“ Stringere” yang berarti ketegangan dan tekanan, ketat

advertisement
7
KAJIAN TEORI
Stres Kerja
Kata stres bermula darai kata latin yaitu “Stringere” yang berarti
ketegangan dan tekanan, ketat atau sempit, atau mengetatkan. Stres merupakan
suatu yang tidak diharapkan yang muncul karena tingginya suatu tuntutan
lingkungan pada seseorang. Keseimbangan antara kemampuan dan kekuatan
terganggu. Pada suatu kesempatan, Priyoto (2014) mengatakan bahwa stres
merupakan pengalaman subyektif yang didasarkan pada persepsi seseorang
terhadap situasi yang dihadapinya. Stres berkaitan dengan kenyataan yang tidak
sesuai dengan harapan atau situasi yang menekan.
Stres menurut Spielboger (dalam Rivai & Mulyadi, 2012) menyebutkan
bahwa stres adalah tuntutan-tuntan eksternal mengenai seseorang, misalnya objekobjek dalam lingkungan atau suatu stimulus yang secara objektif adalah
berbahaya.Stres juga bisa diartikan sebagai tekanan, ketegangan, atau gangguan
yang tidak menyenangkan yang berasal dari luar seseorang. Umam (2012)
menjelaskan stres kerja dapat diartikan sebagai sumber atau stressor kerja yang
menyebabkan reaksi individu berupa reaksi fisiologis, psikologis dan perilaku.
Dengan beberapa dapat disimpulkan bahwa stres kerja merupakan tekanan
yang terjadi pada diri seseorang atau individu baik itu berupa beban pekerjaan dan
atau lainnya yang dapat membuat individu tersebut merasa terbebani dan
keberatan untuk menyelesaikan sebagai kewajibannya.
Gejala Stres
Robbins (2003) mengelompokkan gejala stres kerja dalam tiga klasifikasi
antara lain sebagai berikut:
8
a. Gejala Fisiologik
Dalam riset yang dilakukan Stephen (1999) menyimpulkan bahwa stres
dapat menciptakan perubahan dalam metabolisme, meningkatkan laju detak
jantung dan pernafasan, meningkatkan tekanan darah, menimbulkan sakit
kepala, dan menyebabkan serangan jantung. Selain itu, Priyoto (2014)
menambahkan juga beberapa gejala fisiologik seperti mudah masuk angin,
mudah pening-pening, otot kejang. Sedangkan Rivai & Mulyadi (2012)
menambahkan adanya gejala fisik seperti sulit tidur atau tidak teratur, sakit
kepala, sulit buang air besar, adanya gangguan pencernaan, radang usus, kulit
gatal-gatal, punggung terasa sakit, urat-urat pada bahu dan leher terasa tegang,
keringat berlebihan, berubah selera makan, tekanan darah tinggi atau serangan
jantung, kehilangan energi.
b. Gejala Psikologik
Robbins (2003) mengatakan secara psikologi stres dapat menimbulkan
ketidakpuasan yang berkaitan dengan pekerjaan. Ini adalah efek yang paling
sederhana dan paling jelas dari stres. Gejala lain yang timbul misalnya depresi,
gelisah, ketegangan, kecemasan, mudah marah, kebosanan, dan suka menundanunda pekerjaan. Sedangkan Priyoto (2014) menunjukkan gejala psikologik
lainnya seperti marah-marah, mudah tersinggung dan terlalu sensitif, gelisah
dan cemas, suasana hati mudah berubah-rubah, sedih, mudah menangis dan
depresi, gugup, agresip terhadap orang lain dan mudah bermusuhan serta
mudah menyerang dan kelesuan mental.
c. Gejala Perilaku
9
Rivai & Mulyadi (2004) mengatakan perihal gejala perilaku seperti
sering terjadi tingkah laku yang tidak diterima oleh masyarakat. Orang-orang
yang mengalami stres bisa menjadi nervous dan merasakan kekhawatiran
kronis. Mereka sering menjadi mudah marah dan agresif, tidak dapat rileks
atau menunjukkan sikap yang tidak koperatif.
Penyebab Stres
Menurut Priyoto bahwa (2014) kondisi stres dapat disebabkan oleh
berbagai penyebab atau sumber, dalam istilah yang lebih umum disebut stresor.
Stresor adalah penyebab stres, yakni apa saja kondisi lingkungan tempat tuntutan
fisik dan emosional pada seseorang. Ada berbagai stresor dalam organisasi seperti
kondisi dan situasi pekerjaan, kepemimpinan transaksional, faktor interpersonal,
perkembangan karir, dan struktur organisasi.
a. Kondisi dan Situasi Pekerjaan
Berbagai hal yang dapat menjadi sumber stres akibat yang berasal dari
pekerjaan menurut Robbins (2003) antara lain beban tugas yang terlalu besar,
tidak seimbangnya antara wewenang dan tanggung jawab, serta frustasi yang
ditimbulkan oleh intervensi pihak lain yang terlalu sering sehingga seseorang
merasa terganggu konsentrasinya.
b. Kepemimpinan Transaksional
Yulk (2009) mengungkapkan kepemimpinan transaksioanl dapat
menyebabkan stres kerja dikarenakan adanya nilai-nilai yang relevan dengan
proses pertukaran seperti kejujuran,keadilan, tanggung jawab dan timbal balik.
Ketidaksesuaian penghargaan baik berupa material (upah atau insentif) atau
immaterial (kebanggaan, kepuasan) yang diterima karyawan dari pemimpin
10
dari menimbulkan stres. Peran pemimpin dalam kepemimpinan transaksional
sebagai pengisi kekosongan dalam hubungan pekerja dengan pekerjaannya
serta lingkungannya. Seperti dikemukakan Den Hartog (dalam Rahmadin,
2010), ketika pekerjaan dan lingkungan tidak menyediakan bimbingan,
kepuasan atau dorongan motivasi, maka adalah tugas pemimpin untuk
menyediakan hal-hal tersebut. Pada saat pemimpin tidak mampu untuk
memberikan bimbingan, kepuasan, atau dorongan motivasi maka sikap dan
semangat bahkan produktivitas akan menurun.
c. Faktor Interpersonal
T. Hani Handoko (1994) yang menyebabkan faktor interpersonal dapat
mengakibatkan stres kerja diantaranya beban kerja yang berlebihan, konflik
antara pribadi dan kelompok, umpan balik tentang pelaksanaan kerja yang
tidak memadahi, dan perbedaan antara nilai-nilai perusahaan dan karyawan.
d. Perkembangan Karier
Rice (dalam Umam, 2012) mengungkapkan beberapa penyebab stres
yang disebabkan perkembangan karier adalah promosi ke jabatan yang berbeda
dengan kemampuannya, keamanan pekerjaannya, dan ambisi yang berlebihan
sehingga mengakibatkan frustasi.
e. Struktur Organisasi
Siagian
(1999)
sturktur
organisasi
dalam
pekerjaan
dapat
mengakibatkan stres kerja dikarenakan dipicu oleh adanya iklim kerja yang
menimbulkan rasa tidak nyaman. Iklim kerja yang yang menimbulkan rasa
tidak nyaman seringkali memunculkan konflik antar karyawan dengan pihak
lain di dalam dan di luar pekerjaan.
11
Manajer Madya
Secara umum menurut ilmu manajemen bahwa manajer adalah pemimpin
suatu organisasi. Menurut Griffin (2004) istilah manajer menengah atau manajer
madya mungkin merupakan kelompok manajer yang paling banyak dalam sebagai
besar organisasi. Sedangkan Ruky (2002) mengatakan bahwa manajer madya
menunjuk kepada kelompok tingkat menengah di dalam suatu organisasi. Manajer
madya biasanya mengawasi kegiatan manajer-manajer lain dan kadang-kadang
juga pelaksana. Liker & Meier (2007) mengatakan manajer madya secara luas
untuk mencakup semua orang dari supervisor garis depan hingga kepala
departemen.
Dari pengertian tersebut yang dimaksudkan dengan manajer madya adalah
pemimpin berada di kelompok tingkat menengah dalam suatu organisasi dengan
tugas pengawasan dan ataupun pelaksana.
Peran Tugas Manajer Madya
Pada umumnya tugas seorang manajer madya sebagai perencana,
pengarah, pengorganisasi, pengendali atau pengawas. Sebagai pemimpin yang
berada di level menengah manajer madya bertugas mengawasi beberapa unit kerja
dan menerapkan rencana sesuai tujuan dan tingkatan, selanjutnya melaporkan
hasil pekerjaannya kepada top manajer.
Ruky (2002) mengatakan tanggung jawab utama manajer madya adalah
memimpin dan mengarahkan kegiatan-kegiatan dan penerapan kebijakankebijakan organisasi dan mengembangkan tuntutan dari atasannya dengan
kemampuan bawahannya. Liker & Meier (2007), pekerjaan manajer madya adalah
menerjemahkan ide hebat orang di puncak menjadi tindakan dan hasil nyata. Ini
12
berarti manajer madya harus mempengaruhi kehidupan orang yang di bawah dan
bekerja melalui orang-orang tersebut. Manajer madya harus menyelesaikan
produksi harian, bertanggung jawab atas kualitas dan pelayanan, dan bekerja
dengan semua ahli manajemen untuk membantu mereka melakukan pekerjaan
yang lebih baik.
Keahlian Manajer Madya
Seorang manajer madya harus memiliki keahlian yang memadai dalam
menjalankan tugasnya. Ruky (2002) membuat skema bagan keahlian manajer
madya seperti di bawah ini:
Tingkatan:
Manajer Puncak
Kompetisi yang
Kompetisi
berkaitan dengan
berkaitan dengan
manusia
penetapan visi
misi strategi bisnis
Kompeti
Manajer Madya
si berkaitan
mengajar dan
dengan
mengembang
aspek teknis
kan budaya
dari jabatan
Manajer
Pratama
Kepemimpinan,
organisasi
13
Bagan 1. Skema Keahlian Manajer Madya
Gaya Kepemimpinan Transaksional
Kepemimpinan (dalam Kartini Kartono, 1988) memiliki kata dasar
pemimpin yang berasal dari kata pimpin, pemimpin memiliki arti “Seorang
pribadi yang memiliki kecakapan dan kelebihan, khususnya kecakapan/ kelebihan
di satu bidang sehingga dia mampu mempengaruhi orang-orang lain untuk
bersama-sama melakukan aktivitas-aktivitas tertentu demi pencapaian satu atau
beberapa tujuan.”
Oktavianus (1988), “Kepemimpinan ialah keseluruhan tindakan, sikap dan
tingkah laku seseorang (pemimpin) dalam mempengaruhi, menggerakkan dan
mengarahkan orang-orang lain untuk melaksanakan seperangkat kegiatan secara
efektif, demi mencapai tujuan yang telah ditetapkan.” Menurut Robbins & Judge
(2007) kepemimpinan adalah kemampuan untuk mempengaruhi suatu kelompok
ke arah tercapainya tujuan. Menurut Tangkilisan (2007), antara kepemimpinan
dengan pemimpin memiliki kaitan yang erat. Di samping kata “kepemimpinan”
merupakan bentukan kata dan mendapat imbuhan “ke-an” dari kata dasar
“pemimpin”, pemimpin pada dasarnya adalah orang yang melaksanakan
kepemimpinan.
Dari beberapa pendapat tersebut di atas, penulis menyimpulkan bahwa arti
kepemimpinan adalah keseluruhan kemampuan seseorang baik itu berupa
tindakan, sikap, tutur kata ataupun pemikirannya dalam mempengaruhi,
menggerakkan dan mengarahkan orang-orang lain untuk mencapai tujuan sebuah
organisasi.
14
Gaya Kepemimpinan Transaksional
Definisi kepemimpinan transaksional tidak terlepas dari pendapat Burn
(1978) kepemimpinan yang melakukan transaksi memotivasi para pengikut
dengan menyerukan kepentingan pribadi mereka (Yukl 2010). Menurut Yukl
(2010) kepemimpinan transaksional dapat melibatkan nilai-nilai, tetapi nilai
tersebut relevan dengan proses pertukaran seperti kejujuran, tanggung jawab, dan
timbal balik. Pemimpin transaksional membantu para pengikut mengidentifikasi
apa yang harus dilakukan, dalam identifikasi tersebut pemimpin harus
mempertimbangkan kosep diri dan self esteem dari bawahan (Ivancevich,
Konopaske, dan Matteson, 2006).
Kepemimpinan
transaksional
menurut
Metcalfe
(2000)
pemimpin
transaksional harus memiliki informasi yang jelas tentang apa yang dibutuhkan
dan diinginkan bawahannya dan harus memberikan balikan yang konstruktif
untuk mempertahankan bawahan pada tugasnya. Pada hubungan transaksional,
pemimpin menjanjikan dan memberikan penghargaan kepada bawahannya yang
berkinerja baik, serta mengancam dan mendisiplinkan bawahannya yang
berkinerja buruk.
Bass
(1985)
mengemukakan
kepemimpinan
transaksional
adalah
kepemimpinan di mana pemimpin menentukan apa yang harus dikerjakan oleh
karyawan agar mereka dapat mencapai tujuan mereka sendiri atau organisasi dan
membantu karyawan agar memperoleh kepercayaan dalam mengerjakan tugas
tersebut. Menurut Bass dalam Robbins & Judge (2007) pemimpin transaksional
adalah pemimpin yang memadukan atau memotivasi pengikut mereka dalam arah
tujuan yang ditegakkan dengan memperjelas peran dan tuntutan tugas.
15
Jadi kepemimpinan transaksional merupakan sebuah kepemimpinan
dimana seorang pemimpin mendorong bawahannya untuk bekerja dengan
menyediakan sumberdaya dan penghargaan sebagai imbalan untuk motivasi,
produktivitas dan pencapaian tugas yang efektif.
Jenis Kepemimpinan Transaksional
Kepemimpinan transaksional sangat memperhatikan nilai moral seperti
kejujuran, keadilan, kesetiaan dan dan tanggung. Kepemimpinan ini membantu
orang ke dalam kesepakatan yang jelas, tulus hati, dan memperhitungkan hak-hak
serta kebutuhan orang lain.
Kepemimpinan transaksional menurut Bass (dalam Widodo, 2012)
memiliki karakteristik sebagai berikut :
1). Contingent reward
Kontrak pertukaran penghargaan untuk usaha, penghargaan yang
dijanjikan untuk kinerja yang baik, mengakui pencapaian. Pada contingent
reward dapat berupa penghargaan dari pimpinan karena tugas telah
dilaksanakan, berupa bonus atau bertambahnya penghasilan atau fasilitas. Hal
ini dimaksudkan untuk memberi penghargaan maupun pujian untuk bawahan
terhadap upaya-upayanya. Selain itu, pemimpin betransaksi dengan bawahan,
dengan memfokuskan pada aspek kesalahan yang dilakukan bawahan,
menunda
keputusan
atau
menghindari
hal-hal
yang
kemungkinan
mempengaruhi terjadinya kesalahan.
2). Active Management by Exception
Melihat dan mencari penyimpangan dari aturan atau standar,
mengambil tindakan perbaikan. Management by-exception menekankan fungsi
16
managemen sebagai kontrol. Pimpinan hanya melihat dan mengevaluasi
apakah terjadi kesalahan untuk diadakan koreksi, pimpinan memberikan
intervensi pada bawahan apabila standar tidak dipenuhi oleh bawahan. Disebut
aktif jika pemimpin secara aktif mencari apa ada kesalahan, dan jika ditemukan
akan mengambil tindakan seperlunya.
3). Pasive Management by Exception
Pemimpin berusaha mempertahankan prestasi dan cara kerja dari
bawahannya, apabila ada kesalahan pemimpin langsung bertindak untuk
memperbaikinyaDisebut pasif jika pemimpin hanya bertindak jika ada laporan
kesalahan, sehingga tanpa ada informasi maka pemimpin tidak mengambil
tindakan apa-apa.
Hubungan Atasan Bawahan
Bass (dalam Yukl 1998) mengemukakan bahwa hubungan pemimpin
transaksional dengan bawahan tercermin dari tiga hal yakni:
Pertama, pemimpin mengetahui apa yang diinginkan bawahan dan
menjelaskan apa yang akan mereka dapatkan apabila kerjanya sesuai dengan
harapan.
Kedua, pemimpin menukar usaha-usaha yang dilakukan bawahan
dengan imbalan.
Ketiga, pemimpin responsif terhadap kepentingan pribadi bawahan
selama kepentingan tersebut sebanding dengan nilai pekerjaan yang telah
dilakukan bawahan.
Tingkat
pola
hubungan
karyawan
dikategorikan menjadi (Munandar , 2001):
dalam
perusahaan
dapat
17
1. Manajer puncak, yaitu pemimpin yang mengepalai seluruh organisasi, yang
termasuk dalam kategori ini adalah direktur, direktur utama.
2. Manajer madya adalah pemimpin yang mengepalai satu bagian dalam
organisasi. Manajer madya mempunyai tingkat kedudukan di bawah
manajer puncak dan bertanggung jawab kepada manajer puncak. Contohnya
adalah manajer penjualan (manajer yang memimpin bagian penjualan).
3. Manajer pertama adalah pemimpin yang mengepalai satu unit dalam
organisasi dan mempunyai tingkat kedudukan di bawah manajer madya.
Manajer pertama ini akan mempertanggungjawabkan pekerjaannya kepada
manajer madya. Termasuk manajer pertama misalnya supervisor. Tenaga
kerja produktif adalah tenaga kerja yang menduduki jabatan terendah dalam
organisasi perusahaan dan bertanggung jawab kepada manajer pertama.
Contohnya adalah staf pelaksana.
Dalam penelitian ini, yang dimaksud dengan atasan adalah orang yang
memiliki jabatan lebih tinggi daripada subjek penelitian, dimana subjek
bertanggung jawab langsung terhadap atasannya, maka pengertian atasan di
sini adalah atasan langsung dari subjek.
Hasil-hasil Penelitian
1. Hubungan antara Kepemimpinan Transaksional dengan Stres Kerja
Dalam penelitian-penelitian terdapat perbedaan hasil yang pro maupun
kontra tentang hubungan antara kepemimpinan transaksional dengan stres
kerja. Sebagai contoh penelitian yang dilakukan oleh Wijaya & Putra, yang
berjudul Pengaruh Kepemimpinan Transaksional Dengan Stres Kerja Terhadap
Kepuasan Kerja Karyawan Pt. Panca Dewata Denpasar Bali, 2014 mengatakan
18
hasil uji F, nilai Fhtiung lebih besar dari Ftabel yaitu sebesar 18,827 dapat
disimpulkan bahwa, kepemimpinan transaksional dengan stres kerja terhadap
kepuasan kerja secara simultan berpengaruh signifikan terhadap stres kerja.
Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh
Ahmad et al. (2013), Perrewe dan Zellars (1999), dan penelitian Cash dan
Gardner (2011). Ini berarti bahwa gaya kepemimpinan transaksional
mempengaruhi stres kerja pada karyawan. Hal ini menunjukkan bahwa
kepemimpinan transaksioanl memberikan sumbangsih yang siginifikan
terhadap stres kerja karyawan. Hal senada ditegaskan oleh Susiawati (2005)
dalam penelitian berjudul Hubungan Antara Kepemimpinan Transaksional
dengan Stres Kerja Karyawan mengindikasikan pada 30 orang subyek bahwa
33,06% aspek gaya kepemimpinan transaksional memicu stres kerja karyawan.
Namun di satu sisi lain, terdapat juga hasil penelitian yang kontra
tentang hubungan gaya kepemimpinan transsaksional dengan stres kerja.
Diantaranya penelitian yang dilaksanakan oleh Rahmadin (2010) menemukan
bahwa kepemimpinan transaksional memiliki hubungan yang negatif dan tidak
signifikan terhadap sikap karyawan. Ini berarti bahwa gaya kepemimpinan
transaksional memang tidak berkaitan dengan stres kerja karyawan. Seperti
juga yang diungkapkan Utami & Suana (2015) dalam penelitian yang berjudul
Pengaruh Kepemimpinan Transaksional dengan Stres Kerja terhadap
Kepuasaan Kerja Karyawan pada PT PLN (Persero) Area Bali Selatan yang
mengindikasikan dari 139 responden menghasilkan regresi linier berganda
untuk kepemimpinan transaksional dengan nilai beta 0,353 yang menunjukkan
kepemimpinan transaksional tidak berpengaruh positif dan signifikan dengan
19
stres kerja. Ini berarti bahwa gaya kepemimpinan transaksional tidak
menyebabkan stres kerja pada karyawan
2. Pentingnya Penelitian
Perbedaan
pendapat
dari
beberapa
hasil
penelitian
yang
mengungkapkan hubungan gaya kepemimpinan transaksional dengan stres
kerja
terhadap
kepuasan
kerja.
Dalam
penelitian
Wijaya
&
Putra
membandingkan antara gaya kepemimpinan transaksional dengan stres kerja
terhadap kepuasan kerja, dalam penelitian ini secara spesifik membahas perihal
gaya kepemimpinan transaksional dengan stres kerja.
Dalam penelitian yang dilakukan oleh Susiawati (2005) ditemukan gaya
kepemimpinan transaksional memiliki dampak terhadap stres kerja sebesar
33,06%. Dalam penelitian ini yang hendak dilakukan peneliti dimana mencoba
membuktikan kebenaran dari penelitian yang pernah dilakukan oleh Susiawati
(2005) yang menemukan faktor kepemimpinan transaksional sebesar 33,06%
sebagai penyebab stres kerja.
Dalam penelitian lainnya Rahmadin (2010) menemukan bahwa stres
kerja tidak disebabkan oleh kepemimpinan transaksional. Sebagaimana
diutarakan oleh Utami & Suana (2015) bahwa gaya kepemimpinan
transaksional tidak kepemimpinan transaksional tidak menyebabkan stres kerja
pada karyawan
Kerangka Berpikir
Dalam penelitian ini penulis menyajikan kerangka berpikir untuk
mempermudah memahami permasalahan yang sedang diteliti. Penelitian ini
dilakukan berdasarkan latar belakang fenomena stres yang kerapkali dihadapi
20
oleh para manajer madya di PT. Astra Daihatsu cabang Solo. Pengalaman stres
yang seringkali dihadapi oleh para manajer madya diantaranya merasakan
pusing, sakit maag. Selain gejala-gejala tersebut, ada diantaranya yang mencari
pelarian dengan cara merokok lebih dari biasanya.
Keberadaan manajer madya di PT. Astra Daihatsu cabang Solo sangat
vital sekali dalam peranannya mengembangkan dan memajukan perusahaan.
Kepemimpinan transaksional adalah model kepemimpinan di aman seorang
pemimpin cenderung memberikan arahan kepada bawahan, serta memberi
imbalan dan hukuman atas kinerja mereka serta menitikberatkan pada perilaku
untuk memandu pengikut mereka ke arah tujuan yang ditetapkan dengan
memperjelas peran dan tuntutan tugas.
Gaya kepemimpinan seseorang terhadap manajer madya cenderung
mempengaruhi timbulnya stres. Dengan adanya pendapat tersebut maka dapat
dibuatkan
hipotesa
bahwa
bahwa
gaya
kepemimpinan
transaksional
mempunyai pengaruh terhadap stress manajer madya.
Hipotesa Penelitian
Berdasarkan masalah dan kerangka berpikir yang diajukan dalam
penelitian, maka hipotesa sementara yang dapat disimpulkan dalam penelitian
adalah diduga ada hubungan yang signifikan antara gaya kepemimpinan
transaksional dengan stres manajer madya di PT. Astra Daihatsu cabang Solo.
Sedangkan hipotesa statistik untuk penelitian ini adalah:
: Tidak ada hubungan yang signifikan antara gaya kepemimpinan
transaksional dengan stres manajer madya di PT. Astra Daihatsu cabang Solo.
21
: Ada hubungan yang signifikan antara gaya kepemimpinan
transaksional dengan stres manajer madya di PT. Astra Daihatsu cabang Solo.
Download