata-rata responden.
Pada umumnya responden membeli ikan untuk dikonsumsi
selain ayam dan daging sapi.
Analisis yang dilakukan dengan skala likert menunjukkan bahwa tingkat kesukaan masyarakat
khususnya di Kota Manado terhadap ikan sekitar 94% atau berada pada kriteria sangat suka.
Sedangkan kesukaan terhadap daging unggas dan sapi masing-masing sebesar 83% dan 80% atau
berada pada level suka. Hal ini menunjukkan bahwa responden yang dipilih secara acak di
Manado lebih menyukai ikan bila dibandingkan dengan jenis sumber konsumsi pangan hewani
lainnya. Responden yang membeli ikan rata-rata mengeluarkan biaya sebesar Rp 43.500,- tiap
belanja yang dilakukan dalam 4 kali setiap minggunya sehingga responden mengeluarkan biaya
untuk membeli ikan sekitar Rp 754.000,- setiap bulannya atau sebesar 58% dari total pengeluaran
rata-rata responden. Pada Tabel 4-10.10 menunjukkan preferensi konsumen terhadap jenis produk
pangan hewani.
HASIL KEGIATAN|Kajian Supply Ikan di Pasar Domestik dalam Rangka
Kesiapan Menghadapi Natal 2015 dan Tahun Baru 2016
212
LAPORAN TEKNIS
[KAJIAN KHUSUS BBPSEKP TAHUN 2015]
Tabel 4-10. 10. Preferensi Konsumen Terhadap Jenis Produk Pangan Hewani di Lokasi
Penelitian, Tahun 2015 (Satuan = %)
No
1
Jenis Produk Pangan
Jenis
pangan
berasal
dari
Sumatera Utara
Sulawesi Utara
A
B
C
D
E
A
B
C
D
E
-
60,4
-
-
-
83
-
-
-
-
-
63,0
-
-
-
-
80
-
-
-
-
65,4
-
-
-
94
-
-
-
-
yang
daging
unggas (ayam, bebek,
burung, dll)
2
Jenis
pangan
berasal
dari
yang
daging
merah (sapi, kambing,
babi, dll)
3
Jenis
pangan
yang
berasal dari ikan (ikan,
cumi,
kerang,
udang,
krupuk, dll)
Keterangan: A = Sangat Suka; B = Suka; C = Biasa Saja; D = Tidak suka; E = Sangat Tidak Suka
Sumber : Data Primer (Diolah), 2015
Preferensi Konsumen Terhadap Atribut Produk
Berdasarkan preferensi konsumen, persepsi responden di Sumatera Utara pada umumnya
berada pada kategori “sangat favorit” terhadap ikan ikan laut yakni sebesar 86,4% dan berada
pada kategori “favorit” terhadap ikan air tawar sebesar 65%. Demikian juga halnya dengan
responden dari Sulawesi Utara, berdasarkan preferensi konsumen, persepsi responden pada
umumnya berada pada kategori “sangat favorit” terhadap ikan ikan laut yakni sebesar 89,4% dan
berada pada kategori “favorit” terhadap ikan air tawar sebesar 68,8%. Tabel 4-10.11 ditampilkan
preferensi konsumen terhadap jenis ikan.
Tabel 4-10. 11. Preferensi Konsumen Terhadap Jenis Ikan di Lokasi Penelitian, Tahun
2015 (Satuan = %)
No
Jenis Ikan
1
Ikan laut
2
Ikan air tawar
Sumatera Utara
Sulawesi Utara
A
B
C
D
E
A
B
C
D
E
86,4
-
-
-
-
89,4
-
-
-
-
-
65
-
-
-
-
68,8
-
-
-
Keterangan: A = Sangat Favorit; B = Favorit; C = Biasa Saja; D = Tidak Favorit; E = Sangat Tidak
Favorit
Sumber : Data Primer (Diolah), 2015
HASIL KEGIATAN|Kajian Supply Ikan di Pasar Domestik dalam Rangka
Kesiapan Menghadapi Natal 2015 dan Tahun Baru 2016
213
LAPORAN TEKNIS
[KAJIAN KHUSUS BBPSEKP TAHUN 2015]
Ditinjau dari alasan mengkonsumsi ikan diperoleh informasi bahwa pada umumnya
responden di Sumatera Utara mempertimbangan kandungan gizinya lebih tinggi/baik sebesar
67% dan mudah mendapatkannya sebesar 24%. Persepsi responden terhadap ikan segar
menunjukkan bahwa responden berada pada kategori “sangat setuju” dan ikan olahan berada pada
kategori “setuju”.
Demikian juga halnya dengan responden di Sulawesi Utara, bahwa alasan
mengkonsumsi ikan diperoleh informasi bahwa pada umumnya responden mudah mendapatkan
ikan (30%), kandungan gizinya lebih tinggi/baik sebesar 30% dan enak rasanya sebesar 18%.
Persepsi responden terhadap ikan segar menunjukkan bahwa responden berada pada kategori
“sangat setuju” yakni sebesar 94% dan ikan olahan berada pada kategori “setuju” yakni sebesar
67,8%.
Tabel 4-10. 12. Preferensi Konsumen Terhadap Ikan Segar dan Olahan di Lokasi
Penelitian, Tahun 2015 (Satuan = %)
Sumatera Utara
No
Sulawesi Utara
Jenis Ikan
A
B
C
D
E
A
B
C
D
E
1
Ikan laut
-
-
-
-
95
-
-
-
-
94
2
Ikan air tawar
-
-
-
67,4
-
-
-
-
67,8
-
Keterangan: A = Sangat Tidak Setuju; B = Tidak Setuju; C = Ragu-Ragu; D = Setuju; E = Sangat
Setuju
Sumber : Data Primer (Diolah), 2015
Untuk jenis ikan, ikan yang banyak diminati oleh responden adalah ikan laut yaitu sebesar
46%, sedangkan untuk ikan air tawar digemari sebanyak 26% responden dan 27% responden
menyatakan suka terhadap keduanya. Berdasarkan jenis ikan segar, yang paling disukai adalah
kepiting (88,2%), kuwe (87,6%), dan cumi (87,1%).
Tabel 4-10. 13. Preferensi Konsumen Terhadap Jenis Ikan di Lokasi Penelitian, Tahun
2015 (Satuan = %)
No
Jenis Ikan
Sumatera Utara
A
B
C
D
Sulawesi Utara
E
A
B
C
D
E
1
Ikan Kerapu
-
-
-
- 80,8
-
-
-
- 82,6
2
Ikan Kakap
-
-
-
- 81,1
-
-
-
- 84,2
3
Ikan Kerang
-
-
- 73,4
-
-
-
- 80,0
-
4
Ikan Bandeng
-
-
- 72,9
-
-
-
- 79,6
-
5
Ikan Kuwe
-
-
-
- 87,6
-
-
-
- 86,2
6
Ikan Baronang
-
-
-
- 84,5
-
-
-
- 85,4
7
Udang
-
-
-
- 86,0
-
-
-
- 83,0
HASIL KEGIATAN|Kajian Supply Ikan di Pasar Domestik dalam Rangka
Kesiapan Menghadapi Natal 2015 dan Tahun Baru 2016
214
LAPORAN TEKNIS
No
[KAJIAN KHUSUS BBPSEKP TAHUN 2015]
Jenis Ikan
Sumatera Utara
A
B
C
Sulawesi Utara
D
E
A
B
C
D
E
8
Cumi
-
-
-
- 87,1
-
-
-
- 83,2
9
Kepiting
-
-
-
- 88,2
-
-
-
- 84,4
10
Ikan Gurame
-
- 59,4
-
-
-
- 79,6
-
-
Keterangan: A = Sangat Tidak Setuju; B = Tidak Setuju; C = Ragu-Ragu; D = Setuju; E = Sangat
Setuju
Sumber : Data Primer (diolah), 2015
Sedangkan ikan olahan yang paling disukai oleh responden di Sumatera Utara adalah ikan
asin (80,3%). Responden pada dasarnya kurang menyukai ikan olahan yang berubah bentuk
seperti sosis. Berbeda halnya dengan responden di Sulawesi Utara. Ikan olahan yang paling
disukai adalah ikan asap (87,8%), kemudian ikan asin (82,8%), baso (74,6%), ikan kaleng
(73,4%) dan nugget (72,6%). Hampir semua responden mengetahui cara memilih ikan yang baik.
Pada Tabel 4-10. 14 dilihat kesukaan responden terhadap berbagai jenis ikan olahan.
Tabel 4-10. 14. Preferensi Konsumen Terhadap Jenis Ikan Olahan di Lokasi Penelitian,
Tahun 2015 (Satuan = %)
No
Sumatera Utara
Jenis Ikan Olahan
A
B
C
D
Sulawesi Utara
E
B
C
D
E
-
-
-
- 82,8
- 87,8
1
Olahan Ikan Asin
-
-
-
2
Ikan Asap, Ikan Panggang
-
-
- 70,8
-
-
-
-
3
Ikan Pindang
-
-
- 63,9
-
-
-
- 71,8
-
4
Ikan Kecap
-
- 59,2
-
-
-
-
- 66,2
-
5
Olahan Terasi
-
-
- 72,0
-
-
-
- 64,2
-
6
Olahan
(Ikan
-
-
- 72,0
-
-
-
- 73,4
-
7
Olahan Pembekuan (Ikan Beku)
-
-
- 63,0
-
-
-
- 66,2
-
8
Olahan Baso
-
-
- 75,0
-
-
-
- 74,6
-
9
Olahan Sosis
-
- 56,0
-
-
-
-
- 70,2
-
10
Olahan Nugget
-
-
- 74,0
-
-
-
- 72,6
-
11
Olahan Jelly dari Rumput Laut
-
-
- 67,0
-
-
-
- 64,0
-
Pengalengan
- 80,3
A
Kaleng)
Keterangan: A = Sangat Tidak Setuju; B = Tidak Setuju; C = Ragu-Ragu; D = Setuju; E = Sangat
Setuju
Sumber : Data Primer (diolah), 2015
HASIL KEGIATAN|Kajian Supply Ikan di Pasar Domestik dalam Rangka
Kesiapan Menghadapi Natal 2015 dan Tahun Baru 2016
215
LAPORAN TEKNIS
[KAJIAN KHUSUS BBPSEKP TAHUN 2015]
Produk Pelayanan Pasar
Pada umumnya responden membeli ikan di pasar tradisional yakni sebesar 74%, pasar
khusus ikan sebesar 52%, supermarket sebesar 16% dan pedagang keliling sebesar 24%.
Pembelian yang dilakukan di pasar tradisional dan pasar khusus banyak dilakukan oleh responden
dengan alasan jenis ikan yang dijual banyak jenisnya dan berharga murah. Demikian pula dengan
alasan memilih untuk membeli ikan di pasar ikan. Untuk beberapa responden yaang memilih di
pedagang keliling, memilih untuk membeli iakn di pedagang keliling karena pelayannannya yang
cepat dan aksesnya yang muda. Pembeli tidak perlu lagi menggunakan jasa transportasi ke lokasi
pembelian ikan. Sedangkan pembelian yang dilakukan di supermarket dilakukan dengan alasan
tempatnya aman untuk berbelanja dan kualitasnya terjamin. Pada Tabel 4-10.15 dapat dilihat
perilaku konsumen dalam memilih tempat pembelian ikan.
Tabel 4-10. 15. Perilaku Konsumen dalam Memilih Tempat Pembelian Ikan di Lokasi
Penelitian, Tahun 2015 (Satuan = %)
Uraian
Sumatera Utara
Sulawesi Utara
Membeli di pasar tradisional/campuran
74
96,0
Membeli di pasar khusus ikan
52
84,0
Membeli di supermarket/hypermarket
16
29,0
Membeli di pedagang keliling (PKL)
24
29,0
Sumber : Data Primer (diolah), 2015
Perilaku dalam pembelian ikan pada umumnya responden ingin melakukan secara mandiri
dalam proses pemilihan ikan dan pengambilan ikan, namun tidak sampai proses penimbangan
sendiri. Responden di Sumatera Utara yang memilih untuk mengolah sendiri sebanyak 75% dan
pada umumnya responden yang ingin membeli jadi hanya sebesar 13%. Hal ini dikarenakan
banyak responden masyarakat Sumatera Utara yang menyukai citara rasa rumahan dan rata-rata
dari mereka gemar memasak. Sedangkan responden di Sulawesi Utara yang melakukan
penimbangan sendiri sebanyak 79%. Untuk yang mengolah sendiri ada sebanyak 96% dan pada
umumnya responden yang ingin membeli jadi hanya sebesar 31%. Dalam rangka menyambut hari
raya natal, maka pada umumnya responden di Sumatera Utara menjawab tidak ada menu khusus
yang dipersiapkan. Kalau responden di Sulawesi Utara yang menjawab ada menu khusus hanya
sebesar 37% dan sisanya tidak ada menu khusus.
HASIL KEGIATAN|Kajian Supply Ikan di Pasar Domestik dalam Rangka
Kesiapan Menghadapi Natal 2015 dan Tahun Baru 2016
216
LAPORAN TEKNIS
[KAJIAN KHUSUS BBPSEKP TAHUN 2015]
Kesimpulan Dan Rekomendasi Kebijakan
Kesimpulan
1.
Secara empiris penelitian ini menunjukkan bahwa produksi perikanan yang dihasilkan baik
dari kegiatan penangkapan maupun budidayamenunjukkan kecenderungan adanya
peningkatan. Produksi ini tidak semuanya disediakan untuk konsumsi domestik. Setiap
tahunnya ada produksi yang diekspor ke berbagai negara tujuan.
2.
Konsumsi ikan nasional mengalami peningkatan dengan rata-rata peningkatan sebesar
4,87% selama periode tahun 2006 - 2014.
Pada tahun 2006 tingkat konsumsi ikan per
kapita penduduk Indonesia adalah sebesar 25,03 Kg/Kap/Th, sampai tahun 2013 sebesar
35,14 Kg/Kap/Th dan diprediksi sebesar 37,80 Kg/Kap/Th. Pada tahun 2015 adalah sebesar
40,90 Kg/Kap/Th.
3.
Angka ini kurang lebih setara dengan 13 gram protein/kapita/hari atau 25% dari angka
kecukupan gizi (AKG) yang direkomendasikan oleh Widya Karya Pangan dan Gizi X tahun
2012 yang dipertegas dalam Peraturan Menteri Keseharan RI No 75 Tahun 2013, yaitu
asupan protein 57 gram/kapita/hari. Angka 25 % tersebut tentu sangat signifikan mengingat
bahwa sejauh ini ikan tidak tercantum dalam daftar komoditas ketahanan pangan, baik di
tingkat nasional maupun regional.
4.
23 propinsi di Indonesia konsumsi kalori dan protein ikan tahun 2014 nya berada di atas ratarata konsumsi kalori dan protein ikan nasional, sisanya pada 10 propinsi tingkat konsumsinya
di bawah rata-rata nasional. Propinsi yang dikatakan rendah tersebut diantaranya adalah
Bengkulu, Lampung, DKI Jakarta, Banten, Jawa Barat, Jawa Tengah, DI Yogyakarta, Jawa
Timur, Bali dan Nusa Tenggara Timur.
5.
Menurut data statistik perikanan tangkap tahun 2013, provinsi yang memiliki jumlah
produksi perikanan tangkap paling besar terdapat di wilayah Sumatera Utara (9,08%),
Maluku (9,02%), dan Jawa Timur (6,33%) dan yang paling rendah ada di wilayah DI
Yogyakarta (0,08%).
Produksi perikanan pada kwartal I dan II banyak provinsi yang
volumenya berada di bawah rata-rata namun pada kwartal III dan IV mengalami situasi yang
sebaliknya. Kurang stabilnya ketersediaan ikan dari sisi produksi tersebut dipengaruhi oleh
beberapa faktor seperti musim penangkapan dan fluktuasi permintaan ikan.
6.
Hasil analisis indeks ketidakstabilan harga pada periode sebelum, pada saat dan sesudah natal
dan tahun baru menunjukkan bahwa terjadi pergeseran indek ketidakstabilan harga pada
komoditas-komoditas ikan pada ketiga periode tersebut. Sebelum natal dan tahun baru
sebagian indek berada pada kuadran I/kiri atas (High growth low risk)
yang menunjukan
indeks yang stabil, kemudian pada bulan Desember (saat natal dan menjelang tahun baru)
indek ketidakstabilan cenderung bergeser ke kuadran III/kiri bawah (High growth high risk)
yang menunjukkan kestabilan yang rendah. Sedangkan pada masa setelah natal dan tahun
HASIL KEGIATAN|Kajian Supply Ikan di Pasar Domestik dalam Rangka
Kesiapan Menghadapi Natal 2015 dan Tahun Baru 2016
217
LAPORAN TEKNIS
[KAJIAN KHUSUS BBPSEKP TAHUN 2015]
baru, indeks cenderung berada pada kuadran III dan kuadran IV (bagian bawah) yang
menunjukan kecenderungan bahwa terjadi penurunan permintaan ikan setelah natal dan
tahun baru.
7.
Perilaku dalam pembelian ikan pada umumnya dilakukan secara mandiri dalam proses
pemilihan ikan dan pengambilan ikan, meskipun tidak sampai proses penimbangan sendiri.
Sebagian besar responden juga memilih untuk mengolah sendiri dengan alas an lebih
menyukai citara rasa rumahan dan rata-rata dari mereka gemar memasak. Dalam rangka
menyambut hari raya natal, maka pada umumnya responden tidak ada menu khusus yang
dipersiapkan.
Rekomendasi Kebijakan
1. Pemantauan harga ikan menjelang hari natal dan tahun baru.
2. Perlu adanya perbaikan sistem distribusi ikan agar ketersediaan ikan dapat lebih merata
khususnya pada wilayah Jawa dan Bali.
3. Peningkatan konsumsi ikan terutama pada wilayah Jawa dan Bali.
4. Pengembangan distribusi ikan dengan mengefektifkan Sistem Logistik Ikan Nasional yang
terintegrasi antar pusat produksi dan konsumsi.
5. Pengembangan pangan lokal sebagai upaya mendukung diversifikasi produksi dan konsumsi
ikan.
6. Sinergitas dan koordinasi kebijakan pemerintah pusat dan daerah antar sektor untuk memenuhi
kebutuhan dan konsumsi ikan.
Daftar Pustaka
Ariningsih, E. 2004. Kajian Konsumsi Protein Hewani pada Masa Krisis Ekonomi di Jawa. Pusat
Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian. Badan Penelitian dan
Pengembangan Pertanian. Departemen Pertanian. Bogor.
Aswatini, H. Romdiati, B. Setiawan, A. Latifa, Fitranita, M. Noveria. 2004. Ketahanan Pangan,
Kemiskinan dan Sosial Demografi Rumah Tangga. Pusat Penelitian Kependudukan.
Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. Jakarta.
Badan Pusat Statistik. 2010. Neraca Bahan Makanan: Studi Keterbandingan Data Ketersediaan
dan Data Konsumsi. Jakarta-Indonesia.
Badan Pusat Statistik. 2014. Statistik Harga Konsumen.
HASIL KEGIATAN|Kajian Supply Ikan di Pasar Domestik dalam Rangka
Kesiapan Menghadapi Natal 2015 dan Tahun Baru 2016
218
LAPORAN TEKNIS
[KAJIAN KHUSUS BBPSEKP TAHUN 2015]
Badan Pusat Statistik. 2012. Konsumsi Kalori dan Protein Penduduk Indonesia dan Provinsi 2012.
Buku 2 Survey Sosial Ekonomi Nasional berdasarkan Hasil Susenas September 2012.
Badan Pusat Statistik. Jakarta.
Badan Pusat Statistik. 2013. Konsumsi Kalori dan Protein Penduduk Indonesia dan Provinsi 2013.
Buku 2 Survey Sosial Ekonomi Nasional berdasarkan Hasil Susenas September 2013.
Badan Pusat Statistik. Jakarta.
Badan Pusat Statistik. 2014. Konsumsi Kalori dan Protein Penduduk Indonesia dan Provinsi 2014.
Buku 2 Survey Sosial Ekonomi Nasional berdasarkan Hasil Susenas September 2014.
Badan Pusat Statistik. Jakarta.
Berg, A dan R.J Muscat. 1985. Faktor Gizi. (Penerjemah, Sediaoetama). Bhatara. Jakarta.
Braun, VJ, H. Bouis, S. Kumar and R. Pandya-Lorch. 1992. Improving Food Security of The
Poor: Concept, Policy and Programs. IPRI. Washington DC.
Coppock, J.D. 1962. International Economic Instability. McGraw-Hill Publishing Company. New
York.
Fauzi, A. 2010. Ekonomi Perikanan Teori, Kebijakan, dan Pengelolaan. Gramedia Pustaka
Utama. Jakarta.
Fauzi, A. dan S. Anna. 2010. Growth and Instability of Small Pelagic Fisheries of the North
Coast of Java, Indonesia: Lesson Learned for Fisheries Policy. China-USA Business
Review, ISSN 1537-1514June 2012, Vol. 11, No. 6, 739-748. David Publishing. Page 739
– 748.
Hardinsyah, Irawati, A, Kartono, D, Prihartini S, Linorita I, Amilia L, Fermanda M, Adyas EE,
Yudianti D, Kusrto CM dan Heryanto Y.
2012. Pola Konsumsi Pangan dan Gizi
Penduduk Indonesia. Departemen Gizi Masyarakat FEMA IPB dan Badan Litbangkes
Kemenkes RI. Bogor. Kementerian Kelautan dan Perikanan. 2013. Kelautan dan Perikanan
dalam Angka 2013. Jakarta. 212 Hal.
Indriana S. dan L. Widajanti. 2005. Hubungan Pendapatan, Pengetahuan Gizi Ibu dengan
Ketersediaan Ikan Tingkat Rumah Tangga Daerah Perkotaan.
Jurnal Gizi Indonesia,
Volume 1 Nomor 1 Desember 2005.
Irawan, B. 2002. Elastisitas Konsumsi Kalori dan Protein di Tingkat Rumah Tangga. Jurnal Agro
Ekonomi 20 (1): 25-47.
Karyadi dan Muhilal. 1987. Nilai Tambah Ikan bagi Gizi dan Kesehatan Masyarakat. Makalah
Seminar Manfaat Ikan Bagi Pembangunan Sumberdaya Manusia. Departemen Kesehatan
RI. Jakarta.
HASIL KEGIATAN|Kajian Supply Ikan di Pasar Domestik dalam Rangka
Kesiapan Menghadapi Natal 2015 dan Tahun Baru 2016
219
LAPORAN TEKNIS
[KAJIAN KHUSUS BBPSEKP TAHUN 2015]
Kementerian Kelautan dan Perikanan. 2013. Kelautan dan Perikanan dalam Angka 2013. Jakarta.
212 Hal.
Kementerian Kelautan dan Perikanan. 2014. Kelautan dan Perikanan dalam Angka 2014. Jakarta.
212 Hal.
Kotler, Phillip. 2000. Manajemen Pemasaran. Edisi Millenium Jakarta. Prehallindo.
Lubis, B. 1987. Pengolahan dan Pemasaran Ikan Untuk Pemerataan Konsumsi. Seminar Manfaat
Ikan Bagi Pembangunan Sumberdaya Manusia. Jakarta.
Oktari, R.N. 2008. Konsumsi Ikan Anak Usia Sekolah pada Keluarga Nelayan dan Non Nelayan
Berdasarkan Keadaan Sosial Ekonomi. Skripsi Sarjana yang Tidak Dipublikasikan.
Program Studi GiziMasyarakat dan Sumberdaya Keluarga, Fakultas Pertanian, Institut
Pertanian Bogor. Bogor.
Pribadi, N. 2005. Program Ketahanan Pangan: Konsep dan Implementasinya. Makalah
disampaikan dalam Penyusunan Indikator Kinerja Program Ketahanan Pangan di Badan
Perencanaan Pembangunan Nasional. Tanggal 15 Agustus 2005. Jakarta.
Sawit, H. dan M. Ariani. 1997. Konsep dan Kebijaksanaan Ketahanan Pangan. Makalah
Pembanding pada Seminar PraWidyakarya Nasional Pangan dan Gizi VI di Bulog. Tanggal
26 – 27 Juni. Jakarta.
Setyowati, E., R.S. Damayanti, Subagyo dan R. Badrudin. 2004. Pengantar Ekonomi Mikro Edisi
2. STIE YKPN. Yogyakarta.
Schiffman, L.G dan Kanuk. 2000. Consumer Behaviour. New Jersey. Prentice Hall.
Soetrisno, N. 1995. Ketahanan Pangan Dunia: Konsep, Pengukuran dan Faktor Dominan. Majalah
Pangan No. 21 Nol. V Tahun 1995.
Soetrisno, N. 1997. Konsep dan Kebijaksanaan Ketahanan Pangan dalam Repelita VII. Makalah
disampaikan pada Seminar PraWidyakarya Nasional Pangan dan Gizi VI di Bulog. Tanggal
26 – 27 Juni. Jakarta.
Sudibyo. 2002. Perilaku Konsumen dan Kesinambungan Kebutuhan. Jakarta: PT. Gramedia
Pustaka Utama
Suhardjo. 1994. Pola Konsumsi Ikan di Indonesia. Makalah disampaikan pada Widyakarya
Nasional Pangan dan Gizi V. Tanggal 20 – 22 April. Jakarta.
Suhardjo. 1996. Pengertian dan Kerangka Pikir Ketahanan Pangan Rumah Tangga. Makalah
disampaikan pada Lokakarya Ketahanan Pangan Rumah Tangga. Tanggal 26 – 30 Mei.
Yogyakarta.
HASIL KEGIATAN|Kajian Supply Ikan di Pasar Domestik dalam Rangka
Kesiapan Menghadapi Natal 2015 dan Tahun Baru 2016
220
LAPORAN TEKNIS
[KAJIAN KHUSUS BBPSEKP TAHUN 2015]
Undang-Undang dan Peraturan
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan.Disahkan di Jakarta
pada tanggal 4 November 1996.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan. Disahkan di Jakarta
pada tanggal 16 November 2012.
Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 75 Tahun 2013 tentang Angka
Kecukupan Gizi yang Dianjurkan bagi Bangsa Indonesia. Ditetapkan di Jakarta pada
tanggal 28 November 2013.
HASIL KEGIATAN|
221
LAPORAN TEKNIS
4.11.
[KAJIAN KHUSUS BBPSEKP TAHUN 2015]
Kajian Cepat Tentang Manfaat Dan Kerugian Keikutsertaan Indonesia Di Dalam
Trans Pasific Partnership (TPP) Bagi Perdagangan Di Sektor Kelautan Dan
Perikanan
Pendahuluan
Latar Belakang
TPP merupakan kerangka hukum yang melibatkan 40 persen kekuatan ekonomi dunia. TPP
adalah pakta perdagangan yang diklaim sebagai perjanjian paling lengkap dan berstandar paling
tinggi, yang mengatur hak kekayaan intelektual, Badan Usaha Milik Negara (BUMN), dan
mekanisme penyelesaian sengketa antara negara dengan investor asing.
Keberadaan trans-pacific partnership ini akan membuka berbagai peluang bagi Indonesia
untuk meningkatkan perekonomian nasional dan kawasan. Hal tersebut menjadi momen penting
bagi Indonesia di mata dunia, meski kondisi kesiapan dalam negeri juga harus menjadi
pertimbangan tersendiri apabila akan masuk ke dalam trans-pacific partnership.
Anggota TPP saat ini terdiri dari AS, Australia, Brunei Darussalam, Chili, Jepang,
Malaysia, Peru, Singapura, Vietnam, Mexico, Canada, dan Selandia Baru. Saat ini, banyak negara
menerapkan hambatan tarif dan membuat impor barang dari luar negeri menjadi lebih mahal yang
bertujuan melindungi produsen di dalam negeri. Salah satu peran penting dan utama TPP adalah
menghilangkan hambatan tarif ini, sehingga produk-produk (bahan baku, setengah jadi, ataupun
bahan jadi) bisa didapatkan secara murah. TPP memiliki cakupan meliputi pertanian, farmasi,
Hak Kekayaan Intelektual (HAKI), bahan kimia, dll.
Tujuan Penelitian
Kajian Pendahuluan Manfaat dan Kerugian Keikutsertaan Indonesia di dalam Trans Pacific
Partnership (TPP) Bagi Perdagangan di Sektor Kelautan dan Perikanan dalam rangka Kajian
Khusus Kebijakan Inovatif Dalam Rangka Percepatan Program Pembangunan Kelautan Dan
Perikanan 2015 memiliki tujuan sebagai berikut:
(1)
Menganalisis manfaat dan kerugian keikutsertaan Indonesia di dalam Trans Pasific
Partnership
(2)
Menganalisis perkembangan neraca perdagangan komoditas perikanan Indonesia ke
negara-negara yang sudah bergabung menjadi anggota Trans Pasific Partnership
HASIL KEGIATAN|Kajian Cepat Tentang Manfaat Dan Kerugian Keikutsertaan
Indonesia Di Dalam Trans Pasific Partnership (TPP) Bagi Perdagangan Di
Sektor Kelautan Dan Perikanan
222
LAPORAN TEKNIS
[KAJIAN KHUSUS BBPSEKP TAHUN 2015]
Metode Penelitian
Metodologi yang digunakan dalam penelitian ini bersifat kualitatif, yaitu melibatkan
interpretasi dan juga pendekatan naturalistik terhadap subjek penelitian, serta tidak jarang
menggunakan berbagai metode atau pendekatan pada satu fokus kajian (Denzin and Lincoln,
1994). Pilihan studi literatur dilakukan mengingat data dan informasi yang tersedia bagi penelitian
ini adalah berupa dokumen.
Analisis data dilakukan secara deskriptif dan diinterpretasikan menggunakan metode logik.
Metode logik adalah cara menalar dimana data diamati dan dipilah-pilah, buktinya dicari dan
dipertimbangkan, dianalisis dan kemudian kesimpulan diambil (Nazir, 1988). Analisis hubungan
antara fakta sosial dinyatakan menggunakan pendekatan deskriptif dan kualitatif. Analisis
menggunakan metode content analysis juga dilakukan untuk memahami informasi dan studi yang
dijadikan bahan rujukan pembahasan.
Selain itu, analisis terhadap data perdagangan Indonesia terhadap negara-negara anggota
TPP lainnya juga dilakukan. Untuk menghasilkan berbagai informasi terkait kondisi neraca
perdagangan produk perikanan Indonesia ke negara-negara TPP, maka akan dilakukan analisis
data deskriptif. Hasil analisis teresbut akan ditampilkan dalam bentuk berbagai grafik untuk
mellihat seperti apa kecenderungan yang terjadi di antara Indonesia dengan negara-negara TPP.
Untuk itu, maka diperlukan data terkait nilai perdagangan berbagai produk perikanan antara
Indonesia dengan negara-negara TPP, tersedia di database TRAINS yang dapat diunduh di World
Integrated Trade Solutions (WITS), UNCTAD.
Hasil Dan Pembahasan
Manfaat Dan Kerugian Keikutsertaan Indonesia Dalam TPP
Trans Pasific Partnership (TPP) sebagai sebuah bentuk perjanjian kerjasama ekonomi
regional tentunya memberikan dan menawarkan berbagai kemudahan dan fasilitas yang bersifat
eksklusif bagi negara-negara yang tergabung di dalamnya. Berdasarkan hasil analisis data dan
informasi yang diperoleh setidaknya terdapat manfaat dan kerugian yang berpotensi terjadi jika
Indonesia memutuskan untuk bergabung di dalamnya menjadi anggota TPP.
Manfaat Indonesia Bergabung dengan TPP
Hasil analisis terhadap data dan informasi yang tersedia mengindikasikan beberapa
manfaat yang akan diperoleh Indonesia jika memutuskan bergabung dengan TPP. Diantara
manfaat tersebut adalah akses masuk untuk produk-produk dari Indonesia ke negara-negara
anggota TPP akan dipermudah, misalnya ke Amerika Serikat, Kanada, Jepang, Australia, dan
HASIL KEGIATAN|Kajian Cepat Tentang Manfaat Dan Kerugian Keikutsertaan
Indonesia Di Dalam Trans Pasific Partnership (TPP) Bagi Perdagangan Di
Sektor Kelautan Dan Perikanan
223
LAPORAN TEKNIS
[KAJIAN KHUSUS BBPSEKP TAHUN 2015]
negara-negara anggota lainnya. Manfaat lainnya adalah investasi di sejumlah sektor industri yang
pasar utamanya adalah negara-negara Asia Pasifik, terutama Amerika Serikat, bakal melonjak
bila Indonesia masuk TPP. Investor asing akan menjadikan Indonesia sebagai basis produksi agar
barang-barangnya bisa masuk ke negara-negara anggota TPP. Kemudahan mengekspor produk ke
Amerika Serikat, yang menjadikan investasi terhadap produk-produknya diekspor semakin
meningkat. Selain itu, Indonesia akan menjadi daya tarik untuk menjadi tujuan investasi.
Kerugian Indonesia bergabung dengan TPP
TPP selain menawarkan beberapa potensi manfaat yang dapat diperoleh, namun juga
memiliki beberapa kerugian yang berpotensi dihadapi oleh Indonesia. Berdasarkan hasil analisis
data dan informasi yang tersedia, maka teridentifikasi beberapa potensi kerugian yang akan
dihadapi oleh Indonesia yang sebagian besar mencakup permasalahan posisi usaha kecil dan
mikro di tengah banjirnya investasi asing, kedaulatan negara atas sumber daya dan posisi politik
negara di kawasan asia pasifik. Hasil analisis mengidentifikasi akan berpotensi terjadi hilangnya
kontrol negara atas sektor publik yang disebabkan karena TPP mendorong negara-negara untuk
membuka sektor publiknya untuk dapat dimasuki oleh investasi asing, khususnya Amerika,
hingga 100%. Segala bentuk daftar negatif investasi disektor ini diminimalisir. Tentunya
penguasaan sektor publik oleh korporasi akan berdampak terhadap hilangnya akses masyarakat
terhadap sektor publik strategis secara murah, seperti air, listrik, dan sebagainya.
Dominasi perusahaan asing dalam kegiatan pengadaan barang dan jasa pemerintah juga
disinyalir akan terjadi. Hal ini terjadi karena TPP mendorong agar pengadaan barang dan jasa
pemerintah dapat diakses oleh perusahaan asing. Sehingga TPP mengatur tentang perlunya prinsip
non-diskriminasi dan national treatment untuk perusahaan asing dalam kegiatan ini. Hal ini
karena Amerika Serikat mengincar bisnis pengadaan barang dan jasa pemerintah yang nilainya
mencapai triliyunan dollar AS. Dampak lainnya adalah ‘Memandulkan’ BUMN bagi kepentingan
nasional yang disebabkan karena TPP hendak memastikan bahwa negara tidak memberikan
banyak subsidi untuk BUMN sehingga korporasi asing bisa memenangkan kompetisi. Selama ini
BUMN dianggap telah memonopoli bisnis di level domestik melalui dukungan negara baik dalam
bentuk pinjaman yang murah, pengecualian pajak, hingga kemewahan untuk dapat
mengecualikan sebuah undang-undang. TPP akan menerapkan prinsip non-diskriminasi serta
hukum kompetisi yang ketat bagi BUMN.
Akses terhadap obat-obatan murah melalui penerapan standar perlindungan paten dalam
aturan hak kekayaan intelektual (HaKI) dalam TPP telah menghilangkan akses masyarakat
terhadap obat-obatan yang murah. Hal ini karena TPP menghapus ketentuan Fleksibilitas TRIPS
dalam WTO yang selama ini telah digunakan oleh banyak negara untuk membuat obat generiK
dari obat-obatan yang dipatenkan oleh perusahaan farmasi Amerika untuk kepentingan publiK.
HASIL KEGIATAN|Kajian Cepat Tentang Manfaat Dan Kerugian Keikutsertaan
Indonesia Di Dalam Trans Pasific Partnership (TPP) Bagi Perdagangan Di
Sektor Kelautan Dan Perikanan
224
LAPORAN TEKNIS
[KAJIAN KHUSUS BBPSEKP TAHUN 2015]
Dihapusnya ketentuan fleksibilitas TRIPS dalam TPP akan mengakibatkan monopoli obat-obatan
oleh korporasi asing dengan harga yang mahal. Apalagi TPP menerapkan standar perlindungan
lebih tinggi dari TRIPS di WTO yakni dengan jaminan perlindungan paten lebih dari 20 tahun.
Selain itu, TPP juga menerapkan eksklusivitas data yang telah dipatenkan.
Terkait dengan masalah kedaulatan pangan dan kedaulatan petani, nelayan dan
pembudidaya juga disinyalir akan berpotensi untuk terjadi. Permasalahan ini lebih disebabkan
karena masih terkait dengan Penerapan standar perlindungan paten dalam aturan hak kekayaan
intelektual (HaKI) dalam TPP. Pemberlakuan ini di sektor pertanian secara luas, termasuk sektor
perikanan akan mengalami yang sama dengan obat. Selama ini perusahaan benih dan pestisida
asing seperti Bayer, Monsanto, maupun DuPont, telah memonopoli benih-benih ciptaannya.
Sehingga tidak memungkinkan bagi petani kecil untuk membudidayakannya. Diberlakukannya
TPP hanya akan meningkatkan kasus kriminalisasi benih. Jika hal ini terjadi secara meluas maka
sektor perikanan khususnya budidaya perikanan pun akan terkena dampak.
Permasalahan di perburuhan juga akan terkena dampak karena TPP hendak melarang
negara untuk membuat regulasi yang melindungi buruh, bahkan tidak menginginkan adanya
proses transfer ilmu pengetahuan dan teknologi. Hal ini dilakukan dalam rangka menjamin
investor. Selain itu, arus bebas tenaga kerja asing untuk tenaga kerja professional juga menjadi
salah satu agendanya. Demikian juga halnya dengan permasalahan yang akan terjadi pada Usaha
Mikro Kecil dan Menengah (UMKM). Penghapusan tariff hingga batas serendah-rendahnya akan
memudahkan masuknya produk AS dan negara industri lainnya, ketimbang masuknya produk
barang Indonesia kesana. Apalagi standard akses pasar yang tinggi dalam TPP, akan berpotensi
menghilangkan kemampuan sektor usaha kecil Indonesia untuk dapat masuk ke pasar negaranegara TPP.
Defisit Perdagangan secara keseluruhan juga berpotensi untuk terjadi. Hal ini terjadi jika
Indonesia bergabung dengan TPP maka penghapusan hambatan tariff tidak akan memberikan
dampak positif dalam meningkatkan kinerja perdagangannya, khususnya ditengah situasi
pelemahan ekonomi global hari ini. Hal ini didukung dengan data perdagangan Indonesia dengan
ke-12 negara anggota TPP, 80% diantaranya terus mengalami kecenderungan negatif dari seluruh
total perdagangan. Neraca perdagangan Indonesia terus menunjukan defisit, seperti dengan:
Australia, Brunai, Chille, Jepang, Malaysia, Selandia Baru, Singapura, Korea Selatan, dan
Vietnam. Bahkan, ada beberapa negara yang menunjukan tren perdagangan Indonesia dengan
mitranya ini disepanjang 2010-2014 menunjukan kecenderungan negatif, seperti dengan Amerika
Serikat -0,11, Brunai -9,42%, Chille -6,86%, dan Jepang 2,57%.
Permasalahan lainnya yang berhasil teridentifikasi adalah masuknya produk regulasi asing
seperti impor Undang-Undang Amerika Serikat ke dalam sistem regulasi negara Indonesia.
Aturan TPP hendak mengadopsi seluruh standar regulasi AS yang selama ini dipromosikan
HASIL KEGIATAN|Kajian Cepat Tentang Manfaat Dan Kerugian Keikutsertaan
Indonesia Di Dalam Trans Pasific Partnership (TPP) Bagi Perdagangan Di
Sektor Kelautan Dan Perikanan
225
LAPORAN TEKNIS
[KAJIAN KHUSUS BBPSEKP TAHUN 2015]
melalui OECD sebagai praktek terbaik dalam pengambilan keputusan. TPP mewajibkan negara
untuk melakukan review regulasi dalam rangka menilai kepatuhannya terhadap aturan-aturan
TPP. Permasalahan lainnya yang terkait regulasi adalah berpotensi terjadinya gugatan dari
korporasi asing TPP memasukan aturan mengenai mekanisme penyelesaian sengketa antara
Investor dengan Negara, atau dikenal dengan Investor-State Dispute Settlement (ISDS).
Masuknya ISDS dalam TPP akan membuka peluang dimana Indonesia digugat oleh investor
senilai triliyunan dollar AS di lembaga arbitrase internasional akibat mengganti ataupun merubah
regulasi nasionalnya yang dianggap merugikan kepentingan investor asing. Ancaman gugatan ini
mengakibatkan Indonesia tersandera dan enggan untuk membuat undang-undang yang
melindungi kepentingan rakyat.
Secara umum, jika Indonesia bergabung dengan TPP, wajib mengikuti semua kesepakatan
TPP yang intinya membuka sektor-sektor sensitif. Misalnya: sangat membatasi barang
perdagangan yang dikategorikan sensitif atau exclude, membuka goverment procurement, IPR,
isu lingkungan dan kebijakan-kebijakan NTM yang menghambat perdagangan. Mengacu hal
tersebut, Indonesia juga harus siap melakukan reformasi ekonomi dan regulasi.
Aspek Hukum
Analisis data dan informasi yang dilakukan terhadap aspek hukum juga dilakukan secara
umum terkait dengan Legal Standing/Potition dari TPP Agreement. Berdasarkan hasil analisis
diindikasikan beberapa hal yaitu berupa proses negosiasi yang tidak transparan. Dalam hal ini
publik tidak dapat mengetahui secara pasti apa yang didiskusikan dan dinegosiasikan di dalam
TPP. Draft lengkap TPP baru bisa diakses secara bebas oleh publik sebulan setelah dokumen
tersebut disetujui oleh negara-negara peserta. Ketiadaan proses perumusan yang terbuka
berpotensi menciptakan klausul-klausul yang menguntungkan perusahaan besar dan merugikan
kepentingan publik.
Selain itu, rancangan Hak Kekayaan Intelektual (HAKI) dalam TPP akan lebih ketat dan
akan diterapkan secara seragam di seluruh negara pesertanya. Misalnya, saat ini Jepang memiliki
peraturan habisnya perlindungan hak cipta 50 tahun setelah meninggalnya sang pencipta. Dengan
TPP, lama perlindungannya akan diperpanjang menjadi 70 tahun. Pada konteks ini, meskipun
menguntungkan bagi pemilik HAKI, peraturan ini sangat merugikan bagi organisasi nonprofit
dan masyarakat yang memerlukan bacaan bebas hak cipta (baik untuk kepentingan penelitian
maupun hiburan). Klausul delik bisa menjadikan pembajakan hak cipta berubah dari delik aduan
(dilaporkan setelah ada pengaduan dari pemilik HAKI) menjadi delik biasa. Dengan delik biasa,
pelanggaran hak cipta (seperti pembajakan atau bahkan membuat produk derivatif) akan sama
derajatnya seperti pembunuhan dan pemerkosaan (polisi wajib memproses tanpa perlu menunggu
aduan dari pemilik HAKI).
HASIL KEGIATAN|Kajian Cepat Tentang Manfaat Dan Kerugian Keikutsertaan
Indonesia Di Dalam Trans Pasific Partnership (TPP) Bagi Perdagangan Di
Sektor Kelautan Dan Perikanan
226
LAPORAN TEKNIS
[KAJIAN KHUSUS BBPSEKP TAHUN 2015]
Permasalahan potensi HAKI lainnya juga terkait ketiadaan klausul fair use dan
pengharaman penggunaan mekanisme untuk menjebol proteksi digital untuk kepentingan apapun.
Penggunaan cuplikan gambar ataupun kutipan dari karya ber-HAKI dalam rangka kritik maupun
diskursus publik berisiko menjadi perbuatan melawan hukum dan pengunggahnya berisiko
menghadapi tuntutan maupun gugatan dari pemilik HAKI (terlebih bila diskursus tersebut
sifatnya tidak menguntungkan pemilik HAKI). Larangan menjebol proteksi digital berlaku untuk
alasan apapun, termasuk untuk pengarsipan, keperluan pribadi, dan untuk riset.
Investor-State Dispute Settlement (ISDS) adalah mekanisme arbitrase di mana investor
asing dapat menuntut suatu negara karena perubahan regulasi atau kebijakan yang merugikan
sang investor. Klausul yang awalnya dibuat untuk menghindarkan investor asing dari kezaliman
negara-negara berkembang pada dekade 1960-an. ISDS dapat
menjadi senjata pamungkas
investor asing untuk menekan pemerintah agar tidak mengesahkan peraturan yang berpotensi
merugikan mereka. Dalam arbitrase ini, hanya dikenal dua tahap persidangan sebagaimana di
Pengadilan Niaga di Indonesia: tahap pertama dan tahap terakhir (kasasi). ISDS dalam TPP tidak
hanya berlaku pada perjanjian baru saja, namun akan berlaku surut (ke seluruh perjanjian yang
telah
berlaku
sebelumnya).
Sebagai
contoh
kasusu
adalah
Indonesia
saat
ini
sedang menghadapi ancaman Churchill Mining beberapa waktu lalu. Meski kasus ini belum
mencapai putusan final. Biaya hukum yang dikeluarkan oleh Churchill sudah mencapai lebih dari
10 juta dolar AS (135 miliar rupiah). Dalam kasus ini, Churchill menuntut ganti rugi 2 miliar
dolar AS (27 triliun rupiah) dari pemerintah Indonesia. Apablia bergabung dengan TPP, dapat
dipastikan Indonesia harus siap menerima kekalahan dan membayar ganti rugi seperti yang telah
ditetapkan.
Neraca Perdagangan Produk Perikanan Indonesia Ke Negara-Negara TPP
Neraca perdagangan produk perikanan Indonesia ke negara-negara TPP dapat dikatakan
cukup menggembirakan. Olahan data perdagangan Produk Perikanan Indonesia ke negara-negara
TPP sepanjang periode 2010-2014, menunjukkan bahwa, secara total, Indonesia mengalami
Neraca positif dengan kecenderungan meningkat, baik untuk komoditas perikanan Primer
maupun Olahan, seperti dapat dilihat pada Gambar 4-11.1. Peningkatan pada neraca perdagangan
komoditas perikanan primer terjadi dengan pertumbuhan rata-rata sebesar 13% pertahun,
sedangkan peningkatan pada neraca perdagangan komoditas perikanan olahan terjadi dengan
pertumbuhan rata-rata pertahun yang jauh lebih tinggi yaitu sebesar 23% pertahun.
HASIL KEGIATAN|Kajian Cepat Tentang Manfaat Dan Kerugian Keikutsertaan
Indonesia Di Dalam Trans Pasific Partnership (TPP) Bagi Perdagangan Di
Sektor Kelautan Dan Perikanan
227
LAPORAN TEKNIS
[KAJIAN KHUSUS BBPSEKP TAHUN 2015]
2.500.000.000
2.161.705.879
2.000.000.000
1.500.000.000
1.646.411.537
1.800.088.517 1.839.007.479
1.339.479.617
1.000.000.000
500.000.000
-
269.165.795
345.345.737
361.662.565
469.253.426
2010
2011
2012
2013
Perikanan Primer
Gambar 4-11. 1.
601.851.076
2014
Perikanan Olahan
Perkembangan Neraca Perdagangan Produk Perikanan Indonesia ke
Negara-negara TPP, 2010-2014
Sumber: Olahan Data WITS, UNCTAD
Hasil olahan data lebih lanjut menunjukkan bahwa negara-negara TPP yang menjadi
pasar terbesar bagi ekspor produk perikanan Indonesia adalah USA, Jepang, Singapura, Vietnam
dan Malaysia, seperti ditunjukkan pada Gambar 4-11.2. Meskipun dari nilai neraca perdagangan
dapat dikatakan bahwa selama ini, Jepang dan USA merupakan pasar utama bagi produk
perikanan primer Indonesia, akan tetapi dari sisi rata-rata pertumbuhan pertahun, ternyata
Vietnam merupakan negara partner yang menghasilkan rata-rata pertumbuhan neraca
perdagangan komoditas perikanan primer pertahun tertinggi sebesar 42%, diikuti oleh Malaysia
sebesar 23%, USA sebesar 21%, dan Singapura sebesar 3%. Jepang yang merupakan salah satu
pasar utama ternyata hanya menghasilkan rata-rata pertumbuhan neraca perdagangan komoditas
perikanan primer yang stagnan pada angka 1% dengan kecenderungan pertumbuhan negatif pada
dua tahun terakhir.
HASIL KEGIATAN|Kajian Cepat Tentang Manfaat Dan Kerugian Keikutsertaan
Indonesia Di Dalam Trans Pasific Partnership (TPP) Bagi Perdagangan Di
Sektor Kelautan Dan Perikanan
228
LAPORAN TEKNIS
[KAJIAN KHUSUS BBPSEKP TAHUN 2015]
2.500.000.000
Japan
Vietnam
2.000.000.000
Malaysia
1.500.000.000
Canada
United
States
Singapore
1.000.000.000
500.000.000
Australia
2010
2011
2012
2013
2014
New
Zealand
Brunei
(500.000.000)
Gambar 4-11. 2.
Perkembangan Neraca Perdagangan Produk Perikanan Primer
Indonesia ke Negara-negara TPP, 2010-2014
Sumber: Olahan Data WITS, UNCTAD
Gambar 4-11.3 menunjukkan perkembangan neraca perdagangan produk perikanan
olahan Indonesia ke negara-negara TPP pada periode 2010-2014. Data menunjukkan bahwa, dari
sisi nilai neraca perdagangan produk perikanan, USA, Jepang, Canada, Australia dan Singapura
merupakan negara –negara TPP yang selama ini menjadi pasar utama bagi produk perikanan
olahan Indonesia. Namun apabila dilihat dari sisi rata-rata pertumbuhan pertahun nilai neraca
perdagangan produk perikanan olahan, maka Singapura merupakan partner perdagangan dengan
rata-rata pertumbuhan neraca perdagangan produk perikanan olahan tertinggi sebesar 537%,
disusul oleh USA sebesar 26%, Jepang sebesar 16%, dan Canada sebesar 7%. Dari kelima negara
tersebut, Australia merupakan partner perdagangan produk perikanan olahan yang memiliki nilai
rata-rata pertumbuhan neraca perdagangan pertahun negatif sebesar -1%.
HASIL KEGIATAN|Kajian Cepat Tentang Manfaat Dan Kerugian Keikutsertaan
Indonesia Di Dalam Trans Pasific Partnership (TPP) Bagi Perdagangan Di
Sektor Kelautan Dan Perikanan
229
LAPORAN TEKNIS
[KAJIAN KHUSUS BBPSEKP TAHUN 2015]
700.000.000
600.000.000
500.000.000
400.000.000
300.000.000
200.000.000
100.000.000
2010
2011
2012
2013
2014
Japan
Vietnam
Malaysia
Canada
United States
Singapore
Australia
New Zealand
Brunei
Mexico
Peru
Chile
Gambar 4-10. 10. Perkembangan Neraca Perdagangan Produk Perikanan Olahan
Indonesia ke Negara-negara TPP, 2010-2014
Sumber: Olahan Data WITS, UNCTAD
Kesimpulan Dan Rekomendasi Kebijakan
Kesimpulan
Keuntungan jika bergabung dengan TPP diantaranya: Kemudahan akses bagi produk
ekspor Indonesia ke negara anggota lainnya; Peningkatan nilai investasi di sejumlah sektor
industri; Indonesia menjadi daya tarik tujuan investasi bagi negara-negara non anggota TPP agar
bisa mengakses pasar negara TPP. Kerugian jika bergabung dengan TPP diantaranya: Hilangnya
kontrol negara atas sektor publik; Dominasi perusahaan asing dalam kegiatan pengadaan barang
dan jasa pemerintah; ‘Memandulkan’ BUMN bagi kepentingan nasional; Kedaulatan pangan dan
kedaulatan pelaku usaha akan lemah; Impor regulasi Amerika untuk diberlakukan di Indonesia
yang mengarah kepada diberlakukannya Neo Liberalisme.
Olahan data perdagangan Produk Perikanan Indonesia ke negara-negara TPP sepanjang
periode 2010-2014, menunjukkan bahwa, secara total, Indonesia mengalami Neraca positif
dengan kecenderungan meningkat, baik untuk komoditas perikanan Primer maupun Olahan.
Peningkatan pada neraca perdagangan komoditas perikanan primer terjadi dengan pertumbuhan
rata-rata sebesar 13% pertahun, sedangkan peningkatan pada neraca perdagangan komoditas
perikanan olahan terjadi dengan pertumbuhan rata-rata pertahun yang jauh lebih tinggi yaitu
sebesar 23% pertahun. Nilai neraca perdagangan produk perikanan, USA, Jepang, Canada,
Australia dan Singapura merupakan negara –negara TPP yang selama ini menjadi pasar utama
bagi produk perikanan olahan Indonesia. Namun jika dilihat dari sisi rata-rata pertumbuhan
pertahun nilai neraca perdagangan produk perikanan olahan, maka Singapura merupakan partner
perdagangan dengan rata-rata pertumbuhan neraca perdagangan produk perikanan olahan
HASIL KEGIATAN|Kajian Cepat Tentang Manfaat Dan Kerugian Keikutsertaan
Indonesia Di Dalam Trans Pasific Partnership (TPP) Bagi Perdagangan Di
Sektor Kelautan Dan Perikanan
230
LAPORAN TEKNIS
[KAJIAN KHUSUS BBPSEKP TAHUN 2015]
tertinggi sebesar 537%, disusul oleh USA sebesar 26%, Jepang sebesar 16%, dan Canada sebesar
7%. Dari kelima negara tersebut, Australia merupakan partner perdagangan produk perikanan
olahan yang memiliki nilai rata-rata pertumbuhan neraca perdagangan pertahun negatif sebesar 1%.
Rekomendasi Kebijakan
Rekomendasi kebijakan yang bisa diberikan terkait dengan rencana keikutsertaan
Indonesia di dalam keanggotaan TPP secara umum adalah melakukan kajian yang lebih
mendalam terlebih dahulu tentang statuta TPP. Hal ini saat ini sangat sulit untuk dilakukan karena
dokumen lengkap TPP tidak tersedia bagi publik. Koordinasi lintas sektor juga perlu dilakukan
karena TPP bersifat keseluruhan bukan sektor per sektor. Terlebih lagi perlu pertimbangan dan
perhitungan yang detail mengingat posisi Indonesia di kawasa Asia Tenggara berada diantara dua
kekuatan ekonomi besar dunia, yaitu China dan Amerika Serikat.
Daftar Pustaka
Amjadi, A., Schuler, P., Kuwahara, H., & Quadros, S. (2011). WITS. User's Manual. Geneva:
World Bank.
Berita Satu. 2015. Manfaat Bergabung dengan TPP. http://www.beritasatu.com/ekonomi/317813manfaat-indonesia-bergabung-dengan-tpp-2.html. Tanggal diunduh: 1 November 2015
Denzin, N.K and Lincoln, Y.S. 1994. Introduction: Entering the Field of Qualitative Research
in Denzin, N.K and Lincoln, Y.S [Eds]. 1994. Handbook of Qualitative Research. Sage
Publications, Inc. United State of America. 1-18 p.
Laird, S., & Yeats, A. (1986). The UNCTAD Trade Policy Simulation Model. Geneva: UNCTAD.
Nazir, M. 1988. Metode Penelitian. Ghalia Indonesia. Jakarta
Tempo.
2015.
Menimbang
Kemitraan
Trans-Pasifik.
http://www.tempo.co/read/kolom/2015/11/10/2330/menimbang-kemitraan-trans-pasifik.
Tanggal diunduh: 11 November 2015
HASIL KEGIATAN|Kajian Cepat Tentang Manfaat Dan Kerugian Keikutsertaan
Indonesia Di Dalam Trans Pasific Partnership (TPP) Bagi Perdagangan Di
Sektor Kelautan Dan Perikanan
231
Download