BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Posisi Iran di

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Posisi Iran di Timur Tengah sebagai sebuah negara yang telah menerapkan
sistem demokrasi dengan bentuk republik Islam sejak tahun 1979 menjadi
pembeda diantara kebanyakan negara negara dikawasan Timur Tengah lain yang
mayoritas masih menerapkan sistem monarki. Pasca terjadinya revolusi Islam
Iran, Iran dicurigai berupaya mengekspor ideologi revolusinya pada negara negara
tetangga di Timur Tengah. Iran juga diindikasi memperkuat kelompok kelompok
perlawanan atas pemerintahan untuk merebut kekuasaan dari pemerintah dan
menerapkan demokrasi ketuhanan ala Iran. Namun apa yang terjadi di Irak dan
Suriah jauh berbeda, Irak masih menjalin hubungan dekat dengan Amerika yang
merupakan musuh Iran, dan Suriah bukanlah negara demokratis namun tetap
dibela oleh pemerintah Iran, ini semua berbeda dengan tuduhan pada Iran yang
sering ditemui pada media media barat. Dalam penulisan tesis ini, peneliti akan
berupaya menjelaskan bagaimana Iran merespon ISIS di Irak dan konflik Suriah
dalam kerangka kebijakan politik luar negeri, analisa dalam bentuk kebijakan
politik luar negeri ini diharapkan mampu melihat bagaimana pragmatisnya Iran
dalam menerapkan dua kebijakan politik luar negeri yang berbeda saat merespon
konflik yang terjadi di Irak dan Suriah, yaitu kebijakan yang bersifat diplomatis
dan intervensi lewat aksi militer.
Sistem pemerintahan Republik Islam Iran sangat berbeda dengan sistem
pemerintahan di negara berkembang lainnya atau di negara maju sekalipun, Sebab
Negara Republik Islam Iran menggunakan sistem pemerintahan wilayatul faqih
Pasca revolusi Islam Iran pada 1979, Iran dibawah kepemimpinan Ayatollah
Khomeini merubah bentuk negaranya dari Monarki menjadi Republik Islam Iran,
Iran telah mengalami tujuh kali pergantian presiden dengan keadaan politik
internasional yang selalu berubah, namun pada pelaksanaannya politik luar negeri
Iran tetap tidak keluar dari jalur wilayatul faqih yang sudah ditetapkan Ayatollah
Khomeini saat membentuk negara Iran pasca revolusi.
12
Wilayatul faqih, secara etimologi kedua kata ini berasal dari bahasa arab
dengan suku kata wilayah dan
faqih. Wilayah dalam bahasa Arab berarti
kedaulatan, kekuasaan, perwalian dan pengawasan. 1 Dalam perkembangannya,
setelah terjadinya revolusi pada tahun 1979, Iran dibawah pimpinan Ayatollah
Khomeini juga merumuskan sikap luar negeri Iran sebagai ganti dari kebijakan
luar negeri Iran dizaman Syah Reza yang cenderung pro barat. Ayatollah
Khomeini sebagai pemimpin Revolusi Islam Iran meletakkan pondasi politik luar
negerinya yang sarat dengan ketentuan dan nilai-nilai yang ada dalam ajaran
Islam. Ayatollah Khomeini mempertahankan kebijakan luar negeri harus
didasarkan pada ideologi, yaitu kebijakan luar negeri berarti kebijakan negaranegara Muslim dalam menghadapi negara-negara yang berada di luar perbatasan
negara Islam.
Pasca Revolusi, dengan politik luar negeri yang tegas dengan dasar
ideologi Islam, Iran dibawah Ayatollah Khomeini saat itu mendapat tekanan dari
Amerika dan juga Uni Soviet, kedua negara super power ini akhirnya harus
kehilangan sumber daya melimpah yang dimiliki Iran setelah Revolusi Islam Iran
menggulingkan Syah Reza yang menjalin hubungan dengan kedua negara super
power tersebut. Tidak hanya mendapat tekanan dari dua negara super power saja,
Iran pasca revolusi juga mendapat tekanan dari kawasan regional, ini terbukti dari
invasi Irak ke Iran pada tahun 1980 hingga 1988 yang lebih dikenal dengan
perang teluk I.
Sejak tahun 1979 yang menjadi tahun awal revolusi Iran hingga dunia
Arab mulai memasuki fase revolusi dan ancaman akan munculnya gerakan ISIS,
pemerintah Iran selalu turut berperan dalam perkembangan politik di kawasan
Timur Tengah, mulai dari perang melawan Irak hingga dukungan pada kelompok
Hamas di Palestina dan Hizbullah di Lebanon namun dalam penelitian ini penulis
akan memfokuskan pembahasan pada kebijakan luar negeri Iran terkait
perkembangan ISIS di Irak dan konflik di Suriah. Pasca kejatuhan Saddam
Hussein sebagai pemimpin Irak, Iran sebagai salah satu kekuatan dominan di
Timur Tengah bersama Arab Saudi tentu akan turut merespon isu yang sedang
1
Ali Mishkini. 1999. Wali faqih. Jakarta. Risalah Masa. Hal. 24.
13
berkembang di kawasannya, dan kini Timur Tengah sedang dihadapkan pada
perang saudara dengan hadirnya gerakan pemberontakan yang melakukan upaya
mengambil alih pemerintahan yang sah, konflik ini terjadi di Irak dan Suriah.
Dalam bahasa Arab, ISIS atau Islamic State in Iraq and al-Syam merupakan
terjemahan dari organisasi Ad-Daulah al-Islamiyah fi al-Iraq wa asy-Syam.
ISIS muncul di Timur Tengah sebagai fenomena yang sangat cepat
menarik perhatian dunia ketika kita menelusuri sejarah terbentuknya ISIS. ISIS
merupakan sebuah kelompok bersenjata yang mengadopsi pemikiran-pemikiran
ekstrim Takfiri. Mereka berada di barisan kelompok pemberontak dan sedang
berupaya untuk mendirikan sebuah kekhalifahan Islam di Irak dan Suriah. ISIS
muncul pada 15 Oktober 2006 setelah pertemuan sejumlah kelompok bersenjata
di Irak. Dalam pertemuan itu, Abu Omar al-Baghdadi diangkat sebagai pemimpin
ISIS. Embrio terbentuknya ISIS kembali pada pergolakan saat invasi AS ke Irak
pada tahun 2003. Serangan AS telah menciptakan atmosfir yang tepat bagi
terbentuknya dan aktivitas sebagian besar kelompok-kelompok bersenjata di Irak
seperti, kelompok pemberontak yang berafiliasi dengan Al Qaeda dan anasiranasir Partai Baath, yang menentang pemerintahan pasca Saddam di Irak.2
Salah satu misi utama ISIS di Irak adalah membentuk sebuah koalisi dan
merangkul pasukan penentang pemerintah Irak dibawah Nouri Al Maliki.
Kelompok penentang pemerintah itu terdiri dari anasir Partai Baath dan mantan
loyalis Saddam Hussein serta beberapa milisi suku. Setelah menggalang kekuatan
besar, ISIS memulai aksi pemberontakan dan operasi gerilya dengan metode bom
bunuh diri sebagai salah satu metode andalanya yang sulit ditebak dan berusaha
untuk menciptakan konflik sektarian dan perang saudara di Irak. Kematian Abu
Omar Al-Baghdadi pada 2010 telah menurunkan kekuatan ISIS secara signifikan.
Namun, pengangkatan Abu Bakar Al-Baghdadi sebagai pemimpin ISIS telah
menciptakan gelombang baru di Irak.
2
“Mengenal Kelompok ISIS dan Sepak Terjangnya (1),” IRIB, 22 Februari 2012,
<http://indonesian.irib.ir/ranah/telisik/item/92322-mengenal-kelompok-isis-dan-sepakterjangnya>,diakses pada 13 September 2015.
14
Pasca terpilihnya Abu Bakar al-Baghdadi sebagai pemimpin gerakan ISIS,
maka dimulailah gelombang baru operasi teror ISIS di Irak yang kemudian
merembet hingga Suriah dan Lebanon. Beberapa bulan pasca dimulainya krisis di
Suriah, pada akhir tahun 2011, muncul kelompok Front al-Nusra yang dipimpin
oleh Abu Muhammad al-Jolani. Kelompok ini di Suriah mendapat dukungan luas
dari sejumlah negara regional termasuk Arab Saudi, Qatar dan Turki. Front alNusra dan ISIS sama dari sisi ideologi dan keduanya memiliki keyakinan distorsif
Takfiri. Kedua kelompok ini juga telah berikrar setia kepada jaringan Al-Qaeda.
Akan tetapi ketika ISIS mengirim anasirnya untuk memperluas jangkauan
wilayahnya ke Suriah, dimulailah perselisihan antara ISIS dan al-Nusra. Karena
keduanya menilai masing-masing pihak sebagai ancaman. Dalam hal ini, al-Qaeda
yang dipimpin oleh Aiman Al-Zawahiri meminta ISIS untuk keluar dari Suriah.
Masalah ini menimbulkan pembelotan Abu Bakar Al-Baghdadi dari Al-Zawahiri,
sampai akhirnya Al-Zawahiri menyerukan pembubaran ISIS untuk menghentikan
al-Baghdadi.3
Seiring berlalunya waktu, terbukti bahwa perselisihan antara al-Qaeda dan
ISIS ternyata cukup mendalam karena Al-Baghdadi termasuk di antara pihak yang
menolak kepemimpinan Al-Zawahiri dalam jaringan al-Qaeda setelah tewasnya
Osama bin Laden pada Mei 2011. Sampai ketika komando pusat al-Qaeda pada 3
Februari 2013 menyatakan bahwa ISIS tidak terkait dengan al-Qaeda. Dengan
demikian ISIS tampil sebagai sebuah kelompok pemberontak non-afiliasi alQaeda, akan tetapi memiliki pemikiran dan kinerja yang sama, yaitu mencapai
tujuan mereka dengan mengambil alih pemerintahan dan mendirikan negara
Islam.
Dibanding dengan al-Qaeda, ISIS menempuh jalan yang lebih radikal, dan
meneruskan jalan Abu Musab al-Zarqawi, pemimpin pertama kelompok ini.
Strategi Zarqawi adalah berupaya menciptakan perang sektarian di dalam Irak,
dengan memperuncing perselisihan antara Syiah dan Sunni. Pada hakikatnya, ISIS
sama seperti Al-Qaeda berupaya merekrut pasukan sebanyak-banyaknya dari
3
“Mengenal Kelompok ISIS dan Sepak Terjangnya (2),” IRIB, 1 Maret 2015,
<http://indonesian.irib.ir/ranah/telisik/item/92579-mengenal-kelompok-isis-dan-sepak-terjangnya2>, diakses pada 13 September 2015.
15
berbagai penjuru dunia, dan hingga sekarang ISIS memiliki anggota dari lima
benua dunia.4
Di lain pihak, Edward Snowden, mantan administrator sistem Dinas
Rahasia Amerika Serikat (CIA) dalam hal ini mengatakan, “CIA, Inggris dan
rezim Zionis berperan dalam pembentukan kelompok yang bernama ISIS dan
membentuknya dalam sebuah operasi bersandi ‘sarang lebah’.”5Berdasarkan
dokumen yang terbocorkan, Snowden berpendapat bahwa kelompok ISIS
dibentuk untuk mendukung rezim Zionis Israel dan tujuan dari operasi “Hornet
Nest” adalah pembentukan sebuah kelompok dengan slogan-slogan islami yang
akan merekrut para anasir radikal dari berbagai belahan dunia.
Terdapat banyak gerakan separatis di dunia ini, dengan motif legitimasi
pemerintah ataupun kesenjangan antara pemerintah dengan rakyat dan juga
masalah etnis ataupun agama dan aliran, setiap gerakan perlawanan memiliki
esensi sendiri yang menjadi ciri khas dan latar belakang gerakan. Dalam hal ini,
terdapat dua pandangan mengenai esensi kelompok ISIS, Golongan pertama
menilai pembentukan kelompok ISIS dipicu oleh perpercahan etnis dan sektarian
serta ketidakefektifan pemerintah pusat Irak di Baghdad. Sementara golongan
kedua percaya bahwa kelompok ISIS diciptakan oleh dinas-dinas keamanan AS
melalui bantuan sekutunya di Timur Tengah, khususnya Arab Saudi, Uni Emirat
Arab, dan Turki. Sejarah kemunculan ISIS menyebutkan bahwa kedua faktor
tersebut berperan dalam proses kelahiran kelompok itu. Sebenarnya, AS dan
sekutu regionalnya telah memanfaatkan perpecahan etnis dan sektarian di Irak
untuk mempertahankan pengaruhnya di Irak dan hadirnya kelompok-kelompok
takfiri di Irak dan Suriah membuat Amerika akan dibutuhkan kedua negara untuk
mengimbangi serangan kelompok ISIS pada Irak dan Suriah.6
Kelompok “Jamaat al-Tawhid wal-Jihad” pimpinan Abu Musab alZarqawi mengumumkan kemunculannya pasca pendudukan Irak oleh militer AS.
4
Ibid.
Ibid.
6
“Mengenal Kelompok ISIS dan Sepak Terjangnya (5),” IRIB, 25 Maret 2015,
<http://indonesian.irib.ir/ranah/telisik/item/93398-mengenal-kelompok-isis-dan-sepak-terjangnya5>, diakses pada13 September 2015.
5
16
Zarqawi telah berbaiat kepada Osama bin Laden dan menyatakan kelompok
Jamaat al-Tawhid wal-Jihad sebagai cabang Al Qaeda di Irak. Pada tahun 2006,
Zarqawi dalam sebuah rekaman video mengabarkan pembentukan Syura
Mujahidin yang dipimpin oleh Abu Abdullah Al-Rashid Al-Baghdadi. Diakhir
2006, kelompok “Daulah Islam Irak” juga dibentuk dibawah pimpinan Abu Omar
al-Baghdadi. Pada tahun 2010, Abu Omar Al-Baghdadi dan Abu Hamza alMuhajir tewas dalam operasi gabungan pasukan Irak dan AS. Setelah Omar alBaghdadi tewas, Abu Bakr al-Baghdadi ditunjuk untuk memimpin Daulah Islam
Irak. Bersamaan dengan pecahnya krisis di Suriah, anasir-anasir kelompok Daulah
Islam Irak mulai melebarkan zona operasinya sampai ke Suriah. Pada akhir 2011
dan bersamaan dengan dimulainya krisis Suriah, “Jabhat Al Nusrah li Ahli Syam”
(Front al-Nusra) didirikan sebagai cabang Daulah Islam Irak dan dengan cepat
berubah menjadi salah satu kelompok berpengaruh di medan tempur Suriah.7
Kelompok ISIS dengan mudah menduduki Kota Mosul dan beberapa
wilayah lain di Irak. Mereka memanfaatkan isu perpecahan etnis dan sektarian
serta pengaruh anasir Partai Baath di tubuh militer dan lembaga keamanan Irak.
Pasukan ISIS merupakan gabungan dari anggota Partai Baath dan kelompok
Sunni yang terpengaruh oleh propaganda ISIS. Pasca invasi Irak pada 2003,
penguasa sementara Baghdad, Paul Bremer mengeluarkan sebuah perintah untuk
membubarkan militer Irak karena khawatir akan dikudeta oleh sisa-sisa Partai
Baath. Militer Irak menguasai banyak sektor strategis pada era rezim Saddam
Hussein dan setelah dibubarkan, mayoritas pejabat tinggi militer menjadi
pengangguran. Diperkirakan hampir 110-160 ribu tentara Saddam sekarang
berada di tiga provinsi Irak yang dikuasai ISIS. Ketiga wilayah itu adalah Provinsi
al-Anbar dengan Ibukota Fallujah, Provinsi Nainawa dengan Ibukota Tikrit, dan
Provinsi Salaheddin dengan Ibukota Mosul.8
Namun tidak semua mantan pasukan Saddam bergabung dengan kelompok
ISIS. Ketidakpuasan masyarakat Sunni, kehadiran sisa-sisa Partai Baath, dan
kemunculan kelompok radikal Suriah, telah membentuk kekuatan utama pasukan
ISIS. Kelompok ISIS dalam waktu singkat dan dengan 1.500 kekuatan berhasil
7
8
Ibid.
Ibid.
17
menduduki Mosul pada Juni 2014 dan kemudian dengan cepat menguasai kotakota lain di Irak. Perkembangan itu terjadi karena adanya pengkhianatan ditubuh
militer dan lembaga keamanan Irak, kekecewaan masyarakat Sunni yang merasa
dipinggirkan dari kancah politik dan ekonomi di Irak, dan perselisihan di tengah
gerakan-gerakan politik Syiah di Irak. Pendudukan wilayah yang luas khususnya
sumber-sumber minyak Irak, telah membantu kelompok ISIS untuk memiliki
pundi-pundi pendanaan independen. ISIS memperoleh pendapatan besar dari hasil
penjualan minyak di Provinsi Raqqa, Suriah dan beberapa provinsi di wilayah
utara Irak. Dana ISIS juga bersumber dari hasil penjarahan kas keuangan
pemerintah Irak dan Suriah serta perampasan masyarakat. ISIS juga
mengumpulkan dana dari pemungutan pajak dari pedagang dan mafia-mafia lokal
yang terlibat jaringan penyelundupan. Dana besar tersebut membantu ISIS untuk
membeli senjata baru dan modern di pasar gelap. Pendapatan ISIS dari penjualan
minyak Irak dan Suriah sebelum serangan koalisi internasional terhadap posisi
mereka, mencapai 800 juta dolar per tahun atau sekitar 2 juta dolar per hari. ISIS
menjual minyak jarahannya dengan harga rendah untuk menarik para pembeli.9
Selain merespon ISIS di Irak, Iran juga konsisten dalam mendukung
penyelesaian konflik berkepanjangan yang terjadi di Suriah dengan bantuan
persenjataan, militer dan dana, namun intervensi asing dan bantuan pendanaan
pada kelompok pemberontak membuat konflik di Suriah menjadi berlarut.
Amerika dan Israel tentu mengaharapkan rezim Bashar Al Assad berakhir, karena
Bashar selalu konsisten dalam mendukung perjuangan Palestina dan Hizbullah
dalam melawan Israel. Konflik yang dimulai pada tahun 2011 ini dipicu oleh
demostrasi yang dilakukan oleh rakyat yang akhirnya berujung konflik karena
terjadi kekerasan antara tentara pemerintah dan rakyat, dengan konflik ini
kelompok pemberontak dari berbagai penjuru dunia bergerak menuju ke Suriah
untuk membantu menggulingkan Bashar Al Assad. Sebagai mitra strategis dalam
front perlawanan pada Israel dan pro perjuangan Palestina serta Suriah yang
berfungsi sebagai penghubung antara Hizbullah dan Iran, tentu membuat Iran
mengambil peran dalam konflik ini, dengan menurunkan pasukan garda
revolusinya Iran berusaha melawan kelompok ISIS di Suriah dengan memberikan
9
Ibid.
18
bantuan pendanaan, persenjataan, pelatihan militer serta pengiriman pasukan
garda revolusi untuk langsung terjun ke Suriah.
Mengambil dua topik yang sedang menjadi perbincangan internasional,
yaitu ISIS dan konflik Suriah, peneliti ingin menjelaskan bagaimana implementasi
kebijakan politik luar negeri Iran merespon pergerakan kelompok ISIS di Timur
Tengah dan konflik Suriah, ini menarik minat peneliti karena Iran yang dipimpin
Mullah dengan kebijakan politik luar negeri yang cenderung anti barat mampu
berperan aktif dalam merespon isu yang menjadi masalah bagi negara negara
kawasan Timur Tengah, yaitu gerakan ISIS dan konflik di Suriah. Dengan
menggunakan analisis kebijakan luar negeri, penulis akan menjelaskan bagaimana
Iran dengan kebijakan politik luar negerinya dalam merespon fenomena ISIS dan
konflik di Suriah.
Meneliti kebijakan luar negeri Iran dalam merespon ISIS dan konflik di
Suriah lewat kebijakan luar negeri dan implementasinya merupakan sebuah usaha
yang penting dan bermanfaat untuk pengembangan konsep diplomasi dalam ilmu
hubungan internasional, karena dengan mengamati langkah Iran ini kita mampu
melihat contoh sebuah negara yang melakukan aksi diplomasi dan aksi militer
secara bersamaan di dua negara juga dalam waktu yang bersamaan. Bagaimana
menjelaskan langkah militer dan diplomasi yang diambil Iran sebagai
pngembangan dalam ilmu hubungan internasional menjadi tantangan penulis dan
akan diupayakan melalui penelitian dan penulisan tesisdengan judul : “Kebijakan
Luar Negeri Republik Islam Iran Terhadap Fenomena Isis Dan Konflik Suriah”
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, penulisan tesis ini berusaha menjawab
pertanyaan berikut:
Bagaimana kebijakan luar negeri Iran terkait fenomena ISIS dan Konflik
di Suriah?
19
C. Literatur Review
Untuk menyusun penelitian ini, penulis menggunakan tujuh buku untuk
memperkuat penelitian ini serta menjelaskan posisi penelitian ini atas penelitian
yang sudah dikaji sebelumnya. Membahas soal peran Mullah di Iran dapat kita
lihat awal mula sejarahnya dalam tulisan Kalim Siddiqui dan Hamid Alghar
dalam buku gerbang kebangkitan (Revolusi Islam dan Khomeini dalam
perbincangan), dalam buku ini menjelaskan peran Mullah yang saat itu menjadi
penggerak demonstran untuk menjatuhkan rezim syah. Di buku ini menjelaskan
bagaimana saat itu kaum mullah melihat pemerintahan Syah Reza telah
melenceng dari nilai nilai agama, Ayatollah Khomeini akhirnya menggalang
dukungan rakyat dengan demonstrasi hingga memaksa Syah mengucilkannya ke
Turki, Irak hingga akhirnya menetap sementara di Prancis, dan kembali pulang
pada awal tahun 1979 dan berhasil menggulingkan rezim Syah di Iran. Saya
memutuskan untuk mereview buku ini karena menjadi inspirasi dalam
menjelaskan proses dari sebelum revolusi untuk menjelaskan pengaruh Mullah
dari awal menjelang hingga revolusi terjadi.10 Dalam buku ini dijelaskan
mengenai pergerakan Mullah sebelum menempati pos strategis dalam
pemerintahan, dan penelitian saya akan membahas Kebijakan luar negeri Iran saat
Mullah kini sudah mengisi hampir setiap pos strategis dalam pemerintahan di
Iran, karena ternyata para kelompok Mullah ini mampu menjalankan perannya
juga sebagai pemimpin negara sekaligus merumuskan kebijakan luar negeri.
Mengenai analisis sikap politik luar negeri Iran pada Suriah dan Irak
didapatkan penulis dari jurnal dari Dr. Kayhan Barzegar yang berjudul Iran’s
Foreign Policy towards Iraq and Syria. Dalam jurnal ini ditunjukan bagaimana
pragmatisnya Iran terkait kebijakan luar negerinya terhadap Irak dan Suriah.
Dalam jurnal ini dijelaskan bahwa pragmatisme Iran dalam menyusun kebijakan
laur negerinya menyesuaikan dengan realitas geopolitik dan keadaan politik
dikawasan regional Timur Tengah yang dapat berubah sewaktu waktu. Selain itu,
kebijakan luar negeri Iran berupaya menunjukan peranan dan pengaruhnya dalam
10
Kalim Siddiui- Hamid Alghar. 1984. Gerbang kebangkitan (revolusi Islam dan Khomeini dalam
perbincangan). Shalahuddin Press. Yogyakarta. Hal. 15-16.
20
skala regional. Dalam jurnal ini dijelaskan bagaimana hubungan Iran dengan Irak
dan Suriah, serta motif kedekatan dan faktor faktor yang mendorong Iran tidak
bisa melepaskan kedua negara ini jatuh dalam konflik dan perang saudara. Jika
melihat jurnal ini, lalu membaca penelitian ini, maka akan dapat terlihat
perbedaan kajiannya, apabila dalam thesis ini peneliti menjadikan dasar politik
luar negeri Iran sebagai motif Iran bergerak di Irak dan Suriah, tapi dalam jurnal
ini membahas pragmatisme kebijakan luar negeri Iran di Irak dan Suriah serta
kedekatan dan simbiosis mutualisme antara Iran dengan Irak dan Suriah. 11
Penjelasan mengenai dasar politik luar negeri Iran didapat penulis dari
buku Adeed Dawisha dalam Islam in Foreign Policy. Dalam buku ini Adeed
Dawisha menjelaskan poin poin utama kebijakan politik luar negeri Iran pasca
revolusi, poin kebijakan politiuk luar negeri Iran ini adalah pemikiran Ayatollah
Khomeini yang merupakan implementasi dari sistem Wilayatul Faqih. Buku Islam
in Foreign Policy karangan Adeed Dawisha ini menjadi inspirasi penulis dalam
menulis thesis ini, karena penulis menggunakan konsep politik luar negeri dan
dalam buku Adeed Dawisha ini dijelaskan politik luar negeri Iran. Jika dalam
buku Islam in Foreign Policy ini Adeed Dawisha menjelaskan implementasi
politik luar negeri Iran di masa awal revolusi, penulis menggunakan politik luar
negeri Iran untuk menjelaskan isu yang lebih kontemporer, yaitu tentang konflik
Suriah dan pergerakan ISIS.12
Dalam mengamati langkah diplomatik yang dilakukan Irak, peneliti
menjadikan buku S.L Roy sebagai acuan utama. Buku terjemahan yang berjudul
“Diplomasi” yang berasal dari buku aslinya yang berjudul “Diplomacy”, tahun
1995. Buku ini menjelaskan teori, konsep dan perspektif diplomasi, mulai dari
pengertian, sejarah perkembangan, tipe diplomasi serta semua hal yang
berhubungan dengan diplomat. Buku diplomasi ini menjadi inspirasi peneliti
untuk menjelaskan dan menghubungkan yang dilakukan Pemerintah Iran lewat
diplomasi yang dilakukan oleh Hassan Rouhani selaku Presiden dan Javad Zarif
selaku menteri luar negeri Iran dengan diplomasi secara teoritik dan praktek.
11
Kayhan Barzegar. 2005. “Iran’s Foreign Policy towards Iraq and Syria”. Turkish Policy Quarterly.
Volume 6 Number 2. Hal. 76.
12
Adeed Dawisha. 1983. Islam In Foreign Policy. Cambridge. Cambridge University Press.Hal.21.
21
Buku ini juga membahas langkah langkah apa saja yang harus ditempuh seorang
diplomat dalam menjalankan misi diplomatiknya, dan ini menjadi berguna dalam
menganalisis perilaku langkah diplomatis yang dilakukan oleh Iran dalam
merespon ISIS dan konflik Suriah.13
Gibreel Gibreel menjelaskan hubungan antara Mullah/Ulama dengan
pemerintah dalam tulisannya di jurnal Middle East Quarterly, The Ulema: Midlle
Eastern Power Broker, buku ini menjadi inspirasi bagi penulis untuk
menggambarkan peran ulama untuk meligitimasi langkah langkah politik luar
negeri Iran dalam menentukan kebijakan luar negeri Iran dalam merespon ISIS di
Irak dan konflik Suriah. Seperti yang telah diketahui bersama bahwa Iran
mengadopsi konsep hukum Islam dengan sistem wilayatul faqih yang menetapkan
adanya pemimpin tertinggi yang kedudukannya diatas presiden sekalipun, posisi
ini dijabat oleh Mullah senior kharismatik yaitu, Ayatollah Ali Khamanei.
Ayatollah Ali Khamanei memiliki pengaruh kuat dalam penetapan sikap politik
luar negeri Iran, Ayatollah Khomeini akan memastikan bahwa sikap politik luar
negeri Iran tetap seperti poin poin dasar kebijakan luar negeri Iran yang
dirumuskan oleh Ayatollah Khomeini saat mendirikan Republik Islam Iran pada
tahun 1979.14
Dalam pengumpulan data mengenai konflik yang terjadi di Suriah, penulis
menggunakan buku “Prahara Suriah” karya Dina Y. Sulaeman sebagai sumber
data untuk memperkuat argumen penulis dalam menjelaskan penelitian ini. Dalam
buku “Prahara Suriah” dijelaskan bagaimana ISIS berkembang di Suriah dan
masalah legitimasi pemerintah yang dihadapi Bashar Al Assad sebagai presiden.
Dijelaskan juga peran Iran sebagai mitra Suriah dan kelompok pendukung ISIS
yang mengharapkan ISIS mampu menjatuhkan rezim Bashar Al Assad di Suriah.
Tulisan Dina Y. Sulaeman dalam buku “Prahara Suriah” lebih untuk membongkar
persekongkolan multinasional dengan menjelaskan motif penggulingan Bashar Al
Assad, namun penelitian ini lebih pada bagaimana kebijakan Iran dalam merespon
13
S.L Roy. 1995. Diplomacy. Diterjemahkan oleh Harwanto. Misrawati.Jakarta. PT. Raja Grafindo
Persada. Hal. 2.
14
Gibreel Gibreel.2001. The Ulema: Middle eastern power brokers. Middle east quarterly. Volume
VIII: Number 4.
22
apa yang terjadi di Suriah dengan membantu pemerintahan Bashar Al Assad
melawan pemberontakan.15
D. Kerangka Konseptual
Dalam
menjawab
pertanyaan
penelitian
dari
tesis
ini,
peneliti
menggunakan dua konsep. Untuk menjelaskan respon aktif Iran secara dukungan
militer dan pendanaan di Irak dan Suriah, peneiliti menggunakan konsep politik
luar negeri negara Islam oleh Adeed Dawisha. Sedangkan sebagai konsep
pendukung, langkah Iran dalam jalur diplomasi dijelaskan peneliti lewat konsep
diplomasi oleh S.L Roy.
Pendekatan yang dipakai atas permasalahan kebijakan politik luar negeri
Iran dalam merespon ISIS dan konflik Suriah dikembangkan dengan
menggunakan kerangka konseptual politik luar negeri. Politik luar negeri
merupakan wewenang khusus dari pemerintah yang dapat bertindak atas nama
rakyat. Pembentukan kepentingan nasional adalah langkah pertama dalam
merumuskan politik luar negeri. Dalam penjelasan Adeed Dawisha tentang politik
luar negeri, Adeed Dawisha mengutip definisi Politik Luar negeri menurut K.J.
Holsti. Adapun pengertian dari politik luar negeri menurut K.J. Holsti adalah
sebagai berikut :
“Politik luar negeri merupakan suatu kebijakan negara dalam
era mengendalikan hubungan luar negeri sedemikian rupa yang
dipadu dengan perspektif rasio para pembuat keputusan politik
luar negeri, sehingga dapat mencapai kepentingan nasional
yang dibebankan pada negara itu oleh rakyatnya”.
Politik luar negeri suatu negara biasanya terbentuk karena adanya
kepentingan negara yang melaksanakannya. Dalam pengertian yang sederhana,
Politik luar negeri adalah kepanjangan dari politik dalam negeri itu sendiri.16
Dalam Islam In Foreign Policy, Adeed Dawisha menjabarkan tujuh poin
utama kebijakan luar negeri Iran dibawah Ayatollah Khomeini, yaitu:
15
Dina Y. Sulaeman. 2013. Prahara Suriah (membongkar persekongkolan multinasional). Pustaka
Iiman. Jakarta. Hal. 95.
16
Op.cit. Adeed Dawisha. Hal. 2.
23
1. Prinsip tidak memihak pada salah satu kubu, Barat (Amerika)
atau Timur (Uni Soviet), prinsip ini dikenal dengan slogan “La
Syarqiyah, La Gharbiyah”.
2. Menetapkan Amerika Serikat sebagai musuh utama dari
Republik Islam Iran, dalam prinsip ini Amerika diposisikan
sebagai pemimpin imperialis, pendukung Israel dan Negara
arogan yang berusaha mengendalikan dunia.
3. Anti terhadap dominasi negara super power dan eksistensi
Zionisme.
4. Menjalin hubungan dengan kaum yang ditindas, terutama
mereka yang di negara Islam.
5. Pembebasan Palestina adalah prinsip dan perlawanan atas
Israel dan sekutunya adalah wajib.
6. Anti Imperialis
7. Berdiri bersama kelompok tertindas, dimanapun mereka
berada.17
Dalam perumusan tujuh prinsip politik luar negeri Iran diatas, Ayatollah
Khomeini berhasil mengubah haluan politik luar negeri Iran menjadi kekuatan
baru di regional Timur Tengah. Iran tidak hanya menentang Amerika, namum
juga Uni Soviet yang pada periode itu masih menjadi poros komunisme dunia,
Ayatollah Khomeini yang berlatar belakang agamis tentu bersebrangan dengan
ideologi komunis Uni soviet, dengan slogan “La Syarqiyyah, La Gharbiyyah”,
Ayatollah Khomeini menegaskan politik luar negeri Iran tidak memihak salah satu
blok super power, Amerika maupun Uni Soviet.
Dengan tujuh poin utama kebijkan luar negeri Iran ini, penulis
menggunakan “Menjalin hubungan dengan kaum yang ditindas, terutama mereka
yang di negara Islam”dalam menjelaskan dasar kebijakan yang diambil Iran dalam
merespon ISIS dan konflik di Suriah. Pergerakan kelompok ISIS ke Irak dan
Suriah telah mengakibatkan perang saudara dan korban jiwa dari rakyat sipil,
dengan penindasan yang dilakukan ISIS atas rakyat Irak dan Suriah ini membuat
17
Ibid. Hal. 21.
24
Iran mengambil peran untuk membantu Irak dan Suriah dalam melawan ISIS,
selain kedua negara ini memiliki kedekatan dengan Iran dari sisi geografis dan
ideologi, peran Iran di Suriah dan Irak dalam menghadapi ISIS adalah bagian dari
penerapan poin utama dari kebijakan politik luar negeri Iran, yaitu menjalin
hubungan dengan kaum tertindas, terutama mereka yang di negara Islam.
Penerapan poin “Menjalin hubungan dengan kaum yang ditindas, terutama
mereka yang di negara Islam” dalam poin utama politik luar negeri Iran dapat
dilihat juga pada peran Iran dalam konflik di Suriah. Dampak konflik di Suriah
memicu terjadinya perang saudara yang semakin memburuk, terjadi konflik antara
pemerintah dengan pemberontak yang akhirnya membuat peluang munculnya
kelompok ISIS di Suriah. Kehadiran ISIS di Suriah memperburuk keadaan, ISIS
memaksakan penduduk Suriah di wilayah yang dikuasainya untuk turut
bergabung menjatuhkan Bashar Al Assad, selain memaksa penduduk muslim
Suriah untuk bergabung dengan ISIS, ISIS juga membunuh penduduk Kristen
Suriah yang menolak bergabung dengan ISIS, ISIS telah melakukan genosida di
Suriah, tanpa melihat mereka Islam atau Kristen. 18
Melihat dukungan Iran pada pemerintah Suriah dalam menghadapi konflik
dan tekanan dunia internasional serta negara negara Timur Tengah lainnya,
penulis mencatat ada beberapa kedekatan kepentingan dengan pemerintah Suriah
di bawah Bashar Al Assad. Iran merupakan salah satu negara Timur Tengah nonArab, Bangsa Persia, yang memiliki kepentingan militer dan ideologi serta
hubungan diplomatik sangat erat dengan Suriah di bawah pimpinan Presiden
Hafez al-Assad dan Bashar Al-Assad. Hal ini terjadi karena persamaan ideologi
(madzhab) antara pimpinan kedua negara, yaitu Syi’ah Ja’fari, serta perbatasan
teritorial yang cukup dekat karena hanya terpisah oleh Iraq.Iran dan Suriah juga
tidak memiliki hubungan diplomatik dengan Israel namun sama-sama memiliki
hubungan politik, militer dan ideologis yang sangat erat dengan faksi Hizbullah di
Lebanon, juga kedekatan dengan kelompok politisi dan ulama pimpinan Perdana
Menteri Nuri Al-maliki dan Muqtada As-Sadr di Iraq serta hubungan pragmatis
18
“ISIS Genocide in Syria,” Genoside Watch, 26 September 2014,
<http://genocidewatch.net/2014/09/26/photos-of-isis-committing-genocide-in-syria-and-iraq/>,
diakses pada15 Juni 2015.
25
dengan faksi Hamas di Palestina. Dalam kaitanya dengan dasar kebijakan politik
luar negeri Iran yang berdiri bersama kelompok tertindas, posisi kelompok
tertindas mengarah pada rakyat Suriah yang terpecah karena perang saudara
dengan kehadiran banyak pemberontak ISIS yang berasal dari penjuru Timur
Tengah dan dunia. Kehadiran ISIS dari berbagai daerah ini telah membuat
kekacauan di Suriah dan menghalalkan pembantaian atas rakyat Suriah yang
menolak untuk bergabung menggulingkan Bashar Al Assad.
Dalam menjelaskan langkah langkah diplomatik yang ditempuh Iran
dalam merespon ISIS dan konflik Suriah, peneliti menggunakan konsep diplomasi
untuk memudahkan menjelaskan peneilitian ini. Kata diplomasi diyakini berasal
dari kata Yunani yaitu diploun yangberarti melipat. Menurut Nicholson, pada
masa kekaisaran Romawi semua paspor yang melewati jalan milik negara dan
surat-surat jalan dicetak pada piringan logam dobel, dilipat dan dijahit jadi satu
dalam cara yang khas. Surat jalan ini disebut diplomas. Selanjutnya inilah yang
berkembang dan menyangkut dokumen resmi yang bukan logam, khususnya yang
menyangkut perjanjian dengan suku bangsa asing yang di luar bangsa Romawi. Isi
surat resmi negara ini dikumpulkan, disimpan menjadi arsip, yang berhubungan
dengan hubungan internasional dikenal pada jaman pertengahan sebagai
diplomaticus atau diplomatique.19Dengan peristiwa ini lama kelamaan kata
diplomasi menjadi dihubungkan dengan manajemen hubungan internasional, dan
siapapun yang ikut mengaturnya dianggap sebagai diplomat.20 Pada tahun 1796
menurut Earnest Satow, kata diplomasi pertama kali disebutkan dalam Bahasa
Inggris yang menunjukkan artian keahlian dan keberhasilan melakukan hubungan
internasional dan perundingan.21
Jika sebelumnya sudah dibahas tentang diplomasi berdasarkan sejarahnya,
dari segi teoritis, Ray Olton dan Jack Plano menjelaskan bahwa Diplomasi secara
teori yaitu praktek pelaksanaan hubungan antar negara melalui perwakilan resmi.
Diplomasi merupakan teknik operasional untuk mencapai kepentingan nasional di
19
Harold Nicholson. 1942. Diplomacy. London. Oxford University Press. Hal. 13-15.
S.L Roy. 1995. Diplomacy. Diterjemahkan oleh Harwanto, Misrawati, Jakarta, PT. Raja
GrafindoPersada. Hal. 2.
21
Earnest Satow. 1995. A Guide to Diplomatic Practice. Dikutip dalam S.L Roy.Diplomacy.
Diterjemahkan oleh Harwanto dan Misrawati. Jakarta. PT. Raja Grafindo Persada. Hal. 2.
20
26
luar wilayah jurisdiksi sebuah negara.22 Diplomasi dalam penerapannya dijelaskan
oleh Christer Jönnson dan Martin Hall dalam bukunya, Essence Of Diplomacy
sebagai sebuah aplikasi kecerdasan dan kebijaksanaan dalam menerapkan taktik
negara yang merdekadalam hubungan resmi dengan negara lainnya. 23
Menurut S.L Roy, beberapa metode yang ada dalam dunia diplomasi
memiliki beberapa teknik atau tatacara tersendiri dalam penerapannya. Dengan
adanya beberapa metode diplomasi akan memudahkan seorang diplomat untuk
menyelesaikan masalah negaranya, setiap masalah akan memiliki langkah berbeda
dalam penyelesaiaannya dengan langkah diplomasi. Dengan adanya beberapa
langkah ini, seorang diplomat harus mampu menganalisis dengan tepat bahwa
langkah yang diambil merupakan yang paling tepat untuk penanggulangan
permasalahan. Dalam upayanya mengambil peran dalam konflik di Irak dan
Suriah, Iran terlibat aktif dalam beberapa diplomasi internasional, seperti
konferensi di Wina dan menjadi tuan rumah penyelenggara konferensi anti takfiri
internasional.
Metode diplomasi melalui konferensi, baru muncul pada Abad Dua Puluh.
Suatu jaringan menyeluruh komite antar sekutu dibentuk untuk bertugas bertemu
di konferensi untuk membicarakan persoalan-persoalan vital menyangkut
peperangan. Konferensi digelar untuk membicarakan masalah mendesak tentang
strategi dan politik semasa perang,
demi keberhasilan perang, untuk
membicarakan hal-hal mengenai perang, membangun aliansi, dan membahas
kebutuhan perang.24Berjalannya waktu, konferensi menemukan fungsi baru tidak
hanya untuk kepentingan perang namun lebih luas. Konferensi merupakan
pembaharuan mendasar yang kemudian menjadi praktek yang biasa dalam
perundingan internasional hingga akhirnya menjadi arena konferensi internasional
yang permanen di Majelis Umum PBB untuk membahas berbagai macam agenda
diplomasi, selain perang. Sementara untuk yang menyangkut perang dibawa
kedalam perundingan di Dewan Keamanan PBB. Para wakil dari hampir semua
22
Roy Olton dan Jack C. Plano. 1999. Internasional Relations Dictionary. Diterjemahkan oleh
WawanJuanda.Jakarta.Putra A. Bardhin CV. Cetakan Kedua.Hal.201.
23
Christer Jönnson dan Martin Hall. 2005. Essence of Diplomacy. London. Palgrave Macmillan.
Hal. 1.
24
Op.cit.S.L Roy. Hal. 142.
27
negara di dunia besar atau kecil, ditempatkan dimarkas besar organisasi PBB, hal
ini memberikan suasana yang cocok bagi negosiasi diplomatik multilateral.25
Dalam konferensi internasional, persiapan dan pembicaraan pendahuluan
akan memantapkan dasar-dasar bagi persamaan tujuan dan nilai dan persamaan
pengertian sebagai teknik dalam konferensi agar berhasil.26 PBB memberikan
kerangka yang memungkinkan pelaksana konferensi internasional mendiskusikan
masalah-masalah yang mendesak dan membutuhkan kesepakatan yang cepat.27
Diplomasi lewat jalur konferensi dilakukan Iran dengan melibatkan 80
negara dan 350 cendikiawan muslim dan beberapa petinggi negara yang
diselenggarakan di kota Qom, Iran. Langkah ini dilakukan Iran untuk mengakaji
ISIS dari embrionya untuk menganalisis pergerakan ISIS di Iran dan kaitannya
dengan konflik yang terjadi di Suriah. Selain untuk berupaya menjelaskan tentang
gerakan ISIS pada dunia internasional, Iran juga berusaha untuk membangun
kesadaran dan komitmen bersama untuk bersatu melawan ISIS di Irak dan Suriah.
Munculnya ISIS yang akhirnya meningkatkan ekskalasi konflik sektarian di Irak
dan Suriah membuat dunia Islam seakan terbagi menjadi dua blok, Islam Sunni
dan Islam Syiah, Iran melihat perpecahan ini akan menghambat persatuan dunia
Islam untuk bangkit bersama melawan ISIS, melihat potensi perpecahan ini, Iran
tidak hanya mengundang perwakilan negara negara yang mayoritas Syiah saja,
bahkan cendikiawan yang diundang mayoritas bermazhab Sunni. Iran melihat
langkah konferensi internasional akan mendorong ke arah persatuan dan
merupakan langkah diplomatik yang efektif untuk menyatukan persepsi dunia
untuk sama sama menyelamatkan kelompok muslim tertindas di Irak dan Suriah.
Dalam melihat penggunakan dua konsep secara bersamaan oleh
pemerintah Iran ini, peneliti melihat bahwa langkah intervensi secara langsung
tetaplah menjadi opsi paling pas melihat posisi Irak dan Suriah yang terdesak dan
kekacauan yang sudah sampai di Ibukota. Terdesaknya posisi Irak dan Suriah
membuat Iran tidak mungkin mengurangi atau bahkan mengganti degan langkah
25
Ibid. S.L Roy. Hal. 145.
Quincy Wright. 1960. The Study of International Relations. Bombay. Appleton-Cen- tury-Crofts,
Inc. Hal.282- 283.
27
Op.cit.S.L Roy. Hal. 146.
26
28
diplomasi yang akan memakan waktu panjang dan membutuhkan beberapa kali
pertemuan dalam jangka waktu yang tidak menentu. Tanpa mengesampingkan
langkah diplomasi, langkah intervensi tetaplah langkah utama dan langkah
diplomasi juga dikedepankan mengingat bahwa membangun diplomasi dan
kepercayaan kawasan Timur Tengah dan internasional adalah salah satu misi
penting dan janji politik Hassan Rouhani yang kini memimpin Iran.
E. Argumen Pokok
Dalam kebijakan luar negerinya, Iran merespon ISIS di Irak dan konflik
Suriah dengan dua langkah berbeda Yang pertama Iran aktif secara militer dan
pendanaan perang, dan langkah kedua lewat jalur diplomasi, langkah ini terlihat
dari diplomasi Iran di kawasan regional Timur Tengah hingga global.
1. Dalam implementasi kebijakan luar negerinya di Irak dan Suriah, Iran
aktif dalam bantuan pendanaan, persenjataan dan pengiriman pasukan.
langkah ini diambil dalam memerangi kelompok ISIS di Irak dan membela
pemerintahan rezim Bashar Al Assad dalam konflik di Suriah.
2. Langkah diplomasi menjadi bentuk implementasi kebijakan luar negeri
Iran selain aktif dalam konflik secara langsung. Iran melakukan diplomasi
dari mulai kawasan regional Timur Tengah, diplomasi di OKI dan lobi
politik hingga ke PBB. Langkah diplomasi ini diupayakan Iran untuk
menyatukan persepsi dan kesepahaman mulai dari level regional hingga
dunia tentang bahayanya kelompok ISIS dan perlunya negara negara
Timur Tengah dan dunia untuk turut berperan aktif menyelesaikan konflik
di Suriah dan Irak melalui jalur jalur diplomatik.
Dua langkah yang ditempuh Iran baik secara peran aktif dalam militer dan
pendanaan maupun diplomasi merupakan implementasi dari dasar dasar politik
luar negeri Iran, pengimplementasian politik luar negeri Iran ini melahirkan dua
model kebijakan yang berbeda jauh namun saling melengkapi, jika mengaitkan
dengan penjelasan data dan penerapan teori, dua langkah yang ditempuh Iran
dalam pelaksanaannya sudah sesuai jalur dan garis besar politik luar negeri Iran.
29
F. Metodologi Penelitian
Metode yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah pendekatan
kualitatif dengan jenis penelitian deskriptif analitis yang menekankan pada
akurasi kualitas data dengan menjelaskan dan menganalisis hubungan antara data,
fakta, dan teori yang ada yang kemudian dapat ditarik kesimpulan. Metode ini
dilakukan dengan menggambarkan kebijakan luar negeri Iran dan menganalisis
Kebijakan Pemerintah Iran dan kaitannya dengan fenomena ISIS dan konflik di
Suriah.
Teknik pengumpulan data yang akan digunakan dalam tulisan ini adalah
telaah pustaka (library research) yaitu dengan mengumpulkan berbagai data dari
literatur-literatur seperti jurnal, buku, artikel, dan bahan tertulis lainnya, serta
pemberitaan dari media elektronik dan cetak yang berhubungan dengan
permasalahan yang akan dibahas. Data-data yang didapat dari berbagai literatur
ini dikonstruksikan penulis sesuai judul yaitu menganalisis kebijakan politik luar
negeri Iran dan konflik yang melibatkan ISIS di Irak dan Suriah. Dalam
penyusunannya, penulis memisahkan buku dan literatur tentang kebijakan luar
negeri dan Konflik yang melibatkan ISIS di Irak dan Suriah, langkah ini diambil
untuk memudahkan penulis dalam menyusun penelitian ini. kegunaan bagi
penulisan ini, ada yang bersifat sebagai sumber data, sebagai inspirasi menulis
dan menjadi data pendukung yang memperkuat argumen dalam meneliti topik ini.
G. Sistematika Pembahasan
Untuk membuktikan argumentasi utama dan menjawab rumusan
masalah, penulis akan mengklasifikasikan pembahasan dalam lima bab,
yaitu :
Bab 1 : Membahas mengenai pendahulua, latar belakang, literatur
review, kerangka konseptual, argumen pokok, metode penelitian dan
sistematika pembahasan.
Bab 2 : Pembahasan tentang langkah diplomatik Iran di kawasan
regional Timur Tengah dan dunia internasional.
30
Bab 3 : Dalam bab ini akan dibahas mengenai peran aktif Iran
dalam militer dan Pendanaan perang di Irak.
Bab 4 : Dalam bab ini akan dibahas peran aktif Iran dalam militer
dan pendanaan perang di Suriah.
Bab 5 : Penutup dan kesimpulan dari keseluruhan penelitian.
31
Download