LAPORAN TEKNIS TA 2015 KAJIAN KHUSUS PROGRAM PEMBANGUNAN KELAUTAN DAN PERIKANAN Tukul Rameyo Adi, Achmad Zamroni, Sonny Koeshendrajana, Zahri Nasution, Tajerin, Fatriyandi Nur Priyatna, Rizki Muhartono, Andrian Ramadhan, Subhechanis Saptanto, Arfah Elly Balai Besar Penelitian Sosial Ekonomi Kelautan Dan Perikanan Badan Penelitian Dan Pengembangan Kelautan Dan Perikanan Kementerian Kelautan Dan Perikanan 2015 LAPORAN TEKNIS [KAJIAN KHUSUS BBPSEKP TAHUN 2015] LEMBAR PENGESAHAN Satuan Kerja (Satker) : Judul Kegiatan Penelitian : Status Pagu Anggaran : : Tahun Anggaran Sumber Anggaran : : Penanggung jawab kegiatan : Balai Besar Penelitian Sosial Ekonomi Kelautan dan Perikanan Kajian Khusus Program Pembangunan Kelautan dan Perikanan Lanjutan Rp 659.916.000 (Enam Ratus Lima Puluh Sembilan sembilan Ratus Enam Belas Ribu Rupiah) 2015 APBN, DIPA Satker Balai Besar Penelitian Sosial Ekonomi Kelautan dan Perikanan Tahun 2015 Achmad Zamroni, S.Pi., M.Sc., Ph.D NIP. 19780821 200312 1 002 Jakarta, Desember 2015 Penanggung Jawab Achmad Zamroni, S.Pi., M.Sc., Ph.D NIP. 19780821 200312 1 002 Mengetahui/Menyetujui: Kepala Balai Besar Penelitian Sosial Ekonomi Kelautan dan Perikanan Dr. Ir. Tukul Rameyo Adi, M.T NIP. 19610210 199003 1 001 | LEMBAR PENGESAHAN I LAPORAN TEKNIS [KAJIAN KHUSUS BBPSEKP TAHUN 2015] COPY ROKP RENCANA OPERASIONAL KEGIATAN PENELITIAN (ROKP) BALAI BESAR PENELITIAN SOSIAL EKONOMI KELAUTAN DAN PERIKANAN 1. JUDUL KEGIATAN : Kajian Khusus Program Pembangunan Kelautan dan Perikanan 2. SUMBER DAN TAHUN ANGGARAN : APBN 2015 3. STATUS KEGIATAN : Lanjutan Kajian khusus ini dilakukan secara rutin setiap tahunnya di BBPSEKP dalam rangka analisis secara responsif dan antisipatif terhadap isu-isu aktual bidang kelautan dan perikanan 4. PROGRAM : a. Komoditas : Kelautan dan Perikanan b. Bidang/Masalah c. Penelitian Pengembangan d. Manajemen Penelitian : : : e. IKU KKP yang direspon : Sosial Ekonomi dan Kelembagaan Sosial Ekonomi Kelautan dan Perikanan Balai Besar Penelitian Sosial Ekonomi Kelautan dan Perikanan - Produksi Kelautan dan Perikanan - Jumlah Pulau-Pulau Kecil termasuk PulauPulau Terluar yang Dikelola - Wilayah perairan bebas IUU Fishing dan kegiatan yang merusak SDKP 5. TARGET OUTPUT KEGIATAN : a. Target rekomendasi yang dihasilkan b. Jumlah Karya Tulis Ilmiah (KTI) c. Target kertas kebijakan (Policy Brief) 6. PERKIRAAN TEMA REKOMENDASI YANG DIHASILKAN : 10 (sepuluh) buah : : 10 (sepuluh) buah 10 (sepuluh) buah : Tema rekomendasi disesuaikan dengan 10 topik kajian yang dilakukan | COPY ROKP II LAPORAN TEKNIS [KAJIAN KHUSUS BBPSEKP TAHUN 2015] 7. LOKASI KEGIATAN : 8. PENELITI YANG TERLIBAT : Jawa dan Luar Jawa S3/PPO Teknik BBPSEKP 2. Dr. Ir. Tukul Rameyo Adi, M.T Dr. Achmad Zamroni Alokasi Waktu (OB) 4 S3/PJPO BBPSEKP 4 3 Dr. Sonny Koeshendrajana S3/Anggota BBPSEKP 3 4 5. 6 Prof. Dr. Zahri Nasution Dr. Tajerin Fatriyandi Nur Priyatna, S.Pi, MSi Andrian Ramadhan, S.Pi, MT S3/Anggota S3/Anggota S2/Anggota Pengelolaan SDKP Ekonomi Sumberdaya Sosiologi Ekonomi Sosiologi BBPSEKP BBPSEKP BBPSEKP 3 3 3 Perencanaan BBPSEKP Wilayah Sosiologi BBPSEKP Ekonomi Moneter BBPSEKP 3 BBPSEKP 3 No 1 7 8 9 10 11 14 15 Nama Pendidikan/ Jabatan S2/Anggota Rizki Muhartono, S.Pi., M.Si S2/Anggota Subhechanis Saptanto, S.E., S2/Anggota M.E PM PM PM Arfah Elly PUMK 9. TUJUAN Disiplin Ilmu Tugas/ Instansi 3 3 : TUJUAN UTAMA Tujuan utama penelitian ini adalah untuk merespon isu-isu aktual dan kebijakan kelautan dan perikanan sebagai masukan pengambilan kebijakan pembangunan kelautan dan perikanan. TUJUAN SPESIFIK Tujuan secara spesifik penelitian disesuaikan dengan hasil ekstraksi isu-isu aktual yang berkembang. Sampai dengan saat ini beberapa topik yang telah teridentifikasi adalah sebagai berikut : [1] Kajian dampak pencabutan subsidi BBM paska moratorium ijin kapal penangkapan ikan terhadap produksi dan pendapatan nelayan [2] Dampak moratorium ijin kapal penangkapan ikan dan transhipment terhadap usaha perikanan tangkap [3] Prakiraan dampak implementasi peraturan menteri KP (PermenKP No. 1/2015 dan Permen KP No. 2/2015) pada usaha perikanan [4] Analisis dampak sosial ekonomi pelarangan ekspor benih lobster pada usaha perikanan lobster di Pulau Lombok, NTB. [5] Dampak Moratorium Kapal Ex-Asing Terhadap Kondisi Pasar Tuna Di Indonesia [6] Kajian supply ikan di pasar domestik dalam rangka kesiapan menghadapi Ramadhan dan hariraya idul fitri 1436 H” (2015). [7] Rapid Assessment terhadap Perikanan Bandeng sebagai Antisipasi Kebijakan Pelarangan | COPY ROKP III LAPORAN TEKNIS [KAJIAN KHUSUS BBPSEKP TAHUN 2015] Ekspor Nener Bandeng [8] Dampak Pemberlakuan Generalized System of Preference (GSP) 2015 Terhadap Ekspor KP Indonesia ke Pasar USA [9] Strategi Pengelolaan Perikanan Paska Moratorium Ijin Kapal Penangkapan Ikan. [10] Kajian supply ikan di pasar domestik dalam rangka kesiapan menghadapi natal 2015 dan tahun baru 2016 [11] Kajian pendahuluan manfaat dan kerugian keikutsertaan indonesia di dalam trans pacific Partnership (TPP) bagi perdagangan di sector Kelautan dan perikanan Topik-topik lainnya akan ditentukan kemudian sesuai dengan isu dan urgensi pelaksanaan analisis untuk mendukung pengambilan kebijakan di sektor kelautan dan perikanan. 10. LATAR BELAKANG : Penyusunan kebijakan pembangunan kelautan dan perikanan yang melibatkan, mendengarkan dan mempertimbangkan masukan, saran dan kebutuhan pemangku kepentingan dan pelaku usaha memerlukan analisis serta alternatif pemecahan masalah terhadap dinamika pembangunan kelautan dan perikanan yang dilakukan secara cepat dan tepat. Faktor penting dalam membuat dan memperbaiki kebijakan pembangunan kelautan dan perikanan yang lebih tepat sasaran, waktu dan program. Penelitian secara khusus terhadap program-program pembangunan kelautan dan perikanan merupakan media untuk menghasilkan analisis tersebut. Melalui penelitian, pemetaan permasalahan atau kebutuhan, analisa serta saran pemecahan masalah bisa dihasilkan. Analisis sebagai dasar perumusan kebijakan semakin diperlukan untuk merespon ataupun langkah antisipatif dalam pembangunan kelautan dan perikanan yang sangat dipengaruhi oleh kondisi dan konstelasi global, nasional dan lokal. Kebijakan merupakan tindakan yang dilakukan oleh pemangku kepentingan dalam rangka mengantisipasi dan memecahkan masalah yang terjadi. Kebijakan tidak selalu diterima oleh akademisi, pelaku usaha dan masyarakat, jika kebijakan dinilai tidak tepat baik secara sosial, ekonomi maupun politik yang berkembang. Kajian khusus yang dilakukan dengan pendekatan analisis kebijakan merupakan disiplin ilmu terapan yang menggunakan berbagai metode pengkajian untuk menghasilkan dan mentranformasikan informasi-informasi agar dapat dimanfaatkan secara politis dalam menyelesaikan masalah kebijakan. Oleh karena itu pengambilan suatu kebijakan tentunya memerlukan analisis yang cukup jeli, dengan menggunakan berbagai model serta pendekatan yang sesuai dengan permasalahan yang akan dipecahkan. Atas dasar hal-hal diatas, BBPSEKP perlu melakukan Kajian Khusus Akselerasi Implementasi Program Pemerintah dalam Mendorong Pembangunan Kelautan dan Perikanan. 11. KELUARAN : Dari hasil penelitian ini diharapkan akan diperoleh keluaran berupa : a. Sepuluh (10) kertas kebijakan (policy brief); b. Sepuluh (10) naskah karya tulis ilmiah; 12. METODOLOGI PENELITIAN : 11. 1. Kerangka Pemikiran Penelitian kebijakan pada dasarnya menggunakan berbagai metode dan menggabungkannya dalam suatu analisis kebijakan yang utuh. Hal ini didasari oleh studi kebijakan public yang | COPY ROKP IV LAPORAN TEKNIS [KAJIAN KHUSUS BBPSEKP TAHUN 2015] bermaksud untuk menggambarkan, menganalisis dan menjelaskan secara cermat berbagai sebab dan akibat dari tindakan-tindakan pemerintah Wahab (2004). Pada prakteknya proses didalam analisis kebijakan publik menurut James Anderson dalam Indiahono (2009) adalah sebagai berikut : [1] Perumusan masalah yaitu merumuskan berbagai kondisi yang berpotensi menyebabkan atau telah menjadi masalah [2] Peramalan yaitu membuat prediksi dan konsekuensi dari berbagai alternatif kebijakan yang dirumuskan [3] Rekomendasi kebijakan yaitu memberikan informasi manfaat bersih dari setiap alternatif kebijakan serta memberikan rekomendasi terhadap alternatif kebijakan dengan manfaat bersih yang paling besar [4] Monitoring kebijakan yaitu menyajikan konsekuensi saat ini dan masa lalu dari diterapkannya kebijakan yang diambil beserta kendala-kendala yang dhadapi [5] Evaluasi kebijakan yakni memberikan informasi mengenai kinerja dan hasil dari suatu kebijakan Beberapa model studi kebijakan dikembangkan oleh para ahli seperti Anderson (1979) serta Lester dkk (2000) yang dapat dirangkum sebagai berikut : a) Model Pluralis Model ini menitikberatkan pada hubungan antar kelompok-kelompok yang merupakan titik sentral dari suatu realitas politik. Kelompok dipandang sebagai jembatan antara individu dan pemerintah. Politik adalah arena perjuangan ke-lompok untuk memenangkan kebijakan publik. Model ini memiliki sisi positif dan negatif. Sisi positif karena kebijakan yang diambil didasarkan pada kepentingan kelompok dan tidak atas dasar kepentingan pribadi. Sementara sisi negatifnya adalah bila kelompok tersebut tidak memikirkan kepentingan kelompok lain, sehingga kebijakan yang diambil hanya akan menguntungkan kelompok tertentu. b) Model Elitis Model ini beranggapan bahwa masyarakat secara umum bersifat apatis dan kekurangan informasi mengenai kebijakan publik. Dengan alasan tersebut ke-lompok elitlah yang mengambil peran besar. Model ini memiliki keuntungan dari sisi efektifitas waktu sedangkan kerugiannya adalah bila kelompok elit yang mengambil kebijakan hanya didasarkan pada kepentingan pribadi. Konsek-uensinya dapat menimbulkan permasalahan besar dimasyarakat bila kepentingan mereka diabaikan. Model Sistem Model ini menilai kebijakan sebagai keluaran dari suatu sistem (policy as system output). Kebijakan publik dinilai sebagai suatu respon sistem politik terhadap lingkungan faktornya seperti sosial, politik, ekonomi, geografis dan lain sebagainya. Inti dari model ini adalah kebijakan public sebagai keluaran dari sistem politik. Model ini pada prakteknya telah menilai berbagai faktor diatas sehingga lebih komplek. Model Rasional Model ini menyatakan bahwa kebijakan merupakan suatu pencapaian sasaran secara efisien. Model ini mnitikberatkan pada pembuatan keputusan yang ra-sional dengan bermodalkan pada komprehensivitas informasi dan keahlian pembuat keputusan. Model Inskrementalis Memandang kebijakan publik sebagai tindak lanjut aktivitas pemerintah dengan modifikasimodifikasi yang bersifat incremental (bagian perbagian). Da-sar pemikiran model ini adalah adanya kecenderungan dari pemegang kebijakan untuk tidak melakukan perubahan yang besar terhadap kegiatan yang telah berjalan sebelumnya. Dalam model ini memiliki kelebihan apabila kebijakan yang dikeluarkan oleh pengambil kebijakan sebelumnya merupakan sebuah kebijakan yang tepat maka model ini akan sangat efektif. Sebaliknya bila c) d) e) | COPY ROKP V LAPORAN TEKNIS f) [KAJIAN KHUSUS BBPSEKP TAHUN 2015] kebijjakan sebelumnya tidak tepat dan kebijakan tersebut dilanjutkan akan menimbulkan permasalahan Model Institusional Model institusional menggambarkan tentang struktur organisasi, tugas-tugas dan fungsifungsi pejabat organisasi, serta mekanisme organisasi, Relasi antara kebijakan publik dan lembaga-lembaga pemerintah dinilai erat. Kebijakan tidak akan menjadi kebijakan publik sebelum diangkat, dilaksanakan dan diperkuat oleh lembaga pemerintah. | COPY ROKP VI LAPORAN TEKNIS [KAJIAN KHUSUS BBPSEKP TAHUN 2015] Tabel 1. Matriks Urgensi, Keterkaitan dan Relevansi serta Cakupan Topik Kajian Khusus dengan Isu Strategis di Bidang Kelautan dan Perikanan Tahun 2015 No 1. 2. Topik Urgensi Kajian dampak pencabutan subsidi BBM paska moratorium ijin kapal penangkapan ikan terhadap produksi dan pendapatan nelayan Sangat penting Dampak moratorium ijin kapal penangkapan ikan dan transshipment terhadap hasil tangkapan nelayan Sangat penting - 3. Prakiraan dampak implementasi peraturan menteri KP Permen KP No. 2/2015) pada usaha perikanan tangkap. Sangat penting 4. Analisis dampak pelarangan ekspor benih lobster terhadap usaha perikanan lobster di Pulau Lombok, NTB Sangat penting 5. Dampak Moratorium Kapal Ex-Asing Terhadap Kondisi Pasar Tuna Di Indonesia Sangat penting 6. Kajian supply ikan di pasar domestik dalam rangka kesiapan menghadapi Ramadhan dan hariraya idul fitri 1436 H” (2015). Sangat penting Keterkaitan dengan Isu Strategis Kebijakan makro ekonomi Target pembangunan KP Target produksi perikanan tangkap Industrialisasi - Produksi sektor KP - Pengembangan ekonomi masayarakat - Produksi sektor KP - Pengembangan ekonomi masayarakat - Pengembangan ekonomi masyarakat - Ketahanan pangan - Ketahanan ekonomi KP Keterkaitan dengan Isu Nasional - Ketahanan ekonomi Cakupan Kajian Dampak Nasional - Subsidi - Target produksi nasional - Ketahanan pangan - Pengentasan kesmiskinan - Ketahanan pangan - Pengentasan kemiskinan Nasional Kedaerahan - Produksi budidaya udang nas. - Adopsi tek- nologi masy. - Ketahanan pangan - Produksi dan keberlanjutan usaha - Kemiskinan - Ketahanan pangan - Pengentasan kemiskinan Global Nasional Kedaerahan - Ketahanan pangan - Produksi dan keberlanjutan usaha - Kemiskinan - Industrialisasi perikanan Nasional - Industrialisasi Nasional - Program industrialisasi - Keberlanjutan usaha - Program industrialisasi Nasional Kedaerahan | COPY ROKP VII LAPORAN TEKNIS Tabel N o 1. [KAJIAN KHUSUS BBPSEKP TAHUN 2015] Identifikasi Topik , Permasalahan, Tujuan,Metode Analisis dan Perkiraan Output Penelitian Kajian Khusus Tahun 2014 Topik 7 Kajian Analisis Kebijakan Pengembangan Budidaya Bandeng 8 Dampak Pemberlakuan Generalized System of Preference (GSP) 2015 Terhadap Ekspor KP Indonesia ke Pasar USA Kajian supply ikan di pasar domestik dalam rangka kesiapan menghadapi natal 2015 dan tahun baru 2016 9 10 Kajian pendahuluan manfaat dan kerugian Keikutsertaan indonesia di dalam trans pacific Partnership (TPP)) bagi perdagangan di sektor Kelautan dan perikanan Urgensi Keterkaitan dengan Isu Strategis Peningkatan inflasi berpotensi menurunkan daya beli masyarakat terhadap komoditas KP, disisi lain situasi tersebut akan meningkatkan impor produk perikanan dan menurunkan expor. Dampak positif dan negatif penerapan zero tarif beberapa produk perikanan - Kebijakan makro ekonomi - Target pembangunan KP Supply dan demand tidak seimbang pada hari-hari besar - Produksi sektor KP - Pengembangan ekonomi masayarakat Dampak positif dan negatif penerapan zero tarif beberapa produk perikanan - Target produksi perikanan tangkap - Industrialisasi - Ketahanan pangan - Ketahanan ekonomi KP Keterkaitan dengan Isu Nasional - Ketahanan ekonomi Cakupan Kajian Dampak Nasional - Subsidi - Target produksi nasional - Ketahanan pangan - Pengentasan kesmiskinan - Ketahanan pangan - Pengentasan kemiskinan Nasional Kedaeraha n - Produksi budidaya udang nas. - Adopsi tek- nologi masy. - Ketahanan pangan - Produksi dan keberlanjutan usaha - Kemiskinan - Industrialisasi Nasional Global Nasional Kedaeraha n - Program industrialisasi *Metode analisis: Metode analisis dapat dikembangkan dan dirubah sesuai dengan kebutuhan masing-masing topik penelitian | COPY ROKP VIII LAPORAN TEKNIS [KAJIAN KHUSUS BBPSEKP TAHUN 2015] 13. RUANG LINGKUP KEGIATAN Kegiatan riset analisis kebijakan pembangunan sektor kelautan dan perikanan ini mencakup beberapa tahapan, yaitu: a. Identifikasi topik kajian sesuai dengan isu aktual pada sektor perikanan dan kelautan yang berkembang. Isu aktual tersebut dapat bersumber dari lingkup unit kerja atau dari luar unit kerja Kementerian Kelautan dan Perikanan. b. Penyusunan term of reference tentang isu yang terpilih agar terdapat panduan dan arah dalam penelusuran isu yang dipelajari. c. Pengumpulan data pada lokasi sesuai dengan isu tersebut. d. Pengolahan dan analisis data. e. Penulisan hasil penelitian. f. Penyampaian hasil penelitian kepada stakeholder terkait. 14. DATA YANG DIKUMPULKAN Data yang dikumpulkan pada kegiatan riset ini berupa data primer dan sekunder. Data sekunder yang dapat dikumpulkan antara lain berupa laporan hasil penelitian dan atau kajian yang terkait dengan berbagai topik kajian khusus. 15. TEKNIK PENGUMPULAN DATA Metode pengumpulan dilakukan melalui metode survey yang dilakukan terutama untuk melihat secara cepat kondisi sosial, ekonomi dan budaya serta kebutuhan teknologi menggunakan dengan kuesioner terstruktur. Penentuan responden dalam kegiatan survey dilakukan sesuai dengan kriteria dan topik kajian khusus. Pengumpulan data dan fakta juga dilakukan menggunakan metoda Desk Study, Participatory Rapid Appraisal (PRA) (Townsley, 1996) dan observasi serta survei menggunakan panduan daftar topik pertanyaan yang kemudian dikumpulkan dengan cara wawancara langsung dan mendalam terhadap responden kunci.Responden kunci adalah informan yang digunakan sebagai sumber informasi dan data sesuai dengan topik analisis kebijakan. 16. METODE ANALISA DATA Data yang telah dikumpulkan dianalisis menggunakan metode analisis data kualitatif dan kuantitatif. Analisis data kualitatif merupakan penelusuran terhadap pernyataan-pernyataan umum tentang hubungan antar berbagai kategori data yang berasal dari data yang tersedia (Marshall dan Rossman, 1989). 17. TAHAPAN KEGIATAN Tahapan kegiatan disesuaikan untuk masing-masing topik kajian. Secara umum tahapan yang dapat dilakukan adalah sebagai berikut: 1. Persiapan dan Pemantapan Pelaksanaan Kegiatan a. Penyusunan ROKP b. Pemantapan ROKP c. Finalisasi ROKP d. Studi literatur dalam rangka persiapan FGD, e. Focus Group Discussion (FGD) dengan Stakeholders f. FGD dalam rangka koordinasi dan sinkronisasi dengan pemerintah daerah, Dinas Kelautan dan Perikanan, Bappeda, LSM, dan pemangku kepentingan lainnya. 2. Analisis Data dan Penyusunan Laporan 3. Sosialisasi Hasil | COPY ROKP IX LAPORAN TEKNIS [KAJIAN KHUSUS BBPSEKP TAHUN 2015] Pada masing-masing topik terpilih, di awali dengan Surat Keputusan Kepala Balai dengan lampiran ke anggotaan tim peneliti kajian khusus dan dilengkapi dengan Terms Of Reference (TOR). 18. ANGGARAN KODE 521211 522141 522151 521811 522141 524111 : Rincian Komposisi Pembiayaan Belanja Bahan Belanja Barang Untuk Persediaan barang Konsumsi Belanja Jasa Profesi Honor Output Kegiatan Belanja Sewa Belanja Perjalanan Lainnya Jumlah Jumlah (Rp.) 80.322.000,80.000.000,145.800.000,11.520.000,39.900.000,302.374.000,659.916.000,- | COPY ROKP % 12.17 12.12 22.09 1.75 6.05 45.82 100,00 X LAPORAN TEKNIS 19. RENCANA KEGIATAN [KAJIAN KHUSUS BBPSEKP TAHUN 2015] OPERASIONAL : KEGIATAN ACARA 1 Persiapan administrasi Penyusunan ROKP X X Pembahasan ROKP TOPIK 1 X 2 3 4 - Studi Pustaka/survei awal X - Pengumpulan data X - Pembuatan laporan X -Sosialisasi hasil 5 Bulan 6 7 8 9 10 11 X TOPIK 2 - Studi Pustaka/survei awal X - Pengumpulan data X - Pembuatan laporan X -Sosialisasi hasil X TOPIK 3 - Studi Pustaka/survei awal X - Pengumpulan data X - Pembuatan laporan X -Sosialisasi hasil X TOPIK 4 - Studi Pustaka/survei awal X - Pengumpulan data X - Pembuatan laporan X -Sosialisasi hasil X TOPIK 5 - Studi Pustaka/survei awal X - Pengumpulan data X - Pembuatan laporan X -Sosialisasi hasil X TOPIK 6 - Studi Pustaka/survei awal X - Pengumpulan data X - Pembuatan laporan X -Sosialisasi hasil Topik 7 - Pembuatan TOR 1 X X X - Studi Pustaka/survei awal X - Pengumpulan data X - Pembuatan laporan X -Sosialisasi hasil X | COPY ROKP XI 12 LAPORAN TEKNIS [KAJIAN KHUSUS BBPSEKP TAHUN 2015] TOPIK 8 - Studi Pustaka/survei awal X - Pengumpulan data X - Pembuatan laporan X -Sosialisasi hasil X TOPIK 9 - Studi Pustaka/survei awal X - Pengumpulan data X - Pembuatan laporan X -Sosialisasi hasil X TOPIK 10 - Studi Pustaka/survei awal X - Pengumpulan data X - Pembuatan laporan X -Sosialisasi hasil X 20. TAHAPAN PEMBIAYAAN Tahapan Pelaksanaan a. Persiapan, Studi Pustaka Belanja Bahan Belanja Barang Untuk Persediaan Barang Konsumsi Belanja Jasa Profesi Belanja Perjalanan Biasa b.Pengumpulan Data Primer Belanja Bahan Honor Output Kegiatan Belanja Barang Untuk Persediaan Barang Konsumsi 1 0 2 1.622 : 3 4 5 1.622 1.622 1.622 Bulan ke- (Rp.000) 6 7 8 9 10 11 12 1.622 0 0 3.000 3.000 2.000 2.000 0 0 4.500 6.000 4.500 3.000 0 0 3.600 4.800 1.200 2.400 0 0 0 4.688 4.688 6.608 4.768 0 2.400 2.720 4.000 2.400 0 Belanja Sewa 0 3.000 3.000 2.000 3.000 3.000 0 4.200 6.300 10.500 11.200 6.300 0 0 Belanja Jasa Profesi Belanja Perjalanan Biasa c. Pengolahan Data, Analisis data 0 0 2.700 1.800 3.600 5.400 900 0 0 11.994 27.987 39.982 75.965 67.969 55.974 0 Belanja Bahan 0 0 2.000 4.960 4.960 4.960 4.960 0 0 0 2.000 3.000 3.000 3.000 3.000 0 0 0 7.500 12.000 8.400 7.500 0 0 Belanja Barang Untuk Persediaan Barang Konsumsi Belanja Jasa Profesi Belanja Perjalanan Biasa 3.937 0 2.625 3.937 | COPY ROKP 0 XII LAPORAN TEKNIS [KAJIAN KHUSUS BBPSEKP TAHUN 2015] d. Penyusunan dan Penajaman Policy Brief Belanja Bahan Belanja Barang Untuk Persediaan Barang Konsumsi Belanja Jasa Profesi e. Seminar dan Sosialisasi Belanja Bahan Belanja Barang Untuk Persediaan Barang Konsumsi Belanja Jasa Profesi 0 640 5.460 7.712 5.204 2.440 0 0 2.700 2.700 3.600 3.600 6.300 0 9.000 15.000 12.000 9.000 9.000 0 0 0 0 2.000 4.000 0 0 3.000 21.000 6.300 3.600 3.600 3.600 0 0 8.164 Rencana Realisasi Fisik Tahapan 1 2 3 4 5 6 Belanja Bahan 0 0 5 10 20 10 Belanja Sewa 0 0 5 10 20 Belanja Jasa Profesi Belanja Barang Non Operasional Lainnya Belanja Barang Untuk Persediaan Barang Konsumsi Honor Output Kegiatan Belanja Perjalanan Lainnya 0 0 5 10 0 0 5 0 0 0 0 Bulan ke- (%) 7 8 9 10 11 12 20 10 10 10 5 0 10 20 10 10 10 5 0 20 10 20 10 10 10 5 0 10 20 10 20 10 10 10 5 0 5 10 20 10 20 10 10 10 5 0 0 5 10 20 10 20 10 10 10 5 0 0 5 10 20 10 20 10 10 10 5 0 Pelaksanaan 21. DAFTAR PUSTAKA : Anderson ,1979. Evaluasi adalah the appraisal of assesstment of policy including its content implementation and impact (penilaian atau pengukuran kebijakan termasuk isi, Implementasi dan dampaknya) Budi Winarno, 2004. Teori dan Proses Kebijakan Publik. Yogyakarta : Media Pressindo. Dunn, N William, 2000, Pengantar Analisis Kebijakan Publik. edisi kedua. Penerbit Gajah Mada University Press. Yogyakarta. Indiahono D. 2009. Perbandingan Administrasi Publik: Model, Konsep dan Aplikasi. Yogyakarta. Gava Media Lester, James P. and Joseph Stewart. 2000. Public Policy: An Evolutionary Approach. Australia: Wadsworth, Second Edition. | COPY ROKP XIII LAPORAN TEKNIS [KAJIAN KHUSUS BBPSEKP TAHUN 2015] RINGKASAN Kajian khusus kebijakan inovatif dalam rangka percepatan program pembangunan kelautan dan perikanan Tahun Anggaran 2015 mempunyai topik-topik kajian yang disesuaikan dengan isu dan urgensi pelaksanaan analisis untuk mendukung pengambilan kebijakan di sektor kelautan dan perikanan (top-down). Pada Tahun 2015 ini, Kajian Khusus Program Pembangunan Kelautan dan Perikanan Tahun Anggaran 2015 telah melakukan yang meliputi sepuluh judul kajian, yaitu: [1] Kajian dampak pencabutan subsidi BBM paska moratorium ijin kapal penangkapan ikan terhadap produksi dan pendapatan nelayan [2] Dampak moratorium ijin kapal penangkapan ikan dan transhipment terhadap usaha perikanan tangkap [3] Prakiraan dampak implementasi peraturan menteri KP (PermenKP No. 1/2015 dan Permen KP No. 2/2015) pada usaha perikanan [4] Analisis dampak sosial ekonomi pelarangan ekspor benih lobster pada usaha perikanan lobster di Pulau Lombok, NTB. [5] Dampak Moratorium Kapal Ex-Asing Terhadap Kondisi Pasar Tuna Di Indonesia [6] Kajian supply ikan di pasar domestik dalam rangka kesiapan menghadapi Ramadhan dan hariraya idul fitri 1436 H” (2015). [7] Rapid Assessment terhadap Perikanan Bandeng sebagai Antisipasi Kebijakan Pelarangan Ekspor Nener Bandeng [8] Kajian Analisis Kebijakan Pengembangan Budidaya Bandeng [9] Dampak Pemberlakuan Generalized System of Preference (GSP) 2015 Terhadap Ekspor KP Indonesia ke Pasar USA [10] Kajian supply ikan di pasar domestik dalam rangka kesiapan menghadapi natal 2015 dan tahun baru 2016 [11] Kajian pendahuluan manfaat dan kerugian keikutsertaan indonesia di dalam trans pacific Partnership (TPP) bagi perdagangan di sector Kelautan dan perikanan | RINGKASAN XIV LAPORAN TEKNIS [KAJIAN KHUSUS BBPSEKP TAHUN 2015] KATA PENGANTAR Puji syukur kami panjatkan ke hadirat Allah subhanahu wa ta’ala atas segala limpahan rahmat dan karunia-Nya sehingga tim peneliti dapat menyelesaikan laporan sampai Semester II pada kagiatan “Kajian Khusus Program Pembangunan Kelautan Dan Perikanan”. Laporan ini adalah hasil kajian terhadap isu dan urgensi dalam pembangunan kelautan dan perikanan serta respon terhadap permintaan dari Kementerian Kelautan dan Perikanan maupun Badan Penelitian dan Pengembangan KP. Kami menyadari bahwa laporan ini dapat diselesaikan atas kerjasama semua Tim peneliti BBPSEKP yang terlibat dalam masing-masing topik kajian. Oleh karena itu, kami menyampaikan rasa hormat dan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang membantu dalam pembuatan laporan ini. Kami juga menyadari bahwa laporan ini masih jauh dari sempurna, baik materi maupun cara penulisannya meskipun tim peneliti telah berupaya dengan segala kemampuan dan pengetahuan yang dimiliki. Oleh karena itu, tim peneliti dengan rendah hati dan dengan tangan terbuka menerima masukan dan saran guna penyempurnaan laporan ini. Jakarta, Desember 2015 Tim Peneliti | KATA PENGANTAR XV LAPORAN TEKNIS [KAJIAN KHUSUS BBPSEKP TAHUN 2015] SUSUNAN TIM PENELITI Kajian 1 : Kajian dampak pencabutan subsidi BBM paska moratorium ijin kapal penangkapan ikan terhadap produksi dan pendapatan nelayan :Subechanis Saptanto Ketua Tim Pelaksana Anggota 1 :Andrian Ramadhan Anggota 2 :Rizki Aprilian Anggota 3 :Achmad Zamroni Kajian 2 : Dampak moratorium ijin kapal penangkapan ikan dan transshipment terhadap hasil tangkapan nelayan Ketua Tim Pelaksana : Yayan Hikmayani Anggota 1 : Istiana Anggota 2 : Rikrik Rahardian Anggota 3 : Rizki Muhartono Anggota 4 : Tukul Rameyo Adi Kajian 3 : Prakiraan dampak implementasi peraturan menteri KP Permen KP No. 2/2015) pada usaha perikanan tangkap Ketua Tim Pelaksana : Radityo Pramoda Anggota 1 : Fatriyandi Nur Priyatna Anggota 2 : Maulana Firdaus Anggota 3 : Sonny Koeshendrajana Kajian 4 : Analisis dampak pelarangan ekspor benih lobster terhadap usaha perikanan lobster di Pulau Lombok, NTB Ketua Tim Pelaksana : Achmad Zamroni Anggota 1 : Fatriyandi Nur Priyatna Anggota 2 : Dedi Adhuri Anggota 3 : Tukul Rameyo Adi Kajian 5 : Dampak Moratorium Kapal Ex-Asing Terhadap Kondisi Pasar Tuna Di Indonesia Ketua Tim Pelaksana : Subhechanis Saptanto, ME Anggota 1 : Risna Yusuf Anggota 2 : Freshty Yulia Arthatiani Anggota 3 : Tenny Aprilliani Kajian 6 : Kajian supply ikan di pasar domestik dalam rangka kesiapan menghadapi Ramadhan dan hariraya idul fitri 1436 H” (2015). Ketua Tim Pelaksana : Siti Hajar Suryawati Anggota 1 : Subhechanis Saptanto Anggota 2 : Budi Wardono Anggota 3 : Cornelia Mirwantini Witomo Anggota 4 : Tukul Rameyo Adi | SUSUNAN TIM PENELITI XVI LAPORAN TEKNIS [KAJIAN KHUSUS BBPSEKP TAHUN 2015] Kajian 7 : Rapid Assessment terhadap Perikanan Bandeng sebagai Antisipasi Kebijakan Pelarangan Ekspor Nener Bandeng Ketua Tim Pelaksana : Fatriyandi Nur Priyatna Anggota 1 : Irwan Mulyawan Anggota 2 : Cristina Yuliaty Anggota 3 : Estu Sri Luhur Anggota 4 : Achmad Zamroni Anggota 5 : Tukul Rameyo Adi Kajian 8: Kajian Analisis Kebijakan Pengembangan Budidaya Bandeng Ketua Tim Pelaksana : Irwan Mulyawan Anggota 1 : Fatriyandi Nur Priyatna Anggota 2 : Achmad Zamroni Anggota 3 : Maulana Firdaus Kajian 9: Dampak Pemberlakuan Generalized System of Preference (GSP) 2015 Terhadap Ekspor KP Indonesia ke Pasar USA Ketua Tim Pelaksana : Tajerin Anggota 1 : Rikrik Rahardian Kajian 10: Kajian supply ikan di pasar domestik dalam rangka kesiapan menghadapi natal 2015 dan tahun baru 2016 Ketua Tim Pelaksana : Achmad Zamroni Anggota 1 : Fatriyandi Nur Priyatna Anggota 2 : Irwan Mulyawan Anggota 3 : Andrian Ramadhan Anggota 4 : Tukul Rameyo Adi Kajian 11: Kajian pendahuluan manfaat dan kerugian keikutsertaan indonesia di dalam trans pasific partnership bagi perdagangan di sektor Kelautan dan Perikanan Ketua Tim Pelaksana : Fatriyandi Nur Priyatna Anggota 1 : Tukul Rameyo Adi Anggota 2 : Rikrik Rahardian Anggota 3 : Radityo Pamoda | XVII LAPORAN TEKNIS [KAJIAN KHUSUS BBPSEKP TAHUN 2015] DAFTAR ISI Halaman LEMBAR PENGESAHAN.......................................................................................................... I COPY ROKP .............................................................................................................................. II RINGKASAN ......................................................................................................................... XIV KATA PENGANTAR .............................................................................................................. XV SUSUNAN TIM PENELITI .................................................................................................. XVI DAFTAR ISI ........................................................................................................................ XVIII DAFTAR TABEL................................................................................................................... XXI DAFTAR GAMBAR ............................................................................................................. XXV DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................................... XXVIII I. II. III. IV. PENDAHULUAN ............................................................................................................. 1 TINJAUAN ISU-ISU STRATEGIS SEKTOR KP ........................................................ 2 METODOLOGI ................................................................................................................ 5 3.1. Landasan Teori ........................................................................................................... 5 3.2. Ruang Lingkup Kegiatan ............................................................................................ 6 3.3. 3.4. Data yang dikumpulkan .............................................................................................. 7 Teknik Pengumpulan Data ......................................................................................... 7 3.5. Metode Analisa Data .................................................................................................. 7 3.6. Tahapan Kegiatan ....................................................................................................... 7 HASIL KEGIATAN ......................................................................................................... 8 4.1. Analisis Kebijakan Dampak Penyusunan Harga BBM Bersubsidi untuk Nelayan .... 8 Pendahuluan ................................................................................................................ 8 Tinjauan Pustaka ....................................................................................................... 10 Metode Penelitian ...................................................................................................... 14 Hasil Dan Pembahasan ............................................................................................. 16 Kondisi Terkini di Lokasi........................................................................................... 21 Kesimpulan Dan Rekomendasi Kebijakan ................................................................. 35 Daftar Pustaka ........................................................................................................... 35 4.2. Dampak Moratorium Kapal Ex-Asing terhadap kondisi pasar tuna indonesia ......... 37 Pendahuluan .............................................................................................................. 37 Metode Penelitian ...................................................................................................... 38 Hasil Dan Pembahasan ............................................................................................. 40 Kesimpulan dan Rekomendasi Kebijakan.................................................................. 56 Daftar Pustaka ........................................................................................................... 58 4.3. Prakiraan Dampak Implementasi Peraturan Menteri KP No. 2/2015 pada Usaha Perikanan Tangkap ................................................................................................... 59 Pendahuluan .............................................................................................................. 59 Metode Penelitian ...................................................................................................... 60 Model Ekonomi Makro Pembangunan KP ................................................................ 61 | DAFTAR ISI XVIII LAPORAN TEKNIS [KAJIAN KHUSUS BBPSEKP TAHUN 2015] Simulasi Dampak PERMEN KP No. 2/2015 ............................................................. 61 Pembahasan............................................................................................................... 63 Kesimpulan ................................................................................................................ 73 Rekomendasi Kebijakan............................................................................................. 74 Daftar Pustaka ........................................................................................................... 74 4.4. Analisis Dampak Pelarangan Ekspor Benih Lobster terhadap Usaha Perikanan Lobster di Pulau Lombok ......................................................................................... 76 Pendahuluan .............................................................................................................. 76 Metodologi Penelitian ............................................................................................... 77 Hasil Dan Pembahasan ............................................................................................. 77 Kesimpulan Dan Rekomendasi Kebijakan ................................................................. 86 Daftar Pustaka ........................................................................................................... 88 4.5. Dampak Kebijakan Moratorium dan Transhipment pada Usaha Perikanan Indonesia ................................................................................................................... 89 Pendahuluan .............................................................................................................. 89 Metode Penelitian ...................................................................................................... 91 Hasil Dan Pembahasan ............................................................................................. 93 Rekomendasi Kebijakan........................................................................................... 101 Implikasi Kebijakan ................................................................................................. 101 Langkah Eksekusi .................................................................................................... 101 Daftar Pustaka ......................................................................................................... 102 4.6. Kajian Supply Ikan di Pasar Domestik dalam Rangka Kesiapan Manghadapi Ramadhan dan Hari Raya Idul Fitri (2015). ........................................................... 103 Pendahuluan ............................................................................................................ 103 Tinjauan Pustaka ..................................................................................................... 104 Metode Penelitian .................................................................................................... 106 Hasil Dan Pembahasan ........................................................................................... 109 Kesimpulan Dan Rekomendasi Kebijakan ............................................................... 121 Daftar Pustaka ......................................................................................................... 122 Daftar Lampiran ...................................................................................................... 125 4.7. Rapid Assessment terhadap Perikanan Bandeng sebagai Antisipasi Kebijakan Pelarangan Ekspor Nener Bandeng ........................................................................ 132 Pendahuluan ............................................................................................................ 132 Metodologi ............................................................................................................... 133 Hasil Dan Pembahasan ........................................................................................... 134 Kesimpulan Dan Rekomendasi Kebijakan ............................................................... 140 Daftar Pustaka ......................................................................................................... 141 4.8. Kajian Analisis Kebijakan Pengembangan Budidaya Bandeng ............................. 142 Pendahuluan ............................................................................................................ 142 Usaha Budidaya Bandeng di Kabupaten Gresik ..................................................... 144 Pemasaran Ikan Bandeng di Kabupaten Gresik...................................................... 154 | DAFTAR ISI XIX LAPORAN TEKNIS [KAJIAN KHUSUS BBPSEKP TAHUN 2015] Analisis Persaingan dan Peluang Usaha ................................................................ 156 Daftar Pustaka ......................................................................................................... 161 4.9. Dampak Pemberlakuan Generalized System of Preference (GSP) 2015 terhadap Ekspor KP Indonesia ke Pasar USA ....................................................................... 162 Pendahuluan ............................................................................................................ 162 Metode Penelitian .................................................................................................... 163 Tinjauan Pustaka ..................................................................................................... 169 Pembahasan............................................................................................................. 178 Kesimpulan .............................................................................................................. 182 Rekomendasi dan Implikasi Kebijakan .................................................................... 183 Daftar Pustaka ......................................................................................................... 184 4.10. Kajian Supply Ikan di Pasar Domestik dalam Rangka Kesiapan Menghadapi Natal 2015 dan Tahun Baru 2016..................................................................................... 185 Pendahuluan ............................................................................................................ 185 Tinjauan Pustaka ..................................................................................................... 187 Metode Penelitian .................................................................................................... 191 Hasil Dan Pembahasan ........................................................................................... 194 Kesimpulan Dan Rekomendasi Kebijakan ............................................................... 217 Daftar Pustaka ......................................................................................................... 218 4.11. Kajian Cepat Tentang Manfaat Dan Kerugian Keikutsertaan Indonesia Di Dalam Trans Pasific Partnership (TPP) Bagi Perdagangan Di Sektor Kelautan Dan Perikanan 222 Pendahuluan ............................................................................................................ 222 Metode Penelitian .................................................................................................... 223 Hasil Dan Pembahasan ........................................................................................... 223 Kesimpulan Dan Rekomendasi Kebijakan ............................................................... 230 Daftar Pustaka ......................................................................................................... 231 | DAFTAR ISI XX LAPORAN TEKNIS [KAJIAN KHUSUS BBPSEKP TAHUN 2015] DAFTAR TABEL Halaman Tabel 4-1. 1. Perubahan Harga BBM bersubsidi periode Juni 2014 – Januari 2015 ........... 8 Tabel 4-1. 2. Asumsi – asumsi Yang Digunakan untuk perhitungan Prakiraan Dampak Penyesuaian Harga BBM terhadap Kondisi Usaha. ..................................... 16 Tabel 4-1. 3. Simulasi Dampak Penyesuaian Harga BBM Solar Terhadap Kondisi Usaha Dengan Harga Rp.5.500,-/Liter .................................................................... 18 Tabel 4-1. 4. Simulasi Dampak Penyesuaian Harga BBM Solar terhadap usaha dengan harga Rp 6.400,-/liter.................................................................................... 19 Tabel 4-1. 5. Simulasi Dampak Penyesuaian Harga BBM Solar terhadap usaha dengan harga Rp 7.500,-/liter.................................................................................... 19 Tabel 4-1. 6. Simulasi Dampak Penyesuaian Harga BBM Solar terhadap usaha dengan harga Rp 13.500,-/liter.................................................................................. 20 Tabel 4-1. 7. Produktivitas Alat Tangkap di PPN Brondong Tahun 2013 ........................ 21 Tabel 4-1. 8. Jumlah Nelayan Berdasarkan Jumlah Kapal Perikanan yang Bongkar di Pelabuhan Perikanan Nusantara Brondong Tahun 2013 .............................. 22 Tabel 4-1. 9. Jumlah Alat Tangkap Berdasarkan Jumlah Kapal Perikanan yang Bongkar di Pelabuhan Perikanan Nusantara Brondong, Tahun 2013 .......... 22 Tabel 4-1. 10. Jumlah Kunjungan Kapal Peralat Tangkap di Pelabuhan Perikanan Nusantara Brondong Tahun 2013 .................................................................................. 23 Tabel 4-1. 11. Penyaluran Logistik Kapal Per Trip Kapal pada PPN Brondong, Kabupaten Lamongan, 2013. .......................................................................................... 24 Tabel 4-1. 12. Perkembangan Armada Penangkapan di PPP Muncar Tahun 2004 2014 .............................................................................................................. 26 Perkembangan Alat Tangkap di PPP Muncar Tahun 2004 - 2013 ............... 26 Tabel 4-1. 13. Tabel 4-1. 14. Perkembangan Produktivitas Perikanan Tangkap Laut di PPP Muncar Tahun 2004 - 2013................................................................................................... 27 Tabel 4-1. 15. Jumlah Perbekalan Bulanan Nelayan PPP Muncar Tahun 2014 .................. 28 Tabel 4-1. 16. Perkembangan Kapal Penangkap Ikan di PPN Pekalongan ......................... 28 Tabel 4-1. 17. Perkembangan Kapal Penangkap Ikan Menurut Alat Tangkap yang digunakan ...................................................................................................................... 29 Tabel 4-1. 18. Perkembangan Produksi dan Nilai Produksi Hasil Perikanan di PPN Pekalongan ................................................................................................... 30 Tabel 4-2. 1. Matriks Tujuan Penelitian, Kebutuhan Data, Teknik Pengumpulan dan Analisis Data serta Sumber Data Kegiatan Penelitian.................................. 40 Tabel 4-2. 2. NIlai Ekspor Tuna Berdasarkan daerah Asal Tahun 2010-2012 (USD) ...... 41 Tabel 4-2. 3. Perkembangan Produksi Tuna di PPS Nizam Zachman Tahun 2011-2013 (Ton) ............................................................................................................. 42 Tabel 4-2. 4. Jenis Alat Penangkap Tuna di PPSNZJ Pada Tahun 2008-2013.................. 43 Tabel 4-2. 5. Volume Produksi Tuna Cakalang Tongkol (TCT) Pada Tahun 2010-2012 (Ton) ............................................................................................................. 44 Tabel 4-2. 6. Jumlah Armada Penangkan Tuna di Provinsi Bali Pada Tahun 2010-2012 . 44 Tabel 4-2. 7. Jenis Alat Tangkap Tuna di Provinsi Bali Pada Tahun 2010-2012 .............. 44 | DAFTAR TABEL XXI LAPORAN TEKNIS [KAJIAN KHUSUS BBPSEKP TAHUN 2015] Tabel 4-2. 8. Kapal Ex Asing Yang Ada Di Kolam Pelabuhan Perikanan Samudera Nizam Zachman Jakarta, Maret 2015 ...................................................................... 48 Tabel 4-2. 9. Pelaksanaan Penerbitan Sertifikat Hasil Tangkap Ikan di PPS Nizam Zahman, Tahun 2010-2014 ......................................................................................... 50 Tabel 4-2. 10. Perkembangan Volume dan Nilai Ekspor Komoditas Tuna di DKI Jakarta Triwulan 4, tahun 2013 (Sebelum Moratorium Kapal Eks Asing)............... 51 Tabel 4-2. 11. Perkembangan Volume dan Nilai Ekspor Komoditas Tuna di DKI Jakarta Triwulan 4, tahun 2014 (Sesudah Moratorium Kapal Eks Asing) ............... 51 Perkembangan Volume dan Nilai Ekspor Komoditas Tuna di DKI Jakarta Triwulan 1, tahun 2014 (Sebelum Moratorium Kapal Eks Asing)............ 51 Tabel 4-2. 12. Tabel 4-2. 13. Perkembangan Volume dan Nilai Ekspor Komoditas Tuna di DKI Jakarta Triwulan 1, tahun 2015 (Sesudah Moratorium Kapal Eks Asing) ............... 52 Tabel 4-2. 14. Perubahan Volume dan Nilai Komoditas Tuna Indonesia di Pasar Ekspor pada Triwulan 4 .................................................................................................... 53 Tabel 4-2. 15. Perubahan Volume dan Nilai Komoditas Tuna Indonesia di Pasar Ekspor pada Triwulan 1, ................................................................................................... 53 Tabel 4-2. 16. Perubahan Harga Komoditas Tuna Indonesia di Pasar Ekspor, tahun 20142015 .............................................................................................................. 53 Tabel 4-2. 17. Perkembangan Volume dan Nilai Ekspor Komoditas Tuna di Pelabuhan Benoa, tahun 2014 ........................................................................................ 54 Tabel 4-2. 18. Perkembangan Volume dan Nilai Ekspor Ikan Tuna di Pelabuhan Benoa, Tahun 2015 ................................................................................................... 55 Perubahan Volume dan Nilai Komoditas Tuna Indonesia di Pasar Ekspor . 55 Tabel 4-2. 19. Tabel 4-2. 20. Tabel 4-3. 2. Perubahan Harga Komoditas Tuna Indonesia di Pasar Ekspor, tahun 20142015 .............................................................................................................. 56 Data Statistik Enam Alat Tangkap yang Terkena PERMEN KP No. 2 2015 .............................................................................................................. 62 Data Statistik Empat Alat Tangkap Pengganti ............................................. 62 Tabel 4-3. 3. Simulasi yang dilakukan pada penelitian ..................................................... 63 Tabel 4-3. 4. Posisi Hukum Pemerintah Terhadap Berlakunya Permen KP No. 2/2015... 66 Tabel 4-3. 5. Perkiraan Dampak Kedua Simulasi Terhadap Perekonomian Nasional....... 68 Tabel 4-3. 6. Perkirakaan Dampak Kedua Simulasi Terhadap Beberapa Variabel Mikro di Sektor KP Indonesia ..................................................................................... 69 Tabel 4-4. 1. Identifikasi faktor internal (S-W) terhadap pemanfaatan sumberdaya lobster ........................................................................................................... 82 Tabel 4-4. 2. Identifikasi faktor internal (S-W) terhadap pemanfaatan sumberdaya lobster ........................................................................................................... 83 Tabel 4-5. 1. Matriks Metode Penelitian ........................................................................... 92 Tabel 4-5. 2. Data Keberangkatan Kapal dari PPS Nizam Zachman Berdasarkan Jenis Kapal, Oktober 2014-Februari 2015............................................................. 95 Tabel 4-5. 3. Data Produk Tangkapan yang Didaratkan di PPS Nizam Zachman Berdasarkan Jenis Kapal, Oktober 2014–Februari 2015 .............................. 96 Tabel 4-5. 4. Jumlah Persetujuan Berlayar (SPB) Berdasarkan Jenis Kapal, Oktober 2014-Februari 2015 di PPS Bitung .............................................................. 96 Tabel 4-3. 1. | DAFTAR TABEL XXII LAPORAN TEKNIS [KAJIAN KHUSUS BBPSEKP TAHUN 2015] Tabel 4-5. 5. Besaran Dampak Moratorium dan Transshipment Terhadap Pelaku Usaha Penangkapan Dan Pengangkutan Di Kedua Lokasi Penelitian .................... 97 Tabel 4-5. 6. Besaran Dampak Moratorium dan Transshipment Terhadap Pelaku Usaha Pengolahan Ikan di Kedua Lokasi Penelitian ............................................... 99 Tabel 4-5. 7. Kegiatan Yang Sebaiknya dilakukan Pasca Moratorium ........................... 101 Tabel 4-6. 1. Jenis dan Kebutuhan Data Kajian............................................................... 107 Tabel 4-6. 2. Rekapitulasi Status Ketersediaan Ikan dari Perikanan Tangkap pada Tiap Kwartal ....................................................................................................... 111 Tabel 4-6. 3. Status Ketersediaan Ikan dari Perikanan Tangkap pada Tiap Kwartal Menurut Pulau Utama di Indonesia........................................................................... 112 Tabel 4-6. 4. Permintaan Ikan Pada Saat Menjelang Bulan Ramadhan, Bulan Ramadhan dan Setelah Ramadhan Menurut Komoditas, 2014 .................................... 113 Tabel 4-6. 5. Permintaan Komoditas Ikan Pada Saat Menjelang Bulan Ramadhan, Bulan Ramadhan dan Setelah Ramadhan Menurut Region dan Provinsi, 2014 ... 114 Tabel 4-6. 6. Permintaan Komoditas Ikan Pada Saat Menjelang Bulan Ramadhan, Bulan Ramadhan dan Setelah Ramadhan Menurut Region dan Provinsi, 2014 ... 115 Tabel 4-6. 7. Permintaan Ikan Pada Saat Menjelang Bulan Ramadhan, Bulan Ramadhan dan Setelah Ramadhan Menurut Komoditas, 2014 .................................... 117 Analisis ketidakstabilan harga menghadapi hari raya idul fitri menurut Klaster .................................................................................................................... 121 Tabel 4-6. 8. Tabel 4-6. 9. Tabel 4-7. 1. Keragaan Budidaya Ikan Bandeng di Indonesia RPJMN II ....................... 133 Keragaan usaha Nener di Gondol, bali ....................................................... 138 Tabel 4-7. 2. Nilai Biaya Produksi Usaha Nener (Rp per Tahun) ................................... 138 Tabel 4-7. 3. Nilai Manfaat Produksi Usaha Nener per Tahun (Rp per tahun) ............... 139 Tabel 4-7. 4. Tabel 4-8. 1. Nilai Ekonomi Usaha Nener per Tahun (Rp per tahun) ............................. 140 Perkembangan pendapatan petani ikan tahun 2008 s/d 2012 ..................... 144 Tabel 4-8. 2. Luas Tambak Bersih dan Produksi Propinsi Jawa Timur........................... 144 Tabel 4-8. 3. Biaya Investasi Pendederan dan Pembesaran Bandeng .............................. 151 Tabel 4-8. 4. Biaya Operasional Pendederan dan Pembesaran Bandeng......................... 152 Tabel 4-8. 5. Produksi dan Pendapatan Kotor Per Semester ........................................... 152 Tabel 4-8. 6. Nilai Biaya Produksi Usaha budidaya Bandeng ......................................... 153 Tabel 4-8. 7. Tabel 4-8. 8. Nilai Manfaat Produksi Usaha Budidaya Bandeng .................................... 153 Permintaan Bandeng Nasional, 2004 - 2015 .............................................. 155 Tabel 4-8. 9. Tabel 4-9. 1. Produksi Ikan Bandeng (Tambak) di Kabupaten Gresik, Tahun 2010 - 2014 (kg) ............................................................................................................. 156 Efek Kesejahteraan dari Free Trade terhadap Trade Creation (TC) ......... 174 Tabel 4-9. 2. Efek Kesejahteraan dari Free Trade terhadap Trade Divertion (TD) ........ 177 Tabel 4-9. 3. Hasil Simulasi Penerapan GSP 2015 di USA............................................. 182 Tabel 4-10. 1. Jenis dan Kebutuhan Data Kajian............................................................... 192 Tabel 4-10. 2. Sebaran jumlah penduduk Indonesia yang beragama Kristiani tahun 2010 dan proyeksi penduduk tahun 2015................................................................... 194 Tabel 4-10. 3. Rekapitulasi Status Ketersediaan Ikan dari Perikanan Tangkap pada Tiap Kwartal ....................................................................................................... 199 | DAFTAR TABEL XXIII LAPORAN TEKNIS [KAJIAN KHUSUS BBPSEKP TAHUN 2015] Tabel 4-10. 4. Status Ketersediaan Ikan dari Perikanan Tangkap pada Tiap Kwartal Menurut Pulau Utama di Indonesia........................................................................... 199 Tabel 4-10. 5. Permintaan Ikan Pada Saat Menjelang dan Setelah Hari Natal dan Tahun Baru Menurut Komoditas, 2014 - 2015 .............................................................. 201 Tabel 4-10. 6. Permintaan Komoditas Ikan Pada Saat Menjelang dan Setelah Hari Natal dan Tahun Baru Menurut Region, 2014 - 2015 ................................................ 202 Tabel 4-10. 7. Permintaan Komoditas Ikan Pada Saat Menjelang dan Setelah Hari Natal dan Tahun Baru Menurut Region, 2014 - 2015 ................................................ 204 Permintaan Ikan Pada Saat Menjelang dan Setelah Hari Natal dan Tahun Baru Menurut Komoditas, 2014 - 2015 .............................................................. 205 Tabel 4-10. 8. Tabel 4-10. 9. Karakteristik Responden di Lokasi Penelitian, Tahun 2015 (Satuan = %) 211 Tabel 4-10. 10. Preferensi Konsumen Terhadap Jenis Produk Pangan Hewani di Lokasi Penelitian, Tahun 2015 (Satuan = %) ......................................................... 213 Preferensi Konsumen Terhadap Jenis Ikan di Lokasi Penelitian, Tahun 2015 (Satuan = %) ............................................................................................... 213 Tabel 4-10. 11. Tabel 4-10. 12. Preferensi Konsumen Terhadap Ikan Segar dan Olahan di Lokasi Penelitian, Tahun 2015 (Satuan = %) ........................................................................... 214 Tabel 4-10. 13. Preferensi Konsumen Terhadap Jenis Ikan di Lokasi Penelitian, Tahun 2015 (Satuan = %) ............................................................................................... 214 Tabel 4-10. 14. Preferensi Konsumen Terhadap Jenis Ikan Olahan di Lokasi Penelitian, Tahun 2015 (Satuan = %) ...................................................................................... 215 Tabel 4-10. 15. Perilaku Konsumen dalam Memilih Tempat Pembelian Ikan di Lokasi Penelitian, Tahun 2015 (Satuan = %) ......................................................... 216 | XXIV LAPORAN TEKNIS [KAJIAN KHUSUS BBPSEKP TAHUN 2015] DAFTAR GAMBAR Halaman Gambar 3.1. Kerangka Analisis Kebijakan ......................................................................... 5 Gambar 4-1. 1. Efek Subsidi dan Elastisitas Permintaan ...................................................... 11 Gambar 4-1. 2. Efek Subsidi dan Elastisitas Penawaran ....................................................... 12 Gambar 4-1. 3. Kerangka Pemikiran Analisis Kebijakan Penyesuaian Harga BBM Bersubsidi Untuk Nelayan Tahun 2015 ......................................................................... 15 Gambar 4-1. 4. Nilai R/C Rasio Berdasarkan Empat Penyesuaian Harga BBM pada Berbagai Ukuran Kapal ............................................................................................... 20 Gambar 4-1. 5. Jumlah Kunjungan Kapal Per Alat Tangkap pada Pelabuhan Perikanan Brondong, Kabupaten Lamongan, Tahun 2013 ........................................... 23 Gambar 4-1. 6. Perkembangan Produksi Perikanan di PPP Muncar selama 5 tahun terakhir. ........................................................................................................ 27 Gambar 4-1. 7. Proporsi Kapal Penangkap Ikan di PPN Pekalongan tahun 2014 ................ 28 Gambar 4-1. 8. Perkembangan Nilai Produksi Pada PPN Pekalongan ................................. 29 Gambar 4-1. 9. Gambar 4-1. 10. Perkembangan Nilai Produksi Pada PPN Pekalongan ................................. 30 Proporsi Ikan Hasil Tangkapan pada PPN Pekalongan ................................ 31 Gambar 4-1. 11. Gambar 4-1. 12. Jumlah Trip menurut WPP pada kapal-kapal nelayan di PPN Pekalongan tahun 2014 .................................................................................................... 31 Perkembangan jumlah nelayan di PPN Pekalongan ..................................... 32 Gambar 4-1. 13. Perkembangan Jumlah Kapal di PPN Palabuhan Ratu Tahun 1993-2013 ... 33 Gambar 4-1. 14. Gambar 4-1. 15. Perkembangan Produksi Perikanan di PPN Palabuhan Ratu........................ 33 Proporsi Produksi Perikanan di PPN Palabuhan Ratu .................................. 34 Gambar 4-1. 16. Perkembangan jumlah nelayan di PPN Palabuhan Ratu .............................. 34 Gambar 4-2. 1. Kerangka Pemikiran Kegiatan Penelitian ..................................................... 39 Gambar 4-2. 2. Gambar 4-2. 3. Total Produksi Ikan PPSNZJ Periode 2009-2013 ........................................ 42 Produksi Perikanan Tangkap Provinsi Bali Tahun 2009-2013 .................... 43 Gambar 4-2. 4. Kapal Eks-Asing berdasarkan Asal Negara ................................................. 47 Gambar 4-3. 1. Dampak Kedua Simulasi terhadap Produksi Domestik Berbagai komoditas KP Indonesia ................................................................................................ 70 Gambar 4-3. 2. Dampak Kedua Simulasi terhadap Harga Berbagai komoditas KP Indonesia ...................................................................................................... 71 Gambar 4-3. 3. Dampak Kedua Simulasi Terhadap Angka Ekspor Komoditas KP Indonesia ...................................................................................................... 72 Dampak Kedua Simulasi Terhadap Nilai Impor Berbagai Komoditas KP Indonesia ...................................................................................................... 73 Gambar 4-3. 4. Gambar 4-4. 1. Gambar 4-4. 2. Alat “pocong” untuk menangkap benih Lobster di Pulau Lombok.............. 78 Perkembangan Harga Benih lobster di NTB (hasil wawancara) .................. 81 Gambar 4-5. 1. Kerangka Pemikiran Kajian Dampak Kebijakan Moratorium dan Transhipment Pada Usaha Perikanan Indonesia........................................... 91 Gambar 4-5. 2. Para Pelaku Usaha KP yang Terdampak oleh Kedua Permen KP ............... 94 | DAFTAR GAMBAR XXV LAPORAN TEKNIS [KAJIAN KHUSUS BBPSEKP TAHUN 2015] Gambar 4-6. 1. Kerangka Pendekatan Kajian Supply Ikan di Pasar Domestik Menghadapi Hari Raya Idul Fitri 1436 H ....................................................................... 107 Gambar 4-6. 2. Perkembangan Produksi Perikanan di Indonesia, 2006 - 2014 .................. 109 Gambar 4-6. 3. Proporsi Ekspor terhadap Produksi Perikanan di Indonesia, 2006 - 2014 . 110 Gambar 4-6. 4. Perkembangan Konsumsi Ikan Nasional, 2006 - 2014............................... 110 Gambar 4-6. 5. Perkembangan Konsumsi Kalori dan Protein Ikan Tahun 2010 - 2014 ..... 111 Gambar 4-6. 6. Perkembangan Inflasi Kelompok Bahan Makanan pada Tahun 2006 2014 ............................................................................................................ 118 Gambar 4-6. 7. Pergerakan indeks ketidakstabilan harga komoditas ikan pada saat sebelum puasa (a), pada saat puasa/lebaran (b) dan pada saat setelah lebaran (c) ... 119 Gambar 4-6. 8. Tingkat Indeks Ketidakstabilan Harga di Ibukota Propinsi ( Maret-Desember 2014)........................................................................................................... 119 Gambar 4-7. 1. Skema Diversifikasi Nener dan Pemasarannya .......................................... 136 Gambar 4-8. 1. Grafik perkembangan luas lahan tambak di Indonesia, 2005-2013 ........... 142 Gambar 4-8. 2. Grafik perkembangan produksi tambak di Indonesia, 2005-2013 ............. 143 Gambar 4-8. 3. Perkembangan produksi Bandeng di Kabupaten Gresik. ........................... 143 Gambar 4-8. 4. Alur Pemasaran Ikan Bandeng di Kabupaten Gresik ................................. 158 Gambar 4-9. 1. Terjadinya Trade Creation Sebagai Dampak Dari Kesepakatan Perdagangan Bilateral ...................................................................................................... 172 Gambar 4-9. 2. Kurva Demand dan Supply dalam Trade Creation .................................... 173 Gambar 4-9. 3. Terjadinya Trade Diversion Sebagai Dampak Dari Kesepakatan Perdagangan Bilateral ...................................................................................................... 176 Gambar 4-9. 4. Trade Diversion .......................................................................................... 176 Gambar 4-9. 5. Perkembangan Nilai Ekspor Produk KP Indonesia ke USA, 2010-2014 ... 179 Gambar 4-9. 6. Gambar 4-9. 7. Pertumbuhan Nilai Ekspor Produksi KP Indonesia ke USA, 2010-2014... 180 Perkembangan Komposisi Ekspor Produk KP Indonesia ke USA, 20102014 ............................................................................................................ 181 Kerangka Pendekatan Kajian Supply Ikan di Pasar Domestik Menghadapi Hari Natal dan Tahun Baru 2016................................................................ 191 Gambar 4-10. 1. Gambar 4-10. 2. Gambar 4-10. 3. Perkembangan Produksi Perikanan di Indonesia, 2006 - 2014 .................. 196 Proporsi Ekspor terhadap Produksi Perikanan di Indonesia, 2006 - 2014 . 197 Gambar 4-10. 4. Perkembangan Konsumsi Ikan Nasional, 2006 - 2014............................... 197 Gambar 4-10. 5. Perkembangan Konsumsi Kalori dan Protein Ikan Tahun 2010 - 2014 ..... 198 Gambar 4-10. 6. Perkembangan Inflasi Kelompok Bahan Makanan pada Tahun 2006 2014 ............................................................................................................ 206 Gambar 4-10. 7. Indeks Harga Konsumen dan Inflasi bahan makanan pada tahun 2015 ..... 207 Gambar 4-10. 8. Pergerakan indeks ketidakstabilan harga komoditas ikan pada saat sebelum natal& tahun baru (a), pada saat natal& tahun baru (b) dan pada saat setelah natal & tahun baru (c) ................................................................................. 208 Gambar 4-10. 9. Total Produksi Perikanan Tangkap dan Budidaya Propinsi Sumatera Utara Tahun 2013-2014 ....................................................................................... 209 Gambar 4-11. 1. Perkembangan Neraca Perdagangan Produk Perikanan Indonesia ke Negaranegara TPP, 2010-2014 .............................................................................. 228 | DAFTAR GAMBAR XXVI LAPORAN TEKNIS Gambar 4-11. 2. [KAJIAN KHUSUS BBPSEKP TAHUN 2015] Perkembangan Neraca Perdagangan Produk Perikanan Primer Indonesia ke Negara-negara TPP, 2010-2014 ................................................................. 229 Gambar 4-10. 10. Perkembangan Neraca Perdagangan Produk Perikanan Olahan Indonesia ke Negara-negara TPP, 2010-2014 ................................................................. 230 | DAFTAR GAMBAR XXVII LAPORAN TEKNIS [KAJIAN KHUSUS BBPSEKP TAHUN 2015] DAFTAR LAMPIRAN Halaman Lampiran 4-6. 1. Tingkat Konsumsi Ikan per Kapita per Tahun, 2006 - 2013 ...................... 125 Lampiran 4-6. 2. Penyediaan Ikan untuk Konsumsi dari Perikanan Tangkap, 2008 - 2013 .. 125 Lampiran 4-6. 3. Ketersediaan per Kapita Nutrisi dari Ikan dari Perikanan Tangkap, 2008 2012 ............................................................................................................ 125 Lampiran 4-6. 4. Konsumsi Kalori dari Ikan menurut Propinsi Tahun 2014......................... 126 Lampiran 4-6. 5. Lampiran 4-6. 6. Konsumsi Protein Ikan menurut Propinsi Tahun 2014 .............................. 127 Status Ketersediaan Ikan menurut Kuartal dan Provinsi di Indonesia Tahun 2013 ............................................................................................................ 128 Lampiran 4-6. 7. Indeks Ketidakstabilan Harga Ikan Pada Saat Sebelum Bulan Ramadhan 2014 .................................................................................................................... 131 | DAFTAR LAMPIRAN XXVIII LAPORAN TEKNIS [KAJIAN KHUSUS BBPSEKP TAHUN 2015] I. PENDAHULUAN Kebijakan merupakan tindakan yang dilakukan oleh pemangku kepentingan dalam rangka mengantisipasi dan memecahkan masalah yang terjadi. Namun demikian kebijakan tidak selalu diterima oleh akademisi, pelaku usaha dan masyarakat. Hal ini terjadi bila kebijakan dinilai tidak tepat baik secara sosial, ekonomi maupun politik yang berkembang. Oleh karena itu pengambilan suatu kebijakan tentunya memerlukan analisis yang cukup jeli, dengan menggunakan berbagai model serta pendekatan yang sesuai dengan permasalahan yang akan dipecahkan. Analisis kebijakan merupakan disiplin ilmu terapan yang menggunakan berbagai metode pengkajian untuk menghasilkan dan mentranformasikan informasi-informasi agar dapat dimanfaatkan secara politis dalam menyelesaikan masalah kebijakan. Oleh karena itu pengambilan suatu kebijakan tentunya memerlukan analisis yang cukup jeli, dengan menggunakan berbagai model serta pendekatan yang sesuai dengan permasalahan yang akan dipecahkan. Penyusunan kebijakan pembangunan kelautan dan perikanan yang melibatkan, mendengarkan dan mempertimbangkan masukan, saran dan kebutuhan pemangku kepentingan serta pelaku usaha memerlukan analisis serta alternatif pemecahan masalah akan dinamika pembangunan kelautan dan perikanan. Analisis yang tajam, cepat dan tepat merupakan faktor penting dalam membuat dan memperbaiki kebijakan pembangunan kelautan dan perikanan yang lebih tepat sasaran, waktu dan program. Penelitian secara khusus akan program-program pembangunan kelautan dan perikanan merupakan media untuk menghasilkan analisis tersebut. Melalui penelitian, pemetaan permasalahan atau kebutuhan, analisa serta saran pemecahan masalah bisa dihasilkan. Kebijakan yang kurang atau tidak berbasis penelitian hasil analisis memiliki kecenderungan kegagalan atau ketidakefektifan pada tahapan implementasi, sehingga menyebabkan tujuan yang diharapkan menjadi tidak tercapai. Analisis sebagai dasar perumusan kebijakan semakin diperlukan untuk merespon ataupun langkah antisipatif dalam pembangunan kelautan dan perikanan yang sangat dipengaruhi oleh kondisi dan konstelasi global, nasional dan lokal. Oleh karena itu, ketersediaan bahan masukan berupa data dan informasi yang relevan menjadi semakin sangat penting dalam dinamika pembangunan sektor kelautan dan perikanan serta perumusan langkah antisipatif dan responsif yang cepat dan tepat. Atas dasar hal-hal diatas, BBPSEKP perlu melakukan Kajian Khusus Akselerasi Implementasi Program Pemerintah dalam Mendorong Pembangunan Kelautan dan Perikanan. PENDAHULUAN 1 LAPORAN TEKNIS II. [KAJIAN KHUSUS BBPSEKP TAHUN 2015] TINJAUAN ISU-ISU STRATEGIS SEKTOR KP Penjelasan mengenai isu strategis pembangunan kelautan Indonesia perlu didukung oleh ketiga informasi penting sebagaimana tertuang dalam rancangan teknokratik “Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional” (RPJMN) 2015-2019, khususnya mengenai: agenda, arah kebijakan nasional dan beberapa misi penting terkait dengan pembangunan kelautan ke depan; serta dinamika pembangunan global. Pertama, agenda pembangunan kelautan tersebut ditetapkan lima hal pokok yang menjadi fokus pembangunan kelautan ke depan, yaitu: (1) Terwujudnya kedaulatan atas wilayah perairan Indonesia dan yurisdiksi nasional. (2) Termanfaatkannya sumber daya kelautan untuk pembangunan ekonomi nasional. (3) Terwujudnya pelayanan angkutan laut dalam rangka meningkatkan konektivitas laut yang didukung oleh keselamatan maritim yang handal dan manajemen yang bermutu serta industri maritim yang memadai. (4) Terpeliharanya kelestarian fungsi lingkungan hidup dan sumber daya hayati laut. (5) Terwujudnya SDM dan IPTEK kelautan yang berkualitas dan meningkatnya wawasan dan budaya bahari. Kedua, arah dan kebijakan pembangunan kelautan juga fokus pada lima hal pokok: (1) Penegakan Kedaulatan dan Yurisdiksi Nasional. (2) Percepatan Pengembangan Ekonomi Kelautan. (3) Meningkatkan dan Mempertahankan Kualitas, Daya Dukung dan Kelestarian Fungsi Lingkungan Laut. (4) Peningkatan Wawasan dan Budaya Bahari, Serta Penguatan Peran SDM dan Iptek Kelautan. (5) Peningkatan Harkat dan Taraf Hidup Nelayan dan masyarakat pesisir. Ketiga, misi penting terkait dengan pembangunan kelautan dan perikanan ke depan sebagaimana tertuang dalam rancangan teknokratik RPJMN 2015-2019, menjadi salah satu amanat ndangUndang No. 17 Tahun 2017 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2005-2025, khususnya tertuang pada: (1) Misi ke-2: mewujudkan bangsa yang berdaya saing, (2) Misi ke-6: mewujudkan Indonesia yang asri dan lestari, (3) Misi ke-7: mewujudkan Indonesia menjadi negara kepulauan yang mandiri, maju, kuat dan berbasis kepentingan nasional. Keempat, dinamika pembangunan global yang tertuang dalam MDG’s (Millenium Development Goals) dan Sustainable Development Goals (SDGs) yang turut mempengaruhi dinamika pembangunan Indonesia, khususnya terkait perubahan secara fundamental di sektor kelautan dan perikanan secara nasional. Dinamika pembangunan global tersebut bertumpu pada tiga aspek mendasar, yakni: (1) Ketahanan pangan (food security), (2) Keberlanjutan pembangunan (sustainable development), (3) Daya saing (competitiveness). TINJAUAN ISU-ISU STRATEGIS SEKTOR KP 2 LAPORAN TEKNIS [KAJIAN KHUSUS BBPSEKP TAHUN 2015] Setelah memperhatikan agenda, arah kebijakan nasional dan beberapa misi penting terkait dengan pembangunan kelautan ke depan serta dinamika pembangunan global, dapat dirumuskan beberapa isu strategis pembangunan kelautan Indonesia tahun 2015-2019, yaitu meliputi: (1) pengembangan produk perikanan untuk ketahanan pangan dan gizi nasional; (2) peningkatan daya saing dan nilai tambah produk kelautan dan perikanan; (3) pendayagunaan potensi ekonomi sumberdaya kelautan; (4) pengelolaan sumberdaya yang berkelanjutan; (5) peningkatan kesejahteraan; dan (6) pengembangan SDM dan IPTEK kelautan dan perikanan. Masing-masing isu strategis pembangunan kelautan tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut: (1) Pengembangan produk perikanan untuk ketahanan pangan dan gizi nasional Undang-Undang No 12 Tahun 2014 tentang Pangan menyebutkan bahwa pangan adalah segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati produk pertanian, perkebunan, kehutanan, perikanan, peternakan, perairan, dan air, baik yang diolah maupun tidak diolah. Sementara itu, UndangUndang No 45 Tahun 2009 tentang Perikanan Pasal 3, salah satu tujuan Pengelolaan Perikanan adalah mendorong perluasan dan kesempatan kerja dan meningkatkan ketersediaan dan konsumsi sumber protein ikan dan Undang-Undang No 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan menyatakan bahwa arah pembangunan gizi adalah perbaikan gizi masyarakat melalui perbaikan pola konsumsi sesuai gizi seimbang dan perbaikan perilaku sadar gizi, aktivitas fisik dan kesehatan. Ikan telah berperan penting dalam penyediaan sumber protein hewani masyarakat Indonesia, dan peran tersebut masih dapat ditingkatkan. Peningkatan Konsumsi Ikan sangat dianjurkan oleh para ahli kesehatan termasuk hasil dari Joint FAO & WHO Expert Consultation: Risks & Benefits on Fish Consumption. Pola Pangan Harapan (PPH) untuk masyarakat Indonesia, konsumsi ikan minimal 31,4 kg/kap/thn. Beberapa fakta menunjukkan bahwa: (a) protein ikan memberi kontribusi terbesar dalam kelompok sumber protein hewani, yakni sekitar 57,2%; (b) adanya kecenderungan pergeseran konsumen masyarakat dari red meat kepada white meat; (c) ikan memiliki kandungan lemak, vitamin, dan mineral yang sangat baik dan prospektif (lebih baik dari protein hewani lainnya); (d) nutrisi ikan mudah dicerna dan diserap tubuh sehingga sangat sesuai dari mulai balita hingga manula; (e) ikan mempunyai keragaman yang sangat tinggi baik dari segi jenis, bentuk, warna, rasa, ukuran dan harga sehingga dapat diproses lebih lanjut menjadi berbagai macam produk untuk beragam konsumen; dan (f) ikan berperan penting dalam Gerakan Peningkatan Gizi pada 1.000 Hari Pertama Kehidupan, bahkan pemerintah telah menerbitkan Kepres No. 3 Tahun 2014 tentang Hari Ikan Nasional. Konsumsi ikan per kapita cenderung terus meningkat sebagai dampak dari kampanye mengenai manfaat mengkonsumsi ikan untuk kesehatan. Peningkatan konsumsi ikan harus diikuti dengan peningkatan pasokan untuk mencukupi kebutuhan konsumsi di dalam negeri. Konsekuensi pemenuhan kebutuhan tersebut dilakukan melalui peningkatan pasokan ikan dari hasil produksi, baik dari kegiatan penangkapan maupun budidaya ikan. (2) Peningkatan daya saing dan nilai tambah produk kelautan dan perikanan Produksi perikanan Indonesia menduduki peringkat kedua di dunia, baik untuk perikanan tangkap maupun perikanan budidaya (FAO, 2012). Namun demikian, posisi Indonesia dalam perdagangan hasil perikanan dunia menduduki peringkat ke-7. Hal ini menunjukkan masih belum adanya daya saing perikanan Indonesia di dunia. Saat ini sebagian besar UMKM perikanan belum memenuhi standar mutu dengan kemampuan SDM dan finansial yang sangat terbatas. Pada tahun 2013, jumlah Unit Pengolahan Ikan (UPI) Skala Besar hanya sebanyak 627 UPI dari total UPI lebih dari 63.000. Ke depan perlu ditingkatkan daya saing, nilai tambah dan diversifikasi produk. Pada era globalisasi dan pasar bebas, negara-negara akan berusaha mengambil manfaat ekonomi guna meningkatkan daya saingnya. Indonesia sebagai salah satu negara yang memiliki potensi ekonomi kelautan dan perikanan yang tinggi dituntut untuk dapat memanfaatkan peluang ini agar mampu mendukung pengembangan industri kelautan dan perikanan nasional. Value chain perikanan menunjukkan tren bahwa nilai tambah berada di hulu bukan di hilir, sementara di negara maju, 20% nilai tambah berada di hulu dan sisanya 80% di hilir (USDA , The Economic Research TINJAUAN ISU-ISU STRATEGIS SEKTOR KP 3 LAPORAN TEKNIS [KAJIAN KHUSUS BBPSEKP TAHUN 2015] Service’s, Feb 2011). Peningkatan daya saing bidang kelautan dan perikanan ditopang melalui pengelolaan serta pemanfaatan sumberdaya alam secara ramah lingkungan dan berkelanjutan. Peningkatan daya saing memerlukan penyediaan dukungan inovasi IPTEK, serta sumberdaya manusia yang kompeten. (3) Pendayagunaan potensi ekonomi sumberdaya kelautan Isu strategis pendayagunaan potensi ekonomi sumberdaya kelautan pada kurun waktu lima tahun kedepan akan lebih berorientasi pada pemanfaatan dan pengelolaan potensi sumberdaya kelautan, terutama menyangkut: (a) optimalisasi pendayagunaan pulau-pulau kecil termasuk pulau-pulau kecil terluar, (b) efektifitas pengelolaan kawasan konservasi perairan, (c) penanggulangan IUU fishing dan kegiatan yang merusak, (d) kerentanan ekosistem, (e) penyerasian tata kelola laut, (f) optimalisasi pemanfaatan ekonomi sumberdaya kelautan, dan (g) peningkatan peran masyarakat hukum adat, lokal dan tradisional. (4) Pengelolaan Sumber daya Kelautan dan Perikanan yang Keberlanjutan Kekayaan sumberdaya kelautan dan perikanan merupakan kumpulan sumber daya yang berpotensi besar, yakni sumber daya terbarukan yang dapat dikelola untuk menghasilkan pendapatan yang berkelanjutan. Pembangunan berkelanjutan dan ramah lingkungan mutlak diperlukan untuk mengantisipasi penurunan cadangan sumberdaya alam di masa mendatang. Upaya menjaga keberlanjutan sumberdaya dilakukan melalui konservasi, peningkatan kualitas dan rehabilitasi lingkungan, serta adaptasi perubahan iklim dan mitigasi bencana. (5) Peningkatan kesejahteraan pelaku usaha kelautan dan perikanan Kesejahteraan Pelaku Usaha Perikanan (budidaya, penangkapan, pengolahan dan pemasaran) merupakan salah satu pilar penting dalam peningkatan daya saing perekonomian dan merupakan tahapan penting dalam mencapai kesejahteraan masyarakat. Kesejahteraan pelaku usaha dapat digambarkan dari kemampuan pelaku usaha untuk memenuhi kebutuhan dengan pendapatan yang diperolehnya. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik, tahun 2013 jumlah penduduk miskin mencapai 28,07 juta orang, dimana 25,14% diperkirakan tinggal di wilayah pesisir. Kondisi ini menggambarkan tentang kondisi sebagian pelaku usaha perikanan Indonesia yang merupakan persoalan yang kompleks dan multidimensional yang membutuhkan pendekatan komprehensif untuk menyelesaikannya. (6) Pengembangan SDM dan IPTEK kelautan dan perikanan Pengembangan SDM dan IPTEK sangat penting dalam meningkatkan daya saing bidang Kelautan dan Perikanan di Indonesia. Isu daya saing ini sangat relevan dengan kebutuhan pembangunan kelautan dan perikanan pada RPJMN ketiga (2015 –2019), dimana pembangunan diarahkan pada keunggulan kompetitif perekonomian yang berbasis SDA yang tersedia, SDM yang berkualitas, dan kemampuan IPTEK. Penguatan IPTEK merupakan amanah konstitusi pada pasal 31 (ayat 5) UUD 1945 dimana disebutkan bahwa pemerintah memajukan nilai pengetahuan dan teknologi untuk memajukan peradaban serta kesejahteraan masyarakat. Namun, hal ini belum didukung oleh sumberdaya yang ada terutama dari aspek pendanaan. Selama ini, dana riset Indonesia hanya sebesar 0,08% dari PDB nasional. Rendahnya alokasi dana ini berpengaruh terhadap rendahnya produktivitas karya ilmiah di bidang kelautan dan perikanan. TINJAUAN ISU-ISU STRATEGIS SEKTOR KP 4 LAPORAN TEKNIS [KAJIAN KHUSUS BBPSEKP TAHUN 2015] III. 3.1. METODOLOGI Landasan Teori Penelitian kebijakan pada dasarnya menggunakan berbagai metode dan menggabungkannya dalam suatu analisis kebijakan yang utuh. Hal ini didasari oleh studi kebijakan public yang bermaksud untuk menggambarkan, menganalisis dan menjelaskan secara cermat berbagai sebab dan akibat dari tindakan-tindakan pemerintah Wahab (2004). Pada prakteknya proses didalam analisis kebijakan publik menurut James Anderson dalam Indiahono (2009) adalah sebagai berikut : 1. Perumusan masalah yaitu merumuskan berbagai kondisi yang berpotensi menyebabkan atau telah menjadi masalah 2. Peramalan yaitu membuat prediksi dan konsekuensi dari berbagai alternatif kebijakan yang dirumuskan 3. Rekomendasi kebijakan yaitu memberikan informasi manfaat bersih dari setiap alternatif kebijakan serta memberikan rekomendasi terhadap alternatif kebijakan dengan manfaat bersih yang paling besar 4. Monitoring kebijakan yaitu menyajikan konsekuensi saat ini dan masa lalu dari diterapkannya kebijakan yang diambil beserta kendala-kendala yang dhadapi 5. Evaluasi kebijakan yakni memberikan informasi mengenai kinerja dan hasil dari suatu kebijakan. Gambar 3.1. Kerangka Analisis Kebijakan Sumber : Dunn (2000) Beberapa model studi kebijakan dikembangkan oleh para ahli seperti Anderson (1979) serta Lester dkk (2000) yang dapat dirangkum sebagai berikut : a. Model Pluralis Model ini menitikberatkan pada hubungan antar kelompok-kelompok yang merupakan titik sentral dari suatu realitas politik. Kelompok dipandang sebagai jembatan antara individu dan pemerintah. Politik adalah arena perjuangan ke-lompok untuk memenangkan kebijakan publik. Model ini memiliki sisi positif dan negatif. Sisi positif karena kebijakan yang diambil didasarkan pada kepentingan kelompok dan tidak atas dasar kepentingan pribadi. Sementara sisi negatifnya adalah bila kelompok tersebut tidak memikirkan kepentingan kelompok lain, sehingga kebijakan yang diambil hanya akan menguntungkan kelompok tertentu. METODOLOGI|Landasan Teori 5 LAPORAN TEKNIS b. [KAJIAN KHUSUS BBPSEKP TAHUN 2015] Model Elitis Model ini beranggapan bahwa masyarakat secara umum bersifat apatis dan kekurangan informasi mengenai kebijakan publik. Dengan alasan tersebut ke-lompok elitlah yang mengambil peran besar. Model ini memiliki keuntungan dari sisi efektifitas waktu sedangkan kerugiannya adalah bila kelompok elit yang mengambil kebijakan hanya didasarkan pada kepentingan pribadi. Konsek-uensinya dapat menimbulkan permasalahan besar dimasyarakat bila kepentingan mereka diabaikan. c. Model Sistem Model ini menilai kebijakan sebagai keluaran dari suatu sistem (policy as system output). Kebijakan publik dinilai sebagai suatu respon sistem politik terhadap lingkungan faktornya seperti sosial, politik, ekonomi, geografis dan lain sebagainya. Inti dari model ini adalah kebijakan public sebagai keluaran dari sistem politik. Model ini pada prakteknya telah menilai berbagai faktor diatas sehingga lebih komplek. d. Model Rasional Model ini menyatakan bahwa kebijakan merupakan suatu pencapaian sasaran secara efisien. Model ini mnitikberatkan pada pembuatan keputusan yang ra-sional dengan bermodalkan pada komprehensivitas informasi dan keahlian pembuat keputusan. e. Model Inskrementalis Memandang kebijakan publik sebagai tindak lanjut aktivitas pemerintah dengan modifikasimodifikasi yang bersifat incremental (bagian perbagian). Da-sar pemikiran model ini adalah adanya kecenderungan dari pemegang kebijakan untuk tidak melakukan perubahan yang besar terhadap kegiatan yang telah berjalan sebelumnya. Dalam model ini memiliki kelebihan apabila kebijakan yang dikeluarkan oleh pengambil kebijakan sebelumnya merupakan sebuah kebijakan yang tepat maka model ini akan sangat efektif. Sebaliknya bila kebijjakan sebelumnya tidak tepat dan kebijakan tersebut dilanjutkan akan menimbulkan permasalahan f. Model Institusional Model institusional menggambarkan tentang struktur organisasi, tugas-tugas dan fungsi-fungsi pejabat organisasi, serta mekanisme organisasi, Relasi antara kebijakan publik dan lembagalembaga pemerintah dinilai erat. Kebijakan tidak akan menjadi kebijakan publik sebelum diangkat, dilaksanakan dan diperkuat oleh lembaga pemerintah. 3.2. Ruang Lingkup Kegiatan Kegiatan riset analisis kebijakan pembangunan sektor kelautan dan perikanan ini mencakup beberapa tahapan, yaitu: a. b. c. d. e. f. Identifikasi topik kajian sesuai dengan isu aktual pada sektor perikanan dan kelautan yang berkembang. Isu aktual tersebut dapat bersumber dari lingkup unit kerja atau dari luar unit kerja Departemen Kelautan dan Perikanan. Penyusunan term of reference tentang isu yang terpilih agar terdapat panduan dan arah dalam penelusuran isu yang dipelajari. Pengumpulan data pada lokasi sesuai dengan isu tersebut. Pengolahan dan analisis data. Penulisan hasil penelitian. Penyampaian hasil penelitian kepada stakeholder terkait. METODOLOGI|Ruang Lingkup Kegiatan 6 LAPORAN TEKNIS 3.3. [KAJIAN KHUSUS BBPSEKP TAHUN 2015] Data yang dikumpulkan Data yang dikumpulkan pada kegiatan riset ini berupa data primer dan sekunder. Data sekunder yang dapat dikumpulkan antara lain berupa laporan hasil penelitian dan atau kajian yang terkait dengan berbagai topik kajian khusus. 3.4. Teknik Pengumpulan Data Metode pengumpulan dilakukan melalui metode survey yang dilakukan terutama untuk melihat secara cepat kondisi sosial, ekonomi dan budaya serta kebutuhan teknologi menggunakan dengan kuesioner terstruktur. Penentuan responden dalam kegiatan survey dilakukan sesuai dengan kriteria dan topik kajian khusus. Pengumpulan data dan fakta juga dilakukan menggunakan metoda Desk Study, Participatory Rapid Appraisal (PRA) (Townsley, 1996) dan observasi serta survei menggunakan panduan daftar topik pertanyaan yang kemudian dikumpulkan dengan cara wawancara langsung dan mendalam terhadap responden kunci.Responden kunci adalah informan yang digunakan sebagai sumber informasi dan data sesuai dengan topik analisis kebijakan. 3.5. Metode Analisa Data Data yang telah dikumpulkan dianalisis menggunakan metode analisis data kualitatif dan kuantitatif. Analisis data kualitatif merupakan penelusuran terhadap pernyataan-pernyataan umum tentang hubungan antar berbagai kategori data yang berasal dari data yang tersedia (Marshall dan Rossman, 1989). 3.6. Tahapan Kegiatan Tahapan kegiatan disesuaikan untuk masing-masing topik kajian. Secara umum tahapan yang dapat dilakukan adalah sebagai berikut: 1. Persiapan dan Pemantapan Pelaksanaan Kegiatan a. Penyusunan ROKP b. Pemantapan ROKP c. Finalisasi ROKP d. Studi literatur dalam rangka persiapan FGD, e. Focus Group Discussion (FGD) dengan Stakeholders 2. FGD dalam rangka koordinasi dan sinkronisasi dengan pemerintah daerah, Dinas Kelautan dan Perikanan, Bappeda, LSM, dan pemangku kepentingan lainnya. 3. Analisis Data dan Penyusunan Laporan 4. Sosialisasi Hasil Pada masing-masing topik terpilih, di awali dengan Surat Keputusan Kepala Balai dengan lampiran ke anggotaan tim peneliti kajian khusus dan dilengkapi dengan Terms Of Reference (TOR). Namun demikian, metodologi yang digunakan pada setiap topik kajian adalah tidak sama. Secara detil, metodologi yang digunakan akan dijelaskan pada BAB IV sesuai dengan topik kajian yang diteliti. METODOLOGI|Data yang dikumpulkan 7 LAPORAN TEKNIS [KAJIAN KHUSUS BBPSEKP TAHUN 2015] IV. 4.1. HASIL KEGIATAN Analisis Kebijakan Dampak Penyusunan Harga BBM Bersubsidi untuk Nelayan Pendahuluan Bahan Bakar Minyak (BBM) merupakan input produksi vital bagi kegiatan usaha produksi ikan di sektor kelautan dan perikanan, baik pada usaha-usaha perikanan tangkap, budidaya maupun pengolahan. Pada usaha perikanan tangkap, pengeluaran untuk pembelian BBM mencapai 50 - 70% dari total biaya operasional melaut. Beberapa hal yang mempengaruhi besar kecilnya pengeluaran BBM diantaranya adalah besaran ukuran kapal, jenis peralatan tangkap yang digunakan, jangka waktu melaut, banyaknya trip penangkapan dalam suatu periode, jarak ke lokasi tangkapan, dan lain sebagainya. Kondisi saat ini, usaha nelayan untuk melakukan penangkapan ikan semakin bertambah besar karena sumberdaya perikanan semakin sulit ditemukan. Nelayan harus menambah hari dan jarak melaut untuk menangkap ikan yang ketersediaannya semakin langka dan berkurang (Kinseng, 2007). Perkembangan terkini, nelayan dihadapkan pada ketidakpastian harga BBM bersubsidi dan sulitnya memperoleh BBM bersubsidi. Kondisi ini menyebabkan ketidakpastian usaha perikanan tangkap. Pada awal pemerintahannya, Presiden Indonesia menaikkan harga BBM bersubsidi. Kenaikan tersebut dipicu oleh tingginya impor BBM yang dilakukan oleh Indonesia ditambah adanya kenaikan harga minyak dunia. Kondisi ini menyebabkan keuangan negara terbebani untuk BBM bersubsidi. Pemerintah mengumumkan kenaikan harga BBM pada tanggal 18 November 2014 dimana BBM jenis solar naik sekitar 36% dari Rp. 5.500 per liter menjadi Rp. 7.500 per liter dan BBM jenis bensin premium naik sebesar 31% dari Rp. 6.500 per liter menjadi Rp. 8.500 per liter. Pada awal tahun 2015, terjadi fluktuasi harga minyak dunia yang cenderung turun. Kondisi ini menyebabkan pemerintah mengambil kebijakan untuk menurunkan kembali harga BBM bersubdisi. Bahkan dalam bulan Januari tahun 2015, terjadi penurunan harga sebanyak 2 kali (Tabel 4.1.1). Tabel 4-1. 1. Perubahan Harga BBM bersubsidi periode Juni 2014 – Januari 2015 Tanggal Harga BBM Solar bersubsidi Perubahan (%) 22 Juni 2014 Rp. 5.500 18 November 2014 Rp. 7.500 (+) 36% 19 Januari 2015 Rp. 6.400 (seluruh Indonesia, kec (-) 15% Bali & Madura) Rp. 6.720 (Bali dan Madura) Sumber: Diolah dari berbagai sumber Permasalahan Fenomena penyesuaian harga BBM bersubsidi di masa-masa mendatang kemungkinan besar akan terjadi mengingat pemerintah mewacanakan menetapkan floating price untuk BBM. Bagi pelaku usaha perikanan tangkap, ketidakpastian harga BBM menyebabkan ketidakpastian usaha penangkapan juga. Pada saat harga BBM mengalami kenaikan, sebagian besar pelaku usaha merasa terhambat atau bahkan tidak dapat melakukan aktifitas penangkapan. Sisi positifnya, tekanan terhadap sumberdaya perikanan berkurang karena effort nelayan juga berkurang sehingga stok sumberdaya dapat meningkat. Sebaliknya, apabila harga BBM menurun, pelaku usaha mendapatkan angin segar untuk dapat kembali melakukan aktivitas usahanya, namun sumberdaya perikanan kembali tertekan. Selain permasalahan penyesuain harga BBM bersubsidi, berkembang pula wacana terkait HASIL KEGIATAN|Analisis Kebijakan Dampak Penyusunan Harga BBM Bersubsidi untuk Nelayan 8 LAPORAN TEKNIS [KAJIAN KHUSUS BBPSEKP TAHUN 2015] dengan siapa yang berhak memperoleh BBM bersubsidi pada pelaku usaha perikanan. Mengacu kepada Peraturan Presiden No 191 Tahun 2014 1, terdapat batasan bahwa kapal berukuran lebih dari 30 GT tidak memperoleh jatah BBM bersubsidi, artinya pelaku usaha dengan ukuran kapal lebih besar dar 30 GT harus membeli BBM dengan harga keekonomian. Alasan utama mengapa kapal berukuran lebih dari 30 GT tidak mendapatkan jatah subsidi BBM diantaranya adalah pertama, BBM subsidi untuk kapal diatas 30 GT mengalami kebocoran akibat penjualan BBM di tengah laut (Putra, 2015). Kedua, nelayan kecil (berukuran kurang dari 30 GT) mengkonsumsi sedikit dari jatah subsidi yang disediakan yang mana penggunaan BBM bersubsidi justru paling besar dinikmati oleh kapal bertonase di atas 30 GT, yakni hampir 60-70 persen dari total alokasi BBM bersubsidi (Anonim, 2014). Ketiga, dengan pembatasan subsidi BBM kepada kapal berukuran lebih dari 30GT, maka pemerintah melalui KKP memiliki dana sebesar Rp. 11 triliun untuk dialihkan mengganti kebutuhan nelayan (Maharani, 2014). Namun, pembatasan subsidi BBM hanya kepada kapal berukuran <30 GT juga mengakibatkan beberapa hal diantaranya pertama, akan terjadi gejolak sosial akibat dari menganggurnya anak buah kapal (ABK) karena operasi penangkapan ikan berhenti (Oktaveri, 2014; Abdianci, 2015; Sihaloho, 2015). Kedua, secara langsung, apabila kebijakan tersebut diterapkan akan berdampak negatif terhadap upaya pencapai target produksi ikan dari usaha penangkapan ikan; dan secara langsung juga akan berpengaruh terhadap tingkat pendapatan nelayan yang pada gilirannya berakibat pada tingkat kesejahteraan kelompok masyarakat nelayan tersebut. Berdasarkan pemaparan tersebut, maka penelitian analisis kebijakan penyesuaian harga BBM bersubsidi untuk nelayan relevan dilakukan. Pertanyaan penelitian yang akan dijawab diantaranya adalah bagaimana pengaruh dari kenaikan atau penurunan harga BBM bersubsidi terhadap biaya operasional dan keuntungan usaha perikanan tangkap?. Berapa besaran harga BBM subsidi yang ideal yang dapat diterima oleh nelayan?. Oleh karena itu, upaya perumusan kebijakan yang bersifat antisipatif maupun responsif terhadap kebijakan penyesuaian harga BBM maupun subsidi BBM pada sektor perikanan perlu dilakukan. Upaya perumusan kebijakan juga bermaksud untuk memberikan saran dan masukan kepada pemangku kebijakan khususnya Menteri Kelautan dan Perikanan dalam bentuk langkah-langkah apa yang perlu dilakukan sehingga kegatan usaha perikanan tangkap tetap lestari sekaligus kesejahteraan masyarakat pelaku usaha perikanan tangkap dapat ditingkatkan. Tujuan Penelitian Analisis kebijakan penyesuaian harga bbm bersubsidi untuk nelayan ini bertujuan untuk: 1. 2. Mengkaji pengaruh penyesuaian harga BBM terhadap biaya operasional usaha perikanan tangkap laut. Mengkaji dampak penyesuian harga BBM terhadap tingkat keuntungan usaha perikanan tangkap laut. 1 PERATURAN PRESIDEN NO 191 TAHUN 2014 tentang penyediaan, pendistribusian dan harga jual eceran bahan bakar minyak. “Nelayan yang menggunakan kapal ikan Indonesia dengan ukuran maksimum 30 (tiga puluh) GT yang terdaftar di Kementerian Kelautan dan Perikanan dan Perikanan SKPD Provinsi/Kabupaten/Kota yang membidangi perikanan dengan verifikasi dan surat rekomendasi dari pelabuhan perikanan atau kepala SKPD Provinsi/Kabupaten/Kota yang membidangi perikanan sesuai dengan kewenangannya masing – masing. HASIL KEGIATAN|Analisis Kebijakan Dampak Penyusunan Harga BBM Bersubsidi untuk Nelayan 9 LAPORAN TEKNIS [KAJIAN KHUSUS BBPSEKP TAHUN 2015] Tinjauan Pustaka Subsidi menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah bantuan uang dan sebagainya kepada yayasan, perkumpulan dan sebagainya (biasanya dari pihak pemerintah). Menurut Todaro (2009), subsidi adalah bentuk bantuan keuangan yang dibayarkan kepada suatu bisnis atau sektor ekonomi. Sedangkan menurut Spencer et. al dalam Handoko dan patriadi (2005), subsidi merupakan pembayaran yang dilakukan pemerintah kepada perusahaan atau rumah tangga untuk mencapai tujuan tertentu yang membuat mereka dapat memproduksi atau mengkonsumsi suatu produk dalam kuantitas yang lebih besar atau pada harga yang lebih murah. Secara ekonomi, tujuan subsidi adalah mengurangi harga atau menambah keluaran (output). Sedangkan menurut Sukirno (2005), subsidi pada dasarnya merupakan pemberian pemerintah kepada produsen untuk mengurangi biaya produksi yang ditanggung oleh produsen. Subsidi dapat mengurangi harga. Batas keuntungan yang didapat oleh produsen dengan adanya subsidi bergantung kepada besarnya penurunan harga yang berlaku (Sukirno, 2005). Selanjutnya menurut Suparmoko, subsidi (transfer) adalah salah satu bentuk pengeluaran pemerintah yang juga diartikan sebagai pajak negatif yang akan menambah pendapatan mereka yang menerima subsidi atau mengalami peningkatan pendapatan riil apabila mereka mengkonsumsi atau membeli barang-barang yang disubsidi oleh pemerintah dengan harga juga yang rendah. Subsidi dapat dibedakan dalam dua bentuk yaitu subsidi dalam bentuk uang (cash transfer) dan subsidi dalam bentuk barang atau subsidi innatura (in kind subsidy). Menurut Nota Keuangan dan RAPBN 2014, subsidi adalah alokasi anggaran yang disalurkan melalui perusahaan/lembaga yang memproduksi, menjual barang dan jasa yang memenuhi hajat hidup orang banyak sedemikian rupa, sehingga harga jualnya dapat terjangkau oleh masyarakat. Menurut Kusuma (2012), terdapat dua pendekatan subsidi yang berbeda yakni dari sisi profit loss maupun cost lost. Pendekatan profit loss diterapkan dalam lingkup mikroekonomi sedangkan cost lost terdapat pada kebijakan ekonomi yang lebih bersifat ke arah makroekonomi. Meski kedua konsep itu berbeda namun pertemuan kedua konsep itu terletak pada sasarannya yaitu harga (price equilibrium). Pada pendekatan profit loss, pihak produsen tidak mendapatkan profit dan juga tidak mengalami kerugian. Penghitungan harga pokok sudah memperhitungkan seluruh biaya produksi yang dibayarkan oleh konsumen. Sedangkan pendekatan dengan kebijakan, subsidi bertujuan untuk menekan harga penjualan di bawah harga yang biasanya berlaku. Besarnya subsidi dapat menggantikan tambahan keuntungan atau tambahan keuntungan ditambah beberapa biaya produksi yang terdapat pada harga pokok. Berdasarkan teori ekonomi mikro, pengaruh subsidi dapat dijelaskan sebagai berikut. Pengaruh Subsidi terhadap Keseimbangan Pasar Subsidi merupakan kebalikan dari pajak, sehingga sering disebut dengan pajak negatif. Subsidi yang diberikana atas produksi/penjualan sesuatu barang menyebabkan harga jual barang tersebut menjadi lebih rendah. Dengan adanya subsidi, biaya produksi suatu barang menjadi lebih rendah sehingga produsen bersedia menjual produknya lebih murah. Misalnya exist condition belum ada subsidi, tingkat keseimbangan berada pada E dan keseimbangan ini menunjukkan harga di P dan jumlah barang yang diperjualbelikan adalah Q. Subsidi sebesar R akan menggeser kurva penawaran dari SS menjadi S1S1 dan keseimbangan bergeser pula kepada E1. Sekarang harga adalah P1 dan jumlah barang yang diperjualbelikan adalah Q1. Dengan cara yang sama menunjukkan bahwa subsidi sebesar R akan menyebabkan harga turun dari P ke P1 dan jumlah barang yang diperjualbelikan akan meningkat dari Q ke Q1. Berdasarkan Gambar dibawah semakin elastis permintaan maka semakin besar bagian dari subsidi yang akan diperoleh penjual dan semakin elastis permintaan maka semakin banyak pertambahan jumlah barang yang diperjualbelikan. P P P1 A S S1 R E HASIL KEGIATAN|Analisis Kebijakan Dampak Penyusunan Harga BBM Bersubsidi untuk Nelayan D E1 10 LAPORAN TEKNIS (I) [KAJIAN KHUSUS BBPSEKP TAHUN 2015] Permintaan Elastis S P R S1 E P P1 A E1 D Q Q (II) Q1 Permintaan In Elastis Gambar 4-1. 1. Efek Subsidi dan Elastisitas Permintaan Hubungan subsidi dengan elastisitas penawaran dapat dilihat pada Gambar berikut. Misalkan keseimbangan awal ada di titik E, pada saat harga P dan jumlah barang yang diperjualbelikan adalah Q. Jika jumlah subsidi pemerintah adalah sebesar R dan menyebabkan kurva penawaran bergeser menjadi S1S1 dan keseimbangan yang baru adalah E1. Hal ini berarti harga turun menjad P1 dan jumlah barang yang diperjualbelikan telah naik menjadi Q1. Dengan cara yang sama, dengan subsidi sebesar R akan menurunkan harga dari P menjadi P1 dan jumlah barang yang diperjualbelikan meningkat dari Q menjadi Q1. S P P R E S1 E1 P1 A D Q Q (I) Q1 Penawaran Elastis HASIL KEGIATAN|Analisis Kebijakan Dampak Penyusunan Harga BBM Bersubsidi untuk Nelayan 11 LAPORAN TEKNIS [KAJIAN KHUSUS BBPSEKP TAHUN 2015] S P R S1 E P E1 P1 D A Q Q (II) Q1 Penawaran In Elastis Gambar 4-1. 2. Efek Subsidi dan Elastisitas Penawaran Hal ini berarti semakin elastis penawaran maka semakin kecil bagian dari subsidi yang akan diperoleh penjual dan semakin elastis penawaran maka semakin banyak jumlah barang yang diperjualbelikan. Menurut Handoko dan Patriadi (2005), subsidi memberikan efek positif dan negatif sebagai berikut. Efek Positif Subsidi Kebijakan pemberian subsidi biasanya dikaitkan kepada barang dan jasa yang memiliki positif eksternalitas dengan tujuan agar untuk menambah output dan lebih banyak sumber daya yang dialokasikan ke barang dan jasa tersebut, misalnya pendidikan dan teknologi tinggi. Pada umumnya pelaksanaan subsidi yang dilakukan oleh pemerintah dapat dirasakan oleh masyarakat yang berlaku sebagai konsumen maupun produsen yaitu : a) meningkatkan kualitas ekonomi; b) meningkatkan kebutuhan ekonomi bagi masyarakat yang berpendapatan rendah; c) mencegah terjadinya kebangkrutan pelaku usaha. Efek Negatif Subsidi Secara umum efek negatif subsidi adalah: 1. Subsidi menciptakan alokasi sumber daya yang tidak efisien. Karena konsumen membayar barang dan jasa pada harga yang lebih rendah daripada harga pasar maka ada kecenderungan konsumen tidak hemat dalam mengkonsumsi barang yang disubsidi. Karena harga yang disubsidi lebih rendah daripada biaya kesempatan (opportunity cost) maka terjadi pemborosan dalam penggunaan sumber daya untuk memproduksi barang yang disubsidi. 2. Subsidi menyebabkan distorsi harga. Menurut Basri (2002), subsidi yang tidak transparan dan tidak well-targeted akan mengakibatkan: a. Subsidi besar yang digunakan untuk program populis cenderung menciptakan distorsi baru dalam perekonomian b. Subsidi menciptakan suatu inefisiensi c. Subsidi tidak dinikmati oleh mereka yang berhak 3. Subsidi dapat mengganggu pasar dan memakan biaya ekonomi yang besar 4. Mematikan para pesaing dalam arti pihak swasta yang dirugikan. HASIL KEGIATAN|Analisis Kebijakan Dampak Penyusunan Harga BBM Bersubsidi untuk Nelayan 12 LAPORAN TEKNIS [KAJIAN KHUSUS BBPSEKP TAHUN 2015] Jenis Subsidi Jenis-jenis subsidi adalah: (1) direct subsidies, (2) indirect subsidies, (3) labor subsidies, (4) tax subsidies, (5) production subsidies, (6) regulatory advantages, (7) infrastructure subsidies, (8) trade protection (import), (9) export subsidies (trade promotion), (10) procurement subsidies, (11) consumption subsidies, (12) tax breaks and corporate welfare, dan (13) subsidies due to the effect of debt guarantees. Khusus untuk subsidi konsumsi, pemerintah memberikan subsidi ini melalui pembelian barang atau jasa, penggunaan asset atau property pemerintah pada harga di bawah harga pasar. Contoh: pemerintah membeli bahan bakar minyak atau barang lainya dengan harga yang lebih tinggi dan menjualnya ke masyarakat dengan harga yang lebih rendah (Bappenas, 2007). Menurut Bappenas (2007), subsidi pada dasarnya mempunyai fungsi sebagai: (1) alat pemerataan output melalui mekanisme peningkatan elastisitas permintaan, (2) alat stabilitas harga melalui mekanisme intervensi harga, dan (3) alat optimalisasi output melalui mekanisme elastisitas penawaran. Di lain pihak subsidi juga memiliki eksternalitas negatif, seperti yang dinyatakan oleh Basri (2002), bahwa subsidi yang tidak transparan dan tidak jelas targetnya akan menyebabkan: (1) distorsi baru dalam perekonomian, (2) menciptakan inefisiensi, dan (3) tidak dinikmati oleh masyarakat yang berhak. Relatif rendahnya harga barang subsidi berdampak pada perilaku masyarakat yang kurang kurang hemat dalam konsumsi dan karenanya terjadi pemborosan sumberdaya yang digunakan untuk memproduksi barang tersebut. Nugroho (2005) mendefinisikan subsidi yang berkaitan dengan subsidi BBM yaitu pembayaran yang dilakukan oleh Pemerintah Indonesia kepada Pertamina, sebagai pemegang monopoli pendistribusian BBM di Indonesia, dalam situasi dimana pendapatan yang diperoleh PT Pertamina (persero) dari tugas menyediakan BBM di pasar domestik lebih rendah dibandingkan biaya yang dikeluarkan untuk menyediakan dan mendistribusikan BBM. Subsidi BBM menjadi salah satu instrumen untuk memeratakan penggunaan energi di masyarakat, terutama masyarakat berpenghasilan rendah. Kebijakan subsidi diberlakukan pada saat harga suatu produk energi dinilai tidak sebanding dengan daya beli masyarakat khususnya masyarakat yang berpenghasilan rendah (Yusgiantoro, 2000). Hubungan Subsidi dengan Sumber Daya Ikan Kewajiban pemerintah adalah memberikan iklim yang konduksif bagi keberlanjutan usaha produksi yang mampu mensejahterakan masyarakat. Salah satu bentuk campur tangan pemerintah adalah melalui mekanisme yang biasa disebut sebagai belanja/pengeluaran negara atau government expenditure. Pengeluaran pemerintah ini dapat berupa subsidi, pemberian gaji pegawai negeri, pembangunan infrastruktur, serta pembuatan dan penyediaan public goods. Namun, pengeluaran pemerintah ini memiliki ambiguitas hakikat. Contohnya, subsidipemerintahuntukpertanian (termasuk di dalamnya perikanan) bisadiartikansebagaisubsidiproduksiatauredistribusipembayarantransfer payment. Subsidi idealnya disalurkan langsung dan hanya diberikan kepada kelompok sasaran. Salah satu kelompok sasaran tentu saja masyarakat berpenghasilan rendah atau miskin. Pradiptyo (2013) mengungkapkan bahwa alokasi subsidi yang diberikan pemerintah kepada masyarakat pada tahun 2012 cukup besar, yakni mencapai Rp 346,4 triliun atau 34,33 persen dari total anggaran belanja pemerintah pusat (APBN); dari total subsidi yang diberikan, 61,17 persen atau (Rp 211,9 triliun) dialokasikan untuk BBM. Meskipun demikian, subsidi yang telah dikucurkan pemerintah tersebut relatif belum dapat dinikmati oleh kelompok sasaran yang dituju, khususnya adalah masyarakat nelayan yang selama ini dikenal sebagai kelompok masyarakat pada lapisan yang paling miskin. HASIL KEGIATAN|Analisis Kebijakan Dampak Penyusunan Harga BBM Bersubsidi untuk Nelayan 13 LAPORAN TEKNIS [KAJIAN KHUSUS BBPSEKP TAHUN 2015] Ada berbagai strategi pemberian subsidi pemerintah kepada masyarakat. Bank Dunia (Anonim, 2014b) memberikan isyarat agar pemerintah memberikan subsidi yang bersifat tetap; tetapi diingatkan bahwa kebijakan ini sangat beresiko bila penerapannya kurang bijaksana. Kebijkan senada dikemukakan oleh Bank Indonesia (Anonim, 2014a) yang menyatakan bahwa subsidi tetap itu akan efektif mengurangi risiko fiskal karena tidak bergantung pada nilai tukar. Sebagai gambaran, jika tiap satu liter BBM disubsidi dengan nilai tertentu, maka besar subsidi yang digelontorkan pemerintah per tahun akan tetap. “Dan tidak akan terpengaruh oleh fluktuasi harga minyak dunia.” Sasaran Penggunaan Subsidi BBM di Sektor Kelautan dan Perikanan Melalui Peraturan Presiden Nomor 55 Tahun 2005 yang diubah dengan Peraturan Presiden Nomor 9 Tahun 2006, pemerintah membatasi kelompok masyarakat yang berhak membeli BBM subsidi. Premium dibatasi penggunanya untuk kegiatan usaha kecil, transportasi, dan pelayanan umum. Minyak solar dibatasi penggunanya untuk kegiatan usaha kecil, usaha perikanan, transportasi, dan pelayanan umum. Minyak tanah dibatasi penggunanya pada rumahtangga dan usaha kecil untuk memasak dan penerangan. Kedua kebijakan, yaitu kebijakan penciutan jenis BBM yang disubsidi dan penciutan kelompok konsumen yang berhak membeli BBM subsidi, telah mampu mengurangi volume penjualan BBM yang disubsidi, dari semula 59.6 juta kiloliter pada tahun 2005 menjadi 37.9 juta kiloliter pada tahun 2006. Untuk sektor perikanan, BBM diperlukan untuk menggerakkan berbagai kegiatan produksi, baik pada perikanan tangkap, budidaya maupun pengolahan. Pada usaha penangkapan, BBM pada umumnya digunakan untuk menggerakkan kapal, jaring, alat pendingin (freezer) dan alat penerangan. Menurut Muhartono (2004), penggunaan BBM pada usaha penangkapan terutama adalah untuk jenis oli, solar, bensin, dan minyak tanah, yang berkontribusi hingga 60% dari biaya operasional penangkapan. Pada usaha perikanan budidaya, BBM terutama digunakan pada usaha budidaya tambak; pada jenis usaha ini untuk memproduksi1 kg udang dibutuhkan hampir 1,2 liter solar (Anonim, 2011). Sementara itu, pada usaha pengolahan hasil perikanan, BBM diperlukan untuk menggerakkan mesin penanganan pasca panen (pendingin) dan berbagai jenis alat pematangan (perebusan, pengukusan, penggorengan, dan sebagainya). Metode Penelitian Kerangka Pemikiran Kegiatan usaha penangkapan merupakan kegiatan pemanfaatan sumberdaya ikan di laut oleh pelaku utama yaitu nelayan. Usaha perikanan tangkap merupakan kegiatan usaha perikanan yang dalam kegiatan operasi penangkapannya menggunakan Bahan Bakar Minyak (BBM) sebagai penggerak kapal motor. Sehingga BBM menjadi salah satu komponen utama dengan biaya yang dikeluarkan untuk BBM ini memiliki persentase yang cukup besar dari keseluruhan biaya setiap trip nya.Kerangka pemikiran analisis kebijakan penyesuaian harga BBM bersubsidi untuk nelayan ditampilkan pada Gambar 4-1. 3. HASIL KEGIATAN|Analisis Kebijakan Dampak Penyusunan Harga BBM Bersubsidi untuk Nelayan 14 LAPORAN TEKNIS [KAJIAN KHUSUS BBPSEKP TAHUN 2015] Harga BBM Upaya Penangkapan Biaya Operasional Penerimaan Usaha Keuntungan Usaha Rekomendasi Kebijakan untuk Menjamin Kepastian Usaha Gambar 4-1. 3. Kerangka Pemikiran Analisis Kebijakan Penyesuaian Harga BBM Bersubsidi Untuk Nelayan Tahun 2015 Waktu dan Lokasi Penelitian Kegiatan ini dilaksanakan selama 30 hari kerja yang dilakukan pada bulan Januari – Februari 2015. Lokasi penelitian dilakukan di Pelabuhan Perikanan Pantai (PPP) Muncar, Pelabuhan Perikanan Nusantara (PPN) Brondong Kabupaten Lamongan, PPN Pekalongan di Kota Pekalongan dan PPN Palabuhan Ratu di Kabupaten Sukabumi, dengan pertimbangan bahwa di lokasi tersebut terdapat armada kapal berdasarkan ukuran kapal. Jenis, Sumber dan Metode Pengumpulan Data Untuk memperoleh data dan informasi secara komprehensif dan akurat, analisis ini didukung oleh data-data primer dan sekunder. Data primer diperoleh dari responden/sampel penelitian yang ditentukan secara purposif (purposive sampling) mencakup: nelayan pada berbagai ukuran kapal (< 5 GT, 5 – 10 GT, 10 – 20 GT, 30 – 50 GT, 50 – 100 GT, 100 – 200 GT dan > 200 GT). Pada tiap ukuran kapal tersebut dipilih jenis alat tangkap yang dominan di masing – masing lokasi penelitian. Sementara itu, data-data sekunder diperoleh dari laporan penelitian, laporan kajian, dan data-data pada berbagai instansi terkait. Teknik yang dipergunakan untuk pengumpulan data primer adalah teknik wawancara terhadap responden terpilih, dengan cakupan informasi meliputi biaya investasi, biaya tidak tetap (variable) per trip, biaya tetap (fixed) per tahun, penerimaan usaha per trip, informasi operasional usaha. Metode Analisis Data Data yang terkumpul melalui metode survey dan studi pustaka ditabulasi dan dianalisis secara deskriptif dan disajikan dalam bentuk tabel. Pembahasan dalam kajian ini difokuskan pada dinamika usaha perikanan tangkap menurut berbagai ukuran kapal pada saat sebelum dan sesudah kenaikan harga BBM yang terjadi bulan Nopember tahun 2014 dan bulan Januari 2015. Analisis yang dilakukan adalah analisis statistik deskriptif dan analisis usaha. Perhitungan analisis usaha menggunakan rumus sebagai berikut: Л = TR – TC .............................................(1) Total Cost (TC) dihitung melalui rumus : TC = FC + VC...........................................(2) HASIL KEGIATAN|Analisis Kebijakan Dampak Penyusunan Harga BBM Bersubsidi untuk Nelayan 15 LAPORAN TEKNIS [KAJIAN KHUSUS BBPSEKP TAHUN 2015] Perhitungan nilai R/C Ratio usaha perikanan tangkapdiperoleh melalui rumus : 𝑇𝑅 TR R/C Ratio = 𝑇𝐶 TC .................................... (3) Perhitungan nilai profitabilitas usaha perikanan tangkap diperoleh melalui rumus: 𝑇𝑅 Л Profitabilitas = 𝑇𝐶 TC ..............................(4) Dimana л = Keuntungan Usaha TR = Total Revenue (Total Penerimaan) TC = Total Cost (Total Biaya) FC = Fixed Costs (Biaya Tetap) VC = Variable Costs (Biaya Variabel) Terkait dengan prakiraan dampak penyesuaian harga BBM terhadap kondisi usaha, maka digunakan beberapa asumsi – asumsi diantaranya adalah jumlah BBM, jumlah trip, kebutuhan armada BBM per tahun dan per bulan. Selain itu, untuk kebutuhan perhitungan dampak terhadap kondisi usaha, digunakan empat penyesuaian harga BBM yaitu Rp. 5.500/liter, Rp. 6.400/liter, Rp. 7.500/liter dan Rp. 13.500/ liter. Harga pertama hingga ke tiga merupakan harga riil yang diumumkan oleh pemerintah, sedangkan harga ke empat merupakan harga maksimal yang memberikan dampak Break Even Point (BEP) terhadap ukuran kapal 50 – 100 GT. Tabel 4-1. 2. Asumsi – asumsi Yang Digunakan untuk perhitungan Prakiraan Dampak Penyesuaian Harga BBM terhadap Kondisi Usaha. Ukuran Kapal (GT) Kategori Asumsi Jumlah BBM (armada/trip) (primer) Jumlah Trip (armada/tahun) Kebutuhan BBM (armada / tahun) Kebutuhan BBM (armada / bulan) Kebutuhan BBM total (liter/tahun) (dalam 000) % kebutuhan BBM terhadap kebutuhan total <5 5-10 10-20 20-30 30-50 50-100 100 200 20 80 452 3,600 7,111 30,000 56,929 216 36 20 18 9 4 3 4,320 2,880 9,040 64,800 64,000 120,000 170,78 6 360 240 753 5,400 5,333 10,000 14,232 594,518 111,571 105,316 493,776 58,880 200,400 201,52 7 34 6 6 28 3 11 11 Hasil Dan Pembahasan Analisis Usaha Armada Perikanan Tangkap (Updating Simulasi tahun 2014) Biaya Investasi Dalam usaha penangkapan ikan, nelayan memiliki investasi pada kapal, mesin, dan peralatan pendukung. Biaya investasi yang dibutuhkan makin besar sesuai dengan ukuran armada. Biaya investasi tertinggi dikeluarkan oleh kelompok armada > 100-200 GT yang mencapai 4,75 M dan biaya investasi terendah dikeluarkan oleh armada< 5 GT sekitar 31,5 jt. Kapal merupakan investasi yang sangat penting karena mencapai sekitar 70% dari total investasi. Mesin yang digunakan oleh kapal bervariasi dari yang fungsinya hanya sebagai pendorong kapal hingga yang berfungsi sebagai penarik jaring. Investasi mesin mencapai nilai hingga 20% dari total investasi. Alat tangkap yang digunakan mencapai sekitar 8% dari total investasi sedangkan sisanya digunakan untuk pembelian alat pendukung. Alat pendukung yang digunakan dalam perikanan HASIL KEGIATAN|Analisis Kebijakan Dampak Penyusunan Harga BBM Bersubsidi untuk Nelayan 16 LAPORAN TEKNIS [KAJIAN KHUSUS BBPSEKP TAHUN 2015] tangkap laut seperti jaket pelampung, lampu, peralatan masak, dan GPS. Biaya Tetap dan Operasional Secara umum biaya yang dikeluarkan untuk melakukan usaha budidaya adalah biaya tetap (fixed cost) dan biaya variabel (variable cost). Biaya tetapmerupakan biaya yang besarnya tidak akan dipengaruhi oleh tingkat operasi pada periode waktu tertentu. Biaya ini harus dikeluarkan sesuai dengan kebutuhan teknis meskipun tidak operasional (sedang tidak operasional). Biaya ini selalu dihubungkan dengan usia teknis sarana atau prasarana yang dipakai serta umur pakai yang berlaku lebih dari satu tahun penggunaannya. Adapun biaya tetap dalam kaitan dengan pemeliharaan kapal, sarana alat tangkap dan alat pendukung dalam aktivitas penangkapan. Biaya variabelmerupakan biaya yang besarnya bervariasi mengikuti secara proposional dengan jumlah produksi yang dihasilkan, biaya variabel akan nol/tidak ada apabila produksinya nol atau tidak dilakukan kegiatan usaha penangkapan ikan. Input produksi perikanan tangkap terdiri dari pembelian BBM : solar, bensin, oli, gas dan minyak tanah; pembelian air bersih, es, ransum, dan umpan. Pembelian BBM merupakan biaya operasional yang paling besar yang dikeluarkan oleh nelayan mencapai rata-rata sekitar 70% dari total biaya operasional. Jarak antara tempat pendaratan ikan atau landing based dengan fishing ground dan jarak antar fishing ground sangat mempengaruhi jumlah BBM yang dikonsumsi oleh setiap kapal per tripnya. Pembelian BBM oleh nelayan atau pemilik kapal dengan harga di atas harga normalmenjadi beban tambahan dalam biaya operasional kapal. Selama ini, nelayan skala kecil terutama > 5 GT selama ini membeli BBM dengan harga di atas harga normal (harga SPBU). Mereka masih kesulitan dalam mengakses BBM dengan harga normal karena rata-rata jarak dari tempat pendaratan ikan ke SPBN, SPDN dan SPBU relatif jauh. Oleh karena itu, nelayan melakukan beberapa strategi dalam menekan biaya operasional. Ada beberapa pola nelayan dalam mendapatkan BBM dan menormalisasi biaya operasional, yaitu: 1. Mendaratkan ikan di tempat terdekat dengan fishing ground. 2. Menjual ikan secara langsung dengan pembeli yang menerima berbagai jenis ikan dengan berbagai kualitas. 3. Menjual ikan di tengah laut untuk mengurangi biaya-biaya untuk pelelangan, biaya tambat kapal. Beberapa strategi di atas biasanya dilakukan oleh nelayan di beberapa wilayah perikanan di Indonesia terutama di Jawa. Hal tersebut terpaksa dilakukan nelayan karena untuk menjaga keberlanjutan usaha, mengingat mereka tidak bisa menghindar dari kenaikan harga BBM. Berdasarkan skala usaha perikanan tangkap, perahu < 5 GT merupakan kelompok kapal sebagai konsumen BBM terbesar dibandingkan dengan kelompok kapal yang lainnya. Sementara itu, kelompok kapal 20-30 GT, 30-50 GT dan 100-200 GT adalah kelompok yang mengkonsumsi BBM paling kecil. Hasil ini mempertimbangkan jumlah trip per tahun dan jumlah total kebutuhan BBM pada masing-masing kelompok kapal. Berdasarkanjumlah perahu, kelompok perahu > 300 GT adalah konsumen BBM terbesar mengingat jumlah kapalnya sedikit dibandingkan kelompok kapal < 5 GT. Biaya tetap paling besar dikelaurkan oleh kelompok armada 100-200 GT yang mencapai sekitar 430 jt/tahun dan yang paling kecil adalah kelompok armada < 5 GT yakni sebesar 8,7 juta per tahun. Biaya variabel berubah karena terjadi kenaikan harga BBM solar. Sebelum bulan Nopember 2014 harga BBM solar adalah Rp 5.500/liter, kemudian setelah bulan Nopember naik menjadi Rp 7.500,-/liter dan kemudian pada bulan Januari turun kembali menjadi Rp 6.400,-/liter. Biaya tidak tetap paling besar ada pada kelompok armada 100-200 GT yakni mencapai Rp 1,078 M - Rp 1,42 M/tahun dan paling kecil ada pada armada < 5 GT yakni sebesar Rp 40 jutat-Rp 48 juta/tahun. HASIL KEGIATAN|Analisis Kebijakan Dampak Penyusunan Harga BBM Bersubsidi untuk Nelayan 17 LAPORAN TEKNIS [KAJIAN KHUSUS BBPSEKP TAHUN 2015] Penerimaan dan Keuntungan Usaha Secara umum, penerimaan usaha dari beberapa kelompok armada paling besar ada pada kelompok 100-200 GT yakni sebesar 3,5 M/tahun dan yang paling kecil ada pada kelompok < 5 GT yaitu sebesar 97 jt/tahun. Sedangkan keuntungan yang diterima oleh nelayan pada kelompok 100-200 GT sebesar 2,058 M/tahun dan kelompok < 5 GT sebesar 49 juta/tahun. R/C ratio dari kelompok 20-30 GT paling besar diantara kelompok armada lainnya yaitu sebesar 2,93 hingga 3,40 dan yang paling kecil ada pada kelompok armada ukuran 5-10 GT yakni sebesar 1,31 sampai 1,42. Prakiraan Dampak Penyesuaian Harga BBM terhadap Kondisi Usaha Penyesuaian harga BBM khususnya solar yang terjadi pada akhir tahun 2014 hingga Januari 2015 memberi dampak kepada sektor kelautan dan perikanan karena BBM merupakan input yang paling dominan dalam mendukung usaha penangkapan. Berdasarkan hasil analisis diperoleh informasi bahwa kapal berukuran 50 – 100 GT adalah kelompok yang paling sensitif terkena dampak akibat perubahan harga solar dari Rp 5.500,- ke Rp 7.500,- (harga BBM naik 36%) keuntungan menurun sebesar 25% dan ketika harga solar menjadi Rp 6.400,- (harga BBM turun 15%), keuntungan naik sebesar 18%. Sedangkan kapal berukuran 20 – 30 GT adalah kelompok yang memiliki dampak paling kecil terhadap perubahan harga. Harga BBM naik 36% menyebabkan keuntungan menurun sebesar 7% dan harga BBM turun sebesar 15% menyebabkan keuntungan naik sebesar 4%. Jika harga solar dinaikkan hingga menjadi Rp 13.500,- dan harga ikan diasumsikan tetap maka kelompok kapal 50-100 GT berada pada kondisi Break Even Point (titik impas) dimana R/C Ratio = 1. Kenaikan harga BBM tanpa disertai oleh kenaikan harga ikan dipastikan menyebabkan kerugian bagi nelayan di setiap ukuran armada. Sehingga perlu ada kebijakan-kebijakan yang tepat dapat mengatasi permasalahan tersebut seperti perbaikan infrastruktur kelautan dan perikanan pada seluruh pelabuhan perikanan dan perbaikan sistem distribusi ikan untuk menjaga kestabilan harga ikan. Tabel prakiraan dampak penyesuaian harga BBM dapat dilihat pada Tabel 4-1. 3 hingga Tabel 4-1. 6. Pada Tabel 4-1. 3 digunakan asumsi harga solar Rp 5.500,- per liter dan tidak adanya perubahan harga ikan hasil tangkapan nelayan. Harga solar tersebut, merupakan harga awal/normal sebelum adanya perubahan harga BBM.Berdasarkan harga BBM tersebut, maka nilai R/C ratio rata-rata masih di atas 1 sehingga usaha masih bisa dianggap layak. R/C ratio terbesar pada ukuran kapal 20-30 GT sebesar 3,40 dan yang paling kecil ada pada ukuran 5-10 GT yaitu sebesar 1,42. Secara lebih lengkap, simulasi dampak penyesuaian harga terhadap kondisi usaha dapat dilihat sebagai berikut. Tabel 4-1. 3. Simulasi Dampak Penyesuaian Harga BBM Solar Terhadap Kondisi Usaha Dengan Harga Rp.5.500,-/Liter Kapal menurut ukuran KOMPONEN Biaya Investasi Biaya Tetap Tidak Biaya Tetap Total Biaya Penerimaan Keuntungan R/C Ratio < 5 GT 5-10 GT 10-20 GT 31.512.00 0 39.594.66 0 123.900.00 0 355.000.00 0 108.958.18 8 8.721.200 26.520.000 48.315.86 0 97.200.00 0 48.884.14 0 2,01 42.005.258 68.525.258 97.200.000 28.674.743 1,42 80.675.000 20-30 GT 30-50 GT 50-100 GT 760.000.000 657.565.000 1.402.000.00 0 581.583.675 630.492.000 799.113.850 219.675.000 164.375.000 189.633.18 8 367.000.00 0 177.366.81 3 801.258.675 794.867.000 2.727.000.00 0 1.925.741.32 5 2.055.000.00 0 1.260.133.00 0 1,94 3,40 2,59 100 - 200 GT 4.750.000.00 0 1.078.997.42 9 348.150.000 429.875.000 1.147.263.85 0 2.110.000.00 0 1.508.872.42 9 3.567.857.14 3 2.058.984.71 4 962.736.150 1,84 2,36 Keterangan: Asumsi Harga Ikan Tetap, Produksi Perikanan Tetap, dan Kebutuhan BBM/trip tetap HASIL KEGIATAN|Analisis Kebijakan Dampak Penyusunan Harga BBM Bersubsidi untuk Nelayan 18 LAPORAN TEKNIS [KAJIAN KHUSUS BBPSEKP TAHUN 2015] Simulasi kedua adalah menggunakan harga BBM sebesar Rp. 6.400 (kenaikan sebesar 16% dari harga BBM eksisting). Kondisi kenaikan harga BBM tersebut, secara umum memberikan dampak yang besar terhadap keuntungan usaha yang mana keuntungan usaha mengalami penurunan pada seluruh ukuran kapal. Pada akhirnya, penurunan keuntungan usaha akan mempengaruhi juga R/C ratio. Nilai R/C rasio pada harga BBM Rp. 6.400 terendah maupun tertinggi sama dengan nilai R/C rasio pada harga BBM Rp. 5.500 yaitu pada ukuran kapal 5 – 10 GT dan 20 – 30 GT. Tabel 4-1. 4. Simulasi Dampak Penyesuaian Harga BBM Solar terhadap usaha dengan harga Rp 6.400,-/liter Kapal menurut ukuran KOMPONEN Biaya Investasi Biaya Tetap Tidak Biaya Tetap Total Biaya Penerimaan Keuntungan R/C Ratio < 5 GT 5-10 GT 10-20 GT 31.512.00 0 43.482.66 0 123.900.00 0 355.000.00 0 117.094.18 8 8.721.200 26.520.000 44.597.258 52.203.86 0 97.200.00 0 44.996.14 0 97.200.000 1,86 1,37 71.117.258 26.082.743 80.675.000 100 - 200 GT 4.750.000.00 0 1.232.704.57 1 20-30 GT 30-50 GT 50-100 GT 760.000.000 657.565.000 1.402.000.00 0 639.903.675 701.394.000 907.113.850 219.675.000 164.375.000 348.150.000 429.875.000 1.255.263.85 0 2.110.000.00 0 1.662.579.57 1 3.567.857.14 3 1.905.277.57 1 197.769.18 8 367.000.00 0 169.230.81 3 859.578.675 865.769.000 2.727.000.00 0 1.867.421.32 5 2.055.000.00 0 1.189.231.00 0 1,86 3,17 2,37 854.736.150 1,68 2,15 Keterangan: Asumsi Harga Ikan Tetap, Produksi Perikanan Tetap, dan Kebutuhan BBM/trip tetap Simulasi ketiga adalah menggunakan harga BBM Rp. 7.500 (kenaikan sebesar Rp. 17% dari harga Rp. 6.400). Kondisi tersebut semakin memberikan tekanan yang lebih besar kepada keuntungan usaha perikanan. Menurut nilai R/C rasionya, nilai terendah maupun tertinggi juga tidak banyak perubahan yaitu pada ukuran kapal 5 – 10 GT dan ukuran 20 – 30 GT. Tabel 4-1. 5. Simulasi Dampak Penyesuaian Harga BBM Solar terhadap usaha dengan harga Rp 7.500,-/liter Kapal menurut ukuran KOMPONEN Biaya Investasi Biaya Tetap Tidak Biaya Tetap Total Biaya Penerimaan Keuntungan R/C Ratio < 5 GT 5-10 GT 10-20 GT 31.512.00 0 48.234.66 0 123.900.00 0 355.000.00 0 127.038.18 8 8.721.200 26.520.000 56.955.86 0 97.200.00 0 40.244.14 0 1,71 47.765.258 74.285.258 97.200.000 22.914.743 1,31 80.675.000 20-30 GT 30-50 GT 760.000.000 657.565.000 711.183.675 788.052.000 219.675.000 164.375.000 207.713.18 8 367.000.00 0 159.286.81 3 930.858.675 952.427.000 2.727.000.00 0 1.796.141.32 5 2.055.000.00 0 1.102.573.00 0 1,77 2,93 2,16 50-100 GT 1.402.000.00 0 1.039.113.85 0 100 - 200 GT 4.750.000.00 0 1.420.568.85 7 348.150.000 429.875.000 1.387.263.85 0 2.110.000.00 0 1.850.443.85 7 3.567.857.14 3 1.717.413.28 6 722.736.150 1,52 1,93 Keterangan: Asumsi Harga Ikan Tetap, Produksi Perikanan Tetap, dan Kebutuhan BBM/trip tetap Pada simulasi keempat, harga BBM diasumsikan naik mencapai Rp. 13.500 per liter. Alasan dari penggunaan harga tersebut karena nilai ini merupakan titik impas / Break Even Point (BEP) pada ukuran kapal 50 – 100 GT. Dengan kata lain, harga BBM tersebut merupakan harga maksimal kondisi usaha pada berbagai ukuran kapal dapat berjalan. Harga BBM yang melebihi nilai tersebut, dapat dipastikan usaha perikanan tidak dapat berjalan dan dapat menimbulkan gejolak pada pelaku usaha perikanan. Namun, perlu diperjelas kembali bahwa hasil analisis tersebut menggunakan beberapa asumsi diantaranya adalah 1) harga ikan tetap, 2) volume ikan hasil tangkapan tetap, dan 3) kebutuhan BBM per trip tetap. Dengan kata lain, hasil analisis ini HASIL KEGIATAN|Analisis Kebijakan Dampak Penyusunan Harga BBM Bersubsidi untuk Nelayan 19 LAPORAN TEKNIS [KAJIAN KHUSUS BBPSEKP TAHUN 2015] terdapat kelemahan karena tidak memperhitungkan perubahan/dinamika harga ikan, produksi maupun kebutuhan BBM. Tabel 4-1. 6. Simulasi Dampak Penyesuaian Harga BBM Solar terhadap usaha dengan harga Rp 13.500,-/liter Kapal menurut ukuran KOMPONEN Biaya Investasi Biaya Tetap Tidak Biaya Tetap Total Biaya Penerimaan Keuntungan < 5 GT 5-10 GT 10-20 GT 31.512.00 0 69.834.66 0 123.900.00 0 355.000.00 0 176.758.18 8 8.721.200 26.520.000 78.555.86 0 97.200.00 0 18.644.14 0 R/C Ratio 1,24 63.605.258 90.125.258 97.200.000 7.074.743 1,08 20-30 GT 30-50 GT 760.000.000 657.565.000 1.067.583.67 5 1.260.732.00 0 50-100 GT 1.402.000.00 0 1.759.113.85 0 100 - 200 GT 4.750.000.00 0 2.445.283.14 3 80.675.000 219.675.000 164.375.000 348.150.000 429.875.000 257.433.18 8 367.000.00 0 109.566.81 3 1.287.258.67 5 2.727.000.00 0 1.439.741.32 5 1.425.107.00 0 2.055.000.00 0 2.107.263.85 0 2.110.000.00 0 2.875.158.14 3 3.567.857.14 3 629.893.000 2.736.150 692.699.000 1,43 2,12 1,44 1,00 1,24 Keterangan: Asumsi Harga Ikan Tetap, Produksi Perikanan Tetap, dan Kebutuhan BBM/trip tetap Gambar 4-1. 4 menunjukan rangkuman perbandingan nilai R/C rasio terhadap empat penyesuian harga pada berbagai ukuran kapal. Terlihat bahwa pada seluruh ukuran kapal, perubahan harga BBM sangat mempengaruhi nilai R/C rasio. Penurunan pada masing – masing ukuran kapal terlihat sangat statis (tidak dinamis) karena telah dijelaskan sebelumnya bahwa hanya harga BBM yang mengalami perubahan. Berdasarkan Gambar tersebut, dapat dijelaskan bahwa terdapat dua kelompok ukuran kapal yang memiliki perbedaan kerentanan terhadap kenaikan harga BBM. Kelompok pertama terdiri dari ukuran kapal < 5 GT, 5 – 10 GT, 10 – 20 GT dan 50 – 100 GT. Kelompok ini dapat dikategorikan kerentanan tinggi terhadap perubahan harga BBM karena nilai R/C rasionya kurang dari 2. Sedangkan kelompok kedua terdiri dari ukuran kapal 20 – 30 GT, 30 – 50 GT dan lebih dari 100 GT yang memiliki kerentanan rendah karena nilai R/C rasio lebih dari 2. Hal ini menunjukan bahwa kelompok 1 yang didominasi oleh perikanan skala kecil kondisi usahanya sangat memang lebih rentan terhadap perubahan harga BBM dibandingkan dengan kelompok 2 yang didominasi oleh perikanan skala besar. 3,50 3,00 R/C Rasio 2,50 2,00 1,50 1,00 0,50 5.500 6.400 7.500 13.500 Harga BBM (Rp) < 5 GT Gambar 4-1. 4. 5-10 GT 10-20 GT 20-30 GT 30-50 GT 50-100 GT 100 - 200 GT Nilai R/C Rasio Berdasarkan Empat Penyesuaian Harga BBM pada Berbagai Ukuran Kapal HASIL KEGIATAN|Analisis Kebijakan Dampak Penyusunan Harga BBM Bersubsidi untuk Nelayan 20 LAPORAN TEKNIS [KAJIAN KHUSUS BBPSEKP TAHUN 2015] Kondisi Terkini di Lokasi Pelabuhan Perikanan Brondong Brondong merupakan salah satu kecamatan yang berada di Kabupaten Lamongan, jawa Timur yang berada pada koordinat antara 06 53’ 30,81” – 7 23’6” Lintang Selatan dan 112 17’ 01,22” - 112 33’12” Bujur Timur, dengan batas-batas wilayah sebagai berikut : sebelah utara berbatasan dengan Laut Jawa, sebelah Selatan berbatasan dengan Kecamatan Laren dan Solokuro, sebelah barat berbatasan dengan Kabupaten Tuban dan sebelah timur berbatasan dengan Kecamatan Paciran. Salah satu pelabuhan yang terletak di Brondong adalah Pelabuhan Perikanan Nusantara (PPN) Brondong. Tabel 4-1. 7. Produktivitas Alat Tangkap di PPN Brondong Tahun 2013 Produktivitas alat tangkap (kg/trip) No Bulan Dogol Purse Dogol Rawai Payang Harian Seine 1 Januari 5.454 160 200 0 0 2 Pebruari 6.609 170 904 0 0 3 Maret 6.798 121 903 3.915 0 4 April 6.926 132 810 0 0 5 Mei 6.674 123 727 1.400 5.500 6 Juni 6.620 160 731 0 11.150 7 Juli 6.427 131 728 600 13.625 8 Agustus 6.170 136 738 0 0 9 September 7.895 130 835 8.375 0 10 Oktober 7.908 136 821 0 0 11 Nopember 8.473 158 858 0 0 12 Desember 8.397 250 898 0 0 Rata-rata 84.351 1.807 9.153 14.290 30.275 Sumber: Laporan Tahunan PPN Brondong, Kabupaten Lamongan Tahun 2013 1. Gill Net 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 Dogol Alat tangkap yang konstruksinya menyerupai payang tetapi lebih kecil dengan rincian : tali Selambar 1200m, bahan jaring 26 peace, panjang jaring 36 m dan lebarnya 8m, efektif digunakan untuk menangkap ikan demersal seperti : Beloso, Kakap Merah, Lencam, Ikan Jaket, Cumi-cumi, Swanggi, Kapas-kapas, Kerong-kerong, dll. Jenis armada yang digunakan adalah kapal motor dengan ukuran 5-10 GT serta 10-20 GT yang dilengkapi mesin 3 buah x 40 PK. Jumlah kapal dogol di PPN Brondong sebanyak 353 armada. 2. Rawai Alat tangkap sejenis pancing dengan sistem penggulungan main line yang memiliki spesifikasi panjang main line 5.000 m, Panjang Banch Line 2m, hook/pancing 1.000 buah. Jenis armada yang digunakan adalah kapal motor dengan ukuran 5-10 GT dengan area Fishing Groundnya di sekitar perairan masalembu dan matasiri. 3. Purse Seine Alat tangkap ini adalah sejenis jaring yang disetting pada daerah permukaan, perairan (jaring permukaan) dengan ukuran jaring mencapai 68 peace. Armada yang digunakan adalah kapal motor dengan ukuran 30-50 GT dan hasil tangkapannya berupa ikan pelagis kecil seperti : Tembang, Lemuru, Tenggiri, Kembung, Layang dll. HASIL KEGIATAN|Analisis Kebijakan Dampak Penyusunan Harga BBM Bersubsidi untuk Nelayan 21 LAPORAN TEKNIS 4. [KAJIAN KHUSUS BBPSEKP TAHUN 2015] Collecting Kapal collecting adalah kapal penampung dari kapal operasi, yang cara kerjanya hanya menampung atau mengangkut ikan dari hasil tangkapan kapal penangkap ikan lain untuk dijual di daerah tertentu. Lama operasi kapal jenis ini adalah 9-13 bulan sehingga untuk kapal jenis ini memiliki persediaan perbekalan yang cukup banyak. Dari laporan Bulan Desember tahun 2013 dapat disimpulkan bahwa rata-rata pendapatan pemilik kapal (Juragan) perbulan untuk pengguna kapal motor 10-20 GT menggunakan alat tangkap dogol adalah sebesar Rp.3.848.000,- untuk nelayan buruh (ABK) sebesar Rp. 1.616.000,- . Untuk Kapal 20-30 GT tanpa alat tangkap, Juragan sebesar Rp. 18.410.000,- dan ABK sebesar Rp. 939.000,-. Sedangkan untuk kapal 5-10 GT dengan alat tangkap rawai, juragannya mendapat pendapatan sebesar Rp. 1.340.000,- dan ABK mendapat Rp. 4.340.000,perbulan. Tabel 4-1. 8. Jumlah Nelayan Berdasarkan Jumlah Kapal Perikanan yang Bongkar di Pelabuhan Perikanan Nusantara Brondong Tahun 2013 Jumlah kapal Jumlah Nelayan / Jumlah Nelayan No Jenis Alat Tangkap Perikanan Kapal (orang) (orang) (Unit) 1 Mini purse seine 2 25 50 2 Dogol Mingguan 1.197 10 11.970 3 Dogol Harian 27 5 135 4 Payang 2 8 16 5 Rawai 247 7 1.729 6 Gill net 7 Collecting 102 7 714 Jumlah 1.577 14.614 Sumber: Laporan Tahunan PPN Brondong, Kabupaten Lamongan Tahun 2013 Tabel 4-1. 9. Jumlah Alat Tangkap Berdasarkan Jumlah Kapal Perikanan yang Bongkar di Pelabuhan Perikanan Nusantara Brondong, Tahun 2013 Jumlah Alat Tangkap No. Jenis Alat Tangkap Keterangan (Unit) 1 Mini purse seine 2 20-30 GT 2 Dogol Besar 1.197 10-20 GT 3 Dogol Kecil 27 < 10 GT 4 Payang 2 10-20 GT 5 Rawai 247 <10 GT 6 Gill net 10-20 GT 7 Lain – lain / collecting <10 GT Jumlah 1.475 Sumber: Laporan Tahunan PPN Brondong, Kabupaten Lamongan Tahun 2013 Frekuensi Kunjungan Kapal Jumlah kunjungan kapal / perahu pada suatu pelabuhan dapat menjadi salah satu indikator besarnya tingkat operasional pelabuhan tersebut. Kunjungan kapal tersebut dihitung dari frekuensi kapal yang datang ke dermaga Pelabuhan Perikanan Nusantara Brondong untuk melakukan aktivitas bongkar setelah pulang dari menangkap ikan. Dibanding tahun 2012 jumlah kunjungan kapal pada tahun 2013 mengalami penurunan sebesar 17,86 %. Pada tahun 2012 jumlah kunjungan kapal sebanyak 9.474 kapal termasuk kapal collecting yaitu kapal yang mengangkut ikan bukan berasal dari tangkapannya sendiri. HASIL KEGIATAN|Analisis Kebijakan Dampak Penyusunan Harga BBM Bersubsidi untuk Nelayan 22 LAPORAN TEKNIS [KAJIAN KHUSUS BBPSEKP TAHUN 2015] Penurunan Jumlah Kunjungan Kapal Perikanan Pada Pelabuhan Perikanan Nusantara Brondong disebabkan karena hari operasi penangkapan semakin lama dengan fishing ground semakin jauh,Cuaca yang kondisinya berubah-ubah sehingga nelayan menunggu hari yang baik untuk pergi melaut.Berikut ini Tabel 4-1.10, jumlah kunjungan kapal perikanan di Pelabuhan Perikanan Nusantara Brondong tahun 2013. Tabel 4-1. 10. Jumlah Kunjungan Kapal Peralat Tangkap di Pelabuhan Perikanan Nusantara Brondong Tahun 2013 BULAN Januari Pebruari Maret April Mei Juni Juli Agustus September Oktober Nopember Desember Jumlah Dogol Mingguan Dogol Harian 250 468 612 688 476 511 521 307 603 541 687 641 6.305 208 191 222 172 161 166 154 129 158 140 174 162 2.037 Payang/ Pukat Hitam 0 0 4 0 1 0 1 0 4 0 0 0 10 Rawai Gill Net Purse Saine Angkut/ Collecting Jumlah 3 31 71 110 66 79 76 45 93 70 89 38 771 - 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 1 0 2 6 27 28 26 14 20 7 26 46 51 49 49 349 467 717 937 996 718 776 759 507 905 802 1000 890 9.474 Sumber: Laporan Tahunan PPN Brondong, Kabupaten Lamongan Tahun 2013 Dari tabel 4-1.10 diatas dapat diketahui bahwa alat tangkap yang paling produktif untuk digunakan di perairan Laut Utara Jawa (WPP-712) adalah dogol atau lampara dasar. Hal ini dilihat dari jumlah kunjungan kapal per alat tangkap mulai dari bulan januari sampai dengan Desember 2013 yang paling banyak adalah kapal dengan alat tangkap dogol. Pada gambar berikut ini merupakan grafik kunjungan kapal per tangkap per bulan pada Pelabuhan Perikanan Nusantara Brondong pada Tahun 2013 DESEMBER NOPEMBER OKTOBER SEPTEMBER AGUSTUS JULI JUNI MEI APRIL MARET PEBRUARI JANUARI ANGKUT/ COLLECTING PURSE SAINE GILL NET RAWAI DOGOL HARIAN DOGOL MINGGUAN Gambar 4-1. 5. Jumlah Kunjungan Kapal Per Alat Tangkap pada Pelabuhan Perikanan Brondong, Kabupaten Lamongan, Tahun 2013 Sumber: Laporan Tahunan PPN Brondong, Kabupaten Lamongan Tahun 2013 Pada grafik diatas kunjungan kapal dengan alat tangkap dogol mingguan cenderung HASIL KEGIATAN|Analisis Kebijakan Dampak Penyusunan Harga BBM Bersubsidi untuk Nelayan 23 LAPORAN TEKNIS [KAJIAN KHUSUS BBPSEKP TAHUN 2015] meningkat karena banyaknya permintaan pasar dan pengusaha terhadap ikan segar demersal hasil tangkapan alat tangkap dogol. Kapal dengan alat tangkap dogol kecil atau yang disebut dogol harian adalah kapal yang berangkat dengan one day fishing dengan ukuran kapal dibawah 10 GT kunjungannya cenderung menurun karena fishing ground yang semakin jauh dan armada tersebut tidak memiliki memiliki biaya operasional yang tinggi serta tidak memiliki kemampuan kapal untuk menjelajah lebih jauh. Kapal dengan alat tangkap payang dan Purse seine jumlahnya sedikit sehingga junlah kunjungannya stabil. Kapal Rawai dan collecting jumlah kunjungannya cenderung meningkat karena banyaknya kapal yang datang dari kalimantan untuk kapal collecting dengan tujuan memasarkan ikan di Pelabuhan Perikanan Nusantara Brondong yang memiliki harga saing yang bagus. Perbekalan merupakan hal penting yang menjadi salah satu faktor utama besar atau kecilnya pendapatan nelayan. Pada waktu melaut nelayan harus menyiapkan segala kebutuhan perbekalan seperti es, air tawar, solar, olie, garam, serta kebutuhan bahan makan. Untuk kebutuhan es nelayan mendapat pasokan dari Perum PPS Cabang Brondong dan dari Unit Bisnis Perikanan Terpadu yang mengelola pabrik es PPN Brondong, serta unit usaha kecil di kawasan pelabuhan. Sedangkan air tawar dan solar diperoleh dari Perum, garam, olie, dan bahan makan didapatkan dari unit usaha kecil. Selain itu kebutuhan nelayan akan BBM saat ini merupakan suatu hal yang sangat penting, mengingat beberapa tahun terakhir harga BBM di Indonesia meningkat secara bertahap sedangkan daerah penangkapan ikan saat ini semakin jauh hal ini mengakibatkan penggunaan BBM solar di PPN Brondong terus meningkat dari tahun ke tahun. Berikut ini merupakan Penyaluran Logistik operasional kapal untuk satu kali operasi (7 hari) berdasarkan jenis kapal Tabel 4-1. 11. Penyaluran Logistik Kapal Per Trip Kapal pada PPN Brondong, Kabupaten Lamongan, 2013. Solar ( liter ) 200 Kapal 10 - 20 GT 1.4 Olie ( liter ) 10 30 30 Es ( balok ) 70 250 400 Garam ( kg ) 50 500 1000 Air Minum ( galon ) 2 8 10 Minyak Tanah (liter) - 30 45 Air Tawar ( Blong ) 1 12 14 Logistik Kapal Bahan Makan Kapal < 10 GT Lumsum Lumsum Kapal 20 - 30 GT 2.5 Lumsum Sumber: Laporan Tahunan PPN Brondong, Kabupaten Lamongan Tahun 2013 Berdasarkan Tabel 4-1.11 diatas penyaluran logistik untuk Pertrip Kapal di Pelabuhan Perikanan Nusantara Brondong secara umum sudah terpenuhi dengan baik, namun disisi lain masih terdapat beberapa kekurangan terutama untuk memenuhi kebutuhan es dan solar. Kebutuhan nelayan akan BBM sampai rata-rata setiap bulannya sebanyak ± 1.617.840 liter, sedangkan yang sudah tersalurkan rata-rata perbulannya sebanyak ± 720.000 liter. Sehingga berdasarkan data yang ada, di Pelabuhan Perikanan Nusantara Brondong terus mengusulkan penambahan kuota BBM ke pihak Pertamina untuk memenuhi kebutuhan tersebut. Permasalahan : 1. Kurangnya kesadaran masyarakat nelayan akan pentingnya menjaga kebersihan di areal tempat Pelelangan ikan. 2. Pusat Pemasaran dan Distribusi Ikan ( PPDI ) sudah dioperasionalkan, tapi masih belum optimal karena kurangnya fasilitas pendukung. HASIL KEGIATAN|Analisis Kebijakan Dampak Penyusunan Harga BBM Bersubsidi untuk Nelayan 24 LAPORAN TEKNIS [KAJIAN KHUSUS BBPSEKP TAHUN 2015] 3. Belum terselesaikannya fasilitas jalan yang baik untuk operasional Pusat Pemasaran dan distribusi ikan. 4. Kolam pelabuhan dan alur pelayaran menuju pelabuhan masih terlalu dangkal sehingga kapal besar > 30 GT tidak bisa masuk. 5. Kurangnya kesadaran serta disiplin masyarakat untuk melengkapi dan mengurus ijin (SIUP,SIPI,SIKPI). 6. Syahbandar pelabuhan dan Pengawas perikanan belum dilengkapi dengan sarana yang memadai sehingga personil sulit untuk melaksanakan pengawasan laut secara terpadu. 7. Jumlah trip berkurang karena fishing ground semakin jauh dan suplai BBM tersendat. 8. Kebutuhan nelayan akan BBM terus meningkat setiap tahunnya sedangkan kuota yang ada di Pelabuhan Perikanan Nusantara Brondong tidak mencukupi kebutuhan tersebut. Upaya pemecahan masalah : 1. Mengalokasikan anggaran untuk operasional K3, mengadakan MOU dengan Pihak kedua sebagai penyedia tenaga kebersihan, menunjuk petugas pengendali K3 yang bertanggung jawab terhadap masalah kebersihan di areal pelabuhan. 2. Mengusulkan anggaran untuk pembangunan lanjutan jalan komplek untuk operasional Pusat Pemasaran dan Distribusi Ikan ( PPDI ) pada Tahun 2014, serta menyiapkan tenaga operasional PPDI. 3. Segera merealisasikan pembangunan berdasarkan Review Master plan yang sudah tersedia. 4. Merencanakan kegiatan pengerukan kolam pelabuhan hingga kedalaman mencapai – 4 LWS pada tahun mendatang. 5. Menyiapkan fasilitas tambat dan berlabuh yang dapat dimanfaatkan oleh kapal yang berukuran > 30 GT. 6. Melakukan koordinasi dengan pemilik kapal dan nelayan serta sosialisasi secara terus menerus kepada masyarakat nelayan mengenai PP. No. 54 tahun 2002 tentang Perijinan, PP No. 19 tahun 2008 tentang Tarif dan Imbalan Jasa, Undang - Undang No. 31 tahun 2004 dan selalu berkoordinasi dengan instansi terkait. 7. Membentuk tim Pengamanan laut terpadu dan tim penertiban TPI dengan instansi terkait dengan melibatkan aparat dan elemen masyarakat serta menyusun sistem pengamanan (Pokwasmas). 8. Jumlah Kuota BBM dari Pertamina perlu ditambah. 9. Perlu penerapan program pemulihan SDI dan One man thousand fries, serta perlu penambahan penggunaan es dan penerapan cold chain system. 10. Perlu dibangun fasilitas pendukung di Lahan baru, agar operasional PPDI lebih optimal antara lain : Outlet, SPDN, Pabrik Es, Kios-kios dan Tempat Parkir. Pelabuhan Perikanan Pantai (PPP) Muncar Kabupaten Banyuwangi Kecamatan Muncar terletak di Selat Bali pada posisi 08⁰.10’ – 08⁰.50’ LS atau 114⁰.15’ – 115⁰.15’ BT, memiliki teluk bernama Teluk Pangpang dan mempunyai panjang pantai sebanyak 13 km. Dari panjang pantai tersebut, sebanyak 5,5 km panjang pantai dimanfaatkan oleh nelayan sebagai tempat pendaratan ikan. Kecamatan Muncar mempunyai penduduk 128.271 Jiwa dan masyarakatnya terutama dari segi struktur budaya nelayan terdiri dari Suku Jawa, Madura, Osing, dan Bugis dimana sebagian besar masyarakat nelayan di kecamatan menggantungkan hidupnya pada sumberdaya perikanan. Berdasarkan karakteristik armada penangkapan ikan, jenis kapal di PPP Muncar didominasi oleh kapal motor (Inboard). Secara lebih khusus, kapal motor didominasi oleh ukuran kapal yang relatif kecil yaitu kurang dari 10 GT. Jenis kapal yang umum berada di PPP Muncar adalah kapal purse seine “slerek”, kapal purse seine “tubanan”, kapal pancing rawai hiu, bagan perahu, dll. Dilihat dari perkembangannya, jumlah armada penangkapan relatif mengalami penurunan dalam lima tahun terakhir. Penurunan tersebut lebih disebabkan karena produksi HASIL KEGIATAN|Analisis Kebijakan Dampak Penyusunan Harga BBM Bersubsidi untuk Nelayan 25 LAPORAN TEKNIS [KAJIAN KHUSUS BBPSEKP TAHUN 2015] perikanan yang terus menurun. Selain itu juga disebabkan karena semakin mahalnya harga bahan baku pembuatan kapal. Tabel 4-1. 12. Perkembangan Armada Penangkapan di PPP Muncar Tahun 2004 - 2014 Tahun Kategori dan Ukuran Kapal 2004 2007 2010 2011 2013 2014 Perahu Tanpa Motor 165 96 121 111 108 118 Motor Tempel (Outboard Motor) 950 1.401 676 686 671 680 Kapal Motor (Inboard Motor) 1028 1.074 1.074 1.077 1.056 1067 - < 10 GT 835 885 885 888 867 862 - 11 - 30 GT 193 189 189 189 189 205 Sumber: Statistik PPP Muncar , 2014 (Diolah) Berdasarkan karakteristik alat tangkapnya, setidaknya dapat terbagi menjadi 6 jenis alat tangkap yaitu payang, pancing, jaring, purse seine, gill net dan perangkap. Perkembangan alat tangkap dalam lima tahun terakhir secara umum juga mengalami penurunan. Namun, kalau dilihat secara lebih rinci, jenis alat tangkap purse seine, jaring dan gill net mengalami kenaikan. Target ikan tangkapan pada alat tangkap tersebut adalah ikan lemuru yang memang merupakan ikan dominan dalam hal produksi maupun nilai produksi. Selain ikan lemuru, tangkapan dominan nelayan di PPP muncar lainnya adalah ikan layang, tongkol, tuna dan cakalang. Tabel 4-1. 13. Perkembangan Alat Tangkap di PPP Muncar Tahun 2004 - 2013 Alat Tangkap Payang (Pelagic Danish Seine) Pancing (Hook and Lines) Jaring (Net) Purse Seinne Gill Net Perangkap (Trap) JUMLAH 2004 93 833 174 190 731 149 2.021 2007 44 1.206 129 185 1.242 142 2.806 Tahun 2010 42 628 120 203 907 224 1.900 2011 42 347 147 203 338 282 1.077 2013 42 23 255 207 529 287 1.056 Sumber: Statistik PPP Muncar , 2013 (Diolah) Dilihat dari perkembangan produksinya, dalam lima tahun terakhir, nelayan memproduksi ikan yang cenderung menurun. Berdasarkan hasil wawancara kepada nelayan, alasan semakin rendahnya produksi ikan diantaranya adalah karena telah rusaknya sebagian besar ekosistem / rumah ikandi wilayah ini, banyaknya jumlah nelayan yang menangkap ikan baik dari dalam daerah Muncar maupun luar daerah muncar, serta penggunaan alat tangkap khususnya lampu untuk menarik ikan pada malam hari yang semakin lama semakin banyak dipergunakan. HASIL KEGIATAN|Analisis Kebijakan Dampak Penyusunan Harga BBM Bersubsidi untuk Nelayan 26 LAPORAN TEKNIS 35.000.000 [KAJIAN KHUSUS BBPSEKP TAHUN 2015] 32.782.997 30.000.000 22.046.289 25.000.000 16.526.715 20.000.000 11.459.005 15.000.000 10.000.000 8.010.771 5.000.000 0 2009 2010 2011 2012 2013 produksi PPP Muncar 5 tahun (kg) Gambar 4-1. 6. Perkembangan Produksi Perikanan di PPP Muncar selama 5 tahun terakhir. Sumber: Statistik PPP Muncar, 2013 Perkembangan produksi yang menurun juga terlihat dari semakin rendahnya produktivitas perikanan berdasarkan armada penangkapan, alat tangkap dan jumlah nelayan. Penurunan produktivitas yang paling rendah yaitu produktivitas berdasarkan jumlah nelayan. Kondisi ini disebabkan karena perkembangan jumlah nelayan dalam lima tahun terakhir mengalami kecenderungan peningkatan namun disisi lain, perkembangan volume produksi relatif mengalami kecenderungan penurunan. Tabel 4-1. 14. Perkembangan Produktivitas Perikanan Tangkap Laut di PPP Muncar Tahun 2004 - 2013 Uraian Volume Produksi (kg) 2004 2007 2010 2011 2013 23.777.43 9 3.006 2.021 11.958 60.393.64 8 3.549 2.806 12.762 22.046.28 9 2.824 1.900 13.360 16.526.71 5 2.840 1.077 13.186 8.002.35 7 2.783 1.056 13.143 17.017 7.807 5.819 2.875 21.523 11.603 15.345 7.578 4.732 1.650 1.253 609 Jumlah armada penangkapan (unit) Jumlah alat tangkap (unit) Jumlah nelayan (orang) Produktivitas berdasarkan armada 7.910 penangkapan (kg/unit) Produktivitas berdasarkan alat 11.765 tangkap (kg/unit) Produktivitas berdasarkan jumlah 1.988 nelayan (kg/orang) Sumber: Statistik PPP Muncar , 2013 (Diolah) Secara umum, perbekalan yang dibutuhkan oleh nelayan muncar diantaranya adalah Es, garam dan solar. Pada tahun 2013, jumlah pabrik es yang terdapat di daerah muncar adalah sekitar 7 pabrik es dengan kapasitas produksi rata2 mencapai 3600 batang atau 110 ton perhari. Selain es, dibutuhkan juga garam untuk mengawetkan ikan. Garam dan es khususnya bagi nelayan ikan lemuru di muncar sangat penting tergantung dari besar kecilnya ikan lemuru yang akan ditangkap. Pada saat musim ikan lemuru berukuran besar, maka penggunaan es ditingkatkan dan penggunaan garam diturunkan. Ikan lemuru yang besar memiliki harga yang relatif tinggi, sehingga memerlukan es yang banyak agar tidak terjadi penurunan mutu kualitas ikan. Ikan lemuru berukuran besar akan ditampung oleh pabrik pengalengan ikan sebagai bahan baku ikan sarden. Sebaliknya, apabila hasil tangkapan yang didapatkan adalah ikan lemuru kecil, maka nelayan HASIL KEGIATAN|Analisis Kebijakan Dampak Penyusunan Harga BBM Bersubsidi untuk Nelayan 27 LAPORAN TEKNIS [KAJIAN KHUSUS BBPSEKP TAHUN 2015] akan lebih banyak menggunakan garam. Hal ini disebabkan karena ikan lemuru kecil hanya dijual kepada pabrik pengolahan tepung ikan dengan harga yang relatif rendah. Kondisi ini dilakukan juga untuk mengurangi biaya perbekalan melaut. Terkait dengan kebutuhan solar, setidaknya di daerah muncar terdapat dua SPDN khusus untuk nelayan. Kebutuhan solar bulanan nelayan muncar cukup bervariasi, yaitu berkisar antara 220 – 422 kilo liter per bulan. Namun, menurut laporan dari PPP Muncar, logistik operasional kapal nelayan yang disediakan pelabuhan perikanan pantai muncar hingga saat ini belum mencukupi, akibat dari banyaknya kapal yang terdapat di muncar. Tabel 4-1. 15. Jumlah Perbekalan Bulanan Nelayan PPP Muncar Tahun 2014 Bulan Jeni s Satu an 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 Es Balo k 7.050 2.950 4.250 4.700 15.12 3 13.12 5 13.12 5 9.110 13.47 0 19.06 0 13.54 6 27.75 0 Gara m Kg 1.500 1.000 1.500 2.500 1.700 2.700 2.550 1.950 1.500 2.100 1.700 2.600 Sola r Liter 422.0 70 322.3 85 322.3 85 341.2 30 361.8 23 249.3 76 221.8 70 337.1 42 356.4 84 356.4 84 373.5 18 322.8 12 Sumber: Statistik PPP Muncar, 2014 Pelabuhan Perikanan Nusantara Pekalongan Perikanan tangkap di PPN Pekalongan pada tahun 2014 didominasi oleh kapal-kapal berukuran menengah khususnya antara 11-30 GT yang mencapai 58%. Kapal ukuran ini juga mengalami pertumbuhan yang positif dari tahun 2009-2014 sebesar 35% per tahun. Kapal ukuran lain yang juga mengalami pertumbuhan tertinggi adalah pada kelas 31-50 GT. Kedua kelas tersebut tumbuh tinggi seiring dengan peralihan alat tangkap nelayan menjadi mini purse sein. 3% 23% < 10 GT 7% 11 - 30 GT 31 - 50 GT 6% 58% 3% 51 - 70 GT 71 - 100 GT 101 - 130 GT > 130 GT Gambar 4-1. 7. Proporsi Kapal Penangkap Ikan di PPN Pekalongan tahun 2014 Sumber : PPN Pekalongan diolah, 2015 Tabel 4-1. 16. Perkembangan Kapal Penangkap Ikan di PPN Pekalongan Ukuran Kapal 2009 2010 2011 2012 2013 2014 Pertumbuhan < 10 GT 609 429 296 291 200 25 -36% 11 - 30 GT 116 87 59 55 60 198 35% 31 - 50 GT 0 0 3 9 11 9 68% 51 - 70 GT 23 26 24 20 20 21 -1% 71 - 100 GT 108 107 97 81 77 77 -6% 101 - 130 GT 13 15 11 9 8 9 -6% > 130 GT 2 1 1 0 0 0 -50% Sumber : PPN Pekalongan (diolah), 2015 HASIL KEGIATAN|Analisis Kebijakan Dampak Penyusunan Harga BBM Bersubsidi untuk Nelayan 28 LAPORAN TEKNIS [KAJIAN KHUSUS BBPSEKP TAHUN 2015] Tabel 4-1. 17. Perkembangan Kapal Penangkap Ikan Menurut Alat Tangkap yang digunakan N Tahu Jumla Pukat Pukat Cincin Jaring Pancing Lainny o Years n h Cincin Kecil Seine Insang a Total Purse Seine Mini Purse Gill Net Long Others Line 568 353 4 96 65 50 1 2,005 444 229 14 137 26 38 2 2,006 425 225 10 180 10 0 3 2,007 608 170 328 110 0 0 4 2,008 871 146 609 116 0 0 5 2,009 665 149 429 87 0 0 6 2,010 491 136 296 59 0 0 7 2,011 465 119 291 55 0 0 8 2,012 376 116 200 60 0 0 9 2,013 339 116 148 50 0 25 10 2,014 R(%) -15% -11% 374% -3% -14% -6% Sumber : PPN Pekalongan diolah, 2015 Kondisi perikanan di PPN Pekalongan mengalami penurunan yang cukup tinggi dalam kurun waktu 15 tahun terakhir dengan rata-rata penurunan sebesar 10% per tahun. Sebagai perbandingan pada tahun 2000 produksi hampir mencapai 65 ribu ton sedangkan pada tahun 2014 produksi hanya tercatat kurang dari 22 ribu ton. Hal ini menunjukkan terjadinya pelemahan sektor perikanan tangkap yang berimbas pada semakin sepinya aktivitas di TPI Kota Pekalongan secara umum. Meski demikian, dalam kurun waktu 5 tahun terakhir produksi terlihat lebih stabil dengan kecenderungan meningkat sebesar 3% per tahun. 80.000.000 60.000.000 40.000.000 20.000.000 0 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 Produksi (KG) Linear (Produksi (KG)) Gambar 4-1. 8. Perkembangan Nilai Produksi Pada PPN Pekalongan Sumber: DPPK Kota Pekalongan, 2013 dan PPN Pekalongan diolah, 2015 Penurunan produksi berimbas pada tren nilai produksi yang juga mengalami pertumbuhan negatif. Namun demikian penurunan nilai produksi tidak sedalam penurunan produksi bila dilihat dari nilai nominal. Rata-rata penurunan nilai produksi tercatat hanya sebesar 2% pertahun. Hal yang menarik terlihat dari data 5 tahun terakhir yang mengalami peningkatan cukup tinggi yaitu sebesar 14% pertahun. Hal ini menandakan kondisi usaha sudah mulai mengalami perbaikan dan cukup stabil HASIL KEGIATAN|Analisis Kebijakan Dampak Penyusunan Harga BBM Bersubsidi untuk Nelayan 29 LAPORAN TEKNIS [KAJIAN KHUSUS BBPSEKP TAHUN 2015] 250.000.000 200.000.000 150.000.000 100.000.000 50.000.000 0 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 Nilai Produksi Linear (Nilai Produksi) Gambar 4-1. 9. Perkembangan Nilai Produksi Pada PPN Pekalongan Sumber: DPPK Kota Pekalongan, 2013 dan PPN Pekalongan diolah, 2015 Tabel 4-1. 18. Perkembangan Produksi dan Nilai Produksi Hasil Perikanan di PPN Pekalongan No Tahun Produksi Nilai Produksi Harga Rata2/Kg Produksi Rata2/hari . Years Productio Production Average Average n ) Value ) Price/Kg Production/day ( ton ( Rp.000 (Rp) (ton) 1 2005 43,350.00 177,962,509.00 3,079.04 163.79 2 2006 32,099.00 151,235,697.00 4,105.25 120.42 3 2007 29,285.00 131,742,543.00 4,711.54 89.16 4 2008 23,110.00 146,336,901.00 4,498.64 81.35 5 2009 24,896.44 134,354,474.00 6,332.19 64.19 6 2010 18,523.36 120,997,571.00 5,396.53 69.16 7 2011 18,830.55 127,435,762.00 6,532.16 51.45 8 2012 19,578.74 137,869,561.00 7,041.80 54.39 9 2013 17,751.43 164,554,681.00 9,269.94 49.31 10 2014 20,790.95 199,907,092.00 9,615.10 57.75 R -7% 2% 15% -10% ( % )- rata kenaikan / penurunan per R : Rata tahun. Sumber: PPN Pekalongan, 2015 Jenis ikan yang didaratkan pada PPN Pekalongan di dominasi oleh ikan-ikan pelagis kecil seperti layang (50%), tembang (21%) dan lemuru (20%). Hal ini tidak lepas dari lokasi penangkapan ikan dan jenis alat tangkap yang banyak digunakan. Nelayan yang berpangkalan di PPN Pekalongan sebagian besar beroperasi pada WPP 712 dan WPP 713 dengan alat tangkap yang banyak digunakan adalah purse sein dan gillnet. Hanya beberapa kapal saja yang tercatat beroperasi di WPP 711. Menurut nelayan lokasi operasi penangkapan ikan disesuaikan dengan kondisi musim ikan. Operasi penangkapan pada WPP 713 banyak dilakukan pada bulan Juli sampai dengan Desember sedangkan operasi tangkapan pada WPP 712 dilakukan hampir sepanjang tahun. Kapal-kapal dengan alat tangkap gill net hanya beroperasi pada satu WPP saja yaitu 712. HASIL KEGIATAN|Analisis Kebijakan Dampak Penyusunan Harga BBM Bersubsidi untuk Nelayan 30 LAPORAN TEKNIS [KAJIAN KHUSUS BBPSEKP TAHUN 2015] Layang (Scads) 20% 50% Selar (Trevalies) Tembang / Jui 21% Lemuru (Indian oil Sardinella) Kembung (Mackerels) Gambar 4-1. 10. Proporsi Ikan Hasil Tangkapan pada PPN Pekalongan Sumber: DPPK Kota Pekalongan, 2013 400 350 300 250 200 WPP RI 712 150 WPP RI 713 100 Jumlah 50 0 Gambar 4-1. 11. Jumlah Trip menurut WPP pada kapal-kapal nelayan di PPN Pekalongan tahun 2014 Sumber: DPPK Kota Pekalongan, 2015 HASIL KEGIATAN|Analisis Kebijakan Dampak Penyusunan Harga BBM Bersubsidi untuk Nelayan 31 LAPORAN TEKNIS [KAJIAN KHUSUS BBPSEKP TAHUN 2015] 25.000 20.000 15.000 10.000 5.000 0 2005 2006 2007 2008 Nelayan/ Fishermens Gambar 4-1. 12. 2009 2010 2011 2012 2013 2014 Linear (Nelayan/ Fishermens) Perkembangan jumlah nelayan di PPN Pekalongan Sumber: DPPK Kota Pekalongan, 2015 Respon Nelayan PPN Pekalongan Terhadap Kebijakan Penyesuaian Harga BBM Kapal-kapal purse sein di Pekalongan berukuran antara 60-70 GT dengan wilayah operasi laut jawa dan selat makasar. BBM yang diperlukan untuk melaut pada kedua wilayah tersebut berbeda dimana pada lat Jawa BBM yang dibutuhkan antara 20.000-25.000 liter sedangkan di selat Makasar antara 25.000-30.000 liter. Banyaknya BBM yang digunakan tidak lepas dari lamanya waktu penangkapan yang mencapai 2 bulan per trip nya. Dalam satu tahun kapal-kapal jenis ini umumnya hanya dapat melaut sebanyak 4 trip karena waktu yang tersisa harus digunakan untuk perbaikan kapal, mengurus dokumen-dokumen yang dibutuhkan untuk melaut, serta menunggu ketersediaan BBM bersubsidi yang dapat mencapai lebih dari 1 bulan. Penyesuaian harga BBM diketahui telah memukul usaha perikanan tangkap di PPN Pekalongan. Kapal-kapal diatas 30 GT bahkan harus membayar lebih tinggi karena harus menggunakan BBM industri dengan harga yang jauh lebih tinggi dibandingkan dengan harga BBM bersubsidi. Hal ini terkait Perpres 191 yang melarang kapal-kapal nelayan di atas 30 GT menggunakan BBM bersubsidi. Menurut nelayan kebijakan ini berpotensi mematikan usaha karena biaya yang dikeluarkan akan menjadi terlalu besar sehingga berpotensi tidak dapat ditutupi oleh hasil tangkapan yang bisa diperoleh. Perkembangan Perikanan Tangkap di Pelabuhan Perikanan Nusantara Palabuhan Ratu Kondisi usaha perikanan di PPN Palabuhan Ratu mengalami pertumbuhan positif dalam kurun waktu 20 tahun terakhir. Hal ini menandakan potensi selatan Jawa yang terus dioptimalkan oleh masyarakat. Pertumbuhan terutama ditandai dengan jumlah kapal-kapal motor yang tumbuh sebesar 13% pertahun sedangkan perahu motor tempel hanya tumbuh rata-rata sebesar 3% pertahun. Namun demikian, proporsi motor tempel masih sedikit lebih besar yaitu 52% berbanding 48% untul kapal motor. HASIL KEGIATAN|Analisis Kebijakan Dampak Penyusunan Harga BBM Bersubsidi untuk Nelayan 32 LAPORAN TEKNIS [KAJIAN KHUSUS BBPSEKP TAHUN 2015] 700 600 500 400 300 200 100 Perahu Motor Tempel (PMT) Gambar 4-1. 13. 2013 2012 2011 2010 2009 2008 2007 2006 2005 2004 2003 2002 2001 2000 1999 1998 1997 1996 1995 1994 1993 - Kapal Motor (KM) Perkembangan Jumlah Kapal di PPN Palabuhan Ratu Tahun 19932013 Sumber : PPN Palabuhan Ratu, 2013 Perkembangan jumlah kapal diiringi pula dengan peningkatan produksi yang tumbuh sebesar 10% pertahun. Pertumbuhan ini disebabkan oleh semakin banyaknya nelayan yang melakukan ekspansi usaha khususnya di WPP 573 yang merupakan samudera hindia. Jenis sumberdaya ikan yang paling banyak dicari pada wilayah ini adalah jenis pelagis besar seperti tuna, cakalang dan tongkol. Oleh karena itu jenis tersebut mendominasi ikan hasil tangkapan nelayan. Pertumbuhan produksi tuna juga didukung oleh semakin maraknya penggunaan rumpon laut dalam. 16000000 14000000 12000000 10000000 8000000 6000000 4000000 2000000 0 Produksi Gambar 4-1. 14. Linear (Produksi) Perkembangan Produksi Perikanan di PPN Palabuhan Ratu Sumber: PPN Palabuhan Ratu, 2014 HASIL KEGIATAN|Analisis Kebijakan Dampak Penyusunan Harga BBM Bersubsidi untuk Nelayan 33 LAPORAN TEKNIS 5% 3% 1% 2% [KAJIAN KHUSUS BBPSEKP TAHUN 2015] 3% 1% 2% 2% 4% 32% 1% 7% 1% 7% Tuna Mata Besar Eteman/Koyo Lisong Tenggiri 28% Tuna Madidihang Layang Layaran Swanggi/Camaul Gambar 4-1. 15. Tuna Albakor Layur Peperek Ikan Lainnya Cakalang Pedang-pedang Cucut Tongkol Abu-abu Tembang Setuhuk Loreng Tongkol Komo Tongkol Krai Proporsi Produksi Perikanan di PPN Palabuhan Ratu Sumber: PPN Palabuhan Ratu, 2014 Jumlah nelayan yang menggunakan PPN Palabuhan Ratu juga turut tercatat naik setiap tahunnya. Laju pertumbuhan jumlah nelayan mencapai 4% pertahunnya. Saat ini jumlah nelayan tercatat mencapai 5.081 orang atau lebih dari dua kali lipat dari jumlah nelayan yang tercatat pada tahun 2.000. Kondisi ini menunjukkan bahwa semakin banyak nelayan yang bergantung hidupnya dari usaha perikanan di PPN Palabuhan Ratu. 7.000 6.000 5.000 4.000 3.000 2.000 1.000 Gambar 4-1. 16. 2013 2012 2011 2010 2009 2008 2007 2006 2005 2004 2003 2002 2001 2000 1999 1998 1997 1996 1995 1994 1993 - Perkembangan jumlah nelayan di PPN Palabuhan Ratu Sumber: PPN Palabuhan Ratu, 2014 HASIL KEGIATAN|Analisis Kebijakan Dampak Penyusunan Harga BBM Bersubsidi untuk Nelayan 34 LAPORAN TEKNIS [KAJIAN KHUSUS BBPSEKP TAHUN 2015] Respon Nelayan PPN Palabuhan Ratu Terhadap Kebijakan Penyesuaian Harga BBM Dampak kenaikan BBM dirasakan oleh berbagai lapisan usaha yang ada di Palabuhan Ratu. Pada saat harga BBM naik menjadi Rp. 8500, hanya 20% kapal yang tetap melaut. Selebihnya kapal-kapal memilih tidak melaut karena biaya operasional tidak lagi sebanding dengan hasil yang diperoleh. Kapal-kapal diatas 20 GT memiliki trip panjang mencapai 6 bulan sehingga masih banyak kapal-kapal yang berada ditengah laut pada saat harga BBM naik. Sementara kapal-kapal yang kembali pada saat harga BBM naik memilih tidak melaut. Penurunan harga BBM pada saat bulan Januari yang pertama, nelayan skala kecil dibawah < 10 GT telah kembali melaut namun dengan melakukan efisiensi bahan bakar. Langkah yang dilakkan adalah mempersempit wilayah penangkapan ikan sehingga diperkirakan mengalami penurunan hasil tangkapan antara 30-50%, misalnya kapal-kapal payang yang membawa BBM sebanyak 5 jerigen hanya dapat membawa 3 jerigen. Pada kapal-kapal diatas 20-30 GT adaptasi terhadap mahalnya biaya operasional dilakukan dengan sistem titip. Kapal-kapal yang bernaung dalam satu usaha yang sama akan saling menitipkan hasil tangkapan kepada kapal ikan yang sudah akan pulang kedarat. Hal ini akan menghemat bahan bakar karena bahan bakar yang diperlukan untuk pergi ke lokasi penangkapan mencapai 2500 liter dengan waktu tempuh 5 hari. Kesimpulan Dan Rekomendasi Kebijakan Kesimpulan Beberapa kesimpulan yang dapat ditarik dari hasil penelitian ini adalah : 1. Penyesuaian harga BBM memiliki pengaruh yang sangat besar terhadap biaya operasional dan keuntungan usaha. Pada seluruh ukuran kapal peningkatan harga BBM akan secara otomatis meningkatkan biaya operasional usaha dan menurunkan keuntungan usaha. 2. Terdapat dua kelompok ukuran kapal yang memiliki perbedaan kerentanan terhadap kenaikan harga BBM. Kelompok pertama terdiri dari ukuran kapal < 5 GT, 5 – 10 GT, 10 – 20 GT dan 50 – 100 GT. Kelompok ini dapat dikategorikan kerentanan tinggi terhadap perubahan harga BBM karena nilai R/C rasionya kurang dari 2. Sedangkan kelompok kedua terdiri dari ukuran kapal 20 – 30 GT, 30 – 50 GT dan lebih dari 100 GT yang memiliki kerentanan rendah karena nilai R/C rasio lebih dari 2. 3. Kelompok 1 yang didominasi oleh perikanan skala kecil kondisi usahanya sangat memang lebih rentan terhadap perubahan harga BBM dibandingkan dengan kelompok 2 yang didominasi oleh perikanan skala besar. Rekomendasi Kebijakan Rekomendasi kebijakan yang dirumuskan berdasarkan hasil penelitian ini adalah sebagai berikut : 1) Perubahan harga BBM khususnya solar yang terjadi pada akhir tahun 2014 hingga Januari 2015 memberikan dampak positif dan negative terhadap pelaku usaha, khususnya nelayan nelayan; secara penurunan harga BBM berpotensi menaikkan tingkat keuntungan yang diterima, sebaliknya peningkatan BBM berpotensi menurunkan tingkat keuntungan usaha. 2) Perlu adanya bantuan permodalan dan pendampingan yang untuk mendorong pelaku usaha berpindah dari kapal 50-100 GT ke kapal berukuran 20-30 GT atau ke kapal berukuran diatas 100 GT. Hal ini didasarkan pada hasil kajian dimana kelompok ukuran kapal 50-100 GT yang paling sensitif terkena dampak akibat perubahan harga solar. Setiap kenaikan harga BBM solar sebesar 1% akan menurunkan keuntungan usaha sebesar 0,7% . Sementara kapal 20-30 GT dan > 100 GT mengalami penurunan sebesar 0.2% dan 0.5%. Daftar Pustaka HASIL KEGIATAN|Analisis Kebijakan Dampak Penyusunan Harga BBM Bersubsidi untuk Nelayan 35 LAPORAN TEKNIS [KAJIAN KHUSUS BBPSEKP TAHUN 2015] Anonymous, 2014a. Bank Dunia Dukung Subsidi BBM Tetap. http://www.tempo.co/ read /news/2014/04/07/092568561/Bank-Dunia-Dukung-Subsidi-BBM-Tetap di akses 9 April 2014. Anonymous, 2014b. BI Dorong Penerapan Subsidi Tetap BBM. http://www.tempo.co/read/news/2014/04/03/087567696/BI-Dorong-Penerapan-SubsidiTetap-BBM. Di akses 9 April 2014. Badan Perencanaan Pembangunan Nasional. 2007. Laporan Akhir Kajian Kerangka Subsidi di Indonesia. Direktorat Keuangan Negara, Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, Jakarta. Handoko, R dan P. Patriadi. 2005. Evaluasi Kebijakan Subsidi Non BBM. Kajian Ekonomi dan Keuangan. Vol 9 No. 4. Jakarta Kusuma, L. 2012. Definisi Subsidi : Menelaah Kontroversi. http://leo4kusuma.blogspot.com/2012/01/definisi-subsidi-menelaah-kontroversi.html. Nugroho, H. 2005. Apakah Persoalannya pada Subsidi BBM? Tinjauan terhadap Masalah Subsidi BBM, Ketergantungan pada Minyak Bumi, Manajemen Energi Nasional, dan Pembangunan Infrastruktur Energi. Majalah Perencanaan Pembangunan, 10(2): 2-18. Pradiptyo, R. 2013. Hitung-hitungan Subsidi BBM. http://bisniskeuangan.kompas .com/ead/2013/06/18/0746006/Hitunghitungan.Subsidi.BBM di akses 10 April 2014. Sukirno, S. 2005. Makro Ekonomi Teori Pengantar. Raja Grafindo Perkasa. Jakarta. Suryawati, S.H., R. Muhartono, dan E.S. Luhur. 2012. Potensi Kebijakan Subsidi Bbm Berbasis Pendaratan Hasil Tangkap Ikan. Laporan Teknis Kajian Khusus Program-Program Pembangunan Kelautan dan Perikanan. Balai Besar Penelitian Sosial Ekonomi Kelautan dan Perikanan BalitbangKP – KKP. Jakarta. Suryawati, S.H., A. Ramadhan, A. Zamroni dan A. H. Purnomo. 2013. Kebijakan Antisipatif Dalam Menghadapi Dinamika Harga BBM Pada Usaha Perikanan Tangkap. J. Kebijakan Kelautan dan Perikanan. Vol .. (..): .... Suryawati, S.H., R. Muhartono, E.S. Luhur, A.H. Purnomo dan N.T. Bualangi. 2012a. Kajian Kelayakan Pengembangan Energi Berbasis Sumberdaya Kelautan dan Efisiensi Penggunaan Energi dalam Usaha – Usaha Perikanan. Laporan Akhir Kegiatan Penelitian. Balai Besar Penelitian Sosial Ekonomi Kelautan dan Perikanan BalitbangKP – KKP. Jakarta. Suryawati, S.H., R. Muhartono, dan E.S. Luhur. 2012b. Potensi Kebijakan Subsidi BBM Berbasis Pendaratan Hasil Tangkap Ikan. Laporan Teknis Kajian Khusus Program-Program Pembangunan Kelautan dan Perikanan.Balai Besar Penelitian Sosial Ekonomi Kelautan dan Perikanan BalitbangKP – KKP. Jakarta. Todaro, M.P& S. C. Smith, 2009. Economic Development (ed. 10th). Addison Wesley. Yusgiantoro, P. 2000. Ekonomi Energi, Teori dan Praktik. Pustaka Lembaga Penelitian, Pengkajian, dan Pengembangan Ekonomi dan Sosial, Jakarta. HASIL KEGIATAN|Analisis Kebijakan Dampak Penyusunan Harga BBM Bersubsidi untuk Nelayan 36 LAPORAN TEKNIS 4.2. [KAJIAN KHUSUS BBPSEKP TAHUN 2015] Dampak Moratorium Kapal Ex-Asing terhadap kondisi pasar tuna indonesia Pendahuluan Salah satu satu kebijakan yang dikeluarkan oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan pada Kabinet Kerja saat ini adalah Kebijakan Moratorium terkait perizinan usaha penangkapan ikan untuk kapal eks asing berukuran lebih dari 30 GT di perairan Indonesia yang diterapkan sejak bulan Nopember 2014 hingga 30 April 2015. Kebijakan moratorium eks kapal asing ini ditetapkan dalam Peraturan Menteri No. 56/2014 yang isinya adalah kapal yang pembuatan dilakukan di luar negeri tidak akan dberikan izin baru Surat Ijin Usaha Perikanan (SIUP), Surat Ijin Penangkapan Ikan (SIPI), Surat Ijin Kelayakan Penangkapan Ikan (SIKPI) dan perpanjangan SIPI dan SIKPI. Berdasarkan kajian awal dari Institut Pertanian Bogor (IPB) sebelum diterapkan kebijakan moratorium tersebut diperoleh informasi bahwa terdapat 1.240 kapal buatan asing dari total 5.329 kapal yang berukuran di atas 30 GT di Indonesia (Kurniawan, 2014). Kebijakan moratorium diambil oleh pemerintah karena kerugian besar dari sektor kelautan dan perikanan yang disebabkan beroperasinya kapal-kapal eks asing tersebut. Pada tahun 2013, PNBP dari total 5.329 kapal tersebut sebesar 250 miliar rupiah. Jumlah ini sangat jauh bila dibandingkan dengan kerugian sebesar US$ 20 miliar atau Rp 240 triliun rupiah akibat Illegal, Unreported dan Unregulated (IUU) fishing yang terjadi di perairan Indonesia. (Nurhayat, 2014). Salah satu komoditas yang menjadi tangkapan dominan kapal eks asing yang berukuran lebih dari 30 GT adalah ikan tuna. Hal ini dikarenakan tuna merupakan jenis ikan ekonomis tinggi. Bagi Indonesia, ikan tuna merupakan komoditas penghasil devisa negara nomor dua setelah udang. Pada tahun 2013, volume ekspor TTC mencapai sekitar 209.410 ton dengan nilai USD$ 764,8 juta atau 19% dari total nilai ekspor perikanan Indonesia (Dirjen P2HP, 2014). Pada tahun 2009, secara angka potensi produksi komoditas tuna di Indonesia diperkirakan hampir mencapai 1,2 juta ton per tahun, dengan nilai ekspor lebih dari 3,5 miliar Dolar Amerika Serikat (AS). Jika dilihat dari hasil produksi, pada tahun 2011 produksi tuna dunia sebesar 6,8 juta ton dan pada tahun 2012 meningkat menjadi lebih dari 7 juta ton. Dari produksi tersebut Indonesia memasok lebih dari 16% produksi tuna dunia. Tuna juga diketahui memiliki permintaan konsumen yang cukup tinggi akibat mulai bergesernya selera konsumen dunia dari red meat ke white meat. Dengan potensi yang dimiliki dan peluang pasar yang besar, sehingga tidak mengherankan apabila sebagian besar produksi tuna Indonesia di ekspor ke beberapa negara tujuan seperti Jepang, Uni Eropa dan Amerika. Berbagai tanggapan muncul dengan adanya kebijakan moratoritum tersebut. Menurut Laoli (2015), dengan adanya kebijakan tersebut hendaknya lebih dapat dibedakan kapal eks asing yang memiliki ijin dan tidak karena jika semua kapal eks asing dilarang untuk menangkap maka dapat berpengaruh terhadap supply ikan dan penurunan volume ekspor. Lebih lanjut Susanti (2015) menyatakan bahwa kebijakan moratorium tersebut berimplikasi pada penurunan produksi ikan hasil tangkapan dari para pengusaha perikanan tetapi penurunan volume tersebut terkompensasi oleh naiknya harga ikan di pasar tujuan ekspor. Dari berbagai hal yang telah disebutkan di atas maka penelitian ini ingin menjawab bagaimana sebenarnya dampak kebijakan moratorium pasar tuna Indonesia. Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menganalisis dampak kebijakan moratorium kapal eks asing terhadap kondisi pasar tuna Indonesia, terutama untuk membandingkan kondisi pasar ekspor tuna sebelum dan sesudah adanya kebijakan moratorium. Prakiraan Keluaran HASIL KEGIATAN|Dampak Moratorium Kapal Ex-Asing terhadap kondisi pasar tuna indonesia 37 LAPORAN TEKNIS [KAJIAN KHUSUS BBPSEKP TAHUN 2015] 1. Rekomendasi Kebijakan terkait dampak moratorium kapal ex-asing terhadap kondisi pasar tuna Indonesia 2. Karya Tulis Ilmiah Metode Penelitian Tinjauan Pustaka Deskripsi Tuna Tuna merupakan ikan laut yang terdiri dari beberapa famili Scombridae, terutama genus Thunnus. Daging yang dimiliki berwarna merah muda sampai merah tua. Hal ini karena otot tuna lebih banyak mengandung myoglobin dari pada ikan lainnya (Mc Afee et al. 2009). Beberapa spesies tuna yang lebih besar, seperti tuna sirip biru (bluefin tuna), dapat menaikkan suhu darahnya di atas suhu air dengan aktivitas ototnya. Hal ini menyebabkan mereka dapat hidup di air yang lebih dingin dan dapat bertahan dalam kondisi yang beragam (Lennert-cody 2008). Tuna adalah ikan yang memiliki nilai komersial tinggi. Tubuh ikan tuna tertutup oleh sisik kecil berwarna biru tua dan agak gelap pada bagian atas tubuhnya. Sebagian besar mempunyai sirip tambahan yang berwarna kuning cerah dengan pinggiran berwarna gelap (Burhanuddin et al. 1984). Menurut taksonomi (sistematika ikan), jenis-jenis ikan tuna termasuk ke dalam Famili Scombridae. Secara global, terdapat 7 spesies ikan tuna yang memiliki nilai ekonomis penting, yaitu albacore (Thunnus alalunga), bigeye tuna (Thunnus obesus), atlantic bluefin tuna (Thunnus thynnus), pacific bluefin tuna (Thunnus oreintalis), southern bluefin tuna (Thunnus maccoyii), yellowfin tuna (Thunnus albacares), dan skipjack tuna (Katsuwonus pelamis), kecuali pacific bluefin dan southern bluefin tuna, kelima spesies tuna lainnya hidup dan berkembang di perairan Samudra Pasifik, Atlantik, dan Hindia (Dahuri, 2008). Alat tangkap yang digunakan untuk menangkap tuna diantaranya adalah tuna longline, pancing tonda, pool line/huhate, handline dan purse seine. Kebijakan Moratorium Kapal Eks Asing Kebijakan pengelolaan sumberdaya perikanan pada dasarnya bertujuan agar sumberdaya ikan dapat dinikmati oleh generasi penerus di masa datang dan meningkatkan kesejahteraan rakyat khususnya yang memiliki mata pencaharian di laut. Salah satu kebijakan yang berkaitan dengan pengelolaan sumberdaya perikanan adalah kebijakan moratorium eks kapal asing ini ditetapkan dalam Peraturan Menteri No. 56/2014. Hal ini dilakukan karena banyak terjadi praktik IUU Fishing yang dilakukan oleh oknum nelayan baik dari dalam maupun luar negeri yang sangat merugikan negara. Bila dilihat dari luas wilayah perairan Indonesia yang mencapai UNCLOS 1982 yang mencapai 3.544.744 km2 dengan potensi perikanan sebesar 6.520.300 ton/tahun berdasarkan Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan tentang Estimasi Potensi Sumberdaya Ikan di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara RI. Namun potensi dan luas wilayah perairan tersebut namun volume dan nilai ekspornya masih kalah jauh dibandingkan dengan negaranegara tetangga seperti Thailand dan Vietnam. Menurut Sularso (2015), kebijakan moratorium dapat berfungsi : 1) mengendalikan jumlah produksi hasil tangkapan sehingga tidak terjadi over fishing; 2) meningkatkan produktivitas kapal nelayan asli Indonesia; 3) Meningkatkan daya saing produksi ikan Indonesia secara global. Ruang Lingkup dan Kerangka Pemikiran Penelitian ini akan lebih difokuskan dampak moratorium terhadap kondisi pasar tuna Indonesia khususnya ekspor karena hasil produksi tuna cukup banyak yang dijual ke mancanegara. HASIL KEGIATAN|Dampak Moratorium Kapal Ex-Asing terhadap kondisi pasar tuna indonesia 38 LAPORAN TEKNIS [KAJIAN KHUSUS BBPSEKP TAHUN 2015] Dengan adanya kebijakan moratorium ini diduga akan menyebabkan berkurangnya jumlah kapal eks asing yang melakukan kegiatan penangkapan sehingga berdampak terhadap nilai ekspor tuna Indonesia. Kerangka pemikiran dapat dilihat pada Gambar 4-2. 1 sebagai berikut. Kondisi Existing : Produksi dan Ekspor Tuna Indonesia Rekomendasi Kebijakan Dampak Moratorium Kapal Ex Asing terhadap Pasar Ekspor Tuna Indonesia Gambar 4-2. 1. Permen KP No. 56 : Moratorium Kapal Ex-Asing Kapal Ex-Asing : Jumlah kapal, jumlah produksi dan nilai Kondisi Pasar Ekspor : Produksi, Nilai Produksi dan Strategi Keberlanjutan Usaha Kerangka Pemikiran Kegiatan Penelitian Waktu dan Lokasi Penelitian Lokasi penelitian dilakukan di Jakarta dan Bali karena di lokasi tersebut merupakan salah satu daerah ekspor tuna terbesar dan jumlah kapal ex-asing yang ada di wilayah tersebut relatif banyak. Menurut data yang dikeluarkan oleh Ditjen Tangkap tercatat ada kapal eks asing sebanyak 107 unit dari 756 kapal yang terdapat di Benoa yang melakukan penangkapan tuna. Sedangkan lokasi Jakarta dipilih atas dasar Jakarta merupakan salah satu pelabuhan ekspor terbesar di Indonesia. Waktu penelitian dilakukan dari bulan April hingga bulan Mei 2015. Jenis dan Sumber Data Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan sekunder. Data primer berasal dari wawancara dengan pelaku usaha eksportir tuna. Data sekunder bersumber dari data produksi, pola pemasaran, dan ekspor perikanan. .Sumber data berasal dari Pelabuhan, Dinas KP di lokasi penelitian dan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP). Metode Pengumpulan Data Data-data yang digunakan dalam penelitian diperoleh melalui penelusuran pustaka (desk study) yang relevan dengan kegiatan penelitian dan survey lapang. Metode Analisis Data Data-data yang telah dikumpulkan kemudian ditabulasi dan dianalisis secara deskriptif HASIL KEGIATAN|Dampak Moratorium Kapal Ex-Asing terhadap kondisi pasar tuna indonesia 39 LAPORAN TEKNIS [KAJIAN KHUSUS BBPSEKP TAHUN 2015] dan disajikan dalam bentuk tabel dan grafik. Selanjutnya hasil analisis akan diinterpretasikan untuk menghasilkan informasi yang dapat menjawab tujuan dari penelitian. Tabel 4-2. 1. Matriks Tujuan Penelitian, Kebutuhan Data, Teknik Pengumpulan dan Analisis Data serta Sumber Data Kegiatan Penelitian Teknik Tujuan Penelitian Data yang diperlukan Pengumpula sumber n/ Analisis Mengidentifikasi 1) Jumlah kapal eks asing di Desk Study Ditjen kondisi pasar ekspor Indonesia berdasarkan negara asal, dan Tangkap, tuna Indonesia pelabuhan pendaratan; 2) Jumlah Wawancara BKIPM, (sebelum dan pada saat produksi dan nilai produksi dengan Pelaku Pelabuhan berlakunya Permen komoditas tuna yang dihasilkan oleh Usaha Perikanan KKP No. 56). kapal eks asing; 3) Data perkembangan ekspor tuna Indonesia bulanan ke negara tujuan utama; dan 4) Strategi yang dilakukan oleh eksportir demi keberlanjutan usaha. Menganalisis dampak Hasil analisis dari tujuan 1. Statistik Olahan moratorium kapal eks Deskriptif dan asing terhadap kondisi Interpreta pasar ekspor tuna si Data Indonesia Rekomendasi Hasil analisis dari tujuan 2. FGD Diskusi Kebijakan Hasil Dan Pembahasan Gambaran Umum Kondisi Tuna Indonesia Sebelum Permen KKP No. 56 Secara Nasional Sebelum adanya Peraturan Menteri No 56 tentang Moratorium Kapal Eks Asing, secara nasional produksi tuna mengalami peningkatan dari tahun 2002 hingga 2012 yaitu sebesar ratarata 6,5% per tahun. Sedangkan volume ekspor tuna ke dunia pada tahun 2012 mencapai 533 ribu ton dengan nilai ekspor mencapai 116 juta USD. Tuna diekspor dalam bentuk segar, beku dan kaleng. Selama ini tuna dipasarkan dalam bentuk segar, beku dan kaleng dimana market share tuna segar ke Jepang 93%, AS 4% dan Uni Eropa 3%. Pasar tuna beku ke Jepang sebesar 50%, AS sebesar 32% dan Uni Eropa 17%. Pasar Ekspor tuna kaleng ke Uni Eropa 36%, Jepang 33% dan AS 31%. Hal ini menunjukkan bahwa Jepang merupakan negara tujuan ekspor utama tuna Indonesia. Data ekspor yang diperoleh dari Direktorat Jenderal Pengolahan dan Pemasaran (Ditjen P2HP) dari tahun 2010-2012 menunjukkan bahwa terdapat lima daerah ekspor utama untuk komoditas tuna baik dalam bentuk tuna segar, tuna beku dan tuna kaleng di Indonesia sebelum disalurkan ke berbagai negara tujuan ekspor. Beberapa daerah asal ekspor tersebut digambarkan dalam tabel 4-2.2 sebagai berikut: HASIL KEGIATAN|Dampak Moratorium Kapal Ex-Asing terhadap kondisi pasar tuna indonesia 40 LAPORAN TEKNIS [KAJIAN KHUSUS BBPSEKP TAHUN 2015] Tabel 4-2. 2. NIlai Ekspor Tuna Berdasarkan daerah Asal Tahun 2010-2012 (USD) Jenis Komoditas Tuna (US$) Persentase No. Daerah (%) Segar Beku Kaleng 28,378,129 87,892,008 53,396,802 1 DKI Jakarta 36% 951,585 33,863,222 143,217,130 2 Surabaya 37% 2,849,092 13,403,767 51,597,031 3 Bitung 14% 53,726,626 3,265,486 4 Bali 12% 3,200 3,136,541 5 Ambon 1% 85,908,633 141,561,024 248,210,963 100% Total Sumber : Rekap Ekspor Tuna (Ditjen P2HP,2014) Berdasarkan tabel 4-2.2 diatas maka dapat diketahui bahwa daerah asal ekspor utama tuna Indonesia berasal dari DKI Jakarta yaitu sebesar 36% dengan komoditas dominanya adalah tuna beku, sedangkan untuk tuna kaleng dominan diekspor dari daerah Surabaya. Komoditas tuna segar banyak diekspor dari Bali dengan presentase mencapai 63% dari total ekspor tuna segar dari seluruh daerah di Indonesia, namun secara keseluruhan Bali menempati posisi keempat sebagai daerah ekspor setelah DKI Jakarta, Surabaya dan Bitung. Sebelum Permen KKP No. 56 di lokasi penelitian (Perkembangan Produksi,vol dan nilai ekspor, pasar tujuan ekspor) DKI Jakarta Seperti dijelaskan pada Tabel 4-2.2 yang menunjukkan bahwa daerah asal utama ekspor tuna adalah berasal dari DKI Jakarta maka salah satu lokasi penelitian untuk menggambarkan dampak moratorium kapal eks asing terhadap ekspor tuna dilakukan pengambilan data pada lokasi DKI Jakarta khususnya pada Pelabuhan Perikanan Samudera Nizam Zachman (PPSNZJ) Muara Baru. Berdasarkan laporan statistik PPSNZJ tahun 2013 dapat diketahui bahwa produksi perikanan berasal dari produksi laut yaitu produksi kapal penangkap ikan yang mendaratkan ikan hasil tangkapan di PPSNZJ dan produksi ikan masuk yaitu produksi kapal pengangkut ikan dari pelabuhan lain, maupun daerah luar DKI Jakarta yang kiangkuut ke PPSNZJ melalui jalur darat maupun jalur laut. Total nilai produksi ikan pada tahun 2013 mencapai 252.762,72 ton yang terdiri dari produksi laut sebesar 113.342.916 Ton (44.84%) dan produksi ikan masuk sebesar 139.419.808 Ton (42.87%) dan sisanya produksi ikan impor sebesar 31.054,498 Ton (12.29%). Jeis ikan yang dominan dari produksi laut pada tahun ini adalah Cakalang (29.72%), Tuna Sirip Kuning (15,43%), Tuna Mata Besar (12,84%) sedangkan untuk produksi ikan masuk didominasi oleh ikan layang, sanglir, lemuru dan juga tuna yang sebagian besar didatangkan dari Provinsi Sulawesi Utara. Total produksi ikan pada PPSNZJ periode 2009-2013 digambarkan sebagai berikut: HASIL KEGIATAN|Dampak Moratorium Kapal Ex-Asing terhadap kondisi pasar tuna indonesia 41 LAPORAN TEKNIS [KAJIAN KHUSUS BBPSEKP TAHUN 2015] 300000 252762,72 250000 211807,37 186388,35 200000 187403,28 133402,61 150000 100000 50000 0 2009 2010 2011 2012 2013 Gambar 4-2. 2. Total Produksi Ikan PPSNZJ Periode 2009-2013 Sumber : Laporan Statistik PPSNZJ (2014) Jika dilihat volume produksi perikanan tangkap berdasarkan jenis komoditasnya yaitu Tuna Tongkol dan Cakalang (TCT), terlihat bahwa volume produksi pada tahun 2010-2013 mengalami peningkatan sebesar 34% seperti terlihat pada tabel perkembangan Produksi Tuna Cakalang Tongkol (TCT) Pada Tahun 2011-2013 (Ton) sebagai berikut Tabel 4-2. 3. Perkembangan Produksi Tuna di PPS Nizam Zachman Tahun 2011-2013 (Ton) Tahun Jenis Ikan 2011 2012 2013 Cakalang 35,229.46 30,552.47 33,684.84 Tongkol 10,906.39 2,201.36 3,081.87 Tuna Mata Besar 10,374.86 13,593.93 14,553.92 Tuna Sirip Biru 3,913.74 47.41 30.75 Yellow Fin 11,152.57 13,605.61 17,489.28 Total 71.577.02 60,000.78 68,840.67 Sumber : Laporan Statistik PPSNZJ (2014) Berdasarkan tabel 4-2.3diatas dapat diketahui bahwa dari sisi produksi TTC komoditas yang paling dominan pada PPSNZJ yang mewakili kondisi di daerah DKI Jakarta adalah cakalang yang diikuti oleh produksi ikan yellow fin tuna, sedangkan untuk tuna sirip biru memang mengalami penurunan setiap tahunya, hal tersebut juga terjadi secara global dimana terkait dengan ketersedian sumberdaya tuna sirip biru yang semakin langka. Data lain yang diperoleh menyebutkan terdapat tiga jenis alat tangkap yang digunakan dalam menangkap komoditas tuna pada PPSNZJ yakni rawai tuna, purse seine dan handline. Berdasarkan alat tangkap tuna yang digunakan, terlihat bahwa pada tahun 2008-2013 jumlah alat tangkap mengalami peningkatan rata-rata sebesar 4%. Fenomena yang menarik adalah makin menurunya alat tangkap tuna longline namun makin meningkatnya pengguna alat tangkap purse seine. Berdasarkan hasil wawancara dengan beberapa pelaku usaha dapat diketahui bahwa penurunan alat tangkap longline disebabkan biaya operasional yang semakin tinggi yang tidak berimbang dengan hasil yang diperoleh karena alat tangkap ini dikhususkan untuk menangkap HASIL KEGIATAN|Dampak Moratorium Kapal Ex-Asing terhadap kondisi pasar tuna indonesia 42 LAPORAN TEKNIS [KAJIAN KHUSUS BBPSEKP TAHUN 2015] komoditas tuna, sedangkan untuk alat tangkap purse seine dapat menangkap segala jenis komoditas sehingga menurut pengakuan pelaku usaha dianggap lebih menguntungkan. Data lengkap terkait jenis alat tangkap tuna yang digunakan pada PPSNZJ terlihat pada tabel 4-2.4 sebagai berikut: Tabel 4-2. 4. Jenis Alat Penangkap Tuna di PPSNZJ Pada Tahun 2008-2013 Jenis Alat Tangkap 2008 2009 2010 2011 2012 Rawai tuna/longline Pukat cincin/purse seine Handline 478 172 468 194 453 218 12 442 265 11 TOTAL 650 662 683 718 366 345 15 726 2013 339 426 13 778 Sumber : Laporan Statistik PPSNZJ (2014) Provinsi Bali Salah satu lokasi pendaratan tuna dominan terdapat di Provinsi Bali dimana di lokasi tersebut banyak terdapat alat tangkap longline. Provinsi Bali merupakan salah satu daerah penghasil tuna yang cukup besar, selain dari potensi perikanan tangkap yang dimiliki, tuna dari Bali juga berasal dari daerah Kawasan Timur Indonesia (KTI) yang dibawa oleh kapal-kapal besar untuk diolah atau diekspor ke negara tujuan melalu Provinsi Bali. Secara umum potensi perikanan tangkap laut provinsi Bali sebesar 147.278,75 ton per tahun. Jika dilihat pada tahun 2009 sampai dengan 2013, rata-rata pertumbuhan produksi perikanan tangkap sebesar 1,6%. Pada tahun 2009 jumlah produksi perikanan tangkap sebesar Rp. 102.572,50 ton (Rp. 838 juta), tahun 2010 jumlah produksi sebesar Rp. 105.566,2 ton (Rp. 1 miliar), tahun 2011 jumlah produksi sebesar Rp. 101.371,6 ton (Rp. 1,4 miliar), tahun 2012 jumlah produksi sebesar 81.734,7 ton (Rp 1,2 miliar) dan tahun 2013 jumlah produksi sebesar 103.591,9 ton (Rp. 1,7 miliar). Produksi perikanan tangkap provinsi Bali tahun 2009-2013 dapat dilihat pada Gambar 4-2.3 sebagai berikut. Gambar 4-2. 3. Produksi Perikanan Tangkap Provinsi Bali Tahun 2009-2013 Sumber : Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Bali (2014) HASIL KEGIATAN|Dampak Moratorium Kapal Ex-Asing terhadap kondisi pasar tuna indonesia 43 LAPORAN TEKNIS [KAJIAN KHUSUS BBPSEKP TAHUN 2015] Jika dilihat volume produksi perikanan tangkap berdasarkan jenis komoditasnya yaitu Tuna Tongkol dan Cakalang (TCT), terlihat bahwa volume produksi pada tahun 2010-2013 mengalami peningkatan sebesar 34% seperti terlihat pada Tabel 4-2. 5. Tabel 4-2. 5. Volume Produksi Tuna Cakalang Tongkol (TCT) Pada Tahun (Ton) Tahun (ton) No. Jenis Ikan 2010 2011 1 Tongkol Krai 730,4 580,6 2 Tongkol Komo 3 Cakalang 3.235,8 4.569,3 4 Albakora 2.786,0 2.887,1 5 Manddihang/Yellowfin Tuna 6.483,3 3.366,3 6 Tuna sirip biru selatan/Southern Bluefin Tuna 1.418,9 1.334,8 7 Tuna Mata Besar/Big eye tuna 3.670,2 2.560,8 8 Tongkol abu-abu/Longtail tuna 252,7 913,2 Total 18.577,3 16.212,1 Sumber : Laporan Statistik Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Bali, 2013 2010-2012 2012 14.227,0 5.771,5 4.916,0 3.566,2 824,0 1.908,7 254,1 31.467,5 Jenis armada penangkapan tuna yang ada di Provinsi Bali mengalami penurunan sebesar 8% yaitu pada tahun 2010-2011, sedangkan pada tahun 2011-2012 tidak mengalami perubahan. Pada tahun 2010 total jumlah armada penangkapan ikan sebesar 893 unit sedangkan pada tahun 2010 dan 2012 masing-masing sebesar 813 unit, seperti yang terlihat pada Tabel 4-2. 6. Tabel 4-2. 6. Jumlah Armada Penangkan Tuna di Provinsi Bali Pada Tahun 2010-2012 Tahun (unit) No Jenis Armada 2010 2011 2012 1 Motor Tempel 179 179 179 2 <10 GT 9 9 9 3 11-30 GT 178 178 178 4 31-50 GT 172 87 87 5 51-100 GT 176 176 176 6 >100 GT 179 184 184 Total 893 813 813 Sumber : Laporan Statistik Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Bali, 2013 Berdasarkan alat tangkap tuna yang digunakan, terlihat bahwa pada tahun 2010-2012 jumlah alat tangkap mengalami penurunan sebesar 26%. Pada Tabel 4-2. 7 terlihat bahwa penurunan signifikan terjadi pada penggunaan alat tangkap pancing ulur (handline) dan pancing tonda. Tabel 4-2. 7. No Jenis Alat Tangkap Tuna di Provinsi Bali Pada Tahun 2010-2012 Tahun (unit) Jenis Alat Tangkap 2010 2011 2012 1 Rawai tuna/Longline 545 530 706 2 Pancing ulur/Handline 3.177 907 990 3 Huhate/Pole and line - - - HASIL KEGIATAN|Dampak Moratorium Kapal Ex-Asing terhadap kondisi pasar tuna indonesia 44 LAPORAN TEKNIS No [KAJIAN KHUSUS BBPSEKP TAHUN 2015] Jenis Alat Tangkap 4 Pukat cincin/Purse Seine 5 Pancing tonda Total Tahun (unit) 2010 2011 2012 - 19 20 1.189 158 118 4.911,0 1.614,0 1.834,0 Sumber : Laporan Statistik Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Bali, 2013 Produksi tuna dengan menggunakan alat tangkap longline pada triwulan I pada 2014 sebesar 9.566,68 ton dan pada triwulan I tahun 2015 sebesar 7.728,77 ton dengan kata lain produksi menurun sebesar 19,2%. Sedangkan volume ekspor tuna dari Bali pada triwulan I tahun 2014 sebesar 8.950,46 ton dan di triwulan I tahun 2015 sebesar 8.435,18 ton atau menurun sebesar 5,76%. Secara rinci komoditas tuna yang diekspor mengalami perubahan sebagai berikut : a) volume ekspor tuna segar berkurang sebesar 13%, tuna beku naik 99% & tuna kaleng turun sebesar 27%; 2) Nilai ekspor tuna segar naik 1%, tuna beku naik 123% dan tuna kaleng turun sebesar 24%; 3) Harga tuna segar naik sebesar 12%, tuna beku naik 21% dan tuna kaleng naik sebesar 5%. Penurunan volume produksi dan ekspor tuna di Bali tersebut disebabkan oleh kebijakan moratorium kapal eks-asing dan transhipment. Tujuan pasar ekspor tuna segar yang berasal dari Bali banyak yang dikirim ke Jepang, sedangkan tuna beku dan kaleng cenderung ke pasar Uni Eropa dan Amerika Serikat. Pasar Jepang Konsumen Jepang memiliki tingkat konsumsi ikan yang tinggi, disamping itu mereka lebih menyukai ikan tuna dalam bentuk segar, biasanya ikan tuna dalam bentuk segar langsung diekspor melalui jalur udara. Biasaya tuna segar diekspor dalam bentuk whole fresh tuna. Secara nasional untuk pasar Jepang lebih banyak dieskpor produk fresh tuna dari Indonesia sedangkan untuk pasar USA dan Uni Eropa lebih banyak mengekspor canned tuna dari Indonesia. Pesaing utama Indonesia untuk ekspor tuna yaitu Vietnam dan Thailand. Berdasarkan perkembangan harga di kedua pasar USA dan Jepang, harga komoditas tuna Indonesia rata-rata hampir selalu lebih rendah dibandingkan dengan harga pesaingnya. Menurut Rahadian dkk (2012) harga komoditas tuna Indonesia di pasar Jepang pada tahun 2011 hanya menempati posisi keempat, di bawah Vietnam, Thailand dan Malaysia. Rendahnya harga tersebut dapat dilihat dari dua sisi yakni di satu sisi menjadi faktor penunjang bagi tingginya daya saing dan tingginya volume ekspor ke Jepang, akan tetapi di sisi lain juga menjadi indikator rendahnya penghargaan konsumen di Jepang atas komoditas tuna Indonesia. Pasar AS Permintaan tuna di AS memang relatif tinggi terutama untuk produk frozen tuna baik dalam bentuk tuna saku, loin maupun tuna cube dan steak. Selain itu Indonesia juga dikenal sebagai daerah penghasil ikan kaleng, produk canned tuna dari Indonesia juga memiliki pasar utama negara AS. Pasar AS biasanya lebih menyukai ikan kaleng dengan lebih banyak brain (garam) dan tanpa minyak, hal ini menjadi pertimbangan bagi pelaku usaha yang ingin memasarkan produknya ke AS. Standar dari FDA yang cukup ketat dalam penentuan produk makanan yang diekspor ke USA menyebabkan adanya hambatan non tariff. Hal ini sesuai dengan penelitian Rinto (2011) yang menyebutkan bahwa pada tahun 2010 tercatat 146 kasus penolakan ekspor produk perikanan Indonesia ke AS dimana sebanyak 64% kasus penolakan disebabkan oleh adanya bakteri pathogen maupun toksin yang dihasilkan seperti histamin, 26% disebabkan filthy, 6% disebabkan oleh adanya residu kimia, dan 4 % disebabkan oleh misbranding. Bila kasus penolakan ekspor ke pasar AS maka pengusaha banyak mengalihkan produk ekspornya ke pasar lainnya seperti pasar Thailand, hal tersebut dikarenakan hambatan non HASIL KEGIATAN|Dampak Moratorium Kapal Ex-Asing terhadap kondisi pasar tuna indonesia 45 LAPORAN TEKNIS [KAJIAN KHUSUS BBPSEKP TAHUN 2015] tariff bagi produk yang dihasilkan oleh perusahaan yang sudah terkena kasus tolakan ekspor yang tidak diperbolehkan lagi mengakses pasar AS. Harga tuna di USA yang relatif tinggi juga menjadi pertimbangan bagi pelaku usaha. Meskipun hambatan non tariff yang diberlakukan cukup rumit namun dengan harga tuna yang relatif lebih tinggi maka menjadi faktor penarik bagi pengusaha. Negara pesaing utama Indonesia di AS adalah produk ikan kaleng yang berasal dari Thailand dan Vietnam namun berdasarkan wawancara dengan pelaku usaha dapat diketahui bahwa dari sisi kualitas produk tuna Indonesia mampu bersaing dan bahkan dianggap lebih baik dari sisi citarasa dan kualitasnya dibandingkan tuna dari negara lainya. Pasar Uni Eropa Hambatan non tariff adalah hambatan yang biasa terdapat pada Pasar Uni Eropa terkait dengan produk tuna. Hal ini dikarenakan adanya kunci pokok regulasi yang ditetapkan oleh Komisi Eropa yang menitik beratkan pada perlindungan konsumen tingkat tinggi untuk standar mutu dan keamanan pangan Uni Eropa yaitu EC No.178/2002. Saat peraturan tersebut dikeluarkan, salah satu kebijakan yang cukup signifikan mempengaruhi perkembangan impor pangan Uni Eropa adalah diterapkannya Rapid Alert System for Food and Feeds (RASFF). Hal ini berdampak kepada peredaran produk negara eksportir di Uni Eropa. RASFF merupakan jejaring kerja dalam sistem siaga cepat untuk pemberitahuan resiko langsung atau tak langsung pada kesehatan manusia yang berasal dari bahan pangan atau pakan. Hambatan tarif menjadi pertimbangan tersendiri, berdasarkan data P2HP, KKP tahun 20010-2012 yang telah diolah dapat diketahui bahwa untuk negara di Uni Eropa yang menjadi tujuan utama ekspor dari Indonesia adalah ke negara Jerman sebesar 32% dari total ekspor tuna dari Indonesia ke Uni Eropa, kemudian Spanyol 21%, United Kingdom 20%, dan sisanya adalah berbagai negara lainya. Uni Eropa yang terdiri dari banyak negara pda umumnya menjadi pangsa pasar yang strategis bagi produk tuna Indonesia, hal ini juga diimbangi dengan harga tuna yang relatif cukup tinggi pada pasar yang dimaksud. Kualitas produk Indonesia menurut data dari eksportir juga dapat bersaing dengan produk dari negara Filipina, Thailand dan China yang menjadi negara pesaing di Uni Eropa. Permintaan ekspor ke Uni Eropa biasanya dipenuhi oleh eksportir tuna di Indonesia melalui pengiriman dengan jalur laut, yaitu melalui kapal. Kondisi Kapal Ex-Asing yang beroperasi di Indonesia Menurut data yang diperoleh dari Kementerian Kelautan dan Perikanan terdapat kapal buatan asing sebanyak ± 1100 kapal buatan asing atau mencapai 22,28% dari total 4.964 kapal pemegang izin penangkapan. Kapal eks-asing itu paling banyak berasal dari China, Thailand, Taiwan, Jepang dan Filipina. Hal ini menunjukkan bahwa kapal-kapal eks-asing banyak berasal dari wilayah Asia. HASIL KEGIATAN|Dampak Moratorium Kapal Ex-Asing terhadap kondisi pasar tuna indonesia 46 LAPORAN TEKNIS 35 [KAJIAN KHUSUS BBPSEKP TAHUN 2015] 33,82 Persentase 30 23,42 25 18,44 20 15 8,14 10 10,40 5,79 5 0 China Filipina Jepang Taiwan Thailand Lain-lain Asal Negara Gambar 4-2. 4. Kapal Eks-Asing berdasarkan Asal Negara Hasil pengumpulan data dan wawancara dengan Pejabat yang berwenang pada PPSNZJ menyebutkan bahwa dampak moratorium ex kapal asing tidak mempengaruhi sistem perizinan kapal ikan di PPS Nizam Zahman, karena memang sejak tahun 2013 kapal ex asing dengan alat tangkap longline sudah tidak memperpanjang perizinan penangkapan ikan lagi. Dari sisi jumlah juga hanya terdapat 15 kapal dari 1624 kapal yang terdata pada PPSNZJ sehingga tidak berpengaruh secara signifikan dampak permen KP 56 tersebut khusunya pada daerah Jakarta. Data kapal eks asing yang beroperasi pada PPSNZJ DKI Jakarta dapat dilihat pada Tabel 4-2.8 berikut: HASIL KEGIATAN|Dampak Moratorium Kapal Ex-Asing terhadap kondisi pasar tuna indonesia 47 LAPORAN TEKNIS Tabel 4-2. 8. N O 1 2 [KAJIAN KHUSUS BBPSEKP TAHUN 2015] Kapal Ex Asing Yang Ada Di Kolam Pelabuhan Perikanan Samudera Nizam Zachman Jakarta, Maret 2015 NAMA KAPAL PEMILIK KUSUMA GRAHA (Eks. MV. DANIELA) HASLINDO II (Eks. MARUKY BOSHI MARU NO.32) TRI KUSUMA GRAHA, PT SUMBER HASLINDO, PT SUMBER HASLINDO, PT SUMBER HASLINDO, PT SUMBER HASLINDO, PT SUMBER HASLINDO, PT RICO DIAN JAYATAMA, PT ALAT TANGK AP ANG TGL TERAKHIR KELUAR 04/02/15 LL 01/11/10 LL 26/05/12 LL 04/04/13 JI 04/04/14 RT 23/06/13 GN 14/03/14 KETERANGAN SPB TERAKHIR ADA SPB TERAKHIR ADA SPB TERAKHIR ADA SPB TERAKHIR ADA SPB TERAKHIR ADA SPB TERAKHIR ADA SPB TERAKHIR ADA BELUM PERNAH KELUAR (STBLKK) 3 HASLINDO 7 4 HASLINDO 8 5 HASLINDO 5 6 HASLINDO 6 7 LULU MARINA 33 8 SINAR ABADI 69 TUNA PERMATA REZEKI, PT PS 9 MINA FAJAR 16 (Eks. SOMBON PHOON) ASROBEN. PT GN 03/03/14 SPB TERAKHIR ADA 10 NAILI - XV (EKS. DAE II NO.301) LL 16/04/13 SPB TERAKHIR ADA 11 NAILI – XVI LL 05/03/13 SPB TERAKHIR ADA 12 NAILI – II HL 15/01/14 SPB TERAKHIR ADA 13 SULTRA MANDIRI 01 ANG 28/08/10 SPB TERAKHIR ADA PC 26/08/13 SPB TERAKHIR ADA ANG 13/01/15 SPB TERAKHIR ADA SAMUDERA MANDIRI SELATAN, PT SAMUDERA MANDIRI SELATAN, PT WENY YUHADI 14 SULTRA MANDIRI 02 SAMUDERA MANDIRI SELATAN, PT SAMUDERA MANDIRI SELATAN, PT 15 GLORIA ARIFIN WIJAYA Sumber : PPS Nizam Zahman, 2015 Berdasarkan data dan informasi dari Asosiasi Tuna Longline Indonesia (ATLI) terdapat kapal eks-asing sebanyak 122 kapal dari 45 perusahaan/pemilik yang ada di Benoa, Denpasar. Kapal tersebut tidak lagi melaut karena terkena aturan Permen KP No 56. HASIL KEGIATAN|Dampak Moratorium Kapal Ex-Asing terhadap kondisi pasar tuna indonesia 48 LAPORAN TEKNIS [KAJIAN KHUSUS BBPSEKP TAHUN 2015] Dampak Moratorium Kapal Ex-Asing Terhadap Kondisi Pasar Ekspor Tuna Indonesia DKI Jakarta Pelaku usaha khususnya eksportir Tuna di PPS Nizam Zahman, berdasarkan hasil wawancara tidak merasakan dampak kebijakan moratorium kapal ex asing secara signifikan. Dampak yang dirasakan lebih kepada kebijakan pelarangan kapal ‘transshipment terhadap kualitas tuna yang didaratkan. Waktu operasional kapal tuna (longline) yang mencapai 8 bulan hingga 1 tahun sangat membutuhkan kapal transshipment khususnya untuk produk tuna segar, tanpa adanya kapal transit akhirnya produk tuna yang dihasilkan oleh kapal long line adalah tuna beku. Langkah responsif yang dilakukan oleh eksportir tuna karena kesulitan pemenuhan kuota ekspor tuna segar dan beku adalah : 1. Mengkomunikasikan dengan pihak ‘buyer’ (pembeli) terkait kesulitan pemenuhan kuota sesuai dengan perjanjian yang telah disepakati, khususnya untuk produk tuna segar. 2. Upaya pemenuhan tuna segar dengan cara membeli tuna segar dari nelayan di Palabuhan ratu dan Cilacap. 3. Akan dilakukan impor tuna dari negara lain (seperti Jepang, China dan Filipina) dengan kualitas yang lebih bagus karena penanganan pasca panen yang lebih baik. 4. Mengalihkan komoditas ekspor dari tuna segar menjadi tuna beku karena kualitas tuna segar yang tidak dapat dipenuhi 5. Mengalihkan pasar tuna ke non eropa atau pasar lain yang tidak membutuhkan sertifikasi SHTI karena pelarangan kapal transshipment menyulitkan dalam pengurusan lembar awal SHTI karena beberapa kapal sudah terlanjur berangkat sebelum diberlakukanya kebijakan pelarangan transshipment sehingga SIPI tidak sesuai dengan SIUP jika ingin diubah menjadi SIPI laut lepas. Langkah antisipatif yang dilakukan oleh pelaku usaha khususnya eksportir yang memiliki kapal transshipment dan kapal penangkap ikan adalah : 1. Merubah fungsi kapal penampung di laut menjadi kapal pengangkut dari pelabuhan ke pelabuhan (port to port). 2. Merubah SIUP dan SIPI kapal menjadi laut lepas untuk memperluas daerah penangkapan ikan karena adanya potensi SDI yang belum termanfaatkan akibat adanya pelarangan armada kapal eks asing 3. Perubahan alat tangkap dari Longline menjadi Gillnet. Pemerintah : dampaknya thd sistem perijinan dan pengawasan Kapal ex asing yang berlabuh di PPS Nizam Zahman sampai dengan bulan Maret 2015 hanya berjumlah 15 unit kapal seperti pada Tabel 4-2.9. Khusus kapal longline yang menangkap ikan tuna hanya berjumlah lima unit yang sudah tidak beroperasi lagi sejak tahun 2013 yang disebabkan karena ketidakmampuan untuk pembiayaan operasional kapal. Kebijakan moratorium ex kapal asing di PPS Nizam Zahman tidak mempengaruhi produksi ikan tuna secara signifikan karena kapal-kapal tersebut memang sudah berhenti beroperasi sejak tahun 2013. Beberapa kapal longline ex asing tersebut beralih fungsi menjadi kapal transit. Dampak moratorium ex kapal asing tidak mempengaruhi sistem perizinan kapal ikan di PPS Nizam Zahman, karena memang sejak tahun 2013 kapal ex asing dengan alat tangkap longline sudah tidak memperpanjang perizinan penangkapan ikan lagi. Beberapa perijinan yang untuk komoditas ikan tuna khususnya untuk pasar luar negeri diantaranya : 1. Health Certificatee (HC) sebagai persyaratan umum untuk ekspor ikan ke luar negeri. 2. Sertifikat Hasil Penangkapan Ikan (SHTI ) sebagai persyaratan untuk pasar Uni Eropa. HASIL KEGIATAN|Dampak Moratorium Kapal Ex-Asing terhadap kondisi pasar tuna indonesia 49 LAPORAN TEKNIS [KAJIAN KHUSUS BBPSEKP TAHUN 2015] Penerbitan sertifikat hasil tangkap ikan di PPS Nizam Zahman,khususnya untuk Lembar Turunan mengalami peningkatan dari tahun ke tahun, hal ini menunjukkan bahwa kesadaran pelaku usaha perikanan (pemilik kapal, eksportir) semakin meningkat dalam hal tertib administrasi. Perkembangan penerbitan SHTI di PPS Nizam Zahman periode Tahun 2010-2014 dapat dilihat pada Tabel 4-2.9 Sertifikat Hasil Tangkapan Ikan (SHTI) dikeluarkan oleh Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap, Kementerian Kelautan dan Perikanan selaku Otoritas Kompeten (Commpetent Authority) dan divalidasi oleh unit kerjayang telah ditunjuk sebagai Otoritas Kompeten Lokal. Sertifikat Hasil Tangkapan Ikan diberikan bagi produk yang akan dieksport ke UniEropa baik secara langsung maupun tidak langsung dan mulai diberlakukan sejak tanggal 01 Januari 2010 dengan acuan EC Regulation 1005/2008. Sertifikat ini tidak berlaku bagi produk – produk perikanan dari hasil kegiatan budidaya (air tawar, payau dan laut), produk perikanan air tawar, ikan hias, kekerangan, rumput laut, scallops dan oyster. Sertifikat hasil tangkapan ikan (SHTI) diterapkan terhadap semua perdagangan produk hasil tangkapan perikanan laut, baik yang diolah maupun tidak diolah, berasal dari kapal penangkap ikan Negara bendera Indonesia dan dieksport melalui / tidak melalui Negara ketiga ke Negara – Negara Uni Eropa melalui alat pengangkut apapun. SHTI juga diterapkan terhadap produk hasil tangkapan perikanan laut yang berasal dari kegiatan transshipment dan pengolahan. Ketentuan tentang transshipment tetap mengacu pada peraturan yang berlaku. Otoritas KompetenLokal (OKL) yang ditunjuk di pelabuhan masing-masing akan memvalidasi SHTI setelah terlebih dahulu diverifikasi oleh pihak PSDKP (Pemanfaatan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan) setempat. Dalampelaksanaan, yang dimaksuddengansertifikathasiltangkapanikanadalah: 1. Sertifikat hasil tangkapan ikan (SHTI), adalah surat keterangan yang menyatakan bahwa hasil perikanan yang akan dieksport bukan dari kegiatan illegal, unreported and unregulated (IUU) fishing. 2. SHTI –Lembar Awal adalah surat keterangan yang memuat informasi hasil tangkapan ikan yang didaratkan dari kapal penangkap ikan untuk tujuan pencatatan. 3. SHTI – Lembar Turunan adalah surat keterangan yang memuat informasi sebagian atau seluruh hasil tangkapan ikan sesuai dengan lembar awal sebagai dokumen yang menyertai produk perikanan yang dipasarkan ke UniEropa. 4. SHTI – Lembar Turunan yang Disederhanakan adalah surat keterangan yang memuat informasi hasil tangkapan ikan yang didaratkan dari kapal penangkap ikan sebagai dokumen yang menyertai produk perikanan yang dipasarkan ke Uni Eropa. Tabel 4-2. 9. Pelaksanaan Penerbitan Sertifikat Hasil Tangkap Ikan di PPS Nizam Zahman, Tahun 2010-2014 TAHUN SHTI TOTAL PERSENTASE (%) 2010 2011 2012 2013 2014 755 1.040 251 231 252 2.529 17,16 LA 1.201 2.646 1.060 1.849 4.232 10.988 74,55 LT 80 184 139 318 501 1.222 8.29 LTS TOTAL 14.739 100,00 Sumber : PPS Nizam Zahman, 2015 Keterangan : LA = Lembar Awal LT = Lembar Turunan LTS = Lembar Turunan yang disederhanakan HASIL KEGIATAN|Dampak Moratorium Kapal Ex-Asing terhadap kondisi pasar tuna indonesia 50 LAPORAN TEKNIS [KAJIAN KHUSUS BBPSEKP TAHUN 2015] Berdasarkan tabel 4-2.9 tersebut diatas dapat diketahui bahwa secara rata-rata terdapat peningkatan setiap tahunya pada pengurusan SHTI pada PPSNZJ terutama pada SHTI lembar turunan, hal ini menunjukkan bahwa pada PPSNZJ komoditas ekspor yang dihasilkan kebanyakan berasal dari daerah lain yang sebagai penerbit lembar awalnya. Lembar turunan tersebut biasanya diurus oleh UPI setelah adanya SHTI lembar awal , karakteristik di DKI Jakarta yang memiliki banyak UPI sehingga lebih banyak pengurusan lembar turunan pada daerah ini. Hal tersebut sekaligus dapat menunjukkan kesadaran dari pelaku usaha untuk memenuhi syarat ekspor dari negara tujuan, namun yang disayangkan persyaratan pengurusan SHTI hanya berlaku untuk negara tujuan Uni Eropa sehingga pencatatan tersebut tidak menggambarkan kondisi ekspor secara nasional. Langkah kedepanya dapat memberlakukan aturan pengurusan SHTI keseluruh pelaku usaha dengan meningkatkan kesadaran pelaku usaha terhadap traceability dan pelaporan data dalam mendukung berbagai kebijakan pemerintah untuk meningkatkan sektor perikanan dan kelautan. Kebijakan moratorium kapal eks-asing yang telah diberlakukan sejak bulan November 2014 yang kemudian diperpanjang sampai tahun 2015 tentunya berdampak pada kondisi komoditas tuna Indonesia di pasar ekspor. Untuk melihat sejauh mana dampak kebijakan moratorium ini terhadap kondisi komoditas tuna Indonesia dipilih lokasi-lokasi penelitian yang dapat dijelaskan secara detail pada Tabel 4-2.10 di bawah ini. Tabel 4-2. 10. Perkembangan Volume dan Nilai Ekspor Komoditas Tuna di DKI Jakarta Triwulan 4, tahun 2013 (Sebelum Moratorium Kapal Eks Asing) Tahun 2013 TOTAL Jenis Olahan Tuna Volume Nilai Volume Nilai Volume Nilai Volume Nilai Tuna Segar 560,261 5,042,347 550,747 4,956,727 624,772 5,622,949 1,735,78 0 15,622, 024 1,198,837 10,789,534 831,415 7,482,736 509,875 4,588,875 2,540,12 7 22,861, 145 - - - - - - Tuna Beku Tuna Kaleng Oktober November Desember - Sumber : data LPPMHP Jakarta diolah (2015) Tabel 4-2. 11. Perkembangan Volume dan Nilai Ekspor Komoditas Tuna di DKI Jakarta Triwulan 4, tahun 2014 (Sesudah Moratorium Kapal Eks Asing) Tahun 2014 TOTAL Jenis Olahan Tuna Volume Nilai Volume Nilai Volume Nilai Volume Nilai Tuna Segar 361,890 3,257,006 401,300 3,611,702 576,141 5,185,273 1,339,331 12,053, 981 Tuna Beku 847,791 7,630,119 688,570 6,197,130 760,791 6,847,119 2,297,152 20,674, 368 Tuna Kaleng 361,890 3,257,006 401,300 3,611,702 576,141 5,185,273 1,339,331 12,053, 981 Oktober November Desember Sumber : data LPPMHP Jakarta diolah (2015) Tabel 4-2. 12. Perkembangan Volume dan Nilai Ekspor Komoditas Tuna di DKI Jakarta Triwulan 1, tahun 2014 (Sebelum Moratorium Kapal Eks Asing) Tahun 2014 TOTAL HASIL KEGIATAN|Dampak Moratorium Kapal Ex-Asing terhadap kondisi pasar tuna indonesia 51 LAPORAN TEKNIS Jenis Olahan Tuna [KAJIAN KHUSUS BBPSEKP TAHUN 2015] Januari Februari Maret Volume Nilai Volume Nilai Volume Nilai Volume Nilai Tuna Segar 583,667 19,518,528 390,724 3,516,516 429,657 3,866,911 1,404,048 26,901,9 55 Tuna Beku 729,942 3,198,171 673,217 6,058,951 435,883 3,922,943 1,839,042 13,180,0 64 Tuna Kaleng - - - - - - - Sumber : data LPPMHP Jakarta diolah (2015) Tabel 4-2. 13. Perkembangan Volume dan Nilai Ekspor Komoditas Tuna di DKI Jakarta Triwulan 1, tahun 2015 (Sesudah Moratorium Kapal Eks Asing) Tahun 2015 TOTAL Jenis Olahan Tuna Volume Nilai Volume Nilai Volume Nilai Volume Nilai Tuna Segar 410,674 3,696,064 372,167 9,516,240 244,403 8,125,402 1,027,24 4 21,337, 706 Tuna Beku 1,013,869 9,124,821 697,023 1,918,083 732,875 3,508,582 2,443,76 7 14,551, 485 - - - - - - Tuna Kaleng Januari Februari Maret - Sumber : data LPPMHP Jakarta diolah (2015) Pada tabel 4-2.10 diatas menunjukkan data yang dikeluarkan oleh LPPMHP DKI Jakarta tahun 2013-2015 yang menunjukkan bahwa volume ekspor ikan tuna setelah adanya kebijakan moratorium kapal ex asing mengalami penurunan pada Triwulan 4 yaitu periode OktoberDesember tahun 2014 yang dibandingkan dengan dengan periode Oktober-Desember tahun 2013 dimana dapat diketahui dari tabel telah terjadi penurunan tuna segar sebesar 23% dan tuna beku sebesar 10%. Selain itu data juga membandingkan nilai ekspor pada Triwulan 1 yakni JanuariMaret tahun 2014 yang dibandingkn dengan periode Januari-Maret 2015 setelah diberlakukanya Permen KP 56 Moratoraium Kapal eks asing yang juga secara rata-rata mengalami penurunan sebesar 27% untuk tuna segar dan mengalami peningkatan pada tuna beku sebesar 33%. Perubahan volume ekspor tuna dibandingkan antara periode yang sama (pada tahun yang berbeda diindikasikan karena beberapa faktor penyebab diantaranya : 1. Adanya perubahan kualitas lingkungan perairan laut; 2. Dampak dari beberapa kebijakan yang dikeluarkan oleh KKP terkait penanganan IUU Fishing (Pelarangan Alat Tangkap, Moratorium Kapal Asing dan Transhipment); 3. Peningkatan kualitas tuna yang didaratkan karena adanya peningkatan penanganan pasca tangkap Ekspor ikan Tuna dikelompokkan kedalam dua kelompok besar yaitu Tuna segar dan Tuna beku dengan pasar utama tujuan ekspor yaitu Jepang, Amerika, Uni Eropa, Timur Tengah dan Thailand. Pasar ekspor terbesar untuk tuna segar adalah Jepang dengan persentase diatas 70%, sedangkan tuna beku pasar ekspor terbesar adalah Amerika dan UE dengan kisaran persentase 20-30%. Data pada tabel diatas menunjukkan bahwa terdapat perubahan (shifting) produk tuna yang dihasilkan setelah adanya kebijakan moratorium. Data ini menunjukkan bahwa ekspor tuna segar mengalami penurunan sebesar 24%, disisi lain ekspor tuna beku justru mengalami kenaikan sebesar 8%. Berdasarkan hasil wawancara dengan pelaku usaha/eksportir tuna di PPS Nizam Zahman, perubahan volume produk tuna yang ekspor bukan karena dampak moratorium eks kapal asing melainkan karena moratorium kapal transshipment. Waktu operasional kapal longline HASIL KEGIATAN|Dampak Moratorium Kapal Ex-Asing terhadap kondisi pasar tuna indonesia 52 LAPORAN TEKNIS [KAJIAN KHUSUS BBPSEKP TAHUN 2015] selama 8-12 bulan, tidak memungkinan untuk menghasilkan tuna segar tanpa adanya kapal transit. Moratorium terhadap kapal transshipment merupakan salah satu penyebab penurunan ekspor ikan segar. Kapal-kapal longline yang sebelumnya bisa menitipkan tuna segar kepada kapal transit beralih pada pembekuan tuna langsung diatas kapal. Berdasarkan hasil wawancara juga menyebutkan bahwa pengaruh dari pelarangan kapal transshipment dirasakan ole pelaku usaha karena untuk komoditas tuna segar harus dalam kualitas yang baik dan kurang dari 15 hari setelah penangkapan, sehingga dengan pelarangan transshipment komoditas tuna yang dihasilkan tidak memenuhi standar untuk diekspor menjadi komoditas tuna segar sehingga dialihkan menjadi tuna beku. Tabel 4-2. 14. Perubahan Volume dan Nilai Komoditas Tuna Indonesia di Pasar Ekspor pada Triwulan 4 Perubahan (%) Jenis Olahan Tuna Okt Nov Des Tuna Segar Vol Nilai Vol Nilai -35.41 -35.41 -27.14 -27.14 Tuna Beku -29.28 -29.28 -17.18 -17.18 49.21 49.21 Tuna Kaleng Sumber : data LPPMHP Jakarta diolah (2015) - Vol -7.78 Rata-rata - Nilai -7.78 - Vol Nilai -23.44 -23.44 0.92 0.92 - - - Tabel 4-2. 15. Perubahan Volume dan Nilai Komoditas Tuna Indonesia di Pasar Ekspor pada Triwulan 1, Perubahan (%) Rata-rata Jenis Olahan Tuna Jan Feb Mar Vol Nilai Vol Tuna Segar -29.64 -81.06 -4.75 170.62 -43.12 110.13 -25.83 66.56 Tuna Beku 38.90 185.31 3.54 -68.34 68.14 -10.56 36.86 35.47 - - - - - Tuna Kaleng Sumber : data LPPMHP Jakarta diolah (2015) Nilai Vol Nilai Vol Nilai Berdasarkan tabel 4-2.15 perubahan volume dan nilai komoditas tuna Indonesia pada triwulan 4 dan triwulan 1 setelah diberlakukanya moratorium kapal eks asing dapat dilihat bahwa terjadi perubahan yang cukup signifikan untuk komoditas tuna segar yakni penurunan sebsar 23,44% pada triwulan 4 dan 25,83% pada triwulan 1, sedangkan untuk komoditas tuna beku justru mengalami peningkatan signifikan yakni sebesar 0,92% pada triwulan 4 dan 36,86 % pada triwulan 1. Hal tersebut menunjukkan bahwa terjadi peralihan komoditas ekspor dari komoditas tuna segar menjadi tuna beku yang berkaitan juga dengan pemberlakuan kebijakan KKP tentang pelarangan kapal transshipment sehingga menyebabkan bahan baku tuna segar sulit diperoleh pelaku usaha. Selain melihat perubahan yang terjadi pada sisi volume dan nilai komoditas tuna Indonesia di pasar ekspor, juga melihat perubahan harga komoditas berdasarkan jenis tuna yang di ekspor (segar, beku dan kaleng)seperti dijelaskan pada tabel 4-2.16 di bawah ini. Tabel 4-2. 16. Perubahan Harga Komoditas Tuna Indonesia di Pasar Ekspor, tahun 2014-2015 Jenis Olahan Tuna Perubahan Harga (%) Rata-Rata Okt Nov Des Jan Feb Mar HASIL KEGIATAN|Dampak Moratorium Kapal Ex-Asing terhadap kondisi pasar tuna indonesia 53 LAPORAN TEKNIS [KAJIAN KHUSUS BBPSEKP TAHUN 2015] Tuna Segar 0.00 0.00 0.00 -73.09 184.11 269.40 63.40 Tuna Beku 0.00 0.00 0.00 105.41 -69.42 -46.81 -1.80 Tuna Kaleng Sumber : Data LPPMHP DKI Jakarta diolah 2015 Tabel 4-2.16 di atas menunjukan perubahan harga komoditas tuna Indonesia di pasar ekspor. Perubahan harga ini dilihat berdasarkan jenis tuna (segar, beku dan kaleng). Secara rinci rata-rata perubahan harga untuk tuna segar dimana mengalami kenaikan sebesar 63,44%, sedangkan untuk komoditas tuna beku mengalami penurunan sebesar 1,80 % . Jika dilihat secara rinci perubahan harga komoditas tuna segar pada bulan Januari terjadi penurunan harga sebesar 73,09%, yang kemudian meningkat secara signikan pada bulan Februari sebesar 184,11%, dan kembali meningkat pada bulan Maret sebesar 269,40%. Perbandingan harga untuk komoditas Tuna beku pada bulan Januari mengalami kenaikan harga sebesar 105,41% yang kemudian mengalami penurunan sebesar 69,42% pada bulan Februari dan 46,81% pada bulan Maret. Secara umum yang mengalami perubahan signifikan adalah harga tuna segar yang secara ratarata naik sebesar 63,40% namun hal ini juga dibarengi dengan penurunan volume ekspor komoditas tuna segar dari DKI Jakarta yang disebabkan sulitnya bahan baku yang memenuhi standar kualitas ekspor tuna segar. Provinsi Bali Kebijakan moratorium kapal eks-asing yang telah diberlakukan sejak bulan November 2014 tentunya berdampak pada kondisi komoditas tuna Indonesia di pasar ekspor. Untuk melihat sejauh mana dampak kebijakan moratorium ini terhadap kondisi komoditas tuna Indonesia dipilih lokasi-lokasi penelitian yang dapat dijelaskan secara detail pada tabel-tabel di bawah ini. Tabel 4-2. 17. Perkembangan Volume dan Nilai Ekspor Komoditas Benoa, tahun 2014 2014 Januari Februari Jenis Olahan Tuna Volume Nilai Volume Nilai Tuna di Pelabuhan Maret Volume Nilai Tuna Segar 406.551 2.416.648 311.767 1.963.763 496.679 3.135.258 Tuna Beku 473.611 2.267.524 487.934 2.107.512 648.297 2.105.885 - 202.835 745.162 238.412 975.980 Tuna Kaleng Sumber : data diolah (2015) Pada Tabel di atas menunjukan perkembangan volume dan nilai Ekspor Komoditas Tuna Indonesia tahun 2014 dimana jika dilihat berdasarkan volume nya untuk tuna segar pada bulan Januari, Februari dan Maret masing-masing mencapai 406.551 Kg, 311.767 Kg dan 496.679 Kg. Jika dilihat dari sisi nilainya pada bulan Januari mencapai US$ 2.416.648 namun pada bulan Februari terjadi penurunan sebesar US$ 1.963.763. selanjutnya pada bulan Maret terjadi kenaikan sebesar US$ 3.135.258. selanjutnya tuna beku pada bulan Januari sampai bulan Maret 2014 dilihat dari sisi volumenya terjadi kenaikan yang semula sebesar 473.611 Kgpada bulan Januari menjadi 487.934 Kg pada bulan Februari dan selanjutnya naik sebesar 646.297 Kg pada bulan Maret 2014. Namun pada sisi nilai sama halnya dengan tuna segar dimana terjadi fluktuasi nilai pada bulan januari sebesar US$ 2.267.524 menjadi US$ 2.107.512 pada bulan Februari dan bulan Maret menjadi US$ 2.105.885. pada tuna kaleng bulan Januari tidak terjadi ekspor tuna kaleng, namun pada bulan Februari dan Maret ekspor tuna kaleng terjadi kenaikan baik dari sisi volume dan nilai yaitu masing-masing untuk volume 202.835 Kg bulan februari menjadi 238.412 Kg. Sedangkan untuk nilainya semula sebesar US$ 745.162 mencapai US$ 975.980. HASIL KEGIATAN|Dampak Moratorium Kapal Ex-Asing terhadap kondisi pasar tuna indonesia 54 LAPORAN TEKNIS [KAJIAN KHUSUS BBPSEKP TAHUN 2015] Tabel 4-2. 18. Jenis Tuna Perkembangan Volume dan Nilai Ekspor Ikan Tuna di Pelabuhan Benoa, Tahun 2015 2015 Olahan Jan Feb Mar Volume Nilai Volume Nilai Volume Nilai Tuna Segar 286.915 1.857.476 396.567 3.289.009 312.171 1.853.940 Tuna Beku 999.764 3.630.840 1.338.251 6.656.400 718.542 4.039.741 150.486 82.505 343.182 187.365 788.962 Tuna Kaleng 33.731 Sumber : data diolah (2015) Pada Tabel di atas menunjukan perkembangan volume dan nilai Ekspor Komoditas Tuna Indonesia taahun 2015 dimana jika dilihat berdasarkan volume nya untuk tuna segar pada bulan Januari, Februari dan Maret masing-masing mencapai 286.915 Kg, 396.567 Kg dan 312.171 Kg. Jika dilihat dari sisi nilainya pada bulan Januari mencapai US$ 1.857.476 namun pada bulan Februari terjadi kenaikan sebesar US$ 3.289.009. selanjutnya pada bulan Maret terjadi penurunan sebesar US$ 1.853.940. selanjutnya tuna beku pada bulan Januari sampai bulan Maret 2014 dilihat dari sisi volumenya terjadi kenaikan yang semula sebesar 999.764 Kg pada bulan Januari menjadi 1.338.251 Kg pada bulan Februari dan selanjutnya naik sebesar 718.542 Kg pada bulan Maret 2014. Namun pada sisi nilai sama halnya dengan tuna segar dimana terjadi fluktuasi nilai pada bulan januari sebesar US$ 3.630.840 menjadi US$ 6.656.400 pada bulan Februari dan bulan Maret menjadi US$ 4.039.741. pada tuna kaleng bulan Januari sebesar 33.731 Kg tuna kaleng, bulan Februari dan Maret ekspor tuna kaleng terjadi kenaikan baik dari sisi volume dan nilai yaitu masing-masing untuk volume 82.505 Kg bulan februari menjadi 187.365 Kg. Sedangkan untuk nilainya semula sebesar US$ 150.486 mencapai US$ 343.182 pada bulan Februari dan US$ 788.962. Selanjutnya dengan melihat perkembangan volume dan nilai komoditas tuna Indonesia di pasar ekspor dapat dilihat perubahannya pada masing-masing jenis tuna (baik tuna segar, tuna beku dan tuna kaleng) dengan membandingkan kedua jenis tuna tersebut di bulan Januari, Februari dan Maret pada tahun 2014 dan bulan yang sama tahun 2015 seperti dijelaskan pada tabel di bawah ini. Tabel 4-2. 19. Perubahan Volume dan Nilai Komoditas Tuna Indonesia di Pasar Ekspor Perubahan (%) Rata-rata Jenis Olahan Jan Feb Mar Tuna Vol Nilai Vol Nilai Vol Nilai Vol Nilai Tuna Segar (29) (23) 27 67 (37) (41) (13) 1 Tuna Beku 111 60 174 216 11 92 99 123 (59) (54) (21) (19) (27) (24) Tuna Kaleng Sumber : Data primer diolah (2015) Tabel di atas menunjukan bahwa secara rata-rata pada triwulan pertama (bulan januari sampai Maret) volume ikan tuna segar mengalami penurunan untuk tuna segar mengalami penurunan sebesar 13% sedangkan nilainya mengalami kenaikan sebesar 1%. Jika dilihat per bulan untuk tuna segar di bulan Januari mengalami penurunan volume dan nilai masing-masing sebesar 29% dan 23%. Di bulan Februari terjadi kenaikan baik sisi volume dan nilai masingmasing sebesar 27% dan 67%, akan tetapi di bulan maret terjadi penurunan volume dan nilai tuna segar masing-masing sebesar 37% dan 41%. Pada tuna beku secara rata-rata baik volume dan nilai terjadi kenaikan sebesar 99% dan 123%. Jika dilihat secara rinci per bulannya (Januari HASIL KEGIATAN|Dampak Moratorium Kapal Ex-Asing terhadap kondisi pasar tuna indonesia 55 LAPORAN TEKNIS [KAJIAN KHUSUS BBPSEKP TAHUN 2015] sampai Maret pada tahun 2014 dan 2015 terlihat baik secara volume dan nilai tuna beku terjadi kenaikan sebesar 111% (sisi volume) dan 60% (sisi nilai ). Pada bulan Februari pun terjadi kenaikan volume sebesar 174% dan nilai sebesar 216%. Di bulan Maret terjadi kenaikan sebesar 11% untuk volume dan 92% untuk nilai. Tuna kaleng secara rata-rata terjadi penurunan volume sebesar 27% dan nilai sebesar 24%. Secara rinci tuna kaleng bulan Februari terjadi penurunan volume dan nilai masing-masing sebesar 59% dan 54%, sedangkan di bulan Maret terjadi penurunan sebesar 21% dan 19%. Selain melihat perubahan yang terjadi pada sisi volume dan nilai komoditas tuna Indonesia di pasar ekspor, juga melihat perubahan harga komoditas berdasarkan jenis tuna yang di ekspor (segar, beku dan kaleng)seperti dijelaskan pada tabel di bawah ini. Tabel 4-2. 20. Perubahan Harga Komoditas Tuna Indonesia di Pasar Ekspor, tahun 2014-2015 Perubahan Harga (%) Jenis Olahan Tuna Jan Feb Mar Rata-rata (%) Tuna Segar 8,911207 Tuna Beku -24,1459 Tuna Kaleng 0 Sumber : data diolah 2015 31,670885 15,157729 13,223462 -5,91803 73,07756 2,862136 11,55468675 21,36312329 5,361866046 Tabel 4-2.20 menunjukan perubahan harga komoditas tuna di pasar ekspor. Perubahan harga ini dilihat berdasarkan jenis tuna (segar, beku dan kaleng). Secara rinci rata-rata perubahan harga tuna segar mengalami kenaikan sebesar 11,55%, tuna beku sebesar 21,36% dan tuna kaleng sebesar 5,36%. Jika dilihat secara rinci perubahan harga komoditas tuna segar pada bulan Januari terjadi kenaikan sebesar 8,91%, bulan Februari sebesar 31,67%, akan tetapi pada bulan Maret mengalami penurunan harga sebesar -5,92%. Perbandingan Tuna beku pada tahun 2014 dan tahun 2015 pada bulan Januari mengalami penurunan sebesar -24,14%, akan tetapi pada bulan Februari dan Maret masing-masing terjadi kenaikan sebesar 15,16% dan 73,08%. Tuna kaleng pada bulan Januari tidak mengalami perubahan namun pada bulan Februari terjadi kenaikan sebesar 13,22% dan 2,8% kenaikan pada bulan Maret. Kesimpulan dan Rekomendasi Kebijakan Kesimpulan Tuna merupakan salah satu komoditas perikanan yang memiliki nilai ekonomis tinggi. Seiring dengan adanya Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan No. 56 tentang adanya Moratorium Kapal Ex Asing menimbulkan beberapa dampak terhadap Pasar Tuna di lokasi penelitian sebagai berikut. Lokasi Bali : 1. Menurut informasi dari ATLI yang berpusat di Bali terdapat kapal eks asing sebanyak 122 unit yang tidak lagi beroperasi melakukan penangkapan tuna karena kebijakan moratorium kapal eks asing. 2. Secara rata-rata pada triwulan pertama (bulan januari sampai Maret) volume ikan tuna segar mengalami penurunan untuk tuna segar mengalami penurunan sebesar 13% sedangkan nilainya mengalami kenaikan sebesar 1%. 3. Pada bulan Januari untuk tuna segar mengalami penurunan volume dan nilai masingmasing sebesar 29% dan 23%. Di bulan Februari terjadi kenaikan baik sisi volume dan HASIL KEGIATAN|Dampak Moratorium Kapal Ex-Asing terhadap kondisi pasar tuna indonesia 56 LAPORAN TEKNIS [KAJIAN KHUSUS BBPSEKP TAHUN 2015] nilai masing-masing sebesar 27% dan 67%, akan tetapi di bulan maret terjadi penurunan volume dan nilai tuna segar masing-masing sebesar 37% dan 41%. 4. Pada tuna beku secara rata-rata baik volume dan nilai terjadi kenaikan sebesar 99% dan 123%. Jika dilihat secara rinci per bulannya (Januari sampai Maret pada tahun 2014 dan 2015 terlihat baik secara volume dan nilai tuna beku terjadi kenaikan sebesar 111% (sisi volume) dan 60% (sisi nilai ). Pada bulan Februari pun terjadi kenaikan volume sebesar 174% dan nilai sebesar 216%. Di bulan Maret terjadi kenaikan sebesar 11% untuk volume dan 92% untuk nilai. 5. Tuna kaleng secara rata-rata terjadi penurunan volume sebesar 27% dan nilai sebesar 24%. Secara rinci tuna kaleng bulan Februari terjadi penurunan volume dan nilai masingmasing sebesar 59% dan 54%, sedangkan di bulan Maret terjadi penurunan sebesar 21% dan 19%. 6. Rata-rata perubahan harga untuk tuna segar dimana mengalami kenaikan sebesar 11,55%, tuna beku sebesar 21,36% dan tuna kaleng sebesar 5,36%. Lokasi Jakarta : 1. Berdasarkan data dari PPSNZJ diketahui bahwa hanya ada 15 kapal eks asing yang berpangkalan di DKI Jakarta dan sebagian besar diantaranya sudah tidak beroperasi sehingga dampak dari Permen KP 56 tahun 2014 tentang Moratorium Perizinan Usaha Perikanan Tangkap tidak berdampak signifikan terhadap ekspor dari DKI Jakarta. 2. Secara rata-rata pada triwulan keempat (oktober-desember) sejak diberlakukanya Permen KP 56 tahun 2014 volume ekspor tuna mengalami penurunan sebesar 16% namun mengalami peningkatan sebesar 3% pada triwulan 1 (bulan januari sampai Maret) . 3. Komoditas ekspor tuna dari daerah DKI Jakarta terdiri dari tuna segar dan tuna beku, dimana pada triwulan 4 (oktober-desember) tuna segar mengalami penurunan sebesar 23% dan 27% pada triwulan 1 (januari-maret) 4. Komoditas ekspor tuna beku yang berasal dari DKI Jakarta mengalami penurunan sebesar 10% pada triwulan 4 (oktober-desember) namun mengalami peningkatan sebesar 33% pada triwulan 1 (januari-maret) 5. Penurunan volume ekspor secara signifikan dialami oleh komoditas tuna segar terutama pada bulan Oktober, Januari dan Maret.. Sedangkan untuk tuna beku justru mengalami kenaikan volume ekspor pada bulan Desember, Januari dan Maret. 6. Rata-rata perubahan harga untuk tuna segar pada periode pemberlakuan permen KP 56 tahun 2014 mengalami kenaikan sebesar 63,40% sedangkan untuk tuna beku justru mengalami penurunan sebesar 1,80% 7. Pelaku usaha di DKI Jakarta lebih mengeluhkan kebijakan pelarangan transshipment yang menyebabkan kesulitan memperoleh kualitas bahan baku tuna segar sehingga banyak mengalihkan produksinya menjadi tuna beku. Selain itu kebijakan tersebut juga berkaitan dengan efisiensi biaya operasional. Rekomendasi Kebijakan Penurunan volume produksi yang dapat berdampak pada penurunan volume ekspor hendaknya harus diimbangi dengan adanya peningkatan harga ekspor sehingga nilai ekspor tidak mengalami penurunan. Jika terjadi penurunan makan dapat berdampak pada penerimaan devisa negara yang secara makro dapat menyebabkan penurunan kontribusi PDB dari sektor perikanan. Pemberlakuan Permen KP 56 tahun 2014 tentang Moratorium Perizinan Usaha Perikanan Tangkap di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia yang diperpanjang HASIL KEGIATAN|Dampak Moratorium Kapal Ex-Asing terhadap kondisi pasar tuna indonesia 57 LAPORAN TEKNIS [KAJIAN KHUSUS BBPSEKP TAHUN 2015] berlakunya dengan penerbitan Permen KP 10 Tahun 2015 tentang perubahan Permen KP 56 Tahun 2014 berdasarkan hasil kajian dihasilkan beberapa rekomendasi sebagai berikut: 1. Perlu untuk disiapkan armada penangkapan ikan dari lokal dan penguatan SDM. Hal ini disebabkan karena terdapat potensi yang tidak termanfaatkan pada daerah penangkapan tertentu yang sebelumnya banyak beroperasi kapal eks asing karena pelarangan kapal eks asing tidak disiapkan armada pengganti untuk memanfaatkan sumberdaya tersebut Perlu adanya evaluasi terhadap pelarangan kapal eks asing, harus dilakukan verifikasi secara benar dan pengawasan melekat terhadap kepemilikan kapal tersebut apabila memang dikelola dan dimanfaatkan oleh WNI diperbolehkan untuk beroperasi Perlunya pemberlakuan pelaporan SHTI bagi semua pelaku usaha penangkapan ikan untuk menjamin asal-usul kapal tidak hanya terbatas bagi pelaku usaha dengan tujuan ekspor uni eropa, hal ini akan mempermudah mekanisme pengawasan pencatatan data ikan dan membantu apabila akan dilakukan kebijakan kuota terhadap sumberdaya. Peningkatan pengawasan terhadap pelaksanaan kebijakan moratorium kapal eks asing sehingga tepat sasaran 2. 3. 4. Daftar Pustaka KKP. 2014. Statistik Ekspor Komoditas Perikanan Indonesia 2013. Direktorat Jenderal Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perikanan (P2HP). Kurniawan, A. 2014. Susi Usul Subsidi untuk Kapal Besar http://www.indopos.co.id/2014/11/susi-usul-subsidi-untuk-kapal-besardihapuskan.html. Laoli, N. 2015. Ekspor Tuna Pengusaha Tuna http://industri.kontan.co.id/news/pengusaha-tuna-siap-ekspor Dihapuskan. Siap Ekspor. Nurhayat, W. 2014. 2014. Menteri Susi: Kerugian Akibat Illegal Fishing Rp 240 Triliun. http://finance.detik.com/read/2015/02/06/143512/2825834/4/dampak-kebijakan-menteri-susidari-1300-kapal-eks-asing-hanya-67-yang-berlayar. Sularso, A. 2015. Impliksi Moratorium Kapal Eks Asing. http://ajisularso.com/implikasimoratorium-kapal-ikan-eks-asing/. Susant, I. 2015. Tuna Indonesia Dihargai Lebih Tinggi. http://www.koransindo.com/read/973227/150/tuna-indonesia-dihargai-lebih-tinggi-1425693969 Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap. 2014. Buku Statistik 2013 Pelabuhan Perikanan Samudera Nizam Zachman. Jakarta HASIL KEGIATAN|Dampak Moratorium Kapal Ex-Asing terhadap kondisi pasar tuna indonesia 58 LAPORAN TEKNIS 4.3. [KAJIAN KHUSUS BBPSEKP TAHUN 2015] Prakiraan Dampak Implementasi Peraturan Menteri KP No. 2/2015 pada Usaha Perikanan Tangkap Pendahuluan Latar Belakang Potensi sumber daya kelautan perikanan (KP), merupakan kekayaan yang dikuasai negara dan perlu dijaga kelestariannya, serta dimanfaatkan untuk kesejahteraan rakyat. Hal ini sesuai dengan amanat Pasal 33, Ayat (3), Bab XIV, Undang-undang Dasar 1945: “bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”. Ketentuan pasal tersebut, merupakan landasan konstitusional dan menjadi garis petunjuk pengaturan berbagai hal yang berkaitan dengan pengelolaan sumber daya. Mengacu kepada hal tersebut, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) memberlakukan Peraturan Menteri KP Nomor Peraturan Menteri KP Nomor 2 Tahun 2015, tentang Larangan Penggunaan Alat Penangkapan Ikan Pukat Hela (Trawls) dan Pukat Tarik (Seine Nets) di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia (Permen KP No. 2/2015). Permen KP No. 2/2015, pemberlakuannya dimaksudkan untuk mengatur mengenai penggunaan alat tangkap Pukat Hela dan Pukat Tarik, yang sudah menyebabkan berkurangnya sumber daya ikan (SDI) dan mengancam kelestarian. Potensi SDI sebagaimana dimaksudkan dalam kedua peraturan tersebut membutuhkan pembangunan sistem hukum secara holistik, agar dapat menciptakan manajemen yang tertib dalam implementasinya. Pemberdayaan hukum yang dilakukan pemerintah sebagai politik pembangunan SDI, bertujuan untuk menjaga potensi SDI secara lestari atas dasar partisipatif aktif dan bermanfaat. Pemberdayaan perlu dilakukan, guna menindaklanjuti menurunnya populasi yang sudah mengancam kelestarian. Parameter yang termuat dalam kedua Permen tersebut, mengacu kepada Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004, tentang Perikanan, sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan, yang termuat dalam Pasal 6, ayat (1): (1) Pengelolaan perikanan dalam wilayah pengelolaan periknan Republik Indonesia dilakukan untuk tercapainya manfaat yang optimal dan berkelanjutan, serta terjaminnya kelestarian sumber daya ikan. Permen KP 2/2015, sangat diperlukan untuk menjaga keberlangsungan sumber daya ikan, agar dapat berkontribusi terhadap masyarakat kelautan dan perikanan. Paradigma ekonomi dalam angka yang dijadikan dasar mengelola sumber daya ikan selama ini, harus segera diseimbangkan dengan menekan berbagai kemungkinan dampak negatif. Keberadaan Permen KP No. 2/2015, menjadi penting sebagai penjaga nilai strategis untuk menselaraskan pembangunan Kelautan dan Perikanan (KP) dengan pelestarian. Menurut Supriatna (2008), pengelolaan sumber daya harus lestari dan berkelanjutan, sehingga manfaatnya dapat dinikmati generasi penerus. Permasalahan Penerbitan Permen KP No. 2/2015, muatan materinya banyak menimbulkan polemik terhadap pelaku perikanan. Penolakan pemberlakuan terjadi oleh nelayan yang selama ini menggunakan alat tangkap Pukat Hela dan Pukat Tarik untuk mencari ikan. Penerapan Permen KP No. 2/2015, justru menyebabkan nelayan yang menggunakan alat tangkap tersebut tidak dapat melaut (izinnya tidak keluar) dan tidak mendapatkan penghasilan. Pemerintah (KKP) sebagai otoritas yang bertanggung jawab terhadap lahirnya Permen KP Permen KP No. 2/2015, sampai saat ini belum memberikan solusi atas diterbitkannya kebijakan tersebut. HASIL KEGIATAN|Prakiraan Dampak Implementasi Peraturan Menteri KP No. 2/2015 pada Usaha Perikanan Tangkap 59 LAPORAN TEKNIS [KAJIAN KHUSUS BBPSEKP TAHUN 2015] Tujuan Penelitian 1. 2. 3. Mengkaji kebijakan Permen KP No. 2/2015. Mengkaji prakiraan dampak sosial ekonomi terhadap diberlakukannya Permen KP No. 2/2015. Merumuskan rekomendasi kebijakan terkait disahkannya Permen KP No. 2/2015. Metode Penelitian Pendekatan Penelitian Penelusuran dan pengkajian materi ketentuan Permen KP No. 2/2015 serta dampak sosial, dilakukan secara kualitatif. Kajian difokuskan untuk menggali informasi mengenai materi pokok yang menjadi faktor diterbitkannya kedua peraturan tersebut. Hasil kajian yang diperoleh, selanjutnya diinterpretasikan menggunakan teori yang relevan dan dikaitkan dengan prakiraan dampak implementasinya. Keluaran interpretasi tersebut dirangkum menjadi kajian hukum dan dampak sosial, serta wacana kebijakan lanjutan, dalam mendorong perbaikan/perubahan berbagai ketentuan ke arah yang lebih baik. Kajian untuk menghasilkan dampak ekonomi dari penerapan kedua Peraturan tersebut, maka akan dilakukan simulasi dengan menggunakan model ekonomi makro pembangunan KP 2014. Model tersebut merupakan sebuah model kesetimbangan umum dalam bentuk computable general equilibrium (CGE), yang dikembangkan oleh BBPSEKP sejak tahun 2014, sehingga terkustomisasi untuk menganalisis dampak kebijakan terhadap performa baik perekonomian nasional maupun perekonomian sektor KP. Kebutuhan Data 1. Simulasi Dampak Sebagai input bagi kegiatan simulasi dampak dampak PERMEN KP 2 2015, akan dibutuhkan data sekunder berupa jumlah alat tangkap baik alat tangkap secara total maupun khusus berbagai alat tangkap yang terkena dampak dari peraturan tersebut. Data-data yang diperlukan tersebut akan diperoleh di instansi-instansi penyedia data terkait, seperti Pusat Data dan Informasi KKP (PUSDATIN KKP), Ditjen Perikanan Budidaya, dan Ditjen Perikanan Tangkap. 2. Permodelan Ekonomi Data dasar yang dipergunakan oleh model ekonomi makro pembangunan KP adalah Tabel Input-Output (I-O) 2008 yang dipublikasikan oleh Biro Pusat Statistik (BPS). Tabel I-O pada dasarnya adalah sebuah matriks NxN yang menggambarkan saling keterkaitan berbagai sektor dalam sebuah perekonomian. Apabila dibaca secara baris, tabel I-O menggambarkan bagaimana output suatu sektor akan diserap oleh sektor-sektor lain, dan oleh permintaan akhir (Konsumsi, Pemerintah, Investas dan Net-Ekspor). Sedangkan jika dibaca secara kolom, maka tabel I-O menggambarkan struktur biaya produksi suatu sektor atau dengan kata lain dari sektor mana saja input bagi produksi suatu sektor diperoleh dan berapa besaran Nilai Tambah yang timbul dari proses produksi di suatu sektor (Miller & Blair, 1985). Tabel I-O 2008 tersebut ternyata tidak memiliki struktur perekonomian yang cukup representatif bagi sektor Kelautan dan Perikanan (KP), karena hanya diwakili oleh hanya satu sektor Perikanan saja. Oleh karena itu, dirasa perlu untuk dilakukan proses disagregasi agar berbagai produk KP dapat lebih terwakili di dalam tabel I-O 2008 tersebut. Pada tabel I-O yang dipergunakan pada kajian ini, sektor Perikanan didisagregasi menjadi tujuh kelompok produk yaitu: Tuna, Tongkol dan Cakalang (TTC), Perikanan Tangkap Lain, Patin, Kerapu, Rumput Laut, HASIL KEGIATAN|Prakiraan Dampak Implementasi Peraturan Menteri KP No. 2/2015 pada Usaha Perikanan Tangkap 60 LAPORAN TEKNIS [KAJIAN KHUSUS BBPSEKP TAHUN 2015] Perikanan Budidaya Lain, dan Udang. Selain itu, Industri Pengolahan Makanan juga dipecah menjadi tiga kelompok produk: Industri Ikan Olahan, Industri Ikan Kering, dan Industri Makanan Lain. Sehingga Tabel I-O 2008 yang semula berisi 66 sektor, mengembang menjadi 75 sektor (Tajerin, et al., 2014). Model Ekonomi Makro Pembangunan KP Tabel I-O 2008 yang telah didisagregasi menjadi 75 sektor, selanjutnya dijadikan database bagi model Computable General Equilibrium (CGE) yang dipergunakan melakukan simulasi kebijakan moratorium untuk menghasilkan perkiraan dampak ekonomi dari kebijakan moratorium. Model CGE yang dipergunakan tersebut dikembangkan oleh Balai Besar Penelitian Sosial Ekonomi Kelautan dan Perikanan pada tahun 2013, dan dikembangkan lebih lanjut pada tahun 2014 ini (Tajerin, et al., 2014; Zulham, et al., 2013). Model kesetimbangan umum sangat berguna untuk melihat dampak dari perubahan suatu variabel – semisal permintaan akhir – terhadap kesetimbangan perekonomian secara keseluruhan. Meskipun demikian, kekurangan dari model kesetimbangan umum ini adalah sifat analisisnya yang sangat linier. Oleh karena itu, model CGE dikembangkan sebagai upaya untuk menutupi kekurangan dari model-model terdahulu tersebut, melalui diterapkannya persamaan-persamaan yang non-linier di dalam model CGE (Horridge J. M., 2008). Model CGE yang dikembangkan oleh BBPSEKP tersebut dibangun dengan mengadopsi model ORANI-G. ORANI adalah sebuah model ekonomi keseimbangan umum aplikatif dari Australia, yang pertamakali dikembangkan pada tahun 1970an. Model-model awal dari ORANI bersifat statis, sedangkan versi terkini dari ORANI – semacam ORANI-F dan MONASH – telah memadukan elemen dinamis. ORANI-G terdiri dari berbagai persamaan yang menggambarkan keadaan pada suatu waktu tertentu dari: 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. Permintaan produsen terhadap input dan faktor produksi primer; Suplai komoditas; Permintaan input bagi pembentukan model; Permintaan rumahtangga; Permintaan ekspor; Permintaan pemerintah; Hubungan antara nilai dasar terhadap biaya produksi dan harga konsumen; Kondisi keseimbangan bagi komoditas dan faktor produksi primer; dan Berbagai variabel makroekonomi dan indeks harga. Persamaan permintaan dan suplai bagi pelaku swasta diturunkan dari penyelesaian permasalahan optimasi (minimisasi biaya, memaksimalkan utilitas, dll.) yang diasumsikan mendasari perilaku dari para pelaku ekonomi sesuai dengan mazhab ekonomi neoklasik. Para pelaku ekonomi diasumsikan bersifat price takers, dan para produsen menghadapi pasar persaingan sempurna yang mencegah diperolehnya keuntungan murni (Dixon, 1982; Horridge, et. al., 1988; Horridge, 2003). Simulasi Dampak PERMEN KP No. 2/2015 Seperti telah dikemukakan pada bagian terdahulu, bahwa pemberlakuan PERMEN KP No. 2 Tahun 2015 akan mengakibatkan pelarangan beroperasi bagi alat tangkap golongan trawl di wilayah perairan Indonesia. Berdasarkan data yang diperoleh dari Ditjen Perikanan Tangkap, KKP, terdapat enam jenis alat tangkap tergolong trawl yang dilarang beroperasi di perairan Indonesia, yaitu: 1. Pukat Tarik Udang Ganda; 2. Pukat Tarik Udang Tunggal; 3. Pukat Tarik Berbingkai; HASIL KEGIATAN|Prakiraan Dampak Implementasi Peraturan Menteri KP No. 2/2015 pada Usaha Perikanan Tangkap 61 LAPORAN TEKNIS [KAJIAN KHUSUS BBPSEKP TAHUN 2015] 4. Pukat Tarik Ikan; 5. Payang (Termasuk Lampara); 6. Dogol (Termasuk Lamdas, Jaring Arad dan Cantrang). Tabel 4-3.1 menunjukkan secara terperinci data statistik jumlah unit, volume produksi, serta produktivitas dari keenam alat tangkap tersebut. Dengan menjumlahkan data persentase kontribusi produktivitas keenam alat tangkap tersebut, maka dapat diperoleh angka perkiraan total penurunan produktivitas usaha perikanan tangkap sektor KP akibat penerapan PERMEN KP No. 2 2015, yaitu sebesar 24%. Angka 24% tersebut akan dipergunakan sebagai dasar bagi Simulasi1, yang menggambarkan kondisi pada saat diberlakukannya PERMEN KP No. 2 2015, sehingga mengakibatkan terjadinya penurunan produktivitas (sebesar 24%) akibat tidak dapat beroperasinya keenam alat tangkap tersebut. Tabel 4-3. 1. Data Statistik Enam Alat Tangkap yang Terkena PERMEN KP No. 2 2015 Produksi Produktivitas Alat Tangkap Unit Share (Ton) (Ton/Unit) 1.164 30.961 26,60 9% 1 Pukat Tarik Udang Ganda 4.387 25.011 5,70 2% 2 Pukat Tarik Udang Tunggal 3.109 515 0,17 0% 3 Pukat Tarik Berbingkai 10.884 245.692 22,57 7% 4 Pukat Tarik Ikan 31.190 267.438 8,57 3% 5 Payang (Termasuk Lampara) Dogol (Termasuk Lamdas, 26.413 241.155 9,13 3,03% 6 Jaring Arad, Cantrang) Total 24% Sumber: Data Statistik Perikanan Tangkap 2013, Ditjen Perikanan Tangkap-KKP Terkait dengan maraknya protes atas penerapan PERMEN KP No. 2 2015 ini, akhir-akhir ini telah muncul wacana counter policy untuk mengatasi dampak negatif yang dirasakan oleh para pengguna alat tangkap yang dilarang tersebut, melalui pemberian bantuan berupa alat tangkap alternatif. Oleh karena itu, selain Simulasi-1, pada penelitian ini juga akan dilakukan Simulasi-2, untuk menunjukkan dampak ekonomi dari counter policy tersebut. Tabel 4-3.2. menunjukkan hasil olahan data statistik dari empat alat tangkap yang akan diberikan kepada para nelayan sebagai pengganti keenam alat tangkap yang dilarang. Tabel 4-3. 2. Data Statistik Empat Alat Tangkap Pengganti Produktivitas Alat Tangkap Unit Produksi (Ton) (Ton/Unit) 22.310 1.178.597 52,83 1 Pukat Cincin 131.135 542.792 4,14 2 Jaring Insang Hanyut 20.255 160.825 7,94 3 Jaring Insang Lingkar 111.361 421.330 3,78 4 Jaring Insang Tetap Total Sumber: Data Statistik Perikanan Tangkap 2013, Ditjen Perikanan Tangkap-KKP Share 18% 1% 3% 1% 23% Dari tabel 4-3.2 tersebut diperoleh informasi bahwa pada tahun 2013 yang lalu, keempat alat tangkap tersebut secara total memberikan kontribusi produktivitas terhadap sektor perikanan sebesar 23%. Oleh karena itu, apabila terjadi peningkatan volume dari keempat alat tangkap tersebut sebesar 100% dari angka 2013, maka akan terjadi peningkatan produktivitas sebesar 23%, sehingga secara total, Simulasi-2 akan mengakibatkan penurunan produktivitas di subsektor perikanan tangkap sebesar 1% saja (Penurunan Produktivitas akibat berkurangnya alat-alat yang dilarang sebesar 24% - Peningkatan produktivitas akibat peningkatan alat tangkap alternatif HASIL KEGIATAN|Prakiraan Dampak Implementasi Peraturan Menteri KP No. 2/2015 pada Usaha Perikanan Tangkap 62 LAPORAN TEKNIS [KAJIAN KHUSUS BBPSEKP TAHUN 2015] sebesar 23%). Secara singkat, pada penelitian ini akan dilakukan dua buah simulasi. Simulasi-1 yang menggambarkan dampak dari penerapan PERMEN KP No. 2 2015; dan Simulasi-2 yang menggambarkan dampak dari penerapan PERMEN KP No. 2 2015, dan penerapan counter policy berupa pemberian alat tangkap alternatif. Keterangan mengenai kedua simulasi yang akan dilakukan pada penelitian ini dapat dilihat pada tabel 4-3. 3. Tabel 4-3. 3. Simulasi yang dilakukan pada penelitian No. Simulasi Keterangan Variabel 1 Simulasi-1 Menggambarkan dampak Produktivitas dilarangnya alat tangkap Subsektor Perikanan trawl Tangkap Produktivitas 2 Simulasi-2 1. Menggambarkan dampak dilarangnya Subsektor Perikanan alat tangkap trawl Tangkap 2. Menggambarkan Produktivitas dampak pemberian alat subsektor perikanan tangkap pengganti tangkap Besaran Menurun sebesar 24% Menurun sebesar 24% Meningkat sebesar 23% Pembahasan Kebijakan Permen KP No. 2/2015 Hukum dapat berfungsi sebagai sarana pembaharuan di dalam masyarakat. Permen KP No. 2/2015, telah memberikan aturan dan norma baru guna mewujudkan pelestarian SDI. Ketentuan dan norma baru tersebut mengatur mengenai pelarangan alat tangkap Trawls dan Seine Nets. Pengembalian manfaat ekonomi yang lebih besar kepada negara untuk kesejahteraan nelayan tradisional, membawa perubahan pengelolaan penangkapan ikan. Kondisi ini terjadi karena adanya pergeseran nilai dan kultur masyarakat seiring dengan adanya perubahan kebijakan. Keberadaan Permen KP No. 2/2015, merupakan dasar seluruh proses sosial maupun pengelolaan SDI. Kondisi ini menimbulkan perubahan kebiasaan dalam memanfaatkan SDI, sehingga memerlukan adanya upaya penyesuaian untuk menyikapinya. Tata Bahasa Permen KP No. 2/2015, merupakan rangkaian bahasa yang memuat ketentuan tentang upaya pemerintah (KKP) untuk mengelola sumber daya kelauatan dan perikanan dalam wilayah kedaulatan Indonesia. Mengacu kepada hal tersebut, naskah resmi Permen KP No. 2/2015 harus menggunakan tata bahasa yang baik dan benar. Hal tersebut dimaksudkan, agar maksud yang diinginkan pemerintah (KKP) dapat tersampaikan dan dipahami dengan baik. Berdasarkan kajian diketahui, bahwa struktur bahasa yang digunakan untuk judul Permen KP No. 2/2015 kurang memperhatikan tata Bahasa Indonesia yang baik dan benar. Kata asing (Trawls) dan (Seine Nets) seharusnya dihilangkan, karena sudah memiliki kata baku di dalam bahasa Indonesia (Pukat Hela dan Pukat Tarik). Konsistensi penerjemahan kata asing kurang diperhatikan oleh pelaksana/pembuat kebijakan (seharusnya seluruh kata asing diterjemahkan semua). Kebiasaan umum untuk pembuatan peraturan resmi sebaiknya tidak memasukkan kata asing, kecuali kata yang dimaksud belum memiliki padanan resmi dalam Bahasa Indonesia. Banyaknya kalimat/kata yang tidak efektif dalam Permen KP No. 2/2015, menyebabkan kalimat yang dimaksud terlalu panjang. Pasal 1 yang memuat pengertian umum, seharusnya berisi tentang definisi kata/kalimat yang menjadi ketentuan umum dan disebutkan secara berulang-ulang. Hal tersebut untuk menghindari penulisan yang tidak efektif dan efisien. Kondisi ini menunjukkan bahwa, pembuatan Permen ini HASIL KEGIATAN|Prakiraan Dampak Implementasi Peraturan Menteri KP No. 2/2015 pada Usaha Perikanan Tangkap 63 LAPORAN TEKNIS [KAJIAN KHUSUS BBPSEKP TAHUN 2015] dilakukan secara terburu-buru atau perancang peraturan kurang memahami tata cara penulisan peraturan resmi yang baik. Judul Permen KP No. 2/2015, tentang “larangan penggunaan alat penangkapan ikan”, mempunyai terminologi yang berbeda dengan yang dimaksud dalam permen itu sendiri. Menurut Pusat Bahasa (2008) definisi penangkapan adalah, proses, cara, perbuatan menangkap, sedangkan definis penangkap adalah alat untuk menangkap. Berdasarkan terminologi kata tersebut diketahui bahwa akhiran “an”, memberikan makna kata kerja dan bukan kata benda. Maksud pembuatan kebijakan di dalam Permen KP No. 2/2015, adalah bahwa yang dilarang adalah alat tangkap (alat penangkap) dan bukan prosesnya. Penulisan kata pada peraturan resmi sebesar Peraturan Menteri, seyogyanya tidak boleh ada kesalahan dalam struktur dan tata bahasa, serta memperhatikan kaedah pembuatan peraturan yang benar. Hal ini untuk menghindari adanya ambiguitas dan pemahaman yang berbeda bagi pembacanya. Kesalahan penulisan atau kaedah dalam Permen KP No. 2/2015 memang bukan faktor yang dapat membatalkan kebijakan tersebut, akan tetapi dapat menyebabkan keraguan terhadap kapabilitas perancang peraturan yang dimiliki pemerintah (KKP). Kesalahan penulisan yang memiliki intepretasi/pemahaman yang berbeda seharusnya dihindari, karena dapat menjadi celah untuk menghindari kebijakan yang dimaksud. Implementasi Permen KP No. 2/2015 Dasar pertimbangan lahirnya Permen KP No. 2/2015, adalah menurunnya SDI dan terancamnya kelestarian lingkungan, yang diakibatkan oleh penggunaan alat penangkapan ikan Trawls dan Seine Nets. Potensi yang dimiliki tersebut, harus dikelola secara berkesinambungan dan berwawasan global dengan memperhatikan keberlanjutannya berdasarkan hukum nasional. Supriatna (2008), berpendapat bahwa pelestarian sumber daya salah satunya harus memperhatikan spesies komunitas. Hal ini dimaksudkan agar tercapai pemanfaatan yang optimal, serta terjaminnya kelestarian sumber daya ikan dan lingkungannya. Secara umum Permen KP No. 2/2015, mengatur tentang jenis alat tangkap Trawls dan Seine Nets yang dilarang digunakan. Pelarangan penggunaan alat tangkap Trawls, sebelumnya sudah diatur melalui Keputusan Presiden Nomor 39 Tahun 1980, tentang Penghapusan Jaring Trawl (Keppres No. 39/1980). Penerbitan Keppres No. 39/1980, dilatarbelakangi untuk mendorong peningkatan produksi yang dihasilkan oleh nelayan tradisional dan untuk menghindari ketegangan sosial. Secara umum Keppres No. 39/1980, mengatur mengenai penghapusan jumlah kapal yang menggunakan alat tangkap Trawl secara bertahap yang beroperasi sekitar wilayah Jawa dan Bali. Keppres No. 39/1980, dapat dikatakan belum efektif karena alat tangkap Trawl masih tetap digunakan oleh para nelayan sampai diterbitkannya Permen KP No. 2/2015. Beberapa kemungkinan yang menyebabkan Keppres ini kurang efektif adalah: sistem pengawasan yang buruk; ketegasan aparatur di lapangan; serta pemberian sanksi yang keras. Permen KP No. 2/2015, merupakan bukti ketegasan pimpinan tertinggi KKP pada era pergantian presiden yang baru. Disahkannya Permen KP No. 2/2015, sayangnya mendapatkan penolakan dari nelayan yang selama ini menggunakan alat tangkap Trawl dan Seine Nets. Menurut Suara Merdeka1 (2015): “Para nelayan di Kota Pekalongan tidak terdampak secara langsung Peraturan Menteri (Permen) Kelautan dan Perikanan Nomor 2 Tahun 2015 yang melarang penggunaan alat tangkap ikan pukat hela (trawls) dan pukat tarik. Namun nelayan yang tergabung dalam Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia (HNSI) Kota Pekalongan menyatakan sikap menolak Permen yang diberlakukan sejak 9 Januari tersebut. Kepala Pelaksana Harian dan Bendahara HNSI Kota Pekalongan, Imamnu mengatakan, di Kota Pekalongan nelayan dalam mencari ikan menggunakan alat grinaid atau dengan jaring nilon. Sehingga tidak terdampak langsung dengan peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan tersebut yang melarang penggunaan alat tangkap ikan pukat hela dan pukat tarik.Namun sebagai wujud solidaritas sesama nelayan, tentu saja kami juga merasa keberatan dengan peraturan HASIL KEGIATAN|Prakiraan Dampak Implementasi Peraturan Menteri KP No. 2/2015 pada Usaha Perikanan Tangkap 64 LAPORAN TEKNIS [KAJIAN KHUSUS BBPSEKP TAHUN 2015] tersebut. Peraturan itu akan membuat banyak ribuan nelayan bahkan jutaan nelayan akan kehilangan mata pencaharaiannya”. Menurut Suara Merdeka2 (2015): “Gelombang penolakan terhadap pemberlakukan Peraturan Menteri (Permen) Kelautan dan Perikanan RI Nomor 2 Tahun 2015 tentang Larangan Penggunaan Alat Tangkap Ikan Pukat Hela (Trawls) dan Pukat Tarik (Seine Nets) di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara RI, terus berdatangan termasuk dari para nelayan di Brebes dan HNSI Cabang Brebes. Pemberlakukan Permen itu membuat para nelayan tidak bisa melaut. Apalagi, di Kabupaten Brebes mayoritas nelayannya menggunakan alat tangkap yang termasuk dilarang dalam permen tersebut. Kami minta kebijakan yang telah diberlakukan sejak 9 Januari lalu ini, dikaji ulang karena dinilai menyengsarakan nelayan. Kami tidak bisa melaut karena imbas pemberlakuan kebijakan tersebut. Hal ini dikarenakan, mayoritas nelayan Brebes menggunakan alat tangkap yang termasuk dilarang dalam Permen. Imbas diberkalukan kebijakan itu kini sudah puluhan kapal nelayan tidak bisa melaut karena izinnya tidak keluar. Jika itu dibiarkan, berarti para nelayan tidak mendapatkan penghasilan karena tidak melaut”. Berdasarkan kedua kasus tersebut, diketahui bahwa pemberlakuan Permen KP No. 2/2015, ternyata tidak melalui sosialisasi terlebih dahulu. Situasi ini menurut Rahardjo (2009), menyebabkan terjadinya hambatan sehingga sulit bagi hukum untuk dapat mengaturnya dengan berhasil. Cakupan materi Permen KP No. 2/2015, bisa dikatakan kebijakan yang membutuhkan pendekatan sosiologis dan memerlukan proses. Hal ini menuntut adanya keseriusan proses sosialisasi secara holistik, agar muatan materinya bisa dipahami dan dilaksanakan dengan baik. Menurut Abdurrahman (2009), proses sosialisasi hukum sangat diperlukan agar masyarakat berperilaku sebagaimana yang diharapkan oleh hukum. Sosialisasi permen KP No. 2/2015, pada pelaksanaannya tidak tersampaikan dengan baik kepada masyarakat nelayan. Menurut Soekanto dalam Abdurrahman (2009), derajat tinggi rendahnya kepatuhan terhadap hukum positif tertulis, salah satunya didasarkan pengetahuan dan pemahaman hukum. Pengenalan kebijakan Permen KP No. 2/2015, implementasinya kurang mendapat respon yang baik. Kondisi tersebut, disebabkan nelayan kurang memahami dengan baik tujuan kebijakan tersebut. Efektivitas pengelolaan perikanan menuju ke arah yang lebih baik, memerlukan rencana aksi untuk mencapai target yang diinginkan. Perumusan rencana aksi idealnya didukung dengan kajian penelitian yang komprehensif, serta dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Berlakunya Permen KP No. 2/2015 dirasakan sangat terburu-buru dan dipaksakan. Kebijakan yang diatur dalam permen tersebut, seharusnya melalui kajian ilmiah terlebih dahulu (khususnya sosial dan ekonomi). Kajian ilmiah sosial dan ekonomi diperlukan untuk mengetahui dampak yang akan ditimbulkan dalam mengantispasi tidak tercapainya tujuan yang dimaksud. Kepastian hukum sangat dibutuhkan untuk memperhitungkan dan mengantisipasi resiko diberlakukannya suatu peraturan sebagai kebijakan publik (Sulistiyono dan Rustamaji, 2009). Satjipto Rahardjo dalam Abdurrahman (2009), menyatakan bahwa tata hukum itu merupakan saringan yang menyaring kebijaksanaan pemerintah, sehingga menjadi tindakan yang dapat dilaksanakan. Pelarangan alat tangkap yang diatur Permen KP No. 2/2015, seharusnya pemerintah (KKP) sudah mempersiapkan alternatif untuk menggantinya atau telah mempunyai perencanaan matang dalam mengantisipasinya. Kondisi ini membutktikan bahwa pemerintah (KKP) belum mampu menciptakan kebijakan yang mampu diterapkan untuk mengatasi permasalahan. Menurut Subarsono (2011), ketika kebijakan publik berisi nilai yang bertentangan dengan nilai yang hidup di masyarakat, maka kebijakan publik tersebut akan mendapat resistensi ketika diimplementasikan. Tanggung jawab pemerintah (KKP) sebagai sebuah institusi, dapat dikatakan kurang sejalan dengan kapasitas organisasi yang dimiliki. Implikasi permasalahan governance yang HASIL KEGIATAN|Prakiraan Dampak Implementasi Peraturan Menteri KP No. 2/2015 pada Usaha Perikanan Tangkap 65 LAPORAN TEKNIS [KAJIAN KHUSUS BBPSEKP TAHUN 2015] terjadi dengan berlakunya Permen KP No. 2/2015, telah menegaskan adanya persoalan kebijakan operasional di lapangan. Persoalan tersebut, terlihat pada hilangnya beberapa komponen penting governance dalam prosesi pengawalan tindak lanjut Permen KP No. 2/2015 yang sudah dilakukan. Posisi Pemerintah (KKP) dalam Menyikapi Berlakukan Permen KP No. 2/2015 Kebijakan merupakan alat utama yang dijadikan pedoman pengaturan pelaksanaan tugas kepemerintahan. Kebijakan sebagai instrumen pengelolaan pemerintahan, merupakan mata rantai utama dalam operasionalisasi fungsi kepemerintahan. Sebagai mata rantai utama, jika kebijakan itu keliru atau tidak tepat dalam menangani persoalan pembangunan suatu wilayah, konsekuensinya adalah kegagalan pemerintah sebagai fungsi implementatif (Islamy, 2004). Posisi hukum yang dapat diambil pemerintah (KKP) terhadap disahkannya Permen KP No. 2/2015, dapat dilihat pada Tabel 4-3.4. Tabel 4-3. 4. Posisi Hukum Pemerintah Terhadap Berlakunya Permen KP No. 2/2015 Posisi Hukum Strategi Implikasi Melakukan sosialiasi yang baik Membentuk tim khusus yang bekerja 2/2015 tetap sama dengan otoritas daerah untuk diberlakukan melakukan pendekatan secara sosiologis kepada nelayan yang menggunakan alat penangkap Trawls dan Seine Nets Menyiapkan sistem manajemen pengawasan yang ketat dan terpadu Mengatur pemberian sanksi yang tegas bagi pelanggarnya Melakukan kajian ilmiah terkait pengganti alat tangkap ramah lingkungan Membuat petunjuk pelaksana terhadap pengaturan operasional alat penangkap Trawls dan Seine Nets Merevisi Mencantumkan pasal yang terkait pengaturan sanksi Permen KP No. Menambah muatan materi dalam Pasal 2/2015 1 yang terkait definisi/pengertian asing dan pengulangan kata Menambahkan pasal yang mengatur tentang tata cara pelaksanaan penghapusan alat penangkap Trawls dan Seine Nets Menambahkan pasal yang memberikan solusi alternatif pengganti alat penangkap Trawls dan Seine Nets Mencabut Menyiapkan rancangan Peraturan Menteri yang baru yang lebih terarah Permen KP No. dalam mengantisipasi pemberlakuannya 2/2015 Menyiapkan tenaga ahli untuk perancang peraturan untuk membuat naskah resminya Permen KP No. Terjadi gelombang penolakan oleh nelayan yang menggunakan alat penangkap Trawls dan Seine Nets Menyiapkan alternatif pengganti alat penangkapTrawls dan Seine Nets Merencanakan alternatif pekerjaan/usaha bagi tenaga kerja yang menggatungkan kehidupannya dari alat penangkap Trawls dan Seine Nets Mengalokasikan anggaran khusus untuk memberikan insentif kepada nelayan atau membuat program baru Menyiapkan tenaga ahli (Balitbang KP) untuk mengkaji permasalahan yang terjadi di lapangan (sosial dan ekonomi) Membutuhkan waktu dan anggaran tambahan kembali untuk menyusun naskah peraturan resminya Pemborosan terhadap anggaran negara dan waktu Kredibilitas pemerintah (KKP) dalam membuat kebijakan dimata publik sudah diragukan kapasitasnya HASIL KEGIATAN|Prakiraan Dampak Implementasi Peraturan Menteri KP No. 2/2015 pada Usaha Perikanan Tangkap 66 LAPORAN TEKNIS Posisi Hukum [KAJIAN KHUSUS BBPSEKP TAHUN 2015] Strategi Implikasi Melakukan kajian ilmiah secara komprehensif berbagai kemungkinan yang akan terjadi, agar pemberlakukan kebijakannya dapat digunakan untuk jangka waktu panjang Berdasarkan Tabel diatas, diketahui bahwa setiap tindakan hukum terhadap disahkannya Permen KP No. 2/2015, memiliki implikasi yang membutuhkan pemikiran, tenaga, waktu, dan anggaran lebih untuk menyikapinya. Kondisi ini sebenarnya bisa dihindari, jika pemerintah (KKP) melakukan kajian ilmiah terlebih dahulu dan memliki sumber daya manusia yang kompeten dalam merancang peraturan. Menurut Subarsono (2011), suatu kebijakan yang telah direkomendasikan untuk ditetapkan bukanlah jaminan bahwa kebijakan tersebut pasti berhasil diimplementasikan. Inti kebijakan dimaknai bahwa apabila pemerintah ingin melaksanakan sesuatu, maka harus ada tujuan dan kebijaksanaannya (meliputi semua tindakan pemerintah). Posisi pemerintah (KKP) bukan sekedar mengutarakan keinginannya saja, tetapi juga harus menerapkan secara benar kebijakan yang telah dikeluarkan. Dampak Sosial Permen KP No. 2/2015 Menurut Scott (2008), kelembagaan mencakup regulasi, norma, dan elemen budaya kognitif, bersama-sama dengan kegiatan dan sumber daya yang ada, dalam upaya mewujudkan stabilitas serta memaknai sesuatu dalam kehidupan sosial. Yustika (2006), mengatakan bahwa perubahan kelembagaan dianggap mempunyai kekuatan aktif (besar) dalam mempengaruhi aspek kehidupan sosial, hukum, ekonomi, dan lainnya. Kedua pendapat tersebut memberikan pandangan, apabila norma yang mengatur interaksi sosial berubah, maka seluruh pola hubungan sosial masyarakat dapat pula berubah. Penerbitan Permen KP No.2/2015, secara umum memberikan dampak terhadap keberlangsungan usaha perikanan tangkap di seluruh wilayah perairan Indonesia, khususnya bagi wilayah yang didominasi oleh armada yang menggunakan alat tangkap tersebut, antara lain wilayah Banten, Cirebon, Brebes, Tegal, Pemalang, Batang, dan Madura. Larangan penggunaan jaringan cantrang yang dikeluarkan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) terus mendapatkan penolakan dari masyarakat nelayan. Sedikitnya 100 ribu jiwa terkena dampak langsung dari penerbitan Permen KP No. 2/2015 dan lebih dari 500 ribu jiwa lainnya yang terkena dampak tidak langsung akibat terhentinya aktivitas anak buah kapal (Liputan 6, 2015). Berdasarkan informasi yang diperoleh, diketahui bahwa ada beberapa nelayan (pemilik, nahkoda, dan ABK) yang mengalami kerugian secara langsung. Hal tersebut dikarenakan tidak dapat beroperasinya armada penangkapan yang mereka miliki. Pihak yang langsung terkena dampak regulasi ini adalah pengusaha kapal, nelayan, maupun pekerja di sektor industri perikanan yang mengandalkan pasokan bahan baku ikan dari kapal cantrang (80 persen nelayan di Jawa Tengah menggunakan jenis alat tangkap cantrang atau sejenisnya). Para nelayan itu tersebar dihampir semua daerah pantai di Jawa Tengah, mulai dari Brebes, Tegal, Pemalang, Batang, Pati, dan Rembang (Liputan 6, 2015). Di Jawa Tengah, sebanyak 120.966 nelayan menggantungkan hidupnya dengan cantrang tersebut. Mereka menggunakan 10.758 unit kapal atau 41,25% dari total jumlah kapal yang ada di provinsi ini. Jaring cantrang banyak digunakan kapal-kapal nelayan di wilayah pantura Jawa. Alat tangkap cantrang, payang, dan sejenisnya, sebenarnya muncul sebagai solusi atas HASIL KEGIATAN|Prakiraan Dampak Implementasi Peraturan Menteri KP No. 2/2015 pada Usaha Perikanan Tangkap 67 LAPORAN TEKNIS [KAJIAN KHUSUS BBPSEKP TAHUN 2015] penghapusan jaring trawl atau pukat harimau, seperti diatur dalam Keputusan Presiden No 39 tahun 1980. Jumlah kapal yang menggunakan alat tangkap cantrang, payang, dogol, dan sejenisnya dengan berbagai ukuran dan kapasitas mencapai lebih dari 1.500 unit. Setiap kapal cantrang berukuran 30 gross tonnage (GT) melibatkan 20 orang dalam melaut. Serapan tenaga kerja dari sektor hasil tangkapan cantrang memang besar, karena banyak perusahaan yang melakukan pengolahan bahan baku ikan bernilai ekspor ini. Industri pengolahan ikan hasil tangkapan cantrang, seperti filet ikan, tepung ikan, dan lainnya (Sindonews.com, 2015 diakses pada 16 Maret 2015). Penerbitan Permen KP No. 2/2015, berdampak pada aktivitas usaha penangkapan dengan alat tangkap cantrang di Jawa Tengah, baik dari hulu dan hilir. Secara sosial dampak dari penerbitan Permen KP No. 2/2015ini yaitu terjadinya perubahan status pekerjaan, dimana yang terlihat jelas adalah pada Anak Buah Kapal. ABK kapal cantrang yang sudah tidak beroperasi lagi, pada umumnya beralih mata pencaharian. Ada yang menjadi nelayan pada armada dengan alat tangkap selain cantrang (pancing, bubu), menjadi pembudidaya, beralih ke sektor pertanian dan bagi ABK yang tidak memiliki kesempatan kerja maka sebagian besar menjadi pengangguran. Dampak Ekonomi Permen KP No. 2/2015 Bagian ini akan menjelaskan hasil dari kedua simulasi yang dilakukan dengan menggunakan model Pembangunan Makro Ekonomi CGE KP, yang berupa dampak ekonomi dari pemberlakukan PERMEN KP No. 2/2015, baik di tingkat makro maupun di tingkat mikro. Subbagian pertama akan membahas dampak ekonomi di tingkat makro (Nasional), dilanjutkan dengan dampak ekonomi di tingkat mikro (Sektor KP). Dampak Terhadap Perekonomian Nasional Hasil olahan model dari Simulasi-1 dan Simulasi-2 telah diringkas pada Tabel 4-3.5. Pada tersebut dapat dilihat dampak dari kedua simulasi terhadap besaran empat variabel makro ekonomi nasional, yaitu: 1). Pertumbuhan ekonomi Nasional yang diwakili oleh Real GDP; 2). Inflasi yang diwakili oleh Consumer Price Index (CPI); 3). Pertumbuhan volume ekspor Nasional; dan 4). Pertumbuhan volume impor Nasional. Tabel 4-3. 5. Variabel Perkiraan Dampak Kedua Simulasi Terhadap Perekonomian Nasional Simulasi-1 Simulasi-2 Real GDP (%) -0,93 -0,027 Consumer price index (%) 1,289 0,031 Export volume index (%) 0,651 0,004 -0,705 -0,014 Import volume index, C.I.F. weights (%) Sumber: Olahan Model Ekonomi Makro Pembangunan KP, 2014 Pemberlakuan PERMEN KP No. 2/2015 diperkirakan akan berkontribusi terhadap penurunan pertumbuhan ekonomi nasional. Pemberlakuan tanpa disertai dengan counter policy akan mengakibatkan penurunan pertumbuhan nasional yang cukup signifikan, yaitu sebesar 1%. Apabila pemberlakuan peraturan tersebut disertai dengan counter policy, meskipun diperkirakan tetap mengakibatkan penurunan pertumbuhan, akan tetapi besarannya tidak terlalu signifikan, yaitu sebesar 0,027% saja. Dari sisi inflasi, pemberlakuan peraturan ini juga cenderung mengakibatkan terjadinya inflasi. Tanpa disertai counter policy, maka penerapan peraturan ini akan secara cukup kuat HASIL KEGIATAN|Prakiraan Dampak Implementasi Peraturan Menteri KP No. 2/2015 pada Usaha Perikanan Tangkap 68 LAPORAN TEKNIS [KAJIAN KHUSUS BBPSEKP TAHUN 2015] mendorong terjadinya inflasi, dengan perkiran besaran 1,3%. Jika pemberlakuan peraturan tersebut dilakukan dengan disertai counter policy, meskipun tetap mendorong terjadinya inflasi, akan tetapi besarannya relatif jauh lebih rendah pada kisaran 0,031% saja. Dampak pelarangan alat tangkap trawl berdampak positif terhadap perdagangan internasional Indonesia. Hal tersebut dapat dilihat dari terjadinya pertumbuhan volume ekspor nasional dan menurunnya volume impor nasional. Pemberlakuan peraturan tanpa counter policy diperkirakan akan mengakibatkan pertumbuhan volume ekspor nasional sebesar 0,7% dan penurunan volume impor nasional sebesar 0,7%. Sedangkan pemberlakuan peraturan dengan disertai counter policy diperkirakan akan mengakibatkan pertumbuhan volume ekspor nasional dan volume impor nasional dengan besaran yang relatif lebih kecil, masing-masing sebesar 0,004% dan 0,014%. Dampak Terhadap Perekonomian Mikro Sektor KP Hasil olehan model atas kedua simulasi telah diringkas pada tabel 6. Dampak dari simulasi dilihat dari empat variabel mikro ekonomi sektor KP, yaitu: 1). Produksi Domestik; 2). Harga Komoditas; 3). Ekspor Komoditas; dan 4). Impor Komoditas. Pada bagian selanjutnya, dampak penerapan peraturan terhadap masing-masing variabel tersebut akan dijelaskan. Tabel 4-3. 6. Perkirakaan Dampak Kedua Simulasi Terhadap Beberapa Variabel Mikro di Sektor KP Indonesia Produk Produksi Domestik Sim-1 Sim-2 Sim-1 Sim-2 Sim-1 Sim-2 Sim-1 Sim-2 TTC -10,826 -0,422 78,201 2,142 -5,26 -11,859 -0,479 2,646 -2,827 -0,08 112,08 3 -11,92 6,439 0 114,40 7 226,48 9 -15,329 3,716 Ikan Tangkap Lain 76,619 84,795 0 -0,499 Kerapu -11,234 -0,47 3,042 -0,47 -5,485 -0,084 Ikan Budidaya Lain Udang -3,135 -0,092 0,365 0,012 -2,478 -0,055 -8,251 24,361 0,502 Garam -2,707 -0,06 -4,281 0 0 259,48 8 0 13,86 5 0 Ikan Kering -6,023 -0,155 15,418 0,376 0,198 0,103 0,297 7,334 7,334 0,96 -0,084 -11,234 91,982 91,982 35,361 -5,484 Rumput Laut 179,95 4 179,95 4 -11,262 -52,51 33,976 0,592 Ikan Olahan -6,601 -0,167 24,396 0,466 1,529 2,436 38,836 0,64 Patin Harga Ekspor -0,4 3,042 68,807 Impor 5,194 Sumber: Olahan Model Ekonomi Makro Pembangunan KP, 2014 Produksi Domestik Komoditas KP Subsektor perikanan tangkap nampaknya memiliki keterkaitan yang cukup tinggi dengan berbagai subsektor KP lainnya. Hal tersebut dapat dilihat dari dampak penurunan produktivitas di subsektor perikanan tangkap yang ternyata berpengaruh terhadap seluruh komoditas KP. Baik dengan maupun tanpa counter policy, pelarangan penggunaan alat tangkap trawl ternyata berdampak terhadap penurunan produksi domestik seluruh komoditas KP Indonesia. Meskipun tetap mengakibatkan penurunan produksi domestik seluruh komoditas KP Indonesia, akan tetapi HASIL KEGIATAN|Prakiraan Dampak Implementasi Peraturan Menteri KP No. 2/2015 pada Usaha Perikanan Tangkap 69 LAPORAN TEKNIS [KAJIAN KHUSUS BBPSEKP TAHUN 2015] dapat dilihat bahwa penerapan peraturan dengan disertai counter policy secara signifikan mampu meredam dampak buruk penerapan peraturan terhadap produksi domestik berbagai komoditas KP, seperti dapat dilihat pada Gambar 4-3.1. Dampak terburuk terhadap produksi domestik akibat pelarangan trawl tanpa counter policy dialami oleh kelompok Komoditas Primer yang dihasilkan di laut, Ikan Tangkap Lain merupakan komoditas KP yang mengalami penurunan produksi domestik tertinggi sebesar hampir 12%, disusul oleh komoditas Rumput laut dan Kerapu sebesar 11%, dan komoditas TTC sebesar hampir 11%. Kelompok berikutnya yang mengalami penurunan produksi domestik tertinggi adalah komoditas KP olahan, Ikan Olahan mengalami penurunan produksi domestik sebesar hampir 7%, dan Ikan Kering mengalami penurunan produksi domestik sebesar 6%. Komoditas KP lainnya juga mengalami penurunan produksi domestik, akan tetapi dengan besaran di bawah 4% saja. Ikan Olahan Ikan Kering Garam Udang Ikan Budidaya Lain Rumput Laut Kerapu Patin Ikan Tangkap Lain TTC -14 -12 -10 -8 Produksi Domestik Simulasi-2 -6 -4 -2 0 Produksi Domestik Simulasi-1 Gambar 4-3. 1. Dampak Kedua Simulasi terhadap Produksi Domestik Berbagai komoditas KP Indonesia Sumber: Olahan Model Ekonomi Makro Pembangunan KP, 2014 Efektifitas dari counter policy yang dilakukan, seperti yang ditunjukkan pada Gambar 43. 1., dapat dikatakan sangat tinggi. Pelarangan alat tangkap trawl disertai dengan counter policy ternyata mampu meredam penurunan produksi domestik seluruh komoditas KP Indonesia ke ratarata besaran di bawah 0,5%. Harga Komoditas KP Berbeda dengan variabel produksi domestik KP, pelarangan penggunaan trawl mengakibatkan gejolak terhadap variabel harga komoditas KP dengan arah yang berbeda. Beberapa komoditas KP – terutama yang dihasilkan di laut – mengalami peningkatan harga, sedangkan komoditas lainnya mengalami penurunan harga. Secara grafis, gejolak tersebut telah diringkas dan dapat dilihat pada Gambar 4-3.2. Pelarangan alat tangkap trawl tanpa disertai counter policy diperkirakan akan mengakibatkan gejolak harga yang cukup signifikan. Peningkatan harga tertinggi terjadi pada HASIL KEGIATAN|Prakiraan Dampak Implementasi Peraturan Menteri KP No. 2/2015 pada Usaha Perikanan Tangkap 70 LAPORAN TEKNIS [KAJIAN KHUSUS BBPSEKP TAHUN 2015] empat komoditas KP Primer berikut: Rumput laut dan Kerapu dengan besaran sekitar 180%, Ikan Tangkap Lain sebesar 112%, dan TTC sebesar mendekati 80%. Selain komoditas KP primer, Komoditas KP olahan juga mengalami peningkatan harga, Ikan Olahan mengalami peningkatan harga sebesar 24%, sedangkan Ikan Kering mengalami peningkatan harga sebesar 15%. Peningkatan harga tersebut terjadi sebagai efek dari terjadinya pengurangan pasokan. Komoditas lainnya diperkirakan akan mengalami penurunan harga, seperti Garam sebesar 4%, Udang sebesar 8%, Patin dan Ikan Budidaya Lain sebesar 11%. Penurunan harga tersebut dimungkinkan terjadi sebagai akibat penurunan permintaan dari keempat komoditas tersebut. Ikan Olahan Ikan Kering Garam Udang Ikan Budidaya Lain Rumput Laut Kerapu Patin Ikan Tangkap Lain TTC -50 0 50 Harga Simulasi-2 100 150 200 Harga Simulasi-1 Gambar 4-3. 2. Dampak Kedua Simulasi terhadap Harga Berbagai komoditas KP Indonesia Sumber: Olahan Model Ekonomi Makro Pembangunan KP, 2014 Dari Gambar 4-3.2. Dapat dilihat betapa efektif counter policy yang dilakukan dalam meredam gejolak harga yang diperkirakan akan terjadi. Peningkatan harga yang sangat tinggi pada komoditas rumput Laut, Kerapu, Ikan Tangkap Lain, dan TTC, dengan besaran rata-rata ratusan persen, mampu diredam hingga menurun pada kisaran 2-3% saja. Komoditas lainnya bahkan dapat dikatakan hampir tidak mengalami perubahan harga. Sehingga dapat dikatakan bahwa counter policy yang dilakukan mampu menjaga stabilitas harga berbagai komoditas KP Indonesia. Ekspor Komoditas KP Dari sisi perdagangan internasional, pelarangan penggunaan alat tangkap trawl tanpa disertai counter policy diperkirakan akan berdampak terhadap menurunnya nilai ekspor hampir seluruh komoditas KP secara signifikan. Meskipun demikian, hasil simulasi juga menunjukkan bahwa beberapa komoditas KP tetap mampu mengalami pertumbuhan nilai ekspor – terutama komoditas KP budidaya. Gambar 4-3.3. Secara ringkas menunjukkan dampak dari pelarangan alat tangkap trawl terhadap nilai ekspor berbagai komoditas KP Indonesia. HASIL KEGIATAN|Prakiraan Dampak Implementasi Peraturan Menteri KP No. 2/2015 pada Usaha Perikanan Tangkap 71 LAPORAN TEKNIS [KAJIAN KHUSUS BBPSEKP TAHUN 2015] Ikan Olahan Ikan Kering Garam Udang Ikan Budidaya Lain Rumput Laut Kerapu Patin Ikan Tangkap Lain TTC -100 -80 -60 -40 Ekspor Simulasi-2 -20 0 20 40 60 Ekspor Simulasi-1 Gambar 4-3. 3. Dampak Kedua Simulasi Terhadap Angka Ekspor Komoditas KP Indonesia Sumber: Olahan Model Ekonomi Makro Pembangunan KP, 2014 Penurunan nilai ekspor tertinggi dialami oleh Rumput Laut dan Kerapu sebesar 91%, disusul oleh Ikan Tangkap Lain sebesar 85%, TTC sebesar 77%, Ikan Olahan sebesar 69%, dan Ikan Kering sebesar 53%. Penurunan tersebut nampaknya terjadi sebagai akibat dari berkurangnya pasokan dan peningkatan harga komoditas, yang mengakibatkan menurunnya dayasaing ekspor komoditas KP. Adapun komoditas KP yang diperkirakan akan mengalami peningkatan nilai ekspor adalah Ikan Budidaya Lain sebesar 35%, dan Udang sebesar 24%. Nampaknya faktor penurunan harga kedua komoditas tersebut mengakibatkan terjadinya peningkatan dayasaing sehingga meningkatkan angka ekspor. Dari gambar 4-3.3. dapat diperhatikan bahwa counter policy yang dilakukan diperkirakan akan dapat menahan laju penurunan ekspor secara signifikan. Penurunan ekspor pada enam komoditas KP dengan besaran berkisar antara 53% hingga 91% dapat diredam hingga ke kisaran di bawah 10% saja. Meskipun demikian counter policy tersebut nampaknya akan memiliki trade off, sebab hasil simulasi juga memperkirakan akan terjadinya penurunan terhadap peningkatan ekspor komoditas Ikan Budidaya Lain dan Udang secara signifikan. Impor Komoditas KP Dari sisi lain perdagangan internasional, Variabel Nilai Impor, nampaknya pelarangan alat tangkap trawl berdampak pada peningkatan nilai impor beberapa komoditas KP dengan besaran yang sangat tinggi. Meskipun simulasi juga menunjukkan bahwa beberapa komoditas KP mampu mengurangi nilai impor, akan tetapi besarannya relatif sangat kecil jika dibandingkan peningkatan yang dialami oleh komoditas-komoditas KP lainnya. Gambar 4-3. 4 menunjukkan ringkasan dari hasil kedua simulasi yang dilakukan. HASIL KEGIATAN|Prakiraan Dampak Implementasi Peraturan Menteri KP No. 2/2015 pada Usaha Perikanan Tangkap 72 LAPORAN TEKNIS [KAJIAN KHUSUS BBPSEKP TAHUN 2015] Ikan Olahan Ikan Kering Garam Udang Ikan Budidaya Lain Rumput Laut Kerapu Patin Ikan Tangkap Lain TTC -50 0 50 100 Impor Simulasi-2 150 200 250 300 Impor Simulasi-1 Gambar 4-3. 4. Dampak Kedua Simulasi Terhadap Nilai Impor Berbagai Komoditas KP Indonesia Sumber: Olahan Model Ekonomi Makro Pembangunan KP, 2014 Peningkatan impor Komoditas KP dapat terjadi sebagai akibat berkurangnya pasokan komoditas serupa di dalam negeri, baik untuk tujuan konsumsi maupun untuk tujuan bahan baku industri. Dari hasil simulasi penerapan aturan tanpa counter policy, terlihat bahwa komoditas Udang diperkirakan akan mengalami peningkatan nilai impor tertinggi sebesar 260%, disusul oleh Ikan Tangkap Lain sebesar 227%, TTC sebesar 114%, Ikan Olahan sebesar 39%, dan Ikan Kering sebesar 34%. Sedangkan komoditas lainnya mengalami penurunan angka impor, seperti Patin sebesar 15%, Kerapu dan Rumput Laut sebesar 5%. Gambar 4-3. 4 juga menunjukkan bahwa counter policy yang dilakukan diperkirakan cukup efektif dalam meredam peningkatan permintaan impor yang terjadi. Peningkatan Impor dengan kisaran sebesar 34%-260% dapat diredam menjadi kisaran di bawah 14% saja. Meskipun counter policy ini juga diperkirakan mengurangi penurunan permintaan impor beberapa komoditas KP, akan tetapi angka penurunan tersebut tidak terlalu signifikan dibandingkan dengan peningkatan impor yang dapat diredam. Kesimpulan Pemberlakuan Permen KP No. 2/2015, mempunyai maksud untuk menjaga sumber daya wilayah perairan Indonesia dapat dimanfaatkan secara maksimal dan berkesinambungan. Materi ketentuan Permen KP No. 2/2015 meskipun mempunyai maksud yang baik, tetapi realisasinya mengalami hambatan. Hal ini dikarenakan tidak adanya proses sosialisasi yang baik, kajian ilmiah, dan kurang siapnya pemerintah untuk mengantisipasi kemungkinan yang terjadi dengan berlakunya kebijakan tersebut. Penulisan naskah resmi Permen KP No. 2/2015, berdasarkan kajian belum memenuhi kaedah struktur/tata Bahasa Indonesia yang baik dan benar. Secara umum kebijakan Permen KP No. 2/2015 penetapannya terkesan dipaksakan, sehingga misi yang diharapkan kurang tersampaikan dengan baik. Dampak sosial terkait penerbitan Permen KP No. 2/2015, adalah adanya perubahan status pekerjaan (khususnya ABK). Berubahnya status pekerjaan ini menyebabkan adanya penurunan pendapatan yang diperoleh dan bahkan menghilangkan penghasilan utama. Penetapan Permen KP No. 2/2015, dampak sosial yang paling besar dirasakan adalah meningkatnya angka pengangguran.Pemberlakuan Permen KP No. 2/2015 tanpa disertai counter policy berupa program pengalihan nelayan ke alat tangkap alternatif yang relatif lebih ramah lingkungan HASIL KEGIATAN|Prakiraan Dampak Implementasi Peraturan Menteri KP No. 2/2015 pada Usaha Perikanan Tangkap 73 LAPORAN TEKNIS [KAJIAN KHUSUS BBPSEKP TAHUN 2015] diperkirakan akan berdampak buruk, baik bagi perekonomian secara makro (Nasional) maupun secara mikro (di Sektor KP). Pada sisi ekonomi makro, hasil simulasi menunjukkan pelarangan alat tangkap trawl, ceteris paribus, akan berkontribusi secara signifikan terhadap penurunan pertumbuhan ekonomi nasional sebesar 1%, dan inflasi sebesar 1,3%. Pada sisi ekonomi mikro, hasil simulasi menunjukkan bahwa pelarangan alat tangkap trawl, ceteris paribus, akan mengakibatkan penurunan produksi seluruh komoditas KP secara signifikan, gejolak pada harga seluruh komoditas KP secara signifikan, penurunan nilai ekspor secara signifikan pada beberapa komoditas unggulan KP dan peningkatan nilai impor secara signifikan pada beberapa komoditas unggulan KP. Rekomendasi Kebijakan Berdasarkan hasil kajian, strategi kebijakan yang dapat direkomendasi adalah tetap memberlakukan Permen KP No. 2/2015, dengan melakukan tindak lanjut: Mensosialisasikan dan menyelenggarakan pelatihan penggunaan alat tangkap ramah lingkungan (apabila sudah ada alternatif alat tangkap pengganti); Membentuk tim khusus (KKP) yang bekerja sama dengan otoritas daerah untuk melakukan pendekatan secara sosiologis kepada nelayan yang terkena implikasi Permen KP No. 2/2015; Berkoordinasi dengan pemerintah daerah terkait, perguruan tinggi, organisasi nelayan, dan tokoh masyarakat, untuk melakukan simulasi serta pemantauan lapangan (kegiatan ini dimaksudkan untuk mengetahui: operasional alat tangkap Permen KP No. 2/2015 apakah memiliki status merusak atau tidak merusaknya). Hasil simulasi yang dilakukan nantinya harus dapat diterima oleh semua pihak; Membuat skema pembiayaan untuk membantu nelayan peralihan ke alat tangkap ramah lingkungan melalui organisasi nelayan atau kelembagaan koperasi nelayan; Berkoordinasi dengan pihak terkait (Kementerian Perhubungan/Syahbandar) untuk melakukan pengukuran ulang akte ukuran kapal ikan dan memfasilitasi penerbitan surat izin baru; Membuat petunjuk pelaksana yang jelas dan terarah terhadap pengaturan operasional alat penangkap Trawls dan Seine Nets; Membuat sistem manajemen pengawasan yang ketat dan terpadu terhadap pelaksanaan Permen KP No. 2/2015, terutama terhadap perlindungan wilayah penangkapan bagi nelayan tradisional (bekerja sama dengan organisasi nelayan, institusi penegak hukum. Hal ini untuk menghindari konflik alat tangkap pada setiap provinsi/kabupaten/kota pesisir. Daftar Pustaka Abdurrahman, M. 2009. Sosiologi dan Metode Penelitian Hukum. UMM Press. Malang Dixon, P.B. 1982. Orani: A Multisectoral Model of the Australian Economy. Monash University. Australia Horridge, J.M. 2003. Orani-G: A Generic Single-Country Computable General Equilibrium Model. Center of Policy Studies and Impact Project, Monash University Horridge, J.M. 2008. Handbook of Computable General Equilibrium Modeling: Volume 1A. Oxford: North-Holland Horridge, J.M. Parmenter, B., & Pearson, K. 1988. ORANI-G: A General Equilibrium Model of the Australian Economy. Center of Policy Studies and Impact Project, Monash University. Australia Irianto, S. dan Shidarta. 2009. Metode Penelitian Hukum (Konstelasi dan Refleksi). Yayasan Obor Indonesia. Jakarta HASIL KEGIATAN|Prakiraan Dampak Implementasi Peraturan Menteri KP No. 2/2015 pada Usaha Perikanan Tangkap 74 LAPORAN TEKNIS [KAJIAN KHUSUS BBPSEKP TAHUN 2015] Islamy, M.I. 2004. Prinsip-Prinsip Perumusan Kebijaksanaan Negara. PT. Bumi Aksara. Jakarta Liputan 6. 2015. Nelayan Beber Dampak Besar Larangan Penggunaan Cantrang. http://bisnis.liputan6.com/read/2185219/nelayan-beber-dampak-besar-laranganpenggunaan-cantrang. Tanggal diunduh: 15 Maret 2015Miller, R. E., & Blair, P. D. 1985. Input-Output Analysis: Foundations and Extentions. Prentice Hall, Inc. New Jersey Pusat Bahasa. 2008. Kamus Bahasa Indonesia. Departemen Pendidikan Nasional. Jakarta Rahardjo, S. 2009. Sisi-Sisi Lain dari Hukum di Indonesia. PT Kompas Media Nusantara. Jakarta Scott, R.W. 2008. Institutions and Organizations: Ideas an Interest. Sage Publication. London Sindonews, 2015. Nelayan Protes Larangan Pukat Hela dan Tarik. http://daerah.sindonews. com/read/956325/22/nelayan-protes-larangan-pukat-hela-dan-tarik-1422339985. Tanggal diunduh: 16 Maret 2015 Suara Merdeka1. 2015. HNSI Tolak Permen Kelautan dan Perikanan Nomor 2/2015. http://berita.suaramerdeka.com/smcetak/hnsi-tolak-permen-kelautan-dan-perikanannomor22015/. Tanggal diunduh: 5 Maret 2015 Suara Merdeka2. 2015. Nelayan Tolak Permen Kelautan No 2/2015. http://berita.suara merdeka.com/smcetak/nelayan-tolak-permen-kelautan-no-2-2015/. Tanggal diunduh: 17 Maret 2015 Subarsono, A.G. 2011. Analisis Kebijakan Publik (Konsep, Teori, dan Aplikasi). Pustaka Pelajar. Yogyakarta Sulistiyono, A. dan M. Rustamaji. 2009. Hukum Ekonomi Sebagai Panglima. Masmedia Buana Pustaka. Sidoarjo-Jawa Timur Supriatna, J. 2008. Melestarikan Alam Indonesia. Yayasan Obor Indonesia. Jakarta Tajerin, Rahadian, R., Saptanto, S., Sriluhur, E., Mira, & Muhibuddin. 2014. LAPORAN AKHIR TAHUN: Permodelan Ekonomi Makro Pembangunan Kelautan dan Perikanan Indonesia. BBPSEKP. Jakarta Yustika, A.E. 2006. Ekonomi Kelembagaan: Definisi, Teori, & Strategi. Banyumedia Publishing. Malang Zulham, A., Rahadian, R., Hermanto, Yusuf, A. A., Margoyuwono, Kristyantoadi, S., et al. 2013. LAPORAN TEKNIS: Permodelan Dampak Kebijakan Kelautan dan Perikanan pada Indikator-indikator Keberlanjutan Terkait Kebijakan Blue Ekonomi. BBPSEKP. Jakarta Undang-Undang dan Peraturan Undang-Undang Dasar 1945, Perubahan pertama disahkan 19 Oktober 1999, Perubahan kedua disahkan 18 Agustus 2000, Perubahan ketiga disahkan 10 Nopember 2001, Perubahan keempat disahkan 10 Agustus 2002 Undang-Undang No. 31 Tahun 2004, tentang Perikanan, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 No. 118, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia No. 4433, sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No. 45 Tahun 2009, tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 31 Tahun 2004, tentang Perikanan, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 No. 154, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia No. 5073 Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 2 Tahun 2015, tentang Larangan Penggunaan Alat Penangkapan Ikan Pukat Hela (Trawls) dan Pukat Tarik (Seine Nets) di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia. Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor HASIL KEGIATAN|Prakiraan Dampak Implementasi Peraturan Menteri KP No. 2/2015 pada Usaha Perikanan Tangkap 75 LAPORAN TEKNIS 4.4. [KAJIAN KHUSUS BBPSEKP TAHUN 2015] Analisis Dampak Pelarangan Ekspor Benih Lobster terhadap Usaha Perikanan Lobster di Pulau Lombok Pendahuluan Latar Belakang Lobster adalah salah satu komoditas perikanan yang bernilai jual tinggi karena tingginya permintaan pasar untuk di wilayah Asia, Eropa dan Amerika. Lobster diperoleh dari hasil penangkapan namun berjalannya waktu sulitnya memperoleh lobster ukuran konsumsi (30 cm keatas) di alam lepas maka sejak tahun 2000an lobster mulai dibudidayakan (cari sumber literatur sejarah budidaya lobster di Indonesia atau Asia) dengan cara pembesaran dari bibit lobster yang diperoleh dari alam dengan ukuran kurang lebih 10 cm dengan masa budidaya selama 18 - 24 bulan. Berkembangnya waktu dua tahun terakhir permintaan lobster kini tidak hanya untuk ukuran konsumsi namun bibit lobster yang dari ukuran dibawah 10 cm yang dulunya tidak ada nilai jual ke pembudidaya.Permintaan bibit tersebut berasal dari Negara Vietnam karena kebutuhan lobster untuk acara festival bulan. Maraknya perkembangan penangkap lobster di Lombok Timur mampu mengalihkan minat beberapa orang yang dulunya bekerja sebagai tenaga kerja Indonesia kembali ke tanah air menangkap bibit lobster. Secara signifikan penangkapan bibit lobster membawa dampak secara ekonomi kepada kehidupan masyarakat pesisir dalam satu hari mampu memperoleh pendapatan lebih dari satu juta tanpa harus mengeluarkan biaya ratusan ribu rupiah dan secara sosial banyak masyarakat yang dulunya bekerja sebagai tenaga kerja diluar negeri kini mampu memiliki usaha di daerahnya sendiri, namun secara ekologi banyak perkiraan akan terjadi penurunan stok bibit lobster akibat tingginya effort karena faktor ekonomi yang menguntungkan. Berdasarkan situasi tersebut Kementrian Kelautan Perikanan mengeluarkan Peraturan Menteri KP No 1 Tahun 2015 tentang Penangkapan Lobster (Panulirus spp), Kepiting (Scylla sp) dan Rajungan (Portunus pelagicus spp) dan selanjutnya yang mengatur perdagangan bibit lobster berdasarkan ukuran dan berat lobster tersebut. Terbitnya Permen KP tersebut membawa dampak yang signifikan terhadap masyarakat pesisir khususnya penangkap bibit lobster. Berdasarkan latar belakang dan masalah diatas, tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui (1). Bagaimanakah kondisi umum perikanan tangkap bibit lobster mencakup ekologi sosial ekonomi; (2). Bagaimanakah kedepan perkiraan dampak Permen KP No 1 Tahun 2015 tentang Penangkapan Lobster (Panulirus spp), Kepiting (Scylla sp) dan Rajungan (Portunus pelagicus spp) setelah diberlakukan mencakup ekologi sosial ekonomi; (3). Bagaimanakah strategi pengelolaan pemanfaatan bibit lobster yang menjunjung nilai keberlanjutan secara ekologi, ekonomi dan sosial. Permasalahan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan No. 1 Tahun 2015, pada intinya memberikan pembatasan ukuran lobster yang boleh ditangkap dan diperjual belikan (>8 cm) akan menyebabkan penurunan hasil tangkapan nelayan, nelayan kini harus melepaskan hasil tangkapan yang tidak sesuai dengan aturan. Sebelum adanya aturan yang saat ini diberlakukan, lobster berbagai ukuran laku dijual di pedagang pengumpul. Lobster yang berukuran besar habitatnya berada lebih ke tengah perairan dan pada perairan yang lebih dalam. Kondisi ini menyebabkan nelayan membutuhkan lebih banyak bahan bakar dan penambahan alat bantu dalam kegiatan penangkapan. Sebagian nelayan di Indonesia, khususnya di wilayah NTB telah cukup lama melakukan penangkapan benih lobster. HASIL KEGIATAN|Analisis Dampak Pelarangan Ekspor Benih Lobster terhadap Usaha Perikanan Lobster di Pulau Lombok 76 LAPORAN TEKNIS [KAJIAN KHUSUS BBPSEKP TAHUN 2015] Dikhawatirkan sebagian nelayan melakukan usaha penangkapan lobster seringkali dilakukan dengan cara dan alat atau bahan yang tidak ramah lingkungan, sehingga menimbulkan kerusakan pada habitat lobster dan lingkungannya Disisi lain, adanya ekspor benih lobster telah menimbulkan beberapa permasalahan; 1) Alokasi benih lobster untuk memenuhi kebutuhan lokal menjadi sekitar 10%. 2) kemampuan atau daya beli pembudidaya lobster lokal (Lombok Timur) hanya Rp. 5000, sedangkan harga benih lobster sudah berkisar antara Rp. 14.000 – Rp. 15.000. Metodologi Penelitian Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada bulan akhir Februari – awal Maret 2015 di Lombok Tengah dan Lombok Timur. Perairan laut Kabupaten Lombok Tengah dan Kabupaten Lombok Timur dihubungkan oleh ekosistem Teluk Ekas yang di dalamnya termasuk Teluk Awang dan Teluk Bumbang. Lokasi-lokasi tersebut merupakan tempat berkumpulnya benih lobster dan aktifitas kegiatan penangkapan benih lobster. Secara geografis Provinsi Nusa Tenggara Barat terletak pada posisi antara 08°10' s.d 09°05' LS dan 115°40' s.d 119°05' BT, merupakan provinsi kepulauan yang terdiri dari 2 pulau besar yaitu Pulau Lombok dan Pulau Sumbawa, serta dikelilingi oleh 278 pulau -pulau kecil. Luas wilayah administrasi mencapai 49.312,19 km2,terdiri dari luas perairan 29.159,04 km2 ( 59o/o dari luas wilayah ) dan luas daratan 20.153,15 km2 dengan panjang pantai 2.333 km. Hasil Dan Pembahasan Sejarah benih Lobster di Pulau Lombok Budidaya lobster di Pulau Lombok mulai berkembang pada awal tahun 2000-an setelah tingginya permintaan terhadap lobster, dan Indonesia belum bisa memenuhi pasokan. Benih lobster ditemukan oleh pembudidaya kerapu yang menempel pada jaring keramba. Lobster punya kebiasaan menempel terutama pada subtrat tertentu seperti daun, ranting, kayu dan lainnya. Kebiasaan tersebut memberikan ide mengembangkan alat tangkap benih lobster sederhana yaitu sebatang kayu atau bambu yang digantungi karung bekas atau bahan lainnya di sepanjang bambu tersebut, sampai saat ini bahan yang digunakan adalah karung bekas semen. Metode yang digunakan untuk menangkap benih lobster adalah “pocong” yang terbuat dari karung bekas semen yang dibentuk lipat bulat dan digantung pada waring/jaring dan menggunakan alat bantu lampu (hanya di Teluk Awang). Budidaya lobster pertama kali diperkenalkan oleh proyek Australian Centre for Agricultural Research (ACIAR) dengan menemukan benih lobster di Teluk Awang. Pada awalnya, budidaya lobster dan penangkapan benih lobster menjadi alternatif mata pencaharian oleh nelayan. Upaya penangkapan benih lobster hanya dilakukan oleh beberapa orang nelayan (sebagian besar dilakukan oleh nelayan yang memiliki Karamba Jaring Apung-KJA ) dan dapat dikatakan "hanya sebagai kegiatan tambahan atau sambilan" karena kegiatan utamanya adalah nelayan penangkap ikan konsumsi, baik untuk memenuhi kebutuhan pangan keluarga maupun untuk dipasarkan. Pada saat itu, permintaan benih lobster dari luar daerah Nusa Tenggara Barat (NTB) dapat dikatakan hampir tidak ada, sehingga upaya penangkapan benih lobster hanya untuk memenuhi kebutuhan lokal (pembudidaya) dengan harga jual yang relatif stabil. Nelayan yang melakukan upaya penangkapan benih lobster semakin bertambah banyak. Nelayan penangkap ikan konsumsi yang mengalihkan usahanya menjadi penangkap benih lobster sebagai cara mereka meningkatkan pendapatan. HASIL KEGIATAN|Analisis Dampak Pelarangan Ekspor Benih Lobster terhadap Usaha Perikanan Lobster di Pulau Lombok 77 LAPORAN TEKNIS Gambar 4-4. 1. [KAJIAN KHUSUS BBPSEKP TAHUN 2015] Alat “pocong” untuk menangkap benih Lobster di Pulau Lombok Sumber : Data Primer (Photo by: Achmad Zamroni) Benih lobster yang ada di perairan NTB menurut beberapa penelitian berasal dari hasil spawning induk lobster yang ada di Perairan Australia, Oman, Afrika, Philipina dan Perairan Spartley. Perkembangan Lobster di Nusa Tenggara Barat (NTB) Provinsi NTB memiliki potensi sumberdaya laut, pesisir dan pulau-pulau kecil, diantaranya adalah potensi perikanan tangkap dan perikanan budidaya. Salah satu potensi sumberdaya ikan yang sangat penting, bernilai ekonomis tinggi dan volumenya cukup besar adalah benih lobster yang tersebar di seluruh wilayah pesisir bagian selatan Pulau Lombok dan Pulau Sumbawa. Menurut Dinas Kelautan dan Perikanan Propinsi NTB (2015)Sebaran benih lobster dipesisir pantai Provinsi NTB meliputi; [1]. Kabupaten Lombok Barat tersebar di pesisir pantai Blongas, Teluk Sepi dan Pantai Pengantap. [2]. Kabupaten Lombok Tengah tersebar di pesisir pantai Selong Belanak, Gerupuk, Bumbang dan Teluk Awang. [3]. Kabupaten Lombok Timur tersebar di pesisir pantai Batu Nampar, Teluk Ekas, Serewe, Rungkang dan Tanjung Luar. [4]. Kabupaten Sumbawa tersebar di pesisir pantai Labangka dan Lunyuk. [5]. Kabupaten Dompu tersebai·di pesisir pantai Lamaci, Teluk Cempi, dan [6]. Kabupaten Bima tersebar di pesisir pantai Teluk Waworada. Pada awalnya sekitar tahun 1996 sampai 2011 kegiatan penangkapan benih lobster hanya ditujukan untuk memenuhi kebutuhan pembudidaya lobster dalam KJA di Kftbupaten Lombok Timur dengan harga benih lobster pada saat itu berkisar antara Rp. 1.500 s.d Rp. 5.000 per ekor. Upaya penangkapan benih lobster hanya dilakukan oleh beberapa orang nelayan ( sebagian besar dilakukan oleh nelayan yang memiliki KJA ) dan dapat dikatakan "liarnya sebagai kegiatan tambahan atau sambilan" karena kegiatan utamanya adalah nelayan penangkap ikan konsumsi, baik untu k memenuhi kebutuhan pangan keluarga maupun untuk dipasarkan. HASIL KEGIATAN|Analisis Dampak Pelarangan Ekspor Benih Lobster terhadap Usaha Perikanan Lobster di Pulau Lombok 78 LAPORAN TEKNIS [KAJIAN KHUSUS BBPSEKP TAHUN 2015] Permintaan benih lobster dari luar daerah NTB dapat dikatakan hampir tidak ada, sehingga upaya penangkapan benih lobster hanya untuk memenuhi kebutuhan lokal dengan harga jual yang relatif stabil (pembeli lokal). Selanjutnya mulai tahun 2012 upaya penangkapan benih lobster mulai marak dan semakin berkem bang dengan adanya permintaan benih dari luar negeri, antara lain Vietnam dan Malaysia. Nelayan yang melakukan upaya penangkapan benih lobster inipun semakin bertambah banyak, bahkan tidak hanya dilakukan oleh nelayan yang berprofesi sebagai penangkap benih saja, melainkan dilakukan pula oleh nelayan penangkap ikan konsumsi yang mengalihkan usahanya menjadi penangkap benih lobster (diversifikasi usahapenangkapan ikan). Sampai dengan akhir tahun 2014 jumlah nelayan penangkap benih lobster di NTB sudah mencapai ± 5.632 orang. Harga benih lobster dengan ukuran tersebut di atas berkisar antara Rp. 16.000 sampai Rp. 20.000 per ekor, merupakan harga yang sangat menjanjikan bagi nelayan untuk menopang pendapatan dan kesejahteraan keluarganya.Pemasaran benih lobster dilakukan domestik ( antar pulau ) dan luar negeri, terutama ekspor ke Vietnam dan Malaysia melalui Bali ( Kuta, Denpasar ) dan Jawa ( Surabaya, Jakarta ). Benih lobster ditangkap menggunakan alat tangkap yang bersifat pasif, selektif dan ramah lingkungan, berupa atraktor yang terbuat daii kertas bekas kantong semen, dfrangkai membentuk kipas dan dikaitkan ke wa1ing menyerupai bentuk pocong. Oleh masyarakat setempat alat tangkap ini disebut atau dikenal dengan nama lokal ''pocong". Selain kertas bekas kantong semen, sebagian nelayan membuat "pocong" dari bahan tapis kelapa. Jenis lobster yang tertangkap didominasi oleh Lobster Pasir ( 75°/o dari basil tangkapan ) dan Lobster Mutiara ( 25%> dari basil tangkapan ). Pocong dioperasikan dengan cara digantung pada Karamba Jaling Apung ( KJA ) berukuran 7 x 8 meter dengan kapasitas 100 - 120 buah pocong per unit KJA, sedangkan bila menggunakan longline dengan panjang tali induk 50 meter dapat digantung pocong sebanyak 25 buah. Pocong I atractor ditenggelamkan ke dalam perairan dengan vaiiasi kedalaman 1,5 -10 meter & Pocong dibiarkan dalam perairan selama 1- 2 hari, kemudian diangkat ke perm ukaan air dan melepaskan benih lobster yang menempel pada kertas semen yang berbentuk kipas, selanjutnya dipindahkan ke dalam jaiing streamine yang dipasang dalam Karam ba Jaring Apung ( KJA ). Benih lobster yang umumnya ditangkap dan dipasarkan dominan berukuran 2 -5 cm (panjang total badan) atau berat badan sekitar 1- 2 gram per ekor (masih bersifat planktonis), dan sebagian kecil ada yang tertangkap berukuran panjang total badan 6 - 8 cm (ukuran jangkrik). Menurut catatan Dinas Kelautan dan Perikanan Propinsi Nusa Tenggara Barat, sebelum adanya PERMEN KP No. 01 tahun 2015 jumlah pengiriman benih lobster dari NTB rata - rata mencapai 40 boks per hari yang berisi benih lobster sebanyak 28.800 ekor dengan nilai Rp 1,4 miliar ( US$ 4 per benih lobster ). Dengan demikian maka diperkirakan nilai ekonomi yang hilang dalam satu tahun mencapai Rp. 210 miliar, dengan asumsi bahwa frekuensi pengiriman dalam satu tahun dilakukan sebanyak 150 hari. Ditingkat nelayan penangkap benih lobster, pendapatan kotor dapat mencapai Rp. 8.640.000 per orang per bulan, dengan perhitungan secara makro sbb : a. b. c. d. Jumlah hari menangkap dalam setiap bulan = 15 hari Jumlah benih lobster yang tertangkap rata - rata per hari = 32 ekor Harga jual benih lobster rata - rata per ekor = Rp. 18.000,· Jumlah nilai jual benih lobster setiap bulan ( a x bx c ) = Rp. 8.640.000 & Jika di NTB terdapat ± 5.632 orang nelayan penangkap benih lobster (Lombok Tengah: 2.451 orang, Lombok Timur : 1.691 orang, Lombok Barat 1.490 orang), maka pendapatan nelayan yang hilang sebagai akibat atau konsekuensi dari diberlakukannya PERMEN KP No. 01 tahun 2015 mencapai Rp. 48.660.480 per bulan atau sama dengan Rp. 291.962.880.000 per tahun HASIL KEGIATAN|Analisis Dampak Pelarangan Ekspor Benih Lobster terhadap Usaha Perikanan Lobster di Pulau Lombok 79 LAPORAN TEKNIS [KAJIAN KHUSUS BBPSEKP TAHUN 2015] (dalam 1tahun upaya penangkapan benih lobster efektif diasumsikan dilakukan selama 6 bulan). Kabupaten Lombok Tengah merupakan sentra terbesar usaha penangkapan benih lobster di Provinsi NTB karena memiliki potensi benih lobster yang paling besar dan melibatkan banyak pelaku usaha dibandingkan dengan kabupaten - kabupaten lainnya. Jumlah nelayan penangkap benih lobster di Kabupaten Lombok Tengah sebanyak 2.451 orang yang tersebar di 3 ( tiga ) kawasan penangkapan yaitu : Teluk Awang : 764 orang Teluk Bumbang dan Teluk Gerupuk: 1.487 orang Selong Belanak: 200 orang Jumlah pengumpul benih lobster di Kab. Lombok Tengah sebanyak 60 orang yang tersebar di 4 desa sebagai berikut : Desa Mertak Kecamatan Pujut: 30 orang Desa Sengkol Kecamatan Pujut: 17 orang Desa Selong Belanak Kecamatan Praya Barat: 9 orang Desa Bilelando Kecamatan Praya Timur: 4 orang Kegiatan usaha lobster di Kabupaten Lombok Timur yaitu usaha pembudidayaan dalam KJA yang benihnya diperoleh dari perairan Kabupaten Lombok Tengah. Selanjutnya benih lobster menyebar pula ke perairan pantai Lombok Timur, sehingga banyak nelayan yang menangkap benih lobster. Saat ini di Kabupaten Lombok Timur tidak hanya terdapat usaha pembudidayaan saja, tetapi juga usaha penangkapan benih lobster sudah banyak dilakukan oleh nelayan. Saat ini jumlah penangkap benih lobster di Kabupaten Lombok Timur tercatat sebanyak 1.691 orang nelayan. Kabupaten lainnya di Provinsi NTB yang berada disebelah selatan menghadap Samudera Hindia (Lombok Barat, Sumbawa Barat, Sumbawa, Dompu dan Bima), juga terdapat potensi usaha penangkapan benih lobster, meskipun hasilnya tidak sebanyak di Kabupaten Lombok Tengah dan Lombok Timur. Kabupaten Lombok Tengah merupakan sentra terbesar usaha penangkapan benih lobster di Provinsi NTB karena memiliki potensi benih lobster yang paling besar dan melibatkan banyak pelaku usaha dibandingkan dengan kabupaten - kabupaten lainnya. Jumlah nelayan penangkap benih lobster di Kabupaten Lombok Tengah sebanyak 2.451 orang yang tersebar di 3 ( tiga ) kawasan penangkapan yaitu: Teluk Awang ( 764 orang), Teluk Bumbang dan Teluk Gerupuk (1.487 orang) dan Selong Belanak (200 orang). Sementara itu, jumlah pengumpul benih lobster di Kabupaten Lombok Tengah sebanyak 60 orang yang tersebar di 4 desa yaitu: Desa Mertak Kecamatan Pujut (30 orang), Desa Sengkol Kecamatan Pujut (17 orang), Desa Selong Belanak Kecamatan Praya Barat (9 orang), Desa Bilelando Kecamatan Praya Timur (4 orang). HASIL KEGIATAN|Analisis Dampak Pelarangan Ekspor Benih Lobster terhadap Usaha Perikanan Lobster di Pulau Lombok 80 LAPORAN TEKNIS Gambar 4-4. 2. [KAJIAN KHUSUS BBPSEKP TAHUN 2015] Perkembangan Harga Benih lobster di NTB (hasil wawancara) Pada Tahun 1996 sampai 2011, kegiatan penangkapan benih lobster hanya ditujukan untuk memenuhi kebutuhan pembudidaya lobster dalam KJA di Kabupaten Lombok Timur dengan harga benih lobster pada saat itu berkisar antara Rp. 1.500 s.d Rp. 5.000 per ekor. Selanjutnya mulai Tahun 2012, upaya penangkapan benih lobster mulai marak dan semakin berkembang dengan adanya permintaan benih dari luar negeri, antara lain Vietnam dan Malaysia. Sejak Tahun 2013, harga benih lobster meningkat seiring dengan mulai dilakukan ekspor benih lobster ke Vietnam, usaha budidaya dan penangkapan benih lobster menjadi sumber pendapatan utama bagi nelayan. Berdasarkan hasil FGD dengan pelaku usaha lobster, perkembangan harga benih sejak Tahun 2009 s.d Tahun 2014 masing-masing adalah sebagai berikut; Rp. 500/ekor (1999), Rp. 1000/ekor (1999), Rp. 2500/ (2000) ekor dan Rp. 4000/ekor (2003), Rp. 5000/ekor (2004), Rp. 7000/ekor-ukuran 50 gram (2010), Rp. 10.000 – Rp. 12.000/ekor (2013), Rp. 15.000/ekor (2014) (Gambar 4-4.2). Pada Tahun 2013, lebih dari 4 juta (empat juta) benih lobster berhasil diekspor. Lokasi penangkapan benih lobster di Lombok Tengah tersebar di 3 (tiga) lokasi yaitu Teluk Awang, Teluk Bumbang dan Teluk Gerupuk. Dampak diberlakukannya Permen KP 1/2015 tentang penangkapan lobster, kepiting dan rajungan Pemberlakuan permen No. 1/2015, telah memberikan dampak terhadap kehidupan sosial ekonomi di Lombok Tengah. Menurut peserta FGD, sejak Tahun 2000 jumlah karamba dan penangkap lobster bertambah tetapi jumlah hasil tangkapan dirasakan tidak menurun. Salah satu peserta FGD menjamin jika dalam 5 tahun kedepan jumlah bibit lobster menurun dia bersedia untuk dihukum, dan bersedia menandatangani perjanjian. Saat ini, Permen KP No. 1/2015 telah berdampak pada aktifitas penangkapan lobster turun drastis (hampir 100%) dan tidak ada aktifitas pekerjaan lainnya. Nelayan tidak bersedia melakukan budidaya lobster lagi mengingat biaya yang besar terutama untuk pakan. Dampak yang terjadi saat ini adalah: a) Kesulitan mencukupi kebutuhan sehari-hari; b) Kesulitan membiayai anak sekolah; c) 100% karamba menganggur; d) Kejahatan meningkat/keamanan wilayah menurun; e) Aktifitas ”bank harian” kembali meningkat; f) Pengumpul berpotensi kehilangan modal yang diberikan kepada nelayan (terutama modal yang dikeluarkan untuk KJA sesaat sebelum ada Permen 1/2015; g) Pendapatan nelayan saat ini menjadi Rp. 30.000 per hari, itu bagi yang masih mempunyai perahu kecil untuk menangkap ikan. HASIL KEGIATAN|Analisis Dampak Pelarangan Ekspor Benih Lobster terhadap Usaha Perikanan Lobster di Pulau Lombok 81 LAPORAN TEKNIS [KAJIAN KHUSUS BBPSEKP TAHUN 2015] Jumlah penangkap dan pengumpul benih lobster sebanyak 5.609 orang dengan pendapatan rata-rata Rp. 8.600.000/KK/bulan terancam keberlanjutan usahanya. KJA sebanyak 519 lubang KJA di Kabupaten Lombok Timur tidak dapat beroperasi karena tidak adanya pasokan benih. Secara alamiah, benih lobster alam tidak dapat berkembang karena dapat dimakan oleh predator. Skenario Kebijakan dan Program Prioritas Skenario kebijakan Berdasarkan analisis SWOT terhadap pemanfaatan sumberdaya lobster dan dampaknya, telah teridentifikasi faktor-faktor yang menjadi kekuatan (S), Kelemahan (W), Peluang (O) dan Ancaman (T), yaitu Tabel 4-4.1 dan Tabel 4-4.2. Identifikasi faktor internal (S-W) terhadap pemanfaatan sumberdaya lobster Faktor Internal (S-W) Tabel 4-4. 1. Kekuatan (S) Skor a > 80% Jenis benih lobster yang tertangkap adalah lobster pasir dan mutiara 0,31 b Hasil benih lobster sebagai penopang utama ekonomi RT nelayan di NTB 0,4 c Pertambahan jumlah effort penangkapan benih (keramba dan pelaku) sejak tahun 2000 tidak menurunkan jumlah tangkapan benih lobster 0,31 d Awig-awig sudah punya peran dalam penangkapan induk 0,21 e Keberadaan awig-awig pelarangan penangkapan induk lobster 0,21 f Secara alami benih lobster akan dimakan predator 0,31 g Kembalinya penangkapan induk lobster menggunakan alat tidak ramah lingkungan 0,21 h Jumlah KJA di Loteng 6.449 unit dan pengumpul 60 orang 0,15 i Ada program rumah ikan (kerjasama Balitbang KP denganPemprov NTB) 0,24 j Tim Pengawas lobster dari Pemprov. NTB 0,24 K Disiapkan 20 lokasi konservasi untuk dilakukan restocking (Alor, Maumere, Sikka, Loteng, Lotim, Simelue); 0,4 l Bulan puncak penangkapan benih lobster dari bulan Maret hingga Juni 0,21 Kelemahan (W) Skor a 75% ukuran benih Lobster pasir dan Mutiara dominan tertangkap 2-5 cm 0,34 b Nalayan tidak berminat melakukan budidaya lobster 0,57 c Budidaya lobster membutuhkan biaya besar 0,36 d Kompensasi dari larangan penangkapan dan ekspor benih lobster blm ada. 0,8 e Teknologi pembenihan lobster yang aplikatif bagi masyarakat belum ada/tersedia 0,96 HASIL KEGIATAN|Analisis Dampak Pelarangan Ekspor Benih Lobster terhadap Usaha Perikanan Lobster di Pulau Lombok 82 LAPORAN TEKNIS [KAJIAN KHUSUS BBPSEKP TAHUN 2015] Tabel 4-4. 2. Identifikasi faktor internal (S-W) terhadap pemanfaatan sumberdaya lobster Faktor Eksternal (O-T) Peluang (O) Skor a Potensi SD Lombster NTB tersebar di 6 wilayah kabupaten 0,48 b Ekspor benih lobster ikut meningkatkan harga ditingkat lokal 0,33 c Nelayan menganggap tidak masalah “kran” ekspor ditutup 0,33 d Nelayan ingin pasar benih dalam negeri dibuka 0,3 e Nelayan ingin penangkapan benih ukuran 2-5 cm diperbolehkan 0,2 f Nelayan setuju harga benih untuk pasar dalam negeri antara Rp. 7000 – Rp. 10.000 0,2 g Nelayan tidak bisa menjual lobster ukuran < 300 gram 0,12 h Benih lobster ditangkap menggunakan alat tangkap yang bersifat pasif, selektif dan ramah lingkungan (atraktor dari kertas bekas kantong semen) 0,48 i Nilai ekonomi benih lobster mencapai Rp. 210 miliar/tahun (asumsi frekuensi 0,33 pengiriman sebanyak 150 hari/tahun). Ancaman (T) Skor a Secara alami benih lobster akan dimakan predator 0,28 b Kembalinya penangkapan induk lobster menggunakan alat tidak ramah lingkungan 0,18 c Larangan penangkapan benih lobster memicu penangkapan induk lobster 0,28 d Daya beli pembudidaya terhadap benih lobster menurun 0,28 e Larangan ekspor benih menurunkan pendapatan nelayan 0,28 f 100% karamba idle 0,18 g Pengumpul mengalami kerugian Rp. 100 Jt – Rp. 400 Jt 0,08 h KJA di Lotim berkurang > 70% 0,15 I Penangkapan benih lobster menjadi sumber pendapatan utama 0,18 J Nelayan kesulitan membiayai sekolah anak 0,28 K Tingkat Kejahatan meningkat/keamanan wilayah menurun 0,28 L Aktifitas ”bank harian” kembali meningkat 0,18 M Jumlah TKI/TKW perpotensi meningkat lagi 0,18 N Hasil tangkapan rata2 benih lobster di Kabupaten Lombok Tengah 330.000 - 400.000 0,28 ekor/bulan O Jumlah nelayan penangkap benih lobster di NTB sudah mencapai 5.632 orang (2014) 0,21 Skenario kebijakan yang dapat dilakukan merupakan hasil perhitungan skor faktor S-W-OT. Hasil perhitungan skor tersebut telah menghasilkan skenario atau strategi SO, WO, ST dan WT. Skenario yang ditampilkan dipilih ranking ketiga teratas dari masing-masing strategi. 1. Strategi SO: HASIL KEGIATAN|Analisis Dampak Pelarangan Ekspor Benih Lobster terhadap Usaha Perikanan Lobster di Pulau Lombok 83 LAPORAN TEKNIS [KAJIAN KHUSUS BBPSEKP TAHUN 2015] a. Melakukan kajian bio ekologi lobster untuk mengetahui siklus hidup dan produktifitas dan MSY. b. Memanfaatkan 6 (enam) wilayah potensial di NTB untuk menangkap benih lobster yang digunakan untuk mensupply keperluan restocking nasional di 20 wilayah di Indonesia, jika hasil kajian point 1a menunjukkan bahwa lokasi tersebut sesuai dengan kebutuhan anakan lobster untuk berkembang. c. Merevitalisasi budidaya KJA pembesaran lobster k jenis lobster pasir dan lobster mutiara. 2. Strategi WO: a. Memperbolehkan penangkapan benih lobster untuk kebutuhan budidaya (pembesaran) domestik (dalam negeri) sesuai dengan target MSY yang ditunjukkan pada kajian bioekologi (Strategi SO Point 1a). b. Menjamin pasar dan harga jual lobster ukuran konsumsi sebagai kompensasi pelarangan ekspor benih lobster. c. Menata kembali pola kerjasma budidaya lobster: Kabupaten Lombok Tengah sebagai supply benih dan Kabupaten Lombok Timur sebagai pembesaran lobster (ukuran konsumsi). 3. Strategi ST: a. Meningkatkan atau mendorong peran awig-awig atau kearifan lokal lainnya untuk melakukan pengawasan terhadap penangkapan dan melakukan pembatasan pada jumlah hasil tangkapan dan penjualan. b. Merujuk hasil program restocking benih lobster, perlu mengkaji penataan skema pengembangan budidaya lobster dan penguasaan teknologi pembenihan sebagai strategi jangka menengah dan jangka panjang. c. Memanfaatkan rumah ikan untuk konservasi dan melakukan quota penangkapan agar ekonomi lokal tetap berjalan, termasuk menetapkan harga benih untuk budidaya di tingkat lokal. 4. Strategi WT: a. Memanfaatkan benih lobster pasir dan mutiara untuk dibudidayakan di KJA yang idle. b. Merancang skema subsidi untuk pembudidaya lobster dengan tujuan memunculkan minat nelayan untuk melakukan budidaya lobster. c. Merancang pengelolaan dana dari TKI oleh lembaga keuangan yang mempunyai kredibilitas dalam membangun usaha dan investasi budidaya lobster. ditambah di dalam impact negative permen KP 2 peningkatan kecenderungan menjadi TKI Program Prioritas Keempat skenario kebijakan di atas diterjemahkan ke dalam program-program prioritas sebagai berikut: 1. Strategi S-O: a. Melindungi benih lobster dengan ukuran 2-5 cm dengan menggunakan alat tangkap ramah lingkungan untuk menunjang pendapatan nelayan dengan memperhatikan peluang pasar dalam/luar negeri. lihat revisi di atas b. Memanfaatkan 6 (enam) wilayah potensial di NTB untuk menangkap benih lobster yang digunakan untuk mensupply keperluan restocking nasional di 20 wilayah di Indonesia. c. Memanfaatkan 2 (dua) jenis lobster (Pasir dan Mutiara) yang mempunyai nilai ekonomis tinggi untuk menjadi keseimbangan pasar di dalam dan 1. Meninjau kembali Permen KP No 1/2015 dengan mempertimbangkan membolehkan penangkapan benih dan jual beli benih lobster untuk restocking dan usaha budidaya domestic 2. Melakukan kajian cepat bioekologi lobster 3. Mempercepat program restocking benih lobster dan revitalisasi budidaya lobster dengan asupan benih sesuai dengan usulan dari kajian bioekologi HASIL KEGIATAN|Analisis Dampak Pelarangan Ekspor Benih Lobster terhadap Usaha Perikanan Lobster di Pulau Lombok 84 LAPORAN TEKNIS [KAJIAN KHUSUS BBPSEKP TAHUN 2015] luar negeri, baik benih maupun ukuran konsumsi. 2. Strategi W-O: a. Membuka peluang pasar dalam negeri untuk benih maupun ukuran konsumsi sebagai kompensasi ditutupnya “kran” ekspor benih lobster. b. Menata skema budidaya lobster (ukuran konsumsi) untuk tetap menjadi nilai ekonomi yang berpotensi hilang akibat ditutupnya “kran” ekspor dan penangkapan benih ukuran tertentu. c. Memperbolehkan penangkapan benih lobster untuk kebutuhan budidaya (pembesaran) dengan mempertimbangkan untuk memberikan subsidi/kompensasi dari besarnya biaya operasional budidaya lobster. 3. Strategi S-T: d. Meningkatkan atau mendorong peran awig-awig atau kearifan lokal lainnya untuk melakukan pengawasan terhadap penangkapan dan melakukan pembatasan pada jumlah hasil tangkapan dan penjualan. e. Merujuk hasil program restocking benih lobster untuk mengkaji penataan skema budidaya lobster dan penguasaan teknologi pembenihan sebagai strategi jangka menengah dan jangka panjang. f. Memanfaatkan rumah ikan untuk konservasi dan melakukan quota penangkapan agar ekonomi lokal tetap berjalan, termasuk menetapkan harga benih untuk budidaya di tingkat lokal. 4. Strategi W-T: a. Memanfaatkan benih lobster pasir dan mutiara untuk dibudidayakan di KJA yang idle. b. Merancang skema subsidi untuk pembudidaya lobster dengan tujuan memunculkan minat nelayan untuk melakukan budidaya lobster. c. Merancang pengelolaan dana dari TKI oleh lembaga keuangan yang memiliki kredibilitas dalam membangun usaha & investasi budidaya lobster. 4. Menetapkan quota penangkapan dan perdagangan benih lobster yang mencakup: Jumlah, harga (dlm negeri dan ekspor), jenis lobster (tidak hanya mutiara dan pasir), ukuran benih yang diperdagangkan (min. 6 – 8 cm). 5. Pengaturan bulan yang diperbolehkan dilakukan penangkapan berdasarkan bulan puncak penangkapan benih lobster (Maret s.d Juni) 6. Pengembangkan teknologi pembibitan dan budidaya lobster. 1. Menyusun Juklak penanggulangan dampak sosial ekonomi dari pemberlakuan Permen KP 1/2015 2. Menyusun Blue Print pengembangan budidaya lobster. 1. Memperbanyak pengawas dan pospos pengawasan 2. Memperluas daerah konservasi atau membentuk daerah konservasi baru 1. Membentuk lembaga keuangan mikro untuk penyediaan investasi budidaya lobster 2. Membuka pasar dan memberikan peluang ekspor untuk lobster ukuran konsumsi serta jaminan harganya. HASIL KEGIATAN|Analisis Dampak Pelarangan Ekspor Benih Lobster terhadap Usaha Perikanan Lobster di Pulau Lombok 85 LAPORAN TEKNIS [KAJIAN KHUSUS BBPSEKP TAHUN 2015] Kesimpulan Dan Rekomendasi Kebijakan Kesimpulan 1. Hasil tangkapan benih lobster sudah menjadi mata pencaharian utama nelayan di Lombok Tengah dan Lombok Timur dan penopang utama ekonomi rumah tangga mereka. 2. Fenomena ekspor benih lobster telah berdampak pada berkurangnya aktivitas pembesaran lobster (KJA) di wilayah tersebut, terutama di Lombok Timur. 3. Permintaan terhadap benih lobster maupun lobster (konsumsi) sama-sama masih terbuka dan cenderung meningkat, tetapi minat nelayan untuk melakukan pembesaran lobster semakin menurun. Hal ini dikhawatirkan dapat mengurangi stok lobster (ukuran konsumsi), berkurangnya sumberdaya lobster di Lombok Tengah dan Lombok Timur. 4. Oleh karena itu, perikanan lobster di kawasan tersebut perlu dikendalikan dengan mempertimbangan aspek sosial, ekonomi dan ekologi. 5. Sebagai rencana tindak lanjut menyikapi gejolak sosial sebagai bentuk reaksi dari implementasi peraturan menteri No. 1/2015, maka beberapa hal yang sebaiknya dapat dilakukan adalah: a) Mediasi dengan para pelaku usaha lobster untuk memperoleh feedback. b) Pendampingan sebagai proses rekayasa sosial dalam rangka mengendalikan penangkapan dan ekspor benih lobster. Misalnya: re-alokasi benih lobster hasil tangkapan nelayan untuk ekspor dan pembesaran, tentunya disertai berbagai strategi (subsidi). c) Melakukan kajian market intelligent sebagai salah satu langkah antisipasi timbulnya “praktek-praktek illegal” lainnya. Rekomendasi Kebijakan Berdasarkan FGD rapat penanggulangan dampak dari pemberlakuan PERMEN KP No. 1/PERMEN-KP/2015 dipimpin oleh Kepala Badan LITBANG KP dan dihadiri oleh Perwakilan tiap Eselon I KKP, Dinas KP Propinsi NTB, Dinas KP Kabupaten Lombok Tengah dan Lombok Timur, serta WWF. Rapat penanggulangan dampak dari pemberlakuan PERMEN KP No. 1/PERMEN-KP/2015 dilaksanakan di Gd. Balitbang KP 1, pada tanggal 4 Maret 2015 sebagai langkah dalam hal menanggulangi dampak di atas, masing-masing Eselon I lingkup KKP telah mempersiapkan langkah-langkah sebagai berikut: 1. Jangka Pendek a. Kegiatan penanggulangan, melalui pengalihan usaha sebagai berikut : No. Kegiatan Penanggung Jawab Anggota DJPB P2HP, BPSDM, LITBANG, Dinas KP, ARLI 2 Budidaya Ikan Laut (KJA dan PUMM) DJPB P2HP, BPSDM, LITBANG, Dinas KP 3 Sylvofishery (Kepiting & Rajungan) BPSDM, LITBANG, DJPT, 1 Budidaya Rumput Laut (PUMM dan pembangunan kebun bibit rumput laut) DJPB Kabupaten Lombok Timur, Lombok Tengah, Lombok Barat Lombok Timur, Lombok Tengah, Lombok Barat Tarakan, Langkat, Kaltim HASIL KEGIATAN|Analisis Dampak Pelarangan Ekspor Benih Lobster terhadap Usaha Perikanan Lobster di Pulau Lombok 86 LAPORAN TEKNIS 4 5 [KAJIAN KHUSUS BBPSEKP TAHUN 2015] Budidaya Abalone dg IMTA Restocking Lobster LITBANG LITBANG BKIPM, Dinas KP, KP3K, WWF, APRI, PSDKP DJPB, BPSDM, P2HP, Dinas KP DJPB, KP3K, BPSDM, BKIPM, Dinas KP, WWF, PSDKP (Prop.), Cilacap, Pangandaran, Makassar Lombok Timur Pangandaran, Simelue, (Ditambah kawasan konservasi) b. Sosialisasi pemberlakuan PERMEN KP No. 1/PERMEN-KP/2015 dan pengalihan usaha, sebagai berikut : No. Komoditas 1 Lobster 2 Kepiting Bakau dan Rajungan Lokasi Lombok Tengah Lombok Timur Bengkulu (Prop.) Lampung Selatan Cilacap Pangandaran Tarakan Langkat Kaltim (Prop.) Makassar Cilacap Pangandaran Asahan Tim Sosialisasi DJPT, DJPB, LITBANG, BPSDM, P2HP, KP3K, BKIPM, WWF DJPT, DJPB, LITBANG, BPSDM, P2HP, KP3K, BKIPM, WWF, APRI HASIL KEGIATAN|Analisis Dampak Pelarangan Ekspor Benih Lobster terhadap Usaha Perikanan Lobster di Pulau Lombok 87 LAPORAN TEKNIS [KAJIAN KHUSUS BBPSEKP TAHUN 2015] c. Jadwal kegiatan sosialisasi akan ditetapkan oleh DJPT sebagai koordinator Sosialisasi 2. Jangka menengah – panjang No Program Prioritas 1. Menyusun Juklak penanggulangan dampak sosial ekonomi dari pemberlakuan Permen KP 1/2015 Pelaksana Institusi yg terlibat DJPT Setjen KKP, Biro Hukum Balitbang, KKP 2. Menyusun Blue Print DJPB pengembangan budidaya lobster. DJPT, Balitbang KP 3 Memperluas daerah konservasi atau membentuk daerah konservasi baru Membentuk lembaga keuangan mikro untuk penyediaan investasi budidaya lobster KP3K DJPT, DJPB, Balitbang KP KP3K P2HP, Balitbang KP Merancang riset nasional dalam rangka mensinergikan program riset perikanan lobster. Balitbang KP Dewan Riset Nasional, Perguruan Tinggi BPPT, LIPI 4 5 Output Dokumen Juklak Dokumen Blue Print dan roadmap Peta wilayah konservasi Konsep lembaga keuangan mikro Roadmap riset terpadu Daftar Pustaka Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia No. 1/PERMEN-KP/2015 tentang penangkapan lobster (Panulirus spp.), Kepiting (Scylla spp.), dan Rajungan (Portunus pelagicus spp.) Surat Edaran No. 18/Men KP/I/2015 tentang Penangkapan Lobster, Kepiting dan Rajungan Data nelayan penangkap benih lobster kabupaten lombok tengah. Dinas kelautan dan perikanan kabupaten lombok tengah. 2014 Kajian/analisis pengelolaan benih lobster di NTB. Dinas Kelautan dan Perikanan Prop. NTB. 2015. HASIL KEGIATAN|Analisis Dampak Pelarangan Ekspor Benih Lobster terhadap Usaha Perikanan Lobster di Pulau Lombok 88 LAPORAN TEKNIS 4.5. [KAJIAN KHUSUS BBPSEKP TAHUN 2015] Dampak Kebijakan Moratorium dan Transhipment pada Usaha Perikanan Indonesia Pendahuluan Latar Belakang Praktek IUU (Ilegal Unreported Unregulated) Fishing diduga sudah secara kronis merugikan perekonomian Indonesia 2 ’ 3 ’ 4 . Menurut data FAO, dalam siaran pers BPK 2013, kerugian yang dialami oleh Indonesia akibat IUU fishing adalah sebesar USD 3,125 million atau Rp30 triliun pertahunnya. Salah satu indikator dari maraknya kegiatan IUU fishing ini ditunjukkan dari nilai ekspor perikanan Indonesia, yang pada tahun 2011 hanya mencapai $ 3,34 Milyar. Angka tersebut jauh lebih rendah jika dibandingkan dengan nilai ekspor yang dicapai Vietnam pada tahun yang sama. Meskipun Vietnam memiliki luasan laut yang lebih kecil dibandingkan Indonesia, namun nilai ekspor perikanan vietnam pada tahun 2011 lalu bisa mencapai $ 25 milyar. Hal tersebut dapat dilihat sebagai indikasi dari betapa tingginya aliran produk perikanan yang masuk ke Vietnam dari hasil tangkapan di luar perairannya – salah satunya dari Perairan Indonesia. Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), di bawah kepemimpinan Menteri Susi Pudjiastuti, nampaknya menitik beratkan misi KKP ke arah keberlanjutan sumberdaya dan usaha di sektor Kelautan dan Perikanan (KP) Indonesia. Hal tersebut dapat diamati dari program utama yang digulirkan KKP semenjak menjabat sebagai MenKP, dimana pemberantasan praktek IUU fishing dijadikan isu strategis yang harus diselesaikan dalam jangka pendek. Praktek pencurian ikan oleh pihak asing yang telah menggerogoti sumberdaya ikan Indonesia selama ini, umumnya muncul dalam modus penjualan ikan di tengah laut dengan menggunakan praktek trans-shipment, dan praktek penangkapan menggunakan kapal ex-asing berbendera Indonesia dengan izin yang yang digandakan. Oleh karena itu, kebijakan pertama MenKP yang digulirkan untuk mengatasi IUU fishing di Indonesia dalam jangka pendek adalah melakukan penghentian terhadap kedua praktek tersebut, melalui Peraturan Menteri. Pelarangan praktek penangkapan oleh kapal ex-asing tanpa izin dan berizin ganda diwujudkan melalui peraturan Nomor 56/PERMEN-KP/2014. Peraturan ini secara umum merupakan sebuah moratorium, atau penghentian sementara perizinan usaha perikanan tangkap di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia bagi kapal perikanan yang pembuatannya dilakukan di luar negeri. Penghentian sementara perizinan yang dituangkan dalam aturan ini adalah : (a) tidak dilakukan penerbitan izin baru bagi Surat Izin Usaha Perikanan (SIUP), Surat Izin Penangkapan Ikan (SIPI) dan Surat Izin Kapal Pengangkut Ikan (SIKPI); (b) terhadap SIPI dan SIKPI yang telah habis masa berlakunya tidak dilakukan perpanjangan; (c) bagi SIPI atau SIKPI yang masih berlaku dilakukan analisis dan evaluasi sampai dengan masa berlaku SIPI atau SIKPI berakhir; dan (d) apabila berdasarkan hasil analisis dan evaluasi ditemukan pelanggaran, akan dikenakan sanksi administrasi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Penghentian sementara perizinan usaha perikanan tangkap berlaku sampai dengan tanggal 30 April 2015. Pelarangan praktek trans-shipment diwujudkan melalui peraturan MenKP No.57/PERMEN-KP/2014 tentang pelarangan praktek trans-shipment. Berdasarkan aturan tersebut, kapal-kapal pengangkut tidak diperkenankan sama sekali melakukan praktek transshipment atau mengalihkan ikan dari kapal tangkap ke kapal pengangkut di tengah laut. Di bawah peraturan ini, kapal-kapal pengangkut hanya diperkenankan untuk melakukan pengangkutan ikan 2 3 4 http://www.republika.co.id/berita/nasional/umum/14/04/18/n47hwb-astaga-negara-dirugikan-rp-101-tdari-pencurian-ikan http://www.beritasatu.com/ekonomi/178619-ri-rugi-rp-100-t-per-tahun-akibat-pemancingan-ilegal.html http://www.indonesia.go.id/en/ministries/ministers/ministry-of-communication-and-informatics/881ekonomi/2526-fao-akibat-iuu-kerugian-diperkirakan-rp30-triliun HASIL KEGIATAN|Dampak Kebijakan Moratorium dan Transhipment pada Usaha Perikanan Indonesia 89 LAPORAN TEKNIS [KAJIAN KHUSUS BBPSEKP TAHUN 2015] yang bersifat port-to-port. Berbeda dengan PERMEN-KP No. 56, PERMEN-KP No. 57 tidak memiliki batas waktu, sehingga berlaku hingga diturunkannya peraturan lain. Implementasi kedua PERMEN tersebut tentunya akan berdampak secara langsung pada jangka pendek terhadap para pelaku usaha di sektor perikanan tangkap. Diperkirakan tidak hanya para pelaku IUU fishing saja yang akan merasakan dampak dari kedua peraturan ini. Para pengusaha penangkapan dan pengolahan diperkirakan akan mengalami peningkatan biaya operasional dan kelangkaan bahan baku, para ABK dan buruh akan kehilangan pekerjaan dan penurunan pendapatan, bahkan berbagai usaha jasa penunjang seperti perbengkelan, penyedia ransum, dan lain sebagainya juga akan mengalami kelesuan akibat menurunnya permintaan. Dilain pihak, ada pula yang memperkirakan bahwa kedua kebijakan tersebut akan berdampak negatif di jangka pendek, namun akan memberikan dampak positif pada jangka menengah dan panjang, seperti para nelayan kecil yang akan berpeluang memperoleh hasil tangkapan lebih banyak pada saat mulai terjadi peningkatan jumlah sumberdaya Ikan. Pada akhir tahun 2014 yang lalu, bersamaan dengan diberlakukannya kebijakan moratorium, Balai Besar Penelitian Sosial Ekonomi Kelautan dan Perikanan (BBPSEKP) telah mencoba melakukan sebuah kajian antisipatif untuk memperkirakan dampak ekonomi dari kebijakan tersebut. Kajian tersebut mempergunakan sebuah model ekonomi makro pembangunan KP untuk mensimulasikan dampak dari pemberlakuan kebijakan moratorium. Hasil simulasi menunjukkan bahwa, ceteris paribus, adanya kebijakan moratorium cenderung mendorong terjadinya perlambatan pertumbuhan perekonomian secara nasional, akan tetapi karena besaran dampak yang dihasilkan sangatlah rendah – pada angka di bawah 0,1% saja – maka dapat dikatakan tidak cukup signifikan untuk memberikan dampak buruk terhadap perekonomian nasional. Meskipun demikian, hasil simulasi juga menunjukkan kecenderungan terjadinya penurunan produksi di sektor perikanan tangkap dan pengolahan hasil perikanan (Rahadian, R., et.al., 2014). Tujuan Pada dasarnya, kajian yang dilakukan ini merupakan lanjutan dari kajian 2014 yang bersifat pendahuluan. Kajian lanjutan ini tidak hanya memfokuskan penelitian pada dampak kebijakan moratorium saja, tapi juga kepada dampak dari pelarangan praktek trans-shipment. Secara sederhana, tujuan dari kajian lanjutan ini adalah untuk menghasilkan gambaran dampak secara riil dari kedua kebijakan MenKP yang dimaksud, terhadap para pelaku usaha di sektor KP, setelah kedua kebijakan tersebut digulirkan. Tujuan umum tersebut selanjutnya dibagi menjadi tiga tujuan yang lebih spesifik, yaitu untuk: 1. Mengidentifikasi pelaku usaha perikanan yang terkena dampak langsung dari aturan trans-shipment dan moratorium; 2. Mengukur dampak kebijakan moratorium dan trans-shipment terhadap para pelaku usaha; 3. Merekomendasikan kebijakan terkait dampak moratorium dan trans-shipment terhadap pelaku usaha. Perkiraan Keluaran Dengan tercapainya tujuan penelitian seperti yang telah dijabarkan pada bagian sebelumnya, maka diharapkan penelitian ini akan menghasilkan beberapa output seperti berikut di bawah ini: 1. Data dan informasi terkait pelaku usaha perikanan yang terkena dampak langsung dari aturan trans-shipment dan moratorium; 2. Data dan informasi terkait besaran dampak moratorium dan trans-shipment terhadap pelaku usaha; 3. Rekomendasikan kebijakan terkait dampak moratorium dan trans-shipment terhadap HASIL KEGIATAN|Dampak Kebijakan Moratorium dan Transhipment pada Usaha Perikanan Indonesia 90 LAPORAN TEKNIS [KAJIAN KHUSUS BBPSEKP TAHUN 2015] pelaku usaha. Metode Penelitian Kerangka penelitian Permasalahan : Kebijakan: “IUU Fishing” 1. PERMEN-KP No. 56/2014 2. PERMEN-KP No. 57/2014 Dampak Kebijakan Terhadap Para Pelaku Usaha KP Identifikasi Pelaku Usaha KP yang Terdampak Besaran Dampak Yang Diterima Rekomendasi Kebijakan Gambar 4-5. 1. Kerangka Pemikiran Kajian Dampak Kebijakan Moratorium dan Transhipment Pada Usaha Perikanan Indonesia Kebijakan pemberlakukan moratorium dan pelarangan kegiatan trans-shipment yang digulirkan pada akhir tahun 2014 lalu, saat ini mulai dirasakan dampaknya oleh para pelaku usaha di sektor KP. Penelitian ini akan melakukan survey ke beberapa lokasi yang merupakan sentra dari usaha KP di Indonesia, untuk mengidentifikasi siapa saja pelaku usaha yang terdampak oleh kedua kebijakan tersebut dan mengkuantifikasi besaran dari dampak yang diterima oleh masingmasing pelaku yang teridenfikasi. Diharapkan dari kedua informasi yang diperoleh tersebut, penelitian ini dapat menghasilkan rekomendasi kebijakan untuk mengatasi dampak negatif dari kedua kebijakan yang telah digulirkan tersebut. Adapun yang dimaksud dengan Usaha KP dalam penelitian ini adalah berbagai usaha yang dikelompokan menjadi usaha penangkapan Ikan laut, usaha pengolahan ikan dan usaha pendukung kedua usaha terdahulu. Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret sampai dengan April 2015, dengan dua lokasi penelitian yang dipilih secara purposive, yaitu Bitung dan DKI Jakarta. Bitung dipilih sebagai lokasi penelitian sebab lokasi tersebut memiliki tempat pendaratan ikan yang berskala besar, selain juga merupakan sentra usaha pengolahan produk KP dengan skala yang beragam – dari skala tradisional hingga ke skala yang moderen. Sedangkan DKI jakarta dipilih dengan alasan bahwa lokasi ini, selain sebagai lokasi berbagai institusi yang menyediakan data sekunder, juga memiliki dua pelabuhan pendaratan ikan yang cukup besar dan merupakan sentra usaha pengolahan produk KP. HASIL KEGIATAN|Dampak Kebijakan Moratorium dan Transhipment pada Usaha Perikanan Indonesia 91 LAPORAN TEKNIS [KAJIAN KHUSUS BBPSEKP TAHUN 2015] Teknik Pengumpulan Data Jenis dari kajian ini pada dasarnya adalah sebuah studi kasus yang meneliti tentang status subyek penelitian yang berkenaan dengan suatu fase khas dari keseluruhan personalitas (Nazir 1988). Subyek penelitian adalah para pelaku usaha di sektor KP sebagai pihak yang terkena langsung dampak dari kebijakan moratorium dan trans-shipment. Adapun data yang diambil meliputi baik data primer maupun data sekunder. Data primer diperoleh dari analisis dokumen, observasi dan wawancara. Untuk memverifikasi data-data tersebut dilakukan proses triangulasi. Menurut Sitorus (1998), triangulasi dapat diartikan sebagai "kombinasi sumber data " yang memadukan sedikitnya tiga metode, seperti observasi, wawancara dan analisis dokumen. Kelebihan dari metode ini adalah saling menutupi kelemahan antara satu metode dengan metode lainnya, sehingga hasil yang diharapkan dari realitas sosial masyarakat menjadi lebih valid. Observasi dilakukan untuk memperoleh gambaran lebih jelas tentang kehidupan sosial (Nasution 2006). Dengan observasi sebagai alat pengumpul data, diusahakan mengamati keadaan yang wajar dan yang sebenarnya tanpa usaha yang disengaja untuk mempengaruhi, mengatur atau memanipulasinya. Wawancara atau interview adalah suatu bentuk komunikasi verbal jadi semacam percakapan yang bertujuan untuk memperoleh informasi (Nasution, 2006). Menurut Nasution (2006), Sumber data sekunder adalah sumber bahan bacaan. Bahan sekunder adalah hasil pengumpulan oleh orang lain dengan maksud tersendiri dan mempunyai kategorisasi atau klasifikasi menurut keperluan mereka. Data sekunder berupa bahan-bahan tertulis yang berupa laporan tahunan, hasil penelitian terdahulu (sebelumnya), buku serta publikasi media cetak maupun elektronik. Data ini dipakai sebagai pelengkap temuan atau sebagai starting point untuk memperoleh orientasi yang lebih luas mengenai topik yang diteliti. Sumber data sekunder yaitu: kementrian kelautan dan perikanan, pelabuhan perikanan, dinas kelautan dan perikanan, badan pusat statistik, Metoda Analisis Data Analisis data bertujuan untuk menyederhanakan data dalam bentuk yang lebih mudah dipahami (Nazir 1988). Data yang telah terkumpul dalam penelitian ini dikelompokkan, kemudian disusun, ditabulasi dan dilakukan analisis secara deskriptif kualitatif. Analisa data dilakukan berdasarkan informasi yang didapat dari wawancara dan observasi lapang. Tabel 4-5. 1. Matriks Metode Penelitian Data yang Tujuan Penelitian diperlukan Mengidentifikasi pelaku usaha perikanan Informasi pelaku yang terkena dampak usaha perikanan aturan transshipment dilokasi penelitian dan moratorium Data jumlah kapal, wilayah tangkap, produksi ikan, data usaha, data perkiraan kerugian/keuntung an dari moratorium Merekomendasikan Kompilasi dan kebijakan terkait analisa data Mengukur dampak moratorium dan transshipment terhadap pelaku usaha Teknik Pengumpulan Sumber Observasi lapang dan wawancara Pelaku usaha perikanan, tokoh masyarakat, dinas perikanan, pelabuhan perikanan Desk study, Observasi lapang dan wawancara DJPT, PPS, perusahaan yang menggunakan Kapal eks asing, perusahaan yang tidak menggunakan Kapal eks asing, nahkoda, abk Desk study Tim Peneliti, Narasumber HASIL KEGIATAN|Dampak Kebijakan Moratorium dan Transhipment pada Usaha Perikanan Indonesia 92 LAPORAN TEKNIS Tujuan Penelitian Mengidentifikasi pelaku usaha perikanan yang terkena dampak aturan transshipment dan moratorium [KAJIAN KHUSUS BBPSEKP TAHUN 2015] Data yang diperlukan Teknik Pengumpulan Sumber Informasi pelaku usaha perikanan dilokasi penelitian Observasi lapang dan wawancara Pelaku usaha perikanan, tokoh masyarakat, dinas perikanan, pelabuhan perikanan dampak moratorium dan transshipment terhadap pelaku usaha Hasil Dan Pembahasan Kebijakan Kementerian Kelautan dan Perikanan pada kabinet kerja fokus kepada keberlanjutan sumberdaya perikanan. Salah satu program utamanya yaitu pemberantasan Illegal, unreported, unregulated (IUU) fishing, Kegiatan IUU fishing tersebut terbukti telah merugikan negara triliunan rupiah . Salah satu pelaku IUU fishing yaitu kegiatan yang dilakukan oleh kapal eks asing dan transhipment. Kegiatan penangkapan ikan yang dilakukan oleh kapal-kapal eks asing sering disinyalir bermasalah dengan perizinannya. sebagai contoh kasus bahwa izin kapal yang sama digunakan oleh beberapa kapal. Hal ini menyebabkan kerugian karena data ikan hasil tangkapan tidak sesuai dengan data yang dilaporkan. Disamping itu, ternyata banyak ditemukan kegiatan penangkapan oleh kapal-kapal eks asing tersebut langsung di bawa ke luar perairan Indonesia. Perizinan kapal eks asing tidak sesuai dengan persyaratannya. Sebagai contoh kasus dari 1.300 kapal eks asing yang beredar di Indonesia, ada 870 kapal yang tidak memiliki izin karena tidak memenuhi persyaratan (http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2015/03/25. Kegiatan kapal Transhipment juga disinyalir telah merugikan Indonesia karena menyebabkan data hasil tangkapan ikan menjadi bias, karena banyak disinyalir ikan yang dikumpulkan langsung dijual di luar negeri dan tidak didaratkan terlebih dulu di pelabuhan sehingga tidak tercatat. Identifikasi Pelaku Usaha Kelautan dan Perikanan Yang Terdampak Dari hasil wawancara terhadap para stakeholder usaha sektor KP di kedua lokasi penelitian, telah diperoleh informasi mengenai para pelaku usaha sektor KP yang menerima dampak, baik langsung maupun tidak langsung, dari Kebijakan moratorium dan pelarangan praktek trans-shipment. Gambar 2 menunjukkan para pelaku usaha KP yang terkena dampak kedua kebijakan MENKP tersebut. Berdasarkan pengamatan di lapangan, nampaknya kedua peraturan tersebut sangat efektif dan tepat sasaran dalam memenuhi tujuannya. Kebijakan moratorium telah berhasil menghentikan kegiatan penangkapan ikan oleh kapal eks asing, yang dapat dilihat dari menghilangnya kapal-kapal eks asing yang biasanya beroperasi di Pelabuhan Perikanan Samudera Bitung. Kebijakan penghentian praktek trans-shipment juga telah diberlakukan dengan efektif, yang ditunjukkan dengan banyaknya kapal pengangkut yang bersandar di Pelabuhan Nizam Zahman karena tidak beroperasi lagi, dan memunculkan biaya sandar yang harus dibayar oleh pemilik kapal – sebagai ilustrasi, di PPS Nizam Zachman dikenakan biaya sandar sebesar Rp. 2000/m2 ukuran kapal. Dari fakta tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa pelaku usaha yang terkena dampak secara langsung dari kedua kebijakan tersebut adalah para pemilik kapal eks asing dan kapal HASIL KEGIATAN|Dampak Kebijakan Moratorium dan Transhipment pada Usaha Perikanan Indonesia 93 LAPORAN TEKNIS [KAJIAN KHUSUS BBPSEKP TAHUN 2015] pengangkut yang biasa melakukan trans-shipment. Dampak yang diterima tersebut muncul dalam bentuk berkurangnya kegiatan operasional penangkapan dan pengangkutan, serta meningkatnya biaya operasional penangkapan. Selain para pemilik kapal, dampak langsung juga dirasakan oleh para ABK termasuk Nakhoda melalui hilangnya sumber pendapatan dan/atau turunnya pendapatan akibat berkurangnya waktu melaut. Usaha KP Usaha Penangkapan Usaha Pengolahan Usaha Penunjang Pengusaha Pengusaha Usaha Transportasi Nakhoda Buruh Pedagang Ransum ABK Pedagang Alat Perikanan Jasa Perbaikan Kapal Jasa cold storage Gambar 4-5. 2. Para Pelaku Usaha KP yang Terdampak oleh Kedua Permen KP Berhentinya aktivitas penangkapan oleh kapal eks asing dan praktek trans-shipment tersebut selanjutnya berdampak pada unit pengolahan ikan (UPI) melalui berkurangnya pasokan bahan baku. Tidak sedikit UPI yang harus menghentikan usaha akibat kurangnya pasokan tersebut, terutama UPI yang sepenuhnya mengandalkan pasokan bahan baku dari hasil tangkapan kapal eks asing. Meskipun demikian, banyak juga UPI yang ternyata mampu bertahan melanjutkan kegiatan pengolahan dengan cara memperoleh bahan baku dari luar daerah, bahkan dari luar negeri. Dampak lanjutan tersebut juga dirasakan oleh para buruh pengolahan yang mengalami penurunan pendapatan akibat waktu bekerja yang berkurang atau bahkan mengalami kehilangan sumber pendapatan akibat berhentinya operasi pengolahan di UPI. Selain kegiatan usaha penangkapan dan pengolahan, dari hasil wawancara dengan pelaku usaha di lokasi penelitian, diperoleh juga informasi bahwa sebagian besar usaha penunjang bagi penangkapan dan pengolahan mengalami kelesuan usaha. Namun meskipun demikian, terdapat beberapa usaha penunjang yang menerima dampak positif dari kedua peraturan tersebut. Usaha penunjang seperti Penyedia Ransum, Perbaikan Kapal dan Alat-alat Perikanan adalah beberapa dari usaha penunjang yang mengalami kelesuan usaha akibat penurunan permintaan. Di sisi lain, usaha jasa transportasi darat dan jasa penyewaan cold storage di beberapa pelabuhan ternyata menerima dampak positif dari kedua kebijakan tersebut. Hal tersebut berkaitan dengan dilarangnya praktek trans-shipment, yang menyebabkan banyak usaha penangkapan di Jakarta memutuskan untuk melakukan penyewaan cold storage di pelabuhan terdekat dari fishing ground, yaitu Cilacap dan Pelabuhan Ratu, untuk ditimbun hingga jumlahnya mencukupi untuk diangkut menggunakan kapal angkut secara port to port. Selain itu, banyak usaha penangkap ikan bernilai ekonomis tinggi, semisal tuna, memilih untuk mendaratkan tangkapannya di pelabuhan terdekat fishing ground dan langsung mengirimkannya ke UPI di Jakarta melalui alat transportasi darat.. HASIL KEGIATAN|Dampak Kebijakan Moratorium dan Transhipment pada Usaha Perikanan Indonesia 94 LAPORAN TEKNIS [KAJIAN KHUSUS BBPSEKP TAHUN 2015] Estimasi Besaran Dampak Dampak Pada Usaha Perikanan Tangkap Semenjak Permen KP No. 56/2014 dan Permen KP 57/2014 diberlakukan pada awal november 2014 hingga April 2015 ini, tercatat telah terjadi penurunan kapal yang melaut di Pelabuhan Perikanan Samudera (PPS) Nizam Zachman seperti yang ditampilkan pada Tabel 45.2. Dari Tabel tersebut dapat kita lihat bahwa secara total, semenjak kedua peraturan diberlakukan, telah terjadi penurunan jumlah kapal yang melaut dari PPS Nizam Zachman sebesar rata-rata 5% per bulan, atau secara total sebesar 24%. Apabila dikelompokkan berdasarkan jenis kapal/alat tangkapnya, maka penurunan melaut tertinggi terjadi pada kapal jenis Angkut, seerupakan kelompok berikut yang mengalami penurunan tertinggi, dengan total sebesar 44%, dan Rawai Tuna, dengan total sebesar 42%. Nampaknya pemberlakuan kedua peraturan yang berbarengan dengan terjadinya musim paceklik lah yang telah mengakibatkan terjadinya penurunan tersebut. Hal tersebut dapat dilihat dari terjadinya fenomena penurunan yang diikuti dengan peningkatan. Tabel 4-5.2 menunjukkan bahwa penurunan terjadi sejak bulan November 2014 dan mengalami titik paling rendah pada bulan Januari 2015, dengan angka penurunan sebesar 38% dari angka bulan Oktober 2014. Akan tetapi bersamaan dengan mulai berakhirnya musim paceklik, maka pada bulan Februari 2015 mulai terjadi peningkatan jumlah kapal yang melaut, meskipun dengan angka yang masih di bawah angka bulan Oktober 2014. Meskipun terjadi peningkatan akan tetapi telah terjadi penurunan kapal yang melaut dengan rata-rata sebanyak 20% per bulan, atau secara total, sebanyak 66% sepanjang periode pengamatan. Tabel 4-5. 2. Data Keberangkatan Kapal dari PPS Nizam Zachman Berdasarkan Jenis Kapal, Oktober 2014-Februari 2015 Jenis Kapal Oktober November Desember Januari Februari Angkut 70 78 37 34 24 Bouke Ami 158 165 122 87 167 Lain-lain 9 12 12 122 5 Pukat Cincin 118 108 80 0 82 Rawai Tuna 45 40 24 5 26 Total 400 403 275 248 304 Sumber: PPS NIZAM ZACHMAN Jakarta, 2015 Dari sisi produksi, secara total, terjadi kecenderungan penurunan total produksi tangkapan yang didaratkan di PPS Nizam Zachman, dengan rata-rata 11% perbulannya sepanjang periode Oktober 2014 hingga Februari 2015 ini. Serupa dengan angka kapal yang melaut, kecenderungan tersebut nampaknya terjadi sebagai akibat dari pengaruh musim penangkapan saja. Hal tersebut dapat dilihat dari penurunan yang mencapai titik terendah di angka 5780 Ton pada bulan Januari 2015, dan meskipun belum menyamai angka produksi pada Oktober 2014, akan tetapi nampaknya mulai terjadi kecenderungan peningkatan produksi tangkapan pada bulan Februari 2015, seiring dengan mulai bergantinya musim tangkapan. HASIL KEGIATAN|Dampak Kebijakan Moratorium dan Transhipment pada Usaha Perikanan Indonesia 95 LAPORAN TEKNIS Tabel 4-5. 3. [KAJIAN KHUSUS BBPSEKP TAHUN 2015] Data Produk Tangkapan yang Didaratkan di PPS Nizam Zachman Berdasarkan Jenis Kapal, Oktober 2014–Februari 2015 Jenis Kapal Angkut Oktober 2014 1867,535 Produksi (Satuan: Ton) November Desember Januari 2015 2014 2014 2321,399 979,001 0 Februari 2015 0 Bouke Ami 1840,515 1148,508 1650,231 1460,654 722,113 Pukat Cincin 6526,409 4769,734 5491,662 3777,331 5292,066 Rawai Tuna 1079,691 734,138 360,481 379,65 444,092 3,76 0 314,007 162,734 7,676 11317,91 8973,779 8795,382 5780,369 6465,947 Lainnya TOTAL Sumber: Olahan Data PPS Nizam Zachman, 2015 Apabila data tersebut dipilah berdasarkan alat tangkap yang digunakan, maka dapat dilihat bahwa Kedua PERMEN KP, yang diberlakukan pada November 2015 lalu, nampaknya sangat berdampak terhadap kegiatan operasi Kapal Angkut – yang umumnya melakukan kegiatan Trans-shipment. Meskipun pada awal diberlakukan PERMEN terkait trans-shipment memang sempat terjadi puncak pendaratan ikan bagi Kapal Angkut pada angka 2321 Ton, akan tetapi selepas itu terjadi penurunan pendaratan yang luarbiasa signifikan dan terjadi penghentian secara total operasi pengangkutan pada bulan Januari dan Februari 2015 ini. Pada Tabel 4-5. 4, terlihat jumlah kapal yang berlayar sejak diberlakukannya peraturan menteri kelautan terkait moratorium. Secara umum, terjadi pertumbuhan yang negatif -0,141 yang menunjukkan terjadi penurunan jumlah kapal yang berlayar. Tabel 4-5. 4. Jumlah Persetujuan Berlayar (SPB) Berdasarkan Jenis Kapal, Oktober 2014-Februari 2015 di PPS Bitung Februari Alat tangkap Oktober November Desember Januari Bottom Long Line 0 Gill Net 5 Hand line 82 Kapal Latih 1 Kapal Penelitian 0 Light Boat 44 Pancing Cumi 0 Pengangkut 214 Pole and Line 78 Pukat ikan 0 Purse Seine 274 Tuna Hand line 532 Tuna long line 11 Kapal Izin baru 0 Jumlah 1241 Sumber: PPS Bitung 2014 & 2015 1 0 2 71 1 1 36 0 187 71 3 242 579 15 0 1209 0 46 2 1 36 0 78 31 0 258 315 6 0 773 0 0 40 0 0 57 0 40 36 0 252 371 4 4 804 HASIL KEGIATAN|Dampak Kebijakan Moratorium dan Transhipment pada Usaha Perikanan Indonesia 0 0 41 0 0 34 0 36 28 0 236 234 2 0 611 96 LAPORAN TEKNIS [KAJIAN KHUSUS BBPSEKP TAHUN 2015] Estimasi, besaran dampak kedua Permen di kedua lokasi telah dianalisis secara tabulasi dan dapat dilihat pada Tabel 4-5.5 dan Tabel 5-4.6. Tabel 4-5.5 merangkum estimasi besaran dampak dari kedua PERMEN KP yang dialami oleh para pelaku usaha penangkapan dan pengangkutan baik di Jakarta maupun Bitung. Tabel 4-5-6 menyampaikan informasi mengenai besaran dampak dari kedua PERMEN KP yang diterima oleh para pelaku usaha pengolahan baik di Jakarta maupun Bitung. Tabel 4-5. 5. Besaran Dampak Moratorium dan Transshipment Terhadap Pelaku Usaha Penangkapan Dan Pengangkutan Di Kedua Lokasi Penelitian Uraian Jakarta1 Bitung2 Sebelum Setelah Permen Sebelum Permen Setelah Permen 57/2014 56/2014 Permen 57/2014 56/2014 Produksi Produksi yang - Terjadi penurunan - Produksi ikan - Penurunan tercatat di PPS produksi ikan yang didaratkan produksi ikan Nizam Zahman yang didaratkan di PPS yang pada Bulan sebesar 11% per sebanyak didaratkan Nopember 2014 bulan 6.808.343 kg sebesar >50% sebanyak (Februari 2014) menjadi - Terjadi 8973,779 ton 1.987.707 kg peningkatan - Produksi kapal (≤ (Februari produksi 10GT) 100-500 2015) walaupun tidak kg/trip signifikan oleh - Produksi kapal kapal <30 GT. (≤ 10 GT) meningkat 200% menjadi 1-2 ton/trip Jumlah trip - Jumlah trip kapal - Jumlah trip kapal Jumlah trip kapal Jumlah trip ≤ 10 GT dalam 1 kapal ≤ 10 GT transhipment transhipmen minggu sebanyak dalam 1 minggu 6 - 12 bulan/trip menjadi 2-4 2-3 trip sebanyak 7 trip bulan/trip - Jumlah hari melaut Kapal < - Jumlah hari 30 GT 3-5 bln melaut Kapal < 30 (BBM di supply) GT berkurang menjadi 2 bln - > 30 GT sesuai BBM kapasitas palka 50 ton namun - Produksi hasil tangkapan tangkapan sesuai dapat mencapai dengan kapasitas 100 ton/trip palka nya Pendapata Pendapatan Penururnan - Nahkoda dan Abk - ABK kapal n nelayan nelayan < 30 GT pendapatan kapal eks asing eks asing dan Rp. 15.000/hari di nelayan < 30 GT dan transhipment transhipment tambah bonus berkurang karena memperoleh kehilangan tidak mendapatkan pendapatan pendapatan bonus harian dan bonus dari bonus bahkan - Nelayan dengan menganggur. kapal 10 GT Nakhoda memperoleh masih pendapatan hanya dipertahankan Rp 50.000dengan 150.000 /hari HASIL KEGIATAN|Dampak Kebijakan Moratorium dan Transhipment pada Usaha Perikanan Indonesia 97 LAPORAN TEKNIS Uraian [KAJIAN KHUSUS BBPSEKP TAHUN 2015] Jakarta1 Sebelum Setelah Permen Permen 57/2014 57/2014 Bitung2 Sebelum Permen 56/2014 Jarak Fishing Ground Kapal-kapal Tetap di wilayah Wilayah transhipmen > 30 Laut Jawa penangkapan GT di Laut Jawa kapal ≤ 10 GT di dan Samudera lokasi 4 mil Hindia Harga Ikan Rata-rata harga ikan hasil tangkapan kapal < 30 GT Rp. 10000/kg Rata-rata harga ikan meningkat menjadi Rp. 12.000/kg Penggunaa n BBM penggunaan BBM mengandalkn dari tambahan supply dan dapat mencapai 750 kiloliter Penurunan - Akses BBM utk konsumsi BBM nelayan perahu menjadi 250 ≤ 10 GT sulit kiloliter karena hanya untuk penggunaaan satu trip saja Jumlah Kapal kapal kapal yang transhipment melaut seluruhnya dapat beroperasi Mengalami - Kapal eks asing penurunan kapal dan transhipment yang beroperasi seluruhnya rata-rata 11%. beroperasi - Kapal ≤ 10 GT yang beroperasi terbatas Mengalami normal kelesuan usaha akibat berkurangnya permintaan atas jasa yang disediakan Usaha pendukung (bengkel/d ocking, rumah makan, jasa angkut dll) normal Harga ikan hasil tangkapan nelayan ≤ 10 GT : Rp. 5.000/kg Setelah Permen 56/2014 diberikan gaji bulanan - Pendapatan nelayan kecil meningkat > 80% Wilayah tangkapan kapal ≤ 10 di sekitar 2 mil karena sudah banyak ikan Terjadi peningkatan harga ikan menjadi 10.000/kg (100%) - Akses memperoleh BBM lebih mudah - kapal ≤ 10 GT konsumsi BBM berkurang 30% - Kapal eks asing tdk beroperasi - Jumlah operasi kapal ≤ 10 GT meningkat Usaha pendukung seperti toko yang menjual kebutuhan sehari-hari, warung-warung makanan, kuli angkut, dan ojek mengalami penurunan pendapatan karena konsumen berkurang HASIL KEGIATAN|Dampak Kebijakan Moratorium dan Transhipment pada Usaha Perikanan Indonesia 98 LAPORAN TEKNIS [KAJIAN KHUSUS BBPSEKP TAHUN 2015] Ket: 1) Transhipment; 2) Moratorium Sumber: Hasil Survey Dampak Moratorium dan Pelarangan Trans-shipment , BBPSEKP – 2015. Dampak Pada Usaha Pengolahan Ikan Implementasi Permen 56 dan 57 tahun 2014 telah ditasakan secara langsung oleh usaha pengolahan ikan. Dampak langsung tersebut berupa berkurangnya pasokan bahan baku yang semula diperoleh dari kapal-kapal eks asing dan kapal pengangkut baik milik perusahaa pengolahan sendiri maupun maupun bukan, Akibat berkurangnya pasokan untuk bahan baku pengolahan, maka berakibat berkurangnya jumlah produksi sebesar 11% - 50%. Dampak terbesar diterima oleh UPI yang ada di Bitung. Hal ini disebabkan pada awalnya kapal-kapal eks asing yang mensupply kebutuhan bahan baku mencukup, namun setelah moratorium diberlakukan kapal-kapal tersebut tidak beroperasi. Lain halnya di DKI Jakarta, kekurangan pasokan bahan baku tersebut disebabkan kapal-kapal transhipmen sudah tidak bongkar muat lagi di Pelabuhan Nizam Zahman, tapi di Pelabuhanratu dan Cilacap. Sehingga menyebabkan pasokan terlambat datang. Disamping itu berkurangnya jumlah kapal-kapal transhipmnet yang beroperarsi karena harus membenahi izinnya dan menyesuaikan dengan aturan yang berlaku.. Dampak yang lainnya, meningkatnya biaya distribusi bahan baku dari wilayah atau pelbuhan lain ke lokasi UPI sehingga menambah biaya transportasi dan distribusinya. Kelangkaaan pasokan tersebut secara pasti akan mempengaruhi pemenuhan kuota ekspor yang sudah disepakati antara Upi dengan pihak pembeli di luar negeri. Untuk menyikapi permasalahan tersebut, pemlik unit pengolahan ikan mengimpor bahan baku ikan dari Jepang atau negara lainnya. Tabel 4-5. 6. Uraian Besaran Dampak Moratorium dan Transshipment Terhadap Pelaku Usaha Pengolahan Ikan di Kedua Lokasi Penelitian Jakarta 1 Bitung2 Sebelum Sesudah Sebelum Produksi Waktu - Produksi berkurang - Waktu produksi produksi 7 50%, karena 7 hari hari per pasokan bahan kerja/minggu minggu baku tersendat - Pasokan ikan karena supply - Bahan Baku impor stabil bahan baku dari Jepang lancar Jumlah UPI UPI tuna - UPI Tuna Jumlah UPI di yang masih masih 50% berkurang tinggal dalam pelabuhan beroperasi operasi 8 unit sekitar 30% Tenaga Kerja Sesudah - Waktu produksi 2-3 hari kerja/minggu - Berkurang > 50 % , karena kekurangan bahan baku. Jumlah UPI di dalam pelabuhan yang beroperasi 6 unit Hari Kerja 7 Jumlah hari kerja - 700.000 per - Terjadi hari oper berkurang 50% minggu pengurangan minggu tenaga kerja - jumlah jam sebanyak 80 % kerja 60-70 jam per minggu - Dilakukan sistem rooling pegawai. - Jumlah jam kerja 12 -24 jam per minggu HASIL KEGIATAN|Dampak Kebijakan Moratorium dan Transhipment pada Usaha Perikanan Indonesia 99 LAPORAN TEKNIS [KAJIAN KHUSUS BBPSEKP TAHUN 2015] Jakarta 1 Uraian Sebelum Supply Ikan Normal Ke Pasar Ekspor Pasokan Dari KapalBahan baku kapal transhipment sendiri atau sekitar Muara Baru Biaya perolehan bahan baku Normal Bitung2 Sesudah Sebelum Berkurang 75% Normal perbulan Sesudah Supply ikan kalengan berkurang 70% Mengandalkan Sumber pasokan - Berkurang hanya pasokan dari dari dalam mengandalkan oelabuhan Ratu dan Bitung pasokan dari Cilacap kapal-kapal kecil. - UPI Cakalang fufu (asap), pasokan bahan baku mendatangkan dari luar propinsi (Gorontalo) . pasokan bahan baku cakalang berkurang sebanyak 50% Mengalami Normal Mengalami peningkatan peningkatan biaya >20% , karena transportasi>50% menggunakan karena harus transportasi darat mendatangkan dari Pelabuhan Ratu dariluar daerah dan Cilacap ke (gorontalo) Jakarta (Untuk Tuna) Ket: 1) Transhipment; 2) Moratorium Sumber: Hasil Survey Dampak Moratorium dan Pelarangan Trans-shipment , BBPSEKP – 2015. Respon Para Pelaku Usaha Terhadap Dampak Kedua Peraturan Usaha Pengolahan - Untuk pemenuhan kebutuhan bahan baku, UPI melakukan impor bahan baku dari Jepang. atau mendatangkan dari provinsi lain; Sebagain kecil UPI yang mampu bertahan, tidak serta merta melakukan PHK, hanya mengurangi jam kerja pegawai saja, mengingat spesifikasi skill yang cukup tinggi dari buruh pengolahan; Bagi UPI yang melakukan usaha terpadu dan harus menghentikan usaha penangkapan, maka akan langsung memberhentikan ABK namun tetap mempertahankan dan menggaji nakhoda. Usaha Penangkapan dan pengangkutan: - Untuk mengatasi dampak PERMEN 57/2014, para pemilik kapal penangkapan yang memiliki modal, umumnya akan tetap melakukan operasi penangkapan, namun dengan waktu operasi yang terbatas oleh kapasitas Palka; Melakukan pendaratan ikan di pelabuhan terdekat dari fishing ground (Cilacap dan HASIL KEGIATAN|Dampak Kebijakan Moratorium dan Transhipment pada Usaha Perikanan Indonesia 100 LAPORAN TEKNIS - [KAJIAN KHUSUS BBPSEKP TAHUN 2015] Pelabuhan Ratu), dan menyewa cold storage; Melakukan pengangkutan ikan secara port to port pada saat cold storage sewaan di pelabuhan terdekat dari fishing ground sudah penuh; Melakukan pengiriman ikan bernilai ekonomis tinggi (Tuna) dari pelabuhan terdekat dari fishing ground menggunakan alat transportasi darat, untuk dikirim ke UPI di Jakarta; Rekomendasi Kebijakan a) Pemerintah harus melakukan perbaikan sistem perizinan terutama untuk kapal eks asing yang pemilik dan ABK nya orang Indonesia, serta kapal transhipmet yang beroperasi dengan melaporkan hasil tangkapannya secara transparan b) Pemerintah harus meningkatkan sistem pengawasan. Dapat dilakukan melalui peningkatan kapasitas pengawas, menambah jumlah pengawas serta mempekuat armada serta peralatan pengawasan c) Pemerintah harus melakukan audit kepada perusahaan perikanan terutama perusahaan besar secara lebih transparan d) Guna meningkatkan efektivitas penangkapan, sebaiknya segera dilakukan program peningkatan keahlian ABK Lokal serta sertifikasi kepada nelayan agar memiliki sistem pengupahan yang lebih layak e) Semakin pentingnya peran nelayan dengan armada kecil sangat berpeluang untuk terjalinnya kemitraan dengan UPI. Untuk itu pemerintah harus mendorong peluang tersebut melalui peningkatan kapasitas nelayan serta pemberian insentif subsidi BBM atau input produksi Implikasi Kebijakan a) Kebijakan mengoperasionalkan kembali kapal eks asing di mungkinkan bagi kapal yang kepemilikannya oleh pengusaha Indonesia; b) Kebijakan pelarangan praktek transshipmen, perizinannya perlu direvisi terkait lokasi/wilayah pemberlakuannya.dipilih untuk daerah-daerah tertentu saja, terutama lokasilokasi yang dekat dengan perbatasan (wilayah timur Indonesia); c) Meningkatkan kapasitas keterampilan ABK Indonesia melalui sertifikasi dan perjanjian kontrak kerja antara ABK dengan pemilik, agar ABK menjadi profesi yang formal; d) Meningkatkan pengawasan pada usaha penangkapan melalui penyelenggaraan Audit pada usaha perikanan skala besar yang menggunakan kapal eks asing dan kapal-kapal transhipment, disertai usaha peningkatan kapasitas dan kuantitas baik sumberdaya manusia maupun peralatan pengawasan. e) Kapal-kapal kecil sangat potensial untuk menjalin kemitraan dengan UPI, sehingga diantisipasi dengan perbaikan praktek penanganan ikan yang baik di atas kapal, sehingga dapat memenuhi syarat kualitas bahan baku untuk UPI. f) Perbaikan sistem perizinan penangkapan ikan sebaiknya menggunakan sistem kuota hasil tangkapan; dimana izin diberikan atas dasar jumlah tangkapan maksimal per tahun untuk setiap kapal. Langkah Eksekusi Sebagai langkah dalam hal menanggulangi dampak kebijakan masing-masing Eselon I lingkup KKP mempersiapkan langkah-langkah, diantaranya : Tabel 4-5. 7. Kegiatan Yang Sebaiknya dilakukan Pasca Moratorium HASIL KEGIATAN|Dampak Kebijakan Moratorium dan Transhipment pada Usaha Perikanan Indonesia 101 LAPORAN TEKNIS No 1 2 3 4 5 [KAJIAN KHUSUS BBPSEKP TAHUN 2015] Kegiatan Perbaikan Sistem Perizinan Perbaikan Sistem Audit Perusahaan Perikanan Perbaikan Sistem Pengawasan Peningkatan Keahlian ABK Lokal Penggagasan Kemitraan Antara UPI Dengan Usaha Penangkapan Ikan Kecil Sebagai Supplier Bahan Baku Penanggungjawab DJPT DJPT P2SDKP BPSDM P2HP Daftar Pustaka http://www.bpk.go.id/assets/files/storage/2013/12/file_storage_1386744323.pdf http://www.indonesia.go.id/en/ministries/ministers/ministry-of-communication-andinformatics/881-ekonomi/2526-fao-akibat-iuu-kerugian-diperkirakan-rp30-triliun http://www.rri.co.id/post/berita/122962/ekonomi/moratorium_izin_kapal_industri_dapat_bahan _baku_tambahan.html http://www.mongabay.co.id/2014/11/12/menteri-kelautan-moratorium-izin-kapal-bangkitkanindustri-pengolahan-ikan/ http://ajisularso.com/implikasi-moratorium-kapal-ikan-eks-asing/ http://www.koran-sindo.com/read/938858/150/moratorium-izin-kapal-perlu-ditinjau-ulang1418872961 http://kkp.go.id/index.php/berita/dukung-moratorium-kapal-kkp-latih-eks-abk-kapal-asing/ http://industri.bisnis.com/read/20141127/99/276112/dampak-moratorium-kapal-produksi-ikanmelimpah Nazir, M. 1998. Metode penelitian. Ghalia Indonesia. Jakarta. 622 hal Nasution. 2006. Metode Research (Penelitian Ilmiah). Jakarta: Bumi Aksara. Peraturan Menteri kelautan dan perikanan republik indonesia nomor 56/permen-kp/2014 tentang penghentian sementara (moratorium) perizinan usaha perikanan tangkap di wilayah pengelolaan perikanan negara republik indonesia (dokumen negara) Peraturan Menteri kelautan dan perikanan Republik Indonesia Nomor 57/permen-kp/2014 tentang Perubahan kedua atas peraturan menteri kelautan dan perikanan nomor Per.30/men/2012 tentang usaha perikanan tangkap di wilayah pengelolaan perikanan negara Republik Indonesia Rahadian, R., Tajerin. 2014. Dampak Ekonomi Implementasi Moratorium Izin Kegiatan Penangkapan Ikan. Tidak dipublikasikan. Anonymous. Menteri Susi Tak Akan Perpanjang Moratorium Kapal Eks-Asing. http://bisniskeuangan. kompas .com/ read/2015/03/25. Diakses pada tanggal 27 Maret 2015. HASIL KEGIATAN|Dampak Kebijakan Moratorium dan Transhipment pada Usaha Perikanan Indonesia 102 LAPORAN TEKNIS 4.6. [KAJIAN KHUSUS BBPSEKP TAHUN 2015] Kajian Supply Ikan di Pasar Domestik dalam Rangka Kesiapan Manghadapi Ramadhan dan Hari Raya Idul Fitri (2015). Pendahuluan Latar Belakang Pembangunan pangan merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dengan pembangunan nasional. Hal tersebut dituangkan pada Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional tahun 2005 hingga 2025, yang menegaskan bahwa “pembangunan dan perbaikan gizi dilaksanakan secara lintas sektor meliputi produksi, pengolahan, distribusi hingga konsumsi pangan dengan kandungan gizi yang cukup, seimbang serta terjamin keamanannya”. Berdasarkan peraturan perundangan tersebut dapat dilihat bahwa pangan merupakan dasar utama untuk mewujudkan sumber daya manusia yang berkualitas yang sangat ditentukan oleh status gizi yang baik. Apabila dicermati maka hal ini selaras dengan konsep ketahanan pangan nasional yang dituangkan pada Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012. Sektor perikanan berpeluang untuk menopang program nasional ketahanan pangan, terutama dalam hal pencukupan kebutuhan protein. Ikan merupakan sumber pangan yang memiliki kandungan protein hewani tinggi dan menyumbang sebesar 55% dalam penyediaan protein di Indonesia (Heruwati, 2002). Selain itu kapasitas produksi sumberdaya perikanan Indonesia cukup memadai. Mengacu pada data Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), pada tahun 2013 volume produksi ikan segar adalah sebesar 19,56 juta ton, produksi ikan olahan sebesar 4,1 juta ton volume ekspor sebesar 621ribu ton, volume impor produk perikanan sebesar 155ribu ton dan konsumsi ikan sebesar 12,2 juta ton. Bukti empiris memperlihatkan adanya indikasi yang sangat kuat terjadinya peningkatan konsumsi ikan, seiring dengan peningkatan tingkat konsumsi ikan dari tahun ke tahun. Berdasarkan data yang dikeluarkan oleh KKP (2014), tahun 2006 tingkat konsumsi ikan adalah 25,03 kg/kap/tahun. Pada tahun 2010 tingkat konsumsi ikan penduduk Indonesia sudah mulai memenuhi standar FAO, yaitu 30.48 kg/kapita per tahun, namun tingkat konsumsi ikan tersebut masih tergolong rendah diantara beberapa negara di dunia. Pada tahun 2013 tingkat konsumsi ikan adalah sebesar 35,14/kg/kap/tahun atau meningkat rata-rata hampir sebesar 4,97 %/tahun (KKP, 2013). Pada bulan puasa dan menjelang idul fitri biasanya semua bahan pangan mengalami peningkatan permintaan yang berpengaruh pada stok barang termasuk komoditas ikan. Permintaan yang tinggi terhadap suatu barang biasanya dapat menyebabkan kenaikan harga barang. Barang yang biasanya mengalami kenaikan harga yaitu tujuh komoditas utama pangan antara lain minyak goreng, daging sapi, daging ayam, hortikultura, gulapasir, tepung terigu, ikan dan udang serta beras. Oleh karena itu, dalam rangka pemenuhan kebutuhan pangan termasuk ikan menjelang hari raya idul fitri 1436 H, data dan informasi tentang stok ikan di pasar domestik dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan dalam melakukan perencanaan, evaluasi dan antisipasi ketersediaan ikan. Perumusan Masalah Pada bulan ramadhan dan lebaran, permintaan ikan mengalami kenaikan karena konsumsi ikan meningkat. Terdapat asumsi permintaan ikan menjelang puasa yaitu naik sebesar 20%, saat puasa naik sebesar 15% dan saat lebaran naik sebesar 30%. Agar tidak terjadi gejolak pada masyarakat, pemerintah perlu menciptakan situasi yang kondusif dengan cara memenuhi permintaan pasar. Untuk mencukupi permintaan atau kebutuhan ikan pada bulan ramadhan dan lebaran, pemerintah perlu mengetahui ketersediaan (stok) ikan yang ada dan kecukupannya serta HASIL KEGIATAN|Kajian Supply Ikan di Pasar Domestik dalam Rangka Kesiapan Manghadapi Ramadhan dan Hari Raya Idul Fitri (2015). 103 LAPORAN TEKNIS [KAJIAN KHUSUS BBPSEKP TAHUN 2015] pendistribusiannya. Seperti sudah menjadi tradisi, pada saat bulan suci ramadhan ketersediaan dan harga pangan selalu mewarnai dinamika perdagangan dalam negeri, tak terkecuali dengan bulan ramdahan dan Idul Fitri tahun ini yang jatuh pada bulan Juni sampai bulan Juli 2015. Pada bulan-bulan tersebut harga-harga kebutuhan mulai mengalami kenaikan dan seolah sulit untuk dihindarkan. Fenomena kenaikan harga menjelang puasa dan lebaran yang merupakan siklus tahunan dipicu oleh lonjakan permintaan bahan-bahan pokok dan dapat diperburuk pada situasi kelangkaan. Lonjakan harga terjadi khususnya pada komoditas daging, ayam dan telur, dimana komoditas tersebut dianggap sebagai menu “wajib” untuk menemani sajian selama lebaran. Jika dibandingkan dengan sumber protein hewan lainnya, ikan cenderung stabil baik dalam pasokan, permintaan maupun harga pada saat menjelang puasa hingga menjelang lebaran. Walaupun meningkat, peningkatannya relatif kecil (kisaran harganya masih berada dibawah harga daging dan ayam). Selama menjelang datangnya bulan puasa hingga lebaran tahun 2015, ketersediaan pasokan pangan ikan relatif aman, mengingat permintaan terhadap ikan tidak melonjak seperti halnya daging dan telur. Meskipun ketersediaan ikan diperkirakan aman, pemerintah tetap perlu melakukan pemantauan pasokan dan harga ikan sehingga tidak mengalami kekurangan pasokan akibat kurang lancarnya distribusi pemasaran ikan dari daerah sentra produksi ke konsumen. Banyak kebutuhan menjelang idul fitri sehingga menyebabkan masyarakat cenderung mencari barang yang harganya terjangkau dan dapat memenuhi semua kebutuhan termasuk pangan. Oleh karena itu, dalam rangka pemenuhan kebutuhan pangan termasuk ikan menjelang idul fitri 1436 H, data dan informasi terkait stok ikan di pasar domestik dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan dalam melakukan perencanaan, evaluasi dan antisipasi ketersediaan ikan. Dengan demikian, perlu kajian mengenai ketersediaan ikan (stok ikan) selama bulan tersebut. Tujuan Penelitian Tujuan dari kajian ini adalah : 1. Mengkaji ketersediaan stok ikan di pasar domestik menjelang Hari Raya Idul Fitri 1436 H; 2. Merumuskan kebijakan dan strategi kecukupan stok ikan menjelang Hari Raya Idul Fitri 1436 H. Keluaran Keluaran dari Kajian Supply Ikan di Pasar Domestik Dalam Rangka Kesiapan Menghadapi Hari Raya Idul Fitri 1436 H adalah tersusunnya rekomendasi kebijakan tentang status ketersediaan ikan dan kecukupan stok ikan menjelang Hari Raya Idul Fitri 1436 H. Tinjauan Pustaka Ketahanan Pangan Pengertian tentang ketahanan pangan (food security) berubah dari waktu ke waktu. Pengertian luas ketahanan pangan adalah terjaminnya akses pangan buat segenap rumah tangga serta individu setiap waktu sehingga mereka dapat bekerja dan hidup sehat (Braun dkk, 1992; Soetrisno, 1995; Suhardjo, 1995; Suhardjo, 1996; Soetrisno, 1997). Di Indonesia pengertian ketahanan pangan tercantum dalam Undang-Undang RI Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan adalah bahwa kemampuan setiap individu atau rumah tangga untuk mendapatkan bahan makanan yang cukup, aman, dan bergizi yang memenuhi kebutuhan makanan sesuai dengan standar untuk hidup sehat. Selanjutnya berubah dalam Undang-Undang RI No 18 Tahun 2012 tentang HASIL KEGIATAN|Kajian Supply Ikan di Pasar Domestik dalam Rangka Kesiapan Manghadapi Ramadhan dan Hari Raya Idul Fitri (2015). 104 LAPORAN TEKNIS [KAJIAN KHUSUS BBPSEKP TAHUN 2015] Pangan bahwa ketahanan pangan adalah kondisi terpenuhinya pangan bagi negara sampai dengan perseorangan, yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, beragam, bergizi, merata, dan terjangkau serta tidak bertentangan dengan agama, keyakinan, dan budaya masyarakat, untuk dapat hidup sehat, aktif, dan produktif secara berkelanjutan. Menurut Soetrisno (1995) terdapat dua komponen penting dalam ketahanan pangan yaitu ketersediaan dan akses terhadap pangan. Maka tingkat ketahanan pangan suatu negara/wilayah dapat bersumber dari kemampuan produksi, kemampuan ekonomi untuk menyediakan pangan dan kondisi yang membedakan tingkat kesulitan dan hambatan untuk akses pangan. Menurut Pribadi (2005) cakupan ketahanan pangan adalah: (1) Ketersediaan ketersediaan pangan mencakup produksi, cadangan dan pemasukan; (2) Distribusi/aksesibilitas mencakup akses fisik (mudah dijangkau) dan ekonomi (terjangkau daya beli) bagi individu untuk mendapatkan pangan; serta (3) Konsumsi mencakup mutu dan keamanan serta kecukupan gizi individu. Dengan demikian ketahanan pangan bukan hanya mengenai masalah produksi, tetapi juga merupakan masalah keterjangkuan dan distribusi. Hal senada dinyatakan Sawit dan Ariani (1997) bahwa penentu ketahanan pangan di tingkat rumah tangga adalah akses terhadap pangan, ketersediaan pangan dan resiko yang terkait dengan akses ketersediaan pangan tersebut. Ketersediaan/Stok Ikan Stok merupakan sejumlah bahan makanan yang dikuasai/disimpan oleh pemerintah atau swasta seperti yang terdapat di pabrik, gedung, depo, lumbung petani/rumah tangga dan pasar/pedagang yang dimaksudkan sebagai cadangan dan akan digunakan apabila sewaktu-waktu diperlukan. Perubahan stok merupakan selisih antara stok akhir tahun dengan stok awal tahun. Perubahan stok ini hasilnya bisa negatif dan positif. Bila negatif berarti ada penurunan stok akibat pelepasan stok ke pasar. Sedangkan bila positif berarti ada peningkatan stok yang berasal dari komoditas yang beredar di pasar. Dengan demikian komoditas yang beredar di pasar menjadi menurun (BPS, 2010). Ketersediaan pangan merupakan suatu kondisi penyediaan pangan yang mencakup makanan dan minuman yang berasal dari tanaman, ternak dan ikan bagi penduduk suatu wilayah dalam suatu kurun waktu tertentu, yang juga merupakan suatu sistem yang berjenjang mulai dari nasional, provinsi, lokal dan rumah tangga. Ketersediaan pangan ditingkat rumah tangga harus selalu dijaga agar keluarga tetap cukup kebutuhan pangannya yang sekaligus akan berdampak positif terpelihara kesehatannya karena kecukupan gizi selalu terjamin (Indriana dan Widajanti, 2005). Ketersediaan pangan mencakup aspek produksi dan distribusi pangan, dalam konteks perikanan ketersediaan ikan dihitung dengan memperhatikan produksi, ekspor dan impor hasil perikanan. Ketersediaan ikan dihitung dengan menggunakan Neraca Bahan Makanan (NBM) dimana NBM merupakan tabel yang memuat informasi tentang situasi pengadaan (produksi, cadangan/stok, impor/ekspor), penggunaan (pemakaian untuk pakan, benih, industri pangan dan non pangan, tercecer) serta penyediaan pangan subsektor perikanan untuk dikonsumsi penduduk pada suatu wilayah (negara/propinsi/kabupaten) dalam suatu kurun waktu tertentu. Ketersediaan pangan mencerminkan pangan yang tersedia untuk dikonsumsi masyarakat, yang merupakan produksi domestik yang dikoreksi dengan penggunaan untuk bibit/benih, industri, kehilangan/susut, ekspor dan stok ditambah impor. Perkembangan ketersediaan pangan di Indonesia secara keseluruhan masih di atas yang dianjurkan Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi. Rata-rata kecukupan energi dan protein bagi penduduk Indonesia masing-masing sebesar 2150 Kilo kalori dan 57 gram per orang per hari pada tingkat konsumsi (Permenkes No 75 Tahun 2013). HASIL KEGIATAN|Kajian Supply Ikan di Pasar Domestik dalam Rangka Kesiapan Manghadapi Ramadhan dan Hari Raya Idul Fitri (2015). 105 LAPORAN TEKNIS [KAJIAN KHUSUS BBPSEKP TAHUN 2015] Pemenuhan Protein Hewani Ikan Tingkat konsumsi merupakan ukuran yang digunakan untuk melihat tinggi atau rendahnya permintaan seseorang terhadap barang atau jasa tertentu, dalam hal ini permintaan untuk mengkonsumsi ikan. Tingkat konsumsi akan sangat berpengaruh terhadap pola dan gaya hidup konsumen. Tingkat konsumsi biasanya disesuaikan dengan pendapatan, harga produk dan tingkat kebutuhannya. Menurut Oktari (2008), tingkat konsumsi ikan merupakan banyaknya ikan yang dikonsumsi oleh individu dalam satuan gram/kapita/hari. Tingkat konsumsi seorang dengan yang lain berbeda, karena adanya perbedaan ini maka cara dan besarnya konsumsi seorang dengan yang lain akan berbeda. Tingkat konsumsi dapat juga dijadikan sebagai tolak ukur seseorang untuk menilai kekayaan atau kesejahteraan. Konsumsi ikan banyak dipengaruhi oleh ikan yang tersedia, dimana ketersediaan ikan ini juga banyak ditentukan oleh produksi. Namun menurut Suhardjo (1990), walaupun produksi ikan cukup, tidak berarti konsumsi ikan juga cukup karena banyak faktor yang sangat berpengaruh dalam hal mengkonsumsi ikan. Menurut Ariningsih (2004), tingkat kecukupan protein adalah banyaknya asupan protein seseorang dibandingkan dengan asupan protein yang dianjurkan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Penggunaan nilai protein cukup untuk menggambarkan kecukupan pangan rumah tangga, karena konsumsi protein dibutuhkan untuk memulihkan sel-sel tubuh yang rusak pada usia dewasa atau untuk menjamin pertumbuhan normal pada usia muda (Irawan, 2002). Protein terdiri dari asam-asam amino. Disamping menyediakan asam amino esensial, protein juga mensuplai energi dalam keadaan energi terbatas dari karbohidrat dan lemak. Protein atau asam amino esensial berfungsi terutama sebagai katalisator, pembawa, pengerak, pengatur, ekpresi genetik, neurotransmitter, penguat struktur, penguat immunitas dan untuk pertumbuhan (Hardinsyah et al., 2001). Ikan sebagai pendamping pangan pokok seperti nasi, umbi-umbian dan meningkatkan mutu protein pangan pokok yang dikonsumsi (Karyadi dan MUhilal, 1987). Metode Penelitian Kerangka Pendekatan Untuk mengkaji supply ikan di pasar domestik menghadapi hari raya idul fitri 1436 H dilakukan dengan pendekatan konsep ketahanan pangan. Cakupan ketahanan pangan adalah: 1) ketersediaan pangan yang mencakup produksi, cadangan dan pemasukan; 2) distribusi/aksesibilitas mencakup fisik (mudah dijangkau) dan ekonomi (terjangkau daya beli); dan 3) konsumsi mencakup mutu dan keamanan serta kecukupan gizi individu. Dalam bagian ini yang akan dianalisis adalah ketersediaan ikan. HASIL KEGIATAN|Kajian Supply Ikan di Pasar Domestik dalam Rangka Kesiapan Manghadapi Ramadhan dan Hari Raya Idul Fitri (2015). 106 LAPORAN TEKNIS [KAJIAN KHUSUS BBPSEKP TAHUN 2015] Sistem Ketahanan Pangan Produksi Ekonomi Ketersediaan Pangan Cadangan Distribusi Pangan Fisik Pemasukan Konsumsi Pangan Mutu Keterangan : Gambar 4-6. 1. Keamanan Kecukupan Fokus Kajian Kerangka Pendekatan Kajian Supply Ikan di Pasar Domestik Menghadapi Hari Raya Idul Fitri 1436 H Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan di Jakarta dan Bogor, pada bulan Juni 2015. Bulan ini bertepatan dengan awal ramadhan 1436 H. Metode Pengumpulan Data Metode yang digunakan dalam kajian ini adalah desk study yaitu mengkaji berbagai literatur, data pendukung serta hasil studi yang telah dilakukan oleh berbagai pihak terutama yang berhubungan dengan kegiatan kajian yang akan dilakukan. Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder. Data-data yang digunakan disajikan pada Tabel 4-6. 1. Tabel 4-6. 1. Jenis dan Kebutuhan Data Kajian No Jenis Data Sumber Data 1 Jumlah produksi perikanan KKP 2 Tingkat konsumsi ikan KKP 3 Kansumsi kalori dan protein ikan BPS 4 Harga ikan KKP, BPS 5 Inflasi bahan makanan BPS 6 Jumlah ekspor perikanan KKP Metode Analisis Data Kajian ini menggunakan pendekatan non parametrik (tidak memerlukan distribusi normal pada populasi/sampel) untuk mengukur 2 analisis meliputi: 1) analisis deskriptif untuk menentukan ketersediaan dan permintaan ikan; dan 2) ketidakstabilan harga ikan melalui Coppock Instability Index (CII) yang dikembangkan oleh Coppock (1962). HASIL KEGIATAN|Kajian Supply Ikan di Pasar Domestik dalam Rangka Kesiapan Manghadapi Ramadhan dan Hari Raya Idul Fitri (2015). 107 LAPORAN TEKNIS [KAJIAN KHUSUS BBPSEKP TAHUN 2015] Analisis Deskriptif Analisis deskriptif dilakukan terhadap permintaan dan ketersediaan ikan. Tingkat permintaan ikan dihitung berdasarkan perubahan harga ikan pada tingkat konsumen. Status permintaan ikan dibagi menjadi 3 kategori yaitu: 1) rendah jika total 1 – 9 jenis komoditas ikan mengalami kenaikan harga; 2) sedang jika total 10 – 18 jenis komoditas ikan mengalami kenaikan harga; dan 3) tinggi jika total 19 – 27 jenis komoditas ikan mengalami kenaikan harga. Status ketersediaan ikan/supply ikan dapat dilihat melalui pengkategorian sebagai berikut : 1) bila volume produksi pada suatu kwartal lebih dari volume produksi rata-rata maka dapat dikatakan cukup tersedia pada kwartal tersebut; dan 2) bila volume produksi pada suatu kwartal kurang dari volume produksi rata-rata maka dapat dikatakan kurang tersedia pada kwartal tersebut. Analisis Indeks Ketidakstabilan Indeks ketidakstabilan dihasilkan dari CII adalah ketidakstabilan harga ikan yang dipengaruhi oleh banyak faktor seperti musim penangkapan, fluktuasi permintaan ikan masyarakat dan berbagai faktor lainnya termasuk permintaan menjelang perayaan hari keagamaan. Harga ikan yang dianalisis merupakan harga ikan dari 27 komoditas perikanan pada masa menjelang ramadhan dan lebaran (bulan Juni, Juli dan Agustus tahun 2014). Metode Coppock Instability Index (CII) dapat dituliskan sebagai berikut (Fauzi, 2010; Fauzi dan Anna, 2010) : CII= |anti log √log 𝑣 − 1| ∗ 100 Dimana log v didefisnisikan sebagai 1 ∑ 𝑛−1 Vlog = ((𝑙𝑜𝑔𝑥𝑖+1−𝑥1 ) − ∑ (𝑙𝑜𝑔𝑥𝑖+1 −𝑋𝑖) 𝑖 𝑛−1 ) Keterangan : CII : Coppock Instability Indexs n : Jumlah tahun; x : Nilai variabel yang diobservasi t : Tahun Hasil indeks yang tinggi menunjukkan tingginya ketidakstabilan variabel ekonomi perikanan yang diukur yang dapat disimpulkan merupakan interaksi dari berbagai faktor (Fauzi, 2010; Fauzi dan Anna, 2010). Apabila digunakan dengan indikator pertumbuhan (CGR), CII dapat menjadi instrumen yang kuat untuk membaca perkembangan perkembangan perikanan selama kurun waktu yang panjang (Fauzi, 2010). HASIL KEGIATAN|Kajian Supply Ikan di Pasar Domestik dalam Rangka Kesiapan Manghadapi Ramadhan dan Hari Raya Idul Fitri (2015). 108 LAPORAN TEKNIS [KAJIAN KHUSUS BBPSEKP TAHUN 2015] Hasil Dan Pembahasan Kondisi Pasokan Ikan Ketersediaan pangan merupakan prasyarat penting bagi keberlanjutan konsumsi. Untuk memenuhi kebutuhan konsumsi ikan, pemerintah melakukan berbagai upaya untuk meningkatkan produksi domestik. Produksi perikanan Indonesia menunjukkan kecenderungan meningkat, namun kecenderungan tersebut tidak sama untuk perikanan tangkap dan perikanan budidaya. Bila terjadi kondisi surplus, ikan dapat diperdagangkan antar wilayah dan ekspor. Sebaliknya jika defisit maka ikan untuk konsumsi domestik dapat dipenuhi dari pasar impor. Gambar 4-6. 1 menunjukkan indikasi mengenai kecenderungan tersebut. Dalam grafik ini, untuk produksi budidaya tidak memasukkan komoditas rumput laut karena dalam analisis kajian ini difokuskan pada konsumsi ikan. Perkembangan Produksi Perikanan Juta ton 7 6 5 4 3 2 1 2006 2007 2008 2009 Produksi tangkap Gambar 4-6. 2. 2010 2011 2012 2013 2014 Produksi budidaya (tanpa rumput laut) Perkembangan Produksi Perikanan di Indonesia, 2006 - 2014 Sumber: KKP (2014) Produksi perikanan yang dihasilkan baik dari kegiatan penangkapan maupun budidaya, tidak semuanya disediakan untuk konsumsi domestik. Setiap tahunnya ada produksi yang diekspor (Gambar 4-6. 3) ke berbagai negara tujuan. Dari tahun 2006 sampai dengan 2014, proporsi ekspor perikanan menunjukkan kecenderungan menurun meskipun volume ekspor relatif stabil. Hal ini dikarenakan produksi domestik meningkat. Pada tahun 2014 lebih dari 90% dari total produksi tersedia untuk memasok kebutuhan konsumsi dalam negeri. HASIL KEGIATAN|Kajian Supply Ikan di Pasar Domestik dalam Rangka Kesiapan Manghadapi Ramadhan dan Hari Raya Idul Fitri (2015). 109 LAPORAN TEKNIS [KAJIAN KHUSUS BBPSEKP TAHUN 2015] Proporsi ekspor terhadap produksi Juta ton 12,00 10,00 8,00 6,00 4,00 2,00 0,00 2006 2007 2008 2009 2010 Produksi Gambar 4-6. 3. 2011 2012 2013 2014 Ekspor Proporsi Ekspor terhadap Produksi Perikanan di Indonesia, 2006 - 2014 Sumber: KKP (2014) Perkembangan Tingkat Konsumsi Ikan Konsumsi ikan nasional mengalami peningkatan dengan rata-rata peningkatan sebesar 4,87% selama periode tahun 2006 - 2014. Pada tahun 2006 tingkat konsumsi ikan per kapita penduduk Indonesia adalah sebesar 25,03 Kg/Kap/Th, sampai tahun 2013 sebesar 35,14 Kg/Kap/Th dan diprediksi sebesar 37,80 Kg/Kap/Th (KKP, 2014). Pada tahun 2015 target konsumsi ikan nasional adalah sebesar 40,90 Kg/Kap/Th. Angka ini kurang lebih setara dengan 13 gram protein/kapita/hari atau 25% dari angka kecukupan gizi (AKG) yang direkomendasikan oleh Widya Karya Pangan dan Gizi X tahun 2012 yang dipertegas dalam Peraturan Menteri Keseharan RI No 75 Tahun 2013, yaitu asupan protein 57 gram/kapita/hari. Angka 25 % tersebut tentu sangat signifikan mengingat bahwa sejauh ini ikan tidak tercantum dalam daftar komoditas ketahanan pangan, baik di tingkat nasional maupun regional. Kg/kap/tahun 40,00 35,00 30,00 25,00 20,00 15,00 10,00 5,00 2006 2007 Gambar 4-6. 4. 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 Perkembangan Konsumsi Ikan Nasional, 2006 - 2014 Sumber: data diolah (KKP, 2014) HASIL KEGIATAN|Kajian Supply Ikan di Pasar Domestik dalam Rangka Kesiapan Manghadapi Ramadhan dan Hari Raya Idul Fitri (2015). 110 LAPORAN TEKNIS [KAJIAN KHUSUS BBPSEKP TAHUN 2015] Persyaratan kecukupan (sufficiency condition) untuk mencapai keberlanjutan konsumsi pangan adalah adanya aksesibilitas fisik dan ekonomi terhadap pangan. Aksesibilitas ini tercermin dari jumlah dan jenis pangan yang dikonsumsi oleh rumah tangga. Dengan demikian data konsumsi pangan secara riil dapat menunjukkan kemampuan rumah tangga dalam mengakses pangan dan menggambarkan tingkat kecukupan pangan dalam rumah tangga. Perkembangan tingkat konsumsi pangan tersebut secara implisit juga merefleksikan tingkat pendapatan atau daya beli masyarakat terhadap pangan. Kalori/kap/tahun 50 49 48 47 45,34 46 45 7,63 44 43 42 41 40 2010 Gram/kap/tahun 47,83 47,26 8,02 7,85 8,2 47,08 8 45,45 7,82 7,8 7,6 7,56 7,4 7,2 7 2011 Konsumsi Kalori Gambar 4-6. 5. 8,4 2012 2013 2014 Konsumsi Protein Perkembangan Konsumsi Kalori dan Protein Ikan Tahun 2010 - 2014 Sumber: BPS (2014) 23 propinsi di Indonesia konsumsi kalori dan protein ikan tahun 2014 nya berada di atas rata-rata konsumsi kalori dan protein ikan nasional, sisanya pada 10 propinsi tingkat konsumsinya di bawah rata-rata nasional. Propinsi yang dikatakan rendah tersebut diantaranya adalah Bengkulu, Lampung, DKI Jakarta, Banten, Jawa Barat, Jawa Tengah, DI Yogyakarta, Jawa Timur, Bali dan Nusa Tenggara Timur. Peta Ketersediaan Ikan Menurut data statistik perikanan tangkap tahun 2013, provinsi yang memiliki jumlah produksi perikanan tangkap paling besar terdapat di wilayah Sumatera Utara (9,08%), Maluku (9,02%), dan Jawa Timur (6,33%) dan yang paling rendah ada di wilayah DI Yogyakarta (0,08%). Produksi perikanan pada kwartal I dan II banyak provinsi yang volumenya berada di bawah ratarata namun pada kwartal III dan IV mengalami situasi yang sebaliknya. Kurang stabilnya ketersediaan ikan dari sisi produksi tersebut dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti musim penangkapan dan tinggi rendahnya permintaan ikan. Pada Tabel 4-6. 2 berikut ditampilkan status ketersediaan ikan berdasarkan pulau utama. Tabel 4-6. 2 berikut menunjukkan rekapitulasi status ketersediaan ikan dari perikanan tangkap pada tiap-tiap kwartal. Tabel 4-6. 2. Status Kurang Cukup Rekapitulasi Status Ketersediaan Ikan dari Perikanan Tangkap pada Tiap Kwartal Kwartal I Kwartal II Kwartal III Kwartal IV 26 17 10 14 7 16 23 19 Sumber : KKP (2013), diolah Bila dikaitkan dengan ketersediaan ikan menjelang hari raya idul fitri yang pada tahun HASIL KEGIATAN|Kajian Supply Ikan di Pasar Domestik dalam Rangka Kesiapan Manghadapi Ramadhan dan Hari Raya Idul Fitri (2015). 111 LAPORAN TEKNIS [KAJIAN KHUSUS BBPSEKP TAHUN 2015] sebelumnya jatuh pada kwartal ke-3 yakni pada periode bulan Juli – September diperoleh informasi seperti yang ditampilkan pada Tabel 4-6.2 di atas dapat dilihat bahwa Pulau Sumatera dan Sulawesi berada pada kategori “Kurang”. Sedangkan menurut provinsi, produksi pada kwartal provinsi yang termasuk ke dalam kategori “Cukup” pada kwartal 3 ada sebanyak 23 provinsi sedangkan sisanya sebanyak 10 provinsi termasuk kedalam kategori kurang. Provinsi yang dikatakan kurang tersebut diantaranya adalah Sumatera Utara, Sumatera Barat, Bangka Belitung, Bengkulu, DKI Jakarta, Jawa Tengah, Sulawesi Utara, Gorontalo, Sulawesi Tengah dan Papua. Secara nasional produksi ikan dari sektor tangkap pada kwartal III berada di atas nilai ratarata dimana volume produksi sekitar 1.573.252 ton sedangkan voume rata-ratanya sebesar 1.528.844 ton sehingga termasuk ke dalam kategori cukup tersedia. Status ketersediaan ikan dari perikanan tangkap pada tiap kwartal menurut pulau utama di Indonesia disajikan pada Tabel 4-6. 3. Status ketersediaan ikan dari perikanan tangkap pada tiap kwartal menurut propinsi secara lengkap disajikan pada Lampiran 5. Tabel 4-6. 3. Status Ketersediaan Ikan dari Perikanan Tangkap pada Tiap Kwartal Menurut Pulau Utama di Indonesia No Pulau KW 1 KW 2 KW 3 KW 4 1 Sumatera Kurang Cukup Kurang Kurang 2 Jawa Kurang Cukup Cukup Cukup 3 Bali - Nusatenggara Kurang Kurang Cukup Cukup 4 Kalimantan Kurang Cukup Cukup Kurang 5 Sulawesi Kurang Cukup Kurang Cukup 6 Maluku - Papua Kurang Kurang Cukup Cukup Sumber : KKP (2013), diolah Peta Permintaan Ikan Analisis permintaan komoditas ikan menjelang bulan ramadhan salah satunya dapat diperkirakan menggunakan pendekatan harga. Pendekatan harga yang dimaksud adalah melihat harga komoditas ikan pada waktu tertentu dibandingkan dengan harga rata – rata selama satu tahun tersebut. Apabila harga pada waktu tertentu lebih tinggi dari harga rata – rata tahunan, maka terdapat kemungkinan adanya peningkatan permintaan komoditas ikan. Sebaliknya, apabila harga pada waktu tertentu lebih rendah dibandingkan dengan harga rata – rata tahunan, maka terdapat kemungkinan adanya penurunan permintaan akan komoditas perikanan. Pada analisis ini untuk menduga permintaan komoditas ikan tahun 2015, digunakan data – data yang berasal dari statistik harga konsumen perdesaan kelompok makanan tahun 2014 yang dikeluarkan oleh Badan Pusat Statistik (BPS). Jenis komoditas ikan yang digunakan dalam analisis ini adalah sejumlah 27 jenis ikan. Jenis komoditas tersebut diantaranya adalah ikan olahan asin teri, Pindang Bandeng, Tongkol Asap, Ikan Kaleng serta ikan segar diantaranya adalah Bandeng, Baronang, Cakalang, Cumi – cumi, Ekor Kuning, Gabus, Kakap, Kembung, Kerang, Ketamba, Layang, Lele, Mas, Mujair, Nila, Patin, Selar, Tembang, Tenggiri, Teri, Tongkol, Udang Tambak dan Udang Laut. Tabel 4-6.4 memperlihatkan kemungkinan permintaan ikan pada saat menjelang bulan ramadhan, pada saat bulan ramadhan, dan setelah bulan ramadhan tahun 2014 yang dilihat menurut komoditas perikanan. Pada saat sebelum ramadhan, terlihat bahwa sebagian besar komoditas ikan mengalami penurunan permintaan, kecuali dua komoditas ikan yaitu tongkol asap dan udang laut. Kalau dilihat secara lebih rinci, komoditas tongkol asap memiliki minimal, maksimal dan rata – rata harga pada saat bulan juni berturut – turut adalah Rp. 12.000/kg, Rp. 97.000/kg dan Rp. 30.000/kg. Sementara itu, komoditas udang laut seharga Rp. 36.000, Rp. 94.000/kg dan Rp. 57.000/kg. HASIL KEGIATAN|Kajian Supply Ikan di Pasar Domestik dalam Rangka Kesiapan Manghadapi Ramadhan dan Hari Raya Idul Fitri (2015). 112 LAPORAN TEKNIS [KAJIAN KHUSUS BBPSEKP TAHUN 2015] Tabel 4-6. 4. Permintaan Ikan Pada Saat Menjelang Bulan Ramadhan, Bulan Ramadhan dan Setelah Ramadhan Menurut Komoditas, 2014 Permintaan Terhadap Komoditas Ikan Setelah No Komoditas Sebelum Pada Saat Ramadhan Ramadhan (Juni) Ramadhan (Juli) (Agustus) 1 turun naik naik Asin Teri 2 turun naik naik Bandeng 3 turun naik naik Baronang 4 turun naik naik Cakalang 5 turun naik naik Cumi - cumi 6 turun naik naik Ekor Kuning 7 turun naik naik Gabus 8 turun naik naik Ikan Kaleng 9 turun naik naik Kakap 10 turun naik naik Kembung 11 turun naik naik Kerang 12 turun naik naik Ketamba 13 turun naik naik Layang 14 turun naik naik Lele 15 turun naik naik Mas 16 turun naik naik Mujair 17 turun naik naik Nila 18 turun naik turun Patin 19 turun naik turun Pindang Bandeng 20 turun naik naik Selar 21 turun turun naik Tembang 22 turun naik naik Tenggiri 23 turun naik naik Teri 24 turun naik naik Tongkol 25 naik naik naik Tongkol Asap 26 naik naik naik Udang Laut 27 turun naik naik Udang Tambak Sumber: Data Susenas (2014) Diolah Permintaan ikan pada saat bulan ramadhan maupun setelah bulan ramadhan, mengalami perubahan dibandingkan dengan sebelum ramadhan. Pada saat kedua bulan tersebut, terlihat bahwa permintaan akan komoditas ikan meningkat pada sebagian besar komoditas ikan. Tingginya permintaan komoditas ikan pada waktu tersebut disebabkan karena komoditas ikan saat ini sudah menjadi komoditas pokok ataupun alternatif masyarakat disamping komoditas daging ayam maupun daging sapi. Kalau dikaitkan dengan kondisi riil permintaan ikan pada saat bulan puasa tahun 2015, maka analisis berdasarkan data tahun 2014 tersebut sangat relevan dan sesuai seperti yang diberitakan pada beberapa media online yang dilaporkan oleh Sunartono HASIL KEGIATAN|Kajian Supply Ikan di Pasar Domestik dalam Rangka Kesiapan Manghadapi Ramadhan dan Hari Raya Idul Fitri (2015). 113 LAPORAN TEKNIS [KAJIAN KHUSUS BBPSEKP TAHUN 2015] (2005)5, Afif (2015)6 dan Pasopati (2015)7. Tabel 4-6.5 memperlihatkan permintaan komoditas ikan yang dilihat berdasarkan region dan provinsi. Pada dasarnya Tabel 4-6.5 menggunakan data yang sama pada Tabel 4-6.4, namun permintaan ikan tersebut dirinci menurut region dan provinsi. Pada saat sebelum bulan ramadhan, permintaan ikan cenderung rendah hingga sedang pada seluruh region dan provinsi. Pada saat bulan puasa, terdapat 14 provinsi yang mengalami peningkatan permintaan yang tersebar di seluruh region. Region kalimantan mengalami peningkatan permintaan ikan pada seluruh wilayah provinsinya. Hasil menarik diperlihatkan pada region maluku, papua dan sulawesi yang dikenal sebagai daerah penghasil ikan, relatif permintaan ikan pada wilayah ini relatif lebih rendah dibandingkan dengan region di wilayah barat. Alasan mengapa di satu wilayah mengalami permintaan tinggi maupun rendah memang sulit untuk dijelaskan, tergantung dari karakteristik masyarakat setempat. Karakteristik tersebut diantaranya adalah faktor banyaknya penduduk, preferensi konsumsi ikan, maupun produksi ikan di wilayah tersebut. Tabel 4-6. 5. Permintaan Komoditas Ikan Pada Saat Menjelang Bulan Ramadhan, Bulan Ramadhan dan Setelah Ramadhan Menurut Region dan Provinsi, 2014 Kategori Permintaan Komoditas Ikan Setelah Region (Provinsi) Sebelum Pada Saat Ramadhan Ramadhan (Juni) Ramadhan (Juli) (Agustus) Bali dan Nusa Tenggara Bali Sedang Tinggi Tinggi Nusa Tenggara Barat Sedang Tinggi Tinggi Nusa Tenggara Timur Rendah Sedang Sedang Jawa Banten Sedang Sedang Sedang D. I. Yogyakarta Rendah Sedang Tinggi DKI Jakarta Sedang Tinggi Sedang Jawa Barat Rendah Tinggi Tinggi Jawa Tengah Rendah Tinggi Tinggi Jawa Timur Rendah Sedang Tinggi Kalimantan Kalimantan Barat Sedang Tinggi Sedang Kalimantan Selatan Sedang Tinggi Tinggi Kalimantan Tengah Sedang Tinggi Tinggi Kalimantan Timur Sedang Tinggi Tinggi Maluku Maluku Sedang Sedang Tinggi Maluku Utara Rendah Sedang Sedang Papua 5 Sunartono. 2015. Permintaan Ikan Nila Melonjak Di Bulan Ramadan. http://www.harianjogja.com/read/20150623/8/825/permintaan-ikan-nila-melonjak-di-bulan-ramadan . Diakses tanggal 29 Juni 2015. 6 Afif. 2015. Bulan Ramadan, penjualan ikan bakar di Aceh meningkat tajam. http://www.merdeka.com/peristiwa/bulan-ramadan-penjualan-ikan-bakar-di-aceh-meningkat-tajam.html. Diakses tanggal 29 Juni 2015. 7 Pasopati, G. 2015. Jelang Ramadan, Harga Ikan Bakal Naik 10-20 Persen. http://www.cnnindonesia.com/ekonomi/20150615120734-92-60034/jelang-ramadan-harga-ikan-bakalnaik-10-20-persen/Diakses tanggal 29 Juni 2015. HASIL KEGIATAN|Kajian Supply Ikan di Pasar Domestik dalam Rangka Kesiapan Manghadapi Ramadhan dan Hari Raya Idul Fitri (2015). 114 LAPORAN TEKNIS Region (Provinsi) [KAJIAN KHUSUS BBPSEKP TAHUN 2015] Kategori Permintaan Komoditas Ikan Setelah Sebelum Pada Saat Ramadhan Ramadhan (Juni) Ramadhan (Juli) (Agustus) Rendah Tinggi Tinggi Rendah Rendah Rendah Papua Papua Barat Sulawesi Gorontalo Sedang Sulawesi Barat Rendah Sulawesi Selatan Sedang Sulawesi Tengah Rendah Sulawesi Tenggara Sedang Sulawesi Utara Rendah Sumatera Aceh Sedang Bengkulu Rendah Jambi Rendah Kep. Bangka Belitung Sedang Kepulauan Riau Sedang Lampung Rendah Riau Sedang Sumatera Barat Sedang Sumatera Selatan Sedang Sumatera Utara Sedang Sumber: Data Susenas (2014) Diolah Sedang Rendah Sedang Sedang Tinggi Sedang Tinggi Rendah Tinggi Tinggi Tinggi Sedang Sedang Rendah Sedang Sedang Tinggi Sedang Sedang Tinggi Tinggi Sedang Sedang Rendah Sedang Tinggi Tinggi Tinggi Sedang Tinggi Tinggi Tinggi Tabel 4-6. 6. Permintaan Komoditas Ikan Pada Saat Menjelang Bulan Ramadhan, Bulan Ramadhan dan Setelah Ramadhan Menurut Region dan Provinsi, 2014 Kategori Permintaan Komoditas Ikan Region (Provinsi) Bulan Juli Bulan Juli Bulan Agustus Bali dan Nusa Tenggara Bali 2 3 3 Nusa Tenggara Barat 2 3 3 Nusa Tenggara Timur 1 2 2 Jawa Banten 2 2 2 D. I. Yogyakarta 1 2 3 DKI Jakarta 2 3 2 Jawa Barat 1 3 3 Jawa Tengah 1 3 3 Jawa Timur 1 2 3 Kalimantan Kalimantan Barat 2 3 2 Kalimantan Selatan 2 3 3 Kalimantan Tengah 2 3 3 Kalimantan Timur 2 3 3 Maluku Maluku 2 2 3 Maluku Utara 1 2 2 Papua HASIL KEGIATAN|Kajian Supply Ikan di Pasar Domestik dalam Rangka Kesiapan Manghadapi Ramadhan dan Hari Raya Idul Fitri (2015). 115 LAPORAN TEKNIS [KAJIAN KHUSUS BBPSEKP TAHUN 2015] Region (Provinsi) Kategori Permintaan Komoditas Ikan Bulan Juli Bulan Juli Bulan Agustus 1 3 3 1 1 1 Papua Papua Barat Sulawesi Gorontalo 2 Sulawesi Barat 1 Sulawesi Selatan 2 Sulawesi Tengah 1 Sulawesi Tenggara 2 Sulawesi Utara 1 Sumatera Aceh 2 Bengkulu 1 Jambi 1 Kep. Bangka Belitung 2 Kepulauan Riau 2 Lampung 1 Riau 2 Sumatera Barat 2 Sumatera Selatan 2 Sumatera Utara 2 Keterangan: 1 = Rendah, 2 = Sedang, 3 = Tinggi 2 1 2 2 3 2 3 1 3 3 3 2 2 1 2 2 3 2 2 3 3 2 2 1 2 3 3 3 2 3 3 3 Sumber: Data Susenas (2014) Diolah HASIL KEGIATAN|Kajian Supply Ikan di Pasar Domestik dalam Rangka Kesiapan Manghadapi Ramadhan dan Hari Raya Idul Fitri (2015). 116 LAPORAN TEKNIS [KAJIAN KHUSUS BBPSEKP TAHUN 2015] Tabel 4-6. 7. Permintaan Ikan Pada Saat Menjelang Bulan Ramadhan, Bulan Ramadhan dan Setelah Ramadhan Menurut Komoditas, 2014 Permintaan Terhadap Komoditas Ikan No Komoditas Sebelum Puasa Pada Saat Puasa Setelah Puasa 1 Bandeng turun naik naik 2 Baronang turun naik naik 3 Cakalang turun naik naik 4 Cumi - cumi turun naik naik 5 Ekor Kuning turun naik naik 6 Gabus turun naik naik 7 Kakap turun naik naik 8 Kembung turun naik naik 9 Kerang turun naik naik 10 Layang turun naik naik 11 Lele turun naik naik 12 turun naik naik Mujair 13 Nila turun naik naik 14 Patin turun naik turun 15 Selar turun naik naik 16 Tembang turun turun naik 17 Tenggiri turun naik naik 18 Teri turun naik naik 19 Asin Teri turun naik naik 20 Tongkol turun naik naik 21 Tongkol Asap naik naik naik 22 Udang Laut naik naik naik 23 Udang Tambak turun naik naik 24 Ikan Kaleng turun naik naik 25 Ketamba turun naik naik 26 Mas turun naik naik 27 Pindang Bandeng turun naik turun Sumber: BPS, 2014 (diolah) Karakteristik Inflasi Bahan Makanan Inflasi adalah kenaikan harga-harga secara umum dan terus menerus. Kenaikan pada suatu atau beberapa barang saja dan tidak berdampak pada sebagian besar barang, bukanlah disebut inflasi. Demikian juga halnya jika kenaikan harga-harga barang yang sifatnya sesaat karena perayaan hari keagamaan, seperti pada perayaan hari lebaran, natal, tahun baru, bukanlah merupakan inflasi. Sebaliknya, yaitu penurunan harga-harga secara umum dan terus menerus disebut deflasi (Setyowati, 2004). Berikut gambaran perkembangan inflasikelompok bahan makanan pada tahun 2006 sampai 2014. HASIL KEGIATAN|Kajian Supply Ikan di Pasar Domestik dalam Rangka Kesiapan Manghadapi Ramadhan dan Hari Raya Idul Fitri (2015). 117 LAPORAN TEKNIS [KAJIAN KHUSUS BBPSEKP TAHUN 2015] 6 5 2006 4 2007 3 2008 2 2009 1 2010 0 2011 2012 -1 2013 -2 2014 -3 -4 Gambar 4-6. 6. Perkembangan Inflasi Kelompok Bahan Makanan pada Tahun 2006 2014 Sumber: BPS (2015) Indeks Ketidakstabilan Harga Ikan Pengukuran indeks ketidakstabilan harga ikan menjelang hari raya idul fitri dalam kajian ini menggunakan Coppock Instability Index (CII). Analisis periode bulan april – juni 2014, untuk mengindikasikan periode yang sama pada tahun 2015. Berdasarkan hasil analisis indeks ketidakstabilan harga pada periode sebelum, saat dan sesudah bulan puasa/lebaran dapat dilihat pada Gambar 4-6.7 yang mengilustrasikan pola hubungan antara harga ikan berdasarkan komoditasnya. Hasil analisis menunjukkan bahwa terjadi pergeseran indek ketidakstabilan harga pada komoditas-komoditas ikan pada ketiga periode tersebut. Sebelum puasa sebagian indek berada pada kuadran I/kiri atas (High growth low risk) yang menunjukan indeks yang stabil, kemudian pada bulan puasa indek ketidakstabilan cenderung bergeser ke kuardran II/kanan atas (high growth high risk) yang menunjukkan ketidakstabilan yang tinggi (tidak stabil). Sedangkan pada masa setelah puasa/lebaran, indeks cenderung bergeser ke kuadran IV/kiri bawah (low growth low risk) yang menunjukan kecenderungan bahwa terjadi penurunan permintaan ikan setelah puasa. HASIL KEGIATAN|Kajian Supply Ikan di Pasar Domestik dalam Rangka Kesiapan Manghadapi Ramadhan dan Hari Raya Idul Fitri (2015). 118 LAPORAN TEKNIS [KAJIAN KHUSUS BBPSEKP TAHUN 2015] a b Kode c Komoditas Bandeng Baronang Cakalang Cumi-cumi Ekor Kuning Gabus Kakap Merah Kembung Kerang Darah Layang Lele Mujair Nila Patin Selar Tembang Tenggiri Teri Teri Asin Tongkol Udang Dogol Udang Krosok Keterangan: a. Sebelum puasa b. Puasa/lebaran c. Setelah puasa/ lebaran Gambar 4-6. 7. Pergerakan indeks ketidakstabilan harga komoditas ikan pada saat sebelum puasa (a), pada saat puasa/lebaran (b) dan pada saat setelah lebaran (c) Sumber: Data Harga Ikan Harian Direktorat Jenderal P2HP (2014) (Diolah) Kode Gambar 4-6. 8. Komoditas Kab.Kupang Kota Banda Aceh Kota Bandung Kota Banjarmasin Kota Bengkulu Kota Denpasar Kota Gorontalo Kota Jakarta Pusat Kota Jambi Kota Jayapura Kota Kendari Kota Makasar Kota Mataram Kota Medan Kota Padang Kota Samarinda Kota Semarang Kota Serang Kota Sorong Kota Surabaya Kota Ternate CII 231 193 234 207 175 249 195 224 225 244 197 258 207 237 248 220 236 183 203 193 209 Growth -0.002 -0.014 -0.002 -0.007 -0.032 -0.001 0.013 -0.003 0.003 0.001 -0.011 -0.001 -0.007 -0.002 0.0011 -0.0040 -0.0020 -0.0220 0.0089 -0.0142 0.0066 Tingkat Indeks Ketidakstabilan Harga di Ibukota Propinsi ( MaretDesember 2014) Sumber: P2HP, 2014 (diolah) HASIL KEGIATAN|Kajian Supply Ikan di Pasar Domestik dalam Rangka Kesiapan Manghadapi Ramadhan dan Hari Raya Idul Fitri (2015). 119 LAPORAN TEKNIS [KAJIAN KHUSUS BBPSEKP TAHUN 2015] Analisis ketidakstabilan harga di ibukota Propinsi di Indonesia dapat dibedakan menjadi empat klaster (Gambar 4-6.7 dan 4-6.8) yaitu Klaster I, Klaster II, Klaster III dan Klaster IV. Klaster I yaitu kelompok yang mempunyai tingkat pertumbuhann dan tingkat ketidakstabilan yang rendah yaitu kota-kota Bengkulu, Serang, Surabaya, Mataram, Kendari, Banda Aceh, Banjarmasin dan Samarinda. Kota-kota yang termasuk dalam Kluster I tersebut dalam periode Maret-Desember 2014 mempunyai tingkat harga yang stabil dengan pertumbuhan yang rendah, artinya di kelompok I tersebut tidak mengalami gelojak harga. Kondisi ini bagus dari segi kestabilan namun dari segi pertumbuhan kurang baik karena tidak merangsang tumbuhnya permintaan. Kluster II, yang meliputi kota-kota Gorontalo, Sorong dan Ternate, dimana tingkat pertumbuhannya tinggi dan resikonya rendah, dari sudut pandang ekonomi baik untuk merangsang pertumbuhan ekonomi karena permintaan tinggi sehingga muncul pertumbuhan. Kluster III, dimana tingkat pertumbuhan dan tingkat resikonya tinggi, kota-kota yang termasuk kluster III yaitu Denpasar, Jambi, Makasar, Jayapura, Bandung dan Medan. Kondisi tersebut dari segi ekonomi ada pertumbuhan yang tinggi disertai dengan resiko yang tinggi, resiko yang tinggi ini bisa menyebabkan berkuragnya pasokan yang dapat menyebabkan harga-harga semakin naik. Kluster IV, kelompok yang mempunyai pertumbuhan rendah tetapi dengan resiko yang tinggi, kondisi tersebut menyebabkan munculkan resiko namun tidak disertai dengan pertumbuhan. Kota-kota yang termasuk klaster IV yaitu Jakarta dan Semarang. HASIL KEGIATAN|Kajian Supply Ikan di Pasar Domestik dalam Rangka Kesiapan Manghadapi Ramadhan dan Hari Raya Idul Fitri (2015). 120 LAPORAN TEKNIS [KAJIAN KHUSUS BBPSEKP TAHUN 2015] Tabel 4-6. 8. Analisis ketidakstabilan harga menghadapi hari raya idul fitri menurut Klaster No Klaster Kabupaten 1 Klaster I. LGLR Bengkulu (Low Growth Low Risk) Serang Surabaya mataram Kendari Banda aceh Banjarmasin Samarinda 2 Klaster II. HGLR Gorontalo (High Growth Low Risk) Sorong Ternate 3 Klaster III. HGHR Denpasar (High Growth High Risk) Jambi Jaya pura Makasar Semarang Medan Bandung Kupang 4 Klaster IV. LGHR Jakarta (Low Growth High Risk) Semarang Sumber: P2HP, 2014 (diolah) Kesimpulan Dan Rekomendasi Kebijakan Kesimpulan 1. Secara empiris penelitian ini menunjukkan bahwa produksi perikanan yang dihasilkan baik dari kegiatan penangkapan maupun budidayamenunjukkan kecenderungan adanya peningkatan. Produksi ini tidak semuanya disediakan untuk konsumsi domestik. Setiap tahunnya ada produksi yang diekspor ke berbagai negara tujuan. 2. Konsumsi ikan nasional mengalami peningkatan dengan rata-rata peningkatan sebesar 4,87% selama periode tahun 2006 - 2014. Pada tahun 2006 tingkat konsumsi ikan per kapita penduduk Indonesia adalah sebesar 25,03 Kg/Kap/Th, sampai tahun 2013 sebesar 35,14 Kg/Kap/Th dan diprediksi sebesar 37,80 Kg/Kap/Th. Pada tahun 2015 adalah sebesar 40,90 Kg/Kap/Th. 3. Angka ini kurang lebih setara dengan 13 gram protein/kapita/hari atau 25% dari angka kecukupan gizi (AKG) yang direkomendasikan oleh Widya Karya Pangan dan Gizi X tahun 2012 yang dipertegas dalam Peraturan Menteri Keseharan RI No 75 Tahun 2013, yaitu asupan protein 57 gram/kapita/hari. Angka 25 % tersebut tentu sangat signifikan mengingat bahwa sejauh ini ikan tidak tercantum dalam daftar komoditas ketahanan pangan, baik di tingkat nasional maupun regional. 4. 23 propinsi di Indonesia konsumsi kalori dan protein ikan tahun 2014 nya berada di atas ratarata konsumsi kalori dan protein ikan nasional, sisanya pada 10 propinsi tingkat konsumsinya di bawah rata-rata nasional. Propinsi yang dikatakan rendah tersebut diantaranya adalah Bengkulu, Lampung, DKI Jakarta, Banten, Jawa Barat, Jawa Tengah, DI Yogyakarta, Jawa Timur, Bali dan Nusa Tenggara Timur. 5. Menurut data statistik perikanan tangkap tahun 2013, provinsi yang memiliki jumlah produksi perikanan tangkap paling besar terdapat di wilayah Sumatera Utara (9,08%), HASIL KEGIATAN|Kajian Supply Ikan di Pasar Domestik dalam Rangka Kesiapan Manghadapi Ramadhan dan Hari Raya Idul Fitri (2015). 121 LAPORAN TEKNIS [KAJIAN KHUSUS BBPSEKP TAHUN 2015] Maluku (9,02%), dan Jawa Timur (6,33%) dan yang paling rendah ada di wilayah DI Yogyakarta (0,08%). Produksi perikanan pada kwartal I dan II banyak provinsi yang volumenya berada di bawah rata-rata namun pada kwartal III dan IV mengalami situasi yang sebaliknya. Kurang stabilnya ketersediaan ikan dari sisi produksi tersebut dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti musim penangkapan dan tinggi rendahnya permintaan ikan. 6. Bila dikaitkan dengan ketersediaan ikan menjelang hari raya idul fitri yang pada tahun sebelumnya jatuh pada kwartal ke-3 yakni pada periode bulan Juli – September diperoleh informasi seperti yang ditampilkan pada Tabel 4-6.2 di atas dapat dilihat bahwa Pulau Sumatera dan Sulawesi berada pada kategori “Kurang”. Sedangkan menurut provinsi, produksi pada kwartal provinsi yang termasuk ke dalam kategori “Cukup” pada kwartal 3 ada sebanyak 23 provinsi sedangkan sisanya sebanyak 10 provinsi termasuk kedalam kategori kurang. Provinsi yang dikatakan kurang tersebut diantaranya adalah Sumatera Utara, Sumatera Barat, Bangka Belitung, Bengkulu, DKI Jakarta, Jawa Tengah, Sulawesi Utara, Gorontalo, Sulawesi Tengah dan Papua. Secara nasional produksi ikan dari sektor tangkap pada kwartal III berada di atas nilai rata-rata dimana volume produksi sekitar 1.573.252 ton sedangkan voume rata-ratanya sebesar 1.528.844 ton sehingga termasuk ke dalam kategori cukup tersedia. 7. Hasil analisis indeks ketidakstabilan pada harga ikan yang dianalisis menunjukkan bahwa terjadi pergeseran indek ketidakstabilan harga pada komoditas-komoditas ikan pada ketiga periode tersebut. Sebelum puasa sebagian indek berada pada kuadran I/kiri atas (High growth low risk) yang menunjukan indeks yang stabil, kemudian pada bulan puasa indek ketidakstabilan cenderung bergeser ke kuardran II/Kanan atas (high growth high risk) yang menunjukkan ketidakstabilan yang tinggi (tidak stabil). Sedangkan pada masa setelah puasa/lebaran, indeks cenderung bergeser ke kuadran IV/Kiri bawah (low growth low risk)yang menunjukan kecenderungan bahwa terjadi penurunan permintaan ikan setelah puasa. Rekomendasi Kebijakan 1. Pemantauan harga ikan menjelang hari raya Idul Fitri. 2. Perlu adanya perbaikan sistem distribusi ikan agar ketersediaan ikan dapat lebih merata khususnya pada wilayah Jawa dan Bali. 3. Peningkatan konsumsi ikan terutama pada wilayah Jawa dan Bali. 4. Pengembangan distribusi ikan dengan mengefektifkan Sistem Logistik Ikan Nasional yang terintegrasi antar pusat produksi dan konsumsi. 5. Pengembangan pangan lokal sebagai upaya mendukung diversifikasi produksi dan konsumsi ikan. 6. Sinergitas dan koordinasi kebijakan pemerintah pusat dan daerah antar sektor untuk memenuhi kebutuhan dan konsumsi ikan. Daftar Pustaka Ariningsih, E. 2004. Kajian Konsumsi Protein Hewani pada Masa Krisis Ekonomi di Jawa. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Departemen Pertanian. Bogor. Aswatini, H. Romdiati, B. Setiawan, A. Latifa, Fitranita, M. Noveria. 2004. Ketahanan Pangan, Kemiskinan dan Sosial Demografi Rumah Tangga. Pusat Penelitian Kependudukan. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. Jakarta. Badan Pusat Statistik. 2010. Neraca Bahan Makanan: Studi Keterbandingan Data Ketersediaan dan Data Konsumsi. Jakarta-Indonesia. Badan Pusat Statistik. 2014. Statistik Harga Konsumen HASIL KEGIATAN|Kajian Supply Ikan di Pasar Domestik dalam Rangka Kesiapan Manghadapi Ramadhan dan Hari Raya Idul Fitri (2015). 122 LAPORAN TEKNIS [KAJIAN KHUSUS BBPSEKP TAHUN 2015] Badan Pusat Statistik. 2012. Konsumsi Kalori dan Protein Penduduk Indonesia dan Provinsi 2012. Buku 2 Survey Sosial Ekonomi Nasional berdasarkan Hasil Susenas September 2012. Badan Pusat Statistik. Jakarta. Badan Pusat Statistik. 2013. Konsumsi Kalori dan Protein Penduduk Indonesia dan Provinsi 2013. Buku 2 Survey Sosial Ekonomi Nasional berdasarkan Hasil Susenas September 2013. Badan Pusat Statistik. Jakarta. Badan Pusat Statistik. 2014. Konsumsi Kalori dan Protein Penduduk Indonesia dan Provinsi 2014. Buku 2 Survey Sosial Ekonomi Nasional berdasarkan Hasil Susenas September 2014. Badan Pusat Statistik. Jakarta. Berg, A dan R.J Muscat. 1985. Faktor Gizi. (Penerjemah, Sediaoetama). Bhatara. Jakarta. Braun, VJ, H. Bouis, S. Kumar and R. Pandya-Lorch. 1992. Improving Food Security of The Poor: Concept, Policy and Programs. IPRI. Washington DC. Coppock, J.D. 1962. International Economic Instability. McGraw-Hill Publishing Company. New York. Fauzi, A. 2010. Ekonomi Perikanan Teori, Kebijakan, dan Pengelolaan. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. Fauzi, A. dan S. Anna. 2010. Growth and Instability of Small Pelagic Fisheries of the North Coast of Java, Indonesia: Lesson Learned for Fisheries Policy. China-USA Business Review, ISSN 1537-1514 June 2012, Vol. 11, No. 6, 739-748. David Publishing. Page 739 – 748. Hardinsyah, Irawati, A, Kartono, D, Prihartini S, Linorita I, Amilia L, Fermanda M, Adyas EE, Yudianti D, Kusrto CM dan Heryanto Y. 2012. Pola Konsumsi Pangan dan Gizi Penduduk Indonesia. Departemen Gizi Masyarakat FEMA IPB dan Badan Litbangkes Kemenkes RI. Bogor. Kementerian Kelautan dan Perikanan. 2013. Kelautan dan Perikanan dalam Angka 2013. Jakarta. 212 Hal. Indriana S. dan L. Widajanti. 2005. Hubungan Pendapatan, Pengetahuan Gizi Ibu dengan Ketersediaan Ikan Tingkat Rumah Tangga Daerah Perkotaan. Jurnal Gizi Indonesia, Volume 1 Nomor 1 Desember 2005. Irawan, B. 2002. Elastisitas Konsumsi Kalori dan Protein di Tingkat Rumah Tangga. Jurnal Agro Ekonomi 20 (1): 25-47. Karyadi dan Muhilal. 1987. Nilai Tambah Ikan bagi Gizi dan Kesehatan Masyarakat. Makalah Seminar Manfaat Ikan Bagi Pembangunan Sumberdaya Manusia. Departemen Kesehatan RI. Jakarta. Kementerian Kelautan dan Perikanan. 2013. Kelautan dan Perikanan dalam Angka 2013. Jakarta. 212 Hal. Kementerian Kelautan dan Perikanan. 2014. Kelautan dan Perikanan dalam Angka 2014. Jakarta. 212 Hal. Lubis, B. 1987. Pengolahan dan Pemasaran Ikan Untuk Pemerataan Konsumsi. Seminar Manfaat Ikan Bagi Pembangunan Sumberdaya Manusia. Jakarta. Oktari, R.N. 2008. Konsumsi Ikan Anak Usia Sekolah pada Keluarga Nelayan dan Non Nelayan Berdasarkan Keadaan Sosial Ekonomi. Skripsi Sarjana yang Tidak Dipublikasikan. Program Studi GiziMasyarakat dan Sumberdaya Keluarga, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Bogor. HASIL KEGIATAN|Kajian Supply Ikan di Pasar Domestik dalam Rangka Kesiapan Manghadapi Ramadhan dan Hari Raya Idul Fitri (2015). 123 LAPORAN TEKNIS [KAJIAN KHUSUS BBPSEKP TAHUN 2015] Pribadi, N. 2005. Program Ketahanan Pangan: Konsep dan Implementasinya. Makalah disampaikan dalam Penyusunan Indikator Kinerja Program Ketahanan Pangan di Badan Perencanaan Pembangunan Nasional. Tanggal 15 Agustus 2005. Jakarta. Sawit, H. dan M. Ariani. 1997. Konsep dan Kebijaksanaan Ketahanan Pangan. Makalah Pembanding pada Seminar PraWidyakarya Nasional Pangan dan Gizi VI di Bulog. Tanggal 26 – 27 Juni. Jakarta. Setyowati, E., R.S. Damayanti, Subagyo dan R. Badrudin. 2004. Pengantar Ekonomi Mikro Edisi 2. STIE YKPN. Yogyakarta. Soetrisno, N. 1995. Ketahanan Pangan Dunia: Konsep, Pengukuran dan Faktor Dominan. Majalah Pangan No. 21 Nol. V Tahun 1995. Soetrisno, N. 1997. Konsep dan Kebijaksanaan Ketahanan Pangan dalam Repelita VII. Makalah disampaikan pada Seminar PraWidyakarya Nasional Pangan dan Gizi VI di Bulog. Tanggal 26 – 27 Juni. Jakarta. Suhardjo. 1994. Pola Konsumsi Ikan di Indonesia. Makalah disampaikan pada Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi V. Tanggal 20 – 22 April. Jakarta. Suhardjo. 1996. Pengertian dan Kerangka Pikir Ketahanan Pangan Rumah Tangga. Makalah disampaikan pada Lokakarya Ketahanan Pangan Rumah Tangga. Tanggal 26 – 30 Mei. Yogyakarta. Undang-Undang dan Peraturan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan.Disahkan di Jakarta pada tanggal 4 November 1996. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan. Disahkan di Jakarta pada tanggal 16 November 2012. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 75 Tahun 2013 tentang Angka Kecukupan Gizi yang Dianjurkan bagi Bangsa Indonesia. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 28 November 2013. HASIL KEGIATAN|Kajian Supply Ikan di Pasar Domestik dalam Rangka Kesiapan Manghadapi Ramadhan dan Hari Raya Idul Fitri (2015). 124 LAPORAN TEKNIS [KAJIAN KHUSUS BBPSEKP TAHUN 2015] Daftar Lampiran Lampiran 4-6. 1. Tingkat Konsumsi Ikan per Kapita per Tahun, 2006 - 2013 Tingkat Konsumsi Rata-Rata Peningkatan No Tahun (Kg/kap/tahun) (%/tahun) 1 2006 25,03 2 2007 26,00 3.88 3 2008 28,00 7.69 4 2009 29,08 3.86 5 2010 30,48 4.81 6 2011 32,25 5.81 7 2012 33,89 5.09 8 2013 35,14 3.69 Sumber: KKP, 2014 Lampiran 4-6. 2. Penyediaan Ikan untuk Konsumsi dari Perikanan Tangkap, 2008 - 2013 No Tahun Total (1000 Ton) Per Kapita (Kg/Kapita/Tahun) 1 2008 7.072,00 31,00 2 2009 7.754,00 33,51 3 2010 9.119,00 38,39 4 2011 10.282,00 42,49 5 2012 11.588,00 47,22 6 2013 11.886,00 47,77 Sumber: KKP, 2014 Lampiran 4-6. 3. Ketersediaan per Kapita Nutrisi dari Ikan dari Perikanan Tangkap, 2008 - 2012 Kalori Protein Lemat No Tahun (Kkal/Kapita/Hari) (Gram/Kapita/Hari) (Gram/Kapita/Hari) 1 2008 53,00 9,53 1,19 2 2009 58,00 10,30 1,31 3 2010 66,00 11,65 1,53 4 2011 71,00 12,57 1,68 5 2012 78,00 13,73 1,88 Sumber: KKP, 2014 HASIL KEGIATAN|Kajian Supply Ikan di Pasar Domestik dalam Rangka Kesiapan Manghadapi Ramadhan dan Hari Raya Idul Fitri (2015). 125 LAPORAN TEKNIS [KAJIAN KHUSUS BBPSEKP TAHUN 2015] Lampiran 4-6. 4. Konsumsi Kalori dari Ikan menurut Propinsi Tahun 2014 Konsumsi Kalori dari Ikan menurut Propinsi Tahun 2014 Indonesia Papua Barat Papua Maluku Utara Maluku Sulawesi Tenggara Sulawesi Selatan Sulawesi Barat Sulawesi Tengah Gorontalo Sulawesi Utara Kalimantan Timur Kalimantan Selatan Kalimantan Tengah Kalimantan Barat Nusa Tenggara Timur Nusa Tenggara Barat Perkotaan + Perdesaan B a l i Perdesaan Jawa Timur Perkotaan D.I. Yogyakarta Jawa Tengah Jawa Barat Banten DKI Jakarta Lampung Bengkulu Bangka Belitung Sumatera Selatan Jambi Kepulauan Riau Riau Sumatera Barat Sumatera Utara Kkal/kap/hari Aceh - 20,00 40,00 60,00 80,00 100,00 120,00 140,00 Sumber: BPS (2014) HASIL KEGIATAN|Kajian Supply Ikan di Pasar Domestik dalam Rangka Kesiapan Manghadapi Ramadhan dan Hari Raya Idul Fitri (2015). 126 LAPORAN TEKNIS [KAJIAN KHUSUS BBPSEKP TAHUN 2015] Lampiran 4-6. 5. Konsumsi Protein Ikan menurut Propinsi Tahun 2014 Konsumsi Protein Ikan menurut Propinsi Tahun 2014 Nasional Papua Barat Papua Maluku Utara Maluku Sulawesi Tenggara Sulawesi Selatan Sulawesi Barat Sulawesi Tengah Gorontalo Sulawesi Utara Kalimantan Timur Kalimantan Selatan Kalimantan Tengah Kalimantan Barat Perkotaan + Perdesaan Nusa Tenggara Timur Perdesaan Nusa Tenggara Barat Perkotaan B a l i Jawa Timur D.I. Yogyakarta Jawa Tengah Jawa Barat Banten DKI Jakarta Lampung Bengkulu Bangka Belitung Sumatera Selatan Jambi Kepulauan Riau Riau Sumatera Barat Sumatera Utara Gram/kap/hari Aceh - 5,00 10,00 15,00 20,00 25,00 Sumber: BPS (2014) HASIL KEGIATAN|Kajian Supply Ikan di Pasar Domestik dalam Rangka Kesiapan Manghadapi Ramadhan dan Hari Raya Idul Fitri (2015). 127 LAPORAN TEKNIS [KAJIAN KHUSUS BBPSEKP TAHUN 2015] Lampiran 4-6. 6. Status Ketersediaan Ikan menurut Kuartal dan Provinsi di Indonesia Tahun 2013 PTL PTPU Total N Provinsi KW KW KW KW KW KW KW KW KW KW KW o 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 38 40 40 34 38 40 41 1 Aceh 607 361 720 004 371 410 399 399 978 771 119 128 132 124 122 12 11 11 12 140 144 135 2 Sumatera Utara 869 934 232 324 058 516 208 170 927 450 440 62 51 43 53 2 3 2 2 65 54 45 3 Sumatera Barat 901 405 546 152 466 066 355 485 367 471 901 21 21 24 25 4 4 4 4 25 26 29 4 Riau 503 695 681 400 315 389 357 395 818 084 038 Kepulauan 26 42 40 31 26 42 40 5 Riau 309 218 610 460 309 218 610 11 12 12 11 1 1 1 2 12 14 14 6 Jambi 181 338 606 588 738 865 850 092 919 203 456 Sumatera 8 12 14 10 11 14 14 11 20 26 28 7 Selatan 525 190 004 045 660 549 221 393 185 739 225 Kepulauan 48 62 44 43 48 62 44 8 Bangka 944 843 188 268 944 843 188 Belitung 14 13 11 11 15 13 12 9 Bengkulu 824 339 726 029 322 344 345 357 146 683 071 38 41 41 41 1 1 1 1 40 43 42 10 Lampung 553 805 042 707 701 500 501 552 254 305 543 14 13 14 15 14 14 15 11 Banten 91 88 90 129 923 935 581 167 296 014 023 42 52 48 66 42 52 48 12 DKI Jakarta 133 031 787 782 133 031 787 45 49 55 56 3 2 2 2 48 52 58 13 Jawa Barat 295 780 512 875 165 539 668 775 460 319 180 14 Jawa Tengah 48 55 52 67 4 5 4 5 52 60 57 KW 4 34 403 134 494 55 637 29 795 31 460 13 680 21 438 Ratarata 38 818 138 828 55 344 27 684 35 149 13 815 24 147 Status Ketersediaan KW KW KW KW 1 2 3 4 Cuk Cuk Cuk Kur up up up ang Cuk Cuk Kur Kur up up ang ang Cuk Kur Kur Cuk up ang ang up Kur Kur Cuk Cuk ang ang up up Kur Cuk Cuk Kur ang up up ang Kur Cuk Cuk Kur ang up up ang Kur Cuk Cuk Kur ang up up ang 43 268 49 Kur 811 ang Cuk up Kur ang Kur ang 11 386 43 259 15 671 66 782 59 650 72 13 072 42 340 14 751 52 433 54 652 60 Cuk up Cuk up Kur ang Kur ang Kur ang Kur Kur ang Cuk up Cuk up Kur ang Cuk up Kur Kur ang Cuk up Cuk up Cuk up Cuk up Cuk Cuk up Kur ang Kur ang Kur ang Kur ang Kur HASIL KEGIATAN|Kajian Supply Ikan di Pasar Domestik dalam Rangka Kesiapan Manghadapi Ramadhan dan Hari Raya Idul Fitri (2015). 128 LAPORAN TEKNIS N o Provinsi 15 DI Yogyakarta 16 Jawa Timur 17 Bali 18 19 20 21 22 23 Nusa Tenggara Barat Nusa Tenggara Timur Kalimantan Barat Kalimantan Tengah Kalimantan Selatan Kalimantan Timur 24 Sulawesi Utara 25 Gorontalo 26 27 28 Sulawesi Tengah Sulawesi Selatan Sulawesi Barat [KAJIAN KHUSUS BBPSEKP TAHUN 2015] KW 1 026 433 PTL KW KW 2 3 377 859 1 570 230 58 573 80 142 18 541 28 694 21 702 27 845 15 897 35 536 24 942 69 170 22 486 68 158 64 520 9 19 659 32 217 25 999 29 423 17 427 42 975 27 214 72 375 23 753 71 541 65 648 12 119 013 31 487 36 825 30 198 30 528 16 248 44 807 24 996 68 381 22 826 63 894 79 443 11 KW 4 967 1 163 120 601 32 565 44 454 25 926 32 283 16 740 53 373 29 995 73 054 22 374 56 391 68 285 12 KW 1 665 PTPU KW KW 2 3 156 872 KW 4 020 KW 1 691 Total KW KW 2 3 533 731 1 923 606 KW 4 987 1 599 Status Ketersediaan KW KW KW KW 1 2 3 4 986 ang ang ang up 1 Kur Kur Cuk Cuk 250 ang ang up up Ratarata 437 353 376 436 870 2 203 2 118 2 297 1 948 60 776 82 260 121 310 122 549 96 Kur 724 ang Kur ang Cuk up Cuk up 295 331 336 379 881 940 909 846 - - - - 10 642 8 569 14 085 9 675 10 983 9 216 17 565 9 619 10 778 9 481 16 911 13 105 11 051 8 313 16 453 10 842 591 610 590 529 247 220 234 182 556 3 468 - 536 3 800 - 675 3 561 - 709 3 516 - 18 836 29 575 21 702 38 487 24 466 49 621 34 617 69 761 22 733 68 714 67 988 9 19 990 33 157 25 999 40 406 26 643 60 540 36 833 72 985 23 973 72 077 69 448 12 31 823 37 734 30 198 41 306 25 729 61 718 38 101 68 971 23 060 64 569 83 004 11 32 944 45 300 25 926 43 334 25 053 69 826 40 837 73 583 22 556 57 100 71 801 12 25 898 36 442 25 956 40 883 25 473 60 426 37 597 71 325 23 081 65 615 73 060 11 Kur ang Kur ang Cuk up Kur ang Cuk up Cuk up Kur ang Cuk up Cuk up Cuk up Kur ang Cuk Cuk up Cuk up Cuk up Cuk up Cuk up Cuk up Cuk up Kur ang Kur ang Kur ang Cuk up Cuk Cuk up Cuk up Kur ang Cuk up Kur ang Cuk up Cuk up Cuk up Kur ang Kur ang Kur ang Cuk Kur ang Kur ang Kur ang Kur ang Kur ang Kur ang Kur ang Kur ang Kur ang Cuk up Kur ang Kur HASIL KEGIATAN|Kajian Supply Ikan di Pasar Domestik dalam Rangka Kesiapan Manghadapi Ramadhan dan Hari Raya Idul Fitri (2015). 129 LAPORAN TEKNIS N o Provinsi KW 1 766 Sulawesi 20 29 Tenggara 567 139 30 Maluku 386 37 31 Maluku Utara 027 70 32 Papua 419 30 33 Papua Barat 622 Sumber: KKP (2014) (diolah) [KAJIAN KHUSUS BBPSEKP TAHUN 2015] PTL KW KW 2 3 224 686 28 33 023 710 131 140 398 412 39 39 379 447 71 71 292 188 29 31 668 336 KW 4 134 42 249 140 616 35 688 73 440 30 148 KW 1 PTPU KW KW 2 3 KW 4 425 426 1 002 1 375 10 7 7 9 - - - - 1 930 1 944 1 964 1 993 59 58 59 54 KW 1 766 20 992 139 396 37 027 72 349 30 681 Total KW KW 2 3 224 686 28 34 449 712 131 140 405 419 39 39 379 447 73 73 236 152 29 31 726 395 KW 4 134 43 624 140 625 35 688 75 433 30 202 Ratarata 453 31 944 137 961 37 885 73 543 30 501 Status Ketersediaan KW KW KW KW 1 2 3 4 ang up up up Kur Kur Cuk Cuk ang ang up up Cuk Kur Cuk Cuk up ang up up Kur Cuk Cuk Kur ang up up ang Kur Kur Kur Cuk ang ang ang up Cuk Kur Cuk Kur up ang up ang HASIL KEGIATAN|Kajian Supply Ikan di Pasar Domestik dalam Rangka Kesiapan Manghadapi Ramadhan dan Hari Raya Idul Fitri (2015). 130 LAPORAN TEKNIS [KAJIAN KHUSUS BBPSEKP TAHUN 2015] Lampiran 4-6. 7. Indeks Ketidakstabilan Harga Ikan Pada Saat Sebelum Bulan Ramadhan 2014 No Komoditas CII Growth 1 2 3 1 2 3 1 Bandeng 250 281 260 0.001 0.000 -0.001 2 Baronang 295 226 243 0.000 -0.003 -0.001 3 Cakalang 204 274 232 0.008 0.000 -0.002 4 Cumi-cumi 239 257 228 0.002 0.001 -0.003 5 Ekor Kuning 215 228 229 -0.005 0.003 0.003 6 Gabus 210 221 266 0.006 -0.004 0.000 7 Kakap Merah 312 239 256 0.000 0.002 -0.001 8 Kembung 218 254 300 0.004 -0.001 0.000 9 Kerang Darah 221 219 235 -0.004 0.004 -0.002 10 Layang 212 254 222 0.006 -0.001 -0.004 11 Lele 249 234 230 0.001 -0.002 0.002 12 Mujair 243 228 238 -0.001 0.003 -0.002 13 Nila 238 260 228 -0.002 -0.001 0.003 14 Patin 227 249 238 0.003 -0.001 0.002 15 Selar 221 218 255 0.0037 -0.0044 0.0008 16 Tembang 210 217 230 0.0063 -0.0046 -0.0025 17 Tenggiri 235 248 205 0.0020 0.0011 -0.0079 18 Teri 215 204 239 0.0050 -0.0083 -0.0016 19 Teri Asin 209 259 223 -0.0067 -0.0007 -0.0035 20 Tongkol 217 270 244 0.0045 -0.0004 -0.0013 21 Udang Dogol 213 252 262 0.0055 -0.0009 -0.0006 22 Udang Krosok 222 233 232 0.0036 -0.0022 -0.0023 Sumber: Data Harga Ikan Harian Direktorat Jenderal P2HP (2014), Diolah Keterangan: 1. Sebelum bulan ramadhan; 2. Saat ramadhan; 3. Setelah ramadhan HASIL KEGIATAN|Kajian Supply Ikan di Pasar Domestik dalam Rangka Kesiapan Manghadapi Ramadhan dan Hari Raya Idul Fitri (2015). 131 LAPORAN TEKNIS 4.7. [KAJIAN KHUSUS BBPSEKP TAHUN 2015] Rapid Assessment terhadap Perikanan Bandeng sebagai Antisipasi Kebijakan Pelarangan Ekspor Nener Bandeng Pendahuluan Budidaya ikan bandeng di Indonesia berada pada kawasan budidaya dengan luas kurang lebih sebesar 600.000 Ha, dengan total produksi yang dicapai pada tahun 2014 sebesar 621.393 ton, dari sasaran produksi sebesar 750.000 ton atau sebesar 82,8%. Daerah penghasil bandeng tersebar antara lain di Sulawesi Selatan, sulawesi Tenggara, Sulawesi Barat, Kalimantan Timur, Jawa Barat, Jawa timur dan Jawa Tengah. Budidaya Bandeng di Indonesia sebagian besar menerapkan teknologi tradisional dengan hasil rata rata 500 kg-1 ton per ha per tahun dan sebagian kecil menerapkan teknologi semi intensif dengan hasil rata-rata 3 ton per ha per tahun. Kebutuhan benih sebagian besar diperoleh dari hatcheri skala besar dan skal kecil yang tersebar di Bali yang terkonsentrasi di Kabupaten Buleleng. Hatcheri skala besar sebanyak 176 unit dan hatcheri skala kecil sebanyak 4500 unit dengan total produksi 10, 2 – 12 Juta ekor nener per hari. Total produksi dari daerah Bali diperkirakan sekitar 4,32 milyar dan daerah lain seperti Sulawesi, Jawa, Sumatera, Kalimantan sebanyak 0.38 milyar sehingga total produksi nasional sebesar 4,7 milyar. Teknologi pembenihan bandeng di Indonesia sudah sangat maju, dimana pada awalnya hingga ukuran panen diperlukan waktu pemeliharaan selama 35 -40 hari. Namun sekarang hanya memerlukan waktu pemeliharaan selama 17-18 hari, sehingga produksi nener menjadi semakin banyak. Berdasarkan data dari BKIPM ekspor nener tahun 2014 sebesar 1,4 milyar ekor dengan negara tujuan Philipina (1,24 milyar ekor), Taiwan (88 juta ekor), Singapura (76,5 juta ekor), Thailand (27,5 juta ekor), Srilanka (11,7 juta ekor), Malaysia (4,4 juta ekor), Hongkong (2,5 juta ekor), China (0,8 juta ekor), Colombia (0,74 juta ekor), East Timor (0,28 juta ekor) dan Vietnam (75 ribu ekor) dengan nilai ekspor Rp 200 milyar. Produksi nener untuk kebutuhan budidaya bandeng di Indonesia dari data yang dihimpun melalui pembudidaya bandeng dan pembenihan nener secara kuantitas jumlahnya sudah terpenuhi. Namun demikian secara kualitas masih belum memenuhi syarat. Data yang diperoleh menyatakan bahwa untuk nener yang dihasilkan dari sulawesi (PT. Esa Putlii) hanya mengeluarkan satu tingkatan mutu sedangkan yang dihasilkan dari daerah lain seperti dari Bali mengeluarkan nener dalam beberapa tingkatan mutu. Sehingga menyebabkan kualitas nener yang disuplai oleh pembudidaya tidak seragam dan berakibat pada hasil produksi yang kurang optimal. Harga nener dipengaruhi dari bulan-bulan ekspor dan bulan-bulan tidak ada ekspor. Pada saat tidak ada ekspor harga nener Rp 8-12/ekor sedangkan pada saat ekspor harga nener Rp 20 – 28/ekor. Nener berkualitas baik sulit bersaing dengan nener berkualitas rendah dikarenakan faktor harga. Harga nener di Filipina berkisar antara Rp 57 – 120/ekor; dimana untuk nener ukuran 3 HASIL KEGIATAN|Rapid Assessment terhadap Perikanan Bandeng sebagai Antisipasi Kebijakan Pelarangan Ekspor Nener Bandeng 132 LAPORAN TEKNIS [KAJIAN KHUSUS BBPSEKP TAHUN 2015] (panjang 10 sd 12 mm) berharga Rp 57 s/d Rp 63 per ekor, benih ukuran 4 (panjang 14 mm) berharga Rp 72 s/d Rp 85 per ekor dan benih ukuran 5 (panjang 16 mm) berharga Rp 100 s/d Rp 120 per ekor. Informasi harga nener berdasar ukuran di philipina ini hanya diketahui oleh beberapa eksportir nener saja dan tidak diketahui oleh pembenih nener di Bali, sehingga HSRT tidak bisa mengambil peluang keuntungan yang lebih besar. Hal ini sangat merugikan para pembenih nener khususnya di Bali dan di Indonesia pada umumnya. Tabel 4-6. 9. Keragaan Budidaya Ikan Bandeng di Indonesia RPJMN II Budidaya Bandeng 2010 2011 2012 2013 2014 Sasaran Pembesaran (ton) 349.600 419.000 503.400 700.000 750.000 Realisasi Pembesaran (ton) 421.757 467.449 518.939 627.333 621.393* 2.095.00 2.517.00 3.020.00 0 0 0 2.626.17 2.594.47 4.101.72 3.217.200 9 5 3 * 593.010 1.459.825 Sasaran Benih Bandeng 1.748.000 3.500.000 (X1000 ekor) Realisasi Benih Bandeng (X 1000 2.425.696 ekor) 494.115, Ekspor Nener (X1000 ekor) 346.058 390.372 1 *) Angka sementara yang belum divalidasi Keperluan nener untuk budidaya bandeng di Indonesia saat ini diperoleh dari Unit-Unit pembenihan baik skala besar maupun skala kecil yang tersebar di Bali, Sulawesi Selatan dan Jawa. Harga Nener Indonesia sangat fluktuatif, pada bulan bulan tidak terjadi ekspor harga nener paling rendah dan meningkat pada bulan bulan terjadi ekspor. Ekspor nener kebanyakan ditujukan ke negara –negara Asia terutama Filipina dan Taiwan. Metodologi Metodologi yang digunakan dalam penelitian ini bersifat kualitatif, yaitu melibatkan interpretasi dan juga pendekatan naturalistik terhadap subjek penelitian, serta tidak jarang menggunakan berbagai metode atau pendekatan pada satu fokus kajian (Denzin and Lincoln, 1994). Sementara itu, studi kasus digunakan untuk membatasi fokus dan subjek penelitian pada hal-hal atau kasus yang terkait dengan kondisi dan karakteristik usaha budidaya nener. Studi kasus yang digunakan bersifat studi kasus intrinsik, yaitu didorong oleh suatu ketertarikan pada satu fenomena tertentu dan bukan sebagai upaya untuk membangun suatu teori, walaupun tidak dibatasi untuk sama sekali tidak diperkenankan untuk membangun suatu teori (Stake, 1994). Hal yang mendasari penggunaan studi kasus intrinsik adalah adanya keinginan untuk mempelajari dan mengeksplorasi karakteristik usaha budidaya nener di lokasi penelitian. HASIL KEGIATAN|Rapid Assessment terhadap Perikanan Bandeng sebagai Antisipasi Kebijakan Pelarangan Ekspor Nener Bandeng 133 LAPORAN TEKNIS [KAJIAN KHUSUS BBPSEKP TAHUN 2015] Lokasi sampling kegiatan kajian khusus rapid assessment antisipasi kebijakan pengelolaan nener, dilakukan di Dusun Gondol, Desa Penyabangan, Kecamatan Grokgak, Kabupaten Buleleng, Bali. Pertimbangan dipilihnya lokasi ini karena di lokasi ini terdapat banyak usaha rakyat dalam budidaya nener. Data yang dikumpulkan berupa data primer yang diperoleh dari pembudidaya nener, bandar ikan atau pengepul, serta asosiasi pembudidaya nener setempat. Teknik pemilihan responden dilakukan secara sengaja dan snowballing. Sementara teknik pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan teknik wawancara mendalam dan juga berperan sebagai observer. Analisis data dilakukan secara deskriptif dan diinterpretasikan menggunakan metode logik. Metode logik adalah cara menalar dimana data diamati dan dipilah-pilah, buktinya dicari dan dipertimbangkan, dianalisis dan kemudian kesimpulan diambil (Nazir, 1988). Analisis hubungan antara fakta sosial dinyatakan menggunakan pendekatan deskriptif dan kualitatif. Analisis menggunakan metode analisis ekonomi terhadap keragaan usaha budidaya nener juga dilakukan untuk memperoleh informasi tentang besaran nilai ekonomi dari kegiatan usaha produksi nener di lokasi penelitian. Hasil Dan Pembahasan Keragaan Usaha Budidaya Nener Di Gondol Budidaya nener memegang peranan penting bagi kehidupan ekonomi rumah tangga masyarakat setempat. Sehingga sangat besar ketergantungan masyarakat setempat terhadap usaha ini, hal ini dapat terlihat pada minimnya pendapatan rumah tangga dari sektor lainnya menjadikan usaha budidaya nener ini andalan usaha keluarga. Awalnya, usaha budidaya ini dicontohkan dari hasil penelitian penetasan dan budidaya nener oleh peneliti, dari Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Budidaya laut, Balitbang Kelautan dan Perikanan di Gondol. Hasil penelitian ini kemudian dikembangkan untuk menjadi contoh di masyarakat dan mendapat respon positif dan berhasil berkembang menjadikan usaha ini sebagai pendapatan utama bagi masyarakat setempat untuk berbudidaya nener. Usaha ini mulai dirintis pada tahun 1997, beberapa masyarakat mencoba untuk mencontoh pembudidayaan nener dan berhasil serta memberi hasil pendapatan yang baik, sehingga marak dicontoh dan dilakukan oleh anggota masyarakat lainnya disekitarnya. Namun, pada tahun akhir tahun 1999 hingga tengah tahun 2000, terjadi penurunan harga nener yang sangat drastis, menurut beberapa informan, nener sulit terjual meski diturunkan hingga Rp 2-3 per ekor tetap tidak laku terjual. Pada masa tersebut, banyak sekali anggota masyarakat di sekitar Gondol yang harus dengan cepat mengambil keputusan untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga, sehingga banyak dari kolam/bak budidaya dan lahan budidaya yang dijual. Hal ini juga menunjukkan betapa rentannya ketahanan dan keberlanjutan berusaha secara umum bagi HASIL KEGIATAN|Rapid Assessment terhadap Perikanan Bandeng sebagai Antisipasi Kebijakan Pelarangan Ekspor Nener Bandeng 134 LAPORAN TEKNIS [KAJIAN KHUSUS BBPSEKP TAHUN 2015] masyarakat setempat. Lahan yang kurang produktif, ketahanan modal yang terbatas menyebabkan kurang variasi bidang usaha yang mampu dilakukan oleh masyarakat setempat. Kerentanan tersebut juga disebabkan tidak mampunya lahan untuk mendukung difersifikasi usaha ini. Usaha ini hanya penetasan telur bandeng dan budidaya nener. Induk bandeng dibeli/datangkan dari Gresik, ditetaskan kemudian dibudidaya hingga menjadi nener dan kemudian dijual. Ketidakmampuan lahan ini, utamanya ditentukan oleh minimnya lahan budidaya serta suplai air tawar. Lahan mangrove yang sangat cocok untuk tambak tidak ada serta suplai air tawar sangat minim. Namun dengan begitu saja, kebutuhan nener yang diproduksi dapat memenuhi kebutuhan dalam negeri bahkan diekspor terutama Filipina dan Vietnam. Budidaya nener dilakukan pada bak/kolam berukuran dalam Panjang x Lebar x tinggi (1.5 x 3 x 1) m. Umumnya, tiap pembudidaya memiliki 8 unit kolam. Tiap kolam akan ditebar sebanyak 50 – 70 ribu butir telur. Produksi nener di Kecamatan Grokgak, Kabupaten Buleleng, Bali mencapai 15-25 juta nener per hari. Harga domestik berkisar Rp 5 per ekor hingga Rp 15 per ekor. Untuk memenuhi kebutuhan dan permintaan domestik hanya dibutuhkan 7,5 – 15 juta ekor per hari sepanjang tahun pemintaan ini dapat dipenuhi. Sedangkan untuk kebutuhan ekspor dibutuhkan 15 – 20 juta ekor per hari yang hanya pada bulan Februari, Maret dan April. Jumlah rumah tangga pelaku usaha budidaya nener ini menurut asosiasi nener di Gondol sebanyak 506 pelaku usaha (RTP). Keragaan Jaringan Pemasaran Nener Dalam Negeri Dan Luar Negeri Selama ini rantai suplai nener berdasarkan ukuran yang diperdagangkan, berturut-turut adalah telur, nener, gelondongan, bandeng, induk bandeng. Sementara itu, berdasarkan lokasi, rantai suplainya sebagai berikut: Telur dan nener diproduksi di Gondol nener dijual ke Makassar, Lamongan, Gresik, Balikpapan, Jawa Barat, Lampung (Gambar 4-7. 1). HASIL KEGIATAN|Rapid Assessment terhadap Perikanan Bandeng sebagai Antisipasi Kebijakan Pelarangan Ekspor Nener Bandeng 135 LAPORAN TEKNIS [KAJIAN KHUSUS BBPSEKP TAHUN 2015] Gambar 4-7. 1. Skema Diversifikasi Nener dan Pemasarannya Pengembangan (nener, gelondongan, bandeng) Telur Nener Gelondongan Bandeng Sarden Bandeng Induk Bandeng Pengembangan produksi bandeng diperlukan untuk mengembangkan usaha bandeng. Sebagaimana rantai/siklus bandeng diatas, seharusnya tiap tahapan memiliki peluang pengembangan untuk diterapkan di masyarakat. Beberapa hal yang bisa dijadikan sebagai upaya untuk pengembangan nener adalah dengan memandang pengembangan nener sebagai suatu kesatuan utuh sistem produksi bandeng secara keseluruhan. Diversifikasi produksi bandeng Bandeng presto Bandeng cabut duri Nugget bandeng Sarden bandeng Abon bandeng Bakso bandeng Bandeng kaleng Dan lainnya HASIL KEGIATAN|Rapid Assessment terhadap Perikanan Bandeng sebagai Antisipasi Kebijakan Pelarangan Ekspor Nener Bandeng 136 LAPORAN TEKNIS [KAJIAN KHUSUS BBPSEKP TAHUN 2015] Diversifikasi produk turunan dari bandeng merupakan diversifikasi usaha yang akan memacu permintaan produk bandeng. Hal ini kemudian diharapkan dengan meningkatnya permintaan bandeng maka produksi nener di Gondol dan beberapa sentra nener lainnya dapat meningkat. Pengembangan gelondongan Gelondongan merupakan bagian dalam rantai produk nener yang sangat dibutuhkan dalam upaya meningkatan penangkapan ikan, khususnya ikan tuna dan cakalang. Pengembangan gelondongan ini penting untuk menyuplai permintaan gelondongan disektor ini. Sebagaimana diketahui lokasi jenis tuna dan cakalang yang menggunakan gelondongan sebagai umpan berada di sentra-sentra penangkapan dan pendaratan ikan di sekitar laut Banda dan Sawu. Secara strategis mendekatkan sentra produksi gelondongan didekat sentra penangkapan dan pendaratan ikan tunda cakalang akan memberi biaya input yang efisien bagi usaha penangkapan ini. Dengan model backyard farming dalam kolam, budidaya gelondongan dapat diatur suplai dan produksinya guna memenuhi permintaan gelondongan bagi penangkap tuna cakalang. Intensifikasi tambak semi intensif. Peningkatan tambak dengan tekonologi yang ramah lingkungan dan murah akan memicu produktifitas budidaya bandeng. Peningkatan buddaya bandeng semi intensif, diyakini cukup efisien dan efektif meningkatkan produktifitas usaha bandeng, serta cukup ramah lingkungan. Pakan dan Teknologi pendukung lainnya Sebagaiman diketahui usaha budidaya umumnya secara otomatis menempatkan pakan sebagai variable cost yang sensitive dalam struktur biaya budidaya. Sehingga investasi pemerintah dalam penyediaan pakan dan teknologi pakan yang efektif dan murah akan memudahkan pengembangan usaha bandeng. Transportasi dan cargo(jasa kurir) Transportasi, memegang peranan penting dalam distribusi bandeng. Sebagai contoh untuk gelondongan yang diproduksi di Gresik, dilepas dengan harga Rp 400 per ekor, namun tiba di Benoa, Bali, naik mencapai Rp 900 per ekor. Selisih / margin ini sebenarnya cukup mengiurkan usaha budidaya gelondongan, sekaligus mengisyaratkan perlunya penataan sistem distribusi barang dalam untuk sektor perikanan. Selisih sebesar Rp 500 per ekor ini terlalu menekan usaha penangkapan tuna cakalang sehingga menciptakan tata distribusi barang yang mendukung usaha HASIL KEGIATAN|Rapid Assessment terhadap Perikanan Bandeng sebagai Antisipasi Kebijakan Pelarangan Ekspor Nener Bandeng 137 LAPORAN TEKNIS [KAJIAN KHUSUS BBPSEKP TAHUN 2015] lainnya perlu dipikirkan jalannya untuk efisien dan efektif dalam meningkatkan upaya penangkapan tuna cakalang, Pasar luar negeri Peluang pasar luar negeri juga perlu dikembangkan, misalnya dengan menyisipkan bandeng kaleng (sarde bandeng) dan varian produk lainnya dalam aktifitas luar luar negeri warga Negara Indonesia, seperti ibadah haji dan pengiriman Tenaga Kerja Indonesia (TKI). Diharapakan akan tercipta pasar luar negeri dengan memanfaatkan peluang tersebut. Keragaan Usaha Dan Potensi Nilai Ekonomi Usaha Nener Berdasarkan data dan informasi primer yang diperoleh dari lokasi Gondol, maka diperoleh gambaran keragaan usaha dan potensi nilai ekonomi usaha nener di Gondol, Bali sebagai berikut (Tabel 4-7.1) Tabel 4-7. 1. Keragaan usaha Nener di Gondol, bali Supply (Produksi) 15-25 Demand Domestik Ekspor Jumlah RTP juta 11 juta ekor 14 juta ekor per hari selama 506 ekor per hari per hari Harga Rp 28 – 30 per ekor 3 bulan dalam 1 tahun Nilai Ekonomi Usaha Nener Keragaan usaha nener di lokasi penelitian kemudian diolah dengan menggunakan pendekatan analisis ekonomi sederhana untuk mengetahui seberapa besar nilai ekonomi dari seluruh keragaan usaha nener yang ada. Untuk itu diperlukan analisis terkait dengan nilai biaya produksi usaha nener per tahun (Tabel 4-7.2) dan juga nilai manfaat produksi usaha nener per tahun (Tabel 4-7.3). Tabel 4-7. 2. Nilai Biaya Produksi Usaha Nener (Rp per Tahun) Produksi Biaya Produksi per tahun 15 juta ekor per hari selama sembilan bulan dari 506 15 juta ekor per hari x 9 bulan x 30 hari RTP Pembudidaya Nener dengan biaya produksi x Rp 5 per ekor = Rp 20.250.000.000 sebesar Rp 5 per ekor 25 juta ekor per hari selama tiga bulan dari 506 RTP 25 juta ekor per hari x 3 bulan x 30 hari Pembudidaya Nener dengan biaya produksi sebesar x Rp 5 per ekor = 11.250.000.000 Rp 5 per ekor Total Nilai Biaya Produksi Nener 31.500.000.000 HASIL KEGIATAN|Rapid Assessment terhadap Perikanan Bandeng sebagai Antisipasi Kebijakan Pelarangan Ekspor Nener Bandeng 138 LAPORAN TEKNIS [KAJIAN KHUSUS BBPSEKP TAHUN 2015] Tabel 4-7.2 memberikan gambaran seberapa besar keseluruhan nilai biaya produksi dari usaha nener di lokasi penelitian. Terlihat secara keseluruhan biaya produksi yang diperlukan dalam satu tahun sebesar Rp 31.500.000.000. Nampak juga terlihat bahwa terdapat dua karakteristik usaha budidaya nener, yaitu saat musim untuk memenuhi kebutuhan pasar domestik dan saat musim untuk memenuhi permintaan pasar ekspor. Hal ini terjadi karena sebenarnya secara teknologi, budidaya nener sudah mampu menghasilkan produksi nener seperti pada saat adanya permintaan ekspor. Namun hal ini tidak dilakukan karena kemampuan pasar domestik untuk menyerap sangat terbatas, sementara jika dipaksakan untuk diproduksi berlebih hanya akan menambah biaya produksi dan kerugian pembudidaya saja. Tabel 4-7. 3. Nilai Manfaat Produksi Usaha Nener per Tahun (Rp per tahun) Permintaan Manfaat Produksi per tahun 11 juta ekor per hari untuk domestik dengan harga 11 juta ekor per hari x 9 bulan x 30 hari nener Rp 28 per ekor x Rp 28 per ekor = 83.160.000.000 25 juta ekor per hari selama tiga bulan dengan 25 juta ekor per hari x 9 bulan x 30 hari biaya produksi sebesar Rp 5 per ekor Total Nilai manfaat Produksi Nener x Rp 30 per ekor = 67.500.000.000 150.660.000.000 Sementara pada Tabel 4-7.3 terlihat nilai keseluruhan manfaat produksi usaha nener per tahun di lokasi penelitian. Seperti dijelaskan sebelumnya bahwa terdapat dua karakteristik usaha nener, saat ada permintaan ekspor dan saat hanya ada permintaan domestik. Total nilai manfaat usaha produksi nener dari Tabel 4-7.3 sebesar Rp 150.660.000.000 per tahun. Terlihat bahwa total manfaat produksi nener saat terjadi permintaan ekspor nener tinggi sebesar Rp 67.500.000.000 per tahun yang terjadi selama tiga bulan saja. Jumlah produksi nener yang mencapai 25 juta ekor per hari tersebut sebenarnya untuk memenuhi kebutuhan domestik sebesar 11 juta ekor per hari dan 14 juta ekor per hari untuk kebutuhan ekspor. Jadi secara jumlah dengan adanya ekspor tidak mengganggu kebutuhan domestik, namun demikian pada saat yang bersamaan harga jual menjadi meningkat selama periode ekspor tersebut. HASIL KEGIATAN|Rapid Assessment terhadap Perikanan Bandeng sebagai Antisipasi Kebijakan Pelarangan Ekspor Nener Bandeng 139 LAPORAN TEKNIS Tabel 4-7. 4. [KAJIAN KHUSUS BBPSEKP TAHUN 2015] Nilai Ekonomi Usaha Nener per Tahun (Rp per tahun) Nilai Biaya Produksi 31.500.000.000 Nilai Manfaat Nilai Kehilangan Nilai Ekonomi Usaha Produksi Sisa Produksi Nener 150.660.000.000 10.800.000.000 171.360.000.000 Tabel 4-7.4 memperlihatkan besaran nilai ekonomi keseluruhan usaha nener di lokasi penelitian. Nilai ekonomi usaha nener di lokasi Gondol, Bali setiap tahunnya sebesar Rp 171.360.000.000 yang diperoleh dari 506 RTP. Terlihat bahwa terdapat nilai kehilangan yang berasal dari sisa produksi selama sembilan bulan akibat tidak terserapnya sejumlah 4 juta nener oleh pasar domestik. Ekspor Berdasarkan hasil informasi di lokasi, ekspor nener tidak berjalan sepanjang tahun. Ekspor nener hanya dilakukan pada bulan Februari, Maret, April. Hal ini terkait dengan permintaan pasar untuk ekspor terjadi pada tiga bulan tersebut. Harga ekspor berkisar Rp 20 per ekor hingga Rp 30 per ekor dengan volume permintaan 15 – 20 juta ekor per hari. Pasar tujuan ekspor yang teridentifikasi adalah Taiwan, Filipina dan Vietnam. Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka potensi nilai ekspor nener yang berasal dari lokasi Gondol, Bali sebesar Rp 37.800.000.000 per tahun dengan jumlah permintaan sebanyak 14 juta ekor per hari selama 3 bulan. Sementara nilai kehilangan produksi akibat produksi nener berlebih dan tidak terserap oleh pasar baik domestik maupun ekspor selama 9 bulan sebesar Rp 10.800.000.000 per tahun dengan jumlah nener sebanyak 4 juta ekor per hari. Kesimpulan Dan Rekomendasi Kebijakan Kesimpulan Budidaya nener dilakukan pada bak/kolam berukuran dalam Panjang x Lebar x tinggi (1.5 x 3 x 1) m. Umumnya, tiap pembudidaya memiliki 8 unit kolam. Tiap kolam akan ditebar sebanyak 50 – 70 ribu butir telur. Produksi nener di Kecamatan Grokgak, Kabupaten Buleleng, Bali mencapai 15-25 juta nener per hari. Harga domestik berkisar Rp 5 per ekor hingga Rp 15 per ekor. Untuk memenuhi kebutuhan dan permintaan domestik hanya dibutuhkan 7,5 – 15 juta ekor per hari sepanjang tahun pemintaan ini dapat dipenuhi. Sedangkan untuk kebutuhan ekspor dibutuhkan 15 – 20 juta ekor per hari yang hanya pada bulan Februari, Maret dan April. Jumlah rumah tangga pelaku usaha budidaya nener ini menurut asosiasi nener di Gondol sebanyak 506 pelaku usaha (RTP). HASIL KEGIATAN|Rapid Assessment terhadap Perikanan Bandeng sebagai Antisipasi Kebijakan Pelarangan Ekspor Nener Bandeng 140 LAPORAN TEKNIS [KAJIAN KHUSUS BBPSEKP TAHUN 2015] Nilai ekonomi usaha nener di lokasi Gondol, Bali setiap tahunnya sebesar Rp 171.360.000.000. Potensi nilai ekspor nener yang berasal dari lokasi Gondol, Bali sebesar Rp 37.800.000.000 per tahun selama tiga bulan. Sementara nilai kehilangan produksi akibat produksi nener berlebih dan tidak terserap oleh pasar baik domestik maupun ekspor selama 9 bulan sebesar Rp 10.800.000.000 per tahun. Rekomendasi Kebijakan Rekomendasi kebijakan yang bisa diberikan terkait dengan upaya pengembangan dan pengaturan usaha budidaya nener adalah dengan memberikan rekomendasi berupa program prioritas dan langkah eksekusi yang sebaiknya dilakukan oleh direktorat jenderal teknis terkait. Program prioritas yang sebaiknya dilakukan untuk pengembangan perikanan bandeng, khususnya nener adalah: (a) Pengaturan tata niaga nener baik domestik maupun ekspor bertujuan melindungi pembudidaya bandeng akibat peningkatan harga nener yang tinggi sebagai konsekuensi permintaan ekspor nener; (b) Pengembangan paket stimulus budidaya bandeng domestik untuk menyerap hasil produksi nener berlebih sehingga pembudidaya nener terlindungi dari terlalu rendahnya harga nener; dan (c) Mengoptimalkan peluang ekspor bandeng memanfaatkan perjanjian kerjasama ekonomi baik regional maupun bilateral terhadap negara-negara potensial, sebagai contoh mengoptimalkan Early Harvest Program antara China dengan negara-negara ASEAN dalam kerangka AFTA sehingga mampu bersaing dengan Taiwan untuk pasar ekspor bandeng ke China. Sementara langkah eksekusi strategis yang sebaiknya dilakukan adalah: (a) Ditjen Perikanan Budidaya menyiapkan kebijakan dan program stimulus untuk pengembangan budidaya bandeng yang berorientasi ekspor dengan tetap menjaga kebutuhan domestik; (b) Ditjen Perikanan Budidaya menyiapkan dan menegakkan pengawasan kualitas nener yang diproduksi dan menyiapkan program-program bantuan bagi usaha budidaya nener agar memenuhi standar kelayakan kualitas nener yang diproduksi; dan (c) Ditjen Penguatan Daya Saing Produk Kelautan dan Perikanan menyiapkan program optimalisasi peluang pasar ekspor bandeng melalui kerjasama ekonomi bilateral dan regional. Daftar Pustaka Denzin, N.K and Lincoln, Y.S. 1994. Introduction: Entering the Field of Qualitative Research in Denzin, N.K and Lincoln, Y.S [Eds]. 1994. Handbook of Qualitative Research. Sage Publications, Inc. United State of America. 1-18 p. Nazir, M. 1988. Metode Penelitian. Ghalia Indonesia. Jakarta Stake, R. E. 1994. Case Studies in Denzin, N.K and Lincoln, Y.S [Eds]. 1994. Handbook of Qualitative Research. Sage Publications, Inc. U S A. 236-247 p. HASIL KEGIATAN|Rapid Assessment terhadap Perikanan Bandeng sebagai Antisipasi Kebijakan Pelarangan Ekspor Nener Bandeng 141 LAPORAN TEKNIS 4.8. [KAJIAN KHUSUS BBPSEKP TAHUN 2015] Kajian Analisis Kebijakan Pengembangan Budidaya Bandeng Pendahuluan Bandeng adalah jenis ikan konsumsi yang tidak asing bagi masyarakat. Bandeng merupakan hasil tambak, dimana budidaya ikan ini mula-mula merupakan pekerjaan sampingan bagi nelayan yang tidak dapat pergi melaut. Itulah sebabnya secara tradisional tambak terletak di tepi pantai. Bandeng merupakan hewan air yang handal, artinya bandeng dapat hidup di air tawar, air asin maupun air payau. Selain itu bandeng relatif tahan terhadap berbagai jenis penyakit yang biasanya menyerang hewan air. Sampai saat ini sebagian besar budidaya bandeng masih dikelola dengan teknologi yang relatif sederhana dengan tingkat produktivitas yang relatif rendah. Jika dikelola dengan sistim yang lebih intensif produktivitas bandeng dapat ditingkatkan hingga 3 kali lipatnya. Berdasarkan luas lahan tambak di Indonesia, pengembangan budidaya bandeng cukup terbentur dengan konversi lahan. Baik lahan mangrove yang dikonversi menjadi tambak maupun konversi lahan tambak yang telah ada menjadi penggunaan lahan lainnya. Gambar 4-8.1 menunjukkan luas lahan tambak di Indonesia dalam kurun waktu 2005-2015. Terlihat luas tambak Luas (Ha) berfluktuasi, artinya terjadi pembukaan lahan baru & konversi untuk penggunaan lainnya. 800.000 750.000 700.000 650.000 600.000 550.000 500.000 450.000 400.000 350.000 300.000 749.220 682.857 657.346 682.725 512.524 486.982 613.175 650.509 452.901 Tahun Gambar 4-8. 1. Grafik perkembangan luas lahan tambak di Indonesia, 2005-2013 Sumber: BPS, 2015 Sedangkan, perkembangan produksi perikanan dari tambak di Indonesia 2005-2013 menunjukkan peningkatan produksi yang cukup baik. Rata-rata pertumbuhan produksi perikanan hasil tambak meningkat 19,47% per tahun. Pada Gambar 4-8.2, terlihat fluktuasi perkembangan produksi perikanan hasil tambak di Indonesia. Potensi dan perkembangan produksi ini dapat diartikan sebagai semakin efektifnya kegiatan pertambakan untuk berproduksi. HASIL KEGIATAN|Kajian Analisis Kebijakan Pengembangan Budidaya Bandeng 142 LAPORAN TEKNIS [KAJIAN KHUSUS BBPSEKP TAHUN 2015] Produksi Tambak (Ton) 2.500.000 2.344.671 2.000.000 1.756.799 1.500.000 959.509 1.000.000 643.975 500.000 1.602.748 1.416.038 907.123 933.832 y = 199645x - 4E+08 R² = 0,8988 629.610 - Tahun Gambar 4-8. 2. Grafik perkembangan produksi tambak di Indonesia, 2005-2013 Sumber: BPS, 2015 Kabupaten Gresik sebagai salah satu penghasil bandeng dengan luas tambak yang luas di Indonesia, telah lama mengembankan budidaya bandeng. Dengan produksi yang terus meningkat, Kabupaten Gresik terus berupaya untuk mengembangkan dan membudayakan bandeng sebagai sumber protein bagi masyarakat setempat. Pada Gambar 4-8.3, terlihat perkembangan budidaya Produksi (Ton) bandeng di Kabupaten Gresik yang terus menunjukkan kecenderungan (trend) meningkat 45.000 40.000 35.000 30.000 25.000 20.000 14.624 15.000 10.000 12.167 5.000 - 39.912 39.545 16.918 16.839 17.813 y = 4686,7x - 9E+06 R² = 0,7255 Tahun Gambar 4-8. 3. Perkembangan produksi Bandeng di Kabupaten Gresik. Sumber: statistik perikanan Dinas Kelautan, Perikanan dan Peternakan, Gresik 2013 Adapun pendapatan sebagai indikator kesejahteraan masyarakat kelautan dan perikanan di Kabupaten Gresik secara keseluruhan menunjukkan peningkatan yang positif. pendapatan petani ikan/udang juga mengalami hal yang sama seperti pendapatan nelayan. Perkembangan pendapatan petani ikan dapat dilihat sebagaimana tabel di bawah ini. HASIL KEGIATAN|Kajian Analisis Kebijakan Pengembangan Budidaya Bandeng 143 LAPORAN TEKNIS Tabel 4-8. 1. [KAJIAN KHUSUS BBPSEKP TAHUN 2015] Perkembangan pendapatan petani ikan tahun 2008 s/d 2012 Pendapatan rata-rata petani ikan Prosentase kenaikan atau penurunan (Rp)/Tahun dibanding tahun sebelumnya (%) 2008 14.999.950,00 26,58 2009 14.500.000,00 (3,33) 2010 21.000.000,00 44,83 2011 22.200.000,00 5,71 2012 25.576.000,00 15,21 Tahun Sumber: laporan tahunan Dinas Kelautan, Perikanan dan Peternakan, Gresik 2013. Pendapatan petani ikan pada tahun 2012 juga mengalami kenaikan. Hal ini disebabkan oleh banyaknya petani yang cukup sukses dalam panen akibat serangan penyakit yang bisa diantisipasi dengan cukup baik. Pendapatan petani tahun 2012 mengalami kenaikan sebesar 15,21%,Hal ini terjadi karena pada tahun 2012 nilai harga jual komoditas perikanan pada umumnya menunjukkan kecenderungan cukup baik dan volume produksi hasil budidaya juga cenderung naik sehingga prosentase peningkatan pendapatan petani ikan/udang cukup besar. Usaha Budidaya Bandeng di Kabupaten Gresik Propinsi Jawa Timur merupakan salah satu sentra pengembangan bandeng dengan areal tambak yang cukup luas. Tahun 2013 luas tambak Jawa Timur tercatat seluas 51 ha. Sementara itu di Jawa Timur pusat tambak terletak di Kabupaten Gresik, Sidoarjo dan Lamongan dengan luas tambak masing-masing seluas 30% dari luas tambak Jawa Timur (BPS, 2015). Tabel 4-8. 2. Tahun Luas Tambak Bersih dan Produksi Propinsi Jawa Timur Luas Tambak (Ha) Produksi (Ton) 2005 60,951 122,467 2006 48,655 75,954 2007 51,609 104,865 2008 57,512 78,922 2009 50,229 111,445 2010 60,649 158,927 2011 59,577 177,682 2012 64,815 170,434 2013 51,287 177,077 Sumber : BPS, 2015. HASIL KEGIATAN|Kajian Analisis Kebijakan Pengembangan Budidaya Bandeng 144 LAPORAN TEKNIS [KAJIAN KHUSUS BBPSEKP TAHUN 2015] Teknologi budidaya tambak di Gresik umumnya masih tradisional dan tradional plus (pemberian pakan). Tambak lebih banyak digunakan untuk pemeliharaan bandeng dan udang secara polikultur, karena dianggap menguntungkan. Sistem polikultur dalam sebidang lahan tambak tentunya memberi keunntungan yang berlipat bagi para pembudidaya tambak. Dalam kegiatan budidaya terutama kegiatan pembesaran ikan bandeng terdapat berbagai macam cara diantaranya adalah dengan cara tradisional, semi intensif dan intensif. Menurut Anonym (2001) berdasarkan tingkat teknologi, budidaya bandeng di Indonesia terbagi menjadi tiga metode, yaitu: 1. Tambak tradisional/ekstensif. Tambak tradisional tidak menggunakan kincir karena kepadatan sebar berkisar 0,5-1 ekor/m2 luas lahan. Pakan yang diberikan sebagian besar berasal dari sumber alami; sedangkan tradisional plus yaitu pemberian pakan buatan. 2. Tambak semi intensif. Padat penebaran pada tambak semi intensif berkisar antara 2-3 ekor/m2. Peralatan kincir dipergunakan untuk teknologi ini sebanyak 1-2 kincir per petak lahan (0,5 ha). Pakan yang diberikan berupa pellet dengan kualitas yang baik; 3. Tambak intensif. Padat penebaran bibit pada tambak intensif sekitar 5 ekor/m2 dilengkapi kincir 3 buah untuk setiap petak (0,5 ha). Pakan yang digunakan berupa pellet yang telah teruji. Pelaksanaan pembangunan perikanan di Kabupaten Gresik dititik beratkan kepada peningkatan produksi dan produktifitas Upaya-upaya dalam rangka peningkatan produksi dan produktifitas antara lain ditempuh melalui Intensifikasi tambak, diversifikasi usaha dan ekstensifikasi. Secara keseluruhan program-program intensifikasi dan ekstensifikasi terus diupayakan. Ekstensifikasi tambak juga dilakukan, karena beberapa lahan tambak telah beralih fungsi pada penggunaan lahan lainnya. Dari data produksi ikan Bandeng tahun 2014 sebanyak 65,975.68 ton dari hasil budidaya (tambak payau dan tambak tawar) tahun 2013 sebesar 68,811.44 ton terjadi penurunan sebesar 2,835.76. Pola Usaha Budidaya Bandeng di Kabupaten Gresik. Secara garis besar, berbagai varian segmen usaha yang telah tumbuh dan berkembang dengan efisien dalam pemeliharaan bandeng di Gresik terbagi menjadi 2 (dua) varian usaha, yaitu (Dinas Kelautan dan Perikanan Kab. Gresik, 2011) : a. Penggelondongan bandeng b. Pembesaran/pembudidayaan bandeng HASIL KEGIATAN|Kajian Analisis Kebijakan Pengembangan Budidaya Bandeng 145 LAPORAN TEKNIS [KAJIAN KHUSUS BBPSEKP TAHUN 2015] Penggelondongan Bandeng Penggelondongan bandeng merupakan kegiatan pemeliharaan bandeng mulai dari ukuran benih sampai dengan ukuran (size) tertentu, dengan tujuan utama untuk penyediaan benih bandeng bagi kegiatan pemeliharaan bandeng yang lebih besar. Sentra usaha penggelondongan bandeng di Gresik umumnya berlokasi di beberapa wilayah hinterland dan sentra budidaya ikan/udang, yaitu di Kecamatan Bungah, Kecamatan Manyar, Kecamatan Duduk Sampeyan (sentra budidaya ikan/udang) dan Kecamatan Kebomas (sentra budidaya ikan/udang). Varian segmen usaha penggelondongan bandeng yang diusahakan oleh pengusaha gelondongan bandeng terdiri dari beberapa sub varian, meliputi : a. Penggelondongan bandeng sampai ukuran 2 – 3 cm. Kegiatan pemeliharaan ini dilakukan secara monokultur dengan teknologi sederhana/tradisional pada lahan-lahan tambak tradisional. Waktu pemeliharaan berlangsung sekitar 1 (satu) bulan sejak nener ditebar. Hasil produksi dari kegiatan usaha ini, oleh masyarakat pembudidaya ikan di Gresik biasa disebut nener gelondongan. Atau kadang-kadang disebut juga nener semarangan karena produk ini biasanya banyak dikirim ke wilayah Semarang dan sekitarnya. Harga nener gelondongan atau nener semarangan bisa berkisar Rp.400.000,-(Empat ratus ribu rupiah) per Rean (1 rean setara 5.500 ekor). Sentra produksi jenis nener gelondongan/semarangan berlokasi di Desa Taggulrejo Kecamatan Manyar dan sekitarnya b. Penggelondongan bandeng sampai ukuran 3-5 cm Waktu pemeliharaan berlangsung sekitar 30-45 hari dari ukuran 2-3 cm atau sekitar 6075 hari dari ukuran nener. Jenis produk usaha ini, oleh masyarakat pembudidaya ikan di Gresik biasa disebut (benih) bandeng kasaran. Ukuran benih bandeng mencapai 3-5 cm. Metode pemeliharaannya juga dilakukan secara monokultur dengan penerapan teknologi Tradisional. Jenis Bandeng kasaran ini juga digunakan untuk segmentasi usaha penggelondongan bandeng berikutnya. Produk segmentasi ini (bandeng kasaran) banyak dijual ke beberapa daerah di Jawa Timur, Jawa Tengah (khususnya Semarang), dan sebagian lagi ke Jawa Barat (khususnya Karawang). Harga jual bandeng kasaran (size 3-5 cm) bisa mencapai Rp.700.000,- (Tujuh Ratus Ribu Rupiah) per Rean ( 1 rean setara 5.500 ekor). Sentra produksi juga berlokasi di Desa Tanggulrejo Kecamatan Manyar dan Desa Betoyo Kecamatan Manyar dan sekitarnya. HASIL KEGIATAN|Kajian Analisis Kebijakan Pengembangan Budidaya Bandeng 146 LAPORAN TEKNIS c. [KAJIAN KHUSUS BBPSEKP TAHUN 2015] Penggelondongan bandeng sampai ukuran 5-7 cm Produk segmentasi usaha ini. biasa disebut juga benih bandeng “rame tangan“. Masa pemeliharaan sekitar 90-105 hari dari ukuran nener. Harga jual bisa mencapai Rp.1.200.000,(Satu juta dua ratus ribu rupiah) per Rean ( 1 rean setara 5.500 ekor). Sentra produksi juga terletak di Desa Tanggulrejo Kecamatan Manyar dan Desa Betoyo Kecamatan Manyar dan sekitarnya d. Penggelondongan bandeng sampai ukuran 7-9 cm. Para penggelondong bandeng yang berusaha di segmen ini biasanya memelihara benih bandeng dari ukuran 3-5 cm sekitar 75 hari atau memelihara benih bandeng dari ukuran 2 – 3 cm selama sekitar 120 hari. Metode pemeliharaannya juga dilakukan secara monokultur di lahanlahan tambak tradisional. Sentra produksi juga terletak di Desa Tanggulrejo dan Desa Betoyo Kecamatan Manyar dan sekitarnya Wilayah pemasaran dari produk ini umumnya didominasi pangsa pasar di Bali untuk dipelihara lebih lanjut sampai ukuran 10-12 cm atau yang lebih dikenal dengan Bandeng Umpan. Disebut bandeng umpan karena jenis produk ini (size bandeng 10-12 cm) digunakan sebagai sebagai umpan tuna. Harga jual benih bandeng 7-9 cm berkisar Rp.1.700.000,-(Satu juta tujuh ratus ribu rupiah) per Rean e. Penggelondongan bandeng sampai ukuran 10-12 cm Produk segmentasi ini, biasa disebut bandeng semian, bandeng semi-balian atau bandeng umpan. Disebut balian karena produk ini pada awalnya dipasarkan ke Bali dalam keadaan hidup sebagai umpan untuk menangkap tuna di laut. Metode pemeliharaannya secara monokultur di lahan-lahan tambak tradisional. Sentra pemeliharaan juga terletak di Desa Betoyo dan Desa Tanggulrejo Kecamatan Manyar. Rata-rata penjualan jenis bandeng ini bisa mencapai sekitar 150.000 ekor per hari atau 4,5 juta ekor per bulan, atau 54 juta ekor per tahun. Harga jual bisa mencapai Rp.2.000.000,- (Dua juta rupiah) per Rean. Dalam beberapa tahun terakhir, permintaan atau penjualan bandeng umpan tidak hanya dalam kondisi hidup tetapi juga dalam kondisi beku (umpan beku). Di Kabupaten Gresik, produk gelondongan bandeng berukuran 7-9 cm (poin d) atau 1012 cm (poin e) biasanya banyak digunakan oleh pembudidaya bandeng di Mengare untuk dibudidayakan sampai ukuran konsumsi atau sampai ukuran calon induk. Mengare merupakan pulau kecil di wilayah Kecamatan Bungah, yang merupakan sentra produksi bandeng konsumsi paling lezat, dan sentra produksi calon induk bandeng dan bandeng kawak terbesar di Gresik. Wilayah pemasaran bandeng dari Mengare, disamping dijual di wilayah Gresik tetapi juga sebagian besar dipasarkan keluar daerah seperti : Jawa Barat (khususnya Karawang) dan HASIL KEGIATAN|Kajian Analisis Kebijakan Pengembangan Budidaya Bandeng 147 LAPORAN TEKNIS [KAJIAN KHUSUS BBPSEKP TAHUN 2015] sekitarnya, dan atau dipasarkan dalam keadaan hidup sebagai calon induk. Dengan demikian, hampir semua sub varian segmentasi usaha penggelondonga bandeng, baik berupa produk bandeng gelondongan, bandeng semarangan, bandeng kasaran, bandeng rame-tangan, dan bandeng semian/semi-balian tersentra di Kecamatan Manyar dan sekitarnya Budidaya/Pembesaran Bandeng Segmentasi usaha budidaya ini adalah kegiatan membudidayakan bandeng sampai ukuran tertentu, dengan tujuan utama untuk memproduksi bandeng konsumsi (untuk konsumsi) atau calon induk. Pada segmentasi usaha budidaya/pembesaran bandeng terdapat beberapa varian segmentasi usaha, yaitu : a. Budidaya bandeng konsumsi. Jenis bandeng ini memang diproduksi dan dijual khusus untuk memenuhi kebutuhan konsumsi, yang dipasarkan didalam maupun diluar Gresik, baik dalam bentuk segar maupun sebagai bahan baku berbagai produk olahan (seperti : otak-otak bandeng, nugget, krispi, bakso, dan berbagai produk olahan lainnya berbahan baku bandeng) Volume produksi penjualan bandeng konsumsi di Gresik, baik yang berukuran 100–200 gram per ekor sampai dengan ukuran 300–400 gram per ekor bisa mencapai sekitar 75 - 100 ton perhari. Atau rata-rata sebanyak 2.800 ton per bulan. Tidak semua hasil produksi bandeng yang dibudidayakan di Gresik dijual kepada pengepul bandeng di Gresik tetapi sebagian lainnya juga dijual ke wilayah Lamongan. Metode pemeliharaan bandeng konsumsi dilakukan dengan 2 (dua) metode, yakni secara polikultur dengan udang atau secara monokultur. Sentra produksi bandeng atau sentra budidaya bandeng secara polikultur tersebar di wilayah kecamatan yang berpotensi perikanan budidaya. Sedangkan sentra poduksi bandeng konsumsi, calon induk bandeng, dan bandeng kawak secara monokultur terbatas pada wilayah tertentu, yakni : di wilayah Mengare Kecamatan Bungah (hinterland), dan sebagian kecil berada di wilayah Kecamatan Sidayu (minapolis) dan Kecamatan Ujung Pangkah (hinterland) Upaya penyediaan pakan bandeng dalam berbudidaya bandeng juga berbeda. Pakan bandeng secara polikultur umumnya lebih mengandalkan ketersediaan pakan alami di tambak melalui pemupukan. Sedangkan penyediaan pakan bandeng secara monokultur lebih mengandalkan pakan dari pabrikan (pakan pellet) Sedangkan harga jual bandeng konsumsi di pasaran pada umumnya cukup variatif tergantung pada situasi/kondisi musim maupun momentum tertentu. Namun secara garis besar, harga bandeng konsumsi mencapai kisaran : HASIL KEGIATAN|Kajian Analisis Kebijakan Pengembangan Budidaya Bandeng 148 LAPORAN TEKNIS [KAJIAN KHUSUS BBPSEKP TAHUN 2015] • Size ± 200 gram per ekor berkisar Rp.10.000,- s/d Rp.16.000,-/kilogram • Size ± 400 gramper ekor berkisar Rp. 14.000,- s/d Rp.20.000,-/kilogram • Size ± 500 gramper ekor berkisar Rp 16.000,- s/d Rp.22.000,-/kilogram Harga tertinggi biasanya dicapai pada saat momentum “ Tradisi Pasar Bandeng dan Lelang Bandeng Tradisional di Kabupaten Gresik ” yang digelar setiap 1 tahun sekali menjelang akhir Ramadhan. Harga bandeng bisa mencapai : • Size 500–900 gram per ekor bisa mencapai ± Rp.24.000,- per kilogram ; • Size 1,0 – 1,4 kg per ekor = ± Rp.35.000,- per kilogram ; • Size 1,5 – 1,9 kg per ekor = ± Rp.50.000,- per kilogram ; • Size 2,0 – 2,4 kg per ekor = ± Rp.65.000,- per kilogram ; • Size 2,5 – 2,9 kg per ekor = ± Rp.75.000,- per kilogram ; • Size 3,0 kg per ekor = ± Rp.150.000,- per kilogram. b. Budidaya bandeng ukuran 3-5 Kg per ekor. Jenis bandeng ini biasanya diproduksi dan dijual sebagai calon induk untuk memasok kebutuhan calon induk di panti-panti pembenihan di wilayah Bali. Sentra budidaya bandeng calon induk terletak di wilayah Mengare Kecamatan Bungah (hinterland). Harga bandeng dalam keadaan hidup bisa mencapai Rp.250.000,- s/d Rp.300.000,- per kilogram c. Budidaya bandeng “kawak”, Bandeng yang dihasilkan biasanya memiliki bobot tubuh lebih dari 6 Kg per ekor. Segmentasi usaha ini hanya dilakukan oleh sebagian kecil pembudidaya bandeng yang memiliki hobi untuk membudidayakan bandeng kawak. Bandeng ini biasanya hanya dijual/dilelang atau diikutkan kontes pada momentum “ Tradisi Pasar Bandeng dan Lelang/Kontes Bandeng Tradisional untuk Rakyat di Kabupaten Gresik” yang dilaksanakan setiap 1 tahun sekali menjelang akhir Ramadhan sebagai daya tarik wisata khas Kabupaten Gresik. Pada tahun 2011, 2012, dan 2013, pemenang kontes (lelang) bandeng diberi hadiah oleh Pemerintah Kabupaten Gresik, berupa umroh atau uang pembinaan setara Rp. Rp.20.000.000,(Dua puluh juta rupiah) bagi Pemenang Kesatu. Sedangkan bagi Pemenang Kedua diberikan hadiah Rp.15.000.000,- (Lima belas jua rupiah) dan Pemenang Ketiga menerima hadiah sebesar Rp.10.000.000.- (Sepuluh juta rupiah). Pada tahun 2014, pemenang kontes terdiri dari 5 (lima) orang, yaitu : Pemenang I (hadiah Rp.15.000.000,-) , Pemenang II (hadiah Rp.12.000.000,-), Pemenang III (hadiah Rp.10.000.000,-), Pemenang Harapan I (hadiah Rp.5.000.000,-) dan Pemenang Harapan II (hadiah Rp.3.000.000,-) HASIL KEGIATAN|Kajian Analisis Kebijakan Pengembangan Budidaya Bandeng 149 LAPORAN TEKNIS [KAJIAN KHUSUS BBPSEKP TAHUN 2015] Budidaya bandeng terdiri dari 3 kegiatan yang dapat dilakukan secara terpisah atau bersamaan tergantungkepada kemampuan pengelolaan pengusaha. Dalam segmentasi kegiatan yakni, (a). pendederan dan (b).pembesaran dengan pola usaha monokultur. Tingkat teknologi yangdigunakan adalah semi intensif dengan kriteria sebagai berikut, (a).spesifikasi tambak lebih sederhana dari pada tambak intensif penuh (b).pemberian pupuk sesuai standar tambak intensif (c). pemberian pakanadalah 60% dari pemberian pakan secara intensif.Skala usaha dilihat dari tambak kotor adalah 20.000 m2, lahan tersebut 70%untuk tambak dan 30% sisanya untuk pematang dan peruntukan lainnya.Dari luas tambak bersih, 14.000 m2 dibagi menjadi 4 petak tambak masing-masingseluas 3.500 m2. Satu petak (3.500 m2) digunakan untukpendederan dan 10.500 m2 untuk tambak pembesaran. Hasil panenpendederan yang berupa glondongan sebagian dijual dan sebagian lagi untukdipelihara di tambak pembesaran. Hasil tambak pembesaran yang berupabandeng konsumsi seluruhnya dijual.Pemilihan tingkat teknologi dan luas tambak tersebut didasarkan padakenyataan di Kabupaten Sidoarjo. Dalam skala yang bervariasi masyarakatpetambak Gresiksebagian besar menggunakan pola pemeliharaan dengansistim semi intensif. Sementara luas tambak didasarkan pada rata-ratapemilikan tambak per rumah tangga. Struktur Biaya Investasi dan Biaya Operasional Biaya Investasi Biaya investasi adalah biaya tetap yang harus dikeluarkan oleh petambakuntuk memulai usahanya. Biaya investasi meliputi biaya perijinan, sewatambak dan pengolahan tambak serta pembelian peralatan (Tabel 4-8. 3). Biaya perijinan bernilai nol sebab biaya itu telah dibayar pemilik pada saat membuat tambak. Total biaya investasi yang diperlukan untuk tambak seluas2 ha sekitar Rp 8 juta dengan biaya terbesar pelengkapan tambak. Biaya perlengkapan tambak adalah biaya untuk membeli pompa air dan membuat rumah pandega. Rumah pandega diperlukan sebab tambak berada di lokasiyang relatif jauh dari pemukiman sehingga diperlukan tempat untuk penunggu tambak. Tambak disewa selama 4 tahun, tetapi pembayaran sewa dilakukan setiap tahun. Sewa tambak saat penelitian adalah Rp 1.250.000 per ha per tahun. Pengolahan tambak memerlukan biaya yang besar terutama untuk biaya tenaga kerja. Peralatan antara lain adalah jaring, ember dan serok. HASIL KEGIATAN|Kajian Analisis Kebijakan Pengembangan Budidaya Bandeng 150 LAPORAN TEKNIS Tabel 4-8. 3. No [KAJIAN KHUSUS BBPSEKP TAHUN 2015] Biaya Investasi Pendederan dan Pembesaran Bandeng Jenis Biaya 1 Perijinan 2 Nilai (Rp) Penyusutan (Rp) 0 0 Sewa Tambak 2.500.000 2.500.000 3 Perbaikan Tambak 2.135.000 427.000 4 Peralatan Tambak 507.000 262.000 5 Perlengkapan Tambak 3.180.000 1.288.250 Jumlah biaya investasi 8.322.000 4.477.250 Sumber : Bank Indonesia, 2013. Biaya Operasional Biaya operasional adalah biaya yang harus dikeluarkan ketika tambak dioperasikan untuk memelihara bandeng. Budidaya bandeng memerlukan bibit dan pakan. Untuk menambah sediaan makanan alami maka diperlukan pemupukan pada tambak. Untuk mengelola tambak diperlukan tenaga kerja (Tabel 4-8.3). Biaya operasional terbesar (lebih dari 50%) adalah biaya pakan. Salah satu ciri penting pengelolaan tambak semi intensif adalah pemberian pakan. Biaya pakan menjadi cukup besar sebab pakan yang diberikan adalah pakan buatan pabrik yang saat ini harganya masih sangat tergantung pada harga bahan baku pakan yang sebagian besar masih didatangkan dari pasar luar negeri.Biaya kedua terbesar (sekitar 10%) adalah biaya tenaga kerja. Tenaga yang diperlukan adalah 2 tenaga upahan tetap dan 1 tenaga pemilik, dengan upah sesuai jumlah produksi dan tenaga tidak tetap yang diperlukan saat panen. Upah semester 1 lebih tinggi dari pada semester 2 sebab pada semester ini rata-rata pendapatan dari tambak relatif lebih tinggi dibanding semester 2.Dua tenaga upahan bertugas untuk mengelola tambak sekaligus menjaga tambak selama 24 jam. Pemilik tambak diasumsikan menerima upah yang sama dengan pekerjanya. Informasi dari petambak menyatakan bahwa sebagai pemilik pekerjaan yang harus dilakukan hanyalah mengawasi pengelolaan tambak yang dilakukan oleh pekerjanya dan mengatur administrasi tambak yang tidak dilakukan secara formal (tidak ada pembukuan yang dilakukan). Dengan demikian upah itupun telah memadai bahkan upah ini sudah termasuk biaya untuk membayar listrik penerangan tambak dan biaya administrasi lain. Itulah sebabnya biaya administrasi tidak lagi diperhitungkan tersendiri.Tabel 4-8.4. HASIL KEGIATAN|Kajian Analisis Kebijakan Pengembangan Budidaya Bandeng 151 LAPORAN TEKNIS Tabel 4-8. 4. No [KAJIAN KHUSUS BBPSEKP TAHUN 2015] Biaya Operasional Pendederan dan Pembesaran Bandeng Jenis Biaya Semester I, Semester I, Semester 2, Tahun 1 Tahun 2-4 Tahun 1-4 1 Benih 5.040.000 5.040.000 5.040.000 2 Pupuk 5.082.525 5.082.525 4.356.450 3 Pakan 21.325.000 22.335.525 23.324.088 4 Tenaga Kerja 11.325.000 11.535.000 8.730.000 42.962.813 40.392.530 41.450.538 Jumlah Sumber : Bank Indonesia, 2013. 3. Produksi dan Pendapatan Hasil produksi usaha ini adalah bandeng bibit (glondongan) dan bandeng konsumsi. Untuk glondongan setiap semester dihasilkan 147.000 ekor bandeng. Sementara produksi bandeng konsumsi mencapai 8.400 ekor pada semester pertama tahun pertama kemudian meningkat menjadi 11.200 ekor pada semester ke dua. Dengan tingkat produksi itu usaha tambak bandeng semi intensif ini menghasilkan pendapatan kotor sekitar Rp 44 juta padatahun ke 1 semester1 dan lebih dari Rp 50 juta pada periode berikutnya (Tabel 4-8.5). Tabel 4-8. 5. Produksi dan Pendapatan Kotor Per Semester Tahun Uraian Satuan Semester I Semester II 1. Bandeng Glondongan 1-4 a. Luas tambak per M2 3.500 3.500 panen b. Frekuensi panen Kali 2 2 c. Produksi per panen Ekor 73.500 73.500 d. Total Produksi Ekor 147.000 147.000 Ekor 7.000 3.500 Ekor 140.000 143.500 Rp 28.000.000 28.700.000 3.500 3.500 - Dibesarkan sendiri - Dijual e. Pendapatan Kotor 2. Bandeng Konsumsi 1 a. Luas tambak per M2 panen b. Frekuensi panen Kali 3 4 c. Produksi per panen Ekor 2.800 2.800 d. Total produksi Ekor 8.400 11.200 Kg 2.800 3.733 HASIL KEGIATAN|Kajian Analisis Kebijakan Pengembangan Budidaya Bandeng 152 LAPORAN TEKNIS Tahun 2-4 [KAJIAN KHUSUS BBPSEKP TAHUN 2015] Uraian Satuan Semester I Semester II e. Pendapatan kotor Rp 16.800.000 22.400.000 a. Frekuensi panen Kali 5 4 b. Total produksi Ekor 14.000 11.200 Kg 4.667 3.733 Rp 28.000.000 22.400.000 c. Pendapatan kotor Sumber : Bank Indonesia, 2013. Overview Keragaan Usaha dan Potensi Nilai Ekonomi Usaha Budidaya Bandeng Tabel 4-8. 6. Nilai Biaya Produksi Usaha budidaya Bandeng Jumlah Biaya Biaya Nener Ekor per Produksi (ekor/Ha) Rean (ekor) Gelondonga n Biaya Produksi 65,340,000 Biaya Biaya Rean Pupuk Pakan (Rp/Ha) (Rp) (Rp) Sub Total Biaya Produksi Gelondongan (Rp) 21,325,00 700,000 8,342,407,525 5,082,525 0 Biaya Satu Harga per Biaya Biaya Sub Total Biaya Gelondongan Rean Rean Pupuk Pakan Produksi (ekor/Ha) (ekor) (Rp/Ha) (Rp) (Rp) Bandeng (Rp) Bandeng Konsumsi 5500 Harga per 59,400,000 5500 1,400,000 35,541,66 8,470,875 15,164,012,542 7 Total Biaya Tabel 4-8. 7. 23,506,420,067 Nilai Manfaat Produksi Usaha Budidaya Bandeng Nilai Manfaat Produksi Produksi per Jumlah Ekor Harga per Rean Tahun (ekor) per Rean (ekor) (Rp) Gelondongan 54,000,000 Nilai Manfaat Produksi per Tahun (kg) Produksi Bandeng Konsumsi 5,500 Nilai Ekonomi (Rp) 19,636,363,636 2,000,000 Harga per kg (Rp) 25,200,000 Nilai Ekonomi (Rp) 15,000 Total Nilai Manfaat Produksi 397,636,363,636 Bandeng Rente Ekonomi Pemanfaatan Budidaya Bandeng 378,000,000,000 Rp 374,129,943,570/kg HASIL KEGIATAN|Kajian Analisis Kebijakan Pengembangan Budidaya Bandeng 153 LAPORAN TEKNIS [KAJIAN KHUSUS BBPSEKP TAHUN 2015] Pemasaran Ikan Bandeng di Kabupaten Gresik Permintaan Di Gresik, permintaan bandeng konsumsi 91% berasal dari pasar lokal (kabupaten), 6% pasar provinsi, 3% pasar nasional dan tidak ada data bandeng yang dijual di pasar internasional (Bappekab Sidoarjo dan FE UNAIR, 2003). Namun demikian dari Statistik Sidoarjo dalam Angka tahun 1997, Kabupaten Sidoarjo mencatat ekspor bandeng sebanyak 5.880 ton dengan nilai lebih dari US $ 7 juta. Bandeng yang dipasarkan sebagian masuk ke pengolahan ikan, pada tahun 2002 tercatat produksi bandeng beku mencapai 1.077 ton atau 0,35% dari total ikan olahan (Dinas Statistik Jawa Timur, 2002). Bandeng dikonsumsi oleh seluruh golongan masyarakat baik di pedesaan maupun di perkotaan. Konsumsi bandeng penduduk pedesaan lebih rendah dari pada penduduk perkotaan dengan perbandingan 0,884 kg/kap/th dan 1,664 kg/kap/th. Hal ini terkait dengan ketersediaan bandeng di daerah perkotaan yang cukup memadai. Daerah produksi bandeng umumnya berada di pantai yang relatif dekat dengan daerah perkotaan sehingga bandeng tersedia dalam jumlah yang cukup. Sementara itu untuk wilayah pedesaan yang jauh dari daerah produksi relatif sulit ditemukan bandeng karena pemasaran bandeng yang masih dalam bentuk segar sangat rawan akan kerusakan. Makin tinggi pendapatan masyarakat makin tinggi pula tingkat konsumsi bandeng mereka, untuk masyarakat golongan bawah (< Rp 80.000 per kap per tahun) tidak/belum mengkonsumsi bandeng. Di daerah pedesaan ketika pendapatan mencapai Rp 500.000,- per kapita per bulan konsumsi bandeng mengalami penurunan, sementara di daerah perkotaan dengan pendapatan yang sama, sekalipun telah mencapai konsumsi yang cukup tinggi (3,016 kg/kap/th) konsumsi belum mengalami penurunan. Angka-angka ini seharusnya tidak diinterpretasikan sebagai kejenuhan konsumsi, sebab menurut standar kesehatan tingkat konsumsi protein hewani masyarakat belum memenuhi standar. Pada tahun 2003 konsumsi protein hewani baru mencapai 11,76 gram/kap/hari sementara standar yang dianjurkan adalah 15 gram per capita per hari. Berdasar konsumsi per kapita dapat diperkirakan permintaan bandeng nasional. Konsumsi bandeng per kapita per tahun untuk tahun 2004 adalah 1.752 kg, tahun 2015 adalah 1.933 kg. Berdasar asumsi diatas maka perkiraan permintaan bandeng tahun 2004-2015 dapat dilihat pada Tabel 4-8. 8. Melalui perkiraan permintaan ini dapat dilihat bahwa pertumbuhan permintaan bandeng nasional mencapai 6,33% rata-rata per tahun. Pertumbuhan yang cukup tinggi ini diduga terkait dengan beberapa aspek, antara lain: HASIL KEGIATAN|Kajian Analisis Kebijakan Pengembangan Budidaya Bandeng 154 LAPORAN TEKNIS 1. [KAJIAN KHUSUS BBPSEKP TAHUN 2015] Tingkat pendidikan yang semakin tinggi. Semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang maka akan semakin tinggi pemahamannya akan pola konsumsi yang sehat, itulah sebabnya konsumsi sumber protein hewani pun menjadi semakin tinggi. 2. Pendapatan. Sebagai sumber protein yang belum terpenuhi standar kecukupannya, konsumsi protein akan bertambah seiring dengan pertambahan pendapatan. Makin tinggi pendapatan yang berarti makin tinggi daya beli maka akan makin tinggi tingkat konsumsi protein, dan sebaliknya. Tabel 4-8. 8. Permintaan Bandeng Nasional, 2004 - 2015 Tahun Konsumsi (Kg/kap) Penduduk (juta) Permintaan (ton) 2004 1.752 212.565 184.275 2005 1.759 214.365 185.828 2006 1.767 216.166 187.382 2007 1.775 217.966 188.935 2008 1.782 219.766 190.489 2009 1.790 221.567 192.042 2010 1.862 238.519 206.670 2011 1.869 240.289 208.198 2012 1.877 242.119 209.778 2013 1.897 246.950 213.946 2014 1.918 251.781 218.114 2015 1.933 255.462 221.290 Sumber : BPS, 2015, diolah. Penawaran Besarnya jumlah penawaran bandeng dapat diperkirakan dengan mengasumsikan bahwa seluruh produksi bandeng terjual. Hasil utama tambak selain bandeng adalah udang. Pada sebagian kecil tambak kadang ditebar juga beberapa jenis ikan misalkan tawes atau gurami. Berikut disajikan data produksi tambak Kabupaten Gresik selama 6 tahun terakhir untuk menggambarkan jumlah penawaran bandeng. HASIL KEGIATAN|Kajian Analisis Kebijakan Pengembangan Budidaya Bandeng 155 LAPORAN TEKNIS Tabel 4-8. 9. Produksi [KAJIAN KHUSUS BBPSEKP TAHUN 2015] Ikan Bandeng (Tambak) di Kabupaten Gresik, Tahun 2010 - 2014 (kg) No Tahun Bandeng 1 2010 16.838.597 2 2011 16.918.394 3 2012 n.a 4 2013 39.911.999 5 2014 39.545.462 Sumber: Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Gresik, 2014. Dari data produksi tambak Kabupaten Gresik terlihat bahwa produksi bandeng meningkat dari tahun ke tahun. Hal ini disebabkan dari adanya peralihan komoditas budidaya dari udang ke bandeng. Kegagalan udang membuat sebagian petambak beralih ke budidaya bandeng yang relatif tahan terhadap penyakit, hal ini terlihat dari makin tingginya proporsi produksi bandeng terhadap udang dan ikan lainnya. Analisis Persaingan dan Peluang Usaha Sebagai sumber protein hewani bandeng saling bersaing dengan beberapa jenis sumber protein lain. Tahun 2003 sepuluh sumber protein hewani yang terbanyak dikonsumsi penduduk Indonesia adalah produk ayam dan ikan dengan kata lain produk yang berasal dari ayam (daging dan telur) lebih disukai masyarakat. Hal ini diduga terkait dengan beberapa hal diantaranya: 1. Harga bandeng (ikan secara umum) relatif lebih mahal dibandingkan produk ayam. 2. Produk ayam tersedia dekat dengan konsumen, artinya produk ayam baik yang segar maupun dalam bentuk olahan mudah diperoleh konsumen. 3. Bandeng di pusat produksi cukup mudah diperoleh dengan harga yang relatif murah, tetapi makin jauh dari pusat produksi makin sulit menemukan bandeng yang baik. 4. Promosi terhadap produk ikan relatif sangat kurang dibanding produk ayam, sehingga produk ikan relatif kurang dikenal masyarakat, akibatnya tingkat konsumsinya rendah. Harga Bandeng Harga bandeng ditentukan oleh berapa faktor, antara lain: 1. Wilayah produksi dan daerah pemasaran. Makin jauh bandeng dari wilayah produksi maka makin mahal harganya. 2. Kualitas bandeng yang dihasilkan. Semakin bagus kualitas bandeng makin mahal harganya. Pengecekan kualitas badeng dapat dilihat dari beberapa cara yakni: Rupa : cemerlang sampai kotor HASIL KEGIATAN|Kajian Analisis Kebijakan Pengembangan Budidaya Bandeng 156 LAPORAN TEKNIS [KAJIAN KHUSUS BBPSEKP TAHUN 2015] Bau : amis spesifik sampai busuk Tekstur : elastis kompak sampai lunak sekali Mata : cembung, transparan, pupil hitam sampai kornea putih,kotor, pupil putih tenggelam Insang : merah cerah, filamen teratur, amis segar, tidak berlendir sampai memutih kotor, bau, filamen menyempit Daging : pinkish agak transparan, bening, cemerlang sampai elastis kompak tak berair lengket dan mudah membubur. 3. Ukuran bandeng. Semakin besar ukuran bandeng semakin tinggi harga setiap kg-nya. Di wilayah Gresik dikenal beberapa ukuran bandeng yakni: Bandeng umpan/balian : 10-12 ekor per kg Bandeng biasa/normal : 3 - 4 ekor per kg Bandeng super : 1 - 2 ekor per kg Bandeng super besar : 1 ekor 4 kg Bandeng umpan, biasa dan super diproduksi dan diperdagangkan secara rutin setiap saat. Pada masa tertentu dihasilkan pula bandeng super besar dengan ukuran sekitar 4 kg per ekor. Bandeng super besar yang masa pemeliharaannya mencapai 4 tahun tidak sulit dijumpai di pasar pada hari-hari besar Islam yang biasanya menjadi hari pesta bagi sebagian masyarakat. Bandeng super besar ini juga menjadi komoditi yang dilombakan pada hari-hari tertentu dan dilelang. Setiap tahun di Gresik bandeng super besar yang dilelang menghasilkan pendapatan jutaan rupiah bagi pemiliknya, yaitu: 1. Harga yang terbentuk di TPI yaitu harga yang diterima petambak.Pada tingkat ini harga terbentuk sepenuhnya berdasar kekuatan permintaan dan penawaran. 2. Harga yang terbentuk di tingkat pedagang besar. Harga pada tingkat ini ditentukan oleh pedagang besar. 3. Harga di tingkat konsumen. Pada tingkat ini kembali harga ditentukan oleh kekuatan tawar antara penjual (pedagang pengecer) dan pembeli (konsumen). Jalur Pemasaran Jalur pemasaran bandeng di wilayah Gresik relatif pendek. Bandeng dari tambak sebagian besar (84%) dibawa oleh petambak ketempat pelelangan ikan . TPI bisa berlokasi di tempat khusus yang telah dibangun dan disediakan pemerintah. Aktivitas di TPI umumnya berlangsung pagi sekali atau sore sekali. Dalam sebuah TPI biasanya terdapat beberapa agen yang akan menjadi juru lelang, tetapi ada juga TPI yang hanya mempunyai satu agen. TPI dengan banyak agen lebih disukai petambak karena petambak memiliki alternatif tempat penjualan sehingga kekuatan agen untuk menekan petambak menjadi berkurang. HASIL KEGIATAN|Kajian Analisis Kebijakan Pengembangan Budidaya Bandeng 157 LAPORAN TEKNIS Gambar 4-8. 4. [KAJIAN KHUSUS BBPSEKP TAHUN 2015] Alur Pemasaran Ikan Bandeng di Kabupaten Gresik Bandeng yang telah sampai di agen selanjutnya akan dilelang oleh agen kepada pedangang besar. Di sini petambak hanya bisa menyaksikan transaksi tanpa dapat mempengaruhi apapun, bahkan siapa pembeli bandengnya petambak tidak mengetahui. Jika bandeng telah terjual maka petambak hanya akan menerima nota bahwa bandeng seberat sekian terjual dengan harga sekian. Sementara itu pembayaran dilaksanakan paling cepat satu minggu setelah transaksi. Sebagai juru lelang agen akan menerima pendapatan 5% dari nilai transaksi. Bandeng yang telah dibeli pedagang besar selanjutnya didistribusikan ke restoran, perusahaan pengolahan ikan dan pedagang pengecer di pasar-pasar tradisional. Distribusi ke restoran dan perusahaan pengolahan umumnya berdasarkan pesanan oleh karena itu jika pedagang besar telah memperoleh pesanan mereka akan melakukan sortir bandeng sesuai pesanan yang diterima. Dengan demikian bandeng yang didistribusikan kepada pedagang pengecer adalah sisa bandeng pesanan.Bandeng akan dijumpai konsumen di pasar tradisional, pasar kering (supermarket) atau restoran/toko penjual oleh-oleh khas Sidoarjo. Di pasar tradisional bandeng dijual secara eceran sesuai selera pembeli dan tawar menawar menjadi ciri khas pasar tradisional. Sementara jika bandeng telah berada di pasar kering maka konsumen hanya bisa menerima harga yang telah ditentukan penjual. Bandeng yang tidak dijual melalui TPI bisa mengalir langsung ke pengecer atau ke konsumen. HASIL KEGIATAN|Kajian Analisis Kebijakan Pengembangan Budidaya Bandeng 158 LAPORAN TEKNIS [KAJIAN KHUSUS BBPSEKP TAHUN 2015] Kendala Pemasaran Proses penjualan melalui Kelemahan pemasaran bandeng adalah tingginya biaya transaksi yang muncul dari sistim pembayaran kepada petambak yang ditetapkan oleh agen. Ketika transaksi terjadi petambak hanya menerima nota yang berisi jumlah bandeng yang terjual dan harganya. Dalam nota tidak disebutkan kapan pembayaran akan dilakukan. Dengan demikian waktu pembayaran menjadi tidak pasti. Ketika petambak datang untuk meminta bayaran dengan sangat mudah agen mengatakan belum ada uang dan petambak tidak dapat melakukan apapun untuk menagih uangnya. Menghadapi hal ini maka yang dilakukan petambak adalah menunggu di TPI. Seminggu setelah transaksi petambak akan datang ke TPI untuk menunggu dan mengamati agennya. Ketika dilihat ada pedagang yang melakukan pembayaran maka petambak akan segera datang untuk menagih pembayaran bandengnya. Posisi yang sangat lemah pada petambak ini sangat merugikan, sebab tidak jarang terjadi ketika ada petambak yang sangat memerlukan uang dia akan meminta pembayaran tanpa menunggu ada pedagang yang membayar. Pada kasus ini agen akan melakukan pembayaran tetapi petambak harus rela dipotong nilai penjualannya sebesar 25% dari nilai transaksi sebagai biaya karena meminta pembayaran yang dianggap lebih cepat. Pedagang besar tidak membayar tunai kepada agen, tetapi karena pedagang besar terikat dengan kegiatan lelang berikutnya agen memiliki kekuatan tawar yang relatif tinggi kepada pedagang besar. Jika pedagang besar tidak membayar bandeng yang telah dibawa maka agen akan melarang pedagang ini untuk ikut lelang di tempatnya. Kendala berikutnya dalam pemasaran bandeng adalah kendala umum yang dihadapi komoditi pertanian, yakni cepat rusaknya barang. Dengan cepat rusaknya barang sementara petambak tidak memiliki alat pengolahan bandeng maka kekuatan tawar petambak tetap pada posisi yang lemah. Kendala pemasaran lainnya adalah duri bandeng. Bandeng memiliki duri halus yang cukup mengganggu jika tidak dihilangkan. Sampai saat ini hanya konsumen tradisional yang menyukai bandeng dengan duri itu, sementara konsumen umum lebih menyukai bandeng olahan seperti bandeng prestoatau otak-otak. Kurang bervariasinya produk bandeng juga menjadi hambatan peningkatan permintaan Rekomendasi Pengembangan Bandeng Pengembangan bandeng mesti dipandang sebagai pilihan pengembangan yang secara keseluruhan mempertimbangkan manfaat ekonomi, keberlanjutan sumberdaya lingkungan serta aspek kecenderungan dan adaptibilitas masyarakat. Semakin banyak pilihan pengembangan sumberdaya yang menjadi opsi pengelolaan, mengarahkan pengembangan ikan bandeng sebagai orientasi pengembangan usaha perikanan berbasis masyarakat merupakan pilihan strategis. Terkait dengan lahan tambak, pengembangan budidaya ini membutuhkan koordinasi yang intensif dengan badan pertanahan, kehutanan, serta pemerintah daerah/kota untuk membenahi fungsi lahan yang ada. Sehingga perlu ada kebijakan strategis terkait lahan tambak HASIL KEGIATAN|Kajian Analisis Kebijakan Pengembangan Budidaya Bandeng 159 LAPORAN TEKNIS [KAJIAN KHUSUS BBPSEKP TAHUN 2015] yang telah ada untuk tidak beralih fungsi. Oleh karena itu, diperlukan program yang mengarahkan petambak untuk meningkatkan teknologi budidaya pada tingkat intensif. Besarnya nilai ekonomi bandeng menjadikan produktifitas sub-sektor ini perlu dipacu untuk mensejahterakan masyarakat. Berdasarkan pendekatan ekonomi yang digunakan disarankan untuk lebih memprioritaskan bandeng konsumsi, karena memiliki nilai ekonomi yang lebih besar, sehingga peluang untuk mendapatkan untung lebih besar. Terkait dengan beragamnya jenis kualitas ikan yang mempengaruhi harga ikan bandeng, serta akses pasar yang dikuasai sistem yang memperpanjang rantai suplai, disarankan adanya sentra-sentra pemasaran atau memperkuat Sistem Logistik Ikan Nasional (SLIN) yang sifatnya mengedukasi dan menjaga kualitas produk dan harga produk ikan bandeng. Adapun alternatif rekomendasi pengembangan perikanan bandeng untuk meningkatkan produktifitas dan pengelolaan perikanan bandeng antara lain: Diversifikasi produksi akhir bandeng Diversifikasi produk akhir Bandeng merupakan diversifikasi usaha yang akan memacu permintaan produk bandeng, diharapkan dengan meningkatnya permintaan bandeng produksi Bandeng. Bandeng presto • Bandeng cabut duri Nugget bandeng • Sarden bandeng Abon bandeng • Bakso bandeng Bandeng Crispy • Sate Bandeng Scallop bandeng Pengembangan Gelondongan Gelondongan merupakan bagian dalam rantai produk nener yang sangat dibutuhkan dalam upaya meningkatan penangkapan ikan, khususnya ikan tuna dan cakalang. Pengembangan gelondongan ini penting untuk menyuplai permintaan gelondongan disektor ini. Sebagaimana diketahui lokasi jenis tuna dan cakalang yang menggunakan gelondongan sebagai umpan berada di sentra-sentra penangkapan dan pendaratan ikan di sekitar laut Banda dan Sawu. Secara strategis mendekatkan sentra produksi gelondongan didekat sentra penangkapan dan pendaratan ikan tunda cakalang akan memberi biaya input yang efisien bagi usaha penangkapan ini. Dengan model backyard farming dalam kolam, budidaya gelondongan dapat diatur suplai dan produksinya guna memenuhi permintaan gelondongan bagi penangkap tuna cakalang. Intensifikasi tambak semi intensif. HASIL KEGIATAN|Kajian Analisis Kebijakan Pengembangan Budidaya Bandeng 160 LAPORAN TEKNIS [KAJIAN KHUSUS BBPSEKP TAHUN 2015] Peningkatan tambak baik ekstensifikasi maupun intensifikasi dengan teknologi yang ramah lingkungan dan murah akan memacu produktifitas budidaya bandeng. Peningkatan buddaya bandeng semi intensif, diyakini cukup efisien dan efektif meningkatkan produktifitas usaha bandeng, serta cukup ramah lingkungan, Pakan dan Teknologi pendukung lainnya Sebagaiman diketahui usaha budidaya umumnya secara otomatis menempatkan pakan sebagai variable cost yang sensitive dalam struktur biaya budidaya. Sehingga investasi pemerintah dalam penyediaan pakan dan teknologi pakan yang efektif dan murah akan memudahkan pengembangan usaha bandeng. Transportasi dan cargo(jasa kurir) Transportasi, memegang peranan penting dalam distribusi bandeng. Sebagai contoh untuk gelondongan yang diproduksi di Gresik, besarnya selisih / margin, sebenarnya cukup mengiurkan usaha budidaya gelondongan, sekaligus mengisyaratkan perlunya penataan sistem distribusi barang dalam untuk sektor perikanan. Selisih sebesar Rp 500 per ekor ini terlalu menekan usaha penangkapan tuna cakalang sehingga menciptakan tata distribusi barang yang mendukung usaha lainnya perlu dipikirkan jalannya untuk efisien dan efektif dalam meningkatkan upaya penangkapan tuna cakalang, Pasar luar negeri Peluang pasar luar negeri juga perlu dikembangkan, misalnya dengan menyisipkan bandeng kaleng (sarde bandeng) dan varian produk lainnya dalam aktifitas luar luar negeri warga Negara Indonesia, seperti ibadah haji dan pengiriman Tenaga Kerja Indonesia (TKI). Diharapakan akan tercipta pasar luar negeri dengan memanfaatkan peluang tersebut. Daftar Pustaka Kordi MGH. 2007. Pembenihan Bandeng. PT. Perca, Jakarta. Murtidjo, BA. 2007. Seri Budidaya Bandeng Tuntunan bagi Petambak dan Peminat Budidaya Bandeng Intensif. Kanisius Yokyakarta. Anonym. 2001. Bandeng. http://[email protected] HASIL KEGIATAN|Kajian Analisis Kebijakan Pengembangan Budidaya Bandeng 161 LAPORAN TEKNIS 4.9. [KAJIAN KHUSUS BBPSEKP TAHUN 2015] Dampak Pemberlakuan Generalized System of Preference (GSP) 2015 terhadap Ekspor KP Indonesia ke Pasar USA Pendahuluan Latar Belakang Dalam hubungan dagang internasional dengan negara-negara maju, salah satu fasilitas kemudahan perdagangan yang disediakan bagi eksportir dari negara-negara berkembang adalah Generalized System of Preference (GSP). Pada prinsipnya, GSP adalah sebuah sistem tariff impor di negara-negara maju, yang dikhususkan bagi berbagai produk yang berasal dari negara-negara berkembang (Developing Countries/DC) dan terbelakang (Least-Developed Countries/LDC). Awalnya fasilitas ini diajukan ke sidang WTO sebagai alat untuk mengatasi adanya ketimpangan dayasaing antara negara-negara maju dengan negara-negara berkembang, sehingga negara-negara berkembang diperkenankan menerima kemudahan berupa pengenaan tariff bea masuk lebih rendah daripada tariff normal – Most Favoured Nation (MFN) – dari negara maju. Pada perkembangan selanjutnya, fasilitas ini juga dipergunakan sebagai insentif bagi negara-negara berkembang agar mau membuka perekonomiannya dan menjadikan perdagangan sebagai sumber dari pertumbuhan ekonominya, seperti yang dialami oleh beberapa negara ASEAN – Indonesia, Thailand, Vietnam dan Malaysia – bahkan juga Republik Rakyat Tiongkok (RRT). Umumnya berbagai produk yang termasuk ke dalam daftar GSP ini akan dikenakan tariff 0%. Sejak pertamakali diperkenalkan pada awal tahun 70-an, fasilitas GSP ini telah diaplikasikan oleh negara-negara maju seperti USA, Uni-Eropa dan Jepang. Meskipun GSP ini diadopsi oleh hampir seluruh negara maju, akan tetapi penentuan berbagai negara penerima fasilitas (Beneficiaries) serta produk apa saja yang diperkenankan memperoleh fasilitas GSP ditentukan oleh masing-masing negara. Salah satu negara yang menerapkan fasilitas GSP yang selama ini telah dinikmati oleh Indonesia sebagai negara eksportir adalah USA. Pada bulan Juli setiap tahunnya, pemerintah USA menerbitkan sebuah Panduan GSP, berisikan daftar negara-negara yang memperoleh fasilitas GSP (Beneficiaries) serta daftar produk apa saja yang memperoleh fasilitas GSP. Pada Juli 2015 yang lalu, panduan GSP di pasar USA terkini telah dipublikasi secara resmi. Setiap perubahan yang terjadi pada rejim GSP tersebut, tentunya akan secara langsung berpengaruh terhadap harga berbagai produk eligible yang diekspor oleh para beneficiaries ke USA, dan tentunya akan berdampak pada perubahan market share baik pada produk yang ada pada eligible list maupun pada produk-produk diluar list tersebut. Oleh karena itu, sebagai salah satu produk yang diekspor ke USA, Produk Kelautan dan Perikanan (KP) juga akan terpengaruh oleh perubahan yang terjadi pada rejim US-GSP 2015 ini. HASIL KEGIATAN|Dampak Pemberlakuan Generalized System of Preference (GSP) 2015 terhadap Ekspor KP Indonesia ke Pasar USA 162 LAPORAN TEKNIS [KAJIAN KHUSUS BBPSEKP TAHUN 2015] Tujuan Penelitian Tujuan utama dari penulisan Karya Tulis Ilmiah ini adalah untuk menyediakan informasi terkait dampak dari penerapan kebijakan US-GSP 2015 terhadap perdagangan produk Kelautan dan Perikanan (KP) Indonesia ke Pasar USA, melalui: 1. Kajian terkait rejim GSP yang diberlakukan di USA pada tahun 2015 ini; 2. Analisis dampak diberlakukannya US-GSP 2015 terhadap ekspor produk KP Indonesia ke pasar USA. Metode Penelitian Metode Pengumpulan data Data yang akan dipergunakan sebagai bahan analisis dalam penelitian ini bersifat data kuantitatif sekunder. Data yang diperlukan tersebut berupa nilai ekspor berbagai komoditas perikanan Indonesia dan negara-negara beneficiaries GSP yang diekspor ke USA pada tahun 2014 dan juga besaran tarif bea masuk berbagai komoditas yang diekspor ke USA baik dari GSP beneficiaries maupun non-beneficiaries. Data tersebut sepenuhnya tersedia pada database TRAIN, yang dikelola oleh UNCTAD. Metode Analisis Data Dalam pelaksanaannya, direncanakan analisis yang dilakukan dalam kajian ini akan dilakukan dengan menggunakan pendekatan analisis data “SMART MODEL”. Smart Model ini pada dasarnya merupakan pengembangan lebih lanjut dari “Model Produk Terdiferensiasi”, yang dikembangkan oleh Verdoorn (1960) dalam Busse and Groβmann (2004). Model ini pada awalnya diformulasi untuk tujuan analisis lebih dari sisi kepentingan negara konsumen (buyer) dari komoditas-komoditas atau produk-produk yang diimpor dari negara produsen. Namun dalam perkembangan selanjutnya, model tersebut disempurnakan oleh UNCTAD dan the World Bank sehingga dapat digunakan untuk analisis, tidak saja untuk kepentingan negara konsumen tetapi juga negara produsen yang melakukan kesepakatan perdagangan (ekonomi). Model ini dikenal dengan dikenal dengan sebutan “SMART MODEL”. Berikut ini dijelaskan masingmasing model tersebut. (1) Model Produk Terdiferensiasi “Model Produk Terdiferensiasi” (Differentiated Product Model) Verdoorn, meskipun telah berumur hampir 50 tahun, namun model ini merupakan model keseimbangan parsial yang tepat untuk menganalisis efek perdagangan dari kesepakatan kemitraan ekonomi yang di usulkan. HASIL KEGIATAN|Dampak Pemberlakuan Generalized System of Preference (GSP) 2015 terhadap Ekspor KP Indonesia ke Pasar USA 163 LAPORAN TEKNIS [KAJIAN KHUSUS BBPSEKP TAHUN 2015] Model ini didasarkan pada asumsi-asumsi normal dari analisis keseimbangan parsial, seperti tidak adanya perubahan pada pendapatan atau nilai tukar uang, fungsi permintaan impor yang iso-elastis, dan elastisitas supply yang tidak terhingga. Asumsi terakhir tadi sering diterapkan dalam model-model perdagangan internasional, sangat rasional, karena Jepang, Amerika Serikat dan Uni Eropa adalah negara-negara besar dan total ekspor masing-masing negara ke Indonesia relatif kecil jika dibandingkan dengan total ekspor masing-masing negara ke dunia. Model Verdoorn menitikberatkan pada impor dari berbagai sumber, yaitu impor dari preference beneficiaries (Q1) dan dari non-beneficiaries (Q2). Model ini berdasarkan pada dua asumsi kunci. Pertama, fungsi permintaan dari the preference donor (Indonesia) untuk berbagai barang, adalah sebagai berikut: Q1 + Q2 = Q = βP1εα1P2εα2 .................................................................. (1) dimana P1 dan P2 adalah harga impor dari beneficiaries dan non-beneficiaries, α1 dan α2 adalah koefisien-koefisien share (α1= Q1/(Q1+Q2), dan α1+α1=1), β adalah sebuah parameter dan ε mewakili elastisitas permintaan impor. Dengan menggunakan elastisitas permintaan impor, data impor dapat dipergunakan tanpa harus mengandalkan data produksi domestik. Asumsi tersebut tidak hanya memudahkan, tetapi juga sangat diperlukan pada kasus Indonesia, karena data yang diperlukan tidak tersedia. Kedua, elastisitas substitusi (σ) impor preferred dan non-preferred dapat dinyatakan sebagai berikut: Q1 Q2 P1 ................................................................................ (2) P2 Jika tarif (t) dihilangkan hanya untuk impor yang preferred Q1 dan elastisitas supply adalah tak terhingga, maka harga impor beneficiaries P1 berubah sebesar: P1 P1 t 1 t .................................................................................................... (3) Maka total ekspansi impor dari sudut pandang negara-negara yang prefered sehubungan dengan perdagangan preferences dapat dinyatakan dalam persamaan sebagai berikut: Q1 t 1 1 1 ................................................................ (4) Q1 1 t Reaksi berantai terjadi dalam dua tahap: pertama, tarif dikurangi hanya terhadap Q1, dan P1 turun, lalu konsumen mensubstitusi Q1 dengan Q2. Persamaan (4) dapat direkaulang dengan cara mensubstitusikan α2 untuk α2: HASIL KEGIATAN|Dampak Pemberlakuan Generalized System of Preference (GSP) 2015 terhadap Ekspor KP Indonesia ke Pasar USA 164 LAPORAN TEKNIS [KAJIAN KHUSUS BBPSEKP TAHUN 2015] Q t 2 .................................................................. (5) Q1 1 t Perubahan total pada preffered import dapat diuraikan menjadi Trade Creation (TC) dan Trade Diversion (TD). TC didefinisikan sebagai perubahan pada impor dari negara-negara beneficiaries (Q1) dan terdiri dari efek konsumsi, yang merupakan peningkatan pada konsumsi keseluruhan yang diakibatkan oleh penurunan harga, dan pengalihan produksi domestik. Efek ini dapat diturunkan dari sudut pandang negara prefered sebagai berikut: t TC Q1 1 t .................................................................................. (6) Selanjutnya, TD didefinisikan sebagai substitusi dari baik impor yang bersifat prefered maupun non-prefered sebagai akibat dari peniadaan tarif yang preferential: t TD Q1 2 1 t ...................................................................... (7) Terakhir, perubahan yang diharapkan pada Penerimaan Cukai/Custom Revenue (CR) adalah sama dengan jumlah kewajiban impor bagi impor dari negara-negara yang prefered Q1, yang sekarang sudah tidak termasuk lagi dalam tarif impor, dan penggantian impor-impor dari negara-negara yang non-prefered (TD) dikalikan dengan tarif impor: CR Q1 TD t ............................................................................... (8) Estimasi TC dan TD dan perubahan pada pendapatan cukai dilakukan pada Harmonised System (HS) level empat digit. Pada tingkat aggregasi tersebut, Tabel HS terdiri dari sekitar 1,240 barang. Pendekatan disaggregasi dengan tingkat ketelitian seperti ini menjamin estimasi efek perdagangan yang lebih akurat, karena, pada kasus adanya TD, menyertakan kompetisi dari berbagai negara pada level yang tepat. Selain itu, hal ini memungkinkan identifikasi berbagai komoditas yang kemungkinan besar akan terpengaruh oleh EPA. Berbagai tarif dan data perdagangan diperolah dari berbagai narasumber seperti Trade Analysis and Information System (TRAINS) UNCTAD, database terintegrasi WTO, database COMTRADE, BPS, DEPERDAG dan berbagai sumber data lainnya. Seperti dapat dilihat dari persamaan (6) dan (7), estimasi TC & TD pada model produk yang terdiferensiasi memerlukan estimasi elastisitas baik permintaan impor maupun substitusi. Sayangnya estimasi handal dari kedua elastisitas tersebut bagi Indonesia pada tingkat HS 4 digit tidak tersedia. Untuk mengatasinya, maka nilai-nilai elastisitas tersebut ditentukan berdasarkan asumsi (yang didekati dari beberapa hasil riset yang relevan). Secara spesifik, untuk memperoleh estimasi elastisitas tersebut dibuat tiga buah skenario, yaitu skenario rendah, menengah dan tinggi yang masing-masing skenario berbeda pada angka elastisitas yang diasumsikan nantinya. HASIL KEGIATAN|Dampak Pemberlakuan Generalized System of Preference (GSP) 2015 terhadap Ekspor KP Indonesia ke Pasar USA 165 LAPORAN TEKNIS [KAJIAN KHUSUS BBPSEKP TAHUN 2015] (2) SMART MODEL Partial equilibrium SMART model merupakan pengembangan lebih lanjut dari Differentiated Product Model, yang dikembangkan oleh UNCTAD dan the World Bank sejak tahun 1980an terutama untuk menilai dampak dari GATT rounds. Terkait dengan tujuan yang ingin dicapai dari kajian ini, SMART Model dalam hal ini dipandang lebih tepat dibandingkan dengan pendahulunya (Differentiated Product Model), karena mampu menganalisis efek perdagangan bilateral antara negara-negara maju dan berkembang, tanpa mengalami bias terhadap negara maju (Superior Party) seperti yang terjadi dengan menggunakan Differentiated Product Model. The SMART model terdapat dalam WITS software, penggunaan SMART mengevaluasi dan melihat konsekuensi dan dampak dari dapat perubahan kebijakan perdagangan (dalam ukuran tarif) dalam beberapa variabel-variabel yang terkait dengan konsekuensi kerjasama bilateral, yaitu: Efek Trade Creation (TC), Efek Trade Diversion (TD), dan Agregasi TC dan TD. Selain itu, lebih lanjut lagi, SMART Model juga akan dapat menunjukkan variabel-variabel yang berkaitan dengan dampak dari kerjasama bilateral, yaitu: Variasi penerimaan tariff dan Perubahan dalam Surplus (Konsumen, Produsen dan Nasional). The SMART model memiliki 3 jenis elastisitas: (i) Supply elasticities, yang mana dapat bernilai (=99). Hal ini berarti bahwa peningkatan permintaan untuk barang tertentu akan selalu dicocokan oleh produsen dan eksportir dari barang tersebut, tanpa adanya dampak pada harga barang tersebut. (ii) Import substitution elasticities barang yang sama dari Negara yang berbeda imperfectly substitutable. Dalam SMART, import substitution elasticity bernilai 1.5 untuk setiap barang (iii) Import demand elasticity mengukur respon permintaan dalam beralih ke harga import. DalamSMART, import demand elasticity berdasarkan pada “price elasticities in international trade”. Asumsi penting lainnya dari model ini adalah perfect competition, dimana dalam pemotongan tariff secara penuh dicerminkan dalam harga yang dibayarkan konsumen. HASIL KEGIATAN|Dampak Pemberlakuan Generalized System of Preference (GSP) 2015 terhadap Ekspor KP Indonesia ke Pasar USA 166 LAPORAN TEKNIS [KAJIAN KHUSUS BBPSEKP TAHUN 2015] (3) Model Matematika: - Trade Creation (TC) Trade creation menangkap aspek perkembangan perdagangan (liberalisasi) sebagai contoh Free Trade Area. Derivasi dimulai dari fungsi import demand dan export supply: Fungsi permintaan impor yang disederhanakan untuk Negara j dari Negara k untuk komoditas t: Mtjk = f(Yj, Ptj, Pik) .............................................................................. (9) Fungsi supply ekspor untuk komoditas i dari negara k dapat disederhanakan seperti berikut: Xijk = f(Pijk) ......................................................................................... (10) Keseimbangan perdagangan antara kedua Negara adalah persamaan keseimbangan parsial standar: Mtjk=Xijk .............................................................................................. (11) Dalam lingkungan perdagangan bebas, harga domestic komoditas i di Negara j dari Negara k akan berubah seiring dengan perubahan tariff seperti: Pijk=Pikj(1+ttjk) ..................................................................................... (12) Untuk menurunkan formula TC, sesuai dengan Laird dan Yeats (1986), persamaan (12) di atas diturunkan secara total untuk memperoleh: dPijk = Pikjdtijk + (1+tijk)dPikj ................................................................. (13) Persamaan (12) dan (13) disubstitusikan untuk memperoleh persamaan elastisitas permintaan impor untuk memperoleh: dM tjk M ijk dt tjk dPtjk im 1 t P ijk ikj Persamaan identitas (11), dM ijk M ijk dX ikj X ikj ................................................................ (14) dapat dipergunakan untuk menurunkan persamaan elastisitas supply ekspor berikut: dPikj Pikj 1 dM ijk te M ijk ................................................................................ (15) yang jika digunakan pada Persamaan (14), akan memungkinkan untuk memperhitungkan efek TC. Dari Persamaan (11) efek TC sama dengan pertumbuhan ekspor Negara k atas komoditas HASIL KEGIATAN|Dampak Pemberlakuan Generalized System of Preference (GSP) 2015 terhadap Ekspor KP Indonesia ke Pasar USA 167 LAPORAN TEKNIS [KAJIAN KHUSUS BBPSEKP TAHUN 2015] i ke negara j: TC ijk M ijk im dt ijk ..................................................... (16) 1 im 1 t ijk ie Jika ie = , maka persamaan (15) dapat disederhanakan sebagai berikut: TCijk M ijk m i 1 t 1 t 1 t 1 ijk 0 ijk 0 ijk .......................................................... (17) Dimana TCijk adalah penjumlahan dari TC dalam U$ juta atas komoditas i yang terpengaruh oleh perubahan tariff dan im adalah elastisitas permintaan impor untuk komoditas i pada Negara pengimpor dari mitra dagang yang relevan. Mijk adalah tingkat permintaan impor 0 1 saat ini untuk komoditas i. t ijk dan t ijk mewakili tariff awal dan akhir bagi komoditas i. Dengan demikian TC sangat dipengaruhi oleh tingkat impor sekarang, elastisitas permintaan impor, dan perubahan relatif dari tariff. - Trade Diversion Berlawanan dengan trade creation, trade diversion memilii persamaan sebagai berikut: M M ijk k M M M P P P P ijK ijk K k ijk ijK ijk K ijK .................................. (18) ijK dimana k menunjukan impor dari negara mitra, dan K dari rest of the world (ROW). Persamaan (18) tersebut selanjutnya dapat diperluas, dan melalui substitusi dan pengaturan ulang dapat dipergunakan untuk memperoleh persamaan TD, sebagai berikut: TDijk M M ijk M ijk k M M ijk k k ijk K M ijK K Pijk Pijk ijK M Pijk PijK Pijk PijK M ijk M Pijk PijK k ........... (19) Persamaan (19) dapat disederhanakan khusus untuk kasus EPA. Termin pergerakan harga relatif pada persamaan seperti ditulis oleh Laird dan Yeats (1986) menangkap pergerakan akibat perubahan tarif atau insiden distorsi non-tarif bagi negara mitra dan ROW. Oleh karenanya perdagangan beralih ke negara mitra EPA, TDEPA dapat ditangkap dengan cara mereduksi HASIL KEGIATAN|Dampak Pemberlakuan Generalized System of Preference (GSP) 2015 terhadap Ekspor KP Indonesia ke Pasar USA 168 LAPORAN TEKNIS [KAJIAN KHUSUS BBPSEKP TAHUN 2015] persamaan (10) sebagai berikut: TD EPA 1 t 1EU M EU M ROW 1 M 0 1 t EU 1 1 t EU M EU M ROW M EU 1 M 0 1 t EU ..................................... (20) Persamaan (20) menunjukkan tambahan impor negara mitra kepada mitra EPA nya sebagai hasil dari TC. Tinjauan Pustaka Metode Analisis Kuantitatif mengenai Konsekuensi dan Dampak Kesepakatan Bilateral Analisis mengenai konsekuensi FTA terhadap arus perdagangan dan penerimaan pemerintah biasanya dilakukan menggunakan baik framework keseimbangan parsial (partial equilibrium) maupun umum (general equilibrium). Dengan titik berat pada pasar maupun produk individu, model-model keseimbangan parsial memungkinkan dilakukannya studi yang sangat mendetail akan dampak dari perubahan instrumen kebijakan perdagangan. Sebaliknya, modelmodel keseimbangan umum berusaha untuk mengestimasi efek preferensi tarif yang diskriminatif terhadap perekonomian secara keseluruhan, dengan cara mempertimbangkan keterkaitan antar sektor. Pada dasarnya, model-model keseimbangan umum lebih cocok untuk menganalisis efek terhadap perdagangan dan kesejahteraan secara keseluruhan. Kelemahan terbesar dari modelmodel ini adalah kebutuhan akan ketersediaan informasi yang mendetail mengenai perekonomian yang terlibat, seperti data produksi sektoral dalam bentuk neraca sosial ekonomi/ SNSE (social Accounting Matrix/SAM). Selain SNSE, untuk kajian yang lebih luas terutama dikaitkan dengan kesejahteraan (wellfare), untuk kajian dampak dari free-trade ini dapat digunakan General equilibrium models seperti GTAP. GTAP ini adalah merupakan suatu perangkat metodologi penting dalam analisis kebijakan perdagangan, dikarenakan GTAP tidak hanya mengukur efek langsung dari perubahan yang disimulasikan, akan tetapi juga efek tidak langsungnya (second-round), yang mana terdiri dari efek inter-industri dan adjustment ekonomi makro. Partial equilibrium model memiliki beberapa keterbatasan. Salah satu yang utamanya adalah implikasi intersektoral (efek secondround) dari perubahan kebijakan perdagangan tidak diikutkan dalam perhitungan. Terlepas dari keterbatasan tersebut, partial equilibrium framework lebih cocok untuk melihat perlakuan yang berbeda dan khusus yang mendasar pada analisis simulasi. Partial equilibrium models memiliki HASIL KEGIATAN|Dampak Pemberlakuan Generalized System of Preference (GSP) 2015 terhadap Ekspor KP Indonesia ke Pasar USA 169 LAPORAN TEKNIS [KAJIAN KHUSUS BBPSEKP TAHUN 2015] keuntungan yaitu bekerja pada level yang sangat detail. Karena data produksi domestik yang diperlukan kurang baik kualitasnya, maka analisis terhadap efek perdagangan dan fiskal dari kesepakatan kemitraan ekonomi menggunakan framework keseimbangan parsial. Secara umum terdapat dua model dasar keseimbangan parsial yang dapat dipergunakan untuk menganalisis kedua efek tersebut. Model pertama berlandaskan asumsi komoditas homogen, sedangkan model kedua dibangun berdasarkan asumsi ”Armington” (Armington, 1969), dimana Armington meneliti sifat dari fungsi permintaan impor ketika barangbarang impor dan barang produksi domestik dipergunakan sebagai barang substitusi tidak sempurna. Metode yang dipergunakan dalam penelitian ini termasuk ke dalam kategori yang kedua, karena mayoritas ekspor Jepang, Amerika Serikat dan Eropa ke Indonesia terdiri dari barang-barang manufaktur. Komoditas-komoditas manufaktur berupa peralatan transportasi serta telekomunikasi, dan mesin listrik serta non-listrik akan cenderung terdiferensiasi berdasarkan negara asal dibandingkan bahan mentah atau barang-barang pertanian. Secara teoritis FTA akan memberikan harapan adanya keuntungan berupa trade creation yang lebih besar dari kerugian berupa trade diversion bagi masing-masing negara pelaku kesepakatan bilateral. Menurut Hady (2001), dengan analisis partial equilibrium, trade creation adalah penggantian dimana produk domestik suatu negara yang melakukan integrasi ekonomi regional melalui pembentukan FTA atau CU (custom unions) dengan produk impor yang lebih murah dari anggota lain. Jika seluruh sumber daya digunakan secara full employment dan dengan melakukan spesialisasi berdasarkan comparative advantage, masing-masing negara akan memperoleh dampak positif berupa peningkatan kesejahteraan masyarakat karena memperoleh barang dengan harga yang relatif lebih murah. Efek positif dari trade creation ini bukan hanya berlaku untuk negara anggota, tetapi juga untuk negara lain yang bukan anggota karena adanya peningikatan spesialisasi produksi yang mendorong peningkatan impor dari negara lain (rest of the world). Terjadinya trade creation dapat diilustrasikan dengan grafik berikut (D. Salvatore, 1993 dalam Hady, 2001). Sejumlah Prinsip Dasar dalam Kerjasama Perdagangan Dalam bagian ini kita akan memahami landasan teori dari sejumlah prinsip dasar yang ada dalam kerja sama liberalisasi perdagangan multilateral (WTO) maupun regional (RTA). Konsep-konsep most-favoured nations (MFN), reciprocity, dan national treatment perlu dibahas dengan pertimbangan bahwa konsep-konsep tersebut menjadi bagian integral dalam kesepakankesepakatan WTO. Dalam tataran kerja sama regional, konsep Trade Diversion dan Trade Creation dijelaskan dengan pendekatan partial equilibrium. Kedua konsep tersebut membantu kita dalam memahami bahwa penbentukan RTA pada dasarnya dapat mendatangkan keuntungan tapi juga kerugian bagi negara anggota. Konsep rules of origin (ROO) dielaborasi untuk HASIL KEGIATAN|Dampak Pemberlakuan Generalized System of Preference (GSP) 2015 terhadap Ekspor KP Indonesia ke Pasar USA 170 LAPORAN TEKNIS [KAJIAN KHUSUS BBPSEKP TAHUN 2015] memahami mengapa efektivitas RTA dapat terancam bila konsep ini tidak diterapkan dengan baik. Konsep most-favoured nations (MFN) dalam kerja sama perdagangan merujuk pada status yang diberikan oleh suatu negara kepada negara mitra dagangnya, dimana negara mitra dagang tersebut akan memperoleh semua kemudahan perdagangan, misalnya tarif yang rendah, seperti yang diperoleh negara-negara ketiga lainnya. Dalam praktek, negara yang memperoleh status MFS setidaknya tidak akan diperlakukan lebih buruk dari negara lainnya. WTO pada dasarnya mengharuskan setiap negara anggota untuk memberikan status MRN kepada negara anggota lainnya. Perkecualian diterapkan pada perdagangan dengan sejumlah negara berkembang, kerja sama-kerja sama perdagangan regional, dan upaya anti-dumping. Konsep MFN umumnya dibedakan dengan konsep reciprocity. Dalam konsep terakhir tersebut, perlakuan istimewa yang diberikan suatu negara kepada negara mitra dagangnya hanya berlaku jika negara mitra dagang tersebut juga memberikan perlakuan istimewa hanya kepada negara pertama tersebut. Negara-negara di luar kesepakatan dimaksud tidak menikmati perlakuan istimewa tersebut. Paling maksimal, negara-negara tersebut hanya mendapatkan kemudahan MFN. Di bawah perlakuan nasional (national treatment), bilamana sebuah negara memberikan hak istimewa, keuntungan, ataupun kemudahan tertentu kepada warga negaranya, negara tersebut juga memberikan keuntungan-keuntungan tersebut kepada warga negara-negara lain yang berada di negara pertama tersebut. Dalam perjanjian antar negara, perlakuan nasional berarti bahwa suatu negara harus memberikan perlakuan yang sama bagi warga negara-negara yang melakukan kesepakatan. Viner (1950) adalah pihak pertama yang mencetuskan konsep trade diversion (TD) dan trade creation (TC). TD adalah situasi dimana RTA mengalihkan perdagangan dari pemasok yang lebih efisien di luar RTA ke pemasok yang kurang efisien yang berasal dari dalam RTA. TD bisa meningkatkan kesejahteraan negara anggota RTA, namun mungkin pula menurunkannya. Sementara itu, TC pada dasarnya adalah lahirnya perdagangan pasca pembentukan RTA. Pasokan berasal dari negara dengan efisiensi produksi yang lebih baik. TC mendorong kenaikkan kesejahteraan negara anggota RTA. Untuk menjelaskan baik TC maupun TD dengan pendekatan partial equilibrium, kita asumsikan bahwa suatu negara kecil A menjalin gubungan ekspor-impor sebuah produk homogen X dengan dua negara besar B dan C. Negara A mengenakan tarif MFN spesifik untuk impor X dari kedua negara. Negara A akan menjalin kerjasama perdagangan regional (RTA) dengan negara B. Setelah RTA terbentuk, impor x dari negara di luar RTA (C) tetap dikenakan tarif seperti semula. Di sini juga diasumsikan bahwa negara C dapat memproduksi produk X dengan lebih efisien daripada negara B. Dalam arti, produk tersebut ditawarkan di pasar dunia oleh negara C dengan HASIL KEGIATAN|Dampak Pemberlakuan Generalized System of Preference (GSP) 2015 terhadap Ekspor KP Indonesia ke Pasar USA 171 LAPORAN TEKNIS [KAJIAN KHUSUS BBPSEKP TAHUN 2015] harga lebih murah. Di bawah ini , kita akan menganalisa dampak kesejahteraan, khususnya bagi negara A, dari pembentukkan kerja sama RTA di atas. Penciptaan Perdagangan (Trade Creation) Secara umum, penciptaan perdagangan memiliki arti, area perdagangan bebas menciptakan perdagangan yang tidak akan ada sebelumnya. Sebagai akibatnya, pasokan terjadi dari produsen suatu produk yang lebih efisien. Dalam semua kasus, penciptaan perdagangan akan meningkatkan kesejahteraan nasional suatu Negara. Seperti yang dijelaskan dalam diagram pada Gambar 4-9. 1. Px(U$) Sx E G A J H C M N V U Z Gambar 4-9. 1. S1 + T B S1 W Dx Qx Terjadinya Trade Creation Sebagai Dampak Dari Kesepakatan Perdagangan Bilateral Sumber: Diadopsi dari D. Salvatore, 1993 dalam Hady, 2001 Dari gambar 4-9.1 dapat kita lihat bagaimana terjadinya efek positif dari trade creation sebagai akibat dilakukannya Kesepakatan Perdagangan Bilateral. Awalnya, pada saat tarif masih dikenakan atas impor, kurva penawaran adalah S1+T, dimana jumlah impor komoditas X adalah sebanyak JH dan produksi komoditas X domestik adalah sebesar GJ. Sedangkan, setelah diberlakukan kesepakatan Perdagangan dengan dicabutnya tarif, kurva penawaran adalah S1, dimana jumlah impor komoditas X meningkat menjadi sebanyak CB, dan produksi domestik komoditas X menurun menjadi sebanyak AC. Peningkatan impor dari JH menjadi CB inilah yang merupakan efek positif sebagai dampak trade creation akibat diberlakukannya kesepakatan perdagangan bilateral. Penjelas lebih lanjut mengani trade creation (TC) tersebut dapat dilihat melalui diagram yang tertera pada Gambar 4-9. 2. HASIL KEGIATAN|Dampak Pemberlakuan Generalized System of Preference (GSP) 2015 terhadap Ekspor KP Indonesia ke Pasar USA 172 LAPORAN TEKNIS Gambar 4-9. 2. [KAJIAN KHUSUS BBPSEKP TAHUN 2015] Kurva Demand dan Supply dalam Trade Creation Sumber: Suranovic, 1997 Diagram pada Gambar 4-9.2 di atas menunjukan kurva demand dan supply untuk Negara A. PB dan PC menggambarkan harga pasokan barang dalam perdagangan bebas dari Negara B dan Negara C dan sebaliknya. Perlu dicatat bahwa Negara C diasumsikan mampu untuk memasok produk pada tingkat harga yang lebih rendah dibandingkan dengan Negara B. Perlu dicatat bahwa Negara B harus memiliki tariff untuk produk yang diimpor dari Negara C, pasar pada Negara B akan dipasok oleh C. Sama halnya denga pengalihan perdagangan, pada penciptaan perdagangan diasumsikan bahwa A memiliki tariff spesifik tB = tC = t* dimana A mengimpor dari Negara B dan C. Tarif mengakibatkan meningkatnya harga pasokan dalam negeri dari PTB ke PTC. Besarnya tarif dinotasikan dengan garis hijau terputus dalam diagram, dimana menunjukan bahwa t*=PTB – PB = PTC – PC. Sejak diberlakukannya tariff, harga autarky di Negara A yang ditunjukan dengan symbol PA pada diagram menjadi lebih murah dibandingkan dengan harga dengan tariff PTB dan PTC, dalam hal ini produk tidak akan diimpor, kecuali jika Negara A akan memasok permintaan dalam negerinya pada S1 = D1. Dalam kasus ini tariff original dilarang. Selanjutnya, asumsikan negara A dan B membentuk FTA dan A menghapuskan tariff impornya dari Negara B. Sekarang tB = 0 tetapi tc sama seperti at t*. Harga barang dalam negeri dari Negara B dan C sekarang menjadi PB dan PTc. Sejak PB < PA, Negara A akan mengimpor semua produk dari Negara B setelah adanya FTA. Pada harga dalam negeri yang lebih rendah, PB, import akan meningkat ke batas garis biru atau dari D2 ke S2. Sejak perdagangan terjadi HASIL KEGIATAN|Dampak Pemberlakuan Generalized System of Preference (GSP) 2015 terhadap Ekspor KP Indonesia ke Pasar USA 173 LAPORAN TEKNIS [KAJIAN KHUSUS BBPSEKP TAHUN 2015] dengan FTA, dan tidak akan terjadi sebelumnya, hal tersebut bisa dikatakan perdagangan diciptakan. Efek Kesejahteraan di Gambarkan dalam Tabel 4-9.1. Tabel 4-9. 1. Efek Kesejahteraan dari Free Trade terhadap Trade Creation (TC) Efek Kesejahteraan dari Free Trade Area membentuk Penciptaan Perdagangan Negara A Surplus Konsumen + (a + b + c) Surplus Produsen -a Penerimaan Pemerintah 0 Kesejahteraan Nasional + (b + c) Sumber: Suranovic, 1997 Dampak FTA terhadap: (1) Konsumen Negara A – Konsumen produk dari Negara yang mengimpor memperoleh keuntungan dari adanya FTA. Penurunan harga dalam negeri dari barang impor dan subtitusi dalam negeri meningkatkan surplus konsumen di dalam pasar. Berdasarkan Tabel dan Gambar diatas dapat terlihat bagaimana besaran dari perubahan surplus konsumen; (2) Produsen Negara A – Produsen di Negara pengimpor menderita kerugian sebagai akibat dari FTA. Penurunan harga produk di pasar domestik mengurangi surplus produsen dalam industri. Penurunan harga juga mengakibatkan penurunan output dari perusahaan yang sudah ada sebelumnya (dan mungkin beberapa perusahaan akan menutup usahanya), penurunan penyerapan tenaga kerja dan penurunan keuntungan dan atau pembayaran untuk biaya tetap. Berdasarkan Tabel dan Gambar diatas dapat terlihat bagaimana besaran dari perubahan surplus produsen; (3) Pemerintah Negara A –Sejak tariff awal dilarang dan produknya tidak secara original diimpor, maka tidak akan ada penerimaaan dari tariff awal. Jadi dalam hal ini FTA menunjukan tidak adanya kehilangan dalam penerimaan; (4) Kesejahteraan Nasional Negara A - Kesejahteraan agregat bagi Negara dapat ditentukan dengan menjumlahkan penerimaan dan kerugian konsumen, produsen dan pemerintah. Efek bersihnya terdiri dari dua komponen yaitu : (a) perolehan efisiensi produksi (b) perolehan efisiensi konsumsi. Hal tersebut berarti penciptaan perdagangan timbul ketika FTA dibentuk. Berdasarkan Tabel dan Gambar diatas dapat terlihat bagaimana besaran dari perubahan kesejahteraan nasional. HASIL KEGIATAN|Dampak Pemberlakuan Generalized System of Preference (GSP) 2015 terhadap Ekspor KP Indonesia ke Pasar USA 174 LAPORAN TEKNIS [KAJIAN KHUSUS BBPSEKP TAHUN 2015] Pengalihan Perdagangan (Trade Diversion) Selanjutnya dengan model analisis yang sama, trade diversion merupakan dampak negatif dari impor barang yang harganya relatif lebih murah dari negara bukan anggota FTA atau CU, sehingga akan digantikan dengan impor yang harganya relatif lebih mahal dari negara anggota. Hal ini dapat terjadi karena adanya preferential tariff yang diberikan kepada sesama negara anggota. Dengan demikian, trade diversion dapat mengurangi manfaat yang seharusnya diperoleh dari spesialisasi perdagangan internasional berdasarkan comparative advantage. Ini akibat adanya pergeseran produksi dari negara (bukan anggota) yang lebih efisien ke negara (anggota) yang kurang efisien. Dari gambar 4-9.3. terlihat bagaimana efek negatif dari trade diversion terjadi ketika dilakukan kesepakatan perdagangan bilateral. Sebelum diberlakukannya kesepakatan perdagangan, kurva penawaran komoditas X adalah dari negara 2 adalah sebesar S2+T, dari negara 1 sebesar S1+T, dan impor adalah sebesar JH dari negara 1, dan produksi domestik sebanyak GJ. Selanjutnya setelah dilakukan kesepakatan perdagangan dengan negara 2, maka penawaran dari negara 1 tetap pada S1+T, sedangkan penawaran dari negara 2 adalah S2, maka jumlah impor adalah sebanyak CB dari negara 2, dan produksi domestik sebanyak G’C. Pada situasi ini terjadi efek negatif dari Trade diversion setelah diberlakukannya kesepakatan dengan negara 2, sebesar hilangnya kesempatan mengimpor dari negara 1 akibat tidak mengalami pencabutan tarif. Secara umum, pengalihan perdagangan memiliki arti bahwa area perdagangan bebas mengalihkan perdagangan, dari pemasok yang lebih efisien di luar FTA ke pemasok yang lebih tidak efisien di dalam FTA. Dalam beberapa kasus, pengalihan perdagangan akan mengurangi kesejahteraan suatu negara, akan tetapi di beberapa kasus kesejahteraan nasional dapat meningkat dengan adanya pengalihan perdagangan. Penjelas lebih lanjut mengenai trade divertion (TD) tersebut dapat dilihat melalui diagram yang tertera pada Gambar 4-9. 3. HASIL KEGIATAN|Dampak Pemberlakuan Generalized System of Preference (GSP) 2015 terhadap Ekspor KP Indonesia ke Pasar USA 175 LAPORAN TEKNIS [KAJIAN KHUSUS BBPSEKP TAHUN 2015] Px(U$) Sx E G G’ J C H J’ H’ M N S1+T B S2 Dx S1 Z Gambar 4-9. 3. Qx Terjadinya Trade Diversion Sebagai Dampak Dari Kesepakatan Perdagangan Bilateral Sumber: Diadopsi dari D. Salvatore, 1993 dalam Hady, 2001 Diagram pada Gambar 4-9. 3 menunjukan kurva demand dan supply untuk Negara A. PB dan PC menggambarkan harga pasokan barang dalam perdagangan bebas dari Negara B dan Negara C dan sebaliknya. Perlu dicatat bahwa Negara C diasumsikan mampu untuk memasok produk pada tingkat harga yang lebih rendah dibandingkan dengan Negara B. Gambar 4-9. 4. Trade Diversion Sumber: Suranovic, 1999 HASIL KEGIATAN|Dampak Pemberlakuan Generalized System of Preference (GSP) 2015 terhadap Ekspor KP Indonesia ke Pasar USA 176 LAPORAN TEKNIS [KAJIAN KHUSUS BBPSEKP TAHUN 2015] Diasumsikan bahwa A memiliki tariff spesifik tB = tC = t* dimana A mengimpor dari Negara B dan C. Tarif mengakibatkan meningkatnya harga pasokan dalam negeri dari PTB ke PTC. Besarnya tarif dinotasikan dengan garis hijau terputus dalam diagram, dimana menunjukan bahwa t*=PTB – PB = PTC – PC. Sejak diberlakukannya tarif, harga produk yang ditawarkan Negara C lebih murah, maka Negara A akan mengimpor produknya dari Negara C dan tidak akan melakukan perdagangan dengan Negara B. Import ditunjukan oleh garis merah, atau dengan jarak antara D1 – S1. Sedangkan penerimaan tariff awal ditunjukan oleh area (c + e), dimana tingkat tariff dikalikan dengan kuantitas barang yang diimpor. Selanjutnya, asumsikan negara A dan B membentuk FTA dan A menghapuskan tariff impornya dari Negara B. Sekarang tB = 0 tetapi tc sama seperti at t*. Harga barang dalam negeri dari Negara B dan C sekarang menjadi PB dan PTc. Sejak PB < PTc, Negara A akan mengimpor semua produk dari Negara B seteah adanya FTA dan tidak akan mengimpor apa-apa dari Negara C. Pada harga dalam negeri yang lebih rendah, PB, import akan meningkat dari D2 ke S2, yang ditunjukan oleh garis biru. Juga sejak adanya free trade, harga di Negara C lebih rendah dibandingkan harga di Negara B, hal tersebut bisa dikatakan perdagangan dialihkan dari pemasok yang lebih efisien ke pemasok yang lebih tidak efisien. Efek Kesejahteraan di Gambarkan dalam Tabel 4-9.2 . Tabel 4-9. 2. Efek Kesejahteraan dari Free Trade terhadap Trade Divertion (TD) Efek Kesejahteraan dari Free Trade Area membentuk Pengalihan Perdagangan Negara A Surplus Konsumen + (a + b + c + d) Surplus Produsen -a Penerimaan Pemerintah - (c + e) Kesejahteraan Nasional + (b + d) – e Sumber: Suranovic,1997 HASIL KEGIATAN|Dampak Pemberlakuan Generalized System of Preference (GSP) 2015 terhadap Ekspor KP Indonesia ke Pasar USA 177 LAPORAN TEKNIS [KAJIAN KHUSUS BBPSEKP TAHUN 2015] Dampak FTA terhadap: (1) Konsumen Negara A – Konsumen produk dari Negara yang mengimpor memperoleh keuntungan dari adanya FTA. Penurunan harga dalam negeri dari barang impor dan subtitusi dalam negeri meningkatkan surplus konsumen di dalam pasar. Berdasarkan Tabel dan Gambar diatas dapat terlihat bagaimana besaran dari perubahan surplus konsumen; (2) Produsen Negara A – Produsen di Negara pengimpor menderita kerugian sebagai akibat dari FTA. Penurunan harga produk di pasar domestik mengurangi surplus produsen dalam industri. Penurunan harga juga mengakibatkan penurunan output dari perusahaan yang sudah ada sebelumnya (dan mungkin beberapa perusahaan akan menutup usahanya), penurunan penyerapan tenaga kerja dan penurunan keuntungan dan atau pembayaran untuk biaya tetap. Berdasarkan Tabel dan Gambar diatas dapat terlihat bagaimana besaran dari perubahan surplus produsen; (3) Pemerintah Negara A – Kerugian pemerintah adalah kehilangan seluruh penerimaan dari tariff barang impor. Penurunan penerimaan pemerintah ini dapat juga mengurangi belanja pemerintah atau bahkan meningkatkanhutang pemerintah. Berdasarkan Tabel dan Gambar diatas dapat terlihat bagaimana besaran dari perubahan penerimaan pemerintah; (4) Kesejahteraan Nasional Negara A – Kesejahteraan agregat bagi Negara dapat ditentukan dengan menjumlahkan penerimaan dan kerugian konsumen, produsen dan pemerintah. Efek bersihnya terdiri dari tiga komponen yaitu : (a) perolehan efisiensi produksi (b) perolehan efisiensi konsumsi (c) dan kerugian penerimaan tarif. Perlu dicatat bahwa tidak semua kerugian penerimaan tariff (c + e) ditunjukan dalam kerugian suatu Negara. Hal itu dikarenakan beberapa dari kerugian total (area c) dipindahkan ke konsumen. Berdasarkan Tabel dan Gambar diatas dapat terlihat bagaimana besaran dari perubahan kesejahteraan nasional. Pembahasan US-GSP 2015 Hasil study pustaka terhadap berbagai dokumen terkait rejim GSP USA 2015 telah memberikan beberapa informasi kunci yang dapat dirangkum sebagai berikut: Rejim US-GSP 2015 – terkait produk KP – relatif tidak mengalami perbedaan dengan rejim GSP USA 2012; Di pasar USA, beneficiaries digolongkan menjadi kelompok A, yang umumnya terdiri dari negara-negara berkembang (DC), dan A+ (LDC), yang umumnya negara-negara kurang berkembang (LDC); HASIL KEGIATAN|Dampak Pemberlakuan Generalized System of Preference (GSP) 2015 terhadap Ekspor KP Indonesia ke Pasar USA 178 LAPORAN TEKNIS [KAJIAN KHUSUS BBPSEKP TAHUN 2015] Hingga 2015 ini, Indonesia masih merupakan salah satu dari 120 negara beneficiaries yang tergolong kedalam kelompok A di pasar USA; Berdasarkan daftar produk US-GSP yang dipublikasikan pada tahun 2012 dan berlaku hingga saat ini, terdapat 34 Produk Perikanan Indonesia yang dapat memanfaatkan fasilitas GSP ini; Dari ke-34 produk yang berada pada daftar tersebut, berbagai produk perikanan unggulan Indonesia, seperti Udang dan Tuna, tidak termasuk ke dalam daftar produk penerima fasilitas GSP di pasar USA. Perkembangan Ekspor Produk KP Indonesia ke USA Periode 2012-2014 Sepanjang periode 2010-2014, ekspor produk KP Indonesia ke USA mengalami kecenderungan yang cukup menggembirakan. Data menunjukkan bahwa nilai ekspor Kelautan dan Perikanan (KP) Indonesia ke USA mengalami peningkatan pesat sejak tahun 2010 yang lalu. Seperti ditunjukkan pada Gambar 4-9. 5, terdapat kecenderungan pertumbuhan nilai ekspor produk KP Indonesia ke USA, dari total senilai U$ 817.948.156 pada tahun 2010 menjadi senilai U$ 1.798.285.130 pada tahun 2014. 1.800.000.000 492.024.232 1.600.000.000 1.400.000.000 365.385.137 1.200.000.000 256.340.865 1.000.000.000 800.000.000 203.523.948 600.000.000 400.000.000 257.473.909 614.424.208 1.306.260.898 768.917.319 839.364.912 925.226.675 200.000.000 - 2010 Gambar 4-9. 5. 2011 2012 2013 Perikanan Primer Perikanan Olahan 2014 Perkembangan Nilai Ekspor Produk KP Indonesia ke USA, 2010-2014 Sumber: Olahan Database TRAINS, WITS Meskipun nampak menggembirakan, dari sisi pertumbuhan, terlihat adanya perlambatan pertumbuhan yang cukup tajam pada pra 2012. Dari pertumbuhan sebesar 25,3% pada 2010-2011, total ekspor produk KP Indonesia ke USA meluncur turun ke angka pertumbuhan 7% pada periode 2011-2012. Akan tetapi selepas 2012, kembali terjadi lonjakan pertumbuhan total ekspor produk KP yang cukup signifikan. Pertumbuhan total ekspor produk KP beranjak naik ke angka 17,7% pada periode 2012-2013 dan mencapai 39,3% pada periode 2013-2014. Pertumbuhan dengan pola serupa juga terjadi pada ekspor produk KP Primer yang terjun bebas dari angka 26,0% pada HASIL KEGIATAN|Dampak Pemberlakuan Generalized System of Preference (GSP) 2015 terhadap Ekspor KP Indonesia ke Pasar USA 179 LAPORAN TEKNIS [KAJIAN KHUSUS BBPSEKP TAHUN 2015] periode 2010-2011 ke angka 9,2% pada periode 2011-2012, lalu merangkak naik ke 10,2% pada periode 2012-2013 dan melonjak tajam ke angka 41,2% pada periode 2013-2014. Pada ekspor produk KP Olahan, terjadi pola pertumbuhan yang fluktuatif, dari pertumbuhan sebesar 0,4% pada periode 2011-2012, meroket ke angka 41,9% pada periode 2012-2013 dan akhirnya sedikit melambat ke angka 34,7% pada periode 2013-2014. 45,0% 41,9% 40,0% 39,3% 35,0% 41,2% 34,7% Pertumbuhan Total Nilai Ekspor 30,0% 25,0% 25,3%26,0%25,1% 20,0% Pertumbuhan Nilai Ekspor Perikanan Primer 17,7% 15,0% 10,0% 7,0% 5,0% 0,0% 2011 Gambar 4-9. 6. 9,2% 0,4% 2012 10,2% Pertumbuhan Nilai Ekspor Perikanan Olahan 2013 2014 Pertumbuhan Nilai Ekspor Produksi KP Indonesia ke USA, 2010-2014 Sumber: Olahan Database TRAINS, WITS Hal menggembirakan yang terkuak dari data pada gambar 4-9.6 adalah adanya peralihan ekspor produk KP Indonesia ke USA, dari produk primer ke produk olahan. Secara rata-rata, pada periode pasca 2012, pertumbuhan ekspor yang dialami produk KP olahan adalah sebesar 38,3%. Angka tersebut jauh melebihi angka pertumbuhan ekspor produk KP primer yang hanya mencapai 25,7%, bahkan berada di atas rata-rata total produk KP (28%). Sehingga dapat tidak salah apabila dikatakan bahwa lonjakan pertumbuhan ekspor produk KP Indonesia ke USA, yang terjadi pasca 2012, tersebut didorong oleh terjadinya peningkatan pertumbuhan ekspor produk KP olahan. Peralihan ekspor produk KP Indonesia ke USA dari primer ke olahan seperti yang telah disampaikan di atas masih jauh dari dari ideal. Dari sisi komposisi, terlihat bahwa produk primer masih tetap mendominasi ekspor produk KP Indonesia ke USA. Seperti dapat diamati pada gambar 4-9.7, terlihat betapa angka share ekspor produk KP primer Indonesia ke USA pra 2012 tidak bergeming dari angka 75%. Meskipun terjadi perubahan pada pasca 2012, akan tetapi share ekspor produk KP primer Indonesia ke USA masih tetap cukup tinggi pada angka 72% dan 73%. HASIL KEGIATAN|Dampak Pemberlakuan Generalized System of Preference (GSP) 2015 terhadap Ekspor KP Indonesia ke Pasar USA 180 LAPORAN TEKNIS 100,00% 90,00% 80,00% 70,00% 60,00% 50,00% 40,00% 30,00% 20,00% 10,00% 0,00% 24,88% [KAJIAN KHUSUS BBPSEKP TAHUN 2015] 25,00% 23,47% 28,31% 27,36% Perikanan Olahan 75,12% 75,00% 76,53% 71,69% 72,64% 2010 2011 2012 2013 2014 Gambar 4-9. 7. Perikanan Primer Perkembangan Komposisi Ekspor Produk KP Indonesia ke USA, 20102014 Sumber: Olahan Database TRAINS, WITS Perubahan seperti yang dicermati pada gambar 4-9.7 tersebut nampaknya berkaitan dengan diberlakukannya rejim GSP USA 2012. Pada rejim GSP USA 2012, terdapat kecenderungan pemberian fasilitas GSP, dengan tarif bea masuk sebesar 0%, atas produk-produk KP Olahan. Seperti telah disampaikan pada bagian terdahulu, daftar produk GSP 2012 tersebut masih diberlakukan hingga rejim GSP USA 2015 ini. Hasil Simulasi Dampak Penerapan Rejim GSP 2015 di USA Untuk mengetahui dampak dari penerapan rejim GSP USA 2015, maka telah dilakukan sebuah simulasi dengan menggunakan model SMART yang dikembangkan oleh WITS-UNCTAD. Tabel 4-9.3 menunjukkan hasil simulasi penerapan GSP 2015 USA terhadap ekspor Produk KP Indonesia ke USA. Penerapan GSP berdasarkan rejim tahun 2015 di pasar USA memberikan potensi peningkatan ekspor bagi produk Perikanan Indonesia sebesar U$ 152.311.680 – dimana senilai U$73.710.364 berupa Produk KP Primer dan senilai U$ 78.601.316 berupa produk KP Olahan. Nilai peningkatan ekspor KP tersebut menempatkan Indonesia sebapai top 3 gainers negara eksportir produk KP ke USA di bawah Thailand dan Malaysia. HASIL KEGIATAN|Dampak Pemberlakuan Generalized System of Preference (GSP) 2015 terhadap Ekspor KP Indonesia ke Pasar USA 181 LAPORAN TEKNIS Tabel 4-9. 3. No. [KAJIAN KHUSUS BBPSEKP TAHUN 2015] Hasil Simulasi Penerapan GSP 2015 di USA Negara Peningkatan Ekspor Peningkatan Ekspor KP Primer KP Olahan Peningkatan Ekspor KP Total 1 Thailand 82.946.173 103.178.075 186.124.248 2 Malaysia 47.173.322 114.075.237 161.248.559 3 Indonesia 73.710.364 78.601.316 152.311.680 4 Philippines - 110.016.164 110.016.164 5 Argentina 23.850.254 81.756.199 105.606.453 6 Myanmar 19.489.368 83.055.908 102.545.276 7 Ecuador 1 86.179.131 86.179.132 8 China 16.547.285 67.414.126 83.961.411 9 India - 82.429.763 82.429.763 10 Fiji - 25.254.984 25.254.984 11 Venezuela 11.169.473 4.357 11.173.830 12 Bangladesh - 10.300.391 10.300.391 13 Turkey - 2.725.145 2.725.145 Sumber: Olahan SMART Model, WITS Hal yang patut dicermati dari hasil simulasi tersebut adalah bahwa meskipun secara total Indonesia berhasil menempati urutan ketiga, akan tetapi apabila dilihat dari sisi peningkatan ekspor produk KP olahan ke USA, maka Indonesia hanya menempati urutan ke-8 di bawah Argentina. Indonesia bahkan kalah cukup jauh di sisi peningkatan ekspor produk KP olahan ketika dibandingkan dengan empat tetangga pesaing di ASEAN – Malaysia yang menempati posisi pertama, Philippines di posisi kedua, Thailand di posisi ketiga dan Myanmar di posisi kelima. Hal tersebut mengindikasikan betapa Indonesia sangat tertinggal oleh negara-negara pesaingnya dalam mengembangkan produk KP olahan, sehingga respon terhadap perubahan kebijakan pada rejim GSP USA 2015 tersebut menjadi kurang tinggi. Kesimpulan Secara ringkas, kajian yang dilakukan telah menghasilkan beberapa kesimpulan seperti di bawah berikut: Data menunjukkan terdapat kecenderungan pertumbuhan ekspor produk perikanan Indonesia ke USA sejak periode 2012-2014, seiring dengan diberlakukannya kebijakan US-GSP 2012; HASIL KEGIATAN|Dampak Pemberlakuan Generalized System of Preference (GSP) 2015 terhadap Ekspor KP Indonesia ke Pasar USA 182 LAPORAN TEKNIS [KAJIAN KHUSUS BBPSEKP TAHUN 2015] Terdapat kecenderungan peningkatan pangsa ekspor produk KP olahan ke pasar USA – meskipun kecil – pada periode 2012-2014 lalu. Hal ini nampaknya terkait dengan adanya insentif pada US-GSP 2012 yang cenderung memberikan kemudahan bagi produk KP olahan dibandingkan produk KP primer; Berbagai produk perikanan unggulan Indonesia, seperti Udang dan Tuna, tidak termasuk ke dalam daftar produk penerima fasilitas GSP; Hasil simulasi menunjukkan bahwa rejim terkini GSP di USA (2015), jika dimanfaatkan, akan dapat mendorong peningkatan ekspor produk KP Indonesia ke USA, terutama untuk komoditas olahan. Rekomendasi dan Implikasi Kebijakan Rekomendasi Kebijakan Mengingat potensi manfaatnya yang sangat baik dalam mendorong peningkatan ekspor Produk Olahan Ikan ke pasar USA, maka kebijakan GSP USA 2015 ini perlu disikapi melalui beberapa kebijakan sebagai berikut: Peningkatan kesadaran para eksportir produk olehan perikanan terkait fasilitas GSP, agar para eksportir yang sudah ada sekarang mampu memanfaatkan fasilitas tersebut secara maksimal di jangka pendek; Merubah mindset ekspor ke USA, mengurangi ketergantungan terhadap ekspor komoditas primer dan beralih ke eksor produk olahan, untuk mendorong ekspor produk perikanan Indonesia ke Indonesia di jangka panjang; Mempercepat perkembangan pengolah produk perikanan – terutama di Indonesia Timur – untuk mendorong peningkatan produksi olahan perikanan di jangka panjang. Implikasi Kebijakan Beberapa program yang harus disiapkan oleh KKP untuk menyikapi kebijakan perdagangan USA – melalui rejim US-GSP 2015 – adalah: Kebijakan sosialisasi mengenai kelengkapan dokumen-dokumen ekspor produk-produk perikanan yang termasuk ke dalam daftar GSP USA; Melanjutkan dan mengintensifkan kebijakan industrialisasi produk perikanan; Membangun Indonesia Timur sebagai pusat Industri produk olahan perikanan Indonesia; Mempersiapkan jalur logistik dan ekspor ikan nasional; Mempermudah permodalan bagi pengusaha pengolah produk perikanan kecil dan menengah di Indonesia Timur. HASIL KEGIATAN|Dampak Pemberlakuan Generalized System of Preference (GSP) 2015 terhadap Ekspor KP Indonesia ke Pasar USA 183 LAPORAN TEKNIS [KAJIAN KHUSUS BBPSEKP TAHUN 2015] Daftar Pustaka Amjadi, A., Schuler, P., Kuwahara, H., & Quadros, S. (2011). WITS. User's Manual. Geneva: World Bank. Jammes, O., & Olarreaga, M. (2005). Explaining SMART and GSIM. The World Bank. Krugman, P. R. (1991). Ekonomi Internasional Teori dan Kebijakan. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada. Laird, S., & Yeats, A. (1986). The UNCTAD Trade Policy Simulation Model. Geneva: UNCTAD. Office of the United States Trade Representatives. (2012). GSP Eligible: All BDCs . Washington, D.C.: Office of the United States Trade Representatives. Office of the United States Trade Representatives. (2015). GSP - Eligible Agricultural Product. Washington, D.C.: Office of the United States Trade Representatives. Office of the United States Trade Representatives. (2015). GSP GUIDE BOOK. Washington, D.C.: Office of the United States Trade Representatives. Pratomo, W. (2004). Teori Kerjasama Perdagangan Internasional. Dalam S. Arifin, D. E. RAE, & C. P. Joseph., Kerja Sama Perdagangan Internasional : Peluang dan Tantangan Bagi Indonesia. Jakarta: PT. Gramedia. Sobri. (2001). Perdagangan Bebas dan Proteksi dalam buku Ekonomi Internasional. Teori, Masalah dan Kebijaksanaannya, Edisi Revisi. Yograkarta: BPFE UII . HASIL KEGIATAN|Dampak Pemberlakuan Generalized System of Preference (GSP) 2015 terhadap Ekspor KP Indonesia ke Pasar USA 184 LAPORAN TEKNIS 4.10. [KAJIAN KHUSUS BBPSEKP TAHUN 2015] Kajian Supply Ikan di Pasar Domestik dalam Rangka Kesiapan Menghadapi Natal 2015 dan Tahun Baru 2016 Pendahuluan Latar Belakang Pembangunan pangan merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dengan pembangunan nasional. Hal tersebut dituangkan pada Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional tahun 2005 hingga 2025, yang menegaskan bahwa “pembangunan dan perbaikan gizi dilaksanakan secara lintas sektor meliputi produksi, pengolahan, distribusi hingga konsumsi pangan dengan kandungan gizi yang cukup, seimbang serta terjamin keamanannya”. Berdasarkan peraturan perundangan tersebut dapat dilihat bahwa pangan merupakan dasar utama untuk mewujudkan sumber daya manusia yang berkualitas yang sangat ditentukan oleh status gizi yang baik. Apabila dicermati maka hal ini selaras dengan konsep ketahanan pangan nasional yang dituangkan pada Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012, bahwa “Ketahanan Pangan adalah kondisi terpenuhinya pangan bagi negara sampai dengan perseorangan, yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, beragam, bergizi, merata, dan terjangkau serta tidak bertentangan dengan agama, keyakinan, dan budaya masyarakat, untuk dapat hidup sehat, aktif, dan produktif secara berkelanjutan”. Sektor perikanan berpeluang untuk menopang program nasional ketahanan pangan, terutama dalam hal pencukupan kebutuhan protein. Ikan merupakan sumber pangan yang memiliki kandungan protein hewani tinggi dan menyumbang sebesar 55% dalam penyediaan protein di Indonesia (Heruwati, 2002). Selain itu kapasitas produksi sumberdaya perikanan Indonesia cukup memadai. Mengacu pada data Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), pada tahun 2013 volume produksi ikan segar adalah sebesar 19,56 juta ton, produksi ikan olahan sebesar 4,1 juta ton volume ekspor sebesar 621ribu ton, volume impor produk perikanan sebesar 155 ribu ton dan konsumsi ikan sebesar 12,2 juta ton. Bukti empiris memperlihatkan adanya indikasi yang sangat kuat terjadinya peningkatan konsumsi ikan, seiring dengan peningkatan tingkat konsumsi ikan dari tahun ke tahun. Berdasarkan data yang dikeluarkan oleh KKP (2014), tahun 2006 tingkat konsumsi ikan adalah 25,03 kg/kap/tahun. Pada tahun 2010 tingkat konsumsi ikan penduduk Indonesia sudah mulai memenuhi standar FAO, yaitu 30.48 kg/kapita per tahun, namun tingkat konsumsi ikan tersebut masih tergolong rendah diantara beberapa negara di dunia. Pada tahun 2013 tingkat konsumsi ikan adalah sebesar 35,14/kg/kap/tahun atau meningkat rata-rata hampir sebesar 4,97 %/tahun (KKP, 2013). HASIL KEGIATAN|Kajian Supply Ikan di Pasar Domestik dalam Rangka Kesiapan Menghadapi Natal 2015 dan Tahun Baru 2016 185 LAPORAN TEKNIS [KAJIAN KHUSUS BBPSEKP TAHUN 2015] Pada bulan-bulan tertentu seperti hari raya natal dan tahun baru biasanya semua bahan pangan mengalami peningkatan permintaan yang berpengaruh pada stok barang termasuk komoditas ikan. Permintaan yang tinggi terhadap suatu barang biasanya dapat menyebabkan kenaikan harga barang. Barang yang biasanya mengalami kenaikan harga yaitu tujuh komoditasutamapangan antara lain minyak goreng, daging sapi, daging ayam, hortikultura, gula pasir, tepung terigu, ikan dan udang serta beras. Oleh karena itu, dalam rangka pemenuhan kebutuhan pangan termasuk ikan menjelang hari raya natal dan tahun baru, data dan informasi tentang stok ikan di pasar domestik dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan dalam melakukan perencanaan, evaluasi dan antisipasi ketersediaan ikan. Kajian ini juga akan dilengkapi dengan analisis preferensi konsumen yang bertujuan melihat minat konsumen pada komoditas pangan ikani. Hal ini dibutuhkan untuk mengantisipasi kebutuhan ikan pada hari raya tersebut termasuk jenis dan bentuk ikan yang diminati konsumen. Perumusan Masalah Pada Bulan Desember dimana terdapat hari raya natal dan tahun baru, permintaan ikan mengalami kenaikan karena konsumsi ikan meningkat. Apalagi stok ikan tidak memiliki distribusi yang merata maka harus dipikirkan bagaimmana kondisi ketersediaan ikan pada lokasilokasi yang memiliki jumlah penganut Kristiani yang tinggi. Agar tidak terjadi gejolak pada masyarakat, pemerintah perlu menciptakan situasi yang kondusif dengan cara memenuhi permintaan pasar. Untuk mencukupi permintaan atau kebutuhan ikan pada hari natal dan tahun baru, pemerintah perlu mengetahui ketersediaan (stok) ikan yang ada dan kecukupannya serta pendistribusiannya. Pada akhir tahun biasanya harga-harga kebutuhan mulai mengalami kenaikan dan seolah sulit untuk dihindarkan. Fenomena kenaikan harga menjelang natal dan tahun baru merupakan siklus tahunan dipicu oleh lonjakan permintaan bahan-bahan pokok dan dapat diperburuk pada situasi kelangkaan. Lonjakan harga terjadi khususnya pada komoditas daging, ayam dan telur, dimana komoditas tersebut dianggap sebagai masakan yang dihidangkan selama perayaan natal dan tahun baru. Ikan sebagai salah satu sumber protein juga harus dilihat dalam ketersediaanya. Selain untuk antisipasi kebutuhan juga dapat digunakan sebagai salah satu alternatif bahan masakan dalam merayakan hari raya natal dan tahun baru. Oleh karena itu, dalam rangka pemenuhan kebutuhan pangan termasuk ikan menjelang hari raya natal dan tahun baru, data dan informasi terkait stok ikan di pasar domestik dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan dalam melakukan perencanaan, evaluasi dan antisipasi ketersediaan ikan. Dengan demikian, perlu kajian mengenai ketersediaan ikan (stok ikan) selama bulan tersebut dan analisis preferensi konsumen. HASIL KEGIATAN|Kajian Supply Ikan di Pasar Domestik dalam Rangka Kesiapan Menghadapi Natal 2015 dan Tahun Baru 2016 186 LAPORAN TEKNIS [KAJIAN KHUSUS BBPSEKP TAHUN 2015] Tujuan Penelitian Tujuan dari kajian ini adalah : 1. Mengkaji ketersediaan stok ikan di pasar domestik menjelang Hari Raya Natal dan Tahun Baru; 2. Menganalisis preferensi konsumen terhadap produk makanan hewani 3. Merumuskan kebijakan dan strategi kecukupan stok ikan menjelang Hari Raya Natal dan Tahun Baru. Keluaran Keluaran dari Kajian Supply Ikan di Pasar Domestik Dalam Rangka Kesiapan Menghadapi Hari Raya Natal 2015 dan Tahun Baru 2016 adalah tersusunnya rekomendasi kebijakan tentang status ketersediaan ikan dan kecukupan stok ikan menjelang Hari Raya Natal dan Tahun Baru. Tinjauan Pustaka Ketahanan Pangan Pengertian tentang ketahanan pangan (food security) berubah dari waktu ke waktu. Pengertian luas ketahanan pangan adalah terjaminnya akses pangan buat segenap rumah tangga serta individu setiap waktu sehingga mereka dapat bekerja dan hidup sehat (Braun dkk, 1992; Soetrisno, 1995; Suhardjo, 1995; Suhardjo, 1996; Soetrisno, 1997). Di Indonesia pengertian ketahanan pangan tercantum dalam Undang-Undang RI Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan adalah bahwa kemampuan setiap individu atau rumah tangga untuk mendapatkan bahan makanan yang cukup, aman, dan bergizi yang memenuhi kebutuhan makanan sesuai dengan standar untuk hidup sehat. Selanjutnya berubah dalam Undang-Undang RI No 18 Tahun 2012 tentang Pangan bahwa ketahanan pangan adalah kondisi terpenuhinya pangan bagi negara sampai dengan perseorangan, yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, beragam, bergizi, merata, dan terjangkau serta tidak bertentangan dengan agama, keyakinan, dan budaya masyarakat, untuk dapat hidup sehat, aktif, dan produktif secara berkelanjutan. Menurut Soetrisno (1995) terdapat dua komponen penting dalam ketahanan pangan yaitu ketersediaan dan akses terhadap pangan. Maka tingkat ketahanan pangan suatu negara/wilayah dapat bersumber dari kemampuan produksi, kemampuan ekonomi untuk menyediakan pangan dan kondisi yang membedakan tingkat kesulitan dan hambatan untuk akses pangan. Menurut Pribadi (2005) cakupan ketahanan pangan adalah: (1) Ketersediaan ketersediaan pangan mencakup produksi, cadangan dan pemasukan; (2) Distribusi/aksesibilitas mencakup akses fisik (mudah dijangkau) dan ekonomi (terjangkau daya beli) bagi individu untuk mendapatkan pangan; HASIL KEGIATAN|Kajian Supply Ikan di Pasar Domestik dalam Rangka Kesiapan Menghadapi Natal 2015 dan Tahun Baru 2016 187 LAPORAN TEKNIS [KAJIAN KHUSUS BBPSEKP TAHUN 2015] serta (3) Konsumsi mencakup mutu dan keamanan serta kecukupan gizi individu. Dengan demikian ketahanan pangan bukan hanya mengenai masalah produksi, tetapi juga merupakan masalah keterjangkuan dan distribusi. Hal senada dinyatakan Sawit dan Ariani (1997) bahwa penentu ketahanan pangan di tingkat rumah tangga adalah akses terhadap pangan, ketersediaan pangan dan resiko yang terkait dengan akses ketersediaan pangan tersebut. Ketersediaan/Stok Ikan Stok merupakan sejumlah bahan makanan yang dikuasai/disimpan oleh pemerintah atau swasta seperti yang terdapat di pabrik, gedung, depo, lumbung petani/rumah tangga dan pasar/pedagang yang dimaksudkan sebagai cadangan dan akan digunakan apabila sewaktu-waktu diperlukan. Perubahan stok merupakan selisih antara stok akhir tahun dengan stok awal tahun. Perubahan stok ini hasilnya bisa negatif dan positif. Bila negatif berarti ada penurunan stok akibat pelepasan stok ke pasar. Sedangkan bila positif berarti ada peningkatan stok yang berasal dari komoditas yang beredar di pasar. Dengan demikian komoditas yang beredar di pasar menjadi menurun (BPS, 2010). Ketersediaan pangan merupakan suatu kondisi penyediaan pangan yang mencakup makanan dan minuman yang berasal dari tanaman, ternak dan ikan bagi penduduk suatu wilayah dalam suatu kurun waktu tertentu, yang juga merupakan suatu sistem yang berjenjang mulai dari nasional, provinsi, lokal dan rumah tangga. Ketersediaan pangan ditingkat rumah tangga harus selalu dijaga agar keluarga tetap cukup kebutuhan pangannya yang sekaligus akan berdampak positif terpelihara kesehatannya karena kecukupan gizi selalu terjamin (Indriana dan Widajanti, 2005). Ketersediaan pangan mencakup aspek produksi dan distribusi pangan, dalam konteks perikanan ketersediaan ikan dihitung dengan memperhatikan produksi, ekspor dan impor hasil perikanan. Ketersediaan ikan dihitung dengan menggunakan Neraca Bahan Makanan (NBM) dimana NBM merupakan tabel yang memuat informasi tentang situasi pengadaan (produksi, cadangan/stok, impor/ekspor), penggunaan (pemakaian untuk pakan, benih, industri pangan dan non pangan, tercecer) serta penyediaan pangan subsektor perikanan untuk dikonsumsi penduduk pada suatu wilayah (negara/propinsi/kabupaten) dalam suatu kurun waktu tertentu. Ketersediaan pangan mencerminkan pangan yang tersedia untuk dikonsumsi masyarakat, yang merupakan produksi domestik yang dikoreksi dengan penggunaan untuk bibit/benih, industri, kehilangan/susut, ekspor dan stok ditambah impor. Perkembangan ketersediaan pangan di Indonesia secara keseluruhan masih di atas yang dianjurkan Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi. Rata-rata kecukupan energi dan protein bagi penduduk Indonesia masing-masing sebesar 2150 Kilo kalori dan 57 gram per orang per hari pada tingkat konsumsi (Permenkes No 75 Tahun 2013). HASIL KEGIATAN|Kajian Supply Ikan di Pasar Domestik dalam Rangka Kesiapan Menghadapi Natal 2015 dan Tahun Baru 2016 188 LAPORAN TEKNIS [KAJIAN KHUSUS BBPSEKP TAHUN 2015] Pemenuhan Protein Hewani Ikan Tingkat konsumsi merupakan ukuran yang digunakan untuk melihat tinggi atau rendahnya permintaan seseorang terhadap barang atau jasa tertentu, dalam hal ini permintaan untuk mengkonsumsi ikan. Tingkat konsumsi akan sangat berpengaruh terhadap pola dan gaya hidup konsumen. Tingkat konsumsi biasanya disesuaikan dengan pendapatan, harga produk dan tingkat kebutuhannya. Menurut Oktari (2008), tingkat konsumsi ikan merupakan banyaknya ikan yang dikonsumsi oleh individu dalam satuan gram/kapita/hari. Tingkat konsumsi seorang dengan yang lain berbeda, karena adanya perbedaan ini maka cara dan besarnya konsumsi seorang dengan yang lain akan berbeda. Tingkat konsumsi dapat juga dijadikan sebagai tolak ukur seseorang untuk menilai kekayaan atau kesejahteraan. Konsumsi ikan banyak dipengaruhi oleh ikan yang tersedia, dimana ketersediaan ikan ini juga banyak ditentukan oleh produksi. Namun menurut Suhardjo (1990), walaupun produksi ikan cukup, tidak berarti konsumsi ikan juga cukup karena banyak faktor yang sangat berpengaruh dalam hal mengkonsumsi ikan. Menurut Ariningsih (2004), tingkat kecukupan protein adalah banyaknya asupan protein seseorang dibandingkan dengan asupan protein yang dianjurkan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Penggunaan nilai protein cukup untuk menggambarkan kecukupan pangan rumah tangga, karena konsumsi protein dibutuhkan untuk memulihkan sel-sel tubuh yang rusak pada usia dewasa atau untuk menjamin pertumbuhan normal pada usia muda (Irawan, 2002). Protein terdiri dari asam-asam amino. Disamping menyediakan asam amino esensial, protein juga mensuplai energi dalam keadaan energi terbatas dari karbohidrat dan lemak. Protein atau asam amino esensial berfungsi terutama sebagai katalisator, pembawa, pengerak, pengatur, ekpresi genetik, neurotransmitter, penguat struktur, penguat immunitas dan untuk pertumbuhan (Hardinsyah et al., 2001). Ikan sebagai pendamping pangan pokok seperti nasi, umbi-umbian dan meningkatkan mutu protein pangan pokok yang dikonsumsi (Karyadi dan Muhilal, 1987). Preferensi Konsumsi Ikan Sikap konsumen merupakan konsep paling penting dalam studi perilaku konsumen. Dengan mengetahui sikap konsumen, para pemasar dapat mempengaruhi pelaku pembelian konsumen. Teori terbaru menganggap bahwa sikap konsumen memiliki sifat multi dimesi, sehingga pendekatan yang dilakukan harus bersifat multi atribut. Menurut Schifman dan Kanuk (2000) analisa sikap terdapat pendapat tersebut dapat dipahami bahwa preferensi konsumen merupakan nilai-nilai yang dianut dan dipertahankan oleh konsumen. Kotler (2000) HASIL KEGIATAN|Kajian Supply Ikan di Pasar Domestik dalam Rangka Kesiapan Menghadapi Natal 2015 dan Tahun Baru 2016 189 LAPORAN TEKNIS [KAJIAN KHUSUS BBPSEKP TAHUN 2015] mendefisinikan preferensi konsumen sebagai suatu pilihan suka atau tidak suka oleh seseorang terhadap produk yang dikonsumsi. Preferensi konsumen menunjukan kesukaan konsumen dari berbafai pilihan produk yang ada. Dengan demikian, preferensi merupakan gambaran-gambaran dari nilai-nilai terbaik yang dipertimbangkan konsumen dalam menentukan sebuah pilihan. Sudibyo (2002) mengatakan bahwa faktor-faktor yang menentukan preferensi konsumen terbagi menjadi dua, yaitu : 1) Bersifat ekonomis, mencakup nilai dari pengorbanan dan manfaat yang dapat diraih; dan 2) Bersifat non ekonomis, mencakup kebutuhan aktualisasi diri dan penghargaan dari lingkungan. Pengukuran terhadap preferensi konsumen sangat penting untuk dilakukan karena sebagai dasar untuk menarik minat konsumen terhadap suatu produk tertentu dan acuan bagiperusahaan untuk program-program pembangunan loyalitas konsumen. Selain itu, keberlangsungan interaksi antara perusahaan dengan konsumen dapat terus dipertahankan. Sehingga dapat dikatakan bahwa pengukuran tingkat preferensi konsumen pada dasarnya berkaitan dengan pengukuran faktor-faktor yang membentuk sebuah preferensi konsumen. Saat ini terjadi perubahan preferensi konsumen yang ditunjukkan dengan semakin banyaknya atribut suatu produk yang harus dievaluasi. Saat ini dan pada masa yang akan datang, konsumen tidak hanya mengevaluasi suatu komoditas berdasarkan atribut utama (seperti jenis dan harga), tetapi menuntut pula atribut yang lebih lengkap dan rinci, seperti: a. Kualitas (komposisi bahan baku) b. Komposisi nutrisi (kandungan lemak, asam amino, vitamin, dan kolesterol) c. Keselamatan mengkonsumsi (kandungan residu antibiotika, pestisida, dan kandungan mikroorganisme) d. Lingkungan hidup (terkait dengan kelestarian alam) e. Jenis dan efektivitas pelayanan Kolter (2000) mengemukakan 4 (empat) macam perilaku pembelian konsumen : a. Perilaku pembelian rumit, terjadi bila produk mahal, jarang dibeli, berisiko, sangat mengekpresikan diri, dan pembeli dihadapkan pada banyak pilihan dengan perbedaan yang sangat besar antar merk. b. Perilaku pembelian pengurangan ketidaknyamanan, terjadi apabila konsumen sangat terlibat dalam proses pembelian dan hanya terdapat sedikit perbedaan antar merk c. Perilaku pembelian karena kebiasaan, terjadi bila keterlibatan konsumen dalam pembelian rendah dan hanya terdapat sedikit perbedaan antar merk. Sehingga konsumen cenderung menjadi penerima informasi pasif melalui iklan dan pembelian tidak terikat pada merk tertentu. Pada perilaku pembelian ini program promosi dan penurunan harga sangat berdampak pada penjualan. HASIL KEGIATAN|Kajian Supply Ikan di Pasar Domestik dalam Rangka Kesiapan Menghadapi Natal 2015 dan Tahun Baru 2016 190 LAPORAN TEKNIS [KAJIAN KHUSUS BBPSEKP TAHUN 2015] d. Perilaku pembelian yang mencari variasi, ditandai dari seringnya konsumen melakukan pergantian merk yang bukan disebabkan karena ketidakpuasan terhadap produk, melainkan hanya untuk mencari variasi produk. Metode Penelitian Kerangka Pendekatan Untuk mengkaji supply ikan di pasar domestik menghadapi hari raya natal dan tahun baru dilakukan dengan pendekatan konsep ketersediaan pangan khususnya ikan. Ketersediaan ikan diperoleh dari produksi ikan, cadangan ikan dan pemasukan ikan. Ketersediaan ikan sendiri terkait faktor jumlah penduduk, yang berimplikasi bahwa peningkatan jumlah penduduk akan mempengaruhi permintaan ketersediaan ikan untuk dikonsumsi. Oleh karena itu ketersediaan ikan harus dipertahankan sama atau lebih besar daripada kebutuhan penduduk. Secara ringkas kerangka pendekatan penelitian disajikan pada Gambar 4-10.1. Produksi ikan Cadangan ikan Pemasukan ikan Ketersediaan ikan Penduduk Kebutuhan Konsumsi ikan ikan Preferensi Gambar 4-10. 1. Kerangka Pendekatan Kajian Supply Ikan di Pasar Domestik Menghadapi Hari Natal dan Tahun Baru 2016 HASIL KEGIATAN|Kajian Supply Ikan di Pasar Domestik dalam Rangka Kesiapan Menghadapi Natal 2015 dan Tahun Baru 2016 191 LAPORAN TEKNIS [KAJIAN KHUSUS BBPSEKP TAHUN 2015] Jenis dan Sumber Data Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan sekunder. Data-data sekunder yang digunakan antara lain jumlah penduduk, jumlah konsumsi ikan, jumlah konsumsi protein, potensi ikan, produksi ikan, ekspor perikanan, impor perikanan dan pengolahan perikanan. Sumber data berasal dari Badan Pusat Statistik (BPS) dan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP). Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan di DKI Jakarta, Kota Medan (Sumatera Utara) dan Kota Manado (Sulawesi Utara) pada bulan November - Desember 2015. Lokasi penelitian dipilih secara sengaja (purposive), yang diambil dengan pertimbangan-pertimbangan tertentu sesuai tujuan penelitian (Singarimbun dan Effendi, 1995). Pemilihan lokasi Kota Medan dan Kota Manado sebagai lokasi penelitian berdasarkan dominasi penduduk kristiani dan dominasi produksi perikanan serta aksesibilitas menuju lokasi tersebut. Metode Pengumpulan dan Analisis Data Metode yang digunakan dalam kajian ini adalah survey lapang dan desk study. Untuk survey lapang akan dilakukan observasi dan wawancara dengan kuesioner. Sedangkan untuk metode desk study, akan dikaji berbagai literatur, data pendukung serta hasil studi yang telah dilakukan oleh berbagai pihak terutama yang berhubungan dengan kegiatan kajian yang akan dilakukan. Tabel 4-10. 1. Jenis dan Kebutuhan Data Kajian No Jenis Data Sumber Data 1 Jumlah produksi perikanan KKP 2 Tingkat konsumsi ikan KKP 3 Kansumsi kalori dan protein ikan BPS 4 Harga ikan KKP, BPS 5 Inflasi bahan makanan BPS 6 Jumlah ekspor perikanan KKP 7 Preferensi konsumsi ikan Primer HASIL KEGIATAN|Kajian Supply Ikan di Pasar Domestik dalam Rangka Kesiapan Menghadapi Natal 2015 dan Tahun Baru 2016 192 LAPORAN TEKNIS [KAJIAN KHUSUS BBPSEKP TAHUN 2015] Data yang terkumpul dianalisis secara deskriptif kuantitatif sehingga mencapai keluaran rekomendasi tentang ketersediaan supply ikan menghadapi hari raya Natal 2015 dan Tahun Baru 2016. Metode Analisis Data Kajian ini menggunakan pendekatan non parametrik (tidak memerlukan distribusi normal pada populasi/sampel) untuk mengukur 2 analisis meliputi: 1) analisis deskriptif untuk menentukan ketersediaan dan permintaan ikan; dan 2) ketidakstabilan harga ikan melalui Coppock Instability Index (CII) yang dikembangkan oleh Coppock (1962). Analisis Deskriptif Analisis deskriptif dilakukan terhadap permintaan dan ketersediaan ikan. Tingkat permintaan ikan dihitung berdasarkan perubahan harga ikan pada tingkat konsumen. Status permintaan ikan dibagi menjadi 3 kategori yaitu: 1) rendah jika total 1 – 9 jenis komoditas ikan mengalami kenaikan harga; 2) sedang jika total 10 – 18 jenis komoditas ikan mengalami kenaikan harga; dan 3) tinggi jika total 19 – 27 jenis komoditas ikan mengalami kenaikan harga. Status ketersediaan ikan/supply ikan dapat dilihat melalui pengkategorian sebagai berikut : 1) bila volume produksi pada suatu kwartal lebih dari volume produksi rata-rata maka dapat dikatakan cukup tersedia pada kwartal tersebut; dan 2) bila volume produksi pada suatu kwartal kurang dari volume produksi rata-rata maka dapat dikatakan kurang tersedia pada kwartal tersebut. Analisis Indeks Ketidakstabilan Indeks ketidakstabilan dihasilkan dari CII adalah ketidakstabilan harga ikan yang dipengaruhi oleh banyak faktor seperti musim penangkapan, fluktuasi permintaan ikan masyarakat dan berbagai faktor lainnya termasuk permintaan menjelang perayaan hari natal dan tahun baru. Harga ikan yang dianalisis merupakan harga ikan dari 27 komoditas perikanan pada masa menjelang dan setelah hari natal dan tahun baru (bulan November dan Desember tahun 2014 serta bulan Januari tahun 2015). Metode Coppock Instability Index (CII) dapat dituliskan sebagai berikut (Fauzi, 2010; Fauzi dan Anna, 2010): CII= |anti log √log 𝑣 − 1| ∗ 100 Dimana log v didefisnisikan sebagai: 1 Vlog =𝑛−1 ∑ ((𝑙𝑜𝑔𝑥𝑖+1−𝑥1 ) − ∑ (𝑙𝑜𝑔𝑥𝑖+1 −𝑋𝑖) 𝑖 𝑛−1 ) HASIL KEGIATAN|Kajian Supply Ikan di Pasar Domestik dalam Rangka Kesiapan Menghadapi Natal 2015 dan Tahun Baru 2016 193 LAPORAN TEKNIS [KAJIAN KHUSUS BBPSEKP TAHUN 2015] Keterangan : CII : Coppock Instability Indexs n : Jumlah tahun; x : Nilai variabel yang diobservasi t : Tahun Hasil indeks yang tinggi menunjukkan tingginya ketidakstabilan variabel ekonomi perikanan yang diukur yang dapat disimpulkan merupakan interaksi dari berbagai faktor (Fauzi, 2010; Fauzi dan Anna, 2010). Apabila digunakan dengan indikator pertumbuhan (CGR), CII dapat menjadi instrumen yang kuat untuk membaca perkembangan perkembangan perikanan selama kurun waktu yang panjang (Fauzi, 2010). Hasil Dan Pembahasan Komposisi Penduduk Indonesia Jumlah penduduk Indonesia berdasarkan hasil sensus penduduk tahun 2010 adalah 237,641,326 jiwa dengan penduduk yang beragama Kristen dan protestan adalah sebanyak 23,436,386 jiwa. Sebagian besar tinggal di wilayah timur Indonesia dengan persentase terbesar yaitu 89% tinggal di Propinsi Nusa Tenggara Timur, selanjutnya di Papua (83%) dan Sulawesi Utara (68%). Untuk wilayah Indonesia bangian barat sebagian besar tinggal di Propinsi Sumatera Utara sebanyak 31%. Pada tahun 2015 berdasarkan hasil proyeksi diperkirakan jumlah penduduk Indonesia adalah 255,461,700 jiwa dengan rata-rata peningkatan penduduk sebesar 7,5%. Sebaran jumlah penduduk Indonesia yang beragama Kristiani dan proyeksi penduduk tahun 2015 dapat dilihat pada Tabel 4-10. 2 berikut. Tabel 4-10. 2. Sebaran jumlah penduduk Indonesia yang beragama Kristiani tahun 2010 dan proyeksi penduduk tahun 2015 No Propinsi 1 Aceh 2 Penduduk Penduduk Kristiani Persentase Proyeksi 2015 4,494,410 53,624 1,19 5,002,000 Sumatera Utara 12,982,204 4,025,737 31,01 13,937,800 3 Sumatera Barat 4,846,909 109,681 2,26 5,196,300 4 Riau 5,538,367 529,078 9,55 6,344,400 5 Jambi 3,092,265 95,561 3,09 3,402,100 6 Sumatera Selatan 7,450,394 114,671 1,54 8,052,300 7 Bengkulu 1,715,518 35,088 2,05 1,874,900 8 Lampung 7,608,405 184,269 2,42 8,117,300 HASIL KEGIATAN|Kajian Supply Ikan di Pasar Domestik dalam Rangka Kesiapan Menghadapi Natal 2015 dan Tahun Baru 2016 194 LAPORAN TEKNIS No 9 [KAJIAN KHUSUS BBPSEKP TAHUN 2015] Propinsi Kep. Penduduk Penduduk Kristiani Persentase Proyeksi 2015 Bangka Belitung 1,223,296 36,791 3,01 1,372,800 10 Kepulauan Riau 1,679,163 225,828 13,45 1,973,000 11 DKI Jakarta 9,607,787 1,027,527 10,69 10,177,900 12 Jawa Barat 43,053,732 1,030,147 2,39 46,709,600 13 Jawa Tengah 32,382,657 890,436 2,75 11,955,200 14 DI Yogyakarta 3,457,491 260,017 7,52 33,774,100 15 Jawa Timur 37,476,757 872,671 2,33 38,847,600 16 Banten 10,632,166 384,755 3,62 4,152,800 17 Bali 3,890,757 95,851 2,46 4,835,600 18 Nusa Tenggara Barat 4,500,212 22,756 0,51 5,120,100 19 Nusa Tenggara Timur 4,683,827 4,163,094 88,88 4,789,600 20 Kalimantan Barat 4,395,983 1,508,622 34,32 2,495,000 21 Kalimantan Tengah 2,212,089 411,632 18,61 3,989,800 22 Kalimantan Selatan 3,626,616 64,019 1,77 38,847,600 23 Kalimantan Timur 3,553,143 476,009 13,40 4,068,600 24 Sulawesi Utara 2,270,596 1,544,121 68,01 2,412,100 25 Sulawesi Tengah 2,635,009 469,113 17,80 2,876,700 26 Sulawesi Selatan 8,034,776 737,006 9,17 8,520,300 27 Sulawesi Tenggara 2,232,586 54,011 2,42 2,499,500 28 Gorontalo 1,040,164 17,320 1,67 1,133,200 29 Sulawesi Barat 1,158,651 176,538 15,24 1,282,200 30 Maluku 1,533,506 738,470 48,16 1,686,500 31 Maluku Utara 1,038,087 263,849 25,42 1,162,300 32 Papua Barat 760,422 462,304 60,80 871,500 33 Papua 2,833,381 2,355,790 83,14 3,149,400 237,641,326 23,436,386 9,86 255,461,700 Indonesia Sumber: BPS (2010) HASIL KEGIATAN|Kajian Supply Ikan di Pasar Domestik dalam Rangka Kesiapan Menghadapi Natal 2015 dan Tahun Baru 2016 195 LAPORAN TEKNIS [KAJIAN KHUSUS BBPSEKP TAHUN 2015] Kondisi Pasokan Ikan Ketersediaan dan kecukupan pangan sangat penting untuk keberlanjutan konsumsi sehingga dirasakan sangat penting bagi pemerintah untuk melakukan berbagai upaya untuk mencukupi kebutuhan dalam negeri. Berdasarkan data statistik perikanan, produksi perikanan Indonesia menunjukkan adanya peningkatan baik dari sisi perikanan tangkap maupun perikanan budidaya. Produksi perikanan tangkap meningkat rata-rata sebesar 3,58% pertahun dan produksi perikanan budidaya juga meningkat sebesar 16,37% per tahun. Bilamana terjadi kondisi surplus produksi, maka komoditas dapat diekspor antar negara atau didistribusikan antar wilayah. Namun bila jumlah ikan defisit sedangkan permintaan ikan tinggi maka dapat dipenuhi dari jalur impor. Perkembangan produksi ikan dari tahun 2006-2014 dapat dilihat pada Gambar 4-10.2. Juta ton 7 6 5 4,69 5,04 5,00 5,11 5,38 5,71 6,09 6,20 3,99 4 3 2 5,82 2,36 1,31 1,47 2,76 4,29 3,16 1,75 1,71 1 2006 2007 2008 2009 Produksi tangkap 2010 2011 2012 2013 2014 Produksi budidaya (tanpa rumput laut) Gambar 4-10. 2. Perkembangan Produksi Perikanan di Indonesia, 2006 - 2014 Sumber: KKP (2014) Tidak semua jenis ikan yang diproduksi itu dikonsumsi secara domestik namun ada juga yang dikirim ke luar negeri yang dapat memberikan devisa bagi negara. Bila dilakukan pembanding antara produksi dan ekspor dari tahun 2006-2014, terjadi kenaikan produksi (tangkap dan budidaya) sebesar 7,30% dan jumlah ekspor meningkat sebesar 0,89%. Pada Gambar 4-10.3 dapat dilihat perkembangan produksi dan ekspor perikanan dari tahun 2006-2014. HASIL KEGIATAN|Kajian Supply Ikan di Pasar Domestik dalam Rangka Kesiapan Menghadapi Natal 2015 dan Tahun Baru 2016 196 LAPORAN TEKNIS [KAJIAN KHUSUS BBPSEKP TAHUN 2015] Juta ton 12,00 10,00 8,00 6,00 4,00 7,75 8,47 8,98 10,08 10,49 6,00 6,51 6,71 6,85 0,93 0,85 0,91 0,88 1,10 1,16 1,23 1,26 0,92 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 2,00 0,00 Produksi Ekspor Gambar 4-10. 3. Proporsi Ekspor terhadap Produksi Perikanan di Indonesia, 2006 - 2014 Sumber: KKP (2014) 4.3 Perkembangan Tingkat Konsumsi Ikan Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik diperoleh informasi bahwa konsumsi ikan nasional mengalami peningkatan dengan rata-rata peningkatan sebesar 4,87% selama periode tahun 2006 - 2014. Pada tahun 2006 tingkat konsumsi ikan per kapita penduduk Indonesia adalah sebesar 25,03 Kg/Kap/Th, sampai tahun 2013 sebesar 35,14 Kg/Kap/Th dan diprediksi sebesar 37,80 Kg/Kap/Th (KKP, 2014). Pada tahun 2015 target konsumsi ikan nasional adalah sebesar 40,90 Kg/Kap/Th. Nilai konsumsi ini mengindikasikan kurang lebih setara dengan 13 gram protein/kapita/hari atau 25% dari angka kecukupan gizi (AKG) yang direkomendasikan oleh Widya Karya Pangan dan Gizi X tahun 2012 yang dipertegas dalam Peraturan Menteri Keseharan RI No 75 Tahun 2013, yaitu asupan protein 57 gram/kapita/hari. Pada Gambar 4-10.4 dapat dilihat perkembangan data konsumsi dari tahun 2006-2014. Kg/kap/tahun 40,00 35,00 30,00 25,00 25,03 26,00 2006 2007 28,00 29,08 30,48 2008 2009 2010 32,25 33,89 35,14 2012 2013 37,80 20,00 15,00 10,00 5,00 2011 2014 Gambar 4-10. 4. Perkembangan Konsumsi Ikan Nasional, 2006 - 2014 Sumber: data diolah (KKP, 2014) HASIL KEGIATAN|Kajian Supply Ikan di Pasar Domestik dalam Rangka Kesiapan Menghadapi Natal 2015 dan Tahun Baru 2016 197 LAPORAN TEKNIS [KAJIAN KHUSUS BBPSEKP TAHUN 2015] Persyaratan kecukupan (sufficiency condition) untuk mencapai keberlanjutan konsumsi pangan adalah adanya aksesibilitas fisik dan ekonomi terhadap pangan. Aksesibilitas ini tercermin dari jumlah dan jenis pangan yang dikonsumsi oleh rumah tangga. Dengan demikian data konsumsi pangan secara riil dapat menunjukkan kemampuan rumah tangga dalam mengakses pangan dan menggambarkan tingkat kecukupan pangan dalam rumah tangga. Perkembangan tingkat konsumsi pangan tersebut secara implisit juga merefleksikan tingkat pendapatan atau daya beli masyarakat terhadap pangan. 23 propinsi di Indonesia konsumsi kalori dan protein ikan tahun 2014 nya berada di atas rata-rata konsumsi kalori dan protein ikan nasional, sisanya pada 10 propinsi tingkat konsumsinya di bawah rata-rata nasional. Propinsi yang dikatakan rendah tersebut diantaranya adalah Bengkulu, Lampung, DKI Jakarta, Banten, Jawa Barat, Jawa Tengah, DI Yogyakarta, Jawa Timur, Bali dan Nusa Tenggara Timur. Kalori/kap/tahu n 50 49 48 47 45,34 46 45 7,63 44 43 42 41 40 2010 Gram/kap/tahu n 8,4 47,83 47,26 47,08 8,02 8 45,45 7,85 8,2 7,82 7,8 7,6 7,56 7,4 7,2 7 2011 2012 Konsumsi Kalori 2013 2014 Konsumsi Protein Gambar 4-10. 5. Perkembangan Konsumsi Kalori dan Protein Ikan Tahun 2010 - 2014 Sumber: BPS (2014) 4.4 Pemetaan Ketersediaan Ikan Menurut data statistik perikanan tangkap tahun 2013, provinsi yang memiliki jumlah produksi perikanan tangkap paling besar terdapat di wilayah Sumatera Utara (9,08%), Maluku (9,02%), dan Jawa Timur (6,33%) dan yang paling rendah ada di wilayah DI Yogyakarta (0,08%). Produksi perikanan pada kwartal I dan II banyak provinsi yang volumenya berada di bawah ratarata namun pada kwartal III dan IV mengalami situasi yang sebaliknya. Kurang stabilnya ketersediaan ikan dari sisi produksi tersebut dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti musim penangkapan dan tinggi rendahnya permintaan ikan. Pada Tabel 4-10.3 berikut ditampilkan status ketersediaan ikan berdasarkan pulau utama. Tabel 4-10.3 berikut menunjukkan rekapitulasi HASIL KEGIATAN|Kajian Supply Ikan di Pasar Domestik dalam Rangka Kesiapan Menghadapi Natal 2015 dan Tahun Baru 2016 198 LAPORAN TEKNIS [KAJIAN KHUSUS BBPSEKP TAHUN 2015] status ketersediaan ikan dari perikanan tangkap pada tiap-tiap kwartal. Tabel 4-10. 3. Rekapitulasi Status Ketersediaan Ikan dari Perikanan Tangkap pada Tiap Kwartal Status Kwartal I Kwartal II Kwartal III Kwartal IV Kurang 26 17 10 14 Cukup 7 16 23 19 Sumber : KKP (2013), diolah Bila dikaitkan dengan ketersediaan ikan menjelang hari nataldan tahun baru yang biasa jatuh pada saat kwartal ke-4 yakni pada periode bulan Desember diperoleh informasi seperti yang ditampilkan pada Tabel 4-10.3 di atas dapat dilihat bahwa Pulau Sumatera dan Kalimantan berada pada kategori “Kurang”. Sedangkan menurut provinsi, produksi pada kwartal provinsi yang termasuk ke dalam kategori “Cukup” pada kwartal 4 ada sebanyak19 provinsi sedangkan sisanya sebanyak 14 provinsi termasuk kedalam kategori kurang. Provinsi yang dikatakan kurang tersebut diantaranya adalah Aceh, Sumatera Utara, Kep. Riau, Jambi, Sumatera Selatan, Kep. Bangka Belitung, Bengkulu, Nusa Tenggara Timur, Kalimantan Tengah, Gorontalo, Sulawesi Tengah, Sulawesi Selatan, Maluku Utara dan Papua Barat. Secara nasional produksi ikan dari sektor tangkap pada kwartal IV berada di atas nilai rata-rata dimana volume produksi sekitar 1.604.024 ton sedangkan voume rata-ratanya sebesar 1.528.844 ton sehingga termasuk ke dalam kategori cukup tersedia. Status ketersediaan ikan dari perikanan tangkap pada tiap kwartal menurut pulau utama di Indonesia disajikan pada Tabel 4-10.4. Tabel 4-10. 4. Status Ketersediaan Ikan dari Perikanan Tangkap pada Tiap Kwartal Menurut Pulau Utama di Indonesia No Pulau KW 1 KW 2 KW 3 KW 4 1 Sumatera Kurang Cukup Kurang Kurang 2 Jawa Kurang Cukup Cukup Cukup 3 Bali - Nusatenggara Kurang Kurang Cukup Cukup 4 Kalimantan Kurang Cukup Cukup Kurang 5 Sulawesi Kurang Cukup Kurang Cukup 6 Maluku - Papua Kurang Kurang Cukup Cukup Sumber : KKP (2013), diolah HASIL KEGIATAN|Kajian Supply Ikan di Pasar Domestik dalam Rangka Kesiapan Menghadapi Natal 2015 dan Tahun Baru 2016 199 LAPORAN TEKNIS [KAJIAN KHUSUS BBPSEKP TAHUN 2015] Pemetaan Permintaan Ikan Analisis permintaan komoditas ikan menjelang Natal dan Tahun Baru salah satunya dapat diperkirakan menggunakan pendekatan harga. Pendekatan harga yang dimaksud adalah melihat harga komoditas ikan pada waktu tertentu dibandingkan dengan harga rata – rata selama satu tahun tersebut. Apabila harga pada waktu tertentu lebih tinggi dari harga rata – rata tahunan, maka terdapat kemungkinan adanya peningkatan permintaan komoditas ikan. Sebaliknya, apabila harga pada waktu tertentu lebih rendah dibandingkan dengan harga rata – rata tahunan, maka terdapat kemungkinan adanya penurunan permintaan akan komoditas perikanan. Pada analisis ini untuk menduga permintaan komoditas ikan tahun 2015, digunakan data – data yang berasal dari statistik harga konsumen perdesaan kelompok makanan tahun 2014 yang dikeluarkan oleh Badan Pusat Statistik (BPS). Jenis komoditas ikan yang digunakan dalam analisis ini adalah sejumlah 27 jenis ikan. Jenis komoditas tersebut diantaranya adalah ikan olahan asin teri, Pindang Bandeng, Tongkol Asap, Ikan Kaleng serta ikan segar diantaranya adalah Bandeng, Baronang, Cakalang, Cumi – cumi, Ekor Kuning, Gabus, Kakap, Kembung, Kerang, Ketamba, Layang, Lele, Mas, Mujair, Nila, Patin, Selar, Tembang, Tenggiri, Teri, Tongkol, Udang Tambak dan Udang Laut. Tabel 4-10. 5 memperlihatkan kemungkinan permintaan ikan pada saat menjelang Natal dan Tahun Baru menurut komoditas perikanan. Menjelang Natal dan Tahun Baru, terlihat bahwa sebagian besar komoditas ikan mengalami penurunan permintaan, kecuali dua komoditas ikan yaitu tongkol asap dan udang laut. Kalau dilihat secara lebih rinci, komoditas tongkol asap memiliki minimal, maksimal dan rata – rata harga pada saat bulan juni berturut – turut adalah Rp. 12.000/kg, Rp. 97.000/kg dan Rp. 30.000/kg. Sementara itu, komoditas udang laut seharga Rp. 36.000, Rp. 94.000/kg dan Rp. 57.000/kg. HASIL KEGIATAN|Kajian Supply Ikan di Pasar Domestik dalam Rangka Kesiapan Menghadapi Natal 2015 dan Tahun Baru 2016 200 LAPORAN TEKNIS Tabel 4-10. 5. [KAJIAN KHUSUS BBPSEKP TAHUN 2015] Permintaan Ikan Pada Saat Menjelang dan Setelah Hari Natal dan Tahun Baru Menurut Komoditas, 2014 - 2015 Permintaan Terhadap Komoditas Ikan No Komoditas Sebelum Natal dan Saat Natal dan Setelah Natal dan Tahun Baru Tahun Baru Tahun Baru (November) (Desember) (Januari) 1 Asin Teri turun naik naik 2 Bandeng turun naik naik 3 Baronang turun naik naik 4 Cakalang turun naik naik 5 Cumi - cumi turun naik naik 6 Ekor Kuning turun naik naik 7 Gabus turun naik naik 8 Ikan Kaleng turun naik naik 9 Kakap turun naik naik 10 Kembung turun naik naik 11 Kerang turun naik naik 12 Ketamba turun naik naik 13 Layang turun naik naik 14 Lele turun naik naik 15 Mas turun naik naik 16 Mujair turun naik naik 17 Nila turun naik naik 18 Patin turun naik turun 19 Pindang Bandeng turun naik turun 20 Selar turun naik naik 21 Tembang turun turun naik 22 Tenggiri turun naik naik 23 Teri turun naik naik 24 Tongkol turun naik naik 25 Tongkol Asap naik naik naik 26 Udang Laut naik naik naik 27 Udang Tambak turun naik naik Sumber: Data Susenas (2014) Diolah HASIL KEGIATAN|Kajian Supply Ikan di Pasar Domestik dalam Rangka Kesiapan Menghadapi Natal 2015 dan Tahun Baru 2016 201 LAPORAN TEKNIS [KAJIAN KHUSUS BBPSEKP TAHUN 2015] Permintaan ikan pada saat natal dan tahun baru, mengalami perubahan dibandingkan dengan sebelumnya. Pada saat kedua bulan tersebut, terlihat bahwa permintaan akan komoditas ikan meningkat pada sebagian besar komoditas ikan. Tingginya permintaan komoditas ikan pada waktu tersebut disebabkan karena komoditas ikan saat ini sudah menjadi komoditas pokok ataupun alternatif masyarakat disamping komoditas daging ayam maupun daging sapi. Tabel 4-10. 6 memperlihatkan permintaan komoditas ikan yang dilihat berdasarkan region dan provinsi. Pada dasarnya Tabel 4-10. 6 menggunakan data yang sama pada Tabel 4-10.5, namun permintaan ikan tersebut dirinci menurut region dan provinsi. Pada saat sebelum natal dan tahun baru, permintaan ikan cenderung rendah hingga sedang pada seluruh region dan provinsi. Pada saat natal, terdapat 14 provinsi yang mengalami peningkatan permintaan yang tersebar di seluruh region. Region kalimantan mengalami peningkatan permintaan ikan pada seluruh wilayah provinsinya. Hasil menarik diperlihatkan pada region maluku, papua dan sulawesi yang dikenal sebagai daerah penghasil ikan, relatif permintaan ikan pada wilayah ini relatif lebih rendah dibandingkan dengan region di wilayah barat. Alasan mengapa di satu wilayah mengalami permintaan tinggi maupun rendah memang sulit untuk dijelaskan, tergantung dari karakteristik masyarakat setempat. Karakteristik tersebut diantaranya adalah faktor banyaknya penduduk, preferensi konsumsi ikan, maupun produksi ikan di wilayah tersebut. Tabel 4-10. 6. Permintaan Komoditas Ikan Pada Saat Menjelang dan Setelah Hari Natal dan Tahun Baru Menurut Region, 2014 - 2015 Kategori Permintaan Komoditas Ikan Sebelum Natal Saat Natal dan Setelah Natal dan Tahun Baru Tahun Baru dan Tahun Baru (November) (Desember) (Januari) Bali Sedang Tinggi Tinggi Nusa Tenggara Barat Sedang Tinggi Tinggi Nusa Tenggara Timur Rendah Sedang Sedang Banten Sedang Sedang Sedang D. I. Yogyakarta Rendah Sedang Tinggi DKI Jakarta Sedang Tinggi Sedang Jawa Barat Rendah Tinggi Tinggi Jawa Tengah Rendah Tinggi Tinggi Jawa Timur Rendah Sedang Tinggi Sedang Tinggi Sedang Region (Provinsi) Bali dan Nusa Tenggara Jawa Kalimantan Kalimantan Barat HASIL KEGIATAN|Kajian Supply Ikan di Pasar Domestik dalam Rangka Kesiapan Menghadapi Natal 2015 dan Tahun Baru 2016 202 LAPORAN TEKNIS [KAJIAN KHUSUS BBPSEKP TAHUN 2015] Kategori Permintaan Komoditas Ikan Sebelum Natal Saat Natal dan Setelah Natal dan Tahun Baru Tahun Baru dan Tahun Baru (November) (Desember) (Januari) Kalimantan Selatan Sedang Tinggi Tinggi Kalimantan Tengah Sedang Tinggi Tinggi Kalimantan Timur Sedang Tinggi Tinggi Maluku Sedang Sedang Tinggi Maluku Utara Rendah Sedang Sedang Papua Rendah Tinggi Tinggi Papua Barat Rendah Rendah Rendah Gorontalo Sedang Sedang Tinggi Sulawesi Barat Rendah Rendah Rendah Sulawesi Selatan Sedang Sedang Tinggi Sulawesi Tengah Rendah Sedang Tinggi Sulawesi Tenggara Sedang Tinggi Tinggi Sulawesi Utara Rendah Sedang Sedang Aceh Sedang Sedang Sedang Bengkulu Rendah Rendah Rendah Jambi Rendah Sedang Sedang Kep. Bangka Belitung Sedang Sedang Tinggi Kepulauan Riau Sedang Tinggi Tinggi Lampung Rendah Sedang Tinggi Riau Sedang Sedang Sedang Sumatera Barat Sedang Tinggi Tinggi Sumatera Selatan Sedang Tinggi Tinggi Sumatera Utara Sedang Sedang Tinggi Region (Provinsi) Maluku Papua Sulawesi Sumatera Sumber: Data Susenas (2014) Diolah HASIL KEGIATAN|Kajian Supply Ikan di Pasar Domestik dalam Rangka Kesiapan Menghadapi Natal 2015 dan Tahun Baru 2016 203 LAPORAN TEKNIS Tabel 4-10. 7. [KAJIAN KHUSUS BBPSEKP TAHUN 2015] Permintaan Komoditas Ikan Pada Saat Menjelang dan Setelah Hari Natal dan Tahun Baru Menurut Region, 2014 - 2015 Region (Provinsi) Kategori Permintaan Komoditas Ikan Bulan Juli Bulan Juli Bulan Agustus Bali 2 3 3 Nusa Tenggara Barat 2 3 3 Nusa Tenggara Timur 1 2 2 Banten 2 2 2 D. I. Yogyakarta 1 2 3 DKI Jakarta 2 3 2 Jawa Barat 1 3 3 Jawa Tengah 1 3 3 Jawa Timur 1 2 3 Kalimantan Barat 2 3 2 Kalimantan Selatan 2 3 3 Kalimantan Tengah 2 3 3 Kalimantan Timur 2 3 3 Maluku 2 2 3 Maluku Utara 1 2 2 Papua 1 3 3 Papua Barat 1 1 1 Gorontalo 2 2 3 Sulawesi Barat 1 1 1 Sulawesi Selatan 2 2 3 Sulawesi Tengah 1 2 3 Sulawesi Tenggara 2 3 3 Sulawesi Utara 1 2 2 Aceh 2 2 2 Bengkulu 1 1 1 Bali dan Nusa Tenggara Jawa Kalimantan Maluku Papua Sulawesi Sumatera HASIL KEGIATAN|Kajian Supply Ikan di Pasar Domestik dalam Rangka Kesiapan Menghadapi Natal 2015 dan Tahun Baru 2016 204 LAPORAN TEKNIS [KAJIAN KHUSUS BBPSEKP TAHUN 2015] Jambi 1 2 2 Kep. Bangka Belitung 2 2 3 Kepulauan Riau 2 3 3 Lampung 1 2 3 Riau 2 2 2 Sumatera Barat 2 3 3 Sumatera Selatan 2 3 3 Sumatera Utara 2 2 3 Keterangan: 1 = Rendah, 2 = Sedang, 3 = Tinggi Sumber: Data Susenas (2014) Diolah Tabel 4-10. 8. Permintaan Ikan Pada Saat Menjelang dan Setelah Hari Natal dan Tahun Baru Menurut Komoditas, 2014 - 2015 Permintaan Terhadap Komoditas Ikan No Komoditas Sebelum Natal Pada Saat Natal Setelah Natal dan dan Tahun Baru dan Tahun Baru Tahun Baru 1 Bandeng turun naik naik 2 Baronang turun naik naik 3 Cakalang turun naik naik 4 Cumi - cumi turun naik naik 5 Ekor Kuning turun naik naik 6 Gabus turun naik naik 7 Kakap turun naik naik 8 Kembung turun naik naik 9 Kerang turun naik naik 10 Layang turun naik naik 11 Lele turun naik naik 12 Mujair turun naik naik 13 Nila turun naik naik 14 Patin turun naik turun 15 Selar turun naik naik 16 Tembang turun turun naik 17 Tenggiri turun naik naik 18 Teri turun naik naik 19 Asin Teri turun naik naik HASIL KEGIATAN|Kajian Supply Ikan di Pasar Domestik dalam Rangka Kesiapan Menghadapi Natal 2015 dan Tahun Baru 2016 205 LAPORAN TEKNIS [KAJIAN KHUSUS BBPSEKP TAHUN 2015] 20 Tongkol turun naik naik 21 Tongkol Asap naik naik naik 22 Udang Laut naik naik naik 23 Udang Tambak turun naik naik 24 Ikan Kaleng turun naik naik 25 Ketamba turun naik naik 26 Mas turun naik naik 27 Pindang Bandeng turun naik turun Sumber: BPS, 2014 (diolah) Karakteristik Inflasi Bahan Makanan Inflasi adalah kenaikan harga-harga secara umum dan terus menerus. Kenaikan pada suatu atau beberapa barang saja dan tidak berdampak pada sebagian besar barang, bukanlah disebut inflasi. Demikian juga halnya jika kenaikan harga-harga barang yang sifatnya sesaat karena perayaan hari keagamaan, seperti pada perayaan hari lebaran, natal, tahun baru, bukanlah merupakan inflasi. Sebaliknya, yaitu penurunan harga-harga secara umum dan terus menerus disebut deflasi (Setyowati, 2004). Berikut gambaran perkembangan inflasi kelompok bahan makanan pada tahun 2006 sampai 2014. 6 5 2006 4 2007 3 2008 2 2009 1 2010 0 2011 2012 -1 2013 -2 2014 -3 -4 Gambar 4-10. 6. Perkembangan Inflasi Kelompok Bahan Makanan pada Tahun 2006 2014 Sumber: BPS (2015) HASIL KEGIATAN|Kajian Supply Ikan di Pasar Domestik dalam Rangka Kesiapan Menghadapi Natal 2015 dan Tahun Baru 2016 206 LAPORAN TEKNIS [KAJIAN KHUSUS BBPSEKP TAHUN 2015] Badan Pusat Statistik mencatat indeks harga konsumen pada bulan November 2015 mengalami inflasi sebesar 0,21% dengan IHK sebesar 121,82. Angka ini lebih rendah bila dibandingkan periode yang sama tahun 2014 yang juga mengalami inflasi sebesar 1,5%. Laju inflasi tahun kalender yakni dari Januari-November 2015 sebesar 2,37%. Tingkat inflasi tahun ke tahun yakni dari November 2015 terhadap November 2014 sebesar 4,89%. Indeks harga konsumen dan tingkat inflasi bahan makanan periode Jauari sampai November 2015 disajikan pada Gambar 4-10.7. 123 2,50 2,00 122 1,50 121 1,00 120 0,50 119 0,00 -0,50 118 -1,00 117 -1,50 116 -2,00 IHK Inflasi bahan makanan Gambar 4-10. 7. Indeks Harga Konsumen dan Inflasi bahan makanan pada tahun 2015 Sumber: BPS, 2015 Indeks Ketidakstabilan Harga Ikan Pengukuran indeks ketidakstabilan harga ikan menjelang hari natal tahun 2015 dan tahun baru 2016 dalam kajian ini menggunakan Coppock Instability Index (CII). Analisis dilakukan menggunakan data harga ikan pada tingkat konsumen dalam periode bulan november – desember 2014 dan januari 2015, untuk mengindikasikan periode yang sama natal 2015 dan tahun baru 2016. Hasil analisis indeks ketidakstabilan harga pada periode sebelum, pada saat dan sesudah natal dan tahun baru menunjukkan bahwa terjadi pergeseran indek ketidakstabilan harga pada komoditas-komoditas ikan pada ketiga periode tersebut. Sebelum natal dan tahun baru sebagian indek berada pada kuadran I/kiri atas (High growth low risk) yang menunjukan indeks yang stabil, kemudian pada bulan Desember (saat natal dan menjelang tahun baru) indek ketidakstabilan cenderung bergeser ke kuadran III/kiri bawah (High growth high risk) yang menunjukkan kestabilan yang rendah. Sedangkan pada masa setelah natal dan tahun baru, indeks cenderung berada pada kuadran III dan kuadran IV (bagian bawah) yang menunjukan kecenderungan bahwa terjadi penurunan permintaan ikan setelah natal dan tahun baru. Pergerakan HASIL KEGIATAN|Kajian Supply Ikan di Pasar Domestik dalam Rangka Kesiapan Menghadapi Natal 2015 dan Tahun Baru 2016 207 LAPORAN TEKNIS [KAJIAN KHUSUS BBPSEKP TAHUN 2015] indeks ketidakstabilan harga komoditas ikan pada periode sebelum, pada saat dan sesudah natal dan tahun baru dapat dilihat pada Gambar 4-10.8 yang mengilustrasikan pola hubungan antara harga ikan berdasarkan komoditasnya. Kode Komoditas Bandeng Baronang Cakalang Cumi-cumi Ekor Kuning Gabus Kakap Merah Kembung Kerang Darah Layang Lele Mujair Nila Patin Selar Tembang Tenggiri Teri Teri Asin Tongkol Udang Dogol Udang Krosok Gambar 4-10. 8. Pergerakan indeks ketidakstabilan harga komoditas ikan pada saat sebelum natal& tahun baru (a), pada saat natal& tahun baru (b) dan pada saat setelah natal & tahun baru (c) Sumber: Data Harga Ikan Harian Direktorat Jenderal P2HP (2014) (Diolah) HASIL KEGIATAN|Kajian Supply Ikan di Pasar Domestik dalam Rangka Kesiapan Menghadapi Natal 2015 dan Tahun Baru 2016 208 LAPORAN TEKNIS [KAJIAN KHUSUS BBPSEKP TAHUN 2015] Preferensi Konsumen tehadap Ikan sebagai Sumber Pangan Hewani (Studi kasus di Sumatera Utara dan Sulawesi Utara) Preferensi konsumen terhadap produk perikanan bertujuan untuk melihat pilihan suka atau tidak suka masing-masing individu untuk memilih sumber proteinnya. Pilihan-pilihan tersebut akhirnya akan dianalisis untuk menentukan jenis produk mana yang paling disukai atau tidak disukai sehingga pasokan terhadap produk tersebut dapat ditingkatkan pada daerah-daerah penelitian. Propinsi Sumatera Utara merupakan salah satu propinsi yang memiliki potensi kelautan dan perikanan yang cukup tinggi. Potensi tersebut terdiri dari potensi perikanan tangkap dan perikanan budidaya, dimana potensi perikanan tangkap terdiri dari potensi Selat Malaka sebesar 276.030 ton/tahun dan potensi di Samudera Hindia sebesar 1.076.960 ton/tahun. Sedangkan produksi perikanan budidaya terdiri budidaya tambak 20.000 Ha dan budidaya laut 100.000 Ha, budidaya air tawar 81.372,84 Ha dan perairan umum 155.797 Ha, kawasan pesisir Sumatera Utara mempunyai panjang pantai 1300 Km yang terdiri dari panjang Pantai Timur 545 km, panjang Pantai Barat 375 Km dan Kepulauan Nias dan Pulau-Pulau Baru Sepanjang 350 Km. Untuk total produksi perikanannya, Propinsi Sumatera Utara pada tahun 2014 berhasil memproduksi sebanyak 795.652 ton dari perikanan tangkap dan budidaya. Berikut grafik produksi perikanan tangkap dan budidaya Propinsi Sumatera Utara pada tahun 2013-2014. 600.000 553.311 568.484 500.000 400.000 300.000 200.000 Perikanan Tangkap 175.721 209.524 Perikanan Budidaya 100.000 0 2013 2014 Gambar 4-10. 9. Total Produksi Perikanan Tangkap dan Budidaya Propinsi Sumatera Utara Tahun 2013-2014 Dari grafik tersebut dapat terlihat bahwa masih ada potensi perikanan baik tangkap maupun budidaya yang belum dimanfaatkan. Hal ini dikarenakan antara potensi dan produksi masih memiliki selisih yang cukup jauh. Untuk produksi olahan ikan di Propinsi Sumatera Utara 404.003 ton/tahun. Sedangkan volume ekspor hasil perikanan pada tahun 2014 sebesar 57.214 ton/tahun. Angka konsumsi ikan masyarakat Propinsi Sumatera Utara sebesar 40,1 kg/kap/tahun. HASIL KEGIATAN|Kajian Supply Ikan di Pasar Domestik dalam Rangka Kesiapan Menghadapi Natal 2015 dan Tahun Baru 2016 209 LAPORAN TEKNIS [KAJIAN KHUSUS BBPSEKP TAHUN 2015] Berdasarkan data demografi penduduk, masyarakat di Provinsi Sulawesi Utara yang beragama Nasrani ada sebanyak 68,01% sehingga cukup banyak yang merayakan Natal dam tahun baru. Selain itu Sulawesi Utara merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang merupakan daerah penghasil ikan. Berdasarkan data dari statistik perikanan KP tahun 2014 menunjukkan bahwa produksi ikan dari Provinsi Sulawesi Utara berjumlah 281.305 ton (KKP, 2013). Pada tahun 2012 masyarakat di Provinsi Sulawesi Utara mengkonsumsi ikan sebanyak 13,34 gr/kap/tahun, daging sebanyak 0,81 gr/kap/tahun, telur sebanyak 1,38 gr/kap/tahun dan susu sebanyak 1,28 gr/kap/tahun (BPS, 2014). Karakteristik Responden Pada umumnya responden dari Sumatera Utara berasal dari wilayah Kota Medan, Kota Sibolga, Kota Tebing Tinggi, Kota Binjai, Kabupaten Serdang Bedagai, Kabupaten Deli Serdang, Kabupaten Batubara, Kabupaten Labuan Batu Utara dan Kabupaten Langkat. Untuk komposisi responden merupakan responden asli Kota Medan sebesar 29 %. Jenis kelamin responden lebih banyak didominasi oleh laki-laki yakni sebesar 57,9%. Usia responden lebih didominasi oleh usia 24-30 tahun yang mencapai 52,6%. Status responden lebih banyak yang sudah menikah yakni berkisar 88,2%. Pendidikan responden umumnya adalah S1 yang mencapai 81,6% dengan pekerjaan pada umumnya adalah pegawai negeri sipil yang mencapai 53,9% dari total responden. Kisaran pendapatan per bulan responden lebih banyak berada pada kisaran Rp 1.500.000 – Rp 2.500.000,- yaitu sebesar 47,4%. Para responden rata-rata memiliki pengeluaran berkisar Rp 1.500.000,- tiap bulannya. Pada umumnya responden di Propinsi Sulawesi Utara berasal dari wilayah Manado, Minahasa, Gorontalo dan Sangihe yakni mencapai 60% dari total responden sedangkan sisanya berasal dari luar Pulau Sulawesi. Jenis kelamin responden lebih banyak didominasi oleh perempuan yakni sebesar 62%. Usia responden lebih didominasi oleh usia > 40 tahun yang mencapai 32%. Status responden lebih banyak yang sudah menikah yakni berkisar 87%. Pendidikan responden umumnya adalah SMU/SMK yang mencapai 51% dengan pekerjaan pada umumnya adalah pegawai swasta yang mencapai 42% dari total responden. Kisaran pendapatan per bulan responden lebih banyak berada pada kisaran Rp 1.500.000 – Rp 2.500.000,- yaitu sebesar 40%. Rata-rata pengeluaran responden berkisar Rp 1.300.000,- tiap bulannya. Tabel 4-10. 9 menampilkan karakteristik responden secara lengkap. HASIL KEGIATAN|Kajian Supply Ikan di Pasar Domestik dalam Rangka Kesiapan Menghadapi Natal 2015 dan Tahun Baru 2016 210 LAPORAN TEKNIS Tabel 4-10. 9. No I II [KAJIAN KHUSUS BBPSEKP TAHUN 2015] Karakteristik Responden di Lokasi Penelitian, Tahun 2015 (Satuan = %) Karakteristik Responden IV Sulawesi Utara 57,9 38,0 b. Perempuan 43,4 62,0 a. 17 – 23 Tahun 26,3 12 b. 24 – 30 Tahun 52,6 27 c. 31 – 40 Tahun 9,2 29 11,8 32 a. Menikah 88,2 87 b. Belum Menikah 11,8 13 0 15 b. SMU/SMK 6,6 51 c.Diploma 7,9 7 d.S1 81,6 22 e.S2 4 4 f. S3 0 1 7,9 2 b. Pegawai Swasta 17,1 42 c. Pegawai Negeri 53,9 13 d. Wiraswasta/Pengusaha 2,7 6 e. Pedagang 2,7 9 f. Dosen 2,7 2 0 2 11,9 20 1,5 2 0 2 0 3 1,3 8 47,4 40 Usia Status Nikah Pendidikan Pekerjaan a. Pelajar/Mahasiswa g. Guru h. Ibu Rumah Tangga i. Pensiunan f. Lainnya VI Sumatera Utara a. Laki-laki a. SD/SLTP V Kota Manado, Jenis Kelamin d. > 40 Tahun III Kota Medan, Pendapatan a. < Rp 500.000 b. Rp 500.000 – Rp 1.500.000 c. Rp 1.500.000 – Rp 2.500.000 HASIL KEGIATAN|Kajian Supply Ikan di Pasar Domestik dalam Rangka Kesiapan Menghadapi Natal 2015 dan Tahun Baru 2016 211 LAPORAN TEKNIS No [KAJIAN KHUSUS BBPSEKP TAHUN 2015] Karakteristik Responden Kota Medan, Kota Manado, Sumatera Utara Sulawesi Utara d. Rp 2.500.000 – Rp 3.500.000 40,8 27 e. Rp 3.500.000 – Rp 4.500.000 9,2 12 f. Rp 4.500.000 – Rp 5.500.000 1,3 4 0 6 g. > Rp 5.500.000 Sumber : Data Primer (diolah), 2015 Daya Beli Responden Responden di Kota Medan memiliki pilihan yang seimbang antara ikan, ayam dan daging. Analisis yang dilakukan dengan skala likert menunjukkan bahwa tingkat kesukaan masyarakat khususnya di Kota Medan terhadap ikan sekitar 65,4% atau berada pada kriteria suka. Sedangkan kesukaan terhadap daging unggas dan sapi masing-masing sebesar 60,4% dan 63% yang juga pada level suka. Hal ini menunjukkan bahwa responden yang dipilih secara acak di Medan cenderung fleksibel dalam pilihan sumber pangan hewaninya.. Responden yang membeli ikan rata-rata mengeluarkan biaya sebesar Rp 75.000,- tiap belanja yang dilakukan dalam 3 kali setiap minggunya sehingga responden mengeluarkan biaya untuk membeli ikan sekitar Rp 847.895,- setiap bulannya atau sebesar 65% dari total pengeluaran rata-rata responden. Pada umumnya responden membeli ikan untuk dikonsumsi selain ayam dan daging sapi. Analisis yang dilakukan dengan skala likert menunjukkan bahwa tingkat kesukaan masyarakat khususnya di Kota Manado terhadap ikan sekitar 94% atau berada pada kriteria sangat suka. Sedangkan kesukaan terhadap daging unggas dan sapi masing-masing sebesar 83% dan 80% atau berada pada level suka. Hal ini menunjukkan bahwa responden yang dipilih secara acak di Manado lebih menyukai ikan bila dibandingkan dengan jenis sumber konsumsi pangan hewani lainnya. Responden yang membeli ikan rata-rata mengeluarkan biaya sebesar Rp 43.500,- tiap belanja yang dilakukan dalam 4 kali setiap minggunya sehingga responden mengeluarkan biaya untuk membeli ikan sekitar Rp 754.000,- setiap bulannya atau sebesar 58% dari total pengeluaran rata-rata responden. Pada Tabel 4-10.10 menunjukkan preferensi konsumen terhadap jenis produk pangan hewani. HASIL KEGIATAN|Kajian Supply Ikan di Pasar Domestik dalam Rangka Kesiapan Menghadapi Natal 2015 dan Tahun Baru 2016 212 LAPORAN TEKNIS [KAJIAN KHUSUS BBPSEKP TAHUN 2015] Tabel 4-10. 10. Preferensi Konsumen Terhadap Jenis Produk Pangan Hewani di Lokasi Penelitian, Tahun 2015 (Satuan = %) No 1 Jenis Produk Pangan Jenis pangan berasal dari Sumatera Utara Sulawesi Utara A B C D E A B C D E - 60,4 - - - 83 - - - - - 63,0 - - - - 80 - - - - 65,4 - - - 94 - - - - yang daging unggas (ayam, bebek, burung, dll) 2 Jenis pangan berasal dari yang daging merah (sapi, kambing, babi, dll) 3 Jenis pangan yang berasal dari ikan (ikan, cumi, kerang, udang, krupuk, dll) Keterangan: A = Sangat Suka; B = Suka; C = Biasa Saja; D = Tidak suka; E = Sangat Tidak Suka Sumber : Data Primer (Diolah), 2015 Preferensi Konsumen Terhadap Atribut Produk Berdasarkan preferensi konsumen, persepsi responden di Sumatera Utara pada umumnya berada pada kategori “sangat favorit” terhadap ikan ikan laut yakni sebesar 86,4% dan berada pada kategori “favorit” terhadap ikan air tawar sebesar 65%. Demikian juga halnya dengan responden dari Sulawesi Utara, berdasarkan preferensi konsumen, persepsi responden pada umumnya berada pada kategori “sangat favorit” terhadap ikan ikan laut yakni sebesar 89,4% dan berada pada kategori “favorit” terhadap ikan air tawar sebesar 68,8%. Tabel 4-10.11 ditampilkan preferensi konsumen terhadap jenis ikan. Tabel 4-10. 11. Preferensi Konsumen Terhadap Jenis Ikan di Lokasi Penelitian, Tahun 2015 (Satuan = %) No Jenis Ikan 1 Ikan laut 2 Ikan air tawar Sumatera Utara Sulawesi Utara A B C D E A B C D E 86,4 - - - - 89,4 - - - - - 65 - - - - 68,8 - - - Keterangan: A = Sangat Favorit; B = Favorit; C = Biasa Saja; D = Tidak Favorit; E = Sangat Tidak Favorit Sumber : Data Primer (Diolah), 2015 HASIL KEGIATAN|Kajian Supply Ikan di Pasar Domestik dalam Rangka Kesiapan Menghadapi Natal 2015 dan Tahun Baru 2016 213 LAPORAN TEKNIS [KAJIAN KHUSUS BBPSEKP TAHUN 2015] Ditinjau dari alasan mengkonsumsi ikan diperoleh informasi bahwa pada umumnya responden di Sumatera Utara mempertimbangan kandungan gizinya lebih tinggi/baik sebesar 67% dan mudah mendapatkannya sebesar 24%. Persepsi responden terhadap ikan segar menunjukkan bahwa responden berada pada kategori “sangat setuju” dan ikan olahan berada pada kategori “setuju”. Demikian juga halnya dengan responden di Sulawesi Utara, bahwa alasan mengkonsumsi ikan diperoleh informasi bahwa pada umumnya responden mudah mendapatkan ikan (30%), kandungan gizinya lebih tinggi/baik sebesar 30% dan enak rasanya sebesar 18%. Persepsi responden terhadap ikan segar menunjukkan bahwa responden berada pada kategori “sangat setuju” yakni sebesar 94% dan ikan olahan berada pada kategori “setuju” yakni sebesar 67,8%. Tabel 4-10. 12. Preferensi Konsumen Terhadap Ikan Segar dan Olahan di Lokasi Penelitian, Tahun 2015 (Satuan = %) Sumatera Utara No Sulawesi Utara Jenis Ikan A B C D E A B C D E 1 Ikan laut - - - - 95 - - - - 94 2 Ikan air tawar - - - 67,4 - - - - 67,8 - Keterangan: A = Sangat Tidak Setuju; B = Tidak Setuju; C = Ragu-Ragu; D = Setuju; E = Sangat Setuju Sumber : Data Primer (Diolah), 2015 Untuk jenis ikan, ikan yang banyak diminati oleh responden adalah ikan laut yaitu sebesar 46%, sedangkan untuk ikan air tawar digemari sebanyak 26% responden dan 27% responden menyatakan suka terhadap keduanya. Berdasarkan jenis ikan segar, yang paling disukai adalah kepiting (88,2%), kuwe (87,6%), dan cumi (87,1%). Tabel 4-10. 13. Preferensi Konsumen Terhadap Jenis Ikan di Lokasi Penelitian, Tahun 2015 (Satuan = %) No Jenis Ikan Sumatera Utara A B C D Sulawesi Utara E A B C D E 1 Ikan Kerapu - - - - 80,8 - - - - 82,6 2 Ikan Kakap - - - - 81,1 - - - - 84,2 3 Ikan Kerang - - - 73,4 - - - - 80,0 - 4 Ikan Bandeng - - - 72,9 - - - - 79,6 - 5 Ikan Kuwe - - - - 87,6 - - - - 86,2 6 Ikan Baronang - - - - 84,5 - - - - 85,4 7 Udang - - - - 86,0 - - - - 83,0 HASIL KEGIATAN|Kajian Supply Ikan di Pasar Domestik dalam Rangka Kesiapan Menghadapi Natal 2015 dan Tahun Baru 2016 214 LAPORAN TEKNIS No [KAJIAN KHUSUS BBPSEKP TAHUN 2015] Jenis Ikan Sumatera Utara A B C Sulawesi Utara D E A B C D E 8 Cumi - - - - 87,1 - - - - 83,2 9 Kepiting - - - - 88,2 - - - - 84,4 10 Ikan Gurame - - 59,4 - - - - 79,6 - - Keterangan: A = Sangat Tidak Setuju; B = Tidak Setuju; C = Ragu-Ragu; D = Setuju; E = Sangat Setuju Sumber : Data Primer (diolah), 2015 Sedangkan ikan olahan yang paling disukai oleh responden di Sumatera Utara adalah ikan asin (80,3%). Responden pada dasarnya kurang menyukai ikan olahan yang berubah bentuk seperti sosis. Berbeda halnya dengan responden di Sulawesi Utara. Ikan olahan yang paling disukai adalah ikan asap (87,8%), kemudian ikan asin (82,8%), baso (74,6%), ikan kaleng (73,4%) dan nugget (72,6%). Hampir semua responden mengetahui cara memilih ikan yang baik. Pada Tabel 4-10. 14 dilihat kesukaan responden terhadap berbagai jenis ikan olahan. Tabel 4-10. 14. Preferensi Konsumen Terhadap Jenis Ikan Olahan di Lokasi Penelitian, Tahun 2015 (Satuan = %) No Sumatera Utara Jenis Ikan Olahan A B C D Sulawesi Utara E B C D E - - - - 82,8 - 87,8 1 Olahan Ikan Asin - - - 2 Ikan Asap, Ikan Panggang - - - 70,8 - - - - 3 Ikan Pindang - - - 63,9 - - - - 71,8 - 4 Ikan Kecap - - 59,2 - - - - - 66,2 - 5 Olahan Terasi - - - 72,0 - - - - 64,2 - 6 Olahan (Ikan - - - 72,0 - - - - 73,4 - 7 Olahan Pembekuan (Ikan Beku) - - - 63,0 - - - - 66,2 - 8 Olahan Baso - - - 75,0 - - - - 74,6 - 9 Olahan Sosis - - 56,0 - - - - - 70,2 - 10 Olahan Nugget - - - 74,0 - - - - 72,6 - 11 Olahan Jelly dari Rumput Laut - - - 67,0 - - - - 64,0 - Pengalengan - 80,3 A Kaleng) Keterangan: A = Sangat Tidak Setuju; B = Tidak Setuju; C = Ragu-Ragu; D = Setuju; E = Sangat Setuju Sumber : Data Primer (diolah), 2015 HASIL KEGIATAN|Kajian Supply Ikan di Pasar Domestik dalam Rangka Kesiapan Menghadapi Natal 2015 dan Tahun Baru 2016 215 LAPORAN TEKNIS [KAJIAN KHUSUS BBPSEKP TAHUN 2015] Produk Pelayanan Pasar Pada umumnya responden membeli ikan di pasar tradisional yakni sebesar 74%, pasar khusus ikan sebesar 52%, supermarket sebesar 16% dan pedagang keliling sebesar 24%. Pembelian yang dilakukan di pasar tradisional dan pasar khusus banyak dilakukan oleh responden dengan alasan jenis ikan yang dijual banyak jenisnya dan berharga murah. Demikian pula dengan alasan memilih untuk membeli ikan di pasar ikan. Untuk beberapa responden yaang memilih di pedagang keliling, memilih untuk membeli iakn di pedagang keliling karena pelayannannya yang cepat dan aksesnya yang muda. Pembeli tidak perlu lagi menggunakan jasa transportasi ke lokasi pembelian ikan. Sedangkan pembelian yang dilakukan di supermarket dilakukan dengan alasan tempatnya aman untuk berbelanja dan kualitasnya terjamin. Pada Tabel 4-10.15 dapat dilihat perilaku konsumen dalam memilih tempat pembelian ikan. Tabel 4-10. 15. Perilaku Konsumen dalam Memilih Tempat Pembelian Ikan di Lokasi Penelitian, Tahun 2015 (Satuan = %) Uraian Sumatera Utara Sulawesi Utara Membeli di pasar tradisional/campuran 74 96,0 Membeli di pasar khusus ikan 52 84,0 Membeli di supermarket/hypermarket 16 29,0 Membeli di pedagang keliling (PKL) 24 29,0 Sumber : Data Primer (diolah), 2015 Perilaku dalam pembelian ikan pada umumnya responden ingin melakukan secara mandiri dalam proses pemilihan ikan dan pengambilan ikan, namun tidak sampai proses penimbangan sendiri. Responden di Sumatera Utara yang memilih untuk mengolah sendiri sebanyak 75% dan pada umumnya responden yang ingin membeli jadi hanya sebesar 13%. Hal ini dikarenakan banyak responden masyarakat Sumatera Utara yang menyukai citara rasa rumahan dan rata-rata dari mereka gemar memasak. Sedangkan responden di Sulawesi Utara yang melakukan penimbangan sendiri sebanyak 79%. Untuk yang mengolah sendiri ada sebanyak 96% dan pada umumnya responden yang ingin membeli jadi hanya sebesar 31%. Dalam rangka menyambut hari raya natal, maka pada umumnya responden di Sumatera Utara menjawab tidak ada menu khusus yang dipersiapkan. Kalau responden di Sulawesi Utara yang menjawab ada menu khusus hanya sebesar 37% dan sisanya tidak ada menu khusus. HASIL KEGIATAN|Kajian Supply Ikan di Pasar Domestik dalam Rangka Kesiapan Menghadapi Natal 2015 dan Tahun Baru 2016 216 LAPORAN TEKNIS [KAJIAN KHUSUS BBPSEKP TAHUN 2015] Kesimpulan Dan Rekomendasi Kebijakan Kesimpulan 1. Secara empiris penelitian ini menunjukkan bahwa produksi perikanan yang dihasilkan baik dari kegiatan penangkapan maupun budidayamenunjukkan kecenderungan adanya peningkatan. Produksi ini tidak semuanya disediakan untuk konsumsi domestik. Setiap tahunnya ada produksi yang diekspor ke berbagai negara tujuan. 2. Konsumsi ikan nasional mengalami peningkatan dengan rata-rata peningkatan sebesar 4,87% selama periode tahun 2006 - 2014. Pada tahun 2006 tingkat konsumsi ikan per kapita penduduk Indonesia adalah sebesar 25,03 Kg/Kap/Th, sampai tahun 2013 sebesar 35,14 Kg/Kap/Th dan diprediksi sebesar 37,80 Kg/Kap/Th. Pada tahun 2015 adalah sebesar 40,90 Kg/Kap/Th. 3. Angka ini kurang lebih setara dengan 13 gram protein/kapita/hari atau 25% dari angka kecukupan gizi (AKG) yang direkomendasikan oleh Widya Karya Pangan dan Gizi X tahun 2012 yang dipertegas dalam Peraturan Menteri Keseharan RI No 75 Tahun 2013, yaitu asupan protein 57 gram/kapita/hari. Angka 25 % tersebut tentu sangat signifikan mengingat bahwa sejauh ini ikan tidak tercantum dalam daftar komoditas ketahanan pangan, baik di tingkat nasional maupun regional. 4. 23 propinsi di Indonesia konsumsi kalori dan protein ikan tahun 2014 nya berada di atas ratarata konsumsi kalori dan protein ikan nasional, sisanya pada 10 propinsi tingkat konsumsinya di bawah rata-rata nasional. Propinsi yang dikatakan rendah tersebut diantaranya adalah Bengkulu, Lampung, DKI Jakarta, Banten, Jawa Barat, Jawa Tengah, DI Yogyakarta, Jawa Timur, Bali dan Nusa Tenggara Timur. 5. Menurut data statistik perikanan tangkap tahun 2013, provinsi yang memiliki jumlah produksi perikanan tangkap paling besar terdapat di wilayah Sumatera Utara (9,08%), Maluku (9,02%), dan Jawa Timur (6,33%) dan yang paling rendah ada di wilayah DI Yogyakarta (0,08%). Produksi perikanan pada kwartal I dan II banyak provinsi yang volumenya berada di bawah rata-rata namun pada kwartal III dan IV mengalami situasi yang sebaliknya. Kurang stabilnya ketersediaan ikan dari sisi produksi tersebut dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti musim penangkapan dan fluktuasi permintaan ikan. 6. Hasil analisis indeks ketidakstabilan harga pada periode sebelum, pada saat dan sesudah natal dan tahun baru menunjukkan bahwa terjadi pergeseran indek ketidakstabilan harga pada komoditas-komoditas ikan pada ketiga periode tersebut. Sebelum natal dan tahun baru sebagian indek berada pada kuadran I/kiri atas (High growth low risk) yang menunjukan indeks yang stabil, kemudian pada bulan Desember (saat natal dan menjelang tahun baru) indek ketidakstabilan cenderung bergeser ke kuadran III/kiri bawah (High growth high risk) yang menunjukkan kestabilan yang rendah. Sedangkan pada masa setelah natal dan tahun HASIL KEGIATAN|Kajian Supply Ikan di Pasar Domestik dalam Rangka Kesiapan Menghadapi Natal 2015 dan Tahun Baru 2016 217 LAPORAN TEKNIS [KAJIAN KHUSUS BBPSEKP TAHUN 2015] baru, indeks cenderung berada pada kuadran III dan kuadran IV (bagian bawah) yang menunjukan kecenderungan bahwa terjadi penurunan permintaan ikan setelah natal dan tahun baru. 7. Perilaku dalam pembelian ikan pada umumnya dilakukan secara mandiri dalam proses pemilihan ikan dan pengambilan ikan, meskipun tidak sampai proses penimbangan sendiri. Sebagian besar responden juga memilih untuk mengolah sendiri dengan alas an lebih menyukai citara rasa rumahan dan rata-rata dari mereka gemar memasak. Dalam rangka menyambut hari raya natal, maka pada umumnya responden tidak ada menu khusus yang dipersiapkan. Rekomendasi Kebijakan 1. Pemantauan harga ikan menjelang hari natal dan tahun baru. 2. Perlu adanya perbaikan sistem distribusi ikan agar ketersediaan ikan dapat lebih merata khususnya pada wilayah Jawa dan Bali. 3. Peningkatan konsumsi ikan terutama pada wilayah Jawa dan Bali. 4. Pengembangan distribusi ikan dengan mengefektifkan Sistem Logistik Ikan Nasional yang terintegrasi antar pusat produksi dan konsumsi. 5. Pengembangan pangan lokal sebagai upaya mendukung diversifikasi produksi dan konsumsi ikan. 6. Sinergitas dan koordinasi kebijakan pemerintah pusat dan daerah antar sektor untuk memenuhi kebutuhan dan konsumsi ikan. Daftar Pustaka Ariningsih, E. 2004. Kajian Konsumsi Protein Hewani pada Masa Krisis Ekonomi di Jawa. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Departemen Pertanian. Bogor. Aswatini, H. Romdiati, B. Setiawan, A. Latifa, Fitranita, M. Noveria. 2004. Ketahanan Pangan, Kemiskinan dan Sosial Demografi Rumah Tangga. Pusat Penelitian Kependudukan. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. Jakarta. Badan Pusat Statistik. 2010. Neraca Bahan Makanan: Studi Keterbandingan Data Ketersediaan dan Data Konsumsi. Jakarta-Indonesia. Badan Pusat Statistik. 2014. Statistik Harga Konsumen. HASIL KEGIATAN|Kajian Supply Ikan di Pasar Domestik dalam Rangka Kesiapan Menghadapi Natal 2015 dan Tahun Baru 2016 218 LAPORAN TEKNIS [KAJIAN KHUSUS BBPSEKP TAHUN 2015] Badan Pusat Statistik. 2012. Konsumsi Kalori dan Protein Penduduk Indonesia dan Provinsi 2012. Buku 2 Survey Sosial Ekonomi Nasional berdasarkan Hasil Susenas September 2012. Badan Pusat Statistik. Jakarta. Badan Pusat Statistik. 2013. Konsumsi Kalori dan Protein Penduduk Indonesia dan Provinsi 2013. Buku 2 Survey Sosial Ekonomi Nasional berdasarkan Hasil Susenas September 2013. Badan Pusat Statistik. Jakarta. Badan Pusat Statistik. 2014. Konsumsi Kalori dan Protein Penduduk Indonesia dan Provinsi 2014. Buku 2 Survey Sosial Ekonomi Nasional berdasarkan Hasil Susenas September 2014. Badan Pusat Statistik. Jakarta. Berg, A dan R.J Muscat. 1985. Faktor Gizi. (Penerjemah, Sediaoetama). Bhatara. Jakarta. Braun, VJ, H. Bouis, S. Kumar and R. Pandya-Lorch. 1992. Improving Food Security of The Poor: Concept, Policy and Programs. IPRI. Washington DC. Coppock, J.D. 1962. International Economic Instability. McGraw-Hill Publishing Company. New York. Fauzi, A. 2010. Ekonomi Perikanan Teori, Kebijakan, dan Pengelolaan. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. Fauzi, A. dan S. Anna. 2010. Growth and Instability of Small Pelagic Fisheries of the North Coast of Java, Indonesia: Lesson Learned for Fisheries Policy. China-USA Business Review, ISSN 1537-1514June 2012, Vol. 11, No. 6, 739-748. David Publishing. Page 739 – 748. Hardinsyah, Irawati, A, Kartono, D, Prihartini S, Linorita I, Amilia L, Fermanda M, Adyas EE, Yudianti D, Kusrto CM dan Heryanto Y. 2012. Pola Konsumsi Pangan dan Gizi Penduduk Indonesia. Departemen Gizi Masyarakat FEMA IPB dan Badan Litbangkes Kemenkes RI. Bogor. Kementerian Kelautan dan Perikanan. 2013. Kelautan dan Perikanan dalam Angka 2013. Jakarta. 212 Hal. Indriana S. dan L. Widajanti. 2005. Hubungan Pendapatan, Pengetahuan Gizi Ibu dengan Ketersediaan Ikan Tingkat Rumah Tangga Daerah Perkotaan. Jurnal Gizi Indonesia, Volume 1 Nomor 1 Desember 2005. Irawan, B. 2002. Elastisitas Konsumsi Kalori dan Protein di Tingkat Rumah Tangga. Jurnal Agro Ekonomi 20 (1): 25-47. Karyadi dan Muhilal. 1987. Nilai Tambah Ikan bagi Gizi dan Kesehatan Masyarakat. Makalah Seminar Manfaat Ikan Bagi Pembangunan Sumberdaya Manusia. Departemen Kesehatan RI. Jakarta. HASIL KEGIATAN|Kajian Supply Ikan di Pasar Domestik dalam Rangka Kesiapan Menghadapi Natal 2015 dan Tahun Baru 2016 219 LAPORAN TEKNIS [KAJIAN KHUSUS BBPSEKP TAHUN 2015] Kementerian Kelautan dan Perikanan. 2013. Kelautan dan Perikanan dalam Angka 2013. Jakarta. 212 Hal. Kementerian Kelautan dan Perikanan. 2014. Kelautan dan Perikanan dalam Angka 2014. Jakarta. 212 Hal. Kotler, Phillip. 2000. Manajemen Pemasaran. Edisi Millenium Jakarta. Prehallindo. Lubis, B. 1987. Pengolahan dan Pemasaran Ikan Untuk Pemerataan Konsumsi. Seminar Manfaat Ikan Bagi Pembangunan Sumberdaya Manusia. Jakarta. Oktari, R.N. 2008. Konsumsi Ikan Anak Usia Sekolah pada Keluarga Nelayan dan Non Nelayan Berdasarkan Keadaan Sosial Ekonomi. Skripsi Sarjana yang Tidak Dipublikasikan. Program Studi GiziMasyarakat dan Sumberdaya Keluarga, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Bogor. Pribadi, N. 2005. Program Ketahanan Pangan: Konsep dan Implementasinya. Makalah disampaikan dalam Penyusunan Indikator Kinerja Program Ketahanan Pangan di Badan Perencanaan Pembangunan Nasional. Tanggal 15 Agustus 2005. Jakarta. Sawit, H. dan M. Ariani. 1997. Konsep dan Kebijaksanaan Ketahanan Pangan. Makalah Pembanding pada Seminar PraWidyakarya Nasional Pangan dan Gizi VI di Bulog. Tanggal 26 – 27 Juni. Jakarta. Setyowati, E., R.S. Damayanti, Subagyo dan R. Badrudin. 2004. Pengantar Ekonomi Mikro Edisi 2. STIE YKPN. Yogyakarta. Schiffman, L.G dan Kanuk. 2000. Consumer Behaviour. New Jersey. Prentice Hall. Soetrisno, N. 1995. Ketahanan Pangan Dunia: Konsep, Pengukuran dan Faktor Dominan. Majalah Pangan No. 21 Nol. V Tahun 1995. Soetrisno, N. 1997. Konsep dan Kebijaksanaan Ketahanan Pangan dalam Repelita VII. Makalah disampaikan pada Seminar PraWidyakarya Nasional Pangan dan Gizi VI di Bulog. Tanggal 26 – 27 Juni. Jakarta. Sudibyo. 2002. Perilaku Konsumen dan Kesinambungan Kebutuhan. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama Suhardjo. 1994. Pola Konsumsi Ikan di Indonesia. Makalah disampaikan pada Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi V. Tanggal 20 – 22 April. Jakarta. Suhardjo. 1996. Pengertian dan Kerangka Pikir Ketahanan Pangan Rumah Tangga. Makalah disampaikan pada Lokakarya Ketahanan Pangan Rumah Tangga. Tanggal 26 – 30 Mei. Yogyakarta. HASIL KEGIATAN|Kajian Supply Ikan di Pasar Domestik dalam Rangka Kesiapan Menghadapi Natal 2015 dan Tahun Baru 2016 220 LAPORAN TEKNIS [KAJIAN KHUSUS BBPSEKP TAHUN 2015] Undang-Undang dan Peraturan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan.Disahkan di Jakarta pada tanggal 4 November 1996. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan. Disahkan di Jakarta pada tanggal 16 November 2012. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 75 Tahun 2013 tentang Angka Kecukupan Gizi yang Dianjurkan bagi Bangsa Indonesia. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 28 November 2013. HASIL KEGIATAN| 221 LAPORAN TEKNIS 4.11. [KAJIAN KHUSUS BBPSEKP TAHUN 2015] Kajian Cepat Tentang Manfaat Dan Kerugian Keikutsertaan Indonesia Di Dalam Trans Pasific Partnership (TPP) Bagi Perdagangan Di Sektor Kelautan Dan Perikanan Pendahuluan Latar Belakang TPP merupakan kerangka hukum yang melibatkan 40 persen kekuatan ekonomi dunia. TPP adalah pakta perdagangan yang diklaim sebagai perjanjian paling lengkap dan berstandar paling tinggi, yang mengatur hak kekayaan intelektual, Badan Usaha Milik Negara (BUMN), dan mekanisme penyelesaian sengketa antara negara dengan investor asing. Keberadaan trans-pacific partnership ini akan membuka berbagai peluang bagi Indonesia untuk meningkatkan perekonomian nasional dan kawasan. Hal tersebut menjadi momen penting bagi Indonesia di mata dunia, meski kondisi kesiapan dalam negeri juga harus menjadi pertimbangan tersendiri apabila akan masuk ke dalam trans-pacific partnership. Anggota TPP saat ini terdiri dari AS, Australia, Brunei Darussalam, Chili, Jepang, Malaysia, Peru, Singapura, Vietnam, Mexico, Canada, dan Selandia Baru. Saat ini, banyak negara menerapkan hambatan tarif dan membuat impor barang dari luar negeri menjadi lebih mahal yang bertujuan melindungi produsen di dalam negeri. Salah satu peran penting dan utama TPP adalah menghilangkan hambatan tarif ini, sehingga produk-produk (bahan baku, setengah jadi, ataupun bahan jadi) bisa didapatkan secara murah. TPP memiliki cakupan meliputi pertanian, farmasi, Hak Kekayaan Intelektual (HAKI), bahan kimia, dll. Tujuan Penelitian Kajian Pendahuluan Manfaat dan Kerugian Keikutsertaan Indonesia di dalam Trans Pacific Partnership (TPP) Bagi Perdagangan di Sektor Kelautan dan Perikanan dalam rangka Kajian Khusus Kebijakan Inovatif Dalam Rangka Percepatan Program Pembangunan Kelautan Dan Perikanan 2015 memiliki tujuan sebagai berikut: (1) Menganalisis manfaat dan kerugian keikutsertaan Indonesia di dalam Trans Pasific Partnership (2) Menganalisis perkembangan neraca perdagangan komoditas perikanan Indonesia ke negara-negara yang sudah bergabung menjadi anggota Trans Pasific Partnership HASIL KEGIATAN|Kajian Cepat Tentang Manfaat Dan Kerugian Keikutsertaan Indonesia Di Dalam Trans Pasific Partnership (TPP) Bagi Perdagangan Di Sektor Kelautan Dan Perikanan 222 LAPORAN TEKNIS [KAJIAN KHUSUS BBPSEKP TAHUN 2015] Metode Penelitian Metodologi yang digunakan dalam penelitian ini bersifat kualitatif, yaitu melibatkan interpretasi dan juga pendekatan naturalistik terhadap subjek penelitian, serta tidak jarang menggunakan berbagai metode atau pendekatan pada satu fokus kajian (Denzin and Lincoln, 1994). Pilihan studi literatur dilakukan mengingat data dan informasi yang tersedia bagi penelitian ini adalah berupa dokumen. Analisis data dilakukan secara deskriptif dan diinterpretasikan menggunakan metode logik. Metode logik adalah cara menalar dimana data diamati dan dipilah-pilah, buktinya dicari dan dipertimbangkan, dianalisis dan kemudian kesimpulan diambil (Nazir, 1988). Analisis hubungan antara fakta sosial dinyatakan menggunakan pendekatan deskriptif dan kualitatif. Analisis menggunakan metode content analysis juga dilakukan untuk memahami informasi dan studi yang dijadikan bahan rujukan pembahasan. Selain itu, analisis terhadap data perdagangan Indonesia terhadap negara-negara anggota TPP lainnya juga dilakukan. Untuk menghasilkan berbagai informasi terkait kondisi neraca perdagangan produk perikanan Indonesia ke negara-negara TPP, maka akan dilakukan analisis data deskriptif. Hasil analisis teresbut akan ditampilkan dalam bentuk berbagai grafik untuk mellihat seperti apa kecenderungan yang terjadi di antara Indonesia dengan negara-negara TPP. Untuk itu, maka diperlukan data terkait nilai perdagangan berbagai produk perikanan antara Indonesia dengan negara-negara TPP, tersedia di database TRAINS yang dapat diunduh di World Integrated Trade Solutions (WITS), UNCTAD. Hasil Dan Pembahasan Manfaat Dan Kerugian Keikutsertaan Indonesia Dalam TPP Trans Pasific Partnership (TPP) sebagai sebuah bentuk perjanjian kerjasama ekonomi regional tentunya memberikan dan menawarkan berbagai kemudahan dan fasilitas yang bersifat eksklusif bagi negara-negara yang tergabung di dalamnya. Berdasarkan hasil analisis data dan informasi yang diperoleh setidaknya terdapat manfaat dan kerugian yang berpotensi terjadi jika Indonesia memutuskan untuk bergabung di dalamnya menjadi anggota TPP. Manfaat Indonesia Bergabung dengan TPP Hasil analisis terhadap data dan informasi yang tersedia mengindikasikan beberapa manfaat yang akan diperoleh Indonesia jika memutuskan bergabung dengan TPP. Diantara manfaat tersebut adalah akses masuk untuk produk-produk dari Indonesia ke negara-negara anggota TPP akan dipermudah, misalnya ke Amerika Serikat, Kanada, Jepang, Australia, dan HASIL KEGIATAN|Kajian Cepat Tentang Manfaat Dan Kerugian Keikutsertaan Indonesia Di Dalam Trans Pasific Partnership (TPP) Bagi Perdagangan Di Sektor Kelautan Dan Perikanan 223 LAPORAN TEKNIS [KAJIAN KHUSUS BBPSEKP TAHUN 2015] negara-negara anggota lainnya. Manfaat lainnya adalah investasi di sejumlah sektor industri yang pasar utamanya adalah negara-negara Asia Pasifik, terutama Amerika Serikat, bakal melonjak bila Indonesia masuk TPP. Investor asing akan menjadikan Indonesia sebagai basis produksi agar barang-barangnya bisa masuk ke negara-negara anggota TPP. Kemudahan mengekspor produk ke Amerika Serikat, yang menjadikan investasi terhadap produk-produknya diekspor semakin meningkat. Selain itu, Indonesia akan menjadi daya tarik untuk menjadi tujuan investasi. Kerugian Indonesia bergabung dengan TPP TPP selain menawarkan beberapa potensi manfaat yang dapat diperoleh, namun juga memiliki beberapa kerugian yang berpotensi dihadapi oleh Indonesia. Berdasarkan hasil analisis data dan informasi yang tersedia, maka teridentifikasi beberapa potensi kerugian yang akan dihadapi oleh Indonesia yang sebagian besar mencakup permasalahan posisi usaha kecil dan mikro di tengah banjirnya investasi asing, kedaulatan negara atas sumber daya dan posisi politik negara di kawasan asia pasifik. Hasil analisis mengidentifikasi akan berpotensi terjadi hilangnya kontrol negara atas sektor publik yang disebabkan karena TPP mendorong negara-negara untuk membuka sektor publiknya untuk dapat dimasuki oleh investasi asing, khususnya Amerika, hingga 100%. Segala bentuk daftar negatif investasi disektor ini diminimalisir. Tentunya penguasaan sektor publik oleh korporasi akan berdampak terhadap hilangnya akses masyarakat terhadap sektor publik strategis secara murah, seperti air, listrik, dan sebagainya. Dominasi perusahaan asing dalam kegiatan pengadaan barang dan jasa pemerintah juga disinyalir akan terjadi. Hal ini terjadi karena TPP mendorong agar pengadaan barang dan jasa pemerintah dapat diakses oleh perusahaan asing. Sehingga TPP mengatur tentang perlunya prinsip non-diskriminasi dan national treatment untuk perusahaan asing dalam kegiatan ini. Hal ini karena Amerika Serikat mengincar bisnis pengadaan barang dan jasa pemerintah yang nilainya mencapai triliyunan dollar AS. Dampak lainnya adalah ‘Memandulkan’ BUMN bagi kepentingan nasional yang disebabkan karena TPP hendak memastikan bahwa negara tidak memberikan banyak subsidi untuk BUMN sehingga korporasi asing bisa memenangkan kompetisi. Selama ini BUMN dianggap telah memonopoli bisnis di level domestik melalui dukungan negara baik dalam bentuk pinjaman yang murah, pengecualian pajak, hingga kemewahan untuk dapat mengecualikan sebuah undang-undang. TPP akan menerapkan prinsip non-diskriminasi serta hukum kompetisi yang ketat bagi BUMN. Akses terhadap obat-obatan murah melalui penerapan standar perlindungan paten dalam aturan hak kekayaan intelektual (HaKI) dalam TPP telah menghilangkan akses masyarakat terhadap obat-obatan yang murah. Hal ini karena TPP menghapus ketentuan Fleksibilitas TRIPS dalam WTO yang selama ini telah digunakan oleh banyak negara untuk membuat obat generiK dari obat-obatan yang dipatenkan oleh perusahaan farmasi Amerika untuk kepentingan publiK. HASIL KEGIATAN|Kajian Cepat Tentang Manfaat Dan Kerugian Keikutsertaan Indonesia Di Dalam Trans Pasific Partnership (TPP) Bagi Perdagangan Di Sektor Kelautan Dan Perikanan 224 LAPORAN TEKNIS [KAJIAN KHUSUS BBPSEKP TAHUN 2015] Dihapusnya ketentuan fleksibilitas TRIPS dalam TPP akan mengakibatkan monopoli obat-obatan oleh korporasi asing dengan harga yang mahal. Apalagi TPP menerapkan standar perlindungan lebih tinggi dari TRIPS di WTO yakni dengan jaminan perlindungan paten lebih dari 20 tahun. Selain itu, TPP juga menerapkan eksklusivitas data yang telah dipatenkan. Terkait dengan masalah kedaulatan pangan dan kedaulatan petani, nelayan dan pembudidaya juga disinyalir akan berpotensi untuk terjadi. Permasalahan ini lebih disebabkan karena masih terkait dengan Penerapan standar perlindungan paten dalam aturan hak kekayaan intelektual (HaKI) dalam TPP. Pemberlakuan ini di sektor pertanian secara luas, termasuk sektor perikanan akan mengalami yang sama dengan obat. Selama ini perusahaan benih dan pestisida asing seperti Bayer, Monsanto, maupun DuPont, telah memonopoli benih-benih ciptaannya. Sehingga tidak memungkinkan bagi petani kecil untuk membudidayakannya. Diberlakukannya TPP hanya akan meningkatkan kasus kriminalisasi benih. Jika hal ini terjadi secara meluas maka sektor perikanan khususnya budidaya perikanan pun akan terkena dampak. Permasalahan di perburuhan juga akan terkena dampak karena TPP hendak melarang negara untuk membuat regulasi yang melindungi buruh, bahkan tidak menginginkan adanya proses transfer ilmu pengetahuan dan teknologi. Hal ini dilakukan dalam rangka menjamin investor. Selain itu, arus bebas tenaga kerja asing untuk tenaga kerja professional juga menjadi salah satu agendanya. Demikian juga halnya dengan permasalahan yang akan terjadi pada Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM). Penghapusan tariff hingga batas serendah-rendahnya akan memudahkan masuknya produk AS dan negara industri lainnya, ketimbang masuknya produk barang Indonesia kesana. Apalagi standard akses pasar yang tinggi dalam TPP, akan berpotensi menghilangkan kemampuan sektor usaha kecil Indonesia untuk dapat masuk ke pasar negaranegara TPP. Defisit Perdagangan secara keseluruhan juga berpotensi untuk terjadi. Hal ini terjadi jika Indonesia bergabung dengan TPP maka penghapusan hambatan tariff tidak akan memberikan dampak positif dalam meningkatkan kinerja perdagangannya, khususnya ditengah situasi pelemahan ekonomi global hari ini. Hal ini didukung dengan data perdagangan Indonesia dengan ke-12 negara anggota TPP, 80% diantaranya terus mengalami kecenderungan negatif dari seluruh total perdagangan. Neraca perdagangan Indonesia terus menunjukan defisit, seperti dengan: Australia, Brunai, Chille, Jepang, Malaysia, Selandia Baru, Singapura, Korea Selatan, dan Vietnam. Bahkan, ada beberapa negara yang menunjukan tren perdagangan Indonesia dengan mitranya ini disepanjang 2010-2014 menunjukan kecenderungan negatif, seperti dengan Amerika Serikat -0,11, Brunai -9,42%, Chille -6,86%, dan Jepang 2,57%. Permasalahan lainnya yang berhasil teridentifikasi adalah masuknya produk regulasi asing seperti impor Undang-Undang Amerika Serikat ke dalam sistem regulasi negara Indonesia. Aturan TPP hendak mengadopsi seluruh standar regulasi AS yang selama ini dipromosikan HASIL KEGIATAN|Kajian Cepat Tentang Manfaat Dan Kerugian Keikutsertaan Indonesia Di Dalam Trans Pasific Partnership (TPP) Bagi Perdagangan Di Sektor Kelautan Dan Perikanan 225 LAPORAN TEKNIS [KAJIAN KHUSUS BBPSEKP TAHUN 2015] melalui OECD sebagai praktek terbaik dalam pengambilan keputusan. TPP mewajibkan negara untuk melakukan review regulasi dalam rangka menilai kepatuhannya terhadap aturan-aturan TPP. Permasalahan lainnya yang terkait regulasi adalah berpotensi terjadinya gugatan dari korporasi asing TPP memasukan aturan mengenai mekanisme penyelesaian sengketa antara Investor dengan Negara, atau dikenal dengan Investor-State Dispute Settlement (ISDS). Masuknya ISDS dalam TPP akan membuka peluang dimana Indonesia digugat oleh investor senilai triliyunan dollar AS di lembaga arbitrase internasional akibat mengganti ataupun merubah regulasi nasionalnya yang dianggap merugikan kepentingan investor asing. Ancaman gugatan ini mengakibatkan Indonesia tersandera dan enggan untuk membuat undang-undang yang melindungi kepentingan rakyat. Secara umum, jika Indonesia bergabung dengan TPP, wajib mengikuti semua kesepakatan TPP yang intinya membuka sektor-sektor sensitif. Misalnya: sangat membatasi barang perdagangan yang dikategorikan sensitif atau exclude, membuka goverment procurement, IPR, isu lingkungan dan kebijakan-kebijakan NTM yang menghambat perdagangan. Mengacu hal tersebut, Indonesia juga harus siap melakukan reformasi ekonomi dan regulasi. Aspek Hukum Analisis data dan informasi yang dilakukan terhadap aspek hukum juga dilakukan secara umum terkait dengan Legal Standing/Potition dari TPP Agreement. Berdasarkan hasil analisis diindikasikan beberapa hal yaitu berupa proses negosiasi yang tidak transparan. Dalam hal ini publik tidak dapat mengetahui secara pasti apa yang didiskusikan dan dinegosiasikan di dalam TPP. Draft lengkap TPP baru bisa diakses secara bebas oleh publik sebulan setelah dokumen tersebut disetujui oleh negara-negara peserta. Ketiadaan proses perumusan yang terbuka berpotensi menciptakan klausul-klausul yang menguntungkan perusahaan besar dan merugikan kepentingan publik. Selain itu, rancangan Hak Kekayaan Intelektual (HAKI) dalam TPP akan lebih ketat dan akan diterapkan secara seragam di seluruh negara pesertanya. Misalnya, saat ini Jepang memiliki peraturan habisnya perlindungan hak cipta 50 tahun setelah meninggalnya sang pencipta. Dengan TPP, lama perlindungannya akan diperpanjang menjadi 70 tahun. Pada konteks ini, meskipun menguntungkan bagi pemilik HAKI, peraturan ini sangat merugikan bagi organisasi nonprofit dan masyarakat yang memerlukan bacaan bebas hak cipta (baik untuk kepentingan penelitian maupun hiburan). Klausul delik bisa menjadikan pembajakan hak cipta berubah dari delik aduan (dilaporkan setelah ada pengaduan dari pemilik HAKI) menjadi delik biasa. Dengan delik biasa, pelanggaran hak cipta (seperti pembajakan atau bahkan membuat produk derivatif) akan sama derajatnya seperti pembunuhan dan pemerkosaan (polisi wajib memproses tanpa perlu menunggu aduan dari pemilik HAKI). HASIL KEGIATAN|Kajian Cepat Tentang Manfaat Dan Kerugian Keikutsertaan Indonesia Di Dalam Trans Pasific Partnership (TPP) Bagi Perdagangan Di Sektor Kelautan Dan Perikanan 226 LAPORAN TEKNIS [KAJIAN KHUSUS BBPSEKP TAHUN 2015] Permasalahan potensi HAKI lainnya juga terkait ketiadaan klausul fair use dan pengharaman penggunaan mekanisme untuk menjebol proteksi digital untuk kepentingan apapun. Penggunaan cuplikan gambar ataupun kutipan dari karya ber-HAKI dalam rangka kritik maupun diskursus publik berisiko menjadi perbuatan melawan hukum dan pengunggahnya berisiko menghadapi tuntutan maupun gugatan dari pemilik HAKI (terlebih bila diskursus tersebut sifatnya tidak menguntungkan pemilik HAKI). Larangan menjebol proteksi digital berlaku untuk alasan apapun, termasuk untuk pengarsipan, keperluan pribadi, dan untuk riset. Investor-State Dispute Settlement (ISDS) adalah mekanisme arbitrase di mana investor asing dapat menuntut suatu negara karena perubahan regulasi atau kebijakan yang merugikan sang investor. Klausul yang awalnya dibuat untuk menghindarkan investor asing dari kezaliman negara-negara berkembang pada dekade 1960-an. ISDS dapat menjadi senjata pamungkas investor asing untuk menekan pemerintah agar tidak mengesahkan peraturan yang berpotensi merugikan mereka. Dalam arbitrase ini, hanya dikenal dua tahap persidangan sebagaimana di Pengadilan Niaga di Indonesia: tahap pertama dan tahap terakhir (kasasi). ISDS dalam TPP tidak hanya berlaku pada perjanjian baru saja, namun akan berlaku surut (ke seluruh perjanjian yang telah berlaku sebelumnya). Sebagai contoh kasusu adalah Indonesia saat ini sedang menghadapi ancaman Churchill Mining beberapa waktu lalu. Meski kasus ini belum mencapai putusan final. Biaya hukum yang dikeluarkan oleh Churchill sudah mencapai lebih dari 10 juta dolar AS (135 miliar rupiah). Dalam kasus ini, Churchill menuntut ganti rugi 2 miliar dolar AS (27 triliun rupiah) dari pemerintah Indonesia. Apablia bergabung dengan TPP, dapat dipastikan Indonesia harus siap menerima kekalahan dan membayar ganti rugi seperti yang telah ditetapkan. Neraca Perdagangan Produk Perikanan Indonesia Ke Negara-Negara TPP Neraca perdagangan produk perikanan Indonesia ke negara-negara TPP dapat dikatakan cukup menggembirakan. Olahan data perdagangan Produk Perikanan Indonesia ke negara-negara TPP sepanjang periode 2010-2014, menunjukkan bahwa, secara total, Indonesia mengalami Neraca positif dengan kecenderungan meningkat, baik untuk komoditas perikanan Primer maupun Olahan, seperti dapat dilihat pada Gambar 4-11.1. Peningkatan pada neraca perdagangan komoditas perikanan primer terjadi dengan pertumbuhan rata-rata sebesar 13% pertahun, sedangkan peningkatan pada neraca perdagangan komoditas perikanan olahan terjadi dengan pertumbuhan rata-rata pertahun yang jauh lebih tinggi yaitu sebesar 23% pertahun. HASIL KEGIATAN|Kajian Cepat Tentang Manfaat Dan Kerugian Keikutsertaan Indonesia Di Dalam Trans Pasific Partnership (TPP) Bagi Perdagangan Di Sektor Kelautan Dan Perikanan 227 LAPORAN TEKNIS [KAJIAN KHUSUS BBPSEKP TAHUN 2015] 2.500.000.000 2.161.705.879 2.000.000.000 1.500.000.000 1.646.411.537 1.800.088.517 1.839.007.479 1.339.479.617 1.000.000.000 500.000.000 - 269.165.795 345.345.737 361.662.565 469.253.426 2010 2011 2012 2013 Perikanan Primer Gambar 4-11. 1. 601.851.076 2014 Perikanan Olahan Perkembangan Neraca Perdagangan Produk Perikanan Indonesia ke Negara-negara TPP, 2010-2014 Sumber: Olahan Data WITS, UNCTAD Hasil olahan data lebih lanjut menunjukkan bahwa negara-negara TPP yang menjadi pasar terbesar bagi ekspor produk perikanan Indonesia adalah USA, Jepang, Singapura, Vietnam dan Malaysia, seperti ditunjukkan pada Gambar 4-11.2. Meskipun dari nilai neraca perdagangan dapat dikatakan bahwa selama ini, Jepang dan USA merupakan pasar utama bagi produk perikanan primer Indonesia, akan tetapi dari sisi rata-rata pertumbuhan pertahun, ternyata Vietnam merupakan negara partner yang menghasilkan rata-rata pertumbuhan neraca perdagangan komoditas perikanan primer pertahun tertinggi sebesar 42%, diikuti oleh Malaysia sebesar 23%, USA sebesar 21%, dan Singapura sebesar 3%. Jepang yang merupakan salah satu pasar utama ternyata hanya menghasilkan rata-rata pertumbuhan neraca perdagangan komoditas perikanan primer yang stagnan pada angka 1% dengan kecenderungan pertumbuhan negatif pada dua tahun terakhir. HASIL KEGIATAN|Kajian Cepat Tentang Manfaat Dan Kerugian Keikutsertaan Indonesia Di Dalam Trans Pasific Partnership (TPP) Bagi Perdagangan Di Sektor Kelautan Dan Perikanan 228 LAPORAN TEKNIS [KAJIAN KHUSUS BBPSEKP TAHUN 2015] 2.500.000.000 Japan Vietnam 2.000.000.000 Malaysia 1.500.000.000 Canada United States Singapore 1.000.000.000 500.000.000 Australia 2010 2011 2012 2013 2014 New Zealand Brunei (500.000.000) Gambar 4-11. 2. Perkembangan Neraca Perdagangan Produk Perikanan Primer Indonesia ke Negara-negara TPP, 2010-2014 Sumber: Olahan Data WITS, UNCTAD Gambar 4-11.3 menunjukkan perkembangan neraca perdagangan produk perikanan olahan Indonesia ke negara-negara TPP pada periode 2010-2014. Data menunjukkan bahwa, dari sisi nilai neraca perdagangan produk perikanan, USA, Jepang, Canada, Australia dan Singapura merupakan negara –negara TPP yang selama ini menjadi pasar utama bagi produk perikanan olahan Indonesia. Namun apabila dilihat dari sisi rata-rata pertumbuhan pertahun nilai neraca perdagangan produk perikanan olahan, maka Singapura merupakan partner perdagangan dengan rata-rata pertumbuhan neraca perdagangan produk perikanan olahan tertinggi sebesar 537%, disusul oleh USA sebesar 26%, Jepang sebesar 16%, dan Canada sebesar 7%. Dari kelima negara tersebut, Australia merupakan partner perdagangan produk perikanan olahan yang memiliki nilai rata-rata pertumbuhan neraca perdagangan pertahun negatif sebesar -1%. HASIL KEGIATAN|Kajian Cepat Tentang Manfaat Dan Kerugian Keikutsertaan Indonesia Di Dalam Trans Pasific Partnership (TPP) Bagi Perdagangan Di Sektor Kelautan Dan Perikanan 229 LAPORAN TEKNIS [KAJIAN KHUSUS BBPSEKP TAHUN 2015] 700.000.000 600.000.000 500.000.000 400.000.000 300.000.000 200.000.000 100.000.000 2010 2011 2012 2013 2014 Japan Vietnam Malaysia Canada United States Singapore Australia New Zealand Brunei Mexico Peru Chile Gambar 4-10. 10. Perkembangan Neraca Perdagangan Produk Perikanan Olahan Indonesia ke Negara-negara TPP, 2010-2014 Sumber: Olahan Data WITS, UNCTAD Kesimpulan Dan Rekomendasi Kebijakan Kesimpulan Keuntungan jika bergabung dengan TPP diantaranya: Kemudahan akses bagi produk ekspor Indonesia ke negara anggota lainnya; Peningkatan nilai investasi di sejumlah sektor industri; Indonesia menjadi daya tarik tujuan investasi bagi negara-negara non anggota TPP agar bisa mengakses pasar negara TPP. Kerugian jika bergabung dengan TPP diantaranya: Hilangnya kontrol negara atas sektor publik; Dominasi perusahaan asing dalam kegiatan pengadaan barang dan jasa pemerintah; ‘Memandulkan’ BUMN bagi kepentingan nasional; Kedaulatan pangan dan kedaulatan pelaku usaha akan lemah; Impor regulasi Amerika untuk diberlakukan di Indonesia yang mengarah kepada diberlakukannya Neo Liberalisme. Olahan data perdagangan Produk Perikanan Indonesia ke negara-negara TPP sepanjang periode 2010-2014, menunjukkan bahwa, secara total, Indonesia mengalami Neraca positif dengan kecenderungan meningkat, baik untuk komoditas perikanan Primer maupun Olahan. Peningkatan pada neraca perdagangan komoditas perikanan primer terjadi dengan pertumbuhan rata-rata sebesar 13% pertahun, sedangkan peningkatan pada neraca perdagangan komoditas perikanan olahan terjadi dengan pertumbuhan rata-rata pertahun yang jauh lebih tinggi yaitu sebesar 23% pertahun. Nilai neraca perdagangan produk perikanan, USA, Jepang, Canada, Australia dan Singapura merupakan negara –negara TPP yang selama ini menjadi pasar utama bagi produk perikanan olahan Indonesia. Namun jika dilihat dari sisi rata-rata pertumbuhan pertahun nilai neraca perdagangan produk perikanan olahan, maka Singapura merupakan partner perdagangan dengan rata-rata pertumbuhan neraca perdagangan produk perikanan olahan HASIL KEGIATAN|Kajian Cepat Tentang Manfaat Dan Kerugian Keikutsertaan Indonesia Di Dalam Trans Pasific Partnership (TPP) Bagi Perdagangan Di Sektor Kelautan Dan Perikanan 230 LAPORAN TEKNIS [KAJIAN KHUSUS BBPSEKP TAHUN 2015] tertinggi sebesar 537%, disusul oleh USA sebesar 26%, Jepang sebesar 16%, dan Canada sebesar 7%. Dari kelima negara tersebut, Australia merupakan partner perdagangan produk perikanan olahan yang memiliki nilai rata-rata pertumbuhan neraca perdagangan pertahun negatif sebesar 1%. Rekomendasi Kebijakan Rekomendasi kebijakan yang bisa diberikan terkait dengan rencana keikutsertaan Indonesia di dalam keanggotaan TPP secara umum adalah melakukan kajian yang lebih mendalam terlebih dahulu tentang statuta TPP. Hal ini saat ini sangat sulit untuk dilakukan karena dokumen lengkap TPP tidak tersedia bagi publik. Koordinasi lintas sektor juga perlu dilakukan karena TPP bersifat keseluruhan bukan sektor per sektor. Terlebih lagi perlu pertimbangan dan perhitungan yang detail mengingat posisi Indonesia di kawasa Asia Tenggara berada diantara dua kekuatan ekonomi besar dunia, yaitu China dan Amerika Serikat. Daftar Pustaka Amjadi, A., Schuler, P., Kuwahara, H., & Quadros, S. (2011). WITS. User's Manual. Geneva: World Bank. Berita Satu. 2015. Manfaat Bergabung dengan TPP. http://www.beritasatu.com/ekonomi/317813manfaat-indonesia-bergabung-dengan-tpp-2.html. Tanggal diunduh: 1 November 2015 Denzin, N.K and Lincoln, Y.S. 1994. Introduction: Entering the Field of Qualitative Research in Denzin, N.K and Lincoln, Y.S [Eds]. 1994. Handbook of Qualitative Research. Sage Publications, Inc. United State of America. 1-18 p. Laird, S., & Yeats, A. (1986). The UNCTAD Trade Policy Simulation Model. Geneva: UNCTAD. Nazir, M. 1988. Metode Penelitian. Ghalia Indonesia. Jakarta Tempo. 2015. Menimbang Kemitraan Trans-Pasifik. http://www.tempo.co/read/kolom/2015/11/10/2330/menimbang-kemitraan-trans-pasifik. Tanggal diunduh: 11 November 2015 HASIL KEGIATAN|Kajian Cepat Tentang Manfaat Dan Kerugian Keikutsertaan Indonesia Di Dalam Trans Pasific Partnership (TPP) Bagi Perdagangan Di Sektor Kelautan Dan Perikanan 231