MINDAGI Vol. 8 No.2 Juli 2014 INVETIGASI SLOPE DI PESISIR BARAT PROPINSI BANTEN MENGGUNAKAN CITRA ASTER oleh : Afiat Anugrahadi *) **) **) *) Dosen Tetap, Prodi T. Geologi Pusat Studi Sumberdaya Mineral dan Manajemen Pesisir Kelautan FTKE Usakti Fakultas Teknologi Kebumian & Energi, Usakti Gedung D, Lt. 2, Jl. Kyai Tapa No.1, Grogol, Jakarta 11440 Abstrak Daerah pesisir barat Propinsi Banten yang telah terjadi abrasi dan akresi secara intensif menarik untuk mengetahui morfologi daerah pesisir tersebut. Teknologi penginderaan jauh sangat mendukung dalam identifikasi sumberdaya alam, bencana abrasi dan akresi di wilayah pesisir laut, karena memiliki keunggulan yaitu meliputi daerah yang luas, resolusi spasial dan temporal yang tinggi. Tujuan penelitian untuk mengetahui slope di daerah pesisir yang terkena abrasi dan akresi. Metode penelitian menggunakan Citra Advanced Spaceborne Thermal Emission and Reflection Radiometer Global Digital Elevation Model (ASTER GDEM) dengan melakukan perhitungan panjang garis penampang untuk mendapatkan besar slope. Hasil analisis citra Aster GDEM di daerah yang mengalami abrasi memiliki panjang garis penampang 350.52 m 506.57 m dan slope 1.4o - 3.1o, dan di daerah akresi memiliki panjang garis penampang 306.62 m - 562.05 m dan slope 2.0o 3.3o . Kata kunci: pesisir, abrasi, akresi, slope, ASTER GDEM I. Pendahuluan Latar Belakang Indonesia secara umum memiliki tiga garis pantai yang satu dengan lainnya sangat berbeda kondisi fisik alaminya, terutama tataan geologinya. Sebagai contoh di Propinsi Banten, tataan geologi yang melatarbelakangi kawasan pesisir laut tertutup (Laut Jawa), kawasan pesisir diantara pulau (Selat Sunda), dan kawasan pesisir laut terbuka (Samudra Hindia), memiliki karakteristik yang berbeda dan dapat dimanfaatkan untuk menunjang pembangunan dan sekaligus mengendalikannya (Darsoprajitno, 2000). Proses-proses geologi yang berlangsung terus menerus sepanjang masa, berupa agradasi yang bersifat membangun dan degradasi yang bersifat merusak, masih berlangsung hingga saat kini. Proses-prses geologi resen dan pengaruh fisika oaseanografi dan klimatologi dapat merubah garis pantai. Pendangkalan muara sungai atau sebagian pantai menyebabkan pantai maju ke arah laut, akibat akresi sebagai proses agradasi dan degradasi, yaitu terjadinya abrasi yang menyebabkan pantai maju ke arah daratan.. Geomorfologi pesisir memiliki karekateristik yang khas, karena terletak di perbatasan antara daratan dengan lautan. Proses sedimentasi resen dapat mempengaruhi geomorfologi daerah pesisir. Manajemen kawasan pesisir sudah seharusnya memperhitungkan dampak proses sedimentasi resen. Teknologi penginderaan jauh sangat mendukung dalam indentifikasi dan penilaian sumberdaya di wilayah pesisir dan lautan, karena memiliki keunggulan, yaitu meliputi daerah yang luas dan resolusi temporal yang tinggi, banyak pilihan jenis satelit penginderaan jauh yang mempunyai keakuratan yang cukup baik dalam mengindentifikasi obyek-obyek di permukaan bumi (Purwadhi, 2001, 2008, Trisakti, et al, 2003, Anugrahadi dan Hendiarti, 2004, Hendiarti dkk, 2006). Sehubungan dengan lingkungan pengendapan pesisir yang khas dan sangat menarik untuk diteliti tersebut di atas dan keunggulan teknologi penginderaan jauh, maka perlu melakukan penelitian tentang keterkaitaan proses-proses abrasi dan akresi dengan kemiringan lereng/slope di pesisir Propinsi Banten. Tujuan penelitian Tujuan penelitian untuk mengetahui slope di daerah pesisir yang terkena abrasi dan akresi dengan menggunakan Citra Advanced Spaceborne Thermal Emission and Reflection Radiometer Global Digital Elevation Model (ASTER GDEM) dengan perhitungan panjang garis penampang, sehingga mendapat besar slope, di daerah pesisir barat Propinsi Banten Lokasi Penelitian Lokasi penelitian di wilayah pesisir laut, dari Anyer sampai Tanjung Lesung, Kabupaten Pandeglang, Provinsi Banten dengan koordinat 6˚17’30’’ LS–6˚32’30’’LS dan 105˚40’30’’BT–105˚50’00’’BT. Peta lokasi penelitian yang terkena abrasi, akresi dan perhitungan kemiringan lereng/slope di pesisir Banten dapat dilihat pada Gambar 1. II. Metodologi Metodologi penelitian yang digunakan dimulai dengan studi pustaka dari publikasi beberapa peneliti terdahulu, mengumpulkan data sekunder, berupa citra Landsat TM dan ETM+, Citra ASTER 37 Invetigasi Slope di Pesisir Barat Propinsi Banten Menggunakan Citra Aster Afiat Anugrahadi GDEM arah angin, arus, gelombang dan bathimetri, serta mengambil data primer dengan melakukan survei lapangan untuk mengumpulkan data oseanografi; arus, arah angin, dan bathimetri. Selanjutnya dilakukan pengolahan analisis dan pembahasan. Selat Sunda Selat Sunda Gambar 1. Peta Lokasi Penelitian Banyak pilihan jenis satelit penginderaan jauh yang mempunyai keakuratan yang cukup baik dalam mengindentifikasi obyek-obyek di permukaan bumi (Lillesand and Kiefer. 1979, Sabins, 1997, Purwadhi, 2001, 2008). Satelit Landsat (Land Satellite) adalah salah satu satelit sumberdaya yang menghasilkan citra multispektral. Satelit ini milik Amerika Serikat yang diluncurkan pada 23 Juli 1972. Landsat 1, 2, 3 mempunyai sensor MSS (Multi Spectral Scanner) dan RBV (Return Beam Vidicon), Landsat 4 dan 5 mempunyai sensor MSS dan TM (Thematic Mapper). Landsat 6 dan 7 mempunyai sensor ETM dan ETM+ (Enhanced Thematic Mapper Plus). Landsat 7 ETM+ mempunyai spesifikasi, antara lain resolusi spektral tinggi, yaitu mempunyai 8 saluran, sehingga kemampuan membedakan obyek relatif tinggi. Landsat 7 ETM+ mempunyai resolusi temporal atau mampu merekam daerah yang sama setiap 16 hari sekali, hal ini sangat bermanfaat untuk memperoleh data terbaru tentang daerah penelitian. Landsat generasi ke-7 telah ditingkatkan resolusi spasialnya, yaitu dengan sensor ETM+ selain menghasilkan citra dengan 7 saluran seperti pada sensor TM, ditambah saluran (band) ke-8 yang mempunyai resolusi spasial 15 meter (pankromatik). Band 1 dengan sensor pada kisaran panjang gelombang 0.45-0.52 m sensitif mendeteksi perairan pesisir dan berguna untuk pembuatan peta batimetri dan sedimentasi, juga berguna untuk membedakan antara tanah dan vegetasi. Band 2 dengan sensor pada kisaran panjang gelombang 0.53-0.61 m sensitif untuk mendeteksi reflektansi dari warna hijau, juga untuk peta sedimentasi pada air keruh. Kedua band ini digunakan pada penelitian ini. 38 Satelit TERRA adalah sebutan untuk satelit EOS AM-1 (Earth Observing System) yang diluncurkan pada bulan Desember 1999. Satelit ini membawa 5 sensor yang salah satunya adalah sensor ASTER (Advanced Spaceborne Thermal Emission and Reflection Radiometer). Salah satu citranya, yaitu Advanced Spaceborne Thermal Emission and Reflection Radiometer Global Digital Elevation Model (ASTER GDEM). Satelit Terra dengan sensor ASTER (berwarna kuning) ditempatkan di ketinggian 705 km di atas ekuator. Sensor ASTER memiliki 14 band dari panjang gelombang 520 hingga 11650 nanometer. Sensor ASTER terbagi dalam 3 bagian berdasarkan sensitivitas panjang gelombangnya. Band 1-3 mengindera di panjang gelombang tampak (520–860 nm) dengan resolusi spasial 15 meter, band 4–9 mengindera di gelombang short wave infra red (1600–2430 nm) dengan resolusi spasial 30 meter dan band 10-14 pada gelombang thermal infra red (8125-11650 nm) dengan resolusi 90 meter. Sensor ASTER band 3 dapat mengindera dengan sudut inklinasi berbeda, sehingga dengan menggunakan ke 2 data dari band 3 yang diakuisisi dengan sudut inklinasi berbeda, dapat dibangun citra ketinggian atau Citra Advanced Spaceborne Thermal Emission and Reflection Radiometer Global Digital Elevation Model (ASTER GDEM). Metode penentuan daerah abrasi dan akresi yaitu melakukan proses klasifikasi citra Landsat tahun 1982 dan 2007 secara tak terbimbing (unsupervised) dengan program ERMapper. Masukkan file citra Banten yang telah dicrop, masukkan nama file hasil klasifikasi unsupervised. Masukkan jumlah iterasi 100, unchanged 98.5 persen dan jumlah kelas 2 (hanya 2 kelas, karena hanya ingin dilakukan pemisahan antara darat dan laut). Setelah keluar hasil klasifikasi, proses selanjutnya dilakukan dengan program ArcView, sehingga data citra yang telah diklasifikasi perlu di export ke dalam format yang dapat dibaca oleh program ArcView. Selanjutnya, mengaktifkan layer 1982 dan 2007 dan melakukan proses citra, sehingga akan dihasilkan file baru hasil union antara tahun 1982 dan 2007. Pada tampilan view double klik layer hasil union, lalu memilih legend type : Unique Value dan values field : ID. Tahap akhir merubah warna menjadi : merah = wilayah abrasi, hijau = wilayah akresi, coklat = wilayah yang tetap (Anugrahadi, dkk, 2011). Hasil pemrosesan citra Landsat tahun 1982 dan 2007 tersebut, kemudian dapat melakukan perhitungan jarak abrasi dan akresi, sehingga dapat ditentukan 3 lokasi terpilih yang memiliki perubahan garis pantai yang tampak lebar dilihat (Gambar 2). Bahwa daerah penelitian berada di: - Lokasi 1 (Teluk Lada - Tanjung Lampe): telah mengalami abrasi dengan jarak terjauh = 274,73 m. Sebagian wilayah mengalami akresi dengan jarak terjauh = 31,65 m MINDAGI Vol. 8 No.2 Juli 2014 - Di lokasi 2 (Teluk Lada - Tanjung Dadap) telah mengalami abrasi dengan jarak terjauh = 206,69 m. Sebagian pantai mengalami akresi dengan jarak terjauh = 111,58 m - Di lokasi 3 daerah pantai Tanjung Lesung telah mengalami abrasi dengan jarak terjauh = 125,05 m, sebagian pantai mengalami akresi dengan jarak terjauh = 68,71 m Gambar 2 Hasil Abrasi dan Akresi dengan Metoda Unsupervised (Anugrahadi, dkk, 2011) Luasan area yang mengalami abrasi dan akresi dengan metoda unsupervised, yaitu di lokasi 1, luas abrasi = 615022,77 m2 dan luas akresi = 9943,14 m2; lokasi 2, luas abrasi = 848492,98 m2 dan luas akresi = 24491,14 m2; lokasi 3, luas abrasi = 106966,98 m2 dan luas akresi = 65841,54 m2. Berdasarkan analisis citra Aster GDEM dapat dilakukan perhitungan pengukuran slope (kemiringan lereng dasar laut) dan panjang sayatan melintang (Anugrahadi dkk, 2012)., pada 3 lokasi terpilih yang mengalami abrasi dan akresi (lihat Gambar 3, 4 dan 5). Hasil pengukuran di daerah penelitian yang berada di: Lokasi 1: di daerah yang terkena abrasi: slope = 2.6o, panjang sayatan melintang = 1662 ft = 506.57 meter, di daerah yang terkena akresi = slope = 3.1o. Panjang Sayatan melintang = 1006 ft = 306.62 meter (Gambar 3a dan 3b). Lokasi 2: di daerah yang terkena abrasi: slope = 3.3o, panjang sayatan melintang = 1639 ft = 499.56 meter, di daerah yang terkena akresi = slope = 3.1o, panjang sayatan melintang = 1231 ft = 375.20 meter (Gambar 4a dan 4b). Gambar 3a Pengukuran Slope di daerah Abrasi Lokasi 1 Lokasi 3: di daerah yang terkena abrasi: slope = 2.0o, panjang sayatan melintang = 1844 ft = 562.05 meter, di daerah yang terkena akresi= slope = 1.4o, panjang sayatan melintang = 1150 ft = 350.52 meter (Gambar 5a dan 5b). III. Hasil dan Pembahasan Penelitian di lapangan menjumpai 18 lokasi pengamatan (LP) data insitu hasil abrasi dan akresi, sehingga dapat dikelompokan secara geografis menjadi 3 wilayah, yaitu: Tanjung Lampe, Teluk Lada, Tanjung Dadap dan Tanjung Lesung (Anugrahadi A. dan Anjarsari, 2008). Analisis data lapangan menyimpulkan bahwa daerah penelitian merupakan sel sedimen yang termasuk kedalam lingkungan energi rendah (Low Energy Environment) (Komar, 1998; Sulaiman dan Suhardi, 2008). Dibuktikan dengan adanya butiran pasir halus - kasar yang mengandung fragmen (batuan dan cangkang), mempunyai sebaran dari arah barat pada bulan Nopember-Februari, karena angin yang bertiup adalah angin barat yang memberikan dampak berupa ombak/gelombang yang lebih besar dibandingkan dengan dampak yang diberikan oleh angin timur (Maret -Oktober). 39 Invetigasi Slope di Pesisir Barat Propinsi Banten Menggunakan Citra Aster Afiat Anugrahadi Gambar 3b Pengukuran Slope di daerah Akresi Lokasi 1 Gambar 4a Pengukuran Slope di daerah Abrasi Lokasi 2 Gambar 4b Pengukuran Slope di daerah Akresi Lokasi 2 40 MINDAGI Vol. 8 No.2 Juli 2014 Gambar 5a Pengukuran Slope di daerah Abrasi Lokasi 3 Komposisi sedimen tersebut mengidentifikasikan mengenai sumber (source), grain sedimen, slope dan lebar pantai serta batas (boundary) dari suatu sedimen transport (cell), sedangkan data sekunder seperti peta geologi, peta topografi dan citra Landsat pada skala tertentu efektif untuk mengindikasikan proses yang terjadi pada sedimen transport (Sulaiman dan Suhardi, 2008). Kelompok sel disebut juga dengan sediment transport system sebagai unit dalam pengelolaan garis pantai yang pada akhirnya dapat mengelola sumber daya pesisir pantai secara berkelanjutan. Pada daerah penelitian ini terdapat sedimen berukuran butir dengan ukuran yang berbeda, maka daerah penelitian termasuk dalam kelompok sel yang rendah energi. Batas sel sedimen di daerah penelitian, umumnya berupa batas alami, yaitu batas konvergen yang merupakan batas sel dinamik, sebagai pertemuan arah angkutan muatan sedimen. Batas konvergen dapat dijumpai di pantai Tanjung Lampe, Pesisir Pantai Teluk Lada, Tanjung Dadap dan Tanjung Lesung. Pada umumnya, batas ini terjadi karena adanya difraksi gelombang oleh adanya pertumbuhan Delta maupun oleh adanya dataran yang menjorok ke laut. Hasil analisis citra Landsat TM dan ETM+ tahun 1982 dan 2007 menyimpulkan bahwa daerah pantai barat Propinsi Banten telah mengalami perubahan garis pantai, karena terjadinya abrasi dan akresi. Gejala abrasi di Pantai Tanjung Lampe, dijumpai bukti terdapatnya sisa-sisa tumbuhan yang telah tumbang dan bangunan yang rusak terkena ombak, akibat hempasan ombak dan bukti genangan air laut di daratan pantai yang cukup luas, menunjukan pantai mundur ke arah daratan, sedangkan daerah akresi ditunjukan bukti dengan adanya terumbu dan endapan pasir pantai yang memanjang ke arah laut. Gejala abrasi di daerah Teluk Lada, dijumpai adanya paras pantai yang menyempit dan adanya sisa-sisa tumbuhan dan pemecah ombak yang Gambar 5b Pengukuran Slope di daerah Akresi Lokasi 3 sudah hancur yang terendam air laut. Gejala akresi ditunjukan oleh paras pantai yang melebar, adanya terumbu dan endapan sedimen ke arah laut. Sebagian daerah di pesisir Tanjung Dadap dan Tanjung Lesung terjadi abrasi dengan dijumpai adanya pantai mundur ke arah darat dan pemecah ombak yang sudah hancur dan terendam air laut. Gejala akresi ditunjukan oleh paras pantai yang melebar. Berdasarkan metode unsupervised (tak terbimbing) dari citra Landsat TM dan ETM+ tahun 1982 dan 2007 diketahui selama 25 tahun didapat jarak terjauh dan luas abrasi dan akresi, pada 3 lokasi terpilih (Anugrahadi dkk., 2011). Daerah yang telah mengalami abrasi di lokasi 1 (Teluk Lada-Tanjung Lampe): didapat jarak terjauh = 274,73 m dan luas abrasi = 615022,77 m2. Di lokasi 2 (Teluk Lada - Tanjung Dadap) didapat jarak terjauh = 206,69 m dan luas abrasi = 848492,98 m2. Di lokasi 3 daerah pantai Tanjung Lesung didapat jarak terjauh = 125,05 m dan luas abrasi = 106966,98 m2 Daerah yang telah mengalami akresi lokasi 1 di dapat jarak terjauh = 31,65 m dan luas akresi = 9943,14 m2. Di lokasi 2 di dapat jarak terjauh = 111,58 m dan luas akresi = 24491,14 m2, Di lokasi 3 didapat jarak terjauh = 68,71 m dan luas akresi = 65841,54 m2 Berdasarkan analisis citra Aster GDEM untuk pengukuran slope (kemiringan lereng dasar laut) dan panjang sayatan melintang, diukur pada 3 lokasi terpilih yang mengalami abrasi dan akresi, didapat hasil pengukuran di daerah yang terkena abrasi yaitu di lokasi 1 slope = 2.6o, panjang sayatan melintang = 1662 ft = 506.57 meter, di lokasi 2 slope = 3.3o , panjang sayatan melintang = 1639 ft = 499.56 meter, di lokasi 3, slope = 2.0o, panjang sayatan melintang = 1844 ft = 562.05 meter, Hasil pengukuran di daerah yang terkena akresi yaitu, di lokasi 1 slope = 3.1o, panjang sayatan melintang = 1006 ft = 306.62 meter, di lokasi 2 slope = 3.1o, panjang sayatan melintang = 1231 ft = 41 Invetigasi Slope di Pesisir Barat Propinsi Banten Menggunakan Citra Aster Afiat Anugrahadi 375.20 meter, dan di lokasi 3 slope = 1.4o, panjang sayatan melintang = 1150 ft = 350.52 meter (Anugrahadi dkk., 2012). Proses abrasi terjadi, karena angin yang bertiup pada musim barat (November-Februari) menghasilkan ombak besar, mengakibatkan sedimen sepanjang pantai terkena abrasi, sedangkan untuk proses akresi kemungkinan terjadi pada saat angin yang bertiup pada musim angin timur (MaretOktober). Terjadinya abrasi di beberapa tempat di daerah penelitian, karena litologi penyusun didominasi oleh batulempung. Slope yang relatif curam, perubahan arah angin, musim dan curah hujan yang dapat menyebabkan terjadinya kerusakan pantai, karena adanya gelombang laut yang besar dan aktifitas penambangan pasir. Penyebab terjadinya akresi pada daerah penelitian, karena daerah ini memiliki slope relatif lebih datar, dan adanya daya angkut sedimen dari aliran sungai di sekitarnya, litologi penyusunnya didominasi oleh batuan yang keras, di beberapa titik daerah masih terdapat tebing dan terumbu di pesisir pantainya. Banyak pengurukan yang dilakukan di pesisir pantai untuk dijadikan bangunan yang menjadikan pantai maju dan stabil. IV. Simpulan 1. 2. 3. Abrasi disebabkan oleh factor litologi penyusun didominasi oleh batulempung. Slope yang relatif curam, perubahan arah angin, musim dan curah hujan gelombang laut dan aktifitas manusia berupa penambangan pasir. Akresi disebabkan oleh factor litologi penyusunnya didominasi oleh batuan yang keras, pantainya.memiliki slope relatif lebih datar dan adanya daya angkut sedimen dari aliran sungai di sekitarnya dan aktifitas pengurukan untuk dijadikan bangunan. Citra Aster GDEM dapat menghitung slope di daerah yang terkena abrasi yaitu didapat slope yang lebih curam (2,0o – 3,3o) dan daerah akresi memiliki slope relatif datar (1,4o – 3,1o). Pustaka Anugrahadi, A. dan N. Hendiarti. 2004. Memetakan Fenomena Pesisir-Laut dari Citra Satelit SeaWiFS dan NOAA-AVHRR. MINDAGI 7 (1): 71-75. FTM USAKTI. Anugrahadi, A. dan V. Anjarsari. 2008. Study on Coastline Change Using Landsat and Formosat Image: Case Study in Pandeglang District, Banten Province, Proceedings of SAKE-3 Workshop, Jakarta, October 15~16, 2008. Anugrahadi, A., D.S. Prabowo, A.I. Wardhana, B.M. Sukojo, Y.S. Djajadiharja, F.S. Purwadhi, 2011. Software Applications Er Mapper and Arc View GIS to Measure Area and Distance of Coastline Changes during 25 Years in Coastal Pandeglang, 42 Banten Province. International Conference Intercarto-Intergis 17 di Bali, 1 Desember 2011 Afiat Anugrahadi , B.M. Sukojo, Y.S. Djajadiharja, dan F.S. Purwadhi, 2012. Analisis Citra Aster GDEM untuk Mengetahui Slope di Daerah yang Terkena Abrasi dan Akresi. PIT IX ISOI (Pertemuan Ilmiah Tahunan ke IX Ikatan Sarjana Oseanografi Indonesia) di Mataram 21 – 23 Oktober 2012. Darsoprajitno, S.H. 2000. Analisis Data Geologi untuk menunjang manajemen kawasan pantai, dipresentasikan dalam Seminar Sehari Satu Bumi, HMTG Usakti. Jakarta Hendiarti, N., M.Sadly, M.C.G.Frederik, R.Andiastuti A, A.Sulaiman,. 2006. : Satelite Oseanografi dalam Riset dan Teknologi Pemantauan Dinamika Laut Indonesia INDOO Project. Hal 20-46. Komar, Paul D. 1998. Beach Processes and Sedimentation. 2nd ed. College of Oceanic & Atmospheric Sciences, Oregon State University. Prentice Hall, Upper Saddle River, New Jersey. Lillesand, T.M. and R.W. Kiefer. 1979. Remote Sensing and Image Interpretation, John Wiley and Sons. New York. Purwadhi, S.H. 2001. Interpretasi Citra Digital. PT Grasindo. Jakarta Purwadhi, S.H. 2008. Aplikasi Penginderaan Jauh dan Sistem Informasi Geografis untuk Penataan Wilayah. PT Grasindo. Jakarta Sabins, F.F. 1997. Remote Sensing, Principles and Interpretation. W.H. Freeman and Co. San Francisco. Sulaiman, A. dan I. Soehardi. 2008. Pendahuluan Geomorfologi Pantai Kuantitatif. E-book. LIPI Trisakti, B., B. Hasyim, R. Dewanti, M. Hartuti dan G.Winarso. 2003. Teknologi Penginderaan Jauh dalam Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Lautan. Pusat Pengembangan Pemanfaatan dan Teknologi Penginderaan Jauh. LAPAN. Hal 1109.