BAB 6. PERKEMBANGAN KETENAGAKERJAAN DAN KESEJAHTERAAN DAERAH BOKS 3. OPTIMALISASI KEGIATAN EKONOMI PEDESAAN DI DESA PUSAT PERTUMBUHAN DI JAWA BARAT Salah satu permasalahan dalam proses pembangunan daerah di Jawa Barat selama ini adalah adanya disparitas pembangunan antara kawasan perdesaan dan perkotaan. Pembangunan cenderung terpusat pada kawasan perkotaan sehingga masyarakat perkotaan memiliki akses yang lebih baik terhadap sumber daya ekonomi dan cenderung memiliki kesempatan yang lebih besar untuk meningkatkan kesejahteraannya. Proses pemerataan akses kesempatan bagi masyarakat perdesaan merupakan bagian dari upaya penguatan kemampuan masyarakat untuk memperluas pilihan-pilihan baik dalam proses kegiatan maupun pemanfaatan hasil pembangunan. Proses tersebut memerlukan suatu pendekatan agar kemampuan yang dimiliki dapat didayagunakan secara optimal bagi pengembangan kehidupan masyarakat pedesaan. Sehubungan dengan hal tersebut perlu upaya untuk meningkatkan kapasitas produksi dan produktivitas agar kesenjangan pendapatan makin berkurang antara masyarakat desa dan kota. Pemihakan (affirmative action) kepada proses intervensi pembangunan bagi masyarakat pedesaan telah menjadi salah satu fokus pembangunan nasional, seperti termuat dalam. UU No. 17 tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional Tahun 2005–2025 dimana salah satu agendanya adalah indrustrialisasi dan modernisasi ekonomi perdesaan. Dalam jangka pendek, peluang implementasi industrialisasi dan modernisasi ekonomi perdesaan lebih besar bila dilakukan di desa-desa tertentu yang memiliki kriteria sebagai desa pusat pertumbuhan (DPP). Kriteria utama DPP adalah daerah yang memiliki kecenderungan pertumbuhan pembangunan dalam aspek sosial dan ekonomi tinggi yang dicirikan dengan adanya kegiatan perdagangan dan jasa, seperti: pasar, industri kecil/rumah dan pusat-pusat pelayanan jasa lainnya. Perkembangan aktivitas ekonomi di DPP diharapkan dapat menimbulkan trickle-down effect terhadap desa sedang dan tertinggal di sekitarnya. Oleh karena itu perlu diteliti mengenai upaya-upaya yang perlu dilakukan untuk mencapai optimalisasi kegiatan ekonomi di DPP, yang dapat menimbulkan trickle-down effect terhadap desa sedang dan tertinggal di sekitarnya. Hal-hal yang perlu diteliti dalam pengembangan DPP tersebut adalah sebagai berikut: 1. Apa potensi ekonomi dominan di DPP? 2. Bagaimanakah kendala dan faktor pendukung dalam pengembangan kegiatan ekonomi di DPP yang terkait dengan input, teknologi, pasar, infrastruktur dan kelembagaan? 3. Seberapa besar aktivitas ekonomi dominan tersebut terkait (interlinkage) dengan sumberdaya di desa sekitarnya? 4. Terjadikah fragmentasi produksi komoditas dominan diantara DPP dengan desa sekitarnya? 5. Bagaimanakah pola pengembangan ekonomi di DPP dan inovasi kelembagaannya agar trickle- down effect terhadap desa sekitarnya terealisir? Untuk menemukan jawaban terhadap seluruh pertanyaan di atas, KBI Bandung bekerjasama dengan Fakultas Ekonomi-Universitas Islam Bandung melakukan penelitian terhadap 10 DPP yang tersebar di 10 kabupaten di Jawa Barat, yakni Desa Dramaga Kabupaten Bogor, Desa Tenjoayu Kabupaten Sukabumi, Desa Pamanukan Kabupaten Subang, Desa Wanayasa Kabupaten Purwakarta, Desa Soreang Kabupaten Bandung, Desa Situraja Utara Kabupaten Sumedang, Desa Cikajang Kabupaten Garut, Desa Pakemitan Kabupaten Tasikmalaya, Desa Cijulang Kabupaten Ciamis, dan Desa Weru Kidul Kabupaten Cirebon. Hasil penelitian tersebut selanjutnya menjadi bahan masukan bagi Badan Perencanaan Daerah (Bapeda) Provinsi Jawa Barat. Pada penelitian inidigunakan metode kuantitatif Indeks Gravitasi untuk melihat derajat keterkaitan aktivitas ekonomi antara DPP dengan desa sekitarnya, CDSF (Cobb-Douglas Stochastic Frontier) untuk melihat tingkat efisiensi teknis yang mencerminkan sejauhmana kegiatan produksi sektor dominan di DPP mencapai titik optimumnya. Metode ekonometrik Logit untuk mengetahui adakah fragmentasi produksi diantara DPP dengan desa sekitarnya. Dalam penyusunan desain pola pengembangan ekonomi di DPP mengacu pada temuan dan analisa hasil penelitian yakni keunggulan potensi, permasalahan yang paling urgen, dan peluang usaha. 90 BAB 6. PERKEMBANGAN KETENAGAKERJAAN DAN KESEJAHTERAAN DAERAH Berdasarkan hasil survei terhadap 10 DPP ternyata keunggulan karunia alam masih mendominasi karakteristik sebagian besar desa di Jawa Barat. Potensi kesuburan lahan untuk pertanian khususnya tanaman pangan menjadi ciri khas desa-desa di Jawa Barat. Hal ini tercermin pada jumlah pelaku usaha dominan di sektor pertanian. Keunggulan endowment factor masih berlaku pula untuk desa-desa yang sudah menerima eksternalitas positif yang muncul dengan identitas sebagai desa industri manufaktur, perdagangan dan jasa, seperti halnya Desa Soreang Kabupaten Bandung. Berdasarkan perhitungan Indeks Gravitasi (IG) ditemukan bahwa terdapat keselarasan antara derajat potensi ekonomi, tingkat konsumsi dan kemampuan menabung. Secara umum setiap DPP memiliki keterkaitan tertinggi dengan desa sekitar yang memiliki potensi ekonomi lebih tinggi dan jarak lebih dekat dibandingkan desa tetangga lainnya. Bentuk keterkaitan antara DPP dengan desa sekitar ternyata bervariasi. Untuk kasus DPP yang memiliki pasar desa namun tidak menampung produk primer dari desa sekitar untuk konsumsinya, berarti terjadi forward consumption linkage, seperti di Desa Situraja Utara, Soreang, dan Pamanukan. Angka IG tertinggi terjadi dengan desa sekitar yang memiliki jumlah penduduk besar dan jarak lebih dekat. Lain halnya kasus di Desa Pakemitan, Cijulang dan Dramaga, yang terjadi backward dan forward financial linkage karena DPP berfungsi pula menampung produk primer dari desa sekitar untuk konsumsinya. Untuk keterkaitan produksi, DPP yang memiliki aktivitas dominan industri manufaktur memiliki keterkaitan dengan desa sekitar dalam bentuk backward production linkage yakni pemasok bahan baku dan tenaga kerja. Hal ini terjadi di Desa Soreang, Dramaga dan Tenjoayu. Angka IG tertinggi terjadi dengan desa sekitar yang memasok bahan baku dan tenaga kerja paling banyak serta jarak paling dekat. Sedangkan untuk kasus DPP yang memasok kebutuhan input produksi pertanian untuk desa sekitar memiliki keterkaitan forward production linkage. Angka IG tertinggi terjadi dengan desa sekitar yang memiliki lahan pertanian relatif lebih luas. DPP yang memiliki pasar komoditas khusus seperti pasar sayuran di Desa Cikajang dan pasar kue di Desa Weru Kidul, maka yang terjadi adalah keterkaitan perdagangan sebagai penampung produk yang akan dipasarkan selanjutnya ke luar desa. Karena di setiap DPP ada lembaga keuangan baik bank maupun non bank, maka terjadi financial linkage dalam bentuk simpan pinjam. Hasil perhitungan IG di beberapa DPP sesuai ketersediaan data, terbukti bahwa terdapat keselarasan antara derajat potensi ekonomi, tingkat konsumsi dan kemampuan menabung. Artinya, angka IG tertinggi yang menunjukan financial linkage simpan pinjam adalah dengan desa sekitar yang memiliki angka IG tertinggi pula dalam hal consumption linkage atau production linkage. Fragmentasi hanya terjadi untuk kasus industri konveksi di Desa Soreang. Berdasarkan hasil perhitungan Model Logit terbukti bahwa prospek usaha dan kenaikan harga output berpengaruh positif terhadap peningkatan fragmentasi. Model pengembangan ekonomi yang ditawarkan berpatokan pada aspek keunggulan potensi, akar permasalahan, peluang usaha, dan keterkaitan dengan desa sekitar. o Bagi DPP yang masih murni sebagai desa pertanian, model pertanian yang ditawarkan adalah model konservasi yang berbasis pupuk organik atau pupuk kandang. Selain menjamin keberlanjutan usaha pertanian juga mendorong berkembangnya usaha peternakan. DPP pertanian yang memiliki keunikan topografinya memiliki peluang untuk jadi desa wisata. DPP berbasis pertanian pun dianjurkan merencanakan pengembangan produk olahan berbahan baku lokal dari dalam dan desa sekitar. o Bagi DPP yang sudah berbasis industri pengolahan, model pengembangan yang ditawarkan adalah inovasi kelembagaan melalui pembentukan asosiasi dan aturan mainnya, dengan cakupan kegiatan sesuai kebutuhan pelaku usaha. Asosiasi tersebut diharapkan menjadi modal sosial yang akan meningkatkan kualitas hubungan antar pelaku dan meningkatkan produktivitas usaha, melalui kerjasama dalam pengadaan input, rekayasa produk, penentuan harga jual maupun terobosan pasar. o Bagi DPP yang memiliki kelembagaan aktif seperti Karang Taruna, Lumbung Pangan Masyarakat Desa (LPMD), Badan Usaha Milik Desa (BUMDES), Koperasi, model yang ditawarkan adalah ekstensi peran mereka melalui tambahan jenis kegiatan maupun capacity building lembaga. o Sementara pengembangan DPP yang berbasis perdagangan adalah ekstensi sektor perdagangan menjadi skala besar dan zonanisasi sehingga mendorong pelayanan ritel dilakukan oleh desa sekitar. Dengan mengakomodir aspek-aspek tersebut, maka terdapat ragam model yang khas sesuai peta permasalahan dan keunggulan yang dimiliki masing-masing desa, sebagai berikut: o Desa Situraja Utara: Model Pengembangan Ekonomi Berbasis Partisipasi Pemuda (Pestisida). o Desa Wanayasa: Model Desa Ekowisata. o Desa Cijulang: Model Pertanian Kolektif (Collective Farming). o Desa Cikajang: Model Pengembangan Ekonomi Berbasis Kelompok Tani. o Desa Soreang: Model Penguatan Kluster. o Desa Dramaga: Model Ekstensi Peran Lembaga Keuangan. o Desa Tenjoayu: Model Pengembangan Kapasitas BUMDES. 91 BAB 6. PERKEMBANGAN KETENAGAKERJAAN DAN KESEJAHTERAAN DAERAH Desa Weru Kidul: Model Pengembangan Ekonomi Berbasis Asosiasi Produsen. Desa Pamanukan dan Desa Pakemitan: Model Ekstensi Sektor Perdagangan. Dari hasil penelitian tersbut, secara umum dapat disimpulkan bahwa setiap desa memiliki karakteristik tersendiri baik secara fisik, sosial maupun kelembagaan. Karakteristik tersebut seyogyanya dimanfaatkan dalam rangka mendorong aktivitas ekonomi produktif di dalam desa yang bisa menimbulkan multiplier effect ke desa sekitar. Dengan ditemukannya beragam model pengembangan ekonomi untuk tiap desa maka regulasi yang harus disiapkan oleh pemerintah adalah: 1. Menetapkan mekanisme yang mengatur perubahan dari teknologi tanam konvensional ke organik. 2. Pendampingan terhadap petani secara konsisten selama proses penyesuaian teknologi tanam. 3. Memfasiltiasi adanya contract farming untuk produk organik antara petani dengan swasta. 4. Merancang mekanisme insentif untuk penguatan kelembagaan yang ada, inovasi kelembagaan sesuai kebutuhan. 5. Peningkatan kapasitas SDM perdesaan melalui pelatihan kewirausahaan, life skill, dan kebersamaan. 6. Peningkatan akses informasi dan kesempatan bagi pelaku usaha dari perdesaan. 7. Mendorong peningkatan partisipasi lembaga keuangan perbankan. o o 92