Bedah Teori Konspirasi, Mengapa Banyak Dipercaya Orang? Siapa yang tidak mengetahui teori konspirasi, teori yang kerap mempertentangkan fakta dengan menganggap penyebab tertinggi dari suatu atau serangkaian peristiwa yang diatur oleh organisasi yang sangat rahasia yang sangat berkuasa ini sangat banyak dipercaya orang. Terlebih lagi dalam kondisi pandemi ini, banyak berita hoax dan teori konspirasi yang bertebaran di mana – mana, dan bahkan diendorse oleh “selebritas” yang memiliki latar belakang yang tidak konvensional, seperti Jerinx SID, Mardigu Wowiek alias “Bossman” dan lain – lain. Beragam teori konspirasi seperti virus Covid-19 tidak nyata dan hanya akal – akalan politik, virus Covid-19 yang sengaja dibuat manusia, vaksin Covid-19 yang memiliki chip, dan masih banyak lagi. Konspirasi Covid-19 sebagai buatan elite global sendiri belum terbukti kebenarannya, dan keberadaan virus ini benar nyata. Banyak orang – orang terkenal yang sudah terinfeksi virus ini seperti Budi Karya Sumadi (Menhub RI), Tom Hanks, Boris Johnson, Nadine Dorries (Menkes Inggris), bahkan Presiden Amerika Serikat sendiri Donald Trump. Lantas apa penyebab teori – teori konspirasi ini begitu laku di masyarakat? Terlebih dalam kondisi pandemi Covid-19, mengapa banyak orang percaya dengan endorse konspirasi walaupun orang – orang yang melakukannya tidak memiliki keahlian atau pengalaman dalam epidemiologi? Para ilmuwan sudah membuktikan bahwa virus ini bukanlah senjata biologis buatan. Karena untuk membuat sebuah virus, kita harus menjiplak materi genetik dari virus yang sudah ada, sedangkan susunan genetik virus Covid-19 belum pernah ada sebelumnya. Krisis kesehatan, politik, ekonomi, dan sosial semuanya campur aduk membuat masalah seperti ini rentan dianggap permainan suatu pihak yang berkuasa di luar sana. Padahal masalah besar tidak harus dari penyebab besar. Kecenderungan ini disebut dengan “Proportionality Bias”. Pada dasarnya otak manusia mudah dibohongi, dan ini dapat dianalogikan dengan 2 bagian otak yang memiliki sifat berbeda. Bagian pertama bekerja setiap saat dan selalu siaga, tetapi tidak bekerja sama dengan bagian kedua, karena bagian kedua hanya datang saat kita berkonsentrasi, sehingga otak cenderung tidak memproses suatu informasi secara maksimal karena otak manusia cenderung merespons informasi secara cepat tanpa berkonsentrasi, yang membuat kita mudah tertipu berita – berita hoax. Menurut pakar Neuroscience Paul Whalen dari University of Dartmouth, bagian Amigdala di otak kita otomatis akan mencari pola dalam menghadapi situasi yang sulit dicerna. Hal ini didukung oleh Teori Ramsey yang menyatakan bahwa manusia cenderung menghubungkan data yang satu dengan data yang lainnya sampai membentuk pola saat menghadapi data acak yang melimpah, dengan tujuan untuk membedakan mana informasi yang berguna. Tetapi, tidak jarang juga kecenderungan ini membuat manusia asal – asalan menghubungkan informasi yang tidak berhubungan sama sekali, asalkan yang penting masuk akal untuk kita, biasanya kita kenal dengan istilah “cocoklogi”. Manusia cenderung menolak ide yang bertentangan dengan keyakinan mereka, yang disebut dengan “Backfire Effect”. Dalam buku “A Dictionary of Thought Distortions” (2014) yang disusun Morten Tolboll menyebutkan Backfire Effect adalah respons ganjil seseorang ketika menemukan fakta yang bertentangan dengan keyakinannya; alih-alih terbuka dengan kemungkinan bahwa fakta itu benar dan mengubah pandangannya, orang itu justru semakin teguh berpegang pada keyakinannya. Dalam kondisi pandemi Covid-19, banyak orang percaya dengan endorse konspirasi walaupun orang – orang yang melakukannya tidak memiliki keahlian atau pengalaman dalam epidemiologi disebabkan karena pembawaan teori konspirasi itu sendiri. Ada satu seni yang sering digunakan orang – orang terkenal di zaman Yunani Kuno, yaitu Retorika. Dalam KBBI, Retorika merupakan keterampilan berbahasa secara efektif. Aristoteles sendiri membagi teknik retorika dalam 3 cara persuasi, yaitu “logos” atau penalaran, “pathos” atau emosi, dan “ethos” atau kredibilitas. Para endorser teori konspirasi kerap menggunakan teknik ketiga untuk menciptakan ilusi kredibilitas dan otoritas, misalnya dalam membicarakan pandemi dengan menggunakan 3 teknik. Pertama, teknik persuasi ketiga digunakan dengan memberikan informasi dari sumber yang terlibat langsung dalam suatu kejadian atau peristiwa atau dengan dokumen otentik yang sulit diakses atau diverifikasi, yang membuat mereka seolah – olah kredibel dengan kesan mereka memiliki koneksi ke aktor – aktor yang berbobot. Penganut teori konspirasi umumnya memiliki paranoia dengan mainstream media karena media dianggap sebagai bagian dari corong propaganda elite global dan tidak bisa dipercaya. Para endorser teori konspirasi kerap menggunakan “kata teman saya” sebagai sebuah dongeng ajaib. Dengan adanya klaim bahwa terdapat operasi belakang layar yang sangat kuat dan rahasia, membuat endorser konspirasi mencapai 2 hal, di mana mereka menjadi tampak kredibel akibat sumber yang terkesan “kredibel” serta membantah sumber lain karena sudah tercemar elite global. Kedua, mereka menggunakan teknik persuasi kedua, yaitu “pathos” atau emosi, dengan membangun citra perlawanan yang biasanya mewakili suatu hal yang sebenarnya sudah diyakini banyak orang. Teknik ini juga dilakukan misalnya oleh Channel “FlatEarth101” yang mempertentangkan elite global dengan people power. Ketiga, teknik persuasi pertama digunakan para endorser konspirasi dengan menggunakan bahasa sains dan investigasi untuk menguatkan pendapat mereka. Mereka seolah – olah tampak memahami berbagai disiplin sains dan dapat melakukan investigasi. Mereka sendiri sebenarnya sudah salah dalam memilih sumber, tetapi hal ini terjadi karena mereka memang tidak ada niat untuk melakukan penelitian ilmiah atau laporan investigasi yang memiliki prosedur jurnalistik yang ketat. Para endorser teori konspirasi biasanya hanya memberikan potongan – potongan fakta tanpa konteks yang kebanyakan tidak memiliki hubungan antara yang satu dengan yang lain supaya konsumen teori konspirasi bisa menyimpulkan sendiri apa hubungannya. Tetapi para endorser sendiri tidak memberikan bukti yang sama besarnya dengan klaim – klaim mereka. Teori konspirasi sendiri memang didasari oleh kepercayaan. Bahkan menurut Karl Popper, seorang filsuf sains dari Austria, teori konspirasi itu seperti agama versi sekuler dan modern. Sebagai perbandingan, teori konspirasi lebih dekat dengan agama dan berbeda dari sains, salah satu penyebabnya adalah kepercayaan tentang adanya entitas omnipoten, yaitu “elite global” yang mengatur jalannya sejarah manusia, yang keberadaannya tidak bisa dibuktikan secara ilmiah, sehingga satu – satunya jalan adalah iman. Pada akhirnya, penyebaran teori konspirasi akan sangat sulit untuk dihentikan. Faktor dari cara pembawaan para pengarang teori konspirasi dan beragam penyebab audiens mempercayai teori – teori tersebut membuat teori konspirasi sulit untuk dihilangkan. Terlebih lagi dalam kondisi krisis yang membuat mayoritas orang – orang menjadi putus asa dan kecewa, yang di mana merupakan lahan subur untuk berkembangnya narasi – narasi yang seolah – olah mendukung mereka atau menyalahkan suatu pihak yang merupakan tujuan dari teori konspirasi, terbukti ketika krisis di negara – negara Eropa abad ke-20 membuat berbagai paham ekstremis tumbuh subur di masyarakat Eropa. Daftar Pustaka Fikry, A., 2020. Representasi Konsep Retorika Persuasif Aristoteles dalam Pidato Ismail Haniyah untuk Umat Islam Indonesia [online]. Jurnal Al-Azhar Indonesia Seri Humaniora. 5(3), p.137. Available from: https://jurnal.uai.ac.id/index.php/SH/article/download/387/370 [Accessed 28 October 2020]. Tolboll, M., 2014. A Dictionary Of Thought Distortions. Cork: BookBaby, p.13. Balakin, K., 2010. Pharmaceutical Data Mining. Hoboken: Wiley, p.52. Baker, M., 2013. Why Rational People Buy Into Conspiracy Theories [online]. Nytimes.com. Available from: https://www.nytimes.com/2013/05/26/magazine/why-rational-people-buyinto-conspiracy-theories.html [Accessed 28 October 2020]. Buckley, T., 2015. Why Do Some People Believe In Conspiracy Theories? [online]. Scientific American. Available from: https://www.scientificamerican.com/article/why-do-some-peoplebelieve-in-conspiracy-theories/ [Accessed 28 October 2020]. Dyrendal, A., Robertson, D. and Asprem, E., 2018. Handbook Of Conspiracy Theory And Contemporary Religion. 17th ed. p.49.