Perang untuk Minyak: Kapankah dunia ini bermoral?

advertisement
Perang
untuk
Minyak:
Kapankah
dunia
ini
bermoral?
“Tidaklah
mengejutkan,
bentrokan
nyata
pertama
demi
memperebutkan
minyak
selama
Perang
Dingin
terjadi
di
belahan
dunia
yang
menyimpan
paling
banyak
minyak,
yaitu
Timur
Tengah”
–John
Perkins
“After
Iraq
and
Libya,
Teheran
will
be
the
next
destination..Be
careful”
‐AJB
Belum
lagi
selesai
musibah
tsunami
Jepang
yang
menimbulkan
tangis
dan
kekhawatiran
dunia
akan
ancaman
nuklir
Jepang,
kita
kembali
dipertontonkan
oleh
serangan
sekutu
(Prancis,
AS,
dan
Inggris)
ke
Libya,
melalui
“Operasi
Fajar
Odyssey”
dengan
tujuan
mempertegas
zona
larangan
terbang
dan
melumpuhkan
kekuatan
pasukan
Khadafy.
Perang
di
Libya,
mengingatkan
beberapa
pemimpin
negara,
seperti
Vladimir
Putin
dan
Ayatolah
Ali
Khamenei,
akan
perang
salib,
perang
agama
antara
umat
Islam
dan
Kristen,
meskipun
terlalu
berlebihan,
jatuhnya
bom
nuklir
di
wilayaj
kedaulatan
Libya
adalah
bagian
proyek
“New
Middle
East”
atau
Timur
Tengah
Baru
yang
digagas
oleh
AS.
Perang
selalu
menarik
untuk
dianalisis,
karena
selain
melibatkan
biaya
yang
sangat
besar
(catat:
Perang
Irak
telah
menghabiskan
trilyunan
dollar
AS),
memakan
banyak
korban
jiwa,
perang
juga
identik
dengan
transisi
kekuasaan
disertai
perebutan
kepentingan‐kepentingan
strategis.
Jutaan
dollar
AS
dikucurkan
selama
perang,
jumlah
yang
sangat
menganggu
sustainabilitas
anggaran
AS
(catat:
AS
sedang
recovery
pasca
krisis).
Selain
itu,
jumlah
tersebut
bukanlah
jumlah
yang
sedikit
dan
pasti
memiliki
motif.
Pengembalian
biaya
perang
adalah
kata
kunci.
Kita
semua
tahu
bahwa
AS
mengeluarkan
uang
300
juta
dollar
untuk
perang
Libya
dan
tentunya
there
is
no
free
lunch
(tidak
ada
makan
siang
yang
gratis).
Terbentak
tanya
di
benak
kita:
Untuk
kepentingan
siapakah
perang
yang
didesain
dan
diprakarsai
oleh
AS
dan
sekutunya?
Benarkah
untuk
penegakan
demokrasi
dan
kebebasan
yang
bermartabat
dan
bermoral?
Atau
Untuk
kepentingan
strategis
penguasaan
sistem
politik
dan
sumber
daya
strategis
negara
Timur
Tengah?
Adakah
kejujuran
yang
terkandung
dalam
resolusi
PBB
selama
ini,
sehingga
tidak
mampu
mencegah
pertumpahan
darah
masyarakat
sipil
tak
berdosa?
Konspirasi
AS
Bagi
pihak
yang
percaya
teori
konspirasi,
dapat
dipastikan
bahwa
serangkaian
gejolak
politik
dan
perang
Libya
tak
ubahnya
seperti
suatu
konspirasi.
Pemain
konspirasi
dituduhkan
kepada
pihak
asing,
terutama
AS,
yang
sangat
berkepentingan
atas
kestabilan
pasokan
minyak
di
Timur
Tengah
dan
keamanan
Israel,
sebagai
domain
utama
politik
AS.
Kepentingan
minyak
dan
keamanan
Israel
tentunya
harus
dijaga
dengan
baik
dan
sustainable,
jika
perlu
digunakan
cara‐cara
keji
seperti
fitnah,
propaganda,
dan
invasi
militer.
Teknologi
dan
kapabilitas
militer
kelas
satu
AS,
bergabung
dengan
sekutu
dekatnya
seperti
Inggris,
Spanyol,
Australia,
dan
terakhir
Prancis,
semakin
menyulitkan
dunia
dan
berpotensi
membawa
kita
pada
perang
nuklir
berkepanjangan.
Ibarat
ledakan,
serangan
ke
Libya
adalah
pemicu
ledakan‐ledakan
berikutnya
di
kemudian
hari.
Setiap
serangan
pasti
memiliki
tujuan,
begitu
pula
konspirasi.
Gelombang
revolusi
di
Timur
Tengah
dan
Afrika
Utara
bukanlah
sesuatu
yang
terjadi
secara
dadakan
atau
spontan.
Berbagai
pihak
yang
sangat
percaya
bahwa
ini
adalah
konspirasi
Barat,
menyatakan
bahwa
AS
dan
sekutunya
sengaja
mendesain
rangkaian
aksi‐aksi
anti
pemerintah.
Peralihan
sistem
politik
dan
kekuasaan,
dari
tirani
ke
demokrasi,
status
quo
ke
pihak
oposisi,
dinasti
penguasa
ke
pihak
yang
dapat
disetir
oleh
AS
dan
sekutu,
adalah
tujuan
utama.
Praktik
konspirasi
memunculkan
rasa
tahu
sama
tahu
dan
melibatkan
kerjasama
strategis
antara
pihak
yang
diuntungkan
dari
jatuhnya
rezim
dengan
pihak
Barat
sebagai
polisi
dunia
yang
berlindung
dibawah
alasan
“penegakan
demokrasi,
kedamaian,
dan
Hak
Asasi
Manusia
(HAM)”.
AS
juga
telah
terlibat
ratusan
konspirasi
penting
dunia.
Pengakuan
John
Perkins,
dalam
serial
“Economic
Hitman”
menyadarkan
dunia
betapa
dinas
intellijen
AS,
yaitu
CIA,
seenaknya
mengacak‐acak
sistem
perpolitikan,
kedaulatan,
bahkan
mengatur
pemberontakan
dan
penggulingan
kekuasaan
suatu
negara.
Dalam
menguasai
dan
melebarkan
pengaruhnya
di
belahan
dunia
lain,
AS
memiliki
tiga
pendekatan
utama.
Pertama,
melalui
program
yang
disebut
“mafia
ekonomi”,
dimana
para
ekonom‐ekonom
AS
terlibat
dalam
usaha
pembangkrutan
negara,
melalui
cara‐cara
langsung
seperti
terlibat
dalam
mempengaruhi
proses
negosiasi
penggelembungan
kontrak
dan
pengucuran
hutang
melalui
lembaga‐lembaga
yang
tidak
lain
adalah
representasi
AS,
seperti
World
Bank
dan
IMF
atau
keterlibatan
secara
tidak
langsung,
melalui
“pembaptisan”
ekonom‐ekonom
dan
pengambil
kebijakan
negara‐negara
berkembang
dengan
tujuan
melakukan
“cuci
otak”,
sampai
pada
akhirnya
para
ekonom
tersebut
berhasil
melakukan
makelarisasi
dan
pembangkrutan
negara,
baik
disadari
atau
tidak.
Program
mafia
ekonomi
inilah
yang
telah
menjerat
sebagian
besar
negara
pada
rantai
kemiskinan
tak
berujung,
kesenjangan
tingkat
pendidikan
yang
tinggi,
serta
kebodohan
absolut
mayoriats
rakyatnya
sebagai
dampak
bersatunya
kejahatan
korporatokrasi
dan
kleptokrasi
secara
bersamaan,
karena
sentral
kekuasaan
dipegang
oleh
kaum
elite
minoritas
yang
memiliki
akses
politik
penting
dan
kekuatan
uang,
untuk
menguasai
sumber
strategis
kekayaan
negara
dalam
upayanya
memperkaya
diri.
Dengan
pola
ini
(kombinasi
korporatokrasi
dan
kleptokrasi)
negara
sudah
pasti
dibangkrutkan
pelahan
tapi
pasti,
ketika
bangkrut
dan
terlilit
hutang
dapat
dipastikan
bahwa
negara
tersebut
telah
ada
digenggam
dan
relatif
mudah
dikendalikan.
Indonesia,
adalah
contoh
terbaik
dalam
hal
ini.
Terlihat
betapa
kebijakan
publik
kita
telah
dirusak
bukan
saja
oleh
Barat,
melainkan
oleh
ekonom
kita
sendiri.
Kebijakan
pembangunan
tidak
tepat
sasaran,
intervensi
kontrak
minyak
dan
tambang
mineral,
makelarisasi
hutang
dan
proyek‐proyek
BUMN,
kebobrokan
institusi
dan
lembaga
negara,
praktik
suap
merajalela
bahkan
di
entitas
yang
dianggap
malaikat
sekalipun,
deregulasi
perbankan
yang
tidak
ditinjau
ulang
(catat:
Kepemilikan
asing
maksimal
99%,
alias
jauh
lebih
liberal
dibanding
AS
yang
hanya
memperbolehkan
maksimal
30%),
divestasi
merugikan
pasca
restrukturisasi,
privatisasi
BUMN,
serta
penguasaan
sektor‐sektor
strategis
seperti
pertambangan,
telekomunikasi,
perbankan,
dan
kini
kesehatan,
adalah
rangkaian
paket
perluasan
pengaruh
dan
hasil
karya
kerja
keras
“mafia
ekonomi”
dalam
suatu
sistem
konspirasi
di
Indonesia.
Hasilnya,
kita
bukan
hanya
terlilit
jumlah
hutang
yang
sedemikian
besar,
tetapi
juga
memiliki
ketergantungan
sangat
tinggi
atas
aspek
dan
ranah‐ranah
Barat,
seperti
film,
makanan,
budaya,
lifestyle,
dan
pola
konsumtif
lainnya.
Meskipun
hal
tersebut
memang
tidak
dapat
dihindari
dengan
adanya
globalisasi,
namun
mengikuti
globalisasi
tanpa
aturan
adalah
suatu
kecelakaan
bagi
kelangsungan
integritas
dan
moralitas
bangsa
ini.
Kedua,
ketika
upaya
pendekatan
“mafia
ekonomi”
menemui
jalan
buntu,
maka
AS
menggunakan
cara
lain
yaitu
jackal,
yaitu
suatu
upaya
pembunuhan
pemimpin
negara
secara
terang‐terangan
atau
tersembunyi
tanpa
meninggalkan
jejak
faktual.
Upaya
jackal
dilakukan
umumnya
ketika
pemimpin
suatu
negara
dan
aparatur
pemerintahannya
tidak
dapat
diintervensi
dan
tidak
mudah
untuk
tunduk
dan
sepakat
pada
aturan‐aturan
yang
dibuat
oleh
AS.
Pembunuhan
keji
Anwar
Sadat
di
Mesir,
dalam
parade
militer,
yang
akhirnya
menaikkan
Husni
Mubarak
ke
tampuk
pimpinan,
dan
pembunuhan
Omar
Torrijos
dalam
kecelakaan
pesawat
mengenaskan,
berbagai
upaya
pembunuhan
proklamator
RI.
Ketiga,
ketika
cara
“mafia
ekonomi”
dan
“jackal”
menemui
jalan
buntu,
maka
AS
melancarkan
pendekatan
strategi
terakhir
yaitu
perang.
Dalam
memutuskan
perang,
tentunya
mereka
terlebih
dahulu
melakukan
perhitungan
matang,
khususnya
terkait
kalkulasi
biaya
perang
dan
manfaat
yang
ditimbulkan
setelah
perang
(cost‐benefit
calculation).
Mereka
juga
mempertimbangkan
kekuatan
politik
dalam
negeri
dan
konstelasi
kekuatan
politik
global,
termasuk
dalam
upaya
mereka
bagaimana
perang
tersebut
dapat
mendatangkan
manfaat
tidak
hanya
bagi
AS
sendiri
melainkan
kepentingan
yang
dibelanya,
seperti
Israel
dan
para
sekutu
terdekat
AS.
Perang
terhadap
rezim
Saddam
Hussein
di
Irak,
Perang
Vietnam,
Afganistan,
adalah
bukti
bahwa
AS
tidak
segan‐segan
memporakporandakan
suatu
negara
dengan
bom‐bom
nuklir
miliknya,
membiarkan
nyawa
masyarakat
sipil
melayang,
serta
melegalisasi
upaya
pertumpahan
darah
yang
lebih
deras.
Dengan
perang
yang
dimenangi,
mereka
memperoleh
berbagai
keuntungan
masa
depan,
seperti
pengaruh
politik
yang
lebih
luas,
keuntungan
finansial
melalui
kerjasama
dan
penguasaan
aset
strategis
suatu
negara,
sampai
perusakan
perlahan
budaya
dan
adopsi
“westernisasi”
yang
menguntungkan
mereka.
Serangan
ke
Libya
memiliki
pola
relatif
berbeda
dengan
serangan
ke
Irak
dan
Afganistan,
karena
tidak
adanya
mobilisasi
angkatan
darat
AS
dan
sekutu.
Serangan
ini
juga
tidak
ditujukan
untuk
menjatuhkan
rezim
Khadafy.
Namun,
serangan
tersebut
terbukti
telah
memperkuat
basis
pertahanan
pihak
opisisi
dan
perlahan
tapi
pasti
akan
melumpuhkan
basis
kekuatan
pasukan
Khadafy,
dan
kini
alurnya
mudah
ditebak:
Penggulingan
kekuasaan
secara
tidak
langsung.
Selain
tiga
pendekatan
strategi
yang
dieksplorasi
diatas,
AS
juga
lihai
memainkan
strategi
propaganda,
berstandar
ganda,
dan
melakukan
negosiasi‐negosiasi
melalui
komunikasi
intensif
dan
pembentukan
citra
positif
sebagai
negara
adidaya,
bermoral
melindungi
kebebasan,
dan
menjunjung
tinggi
HAM,
sehingga
membentuk
persepsi
khalayak
bahwa
hampir
semua
negara
tergantung
dan
diuntungkan
atas
kehadirannya.
AS,
juga
lihai
meneriakkan
slogan
demokrasi,
sebagai
upaya
pembenaran
atas
berbagai
langkahnya
yang
tak
kenal
kemanusiaan.
Mereka
bersuara
keras
tentang
demokrasi
di
seberang
sana,
namun
di
sisi
lain
perilaku
mereka
bahkan
telah
mengkhianati
semangat
utama
demokrasi
yang
menegakkan
moral
sama
tinggi
dengan
kebebasan
bertindak.
Perang
untuk
minyak
Ketimbang
melabeli
perang
ini
sebagai
upaya
penegakkan
demokrasi
dan
stabilisasi
politik
Timur
Tengah
dan
Afrika
Utara,
penulis
dan
mungkin
juga
lainnya
lebih
nyaman
untuk
melabeli
perang
ini
sebagai
“perang
untuk
minyak”,
dimana
serangan
ke
Libya
menjadi
titik
awal
invasi
AS
dan
sekutu
untuk
melebarkan
pengaruhnya,
mensukseskan
program
“New
Middle
East”,
dan
terutama
menguasai
kepentingan
minyak
di
Timur
Tengah.
Terlepas
dari
alasan
apa
yang
mendasari
operasi
ini
(penegakkan
larang
perang
atau
perjuangan
menciptakan
demokrasi)
dan
jenis
perang
seperti
apakah
yang
nantinya
akan
terjadi
(apakah
perang
asimetris,
konvensional,
atau
non‐konvensional)
yang
jelas
ada
jutaan
minyak
diperebutkan
disana
(catat:
produksi
minyak
Libya
mencapai
1,65
juta
barel
per
hari),
dan
setelah
sukses
menginvasi
Irak
(meskipun
tidak
dapat
dikatakan
sepenuhnya
karena
ketidakstabilan
politik
yang
masih
terjadi),
AS
dan
sekutunya
rupanya
terinspirasi
oleh
tokoh
Jengis
Khan,
sehingga
berkehendak
membentuk
imperialisme
baru,
khususnya
penguasaan
atas
minyak.
Melalui
strategi
masuk
(entry
strategy)
yang
“cantik”
di
Mesir
dan
Tunisia
(yang
notabene
adalah
sekutu
terdekat
mereka
setelah
Saudi
Arabia),
serangan
ke
Libya
adalah
intermediasi
penting
untuk
serangan
yang
sangat
penting,
yaitu
Teheran,
Iran.
Selain
karena
Iran
dianggap
mengancam
keamanan
Israel
di
Timur
Tengah,
rangsangan
utama
invasi
ke
Teheran
adalah
adanya
4,03
juta
barrel
per
hari
dan
Iran
kini
tercatat
sebagai
produsen
minyak
nomor
3
setelah
Saudi
Arabia
dan
Kanada,
Sejalan
dengan
Alan
Greenspan,
yang
menyatakan
bahwa
sebagian
besar
alasan
perang
Irak
adalah
karena
minyak,
semua
pihak
termasuk
rakyat
AS
sekalipun
kini
menentang
garis
kebijakan
Washington
dan
sekutunya.
Kebijakan
yang
bukan
hanya
menimbulkan
hutang
lebih
dalam
bagi
rakyat
AS,
melainkan
juga
mengancam
keselamatan
warga
negara
AS
dan
sekutunya
di
negara
lain.
Kebijakan
yang
juga
menyiratkan
kepada
kita
bahwa
AS
tetaplah
AS,
siapapun
pemimpinnya,
entah
Partai
Republik
atau
Demokrat,
etnis
minoritas
atau
mayoritas,
murah
senyum
atau
berpenampilan
dingin,
mereka
tetap
berada
pada
garis
kebijakan
yang
tidak
berubah
(unchangeable).
Solusi
dunia
internasional
Reaksi
dunia
beragam
tentang
operasi
Libya
ini.
Dua
dari
lima
anggota
tetap
PBB
menyatakan
abstain
dan
sisanya
tiga
anggota
tetap
–AS,
Inggris,
dan
Prancis
menyetujui.
China
dan
Rusia
memilih
abstain
dan
menyatakan
memilih
cara‐cara
damai
untuk
menyelesaikan
krisis
Libya.
Terakhir,
perselisihan
juga
terjadi
diantara
dua
pemimpin
Rusia,
Presiden
Dimitry
Medvedev
mengecam
komentar
Vladimir
Putin
mengenai
konflik
Libya
yang
dianggapnya
“mengingatkan
abad
pertengahan
akan
perang
salib”
dan
berujar
bahwa
“semua
akan
menjadi
lebih
buruk
dibandingkan
apa
yang
terjadi
sekarang
dan
setiap
orang
harus
mengingat
itu”,
artinya
Medvedev
mengingatkan
bahwa
upaya
“provokasi”
harus
dihindari.
Perseteruan
dua
serangkai
inipun
juga
sempat
menjadi
pembicaraan
berbagai
media,
dimana
keretakan
dan
komentar
saling
berlawanan
baru
pertama
kali
terlihat.
Meskipun
sulit
untuk
menduga
bahwa
Rusia
kini
telah
terpecah
menjadi
dua
kubu,
yang
jelas
jawaban
Medvedev
secara
tegas
justru
menekankan
pentingnya
mempertahankan
dua
serangkai
dan
tidak
terpengaruh
oleh
isu
kampanye
dan
persaingan
politik
dalam
pemilu.
China,
bahkan
terlihat
seperti
paranoid,
melihat
perlawanan
rakyat
di
Tunisia,
Mesir,
dan
Libya,
pemerintah
China
menekan
warga
minoritas
etnis
Uighur,
aparat
keamanan
China
telah
membuat
kota‐kota
bagian
barat
China,
seperti
Kashgar
dan
Urumqi,
seperti
zona
perang.
Penggeledahan
dan
penahanan
etnis
tersebut
telah
menunjukkan
bahwa
China
bereaksi
keras
dan
tidak
membiarkan
satu
percikan
api
pun
menyala
yang
dapat
mengancam
keamanan
dalam
negerinya.
Selain
Rusia
dan
China,
kalangan
internasional
khususnya
negara‐negara
yang
tergabung
dalam
forum
perdamaian
perserikatan
bangsa‐bangsa
(PBB)
harus
bersikap
tegas
dan
secara
simultan
menyerukan
penghentian
perang,
karena
dikhawatirkan
akan
menimbulkan
dampak
berkepanjangan.
Ratusan
US
dollar
yang
digelontorkan
AS
dan
sekutunya
juga
memunculkan
kekhawatiran
akan
timbulnya
dampak
lain
seperti
gangguan
keseimbangan
ekonomi
dunia,
karena
disaat
bersamaan
dunia
juga
dihadapkan
oleh
krisis
nuklir
Jepang
(catat:
Jepang
memiliki
besaran
ekonomi
nomor
3
dunia),
peningkatan
harga
minyak
dunia,
persengketaan
semenanjung
Korea,
dan
kondisi
ekonomi
yang
belum
stabil
di
AS
dan
Eropa.
Penulis
khawatir
prediksi
Nouriel
Roubini,
dalam
bukunya
Crises
Economics
(2010),
yang
menyatakan
bahwa
krisis
ekonomi
dunia
akan
berbentuk
W
(double
dip
crises),
dimana
pasca
pemulihan
dunia
akan
kembali
terjerembab
dalam
krisis
ekonomi,
akan
benar‐benar
terjadi.
Pemicunya
adalah
pelebaran
defisit
anggaran
karena
perang.
Oleh
karenanya,
dunia
internasional
melalui
komunitas
strategis
harus
bersama
mencegah
pertumpahan
darah
yang
lebih
banyak
dan
pergolakan
politik
yang
diikuti
pergolakan
ekonomi
dan
sosial,
serta
melakukan
penindakan
tegas
atas
upaya
negara
manapun
yang
ingin
menodai
dan
merusak
isi
piagam
perdamaian
dunia
hak
asasi
manusia
(HAM)
tanpa
pandang
bulu.
Solusi
setidaknya
menitiberatkan
dua
hal
penting,
yaitu
kedudukan
yang
sama
di
mata
internasional
bagi
suatu
negara
tanpa
terkecuali
dan
adanya
jaminan
bagi
setiap
negara
untuk
menentukan
nasibnya
sendiri,
mempertahankan
kedaulatan,
dan
melakukan
pergaulan
politik
secara
mandiri,
bebas
intervensi,
dan
penuh
tanggung
jawab.
Namun,
jika
pembentukan
solusi
hanya
terlihat
ideal
pada
secarik
kertas
kesepakatan,
artinya
tidak
diimplementasikan
secara
konsisten
dan
bias
ke
salah
satu
pihak
terkuat,
maka
pembentukan
solusi
tersebut
tidak
akan
memberikan
hasil
apapun
selain
ketidakseimbangan
politik,
krisis
ekonomi
berkelanjutan,
dan
kemelaratan
tak
berujung.
Dalam
dunia
yang
telah
terkoneksi
secara
kompleks
sebagai
cerminan
globalisasi,
tentunya
kita
tidak
dapat
menghindari
bahwa
kejadian
di
satu
titik
dapat
dengan
cepat
menjalar
dan
menimbulkan
dampak
ke
titik
lainnya,
tanpa
terkecuali.
Globalisasi
adalah
suatu
keniscayaan,
pilihannya
“ikut”
atau
“tidak”.
Kini
rasanya
tidak
ada
satu
negarapun
yang
dapat
menghindarnya
dan
secara
sukarela
atau
terpaksa
harus
mengikuti
arus
globalisasi.
Meminjam
istilah
Charles
Darwin
dalam
survival
for
the
fittest
bahwa
bukanlah
makhluk
terkuat
dan
terbesar
yang
akan
bertahan,
melainkan
makhluk
yang
mampu
beradaptasi
terhadap
lingkungannya,
maka
dalam
lingkup
global,
kepandaian
suatu
negara
dalam
melakukan
adaptasi
berperan
penting
bagi
tercapainya
kemajuan
negara
tersebut
dan
dari
sinilah
kedewasaan
kita
sebagai
bangsa
benar‐benar
diuji.
Bagi
Indonesia,
perang
Libya
dan
perubahan
peta
politik
di
Timur
Tengah
dan
Afrika
Utara
ini
memberikan
banyak
pelajaran,
khususnya
terkait
aspek
penting
seperti
kedaulatan
dan
ketahanan
militer,
yang
dapat
dijadikan
refleksi
seberapa
mampu
kita
bertahan
dan
beradaptasi
dalam
pergaulan
global
dengan
tetap
menjujung
tinggi
integritas,
mandiri,
dan
tidak
kehilangan
identitasnya.
Indonesia
juga
selayaknya
mampu
berdaulat
secara
utuh,
di
bidang
ketahanan
militer,
pangan,
energi,
dan
sosial
budaya,
tidak
ada
ruang
untuk
melakukan
“plagiarisme”
Barat,
tidak
ada
tempat
yang
strategis
untuk
budaya
barat,
dan
tidak
ada
kesempatan
yang
lebih
berarti
selain
kesempatan
bagi
seluruh
rakyat
untuk
memperoleh
penghidupan,
pendidikan,
dan
pekerjaan
lebih
layak,
bukan
hanya
kesempatan
bagi
anak
Presiden,
Pengusaha,
dan
Pejabat
Negara
lainnya.
Memperhatikan
rakyat
dengan
lebih
baik,
menjunjung
tinggi
semangat
demokrasi
bermoral,
dan
menunjukkan
pengabdian
dalam
bentuk
karya
nyata
bagi
kemajuan
peradaban
bangsa.
Selain
itu,
perang
memberikan
kita
pelajaran
berharga
bahwa
hanya
ada
satu
kepentingan
utama
dan
abadi
di
dunia
ini,
yaitu
kepentingan
atas
uang.
Keberadaan
uang
telah
mengubah
perilaku
dan
peradaban
manusia
pada
umumnya,
dimana
faktor‐faktor
penting
lainnya,
seperti
birokrasi,
kesepakatan
perdamaian,
dan
ayat
suci
agama
sekalipun
menjadi
tidak
berarti
dan
relevan
ketika
kekuatan
uang
merajalela.
Jika
dibiarkan
seperti
ini,
berarti
kita
semua
telah
membiarkan
dunia
ini
tenggelam
kepada
kebobrokan
moral
yang
sangat
dan
sebagai
bangsa
Indonesia
kita
seakan
telah
membiarkan
bangsa
ini
terkubur
dalam
catatan
sejarah
buruk
dimana
kita
tidak
memiliki
kemandirian
dan
harga
diri
sebagai
bangsa
besar.
Terakhir,
jika
perang
ini
dibiarkan
terus
berlanjut,
penulis
teringat
akan
operasi
Barbarosa
(suatu
operasi
Jerman
dipimpin
Hitler
untuk
menguasai
Rusia
yang
kala
itu
dipimpin
oleh
Stalin),
dimana
operasi
tersebut
menjadi
titik
awal
meletusnya
perang
dunia
ke
II.
Semoga
kita
mampu
mencegahnya
sebelum
Tuhan
marah
kepada
kita
semua
karena
telah
membentuk
dunia
tanpa
moral.
Penulis:
Aji
Jaya
Bintara,
MSM
Founder
of
Strategic
Development
Institute
(SDI)

Download