PENDEKATAN INKUIRI YANG KONTEKSTUAL DALAM PEMBELAJARAN IPS Sugiharsono Staf Pengajar FISE UNY Yogyakarta ABSTRAK Proses pembelajaran IPS yang dilakukan oleh guru merupakan salah satu faktor yang menyebabkan pelajaran IPS kurang menarik dan kurang bermakna bagi siswa. Pembelajaran IPS yang terjadi saat ini pada umumnya masih menggunakan pendekatan yang konvensional (teacher oriented) dan cenderung kognitif hafalan. Akibatnya siswa merasa jenuh, kurang tertantang, dan tidak merasa memperoleh sesuatu yang bermakna bagi kehidupannya. Kenyataan ini menuntut adanya pembelajaran IPS yang lebih menyenangkan, menggairahkan, menantang dan lebih bermakna bagi siswa. Salah satu pendekatan pembelajaran IPS yang dapat menjawab permasalahan tersebut adalah pendekatan inkuiri yang kontekstual. Dengan pendekatan ini siswa akan dihadapkan secara langsung dengan permasalahan sosial yang ada di sekitarnya dan terkait dengan pengalaman kehidupannya. Selanjutnya siswa akan dilatih menemukan permasalahan sosial yang ada di sekitarnya dan berupaya menemukan solusi atas permasalahan sosial tersebut. Dengan demikian siswa akan selalu tertantang untuk menghadapi permasalahan yang dipelajarinya. Apalagi jika permasalahan tersebut terkait langsung dengan kehidupan siswa, maka hasil pembelajarannya akan lebih bermakna bagi kehidupan mereka. Hal ini juga akan memotivasi dan menggairahkan siswa untuk terus mempelajari permasalahan sosial yang dihadapinya. Tulisan ini akan mencoba memaparkan pembelajaran IPS dengan pendekatan inkuiri yang konteksual. Dengan tulisan ini diharapkan dapat memperkaya wacana guru (pelaksana pendidikan), khususnya guru IPS dalam mengembangkan strategi pembelajarannya. Dengan demikian pebelajaran IPS yang dilakukan oleh guru akan semakin variatif, dan pada akhirnya akan menghilangkan persepsi bahwa IPS merupakan pelajaran hafalan saja yang menjemukan. A. Pengantar Pendekatan pembelajaran dapat dikelompokkan menjadi dua yaitu pendekatan ekspositori (expository approach) dan penedekatan inkuiri (inquiry approach (Gagne, 1989). Pendekatan ekspositori merupakan pedekatan 1 pembelajaran yang bersifat “teacher centered”. Dalam pendekatan ini siswa cenderung berperan sebagai objek belajar, sedangkan guru berperan sebagai “agen” pengetahuan yang akan ditransfer kepada siswa. Interaksi yang terjadi cenderung “one way interaction”, sampai dengan “two ways interaction”. Metode pembelajaran yang banyak digunakan cenderung konvensional, yaitu ceramah, dengan kemungkinan variasi tanya jawab. Sementara itu, pendekatan ikuiri (inquiry approach) yang juga sering disebut discovery approach merupakan pendekatan pembelajaran yang bersifat “student centered”. Dalam pendekatan ini interaksi yang terjadi cenderung “multyways interaction”, dengan metode pembelajaran yang digunakan antara lain, problem solving, diskusi, tanya-jawab, penugasan, studi lapangan, simulasi, dan demonstrasi. Perkembangan karateristik siswa secara psikologis cenderung menuntut pendekatan inkuiri pada proses pembelajaran yang mereka alami. Karakterisitik siswa yang cenderung ingin bebas berapresiasi menuntut peran siswa sebagai subjek belajar, bukan lagi sebagai objek belajar. Siswa lebih menginginkan perlakuan pembelajaran yang cederung bebas (”demokratis”), menantang, menyenangkan, dan menggairahkan. Di sisi lain, adanya perbedaan bakat, kemampuan, dan minat siswa menuntut perlakuan pembelajaran yang bervariasi, dan dapat diterima oleh siswa yang berbeda karakteristiknya. Oleh karena itulah para pelaku pendidikan dituntut untuk bisa menemukan dan mengaplikasikan pendekatan pembelajaran dengan berbagai metode dan strategi pembelajarannya, serta media dan sumber belajarnya yang sesuai dengan kebutuhan siswa. Al-Jamali (1995) dalam Nurdin, Muhamad (2008) berpendapat bahwa metode pendidikan (pembelajaran) dalam Al Qur’an mengandung makna perbuatan, menyentuh hati dengan perasaan, menggunakan logika, pertanyaan, cerita, nasihat, kata-kata hikmah, dan perumpamaan. Sementara itu menurut An-Nahlawi (1995) dalam Nurdin Muhamad (2008), metode pendidikan (pembelajaran) mengandung percakapan (hiwar), cerita (kisah), perumpamaan (ibrah), teladan, serta usaha mengingatkan (mau’idah), menyenangkan (targhib), dan menantang (tarhib). Di samping itu, para pelaku pendidikan juga 2 dituntut untuk bisa mengorganisasi materi yang sesuai dengan karakeristik siswa tersebut. Sementara itu Prof. Zamroni (2010) berpendapat bahwa pembelajaran (khususnya dalam IPS) harus bersifat buttom up, otonomi, kolaboratif, integrated, bermakna, mendorong sistem berpikir, melibatkan masyarakat kecil dan kehidupan siswa. Berdasarkan kenyataan dan pendapat di atas, para pakar pendidikan telah sepakat bahwa pendekatan yang mengarah pada inquiri lebih cocok diterapkan untuk pembelajaran pada siswa saat ini. Dalam pembelajaran IPS, pendekatan inquiri tersebut akan semakin efektif dalam mencapai tujuan belajar jika didukung dengan pembelajaran kontekstual. Dengan terpenuhinya tuntutan pembaruan pendekatan pembelajaran tersebut, niscaya proses pembelajaran (termasuk pembelajaran IPS) akan dapat berjalan lebih efektif utuk mencapai tujuan pembelajaran yang diharapkan. B. Pendekatan Inkuiri (inquiry approach) Seperti dijelaskan pada pengantar, bahwa pendekatan iquiri yang sering juga disebut pendekatan discovery merupakan pendekatan pembelajaran yang bersifat “student centered” Dalam pendekatan ini siswa cenderung berperan sebagai subjek belajar, sedangkan guru lebih berperan sebagai fasilitator dan sewaktu-waktu bisa berperan sebagai konduktor (penengah dan penyelaras) serta sebagai pembimbing. Interaksi yang terjadi dalam proses pembelajaran cenderung bersifat “multyways interaction” (interaksi banyak arah: anteraksi dari guru ke siswa, siswa ke guru, siswa ke siswa, serta siswa dan sumber belajar). Metode pembelajaran yang diguiasa nakan antara lain problem solving, diskusi, tanya-jawab, penugasan, studi lapangan, simulasi, dan demonstrasi. Melalui pendekatan inkuiri siswa dilatih untuk terlibat langsung dalam menemukan permasalahan, menemukan berbagai alternatif solusi pemecahan masalah, serta menentukan solusi yang dianggap terbaik untuk memecahkan masalah tersebut. Untuk menemukan masalah sosial, siswa dapat dillibatkan secara langsung dalam kehidupan masyarakat. Di sini siswa diharapkan dapat membaca dan mengamati kehidupan masyarakat, sehingga siswa dapat 3 menemukan masalah sosial yang terjadai dalam kehidupan masyarakat di sekitarnya. Selajutnya siswa diberi kesempatan untuk berdiskusi bersama teman kelompok belajarnya untuk mencari dan menemukan solusi terhadap permasalahan sosial yang ditemukannya. Dalam hal ini siswa juga dapat menggunakan sumber bacaan (referensi) dan berkonsultasi dengan nara sumber terkait untuk membantu menemukan solusi te3rhadap permasalahan yang sedang dihadapinya. Pada pendekatan inkuiri, guru lebih berperan sebagai fasilitator dalam pembelajaran. Guru menyediakan kesempatan dan fasilitas belajar yang diperlukan siswa untuk menemukan masalah dan solusinya. Di samping itu guru juga dapat memberikan bimbingan pada siswa apabila diperlukan. Dari hasil belajar siswa, guru memberikan evaluasi dan umpan balik (feedback) kepada siswa, sehingga siswa dapat memahami kelebihan dan kekurangannya. Berdasarkan hasil evaluasi dan umpan balik guru, siswa dapat melakukan tindak lanjutnya dalam bentuk perbaikan atau pengayaan. C. Pembelajaran Kontekstual (CTL = Contextual Teaching and Learning) Pembelajaran kontekstual (CTL) merupakan salah satu model pembelajaran yang menekankan pada keterlibatan lingkungan kehidupan dan pengalaman siswa dalam proses pembelajaran, sehingga pembelajaran menjadi lebih hidup dan lebih bermakna bagi siswa (Nurhadi, dkk., 2004). Sementara itu Direktorat PLP Depdiknas (2002) menjelaskan bahwa pembelajaran kontekstual (CTL) adalah konsep belajar yang membantu guru mengaitkan antara materi yang diajarkannya dengan situasi dunia nyata siswa, serta mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan mereka sehari-hari, dengan melibatkan tujuh komponen utama pembelajaran efektif, yaitu: konstruktivisme (contructivism), bertanya (questioning), menemukan (inquiry), masyarakat belajar (learning community), pemodelan (modeling), refleksi (reflection), dan penilaian sebenarnya (authentic assesment). Berdasarkan pengertian tersebut dapat dijelaskan bahwa pembelajaran kontekstual menekankan pada keterlibatan 4 siswa dengan dunia nyata (lingkungan) siswa, serta upaya mengaitkan pengetahuan dan pengalaman siswa dengan materi yang dipelajarinya, sehingga siswa dapat menemukan dan mengkonstruk sendiri konsep yang dipelajarinya, dan konsep tersebut menjadi lebih bermakna bagi kehidupannya. Di dalam pembelajaran kontekstual ini siswa belajar melalui lingkungan dan melibatkan pengalamannya untuk memaknai objek yang dipelajarinya. Siswa secara mandiri memiliki peluang untuk membangun (mengkonstruk) suatu pengetehuan (konsep) dari pengalaman dan lingkungannya. Dengan membangun pengetahuan secara mandiri siswa berpeluang untuk memperluas, menguatkan dan menerapkan kemampuan akademiknya dalam berbagai tatanan kehidupan. A Forum Brief (1999) menyatakan ”student learn best by actively their own understanding”. Sementara itu John Dewey dalam Nurhadi, dkk. (2004) juga menyatakan bahwa “siswa akan dapat belajar dengan baik apabila bahan yang dipelajarinya berhubungan dengan pengetahuan danatau pengalaman yang telah mereka miliki. Proses pembelajaran juga akan produktif apabila siswa terlibat langsung dalam proses pembelajaran.” Pokok-pokok pembelajaran kontekstual (CTL) harus menekankan pada hal-hal berikut (Nurhadi, dkk., 2004): 1. Belajar berbasis masalah (problem-base learnig). Belajar harus selalu berakar dari masalah nyata sebagai suatu konteks bagi siswa untuk berpikir kritis dan menemukan strategi pemecahannya, sehingga diperoleh suatu pegetahuan / konsep baru. 2. Pengajaran autentik (authentic construction) Pembelajaran harus memberikan peluang bagi siswa untuk mempelajari konteks kehidupan yang bermakna baginya. 3. Belajar berbasis inquiri (inquiry-base learning) Pembelajaran harus menggunakan strategi dan metodologi sains yang bermakna, serta mampu melatih siswa utuk berpikir kritis, dan mampu menemukan dan memecahkan masalah yang dihadapi. 4. Belajar berbasis proyek/tugas (project-base learning) 5 Pembelajaran harus bisa mendesain lingkungan siswa agar siswa dapat melakukan penyelidikan/penelitian terhadap objek belajarnya, serta mampu melaksanakan tugas bermakna. 5. Belajar berbasis kerja (work-base learning) Pembelajaran harus memungkinkan siswa menggunakan konteks tempat kerja untuk mempelajari materi tertentu, agar materi tersebut dapat digunakan kembali di tempat kerja. 6. Belajar berbasis layanan (service learning) Pembelajaran harus menekankan pada hubungan antara penyediaan jasa-layanan masyarakat yang bersifat praktis dengan pembelajaran akademis. 7. Belajar Kooperatif (coorperative learning) Belajar memerlukan penggunaan kelompok kecil siwa untuk bekerjasama dalam memaksimalkan kondisi belajar. Selain itu, pembelajaran kontekstual juga harus memperhatikan faktor: 1. perkembangan mental siswa. 2. pembentukan kelompok belajar siswa. 3. lingkungan yang mendukung pembelajaran mandiri 4. keragaman karakteristik siswa 5. penggunaan teknik bertanya. 6. penerapan penilaian autentik. Keenam faktor tersebut akan menentukan organisasi materi, metode, media, dan sumber belajar yang harus diterapkan dalam pembelajaran. Oleh karena itu, pembelajaran kontekstual cenderung ke arah pendekatan individual, bukan pendekatan klasikal. D. Pendekatan Inkuiri yang Kontekstual Inti dari pendekatan inkuiri adalah keterlibatan siswa secara mandiri untuk menemukan dan memecahkan permasalahan yang dipelajarinya, hingga siswa mampu memahami sendiri suatu konsep dari permasalahan yang 6 dipelajarinya. Problem solving merupakan metode pembelajaran yang sangat dutamarkan dalam pendekatan inkuiri. Di sini guru lebih berperan sebagai fasilitator dan sewaktu-waktu dapat berperan sebagai konduktor maupun pembimbing siswa. Sementara itu, inti dari pembelajaran kontekstual adalah keterlibatan siswa dengan dunia nyata (lingkungan) siswa, serta upaya mengaitkan pengetahuan dan pengalaman siswa dengan materi yang dipelajarinya. Melalui pembelajaran ini siswa dapat menemukan dan mengkonstruk sendiri konsep yang dipelajarinya, sehingga konsep tersebut menjadi lebih bermakna bagi kehidupannya. Di dalam pembelajaran kontekstual ini terkandung tujuh komponen utama pembelajaran, yaitu: 1. Konstruktivisme Dalam hal ini, siswa dilatih untuk mengkontruk suatu konsep dari berbagai permasalahan yang dipelajarinnya sendiri, sehingga konsep itu benar-benar menjadi miliknya.. 2. Bertanya Siswa dibiasakan memiliki sifat ingin tahu (curiosity) dan selalu bertanya (mempertanyakan sesuatu) tentang berbagai permasalahan yang belum dipahaminya. Hal ini penting untuk menumbuhkan motivasi belajar siswa. 3. Inkuiri Siswa dilatih menemukan dan memecahkan permasalahan kehidupan yang dihadapinya secara mandiri. 4. Masyarakat belajar Siswa dibiasakan belajar berkelompok, sehingga mereka terbiasa bekerjasama dengan orang lain dalam mempelajari suatu, karena kerja-sama tentu akan memberikan hasil belajar yang lebih baik daripada belajar sendiri. 5. Pemodelan Di dalam pembelajaran kontekstual diperlukan model-model pembelajaran yang sesuai dengan karakteristik dan kebutuhan siswa, sehingga proses pembelajaran menjadi lebih menarik, menantang, menggairahkan, dan menyenangkan siswa. 7 6. Refleksi Ddengan refleksi, siswa akan terbiasa berpikir ke belakang mengenai apa yang telah dipelajari, sehingga ia mampu mengendapkan apa yang telah dipelajarinya. 7. Penilaian autentik Melalui penilaian autentik ini siswa akan dapat memperoleh gambaran tentang perkembangan belajarnya, sehingga ia tahu kegiatan tindak lanjut yang harus dilakukannya. Berdasarkan inti makna dari kedua konsep di atas (pendekatan inkuiri dan pembelajaran kontekstual) dapat dijelaskan bahwa pendekatan inkuiri yang kontekstual mengandung arti: 1. Pembelajaran harus melibatkan siswa secara aktif dan mandiri untuk menemukan dan memecahkan permasalahan yang dipelajarinya serta mengaitkan pengetahuan, pengalaman, dan lingkungan siswa dengan materi yang dipelajarinya. 2. Pembelajaran harus melatih siswa berpikir kritis untuk menemukan dan mengkonstruk suatu konsep yang terkait dengan permasalahan yang dipelajarinya secara mandiri. 3. Pembelajaran harus membiasakan siswa untuk berkolaborasi (bekerjasama) dengan orang lain, sehingga membentuk suatu kelompok belajar yang lebih menguntungkan semua siswa yang berkolaborasi. 4. Pembelajaran harus mengintegrasikan berbagai pengetahuan, sehingga pengetahuan yang dipelajari siswa menjadi lebih bermakna bagi kehidupan mereka. 5. Pembelajaran harus bermula dari kebutuhan siswa (buttom up) dan berfokus pada kehidupan siswa, sehingga apa yang mereka pelajari menjadi lebih bermakna. Pendekatan inkuiri dengan pembelajaran yang kontekstual tersebut sangat relevan dengan karakteristik IPS. Artinya bahwa pembelajaran IPS memang memerlukan pendekatan inkuiri dengan pembelajaran konteksual. Hal ini sesuai dengan pendapat Prof. Zamroni terkait dengan pembelajaran IPS. 8 Menurut beliau, agar IPS menarik perhatian dan minat siswa, pembelajaran IPS harus memiliki karakteristik: 1. Bersifat buttom up dan otonom. Hal ini berarti bahwa pembelajaran IPS harus bermula dari kebutuhan dan kehidupan siswa. Permasalahan yang dipelajarinya juga disesuaikan dengan kondisi wilayah siswa yang bersangkutan. 2. Kolaboratif, yang berarti bahwa dalam pembelajaran IPS, siswa dibiasakan berkolaborasi dengan siswa/orang lain, sehingga terbentuk kelompok belajar (masyarakat kecil dalam belajar). Dengan kolaborasi, siswa terlatih untuk bekerja-sama dan permasalahan IPS yang dipelajari siswa akan dapat dibahas secara lebih mendalam dan matang, sehingga lebih menjamin ketuntasan belajar siswa. 3. Integrated dan bermakna, yang artinya bahwa pegetahuan sosial (IPS) harus dibahas secara terintegrasi, sehingga pengetahuan sosial tersebut menjadi lebih bermakna bagi kehidupan siswa khususnya, dan masyarakat pada umumnya. Pengetahuan yang tidak bermakna bagi kehidupan siswa tentu tidak akan menarik siswa untuk mempelajarinya. 4. Menyangkut kehidupan, yang berarti bahwa permasalahan IPS yang dipelajari siswa seyogyanya merupakan aktualisasi dari kehidupan siswa dan masyarakat sekitarnya. Dengan demikian siswa merasa mempelajari sesuatu yang dekat dengan (menyangkut) dirinya atau masyarakat sekitarnya. 5. Sistem berpikir. Hal ini berarti bahwa dalam pembelajaran IPS harus melibatkan proses hafalan, pemahaman, aplikasi, analisis, sintesis, dan evaluasi yang merupakan satu sistem berpikir. Apabila pendekatan inkuiri dengan pembelajaran kontekstual dapat diaplikasikan dalam pembelajaran IPS, niscaya akan dapat dihindari pembelajaran IPS yang cenderung kognitif hafalan saja. Pembelajaran IPS yang demikian ini akan menyebabkan IPS menjadi pelajaran yang tidak membosankan dan menjadi lebih bermakna bagi kehidupan siswa. 9 E. Kesimpulan Berdasarkan paparan di atas dapat diambil kesimpulan bahwa pendekatan inkuiri dan pembelajaran kontekstual merupakan pendekatan pembelajaran yang memiliki karakteristik: 1. melibatkan siswa secara aktif dan mandiri untuk menemukan dan memecahkan permasalahan; 2. kolaboratif yang membentuk kelompok belajar (masyarakat belajar); 3. menyangkut kehidupan sosial siswa dan bersifat integrated sehingga pengetahuan yang dipelajari menjadi lebih bermakna;. 4. kesatuan sistem berpikir yang melibatkan proses hafalan, pemahaman, aplikasi, analisis, sintesis, dan evaluasi; 5. bersifat buttom up dan otonom. Pendekatan inkuiri dengan pembelajaran kontekstual sangat relevan diaplikasikan dalam pembelajaran IPS. Penerapan pendekatan inkuiri dengan pembelajaran kontekstual akan dapat menghindari pembelajaran IPS yang cenderung ke arah kognitif hafalan saja. Pembelajaran IPS yang demikian ini akan menyebabkan IPS menjadi pelajaran yangmenarik menyenangkan, menantang, dan menggairahkan untuk dipelajari. perhatian, IPS juga akan menjadi lebih bermakna bagi kehidupan siswa khususnya, dan masyarakat pada umumnya. DAFTAR REFERENSI A. Forum Brief, (1999), Contextually Based Learning or Proven Practice, http://www.aipf.org/forumbriefs/1999/fbo70999.htm Direktorat PLP Depdiknas, (2002), Pendekatan Kontekstual (Contextual Teaching and Learning), Jakarta. Gagne, Robert M., (1989), Kondisi Belajar dan Teori Pembelajaran, (terjemahan Munawir), Jakarta, PAU – UT. 10 Kagan, Spencer., (1992), Cooperative Learning (2nd edition), San Juan Capistrano, CA Resources for Teachers. Nurdin, Muhamad., (2008), Kiat Menjadi Guru Profesional, Yogyakarta, Ar-Ruzz Media. Nurhadi, Burhan Yasin, dan A.G. Senduk., (2004), Pembelajaran Kontekstual dan Penerapannya dala KBK, Malang, UMPRESS MALANG. 11