DISKUSI KASUS PERDARAHAN SALURAN CERNA DISUSUN OLEH : KELOMPOK H Ade Ilyas Mukmin 0906487682 Andhika Mangalaputra 0906507785 Danny Darmawan 0906507923 Davrina Rianda 0906507936 Rineke Twistixa A 0906508466 Sheli Azalea 0906508516 Yashinta 0906640021 Narasumber: Dr. dr. Leonard Nainggolan, SpPD-KPTI MODUL PRAKTIK KLINIK ILMU PENYAKIT DALAM FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS INDONESIA DESEMBER 2013 BAB 1 ILUSTRASI KASUS 1.1 Identitas Pasien Nama : Tn.SA Usia : 55 tahun Alamat : Jl.Prof Soepomo Rt 04/RW 004 Agama : Islam Pekerjaan : Security Pendidikan : Tamat SMA Dirawat Sejak : 13 Novermber 2013 Pemeriksaan dilakukan : 13 November 2013 1.2 Anamnesis (autoanamnesis, 13 November 2013) Keluhan Utama Muntah darah sejak 1 hari sebelum masuk rumah sakit Riwayat Penyakit Sekarang Pasien mengeluh muntah darah hitam sejak 1 hari SMRS. Muntah darah berlangsung 4 kali bercampur, apabila ditotal jumlah muntahan 1 botol air mineral. Keluhan berlangsung mendadak. Pasien juga mengeluh mual di perutnya. Pasien mengaku mengalami Buang Air Besar bewarna hitam sejak 1 hari SMRS. Konsistensi keras satu kali sehari. Keluhan kembung dan perut begah dirasakan pasien. Demam tidak ada. Pasien mengaku dalam 2 tahun terakhir perutnya sering bengkak dan kembung. Pasien mengaku saat ini pasien tidak ada keluhan sulit tidur di malam hari dan rasa mengantuk di siang hari. Tangan gemetaran tidak ada. Nyeri ulu hati disangkal pasien. Sesak napas disangkal pasien Keluhan muntah darah hitam pernah dirasakan pasien pada bulan Mei 2013. Menurut pasien, saat itu dilakukan tindakan diikat saluran cerna nya. Meskipun begitu pasien 1 menolak dilakukan USG hati. Pasien diberi obat pulang namun tidak rutin meminumnya. Pasien lupa nama obatnya. Pasien mengaku pernah mengalami sakit kuning tahun 2007 dikatakan terkena penyakit hepatitis B. Riwayat Penyakit Dahulu Diabetes melitus, asma, alergi makanan maupun obat disangkal. Pasien mengaku mengalami hipertensi sejak 5 bulan yang lalu diberi obat namun pasien lupa nama obatnya Pasien pernah di rawat di Rumah sakit karena keluhan serupa Alergi obat disangkal pasien Riwayat Penyakit Keluarga Riwayat diabetes melitus, asma, hipertensi pada keluarga disangkal. Tidak ditemukan keluhan yang sama pada keluarga pasien. Riwayat Pekerjaan, Sosial Ekonomi, Kebiasaan Pasien bekerja sehari-hari sebagai sekuriti. Riwayat penggunaan obat-obat terlarang, transfuse darah, jarum suntik,promiskuitas disangkal. Pasien mengaku pernah terkena silet saat dipangkas rambut. 1.3 Pemeriksaan Fisik (30 Oktober 2013) Status Generalis Kesadaran : Kompos Mentis Keadaan Umum : Tampak sakit ringan Tekanan Darah : 130/70 mmHg Nadi : 103x/menit Suhu : 36,8oC Napas : 18x/menit 2 Kulit : Sawo matang,Venektasi (-), Spider Nevi (-) Kepala : Normosefal, tidak ada deformitas Mata : Konjungtiva pucat, sclera ikterik Hidung : Lubang hidung lapang, tidak ada sekret Telinga : Kedua liang telinga lapang, tidak ada sekret, refleks cahaya positif, nyeri tekan tragus dan mastoid negative Mulut-Tenggorok : mukosa tidak kering, lidah tidak kotor, gigi berlubang tidak ada, faring tidak hiperemis, tonsil T1-T1 Leher : JVP 5-2 cmH2O, tidak ada pembesaran KGB, tiroid tidak teraba Paru : Vesikuler, rhonki tidak ada, wheezing tidak ada Jantung : S1 S2 normal, murmur tidak ada, gallop tidak ada Perut : Datar, supel, nyeri tekan tidak ada, nyeri ketok ginjal tidak ada, hepar dan lien tidak teraba, bising usus normal , Shifting Dullness (+), Caput Medusa (-) Ekstremitas : Akral hangat, tidak ada edema, capilarry refill time<2 detik, terdapat petekie. Palmar Eritema (+) Asterixis (-) 1.4 Pemeriksaan Penunjang Hb = 8 g/dl Leukosit = 7700 Hematokrit 29% Trombosit 198000 GDS = 181 Kreatinin = 0.7 Ureum = 47 mg/dl SGOT = 46 u/L SGPT = 33 u/L 3 Bilirubin total = 0,62 Bilirubin Direk = 0,28 Bilirubin Indirek = 0,34 Albumin = 2,5 PT = 16,7 ( 15,4) APTT = 31,6 ( 31,6) 1.5 Daftar Masalah 1. Hematemesis Melena 2. Sirosis Hepatis Child Pugh B 3. Hepatitis B Kronik 4. Hipertensi terkontrol 1.6 Rencana Diagnosis 1. USG Hati 2. Endoskopi 1.7 Tatalaksana 1. IVFD RL/12 jam 2. Transfusi PRC target Hb = 9 mg 3. Pro Ligasi Varices Esofagus 4. Vit K 3x 10 mg 5. Ocreotide 50µg lanjut 50µg drip/ jam 6. Asam Traneksamat 3x250 mg 7. Propanolol 1x 10 mg 8. Vipalbumin 3x4 mg 4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA Perdarahan saluran cerna adalah kasus yang sering dihadapi pada saat masa klinik . Manifestasinya bervariasi mulai dari perdarahan massif yang mengancam jiwa hingga perdarahan samar yang tidak terasakan. Pendekatan pasien dengan perdarahan saluran cerna adalah menentukan beratnya perdarahan dan lokasinya. Hematememesis menunjukkan perdarahan saluran cerna bagian atas atau proksimal dari ligamentum Treitz. 1Melena (tinja hitam) juga merupakan salah satu tanda dari salah satu pendarahan saluran cerna bagian atas, meskipun begitu perdarahan saluran cerna bagian colon juga dapat menjadi tanda melena2,3 2.1 Perdarahan Saluran Cerna Atas Perdarahan saluran cerna bagian atas yang paling sering dilaporkan adalah pecahnya varises esophagus, gastritis erosive, tukak peptic, gastropati kongestif, sindroma Mallory-Weiss, dan keganasan. Di Indonesia, didapatkan angka kejadi varises esophagus sebagai etiologi timbulnya perdarahan saluran cerna atas sebesar 70 – 75%, sehingga etiologi perdarahan saluran cerna atas dibagi menjadi perdarahan dengan varises esophagus dan perdarahan non-varises esophagus yang kemudian akan berhubungan dengan tatalaksana lanjutan.4 2.1.1 Varises Esofagus Perdarahan varises esophagus merupakan salah satu komplikasi terbanyak dari hipertensi portal yang diakibatkan oleh sirosis, yaitu hingga mencapai 25 – 35%. Penegakan diagnosis pasien dengan perdarahan varises dapat dilihat dengan adanya tandatanda perdarahan saluran cerna atas seperti hematemesis, hematokezia, penurunan tekanan darah, dan anemia; dan adanya tanda-tanda penyakit yang mendasari, yaitu sirosis. Namun, perlu diperhatikan bahwa pada 50% kasus dengan hipertensi portal mengalami perdarahan non-varises.5 Factor-faktor yang berhubungan dengan kejadian varises esophagus antara lain : 1. tekanan dalam varises 2. ukuran varises 3. tekanan pada dinding varises 4. beratnya penyakit hati yang mendasari varises 5 Pengelolaan pasien dengan varises esophagus dilakukan dengan melihat seberapa berat varises yang terjadi. Derajatnya besarnya varises dapat diklasifikasikan menjadi 3 derajat sebagai berikut : Tabel 1. Derajat Besarnya Varises 2.1.2 Perdarahan Non-Varises Esofagus Perdarahan yang dimaksud dapat berupa gastritis erosive, tukak peptic, gastropati kongestif, sindroma Mallory-Weiss, atau pun keganasan. Penegakan diagnosis untuk dapat membedakan etiologi dari perdarahan saluran cerna atas selalu dilakukan dengan pemeriksaan endoskopi. 2.1.3 Diagnosis dan Tatalaksana Pada seluruh kasus perdarahan saluran cerna, langkah awal yang dilakukan adalah menentukan beratnya perdarahan dengan memeriksa keadaan hemodinamik pasien. Pemeriksaan meliputi tekanan darah dan nadi pada posisi berbaring, perubahan ortostatik tekanan darah dan nadi, ada atau tidaknya vasokonstriksi perfier yang dtandai dengan akral dingin, kelayakan napas, tingkat kesadaran, dan produksi urin pasien.4 Pada kasus perdarahan massif dengan kehilangan cairan >20%, akan mengakibatkan ketidakstabilan hemodinamik. Pada keadaan hemodinamik yang tidak stabil, segera lakukan stabilisasi dengan memberikan infus cairan kristaloid dan memasang monitor CVP (central venous pressure), lalu dilakukan pemeriksaan golongan darah, kadar hemoglobin, hematocrit, trombosit, dan leukosit. Pemeriksaan lanjutan dilakukan ketika kondisi sudah lebih stabil dan dilakukan seiring dengan upaya pertahanan keadaan hemodinamik. Pemeriksaan lanjutan yang dimaksudkan berupa anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan lain yang dibutuhkan. Pada anamnesis, perlu ditanyakan durasi terjadinya perdarahan dan perkiraan berapa banyak darah yang keluar, riwayat perdarahan sebelumnya, riwayat perdarahan dalam keluarga, ada tidaknya perdarahan pada bagian tubuh lain, penggunaan obat-obatan yang 6 dapat memicu timbulnya perdarahan, kebiasaan konsumsi alcohol, riwayat transfusi, dan kemungkinan penyakit yang mendasari. Pada pemeriksaan fisik perlu diperhatikan ada tidaknya stigmata penyakit hati kronik, suhu badan dan lokasi perdarahan lain, dan tanda kulit dan mukosa. Secara singkat, tatalaksana saluran cerna atas dapat ditunjukkan pada algoritma berikut ini :6 Gambar 1. Algoritma Tatalaksana Saluran Cerna Atas Tatalaksana yang dilakukan dibagi menjadi dua kelompok besar, yaitu endoskopis dan non-endoskopis. 2.1.3.1 Tatalaksana Endoskopis Pada tatalaksana endoskopis dilakukan metode yang meliputi contact thermal dengan memberikan energy panas dengan monopolar atau bipolar elektrokoagulasi; atau dengan menggunakan heater probe, non-contact thermal dengan menggunakan laser, dan nonthermal dengan memberikan suntikan adrenalin, polidokanol, alcohol, cyanoacrylate, atau penggunaan klip. Pada perdarahan yang disebabkan oleh varises esophagus, hemostasis endoskopi merupakan terapi pilihan. Ligase varises merupakan pilihan pertama untuk menghentikan perdarahan. Ligasi dilakukan mulai distal mendekati cardia, bergerak spiral setiap 1 – 2cm. Jika dengan metode ligasi sudah dapat menghentikan perdarahan, maka tidak perlu dilakukan metode sklerosan, sehingga efek samping pun dapat dihindari.4 7 2.1.3.2 Tatalaksana Non-Endoskopis Tatalaksana dengan non-endoskopis yang sudah lama dilakukan untuk menghentikan perdarahan adalah dengan kumbah lambung. Metode ini dilakukan dengan bantuan pipa nasogastric untuk jalur masuk air dengan suhu kamar kedalam lambung untuk pembilasan. Metode ini diharapkan dapat mengurangi distensi lambung dan memperbaiki proses hemostatik. Terapi medikamentosa yang dapat diberikan antara lain vitamin K pada pasien dengan penyakit hati kronis yang menyebabkan perdarahan saluran cerna atas, obat-obat golongan vasopressin, dan somatostatin dan analognya. Obat-obat golongan vasopressin dapat diberikan vasopressin murni ataupun yang dicampur dengan oksitosin. Pemberian dilakukan dengan mengencerkan sediaan vasopressin 50 unit dalam 100 mL dextrose 5%, dan dilakukan pemberian 0.5 – 1 mg/menit IV selama 20 – 60 menit dan dapat diulang setiap 3 – 6 jam; atau setelah pemberian pertama, dilakukan infus 0.1 – 0.5 U/menit. Somatostatin dan analognya diketahui dapat menurunkan aliran darah splanknik, dan memiliki efek yang lebih selektif dibandingkan vasopressin. 2.2 Perdarahan Saluran Cerna Bawah 2.2.1 Hematokezia Hematokezia merupakan BAB darah segar berwarna merah yang berasal dari saluran cerna bagian bawah.1,3 Perdarahan saluran cerna bagian bawah secara umum didefinisikan sebagai perdarahan yang berasal dari bawah ligamentum Treitz. Pasien dengan perdarahan saluran cerna bagian bawah datang dengan keluhan keluar darah segar sewaktu Buang Air Besar. Hampir 80% berhenti secara sendiri , seperti pada perdarahan pada Hemoroid, Polip Kolom, Kanker Kolon, Kolitis. Hanya 15% yang mengakibatkan penurunan tekanan darah3 2.2.2 Melena1,2 Melena diartikan sebagai tinja berwarna hitam dengan bau khas. Melena timbul apabila hemoglobin dikonversi menjasi hematin atau hemokrom lainnya oleh bakteri setelah lebih dari 14 jam. 1Secara umum, melena dapat diartikan sebagai perdahan saluran cerna bagian atas atau usus halus, namun melena dapat juga diartikan perdarahan kolon sebelah 8 kanan. Melena juga dapat dihubungkan dengan obat-obatan yang mengandung besi dan dapat menyebabkan feses menjadi hitam. 2.2.3 Darah Samar3 Darah Samar muncul apabila terjadi perdarahan namun tidak sampai merubah warna feses. Hal ini diketahui dengan tes guaiac 2.2.4 Diagnosis Banding2,3 2.2.4.1 Divertikulosis Perdarahan dari divertikulum biasanya tidak nyeri dan terjadi pada pasien divertikulosis. Sebagian besar ditemukan di kolon sigmoid namun biasanya perdarahan divertikel terletak di kanan . Pada umumnya, berhenti secara spontan. Tidak ada pengobatan yang khusus untuk pasien 2.2.4.2 Angiodisplasia Angiodisplasia merupakan penyebab 10-40% perdarahan saluran cerna bagian bawah. angiodisplasia merupakan salah satu penyebab kehilangan darah yang paling kronik. Angidisplasia kolon biasanya multipel , ukuran kecil, diameter <5cm dan biasa terlokalisir di sekum dan kolon kanan. Defek di usus besar ini dihubungkan dengan geriatri dan riwayat radiasi.3 2.2.4.3 Kolitis Iskemika3 Kolitis iskemia ditandai dengan penurunan aliran darah viseral dan tidak ada kaitannya dengan penyempitan vaskular. Secara umum pasien kolitis juga dipengaruhi oleh sepsis dan dehidrasi 2.2.4.4 Penyakit Perianal3 Hemoroid dan fisura ani dapat menimbulkan perdarahan warna merah segar namun tidak bercampur dengan feses. Polip dan karsinoma kadang menimbulkan perdarahan yang hampir mirip dapat disebabkan oleh hemoroid oleh karena itu pada pasien dengan hemoroid seharusnya disingkirkan pula kemungkinan polip dan karsinoma 2.2.4.5 Neoplasia Kolon Tumor kolon yang jinak maupun ganas yang biasa terdapat pada pasien usia lanjut dan ditemukannya perdarahan berulang atau darah samar. Kelainan ini jarang namun meingkat pada pasien IBD. 9 2.2.4.6 Kolitis Kolitis merupakan bagian dari IBD , infeksi Salmonella, Campilobacter, Shigella dapat menimbulkan perdarahan sedikit hingga sedang. Hipertensi Portal dapat juga menyebabkan perdarahan dalam jumlah banyak. 2.2.5 Pendekatan Klinis Anamnesis dan Pemeriksaan fisik. Riwayat hemoroid atau IBD sangat penting untuk dicatat. Nyeri abdomen berhubungan kolitis atau neoplasma, Keganasan dihubungkan dengan penurunan berat badan, demam, anoreksia atau massa yang teraba. 2.2.5.1 Pemeriksaan Penunjang Endoskopi Apabila pasien sudah mulai stabil atau perdarahan saluran cerna berlangsung perlahan atau sudah berhenti maka pemeriksaan kolonoskopi yang paling dianjurkan. Angiografi Kasus dengan perdarahan berat tidak memungkinkan pemeriksaan dengan kolonoskopi dapat dilakukan dengan pndarahan 0,5 ml/ menit. Bilamana lokasi tidak ditemukan dapat diberikan scintigrafi Barium Enema Barium enema dapat digunakan untuk mendiagnosis dan mengobati intususepsi. Pemeriksaan ini juga dapat Apabsila dengan pemberian besi menunjukkan divertikulum Meckel. saja membaik maka pemeriksaan ini tidak diperlukan. 2.2.6 Prinsip Tatalaksana3 Resusitasi . Resusitasi pasa perdarahan saluran cerna bagian bawah dapat juga diterapkan dengan mengikuti protokol perdarahan sa aluran cerbagian atas. NGT diperlukan pada kasus perdarahan saluran cerna bagian atas. . Pemerikan dilakukan apabila pasien membutuhkan transfusi lebih 3 unit Packed Red Cell. Medika mentosa Hemoroid dan fistula ani dapat diobati bulking agent untuk menghindari mengedan. Kombinasi estrogen dan progesteron dapat digunakan untuk menangani pendarahan pada angiodisplasia. Formalin Intrarektal dapat digunakan pada prokitis radias begitu juga dengan oksigen hiperbarik. 10 Terapi Endoskopi3 YAG laser, Colonoscopic bipolar cautery dapat digunakan untuk mengobati angiodisplasi. Kolonoskopi dapat digunakan untuk reseksi polip Angiografi terapeutik3 Apabila kolonoskopi gagal maka dapat digunakam angiografi dapat digunakan Terapi Bedah3 Pada beberapa diagnostik seperti divertikel Meckel atau keganasan bedah merupakan tatalaksana utama setelah keadaan pasien stabil . Apabila pasien mengalami perdarahan ulang maka dapat dipertimbangkan hemikolektomi kanan atau subtotal untuk memberikan hasil yang optimal. Gambar 2. Algoritma Tatalaksana Perdarahan Saluran Cerna Bawah 11 2.3 Sirosis Hepatis Merupakan suatu keadaan patologis yang menggambarkan stadium akhir fibrosis hepatic yang berlangsung progresif yang ditandai dengan distorsi dari arsitektur hepar dan pembentukan nodulus regenerative akibat adanya nekrosis hepatoseluler. Secara konvensional, sirosis hepatis dibagi menjadi makronodular (nodul >3mm), mikronodular (nodul <3mm), atau pun campuran keduanya.7 Secara etiologi, sirosis hepatis dapat dibagi menjadi alkoholik, kriptogenik dan post hepatis, biliaris, kardiak, dan metabolic, keturunan, dan terkait obat.7 Pathogenesis sirosis hati memperlihatkan adanya peranan sel stelata yang dalam keadaan normal memiliki peran dalam keseimbangan pembentukan matriks ekstraseluler dan proses degradasi. Paparan factor tertentu yang berlangsung secara terus menerus akan mengubah sel stelata menjadi sel yang membentuk kolagen. Jika fibrosis berjalan terus menerus dalam sel stelata, jaringan hati akan diganti menjadi jaringan ikat. Tanda-tanda klinis yang dapat ditemukan pada pasien sirosis hati antara lain splenomegali, eritema palmaris, spider nevi, perubahan kuku Muchrche, jari tabuh, ginekomastia, asites, ikterik, dan asterixis bilateral. Temuan laboratoris dapat berupa gambaran gangguan hati berupa peningkatan SGOT/SGPT dengan SGOT yang lebih meningkat dibandingkan SGPT, peningkatan alkalin fosfatase sebanyak 2 hingga 3 kali batas normal atas, peningkatan GGT, dan lain-lain. Untuk mengetahui prognosis dari pasien dengan sirosis hepatis, dapat dilihat dengan menggunakan skor Child Pugh Tabel 2. Skor Child Pugh pada Sirosis Hati 12 2.4 Hepatitis B Kronik8 Definisi Hepatitis B kronik adalah adanya persistensi virus Hepatitis B lebih dari 6 bulan. Pathogenesis Hepatitis B diawali dengan masuknya virus secara parenteral, dan akan memasuki hati untuk melakukan proses replikasi. Selanjutnya virus akan merangsang respon imun tubuh, yang paling pertama terangsang adalah respon imun non-spesifik yang dapat terangsang dalam waktu pendek. Selanjutnya, proses eradikasi virus memerlukan respon imun spesifik, yaitu dengan aktivasi sel limfosit T dan sel limfosit B. eliminasi virus akan dilakukan oleh sel T CD8+ di dalam hati yang terinfeksi. Proses eliminasi ini akan terjadi dalam bentuk nekrosis hati sehingga akan terjadi peningkatan ALT yang disebut sebagai proses sitolitik; proses non-sitolitik dapat pula terjadi pada proses eliminasi virus melalui aktivitas Interferon gamma dan Tissue Necrotic Factor (TNF) alfa yang dihasilkan oleh sel T CD8+. Aktivasi sel limfosit B dengan bantuan CD4+ akan menyebabkan produksi antibody anti-HBs, anti-HBc, dan anti-HBe. Anti-HBs akan berperan dalam menetralkan partikel virus bebas dan mencegah masuknya virus ke dalam sel. Bila proses eliminasi berlangsung efisien, maka infeksi dapat diakhiri, namun jika tidak, infeksi virus akan menetap. Perjalanan penyakit hati pasien dengan hepatitis B kronik dibagi menjadi 3 fase penting, yaitu: 1. fase imunotoleransi, merupakan fase dimana system imun sangat toleran terhadap virus sehingga konsentrasi virus dalam darah dapat sangat tinggi, namun tidak terjadi peradangan hati yang berarti. Dalam masa ini, virus berada dalam fase replikatif dengan titer HBsAg yang sangat tinggi, HBeAg positif, anti-HBe negative, titer DNA virus tinggi dan konsentrasi ALT telatif normal. 2. Fase imunoaktif atau immune clearance, merupakan fase dimana pasien mulai kehilangan toleransi imun akibat terjadinya replikasi virus yang berkepanjangan. Akan terjadi peningkatan konsentrasi ALT sebagai efek dari adanya proses nekroinflamasi. Pada fase ini, tubuh akan berusaha menghancurkan virus dan menyababkan pecahnya sel-sel hati yang terinfeksi. 3. Fase residual atau non-replikatif, merupakan fase ketika individu dapat menghilangkan sebagian besar virus tanpa adanya kerusakan hati yang berarti. Pada 13 fase ini akan terjadi penurunan titer HBsAg dan HBeAg negative seiring dengan positifnya anti-HBeAg, konsentrasi ALT akan kembali normal. Namun, pada 20 – 30% pasien dapat mengalami reaktivasi dalam fase residual ini. Gambaran klinis Hepatitis B kronik dapat dikelompokkan menjadi 2 kelompok, yaitu : 1. Hepatitis B kronik Aktif a. HBsAg (+) lebih dari 6 bulan b. DNA HBV > 105 kopi/mL c. Peningkatan ALT yang menetap ataupun intermiten d. Biopsi hati menunjukkan gamabaran peradangan yang aktif atau derajat nekroinflamasi sedang hingga berat. 2. Hepatitis B Kronik Inaktif a. HBsAg (+) lebih dari 6 bulan b. DNA HBV < 105 kopi/mL c. Konsentrasi ALT normal d. Biposi hati menunjukkan kelainan jaringan yang minimal. Berkaitan dengan kriteria yang disebutkan dalam 2 kelompok hepatitis B kronik, pemeriksaan biopsy hati sangatlah penting untuk dapat menegakan diagnosis pasti dan menentukan prognosis dan keberhasilan terapi. Grading dan Staging dari aktivitas peradangan di hati didasarkan pada klasifikasi Histological Activity Index (HAI), sebagai berikut. 14 Gambar 3. Grading dan Staging Pemeriksaan Histologis Biopsi Hati8 Tatalaksana untuk Hepatitis B Kronik dibagi menjadi, yaitu kelompok imunomodulasi dengan menggunakan interferon, timosin alfa 1, dan Vaksinasi; dan kelompok terapi antivirus dengan menggunakan lamivudine dan adefovir dipivoksil. Tujuan tatalaksana adalah mencegah atau menghentikan progresi jejas hati dengan menekan replikasi virus atau menghilangkan injeksi. Titik akhir terapi ditandai dengan hilangnya petanda replikasi virus yang aktif secara menetap (HBeAg dan DNA HBV). Kondisi setelah terapi pada umumnya berupa serokonversi dari HBeAg menjadi anti-HBe disertai dengan hilangnya DNA HBV dalam serum serta meredanya penyakit hati. 15 Terapi dengan menggunakan interferon akan memberikan efek antivirus, imunomodulator, anti proliferative, dan anti fibrotik. Berdasarkan penelitian, interferon dapat dijadikan suatu pilihan untuk pasien hepatitis B nonsirotik dengan HBeAg positif dengan aktivitas penyakit ringan hingga sedang. Sedangkan pengobatan dengan menggunakan antivirus memiliki mekanisme kerja yang bervariasi. Terapi ini dapat bekerja dengan menghambat tempat kerja polymerase virus, berkompetisi dengan nukleosida, dan menghambat priming DNA polymerase. Algoritma penatalaksanaan pasien infeksi HBV Kronik dengan HBeAg positif dapat dilihat dibawah ini Gambar 4. Algoritma Tatalaksana Hepatitis B Kronik dengan HBeAg positif9 16 BAB III DISKUSI 3.1 Hematemesis Melena Dari anamnesis didapatkan keluhan berupa muntah hitam serta buang air besar hitam sejak 1 hari SMRS. Keluhan muntah hitam dipikirkan disebabkan oleh perdarahan saluran cerna bagian atas karena adanya proses oksidasi besi pada hemoglobin oleh asam lambung yang membuat darah akan berwarna hitam. Perdarahan saluran cerna bagian atas, seperti yang telah dikatakan pada tinjauan pustaka dapat diakibatkan oleh adanya pecah varises esophagus, perdarahan dari ulkus peptikum, gastritis erosive, maupun gastritis obtruktif. Pada keluhan pasien, dikutahui bahwa muntah hitam terjadi sampai 4 kali dengan kuantitas darah mencapai 1 botol air mineral (600 cc), dan didapatkan pula keluhan berupa melena yang menunjukkan bahwa perdarahan yang terjadi cukup massive; sehingga dipikirkan bahwa perdarahan perdarahan yang terjadi pada pasien berasal dari pecahnya varises esophagus. Upaya awal yang dapat dilakukan adalah pemeriksaan hemodinamik pasien. Dari pemeriksaan fisik didapatkan tekanan darah tidak mengalami penurunan, nadi sedikit meningkat napun tidak disertai dengan peningkatan frekuensi napas. Dilakukan tatalaksana cairan untuk menjaga stabilitas hemodinamik pasien, dengan IVFD RL/12 jam. Pada pasien didapatkan penurunan Hb hingga angka 8 g/dL dipikirkan akibat adanya kejadian hematemesis-melena pada pasien, sehingga direncanakan pemberian asam traneksamat 3x250 mg dan vitamin K 3x10 mg untuk membantu menghentikan perdarahan dan transfuse PRC sebanyak 250 cc dengan target Hb 10. Untuk memastikan etiologi dari perdarahan saluran cerna yang terjadi pada pasien direncanakan untuk dilakukan endoskopi saluran cerna, sekaligus sebagai terapi untuk dilakukan ligase jika memang perdarahan terjadi akibat pecahnya varises esophagus. 17 3.2 Sirosis Hepatis Child Pugh B pada Hepatitis B Kronik Diagnosis sirosis hepatis pada pasien didapatkan dari adanya keluhan perut terasa kembung dan begah, dan terdapat riwayat hepatitis B dengan pengobatan yang tidak adekuat. Sirosis yang dialami pasien diduga berawal dari infeksi virus Hepatitis B yang tidak mengalami pengobatan yang adekuat karena tidak rutinnya meminum obat, dapat mengakibatkan proses replikasi virus akan tetap berlangsung tanpa adanya pembanding, sehingga kejadian fibrosis hati akan berlangsung secara menetap dan kerusakan hati pun akan berlangsung massif (hepatitis dekompensata) Pada kejadian sirosis, hati telah mengalami stadium akhir dari fibrosis hepatic dan telah terjadi perubahan struktur dan pembentukan nodul regenerative. Pada pemeriksaan fisik didapatkan adanya palmar eritema, dan ascites yang ditandai dengan temuan positif pada pemeriksaan shifting dullness. Pada pemeriksaan laboratorium didapatkan peningkatan aktivitas enzim hati yang menandakan adanya gangguan pada fungsi hati pasien. Peningkatan SGOT yang lebih tinggi dibandingkan dengan SGPT, adanya peningkatan kadar bilirubin, dan hipoalbuminemia yang menunjang adanya kerusakan pada sel hati dan adanya hambatan dalam proses sekresi bilirubin. Untuk melihat derajat keparahan dari sirosis hati pasien, direncanakan untuk dilakukan pemeriksaan USG hati pada pasien. Untuk menilai prognosis dari sirosis hati yang dialami pasien, digunakan penilaian prognostic skor Child-Pugh yang dari pemeriksaan fisik dan laboratorium didapatkan rincian sebagai berikut : 1. terdapat ascites yang dapat dikontrol (nilai 2) 2. tidak terdapat ensepalopati pada pasien (nilai 1) 3. kadar bilirubin total <2 (nilai 1) 4. kadar albumin <2.8 (nilai 3) 5. tidak ada pemanjangan PT/APTT (nilai 1) Sehingga jika dijumlahkan skor Child-Pugh pasien berada dalam kisaran Child-Pugh B (8), dengan prognosis 1-year survival sebesar 80%. Tatalaksana yang diberikan pada pasien berupa vipalbumin 3x4 mg 18 Infeksi Hepatitis B dapat ditegakan dengan pengukuran DNA HBV, uji HBsAg, dan adanya hasil biopsi hati. Pada pasien, hasil dari ketiga pemeriksaan tidak tersedia. Walaupun dari anamnesis dikatakan pasien pernah didiagnosis dengan Hepatitis B, saat ini perlu dilakukan pemeriksaan ulang terkait Hepatitis B pasien. Tatalaksana yang dilakukan 3.3 Hipertensi Terkontrol 19 Daftar Pustaka 1. 1. Fauci AS, Braunwald E, Kasper DL, Hauser SL, Longo DL, Jameson JL, Loscalzo J. Eds. Harrison’s Principle of Internal Medicine. 17th ed. New York: McGraw Hill. 2008.260 2. 2. RSUPN Cipto Mangunkusumo. Panduan Pelayanan Medis Departemen Penyakit Dalam Jakarta: RSCM. 2007; hal. 270 3. 3. Abdullah M. Perdarahan pada Saluran Cerna bagian bawah . Dalam: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata MK, Setiati S. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. 5th ed. Jakarta: Interna Publshing. 2010; p. 453-60 4. Adi P. Pengelolaan Perdarahan Saluran Cerna Bagian Atas. In: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S, editors. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. 5th ed. Jakarta: Interna Publishing; 2009. p. 291-95 5. Kusumobroto H. Penatalaksanaan Perdarahan Varises Esofagus. In : Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S, editors. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. 5th ed. Jakarta: Interna Publishing; 2009. p. 222-26 6. Soemohardjo S, Gunawan S. Hepatitis B kronik. In: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S, editors. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. 5th ed. Jakarta: Interna Publishing; 2009. p. 653–61. 7. Laine L. Gastrointestinal Bleeding. In Longo DL, Kasper DL, Jameson JL, Fauci AS, Hauser SL, Loscalzo J, editors. Harrisons Princ Intern Med. 18th ed. New York: The McGraw-Hill Companies; 2012. 8. Dienstag JL. Chronic hepatitis. In: Longo DL, Kasper DL, Jameson JL, Fauci AS, Hauser SL, Loscalzo J, editors. Harrisons Princ Intern Med. 18th ed. New York: The McGrawHill Companies; 2012. 9. Gani R, Hasan I, Djumhana A, Setiawan P. Konsensus Nasional Penatalaksanaan Hepatitis B. Akbar N, editor. Perhimpunan Peneliti Hati Indonesia; 2012. 20